apakah pendidikan hukum yang salah?mitrahukum.org/wp-content/uploads/2013/10/mitra-06.pdf · mitra...

40
Mitra Pembaruan Pendidikan Hukum Indonesia Apakah pendidikan hukum yang salah? Apakah pendidikan hukum yang salah? Edisi 6 - Legal Empowering Edisi 6 - Legal Empowering Dari Amerika ke Indonesia Dari Amerika ke Indonesia SEMA RI No. 10 Tahun 2010 tentang Pedoman Pemberian Bantuan Hukum SEMA RI No. 10 Tahun 2010 tentang Pedoman Pemberian Bantuan Hukum Suplemen Suplemen newsletter Clinical Legal Education (CLE) : Clinical Legal Education (CLE) :

Upload: lamkhanh

Post on 06-Feb-2018

230 views

Category:

Documents


6 download

TRANSCRIPT

Page 1: Apakah pendidikan hukum yang salah?mitrahukum.org/wp-content/uploads/2013/10/mitra-06.pdf · Mitra Pembaruan Pendidikan Hukum Indonesia Apakah pendidikan hukum yang salah? Edisi 6

Mitra Pembaruan Pendidikan Hukum Indonesia

Apakah pendidikan hukum yang salah?

Apakah pendidikan hukum yang salah?

Edisi 6 - Legal EmpoweringEdisi 6 - Legal Empowering

Dari Amerika ke IndonesiaDari Amerika ke Indonesia

SEMA RI No. 10 Tahun 2010 tentang Pedoman Pemberian Bantuan HukumSEMA RI No. 10 Tahun 2010 tentang Pedoman Pemberian Bantuan Hukum

SuplemenSuplemen

n e w s l e t t e r

Clinical Legal Education (CLE) :Clinical Legal Education (CLE) :

Page 2: Apakah pendidikan hukum yang salah?mitrahukum.org/wp-content/uploads/2013/10/mitra-06.pdf · Mitra Pembaruan Pendidikan Hukum Indonesia Apakah pendidikan hukum yang salah? Edisi 6

Redaksi

Dadang TrisasongkoRenata Arianingtyas

Uli Parulian SihombingFulthoni

Siti Aminah

Keuangan dan SirkulasiEvi Yuliawaty

Herman Susilo

Penerbit

The Indonesian Legal Resource Center (ILRC)Jl. Tebet Timur I No. 4,

Jakarta SelatanPhone : 021-93821173,

Fax : 021- 8356641

e-mail :[email protected]

www.mitrahukum.org

Didukung olehOpen Society Institute (OSI)

OPEN SOCIETY INSTITUTE

PENGANTAR REDAKSI

LAPORAN UTAMA : 1.”Apakah Pendidikan Hukum yang Salah ?”2.Pendidikan Tinggi Hukum dan Penguatan Kapasitas Hukum Masyarakat (Legal Empowering)

OPINI HUKUM Clinical Legal Education (CLE): Dari Amerika ke Indonesia - Oleh : Pultoni

AKTIVITAS1.Advokasi RUU Bantuan Hukum : dari Kampus ke DPR RI2.Pelatihan Memahami Sosial Justice: Memahami untuk Mengajarkan3.Generasi Muda, Generasi Bhinneka Tunggal Ika; 4.Pelatihan Paralegal Kebebasan Beragama/ Berkeyakinan Untuk Mahasiswa5.Eksaminasi Publik : Putusan Mahkamah Konstitusi tentang Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama terhadap UUD 1945.

SUPLEMENSEMA RI No. 10 Tahun 2010 tentang Pedoman Pemberian Bantuan Hukum

REFERENSISerial Buku Saku Kebebasan BeragamaSeri V dan Seri VI

Buku : ”BUKAN JALAN TENGAH” Eksaminasi Publik Putusan Mahkamah Konstitusi Perihal Pengujian Undang-Undang Nomor 1 PNPS Tahun 1965 Tentang Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama

DAFTAR ISI

dicetak oleh -canting pressisi diluar tanggungjawab percetakan

delca printing

Page 3: Apakah pendidikan hukum yang salah?mitrahukum.org/wp-content/uploads/2013/10/mitra-06.pdf · Mitra Pembaruan Pendidikan Hukum Indonesia Apakah pendidikan hukum yang salah? Edisi 6
Page 4: Apakah pendidikan hukum yang salah?mitrahukum.org/wp-content/uploads/2013/10/mitra-06.pdf · Mitra Pembaruan Pendidikan Hukum Indonesia Apakah pendidikan hukum yang salah? Edisi 6

LAPORANUTAMA

2 MITRA HUKUM - edisi 6

Sebuah pertanyaan reflektif ”Apa-kah pendidikan hukum yang salah?” dari Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Busyro Muqqodas menggambar-kan kegusarannya akan situasi hukum di Indonesia, khususnya korupsi. Sebab pelaku korupsi atau koruptor hampir semua lulusan sarjana, bahkan sarjana hukum. Demikian halnya keluhan ter-hadap aparat penegak hukum – polisi, jaksa, hakim dan advokat yang tidak mampu mengaitkan tindak pidana ko-rupsi dengan Hak Asasi Manusa (HAM) maupun kondisi sosial dan ekonomi yang sedang berlangsung di Indonesia, tidak terlepas dari kualitas pendidikan tinggi hukum. Intinya, pendidikan hu-kum tidak mendorong ke arah perwuju-dan keadilan sosial di dalam masyarakat.

Keluhan yang sama disampaikan Menteri Hukum dan HAM RI, Patria-lis Akbar. Patrialis menyampaikan ban-yaknya putusan-putusan hakim yang tidak memenuhi rasa keadilan masyara-kat, dan banyak aparatur penegak hu-

kum masih cenderung menyalahguna-kan wewenang sehingga yang menjadi korban adalah masyarakat. Kondisi ini tidak lepas dari permasalahan kuriku-lum fakultas hukum di berbagai Pergu-ruan Tinggi. Menurutnya, “Kurikulum sedikit demi sedikit harus dilakukan perubahan. Karena proses pendidikan hukum kita masih transfer of knowledge sehingga tidak terlalu mendalam saat memahami perspektif dan tujuan dari hukum itu sendiri. Sehingga gambaran seorang sarjana hukum yang baru lulus belum memiliki akuntabel, ia hanya se-kedar berlabelisasi seorang sarjana hu-kum,” katanya dalam pertemuan den-gan Badan Kerja Sama (BKS) Dekan Fakultas Hukum Negeri se Indonesia di Yogyakarta, pada pertengahan Oktober lalu.

Pertanyaan reflektif dan keluhan tersebut dilatarbelakangi harapan bah-wa, pendidikan hukum dapat berperan dalam membentuk pandangan dan si-kap keluaran fakultas hukum terhadap

”Apakah Pendidikan Hukum yang Salah ?”“Semua pelaku korupsi hampir semua lulusan sarjana, Akpol, ter-lebih sarjana hukum. Semua berpendidikan, jangan-jangan ada sesuatu yang salah. Apakah pendidikan hukum yang salah?”

Busyro Muqqodas – 2010

Page 5: Apakah pendidikan hukum yang salah?mitrahukum.org/wp-content/uploads/2013/10/mitra-06.pdf · Mitra Pembaruan Pendidikan Hukum Indonesia Apakah pendidikan hukum yang salah? Edisi 6

LAPORANUTAMA

3MITRA HUKUM - edisi 6

pemenuhan rasa keadilan masyarakat, HAM, dan nilai-nilai keadilan sosial di negaranya. Berbagai nilai dan pemaha-man yang mereka terima selama proses

pembelajaran berpengaruh terhadap ori-entasi dan tindakan yang akan mereka lakukan dalam melaksanakan fungsi-fungsi sosial setelah mereka lulus. Ke-nyataannya, sistem hukum kita dimana para lulusan fakultas hukum menjadi stakeholder utama tidak mencerminkan pemenuhan nilai-nilai keadilan, sebagai-mana diharapkan.

Hikmahanto Juwana, mengiden-tifikasikan ada lima hal terkait perma-salahan dalam pendidikan hukum yaitu: (1) kurikulum inti pendidikan hukum yang berlaku sejak masa pemerintahan kolonial hingga sekarang masih berlaku, (2) metode pengajaran tidak berubah secara mendasar sejak masa pemerintah-an kolonial hingga sekarang, (3) Buku pe-gangan yang digunakan dari tahun ke tahun tidak berubah, (4) Mayoritas pengguna lulusan fakultas hulum cen-derung menginginkan tipe lulusan yang tahu peraturan perundang-undangan, bukan yang tahu hukum dalam penger-

tian yang luas. Maka hukum telah dire-duksi menjadi peraturan perundang-undangan semata, dan (5) Anggapan masyarakat bahwa lulusan fakultas hu-kum sebagai sangat legalistik, pandai menghapal dan taat pada doktrin mirip dengan apa yang dihasilkan oleh pedidi-kan tinggi hukum ketika diperkenalkan oleh pemerintahan kolonial. Karenanya, menurut Hikmahanto lulusan tahun 1930an, 1950an, 1970an, 1980an dan 1990an dapat dikatakan sama. Lulusan yang dihasilkan cenderung legalistik ti-dak berbeda dengan lulusan pada masa pemerintahan kolonial, bahkan cen-derung tidak dapat memenuhi berbagai tujuan pendidikan hukum pasca Indo-nesia merdeka.

Masalah lainnya yang dihadapi se-tiap Sarjana Hukum baru saat ini adalah masih kuatnya praktek mafia peradilan, yang menghambat Sarjana Hukum un-tuk setia pada komitmennya mencapai keadilan sosial. Sehingga, kini setiap fakultas hukum menghadapi dua tan-tangan yaitu menyediakan pendidikan hukum yang melatih pengetahuan hu-kum disertai kemampuan analisa dan ketrampilan hukum yang tinggi dan pendidikan hukum yang lengkap de-ngan penanaman nilai-nilai keadilan, supremasi hukum dan perlindungan hak asasi manusia sebagai syarat un-tuk mewujudkan masyarakat Indonesia yang demokratis dan berkeadilan sosial.

Dari uraian di atas, setidaknya ter-dapat dua hal yang mempengaruhi pros-es keberhasilan proses pembelajaran di fakultas hukum, yaitu menyangkut sub-tansi atau materi yang akan diajarkan,

Page 6: Apakah pendidikan hukum yang salah?mitrahukum.org/wp-content/uploads/2013/10/mitra-06.pdf · Mitra Pembaruan Pendidikan Hukum Indonesia Apakah pendidikan hukum yang salah? Edisi 6

LAPORANUTAMA

4 MITRA HUKUM - edisi 6

dan metode pembelajaran yang digu-nakan. Keduanya saling mempengaru-hi dan tidak dapat dipisahkan. Substansi terkait dengan konsep, gagasan, dan nilai-nilai keadilan sosial yang akan di-transformasikan kepada mahasiswa. Se-dangkan metode pembelajaran terkait dengan cara penyampaian substansi atau materi yang ada kepada mahasiswa.

*****

Kurikulum Fakultas Hukum di In-donesia

Perubahan dan pembaharuan arah pendidikan hukum di Indonesia mulai dikembangkan pada tahun 70 an. Salah seorang pelopor dari pembaharuan pendidikan hukum ini adalah Mochtar Kusumaatmadja, yang mengemukakan bahwa hukum itu bukan hanya sebagai kaidah, tetapi juga adalah sebagai sarana pembangunan. Teori ini sebagai modifi-kasi terhadap teori law as a tool of social engineering dari Roscoe Pound. (Maqdir Ismail,2007). Pada periode ini mulai di-perkenalkan latihan keterampilan pro-fessional, etika professional, dan tang-gung jawab professional. Pembaharuan kurikulum ini terus menerus dipikirkan dan dilakukan dan kemudian menjadi baku dikenal dengan nama kurikulum 1993. Dengan kurikulum ini diharap-kan semua Fakultas Hukum secara proporsional mengajarkan aspek-aspek kemahiran hukum dan aspek-aspek pengetahuan atau keilmuan hukum. Di-harapkan setelah lulus nanti mereka me-miliki bekal yang cukup memadai untuk masuk ke dunia praktik hukum. Kuri-

kulum inilah yang kemudian dikenal dengan sebutan Kurikulum Pendidikan Tinggi Hukum di Indonesia. Kuriku-lum ini berlaku berdasarkan Keputu-san Mendikbud No. 0325/U/1994 dan No. 056/U/1994 yang kemudian dalam perkembangannya mengalami sedikit perubahan di tahun 2000 dengan Kepu-tusan Mendikbud No. 232/U/2000.

Perubahan pokok dari kurikulum bukan pada substansinya melainkan leb-ih pada (1). perubahan penamaan ma-teri muatan kurikulum nasional menjadi kurikulum inti, dan kurikulum lokal menjadi kurikulum institusional (2). Kurikulum 1994 ini pada dasarnya disu-sun dengan landasan dengan semangat, serta motivasi untuk melakukan pemba-haruan pendidikan tinggi hukum agar lebih mampu menyiapkan para lulusan fakultas hukum siap dalam memasuki kerja atau siap mengemban profesi hu-kum, sehingga dalam kurikulum 1994 ini diintrodusirnya matakuliah hukum yang sarat dengan bobot kemahiran hu-kum.

Sebelum berlakunya kedua SK tersebut, kurikulum program Sarjana Hukum mengacu pada “kurikulum inti” yang ditetapkan dalam Keputusan Direktur Pendidikan Tinggi Depdikbud No 30/DJ/Kep/1983 tanggal 27 April 1983. Kurikulum inti tersebut lebih ber-orientasi dan menitik beratkan pada ke-pentingan fungsi peradilan dan pemer-intahan. Agus Lanini, berpendapat bahwa kurikulum pendidikan hukum tidak mengalami perubahan yang be-rarti sejak zaman penjajahan Belanda, mata kuliah dan metode belajar yang

Page 7: Apakah pendidikan hukum yang salah?mitrahukum.org/wp-content/uploads/2013/10/mitra-06.pdf · Mitra Pembaruan Pendidikan Hukum Indonesia Apakah pendidikan hukum yang salah? Edisi 6

LAPORANUTAMA

5MITRA HUKUM - edisi 6

diterapkan cenderung statis. Sehingga apa yang diharapkan masyarakat mapun elemen lainnya dari lulusan fakultas hu-kum sekarang ini tidak tercapai. Lanini menawarkan untuk menerjemahkan Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) dan menerapkan pendidikan hukum progresif melalui model pendidikan hu-kum klinis.

