tindakan diskresi oleh kepolisian dalam …
TRANSCRIPT
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
i
TINDAKAN DISKRESI OLEH KEPOLISIAN DALAM
MELAKUKAN TEMBAK DI TEMPAT PERSPEKTIF
HAK ASASI MANUSIA
TESIS
Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Guna Mencapai Magister
Program Studi Ilmu Hukum
Konsentrasi: Hukum Pidana Ekonomi
DisusunOleh :
KIKY ERLANI
NIM : S331708005
PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU HUKUM
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
SURAKARTA
2019
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
ii
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
iii
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
v
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, yang telah
memberikan rahmat, taufik dan hidayah-Nya, sehingga tesis dengan judul:
“TINDAKAN DISKRESI OLEH KEPOLISIAN DALAM MELAKUKAN
TEMBAK DI TEMPAT PERSPEKTIF HAK ASASI MANUSIA” dapat
terselesaikan dengan lancar.
Tesis ini disusun untuk melengkapi tugas dan memenuhi syarat guna
mencapai Gelar Magister Ilmu Hukum pada Universitas Sebelas Maret Surakarta.
Pada kesempatan ini, penulis mengucapkan terimakasih dan penghargaan yang
sebesar-besarnya kepada yang terhormat:
1. Prof. Dr. Jamal Wiwoho, S.H., M.Hum. Rektor Universitas Sebelas Maret
Surakarta.
2. Prof. Drs. Sutarno, M.Sc., Ph.D. Direktur Program Pascasarjana Universitas
Sebelas Maret Surakarta.
3. Prof. Dr. I Gusti Ayu Ketut Rachmi Handayani, S.H., M.M. Selaku Dekan
Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta.
4. Dr. Mohammad Jamin, S.H., M.Hum. Ketua Program Studi Ilmu Hukum
Universitas Sebelas Maret Surakarta.
5. Dr. Widodo Tresno Novianto, S.H., M.Hum. Selalu Dosen Pembimbing I.
6. Dr. Hari Purwadi, S.H., M.Hum. selaku dosen Pembimbing II.
7. Seluruh Bapak/Ibu Dosen Program Pascasarjana Magister Ilmu Hukum, dan
Bapak/Ibu staf penyelenggara Program Studi Magister Ilmu Hukum
Universitas Sebelas Maret Surakarta.
8. Rekan-rekan satu angkatan pada Program Magister Ilmu Hukum Fakultas
Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta atas segala bantuan dan kerja
samannya.
Penulis menyadari bahwa penulisan tesis ini masih jauh dari sempurna, oleh
karenannya penulis mengharapkan kritik dan saran demi perbaikan ke depan.
Semoga tesis ini dapat memberikan manfaat kepada penulis khususnya dan
umumnya kepada kita sekalian.
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
vi
Akhirnya kepada semua pihak yang sudah membantu penulis selama
menjalani masa perkuliahan maupun selama penyusunan tesis ini semoga
mendapatkan balasan dari Allah SWT. Amin.
Surakarta, 24 Juli 2019
KIKY ERLANI
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
vii
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ........................................................................................ i
HALAMAN PERSETUJUAN ......................................................................... ii
HALAMAN PENGESAHAN .......................................................................... iii
HALAMAN PERNYATAAN ......................................................................... iv
KATA PENGANTAR ..................................................................................... v
DAFTAR ISI ............................................................................................ vii
ABSTRAK ............................................................................................ ix
BAB 1 PENDAHULUAN ............................................................................... 1
A. Latar Belakang Masalah ....................................................................... 1
B. Rumusan Masalah ................................................................................. 5
C. Tujuan Penelitian .................................................................................. 5
D. Manfaat Penelitian ................................................................................ 5
BAB II LANDASAN TEORI .......................................................................... 6
A. Tinjauan Pustaka .................................................................................. 6
1. Kepolisian Republik Indonesia ...................................................... 6
a. Pengertian Kepolisian ............................................................... 6
b. Fungsi Kepolisian ..................................................................... 7
c. Tugas dan Wewenang Kepolisian ............................................ 7
2. Tembak di Tempat Oleh Polri ........................................................ 11
a. Pengertian tembak di tempat .................................................... 11
b. Pemberlakuan tembak di tempat terhadap tersangka ............... 12
B. Landasan Teori ..................................................................................... 14
1. Teori Diskresi ................................................................................... 14
2. Teori Hak Asasi Manusia ................................................................. 18
3. Teori Sistem Hukum ........................................................................ 22
C. Penelitian yang relevan ........................................................................ 24
D. Kerangka berfikir ................................................................................. 27
BAB III METODE PENELITIAN................................................................... 29
A. Jenis Penelitian .................................................................................... 29
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
viii
B. Lokasi Penelitian .................................................................................. 30
C. Jenis dan Sumber Data ......................................................................... 30
D. Teknik Pengumpulan Data................................................................... 32
E. Teknik Analisis Data ............................................................................ 33
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ....................................... 34
A. Pertimbangan polisi dalam melakukan tindakan diskresi tembak di
tempat ................................................................................................... 34
1. Pertimbangan polisi dalam melakukan tembak di tempat ............... 38
2. Realita Kasus Tindakan Tembak di Tempat yang Dilakukan Oleh
Aparat Polda Jateng dan Polda DIY ................................................ 52
3. Kendala yang dihadapi Kepolisian dalam Melakukan Wewenang
Tembak di Tempat ........................................................................... 54
4. Upaya yang dilakukan Oleh Kepolisian dalam Mengatasi Kendala
Melakukan Tembak di Tempat ........................................................ 57
B. Diskresi tindakan tembak di tempat Perspektif Hak Asasi Manusia.... 61
BAB V PENUTUP ........................................................................................... 73
A. Kesimpulan ........................................................................................... 73
B. Implikasi ............................................................................................... 73
C. Saran ..................................................................................................... 74
DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................... 75
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
ix
ABSTRAK
Kiky Erlani. Nim S331708005, Tindakan Diskresi oleh Kepolisian dalam
Melakukan Tembak di Tempat Perspektif Hak Asasi Manusia. TESIS:
Program Pascasarjana Universitas Sebelas Maret Surakarta, 2019.
Polisi memiliki kewenangan bertindak menurut penilaian sendiri yang
disebut sebagai kewenangan diskresi. Di dalam penerapannya dilapangan
biasanya polisi melakukan tindakan tembak di tempat kepada tersangka. Tindakan
tersebut dapat dilakukan dalam situasi tertentu yang mengancam jiwa baik
anggota polisi dan warga sipil di sekitar penyergapan. Pihak kepolisian dalam
melakukan tembak ditempat memiliki pertimbangan dalam mengambil keputusan
untuk melakukan tindakan tembak di tempat. Meskipun pihak kepolisian dibekali
kewenangan tembak di tempat, tetapi di sisi lain Polri harus memperhatikan
tindakan tersebut tidak bertentangan dengan Hak Asasi Manusia (HAM).
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dan menganalisis yang menjadi
pertimbangan polisi melakukan diskresi tindakan tembak di tempat, dan
menganalisis diskresi tindakan tembak di tempat perspektif Hak Asasi Manusia.
Penelitian ini merupakan penelitian non doktrinal. Lokasi penelitian di Polda Jawa
Tengah dan Polda DIY. Jenis dan sumber data yang digunakan adalah data primer
dan data sekunder. Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah wawancara
dan studi dokumen. Adapun teknik analisis data dilakukan secara interaktif.
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan diketahui bahwa ada dua
pertimbangan polisi dalam melakukan tindakan diskresi tembak di tempat, yaitu
pertama, kondisi situasional, meliputi keadaan terdesak, respon pelaku kejahatan
melawan atau kabur, situasi ramai atau sepi, kerugian yang ditimbulkan, dan
kondisi geografis lokasi. Kedua, karakter pelaku, meliputi residivis, status pelaku
di masyarakat, banyaknya pelaku dan tingkatan kasus kejahatan, serta
pertimbangan lain aturan formal yang berlaku. Kemudian diskresi tindakan
tembak di tempat perspektif Hak Asasi Manusia jika dikaitkan dengan realita
kasus yang di teliti, dapat disimpulkan jika pihak kepolisian tidak melanggar Hak
Asasi Manusia karena tindakan yang dilakukan telah sesuai dengan peraturan
perundang-undangan dan akibat situasi di lapangan yang membahayakan berupa
perlawanan dari pelaku kejahatan/tindak pidana.
Kata Kunci: Diskresi, Polisi, Tembak di tempat, Hak Asasi Manusia
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
x
ABSTRACT
Kiky Erlani. Nim S331708005, Discretionary Measures by the Police in
Shooting in the Place of the Human Rights Perspective. THESIS: Postgraduate
Program at Sebelas Maret University Surakarta, 2019.
The police have the authority to act according to their own judgment which
is referred to as the authority of discretion. In its application in the field, the police
usually carry out firing in place to the suspect. Such actions can be carried out in
certain life-threatening situations both members of the police and civilians around
the ambush. The police in the shoot place have consideration in making a decision
to take action on the spot. Even though the police were given the authority to
shoot in places, on the other hand the National Police had to pay attention to these
actions which did not conflict with Human Rights.
This study aims to find out and analyze the considerations of the police to
carry out discretion in the action of firing on the spot, and analyze the discretion
of the action of firing in the place of human rights perspective. This research is a
non-doctrinal study. Research locations in the Central Java Regional Police and
DIY Regional Police. The types and sources of data used are primary data and
secondary data. Data collection techniques used are interviews and document
studies. The data analysis techniques are carried out interactively.
Based on the results of research and discussion, it is known that there are
two considerations of the police in carrying out discretionary firing in place,
namely first, situational conditions, including urgency, the response of criminals
to fight or escape, crowded or lonely situations, losses incurred, and geographical
conditions. Second, the character of the perpetrators, including recidivists, the
status of the perpetrators in the community, the number of actors and the level of
crime cases, and other considerations of formal rules that apply. Then the
discretion of the action of firing in the place of human rights perspective if it is
associated with the reality of the case being examined, it can be concluded if the
police do not violate human rights because the actions carried out are in
accordance with the laws and regulations and the result of a dangerous situation in
the field perpetrators of crimes/criminal acts.
Keywords: Discretion, Police, Shoot on the spot, Human Rights
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri) adalah Kepolisian
Nasional di Indonesia yang bertanggungjawab langsung di bawah Presiden.
Polri mengemban tugas-tugas kepolisian diseluruh wilayah Indonesia. Polri
dipimpin oleh seorang Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia.1
Istilah polisi dalam kata Politea yang dalam bahasa Yunani memiliki arti
atau pada mulanya meliputi semua hal kenegaraan, semua usaha kenegaraan,
tidak terkecuali masalah keagamaan.2 Pada saat itu negara Yunani terdiri dari
kota-kota yang dinamakan “Polisi”. Jadi pada zaman itu arti polisi demikian
luasnya bahkan meliputi seluruh pemerintahan Negara kota, tersebut juga
didalamnya unsur-unsur keagamaan seperti penyembahan terhadap dewa-
dewanya, termasuk dalam urusan pemerintahan.3
Arti kata Polisi yang telah diterangkan, kalau didalami lebih jauh, akan
memberikan berbagai pengertian. Para cendekiawan di bidang kepolisian
sampai pada kesimpulan bahwa dalam kata Polisi itu ada tiga pengertian yang
dalam penggunaan sehari-hari sering tercampur aduk dan melahirkan berbagai
konotasi. Jika arti polisi adalah: (1) Polisi sebagai fungsi, (2) Polisi sebagai
organ kenegaraan, dan (3) Polisi sebagai pejabat atau petugas. Kata polisi (p
kecil untuk membedakan dengan polisi kata benda) dapat juga berarti kata
kerja yang bermakna membuat sesuatu menjadi bergaya, bercorak, bersifat dan
berbentuk sesuai dengan nilai-nilai luhur kepolisian. Karenanya sering
digunakan kata-kata memolisikan, pemolisian, yang semuanya mengacu pada
usaha, kegiatan tindakan Polisi yang bersifat etis.4
1www.wikipedia.org. Kepolisian Negara Republik Indonesia, diakses tanggal 20 februari
2019. 2 Seno Soeharjo, 1953, Serba Serbi Tentang Polisi: Pengantar Usaha Mempelajari Hukum
Polisi, Bogor: Schenkhuizen, hlm 10. 3 Momo Kelana, 1994, Hukum Kepolisian, Jakarta: PT. Gramedia Widia Sarana Indonesia,
hlm 10. 4 Kunarto,1997, Etika Kepolisian, Jakarta: Cipta Manunggal, hlm. 56.
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 2
Polisi selaku penegak hukum wajib untuk menciptakan atau melindungi
masyarakat supaya memberikan rasa aman dan tertib bagi masyarakat sehingga
penegakan hukum dalam hubungan dengan tugas polisi adalah penegakan
hukum pidana, tugas polisi senantiasa diukur dengan upaya menciptakan rasa
keadilan masyarakat bukan rasa keadilan individu perorangan.
Tetapi, menurut J.Q. Wilson, penilaian terhadap profil polisi oleh
berbagai kalangan (yang biasa menunjukan wajah suram) lebih cenderung
dikaitkan dengan banyaknya skandal yang dilakukan oleh anggota organisasi
polisi, keseriusan penindakan terhadap anggota yang menyimpang, keterlibatan
politis, daripada berlandaskan pada catatan kriminalitas (statistic criminal).
Oleh karena itu, dalam menanggapi penilaian tersebut organisasi polisi
cenderung bersikap defensive daripada berorientasi pada perbaikan pelayanan.5
Namun, pihak kepolisian dalam menjalankan tugasnya sebagai aparatur
negara yang bertujuan untuk melindungi masyarakat secara umum dibekali
dengan berbagai kewenangan, salah satu kewenangan tersebut adalah
kewenangan untuk menembak tersangka atau pelaku kejahatan dengan
menggunakan senjata api atau lebih sering dikenal dengan kewenangan
menembak. Kewenangan tersebut merupakan suatu tindakan yang dikaitkan
dengan perampasan kemerdekaan seseorang yang pada hakekatnya tindakan
tersebut dapat termasuk perampasan Hak Asasi Manusia (HAM), tetapi
tindakan tersebut dapat dibenarkan oleh peraturan perundang-undangan dengan
syarat-syarat dan tata cara sebagaimana yang telah diatur dan ditetapkan oleh
peraturan perundang-undangan. Peraturan yang mengatur mengenai
penggunaan senjata api oleh polisi antara lain diatur dalam Peraturan kepala
Kepolisian Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2009 tentang Implementasi
Prinsip dan Standar Hak Asasi Manusia dalam Penyelenggaraan Tugas
Kepolisian Negara Republik Indonesia, Peraturan Kepala Kepolisian Republik
Indonesia Nomor 1 tahun 2009 tentang Penggunaan Kekuatan dalam tindakan
5J.Q. Wilson, 1978, “Varietes of Police Behariour: The Management of Law and Order in
Eight Communities”, Cambridge: Harvard University Press, hlm. Viii.
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 3
Kepolisian, serta di dalam Prosedur Tetap Kapolri Nomor Polisi:
PROTAP/01/V/2001 Tentang penggunaan Senjata Api.
Terkait dengan hal tersebut, kasus penembakan yang dilakukan oleh
aparat kepolisian terhadap seseorang tersangka pelaku kejahatan banyak
mencuri perhatian masyarakat dan menimbulkan suatu pandangan khusus bagi
aparat penegak hukum sendiri. Seperti kasus perampokan disertai kekerasan
yang berada di Cilacap. Direktorat Reserse Kriminal umum polda Jawa Tengah
meringkus komplotan perampok toko emas. Dalam peristiwa ini Polisi terlibat
baku tembak dengan pelaku. Satu anggota komplotan tewas. Para pelaku dalam
aksinya ini mengancam karyawan toko emas dengan menodong dan menembak
dengan senjata api, pelaku melakukan pencurian di toko emas Nagaputri dan
toko emas Adil Nusawungu, di pasar sikaco, Cilacap. Salah satu pelaku
ditembak mati karena melawan dan berupaya kabur saat disergap. Klompotan
perampok toko emas ini disergap ketika sedang menyusun aksinya di daerah
Purwodadi, kabupaten grobogan. Pelaku yang ditembak mati adalah mudakir
alias Warso (37) warga Muara Kelinci, kabupaten Muara Musi Rawas,
Lampung yang diketahui sebagai otak komplotan. Sedangkan pelaku lain yang
menyerah adalah, Fajar Wiyoto (34) warga Ketawangrejo, Kecamatan Grabag,
Kabupaten Purworejo, Sujiyanto (31) warga Grobokan, Suratno (46) warga
Lembu Kibang, Lampung, Warso Edi Santoso (38) warga Kecamatan Todanan,
Kabupaten Blora.
Tembakan yang dilakukan oleh pihak polisi dengan menggunakan
senjata api di dalam penangkapan terhadap pelaku kejahatan sering menjadi
pertanyaan publik di dalam penangkapan mengenai pertimbangan apa yang
diambil oleh pihak kepolisian dalam melakukan tembak ditempat? Oleh karena
itu yang hanya dapat menjelaskan secara rinci hanya petugas kepolisian yang
melakukan di dalam tugas penangkapan oleh dirinya sendiri secara langsung.
Didalam penegakan hukum dijaman era reformasi dan globalisasi sekarang ini.
Sering kita lihat di media cetak ataupun media elektronik yang selalu dibahas
banyak kejahatan yang bertentangan dengan Hak Asasi Manusia.
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 4
Dalam melakukan tindakan pada dasarnya polisi memiliki kewenangan
bertindak atas penilaiannya sendiri. Dalam hal kewenangan ini tertulis di dalam
Pasal 18 ayat (1) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian
Negera Republik Indonesia yang berisi: “untuk kepentingan umum pejabat
Kepolisian Negara Republik Indonesia dalam melaksanakan tugas dan
wewenangnya dapat bertindak menurut penilaiannya sendiri”. Pasal ini dapat
disebut sebagai kewenangan diskresi, dalam penerapan di lapangan biasanya
Polisi melakukan tindakan tembak di tempat terhadap tersangka atau pelaku
kejahatan bersifat situasional, yaitu berdasarkan prinsip proposionalitas dalam
penanggulangan kekerasan dan senjata api dapat diterapkan saat keadaan
tertentu.
Adapun pengertian diskresi kepolisian menurut Thomas J. Aaron adalah
suatu wewenang yang diberikan kepada Polisi, untuk mengambil keputusan
dalam situasi tertentu yang membutuhkan pertimbangan sendiri dan masalah
moral, serta terletak dalam garis batas antara hukum dan moral.6
Seorang polisi yang sedang melakukan operasi dapat memutuskan
sendiri, apakah ia perlu menembak atau tidak. Setelah ia memutuskan untuk
menarik pelatuk atau tidak menarik pelatuk maka anggota polisi yang
bersangkutan akan mempertanggungjawabkan keputusanya kepada atasannya.
Seorang polisi yang mengambil keputusan untuk menembak seseorang
tersangka kemudian harus mempertanggungjawabkan keputusan itu kepada
atasanya dan ia harus dapat memberikan alasan mengapa perlu menembak
tersangka tetapi mungkin saja terjadi hal yang sebaliknya, yaitu jika seorang
polisi tidak melakukan penembakan dan ternyata tersangka lolos dari
pengejaran atau dalam situasi lain di mana ia tidak menembak, padahal seorang
penjahat mengancam nyawa orang lain dengan senjata, dalam hal ini, ia tetap
harus bertanggungjawabkan keputusan mengapa ia tidak menarik pelatuk
senjatanya. Pada dasarnya penggunaan senjata api oleh anggota polisi dalam
menanggapi pelanggar hukum ada ketentuan-ketentuan yang mengaturnya.
6 Sitompul, 2000, Beberapa Tugas dan Peranan Polri, Jakarta: CV Wanthy Jaya, hlm. 2.
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 5
Penangkapan yang dilakukan oleh anggota kepolisian dengan
menggunakan senjata api sering mengalami pro dan kontra di dalam
masyarakat, apakah tindakan di dalam penangkapan tersebut telah sesuai
dengan situasi yang ada dan tidak melanggar Hak Asasi Manuis (HAM) pelaku
kejahatan/Tindak Pidana.
B. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah tersebut, maka perumusan masalah
yang akan dikaji sebagai berikut:
1. Apa yang menjadi pertimbangan polisi dalam melakukan diskresi tindakan
tembak di tempat?
2. Bagaimana diskresi tindakan tembak di tempat perspektif Hak Asasi
Manusia?
C. Tujuan Penelitian
1. Untuk mengetahui pertimbangan polisi dalam melakukan diskresi tindakan
tembak di tempat.
2. Untuk mengetahui dan menganalisis diskresi tindakan tembak di tempat
perspektif Hak Asasi Manusia
D. Manfaat Penelitian
1. Menambah wawasan dan pengetahuan khususnya di bidang pidana dalam
perspektif Hak Asasi Manusia.
2. Menambah referensi mengenai Tindakan Diskresi oleh Kepolisian bagi
penelitian-penelitian selanjutnya.
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
6
BAB II
LANDASAN TEORI
A. Tinjauan Pustaka
1. Kepolisian Republik Indonesia
a. Pengertian Kepolisian
Menurut Satjipto Raharjo Polisi merupakan alat negara yang
bertugas memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, memberikan
pengayoman dan memeberikan perlindungan kepada masyarakat.7
Selanjutnya Satjipto raharjo yang mengutip pendapat Bitner
menyebutkan bahwa apabila hukum bertujuan untuk menciptakan
ketertiban dalam masyarakat, diantarannya melawan kejahatan, akhirnya
polisi yang akan menentukan secara konkrit apa yang disebut sebagai
penegakan ketertiban.8
Polisi adalah suatu pranata umum sipil yang mengatur tata tertib
(orde) dan hukum. Namun kadangkala pranata ini bersifat militaris,
seperti di Indonesia sebelum Polri dilepas dari ABRI. Polisi dalam
lingkungan pengadilan bertugas sebagai penyidik. Dalam tugasnya dia
mencari barang bukti, keterangan-keterangan dari berbagai sumber, baik
keterangan saksi-saksi maupun keterangan ahli.9
Dalam Undang-Undang No. 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian
Negara Republik Indonesia dalam Pasal 1 ayat (1) dijelaskan bahwa
kepolisian adalah segala hal-ihwal yang berkaitan dengan fungsi dan
Lembaga polisi sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Istilah
kepolisian dalam Undang-undang ini mengandung dua pengertian, yakni
fungsi polisi dan Lembaga polisi. Dalam Pasal Undang-undang No. 2
tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, fungsi
kepolisian sebagai salah satu fungsi pemerintahan negara di bidang
7Satjipto Raharjo, 2009, Penegakan Hukum Suatu Tinjauan Sosiologis, Yogyakarta:
Genta Publishing, hlm. 111 8Ibid, hlm 117
9Warsiti Adi Utomo, 2005, Hukum Kepolisian Indonesia, Jakarta: Prestasi Pustaka, hlm.
3.
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 7
pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat, penegakan hukum,
perlindung, pengayom dan pelayan kepada masyarakat. Sedangkan
Lembaga kepolisian adalah organ pemerintah yang ditetapkan sebagai
suatu Lembaga dan diberikan kewenangan menjalankan fungsinya
berdasarkan peraturan perundang-undangan.10
b. Fungsi Kepolisian
Fungsi utama dari Polisi adalah menegakkan hukum dan melayani
kepentingan masyarakat umum. Sehingga dapat dikatakan bahwa tugas
polisi adalah melakukan pencegahan terhadap kejahatan dan memberikan
perlindungan kepada masyarakat.11
Fungsi Kepolisian salah satu fungsi pemerintahan Negara dibidang
pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat. Penegakan hukum,
perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat. Fungsi
kepolisian (POLRI) terkait erat dengan Good Govermance, yakni sebagai
alat negara yang menjaga kamtibnas (keamanan dan ketertiban
masyarakat) yang bertugas melindungi, mengayomi dan melayani
masyarakat serta menegakkan hukum yaitu sebagai salah satu fungsi
pemerintahan hukum, perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada
masyarakat yang diperoleh secara atributif melalui ketentuan Undang-
undang (Pasal 30 UUD 1945 dan Pasal 2 Undang-undang Nomor 2
Tahun 2002 Tentang POLRI).
c. Tugas dan Wewenang Kepolisian
Tugas polisi secara umum sebagaimana tercantum dalam Pasal 13
Undang-undang No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik
Indonesia, menyebutkan bahwa tugas pokok Kepolisian Negara Republik
Indonesia adalah:
1. Memberikan keamanan dan ketertiban masyarakat
2. Menegakkan hukum
10
Sadjijono, 2008, Polri dalam Perkembangan Hukum di Indonesia, Yogyakarta:
LaksBang Pressindo, hlm. 52-53. 11
Mahmud Mulyadi, 2009, Kepolisian dalam Sistem Peradilan Pidana, Medan: USU
Press, hlm. 40.
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 8
3. Memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada
masyarakat (Pasal 13 Undang-Undang No. 2 Tahun 2002 tentang
Kepolisian Negara Republik Indonesia).
Untuk mendukung tugas pokok tersebut di atas, polisi juga
memiliki tugas-tugas tertentu sebagaimana tercantum dalam Pasal 14
ayat (1) Undang-undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian
Negara Republik Indonesia adalah sebagai berikut:
a) Melaksanakan pengaturan penjagaan, pengawalan dan patroli terhadap
kegiatan masyarakat dan pemerintah sesuai kebutuhan.
b) Menyelenggarakan segala kegiatan dalam menjamin keamanan,
ketertiban dan kelancaran lalu lintas jalan.
c) Membina masyarakat untuk meningkatkan partisipasi masyarakat,
kesadaran hukum masyarakat, serta ketaatan warga masyarakat
terhadap hukum dan peraturan perundang-undangan.
d) Turut serta dalam pembinaan hukum nasional.
e) Memelihara ketertiban dan menjamin keamanan umum.
f) Melakukan koordinasi, pengawasan, dan pembinaan teknis terhadap
kepolisian khusus, penyidik pegawai negeri sipil dan bentuk-bentuk
pengamanan swakarsa.
g) Melakukan penyelidikan terhadap semua tindak pidana sesuai dengan
hukum acara pidana dan peraturan perundang-undangan lainnya.
h) Menyelenggarakan identifikasi kepolisian, kedokteran kepolisian,
laboratorium forensic dan psikologi kepolisian untuk kepentingan
tugas kepolisian.
i) Melindungi keselamatan jiwa raga, harta benda, masyarakat dan
lingkungan hidup dari gangguan ketertiban dan/atau bencana termasuk
memberikan bantuan dan pertolongan dengan menjunjung tinggi hak
asasi manusia.
j) Melayani kepentingan warga masyarakat untuk sementara sebelum
ditangani oleh instansi/atau pihak berwenang.
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 9
k) Memberikan pelayanan kepada masyarakat sesuai dengan kepentingan
dalam lingkup tugas kepolisian.
l) Melaksanakan tugas lain sesuai dengan peraturan perundang-
undangan.
Dari tugas-tugas polisi tersebut dapat dikemukakan bahwa pada
dasarnya tugas polisi ada dua yaitu tugas untuk memelihara kemanan,
ketertiban, menjamin dan memelihara keselamatan negara, orang, benda
dan masyarakat serta mengusahakan kataatan warga negara dan
masyarakat terhadap peraturan negara. Tugas ini dikategorikan sebagai
tugas preventif dan tugas yang kedua adalah tugas represif. Tugas ini
untuk menindak segala hal yang dapat mangacaukan keamanan
masyarakat, bangsa, dan negara.
Disamping memiliki tugas-tugas tersebut di atas, polisi memiliki
wewenang secara umum yang diatur dalam Pasal 15 ayat (1) Undang-
undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang kepolisian Negara Republik
Indonesia, yaitu sebagai berikut:
1) Menerima laporan dan/atau pengaduan.
2) Membantu penyelesaian perselisihan warga masyarakat yang dapat
mengganggu ketertiban umum.
3) Mencegah dan menanggulangi tumbuhnya penyakit masyarakat.
4) Mengawasi aliran yang dapat menimbulkan perpecahan atau
mengancam persatuan dan kesatuan bangsa.
5) Mengeluarkan peraturan kepolisian dalam lingkup kewenangan
administrative kepolisian.
6) Melaksanakan pemeriksaan khusus sebagai bagian dari tindakan
kepolisian dalam rangka pencegahan.
7) Melakukan tindakan pertama ditempat kejadian.
8) Mengambil sidik jari dan identitas lainnya serta memotret seseorang.
9) Mencari keterangan dan barang bukti.
10) Menyelenggarakan Pusat Informasi Kriminal Nasional.
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 10
11) Mengeluarkan surat izin dan/atau surat keterangan yang diperlukan
dalam rangka pelayanan masyarakat.
12) Memberikan bantuan pengamanan dalam siding dan pelaksanaan
putusan pengadilan, kegiatan instansi lain, serta kegiatan masyarakat.
13) Menerima dan menyimpan barang temuan untuk sementara waktu.
Adapun wewenang yang dimiliki kepolisian untuk
menyelenggarakan tugas di bidang proses pidana menurut Pasal 16
Undang-undang Nomor 2 tahun 2002 tentang Kepolisian Negara
Republik Indonesia adalah:
a) Melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan, dan penyitaan,
b) Melarang setiap orang meniggalkan atau memasuki tempat kejadian
perkara untuk kepentingan penyidikan.
c) Membawa dan menghadapkan orang kepada penyidik dalam rangka
penyidikan.
d) Menyuruh berhenti orang yang dicurigai dan menanyakan serta
memeriksa tanda pengenal diri.
e) Melakukan pemeriksaan-pemeriksaan surat.
f) Memanggil orang untuk didengar dan diperiksa sebagai tersangka atau
saksi.
g) Mendatangkan orang ahli yang diperlukan dalam hubungannyadengan
pemeriksaan perkara.
h) Mengadakan penghentian penyidikan.
i) Menyerahkan berkas perkara kepada penuntut umum.
j) Mengajukan permintaan secara langsung kepada pejabat imigrasi yang
berwenang di tempat pemeriksaan imigrasi dalam keadaan mendesak
atau mendadak untuk mencegah atau menangkal orang yang disangka
melakukan tindakan pidana.
k) Memberi petunjuk dan bantuan penyidikan kepada penyidik pegawai
negeri sipil untuk diserahkan kepada penuntut umum.
l) Mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggungjawab.
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 11
2. Tembak di Tempat Oleh Polri
a. Pengertian Tembak di Tempat
Tembak di tempat adalah sebuah istilah yang sering digunakan oleh
pihak media massa atau masyarakat terhadap Polisi yang melakukan
suatu tindakannya berupa tembakan terhadap tersangka. Istilah tembak di
tempat didalam Kepolisian dikenal dengan suatu tindakan tegas, dimana
tindakan tegas tersebut berupa tindakan tembak di tempat. Bila tembak di
tempat diartikan menurut kamus bahasa Indonesia, maka dapat diartikan
tembak adalah melepaskan peluru dari senjata api (senapan/meriam),
didalam kata depan untuk menandai sesuatu perbuatan atau tempat,
tempat adalah sesuatu untuk menandai atau memberi keterangan disuatu
tempat atau lokasi. Sehingga tembak di tempat dapat diartikan sebagai
suatu perbuatan berupa melepaskan peluru dari senjata api disuatu tempat
atau lokasi. Bila tembak di tempat dikaitkan dengan tugas danwewenang
kepolisian maka tembak di tempat dapat diartikan sebagai suatu
perbuatan berupa melepaskan peluru dari senjata api oleh Polisi terhadap
tersangka disuatu tempat atau lokasi.12
Dalam setiap melakukan tindakan tembak di tempat Polisi selalu
berpedoman pada suatu kewenangan yaitu kewenangan bertindak
menurut penilaiannya sendiri hal ini yang sering disalahgunakan oleh
oknum anggota Kepolisian. Kewenangan ini tertulis di dalam Pasal 18
ayat (1) Undang-Undang Kepolisian Negara Republik Indonesia, Pasal
ini dapat disebut dengan kewenangan diskresi. Dalam konteks Polri,
tindakan diskresi secara legal dapat dilakukan oleh Polri. Dasar hukum
diskresi bagi petugas Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri)
dalam melaksanakan tugasnya dapat dilihat pada Undang-Undang Nomor
2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia:
1. Pasal 15 ayat (2) huruf k, Kepolisian Negara Republik Indonesia
sesuai dengan peraturan perundang-undangan lainnya berwenang:
12
Sadjijono, 2008, Mengenal Hukum Kepolisian, Surabaya: Laksbang Mediatama.
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 12
melaksanakan kewenangan lain yang termasuk dalam lingkup tugas
Kepolisian;
2. Pasal 16 ayat (1) huruf I, Dalam rangka menyelenggarakan tugas
dibidang proses pidana, Kepolisian Negara Republik Indonesia
berwenang untuk:mengadakan tindakan lain menurut hukum yang
bertanggung jawab. Dimana tindakan lain harus memenuhi syarat
sesuai dengan Pasal 16 ayat (2), sebagai berikut:
a) Tidak bertentangan dengan aturan hukum;
b) Selaras dengan kewajiban hukum yang mengharuskan tindakan
tersebut dilakukan;
c) Hukum patut, masuk akal, dan termasuk dalam lingkungan
jabatannya;
d) Pertimbangan yang layak berdasarkan keadaan yang memaksa;
e) Menghormati Hak Asasi Manusia.
3. Pasal 18 ayat (1) Untuk kepentingan umum, pejabat Kepolisian
Negara Republik Indonesia dalam melaksanakan tugas dan
wewenangnya dapatbertindak menurut penilaiannya sendiri. Ayat (2)
pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) hanya
dapat dilakukan dalam keadaan yang sangat perlu dengan
memperhatikan peraturan Perundang-undangan, serta Kode Etik
Profesi Kepolisian Negara Republik Indonesia;
4. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana,
yang berhubungan dengan penyelidikan dan penyidikan tindak pidana
menunjuk adanya tindakan lain berdasarkan hukum yang dapat
dipertanggung jawabkan. Pasal 7 ayat (1) huruf j KUHAP, yang
memberikan wewenang kepada penyidik yang karena kewajibannya
dapat melakukan tindakan apa saja menurut hukum yang bertanggung
jawab.
b. Pemberlakuan Tembak di Tempat Terhadap Tersangka
Pada dasarnya pemberlakuan tembak di tempat terhadap tersangka
merupakan langah terakhir yang dilakukan oleh Polisi, sebelum
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 13
melakukan tindakan tembak di tempat seorang anggota Polisi harus
mempertimbangkan hal-hal yang tercantum dalam Pasal 45 Undang-
Undang Nomor 8 Tahun 2009 tentang Implementasi Prinsip dan Standar
Hak Asasi Manusia. Dalam Penyelenggaraan Tugas Kepolisian Negara
Republik Indonesia, diantaranya:
1. Tindakan dan cara-cara tanpa kekerasan harus diusahakan terlebih
dahulu;
2. Tindakan keras hanya diterapkan bila sangat diperlukan;
3. Tindakan keras hanya diterapkan untuk penegakkan hukum yang sah;
4. Tidak ada pengecualian atau alasan apapun yang dibolehkan untuk
menggunakan kekerasan yang tidak berdasarkan hukum;
5. Penggunaan kekuatan dan penerapan tindakan keras harus
dilaksanakan secara proporsional dengan tujuan dan sesuai dengan
hukum;
6. Penggunaan kekuatan, senjata atau alat dalam penerapan tindakan
keras harus berimbang dengan ancaman yang dihadapi;
7. Harus ada batasan dalam penggunaan senjata/alat atau dalam
penerapan tindakan keras;
8. Kerusakan dan luka-luka akibat penggunaan kekuatan/tindakan keras
harus seminimal mungkin.
Bila tindakan keras atau penggunaan kekerasan sudah tidak dapat
ditempuh maka pemberlakuan tembak di tempat terhadap tersangka
boleh digunakan dengan benar-benar dan diperuntukkan untuk
melindungi nyawa manusia, hal ini sesuai dengan Pasal 47 ayat (1).
Selain itu menurut ayat (2) pemberlakuan tembak ditempat terhadap
tersangka oleh petugas Kepolisian dapat digunakan untuk:
a) Dalam menghadapi keadaan luar biasa;
b) Membela diri dari ancaman kematian dan/atau luka berat;
c) Membela orang lain terhadap ancaman kematian dan/atau luka berat;
d) Mencegah terjadinya luka berat atau yang mengancam jiwa orang;
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 14
e) Menahan, mencegah atau menghentikan seseorang yang sedang atau
akan melakukan tindakan yang sangat membahayakan jiwa;
f) Menangani situasi yang membahayakan jiwa, dimana langkah-
langkah yang lebih lunak tidak cukup.
Dalam menghadapi tersangka yang melakukan tindakan kejahatan
Polisi terkadang harus dilakukan tindakan kekerasan yang menjadi suatu
kewenangan tersendiri bagi Polisi. Dalam terminologi hukum
kewenangan tersebut disebut sebagai tindakan diskresi.
B. Landasan Teori
1. Teori Diskresi
Diskresi dalam Black Law Dictionary berasal dari bahasa Belanda
“Discretionair” yang berarti kebijaksanaan dalam halnya memutuskan
sesuatu tindakan tidak berdasarkan ketentuan-ketentuan peraturan, undang-
undang atau hukum yang berlaku tetapi atas dasar kebijaksanaan,
pertimbangan atau keadilan.13
Diskresi sering dirumuskan sebagai “Freiss
Ermessen”. Menurut kamus hukum yang disusun oleh Simorangkir, diskresi
diartikan sebagai “kebebasan mengambil keputusan dalam setiap situasi
yang dihadapi menurut pendapatnya sendiri”.14
Diskresi selalu dikaitkan
dengan pengambilan keputusan, kekuasaan atau kewenangan yang
dilakukan olehseseorang terhadap persoalan yang dihadapi.15
Diskresi polisi
dapat diartikan sebagai suatu kebijaksanaan berdasarkan kekuasaan untuk
melakukan suatu tindakan atas dasar pertimbangan dan keyakinan dirinya.
Kewenangan diskresi adalah suatu kekuasaan atau wewenang yang
dilakukan berdasarkan hukum atas dasar pertimbangan dan keyakinannya
dan lebih menekankan pertimbangan moral keseimbangan dalam kerangka
hukum. Meskipun demikian, diskresi itu dilakukan bukan lepas dari
ketentuan hukum tetapi diskresi itu tetap dilakukan dalam kerangka hukum.
13Pramadya Yan Puspa, 1977, Kamus Hukum Edisi Lengkap Bahasa Belanda Indonesia
Inggris, Semarang: Aneka Ilmu, hlm. 91. 14
Simorangkir, CST., 2000, Kamus Hukum, Jakarta: Alinea Baru, hlm. 45. 15
Djoko Prakoso, 2007, Polri Sebagai Penyidik dalam Penegakan Hukum, Jakarta:Bina
Aksara, hlm. 182.
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 15
Menurut Walker diskresi merupakan wewenang yang diberikan hukum
untuk bertindak dalam situasi khusus sesuai dengan penilaian dan kata hati
instansi atau petugas itu sendiri, sedangkan menurut kenneth Culp Davis
dalam bukunya The Encyclopedia of Police Science mendefinisikan diskresi
sebagai “the copacity of police officer to select from among a number of
legal ang ilegal courses of action orinaction while performing their duties.”
Jadi diskresi dapat diartikan sebagai kapasitas petugas polisi untuk
menentukan tindakan dari sejumlah pilihan tindakan baik legal maupun
ilegal. Dalam kata-katannya yang lain. Kenneth mengartikan bahwa diskresi
sebagai kebijakan yang dilakukan secara selektif oleh polisi (police policy
abaut selektive enforcment).16
Menurut Roscoe Pound, diskresi adalah “An authority conferred by law
to act in certain conditions or situations in accordance with an official’s or
and official agency’s own considered judgment and conscience.”17
Dalam
terjemahan bebas, diskresi bermakna sebagai suatu kewenangan yang
diberikan oleh hukum untuk bertindak di dalam situasi atau keadaan tertentu
sesuai dengan jabatannya atas pertimbangan atau keyakinan sendiri sesuai
dengan hati nuraninnya. Tindakan diskresi polisi mengandung pengertian
bahwa peraturan tidak mungkin dapat menampung keseluruhan
kemungkinan situasi dan tindakan polisi di lapangan sehingga polisi perlu
memiliki kewenangan untuk mengambil kebijakan berdasarkan
penilaiannya sendiri di lapangan tanpa melanggar hukum.
Polisi selaku pelaku diskresi yaitu bertindak seolah-olah tidak
berdasarkan hukum positif yang berlaku, apabila dikaji lebih jauh justru itu
suatu tindakan yang dapat menjunjung tinggi tujuan hukum itu sendiri yaitu
kesejahteraan, kenyamanan dan ketertiban. Dalam tugasnya pekerjaan polisi
itu tidak hanya harus dilihat dalam kaitannya dengan penyelenggaraan
hukum melainkan lebih luas lagi. Artinya bukan hanya pekerjaan yang
16
Syaefurrahman Al-Banjary, 2005, Hitam Putih Polisi dalam Mengungkap Jaringan
Narkoba, Jakarta: Restu Agung, hlm. 34. 17
Roscoe Pound, 1960, “Discretion, Dispensation and Mitigation: The Problem of The
Individual Special Case”, New York University Law Review, hlm. 35.
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 16
berkualitas hukum semata, melainkan semua urusan dalam hidup
bermasyarakat, sebagai tugas pokok polisi yang meliputi berbagai macam
kegiatan pemeliharaan dan pencegahan seperti memelihara ketertiban dan
keamanan, keselamatan orang, benda dan masyarakat. Sebagaimana
dijelaskan dalam Pasal 2 Undang-undang No 2 Tahun 2002 tentang
Kepolisian Negara Republik Indonesia, lebih lanjut di dalam Pasal 15 huruf
c yang menegaskan bahwa “Mencegah dan menanggulangi tumbuhnya
penyakit masyarakat”.
