theories of personality - jess feist, gregory j. feist
TRANSCRIPT
THEORIES of PERSONALITY - Edisi Keenam
Feist, Jess and Feist, Gregory J. 2008. Theories of Personality. Edisi Keenam. Edisi Bahasa Indonesia. Yudi Santoso (Penerjemah). Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
ALFRED ADLER: “Psikologi Individu”
Sekilas Psikologi Individu (hlm.59)
Alfred Adler bukanlah seorang teroris atau seorang abnormal yang didorong
kegilaan karena ambisi. Bahkan Psikologi Individual miliknya menyajikan
sebuah pandangan yang optimistik tentang manusia dengan menitikberatkan
sepenuhnya pada konsep kepedulian sosial (social interest), yaitu sebuah perasaan
kesatuan dengan seluruh umat manusia. Sebagai tambahan bagi pandangan Adler
yang lebih optimistik tentang manusia, sejumlah perbedaan lain menjadikan
hubungan Freud dan Adler semakin renggang.
Pertama, Freud mereduksi semua motivasi tindakan manusia kepada seks
dan agresi saja, sementara Adler melihat manusia kebanyakan dimotivasikan oleh
pengaruh-pengaruh sosial dan oleh perjuangan mereka menuju keunggulan atau
keberhasilan.
Kedua, Freud berasumsi bahwa manusia memiliki sedikit saja pilihan
bahkan tidak sama sekali dalam membentuk kepribadian mereka, sementara Adler
yakin manusia bertanggung jawab sepenuhnya untuk menjadi siapa diri mereka.
Ketiga, Freud berasumsi bahwa perilaku saat ini disebabkan oleh
pengalaman-pengalaman masa lalu, bertentangan langsung dengan konsep Adler
bahwa perilaku saat ini dibentuk oleh pandangan manusia mengenai masa depan.
Keempat, Freud sangat menekankan komponen-komponen bawah sadar
tingkah laku, Adler percaya bahwa manusia yang sehat secara psikologis biasanya
menyadari apa yang sedang mereka kerjakan dan alasan mereka mengerjakannya.
Seperti sudah kita lihat, Adler adalah anggota asli lingkaran dokter Wina
yang bertemu di rumah Freud setiap Rabu sore untuk mendiskusikan topik-topik
psikologis. Namun ketika perbedaan-perbedaan teoretis dan personal antara Freud
dan Adler semakin lebar, Adler meninggalkan lingkaran Freud dan membangun
sebuah teori yang sama sekali berlawanan. Teori ini kemudian dikenal dengan
Teori Psikologi Individu.
Pendahuluan bagi teori Adlerian (hlm.62)
Meskipun Adler memiliki pengaruh besar bagi teoretisi berikutnya, seperti
Harry Stack Sullivan, Karen Horney, Julian Rotter, Abraham H. Maslow, Carl
Rogers, Albert Ellis, Rollo May dan masih banyak lagi (Mosak &
Maniacci,1999), tetapi namanya kurang begitu terkenal dibandingkan dengan
Freud atau Carl Jung. Minimal ada tiga alasan kenapa hal ini terjadi. Pertama,
Adler tidak mendirikan sebuah organisasi yang dilajalankan secara ketat untuk
mewadahi dan mengembangkan teori-teorinya. Kedua, dia bukan penulis
berbakat, dan kebanyakan bukunya disusun dari serangkaian editorial terhadap
kuliah-kuliah Adler yang terpisah-pisah. Ketiga, kebanyakan pandangannya sudah
merasuk dan dikembangkan oleh karya-karya para teoretisi berikutnya, seperti
Maslow, Rogers, dan Ellis, sehingga tidak perlu diasosiasikan lagi dengan nama
Adler.
Meskipun tulisan-tulisannya banyak berisi inspirasi besar tentang
kedalaman dan kompleksitas kepribadian manusia namun, Adler sebenarnya
hanya mengembangkan sebuah teori yang pada dasarnya sederhana dan efisien.
Bagi Adler, manusia dilahirkan dengan tubuh yang lemah dan inferior – sebuah
kondisi yang mengarah kepada perasaan-perasaan inferioritas dan
ketergantungan pada orang lain. Oleh karena itu, suatu perasaan menyatu dengan
orang lain (kepedulian sosial) sangat inheren dalam manusia dan menjadi standar
tertinggi dalam kesehatan psikologis. Uniknya lagi, nada utama teori Adlerian
dapat dituliskan dalam sebuah kerangka pendek. Kerangka berikut ini diadaptasi
dari sebuah daftar yang mewakili pernyataan akhir Psikologi Individu
(Adler,1964).
1. Satu-satunya kekuatan dinamis di balik perilaku manusia adalah
perjuangan menuju keberhasilan atau keunggulan (striving for success or
superiority).
2. Persepsi-persepsi subjektif (subjective perceptions) manusia membentuk
perilaku dan kepribadian mereka.
3. Kepribadian merupakan sebuah kesatuan dan konsisten-dalam-diri
(unified and self-consistent).
4. nilai semua aktivitas manusia harus dilihat dari sudut pandang kepedulian
sosial (social interest).
5. Struktur kepribadian yang selalu konsisten-dalam-diri ini berkembang
menjadi gaya hidup (style of life) pribadi tersebut.
6. Gaya hidup dibentuk oleh daya kreatif (creative power) manusia.
Kepedulian Sosial (Social Interest) (hlm.68)
Diktum keempat Adler adalah: Nilai semua aktivitas manusia harus dilihat
dari sudut pandang kepedulian sosial.
Social interest (kepedulian sosial) adalah terjemahan bahasa Inggris yang
keliru terhadap istilah asli Adler dalam bahasa Jerman, Gemeinschaftsgefuhl.
Terjemahan yang lebih tepat mestinya adalah kepedulian sosial, sebuah “rasa
bersosial” atau “rasa berkomunitas” namun, Gemeinschaftsgefuhl sendiri memang
memiliki makna tambahan lain yang tidak bisa diungkapkan sepenuhnya oleh kata
atau frasa berbahasa Inggris apa pun. Singkatnya, istilah ini berarti rasa persatuan
dengan semua umat manusia; hal ini menyatakan secara tidak langsung
keanggotaan komunitas sosial seluruh manusia. Seorang pribadi dengan
dorongan-dorongan Gemeinschaftsgefuhl yang sudah berkembang baik tidak lagi
tertuju pada keunggulan pribadi semata, melainkan lebih pada kesempurnaan
seluruh umat manusia dalam sebuah komunitas yang ideal. Kepedulian Sosial
dapat didefinisikan sebagai sebuah sikap keterhubungan dengan kemanusiaan
pada umumnya, sebuah empati bagi setiap anggota komunitas manusia. Dia
memanifestasikan diri sebagai kerja sama dengan orang lain demi kemajuan
sosial, lebih daripada perolehan pribadi semata (Adler,1964).
Kepedulian sosial adalah kondisi alamiah spesies manusia dan perekat yang
mengikat masyarakat secara bersama-sama (Adler,1927). Inferioritas alamiah
individu adalah prasyarat utama bagi penyatuan bersama seluruh manusia ketika
membentuk sebuah masyarakat. Tanpa perlindungan dan dukungan ayah atau ibu,
seorang bayi akan mati. Tanpa perlindungan dari keluarga atau klan, nenek
moyang kita akan dihancurkan oleh hewan-hewan liar yang lebih kuat, lebih
kejam dan diperlengkapi indra yang tajam. Kepedulian sosial, kalau begitu,
merupakan prasyarat yang diperlukan untuk melindungi spesies manusia.
Pentingnya Kepedulian Sosial (hlm.69)
Kepedulian sosial adalah tongkat pengukur Adler untuk menentukan
kesehatan psikologis seseorang dan “satu-satunya kriteria bagi nilai-nilai
manusia” (Adler,1926:167). Menurut Adler, kepedulian sosial adalah satu-satunya
alat yang digunakan untuk menilai harga sebuah pribadi. Sebagai barometer
normalitas, dia menjadi standar yang digunakan untuk menentukan daya guna
sebuah kehidupan. Jika sampai manusia memiliki kepedulian sosial, dia sudah
mencapai kedewasaan psikologis. Manusia yang tidak dewasa tidak akan
memiliki Gemeinschaftsgefuhl, lebih memusatkan diri pada sendiri, dan berjuang
demi kekuasaan dan keunggulan pribadi terhadap manusia lainnya. Individu yang
sehat benar-benar memedulikan masyarakat dan memiliki tujuan keberhasilan
yang menjadi kompas kesejahteraan semua orang.
Kepedulian sosial tidak sama dengan kedermawanan (charity) dan
ketidakegoisan (unselfishness). Tindakan-tindakan filantropis dan kebaikan hati
bisa saja dimotivasikan atau tidak dimotivasikan oleh Gemeinschaftsgefuhl.
Seorang perempuan kaya mungkin secara teratur memberikan sejumlah besar
uang kepada orang miskin yang membutuhkan bukan karena dia merasa menjadi
satu dengan mereka, melainkan sebaliknya, karena dia berharap tetap terpisah dari
mereka. Sebuah hadiah bisa berbunyi “Kamu lemah (inferior), aku unggul
(superior), dan kedermawanan ini bukti superioritas/keunggulanku.” Adler yakin
bahwa nilai dari semua tindakan seperti itu bisa dianggap bertentangan dengan
kriteria kepadulian sosial.
Ringkasnya, manusia memulai hidup dengan daya juang dasar yang
diaktifkan oleh kekuarangan-kekurangan fisik yang pernah ada. Kelemahan
organis ini mengarah secara tak terelakkan kepada perasaan inferioritas. Oleh
karena itu, semua orang memiliki perasaan inferioritas, dan semua perangkat
tujuan akhir dimulai sekitar usia empat atau lima tahun. Namun begitu,
individu yang tidak sehat secara psikologis akan mengembangkan perasaan-
perasaan inferioritas secara berlebihan dan berusaha mengngompensasikannya
dengan menetapkan tujuan yang berbentuk keunggulan pribadi. Mereka lebih
termotivasi oleh pencapaian pribadi daripada kepedulian sosial, sementara
manusia yang sehat termotivasi oleh perasaan-perasaan normal ketidaklengkapan
dan tingkat kepedulian sosial yang tinggi. Kelompok yang kedua ini
memperjuangkan tujuan keberhasilan, didefinisikan dari sudut pandang
penyempurnaan dan penyelesaian bagi setia orang.
Gambar 3.1 menggambarkan daya juang bawaan berkombinasi dengan
kelemahan-kelemahan fisik tak terelakkan menghasilkan perasaan-perasaan
universal inferioritas yang bisa dilebih-lebihkan bentuknya atau normal-normal
saja. Perasaan inferoritas yang dilebih-lebihkan mengarah kepada sebuah gaya
hidup neurotic, sementara perasaan inferioritas yang normal menghasilkan gaya
hidup yang sehat. Apakah sebuah pribadi membentuk sebuah gaya hidup yang
secara sosial tidak berguna atau berguna bergantung kepada bagaimana pribadi itu
memandang perasaan inferioritas yang tidak bisa dielakkannya.
HARRY STACK SULLIVAN : “Teori Interpersonal”
Sekilas Teori Interpersonal (hlm.186)
Harry Stack Sullivan, orang Amerika pertama yang mengontruksi sebuah
teori kepribadian yang komprehensif, yakni bahwa manusia mengembangkan
kepribadian mereka dalam sebuah konteks sosial. “Sebuah kepribadian tidak
pernah diisolasikan dari kompleks relasi-relasi antarpribadi yang di
dalamnya ia tinggal dan membuat keberadaannya jadi demikian” (Sullivan,
1953a:10). Sullivan menegaskan bahwa pengetahuan tentang kepribadian
manusia bisa dicapai hanya melalui studi ilmiah tentang hubungan-
hubungan antarpribadi.
Karena itulah, teori interpersonal Sullivan menekankan tentang pentingnya
beragam tahap perkembangan – masa bayi, masa kanak-kanak, masa anak muda,
masa praremaja, masa remaja awal, masa remaja akhir, dan masa dewasa.
Perkembangan manusia yang sehat terletak di atas kemampuan sebuah pribadi
untuk membuat keintiman dengan pribadi lain namun, sayangnya, kecemasan bisa
lahir dari hubungan-hubungan antarpribadi yang tidak memuaskan di usia berapa
pun.
Menurut Sullivan, tahap perkembangan kepribadian yang paling krusial
sesungguhnya bukan pada masa kanak-kanak awal melainkan pada masa pra-
remaja – sebuah periode ketika pertama kali mempunyai kemampuan untuk
menjalin persahabatan yang intim, dan belum sepenuhnya terganggu oleh
ketertarikan-ketertarikan hawa nafsu. Sullivan percaya bahwa manusia dapat
mencapai perkembangan yang sehat ketika mereka sanggup mengalami keintiman
sekaligus hawa nafsu terhadap pribadi lain yang sama.
Ironisnya, hubungan Sullivan sendiri dengan orang lain jarang yang
memuaskan dirinya. Sebagai seorang anak, dia sering merasa kesepian dan secara
fisik dikucilkan. Ketika remaja, dia menderita minimal minimal satu episode
skozofrenik. Dan ketika dewasa, dia mengalami hanya hubungan-hubungan
antarpribadi yang dibuat-buat yang ambivalen. Meskipun begitu, bahkan mungkin
karena kesulitan-kesulitan hubungan antarpribadi ini, Sullivan banyak
memberikan kontribusi bagi kita untuk memahami kepribadian manusia.
Meminjam kata-kata Leston Haven (1987:84), “Sullivan membuat kontribusi
hanya dengan menggunakan satu kakinya saja…..dia tidak pernah mencapai
spontanitas, kerelaan menerima dan kemampuan meraih keintiman padahal
pemikirannya sendiri tentang hubungan antarpribadi sudah membantu banyak
orang.”
Tabel Ringkasan Tahap-Tahap Perkembangan Sullivan (hlm.203)
Tahapan UsiaPribadi Lain yang
SignifikanProses Antarpribadi Pembelajaran yang penting
Masa Bayi 0 – 2 Ibu pengasuh KelembutanIbu-baik/ ibu-jahat/ aku-baik/
aku-jahatMasa Kanak-
Kanak2 – 6 Orangtua
Melindungi rasa aman lewat teman bermain
Bahasa sintaksis
Masa Anak Muda
6 – 8,5Teman bermain
yang setara statusnya
Orientasi menuju kehidupan di dunia teman-teman
sebaya
Kompetisi, kompromi, dan kerja sama
Masa Pra-Remaja
8,5 – 13 Satu sahabat KeintimanAfeksi dan penghargaan dari
rekan-rekan sebaya
Masa Remaja Awal
13 – 15 Beberapa sahabatKeintiman dan nafsu
terhadap orang-orang yang berbeda-beda
Keseimbangan antara nafsu, keintiman operasi aman dan
operasi rasaMasa Remaja-
Akhir15 – 17/18 Kekasih
Penyatuan keintiman dan nafsu
Penemuan diri dan dunia di luar diri
Masa Dewasa 17/18 – akhir - - -
ERIK ERIKSON: “Teori Post-Freudian” Psikososial
Sekilas Teori Post-Freudian (hlm.212)
Pribadi yang diperkenalkan di atas tentunya adalah Erik Erikson, seorang
tokoh yang selalu dikaitkan dengan istilah krisis identitas. Erikson tidak memiliki
gelar apa pun dari bidang studi apa pun namun, kurangnya pendidikan formal ini
tidak mencegah dia mencapai ketenaran mendunia di beragam bidang studi yang
mengesankan, seperti psikoanalisis, antropologi, psikosejarah, dan pendidikan.
Tidak seperti para teoretisi psikodinamis sebelumnya yang pernah terikat
sepenuhnya dengan psikoanalisis Freudian, Erikson memaksudkan teorinya untuk
mengembangkan asumsi-asumsi Freud – bukan menentangnya – dan menawarkan
“sebuah cara baru melihat berbagai hal” (Erikson,1963:403). Teori Post-
Freudian memperluas tahap-tahap perkembangan infantile Freud menuju masa
remaja, masa dewasa, dan usia senja. Erikson yakin bahwa di setiap tahapan,
sebuah pergulatan psikososial spesifik memberikan kontribusi bagi pembentukan
kepribadian. Dari masa remaja sampai seterusnya, pergulatan itu mengambil
bentuk krisis identitas – sebuah titik balik dalam hidup seseorang yang bisa
memperkuat atau memperlemahkan kepribadian.
Eriksn menganggap teori post-Freudiannya perluasan psikoanalisis, sesuatu
yang mungkin sudah dilakukan juga oleh Freud pada masanya. Meskipun dia
menggunakan teori Freud sebagai fondasi bagi pendekatannya tentang siklus-
siklus kepribaadian, Erikson berbeda dari Freud dalam beberapa hal. Selain itu,
untuk mengelaborasikan tahapan-tahapan psikoseksual selanjutnya setelah masa
kanak-kanak, Erikson menekankan lebih banyak kepada pengaruh-pengaruh
sosial dan historis.
Teori Post-Freudian dari Erikson, seperti halnya teori kepribadian lainnya,
adalah refleksi dari latar belakang penciptanya, sebuah latar belakang yang
meliputi seni, perjalanan yang luas, pengalaman-pengalaman dengan ragam
budaya, dan pencarian seumur hidup identitasnya sendiri seperti yang sudah kita
sebutkan di atas.
Ringkasan Delapan Tahap Siklus Hidup Erikson
TahapanUsia/ tahun
Mode Psikoseksual
Krisis PsikososialKekuatan
DasarPatologi Inti
Relasi-Relasi yang
Signifikan1
Masa Bayi0 – 2
Respiratori-oral:
kinestetika-sensori
Rasa percaya vs. rasa tidak percaya
mendasarHarapan Penarikan-diri
Pengasuh utama (biasanya ibu)
2Masa
Kanak-Kanak Awal
2 – 3Muskuler-anal-uretra
Otonomi vs. rasa malu, ragu-ragu
Kehendak Kompulsi Orangtua
3Usia
Bermain3 – 5
Lokomotor-genital infantil
Inisiatif vs. rasa bersalah
Tujuan Penghambatan Keluarga
4Usia
Sekolah6 – 12/13 Latensi
Industri vs. inferioritas
KompetensiInersia/
kelembamanTetangga dan teman sekolah
5Masa
Remaja
12/13 – 18
PubertasIdentitas vs. kebingungan
identitasKesetiaan
Penolakan peran
Kelompok sebaya
6Dewasa Muda
19 – 30 GenitalitasKeintiman vs.
isolasiCinta Eksklusivitas
Pasangan seksual dan
teman-teman7
Masa Dewasa
31 – 60 ProkreativitasGenerativitas vs.
stagnasiPerhatian Penolakan
Teman sekerja dan rumah
tangga8
Usia Senja60 – akhir
Generalisasi mode-mode
sensual
Integritas vs. rasa putus asa
KebijaksanaanPerasaan
diabaikan/ diremehkan
Semua kemanusiaan
GORDON ALLPORT : “Psikologi Individu”
Sekilas Psikologi Individu Allport (hlm.325)
Dari beberapa teoretisi kepribadian lainnya, Gordon Allport-lah yang
menekankan keunikan individu. Dia yakin bahwa upaya untuk menjelaskan
manusia berdasarkan sifat-sifat umum sudah merampas keunikan individualitas
mereka. Karena alasan inilah, Allport keberatan tentang teori-teori karakter dan
faktor kepribadian yang cenderung mereduksi perilaku individu kepada ciri
umumnya. Dia menegaskan, contohnya, derajad kebebalan seseorang berbeda dari
orang lain, begitu pula cara kebebalan berinteraksi dengan ekstraversi dan
kreativitas tidak bisa ditiru orang lain.
Yang konsisten dalam penekanan Allport terhadap keunikan individu adalah
kesediaannya untuk mempelajari secara mendalam terhadap individu. Dia
menyebut studi tentang individu ini Ilmu Morfogenis (morfogenic science) yang
dipertentangkan dengan Metode Nomotetis (nomothetic method) yang digunakan
kebanyakan psikolog saat itu. Metode morfogenis lebih banyak mengumpilkan
data dari satu individu tunggal, sementara metode nomotetis mengumpulkannya
dari sekelompok orang. Allport juga menggunakan pendekatan Eklektis untuk
membangun teorinya. Dia menerima kontribusi dari Freud, Maslow, Rogers,
Eysenck, Skinner dan lain-lain; namun dia yakin bahwa tak satu pun teoretisi ini
sanggup menjelaskan secara adekuat pertumbuhan total dan keunikan pribadi.
Bagi Allport, teori yang kuat dan komprehensif lebih banyak disukai ketimbang
teori yang sempit dan spesifik meskipun teori yang luas tidak banyak
membangkitkan hipotesis yang bisa diuji.
Di sisi lain, Allport juga menentang partikularisme atau teori-teori yang
menekankan satu aspek tunggal kepribadian saja. Di sebuah klaim yang terkenal
terhadap teoretisi lain, dia menyerukan agar mereka “tidak melupakan apa yang
kalian putuskan untuk diabaikan” (Allport,1968:23). Dengan kata lain, tidak ada
teori yang sungguh-sungguh tak tertandingi, dan psikolog harus selalu sadar kalau
banyak hakikat manusia yang tidak bisa tercakup dalam satu kerangka teori apa
pun. Bagi Allport, sekali lagi, teori yang luas dan komprehensif lebih banyak
disukai ketimbang teori yang sempit dan spesifik meskipun tidak bisa
membangkitkan banyak hipotesis yang bisa diuji.
Terminologi dan Konsep Kunci (hlm.343)
Allport adalah seorang eklektis, membenarkan dan menerima ide-de dari
berbagai sumber.
Dia mendefinisikan kepribadian sebagai pengorganisasian dinamis dalam diri
individu di mana sistem psikofisiknya menentukan perilaku dan pikirannya.
Manusia yang sehat secara psikologis sebagian besar termotivasi oleh proses-
proses sadar; memiliki konsep diri yang luas, berhubungan dengan orang lain
dalam kehangatan, memiliki persepsi yang realistik terhadap dunia; dan
memiliki wawasan, humor, dan filsafat hidup yang menyatukan.
Allport mendukung posisi proaktif manusia, yaitu konsep bahwa manusia
memiliki kapasitas besar untuk mengontrol secara sadar hidupnya.
Sifat umum adalah karakteristik yang dimiliki banyak orang, berguna untuk
membandingkan suatu kelompok masyarakat dengan kelompok masyarakat
lainnya.
Sifat individu (disposisi personal) khas bagi individu dan memiliki
kemampuan mengubah stimuli yang berbeda untuk secara fungsional
ekuivalen, dan untuk memulai serta menuntun perilaku.
Tiga tingkatan Disposisi Personal adalah (1) disposisi esensial, yang hanya
dimiliki segelintir orang dan begitu menyolok sehingga tidak bisa
disembunyikan, (2) disposisi sentral, biasanya 5 sampai 10 sifat individual
yang membuat seseorang menjadi unik, dan (3) disposisi sekunder, yang
kurang terbedakan namun jauh lebih banyak daripada disposisi sentral.
Disposisi Personal yang menginisiatifkan tindakan disebut sifat-sifat
motivasional.
Disposisi Personal yang menuntun tindakan disebut sifat-sifat gaya.
Proprium mengacu kepada perilaku dan disposisi personal yang hangat dan
sentral bagi hidup kita dan yang dianggap sebagai khas milik kita.
Otonomi fungsional mengacu kepada motif yang dipertahankan dan kemudian
menjadi independent dari motif awalnya, bertanggung jawab bagi perilaku
tertentu.
Otonomi fungsional ketergantungan mengacu pada kebiasaan dan perilaku
yang bukan bagian dari Proprium.
Otonomi fungsional kemanfaatan mencakup semua motivasi yang
dipertahankan karena berkaitan dengan Proprium.
Allport menggunakan prosedur-prosedur Morfogenik seperti catatan harian
dan surat-surat untuk mencari pola-pola perilaku dalam diri individu tunggal.
ALBERT BANDURA: “Teori Kognitif Sosial”
Sekilas Teori Kognitif Bandura (hlm.407)
Teori Kogitif Sosial Albert Bandura menyoroti pertemuan yang kebetulan
(chance encounters) dan kejadian tak terduga (fortuitous events) dengan serius
meskipun tahu bahwa pertemuan dan peristiwa ini tidak serta merta mengubah
jalan hidup manusiaa. Cara manusia beraksi terhadap pertemuan dan kejadian
yang diharapkan itulah yang biasanya lebih kuat daripada peristiwanya sendiri.
Teori Kognitif Sosial berdiri di atas sejumlah asumsi dasar.
Pertama, karakteristik menakjubkan dari manusia adalah keplastisannya –
yaitu fleksibilitas untuk mempelajari beragam perilaku di beragam situasi.
Bandura setuju dengan Skinner (Bab 10) bahwa manusia dapat dan sudah belajar
lewat pengalaman langsung namun, dia menekankan lebih banyak kepada
pembelajaran yang terencana, yaitu belajar dari mengamati orang lain. Bandura
juga menekankan gagasan bahwa penguatan bisa beragam – bahwa penguatan
bisa terjadi dengan mengamati pribadi lain menerima penghargaan. Penguatan
tidak langsung ini juga memberikan kontribusi yang penting bagi titik-titik
penting pembelajaran manusia.
Kedua, melalui model penyebab resiprok triadik yang terdiri atas perilaku,
lingkungan, dan faktor-faktor kepribadian, manusia memiliki kapasitas untuk
mengatur hidup mereka. Manusia dapat mentransformasi kejadian-kejadian yang
sudah berlalu menjadi cara-cara yang relatif konsisten untuk mengevaluasi dan
meregulasi lingkungan sosial-budaya mereka. Tanpa kemampuan seperti ini,
manusia hanya akan sanggup bereaksi terhadap pengalaman-pengalaman indrawi
saja sehingga tidak mampu mengantisipasi peristiwa, menciptakan gagasan baru
atau menggunakan standar-standar internal untuk mengevaluasi pengalaman
mereka saat ini. Dua kekuatan lingkungan yang penting dalam model triadik ini
adalah pertemuan kebetulan dan peristiwa tak terduga.
Ketiga, teori kognitif sosial menggunakan perspektif keagenan, artinya
manusia memiliki kapasitas untuk melatih pengontrolan atas alam dan kualitas
hidup mereka sendiri. Manusia adalah produsen sekaligus produk sistem sosial.
Komponen penting model penyebab resiprok triadik ini adalah kepercayaan–diri.
Performa manusia umumnya berkembang ketika mereka memiliki kepercayaan –
diri yang tinggi, yaitu keyakinan bahwa mereka dapat menampilkan perilaku yang
akan menghasilkan perilaku yang diinginkan dalam situasi tertentu. Selain
kepercayaan–diri, tindak–perwakilan, dan penghargaan–kolektif juga dapat
digunakan untuk memprediksi perilaku. Dengan tindak–perwakilan, manusia
dapat bersandar kepada orang lain atas penyediaan barang dan jasa, sedangkan
Efficacy–kolektif mengacu pada keyakinan bersama bahwa orang lain dapat
membawa perubahan.
Keempat, manusia mengatur hubungan mereka melalui faktor-faktor
eksternal dan internal. Faktor eksternal mencakup lingkungan fisik dan sosial,
sedangkan faktor internal mencakup pengamatan–diri, penilaian, dan reaksi–diri.
Kelima, ketika manusia menemukan dirinya dalam situasi yang ambigu
secara moral, mereka selalu berupaya mengatur perilaku mereka melalui
tindakan–moral, yang mencakup pendefinisian–ulang perilaku,
pendehumanisasian atau menyalakan korban atas perilaku mereka, dan pengalihan
atau pelemparan tanggung jawab atas tindakan-tindakan mereka.
Terminologi dan Konsep Kunci (hlm.431)
Pembelajaran dengan mengamati memampukan seseorang belajar tanpa harus
melakukan perilaku tertentu.
Pembelajaran dengan mengamati mensyaratkan: (1) perhatian kepada suatu
model; (2) pengorganisasian dan ketekunan mengamati; (3) memproduksi
tingkah laku; dan (4) motivasi untuk melakukan perilaku yang dimodelkan.
Pembelajaran dengan bertindak bisa disebut berhasil ketika respons-respons
kita menghasilkan konsekuensi yang diinginkan.
Pemfungsian manusia adalah produk dari interaksi mutalistik antara kejadian
lingkungan, perilaku, dan faktor-faktor kepribadian, sebuah model yang
disebut penyebab resiprok triadik.
Pertemuan kebetulan dan kejadian tak terduga adalah dua faktor lingkungan
penting yang memengaruhi hidup manusia dengan cara-cara yang tidak
terencana dan tidak terduga.
Pengorganisasian–diri berarti seseorang dapat dan sudah melatih sejumlah
ukuran pengontrol atas hidup mereka sendiri.
Self–efficacy (kemampuan–diri–untuk–memengaruhi–hasil–yang–diharapkan)
berarti keyakinan seseorang bahwa mereka sanggup melakukan perilaku yang
menghasilkan keluaran yang diinginkan dalam situasi tertentu.
Tindak–perwakilan muncul ketika manusia memiliki kapasitas untuk
menggantungkan diri kepada orang lain atas barang dan jasa yang mereka
berikan.
Collective–efficacy (kemampuan–untuk–memengaruhi–hasil–yang-diharapkan
secara kolektif) mengacu pada keyakinan bahwa sekelompok manusia dapat
mengombinasikan upaya yang menghasilkan perubahan sosial.
Manusia memiliki kemampuan pengaturan diri, dan mereka menggunakan
faktor eksternal ataupun internal untuk mewujudkannya.
Faktor-faktor eksternal pengaturan–diri menyediakan bagi kita standar-
standar untuk mengevaluasi perilaku selain penguatan eksternal dalam bentuk
penghargaan yang kita terima dari orang lain.
Faktor-faktor internal pengaturan–diri mencakup: (1) observasi-diri; (2)
proses menilai-diri; dan (3) reaksi diri.
Melalui aktivasi selektif dan pemisahan control internal, manusia dapat
memisahkan diri dari konsekuensi tindakan-tindakan mereka yang sifatnya
melukai.
Empat teknik utama aktivasi selektif dan pemisahan control internal adalah:
(1) meredefinisi perilaku, (2) mengalihkan atau memindahkan tanggung
jawab, (3) tidak mengindahkan atau mendistorsi konsekuensi-konsekuensi
perilaku, dan (4) mendehumanisasi atau mengkambing-hitamkan korban atas
luka-luka yang diderita.
Perilaku-perilaku disfungsional seperti depresi, fobia, dan agresi dibentuk
lewat interaksi resiprok lingkungan, faktor-faktor kepribadian dan perilaku.
Terapi kognitif sosial mengandalkan jembatan kognitif, khususnya
pemahaman tentang efficacy (kemapuan-diri-untuk memengaruhi-hasil-yang-
diharapkan).
JULIAN ROTTER & WALTER MISCHEL: “Teori Belajar Sosial Kognitif”
Sekilas Teori Belajar Sosial Kognitif (hlm.434)
Teori belajar sosial kognitif Julian Rotter dan Walter Mischel sama-sama
berdiri di atas asumsi-asumsi bahwa faktor-faktor koginitif membantu manusia
membentuk raksi terhadap kekuatan lingkungan. Kedua teoretisi ini tidak setuju
dengan penjelasan Skinner bahwa perilaku dibentuk oleh penguatan langsung.
Mereka lebih yakin jika ekspektansi akan peristiwa di masa depanlah determinan
utama semua perilaku.
Rotter yakin perilaku manusia dapat diprediksi paling baik dengan
memahami interaksi manusia dan lingkungannya yang paling bermakna. Sebagai
seorang interaksionis, dia yakin bukan lingkungannya atau individu yang
mendasari perilaku. Sebaliknya, dia yakin jika kognisi manusia, sejarah masa
lalunya, dan ekspektansi terhadap masa depanlah kunci untuk memprediksi
perilakunya. Dalam hal ini, dia berbeda dari Skinner yang percaya bahwa
penguatan pada dasarnya berasal dari lingkungan.
Teori sosial kognitif Mischel memiliki banyak kemiripan dengan teori
kognitif sosial Bandura dan teori belajar sosial Rotter. Seperti Bandura dan Rotter,
Mischel percaya bahwa faktor-faktor kognitif sperti ekspektansi, persepsi
subjektif, nilai, tujuan, dan standar pribadi berperan penting dalam membentuk
kepribadian. Kontribusinya bagi teori kepribadiansudah berkembang dari riset
tentang penundaan pemuasan sampai kepada riset tentang kekonsistenan atau
ketidakkonsistenan kepribadian, dan yang terbaru, kerja sama dengan Yuichi Soda
meneliti pengembangan sistem kepribadian afektif-kognitif.
Pendahuluan Bagi Teori Belajar dari Rotter
Teori belajar sosial berdiri di atas lima hipotesis dasar.
Asumsi pertama adalah manusia berinteraksi dengan lingkungan yang
bermakna bagi mereka (Rotter,1982). Reaksi manusia kepada stimuli lingkungan
bergantung kepada pemaknaan atau pentingnya mereka melekat kepada suatu
peristiwa. Penguatan tidak bergantung kepada stimuli eksternal saja namun juga
pemaknaan tertentu menurut kemampuan kognitif individu. Begitu pula
karakteristik pribadi seperti kebutuhan atau sifat tidak bisa dengan sendirinya
menyebabkan perilaku. Sebaliknya, Rotter yakin jika perilaku manusia berasal
dari interaksi antara faktor pribadi dan faktor lingkungan.
Asumsi kedua teori Rotter adalah kepribadian manusia merupakan sesuatu
yang dipelajari. Artinya, kepribadian tidak ditentukan atau dibatasi oleh usia
perkembangan tertentu, melainkan dapat diubah atau dimodifikasi selama manusia
masih sanggup belajar.meskipun akumulasi kita tentang pengalaman-pengalaman
sebelumnya memberikan kepribadian sejumlah stabilitas namun, kita selalu
cenderung untuk berubah lewat pengalaman-pengalaman baru. Kita belajar dari
masa lalu namun pengalaman-pengalaman itu tidak selamanya konstan karena
akan diwarnai oleh pengalaman-pengalaman intervensif sehingga memengaruhi
persepsi-persepsi saat ini.
Asumsi ketiga teori belajar sosial adalah kepribadian memiliki kesatuan
dasar, artinya kepribadian relatif stabil. Manusia dapat belajar mengevaluasi
pengalaman-pengalaman baru berdasarkan penguatan sebelumnya. Evaluasi yang
relatif konsisten ini mengarah pada stabilitas dan kesatuan kepribadian lebih
besar.
Asumsi keempat Rotter adalah motivasi mengarah pada tujuan tertentu. Dia
menolak konsep bahwa manusia termotivasi untuk mengurangi tegangan dan
mencari kesenangan, menegaskan bahwa penjelasan terbaik perilaku manusia
terletak dalam harapannya bahwa perilaku dapat mengembangkan diri mereka
kepada tujuan-tujuan yang diinginkan. Contohnya, kebanyakan mahasiswa
memiliki tujuan untuk lulus dan akan bersedia untuk menahan tekanan dan
tegangan untuk kemudian bekerja keras demi mencapai tujuan tersebut. Bukannya
demi meredakan tegangan, prospek dari sejumlah tahun sulit di kelas-kelas
perguruan tinggi malah bisa dianggap meningkatkan kualitas hidupnya.
Meskipun banyak memiliki peluang, manusia paling sering diperkuat oleh
perilaku yang menggerakkan mereka ke arah tujuan-tujuan yang sengaja
diantisipasinya. Pernyataan ini disebut Rotten Hukum Empiris Efek (empirical
law of effect), yang “menentukan penguatan tindakan, kondisi atau peristiwa apa
pun yang memengaruhi gerakan individu menuju suatu tujuan” (Rotter &
Hochreich,1975:95).
Asumsi kelima Rotter adalah manusia sanggup mengantisipasi peristiwa
yang akan terjadi di depan. Selain itu mereka dapat menggunakan gerakan
sebelumya ke arah antisipasi peristiwa sebagai kriteria untuk mengevaluasi
penguat-penguatnya.
Berangkat dari lima asumsi umum ini, Rotter membangun sebuah teori
kepribadian yang berusaha memprediksi perilaku manusia.
Pendahuluan Bagi Teori Kepribadian Mischel (hlm.449)
Secara umum, teori kepribadian terbagi menjadi dua bentuk – yang melihat
kepribadian sebagai entitas dinamis yang dimotivasikan oleh dorongan, persepsi,
kebutuhan, tujuan, dan ekspektansi, dan yang melihat kepribadian sebagai fungsi
dari sifat atau disposisi pribadi yang relatif stabil.
Kategori pertama mencakup teori-teori Adler, Maslow, dan Bandura.
Pendekatan ini menekankan dinamika kognitif dan afektif yang berinteraksi
dengan lingkungan untuk menghasilkan perilaku.
Kategori kedua menekankan pentingnya sifat-sifat dari disposisi pribadi
yang relatif stabil. Teori-teori Allport,Eysenck, dan McCrae-Costa bisa
dikategorikan di kelompok ini. Pendekatan mereka dimotivasikan oleh sejumlah
dorongan atau sifat personal tertentu yang cenderung menjadikan perilaku
sesorang konsisten.Walter Mischel (1973) awalnya merasa keberatan dengan
penjelasan teori sifat terhadap perilaku seperti ini. Sebaliknya, dia mendukung
gagasan bahwa aktivitas-aktivitas kognitif dan situasi-situasi spesifik memainkan
peran utama dalam menentukan perilaku. Namun belakangan ini, Mischel dan
koleganya mulai merekonsiliasikan pendekatan dinamis mereka dengan
pendekatan disposisi pribadi. Teori Kepribadian Afektif-Kognitif Mischel
kemudian yakin jika perilaku berasal dari campuran antara disposisi pribadi yang
relatif stabil dan proses-proses afektif-kognitif yang berinteraksi dengan situasi
tertentu.
Terminologi dan Konsep Kunci (hlm.463)
Teori belajar sosial kognitif Rotter dan Mischel berusaha mensintesiskan
kekuatan dari teori penguatan dan teori kognitif.
Menurut Rotter, perilaku manusia pada situasi tertentu adalah fungsi dari
ekspektansi mereka terhadap penguatan dan besarnya nilai kebutuhan yang
dipuaskan oleh penguatan-penguatan tersebut.
Pada situasi tertentu, perilaku dihitung dengan rumus presiksi dasar, yaitu
potensi perilaku yang sudah ada untuk muncul kembali sebagai fungsi dari
ekspektansi plus nilai penguatan.
Rumus prediksi umum menyoroti potensi kebutuhan sebagai fungsi dari
kebebasan bergerak plus nilai kebutuhan.
Potensi kebutuhan adalah kemunculan paling mungkin dari seperangkat
perilaku fungsional yang mengarah kepada pemuasan satu tujuan tertentu atau
seperangkat tujuan yang serupa.
Kebebasab bergerak adalah ekspektansi rata-rata bahwa seperangkat perilaku
akan diperkuat.
Nilai kebutuhan adalah derajad seseorang menyukai seperangkat penguatan
ketimbang perangkat penguatan lainnya.
Di bayak situasi, manusia mengembangkan ekspektansi umum terhadap
keberhasilan karena perangkat pengalaman yang serupa sudah diperkuat
sebelumnya.
Lokus control adalah ekspektansi umum yang didasarkan pada keyakinan bisa
tidaknya mereka mengontrol hidup mereka.
Kepercayaan antarpribadi adalah ekspektansi umum bahwa kata-kata orang
lain bisa diandalkan.
Perilaku mala-adaptif mengacu pada tindakan-tindakan yang gagal
menggerakkan seseorang lebih dekat kepada tujuan yang diinginkan.
Metode psikoterapi Rotter dimaksudkan untuk mengubah tujuan hidup dan
menghilangkan ekspektansi yang rendah terhadap keberhasilan.
Sistem kepribadian afektif-kognitif (CAPS) Mischel menyatakan bahwa
perilaku manusia sebagian besar dibentuk oleh interaksi antara sifat
kepribadian yang relatif stabil dengan situasi yang mengandung beragam
variabel pribadi.
Disposisi pribadi memiliki konsistensi jika dilihat dalam waktu yang agak
panjang namun memiliki sedikit saja konsistensi jika dilihat dari peralihan
satu situasi ke situasi lain.
Disposisi kepribadian yang relatif stabil berinteraksi dengan unit-unit afektif-
kognitif untuk menghasilkan perilaku tertentu.
Unit-unit afektif-kognitif mencakup strategi pengodean, atau cara manusia
mengonstrak dan mengategorikan informasi; kompetensi dan rencana
pengaturan-diri, atau apa yang dapat mereka lakukan dan strategi-strategi
untuk melakukannya; ekspektansi dan keyakinan mereka tentang konsekuensi
yang diperkirakan akanmuncul dari tindakan-tindakan mereka; tujuan-tujuan
yang ditetapkan dan nilai-nilai yang dianut; dan respons-respons afektif
manusia.