tolak tambang.pdf

380
Benny Denar Mengapa Gereja (Harus!) Tolak Tambang? Sebuah tinjauan etis, filosofis dan teologis atas korporasi tambang 2015

Upload: koko-joni-federer

Post on 16-Sep-2015

155 views

Category:

Documents


7 download

TRANSCRIPT

  • Benny Denar

    Mengapa Gereja (Harus!) Tolak Tambang?

    Sebuah tinjauan etis, filosofis dan teologis atas korporasi tambang

    2015

  • Mengapa Gereja (Harus!) Tolak Tambang?Sebuah Tinjauan Etis, Filosofis dan Teologis Atas Korporasi Tambang

    Penulis : Benny DenarLay Out : Moya Zam Zam

    Hak cipta dilindungi oleh undang undang.Dilarang memperbanyak karya tulis ini dalam bentuk dan dengan cara apapun tanpa izin tertulis dari Penerbit Ledalero

    Penerbit:Penerbit Ledalero

    Redaksi: Seminari Tinggi Santo Paulus Ledalero Maumere 86152, Flores-NTT Telp./Fax (0382) 242 6535e-mail : [email protected] www.penerbitledalero.com

    Mengapa Gereja (Harus!) Tolak Tambang?Sebuah Tinjauan Etis, Filosofis dan Teologis Atas Korporasi TambangCetakan I, Juni 2015 Maumere : Penerbit Ledalero, xxii + 358120 x 190 mm

    ISBN: 978-602-1161-13-5

    Dicetak oleh:Moya Zam ZamJl. Bugisan Selatan No. 15 YogyakartaTelp/Fax : (0274)367302;e-mail : [email protected]/[email protected]

  • iii

    KATA PENGANTAR PENULIS

    Reformasi yang diperjuangkan dengan susah payah dari tangan rezim totaliter Suharto seharusnya sudah cukup tua untuk mengubah tatanan politik dan ekonomi negara ini ke arah yang lebih baik. Namun kenyataannya negeri ini semakin dirusakkan oleh berbagai krisis yang menderanya, seperti krisis kepercayaan, krisis moral, krisis kepemimpinan, krisis demokrasi, krisis lingkungan hidup dan deretan krisis lainnya. Sebagai contoh, Otonomi Daerah yang merupakan salah satu tujuan utama dari agenda reformasi tahun 1998 ternyata tidak semanis yang dicita-citakan. Sebab sistem Otonomi Daerah telah turut serta membawa bias-bias destruktif yang cukup meresahkan masyarakat lokal. Selain memunculkan ladang baru terjadinya KKN, Otonomi Daerah

  • iv Mengapa Gereja (Harus!) Tolak Tambang?

    ternyata melahirkan persoalan serius terkait pilihan kebijakan politik pembangunan daerah.

    Salah satu fenomena paling kentara yang membahasakan adanya persoalan serius terkait pilihan kebijakan politik pembangunan daerah adalah munculnya perusahaan-perusahaan berskala transnasional atau Multi National Corporation (MNC) yang mengeruk kekayaan alam di daerah-daerah. Perusahaan-perusahaan tersebut mengadakan investasi besar-besaran di bidang pertambangan yang justru membawa malapetaka baru bagi masyarakat lokal. Fenomena ini amat nyata dalam menjamurnya MNC yang berinvestasi di bidang pertambangan di berbagai daerah, termasuk di kabupaten-kabupaten di Propinsi Nusa Tenggara Timur (NTT). Menjamurnya MNC di NTT membahasakan pengaruh liberasi pertambangan itu telah sampai ke seluruh pelosok wilayah.

    Namun pilihan kebijakan pertambangan ini memunculkan banyak persoalan serius terutama berkaitan dengan martabat manusia dan lingkungan hidup. Banyaknya persoalan

  • vBenny Denar

    serius terkait kehadiran pertambangan tersebut mengharuskan kita mencermati kembali pilihan kebijakan pembangunan di negara dan daerah kita. Sebab neoliberalisme yang menopang pembangunan global dan kini telah menjalar secara masif ke Indonesia memang telah berhasil mengiklankan impian-impian kemakmuran, namun gagal mengidentifikasikan secara konkret impian dasarnya itu berhadapan dengan kerakusan yang menjadi cacat bawaannya. Mesin ekonomi kapitalis telah mengeruk sumber daya alam secara tak terbatas yang memunculkan ketakutan akan masa depan bumi ini. Iklim pertumbuhan dan pembangunan seperti ini yang ditopang secara kuat oleh kepentingan rezim politik tertentu pasti akan memicu pertumbuhan ekonomi yang dibarengi oleh parahnya kerusakan sosial, sekaligus degradasi lingkungan hidup.

    Justru pada tempat inilah konsep seputar pembangunan penuh kontroversi. Sebab dalam kenyataan pembangunan tidak membawa manfaat secara merata bagi semua orang. Bagi kelompok tertentu pembangunan memang

  • vi Mengapa Gereja (Harus!) Tolak Tambang?

    mendatangkan kesejahteraan dan kekayaan, namun bagi banyak kelompok lain pembangunan tidak hanya gagal mendatangkan kesejahteraan, tetapi justru mendatangkan malapetaka karena dapat mengancam keberlanjutan kehidupan, menimbulkan kerusakan alam, sekaligus menyebabkan destruksi budaya. Pembangunan direduksi hanya sebagai medan terjadinya hegemoni kekuasaan politik dan pasar yang alih-alih mendatangkan kesejahteraan, tetapi dalam kenyataan justru menghasilkan kemiskinan sistemik, kehancuran ekologis, dan destruksi budaya. Pembangunan pada akhirnya hanya melahirkan dominasi, pencaplokan sumber daya, marginalisasi, subordinasi, eksploitasi, dan kekerasan dalam berbagai bentuknya. Di sinilah letak kontroversi atau ambiguitas pembangunan itu. Pembangunan menjadi sesuatu yang dikehendaki sekaligus ditentang, dirangkul sekaligus diwaspadai, dijalankan sekaligus dilawan.

    Buku ini secara khusus akan melacak mafia pertambangan sebagai bagian dari arus besar kapitalisme neoliberal. Refleksi tentang

  • viiBenny Denar

    keterlibatan Gereja dalam arus besar sistem ekonomi yang berwatak liberal dan eksploitatif itu akan menjadi perhatian kunci buku ini. Keterlibatan Gereja berdasarkan pertimbangan etis, filosofis dan teologis akan mengarah kepada opsi untuk lebih mengabdi kepada kemanusiaan yang sesunggguhnya, dan terutama dengan menerapkan model pembangunan berkelanjutan.

    Penulis menyadari bahwa penyelesaian proyek intelektual ini tidak terlepas dari kontribusi berbagai pihak. Atas dasar itu, dalam nada syukur, penulis menyampaikan salam hormat dan terima kasih. Terima kasih kepada Rm. DR. Mathias Daven, Pr dan P. DR. Georg Kirchberger, SVD serta P. DR. Otto Gusti, SVD yang telah banyak membantu penulis dalam menyelesaikan buku ini. Secara akademis, mereka telah memberikan rasa kepercayaan diri yang membuat penulis berani menerbitkan karya ini. Terima kasih yang tulus disampaikan kepada P. DR. Paul Budi Kleden, SVD dan Rm. Max Regus, Pr yang telah bersedia membaca keseluruhan draf buku ini dan terutama telah memberikan catatan pengantar dan catatan

  • viii Mengapa Gereja (Harus!) Tolak Tambang?

    penutup atas karya ini. Kesediaan Pater Budi dan Rm. Max bagi saya merupakan sebuah kehormatan dan memberikan rasa bangga tersendiri. Bagi saya, keduanya merupakan inspirasi dalam pencarian dan pengabdian intelektual saya di tengah belantara kehidupan ini. Terima kasih kepada Bapak Edi Danggur untuk kesediaan membaca naskah ini, memberikan masukan dari perspektif hukum dan turut memberikan catatan rekomendasi atas buku ini.

    Terima kasih kepada almamater STFK Ledalero yang telah mengasah pedang intelektual saya untuk semakin tajam dan berguna. Terima kasih kepada Keluarga Besar Seminari Tinggi St. Petrus Ritapiret untuk segala naungan dan segala hal yang membuat saya hidup lebih teratur dan memungkinkan saya berkarya dengan baik dan bebas.

    Terima kasih berlimpah untuk semua pihak yang telah turut memberikan data-data dan informasi-informasi penting seputar polemik pertambangan di Manggarai Barat. Patut saya sebutkan di sini, P. Marsel Agot, SVD, pejuang

  • ixBenny Denar

    perkasa tolak tambang di Manggarai Barat. Terima kasih untuk semua spirit yang diberikan dan juga contoh serta teladan dalam membuat advokasi terhadap keadaban publik dan keutuhan ciptaan. Terima kasih kepada para senior di Gerakan Masyarakat Anti Tambang (GERAM); Om Very Adu, Om Marianus Saridin, Om Stefan Rafael, Om Gabriel Pampur, dan semua anggota GERAM lainnya yang tidak sempat saya sebutkan namanya satu per satu di sini. Terima kasih yang tulus kepada Pater Simon Suban Tukan, SVD dan seluruh staf JPIC SVD Ruteng, Rm. Martin Jenarut, Pr serta seluruh staf JPIC Keuskupan Ruteng, dan P. Alsis, OFM serta seluruh JPIC OFM cabang Ruteng.

    Terima kasih kepada mentor saya, Rm. Robertus Pelita, Pr yang telah menjadi inspirator saya dalam banyak hal. Dia telah mengajarkan saya untuk lebih berani menyuarakan kebenaran. Teladan hidupnya yang mengagumkan sebagai imam Tuhan sungguh mempengaruhi saya. Terima kasih berlimpah kepada segenap anggota komunitas Seminari Yohanes Paulus II Labuan Bajo atas segala dukungan dan pengertiannya sehingga penulis

  • x Mengapa Gereja (Harus!) Tolak Tambang?

    diizinkan untuk sedikit berkeliaran; berdiskusi, mencari data, dan menulis berbagai analisis bahkan protes seputar polemik tambang pada masa Tahun Orientasi Pastoral (2011-2013) lalu.

    Terima kasih berlimpah kepada Penerbit Ledalero atas kesediaan penuh antusias menerbitkan karya ini sehingga bisa dinikmati oleh banyak kalangan. Terima kasih kepada teman-teman Frater di Seminari Tinggi St. Petrus Ritapiret atas semua semangat dan gairah hidup bersama dalam semangat kerekanan. Secara khusus terima kasih kepada Fr. Marto Rian Lesit, Fr. Saver Jehatu, Fr. Lolyk Apung, Fr. Earlich Herbert, Fr. Gusty Hadun dan Fr. Res Dakosta yang telah dengan tekun membaca dengan teliti serta mengoreksi ketepatan huruf dan kata dalam keseluruhan naskah tulisan ini.

    Terima kasih tak terhingga untuk ayah saya Bapak Thobias Denar yang mengajarkan saya banyak filosofi hidup yang amat penting dan berharga serta bersedia menjadi teman diskusi yang baik dan cerdas. Juga terima kasih tak terhingga kepada mama saya, Regina Jebibu yang mengajarkan saya

  • xiBenny Denar

    perihal ketekunan, kerja keras, tahan banting, dan kasih sayang. Terima kasih kepada kakak-kakak saya: John Sula - figur istimewa yang telah berjasa dalam banyak hal untuk perziarahanku - , kakak Vens dan Vene, Robert dan Helmy, Since dan Viktor, Get dan Robert, Ety dan Tinus, Ferdy dan Erna, Leksy dan Sin, Kardus dan Mensy, serta adik saya Efan. Juga kepada semua ponakan saya Ratna, Narsi, Nasrin, Rivan, Hesny, Efra, Salvy, Genus, Gens, Elvyn, Igi, Tamy, Varlis, Niar, Chindy, Floriono, Mariana, Asno, Jane, Foryn, Gilang, Econ, Angelo, Feby, Erland.

    Selanjutnya penulis menghaturkan limpah terima kasih kepada semua pihak yang sudah membantu dengan caranya masing-masing. Akhirnya penulis menyadari bahwa tulisan ini masih membutuhkan pembenahan dan perbaikan. Untuk itu, penulis masih mengharapkan masukan dan kritikan yang konstruktif demi kesempurnaan tulisan dalam buku ini.

    Ritapiret, awal Juni 2015

    Penulis

  • xii

    DAFTAR ISI

    KATA PENGANTAR PENULIS ..............DAFTAR ISI ............................................

    PROLOG .................................................

    BAB I PENDAHULUAN .........................

    BAB II KONTROVERSI DI SEPUTAR PENGERTIAN PEMBANGUNAN ..

    2.1. PEMBANGUNAN SEBAGAI PERTUMBUHAN .............................

    2.1.1. Batasan Konsep ...............................2.1.2. Teori-Teori Di Seputar Ideologi

    Pertumbuhan ......................................2.1.2.1. Teori Modernisasi .........................2.1.2.2. Teori Dependensi

    (Ketergantungan) ...............................

    iiixii

    1

    17

    36

    3737

    4142

    49

  • xiiiBenny Denar

    2.1.3. Melacak Faktum Kemenangan Ideologisasi Pertumbuhan Bercorak Kapitalistik dan Liberal .......................

    2.1.3.1. Konteks Historis dan Postulat Dasar Kapitalisme Noeliberal ..............

    2.1.3.2. Tesis-Tesis Dasar Kapitalisme .......2.1.3.3. Hubungan Kapitalisme Neoliberal

    dengan Pembangunan .........................2.1.3.4. Kesimpulan: Kemenangan

    Neoimperialisme ................................2.1.3.4.1. Pengertian dan Cara Kerja

    Neoimperialisme ................................2.1.3.4.2. Agen-Agen Neoimperialisme .....2.1.3.5. Konteks Indonesia: Sekadar

    Kesimpulan Singkat ............................2.2. PEMBANGUNAN SEBAGAI

    PENIADAAN PENDERITAAN ........2.2.1. Penjernihan Konsep .........................2.2.2. Ciri Khas dan Orientasi Praktis

    Pendekatan Pembangunan Sebagai Pembebasan Manusia dari Penderitaan

    2.2.2.1. Menempatkan Manusia yang Konkret Sebagai Pusat ........................

    52

    5262

    64

    67

    6770

    75

    7879

    81

    81

  • xiv Mengapa Gereja (Harus!) Tolak Tambang?

    2.2.2.2. Mendahulukan Orang yang Menderita ...........................................

    2.2.2.3. Menekankan Pentingnya Demokrasi dan Partisipasi ...................

    2.2.2.4. Pengejaran Tujuan Pembangunan Tidak Menyebabkan Penderitaan ........

    2.2.3. Manfaat Praktis Konsep Pembangunan Sebagai Pembebasan Manusia dari Penderitaan ...................

    2.3. AGAMA DAN PEMBANGUNAN BERTITIK TOLAK PENDERITAAN

    2.4. KESIMPULAN .................................

    BAB III AJARAN SOSIAL GEREJA TENTANG KEUTUHAN CIPTAAN DAN PENDERITAAN SEBAGAI BASIS ETIS PENGEMBANGAN MASYARAKAT .................................

    3.1. LATAR BELAKANG MUNCULNYA ASG .........................

    3.2. PENGERTIAN ASG .........................3.3. PRINSIP-PRINSIP POKOK ASG ....3.3.1. Prinsip Penghormatan Terhadap

    Martabat Manusia ..............................

    83

    85

    87

    89

    9195

    97

    98101105

    105

  • xvBenny Denar

    3.3.2. Prinsip Kesejahteraan Umum ..........3.3.3. Prinsip Subsidiaritas ........................3.3.4. Prinsip Keterlibatan .........................3.3.5. Prinsip Solidaritas ............................3.3.6. Kesimpulan: Pentingnya

    Mengutamakan Orang Miskin ............3.4. GARIS BESAR ASG TENTANG

    LINGKUNGAN HIDUP ..................3.4.1. Pandangan Kitab Suci Kristen

    Tentang Lingkungan Hidup ...............3.4.2. Sebab-Sebab Kerusakan Lingkungan

    Hidup Menurut ASG .........................3.4.2.1. Keserakahan Manusia ...................3.4.2.2. Manusia dengan Peradaban

    Teknokrasi ..........................................3.4.2.3. Pandangan Berat Sebelah

    Terhadap Alam Ciptaan ......................3.4.2.4. Masalah-Masalah Konkret yang

    Muncul ...............................................3.4.3. Beberapa Petimbangan Kunci dari

    ASG Perihal Pengelolaan Lingkungan Hidup .................................................

    3.4.3.1. Perlunya Menghargai dan Mengikuti Maksud Awal Ciptaan .......

    108112114116

    118

    121

    121

    126126

    128

    131

    134

    138

    138

  • xvi Mengapa Gereja (Harus!) Tolak Tambang?

    3.4.3.2. Pentingnya Tanggung Jawab .........3.4.3.3. Menimbang Kegiatan Ekonomi ....3.4.3.4. Perlunya Menghargai Masyarakat

    Adat ....................................................3.4.3.5. Dibutuhkan Solidaritas Global .....3.5. FENOMENA PENDERITAAN

    MENURUT ASG ..............................3.5.1. Manusia Sebagai Citra Allah ............3.5.2. Dosa Sebagai Sumber Penderitaan ...3.5.3. Perlunya Solidaritas dengan Mereka

    yang Menderita ...................................3.5.4. Butuh Intervensi Ilahi .....................3.5.5. Menghargai Inisiatif Dari Bawah ..3.6. KESIMPULAN .................................

    BAB IV KORPORASI TAMBANG SEBAGAI PENAMPAKAN RIIL KAPITALISME NEOLIBERAL DI MANGGARAI BARAT .....................

    4.1. GAGASAN UMUM SEPUTAR PERTAMBANGAN ...........................

    4.1.1. Pengertian .......................................4.1.2. Tahap-Tahap Kegiatan

    Pertambangan .....................................

    140141

    143144

    146148151

    153155157159

    162

    163163

    166

  • xviiBenny Denar

    4.1.3. Dampak-Dampak Pertambangan ....4.1.3.1. Dampak Positif ............................4.1.3.1.1. Dari Sisi Ekonomi dan Sumber

    Daya Manusia ....................................4.1.3.1.2. Menyiapkan Kebutuhan Energi4.1.3.1.3. Pertambangan Dapat Memacu

    Pembangunan .....................................4.1.3.2. Dampak Negatif ...........................4.1.3.2.1. Terhadap Lingkungan Hidup ....4.1.3.2.2. Terhadap Ekonomi Masyarakat .4.1.3.2.3. Terhadap Aspek Sosial dan

    Budaya Masyarakat Lokal ...................4.1.3.2.4. Terhadap Institusi Politik ...........4.2. MONSTER TAMBANG

    MENGANCAM MASA DEPAN MANGGARAI BARAT .....................

    4.2.1. Profil Singkat Kabupaten Manggarai Barat ...................................................

    4.2.1.1. Catatan Historis: Telaah Singkat Menuju Manggarai Barat ....................

    4.2.1.2. Kondisi Geografis .........................4.2.1.3. Keadaan Iklim dan Geologi ..........4.2.1.4. Keadaan Demografis ....................

    169170

    170171

    172173173176

    178179

    181

    181

    181185187188

  • xviii Mengapa Gereja (Harus!) Tolak Tambang?

    4.2.1.5. Sektor-Sektor Unggulan ...............4.2.1.5.1. Pertanian ...................................4.2.1.5.2. Kelautan dan Perikanan .............4.2.1.5.3. Pariwisata Sebagai Sektor Utama4.2.1.5.4. Pertambangan dan Energi .........4.2.2. Polemik Seputar Pertambangan di

    Manggarai Barat .................................4.2.2.1. Riwayat Kehadiran Pertambangan

    di Manggarai Barat .............................4.2.2.2. Beberapa Kejanggalan dalam

    Proses Pertambangan di Manggarai Barat ...................................................

    4.2.2.2.1. Persoalan Berkaitan dengan Partisipasi Masyarakat .........................

    4.2.2.2.2. Ilusi Kesejahteraan .....................4.2.2.2.3. Pertambangan Merusakkan

    Lingkungan Hidup .............................4.2.2.2.4. Kontraproduktif dengan

    Industri Pariwisata ..............................4.2.2.2.5. Sarat Praktik KKN ....................4.2.2.2.6. Menelikung Hukum ..................4.2.2.2.7. Tidak Menghargai Masyarakat

    Lokal ..................................................

    191192193195198

    204

    204

    213

    213217

    218

    222227230

    235

  • xixBenny Denar

    4.2.2.2.8. Menimbulkan Konflik Horisontal dan Vertikal .......................

    4.3. KESIMPULAN .................................

    BAB V GEREJA DIOSES RUTENG TOLAK TAMBANG DAN PILIHAN ETIS PEMBANGUNAN SETURUT ASG ................................

    5.1. PERIHAL KETERLIBATAN GEREJA KEUSKUPAN RUTENG ...

    5.1.1. Riwayat Keterlibatan dan Pendampingan ....................................

    5.1.2. Beberapa Alasan Penolakan .............5.1.3. Tantangan dalam Perjuangan Tolak

    Tambang ............................................5.1.4. Beberapa Kritik Terhadap

    Keterlibatan Gereja .............................5.1.4.1. Gereja Tidak Siap .........................5.1.4.2. Hanya Sedikit Pemimpin Gereja

    yang Terlibat .......................................5.1.5. Tolak Tambang Sebagai Sikap Gereja

    Keuskupan Ruteng .............................5.1.5.1. Surat dari Administrator

    Keuskupan Ruteng .............................

    238241

    243

    243

    244245

    246

    248248

    250

    256

    257

  • xx Mengapa Gereja (Harus!) Tolak Tambang?

    5.1.5.1.1. Prinsip-Prinsip Pembangunan Berkeadilan .........................................

    5.1.5.1.2. Beberapa Rekomendasi ..............5.1.5.2. Tolak Tambang Menjadi Sikap

    Hierarki ..............................................5.1.5.3. Rekomendasi Sinode Keuskupan

    Ruteng ................................................5.2. TOLAK TAMBANG DAN PILIHAN

    ETIS PEMBANGUNAN ...................5.2.1. Pilihan Mengutamakan Kaum

    Miskin ................................................5.2.1.1. Pendasaran Etis Seturut ASG ........5.2.1.2. Dua Implikasi Penting ..................5.2.1.2.1. Agen Pastoral Mesti Berdiri

    dengan Kaum Miskin .........................5.2.1.2.2. Menempatkan Rakyat Sebagai

    Subjek Pembangunan .........................5.2.2. Mengutamakan Pembangunan

    Berkelanjutan .....................................5.2.2.1. Gagasan Dasar Pembangunan

    Berkelanjutan .....................................5.2.2.2. Tiga Prinsip Pembangunan

    Berkelanjutan .....................................

    257260

    262

    264

    267

    268268272

    272

    276

    281

    281

    285

  • xxiBenny Denar

    5.2.2.2.1. Prinsip Demokrasi .....................5.2.2.2.2. Prinsip Keadilan ........................5.2.2.2.3. Prinsip Keberlanjutan ................5.2.3. Solusi Metodologis Pengembangan

    Masyarakat .........................................5.3. KESIMPULAN .................................

    BAB VI PENUTUP .................................6.1. KESIMPULAN .................................6.2. BEBERAPA SARAN DAN

    REKOMENDASI ..............................

    EPILOG ...................................................DAFTAR PUSTAKA ................................

    286290294

    296299

    301301

    314

    318338

  • xxii Mengapa Gereja (Harus!) Tolak Tambang?

  • 1PROLOGGEREJA DALAM NARASI BESAR KAPITALISME

    (Oleh RD. Max Regus, Pr1)

    Catatan Awal

    Politik lokal, atau desentralisasi dalam ungkapan lain, memperhadapkan masyarakat lokal pada dua kenyataan pelik.2 Pertama, keterkejutan tentang membesarnya volume wewenang untuk mengurus diri. Kedua, serangan gencar perangkat mesin kapitalisme yang siap merebut sumber-

    1 Imam Keuskupan Ruteng, Master dalam bidang Sosiologi Pembangunan, PhD Candidate the Graduate School of Humanties, Tilburg University, Netherands, menulis ratusan analisis sosial politik di media massa nasional; buku terbaru berjudul Diskursus Politik Lokal (Sunspirit, 2015).

    2 Max Regus (2015), Diskursus Politik Lokal, Sunspirit, Flores.

  • 2 Mengapa Gereja (Harus!) Tolak Tambang?

    sumber daya alam dengan bayangan kerusakan lingkungan secara masif.3 Perspektif ekonomi-politik dalam ranah diskursus neoliberalisme digunakan untuk membaca dua soal ini.4

    Diskursus itu kemudian mengerucut pada dua pertanyaan utama ini. Pertama, bagaimana kapitalisme membelah dirinya dan memanfaatkan ideologi politik, dalam hal ini demokrasi liberal untuk proses itu. Kedua, bagaimana elemen-elemen lokal, dalam diskusi ini Gereja, dapat melakukan institutional adjustment agar dapat meladeni serangan kasar kapitalisme. Tulisan pendek ini, berusaha menjawab dua pertanyaan sebisanya, untuk mengantar diskusi lebih lanjut ke dalam buku yang sangat baik dari Benny Denar ini.

    Kapitalisme Kolonialistik

    Karl Marx sudah mendeteksi perilaku abadi kapitalisme: menghisap tanpa merasa puas. Proses

    3 S. Buechler (2007). Deciphering the Local in a Global Neoliberal Age.Deciphering the Global: Its Scales, Spaces and Subjects, 97.

    4 D. Harvey (2005). A brief history of neoliberalism. Oxford University Press.

  • 3Benny Denar

    ini meninggalkan keterasingan personal dan sosial pada kelas-kelas pekerja.5 Kapitalisme dalam pandangan Marx bukan hanya sebatas sistem ekonomi pasar. Kapitalisme bersentuhan dengan persoalan ideologi, formasi sosial, ekspansi ekonomi dan dominasi politik. Kapitalisme tidak lagi hanya dapat dijelaskan dari sudut pandang kepentingan ekonomi. Kapitalisme tidak hanya kombinasi kepemilikan pribadi, pasar yang kompetitif dan relatif bebas, tenaga kerja yang terlibat dalam proses kerja, mesin produksi melainkan juga berkaitan dengan ruang (wilayah) tertentu.6

    Pemikir Marxist sering menyebut kapitalisme sebagai satu bentuk sistem ekonomi politik.7 Kapitalisme terfokus pada dua gagasan yaitu produksi untuk keuntungan dan keberadaan kepemilikan pribadi. Negara menguasai sebagian

    5 Karl Marx, (1979). Capital I, Penguin Harmondsworth.

    6 N. Castree(2010). Crisis, continuity and change: neoliberalism, the left and the future of capitalism. Antipode, 41(s1), 185-213.

    7 R. Albritton, Jessop, B., & Westra, R. (Eds.). (2010). Political economy and global capitalism: the 21st century, present and future. Anthem Press.

  • 4 Mengapa Gereja (Harus!) Tolak Tambang?

    darinya. Negara kemudian secara masif akan menjelaskan mengapa kolonialisme merupakan bagian dari kapitalisme itu sendiri. Ekspansi Negara-negara eropa barat pada kurun 1800 hingga 1870an menjelaskan sebuah kebutuhan kapitalisme memperluas dan melakukan sebuah ekspansi besar-besaran berupa penguasaan-penguasaan teritori-teritori di seluruh Benua Amerika.8

    Kapitalisme memiliki beberapa tujuan penting: pertama, menjaga dan memperluas net profit, kedua, penjualan yang bisa menggerakkan produksi komoditas, akumulasi kapital, privatisasi dan surplus produksi. Kapitalisme harus dilaksanakan dalam mekanisme perusahaan transnasional melampaui kepentingan pemilik modal saja. Tujuan-tujuan ini pada tahapan tertentu akan membunuh kapitalisme itu sendiri ketika ketiadaan ruang untuk menampung tingkat pencapaian tujuan-tujuan ini.9

    8 G. A. Cohen (1978) Karl Marxs Theory of History: a Defence. Princeton: Princeton UP.

    9 PeterHamilton (1974). Marxism I: Hegel and Marx. Knowledge and Social Structure: an Introduction to

  • 5Benny Denar

    Terutama akumulasi kapital, surplus produksi, dan penjualan jelas membutuhkan wilayah-wilayah baru. Kapitalisme membutuhkan wilayah-wilayah baru dengan beberapa alasan penting. Pertama, keterbatasan sumber-sumber produksi dalam mesin kapitalisme. Mesin kapitalisme akan kehilangan kekuatannya ketika mekanisme produksi berhenti akibat ketiadaan sumber-sumber mesin produksi. Kedua, logika pasar dalam kapitalisme jelas memerlukan tingkat konsumsi tertentu agar mesin produksi bisa tetap berfungsi. Sebuah wilayah baru untuk menjadi target pasar kapitalisme merupakan sebuah kebutuhan yang penting. Ketiga, mesin produksi membutuhkan ketersediaan tenaga kerja.10

    Ekspansi ekonomi berjalan beriringan dengan motivasi penguasaan daerah-daerah tertentu yang menyediakan sumber-sumber baru dan

    the Classical Argument in the Sociology of Knowledge. London: Routledge and Kegan Paul.

    10 G., Ritzer & N. Jurgenson (2010). Production, Consumption, Prosumption The nature of capitalism in the age of the digital prosumer. Journal of consumer culture, 10(1), 13-36.

  • 6 Mengapa Gereja (Harus!) Tolak Tambang?

    memperluas jaringan keuntungan baru. Ekspansi ekonomi kemudian menjelma menjadi sebuah dominasi politik. Kapitalisme memunculkan sebuah dominasi lain dalam pergerakkannya yaitu mekanisme dominasi dan penguasaan ruang. Monopoli kapitalistik mendorong keinginan yang tidak terkendalikan untuk mengklaim wilayah-wilayah baru sebagai tempat pemasaran komoditas, penyedia alat-alat produksi baru, sumber-sumber produksi baru.11

    Kolonialisme dapat menjelaskan sebegitu luas akibat-akibat kapitalisme dan kapitalisme juga menjelaskan dirinya sebagai alasan terpenting kolonialisme.12 Kolonialisme menjadi sebuah paham yang berkembang sedemikian jauh dan termanifestasikan dalam bentuk penjajahan negara-negara kapitalis terhadap negara-negara

    11 Peter Phillips and Kimberly Soeiro (2012), The Global 1 %: Exposing The Transnational Ruling Class in Project Censored, August, 22, 2012. Sumber: Link. http://www.projectcensored.org/the-global-1-exposing-the-transnational-ruling-class/ Accessed Mei, 24, 2015.

    12 ZygmuntBauman (1978). Understanding as the Work of History: Karl Marx. Hermeneutics and Social Science: Approaches to Understanding. London: Hutchinson.

  • 7Benny Denar

    miskin yang tidak memiliki alat-alat produksi untuk menggerakan mesin kapitalisme. Kolonialisme pada awalnya merupakan terjemahan dari kebutuhan kelas kapitalis (pemilik modal) untuk memperoleh garansi keamanan dalam menjalankan kapitalisme. Kelas kapitalis membutuhkan seperangkat kekuasaan politik dan militer untuk menjaga kepentingan-kepentingan mereka termasuk mencari wilayah-wilayah (koloni-koloni) baru.13

    Profitisasi Oligarkis

    Kita tiba pada ranah yang lebih dekat dan konkret; Indonesia. Segera terungkap sebuah tesis penting bahwa kekuasaan sedang menjadi medan pergaulan para pemilik modal dan politikus. Peran-peran ini sudah amat sulit untuk dibedakan sekarang ini. Rata-rata para pemuka politik di negeri ini datang dari dua kubu ini. Ketika dua kelompok ini menghuni ruang-ruang kekuasaan,

    13 PeterHamilton (1974). Marxism III. Knowledge and Social Structure: an Introduction to the Classical Argument in the Sociology of Knowledge. London: Routledge and Kegan Paul.

  • 8 Mengapa Gereja (Harus!) Tolak Tambang?

    batasan-batasan itu segera melenyap dengan cepat. Mereka bergerak dengan inti orientasi yang sama berupa akumulasi keuntungan ekonomi, yang sedapatnya mengalir tanpa batas ke dalam pundi-pundi kelompok politik mereka.14

    Kelompok pertama memiliki dukungan politik kuat. Basis massa yang signifikan. Jaringan kultural yang mumpuni. Latar belakang organisasi massa yang besar. Kelompok pertama ini biasanya segera kelihatan bermandikan uang dengan cepat. Baik dengan halal maupun tidak halal. Tidak terbantahkan bencana korupsi yang sedang memendamkan harapan-harapan demokrasi mengisahkan bagaimana kelompok pertama ini sedang kehilangan akal sehat untuk mendahulukan kepentingan rakyat di atas nafsu sesat pribadi dan kepentingan politik. Publik dibuat tidak berkutik akibat kekejian politik yang dimainkan dan diperkuat kelompok pertama ini. Modal sosial politik yang kuat untuk merebut jatah

    14 Anto Sangaji (2011), Krisis dan Kelas yang dimuat dalam Indoprogress edisi 11 Januari. Sumber. Link: http://indoprogress.com/2011/01/krisis-dan-kelas/ Accessed Mei, 24, 2015.

  • 9Benny Denar

    kekuasaan yang dipersyaratkan demokrasi seolah menjadi basis keserakahan untuk merampok uang pembangunan.

    Kelompok kedua memiliki basis ekonomi yang kuat. Jaringan bisnis yang meraksasa. Kelompok kedua memanfaatkan kekuasaan untuk memantapkan akses ke sumber-sumber finansial pembangunan. Kekuasaan akan memagari kepentingan bisnis mereka. Untuk meraih akumulasi serentak melindungi operasi bisnis yang meninggalkan kerusakan kemanusiaan, lingkungan dan peradaban. Sulit untuk menampik kenyataan menakutkan ini di tengah hamparan praktek-praktek kekuasaan. Kisah tragis korban lumpur lampindo yang berusia hampir sama dengan era reformasi ini mencontohkan kemelekatan kekuasaan pada segelintir elite politik dengan dukungan ekonomi raksasa di negeri ini.

    Berada dalam pusaran seperti ini, dengan arus yang semakin kuat, demokrasi sudah sejak awal memasuki wilayah berbahaya. Monosentrisme kekuasaan sedang mencapai bentuk dalam cara dan penampilan yang lain. Kekuasaan secara

  • 10 Mengapa Gereja (Harus!) Tolak Tambang?

    sempurna sedang dikendalikan para pemilik modal, baik politik maupun ekonomi. Richard Robison dan Vedi R. Hadiz menulis analisis yang bagus tentang prospek politik Indonesia dalam tulisan dengan judul; Reorganizing Power in Indonesia: The Politics of Oligarchy in an Age of Markets (2004). Oligarki tidak hanya terjadi dalam tatanan politik, melainkan dalam ranah ekonomi. Dapat pula dikatakan bahwa dalam figur baru politik kekuasaan Indonesia dikuasai kekuatan yang memiliki akar yang sama. Mereka menguasai sumber-sumber ekonomi-politik di Indonesia.

    Nicholas Newman, World Policy Institute, menulis sebuah analisis dengan judul Indonesia: Telling Lies (2012), ketika kasus korupsi seolah menemukan bentuk paling sempurna. Jaringan yang begitu luas, melibatkan para petinggi partai politik, wakil rakyat, birokrasi. Belum lagi tangkisan-tangkisan yang dilancarkan para terduga/tersangka pelaku korupsi seolah tanpa rasa salah, paling tidak rasa sesal karena melukai rasa keadilan publik dengan ucapan dan peryataan politik tidak terdidik. Kita seolah sedang menikmati

  • 11Benny Denar

    ketersesatan politik manakala ucapan dan sikap kekuasaan seringkali mewartakan kebohongan. Janji di podium propaganda politik menjauh dari kenyataan. Tesis-tesis utama demokrasi sedang memasuki masa suram dan nihil harapan. Rentenokratisasi demokrasi sebagai kepanjangan tangan kapitalisme mewadahi segala aklak anti-publik yang secara tiba-tiba begitu liar menistakan ruang sosial.15

    Gereja dan Perlawanan Seadanya?

    Marx menuduh agama sebagai institusi penyedia obat penenang bagi kaum proletar. Karena efek obat penenang itu, mereka menerima begitu saja mekanisme eksploitatif kelas kapital.16 Pada awal pembahasan ini, untuk menjawab pertanyaan kedua dari tulisan ini, saya mau menaruh posisi Gereja dalam konteks Tambang di NTT dalam ranah kritik Marx. Dalam salah satu artikel

    15 L. I. Xiang (2010). Critique on Environmental Colonialism. Journal of Nanjing Forestry University (Humanities and Social Sciences Edition), 4, 007.

    16 K. Marx&F. Engels (2012). On religion. Courier Corporation.

  • 12 Mengapa Gereja (Harus!) Tolak Tambang?

    untuk buku 100 tahun Gereja Manggarai yang diterbitkan Puspas Keuskupan Ruteng, saya pernah menjelaskan persoalan ini dengan gamblang. Saya anggap baik untuk mengulangi secara singkat gagasan tersebut dalam tulisan ini.

    Saat melakukan riset tentang Tambang dan Resistensi Lokal di Manggarai (2009),17 saya menyimpulkan bahwa Gereja Katolik merupakan stakeholder utama dalam kerangka dinamika hubungan tripolar antara negara, korporasi dan komunitas lingkar tambang. Saya menemukan kenyataan bahwa peran Gereja memunculkan implikasi positif signifikan pada pencapaian resistensi lokal terhadap pola-pola massif industri tambang, regulasi yang cenderung mengutungkan korporasi, sekaligus merumuskan dan menegaskan

    17 Riset yang dilakukan di kawasan tambang Manggarai untuk mendeteksi Resistensi Lokal terhadap industri tambang. Resistensi lokal ini dijelaskan dalam konteks dinamuka hubungan tripolar antara negara, korporasi dan masyarakat lokal (masyarakat lingkar tambang). Riset ini tiba pada salah satu kesimpulan penting bahwa Gereja Katolik muncul sebagai salah satu stakeholder utama proses penyelesaian masalah, secara khusus dalam persoalan tambang, secara umum dalam keseluruhan proses pembangunan.

  • 13Benny Denar

    proses yang mengutamakan gerakan sosial lokal tanpa kekerasan.18

    Posisi utama Institusi Gereja Katolik terutama berhubungan dengan keberpihakan atas prinsip-prinsip utama seperti keberlangsungan, kesejahteraan, keadilan dan kehidupan.19 Prinsip-prinsip ini melampaui kepentingan-kepentingan parsial yang dimiliki negara, korporasi maupun masyarakat lingkar tambang. Institusi Gereja Lokal memiliki kekuatan sosial yang dapat menentukan pola hubungan dalam konteks pembangunan lokal. Posisi Gereja lokal melebihi peran yang dapat ditunjukkan lembaga swadaya masyarakat, pers lokal maupun kelompok sosial lainnya. Elemen-elemen lain di luar Institusi Gereja Lokal tidak memiliki pola sistematis untuk membentuk resistensi lokal yang efektif terhadap mekanisme pembangunan yang destruktif. Di sini, nuansa resistensi sosial tanpa kekerasan

    18 Max Regus (2009), Tambang dan Resistensi Lokal: Analisis Hubungan Tripolar antara State, Market and Society, Depertamen Sosiologi, FISIP, UI, Depok.

    19 S. J. Massaro (2011). Living justice: Catholic social teaching in action. Rowman & Littlefield Publishers.

  • 14 Mengapa Gereja (Harus!) Tolak Tambang?

    menjadi pencapaian yang sangat mendasar dalam keseluruhan ruang keterlibatan Gereja.20

    Sekurangnya, dalam konteks perlawanan terhadap masifikasi industri tambang, Gereja Katolik Manggarai berusaha menangkis tuduhan Marx. Meskipun, koreksi yang diberikan Gereja Katolik terhadap serangan Marx, sama sekali belum menyediakan jawaban yang memuaskan tentang peran yang lebih kentara lagi dari Gereja dalam keseluruhan konstruksi politik lokal. Sebuah ruang politik yang dikendalikan secara tidak terbatas oleh tangan-tangan kasar kapitalisme. Gereja seharusnya mengasah keberanian untuk melawan kekuasaan yang memanfaatkan demokrasi dan pembangunan untuk meraup keuntungan ekonomi-politik tanpa batas. Ini akan menjadi sebuah jawaban yang cukup telat bahwa Gereja tidak melawan seadanya terhadap tipu muslihat kapitalisme.

    20 J. Casanova (2011). Public religions in the modern world. University of Chicago Press.

  • 15Benny Denar

    Penutup: Merancang Institutional Adjustment?

    Kapitalisme dan demokrasi membawa serta perubahan-perubahan kelembagaan yang sangat beragam. Membesarnya wewenang para penguasa di level lokal merupakan bagian dari fenomena ini. Pemanfaatan wewenang yang sekian besar itu, yang tidak disertai basis etika politik yang memadai, sebegitu sering menghadirkan tragika pembangunan yang tidak terelakkan. Pengingkaran terhadap prinsip keberlangsungan kehidupan dalam politik pembangunan lahir dari perubahan kelembagaan politik yang salah kaprah ini. Politik Tambang hanya satu kisah dari sekian banyak implikasi yang mengalir dari kerangka perubahan kelembagaan ekonomi-politik ini.

    Untuk semua ini, pernahkah Gereja secara kritis membongkar pendirian-pendiriannya tentang politik, hubungan agama dan negara, kemanusiaan, yang mungkin saja akan kelihatan seperti barang usang ketika dikonfrontasikan dengan institutional changes ini. Gereja, dalam menghadapi transformasi sejarah yang sedemikian

  • 16 Mengapa Gereja (Harus!) Tolak Tambang?

    pekat ini, harus berani menerobos keterbatasan-keterbatasan institusional yang justru dibuatnya sendiri. Gereja harus berani melakukan institutional adjustment untuk menjadi pemain penting dalam ruang sosial, ekonomi dan politik.21 Salah satunya dengan mempertanyakan kembali secara kritis dan terbuka tentang keunggulan dan ketertinggalan muatan-muatan gagasan dari Ajaran Sosial Gereja ketika ditaruh dalam cangkang kapitalisme global berserta keturunannya hingga sekarang ini. Buku karya Benny Denar ini merupakan salah satu usaha yang baik untuk melihat persoalan ini secara lebih serius. Berhubungan dengan Gereja dalam narasi besar kapitalisme, buku ini membahasakan dua aspek yang sangat mendasar. Pertama, penegasan akan panggilan pastoral Gereja untuk melayani kemanusiaan dan peradaban. Kedua, mempertajam otokritik eklesialistik seputar keengganan Gereja mejalani pertarungan terbuka melawan serangan brutal kapitalisme.

    21 S. Pejovich (2012). The effects of the interaction of formal and informal institutions on social stability and economic development. Journal of Markets & Morality, 2(2).

  • 17

    BAB IPENDAHULUAN

    Sistem Otonomi Daerah yang berlaku pasca-runtuhnya pemerintahan Orde Baru tidak saja berdampak positif bagi pembangunan daerah-daerah di Indonesia, tetapi juga melahirkan berbagai ketimpangan yang meresahkan. Otonomi Daerah sebagai salah satu tuntutan dasar reformasi ternyata tidak hanya menampakkan diri sesuai yang dicita-citakan, tetapi justru membawa bias-bias destruktif yang mencemaskan. Bila pada zaman Orde Baru korupsi tersentralisasi di Jakarta, maka kini pada zaman diberlakukannya Otonomi Daerah, korupsi ikut terdesentralisasi ke daerah-daerah. Dengan demikian, daerah-daerah otonom kini menjadi ladang baru lahirnya Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN).

  • 18 Mengapa Gereja (Harus!) Tolak Tambang?

    Selain memunculkan ladang baru terjadinya KKN, Otonomi Daerah ternyata melahirkan persoalan serius terkait pilihan kebijakan politik pembangunan daerah. Salah satu fenomen paling kentara yang membahasakan adanya persoalan serius terkait pilihan kebijakan politik pembangunan daerah adalah munculnya perusahaan-perusahaan berskala transnasional atau Multi National Corporation (MNC) yang mengeruk kekayaan alam yang tersebar di daerah-daerah. Perusahaan-perusahaan tersebut mengadakan investasi besar-besaran di bidang pertambangan yang justru membawa malapetaka baru bagi masyarakat lokal. Hal ini amat nyata dalam menjamurnya MNC di berbagai daerah, termasuk daerah-daerah di Propinsi Nusa Tenggara Timur (NTT).22

    Masalah-masalah di atas mengharuskan kita untuk merefleksikan kembali bagaimana sistem kerja modal dalam tata ekonomi global yang didukung oleh regulasi yang dibuat

    22 Alex Jebadu, Relasi Pertambangan, Kekejaman Neoliberalisme, dan Ilusi Pertumbuhan Ekonomi, dalam Rikard Rahmat (ed.), Gereja Itu Politis, (Jakarta: JPIC OFM, 2012), p. 159.

  • 19Benny Denar

    negara (pemerintah) dapat menyelamatkan kepentingan masyarakat/warga lokal. Inilah salah satu tantangan yang tidak ringan dari dominasi globalisasi ekonomi dewasa ini yang amat kuat dilandasi oleh rasionalitas instrumental/strategis demi keuntungan ekonomi.23 Apalagi sudah menjadi faktum umum bahwa globalisasi ekonomi itu menghendaki munculnya totalitas pasar. Dominasi pasar tersebut telah bersifat ideologis sebab dia telah secara sistematis menguasai semua lini kehidupan manusia dan berjuang untuk kemandiriannya.24 Hal ini melahirkan malapetaka besar sebab hukum pasar selalu hanya berorientasi pada maksimalisasi keuntungan, walaupun orientasi tersebut menimbulkan ketidakadilan,

    23 Paulus Budi Kleden, Teologi Terlibat, (Maumere: Ledalero, 2003), p. 56.

    24 Totalitas pasar (bebas) disebutkan dalam Nota Pastoral Konferensi Waligereja Indonesia (KWI) Tahun 2007 sebagai salah satu gejala kemenduaan globalisasi. Menurut KWI, globalisasi memang di satu sisi membawa dampak positif bagi kemajuan peradaban manusia, tetapi di sisi lain justru membawa bias-bias destruktif yang salah satunya lahir dalam imperalisme pasar bebas. Bdk. Nota Pastoral KWI, Habitus Baru: Ekonomi yang Berkeadilan, dikeluarkan pada 3 Januari 2007.

  • 20 Mengapa Gereja (Harus!) Tolak Tambang?

    sekaligus dapat merusakkan lingkungan hidup.

    Justru kecenderungan dominasi pasar itulah yang sedang terjadi di Indonesia, yakni menguatnya liberasi pasar yang bersifat transnasional. Investasi pertambangan yang semakin masif merupakan salah satu contoh paling kentara menguatnya liberalisme ekonomi di Indonesia. Liberasi pertambangan itu memang sudah mulai muncul sebelum zaman reformasi, namun semakin menguat pasca-reformasi yang melahirkan Otonomi Daerah. Setidaknya penguatan terhadap liberasi pertambangan setelah Orde Baru dapat diteliti dari tiga aspek.25 Pertama, penguatan terhadap liberasi pertambangan tersebut dapat dilihat dari produk hukum yang dihasilkan atau diperbarui pasca-reformasi yang lebih condong mendukung sistem liberasi pertambangan, bahkan cenderung mengarah kepada deregulasi.26

    25 Max Regus, Tambang, Kewargaan Lokal, dan Hak Ekonomi Politik, dalam Boni Hargens (ed.), Kebuntuan Demokrasi Lokal di Indonesia, (Jakarta: Parrhesia, 2009), pp. 76-80.

    26 B. Herry Priyono melihat bahwa deregulasi tidak dimaknai sebagai peniadaan atau pengurangan aturan. Deregulasi pada hakikatnya hanya sekadar pengalihan wewenang

  • 21Benny Denar

    Kedua, kemudahan akses bagi investor transnasional dalam mendapatkan perizinan. Kalau pada zaman Orde Baru, izin untuk investasi pertambangan tersentralisasi di Jakarta, maka pada era Otonomi Daerah, para pemodal transnasional bisa langsung berhubungan dengan kepala daerah untuk memperoleh izin melakukan segala jenis investasi, termasuk investasi di bidang pertambangan. Atas nama investasi dan optimalisasi khas daerah, para kepala daerah mempermudah memberikan izin investasi pertambangan demi

    terhadap pengaturan. Jika regulasi umumnya (sebelum dilakukan deregulasi) dikeluarkan oleh pemerintah, maka deregulasi mengalihkan wewenang tersebut menjadi self-regulation. Self- regulation bermakna pengaturan oleh diri sendiri. Diri sendiri di sini dapat berbentuk individu, lembaga, perusahaan nasional maupun multinasional, maupun oleh pemerintah daerah. Dengan konteks semacam ini, jika dulu regulasi hanya diciptakan oleh pihak yang berwenang dan ditujukan untuk semua pihak, sekarang karena self memegang kekuasaan membuat aturan, maka kemungkinan terbesar adalah aturan tersebut akan saling berbenturan. Dan tentunya aturan yang memiliki kekuatanlah yang akan menang. Kekuatan yang sangat menentukan sekarang ini adalah modal, dan hal itu menjadi kekuatan utama MNC. Dialah yang berhak memenangkan permainan regulasi ini. Lebih lengkap mengenai definisi deregulasi dan seluk beluknya, lihat Herry B. Herry Priyono, Filsafat Deregulasi dalam Kompas 1 Juni 2005.

  • 22 Mengapa Gereja (Harus!) Tolak Tambang?

    meraup keuntungan.27 Ketiga, menguatnya liberasi pertambangan juga ditandai oleh kemesraan/kedekatan hubungan antara investor dengan penguasa. Akibatnya semua kebijakan terkait izin melakukan investasi pertambangan dipermudah. Para penguasa lebih mudah melayani kepentingan investasi para pemodal daripada mendengar suara dan kepentingan rakyatnya sendiri.28

    Penguatan kapitalisme-liberalisme semakin menegaskan pandangan beberapa pemikir (terutama Fukuyama) bahwa paham tersebutlah yang menang atas paham sosialis/komunis dalam perdebatan terkait sistem politik dan ekonomi dunia. Ideologi di belakang kapitalisme adalah liberalisme. Liberalisme ditandai oleh privatisasi segala potensi ekonomi, pencarian untung sebesar-besarnya dan kompetisi dalam tata ekonomi pasar bebas. Di sini akumulasi modal menjadi penggerak dan tujuan utama. 29 Oleh

    27 Ada banyak media yang melansir adanya fenomena ini, salah satunya pernah dibahas dalam kolom editorial Victory News, edisi 13 Desember 2013.

    28 Max Regus, Tobat Politik, (Jakarta: Parrhesia, 2011), p. 9.

    29 K. Bertens, Pengantar Etika Bisnis, (Yogyakarta: Kanisius, 2000), p. 135.

  • 23Benny Denar

    para pendukungnya sistem ini sangat didukung karena menurut mereka, selain dapat mempercepat kemajuan dan kemakmuran ekonomi, sistem tersebut juga secara fundamental memiliki kesesuaian dengan sifat-sifat dasariah manusia yang selalu ingin lebih tahu, lebih bebas, lebih maju, serta lebih mampu berinteraksi dengan berbagai manusia dengan latar belakang yang berbeda.30

    Walaupun memunculkan optimisme akan kemajuan dan kemakmuran, namun sistem kapitalisme-liberalisme ternyata memunculkan berbagai keresahan yang sangat mendasar. Pertama, paham ini cenderung menginstrumentalisasi manusia. Manusia dihargai sejauh dia produktif secara ekonomis.31 Oleh karena itu, paham ini cenderung menolak kekhasan manusia berdasarkan kelompok sosial atau rasnya.32 Kedua, paham liberalisme juga membuat ambruk sistem

    30 Martin Wolf, Globalisasi Jalan Menuju Kesejahteraan, Terj. Samsudin Berlian, (Jakarta: Freedom Institute, 2007), p. xii.

    31 Paulus Budi Kleden, op. cit., p. 62.

    32 Maurice Duverger, Sosiologi Politik, Terj. Daniel Dhakidae, (Jakarta: Rajawali Press, 2010), p. 157.

  • 24 Mengapa Gereja (Harus!) Tolak Tambang?

    politik sebuah negara. Sebab paham ini meyakini adanya kesamaan antara manusia sebagai homo politicus dan manusia sebagai homo economicus. Jadi menurut paham ini, perjuangan politik mempunyai motif yang sama dengan perjuangan ekonomi.33 Keyakinan inilah yang merusak dunia politik, karena kebijakan politik diambil alih oleh para pemodal (the invisible hand). Hal ini dengan sangat bagus digambarkan oleh Noreena Hertz, Direktur Eksekutif Center for International Business Universitas Cambridge, sebagai berikut;

    Inilah dunia pengambilalihan diam-diam, dunia pada saat fajar milenium menyingsing. Tangan-tangan pemerintah tampak terikat dan kita semakin hari semakin bergantung kepada korporasi. Bisnis sedang menduduki bangku sopir, korporasi menentukan aturan main, dan pemerintah telah menjadi sekadar wasit yang hanya menerapkan aturan-aturan yang dibuat oleh pihak-pihak lain. Perusahaan-perusahaan yang mudah berpindah (portable) dan pemerintah bergerak sangat jauh untuk menarik atau memelihara mereka agar mereka tetap berada di wilayah mereka.34

    33 Ibid.

    34 Noreena Hertz, Penjajahan Kapitalisme, Terj. Dindin Solahudin, (Bandung: Nuansa, 2011), p.17.

  • 25Benny Denar

    Ketiga, paham kapitalisme-liberalisme sangat kuat memarginalisasi kaum miskin.35 Sebab sistem liberalisme cenderung berorientasi pada penumpukan kekayaan pada para pemodal besar dan sangat kuat menciptakan banyak orang miskin baru, termasuk mereka yang kalah dalam persaingan. Keempat, arus neoliberalisme-kapitalisme global cukup kuat merusakkan lingkungan hidup. Pemutlakan terhadap keuntungan dan akumulasi modal memang menimbulkan kemakmuran, namun kemakmuran itu banyak dicapai dengan merusakkan lingkungan hidup. Apalagi saat ini, ada ketakutan yang sangat mendasar berkaitan dengan kerusakan lingkungan hidup apabila suatu saat Asia dan Amerika Selatan mencapai kemakmuran seperti di Eropa dan Amerika Serikat. Hal ini mengindikasikan bahwa pada taraf global, hampir dipastikan akan terjadi kerusakan lingkungan hidup yang luar biasa jika di seluruh dunia menggunakan kuantitas energi yang sama besarnya dengan dengan negara-negara

    35 Paulus Budi Kleden, loc. cit.

  • 26 Mengapa Gereja (Harus!) Tolak Tambang?

    industri maju (Eropa dan Amerika).36

    Daya rusak neoliberalisme seperti yang dijelaskan di atas hampir semuanya telah terlihat dalam berbagai akibat aktivitas pertambangan selama ini di berbagai tempat, termasuk di Manggarai Barat yang menjadi locus utama penelitian buku ini dilakukan.37 Pertambangan misalnya, rentan dengan perampasan secara sepihak hak-hak masyarakat seputar lingkar tambang dan bisa menciptakan konflik horizontal. Perusahaan tambang juga bisa seenaknya meminta bantuan pemerintah untuk menggunakan alat negara (polisi, tentara, dan lain-lain) guna mengintimidasi masyarakat. Selain itu, perusahaan tambang kerap melakukan pembohongan dengan memanfaatkan keluguan masyarakat. Sementara di pihak lain, pemerintah sering melakukan pembiaran terhadap perusahaan tambang melakukan ketidakadilan terhadap pemilik lahan, juga terhadap masyarakat yang terkena dampak akibat aktivitas pertambangan. Lebih parah lagi, dengan berkolusi dengan perusahaan tambang,

    36 K. Bertens, op. cit., p. 136.

    37 Alex Jebadu, dkk (ed.), pp. viii-xi.

  • 27Benny Denar

    pemerintah sebenarnya sedang menjual murah rakyatnya sendiri, atau menjual daerah, bangsa dan negaranya.

    Polemik seputar pertambangan seperti dijelaskan di atas mengharuskan kita mencermati kembali pilihan kebijakan pembangunan di negara dan daerah kita. Sebab neoliberalisme yang menopang pembangunan global memang telah berhasil mengiklankan impian-impian kemakmuran, namun gagal mengidentifikasikan secara konkret impian dasarnya itu berhadapan dengan kerakusan yang menjadi cacat bawaannya. Mesin ekonomi kapitalis telah mengeruk sumber daya alam secara tak terbatas yang memunculkan ketakutan akan masa depan bumi ini. Iklim pertumbuhan dan pembangunan seperti ini yang ditopang secara kuat oleh kepentingan rezim politik tertentu, pasti akan memicu pertumbuhan ekonomi yang dibarengi oleh parahnya kerusakan sosial, sekaligus degradasi lingkungan hidup.38

    38 Max Regus, Membongkar Aib Pembangunan, dalam Paul Budi Kleden, Otto Gusti Madung dan Anselmus Meo (eds.), Allah Menggugat Allah Menyembuhkan, (Maumere: Ledalero, 2012), pp. 371-376.

  • 28 Mengapa Gereja (Harus!) Tolak Tambang?

    Justru pada tempat inilah konsep seputar pembangunan penuh kontroversi. Sebab dalam kenyataan pembangunan tidak membawa manfaat secara merata bagi semua orang. Bagi kelompok tertentu pembangunan memang mendatangkan kesejahteraan dan kekayaan, namun bagi banyak kelompok lain pembangunan tidak hanya gagal mendatangkan kesejahteraan, tetapi justru mendatangkan malapetaka karena dapat mengancam keberlanjutan kehidupan, menimbulkan kerusakan alam, sekaligus menyebabkan destruksi budaya. Pembangunan direduksi hanya sebagai medan terjadinya hegemoni kekuasaan politik dan pasar yang alih-alih mendatangkan kesejahteraan, tetapi dalam kenyataan justru menghasilkan kemiskinan sistemik, kehancuran ekologis, dan destruksi budaya. Pembangunan pada akhirnya hanya melahirkan dominasi, pencaplokan sumber daya, marginalisasi, subordinasi, eksploitasi, dan kekerasan dalam berbagai bentuknya. Di sinilah letak kontroversi atau ambiguitas pembangunan itu. Pembangunan menjadi sesuatu yang dikehendaki sekaligus ditentang, dirangkul

  • 29Benny Denar

    sekaligus diwaspadai, dijalankan sekaligus dilawan.39

    Dalam buku ini, penulis membedah polemik seputar pertambangan dengan segala kekuatan korporasinya dalam bingkai kontroversi pengertian seputar pembangunan. Oleh karena itu, ada dua gagasan dasar yang akan dipakai dalam penulisan buku ini. Pertama, penulis menolak kerangka teoritis dan paradigma dominan dalam studi tentang pembangunan, kekuasaan dan kemiskinan, yang menempatkan sistem kapitalisme neoliberal40

    39 Cypri Jehan Paju Dale, Kuasa, Pembangunan dan Pemiskinan Sistemik, (Labuan Bajo: Sunspirit Books, 2013), pp. x-xi.

    40 Kapitalisme neoliberal (neoliberalisme) yang dimaksudkan di sini dimengerti sebagai paham dan proyek besar untuk mengatur manusia dan tata masyarakat yang berisi dua lapis agenda. Pertama, neoliberalisme adalah paham dan agenda pengaturan manusia dan masyarakat yang didasarkan pada prioritas dimensi manusia ekonomi (homo economicus) atas dimensi-dimensi lain hidup manusia dan masyarakat (manusia sebagai makhluk kultural, spiritual, politis, komuniter, dan sebagainya). Kedua, dalam kaitan dengan lapis agenda pertama, neoliberalisme juga dipahami sebagai dominasi sektor ekonomi finansial (financial economy) atas sektor ekonomi riil (real economy) dalam tata ekonomi-politik suatu masyarakat. Kondisi neoliberal biasanya ditandai oleh dua ciri berikut ini. Pertama, semakin banyak bidang-bidang kehidupan pribadi dan masyarakat yang mengalami proses komodifikasi dan komersialisasi yang mendalam. Artinya, akses terhadap semakin banyak

  • 30 Mengapa Gereja (Harus!) Tolak Tambang?

    sebagai senjata utama yang dipakai kekuasaan untuk melaksanakan pembangunan yang tujuannya

    kebutuhan hidup (seperti pendidikan, kesehatan, gizi, dan sebagainya) kian ditentukan bukan oleh hak manusia untuk hidup, melainkan oleh kemampuan keuangan pribadi dan daya beli (purchasing power). Itulah yang menjelaskan mengapa dalam kondisi ekonomi-politik neoliberal gelombang privatisasi sangat kencang terjadi (meskipun tidak semua jenis privatisasi adalah bagian neoliberalisme). Dan karena akses terhadap pemenuhan kebutuhan hidup seperti kesehatan dan pendidikan makin ditentukan oleh daya beli, tentu saja kaum miskin yang punya daya beli rendah juga semakin tidak punya akses pada kesehatan dan pendidikan yang layak. Itu juga berlaku dalam hal akses pada hukum. Kedua, proses ekonomi ditandai oleh ketercerabutan (disembeddedness) aktivitas ekonomi dari konsern ekonomi orang-orang biasa (seperti petani, buruh, nelayan, dan sebagainya). Artinya, transaksi saham, spekulasi uang, transaksi sekuritas, lindung-nilai (hedge), derivatives, dan semacamnya jauh lebih berkembang daripada proses ekonomi produktif seperti produksi sepatu, pakaian, beras, mebel, minyak goreng, jalan, jembatan, dan sebagainya. Pola inilah yang rupanya ada di balik gejala kemandegan sektor ekonomi riil di Indonesia dalam beberapa tahun terakhir, sementara sektor ekonomi finansial berkembang sangat pesat. Jadi, istilah neoliberalisme menunjuk pada ketercerabutan tata ekonomi (disembedded economy) dari kemampuan dan kebutuhan riil orang-orang biasa. Bdk. B. Herry Priyono, Marginalisasi ala Neoliberal, dalam Jurnal BASIS, No. 05-06, Tahun ke-53, Mei-Juni 2004, pp. 18-20. Atau dalam B. Herry Priyono, Ekonomi dan Budaya yang Menjelma, dalam Departemen Dokumentasi dan Penerangan KWI, Refleksi dan Evaluasi Nota Pastoral KWI Tahun 2003, 2004 dan 2006, Spektrum No. 4 Tahun XXXV, 2007, pp. 109-112.

  • 31Benny Denar

    untuk mengurangi kemiskinan. Sebab dalam kenyataannya, paradigma kapitalistik neoliberal dalam tata ekonomi politik pembangunan hanya mengukuhkan hegemoni peran pemodal dan semakin bebasnya mekanisme pasar serta terminimalisirnya peran negara. Akibatnya ketidakadilan sosial semakin meruncing, kerusakan lingkungan semakin masif, dan membuat budaya lokal semakin terdegradasi.

    Kedua, penulis menunjukkan sebuah model pembangunan alternatif yang pada intinya ingin menempatkan penderitaan sebagai dalil utama pembangunan. Di sini pembangunan dilihat sebagai jalan pembebasan manusia dari penderitaan. Dengan pendasaran seperti ini, semua kebijakan, konsep dan strategi pembangunan akan dinilai secara etis apakah dia sanggup meniadakan atau membebaskan manusia dari penderitaan atau tidak. Dia menghendaki agar segala kebijakan dan upaya pengembangan masyarakat semestinya diarahkan untuk mengatasi, atau paling tidak sedapat mungkin mengurangi penderitaan

  • 32 Mengapa Gereja (Harus!) Tolak Tambang?

    manusia dalam semua bentuk dan dimensinya. 41

    Konsep pembangunan berbasis penderitaan ini memiliki kesamaan orientasi dengan konsep Ajaran Sosial Gereja (ASG). Kesamaannya terletak pada perhatian yang sama terhadap martabat manusia terutama kaum miskin dan menderita, juga mengenai pentingnya menjaga keutuhan ciptaan. Maka sebagai implikasi, tulisan ini akan menawarkan model pembangunan alternatif yang memang harus ditawarkan dan dilaksanakan oleh Gereja sendiri, yaitu model pembangunan yang mengutamakan kaum miskin sekaligus model pembangunan berkelanjutan.

    Tatkala Gereja menyadari kuatnya daya rusak neoliberalisme yang terlihat jelas dalam liberalisasi pertambangan yang sudah ada di berbagai daerah, maka amat penting sebagai salah satu kekuatan civil society, Gereja melibatkan diri memperkuat arus perlawanan rakyat. Pelibatan diri ini bukan tanpa pendasaran. ASG dengan amat jelas menghendaki terciptanya keutuhan ciptaan. ASG misalnya

    41 Johanes Muller, Perkembangan Masyarakat Lintas Ilmu (Jakarta: Gramedia, 2006), p. 162.

  • 33Benny Denar

    menentang pembangunan ekonomi berbasis keserakahan manusia dan menentang penggunaan teknologi tanpa mengindahkan nilai-nilai etis, termasuk nilai penghormatan terhadap alam ciptaan. Sebaliknya ASG menghendaki terjadinya sistem pembangunan ekonomi berkelanjutan, menghargai komunitas masyarakat adat dan suku-suku pribumi, serta menekankan pentingnya tanggung jawab untuk menjaga keutuhan ciptaan.42 Ada beberapa dokumen Gereja yang patut disebutkan yang menyinggung soal ekologi dan kosmologi,43 seperti Gaudium et Spes, Populorum Progressio, Sollicitudo Rei Sosialis, Centesimus Annus, Katekismus Katolik, Gereja Ekaristi, Deus Caritas Est, Caritas in Veritatem, Lumen Fidei, Evangelii Gaudium, dan ada banyak kotbah, pesan, surat dari para Paus tentang ekologi. Selain itu ada juga Nota Pastoral dan Surat Gembala yang dikeluarkan oleh

    42 Yosef Maria Florisan, Paul Budi Kleden, dan Otto Gusti Madung (Penterj.), Kompendium Ajaran Sosial Gereja (Maumere: Ledalero, 2009), pp. 316-319.

    43 Inosensius Sutam, Bersinode: Berjalan Bersama Alam, dalam Liturgi Ekologis (Sebuah Refleksi Teologis tentang Ekologi), makalah yang disampaikan pada kesempatan Sinode Keuskupan Ruteng pada 13-17 Januari 2014, p. 7.

  • 34 Mengapa Gereja (Harus!) Tolak Tambang?

    KWI dan pimpinan Dioses Ruteng yang menjadi acuan bagaimana Gereja Keuskupan Ruteng terlibat dalam persoalan pertambangan, termasuk yang terjadi di Manggarai Barat. Pendasaran-pendasaran inilah yang menjadi pijakan penulis dalam membuat kajian yang dihasilkan dalam buku ini.

    Keseluruhan tulisan dalam buku ini akan dibagi ke dalam enam bab. Bab I merupakan pendahuluan sebagai pengatar untuk masuk ke dalam keseluruhan isi buku. Bab II berisi ulasan mengenai kontroversi pengertian pembangunan. Di sini gagasan pembangunan yang bertumpu pada paham-paham seputar ideologisasi pertumbuhan seperti neoliberalisme, kapitalisme dan globalisasi ekonomi yang menjadi fundasi kokoh munculnya liberalisasi pertambangan akan coba dipertentangkan dengan konsep pembangunan yang bertumpu pada penderitaan manusia. Bab III berisi perkenalan singkat seputar ASG, termasuk pandangan ASG tentang hakikat pembangunan manusia seutuhnya, terutama tentang pentingnya pembelaan terhadap martabat manusia. Selain itu, akan diulas juga mengenai perhatian ASG

  • 35Benny Denar

    terhadap lingkungan hidup yang kiranya menjadi jalan alternatif bagi menguatnya neoliberalisme global yang menyata dalam semakin kencangnya liberalisasi pertambangan. Bab IV berisi ulasan deskriptif perihal polemik pertambangan di Manggarai Barat yang pada intinya bermaksud untuk membuat pembuktian bahwa investasi pertambangan yang dilakukan merupakan bagian dari ideologisasi pertumbuhan dan karena itu justru mengorbankan atau membebani biaya-biaya manusiawi (fisik dan makna). Dengan kata lain, penulis ingin menunjukkan bahwa pertambangan di Manggarai Barat bukannya menghilangkan atau paling kurang mengurangi penderitaan, tetapi justru menyebabkan penderitaan yang kian bertambah. Sedangkan dalam Bab V berisi ulasan terkait keterlibatan Gereja Keuskupan Ruteng dalam persoalan seputar aktivitas pertambangan di Manggarai Barat. Kemudian penulis akan menunjukkan model pembangunan alternatif sebagai implikasi dari konsep pembangunan berbasis penderitaan yang sesuai dengan ASG. Bab VI akan menjadi penutup keseluruhan tulisan dalam buku ini.

  • 36

    BAB IIKONTROVERSI DI SEPUTAR PENGERTIAN PEMBANGUNAN

    Banyaknya masalah seputar pengembangan masyarakat akhir-akhir ini menuntut kita untuk merefleksikan kembali konsep-konsep fundamental seputar pembangunan. Sebab dalam kenyataannya, pembangunan ternyata tidak saja berhasil memanusiawikan peradaban tetapi juga turut membawa serta bias-bias destruktif yang mengancam martabat manusia dan lingkungan. Di titik inilah konsep seputar pembangunan melahirkan kontroversi. Kontroversi itu menarik minat penulis untuk membedahnya secara lebih tajam. Pada bagian pertama penulis akan memunculkan konsep positif seputar pembangunan terutama perihal pembangunan dengan logika pertumbuhan,

  • 37Benny Denar

    termasuk ekses-eksesnya. Selanjutnya penulis akan menunjukkan pendekatan lain, yaitu pendekatan negatif terhadap pembangunan. Pendekatan negatif yang menempatkan penderitaan sebagai dalil utama pembangunan akan menjadi konsep kunci bagi penulis untuk pembahasan dalam buku ini, terutama untuk turut mempertimbangkan hadirnya korporasi tambang di berbagai tempat, terutama di Manggarai Barat; termasuk untuk dijadikan sebagai acuan dalam menilai dan menyumbang gagasan bagi keterlibatan Gereja dalam menyikapi polemik pertambangan dimaksud.

    2.1. PEMBANGUNAN SEBAGAI PERTUMBUHAN

    2.1.1. Batasan Konsep

    Pertumbuhan yang dimaksudkan adalah pertumbuhan ekonomi. Pembangunan yang berorientasi pertumbuhan merupakan suatu strategi pembangunan yang berorientasi pada terciptanya keadaan di mana terjadi kenaikan Produk Domestik Bruto (PDB) tanpa memandang apakah kenaikan tersebut lebih besar atau lebih

  • 38 Mengapa Gereja (Harus!) Tolak Tambang?

    kecil dari tingkat pertumbuhan penduduk.44 Untuk meningkatkan PDB itu, maka fokus utama pembangunan adalah pada peningkatan laju ekonomi dengan mengembangkan sektor industri. Tidak heran apabila negara yang menerapkan strategi pembangunan berorientasi pertumbuhan pasti mengalami proses industrialisasi secara masif, sebab industri menjadi lokomotif utama pergerakan ekonomi. Indikasi riil dari kesuksesan dalam pengejaran pertumbuhan adalah meningkatnya produksi barang dan jasa serta adanya peningkatan pada sektor ekonomi nasional. Semua itu diukur dari perspektif ekonomi makro.

    Untuk mengejar keberhasilan itu, pemerintah lebih berperan meningkatkan bahkan meliberalisasi investasi di bidang industri. Liberalisme ekonomi dan globalisasi kapital tidak terelakkan sebab strategi pembangunan untuk mengejar pertumbuhan menjadikan laju modal sebagai kekuatan utama. Selain itu, dibutuhkan kualitas tenaga kerja, manajemen ekonomi yang mumpuni, teknologi

    44 Willard A. Beling dan George 0. Totten, Modernisasi Masalah Model Pembangunan, Terj. Mien Joebhaar, (Jakarta: Rajawali, 1980), p. 31.

  • 39Benny Denar

    canggih, sumber daya alam yang melimpah dan kultur kewirausahaan yang meluas. Namun, pengejaran yang berlebihan akan pertumbuhan ekonomi akan menciptakan marginalisasi masyarakat miskin dan sederhana, kerusakan alam lingkungan yang semakin masif serta melahirkan ketimpangan sosial yang semakin melebar. Ketimpangan sosial terjadi sebab pengejaran kenaikan Gross National Product (GNP) dari tahun ke tahun tanpa disertai peningkatan kesejahteraan masyarakat dan pemerataan pendapatan.

    Sebagai kesimpulan, kiranya perlu diangkat ke permukaan sekurang-kurangnya tiga patologi mendasar dari strategi pembangunan yang mementingkan ideologisasi pertumbuhan. Pertama, strategi ini tidak sejalan dengan konsep pemberdayaan dan pembangunan masyarakat yang menekankan pada aspek manusia sebagai agen pembangunan dan pertumbuhan. Asumsi dasar dari teori pemberdayaan masyarakat, yakni masyarakat terlebih dahulu diberdayakan agar mampu meningkatkan pendapatannya yang akan berdampak pada peningkatan pendapatan

  • 40 Mengapa Gereja (Harus!) Tolak Tambang?

    nasional. Kedua, strategi pembangunan berorientasi pertumbuhan menekankan agar pemerintah mempunyai dan memanfaatkan sumber daya modal yang besar sehingga dapat meningkatkan pendapatan penduduk yang akan berdampak pada peningkatan pendapatan nasional. Namun persoalannya negara-negara berkembang sedang menghadapi persoalan pada sumber daya modal tersebut. Apalagi negara-negara berkembang yang miskin sumber daya alamnya. Hal ini diperparah oleh sumber daya manusia yang masih lemah di negara-negara berkembang. Jadi, bukan hanya modal yang didatangkan dari negara maju, melainkan juga para pekerja ahli yang memiliki kompetensi di bidang industri. Justru hal-hal seperti inilah yang mendorong negara-negara berkembang berutang kepada negara maju yang pada akhirnya justru menciptakan kebergantungan tanpa akhir.45

    45 Terkait hal ini teori ketergantugan menjelaskan bahwa kapitalisme mendistribusikan manfaat atau keuntungan dari produksi ekonomi secara tidak merata, sehingga kelompok-kelompok atau individu-individu dari kelas tertentu mendapat keuntungan lebih besar daripada kelas yang lain dalam ekonomi domestik. Logika ini

  • 41Benny Denar

    Ketiga, konsep dan strategi pembangunan yang berorientasi pertumbuhan ekonomi berambisi meningkatkan laju pertumbuhan perekonomian nasional lewat peningkatan pertumbuhan industri. Ambisi peningkatan industri tersebut tentu saja mengandalkan sumber daya alam sebagai modal utama produksi. Hal inilah yang mendorong pemerintah memanfaatkan sumber daya alam secara tidak terkendali dan justru mengesampingkan aspek lingkungan hidup yang dapat merusak ekosistem.46

    2.1.2. Teori-Teori Di Seputar Ideologi Pertumbuhan

    Sesuai penjelasan sebelumnya bahwa dalam ideologi pertumbuhan, pembangunan dipandang

    diperluas ke sistem internasional di mana struktur pasar global memastikan bahwa kekayaan menjadi terkosentrasi pada suatu kelompok kecil negara dengan beban besar di pundak kelompok negara-negara berkembang. Bdk. Frank A. Boyd Jr, Ketergantungan dan Pembangunan, dalam John T. Ishiyama dan Marijke Breuning (eds.), Ilmu Politik dalam Paradigma Abad 21, Jilid I, Terj. Ahmad Fedyani Saifudin, (Jakarta: Kencana, 2013), p. 160.

    46 Frumens Gions, Globalisasi, Panggilan Moral dan Harapan, dalam Rikard Rahmat (ed.), Gereja Itu Politis, op. cit., p. 81.

  • 42 Mengapa Gereja (Harus!) Tolak Tambang?

    pertama-tama sebagai ikhtiar untuk meningkatkan laju pertumbuhan ekonomi. Teori ini didukung oleh sejumlah teori pembangunan, yaitu teori modernisasi, teori ketergantungan, dan teori imperalisme. Pelbagai teori yang tercakup dalam teori modernisasi menjelaskan bahwa kemiskinan terutama disebabkan oleh faktor-faktor internal sebuah negara. Sedangkan teori pembangunan yang tercakup dalam teori imperalisme dan dependensi lebih banyak menyoroti faktor-faktor eksternal sebagai penyebab kemiskinan. Dua kelompok teori itu sama-sama mendasarkan diri pada paradigma yang sama, yaitu mengejar kemajuan dengan tujuan menciptakan masyarakat industri modern. Kelompok teori modernisasi berkiprah menurut cita-cita ekonomi kapitalis, sedangkan kelompok teori imperalisme dan teori ketergantungan bekerja menurut pola ekonomi sosialis.

    2.1.2.1. Teori Modernisasi

    Pelbagai kelompok teori yang tercakup dalam teori modernisasi berpandangan bahwa kemiskinan yang terjadi di suatu negara lebih disebabkan oleh faktor-faktor internal, yakni oleh karena berbagai

  • 43Benny Denar

    faktor yang terdapat dalam negara itu sendiri. Adapun faktor-faktor internal tersebut antara lain kelemahan intelektual, mentalitas yang buruk serta tidak mau berubah/berkembang, dan juga ketidakcukupan sumber daya alam. Faktor-faktor inilah yang divonis sebagai penyebab kemiskinan dan keterbelakangan di negara-negara dunia ketiga/berkembang.

    Teori modernisasi berpandangan bahwa agar masyarakat di negara dunia ketiga bisa keluar dari kemiskinan dan keterbelakangan, maka perlu diusahakan peningkatan pertumbuhan ekonomi. Peningkatan pertumbuhan ekonomi itu diukur dari sisi pendapatan. Di sinilah letak tujuan pembangunan versi teori modernisasi. Segala usaha pembangunan mesti diarahkan kepada peningkatan pertumbuhan ekonomi yang ditandai oleh semakin meningkatnya pendapatan perkapita. Pada tempat inilah modernisasi mendapat tempatnya. Modernisasi dilihat sebagai segala usaha untuk mengejar kemajuan. Kemajuan yang didefinisikan seturut teori modernisasi dapat dijalankan melalui proses industrialisasi. Jadi, proses industrialisasi dan pertumbuhan ekonomi

  • 44 Mengapa Gereja (Harus!) Tolak Tambang?

    diklaim identik dengan perkembangan masyarakat. Sebuah masyarakat baru dikatakan berkembang jika sudah melalui proses industrialisasi yang masif. Sebab dengan jalan itulah pertumbuhan ekonomi dan kemajuan akan diperoleh.

    Salah satu contoh teori modernisasi yang menekankan faktor internal, yaitu teori motivasi berprestasi atau etos kerja dari McClleland. Dari sudut pandang teori modernisasi psikologis, McClleland membuktikan hubungan erat antara keinginan berprestasi secara individual, perubahan sosial dan juga pertumbuhan ekonomi sebuah negara. McClleland melihat bahwa hambatan pembangunan itu terletak pada motivasi berprestasi. Psikolog sosial ini melihat motivasi prestasi sebagai faktor penentu terjadinya pembangunan ekonomi. McClleland tercatat pernah menawarkan teori modernisasi ilmu psikologi sosial dengan semboyan Need for Achievement (kebutuhan untuk meraih hasil atau prestasi).47 Teori ini hendak menegaskan

    47 McClleland, Dorongan Hati Menuju Modernisasi, dalam Myron Weiner (Ed.), Modernisasi Dinamika Pertumbuhan (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1994), p. 2.

  • 45Benny Denar

    bahwa kekurangan yang dialami oleh masyarakat tradisional perlu dijangkiti virus motivasi berprestasi untuk bisa ke luar dari segala bentuk kekurangan tersebut. Maka jalan yang ditempuh adalah perlu menghadirkan mentalitas berwiraswasta yang mampu memanfaatkan peluang-peluang dan mengatasi kesulitan masyarakat. Tesis McClleland ini bisa benar jika dilihat dalam konteks Asia. Kehadiran kaum minoritas Cina di berbagai negara di Asia seperti di Indonesia mendorong masyarakat untuk meningkatkan prestasi dengan sistem pasar yang efektif.48

    Walaupun memunculkan optimisme akan kemajuan, namun teori ini patut dikritik karena beberapa patologi mendasar. Patologi tersebut terutama disebabkan oleh paradigma pembangunan dalam kaca mata teori modernisasi yang mendorong segala kebijakan politik pembangunan mengarah pada strategi prioritas industrialisasi. Segala upaya diarahkan demi kemajuan indutrialisasi. Dalam kenyataan, memang benar bahwa modernisasi industri sudah membantu manusia dalam segala

    48 Johannes Mller, op. cit., p. 88.

  • 46 Mengapa Gereja (Harus!) Tolak Tambang?

    bidang, termasuk kesehatan dan pendidikan, misalnya peralatan medis atau komputerisasi dalam pendidikan. Namun ada beberapa patologi mendasar dari proses industrialisasi yang masif ini. Pertama, terjadi kerusakan ekologis yang semakin masif yang tentu saja mengancam masa depan peradaban manusia dan mengancam keutuhan ciptaan itu sendiri.

    Kedua, proses industrialisasi yang sama mengabaikan perkembangan daerah pedesaan dan memperkuat urbanisasi.49 Di sini terjadi proses pelemahan dan bahkan penghilangan budaya dan kearifan lokal. Ketiga, industrialisasi memang sangat menjanjikan peningkatan produktivitas, namun masalah sosial yang kerap terjadi adalah banyak tenaga kerja yang tidak diperlakukan secara manusiawi, khususnya kaum wanita. Bisa benar bahwa dalam negara yang mengedepankan industrialisasi, kaum perempuan telah selamat dari jerat eksploitasi patriarkal dan masuk dalam ruang publik, termasuk menjadi tenaga kerja, baik dalam negeri maupun luar negeri, baik di negara maju

    49 Ibid., p. 92.

  • 47Benny Denar

    maupun di negara sedang berkembang. Namun di balik semuanya itu, kaum wanita sering menjadi korban dari proses mekanisasi dan modernisasi.50

    Keempat, terjadi proses ekonomisasi yang justru mempermiskin jati diri manusia. Dalam hal ini proses ekonomisasi tersebut menyebabkan kematian subjek. Sebab dalam kenyataannya, prioritas industrialisasi justru bersikap berat sebelah karena mereka memakai tolok ukur modernisasi sebagai upaya meningkatkan pertumbuhan ekonomi semata. Menurut aliran ini, pembangunan sektor industri harus didahulukan sehingga bisa menampung jumlah tenaga kerja yang semakin besar (dengan upah yang naik terus).51 Hal ini bisa jadi secara ekonomis menguntungkan namun sebenarnya terjadi proses pemiskinan jati diri manusia. Terjadi proses kolonialisasi dimensi ekonomi terhadap dimensi-dimensi lain hidup manusia, seperti dimensi moral, politik, kebebasan, spiritual, dan sebagainya.

    50 Soedjatmoko, Pembangunan dan Kebebasan, (Jakarta: LP3ES, 1980), p. 93.

    51 Ibid., p. 95.

  • 48 Mengapa Gereja (Harus!) Tolak Tambang?

    Salah satu tokoh Asia yang mengkritik teori modernisasi adalah Amartya Sen. Ekonom India sekaligus pemenang nobel ekonomi tahun 1998 ini menegaskan bahwa pembangunan itu tidak semata-mata mendahulukan pertumbuhan ekonomi, tetapi harus dilihat sebagai satu kesatuan yang memastikan manusia ke luar dari segala bentuk situasi ketidakbebasan (unfreedom). Maka dalam buku Development As Freedom, Sen mendefinisikan pembangunan lebih sebagai ikhtiar pengurangan ketidakbebasan yang menghambat pelbagai kemungkinan tindakan dan pilihan hidup manusia. Pengurangan ketidakbebasan itu munurut Sen tidak dapat ditempuh melalui peningkatan pendapatan seturut hukum ekonomi semata. Sebaliknya Sen menuntut dibukanya akses bagi kaum miskin pada jaminan sosial dasar, seperti pelayanan kesehatan, pendidikan dan juga hak-hak dasar manusia sebagai prasyarat bagi partisipasi dalam proses sosial.52

    52 Amartya Sen, Development As Freedom, (New York: Anchor Books, 2000), pp. 13-17.

  • 49Benny Denar

    2.1.2.2. Teori Dependensi (Ketergantungan)

    Teori ketergantungan (dependency theory) adalah salah satu teori yang melihat permasalahan pembangunan dari sudut pandang negara-negara dunia ketiga. Menurut teori ini, keadaan ekonomi, terutama di negara-negara dunia ketiga, dominan dipengaruhi oleh perkembangan dan ekspansi ekonomi dari negara-negara lain, terutama dari negara-negara maju. Sedangkan negara-negara dunia ketiga itu hanya berperan sebagai penerima akibat saja. Dalam hal ini, teori dependensi lebih menitikberatkan perhatian dan kritiknya pada persoalan keterbelakangan dan pembangunan negara pinggiran dan terbelakang. Jadi, dapat dikatakan bahwa teori dependensi sebenarnya mewakili suara negara-negara pinggiran untuk menentang hegemoni ekonomi, politik, budaya, intelektual dari negara-negara maju.

    Teori dependensi menekankan bahwa sebab utama kemiskinan dan keterbelakangan negara-negara berkembang lebih diakibatkan oleh kolonialisme dan imperalisme, bukan terutama oleh faktor-faktor internal negara-negara bersangkutan.

  • 50 Mengapa Gereja (Harus!) Tolak Tambang?

    Secara tegas teori ketergantungan sebenarnya mengkritik sistem ekonomi kapitalis-liberal yang pada intinya menekankan bahwa negara dapat mempromosikan pembangunan dengan membatasi concern politik dan sosial dari pembuatan kebijakan dan dengan mengintegrasikan ekonomi nasional mereka ke dalam pasar global.53

    Salah satu ahli yang cukup mewakili aliran teori ketergantungan adalah Baran (1967).54 Menurutnya, sistem kapitalis telah membuat hubungan eksploitatif antara negara-negara industri sebagai sentral dengan negara-negara berkembang sebagai periferi atau pinggiran. Menurut Baran, berfungsinya model ekonomi kapitalis memerlukan relasi pertukaran yang menimbulkan laju pertumbuhan ekonomi yang lebih cepat pada sekelompok negara maju tetapi menempatkan beban kepada negara berkembang.

    53 Frank A. Boyd Jr, loc.cit.

    54 Para ahli menyebut Baran sebagai ahli neo-Marxis pertama dari aliran teori ketergantungan. Dalam teorinya, dia menghubungkan banyak asumsi dasar Marx mengenai politik ekonomi sambil mempertajamnya dengan penjelasan perihal perkembangan negara-negara dunia ketiga abad ke-20. Bdk. Ibid.

  • 51Benny Denar

    Secara umum terdapat dua catatan kritis yang cukup penting terhadap teori ketergantungan. Pertama, teori ini memandang bahwa negara-negara dunia ketiga sedang bergantung kepada negara-negara dunia pertama. Namun secara empiris, kritik ini sulit dibenarkan. Sebab dalam kenyataan yang sebenarnya, negara-negara dunia pertama atau negara-negara maju juga banyak bergantung kepada negara berkembang.55 Negara-negara maju membutuhkan bahan mentah, terutama berupa Sumber Daya Alam (SDA) untuk aktivitas industrinya dan untuk itu mereka juga harus mengimpor dari negara yang sedang berkembang.

    Kedua, teori ketergantungan secara implisit menjelaskan bahwa negara maju adalah super dalam segala hal. Padahal dalam kenyataannya tidaklah demikian. Mereka misalnya memang mempunyai sumber-sumber produksi yang baik dan modern, namun harus diakui bahwa mereka kesulitan dalam hal pemasaran (marketing), untuk menjual hasil produksinya itu. Oleh karena itu,

    55 Ibid.

  • 52 Mengapa Gereja (Harus!) Tolak Tambang?

    mereka membutuhkan tempat untuk memasarkan hasil produksi mereka dan itu ada di negara-negara berkembang.

    2.1.3. Melacak Faktum Kemenangan Ideologisasi Pertumbuhan Bercorak Kapitalistik dan Liberal

    2.1.3.1. Konteks Historis dan Postulat Dasar Kapitalisme Noeliberal

    Secara historis, kita dapat menemukan dalam diri Adam Smith (1723-1790) sebagai salah satu pencetus utama neoliberalisme. Pada intinya Adam Smith menolak intervensi negara terhadap urusan ekonomi warga. Adam Smith terutama mengkritik rezim merkantilis Inggris yang pada saat itu memiliki prinsip bahwa kepentingan nasional harus diperjuangkan dengan cara memanfaatkan kekuatan negara untuk mendapatkan kekayaan sehingga dapat dicapai akumulasi kekuatan nasional.56 Rezim merkantilis meletakkan semua usaha ekonomi di bawah penguasaan serta dijalankan oleh negara dan

    56 K. Bertens, op. cit., p. 113.

  • 53Benny Denar

    memangkas inisiatif individual yang pada akhirnya tidak memanusiawikan warga negaranya.

    Senada dengan Smith, David Ricardo (1772-1823) mengemukakan pendapatnya tentang liberalisme, khususnya dalam perdagangan internasional. Ia menganjurkan perdagangan bebas antarbangsa sebagai landasan hubungan ekonomi antarnegara. Sebab bagi Ricardo, perdagangan bebas dapat mempersatukan bangsa-bangsa seluruh dunia sebagai satu ikatan kepentingan dan interaksi.

    Dengan ikatan semacam itu maka hubungan antarnegara menjadi efektif dan efisien. Efektif dan efisien di sini digambarkan sebagai parameter yang sederajat dengan kebebasan. Di sinilah letaknya postulat liberalisme itu. Postulat liberalisme dimulai dari perspektif filsafat liberal yang mengasumsikan manusia sebagai makhluk yang penuh damai dan memiliki kemauan bekerja sama, kompetitif namun konstruktif, dan langkah-langkahnya dibimbing oleh nalar, bukan emosi. Pada sisi lain, negara digambarkan sebagai monster yang sangat menyeramkan. Oleh karena itu, kaum liberal klasik sangat membenci negara dan menganggap negara

  • 54 Mengapa Gereja (Harus!) Tolak Tambang?

    menyalahgunakan kekuasaan dan selalu bertindak sewenang-wenang. Mereka kemudian melakukan langkah-langkah reformasi untuk memperlemah kekuatan dan posisi negara terhadap warganya. Madzhab liberal menegaskan bahwa ketegangan antara negara dan pasar merupakan bentuk konflik antara penindasan dengan kebebasan, kekuasaan dengan hak individu, dogma otokratik dengan logika rasional. Anggapan ini berakar pada feodalisme raja-raja Eropa dan dogmatisme Gereja yang pada saat itu bertindak sangat sewenang-wenang. Dengan berlandaskan pada pengalaman itu, ketika terjadi konflik antara negara dengan pasar, maka jelas kaum liberal akan berpihak pada pasar dan dengan serta merta mencerca negara. Dalam praktik politik ekonomi, kaum liberal berpandangan bahwa negara cukup menjalankan sedikit urusan di mana hal itu memang tidak dapat dikerjakan oleh individu. Urusan itu misalnya mengenai keamanan, pembentukan sistem hukum, dan pembuatan mata uang.

    Perang dunia II mengubah paradigma politik ekonomi dunia. Secara singkat dapat digambarkan

  • 55Benny Denar

    bahwa runtuhnya Uni Soviet dengan sistem politik dan ekonomi komunisnya membawa babak baru dalam sejarah dunia. Paling kentara, runtuhnya Soviet memberikan indikasi signifikan akan kegagalan paham komunisme dalam bersaing dengan paham kapitalisme, sekaligus sebagai pratanda kegagalan paham sovietik dan kekuasaan mutlak oleh suatu negara atau partai politik komunis. Maka hasilnya dunia seakan telah memenangkan paham demokrasi di bidang politik dan sistem kapitalis di bidang ekonomi. Terhadap fenomena ini oleh Francis Fukuyama, dalam artikelnya The End of History dan kemudian dalam bukunya The End of History and the Last Man mengatakan bahwa demokrasi liberal merupakan tujuan akhir dari evolusi ideologi umat manusia, sekaligus merupakan bentuk final dari pemerintahan manusia.57

    Menurut Fukuyama, demokrasi liberal sebagai sistem pemerintahan telah memperoleh legitimasi kuat di seluruh dunia. Perdebatan

    57 Francis Fukuyama, The End of History and the Last Man, (New York: Rouledge, 1992), p. 20.

  • 56 Mengapa Gereja (Harus!) Tolak Tambang?

    antara ideologi yang ada terbukti dimenangkan oleh demokrasi (liberal) di bidang politik dan dalam bidang ekonomi dimenangkan oleh sistem ekonomi kapitalis dengan pasar bebas sebagai sebuah keniscayaan. Sampai di sini maka dapat dimengerti bahwa kapitalisme global itu mendapat pendukung yang kokoh dalam sistem politik dan pemerintahan yang menganut sistem demokrasi (liberal). Kapitalisme menjalar ke seluruh dunia melalui globalisasi ekonomi (termasuk oleh lembaga keuangan dan ekonomi transnasional seperti IMF, WTO) yang didukung penuh oleh sistem pemerintahan demokrasi (liberal) yang menganut sistem perekonomian liberal juga.58

    58 Menguatnya kapitalisme yang melegalkan totalitas pasar secara amat kuat dimulai pada pemerintahan Margareth Thatcher di Inggris (1979) dan Ronald Reagen di AS (1980). Mereka menolak sistem ekonomi Keynesianisme yang cukup banyak dipakai tahun 1940-an sampai 1960-an. Bdk. Noreena Hertz, op. cit., pp. 28-38. Keberhasilan gerakan neoliberal di Amerika Serikat dan Inggris yang dibarengi dengan runtuhnya komunisme Eropa Timur yang mendorong persebaran secara revolusioner dari gerakan ini ke seluruh dunia. Deregulasi dan privatisasi menjadi tren di seluruh dunia pada tahun 1990-an sampai sekarang ini. Hal-hal yang konsisten diserukan dalam kampanye neoliberal ini adalah pengurangan intervensi negara atas pasar dengan kebijakan deregulasi industri,

  • 57Benny Denar

    Secara historis, kapitalisme industrial berkembang sejak revolusi industri di Eropa. Oleh globalisasi, perkembangan paham tersebut telah menembus batas-batas negara di seluruh dunia. Konsep utama dari paham ini adalah mencetak produksi sebesar-besarnya (mass production) melalui teknologi permesinan guna menjawab kebutuhan hidup manusia. Namun ide tersebut tidak hanya berhenti sampai pada penemuan teknologi baru, memperbaiki organisasi produksi dan memperbaiki hubungan produksi, tetapi juga bagaimana pasar itu diperluas dan dibentuk. Konsekuensi perubahan teknologis ke arah permesinan mendorong kebangkitan produksi hasil pabrikan. Hal ini selanjutnya memengaruhi kehidupan sosial, politik, ekonomi dan budaya.59 Jika pasar dalam sebuah kawasan tidak lagi sanggup menyerap semua hasil produksi, sementara proses

    privatisasi BUMN, dan pengurangan beban pajak bagi bisnis dan individu. Bdk. Mochtar Masoed, Ekonomi Politik Internasional, (Yogyakarta: Jurusan Ilmu Hubungan Internasional FISIPOL UGM, 1997), p. 5.

    59 Susetiawan, Konflik Sosial, Kajian Sosiologis Hubungan Buruh, Perusahaan dan Negara di Indonesia, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2000), p. 7.

  • 58 Mengapa Gereja (Harus!) Tolak Tambang?

    produksi melalui mesin berjalan terus, maka perluasan pasar merupakan syarat mutlak untuk menghindari kelebihan produksi (over production).

    Logika produksi di atas biasanya bergerak melingkar. Apabila terjadi perubahan teknologi produksi, maka hampir pasti perubahan itu juga menuntut perubahan pola konsumsi masyarakat.60 Sebaliknya, perkembangan pola konsumsi juga mendorong kreativitas perubahan teknologi produksi yang semakin berkembang untuk menciptakan produk-produk baru dalam industri manufaktur. Namun perubahan tersebut tidak hanya berhenti sampai di sini. Pasar akan berkembang dengan baik apabila terjadi perubahan sosial ekonomi masyarakat guna menyongsong

    60 Salah satu konsekuensi dari globalisasi ekonomi adalah timbulnya mentalitas konsumtif dengan uang dan kedudukan sosial ekonomi sebagai primadona. Bdk. Frumens Gions, op. cit., pp. 80-81. Atau dalam bahasa Ignas Kleden terjadi semacam transnasionalisasi gaya hidup di mana konsumerisme menjadi nada dasarnya. Di sini manusia tidak lagi membedakan antara keinginan dengan kebutuhan. Menurut Ignas Kleden peran iklan dalam media massa menjadi senjata ampuh dari globalisasi ekonomi untuk menciptakan semacam kebutuhan pada manusia. Bdk. Ignas Kleden, Sikap Ilmiah dan Kritik Kebudayaan, (Jakarta: LP3S, 1978), pp. 259-263.

  • 59Benny Denar

    produk baru. Oleh karena itu, agar perluasan pasar mampu menembus batas-batas negara di seluruh dunia maka kerja ekonomi saja tidak cukup, tetapi juga dibutuhkan kerja politik, ilmu pengetahuan, dan teknologi.

    Pada akhirnya kerja politiklah yang menjadi kunci penting dalam perluasan pasar. Tanpa kerja politik, pasar (liberal) sulit diciptakan. B. Herry Priyono menyebut pasar merupakan hubungan sosial bentukan manusia, dan karena itu membutuhkan tindakan politik.61 Ini adalah salah satu sisi perbedaan antara pemikiran liberal dan neoliberal. Pemikiran liberal membiarkan pasar bekerja secara bebas. Sementara para neoliberalis berpikir bahwa pasar harus diintervensi secara politik, dibentuk dan diarahkan sesuai dengan kepentingan untuk memenangkan persaingan. Negara yang menjadi sasaran perluasan pasar, selain padat penduduknya juga pendapatan per kapita penduduknya rendah seperti negara-negara Afrika, Asia dan Amerika Latin. Oleh karena itu,

    61 B. Herry Priyono, Dalam Pusaran Neoliberalisme dalam Wibowo dan Francis Wahono (Ed.), Neoliberalisme, (Yogyakarta: Pustaka Rakyat, 2003), p. 49.

  • 60 Mengapa Gereja (Harus!) Tolak Tambang?

    upaya memengaruhi para pemimpin politik negara berkembang untuk mengikuti prinsip perluasan pasar negara industri menjadi sangat penting dalam kerja politik.

    Perkembangan model produksi tidak hanya terbatas pada barang industri manufaktur yang hak-hak patennya seperti hak-hak cipta dan intelektualnya telah diatur dalam tata dunia internasional yang mendahului kemajuan negara berkembang di era pembangunannya. Dalam kerja politik berikutnya diciptakan kebijakan yang memungkinkan uang tidak hanya sekadar berfungsi sebagai alat tukar. Namun, uang telah berdiri sebagai produk yang layak diperdagangkan sebagaimana produk industri manufaktur.62 Baik produk industri manufaktur maupun uang, posisinya telah diatur dalam tata organisasi internasional yang keberadaannya jauh mendahului majunya negara-negara berkembang itu sendiri. Konstruksi kelembagaan untuk mengatur tata dunia dilakukan melalui organisasi internasional

    62 John Clark, Changing Welfare Changing States; New Direction in Social Policy, (London: SAGE Publications, 2004), p. 88.

  • 61Benny Denar

    seperti GATT (General Agreement on Trade and Tariff) yang kemudian menjadi WTO (World Trade Organization)63, Bank Dunia (World Bank), IMF (International Monetary Fund) dan berbagai lembaga lainnya.64 Perluasan konstruksi pasar telah dipersiapkan secara matang, bahkan tata ekonomi politik global telah dipersiapkan mengikuti pola perkembangan paham kapitalisme industrial yang berwatak neoliberal.65

    63 Pada Januari 1995 GATT (General Agreement on Tariffs and Trade) secara resmi berubah menjadi WTO (World Trade Organization) yang dihasilkan melalui negosiasi multirateral dalam Uruguay Round tahun 1986 sampai 1994. Bdk. http://fkp-uh.blogspot.com/2014/01/sejarah-gatt-sampai-