Pada Kamus Besar Bahasa Indonesia, diskresi yaitu kebebasan
mengambil keputusan sendiri dalam setiap situasi yang dihadapi. Menurut
Sofyan Lubis, diskresi adalah kebijakan dari pejabat yang intinya
membolehkan pejabat publik melakukan sebuah kebijakan dimana undang-
undang belum mengaturnya secara tegas, dengan syarat, yakni demi
kepentingan umum, masih dalam batas wilayah kewenangannya, dan tidak
melanggar Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Baik (AUPB).18
Diskresi
yaitu kebebasan pejabat dalam mengambil keputusan menurut
pertimbangannya sendiri.
Konsep mengenai diskresi penyidik terdapat dalam Undang-Undang
Negara Republik Indonesia No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara
Republik Indonesia, pada Pasal 18 ayat (1) dan(2), yaitu :
ayat 1 : “Untuk kepentingan umum, pejabat Kepolisian Negara Republik
Indonesia dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya dapat
bertindak menurut penilaiannya sendiri.”
ayat 2 : “Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
hanya dapat dilakukan dalam keadaan yang sangat perlu dengan
memperhatikan peraturan perundang-undangan, serta kode etik
profesi Kepolisian.”
Wewenang polisi untuk menyidik ini yang meliputi kebijaksanaan
polisi (politie beleid; police discretion) sangat sulit, sebab mereka harus
membuat pertimbangan suatu tindakan yang akan diambil dalam waktu
yang sangat singkat pada penanggapan pertama suatu delik substansi Pasal
18
Sofyan Lubis, 2012, Prinsip Miranda Rule: Hak-hak Tersangka sebelum Pemeriksaan,
Yogyakarta: Pustaka Yustisia, hlm. 34.
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 17
18 ayat 1 Undang-Undang Negara Republik Indonesia No. 2 Tahun 2002
tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia merupakan konsep
kewenangan kepolisian, khususnya penyidik yang baru diperkenalkan
walaupun dalam praktek di lapangan selalu digunakan, maka pemahaman
tentang diskresi kepolisian dalam Pasal 18 ayat 1 harus dikaitkan juga
dengan konsekuensi pembinaan profesi yang diatur dalam Pasal 31, 32, dan
33, hal ini dapat terlihat adanya jaminan bahwa penyidik akan mampu
mengambil tindakan secara tepat dan professional berdasarkan penilaiannya
sendiri dalam rangka pelaksanaan tugasnya.
Sedangkan rumusan dalam Pasal 18 ayat (2) merupakan rambu-rambu
bagi pelaksanaan diskresi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yaitu selain
asas keperluan, tindakan diskresi tetap harus sesuai dan memperhatikan
peraturan perundang-undangan serta kode etik profesi Kepolisian Negara
Republik Indonesia. Dan pada Pasal 7 ayat (1) huruf j Kitab Undang-
Undang Hukum Acara Pidana, yang memberikan kewenangan kepada
penyidik yang karena kewajibannya dapat melakukan tindakan tertentu
menurut hukum yang bertanggungjawab. Pelaksanaan diskresi secara
umum, misalnya seperti penyidik menangani perkara pencurian yang
dilakukan oleh anak kecil, setelah berkasnya selesai tidak diproses ke
pengadilan tetapi langsung diserahkan pembinaannya kepada orang tuanya.
Tindakan diskresi tersebut sering menimbulkan debat yang menuduh
penyidik melakukan pelanggaran hukum, namun ada pendapat lain yang
menyatakan polisi sangat bijaksana.
Beberapa pakar hukum mengemukakan pandangan teoritik tentang
diskresi, diantaranya:
a. S. Prajudi Atmosudirjo yang mendefinisikan diskresi, diskretion
(Inggris), diskretionair (Perancis), freis ermessen (Jerman) sebagai
berikut:
Diskresi adalah kebebasan bertindak atau mengambil keputusan dari para
pejabat administrasi negara yang berwenang dan berwajib menurut
pendapat sendiri. Selanjutnya dijelaskan bahwa diskresi diperlukan
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 18
sebagai pelengkap dari asas legalitas, yaitu asas hukum yang menyatakan
bahwa “setiap tindakan hukum yang menyatakan bahwa setiap tindak
atau perbuatan administrasi negara harus berdasarkan ketentuan undang-
undang”. Namun demikian, tidak mungkin bagi Undang-undang untuk
mengatur segala macam kasus posisi dalam praktek kehidupan sehari-
hari.19
b. Sjachran Basah menjelaskan bahwa freies ermessen adalah kebebasan
untuk bertindak atas inisiatif sendiri akan tetapi dalam pelaksanaannya
harusah sesuai dengan hukum, sebagaimana telah ditetapkan dalam
negara hukum berdasarkan Pancasila.20
c. Esmi Warassih mengatakan bahwa dalam rangka pelaksanaan
kebijaksanaan publik, para birokat dapat menentukan kebijaksanaannya
sendiri untuk menyesuaikan dengan situasi dimana birokat itu berada
terutama di dalam mengimplementasikan suatu kebijaksanaan publik.21
Adanya diskresi diharapkan agar dengan kondisi yang ada dapat dicapai
suatu hasil atau tujuan yang maksimal.
Berdasarkan pemikiran teoritik di atas, maka dapat disimpulkan bahwa
pada hakekatnya diskresi merupakan kebebasan bertindak atau kebebasan
mengambil keputusan dari badan atau pejabat administrasi pemerintahan
dalam hal ini kepolisian Republik Indonesia yang bertindak menurut
pendapatnya sendiri dalam melakukan tindakan tembak di tempat.
2. Teori Hak Asasi Manusia
Hak Asasi Manusia merupakan istilah dalam Bahasa Indonesia untuk
menyebut hak dasar atau hak pokok yang dimiliki manusia. Istilah hak asasi
19
S. Prajudi Atmosudirjo, 1944, Hukum Administrasi Negara, Jakarta: Ghalia Indonesia,
hlm 82. 20
Sjachran Basah, 1997, Eksistensi dan Tolak Ukur Badan Peradilan Administrasi di
Indonesia, Bandung: Alumni, hlm. 3. 21
Esmi Warassih Puji Rahayu, 2005, Pranata Hukum Sebuah Telaah Sosiologis, Semarang:
Suryandaru Utama, hlm 138-139.
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 19
manusia dalam bahasa Prancis disebut droits de I’home yang artinya “hak-
hak manusia” dan dalam bahasa Inggris disebut human right.22
Hak Asasi Manusia adalah hak-hak yang dimiliki manusia semata-
mata karena ia manusia. Umat manusia memilikinya bukan karena diberikan
kepadanya oleh masyarakat atau berdasarkan hukum positif, melainkan
semata-mata berdasarkan martabatnya sebagai manusia.23
Pada dasarnya
Hak Asasi Manusia (HAM) bersifat umum (universal), yang diyakini bahwa
beberapa hak yang dimiliki manusia tidak memiliki perbedaan atas bangsa,
jenis kelamin atau ras. Dasar hak asasi manusia adalah manusia berada
dalam kedudukan yang sejajar dan memiliki kesempatan yang sama dalam
berbagai macam aspek untuk mengembangkan segala potensi yang
dimilikinya.24
Konsep dasar hak-hak asasi manusia menurut Frans Magnis Suseno
mempunyai dua dimensi pemikiran yaitu:25
a. Dimensi Universalitas, yakni subtansi hak-hak asasi manusia itu pada
hakikatnya bersifat umum. Hak Asasi Manusia akan selalu dibutuhkan
oleh siapa saja dan dalam aspek kebudayaan dimanapun itu berada, entah
dalam kebudayaan Barat maupun Timur. Dimensi Hak Asasi Manusia itu
pada hakekatnya akan selalu dibutuhkan dan menjadi sarana bagi
individu untuk mengekspresikan dirinya secara bebas dalam ikatan
kehidupan kemasyarakatan. Dengan kata lain, hak asasi manusia ada
karena yang memiliki hak-hak itu adalah manusia sebagai manusia, jadi
sejauh manusia itu spesies homo sapiens, dan bukan karena ciri-ciri
tertentu yang dimiliki.
b. Dimensi kontekstualitas, menyangkut penerapan hak asasi manusia bila
ditinjau dari tempat berlakunya hak-hak asasi manusia tersebut.
22
Triyanto, 2013, Negara Hukum dan Ham, Yogyakarta: Ombak, hlm 29. 23
Jack Donnely dalam Rhona K.M, dkk, 2010, Hukum Hak Asasi Manusia, Yogyakarta:
Pusat Studi Hak Asasi Manusia Universitas Islam Indonesia, hlm. 11. 24
Utsman Ali, 11 Maret 2015, Pengertian Hak Asasi Manusia Menurut Para Pakar,
dalam http://www.pengertianpakar.com/2015/03/pengertian-ham-hak-asasi-manusia.html, di akses
pada selasa03 Oktober 2018 pukul 22:38. 25
Frans Magnis Suseno dalam Putera Astomo, 2014, Hukum Tata Negara: Teori dan
Praktek, Yogyakarta: Thafa Media, hlm. 97.
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 20
Maksudnya, bahwa ide-ide hak asasi manusia dapat diterapkan secara
efektif sepanjang tempat ide-ide hak asasi manusia itu memberikan
suasana kondusif untuk itu. Dengan kata lain, ide-ide hak asasi manusia
akan dapat dipergunakan secara efektif dan menjadi landasan etik dalam
pergaulan manusia, jikalau struktur kehidupan masyarakat entah itu Barat
maupun Timur sudah tentu tidak memberikan tempat bagi terjaminnya
hak-hak individu yang ada didalamnya.
Menurut teori universal, hak asasi manusia berangkat dari konsep
universalisme moral dan kepercayaan akan keberadaan kode-kode moral
universal yang melekat pada seluruh umat manusia. Universal moral
meletakkan keberadaan kebenaran moral yang bersifat lintas budaya dan
lintas sejarah yang dapat diidentifikasikan secara rasional.26
Sementara
menurut teori Relativisme Budaya, gagasan tentang relativisme budaya
mendalihkan bahwa kebudayaan merupakan satu-satunya sumber keabsahan
hak atau kaidah moral.27
Karena itu hak asasi manusia dianggap perlu
dipahami dari konteks kebudayaan masing-masing Negara. Semua
kebudayaan mempunyai hak hidup serta martabat yang sama yang harus
dihormati.28
Ada beberapa teori yang penting dan relevan dengan persoalan HAM
antara lain teori hak-hak kodrati (natural right theory), teori positivisme
(positivist theory) dan teori relativisme budaya (cultural realitivist theory).
1. Teori hak-hak kodrati (natural right theory)
HAM adalah hak-hak yang dimiliki oleh semua orang setiap saat
dan disemua tempat oleh karena manusia dilahirkan sebagai manusia.
Hak-hak tersebut termasuk hak untuk hidup, kebebasan dan harta
kekayaan. Pengakuan tidak diperlukan bagi HAM, baik dari pemerintah
atau dari suatu sistem hukum, karena HAM bersifat universal.
26
Rhona K.M, dkk, 2010, Hukum Hak Asasi Manusia, Yogyakarta: Pusat Studi Hak Asasi
Manusia Universitas Islam Indonesia, hlm. 19. 27
Jack Donely dalam Rhona K.M., Op. Cit, hlm. 11 28
Ibid, hlm. 20.
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 21
Berdasarkan alasan ini, sumber HAM sesungguhnya semata-mata berasal
dari manusia.29
Teori kodrati mengenal hak (natural right theory) yang menjadi asal-
usul gagasan mengenai hak asasi manusia bermula dari teori hukum
kodrati (natural right theory). Teori ini dapat dirunut kembali jauh ke
zaman kuno dengan filsafat stoika hingga ke zaman modern melalui
tulisan-tulisan hukum kodrati Santo Thomas Aquinas.30
Selanjutnya ada
Hugo de Groot (nama latinnya: Grotius), seorang ahli hukum Belanda
yang dinobatkan sebagai “bapak hukum internasional”, yang
mengembangkan lebih lanjut teori hukum kodrati Aquinas dengan
memutus asas-usulnya yang theistik dan membuatnya menjadi produk
pemikiran sekuler yang rasional. Dengan landasan inilah, pada
perkembangan selanjutnya, salah seorang kaum terpelajar pasca-
Renaissans, John Locke, mengajukan pemikiran mengenai teori hak-hak
kodrati. Gagasan Locke mengenai hak-hak kodrati inilah yang melandasi
munculnya revolusi hak dalam revolui yang meletup di Inggris, Amerika
Serikat dan Perancis pada abad ke-17 dan ke-18.
2. Teori Positivisme (Positivist Theory)
Teori ini berpandangan bahwa karena hak harus tertuang dalam
hukum yang rill, maka dipandang sebagai hak melalui adanya jaminan
konstitusi (rights, then should be created and granted by constitution,
laws, and contracts). Teori atau mazhab positivisme ini memperkuat
serangan dan penolakan kalangan utilitarian, dikembangkan belakangan
dengan lebih sitematis oleh John Austin. Kamum positivis berpendapat
bahwa eksistensi dan isi hak hanya dapat diturunkan dari hukum negara.
Satu-satunya hukum yang sahih adalah perintah dari yang berdaulat. Ia
tidak datang dari “alam” ataupun “moral”.31
29
Andrey Sujatmiko, Jurnal Sejarah, Teori, Prinsip dan Kontroversi HAM, hlm. 5 30
Rhona K. M. Smith, dkk., 2008, Hukum Hak Asasi Manusia,Yogyakarta: PUSHAM UII,
hlm 12. 31
Ibid, hlm 14.
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 22
3. Teori Relativisme Budaya (Cultural Relativist Theory)
Teori ini merupakan salah satu bentuk anti-tesis dari teori hak-hak
alami (natural right). Teori ini berpandangan bahwa hak itu bersifat
universal merupakan pelanggaran satu dimensi kultural terhadap dimensi
kultural yang lain, atau disebut dengan imperialisme kultural (cultural
imperialism). Yang ditekankan dalam teori ini adalah bahwa manusia
merupakan interaksi sosial dan kultural serta perbedaan tradisi budaya
dan peradaban berisikan perbedaan cara pandang kemanusiaan (different
ways of being human).
3. Teori Sistem Hukum
Lawrence M. Friedman mengemukakan bahwa efektif dan berhasil
tidaknya penegakan hukum tergantung tiga unsur sistem hukum, yakni
struktur hukum (strukture of law), substansi hukum (substance of the law)
dan budaya hukum (legal culture). Struktur hukum menyangkut aparat
penegak hukum, substansi hukum meliputi perangkat perundang-undangan
dan budaya hukum merupakan hukum yang hidup (living law) yang dianut
dalam suatu masyarakat.32
Ketiga komponen ini mendukung berjalannya
sistem hukum di suatu Negara. Secara realitas sosial, keberadaan sistem
hukum yang terdapat dalam masyarakat mengalami perubahan-perubahan
sebagai akibat pengaruh, apa yang disebut dengan modernisasi atau
globalisasi baik itu secara evolusi maupun revolusi.33
Ketiga komponen ini mendukung berjalannya sistem hukum disuatu
Negara. Secara realitas sosial, keberadaan sistem hukum yang terdapat
dalam masyarakat mengalami perubahan-perubahan sebagai akibat
pengaruh, apa yang disebut dengan modernisasi atau globalisasi baik itu
secara evolusi maupun revolusi.34
Di Indonesia berbicara struktur hukum
maka hal tersebut merujuk pada struktur institusi-institusi penegakan
32
Lawrence M. Friedman, 2009, Sistem Hukum: Perspektif Ilmu Sosial, Jakarta: Nusa
Media, hlm 5. 33
Saifullah, 2007, Refleksi Sosiologi Hukum, Bandung: Refika Aditama, hlm. 26. 34
Ibid, hlm. 27.
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 23
hukum, seperti kepolisian, kejaksaan dan pengadilan. Aspek lain dari
struktur hukum adalah subtansinya.35
Subtansi adalah aturan, norma, dan
pola perilaku nyata manusia yang berada dalam sistem itu. Jadi subtansi
hukum menyangkut peraturan perundang-undangan yang berlaku yang
memiliki kekuatan yang mengikat dan menjadi pedoman bagi aparat
penegak hukum. Kultur hukum menyangkut budaya hukum yang
merupakan sikap manusia (termasuk budaya hukum aparat penegak
hukumnya) terhadap hukum dan sistem hukum. Sebaik apapun penataan
struktur hukum untuk menjalankan aturan hukum yang ditetapkan dan
sebaik apapun kualitas subtansi hukum yang dibuat tanpa didukung budaya
hukum oleh orang-orang yang terlibat dalam system dan masyarakat maka
penegakan hukum tidak akan berjalan secara efektif.
Hukum sebagai alat untuk mengubah masyarakat atau rekayasa sosial
tidak lain hanya merupakan ide-ide yang ingin diwujudkan oleh hukum itu.
Untuk menjamin tercapainnya fungsi hukum sebagai rekayasa masyarakat
kearah yang lebih baik, maka bukan hanya dibutuhkan ketersediaan hukum
dalam arti kaidah atau peraturan, melainkan juga adanya jaminan atas
perwujudan kaidah hukum tersebut kedalam praktek hukum, atau dengan
kata lain, jaminan akan adanya penegakan hukum (law enforcement) yang
baik.36
Bekerjanya hukum bukan hanya merupakan fungsi perundang-
undangan belaka, melainkan aktifitas birokrasi pelaksanaanya.37
Unsur-unsusr tersebut menurut Lawrence M. Friedman sebagai faktor
penentu apakah suatu sistem hukum dapat berjalan dengan baik atau tidak.38
Soerjono Soekanto, mengatakan ketiga komponen ini merupakan bagian
faktor-faktor penegakan hukum yang tidak bisa diabaikan karena jika
35
Ahcmad Ali, 2002, Keterpurukan Hukum di Indonesia, Jakarta: Ghalia Indonesia, hlm. 8. 36
Munir Fuady, 2003, Aliran Hukum Kritis: Paradigma Ketidakberdayaan Hukum,
Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, hlm. 40. 37
Ahcmad Ali, Op. Cit, hlm. 97. 38
Ibid, hlm 9.
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 24
diabaikan akan menyebabkan tidak tercapaianya penegakan hukum yang
diharapkan.39
Teori ini digunakan sebagai pisau analisis karena sangat tepat
digunakan untuk melihat dan memudahkan dalam masalah mengenai
tindakan tembak ditempat yang dilakukan oleh pihak kepolisian kepada
pelaku kejahatan.
C. Penelitian yang Relevan
Berdasarkan penelususran yang dilakukan oleh penulis, diketahui
beberapa penelitian yang oleh penulis dianggap relevan dengan penelitian
Tesis ini, antara lain:
No Nama Penulis
(Tahun)
Judul Hasil Penelitian
1. Brooke Veronika
Sendewana (2013)
(Jurnal Hukum)
“Studi Kasus Mengenai
Tembak di Tempat
Tersangka Oleh
Kepolisian”
Berdasarkanpengambilan
Tindakan tembak ditempat
pada tersangka oleh
kepolisian. Serta petugas
kepolisian dalam
menjalankan tugas dan
wewenangnya harus selalu
berdasarkan pada asas
akuntabilitas dimana didalam
setiap menjalankan tugasnya
selalu berdasarkan pada
peraturan peraturan
Perundang-undangan yang
berlaku. Cara-cara praktis
yang menggunakan
kekerasan tidak menjadi
harapan didalam paradigma
penegakan hukum di era
reformasi.
2. Lidya Susanti (2014).
(Jurnal Hukum)
“Kajian Yuridis
Tentang Kewenangan
Tembak di Tempat
Oleh Aparat Kepolisin
Terhadap Tersangka
Berdasarkan Asas Praduga
Tak Bersalah dalam Poin ke-3
sub c Undang-undang Nomor
8 Tahun 1981 KUHP dan
Pasal 8 Undang-undang
39
Soerjono Soekanto, 1983, Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum,
Jakarta: Rajawali, hlm. 5.
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 25
Dikaitkan Dengan Asas
Praduga Tidak
Bersalah”
Nomor 4 Tahun 2004 dapat
dikesampingkan oleh petugas
kepolisian dalam menangkap
tersangka. Berdasarkan
pertanggungjawaban pidana
terhadap aparat kepolisian
yang melakukan tindakan
tembak ditempat tidak sesuai
prosedur dapat dikenakan
sanksi administrative dan
tindakan disiplin dari institusi
kepolisian sesuai dengan
peraturan yang berlaku,
namun tidak menutup
kemungkinan aparat
kepolisian tersebut untuk
dikenakan juga sanksi pidana.
Sejauh ini telah banyak peneliti yang melakukan penelitian dan penulisan
terkait dengan Diskresi Kepolisian, tetapi untuk tembak di tempat atau
penggunaan senjata api dikaitkan dengan perspektif Hak Asasi Manusia
(HAM) sendiri masih dibilang tidak banyak yang meneliti atau masih minim.
Pada penelitian di tabel 1 di atas lebih menekankan mengenai subtansi
peraturan-peraturan yang ada. Disimpukan bahwa berdasarkan pengambilan
Tindakan tembak ditempat pada tersangka oleh kepolisian serta petugas
kepolisian dalam menjalankan tugas dan wewenangnya harus selalu
berdasarkan pada asas akuntabilitas dimana didalam setiap menjalankan
tugasnya selalu berdasarkan pada peraturan peraturan Perundang-undangan
yang berlaku. Cara-cara praktis yang menggunakan kekerasan tidak menjadi
harapan didalam paradigma penegakan hukum di era reformasi. Penelitian di
tabel 2 disimpulkan Berdasarkan Asas Praduga Tak Bersalah dalam Poin ke-3
sub c Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 KUHP dan Pasal 8 Undang-
undang Nomor 4 Tahun 2004 dapat dikesampingkan oleh petugas kepolisian
dalam menangkap tersangka. Berdasarkan pertanggungjawaban pidana
terhadap aparat kepolisian yang melakukan tindakan tembak ditempat tidak
sesuai prosedur dapat dikenakan sanksi administrative dan tindakan disiplin
dari institusi kepolisian sesuai dengan peraturan yang berlaku, namun tidak
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 26
menutup kemungkinan aparat kepolisian tersebut untuk dikenakan juga sanksi
pidana.
Dalam penelitian ini, penulis hendak membahas mengenai pertimbangan
polisi melakukan diskresi tindakan tembak di tempat. Di dalam penelitian ini
penulis juga memberikan contoh kasus tembak di tempat dan kemudian
dianalisis dengan perspektif Hak Asasi Manusia (HAM) . Menurut penulis,
subtansi itu penting tetapi kita juga harus melihat jelas dengan keadaan yang
terjadi di lapangan. Karena dengan demikian kita dapat melihat fakta-fakta
baru yang bisa kita ketahui. Subtansi berupa Undang-Undang bisa jelas kita
ketahui karena sudah diatur dan telah ada.
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 27
D. Kerangka Berfikir
Keterangan:
Polisi mempunyai kewenangan bertindak menurut penilaiannya sendiri,
kewenangan ini disebut dengan kewenangan diskresi, dalam penerapannya di
lapangan biasanya Polisi melakukan tindakan tembak di tempat terhadap
tersangka. Pemberlakuan tindakan tembak di tempat terhadap tersangka
Kepolisian Republik Indonesia
Kewenangan
Polri
Diskresi
Tindakan Tembak
Ditempat
Pertimbangan polisi
dalam melakukan
diskresi tindakan
tembak di tempat
Diskresi tindakan tembak
di tempat (kasus)
Perspektif
Hak Asasi Manusia
Teori Sistem Hukum
- Teori Diskresi
- Teori Hak Asasi
Manusia
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 28
bersifat situasional dan senjata api harus dilakukan pada saat keadaan tertentu.
Dalam melakukan tembak ditempat, polisi juga memiliki pertimbangan sendiri
mengapa perlu dilakukan tembak di tempat seperti dalam keadaan terdesak
atau pelaku kejahatan melakukan perlawanan sehingga dapat mengancam jiwa
pihak kepolisian.
Dalam menjalankan kewenangannya tersebut, kepolisian juga dituntut
untuk tidak berbuat melebihi batasannya dan menghormati hak hidup Hak
Asasi Manusia (HAM) meskipun pihak kepolisian telah diberikan wewenang
yang telah diatur dalam Undang-undang.
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
29
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Jenis Penelitian
Jenis penelitian hukum ini adalah non doktrinal. Tipe ini adalah kajian
keilmuan dengan maksud hanya hendak mempelajari saja bukan hendak
mengajarkan suatu doktrin, maka metodenya disebut sebagai metode non
doktrinal.40
Hukum disini bukan dikonsepkan sebagai rules tetapi sebagai
regularities yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari atau dalam alam
pengalaman. Disini hukum adalah tingkah laku atau aksi-aksi dan interaksi
manusia secara aktual dan potensial akan terpola. Karena setiap perilaku atau
aksi itu merupakan suatu realita sosial yang terjadi dalam alam pengalaman
indrawi dan empiris.41
Dari perspektif ini hukum akan menampakkan diri sebagai realitas sosial
yang kasat mata, yang tentunya akan dikategorikan berdasarkan keajegan-
keajegan (regulaties nomos) atau keseragaman-keseragaman (uniformilities)
peristiwanya. Dengan demikian menurut konsepnya hukum akan dapat diamati,
maka hukum yang dikonsepkan secara sosiologis akan dapat dijadikan objek
penelitian yang dikerjakan oleh positifis, non doktrinal, dan tidak akan lagi
dijadikan sekedar objek penggarapan-penggarapan untuk menyusun sistem
normative yang koheren belaka (atas dasar prosedur logika deduktif semata-
mata).42
Lebih lanjut dikatakan dalam melakukan penelitian hukum langkah-
langkah yang dilakukan adalah sebagai berikut:
1. Mengidentifikasikan fakta hukum dan mengeliminir hal-hal yang tidak
relevan untuk menetapkan isu hukum yang hendak dipecahkan;
40
Setiono, 2010, Pemahaman Terhadap Metodologi Penelitian Hukum, Surakarta:
Pascasarjana Universitas Sebelas Maret, hlm. 22. 41
Ibid, hlm. 22. 42
Soetandyo Wignjosoebroto, 2002, Hukum, Metode dan Dinamika Masalahnya, Elsam
dan Huma Cetakan Pertama, hlm. 193-194.
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 30
2. Pengumpulkan bahan-bahan hukum dan sekiranya dipandang mempunyai
relevansi juga bahan-bahan non hukum;
3. Melakukan telaah atas isu yang diajukan berdasarkan bahan-bahan yang
telah dikumpulkan;
4. Menarik kesimpulan dalam bentuk argumentasi yang menjawab isu hukum;
5. Memberikan preskripsi berdasarkan argumentasi yang telah dibangun
didalam kesimpulan.43
B. Lokasi Penelitian
Penelitian ini mengambil lokasi di Polda Jawa Tengah dan Polda DIY.
Alasan dipilihnya lokasi ini karena ketersediaan data yang berhubungan
dengan permasalahan dalam tesis ini.
C. Jenis dan Sumber Data
1. Jenis Data
Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah:
a) Data Primer
Data primer adalah sejumlah data yang berupa keterangan atau
penjelasan dari subyek penelitian, guna mendapat penjelasan yang lebih
mendalam tentang data sekunder. Data diperoleh secara langsung dari
wawancara di Polda Jawa Tengah dan Polda DIY, yaitu orang yang
dijadikan key informant.
b) Data Sekunder
Data sekunder adalah data yang tidak langsung diperoleh dari
lapangan, yang memberikan keterangan tambahan atau pendukung
kelengkapan data primer, termasuk data disini berupa dokumen-
dokumen, tulisan-tulisan, ilmu ilmiah dan literatur-literatur yang
mendukung.
43
Peter Mahmud Marzuki, 2005, Penelitian Hukum, Jakarta: Kencana Prenada Media
Group, hlm. 171.
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 31
2. Sumber Data
Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini adalah:
a) Bahan Hukum Primer
Bahan hukum primer adalah bahan-bahan hukum yang bersifat
pokok dan mengikat yaitu semua peraturan perundang-undangan yang
berkaitan dengan masalah yang diteliti oleh penulis:
1) Undang-undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Kitab Undang-undang
Hukum Pidana.
2) Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM.
3) Undang-undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Republik
Indonesia.
4) Peraturan Kapolri Nomor 1 Tahun 2009 TENTANG Pengaturan
Kekuatan dalam Tindakan Kepolisian, dan Perkap yang lainnya.
5) Peraturan Kapolri Nomor 8 Tahun 2009 tentang Implementasi
Prinsip dan Standar Hak Asasi Manusia dalam Penyelenggaraan
Tugas Kepolisian Negara Republik Indonesia.
b) Bahan Hukum Sekunder
Bahan Hukum sekunder yang digunakan berupa keterangan-
keterangan yang diperoleh secara langsung dari lapangan melalui
wawancara dengan pihak-pihak yang dipandang mengetahui objek yang
diteliti yaitu tindakan diskresi kepolisian dalam hal tembak ditempat.
Informan dalam penelitian ini adalah AKBP Makmur Kasubdit 1
Direskrimum Polda Jawa Tengah, AKBP Daup Wismawati
Kasubbidbankum Bidkum Polda Jawa Tengah dan Iptu Ronny Prasadana
Panit 1 Sident Direskrimum Polda DIY.
c) Bahan Hukum Tersier
Bahan hukum tersier merupakan bahan hukum yang memberikan
informasi, petunjuk, maupun penjelasan dalam bahan hukum primer dan
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 32
bahan hukum sekunder seperti Kamus Besar Bahasa Indonesia, Kamus
Hukum, ensiklopedia, yang akan dibahas dalam penelitian ini.44
D. Teknik Pengumpulan Data
Menurut Soerjono Soekanto dalam penelitian lazimnya dikenal 3 (tiga)
alat pengumpul data, yaitu “Studi dokumen atau bahan pustaka, pengamatan
atau observasi, dan wawancara atau interview”.45
Pengumpulan data mencari
dan mengumpulkan data yang diperlukan terhadap berbagai jenis dan bentuk
data yang ada di lapangan kemudian data tersebut dicatat. Dalam penelitian ini
teknik pengumpulan data yang dilakukan adalah:
1. Wawancara (Interview)
Wawancara adalah “percakapan dengan maksud tertentu. Percakapan
itu dilakukan oleh dua pihak yaitu pewawancara yang mengajukan
pertanyaan dan diwawancarai yang memeberikan pertanyaan itu”.46
Instrumen wawancara yang digunakan adalah bebas terpimpin, yang bersifat
terbuka. Penulis melakukan wawancara secara langsung dengan AKBP
Makmur Kasubdit 1 Direskrimum Polda Jawa Tengah, AKBP Daup
Wismawati Kasubbidbankum Bidkum Polda Jawa Tengah dan Iptu Ronny
Prasadana Panit 1 Sident Direskrimum Polda DIY.
2. Studi Dokumen
Metode studi dokumen adalah cara pengumpulan data tertulis seperti
buku, majalah, peraturan, gambar, notulen rapat serta cacatan harian.
Metode studi dokumen dilakukan dengan cara atau metode dimana peneliti
melakukan kegiatan pencatatan terhadap data yang ada di lokasi penelitian
untuk memperkuat apa yang terdapat di lapangan pada saat wawancara.
Dalam hal ini peneliti memperoleh dokumen dari buku-buku literatur dan
berkas yang berkaitan dengan analisis yuridis sosiologis terhadap tindakan
44
Burhan Ashofa, Metode Penelitian Hukum, Jakarta: Rineka Cipta. 45
Amiruddin dan Asikin Zainal, 2001, Pengantar Metode Penelitian Hukum, Jakarta: PT.
Raja Grafindo Persada, hlm. 25. 46
Lexy J. Moleong, 2004, Metode Penelitian Kualitatif, Bandung: Remaja Rosdakarya,
hlm. 246.
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 33
diskresi yang dilakuakn oleh kepolisian dalam tembak di tempat perspektif
Hak Asasi Manusia.
E. Teknik Analisis Data
Teknik analisis data yang dilakukan pada penelitian ini adalah teknik
analisa data model interaktif. Analisa data menurut Lexy J. Moleong adalah
upaya yang dilakukan dengan jalan bekerja dengan data, mengorganisasikan
data, memilah-milahnya menjadi satuan yang dapat dikelola,
mensintesiskannya, mencari dan menemukan pola, menemukan apa yang
penting dan apa yang dipelajari, dan memutuskan apa yang dapat diceritakan
kepada orang lain.47
Analisis tersebut juga memungkinkan ditemukannya makna berbagai hal
bagi informan. Teknik analisis model interaktif yang melakukan:48
1. Reduksi Data
Reduksi data adalah proses pemilihan, pemusatan perhatian pada
penyederhanaan, pengabstraksian, dan transformasi data kasar yang muncul
dari catatan-catatan tertulis di lapangan. Reduksi data bukan sesuatu yang
terpisah dengan analisis. Ia merupakan bagian dari analisis penyajian.
2. Penyajian data
Penyajian data adalah penyajian sekumpulan informasi yang tersusun
yang memungkinkan dilakukan penarikan simpulan dan pengambilan
tindakan. Penyajian yang sering dilakukan pada penelitian kualitatif adalah
penyajian dengan teks naratif. Selain itu, penyajian dapat dibantu dengan
matriks, grafik, jaringan dan atau bagan.
3. Penarikan simpulan/verifikasi
Penarikan simpulan/verifikasi adalah kegiatan yang penting. Artinya
dalam kegiatan ini peneliti menarik kesimpulan dan melakukan verifikasi
yang mengarah kepada jawaban dari permasalahan yang dinyatakan.49
47
Ibid, hlm. 248 48
HB. Sutopo, 2006, Metodologi Penelitian Kualitatif, Surakarta: UNS Press, hlm. 120. 49
Mattew B. Miles dan A. Michael Huberman, 2007, Analisis Data Kualitatif, Jakarta: UI
Pres, hlm. 15.
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
34
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Pertimbangan polisi dalam melakukan diskresi tindakan tembak di
tempat
Dalam menjalankan tugasnya sebagai penegak hukum, anggota
kepolisian kadang dihadapkan dengan upaya perlawanan dari tersangka atau
pelaku tindak pidana. Upaya perlawanan tersebut jika tidak di tindak tegas
dapat mengancam nyawa anggota kepolisian bahkan warga masyarakat sekitar.
Berdasarkan hasil wawancara dengan AKBP Daup Wismawati
Kasubbidbankum Bidkum Polda Jawa Tengah, berkaitan dengan penegakan
hukum yang dilakukan oleh anggota kepolisian, bahwa anggota kepolisian
harus memandang tidak secara kaku untuk diberlakukan kepada siapapun dan
dalam kondisi apapun. Untuk itu, anggota dapat menindak pelaku yang
melakukan perlawanan tersebut dengan pandangan atau penilaiannya sendiri
yang dikenal dengan istilah kewenangan diskresi.
AKBP Daup Wismawati menjelaskan bahwa pada konteks Kepolisian di
Indonesia. Pelaksanaan diskresi didasarkan pada ketentuan perundang-
undangan yaitu Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian
Negara Republik Indonesia, dimana pada Pasal 4 dinyatakan bahwa Kepolisian
Negara Republik Indonesia bertujuan untuk mewujudkan keamanan dalam
negeri yang meliputi terpeliharanya keamanan dan ketertiban masyarakat,
tertib dan tegaknya hukum, terselenggarakanya perlindungan, pengayoman dan
pelayanan kepada masyarakat, serta terbinanya masyarakat dengan menjunjung
tinggi hak asasi manusia. Tujuan kepolisian tersebut dijabarkan dalam tugas
dan wewenangnya sebagai aparat penegak hukum dan memelihara ketertipan
yang diatur dalam Pasal 13 dan Pasal 14, untuk itu polisi berwenang
melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan dan penyitaan,
penghentian penyidikan dan lain-lain dan pada Pasal 16 huruf l polisi
mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggungjawab. Kemudian
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 35
jika dikaitkan dengan KUHAP pada penjelasan Pasal 5 ayat (1) huruf a angka 4
dan Pasal 7 ayat (1) huruf j, maka yang dimaksud tindakan lain menurut hukum
yang bertanggungjawab adalah tindakan yang:
1. Tidak bertentangan dengan hukum;
2. Selaras dengan kewajiban hukum yang mengharuskan dilakukannya
tindakan jabatan;
3. Tindakan itu harus patut dan masuk akal dan termasuk dalam lingkungan
jabatannya;
4. Atas pertimbangan yang layak berdasarkan keadaan yang memaksa; dan,
5. Menghormati Hak Asasi Manusia.
Menurut AKBP Makmur Kasubdit 1 Direskrimum Polda Jawa Tengah,
diskresi adalah suatu tindakan oleh penyidik menurut penilaiannya sendiri yang
berdasarkan atas kepentingan umum dengan rasa tanggungjawab dengan
alasan-alasan tertentu. Menurut Iptu Ronny Prasadana Panit 1 Sident
Direskrimum Polda DIY, diskresi adalah suatu kewenangan yang dipunyai oleh
aparat pejabat publik, dalam hal ini di dalamnya juga terdapat aparat kepolisian
yang menurut penilaiannya sendiri dalam menentukan suatu tindakan tertentu.
Tindakan yang dilakukan polisi tersebut dapat berupa peringatan yang
disampaikan secara lisan kepada pelaku atau tersangka atau bahkan dengan
menembak pelaku di tempat penangkapan. Tindakan tembak di tempat
merupakan wewenang yang diberikan undang-undang kepada aparat
kepolisian, seperti yang sudah diatur dalam Pasal 18 UU No. 2 Tahun 2002
tentang POLRI. Menurut aturan tersebut, aparat kepolisian dapat melakukan
tindakan-tindakan untuk menjamin terciptanya keamanan dan ketertiban dalam
masyarakat. Oleh karena tindakan yang dilakukan atas dasar penilaian dan
pertimbangan sendiri, maka tepat dan tidaknya penilaian sangat dipengaruhi
oleh moralitas pengambil tindakan, dalam hal ini aparat kepolisian.
Kewenangan diskresi tersebut berkaitan erat dengan kebebasan bertindak
dari pemerintah. Philipus M. Hadjon mengemukakan, bahwa kebebasan
pemerintah dibedakan menjadi kebebasan kebijaksanaan dan kebebasan
penilaian. Kebebasan kebijaksanaan yang juga dimaknai sebagai wewenang
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 36
diskresi dalam arti sempit, apabila peraturan perundang-undangan memberikan
wewenang tertentu kepada lembaga pemerintah, sedangkan lembaga tersebut
bebas untuk menggunakannya atau tidak meskipun syarat-syarat bagi
penggunaannya secara sah dipenuhi. Sedangkan kebebasan penilaian, sejauh
menurut hukum diserahkan kepada lembaga/institusi pemerintah untuk menilai
secara mandiri dan eksklusif apakah syarat-syarat bagi pelaksanaan suatu
wewenang secara sah telah dipenuhi.50
Tindakan tersebut dilakukan oleh
anggota kepolisian untuk mencegah agar pelaku tidak kabur atau untuk
mencegah adanya korban dari pihak kepolisian atau masyarakat.
AKBP Makmur menjelaskan bahwa berdasarkan Peraturan Kapolri
Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penggunaan Kekuatan dalam Tindakan
Kepolisian. Kebijakan penggunaan kekuatan dalam tindakan kepolisian
bertujuan untuk mencegah, menghambat atau menghentikan tindakan pelaku
kejahatan atau tersangka yang sedang berupaya atau sedang melakukan
tindakan yang bertentangan dengan hukum atau mencegah pelaku kejahatan
atau tersangka melarikan diri atau melakuakan tindakan yang membahayakan
anggota Polri atau masyarakat dan juga untuk melindungi diri atau masyarakat
dari ancaman atau perbuatan pelaku kejahatn atau tersangka yang dapat
menimbulkan luka parah atau mematikan, juga melindungi kehormatan,
kesusilaan atau harta benda diri sendiri atau masyarakat dari serangan yang
melawan hak dan/atau mengancam jiwa manusia.51
Penggunaan kekuatan dengan kendali senjata api dilakukan ketika aparat
kepolisian tidak memiliki alternative lain yang beralasan dan masuk akal untuk
menghentikan tindakan/perbuatan pelaku kejahatan atau tersangka.
Penggunaan kekuatan dengan kendali senjata api atau alat lain dapat dilakukan
apabila tersangka melarikan diri, dan penggunaan senjata api merupakan upaya
terakhir untuk menghentikan tindakan pelaku kejahatan atau tersangka
50
Sadjijono dan Bagus Teguh Santoso, 2017, Hukum Kepolisian di Indonesia Studi
Kekuasaan dan Rekontruksi Fungsi Polri dalam Fungsi Pemerintahan, Surabaya: Laksbang
PRESSindo, hlm. 184. 51
Wawancara dengan AKBP Makmur, Kasubdit 1 Direskrimum Polda Jawa Tengah pada
tanggal 24 Mei 2019.
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 37
tersebut. Namun dalam hal nyawa masyarakat ataupun jiwa aparat kepolisian
terancam saat berhadapan dengan tersangka, maka aparat kepolisian dapat
melakukan penggunaan kendali senjata api dengan atau tanpa harus diawali
peringatan lisan untuk menghentikan tindakan pelaku kejahatan atau tersangka.
Sedapat mungkin tindakan tembak di tempat dihindarkan oleh aparat
kepolisian dengan melakukan pendekatan secara halus terhadap tersangka
pidana tanpa adanya kekerasan, namun tidak selamanya harus halus dan lemah
lembut tetapi juga boleh keras dan kasar, asal proposional.
Khusus untuk tindakan tembak di tempat, memiliki prosedur atau
tahapan-tahapan dalam pelaksanaannya. Adapun penggunaan senjata api dalam
pelaksanaan tindakan tembak di tempat diatur dalam Pasal 5 Peraturan Kapolri
No. 1 Tahun 2009, tahapan-tahapan tersebut antara lain:
a. Tahap 1: kekuatan yang memiliki dampak pencegahan.
Contohnya, saat polisi menggunakan seragam lengkap dan melakukan
penjagaan di pusat keramaian.
b. Tahap 2 : perintah lisan.
Contohnya, saat polisi berteriak “jangan bergerak” atau “berhenti” kepada
pelaku kejahatan.
c. Tahap 3 : kendali tangan kosong lunak.
Contohnya, ketika peringatan tahap 2 tidak didengarkan, kemudian pelaku
kejahatan mendekati petugas, lalu anggota kepolisian menggunakan tangan
kosong untuk melakukan perlawanan.
d. Tahap 4 : kendali tangan kosong keras.
Contohnya, ketika terasangka atau pelaku kejahatan tetap melawan, anggota
kepolisian menggunakan gerakan bela diri untuk menghentikan tersangka.
e. Tahap 5 : kendali senjata tumpul, senjata kimia, atau alat lain sesuai standar
polisi.
Contohnya, jika tersangka tetap melawan, maka anggota kepolisian dapat
menggunakan senjata tumpul atau senjata kimia, seperti gas air mata.
f. Tahap 6 : kendali dengan menggunakan senjata api atau alat lain yang
menghentikan tindakan atau perilaku kejahatan tersangka yang dapat
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 38
menyebabkan luka parah/kematian anggota kepolisian atau masyarakat.
Contohnya, ketika anggota kepolisian menggunakan senjata api untuk
melumpuhkan tersangka/pelaku kejahatan.52
Pertimbangan dan keputusan aparat kepolisian berdampak pada
efektivitas dan pertanggungjawaban atas tindakan yang diambil oleh aparat
kepolisian dalam menangani tindak kejahatan.53
Begitu juga dengan aparat
kepolisian, dalam melakukan pertimbangan untuk melakukan suatu tindakan
pada saat proses penangkapan, tentu akan melakukan tindakan yang paling
memungkinkan dan paling dibutuhkan saat itu.
1. Pertimbangan polisi dalam melakukan diskresi tindakan tembak di
tempat
Dalam melakukan tindakan diskresi tembak di tempat, pihak
kepolisian memiliki pertimbangan tersendiri, pertimbangan tersebut antara
lain:54
a. Situasional di lapangan
Salah satu yang menjadi pertimbangan pelaksanaan tindakan tembak
di tempat, yaitu situasi yang ada dilapangan. Situasi dilapangan dapat
dikategorikan sebagai berikut:
1) Keadaan terdesak
Keadaan terdesak dapat dimaknai sebagai situasi yang memaksa
sehingga memicu aparat kepolisian yang berada di lapangan/lokasi
penangkapan untuk menggunakan senjata api dimana mereka selalu
siap sedia dengan situasi yang ada. Pelaku yang dianggap
membahayakan jiwa petugas maupun masyarakat ditangani dengan
bermacam-macam cara, termasuk juga dengan tindakan tembak di
tempat.
Sebelum anggota polisi melakukan penangkapan, anggota polisi
harus sudah mengetahui terlebih dahulu jumlah tersangka dan senjata
52 http://m.hukumonline.com/klinik/detai diakses tanggal 09 Juli 2019 Pukul 12:39 WIB.
53 Barda Nawawi Arief, 2008, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, Jakarta: Kencana
Prenada Media Groub, hlm. 166. 54
Hasil wawancara dengan AKBP Makmur, Kasubdit 1 Direskrimum Polda Jawa Tengah
pada tanggal 24 Mei 2019.
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 39
yang biasa digunakan oleh tersangka, sehingga aparat kepolisian dapat
bersiaga dahulu terhadap kemungkinan-kemungkinan tindakan yang
akan terjadi di lokasi penangkapan. Keadaan terdesak merupakan
suatu keadaan dimana anggota kepolisian diharuskan untuk
mengambil suatu tindakan tegas saat itu juga, misalnya melepaskan
tembakan peringatan atau tembakan langsung kearah pelaku/tersangka
kejahatan. Ketika pelaku dianggap membahayakan nyawa petugas
ataupun masyarakat sekitar, maka petugas kepolisian dapat
mengambil tindakan dengan terlebih dahulu memberi tembakan
peringatan.
Menurut pendapat penulis, sebelum petugas kepolisian
melakukan tindakan kekerasan kepolisian berupa tembak ditempat,
sesuai dengan Pasal 15 Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik
Indonesia Nomor 1 Tahun 2009 Tentang Penggunaan Kekuatan
Dalam Tindakan Kepolisian harus melakukan tindakan tembakan
peringatan terlebih dahulu, adapun isi dari Pasal 15 tersebut adalah:
a) Dalam hal tindakan pelaku kejahatan atau tersangka dapat
menimbulkanbahaya ancaman luka parah atau kematian terhadap
anggota Polri atau masyarakat atau dapat membahayakan
keselamatan umum dan tidak bersifat segera, dapat dilakukan
tembakan peringatan.
b) Tembakan peringatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan dengan pertimbangan yang aman, beralasan dan masuk
akal untuk menghentikan tindakan pelaku kejahatan atau tersangka,
serta tidak menimbulkan ancaman atau bahaya bagi orang-orang
disekitarnya.
c) Tembakan peringatan hanya dilepaskan ke udara atau ke tanah
dengan kehati- hatian yang tinggi apabila alternatif lain sudah
dilakukan tidak berhasil dengan tujuan sebagai berikut :
(1) untuk menurunkan moril pelaku kejahatan atau tersangka yang
akan menyerang anggota polri atau masyarakat.
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 40
(2) untuk memberikan peringatan sebelum tembakan diarahkan
kepada pelaku kejahatan atau tersangka.
d) Tembakan peringatan tidak diperlukan ketika menangani bahaya
ancaman yang dapat menimbulkan luka parah atau kematian
bersifat segera, sehingga tidak memungkinkan untuk dilakukan
tembakan peringatan.
2) Respon pelaku kejahatan
Anggota kepolisian seringkali menunggu respon dari pelaku
kejahatan dalam melaksanakan tindakan tembak di tempat. Respon
pelaku kejahatan sendiri saat dilakukan penangkapan bermacam-
macam. Respon tersebut diantisipasi bisa membahayakan jiwa petugas
maupun tidak. Respon yang dianggap membahayakan yang kemudian
memicu anggota dilapangan untuk menggunakan senjata api. Menurut
AKBP Makmur Kasubdit 1 Ditreskrimun Polda Jateng ada dua respon
yang diberikan pelaku kejahatan saat penangkapan yaitu pertama,
pelaku melakukan perlawanan dan yang kedua, pelaku kabur atau
melarikan diri.
a) Pelaku melakukan perlawanan
Respon pelaku yang sering ditemui di lapangan saat proses
penangkapan adalah melakukan perlawanan sehingga memicu
petugas menggunakan senjata. Melakukan perlawanan bisa berarti
macam-macam, salah satu diantaranya adalah pelaku kejahatan
membawa senjata api maupun senjata tajam. Keputusan untuk
menembak tersangka/pelaku dalam proses penangkapan dilakukan
karena tersangka/pelaku melakukan perlawanan kepada pihak
aparat kepolisian, serta serangan yang dilakukan oleh
tersangka/pelaku secara tiba-tiba kepada aparat kepolisian.
Sebelum mengambil langkah untuk menembak
tersangka/pelaku, aparat kepolisian akan menunggu respon yang
akan ditunjukan tersangka/pelaku tersebut. Menunggu respon
pelaku bukan berarti menunggu perintah pimpinan. Ketika sudah
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 41
ada indikasi tersangka/pelaku mau melakukan perlawanan kepada
aparat kepolisian, maka aparat kepolisian harus dengan segera
mengambil tindakan terhadap perlawanan tersangka/pelaku.
Maksudnya tidak diperlukan tembakan peringatan ke atas dan tidak
diperlukan tembakan peringatan secara lisan terlebih dahulu.
Pertimbangan perlu dilakukan saat menggunakan senjata api
dalam menghadapi pelaku yang akan ditangkap, karena
diperkirakan pelaku juga menggunakan senjata api maupun senjata
tajam, maka anggota dilapangan harus dapat mengambil keputusan
atau bertindak cepat, anggota dilapangan harus mempunyai prinsip,
jika tidak maka anggota dilapangan yang akan menjadi korban.
Intinya, anggota kepolisian yang akan melakukan penangkapan
harus cepat melihat jika adanya tanda-tanda perlawanan dari pelaku
kejahatan. Jika ada perlawanan, maka anggota kepolisian harus
cepat mengambil tindakan dengan melumpuhkan pelaku.
Senjata api merupakan alat yang digunakan oleh aparat untuk
melindungi nyawa aparat kepolisian dan masyarakat dari tindakan
tersangka. Dalam penggunaan senjata api untuk pelaksanaan
tindakan tembak ditempat tersebut, tergantung situasi/kondisi di
lapangan yang selalu berbeda, sehingga ketika seorang
tersangka/pelaku yang ditangkap dan melakukan perlawanan
kepada kepolisian menggunakan senjata api, maka situasi atau
kondisi tersebut jadi salah satu pertimbangan dalam melakukan
tembak ditempat.
b) Pelaku Kabur
Respon pelaku yang menyebabkan anggota polisi di lapangan
menggunakan senjata api salah satunya adalah karena pelaku kabur
atau melarikan diri saat akan ditangkap oleh petugas. Biasanya saat
pelaku melarikan diri, anggota polisi melakukan tembakan
peringatan ke atas, namun jika hal tersebut tidak dihiraukan, maka
dilakukan tembakan melumpuhkan kearah kaki pelaku. Jika pelaku
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 42
yang akan ditangkap kabur, maka aparat kepolisian akan
melakukan tembakan peringatan sebanyak tiga kali. Namun, jika
hal tersebut tidak dihiraukan oleh tersangka/pelaku maka dilakukan
tembakan untuk melumpuhkan.
3) Situasi ramai/sepi
Pertimbangan lain dari pelaksanaan tindakan tembak di tempat,
yaitu situasi di lapangan. Dalam melaksanakan tindakan tembak
ditempat, anggota kepolisian harus telebih dahulu melihat situasi di
sekitar tempat penangkapan pelaku kejahatan, yaitu kondisi ramai atau
sepi. Bila kondisi dilapangan saat dilakukannya penangkapan ramai
maka anggota tidak berani menggunakan senjata api. Situasi lokasi
ramai saat dilakukannya penangkapan pelaku, menjadi pertimbanagan
dalam menggunakan senjata api, karena dapat mengakibatkan petugas
salah melakukan tembakan atau salah tembak.
Untuk menghindari kesalahan maupun kegagalan penangkapan,
maka petugas di lapangan mengantisipasi dengan berbagai cara, satu
diantaranya adalah dengan memancing pelaku yang akan ditangkap
agar keluar dari rumah tinggal atau kampung tempat tinggalnya,
dengan alasan jika saat dilakukan penangkapan pelaku melawan tidak
akan terjadi salah tembak, karena situasi lokasi penangkapan yang
tidak terdapat banyak warga.
Situasi yang ramai tidak hanya membahayakan nyawa anggota
kepolisian, tetapi juga masyarakat yang berada disekitar lokasi
penangkapan, ketika anggota kepolisian tidak cermat dalam melihat
situasi di lokasi. Penggunaan senjata api dalam pelaksanaan tindakan
tembak ditempat saat penangkapan harus mempertimbangkan situasi
lokasi penangkapan. Keputusan aparat kepolisian dalam
mengeluarkan senjata api untuk melumpuhkan tersangka/pelaku harus
tepat, sehingga tidak akan ada peluru nyasar ke masyararakat.
Menurut penulis, jika situasi lokasi yang ramai pada saat
dilakukan penangkapan pelaku, jika petugas di lapangan tidak dapat
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 43
melihat hal tersebut menjadi pertimbangan menggunakan senjata api
maka akan mengakibatkan petugas salah tembak karena posisi
dilakukannya tembakan pada saat itu tidak pasdalam artian posisi
menembaknya tidak maksimal. Posisi maksimal untuk menembak
adalah petugas pada saat akan menembak harus bias focus pada
sasaran yang akan ditembak, oleh karena itu salah tembak biasa terjadi
disebabkan petugas di lapangan memaksakan menembak karena ingin
mendapatkan pelaku.
4) Kerugian yang ditimbulkan
Salah satu yang menjadi pertimbangan lainnya dalam
melaksanakan tindakan tembak ditempat, yaitu kerugian yang
ditimbulkan. Kerugian yang dimaksud adalah kerugian yang dialami
masyarakat dan polisi jika pelaku tidak tertangkap. Kerugian yang
ditimbulkan menjadi salah satu pertimbangan dalam menggunakan
senjata api dilapangan saat penangkapan, karena adanya efek dari
penggunaan senjata api, apalagi jika tembakan yang dilakukan salah
sasaran atau pelurunya memantul kemudian mengenai masyarakat.
5) Kondisi geografis lokasi
Dalam melaksanakan tindakan tembak ditempat, polisi
mempertimbangkan kondisi geografis lokasi penangkapan pelaku
kejahatan. Artinya, anggota polisi harus mempertimbangkan baik-baik
kemungkinan dari pelaksanaan tindakan tembak di tempat dilihat dari
keadaan sekitar lokasi. Lokasi yang tidak memungkinkan bagi
anggota untuk melakukan pengejaran bagi pelaku, maka polisi
berinisiatif untuk menggunakan senjatanya dengan alasan untuk
mencegah pelaku melarikan diri. Lokasi di lapangan terkadang tidak
selalu ideal seperti apa yang diharapkan.
Aparat kepolisian terkadang harus melakukan penangkapan di
tempat tertutup, seperti di dalam rumah. Maka aparat kepolisian harus
melakukan antisipasi, dengan cara mempersiapkan diri untuk
menggunakan senjata api untuk melumpuhkan tersangka/pelaku.
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 44
Menurut penulis, lokasi di lapangan tidak selalu ideal seperti
yang selalu dibayangkan. Kondisi lokasi penangkapan seringkali
berada di perkampungan, sulit dijangkau oleh petugas, terkadang
petugas harus berjalan jauh, dan banyak jalan tikus sehingga
mengakibatkan anggota dilapangan susah mengejar pelaku yang lari
saat akan di tangkap. Apalagi penangkapan seringkali dilakukan pada
malam hari, dan medan yang sulit tersebut menjadikannya memilih
untuk menembak pelaku daripada lari mengejar pelaku yang kabur
dengan alasan badan anggota reserse dilapangan gemuk-gemuk
sehingga tidak sanggup mengejar pelaku.
b. Karakter Pelaku
Pertimbangan anggota di lapangan menggunakan senjata api
(menarik picu senpi) pada proses penangkapan salah satunya adalah
karakter dari pelaku tindak kejahatan. Karakter tersebut digolongkan
dalam beberapa hal yaitu:
1) Residivis
Pelaku tindak kejahatan di mana pelaku melakukan tindak
kejahatan berulang (residivis) atau pelaku yang pertama kali
melakukan tindak kejaahtan merupakan pertimbangan bagi anggota di
lapangan dalam menggunakan senjata api pada proses penangkapan.
Dalam hal ini polisi melihat pengalaman atau catatan kejahatan pelaku
sebelum mengambil tindakan lebih lanjut. Pelaku residivis biasa
disebut aparat kepolisian sebagai pemain, terutama pelaku yang sudah
masuk lembaga tiga kali atau bahkan lebih. Hal tersebut menjadi salah
satu pertimbangan aparat kepolisian dalam melakukan tindakan
tembak di tempat dengan melumpuhkan atau bahkan menembak mati
pelaku residivis tersebut, karena biasanya pelaku merupakan target
operasi yang telah lama dicari sebelumnya. Karakter pelaku yang
merupakan pelaku residivis menjadi salah satu alasan dan
pertimbangan aparat kepolisian dalam menggunakan senjata api untuk
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 45
pelaksanaan tindakan tembak di tempat pada saat penangkapan di
lapangan.
Menurut penulis wajar bila petugas kepolisian dengan sengaja
ingin melumpuhkan pelaku yang merupakan residivis, karena karakter
pelaku yang seperti ini memiliki tingkat keberanian yang berbeda
dengan pelaku pemula sehingga anggota di lapangan harus bias lebih
waspada karena biasanya pelaku saat akan ditangkap lebih baik
memilih mati daripada ditangkap oleh polisi.
2) Status Pelaku di Mayarakat
Anggota reserse yang akan melakukan penangkapan dan
penggunaan senjata api untuk melakukan tindakan tembak di tempat
juga melihat faktor status sosial pelaku di masyarakat. Bila pelaku
adalah orang yang dianggap baik, terpandang, dan dikagumi oleh
lingkungan masyarakat di sekitarnya, maka petugas juga tidak akan
melakukan tindakan gegabah untuk menggunakan senjata api saat
melakukan penangkapan.
Menurut penulis hal tersebut akan terlihat berbeda ketika pelaku
yang akan di tangkap dikenal di lingkungan masyarakat adalah
penjahat dan kemungkinan sering melakukan kejahatan kekerasan.
Hal ini dapat dikehatui dimana sebelumnya polisi mencari tahu
informasi mengenai pelaku yang akan ditangkap salah satunya adalah
menanyakan beberapa informasi mengenai pelaku dari masyarakat
disekitar tempat tinggalnya.
3) Banyaknya Pelaku
Banyaknya pelaku juga menjadi pertimbangan dari anggota
polisi dalam melaksankan tindakan tembak di tempat. Terdapat
indikasi pelaku tidak sendiri dalam melakukan aksinya, melainkan
lebih dari 2 orang, maka pada saat proses penangkapan, anggota polisi
di lapangan pun telah bersiap untuk menarik picu senjata api. Hal ini
merupakan salah satu alasan dan pertimbangan aparat kepolisian di
lapangan untuk menggunakan senjata api dalam pelaksanaan tindakan
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 46
tembak di tempat, karena biasanya pelaku yang akan di tangkap tidak
hanya sendiri melainkan terdiri atas 2 orang atau lebih. Aparat
kepolisian akan bertindak dengan menggunakan senjata api bila
jumlah pelaku tidak seimbang dibandingkan jumlah petugas
dilapangan.
Menurut penulis, hal ini juga patut dijadikan pertimbangan
petugas dalam melakukan tembakan di tempat dan bersiap-siap senjata
api jika jumlah dari pelaku kejahatan banyak dan pelaku mencoba
melakukan perlawan, karena jika hal tersebut tidak dilakukan akan
membahayan nyawa dari petugas dan masyarakat sekitar yang ada.
4) Tingkatan kasus kejahatan
Pertimbangan lainnya dalam pelaksanaan tindakan tembak di
tempat, yaitu tingkatan kasus kejahatan. Kriteria tingkatan kasus
kejahatan itu sendiri digolongkan menjadi dua, yaitu:
a) Berat atau ringannya kejahatan
Berat atau ringannya kejahatan merupakan salah satu
pertimbangan anggota di lapangan dalam melakukan tindakan
tembak di tempat. Umumnya aparat kepolisian membagi kasus
kejahatan menjadi 3 golongan, yaitu berat, sedang dan ringan.
Tingkatan kasus kejahatan yang dilakukan tersangka/pelaku,
menjadi salah satu pertimbangan bagi aparat kepolisian untuk
menggunakan senjata api dalam pelakasanaan tindakan tembak di
tempat pada saat proses penangkapan tersangka/pelaku di lapangan.
Pelaku dengan kasus yang berat seringkali melakukan perlawanan
dan sadis, sehingga petugas telah bersiap terlebih dahulu untuk
mencegah terjadinya hal yang diluar dugaan.
b) Kasus yang merugikan banyak orang
Banyaknya korban dari kasus kejahatan yang dilakukan oleh
pelaku, merupakan salah satu pertimbangan yang menjadikan
anggota di lapangan mengambil tindakan tegas dengan menembak
pelaku saat proses penangkapan.
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 47
Berdasarkan pemaparan mengenai pertimbangan di atas, penulis
berpendapat bahwa ada pertimbangan lain bagi polisi dalam melakukan
diskresi tindakan tembak di tempat, yaitu aturan formal penggunaan senjata
api, aturan formal ini berupa peraturan perundang-undangan yang menjadi
pedoman bagi polisi dalam melakukan kewenangannya berupa tindakan
tembak di tempat.
Dalam pelaksanaannya, tindakan tembak di tempat telah diatur dalam
Perkapolri No. 8 Tahun 2009 dan Perkapolri No. 1 Tahun 2009. Dalam
aturan tersebut terdapat prosedur dan wewenang yang mengatur bagaimana
seharusnya pelaksanaan tindakan tembak di tempat oleh polisi.
Berdasarkan Pasal 47 Perkapolri No. 8 Tahun 2009 disebutkan bahwa:
a. Penggunaan senjata api hanya boleh digunakan bila benar-benar
diperuntukkan untuk melindungi nyawa manusia.
b. Senjata api bagi petugas hanya boleh digunakan untuk:
1) Dalam hal menghadapi keadaan luar biasa;
2) Membela diri dari ancaman kematian dan/atau luka berat;
3) Membela orang lain terhadap ancaman kematian dan/atau luka berat;
4) Mencegah terjadinya kejahatan berat atau yang mengancam jiwa
orang;
5) Menahan, mencegah atau menghentikan seseorang yang sedang atau
akan melakukan tindakan yang sangat membahayakan jiwa;
6) Menangani situasi yang membahayakan jiwa, dimana langkah-
langkah yang lebih lunak tidak cukup.
Sebelum petugas kepolisian melakukan tindakan keras berupa tembak
di tempat, sesuai dengan Pasal 15 Peraturan Kepala Kepolisian Negara
Republik Indonesia Nomor 1 tahun 2009 Tentang Penggunaan Kekuatan
dalam Tindakan Kepolisian harus melakukan tindakan tembakan peringatan
terlebih dahulu, adapun isi dari Pasal 15 tersebut adalah:
1. Dalam hal tindakan pelaku kejahatan atau tersangka dapat menimbulkan
bahaya ancaman luka parah atau kematian terhadap anggota Polri atau
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 48
masyarakat atau dapat membahayakan keselamatan umum dan tidak
bersifat segera, dapat dilakukan tembakan peringatan.
2. Tembakan peringatan sebagaimana yang dimaksud pada ayat (1)
dilakukan dengan pertimbangan yang aman, beralasan dan masuk akal
untuk menimbulkan ancaman atau bahaya bagi orang-orang disekitarnya.
3. Tembakan peringatan hanya dilepaskan ke udara atau ke tanah dengan
kehati-hatian yang tinggi apabila alternatif lain sudah dilakukan tidak
berhasil dengan tujuan sebagai berikut:
a) Untuk menurunkan moril pelaku kejahatan atau tersangka yang akan
menyerang anggota polri atau masyarakat.
b) Untuk memberikan peringatan sebelum tembakan diarahkan kepada
pelaku kejahatan atau tersangka.
4. Tembakan peringatan tidak diperlukan ketika menangani bahaya
ancaman yang dapat menimbulkan luka parah atau kematian bersifat
segera, hingga tidak memungkinkan untuk dilakukan tembakan
peringatan.
Dari ketentuan yang sudah disebutkan di atas, jelas bahwa tindakan
tembak di tempat tidak bisa diterapkan secara sembarangan oleh aparat
kepolisian dalam penanganan tindak kriminal. Dalam Pasal 47 ayat 1
Perkapolri Nomor 8 Tahun 2009 yang sudah disebutkan diatas bahwa,
penggunaan senjata api dalam pelaksanaan tindakan tembak di tempat hanya
benar-benar diperuntukan dalam upaya untuk melindungi nyawa manusia,
dalam hal ini aparat kepolisian dan juga masyarakat yang ada di sekitar
tempat aparat kepolisian melakukan penangkapan. Sedangkan pada Pasal 8
ayat (1) Perkapolri nomor 1 tahun 2009 tentang Penggunaan Kekuatan
dalam Tindakan Kepolisian. Penggunaan senjata api oleh polisi dilakukan
apabila:
a. Tindakan pelaku kejahatan atau tersangka dapat secara segera
menimbulkan luka atau kematian bagi anggota POLRI atau masyarakat;
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 49
b. Anggota POLRI tidak memiliki alternatif lain yang beralasan dan masuk
akal untuk menghentikan tindakan/perbuatan pelaku kejahatan atau
tersangka tersebut;
c. Anggota POLRI sedang mencegah larinya pelaku kejahatan atau
tersangka yang merupakan ancaman terhadap jiwa anggota POLRI atau
masyarakat.
Dalam ketentuan yang sudah disebutkan diatas, Pasal 8 ayat 1 huruf a
Perkapolri No. 1 Tahun 2009 jelas bahwa dalam proses penangkapan aparat
kepolisian harus melakukan tindakan tegas atau dengan segera
melumpuhkan tersangka/pelaku untuk menghinari jatuhnya korban dari
pihak aparat kepolisian atau masyarakat. Sedangkan, dalam huruf b
disebutkan bahwa penggunaan senjata api untuk pelaksanaan tindakan
tembak di tempat dapat digunakan jika aparat kepolisian tidak memiliki
alternatif lain lagi selain menembak atau melumpuhkan pelaku. Pada huruf c
juga disebutkan bahwa penggunaan senjata api untuk pelaksanaan tindakan
tembak di tempat oleh aparat kepolisian bertujuan mencegah
tersangka/pelaku kejahatan untuk melarikan diri.
Namun di dalam Pasal 48 huruf b Perkapolri nomor 8 tahun 2009
meyatakan sebelum menggunakan senjata api, Polisi harus memberikan
peringatan yang jelas dengan cara:
1. Menyebutkan dirinya sebagai petugas atau anggota POLRI yang sedang
bertugas;
2. Memberi peringatan dengan ucapan secara jelas dan tegas kepada sasaran
untuk berhenti, angkat tangan, atau meletakkan senjatanya;
3. Memberi waktu yang cukup agar peringatan dipatuhi.
Aturan formal mengenai penggunaan senjata api sangat sulit
dijalankan sesuai dengan prosedur yang ada, mengingat kondisi di lapangan
terkadang sangat tidak menguntungkan anggota (polisi), hal ini merupakan
salah satu alasan dan pertimbangan bagi pihak kepolisian dalam melakukan
tindakan tembak di tempat. Tetapi dalam hal ini telah diatur juga mengenai
petunjuk penggunaan senjata api dalam Prosedur Tetap Kapolri Nomor
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 50
Polisi PROTAP/01/V/2001 tentang Penggunaan Senjata Api yang mengatur
mengenai ruang lingkup dan tata urut tentang prosedur penggunaan senjata
api antara lain sebagai berikut:
1. Prosedur
Pemegang senjata api harus orang yang sudah dinyatakan lulus
dalam ujian Psikologi dan uji keterampilan, ini menyangkut aspek
emosional, kepribadian dan keterampilan penggunaan senjata api.
2. Tindakan dan Persyaratan Penggunaan Senjata Api
Penggunaan senjata api hanya dibenarkan dilakukan petugas dalam
keadaan terpaksa, untuk membela diri (petugas) ataupun
melindungi/menyelamatkan jiwa raga seseorang (masyarakat) dari setiap
ancaman/gangguan kejahatan.
3. Tujuan Penggunaan Senjata Api
Pada prinsipnya penggunaan senjata api bertujuan untuk
melumpuhkan pelaku kejahatan bukan untuk mematikan sehingga
ancaman terhadap keselamatan jiwa petugas maupun jiwa seseorang
dapat dicegah dan pelaku kejahatan dapat ditangkap.
4. Sasaran Tembak
Sesuai dengan tujuan penggunaan senjata api sasaran tembak
diarahkan kepada organ / bagian tubuh seseorang yang tidak vital / tidak
mematikan seperti kepala, jantung, mata, dll. Organ tidak vital seperti
kaki. Dalam keadaan rusuh massal, sasaran tembak
diprioritaskan/ditujukan terhadap pemimpin/penggerak kerusuhan.
5. Tahapan Tindakan
Penggunaan senjata api tidak langsung ditujukan/diarahkan terhadap
pelaku kejahatan/pelanggar hukum, tetap diawali dengan tindakan
peringatan sebanyak 3 (tiga) kali, baik menggunakan peluru tajam, karet
maupun dengan tembakan salvo (keatas).
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 51
6. Kewenangan Pemberian Perintah
Dalam formasi pasukan Dalmas/PHH (Pasukan Huru Hara)
penggunaan senjata api (peluru tajam) hanya diberlakukan atas perintah
Kepala Satuan Kewilayahan, serendah-rendahnya Kapolres/Ta.
Dengan demikian, aturan formal mengenai penggunaan senjata api
oleh pihak kepolisian yang tertuang di dalam Peraturan Kepala Kepolisan
nomor 1 tahun 2009 tentang Penggunaan Kekuatan dalam Tindakan
Kepolisian dan Peraturan Kepala Kepolisian nomor 8 tahun 2009 tentang
Implementasi Prisip dan Standar Hak Asasi Manusia dalam
Penyelenggaraan Tugas Kepolisian Negara Republik Indonesia serta di
dalam Prosedur Tetap Kapolri Nomor Polisi PROTAP/01/V/2001 tentang
Penggunaan Senjata Api yang mengatur mengenai ruang lingkup dan tata
urut tentang prosedur penggunaan senjata api, dapat menjadi alasan dan
pertimbangan lain yang digunakan oleh polisi dalam melakukan tindakan
tembak di tempat.
Berdasarkan uaraian yang telah dipaparkan di atas mengenai
pertimbangan dalam melakukan tindakan tembak di tempat oleh polisi,
maka secara singkat dapat digambarkan bahwa polisi telah memiliki modal
awal yaitu sumber daya berupa keputusan, senjata yang dimiliki, amunisi,
dan juga kewenangan dalam menggunakan senjata mereka. Modal lainnya
yang dimiliki oleh anggota polisi adalah norma yaitu aturan formal. Aturan
formal anggota reserse berupa protap penggunaan senpi. Dari modal
tersebut yang kemudian akan berpengaruh pada anggota reserse dalam
melakukan pertimbangan. Namun modal awal tersebut tidak selalu
digunakan oleh anggota reserse sebagai pertimbangan dalam bertindak pada
saat penangkapan terkait penggunaan senpi. Hal yang menjadi pertimbangan
anggota reserse dapat berubah karena dihadapkan pada keadaan yang tidak
pernah dapat diduga oleh anggota. Hal yang menjadi dasar pertimbanagn
anggota di lapangan terdiri dari 3 faktor yaitu pertimbangan situasional,
karakter pelaku dan aturan. Ketiga faktor tersebut terdiri dari indikator
pendorong seperti yang dijelaskan pada uraian sebelumnya. Selanjutnya
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 52
semua indikator tersebut dijadikan bahan pertimbangan oleh anggota
kemudian anggota memilih salah satu yang menjadi preferensinya sehingga
dasar-dasar keputusan tersebut akhirnya menjadi dua yaitu keputusan yang
diterima oleh anggota dan keputusan yang ditolak oleh anggota. Keputusan
yang diterima oleh anggota itulah yang kemudian dilakukan oleh anggota
dalam bentuk tindakan.
2. Realita Kasus Tindakan Tembak di Tempat yang Dilakukan Oleh
Aparat Polda Jateng dan Polda DIY
Selanjutnya didapat data bahwa pada tahun 2016 petugas kepolisian di
wilayah hukum Polda Jawa Tengah dan pada tahun 2019 petugas kepolisian
di wilayah hukum Polda DIY melakukan tindakan tembak ditempat
terhadap tersangka/pelaku tindak pidana. Masing-masing ada 1 kasus yang
terjadi antara lain:
a. Kasus perampokan dengan kekerasan (Polda Jawa Tengah)
Peristiwa ini bermula dari adanya pelaku perampokan toko emas
yang dilakukan 6 orang pelaku. Direktorat Reserse kriminal umum polda
Jawa Tengah meringkus komplotan perampok toko emas. Dalam
peristiwa ini Polisi terlibat baku tembak dengan pelaku. Satu anggota
komplotan tewas. Para pelaku dalam aksinya ini mengancam karyawan
toko emas dengan menodong dan menembak dengan senjata api, pelaku
melakukan pencurian di toko emas Nagaputri dan toko emas Adil
Nusawungu, di pasar sikaco, Cilacap. Salah satu pelaku ditembak mati
karena melawan dan berupaya kabur saat disergap.
Klompotan perampok toko emas ini disergap ketika sedang
melakukan aksinya di daerah Purwodadi, Kabupaten Grobogan. Pelaku
yang ditembak mati adalah Mudakir alias Warso (37) warga Muara
Kelinci, Kabupaten Muara Musi Rawas, Lampung yang diketahui
sebagai otak komplotan. Sedangkan pelaku lain yang menyerah adalah,
Fajar Wiyoto (34) warga Ketawangrejo, Kecamatan Grabag, Kabupaten
Purworejo, Sujiyanto (31) warga Grobokan, Suratno (46) warga Lembu
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 53
Kibang, Lampung, Warso Edi Santoso (38) warga kecamatan Todanan,
Kabupaten Blora.
Selain mengamankan 6 orang pelaku, petugas menyita 3 pucuk
senjata api Revolver rakitan, 2 pucuk senjata api FN, 50 butir amunisi, 16
buah handphone berbagai merk, dua unit sepeda motor, serta 4 buah
masker yang dugunakan para pelaku untuk melancarkan aksinya.
Komplotan ini sudah beraksi tujuh kali di berbagai wilayah di
Indonesia seperti Kalimantan, Palembang, Jawa Timur dan Jawa Tengah.
Penyergapan terhadap komplotan perampok toko emas ini bermula dari
informasi yang didapat anggota tentang keberadaan pelaku dirumah
dukuh Klumpit Rt.03 Rw 01, Desa Pelemsengir, Kecamatan Todanan,
Kabupaten Blora.
b. Kasus Pencurian (Polda DIY)
Peristiwa ini bermula dari adanya penyelidikan oleh kepolisian
mengenai adanya komplotan pencurian. Direktorat Reserse Kriminal
Umum (Direskrimum) Polda DIY menangkap komplotan pelaku
pencurian di Purworejo, Jawa Tengah pada hari minggu 28 April 2019.
Penangkapan ini sempat diwarnai aksi kejar-kejaran dan baku tembak
antara petugas dan pelaku. Empat tersangka yang diringkus yakni AD
warga Bandung, Jawa Barat, ASS Warga Karawang, Jawa Barat, SDH
warga Karawang Jawa Barat, dan SB warga Ngawi Jawa Timur.
Petugas mulai menyelidiki komplotan ini setelah ada laporan polisi
yang masuk terkait aksi kejahatan yang dilakukan di Banguntapan,
Kabupaten Bantul, Semen, Kabupaten Gunung Kidul dan Semanu,
Kabupaten Gunung Kidul. Sasaran mereka konter-konter handphone,
mereka mengambil handphone, laptop dan uang tunai. Mereka
membekali diri dengan senjata api. Petugas kemudian melakukan
pengintaian dengan mengikuti komplotan tersebut, mulai dari Jawa Barat
dan Jawa Tengah.
Lalu petugas kepolisian Polda DIY melakukan pengejaran pelaku
pencurian dengan pemberatan ini mengejar komplotan pelaku yang
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 54
mengendarai mobil dari wilayah Kulon Progo hingga Purworejo pada
hari senin 29 April 2019. Proses kejar-kejaran dan saling tembak
berlangsung dari daerah kawasan pantai Glagah sampai Purworejo sejauh
35 km.
Para pelaku ini tak menyerah, bahkan ketika roda belakang pecah,
mereka tetap melaju. Hingga mobil avanza silver yang dipakai pelaku
akhirnya terhenti setelah menabrak truk. Setelah ada kontak senjata, tidak
cukup sampai disitu mereka melakukan perlawanan dengan melarikan
diri. Karena kondisi mobil tidak stabil akhirnya menabrak truk. Jadi luka
yang diderita pelaku ada luka tembak dan luka akibat kecelakaan.
Meski terjadi adu tembak, namun tak ada anggota polisi yang
terluka. Para pelaku termasuk golongan sadis, pelaku mengalami luka
tembak yang banyak karena proses penangkapan itu diwarnai tembak
menembak dengan anggota kepolisian polda DIY.
3. Kendala yang dihadapi Kepolisian dalam Melakukan Wewenang
Tembak di Tempat
Dalam melakukan wewenang tembak di tempat, petugas kepolisian
Polda Jawa Tengah memiliki beberapa kendala antara lain sebagai berikut:
a. Kendala Internal
Kendala internal adalah kendala yang berasal dari dalam tubuh
kepolisian sendiri, yaitu seperti:
1) Kurangnya kemampuan/kemahiran petugas kepolisian dalam
menggunakan senjata api.
Kendala utama bagi aparat kepolisian dalam melakukan tembak
di tempat terhadap pelaku tindak pidana yaitu karena kurangnya
kemampuan/kemahiran anggota kepolisian dalam melakukan tindakan
untuk melakukan wewenang tembak di tempat. Sehingga apabila
terjadi tindak pidana yang secara nyata dan yang bersifat
membahayakan jiwa dan keselamatan baik itu petugas kepolisian
maupun masyarakat yang pada saat kejadian tersebut seharusnya
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 55
petugas kepolisian menggunakan tindakan keras untuk melakukan
tembak di tempat guna membatasi tindakan pelaku tindak pidana yang
sangat membahayakan tersebut, namun apabila petugas kepolisian
bertugas di lapangan tersebut memiliki kemampuan/kemahiran yang
kurang dalam menggunakan senjata api maka hal ini dapat berdampak
pada hasil tembakan yang tidak tepat sasaran yang hal ini akan
memungkinkan timbulnya kerugian baik secara materi maupun
korban. Dalam penganturanya penggunaan senjata api hanya boleh
digunakan bila benar-benar diperuntukkan untuk melindungi nyawa
manusia. Senjata api bagi petugas kepolisian hanya boleh digunakan
untuk:
(a) Dalam hal menghadapi keadaan luar biasa
(b) Membela diri dari ancaman kematian dan/atau luka berat;
(c) Membela orang lain terhadap ancaman kematian dan/atau luka
berat;
(d) Mencegah terjadinya kejahatan berat atau yang mengancam jiwa
orang;
(e) Menahan, mencegah atau menghentikan seseorang yang sedang
atau akan melakukan tindakan yang sangat membahayakan jiwa;
dan
(f) Menangani situasi yang membahayakan jiwa, dimana langkah-
langkah yang lebih lunak tidak cukup.
Pada dasarnya tindakan tembak di tempat tersebut adalah hanya
untuk melumpuhkan pelaku, namun apabila petugas kepolisian yang
menggunakan senjata api kurang mahir dalam menggunakan senjata
api maka tindakan tembak di tempat tersebut dapat bersifat
membunuh pelaku tindak pidana.
b. Kendala Eksternal
Kendala eksternal adalah kendala yang berasal dari luar pihak
kepolisian, yaitu seperti:
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 56
1) Adanya tingkat keramaian Publik
Tingkat keramaian publik yang dimaksud disini adalah dalam hal
suatu tindak pidana yang terjadi pada suatu tempat yang terdapat
banyak orang berkumpul dan memiliki tingkat keramaian yang tinggi
maka hal ini juga merupakan kendala bagi petugas kepolisian dalam
melakukan tindakan tembak di tempat terhadap pelaku kejahatan yang
membahayakan jiwa orang baik masyarakat maupun petugas
kepolisian yang bersangkutan.
Dalam hal ini petugas kepolisian akan mengalami kendala dalam
menentukan target yang merupakan pelaku tindak pidana, sehingga
apabila keadaan terlalu ramai dan penuh sesak (crowded) maka
petugas kepolisian akan menahan sebisa mungkin untuk tidak
mengambil tindakan tembak di tempat terhadap pelaku tindak pidana,
karena dikhawatirkan dapat terjadi salah tembak yang mengakibatkan
kerugian materiil maupun korban jiwa orang yang tidak bersalah atau
tidak ada sangkut pautnya dengan tindak pidana yang bersangkutan.
Kendala melakukan wewenang tembak di tempat yang dihadapi
berupa keramaian publik tersebut dapat terjadi pada tindak pidana
yang terjadi di tempat-tempat yang terjadi penumpukan massa seperti
tempat konser, tempat pertandingan siatu olahraga, tempat rapat,
pasar, dan lain-lain. Namun tempat-tempat terjadinya penumpukan
massa juga bias diartikan di tempat-tempat seperti pemukiman yang
sangat kecil, sempit dan berhimpitan satu sama lain dan juga berupa
gang-gang kecil yang banyak orang bertempat tinggal di daerah
tersebut.
2) Jarak tembak yang jauh terhadap pelaku tindak pidana
Jarak tempat yang jauh pun menjadi suatu kendala tersendiri bagi
petugas kepolisian yang hendak melakukan tindakan tembak di tempat
terhadap pelaku tindak pidana. Petugas kepolisian seringkali
mengalami kendala dalam hal jarak tembak yang jauh terhadap pelaku
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 57
tindak pidana yang tak jarang menyebabkan pelaku tindak pidana
tewas akibat tembakan yang diberikan oleh petugas kepolisian.
3) Kondisi cuaca yang ekstrem dan pencahayaan yang kurang
Kondisi cuaca juga merupakan kendala yang dihadapi petugas
kepolisian dalam melakukan wewenang tembak di tempat terhadap
pelaku tindak pidana, karena apabila cuaca buruk seperti gerimis,
hujan, berkabut, angina kencang dan cuaca ekstrem laiannya juga
dapat menjadi suatu kendala bagi pihak kepolisian karena apabila
polisi tetap memaksakan melakukan tindakan tegas berupa
menggunakan kekuatan senjata api, maka hal tersebut juga dapat
membahayakan orang lain yang bukan dan atau tidak terlihat sama
sekali dengan tindak pidana yang bersangkutan. Sehingga apabila
cuaca buruk dan tidak memungkinkan untuk melakukan tindakan
tembak di tempat sebisa mungkin petugas kepolisian hanya
melakukan pengejaran terhadap pelaku kejahatan dan hanya
melakukan tahapan penggunaan kekuatan yang memiliki dampak
defferent/pencegahan.
4. Upaya yang Dilakukan Oleh Kepolisian dalam Mengatasi Kendala
Melakukan Tembak di Tempat
Dari kendala yang dihadapi oleh Polda Jawa Tengah dalam melakukan
wewenang tembak di tempat maka petugas kepolisian Polda Jawa Tengah
melakukan berbagai upaya untuk mengatasi kendala-kendala tersebut agar
dapat memudahkan dan melancarkan tugas pelaksanaan yang menjadi
wewenang kepolisian, upaya yang dimaksud tersebut ialah:
a. Melakukan pelatihan dan pemahaman teori dalam bidang hukum dan
HAM
Upaya utama yang dilakukan oleh pihak Polda Jawa Tengah dalam
mengatasi kendala dalam melakukan wewenang tembak di tempat yaitu
dengan melakukan pelatihan dan pemahaman mengenai teori-teori
hukum dan HAM kepada seluruh anggota kepolisian yang berarti tidak
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 58
hanya pada anggota kepolisian yang berhak yang menggunakan senjata
api saja. Pelatihan ini ditujukan agar anggota kepolisian dalam
menjalankan tugasnya di lapangan semakin mengerti dan memahami
peraturan hukum yang berlaku dan juga agar hukum yang ditegakkan
tersebut juga dapat memberikan perlindungan HAM terhadap pelaku
kejahatan.pemahaman teori ini agar dalam temabakan yang dilepaskan
petugas kepolisian bukan bersifat untuk membunuh pelaku tindak pidana
melainkan sifat tembakan tersebut hanya untuk melumpuhkan pelaku
tersebut agar dapat dilakukan proses hukum lebih lanjut.
b) Melakukan pelatihan menembak secara rutin
Upaya pelatihan menembak secara rutin ini bertujuan untuk
mengasah kemampuan (skill) setiap petugas kepolisian yang mempunyai
ijin menggunakan senjata api agar kemampuan dalam hal menembak
dapat semakin meningkat dan semakin akurat.
Pelatihan ini diutamakan untuk memberikan pemahaman bagi
petugas kepolisian yang berhak memegang senjata api agar apabila
terjadi tindak pidana secara nyata maka setiap petugas kepolisian harus
mengarahkan tembakan pada bagian tubuh pelaku kejahatan yang
memiliki resiko paling kecil terhadap kematian agar pelaku tersebut
dapat diproses hukum lebih lanjut.
Apabila polisi sangat perlu untuk menerapkan tindakan keras berupa
penggunaan senjata api maka tembakan yang dilepaskan diutamakan
harus ditujukan pada bagian kaki dan tangan karena sifatnya hanya
mencegah terjadinya kejahatan berat atau yang mengancam jiwa orang
dan untuk menahan, mencegah atau menghentikan seseorang yang
sedang atau akan melakukan tindakan yang sangat membahayakan jiwa.
Lawrence M. Friedman memasukkan komponen budaya hukum sebagai
bagian integral dari suatu sistem hukum. Friedman membedakan unsur sistem
itu menjadi 3 (tiga) macam, yaitu:55
55
Rabiatul Syariah, Keterkaitan Budaya Hukum dengan Pembangunan Hukum Nasional,
Repository.usu.ac.id, di akses bulan Juni 2019.
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 59
1. Struktur adalah kelembagaan yang diciptakan oleh sistem hukum dengan
berbagai macam fungsinya dalam mendukung bekerjanya sistem hukum.
Pada dasarnya pengorganisasian berarti menciptakan struktur dengan
bagian-bagian yang terintegrasi sedemikian rupa sehingga hubungan antar
bagian-bagian satu sama lain dipengaruhi oleh hubungan mereka dengan
keseluruhan struktur tersebut. Pengorganisasian bertujuan membagi suatu
kegiatan besar menjadi kegiatan-kegiatan yang lebih kecil. Selain itu, untuk
mempermudah pimpinan dalam melakukan pengawasan dan menentukan
orang yang dibutuhkan untuk melaksanakan tugas-tugas yang telah dibagi-
bagi tersebut.
Dengan kata lain struktur ini berhubungan dengan tugas-tugas
kepolisian dimana sudah diatur dalam Pasal 13 dan 14 Undang-Undang
Nomor 2 tahun 2002. Dalam menjalankan tugas-tugas kepolisian terkadang
petugas kepolisian sering dituntut untuk cepat dalam menangani kasus-
kasus yang ada. Sebagai contoh dalam contoh kasus yang pertama dimana
dimana petugas tergesa-gesa dalam melakukan tembakan sehingga
berdampak hilangnya nyawa seseorang, padahal pihak kepolisian tidak
harus menghilangkan nyawa pelaku tetapi dapat mengambil alternative lain
berupa melumpuhkan, karena jika pelaku atau otak komplotan masih hidup,
akan memudahkan pihak kepolisian dalam memperoleh keterangan. Namun
salusu berpendapat bahwa ada dua kondisi yang dapat mempengaruhi
kinerja organisasi yaitu:56
a) Faktor strategis yang berkaitan kekuatan adalah situasi dan kondisi
organisasi berupa struktur, peralatan dan sumber daya manusia dan
dananya termasuk integritas kepemimpinannya. Kelemahan adalah
ketidak mampuan organisasi untuk mencapai tujuan yang ditetapkan.
b) Faktor strategi berupa peluang dan tantangan/ancaman. Peluang
merupakan faktor external yang dapat dimanfaatkan oleh organisasi.
56
Salusu, 2000, Tantangan Era Baru Berbagai Keadaan dan Penyikapan, Jakarta:
Bumiputra Group, hlm. 23.
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 60
Tantangan dapat berupa kebudayaan, pola kebiasaan, dan teknologi yang
dapat menghambat kemajuan organisasi jika tidak disikapi dengan baik.
Oleh karena itu dalam menjalankan tugasnya petugas kepolisian
haruslah lebih sabar dan teliti dalam menjalankan tugas, jangan sampai
hanya karena tuntutan dari atasan agar kasus cepat terselesaikan. Serta
atasan atau komandan sangatlah penting untuk memberikan masukan atau
perintah yang tepat dengan kepada para anggotanya.
2. Subtansi adalah bagian dari sistem hukum, termasuk di dalamnya norma-
norma yang antara lain terwujud peraturan perundang-undangan. Semua itu
digunakan untuk mengatur tingkah laku manusia.
Dalam hal subtansial atau peraturan perundang-undangan dimana telah
mengatur tingkah manusia khususnya dalam hal ini petugas kepolisian
tentang prosedur tembak ditempat, namun terkadang dalam menjalankan
tugasnya yang diberikan oleh undang-undang yang lain. Jangan sampai
hanya pemenuhan unsur-unsur yang terdapat dalam satu undang-undang,
namun harus juga memperhatikan dan menjunjung tinggi unsur-unsur yang
terdapat dalam undang-undang yang lain.
Oleh karena itu petugas kepolisian sangat perlu untuk memiliki
pemahaman akan penafsiran dari undang-undang yang berlaku dalam
penerapan undang-undang apa saja yang berkaitan dengan kasus yang
dihadapinya. Apabila hal ini dilakukan maka petugas kepolisian tidak akan
ragu-ragu dalam menjalankan tugasnya dan tidak akan melanggar undang-
undang yang berlaku baik bagi petugas kepolisian ataupun tersangka.
3. Kultur (budaya) adalah nilai-nilai dan sikap-sikap yang merupakan pengikat
sistem serta menentukan tempat sistem di tengah-tengah budaya bangsa
sebagai keseluruhan.
Berdasarkan pengetian di atas maka budaya khususnya dalam budaya
polisi maka antara unsur struktur dan subtansi sangatlah berkaitan untuk
menentukan suatu budaya yang mencerminkan budaya polisi. Apabila unsur
struktur dan subtansi dapat terpenuhi dengan baik dan benar maka akan
menghasilkan budaya polisi yang baik pula. Dengan kata lain dapat
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 61
disimpulkan bahwa salah satu unsur antara struktur dan subtansi tidak dapat
berdiri sendiri.
Melihat dari beberapa uraian di atas maka penulis dapat menarik
pendapat bahwa hal yang utama dapat dilakukan untuk mewujudkan
terkontrolnya tindakan keras kepolisian berupa tembak ditempat adalah dengan
cara meningkatkan SDM (Sumber Daya Manusia) kepolisian yang memadai
dan mencukupi dari segi kualitas, yakni dengan cara pemeliharaan kesiapan
personil Polri, berupa perawatan kemampuan, pembinaan mental,
pengembangan kekuatan personil, peningkatan kualitas pendidikan baik pada
tingkat pendidikan pengembangan kejuruan dan spesialisasi fungsi kepolisian.
B. Diskresi tindakan tembak di tempat perspektif Hak Asasi Manusia
Tembak ditempat sudah diatur secara jelas dalam Pasal 48 Peraturan
Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2009
menjelaskan tentang prosedur tembak ditempat, dimana dalam menggunakan
senjata api harus:
a. Petugas memahami prinsip penegakan hukum legalitas, nesesitas, dan
proporsionalitas.
Pemberlakuan tembak ditempat terhadap tersangka setiap aparat
kepolisian harus memperhatikan Prinsip-prinsip Dasar Penegakkan Hukum,
sebagai berikut:
1) Asas Legalitas
Bahwa semua tindakan yang dilakukan oleh aparat kepolisian,
harus sesuai dengan hukum yang berlaku. Prinsip legalitas dalam hak
asasi manusia tidak hanya diatur dalam perundang-undangan nasional,
tetapi juga secara internasional. Oleh karena itu, seorang polisi harus
mengetahui perundang-undangan yang terkait dengan tugas penegakkan
hukum.
2) Asas Nesesitas
Nesesitas yaitu sebuah keadaan yang mengharuskan anggota polisi
untuk melakukan suatu tindakan, atau menghadapi kejadian yang tidak
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 62
dapat dihindarkan atau dielakkan sehingga terpaksa melakukan tindakan
yang membatasi kebebasan tersangka. Dalam penggunaan kekerasan dan
senjata api, prinsip ini diterapkan pada saat keadaan tidak dapat
dihindarkan atau tidak dapat dielakkan, sehingga penggunaan kekerasan
dan senjata api merupakan satu- satunya tindakan yang harus dilakukan.
Artinya bahwa tidak ada cara lain untuk memecahkan masalah dalam
mencapai sasaran yang diharapkan. Dalam semua keadaan, penggunaan
senjata api yang mematikan, hanya dapat digunakan secara tegas guna
melindungi kehidupan. Yang dimaksud kehidupan disini adalah nyawa
warga masyarakat yang tidak bersalah, anggota polisi dan tersangka.
3) Asas Proporsionalitas
Prinsip proporsionalitas dalam penegakkan hukum, tidak bias
disamakan dengan arti kata yang sama dalam tindakan anggota Angkatan
Bersenjata. Anggota polisi harus menerapkan prinsip proporsionalitas
dalam semua tindakannya, terutama pada saat penggunaan Kekerasan
dan Senjata Api (hanya pada saat sangat dibutuhkan). Prinsip
proporsionalitas dalam penggunaan kekerasan dan senjata api harus
diterapkan pada saat berhadapan dengan keadaan sebagai berikut:
a) Tindakan tersangka dan penggunaan sasaran atau peralatan (senjata
api, pisau, dll).
b) Keadaan yang mendesak menimbulkan risiko kematian (warga
masyarakat, petugas kepolisian, tersangka).
c) Kondisi atau keadaan yang penuh bahaya, ancaman terhadap jiwa atau
keadaan ketika bahaya atau ancaman sudah sangat dekat untuk
terlaksana.
d) Risiko dengan kemungkinan penggunaan senjata dan kekerasan akan
terjadi, petugas harus mampu menetukan tingkatan penggunaan
kekerasan yang akan digunakan.
b. Sebelum menggunakan senjata api petugas harus memberikan peringatan
yang jelas dengan cara:
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 63
a) Menyebutkan dirinya sebagai petugas atau anggota Polri yang sedang
bertugas.
b) Memberikan peringatan dengan ucapan secara jelas dan tegas kepada
sasaran untuk berhenti, angkat tangan, atau meletakkan senjatanya.
c) Memberikan waktu yang cukup agar peringatan dipatuhi.
Ketika mengambil keputusan tembak di tempat sesuai prosedur yang telah
dijelaskan tersebut di atas, anggota polisi tetap bertindak dengan menggunakan
penilaian sendiri seperti dalam Pasal 18 ayat (1) UU No. 2 tahun 2002 tentang
Kepolisian Negara Republik Indonesia yaitu: Untuk kepentingan umum pejabat
Kepolisian Negara Republik Indonesia dalam melaksanakan tugas dan
wewenangnya dapat bertindak menurut penilaiannya sendiri.
Menurut kenneth Culp Davis dalam bukunya The Encyclopedia of Police
Science mendefinisikan diskresi sebagai “the copacity of police officer to select
from among a number of legal ang ilegal courses of action orinaction while
performing their duties.” Jadi diskresi dapat diartikan sebagai kapasitas
petugas polisi untuk menentukan tindakan dari sejumlah pilihan tindakan baik
legal maupun ilegal. Dalam kata-katannya yang lain. Kenneth mengartikan
bahwa diskresi sebagai kebijakan yang dilakukan secara selektif oleh polisi
(police policy abaut selektive enforcment).57
Menurut Roscoe Pound, diskresi adalah “An authority conferred by law to
act in certain conditions or situations in accordance with an official’s or and
official agency’s own considered judgment and conscience.”58
Dalam
terjemahan bebas, diskresi bermakna sebagai suatu kewenangan yang diberikan
oleh hukum untuk bertindak di dalam situasi atau keadaan tertentu sesuai
dengan jabatannya atas pertimbangan atau keyakinan sendiri sesuai dengan hati
nuraninnya.
57
Syaefurrahman Al-Banjary, 2005, Op. Cit, hlm. 34. 58
Roscoe Pound, 1960, Op. Cit, hlm. 35.
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 64
a. Tolak Ukur Diskresi Kepolisian
1) Tindakan Polri harus sesuai dengan Peraturan Perundang-undangan
Polri dalam menjalankan tugas dan wewenang khusunya dalam
melakukan diskresi tidak boleh bertentangan dengan Undang-undang,
namun jika perbuatan diskresi yang diambil lebih bermanfaat dan
menguntungkan kepentingan umum, maka peraturan perundang-
undangan tersebut dapat dikesampingkan. Yang dimaksud dengan
perundang-undangan disini adalah semua peraturan yang dibuat oleh
suatu badan pemerintahan yang diberi kekuasaan untuk membuat
undang-undang, misalnya peraturan pemerintah, peraturan pemerintah
daerah seperti Provinsi, Kabupaten dan Kota Praja, kode etik profesi
Polri dan termaksud pula petunjuk lapangan dan petunjuk teknis untuk
Polri. Adapun peraturan yang lebih spesifik sebagai pedoman oleh
kepolisian dalam melaksanakan diskresi adalah Undang-undang Nomor 2
Tahun 2002 Tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, Kitab
Undang-undang Hukum Pidana (KUHP), Kitab Undang-undang Hukum
Acara Pidana (KUHAP), dan Peraturan Kepala Kepolisian Republik
Indonesia Nomor 1 tahun 2009 Tentang Penggunaan Kekuatan dalam
Tindakan Kepolisian.
2) Tindakan yang selaras dengan kewajiban hukum yang mengharuskan
dilakukannya tindakan tindakan jabatan
Bahwa tindakan yang akan dilakukan oleh anggota atau atau pejabat
Polri dilapangan dalam menjunjung tugas dan wewenangnya khususnya
dalam melakukan diskresi, betul-betul dilakukan untuk keperluan
meniadakan suatu gangguan atau untuk mencegah terjadinya suatu
gangguan, ini berarti bahwa jika tindakan yang diperlukan tidak diambil,
maka sesuatu yang perlu dicegah akan terjadi.
3) Tindakan itu harus patut dan masuk akal dan termasuk dalam lingkungan
jabatannya
Pekerjaan polisi manapun adalah memelihara hukum dan ketertiban,
lebih khusus lagi memerangi kejahatan dalam masyarakat, demikian juga
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 65
polisi di Negara Republik Indonesia, walaupun tugas dan wewenang
serta hal yang akan dilakukan telah dirumuskan oleh prosedur hukum
secara rinci, namun pada waktu yang sama pihak kepolisian telah
dihadapkan kepada kebutuhan untuk mengambil keputusan dan
mengambil tindakan yang bersifat spontan yang bertentangan dengan
prosedur hukum, maka ketertiban akan terganggu, dengan posisi
tersebutpihak kepolisian akan menimbulkan bermacam-macam tuntutan
yaitu disatu pihak diikat oleh prosedur hukum, sedangkan dipihak lain
untuk bergerak bebas sehingga bisa melakukan tugas memelihara
ketertiban dengan baik.
4) Tindakan atas pertimbangan yang layak berdasarkan keadaan memaksa
Ketentuan yang mengatur tentang keadaan memaksa (overmact) atau
sesuatu yang tidak dapat dihindari diatur dalam Pasal 48 dan Pasal 49
KUHP. Dalam penegakan hukum di lapangan, pihak polisi tidak dapat
dituntut atau tidak dapat dihukum bila pihak polisi melakukan perbuatan
karena keadaan terpaksa oleh sesuatu kekuasaan yang tidak dapat
dihindarkan atau terpaksa untuk mempertahankan diri atau karena
menjalankan peraturan perundang-undangan atau untuk menjalankan
perintah jabatan yang diberikan oleh kuasa yang berhak akan itu,
keadaan terpaksa ini diartikan, baik paksaan batin, lahir, rohani maupun
jasmani.
5) Tindakan harus Menghormati Hak Asasi Manusia
Hak Asasi Manusia (HAM) yang harus ditegakkan dan dihormati
oleh polisi itu berakar dari HAM yang mengalir dari visi moral,bukan
dari visi hukum yang harus difilter dulu berlakunya melalui filosofi,
sosiologi dan hukum nasional. HAM yang mengalir dari visi moral
berlakunya universal, sangat mendasar dan tidak akan tercabut oleh
dengan cara apapun, karenanya baik sudah atau belum diratifikasi HAM
jenis ini harus ditegakkan dan dihormati oleh polisi seluruh dunia,
utamannya yang terkait dengan tindakan diskresi yang dilakukan oleh
pejabat kepolisian di lapangan.
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 66
Berdasarkan diskresi kepolisian inilah yang menjadi dasar kepolisian
dalam melakukan tindakan tembak di tempat. Mereka yang profesional akan
melakukan tugasnya dengan baik. Selain dituntut profesional, mereka juga
dituntut untuk tidak mencampurkan urusan pribadi mereka dalam menjalankan
tugasnya khususnya dalam pengambilan tindakan tembak di tempat ini karena
mereka telah diberikan kewenangan. Kewenangan tersebut antara lain dikenal
dengan tindakan upaya paksa dari para penegak hukum, yang dalam hal ini
sering melanggar hak tersangka/terdakwa, dilakukan dengan kekerasan
(violence) dan penyiksaan (torture).
Walaupun telah diberikan kewenangan, untuk mencegah tindakan
sewenang-wenang yang mungkin akan terjadi akibat arogansi dari petugas
tersebut yang didasarkan atas kemampuan/pertimbangan subyektif, maka
tindakan “Diskresi” harus dibatasi oleh:
(a) Asas Keperluan, tindakan harus benar-benar diperlukan.
(b) Tindakan yang diambil benar-benar untuk kepentingan Tugas Kepolisian.
(c) Tindakan yang paling tepat untuk meniadakan suatu gangguan atau tidak
terjadinya suatu kekhawatiran terhadap akibat yang lebih besar (asas
tujuan).
(d) Dalam mengambil tindakan harus diperhitungkan keseimbangan antara sifat
tindakan atau sasaran yang digunakan dengan besar kecilnya gangguan atau
berat ringannya suatu obyek yang harus ditindak.
Atas dasar kewenangan tersebut di atas, maka aparat kepolisian diharuskan
untuk memperhatikan Hak Asasi Manusia (HAM). Salah satu implementasi
HAM sebagaimana diatur dalam UUD 1945 antara lain terdapat dalam UU No.
8 tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana. Di dalam UU tersebut diatur
mengenai proses peradilan pidana. O.C Kaligis mengemukakan bahwa
perlindungan dan perlakuan yang sama di depan hukum merupakan bentuk hak
asasi yang paling sulit dijalankan dalam Sistem Peradilan Pidana di Indonesia.
Seorang tersangka, terdakwa dan terpidana, merupakan pihak yang rentan atas
pelanggaran HAM. Pemerintah yang berdasarkan Undang-undang wajib
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 67
memenuhi HAM tersebut, seringkali tidak mampu melakukan perlindungan
apapun ketika dituntut untuk memenuhi kewajibannya.59
Salah satu ciri Negara hukum modern menurut Jimly Asshidieqie,60
adalah
adanya perlindungan hak asasi manuisa, yang merupakan pilar-pilar utama
yang menyangga berdiri tegaknya satu negara hukum modern dalam arti yang
sebenarnya.
Hak Asasi Manusia (HAM) yang melekat pada manusia secara kodrati
merupakan anugerah Tuhan Yang Maha Esa yang terindah dan terbaik yang
dimiliki oleh setiap insan manusia di belahan bumi manapun juga. Hak-hak ini
tidak dapat diingkari begitu saja oleh siapapun juga. Pengingkaran terhadap
hak prinsipil tersebut berarti mengingkari martabat manusia sebagai makhluk
ciptaan Tuhan. Oleh karena itulah, baik negara, pemerintah, atau organisasi
apapun harus mengemban kewajiban untuk mengakui dan melindungi hak
asasi manusia pada setiap manusia tanpa terkecuali. Hal ini mengandung
maksud bahwa HAM harus selalu menjadi titik tolak dan tujuan dalam
penyelenggaraan kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
Hak Asasi Manusia adalah hak yang dimiliki seseorang karena orang itu
adalah manusia, hak asasi ini bersifat universal dan tidak dapat dialihkan
kepada orang lain. Penegakan HAM adalah merupakan salah satu unsur paling
esensial bagi Negara hukum, keberadaan dan penghormatan terhadap negara
hukum yang mencerminkan keadaan bahwa hak-hak kebebasan dan kewajiban
dilenyapkan dalam hukum bagi semua orang dan dengan jaminan bahwa
orang-orang akan diperlukan sama dalam keadaan yang sama. Tanpa adanya
pengakuan hukum yang menjadi landasan bagi tumbuh kembangnya hak asasi
manusia, sangat sulit dicapai kerangka pembangunan sistem perlindungan
HAM.
Setiap manusia memiliki hak untuk hidup. Di dalam kehidupan tersebut
melekat hak-hak lainnya yang harus dijunjung tinggi oleh orang lainnya.
59
O.C Kaligis, 2006, Perlindungan Hukum Atas Hak Asasi Tersangka, Terdakwa dan
Terpidana, Bandung: PT Alumni, hlm. 18. 60
Jimly Asshiddieqie, 2006, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara, Jakarta: Sekretariat
Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI, hlm. 151
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 68
Menurut undang-undang bahwa Hak Asasi Manusia (HAM) adalah
seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai
mahluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerahnya yang wajib
dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh Negara hukum, pemerintahan,
dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat
manusia.61
John Locke menjelaskan bahwa HAM ialah hak-hak yang langsung
diberikan tuhan yang maha esa kepada manusia sebagai hak yang kodrati. Oleh
karenanya, tidak ada kekuatan apapun didunia yang bisa mencabutnya. HAM
ini sifatnya fundamental atau mendasar bagi kehidupan manusia dan pada
hakikatnya sangat suci. Menurut muladi, HAM ialah segala hak pokok atau
dasar yang telah melekat pada diri manusia dalam kehidupannya.62
Pentingnya pembicaraan tentang HAM tersebut, bahkan pengaturan HAM
merupakan perhatian dunia internasional dengan dibuatnya deklarasi HAM,
sejak dulu di Inggris dan Negara-negara Eropa lainnya. HAM merupakan hak
yang melekat pada setiap diri manusia yang tidak dapat diganggu gugat oleh
orang lain yang diberikan tuhan sejak manusia lahir. Apabila seseorang,
pemerintah atau orang lain mengganggu Hak Asasi orang lain, maka dapat
dituntut sesuai dengan Undang-undang yang berlaku.
Dalam Perkap No. 8 tahun 2009 telah diatur tentang Implementasi Prinsip
dan Standar Hak Asasi Manusia dalam Penyelenggaraan Tugas Kepolisian
Negara Republik Indonesia yang juga berdasarkan atas UUD 1945 dan UU
tentang HAM yaitu UU No. 39 tahun 1999. Selain itu, Polri wajib
menghormati instrumen-instrumen HAM baik yang diatur dalam perundang-
undangan Indonesia maupun instrumen internasional seperti yang terdapat
dalam Pasal 8 ayat (1) Perkap No. 8 tahun 2009 yang menyatakan: Setiap
anggota Polri wajib memahami instrumen-instrumen HAM baik yang diatur
dalam peraturan perundang-undangan Indonesia dan instrumen internasional,
baik yang telah diratifikasi maupun yang belum diratifikasi oleh Indonesia.
61
Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. 62
9 Pengertian HAM-Hak asasi manusia menurut para ahli
(http://www.seputarpengetahuan.com/2015/06/9-pengertian-ham-hak-asasi-manusia-menurut-
para-ahli.html) diakses tanggal 19 Juni 2019.
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 69
Berdasarkan penjelasan di atas, maka penggunaan senjata api dalam tugas
kepolisian merupakan sesuatu kekerasan di mana dalam hal ini digunakan
anggota Kepolisian untuk menjalankan tugas sebagaimana yang diamanatkan
kepada mereka. Walaupun tindakan kekerasan (tembak di tempat) tersebut
diperbolehkan, namun pengambilan tindakan tersebut haruslah tetap
memperhatikan hanya dalam keadaan tertentu seperti yang terdapat dalam
Pasal 10 huruf c Perkap No. 8 tahun 2009, yaitu: Tidak boleh menggunakan
kekerasan, kecuali dibutuhkan untuk mencegah kejahatan membantu
melakukan penangkapan terhadap pelanggar hukum atau tersangka sesuai
dengan peraturan penggunaan kekerasan.
Pertanggungjawaban Secara Hukum terhadap Petugas Kepolisian setelah
melakukan tindakan tembak di tempat juga telah diatur, polisi yang
bersangkutan harus mempertanggungjawabkan atas tindakannya tersebut.
Tindakan tembak ditempat merupakan upaya terakhir bagi anggota kepolisian
dalam melaksanakan tugasnya. Pertanggungjawaban anggota kepolisian setelah
melakukan tembakan ditempat berdasarkan Pasal 49 ayat (1) Peraturan Kepala
Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2009 tindakan Polisi
setelah melakukan tindakan tembak di tempat Polisi wajib:
a. Mempertanggungjawabkan tindakan penggunaan senjata api.
b. Memberi bantuan medis bagi setiap orang yang terluka tembak.
“Ketika polisi melakukan diskresi berupa tindakan tembak ditempat
kemudian si pelaku tindak pidana ini terluka, hal yang dilakukan terlebih
dahulu adalah menyembuhkan luka pelaku tindak pidana tersebut ataupun
upaya menyelamatkan jiwa terlepas itu siapapun, jika masyarakat yang
terluka maka menyelamatkan masyarakat tersebut. Dengan cara bantuan
medis, jika memang polisi ini bisa melakukan upaya bantuan maka akan
memberi bantuan medis ditempat kejadiaan saat itu juga tetapi jika tidak
bisa, akan secepatnya dibawa ke rumah sakit terdekat.”
c. Memberitahukan kepada keluarga atau kerabat korban akibat penggunaan
senjata api.
d. Membuat laporan terperinci dan lengkap tentang penggunaan senjata api.
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 70
Dalam membuat laporan terperinci tentang penggunaaan senjata api ini
sudah diatur dalam Peraturan Kepala Kepolisian Republik Indonesia Nomor
1 Tahun 2009 tentang Penggunaan Kekuatan Dalam Tindakan Kepolisian
pasal 4 ayat (4) dan ayat (5) sebagai berikut:
Ayat (4)
Laporan sebagaimana dimaksud memuat antara lain:
a) Tanggal dan tempat kejadian.
b) Uraian singkat peristiwa tindakan pelaku kejahatan atau tersangka,
sehingga memerlukan tindakan kepolisian.
c) Alasan/pertimbangan penggunaan kekuatan.
d) Evaluasi hasil penggunaan kekuatan.
e) Akibat dan permasalahan yang ditimbulkan oleh penggunaan kekuatan
tersebut.
Ayat (5)
Informasi yang dimuat dalam laporan sebagaimana dimaksud pada ayat
(4) digunakan untuk :
a. Bahan laporan penggunaan kekuatan tahap 4 sampai dengan tahap 6
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) huruf d,e dan huruf f.
b. Mengetahui tahapan penggunaan kekuatan yang telah digunakan.
c. Mengetahui hal-hal yang terkait dengan keselamatan anggota Polri
dan/atau masyarakat.
d. Bahan analisa dan evaluasi dalam rangka pengembangan dan
peningkatan kemampuan professional anggota Polri secara
berkesinambungan.
e. Bahan pertanggungjawaban hukum penerapan penggunaan kekuatan.
f. Bahan pembelaan hukum dalam hal terjadi gugatan pidana/perdata terkait
penggunaan kekuatan yang dilakukan oleh anggota Polri yang
bersangkutan.
Selain itu adapun tindakan yang harus dilakukan setelah menggunakan
senjata api, disarankan untuk melakukan tindakan berikut ini:
a. Memberikan perawatan medis bagi semua yang terluka.
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 71
b. Mengijinkan dilakukan penyelidikan bila diperlukan.
c. Menjaga tempat kejadian perkara untuk penyelidikan lebih lanjut.
d. Memberitahu keluarga dan teman-teman orang yang terluka. e.
Melaporkan kejadian.
Dari penjelasan dan contoh kasus yang diteliti, wujud dari penembakan
yang mengakibatkan matinya seseorang adalah matinya orang yang ditembak,
maka dengan ini tewasnya orang karena ditembak menyangkut tentang HAM
khususnya yaitu hak untuk hidup. Ketika seseorang ditembak dan meninggal
dunia akibat yang dapat dilihat dari aspek HAM adalah hilangnya hak
seseorang untuk hidup.
Setiap orang memiliki hak untuk hidup, kebebasan dan keamanan pribadi.
Ini dinyatakan dalam Pasal 3 Universal Declaration of Human Right,
mencerminkan salah satu hak dasar tertua umat manusia seluruhnya, hak hidup
termasuk pada non-derogable right.
Tembak ditempat yang dilakukan oleh polisi dan mengakibatkan hilangnya
nyawa seseorang dapat dilihat alurnya berkenaan dengan perspektif HAM pada
dua hal, yakni orang yang melakukannya dan proses melakukannya. Jika yang
melakukan tembak ditempat adalah aparatur negara, maka sekilas dapat
dikatakan aparat telah melakukan pelanggaran HAM. Tetapi harus dilihat lagi
pada proses melakukan tembak ditempat tersebut. Jika tindakan aparat
mengambil tindakan tembak ditempat sesuai dengan prosedur yang ada, maka
tidak dapat dikatakan aparat itu melanggar HAM. Karena dalam hal ini aparat
Kepolisian diberi wewenang bertindak sesuai dengan penilaiannya sendiri yaitu
kewenangan diskresi kepolisian dan telah tertuang di dalam peraturan
Perundang-undangan.
Dengan diuraikannya mengenai peraturan yang mengatur mengenai
diskresi tindakan tembak ditempat di atas, maka dalam kaitannya dengan dua
contoh kasus yang diteliti, dapat disimpulkan bahwa tindakan yang dilakukan
oleh pihak kepolisian merupakan tindakan diskresi yang telah jelas diatur dan
tidak melanggar Hak Asasi Manusia pelaku kejahatan, karena dalam hal ini
diskresi tindakan tembak di tempat benar-benar harus dilakukan akibat situasi
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 72
di lapangan yang membahayakan petugas dan lingkungan masyarakat sekitar,
pelaku tindak pidana dalam hal ini mencoba melakukan perlawanan dengan
menggunakan senjata yang berpotensi membahayakan masyarakat sekitar serta
petugas kepolisian. Meskipun dalam hal ini pihak kepolisian dikatakan tidak
dapat melindungi hak tersangka untuk hidup, tetapi pihak kepolisian setidaknya
mencoba ingin melindungi Hak Asasi Manusia yang lebih besar dan luas, yaitu
HAM bagi masyarakat serta petugas kepolisian yang bertugas.
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
73
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Ada dua pertimbangan polisi dalam melakukan tindakan diskresi tembak di
tempat, yaitu pertama, kondisi situasional, meliputi keadaan terdesak,
respon pelaku kejahatan melawan atau kabur, situasi ramai atau sepi,
kerugian yang ditimbulkan, dan kondisi geografis lokasi. Kedua, karakter
pelaku, meliputi residivis, status pelaku di masyarakat, banyaknya pelaku
dan tingkatan kasus kejahatan, serta pertimbangan lain berupa aturan formal
yang berlaku. Bahwa pertimbangan lain bagi polisi dalam melakukan
diskresi tindakan tembak di tempat, yaitu aturan formal penggunaan senjata
api, aturan formal ini berupa peraturan perundang-undangan yang menjadi
pedoman bagi polisi dalam melakukan kewenangannya berupa tindakan
tembak di tempat.
2. Diskresi tindakan tembak di tempat perspektif Hak Asasi Manusia jika
dikaitkan dengan realita kasus yang di teliti, dapat disimpulkan jika pihak
kepolisian tidak melanggar Hak Asasi Manusia karena tindakan yang
dilakukan telah sesuai dengan peraturan perundang-undangan dan akibat
situasi di lapangan yang membahayakan berupa perlawanan dari pelaku
kejahatan/tindak pidana, sehingga mengakibatkan pelaku meninggal dunia.
Meskipun dalam hal ini pihak kepolisian dikatakan tidak dapat melindungi
hak tersangka untuk hidup, tetapi pihak kepolisian setidaknya mencoba
ingin melindungi Hak Asasi Manusia yang lebih besar dan luas, yaitu HAM
bagi masyarakat serta petugas kepolisian yang bertugas.
B. Implikasi
Konsekuensi logis dari kesimpulan hasil penelitian tersebut di atas, dapat
dirumuskan implikasi sebagai berikut:
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 74
1. Dengan adanya pertimbangan polisi dalam melakukan tembak di tempat,
masyarakat dapat lebih mengetahui bahwa polisi memiliki tolak ukur
tersendiri dalam melakukan diskresi berupa tembak di tempat.
2. Dengan adanya kewenangan diskrei serta peraturan mengenai Hak Asasi
Manusia, aparat penegak hukum dalam menjalankan tugasnya seperti polisi
dalam melakukan tindakan tembak ditempat dapat meminimalisir adanya
pelanggaran HAM yang lebih luas.
C. Saran
1. Hendaknya Polri melakukan sosialisasi mengenai pentingnya tembak di
tempat baik terhadap tersangka tindak pidana, anggota kepolisian, dan
seluruh lapisan masyarakat.
2. Ketika anggota kepolisian mengambil tindakan tembak di tempat atau
dengan kata lain menggunakan kekerasan dalam tahap penangkapan
tersangka, walaupun diperbolehkan harus tetap memperhatikan hak-hak
tersangka dan yang terpenting haruslah menjunjung tinggi Hak Asasi
Manusia.
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 75
DAFTAR PUSTAKA
Amiruddin dan Asikin Zainal, 2001, Pengantar Metode Penelitian Hukum,
Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
Ashofa, Burhan, Metode Penelitian Hukum, Jakarta: Rineka Cipta.
Arief, Barda Nawawi, 2008, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, Jakarta:
Kencana Prenada Media Groub.
Al-Banjary, Syaefurrahman, 2005, Hitam Putih Polisi dalam Mengungkap
Jaringan Narkoba, Jakarta: Restu Agung.
Asshiddieqie, Jimly, 2006, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara, Jakarta:
Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI.
Atmosudirjo, S. Prajudi, 1944, Hukum Administrasi Negara, Jakarta: Ghalia
Indonesia.
Ali, Ahcmad, 2002, Keterpurukan Hukum di Indonesia, Jakarta: Ghalia Indonesia.
Ali, Utsman, 11 Maret 2015, Pengertian Hak Asasi Manusia Menurut Para
Pakar, dalam http://www.pengertianpakar.com/2015/03/pengertian-ham-
hak-asasi-manusia.html, di akses pada selasa 03 Oktober 2018 pukul22:38.
Basah, Sjachran, 1997, Eksistensi dan Tolak Ukur Badan Peradilan Administrasi
di Indonesia, Bandung: Alumni.
CST., Simorangkir, 2000, Kamus Hukum, Jakarta: Alinea Baru.
Fuady, Munir, 2003, Aliran Hukum Kritis: Paradigma Ketidakberdayaan Hukum,
Bandung: PT. Citra Aditya Bakti.
Friedman, Lawrence M., 2009, Sistem Hukum: Perspektif Ilmu Sosial, Jakarta:
Nusa Media.
J. Moleong, Lexy, 2004, Metode Penelitian Kualitatif, Bandung: Remaja
Rosdakarya.
Kelana, Momo, 1994, HukumKepolisian, Jakarta: PT. Gramedia Widia Sarana
Indonesia.
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 76
Kaligis, O.C, 2006, Perlindungan Hukum Atas Hak Asasi Tersangka, Terdakwa
dan Terpidana, Bandung: PT Alumni.
Kunarto,1997, Etika Kepolisian, Jakarta: Cipta Manunggal.
K.M, Rhona, dkk, 2010, Hukum Hak Asasi Manusia, Yogyakarta: Pusat Studi
Hak Asasi Manusia Universitas Islam Indonesia.
Lubis, Sofyan, 2012, Prinsip Miranda Rule: Hak-hak Tersangka sebelum
Pemeriksaan, Yogyakarta: Pustaka Yustisia.
Mulyadi, Mahmud, 2009, Kepolisian dalam Sistem Peradilan Pidana, Medan:
USU Press.
Magnis Suseno, Frans dalam Putera Astomo, 2014, Hukum Tata Negara:
Teoridan Praktek, Yogyakarta: Thafa Media.
Miles, Mattew B.,dan A. Michael Huberman, 2007, Analisis Data Kualitatif,
Jakarta: UI Pres.
Marzuki, Peter Mahmud, 2005, Penelitian Hukum, Jakarta: Kencana Prenada
Media Group.
Prakoso, Djoko, 2007, Polri Sebagai Penyidik dalam Penegakan Hukum, Jakarta:
Bina Aksara.
Pound, Roscoe, 1960, “Discretion, Dispensation and Mitigation: The Problem of
The Individual Special Case”, New York University Law Review.
Rahayu, Esmi Warassih Puji, 2005, Pranata Hukum Sebuah Telaah Sosiologis,
Semarang: Suryandaru Utama.
Raharjo, Satjipto, 2009, Penegakan Hukum Suatu Tinjauan Sosiologis,
Yogyakarta: Genta Phublishing.
_______________, 2000, Ilmu Hukum, Cet. Ke-V, Bandung: Citra Aditya Bakti,
Soekanto, Soerjono, 1983, Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penegakan
Hukum, Jakarta: Rajawali.
Soeharjo, Seno, 1953, Serba-Serbi Tentang Polisi: Pengantar Usaha Mempelajari
Hukum Polisi, Bogor: Schenkhuizen.
Sitompul, 2000, Beberapa Tugas dan Peranan Polri, Jakarta: CV Wanthy Jaya.
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 77
Sadjijono, 2008, Polri dalam Perkembangan Hukum di Indonesia, Yogyakarta:
LaksBang Pressindo.
________, 2008, Mengenal Hukum Kepolisian, Surabaya: Laksbang Mediatama.
Sadjijono dan Bagus Teguh Santoso, 2017, Hukum Kepolisian di Indonesia Studi
Kekuasaan dan Rekontruksi Fungsi Polri dalam Fungsi Pemerintahan,
Surabaya: Laksbang PRESSindo.
Salusu, 2000, Tantangan Era Baru Berbagai Keadaan dan Penyikapan, Jakarta:
Bumiputra Group.
Syariah, Rabiatul, Keterkaitan Budaya Hukum dengan Pembangunan Hukum
Nasional, Repository.usu.ac.id, di akses bulan Juni 2019.
Setiono, 2010, Pemahaman Terhadap Metodologi Penelitian Hukum, Surakarta:
Pascasarjana Universitas Sebelas Maret.
Smith, Rhona K. M., dkk., 2008, Hukum Hak Asasi Manusia, Yogyakarta:
PUSHAM UII.
Sutopo, HB. Sutopo, 2006, Metodologi Penelitian Kualitatif, Surakarta: UNS
Press.
Saifullah, 2007, Refleksi Sosiologi Hukum, Bandung: Refika Aditama.
Triyanto, 2013, Negara Hukum dan Ham, Yogyakarta: Ombak.
Utomo, Warsiti Adi, 2005, Hukum Kepolisian Indonesia, Jakarta: Prestasi
Pustaka.
Wilson, J.Q., 1978, “Varietes of Police Behariour: The Management of Law and
Order in Eight Communities”, Cambridge: Harvard University Press.
Wignjosoebroto, Soetandyo, 2002, Hukum, Metode dan Dinamika Masalahnya,
Elsam dan Huma Cetakan Pertama.
Yan Puspa, Pramadya, 1977, Kamus Hukum Edisi Lengkap Bahasa Belanda
Indonesia Inggris, Semarang: Aneka Ilmu.
9 Pengertian HAM-Hak asasi manusia menurut para ahli
(http://www.seputarpengetahuan.com/2015/06/9-pengertian-ham-hak-
asasi-manusia-menurut-para-ahli.html) diakses tanggal 19 Juni 2019.
www.wikipedia.org. Kepolisian Negara Republik Indonesia, diakses tanggal 20
Februari 2019.
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 78
http://m.hukumonline.com/klinik/detai diakses tanggal 09 Juli 2019 Pukul 12:39
WIB.
Prosedur Tetap Kapolri Nomor Polisi: PROTAP/01/V/2001 Tentang Penggunaan
Senjata Api.
Peraturan Kepala Kepolisian Republik Indonesia Nomor 1 tahun 2009 tentang
Penggunaan Kekuatan dalam tindakan Kepolisian.
Peraturan kepala Kepolisian Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2009 tentang
Implementasi Prinsip dan Standar Hak Asasi Manusia.
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian Negera Republik
Indonesia.
Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia.