tindakan diskresi oleh kepolisian dalam …

88
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id i TINDAKAN DISKRESI OLEH KEPOLISIAN DALAM MELAKUKAN TEMBAK DI TEMPAT PERSPEKTIF HAK ASASI MANUSIA TESIS Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Guna Mencapai Magister Program Studi Ilmu Hukum Konsentrasi: Hukum Pidana Ekonomi DisusunOleh : KIKY ERLANI NIM : S331708005 PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA 2019

Upload: others

Post on 25-Nov-2021

12 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: TINDAKAN DISKRESI OLEH KEPOLISIAN DALAM …

library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

i

TINDAKAN DISKRESI OLEH KEPOLISIAN DALAM

MELAKUKAN TEMBAK DI TEMPAT PERSPEKTIF

HAK ASASI MANUSIA

TESIS

Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Guna Mencapai Magister

Program Studi Ilmu Hukum

Konsentrasi: Hukum Pidana Ekonomi

DisusunOleh :

KIKY ERLANI

NIM : S331708005

PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU HUKUM

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SEBELAS MARET

SURAKARTA

2019

Page 2: TINDAKAN DISKRESI OLEH KEPOLISIAN DALAM …

library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

ii

Page 3: TINDAKAN DISKRESI OLEH KEPOLISIAN DALAM …

library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

iii

Page 4: TINDAKAN DISKRESI OLEH KEPOLISIAN DALAM …

library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

v

Page 5: TINDAKAN DISKRESI OLEH KEPOLISIAN DALAM …

library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, yang telah

memberikan rahmat, taufik dan hidayah-Nya, sehingga tesis dengan judul:

“TINDAKAN DISKRESI OLEH KEPOLISIAN DALAM MELAKUKAN

TEMBAK DI TEMPAT PERSPEKTIF HAK ASASI MANUSIA” dapat

terselesaikan dengan lancar.

Tesis ini disusun untuk melengkapi tugas dan memenuhi syarat guna

mencapai Gelar Magister Ilmu Hukum pada Universitas Sebelas Maret Surakarta.

Pada kesempatan ini, penulis mengucapkan terimakasih dan penghargaan yang

sebesar-besarnya kepada yang terhormat:

1. Prof. Dr. Jamal Wiwoho, S.H., M.Hum. Rektor Universitas Sebelas Maret

Surakarta.

2. Prof. Drs. Sutarno, M.Sc., Ph.D. Direktur Program Pascasarjana Universitas

Sebelas Maret Surakarta.

3. Prof. Dr. I Gusti Ayu Ketut Rachmi Handayani, S.H., M.M. Selaku Dekan

Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta.

4. Dr. Mohammad Jamin, S.H., M.Hum. Ketua Program Studi Ilmu Hukum

Universitas Sebelas Maret Surakarta.

5. Dr. Widodo Tresno Novianto, S.H., M.Hum. Selalu Dosen Pembimbing I.

6. Dr. Hari Purwadi, S.H., M.Hum. selaku dosen Pembimbing II.

7. Seluruh Bapak/Ibu Dosen Program Pascasarjana Magister Ilmu Hukum, dan

Bapak/Ibu staf penyelenggara Program Studi Magister Ilmu Hukum

Universitas Sebelas Maret Surakarta.

8. Rekan-rekan satu angkatan pada Program Magister Ilmu Hukum Fakultas

Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta atas segala bantuan dan kerja

samannya.

Penulis menyadari bahwa penulisan tesis ini masih jauh dari sempurna, oleh

karenannya penulis mengharapkan kritik dan saran demi perbaikan ke depan.

Semoga tesis ini dapat memberikan manfaat kepada penulis khususnya dan

umumnya kepada kita sekalian.

Page 6: TINDAKAN DISKRESI OLEH KEPOLISIAN DALAM …

library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

vi

Akhirnya kepada semua pihak yang sudah membantu penulis selama

menjalani masa perkuliahan maupun selama penyusunan tesis ini semoga

mendapatkan balasan dari Allah SWT. Amin.

Surakarta, 24 Juli 2019

KIKY ERLANI

Page 7: TINDAKAN DISKRESI OLEH KEPOLISIAN DALAM …

library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

vii

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ........................................................................................ i

HALAMAN PERSETUJUAN ......................................................................... ii

HALAMAN PENGESAHAN .......................................................................... iii

HALAMAN PERNYATAAN ......................................................................... iv

KATA PENGANTAR ..................................................................................... v

DAFTAR ISI ............................................................................................ vii

ABSTRAK ............................................................................................ ix

BAB 1 PENDAHULUAN ............................................................................... 1

A. Latar Belakang Masalah ....................................................................... 1

B. Rumusan Masalah ................................................................................. 5

C. Tujuan Penelitian .................................................................................. 5

D. Manfaat Penelitian ................................................................................ 5

BAB II LANDASAN TEORI .......................................................................... 6

A. Tinjauan Pustaka .................................................................................. 6

1. Kepolisian Republik Indonesia ...................................................... 6

a. Pengertian Kepolisian ............................................................... 6

b. Fungsi Kepolisian ..................................................................... 7

c. Tugas dan Wewenang Kepolisian ............................................ 7

2. Tembak di Tempat Oleh Polri ........................................................ 11

a. Pengertian tembak di tempat .................................................... 11

b. Pemberlakuan tembak di tempat terhadap tersangka ............... 12

B. Landasan Teori ..................................................................................... 14

1. Teori Diskresi ................................................................................... 14

2. Teori Hak Asasi Manusia ................................................................. 18

3. Teori Sistem Hukum ........................................................................ 22

C. Penelitian yang relevan ........................................................................ 24

D. Kerangka berfikir ................................................................................. 27

BAB III METODE PENELITIAN................................................................... 29

A. Jenis Penelitian .................................................................................... 29

Page 8: TINDAKAN DISKRESI OLEH KEPOLISIAN DALAM …

library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

viii

B. Lokasi Penelitian .................................................................................. 30

C. Jenis dan Sumber Data ......................................................................... 30

D. Teknik Pengumpulan Data................................................................... 32

E. Teknik Analisis Data ............................................................................ 33

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ....................................... 34

A. Pertimbangan polisi dalam melakukan tindakan diskresi tembak di

tempat ................................................................................................... 34

1. Pertimbangan polisi dalam melakukan tembak di tempat ............... 38

2. Realita Kasus Tindakan Tembak di Tempat yang Dilakukan Oleh

Aparat Polda Jateng dan Polda DIY ................................................ 52

3. Kendala yang dihadapi Kepolisian dalam Melakukan Wewenang

Tembak di Tempat ........................................................................... 54

4. Upaya yang dilakukan Oleh Kepolisian dalam Mengatasi Kendala

Melakukan Tembak di Tempat ........................................................ 57

B. Diskresi tindakan tembak di tempat Perspektif Hak Asasi Manusia.... 61

BAB V PENUTUP ........................................................................................... 73

A. Kesimpulan ........................................................................................... 73

B. Implikasi ............................................................................................... 73

C. Saran ..................................................................................................... 74

DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................... 75

Page 9: TINDAKAN DISKRESI OLEH KEPOLISIAN DALAM …

library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

ix

ABSTRAK

Kiky Erlani. Nim S331708005, Tindakan Diskresi oleh Kepolisian dalam

Melakukan Tembak di Tempat Perspektif Hak Asasi Manusia. TESIS:

Program Pascasarjana Universitas Sebelas Maret Surakarta, 2019.

Polisi memiliki kewenangan bertindak menurut penilaian sendiri yang

disebut sebagai kewenangan diskresi. Di dalam penerapannya dilapangan

biasanya polisi melakukan tindakan tembak di tempat kepada tersangka. Tindakan

tersebut dapat dilakukan dalam situasi tertentu yang mengancam jiwa baik

anggota polisi dan warga sipil di sekitar penyergapan. Pihak kepolisian dalam

melakukan tembak ditempat memiliki pertimbangan dalam mengambil keputusan

untuk melakukan tindakan tembak di tempat. Meskipun pihak kepolisian dibekali

kewenangan tembak di tempat, tetapi di sisi lain Polri harus memperhatikan

tindakan tersebut tidak bertentangan dengan Hak Asasi Manusia (HAM).

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dan menganalisis yang menjadi

pertimbangan polisi melakukan diskresi tindakan tembak di tempat, dan

menganalisis diskresi tindakan tembak di tempat perspektif Hak Asasi Manusia.

Penelitian ini merupakan penelitian non doktrinal. Lokasi penelitian di Polda Jawa

Tengah dan Polda DIY. Jenis dan sumber data yang digunakan adalah data primer

dan data sekunder. Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah wawancara

dan studi dokumen. Adapun teknik analisis data dilakukan secara interaktif.

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan diketahui bahwa ada dua

pertimbangan polisi dalam melakukan tindakan diskresi tembak di tempat, yaitu

pertama, kondisi situasional, meliputi keadaan terdesak, respon pelaku kejahatan

melawan atau kabur, situasi ramai atau sepi, kerugian yang ditimbulkan, dan

kondisi geografis lokasi. Kedua, karakter pelaku, meliputi residivis, status pelaku

di masyarakat, banyaknya pelaku dan tingkatan kasus kejahatan, serta

pertimbangan lain aturan formal yang berlaku. Kemudian diskresi tindakan

tembak di tempat perspektif Hak Asasi Manusia jika dikaitkan dengan realita

kasus yang di teliti, dapat disimpulkan jika pihak kepolisian tidak melanggar Hak

Asasi Manusia karena tindakan yang dilakukan telah sesuai dengan peraturan

perundang-undangan dan akibat situasi di lapangan yang membahayakan berupa

perlawanan dari pelaku kejahatan/tindak pidana.

Kata Kunci: Diskresi, Polisi, Tembak di tempat, Hak Asasi Manusia

Page 10: TINDAKAN DISKRESI OLEH KEPOLISIAN DALAM …

library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

x

ABSTRACT

Kiky Erlani. Nim S331708005, Discretionary Measures by the Police in

Shooting in the Place of the Human Rights Perspective. THESIS: Postgraduate

Program at Sebelas Maret University Surakarta, 2019.

The police have the authority to act according to their own judgment which

is referred to as the authority of discretion. In its application in the field, the police

usually carry out firing in place to the suspect. Such actions can be carried out in

certain life-threatening situations both members of the police and civilians around

the ambush. The police in the shoot place have consideration in making a decision

to take action on the spot. Even though the police were given the authority to

shoot in places, on the other hand the National Police had to pay attention to these

actions which did not conflict with Human Rights.

This study aims to find out and analyze the considerations of the police to

carry out discretion in the action of firing on the spot, and analyze the discretion

of the action of firing in the place of human rights perspective. This research is a

non-doctrinal study. Research locations in the Central Java Regional Police and

DIY Regional Police. The types and sources of data used are primary data and

secondary data. Data collection techniques used are interviews and document

studies. The data analysis techniques are carried out interactively.

Based on the results of research and discussion, it is known that there are

two considerations of the police in carrying out discretionary firing in place,

namely first, situational conditions, including urgency, the response of criminals

to fight or escape, crowded or lonely situations, losses incurred, and geographical

conditions. Second, the character of the perpetrators, including recidivists, the

status of the perpetrators in the community, the number of actors and the level of

crime cases, and other considerations of formal rules that apply. Then the

discretion of the action of firing in the place of human rights perspective if it is

associated with the reality of the case being examined, it can be concluded if the

police do not violate human rights because the actions carried out are in

accordance with the laws and regulations and the result of a dangerous situation in

the field perpetrators of crimes/criminal acts.

Keywords: Discretion, Police, Shoot on the spot, Human Rights

Page 11: TINDAKAN DISKRESI OLEH KEPOLISIAN DALAM …

library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri) adalah Kepolisian

Nasional di Indonesia yang bertanggungjawab langsung di bawah Presiden.

Polri mengemban tugas-tugas kepolisian diseluruh wilayah Indonesia. Polri

dipimpin oleh seorang Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia.1

Istilah polisi dalam kata Politea yang dalam bahasa Yunani memiliki arti

atau pada mulanya meliputi semua hal kenegaraan, semua usaha kenegaraan,

tidak terkecuali masalah keagamaan.2 Pada saat itu negara Yunani terdiri dari

kota-kota yang dinamakan “Polisi”. Jadi pada zaman itu arti polisi demikian

luasnya bahkan meliputi seluruh pemerintahan Negara kota, tersebut juga

didalamnya unsur-unsur keagamaan seperti penyembahan terhadap dewa-

dewanya, termasuk dalam urusan pemerintahan.3

Arti kata Polisi yang telah diterangkan, kalau didalami lebih jauh, akan

memberikan berbagai pengertian. Para cendekiawan di bidang kepolisian

sampai pada kesimpulan bahwa dalam kata Polisi itu ada tiga pengertian yang

dalam penggunaan sehari-hari sering tercampur aduk dan melahirkan berbagai

konotasi. Jika arti polisi adalah: (1) Polisi sebagai fungsi, (2) Polisi sebagai

organ kenegaraan, dan (3) Polisi sebagai pejabat atau petugas. Kata polisi (p

kecil untuk membedakan dengan polisi kata benda) dapat juga berarti kata

kerja yang bermakna membuat sesuatu menjadi bergaya, bercorak, bersifat dan

berbentuk sesuai dengan nilai-nilai luhur kepolisian. Karenanya sering

digunakan kata-kata memolisikan, pemolisian, yang semuanya mengacu pada

usaha, kegiatan tindakan Polisi yang bersifat etis.4

1www.wikipedia.org. Kepolisian Negara Republik Indonesia, diakses tanggal 20 februari

2019. 2 Seno Soeharjo, 1953, Serba Serbi Tentang Polisi: Pengantar Usaha Mempelajari Hukum

Polisi, Bogor: Schenkhuizen, hlm 10. 3 Momo Kelana, 1994, Hukum Kepolisian, Jakarta: PT. Gramedia Widia Sarana Indonesia,

hlm 10. 4 Kunarto,1997, Etika Kepolisian, Jakarta: Cipta Manunggal, hlm. 56.

Page 12: TINDAKAN DISKRESI OLEH KEPOLISIAN DALAM …

library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 2

Polisi selaku penegak hukum wajib untuk menciptakan atau melindungi

masyarakat supaya memberikan rasa aman dan tertib bagi masyarakat sehingga

penegakan hukum dalam hubungan dengan tugas polisi adalah penegakan

hukum pidana, tugas polisi senantiasa diukur dengan upaya menciptakan rasa

keadilan masyarakat bukan rasa keadilan individu perorangan.

Tetapi, menurut J.Q. Wilson, penilaian terhadap profil polisi oleh

berbagai kalangan (yang biasa menunjukan wajah suram) lebih cenderung

dikaitkan dengan banyaknya skandal yang dilakukan oleh anggota organisasi

polisi, keseriusan penindakan terhadap anggota yang menyimpang, keterlibatan

politis, daripada berlandaskan pada catatan kriminalitas (statistic criminal).

Oleh karena itu, dalam menanggapi penilaian tersebut organisasi polisi

cenderung bersikap defensive daripada berorientasi pada perbaikan pelayanan.5

Namun, pihak kepolisian dalam menjalankan tugasnya sebagai aparatur

negara yang bertujuan untuk melindungi masyarakat secara umum dibekali

dengan berbagai kewenangan, salah satu kewenangan tersebut adalah

kewenangan untuk menembak tersangka atau pelaku kejahatan dengan

menggunakan senjata api atau lebih sering dikenal dengan kewenangan

menembak. Kewenangan tersebut merupakan suatu tindakan yang dikaitkan

dengan perampasan kemerdekaan seseorang yang pada hakekatnya tindakan

tersebut dapat termasuk perampasan Hak Asasi Manusia (HAM), tetapi

tindakan tersebut dapat dibenarkan oleh peraturan perundang-undangan dengan

syarat-syarat dan tata cara sebagaimana yang telah diatur dan ditetapkan oleh

peraturan perundang-undangan. Peraturan yang mengatur mengenai

penggunaan senjata api oleh polisi antara lain diatur dalam Peraturan kepala

Kepolisian Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2009 tentang Implementasi

Prinsip dan Standar Hak Asasi Manusia dalam Penyelenggaraan Tugas

Kepolisian Negara Republik Indonesia, Peraturan Kepala Kepolisian Republik

Indonesia Nomor 1 tahun 2009 tentang Penggunaan Kekuatan dalam tindakan

5J.Q. Wilson, 1978, “Varietes of Police Behariour: The Management of Law and Order in

Eight Communities”, Cambridge: Harvard University Press, hlm. Viii.

Page 13: TINDAKAN DISKRESI OLEH KEPOLISIAN DALAM …

library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 3

Kepolisian, serta di dalam Prosedur Tetap Kapolri Nomor Polisi:

PROTAP/01/V/2001 Tentang penggunaan Senjata Api.

Terkait dengan hal tersebut, kasus penembakan yang dilakukan oleh

aparat kepolisian terhadap seseorang tersangka pelaku kejahatan banyak

mencuri perhatian masyarakat dan menimbulkan suatu pandangan khusus bagi

aparat penegak hukum sendiri. Seperti kasus perampokan disertai kekerasan

yang berada di Cilacap. Direktorat Reserse Kriminal umum polda Jawa Tengah

meringkus komplotan perampok toko emas. Dalam peristiwa ini Polisi terlibat

baku tembak dengan pelaku. Satu anggota komplotan tewas. Para pelaku dalam

aksinya ini mengancam karyawan toko emas dengan menodong dan menembak

dengan senjata api, pelaku melakukan pencurian di toko emas Nagaputri dan

toko emas Adil Nusawungu, di pasar sikaco, Cilacap. Salah satu pelaku

ditembak mati karena melawan dan berupaya kabur saat disergap. Klompotan

perampok toko emas ini disergap ketika sedang menyusun aksinya di daerah

Purwodadi, kabupaten grobogan. Pelaku yang ditembak mati adalah mudakir

alias Warso (37) warga Muara Kelinci, kabupaten Muara Musi Rawas,

Lampung yang diketahui sebagai otak komplotan. Sedangkan pelaku lain yang

menyerah adalah, Fajar Wiyoto (34) warga Ketawangrejo, Kecamatan Grabag,

Kabupaten Purworejo, Sujiyanto (31) warga Grobokan, Suratno (46) warga

Lembu Kibang, Lampung, Warso Edi Santoso (38) warga Kecamatan Todanan,

Kabupaten Blora.

Tembakan yang dilakukan oleh pihak polisi dengan menggunakan

senjata api di dalam penangkapan terhadap pelaku kejahatan sering menjadi

pertanyaan publik di dalam penangkapan mengenai pertimbangan apa yang

diambil oleh pihak kepolisian dalam melakukan tembak ditempat? Oleh karena

itu yang hanya dapat menjelaskan secara rinci hanya petugas kepolisian yang

melakukan di dalam tugas penangkapan oleh dirinya sendiri secara langsung.

Didalam penegakan hukum dijaman era reformasi dan globalisasi sekarang ini.

Sering kita lihat di media cetak ataupun media elektronik yang selalu dibahas

banyak kejahatan yang bertentangan dengan Hak Asasi Manusia.

Page 14: TINDAKAN DISKRESI OLEH KEPOLISIAN DALAM …

library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 4

Dalam melakukan tindakan pada dasarnya polisi memiliki kewenangan

bertindak atas penilaiannya sendiri. Dalam hal kewenangan ini tertulis di dalam

Pasal 18 ayat (1) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian

Negera Republik Indonesia yang berisi: “untuk kepentingan umum pejabat

Kepolisian Negara Republik Indonesia dalam melaksanakan tugas dan

wewenangnya dapat bertindak menurut penilaiannya sendiri”. Pasal ini dapat

disebut sebagai kewenangan diskresi, dalam penerapan di lapangan biasanya

Polisi melakukan tindakan tembak di tempat terhadap tersangka atau pelaku

kejahatan bersifat situasional, yaitu berdasarkan prinsip proposionalitas dalam

penanggulangan kekerasan dan senjata api dapat diterapkan saat keadaan

tertentu.

Adapun pengertian diskresi kepolisian menurut Thomas J. Aaron adalah

suatu wewenang yang diberikan kepada Polisi, untuk mengambil keputusan

dalam situasi tertentu yang membutuhkan pertimbangan sendiri dan masalah

moral, serta terletak dalam garis batas antara hukum dan moral.6

Seorang polisi yang sedang melakukan operasi dapat memutuskan

sendiri, apakah ia perlu menembak atau tidak. Setelah ia memutuskan untuk

menarik pelatuk atau tidak menarik pelatuk maka anggota polisi yang

bersangkutan akan mempertanggungjawabkan keputusanya kepada atasannya.

Seorang polisi yang mengambil keputusan untuk menembak seseorang

tersangka kemudian harus mempertanggungjawabkan keputusan itu kepada

atasanya dan ia harus dapat memberikan alasan mengapa perlu menembak

tersangka tetapi mungkin saja terjadi hal yang sebaliknya, yaitu jika seorang

polisi tidak melakukan penembakan dan ternyata tersangka lolos dari

pengejaran atau dalam situasi lain di mana ia tidak menembak, padahal seorang

penjahat mengancam nyawa orang lain dengan senjata, dalam hal ini, ia tetap

harus bertanggungjawabkan keputusan mengapa ia tidak menarik pelatuk

senjatanya. Pada dasarnya penggunaan senjata api oleh anggota polisi dalam

menanggapi pelanggar hukum ada ketentuan-ketentuan yang mengaturnya.

6 Sitompul, 2000, Beberapa Tugas dan Peranan Polri, Jakarta: CV Wanthy Jaya, hlm. 2.

Page 15: TINDAKAN DISKRESI OLEH KEPOLISIAN DALAM …

library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 5

Penangkapan yang dilakukan oleh anggota kepolisian dengan

menggunakan senjata api sering mengalami pro dan kontra di dalam

masyarakat, apakah tindakan di dalam penangkapan tersebut telah sesuai

dengan situasi yang ada dan tidak melanggar Hak Asasi Manuis (HAM) pelaku

kejahatan/Tindak Pidana.

B. Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah tersebut, maka perumusan masalah

yang akan dikaji sebagai berikut:

1. Apa yang menjadi pertimbangan polisi dalam melakukan diskresi tindakan

tembak di tempat?

2. Bagaimana diskresi tindakan tembak di tempat perspektif Hak Asasi

Manusia?

C. Tujuan Penelitian

1. Untuk mengetahui pertimbangan polisi dalam melakukan diskresi tindakan

tembak di tempat.

2. Untuk mengetahui dan menganalisis diskresi tindakan tembak di tempat

perspektif Hak Asasi Manusia

D. Manfaat Penelitian

1. Menambah wawasan dan pengetahuan khususnya di bidang pidana dalam

perspektif Hak Asasi Manusia.

2. Menambah referensi mengenai Tindakan Diskresi oleh Kepolisian bagi

penelitian-penelitian selanjutnya.

Page 16: TINDAKAN DISKRESI OLEH KEPOLISIAN DALAM …

library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

6

BAB II

LANDASAN TEORI

A. Tinjauan Pustaka

1. Kepolisian Republik Indonesia

a. Pengertian Kepolisian

Menurut Satjipto Raharjo Polisi merupakan alat negara yang

bertugas memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, memberikan

pengayoman dan memeberikan perlindungan kepada masyarakat.7

Selanjutnya Satjipto raharjo yang mengutip pendapat Bitner

menyebutkan bahwa apabila hukum bertujuan untuk menciptakan

ketertiban dalam masyarakat, diantarannya melawan kejahatan, akhirnya

polisi yang akan menentukan secara konkrit apa yang disebut sebagai

penegakan ketertiban.8

Polisi adalah suatu pranata umum sipil yang mengatur tata tertib

(orde) dan hukum. Namun kadangkala pranata ini bersifat militaris,

seperti di Indonesia sebelum Polri dilepas dari ABRI. Polisi dalam

lingkungan pengadilan bertugas sebagai penyidik. Dalam tugasnya dia

mencari barang bukti, keterangan-keterangan dari berbagai sumber, baik

keterangan saksi-saksi maupun keterangan ahli.9

Dalam Undang-Undang No. 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian

Negara Republik Indonesia dalam Pasal 1 ayat (1) dijelaskan bahwa

kepolisian adalah segala hal-ihwal yang berkaitan dengan fungsi dan

Lembaga polisi sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Istilah

kepolisian dalam Undang-undang ini mengandung dua pengertian, yakni

fungsi polisi dan Lembaga polisi. Dalam Pasal Undang-undang No. 2

tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, fungsi

kepolisian sebagai salah satu fungsi pemerintahan negara di bidang

7Satjipto Raharjo, 2009, Penegakan Hukum Suatu Tinjauan Sosiologis, Yogyakarta:

Genta Publishing, hlm. 111 8Ibid, hlm 117

9Warsiti Adi Utomo, 2005, Hukum Kepolisian Indonesia, Jakarta: Prestasi Pustaka, hlm.

3.

Page 17: TINDAKAN DISKRESI OLEH KEPOLISIAN DALAM …

library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 7

pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat, penegakan hukum,

perlindung, pengayom dan pelayan kepada masyarakat. Sedangkan

Lembaga kepolisian adalah organ pemerintah yang ditetapkan sebagai

suatu Lembaga dan diberikan kewenangan menjalankan fungsinya

berdasarkan peraturan perundang-undangan.10

b. Fungsi Kepolisian

Fungsi utama dari Polisi adalah menegakkan hukum dan melayani

kepentingan masyarakat umum. Sehingga dapat dikatakan bahwa tugas

polisi adalah melakukan pencegahan terhadap kejahatan dan memberikan

perlindungan kepada masyarakat.11

Fungsi Kepolisian salah satu fungsi pemerintahan Negara dibidang

pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat. Penegakan hukum,

perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat. Fungsi

kepolisian (POLRI) terkait erat dengan Good Govermance, yakni sebagai

alat negara yang menjaga kamtibnas (keamanan dan ketertiban

masyarakat) yang bertugas melindungi, mengayomi dan melayani

masyarakat serta menegakkan hukum yaitu sebagai salah satu fungsi

pemerintahan hukum, perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada

masyarakat yang diperoleh secara atributif melalui ketentuan Undang-

undang (Pasal 30 UUD 1945 dan Pasal 2 Undang-undang Nomor 2

Tahun 2002 Tentang POLRI).

c. Tugas dan Wewenang Kepolisian

Tugas polisi secara umum sebagaimana tercantum dalam Pasal 13

Undang-undang No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik

Indonesia, menyebutkan bahwa tugas pokok Kepolisian Negara Republik

Indonesia adalah:

1. Memberikan keamanan dan ketertiban masyarakat

2. Menegakkan hukum

10

Sadjijono, 2008, Polri dalam Perkembangan Hukum di Indonesia, Yogyakarta:

LaksBang Pressindo, hlm. 52-53. 11

Mahmud Mulyadi, 2009, Kepolisian dalam Sistem Peradilan Pidana, Medan: USU

Press, hlm. 40.

Page 18: TINDAKAN DISKRESI OLEH KEPOLISIAN DALAM …

library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 8

3. Memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada

masyarakat (Pasal 13 Undang-Undang No. 2 Tahun 2002 tentang

Kepolisian Negara Republik Indonesia).

Untuk mendukung tugas pokok tersebut di atas, polisi juga

memiliki tugas-tugas tertentu sebagaimana tercantum dalam Pasal 14

ayat (1) Undang-undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian

Negara Republik Indonesia adalah sebagai berikut:

a) Melaksanakan pengaturan penjagaan, pengawalan dan patroli terhadap

kegiatan masyarakat dan pemerintah sesuai kebutuhan.

b) Menyelenggarakan segala kegiatan dalam menjamin keamanan,

ketertiban dan kelancaran lalu lintas jalan.

c) Membina masyarakat untuk meningkatkan partisipasi masyarakat,

kesadaran hukum masyarakat, serta ketaatan warga masyarakat

terhadap hukum dan peraturan perundang-undangan.

d) Turut serta dalam pembinaan hukum nasional.

e) Memelihara ketertiban dan menjamin keamanan umum.

f) Melakukan koordinasi, pengawasan, dan pembinaan teknis terhadap

kepolisian khusus, penyidik pegawai negeri sipil dan bentuk-bentuk

pengamanan swakarsa.

g) Melakukan penyelidikan terhadap semua tindak pidana sesuai dengan

hukum acara pidana dan peraturan perundang-undangan lainnya.

h) Menyelenggarakan identifikasi kepolisian, kedokteran kepolisian,

laboratorium forensic dan psikologi kepolisian untuk kepentingan

tugas kepolisian.

i) Melindungi keselamatan jiwa raga, harta benda, masyarakat dan

lingkungan hidup dari gangguan ketertiban dan/atau bencana termasuk

memberikan bantuan dan pertolongan dengan menjunjung tinggi hak

asasi manusia.

j) Melayani kepentingan warga masyarakat untuk sementara sebelum

ditangani oleh instansi/atau pihak berwenang.

Page 19: TINDAKAN DISKRESI OLEH KEPOLISIAN DALAM …

library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 9

k) Memberikan pelayanan kepada masyarakat sesuai dengan kepentingan

dalam lingkup tugas kepolisian.

l) Melaksanakan tugas lain sesuai dengan peraturan perundang-

undangan.

Dari tugas-tugas polisi tersebut dapat dikemukakan bahwa pada

dasarnya tugas polisi ada dua yaitu tugas untuk memelihara kemanan,

ketertiban, menjamin dan memelihara keselamatan negara, orang, benda

dan masyarakat serta mengusahakan kataatan warga negara dan

masyarakat terhadap peraturan negara. Tugas ini dikategorikan sebagai

tugas preventif dan tugas yang kedua adalah tugas represif. Tugas ini

untuk menindak segala hal yang dapat mangacaukan keamanan

masyarakat, bangsa, dan negara.

Disamping memiliki tugas-tugas tersebut di atas, polisi memiliki

wewenang secara umum yang diatur dalam Pasal 15 ayat (1) Undang-

undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang kepolisian Negara Republik

Indonesia, yaitu sebagai berikut:

1) Menerima laporan dan/atau pengaduan.

2) Membantu penyelesaian perselisihan warga masyarakat yang dapat

mengganggu ketertiban umum.

3) Mencegah dan menanggulangi tumbuhnya penyakit masyarakat.

4) Mengawasi aliran yang dapat menimbulkan perpecahan atau

mengancam persatuan dan kesatuan bangsa.

5) Mengeluarkan peraturan kepolisian dalam lingkup kewenangan

administrative kepolisian.

6) Melaksanakan pemeriksaan khusus sebagai bagian dari tindakan

kepolisian dalam rangka pencegahan.

7) Melakukan tindakan pertama ditempat kejadian.

8) Mengambil sidik jari dan identitas lainnya serta memotret seseorang.

9) Mencari keterangan dan barang bukti.

10) Menyelenggarakan Pusat Informasi Kriminal Nasional.

Page 20: TINDAKAN DISKRESI OLEH KEPOLISIAN DALAM …

library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 10

11) Mengeluarkan surat izin dan/atau surat keterangan yang diperlukan

dalam rangka pelayanan masyarakat.

12) Memberikan bantuan pengamanan dalam siding dan pelaksanaan

putusan pengadilan, kegiatan instansi lain, serta kegiatan masyarakat.

13) Menerima dan menyimpan barang temuan untuk sementara waktu.

Adapun wewenang yang dimiliki kepolisian untuk

menyelenggarakan tugas di bidang proses pidana menurut Pasal 16

Undang-undang Nomor 2 tahun 2002 tentang Kepolisian Negara

Republik Indonesia adalah:

a) Melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan, dan penyitaan,

b) Melarang setiap orang meniggalkan atau memasuki tempat kejadian

perkara untuk kepentingan penyidikan.

c) Membawa dan menghadapkan orang kepada penyidik dalam rangka

penyidikan.

d) Menyuruh berhenti orang yang dicurigai dan menanyakan serta

memeriksa tanda pengenal diri.

e) Melakukan pemeriksaan-pemeriksaan surat.

f) Memanggil orang untuk didengar dan diperiksa sebagai tersangka atau

saksi.

g) Mendatangkan orang ahli yang diperlukan dalam hubungannyadengan

pemeriksaan perkara.

h) Mengadakan penghentian penyidikan.

i) Menyerahkan berkas perkara kepada penuntut umum.

j) Mengajukan permintaan secara langsung kepada pejabat imigrasi yang

berwenang di tempat pemeriksaan imigrasi dalam keadaan mendesak

atau mendadak untuk mencegah atau menangkal orang yang disangka

melakukan tindakan pidana.

k) Memberi petunjuk dan bantuan penyidikan kepada penyidik pegawai

negeri sipil untuk diserahkan kepada penuntut umum.

l) Mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggungjawab.

Page 21: TINDAKAN DISKRESI OLEH KEPOLISIAN DALAM …

library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 11

2. Tembak di Tempat Oleh Polri

a. Pengertian Tembak di Tempat

Tembak di tempat adalah sebuah istilah yang sering digunakan oleh

pihak media massa atau masyarakat terhadap Polisi yang melakukan

suatu tindakannya berupa tembakan terhadap tersangka. Istilah tembak di

tempat didalam Kepolisian dikenal dengan suatu tindakan tegas, dimana

tindakan tegas tersebut berupa tindakan tembak di tempat. Bila tembak di

tempat diartikan menurut kamus bahasa Indonesia, maka dapat diartikan

tembak adalah melepaskan peluru dari senjata api (senapan/meriam),

didalam kata depan untuk menandai sesuatu perbuatan atau tempat,

tempat adalah sesuatu untuk menandai atau memberi keterangan disuatu

tempat atau lokasi. Sehingga tembak di tempat dapat diartikan sebagai

suatu perbuatan berupa melepaskan peluru dari senjata api disuatu tempat

atau lokasi. Bila tembak di tempat dikaitkan dengan tugas danwewenang

kepolisian maka tembak di tempat dapat diartikan sebagai suatu

perbuatan berupa melepaskan peluru dari senjata api oleh Polisi terhadap

tersangka disuatu tempat atau lokasi.12

Dalam setiap melakukan tindakan tembak di tempat Polisi selalu

berpedoman pada suatu kewenangan yaitu kewenangan bertindak

menurut penilaiannya sendiri hal ini yang sering disalahgunakan oleh

oknum anggota Kepolisian. Kewenangan ini tertulis di dalam Pasal 18

ayat (1) Undang-Undang Kepolisian Negara Republik Indonesia, Pasal

ini dapat disebut dengan kewenangan diskresi. Dalam konteks Polri,

tindakan diskresi secara legal dapat dilakukan oleh Polri. Dasar hukum

diskresi bagi petugas Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri)

dalam melaksanakan tugasnya dapat dilihat pada Undang-Undang Nomor

2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia:

1. Pasal 15 ayat (2) huruf k, Kepolisian Negara Republik Indonesia

sesuai dengan peraturan perundang-undangan lainnya berwenang:

12

Sadjijono, 2008, Mengenal Hukum Kepolisian, Surabaya: Laksbang Mediatama.

Page 22: TINDAKAN DISKRESI OLEH KEPOLISIAN DALAM …

library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 12

melaksanakan kewenangan lain yang termasuk dalam lingkup tugas

Kepolisian;

2. Pasal 16 ayat (1) huruf I, Dalam rangka menyelenggarakan tugas

dibidang proses pidana, Kepolisian Negara Republik Indonesia

berwenang untuk:mengadakan tindakan lain menurut hukum yang

bertanggung jawab. Dimana tindakan lain harus memenuhi syarat

sesuai dengan Pasal 16 ayat (2), sebagai berikut:

a) Tidak bertentangan dengan aturan hukum;

b) Selaras dengan kewajiban hukum yang mengharuskan tindakan

tersebut dilakukan;

c) Hukum patut, masuk akal, dan termasuk dalam lingkungan

jabatannya;

d) Pertimbangan yang layak berdasarkan keadaan yang memaksa;

e) Menghormati Hak Asasi Manusia.

3. Pasal 18 ayat (1) Untuk kepentingan umum, pejabat Kepolisian

Negara Republik Indonesia dalam melaksanakan tugas dan

wewenangnya dapatbertindak menurut penilaiannya sendiri. Ayat (2)

pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) hanya

dapat dilakukan dalam keadaan yang sangat perlu dengan

memperhatikan peraturan Perundang-undangan, serta Kode Etik

Profesi Kepolisian Negara Republik Indonesia;

4. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana,

yang berhubungan dengan penyelidikan dan penyidikan tindak pidana

menunjuk adanya tindakan lain berdasarkan hukum yang dapat

dipertanggung jawabkan. Pasal 7 ayat (1) huruf j KUHAP, yang

memberikan wewenang kepada penyidik yang karena kewajibannya

dapat melakukan tindakan apa saja menurut hukum yang bertanggung

jawab.

b. Pemberlakuan Tembak di Tempat Terhadap Tersangka

Pada dasarnya pemberlakuan tembak di tempat terhadap tersangka

merupakan langah terakhir yang dilakukan oleh Polisi, sebelum

Page 23: TINDAKAN DISKRESI OLEH KEPOLISIAN DALAM …

library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 13

melakukan tindakan tembak di tempat seorang anggota Polisi harus

mempertimbangkan hal-hal yang tercantum dalam Pasal 45 Undang-

Undang Nomor 8 Tahun 2009 tentang Implementasi Prinsip dan Standar

Hak Asasi Manusia. Dalam Penyelenggaraan Tugas Kepolisian Negara

Republik Indonesia, diantaranya:

1. Tindakan dan cara-cara tanpa kekerasan harus diusahakan terlebih

dahulu;

2. Tindakan keras hanya diterapkan bila sangat diperlukan;

3. Tindakan keras hanya diterapkan untuk penegakkan hukum yang sah;

4. Tidak ada pengecualian atau alasan apapun yang dibolehkan untuk

menggunakan kekerasan yang tidak berdasarkan hukum;

5. Penggunaan kekuatan dan penerapan tindakan keras harus

dilaksanakan secara proporsional dengan tujuan dan sesuai dengan

hukum;

6. Penggunaan kekuatan, senjata atau alat dalam penerapan tindakan

keras harus berimbang dengan ancaman yang dihadapi;

7. Harus ada batasan dalam penggunaan senjata/alat atau dalam

penerapan tindakan keras;

8. Kerusakan dan luka-luka akibat penggunaan kekuatan/tindakan keras

harus seminimal mungkin.

Bila tindakan keras atau penggunaan kekerasan sudah tidak dapat

ditempuh maka pemberlakuan tembak di tempat terhadap tersangka

boleh digunakan dengan benar-benar dan diperuntukkan untuk

melindungi nyawa manusia, hal ini sesuai dengan Pasal 47 ayat (1).

Selain itu menurut ayat (2) pemberlakuan tembak ditempat terhadap

tersangka oleh petugas Kepolisian dapat digunakan untuk:

a) Dalam menghadapi keadaan luar biasa;

b) Membela diri dari ancaman kematian dan/atau luka berat;

c) Membela orang lain terhadap ancaman kematian dan/atau luka berat;

d) Mencegah terjadinya luka berat atau yang mengancam jiwa orang;

Page 24: TINDAKAN DISKRESI OLEH KEPOLISIAN DALAM …

library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 14

e) Menahan, mencegah atau menghentikan seseorang yang sedang atau

akan melakukan tindakan yang sangat membahayakan jiwa;

f) Menangani situasi yang membahayakan jiwa, dimana langkah-

langkah yang lebih lunak tidak cukup.

Dalam menghadapi tersangka yang melakukan tindakan kejahatan

Polisi terkadang harus dilakukan tindakan kekerasan yang menjadi suatu

kewenangan tersendiri bagi Polisi. Dalam terminologi hukum

kewenangan tersebut disebut sebagai tindakan diskresi.

B. Landasan Teori

1. Teori Diskresi

Diskresi dalam Black Law Dictionary berasal dari bahasa Belanda

“Discretionair” yang berarti kebijaksanaan dalam halnya memutuskan

sesuatu tindakan tidak berdasarkan ketentuan-ketentuan peraturan, undang-

undang atau hukum yang berlaku tetapi atas dasar kebijaksanaan,

pertimbangan atau keadilan.13

Diskresi sering dirumuskan sebagai “Freiss

Ermessen”. Menurut kamus hukum yang disusun oleh Simorangkir, diskresi

diartikan sebagai “kebebasan mengambil keputusan dalam setiap situasi

yang dihadapi menurut pendapatnya sendiri”.14

Diskresi selalu dikaitkan

dengan pengambilan keputusan, kekuasaan atau kewenangan yang

dilakukan olehseseorang terhadap persoalan yang dihadapi.15

Diskresi polisi

dapat diartikan sebagai suatu kebijaksanaan berdasarkan kekuasaan untuk

melakukan suatu tindakan atas dasar pertimbangan dan keyakinan dirinya.

Kewenangan diskresi adalah suatu kekuasaan atau wewenang yang

dilakukan berdasarkan hukum atas dasar pertimbangan dan keyakinannya

dan lebih menekankan pertimbangan moral keseimbangan dalam kerangka

hukum. Meskipun demikian, diskresi itu dilakukan bukan lepas dari

ketentuan hukum tetapi diskresi itu tetap dilakukan dalam kerangka hukum.

13Pramadya Yan Puspa, 1977, Kamus Hukum Edisi Lengkap Bahasa Belanda Indonesia

Inggris, Semarang: Aneka Ilmu, hlm. 91. 14

Simorangkir, CST., 2000, Kamus Hukum, Jakarta: Alinea Baru, hlm. 45. 15

Djoko Prakoso, 2007, Polri Sebagai Penyidik dalam Penegakan Hukum, Jakarta:Bina

Aksara, hlm. 182.

Page 25: TINDAKAN DISKRESI OLEH KEPOLISIAN DALAM …

library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 15

Menurut Walker diskresi merupakan wewenang yang diberikan hukum

untuk bertindak dalam situasi khusus sesuai dengan penilaian dan kata hati

instansi atau petugas itu sendiri, sedangkan menurut kenneth Culp Davis

dalam bukunya The Encyclopedia of Police Science mendefinisikan diskresi

sebagai “the copacity of police officer to select from among a number of

legal ang ilegal courses of action orinaction while performing their duties.”

Jadi diskresi dapat diartikan sebagai kapasitas petugas polisi untuk

menentukan tindakan dari sejumlah pilihan tindakan baik legal maupun

ilegal. Dalam kata-katannya yang lain. Kenneth mengartikan bahwa diskresi

sebagai kebijakan yang dilakukan secara selektif oleh polisi (police policy

abaut selektive enforcment).16

Menurut Roscoe Pound, diskresi adalah “An authority conferred by law

to act in certain conditions or situations in accordance with an official’s or

and official agency’s own considered judgment and conscience.”17

Dalam

terjemahan bebas, diskresi bermakna sebagai suatu kewenangan yang

diberikan oleh hukum untuk bertindak di dalam situasi atau keadaan tertentu

sesuai dengan jabatannya atas pertimbangan atau keyakinan sendiri sesuai

dengan hati nuraninnya. Tindakan diskresi polisi mengandung pengertian

bahwa peraturan tidak mungkin dapat menampung keseluruhan

kemungkinan situasi dan tindakan polisi di lapangan sehingga polisi perlu

memiliki kewenangan untuk mengambil kebijakan berdasarkan

penilaiannya sendiri di lapangan tanpa melanggar hukum.

Polisi selaku pelaku diskresi yaitu bertindak seolah-olah tidak

berdasarkan hukum positif yang berlaku, apabila dikaji lebih jauh justru itu

suatu tindakan yang dapat menjunjung tinggi tujuan hukum itu sendiri yaitu

kesejahteraan, kenyamanan dan ketertiban. Dalam tugasnya pekerjaan polisi

itu tidak hanya harus dilihat dalam kaitannya dengan penyelenggaraan

hukum melainkan lebih luas lagi. Artinya bukan hanya pekerjaan yang

16

Syaefurrahman Al-Banjary, 2005, Hitam Putih Polisi dalam Mengungkap Jaringan

Narkoba, Jakarta: Restu Agung, hlm. 34. 17

Roscoe Pound, 1960, “Discretion, Dispensation and Mitigation: The Problem of The

Individual Special Case”, New York University Law Review, hlm. 35.

