pertanggungjawaban pidana terhadap …fh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/arief...

106
PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA TERHADAP TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN BERENCANA SECARA BERSAMA-SAMA (Studi Terhadap Putusan Nomor : 81/Pid.B/2010/PN.Clp) SKRIPSI Oleh : Arief Ginanjar Saputra NIM. E1A006022 KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN FAKULTAS HUKUM PURWOKERTO 2013

Upload: truongthien

Post on 02-May-2018

225 views

Category:

Documents


3 download

TRANSCRIPT

PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA TERHADAP TINDAK PIDANA

PEMBUNUHAN BERENCANA SECARA BERSAMA-SAMA

(Studi Terhadap Putusan Nomor : 81/Pid.B/2010/PN.Clp)

SKRIPSI

Oleh :

Arief Ginanjar Saputra

NIM. E1A006022

KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN

UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN

FAKULTAS HUKUM

PURWOKERTO

2013

PERTANGGUNG JAWABAN PIDANA TERHADAP TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN

BERENCANA SECARA BERSAMA-SAMA

(Studi Terhadap Putusan Perkara No. 81/Pid.B/2010/PN.Clp)

oleh :

ARIEF GINANJAR SAPUTRA

NIM. E1A006022

ABSTRAK

Salah satu motif melakukan tindak pidana terhadap nyawa adalah dengan cara melakukan

pembunuhan secara bersama-sama dengan direncanakan terlebih dahulu. Hal tersebut diatur dalam

Pasal 340 KUHP jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP. Syarat esensial terwujudnya kejahatan

pembunuhan adalah unsur mengenai tingkah laku atau perbuatan materiil dan unsur keadaan yang

menyertai tempat dilakukannya perbuatan materiil yakni secara bersama-sama dengan direncanakan

terlebih dahulu.

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pertanggungjawaban pidana terhadap para

pelaku dalam tindak pidana pembunuhan berencana secara bersama-sama pada Putusan Perkara No.

81/Pid.B/2010/PN.Clp. serta dasar pertimbangan Hakim dalam menjatuhkan putusan pemidanaan.

Penilaian Hakim dalam menilai pertanggungjawaban pidana para terdakwa nampak bahwa

perbuatan menghilangkan nyawa orang lain yang dilakukan dengan direncanakan terlebih dahulu

secara bersama-sama adalah terkandung makna dapat dicelanya para terdakwa atas perbuatannya.

Sehingga perbuatan tersebut merupakan perbuatan yang dapat dicela oleh masyarakat. Kesalahan

yang dilakukan para terdakwa berupa kesengajaan (dolus) dan adanya kemampuan

bertanggungjawab, tidak adanya alasan yang menghapuskan kesalahan atau tidak ada alasan pemaaf.

Data yang dibutuhkan dalam penelitian ini adalah putusan perkara No.81/Pid.B/2010/PN.Clp.

Setelah data diperoleh, penulis menganalisa data tersebut dengan analisa data deskriptif analitis

dengan metode kualitatif, yaitu membuat gambaran secara sistematis mengenai segala informasi yang

diperoleh. Selanjutnya data dianalisis dan dicari persesuaian antara alat bukti yang diajukan ke

persidangan dengan alat bukti yang lain. Hal ini sebagai dasar pertimbangan hakim dalam

menjatuhkan putusan pemidanaan.

Kata kunci : Pertanggungjawaban Pidana, pembunuhan berencana, bersama-sama

ANSWER OF LIABILITY CRIMINAL CHARGES AGAINST THE CRIMINAL ACTS

PLANNED MURDER IN TOGETHER

(Item No. Verdict Against Studies. 81/Pid.B/2010/PN.Clp)

by:

Arief Ginanjar Saputra

NIM. E1A006022

ABSTRACT

One of the motives of doing criminal acts against life is the way to do murder along with

premeditated. The case provided for in Article 340 Penal Code jo Article 55 paragraph (1) of the

Criminal Code 1. Terms of realizations essential element of the crime was murder or an act of

material behavior and the elements conditions materially participate in place that is committed acts

together with premeditated.

The purpose of this study is to determine the criminal responsibility of the perpetrators of

criminal acts, planned the murder together on Verdict Item No. 81/Pid.B/2010/PN.Clp. and policy

considerations in dropping ruling Justice pemidanaan.

Rating judge in assessing the criminal responsibility of the defendant saw that the act remove

other people's lives are done with premeditated together are able dicelanya contained meaning the

defendant for his actions. Until the act is an act that can be censured by the community. Defendant

committed the offense of intent form (Solus) and the availability of capacity charge, which eliminates

the absence of reason or no reason offense forgiving.

The required data in this study is the decision No.81/Pid.B/2010/PN.Clp. Once the data is

obtained, the authors analyze the data with analytical descriptive data analysis with qualitative

methods, that make systematic overview of all the information obtained. Further data are analyzed

and sought rapprochement between devices evidence presented to the conference with other means of

evidence. It is a policy consideration in dropping verdict pemidanaan judge.

Keywords: Criminal Liability, planned murder, along

PRAKATA

Rasa syukur Alhamdulillah, penulis panjatkan kehadirat Allah SWT. atas

limpahan raKhmat serta hidayah dan karunia-Nya, sehingga penulis dapat

menyelesaikan Skripsi yang berjudul: “PERTANGGUNG JAWABAN PIDANA

TERHADAP TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN BERENCANA SECARA

BERSAMA-SAMA (Studi Terhadap Putusan Perkara Nomor :

81/Pid.B/2010/PN.Clp)”.

Penulis yakin bahwa Skripsi ini tidak akan tersusun tanpa adanya bantuan serta dorongan

dari pihak lain. Oleh karena itu pada kesempatan ini Penulis menyampaikan rasa terima kasih kepada

semua pihak yang telah membantu dalam memperlancar penyusunan skripsi ini :

1. Bapak Dr. Angkasa, S.H., M.Hum. Dekan Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman

Purwokerto;

2. Bapak Haryanto Dwiatmodjo, S.H., M.Hum. Ketua Bagian Hukum Pidana dan sekaligus sebagai

Dosen Penilai III yang telah memberikan dukungan, arahan, dan masukan kepada Penulis dalam

menyelesaikan skripsi ini.

3. Bapak Dr. Budiyono, S.H., M.Hum. Dosen Pembimbing I yang telah memberikan bimbingan,

arahan, dan masukan dalam menyelesaikan skripsi ini;

4. Bapak Dr. H. Kuat Puji Prayitno, S.H., M.Hum. Dosen Pembimbing II yang telah memberikan

bimbingan, dukungan, arahan serta masukan dalam menyelesaikan skripsi ini

5. Segenap dosen dan Staf Administrasi di lingkungan Fakultas Hukum Universitas Jenderal

Soedirman Purwokerto, yang telah turut serta membantu dalam proses pembelajaran di Fakultas

Hukum Unsoed;

6. Rekan-rekan mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman Purwokerto khususnya

Angkatan Tahun 2006, yang telah banyak membantu dan memberi semangat pada Penulis;

7. Semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu-persatu terima kasih atas segala dukungan

dan bantuannya dalam penulisan skripsi ini.

Selanjutnya Penulis menyadari sepenuhnya bahwa dalam penyusunan skripsi ini masih jauh

dari sempurna, sehingga masih banyak kekurangan dan kelemahannya. Oleh karena itu, saran dan

kritik yang bersifat membangun sangat Penulis harapkan demi penyempurnaan penulisan di masa

datang.

Akhirnya Penulis berharap semoga karya ini bisa menambah wawasan dan pengetahuan baik

bagi Penulis sendiri maupun bagi para pembaca pada umunya. Amien.

Purwokerto, Agustus 2013

Penulis

SURAT PERNYATAAN

Dengan ini saya :

Nama : Arief Ginanjar Saputra

NIM : E1A006022

Judul Skripsi : PERTANGGUNG JAWABAN PIDANA TERHADAP TINDAK PIDANA

PEMBUNUHAN BERENCANA SECARA BERSAMA-SAMA (Studi Terhadap

Putusan Perkara Nomor : 81/Pid.B/2010/PN.Clp)

Menyatakan bahwa Skripsi yang saya buat ini adalah betul-betul hasil karya saya sendiri dan tidak

menjiplak hasil karya orang lain maupun dibuatkan oleh orang lain, dan apabila terbukti saya

melakukan pelanggaran sebagaimana tersebut di atas, maka saya bersedia dikenakan snksi apapun

dari fakultas.

Purwokerto, 20 Agustus 2013

Yang menyatakan,

Arief Ginanjar Saputra

NIM. E1A006022

DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN JUDUL …………………………………………….............. i

HALAMAN PENGESAHAN ……………………………………............. ii

HALAMAN PERSEMBAHAN ………………………………………….. iii

ABSTRAK ………………………………………………………………… iv

ABSTRACT ………………………………………………………………. v

PRAKATA ………………………………………………………………… vi

DAFTAR ISI ………………………………………………………………. vii

BAB 1. PENDAHULUAN ……………………………………………….. 1

A. Latar Belakang Masalah …………………………………….. 1

B. Perumusan Masalah ………………………………………….. 5

C. Tujuan Penelitian …………………………………………….. 5

D. Kegunaan Penelitian ………………………………………….. 5

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA ………………………………………….. 7

A. Tindak Pidana …………………………………………………. 7

1. Istilah dan Pengertian Tindak Pidana ……………………. 7

2. Unsur- unsur Tindak Pidana ……………………………… 10

B. Tindak Pidana Terhadap Nyawa Manusia …………………... 16

C. Pertanggungjawaban Dalam Tindak Pidana ………………... 25

D. Pidana dan Pemidanaan ………………………………………. 31

1. Istilah Pidana dan Pemidanaan …………………………… 31

2. Teori-teori Pemidanaan ……………………………………. 33

3. Tujuan Pemdinaan …………………………………………. 40

BAB III. METODE PENELITIAN ……………………………………… 42

BAB 1V. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ……………….. 44

A. Hasil Penelitian ……………………………………………… 44

B. Pembahasan …………………………………………………. 72

BAB V. PENUTUP………………………………………………………… 96

A. Simpulan …………………………………………………….. 96

B. Saran

DAFTAR PUSTAKA

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Masalah definisi hukum tidak semudah untuk merumuskannya seperti yang disangka orang

semula. Istilah hukum dapat diberikan definisi menurut sudut pandangan seseorang dari mana

aspek hukum itu diperhatikan. Keyakinan lama bahwa sesuatu itu hanya empunyai satu substansi

telah diubah oleh kenyataan yaitu apabila seorang menyidik berbeda tujuan dengan penyelidikan

yang lain, maka akan mempunyai tekanan pada aspek sesuatu/res itu secara berbeda-beda

pula.(Bambang Poernomo, 1982: 17).

Hukum adalah himpunan peraturan-peraturan, yang berupa perintah atau larangan yang

mengharuskan untuk ditaati oleh masyarakat itu. Berkaitan dengan tindak pidana Moeljatno

merumuskan istilah perbuatan pidana, yaitu perbuatan yang oleh aturan hukum pidana dilarang

dan diancam dengan pidana, barang siapa yang melanggar larangan tersebut (Moeljatno, 1987:

1).

Suatu perbuatan akan menjadi suatu tindak pidana apabila mempunyai sifat-sifat sebagai

berikut :

a. melawan hukum;

b. merugikan masyarakat;

c. dilarang oleh aturan pidana.

d. pelakunya diancam dengan pidana (M. Sudradjat Bassar, 1982: 2).

Hukum pidana dikenal suatu azas yang merupakan dasar dari hukum pidana yakni azas

legalitas yaitu “Nullum delictum nulla poena sine praevia lege poenali”, dalam Kitab Undang-

undang Hukum Pidana (KUHP) Pasal 1 ayat (1) dirumuskan sebagai berikut :

Tiada suatu perbuatan dapat dipidana kecuali atas kekuatan aturan pidana dalam

perundang-undangan yang telah ada sebelum perbuatan itu dilakukan.

Berdasarkan rumusan Pasal 1 ayat (1) KUHP tersebut secara tegas ditunjuk perbuatan

mana yang dapat berakibat pidana tentu saja bukan perbuatannya yang dipidana, tetapi orang

yang melakukan perbuatan itu, yaitu :

1. Perbuatan itu harus ditentukan oleh perundang-undangan pidana sebagai perbuatan yang

pelakunya dapat dijatuhi pidana.

2. Perundang-undangan pidana itu harus sudah ada sebelum perbuatan itu dilakukan.

(Teguh Prasetyo, 2010 : 38).

Selanjutnya berkenaan dengan asas legalitas Moejatno berpendapat bahwa terdapat tiga

pengertian yang terkandung di dalamnya, yaitu :

(1) Tidak ada perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana kalau hal itu terlebih

dahulu belum dinyatakan dalam suatu aturan undang-undang.

(2) Untuk menentukan adanya perbuatan pidana tidak boleh digunakan analogi (kiyas).

(3) Aturan-aturan hukum pidana tidak berlaku surut. (Moeljatno, 1982 : 17).

Menurut Jan Remmelink, kata hukum pidana pertama-tama digunakan untuk merujuk pada

keseluruhan ketentuan yang menetapkan syarat-syarat apa saja yang mengikat Negara, bila

Negara tersebut berkehendak untuk memunculkan hukum mengenai pidana, serta aturan-aturan

yang merumuskan pidana macam apa saja yang dikenakan. Hukum pidana dalam artian ini adalah

hukum pidana yang berlaku atau hukum pidana positif, yang juga sering disebut ius poenale (Jan

Remmelink, 2003: 1). Selanjutnya dikatakan bahwa hukum pidana yang demikian mencakup :

1. perintah dan larangan yang atas pelanggaran terhadapnya oleh organ-organ yang

dinyatakan berwenang oleh undang-undang dikaitkan (ancaman) pidana, norma-

norma yang harus ditaati oleh siapapun juga;

2. ketentuan-ketentuan yang menetapkan sarana-sarana apa yang dapat

didayagunakan sebagai reaksi terhadap pelanggaran norma-norma itu, hukum

penitensier atau lebih luas, hukum tentang sanksi;

3. aturan-aturan yang secara temporal atau dalam jangka waktu tertentu

menetapkan batas ruang lingkup kerja dari norma-norma. (Jan Rammelink, 2003

: 1).

Pidana sebagai sarana pengenaan atau nestapa terhadap pelaku tindak pidana, Sudarto

mengatakan bahwa :

Hukum Pidana sebagai sarana pertama dalam menanggulangi kejahatan di samping sebagai

kontrol sosial atau pengendalian masyarakat. Sebagai kontrol sosial, fungsi hukum pidana

adalah subsider, artinya hukum pidana baru diadakan apabila usaha-usaha lain kurang

memadai. Sanksi yang tajam dalam hukum pidana membedakan dari lapangan hukum

lainnya, sehingga hukum pidana sengaja mengenakan penderitaan dalam mempertahankan

norma yang diakui dalam hukum (Sudarto, 1990 : 10).

Selanjutnya D. Hazewink Suringa, dalam bukunya membagi hukum pidana dalam arti :

a. Objek (ius poenali), yang meliputi :

1) Perintah dan larangan yang pelanggarannya diancam dengan sanksi pidana oleh

badan yang berhak.

2) Ketentuan-ketentuan yang mengatur upaya yang dapat digunakan, apabila norma itu

dilanggar, yang dinamakan Hukum Penitensier.

b. Ius puniendi

Yaitu hak Negara menurut hukum untuk menuntut pelanggaran delik dan untuk

menjatuhkan serta melaksanakan pidana.(Teguh Prasetyo, 2010: 5).

Menurut ujudnya atau sifatnya, perbuatan-perbuatan pidana ini adalah perbuatan-perbuatan

yang melawan hukum. Perbuatan-perbuatan ini juga merugikan masyarakat, dalam arti

bertentangan dengan atau menghambat akan terlaksananya tata dalam pergaulan masyarakat

bahwa perbuatan pidana itu adalah perbuatan yang anti sosial (Moeljatno dalam bukunya

Roeslan Saleh, 1980: 13).

Penerapan hukum pidana, adalah sebagai salah satu upaya untuk mengatasi masalah sosial

termasuk dalam bidang kebijakan penegakan hukum. Di samping itu karena tujuannya adalah

untuk mencapai kesejahteraan masyarakat pada umumnya, maka kebijakan penegakan hukum

itupun termasuk dalam bidang kebijakan sosial, yaitu segala usaha yang rasional untuk mencapai

kesejahteraan masyarakat. Kejahatan terhadap jiwa seseorang diatur dalam BAB XIX Buku II

KUHP. Bentuk yang pokok dari kejahatan ini adalah pembunuhan (doodslag) yaitu

menghilangkan jiwa seseorang.

Salah satu motif melakukan tindak pidana terhadap nyawa adalah antara lain dengan cara

melakukan pembunuhan secara bersama-sama melakukan pembunuhan dengan direncanakan

terlebih dahulu. Hal tersebut diatur dalam Pasal 340 KUHP jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.

Dalam kasus sebagaimana tersebut pada Putusan Perkara No. 81/Pid.B/2010/PN.Clp para

terdakwa Wastar alias Masdulham bin Madiswan dan Samirno alias Madmukti bin Kartamiharja

baik sendiri-sendiri maupun bersama dengan Wartam alias Wahyono bin Kartamiharja dan

Dudung bin Enceng dan Sahidin turut melakukan perbuatan dengan sengaja dan dengan

direncanakan lebih dahulu mengilangkan jiwa orang lain, perbuatan maka dilakukan oleh para

terdakwa dengan cara korban ketika berada di kubug dilembari batu yang masing-masing telah

dibawanya sehingga korban jatuh roboh ke tanah, pada saat itu terdakwa memukul korban dengan

menggunakan linggis selanjutnya leher korban dijerat dengan menggunakan tali plastic serta

menariknya ke atas sambil menginjak punggung korban juga menarik tangan kirinya sedangkan

Sahidin menarik tangan kanannya, terdakwa Samirno alias Madmukti pada saat itu memukul

pantat dan kaki korban dengan menggunakan sebatang kayu dadap sepanjang kurang lebih satu

meter yang didapat disekitar tempat itu dan selanjutnya korban maninggal dunia. Kesimpulan dari

visum et repertum yang dilakukan oleh dokter Muslim M, dokter pada Puskesmas Karangpucung

I Nomor : 440/240/12/09 tanggal 29 Desember 2010 yang dibuat berdasarkan sumpah, adalah

korban mati akibat sumbatan jalan nafas dan benturan keras didada sebelah kiri.

Berdasarkan latar belakang tersebut, maka penulis tertarik untuk meneliti tentang

pertanggungjawaban pidana terhadap para terdakwa dalam tindak pidana pembunuhan berencana

secara bersama-sama pada Putusan Perkara Pengadilan Negeri Cilacap No.

81/Pid.B/2010/PN.Clp.

B. Perumusan Masalah

1. Bagaimanakah pertanggungjawaban pidana terhadap para pelaku dalam tindak pidana

pembunuhan berencana secara bersama-sama pada Putusan Perkara No. 81/Pid.B/2010/PN.Clp.

2. Apa dasar pertimbangan Hakim dalam menjatuhkan pidana dalam tindak pidana pembunuhan

berencana secara bersama-sama pada Putusan No.81/Pid.B/2010/PN.Clp.

C. Tujuan Penelitian

1. Untuk mengetahui pertanggungjawaban pidana terhadap para pelaku dalam tindak pidana

pembunuhan berencana secara bersama-sama pada Putusan Perkara No. 81/Pid.B/2010/PN.Clp.

2. Untuk mengetahui dasar pertimbangan Hakim dalam menjatuhkan putusan pidana dalam tindak

pidana pembunuhan berencana secara bersama-sama pada Putusan Perkara

No.81/Pid.B/2010/PN.Clp.

D. Kegunaan Penelitian

1. Kegunaan secara teoritis

Pada hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi pengembangan ilmu hukum,

khususnya untuk memperluas pengetahuan dan pemahaman serta untuk menambah referensi

khususnya tentang tindak pidana pembunuhan berencana secara bersama-sama.

2. Kegunaan secara praktis

Untuk membantu dalam praktik sebagai sumbangan pemikiran yang dapat dipakai dalam

pengambilan kebijakan oleh pihak-pihak yang terkait khususnya dalam menangani masalah

tindak pidana pembunuhan berencana yang dilakukan secara bersama-sama.

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Tindak Pidana

1. Istilah dan Pengertian Tindak Pidana

Istilah tindak pidana sebagai terjemahan dari “Strafbaarfeit” merupakan perbuatan yang

dilarang oleh undang-undang yang diancam dengan pidana (Kartanegara, 1990: 74).

Menurut M. Sudradjat Bassar :

Peristilahan yang sering dipakai dalam hukum pidana yaitu “tindak pidana”. Istilah ini

dimaksudkan sebagai terjemahan dari Bahasa Belanda, yaitu delict atau strafbaar

feit.(Bassar, 1986 : 1).

Perbuatan yang memenuhi syarat-syarat tertentu itu dimaksudkan adalah perbuatan yang

dilakukan oleh orang, yang memungkinkan adanya pemberian pidana. Perbuatan semacam itu

dapat disebut perbuatan yang dapat dipidana atau disingkat perbuatan jahat (Verbrechen atau

Crime). Oleh karena dalam perbuatan jahat ini harus ada orang yang melakukannya, maka

persoalan tentang perbuatan tertentu itu diperinci menjadi dua, ialah perbuatan yang dilarang dan

orang yang melanggar larangan itu.

Menurut Lamintang, pembentuk undang-undang telah menggunakan perkataan strafbaar

feit untuk menyebutkan apa yang kita kenal sebagai tindak pidana. Di dalam KUHP apa

yang dimaksud dengan strafbaar feit tidak dijelaskan secara jelas. Istilah tindak pidana

merupakan terjemahan dari istilah Belanda, yaitu strafbaar feit yang berasal dari kata

strafbaar, artinya dapat dihukum (Lamintang, 1984: 72).

Sedangkan Strafbaar feit mengenai istilah tindak pidana di dalam perundang-undangan di

Indonesia dapat dijumpai istilah-istilah lain yang dimaksud juga sebagai istilah tindak pidana,

yaitu :

a. Peristiwa pidana (UUDS 1950 Pasal 14 ayat (1)).

b. Perbuatan pidana (UU Darurat No. 1 tahun 1951, UU mengenai : tindak sementara

untuk menyelenggarakan kesatuan susunan, kekuasaan dan acara pengadilan-

pengadilan sipil, Pasal 5 ayat 3b).

c. Perbuatan-perbuatan yang dapat dihukum (UU Darurat No. 2 Tahun 1951 tentang :

Perubahan Ordonantie tijdelijke by zondere strafbepalingen S. 1948 – 17 dan UU RI

(dahulu) No. 8 tahun 1948 Pasal 3.

d. Hal yang diancam dengan hukum dan perbuatan-perbuatan yang dapat dikenakan

hukuman (UU Darurat No. 1951, tentang Penyelesaian perselisihan perburuhan, Pasal

19, 21, 22).

e. Tindak pidana (UU Darurat No. 7 tahun 1953 tentang Pemilihan Umum, Pasal 129).

f. Tindak pidana (UU Darurat No. 7 Tahun 1955 tentang Pengusutan, penuntutan dan

peradilan Tindak Pidana Ekonomi, Pasal 1 dan sebagainya).

g. Tindak pidana (Penetapan Presiden No. 4 Tahun 1964 tentang kewajiban kerja bakti

dalam rangka permasyarakatan bagi terpidana karena melakukan tindak pidana yang

merupakan kejahatan, Pasal 1).(Sudarto, 1990: 23).

Selanjutnya Sudarto mengatakan bahwa, pembentuk undang-undang sekarang sudah agar

tepat dalam pemakaian istilah “tindak pidana”. Akan tetapi para sarjana hukum pidana

mempertahankan istilah yang dipilihnya sendiri, misalnya Prof. Moeljatno, Guru Besar pada

Universitas Gadjah Mada menganggap lebih tepat dipergunakan istilah “perbuatan pidana”

(dalam pidatonya yang berjudul “ Perbuatan pidana dan pertanggungjawaban dalam hukum

pidana”.(Sudarto, 1990: 33).

Menurut Satochid Kartanegara dalam kuliah-kuliahnya telah menggunakan perkataan

“tindak pidana” sebagai terjemahan dari Strafbaar feit”. (Kartanegara, 19xx: 74).

Dalam sari Kuliah Hukum Pidana I, Utrecht juga memakai istilah peritiwa pidana, beliau

berpendapat bahwa perbuatan itulah keadaan yang dibuat oleh seseorang atau barang sesuatu

yang dilakukan, sedangkan Tirtaamidjaja (Pokok-pokok Hukum Pidana 1955) memakai istilah

“pelanggaran pidana” untuk mengartikan strafbaar feit (Moeljatno, 1983: 9).

Pembahasan istilah tindak pidana tersebut dimaksudkan untuk memahami pengertian

pidana sebagai sanksi atas delik, sedangkan pemidanaan berkaitan dengan dasar-dasar

pembenaran pengenaan pidana serta teori-teori tentang tujuan pemidanaan itu sendiri.

Perlu dikemukakan di sini bahwa pidana adalah merupakan suatu istilah yuridis yang

mempunyai arti khusus sebagai terjemahan dari bahasa Belanda "straf" yang dapat diartikan juga

sebagai "hukuman".

Sebagaimana dikemukakan oleh Moeljatno bahwa istilah hukuman yang berasal dari kata

"straf" ini dan istilah "dihukum" yang berasal dari perkataan "wordt gestraft", adalah

merupakan istilah-istilah konvensional. (Moeljatno, 1987).

Moeljatno tidak setuju dengan istilah-istilah itu dan menggunakan istilah-istilah yang

inkonvensional, yaitu "pidana" untuk menggantikan kata "straf" dan diancam dengan pidana"

untuk menggantikan kata "wordt gestraft". Jika "straf" diartikan "hukuman", maka strafrecht

seharusnya diartikan dengan hukuman-hukuman. Selanjutnya dikatakan oleh Moeljatno bahwa

"dihukum" berarti "diterapi hukum" baik hukum pidana maupun hukum perdata. Hukuman

adalah hasil atau akibat dari penerapan hukum tadi yang maknanya lebih luas dari pada pidana,

sebab mencakup juga keputusan hakim dalam lapangan hukum perdata. (Muladi & Arief, 1992:

1).

Berkaitan dengan pendapat tersebut di atas, Sudarto mengatakan bahwa "penghukuman"

berasal dari kata dasar "hukum", sehingga dapat diartikan sebagai "menetapkan hukum"

atau "memutuskan tentang hukuman" (berechten). Menetapkan hukum untuk suatu

peristiwa tidak hanya menyangkut bidang hukum pidana saja, akan tetapi juga hukum

perdata. (Sudarto, 1981: 68).

Menurut Pompe pengertian strafbaar feit dibedakan menjadi dua, yaitu :

a. Definisi menruut teori adalah suatu pelanggaran terhadap norma yang dilakukan

terhadap kesalahan pelanggar dan diancam pidana untuk mempertahankan tata hukum

dan menyelamatkan kesejahteraan umum.

b. Definisi menurut hukum positif adalah suatu kejadian atau feit oleh undang-undang

dirumuskan sebagai suatu perbuatan yang dapat dihukum (Bambang Poernomo, 1988

: 87).

Wirjono Prodjodikoro menggunakan istilah tindak pidana dan memberikan definisi

tindak pidana, yaitu suatu perbuatan yang pelakunya dapat dikenakan hukuman pidana.

(Prodjodikoro, 1981 : 50).

Istilah tindak pidana oleh Moeljatno disebut sebagai perbuatan pidana, dimaksudkan

sebagai perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum larangan mana disertai ancaman

(sanksi) yang berupa pidana, bagi barang siapa melanggar larangan tersebut. Lebih lanjut

Moeljatno mengemukakan bahwa antara larangan dan ancaman pidana ada hubungan yang erat,

oleh karena itu antara kejadian dan orang-orang yang menimbulkan kejadian itu, ada hubungan

yang erat pula, yang satu tidak dapat dipisahkan dari yang lain, dan justru untuk menyatakan

hubungan yang erat itu dipakai istilah perbuatan. (Moeljatno, 1993 : 54).

2. Unsur-unsur Tindak Pidana

Pengertian unsur tindak pidana berbeda dengan pengertian unsur-unsur tindak pidana

sebagaimana tersebut dalam rumusan undang-undang. Pengertian pertama ialah lebih luas

daripada yang kedua. Unsur dalam pengeritan yang kedua dalam bahasa Belanda disebut

elenment van dewettelijk delictum achrijving.

Pengertian unsur tidak pidana hendakya dibedakan dari pengertian unsur-unsur tindak

pidana sebagaimana tersebut dalam rumusan undang-undang. Pengertian yang perama

(unsur), ialah lebih luas dari yang kedua (unsur-unsur). Misalnya unsur-unsur (dalam arti

sempit) dari tindak pidana pencurian biasa, ialah yang tercantum dalam Pasal 362 KUHP.

(Sudarto, 1990: 43).

Sedangkan menurut Lamintang :

Setiap tindak pidana dalam KUHP pada umumnya dapat dijabarkan unsur-unsurnya

menjadi dua macam, yaitu unsur-unsur subyektif dan obyektif (Lamintang, 1984: 123).

Pengertian unsur-unsur subyektif adalah unsur-unsur yang melekat pada diri si pelaku atau

yang berhubungan dengan diri si pelaku dan termasuk ke dalamnya yaitu segala sesuatu yang

terkandung di dalam hatinya. Sedangkan yang dimaksud unsur obyektif itu adalah unsur-unsur

yang ada hubungannya dengan keadaan-keadaan, yaitu keadaan-keadaan mana tindakan dari si

pelaku itu harus dilakukan.

Pengertian Unsur-unsur subyektif dari sesuatu tindak pidana itu adalah :

1. kesengajaan atau ketidaksengajaan (dolus/culpa);

2. maksud atau voornemen pada suatu percobaan atau poging seperti yang dimaksud

dalam Pasal 53 (1) KUHP;

3. Macam-macam maksud atau oogmerk seperti yang terdapat misalnya di dalam

kejahatan-kejahatan pencurian, penipuan, pemerasan, pemalsuan dan lain-lain;

4. Merencanakan terlebih dahulu atau voorbedachte raad seperti yang misalnya terdapat

di dalam kejahatan pembunuhan menurut Pasal 340 KUHP;

5. Perasaan takut atau vrees seperti yang antara lain terdapat di dalam rumusan tindak

pidana menurut Pasal 308 KUHP.

Sedangkan unsur-unsur dari sesuatu tindak pidana itu adalah :

1. sifat melanggar hukum

2. kualitas dari si pelaku

3. kausalitas, yakni hubungan antara sesuatu tindakan sebagai penyebab dengan sesuatu

kenyataan sebagai akibat. (Lamintang, 1984: 184).

Di dalam kuliah-kuliah, Satochid Kartanegara menggunakan perkataan “unsur”

sebagaimana kumpulan bagi apa yang disebut bestandel dan element. (Lamintang, 1984: 186).

Berkaitan dengan pengertian unsur-unsur tindak pidana (strafbaar feit) ada beberapa

aliran dalam memberikan rumusan tentang pengertian unsur-unsur tindak pidana yaitu menurut

aliran monistis dan menurut aliran dualistis.

Sarjana yang berpandangan aliran monistis, yaitu :

a. D. Simons

Unsur-unsur Strafbaar feit adalah :

1. perbuatan manusia (positif atau negatif, berbuat atau tidak berbuat atau

membiarkan.

2. Diancam dengan pidana (strafbaar gesteld).

3. Melawan hukum (onrechtmatig).

4. Dilakukan dengan kesalahan (met schuld in verband staand)

5. oleh orang yang mempu bertanggung jawab (teorekeningsvatbaar persoon).

Simons mengatakan adanya unsur obyektif dan unsur subyektif dari stafbaar feit adalah

:

1. Yang dimaksud dengan unsur obyektif ialah : perbuatan orang

2. Akibat yang kelihatan dari perbuatan itu

3. Mungkin ada keadaan tertentu yang menyertai perbuatan-perbuatan itu sepeti dalam

Pasal 281 KUHP sifat “openbaar´atau “dimuka umum”

Sedangkan unsur subyektif dari strafbaar feit adalah :

1. orangnya mampu bertanggung jawab;

2. adanya kesalahan (dolus atau culpa). Perbuatan harus dilakukan dengan kesalahan.

Kesalahan ini dapat berhubungan dengan akibat dari perbuatan atau dengan keadaan-

keadaan mana perbuatan itu dilakukan.

b. Van Hamel :

Strafbaar feit adalah Een wettelijk omschre ven menschelijke gedraging, onrechmatig,

strafwardig en aan schuld te wijten.

Jadi unsur-unsurnya :

1. perbuatan manusia yang dirumuskan dalam undang-undang

2. bersifat melawan hukum

3. dilakukan dengan kesalahan dan,

4. patut dipidana.

c. E. Mezger

Tindak pidana adalah keseluruhan syarat untuk adanya pidana, dengan demikian unsur-

unsurnya adalah :

1. perbuatan dalam arti yang luas dari manusia (aktif atau membiarkan);

2. sifat melawan hukum (baik bersifat obyektif maupun bersifat subyektif)

3. dapat dipertanggungjawabkan kepada seseorang

4. diancam dengan pidana.

d. Wirjono Prodjodikoro

Beliau mengemukakan definisi pendek yakni : tindak pidana berarti suatu perbuatan

yang pelakunya dapat dikenakan pidana. (Sudarto, 1991: 25).

Dari pendapat beberapa sarjana yang beraliran monistis tersebut dapat disimpulkan bahwa

tidak adanya pemisalah antara criminal act dan criminal reponsibility.

Selanjutnya tentang pandangan para sarjana yang beraliran dualistis tentang adanya unsur-

unsur tindak pidana, yaitu :

a. H.B. Vos

Strafbaar feit hanya berunsurkan :

1. kelakuan manusia dan

2. diancam pidana dalam undang-undang

b. W.P.J. Pompe

Menurut hukum positif strafbaar feit adalah tidak lain dari feit, yang diancam pidan

adalam ketenteuan undang-undang, jadi perbuatan itu adalah perbuatan yang bersifat

melawan hukum, dilakukan dengan kesalahan dan diancam pidana.

c. Moeljatno

Dalam pidato Dies Natalis tersebut beliau mememberikan arti tentang strafbaar cfeit,

yaitu sebagai perbuatan yang diancam dengan pidana, barang siap amelanggar larangan

tersebut. Untuk adanya perbuatan pidana harus ada unsur-unsur :

1. perbuatan (manusia);

2. yang memenuhi rumusan dalam undang-undang (ini merupakan syarat formal dan,

3. bersifat melawan hukum (ini merupakan syarat materiil).

Jadi dari pandangan sarjana yang beraliran dualistis ini ada pemisahan antara criminal act

dan criminal responsibility. (Sudarto, 1990: 26).

Menurut sistem KUHP kita tindak pidana dibagi atas kejahatan (misdrijven) dan

pelanggaran(overtredingen). Pembagian dalam dua jenis ini, tidak ditentukan dengan nyata-nyata

dalam suatu pasal KUHP, tetapi sudah dianggap demikian adanya.

Menurut Sudarto, dikatakan :

dalam Buku II KUHP diatur tentang Kejahatan sedangkan dalam Buku III diatur tentang

Pelanggaran. Dengan kata lain KUHP tidak memberikan kriteria mengenai pembedaan

jenis tindak pidana tersebut, tetapi KHUP hanya memasukan dalam kelompok pertama

kejahatan dan kelompok kedua pelanggaran. (Sudarto, 1990: 50).

Untuk mencari secara intensif ukuran kedua jenis tindak pidana tersebut, di dalam ilmu

pengetahuan didapati ukuran dua jenis delik, ialah :

a. Kejahatan dan Pelanggaran

1) rechtsdelicten

ialah perbuatan yang bertentangan dengan keadilan, terlepas apakah perbuatan itu

diancam pidana dalam suatu undang-undang atau tidak, jadi yang benar-benar

dirasakan oleh masyarakat sebagai bertentangan dengan keadilan, misal :

pembunuhan, pencurian. Delik-delik semacam ini disebut “kejahatan”.

2) wetsdelicten

ialah perbuatan yang oleh umum baru disadari sebagai tindak pidana, karena undang-

undang menyebutnya sebagai delik, jadi karena ada undang-undang mengancamnya

dengan pidana. Misal memparkir mobil di sebelah kanan jalan (mala quita

prohibita). Delik-delik semacam ini disebut “pelanggaran”.

Perbedaan secara kualitatif ini tidak dapat diterima sebab ada kejahatan, yang baru

disadari sebagai delik, karena tercantum dalam undang-undang pidana, jadi

sebenarnya tidak segera dirasakan sebagai bertentangan dengan rasa keadilan. Dan

sebaliknya ada “pelanggaran”, yang memang benar-benar dirasakan bertentangan

dengan rasa keadilan. Oleh karena perbedaan secara demikian itu tidak memuaskan,

maka dicari ukuran lain.

Antara kedua jenis delik itu ada perbedaan yang bersifat kualitatif. Menurut

Pendirian ini hanya meletakkan kriterium pada perbedaan yang dilihat dari segi

kriminologi, ialah “pelanggaran” itu lebih ringan daripada “kajahatan”

3) Delik formil dan delik materiil

Delik formil, ialah delik yang perumusannya dititikberatkan pada perbuatan yang

dilarang. Delik tersebut telah selesai dengan dilakukannya perbuatan seperti

tercantum dalam rumusan delik, misalnya : Pasal 160, 362 KUHP dll..

Sedangkan delik materiil, adalah delik yang permusannya dititikberatkan kepada

akibat yang tidak dikehendaki (dilarang). Delik ini baru selesai apabila akibat yang

tidak dikehendaki itu telah terjadi. Kalau belum, maka paling banyak hanya ada

percobaan, misal Pasal 338 KUHP.

4) Delik Dolus dan Delik Culpa

a. Delik Dolus : delik yang memuat unsur kesengajaan, misal : Pasal 187, 197, 245,

263, 310, 338 KUHP.

b. Delik Culpa : delik yang memuat kealpaan sebagai salah satu unsur, misalnya :

Pasal 195, 197, 201, 231 ayat (4) dan Pasal 359, 360 KUHP

5) Delik Commissionis, delik Ommissionis dan delik Commissionis perommisionis

commissa.

a. Delik Commissionis : delik yang berupa pelanggaran terhadap larangan, ialah

berbuat sesuatu yang dilarang, pencurian, penggelapan, penipuan.

b. Delik Ommisionis: delik yang berupa pelanggaran terhadap perintah, misal : tidak

menghadap sebagai saksi di muka pengadilan (Pasal 552 KUHP), tidak menolong

orang yang memerlukan pertolongan (Pasal 531).

c. Delik Commissionis per ommissionis commissa: delik yang berupa pelangaran

larangan (dua delik commisionis), akan tetapi dapat dilakukan dengan cara tidak

berbuat. Misal : seorang ibu yang membunuh anaknya dengan tidak memberi air

susu (Pasal 338, 340 KUHP), seorang penjaga wissel yang menyebabkan

kecelakaan kereta api dengan sengaja tidak memindahkan wissel (Pasal 194

KUHP)

6) Delik tungal dan delik berganda

a. Delik tunggal : delik yang cukup dilakukan dengan perbuatan satu kali

b. Delik berganda : delik baru yang merupakan delik, apabila dilakukan beberapa

kali perbuatan, misal Pasal 481 KUHAP (penahanan sebagai kebiasaan)

7) Delik yang berlangsung terus dan delik yang tidak berlangsung terus (voortdurende en

niet voortdurende (aflopende delicten). Delik yang berlangsung terus adalah delik

yang mempunyai ciri bahwa keadaan terlarang berlangsung terus, misalnya

merampas kemerdekaan seseorang (Pasal 333 KUHP).

8) Delik aduan dan bukan delik aduan

a. Delik aduan: delik yang penuntutannya hanya dilakukan apabila ada pengaduan

dari pihak yang terkena, misal : penghinaan (Pasal 310 dan seterusnya jo Pasal

319 KUHP), perzinahan (Pasal 284 KUHP), chantage (perampasan dengan

ancaman pencemaran, Pasal 335 ayat 1 sub 2 KUHP jo ayat 2).

b. Bukan delik aduan : delik yang penuntutannya tidak memerlukan adanya

pengaduan.

9) Delik ekonomi (biasanya disebut tindak pidana ekonomi) dan bukan delik ekonomi.

Apa yang disebut tindak pidana ekonomi itu terdapat dalam Pasal 1 Undang-Undang

Darurat No. 7 tahun 1955, UU Darurat tentang Tindak Pidana Ekonomi.

10) Kejahatan Ringan

Dalam KUHP, kejahatan-kejahatan ringan antara lain : Pasal 364, 373, 375, 482, 384,

352, 302 (1), 315, 407. (Sudarto, 1990: 51-53).

B. Tindak Pidana Terhadap Nyawa Manusia

1. Jenis-jenis Tindak Pidana Pembunuhan

Tindak pidana pembunuhan terdiri atas beberapa jenis, antara lain :

a. Menurut Anwar, tindak pidana pembunuhan terbagi atas beberapa jenis, antara lain :

1) Pembunuhan dengan direncanakan terlebih dahulu secara tenang (moored);

2) Pembunuhan anak;

3) Pembunuhan anak dengan direncanakan terlebih dahulu secara tenang;

4) Pembunuhan atas permintaan;

5) Pembunuhan kandungan. (Moch. Anwar, 1986:88).

b. Menurut Koeswadji, pembunuhan terbagi atas lima jenis, yaitu :

1) Pembunuhan dengan sengaja;

2) Pembunuhan dengan direncanakan lebih dahulu;

3) Pembunuhan dalam bentuk yang memperberat pidana;

4) Pembunuhan yang dilakukan atas permintaan yang sangat dari si korban;

6) Dengan sengaja menganjurkan atau membantu memberikan saran atau dengan upaya

kepada orang lain untuk bunuh diri. (Koeswadji, 1980:19).

c. Menurut Bassar. Tindak pidana pembunuhan terbagi atas beberapa jenis, yaitu:

1. Pembunuhan biasa (Pasal 338 KUHP)

2. Pembunuhan yang direncanakan (gequalificeerd) (Pasal 339 KUHP)

3. Pembunuhan yang direncanakan (Pasal 340 KUHP)

4. Pembunuhan anak (Pasal 341 KUHP)

5. Pembunuhan atas permintaan si korban (Pasal 334 KUHP)

6. Membunuh diri (Pasal 345 KUHP)

7. Menggugurkan kandungan (abortus) (Pasal 346 KUHP).(Basaar, 1984:121)

ad. 1) Pembunuhan biasa (doodslag)

Dalam pembunuhan biasa (doodslag), harus dipenuhi unsur :

a. Bahwa perbuatan itu harus disengaja dan kesengajaan itu harus timbul seketika itu juga

(dolus reptinus atau dolus impetus), ditunjukkan kepada maksud supaya orang itu mati.

b. Melenyapkan nyawa orang lain itu harus merupakan perbuatan yang “positif” walaupun

dengan perbuatan kecil sekalipun.

c. Perbuatan itu harus menyebabkan matinya orang:

1) Seketika itu juga, atau

2) Beberapa saat setelah dilakukannya perbuatan itu.

3) Harus ada hubungan diantara perbuatan yang dilakukan dengan kematian orang

tersebut. jadi kematian itu harus diakibatkan oleh perbuatan itu.

Istilah “orang dalam Pasal 338 KUHP itu, maksudnya adalah “orang lain”. Terhadap siapa

pembunuhan itu dilakukan tidak menjadi soal. Meskipun pembunuhan itu dilakukan

terhadap bapak atau ibu sendiri, termasuk juga pada pembunuhan yang dimaksud dalam

Pasal 338 KUHP.

Demikian juga apabila X bermaksud membunuh Y, akan tetapi karena kekeliruan yang

terbunuh itu bukan Y tetapi si Z. Maka perbuatan inipun merupakan pembunuhan karena

yang mati itu adalah orang lain daripada si pembunuh.

Terhadap pembunuhan biasa diancam hukuman penjara selama-lamanya 15 tahun,

yaitu sengaja melenyapkan nyawa orang karena bersalah melakukan pembunuhan.

ad. 2). Pembunuhan terkualifikasi (gequalificeerd)

Hal ini diatur dalam Pasal 339 KUHP. Adapun unsur-unsur dari kejahatan ini :

1. Pembunuhan ini dilakukan dengan maksud untuk mempersiapkan suatu perbuatan

pidana lain yang dilakukan sesudah pembunuhan itu. Sengaja membunuh sebagai

persiapan perbuatan pidana lain. Perbuatan itu diikuti oleh pidana lain.

2. Pembunuhan ini dilakukan dengan maksud untuk melakukan perbuatan pidana lain.

Pembunuhan itu berbarengan atau disertai dengan perbuatan pidana lain. Sengaja

membunuh untuk menggampangkan perbuatan pidana lain.

3. Pembunuhan ini dilakukan sesudah melakukan perbuatan lain dengan maksud :

a. Untuk menyelamatkan dirinya atau pengikut sertanya dari hukuman, atau

b. Supaya apa yang didapat dari perbuatan itu tetap akan ada ditangannya.

Perbuatan pidana yang lain itu diikuti pembunuhan dengan maksud seperti tersebut

dalam butir a dan b diatas, dan dilakukan ketika kedapatan tengah melakukan kejahatan.

Didalam kelakuan pembunuhan itu, orang-orang yang menyertai melakukan pebuatan pidana

lain tidak dipertanggungjawabkan tentang pembunuhan itu. Mereka hanya dipersalahkan

atas perbuatan pidana lain saja, kecuali apabila mereka membantu juga didalam pembunuhan

itu. Jadi, pembunuhan tersebut dalam pasal ini, hanya dipersalahkan kepada orang yang

melakukannya saja.

Sebab-sebab yang tersebut didalam unsur 1, 2 dan 3 diatas yang menyebabkan pembunuhan

itu, memberatkan tindak pidana itu, sehingga diancam hukuman selama-lamanya 20 tahun.

ad.3). Pembunuhan yang direncanakan (Moord)

Diatur dalam Pasal 340 KUHP yang merumuskan :

Barangsiapa dengan sengaja dan dengan direncanakan lebih dahulu menghilangkan

jiwa orang lain, dihukum, karena pembunuhan direncanakan (moord), dengan

hukuman mati atau penjara seumur hidup atau penjara sementara selama-lama dua

puluh tahun.

Sedangkan unsur-unsur dari kejahatan ini adalah :

1. Adanya kesengajaan (dolus premiditatus), yaitu kesengajaan yang harus disertai

dengan suatu perencanaan terlebih dahulu.

2. Yang bersalah didalam keadaan tentang memikirkan untuk melakukan maksudnya

dan tidak menjadi soal beberapa lama waktunya.

3. Diantara saat timbulnya pikiran untuk membunuh dan saat melakukan pembunuhan

itu, ada waktu ketenangan pikiran.

Berkaitan dengan rumusan Pasal 340 KUHP, R. Soesilo berpendapat :

Kejahatan ini dinamakan “pembunuhan dengan direncanakan lebih dahulu” (moord).

Boleh dikatakan ini, adalah suatu pembunuhan biasa (doodslag) dsb dalam Pasal 338,

akan tetapi dilakukan dengan direncanakan terlebih terdahulu.

Direncanakan lebih dahulu (voorbedachte rade) = antara timbulnya maksud untuk

dengan tenang meikirkan misalnya dengan cara bagaimanakah pembunuhan itu akan

dilakukan.

“Tempoh” ini tidak boleh terlalu sempit, akan tetapi sebaliknya juga tidak perlu terlalu

lama, yang penting ialah apakah didalam tempoh itu sipembuat dengan tenang masih

dapat berpikir-pikir, yang sebenarnya ia masih ada kesempatan untuk membatalkan

niatnya akan membunuh itu, akan tetapi tidak ia pergunakan. Pembunuhan dengan

mempergunakan racun hampir semua merupakan “moord”. (R. Soesilo, 1988: 241).

Pembunuhan berencana adalah suatu pembunuhan biasa seperti Pasal 338 KUHP, akan

tetapi dilakukan dengan direncanakan terdahulu. Direncanakan lebih dahulu (voorbedachte

rade) sama dengan antara timbul maksud untuk membunuh dengan pelaksnaannya itu masih

ada tempo bagi si pembuat untuk dengan tenang memikirkan misalnya dengan cara

bagaimanakan pembunuhan itu akan dilakukan. Perbedaan antara pembunuhan dan

pembunuhan direncanakan yaitu kalau pelaksanaan pembunuhan yang dimaksud Pasal 338

KUHP itu dilakukan seketika pada waktu timbul niat, sedangkan pembunuhan berencana

pelaksanaan itu ditangguhkan seelah niat itu timbul, untuk mengatur rencana, cara

bagiamana pembunuhan itu akan dilaksanakan. Jarak waktu antara timbulny aniat untuk

membunuh dan pelaksanaan pembunuhan itu masih demikian luang, sehingga pelaku masih

dapat berfikir, apakah pembunuhan itu diteruskan atau dibatalkan, atau pula merencanakan

dengan cara bagaimana ia melakukan pembunuhan

itu.(http://jiwoagung.blogspot.com/2011).

Berkaitan dengan perbendaan lain yang terletak dalam apa yang terjadi di dalam diri

sipelaku sebelum pelaksanaan menghilangkan jiwa seseorang (kondisi pelaku), H.A.K.

Moch. Anwar berpendapat :

Perbedaan lain terletak dalam apa yang terjadi di dalam diri si pelaku sebelum

pelaksanaan menghilangkan jiwa seseorang (kondisi pelaku). Untuk pembunuhan

direncanakan terlebih dulu diperlukan berfikir secara tenang bagi pelaku. Didalam

pembunuhan biasa, pengambilan putusan untuk menghilangkan jiwa seseorang

danpelaksanaannya merupakan suatu kesatuan, sedangkan pada pembunuhan

direncanakan terlebih dulu kedua hal itu terpisah oleh suatu jangka waktu yang

diperlukan guna berfikir secara tenang tentang pelaksanaannya, juga waktu untuk

member kesempatan guna membatalkan pelaksanaannya. Direncanakan terlebih dulu

memang terjadi pada seseorang dalam suatu keadaan dimana mengambil putusan

untuk menghilangkan jiwa seseorang ditimbulan oleh hawa nafsunya dan di bawah

pengaruh hawa nafsu itu juga dipersiapkan pelaksanaannya. (H.A.K. Moch Anwar,

1989: 8).

Bagi pembantu kejahatan ini tidak dikenakan peringanan hukuman dengan hukum

acara pidana hanya dihukum sepertiga dari hukuman pembunuhan biasa, akan tetapi harus

dikarenakan hukuman sepertiga dari hukuman yang tersebut dalam Pasal 340 KUHP. Jadi,

kesalahannya tetap membantu pembunuhan yang direncanakan dari semula, walaupun ia

sendiri tidak ikut merencanakan. Ancaman pidana terhadap pembunuhan yang direncanakan

(moord) ini yaitu mati atau pidana penjara seumur hidup atau selama-lamanya 20 tahun

penjara.

ad.4). Pembunuhan Anak (Kinderdoodslag).

Diatur dalam Pasal 341 KUHP. Pasal ini mengancam hukuman penjara selama-

lamanya 7 tahun. Yang kena pasal ini adalah apabila orang tua membunuh anak dengan

sengaja (tidak direncanakan terlebih dahulu) membunuh anak pada waktu dilahirkan atau

tidak beberapa lama setelah dilahirkan karena takut ketahuan bahwa ia melahirkan anak.

Kejahatan ini dinamakan “membunuh biasa anak” atau “makar mati anak”

(Kinderdoodslag).

ad.5). Pembunuhan atas permintaan si korban.

Diatur dalam Pasal 344 KUHP, yang mengancam hukuman penjara selama-lamanya

selama 12 tahun bagi orang yang menghilangkan jiwa orang lain atas permintaan orang itu

sendiri. Yang jelas dinyatakan dengan kesungguhan hati. Jadi, permintaan untuk

membunuh it harus disebutkan dengan nyata dan sungguh-sungguh.

Disini juga dijumpai lagi faktor yang meringankan yang bersalah, sehingga oleh

karenanya hakim tidak boleh menjatuhkan hukuman lebih dari 12 tahun, meskipun

perbuatan itu tidak bedanya dengan pembunuhan biasa atau yang direncanakan. Faktor yang

menguntungkan itu ialah adanya permintaan yang sungguh-sungguh dari orang yang diambil

nyawanya. Permintaan itu benar-benar harus terbukti merupakan desakan dan bersungguh-

sungguh. Permintaan yang begitu saja atau secara omongan atau keinginan yang diucapkan,

misalnya omongan seorang anak atau orang yang kurang sehat ingatannya, tidak dapat

dianggap suatu permintaan yang diisyaratkan didalam Pasal 344 KUHP.

ad.6). Membunuh Diri.

Yang membunuh diri tidak diancam hukuman. Akan tetapi orang yang sengaja menghasut,

membantu orang lain untuk bunuh diri, dapat dikenakan Pasal 345 KUHP, asal orang itu

betul-betul bunuh diri (mati). Apabila betul bunuh diri, tetapi tidak mati, orang yang

menghasut itu tidak dapat dihukum. Demikian juga orang yang memberikan tali atau

menjual obat kepada orang tanpa mengetahui, bahwa orang itu akan bunuh diri, tidak

dikenakan Pasal 345 KUHP, oleh karena pertolongan itu diberikan tidak dengan sengaja.

Ancaman hukuman paling lama 4 tahun penjara. Untuk berlaku Pasal 345 KUHP itu,

membunuh diri itu harus benar-benar terjadi dilakukan, artinya orangnya sampai mati

karenanya. Apabila tidak sampai terjadi kematian itu, maka yang melakukan pembujukan

atau membantu atau memberikan ikhtiar untuk bunuh diri it, dapat dituntut atas dasar

mencoba.

ad.7). Menggugurkan Kandungan (abortus).

Perempuan yang dengan sengaja menyebabkan gugur atau mati buah kandungannya. Atau

menyuruh orang menyebabkan hal itu, dihukum dengan hukuman penjara selama-lamanya 4

tahun. Yang dimaksud dengan “buah kandungan” disini yaitu belum merupakan bayi.

Menurut Yurisprudensi, buah kandungan itu harus sudah bernyawa, sudah mulai bergetar

didalam kandungannya.

Oleh karena sukar untuk membuktikan bahwa kandungan sudah bernyawa, maka diadakan

Pasal 299 KUHP terhadap orang yang dengan sengaja mengobati seorang wanita atau

menyuruhnya supaya diobati. Dengan menimbulkan harapan pada wanita itu tidak akan jadi

mengandung.

Mengenai masalah deelneming atau keturutsertaan oleh pembentuk undang-undang telah

diatur di dalam Pasal 55 dan 56 KUHP. Mengenai ketentuan di dalam Pasal 55 KUHP

menentukan sebagai berikut :

(1) Dihukum sebagai orang yang melakukan pidana :

1e. orang yang melakukan, yang menyuruh lakukan atau turut melakukan

perbuatan;

2e. mereka yang dengan memberian, perjanjian, salah memakai kekuasaan atau

pengaruh, kekerasan, ancaman atau tipu daya, atau dengan memberi kesempatan,

daya-upaya atau keterangan, sengaja membujuk atau melakukan sesuatu

perbuatan.

(2) Tentang orang-orang yang tersebut dalam sub 2e itu yang boleh dipertanggungkan

kepadanya hanyalan perbuatan yang dengan sengaja dibujuk oleh mereka itu, serta

dengan akibatnya.

R. Soesilo, dengan mendasarkan pada rumusan Pasal 55 ayat (1) KUHP mengatakan :

Disini disebutkan “peristiwa pidana”, jadi baik kejahatan maupun pelanggaran. yang

dihukum sebagai orang yang melakukan disini dapat dibagi atas 4 macam, yaitu :

1. Orang yang melakukan (pleger). Orang ini ialah seorang yang sendirian telah berbuat

mewujudkan segala anasir atau elemen dari peristiwa pidana. Dalam peristiwa pidana

yang dilakkan dalam jabatan misalnya orang itu harus pula memenuhi elemen status

sebagai pegawai negeri.

2. Orang yang menyuruh melakukan (doen plegen). Disini sedikitnya ada dua orang,

yang menyuruh (doen plegen) dan yang disuruh (pleger). Jadi bukan orang itu sendiri

yang melakukan peristiwa pidana, akan tetapi ia menyuruh orang lain, meskipun

demikian toch ia dipandang dan dihukum sebagai orang yang melakukan sendiri yang

melakukan peristiw apidana, akan tetapi ia menyuruh orang lainnya ia tidak dapat

dihukum karena tidak dapat dipertanggungjawabkan atas perbuatannya, misalnya

dalam hal-hal sebagai berikut :

a. tidak dapat dipertanggungjawabkan menurut Pasal 44 KUHP;

b. telah melakukan perbuatan itu itu karena terpaksa oleh kekuasaan yang tidak dapat

dihindarkan (overmacht);

c. telah melakukan perbuatan itu atas perintah jabatan yang tidak syah menurut Pasal

51 KUHP;

d. telah melakukan perbuatan itu dengan tidak ada kesalahan sama sekali.

3. Orang yang turut melakukan (medepleger). Turut melaukan dalam arti kata bersama-

sama melakukan. Sedikit-dikitnya harus ada sua orang, ialah orang yang melakukan

(pleger) dan orang turut melakukan (medepleger) peristiwa pidana.

4. Orang yang dengan pemberian, salah memakai kekuasaan, memakai kekerasan dsb.

(R. Soesilo, 1988 : 72-74).

Selanjutnya Pasal 56 KUHP menentukan :

Dihukum sebagai orang yang membantu melakukan kejahatan:

1e. barangsiapa dengan sengaja membantu melakukan kejahatan itu;

2e. barangsiapa dengan sengaja memberi kesempatan, daja-upaya atau keterangan

utuk melakukan kejahatan itu.

Terhadap Pasal 56 KUHP R. Soesilo berpendapat “

Orang salah membantu melakukan (medeplichtig), jika ia sengaja memberikan bantuan

tersebut, pada waktu atau sebelum (jadi tidak sesudahnya) kejahatan itu dilakukan. Bila

bantuan itu diberikan sesudah kejahatan itu dilakukan, maka orang salah melakukan

perbuatan sekongkol atau tadah (heling) melanggar Pasal 480, atau peristiwa pidana yang

tersebut dalam Pasal 221, (R. Soesilo, 1988 : 76).

Apabila suatu perbuatan tindak pidana dilakukan oleh lebih dari satu orang secara

bekerjasama atau bersama-sama dengan oang lain, dan tiap-tiap peserta mengambil bagian atau

tiap-tiap peserta memberikan sumbangan atau andil dalam bentuk Sesutu perbuatan dari para

peserta, bila tidak maka tindak pidana itu tidak akan terlaksana. Dalam hal yang sedemikian

secara logis pertanggungjawabannyapun harus dibagi di antara para peserta, dengan perkataan

lain tiap-tiap peserta harus juga turut dipertanggungjawabkan atas perbuatan-perbuatannya,

berhubung tanpa perbuatannya tidak mungkin tindak pidana itu terselesaikan (Moch. Anwar,

1982 : 1).

Sedangkan menurut Sugandhi, pengertian “secara bersama-sama” dalam Pasal 55

KUHP ini diartikan sebagai “orang yang turut melakukan”, jadi dalam tindak pidana ini

pelakunya paling sedikit harus ada 2 orang, yakni yang melakukan dan yang turut melakukan.

(Sugandhi, 1980 : 70).

Lebih lanjut Sugandhi mengatakan, pengertian “secara bersama-sama” adalah dilakukan

oleh dua orang atau lebih bersama-sama. Orang yang hanya mengikuti dan tidak turut melakukan

kekerasan, tidak dapat dituntut dengan pasal ini. (Sugandhi, 1980 : 190).

C. Pertanggungjawaban Dalam Tindak Pidana

1. Pengertian Pertanggung jawaban Pidana

Pengertian perbuatan pidana telah diajukan bahwa dalam istilah tersebut tidak

termasuk pertanggungan jawab. Perbuatan pidana hanya menunjuk kepada dilarang dan

diancamnya perbuatan dengan suatu pidana. Apakah orang yang melakukan perbuatan

kemudian juga dijatuhi pidana, sebagaimana telah diancamkan, ini tergantung dari soal apakah

dalam melakukan perbuatan ini dia mempunyai kesalahan. Sebab menurut Moeljatno dikatakan

bahwa azas dalam pertanggunganan jawab dalam hukum pidana ialah tidak dipidana jika tidak

ada kesalahan (geen straf zonder schuld; Actus non facit reum nisi mens sit rea). Azas ini tidak

tersebut dalam hukum tertulis tapi dalam hukum yang tak tertulis yang juga di Indonesia

berlaku Hukum pidana fiscal tidak memakai kesalahan. Di sana kalau orang telah melanggar

ketentuan, dia diberi pidana denda atau rampas. (Moeljatno, 1982 : 104).

Lebih lanjut Moeljatno mengatakan :

Pertanggungan jawab tanpa adanya kesalahan dari fihak yang melanggar, dinamakan

leer van het materiele feit (feit materielle). Dahulu dijalankan atas pelanggaran tapi

sejak adanya arrest susu dari H.R. 1916 Nederland, hal itu ditiadakan. Juga bagi delik-

delik jenis overtredingen, berlaku azas tanpa kesalahan, tak mungkin dipidana.

(Moeljatno, 1982 : 104).

Sedangkan Roeslan Saleh berpendapat :

a. Dalam pengertian perbuatan pidana tidak termasuk hal pertanggungjawaban.

Perbuatan pidana hanya menunjuk kepada dilarangnya perbuatan. Apakah orang

yang telah melakukan perbuatan itu kemudian juga dipidana, tergantung pada soal,

apakah dia dalam melakukan perbuatan itu mempunyai kesalahan atau tidak.

Apabila orang yang melakukan perbuatan pidana itu memang mempunyai

kesalahan, maka tentu dia akan dipidana. Tetapi, manakala dia tidak mempunyai

kesalahan, walaupun dia telah melakukan perbuatan yang terlarang dan tercela, dia

tentu tidak dipidana. Asas yang tidak tertulis “tidak dipidana jika tidak ada

kesalahan”, merupakan dasar daripada dipidananya si pembuat.

b. Jadi perbuatan yang tercela oleh masyarakat itu dipertanggung jawabkan pada si

pembuatnya. Artinya celaan yang obyektif terhadap perbuatan itu kemudian

diteruskan kepada si terdakwa. Menjadi soal selanjutnya, apakah si terdakwa juga

dicela dengan dilakukannya perbuatan itu. Kenapa perbuatan yang secara objektif

tercela itu, secara subyektif dipertanggung jawabkan kepadanya, adalah karena

musabab dari pada perbuatan itu adalah diri daripada si pembuatnya.(Roeslan

Saleh, 1983 : 75).

Sebagai ikhtiar dapat dikatakan bahwa hal yang pertama, yaitu mengenai keadaan

bathin dari orang yang melakukan perbuatan, dalam ilmu hukum pidana merupakan soal yang

lazim disebut masalah kemampuan bertanggungjawab, hal yang kedua, yaitu mengenai

hubungan antara bathin itu dengan perbuatna yang dilakukan, merupakan masalah kesengajaan,

kealpaan serta alas an pemaaf, sehingga mampu bertanggungjawab mempunyai kesengajaan

atau kealpaan serta tidak adanya alasan merupakan kesatuan yang tidak dapat dipisah-pisahkan.

Yang satu bergantung pada yang lain, dalam arti, demikianlah urutan-urutan dan yang disebut

kemudian bergantung pada yang disebutkan terlebih dahulu. Konkritnya tidaklah mungkin

dapat dipikirkan tentang adanya kesengajaan ataupun kealpaan, apabila orang itu tidak mampu

bertanggung jawab. Begitu pula tidak dapat dipikirkan mengenai alasan pemaaf, apabila orang

tidak mampu bertanggungjawab, dan tidak pula adanya kesengajaan atau kealpaan. (Roeslan

Saleh, 1983 : 1987).

Sedangkan berkaitan dengan sifat kesalahan dan dapat dipidananya pembuat,

Bambang Poernomo berpendapat :

Apabila ditinjau dari ukuran strafbaar feit yang tradisional/yang panjang, dapat

dikatakan bawha perbuatan pidana itu terletak pada lapangan yang obyektif karena

menunjuk pada sifat kelakuan yang melanggar larangan dengan ancaman pidana tanpa

adanya sebab-sebab yang menjadi alasan penghapus sifat melawan hukumnya

perbuatan, sedangkan kesalahan terletak pada lapangan subyektif yang menunjuk pada

sikap batin orang yang berupa kemampuan bertanggung jawab, umur tertentu,

sengaja/alpa, tidak ada sebab-sebab yang menjadi alasan penghapus kesalahan.

(Bambang Poernomo, 1982 : 187).

Lebih lanjut Bambang Poernomo mengatakan, tentu benar akan pemikiran bahwa

meskipun perbuatan pidana terletak di lapangan yang obyektif, namun akan terdapat susunan

perumusan delik yang meskipun jumlahnya terlalu sedikit adanya. dapat dinyatakan di situ

tentang unsur obyektif, yang disubyektifkan yaitu mengenai kelakuan yang bertentangan

dengan hukum itu masih harus ditentukan secara subyektif pada diri terdakwa, yang terkenal

dengan ajaran subyectief onrechtselement seperti unsur perbuatan pidana yang terkandung di

dalam pasal 362, 378, 382, 339 KUHP dengan mempergunakan istilah “dengan maksud…..”.

Sebaliknya kesalahan yang terletak dalam lapangan subyektif, di situ akan terdapat rumusan

kesalahan dengan unsur subyektif yang diobyektifkan yaitu memperluas unsur kesengajaan atau

kealpaan menjadi unsur yang diketahui atau seharusnya menduga, yang dengan perkataan lain

bahwa terdakwa melakukan kesalahan dengan kurang hati-hati (onvoorzichtigheid) seperti

tercantum di dalam pasal-pasal 287, 290 KUHP yang melakukan hubungan kelamin atau cabul

dengan kurang berhati-hati karena ternyata wanita yang diajak masih di bawah umur.

(Bambang Poernomo, 1982 : 187).

Sedangkan pengertian pertanggung jawaban pidana menurut Andi Hamzah, dikatakan

:

Pengertian pertanggungan jawab dalam hukum pidana, yang dinamakan criminal

liability atau responsibility, adalah merupakan kelanjutan dari pengertian perbuatan

pidana. Jika orang telah melakukan perbuatan pidana, belum tentu dapat dijatuhi

pidana, sebab masih harus dilihat pula apakah orang tersebut dapat dipersalahkan atas

perbuatan yang telah dilakukannya sehingga orang tersebut dapat

dipertanggungjawabkan dalam hukum pidana. Dengan demikian bahwa orang yang

telah melakukan perbuatan pidana tanpa adanya kesalahan, maka orang tersebut tidak

tidak dapat dipidana, sesuai dengna asas hukum yang tidak tertulis, asas geen straf

zonder schuld, yang artinya tidak ada pidana jika tidak ada kesalahan. (Andi Hamzah,

1984 : 76-77).

Dari pendapat para sarjana tersebut tentang pengertian pertanggungjawaban pidana,

maka dapat disimpulkan yaitu : ataukah si perbuatannya juga dicela, ataukah si pembuatnya

tidak dicela. Dalam hal yang pertama, maka si pembuatanya tentu dipidana, sedangkan dalam

hal yang kedua si pembuat tentu tidak dipidana. Dengan demikian nyatalah bahwa hal dipidana

atau tidaknya si pembuat bukanlah bergantung pada apakah ada perbuatan pidana atau tidak,

melainkan pada apakah siterdakwa tercela atau tidak karena telah melakukan perbuatna pidana

itu. Karena itulah maka juga dikatakan bahwa dasar daripada adanya perbuatn pidana adalah

asas legaliteit, yaitu asa yang menentukan bahwa sesuatu perbuatan adalah terlarang adan

diancam dengan pidana barangsiapa yang melakukannya, sedangkan dasar daripada

dipidananya sipembuat adalah asas tidak dipidana jika tidak ada kesalahan. (Roeslan Saleh,

1983 : 76).

Sependapat dengan Roeslan Saleh tersebut, Moeljatno mengatakan : orang tidak

mungkin dipertanggungjawabkan (dijatuhi pidana) kalau dia tidak melakukan perbuatan pidana.

Tapi meskipun melakukan perbuatan pidana, tidak selalu dia dapat dipidana. (Moeljatno, 1982

: 105).

2. Teori Pertangungjawaban Dalam Hukum Pidana

Pertanggungjawaban pidana memiliki hubungan yang erat dengan penentuan subjek

hokum pidana. Istilah subjek hokum sendiri memiliki arti yang luas dan tidak terbatas pada

orang (naturlijk persoon) saja, karena massih ada subjek hokum lain yang menurut hokum

dapat meiliki hak dan kewajiban, sehingga dapat melakukan perbuatan-perbuatan hokum,

seperti halnya orang mempunyai kekayaan sendiri dan dengan perantara dapat digugat dan

menggugat di muka siding perngadilan. Subjek hokum yang dimaksud adalah badan hokum

(recht persoon), artinya orang-orang yang diciptakan oleh hokum.

Konsep pertanggungjawaban dalam hokum pidana mengalami perkembangan sejak

diakuinya korporasi sebgai subjek hokum pidana, maka konsep pertanggungjawaban pidanapun

harus disiptakan agar korporasi dapat dijatuhi pidana ketika korporasi melakukan tindak pidana.

Menurut Mahrus Ali, secara teoritis ada tiga teori atau system pertanggungjawaban

pidana pada subjek hokum korporasi, yaitu :

a. Teori idenetitication

Di Negara-negara Anglo Saxon seprti di Inggris dikenal konsep direct corporate

criminal responsibility atau pertanggungjawaban korporasi secara penuh. Menurut

doktrin ini, korporasi dapat melakukan sejumlah delik secara langsung melalui

orang-orang yang sangat berhubungan erat dengan korporasi dan dipandang sebagai

korporasi itu sendiri. Dalam keadaan demikian, mereka tidak sebagai pengganti dan

oleh karena itu, pertanggungjawaban korporasi tidak bersifat pertanggungjawaban

pribadi. Teori ini dikenal dengan nama teori identifikasi.

b. Teori strict liability

Teori ini pertanggungjawaban pidana yang dilakukan oleh subjek hokum tidak

mensyaraztkan adanya kesalahan pada diri pelaku terhadap satu atau lebih perbuatan

(actus reus). Strict liability merupakan pertanggungjawaban tanpa kesalahan

(liability without fault), yang dalam hal ini si pelaku tindak pidana sudah dapat

dipidana jika telah melakukan perbuatan yang dilarang dalam rumusan undang-

undang, tanpa perlu melihat lebih jauh sikap batin sipelaku.

c. Teori vicarious liability

Teori ini dikenal dengan teori vicarious liability, yaitu the legal responsibility of one

person for wrong ful acts and another as for ecample, when the act are down within

scope of employment (suatu konsep pertanggungjawaban seseorang atas kesalahan

yang dilakukan yang masih berada dalam lingkup pekerjaannya).

Menurut Hendry Black teori ini diartikan sebagai indirect legal responsilitily, the

liability of an employer for the acts of an employe, of a principle for torts and

contract oa an agent (pertanggungjawaban hokum secara tidak langsung,

pertanggungjawaban majikan atas tindakan dari pekerja, atau pertanggungjawaban

principal terhadap tindakan agen dalam suatu kontrak.

Teori vicarious liability terdapat dua syarat penting yang harus terpenuhi mengenai

perbuatan salah yang dilakukan orang lain terdasarkan teori ini, yaitu :

1. Harus terdapat suatu hubungan, seperti hubungan pekerjaan antara majikan

dengan pekerja.

2. Perbuatan pidana yang dilakukan oleh pekerja tersebut harus berkaitan atau masih

dalam ruang lingkup pekerjaannya.

Pertanggungjawaban pidana dibebankan kepada atasan (direktur) atas dasar

pertanggungjawaban pengganti (vicarious liability) dimaksudkan untuk mencegah

atau paling tidak meminimalisir tindak pidana yang dilakukan oleh korporasi melalui

pengurusnya. (Mahrus Ali, 2011 : 160-168).

D. Pidana dan Pemidanaan

1. Istilah Pidana dan Pemidanaan

Pemahaman mengenai tujuan dari suatu pemidanaan yang dianut orang dewasa ini,

sebenarnya bukan merupakan suatu pemikiran yang baru, melainkan sedikit atau banyak telah

mendapat pengaruh dari para penulis abad yang lalu, yang telah mengeluarkan pendapat mereka

tentang dasar pembenaran atau rechtvaardigings ground dari suatu pemidanaan, baik yang

melihat pemidanaan semata-mata sebagai pemidanaan saja, maupun yang mengkaitkan dengan

pemidanaan dengan tujuan atau dengan tujuan-tujuan yang ingin dicapai dengan pemidanaannya

itu sendiri. (Hamzah dan Rahayu, 1983: 21).

Di dalam menjatuhkan hukuman atau pidana pemerintah selalu dihadapkan pada suatu

paradoxialitas. Mengenai paradoxialitet itu, Utrecht sebagaimana dikutip oleh Bawengan yang

menyatakan :

"Pemerintah Negara harus menjamin kemerdekaan individu, menjaga supaya pribadi

manusia (menselijke warrdigheid, persoonlijkheid) tidak disinggung dan tetap dihormati.

Tetapi kadang-kadang sebaliknya, Pemerintah Negara menjatuhkan hukuman, dan karena

menjatuhkan hukuman itu maka pribadi manusia tersebut oleh Pemerintah Negara sendiri

diserang, misalnya, yang bersangkutan dipenjarakan. Jadi pada satu pihak Pemerintah

Negara membela dan melindungi pribadi manusia terhadap siapapun juga, sedangkan

pada pihak lain Pemerintah Negara menyerang pribadi manusia yang hendak dilindungi

dan dibela itu. Paradoxialitet ini hendak dilindungi dan dibela itu. Paradoxialitet ini oleh

Franz von Liszt dilukiskan sebagai "Rechtsguterschutz durch Rechtsguterverletzung"

(melindungi hak, kepentingan dan sebagainya dengan menyerang, memperkosa hak,

kepentingan, dan sebagainya).(Bawengan, 1973: 59 - 60).

Karena adanya paradoxialitet inilah orang berusaha untuk menunjukkan, alasan apakah

yang dapat dipakai untuk membenarkan pemidanaan. Dari alasan-alasan tentang dasar pembenar

dari suatu pemidanaan itulah lalu timbul teori-teori tentang tujuan pemidanaan. Kedua teori ini --

dasar pembenar tujuan pemidanaan sangat berkaitan, yang sering hanya disebut dengan teori-

teori pemidanaan (straftheorieen).

Menurut Barda Nawawi Arief, teori-teori pemidanaan pada umumnya dapat dibagi dalam

tiga kelompok teori, yaitu :

1. Teori Absolut atau teori pembalasan (retributive / vergelding theorieen)

2. Teori relatif atau teori tujuan (utilitarian / doeltheorieen)

3. Teori gabungan (verenigingstheorieen)

ad. 1. Teori Absolut

Menurut teori ini pidana dijatuhkan semata-mata karena orang telah melakukan suatu

kejahatan atau tindak pidana (quia peccatumest). Pidana merupakan akibat mutlak yang harus

ada sebagai suatu pembalasan kepada orang yang melakukan kejahatan. Jadi dasar pembenaran

dari pidana terletak pada adanya atau terjadinya kejahatan itu sendiri.

Menurut Andenaes tujuan utama (primair) dari pidana menurut teori absolut ialah

"untuk memuaskan tuntutan keadilan" (to satisfy the claims of justice); sedangkan pengaruh-

pengaruhnya yang menguntungkan adalah sekunder. (Barda Nawawi Arief, 1992: 14).

Tuntutan keadilan yang sifatnya abolut ini terlihat dengan jelas dalam pendapat Kant

di dalam bukunya "Philosophy of Law" sebagaimana dikutip Muladi mengatakan :

"…pidana tidak pernah dilaksanakan semata-mata sebagai sarana untuk

mempromosikan tujuan/kebaikan lain, baik bagi si pelaku itu sendiri maupun bagi

masyarakat, tetapi dalam semua hal harus dikenakan hanya karena orang yang

bersangkutan telah melakukan suatu kejahatan.

Bahkan walaupun seluruh anggota masyarakat sepakat untuk menghancurkan dirinya

sendiri (membubarkan masyarakatnya) pembunuh terakhir yang masih berada di dalam

penjara harus dipidana mati sebelum resolusi/keputusan pembubaran masyarakat itu

dilaksanakan. Hal ini harus dilakukan karena setiap orang seharusnya menerima

ganjaran dari perbuatannya, dan perasaan balas dendam tidak boleh tetap ada pada

anggota masyarakat, karena apabila tidak demikian mereka semua dapat dipandang

sebagai orang yang ikut ambil bagian dalam pembunuhan itu yang merupakan

pelanggaran terhadap keadilan umum". (Barda Nawawi Arief, 1992: 11).

Dengan demikian menurut Kant, pidana merupakan suatu tuntutan kesusilaan.

Kant memandang pidana sebagai "Kategorische imperatief" yakni : seseorang harus

dipidana oleh hakim karena ia telah melakukan kejahatan, Pidana bukan merupakan suatu

alat untuk mencapai suatu tujuan, melainkan mencerminkan keadilan (uitdrukking van de

gerechtigheid). (Barda Nawawi Arief Arief, 1992: 19)

Salah seorang tokoh lain dari penganut teori absolut yang terkenal ialah Hegel

yang berpendapat bahwa pidana merupakan keharusan logis sebagai konsekuensi dari

adanya kejahatan. Karena kejahatan adalah pengingkaran terhadap ketertiban hukum

negara yang merupakan perwujuan dari cita-susila, maka pidana merupakan "Negation

der Negation" (peniadaan atau pengingkaran terhadap pengingkaran). (Barda Nawawi

Arief, 1992: 12).

Kedua pendapat kedua sarjana tersebut di atas yaitu Kant dan Hegel, mendasarkan

pada "the philosophy of vengeance" atau filsafat pembalasan di dalam mencari dasar

pembenar dari pemidanaan. (Lamintang, 1986: 14).

Pengaruh filsafat pembalasan seperti diuraikan di atas pada hakikatnya tidak saja

nampak pada abad-abad yang lampau, melainkan juga sampai pada abad sekarang ini,

walaupun dengan menggunakan cara dan keterangan yang berbeda-beda.

Seorang sarjana "pembaharu" ajaran absolut, yang menurut Utrecht disebut

sebagai pemberi baju baru kepada suatu teori hukuman yang sudah tua sekali, ialah Leo

Polak.

Oleh Polak dikatakan bahwa kesamaan antara sesama manusia membawa akibat

bahwa kebahagiaan dan penderitaan harus dibagi antara mereka secara nyata.

(Barda Nawawi Arief, 1992: 14).

Tiap-tiap kejahatan mengganggu usaha pembagian ini. Penderitaan hipotetis

(hypothetisch leed) yang dialami oleh tiap-tiap penduduk yang menghormati hukum

dituangkan menjadi pidana maksimum yang diancamkan terhadap suatu kejahatan.

Selanjutnya menurut Polak, keuntungan yang semula diperoleh seseorang penjahat

harus diobyektifkan, karena itulah teorinya disebut "teori yang mengobyektifkan"

(obyechtiverings theorie). (Barda Nawawi 1992: 14).

Dari pendapat beberapa tokoh aliran absolut --kaum retributivest-- yang pada

intinya mengatakan pidana mengandung nilai moral, yang bebas dari akibat lain

yang diharapkan lebih lanjut. Cateris paribus, dunia akan menjadi baik, bilamana

nilai-nilai moral dilindungi dengan memberikan penderitaan atas penjahat. Hal ini

kadang-kadang menyebabkan pandangan retributif ini dikategorikan sebagai teori

pembalasan dendan (the vindictive theory of punishment). (Muladi, 1985: 50).

Menurut Walker, penganut teori retributif ini dapat dibagi dalam beberapa

golongan, yaitu :

1. Penganut teori retributif yang murni (the pure retributivest) yang berpendapat

bahwa pidana harus cocok atau sepadan dengan kesalahan si pembuat.

2. Penganut teori retributif tidak murni (dengan modifikasi) yang dapat pula

dibagi dalam :

a. Penganut teori retributif yang terbatas (the limiting retributivist) yang

berpendapat "pidana tidak harus cocok/sepadan dengan kesalahan, hanya

saja tidak boleh melebihi batas yang cocok/sepadan dengan kesalahan

terdakwa.

b. Penganut teori retributif yang distributif (retribution in distribution),

disingkat dengan sebutan teori "distributive" yang berpendapat bahwa,

pidana janganlah dikenakan pada orang yang tidak bersalah, tetapi pidana

juga tidak harus cocok/sepadan dan dibatasi oleh kesalahan. Prinsip "tiada

pidana tanpa kesalahan" dihormati, tetapi dimungkinkan adanya

pengecualian misalnya dalam hal "strict liability". (Barda Nawawi Arief,

1992: 12 - 13).

Selanjutnya dijelaskan oleh Walker (dalam Arief, 1992), bahwa hnaya golongan

pertama sajalah (the pure retributivist) yang mengemukakan alasan-alasan atau dasar

pembenaran untuk pengenaan pidana. Oleh karena itu golongan ini dapat disebut

golongan "Punishers" (penganut aliran/teori pemidahaan).

Sedangkan penganut golongan 2a dan 2b di atas, menurut Walker (dalam Barda

Nawawi Arief, 1992), tidak mengajukan alasan-alasan untuk pengenaan pidana, tetapi

mengajukan prinsip-prinsip untuk pembatasan pidana. Oleh karena itu kedua golongan ini

lebih dekat dengan paham yang non-retributive. (Barda Nawawi Arief, 1992 : 12).

Teori retribution ini menurut Kaplan dibedakan lagi menjadi dua teori, yaitu :

1. teori pembalasan (the revengetheory), dan

2. teori penebusan dosa (the expiation theory). (Barda Nawawi Arief, 1992: 12).

Sedangkan menurut Kaplan, kedua teori ini sebenarnya tidak berbeda tergantung dari

cara orang berpikir pada waktu menjatuhkan pidana; yaitu apakah pidana itu dijatuhkan

karena kita menghutangkan sesuatu kepadanya atau karena ia berhutang sesuatu kepada kita.

Pembalasan mengandung arti bahwa hutang si penjahat "telah dibayarkan kembali" (the

criminal is paid back); sedangkan penebusan mengandung arti bahwa si penjahat "membayar

kembali hutangnya (the criminal pays back). (Barda Nawawi Arief, 1992: 13).

Menurut Sudarto, sebenarnya sekarang sudah tidak ada lagi penganut ajaran

pembalasan yang klasik, dalam arti bahwa pidana merupakan suatu keharusan demi

keadilan belaka. Kalau masih ada penganut teori pembalasan, mereka itu dikatakan

sebagai penganut teori pembalasan yang modern, misalnya van Bemmelen, Pompe dan

Enschede. Pembalasan di sini bukanlah sebagai tujuan sendiri, melainkan sebagai

pembatasan dalam arti harus ada keseimbangan antara perbuatan dan pidana; maka

dapat dikatakan ada azas pembalasan yang negatif. Hakim hanya menetapkan batas-

batas dari piana; pidana tidak boleh melampaui batas dari kesalahan si pembuat. Van

Bemmelen menyatakan bahwa untuk hukum pidana pada dewasa ini, maka

pencegahan main hakim sendiri (vermijding van eigenrichting) tetap merupakan fungsi

yang penting sekali dalam penerapan hukum pidana yakni memenuhi keinginan akan

pembalasan (tegemoetkoming aan de vergeldings behoefte). Hanya saja penderitaan

yang diakibatkan oleh pidana harus dibatasi dalam batas-batas yang paling sempit dan

pidana harus menyumbang pada proses penyesuaian kembali terhukum pada

kehidupan masyarakat sehari-hari (prevensi special) dan di samping itu beratnya

pidana tidak boleh melebihi kesalahan terdakwa, bahkan tidak dengan alasan-alasan

prevensi general apapun. Pompe yang seumur hidupnya berpegang pada teori

pembalasan menganggap pembalasan ini dalam arti positif dan konstruktif dan bukan

dalam arti tak ada manfaatnya seperti dalam pandangan mereka yang anti pembalasan,

CHR. J. Enschede menganggap pembalasan sebagai batas atas pidana dan pemidanaan

(bovengrens) dari beratnya pidana. Hanya saja dia berpendapat bahwa tidak perlu

pembalasan itu merupakan suatu tuntutan dan beratnya tindakan penguasa dalam

lingkungan kebebasan individu ditentukan oleh tuntutan kemanfaatan di dalam batas-

batas pembalasan. (Muladi, 1984: 14 - 15).

Berkaitan dengan teori absolut (retribution), Cristiansen memberikan karakteristik

teori ini sebagai berikut :

a. tujuan pidana adalah semata-mata untuk pembalasan;

b. pembalasan adalah tujuan utama dan di dalamnya tidak mengandung sarana-sarana

untuk tujuan lain misalnya untuk kesejahteraan masyarakat;

c. kesalahan merupakan satu-satunya syarat untuk adanya pidana;

d. pidana harus disesuaikan dengan kesalahan si pelanggar;

e. pidana melihat kebelakang; ia merupakan pencelaan yang murni dan tujuannya

tidak untuk memperbaiki mendidik atau memasyarakatkan kembali si pelanggar.

(Muladi & Arief, 1992 : 16-17).

ad. 2. Teori Relatif atau Teori Tujuan

Teori relatif berusaha mencari dasar pembenaran dari suatu pidana, semata-mata

pada suatu tujuan tertentu. Para penganjur teori relatif ini tidak melihat pidana itu sebagai

pembalasan, dan karena itu tidak mengakui bahwa pemidanaan itu sendirilah yang

menjadi tujuan pemidanaan, melainkan pemidanaan itu adalah suatu cara untuk mencapai

tujuan yang lain dari pada pemidanaan itu sendiri.

Pemidanaan dengan demikian mempunyai tujuan, oleh karena itu teori inipun

sering juga disebut teori tujuan (utilitarian theory). Dasar pembenar adanya pidana

menurut teori ini adalah terletak pada tujuannya. Pidana dijatuhkan bukan "quia peccatum

est" (karena orang berbuat kejahatan) melainkan "ne peccetur" (supaya orang jangan

melakukan kejahatan). (Barda Nawawi Arief, 1992: 16).

Selanjutnya dikatakan : mengenai teori relatif ini Andenaes dapat disebut sebagai

teori perlindungan masyarakat (the theory of social defence) karena salah satu tujuannya

adalah melindungi kepentingan masyarakat. Menurut Walker teori ini lebih tepat disebut

teori atau aliran reductive (the reductive poin of review) karena dasar pembenaran pidana

adalah untuk mengurangi frekuensi kejahatan. Oleh karena itu penganut teori ini disebut

"Reducers". (Barda Nawawi Arief, 1992: 14)

Berdasarkan tujuan yang hendak dicapai dari pemidanaannya, maka teori relatif

atau teori tujuan ini masih dapat dibagi lagi menjadi dua yaitu :

a. Teori pencegahan umum (algemene preventie theorieen).

b. Teori pencegahan khusus (bijzondere preventie theorieen). (Barda Nawawi

Arief, 1992: 12).

ad. a. Teori-teori Pencegahan Umum

Dari teori ini, tujuan pemidanaan adalah ingin membuat jera setiap orang

agar mereka itu tidak melakukan kejahatan. Dengan perkataan lain pencegahan

kejahatan itu ingin dicapai oleh pidana dengan mempengaruhi tingkah laku

anggota masyarakat pada umumnya untuk tidak melakukan tindak pidana.

Mendasarkan pada apa yang dikemukakan Andenaes maka, Veen

berpendapat bahwa ada tiga fungsi pengaruh dalam pengertian "general

prevention", yaitu :

a. Menegakkan kewibawaan (gezagshandhaving);

b. Menegakkan norma (normhandhaving);

c. Membentuk norma (normvorming). (Muladi, 1985: 19).

Termasuk dalam pengertian teori-teori pencegahan umum, yaitu apa yang

disebut :

1. Afschrikkingstheorieen atau teori-teori membuat orang jera, yang bertujuan

untuk membuat jera warga masyarakat agar mereka itu tidak melakukan

kejahatan-kejahatan.

2. De leer van de psychologische dwang atau ajaran mengenai pemaksaan secara

psikologis yang telah diperkenalkan oleh Anselm von Feurbach. (Bawengan,

1973: 45).

Berkaitan dengan teori relatif (utilitarian theory) Christiansen mengemukakan

secara terperinci ciri-ciri pokok atau karakteristik dari aliran itu sebagai berikut :

a. tujuan pidana adalah pencegahan (prevention);

b. pencegahan bukan tujuan akhir tetapi hanya sebagai sarana untuk mencapai

tujuan yang lebih tinggi yaitu kesejahteraan masyarakat;

c. hanya pelanggaran-pelanggaran hukum yang dapat dipersalahkan kepada si

pelaku saja (misal karena sengaja atau culpa) yang memenuhi syarat untuk

adanya pidana;

d. pidana harus ditetapkan berdasar tujuannya sebagai alat untuk pencegahan

kejahatan;

e. pidana melihat ke muka (bersifat prospektif); pidana dapat mengandung unsur

pencelaan, tetapi baik untuk pencelaan maupun unsur pembalasan tidak dapat

diterima apabila tidak membantu pencegahan kejahatan untuk kepentingan

kesejahteraan masyarakat (Barda Nawawi Arief, 1992: 17).

ad. 2. Teori Pencegahan Khusus

Dengan prevensi spesial dimaksudkan pengaruh pidana terhadap terpidana. Jadi

pencegahan kejahatan itu ingin dicapai oleh pidana dengan mempengaruhi tingkah

laku si terpidana untuk tidak melakukan tindak pidana lagi. Ini berarti pidana

bertujuan agar si terpidana itu berubah menjadi orang yang lebih baik dan berguna

bagi masyarakat. Teori tujuan pidana serupa ini dikenal dengan sebutan

reformation atau rehabilitation Theory.

Dengan prevensi general dimaksudkan pengaruh pidana terhadap

masyarakat pada umumnya. Artinya pencegahan kejahatan itu ingin dicapai oleh

pidana dengan mempengaruhi tingkah laku anggota masyarakat pada umumnya

untuk tidak melakukan tindak pidana.

ad. 3. Teori Gabungan

Di samping pembagian secara tradisional teori-teori pemidanaan seperti

dikemukakan di atas, yakni teori absolut dan teori relatif, ada teori ketiga yang

disebut teori gabungan (verenigingstheorieen). Pelopor teori ini adalah Rossi

(1787 - 1884). Teori Rossi disebut teori gabungan karena sekalipun ia tetap

menganggap pembalasan sebagai asas dari pidana dan bahwa beratnya pidana

tidak boleh melampaui suatu pembalasan yang adil, namun dia berpendirian

bahwa pidana mempunyai pelbagai pengaruh antara lain perbaikan sesuatu yang

rusak dalam masyarakat dan prevensi general. (Muladi, 1985: 47).

Teori tersebut di atas nampaknya mempunyai kecenderungan yang sama dengan

apa yang dikatakan oleh Muladi sebagai "retributivisme teleologis" atau aliran integratif.

Menurut pandangan ini maka tujuan pemidanaan bersifat plural, karena menghubungkan

prinsip-prinsip teleologis, misalnya "ulititarianism" dan prinsip-prinsip "retributivist" di

dalam satu kesatuan, sehingga seringkali pandangan ini disebut sebagai aliran integratif.

(Muladi, 1985: 51).

Aliran ini menganjurkan kemungkinan untuk mengadakan artikulasi terhadap teori

pemidanaan yang mengintegrasikan beberapa fungsi sekaligus: "retribution" dan bersifat

"utilitarian" misalnya pencegahan dan rehabilitas yang kesemuanya dilihat sebagai sarana-

sarana yang harus dicapai oleh suatu rencana pemidanaan. Pidana dan pemidanaan terdiri

dari proses kegiatan terhadap pelaku tindak pidana yang dengan satu cara tertentu

diharapkan untuk dapat mengasimilasikan kembali narapidana dalam masyarakat. (Muladi,

1985: 52).

Teori integratif ini nampaknya telah memperluas tujuan pemidanaan yang

menfokuskan pada perbaikan narapidana sebagai pelaku kejahatan / tindak pidana di

samping sebagai tujuan awalnya adalah prevensi general.

BAB III

METODE PENELITIAN

A. Metode Penelitian

1. Metode Pendekatan

Metode pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan yuridis normatif

atau legal research yaitu pendekatan yang menggunakan konsepsi legistis positifis. Konsepsi

ini memandang bahwa hukum identik dengan norma-norma tertulis yang dibuat dan

diundangkan oleh lembaga atau pejabat negara yang berwenang. Selain itu konsepsi ini juga

memandang hukum sebagai suatu sistem normatatif yang bersifat otonom; terhadap dan

terlepas dari kehidupan masyarakat (Ronny Hanitijo Soemitro, 1990: 13).

2. Spesifikasi Penelitian

Spesifikasi penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian hokum

normative, penelitian normative yaitu penelitian yang dilakukan untuk mendapatkan data

sekunder dan bahan-bahan yang berhubungan dengan penelitian yang diperoleh dari berbagai

sumber dengan melakukan pengumpulan data-data tertulis. (Ronny Hanitijo Soemitro, 1990:

13-14), yang berhubungan dengan pertanggungjawaban pidana pelaku tindak pidana yang

dilakukan secara bersama-sama dengan direncanakan.

3. Lokasi Penelitian

Penelitian dilakukan di Pengadilan Negeri Cilacap

4. Sumber Data

Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini data sekunder. Data sekunder dalam

penelitian diambil dari peraturan perundang-undangan, literatur, dokumen, serta Putusan

Pengadilan Negeri Cilacap No.81/Pid.B/2010/PN.Pwt.

B. Metode Pengumpulan Data

Dalam penelitian ini cara memperoleh data sekunder yaitu dengan mempelajari peraturan

perundang-undangan, buku-buku, literatur, dokumen dan arsip atau hasil penelitian terdahulu

yang berkaitan dengan obyek atau materi penelitian dan putusan Pengadilan Negeri Cilacap No.

81/Pid.B/2010/PN.Clp.

C. Metode Penyajian Data

Data yang diperoleh akan disajikan dalam bentuk uraian yang disusun secara sistimatis.

D. Metode Analisis Data

Data yang diperoleh dianalisis dengan metode normative-kualitatif, yaitu dengan menjabarkan

dan menafsirkan data berdasarkan noma-norma, teori dan doktrin hukum pidana. (Ronny

Hanitijo Soemitro, 1988 : 51).

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Hasil Penelitian

Pada penelitian yang dilaksanakan di Pengadilan Negeri Cilacap pada putusan Perkara Nomor

: 81/Pid.B/2010/PN.Clp, mengenai pertanggungjawaban pidana terhadap pelaku tindak pidana

pembunuhan berencana serta pertimbangan hakim dalam menjatuhkan pidana, diperoleh data sebagai

berikut :

1. Duduk Perkara

Bahwa mereka para terdakwa Wastar alias Madsulhan bin Madiswan dan Samirno alias

Madmukti bin Kartamiharja baik secara sendiri-sendiri maupun bersama-sama dengan Wartam

alias Wahyono bin Kartamiharja dan Dudung bin Enceng (disidangkan dalam berkas perkara lain)

dan Sahidin (belum tertangkap) pada hari Senin tanggal 17 Desember 2009 sekitar jam 22.00 WIB

atau setidak-tidaknya pada suatu waktu lain yang tertentu akan tetapi masih termasuk dalam bulan

Desember 2009, bertempat didesa Surusunda, Kecamatan Karangpucung, Kabupaten Cilacap atau

setidak-tidaknya pada suatu tempat lain yang tertentu akan tetapi masih ternasuk dalam daerah

Hukum Pengadilan Negeri Cilacap- turut melakukan perbuatan dengan sengaja dan dengan

direncanakan lebih dahulu menghilangkan jiwa orang lain, perbuatan mana dilakukan oleh para

terdakwa dengan cara :

Korban bernama Madyusron telah lama dimusuhi oleh terdakwa Wastar alias Madsulhan

karena korban dianggap sebagai dukun santet yang telah menguna-gunai mertua, isteri serta saksi

sendiri atas kesepakatan berdasarkan pengakuan korban sendiri didepan pamong setempat,

diputuskan korban harus pergi meninggalkan rumah tempat tinggalnya di dusun Cibungur Desa

Mandala Kecamatan Cimanggu untuk tinggal menyendiri disebuah gubug kebun singkong milik

korban dengan jarak kurang lebih sejauh dua kilo meter dari kampung tersebut.

Pada hari Senin tanggal 17 Desember 2009 sekitar jam 18.00 WIB terdakwa Wastar alias

Madsulhan datang menemui saksi Wartam alias Wahyono dirumahnya dengan mengutarakan

maksudnya untuk bersama-sama menghabisi nyawa korban Madyusron digubugnya ajakan

tersebut disepakati oleh saksi kemudian saksi berangkat menuju kerumah terdakwa Wastar alias

Madsulhan pada saat itu saksi disuruh berangkat terlebih dahulu oleh terdakwa Wastar alias

Madsulhan dan menunggu disebuah kebun kelapa sambil membawa linggis milik terdakwa,

kemudian terdakwa Wastar alias Madsulhan mengajak pula saksi Dudung yang sedang berada

dirumahnya bersama dengan terdakwa Samirno alias Madmukti dan Sahidin , mereka berlima

kemudian berangkat menuju kegubug tempat tinggal korban dengan membawa peralatan tambang

plastik, golok dan sebuah senter ketika melewati Cikondang masing-masing mengambil sebuah

batu kali seukuran kepalan tangan yang akan digunakan untuk melempari korban, selanjutnya

ketika sampai dikebun milik terdakwa Wastar alias Madsulhan mengambil juga sebuah cangkul

untuk menggali tanah.

Ketika mereka sampai ditempat yang dituju pada saat itu korban sedang berada didalam

gubug, lalu terdakwa Wastar alias Madsulhan menyorotkan lampu senter kearah korban yang

sedang berdiri selanjutnya secara bersama-sama mereka melempari tubuh korban dengan batu –

batu yang masing-masing telah dibawanya sehingga korban jatuh roboh ketanah, pada saat itu

saksi Wartam Alias Wahyono memukul leher korban dengan menggunakan linggis sebanyak 3

kali selanjutnya terdakwa Wastar alias Madsulhan menjerat leher korban dengan menggunakan

tambang plastik serta menariknya keatas sambil menginjak punggung korban juga menarik tangan

kirinya sedangkan Sahidin menarik tangan kanannya, terdakwa Samirno alias Madmukti pada saat

itu memukuli pantat dan kaki korban dengan menggunakan sebatang kayu dadap sepanjang +_ 1

(satu) meter yang didapat disekitar tempat itu selanjutnya korban mati.

Melihat korban sudah tidak bergerak lagi, terdakwa Samirno alias Madmukti melilitkan

sarang korban pada pinggang korban dan terdakwa Wastar alias Madsulhan mengikat leher korban

dengan tambang plastik untuk menggotangnya, saksi Wartam alias Wahyono menggotong korban

didepan sebelah kanan dan saksi Dudung disebelah kiri dengan menggunakan linggis sedangkan

terdakwa Wastar alias Madsulhan menggotong disebelah kanan dan terdakwa Samirno disebelah

kiri, Sahidin memegangi kaki korban, korban selanjutnya dibawa kesebuah htuan pinus tidak jauh

dari gubug tersebut ditempat tersebut mayat korban dikubur secara bersama-sama, setelah selesai

terdakwa Wastar alias Madsulhan kemudian membakar gubug milik korban atas perbuatannya

tersebut saksi Wartam alias Wahyono dan saksi Dudung serta terdakwa Samirno alias Madmukti

dan juga Sahidin mendapat upah dari terdakwa Wastar alias Madsulhan masing-masing sebesar

Rp. 150.000,- (seratus lima puluh ribu rupiah).

Pada hari kamis tanggal 27 desember 2009 sekitar jam 1.00 WIB mayat korban ditemukan

dari hasil pemeriksaan terhadap korban sebagai berikut :

- Tubuh bengkak menyeluruh sangat bau basuk.

- Lapisan kulit leher luka melingkar dan dalam sesuai jeratan tali.

- Dada kiri bagian atas puting susu kiri memar.

- Tulang iga 1 dan 2 bagian tersebut diatas patah.

KESIMPULAN :

Korban mati akibat :

- Sumbatan jalan nafas.

- Benturan keras didada sebelah kiri.

Sebagaimana Visum Et Repertum yang dilakukan oleh Dr. Muslim M dokter pada

Puskesmas Karangpucung I, Nomor 440/240/12/01 tanggal 29 Desember 2009 yang dibuat

berdasarkan sumpah jabatan. Sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam Pasal 340 jo 55 ayat

(1) ke-1e KUHP.

2. Dakwan Jaksa Penuntut Umum

a. Dakwaan Primer :

Melanggar Pasal 340 KUHP jo Pasal 55 ayat (1) ke-1e KUHP

b. Dakwaan Subsidair:

Pasal 338 KUHP jo Pasal 55 ayat (1) ke-1e KUHP

c. Dakwaan lebih subsidair Pasal 355 ayat (1) dan ayat (2) KUHP jo Pasal 55 ayat (1) ke-1e

KUHP, kedua Pasal 170 ayat (1) dan (2) ke-3e KUHP.

3. Tuntutan Jaksa Penuntut Umum

Setelah pemeriksaan acara pemeriksaan selesai, kemudian Penuntut Umum mengajukan dan

membacarakan tuntutan pidananya (requisitur) terhadap para terdakwa, yang dalam

pertimbangan hukumnya pada pokoknya menyatakan perbuatan para terdakwa telah memenuhi

unsur-unsur Pasal 340 KUHP jo Pasal 55 ayat (1) ke-1e KUHP tentang pembunuhan berencana

secara bersama-sama, oleh karena itu mohon supaya Majelis Hakim Pengadilan Negeri Cilacap

yang memeriksa dan mengadili perkara ini, memutuskan :

a. Menyatakan terdakwa Wastar al. Madsulhan bin Madiswan dan Samirno al.Madmukti bin

Kartamiharja telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana

“Dimuka umum bersama-sama melakukan kekerasan terhadap orang menyebabkan orangnya

mati” sebagaimana diatur dalam Pasal 170 ayat (1) dan (2) Ke-3 KUHP dalam surat dakwaan

kedua kami.

b. Menjatuhkan pidana terhadap terdakwa Wastar al. Madsulhan bin Madiswan dan Samirno al.

Mdmukti bin Kartamiharja dengan pidana penjara masing-masing selama 4 (empat) tahun

dikurangi masa tahanan yang telah dijalani untuk seluruhnya dengan perintah para terdakwa

tetap dtahan.

c. Menyatakan barang bukti berupa :

- 1 (satu) buah kaos berwarna putih milik korban.

- 1 (satu) buah sarung berwarna ungu milik korban.

- 1 (satu) buah batang kayu dadap ukuran panjang kurang lebih 1 (satu) meter.

- 1 (satu) sandat tambang plastik ukuran panjang kurang lebih 1 (satu) Meter

- 5 (lima) butir batu kali.

- 1 (satu) buah liggis besi ukuran panjang kurang lebih 1 M.

- 1 (satu) buah cangkul.

- 1 (satu) buah lampu senter merk Tiger Baterai 2.

- 1 (satu) buah golok beserta sarungnya.

Digunakan untuk perkara a.n Terdakwa wartam al. Wahyono bin Kartamiharja.

d. Menetapkan agar terdakwa, jika ternyata dipersalahkan dijatuhi pidana supaya mereka dibebani

membayar biaya perkara sebesar Rp. 500,- (lima ratus rupiah) masing-masing.

4. Barang Bukti

Di persidangan Jaksa Penuntut Umum mengajukan barang bukti berupa :

- 1 (satu) buah kaos berwarna putih milik korban.

- 1 (satu) buah sarung berwarna ungu milik korban.

- 1 (satu) buah batang kayu dadap ukuran panjang kurang lebih 1 (satu) meter.

- 1 (satu) sandat tambang plastik ukuran panjang kurang lebih 1 (satu) Meter

- 5 (lima) butir batu kali.

- 1 (satu) buah liggis besi ukuran panjang kurang lebih 1 M.

- 1 (satu) buah cangkul.

- 1 (satu) buah lampu senter merk Tiger Baterai 2.

- 1 (satu) buah golok beserta sarungnya.

5. Alat Bukti

a. Keterangan Saksi

Para saksi yang keterangannya didengarkan di persidangan atas persetujuan Jaksa Penuntut

Umum dan terdakwa yang sebelumnya telah diambil sumpahnya oleh penyidik yaitu :

Saksi I. ROHIMAH AL. NY. MADYUSRON :

- Saksi tidak tinggal serumah dengan suaminya (Madyusron/korban)

- Korban tinggal sendiri digubuk dikebun yang jauh dari pemukiman, karena terlalu

dicurigai oleh Wastar (terdakwa 1) mempunyai ilmu santet.

- Pada tanggal 18 Desember 2009 saksi kekebun utnuk menengok korban dan ternyata

korban sudah tidak ada dan gubuk tempat tinggal korban sudah habis terbakar.

- Saksi selanjutnya memberitahu Kuat (saksi III) untuk mencari korban.

- Pada tanggal 26 Desember 2009, saksi III menemukan gundukan tanah baru yang

mencurigakan dihutan pinus.

- Kemudian penemuan tersebut dilaporkan kepada BPD, yang selanjutnya meneruskan

laporan tersebut kepada Polsek Karangpucung.

- Pada hari Kamis tanggal 27 Desember 2009 sekira jam 11.00 WIB diadakan penggalian

yang disaksikan oleh Muspika dan tim Dokter.

- Ternyata didalam gundukan tanah tersebut ditemukan Madyusron (korban) dalam keadaan

sudah meninggal dunia.

- Korban mengakui di Balai Desa sebagai tukang santet dan pernah menyantet mertua

Madsulhan (terdakwa I) isteri terdakwa I dan terdakwa I sendiri

- Antara korban dan terdakwa I pernah didamaikan dan disepakati korban harus pergi

meninggalkan Cibungur, lalu korban membuat gubuk disawah dan tinggal digubuk

tersebut.

- Saksi membenarkan barang bukti sarung dan kaos adalah milik korban yang dipakai waktu

ditemukan.

- Terhadap keterangan saksi tersebut para terdakwa menyatakan benar.

Saksi II. TARWIN alias TARMUJI :

- Pada hari Senin tanggal 17 Desember 2009 sekira jam 18.00 WIB saksi diajak terdakwa I

kekebun untuk menghabisi Madyusron (korban) tetapi saksi tidak mau.

- Keesokan harinya tanggal 18 Desember 2009 sekira jam 06.00 WIB terdakwa I datang lagi

kerumah saksi dan menyatakan Madyusron (korban) sudah beres dan gubuknya dibakar.

- Terdakwa I membunuh korban karena korban dicurigai sebagai dukun santet.

- Tidak tahu dengan barang bukti.

- Terhadapm keterangan saksi tersebut, para terdakwa menyatakan tidak keberatan.

Saksi III. KUAT alias PRIYONO :

- Pada hari Selasa tanggal 18 Desenber 2009 saksi mendapat laporan dari saksi Rohimah

(saksi I) kalau gubuk dan korban sudah tidak ada.

- Saksi lalu ketempat kejadian ternyata gubuk sudah habis terbakar dan saksi menemukan 5

buah batu, 1 potong kayu dadap dan 1 buah linggis ditempat tersebut.

- Saksi lalu melakukan pencarian terhadap korban yang adalah mertua dan saksi pada hari

Rabu tanggal 26 Desenber 2009 sekitar jam 13.00 WIB sewktu melakukan pencarian

dihutan pinus Desa Surusunda, Kecamatan Karangpucung saksi menemukan gundukan

tanah yang mencurigakan.

- Saksi lalu melaporkan hal tersebut kepada anggota BPD (Maskono/saksi V).

- Pada hari Kamis tanggal 27 Desember 2009 sekitar jam 11.00 WIB dilakukan penggalian

yang saksikan oleh Muspika dan tim Dokter.

- Di dalam gundukan tersebut ditemukan mayat korban (Madyusron) yang sudah membusuk,

yang memakai kaos putih dan sarung warna ungu.

- Saksi mendengar dari terdakwa I kalau berdasarkan keterangan dari dukun, korban pernah

menguna-guna mertua terdakwa I.

- Antara terdakwa I dan korban masih ada hubungan keluarga.

- Setelah kejadian sudah diadakan perdamaian yang intinya saling memaafkan dan

dituangkan dalam perjanjian.

- Saksi membenarkan barang bukti linggis dan cangkul milik terdakwa I, kaos dan sarung

milik korban dan yang lainnya saksi tidak tahu.

- Terhadap keterangan saksi tersebut, para terdakwa menyatakan benar.

Saksi IV. WARSIAN alias ANWAR AZIS :

- Saksi sebagai Ketua RW, pernah 3 kali menyelesaikan masalah antara terdakwa I dengan

korban, yaitu terdakwa I menuduh korban menyantet terdakwa I dan keluarganya.

- Penyelesaian pertama tahun 2000 kedua bulan Mei 2009 dan ketiga tanggal 15 September

2009.

- Masalah terdakwa I dengan korban juga pernah diselesaikan di Balai Desa, yang waktu itu

korban telah mengakui menyantet terdakwa I dan dicapai kesepakatan secara kekeluargaan

korban harus pergi meninggalkan dusun Cibungur.

- Hal itu sudah dilaksanakan yaitu korban telah membuat gubuk dikebun miliknya sendiri

dan tinggal dasana yang masuk Dea Surusunda.

- Sewaktu dilakukan penggalian dihutan pinus saksi juga hadir dan melihat ditemukan mayat

korban yang menggunakan baju kaos warna putih dan sarung warna ungu serta leher

korban dalam keadaan terikat dengan tali plastik (tali sandat).

- Setelah kejadian keadaan di Desa saksi tenang dan tidak ada masalah apa-apa.

- Saksi membenarkan barang bukti kaos, sarung dan tali.

- Terhadap keterangan saksi tersebut para terdakwa menyatakan benar.

Saksi V. MASKONO alias SUWONDO :

- Pada hari Sabtu tanggal 15 September 2009 sekitar jam 13.00 WIB saksi ikut

menyelesaikan masalah antara korban dan terdakwa I dirumah Ketua RW (saksi IV).

- Waktu itu korban mengakui pernah menyantet terdakwa I isteri terdakwa I, mertua

terdakwa dan isterinya, kemudian korban membuat surat pernyataan sebagai tukang santet.

- Kemudian disepakati korban harus pergi dari Desa Mandala.

- Kemudian saksi mendapat berita kalau korban hilang.

- Selanjutnya saksi mendapat laporan dari Kuat Priyono (saksi III/menantu korban), yang

menyatakan telah menemukan gundukan tanah yang mencurigakan dipetak 76 hutan pinus

milik Perhutani.

- Saksi lalu ke lokasi tersebut ternyata benar.

- Pada hari Kamis tanggal 27 Desember 2009 hal tersebut dilaporkan ke Polsek

Karangpucung dan pada jam 11.00WIB dilakukan penggalian yang disaksikan oleh

Muspika Karangpucung dan Dokter Puskesmas.

- Setalah penggalian mencapai kurang lebih 50 Cm ditemukan seorang laki-laki tanpa

celana, memakai kaos putih dan sarung warna ungu terikat dipinggangnya serta tali plastik

pada lehernya.

- Saksi tidak tahu yang ditemukan itu adalah Madyusron (korban) tapi menurut keluarganya

itu Madyusron (korban).

- Setelah kejadian tersebut, situasi di Desa Mandala aman saja.

- Saksi membenarkan barang bukti tali plastik, golok dan longgis milik terdakwa I sementara

sarung dan kaos saksi tidak tahu.

- Terhadap keterangan saksi tersebut para terdakwa menyatakan benar.

Saksi VI. ABSAN bin WASMIHARJA :

- Pada hari Kamis tanggal 27 Desember 2009 sekitar jam 11.00 WIB, saksi datang kehutan

pinus petak 76 C KRPH Surusunda Kecamatan Karangpucung, Kabupaten Cilacap dimana

sedang dilakukan penggalian terhadap gundukan tanah yang mencurigakan.

- Tim Muspika Kecamatan Karangpucung dan Dokter PUIsdkesmas juga datang.

- Setelah penggalian ditemukan seorang mayat laki-laki tanpa celana, memakai kaos putih

dipinggangnya ada sarung warna ungu dan dilehernya ada tali plastik.

- Selain ditemukan mayat, juga ditemukan 1 potong kayu dadap.

- Terhadap keterangan saksi tersebut para terdakwa menyatakan tidak keberatan.

Saksi VII. DUDUNG bin ENCENG :

- Pada hari Senin tanggal 17 Desember 2009 sekira jam 20.00 WIB terdakwa I datang

kerumah saksi dan mengajak saksi untuk ikut membunuh Madyusron (korban).

- Korban akan dibunuh karena menurut terdakwa I korban adalah tukan santet.

- Saksi lalu mengikuti terdakwa I menemui Wahyono, Madmukti (terdakwa II) dan Sahidin

yang sudah menunggu dilapangan.

- Waktu itu telah dipersiapkan alat-alat yang akan digunakan yaitu linggis besi, tali plastik,

golok, dan senter.

- Selanjutnya saksii, terdakwa I, terdakwa II, Wahyono dan Sahidin berangkat menuju gubuk

korban.

- Sewaktu sampai dikali Cikondang terdakwa memerintahkan saksi dan teman-teman untuk

mengambil batu dan masing-masing mengambil 1 buah batu sebesar kepalan tangan.

- Setelah sampai dikebun tempat gubuk korban terdakwa I melempar dengan batu supaya

korban keluar tetapi ternyata korban tidakm keluar, lalu terdakwa I menyenter korban yang

sedang berdiri didalam gubuk.

- Selanjutnya terdakwa I melempar korban dengan batu dan juga teman-teman yang lain ikut

melempar korban hingga korban jatuh.

- Kemudian Wahyono memukul korban dengan linggis sebanyak 3 kali, dan terdakwa I

menjerat leher korban dengan tali plastik dan ditarik keatas sementara punggung korban

diinjak oleh terdakwa I, tangan kanan korban ditarik keatas oleh Sahidin dan tangan

kirinya ditarik keatas oleh saksi, lalu terdakwa II memukul kaki dan pantat korban dengan

kayu dadap.

- Setelah korban meninggal dunia, lalu digotong ke hutan pinus dengan menggunakan tali

plastik yang dijerat dileher korban dan sarung korban yang diikat dipunggung lalu linggis

dan kayu dadap dipakai untuk menggotong.

- Setelah sampai dihutan pinus, para terdakwa, saksi dan Sahidin serta Wahyono membuat

lubang secara bergantian dengan menggunakan cangkul milik terdakwa I yang diambil

dikebun.

- Korban lalu dikubur dihutan pinus tersebut.

- Setelah itu saksi, para terdakwa dan teman-teman kembali kegubuk dan terdakwa I

membakar gubuk tersebut .

- Setelah mandi terdakwa I memberikan uang kepada saksi dan teman-teman masing-masing

sebesar Rp. 50.000,- dan pada tanggal 3 Januari 2010 ditambah lagi masing-masing Rp.

100.000,- .

- Saksi tahu terdakwa I memberikan uang kepada saksi karena saksi telah ikut membunuh

korban, jadi sebagai uang lalah.

- Uang tersebut sudah habis digunakan saksi untuk kepentingannya.

- Setahu saksi korban pernah menyantet terdakwa I, istri dan mertua terdakwa I.

- Terhadap keterangan saksi tersebut para terdakwa menyatakan benar .

Saksi VIII. WARTAM alias. WAHYONO bin KARTAMIHARJA :

- Pada hari Selasa tanggal 17 Desember 2009 sekitar jam 15.30 WIB terdakwa I datang

kerumah saksi dan mengajak saksi untuk ikut membunuh korban.

- Atas pernyataa saksi, terdakwa I mengatakan korban adalah tukang santet sehingga harus

dibunuh dan kalau ada paa-apa terdakwa I yang bertanggung jawab.

- Saksi lalu berangkat bersama-sama dengan Samirno ( terdakwa II) dan Sahidin menunggu

terdakwa I yang menjemput Dudung dirumahnya.

- Setelah terdakwa I dan Dudung datang lalu saksi, terdakwa I, terdakwa II Dudung dan

Sahidin berangkat menuju kegubuk tempat tinggal korban yang terletak dikebunnya.

- Waktu itu saksi bertugas membawa linggis, sementara terdakwa I membawa senter, golok

dan tali plastik.

- Sewaktu melewati sungai Cikondang terdakwa I memerintahkan saksi dan teman-

temannya untuk mengambil batu sebesar kepalan orang dewasa yang akan digunakan untuk

melempari korban.

- Sesampai digubuk korban, terdakwa I melempari gubuk korban dengan batu agar korban

keluar, tetapi ternyata korban tidak keluar.

- Kenudian terdakwa I menyenter korban yang sedang berdiri didalam gubug dan melempar

korban debnganbatu, saksi dan teman-teman juga ikut melempar korban dengan batu.

- Akibat dilempar, korban jatuh dalam posisi miring lalu saksi memukul leher korban

sebanyak 3 kali dengan linggis terdakwa I menjerat leher korban dengan tali plastik dan

menarik keatas sambil menginjak punggung korban, Dudung dan Sahidin masing-masing

memegang tangan korban dan menariknya keatas.

- Setelah itu terdakwa II memukul pantat korban dengan kayu dadap sebanyak 1 kali.

- Setelah korban meninggal dunia dibawa kehutan pinus dengan cara digotong menggunakan

linggis dan kayu dadap yang dimasukkan pada tali yang diikat dileher korban dan sarung

korban yang diikat pada pinggangnya.

- Sesampai dihutan pinus saksi dan teman-teman secara bergantian mencangkul tanah untuk

membuat lubang denganmenggunakan cangkul milik terdakwa I yang diambil dikebun.

- Korban dikubur dan saksi bersama teman- teman kembali kegubug korban, terdakwa I lalu

membakar gubug tersebut.

- Selanjutnya saksi dan teman-tema pulang dan mandi disungai Cikondang.

- Sehabis mandi terdakwa I memberikan uang kepada saksi dan teman-teman masing-masing

sebesar Rp. 50.000,- sebagai uang lelah.

- Pada tanggal 3 Januari 2010 terdakwa I memberikan lagi uang masing-masing sebesar

Rp.100.000,- kepada saksi dan teman-teman.

- Uang bagian saksi sudah habis digunakan untuk keperlua saksi.

- Saksi membenarkan barawng bukti.

Terhadap keterangan saksi tersebut para terdakwa menyatakan benar.

b. Keterangan Para Terdakwa

Dipersidangan telah didengar keterangan terdakwa yang pada pokoknya menerangkan sebagai

berikut :

TERDAKWA I :

- Pada hari senin tanggal 17 Desember 2009 sekitar jam 18.00 terdakwa bertemu dengan

Samirno (terdakwa II) dan Wahyono (saksi VIII) lalu terdakwa I mengajak mereka untuk

membunuh Madyusron (korban) juga terdakwa I mengajak Sahidin dan semuanya bersedia,

untuk itu terdakwa I, terdakwa II, saksi VIII dan Sahidin sepakat untuk berkumpul

dilapangan.

- Terdakwa I juga mengajak Tarwin aias Tarmuji (saksi II) tapi saksi II tidak mau.

- Setelah semuanya berkumpul, terdakwa I pergi mengajak Dudung (saksiVII) dan saksi VII

pun bersedia.

- Terdakwa I mengajak terdakwa II, Saksi VII, Saksi VIII da Sshidin untuk membunuh

korban karena terdakwa I dendam kepada korban yang pernah menyantet terdakwa I dan

keluarganya.

- Selanjutnya terdakwa I, terdakwa II, saksi VII, saksi VIII dan Sahidin menuju gubug

korban yang terletak dikebunnya di Desa Surusunda, kecamatan Karangpucung Klabupaten

Cilacap dengan membawa linggis, golok, tali plastik dan senter.

- Sewaktu sampai di kali Cikondang terdakwa I memerintahkan teman-temannya untuk

mengambil batu masing-masing satu buah dengan ukuran sekepalan tangan orang dewasa.

- Sewaktu sampai diguuk korban, terdakwa I lalu melempar gubug tersebut dengan batu

dengan maksud agar korban keluar ternyata korban tidak keluar.

- Selanjutnya terdakwa I menyenter korban yang sedang berdiri didalam gubug, kemudian

terdakwa I melempar korban dengan batu kena pada bagian dada, diikuti oleh teman-teman

terdakwa I, setelah itu korban jatuh.

- Sewaktu dilempari batu korban tidak berteriak hanya mengatakan silahkan saja saya tidak

akan lari, mungkin sudah takdir.

- Kemudian saksi VIII memukul leher korban dengan linggis sebanyak 3 kali, terdakwa I

lalu menjerat leher korban dengan tali plsatik dan selanjutnya menarik tali tersebut keatas

sambil menginjak punggung korban, saksi VII dan Sahidin Menarik tangan korban keatsa

- Setelah itu terdakwa II memukul pantat dan kiki korban dengan kayu dadap masing-masing

I kali.

- Setelah korban meninggal dunia lalu digotong dengan menggunakan linggis dan kayu

dadap yang dimasukkan pada ikatan tali dileher korban dan ikatan sarung korban pada

pinggangnya.

- Sesampai dihutan pinus terdakwa I, terdakwa II dan teman-temannya secara bergantian

membuat lubang dengan cara mencangkul menggunakan cangkul milik terdakwa I yang

diambil dikebunya yang terletak disebelah kebun korban.

- Setelah itu korban dikubur dan terdakwa I serta teman-temannya kembali kegubug korban,

selanjutnya terdakwa I membakar gubug korban untuk menghilangkan jejak.

- Sebelum pulang kerumah terdakwa I dan teman-teman mandi di kali Cikondang, setelah

mandi terdakwa I memberikan uang kepada terdakwa II, saksi VII, saksi VIII dan Sahidin

masing-masing Rp. 50.000,- selang beberapa hari kemudian terdakwa I juga memberi uang

kepada teman-teman tersebut masing-masing sebesar Rp. 100.000,-.

- Maksud terdakwa I memberikan uang tersebut sebagai ongkos lelah.

- Sebenarnya masalah antara terdakwa I dan korban sudah diselesaikan secara kekeluargaan,

korban sudah minta maaf kepada terdakwa I dan tehah disepakati, korban harus pergi

meninggalkan Desa Mandala.

- Kenyataannya korban sudah pergi dari Desa Mandala dan tinggal digubug dikebunnya di

Desa Surusunda, Kecamatan Karangpucung tetapi terdakwa I tetap dendam dan khawatir

kalau korban kembali menyantet terdakwa I.

- Terdakwa I pernah mengajak Tawin (saksi II) untuk membunuh korban, tetapi saksi II

tidak mau.

- Setelah selesai membunuh korban, terdakwa I juga memberitahukan kepada saksi II.

- Hari Senin sore terdakwa I mulai merencanakan bersama-sama dengan teman-temannya

untuk membunuh korban dan korban dibunuh kurang lebih jam 22.00 WIB.

- Terdakwa I dengan korban masih ada hubungan keluarga.

- Terdakwa I membenarkan barang bukti.

TERDAKWA II :

- Pada hari Senin tanggal 17 Desember 2009 sekitar jam 16.00 WIB terdakwa I mengajak

terdakwa II untuk ikut membunuh korban karena korban sebagai tukan santet yang pernah

menyantet terdakwa I.

- Sehabis Mahrib terakwa II berangkat menuju kebun kelapa dan bertemu denaang terdakwa

I, saksi VII, saksi VIII dan Sahidin.

- Waktu itu terdakwa I membawa golok, senter, tali plastik dan linggis, tetapi dalam

perjalanan linggis dibawa oleh saksi VIII.

- Selanjutnya terdakwa I, terdakwa II, saksi VII, saksi VIII dan Sahidin berjalan menuju

kegubug korban yang terletak dikebunnya di Desa Surusunda, Kecamatan Karangpucung,

Kabupaten Cilacap.

- Sewaktu melewati sungai Cikondang terdakwa I memerintahkan kepada terdakwa II dan

teman-teman yang lain mengambil batu untuk melepari korban.

- Setelah sampai digubug korban, terdakwa I lalu melempari gubug korban dengan batu

dengan tujuan agar korba keluar, tetapi korban tetap tidak keluar, lalu terdakwa I

menyenter gubug korban ternyata korban sedang berdiri didalam gubug.

- Kemudian terdakwa I melempar korban dengan batu diikuti oleh terdakwa II dan teman-

teman dalam jarak kurang lebih 3 meter sehingga korban jatuh, kemudian saksi VIII

memukul korban dengan linggis sebanyak 3 kali, terdakwa I menjerat leher korban dengan

tali plastik lalu menerik ke atas sambil kakinya menginjak punggung korban, sementara

saksi VII dan Sahidin menerik tangan korban keatas.

- Setelah itu terdakwa II memukul pantat dan kaki korban dengan kayu dadap yang ada

disitu.

- Setelah korban sudah tidak bergerak lagi dan meninggal dunia lalu digotong kehutan pinus

dengan menggunakan linggis dan kayu dadap yang dimasukkan pada ikatan tali dileher dan

ikatan sarung dipinggang korban.

- Korban digotong oleh terdakwa II, terdakwa I, saksi VII dan saksi VIII,Sahidin memegang

kaki korban.

- Sesampai dihutan pinus terdakwa II, dan teman-teman membuat lubang secara bergantian

menggunakan cangkul yang diambil dari kebun milik terdakwa I yang letaknya

bersebelahan dengan kebun konban.

- Setelah korban dikubur terdakwa II dan teman-teman kembali kegubug korban, lalu

terdakwa I membakar gubug tersebut.

- Selajutnya terdakwa II dan teman-teman pulang dan mandi di sungai Cikondang, setelah

mandi terdakwa I memberikan uang masing-masing Rp. 50.000,- tanggal 3 Januari 2010

terdakwa I menambah lagi dengan memberikan masing-masing Rp. 100.000,-

- Uang bagian terdakwa II sudah habis digunakan untuk keperluan terdakwa II sendiri.

- Sewaktu berangkat dari rumah terdakwa II tahu dan sadar tujuannya adalah untuk

membunuh korban.

- Terdakwa II membenarkan barang-barang bukti.

6. Pertimbangan Hukum Hakim

Terhadap tuntutan pidana tersebut terdakwa mengajukan pembelaan atau pledoi yang

intinya mohon dijatuhkan hukuman yang seadil-adilnya. Selanjutnya Penuntut Umum telah

menyampaikan repliknya yang pada pokoknya menyatakan tetap pada tuntutan semula,

sedangkan terhadap Replik Penuntut Umum tersebut para terdakwa dalam dupliknya secara lisan

menyatakan tetap pada pembelaanya semula. Terhadap hal-hal yang relefan sebagaimana

termuat dan tercatat dalam berita acara persidangan diambil alih dan dianggap telah termuat

dalam putusan ini.

Terdakwa diajukan ke persidangan karena didakwa telah melakukan tindak pidana dan

setelah melalui proses pemeriksaan di muka sidang, selanjutnya Penuntut Umum berkesimpulan

terdakwa telah terbukti bersalah oleh karena itu dituntut agar dijatuhi pidana. Untuk memidana

seseorang harus dibuktikan tentang adanya tindak pidana dan pertanggungjawaban pidana.

Mengenai hal adanya tindak pidana diukur secara objektif dengan ketentuan undang-

undang yang dalam hal ini harus dibuktikan dengan dipenuhinya semua unsur pasal-pasal dari

peraturan perundang-undangan yang didakwakan kepada para terdakwa dan tidak ditemukan

adanya alasan pembenar, sedangkan mengenai pertanggungjawaban pidana kepada terdakwa

harus dibuktikan adanya kesalahan pada diri terdakwa atas terjadinya tindak pidana tersebut dan

tidak ditemukan alasan pemaaf yang dapat menghapuskan pertanggungjawaban pidana.

Menimbang, bahwa terlebih dahulu akan dipertimbangkan mengenai ada tidaknya tindak

pidana dengan cara menghubung-hubungkan fakta hukum yang ada dengan semua unsur pasal-

pasal dari peraturan perundang-undangan yang didakwakan kepada terdakwa. Apabila terpenuhi

semua, maka terdakwa telah terbukti melakukan tindak pidana seperti yang didakwakan

kepadanya selanjutnya akan dipertimbangkan mengenai pertanggungjawaban pidana.

Selanjutnya dipertimbangkan mengenai pertangungjawaban pidana dengan cara menghubung-

hubungkan fakta hukum yang ada dengan semua unsur pertanggungjawaban pidana.

Mendasarkan pada keterangan saksi-saksi yang dihubungkan dengan keterangan terdakwa

serta barang bukti yang diajukan di persidangan, maka diperoleh fakta-fakta hukum sebagai

berikut :

Terdakwa telah diajukan oleh Jaksa Penuntut Umum dengan dakwaan alternatif

subsideritas , maka menurut teori hukum pembuktian dalam Hukum Acara Pidana yang

berbentuk alternatif bukan primer subsidair, maka pembuktiannya tidak perlu secara hirarkis,

melainkan secara langsung ditujukan pada dakwaan yang menurut pandangan dan penilaian

yuridis memenuhi seluruh unsur tindak pidana yang didakwakan. Pada dakwaan kesatu primer

melanggar Pasal 340 jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP, Subsidair melanggar Pasal 338 KUHP jo

Pasal Pasal 55 ayat (1) Ke-1 KUHP dan lebih Subnsidair melanggar Pasal 355 ayat (1) dan ayat

(2) KUHP jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.

Menimbang bahwa oleh karena dakwaan Penuntut Umum disusun secara alternatif, maka

Majelis Hakim langsung akan mempertimbangkan dakwaan yang menurut Majelis Hakim

sekiranya akan terbukti yaitu dakwaan kesatu dan karena dakwaan kesatu ini disusun secara

subsidaritas, maka Majelis Hakim terlebih dahulu akan mempertimbangakan dakwaan kesatu

primair melanggar Pasal 340 jo 55 ayat (1) ke-1e KUHP yang unsur-unsurnya adalah sebagai

berikut :

1. Dengan sengaja.

2. Dengan direncanakan terlebih dahulu.

3. Menghilangkan nyawa orang lain

4. Dipidana sebagai pelaku, mereka yang melakukan, yang menyuruh melakukan da yang turut

serta melakukan.

ad.1. Unsur dengan sengaja :

Menimbang bahwa yang dimaksud dengan sengaja adalah akibat dari perbuata itu

dikehendaki atau dengankata lain akibat itu menjadi maksud dan tujuan dari perbuatan yang

dilakukan.

Menimbang bahwa dari fakta-fakta hukum dipersidangan terdakwa I mengajak terdakwa II

dan teman-temannya untuk membunuh Madyusron (korban) dan terdakwa II dan teman-temannya

menyetujui hal tersebut.

Menimbang bahwa setelah sampai digubug korban, para terdakwa dan teman-temannya

dalam jarak 3 meter melempari korban dengan batu sebesar kepalan tangan orang dewasa sehingga

korban jatuh dalam posisi miring, selanjutnya saksi VIII memukul leher korban dengan linggis,

terdakwa I menjerat leher korban dengan tali plastik dan menarik keatas sambil menginjak

punggung korban sementara saksi VII dan Sahidin menarik tangan korban keatas terdakwa II juga

memukul pantat dan kaki korban dengan kayu dadap.

Menimbang bahwa dari uraian pertimbangan tersebut diatas ternyata para terdakwa tahu

dan menyadari akibat dari perbuatannya yang dilakukan serta menghendaki akibat tersebut,

dengan demikian maka unsur ke-1 dengan sengaja telah terpenuhi.

ad.2. Dengan sengaja merencanakan terlebih dahulu

Menimbang bahwa berdasarkan fakta-fakta hukum diatas terdakwa I mempunyai dendam

terhadap korban karena menurut terdakwa I korban sebagai tukang santet pernah menyantet

terdakwa I dan keluarganya meskipun antar korban dan terdakwa I telah ada penyelesaian secara

kekeluargaan (perdamaian) dan korban telah melaksanakan isi perjanjian perdamaian tersebut,

oleh karena itu terdakwa I pada hari Senin tanggal 17 Desember 2009 sekitar jam 15.30 WIB

datang kerumah saksi VIII dan mengajaknya untuk membunuh korban setelah mengajak saksi

VIII terdakwa I juga mengajak terdakwa II pada jam 16.)) Wib dan disepakati, setelah magrib

kumpul dilapangan dekat kebun kelapa.

Menimbang bahwa pada jam 20.00 WIB terdakwa I datang kerumah saksi VII juga untk

mengajak saksi VII membunuh korban, lau terdakwa I dan saksi VII datang kelapangan dekat

kebun kelapa dimana terdakwa II, saksi VIII dan Sahidin sudah menunggu.

Menimbang bahwa dalam perjalanan sewaktu melewati sungai Cikondang terdakwa I

memerintahkan kepada terdakwa II saksi VII, saksi VIII dan Sahidin untuk masing-masing

mengambil batu kurang lebih sebesar kepalan tangan orang dewasa yang akan digunakan untuk

melempar korban.

Menimbang bahwa setelah sampai di gubug korban yang terletak dikebunnya kurang

lebih jam 22.00WIB terdakwa I lalu melempar korban dengan batu yang diikuti oleh terdakwa II,

saksi VII, saksi VIII dan Sahidin, saksi VIII memukul leher korban dengan linggis yang

dibawanya dan terdakwa I menjerat leher korban dengan tali, lalu terdakwa II memukul pantat dan

kaki korban dengan kayu dadap.

Menimbang bahwa terdakwa I hari Senin tanggal 17 Desember 2009 mengajak saksi VIII

untuk meembunuh kurang lebih jam 15,30 WIB, kemudian mengajak teerdakwa II, kurang lebih

jam 16.00 WIB, dan sepakat berkumpul setelah magrib, selanjutnya kurang lebih jam 20.00 WIB

terdakwa I mengajak lagi saksi VII para terdakwa dan teman temannya berangkat menuju kegubug

tempat tinggal korban dengan telah membawa peralatan yang akan digunakan untuk membunuh

yaitu linggis, batu, golok,. Senter dan tali plastik dan setelah sampai digubug korban kurang lebih

jam 22.00 WIB para terdakwa dan teman-temannya melaksanakan sesuai apa yang telah

direncanakan sebelumnya dengan demikia mereka para terdakwa dan teman-temannya sudah

merencanakan semua ini dengan baik dan para tyerdakwa mempunyai waktu yang cukup untuk

membatalkan rencanannya itu tetapi tidak dilakukan oleh para terdakwa, oleh karenanya unsur ke-

2 dengan direncanakan terlebih dahulu telah terpenuhi pula.

ad.3. Menghilangkan nyawa orang lain.

Menimbang bahwa dari fakta-fakta hukum diatas setelah korban dilempari batu, dipukul

dengan linggis, dijerat lehernya dengan tali plastik dan dipukul kai dan pantatnya dengan kayu

dadap Madyusron (korban) meninggal dunia, hal ini sesuai dengan kesimpulan Visum Et Repertum

dari Puskesmas Karangpucung yang menyatakan korban meninggal dunia kemunggkinan akibat

sumbatan jalan nafas dan benturan keras didada sebelah kiri.

Menimbang bahwa dengan demikian maka unsur menghilangkan nyawa orang lain telah

terpenuhi.

ad.4. Dipidana sebagai pelaku, mereka yang melakukan, yang menyuruh lakukan dan yang

turut serta melakukan

Dari fakta-fakta hukum dipersidangan para terdakwa melakukan pembunuhan bersama-

sama dengan saksi VII, saksi VIII dan Sahidin, dengan demikian para terdakwa turut serta

melakukan tindak pidana sehingga unsur ke-4 telah terpenuhi pula.

Oleh karana semua unsur dalam Pasal 340 jo 55 ayat (1) ke-1 KUHP yang didakwakan

dalam dakwaan kesatu primair telah terpenuhi, mka menurut pandapat Majelis Hakim para

terdakwa telah terbukti secara sah dan menyakinkan melakukan tindak pidana sebagaimana

didakwakan dalam dakwaan tersebut, sehingga harus dinyatakan bersalah dan dijatuhi pidana.

Menimbang bahwa karena dakwaan kesatu Penuntut Umum disusun secara subsidaritas

dan dakwaan kesatu primair telah terbukti, maka dakwaan kesatu subsidair dan lebih subsuidair

tidak perlu dibuktikan lagi, demikian pula dakwaan kedua, tidak perlu dibuktikan karena dakwaan

kesatu dan dakwaan kedua disusun secara alternatif.

Berdasarkan pertimbangan tersebut diatas maka Majelis Hakim tidak sependapat dengan

tuntutan pidana dari Penuntut Umum yang menyatakan yang terbukti dakwaan kedua, sementara

para terdakwa melakukan perbuatannya dengan direncanakan terlebih dahulu dalam tenggang

waktu yang cukup untuk mempertimbangkan kembali niatnya.

Menimbang bahwa dengan demikian maka Majelis Hakim tidak sependapat dengan

tuntutan pidana dari Penuntut Umum maupun pembelaan dari Penasehat Hukum para terdakwa

dengan mempertimbangakan seperti tersebut diatas didalam mempertimbangakan unsur-unsur

tindak pidana.

Untuk memenuhi rasa keadilan, maka dalam menjatuhkan pidana kepada para terdakwa,

Majelis Hakim akan mempertimbangakan dari segala segi baik bagi kepentingan masyarakat atau

Negara, maupun kepentingan para terdakwa.

Menimbang bahwa dalam perkara ini motivasi yang mendorong terdakwa I adalah rasa

dendam kepada korban yang menurut terdakwa I pernah menyantet keluarga terdakwa I meskipun

antara terdakwa I dan korban telah ada penyelesaian secara kekeluargaan dan korban telah

melaksanakan isi perjanjian perdamaian tersebut, yaitu minta maaf dan pergi dari Desa Mandala

tinggal digubugnya di Desa Surusunda.

Terdakwa I dalam perkara ini berperan sebagai orang yang mempunyai ide dan yang

pertama kali menyusun rencana sementara terdakwa II ikut melaksanakan bersama-sama dengan

terdakwa I, saksi VII dan saksi VIII rencana yang dibuat dan disusun oleh terdakwa I .

Motivasi yang mendorong terdakwa II ikut melaksanakan rencana terdakwa I adalah

karena diajak terdakwa I dan terdakwa II percaya dengan omongan terdakwa I yang mengatakan

korban adalah dukun santet.

Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, maka Majelis Hakim dengan memperhatikan

kepentingan masyarakat akan menjatuhkan pidana kepada para terdakwa dengan pidana yang

layak, patut dan sesuai dengan perbuatan yang telah dilakukannya bukan sebagai balas dendam

tetapi sebagai pembinaan bagi diri para terdakwa.

Sebelum menjatuhkan pidana perlu dipertimbangkan hal-hal yang memberatka maupun

hal-hal yang meringankan para terdakwa.

Hal-hal yang memberatkan :

1) Para terdakwa menyembunyikan manyat korban.

2) Para terdakwa membakar gubug korban.

3) Perbuatan para terdakwa sangat meresahkan masyarakat yang mendambakan ketentraman dan

kedamain.

4) Perbuatan para terdakwa cukup sadis dan dilakukan terhadap korban yang sudah pasrah dan

sama sekali tidak melawan.

5) Terdakwa I masih ada hubungan keluarga dengan korban dan terdakwa I mwerasa puas setelah

korban meninggal dunia.

6) Terdakwa II sudah menikmati uang lelah yang diberikan terdakwa I.

Hal-hal yang meringankan :

1) Para terdakwa mengaku terus terang akan perbuatannya, menyesal dan berjanji tidak akan

mengulangi lagi.

2) Para terdakwa belum pernah dihukum.

3) Para terdakwa mempunyai tanggungan keluarga.

Menimbang bahwa tentang masa tahanan yang telah dijalani para terdakwa karena

dilakukan berdasarkan undang-undang maka akan dikurangkan seluruhnya dari pidana yang

dijatuhkan.

Menimbang bahwa mengenai barang bukti berupa :

1 buah kaos warna putih, 1 buah sarung warna ungu, satu potong kayu dadap, panjang kurang

lebih 1 meter, 1 potong tali (tambang ) plastik 5 buah batu, 1 buah linggis dari besi panjang 1

meter dan sebuah cangkul gagang kayu, 1 buah senter baterai 2 merk Teger, 1 buah parang beserta

sarungnya yang masih diperlukan sebagai bukti dalam perkara Wartam bin Kartamiharja, tetap

dijadikan bukti dalam perkara Wartam bin Kartamiharja.

Menimbang bahwa oleh karena para terdakwa dijatuhi pidana, maka haruslah dibebani pula

untuk membayar biaya perkara. Memperhatikan pasal-pasal dalam KUHP dan peraturan hukum

lain yang bersangkutan khususnya Pasal 340 jo. 55 ayat (1) ke-1 KUHP.

7. Putusan Hakim

a. Menyatakan para terdakwa :

1) WASTAR alias MUDSULHAN bin MADISWAN.

2) SAMIRNO alias MADMUKTI bin KARTAMIHARJA.

telah terbukti secara sah dan meyakinkan berasalah melakukan tindak pidana :

PEMBUNUHAN BERENCANA SECARA BERSAMA-SAMA.

b. Menghukum para terdakwa oleh karena itu dengan pidana penjara masing-masing :

Terdakwa I selama 9 (sembilan) tahun.

Terdakwa II selama 7 (tujuh) tahun.

c. Menetapkan masa penahanan yang telah dijalanipara terdakwa dikurangkan seluruhnya dari

pidana yang dijatuhkan.

d. Memerintahkan para terdakwa tetap ditahan.

e. Memerintahkan barang bukti berupa :

- 1 buah kaos warna putih,

- 1 buah sarung warna ungu,

- 1 potong kayu dadap panjang kurang lebih 1 meter,

- 1 potong tali plastik,

- 5 buah batu,

- 1 buah linggis dari besi panjang kurang lebig 1 meter,

- 1 buah cangkul gagang kayu,

- 1 buah senter baterai 2 merk tiger,

- 1 buah parang (golok) beserta sarungnya,

dijadikan bukti dalam perkara Wartam bin Kartamiharja dkk.

f. Membebankan para terdakwa untuk membayar biaya perkara masing-masing Rp. 2.500,- (dua

ribu lima ratus rupiah).

B. Pembahasan

3. Pertanggungjawaban pidana terhadap para pelaku dalam tindak pidana pembunuhan

berencana secara bersama-sama pada Putusan Perkara No. 81/Pid.B/2010/PN.Clp.

Pengertian perbuatan pidana tidak termasuk hal pertanggungjawaban. Perbuatan pidana

hanya menunjuk kepada dilarangnya perbuatan. Apakah orang yang telah melakukan perbuatan itu

kemudian juga dipidana, tergantung pada soal, apakah dia dalam melakukan perbuatan itu

mempunyai kesalahan atau tidak. Apabila orang yang melakukan perbuatan pidana itu memang

mempunyai kesalahan atau tidak. Apabila orang yang melakukan perbuatan pidana itu memang

mempunyai kesalahan, maka tentu dia akan dipidana, tetapi manakala dia tidak mempunyai

kesalahan, walaupun dia telah melakukan perbuatan yang terlarang dan dicela, dia tentu tidak

dipidana. Asas yang tidak tertulis : tidak dipidana jika tidak ada kesalahan, merupakan dasar

daripada dipidananya si pembuat.

Jadi perbuatan yang dicela oleh masyarakat itu dipertanggungjawabkan pada si

pembuatnya. Artinya celaan yang objektif terhadap perbuatan itu kemudian diteruskan kepada si

terdakwa juga dicela dengan dilakukannya perbuatan itu. Dengan mempertanggungjawabkan

perubatan yang tercela itu pada si pembuatnya, maka dapat disimpulkan ataukan si pembuatnya

juga dicela, ataukah si pembuatnya tidak dicela. Dalam hal yang pertama, maka si pembuatnya

tentu dipidana, sedangkan dalam hal yang kedua si pembuatnya tentu tidak dipidana. (Roeslan

Saleh, 1980: 75-76).

Nyatalah, bahwa hal dipidana atau tidaknya si pembuat bukanlah bergantung pada apakah

ada perbuatan pidana atau tidak, melalinkan pada apakah siterdakwa tercela atau tidak karena telah

melakukan perbuatan pidana itu. Karena itulah maka juga dikatakan dasar daripada adanya

perbuatan pidana adalah asas legaliteir, yaitu asas yang menentukan bahwa sesuatu perbuatan

adalah terlarang dan diancam denan pidana berangsiapa yang melakukannya, sedangkan dasar

daripada pidananya si pembuat adalah asas tidak dipidana jika tidak ada kesalahan. Dapat pula

dikatakan orang tidak mungkin dipertangungjawabkan dan dijatuhi pidana kalau tidak melakukan

perbuatan pidana. Tetapi meskipun dia melakukan perbuatan pidana akan dipidana, apabila dia

mempunyai kesalahan. (Roeslan Saleh, 1980: 76).

Sedangkan menurut Moeljatno dikatakan bahwa orang tidak mungkin

dipertanggungjawabkan (dijatuhi pidana) kalau dia tidak melakukan perbuatan pidana tapi

meskipun melakukan perbuatan pidana, tidak selalu dia dapat dipidana. (Moeljatno, 1980: 105).

Selanjutnya dikatakan bahwa orang dapat dikatakan mempunyai kesalahan, jika dia pada waktu

melakukan perbuatan pidana, dilihat dari segi masyarakat dapat dicela karenanya, yaitu kenapa

melakukan perbuatan yang merugikan masyarakat padahal mampu untuk mengetahui makna

(jelek) perbuatan tersebut, dan kerenanya dapat bahkan harus dihindari untuk berbuat demikian.

(Moeljatno, 1980: 106).

Berkaitan dengan harus adanya unsur kesalahan jika seseorang dapat

mempertanggungjawabkan perbuatannya, Bambang Poernomo mengatakan : bahwa dapat

dipidananya seseorang terlebih dahulu harus ada dua syarat yang menjadi satu keadaan, yaitu

perbuatan yang bersifat melawan hukum sebagai sendi perbuatan pidana, dan perbuatan yang

dilakukan itu dapat dipertanggungjawabkan sebagai sendi kesalahan. Putusan untuk menjatuhkan

pidana harus ditentukan adanya perbuatan pidana dan adanya kesalahan yang terbukti dari alat

bukti dengan keyakinan hakim terhadap seorang tertuduh yang dituntut di muka pengadilan.

(Bambang Poernomo, 1982: 134).

Pendapat para sarjana tersebut di atas jika dihubungkan dengan Putusan Perkara No.

81/Pid.B/2010/PN.Clp, yaitu para terdakwa diputus berdasarkan adanya unsur kesalahan sehingga

hakim memutus kepada para terdakwa pertanggungjawaban pidana.

Hal ini dapat dilihat dari perbuatan para pelaku yang menganggap korban sebagai dukun

santet yang telah mengguna-nggunai mertua, isteri serta pelaku sendiri. Padahal atas kesepakatan

berdasarkan pengakuan korban sendiri di depan pamong setempat, diputuskan korban harus pergi

meninggalkan rumah tempat tinggalnya di Dusun Cibungur Desa Mandala Kecamatan Cimanggu

untuk tinggal menyendiri di sebuah gubug kebun singkong milik korban dengan jarak kurang lebih

sejauh dua kilo meter dari kampung tersebut. Tetapi para pelaku pada hari Senin tanggal 17

Desember 2009 sekitar jam 18.00 WIB pelaku I (terdakwa I) datang menemui saksi Wartam alias

Wahyono di rumahnya dengan mengutarakan maksudnya untuk bersama-sama menghabisi nyawa

korban digubugnya. Ajakan tersebut disepakati oleh saksi. Selanjutnya saksi menuju ke rumah

terdakwa Wastar Alias Madsulhan (terdakwa II) dan mereka secara bersama-sama untuk

melakukan niatnya menghabisi korban.

Unsur kesalahan dalam tindakan para pelaku yaitu dapat dicelanya perbuatan. Menurut

Pompe kesalahan ini dengan dapat dicela (verwijtbaarheid) dan dapat dihindari (vermijdbaarheid)

perbuatan yang dilakukan. (Roeslan Saleh, 1980: 77). Selanjutnya menurut Bambang Poernomo

mengatakan bahwa dapat dipidanaya seseorang, terlebih dahulu harus ada dua syarat yang menjadi

satu keadaan, yaitu perbuatan yang bersifat melawan hukum sebagai sendi perbuatan pidana, dan

perbuatan yang dilakukan itu dapat dipertanggungjawabkan sebagai sendi kesalahan. Putusan

untuk menjatuhkan pidana harus ditentukan adanya perbuatan pidana dan adanya kesalahan yang

terbukti dari alat bukti dengan keyakinan hakim terhadap seorang tertuduh yang dituntut di muka

pengadilan. (Bambang Poernomo, 1982: 134).

Dipidananya seseorang tidaklah cukup dengan membuktikan bahwa orang itu telah

melakukan perbuatan yang bertentangan dengan hukum atau bersifat melawan hukum. Jadi

meskipun perbuatannya memenuhi rumusan delik dalam undang-undang dan tidak dibenarkan (an

objective breach of a penal provision), namun hal tersebut belum memenuhi syarat untuk

penjatuhan pidana. Untuk dapat dipertanggungjawabkannya orang tersebut masih perlu adanya

syarat, bhawa orang yang melakukan perbuatan itu mempunyai kesalahan atau bersalah (subjective

guilt). Dengan perkataan lain, orang tersebut harus dapat dipertanggungjawabkan atas

perbuatannya atau jika dilihat dari sudut perbuatannya, perbuatannya harus dapat

dipertanggungjawabkan kepada orang tersebut. Dalam hal ini berlaku asas “tiada pidana tanpa

kesalahan” atau Keine strafe ohne schuld atau geen staf zonder schuld atau nulla poena sine culpa

culpa (disini dalam arti luas, meliputi juga kesengajaan).

Selanjutnya mengenai unsur kesalahan dalam arti luas memuat unsur-unsur, antara lain :

1. Adanya kemampuan bertanggungjawab pada si pelaku (schuldfahigkeit atau

zurechnungsfahigkeit).

2. Hubungan batin antara si pelaku dengan perbuatannya, yang berupa kesengajaan (dolus)

atau kealpaan (culpa), ini disebut bentuk-bentuk kesalahan.

3. Tidak adanya alasan yang menghapus kessalahan atau tidak ada alasan pemaaf dan

alasan pembenar.(http://kitabpidana.blogspot.com/2012/04)

Jika pendapat tersebut di atas dihubungkan dengan Putusan Perkara No.

81/Pid.B/200/PN.Clp, nampak bahwa perbuatan menghilangkan nyawa orang lain yang dilakukan

dengan direncanakan terlebih dahulu secara bersama-sama yang dilakukan oleh para pelaku adalah

perbuatan melawan hukum, sesuai dengan Pasal 340 KUHP. Hal ini dapat dilihat dari kemampuan

bertanggungjawab pada diri para pelaku yaitu menurut Van Hamel : Keadaan normalitas psychis

dan kematangan (kecerdasan) yang membawa tiga kemampuan yaitu :

a. Mampu untuk mengerti nilai dari akibat-akibat perbuatannya sendiri;

b. Mampu untuk menyadari, bahwa perbuatannya itu menurut pandangan masyarakat

tidak dibolehkan;

c. Mampu untuk menentukan kehendaknya atas perbuatan-perbuatannya itu.

(http://kitabpidana.blogspot.com/2012/04).

Pendapat tersebut jika dihubungkan dengan Putusan Perkara No. 81/Pid.B/2010/PN.Clp.

yaitu pada saat para terdakwa melakukan pembunuhan keadaan psychis atau kematangan

(kecerdasannya) normal. Hal ini dibuktikan dengan usia para pelaku masing-masing pelaku I usia

44 tahun dan pelaku II berusia 40 tahun. Pelaku juga mengerti dari akibat perbuatannya sendiri

bahwa menghilangkan nyawa orang lain bertentangan dengan norma hukum atau menurut

pandangan masyarakat tidak diperbolehkan (tercela).

Hakim juga telah melakukan pemeriksaan terhadap alat bukti yang diajukan di depan

persidangan yaitu : alat bukti saksi antara lain : saksi I. Rohimah al. Madyusron, Tarwin alias

Tarmuji, Kuat alias Priyono, Warsian alias Anwar Azis, Maskono alias Suwondo, Absan bin

Wasmiharja, Dudung bin Enceng, serta Wartam al Wahyono bin Kartamiharja kesemua saksi yang

dihadirkan di persidangan mengatakan bahwa apa yang dilakukan oleh para saksi adalah benar

adanya. Pemeriksaan selanjutnya yaitu alat bukti surat berupa visum et repertum dari dokter

Muslim M dokter pada Puskemas Karangpucung I, Nomor : 440/240/12/01 tanggal 29 Desember

2009 yang dibuat berdasarkan sumpah jabatan dengan hasil pemeriksaan korban mati akibat

sumbatan jalan nafas dan benturan keras di dada sebelah kiri.

Berdasarkan hasil penelitian terhadap Putusan Perkara No. 81/Pid.B/2010/PN.Pwt. bahwa

untuk menentukan apakah para terdakwa itu bersalah atau tidak, maka dapat dilihat dari

kemampuan bertanggungjawab atau tidak dalam diri para terdakwa. Dalam perkara tersebut hakim

menilai bahwa para terdakwa mampu untuk bertanggung jawab atas perbuatannya. Kemampuan

bertangung jawab menurut Van Hammel yaitu suatu keadaan normalitas psychis dan kematangan

(kecerdasarn) yang membawa 3 kamampuan: yaitu mampu untuk mengerti nilai dari akibat-akibat

perbuatannya sendiri, mampu untuk menyadari, bahwa perbuatannya itu menurut pandangan

masyarakat tidak dibolehkan, dan mampu untuk menentukan kehendaknya atas perbuatan-

perbuatannya itu. (http://kitabpidana.blogspot.com/2012/04).

Selanjutnya menurut Moeljatno kemampuan bertanggung jawab harus ada : kemampuan

untuk membeda-bedakan antara perbuatan yang baik dan yang buruk, yang sesuai hokum dan yang

melawan hokum serta kemampuan untuk menentukan kehendaknya menurut keinsyafan tentang

baik dan buruknya perbuatan tadi. (Moeljatno, 1982: 112).

Teori tersebut jika dihubungkan dengan Putusan Perkara No. 81/Pid.B/2010/PN.Pwt,

bahwa hakim dalam menilai para terdakwa mampu untuk mempertanggungjawabkan atas

perbuatannya adalah para terdakwa dilihat dari usianya sudah cukup dewasa yaitu terdakwa I

berusia 44 tahun dan terdakwa II berusia 40 tahun, dalam persidangan para terdakwa juga

mengerti tentang apa yang didakwaan oleh Jaksa Penuntut Umum. Dengan demikian hakim

menganggap para terdakwa mampu untuk menilai dan mengerti dari akibat-akibat perbuatannya

menghilangkan nyawa orang lain itu bertentangan dengan hokum, mampu menyadari bahwa

perbuatannya itu menurut pandangan masyarakat tidak diperbolehkan serta mampu untuk

menentukan kehendaknya atas perbuatannya itu.

Terhadap para pelaku hakim juga telah menilai bahwa terdapat unsur kesalahan dalam

melakukan tindak pidana. Menurut Von Liszt yang mengatakan bahwa kesalahan dibentuk oleh

keadaan psikis tertentu dari pembuat. Fletcher juga menyebutkan teori kesalahan psikologi sebagai

teori deskriptif tentang kesalahan, mengingat unsur mental terdeskripsi secara nyata sebagai

bagian tindak pidana. Selanjutnya menurut Smith dan Hogan, berpendapat bahwa kesalahan

adalah dapat dicelanya pembuat tindak pidana, karena dilihat dari segi masyarakat sebenarnya dia

dapat berbuat lain jika tidak ingin melakukan perbuatan tersebut. Definisi ini disusun oleh tida

komponen utama yaitu dapat dicela, dilihat dari segi masyarakatnya dan dapat berbuat lain.

(Chaerul Huda, 2011 : 3). Sedangkan menurut Van Strien yang mengatakan, dalam kaitan ini inti

pengertian kesalahan adalah suatu keadaan dimana dalam siatuasi tertentu masih dimungkinkan

bertindak secara lain dandalam siatuasi tersebut secara wajar dapat diharapkan bahwa alernatif

tindak tertentu masing dimungkinkan diambil. Dengan demikian, dapat dicelanya pembuat karena

masih terbuka kemungkinan untuk berbuat lain, selain tindak pidana. Dengan perkataan lain,

pembuat dapat dicela karena sebenarnya hukum mengharapkan kepadanya untuk berbuat lain,

selain tindak pidana. (Sonny Majid, 2011 : 4).

Dengan demikian ternyata menurut Moeljatno dikatakan bahwa orang dapat dikatakan

mempunyai kesalahan, jika dia pada waktu melakukan perbuatan pidana, dilihat dari segi

masyarakat dapat dicela karenanya, yaitu kenapa melakukan perbuatan yang merugikan mayarakat

padahal mampu untuk mengetahui makna (jelek) perbuatan tersebut, dan karenanya dapat bahkan

harus menghindari untuk berbuat demikian. (Moeljatno, 1982 : 106).

Pendapat tentang arti kesalahan tersebut di atas jika dihubungkan dengan Putusan Perkara

No. 81/Pid.B/2010/PN.Clp, bahwa hakim telah menilai bahwa terdakwa I yaitu Wastar al

Madsulhan bin Madiswan dan terdakwa II yaitu Samirno al Mudmukti bin Kartamiharja telah

memenuhi unsure kesalahan yaitu ketika terdakwa I dating menemui saksi Wartam alias Wahyono

dirumahnya dengan mengutarakan maksudnya untuk bersama-sama menghabisi nyawa korban

yaitu Madyusron digubungnya. Dengan demikian ada hubungan batin antara si pelaku dengan

perbuatannya yang berupa kesengajaan (dolus). Hal ini terlihat dari ketika terdakwa I menyurus

saksi Wartam alias Wahyono untuk berangkat terlebih dahulu dan menunggu disebuah kebun

kelapa sambil membawa linggis milik terdakwa, kemudian terdakwa I mengajak pula saksi

Dudung bersama dengan terdakwa II lalu mereka berangkat sambil membawa peralatan tambang

plastic, golok dan sebuat senter selanjutnya mereka juga masing-masing mengambil batu kali

seukuran kepalan tangan yang akan digunakan untuk melempari korban selanjutnya mereka juga

mengambil cangkul untuk menggali tanah. Dengan demikian hakim berkesimpulan bahwa terdapat

hubungan batin antara para pelaku dengan perbuatannya yang berupa kesengajaan (dolus).

Dalam pemeriksaan hakim terhadap para pelaku dalam Putusan Perkara No.

81/Pid.B/2010/PN.Clp hakim juga tidak menjumpai adanya alasan yang menghapus kesalahan

atau tidak ada alasan pemaaf dan alasan pembenar atau alasan yang menghapuskan sifat melawan

hokumnya perbuatan bagi para terdakwa. Menurut Teguh Prasetyo alasan pembenar atau

rechtsvaardigingsgrond ini bersifat menghapuskan sifat melawan hokum dan perbuatan yang di

dalam KUHP dinyatakan sebagai dilarang. Karena sifat melawan hukumnya dihapuskan, maka

perbuatan yang semula melawan hokum itu menjadi dapat dibenarkan, dengan demikian

pelakunya tidak dipidana. (Teguh Prasetyo, 2010 : 84). Selanjutnya Moeljatno juga mengatakan

bahwa alasan pembenar yaitu alasan yang menghapuskan sifat melawan humnya perbuatan,

sehingga apa yang dilakukan oleh terdakwa lalu menjadi perbuatan yang patut dan benar.

(Moeljatno, 1982 : 93).

Pendapat hakim tentang tidak adanya alasan pembenar yang dilakukan oleh para terdakwa

dalam Putusan Perkara No. 81/Pid.B/2010/PN.Pwt. yaitu perbuatan terdakwa bukan merupakan

perbuatan yang merupakan pembelaan darurat sebagaimana di rumuskan dalam Pasal 49 ayat (1)

KUHP, perbuatan karena melaksanakan perintah undang-undang (Pasal KUHP 50 KUHP) dan

juga bukan karena perintah jabatan (Pasal 51 ayat (1) KUHP. Hakim menilai bahwa perbuatan

para terdakwa merupakan merupakan tindak pidana pembunuhan berencana secara bersama-sama,

dan hal ini dibuktikan dengan telah terpenuhinya unsure-unsur sebagaimana dirumuskan dalam

Pasal 340 KUHP jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP. Unsur-unsur tersebut adalah barang siapa,

dengan sengaja, dengan direncanakan terlebih dahulu, menghilangkan nyawa orang lain dan

dipidana sebagai pelaku, mereka yang melakukan, yang menyuruh melakukan dan yang turut serta

melakukan. Dengan demikian hakim berkesimpulan bahwa dalam perbuatan yang dilakukan oleh

para terdakwa tidak menemukan adanya alasan yang menghapuskan sifat melawan hukum

perbuatan.

Berdasarkan hasil penelitian pada Putusan Perkara No. 81/Pid.B/2010/PN.Clp, hakim juga

tidak menemukan adanya alasan pemaaf yang dilakukan oleh para terdakwa. Alasan pemaaf

menurut Moeljatno adalah alasan yang menghapuskan kesalahan terdakwa. Perbuatan yang

dilakukan oleh terdakwa tetap bersifat melawan hokum, jadi tetap merupakan perbuatan pidana,

tetapi dia tidak dipidana, karena tidak ada kesalahan. (Moeljatno, 1982 : 93). Selanjutnya menurut

Teguh Prasetyo alasan pemaaf atau schulduitsluitingsgron ini menyangkut peranggungjawaban

seseorang terhadap perbuatan pidana yang telah dilakukan atau criminal responsibility. Alasan

pemaaf ini menghapuskan kesalahan orang yang melakukan delik atas beberapa hal.

Pemeriksaan selanjutnya adalah keterangan para terdakwa sendiri. Dengan demikian hakim

berkesimpulan bahwa perbuatan yang dilakukan oleh para pelaku terdapat unsur kesalahan,

sehingga perbuatannya dapat dipertanggungjawabkan.

2. Dasar pertimbangan Hakim dalam menjatuhkan pidana dalam tindak pidana

pembunuhan berencana secara bersama-sama pada Putusan Perkara No.

81/Pid.B/2010/PN.Clp.

Majelis Hakim dalam menjatuhkan pidana kepada para terdakwa harus terlebih dahulu

telah memenuhi semua syarat untuk dilakukan pemidanaan atas diri para terdakwa. Seperti

pendapat Sudarto, yang mengatakan bahwa syarat untuk adanya pemidanaan adalah :

1) Perbuatan yang memenuhi rumusan undang-undang;

2) yang bersifat melawan hukum (tidak ada alasan pembenar);

3) adanya kesalahan yaitu :

(1). Mampu bertanggung jawab;

(2). dolus atau culpa (tidak ada alasan pemaaf). (Sudarto, 1990 : 30).

Berdasarkan hasil penelitian terhadap putusan perkara Pengadilan Negeri Cilacap

No.81/Pid.B/2010/PN.Clp dan dengan melakukan studi pustaka tentang materi yang

berhubungan dengan obyek penelitian serta mengacu pada pendapat Sudarto mengenai syarat-

syarat pemidanaan, maka untuk dapat menjawab permasalahan yang kedua, dapat disusun

analisis sebagai berikut :

a. Penerapan Unsur-unsur Pasal 340 KUHP jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.

(1) Perbuatan yang memenuhi rumusan undang-undang

Unsur pertama dari tindak pidana adalah perbuatan atau tindakan seseorang, tindakan

orang itu merupakan penghubung atau dasar untuk adanya pemberian pidana. Perbuatan

ini meliputi berbuat dan tidak berbuat dan yang memenuhi rumusan tindak pidana dalam

undang-undang yang merupakan konsekuensi dari asas legalitas. (Sudarto, 1990 : 30).

Berkaitan dengan perbuatan yang memenuhi rumusan undang-undang, Sudarto,

mengatakan :

Perbuatan yang memenuhi atau yang mencocoki rumusan tindak pidana dalam

undang-undang berarti perbuatan konkrit dari si pembuat dan perbuatan itu harus

mempunyai ciri-ciri dan delik itu sebagaimana secara abstrak disebutkan dalam

undang-undang sebagai tindak pidana tidak dapat dipidana dan peraturan

perundang-undangan itu harus ada sebelum terjadinya tindak pidana. (Sudarto, 1990

: 31).

Pada putusan perkara No.81/Pid.B/2010/PN.Clp, para terdakwa didakwa dengan

dakwaan alternatif yaitu dakwaan ke I primer melanggar Pasal 340 jo Pasal 55 ayat (1)

ke-1 KUHP, subsidair melanggar Pasal 388 jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP dan dakwaan

lebih subsidair melanggar Pasal 355 ayat (1) dan (2) KUHP jo Pasal 55 ayat (1) ke-1

KUHP.

Oleh karena dakwaan bersifat alternatif, maka Majelis Hakim Pengadilan Negeri

Cilacap akan mempertimbangkan terhadap dakwaan yang menurut pendapat Majelis

Hakim paling dekat dengan perbuatan para terdakwa.

Dalam tindak pidana pembunuhan berencana secara bersama-sama, sebagaimana

dirumuskan dalam Pasal 340 KUHP jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP, yaitu sebagai berikut.

Pasal 340 KUHP merumuskan :

Barangsiapa dengan sengaja dan dengan direncanakan lebih dahulu menghilangkan

jiwa orang lain, dihukum karena pembunuhan berencana (moord), dengan hukuman

mati atau penjara seumur hidup atau penjara sementara selama-lamanya dua puluh

tahun.

Sedangkan Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP, merumuskan :

Dihukum sebagai orang yang melakukan peristiwa pidana :

Orang yang melakukan, yang menyuruh melakukan atau turut melakukan perbuatan

itu.

Rumusan pasal tersebut di atas, mengandung unsur-unsur sebagai berikut :

1. Barangsiapa;

2. Dengan sengaja;

3. Dengan direncanakan terlebih dahulu;

4. Menghilangkan nyawa orang lain;

5. Dipidana sebagai pelaku, mereka yang melakukan, yang menyuruh melakukan dan yang

turut serta melakukan.

Mendasarkan pada tuntutan yang dilakukan oleh Jaksa Penuntut Umum pada

dakwaan kesatu primair, yaitu melanggar Pasal 340 KUHP jo Pasal 55 ayat (1) ke-1

KUHP dengan unsur-unsurnya sebagai berikut:

1) Unsur barangsiapa;

Mengenai unsur barangsiapa, dari hasil penelitian dapat diketahui bahwa unsur

barangsiapa di sini yaitu barangsiapa yang menurut undang-undang hukum pidana

menunjukkan pada suatu subyek tindak pidana, yang berarti siapa saja baik laki-laki atau

perempuan tanpa kecuali, sehat jasmani rokhani dapat berlaku sebagai pelaku tindak

pidana.

Berkaitan dengan unsur barangsiapa, Wirdjono Prodjodikoro mengatakan :

Menurut pandangan dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana, yang dapat

menjadi subjek tindak pidana adalah manusia. Ini dapat dilihat pada perumusan

dari tindak pidana dalam KUHP, yang menampakkan daya berpikir sebagai syarat

bagi subjek tindak pidana itu, juga terlihat pada ujud hukuman/pidana yang

termuat dalam pasal-pasal KUHP, yaitu hukuman penjara, kurungan dan denda.

(Wirjono Prodjodikoro, 1989 : 55).

Sedangkan menurut Sudarto, bahwa unsur pertama tindak pidana itu adalah

perbuatan orang, pada dasarnya yang dapat melakukan tindak pidana itu manusia

(natuurlijk personen). Hal ini dapat disimpulkan berdasarkan hal-hal sebagai berikut :

1. Rumusan delik dalam undang-undang lazim dimulai dengan kata “barang

siapa”…. Kata “barangsiapa” ini tidak dapat diartikan lain daripada “orang”.

2. Dalam Pasal 10 KUHP disebutkan jenis-jenis yang dapat dikenakan pada subyek

tindak pidana, sehingga pada dasarnya hanya dapat dikenakan pada manusia.

3. Pengertian kesalahan yang dapat berupa kesengajaan dan kealpaan itu

merupakan sikap dalam batin manusia. (Sudarto, 1990 : 18-19).

Selanjutnya menurut Lamintang, kata “barangsiapa” menunjukan orang yang

apabila orang tersebut memenuhi semua unsur tindak pidana, maka ia dapat disebut

sebagai pelaku atau dader dari tindak pidana tersebut. (Lamintang, 1989 : 107). Dengan

demikian dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud barangsiapa adalah siapapun juga

yang dapat menjadi subyek hukum, yang berarti orang atau manusia yang didakwa

sebagai pelaku.

Berdasarkan hasil penelitian dengan mendasarkan pada fakta-fakta hukum yang

terungkap di persidangan, unsur barangsiapa jika dihubungkan dengan Putusan Perkara

Nomor : 81/Pid.B/2010/PN.Clp., maka unsur “barangsiapa” atau unsur “setiap orang”

dalam hal ini adalah para terdakwa yaitu terdakwa I. Wastar al Madsulhan bin Madiswan

dan terdakwa II. Samirno al madmukti bin Kartamiharja, dengan identitas seperti telah

disebutkan dalam putusan perkara.

Dalam persidangan terbukti, bahwa yang dimaksud barangsiapa atau setiap orang

dalam hal ini adalah siapapun juga yang dapat menjadi subyek hukum, dalam arti

orang/manusia yang didakwa sebagai pelaku tindak pidana. Dalam perkara ini para

terdakwa telah dihadapkan oleh Jaksa Penuntut Umum dengan identitas yang dibenarkan

oleh para terdakwa, dan sesuai pula dengan surat dakwaan, dengan demikian para

terdakwa adalah sebagai subyek hukum.

Selama persidangan berlangsung para terdakwa dapat menjawab setiap

pertanyaan dengan tepat dan dapat pula menanggapi keterangan saksi-saksi, maka

dapatlah dipandang sebagai subyek yang mampu memikul tanggung jawab hukum. Dari

fakta yang ada dapat disimpulkan bahwa unsur barangsiapa atau setiap orang, telah dapat

dibuktikan secara sah dan meyakinkan. Dengan demikian unsur ini telah terpenuhi dan

telah sesuai dengan pendapat para sarjana tersebut di atas.

2) Unsur dengan sengaja

Unsur kesengajaan dapat diuraikan berdasarkan fakta-fakta yuridis yang terungkap di

persidangan, yaitu :

Menurut Moch. Anwar :

Perbuatan menggerakan orang adalah membawa orang itu dengan mempergunakan

sarana-sarana sehingga mau melakukan sesuatu perbuatan yang sebelumnya ia tolak.

(Moch. Anwar, 1986 : 136).

Berdasarkan fakta yang terungkap dalam pemeriksaan di persidangan, diketahui bahwa

terdakwa I dan terdakwa II serta teman-temannya menyetujui untuk membunuh

Madyusron (korban). Hal ini dilakukan para terdakwa dengan cara setelah sampai

digubug korban para terdakwa dan teman-temanya melempari korban dengan batu,

selanjutnya saksi VIII memukul leher korban dengan linggis, terdakwa I menjerat leher

korban dengan tali plastik dan menerik keatas sambil menignjak punggung korban

sementera saki VII dan Sahidin menerik tangan korban ke atas terdakwa II juga memukul

pantat dan kaki korban dengan kayu dadap.

Dari uraian tersebut ternyata para terdakwa tahu dan menyedari akibat dari perbuatannya

yang dilakukan serta menghendaki akibat tersebut, dengan demikian maka unsur dengan

sengaja telah terpenuhi.

3) Unsur dengan direncanakan terlebih dahulu

Unsur direncanakan menurut pendapat R. Soesilo dikatakan bahwa unsur direncanakan

terlebih dahulu (voorbedachte rade) = antara timbulnya maksud untuk membunuh

dengan pelaksanaannya itu masih ada tempo bagi si pembuat untuk dengan tenang

memikirkan misalnya dengan cara bagaimanakah pembunuhan itu akan dilakukan.

Berdasarkan hasil penelitian mendasarkan fakta yang terungkap di persidangan bahwa

terdakwa I mempunyai dendam terhadap korban karena menurut terdakwa I, korban

sebagai tukang santet dan pernah menyantet keluarga terdakwa I. Oleh karena itu

terdakwa I berencana membunuh korban dengan mengajak teman-temannya. Terlebih

dahulu dengan datang ke rumah saksi VIII dan mengajaknya untuk membunuh korban,

lalu terdakwa I juga mengajak terdakwa II dan disepakati setelah maghrib kumpul di

lapangan dekat kebun kelapa. Selanjutnya terdakwa I juga sempat memerintahkan

kepada terdakwa II, saksi VII, saksi VIII untuk masing-masing mengambil batu kurang

lebih sebesar kepalan tangan orang dewasa dan nantinya akan digunakan untuk

melempari korban. Selanjutnya para terdakwa juga telah menyiapkan alat yang akan

digunakan untuk membunuh korban seperti tali, linggis dan kayu.

Berkaitan dengan tempo untuk membunuh berdasarkan hasil penelitian ditemukan fakta

bahwa ajakan terdakwa untuk membunuh korban dimulai dari mengajak saksi VIII jam

15.30 WIB, kemudian mengajak terdakwa II kurang lebih jam 16.00 WIB dan sepakat

berkumpul setelah maghrib, selanjutnya jam 20.00 WIB terdakwa mengajak teman-

temannya berangkat menuju gubug dengan membawa peralatan yang digunakan untuk

membunuh yaitu linggis, batu, golok, senter dan tali plastik. Dengan demikian telah

sesuai dengan pendapat R. Soesilo yang mengatakan : Tempoh ini tidak boleh terlalu

sempit, akan tetapi sebaliknya juga tidak perlu terlalu lama, yang penting ialah apakah

didalam tempoh itu sipembuat dengan tenang masih dapat berpikir-pikir, yang sebenarnya

ia masih ada kesempatakan untuk membatalkan niatnya akan membunuh itu, akan tetapi

tidak ia pergunakan. Dengan demikian unsur direncanakan telah terpenuhi.

4) Menghilangkan nyawa orang lain

Unsur “menghilangkan nyawa orang lain”, disini yang dimaksud adalah perbuatan yang

dilakukan itu mengakibatkan matinya orang dan matinya orang itu dikehendaki oleh si

pelaku. Dalam tindak pidana pembunuhan sebagaimana dirumuskan dalam Pasal 338

KUHP, sipelaku bertujuan untuk merampas nyawa orang lain dan perampasn nyawa itu

dilakukan dengan sengaja atau perbuatan sipelaku ditujukan kepada seseorang manusia.

Menurut Sughandi, dalam peristiwa pembunuhan perlu dibuktikan suatu perbuatan yang

mengakibatkan kematian orang lain, dan kematian itu memang disengaja (Sughandi, 1980

: 357).

Apabila dihubungkan dengan Wastar al Madsulhan bin Madiswan dalam Putusan

Pengadilan Negeri Cilacap Nomor : 81/Pid.B/2010/PN.Clp, unsur keempat Pasal 340

KUHP, yaitu unsur menghilangkan nyawa orang lain telah terbukti. Berdasarkan

keterangan saksi-saksi dan keterangan tedakwa serta visum et repertum yang dibuat oleh

dr. Muslim M, dokter Puskesmas Karangpucung I, Nomor : 440/240/12/01 tertanggal 29

Desember 2009, yang menyatakan bahwa hasil pemeriksaan yang dilakukan dapat

disimpulkan bahwa kematian Korban Madyusron adalah sumbatan jalan nafas dan

benturan keras di dada sebelah kiri.

Oleh karena itu berdasarkan fakta-fakta yang terungkap di persidangan tersebut di atas,

maka dapat disimpulkan bahwa unsur “menghilangkan nyawa orang lain” telah terpenuhi.

5) Dipidana sebagai pelaku, mereka yang melakukan, yang menyuruh melakukan dan

yang turut serta melakukan

Berkaitan dengan jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP dalam perkara ini terkandung

unsur secara bersama-sama. Selengkapnya Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP merumuskan :

Dihukum sebagai orang yang melakukan peristiwa pidana :

1e. Orang yang melakukan, yang menyuruh melakukan atau turut melakukan

perbuatan itu.

R. Soesilo, dengan mendasarkan pada rumusan Pasal 55 ayat (1) KUHP mengatakan :

Disini disebutkan peristiwa pidana, jadi baik kejahatan maupun pelanggaran yang

dihukum sebagai orang yang melakukan disini dapat dibagi atas 4 macam, yaitu :

5. Orang yang melakukan (pleger). Orang ini ialah seorang yang sendirian telah berbuat

mewujudkan segala anasir atau elemen dari peristiwa pidana. Dalam peristiwa pidana

yang dilakukan dalam jabatan misalnya orang itu harus pula memenuhi elemen status

sebagai Pegawai Negeri.

6. Orang yang menyuruh melakukan (doen plegen). Disini sedikitnya ada dua orang,

yang menyuruh (doen plegen) dan yang disuruh (pleger). Jadi bukan orang itu sendiri

yang melakukan peristiwa pidana, akan tetapi ia menyuruh orang lain, meskipun

demikian toch ia dipandang dan dihukum sebagai orang yang melakukan sendiri yang

melakukan peristiwa pidana, akan tetapi ia menyuruh orang lainnya ia tidak dapat

dihukum karena tidak dapat dipertanggungjawabkan atas perbuatannya, misalnya

dalam hal-hal sebagai berikut :

a. tidak dapat dipertanggungjawabkan menurut Pasal 44 KUHP;

b. telah melakukan perbuatan itu itu karena terpaksa oleh kekuasaan yang tidak dapat

dihindarkan (overmacht);

c. telah melakukan perbuatan itu atas perintah jabatan yang tidak syah menurut Pasal

51 KUHP;

d. telah melakukan perbuatan itu dengan tidak ada kesalahan sama sekali.

7. Orang yang turut melakukan (medepleger). Turut melakukan dalam arti kata bersama-

sama melakukan. Sedikit-dikitnya harus ada dua orang, ialah orang yang melakukan

(pleger) dan orang turut melakukan (medepleger) peristiwa pidana. (R. Soesilo, 1990

: 73).

Sedangkan menurut Sugandhi, pengertian “secara bersama-sama”, adalah

dilakukan oleh dua orang atau lebih bersama-sama. Orang yang hanya mengikuti dan

tidak turut melakukan kekerasan, tidak dapat dituntut dengan pasal ini. (Sugandhi, 1980 :

190).

Pengertian bersama-sama, maksudnya adalah paling tidak harus dilakukan oleh

dua orang atau lebih. Pada putusan Perkara No.81/Pid.B/2010/PN.Clp terungkap fakta-

fakta hukum di persidangan bahwa pelakunya adalah para terdakwa I Wastar al

Madsulhan bin Madiswan dan terdakwa II Samirno al Madmukti bin Kartahiharja yang

menurut penulis telah melakukan tindak pidana pembunuhan berencana secara bersama-

sama. Dan perbuatan para terdakwa tersebut diketahui oleh para saksi yang telah

menyampaikan kesaksiannya di persidangan. Dengan demikian unsur secara bersama-

sama telah terbukti secara sah dan meyakinkan dan telah sesuai dengan pendapat R.

Soesilo dan Sugandhi tersebut. Dengan demikian menurut hemat penulis pada Putusan

Perkara No. 81/Pid.B/2010/PN.Clp, unsur turut serta telah terbukti karena pada peristiwa

tersebut para terdakwa adalah sebagai para pelaku. Hal ini dapat dilihat dari ketika para

terdakwa dalam melakukan perbuatannya yaitu diawali dengan terdakwa I datang

menemui saksi Wartam al. Wahyono selanjutnya menuju kerumah terdakwa Wastar alias

Madsulhan lalu mengajak pula saksi Dudung bersama dengan Smirno alias Madmukti

dan Sahidin. Dengan demikian menurut penulis para terdakwa bukannya turut serta

melakukan akan tetapi sebagai orang yang melakukan (plager) atau sebagai orang yang

turut melakukan (medepleger) peristiwa pidana.

b. Perbuatan yang dilakukan bersifat melawan hukum

Menurut Sudarto, salah satu unsur dari tindak pidana dalah sifat melawan hukum.

Perbuatan yang dilarang oleh undang-undang atau perbuatan yang melanggar perintah di dalam

undang-undang itulah perbuatan yang melawan hukum, karena bertentangan dengan apa yang

dilarang oleh atau diperintahkan di dalam undang-undang. Sifat melawan hukum tersebut terdiri

dari sifat melawan hukum yang formil dan sifat melawan hukum yang materiil. (Sudarto, 1990 :

44).

Selanjutnya mengenai sifat melawan hukum yang formil dan sifat melawan hukum yang

materiil, Sudarto mengatakan :

i. Suatu perbuatan bersifat melawan hukum formil adalah apabila perbuatan yang dilakukan

diancam pidana dan dirumuskan sebagai suatu delik dalam undang-undang, sdang sifat

hukumnya perbuatan itu dapat hanya berdasarkan suatu ketnetuan undang-undang. Jadi

menurut ajaran ini melawan hukum sama dengan bertentangan dengan undang-undang

(hukum tertulis).

ii. Suatu perbuatan bersifat melawan hukum materiil, adalah suatu perbuatan baik itu

melawan hukum atau tidak, tidak hanya yang terdapat dalam undang-undang (yang

tertulis) saja, tetapi harus dilihat berlakunya asas-asas ukumyang tidak tertulis. Sifat

melawan hukumnya perbuatan yang nyata-nyata masuk dalam rumusan delik itu dapat

hapus berdasarkan ketentuan-ketentuan undang-undang dan juga berdasarkan aturan-

aturan yang tidak tertulis (uvergestzlich). (Sudarto, 1990 : 45).

Pada putusan perkara No.81/Pid,B/2010/PN.Clp, diperoleh fakta bahwa perbuatan para

terdakwa, merupakan perbuatan yang bersifat melawan hukum formil (hukum tertulis), sebab

perbuatan para terdakwa tersebut telah memenuhi rumusan tindak pidana sebagaimana diatur

dalam Pasal 340 KUHP jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP, yaitu tentang tindak pidana pembunuhan

berencana secara bersama-sama, dengan demikian unsur ini telah terpenuhi.

c. Adanya kesalahan

Menurut Sudarto, untuk adanya syarat pemidanaan diperlukan adanya syarat bahwa orang

yang melakukan tindak pidana itu mempunyai kesalahan atau bersalah. Unsur kesalahan sangat

menentukan dari perbuatan seseorang sehingga apabila seseorang dianggap telah terbukti bersalah

oleh pengadilan, maka ia dapat dijatuhi pidana. Di sini berlaku asas “tiada pidana tanpa

kesalahan”. (Sudarto, 1990 : 1).

Selanjutnya dikatakan oleh Sudarto, kesalahan itu mempunyai tiga arti yaitu sebagai berikut

a. Kesalahan dalam arti yang seluas-luasnya, yang dapat disamakan dengan pengertian

pertanggungjawaban dalam hukum pidana, di dalamnya terkandung makna dapat

dicelanya (verwijtbaarheid) si pembuat atas perbuatannya;

b. Kesalahan dalam arti bentuk kesalahan (schuldnorm) yang berupa :

i. kesengajaan (dolus);

ii. kealpaan (culpa).

c. Kesalahan dalam arti sempit ialah kealpaan (culpa) seperti yang disebutkan dalam b.2 di

atas.

Dijelaskan lebih lanjut bahwa kesalahan dalam arti seluas-luasnya terdiri atas tiga unsur,

yaitu sebagai berikut :

1) adanya kemampuan bertanggungjawab pada si pembuat, artinya keadaan si pembuat

harus normal;

2) hubungan batin antara si pembuat dengan perbuatannya, yang berupa kesengajaan

(dolus) atau kealpaan (culpa);

3) tidak ada alasan yang menghapus kesalahan atau tidak ada alasan pemaaf.

Bila ketiga unsur tersebut terpenuhi, maka orang bersangkutan dinyatakan bersalah atau

mempunyai pertanggungjawaban pidana, sehingga orang tersebut dapat dipidana. (Sudarto,

1990 : 4).

Berikut ini akan diuraikan mengenai ketiga unsur kesalahan tersebut di atas yaitu :

1. Adanya kemampuan bertanggung jawab

Kemampuan bertanggung jawab menurut Sudarto adalah :

Di dalam KUHP kemampuan bertanggung jawab tidak dirumuskan secara tegas, tetapi

ada pasal menunjuk kea rah itu, yaitu dalam Pasal 44 KUHP yang merumuskan :

Barangsiapa mengerjakan suatu perbuatan yang tidak dapat dipertanggungjawabkan

kepadanya karena kurang sempurna akalnya atau karena sakit berubah akal tidak boleh

dihukum.

Ketentuan undang-undang ini tidak memuat apa yang dimaksud dengan tidak mampu

bertanggung jawab, pasal ini hanya memuat alasan yang terdapat pada diri si pembuat,

sehingga perbuatan yang dilakukan tidak dapat dipertanggungjawabkan. (Sudarto, 1990 : 6).

Di persidangan dalam Putusan Perkara No.81/Pid.B/2010/PN.Clp telah ditemukan

fakta-fakta hukum bahwa terdakwa I dan terdakwa II dinilai mampu bertanggung jawab dan

mampu untuk menilai bahwa perbuatan yang telah dilakukan adalah suatu perbuatan yang

dilarang oleh undang-undang.

2. Adanya kesengajaan (dolus) atau kealpaan (culpa)

Petunjuk untuk dapat mengetahui arti kesengajaan, dapat diambil dari MvT (Memorie van

Toelichting) dan mengetahui. Jadi dapatlah dikatakan, bahwa sengaja berarti menghendaki dan

mengetahui apa yang dilakukan. (Sudarto, 1990 : 11).

Dalam kasus yang penulis teliti terhadap Putusan Perkara No.81/Pid.B/2010/PN.Clp tersebut di

atas, perbuatan yang dilakukan para terdakwa dalam perkara tindak pidana pembunuhan

berencana secara bersama-sama merupakan bentuk kesengajaan. Disini nampak bahwa sejak

semua telah terdapat adanya iktikad buruk atau niat jahat dari para terdakwa untuk membunuh

korban.

3. Tidak ada alasan pemaaf

Menurut Sudarto dikatakan :

Alasan pemaaf adalah menyangkut pribadi si pembuat, dalam arti bahwa orang ini tidak dapat

dicela (menurut hukum), meskipun perbuatannya bersifat melawan hukum, jadi disini ada alas

an yang menghapuskan kesalahan si pembuat, sehingga tidak mungkin ada pemidanaan. Alasan

pemaaf seperti diatur dalam Pasal 44 KUHP (tidak mampu bertanggung jawab), Pasal 49 ayat

(2) KUHP (noodweerexces) dan Pasal 51 ayat (2) KUHP (dengan iktikad baik melaksanakan

perintah jabatan). (Sudarto, 1990 : 3).

Dalam Putusan Perkara No.81/Pid.B/2010/PN.Clp telah terbukti bahwa dalam diri

para terdakwa terdapat adanya kesalahan yang meliputi mampu bertanggungjawab, yaitu

dalam keadaan normal dan dilakukan dengan sengaja yang diwujudkan dengan cara terdakwa

“secara bersama-sama mereka melempari korban hingga jatuh roboh ketanah, pada saat itu

saksi Wartam als. Wahyono memukul leher korban dengan menggunakan linggis, selanjutnya

terdakwa II menjerat leher korban dengan menggunakan tambang plastic serta meneriknya ke

atas sambil menginjak punggung korban. Hal ini diartikan bahwa terdakwa memang sengaja

ingin membunuh korban. Oleh karena itu tidak ada alasan pemaaf, jadi hakim tetap

menyatakan para terdakwa bersalah melakukan tindak pidana.

Pada putusan perkara No. 81/Pid.B/2010/PN.Clp, juga diperoleh fakta hukum bahwa

para terdakwa terbukti dapat mempertanggungjawabkan perbuatannya, melakukan

perbuatannya dengan sengaja dan tidak ada alasan pemaaf. Jadi perbuatan para terdakwa telah

memenuhi ketiga unsur yang mencukupi untuk dilakukan pemidanaan atas dirinya, dan sesuai

dengan pendapat Sudarto yang meliputi :

a. perbuatan yang memenuhi rumusan undang-undang,

b. bersifat melawan hukum,

c. adanya kesalahan yang meliputi : mampu bertanggung jawab, adanya dolus atau

culpa dan tidak ada alasan pemaaf.(Sudarto, 1990 : 4).

Dengan telah terbuktinya semua unsur dalam Pasal 340 KUHP jo Pasal 55 ayat (1) ke-

1 KUHP dan terpenuhinya semua syarat pemidanaan, maka pada putusan perkara

No.81/Pid.B/2010/PN.Clp Majelis Hakim berpendapat bahwa para terdakwa terbukti secara

sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana pembunuhan berencana secara

bersama-sama.

BAB V

PENUTUP

Simpulan

1. Pertanggungjawaban pidana terhadap para terdakwa dalam tindak pidana

pembunuhan berencana secara bersama-sama pada Putusan Perkara No.

81/Pid.B/2010/PN.Clp.

Pertanggungjawaban pidana para terdakwa dalam Putusan Perkara No.

81/Pid.B/200/PN.Clp, nampak bahwa perbuatan menghilangkan nyawa orang lain yang dilakukan

dengan direncanakan terlebih dahulu secara bersama-sama adalah terkandung makna dapat

dicelanya para terdakwa atas perbuatannya. Hal ini terlihat dari sikap terdakwa I yang memusuhi

korban, untuk selanjutnya para terdakwa menghilangkan nyawa korban sehingga perbuatan

tersebut merupakan perbuatan yang dapat dicela oleh masyarakat. Kesalahan yang dilakukan para

terdakwa berupa kesengajaan (dolus), dengan cara merencanakan dulu yaitu ajakan menghabisi

nyawa korban disepakati oleh saksi dengan membawa peralatan seperti linggis, tali plastik, golok

dan cangkul serta senter.

Hakim juga telah menilai unsur kesalahan meliputi adanya kemampuan bertanggungjawab

pada siterdakwa, artinya keadaan jiwa siterdakwa harus normal. Berdasarkan hasil penelitian,

hakim dapat membuktikan bahwa keadaan jiwa terdakwa pada saat melakukan tindak pidana

adalah dalam keadaan normal (psykis). Hal ini terlihat para terdakwa yang pada saat melakukan

tindak pidana dalam keadaan normal psychis dan kematangan (kecerdasan). Sehingga para

terdakwa mampu untuk mengerti nilai dari akibat-akibat perbuatannya sendiri, mampu untuk

menyadari, bahwa perbuatannya itu menurut pandangan masyarakat tidak dibolehkan (dicela),

serta para terdakwa mampu untuk menentukan kehendaknya atas perbuatan-perbuatannya itu.

Tidak adanya alasan yang menghapuskan kesalahan atau tidak ada alasan pemaaf para

terdakwa, hal ini menurut pertimbangan hakim para terdakwa dalam melakukan tindak pidana

dapat mempertanggungjawabkan perbuatannya yaitu tidak karena pembelaan terpaksa serta daya

paksa. Dengan demikian hakim berkesimpulan bahwa para terdakwa dinyatakan bersalah atau

mempunyai pertanggung jawaban pidana sehingga para terdakwa bisa dipidana.

2. Dasar pertimbangan Hakim dalam menjatuhkan putusan pidana dalam tindak

pidana pembunuhan berencana secara bersama-sama pada Putusan Perkara No.

81/Pid.B/2010/PN.Clp.

Hakim Pengadilan Negeri Cilacap dalam menjatuhkan putusan pidana pada Putusan

Perkara No. 81/Pid.B/2010/PN.Clp telah mempertimbangkan dasar penjatuhan pidana yaitu :

a. Hal-hal yang memberatkan para terdakwa I yaitu : terdakwa menyembunyikan mayat korban,

perbuatannya sangat meresahkan masyarakat, pembunuhannya dilakukan secara sadis.

Sedangkan untuk terdakwa II hal yang memberatkan adalah sudah menikmat uang lelah yang

diberikan terdakwa I.

b. Para terdakwa dituntutan oleh Jaksa Penuntut Umum dengan pidana penjara masing-masing

selama 4 tahun, tetapi Majelis Hakim dalam putusan pidananya menjatuhkan pidana penjara

untuk terdakwa I selama 9 tahun dengan pertimbangan karena terdakwa I berperan sebagai

orang yang mempunyai ide dan rencana untuk membunuh korban serta terdakwa I juga masih

ada hubungan keluarga dengan korban. Sedangkan terdakwa II dipidana dengan pindana

penjara selama 7 tahun dengan pertimbangan karena terdakwa II berperan sebagai orang yang

turut serta melakukan perbuatan.

Terhadap fakta-fakta tersebut di atas, secara yuridis telah sesuai dan terbukti telah memenuhi

sebagaimana dirumuskan dalam Pasal 340 KUHP jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP. Dari fakta-

fakta tersebut telah membuah keyakinan Majelis Hakim sebagai dasar pertimbangan hakim dalam

menjatuhkan pidana terhadap tindak pidana pembunuhan berencana secara bersama-sama. Oleh

karena itu hakim selanjutnya menjatuhkan putusan pidana terhadap para terdakwa, dengan tujuan

untuk para terdakwa agar tidak mengulangi perbuatannya dan kepada masyarakat supaya jangan

meniru perbuatan pidana yang dilakukan para terdakwa.

DAFTAR PUSTAKA

Ali, Mahrus, 2011. Dasar-Dasar Hukum Pidana, Sinar Grafika, Jakarta

Anwar, Moch., 1986. Hukum Pidana Bagian Khusus (KUHP Buku II) Jilid I, Alumni, Bandung.

Bassar, Soedradjat, M., 1986. Tindak-tindak Pidana Tertentu. Ghalia, Bandung

Bawengan, GW. 1973. Penyidikan Perkara Pidana dan Teknik Introgasi, Pradnya Paramita Jakarta.

Hamzah, Andi, 1984. Hukum Acara Pidana Indonesia, Edisi Revisi. CV Artha Jaya. Jakarta

Kartanegara, Satochid, 1990. Bagian Satu, Hukum Pidana. Kumpulan Kuliah. Balai Lektur

Mahasiswa, Jakarta.

Koeswadji, 1980. Kejahatan Terhadap Nyawa, Asas-asas dan Permasalahannya, Cetakan I. Sinar

Wijaya, Surabaya.

Lamintang, P.A.F. 1989. Delik-delik Khusus Kejahatan-kejahatan Terhadap Harta Kekayaan,

Bandung, Sinar Baru.

________, 1984. Delik-delik Khusus Tindak Pidana Melanggar Norma-norma Kesusilaan dan

Kepatutan. Mandar Maju, Bandung.

Moeljatno, 1982. Azas-azas Hukum Pidana. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.

________, 1985. Delik-delik Percobaan dan Delik-delik Penyertaan. PT. Bina Aksara, Jakarta.

_________, 1987. Asas-asas Hukum Pidana. PT. Bina Aksara, Jakarta

________. 1996. Kitab Undang-undang Hukum Pidana. Bumi Aksara, Jakarta.

Muladi dan Arief, Nawawi, Barda. 1992. Teori-teori Dan Kebijakan Hukum Pidana. Alumni,

Bandung.

Prasetyo, Teguh, 2010. Hukum Pidana, Rajawali Pers, Jakarta.

Prodjodikoro, Wirjono, 1980. Tindak Pidana Tertentu Di Indonesia. Eresco, Bandung

Poernomo, Bambang, 1985. Asas-asas Hukum Pidana Indonesia. Ghalia Indonesia, Jakarta.

________, 1982. Asas-asas Hukum Pidana. Terbitan Keempat, Ghalia Indonesia, Jakarta.

Remmelilnk, Jan, 2003. Hukum Pidana, Komentar atas pasal-pasal terpenting dari Kitab Undang-

Undang Hukum Pidana Belanda dan padanannya dalam Kitab Undang-Undang Hukum

Pidana Indonesia, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.

Roeslan, Saleh 1980. Perbuatan Pidana dan Pertanggungjawaban Pidana. PT. Karya Nusantara,

Jakarta.

Saleh, Roeslan, 1983. Sifat Melawan Hukum Dari Perbuatan Pidana, Aksara Baru, Jakarta.

Soemitro, Hanitijo, Ronny. 1988. Metodologi Penelitian Hukum dan Yurimetri, Ghalia Indonesia,

Jakarta.

Soesilo, R., 1988. Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) Serta Komentar-komentarnya

Lengkap Pasal Demi Pasal, Politea, Bogor.

Sudarto, 1990. Hukum Pidana I. Cetakan ke II. Yayasan Sudarto, Semarang..

WEB. (http://kitabpidana.blogspot.com/2012/04)

.

.