*****

Metode PengajaranSalah satu hal yang penting dalam

suatu pendidikan adalah metode penga-jaran. Karena bagaimana pun baiknya kurikulum dan fasilitas yang dimiliki sebuah Fakultas Hukum, kalau cara me-

nyampaikan materi pada mahasiswanya buruk, bisa jadi mahasiswa akan sulit memahaminya. Metode mengajar yang baik akan mampu merangsang peserta

didik untuk mencerna materi dengan baik. Yang tentu saja peserta didik akan lebih cepat paham bahkan akan beru-saha memacu nalarnya untuk mengem-bangkan materi yang telah diteriman-ya.

Menurut teori learning pyramid yang dibangun oleh National Train-ing Laboratories/NTL di Maine (AS), metode ceramah kuliah adalah metode yang tingkat penyerapannya oleh ma-hasiswa hanya sebesar 5%. Ini adalah metode terendah dalam hal penyerapan hasilnya oleh mahasiswa. Untuk metode bacaan, tingkat penyerapannya 10%. Jika kuliah menggunakan metode audio-visual tingkat penyerapannya 20%. Ke-

mudian jika digunakan metode demon-strasi tingkat penyerapannya 30%.

Profesor David McQuoid-Mason

Page 8: Apakah pendidikan hukum yang salah?mitrahukum.org/wp-content/uploads/2013/10/mitra-06.pdf · Mitra Pembaruan Pendidikan Hukum Indonesia Apakah pendidikan hukum yang salah? Edisi 6

LAPORANUTAMA

6 MITRA HUKUM - edisi 6

menyatakan hal ini merupakan suatu tanda bahaya karena sebagian besar proses pendidikan hukum justru meng-gunakan metode ceramah kuliah. Empat metode pembelajaran tersebut digolong-kan sebagai metode tradisional.

Rendahnya tingkat pencapaian metode ini, menurut NTL dapat diatasi jika digunakan pendekatan lainnya yaitu pendekatan Teaming atau interaktif atau berpusat pada mahasiswa.

Pendekatan interaktif, secara garis besar terbagi atas tiga (3) metode yaitu Kelompok Diskusi yang tingkat penca-paiannya 50%, Practice by Doing tingkat pencapaiannya 75% dan yang pal-ing efektif adalah mengajarkan kepada orang lain atau penggunaan secara lang-sung yang mana tingkat pencapaiannya 90 %

Dalam pandangan McQuoid-Ma-son, metode pendidikan yang berpu-

sat pada mahasiswa idealnya dilakukan dengan memberikan pengalaman belajar kepada mahasiswa dimana mahasiswa memperoleh ketrampilan praktis dan sekaligus menyediakan lingkungan ke-adilan sosial. Jika kesempatan itu tidak tersedia maka perlu diadakan termasuk lingkungan semacam itu perlu dicip-takan. Oleh karena itu mahasiswa perlu dilibatkan dalam menghadapi situasi dunia nyata dan memainkan peran se-bagai pengacara untuk menyelesaikan persoalan. Kegiatan semacam ini bisa di-lakukan lewat interaksi dengan klien un-tuk mengidentifikasi dan menyelesaikan masalah hukum, serta terbuka untuk ditinjau secara kritis oleh dosen maupun rekan mahasiswa lainnya. Hal ini seir-ing dengan KBK yang mengadopsi cara pembelajaran untuk orang dewasa. Ban-yak pihak merekomendasikan metode pendidikan hukum klinis (clinical legal

Page 9: Apakah pendidikan hukum yang salah?mitrahukum.org/wp-content/uploads/2013/10/mitra-06.pdf · Mitra Pembaruan Pendidikan Hukum Indonesia Apakah pendidikan hukum yang salah? Edisi 6

LAPORANUTAMA

7MITRA HUKUM - edisi 6

education) sebagai alternatif untuk men-jawab permasalahan kurikulum dan metode pengajaran di fakultas hukum.

*****

Pendidikan Hukum KlinisIstilah Pendidikan Hukum Klinik

dapat didefinisikan sebagai ”sebuah proses pembelajaran dengan maksud menyediakan mahasiswa hukum dengan pengetahuan praktis (practical knowl-edge), keahlian (skills), nilai-nilai (values) dalam rangka mewujudkan pelayanan hukum dan keadilan sosial, yang di-laksanakan atas dasar metode penga-jaran secara interaktif dan reflektif ”. (OSJI,2009).

Dari bentuknya, Pendidikan Hu-kum Klinik terdiri dari tiga komponen yaitu ;•Komponen Perencanaan. Mahasiswa

mempersiapkan dan merencanakan untuk memperoleh pengalaman praktik hukum yang nyata. Hal ini melibatkan pembelajaran dan penga-jaran teori-teori kepengacaraan sep-erti teknik dalam memberikan pelay-anan hukum, jenis-jenis isu dalam hal kepengacaraan, pengembangan kasus tertulis atau rencana proyek dan menstimulasikannya dengan ke-hidupan nyata;

•Komponen Praktik. Mahasiswa men-guji kemampuan kepengacaraannya (wawancara, pemberian nasehat, dan mewakili klien di persidangan, dsb). Atau melakukan kegiatan-kegiatan praktik lainnya dibawah supervisi dan bimbingan dosen atau pengacara

praktik;•Komponen Refleksi. Mahasiswa

merefleksikan pengalamannya, dan mengevaluasi kemampuannya. Proses ini termasuk refleksi tertulis, latihan melakukan evaluasi secara mandiri, dan kritik, evaluasi oleh su-pervisor.

Terdapat banyak tujuan dari Pen-didikan Hukum Klinik (OSJI,2009), yaitu; Pertama, program legal clinic ditujukan untuk menyediakan kes-empatan pendidikan yang terstruktur untuk mahasiswa, untuk menambah pengalaman mahasiswa dalam praktik kepengacaraan yang nyata atau melalui simulasi mewakili klien, dan juga un-tuk memperoleh pengetahuan, keahl-ian, dan nilai-nilai dari pengalaman itu; Kedua, legal clinic dimaksudkan untuk menambah dukungan untuk bantuan

Page 10: Apakah pendidikan hukum yang salah?mitrahukum.org/wp-content/uploads/2013/10/mitra-06.pdf · Mitra Pembaruan Pendidikan Hukum Indonesia Apakah pendidikan hukum yang salah? Edisi 6

LAPORANUTAMA

8 MITRA HUKUM - edisi 6

hukum terhadap masyarakat marjinal; Ketiga, ditujukan untuk menanamkan semangat pelayanan publik dan keadi-lan sosial, dan untuk membangun dasar pengembangan tanggungjawab profesi hukum; Keempat, dosen supervisor di memberikan kontribusi untuk pengem-bangan scholarship mengenai keahlian dan teori-teori hukum praktis yang menghubungkan dunia akademik den-gan organisasi kepengacaraan secara leb-ih dekat; Kelima, penggunaan metode pengajaran secara interaktif dan reflek-tif yang menggerakan mahasiswa untuk melakukan aktivitas-aktivitas tersebut di atas, yang tidak diperoleh di bangku ku-liah. Lebih lanjut, metode pembelajaran yang reflektif ini telah terbukti meru-pakan cara yang paling efektif untuk pembelajaran mahasiswa secara abadi; dan Keenam, legal clinic ditujukan untuk memperkuat, dengan merawat tanggungjawab profesional pengacara melalui penekanan kebutuhan bantuan hukum untuk melindungi masyarakat marjinal.

Pendidikan Hukum Klinik sudah dikenal di Indonesia pada masa 1970-an, dan dikembangkan oleh Mochtar Kusumaatmadja di Fakultas Hukum Universitas Padjajaran. Terkait dengan inovasinya ini, Mochtar Kusumatmadja, mengatakan “...pendidikan klinis yang direncanakan dengan baik tidak hanya mengajarkan keteramplan teknis, melain-kan juga harus menghadapakan maha-siswa-mahasiswa pada keadaan-keadaan yang akan dijumpainya dalam masyara-kat kelak dan juga harus menambahkan suatu kebiasaan”.

Namun, menurut Uli Parulian Si-hombing, pada masa tersebut Pendidi-kan Hukum Klinik lebih menekankan kepada penguatan dan pembentukan LBH Kampus, dan belum mampu men-ghubungkannya dengan kurikulum dan metode pengajaran. Padahal Konsep Pendidikan Hukum Klinik lebih luas dari LBHKampus (legal clinic). LBH Kampus hanyalah salah satu implemen-tor dari Pendidikan Hukum Klinik itu sendiri.

Kini, di tengah kegelisahan akan buruknya sistem hukum di Indonesia, dan pertanyaan, “Apakah Pendidikan Hukum yang Salah ?”, maka pendidikan hukum klinik menjadi alternatif yang relevan. Sehingga, ke depan pendidi-kan tinggi hukum mampu melahirkan aparat penegak hukum yang profesional dan mampu memenuhi rasa keadilan, dan tidak melahirkan koruptor maupun pelaku mafia hukum.

*****

DAFTAR BACAAN• Agus Lanini, Pendidikan Hukum Ber-

nuansa Social Justice, Selasa, 09 Maret 2010, aguslanini.blogspot.com

• Djoni Prawira Rahardja, Strategi dan Tehnik Belajar dari Kegiatan Laborato-rium, Slide, Makasaar, 2010

• Maqdir Ismail, Kurikulum Pendidikan Hukum dalam Persfektif Kebutuhan Pas-ar, Kamis, 22 November 2007, diakses dari maqdirismail.blogspot.com

• Pendidikan Hukum Klinik, Tinjauan Umum, OSJI, Diterjemahkan dan diter-bitkan oleh ILRC, Jakarta, 2009

Page 11: Apakah pendidikan hukum yang salah?mitrahukum.org/wp-content/uploads/2013/10/mitra-06.pdf · Mitra Pembaruan Pendidikan Hukum Indonesia Apakah pendidikan hukum yang salah? Edisi 6

LAPORANUTAMA

9MITRA HUKUM - edisi 6

Stephen Golub (2008) memaknai legal empowering sebagai setiap upaya untuk memperkuat akses masyarakat miskin/termarjinalkan terhadap ke-hidupannya. Golub tidak hanya melihat aspek hukum saja dalam memperkuat akses masyarakat miskin/termarjinal-kan terhadap kehidupannya. Aktivitas budaya dan ekonomi mungkin juga diperlukan untuk memperkuat akses masyarakat miskin/termarjinalkan ter-hadap kehidupannya. Sementara Open Society Justice Initiative (OSJI) (2010) lebih memfokuskan penggunaan “hu-kum” dalam legal empowerment itu. Di mana orang miskin/termarjinalkan menggunakan hukum untuk melindun-gi hak dan kepentingannya, serta dapat memecah masalahnya yang sedang mer-eka hadapi di dalam kehidupan sehari-hari. Hubungan antara legal empower-ment dengan pendidikan tinggi hukum adalah adanya kontribusi pendidikan tinggi hukum dalam mempromosikan dan mendorong terwujud pemenuhan

legal empowerment untuk masyarakat miskin/marjinal.

Badan Pusat Statistika (BPS) men-catat jumlah orang miskin di Indone-sia sampai dengan Maret tahun 2009 adalah 32,53 jiwa atau 14,15 % dari jumlah keseluruhan penduduk Indone-sia (dikutif dari www.bps.go.id). Bahkan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) memprediksi angka jumlah orang miskin akan melonjak menjadi 32,53 jiwa pada tahun 2010 (dikutif dari www.kabarbisnis.com). Jumlah orang miskin tersebut sangat besar, jika dibandingkan dengan total jumlah penduduk secara keseluruhan. Orang miskin tersebut ti-dak hanya bersentuhan dengan perma-salahan perekonomian, tetapi juga per-masalahan hukum.

Kasus Lumpur Lapindo di Porong Sidoarjo Jawa Timur menjadikan orang termarjinalkan menjadi miskin. Lum-pur lapindo tidak hanya merusak ling-kungan penduduk di sekitanya, tetapi juga orang-orang yang termarjinalkan

Pendidikan Tinggi Hukum danPenguatan Kapasitas Hukum Masyarakat (Legal Empowering)

Page 12: Apakah pendidikan hukum yang salah?mitrahukum.org/wp-content/uploads/2013/10/mitra-06.pdf · Mitra Pembaruan Pendidikan Hukum Indonesia Apakah pendidikan hukum yang salah? Edisi 6

LAPORANUTAMA

10 MITRA HUKUM - edisi 6

oleh lumpur tersebut menjadi miskin karena kehilangan pekerjaan dan mata pencahariannya. Belum lagi permasala-han kesehatan dan dampak psikologis akibat lumpur lapindo tersebut. Di sini lain, orang-orang yang termarjinalkan dan miskin tersebut membutuhkan bantuan hukum untuk memperjuang-kan haknya. Sementara tidak banyak advokat yang tertarik dalam penanga-nan kasus ini, yang ada hanyalah kantor bantuan hukum. Jumlah advokat baik yang bekerja di kantor bantuan hukum pun terbatas. Terdapat hal yang men-arik ketika ada upaya dari dosen-dosen Fakultas Hukum Universitas Airlangga mengadakan pendidikan hukum (PH) untuk korban-korban lapindo di Porong Sidoarjo. Substansi PH itu kurang lebih mirip dengan aktivitas legal empower-ment untuk masyarakat miskin/marjinal. Di mana para dosen tersebut mengajak mahasiswa/mahasiswinya untuk berdis-kusi dengan korban-korban lapindo un-tuk memikirkan solusinya dan membagi pengetahuan ”hukum”.

Street LawApa yang dilakukan oleh dosen-

dosen FH Unair tidak lain merupakan street law (terjemahan kasarnya adalah penyuluhan hukum), yang merupakan salah satu model legal empowerment yang dilaksanakan oleh pendidikan tinggi hu-kum. Sedikit banyak, street law terse-but membantu mahasiswa/mahasiswi untuk memahami realitas sosial yang ada di masyarakat khususnya ketika hukum bersinggungan dengan modal dan politik. Kemudian di sisi yang lain,

masyarakat terbantu akan informasi atas hukum dan juga mengajak mereka un-tuk mengkritisi substansi hukum secara lebih komprehensif. Walaupun pelak-sanaan PH tersebut dilaksanakan atas inisiatif dosen-dosen Unair, tetapi hal tersebut patut mendapatkan apresiasi terutama ketika dunia pendidikan tinggi hukum mencoba memberikan kontri-busi nyata terhadap permasalahan keti-dakadilan sosial.

David McQuoid-Mason (2010), Professor hukum di Universitas Kwazulu Natal Durban Afrika Selatan, merumus-kan street law sebagai berikut “street law refers to how the law effects the person on the street. Street law programs are legal lit-eracy programs that usually educate ordi-nary people, school children and prisoners about law, human rights and democracy. The street law explains how the law affects people in their daily lives, when they need the services of lawyers and where they can obtain assistance- particularly if people are very poor and cannot afford to employ lawyers”. Street law bukanlah hukum jalanan, melainkan pendidikan melek dan kesadaran hukum misalkan pendi-dikan hukum untuk anak-anak di seko-lah, narapidana di penjara dan lain-lain. David McQuoid Mason street law ini harus diakuai dan diterima oleh badan bantuan hukum (di Afrika Selatan na-manya The Legal Aid Board). Dengan kata lain, UU (Undang-Undang) Ban-tuan Hukum mendukung keberadaan street law tersebut.

RUU (Rancangan Undang-Un-dang) Bantuan Hukum belum menga-komodir pengakuan program street law

Page 13: Apakah pendidikan hukum yang salah?mitrahukum.org/wp-content/uploads/2013/10/mitra-06.pdf · Mitra Pembaruan Pendidikan Hukum Indonesia Apakah pendidikan hukum yang salah? Edisi 6

LAPORANUTAMA

11MITRA HUKUM - edisi 6

yang dilakukan oleh pendidikan tinggi hukum. Padahal selain PH untuk ma-syarakat, beberapa pendidikan tinggi hukum masih mewajibkan mahasiswa/mahasiswi untuk mengambil mata ku-liah kerja nyata (KKN). Biasanya salah satu aktivitas dari KKN tersebut adalah penyuluhan/pendidikan hukum misal-nya tentang hukum acara pidana atau hukum agraria. Penyuluhan/pendidikan hukum untuk masyarakat ini kurang lebih mirip dengan street law, karena tu-juannya sama yaitu untuk melek hukum (legal literacy). Mahasiswa/mahasiswi yang sedang melaksanakan KKN tidak hanya berdiskusi soal substansi hukum, tetapi juga membagi informasi tentang keberadaan dan fungsi kantor-kantor lembaga bantuan hukum atau instituti-instituti swasta dan pemerintah yang rel-evan dengan permasalahan hukum. Jelas sekali ini membantu distribusi informasi tentang bantuan hukum untuk masyara-

kat miskin/marjinal. Hasil studi yang dilakukan oleh

lembaga independen (2010) atas ke-beradaan street law yang dilakukan oleh pendidikan tinggi hukum menunju-kan bahwa street law mempunyai dam-pak positif seperti menurunkan angka kejahatan, dan bahkan mendorong anak-anak muda untuk lebih menjadi warganegara yang bertanggung jawab terhadap lingkungan sosialnya. Bahkan di Afrika Selatan, yang sangat terkenal karena tingkat kriminalitas dan angka penderita AIDS-HIV yang besar, ko-munitas street law sudah membuat buku manual hukum yang merupakan pedo-man untuk masyarakat dalam memaha-mi hukum secara sederhana. Kemudian juga ada buku manual tentang democra-cy for all , yang mudah dipahami oleh se-tiap orang yang menjelaskan bagaimana demokrasi berjalan dan kenapa ada de-mokrasi serta apa yang bisa dimanfaat-kan dari demokrasi. Komunitas street law di Afsel sudah sadar betul, bahwa demokrasi juga milik rakyat bukan han-ya elit politik, sehingga setiap orang ha-rus terlibat di dalam proses penentuan kebijakan negara yang mempunyai dam-pak terhadap masa depan mereka.

Street law, salah satu kegiatan le-gal empowerment, yang dilakukan oleh pendidikan tinggi hukum perlu diper-tahankan dan sebaiknya didukung oleh pemerintah khususnya RUU Bantuan Hukum harus mengakomodir inisi-atif-inisiatif pendidikan tinggi hukum dalam menjalankan program melek hu-kum untuk masyarakat. [Uli Parulian Sihombing]

Page 14: Apakah pendidikan hukum yang salah?mitrahukum.org/wp-content/uploads/2013/10/mitra-06.pdf · Mitra Pembaruan Pendidikan Hukum Indonesia Apakah pendidikan hukum yang salah? Edisi 6

12

OPINI

MITRA HUKUM - edisi 6

Sejak bulan Agustus lalu, saya ber-kesempatan mengikuti pendidikan di Columbia Law School, New York dan mengambil beberapa matakuliah. Ada empat tipe matakuliah di fakultas hu-kum ini yaitu lecture/ceramah, seminar, externship dan klinik. Untuk mataku-liah dengan tipe ceramah dilakukan di hall dan biasanya diikuti mahasiswa dalam jumlah besar. Meskipun metode ceramah, pada umumnya Professor tetap menggali ide dan pandangan dari mahasiswa, sehingga proses dialog dan diskusi tetap dilakukan. Dalam tipe seminar biasanya diikuti oleh jumlah mahasiswa yang lebih kecil dibanding-kan ceramah. Dalam pelaksanaannya, tipe ini biasanya mengkombinasikan antara ceramah dan presentasi maha-siswa. Mahasiswa dibagi dalam bebera-pa kelompok dan diminta menyiapkan makalah untuk dipres-entasikan dan didis-kusikan di dalam ke-las. Exterenship adalah metode belajar dima-na mahasiswa bekerja atau magang di lem-baga tertentu, seperti pengadilan, lembaga pemerintah, law firm,

NGO, dan lain-lain. Setiap mahasiswa dibawah supervisi perlu menyediakan waktu minimal 20 jam dalam 1 minggu untuk bekerja di lembaga yang telah di-pilih dan membuat laporan.

Salah satu matakuliah yang saya ikuti adalah klinik. Ada beberapa pili-han matakuliah klinik yang ditawarkan di Columbia Law School yaitu Child Advocacy Clinic, Community Enterprise Clinic/Non profit Organization Clinic, Environmental Law Clinic, Human Rights Clinic, Mediation Clinic, Digital Age Clinic, Prisoners and Families Clinic, Sexuality and Gender Clinic. Masing-masing klinik mendalami materi sesuai nama kliniknya dengan berbasis kasus-kasus yang ditangani. Setiap klinik di-batasi hanya diikuti oleh maksimal 12 orang. Bobot kredit yang diberikan untuk matakuliah klinik adalah 7 sks.

Awalnya saya ingin bergabung dengan Human Rights Clinic tetapi karena ketatnya persaingan dan ter-batasnya mahasiswa yang dapat diterima, akhirnya saya ber-gabung dengan Com-munity Interprise Clin-

Clinical Legal Education (CLE)DARI AMERIKA KE INDONESIA Oleh : Pultoni

Page 15: Apakah pendidikan hukum yang salah?mitrahukum.org/wp-content/uploads/2013/10/mitra-06.pdf · Mitra Pembaruan Pendidikan Hukum Indonesia Apakah pendidikan hukum yang salah? Edisi 6

13

OPINI

MITRA HUKUM - edisi 6

ic atau Non Profit Organization Clinic dengan jumlah mahasiswa 9 orang. Be-lajar kelas dilakukan dua kali seminggu yaitu 2 jam untuk pertemuan pertama dan 3 jam untuk pertemuan kedua.

Secara umum metode pembelaja-ran yang digunakan dimasing-masing klinik sama, yang membedakan han-ya substansi atau isu yang menjadi objek dari pembe-lajaran. Professor yang bertanggung-jawab untuk setiap klinik adalah para pengacara senior dengan reputasi yang tidak diragukan, dan pada umumnya mer-eka juga memiliki latarbelakang peker-jaan dalam bidang advokasi hak asasi manusia dan public interest isu. Pandan- g a n mereka tentang hak asasi manusia dan isu-isu keadilan menjadi penting bagi pembentukan karakter pengacara atau professional hukum lain di masa yang akan datang.

Setelah mengikuti matakuliah klinik selama satu semester saya mera-sakan ada perbedaan mendasar antara matakuliah klinik dengan matakuliah yang lain. Interaksi proses pembelajaran dalam klinik sangat intensif, baik selama belajar dalam kelas maupun diluar ke-las. Jumlah kelas yang kecil memung-kinkan setiap orang mengekpresikan

ide dan pengalamannya secara bebas, tanpa terhalangi oleh sekat antara pen-gajar dan mahasiswa, bahkan pembala-jaran dilakukan sangat informal di meja melingkar atau segi empat, sehingga memungkinkan setiap orang berinter-

aksi dengan orang lain. Selama pembelajaran berlangsung, pengajar berperan sebagai fasili-tator yang hanya me-nyampaikan kata-kata kunci persoalan yang kemudian dijawab dan didiskusikan bersama oleh mahasiswa. Se-sekali pengajar ber-pendapat ketika ada konsep yang harus diluruskan ataupun memberi jawaban atas pertanyaan ma-hasiswa. Metoda Socrates sangat kental digunakan

dalam proses ini untuk mendalami dan mendapatkan inti persoalan, sehingga partisipasi dan keaktifan mahasiswa lebih menonjol.

Komunikasi antara mahasiswa dan pengajar juga terjalin di luar kelas. Ada waktu tertentu dalam sebulan sekali dimana pengajar bertemu secara indi-vidual dengan setiap mahasiswa di ruan-gannya, dan membicarakan berbagai hal terkait kasus, proses pembelajaran, dan lain sebagainya. Pada umumnya, dalam satu semester pengajar hanya bertang-gung jawab terhadap satu matakuliah, sehingga mereka dapat memberikan

Page 16: Apakah pendidikan hukum yang salah?mitrahukum.org/wp-content/uploads/2013/10/mitra-06.pdf · Mitra Pembaruan Pendidikan Hukum Indonesia Apakah pendidikan hukum yang salah? Edisi 6

14

OPINI

MITRA HUKUM - edisi 6

perhatian secara penuh terhadap ma-hasiswa, proses pembelajaran dan fokus pada output yang diharapkan.

Selain itu, materi yang disampai-kan dalam klinik sangat praktis dan berhubungan langsung dengan problem keseharian. Ada beberapa topik yang disampaikan dalam pembelajaran kelas diantaranya menyangkut kemampuan dasar lawyer (interview, counseling, draft-ing, conflict resolution, advocacy) etika dan profesionalisme, dan peran dan tanggungjawab sosial pengacara. Un-tuk memulai satu topik, biasanya ma-hasiswa dibagi secara berpasangan dan diminta mempraktekkan satu adegan tertentu sebagai pengacara dan klien. Setelah itu, mereka diminta mengevalu-asi sendiri proses yang telah dilakukan, dan menyampaikan kesulitan-kesulitan yang dihadapi. Pada kesempatan lain, mahasiswa melakukan interview dengan klien, direkam melalui kamera dan ha-sil rekaman itu dibawa ke kelas kemu-dian didiskusikan secara bersama. Setiap orang diminta mengevaluasi dan mere-fleksikan proses yang sudah dijalankan.

Dalam beberapa kesempatan pen-gajar juga mengundang ahli di bidang tertentu ke kelas untuk mempresenta-sikan pengalamannya dibidang yang ia geluti. Selama saya mengikuti kelas ini ada tiga ahli yang sempat diundang yaitu ahli property untuk organisasi non profit, pustakawan (penelusuran letera-tur hukum), dan aktivis NGO yang bekerja di komunitas. Manfaat utama mengundang ahli adalah mahasiswa mendapatkan informasi yang lebih faktual tentang bekerjanya hukum dan

mendiskusikan permasalahan yang ada secara lebih mendalam.

Columbia Law School memi-liki dua ruangan utama klinik yaitu di dalam gedung fakultas hukum dan dilu-ar gedung fakultas hukum. Ruangan ini digunakan secara bersama oleh semua klinik untuk bertemu klien atau tempat mahasiswa bekerja menyelesaikan ka-sus yang ditangani. Biasanya mahasiwa dibagi secara berpasangan, dan bertang-gungjawab terhadap 1 kasus. Mereka menyusun dokumen-dokumen hukum yang diperlukan, dan mendiskusikan dokumen-dokumen dan kasus itu di dalam kelas untuk mendapatkan respon dari pengajar maupun mahasiswa yang lain.

Refleksi yang dapat saya sampai-kan setelah mengikuti matakuliah klinik adalah; Pertama, bahwa program ini adalah upaya pendidikan hukum me-layani kebutuhan sumber daya manusia yang akan bekerja dalam sektor-sektor hukum dengan kualifikasi professional, berintegritas dan berkomitmen ter-hadap kepentingan publik. Output itu akan diperoleh bukan pada saat mereka belajar, tetapi pada saat mereka meng-geluti berbagai profesi di kemudian hari.

Kedua, bahwa clinical legal edu-cation pada prinsipnya adalah proses pembelajaran by doing. Pembelajaran by doing adalah satu proses pembelajaran dimana mahasiswa tidak berhadapan dengan kasus ‘rekaan’ tetapi secara nyata bekerja dan berhadapan langsung den-gan permasalahan hukum yang ada di masyarakat melalui konsultasi dan ban-tuan hukum. Mahasiswa dituntut mam-

Page 17: Apakah pendidikan hukum yang salah?mitrahukum.org/wp-content/uploads/2013/10/mitra-06.pdf · Mitra Pembaruan Pendidikan Hukum Indonesia Apakah pendidikan hukum yang salah? Edisi 6

15

OPINI

MITRA HUKUM - edisi 6

pu menganalisa kasus dan merumuskan penyelesaiannya.

Ketiga, peran pengajar yang ber-tanggung jawab terhadap klinik sangat menentukan orientasi dan karakteris-tik lulusan fakultas hukum yang akan bekerja di lembaga-lembaga profession-al. Hampir mayoritas pengajar hukum adalah pengacara yang memiliki pen-galaman praktis dalam bidang bukum. Hal ini berbeda dengan kondisi di Indo-nesia, yang hanya sebagian kecil dosen yang juga pengacara bahkan untuk per-guruan tinggi negeri dosennya dilarang merangkap sebagai advokat.

Pengembangan CLE di IndonesiaPotensi pengembangan CLE di In-

donesia sangat besar. Pertama, karena legal clinic telah eksis di hampir setiap fakultas hukum meskipun dalam prak-tek masih mengalami banyak kendala, dan pada umumnya lembaga ini tidak menjadi bagian dari sistem pembela-jaran di fakultas hukum. Kedua, ke-beradaan legal clinic menjadi bagian penting bagi penguatan akses keadilan bagi masyarakat. Keberadaannya turut mewarnai gerakan bantuan hukum di Indonesia. Ketika beberapa lembaga bantuan hukum mengalami kendala baik politis dan sosiologis legal clinic tetap memberikan pelayanan bantuan hukum bagi masyarakat tidak mampu. Ketiga, legal clinic memiliki legitimasi yang kuat sebagai penyedia pelayanan bantuan hukum. Secara yuridis ada putusan Mahkamah Konstitusi dalam pengujian undang-undang advokat yang memberikan sinyal kuat tentang

pentingnya legal clinic dan pengem-bangan clinical legal education dalam pendidikan hukum untuk memperkuat akses terhadap keadilan. Ada juga surat edaran Mahkamah Agung No.10 Ta-hun 2010 Tentang pedoman pemberian bantuan hukum yang meletakkan lem-baga bantuan hukum kampus sebagai salah satu penyedia pelayanan bantuan hukum. RUU bantun hukum yang saat ini sedang dibahas di DPR juga diharap-kan dapat memperkuat peran legal clinic dalam memberikan pelayanan bantuan hukum.

Pengalaman saya mengikuti perku-liahan clinic, ada beberapa prasyarat utama dalam mengembangkan legal clinic. Legal clinic tidak dapat dipisah-kan dari proses pembelajaran hukum sehingga keberadaannya harus menjadi bagian dari kurikulum fakultas hukum. Tujuan utamanya adalah bagaimana menyiapkan generasi baru pengacara Indonesia yang professional, berintegri-tas, dan memegang teguh spirit pelay-anan terhadap kepentingan publik. Jika nilai-nilai itu terpenuhi, maka tidak mustahil gerakan pembaruan hukum di Indonesia akan dapat diwujudkan dan itu bertolak dari fakultas hukum. Selain itu, pengembangan legal clinic membu-tuhkan sumber daya manusia yang ber-pengalaman dalam praktek hukum dan mampu mentransformasikan nilai-nilai keadilan kepada mahasiswa. Dalam mengembangkan legal clinic juga perlu mendapatkan dukungan utamanya dari pimpinan fakultas hukum dan kalangan pengajar, dan yang lainnya adalah du-kungan dari professional hukum seperti

Page 18: Apakah pendidikan hukum yang salah?mitrahukum.org/wp-content/uploads/2013/10/mitra-06.pdf · Mitra Pembaruan Pendidikan Hukum Indonesia Apakah pendidikan hukum yang salah? Edisi 6

16

OPINI

MITRA HUKUM - edisi 6

hakim, jaksa, pengacara, NGO, dan lain sebagainya.

Ada beberapa strategi yang dapat dilakukan untuk mengembangkan legal clinic di Indonesia. Pertama, menginte-grasikan legal clinic dengan mata kuliah yang sudah ada. Ada beberapa mata kuliah di fakultas hukum yang sebena-rnya berwatak klinik meskipun dalam praktek pembelajarannya sama dengan matakuliah yang lain. Salah satunya adalah Pendidikan Latihan dan Kema-hiran Hukum (PLKH). Mata kuliah ini bertujuan memberikan kemampuan praktis kepada mahasiswa tentang as-pek-aspek bekerjanya hukum seperti praktek peradilan, legal drafting, pem-buatan kontrak, metode penulisan hu-kum, dan ada juga beberapa fakultas hu-kum yang mengajarkan tehnik advokasi. Namun dalam praktek matakuliah ini belum mangadopsi proses pembelajaran by doing. Yang perlu dilakukan adalah merekonstruksi sistem mata kuliah ini dan bagaimana menghubungkannya dengan legal clinic meliputi materi pem-bahasan, metode pembelajaran, sumber daya manusia dan lain sebagainya. Mata kuliah lain adalah etika profesi hukum. Sebenarnya mata kuliah ini tidak bersi-fat teoritik tetapi sangat praktis, karena etika pada dasarnya berhubungan den-gan kondisi-kondisi nyata yang ada dalam proses penegakan hukum. Etika profesi hukum harus diletakkan seb-agai bagian dari proses bekerjanya hu-kum, bukan di ruang hampa yang ter-pisah dengan kenyataan. Praktek kerja lapangan atau kuliah kerja nyata juga

sangat potensial dijadikan suatu model yang memperkuat pengembangan clini-cal legal education. Sebenarnya melalui mata kuliah ini mahasiswa menerapkan pembelajaran by doing yang akan mem-perkuat pengalaman mereka tentang hukum, keadilan dan kemasyarakatan.

Kedua, meningkatkan kapasitas pengajar pengampu mata kuliah klinik. Meskipun legal clinic telah ada sejak lama, dan mata kuliah yang berwatak klinik juga sudah ada tetapi masih ada keterbatasan pemahaman tentang es-ensi clinical legal education dan proses pembelajarannya. Oleh karena itu, perlu ada peningkatkan kapasitas bagi dosen tentang konsep CLE dan metode pembelajarannya sehingga konsep CLE diterapkan secara kontekstual dan men-jadi pioneer bagi proses terwujudanya generasi baru pengacara Indonesia yang konsen pada isu-isu keadilan sosial.

Jika ingin berkontribusi lebih be-sar bagi upaya pembaruan hukum di Indonesia, maka pertama yang perlu dilakukan oleh fakultas hukum adalah melakukan pembenahan itu sendiri. Fakultas hukum perlu bekerja keras merefleksikan kiprahnya selama ini dalam ‘memproduksi’ ahli-ahli hukum, dan merumuskan strategi baru dalam menyiapkan ahli-ahli hukum yang lebih baik yang berperan penting dalam men-dorong pembaruan hukum di Indone-sia. Pengembangan clinical legal educa-tion di fakultas hukum menjadi salah satu alternatif untuk mewujudkan im-pian itu.

Page 19: Apakah pendidikan hukum yang salah?mitrahukum.org/wp-content/uploads/2013/10/mitra-06.pdf · Mitra Pembaruan Pendidikan Hukum Indonesia Apakah pendidikan hukum yang salah? Edisi 6

17

AKTIVITAS

MITRA HUKUM - edisi 6

DPR RI periode 2009-2014 menjadikan RUU Ban-tuan Hukum sebagai salah satu RUU prioritas di tahun 2010, dan menjadikannya se-bagai hak inisiatif DPR RI. Badan Legislasi (Baleg) telah menyusun draft RUU Bantuan Hukum. Di dalam draft RUU Bantuan Hukum pada awal-nya tidak terdapat peran LBH Kampus sebagai bagian dari Pemberi Bantuan Hukum. Konsep bantuan hu-kum yang diusung lebih kepada ban-tuan hukum dalam persfektif pro bono dibandingkan persfektif akses keadilan. Sehingga pemberi bantuan hokum lebih mengutamakan profesi advokat. Agar tidak mendapatkan kenyataan pahit sepertihalnya UU Advokat yang telah mematisurikan peran LBH Kam-pus, The Indonesian Legal Resource Cen-ter (ILRC) bekerjasama dengan Forum LKBH Kampus melakukan advokasi RUU Bantuan Hukum.

Advokasi diawali dengan meny-elenggarakan diskusi terfokus untuk advokasi RUU Bantuan Hukum. Ke-giatan ini diselenggarakan pada tang-gal 15 April 2010 di Fakultas Hukum Universitas Pelita Harapan Karawaci

Tangerang dan dilanjutkan di Fakultas Hukum Universitas Trisakti. FGD ini ditujukan untuk mensosialisasikan perkembangan pembahasan dan sub-stansi RUU Bantuan Hukum, meng-kajinya dalam perspektif LBH Kampus, dan menyusun strategi advokasi. Keg-iatan ini telah menghasilkan beberapa catatan kritis terhadap draf RUU Ban-tuan hukum yang disusun oleh Baleg DPR RI.

Hasil analisa selanjutnya disosial-isasikan untuk mendapatkan masukan dari masyarakat melalui seminar dan diskusi public. Di Semarang, ILRC bekerjasama dengan Fakultas Hukum Unisbank Semarang dan LBH Sema-rang menyelenggarakan Seminar Ban-tuan Hukum dan Akese terhadap Ke-adilan Bagi Masyarakat Marginal Hadir sebagai narasumber yaitu Pujiono, SH,

Advokasi RUU Bantuan Hukum Dari Kampus ke DPR RI

Page 20: Apakah pendidikan hukum yang salah?mitrahukum.org/wp-content/uploads/2013/10/mitra-06.pdf · Mitra Pembaruan Pendidikan Hukum Indonesia Apakah pendidikan hukum yang salah? Edisi 6

18

AKTIVITAS

MITRA HUKUM - edisi 6

MH (Pengajar FH Undip dan Man-tan Ketua LKBH Undip), Siti Rakhma Mary Herwati, SH, MH (Direktur LBH Semarang), dan Fulthoni (ILRC). Seminar dipandu oleh Rochmani SH, Mhum. Kegiatan ini dihadiri oleh ber-bagai kalangan, diantaranya Pimpinan LKBH di wilayah Jawa Tengah, maha-siswa, dosen, NGO, dan komunitas. Se-dangkan diskusi public diselenggarakan bekerjasama dengan LKBH Fakultas Hukum Trisaksi. Hadir sebagai nara-sumber Otto Hasibuan, Ketua Umum PERADI, dan Artaji, Ketua BKBH Fakultas Hukum Universitas Padjaja-ran. Selanjutnya hasil analisa, masukan dari masyarakat dan perkembangan pembahasan di DPR disusun menjadi buku dengan judul ”Menjamin Hak atas Bantuan Hukum Bagi Masyarakat Marginal, Position Paper RUU Bantuan Hukum dan Peran LKBH Kampus”.

Akhirnya dalam draft final terdapat kemajuan berarti di dalam substansi RUU Bantuan Hukum yang dibuat DPR, di mana penerima bantuan hu-kum (the beneficiary of legal aid) tidak hanya orang miskin tetapi juga mereka yang merupakan korban ketidakadilan (masyarakat marjinal). Kemudian di sisi lain, penyedia jasa bantuan hukum (le-gal aid provider) tidak hanya organisasi advokat/advokat, melainkan juga dosen dan mahasiswa hukum. Kemajuan ini merupakan indikator bahwa DPR serius dalam membuat UU Bantuan Hukum. Untuk memberikan masukan dan men-dukung DPR RI, ILRC bersama Forum LKBH Kampus memenuhi undangan Rapat Dengar Pendapat (RDP) di DPR

RI. Dalam RDP tersebut, ILRC dan Fo-rum LKBH Kampus yang diwakili oleh LKBH Fakultas Hukum Trisakti dan LKBH Fakultas Hukum Universitas Krisnadwipayana menyampaikan po-kok-pokok pikiran terkait peran LKBH Kampus dalam memberikan akses ke-adilan terhadap masyarakat marginal. Dalam kesempatan tersebut, diklari-fikasikan berbagai pandangan yang keliru tentang fungsi LKBH Kampus dan hambatan-hambatan yang dialami dalam memberikan bantuan hukum.

Kini, RUU masih dibahas oleh panja RUU Bantuan Hukum. Secara substansi, pembahasan kini beralih ke issue lembaga negara pelaksana ban-tuan hukum. DPR mengusulkan agar bantuan hukum dijalankan oleh se-buah komisi nasional yang diberi nama Komisi Nasional Bantuan Hukum (Komnas Bankum). Komisi menjadi bentuk organisasi yang dipilih karena bersifat independen dan memiliki ang-garan sendiri. Namun, dalam proses pembahasan, Pemerintah berpendapat dan bersikukuh untuk menjadikan Ke-menterian Hukum dan HAM sebagai penyelenggara. Pemerintah juga akan melakukan sertifikasi dan akreditasi bagi semua lembaga bantuan dan konsultasi hukum. Pilihan ini didasarkan pada asumsi bahwa pembentukan komisi baru akan kian menggerus anggaran, dan berkaca dari tidak efektifnya fung-si-fungsi komisi negara yang telah ada. Nampaknya kita masih harus menung-gu lahirnya UU Bantuan Hukum yang akan menjamin terpenuhinya hak atas keadilan setiap warga negaranya. (SAT)

Page 21: Apakah pendidikan hukum yang salah?mitrahukum.org/wp-content/uploads/2013/10/mitra-06.pdf · Mitra Pembaruan Pendidikan Hukum Indonesia Apakah pendidikan hukum yang salah? Edisi 6

19

AKTIVITAS

MITRA HUKUM - edisi 6

Pendidi-kan tinggi hu-kum di Indo-nesia dewasa ini diselengga-

rakan oleh 34 (tiga puluh) empat Uni-versitas Negeri dan satu Sekolah Tinggi Hukum Militer (BKS Dekan, 2005) dan puluhan fakultas hukum di lingkun-gan Universitas swasta. Sebagai bentuk pendidikan akademis tertua, lembaga pendidikan hukum telah menghasilkan lulusan terbanyak dibandingkan dengan lulusan disiplin ilmu lain dan menem-patkan lulusannya hampir di seluruh institusi birokrasi, dan berbagai fungsi lain yang menempatkan profesi hukum dalam spectrum peranan yang luas.

Namun, di tengah proses peruba-han struktural serta pergeseran nilai-ni-lai dan norma-norma yang berlangsung cepat pada satu pihak, dan perkemban-gan politik, ekonomi, sosial yang meng-kondisikan meningkatnya kebutuhan-kebutuhan masyarakat atas keadilan hukum (legal justice) dan keadilan social (social justice) pada pihak lain, maka pendidikan tinggi hukum dinilai tidak mampu untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan masyarakat maupun ber-adaptasi terhadap bentuk-bentuk pe-rubahan kultural dan bangunan sosial.

Ketidakmampuan tersebut dikon-

disikan dan dipengaruhi oleh konsep-konsep hukum dan nilai-nilai yang diperkenalkan dan ditanamkan fakultas-fakultas hukum kepada para mahasiswa selaku calon praktisi hukum. Pendi-dikan hukum lebih berorientasi pada nilai-nilai dan kelompok sosial yang mendapat prioritas perhatian fakultas-fakultas hukum di Indonesia dan se-berapa jauh nilai-nilai dan kepentingan kelompok sosial mempengaruhi cara berpikir, sikap dan persepsi mahasiswa hukum di dalam memandang berbagai permasalahan sosial yang ada di tengah-tengah masyarakat.

Blue Print Pendidikan Tinggi Hu-kum Berbasis Keadilan Sosial. Sebagai langkah awal implementasi blue print maka diselenggarakan Pelatihan Me-mahami Social Justice. Pelatihan ini di-tujukan agar Pendidikan tinggi hokum mengadopsi persfektif keadilan social melalui Pendidikan Hukum Klinik. Se-cara khusus Memperkenalkan konsep keadilan social dan pendidikan hokum klinik kepada pengajar di fakultas ho-kum, Memperkenalkan Metode Pem-belajaran Berbasis Mahasiswa (Student Center Learning). Melalui pelatihan ini diharapkan, para tenaga pengajar memi-liki persfektif tentang keadilan sosial dan mengajarkannya kepada mahasiswanya.

Pelatihan dilaksanakan di Bo-gor, pada tanggal 1- 4 Oktober 2010.

Pelatihan Social JusticeMEMAHAMI UNTUK MENGAJARKAN

Page 22: Apakah pendidikan hukum yang salah?mitrahukum.org/wp-content/uploads/2013/10/mitra-06.pdf · Mitra Pembaruan Pendidikan Hukum Indonesia Apakah pendidikan hukum yang salah? Edisi 6

20

AKTIVITAS

MITRA HUKUM - edisi 6

Dalam pelatihan, hadir sebagai nara-sumber yaitu : Prof. Soetandyo Winjo-soebroto, S.H., Prof.DR.Laica Marzuki, SH. MH, Romo Andang Gunawan – Dewan Etik Peradi, Allison – Open So-ciety Justice Initiative dan DR.Iur. Liona Nanang Supriatna – LBH Pengayoman FH Universitas Parahyangan.

Pelatihan diikuti oleh 16 (enam be-las) dosen yang berasal Fakultas Hukum Universitas Airlangga, Fakultas Hukum Universitas Brawijaya, Fakultas Hukum Universitas Hasanudin, Fakultas Hu-kum Universitas Cendrawasih, Fakultas

Hukum Universitas Pajajaran, Fakultas Hukum Universitas Pakuan, Fakultas Hukum Universitas Trisakti dan Fakultas Hukum STIKUBANK. Dalam pelatihan, peserta melakukan analisa SWOT, terkait dengan penerapan CLE di Fakultas Hukum. Dari SWOT yang dilakukan, peserta merekomendasikan Rencana Tindak Lanjut (RTL) dari pela-tihan, yaitu Sosialisasi CLE di fakultas hukum, Peningkatan kapasitas dosen melalui study banding CLE dan adanya simposium CLE tingkat nasional

Hak atas kebebasan beragama dan berkeyakinan dijamin dalam ber-bagai aturan baik di tingkat nasional mau-pun internasional. Namun, jaminan hak tersebut dalam prak-teknya tidak dengan sendirinya dapat dilak-sanakan. Terdapat ke-senjangan antara yang nilai-nilai normatif dan pelaksanaannya. Hal ini Nampak dari hasil-hasil pemantauan yang dilakukan sejumlah kalangan terhadap pelangga-ran kebebasan beragama dan intoleransi di Indonesia yang semakin meningkat dari

t a -hun ke tahun.

Dalam advokasi kebebasan beragama/berkeyakinan, peran pembe-laan lebih banyak dilakukan oleh ka-langan LSM. Sementara Fakultas Hu-kum yang terdapat di setiap kota belum

Pelatihan Paralegal Kebebasan Beragama”Generasi Muda, Generasi Berbhinneka Tunggal Ika”

Page 23: Apakah pendidikan hukum yang salah?mitrahukum.org/wp-content/uploads/2013/10/mitra-06.pdf · Mitra Pembaruan Pendidikan Hukum Indonesia Apakah pendidikan hukum yang salah? Edisi 6

21

AKTIVITAS

MITRA HUKUM - edisi 6

berperan maksimal dan terputus dari komunitas/masyarakat yang menjadi korban pelanggaran HAM. Demiki-anhalnya materi pendidikan hukum, khususnya mata kuliah HAM belum menjadikan kasus-kasus pelanggaran kebebasan beragama sebagai bagian dari proses pembelajaran.

ILRC yang tengah mengembang-kan Clinical Legal Education (CLE) di dalam pendidikan tinggi hukum, me-mandang pelatihan paralegal maha-siswa menjadi metode yang dapat ber-dampak jangka panjang untuk gerakan kebebasan beragama/berkeyakinan di Indonesia. Mahasiswa fakultas hukum sebagai bagian dari calon praktisi hu-kum, menjadi agen potential untuk perubahan, termasuk dalam melakukan advokasi kebebasan beragama/keyaki-nan di lingkungan kampus, maupun masyarakat di sekitarnya. Melalui LBH Kampus, mahasiswa dapat membangun kepekaan akan pelanggaran hak asasi manusia yang terjadi di masyarakat.

Pelatihan ini secara umum ditu-jukan untuk meningkatkan kapasitas (capacity building) mahasiswa fakultas hukum tentang keadilan social, HAM

dan kebebasan beragama. Dan secara khusus untuk membangun kepedulian dan sensitivitas mahasiswa terhadap pelanggaran hak kebebasan beragama dan intoleransi di masyarakatnya den-gan mengunakan persfektif HAM dan membangun dialog antar pemuda/ma-hasiswa yang berbeda agama/keyakinan.

Pelatihan paralegal dilaksanakan di GG House, pada 14 – 16 Desember 2010 dan diikuti oleh 22 orang peserta yang berasal dari Surabaya, Makasar, Malang, Bandung, Cianjur dan Jabo-detabek. Diakhir pelatihan, peserta menyusun rencana tindak lanjut yaitu mensosialisasikan kebebasan beragama di organisasi, dan kampusnya. Para peserta telah pula membangun komu-nitas di dunia maya melalui jejaring sosial facebook untuk saling berbagi tentang isu-isu kebebasan beragama. Melalui pelatihan ini, para peserta yang berasal dari berbagai daerah, agama, ali-ran keagamaan dan kepercayaan dapat saling mengenal, mengkonfimasi pra-sangka dan membangun dialoq untuk tetap mempertahankan ke-Indonesiaan. (SAT)

EKSAMINASI PUBLIKPUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI TENTANG PENYALAHGUNAAN DAN/ATAU PENODAAN AGAMA TERHADAP UUD 1945

Untuk mewujudkan MK sebagai kekuasaan kehakiman yang mandiri diperlukan keterlibatan dan partisipasi publik untuk mengontrol kewenangan-nya. Salah satu bentuknya adalah den-

gan membentuk lembaga eksaminasi yang independen, yang dikenal dengan Majelis Eksaminasi. ILRC bekerjasama dengan Freedom House menyeleng-garakan program eksaminasi publik pu-

Page 24: Apakah pendidikan hukum yang salah?mitrahukum.org/wp-content/uploads/2013/10/mitra-06.pdf · Mitra Pembaruan Pendidikan Hukum Indonesia Apakah pendidikan hukum yang salah? Edisi 6

22

AKTIVITAS

MITRA HUKUM - edisi 6

tusan MK untuk pengujian UU No.1/Pnps/1965. Program ini sendiri didasar-kan putusan MK yang menolak per-mohonan dan menilai UU Penodaan Agama tetap dipertahankan dan tidak bertentangan dengan UUD 1945.

Secara umum, program ini dituju-kan untuk mendorong partisipasi pub-lik untuk terlibat dalam suatu proses analisa terhadap proses persidangan di

MK dan melakukan pengkajian, peng-kritisan, dan penilaian secara obyektif atas putusan MK. Sedangkan secara khusus, program ini ditujukan untuk :

Menguji kesesuaian Putusan Mah-kamah Konstitusi dengan kaedah sistem ketatanegaraan, hukum positif, instru-men hak asasi manusia (HAM) yang didasarkan kepada ilmu hukum dan hu-kum pidana;

Menilai  proses persidangan apakah sesuai dengan kaedah hukum yang ber-laku, doktrin hukum, dan kode perilaku berdasarkan ilmu pengetahuan hukum.

Mendorong para hakim untuk me-ningkatkan integritas moral, kredibili-tas, intelektualitas, dan profesionalitas-nya dalam melakukan pemeriksaan dan pemutusan suatu perkara.

Untuk mencapai tujuan tersebut,

dibentuk Majelis Eksaminasi yang ter-diri dari 4 (empat) orang yang berlatar-belakang akademisi dan praktisi dengan keahlian yang berbeda dan spesifik. Mer-eka adalah (1) DR.Rumadi, MA, dosen di UIN Syarifhidayatullah dan ahli di is-sue kebebasan beragama dan berkeyaki-nan, (2) Prof. DR.Soelistyowati Irianto, Guru Besar Antropologi pada Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Universitas In-

Page 25: Apakah pendidikan hukum yang salah?mitrahukum.org/wp-content/uploads/2013/10/mitra-06.pdf · Mitra Pembaruan Pendidikan Hukum Indonesia Apakah pendidikan hukum yang salah? Edisi 6

23

AKTIVITAS

MITRA HUKUM - edisi 6

donesia dan ahli di issue perempuan dan socio-legal; (3) Margiyanto, SH, Praktisi Aliansi Jurnalis Independen (AJI) yang ahli di issue kebebasan menyatakan pendapat dan ekpresi, dan (4) Muk-tiono, SH, M.Phil, dosen pada Fakultas Hukum Universitas Brawijaya-Malang, ahli di issue HAM, khususnya hak-hak minoritas.

Majelis Eksaminasi sendiri hanya membaca dan mencermati berkas-ber-kas dan tidak menguji atau mencari bukti-bukti baru untuk menyanggah atau membenarkan. Metode yang di-gunakan dalam kajian adalah metode interdisipliner. Majelis Eksaminasi melakukan pengujian dari persfektif Hak Asasi Manusia, khususnya hak ke-bebasan beragama/berkeyakinan, hak kebebasan berekpresi dan hak minori-tas. Majelis Eksaminasi bekerja selama 4 bulan dengan melaksanakan sidang-sidang majelis eksaminasi, penyusunan legal opinion (LO), dan diskusi publik.

Majelis Eksaminasi menarik kes-impulan bahwa MK tidak menjalankan mandatnya dengan baik, sebagai pelak-sana kekuasaan kehakiman yang merde-ka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan. MK dinilai gagal menempuh ”Jalan ten-gah” dalam pengambilan keputusannya. Hal ini bisa berakibat pada kegagalan MK sebagai penjaga konstitusi khusus-nya dalam memenuhi Hak Kebebasan Beragama/Berkeyakinan, Hak kebe-basan Berekspresi dan Hak Kelompok Minoritas. Kegagalan tersebut disebabk-ab putusan MK tidak menguji konsti-

tusionalitas UU Penodaan Agama ter-hadap UUD Tahun 1945, tetapi lebih pada pertimbangan sosio-politis may-oritas, persfektif hakim yang konservatif dan tidak memperhitungkan kenyataan sosiologis dan antropolologis yang bera-gam di Indonesia.

Melalui eksaminasi ini, di-hasilkan sejumlah rekomendasi kepada para pemangku kepentingan di Indone-sia yaitu DPR RI, Pemerintah, Aparat Penegak Hukum, Masyarakat Sipil dan media massa. Kepada DPR RI, majelis eksaminasi merekomendasikan untuk menyusun sebuah UU yang menjamin perlindungan kebebasan warga negara untuk beragama dan menjalankan iba-dah sesuai agama dan keyakinannya merupakan turunan dari pasal 29 UUD 1945. UU tersebut harus merujuk pada standar hukum internasional yaitu Pasal 18 UU Sipol, General Comment IC-CPR dan Deklarasi PBB tentang In-toleransi.UU tersebut mencakup jami-nan menjalankan ibadah dan tempat ibadah, jaminan terhadap kelompok minoritas, pembatasan hak kebebasan beragama/berkeyakinahn yang legiti-mate, dan tindak pidana penyebaran kebencian (hatred speech) yang menim-bulkan diskriminasi, permusuhan dan kekerasan berdasarkan agama. UU ini diharapkan dapat menjadi penganti dari UU Penodaan Agama. Proses dan hasil eksaminasi tersebut telah disusun dalam sebuah buku berjudul Bukan ”Jalan Tengah” yang dapat diakses di website ILRC atau menghubungi perpustakaan ILRC. (SAT)

Page 26: Apakah pendidikan hukum yang salah?mitrahukum.org/wp-content/uploads/2013/10/mitra-06.pdf · Mitra Pembaruan Pendidikan Hukum Indonesia Apakah pendidikan hukum yang salah? Edisi 6

24

SUPLEMEN

MITRA HUKUM - edisi 6

PEDOMAN PEMBERIAN BANTUAN HUKUMDI LINGKUNGAN PERADILAN UMUM

BAB IKETENTUAN UMUM

Pasal 1Dalam Pedoman ini, yang dimaksud dengan:1. Penyelenggaraan dan penggunaan anggaran bantuan hukum di lingkun-

gan Peradilan Umum adalah meliputi Pos Bantuan Hukum, Bantuan Jasa Advokat, Pembebasan Biaya Perkara baik Pidana maupun Perdata, dan Biaya Sidang di Tempat Sidang Tetap (Zitting Plaatz).

2. Pemohon Bantuan Hukum adalah pencari keadilan yang terdiri dari orang perseorangan atau sekelompok orang yang secara ekonomis ti-dak mampu atau memiliki kriteria miskin sebagaimana ditetapkan oleh Badan Pusat Statistik atau penetapan upah minimum regional atau pro-gram jaring pengaman sosial lainnya, atau memenuhi syarat sebagaima-na diatur lebih lanjut dalam Pedoman ini, yang memerlukan bantuan untuk menangani dan menyelesaikan masalah hukum di Pengadilan.

3. Pos Bantuan Hukum (Posbakum) adalah ruang yang disediakan oleh dan pada setiap Pengadilan Negeri bagi Advokat Piket dalam memberi-kan layanan bantuan hukum kepada Pemohon Bantuan Hukum untuk pengisian formulir permohonan bantuan hukum, bantuan pembuatan dokumen hukum, advis atau konsultasi hukum, memberikan rujukan lebih lanjut tentang pembebasan biaya perkara, dan memberikan ruju-kan lebih lanjut tentang bantuan jasa Advokat.

4. Advokat Piket adalah Advokat yang bertugas di Pos Bantuan Hukum berdasarkan pengaturan yang diatur di dalam kerjasama kelembagaan Pengadilan dengan Lembaga Penyedia Bantuan Hukum.

5. Lembaga Penyedia Bantuan Hukum adalah termasuk lembaga masyara-kat sipil penyedia bantuan hukum, atau unit kerja bantuan hukum pada organisasi profesi Advokat, atau Lembaga Konsultasi dan Bantuan Hu-kum di Perguruan Tinggi.

6. Advokat adalah orang yang berprofesi memberi jasa hukum, baik di dalam maupun di luar pengadilan yang memenuhi persyaratan ber-dasarkan ketentuan Undang-undang Nomor 18 Tahun 2003 Tentang Advokat.

7. Bantuan Jasa Advokat adalah Jasa Hukum secara cuma-cuma yang meli-puti menjalankan kuasa, yaitu : mewakili, mendampingi, membela, dan melakukan tindakan hukum lain berdasarkan peraturan perundang-un-

Page 27: Apakah pendidikan hukum yang salah?mitrahukum.org/wp-content/uploads/2013/10/mitra-06.pdf · Mitra Pembaruan Pendidikan Hukum Indonesia Apakah pendidikan hukum yang salah? Edisi 6

SUPLEMEN

MITRA HUKUM - edisi 6 25

dangan untuk kepentingan Pemohon Bantuan Hukum dalam perkara pidana atau perkara perdata, yang diberikan oleh Advokat berdasarkan ketetapan Ketua Pengadilan Negeri.

8. Jasa Hukum secara Cuma-Cuma adalah jasa hukum yang diberikan Ad-vokat tanpa menerima pembayaran honorarium meliputi menjalankan kuasa, yaitu : mewakili, mendampingi, membela, dan melakukan tin-dakan hukum lain berdasarkan peraturan perundang-undangan untuk kepentingan Pemohon Bantuan Hukum dalam perkara pidana atau perkara perdata.

9. Pembebasan Biaya Perkara adalah Negara menanggung biaya perkara bagi Pemohon Bantuan Hukum untuk semua jenis perkara perdata, baik permohonan maupun gugatan, dan semua jenis perkara pidana, sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku.

10. Pencatatan dan Pelaporan Bantuan Hukum adalah proses pencatatan dalam register dan pendokumentasian yang dilakukan oleh Panitera Muda Perdata dan Panitera Muda Pidana pada setiap Pengadilan Negeri berisi segala macam informasi dan data yang berhubungan dengan per-mintaan dan pemberian Bantuan Hukum.

11. Sistem Data Bantuan Hukum adalah kumpulan informasi terpusat dan terpadu mengenai permintaan dan pemberian Bantuan Hukum berdasarkan Pencatatan Bantuan Hukum, yang dikelola dan dikoordi-nasikan oleh Direktorat Jenderal Badan Peradilan Umum Mahkamah Agung.

12. Anggaran Bantuan Hukum adalah alokasi anggaran Negara yang be-rada di Lingkup Peradilan Umum yang dibiayai oleh Mahkamah Agung melalui DIPA Bantuan Hukum Direktorat Jenderal Badan Peradilan Umum yang dialokasikan pada Pengadilan Negeri.

BAB IITUJUAN DAN RUANG LINGKUP

Pasal 2Tujuan Bantuan Hukum adalah untuk:

a. Meringankan beban biaya yang harus ditanggung oleh anggota ma-syarakat tidak mampu di pengadilan;

b. Memberikan kesempatan yang merata pada masyarakat tidak mam-pu untuk memperoleh pembelaan dan perlindungan hukum ketika berhadapan dengan proses hukum di pengadilan;

c. Meningkatkan akses terhadap keadilan; dand. Meningkatkan kesadaran dan pengetahuan masyarakat tentang hu-

Page 28: Apakah pendidikan hukum yang salah?mitrahukum.org/wp-content/uploads/2013/10/mitra-06.pdf · Mitra Pembaruan Pendidikan Hukum Indonesia Apakah pendidikan hukum yang salah? Edisi 6

26

SUPLEMEN

MITRA HUKUM - edisi 6

kum melalui penghargaan, pemenuhan dan perlindungan terhadap hak dan kewajibannya.

Pasal 3Bantuan Hukum diselenggarakan bagi pencari keadilan yang secara ekono-mi tidak mampu, sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Pasal 4Demi kepentingan terbaik pencari keadilan tidak mampu, apabila perkara tidak selesai dalam jangka waktu satu tahun, penyelenggaraan dan pengang-garan Bantuan Hukum dapat dilaksanakan secara lintas tahun anggaran, berdasarkan kebutuhan riil yang muncul sesuai dengan ketentuan yang dia-tur dalam pedoman ini.

Pasal 5Masyarakat dapat memperoleh informasi mengenai Bantuan Hukum di Lingkungan Peradilan Umum melalui:

a. Pengadilan Negeri/Pengadilan Tinggi/Mahkamah Agung;b. Kejaksaan Negeri/Kejaksaan Tinggi;c. Rumah Tahanan Negara;d. Lembaga Pemasyarakatan;e. Kepolisian Sektor/Resort/Daerah;f. Kantor Pemerintah Daerah (Propinsi, Kabupaten/Kota, Keca-

matan, Kelurahan/Desa);g. Lembaga masyarakat sipil penyedia bantuan hukum;h. Unit kerja bantuan hukum dalam Organisasi Profesi Advokat; dani. Lembaga Konsultasi dan Bantuan Hukum di Perguruan Tinggi.

BAB IIIPOS BANTUAN HUKUM

Bagian SatuProsedur Penyelenggaraan Pos Bantuan Hukum

Pasal 61. Setiap Pengadilan Negeri segera membentuk Pos Bantuan Hukum yang

pembentukannya dilakukan secara bertahap.2. Ketua Pengadilan Negeri menyediakan ruangan dan sarana yang dibu-

tuhkan untuk digunakan sebagai Pos Bantuan Hukum, berdasarkan ke-mampuan masing-masing.

3. Pelayanan dalam Pos Bantuan Hukum disediakan oleh Advokat Piket

Page 29: Apakah pendidikan hukum yang salah?mitrahukum.org/wp-content/uploads/2013/10/mitra-06.pdf · Mitra Pembaruan Pendidikan Hukum Indonesia Apakah pendidikan hukum yang salah? Edisi 6

SUPLEMEN

MITRA HUKUM - edisi 6 27

yang pengaturan dan daftarnya ditetapkan oleh Ketua Pengadilan Neg-eri.

4. Pengaturan dan daftar Advokat Piket sebagaimana dimaksud pada ayat (3) disusun dalam kerjasama kelembagaan dengan Lembaga Penyedia Bantuan Hukum melalui proses yang terbuka dan bertanggung jawab serta dikaji ulang dan diperbaharui setiap akhir tahun anggaran.

5. Kerjasama sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dilakukan Pengadilan Negeri dengan lebih dari satu lembaga untuk menghindari konflik ke-pentingan pemberian layanan kepada pemohon bantuan hukum yang sama-sama berhak atas layanan oleh Advokat Piket yang sama.

Pasal 71. Kerjasama kelembagaan untuk menyediakan Advokat Piket sebagaima-

na dimaksud dalam Pasal 6 dapat dilakukan Pengadilan dengan:a. Lembaga masyarakat sipil penyedia bantuan hukum; ataub. Unit kerja bantuan hukum pada Organisasi Profesi Advokat; atauc. Lembaga Konsultasi dan Bantuan Hukum Perguruan Tinggi.

2. Advokat Piket yang disediakan oleh lembaga-lembaga sebagaimana dimaksud pada ayat adalah orang yang berprofesi Advokat yang me-menuhi persyaratan praktek dan beracara berdasarkan ketentuan Un-dang-undang Nomor 18 Tahun 2003 Tentang Advokat.

3. Di dalam kerjasama kelembagaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6, Ketua Pengadilan Negeri dapat meminta dan menetapkan ditempat-kannya penyedia layanan lain selain Advokat dari lembaga sebagaimana dimaksud pada ayat (1) di bawah pengawasan Advokat Piket.

4. Penyedia Layanan Lain sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dapat ter-diri dari Dosen, Asisten Dosen, atau Mahasiswa yang mendapat reko-mendasi dari Fakultas Hukum yang bersangkutan.

Pasal 8Advokat Piket di Pos Bantuan Hukum memberikan layanan berupa:

a. Bantuan pengisian formulir permohonan bantuan hukum;b. Bantuan pembuatan dokumen hukum;c. Advis, konsultasi hukum dan bantuan hukum lainnya baik dalam

perkara pidana maupun perkara perdata;d. Rujukan kepada Ketua Pengadilan Negeri untuk Pembebasan Pem-

bayaran Biaya Perkara sesuai syarat yang berlaku;e. Rujukan kepada Ketua Pengadilan Negeri untuk mendapat Ban-

tuan Jasa Advokat sesuai syarat yang berlaku.

Page 30: Apakah pendidikan hukum yang salah?mitrahukum.org/wp-content/uploads/2013/10/mitra-06.pdf · Mitra Pembaruan Pendidikan Hukum Indonesia Apakah pendidikan hukum yang salah? Edisi 6

28

SUPLEMEN

MITRA HUKUM - edisi 6

Bagian DuaMekanisme Penggunaan Anggaran Pos Bantuan Hukum

Pasal 91. Biaya penyelenggaraan Pos Bantuan Hukum berasal dari Anggaran

Bantuan Hukum yang digunakan untuk pengadaan Advokat Piket seb-agaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (3), setelah anggaran dari APBN tersedia.

2. Biaya pengadaan Advokat Piket sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah berdasarkan Standar Biaya Khusus sesuai peraturan yang berlaku dan disalurkan melalui kerjasama kelembagaan yang bentuk dan tata caranya akan diatur lebih lanjut di dalam format Pola Hubungan Ker-jasama Pos Bantuan Hukum.

3. Standar Biaya Khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (2) selain bi-aya proses yang ditetapkan pengadilan, juga mencakup sekedar ongkos transportasi bagi Advokat Piket yang besaran dan tata caranya akan diatur lebih lanjut di dalam format Pola Hubungan Kerjasama Pos Ban-tuan Hukum.

4. Bendahara pengeluaran menyimpan seluruh bukti-bukti pengeluaran sebagai bukti pertanggungjawaban keuangan.

5. Bendahara pengeluaran mencatat semua biaya yang telah dikeluarkan untuk pembentukan dan pengadaan Pos Bantuan Hukum, dalam buku kas umum dan buku bantu lainnya sesuai ketentuan

BAB IVBANTUAN JASA ADVOKAT

Bagian SatuProsedur Penyelenggaraan Bantuan Jasa Advokat

Pasal 101. Berdasarkan rujukan sebagaimana diatur dalam Pasal 8 butir e, Ketua

Pengadilan Negeri menunjuk Advokat untuk menjalankan kuasa, yaitu: mewakili, mendampingi, membela, dan melakukan tindakan hukum lain untuk kepentingan Pemohon Bantuan Hukum yang memenuhi syarat berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

2. Advokat sebagaimana yang dimaksud pada ayat (1) adalah Advokat yang menyediakan jasa bantuan hukum cuma-cuma sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku.

3. Dalam melaksanakan tugasnya sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Advokat dapat menerima bantuan biaya pendampingan menurut Pasal 9, sesuai standar yang ditentukan oleh Negara.

Page 31: Apakah pendidikan hukum yang salah?mitrahukum.org/wp-content/uploads/2013/10/mitra-06.pdf · Mitra Pembaruan Pendidikan Hukum Indonesia Apakah pendidikan hukum yang salah? Edisi 6

SUPLEMEN

MITRA HUKUM - edisi 6 29

4. Bantuan biaya pendampingan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) bu-kan merupakan pembayaran jasa atau honorarium profesional.

Pasal 11Pemohon Bantuan Hukum harus membuktikan bahwa ia tidak mampu dengan memperlihatkan:

a. Surat Keterangan Tidak Mampu (SKTM) dari Lurah/Kepala Desa setempat; atau

b. Surat Keterangan Tunjangan Sosial lainnya seperti Kartu Keluarga Miskin (KKM), Kartu Jaminan Kesehatan Masyarakat (Jamkes-mas), Kartu Program Keluarga Harapan (PKH), Kartu Bantuan Langsung Tunai (BLT); atau

c. Surat Pernyataan Tidak Mampu yang dibuat dan ditandatangani Pemohon Bantuan Hukum dan diketahui oleh Ketua Pengadilan Negeri.

Pasal 12Advokat yang ditunjuk untuk memberikan bantuan dapat:

a. Bertindak sebagai pendamping atau kuasa hukum untuk memberi-kan bantuan hukum dalam pengurusan sengketa perdata Pemohon Bantuan Hukum di Pengadilan; atau

b. Bertindak sebagai pendamping dan pembela terhadap Pemohon Bantuan Hukum yang didakwa melakukan tindak pidana di Pen-gadilan.

Pasal 13Advokat pemberi Bantuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 adalah Advokat yang memenuhi persyaratan praktek dan beracara berdasarkan ke-tentuan Undang-undang Nomor 18 Tahun 2003 Tentang Advokat, yang dapat merupakan:

a. Advokat Piket yang bersedia ditunjuk oleh pengadilan;b. Advokat yang mewakili lembaga masyarakat sipil penyedia bantuan

hukum; atauc. Advokat yang mewakili unit kerja bantuan hukum pada Organisasi

Profesi Advokat; ataud. Advokat yang mewakili Lembaga Konsultasi dan Bantuan Hukum

Perguruan Tinggi.

Page 32: Apakah pendidikan hukum yang salah?mitrahukum.org/wp-content/uploads/2013/10/mitra-06.pdf · Mitra Pembaruan Pendidikan Hukum Indonesia Apakah pendidikan hukum yang salah? Edisi 6

30

SUPLEMEN

MITRA HUKUM - edisi 6

Pasal 14Dalam hal Advokat berhalangan ketika menjalankan tugasnya, maka kua-sanya dapat diganti oleh Advokat lain berdasarkan hak substitusi.

Bagian DuaMekanisme Penggunaan Anggaran Bantuan Jasa Advokat

Pasal 151. Ketua Pengadilan Negeri membuat Surat Penetapan yang memerintah-

kan Kuasa Pengguna Anggaran untuk membayar dana bantuan hukum kepada Advokat yang ditunjuk sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10.

2. Panitera/Sekretaris selaku Kuasa Pengguna Anggaran membuat Surat Keputusan Pembebanan Dana Bantuan Hukum ke APBN.

3. Berdasarkan Surat Keputusan Panitera/Sekretaris sebagaimana dimak-sud pada ayat (2), bendahara pengeluaran membayar biaya bantuan hu-kum kepada Advokat yang ditunjuk sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10.

4. Dalam perkara pidana pencairan Anggaran Bantuan Hukum kepada Advokat dilakukan setelah perkara diputus oleh Pengadilan Negeri. Bagi perkara perdata dicairkan pada saat “perkara permohonan” atau “gu-gatan” didaftarkan di Kepaniteraan oleh advokat selaku kuasa, melalui bank yang ditunjuk, selanjutnya dibukukan sebagaimana ditentukan peraturan perundang-undangan.

5. Bendahara pengeluaran menyimpan seluruh bukti-bukti pengeluaran sebagai bukti pertanggung jawaban keuangan.

6. Bendahara pengeluaran mencatat semua biaya yang telah dikeluarkan untuk pendampingan perkara pidana atau perdata, dalam buku kas umum dan buku bantu lainnya sesuai ketentuan.

7. Biaya bantuan hukum pada tingkat pertama dibebankan kepada DIPA Pengadilan Negeri.

BAB VPENGGUNAAN BIAYA BANTUAN HUKUM DALAM

PERKARA PIDANABagian Satu

Prosedur Penggunaan Biaya Bantuan Hukum dalam Perkara PidanaPasal 16

Berdasarkan rujukan sebagaimana diatur dalam Pasal 8 butir c, biaya perkara bagi Pemohon Bantuan Hukum untuk semua jenis perkara pidana yang di-tentukan peraturan perundangundangan di tingkat pertama untuk kepent-

Page 33: Apakah pendidikan hukum yang salah?mitrahukum.org/wp-content/uploads/2013/10/mitra-06.pdf · Mitra Pembaruan Pendidikan Hukum Indonesia Apakah pendidikan hukum yang salah? Edisi 6

SUPLEMEN

MITRA HUKUM - edisi 6 31

ingan Pemohon Bantuan Hukum yang memenuhi syarat, sebagaimana di-tentukan dalam Pasal 11) ditanggung oleh Negara.

Bagian DuaMekanisme Penggunaan Anggaran Bantuan Hukum dalam

Perkara PidanaPasal 17

1. Ketua Pengadilan Negeri membuat Surat Penetapan Pembebasan Biaya Perkara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16.

2. Panitera/Sekretaris selaku Kuasa Pengguna Anggaran membuat Surat Keputusan pembebanan biaya perkara ke APBN.

3. Berdasarkan Surat Keputusan Panitera/Sekretaris sebagaimana dimak-sud pada ayat (2), bendahara pengeluaran membayar biaya saksi Ad de charge, ahli dan penerjemah yang diminta terdakwa sesuai dengan per-aturan perundang-undangan yang berlaku.

4. Pengeluaran biaya sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilakukan ber-dasarkan biaya yang tersedia dalam DIPA.

5. Bendahara pengeluaran menyimpan seluruh bukti-bukti pengeluaran sebagai bukti pertanggung jawaban keuangan.

6. Bendahara pengeluaran mencatat semua biaya yang telah dikeluarkan untuk penanganan proses perkara pidana, dalam pembukuan yang dise-diakan untuk itu.

7. Biaya Bantuan Hukum dalam perkara pidana dikeluarkan oleh Pen-gadilan Negeri sesuai dengan anggaran yang tersedia pada DIPA dan ketentuan-ketentuannya.

8. Biaya Bantuan Hukum dalam perkara pidana pada tingkat pertama di-bebankan kepada DIPA Pengadilan Negeri.

BAB VIPENGGUNAAN BIAYA BANTUAN HUKUM DALAM

PERKARA PERDATABagian Satu

Prosedur Penggunaan Biaya Bantuan Hukum dalam Perkara PerdataPasal 18

Berdasarkan rujukan sebagaimana diatur dalam Pasal 8 butir c, biaya perkara bagi pencari keadilan yang tidak mampu dalam perkara perdata untuk semua jenis perkara perdata baik perkara gugatan maupun permohonan, yang me-menuhi syarat yang ditentukan dalam Pasal 11 ditanggung oleh Negara.

Page 34: Apakah pendidikan hukum yang salah?mitrahukum.org/wp-content/uploads/2013/10/mitra-06.pdf · Mitra Pembaruan Pendidikan Hukum Indonesia Apakah pendidikan hukum yang salah? Edisi 6

32

SUPLEMEN

MITRA HUKUM - edisi 6

Pasal 191. Permohonan pembebasan biaya perkara perdata diajukan oleh penggu-

gat bersamaan dengan gugatan atau pada saat Pemohon mengajukan gu-gatan secara lisan sebagaimana diatur dalam pasal 237-241 HIR/273-277 RBg.

2. Permohonan pembebasan biaya perkara perdata atau berperkara secara prodeo yang diajukan oleh Tergugat diajukan bersamaan dengan pe-nyampaian jawaban.

3. Majelis hakim sebelum menjatuhkan putusan sela yang berisi tentang pengabulan atau penolakan berperkara secara prodeo tersebut, memer-iksa bahwa penggugat atau tergugat tidak mampu secara ekonomi se-bagaimana ditetapkan dalam Pasal 11, dan setelah mendengar pihak lawan.

Bagian DuaMekanisme Penggunaan Anggaran

Bantuan Hukum dalam Perkara PerdataPasal 20

1. Biaya perkara perdata bagi penggugat atau tergugat yang tidak mampu dibebankan kepada Negara melalui DIPA pengadilan.

2. Biaya perkara perdata dikeluarkan oleh Pengadilan Negeri sesuai dengan anggaran Bantuan Hukum yang tersedia pada DIPA dan ketentuan-ketentuannya.

3. Komponen biaya perkara perdata yang dibebankan pada biaya bantuan hukum DIPA adalah biaya proses yang meliputi:a. Biaya Pemanggilan para pihak/saksi/ahlib. Biaya Pemberitahuan Isi Putusanc. Biaya Sita Jaminand. Biaya Pemeriksaan Setempate. Biaya Alat Tulis Kantorf. Biaya Penggandaang. Biaya Pemberkasan dan Penjilidan berkas perkara yang diminutasi.h. Materai

Pasal 211. Pemanggilan para pihak untuk sidang pertama kali dilakukan oleh Juru

Sita tanpa biaya sebagai prodeo murni.2. Apabila permohonan berperkara secara prodeo ditolak, maka proses ber-

perkara dilaksanakan sebagaimana perkara biasa, penggugat wajib mem-

Page 35: Apakah pendidikan hukum yang salah?mitrahukum.org/wp-content/uploads/2013/10/mitra-06.pdf · Mitra Pembaruan Pendidikan Hukum Indonesia Apakah pendidikan hukum yang salah? Edisi 6

SUPLEMEN

MITRA HUKUM - edisi 6 33

bayar biaya perkara.3. Apabila permohonan penggugat untuk berperkara secara prodeo dika-

bulkan, Panitera Pengganti menyerahkan salinan amar putusan sela kepada Kuasa Pengguna Anggaran untuk kemudian dibuatkan Surat Keputusan bahwa biaya perkara tersebut dibebankan kepada DIPA Pen-gadilan.

4. Berdasarkan Surat Keputusan sebagaimana dimaksud pada ayat (3), Bendahara Pengeluaran menyerahkan biaya perkara kepada Kasir pada Panitera Muda Perdata, sebagai panjar biaya perkara yang besarannya sesuai dengan penaksiran panjar biaya perkara yang dibuat oleh Panitera Muda Perdata, sebesar-besarnya sama dengan besarnya dana bantuan hukum setiap perkara dalam DIPA, yang dituangkan dalam SKUM (kwitansi).

5. Kasir kemudian membukukan biaya perkara sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dalam Jurnal serta untuk selanjutnya mempergunakannya sesuai kebutuhan dan ketersediaan anggaran selama proses berlangsung.

6. Kasir harus menyisihkan biaya materai sebesar Rp. 6.000 (enam ribu rupiah) dari alokasi biaya perkara sebagaimana dimaksud pada ayat (5).

7. Kasir membayar biaya panggilan berikutnya dan biaya proses yang lain berdasarkan bukti pengeluaran sesuai kebutuhan.

8. Dalam hal panjar biaya perkara yang telah dicatatkan di dalam Jurnal se-bagaimana dimaksud pada ayat (5) telah habis, Hakim memerintahkan kepada Pemohon Bantuan Hukum untuk menambah biaya perkara, sepanjang anggaran yang disediakan DIPA masih tersedia untuk perkara yang bersangkutan.

9. Berdasarkan perintah Hakim sebagaimana dimaksud pada ayat (8), Pemohon Bantuan Hukum mengajukan permohonan penambahan bantuan biaya perkara kepada Kuasa Pengguna Anggaran.

10. Berdasarkan ajuan sebagaimana dimaksud pada ayat (9), Kuasa Penggu-na Anggaran kemudian memerintahkan Bendahara Pengeluaran untuk menambah bantuan biaya perkara.

11. Dalam hal anggaran masih tersedia, maka proses selanjutnya dilakukan sebagaimana yang diatur pada ayat (4) sampai dengan ayat (7).

12. Dalam hal ketersediaan anggaran sebagaimana dimaksud pada ayat (11) telah habis, maka proses selanjutnya dilaksanakan secara prodeo murni.

13. Bendahara pengeluaran mencatat semua biaya yang telah dikeluarkan untuk penanganan proses perkara perdata, menurut tata cara pembu-kuan yang berlaku.

14. Bendahara pengeluaran menyimpan seluruh bukti-bukti pengeluaran

Page 36: Apakah pendidikan hukum yang salah?mitrahukum.org/wp-content/uploads/2013/10/mitra-06.pdf · Mitra Pembaruan Pendidikan Hukum Indonesia Apakah pendidikan hukum yang salah? Edisi 6

34

SUPLEMEN

MITRA HUKUM - edisi 6

sebagai bukti pertanggung jawaban keuangan.

BAB VIIBANTUAN HUKUM DI TINGKAT BANDING DAN

TINGKAT KASASIBagian Satu

Bantuan Jasa Advokat di Tingkat Banding dan Tingkat KasasiPasal 22

1. Ketua Pengadilan Tinggi atau Majelis Hakim Kasasi menunjuk Advo-kat untuk menjalankan kuasa, mewakili, mendampingi, membela, dan melakukan tindakan hukum lain untuk kepentingan Pemohon Bantuan Hukum yang memenuhi syarat.

2. Advokat sebagaimana yang dimaksud pada ayat (1) adalah Advokat yang menyediakan jasa bantuan hukum cuma-cuma sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Pasal 23Syarat dan tata cara sebagaimana diatur dalam Bab III sampai dengan Bab VI secara mutatis mutandis berlaku untuk Pengadilan Tinggi dan Mahka-mah Agung, berdasarkan Undang- Undang Nomor : 20 Tahun 1947 ten-tang Banding Perkara Perdata.

BAB VIIIZITTING PLAATZ

Pasal 241. Pengadilan Negeri akan merevitalisasi fungsi Zitting Plaatz berdasarkan

prioritas bagi wilayah-wilayah yang secara nyata membutuhkan dan ses-uai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

2. Kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) akan dilakukan secara bertahap dan akan diatur lebih lanjut di dalam peraturan tambahan.

BAB IXPENCATATAN, PELAPORAN DAN SISTEM DATA

Pasal 251. Advokat Piket pada Pos Bantuan Hukum mencatat permohonan ban-

tuan hukum pada buku register Bantuan Hukum yang memuat kete-rangan-keterangan sebagai berikut:a. Tanggal pengajuan permohonan;b. Nama pemohon;

Page 37: Apakah pendidikan hukum yang salah?mitrahukum.org/wp-content/uploads/2013/10/mitra-06.pdf · Mitra Pembaruan Pendidikan Hukum Indonesia Apakah pendidikan hukum yang salah? Edisi 6

SUPLEMEN

MITRA HUKUM - edisi 6 35

c. Alamat pemohon;d. Usia pemohon;e. Jenis kelamin pemohon;f. Pekerjaan pemohon;g. Jenis perkara;h. Uraian singkat mengenai perkara yang dimohonkan bantuan hu-

kum;i. Jenis layanan bantuan hukum yang dimohonkan;j. Jenis layanan bantuan hukum yang diberikan di Posbakum; dank. Jenis rujukan lebih lanjut yang direkomendasikan oleh Posbakum.

2. Hasil pencatatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaporkan kepa-da Panitera Muda Perdata dan/atau Panitera Muda Pidana sesuai dengan jenis perkara.

Pasal 261. Wakil Panitera melakukan pencatatan lebih lanjut terhadap berjalan-

nya pelayanan bantuan hukum atas permohonan yang diajukan pada sistem data yang memuat keterangan-keterangan sebagaimana dimak-sud dalam Pasal 25 ditambah dengan keterangan- keterangan sebagai berikut:a. Pembebasan biaya perkaran pidana atau perdata yang disetujui;b. Nama Advokat dan asal lembaga Advokat yang ditunjuk memberi-

kan bantuan jasa advokat;c. Perkembangan perkara persidangan;d. Tanggal putusan di pengadilan negeri; dane. Jumlah dana bantuan hukum yang diberikan dan rincian penggu-

naannya.2. Pencatatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dalam Buku

Register Bantuan Hukum Pengadilan Negeri.

Pasal 271. Wakil Panitera melakukan rekapitulasi Pelaporan Pelayanan Bantuan

Hukum setiap bulan berdasarkan data Pencatatan ke dalam Sistem Data Bantuan Hukum secara elektronik melalui sistem Layanan Pesan Sing-kat (SMS) dan/atau jaringan situs internet.

2. Panduan pelaporan dan sistem data sebagaimana dimaksud pada ayat (1) akan diatur lebih lanjut.

Page 38: Apakah pendidikan hukum yang salah?mitrahukum.org/wp-content/uploads/2013/10/mitra-06.pdf · Mitra Pembaruan Pendidikan Hukum Indonesia Apakah pendidikan hukum yang salah? Edisi 6

36

SUPLEMEN

MITRA HUKUM - edisi 6

Pasal 28Informasi dalam rekapitulasi pelaporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 terbuka untuk umum.

BAB XKETENTUAN PERALIHAN

Pasal 29Dalam sisa masa anggaran 2010, Penggunaan Anggaran Bantuan Hukum adalah berdasarkan Surat dari Kepala Badan Urusan Administrasi No.256/BUA/REN06/VII/2010 perihal Optimalisasi Kegiatan (0114) Pelayanan dan Bantuan Hukum tanggal 23 Juli 2010, yang mencakup biaya Saksi, biaya Saksi Ahli, biaya Penerjemah, biaya Pendampingan Advokat danbiaya Prodeo.

Pasal 30Mulai tahun anggaran 2011, operasional penyelenggaraan Bantuan Hukum yang mencakup Pos Bantuan Hukum, Biaya Jasa Advokat, Pembebasan Bi-aya Perkara dan Zitting Plaatz, dilakukan secara bertahap dan menyesuaikan dengan anggaran dari APBN yang tersedia.

Pasal 31Dalam hal Undang-Undang tentang Bantuan Hukum sudah disahkan, ke-tentuan tentang Bantuan Jasa Advokat sebagaimana diatur dalam pedoman ini akan menyesuaikan dengan kebutuhan dan peraturan perundang-un-dangan yang berlaku tersebut.

Page 39: Apakah pendidikan hukum yang salah?mitrahukum.org/wp-content/uploads/2013/10/mitra-06.pdf · Mitra Pembaruan Pendidikan Hukum Indonesia Apakah pendidikan hukum yang salah? Edisi 6

REFERENSI

”SERIAL BUKU SAKU KEBEBASAN BERAGAMA”

Judul Buku :”Memahami Pendapat Berbeda

(Dissenting Opinion)”seri ke 5 Buku saku kebebasan beragama

Membahas tentang dissenting opinion Hakim Maria Farida tidak hanya sekedar menolak eksistensi UU

Nomor 1/PNPS/1965 tentang Penyalahgunaan dan/Penodaan Agama, tetapi lebih jauh dari itu.

Menurut Hakim Maria Farida, UU Penodaan Agama telah telah menciptakan diskriminasi,terbukti di

Departemen Agama (Depag) hanya ada perwakilan enam agama resmi saja (Islam, Protestan, Katolik,

Hindu, Budha, dan Kong Hu Cu). UU Penodaan Agama telah“memaksa” kelompok penghayat untuk

“menundukan diri” terhadap agama-agama yang diakui oleh negara. Untuk itu, memang perlu

“membongkar” pemikiran Hakim Maria Farida. Dissenting opinion Hakim Maria Farida diharapkan

jadi tonggak sejarah dan menjadi dokumen penting untuk kebebasan beragama, toleransi dan

pluralisme di tanah air.

Ukuran Buku 10,5 x 15 cm; vii + 60 halamanEdisi pertama, © ILRC 2010

ISBN : 978-602-98382-2-0

Judul Buku :”Memahami Kebijakan Rumah Ibadah”seri ke 6 Buku saku kebebasan beragama Membahas Hak beribadah termasuk di dalamnya rumah ibadah tidak sekedar hak konstitusional dan bagian dari HAM. Lebih jauh, sikap toleran akan tercermin dengan menghormati hak seseorang untuk beribadah. Sikap toleran ini kadang-kadang tercabut dari akarnya di dalam masyarakat yang majemuk hanya karena adanya aturan hukum yang mengaturnya. Sikap tolerandi masyarakat sebagai modal sosial jauh lebih penting dari sebuah aturan hukum termasuk aturan hukum yang mengatur rumah ibadah. Toleransi sudah berakar di dalam kehidupan masyarakat kita. Mencabut akar toleransi akan mematikan kehidupan pluralisme di negeri ini.Ukuran Buku 10,5 x 15 cm; vii + 68 halamanEdisi pertama, © ILRC 2010ISBN : 978-602-963821-3

Page 40: Apakah pendidikan hukum yang salah?mitrahukum.org/wp-content/uploads/2013/10/mitra-06.pdf · Mitra Pembaruan Pendidikan Hukum Indonesia Apakah pendidikan hukum yang salah? Edisi 6

REFERENSI

Majelis Eksaminasi :MargiyonoMuktionoRumadiSoelistyowati Irianto

Ukuran 14,5 x 21cm; xiv + 200 halamanEdisi pertama, 2010

Penerbit :The Indonesian Legal Resource Center (ILRC)

Penerbit :The Indonesian Legal Resource Center (ILRC)

Buku ini adalah hasil Eksaminasi Publik terha-dap putusan Mahkamah Konstitusi dalam Peng-ujian Undang-Undang Penodaan Agama. Pener-bitan ini dilakukan semata-mata sebagai kontri-busi ILRC untuk ikut menegakkan konstitusi dan ikut menegakkan martabat MK sebagai Peng-awal Konstitusi. Adapun eksaminator dalam ke-giatan ini adalah para intelektual kompeten di bidangnya masing-masing. Mereka adalah: Dr. Rumadi,MA Prof. Dr. Sulistyowati Irianto, Margiyono,S.H., dan Muktiono, S.H., MA. Dari proses eksaminasi, majelis menarik kesim-pulan bahwa MK tidak menjalankan mandatnya dengan baik sebagai pelaksana kekuasaan ke-hakiman yang merdeka untuk menyelenggara-kan peradilan guna menegakkan hukum dan ke-adilan. Mahkamah gagal menempuh ”jalan te-ngah” dalam pengambilan keputusannya. Hal ini bisa berakibat pada kegagalan Mahkamah Kons-titusi sebagai penjaga konstitusi khususnya dalam memenuhi Hak Kebebasan Beragama/ Berkeyakinan, Hak kebebasan Berekspresi dan Hak Kelompok Minoritas Hal tersebut disebabkab MK dalam putusannya tidak menguji konstitusionalitas UU Penodaan Agama terhadap UUD Tahun 1945, tetapi lebih pada pertimbangan sosio politis mayoritas, per-sfektif hakim yang konservatif dan tidak mem-

perhitungkan kenyataan sosiologis dan antropo-logis yang beragam di Indonesia. Majelis Eksaminasi memberikan sejumlah reko-mendasi, baik kepada pemerintah, aparat pene-gak hukum, media massa dan masyarakat sipil. Rekomendasi yang diberikan diantaranya agar DPR RI dan Pemerintah segera menyusun sebu-ah UU yang menjamin perlindungan kebebasan warganegara untuk beragama dan menjalankan ibadah sesuai agama dan keyakinannya merupa-kan turunan dari pasal 29 UUD 1945. UU terse-but harus merujuk pada standar hukum inter-nasional yaitu Pasal 18 UU Sipol, General Com-ment dan Deklarasi Intoleransi. Substansi UU mencakup jaminan menjalankan ibadah dan tempat ibadah, jaminan terhadap kelompok minoritas, pembatasan legitimate, dan tindak pidana penyebaran kebencian (hatred speech) yang menimbulkan diskriminasi, permu-suhan dan kekerasan berdasarkan agama. UU ini diharapkan menjadi penganti dari UU No.1/PNPS/1965 tentang Pencegahan dan/atau Penodaan Agama. Untuk membaca lebih lengkap silahkan unduh di http://www.mitrahukum.org/. Untuk mendapatkan versi cetak untuk wilayah Jabodetabek silahkan datang ke kantor ILRC

Buku ini adalah hasil Eksaminasi Publik terha-dap putusan Mahkamah Konstitusi dalam Peng-ujian Undang-Undang Penodaan Agama. Pener-bitan ini dilakukan semata-mata sebagai kontri-busi ILRC untuk ikut menegakkan konstitusi dan ikut menegakkan martabat MK sebagai Peng-awal Konstitusi. Adapun eksaminator dalam ke-giatan ini adalah para intelektual kompeten di bidangnya masing-masing. Mereka adalah: Dr. Rumadi,MA Prof. Dr. Sulistyowati Irianto, Margiyono,S.H., dan Muktiono, S.H., MA. Dari proses eksaminasi, majelis menarik kesim-pulan bahwa MK tidak menjalankan mandatnya dengan baik sebagai pelaksana kekuasaan ke-hakiman yang merdeka untuk menyelenggara-kan peradilan guna menegakkan hukum dan ke-adilan. Mahkamah gagal menempuh ”jalan te-ngah” dalam pengambilan keputusannya. Hal ini bisa berakibat pada kegagalan Mahkamah Kons-titusi sebagai penjaga konstitusi khususnya dalam memenuhi Hak Kebebasan Beragama/ Berkeyakinan, Hak kebebasan Berekspresi dan Hak Kelompok Minoritas Hal tersebut disebabkab MK dalam putusannya tidak menguji konstitusionalitas UU Penodaan Agama terhadap UUD Tahun 1945, tetapi lebih pada pertimbangan sosio politis mayoritas, per-sfektif hakim yang konservatif dan tidak mem-

perhitungkan kenyataan sosiologis dan antropo-logis yang beragam di Indonesia. Majelis Eksaminasi memberikan sejumlah reko-mendasi, baik kepada pemerintah, aparat pene-gak hukum, media massa dan masyarakat sipil. Rekomendasi yang diberikan diantaranya agar DPR RI dan Pemerintah segera menyusun sebu-ah UU yang menjamin perlindungan kebebasan warganegara untuk beragama dan menjalankan ibadah sesuai agama dan keyakinannya merupa-kan turunan dari pasal 29 UUD 1945. UU terse-but harus merujuk pada standar hukum inter-nasional yaitu Pasal 18 UU Sipol, General Com-ment dan Deklarasi Intoleransi. Substansi UU mencakup jaminan menjalankan ibadah dan tempat ibadah, jaminan terhadap kelompok minoritas, pembatasan legitimate, dan tindak pidana penyebaran kebencian (hatred speech) yang menimbulkan diskriminasi, permu-suhan dan kekerasan berdasarkan agama. UU ini diharapkan menjadi penganti dari UU No.1/PNPS/1965 tentang Pencegahan dan/atau Penodaan Agama. Untuk membaca lebih lengkap silahkan unduh di http://www.mitrahukum.org/. Untuk mendapatkan versi cetak untuk wilayah Jabodetabek silahkan datang ke kantor ILRC

Ukuran 14,5 x 21cm; xiv + 200 halamanEdisi pertama, 2010

Judul : ”BUKAN JALAN TENGAH”Eksaminasi Publik Putusan Mahkamah KonstitusiPerihal Pengujian Undang-Undang Nomor 1 PNPS Tahun 1965, Tentang Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama

Judul : ”BUKAN JALAN TENGAH”Eksaminasi Publik Putusan Mahkamah KonstitusiPerihal Pengujian Undang-Undang Nomor 1 PNPS Tahun 1965, Tentang Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama

Majelis Eksaminasi :MargiyonoMuktionoRumadiSoelistyowati Irianto