Page 26: TINDAKAN DISKRESI OLEH KEPOLISIAN DALAM …

library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 16

berkualitas hukum semata, melainkan semua urusan dalam hidup

bermasyarakat, sebagai tugas pokok polisi yang meliputi berbagai macam

kegiatan pemeliharaan dan pencegahan seperti memelihara ketertiban dan

keamanan, keselamatan orang, benda dan masyarakat. Sebagaimana

dijelaskan dalam Pasal 2 Undang-undang No 2 Tahun 2002 tentang

Kepolisian Negara Republik Indonesia, lebih lanjut di dalam Pasal 15 huruf

c yang menegaskan bahwa “Mencegah dan menanggulangi tumbuhnya

penyakit masyarakat”.

Pada Kamus Besar Bahasa Indonesia, diskresi yaitu kebebasan

mengambil keputusan sendiri dalam setiap situasi yang dihadapi. Menurut

Sofyan Lubis, diskresi adalah kebijakan dari pejabat yang intinya

membolehkan pejabat publik melakukan sebuah kebijakan dimana undang-

undang belum mengaturnya secara tegas, dengan syarat, yakni demi

kepentingan umum, masih dalam batas wilayah kewenangannya, dan tidak

melanggar Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Baik (AUPB).18

Diskresi

yaitu kebebasan pejabat dalam mengambil keputusan menurut

pertimbangannya sendiri.

Konsep mengenai diskresi penyidik terdapat dalam Undang-Undang

Negara Republik Indonesia No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara

Republik Indonesia, pada Pasal 18 ayat (1) dan(2), yaitu :

ayat 1 : “Untuk kepentingan umum, pejabat Kepolisian Negara Republik

Indonesia dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya dapat

bertindak menurut penilaiannya sendiri.”

ayat 2 : “Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)

hanya dapat dilakukan dalam keadaan yang sangat perlu dengan

memperhatikan peraturan perundang-undangan, serta kode etik

profesi Kepolisian.”

Wewenang polisi untuk menyidik ini yang meliputi kebijaksanaan

polisi (politie beleid; police discretion) sangat sulit, sebab mereka harus

membuat pertimbangan suatu tindakan yang akan diambil dalam waktu

yang sangat singkat pada penanggapan pertama suatu delik substansi Pasal

18

Sofyan Lubis, 2012, Prinsip Miranda Rule: Hak-hak Tersangka sebelum Pemeriksaan,

Yogyakarta: Pustaka Yustisia, hlm. 34.

Page 27: TINDAKAN DISKRESI OLEH KEPOLISIAN DALAM …

library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 17

18 ayat 1 Undang-Undang Negara Republik Indonesia No. 2 Tahun 2002

tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia merupakan konsep

kewenangan kepolisian, khususnya penyidik yang baru diperkenalkan

walaupun dalam praktek di lapangan selalu digunakan, maka pemahaman

tentang diskresi kepolisian dalam Pasal 18 ayat 1 harus dikaitkan juga

dengan konsekuensi pembinaan profesi yang diatur dalam Pasal 31, 32, dan

33, hal ini dapat terlihat adanya jaminan bahwa penyidik akan mampu

mengambil tindakan secara tepat dan professional berdasarkan penilaiannya

sendiri dalam rangka pelaksanaan tugasnya.

Sedangkan rumusan dalam Pasal 18 ayat (2) merupakan rambu-rambu

bagi pelaksanaan diskresi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yaitu selain

asas keperluan, tindakan diskresi tetap harus sesuai dan memperhatikan

peraturan perundang-undangan serta kode etik profesi Kepolisian Negara

Republik Indonesia. Dan pada Pasal 7 ayat (1) huruf j Kitab Undang-

Undang Hukum Acara Pidana, yang memberikan kewenangan kepada

penyidik yang karena kewajibannya dapat melakukan tindakan tertentu

menurut hukum yang bertanggungjawab. Pelaksanaan diskresi secara

umum, misalnya seperti penyidik menangani perkara pencurian yang

dilakukan oleh anak kecil, setelah berkasnya selesai tidak diproses ke

pengadilan tetapi langsung diserahkan pembinaannya kepada orang tuanya.

Tindakan diskresi tersebut sering menimbulkan debat yang menuduh

penyidik melakukan pelanggaran hukum, namun ada pendapat lain yang

menyatakan polisi sangat bijaksana.

Beberapa pakar hukum mengemukakan pandangan teoritik tentang

diskresi, diantaranya:

a. S. Prajudi Atmosudirjo yang mendefinisikan diskresi, diskretion

(Inggris), diskretionair (Perancis), freis ermessen (Jerman) sebagai

berikut:

Diskresi adalah kebebasan bertindak atau mengambil keputusan dari para

pejabat administrasi negara yang berwenang dan berwajib menurut

pendapat sendiri. Selanjutnya dijelaskan bahwa diskresi diperlukan

Page 28: TINDAKAN DISKRESI OLEH KEPOLISIAN DALAM …

library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 18

sebagai pelengkap dari asas legalitas, yaitu asas hukum yang menyatakan

bahwa “setiap tindakan hukum yang menyatakan bahwa setiap tindak

atau perbuatan administrasi negara harus berdasarkan ketentuan undang-

undang”. Namun demikian, tidak mungkin bagi Undang-undang untuk

mengatur segala macam kasus posisi dalam praktek kehidupan sehari-

hari.19

b. Sjachran Basah menjelaskan bahwa freies ermessen adalah kebebasan

untuk bertindak atas inisiatif sendiri akan tetapi dalam pelaksanaannya

harusah sesuai dengan hukum, sebagaimana telah ditetapkan dalam

negara hukum berdasarkan Pancasila.20

c. Esmi Warassih mengatakan bahwa dalam rangka pelaksanaan

kebijaksanaan publik, para birokat dapat menentukan kebijaksanaannya

sendiri untuk menyesuaikan dengan situasi dimana birokat itu berada

terutama di dalam mengimplementasikan suatu kebijaksanaan publik.21

Adanya diskresi diharapkan agar dengan kondisi yang ada dapat dicapai

suatu hasil atau tujuan yang maksimal.

Berdasarkan pemikiran teoritik di atas, maka dapat disimpulkan bahwa

pada hakekatnya diskresi merupakan kebebasan bertindak atau kebebasan

mengambil keputusan dari badan atau pejabat administrasi pemerintahan

dalam hal ini kepolisian Republik Indonesia yang bertindak menurut

pendapatnya sendiri dalam melakukan tindakan tembak di tempat.

2. Teori Hak Asasi Manusia

Hak Asasi Manusia merupakan istilah dalam Bahasa Indonesia untuk

menyebut hak dasar atau hak pokok yang dimiliki manusia. Istilah hak asasi

19

S. Prajudi Atmosudirjo, 1944, Hukum Administrasi Negara, Jakarta: Ghalia Indonesia,

hlm 82. 20

Sjachran Basah, 1997, Eksistensi dan Tolak Ukur Badan Peradilan Administrasi di

Indonesia, Bandung: Alumni, hlm. 3. 21

Esmi Warassih Puji Rahayu, 2005, Pranata Hukum Sebuah Telaah Sosiologis, Semarang:

Suryandaru Utama, hlm 138-139.

Page 29: TINDAKAN DISKRESI OLEH KEPOLISIAN DALAM …

library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 19

manusia dalam bahasa Prancis disebut droits de I’home yang artinya “hak-

hak manusia” dan dalam bahasa Inggris disebut human right.22

Hak Asasi Manusia adalah hak-hak yang dimiliki manusia semata-

mata karena ia manusia. Umat manusia memilikinya bukan karena diberikan

kepadanya oleh masyarakat atau berdasarkan hukum positif, melainkan

semata-mata berdasarkan martabatnya sebagai manusia.23

Pada dasarnya

Hak Asasi Manusia (HAM) bersifat umum (universal), yang diyakini bahwa

beberapa hak yang dimiliki manusia tidak memiliki perbedaan atas bangsa,

jenis kelamin atau ras. Dasar hak asasi manusia adalah manusia berada

dalam kedudukan yang sejajar dan memiliki kesempatan yang sama dalam

berbagai macam aspek untuk mengembangkan segala potensi yang

dimilikinya.24

Konsep dasar hak-hak asasi manusia menurut Frans Magnis Suseno

mempunyai dua dimensi pemikiran yaitu:25

a. Dimensi Universalitas, yakni subtansi hak-hak asasi manusia itu pada

hakikatnya bersifat umum. Hak Asasi Manusia akan selalu dibutuhkan

oleh siapa saja dan dalam aspek kebudayaan dimanapun itu berada, entah

dalam kebudayaan Barat maupun Timur. Dimensi Hak Asasi Manusia itu

pada hakekatnya akan selalu dibutuhkan dan menjadi sarana bagi

individu untuk mengekspresikan dirinya secara bebas dalam ikatan

kehidupan kemasyarakatan. Dengan kata lain, hak asasi manusia ada

karena yang memiliki hak-hak itu adalah manusia sebagai manusia, jadi

sejauh manusia itu spesies homo sapiens, dan bukan karena ciri-ciri

tertentu yang dimiliki.

b. Dimensi kontekstualitas, menyangkut penerapan hak asasi manusia bila

ditinjau dari tempat berlakunya hak-hak asasi manusia tersebut.

22

Triyanto, 2013, Negara Hukum dan Ham, Yogyakarta: Ombak, hlm 29. 23

Jack Donnely dalam Rhona K.M, dkk, 2010, Hukum Hak Asasi Manusia, Yogyakarta:

Pusat Studi Hak Asasi Manusia Universitas Islam Indonesia, hlm. 11. 24

Utsman Ali, 11 Maret 2015, Pengertian Hak Asasi Manusia Menurut Para Pakar,

dalam http://www.pengertianpakar.com/2015/03/pengertian-ham-hak-asasi-manusia.html, di akses

pada selasa03 Oktober 2018 pukul 22:38. 25

Frans Magnis Suseno dalam Putera Astomo, 2014, Hukum Tata Negara: Teori dan

Praktek, Yogyakarta: Thafa Media, hlm. 97.

Page 30: TINDAKAN DISKRESI OLEH KEPOLISIAN DALAM …

library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 20

Maksudnya, bahwa ide-ide hak asasi manusia dapat diterapkan secara

efektif sepanjang tempat ide-ide hak asasi manusia itu memberikan

suasana kondusif untuk itu. Dengan kata lain, ide-ide hak asasi manusia

akan dapat dipergunakan secara efektif dan menjadi landasan etik dalam

pergaulan manusia, jikalau struktur kehidupan masyarakat entah itu Barat

maupun Timur sudah tentu tidak memberikan tempat bagi terjaminnya

hak-hak individu yang ada didalamnya.

Menurut teori universal, hak asasi manusia berangkat dari konsep

universalisme moral dan kepercayaan akan keberadaan kode-kode moral

universal yang melekat pada seluruh umat manusia. Universal moral

meletakkan keberadaan kebenaran moral yang bersifat lintas budaya dan

lintas sejarah yang dapat diidentifikasikan secara rasional.26

Sementara

menurut teori Relativisme Budaya, gagasan tentang relativisme budaya

mendalihkan bahwa kebudayaan merupakan satu-satunya sumber keabsahan

hak atau kaidah moral.27

Karena itu hak asasi manusia dianggap perlu

dipahami dari konteks kebudayaan masing-masing Negara. Semua

kebudayaan mempunyai hak hidup serta martabat yang sama yang harus

dihormati.28

Ada beberapa teori yang penting dan relevan dengan persoalan HAM

antara lain teori hak-hak kodrati (natural right theory), teori positivisme

(positivist theory) dan teori relativisme budaya (cultural realitivist theory).

1. Teori hak-hak kodrati (natural right theory)

HAM adalah hak-hak yang dimiliki oleh semua orang setiap saat

dan disemua tempat oleh karena manusia dilahirkan sebagai manusia.

Hak-hak tersebut termasuk hak untuk hidup, kebebasan dan harta

kekayaan. Pengakuan tidak diperlukan bagi HAM, baik dari pemerintah

atau dari suatu sistem hukum, karena HAM bersifat universal.

26

Rhona K.M, dkk, 2010, Hukum Hak Asasi Manusia, Yogyakarta: Pusat Studi Hak Asasi

Manusia Universitas Islam Indonesia, hlm. 19. 27

Jack Donely dalam Rhona K.M., Op. Cit, hlm. 11 28

Ibid, hlm. 20.

Page 31: TINDAKAN DISKRESI OLEH KEPOLISIAN DALAM …

library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 21

Berdasarkan alasan ini, sumber HAM sesungguhnya semata-mata berasal

dari manusia.29

Teori kodrati mengenal hak (natural right theory) yang menjadi asal-

usul gagasan mengenai hak asasi manusia bermula dari teori hukum

kodrati (natural right theory). Teori ini dapat dirunut kembali jauh ke

zaman kuno dengan filsafat stoika hingga ke zaman modern melalui

tulisan-tulisan hukum kodrati Santo Thomas Aquinas.30

Selanjutnya ada

Hugo de Groot (nama latinnya: Grotius), seorang ahli hukum Belanda

yang dinobatkan sebagai “bapak hukum internasional”, yang

mengembangkan lebih lanjut teori hukum kodrati Aquinas dengan

memutus asas-usulnya yang theistik dan membuatnya menjadi produk

pemikiran sekuler yang rasional. Dengan landasan inilah, pada

perkembangan selanjutnya, salah seorang kaum terpelajar pasca-

Renaissans, John Locke, mengajukan pemikiran mengenai teori hak-hak

kodrati. Gagasan Locke mengenai hak-hak kodrati inilah yang melandasi

munculnya revolusi hak dalam revolui yang meletup di Inggris, Amerika

Serikat dan Perancis pada abad ke-17 dan ke-18.

2. Teori Positivisme (Positivist Theory)

Teori ini berpandangan bahwa karena hak harus tertuang dalam

hukum yang rill, maka dipandang sebagai hak melalui adanya jaminan

konstitusi (rights, then should be created and granted by constitution,

laws, and contracts). Teori atau mazhab positivisme ini memperkuat

serangan dan penolakan kalangan utilitarian, dikembangkan belakangan

dengan lebih sitematis oleh John Austin. Kamum positivis berpendapat

bahwa eksistensi dan isi hak hanya dapat diturunkan dari hukum negara.

Satu-satunya hukum yang sahih adalah perintah dari yang berdaulat. Ia

tidak datang dari “alam” ataupun “moral”.31

29

Andrey Sujatmiko, Jurnal Sejarah, Teori, Prinsip dan Kontroversi HAM, hlm. 5 30

Rhona K. M. Smith, dkk., 2008, Hukum Hak Asasi Manusia,Yogyakarta: PUSHAM UII,

hlm 12. 31

Ibid, hlm 14.

Page 32: TINDAKAN DISKRESI OLEH KEPOLISIAN DALAM …

library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 22

3. Teori Relativisme Budaya (Cultural Relativist Theory)

Teori ini merupakan salah satu bentuk anti-tesis dari teori hak-hak

alami (natural right). Teori ini berpandangan bahwa hak itu bersifat

universal merupakan pelanggaran satu dimensi kultural terhadap dimensi

kultural yang lain, atau disebut dengan imperialisme kultural (cultural

imperialism). Yang ditekankan dalam teori ini adalah bahwa manusia

merupakan interaksi sosial dan kultural serta perbedaan tradisi budaya

dan peradaban berisikan perbedaan cara pandang kemanusiaan (different

ways of being human).

3. Teori Sistem Hukum

Lawrence M. Friedman mengemukakan bahwa efektif dan berhasil

tidaknya penegakan hukum tergantung tiga unsur sistem hukum, yakni

struktur hukum (strukture of law), substansi hukum (substance of the law)

dan budaya hukum (legal culture). Struktur hukum menyangkut aparat

penegak hukum, substansi hukum meliputi perangkat perundang-undangan

dan budaya hukum merupakan hukum yang hidup (living law) yang dianut

dalam suatu masyarakat.32

Ketiga komponen ini mendukung berjalannya

sistem hukum di suatu Negara. Secara realitas sosial, keberadaan sistem

hukum yang terdapat dalam masyarakat mengalami perubahan-perubahan

sebagai akibat pengaruh, apa yang disebut dengan modernisasi atau

globalisasi baik itu secara evolusi maupun revolusi.33

Ketiga komponen ini mendukung berjalannya sistem hukum disuatu

Negara. Secara realitas sosial, keberadaan sistem hukum yang terdapat

dalam masyarakat mengalami perubahan-perubahan sebagai akibat

pengaruh, apa yang disebut dengan modernisasi atau globalisasi baik itu

secara evolusi maupun revolusi.34

Di Indonesia berbicara struktur hukum

maka hal tersebut merujuk pada struktur institusi-institusi penegakan

32

Lawrence M. Friedman, 2009, Sistem Hukum: Perspektif Ilmu Sosial, Jakarta: Nusa

Media, hlm 5. 33

Saifullah, 2007, Refleksi Sosiologi Hukum, Bandung: Refika Aditama, hlm. 26. 34

Ibid, hlm. 27.

Page 33: TINDAKAN DISKRESI OLEH KEPOLISIAN DALAM …

library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 23

hukum, seperti kepolisian, kejaksaan dan pengadilan. Aspek lain dari

struktur hukum adalah subtansinya.35

Subtansi adalah aturan, norma, dan

pola perilaku nyata manusia yang berada dalam sistem itu. Jadi subtansi

hukum menyangkut peraturan perundang-undangan yang berlaku yang

memiliki kekuatan yang mengikat dan menjadi pedoman bagi aparat

penegak hukum. Kultur hukum menyangkut budaya hukum yang

merupakan sikap manusia (termasuk budaya hukum aparat penegak

hukumnya) terhadap hukum dan sistem hukum. Sebaik apapun penataan

struktur hukum untuk menjalankan aturan hukum yang ditetapkan dan

sebaik apapun kualitas subtansi hukum yang dibuat tanpa didukung budaya

hukum oleh orang-orang yang terlibat dalam system dan masyarakat maka

penegakan hukum tidak akan berjalan secara efektif.

Hukum sebagai alat untuk mengubah masyarakat atau rekayasa sosial

tidak lain hanya merupakan ide-ide yang ingin diwujudkan oleh hukum itu.

Untuk menjamin tercapainnya fungsi hukum sebagai rekayasa masyarakat

kearah yang lebih baik, maka bukan hanya dibutuhkan ketersediaan hukum

dalam arti kaidah atau peraturan, melainkan juga adanya jaminan atas

perwujudan kaidah hukum tersebut kedalam praktek hukum, atau dengan

kata lain, jaminan akan adanya penegakan hukum (law enforcement) yang

baik.36

Bekerjanya hukum bukan hanya merupakan fungsi perundang-

undangan belaka, melainkan aktifitas birokrasi pelaksanaanya.37

Unsur-unsusr tersebut menurut Lawrence M. Friedman sebagai faktor

penentu apakah suatu sistem hukum dapat berjalan dengan baik atau tidak.38

Soerjono Soekanto, mengatakan ketiga komponen ini merupakan bagian

faktor-faktor penegakan hukum yang tidak bisa diabaikan karena jika

35

Ahcmad Ali, 2002, Keterpurukan Hukum di Indonesia, Jakarta: Ghalia Indonesia, hlm. 8. 36

Munir Fuady, 2003, Aliran Hukum Kritis: Paradigma Ketidakberdayaan Hukum,

Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, hlm. 40. 37

Ahcmad Ali, Op. Cit, hlm. 97. 38

Ibid, hlm 9.

Page 34: TINDAKAN DISKRESI OLEH KEPOLISIAN DALAM …

library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 24

diabaikan akan menyebabkan tidak tercapaianya penegakan hukum yang

diharapkan.39

Teori ini digunakan sebagai pisau analisis karena sangat tepat

digunakan untuk melihat dan memudahkan dalam masalah mengenai

tindakan tembak ditempat yang dilakukan oleh pihak kepolisian kepada

pelaku kejahatan.

C. Penelitian yang Relevan

Berdasarkan penelususran yang dilakukan oleh penulis, diketahui

beberapa penelitian yang oleh penulis dianggap relevan dengan penelitian

Tesis ini, antara lain:

No Nama Penulis

(Tahun)

Judul Hasil Penelitian

1. Brooke Veronika

Sendewana (2013)

(Jurnal Hukum)

“Studi Kasus Mengenai

Tembak di Tempat

Tersangka Oleh

Kepolisian”

Berdasarkanpengambilan

Tindakan tembak ditempat

pada tersangka oleh

kepolisian. Serta petugas

kepolisian dalam

menjalankan tugas dan

wewenangnya harus selalu

berdasarkan pada asas

akuntabilitas dimana didalam

setiap menjalankan tugasnya

selalu berdasarkan pada

peraturan peraturan

Perundang-undangan yang

berlaku. Cara-cara praktis

yang menggunakan

kekerasan tidak menjadi

harapan didalam paradigma

penegakan hukum di era

reformasi.

2. Lidya Susanti (2014).

(Jurnal Hukum)

“Kajian Yuridis

Tentang Kewenangan

Tembak di Tempat

Oleh Aparat Kepolisin

Terhadap Tersangka

Berdasarkan Asas Praduga

Tak Bersalah dalam Poin ke-3

sub c Undang-undang Nomor

8 Tahun 1981 KUHP dan

Pasal 8 Undang-undang

39

Soerjono Soekanto, 1983, Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum,

Jakarta: Rajawali, hlm. 5.

Page 35: TINDAKAN DISKRESI OLEH KEPOLISIAN DALAM …

library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 25

Dikaitkan Dengan Asas

Praduga Tidak

Bersalah”

Nomor 4 Tahun 2004 dapat

dikesampingkan oleh petugas

kepolisian dalam menangkap

tersangka. Berdasarkan

pertanggungjawaban pidana

terhadap aparat kepolisian

yang melakukan tindakan

tembak ditempat tidak sesuai

prosedur dapat dikenakan

sanksi administrative dan

tindakan disiplin dari institusi

kepolisian sesuai dengan

peraturan yang berlaku,

namun tidak menutup

kemungkinan aparat

kepolisian tersebut untuk

dikenakan juga sanksi pidana.

Sejauh ini telah banyak peneliti yang melakukan penelitian dan penulisan

terkait dengan Diskresi Kepolisian, tetapi untuk tembak di tempat atau

penggunaan senjata api dikaitkan dengan perspektif Hak Asasi Manusia

(HAM) sendiri masih dibilang tidak banyak yang meneliti atau masih minim.

Pada penelitian di tabel 1 di atas lebih menekankan mengenai subtansi

peraturan-peraturan yang ada. Disimpukan bahwa berdasarkan pengambilan

Tindakan tembak ditempat pada tersangka oleh kepolisian serta petugas

kepolisian dalam menjalankan tugas dan wewenangnya harus selalu

berdasarkan pada asas akuntabilitas dimana didalam setiap menjalankan

tugasnya selalu berdasarkan pada peraturan peraturan Perundang-undangan

yang berlaku. Cara-cara praktis yang menggunakan kekerasan tidak menjadi

harapan didalam paradigma penegakan hukum di era reformasi. Penelitian di

tabel 2 disimpulkan Berdasarkan Asas Praduga Tak Bersalah dalam Poin ke-3

sub c Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 KUHP dan Pasal 8 Undang-

undang Nomor 4 Tahun 2004 dapat dikesampingkan oleh petugas kepolisian

dalam menangkap tersangka. Berdasarkan pertanggungjawaban pidana

terhadap aparat kepolisian yang melakukan tindakan tembak ditempat tidak

sesuai prosedur dapat dikenakan sanksi administrative dan tindakan disiplin

dari institusi kepolisian sesuai dengan peraturan yang berlaku, namun tidak

Page 36: TINDAKAN DISKRESI OLEH KEPOLISIAN DALAM …

library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 26

menutup kemungkinan aparat kepolisian tersebut untuk dikenakan juga sanksi

pidana.

Dalam penelitian ini, penulis hendak membahas mengenai pertimbangan

polisi melakukan diskresi tindakan tembak di tempat. Di dalam penelitian ini

penulis juga memberikan contoh kasus tembak di tempat dan kemudian

dianalisis dengan perspektif Hak Asasi Manusia (HAM) . Menurut penulis,

subtansi itu penting tetapi kita juga harus melihat jelas dengan keadaan yang

terjadi di lapangan. Karena dengan demikian kita dapat melihat fakta-fakta

baru yang bisa kita ketahui. Subtansi berupa Undang-Undang bisa jelas kita

ketahui karena sudah diatur dan telah ada.

Page 37: TINDAKAN DISKRESI OLEH KEPOLISIAN DALAM …

library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 27

D. Kerangka Berfikir

Keterangan:

Polisi mempunyai kewenangan bertindak menurut penilaiannya sendiri,

kewenangan ini disebut dengan kewenangan diskresi, dalam penerapannya di

lapangan biasanya Polisi melakukan tindakan tembak di tempat terhadap

tersangka. Pemberlakuan tindakan tembak di tempat terhadap tersangka

Kepolisian Republik Indonesia

Kewenangan

Polri

Diskresi

Tindakan Tembak

Ditempat

Pertimbangan polisi

dalam melakukan

diskresi tindakan

tembak di tempat

Diskresi tindakan tembak

di tempat (kasus)

Perspektif

Hak Asasi Manusia

Teori Sistem Hukum

- Teori Diskresi

- Teori Hak Asasi

Manusia

Page 38: TINDAKAN DISKRESI OLEH KEPOLISIAN DALAM …

library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 28

bersifat situasional dan senjata api harus dilakukan pada saat keadaan tertentu.

Dalam melakukan tembak ditempat, polisi juga memiliki pertimbangan sendiri

mengapa perlu dilakukan tembak di tempat seperti dalam keadaan terdesak

atau pelaku kejahatan melakukan perlawanan sehingga dapat mengancam jiwa

pihak kepolisian.

Dalam menjalankan kewenangannya tersebut, kepolisian juga dituntut

untuk tidak berbuat melebihi batasannya dan menghormati hak hidup Hak

Asasi Manusia (HAM) meskipun pihak kepolisian telah diberikan wewenang

yang telah diatur dalam Undang-undang.

Page 39: TINDAKAN DISKRESI OLEH KEPOLISIAN DALAM …

library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

29

BAB III

METODE PENELITIAN

A. Jenis Penelitian

Jenis penelitian hukum ini adalah non doktrinal. Tipe ini adalah kajian

keilmuan dengan maksud hanya hendak mempelajari saja bukan hendak

mengajarkan suatu doktrin, maka metodenya disebut sebagai metode non

doktrinal.40

Hukum disini bukan dikonsepkan sebagai rules tetapi sebagai

regularities yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari atau dalam alam

pengalaman. Disini hukum adalah tingkah laku atau aksi-aksi dan interaksi

manusia secara aktual dan potensial akan terpola. Karena setiap perilaku atau

aksi itu merupakan suatu realita sosial yang terjadi dalam alam pengalaman

indrawi dan empiris.41

Dari perspektif ini hukum akan menampakkan diri sebagai realitas sosial

yang kasat mata, yang tentunya akan dikategorikan berdasarkan keajegan-

keajegan (regulaties nomos) atau keseragaman-keseragaman (uniformilities)

peristiwanya. Dengan demikian menurut konsepnya hukum akan dapat diamati,

maka hukum yang dikonsepkan secara sosiologis akan dapat dijadikan objek

penelitian yang dikerjakan oleh positifis, non doktrinal, dan tidak akan lagi

dijadikan sekedar objek penggarapan-penggarapan untuk menyusun sistem

normative yang koheren belaka (atas dasar prosedur logika deduktif semata-

mata).42

Lebih lanjut dikatakan dalam melakukan penelitian hukum langkah-

langkah yang dilakukan adalah sebagai berikut:

1. Mengidentifikasikan fakta hukum dan mengeliminir hal-hal yang tidak

relevan untuk menetapkan isu hukum yang hendak dipecahkan;

40

Setiono, 2010, Pemahaman Terhadap Metodologi Penelitian Hukum, Surakarta:

Pascasarjana Universitas Sebelas Maret, hlm. 22. 41

Ibid, hlm. 22. 42

Soetandyo Wignjosoebroto, 2002, Hukum, Metode dan Dinamika Masalahnya, Elsam

dan Huma Cetakan Pertama, hlm. 193-194.

Page 40: TINDAKAN DISKRESI OLEH KEPOLISIAN DALAM …

library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 30

2. Pengumpulkan bahan-bahan hukum dan sekiranya dipandang mempunyai

relevansi juga bahan-bahan non hukum;

3. Melakukan telaah atas isu yang diajukan berdasarkan bahan-bahan yang

telah dikumpulkan;

4. Menarik kesimpulan dalam bentuk argumentasi yang menjawab isu hukum;

5. Memberikan preskripsi berdasarkan argumentasi yang telah dibangun

didalam kesimpulan.43

B. Lokasi Penelitian

Penelitian ini mengambil lokasi di Polda Jawa Tengah dan Polda DIY.

Alasan dipilihnya lokasi ini karena ketersediaan data yang berhubungan

dengan permasalahan dalam tesis ini.

C. Jenis dan Sumber Data

1. Jenis Data

Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah:

a) Data Primer

Data primer adalah sejumlah data yang berupa keterangan atau

penjelasan dari subyek penelitian, guna mendapat penjelasan yang lebih

mendalam tentang data sekunder. Data diperoleh secara langsung dari

wawancara di Polda Jawa Tengah dan Polda DIY, yaitu orang yang

dijadikan key informant.

b) Data Sekunder

Data sekunder adalah data yang tidak langsung diperoleh dari

lapangan, yang memberikan keterangan tambahan atau pendukung

kelengkapan data primer, termasuk data disini berupa dokumen-

dokumen, tulisan-tulisan, ilmu ilmiah dan literatur-literatur yang

mendukung.

43

Peter Mahmud Marzuki, 2005, Penelitian Hukum, Jakarta: Kencana Prenada Media

Group, hlm. 171.

Page 41: TINDAKAN DISKRESI OLEH KEPOLISIAN DALAM …

library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 31

2. Sumber Data

Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini adalah:

a) Bahan Hukum Primer

Bahan hukum primer adalah bahan-bahan hukum yang bersifat

pokok dan mengikat yaitu semua peraturan perundang-undangan yang

berkaitan dengan masalah yang diteliti oleh penulis:

1) Undang-undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Kitab Undang-undang

Hukum Pidana.

2) Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM.

3) Undang-undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Republik

Indonesia.

4) Peraturan Kapolri Nomor 1 Tahun 2009 TENTANG Pengaturan

Kekuatan dalam Tindakan Kepolisian, dan Perkap yang lainnya.

5) Peraturan Kapolri Nomor 8 Tahun 2009 tentang Implementasi

Prinsip dan Standar Hak Asasi Manusia dalam Penyelenggaraan

Tugas Kepolisian Negara Republik Indonesia.

b) Bahan Hukum Sekunder

Bahan Hukum sekunder yang digunakan berupa keterangan-

keterangan yang diperoleh secara langsung dari lapangan melalui

wawancara dengan pihak-pihak yang dipandang mengetahui objek yang

diteliti yaitu tindakan diskresi kepolisian dalam hal tembak ditempat.

Informan dalam penelitian ini adalah AKBP Makmur Kasubdit 1

Direskrimum Polda Jawa Tengah, AKBP Daup Wismawati

Kasubbidbankum Bidkum Polda Jawa Tengah dan Iptu Ronny Prasadana

Panit 1 Sident Direskrimum Polda DIY.

c) Bahan Hukum Tersier

Bahan hukum tersier merupakan bahan hukum yang memberikan

informasi, petunjuk, maupun penjelasan dalam bahan hukum primer dan

Page 42: TINDAKAN DISKRESI OLEH KEPOLISIAN DALAM …

library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 32

bahan hukum sekunder seperti Kamus Besar Bahasa Indonesia, Kamus

Hukum, ensiklopedia, yang akan dibahas dalam penelitian ini.44

D. Teknik Pengumpulan Data

Menurut Soerjono Soekanto dalam penelitian lazimnya dikenal 3 (tiga)

alat pengumpul data, yaitu “Studi dokumen atau bahan pustaka, pengamatan

atau observasi, dan wawancara atau interview”.45

Pengumpulan data mencari

dan mengumpulkan data yang diperlukan terhadap berbagai jenis dan bentuk

data yang ada di lapangan kemudian data tersebut dicatat. Dalam penelitian ini

teknik pengumpulan data yang dilakukan adalah:

1. Wawancara (Interview)

Wawancara adalah “percakapan dengan maksud tertentu. Percakapan

itu dilakukan oleh dua pihak yaitu pewawancara yang mengajukan

pertanyaan dan diwawancarai yang memeberikan pertanyaan itu”.46

Instrumen wawancara yang digunakan adalah bebas terpimpin, yang bersifat

terbuka. Penulis melakukan wawancara secara langsung dengan AKBP

Makmur Kasubdit 1 Direskrimum Polda Jawa Tengah, AKBP Daup

Wismawati Kasubbidbankum Bidkum Polda Jawa Tengah dan Iptu Ronny

Prasadana Panit 1 Sident Direskrimum Polda DIY.

2. Studi Dokumen

Metode studi dokumen adalah cara pengumpulan data tertulis seperti

buku, majalah, peraturan, gambar, notulen rapat serta cacatan harian.

Metode studi dokumen dilakukan dengan cara atau metode dimana peneliti

melakukan kegiatan pencatatan terhadap data yang ada di lokasi penelitian

untuk memperkuat apa yang terdapat di lapangan pada saat wawancara.

Dalam hal ini peneliti memperoleh dokumen dari buku-buku literatur dan

berkas yang berkaitan dengan analisis yuridis sosiologis terhadap tindakan

44

Burhan Ashofa, Metode Penelitian Hukum, Jakarta: Rineka Cipta. 45

Amiruddin dan Asikin Zainal, 2001, Pengantar Metode Penelitian Hukum, Jakarta: PT.

Raja Grafindo Persada, hlm. 25. 46

Lexy J. Moleong, 2004, Metode Penelitian Kualitatif, Bandung: Remaja Rosdakarya,

hlm. 246.

Page 43: TINDAKAN DISKRESI OLEH KEPOLISIAN DALAM …

library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 33

diskresi yang dilakuakn oleh kepolisian dalam tembak di tempat perspektif

Hak Asasi Manusia.

E. Teknik Analisis Data

Teknik analisis data yang dilakukan pada penelitian ini adalah teknik

analisa data model interaktif. Analisa data menurut Lexy J. Moleong adalah

upaya yang dilakukan dengan jalan bekerja dengan data, mengorganisasikan

data, memilah-milahnya menjadi satuan yang dapat dikelola,

mensintesiskannya, mencari dan menemukan pola, menemukan apa yang

penting dan apa yang dipelajari, dan memutuskan apa yang dapat diceritakan

kepada orang lain.47

Analisis tersebut juga memungkinkan ditemukannya makna berbagai hal

bagi informan. Teknik analisis model interaktif yang melakukan:48

1. Reduksi Data

Reduksi data adalah proses pemilihan, pemusatan perhatian pada

penyederhanaan, pengabstraksian, dan transformasi data kasar yang muncul

dari catatan-catatan tertulis di lapangan. Reduksi data bukan sesuatu yang

terpisah dengan analisis. Ia merupakan bagian dari analisis penyajian.

2. Penyajian data

Penyajian data adalah penyajian sekumpulan informasi yang tersusun

yang memungkinkan dilakukan penarikan simpulan dan pengambilan

tindakan. Penyajian yang sering dilakukan pada penelitian kualitatif adalah

penyajian dengan teks naratif. Selain itu, penyajian dapat dibantu dengan

matriks, grafik, jaringan dan atau bagan.

3. Penarikan simpulan/verifikasi

Penarikan simpulan/verifikasi adalah kegiatan yang penting. Artinya

dalam kegiatan ini peneliti menarik kesimpulan dan melakukan verifikasi

yang mengarah kepada jawaban dari permasalahan yang dinyatakan.49

47

Ibid, hlm. 248 48

HB. Sutopo, 2006, Metodologi Penelitian Kualitatif, Surakarta: UNS Press, hlm. 120. 49

Mattew B. Miles dan A. Michael Huberman, 2007, Analisis Data Kualitatif, Jakarta: UI

Pres, hlm. 15.

Page 44: TINDAKAN DISKRESI OLEH KEPOLISIAN DALAM …

library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

34

BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Pertimbangan polisi dalam melakukan diskresi tindakan tembak di

tempat

Dalam menjalankan tugasnya sebagai penegak hukum, anggota

kepolisian kadang dihadapkan dengan upaya perlawanan dari tersangka atau

pelaku tindak pidana. Upaya perlawanan tersebut jika tidak di tindak tegas

dapat mengancam nyawa anggota kepolisian bahkan warga masyarakat sekitar.

Berdasarkan hasil wawancara dengan AKBP Daup Wismawati

Kasubbidbankum Bidkum Polda Jawa Tengah, berkaitan dengan penegakan

hukum yang dilakukan oleh anggota kepolisian, bahwa anggota kepolisian

harus memandang tidak secara kaku untuk diberlakukan kepada siapapun dan

dalam kondisi apapun. Untuk itu, anggota dapat menindak pelaku yang

melakukan perlawanan tersebut dengan pandangan atau penilaiannya sendiri

yang dikenal dengan istilah kewenangan diskresi.

AKBP Daup Wismawati menjelaskan bahwa pada konteks Kepolisian di

Indonesia. Pelaksanaan diskresi didasarkan pada ketentuan perundang-

undangan yaitu Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian

Negara Republik Indonesia, dimana pada Pasal 4 dinyatakan bahwa Kepolisian

Negara Republik Indonesia bertujuan untuk mewujudkan keamanan dalam

negeri yang meliputi terpeliharanya keamanan dan ketertiban masyarakat,

tertib dan tegaknya hukum, terselenggarakanya perlindungan, pengayoman dan

pelayanan kepada masyarakat, serta terbinanya masyarakat dengan menjunjung

tinggi hak asasi manusia. Tujuan kepolisian tersebut dijabarkan dalam tugas

dan wewenangnya sebagai aparat penegak hukum dan memelihara ketertipan

yang diatur dalam Pasal 13 dan Pasal 14, untuk itu polisi berwenang

melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan dan penyitaan,

penghentian penyidikan dan lain-lain dan pada Pasal 16 huruf l polisi

mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggungjawab. Kemudian

Page 45: TINDAKAN DISKRESI OLEH KEPOLISIAN DALAM …

library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 35

jika dikaitkan dengan KUHAP pada penjelasan Pasal 5 ayat (1) huruf a angka 4

dan Pasal 7 ayat (1) huruf j, maka yang dimaksud tindakan lain menurut hukum

yang bertanggungjawab adalah tindakan yang:

1. Tidak bertentangan dengan hukum;

2. Selaras dengan kewajiban hukum yang mengharuskan dilakukannya

tindakan jabatan;

3. Tindakan itu harus patut dan masuk akal dan termasuk dalam lingkungan

jabatannya;

4. Atas pertimbangan yang layak berdasarkan keadaan yang memaksa; dan,

5. Menghormati Hak Asasi Manusia.

Menurut AKBP Makmur Kasubdit 1 Direskrimum Polda Jawa Tengah,

diskresi adalah suatu tindakan oleh penyidik menurut penilaiannya sendiri yang

berdasarkan atas kepentingan umum dengan rasa tanggungjawab dengan

alasan-alasan tertentu. Menurut Iptu Ronny Prasadana Panit 1 Sident

Direskrimum Polda DIY, diskresi adalah suatu kewenangan yang dipunyai oleh

aparat pejabat publik, dalam hal ini di dalamnya juga terdapat aparat kepolisian

yang menurut penilaiannya sendiri dalam menentukan suatu tindakan tertentu.

Tindakan yang dilakukan polisi tersebut dapat berupa peringatan yang

disampaikan secara lisan kepada pelaku atau tersangka atau bahkan dengan

menembak pelaku di tempat penangkapan. Tindakan tembak di tempat

merupakan wewenang yang diberikan undang-undang kepada aparat

kepolisian, seperti yang sudah diatur dalam Pasal 18 UU No. 2 Tahun 2002

tentang POLRI. Menurut aturan tersebut, aparat kepolisian dapat melakukan

tindakan-tindakan untuk menjamin terciptanya keamanan dan ketertiban dalam

masyarakat. Oleh karena tindakan yang dilakukan atas dasar penilaian dan

pertimbangan sendiri, maka tepat dan tidaknya penilaian sangat dipengaruhi

oleh moralitas pengambil tindakan, dalam hal ini aparat kepolisian.

Kewenangan diskresi tersebut berkaitan erat dengan kebebasan bertindak

dari pemerintah. Philipus M. Hadjon mengemukakan, bahwa kebebasan

pemerintah dibedakan menjadi kebebasan kebijaksanaan dan kebebasan

penilaian. Kebebasan kebijaksanaan yang juga dimaknai sebagai wewenang

Page 46: TINDAKAN DISKRESI OLEH KEPOLISIAN DALAM …

library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 36

diskresi dalam arti sempit, apabila peraturan perundang-undangan memberikan

wewenang tertentu kepada lembaga pemerintah, sedangkan lembaga tersebut

bebas untuk menggunakannya atau tidak meskipun syarat-syarat bagi

penggunaannya secara sah dipenuhi. Sedangkan kebebasan penilaian, sejauh

menurut hukum diserahkan kepada lembaga/institusi pemerintah untuk menilai

secara mandiri dan eksklusif apakah syarat-syarat bagi pelaksanaan suatu

wewenang secara sah telah dipenuhi.50

Tindakan tersebut dilakukan oleh

anggota kepolisian untuk mencegah agar pelaku tidak kabur atau untuk

mencegah adanya korban dari pihak kepolisian atau masyarakat.

AKBP Makmur menjelaskan bahwa berdasarkan Peraturan Kapolri

Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penggunaan Kekuatan dalam Tindakan

Kepolisian. Kebijakan penggunaan kekuatan dalam tindakan kepolisian

bertujuan untuk mencegah, menghambat atau menghentikan tindakan pelaku

kejahatan atau tersangka yang sedang berupaya atau sedang melakukan

tindakan yang bertentangan dengan hukum atau mencegah pelaku kejahatan

atau tersangka melarikan diri atau melakuakan tindakan yang membahayakan

anggota Polri atau masyarakat dan juga untuk melindungi diri atau masyarakat

dari ancaman atau perbuatan pelaku kejahatn atau tersangka yang dapat

menimbulkan luka parah atau mematikan, juga melindungi kehormatan,

kesusilaan atau harta benda diri sendiri atau masyarakat dari serangan yang

melawan hak dan/atau mengancam jiwa manusia.51

Penggunaan kekuatan dengan kendali senjata api dilakukan ketika aparat

kepolisian tidak memiliki alternative lain yang beralasan dan masuk akal untuk

menghentikan tindakan/perbuatan pelaku kejahatan atau tersangka.

Penggunaan kekuatan dengan kendali senjata api atau alat lain dapat dilakukan

apabila tersangka melarikan diri, dan penggunaan senjata api merupakan upaya

terakhir untuk menghentikan tindakan pelaku kejahatan atau tersangka

50

Sadjijono dan Bagus Teguh Santoso, 2017, Hukum Kepolisian di Indonesia Studi

Kekuasaan dan Rekontruksi Fungsi Polri dalam Fungsi Pemerintahan, Surabaya: Laksbang

PRESSindo, hlm. 184. 51

Wawancara dengan AKBP Makmur, Kasubdit 1 Direskrimum Polda Jawa Tengah pada

tanggal 24 Mei 2019.

Page 47: TINDAKAN DISKRESI OLEH KEPOLISIAN DALAM …

library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 37

tersebut. Namun dalam hal nyawa masyarakat ataupun jiwa aparat kepolisian

terancam saat berhadapan dengan tersangka, maka aparat kepolisian dapat

melakukan penggunaan kendali senjata api dengan atau tanpa harus diawali

peringatan lisan untuk menghentikan tindakan pelaku kejahatan atau tersangka.

Sedapat mungkin tindakan tembak di tempat dihindarkan oleh aparat

kepolisian dengan melakukan pendekatan secara halus terhadap tersangka

pidana tanpa adanya kekerasan, namun tidak selamanya harus halus dan lemah

lembut tetapi juga boleh keras dan kasar, asal proposional.

Khusus untuk tindakan tembak di tempat, memiliki prosedur atau

tahapan-tahapan dalam pelaksanaannya. Adapun penggunaan senjata api dalam

pelaksanaan tindakan tembak di tempat diatur dalam Pasal 5 Peraturan Kapolri

No. 1 Tahun 2009, tahapan-tahapan tersebut antara lain:

a. Tahap 1: kekuatan yang memiliki dampak pencegahan.

Contohnya, saat polisi menggunakan seragam lengkap dan melakukan

penjagaan di pusat keramaian.

b. Tahap 2 : perintah lisan.

Contohnya, saat polisi berteriak “jangan bergerak” atau “berhenti” kepada

pelaku kejahatan.

c. Tahap 3 : kendali tangan kosong lunak.

Contohnya, ketika peringatan tahap 2 tidak didengarkan, kemudian pelaku

kejahatan mendekati petugas, lalu anggota kepolisian menggunakan tangan

kosong untuk melakukan perlawanan.

d. Tahap 4 : kendali tangan kosong keras.

Contohnya, ketika terasangka atau pelaku kejahatan tetap melawan, anggota

kepolisian menggunakan gerakan bela diri untuk menghentikan tersangka.

e. Tahap 5 : kendali senjata tumpul, senjata kimia, atau alat lain sesuai standar

polisi.

Contohnya, jika tersangka tetap melawan, maka anggota kepolisian dapat

menggunakan senjata tumpul atau senjata kimia, seperti gas air mata.

f. Tahap 6 : kendali dengan menggunakan senjata api atau alat lain yang

menghentikan tindakan atau perilaku kejahatan tersangka yang dapat

Page 48: TINDAKAN DISKRESI OLEH KEPOLISIAN DALAM …

library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 38

menyebabkan luka parah/kematian anggota kepolisian atau masyarakat.

Contohnya, ketika anggota kepolisian menggunakan senjata api untuk

melumpuhkan tersangka/pelaku kejahatan.52

Pertimbangan dan keputusan aparat kepolisian berdampak pada

efektivitas dan pertanggungjawaban atas tindakan yang diambil oleh aparat

kepolisian dalam menangani tindak kejahatan.53

Begitu juga dengan aparat

kepolisian, dalam melakukan pertimbangan untuk melakukan suatu tindakan

pada saat proses penangkapan, tentu akan melakukan tindakan yang paling

memungkinkan dan paling dibutuhkan saat itu.

1. Pertimbangan polisi dalam melakukan diskresi tindakan tembak di

tempat

Dalam melakukan tindakan diskresi tembak di tempat, pihak

kepolisian memiliki pertimbangan tersendiri, pertimbangan tersebut antara

lain:54

a. Situasional di lapangan

Salah satu yang menjadi pertimbangan pelaksanaan tindakan tembak

di tempat, yaitu situasi yang ada dilapangan. Situasi dilapangan dapat

dikategorikan sebagai berikut:

1) Keadaan terdesak

Keadaan terdesak dapat dimaknai sebagai situasi yang memaksa

sehingga memicu aparat kepolisian yang berada di lapangan/lokasi

penangkapan untuk menggunakan senjata api dimana mereka selalu

siap sedia dengan situasi yang ada. Pelaku yang dianggap

membahayakan jiwa petugas maupun masyarakat ditangani dengan

bermacam-macam cara, termasuk juga dengan tindakan tembak di

tempat.

Sebelum anggota polisi melakukan penangkapan, anggota polisi

harus sudah mengetahui terlebih dahulu jumlah tersangka dan senjata

52 http://m.hukumonline.com/klinik/detai diakses tanggal 09 Juli 2019 Pukul 12:39 WIB.

53 Barda Nawawi Arief, 2008, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, Jakarta: Kencana

Prenada Media Groub, hlm. 166. 54

Hasil wawancara dengan AKBP Makmur, Kasubdit 1 Direskrimum Polda Jawa Tengah

pada tanggal 24 Mei 2019.

Page 49: TINDAKAN DISKRESI OLEH KEPOLISIAN DALAM …

library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 39

yang biasa digunakan oleh tersangka, sehingga aparat kepolisian dapat

bersiaga dahulu terhadap kemungkinan-kemungkinan tindakan yang

akan terjadi di lokasi penangkapan. Keadaan terdesak merupakan

suatu keadaan dimana anggota kepolisian diharuskan untuk

mengambil suatu tindakan tegas saat itu juga, misalnya melepaskan

tembakan peringatan atau tembakan langsung kearah pelaku/tersangka

kejahatan. Ketika pelaku dianggap membahayakan nyawa petugas

ataupun masyarakat sekitar, maka petugas kepolisian dapat

mengambil tindakan dengan terlebih dahulu memberi tembakan

peringatan.

Menurut pendapat penulis, sebelum petugas kepolisian

melakukan tindakan kekerasan kepolisian berupa tembak ditempat,

sesuai dengan Pasal 15 Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik

Indonesia Nomor 1 Tahun 2009 Tentang Penggunaan Kekuatan

Dalam Tindakan Kepolisian harus melakukan tindakan tembakan

peringatan terlebih dahulu, adapun isi dari Pasal 15 tersebut adalah:

a) Dalam hal tindakan pelaku kejahatan atau tersangka dapat

menimbulkanbahaya ancaman luka parah atau kematian terhadap

anggota Polri atau masyarakat atau dapat membahayakan

keselamatan umum dan tidak bersifat segera, dapat dilakukan

tembakan peringatan.

b) Tembakan peringatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)

dilakukan dengan pertimbangan yang aman, beralasan dan masuk

akal untuk menghentikan tindakan pelaku kejahatan atau tersangka,

serta tidak menimbulkan ancaman atau bahaya bagi orang-orang

disekitarnya.

c) Tembakan peringatan hanya dilepaskan ke udara atau ke tanah

dengan kehati- hatian yang tinggi apabila alternatif lain sudah

dilakukan tidak berhasil dengan tujuan sebagai berikut :

(1) untuk menurunkan moril pelaku kejahatan atau tersangka yang

akan menyerang anggota polri atau masyarakat.

Page 50: TINDAKAN DISKRESI OLEH KEPOLISIAN DALAM …

library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 40

(2) untuk memberikan peringatan sebelum tembakan diarahkan

kepada pelaku kejahatan atau tersangka.

d) Tembakan peringatan tidak diperlukan ketika menangani bahaya

ancaman yang dapat menimbulkan luka parah atau kematian

bersifat segera, sehingga tidak memungkinkan untuk dilakukan

tembakan peringatan.

2) Respon pelaku kejahatan

Anggota kepolisian seringkali menunggu respon dari pelaku

kejahatan dalam melaksanakan tindakan tembak di tempat. Respon

pelaku kejahatan sendiri saat dilakukan penangkapan bermacam-

macam. Respon tersebut diantisipasi bisa membahayakan jiwa petugas

maupun tidak. Respon yang dianggap membahayakan yang kemudian

memicu anggota dilapangan untuk menggunakan senjata api. Menurut

AKBP Makmur Kasubdit 1 Ditreskrimun Polda Jateng ada dua respon

yang diberikan pelaku kejahatan saat penangkapan yaitu pertama,

pelaku melakukan perlawanan dan yang kedua, pelaku kabur atau

melarikan diri.

a) Pelaku melakukan perlawanan

Respon pelaku yang sering ditemui di lapangan saat proses

penangkapan adalah melakukan perlawanan sehingga memicu

petugas menggunakan senjata. Melakukan perlawanan bisa berarti

macam-macam, salah satu diantaranya adalah pelaku kejahatan

membawa senjata api maupun senjata tajam. Keputusan untuk

menembak tersangka/pelaku dalam proses penangkapan dilakukan

karena tersangka/pelaku melakukan perlawanan kepada pihak

aparat kepolisian, serta serangan yang dilakukan oleh

tersangka/pelaku secara tiba-tiba kepada aparat kepolisian.

Sebelum mengambil langkah untuk menembak

tersangka/pelaku, aparat kepolisian akan menunggu respon yang

akan ditunjukan tersangka/pelaku tersebut. Menunggu respon

pelaku bukan berarti menunggu perintah pimpinan. Ketika sudah

Page 51: TINDAKAN DISKRESI OLEH KEPOLISIAN DALAM …

library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 41

ada indikasi tersangka/pelaku mau melakukan perlawanan kepada

aparat kepolisian, maka aparat kepolisian harus dengan segera

mengambil tindakan terhadap perlawanan tersangka/pelaku.

Maksudnya tidak diperlukan tembakan peringatan ke atas dan tidak

diperlukan tembakan peringatan secara lisan terlebih dahulu.

Pertimbangan perlu dilakukan saat menggunakan senjata api

dalam menghadapi pelaku yang akan ditangkap, karena

diperkirakan pelaku juga menggunakan senjata api maupun senjata

tajam, maka anggota dilapangan harus dapat mengambil keputusan

atau bertindak cepat, anggota dilapangan harus mempunyai prinsip,

jika tidak maka anggota dilapangan yang akan menjadi korban.

Intinya, anggota kepolisian yang akan melakukan penangkapan

harus cepat melihat jika adanya tanda-tanda perlawanan dari pelaku

kejahatan. Jika ada perlawanan, maka anggota kepolisian harus

cepat mengambil tindakan dengan melumpuhkan pelaku.

Senjata api merupakan alat yang digunakan oleh aparat untuk

melindungi nyawa aparat kepolisian dan masyarakat dari tindakan

tersangka. Dalam penggunaan senjata api untuk pelaksanaan

tindakan tembak ditempat tersebut, tergantung situasi/kondisi di

lapangan yang selalu berbeda, sehingga ketika seorang

tersangka/pelaku yang ditangkap dan melakukan perlawanan

kepada kepolisian menggunakan senjata api, maka situasi atau

kondisi tersebut jadi salah satu pertimbangan dalam melakukan

tembak ditempat.

b) Pelaku Kabur

Respon pelaku yang menyebabkan anggota polisi di lapangan

menggunakan senjata api salah satunya adalah karena pelaku kabur

atau melarikan diri saat akan ditangkap oleh petugas. Biasanya saat

pelaku melarikan diri, anggota polisi melakukan tembakan

peringatan ke atas, namun jika hal tersebut tidak dihiraukan, maka

dilakukan tembakan melumpuhkan kearah kaki pelaku. Jika pelaku

Page 52: TINDAKAN DISKRESI OLEH KEPOLISIAN DALAM …

library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 42

yang akan ditangkap kabur, maka aparat kepolisian akan

melakukan tembakan peringatan sebanyak tiga kali. Namun, jika

hal tersebut tidak dihiraukan oleh tersangka/pelaku maka dilakukan

tembakan untuk melumpuhkan.

3) Situasi ramai/sepi

Pertimbangan lain dari pelaksanaan tindakan tembak di tempat,

yaitu situasi di lapangan. Dalam melaksanakan tindakan tembak

ditempat, anggota kepolisian harus telebih dahulu melihat situasi di

sekitar tempat penangkapan pelaku kejahatan, yaitu kondisi ramai atau

sepi. Bila kondisi dilapangan saat dilakukannya penangkapan ramai

maka anggota tidak berani menggunakan senjata api. Situasi lokasi

ramai saat dilakukannya penangkapan pelaku, menjadi pertimbanagan

dalam menggunakan senjata api, karena dapat mengakibatkan petugas

salah melakukan tembakan atau salah tembak.

Untuk menghindari kesalahan maupun kegagalan penangkapan,

maka petugas di lapangan mengantisipasi dengan berbagai cara, satu

diantaranya adalah dengan memancing pelaku yang akan ditangkap

agar keluar dari rumah tinggal atau kampung tempat tinggalnya,

dengan alasan jika saat dilakukan penangkapan pelaku melawan tidak

akan terjadi salah tembak, karena situasi lokasi penangkapan yang

tidak terdapat banyak warga.

Situasi yang ramai tidak hanya membahayakan nyawa anggota

kepolisian, tetapi juga masyarakat yang berada disekitar lokasi

penangkapan, ketika anggota kepolisian tidak cermat dalam melihat

situasi di lokasi. Penggunaan senjata api dalam pelaksanaan tindakan

tembak ditempat saat penangkapan harus mempertimbangkan situasi

lokasi penangkapan. Keputusan aparat kepolisian dalam

mengeluarkan senjata api untuk melumpuhkan tersangka/pelaku harus

tepat, sehingga tidak akan ada peluru nyasar ke masyararakat.

Menurut penulis, jika situasi lokasi yang ramai pada saat

dilakukan penangkapan pelaku, jika petugas di lapangan tidak dapat

Page 53: TINDAKAN DISKRESI OLEH KEPOLISIAN DALAM …

library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 43

melihat hal tersebut menjadi pertimbangan menggunakan senjata api

maka akan mengakibatkan petugas salah tembak karena posisi

dilakukannya tembakan pada saat itu tidak pasdalam artian posisi

menembaknya tidak maksimal. Posisi maksimal untuk menembak

adalah petugas pada saat akan menembak harus bias focus pada

sasaran yang akan ditembak, oleh karena itu salah tembak biasa terjadi

disebabkan petugas di lapangan memaksakan menembak karena ingin

mendapatkan pelaku.

4) Kerugian yang ditimbulkan

Salah satu yang menjadi pertimbangan lainnya dalam

melaksanakan tindakan tembak ditempat, yaitu kerugian yang

ditimbulkan. Kerugian yang dimaksud adalah kerugian yang dialami

masyarakat dan polisi jika pelaku tidak tertangkap. Kerugian yang

ditimbulkan menjadi salah satu pertimbangan dalam menggunakan

senjata api dilapangan saat penangkapan, karena adanya efek dari

penggunaan senjata api, apalagi jika tembakan yang dilakukan salah

sasaran atau pelurunya memantul kemudian mengenai masyarakat.

5) Kondisi geografis lokasi

Dalam melaksanakan tindakan tembak ditempat, polisi

mempertimbangkan kondisi geografis lokasi penangkapan pelaku

kejahatan. Artinya, anggota polisi harus mempertimbangkan baik-baik

kemungkinan dari pelaksanaan tindakan tembak di tempat dilihat dari

keadaan sekitar lokasi. Lokasi yang tidak memungkinkan bagi

anggota untuk melakukan pengejaran bagi pelaku, maka polisi

berinisiatif untuk menggunakan senjatanya dengan alasan untuk

mencegah pelaku melarikan diri. Lokasi di lapangan terkadang tidak

selalu ideal seperti apa yang diharapkan.

Aparat kepolisian terkadang harus melakukan penangkapan di

tempat tertutup, seperti di dalam rumah. Maka aparat kepolisian harus

melakukan antisipasi, dengan cara mempersiapkan diri untuk

menggunakan senjata api untuk melumpuhkan tersangka/pelaku.

Page 54: TINDAKAN DISKRESI OLEH KEPOLISIAN DALAM …

library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 44

Menurut penulis, lokasi di lapangan tidak selalu ideal seperti

yang selalu dibayangkan. Kondisi lokasi penangkapan seringkali

berada di perkampungan, sulit dijangkau oleh petugas, terkadang

petugas harus berjalan jauh, dan banyak jalan tikus sehingga

mengakibatkan anggota dilapangan susah mengejar pelaku yang lari

saat akan di tangkap. Apalagi penangkapan seringkali dilakukan pada

malam hari, dan medan yang sulit tersebut menjadikannya memilih

untuk menembak pelaku daripada lari mengejar pelaku yang kabur

dengan alasan badan anggota reserse dilapangan gemuk-gemuk

sehingga tidak sanggup mengejar pelaku.

b. Karakter Pelaku

Pertimbangan anggota di lapangan menggunakan senjata api

(menarik picu senpi) pada proses penangkapan salah satunya adalah

karakter dari pelaku tindak kejahatan. Karakter tersebut digolongkan

dalam beberapa hal yaitu:

1) Residivis

Pelaku tindak kejahatan di mana pelaku melakukan tindak

kejahatan berulang (residivis) atau pelaku yang pertama kali

melakukan tindak kejaahtan merupakan pertimbangan bagi anggota di

lapangan dalam menggunakan senjata api pada proses penangkapan.

Dalam hal ini polisi melihat pengalaman atau catatan kejahatan pelaku

sebelum mengambil tindakan lebih lanjut. Pelaku residivis biasa

disebut aparat kepolisian sebagai pemain, terutama pelaku yang sudah

masuk lembaga tiga kali atau bahkan lebih. Hal tersebut menjadi salah

satu pertimbangan aparat kepolisian dalam melakukan tindakan

tembak di tempat dengan melumpuhkan atau bahkan menembak mati

pelaku residivis tersebut, karena biasanya pelaku merupakan target

operasi yang telah lama dicari sebelumnya. Karakter pelaku yang

merupakan pelaku residivis menjadi salah satu alasan dan

pertimbangan aparat kepolisian dalam menggunakan senjata api untuk

Page 55: TINDAKAN DISKRESI OLEH KEPOLISIAN DALAM …

library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 45

pelaksanaan tindakan tembak di tempat pada saat penangkapan di

lapangan.

Menurut penulis wajar bila petugas kepolisian dengan sengaja

ingin melumpuhkan pelaku yang merupakan residivis, karena karakter

pelaku yang seperti ini memiliki tingkat keberanian yang berbeda

dengan pelaku pemula sehingga anggota di lapangan harus bias lebih

waspada karena biasanya pelaku saat akan ditangkap lebih baik

memilih mati daripada ditangkap oleh polisi.

2) Status Pelaku di Mayarakat

Anggota reserse yang akan melakukan penangkapan dan

penggunaan senjata api untuk melakukan tindakan tembak di tempat

juga melihat faktor status sosial pelaku di masyarakat. Bila pelaku

adalah orang yang dianggap baik, terpandang, dan dikagumi oleh

lingkungan masyarakat di sekitarnya, maka petugas juga tidak akan

melakukan tindakan gegabah untuk menggunakan senjata api saat

melakukan penangkapan.

Menurut penulis hal tersebut akan terlihat berbeda ketika pelaku

yang akan di tangkap dikenal di lingkungan masyarakat adalah

penjahat dan kemungkinan sering melakukan kejahatan kekerasan.

Hal ini dapat dikehatui dimana sebelumnya polisi mencari tahu

informasi mengenai pelaku yang akan ditangkap salah satunya adalah

menanyakan beberapa informasi mengenai pelaku dari masyarakat

disekitar tempat tinggalnya.

3) Banyaknya Pelaku

Banyaknya pelaku juga menjadi pertimbangan dari anggota

polisi dalam melaksankan tindakan tembak di tempat. Terdapat

indikasi pelaku tidak sendiri dalam melakukan aksinya, melainkan

lebih dari 2 orang, maka pada saat proses penangkapan, anggota polisi

di lapangan pun telah bersiap untuk menarik picu senjata api. Hal ini

merupakan salah satu alasan dan pertimbangan aparat kepolisian di

lapangan untuk menggunakan senjata api dalam pelaksanaan tindakan

Page 56: TINDAKAN DISKRESI OLEH KEPOLISIAN DALAM …

library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 46

tembak di tempat, karena biasanya pelaku yang akan di tangkap tidak

hanya sendiri melainkan terdiri atas 2 orang atau lebih. Aparat

kepolisian akan bertindak dengan menggunakan senjata api bila

jumlah pelaku tidak seimbang dibandingkan jumlah petugas

dilapangan.

Menurut penulis, hal ini juga patut dijadikan pertimbangan

petugas dalam melakukan tembakan di tempat dan bersiap-siap senjata

api jika jumlah dari pelaku kejahatan banyak dan pelaku mencoba

melakukan perlawan, karena jika hal tersebut tidak dilakukan akan

membahayan nyawa dari petugas dan masyarakat sekitar yang ada.

4) Tingkatan kasus kejahatan

Pertimbangan lainnya dalam pelaksanaan tindakan tembak di

tempat, yaitu tingkatan kasus kejahatan. Kriteria tingkatan kasus

kejahatan itu sendiri digolongkan menjadi dua, yaitu:

a) Berat atau ringannya kejahatan

Berat atau ringannya kejahatan merupakan salah satu

pertimbangan anggota di lapangan dalam melakukan tindakan

tembak di tempat. Umumnya aparat kepolisian membagi kasus

kejahatan menjadi 3 golongan, yaitu berat, sedang dan ringan.

Tingkatan kasus kejahatan yang dilakukan tersangka/pelaku,

menjadi salah satu pertimbangan bagi aparat kepolisian untuk

menggunakan senjata api dalam pelakasanaan tindakan tembak di

tempat pada saat proses penangkapan tersangka/pelaku di lapangan.

Pelaku dengan kasus yang berat seringkali melakukan perlawanan

dan sadis, sehingga petugas telah bersiap terlebih dahulu untuk

mencegah terjadinya hal yang diluar dugaan.

b) Kasus yang merugikan banyak orang

Banyaknya korban dari kasus kejahatan yang dilakukan oleh

pelaku, merupakan salah satu pertimbangan yang menjadikan

anggota di lapangan mengambil tindakan tegas dengan menembak

pelaku saat proses penangkapan.

Page 57: TINDAKAN DISKRESI OLEH KEPOLISIAN DALAM …

library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 47

Berdasarkan pemaparan mengenai pertimbangan di atas, penulis

berpendapat bahwa ada pertimbangan lain bagi polisi dalam melakukan

diskresi tindakan tembak di tempat, yaitu aturan formal penggunaan senjata

api, aturan formal ini berupa peraturan perundang-undangan yang menjadi

pedoman bagi polisi dalam melakukan kewenangannya berupa tindakan

tembak di tempat.

Dalam pelaksanaannya, tindakan tembak di tempat telah diatur dalam

Perkapolri No. 8 Tahun 2009 dan Perkapolri No. 1 Tahun 2009. Dalam

aturan tersebut terdapat prosedur dan wewenang yang mengatur bagaimana

seharusnya pelaksanaan tindakan tembak di tempat oleh polisi.

Berdasarkan Pasal 47 Perkapolri No. 8 Tahun 2009 disebutkan bahwa:

a. Penggunaan senjata api hanya boleh digunakan bila benar-benar

diperuntukkan untuk melindungi nyawa manusia.

b. Senjata api bagi petugas hanya boleh digunakan untuk:

1) Dalam hal menghadapi keadaan luar biasa;

2) Membela diri dari ancaman kematian dan/atau luka berat;

3) Membela orang lain terhadap ancaman kematian dan/atau luka berat;

4) Mencegah terjadinya kejahatan berat atau yang mengancam jiwa

orang;

5) Menahan, mencegah atau menghentikan seseorang yang sedang atau

akan melakukan tindakan yang sangat membahayakan jiwa;

6) Menangani situasi yang membahayakan jiwa, dimana langkah-

langkah yang lebih lunak tidak cukup.

Sebelum petugas kepolisian melakukan tindakan keras berupa tembak

di tempat, sesuai dengan Pasal 15 Peraturan Kepala Kepolisian Negara

Republik Indonesia Nomor 1 tahun 2009 Tentang Penggunaan Kekuatan

dalam Tindakan Kepolisian harus melakukan tindakan tembakan peringatan

terlebih dahulu, adapun isi dari Pasal 15 tersebut adalah:

1. Dalam hal tindakan pelaku kejahatan atau tersangka dapat menimbulkan

bahaya ancaman luka parah atau kematian terhadap anggota Polri atau

Page 58: TINDAKAN DISKRESI OLEH KEPOLISIAN DALAM …

library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 48

masyarakat atau dapat membahayakan keselamatan umum dan tidak

bersifat segera, dapat dilakukan tembakan peringatan.

2. Tembakan peringatan sebagaimana yang dimaksud pada ayat (1)

dilakukan dengan pertimbangan yang aman, beralasan dan masuk akal

untuk menimbulkan ancaman atau bahaya bagi orang-orang disekitarnya.

3. Tembakan peringatan hanya dilepaskan ke udara atau ke tanah dengan

kehati-hatian yang tinggi apabila alternatif lain sudah dilakukan tidak

berhasil dengan tujuan sebagai berikut:

a) Untuk menurunkan moril pelaku kejahatan atau tersangka yang akan

menyerang anggota polri atau masyarakat.

b) Untuk memberikan peringatan sebelum tembakan diarahkan kepada

pelaku kejahatan atau tersangka.

4. Tembakan peringatan tidak diperlukan ketika menangani bahaya

ancaman yang dapat menimbulkan luka parah atau kematian bersifat

segera, hingga tidak memungkinkan untuk dilakukan tembakan

peringatan.

Dari ketentuan yang sudah disebutkan di atas, jelas bahwa tindakan

tembak di tempat tidak bisa diterapkan secara sembarangan oleh aparat

kepolisian dalam penanganan tindak kriminal. Dalam Pasal 47 ayat 1

Perkapolri Nomor 8 Tahun 2009 yang sudah disebutkan diatas bahwa,

penggunaan senjata api dalam pelaksanaan tindakan tembak di tempat hanya

benar-benar diperuntukan dalam upaya untuk melindungi nyawa manusia,

dalam hal ini aparat kepolisian dan juga masyarakat yang ada di sekitar

tempat aparat kepolisian melakukan penangkapan. Sedangkan pada Pasal 8

ayat (1) Perkapolri nomor 1 tahun 2009 tentang Penggunaan Kekuatan

dalam Tindakan Kepolisian. Penggunaan senjata api oleh polisi dilakukan

apabila:

a. Tindakan pelaku kejahatan atau tersangka dapat secara segera

menimbulkan luka atau kematian bagi anggota POLRI atau masyarakat;

Page 59: TINDAKAN DISKRESI OLEH KEPOLISIAN DALAM …

library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 49

b. Anggota POLRI tidak memiliki alternatif lain yang beralasan dan masuk

akal untuk menghentikan tindakan/perbuatan pelaku kejahatan atau

tersangka tersebut;

c. Anggota POLRI sedang mencegah larinya pelaku kejahatan atau

tersangka yang merupakan ancaman terhadap jiwa anggota POLRI atau

masyarakat.

Dalam ketentuan yang sudah disebutkan diatas, Pasal 8 ayat 1 huruf a

Perkapolri No. 1 Tahun 2009 jelas bahwa dalam proses penangkapan aparat

kepolisian harus melakukan tindakan tegas atau dengan segera

melumpuhkan tersangka/pelaku untuk menghinari jatuhnya korban dari

pihak aparat kepolisian atau masyarakat. Sedangkan, dalam huruf b

disebutkan bahwa penggunaan senjata api untuk pelaksanaan tindakan

tembak di tempat dapat digunakan jika aparat kepolisian tidak memiliki

alternatif lain lagi selain menembak atau melumpuhkan pelaku. Pada huruf c

juga disebutkan bahwa penggunaan senjata api untuk pelaksanaan tindakan

tembak di tempat oleh aparat kepolisian bertujuan mencegah

tersangka/pelaku kejahatan untuk melarikan diri.

Namun di dalam Pasal 48 huruf b Perkapolri nomor 8 tahun 2009

meyatakan sebelum menggunakan senjata api, Polisi harus memberikan

peringatan yang jelas dengan cara:

1. Menyebutkan dirinya sebagai petugas atau anggota POLRI yang sedang

bertugas;

2. Memberi peringatan dengan ucapan secara jelas dan tegas kepada sasaran

untuk berhenti, angkat tangan, atau meletakkan senjatanya;

3. Memberi waktu yang cukup agar peringatan dipatuhi.

Aturan formal mengenai penggunaan senjata api sangat sulit

dijalankan sesuai dengan prosedur yang ada, mengingat kondisi di lapangan

terkadang sangat tidak menguntungkan anggota (polisi), hal ini merupakan

salah satu alasan dan pertimbangan bagi pihak kepolisian dalam melakukan

tindakan tembak di tempat. Tetapi dalam hal ini telah diatur juga mengenai

petunjuk penggunaan senjata api dalam Prosedur Tetap Kapolri Nomor

Page 60: TINDAKAN DISKRESI OLEH KEPOLISIAN DALAM …

library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 50

Polisi PROTAP/01/V/2001 tentang Penggunaan Senjata Api yang mengatur

mengenai ruang lingkup dan tata urut tentang prosedur penggunaan senjata

api antara lain sebagai berikut:

1. Prosedur

Pemegang senjata api harus orang yang sudah dinyatakan lulus

dalam ujian Psikologi dan uji keterampilan, ini menyangkut aspek

emosional, kepribadian dan keterampilan penggunaan senjata api.

2. Tindakan dan Persyaratan Penggunaan Senjata Api

Penggunaan senjata api hanya dibenarkan dilakukan petugas dalam

keadaan terpaksa, untuk membela diri (petugas) ataupun

melindungi/menyelamatkan jiwa raga seseorang (masyarakat) dari setiap

ancaman/gangguan kejahatan.

3. Tujuan Penggunaan Senjata Api

Pada prinsipnya penggunaan senjata api bertujuan untuk

melumpuhkan pelaku kejahatan bukan untuk mematikan sehingga

ancaman terhadap keselamatan jiwa petugas maupun jiwa seseorang

dapat dicegah dan pelaku kejahatan dapat ditangkap.

4. Sasaran Tembak

Sesuai dengan tujuan penggunaan senjata api sasaran tembak

diarahkan kepada organ / bagian tubuh seseorang yang tidak vital / tidak

mematikan seperti kepala, jantung, mata, dll. Organ tidak vital seperti

kaki. Dalam keadaan rusuh massal, sasaran tembak

diprioritaskan/ditujukan terhadap pemimpin/penggerak kerusuhan.

5. Tahapan Tindakan

Penggunaan senjata api tidak langsung ditujukan/diarahkan terhadap

pelaku kejahatan/pelanggar hukum, tetap diawali dengan tindakan

peringatan sebanyak 3 (tiga) kali, baik menggunakan peluru tajam, karet

maupun dengan tembakan salvo (keatas).

Page 61: TINDAKAN DISKRESI OLEH KEPOLISIAN DALAM …

library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 51

6. Kewenangan Pemberian Perintah

Dalam formasi pasukan Dalmas/PHH (Pasukan Huru Hara)

penggunaan senjata api (peluru tajam) hanya diberlakukan atas perintah

Kepala Satuan Kewilayahan, serendah-rendahnya Kapolres/Ta.

Dengan demikian, aturan formal mengenai penggunaan senjata api

oleh pihak kepolisian yang tertuang di dalam Peraturan Kepala Kepolisan

nomor 1 tahun 2009 tentang Penggunaan Kekuatan dalam Tindakan

Kepolisian dan Peraturan Kepala Kepolisian nomor 8 tahun 2009 tentang

Implementasi Prisip dan Standar Hak Asasi Manusia dalam

Penyelenggaraan Tugas Kepolisian Negara Republik Indonesia serta di

dalam Prosedur Tetap Kapolri Nomor Polisi PROTAP/01/V/2001 tentang

Penggunaan Senjata Api yang mengatur mengenai ruang lingkup dan tata

urut tentang prosedur penggunaan senjata api, dapat menjadi alasan dan

pertimbangan lain yang digunakan oleh polisi dalam melakukan tindakan

tembak di tempat.

Berdasarkan uaraian yang telah dipaparkan di atas mengenai

pertimbangan dalam melakukan tindakan tembak di tempat oleh polisi,

maka secara singkat dapat digambarkan bahwa polisi telah memiliki modal

awal yaitu sumber daya berupa keputusan, senjata yang dimiliki, amunisi,

dan juga kewenangan dalam menggunakan senjata mereka. Modal lainnya

yang dimiliki oleh anggota polisi adalah norma yaitu aturan formal. Aturan

formal anggota reserse berupa protap penggunaan senpi. Dari modal

tersebut yang kemudian akan berpengaruh pada anggota reserse dalam

melakukan pertimbangan. Namun modal awal tersebut tidak selalu

digunakan oleh anggota reserse sebagai pertimbangan dalam bertindak pada

saat penangkapan terkait penggunaan senpi. Hal yang menjadi pertimbangan

anggota reserse dapat berubah karena dihadapkan pada keadaan yang tidak

pernah dapat diduga oleh anggota. Hal yang menjadi dasar pertimbanagn

anggota di lapangan terdiri dari 3 faktor yaitu pertimbangan situasional,

karakter pelaku dan aturan. Ketiga faktor tersebut terdiri dari indikator

pendorong seperti yang dijelaskan pada uraian sebelumnya. Selanjutnya

Page 62: TINDAKAN DISKRESI OLEH KEPOLISIAN DALAM …

library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 52

semua indikator tersebut dijadikan bahan pertimbangan oleh anggota

kemudian anggota memilih salah satu yang menjadi preferensinya sehingga

dasar-dasar keputusan tersebut akhirnya menjadi dua yaitu keputusan yang

diterima oleh anggota dan keputusan yang ditolak oleh anggota. Keputusan

yang diterima oleh anggota itulah yang kemudian dilakukan oleh anggota

dalam bentuk tindakan.

2. Realita Kasus Tindakan Tembak di Tempat yang Dilakukan Oleh

Aparat Polda Jateng dan Polda DIY

Selanjutnya didapat data bahwa pada tahun 2016 petugas kepolisian di

wilayah hukum Polda Jawa Tengah dan pada tahun 2019 petugas kepolisian

di wilayah hukum Polda DIY melakukan tindakan tembak ditempat

terhadap tersangka/pelaku tindak pidana. Masing-masing ada 1 kasus yang

terjadi antara lain:

a. Kasus perampokan dengan kekerasan (Polda Jawa Tengah)

Peristiwa ini bermula dari adanya pelaku perampokan toko emas

yang dilakukan 6 orang pelaku. Direktorat Reserse kriminal umum polda

Jawa Tengah meringkus komplotan perampok toko emas. Dalam

peristiwa ini Polisi terlibat baku tembak dengan pelaku. Satu anggota

komplotan tewas. Para pelaku dalam aksinya ini mengancam karyawan

toko emas dengan menodong dan menembak dengan senjata api, pelaku

melakukan pencurian di toko emas Nagaputri dan toko emas Adil

Nusawungu, di pasar sikaco, Cilacap. Salah satu pelaku ditembak mati

karena melawan dan berupaya kabur saat disergap.

Klompotan perampok toko emas ini disergap ketika sedang

melakukan aksinya di daerah Purwodadi, Kabupaten Grobogan. Pelaku

yang ditembak mati adalah Mudakir alias Warso (37) warga Muara

Kelinci, Kabupaten Muara Musi Rawas, Lampung yang diketahui

sebagai otak komplotan. Sedangkan pelaku lain yang menyerah adalah,

Fajar Wiyoto (34) warga Ketawangrejo, Kecamatan Grabag, Kabupaten

Purworejo, Sujiyanto (31) warga Grobokan, Suratno (46) warga Lembu

Page 63: TINDAKAN DISKRESI OLEH KEPOLISIAN DALAM …

library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 53

Kibang, Lampung, Warso Edi Santoso (38) warga kecamatan Todanan,

Kabupaten Blora.

Selain mengamankan 6 orang pelaku, petugas menyita 3 pucuk

senjata api Revolver rakitan, 2 pucuk senjata api FN, 50 butir amunisi, 16

buah handphone berbagai merk, dua unit sepeda motor, serta 4 buah

masker yang dugunakan para pelaku untuk melancarkan aksinya.

Komplotan ini sudah beraksi tujuh kali di berbagai wilayah di

Indonesia seperti Kalimantan, Palembang, Jawa Timur dan Jawa Tengah.

Penyergapan terhadap komplotan perampok toko emas ini bermula dari

informasi yang didapat anggota tentang keberadaan pelaku dirumah

dukuh Klumpit Rt.03 Rw 01, Desa Pelemsengir, Kecamatan Todanan,

Kabupaten Blora.

b. Kasus Pencurian (Polda DIY)

Peristiwa ini bermula dari adanya penyelidikan oleh kepolisian

mengenai adanya komplotan pencurian. Direktorat Reserse Kriminal

Umum (Direskrimum) Polda DIY menangkap komplotan pelaku

pencurian di Purworejo, Jawa Tengah pada hari minggu 28 April 2019.

Penangkapan ini sempat diwarnai aksi kejar-kejaran dan baku tembak

antara petugas dan pelaku. Empat tersangka yang diringkus yakni AD

warga Bandung, Jawa Barat, ASS Warga Karawang, Jawa Barat, SDH

warga Karawang Jawa Barat, dan SB warga Ngawi Jawa Timur.

Petugas mulai menyelidiki komplotan ini setelah ada laporan polisi

yang masuk terkait aksi kejahatan yang dilakukan di Banguntapan,

Kabupaten Bantul, Semen, Kabupaten Gunung Kidul dan Semanu,

Kabupaten Gunung Kidul. Sasaran mereka konter-konter handphone,

mereka mengambil handphone, laptop dan uang tunai. Mereka

membekali diri dengan senjata api. Petugas kemudian melakukan

pengintaian dengan mengikuti komplotan tersebut, mulai dari Jawa Barat

dan Jawa Tengah.

Lalu petugas kepolisian Polda DIY melakukan pengejaran pelaku

pencurian dengan pemberatan ini mengejar komplotan pelaku yang

Page 64: TINDAKAN DISKRESI OLEH KEPOLISIAN DALAM …

library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 54

mengendarai mobil dari wilayah Kulon Progo hingga Purworejo pada

hari senin 29 April 2019. Proses kejar-kejaran dan saling tembak

berlangsung dari daerah kawasan pantai Glagah sampai Purworejo sejauh

35 km.

Para pelaku ini tak menyerah, bahkan ketika roda belakang pecah,

mereka tetap melaju. Hingga mobil avanza silver yang dipakai pelaku

akhirnya terhenti setelah menabrak truk. Setelah ada kontak senjata, tidak

cukup sampai disitu mereka melakukan perlawanan dengan melarikan

diri. Karena kondisi mobil tidak stabil akhirnya menabrak truk. Jadi luka

yang diderita pelaku ada luka tembak dan luka akibat kecelakaan.

Meski terjadi adu tembak, namun tak ada anggota polisi yang

terluka. Para pelaku termasuk golongan sadis, pelaku mengalami luka

tembak yang banyak karena proses penangkapan itu diwarnai tembak

menembak dengan anggota kepolisian polda DIY.

3. Kendala yang dihadapi Kepolisian dalam Melakukan Wewenang

Tembak di Tempat

Dalam melakukan wewenang tembak di tempat, petugas kepolisian

Polda Jawa Tengah memiliki beberapa kendala antara lain sebagai berikut:

a. Kendala Internal

Kendala internal adalah kendala yang berasal dari dalam tubuh

kepolisian sendiri, yaitu seperti:

1) Kurangnya kemampuan/kemahiran petugas kepolisian dalam

menggunakan senjata api.

Kendala utama bagi aparat kepolisian dalam melakukan tembak

di tempat terhadap pelaku tindak pidana yaitu karena kurangnya

kemampuan/kemahiran anggota kepolisian dalam melakukan tindakan

untuk melakukan wewenang tembak di tempat. Sehingga apabila

terjadi tindak pidana yang secara nyata dan yang bersifat

membahayakan jiwa dan keselamatan baik itu petugas kepolisian

maupun masyarakat yang pada saat kejadian tersebut seharusnya

Page 65: TINDAKAN DISKRESI OLEH KEPOLISIAN DALAM …

library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 55

petugas kepolisian menggunakan tindakan keras untuk melakukan

tembak di tempat guna membatasi tindakan pelaku tindak pidana yang

sangat membahayakan tersebut, namun apabila petugas kepolisian

bertugas di lapangan tersebut memiliki kemampuan/kemahiran yang

kurang dalam menggunakan senjata api maka hal ini dapat berdampak

pada hasil tembakan yang tidak tepat sasaran yang hal ini akan

memungkinkan timbulnya kerugian baik secara materi maupun

korban. Dalam penganturanya penggunaan senjata api hanya boleh

digunakan bila benar-benar diperuntukkan untuk melindungi nyawa

manusia. Senjata api bagi petugas kepolisian hanya boleh digunakan

untuk:

(a) Dalam hal menghadapi keadaan luar biasa

(b) Membela diri dari ancaman kematian dan/atau luka berat;

(c) Membela orang lain terhadap ancaman kematian dan/atau luka

berat;

(d) Mencegah terjadinya kejahatan berat atau yang mengancam jiwa

orang;

(e) Menahan, mencegah atau menghentikan seseorang yang sedang

atau akan melakukan tindakan yang sangat membahayakan jiwa;

dan

(f) Menangani situasi yang membahayakan jiwa, dimana langkah-

langkah yang lebih lunak tidak cukup.

Pada dasarnya tindakan tembak di tempat tersebut adalah hanya

untuk melumpuhkan pelaku, namun apabila petugas kepolisian yang

menggunakan senjata api kurang mahir dalam menggunakan senjata

api maka tindakan tembak di tempat tersebut dapat bersifat

membunuh pelaku tindak pidana.

b. Kendala Eksternal

Kendala eksternal adalah kendala yang berasal dari luar pihak

kepolisian, yaitu seperti:

Page 66: TINDAKAN DISKRESI OLEH KEPOLISIAN DALAM …

library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 56

1) Adanya tingkat keramaian Publik

Tingkat keramaian publik yang dimaksud disini adalah dalam hal

suatu tindak pidana yang terjadi pada suatu tempat yang terdapat

banyak orang berkumpul dan memiliki tingkat keramaian yang tinggi

maka hal ini juga merupakan kendala bagi petugas kepolisian dalam

melakukan tindakan tembak di tempat terhadap pelaku kejahatan yang

membahayakan jiwa orang baik masyarakat maupun petugas

kepolisian yang bersangkutan.

Dalam hal ini petugas kepolisian akan mengalami kendala dalam

menentukan target yang merupakan pelaku tindak pidana, sehingga

apabila keadaan terlalu ramai dan penuh sesak (crowded) maka

petugas kepolisian akan menahan sebisa mungkin untuk tidak

mengambil tindakan tembak di tempat terhadap pelaku tindak pidana,

karena dikhawatirkan dapat terjadi salah tembak yang mengakibatkan

kerugian materiil maupun korban jiwa orang yang tidak bersalah atau

tidak ada sangkut pautnya dengan tindak pidana yang bersangkutan.

Kendala melakukan wewenang tembak di tempat yang dihadapi

berupa keramaian publik tersebut dapat terjadi pada tindak pidana

yang terjadi di tempat-tempat yang terjadi penumpukan massa seperti

tempat konser, tempat pertandingan siatu olahraga, tempat rapat,

pasar, dan lain-lain. Namun tempat-tempat terjadinya penumpukan

massa juga bias diartikan di tempat-tempat seperti pemukiman yang

sangat kecil, sempit dan berhimpitan satu sama lain dan juga berupa

gang-gang kecil yang banyak orang bertempat tinggal di daerah

tersebut.

2) Jarak tembak yang jauh terhadap pelaku tindak pidana

Jarak tempat yang jauh pun menjadi suatu kendala tersendiri bagi

petugas kepolisian yang hendak melakukan tindakan tembak di tempat

terhadap pelaku tindak pidana. Petugas kepolisian seringkali

mengalami kendala dalam hal jarak tembak yang jauh terhadap pelaku

Page 67: TINDAKAN DISKRESI OLEH KEPOLISIAN DALAM …

library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 57

tindak pidana yang tak jarang menyebabkan pelaku tindak pidana

tewas akibat tembakan yang diberikan oleh petugas kepolisian.

3) Kondisi cuaca yang ekstrem dan pencahayaan yang kurang

Kondisi cuaca juga merupakan kendala yang dihadapi petugas

kepolisian dalam melakukan wewenang tembak di tempat terhadap

pelaku tindak pidana, karena apabila cuaca buruk seperti gerimis,

hujan, berkabut, angina kencang dan cuaca ekstrem laiannya juga

dapat menjadi suatu kendala bagi pihak kepolisian karena apabila

polisi tetap memaksakan melakukan tindakan tegas berupa

menggunakan kekuatan senjata api, maka hal tersebut juga dapat

membahayakan orang lain yang bukan dan atau tidak terlihat sama

sekali dengan tindak pidana yang bersangkutan. Sehingga apabila

cuaca buruk dan tidak memungkinkan untuk melakukan tindakan

tembak di tempat sebisa mungkin petugas kepolisian hanya

melakukan pengejaran terhadap pelaku kejahatan dan hanya

melakukan tahapan penggunaan kekuatan yang memiliki dampak

defferent/pencegahan.

4. Upaya yang Dilakukan Oleh Kepolisian dalam Mengatasi Kendala

Melakukan Tembak di Tempat

Dari kendala yang dihadapi oleh Polda Jawa Tengah dalam melakukan

wewenang tembak di tempat maka petugas kepolisian Polda Jawa Tengah

melakukan berbagai upaya untuk mengatasi kendala-kendala tersebut agar

dapat memudahkan dan melancarkan tugas pelaksanaan yang menjadi

wewenang kepolisian, upaya yang dimaksud tersebut ialah:

a. Melakukan pelatihan dan pemahaman teori dalam bidang hukum dan

HAM

Upaya utama yang dilakukan oleh pihak Polda Jawa Tengah dalam

mengatasi kendala dalam melakukan wewenang tembak di tempat yaitu

dengan melakukan pelatihan dan pemahaman mengenai teori-teori

hukum dan HAM kepada seluruh anggota kepolisian yang berarti tidak

Page 68: TINDAKAN DISKRESI OLEH KEPOLISIAN DALAM …

library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 58

hanya pada anggota kepolisian yang berhak yang menggunakan senjata

api saja. Pelatihan ini ditujukan agar anggota kepolisian dalam

menjalankan tugasnya di lapangan semakin mengerti dan memahami

peraturan hukum yang berlaku dan juga agar hukum yang ditegakkan

tersebut juga dapat memberikan perlindungan HAM terhadap pelaku

kejahatan.pemahaman teori ini agar dalam temabakan yang dilepaskan

petugas kepolisian bukan bersifat untuk membunuh pelaku tindak pidana

melainkan sifat tembakan tersebut hanya untuk melumpuhkan pelaku

tersebut agar dapat dilakukan proses hukum lebih lanjut.

b) Melakukan pelatihan menembak secara rutin

Upaya pelatihan menembak secara rutin ini bertujuan untuk

mengasah kemampuan (skill) setiap petugas kepolisian yang mempunyai

ijin menggunakan senjata api agar kemampuan dalam hal menembak

dapat semakin meningkat dan semakin akurat.

Pelatihan ini diutamakan untuk memberikan pemahaman bagi

petugas kepolisian yang berhak memegang senjata api agar apabila

terjadi tindak pidana secara nyata maka setiap petugas kepolisian harus

mengarahkan tembakan pada bagian tubuh pelaku kejahatan yang

memiliki resiko paling kecil terhadap kematian agar pelaku tersebut

dapat diproses hukum lebih lanjut.

Apabila polisi sangat perlu untuk menerapkan tindakan keras berupa

penggunaan senjata api maka tembakan yang dilepaskan diutamakan

harus ditujukan pada bagian kaki dan tangan karena sifatnya hanya

mencegah terjadinya kejahatan berat atau yang mengancam jiwa orang

dan untuk menahan, mencegah atau menghentikan seseorang yang

sedang atau akan melakukan tindakan yang sangat membahayakan jiwa.

Lawrence M. Friedman memasukkan komponen budaya hukum sebagai

bagian integral dari suatu sistem hukum. Friedman membedakan unsur sistem

itu menjadi 3 (tiga) macam, yaitu:55

55

Rabiatul Syariah, Keterkaitan Budaya Hukum dengan Pembangunan Hukum Nasional,

Repository.usu.ac.id, di akses bulan Juni 2019.

Page 69: TINDAKAN DISKRESI OLEH KEPOLISIAN DALAM …

library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 59

1. Struktur adalah kelembagaan yang diciptakan oleh sistem hukum dengan

berbagai macam fungsinya dalam mendukung bekerjanya sistem hukum.

Pada dasarnya pengorganisasian berarti menciptakan struktur dengan

bagian-bagian yang terintegrasi sedemikian rupa sehingga hubungan antar

bagian-bagian satu sama lain dipengaruhi oleh hubungan mereka dengan

keseluruhan struktur tersebut. Pengorganisasian bertujuan membagi suatu

kegiatan besar menjadi kegiatan-kegiatan yang lebih kecil. Selain itu, untuk

mempermudah pimpinan dalam melakukan pengawasan dan menentukan

orang yang dibutuhkan untuk melaksanakan tugas-tugas yang telah dibagi-

bagi tersebut.

Dengan kata lain struktur ini berhubungan dengan tugas-tugas

kepolisian dimana sudah diatur dalam Pasal 13 dan 14 Undang-Undang

Nomor 2 tahun 2002. Dalam menjalankan tugas-tugas kepolisian terkadang

petugas kepolisian sering dituntut untuk cepat dalam menangani kasus-

kasus yang ada. Sebagai contoh dalam contoh kasus yang pertama dimana

dimana petugas tergesa-gesa dalam melakukan tembakan sehingga

berdampak hilangnya nyawa seseorang, padahal pihak kepolisian tidak

harus menghilangkan nyawa pelaku tetapi dapat mengambil alternative lain

berupa melumpuhkan, karena jika pelaku atau otak komplotan masih hidup,

akan memudahkan pihak kepolisian dalam memperoleh keterangan. Namun

salusu berpendapat bahwa ada dua kondisi yang dapat mempengaruhi

kinerja organisasi yaitu:56

a) Faktor strategis yang berkaitan kekuatan adalah situasi dan kondisi

organisasi berupa struktur, peralatan dan sumber daya manusia dan

dananya termasuk integritas kepemimpinannya. Kelemahan adalah

ketidak mampuan organisasi untuk mencapai tujuan yang ditetapkan.

b) Faktor strategi berupa peluang dan tantangan/ancaman. Peluang

merupakan faktor external yang dapat dimanfaatkan oleh organisasi.

56

Salusu, 2000, Tantangan Era Baru Berbagai Keadaan dan Penyikapan, Jakarta:

Bumiputra Group, hlm. 23.

Page 70: TINDAKAN DISKRESI OLEH KEPOLISIAN DALAM …

library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 60

Tantangan dapat berupa kebudayaan, pola kebiasaan, dan teknologi yang

dapat menghambat kemajuan organisasi jika tidak disikapi dengan baik.

Oleh karena itu dalam menjalankan tugasnya petugas kepolisian

haruslah lebih sabar dan teliti dalam menjalankan tugas, jangan sampai

hanya karena tuntutan dari atasan agar kasus cepat terselesaikan. Serta

atasan atau komandan sangatlah penting untuk memberikan masukan atau

perintah yang tepat dengan kepada para anggotanya.

2. Subtansi adalah bagian dari sistem hukum, termasuk di dalamnya norma-

norma yang antara lain terwujud peraturan perundang-undangan. Semua itu

digunakan untuk mengatur tingkah laku manusia.

Dalam hal subtansial atau peraturan perundang-undangan dimana telah

mengatur tingkah manusia khususnya dalam hal ini petugas kepolisian

tentang prosedur tembak ditempat, namun terkadang dalam menjalankan

tugasnya yang diberikan oleh undang-undang yang lain. Jangan sampai

hanya pemenuhan unsur-unsur yang terdapat dalam satu undang-undang,

namun harus juga memperhatikan dan menjunjung tinggi unsur-unsur yang

terdapat dalam undang-undang yang lain.

Oleh karena itu petugas kepolisian sangat perlu untuk memiliki

pemahaman akan penafsiran dari undang-undang yang berlaku dalam

penerapan undang-undang apa saja yang berkaitan dengan kasus yang

dihadapinya. Apabila hal ini dilakukan maka petugas kepolisian tidak akan

ragu-ragu dalam menjalankan tugasnya dan tidak akan melanggar undang-

undang yang berlaku baik bagi petugas kepolisian ataupun tersangka.

3. Kultur (budaya) adalah nilai-nilai dan sikap-sikap yang merupakan pengikat

sistem serta menentukan tempat sistem di tengah-tengah budaya bangsa

sebagai keseluruhan.

Berdasarkan pengetian di atas maka budaya khususnya dalam budaya

polisi maka antara unsur struktur dan subtansi sangatlah berkaitan untuk

menentukan suatu budaya yang mencerminkan budaya polisi. Apabila unsur

struktur dan subtansi dapat terpenuhi dengan baik dan benar maka akan

menghasilkan budaya polisi yang baik pula. Dengan kata lain dapat

Page 71: TINDAKAN DISKRESI OLEH KEPOLISIAN DALAM …

library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 61

disimpulkan bahwa salah satu unsur antara struktur dan subtansi tidak dapat

berdiri sendiri.

Melihat dari beberapa uraian di atas maka penulis dapat menarik

pendapat bahwa hal yang utama dapat dilakukan untuk mewujudkan

terkontrolnya tindakan keras kepolisian berupa tembak ditempat adalah dengan

cara meningkatkan SDM (Sumber Daya Manusia) kepolisian yang memadai

dan mencukupi dari segi kualitas, yakni dengan cara pemeliharaan kesiapan

personil Polri, berupa perawatan kemampuan, pembinaan mental,

pengembangan kekuatan personil, peningkatan kualitas pendidikan baik pada

tingkat pendidikan pengembangan kejuruan dan spesialisasi fungsi kepolisian.

B. Diskresi tindakan tembak di tempat perspektif Hak Asasi Manusia

Tembak ditempat sudah diatur secara jelas dalam Pasal 48 Peraturan

Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2009

menjelaskan tentang prosedur tembak ditempat, dimana dalam menggunakan

senjata api harus:

a. Petugas memahami prinsip penegakan hukum legalitas, nesesitas, dan

proporsionalitas.

Pemberlakuan tembak ditempat terhadap tersangka setiap aparat

kepolisian harus memperhatikan Prinsip-prinsip Dasar Penegakkan Hukum,

sebagai berikut:

1) Asas Legalitas

Bahwa semua tindakan yang dilakukan oleh aparat kepolisian,

harus sesuai dengan hukum yang berlaku. Prinsip legalitas dalam hak

asasi manusia tidak hanya diatur dalam perundang-undangan nasional,

tetapi juga secara internasional. Oleh karena itu, seorang polisi harus

mengetahui perundang-undangan yang terkait dengan tugas penegakkan

hukum.

2) Asas Nesesitas

Nesesitas yaitu sebuah keadaan yang mengharuskan anggota polisi

untuk melakukan suatu tindakan, atau menghadapi kejadian yang tidak

Page 72: TINDAKAN DISKRESI OLEH KEPOLISIAN DALAM …

library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 62

dapat dihindarkan atau dielakkan sehingga terpaksa melakukan tindakan

yang membatasi kebebasan tersangka. Dalam penggunaan kekerasan dan

senjata api, prinsip ini diterapkan pada saat keadaan tidak dapat

dihindarkan atau tidak dapat dielakkan, sehingga penggunaan kekerasan

dan senjata api merupakan satu- satunya tindakan yang harus dilakukan.

Artinya bahwa tidak ada cara lain untuk memecahkan masalah dalam

mencapai sasaran yang diharapkan. Dalam semua keadaan, penggunaan

senjata api yang mematikan, hanya dapat digunakan secara tegas guna

melindungi kehidupan. Yang dimaksud kehidupan disini adalah nyawa

warga masyarakat yang tidak bersalah, anggota polisi dan tersangka.

3) Asas Proporsionalitas

Prinsip proporsionalitas dalam penegakkan hukum, tidak bias

disamakan dengan arti kata yang sama dalam tindakan anggota Angkatan

Bersenjata. Anggota polisi harus menerapkan prinsip proporsionalitas

dalam semua tindakannya, terutama pada saat penggunaan Kekerasan

dan Senjata Api (hanya pada saat sangat dibutuhkan). Prinsip

proporsionalitas dalam penggunaan kekerasan dan senjata api harus

diterapkan pada saat berhadapan dengan keadaan sebagai berikut:

a) Tindakan tersangka dan penggunaan sasaran atau peralatan (senjata

api, pisau, dll).

b) Keadaan yang mendesak menimbulkan risiko kematian (warga

masyarakat, petugas kepolisian, tersangka).

c) Kondisi atau keadaan yang penuh bahaya, ancaman terhadap jiwa atau

keadaan ketika bahaya atau ancaman sudah sangat dekat untuk

terlaksana.

d) Risiko dengan kemungkinan penggunaan senjata dan kekerasan akan

terjadi, petugas harus mampu menetukan tingkatan penggunaan

kekerasan yang akan digunakan.

b. Sebelum menggunakan senjata api petugas harus memberikan peringatan

yang jelas dengan cara:

Page 73: TINDAKAN DISKRESI OLEH KEPOLISIAN DALAM …

library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 63

a) Menyebutkan dirinya sebagai petugas atau anggota Polri yang sedang

bertugas.

b) Memberikan peringatan dengan ucapan secara jelas dan tegas kepada

sasaran untuk berhenti, angkat tangan, atau meletakkan senjatanya.

c) Memberikan waktu yang cukup agar peringatan dipatuhi.

Ketika mengambil keputusan tembak di tempat sesuai prosedur yang telah

dijelaskan tersebut di atas, anggota polisi tetap bertindak dengan menggunakan

penilaian sendiri seperti dalam Pasal 18 ayat (1) UU No. 2 tahun 2002 tentang

Kepolisian Negara Republik Indonesia yaitu: Untuk kepentingan umum pejabat

Kepolisian Negara Republik Indonesia dalam melaksanakan tugas dan

wewenangnya dapat bertindak menurut penilaiannya sendiri.

Menurut kenneth Culp Davis dalam bukunya The Encyclopedia of Police

Science mendefinisikan diskresi sebagai “the copacity of police officer to select

from among a number of legal ang ilegal courses of action orinaction while

performing their duties.” Jadi diskresi dapat diartikan sebagai kapasitas

petugas polisi untuk menentukan tindakan dari sejumlah pilihan tindakan baik

legal maupun ilegal. Dalam kata-katannya yang lain. Kenneth mengartikan

bahwa diskresi sebagai kebijakan yang dilakukan secara selektif oleh polisi

(police policy abaut selektive enforcment).57

Menurut Roscoe Pound, diskresi adalah “An authority conferred by law to

act in certain conditions or situations in accordance with an official’s or and

official agency’s own considered judgment and conscience.”58

Dalam

terjemahan bebas, diskresi bermakna sebagai suatu kewenangan yang diberikan

oleh hukum untuk bertindak di dalam situasi atau keadaan tertentu sesuai

dengan jabatannya atas pertimbangan atau keyakinan sendiri sesuai dengan hati

nuraninnya.

57

Syaefurrahman Al-Banjary, 2005, Op. Cit, hlm. 34. 58

Roscoe Pound, 1960, Op. Cit, hlm. 35.

Page 74: TINDAKAN DISKRESI OLEH KEPOLISIAN DALAM …

library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 64

a. Tolak Ukur Diskresi Kepolisian

1) Tindakan Polri harus sesuai dengan Peraturan Perundang-undangan

Polri dalam menjalankan tugas dan wewenang khusunya dalam

melakukan diskresi tidak boleh bertentangan dengan Undang-undang,

namun jika perbuatan diskresi yang diambil lebih bermanfaat dan

menguntungkan kepentingan umum, maka peraturan perundang-

undangan tersebut dapat dikesampingkan. Yang dimaksud dengan

perundang-undangan disini adalah semua peraturan yang dibuat oleh

suatu badan pemerintahan yang diberi kekuasaan untuk membuat

undang-undang, misalnya peraturan pemerintah, peraturan pemerintah

daerah seperti Provinsi, Kabupaten dan Kota Praja, kode etik profesi

Polri dan termaksud pula petunjuk lapangan dan petunjuk teknis untuk

Polri. Adapun peraturan yang lebih spesifik sebagai pedoman oleh

kepolisian dalam melaksanakan diskresi adalah Undang-undang Nomor 2

Tahun 2002 Tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, Kitab

Undang-undang Hukum Pidana (KUHP), Kitab Undang-undang Hukum

Acara Pidana (KUHAP), dan Peraturan Kepala Kepolisian Republik

Indonesia Nomor 1 tahun 2009 Tentang Penggunaan Kekuatan dalam

Tindakan Kepolisian.

2) Tindakan yang selaras dengan kewajiban hukum yang mengharuskan

dilakukannya tindakan tindakan jabatan

Bahwa tindakan yang akan dilakukan oleh anggota atau atau pejabat

Polri dilapangan dalam menjunjung tugas dan wewenangnya khususnya

dalam melakukan diskresi, betul-betul dilakukan untuk keperluan

meniadakan suatu gangguan atau untuk mencegah terjadinya suatu

gangguan, ini berarti bahwa jika tindakan yang diperlukan tidak diambil,

maka sesuatu yang perlu dicegah akan terjadi.

3) Tindakan itu harus patut dan masuk akal dan termasuk dalam lingkungan

jabatannya

Pekerjaan polisi manapun adalah memelihara hukum dan ketertiban,

lebih khusus lagi memerangi kejahatan dalam masyarakat, demikian juga

Page 75: TINDAKAN DISKRESI OLEH KEPOLISIAN DALAM …

library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 65

polisi di Negara Republik Indonesia, walaupun tugas dan wewenang

serta hal yang akan dilakukan telah dirumuskan oleh prosedur hukum

secara rinci, namun pada waktu yang sama pihak kepolisian telah

dihadapkan kepada kebutuhan untuk mengambil keputusan dan

mengambil tindakan yang bersifat spontan yang bertentangan dengan

prosedur hukum, maka ketertiban akan terganggu, dengan posisi

tersebutpihak kepolisian akan menimbulkan bermacam-macam tuntutan

yaitu disatu pihak diikat oleh prosedur hukum, sedangkan dipihak lain

untuk bergerak bebas sehingga bisa melakukan tugas memelihara

ketertiban dengan baik.

4) Tindakan atas pertimbangan yang layak berdasarkan keadaan memaksa

Ketentuan yang mengatur tentang keadaan memaksa (overmact) atau

sesuatu yang tidak dapat dihindari diatur dalam Pasal 48 dan Pasal 49

KUHP. Dalam penegakan hukum di lapangan, pihak polisi tidak dapat

dituntut atau tidak dapat dihukum bila pihak polisi melakukan perbuatan

karena keadaan terpaksa oleh sesuatu kekuasaan yang tidak dapat

dihindarkan atau terpaksa untuk mempertahankan diri atau karena

menjalankan peraturan perundang-undangan atau untuk menjalankan

perintah jabatan yang diberikan oleh kuasa yang berhak akan itu,

keadaan terpaksa ini diartikan, baik paksaan batin, lahir, rohani maupun

jasmani.

5) Tindakan harus Menghormati Hak Asasi Manusia

Hak Asasi Manusia (HAM) yang harus ditegakkan dan dihormati

oleh polisi itu berakar dari HAM yang mengalir dari visi moral,bukan

dari visi hukum yang harus difilter dulu berlakunya melalui filosofi,

sosiologi dan hukum nasional. HAM yang mengalir dari visi moral

berlakunya universal, sangat mendasar dan tidak akan tercabut oleh

dengan cara apapun, karenanya baik sudah atau belum diratifikasi HAM

jenis ini harus ditegakkan dan dihormati oleh polisi seluruh dunia,

utamannya yang terkait dengan tindakan diskresi yang dilakukan oleh

pejabat kepolisian di lapangan.

Page 76: TINDAKAN DISKRESI OLEH KEPOLISIAN DALAM …

library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 66

Berdasarkan diskresi kepolisian inilah yang menjadi dasar kepolisian

dalam melakukan tindakan tembak di tempat. Mereka yang profesional akan

melakukan tugasnya dengan baik. Selain dituntut profesional, mereka juga

dituntut untuk tidak mencampurkan urusan pribadi mereka dalam menjalankan

tugasnya khususnya dalam pengambilan tindakan tembak di tempat ini karena

mereka telah diberikan kewenangan. Kewenangan tersebut antara lain dikenal

dengan tindakan upaya paksa dari para penegak hukum, yang dalam hal ini

sering melanggar hak tersangka/terdakwa, dilakukan dengan kekerasan

(violence) dan penyiksaan (torture).

Walaupun telah diberikan kewenangan, untuk mencegah tindakan

sewenang-wenang yang mungkin akan terjadi akibat arogansi dari petugas

tersebut yang didasarkan atas kemampuan/pertimbangan subyektif, maka

tindakan “Diskresi” harus dibatasi oleh:

(a) Asas Keperluan, tindakan harus benar-benar diperlukan.

(b) Tindakan yang diambil benar-benar untuk kepentingan Tugas Kepolisian.

(c) Tindakan yang paling tepat untuk meniadakan suatu gangguan atau tidak

terjadinya suatu kekhawatiran terhadap akibat yang lebih besar (asas

tujuan).

(d) Dalam mengambil tindakan harus diperhitungkan keseimbangan antara sifat

tindakan atau sasaran yang digunakan dengan besar kecilnya gangguan atau

berat ringannya suatu obyek yang harus ditindak.

Atas dasar kewenangan tersebut di atas, maka aparat kepolisian diharuskan

untuk memperhatikan Hak Asasi Manusia (HAM). Salah satu implementasi

HAM sebagaimana diatur dalam UUD 1945 antara lain terdapat dalam UU No.

8 tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana. Di dalam UU tersebut diatur

mengenai proses peradilan pidana. O.C Kaligis mengemukakan bahwa

perlindungan dan perlakuan yang sama di depan hukum merupakan bentuk hak

asasi yang paling sulit dijalankan dalam Sistem Peradilan Pidana di Indonesia.

Seorang tersangka, terdakwa dan terpidana, merupakan pihak yang rentan atas

pelanggaran HAM. Pemerintah yang berdasarkan Undang-undang wajib

Page 77: TINDAKAN DISKRESI OLEH KEPOLISIAN DALAM …

library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 67

memenuhi HAM tersebut, seringkali tidak mampu melakukan perlindungan

apapun ketika dituntut untuk memenuhi kewajibannya.59

Salah satu ciri Negara hukum modern menurut Jimly Asshidieqie,60

adalah

adanya perlindungan hak asasi manuisa, yang merupakan pilar-pilar utama

yang menyangga berdiri tegaknya satu negara hukum modern dalam arti yang

sebenarnya.

Hak Asasi Manusia (HAM) yang melekat pada manusia secara kodrati

merupakan anugerah Tuhan Yang Maha Esa yang terindah dan terbaik yang

dimiliki oleh setiap insan manusia di belahan bumi manapun juga. Hak-hak ini

tidak dapat diingkari begitu saja oleh siapapun juga. Pengingkaran terhadap

hak prinsipil tersebut berarti mengingkari martabat manusia sebagai makhluk

ciptaan Tuhan. Oleh karena itulah, baik negara, pemerintah, atau organisasi

apapun harus mengemban kewajiban untuk mengakui dan melindungi hak

asasi manusia pada setiap manusia tanpa terkecuali. Hal ini mengandung

maksud bahwa HAM harus selalu menjadi titik tolak dan tujuan dalam

penyelenggaraan kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.

Hak Asasi Manusia adalah hak yang dimiliki seseorang karena orang itu

adalah manusia, hak asasi ini bersifat universal dan tidak dapat dialihkan

kepada orang lain. Penegakan HAM adalah merupakan salah satu unsur paling

esensial bagi Negara hukum, keberadaan dan penghormatan terhadap negara

hukum yang mencerminkan keadaan bahwa hak-hak kebebasan dan kewajiban

dilenyapkan dalam hukum bagi semua orang dan dengan jaminan bahwa

orang-orang akan diperlukan sama dalam keadaan yang sama. Tanpa adanya

pengakuan hukum yang menjadi landasan bagi tumbuh kembangnya hak asasi

manusia, sangat sulit dicapai kerangka pembangunan sistem perlindungan

HAM.

Setiap manusia memiliki hak untuk hidup. Di dalam kehidupan tersebut

melekat hak-hak lainnya yang harus dijunjung tinggi oleh orang lainnya.

59

O.C Kaligis, 2006, Perlindungan Hukum Atas Hak Asasi Tersangka, Terdakwa dan

Terpidana, Bandung: PT Alumni, hlm. 18. 60

Jimly Asshiddieqie, 2006, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara, Jakarta: Sekretariat

Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI, hlm. 151

Page 78: TINDAKAN DISKRESI OLEH KEPOLISIAN DALAM …

library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 68

Menurut undang-undang bahwa Hak Asasi Manusia (HAM) adalah

seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai

mahluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerahnya yang wajib

dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh Negara hukum, pemerintahan,

dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat

manusia.61

John Locke menjelaskan bahwa HAM ialah hak-hak yang langsung

diberikan tuhan yang maha esa kepada manusia sebagai hak yang kodrati. Oleh

karenanya, tidak ada kekuatan apapun didunia yang bisa mencabutnya. HAM

ini sifatnya fundamental atau mendasar bagi kehidupan manusia dan pada

hakikatnya sangat suci. Menurut muladi, HAM ialah segala hak pokok atau

dasar yang telah melekat pada diri manusia dalam kehidupannya.62

Pentingnya pembicaraan tentang HAM tersebut, bahkan pengaturan HAM

merupakan perhatian dunia internasional dengan dibuatnya deklarasi HAM,

sejak dulu di Inggris dan Negara-negara Eropa lainnya. HAM merupakan hak

yang melekat pada setiap diri manusia yang tidak dapat diganggu gugat oleh

orang lain yang diberikan tuhan sejak manusia lahir. Apabila seseorang,

pemerintah atau orang lain mengganggu Hak Asasi orang lain, maka dapat

dituntut sesuai dengan Undang-undang yang berlaku.

Dalam Perkap No. 8 tahun 2009 telah diatur tentang Implementasi Prinsip

dan Standar Hak Asasi Manusia dalam Penyelenggaraan Tugas Kepolisian

Negara Republik Indonesia yang juga berdasarkan atas UUD 1945 dan UU

tentang HAM yaitu UU No. 39 tahun 1999. Selain itu, Polri wajib

menghormati instrumen-instrumen HAM baik yang diatur dalam perundang-

undangan Indonesia maupun instrumen internasional seperti yang terdapat

dalam Pasal 8 ayat (1) Perkap No. 8 tahun 2009 yang menyatakan: Setiap

anggota Polri wajib memahami instrumen-instrumen HAM baik yang diatur

dalam peraturan perundang-undangan Indonesia dan instrumen internasional,

baik yang telah diratifikasi maupun yang belum diratifikasi oleh Indonesia.

61

Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. 62

9 Pengertian HAM-Hak asasi manusia menurut para ahli

(http://www.seputarpengetahuan.com/2015/06/9-pengertian-ham-hak-asasi-manusia-menurut-

para-ahli.html) diakses tanggal 19 Juni 2019.

Page 79: TINDAKAN DISKRESI OLEH KEPOLISIAN DALAM …

library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 69

Berdasarkan penjelasan di atas, maka penggunaan senjata api dalam tugas

kepolisian merupakan sesuatu kekerasan di mana dalam hal ini digunakan

anggota Kepolisian untuk menjalankan tugas sebagaimana yang diamanatkan

kepada mereka. Walaupun tindakan kekerasan (tembak di tempat) tersebut

diperbolehkan, namun pengambilan tindakan tersebut haruslah tetap

memperhatikan hanya dalam keadaan tertentu seperti yang terdapat dalam

Pasal 10 huruf c Perkap No. 8 tahun 2009, yaitu: Tidak boleh menggunakan

kekerasan, kecuali dibutuhkan untuk mencegah kejahatan membantu

melakukan penangkapan terhadap pelanggar hukum atau tersangka sesuai

dengan peraturan penggunaan kekerasan.

Pertanggungjawaban Secara Hukum terhadap Petugas Kepolisian setelah

melakukan tindakan tembak di tempat juga telah diatur, polisi yang

bersangkutan harus mempertanggungjawabkan atas tindakannya tersebut.

Tindakan tembak ditempat merupakan upaya terakhir bagi anggota kepolisian

dalam melaksanakan tugasnya. Pertanggungjawaban anggota kepolisian setelah

melakukan tembakan ditempat berdasarkan Pasal 49 ayat (1) Peraturan Kepala

Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2009 tindakan Polisi

setelah melakukan tindakan tembak di tempat Polisi wajib:

a. Mempertanggungjawabkan tindakan penggunaan senjata api.

b. Memberi bantuan medis bagi setiap orang yang terluka tembak.

“Ketika polisi melakukan diskresi berupa tindakan tembak ditempat

kemudian si pelaku tindak pidana ini terluka, hal yang dilakukan terlebih

dahulu adalah menyembuhkan luka pelaku tindak pidana tersebut ataupun

upaya menyelamatkan jiwa terlepas itu siapapun, jika masyarakat yang

terluka maka menyelamatkan masyarakat tersebut. Dengan cara bantuan

medis, jika memang polisi ini bisa melakukan upaya bantuan maka akan

memberi bantuan medis ditempat kejadiaan saat itu juga tetapi jika tidak

bisa, akan secepatnya dibawa ke rumah sakit terdekat.”

c. Memberitahukan kepada keluarga atau kerabat korban akibat penggunaan

senjata api.

d. Membuat laporan terperinci dan lengkap tentang penggunaan senjata api.

Page 80: TINDAKAN DISKRESI OLEH KEPOLISIAN DALAM …

library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 70

Dalam membuat laporan terperinci tentang penggunaaan senjata api ini

sudah diatur dalam Peraturan Kepala Kepolisian Republik Indonesia Nomor

1 Tahun 2009 tentang Penggunaan Kekuatan Dalam Tindakan Kepolisian

pasal 4 ayat (4) dan ayat (5) sebagai berikut:

Ayat (4)

Laporan sebagaimana dimaksud memuat antara lain:

a) Tanggal dan tempat kejadian.

b) Uraian singkat peristiwa tindakan pelaku kejahatan atau tersangka,

sehingga memerlukan tindakan kepolisian.

c) Alasan/pertimbangan penggunaan kekuatan.

d) Evaluasi hasil penggunaan kekuatan.

e) Akibat dan permasalahan yang ditimbulkan oleh penggunaan kekuatan

tersebut.

Ayat (5)

Informasi yang dimuat dalam laporan sebagaimana dimaksud pada ayat

(4) digunakan untuk :

a. Bahan laporan penggunaan kekuatan tahap 4 sampai dengan tahap 6

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) huruf d,e dan huruf f.

b. Mengetahui tahapan penggunaan kekuatan yang telah digunakan.

c. Mengetahui hal-hal yang terkait dengan keselamatan anggota Polri

dan/atau masyarakat.

d. Bahan analisa dan evaluasi dalam rangka pengembangan dan

peningkatan kemampuan professional anggota Polri secara

berkesinambungan.

e. Bahan pertanggungjawaban hukum penerapan penggunaan kekuatan.

f. Bahan pembelaan hukum dalam hal terjadi gugatan pidana/perdata terkait

penggunaan kekuatan yang dilakukan oleh anggota Polri yang

bersangkutan.

Selain itu adapun tindakan yang harus dilakukan setelah menggunakan

senjata api, disarankan untuk melakukan tindakan berikut ini:

a. Memberikan perawatan medis bagi semua yang terluka.

Page 81: TINDAKAN DISKRESI OLEH KEPOLISIAN DALAM …

library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 71

b. Mengijinkan dilakukan penyelidikan bila diperlukan.

c. Menjaga tempat kejadian perkara untuk penyelidikan lebih lanjut.

d. Memberitahu keluarga dan teman-teman orang yang terluka. e.

Melaporkan kejadian.

Dari penjelasan dan contoh kasus yang diteliti, wujud dari penembakan

yang mengakibatkan matinya seseorang adalah matinya orang yang ditembak,

maka dengan ini tewasnya orang karena ditembak menyangkut tentang HAM

khususnya yaitu hak untuk hidup. Ketika seseorang ditembak dan meninggal

dunia akibat yang dapat dilihat dari aspek HAM adalah hilangnya hak

seseorang untuk hidup.

Setiap orang memiliki hak untuk hidup, kebebasan dan keamanan pribadi.

Ini dinyatakan dalam Pasal 3 Universal Declaration of Human Right,

mencerminkan salah satu hak dasar tertua umat manusia seluruhnya, hak hidup

termasuk pada non-derogable right.

Tembak ditempat yang dilakukan oleh polisi dan mengakibatkan hilangnya

nyawa seseorang dapat dilihat alurnya berkenaan dengan perspektif HAM pada

dua hal, yakni orang yang melakukannya dan proses melakukannya. Jika yang

melakukan tembak ditempat adalah aparatur negara, maka sekilas dapat

dikatakan aparat telah melakukan pelanggaran HAM. Tetapi harus dilihat lagi

pada proses melakukan tembak ditempat tersebut. Jika tindakan aparat

mengambil tindakan tembak ditempat sesuai dengan prosedur yang ada, maka

tidak dapat dikatakan aparat itu melanggar HAM. Karena dalam hal ini aparat

Kepolisian diberi wewenang bertindak sesuai dengan penilaiannya sendiri yaitu

kewenangan diskresi kepolisian dan telah tertuang di dalam peraturan

Perundang-undangan.

Dengan diuraikannya mengenai peraturan yang mengatur mengenai

diskresi tindakan tembak ditempat di atas, maka dalam kaitannya dengan dua

contoh kasus yang diteliti, dapat disimpulkan bahwa tindakan yang dilakukan

oleh pihak kepolisian merupakan tindakan diskresi yang telah jelas diatur dan

tidak melanggar Hak Asasi Manusia pelaku kejahatan, karena dalam hal ini

diskresi tindakan tembak di tempat benar-benar harus dilakukan akibat situasi

Page 82: TINDAKAN DISKRESI OLEH KEPOLISIAN DALAM …

library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 72

di lapangan yang membahayakan petugas dan lingkungan masyarakat sekitar,

pelaku tindak pidana dalam hal ini mencoba melakukan perlawanan dengan

menggunakan senjata yang berpotensi membahayakan masyarakat sekitar serta

petugas kepolisian. Meskipun dalam hal ini pihak kepolisian dikatakan tidak

dapat melindungi hak tersangka untuk hidup, tetapi pihak kepolisian setidaknya

mencoba ingin melindungi Hak Asasi Manusia yang lebih besar dan luas, yaitu

HAM bagi masyarakat serta petugas kepolisian yang bertugas.

Page 83: TINDAKAN DISKRESI OLEH KEPOLISIAN DALAM …

library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

73

BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

1. Ada dua pertimbangan polisi dalam melakukan tindakan diskresi tembak di

tempat, yaitu pertama, kondisi situasional, meliputi keadaan terdesak,

respon pelaku kejahatan melawan atau kabur, situasi ramai atau sepi,

kerugian yang ditimbulkan, dan kondisi geografis lokasi. Kedua, karakter

pelaku, meliputi residivis, status pelaku di masyarakat, banyaknya pelaku

dan tingkatan kasus kejahatan, serta pertimbangan lain berupa aturan formal

yang berlaku. Bahwa pertimbangan lain bagi polisi dalam melakukan

diskresi tindakan tembak di tempat, yaitu aturan formal penggunaan senjata

api, aturan formal ini berupa peraturan perundang-undangan yang menjadi

pedoman bagi polisi dalam melakukan kewenangannya berupa tindakan

tembak di tempat.

2. Diskresi tindakan tembak di tempat perspektif Hak Asasi Manusia jika

dikaitkan dengan realita kasus yang di teliti, dapat disimpulkan jika pihak

kepolisian tidak melanggar Hak Asasi Manusia karena tindakan yang

dilakukan telah sesuai dengan peraturan perundang-undangan dan akibat

situasi di lapangan yang membahayakan berupa perlawanan dari pelaku

kejahatan/tindak pidana, sehingga mengakibatkan pelaku meninggal dunia.

Meskipun dalam hal ini pihak kepolisian dikatakan tidak dapat melindungi

hak tersangka untuk hidup, tetapi pihak kepolisian setidaknya mencoba

ingin melindungi Hak Asasi Manusia yang lebih besar dan luas, yaitu HAM

bagi masyarakat serta petugas kepolisian yang bertugas.

B. Implikasi

Konsekuensi logis dari kesimpulan hasil penelitian tersebut di atas, dapat

dirumuskan implikasi sebagai berikut:

Page 84: TINDAKAN DISKRESI OLEH KEPOLISIAN DALAM …

library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 74

1. Dengan adanya pertimbangan polisi dalam melakukan tembak di tempat,

masyarakat dapat lebih mengetahui bahwa polisi memiliki tolak ukur

tersendiri dalam melakukan diskresi berupa tembak di tempat.

2. Dengan adanya kewenangan diskrei serta peraturan mengenai Hak Asasi

Manusia, aparat penegak hukum dalam menjalankan tugasnya seperti polisi

dalam melakukan tindakan tembak ditempat dapat meminimalisir adanya

pelanggaran HAM yang lebih luas.

C. Saran

1. Hendaknya Polri melakukan sosialisasi mengenai pentingnya tembak di

tempat baik terhadap tersangka tindak pidana, anggota kepolisian, dan

seluruh lapisan masyarakat.

2. Ketika anggota kepolisian mengambil tindakan tembak di tempat atau

dengan kata lain menggunakan kekerasan dalam tahap penangkapan

tersangka, walaupun diperbolehkan harus tetap memperhatikan hak-hak

tersangka dan yang terpenting haruslah menjunjung tinggi Hak Asasi

Manusia.

Page 85: TINDAKAN DISKRESI OLEH KEPOLISIAN DALAM …

library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 75

DAFTAR PUSTAKA

Amiruddin dan Asikin Zainal, 2001, Pengantar Metode Penelitian Hukum,

Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.

Ashofa, Burhan, Metode Penelitian Hukum, Jakarta: Rineka Cipta.

Arief, Barda Nawawi, 2008, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, Jakarta:

Kencana Prenada Media Groub.

Al-Banjary, Syaefurrahman, 2005, Hitam Putih Polisi dalam Mengungkap

Jaringan Narkoba, Jakarta: Restu Agung.

Asshiddieqie, Jimly, 2006, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara, Jakarta:

Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI.

Atmosudirjo, S. Prajudi, 1944, Hukum Administrasi Negara, Jakarta: Ghalia

Indonesia.

Ali, Ahcmad, 2002, Keterpurukan Hukum di Indonesia, Jakarta: Ghalia Indonesia.

Ali, Utsman, 11 Maret 2015, Pengertian Hak Asasi Manusia Menurut Para

Pakar, dalam http://www.pengertianpakar.com/2015/03/pengertian-ham-

hak-asasi-manusia.html, di akses pada selasa 03 Oktober 2018 pukul22:38.

Basah, Sjachran, 1997, Eksistensi dan Tolak Ukur Badan Peradilan Administrasi

di Indonesia, Bandung: Alumni.

CST., Simorangkir, 2000, Kamus Hukum, Jakarta: Alinea Baru.

Fuady, Munir, 2003, Aliran Hukum Kritis: Paradigma Ketidakberdayaan Hukum,

Bandung: PT. Citra Aditya Bakti.

Friedman, Lawrence M., 2009, Sistem Hukum: Perspektif Ilmu Sosial, Jakarta:

Nusa Media.

J. Moleong, Lexy, 2004, Metode Penelitian Kualitatif, Bandung: Remaja

Rosdakarya.

Kelana, Momo, 1994, HukumKepolisian, Jakarta: PT. Gramedia Widia Sarana

Indonesia.

Page 86: TINDAKAN DISKRESI OLEH KEPOLISIAN DALAM …

library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 76

Kaligis, O.C, 2006, Perlindungan Hukum Atas Hak Asasi Tersangka, Terdakwa

dan Terpidana, Bandung: PT Alumni.

Kunarto,1997, Etika Kepolisian, Jakarta: Cipta Manunggal.

K.M, Rhona, dkk, 2010, Hukum Hak Asasi Manusia, Yogyakarta: Pusat Studi

Hak Asasi Manusia Universitas Islam Indonesia.

Lubis, Sofyan, 2012, Prinsip Miranda Rule: Hak-hak Tersangka sebelum

Pemeriksaan, Yogyakarta: Pustaka Yustisia.

Mulyadi, Mahmud, 2009, Kepolisian dalam Sistem Peradilan Pidana, Medan:

USU Press.

Magnis Suseno, Frans dalam Putera Astomo, 2014, Hukum Tata Negara:

Teoridan Praktek, Yogyakarta: Thafa Media.

Miles, Mattew B.,dan A. Michael Huberman, 2007, Analisis Data Kualitatif,

Jakarta: UI Pres.

Marzuki, Peter Mahmud, 2005, Penelitian Hukum, Jakarta: Kencana Prenada

Media Group.

Prakoso, Djoko, 2007, Polri Sebagai Penyidik dalam Penegakan Hukum, Jakarta:

Bina Aksara.

Pound, Roscoe, 1960, “Discretion, Dispensation and Mitigation: The Problem of

The Individual Special Case”, New York University Law Review.

Rahayu, Esmi Warassih Puji, 2005, Pranata Hukum Sebuah Telaah Sosiologis,

Semarang: Suryandaru Utama.

Raharjo, Satjipto, 2009, Penegakan Hukum Suatu Tinjauan Sosiologis,

Yogyakarta: Genta Phublishing.

_______________, 2000, Ilmu Hukum, Cet. Ke-V, Bandung: Citra Aditya Bakti,

Soekanto, Soerjono, 1983, Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penegakan

Hukum, Jakarta: Rajawali.

Soeharjo, Seno, 1953, Serba-Serbi Tentang Polisi: Pengantar Usaha Mempelajari

Hukum Polisi, Bogor: Schenkhuizen.

Sitompul, 2000, Beberapa Tugas dan Peranan Polri, Jakarta: CV Wanthy Jaya.

Page 87: TINDAKAN DISKRESI OLEH KEPOLISIAN DALAM …

library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 77

Sadjijono, 2008, Polri dalam Perkembangan Hukum di Indonesia, Yogyakarta:

LaksBang Pressindo.

________, 2008, Mengenal Hukum Kepolisian, Surabaya: Laksbang Mediatama.

Sadjijono dan Bagus Teguh Santoso, 2017, Hukum Kepolisian di Indonesia Studi

Kekuasaan dan Rekontruksi Fungsi Polri dalam Fungsi Pemerintahan,

Surabaya: Laksbang PRESSindo.

Salusu, 2000, Tantangan Era Baru Berbagai Keadaan dan Penyikapan, Jakarta:

Bumiputra Group.

Syariah, Rabiatul, Keterkaitan Budaya Hukum dengan Pembangunan Hukum

Nasional, Repository.usu.ac.id, di akses bulan Juni 2019.

Setiono, 2010, Pemahaman Terhadap Metodologi Penelitian Hukum, Surakarta:

Pascasarjana Universitas Sebelas Maret.

Smith, Rhona K. M., dkk., 2008, Hukum Hak Asasi Manusia, Yogyakarta:

PUSHAM UII.

Sutopo, HB. Sutopo, 2006, Metodologi Penelitian Kualitatif, Surakarta: UNS

Press.

Saifullah, 2007, Refleksi Sosiologi Hukum, Bandung: Refika Aditama.

Triyanto, 2013, Negara Hukum dan Ham, Yogyakarta: Ombak.

Utomo, Warsiti Adi, 2005, Hukum Kepolisian Indonesia, Jakarta: Prestasi

Pustaka.

Wilson, J.Q., 1978, “Varietes of Police Behariour: The Management of Law and

Order in Eight Communities”, Cambridge: Harvard University Press.

Wignjosoebroto, Soetandyo, 2002, Hukum, Metode dan Dinamika Masalahnya,

Elsam dan Huma Cetakan Pertama.

Yan Puspa, Pramadya, 1977, Kamus Hukum Edisi Lengkap Bahasa Belanda

Indonesia Inggris, Semarang: Aneka Ilmu.

9 Pengertian HAM-Hak asasi manusia menurut para ahli

(http://www.seputarpengetahuan.com/2015/06/9-pengertian-ham-hak-

asasi-manusia-menurut-para-ahli.html) diakses tanggal 19 Juni 2019.

www.wikipedia.org. Kepolisian Negara Republik Indonesia, diakses tanggal 20

Februari 2019.

Page 88: TINDAKAN DISKRESI OLEH KEPOLISIAN DALAM …

library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 78

http://m.hukumonline.com/klinik/detai diakses tanggal 09 Juli 2019 Pukul 12:39

WIB.

Prosedur Tetap Kapolri Nomor Polisi: PROTAP/01/V/2001 Tentang Penggunaan

Senjata Api.

Peraturan Kepala Kepolisian Republik Indonesia Nomor 1 tahun 2009 tentang

Penggunaan Kekuatan dalam tindakan Kepolisian.

Peraturan kepala Kepolisian Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2009 tentang

Implementasi Prinsip dan Standar Hak Asasi Manusia.

Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian Negera Republik

Indonesia.

Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia.