sistem transportasi nasional

50
BAB I PENDAHULUAN 1. LATAR BELAKANG Keberhasilan pembangunan sangat dipengaruhi oleh peran transportasi sebagai urat nadi kehidupan politik, ekonomi, sosial budaya, dan pertahanan keamanan. Sistem jaringan transportasi dapat dilihat dari segi efektivitas, dalam arti selamat, aksesibilitas tinggi, terpadu, kapasitas mencukupi, teratur, lancar dan cepat, mudah dicapai, tepat waktu, nyaman, tarif terjangkau, tertib, aman, rendah polusi serta dari segi efisiensi dalam arti beban publik rendah dan utilitas tinggi dalam satu kesatuan jaringan sistem transportasi. Oleh karena itu, pengembangan transportasi sangat penting artinya dalam menunjang dan menggerakkan dinamika pembangunan, karena transportasi berfungsi sebagai katalisator dalam mendukung pertumbuhan ekonomi dan pengembangan wilayah. Transportasi juga memiliki fungsi strategis dalam merekat integritas wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Jika dilihat dari aspek kepentingan publik, sistem transportasi yang meliputi transportasi darat, laut dan udara mengemban fungsi pelayanan publik dalam skala domestik maupun internasional. Pengembangan transportasi harus didasarkan pada pengembangan yang berkelanjutan (sustainability), yaitu melihat jauh ke depan, berdasarkan perencanaan jangka panjang yang komprehensif dan berwawasan lingkungan. Perencanaan jangka pendek harus

Upload: zara-adini

Post on 02-Aug-2015

379 views

Category:

Documents


51 download

TRANSCRIPT

BAB I

PENDAHULUAN

1. LATAR BELAKANG

Keberhasilan pembangunan sangat dipengaruhi oleh peran transportasi sebagai urat

nadi kehidupan politik, ekonomi, sosial budaya, dan pertahanan keamanan. Sistem jaringan

transportasi dapat dilihat dari segi efektivitas, dalam arti selamat, aksesibilitas tinggi, terpadu,

kapasitas mencukupi, teratur, lancar dan cepat, mudah dicapai, tepat waktu, nyaman, tarif

terjangkau, tertib, aman, rendah polusi serta dari segi efisiensi dalam arti beban publik rendah

dan utilitas tinggi dalam satu kesatuan jaringan sistem transportasi. Oleh karena itu,

pengembangan transportasi sangat penting artinya dalam menunjang dan menggerakkan

dinamika pembangunan, karena transportasi berfungsi sebagai katalisator dalam mendukung

pertumbuhan ekonomi dan pengembangan wilayah. Transportasi juga memiliki fungsi

strategis dalam merekat integritas wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Jika dilihat

dari aspek kepentingan publik, sistem transportasi yang meliputi transportasi darat, laut dan

udara mengemban fungsi pelayanan publik dalam skala domestik maupun internasional.

Pengembangan transportasi harus didasarkan pada pengembangan yang berkelanjutan

(sustainability), yaitu melihat jauh ke depan, berdasarkan perencanaan jangka panjang yang

komprehensif dan berwawasan lingkungan. Perencanaan jangka pendek harus didasarkan

pada pandangan jangka panjang, sehingga tidak terjadi perencanaan “bongkar-pasang”.

Kenyataan yang kita lihat, pengembangan jaringan jalan dan pemeliharaan

kondisi perkerasan jalan-jalan di Indonesia secara umum masih memiliki kendala utama,

yaitu terbatasnya anggaran yang tersedia. Alokasi pendanaan infrastruktur Indonesia

“hanya” sebesar 451 triliun rupiah dari 1429 triliun rupiah yang dibutuhkan di tahun

2010-2014 (Kompas, 2010). Hal ini selain karena kecilnya sumber pendanaan dan belum

keselurahan pendapatan negara dari sektor transportasi yang dikembalikan ke sektor yang

sama, ada penyebab lain yang perlu dipikirkan solusinya, yaitu kurangnya ragam sumber

pendanaan yang telah dimanfaatkan, padahal banyak potensi sumber pendanaan jalan

yang masih belum digali.

2. TUJUAN PEMBUATAN MAKALAH

Untuk mengetahui bagaimana penyediaan dana pembangunan transportasi di

Indonesia.

3. RUMUSAN MASALAH

Kurangnya penyediaan dana pembangunan transportasi di Indonesia.

4. TINJAUAN PUSTAKA

a. Buku Pengetahuan Sistem transportasi Nasional.

b. Artikel dari beberapa website.

BAB II

PEMBAHASAN

2.1 GAMBARAN TRANSPORTASI DI INDONESIA

Pergerakan ekonomi, jaringan distribusi dan sistem logistik barang dan jasa di Indonesia

masih sangat tergantung pada sistem jalan raya. Demikian juga pergerakan penumpang intra dan

antar wilayah. Awal tahun 1999, mobilitas ekonomi di seluruh Indonesia tergambar dalam tingkat

utilisasi jalan nasional dan jalan provinsi sebesar 664,6 juta penumpang-km dan 144 juta ton-km per-

hari, suatu peningkatan masing-masing 21 % dan 6,7 % dibanding tahun sebelumnya. Oleh karena itu

sistem jaringan transportasi yang stabil dan handal sangat menentukan efisiensi perekonomian. Di

bidang transportasi darat, kerusakan jalan akan menyebabkan timbulnya biaya ekonomi dan biaya

sosial yang besar. Namun selama krisis ekonomi ini, dapat dikatakan kondisi jaringan jalan nasional

berada dalam kondisi kritis, selain karena kurangnya anggaran melalui APBN, juga karena sejak

sebelum krisis pembinaan, pelaksanaan dan pengawasan pelaksanaan pembangunan jalan yang

berkualitas belum prima. Pada awal tahun 1999/2000, sekitar 13 % jalan nasional, 29 % jalan

provinsi, dan 58 % jalan kabupaten berada dalam kondisi rusak ringan dan berat. Ini berarti dari

sekitar 256.951 km total panjang jaringan jalan sekitar separuhnya berada dalam keadaan rusak

ringan dan berat. Konstruksi jalan yang rusak jauh sebelum waktu ekonominya habis telah

menyebabkan kerugian biaya ekonomi sosial yang amat besar bagi pemerintah dan masyarakat.

Program pemeliharaan dan peningkatan untuk menekan angka kerusakan sampai dengan 0 %, 21 %,

dan 50 % masing-masing untuk jalan nasional, provinsi dan kabupaten pada tahun anggaran

1999/2000 saja telah menghabiskan biaya sekitar Rp. 5,6 triliun. Itupun hanya menurunkan tingkat

kerusakan total jaringan dari 50 % ke 42 %. Sementara itu, kombinasi dari inefisiensi manajemen,

kurangnya kualitas pengawasan dan pelaksanaan, serta overloading telah menyusutkan secara sangat

berarti umur pelayanan jalan. Dari segi sarana transportasi darat, terjadi penurunan jumlah armada

operasi yang disebabkan oleh kenaikan harga suku cadang, kenaikan biaya modal yang diakibatkan

kenaikan suku bunga karena kenaikan kurs dollar serta persaingan dengan moda transportasi lain

(terutama transportasi udara), sehingga menyebabkan biaya operasi kendaraan menjadi tinggi,

sedangkan kenaikan tarif relatif rendah, karena daya beli masyarakat yang rendah.

Selain itu, kualitas pelayanan menjadi sangat rendah, sehingga banyak kendaraan umum yang

sebenarnya tidak layak beroperasi, tetap dioperasikan. Dari segi lingkungan juga akan sangat

mengganggu karena polusi udara dari gas buang yang tidak memenuhi persyaratan. Padahal

persyaratan lingkungan akan menjadi salah satu persyaratan internasional, apakah suatu kota layak

dikunjungi. Subsidi angkutan umum memerlukan biaya yang tinggi, padahal kondisi keuangan

pemerintah saat ini juga dalam keadaan kritis. Pengguna jasa angkutan kereta api saat ini mengalami

kenaikan yang sangat tinggi, tetapi ini belum diimbangi dengan peningkatan pengembangan jaringan

dan teknologi perkeretaapian yang sesuai serta sumber daya manusia yang mencukupi, sehingga

sering terjadi gangguan kecelakaan yang fatal. Pembangunan jalur ganda diharapkan dapat

meningkatkan kinerja kereta api dan mengurangi kecelakaan. Lain daripada itu, dimungkinkan

pengoperasian kereta api jarak pendek dan menengah. Jaringan jalan kereta api saat ini masih

terbatas di Pulau Jawa dan Sumatera, dengan kemungkinan pengembangan di Kalimantan dan

Sulawesi, terutama untuk angkutan barang.

Pelayanan angkutan penyeberangan saat ini sudah semakin diperluas. Pada awalnya angkutan

ini ditujukan sebagai penghubung antar pulau sebagai pengganti jembatan. Namun perkembangannya

jauh lebih pesat, tidak hanya sebagai pengganti jembatan dalam arti jarak pendek, tetapi telah

melayani angkutan antar pulau dengan jarak relatif jauh. Akan tetapi, dengan semakin jauhnya jarak

angkutan penyeberangan ini, harus pula diikuti dengan peningkatan kualitas, terutama dari segi

keselamatan.

Untuk pelayanan angkutan laut, berkenaan dengan lemahnya daya saing perusahaan pelayaran

nasional, maka pangsa pasar armada pelayaran nasional relatif kecil, yaitu 46,4 % untuk angkutan

dalam negeri dan 3,65 % untuk angkutan luar negeri. Lemahnya daya saing pelayaran nasional antara

lain disebabkan karena ukuran armada yang relatif kecil, umur yang lebih tua dibanding amada asing

serta lemahnya dukungan finansial untuk usaha pelayaran.

Untuk pelayanan udara, kenaikan kurs dollar pada saat krisis ekonomi menyebabkan kenaikan biaya

operasional perusahaan penerbangan yang cukup tinggi, karena 80 % biaya operasional perusahaan

penerbangan adalah dalam bentuk US$. Turunnya kemampuan keuangan perusahaan dan pengelola

angkutan udara menyebabkan perusahan penerbangan mengurangi jumlah pesawat yang

dioperasikan.

dan penutupan bandara-bandara perintis. Ini juga menyebabkan pemutusan hubungan kerja, yang

menyebabkan kenaikan jumlah pengangguran. Pasca krisis ekonomi, angkutan udara mulai menapak

naik kembali. Akan tetapi, persaingan tarif yang sedemikian ketatnya menyebabkan beberapa

perusahaan menurunkan kualitas pelayanan guna memberikan tarif yang serendah-rendahnya. Ini

tentunya sangat berbahaya, terutama jika penurunan kualitas tersebut sudah menyangkut keselamatan

penumpang.

Perusahaan-perusahaan transportasi yang merupakan Badan Usaha Milik Negara seperti

DAMRI, PT Kereta Api Indonesia, Angkutan Penyeberangan saat ini sedang dalam taraf menuju

privatisasi. Privatisasi ini diharapkan akan mendorong perusahaan-perusahaan tersebut untuk lebih

kompetitif dalam penyelenggaraan jasa transportasi, dengan tetap mengutamakan kepentingan umum

dan kepuasan pengguna jasa angkutan umum.

Untuk daerah perkotaan, masalah transportasi yang terjadi adalah bagaimana memenuhi permintaan

jumlah perjalanan yang semakin meningkat, tanpa menimbulkan kemacetan arus lalulintas di jalan

raya. Masalahnya tidak hanya pada kemacetan lalulintas, tetapi juga pada perencanaan sistem

transportasi. Ini memerlukan suatu penanganan yang menyeluruh. Kalau dilihat dari perkembangan

transportasi perkotaan yang ada, terlepas dari krisis ekonomi yang melibatkan Indonesia sejak tahun

1997, kendaraan pribadi (mobil dan sepeda motor) tetap merupakan moda transportasi yang

dominan, baik untuk daerah urban maupun sub urban. Populasi pergerakan kendaraan pribadi yang

begitu besar di daerah perkotaan ditambah dengan pola angkutan umum yang masih tradisional,

menimbulkan biaya sosial yang sangat besar akibat waktu tempuh yang terbuang percuma,

pemborosan bahan bakar minyak, depresi kendaraan yang terlalu cepat, kecelakaan lalulintas,

hilangnya oportunity cost, timbulnya stress, meningkatnya polusi udara, dan kebisingan. Hal ini

sejalan dengan pembangunan ekonomi dan makin bertumbuhnya jumlah masyarakat golongan

menengah dan menengah atas di daerah perkotaan, jauh sebelum krisis terjadi. Kenyamanan,

keamanan, privacy, fleksibilitas pergerakan dan prestise merupakan faktor-faktor utama yang

menyebabkan kendaraan pribadi tetap memiliki keunggulan sebagai moda transportasi, khususnya di

daerah urban.

Selain itu, ketertiban transportasi di Indonesia masih sangat rendah. Tingkat kecelakaan, kematian

akibat kecelakaan dan pelanggaran lalulintas yang tinggi, bahkan menduduki peringkat atas di dunia

menunjukkan kurang sadarnya sebagian besar lapisan masyarakat terhadap ketertiban lalulintas. Data

statistik kecelakaan transportasi sepanjang tahun 2006 yang dikeluarkan Departemen Perhubungan

menyebutkan, pada angkutan kereta api tercatat sebanyak 79 kasus kecelakaan yang menelan korban

meninggal dunia sebanyak 50 orang, luka berat 71 orang sedangkan luka ringan 52 orang.

Kecelakaan di jalan raya lebih fatal lagi, jumlah korban meninggal selama tahun 2006 tersebut

sebanyak 11.619 orang, sedangkan yang luka-luka 22.217 orang. Untuk angkutan udara terjadual,

meskipun tidak menelan korban jiwa, jumlah insiden dan kecelakaan yang terjadi sebanyak 46 kasus,

mulai dari pesawat yang pecah ban, tergelincir sampai pesawat yang mendarat ke bandara yang

bukan tujuan akhirnya. Untuk angkutan laut dan penyeberangan, jumlah angka kecelakaan sebanyak

81 kasus, termasuk kecelakaan KMP Senopati Nusantara yang merupakan kecelakaan terburuk di

tahun 2006, dengan jumlah korban dikhawatirkan melebihi angka 400 orang (Widakdo, 2007). Tahun

2007 ini diawali dengan kecelakaan fatal dari pesawat Adam Air dan kereta api Bengawan yang

terjun ke sungai, yang menambah suramnya statistik kecelakaan transportasi di Indonesia.

Sebenarnya, prosedur keselamatan transportasi dan peraturan-peraturan tentang keselamatan

transportasi sudah ada di negara kita, hanya penerapannya yang belum dapat dilaksanakan secara

konsekuen.

2.2 FAKTA ATAU DATA

Percepatan pembangunan infrastruktur di sektor transportasi ditujukan untuk lebih

meningkatkan pelayanan secara efisien, handal, berkualitas, aman dan terjangkau, serta untuk

mewujudkan sistem transportasi nasional yang terpadu secara intermoda dan terpadu dengan

pembangunan wilayah serta sektor sektor lainnya. Oleh sebab itu, pembangunan transportasi

diharapkan dapat lebih meningkatkan keselamatan, tingkat pelayanan serta kelancaran mobilitas

penumpang, barang dan jasa dalam sistem transportasi nasional yang efisien. Namun demikian,

dalam rangka memberikan dukungan terhadap pencapaian tujuan pembangunan nasional

pembangunan sektor transportasi masih dihadapkan pada berbagai kendala, antara lain: 1)

terjadinya penurunan kualitas dan keberlanjutan pelayanan infrastruktur transportasi yang ada

akibat masih terbatasnya sumber daya dalam memenuhi kebutuhan standar pelayanan minimal

jasa pelayanan prasarana dan sarana transportasi, 2) belum optimalnya dukungan infrastruktur

dalam peningkatan daya saing sektor riil dan daya saing jasa transportasi yang mandiri, 3) belum

berkembangnya peran serta masyarakat dan swasta untuk memenuhi sumber pendanaan untuk

kebutuhan pembangunan infrastruktur; dan 4) masih terbatasnya aksesibilitas pelayanan

transportasi dalam mengurangi kesenjangan antar wilayah, meningkatkan pengembangan

wilayah perbatasan, serta memberikan dukungan dalam penanganan bencana di berbagai

wilayah.

Menurunnya kualitas dan keberlanjutan pelayanan infrastruktur, ditandai antara lain oleh

penurunan kondisi prasarana jalan terutama akibat pembebanan muatan lebih dan sistem

penanganan yang belum memadai berakibat pada hancurnya jalan sebelum umur teknis jalan

tersebut tercapai, masih stagnannya partisipasi swasta dalam penyelenggaraan jalan tol, masih

tingginya tingkat kemacetan di beberapa ruas jalan strategis dan di perkotaan, perkembangan

armada dan pergerakan angkutan jalan yang terus meningkat yang tidak sebanding dengan

perkembangan panjang dan kapasitas prasarana jalan, perusahaan angkutan yang gulung tikar,

terbatasnya pelayanan angkutan umum, tingginya gangguan dan keluhan pada kelancaran

angkutan barang, prasarana dan sarana kereta api yang kurang perawatan, pelayanan pelabuhan

dan kondisi kapal penyeberangan yang kurang memadai, peralatan pendukung operasi bandara

dan pelabuhan yang kurang memadai, manajemen dan profesionalitas SDM transportasi yang

terbatas, keterlambatan pelayanan transportasi, serta kenyamanan. Berbagai kejadian kecelakaan

transportasi yang masih sering terjadi sepanjang tahun 2005, telah mengakibatkan banyaknya

jumlah korban yang meninggal dan hilang serta luka-luka. Sebagai contoh, kecelakaan jatuhnya

pesawat Mandala Airline saat lepas landas di bandara Polonia Medan (Sumatera Utara),

tenggelamnya kapal ferry Boven Digul di Merauke, tabrakan kereta api di jalur utara kereta api

pulau Jawa serta kecelakaan-kecelakaan lalu-lintas di jalan raya lainnya, menunjukkan turunnya

kualitas pelayanan infrastruktur transportasi.

Belum optimalnya daya dukung infrastruktur transportasi terhadap daya saing di sektor riil,

terutama ditandai dengan masih belum efisiennya biaya transportasi dalam komponen biaya

produksi maupun biaya pemasaran. In-efisiensi tersebut menyebabkan semakin tingginya biaya

transportasi di Indonesia sehingga meminimkan daya saing produk-produk nasional di pasar luar

negeri dan dalam negeri. Sebagai gambaran, kerusakan prasarana jalan telah menyebabkan

bertambahnya secara dramatis biaya sosial ekonomi yang diderita oleh pengguna jalan di

berbagai ruas jalan yang merupakan jalur utama ekonomi. Prediksi Departemen Kimpraswil

tahun 2000 road user costs (RUC) selama setahun mencapai sekitar Rp. 200 triliun. Sedangkan

menurut data hasil survey IRMS (inter urban road maintenance system) tahun 2002, RUC untuk

pengguna jalan nasional dan provinsi adalah mencapai Rp. 1,5 triliun perhari. Biaya yang

dikeluarkan cukup besar adalah untuk penggunaan jalan di Pulau Jawa yaitu sebesar Rp. 721,9

miliar.

Keterbatasan sumber pendanaan untuk pembangunan infrastruktur beberapa tahun terakhir

ini menjadi masalah utama pemerintah. Walaupun dari tahun ke tahun nilai nominal dana untuk

pemeliharaan maupun pembangunan prasarana transportasi meningkat, namun purchasing

ability-nya semakin rendah sehingga tidak mampu untuk memelihara prasarana transportasi yang

ada, apalagi untuk meningkatkan kapasitasnya. Seiring dengan upaya pemulihan dan

pertumbuhan ekonomi Indonesia, tuntutan terhadap pelayanan transportasi juga semakin

meningkat, sehingga diperlukan tambahan kapasitas prasarana dan sarana transportasi yang

tersedia saat ini. Menyadari hal tersebut, maka pemerintah mengundang pihak swasta untuk ikut

berpartisipasi dalam pendanaan pembangunan prasarana transportasi khususnya kegiatan-

kegiatan yang menurut perhitungan keuangan sangat layak. Peran serta masyarakat dan swasta

harus semakin dikembangkan terutama untuk ikut membangun dan menyediakan jasa prasarana

dan sarana transportasi yang berkembang pesat kebutuhannya dan lebih komersial.

Sumber utama pembiayaan untuk pembangunan infrastruktur transportasi selama ini adalah

berasal dari anggaran pemerintah (APBN). Hal ini berkaitan dengan sifat infrastruktur

transportasi yang investasinya cenderung melibatkan jumlah uang yang besar dengan

pengembaliannya yang lambat. Untuk itu, diperlukan langkah-langkah dan kebijakan yang dapat

lebih mendorong peran serta swasta dan masyarakat maupun pemerintah daerah dalam

membangun dan mengoperasikan prasarana dan sarana transportasi dengan tetap menjaga dan

memperhatikan aspek-aspek pelayanan umum kepada masyarakat yang menjadi kewajiban

pemerintah. Untuk mendukung pembangunan di seluruh wilayah NKRI yang terdiri dari sekitar

17.000 pulau, selain diperlukan peran serta masyarakat dan swasta, juga diperlukan tatanan

transportasi nasional dan wilayah yang dapat mewujudkan ketersediaan transportasi di dalam dan

antar pulau secara lebih terpadu dan efisien, baik menggunakan moda transportasi darat, laut dan

udara serta yang bersinergis dengan pengembangan wilayah dan pembangunan sektor-sektor

lainnya. Apabila kebutuhan dana pemeliharaan tidak dapat terpenuhi, terjadi backlog

maintenance yang berdampak besar bagi kemantapan jaringan dan sistem transportasi nasional.

Rendahnya aksesibilitas pelayanan infrastruktur masih dihadapi oleh berbagai lapisan

masyarakat di perkotaan dan perdesaan, juga masyarakat di beberapa wilayah terpencil,

perbatasan serta wilayah yang belum berkembang. Pelayanan infrastruktur merupakan bagian

dari pelayanan umum yang harus disediakan secara terjangkau oleh seluruh lapisan masyarakat.

Pada tahun 2000 Jawa yang wilayahnya hanya 127.569 km2 atau hanya 6,7% dari total wilayah

Indonesia didiami oleh 121,2 juta atau 58,9% dari jumlah penduduk Indonesia. Sementara Papua

yang wilayahnya 365.466 km2 atau 19,3% dari total wilayah Indonesia didiami oleh 2,2 juta atau

hanya 1,0% dari total penduduk Indonesia. Demikian juga Kalimantan, dan Sulawesi yang

masing masing mempunyai luas wilayah 30,3% dan 10,1% dari total wilayah Indonesia didiami

oleh masing-masing hanya 5,4% dan 7,2% dari total penduduk Indonesia. Dalam upaya untuk

menyediakan pelayanan umum transportasi, di seluruh wilayah tersebut secara memadai

diperlukan pendekatan dan strategi pembangunan yang lebih terpadu dengan pengembangan

wilayah serta pembangunan SDM dan sektor-sektor lain. Kendala lain adalah daya beli

masyarakat yang semakin terbatas. Kenaikan harga BBM, semakin membutuhkan strategi yang

lebih terpadu dan menyeluruh agar penyediaan kebutuhan transportasi umum, baik di perkotaan,

perdesaaan maupun antar kota serta di berbagai wilayah terisolir dan perbatasan dapat tetap

terjangkau oleh masyarakat.

Pada tahun 2005, pembangunan transportasi dilaksanakan melalui 8 (delapan) program yang

terdiri dari: (1) Program pembinaan jalan dan jembatan; (2) Program rehabilitasi/pemeliharaan

jalan dan jembatan; (3) Program peningkatan/pembangunan jalan dan jembatan; (4) Program

pemeliharaan, rehabilitasi, peningkatan dan pembangunan transportasi darat; (5) Program

pemeliharaan, rehabilitasi, peningkatan dan pembangunan transportasi laut; (6) Program

pemeliharaan, rehabilitasi, peningkatan dan pembangunan transportasi udara; (7) Program

restrukturisasi, reformasi perhubungan dan pengembangan transportasi antarmoda; dan (8)

Program peningkatan sarana dan prasarana. Selain itu terdapat program pendukung yang

meliputi: (1) Program pencarian dan penyelamatan; (2) Program penelitian dan pengembangan

perhubungan; (3) Program pengelolaan kapasitas sumber daya manusia aparatur dan pendidikan

kedinasan; (4) Program penyelenggaraan pimpinan kenegaraan dan kepemerintahan; (5) Program

pengawasan aparatur negara; dan (6) Program pengembangan dan pembinaan meteorologi dan

geofisika.

Hasil yang dicapai pada tahun 2005, telah dilakukan pemeliharaan jalan nasional baik rutin

maupun berkala sepanjang 24.723 kilometer dan jembatan pada ruas jalan nasional sepanjang

18.900 meter terutama pada Lintas Timur Sumatera, Lintas Selatan Jawa dan Lintas Pantai Utara

Jawa (Pantura). Kegiatan peningkatan/pembangunan jalan dan jembatan meliputi: penanganan

jalan mendukung pusat-pusat produksi nasional dan kawasan dengan potensi ekonomi yang

cukup tinggi, penanganan jembatan-jembatan panjang, penanganan jalan dan jembatan pada

kawasan perbatasan, dan di pulau-pulau kecil dan kawasan yang relatif masih tertinggal. Selain

itu juga telah dilakukan peningkatan kapasitas jalan nasional sepanjang 1.269 km terutama pada

lintas-lintas strategis seperti lintas lintas timur Sumatera, lintas utara Jawa, terbangunnya jalan

nasional non tol sepanjang 911 km, serta jembatan pada ruas jalan nasional sepanjang 2.289

meter, sedangkan pada daerah-daerah strategis dengan kepadatan lalu lintas tinggi telah dibangun

2.500 meter fly over. Oleh karena keterlambatan pelaksanaan, telah terjadi penurunan kinerja

manfaat prasarana jalan dari target kecepatan rata-rata dari 44 km/jam menjadi 43,5 km/jam.

Meskipun terjadi penurunan kecepatan rata-rata, tetapi kondisi mantap jalan dapat dipertahankan

sebesar 81 %.

Hasil yang dicapai pada tahun 2005 untuk program lalu lintas angkutan jalan, meliputi:

pembatasan muatan secara komprehensif untuk mengurangi kerusakan jalan, kemacetan, dan

turunnya jaminan keselamatan lalu lintas akibat dari angkutan muatan lebih di jalan; pengadaan

101 bus dan subsidi bus perintis pada 110 trayek; penyelenggaraan angkutan lebaran tahun 2005

melalui koordinasi dengan instansi terkait; pembangunan alat Pengujian Kendaraan Bermotor

(PKB) di Lampung Selatan dan Poliweli-Sulawesi Selatan; pembangunan fasilitas keselamatan

transportasi jalan yang meliputi rambu lalu lintas sebanyak 2.446 buah, lampu lalu lintas (traffic

light) 40 buah, marka jalan 398.000 M, pagar pengaman jalan 18.544 m, serta fasilitas

perlengkapan keselamatan jalan pada pintu perlintasan 65 buah; pembangunan baru dan lanjutan

terminal 3 lokasi di Jawa Barat, Pontianak dan Matoain-NTT; pembangunan jembatan timbang

percontohan di Provinsi Jambi, Lampung dan Jawa Barat; dan finalisasi revisi UU. No. 14 Tahun

1992 tentang Lalu Lintas Angkutan Jalan dan peraturan pendukung yang lain.

Hasil yang dicapai pada tahun 2005 untuk kegiatan program perkeretaapian, meliputi:

rehabilitasi dan pemeliharaan lintas Bukit Putus-Indarung di Sumatra Barat dan lintas Tarahan-

Tanjung Enim Sumatra Selatan; penggantian bantalan beton pada lintas Martapura-Prabumulih

Sumatra Selatan dan lintas Cirebon-Kroya; peningkatan fasilitas perawatan sarana KA Jabotabek

melalui pembangunan Depo Depok; pembangunan jalur ganda di lintas Yogya-Kutoarjo dan

lanjutan di lintas Cikampek-Cirebon; persiapan jalur ganda Cirebon-Kroya, dan double track

Cikarang-Manggarai; pembangunan pintu perlintasan dan persinyalan elektrik produksi nasional;

pembangunan badan jalan KA Lintas Batas Sumut-Langsa NAD dan peningkatan jalan KA

Lintas Medan-Tebing Tinggi di Sumut; peningkatan akses KA ke pelabuhan melalui

pembebasan tanah untuk menunjang pembangunan prasarana perkeretaapian di jalur Tanjung

Priok-Pasoso-Dermaga Peti Kemas, dan persiapan jalur ganda Cirebon-Kroya, dan Cikarang-

Manggarai; perubahan status Direktorat Perkeretaapian menjadi Direktorat Jenderal

Perkeretaapian serta persiapan restrukturisasi KA Jabotabek.

Hasil yang dicapai pada tahun 2005 untuk program angkutan sungai, danau dan

penyeberangan meliputi: ditetapkannya formulasi dan mekanisme penetapan tarif angkutan

penyeberangan yang lebih sederhana dengan memperhitungkan jumlah unit kendaraan yang

menggunakan jasa penyeberangan; penyelesaian pembangunan dermaga penyeberangan

Palembang–Muntok; pembukaan lintas baru penyeberangan antara Ciwandan (Banten)–

Serengsem (Lampung) dan Belawan (Sumatra Utara)–Penang (Malaysia); pembangunan dua unit

kapal feri yang masing-masing berukuran 600 GRT untuk wilayah NTT dan 750 GRT untuk

wilayah Sulawesi Utara; pembangunan baru dermaga penyeberangan di 17 lokasi; pembangunan

baru dan lanjutan dermaga sungai di 2 lokasi; pembangunan sarana angkutan penyeberangan

perintis 1 unit, pengerukan alur penyeberangan 196.000 M3, antara lain di Cilacap-Majingklak,

serta pembangunan fasilitas keselamatan rambu sungai dan rambu suar.

Untuk mempertahankan tingkat pelayanan jasa transportasi laut dalam tahun angaran 2005

telah dilaksanakan rehabilitasi dermaga 880 m, menara suar 2 unit, rambu suar 3 unit, kapal

syahbandar dan kapal patroli masing-masing 2 dan 4 unit kapal serta pengerukan sebanyak

3.675.000 m3. Untuk meningkatkan pelayanan jasa transportasi laut telah dibangun dermaga

41.468 m2, terminal penumpang 1.300 m2, gudang dan lapangan penumpukan masing-masing

2.150 m2 dan 3.350 m2 serta pembangunan peralatan radio pantai sebanyak 24 unit. Di samping

itu, untuk menjangkau pelayanan daerah terisolir/terpencil telah dibangun 3 unit kapal perintis

dan subsidi perintis untuk 48 trayek.

Dalam tahun anggaran 2005 pemerintah telah mengambil kebijakan untuk meningkatkan

pelayanan jasa transportasi laut antara lain telah diterbitkan dan diberlakukannya Instruksi

Presiden (Inpres) No. 5 Tahun 2005 tentang Pemberdayaan Industri Pelayaran Nasional dan

Peraturan Presiden No. 44 tahun 2005 tentang pengesahan konvensi internasional tentang

Piutang Maritime dan Mortgage (Mortgage Law and Maritime Liens 1993), serta sudah

mengusulkan ke DPR untuk revisi UU No. 21 Tahun 1992 tentang Pelayaran guna meningkatkan

peran serta swasta dalam pengoperasian dan pembangunan prasarana transportasi laut dan

menurunkan. Di samping itu pemerintah telah memelopori penurunan tarif Terminal Handling

Charge (THC) dengan menetapkan tarif Container Handling Charge di Tanjung Priok per 1

Nopember 2005. Sementara dalam upaya meningkatkan pelayanan dan memenuhi tuntutan

konvensi internasional tentang jaminan keselamatan dan keamanan pelayaran di perairan

Indonesia, terhitung mulai 1 Juli 2004 Indonesia telah menerapkan standar keselamatan dan

keamanan (International Ship and Port Facilities Security/ISPS Code) dengan menerbitkan

International Ships Security Certificate (ISSC) pada beberapa armada nasional (sebanyak 352

kapal dan 26 pelabuhan umum).

Hasil-hasil yang dicapai pada tahun 2005 untuk kegiatan pemeliharaan, rehabilitasi,

peningkatan dan pembangunan transportasi udara antara lain: pengembangan pelayanan

internasional transportasi udara, telah dikembangkan sejumlah bandara, baik yang dikelola oleh

Pemerintah maupun yang dikelola oleh BUMN untuk ditetapkan sebagai bandara internasional

(contohnya: Minangkabau International Airport, yang menurut rencana akan mulai dioperasikan

akhir Agustus 2005). Restrukturisasi ruang udara di wilayah Republik Indonesia yang semula

terbagi dalam empat FIRs(Flight Information Regions), yaitu Medan, Jakarta, Denpasar, dan

Biak yang dilayani 4 (Area Conttrol System) ACC, diatur menjadi dua (Flight Information

Region) FIR yang dilayani oleh 2 ACC, yaitu Jakarta dan Makassar. Dalam rangka menghindari

kebangkrutan perusahaan penerbangan lebih lanjut, yang tertekan oleh kompetisi tarif rendah dan

kenaikan harga bahan bakar avtur, serta untuk mencegah penurunan pelayanan penerbangan,

telah dikeluarkan kebijakan mengenai tarif referensi angkutan udara melalui Peraturan Menteri

Perhubungan No. KM 36 Tahun 2005 tentang Tarif Referensi untuk Penumpang Angkutan

Udara Niaga Berjadwal Dalam Negeri Kelas Ekonomi. Beberapa kegiatan yang dilakukan pada

subsektor transportasi udara sebagian besar merupakan kegiatan-kegiatan lanjutan, seperti

penyelesaian pembangunan bandara Ketaping-Padang (Sumatra Barat), bandara Juanda-

Surabaya (Jawa Timur), bandara SM Badaruddin II-Palembang (Sumatra Selatan), serta lanjutan

pembangunan bandara Hasanuddin-Makassar (Sulawesi Selatan). Di samping itu, juga tetap

dilanjutkan pelayanan penerbangan perintis di delapan provinsi.

Selain hasil kegiatan yang telah diuraikan di tiap-tiap subsektor transportasi tersebut, pada

tahun 2005 telah dilaksanakan penyelesaian proses revisi empat peraturan di bidang transportasi

serta penyusunan rancangan peraturan pelaksanaannya. RUU bidang Transportasi telah

diselesaikan dan disampaikan ke Presiden. Di samping itu untuk meningkatkan pelayanan

angkutan lintas negara, telah dicapai kerja sama internasional, bilateral, regional ataupun

multilateral. Pada kerja sama bilateral telah dilakukan konsultasi hubungan transportasi udara

dengan RRC, Uni Emirat Arab, Vietnam, Srilangka, Korea Selatan, Jerman, dan Timor Leste.

Pada kerja sama regional telah dilakukan pembahasan naskah perjanjian angkutan multimoda,

saling mengakui hasil pemeriksaan kendaraan bermotor, pengaturan angkutan barang secara

bebas dan jaringan jalan raya ASEAN, perumusan ASEAN Near Coastal Voyage, serta beberapa

kerja sama proyek ASEAN-Jepang di bidang keamanan dan keselamatan angkutan pelayaran

serta pelatihan pemahaman angkutan multimoda oleh APEC. Sementara itu, pada kerja sama

multilateral, Indonesia telah turut merumuskan dan menandatangani perjanjian jaringan jalan

raya Asia/ASEAN Highway Network Agreement di Beijing tahun 2004, dan aktif pula dalam

organisasi-organisasi internasional, seperti IMO, ICAO, WMO, dan ESCAPE.

Sementara itu pada tahun 2005, melalui program pengembangan transportasi antarmoda,

dilaksanakan kegiatan penyusunan perencanaan dan program, pemantauan dan evaluasi di

bidang transportasi, koordinasi dan pemantapan sistem transportasi nasional dan wilayah.

Program penelitian dan pengembangan perhubungan telah melakukan kegiatan desain dan

persiapan pelaksanaan penelitian asal tujuan transportasi nasional (OD Survey), kajian strategi

pengembangan transportasi multimoda di Indonesia, kajian peningkatan keselamatan di

perlintasan sebidang antara jalan dan jalur kereta api, serta kegiatan operasional Badan Litbang

Perhubungan.

Pada tahun 2006 beberapa kegiatan yang akan dilakukan pada subsektor prasarana jalan

meliputi peningkatan jalan lintas timur baik di Lampung, Jambi maupun Sumatera Selatan; serta

peningkatan jalan lintas pantai utara Jawa baik di Banten, Jawa Barat, Jawa Tengah, maupun

Jawa Timur. Selain itu beberapa ruas jalan arteri primer juga dilakukan peningkatan seperti

melanjutkan pembangunan jembatan Suramadu (Jawa Timur), lintas Selatan Jawa, dan Jembatan

Kapuas II. Selain itu juga dilakukan pembangunan jalan di Pulau-Pulau Kecil seperti Pulau

Sebatik, Pulau Alor, Pulau Lembata, Pulau Rote, Pulau Buton, Kepulauan Sangihe, Kepulauan

Talaud, Kepulauan Maluku Tenggara, Pulau Wetar, dan Pulau Biak. Pembangunan jalan juga

dilakukan di wilayah perbatasan seperti Kalimantan Barat, Kalimantan Timur, NTT, dan Papua.

Kegiatan-kegiatan tersebut merupakan bagian dari upaya peningkatan jalan nasional 958 km,

pembangunan jalan nasional 1.370 km, pembangunan jembatan 202.708 meter. Dalam tahun

2006 juga dilakukan pemeliharaan rutin dan berkala jalan nasional sepanjang 34,4 ribu

kilometer. Pemeliharaan yang dilakukan belum dapat memenuhi standar teknis yang disyaratkan

karena keterbatasan kemampuan penyediaan dana untuk pemeliharaan dan rehabilitasi. Melalui

pelaksanaan program di atas diharapkan dapat meningkatkan kecepatan rata-rata kendaraan dari

43,5 km/jam menjadi 44 km/jam yang sempat menurun akibat keterlambatan pelaksanaan APBN

2005.

Pembangunan program lalu lintas angkutan jalan ditekankan pada pemasangan 777.700

meter marka jalan dan pemasangan rambu lalu lintas sebanyak 10.815 buah. Selain itu dilakukan

pula pemasangan pagar pengaman jalan (guardrail) sepanjang 29.869 meter. Dalam rangka

mendukung aksesibilitas dan mobilitas wilayah tertinggal dan daerah yang belum berkembang

dilakukan dukungan penyediaan transportasi bus perintis sebanyak 28 unit antara lain di Maluku,

Papua dan NTT. Dengan demikian kebutuhan pelayanan transportasi dan pemenuhan kebutuhan

hidup masyarakat miskin dan penduduk yang tinggal di wilayah terpencil dapat dipenuhi.

Pembangunan prasarana angkutan sungai, danau, dan penyeberangan, dilaksanakan melalui

pembangunan dermaga penyeberangan sebanyak 3 lokasi antara lain di NAD dan Maluku,

dermaga danau sebanyak 6 buah antara lain di Sumut dan dermaga sungai sebanyak 4 buah di

Sumsel, sedangkan sarana yang direncanakan adalah pengadaan kapal penyeberangan sebanyak

4 unit untuk Toli-Toli – Tarakan, Biak – Numfor, Baru – Batuilicin, dan Digul (Papua), serta

rehabilitasi 3 kapal penyeberangan. Sementara program pengembangan perkeretaapian

kegiatannya meliputi peningkatan jalan kereta api sepanjang 94 km di antaranya lintas Cikampek

- Cirebon, Surabaya – Solo, Bangil – Jember; dan pembangunan jalan kereta api sepanjang 41,37

km antara lain di Kutoarjo – Yogyakarta. Sedangkan untuk jembatan kereta api direncanakan

akan dibangun 13 buah dan rekondisi/rehabilitasi sebanyak 5 buah di lintas Utara Jawa dan

Bandung - Purwakarta. Disamping jalan rel, juga akan dilakukan modernisasi sinyal,

telekomunikasi dan listrik yang berupa persinyalan elektrik sebanyak 12 unit antara lain di lintas

Utara Jawa, listrik aliran atas sepanjang 57,8 km di wilayah Jabodetabek. Untuk sarana kereta

api dilakukan pengadaan kereta K3 (Kelas Ekonomi) sebanyak 20 unit dan rehabilitasi sebanyak

20 unit. Rehabilitasi KRL sebanyak 2 set dan pengadaan sebanyak 40 set. Untuk KRD dilakukan

rehabilitasi sebanyak 8 unit.

Pada tahun 2006 beberapa kegiatan pada subsektor transportasi laut yang akan dilakukan

adalah untuk merehabilitasi dermaga, fasilitas keselamatan pelayaran seperti Sarana Bantu

Navigasi Pelayaran (SBNP), pengerukan alur pelayaran dan sarana transportasi laut seperti

kapal-kapal navigasi dan kapal-kapal patroli agar penyelenggaraan transportasi laut dapat

dijalankan dengan tingkat keselamatan dan keamanan pelayaran yang sesuai dengan standar

keselamatan pelayaran internasional. Peningkatan kapasitas dan kualitas pelayanan transportasi

laut diperlukan untuk wilayah yang lalu lintas angkutan lautnya sudah tinggi sehingga

pembangunan prasarana pelabuhan, fasilitas keselamatan pelayaran, dan sarana transportasi laut

diperlukan yang mencakup kegiatan di pelabuhan seperti kegiatan lanjutan bagi pembangunan

pelabuhan Dumai, rehabilitasi pelabuhan Tanjung Priok, serta penyelesaian 6 pelabuhan kecil di

Papua. Untuk fasilitas keselamatan pelayaran mencakup kegiatan pembangunan 4 kapal navigasi,

dan menambah peralatan Global Maritime Distress and Safety System (GMDSS) pada 15 station

radio pantai (SROP). Sementara itu, pada sarana transportasi laut direncanakan akan dibangun 1

unit kapal penumpang dengan fasilitas untuk mengangkut petikemas serta pelayanan 52 trayek

untuk pelayaran perintis untuk 15 propinsi. Sasaran tersebut akan dapat tercapai apabila proses

administrasi anggaran dan perijinan dapat diselesaikan dengan baik. Sampai saat ini proses loan

agreement untuk 4 kapal navigasi yang didanai pinjaman Belanda belum selesai, proses

pengadaan konsultan untuk pengadaan dan pemasangan GMDSS serta pengadaan kapal

penumpang belum selesai. Dari ketiga hal tersebut dari segi pendanaan sudah mencapai hampir

20%. Dengan demikian pencapaian minimal 75% dari 2006.

Pada tahun 2006 beberapa kegiatan pada subsektor transportasi udara yang akan dilakukan

meliputi: persiapan pembangunan Bandar Udara Medan Baru, Makassar dan Ternate;

perpanjangan landasan Bandar Udara Ahmad Yani Semarang, Palembang, Mamuju, dan

Lampung; melanjutkan pembangunan bandara di Banyuwangi dan Bawean (Jatim), Dr. F.L.

Tobing/Sibolga (Sumut), dan Domine Edward Osok/ Sorong (Papua); pengembangan bandar

udara baru di daerah pedalaman dan perbatasan antara lain di Sinak (Papua) dan Tangkepada

(Sulsel); pembangunan terminal di Bengkulu dan Kendari; rehabilitasi/peningkatan fasilitas

bandar udara yang melayani penerbangan perintis, penyediaan pelayanan angkutan udara perintis

di Papua, Kalimantan, Sumatera, NTT, Maluku dan Sulawesi dengan jumlah rute sebanyak 94

rute di Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Maluku, Nusa Tenggara dan Papua; dan peningkatan

keandalan operasional keselamatan penerbangan berupa peralatan telekomunikasi, navigasi dan

kelistrikan terutama di bandara-bandara kecil.

Pada tahun 2006 beberapa kegiatan pada program penunjang transportasi yang akan

dilakukan meliputi: penyusunan peraturan bidang transportasi, sosialisasi peraturan bidang

transportasi, peningkatan kerjasama luar negeri (KSLN) Perhubungan, kajian perencanaan,

evaluasi dan kebijakan bidang transportasi, kajian strategis perhubungan dan transportasi

intermoda, penyusunan evaluasi dan operasional pemantauan kinerja keuangan; penyusunan

pembinaan kinerja kepegawaian; dan peningkatan peran dan kinerja Pusdatin.

Beberapa masalah utama yang masih akan dihadapi tahun 2007 pada Subsektor Prasarana

Jalan adalah: (1) kondisi jaringan jalan nasional yang terus mengalami penurunan, sebagai akibat

dari kualitas konstruksi jalan yang belum optimal, pembebanan berlebih, bencana alam seperti

longsor, banjir, gempa bumi, serta menurunnya kemampuan pembiayaan pemerintah untuk biaya

pemeliharaan jalan; (2) kesenjangan pertumbuhan ekonomi, hasil-hasil pembangunan, dan

kesejahteraan antar daerah, antar desa-kota, antar desa serta masih banyaknya daerah-daerah

yang terisolasi, dan semakin banyaknya permasalahan sosial politik yang timbul di wilayah

perbatasan; (3) sistem jaringan jalan yang merupakan lintas utama di masing-masing pulau

terutama di kawasan timur Indonesia yang belum terhubungkan, apabila tidak segera diatasi

melalui pembangunan jalan baru atau peningkatan kapasitas, diperkirakan dapat mengganggu

kegiatan investasi di sektor ekonomi lainnya bahkan pada akhirnya dapat menghambat

pertumbuhan ekonomi; (4) kemacetan pada ruas-ruas jalan di kawasan perkotaan maupun di

wilayah Pantura Jawa yang harus segera diatasi melalui rencana pembangunan hi-grade road

ataupun jalan tol untuk mengatasi peningkatan kebutuhan aksesibilitas dan mobilitas.

Permasalahan yang masih dihadapi pada pembangunan lalu lintas angkutan jalan sampai

dengan tahun 2007, baik prasarana dan sarana moda transportasi jalan terutama adalah masih

rendahnya kelaikan prasarana dan sarana jalan, disiplin dan keselamatan lalu lintas di jalan, serta

perkembangan armada dan pergerakan angkutan jalan yang terus meningkat dan tidak sebanding

dengan perkembangan panjang dan kapasitas prasarana jalan. Di samping itu, masalah

kemacetan dan dampak polusi udara khususnya di kota-kota besar masih merupakan tantangan

yang harus diatasi. Jumlah kecelakaan lalu lintas dan pelanggaran lalu lintas, maupun

pelanggaran muatan lebih di jalan masih tinggi sehingga memerlukan koordinasi dan upaya yang

lebih intensif di masa depan. Tingkat jangkauan pelayanan angkutan jalan di wilayah perdesaan

dan terpencil masih terbatas, dilihat dari terbatasnya pembangunan prasarana jalan dan

penyediaan angkutan umum perintis.

Permasalahan yang masih akan dihadapi dalam pembangunan perkeretaapian pada tahun

2007, diantaranya adalah masalah persaingan antarmoda, ketidakefisiensian akibat arah dan

proses restrukturisasi kelembagaan dan manajemen yang belum optimal, belum dioptimalkannya

industri penunjang, SDM perkeretaapian dan pengembangan teknologi perkeretaapian nasional,

banyaknya aset yang belum dimanfaatkan secara produktif, masih tingginya backlog

pemeliharaan prasarana dan sarana KA, serta keselamatan juga masih perlu ditingkatkan,

terutama masih tingginya jumlah kecelakaan pada pintu perlintasan KA yang sebidang dengan

jalan raya dan masih banyaknya kecelakaan kereta api keluar jalur.

Permasalahan yang masih akan dihadapi dalam pembangunan transportasi sungai, danau dan

penyeberangan pada tahun 2007 adalah terbatasnya jumlah sarana dan prasarana angkutan

sungai, danau, dan penyeberangan (ASDP) maupun optimasi dan sinerginya dengan

prasarana/dermaga laut, dibandingkan dengan kebutuhan pengembangan wilayah dan angkutan

antar pulau di seluruh Indonesia. Pembinaan dan pengembangan angkutan sungai dan danau

serta potensi penggunaan sumberdaya air di sungai dan kanal secara terpadu untuk transportasi

dan pengembangan sektor lain, baik pariwisata, penanggulangan banjir dan kesehatan, belum

dikembangkan secara baik. Sistem pembinaan dan manajemen sumber daya air sungai dan danau

secara terpadu, baik dari sektor transportasi, pariwisata, pekerjaan umum dan pemerintah daerah

serta peran serta dan budaya masyarakat, secara berkesinambungan dan jangka panjang perlu

dibangun dan dikembangkan. Ketersediaan prasarana dan sarana serta kondisi armada angkutan

penyeberangan masih sangat terbatas dan sebagian besar perlu diremajakan, baik armada yang

dikelola oleh BUMN maupun swasta nasional.

Tantangan dan masalah tahun 2007 pada sub-sektor transportasi laut yang utama adalah

menciptakan kondisi agar keselamatan pelayaran di Indonesia semakin baik dan kegiatan

bongkar muat di pelabuhan dapat dilakukan secara lebih cepat sehingga tidak terjadi

penumpukan barang di pelabuhan. Penumpukan barang kemungkinan besar terjadi apabila tidak

dilakukan penambahan kapasitas dan perbaikan pengelolaan prasarana dan sarana transportasi

laut.

Tantangan dan masalah yang dihadapi pada Subsektor Transportasi Udara tahun 2007,

utamanya adalah menciptakan kondisi agar keselamatan penerbangan di Indonesia semakin baik

Oleh karena itu, penambahan kapasitas dan perbaikan pengelolaan prasarana dan sarana

transportasi udara harus menjadi prioritas utama.

Tantangan dan masalah yang dihadapi pada tahun 2007 oleh program pembangunan

pencarian dan penyelamatan adalah koordinasi secara internal kelembagaan badan SAR dan

antar lembaga yang terkait, baik di pusat maupun di daerah, kondisi fasilitas dan peralatan serta

kompetensi sumber daya manusia yang belum merata antara tingkat pusat dan daerah.

2.3 SASARAN PEMBANGUNAN TRANSPORTASI DI INDONESIA

Sasaran pembangunan transportasi yang ingin dicapai adalah sebagai berikut:

a) Tersedianya pelayanan infrastruktur sesuai dengan standar pelayanan minimal

Salah satu standar pelayanan minimal adalah adanya jaminan bahwa penyelenggaraan transportasi

sudah memenuhi standar keselamatan internasional, khususnya untuk angkutan laut dan udara,

standar keselamatannya ditetapkan oleh lembaga internasional seperti IMO (International Maritime

Organization) dan International Civil Aviation Organization (ICAO). Hal tersebut diharapkan dapat

meningkatkan kelaikan dan jumlah sarana transportasi serta menurunnya tingkat kecelakaan dan

fatalitas kecelakaan transportasi serta meningkatnya kualitas pelayanan angkutan dalam hal

ketertiban, keamanan dan kenyaman transportasi.

b) Tercapainya peningkatan daya saing sektor riil dan mendorong industri infrastruktur dalam negeri

Penyelenggaraan pelayanan jasa transportasi seharusnya dilakukan secara efisien sehingga biaya

transportasi tidak memberikan beban yang terlalu besar bagi dunia usaha khususnya untuk

perusahaan-perusahaan yang menghasilkan produk-produk nasional yang bersaing dengan produk-

produk asing baik di pasar dalam negeri maupun luar negeri. Upaya mencapai sasaran tersebut adalah

melalui upaya peningkatan aksesibilitas dan mobilitas dari kawasan-kawasan sentra industri, andalan

dan kawasan budidaya lainnya ke tujuan-tujuan pemasaran, baik ke kawasan ekonomi sub-regional

ASEAN, kawasan Asia Pasifik maupun kawasan internasional lainnya, serta pengurangan backlog

yang menyebabkan memburuknya pelayanan transportasi darat, baik angkutan jalan, angkutan kereta

api, serta angkutan sungai, danau dan penyeberangan.

Prioritas pembangunan pada peningkatan kualitas dan kapasitas pada jaringan transportasi yang telah

jenuh; melalui rehabilitasi prasarana dan sarana yang ada agar andal dan laik operasi, pembangunan

prasarana dan sarana sesuai dengan peningkatan kebutuhan pelayanan transportasi untuk mendukung

sektor-sektor andalan, serta peningkatan kemampuan manajemen dan kelembagaan serta peraturan di

bidang transportasi antar moda untuk meningkatkan efisiensi dan kelancaran arus barang dan jasa,

terutama dari sentra-sentra produksi ke pelabuhan ekspor. Peningkatan kelancaran arus penumpang

antar internasional, untuk menunjang pariwisata dan perdagangan dan hubungan internasional,

melalui transportasi udara, laut dan dukungan transportasi darat menuju pusat-pusat penyebaran, baik

bandara dan pelabuhan internasional.

c) Meningkatnya investasi proyek-proyek infrastruktur yang dilakukan oleh swasta melalui berbagai

skema kerjasama antara pemerintah dan swasta

Pembangunan dan pengoperasian infrastruktur transport selain membutuhkan biaya yang besar dan

pengembalian investasi yang lambat (lama) juga memiliki resiko kegagalan yang tinggi. Pada

umumnya pihak swasta tidak tertarik menanamkan dananya pada infrastruktur transport seperti di

prasarana jalan KA, pelabuhan, dan bandara. Oleh sebab itu, diperlukan insentif bagi dunia usaha

untuk dapat berpartisipasi dan ikut serta dalam pembangunan dan pengoperasian infrastruktur

transport. Untuk mencapai hal tersebut, perlu segera diselesaikan peraturan perundangan dan

perangkat peraturan pelaksanaan di bidang penyediaan prasarana maupun penyelenggaraan sarana

transportasi, penataan kebijakan tarif, garansi, konsesi, manajemen resiko, hak dan kewajiban

masing-masing pihak, yang disesuaikan dengan tantangan dan perkembangan yang dihadapi dalam

era globalisasi ekonomi dan era otonomi daerah. Dalam rangka mendorong keterlibatan dunia usaha

dan masyarakat dalam penyelenggaraan dan penyediaan prasarana dan sarana transportasi, diperlukan

kepastian arah pembangunan transportasi di masa yang akan datang, sehingga perlu ditetapkan blue

print transportasi nasional yang efisien dan terpadu dengan pembangunan wilayah dan sektor lain.

Oleh sebab itu, sasaran tahun 2007 adalah melanjutkan pemantapan sistem transportasi nasional

melalui koordinasi dan konsolidasi serta penyusunan transportasi pulau terpadu antarmoda sesuai

dengan RTRWN pulau dan Sistem Transportasi Nasional (Sistranas), terutama di Sumatera, Jawa,

Kalimantan, Sulawesi, Papua dan Kepulauan Maluku dan Nusa Tenggara. Untuk mendorong

keberlanjutan perencanaan dan implementasinya diperlukan review, monitoring dan evaluasi rencana

pembangunan nasional dan persiapan perencanaan jangka menengah berikutnya.

d) Meningkatnya aksesibilitas pelayanan infrastruktur

Pembangunan infrastruktur transportasi untuk meningkatkan aksesibilitas pelayanan transportasi

ditujukan guna mengurangi kesenjangan antarwilayah, menjangkau wilayah perbatasan, terisolir, dan

memberikan pelayanan umum transportasi yang terjangkau oleh masyarakat luas. Pada daerah-daerah

perkotaan yang padat perlu disediakan transportasi massal yang berkelanjutan, hemat energi, terpadu

dengan tata ruang dan pengembangan perumahan serta pusat kegiatan, pelayanan feeder services-nya

serta dukungan pelayanan penyediaan prasarana dan fasilitas transportasi perintis yang dapat

menjangkau seluruh wilayah Indonesia baik di wilayah tertinggal dan belum berkembang dan

perbatasan sehingga kebutuhan pelayanan transportasi dan pemenuhan kebutuhan hidup masyarakat

miskin dan penduduk yang tinggal di wilayah terpencil dan perbatasan dapat dipenuhi.VC

2.4 ARAH KEBIJAKAN PEMBANGUNAN TRANSPORTASI DI INDONESIA

Arah kebijakan umum pembangunan sektor transportasi tahun 2007 adalah meningkatkan

pelayanan jasa transportasi yang efektif dan efisien, dan mewujudkan pelayanan secara

intermoda. Upaya tersebut antara lain meliputi: (1) penyediaan pelayanan jasa transportasi yang

berkualitas; (2) melanjutkan regulasi peraturan perundangan agar dapat mendorong keikutsertaan

investasi swasta dan memperjelas hak dan kewajiban masing-masing pihak yang terkait; (3)

optimalisasi penggunaan dana pemerintah baik untuk operasional, pemeliharaan, rehabilitasi

maupun investasi melalui penyusunan prioritas program yang diwujudkan dalam suatu kegiatan;

(4) melakukan restrukturisasi kelembagaan penyelenggara transportasi baik ditingkat pusat

maupun daerah; (5) meningkatkan keselamatan operasional baik sarana maupun prasarana

transportasi; dan (6) meningkatkan aksesibilitas masyarakat terhadap pelayanan jasa transportasi

baik dikawasan perkotaan maupun daerah terisolir serta belum berkembang. Dalam upaya untuk

mempercepat pembangunan infrastruktur yang mampu mendukung dan mendorong

pembangunan bidang lainnya maupun pembangunan nasional pada umumnya, maka arah

kebijakan yang ditetapkan untuk masing-masing sektor infrastruktur adalah sebagai berikut:

Arah kebijakan pembangunan Subsektor Prasarana Jalan tahun 2007 adalah: (1)

mempertahankan dan meningkatkan daya dukung, kapasitas, maupun dan kualitas pelayanan

prasarana jalan untuk daerah-daerah yang perekonomiannya berkembang pesat dalam rangka

melancarkan distribusi barang dan jasa serta hasil produksi; (2) mengembangkan jalan bebas

hambatan pada koridor-koridor jalan berkepadatan tinggi yang menghubungkan kota-kota

dan/atau pusat-pusat kegiatan; (3) memprioritaskan penangangan sistem jaringan jalan yang

masih belum terhubungkan dalam rangka membuka akses ke daerah terisolir dan belum

berkembang, serta mendukung pengembangan wilayah dan kawasan strategis seperti kawasan

cepat tumbuh, kawasan andalan, kawasan perbatasan, dan kawasan tertinggal; (4) meningkatkan

koordinasi pemerintah pusat dan pemerintah daerah untuk memperjelas hak dan kewajiban

dalam penanganan prasarana jalan, mengharmonisasikan keterpaduan sistem jaringan jalan

dengan kebijakan tata ruang wilayah nasional, dan meningkatkan keterpaduan dengan sistem

jaringan prasarana lainnya dalam konteks pelayanan intermoda dan sistem transportasi nasional

(Sistranas); (5) merampungkan perangkat peraturan pelaksanaan UU No. 38 Tahun 2004 tentang

Jalan sesuai dengan tantangan dan perkembangan yang akan dihadapi dalam era globalisasi dan

otonomi daerah dalam rangka mendorong keterlibatan dunia usaha dan masyarakat dalam

penyelenggaraan dan penyediaan prasarana jalan; dan (6) menyusun norma, standar, pedoman,

dan manual untuk menumbuhkan sikap profesionalisme dan kemandirian institusi serta sumber

daya manusia bidang penyelenggaraan prasarana jalan.

Arah kebijakan transportasi darat meliputi: (1) pemulihan kondisi pelayanan angkutan umum

jalan raya; (2) meningkatkan pelayanan angkutan sungai, danau dan penyeberangan sebagai

pendukung moda transportasi lainnya; (3) mengembalikan tingkat pelayanan prasarana dan

sarana kereta api pada kondisi normal secara bertahap; (4) melanjutkan kewajiban pemerintah

memberikan pelayanan angkutan perintis untuk wilayah terpencil; (5) melanjutkan regulasi

peraturan perundangan terutama pada angkutan kereta api; dan (6) melanjutkan kegiatan

operasional unit pelaksana teknis dan tugas serta fungsi pemerintah lainnya.

Arah kebijakan pembangunan transportasi laut tahun 2007 adalah: (1) memperlancar

kegiatan bongkar-muat dan menghilangkan ekonomi biaya tinggi di pelabuhan; (2) memulihkan

fungsi prasarana dan sarana transportasi laut; (3) melengkapi fasilitas keselamatan pelayaran; (4)

menambah dan memperbaiki pengelolaan prasarana dan sarana transportasi laut khususnya untuk

pelabuhan yang terbuka bagi perdagangan luar negeri; dan (5) melanjutkan arah kebijakan tahun

2006 yakni kebijakan meningkatkan peran armada laut nasional, restrukturisasi kewenangan

antara pemerintah dan BUMN terkait di bidang pelabuhan, memberikan pelayanan pelayaran

perintis, serta kegiatan operasional Unit Pelaksana Teknis (UPT) dan Unit Pelaksana Tugas

(UPT) serta fungsi pemerintah lainnya.

Arah kebijakan pembangunan transportasi udara tahun 2007 adalah: (1) memperketat

pengecekan kelaikan udara baik pesawat maupun peralatan navigasi; (2) melengkapi fasilitas

keselamatan penerbangan di bandara; (3) menambah dan memperbaiki pengelolaan prasarana

dan sarana transportasi udara khususnya untuk bandara internasional sehingga menambah jumlah

bandara yang mendapatkan sertifikat operasional bandara; dan (4) melanjutkan arah kebijakan

kebijakan tahun 2006 yakni kebijakan multi operator angkutan udara, restrukturisasi kewenangan

antara pemerintah dan BUMN terkait dalam aspek keselamatan, memberikan pelayanan

penerbangan perintis, serta kegiatan operasional Unit Pelaksana Teknis (UPT) dan Unit

Pelaksana Tugas (UPT) serta fungsi pemerintah lainnya.

Pada tahun 2007 beberapa kegiatan pada program penunjang transportasi yang akan

dilakukan meliputi: penyusunan peraturan bidang transportasi, sosialisasi peraturan bidang

transportasi, peningkatan KSLN Perhubungan, kajian perencanaan, evaluasi dan kebijakan

bidang transportasi, kajian strategis perhubungan dan transportasi intermoda, penyusunan

evaluasi dan operasional pemantauan kinerja keuangan; penyusunan pembinaan kinerja

kepegawaian; dan peningkatan peran dan kinerja Pusdatin.

Ragam dan Pengadministrasian Hibah yang Diterima (Pemerintah) Indonesia

Negara-negara dan lembaga-lembaga multilateral/internasional yang tergabung dalam

CGI merupakan sumber utama pinjaman dan hibah luar negeri Pemerintah Indonesia. Setiap

tahun (kecuali tahun 2000) forum tersebut mengadakan pertemuan di Paris atau Tokyo

ataupun di Jakarta. Dalam pertemuan tahunan ini para anggota CGI menyampaikan

pledge/komitmennya untuk mendukung pembiayaan pembangunan yang diperlukan.

Pemerintah Indonesia. Pledge ini berupa pinjaman dan hibah. Negara-negara Australia,

Finlandia, Kanada, Selandia Baru. Swiss, Swedia dan

lembaga-lembaga dalam naungan PBB (UN family), Uni Eropa selalu memberikan pledge

dalam bentuk hibah. Sedangkan negara-negara Austria, Spanyol, dan lembaga-lembaga Bank

Dunia, Islamic Development Bank dan International Fund for Agricultural Development

selalu memberikan pledge dalam bentuk pinjaman. Sisanya memberikan pledge dalam

bentuk pinjaman dan hibah. Yang perlu dicermati adalah bahwa hibah tersebut tidak selalu

dapat dicairkan pada tahun yang bersangkutan. Hal ini berkaitan dengan dasar yang

dipergunakan anggota CGI dalam penentuan pledge baik hibah maupun pinjaman. Pledge

yang diberikan anggota CGI bisa didasarkan komitmen atau dapat pula berdasarkan perkiraan

disbursement. Pledge atas dasar komitmen menunjukkan bahwa pledge tersebut berdasarkan

jumlah seluruh alokasi dana untuk proyek-proyek baru dan perpanjangan yang merupakan

komitmen donor (committed projects). Dengan demikian realisasi pencairan alokasi dana

komitmen tersebut bergantung pada pelaksanaan committed projects. Oleh karenanya pledge

ini bisa saja mulai dicairkan satu tahun, dua tahun atau bahkan tiga tahun setelah pledge

tersebut dinyatakan. Negara-negara yang memberikan pledge hibah atas dasar komitmen

adalah Jepang, Jerman, dan Korea. Pledge atas dasar disbursement menunjukkan bahwa

pledge tersebut berdasarkan perkiraan seluruh dana yang dapat dicairkan pada setahun

mendatang baik untuk proyek-proyek yang sedang berjalan maupun proyek-proyek baru

sepanjang dananya dapat dicairkan pada satu tahun anggaran ke depan. Persoalan yang sering

muncul berkaitan dengan hal ini

adalah penggunaan dasar tahun anggaran. Negara-negara donor dalam memberikan pledge

menggunakan dasar tahun anggaran mereka yang umumnya berbeda dengan tahun anggaran

Indonesia. Amerika Serikat, Australia, Finlandia, Selandia Baru, Kanada, Inggris merupakan

contoh negara-negara yang memberikan pledge atas dasar perkiraan disbursement dan

negaranegara ini mempunyai tahun anggaran yang berbeda dengan Indonesia. Seperti

dikemukakan di atas, hibah dapat diberikan oleh siapa pun, kepada siapa pun juga, dalam

bentuk apa pun dengan cara bagaimana pun, yang terpenting adalah adanya penyerahan hak

milik (secara sukarela). Begitu juga halnya yang terjadi dengan hibah yang diterima

Pemerintah Indonesia yang terdiri atas berbagai bentuk (skema) dan mekanisme. Keragaman

hibah tersebut secara singkat dapat diuraikan berikut ini.

A. Hibah menurut skema atau bentuknya:

1. Hibah dalam bentuk cash

Hibah ini sangat terbatas dan diberikan kepada negara-negara yang sangat miskin

(pendapatan per kapita per tahun kurang dari USD 200). Tujuannya untuk memperbaiki neraca

pembayaran negara-negara tersebut. Indonesia pernah dua kali menerima hibah dalam skema ini

meskipun Indonesia pada saat menerimanya tidak tergolong sebagai negara sangat miskin. Cara

penarikan dana hibah tersebut dengan menunjukkan bukti impor atas komoditas yang eligible

sesuai kesepakatan dengan

pemberi hibah.

2. Hibah dalam bentuk barang dan jasa dalam rangka bantuan proyek (project

assistance) atau kerja sama keuangan (financial cooperation)

a. Hibah dalam bentuk barang dan jasa yang berdiri sendiri

Secara mudah dapat dikatakan hibah dalam skema ini sama dengan pinjaman luar negeri

untuk proyek-proyek pembangunan (pengadaan barang dan jasa). Yang membedakan adalah

sumber dana dalam skema ini tidak perlu dikembalikan. Pengadaan barang dan jasa dalam rangka

hibah skema ini diproses sebagaimana halnya dalam rangka pinjaman luar negeri.

b. Hibah dalam bentuk barang dan jasa untuk mendukung atau sebagai bagian

project assistance yang dibiayai pinjaman Hibah seperti ini berupa dana dan diberikan

bersama-sama dengan pinjaman untuk pembiayaan suatu proyek pengadaan barang dan jasa.

Meskipun hibah yang diberikan berupa dana, seperti halnya skema butir 2.a. pembayaran tetap

dilakukan oleh pihak pemberi hibah sesuai dengan progress proyek melalui mekanisme direct

payment. Pihak peminjam (Pemerintah Indonesia) hanya menerima barang dan jasa.

3. Hibah dalam rangka bantuan teknik (technical assistance) atau kerja sama

teknik (technical cooperation)

a. Hibah untuk mendukung proyek-proyek yang dibiayai pinjaman

Hibah bentuk ini umumnya berupa studi untuk persiapan, appraisal atau pun monitoring

proyek proyek pengadaan barang dan jasa yang dibiayai pinjaman. Dalam hal ini pihak pemberi

dana menyediakan tenaga ahli dan membiayai seluruh kegiatan yang dilakukan tenaga ahli

tersebut. Pihak penerima hibah hanya memfasilitasi kegiatan tenaga-tenaga ahli tersebut dan

menerima hasil studi, appraisal atau monitoring.

b. Hibah dalam rangka technical assistance yang berdiri sendiri

Hibah dalam skema ini pada dasarnya berupa penyediaan tenaga ahli dan atau konsultan

untuk melaksanakan suatu proyek atau kegiatan tertentu. Lingkup pekerjaan konsultan berbeda-

beda bergantung pada jenis proyek/kegiatan dan kontrak yang mengikatnya. Hibah bentuk inilah

yang lazim diberikan oleh semua negara dan lembaga donor.

Dalam skema ini dimungkinkan adanya pengadaan barang namun sifatnya hanya pendukung

pekerjaaan tenaga ahli seperti pengadaan mobil, mesin fotokopi dan peralatan kerja lainnya.

Semua pembayaran/pembiayaan tenaga ahli dilakukan sepenuhnya oleh pihak donor. Penerima

hibah umumnya hanya menyediakan fasilitas pendukung (in-kind) seperti ruang kantor, personalia

pendamping, kendaraan agar tenaga ahli tersebut dapat bekerja dengan baik.

c. Bea siswa dan pelatihan

Bentuk hibah yang juga lazim diberikan adalah bea siswa untuk studi bergelar maupun non-

gelar di dalam ataupun di luar negeri, pelatihan di dalam dan di luar negeri, magang di negara atau

lembaga pemberi hibah, dan pertukaran pemuda. Masalah administrasi keuangan skema ini

dikelola langsung oleh negara atau lembaga pemberi hibah.

4. Hibah dalam rangka bantuan kemanusiaan (humanitarian aids)

Hibah ini sifatnya lebih merupakan bantuan darurat. Hibah yang diberikan biasanya berupa

bahan esensial yang sangat diperlukan seperti pangan, obat-obatan atau selimut serta ada kalanya

uang tunai. Perwakilan-perwakilan negara donor umumnya mempunyai reserve untuk bantuan-

bantuan kemanusiaan.

B. Hibah menurut peruntukan dan penyalurannya

1. Hibah untuk pemerintah (government to government)

Hibah jenis ini adalah hibah dalam berbagai skema di atas yang diperuntukkan bagi proyek-

proyek pemerintah atau kegiatan-kegiatan dalam rangka program atau proyek pemerintah dan

umumnya dilaksanakan oleh instansi-instansi pemerintah atau lembaga bentukan (“semi”)

pemerintah seperti Komnas HAM. Hibah ini diberikan oleh donor atas dasar usulan resmi

Pemerintah Indonesia dan

dalam kerangka kerja sama pembangunan bilateral atau dalam kerangka kerja sama dengan

lembaga multilateral/internasional yang bersangkutan.

2. Hibah untuk non pemerintah (government to private)

Hibah ini diberikan dan disalurkan langsung oleh pemerintah atau lembaga donor kepada

lembaga-lembaga non pemerintah. Persoalan yang sering muncul dalam kaitan ini adalah

dimasukkannya alokasi hibah untuk lembaga-lembaga non pemerintah (lembaga swadaya

masyarakat) sebagai bagian dari bantuan pembangunan resmidonor atau official development

assistance (ODA) kepada Indonesia yang berarti juga dimasukkan sebagai bagian dari pledge

CGI. Sementara pengelolaan hibah ini ditangani langsung oleh donor dan pemanfaatannya

diserahkan sepenuhnya kepada lembaga atau organisasi penerima. Kesulitan yang dihadapi adalah

bilamana pemerintah dituntut (khususnya oleh Dewan Perwakilan Rakyat) untuk memberikan

informasi yang rinci mengenai arah penggunaan hibah atau pledge yang telah diterima.

Terdapat anggapan bahwa seluruh hibah ODA yang diberikan adalah untuk pembiayaan program-

program pemerintah yang telah tercatat dalam APBN. Padahal nnkenyataannya tidaklah

demikian, hibah tersebut bahkan tidak “mampir” ke dalam kas

pemerintah. Lebih dari itu acapkali pihak donor nampak kurang terbuka dalam

memberikan informasi mengenai organisasi yang mendapat hibah, jumlah hibah yang diberikan

dan peruntukannya.

3. Trust fund dan partnership

Trust fund adalah suatu mekanisme dimana beberapa donor (umumnya bilateral)

menyalurkan hibahnya melalui satu donor lembaga multilateral (internasional/regional) seperti

UNDP atau Uni Eropa yang bertindak sebagai pengelola. Hibah, baik berupa dana maupun tenaga

ahli, “dipercayakan” oleh pemberi hibah kepada lembaga pengelola tersebut untuk membiayai

atau mendukung program program yang telah disusun oleh lembaga yang bersangkutan. Dana dan

tenaga ahli ini akan dimanfaatkan/dipekerjakan di bawah bendera lembaga pengelola. Terkait

dengan trust fund adalah pola yang dikenal dengan partnership. Pada dasarnya partnership

menyerupai trust fund. Hal yang sedikit membedakan adalahdalam partnership dana dan tenaga

ahli yang “dipercayakan” dipergunakan untuk membiayai/mendukung suatu kegiatan tertentu

(lebih spesifik sifatnya) yang telah disepakati bersama oleh para donor. Di samping itu dalam

pelaksanannya pola partnership tidak hanya melibatkan lembaga pemerintah namun lembaga-

lembaga non pemerintah yang berkompeten. Dengan demikian pola partnership sesungguhnya

adalah juga pola trust fund.

Masalah yang cukup rumit dalam persoalan hibah adalah pengadminsitrasian. Berhubungan

dengan hibah luar negeri adalah berarti memasuki wilayah hubungan internasional. Hal ini akan

bersinggungan dengan masalah-masalah perjanjian internasional yang berarti pula berhubungan

dengan setidaknya dua sistem administrasi, hukum dan keuangan (anggaran) yang berbeda.

Memadukan sistem-sistem yang berbeda inilah yang merupakan faktor dasar kerumitan

pengadministrasian hibah luar negeri. Pada aspek perundangan dapat dikatakan hampir tidak ada

dokumen perundangan yang mengatur secara jelas pengadminsitrasian hibah. Meskipun dalam hal

pinjaman luar negeri juga belum ada peraturan perundangan yang komprehensif, masih terdapat

peraturanperaturan yang secara parsial mengatur atau terkait dengan pinjaman luar negeri.

Ketentuan

perundangan yang relatif rinci mengatur hibah luar negeri adalah Surat Keputusan Bersama

Menteri Keuangan dan Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional /Ketua Bappenas No.

185/KMK.03/1995 dan No. KEP.031/KET/5/1995 tanggal 5 Mei 1995 tentang Tata Cara

Perencanaan, Penatausahaan dan Pemantauan Pinjaman/Hibah Luar Negeri dalam rangka

Pelaksanaan APBN.

Pada aspek kelembagaan di Indonesia, pengadministrasian hibah luar negeri setidaknya terkait

dengan empat institusi disamping instansi pelaksana proyek. Keempat institusi tersebut adalah

Departemen Luar Negeri, Departemen Keuangan, Bappenas, dan Sekretaris Negara.

KESIMPULAN

Pengembangan jaringan jalan dan pemeliharaan kondisi perkerasan jalan-jalan di

Indonesia secara umum masih memiliki kendala utama, yaitu terbatasnya anggaran yang

tersedia. Alokasi pendanaan infrastruktur Indonesia “hanya” sebesar 451 triliun rupiah dari 1429

triliun rupiah yang dibutuhkan di tahun 2010-2014 (Kompas, 2010). Hal ini selain karena

kecilnya sumber pendanaan dan belum keselurahan pendapatan negara dari sektor transportasi

yang dikembalikan ke sektor yang sama, ada penyebab lain yang perlu dipikirkan solusinya,

yaitu kurangnya ragam sumber pendanaan yang telah dimanfaatkan, padahal banyak potensi

sumber pendanaan jalan yang masih belum digali. Sebagai upaya membantu pendanaan

infrastruktur, Pemerintah mulai tahun 2009 telah membentuk badan multipartit yang berbentuk

Perseroan Terbatas dengan komposisi saham 30% dipegang Pemerintah dan sisanya dipegang

oleh Bank Dunia, Bank Pembangunan Asia (ADB) dan Bank Pembangunan Jerman (KfW).

Badan ini berfungsi untuk mendanai pembiayaan pembangunan infrastruktur di Indonesia

dengan nama The Indonesian Infrastructure Financing Facility (IIFF) (Kompas 2009). Namun

sifat dari pendanaannya adalah loan bukannya menemukan sumber pendanaan baru yang segar

sebagaimana diamanatkan dalam UU No 22/2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.Jika

mengacu pada negara-negara lain di dunia, banyak negara, misal China, Singapura, Inggris dan

lain-lain, perkembangan IPTEK dapat diterapkan terutama dalam hal pemanfaatan sumber

pendanaan lain, yatu sebagai berikut:

1. Peningkatan pajak lahan di sekitar kawasan interchange jalan tol dan koridor arteri.Tidak

dapat dipungkiri bahwa adanya jaringan jalan tol akan memberikan keuntungan pada wilayah

yang dilaluinya terutama pada kawasan di sekitar interchange. Keuntungan-keuntungan tersebut

dapat berupa membaiknya harga tanah karena meningkatnya aksesibilitas ke lahan tersebut.

Namun, sampai saat ini keuntungan-keuntungan tersebut hanya dinikmati secara cuma-cuma dan

hanya diterima sebagai konsekuensi logis dari keberadaan interchange itu sendiri. Hal yang sama

juga terjadi pada koridor jalan arteri baru, land use di sepanjang koridor dan bahkan di sepanjang

koridor jalan kolektor yang memilki akses ke jalan arteri tersebut akan mendapatkan manfaat

paling tidak berupa peningkatan aksesibilitas. Jadi dengan adanya peningkatan harga lahan di

sekitar jalan told an arteri, tentunya pemerintah juga harus dapat menikmati keuntungannya.

2. Retribusi progresif terhadap kendaraan yang memuat beban yang overloadedDilema yang

sering dihadapi oleh Departemen Perhubungan adalah untuk memutuskan apakah melarang

kendaraan niaga yang overloaded atau justru mengijinkannya. Jika dilarang, penyedia jasa

transportasi akan berkilah, bahwa dengan membawa beban yang sesuai uji kir biaya transportasi

yang dikeluarkan lebih besar, sehingga hal ini akan mengakibatkan meningkatnya harga

komoditas. Tentunya hal ini sangat tidak dikehendaki oleh konsumen. Selain itu jika standar

pelayanan tetap dipertahankan dan jalan tidak boleh dilewati beban overloaded, jalan-jalan

tersebut harus didesain dengan beban yang lebih tinggi; dan ini berarti biaya besar. Namun jika

beban overloaded diijinkan, konsekuensi yang harus diterima akan tidak kalah besar, yaitu

tingginya beban biaya pemeliharaan yang harus dipikul oleh penyelenggara jalan dan serta

tingginya biaya operasi kendaraan yang akan dipikul oleh para pengguna jalan lainnya.

3. Road User Charging atau Road PricingSkema ini berawal dari kesadaran bahwa infrastruktur

transportasi, khususnya jalan, pada hakekatnya dibangun untuk melewatkan manusia, barang dan

jasa, bukan melewatkan kendaraan. Skema road user charging sudah banyak dijumpai di negara-

negara Eropah, di mana kendaraan-kendaraan yang melakukan perjalanan pada wilayah tertentu

atau ruas jalan tertentu yang volume lalu lintasnya sangat padat di saat jam sibuk diharuskan

membayar sejumlah uang yang dikumpulkan secara otomatis melalui sensor yang dipasang pada

lokasi-lokasi tertentu. Penggunaan dana yang terkumpul melalui skema ini dapat digunakan

untuk pengembangan infrastuktur transportasi itu sendiri.

4. Tarif parkir progresif berbasis waktu dan zonasi.Tarif parkir yang tinggi dan progresif dapat

dikenakan pada kendaraan-kendaraan yang akan memanfaatkan lahan parkir pada kawasan yang

memiliki lahan yang terbatas atau berada pada kawasan yang sangat sibuk atau didatangi banyak

pengunjung. Hal ini dimaksudkan agar ruang yang ada dapat dimanfaatkan dengan sebaik-

baiknya. Namun sebagai trade-off-nya pemerintah juga harus menyediakan alternatif akses ke

lokasi yang dimaksud.

5.  Performance based contract (PBC) dan penyusunan SPM JalanSelain hal-hal tersebut di atas,

untuk dapat mencukupi kebutuhan pemeliharaan dan pembangunan jalan, cara yang bisa

ditempuh adalah dengan melakukan penghematan. Penghematan dapat dilakukan dengan banyak

cara, salah satunya adalah lebih menggiatkan pelaksanaan performance based contract terhadap

proyek-proyek pembangunan dan pemeliharaan jalan, sebagaimana yang telah diinisiasi pada

beberapa ruas jalan tol di Indonesia. Dengan memanfaatkan scheme ini diharapkan pihak

kontraktor akan lebih dapat menjaga kualitas barang (jalan) yang dihasilkan karena Kontraktor

tersebut tidak hanya bertanggung jawab sampai pada pembangunannya saja, tapi juga sampai

pada waktu-waktu tertentu dengan mempertimbangkan kinerja perkerasan jalan yang

dihasilkan.Sejalan dengan Performance based contract di atas, perlu disusun Standar Pelayanan

Minimal (SPM) jalan non Tol sebagai patokan (ukuran) dalam mengontrol kualitas produk jalan

sampai pada masa tertentu selama dalam penjaminan kontraktor pembangun.

6. Peningkatan prosentase penyerapan dana kembali dari dan ke sektor Transportasi.

Dari semua alternative sumber pendanaan dan skema penghematan di atas, yang perlu juga

dilakukan adalah peningkatan besarnya redistributing dana pajak dari sector transportasi ke

sector transportasi kembali.Untuk dapat mengetahui efektivitas semua skema di atas, perlu

dilakukan kajian-kajian yang komprehensif dan perlu juga disiapkan perangkat hukum yang

mendukung