pertanggungjawaban pidana terhadap …fh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/arief...
TRANSCRIPT
PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA TERHADAP TINDAK PIDANA
PEMBUNUHAN BERENCANA SECARA BERSAMA-SAMA
(Studi Terhadap Putusan Nomor : 81/Pid.B/2010/PN.Clp)
SKRIPSI
Oleh :
Arief Ginanjar Saputra
NIM. E1A006022
KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN
UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
FAKULTAS HUKUM
PURWOKERTO
2013
PERTANGGUNG JAWABAN PIDANA TERHADAP TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN
BERENCANA SECARA BERSAMA-SAMA
(Studi Terhadap Putusan Perkara No. 81/Pid.B/2010/PN.Clp)
oleh :
ARIEF GINANJAR SAPUTRA
NIM. E1A006022
ABSTRAK
Salah satu motif melakukan tindak pidana terhadap nyawa adalah dengan cara melakukan
pembunuhan secara bersama-sama dengan direncanakan terlebih dahulu. Hal tersebut diatur dalam
Pasal 340 KUHP jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP. Syarat esensial terwujudnya kejahatan
pembunuhan adalah unsur mengenai tingkah laku atau perbuatan materiil dan unsur keadaan yang
menyertai tempat dilakukannya perbuatan materiil yakni secara bersama-sama dengan direncanakan
terlebih dahulu.
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pertanggungjawaban pidana terhadap para
pelaku dalam tindak pidana pembunuhan berencana secara bersama-sama pada Putusan Perkara No.
81/Pid.B/2010/PN.Clp. serta dasar pertimbangan Hakim dalam menjatuhkan putusan pemidanaan.
Penilaian Hakim dalam menilai pertanggungjawaban pidana para terdakwa nampak bahwa
perbuatan menghilangkan nyawa orang lain yang dilakukan dengan direncanakan terlebih dahulu
secara bersama-sama adalah terkandung makna dapat dicelanya para terdakwa atas perbuatannya.
Sehingga perbuatan tersebut merupakan perbuatan yang dapat dicela oleh masyarakat. Kesalahan
yang dilakukan para terdakwa berupa kesengajaan (dolus) dan adanya kemampuan
bertanggungjawab, tidak adanya alasan yang menghapuskan kesalahan atau tidak ada alasan pemaaf.
Data yang dibutuhkan dalam penelitian ini adalah putusan perkara No.81/Pid.B/2010/PN.Clp.
Setelah data diperoleh, penulis menganalisa data tersebut dengan analisa data deskriptif analitis
dengan metode kualitatif, yaitu membuat gambaran secara sistematis mengenai segala informasi yang
diperoleh. Selanjutnya data dianalisis dan dicari persesuaian antara alat bukti yang diajukan ke
persidangan dengan alat bukti yang lain. Hal ini sebagai dasar pertimbangan hakim dalam
menjatuhkan putusan pemidanaan.
Kata kunci : Pertanggungjawaban Pidana, pembunuhan berencana, bersama-sama
ANSWER OF LIABILITY CRIMINAL CHARGES AGAINST THE CRIMINAL ACTS
PLANNED MURDER IN TOGETHER
(Item No. Verdict Against Studies. 81/Pid.B/2010/PN.Clp)
by:
Arief Ginanjar Saputra
NIM. E1A006022
ABSTRACT
One of the motives of doing criminal acts against life is the way to do murder along with
premeditated. The case provided for in Article 340 Penal Code jo Article 55 paragraph (1) of the
Criminal Code 1. Terms of realizations essential element of the crime was murder or an act of
material behavior and the elements conditions materially participate in place that is committed acts
together with premeditated.
The purpose of this study is to determine the criminal responsibility of the perpetrators of
criminal acts, planned the murder together on Verdict Item No. 81/Pid.B/2010/PN.Clp. and policy
considerations in dropping ruling Justice pemidanaan.
Rating judge in assessing the criminal responsibility of the defendant saw that the act remove
other people's lives are done with premeditated together are able dicelanya contained meaning the
defendant for his actions. Until the act is an act that can be censured by the community. Defendant
committed the offense of intent form (Solus) and the availability of capacity charge, which eliminates
the absence of reason or no reason offense forgiving.
The required data in this study is the decision No.81/Pid.B/2010/PN.Clp. Once the data is
obtained, the authors analyze the data with analytical descriptive data analysis with qualitative
methods, that make systematic overview of all the information obtained. Further data are analyzed
and sought rapprochement between devices evidence presented to the conference with other means of
evidence. It is a policy consideration in dropping verdict pemidanaan judge.
Keywords: Criminal Liability, planned murder, along
PRAKATA
Rasa syukur Alhamdulillah, penulis panjatkan kehadirat Allah SWT. atas
limpahan raKhmat serta hidayah dan karunia-Nya, sehingga penulis dapat
menyelesaikan Skripsi yang berjudul: “PERTANGGUNG JAWABAN PIDANA
TERHADAP TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN BERENCANA SECARA
BERSAMA-SAMA (Studi Terhadap Putusan Perkara Nomor :
81/Pid.B/2010/PN.Clp)”.
Penulis yakin bahwa Skripsi ini tidak akan tersusun tanpa adanya bantuan serta dorongan
dari pihak lain. Oleh karena itu pada kesempatan ini Penulis menyampaikan rasa terima kasih kepada
semua pihak yang telah membantu dalam memperlancar penyusunan skripsi ini :
1. Bapak Dr. Angkasa, S.H., M.Hum. Dekan Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman
Purwokerto;
2. Bapak Haryanto Dwiatmodjo, S.H., M.Hum. Ketua Bagian Hukum Pidana dan sekaligus sebagai
Dosen Penilai III yang telah memberikan dukungan, arahan, dan masukan kepada Penulis dalam
menyelesaikan skripsi ini.
3. Bapak Dr. Budiyono, S.H., M.Hum. Dosen Pembimbing I yang telah memberikan bimbingan,
arahan, dan masukan dalam menyelesaikan skripsi ini;
4. Bapak Dr. H. Kuat Puji Prayitno, S.H., M.Hum. Dosen Pembimbing II yang telah memberikan
bimbingan, dukungan, arahan serta masukan dalam menyelesaikan skripsi ini
5. Segenap dosen dan Staf Administrasi di lingkungan Fakultas Hukum Universitas Jenderal
Soedirman Purwokerto, yang telah turut serta membantu dalam proses pembelajaran di Fakultas
Hukum Unsoed;
6. Rekan-rekan mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman Purwokerto khususnya
Angkatan Tahun 2006, yang telah banyak membantu dan memberi semangat pada Penulis;
7. Semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu-persatu terima kasih atas segala dukungan
dan bantuannya dalam penulisan skripsi ini.
Selanjutnya Penulis menyadari sepenuhnya bahwa dalam penyusunan skripsi ini masih jauh
dari sempurna, sehingga masih banyak kekurangan dan kelemahannya. Oleh karena itu, saran dan
kritik yang bersifat membangun sangat Penulis harapkan demi penyempurnaan penulisan di masa
datang.
Akhirnya Penulis berharap semoga karya ini bisa menambah wawasan dan pengetahuan baik
bagi Penulis sendiri maupun bagi para pembaca pada umunya. Amien.
Purwokerto, Agustus 2013
Penulis
SURAT PERNYATAAN
Dengan ini saya :
Nama : Arief Ginanjar Saputra
NIM : E1A006022
Judul Skripsi : PERTANGGUNG JAWABAN PIDANA TERHADAP TINDAK PIDANA
PEMBUNUHAN BERENCANA SECARA BERSAMA-SAMA (Studi Terhadap
Putusan Perkara Nomor : 81/Pid.B/2010/PN.Clp)
Menyatakan bahwa Skripsi yang saya buat ini adalah betul-betul hasil karya saya sendiri dan tidak
menjiplak hasil karya orang lain maupun dibuatkan oleh orang lain, dan apabila terbukti saya
melakukan pelanggaran sebagaimana tersebut di atas, maka saya bersedia dikenakan snksi apapun
dari fakultas.
Purwokerto, 20 Agustus 2013
Yang menyatakan,
Arief Ginanjar Saputra
NIM. E1A006022
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL …………………………………………….............. i
HALAMAN PENGESAHAN ……………………………………............. ii
HALAMAN PERSEMBAHAN ………………………………………….. iii
ABSTRAK ………………………………………………………………… iv
ABSTRACT ………………………………………………………………. v
PRAKATA ………………………………………………………………… vi
DAFTAR ISI ………………………………………………………………. vii
BAB 1. PENDAHULUAN ……………………………………………….. 1
A. Latar Belakang Masalah …………………………………….. 1
B. Perumusan Masalah ………………………………………….. 5
C. Tujuan Penelitian …………………………………………….. 5
D. Kegunaan Penelitian ………………………………………….. 5
BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA ………………………………………….. 7
A. Tindak Pidana …………………………………………………. 7
1. Istilah dan Pengertian Tindak Pidana ……………………. 7
2. Unsur- unsur Tindak Pidana ……………………………… 10
B. Tindak Pidana Terhadap Nyawa Manusia …………………... 16
C. Pertanggungjawaban Dalam Tindak Pidana ………………... 25
D. Pidana dan Pemidanaan ………………………………………. 31
1. Istilah Pidana dan Pemidanaan …………………………… 31
2. Teori-teori Pemidanaan ……………………………………. 33
3. Tujuan Pemdinaan …………………………………………. 40
BAB III. METODE PENELITIAN ……………………………………… 42
BAB 1V. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ……………….. 44
A. Hasil Penelitian ……………………………………………… 44
B. Pembahasan …………………………………………………. 72
BAB V. PENUTUP………………………………………………………… 96
A. Simpulan …………………………………………………….. 96
B. Saran
DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Masalah definisi hukum tidak semudah untuk merumuskannya seperti yang disangka orang
semula. Istilah hukum dapat diberikan definisi menurut sudut pandangan seseorang dari mana
aspek hukum itu diperhatikan. Keyakinan lama bahwa sesuatu itu hanya empunyai satu substansi
telah diubah oleh kenyataan yaitu apabila seorang menyidik berbeda tujuan dengan penyelidikan
yang lain, maka akan mempunyai tekanan pada aspek sesuatu/res itu secara berbeda-beda
pula.(Bambang Poernomo, 1982: 17).
Hukum adalah himpunan peraturan-peraturan, yang berupa perintah atau larangan yang
mengharuskan untuk ditaati oleh masyarakat itu. Berkaitan dengan tindak pidana Moeljatno
merumuskan istilah perbuatan pidana, yaitu perbuatan yang oleh aturan hukum pidana dilarang
dan diancam dengan pidana, barang siapa yang melanggar larangan tersebut (Moeljatno, 1987:
1).
Suatu perbuatan akan menjadi suatu tindak pidana apabila mempunyai sifat-sifat sebagai
berikut :
a. melawan hukum;
b. merugikan masyarakat;
c. dilarang oleh aturan pidana.
d. pelakunya diancam dengan pidana (M. Sudradjat Bassar, 1982: 2).
Hukum pidana dikenal suatu azas yang merupakan dasar dari hukum pidana yakni azas
legalitas yaitu “Nullum delictum nulla poena sine praevia lege poenali”, dalam Kitab Undang-
undang Hukum Pidana (KUHP) Pasal 1 ayat (1) dirumuskan sebagai berikut :
Tiada suatu perbuatan dapat dipidana kecuali atas kekuatan aturan pidana dalam
perundang-undangan yang telah ada sebelum perbuatan itu dilakukan.
Berdasarkan rumusan Pasal 1 ayat (1) KUHP tersebut secara tegas ditunjuk perbuatan
mana yang dapat berakibat pidana tentu saja bukan perbuatannya yang dipidana, tetapi orang
yang melakukan perbuatan itu, yaitu :
1. Perbuatan itu harus ditentukan oleh perundang-undangan pidana sebagai perbuatan yang
pelakunya dapat dijatuhi pidana.
2. Perundang-undangan pidana itu harus sudah ada sebelum perbuatan itu dilakukan.
(Teguh Prasetyo, 2010 : 38).
Selanjutnya berkenaan dengan asas legalitas Moejatno berpendapat bahwa terdapat tiga
pengertian yang terkandung di dalamnya, yaitu :
(1) Tidak ada perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana kalau hal itu terlebih
dahulu belum dinyatakan dalam suatu aturan undang-undang.
(2) Untuk menentukan adanya perbuatan pidana tidak boleh digunakan analogi (kiyas).
(3) Aturan-aturan hukum pidana tidak berlaku surut. (Moeljatno, 1982 : 17).
Menurut Jan Remmelink, kata hukum pidana pertama-tama digunakan untuk merujuk pada
keseluruhan ketentuan yang menetapkan syarat-syarat apa saja yang mengikat Negara, bila
Negara tersebut berkehendak untuk memunculkan hukum mengenai pidana, serta aturan-aturan
yang merumuskan pidana macam apa saja yang dikenakan. Hukum pidana dalam artian ini adalah
hukum pidana yang berlaku atau hukum pidana positif, yang juga sering disebut ius poenale (Jan
Remmelink, 2003: 1). Selanjutnya dikatakan bahwa hukum pidana yang demikian mencakup :
1. perintah dan larangan yang atas pelanggaran terhadapnya oleh organ-organ yang
dinyatakan berwenang oleh undang-undang dikaitkan (ancaman) pidana, norma-
norma yang harus ditaati oleh siapapun juga;
2. ketentuan-ketentuan yang menetapkan sarana-sarana apa yang dapat
didayagunakan sebagai reaksi terhadap pelanggaran norma-norma itu, hukum
penitensier atau lebih luas, hukum tentang sanksi;
3. aturan-aturan yang secara temporal atau dalam jangka waktu tertentu
menetapkan batas ruang lingkup kerja dari norma-norma. (Jan Rammelink, 2003
: 1).
Pidana sebagai sarana pengenaan atau nestapa terhadap pelaku tindak pidana, Sudarto
mengatakan bahwa :
Hukum Pidana sebagai sarana pertama dalam menanggulangi kejahatan di samping sebagai
kontrol sosial atau pengendalian masyarakat. Sebagai kontrol sosial, fungsi hukum pidana
adalah subsider, artinya hukum pidana baru diadakan apabila usaha-usaha lain kurang
memadai. Sanksi yang tajam dalam hukum pidana membedakan dari lapangan hukum
lainnya, sehingga hukum pidana sengaja mengenakan penderitaan dalam mempertahankan
norma yang diakui dalam hukum (Sudarto, 1990 : 10).
Selanjutnya D. Hazewink Suringa, dalam bukunya membagi hukum pidana dalam arti :
a. Objek (ius poenali), yang meliputi :
1) Perintah dan larangan yang pelanggarannya diancam dengan sanksi pidana oleh
badan yang berhak.
2) Ketentuan-ketentuan yang mengatur upaya yang dapat digunakan, apabila norma itu
dilanggar, yang dinamakan Hukum Penitensier.
b. Ius puniendi
Yaitu hak Negara menurut hukum untuk menuntut pelanggaran delik dan untuk
menjatuhkan serta melaksanakan pidana.(Teguh Prasetyo, 2010: 5).
Menurut ujudnya atau sifatnya, perbuatan-perbuatan pidana ini adalah perbuatan-perbuatan
yang melawan hukum. Perbuatan-perbuatan ini juga merugikan masyarakat, dalam arti
bertentangan dengan atau menghambat akan terlaksananya tata dalam pergaulan masyarakat
bahwa perbuatan pidana itu adalah perbuatan yang anti sosial (Moeljatno dalam bukunya
Roeslan Saleh, 1980: 13).
Penerapan hukum pidana, adalah sebagai salah satu upaya untuk mengatasi masalah sosial
termasuk dalam bidang kebijakan penegakan hukum. Di samping itu karena tujuannya adalah
untuk mencapai kesejahteraan masyarakat pada umumnya, maka kebijakan penegakan hukum
itupun termasuk dalam bidang kebijakan sosial, yaitu segala usaha yang rasional untuk mencapai
kesejahteraan masyarakat. Kejahatan terhadap jiwa seseorang diatur dalam BAB XIX Buku II
KUHP. Bentuk yang pokok dari kejahatan ini adalah pembunuhan (doodslag) yaitu
menghilangkan jiwa seseorang.
Salah satu motif melakukan tindak pidana terhadap nyawa adalah antara lain dengan cara
melakukan pembunuhan secara bersama-sama melakukan pembunuhan dengan direncanakan
terlebih dahulu. Hal tersebut diatur dalam Pasal 340 KUHP jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
Dalam kasus sebagaimana tersebut pada Putusan Perkara No. 81/Pid.B/2010/PN.Clp para
terdakwa Wastar alias Masdulham bin Madiswan dan Samirno alias Madmukti bin Kartamiharja
baik sendiri-sendiri maupun bersama dengan Wartam alias Wahyono bin Kartamiharja dan
Dudung bin Enceng dan Sahidin turut melakukan perbuatan dengan sengaja dan dengan
direncanakan lebih dahulu mengilangkan jiwa orang lain, perbuatan maka dilakukan oleh para
terdakwa dengan cara korban ketika berada di kubug dilembari batu yang masing-masing telah
dibawanya sehingga korban jatuh roboh ke tanah, pada saat itu terdakwa memukul korban dengan
menggunakan linggis selanjutnya leher korban dijerat dengan menggunakan tali plastic serta
menariknya ke atas sambil menginjak punggung korban juga menarik tangan kirinya sedangkan
Sahidin menarik tangan kanannya, terdakwa Samirno alias Madmukti pada saat itu memukul
pantat dan kaki korban dengan menggunakan sebatang kayu dadap sepanjang kurang lebih satu
meter yang didapat disekitar tempat itu dan selanjutnya korban maninggal dunia. Kesimpulan dari
visum et repertum yang dilakukan oleh dokter Muslim M, dokter pada Puskesmas Karangpucung
I Nomor : 440/240/12/09 tanggal 29 Desember 2010 yang dibuat berdasarkan sumpah, adalah
korban mati akibat sumbatan jalan nafas dan benturan keras didada sebelah kiri.
Berdasarkan latar belakang tersebut, maka penulis tertarik untuk meneliti tentang
pertanggungjawaban pidana terhadap para terdakwa dalam tindak pidana pembunuhan berencana
secara bersama-sama pada Putusan Perkara Pengadilan Negeri Cilacap No.
81/Pid.B/2010/PN.Clp.
B. Perumusan Masalah
1. Bagaimanakah pertanggungjawaban pidana terhadap para pelaku dalam tindak pidana
pembunuhan berencana secara bersama-sama pada Putusan Perkara No. 81/Pid.B/2010/PN.Clp.
2. Apa dasar pertimbangan Hakim dalam menjatuhkan pidana dalam tindak pidana pembunuhan
berencana secara bersama-sama pada Putusan No.81/Pid.B/2010/PN.Clp.
C. Tujuan Penelitian
1. Untuk mengetahui pertanggungjawaban pidana terhadap para pelaku dalam tindak pidana
pembunuhan berencana secara bersama-sama pada Putusan Perkara No. 81/Pid.B/2010/PN.Clp.
2. Untuk mengetahui dasar pertimbangan Hakim dalam menjatuhkan putusan pidana dalam tindak
pidana pembunuhan berencana secara bersama-sama pada Putusan Perkara
No.81/Pid.B/2010/PN.Clp.
D. Kegunaan Penelitian
1. Kegunaan secara teoritis
Pada hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi pengembangan ilmu hukum,
khususnya untuk memperluas pengetahuan dan pemahaman serta untuk menambah referensi
khususnya tentang tindak pidana pembunuhan berencana secara bersama-sama.
2. Kegunaan secara praktis
Untuk membantu dalam praktik sebagai sumbangan pemikiran yang dapat dipakai dalam
pengambilan kebijakan oleh pihak-pihak yang terkait khususnya dalam menangani masalah
tindak pidana pembunuhan berencana yang dilakukan secara bersama-sama.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Tindak Pidana
1. Istilah dan Pengertian Tindak Pidana
Istilah tindak pidana sebagai terjemahan dari “Strafbaarfeit” merupakan perbuatan yang
dilarang oleh undang-undang yang diancam dengan pidana (Kartanegara, 1990: 74).
Menurut M. Sudradjat Bassar :
Peristilahan yang sering dipakai dalam hukum pidana yaitu “tindak pidana”. Istilah ini
dimaksudkan sebagai terjemahan dari Bahasa Belanda, yaitu delict atau strafbaar
feit.(Bassar, 1986 : 1).
Perbuatan yang memenuhi syarat-syarat tertentu itu dimaksudkan adalah perbuatan yang
dilakukan oleh orang, yang memungkinkan adanya pemberian pidana. Perbuatan semacam itu
dapat disebut perbuatan yang dapat dipidana atau disingkat perbuatan jahat (Verbrechen atau
Crime). Oleh karena dalam perbuatan jahat ini harus ada orang yang melakukannya, maka
persoalan tentang perbuatan tertentu itu diperinci menjadi dua, ialah perbuatan yang dilarang dan
orang yang melanggar larangan itu.
Menurut Lamintang, pembentuk undang-undang telah menggunakan perkataan strafbaar
feit untuk menyebutkan apa yang kita kenal sebagai tindak pidana. Di dalam KUHP apa
yang dimaksud dengan strafbaar feit tidak dijelaskan secara jelas. Istilah tindak pidana
merupakan terjemahan dari istilah Belanda, yaitu strafbaar feit yang berasal dari kata
strafbaar, artinya dapat dihukum (Lamintang, 1984: 72).
Sedangkan Strafbaar feit mengenai istilah tindak pidana di dalam perundang-undangan di
Indonesia dapat dijumpai istilah-istilah lain yang dimaksud juga sebagai istilah tindak pidana,
yaitu :
a. Peristiwa pidana (UUDS 1950 Pasal 14 ayat (1)).
b. Perbuatan pidana (UU Darurat No. 1 tahun 1951, UU mengenai : tindak sementara
untuk menyelenggarakan kesatuan susunan, kekuasaan dan acara pengadilan-
pengadilan sipil, Pasal 5 ayat 3b).
c. Perbuatan-perbuatan yang dapat dihukum (UU Darurat No. 2 Tahun 1951 tentang :
Perubahan Ordonantie tijdelijke by zondere strafbepalingen S. 1948 – 17 dan UU RI
(dahulu) No. 8 tahun 1948 Pasal 3.
d. Hal yang diancam dengan hukum dan perbuatan-perbuatan yang dapat dikenakan
hukuman (UU Darurat No. 1951, tentang Penyelesaian perselisihan perburuhan, Pasal
19, 21, 22).
e. Tindak pidana (UU Darurat No. 7 tahun 1953 tentang Pemilihan Umum, Pasal 129).
f. Tindak pidana (UU Darurat No. 7 Tahun 1955 tentang Pengusutan, penuntutan dan
peradilan Tindak Pidana Ekonomi, Pasal 1 dan sebagainya).
g. Tindak pidana (Penetapan Presiden No. 4 Tahun 1964 tentang kewajiban kerja bakti
dalam rangka permasyarakatan bagi terpidana karena melakukan tindak pidana yang
merupakan kejahatan, Pasal 1).(Sudarto, 1990: 23).
Selanjutnya Sudarto mengatakan bahwa, pembentuk undang-undang sekarang sudah agar
tepat dalam pemakaian istilah “tindak pidana”. Akan tetapi para sarjana hukum pidana
mempertahankan istilah yang dipilihnya sendiri, misalnya Prof. Moeljatno, Guru Besar pada
Universitas Gadjah Mada menganggap lebih tepat dipergunakan istilah “perbuatan pidana”
(dalam pidatonya yang berjudul “ Perbuatan pidana dan pertanggungjawaban dalam hukum
pidana”.(Sudarto, 1990: 33).
Menurut Satochid Kartanegara dalam kuliah-kuliahnya telah menggunakan perkataan
“tindak pidana” sebagai terjemahan dari Strafbaar feit”. (Kartanegara, 19xx: 74).
Dalam sari Kuliah Hukum Pidana I, Utrecht juga memakai istilah peritiwa pidana, beliau
berpendapat bahwa perbuatan itulah keadaan yang dibuat oleh seseorang atau barang sesuatu
yang dilakukan, sedangkan Tirtaamidjaja (Pokok-pokok Hukum Pidana 1955) memakai istilah
“pelanggaran pidana” untuk mengartikan strafbaar feit (Moeljatno, 1983: 9).
Pembahasan istilah tindak pidana tersebut dimaksudkan untuk memahami pengertian
pidana sebagai sanksi atas delik, sedangkan pemidanaan berkaitan dengan dasar-dasar
pembenaran pengenaan pidana serta teori-teori tentang tujuan pemidanaan itu sendiri.
Perlu dikemukakan di sini bahwa pidana adalah merupakan suatu istilah yuridis yang
mempunyai arti khusus sebagai terjemahan dari bahasa Belanda "straf" yang dapat diartikan juga
sebagai "hukuman".
Sebagaimana dikemukakan oleh Moeljatno bahwa istilah hukuman yang berasal dari kata
"straf" ini dan istilah "dihukum" yang berasal dari perkataan "wordt gestraft", adalah
merupakan istilah-istilah konvensional. (Moeljatno, 1987).
Moeljatno tidak setuju dengan istilah-istilah itu dan menggunakan istilah-istilah yang
inkonvensional, yaitu "pidana" untuk menggantikan kata "straf" dan diancam dengan pidana"
untuk menggantikan kata "wordt gestraft". Jika "straf" diartikan "hukuman", maka strafrecht
seharusnya diartikan dengan hukuman-hukuman. Selanjutnya dikatakan oleh Moeljatno bahwa
"dihukum" berarti "diterapi hukum" baik hukum pidana maupun hukum perdata. Hukuman
adalah hasil atau akibat dari penerapan hukum tadi yang maknanya lebih luas dari pada pidana,
sebab mencakup juga keputusan hakim dalam lapangan hukum perdata. (Muladi & Arief, 1992:
1).
Berkaitan dengan pendapat tersebut di atas, Sudarto mengatakan bahwa "penghukuman"
berasal dari kata dasar "hukum", sehingga dapat diartikan sebagai "menetapkan hukum"
atau "memutuskan tentang hukuman" (berechten). Menetapkan hukum untuk suatu
peristiwa tidak hanya menyangkut bidang hukum pidana saja, akan tetapi juga hukum
perdata. (Sudarto, 1981: 68).
Menurut Pompe pengertian strafbaar feit dibedakan menjadi dua, yaitu :
a. Definisi menruut teori adalah suatu pelanggaran terhadap norma yang dilakukan
terhadap kesalahan pelanggar dan diancam pidana untuk mempertahankan tata hukum
dan menyelamatkan kesejahteraan umum.
b. Definisi menurut hukum positif adalah suatu kejadian atau feit oleh undang-undang
dirumuskan sebagai suatu perbuatan yang dapat dihukum (Bambang Poernomo, 1988
: 87).
Wirjono Prodjodikoro menggunakan istilah tindak pidana dan memberikan definisi
tindak pidana, yaitu suatu perbuatan yang pelakunya dapat dikenakan hukuman pidana.
(Prodjodikoro, 1981 : 50).
Istilah tindak pidana oleh Moeljatno disebut sebagai perbuatan pidana, dimaksudkan
sebagai perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum larangan mana disertai ancaman
(sanksi) yang berupa pidana, bagi barang siapa melanggar larangan tersebut. Lebih lanjut
Moeljatno mengemukakan bahwa antara larangan dan ancaman pidana ada hubungan yang erat,
oleh karena itu antara kejadian dan orang-orang yang menimbulkan kejadian itu, ada hubungan
yang erat pula, yang satu tidak dapat dipisahkan dari yang lain, dan justru untuk menyatakan
hubungan yang erat itu dipakai istilah perbuatan. (Moeljatno, 1993 : 54).
2. Unsur-unsur Tindak Pidana
Pengertian unsur tindak pidana berbeda dengan pengertian unsur-unsur tindak pidana
sebagaimana tersebut dalam rumusan undang-undang. Pengertian pertama ialah lebih luas
daripada yang kedua. Unsur dalam pengeritan yang kedua dalam bahasa Belanda disebut
elenment van dewettelijk delictum achrijving.
Pengertian unsur tidak pidana hendakya dibedakan dari pengertian unsur-unsur tindak
pidana sebagaimana tersebut dalam rumusan undang-undang. Pengertian yang perama
(unsur), ialah lebih luas dari yang kedua (unsur-unsur). Misalnya unsur-unsur (dalam arti
sempit) dari tindak pidana pencurian biasa, ialah yang tercantum dalam Pasal 362 KUHP.
(Sudarto, 1990: 43).
Sedangkan menurut Lamintang :
Setiap tindak pidana dalam KUHP pada umumnya dapat dijabarkan unsur-unsurnya
menjadi dua macam, yaitu unsur-unsur subyektif dan obyektif (Lamintang, 1984: 123).
Pengertian unsur-unsur subyektif adalah unsur-unsur yang melekat pada diri si pelaku atau
yang berhubungan dengan diri si pelaku dan termasuk ke dalamnya yaitu segala sesuatu yang
terkandung di dalam hatinya. Sedangkan yang dimaksud unsur obyektif itu adalah unsur-unsur
yang ada hubungannya dengan keadaan-keadaan, yaitu keadaan-keadaan mana tindakan dari si
pelaku itu harus dilakukan.
Pengertian Unsur-unsur subyektif dari sesuatu tindak pidana itu adalah :
1. kesengajaan atau ketidaksengajaan (dolus/culpa);
2. maksud atau voornemen pada suatu percobaan atau poging seperti yang dimaksud
dalam Pasal 53 (1) KUHP;
3. Macam-macam maksud atau oogmerk seperti yang terdapat misalnya di dalam
kejahatan-kejahatan pencurian, penipuan, pemerasan, pemalsuan dan lain-lain;
4. Merencanakan terlebih dahulu atau voorbedachte raad seperti yang misalnya terdapat
di dalam kejahatan pembunuhan menurut Pasal 340 KUHP;
5. Perasaan takut atau vrees seperti yang antara lain terdapat di dalam rumusan tindak
pidana menurut Pasal 308 KUHP.
Sedangkan unsur-unsur dari sesuatu tindak pidana itu adalah :
1. sifat melanggar hukum
2. kualitas dari si pelaku
3. kausalitas, yakni hubungan antara sesuatu tindakan sebagai penyebab dengan sesuatu
kenyataan sebagai akibat. (Lamintang, 1984: 184).
Di dalam kuliah-kuliah, Satochid Kartanegara menggunakan perkataan “unsur”
sebagaimana kumpulan bagi apa yang disebut bestandel dan element. (Lamintang, 1984: 186).
Berkaitan dengan pengertian unsur-unsur tindak pidana (strafbaar feit) ada beberapa
aliran dalam memberikan rumusan tentang pengertian unsur-unsur tindak pidana yaitu menurut
aliran monistis dan menurut aliran dualistis.
Sarjana yang berpandangan aliran monistis, yaitu :
a. D. Simons
Unsur-unsur Strafbaar feit adalah :
1. perbuatan manusia (positif atau negatif, berbuat atau tidak berbuat atau
membiarkan.
2. Diancam dengan pidana (strafbaar gesteld).
3. Melawan hukum (onrechtmatig).
4. Dilakukan dengan kesalahan (met schuld in verband staand)
5. oleh orang yang mempu bertanggung jawab (teorekeningsvatbaar persoon).
Simons mengatakan adanya unsur obyektif dan unsur subyektif dari stafbaar feit adalah
:
1. Yang dimaksud dengan unsur obyektif ialah : perbuatan orang
2. Akibat yang kelihatan dari perbuatan itu
3. Mungkin ada keadaan tertentu yang menyertai perbuatan-perbuatan itu sepeti dalam
Pasal 281 KUHP sifat “openbaar´atau “dimuka umum”
Sedangkan unsur subyektif dari strafbaar feit adalah :
1. orangnya mampu bertanggung jawab;
2. adanya kesalahan (dolus atau culpa). Perbuatan harus dilakukan dengan kesalahan.
Kesalahan ini dapat berhubungan dengan akibat dari perbuatan atau dengan keadaan-
keadaan mana perbuatan itu dilakukan.
b. Van Hamel :
Strafbaar feit adalah Een wettelijk omschre ven menschelijke gedraging, onrechmatig,
strafwardig en aan schuld te wijten.
Jadi unsur-unsurnya :
1. perbuatan manusia yang dirumuskan dalam undang-undang
2. bersifat melawan hukum
3. dilakukan dengan kesalahan dan,
4. patut dipidana.
c. E. Mezger
Tindak pidana adalah keseluruhan syarat untuk adanya pidana, dengan demikian unsur-
unsurnya adalah :
1. perbuatan dalam arti yang luas dari manusia (aktif atau membiarkan);
2. sifat melawan hukum (baik bersifat obyektif maupun bersifat subyektif)
3. dapat dipertanggungjawabkan kepada seseorang
4. diancam dengan pidana.
d. Wirjono Prodjodikoro
Beliau mengemukakan definisi pendek yakni : tindak pidana berarti suatu perbuatan
yang pelakunya dapat dikenakan pidana. (Sudarto, 1991: 25).
Dari pendapat beberapa sarjana yang beraliran monistis tersebut dapat disimpulkan bahwa
tidak adanya pemisalah antara criminal act dan criminal reponsibility.
Selanjutnya tentang pandangan para sarjana yang beraliran dualistis tentang adanya unsur-
unsur tindak pidana, yaitu :
a. H.B. Vos
Strafbaar feit hanya berunsurkan :
1. kelakuan manusia dan
2. diancam pidana dalam undang-undang
b. W.P.J. Pompe
Menurut hukum positif strafbaar feit adalah tidak lain dari feit, yang diancam pidan
adalam ketenteuan undang-undang, jadi perbuatan itu adalah perbuatan yang bersifat
melawan hukum, dilakukan dengan kesalahan dan diancam pidana.
c. Moeljatno
Dalam pidato Dies Natalis tersebut beliau mememberikan arti tentang strafbaar cfeit,
yaitu sebagai perbuatan yang diancam dengan pidana, barang siap amelanggar larangan
tersebut. Untuk adanya perbuatan pidana harus ada unsur-unsur :
1. perbuatan (manusia);
2. yang memenuhi rumusan dalam undang-undang (ini merupakan syarat formal dan,
3. bersifat melawan hukum (ini merupakan syarat materiil).
Jadi dari pandangan sarjana yang beraliran dualistis ini ada pemisahan antara criminal act
dan criminal responsibility. (Sudarto, 1990: 26).
Menurut sistem KUHP kita tindak pidana dibagi atas kejahatan (misdrijven) dan
pelanggaran(overtredingen). Pembagian dalam dua jenis ini, tidak ditentukan dengan nyata-nyata
dalam suatu pasal KUHP, tetapi sudah dianggap demikian adanya.
Menurut Sudarto, dikatakan :
dalam Buku II KUHP diatur tentang Kejahatan sedangkan dalam Buku III diatur tentang
Pelanggaran. Dengan kata lain KUHP tidak memberikan kriteria mengenai pembedaan
jenis tindak pidana tersebut, tetapi KHUP hanya memasukan dalam kelompok pertama
kejahatan dan kelompok kedua pelanggaran. (Sudarto, 1990: 50).
Untuk mencari secara intensif ukuran kedua jenis tindak pidana tersebut, di dalam ilmu
pengetahuan didapati ukuran dua jenis delik, ialah :
a. Kejahatan dan Pelanggaran
1) rechtsdelicten
ialah perbuatan yang bertentangan dengan keadilan, terlepas apakah perbuatan itu
diancam pidana dalam suatu undang-undang atau tidak, jadi yang benar-benar
dirasakan oleh masyarakat sebagai bertentangan dengan keadilan, misal :
pembunuhan, pencurian. Delik-delik semacam ini disebut “kejahatan”.
2) wetsdelicten
ialah perbuatan yang oleh umum baru disadari sebagai tindak pidana, karena undang-
undang menyebutnya sebagai delik, jadi karena ada undang-undang mengancamnya
dengan pidana. Misal memparkir mobil di sebelah kanan jalan (mala quita
prohibita). Delik-delik semacam ini disebut “pelanggaran”.
Perbedaan secara kualitatif ini tidak dapat diterima sebab ada kejahatan, yang baru
disadari sebagai delik, karena tercantum dalam undang-undang pidana, jadi
sebenarnya tidak segera dirasakan sebagai bertentangan dengan rasa keadilan. Dan
sebaliknya ada “pelanggaran”, yang memang benar-benar dirasakan bertentangan
dengan rasa keadilan. Oleh karena perbedaan secara demikian itu tidak memuaskan,
maka dicari ukuran lain.
Antara kedua jenis delik itu ada perbedaan yang bersifat kualitatif. Menurut
Pendirian ini hanya meletakkan kriterium pada perbedaan yang dilihat dari segi
kriminologi, ialah “pelanggaran” itu lebih ringan daripada “kajahatan”
3) Delik formil dan delik materiil
Delik formil, ialah delik yang perumusannya dititikberatkan pada perbuatan yang
dilarang. Delik tersebut telah selesai dengan dilakukannya perbuatan seperti
tercantum dalam rumusan delik, misalnya : Pasal 160, 362 KUHP dll..
Sedangkan delik materiil, adalah delik yang permusannya dititikberatkan kepada
akibat yang tidak dikehendaki (dilarang). Delik ini baru selesai apabila akibat yang
tidak dikehendaki itu telah terjadi. Kalau belum, maka paling banyak hanya ada
percobaan, misal Pasal 338 KUHP.
4) Delik Dolus dan Delik Culpa
a. Delik Dolus : delik yang memuat unsur kesengajaan, misal : Pasal 187, 197, 245,
263, 310, 338 KUHP.
b. Delik Culpa : delik yang memuat kealpaan sebagai salah satu unsur, misalnya :
Pasal 195, 197, 201, 231 ayat (4) dan Pasal 359, 360 KUHP
5) Delik Commissionis, delik Ommissionis dan delik Commissionis perommisionis
commissa.
a. Delik Commissionis : delik yang berupa pelanggaran terhadap larangan, ialah
berbuat sesuatu yang dilarang, pencurian, penggelapan, penipuan.
b. Delik Ommisionis: delik yang berupa pelanggaran terhadap perintah, misal : tidak
menghadap sebagai saksi di muka pengadilan (Pasal 552 KUHP), tidak menolong
orang yang memerlukan pertolongan (Pasal 531).
c. Delik Commissionis per ommissionis commissa: delik yang berupa pelangaran
larangan (dua delik commisionis), akan tetapi dapat dilakukan dengan cara tidak
berbuat. Misal : seorang ibu yang membunuh anaknya dengan tidak memberi air
susu (Pasal 338, 340 KUHP), seorang penjaga wissel yang menyebabkan
kecelakaan kereta api dengan sengaja tidak memindahkan wissel (Pasal 194
KUHP)
6) Delik tungal dan delik berganda
a. Delik tunggal : delik yang cukup dilakukan dengan perbuatan satu kali
b. Delik berganda : delik baru yang merupakan delik, apabila dilakukan beberapa
kali perbuatan, misal Pasal 481 KUHAP (penahanan sebagai kebiasaan)
7) Delik yang berlangsung terus dan delik yang tidak berlangsung terus (voortdurende en
niet voortdurende (aflopende delicten). Delik yang berlangsung terus adalah delik
yang mempunyai ciri bahwa keadaan terlarang berlangsung terus, misalnya
merampas kemerdekaan seseorang (Pasal 333 KUHP).
8) Delik aduan dan bukan delik aduan
a. Delik aduan: delik yang penuntutannya hanya dilakukan apabila ada pengaduan
dari pihak yang terkena, misal : penghinaan (Pasal 310 dan seterusnya jo Pasal
319 KUHP), perzinahan (Pasal 284 KUHP), chantage (perampasan dengan
ancaman pencemaran, Pasal 335 ayat 1 sub 2 KUHP jo ayat 2).
b. Bukan delik aduan : delik yang penuntutannya tidak memerlukan adanya
pengaduan.
9) Delik ekonomi (biasanya disebut tindak pidana ekonomi) dan bukan delik ekonomi.
Apa yang disebut tindak pidana ekonomi itu terdapat dalam Pasal 1 Undang-Undang
Darurat No. 7 tahun 1955, UU Darurat tentang Tindak Pidana Ekonomi.
10) Kejahatan Ringan
Dalam KUHP, kejahatan-kejahatan ringan antara lain : Pasal 364, 373, 375, 482, 384,
352, 302 (1), 315, 407. (Sudarto, 1990: 51-53).
B. Tindak Pidana Terhadap Nyawa Manusia
1. Jenis-jenis Tindak Pidana Pembunuhan
Tindak pidana pembunuhan terdiri atas beberapa jenis, antara lain :
a. Menurut Anwar, tindak pidana pembunuhan terbagi atas beberapa jenis, antara lain :
1) Pembunuhan dengan direncanakan terlebih dahulu secara tenang (moored);
2) Pembunuhan anak;
3) Pembunuhan anak dengan direncanakan terlebih dahulu secara tenang;
4) Pembunuhan atas permintaan;
5) Pembunuhan kandungan. (Moch. Anwar, 1986:88).
b. Menurut Koeswadji, pembunuhan terbagi atas lima jenis, yaitu :
1) Pembunuhan dengan sengaja;
2) Pembunuhan dengan direncanakan lebih dahulu;
3) Pembunuhan dalam bentuk yang memperberat pidana;
4) Pembunuhan yang dilakukan atas permintaan yang sangat dari si korban;
6) Dengan sengaja menganjurkan atau membantu memberikan saran atau dengan upaya
kepada orang lain untuk bunuh diri. (Koeswadji, 1980:19).
c. Menurut Bassar. Tindak pidana pembunuhan terbagi atas beberapa jenis, yaitu:
1. Pembunuhan biasa (Pasal 338 KUHP)
2. Pembunuhan yang direncanakan (gequalificeerd) (Pasal 339 KUHP)
3. Pembunuhan yang direncanakan (Pasal 340 KUHP)
4. Pembunuhan anak (Pasal 341 KUHP)
5. Pembunuhan atas permintaan si korban (Pasal 334 KUHP)
6. Membunuh diri (Pasal 345 KUHP)
7. Menggugurkan kandungan (abortus) (Pasal 346 KUHP).(Basaar, 1984:121)
ad. 1) Pembunuhan biasa (doodslag)
Dalam pembunuhan biasa (doodslag), harus dipenuhi unsur :
a. Bahwa perbuatan itu harus disengaja dan kesengajaan itu harus timbul seketika itu juga
(dolus reptinus atau dolus impetus), ditunjukkan kepada maksud supaya orang itu mati.
b. Melenyapkan nyawa orang lain itu harus merupakan perbuatan yang “positif” walaupun
dengan perbuatan kecil sekalipun.
c. Perbuatan itu harus menyebabkan matinya orang:
1) Seketika itu juga, atau
2) Beberapa saat setelah dilakukannya perbuatan itu.
3) Harus ada hubungan diantara perbuatan yang dilakukan dengan kematian orang
tersebut. jadi kematian itu harus diakibatkan oleh perbuatan itu.
Istilah “orang dalam Pasal 338 KUHP itu, maksudnya adalah “orang lain”. Terhadap siapa
pembunuhan itu dilakukan tidak menjadi soal. Meskipun pembunuhan itu dilakukan
terhadap bapak atau ibu sendiri, termasuk juga pada pembunuhan yang dimaksud dalam
Pasal 338 KUHP.
Demikian juga apabila X bermaksud membunuh Y, akan tetapi karena kekeliruan yang
terbunuh itu bukan Y tetapi si Z. Maka perbuatan inipun merupakan pembunuhan karena
yang mati itu adalah orang lain daripada si pembunuh.
Terhadap pembunuhan biasa diancam hukuman penjara selama-lamanya 15 tahun,
yaitu sengaja melenyapkan nyawa orang karena bersalah melakukan pembunuhan.
ad. 2). Pembunuhan terkualifikasi (gequalificeerd)
Hal ini diatur dalam Pasal 339 KUHP. Adapun unsur-unsur dari kejahatan ini :
1. Pembunuhan ini dilakukan dengan maksud untuk mempersiapkan suatu perbuatan
pidana lain yang dilakukan sesudah pembunuhan itu. Sengaja membunuh sebagai
persiapan perbuatan pidana lain. Perbuatan itu diikuti oleh pidana lain.
2. Pembunuhan ini dilakukan dengan maksud untuk melakukan perbuatan pidana lain.
Pembunuhan itu berbarengan atau disertai dengan perbuatan pidana lain. Sengaja
membunuh untuk menggampangkan perbuatan pidana lain.
3. Pembunuhan ini dilakukan sesudah melakukan perbuatan lain dengan maksud :
a. Untuk menyelamatkan dirinya atau pengikut sertanya dari hukuman, atau
b. Supaya apa yang didapat dari perbuatan itu tetap akan ada ditangannya.
Perbuatan pidana yang lain itu diikuti pembunuhan dengan maksud seperti tersebut
dalam butir a dan b diatas, dan dilakukan ketika kedapatan tengah melakukan kejahatan.
Didalam kelakuan pembunuhan itu, orang-orang yang menyertai melakukan pebuatan pidana
lain tidak dipertanggungjawabkan tentang pembunuhan itu. Mereka hanya dipersalahkan
atas perbuatan pidana lain saja, kecuali apabila mereka membantu juga didalam pembunuhan
itu. Jadi, pembunuhan tersebut dalam pasal ini, hanya dipersalahkan kepada orang yang
melakukannya saja.
Sebab-sebab yang tersebut didalam unsur 1, 2 dan 3 diatas yang menyebabkan pembunuhan
itu, memberatkan tindak pidana itu, sehingga diancam hukuman selama-lamanya 20 tahun.
ad.3). Pembunuhan yang direncanakan (Moord)
Diatur dalam Pasal 340 KUHP yang merumuskan :
Barangsiapa dengan sengaja dan dengan direncanakan lebih dahulu menghilangkan
jiwa orang lain, dihukum, karena pembunuhan direncanakan (moord), dengan
hukuman mati atau penjara seumur hidup atau penjara sementara selama-lama dua
puluh tahun.
Sedangkan unsur-unsur dari kejahatan ini adalah :
1. Adanya kesengajaan (dolus premiditatus), yaitu kesengajaan yang harus disertai
dengan suatu perencanaan terlebih dahulu.
2. Yang bersalah didalam keadaan tentang memikirkan untuk melakukan maksudnya
dan tidak menjadi soal beberapa lama waktunya.
3. Diantara saat timbulnya pikiran untuk membunuh dan saat melakukan pembunuhan
itu, ada waktu ketenangan pikiran.
Berkaitan dengan rumusan Pasal 340 KUHP, R. Soesilo berpendapat :
Kejahatan ini dinamakan “pembunuhan dengan direncanakan lebih dahulu” (moord).
Boleh dikatakan ini, adalah suatu pembunuhan biasa (doodslag) dsb dalam Pasal 338,
akan tetapi dilakukan dengan direncanakan terlebih terdahulu.
Direncanakan lebih dahulu (voorbedachte rade) = antara timbulnya maksud untuk
dengan tenang meikirkan misalnya dengan cara bagaimanakah pembunuhan itu akan
dilakukan.
“Tempoh” ini tidak boleh terlalu sempit, akan tetapi sebaliknya juga tidak perlu terlalu
lama, yang penting ialah apakah didalam tempoh itu sipembuat dengan tenang masih
dapat berpikir-pikir, yang sebenarnya ia masih ada kesempatan untuk membatalkan
niatnya akan membunuh itu, akan tetapi tidak ia pergunakan. Pembunuhan dengan
mempergunakan racun hampir semua merupakan “moord”. (R. Soesilo, 1988: 241).
Pembunuhan berencana adalah suatu pembunuhan biasa seperti Pasal 338 KUHP, akan
tetapi dilakukan dengan direncanakan terdahulu. Direncanakan lebih dahulu (voorbedachte
rade) sama dengan antara timbul maksud untuk membunuh dengan pelaksnaannya itu masih
ada tempo bagi si pembuat untuk dengan tenang memikirkan misalnya dengan cara
bagaimanakan pembunuhan itu akan dilakukan. Perbedaan antara pembunuhan dan
pembunuhan direncanakan yaitu kalau pelaksanaan pembunuhan yang dimaksud Pasal 338
KUHP itu dilakukan seketika pada waktu timbul niat, sedangkan pembunuhan berencana
pelaksanaan itu ditangguhkan seelah niat itu timbul, untuk mengatur rencana, cara
bagiamana pembunuhan itu akan dilaksanakan. Jarak waktu antara timbulny aniat untuk
membunuh dan pelaksanaan pembunuhan itu masih demikian luang, sehingga pelaku masih
dapat berfikir, apakah pembunuhan itu diteruskan atau dibatalkan, atau pula merencanakan
dengan cara bagaimana ia melakukan pembunuhan
itu.(http://jiwoagung.blogspot.com/2011).
Berkaitan dengan perbendaan lain yang terletak dalam apa yang terjadi di dalam diri
sipelaku sebelum pelaksanaan menghilangkan jiwa seseorang (kondisi pelaku), H.A.K.
Moch. Anwar berpendapat :
Perbedaan lain terletak dalam apa yang terjadi di dalam diri si pelaku sebelum
pelaksanaan menghilangkan jiwa seseorang (kondisi pelaku). Untuk pembunuhan
direncanakan terlebih dulu diperlukan berfikir secara tenang bagi pelaku. Didalam
pembunuhan biasa, pengambilan putusan untuk menghilangkan jiwa seseorang
danpelaksanaannya merupakan suatu kesatuan, sedangkan pada pembunuhan
direncanakan terlebih dulu kedua hal itu terpisah oleh suatu jangka waktu yang
diperlukan guna berfikir secara tenang tentang pelaksanaannya, juga waktu untuk
member kesempatan guna membatalkan pelaksanaannya. Direncanakan terlebih dulu
memang terjadi pada seseorang dalam suatu keadaan dimana mengambil putusan
untuk menghilangkan jiwa seseorang ditimbulan oleh hawa nafsunya dan di bawah
pengaruh hawa nafsu itu juga dipersiapkan pelaksanaannya. (H.A.K. Moch Anwar,
1989: 8).
Bagi pembantu kejahatan ini tidak dikenakan peringanan hukuman dengan hukum
acara pidana hanya dihukum sepertiga dari hukuman pembunuhan biasa, akan tetapi harus
dikarenakan hukuman sepertiga dari hukuman yang tersebut dalam Pasal 340 KUHP. Jadi,
kesalahannya tetap membantu pembunuhan yang direncanakan dari semula, walaupun ia
sendiri tidak ikut merencanakan. Ancaman pidana terhadap pembunuhan yang direncanakan
(moord) ini yaitu mati atau pidana penjara seumur hidup atau selama-lamanya 20 tahun
penjara.
ad.4). Pembunuhan Anak (Kinderdoodslag).
Diatur dalam Pasal 341 KUHP. Pasal ini mengancam hukuman penjara selama-
lamanya 7 tahun. Yang kena pasal ini adalah apabila orang tua membunuh anak dengan
sengaja (tidak direncanakan terlebih dahulu) membunuh anak pada waktu dilahirkan atau
tidak beberapa lama setelah dilahirkan karena takut ketahuan bahwa ia melahirkan anak.
Kejahatan ini dinamakan “membunuh biasa anak” atau “makar mati anak”
(Kinderdoodslag).
ad.5). Pembunuhan atas permintaan si korban.
Diatur dalam Pasal 344 KUHP, yang mengancam hukuman penjara selama-lamanya
selama 12 tahun bagi orang yang menghilangkan jiwa orang lain atas permintaan orang itu
sendiri. Yang jelas dinyatakan dengan kesungguhan hati. Jadi, permintaan untuk
membunuh it harus disebutkan dengan nyata dan sungguh-sungguh.
Disini juga dijumpai lagi faktor yang meringankan yang bersalah, sehingga oleh
karenanya hakim tidak boleh menjatuhkan hukuman lebih dari 12 tahun, meskipun
perbuatan itu tidak bedanya dengan pembunuhan biasa atau yang direncanakan. Faktor yang
menguntungkan itu ialah adanya permintaan yang sungguh-sungguh dari orang yang diambil
nyawanya. Permintaan itu benar-benar harus terbukti merupakan desakan dan bersungguh-
sungguh. Permintaan yang begitu saja atau secara omongan atau keinginan yang diucapkan,
misalnya omongan seorang anak atau orang yang kurang sehat ingatannya, tidak dapat
dianggap suatu permintaan yang diisyaratkan didalam Pasal 344 KUHP.
ad.6). Membunuh Diri.
Yang membunuh diri tidak diancam hukuman. Akan tetapi orang yang sengaja menghasut,
membantu orang lain untuk bunuh diri, dapat dikenakan Pasal 345 KUHP, asal orang itu
betul-betul bunuh diri (mati). Apabila betul bunuh diri, tetapi tidak mati, orang yang
menghasut itu tidak dapat dihukum. Demikian juga orang yang memberikan tali atau
menjual obat kepada orang tanpa mengetahui, bahwa orang itu akan bunuh diri, tidak
dikenakan Pasal 345 KUHP, oleh karena pertolongan itu diberikan tidak dengan sengaja.
Ancaman hukuman paling lama 4 tahun penjara. Untuk berlaku Pasal 345 KUHP itu,
membunuh diri itu harus benar-benar terjadi dilakukan, artinya orangnya sampai mati
karenanya. Apabila tidak sampai terjadi kematian itu, maka yang melakukan pembujukan
atau membantu atau memberikan ikhtiar untuk bunuh diri it, dapat dituntut atas dasar
mencoba.
ad.7). Menggugurkan Kandungan (abortus).
Perempuan yang dengan sengaja menyebabkan gugur atau mati buah kandungannya. Atau
menyuruh orang menyebabkan hal itu, dihukum dengan hukuman penjara selama-lamanya 4
tahun. Yang dimaksud dengan “buah kandungan” disini yaitu belum merupakan bayi.
Menurut Yurisprudensi, buah kandungan itu harus sudah bernyawa, sudah mulai bergetar
didalam kandungannya.
Oleh karena sukar untuk membuktikan bahwa kandungan sudah bernyawa, maka diadakan
Pasal 299 KUHP terhadap orang yang dengan sengaja mengobati seorang wanita atau
menyuruhnya supaya diobati. Dengan menimbulkan harapan pada wanita itu tidak akan jadi
mengandung.
Mengenai masalah deelneming atau keturutsertaan oleh pembentuk undang-undang telah
diatur di dalam Pasal 55 dan 56 KUHP. Mengenai ketentuan di dalam Pasal 55 KUHP
menentukan sebagai berikut :
(1) Dihukum sebagai orang yang melakukan pidana :
1e. orang yang melakukan, yang menyuruh lakukan atau turut melakukan
perbuatan;
2e. mereka yang dengan memberian, perjanjian, salah memakai kekuasaan atau
pengaruh, kekerasan, ancaman atau tipu daya, atau dengan memberi kesempatan,
daya-upaya atau keterangan, sengaja membujuk atau melakukan sesuatu
perbuatan.
(2) Tentang orang-orang yang tersebut dalam sub 2e itu yang boleh dipertanggungkan
kepadanya hanyalan perbuatan yang dengan sengaja dibujuk oleh mereka itu, serta
dengan akibatnya.
R. Soesilo, dengan mendasarkan pada rumusan Pasal 55 ayat (1) KUHP mengatakan :
Disini disebutkan “peristiwa pidana”, jadi baik kejahatan maupun pelanggaran. yang
dihukum sebagai orang yang melakukan disini dapat dibagi atas 4 macam, yaitu :
1. Orang yang melakukan (pleger). Orang ini ialah seorang yang sendirian telah berbuat
mewujudkan segala anasir atau elemen dari peristiwa pidana. Dalam peristiwa pidana
yang dilakkan dalam jabatan misalnya orang itu harus pula memenuhi elemen status
sebagai pegawai negeri.
2. Orang yang menyuruh melakukan (doen plegen). Disini sedikitnya ada dua orang,
yang menyuruh (doen plegen) dan yang disuruh (pleger). Jadi bukan orang itu sendiri
yang melakukan peristiwa pidana, akan tetapi ia menyuruh orang lain, meskipun
demikian toch ia dipandang dan dihukum sebagai orang yang melakukan sendiri yang
melakukan peristiw apidana, akan tetapi ia menyuruh orang lainnya ia tidak dapat
dihukum karena tidak dapat dipertanggungjawabkan atas perbuatannya, misalnya
dalam hal-hal sebagai berikut :
a. tidak dapat dipertanggungjawabkan menurut Pasal 44 KUHP;
b. telah melakukan perbuatan itu itu karena terpaksa oleh kekuasaan yang tidak dapat
dihindarkan (overmacht);
c. telah melakukan perbuatan itu atas perintah jabatan yang tidak syah menurut Pasal
51 KUHP;
d. telah melakukan perbuatan itu dengan tidak ada kesalahan sama sekali.
3. Orang yang turut melakukan (medepleger). Turut melaukan dalam arti kata bersama-
sama melakukan. Sedikit-dikitnya harus ada sua orang, ialah orang yang melakukan
(pleger) dan orang turut melakukan (medepleger) peristiwa pidana.
4. Orang yang dengan pemberian, salah memakai kekuasaan, memakai kekerasan dsb.
(R. Soesilo, 1988 : 72-74).
Selanjutnya Pasal 56 KUHP menentukan :
Dihukum sebagai orang yang membantu melakukan kejahatan:
1e. barangsiapa dengan sengaja membantu melakukan kejahatan itu;
2e. barangsiapa dengan sengaja memberi kesempatan, daja-upaya atau keterangan
utuk melakukan kejahatan itu.
Terhadap Pasal 56 KUHP R. Soesilo berpendapat “
Orang salah membantu melakukan (medeplichtig), jika ia sengaja memberikan bantuan
tersebut, pada waktu atau sebelum (jadi tidak sesudahnya) kejahatan itu dilakukan. Bila
bantuan itu diberikan sesudah kejahatan itu dilakukan, maka orang salah melakukan
perbuatan sekongkol atau tadah (heling) melanggar Pasal 480, atau peristiwa pidana yang
tersebut dalam Pasal 221, (R. Soesilo, 1988 : 76).
Apabila suatu perbuatan tindak pidana dilakukan oleh lebih dari satu orang secara
bekerjasama atau bersama-sama dengan oang lain, dan tiap-tiap peserta mengambil bagian atau
tiap-tiap peserta memberikan sumbangan atau andil dalam bentuk Sesutu perbuatan dari para
peserta, bila tidak maka tindak pidana itu tidak akan terlaksana. Dalam hal yang sedemikian
secara logis pertanggungjawabannyapun harus dibagi di antara para peserta, dengan perkataan
lain tiap-tiap peserta harus juga turut dipertanggungjawabkan atas perbuatan-perbuatannya,
berhubung tanpa perbuatannya tidak mungkin tindak pidana itu terselesaikan (Moch. Anwar,
1982 : 1).
Sedangkan menurut Sugandhi, pengertian “secara bersama-sama” dalam Pasal 55
KUHP ini diartikan sebagai “orang yang turut melakukan”, jadi dalam tindak pidana ini
pelakunya paling sedikit harus ada 2 orang, yakni yang melakukan dan yang turut melakukan.
(Sugandhi, 1980 : 70).
Lebih lanjut Sugandhi mengatakan, pengertian “secara bersama-sama” adalah dilakukan
oleh dua orang atau lebih bersama-sama. Orang yang hanya mengikuti dan tidak turut melakukan
kekerasan, tidak dapat dituntut dengan pasal ini. (Sugandhi, 1980 : 190).
C. Pertanggungjawaban Dalam Tindak Pidana
1. Pengertian Pertanggung jawaban Pidana
Pengertian perbuatan pidana telah diajukan bahwa dalam istilah tersebut tidak
termasuk pertanggungan jawab. Perbuatan pidana hanya menunjuk kepada dilarang dan
diancamnya perbuatan dengan suatu pidana. Apakah orang yang melakukan perbuatan
kemudian juga dijatuhi pidana, sebagaimana telah diancamkan, ini tergantung dari soal apakah
dalam melakukan perbuatan ini dia mempunyai kesalahan. Sebab menurut Moeljatno dikatakan
bahwa azas dalam pertanggunganan jawab dalam hukum pidana ialah tidak dipidana jika tidak
ada kesalahan (geen straf zonder schuld; Actus non facit reum nisi mens sit rea). Azas ini tidak
tersebut dalam hukum tertulis tapi dalam hukum yang tak tertulis yang juga di Indonesia
berlaku Hukum pidana fiscal tidak memakai kesalahan. Di sana kalau orang telah melanggar
ketentuan, dia diberi pidana denda atau rampas. (Moeljatno, 1982 : 104).
Lebih lanjut Moeljatno mengatakan :
Pertanggungan jawab tanpa adanya kesalahan dari fihak yang melanggar, dinamakan
leer van het materiele feit (feit materielle). Dahulu dijalankan atas pelanggaran tapi
sejak adanya arrest susu dari H.R. 1916 Nederland, hal itu ditiadakan. Juga bagi delik-
delik jenis overtredingen, berlaku azas tanpa kesalahan, tak mungkin dipidana.
(Moeljatno, 1982 : 104).
Sedangkan Roeslan Saleh berpendapat :
a. Dalam pengertian perbuatan pidana tidak termasuk hal pertanggungjawaban.
Perbuatan pidana hanya menunjuk kepada dilarangnya perbuatan. Apakah orang
yang telah melakukan perbuatan itu kemudian juga dipidana, tergantung pada soal,
apakah dia dalam melakukan perbuatan itu mempunyai kesalahan atau tidak.
Apabila orang yang melakukan perbuatan pidana itu memang mempunyai
kesalahan, maka tentu dia akan dipidana. Tetapi, manakala dia tidak mempunyai
kesalahan, walaupun dia telah melakukan perbuatan yang terlarang dan tercela, dia
tentu tidak dipidana. Asas yang tidak tertulis “tidak dipidana jika tidak ada
kesalahan”, merupakan dasar daripada dipidananya si pembuat.
b. Jadi perbuatan yang tercela oleh masyarakat itu dipertanggung jawabkan pada si
pembuatnya. Artinya celaan yang obyektif terhadap perbuatan itu kemudian
diteruskan kepada si terdakwa. Menjadi soal selanjutnya, apakah si terdakwa juga
dicela dengan dilakukannya perbuatan itu. Kenapa perbuatan yang secara objektif
tercela itu, secara subyektif dipertanggung jawabkan kepadanya, adalah karena
musabab dari pada perbuatan itu adalah diri daripada si pembuatnya.(Roeslan
Saleh, 1983 : 75).
Sebagai ikhtiar dapat dikatakan bahwa hal yang pertama, yaitu mengenai keadaan
bathin dari orang yang melakukan perbuatan, dalam ilmu hukum pidana merupakan soal yang
lazim disebut masalah kemampuan bertanggungjawab, hal yang kedua, yaitu mengenai
hubungan antara bathin itu dengan perbuatna yang dilakukan, merupakan masalah kesengajaan,
kealpaan serta alas an pemaaf, sehingga mampu bertanggungjawab mempunyai kesengajaan
atau kealpaan serta tidak adanya alasan merupakan kesatuan yang tidak dapat dipisah-pisahkan.
Yang satu bergantung pada yang lain, dalam arti, demikianlah urutan-urutan dan yang disebut
kemudian bergantung pada yang disebutkan terlebih dahulu. Konkritnya tidaklah mungkin
dapat dipikirkan tentang adanya kesengajaan ataupun kealpaan, apabila orang itu tidak mampu
bertanggung jawab. Begitu pula tidak dapat dipikirkan mengenai alasan pemaaf, apabila orang
tidak mampu bertanggungjawab, dan tidak pula adanya kesengajaan atau kealpaan. (Roeslan
Saleh, 1983 : 1987).
Sedangkan berkaitan dengan sifat kesalahan dan dapat dipidananya pembuat,
Bambang Poernomo berpendapat :
Apabila ditinjau dari ukuran strafbaar feit yang tradisional/yang panjang, dapat
dikatakan bawha perbuatan pidana itu terletak pada lapangan yang obyektif karena
menunjuk pada sifat kelakuan yang melanggar larangan dengan ancaman pidana tanpa
adanya sebab-sebab yang menjadi alasan penghapus sifat melawan hukumnya
perbuatan, sedangkan kesalahan terletak pada lapangan subyektif yang menunjuk pada
sikap batin orang yang berupa kemampuan bertanggung jawab, umur tertentu,
sengaja/alpa, tidak ada sebab-sebab yang menjadi alasan penghapus kesalahan.
(Bambang Poernomo, 1982 : 187).
Lebih lanjut Bambang Poernomo mengatakan, tentu benar akan pemikiran bahwa
meskipun perbuatan pidana terletak di lapangan yang obyektif, namun akan terdapat susunan
perumusan delik yang meskipun jumlahnya terlalu sedikit adanya. dapat dinyatakan di situ
tentang unsur obyektif, yang disubyektifkan yaitu mengenai kelakuan yang bertentangan
dengan hukum itu masih harus ditentukan secara subyektif pada diri terdakwa, yang terkenal
dengan ajaran subyectief onrechtselement seperti unsur perbuatan pidana yang terkandung di
dalam pasal 362, 378, 382, 339 KUHP dengan mempergunakan istilah “dengan maksud…..”.
Sebaliknya kesalahan yang terletak dalam lapangan subyektif, di situ akan terdapat rumusan
kesalahan dengan unsur subyektif yang diobyektifkan yaitu memperluas unsur kesengajaan atau
kealpaan menjadi unsur yang diketahui atau seharusnya menduga, yang dengan perkataan lain
bahwa terdakwa melakukan kesalahan dengan kurang hati-hati (onvoorzichtigheid) seperti
tercantum di dalam pasal-pasal 287, 290 KUHP yang melakukan hubungan kelamin atau cabul
dengan kurang berhati-hati karena ternyata wanita yang diajak masih di bawah umur.
(Bambang Poernomo, 1982 : 187).
Sedangkan pengertian pertanggung jawaban pidana menurut Andi Hamzah, dikatakan
:
Pengertian pertanggungan jawab dalam hukum pidana, yang dinamakan criminal
liability atau responsibility, adalah merupakan kelanjutan dari pengertian perbuatan
pidana. Jika orang telah melakukan perbuatan pidana, belum tentu dapat dijatuhi
pidana, sebab masih harus dilihat pula apakah orang tersebut dapat dipersalahkan atas
perbuatan yang telah dilakukannya sehingga orang tersebut dapat
dipertanggungjawabkan dalam hukum pidana. Dengan demikian bahwa orang yang
telah melakukan perbuatan pidana tanpa adanya kesalahan, maka orang tersebut tidak
tidak dapat dipidana, sesuai dengna asas hukum yang tidak tertulis, asas geen straf
zonder schuld, yang artinya tidak ada pidana jika tidak ada kesalahan. (Andi Hamzah,
1984 : 76-77).
Dari pendapat para sarjana tersebut tentang pengertian pertanggungjawaban pidana,
maka dapat disimpulkan yaitu : ataukah si perbuatannya juga dicela, ataukah si pembuatnya
tidak dicela. Dalam hal yang pertama, maka si pembuatanya tentu dipidana, sedangkan dalam
hal yang kedua si pembuat tentu tidak dipidana. Dengan demikian nyatalah bahwa hal dipidana
atau tidaknya si pembuat bukanlah bergantung pada apakah ada perbuatan pidana atau tidak,
melainkan pada apakah siterdakwa tercela atau tidak karena telah melakukan perbuatna pidana
itu. Karena itulah maka juga dikatakan bahwa dasar daripada adanya perbuatn pidana adalah
asas legaliteit, yaitu asa yang menentukan bahwa sesuatu perbuatan adalah terlarang adan
diancam dengan pidana barangsiapa yang melakukannya, sedangkan dasar daripada
dipidananya sipembuat adalah asas tidak dipidana jika tidak ada kesalahan. (Roeslan Saleh,
1983 : 76).
Sependapat dengan Roeslan Saleh tersebut, Moeljatno mengatakan : orang tidak
mungkin dipertanggungjawabkan (dijatuhi pidana) kalau dia tidak melakukan perbuatan pidana.
Tapi meskipun melakukan perbuatan pidana, tidak selalu dia dapat dipidana. (Moeljatno, 1982
: 105).
2. Teori Pertangungjawaban Dalam Hukum Pidana
Pertanggungjawaban pidana memiliki hubungan yang erat dengan penentuan subjek
hokum pidana. Istilah subjek hokum sendiri memiliki arti yang luas dan tidak terbatas pada
orang (naturlijk persoon) saja, karena massih ada subjek hokum lain yang menurut hokum
dapat meiliki hak dan kewajiban, sehingga dapat melakukan perbuatan-perbuatan hokum,
seperti halnya orang mempunyai kekayaan sendiri dan dengan perantara dapat digugat dan
menggugat di muka siding perngadilan. Subjek hokum yang dimaksud adalah badan hokum
(recht persoon), artinya orang-orang yang diciptakan oleh hokum.
Konsep pertanggungjawaban dalam hokum pidana mengalami perkembangan sejak
diakuinya korporasi sebgai subjek hokum pidana, maka konsep pertanggungjawaban pidanapun
harus disiptakan agar korporasi dapat dijatuhi pidana ketika korporasi melakukan tindak pidana.
Menurut Mahrus Ali, secara teoritis ada tiga teori atau system pertanggungjawaban
pidana pada subjek hokum korporasi, yaitu :
a. Teori idenetitication
Di Negara-negara Anglo Saxon seprti di Inggris dikenal konsep direct corporate
criminal responsibility atau pertanggungjawaban korporasi secara penuh. Menurut
doktrin ini, korporasi dapat melakukan sejumlah delik secara langsung melalui
orang-orang yang sangat berhubungan erat dengan korporasi dan dipandang sebagai
korporasi itu sendiri. Dalam keadaan demikian, mereka tidak sebagai pengganti dan
oleh karena itu, pertanggungjawaban korporasi tidak bersifat pertanggungjawaban
pribadi. Teori ini dikenal dengan nama teori identifikasi.
b. Teori strict liability
Teori ini pertanggungjawaban pidana yang dilakukan oleh subjek hokum tidak
mensyaraztkan adanya kesalahan pada diri pelaku terhadap satu atau lebih perbuatan
(actus reus). Strict liability merupakan pertanggungjawaban tanpa kesalahan
(liability without fault), yang dalam hal ini si pelaku tindak pidana sudah dapat
dipidana jika telah melakukan perbuatan yang dilarang dalam rumusan undang-
undang, tanpa perlu melihat lebih jauh sikap batin sipelaku.
c. Teori vicarious liability
Teori ini dikenal dengan teori vicarious liability, yaitu the legal responsibility of one
person for wrong ful acts and another as for ecample, when the act are down within
scope of employment (suatu konsep pertanggungjawaban seseorang atas kesalahan
yang dilakukan yang masih berada dalam lingkup pekerjaannya).
Menurut Hendry Black teori ini diartikan sebagai indirect legal responsilitily, the
liability of an employer for the acts of an employe, of a principle for torts and
contract oa an agent (pertanggungjawaban hokum secara tidak langsung,
pertanggungjawaban majikan atas tindakan dari pekerja, atau pertanggungjawaban
principal terhadap tindakan agen dalam suatu kontrak.
Teori vicarious liability terdapat dua syarat penting yang harus terpenuhi mengenai
perbuatan salah yang dilakukan orang lain terdasarkan teori ini, yaitu :
1. Harus terdapat suatu hubungan, seperti hubungan pekerjaan antara majikan
dengan pekerja.
2. Perbuatan pidana yang dilakukan oleh pekerja tersebut harus berkaitan atau masih
dalam ruang lingkup pekerjaannya.
Pertanggungjawaban pidana dibebankan kepada atasan (direktur) atas dasar
pertanggungjawaban pengganti (vicarious liability) dimaksudkan untuk mencegah
atau paling tidak meminimalisir tindak pidana yang dilakukan oleh korporasi melalui
pengurusnya. (Mahrus Ali, 2011 : 160-168).
D. Pidana dan Pemidanaan
1. Istilah Pidana dan Pemidanaan
Pemahaman mengenai tujuan dari suatu pemidanaan yang dianut orang dewasa ini,
sebenarnya bukan merupakan suatu pemikiran yang baru, melainkan sedikit atau banyak telah
mendapat pengaruh dari para penulis abad yang lalu, yang telah mengeluarkan pendapat mereka
tentang dasar pembenaran atau rechtvaardigings ground dari suatu pemidanaan, baik yang
melihat pemidanaan semata-mata sebagai pemidanaan saja, maupun yang mengkaitkan dengan
pemidanaan dengan tujuan atau dengan tujuan-tujuan yang ingin dicapai dengan pemidanaannya
itu sendiri. (Hamzah dan Rahayu, 1983: 21).
Di dalam menjatuhkan hukuman atau pidana pemerintah selalu dihadapkan pada suatu
paradoxialitas. Mengenai paradoxialitet itu, Utrecht sebagaimana dikutip oleh Bawengan yang
menyatakan :
"Pemerintah Negara harus menjamin kemerdekaan individu, menjaga supaya pribadi
manusia (menselijke warrdigheid, persoonlijkheid) tidak disinggung dan tetap dihormati.
Tetapi kadang-kadang sebaliknya, Pemerintah Negara menjatuhkan hukuman, dan karena
menjatuhkan hukuman itu maka pribadi manusia tersebut oleh Pemerintah Negara sendiri
diserang, misalnya, yang bersangkutan dipenjarakan. Jadi pada satu pihak Pemerintah
Negara membela dan melindungi pribadi manusia terhadap siapapun juga, sedangkan
pada pihak lain Pemerintah Negara menyerang pribadi manusia yang hendak dilindungi
dan dibela itu. Paradoxialitet ini hendak dilindungi dan dibela itu. Paradoxialitet ini oleh
Franz von Liszt dilukiskan sebagai "Rechtsguterschutz durch Rechtsguterverletzung"
(melindungi hak, kepentingan dan sebagainya dengan menyerang, memperkosa hak,
kepentingan, dan sebagainya).(Bawengan, 1973: 59 - 60).
Karena adanya paradoxialitet inilah orang berusaha untuk menunjukkan, alasan apakah
yang dapat dipakai untuk membenarkan pemidanaan. Dari alasan-alasan tentang dasar pembenar
dari suatu pemidanaan itulah lalu timbul teori-teori tentang tujuan pemidanaan. Kedua teori ini --
dasar pembenar tujuan pemidanaan sangat berkaitan, yang sering hanya disebut dengan teori-
teori pemidanaan (straftheorieen).
Menurut Barda Nawawi Arief, teori-teori pemidanaan pada umumnya dapat dibagi dalam
tiga kelompok teori, yaitu :
1. Teori Absolut atau teori pembalasan (retributive / vergelding theorieen)
2. Teori relatif atau teori tujuan (utilitarian / doeltheorieen)
3. Teori gabungan (verenigingstheorieen)
ad. 1. Teori Absolut
Menurut teori ini pidana dijatuhkan semata-mata karena orang telah melakukan suatu
kejahatan atau tindak pidana (quia peccatumest). Pidana merupakan akibat mutlak yang harus
ada sebagai suatu pembalasan kepada orang yang melakukan kejahatan. Jadi dasar pembenaran
dari pidana terletak pada adanya atau terjadinya kejahatan itu sendiri.
Menurut Andenaes tujuan utama (primair) dari pidana menurut teori absolut ialah
"untuk memuaskan tuntutan keadilan" (to satisfy the claims of justice); sedangkan pengaruh-
pengaruhnya yang menguntungkan adalah sekunder. (Barda Nawawi Arief, 1992: 14).
Tuntutan keadilan yang sifatnya abolut ini terlihat dengan jelas dalam pendapat Kant
di dalam bukunya "Philosophy of Law" sebagaimana dikutip Muladi mengatakan :
"…pidana tidak pernah dilaksanakan semata-mata sebagai sarana untuk
mempromosikan tujuan/kebaikan lain, baik bagi si pelaku itu sendiri maupun bagi
masyarakat, tetapi dalam semua hal harus dikenakan hanya karena orang yang
bersangkutan telah melakukan suatu kejahatan.
Bahkan walaupun seluruh anggota masyarakat sepakat untuk menghancurkan dirinya
sendiri (membubarkan masyarakatnya) pembunuh terakhir yang masih berada di dalam
penjara harus dipidana mati sebelum resolusi/keputusan pembubaran masyarakat itu
dilaksanakan. Hal ini harus dilakukan karena setiap orang seharusnya menerima
ganjaran dari perbuatannya, dan perasaan balas dendam tidak boleh tetap ada pada
anggota masyarakat, karena apabila tidak demikian mereka semua dapat dipandang
sebagai orang yang ikut ambil bagian dalam pembunuhan itu yang merupakan
pelanggaran terhadap keadilan umum". (Barda Nawawi Arief, 1992: 11).
Dengan demikian menurut Kant, pidana merupakan suatu tuntutan kesusilaan.
Kant memandang pidana sebagai "Kategorische imperatief" yakni : seseorang harus
dipidana oleh hakim karena ia telah melakukan kejahatan, Pidana bukan merupakan suatu
alat untuk mencapai suatu tujuan, melainkan mencerminkan keadilan (uitdrukking van de
gerechtigheid). (Barda Nawawi Arief Arief, 1992: 19)
Salah seorang tokoh lain dari penganut teori absolut yang terkenal ialah Hegel
yang berpendapat bahwa pidana merupakan keharusan logis sebagai konsekuensi dari
adanya kejahatan. Karena kejahatan adalah pengingkaran terhadap ketertiban hukum
negara yang merupakan perwujuan dari cita-susila, maka pidana merupakan "Negation
der Negation" (peniadaan atau pengingkaran terhadap pengingkaran). (Barda Nawawi
Arief, 1992: 12).
Kedua pendapat kedua sarjana tersebut di atas yaitu Kant dan Hegel, mendasarkan
pada "the philosophy of vengeance" atau filsafat pembalasan di dalam mencari dasar
pembenar dari pemidanaan. (Lamintang, 1986: 14).
Pengaruh filsafat pembalasan seperti diuraikan di atas pada hakikatnya tidak saja
nampak pada abad-abad yang lampau, melainkan juga sampai pada abad sekarang ini,
walaupun dengan menggunakan cara dan keterangan yang berbeda-beda.
Seorang sarjana "pembaharu" ajaran absolut, yang menurut Utrecht disebut
sebagai pemberi baju baru kepada suatu teori hukuman yang sudah tua sekali, ialah Leo
Polak.
Oleh Polak dikatakan bahwa kesamaan antara sesama manusia membawa akibat
bahwa kebahagiaan dan penderitaan harus dibagi antara mereka secara nyata.
(Barda Nawawi Arief, 1992: 14).
Tiap-tiap kejahatan mengganggu usaha pembagian ini. Penderitaan hipotetis
(hypothetisch leed) yang dialami oleh tiap-tiap penduduk yang menghormati hukum
dituangkan menjadi pidana maksimum yang diancamkan terhadap suatu kejahatan.
Selanjutnya menurut Polak, keuntungan yang semula diperoleh seseorang penjahat
harus diobyektifkan, karena itulah teorinya disebut "teori yang mengobyektifkan"
(obyechtiverings theorie). (Barda Nawawi 1992: 14).
Dari pendapat beberapa tokoh aliran absolut --kaum retributivest-- yang pada
intinya mengatakan pidana mengandung nilai moral, yang bebas dari akibat lain
yang diharapkan lebih lanjut. Cateris paribus, dunia akan menjadi baik, bilamana
nilai-nilai moral dilindungi dengan memberikan penderitaan atas penjahat. Hal ini
kadang-kadang menyebabkan pandangan retributif ini dikategorikan sebagai teori
pembalasan dendan (the vindictive theory of punishment). (Muladi, 1985: 50).
Menurut Walker, penganut teori retributif ini dapat dibagi dalam beberapa
golongan, yaitu :
1. Penganut teori retributif yang murni (the pure retributivest) yang berpendapat
bahwa pidana harus cocok atau sepadan dengan kesalahan si pembuat.
2. Penganut teori retributif tidak murni (dengan modifikasi) yang dapat pula
dibagi dalam :
a. Penganut teori retributif yang terbatas (the limiting retributivist) yang
berpendapat "pidana tidak harus cocok/sepadan dengan kesalahan, hanya
saja tidak boleh melebihi batas yang cocok/sepadan dengan kesalahan
terdakwa.
b. Penganut teori retributif yang distributif (retribution in distribution),
disingkat dengan sebutan teori "distributive" yang berpendapat bahwa,
pidana janganlah dikenakan pada orang yang tidak bersalah, tetapi pidana
juga tidak harus cocok/sepadan dan dibatasi oleh kesalahan. Prinsip "tiada
pidana tanpa kesalahan" dihormati, tetapi dimungkinkan adanya
pengecualian misalnya dalam hal "strict liability". (Barda Nawawi Arief,
1992: 12 - 13).
Selanjutnya dijelaskan oleh Walker (dalam Arief, 1992), bahwa hnaya golongan
pertama sajalah (the pure retributivist) yang mengemukakan alasan-alasan atau dasar
pembenaran untuk pengenaan pidana. Oleh karena itu golongan ini dapat disebut
golongan "Punishers" (penganut aliran/teori pemidahaan).
Sedangkan penganut golongan 2a dan 2b di atas, menurut Walker (dalam Barda
Nawawi Arief, 1992), tidak mengajukan alasan-alasan untuk pengenaan pidana, tetapi
mengajukan prinsip-prinsip untuk pembatasan pidana. Oleh karena itu kedua golongan ini
lebih dekat dengan paham yang non-retributive. (Barda Nawawi Arief, 1992 : 12).
Teori retribution ini menurut Kaplan dibedakan lagi menjadi dua teori, yaitu :
1. teori pembalasan (the revengetheory), dan
2. teori penebusan dosa (the expiation theory). (Barda Nawawi Arief, 1992: 12).
Sedangkan menurut Kaplan, kedua teori ini sebenarnya tidak berbeda tergantung dari
cara orang berpikir pada waktu menjatuhkan pidana; yaitu apakah pidana itu dijatuhkan
karena kita menghutangkan sesuatu kepadanya atau karena ia berhutang sesuatu kepada kita.
Pembalasan mengandung arti bahwa hutang si penjahat "telah dibayarkan kembali" (the
criminal is paid back); sedangkan penebusan mengandung arti bahwa si penjahat "membayar
kembali hutangnya (the criminal pays back). (Barda Nawawi Arief, 1992: 13).
Menurut Sudarto, sebenarnya sekarang sudah tidak ada lagi penganut ajaran
pembalasan yang klasik, dalam arti bahwa pidana merupakan suatu keharusan demi
keadilan belaka. Kalau masih ada penganut teori pembalasan, mereka itu dikatakan
sebagai penganut teori pembalasan yang modern, misalnya van Bemmelen, Pompe dan
Enschede. Pembalasan di sini bukanlah sebagai tujuan sendiri, melainkan sebagai
pembatasan dalam arti harus ada keseimbangan antara perbuatan dan pidana; maka
dapat dikatakan ada azas pembalasan yang negatif. Hakim hanya menetapkan batas-
batas dari piana; pidana tidak boleh melampaui batas dari kesalahan si pembuat. Van
Bemmelen menyatakan bahwa untuk hukum pidana pada dewasa ini, maka
pencegahan main hakim sendiri (vermijding van eigenrichting) tetap merupakan fungsi
yang penting sekali dalam penerapan hukum pidana yakni memenuhi keinginan akan
pembalasan (tegemoetkoming aan de vergeldings behoefte). Hanya saja penderitaan
yang diakibatkan oleh pidana harus dibatasi dalam batas-batas yang paling sempit dan
pidana harus menyumbang pada proses penyesuaian kembali terhukum pada
kehidupan masyarakat sehari-hari (prevensi special) dan di samping itu beratnya
pidana tidak boleh melebihi kesalahan terdakwa, bahkan tidak dengan alasan-alasan
prevensi general apapun. Pompe yang seumur hidupnya berpegang pada teori
pembalasan menganggap pembalasan ini dalam arti positif dan konstruktif dan bukan
dalam arti tak ada manfaatnya seperti dalam pandangan mereka yang anti pembalasan,
CHR. J. Enschede menganggap pembalasan sebagai batas atas pidana dan pemidanaan
(bovengrens) dari beratnya pidana. Hanya saja dia berpendapat bahwa tidak perlu
pembalasan itu merupakan suatu tuntutan dan beratnya tindakan penguasa dalam
lingkungan kebebasan individu ditentukan oleh tuntutan kemanfaatan di dalam batas-
batas pembalasan. (Muladi, 1984: 14 - 15).
Berkaitan dengan teori absolut (retribution), Cristiansen memberikan karakteristik
teori ini sebagai berikut :
a. tujuan pidana adalah semata-mata untuk pembalasan;
b. pembalasan adalah tujuan utama dan di dalamnya tidak mengandung sarana-sarana
untuk tujuan lain misalnya untuk kesejahteraan masyarakat;
c. kesalahan merupakan satu-satunya syarat untuk adanya pidana;
d. pidana harus disesuaikan dengan kesalahan si pelanggar;
e. pidana melihat kebelakang; ia merupakan pencelaan yang murni dan tujuannya
tidak untuk memperbaiki mendidik atau memasyarakatkan kembali si pelanggar.
(Muladi & Arief, 1992 : 16-17).
ad. 2. Teori Relatif atau Teori Tujuan
Teori relatif berusaha mencari dasar pembenaran dari suatu pidana, semata-mata
pada suatu tujuan tertentu. Para penganjur teori relatif ini tidak melihat pidana itu sebagai
pembalasan, dan karena itu tidak mengakui bahwa pemidanaan itu sendirilah yang
menjadi tujuan pemidanaan, melainkan pemidanaan itu adalah suatu cara untuk mencapai
tujuan yang lain dari pada pemidanaan itu sendiri.
Pemidanaan dengan demikian mempunyai tujuan, oleh karena itu teori inipun
sering juga disebut teori tujuan (utilitarian theory). Dasar pembenar adanya pidana
menurut teori ini adalah terletak pada tujuannya. Pidana dijatuhkan bukan "quia peccatum
est" (karena orang berbuat kejahatan) melainkan "ne peccetur" (supaya orang jangan
melakukan kejahatan). (Barda Nawawi Arief, 1992: 16).
Selanjutnya dikatakan : mengenai teori relatif ini Andenaes dapat disebut sebagai
teori perlindungan masyarakat (the theory of social defence) karena salah satu tujuannya
adalah melindungi kepentingan masyarakat. Menurut Walker teori ini lebih tepat disebut
teori atau aliran reductive (the reductive poin of review) karena dasar pembenaran pidana
adalah untuk mengurangi frekuensi kejahatan. Oleh karena itu penganut teori ini disebut
"Reducers". (Barda Nawawi Arief, 1992: 14)
Berdasarkan tujuan yang hendak dicapai dari pemidanaannya, maka teori relatif
atau teori tujuan ini masih dapat dibagi lagi menjadi dua yaitu :
a. Teori pencegahan umum (algemene preventie theorieen).
b. Teori pencegahan khusus (bijzondere preventie theorieen). (Barda Nawawi
Arief, 1992: 12).
ad. a. Teori-teori Pencegahan Umum
Dari teori ini, tujuan pemidanaan adalah ingin membuat jera setiap orang
agar mereka itu tidak melakukan kejahatan. Dengan perkataan lain pencegahan
kejahatan itu ingin dicapai oleh pidana dengan mempengaruhi tingkah laku
anggota masyarakat pada umumnya untuk tidak melakukan tindak pidana.
Mendasarkan pada apa yang dikemukakan Andenaes maka, Veen
berpendapat bahwa ada tiga fungsi pengaruh dalam pengertian "general
prevention", yaitu :
a. Menegakkan kewibawaan (gezagshandhaving);
b. Menegakkan norma (normhandhaving);
c. Membentuk norma (normvorming). (Muladi, 1985: 19).
Termasuk dalam pengertian teori-teori pencegahan umum, yaitu apa yang
disebut :
1. Afschrikkingstheorieen atau teori-teori membuat orang jera, yang bertujuan
untuk membuat jera warga masyarakat agar mereka itu tidak melakukan
kejahatan-kejahatan.
2. De leer van de psychologische dwang atau ajaran mengenai pemaksaan secara
psikologis yang telah diperkenalkan oleh Anselm von Feurbach. (Bawengan,
1973: 45).
Berkaitan dengan teori relatif (utilitarian theory) Christiansen mengemukakan
secara terperinci ciri-ciri pokok atau karakteristik dari aliran itu sebagai berikut :
a. tujuan pidana adalah pencegahan (prevention);
b. pencegahan bukan tujuan akhir tetapi hanya sebagai sarana untuk mencapai
tujuan yang lebih tinggi yaitu kesejahteraan masyarakat;
c. hanya pelanggaran-pelanggaran hukum yang dapat dipersalahkan kepada si
pelaku saja (misal karena sengaja atau culpa) yang memenuhi syarat untuk
adanya pidana;
d. pidana harus ditetapkan berdasar tujuannya sebagai alat untuk pencegahan
kejahatan;
e. pidana melihat ke muka (bersifat prospektif); pidana dapat mengandung unsur
pencelaan, tetapi baik untuk pencelaan maupun unsur pembalasan tidak dapat
diterima apabila tidak membantu pencegahan kejahatan untuk kepentingan
kesejahteraan masyarakat (Barda Nawawi Arief, 1992: 17).
ad. 2. Teori Pencegahan Khusus
Dengan prevensi spesial dimaksudkan pengaruh pidana terhadap terpidana. Jadi
pencegahan kejahatan itu ingin dicapai oleh pidana dengan mempengaruhi tingkah
laku si terpidana untuk tidak melakukan tindak pidana lagi. Ini berarti pidana
bertujuan agar si terpidana itu berubah menjadi orang yang lebih baik dan berguna
bagi masyarakat. Teori tujuan pidana serupa ini dikenal dengan sebutan
reformation atau rehabilitation Theory.
Dengan prevensi general dimaksudkan pengaruh pidana terhadap
masyarakat pada umumnya. Artinya pencegahan kejahatan itu ingin dicapai oleh
pidana dengan mempengaruhi tingkah laku anggota masyarakat pada umumnya
untuk tidak melakukan tindak pidana.
ad. 3. Teori Gabungan
Di samping pembagian secara tradisional teori-teori pemidanaan seperti
dikemukakan di atas, yakni teori absolut dan teori relatif, ada teori ketiga yang
disebut teori gabungan (verenigingstheorieen). Pelopor teori ini adalah Rossi
(1787 - 1884). Teori Rossi disebut teori gabungan karena sekalipun ia tetap
menganggap pembalasan sebagai asas dari pidana dan bahwa beratnya pidana
tidak boleh melampaui suatu pembalasan yang adil, namun dia berpendirian
bahwa pidana mempunyai pelbagai pengaruh antara lain perbaikan sesuatu yang
rusak dalam masyarakat dan prevensi general. (Muladi, 1985: 47).
Teori tersebut di atas nampaknya mempunyai kecenderungan yang sama dengan
apa yang dikatakan oleh Muladi sebagai "retributivisme teleologis" atau aliran integratif.
Menurut pandangan ini maka tujuan pemidanaan bersifat plural, karena menghubungkan
prinsip-prinsip teleologis, misalnya "ulititarianism" dan prinsip-prinsip "retributivist" di
dalam satu kesatuan, sehingga seringkali pandangan ini disebut sebagai aliran integratif.
(Muladi, 1985: 51).
Aliran ini menganjurkan kemungkinan untuk mengadakan artikulasi terhadap teori
pemidanaan yang mengintegrasikan beberapa fungsi sekaligus: "retribution" dan bersifat
"utilitarian" misalnya pencegahan dan rehabilitas yang kesemuanya dilihat sebagai sarana-
sarana yang harus dicapai oleh suatu rencana pemidanaan. Pidana dan pemidanaan terdiri
dari proses kegiatan terhadap pelaku tindak pidana yang dengan satu cara tertentu
diharapkan untuk dapat mengasimilasikan kembali narapidana dalam masyarakat. (Muladi,
1985: 52).
Teori integratif ini nampaknya telah memperluas tujuan pemidanaan yang
menfokuskan pada perbaikan narapidana sebagai pelaku kejahatan / tindak pidana di
samping sebagai tujuan awalnya adalah prevensi general.
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Metode Penelitian
1. Metode Pendekatan
Metode pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan yuridis normatif
atau legal research yaitu pendekatan yang menggunakan konsepsi legistis positifis. Konsepsi
ini memandang bahwa hukum identik dengan norma-norma tertulis yang dibuat dan
diundangkan oleh lembaga atau pejabat negara yang berwenang. Selain itu konsepsi ini juga
memandang hukum sebagai suatu sistem normatatif yang bersifat otonom; terhadap dan
terlepas dari kehidupan masyarakat (Ronny Hanitijo Soemitro, 1990: 13).
2. Spesifikasi Penelitian
Spesifikasi penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian hokum
normative, penelitian normative yaitu penelitian yang dilakukan untuk mendapatkan data
sekunder dan bahan-bahan yang berhubungan dengan penelitian yang diperoleh dari berbagai
sumber dengan melakukan pengumpulan data-data tertulis. (Ronny Hanitijo Soemitro, 1990:
13-14), yang berhubungan dengan pertanggungjawaban pidana pelaku tindak pidana yang
dilakukan secara bersama-sama dengan direncanakan.
3. Lokasi Penelitian
Penelitian dilakukan di Pengadilan Negeri Cilacap
4. Sumber Data
Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini data sekunder. Data sekunder dalam
penelitian diambil dari peraturan perundang-undangan, literatur, dokumen, serta Putusan
Pengadilan Negeri Cilacap No.81/Pid.B/2010/PN.Pwt.
B. Metode Pengumpulan Data
Dalam penelitian ini cara memperoleh data sekunder yaitu dengan mempelajari peraturan
perundang-undangan, buku-buku, literatur, dokumen dan arsip atau hasil penelitian terdahulu
yang berkaitan dengan obyek atau materi penelitian dan putusan Pengadilan Negeri Cilacap No.
81/Pid.B/2010/PN.Clp.
C. Metode Penyajian Data
Data yang diperoleh akan disajikan dalam bentuk uraian yang disusun secara sistimatis.
D. Metode Analisis Data
Data yang diperoleh dianalisis dengan metode normative-kualitatif, yaitu dengan menjabarkan
dan menafsirkan data berdasarkan noma-norma, teori dan doktrin hukum pidana. (Ronny
Hanitijo Soemitro, 1988 : 51).
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Hasil Penelitian
Pada penelitian yang dilaksanakan di Pengadilan Negeri Cilacap pada putusan Perkara Nomor
: 81/Pid.B/2010/PN.Clp, mengenai pertanggungjawaban pidana terhadap pelaku tindak pidana
pembunuhan berencana serta pertimbangan hakim dalam menjatuhkan pidana, diperoleh data sebagai
berikut :
1. Duduk Perkara
Bahwa mereka para terdakwa Wastar alias Madsulhan bin Madiswan dan Samirno alias
Madmukti bin Kartamiharja baik secara sendiri-sendiri maupun bersama-sama dengan Wartam
alias Wahyono bin Kartamiharja dan Dudung bin Enceng (disidangkan dalam berkas perkara lain)
dan Sahidin (belum tertangkap) pada hari Senin tanggal 17 Desember 2009 sekitar jam 22.00 WIB
atau setidak-tidaknya pada suatu waktu lain yang tertentu akan tetapi masih termasuk dalam bulan
Desember 2009, bertempat didesa Surusunda, Kecamatan Karangpucung, Kabupaten Cilacap atau
setidak-tidaknya pada suatu tempat lain yang tertentu akan tetapi masih ternasuk dalam daerah
Hukum Pengadilan Negeri Cilacap- turut melakukan perbuatan dengan sengaja dan dengan
direncanakan lebih dahulu menghilangkan jiwa orang lain, perbuatan mana dilakukan oleh para
terdakwa dengan cara :
Korban bernama Madyusron telah lama dimusuhi oleh terdakwa Wastar alias Madsulhan
karena korban dianggap sebagai dukun santet yang telah menguna-gunai mertua, isteri serta saksi
sendiri atas kesepakatan berdasarkan pengakuan korban sendiri didepan pamong setempat,
diputuskan korban harus pergi meninggalkan rumah tempat tinggalnya di dusun Cibungur Desa
Mandala Kecamatan Cimanggu untuk tinggal menyendiri disebuah gubug kebun singkong milik
korban dengan jarak kurang lebih sejauh dua kilo meter dari kampung tersebut.
Pada hari Senin tanggal 17 Desember 2009 sekitar jam 18.00 WIB terdakwa Wastar alias
Madsulhan datang menemui saksi Wartam alias Wahyono dirumahnya dengan mengutarakan
maksudnya untuk bersama-sama menghabisi nyawa korban Madyusron digubugnya ajakan
tersebut disepakati oleh saksi kemudian saksi berangkat menuju kerumah terdakwa Wastar alias
Madsulhan pada saat itu saksi disuruh berangkat terlebih dahulu oleh terdakwa Wastar alias
Madsulhan dan menunggu disebuah kebun kelapa sambil membawa linggis milik terdakwa,
kemudian terdakwa Wastar alias Madsulhan mengajak pula saksi Dudung yang sedang berada
dirumahnya bersama dengan terdakwa Samirno alias Madmukti dan Sahidin , mereka berlima
kemudian berangkat menuju kegubug tempat tinggal korban dengan membawa peralatan tambang
plastik, golok dan sebuah senter ketika melewati Cikondang masing-masing mengambil sebuah
batu kali seukuran kepalan tangan yang akan digunakan untuk melempari korban, selanjutnya
ketika sampai dikebun milik terdakwa Wastar alias Madsulhan mengambil juga sebuah cangkul
untuk menggali tanah.
Ketika mereka sampai ditempat yang dituju pada saat itu korban sedang berada didalam
gubug, lalu terdakwa Wastar alias Madsulhan menyorotkan lampu senter kearah korban yang
sedang berdiri selanjutnya secara bersama-sama mereka melempari tubuh korban dengan batu –
batu yang masing-masing telah dibawanya sehingga korban jatuh roboh ketanah, pada saat itu
saksi Wartam Alias Wahyono memukul leher korban dengan menggunakan linggis sebanyak 3
kali selanjutnya terdakwa Wastar alias Madsulhan menjerat leher korban dengan menggunakan
tambang plastik serta menariknya keatas sambil menginjak punggung korban juga menarik tangan
kirinya sedangkan Sahidin menarik tangan kanannya, terdakwa Samirno alias Madmukti pada saat
itu memukuli pantat dan kaki korban dengan menggunakan sebatang kayu dadap sepanjang +_ 1
(satu) meter yang didapat disekitar tempat itu selanjutnya korban mati.
Melihat korban sudah tidak bergerak lagi, terdakwa Samirno alias Madmukti melilitkan
sarang korban pada pinggang korban dan terdakwa Wastar alias Madsulhan mengikat leher korban
dengan tambang plastik untuk menggotangnya, saksi Wartam alias Wahyono menggotong korban
didepan sebelah kanan dan saksi Dudung disebelah kiri dengan menggunakan linggis sedangkan
terdakwa Wastar alias Madsulhan menggotong disebelah kanan dan terdakwa Samirno disebelah
kiri, Sahidin memegangi kaki korban, korban selanjutnya dibawa kesebuah htuan pinus tidak jauh
dari gubug tersebut ditempat tersebut mayat korban dikubur secara bersama-sama, setelah selesai
terdakwa Wastar alias Madsulhan kemudian membakar gubug milik korban atas perbuatannya
tersebut saksi Wartam alias Wahyono dan saksi Dudung serta terdakwa Samirno alias Madmukti
dan juga Sahidin mendapat upah dari terdakwa Wastar alias Madsulhan masing-masing sebesar
Rp. 150.000,- (seratus lima puluh ribu rupiah).
Pada hari kamis tanggal 27 desember 2009 sekitar jam 1.00 WIB mayat korban ditemukan
dari hasil pemeriksaan terhadap korban sebagai berikut :
- Tubuh bengkak menyeluruh sangat bau basuk.
- Lapisan kulit leher luka melingkar dan dalam sesuai jeratan tali.
- Dada kiri bagian atas puting susu kiri memar.
- Tulang iga 1 dan 2 bagian tersebut diatas patah.
KESIMPULAN :
Korban mati akibat :
- Sumbatan jalan nafas.
- Benturan keras didada sebelah kiri.
Sebagaimana Visum Et Repertum yang dilakukan oleh Dr. Muslim M dokter pada
Puskesmas Karangpucung I, Nomor 440/240/12/01 tanggal 29 Desember 2009 yang dibuat
berdasarkan sumpah jabatan. Sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam Pasal 340 jo 55 ayat
(1) ke-1e KUHP.
2. Dakwan Jaksa Penuntut Umum
a. Dakwaan Primer :
Melanggar Pasal 340 KUHP jo Pasal 55 ayat (1) ke-1e KUHP
b. Dakwaan Subsidair:
Pasal 338 KUHP jo Pasal 55 ayat (1) ke-1e KUHP
c. Dakwaan lebih subsidair Pasal 355 ayat (1) dan ayat (2) KUHP jo Pasal 55 ayat (1) ke-1e
KUHP, kedua Pasal 170 ayat (1) dan (2) ke-3e KUHP.
3. Tuntutan Jaksa Penuntut Umum
Setelah pemeriksaan acara pemeriksaan selesai, kemudian Penuntut Umum mengajukan dan
membacarakan tuntutan pidananya (requisitur) terhadap para terdakwa, yang dalam
pertimbangan hukumnya pada pokoknya menyatakan perbuatan para terdakwa telah memenuhi
unsur-unsur Pasal 340 KUHP jo Pasal 55 ayat (1) ke-1e KUHP tentang pembunuhan berencana
secara bersama-sama, oleh karena itu mohon supaya Majelis Hakim Pengadilan Negeri Cilacap
yang memeriksa dan mengadili perkara ini, memutuskan :
a. Menyatakan terdakwa Wastar al. Madsulhan bin Madiswan dan Samirno al.Madmukti bin
Kartamiharja telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana
“Dimuka umum bersama-sama melakukan kekerasan terhadap orang menyebabkan orangnya
mati” sebagaimana diatur dalam Pasal 170 ayat (1) dan (2) Ke-3 KUHP dalam surat dakwaan
kedua kami.
b. Menjatuhkan pidana terhadap terdakwa Wastar al. Madsulhan bin Madiswan dan Samirno al.
Mdmukti bin Kartamiharja dengan pidana penjara masing-masing selama 4 (empat) tahun
dikurangi masa tahanan yang telah dijalani untuk seluruhnya dengan perintah para terdakwa
tetap dtahan.
c. Menyatakan barang bukti berupa :
- 1 (satu) buah kaos berwarna putih milik korban.
- 1 (satu) buah sarung berwarna ungu milik korban.
- 1 (satu) buah batang kayu dadap ukuran panjang kurang lebih 1 (satu) meter.
- 1 (satu) sandat tambang plastik ukuran panjang kurang lebih 1 (satu) Meter
- 5 (lima) butir batu kali.
- 1 (satu) buah liggis besi ukuran panjang kurang lebih 1 M.
- 1 (satu) buah cangkul.
- 1 (satu) buah lampu senter merk Tiger Baterai 2.
- 1 (satu) buah golok beserta sarungnya.
Digunakan untuk perkara a.n Terdakwa wartam al. Wahyono bin Kartamiharja.
d. Menetapkan agar terdakwa, jika ternyata dipersalahkan dijatuhi pidana supaya mereka dibebani
membayar biaya perkara sebesar Rp. 500,- (lima ratus rupiah) masing-masing.
4. Barang Bukti
Di persidangan Jaksa Penuntut Umum mengajukan barang bukti berupa :
- 1 (satu) buah kaos berwarna putih milik korban.
- 1 (satu) buah sarung berwarna ungu milik korban.
- 1 (satu) buah batang kayu dadap ukuran panjang kurang lebih 1 (satu) meter.
- 1 (satu) sandat tambang plastik ukuran panjang kurang lebih 1 (satu) Meter
- 5 (lima) butir batu kali.
- 1 (satu) buah liggis besi ukuran panjang kurang lebih 1 M.
- 1 (satu) buah cangkul.
- 1 (satu) buah lampu senter merk Tiger Baterai 2.
- 1 (satu) buah golok beserta sarungnya.
5. Alat Bukti
a. Keterangan Saksi
Para saksi yang keterangannya didengarkan di persidangan atas persetujuan Jaksa Penuntut
Umum dan terdakwa yang sebelumnya telah diambil sumpahnya oleh penyidik yaitu :
Saksi I. ROHIMAH AL. NY. MADYUSRON :
- Saksi tidak tinggal serumah dengan suaminya (Madyusron/korban)
- Korban tinggal sendiri digubuk dikebun yang jauh dari pemukiman, karena terlalu
dicurigai oleh Wastar (terdakwa 1) mempunyai ilmu santet.
- Pada tanggal 18 Desember 2009 saksi kekebun utnuk menengok korban dan ternyata
korban sudah tidak ada dan gubuk tempat tinggal korban sudah habis terbakar.
- Saksi selanjutnya memberitahu Kuat (saksi III) untuk mencari korban.
- Pada tanggal 26 Desember 2009, saksi III menemukan gundukan tanah baru yang
mencurigakan dihutan pinus.
- Kemudian penemuan tersebut dilaporkan kepada BPD, yang selanjutnya meneruskan
laporan tersebut kepada Polsek Karangpucung.
- Pada hari Kamis tanggal 27 Desember 2009 sekira jam 11.00 WIB diadakan penggalian
yang disaksikan oleh Muspika dan tim Dokter.
- Ternyata didalam gundukan tanah tersebut ditemukan Madyusron (korban) dalam keadaan
sudah meninggal dunia.
- Korban mengakui di Balai Desa sebagai tukang santet dan pernah menyantet mertua
Madsulhan (terdakwa I) isteri terdakwa I dan terdakwa I sendiri
- Antara korban dan terdakwa I pernah didamaikan dan disepakati korban harus pergi
meninggalkan Cibungur, lalu korban membuat gubuk disawah dan tinggal digubuk
tersebut.
- Saksi membenarkan barang bukti sarung dan kaos adalah milik korban yang dipakai waktu
ditemukan.
- Terhadap keterangan saksi tersebut para terdakwa menyatakan benar.
Saksi II. TARWIN alias TARMUJI :
- Pada hari Senin tanggal 17 Desember 2009 sekira jam 18.00 WIB saksi diajak terdakwa I
kekebun untuk menghabisi Madyusron (korban) tetapi saksi tidak mau.
- Keesokan harinya tanggal 18 Desember 2009 sekira jam 06.00 WIB terdakwa I datang lagi
kerumah saksi dan menyatakan Madyusron (korban) sudah beres dan gubuknya dibakar.
- Terdakwa I membunuh korban karena korban dicurigai sebagai dukun santet.
- Tidak tahu dengan barang bukti.
- Terhadapm keterangan saksi tersebut, para terdakwa menyatakan tidak keberatan.
Saksi III. KUAT alias PRIYONO :
- Pada hari Selasa tanggal 18 Desenber 2009 saksi mendapat laporan dari saksi Rohimah
(saksi I) kalau gubuk dan korban sudah tidak ada.
- Saksi lalu ketempat kejadian ternyata gubuk sudah habis terbakar dan saksi menemukan 5
buah batu, 1 potong kayu dadap dan 1 buah linggis ditempat tersebut.
- Saksi lalu melakukan pencarian terhadap korban yang adalah mertua dan saksi pada hari
Rabu tanggal 26 Desenber 2009 sekitar jam 13.00 WIB sewktu melakukan pencarian
dihutan pinus Desa Surusunda, Kecamatan Karangpucung saksi menemukan gundukan
tanah yang mencurigakan.
- Saksi lalu melaporkan hal tersebut kepada anggota BPD (Maskono/saksi V).
- Pada hari Kamis tanggal 27 Desember 2009 sekitar jam 11.00 WIB dilakukan penggalian
yang saksikan oleh Muspika dan tim Dokter.
- Di dalam gundukan tersebut ditemukan mayat korban (Madyusron) yang sudah membusuk,
yang memakai kaos putih dan sarung warna ungu.
- Saksi mendengar dari terdakwa I kalau berdasarkan keterangan dari dukun, korban pernah
menguna-guna mertua terdakwa I.
- Antara terdakwa I dan korban masih ada hubungan keluarga.
- Setelah kejadian sudah diadakan perdamaian yang intinya saling memaafkan dan
dituangkan dalam perjanjian.
- Saksi membenarkan barang bukti linggis dan cangkul milik terdakwa I, kaos dan sarung
milik korban dan yang lainnya saksi tidak tahu.
- Terhadap keterangan saksi tersebut, para terdakwa menyatakan benar.
Saksi IV. WARSIAN alias ANWAR AZIS :
- Saksi sebagai Ketua RW, pernah 3 kali menyelesaikan masalah antara terdakwa I dengan
korban, yaitu terdakwa I menuduh korban menyantet terdakwa I dan keluarganya.
- Penyelesaian pertama tahun 2000 kedua bulan Mei 2009 dan ketiga tanggal 15 September
2009.
- Masalah terdakwa I dengan korban juga pernah diselesaikan di Balai Desa, yang waktu itu
korban telah mengakui menyantet terdakwa I dan dicapai kesepakatan secara kekeluargaan
korban harus pergi meninggalkan dusun Cibungur.
- Hal itu sudah dilaksanakan yaitu korban telah membuat gubuk dikebun miliknya sendiri
dan tinggal dasana yang masuk Dea Surusunda.
- Sewaktu dilakukan penggalian dihutan pinus saksi juga hadir dan melihat ditemukan mayat
korban yang menggunakan baju kaos warna putih dan sarung warna ungu serta leher
korban dalam keadaan terikat dengan tali plastik (tali sandat).
- Setelah kejadian keadaan di Desa saksi tenang dan tidak ada masalah apa-apa.
- Saksi membenarkan barang bukti kaos, sarung dan tali.
- Terhadap keterangan saksi tersebut para terdakwa menyatakan benar.
Saksi V. MASKONO alias SUWONDO :
- Pada hari Sabtu tanggal 15 September 2009 sekitar jam 13.00 WIB saksi ikut
menyelesaikan masalah antara korban dan terdakwa I dirumah Ketua RW (saksi IV).
- Waktu itu korban mengakui pernah menyantet terdakwa I isteri terdakwa I, mertua
terdakwa dan isterinya, kemudian korban membuat surat pernyataan sebagai tukang santet.
- Kemudian disepakati korban harus pergi dari Desa Mandala.
- Kemudian saksi mendapat berita kalau korban hilang.
- Selanjutnya saksi mendapat laporan dari Kuat Priyono (saksi III/menantu korban), yang
menyatakan telah menemukan gundukan tanah yang mencurigakan dipetak 76 hutan pinus
milik Perhutani.
- Saksi lalu ke lokasi tersebut ternyata benar.
- Pada hari Kamis tanggal 27 Desember 2009 hal tersebut dilaporkan ke Polsek
Karangpucung dan pada jam 11.00WIB dilakukan penggalian yang disaksikan oleh
Muspika Karangpucung dan Dokter Puskesmas.
- Setalah penggalian mencapai kurang lebih 50 Cm ditemukan seorang laki-laki tanpa
celana, memakai kaos putih dan sarung warna ungu terikat dipinggangnya serta tali plastik
pada lehernya.
- Saksi tidak tahu yang ditemukan itu adalah Madyusron (korban) tapi menurut keluarganya
itu Madyusron (korban).
- Setelah kejadian tersebut, situasi di Desa Mandala aman saja.
- Saksi membenarkan barang bukti tali plastik, golok dan longgis milik terdakwa I sementara
sarung dan kaos saksi tidak tahu.
- Terhadap keterangan saksi tersebut para terdakwa menyatakan benar.
Saksi VI. ABSAN bin WASMIHARJA :
- Pada hari Kamis tanggal 27 Desember 2009 sekitar jam 11.00 WIB, saksi datang kehutan
pinus petak 76 C KRPH Surusunda Kecamatan Karangpucung, Kabupaten Cilacap dimana
sedang dilakukan penggalian terhadap gundukan tanah yang mencurigakan.
- Tim Muspika Kecamatan Karangpucung dan Dokter PUIsdkesmas juga datang.
- Setelah penggalian ditemukan seorang mayat laki-laki tanpa celana, memakai kaos putih
dipinggangnya ada sarung warna ungu dan dilehernya ada tali plastik.
- Selain ditemukan mayat, juga ditemukan 1 potong kayu dadap.
- Terhadap keterangan saksi tersebut para terdakwa menyatakan tidak keberatan.
Saksi VII. DUDUNG bin ENCENG :
- Pada hari Senin tanggal 17 Desember 2009 sekira jam 20.00 WIB terdakwa I datang
kerumah saksi dan mengajak saksi untuk ikut membunuh Madyusron (korban).
- Korban akan dibunuh karena menurut terdakwa I korban adalah tukan santet.
- Saksi lalu mengikuti terdakwa I menemui Wahyono, Madmukti (terdakwa II) dan Sahidin
yang sudah menunggu dilapangan.
- Waktu itu telah dipersiapkan alat-alat yang akan digunakan yaitu linggis besi, tali plastik,
golok, dan senter.
- Selanjutnya saksii, terdakwa I, terdakwa II, Wahyono dan Sahidin berangkat menuju gubuk
korban.
- Sewaktu sampai dikali Cikondang terdakwa memerintahkan saksi dan teman-teman untuk
mengambil batu dan masing-masing mengambil 1 buah batu sebesar kepalan tangan.
- Setelah sampai dikebun tempat gubuk korban terdakwa I melempar dengan batu supaya
korban keluar tetapi ternyata korban tidakm keluar, lalu terdakwa I menyenter korban yang
sedang berdiri didalam gubuk.
- Selanjutnya terdakwa I melempar korban dengan batu dan juga teman-teman yang lain ikut
melempar korban hingga korban jatuh.
- Kemudian Wahyono memukul korban dengan linggis sebanyak 3 kali, dan terdakwa I
menjerat leher korban dengan tali plastik dan ditarik keatas sementara punggung korban
diinjak oleh terdakwa I, tangan kanan korban ditarik keatas oleh Sahidin dan tangan
kirinya ditarik keatas oleh saksi, lalu terdakwa II memukul kaki dan pantat korban dengan
kayu dadap.
- Setelah korban meninggal dunia, lalu digotong ke hutan pinus dengan menggunakan tali
plastik yang dijerat dileher korban dan sarung korban yang diikat dipunggung lalu linggis
dan kayu dadap dipakai untuk menggotong.
- Setelah sampai dihutan pinus, para terdakwa, saksi dan Sahidin serta Wahyono membuat
lubang secara bergantian dengan menggunakan cangkul milik terdakwa I yang diambil
dikebun.
- Korban lalu dikubur dihutan pinus tersebut.
- Setelah itu saksi, para terdakwa dan teman-teman kembali kegubuk dan terdakwa I
membakar gubuk tersebut .
- Setelah mandi terdakwa I memberikan uang kepada saksi dan teman-teman masing-masing
sebesar Rp. 50.000,- dan pada tanggal 3 Januari 2010 ditambah lagi masing-masing Rp.
100.000,- .
- Saksi tahu terdakwa I memberikan uang kepada saksi karena saksi telah ikut membunuh
korban, jadi sebagai uang lalah.
- Uang tersebut sudah habis digunakan saksi untuk kepentingannya.
- Setahu saksi korban pernah menyantet terdakwa I, istri dan mertua terdakwa I.
- Terhadap keterangan saksi tersebut para terdakwa menyatakan benar .
Saksi VIII. WARTAM alias. WAHYONO bin KARTAMIHARJA :
- Pada hari Selasa tanggal 17 Desember 2009 sekitar jam 15.30 WIB terdakwa I datang
kerumah saksi dan mengajak saksi untuk ikut membunuh korban.
- Atas pernyataa saksi, terdakwa I mengatakan korban adalah tukang santet sehingga harus
dibunuh dan kalau ada paa-apa terdakwa I yang bertanggung jawab.
- Saksi lalu berangkat bersama-sama dengan Samirno ( terdakwa II) dan Sahidin menunggu
terdakwa I yang menjemput Dudung dirumahnya.
- Setelah terdakwa I dan Dudung datang lalu saksi, terdakwa I, terdakwa II Dudung dan
Sahidin berangkat menuju kegubuk tempat tinggal korban yang terletak dikebunnya.
- Waktu itu saksi bertugas membawa linggis, sementara terdakwa I membawa senter, golok
dan tali plastik.
- Sewaktu melewati sungai Cikondang terdakwa I memerintahkan saksi dan teman-
temannya untuk mengambil batu sebesar kepalan orang dewasa yang akan digunakan untuk
melempari korban.
- Sesampai digubuk korban, terdakwa I melempari gubuk korban dengan batu agar korban
keluar, tetapi ternyata korban tidak keluar.
- Kenudian terdakwa I menyenter korban yang sedang berdiri didalam gubug dan melempar
korban debnganbatu, saksi dan teman-teman juga ikut melempar korban dengan batu.
- Akibat dilempar, korban jatuh dalam posisi miring lalu saksi memukul leher korban
sebanyak 3 kali dengan linggis terdakwa I menjerat leher korban dengan tali plastik dan
menarik keatas sambil menginjak punggung korban, Dudung dan Sahidin masing-masing
memegang tangan korban dan menariknya keatas.
- Setelah itu terdakwa II memukul pantat korban dengan kayu dadap sebanyak 1 kali.
- Setelah korban meninggal dunia dibawa kehutan pinus dengan cara digotong menggunakan
linggis dan kayu dadap yang dimasukkan pada tali yang diikat dileher korban dan sarung
korban yang diikat pada pinggangnya.
- Sesampai dihutan pinus saksi dan teman-teman secara bergantian mencangkul tanah untuk
membuat lubang denganmenggunakan cangkul milik terdakwa I yang diambil dikebun.
- Korban dikubur dan saksi bersama teman- teman kembali kegubug korban, terdakwa I lalu
membakar gubug tersebut.
- Selanjutnya saksi dan teman-tema pulang dan mandi disungai Cikondang.
- Sehabis mandi terdakwa I memberikan uang kepada saksi dan teman-teman masing-masing
sebesar Rp. 50.000,- sebagai uang lelah.
- Pada tanggal 3 Januari 2010 terdakwa I memberikan lagi uang masing-masing sebesar
Rp.100.000,- kepada saksi dan teman-teman.
- Uang bagian saksi sudah habis digunakan untuk keperlua saksi.
- Saksi membenarkan barawng bukti.
Terhadap keterangan saksi tersebut para terdakwa menyatakan benar.
b. Keterangan Para Terdakwa
Dipersidangan telah didengar keterangan terdakwa yang pada pokoknya menerangkan sebagai
berikut :
TERDAKWA I :
- Pada hari senin tanggal 17 Desember 2009 sekitar jam 18.00 terdakwa bertemu dengan
Samirno (terdakwa II) dan Wahyono (saksi VIII) lalu terdakwa I mengajak mereka untuk
membunuh Madyusron (korban) juga terdakwa I mengajak Sahidin dan semuanya bersedia,
untuk itu terdakwa I, terdakwa II, saksi VIII dan Sahidin sepakat untuk berkumpul
dilapangan.
- Terdakwa I juga mengajak Tarwin aias Tarmuji (saksi II) tapi saksi II tidak mau.
- Setelah semuanya berkumpul, terdakwa I pergi mengajak Dudung (saksiVII) dan saksi VII
pun bersedia.
- Terdakwa I mengajak terdakwa II, Saksi VII, Saksi VIII da Sshidin untuk membunuh
korban karena terdakwa I dendam kepada korban yang pernah menyantet terdakwa I dan
keluarganya.
- Selanjutnya terdakwa I, terdakwa II, saksi VII, saksi VIII dan Sahidin menuju gubug
korban yang terletak dikebunnya di Desa Surusunda, kecamatan Karangpucung Klabupaten
Cilacap dengan membawa linggis, golok, tali plastik dan senter.
- Sewaktu sampai di kali Cikondang terdakwa I memerintahkan teman-temannya untuk
mengambil batu masing-masing satu buah dengan ukuran sekepalan tangan orang dewasa.
- Sewaktu sampai diguuk korban, terdakwa I lalu melempar gubug tersebut dengan batu
dengan maksud agar korban keluar ternyata korban tidak keluar.
- Selanjutnya terdakwa I menyenter korban yang sedang berdiri didalam gubug, kemudian
terdakwa I melempar korban dengan batu kena pada bagian dada, diikuti oleh teman-teman
terdakwa I, setelah itu korban jatuh.
- Sewaktu dilempari batu korban tidak berteriak hanya mengatakan silahkan saja saya tidak
akan lari, mungkin sudah takdir.
- Kemudian saksi VIII memukul leher korban dengan linggis sebanyak 3 kali, terdakwa I
lalu menjerat leher korban dengan tali plsatik dan selanjutnya menarik tali tersebut keatas
sambil menginjak punggung korban, saksi VII dan Sahidin Menarik tangan korban keatsa
- Setelah itu terdakwa II memukul pantat dan kiki korban dengan kayu dadap masing-masing
I kali.
- Setelah korban meninggal dunia lalu digotong dengan menggunakan linggis dan kayu
dadap yang dimasukkan pada ikatan tali dileher korban dan ikatan sarung korban pada
pinggangnya.
- Sesampai dihutan pinus terdakwa I, terdakwa II dan teman-temannya secara bergantian
membuat lubang dengan cara mencangkul menggunakan cangkul milik terdakwa I yang
diambil dikebunya yang terletak disebelah kebun korban.
- Setelah itu korban dikubur dan terdakwa I serta teman-temannya kembali kegubug korban,
selanjutnya terdakwa I membakar gubug korban untuk menghilangkan jejak.
- Sebelum pulang kerumah terdakwa I dan teman-teman mandi di kali Cikondang, setelah
mandi terdakwa I memberikan uang kepada terdakwa II, saksi VII, saksi VIII dan Sahidin
masing-masing Rp. 50.000,- selang beberapa hari kemudian terdakwa I juga memberi uang
kepada teman-teman tersebut masing-masing sebesar Rp. 100.000,-.
- Maksud terdakwa I memberikan uang tersebut sebagai ongkos lelah.
- Sebenarnya masalah antara terdakwa I dan korban sudah diselesaikan secara kekeluargaan,
korban sudah minta maaf kepada terdakwa I dan tehah disepakati, korban harus pergi
meninggalkan Desa Mandala.
- Kenyataannya korban sudah pergi dari Desa Mandala dan tinggal digubug dikebunnya di
Desa Surusunda, Kecamatan Karangpucung tetapi terdakwa I tetap dendam dan khawatir
kalau korban kembali menyantet terdakwa I.
- Terdakwa I pernah mengajak Tawin (saksi II) untuk membunuh korban, tetapi saksi II
tidak mau.
- Setelah selesai membunuh korban, terdakwa I juga memberitahukan kepada saksi II.
- Hari Senin sore terdakwa I mulai merencanakan bersama-sama dengan teman-temannya
untuk membunuh korban dan korban dibunuh kurang lebih jam 22.00 WIB.
- Terdakwa I dengan korban masih ada hubungan keluarga.
- Terdakwa I membenarkan barang bukti.
TERDAKWA II :
- Pada hari Senin tanggal 17 Desember 2009 sekitar jam 16.00 WIB terdakwa I mengajak
terdakwa II untuk ikut membunuh korban karena korban sebagai tukan santet yang pernah
menyantet terdakwa I.
- Sehabis Mahrib terakwa II berangkat menuju kebun kelapa dan bertemu denaang terdakwa
I, saksi VII, saksi VIII dan Sahidin.
- Waktu itu terdakwa I membawa golok, senter, tali plastik dan linggis, tetapi dalam
perjalanan linggis dibawa oleh saksi VIII.
- Selanjutnya terdakwa I, terdakwa II, saksi VII, saksi VIII dan Sahidin berjalan menuju
kegubug korban yang terletak dikebunnya di Desa Surusunda, Kecamatan Karangpucung,
Kabupaten Cilacap.
- Sewaktu melewati sungai Cikondang terdakwa I memerintahkan kepada terdakwa II dan
teman-teman yang lain mengambil batu untuk melepari korban.
- Setelah sampai digubug korban, terdakwa I lalu melempari gubug korban dengan batu
dengan tujuan agar korba keluar, tetapi korban tetap tidak keluar, lalu terdakwa I
menyenter gubug korban ternyata korban sedang berdiri didalam gubug.
- Kemudian terdakwa I melempar korban dengan batu diikuti oleh terdakwa II dan teman-
teman dalam jarak kurang lebih 3 meter sehingga korban jatuh, kemudian saksi VIII
memukul korban dengan linggis sebanyak 3 kali, terdakwa I menjerat leher korban dengan
tali plastik lalu menerik ke atas sambil kakinya menginjak punggung korban, sementara
saksi VII dan Sahidin menerik tangan korban keatas.
- Setelah itu terdakwa II memukul pantat dan kaki korban dengan kayu dadap yang ada
disitu.
- Setelah korban sudah tidak bergerak lagi dan meninggal dunia lalu digotong kehutan pinus
dengan menggunakan linggis dan kayu dadap yang dimasukkan pada ikatan tali dileher dan
ikatan sarung dipinggang korban.
- Korban digotong oleh terdakwa II, terdakwa I, saksi VII dan saksi VIII,Sahidin memegang
kaki korban.
- Sesampai dihutan pinus terdakwa II, dan teman-teman membuat lubang secara bergantian
menggunakan cangkul yang diambil dari kebun milik terdakwa I yang letaknya
bersebelahan dengan kebun konban.
- Setelah korban dikubur terdakwa II dan teman-teman kembali kegubug korban, lalu
terdakwa I membakar gubug tersebut.
- Selajutnya terdakwa II dan teman-teman pulang dan mandi di sungai Cikondang, setelah
mandi terdakwa I memberikan uang masing-masing Rp. 50.000,- tanggal 3 Januari 2010
terdakwa I menambah lagi dengan memberikan masing-masing Rp. 100.000,-
- Uang bagian terdakwa II sudah habis digunakan untuk keperluan terdakwa II sendiri.
- Sewaktu berangkat dari rumah terdakwa II tahu dan sadar tujuannya adalah untuk
membunuh korban.
- Terdakwa II membenarkan barang-barang bukti.
6. Pertimbangan Hukum Hakim
Terhadap tuntutan pidana tersebut terdakwa mengajukan pembelaan atau pledoi yang
intinya mohon dijatuhkan hukuman yang seadil-adilnya. Selanjutnya Penuntut Umum telah
menyampaikan repliknya yang pada pokoknya menyatakan tetap pada tuntutan semula,
sedangkan terhadap Replik Penuntut Umum tersebut para terdakwa dalam dupliknya secara lisan
menyatakan tetap pada pembelaanya semula. Terhadap hal-hal yang relefan sebagaimana
termuat dan tercatat dalam berita acara persidangan diambil alih dan dianggap telah termuat
dalam putusan ini.
Terdakwa diajukan ke persidangan karena didakwa telah melakukan tindak pidana dan
setelah melalui proses pemeriksaan di muka sidang, selanjutnya Penuntut Umum berkesimpulan
terdakwa telah terbukti bersalah oleh karena itu dituntut agar dijatuhi pidana. Untuk memidana
seseorang harus dibuktikan tentang adanya tindak pidana dan pertanggungjawaban pidana.
Mengenai hal adanya tindak pidana diukur secara objektif dengan ketentuan undang-
undang yang dalam hal ini harus dibuktikan dengan dipenuhinya semua unsur pasal-pasal dari
peraturan perundang-undangan yang didakwakan kepada para terdakwa dan tidak ditemukan
adanya alasan pembenar, sedangkan mengenai pertanggungjawaban pidana kepada terdakwa
harus dibuktikan adanya kesalahan pada diri terdakwa atas terjadinya tindak pidana tersebut dan
tidak ditemukan alasan pemaaf yang dapat menghapuskan pertanggungjawaban pidana.
Menimbang, bahwa terlebih dahulu akan dipertimbangkan mengenai ada tidaknya tindak
pidana dengan cara menghubung-hubungkan fakta hukum yang ada dengan semua unsur pasal-
pasal dari peraturan perundang-undangan yang didakwakan kepada terdakwa. Apabila terpenuhi
semua, maka terdakwa telah terbukti melakukan tindak pidana seperti yang didakwakan
kepadanya selanjutnya akan dipertimbangkan mengenai pertanggungjawaban pidana.
Selanjutnya dipertimbangkan mengenai pertangungjawaban pidana dengan cara menghubung-
hubungkan fakta hukum yang ada dengan semua unsur pertanggungjawaban pidana.
Mendasarkan pada keterangan saksi-saksi yang dihubungkan dengan keterangan terdakwa
serta barang bukti yang diajukan di persidangan, maka diperoleh fakta-fakta hukum sebagai
berikut :
Terdakwa telah diajukan oleh Jaksa Penuntut Umum dengan dakwaan alternatif
subsideritas , maka menurut teori hukum pembuktian dalam Hukum Acara Pidana yang
berbentuk alternatif bukan primer subsidair, maka pembuktiannya tidak perlu secara hirarkis,
melainkan secara langsung ditujukan pada dakwaan yang menurut pandangan dan penilaian
yuridis memenuhi seluruh unsur tindak pidana yang didakwakan. Pada dakwaan kesatu primer
melanggar Pasal 340 jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP, Subsidair melanggar Pasal 338 KUHP jo
Pasal Pasal 55 ayat (1) Ke-1 KUHP dan lebih Subnsidair melanggar Pasal 355 ayat (1) dan ayat
(2) KUHP jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
Menimbang bahwa oleh karena dakwaan Penuntut Umum disusun secara alternatif, maka
Majelis Hakim langsung akan mempertimbangkan dakwaan yang menurut Majelis Hakim
sekiranya akan terbukti yaitu dakwaan kesatu dan karena dakwaan kesatu ini disusun secara
subsidaritas, maka Majelis Hakim terlebih dahulu akan mempertimbangakan dakwaan kesatu
primair melanggar Pasal 340 jo 55 ayat (1) ke-1e KUHP yang unsur-unsurnya adalah sebagai
berikut :
1. Dengan sengaja.
2. Dengan direncanakan terlebih dahulu.
3. Menghilangkan nyawa orang lain
4. Dipidana sebagai pelaku, mereka yang melakukan, yang menyuruh melakukan da yang turut
serta melakukan.
ad.1. Unsur dengan sengaja :
Menimbang bahwa yang dimaksud dengan sengaja adalah akibat dari perbuata itu
dikehendaki atau dengankata lain akibat itu menjadi maksud dan tujuan dari perbuatan yang
dilakukan.
Menimbang bahwa dari fakta-fakta hukum dipersidangan terdakwa I mengajak terdakwa II
dan teman-temannya untuk membunuh Madyusron (korban) dan terdakwa II dan teman-temannya
menyetujui hal tersebut.
Menimbang bahwa setelah sampai digubug korban, para terdakwa dan teman-temannya
dalam jarak 3 meter melempari korban dengan batu sebesar kepalan tangan orang dewasa sehingga
korban jatuh dalam posisi miring, selanjutnya saksi VIII memukul leher korban dengan linggis,
terdakwa I menjerat leher korban dengan tali plastik dan menarik keatas sambil menginjak
punggung korban sementara saksi VII dan Sahidin menarik tangan korban keatas terdakwa II juga
memukul pantat dan kaki korban dengan kayu dadap.
Menimbang bahwa dari uraian pertimbangan tersebut diatas ternyata para terdakwa tahu
dan menyadari akibat dari perbuatannya yang dilakukan serta menghendaki akibat tersebut,
dengan demikian maka unsur ke-1 dengan sengaja telah terpenuhi.
ad.2. Dengan sengaja merencanakan terlebih dahulu
Menimbang bahwa berdasarkan fakta-fakta hukum diatas terdakwa I mempunyai dendam
terhadap korban karena menurut terdakwa I korban sebagai tukang santet pernah menyantet
terdakwa I dan keluarganya meskipun antar korban dan terdakwa I telah ada penyelesaian secara
kekeluargaan (perdamaian) dan korban telah melaksanakan isi perjanjian perdamaian tersebut,
oleh karena itu terdakwa I pada hari Senin tanggal 17 Desember 2009 sekitar jam 15.30 WIB
datang kerumah saksi VIII dan mengajaknya untuk membunuh korban setelah mengajak saksi
VIII terdakwa I juga mengajak terdakwa II pada jam 16.)) Wib dan disepakati, setelah magrib
kumpul dilapangan dekat kebun kelapa.
Menimbang bahwa pada jam 20.00 WIB terdakwa I datang kerumah saksi VII juga untk
mengajak saksi VII membunuh korban, lau terdakwa I dan saksi VII datang kelapangan dekat
kebun kelapa dimana terdakwa II, saksi VIII dan Sahidin sudah menunggu.
Menimbang bahwa dalam perjalanan sewaktu melewati sungai Cikondang terdakwa I
memerintahkan kepada terdakwa II saksi VII, saksi VIII dan Sahidin untuk masing-masing
mengambil batu kurang lebih sebesar kepalan tangan orang dewasa yang akan digunakan untuk
melempar korban.
Menimbang bahwa setelah sampai di gubug korban yang terletak dikebunnya kurang
lebih jam 22.00WIB terdakwa I lalu melempar korban dengan batu yang diikuti oleh terdakwa II,
saksi VII, saksi VIII dan Sahidin, saksi VIII memukul leher korban dengan linggis yang
dibawanya dan terdakwa I menjerat leher korban dengan tali, lalu terdakwa II memukul pantat dan
kaki korban dengan kayu dadap.
Menimbang bahwa terdakwa I hari Senin tanggal 17 Desember 2009 mengajak saksi VIII
untuk meembunuh kurang lebih jam 15,30 WIB, kemudian mengajak teerdakwa II, kurang lebih
jam 16.00 WIB, dan sepakat berkumpul setelah magrib, selanjutnya kurang lebih jam 20.00 WIB
terdakwa I mengajak lagi saksi VII para terdakwa dan teman temannya berangkat menuju kegubug
tempat tinggal korban dengan telah membawa peralatan yang akan digunakan untuk membunuh
yaitu linggis, batu, golok,. Senter dan tali plastik dan setelah sampai digubug korban kurang lebih
jam 22.00 WIB para terdakwa dan teman-temannya melaksanakan sesuai apa yang telah
direncanakan sebelumnya dengan demikia mereka para terdakwa dan teman-temannya sudah
merencanakan semua ini dengan baik dan para tyerdakwa mempunyai waktu yang cukup untuk
membatalkan rencanannya itu tetapi tidak dilakukan oleh para terdakwa, oleh karenanya unsur ke-
2 dengan direncanakan terlebih dahulu telah terpenuhi pula.
ad.3. Menghilangkan nyawa orang lain.
Menimbang bahwa dari fakta-fakta hukum diatas setelah korban dilempari batu, dipukul
dengan linggis, dijerat lehernya dengan tali plastik dan dipukul kai dan pantatnya dengan kayu
dadap Madyusron (korban) meninggal dunia, hal ini sesuai dengan kesimpulan Visum Et Repertum
dari Puskesmas Karangpucung yang menyatakan korban meninggal dunia kemunggkinan akibat
sumbatan jalan nafas dan benturan keras didada sebelah kiri.
Menimbang bahwa dengan demikian maka unsur menghilangkan nyawa orang lain telah
terpenuhi.
ad.4. Dipidana sebagai pelaku, mereka yang melakukan, yang menyuruh lakukan dan yang
turut serta melakukan
Dari fakta-fakta hukum dipersidangan para terdakwa melakukan pembunuhan bersama-
sama dengan saksi VII, saksi VIII dan Sahidin, dengan demikian para terdakwa turut serta
melakukan tindak pidana sehingga unsur ke-4 telah terpenuhi pula.
Oleh karana semua unsur dalam Pasal 340 jo 55 ayat (1) ke-1 KUHP yang didakwakan
dalam dakwaan kesatu primair telah terpenuhi, mka menurut pandapat Majelis Hakim para
terdakwa telah terbukti secara sah dan menyakinkan melakukan tindak pidana sebagaimana
didakwakan dalam dakwaan tersebut, sehingga harus dinyatakan bersalah dan dijatuhi pidana.
Menimbang bahwa karena dakwaan kesatu Penuntut Umum disusun secara subsidaritas
dan dakwaan kesatu primair telah terbukti, maka dakwaan kesatu subsidair dan lebih subsuidair
tidak perlu dibuktikan lagi, demikian pula dakwaan kedua, tidak perlu dibuktikan karena dakwaan
kesatu dan dakwaan kedua disusun secara alternatif.
Berdasarkan pertimbangan tersebut diatas maka Majelis Hakim tidak sependapat dengan
tuntutan pidana dari Penuntut Umum yang menyatakan yang terbukti dakwaan kedua, sementara
para terdakwa melakukan perbuatannya dengan direncanakan terlebih dahulu dalam tenggang
waktu yang cukup untuk mempertimbangkan kembali niatnya.
Menimbang bahwa dengan demikian maka Majelis Hakim tidak sependapat dengan
tuntutan pidana dari Penuntut Umum maupun pembelaan dari Penasehat Hukum para terdakwa
dengan mempertimbangakan seperti tersebut diatas didalam mempertimbangakan unsur-unsur
tindak pidana.
Untuk memenuhi rasa keadilan, maka dalam menjatuhkan pidana kepada para terdakwa,
Majelis Hakim akan mempertimbangakan dari segala segi baik bagi kepentingan masyarakat atau
Negara, maupun kepentingan para terdakwa.
Menimbang bahwa dalam perkara ini motivasi yang mendorong terdakwa I adalah rasa
dendam kepada korban yang menurut terdakwa I pernah menyantet keluarga terdakwa I meskipun
antara terdakwa I dan korban telah ada penyelesaian secara kekeluargaan dan korban telah
melaksanakan isi perjanjian perdamaian tersebut, yaitu minta maaf dan pergi dari Desa Mandala
tinggal digubugnya di Desa Surusunda.
Terdakwa I dalam perkara ini berperan sebagai orang yang mempunyai ide dan yang
pertama kali menyusun rencana sementara terdakwa II ikut melaksanakan bersama-sama dengan
terdakwa I, saksi VII dan saksi VIII rencana yang dibuat dan disusun oleh terdakwa I .
Motivasi yang mendorong terdakwa II ikut melaksanakan rencana terdakwa I adalah
karena diajak terdakwa I dan terdakwa II percaya dengan omongan terdakwa I yang mengatakan
korban adalah dukun santet.
Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, maka Majelis Hakim dengan memperhatikan
kepentingan masyarakat akan menjatuhkan pidana kepada para terdakwa dengan pidana yang
layak, patut dan sesuai dengan perbuatan yang telah dilakukannya bukan sebagai balas dendam
tetapi sebagai pembinaan bagi diri para terdakwa.
Sebelum menjatuhkan pidana perlu dipertimbangkan hal-hal yang memberatka maupun
hal-hal yang meringankan para terdakwa.
Hal-hal yang memberatkan :
1) Para terdakwa menyembunyikan manyat korban.
2) Para terdakwa membakar gubug korban.
3) Perbuatan para terdakwa sangat meresahkan masyarakat yang mendambakan ketentraman dan
kedamain.
4) Perbuatan para terdakwa cukup sadis dan dilakukan terhadap korban yang sudah pasrah dan
sama sekali tidak melawan.
5) Terdakwa I masih ada hubungan keluarga dengan korban dan terdakwa I mwerasa puas setelah
korban meninggal dunia.
6) Terdakwa II sudah menikmati uang lelah yang diberikan terdakwa I.
Hal-hal yang meringankan :
1) Para terdakwa mengaku terus terang akan perbuatannya, menyesal dan berjanji tidak akan
mengulangi lagi.
2) Para terdakwa belum pernah dihukum.
3) Para terdakwa mempunyai tanggungan keluarga.
Menimbang bahwa tentang masa tahanan yang telah dijalani para terdakwa karena
dilakukan berdasarkan undang-undang maka akan dikurangkan seluruhnya dari pidana yang
dijatuhkan.
Menimbang bahwa mengenai barang bukti berupa :
1 buah kaos warna putih, 1 buah sarung warna ungu, satu potong kayu dadap, panjang kurang
lebih 1 meter, 1 potong tali (tambang ) plastik 5 buah batu, 1 buah linggis dari besi panjang 1
meter dan sebuah cangkul gagang kayu, 1 buah senter baterai 2 merk Teger, 1 buah parang beserta
sarungnya yang masih diperlukan sebagai bukti dalam perkara Wartam bin Kartamiharja, tetap
dijadikan bukti dalam perkara Wartam bin Kartamiharja.
Menimbang bahwa oleh karena para terdakwa dijatuhi pidana, maka haruslah dibebani pula
untuk membayar biaya perkara. Memperhatikan pasal-pasal dalam KUHP dan peraturan hukum
lain yang bersangkutan khususnya Pasal 340 jo. 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
7. Putusan Hakim
a. Menyatakan para terdakwa :
1) WASTAR alias MUDSULHAN bin MADISWAN.
2) SAMIRNO alias MADMUKTI bin KARTAMIHARJA.
telah terbukti secara sah dan meyakinkan berasalah melakukan tindak pidana :
PEMBUNUHAN BERENCANA SECARA BERSAMA-SAMA.
b. Menghukum para terdakwa oleh karena itu dengan pidana penjara masing-masing :
Terdakwa I selama 9 (sembilan) tahun.
Terdakwa II selama 7 (tujuh) tahun.
c. Menetapkan masa penahanan yang telah dijalanipara terdakwa dikurangkan seluruhnya dari
pidana yang dijatuhkan.
d. Memerintahkan para terdakwa tetap ditahan.
e. Memerintahkan barang bukti berupa :
- 1 buah kaos warna putih,
- 1 buah sarung warna ungu,
- 1 potong kayu dadap panjang kurang lebih 1 meter,
- 1 potong tali plastik,
- 5 buah batu,
- 1 buah linggis dari besi panjang kurang lebig 1 meter,
- 1 buah cangkul gagang kayu,
- 1 buah senter baterai 2 merk tiger,
- 1 buah parang (golok) beserta sarungnya,
dijadikan bukti dalam perkara Wartam bin Kartamiharja dkk.
f. Membebankan para terdakwa untuk membayar biaya perkara masing-masing Rp. 2.500,- (dua
ribu lima ratus rupiah).
B. Pembahasan
3. Pertanggungjawaban pidana terhadap para pelaku dalam tindak pidana pembunuhan
berencana secara bersama-sama pada Putusan Perkara No. 81/Pid.B/2010/PN.Clp.
Pengertian perbuatan pidana tidak termasuk hal pertanggungjawaban. Perbuatan pidana
hanya menunjuk kepada dilarangnya perbuatan. Apakah orang yang telah melakukan perbuatan itu
kemudian juga dipidana, tergantung pada soal, apakah dia dalam melakukan perbuatan itu
mempunyai kesalahan atau tidak. Apabila orang yang melakukan perbuatan pidana itu memang
mempunyai kesalahan atau tidak. Apabila orang yang melakukan perbuatan pidana itu memang
mempunyai kesalahan, maka tentu dia akan dipidana, tetapi manakala dia tidak mempunyai
kesalahan, walaupun dia telah melakukan perbuatan yang terlarang dan dicela, dia tentu tidak
dipidana. Asas yang tidak tertulis : tidak dipidana jika tidak ada kesalahan, merupakan dasar
daripada dipidananya si pembuat.
Jadi perbuatan yang dicela oleh masyarakat itu dipertanggungjawabkan pada si
pembuatnya. Artinya celaan yang objektif terhadap perbuatan itu kemudian diteruskan kepada si
terdakwa juga dicela dengan dilakukannya perbuatan itu. Dengan mempertanggungjawabkan
perubatan yang tercela itu pada si pembuatnya, maka dapat disimpulkan ataukan si pembuatnya
juga dicela, ataukah si pembuatnya tidak dicela. Dalam hal yang pertama, maka si pembuatnya
tentu dipidana, sedangkan dalam hal yang kedua si pembuatnya tentu tidak dipidana. (Roeslan
Saleh, 1980: 75-76).
Nyatalah, bahwa hal dipidana atau tidaknya si pembuat bukanlah bergantung pada apakah
ada perbuatan pidana atau tidak, melalinkan pada apakah siterdakwa tercela atau tidak karena telah
melakukan perbuatan pidana itu. Karena itulah maka juga dikatakan dasar daripada adanya
perbuatan pidana adalah asas legaliteir, yaitu asas yang menentukan bahwa sesuatu perbuatan
adalah terlarang dan diancam denan pidana berangsiapa yang melakukannya, sedangkan dasar
daripada pidananya si pembuat adalah asas tidak dipidana jika tidak ada kesalahan. Dapat pula
dikatakan orang tidak mungkin dipertangungjawabkan dan dijatuhi pidana kalau tidak melakukan
perbuatan pidana. Tetapi meskipun dia melakukan perbuatan pidana akan dipidana, apabila dia
mempunyai kesalahan. (Roeslan Saleh, 1980: 76).
Sedangkan menurut Moeljatno dikatakan bahwa orang tidak mungkin
dipertanggungjawabkan (dijatuhi pidana) kalau dia tidak melakukan perbuatan pidana tapi
meskipun melakukan perbuatan pidana, tidak selalu dia dapat dipidana. (Moeljatno, 1980: 105).
Selanjutnya dikatakan bahwa orang dapat dikatakan mempunyai kesalahan, jika dia pada waktu
melakukan perbuatan pidana, dilihat dari segi masyarakat dapat dicela karenanya, yaitu kenapa
melakukan perbuatan yang merugikan masyarakat padahal mampu untuk mengetahui makna
(jelek) perbuatan tersebut, dan kerenanya dapat bahkan harus dihindari untuk berbuat demikian.
(Moeljatno, 1980: 106).
Berkaitan dengan harus adanya unsur kesalahan jika seseorang dapat
mempertanggungjawabkan perbuatannya, Bambang Poernomo mengatakan : bahwa dapat
dipidananya seseorang terlebih dahulu harus ada dua syarat yang menjadi satu keadaan, yaitu
perbuatan yang bersifat melawan hukum sebagai sendi perbuatan pidana, dan perbuatan yang
dilakukan itu dapat dipertanggungjawabkan sebagai sendi kesalahan. Putusan untuk menjatuhkan
pidana harus ditentukan adanya perbuatan pidana dan adanya kesalahan yang terbukti dari alat
bukti dengan keyakinan hakim terhadap seorang tertuduh yang dituntut di muka pengadilan.
(Bambang Poernomo, 1982: 134).
Pendapat para sarjana tersebut di atas jika dihubungkan dengan Putusan Perkara No.
81/Pid.B/2010/PN.Clp, yaitu para terdakwa diputus berdasarkan adanya unsur kesalahan sehingga
hakim memutus kepada para terdakwa pertanggungjawaban pidana.
Hal ini dapat dilihat dari perbuatan para pelaku yang menganggap korban sebagai dukun
santet yang telah mengguna-nggunai mertua, isteri serta pelaku sendiri. Padahal atas kesepakatan
berdasarkan pengakuan korban sendiri di depan pamong setempat, diputuskan korban harus pergi
meninggalkan rumah tempat tinggalnya di Dusun Cibungur Desa Mandala Kecamatan Cimanggu
untuk tinggal menyendiri di sebuah gubug kebun singkong milik korban dengan jarak kurang lebih
sejauh dua kilo meter dari kampung tersebut. Tetapi para pelaku pada hari Senin tanggal 17
Desember 2009 sekitar jam 18.00 WIB pelaku I (terdakwa I) datang menemui saksi Wartam alias
Wahyono di rumahnya dengan mengutarakan maksudnya untuk bersama-sama menghabisi nyawa
korban digubugnya. Ajakan tersebut disepakati oleh saksi. Selanjutnya saksi menuju ke rumah
terdakwa Wastar Alias Madsulhan (terdakwa II) dan mereka secara bersama-sama untuk
melakukan niatnya menghabisi korban.
Unsur kesalahan dalam tindakan para pelaku yaitu dapat dicelanya perbuatan. Menurut
Pompe kesalahan ini dengan dapat dicela (verwijtbaarheid) dan dapat dihindari (vermijdbaarheid)
perbuatan yang dilakukan. (Roeslan Saleh, 1980: 77). Selanjutnya menurut Bambang Poernomo
mengatakan bahwa dapat dipidanaya seseorang, terlebih dahulu harus ada dua syarat yang menjadi
satu keadaan, yaitu perbuatan yang bersifat melawan hukum sebagai sendi perbuatan pidana, dan
perbuatan yang dilakukan itu dapat dipertanggungjawabkan sebagai sendi kesalahan. Putusan
untuk menjatuhkan pidana harus ditentukan adanya perbuatan pidana dan adanya kesalahan yang
terbukti dari alat bukti dengan keyakinan hakim terhadap seorang tertuduh yang dituntut di muka
pengadilan. (Bambang Poernomo, 1982: 134).
Dipidananya seseorang tidaklah cukup dengan membuktikan bahwa orang itu telah
melakukan perbuatan yang bertentangan dengan hukum atau bersifat melawan hukum. Jadi
meskipun perbuatannya memenuhi rumusan delik dalam undang-undang dan tidak dibenarkan (an
objective breach of a penal provision), namun hal tersebut belum memenuhi syarat untuk
penjatuhan pidana. Untuk dapat dipertanggungjawabkannya orang tersebut masih perlu adanya
syarat, bhawa orang yang melakukan perbuatan itu mempunyai kesalahan atau bersalah (subjective
guilt). Dengan perkataan lain, orang tersebut harus dapat dipertanggungjawabkan atas
perbuatannya atau jika dilihat dari sudut perbuatannya, perbuatannya harus dapat
dipertanggungjawabkan kepada orang tersebut. Dalam hal ini berlaku asas “tiada pidana tanpa
kesalahan” atau Keine strafe ohne schuld atau geen staf zonder schuld atau nulla poena sine culpa
culpa (disini dalam arti luas, meliputi juga kesengajaan).
Selanjutnya mengenai unsur kesalahan dalam arti luas memuat unsur-unsur, antara lain :
1. Adanya kemampuan bertanggungjawab pada si pelaku (schuldfahigkeit atau
zurechnungsfahigkeit).
2. Hubungan batin antara si pelaku dengan perbuatannya, yang berupa kesengajaan (dolus)
atau kealpaan (culpa), ini disebut bentuk-bentuk kesalahan.
3. Tidak adanya alasan yang menghapus kessalahan atau tidak ada alasan pemaaf dan
alasan pembenar.(http://kitabpidana.blogspot.com/2012/04)
Jika pendapat tersebut di atas dihubungkan dengan Putusan Perkara No.
81/Pid.B/200/PN.Clp, nampak bahwa perbuatan menghilangkan nyawa orang lain yang dilakukan
dengan direncanakan terlebih dahulu secara bersama-sama yang dilakukan oleh para pelaku adalah
perbuatan melawan hukum, sesuai dengan Pasal 340 KUHP. Hal ini dapat dilihat dari kemampuan
bertanggungjawab pada diri para pelaku yaitu menurut Van Hamel : Keadaan normalitas psychis
dan kematangan (kecerdasan) yang membawa tiga kemampuan yaitu :
a. Mampu untuk mengerti nilai dari akibat-akibat perbuatannya sendiri;
b. Mampu untuk menyadari, bahwa perbuatannya itu menurut pandangan masyarakat
tidak dibolehkan;
c. Mampu untuk menentukan kehendaknya atas perbuatan-perbuatannya itu.
(http://kitabpidana.blogspot.com/2012/04).
Pendapat tersebut jika dihubungkan dengan Putusan Perkara No. 81/Pid.B/2010/PN.Clp.
yaitu pada saat para terdakwa melakukan pembunuhan keadaan psychis atau kematangan
(kecerdasannya) normal. Hal ini dibuktikan dengan usia para pelaku masing-masing pelaku I usia
44 tahun dan pelaku II berusia 40 tahun. Pelaku juga mengerti dari akibat perbuatannya sendiri
bahwa menghilangkan nyawa orang lain bertentangan dengan norma hukum atau menurut
pandangan masyarakat tidak diperbolehkan (tercela).
Hakim juga telah melakukan pemeriksaan terhadap alat bukti yang diajukan di depan
persidangan yaitu : alat bukti saksi antara lain : saksi I. Rohimah al. Madyusron, Tarwin alias
Tarmuji, Kuat alias Priyono, Warsian alias Anwar Azis, Maskono alias Suwondo, Absan bin
Wasmiharja, Dudung bin Enceng, serta Wartam al Wahyono bin Kartamiharja kesemua saksi yang
dihadirkan di persidangan mengatakan bahwa apa yang dilakukan oleh para saksi adalah benar
adanya. Pemeriksaan selanjutnya yaitu alat bukti surat berupa visum et repertum dari dokter
Muslim M dokter pada Puskemas Karangpucung I, Nomor : 440/240/12/01 tanggal 29 Desember
2009 yang dibuat berdasarkan sumpah jabatan dengan hasil pemeriksaan korban mati akibat
sumbatan jalan nafas dan benturan keras di dada sebelah kiri.
Berdasarkan hasil penelitian terhadap Putusan Perkara No. 81/Pid.B/2010/PN.Pwt. bahwa
untuk menentukan apakah para terdakwa itu bersalah atau tidak, maka dapat dilihat dari
kemampuan bertanggungjawab atau tidak dalam diri para terdakwa. Dalam perkara tersebut hakim
menilai bahwa para terdakwa mampu untuk bertanggung jawab atas perbuatannya. Kemampuan
bertangung jawab menurut Van Hammel yaitu suatu keadaan normalitas psychis dan kematangan
(kecerdasarn) yang membawa 3 kamampuan: yaitu mampu untuk mengerti nilai dari akibat-akibat
perbuatannya sendiri, mampu untuk menyadari, bahwa perbuatannya itu menurut pandangan
masyarakat tidak dibolehkan, dan mampu untuk menentukan kehendaknya atas perbuatan-
perbuatannya itu. (http://kitabpidana.blogspot.com/2012/04).
Selanjutnya menurut Moeljatno kemampuan bertanggung jawab harus ada : kemampuan
untuk membeda-bedakan antara perbuatan yang baik dan yang buruk, yang sesuai hokum dan yang
melawan hokum serta kemampuan untuk menentukan kehendaknya menurut keinsyafan tentang
baik dan buruknya perbuatan tadi. (Moeljatno, 1982: 112).
Teori tersebut jika dihubungkan dengan Putusan Perkara No. 81/Pid.B/2010/PN.Pwt,
bahwa hakim dalam menilai para terdakwa mampu untuk mempertanggungjawabkan atas
perbuatannya adalah para terdakwa dilihat dari usianya sudah cukup dewasa yaitu terdakwa I
berusia 44 tahun dan terdakwa II berusia 40 tahun, dalam persidangan para terdakwa juga
mengerti tentang apa yang didakwaan oleh Jaksa Penuntut Umum. Dengan demikian hakim
menganggap para terdakwa mampu untuk menilai dan mengerti dari akibat-akibat perbuatannya
menghilangkan nyawa orang lain itu bertentangan dengan hokum, mampu menyadari bahwa
perbuatannya itu menurut pandangan masyarakat tidak diperbolehkan serta mampu untuk
menentukan kehendaknya atas perbuatannya itu.
Terhadap para pelaku hakim juga telah menilai bahwa terdapat unsur kesalahan dalam
melakukan tindak pidana. Menurut Von Liszt yang mengatakan bahwa kesalahan dibentuk oleh
keadaan psikis tertentu dari pembuat. Fletcher juga menyebutkan teori kesalahan psikologi sebagai
teori deskriptif tentang kesalahan, mengingat unsur mental terdeskripsi secara nyata sebagai
bagian tindak pidana. Selanjutnya menurut Smith dan Hogan, berpendapat bahwa kesalahan
adalah dapat dicelanya pembuat tindak pidana, karena dilihat dari segi masyarakat sebenarnya dia
dapat berbuat lain jika tidak ingin melakukan perbuatan tersebut. Definisi ini disusun oleh tida
komponen utama yaitu dapat dicela, dilihat dari segi masyarakatnya dan dapat berbuat lain.
(Chaerul Huda, 2011 : 3). Sedangkan menurut Van Strien yang mengatakan, dalam kaitan ini inti
pengertian kesalahan adalah suatu keadaan dimana dalam siatuasi tertentu masih dimungkinkan
bertindak secara lain dandalam siatuasi tersebut secara wajar dapat diharapkan bahwa alernatif
tindak tertentu masing dimungkinkan diambil. Dengan demikian, dapat dicelanya pembuat karena
masih terbuka kemungkinan untuk berbuat lain, selain tindak pidana. Dengan perkataan lain,
pembuat dapat dicela karena sebenarnya hukum mengharapkan kepadanya untuk berbuat lain,
selain tindak pidana. (Sonny Majid, 2011 : 4).
Dengan demikian ternyata menurut Moeljatno dikatakan bahwa orang dapat dikatakan
mempunyai kesalahan, jika dia pada waktu melakukan perbuatan pidana, dilihat dari segi
masyarakat dapat dicela karenanya, yaitu kenapa melakukan perbuatan yang merugikan mayarakat
padahal mampu untuk mengetahui makna (jelek) perbuatan tersebut, dan karenanya dapat bahkan
harus menghindari untuk berbuat demikian. (Moeljatno, 1982 : 106).
Pendapat tentang arti kesalahan tersebut di atas jika dihubungkan dengan Putusan Perkara
No. 81/Pid.B/2010/PN.Clp, bahwa hakim telah menilai bahwa terdakwa I yaitu Wastar al
Madsulhan bin Madiswan dan terdakwa II yaitu Samirno al Mudmukti bin Kartamiharja telah
memenuhi unsure kesalahan yaitu ketika terdakwa I dating menemui saksi Wartam alias Wahyono
dirumahnya dengan mengutarakan maksudnya untuk bersama-sama menghabisi nyawa korban
yaitu Madyusron digubungnya. Dengan demikian ada hubungan batin antara si pelaku dengan
perbuatannya yang berupa kesengajaan (dolus). Hal ini terlihat dari ketika terdakwa I menyurus
saksi Wartam alias Wahyono untuk berangkat terlebih dahulu dan menunggu disebuah kebun
kelapa sambil membawa linggis milik terdakwa, kemudian terdakwa I mengajak pula saksi
Dudung bersama dengan terdakwa II lalu mereka berangkat sambil membawa peralatan tambang
plastic, golok dan sebuat senter selanjutnya mereka juga masing-masing mengambil batu kali
seukuran kepalan tangan yang akan digunakan untuk melempari korban selanjutnya mereka juga
mengambil cangkul untuk menggali tanah. Dengan demikian hakim berkesimpulan bahwa terdapat
hubungan batin antara para pelaku dengan perbuatannya yang berupa kesengajaan (dolus).
Dalam pemeriksaan hakim terhadap para pelaku dalam Putusan Perkara No.
81/Pid.B/2010/PN.Clp hakim juga tidak menjumpai adanya alasan yang menghapus kesalahan
atau tidak ada alasan pemaaf dan alasan pembenar atau alasan yang menghapuskan sifat melawan
hokumnya perbuatan bagi para terdakwa. Menurut Teguh Prasetyo alasan pembenar atau
rechtsvaardigingsgrond ini bersifat menghapuskan sifat melawan hokum dan perbuatan yang di
dalam KUHP dinyatakan sebagai dilarang. Karena sifat melawan hukumnya dihapuskan, maka
perbuatan yang semula melawan hokum itu menjadi dapat dibenarkan, dengan demikian
pelakunya tidak dipidana. (Teguh Prasetyo, 2010 : 84). Selanjutnya Moeljatno juga mengatakan
bahwa alasan pembenar yaitu alasan yang menghapuskan sifat melawan humnya perbuatan,
sehingga apa yang dilakukan oleh terdakwa lalu menjadi perbuatan yang patut dan benar.
(Moeljatno, 1982 : 93).
Pendapat hakim tentang tidak adanya alasan pembenar yang dilakukan oleh para terdakwa
dalam Putusan Perkara No. 81/Pid.B/2010/PN.Pwt. yaitu perbuatan terdakwa bukan merupakan
perbuatan yang merupakan pembelaan darurat sebagaimana di rumuskan dalam Pasal 49 ayat (1)
KUHP, perbuatan karena melaksanakan perintah undang-undang (Pasal KUHP 50 KUHP) dan
juga bukan karena perintah jabatan (Pasal 51 ayat (1) KUHP. Hakim menilai bahwa perbuatan
para terdakwa merupakan merupakan tindak pidana pembunuhan berencana secara bersama-sama,
dan hal ini dibuktikan dengan telah terpenuhinya unsure-unsur sebagaimana dirumuskan dalam
Pasal 340 KUHP jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP. Unsur-unsur tersebut adalah barang siapa,
dengan sengaja, dengan direncanakan terlebih dahulu, menghilangkan nyawa orang lain dan
dipidana sebagai pelaku, mereka yang melakukan, yang menyuruh melakukan dan yang turut serta
melakukan. Dengan demikian hakim berkesimpulan bahwa dalam perbuatan yang dilakukan oleh
para terdakwa tidak menemukan adanya alasan yang menghapuskan sifat melawan hukum
perbuatan.
Berdasarkan hasil penelitian pada Putusan Perkara No. 81/Pid.B/2010/PN.Clp, hakim juga
tidak menemukan adanya alasan pemaaf yang dilakukan oleh para terdakwa. Alasan pemaaf
menurut Moeljatno adalah alasan yang menghapuskan kesalahan terdakwa. Perbuatan yang
dilakukan oleh terdakwa tetap bersifat melawan hokum, jadi tetap merupakan perbuatan pidana,
tetapi dia tidak dipidana, karena tidak ada kesalahan. (Moeljatno, 1982 : 93). Selanjutnya menurut
Teguh Prasetyo alasan pemaaf atau schulduitsluitingsgron ini menyangkut peranggungjawaban
seseorang terhadap perbuatan pidana yang telah dilakukan atau criminal responsibility. Alasan
pemaaf ini menghapuskan kesalahan orang yang melakukan delik atas beberapa hal.
Pemeriksaan selanjutnya adalah keterangan para terdakwa sendiri. Dengan demikian hakim
berkesimpulan bahwa perbuatan yang dilakukan oleh para pelaku terdapat unsur kesalahan,
sehingga perbuatannya dapat dipertanggungjawabkan.
2. Dasar pertimbangan Hakim dalam menjatuhkan pidana dalam tindak pidana
pembunuhan berencana secara bersama-sama pada Putusan Perkara No.
81/Pid.B/2010/PN.Clp.
Majelis Hakim dalam menjatuhkan pidana kepada para terdakwa harus terlebih dahulu
telah memenuhi semua syarat untuk dilakukan pemidanaan atas diri para terdakwa. Seperti
pendapat Sudarto, yang mengatakan bahwa syarat untuk adanya pemidanaan adalah :
1) Perbuatan yang memenuhi rumusan undang-undang;
2) yang bersifat melawan hukum (tidak ada alasan pembenar);
3) adanya kesalahan yaitu :
(1). Mampu bertanggung jawab;
(2). dolus atau culpa (tidak ada alasan pemaaf). (Sudarto, 1990 : 30).
Berdasarkan hasil penelitian terhadap putusan perkara Pengadilan Negeri Cilacap
No.81/Pid.B/2010/PN.Clp dan dengan melakukan studi pustaka tentang materi yang
berhubungan dengan obyek penelitian serta mengacu pada pendapat Sudarto mengenai syarat-
syarat pemidanaan, maka untuk dapat menjawab permasalahan yang kedua, dapat disusun
analisis sebagai berikut :
a. Penerapan Unsur-unsur Pasal 340 KUHP jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
(1) Perbuatan yang memenuhi rumusan undang-undang
Unsur pertama dari tindak pidana adalah perbuatan atau tindakan seseorang, tindakan
orang itu merupakan penghubung atau dasar untuk adanya pemberian pidana. Perbuatan
ini meliputi berbuat dan tidak berbuat dan yang memenuhi rumusan tindak pidana dalam
undang-undang yang merupakan konsekuensi dari asas legalitas. (Sudarto, 1990 : 30).
Berkaitan dengan perbuatan yang memenuhi rumusan undang-undang, Sudarto,
mengatakan :
Perbuatan yang memenuhi atau yang mencocoki rumusan tindak pidana dalam
undang-undang berarti perbuatan konkrit dari si pembuat dan perbuatan itu harus
mempunyai ciri-ciri dan delik itu sebagaimana secara abstrak disebutkan dalam
undang-undang sebagai tindak pidana tidak dapat dipidana dan peraturan
perundang-undangan itu harus ada sebelum terjadinya tindak pidana. (Sudarto, 1990
: 31).
Pada putusan perkara No.81/Pid.B/2010/PN.Clp, para terdakwa didakwa dengan
dakwaan alternatif yaitu dakwaan ke I primer melanggar Pasal 340 jo Pasal 55 ayat (1)
ke-1 KUHP, subsidair melanggar Pasal 388 jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP dan dakwaan
lebih subsidair melanggar Pasal 355 ayat (1) dan (2) KUHP jo Pasal 55 ayat (1) ke-1
KUHP.
Oleh karena dakwaan bersifat alternatif, maka Majelis Hakim Pengadilan Negeri
Cilacap akan mempertimbangkan terhadap dakwaan yang menurut pendapat Majelis
Hakim paling dekat dengan perbuatan para terdakwa.
Dalam tindak pidana pembunuhan berencana secara bersama-sama, sebagaimana
dirumuskan dalam Pasal 340 KUHP jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP, yaitu sebagai berikut.
Pasal 340 KUHP merumuskan :
Barangsiapa dengan sengaja dan dengan direncanakan lebih dahulu menghilangkan
jiwa orang lain, dihukum karena pembunuhan berencana (moord), dengan hukuman
mati atau penjara seumur hidup atau penjara sementara selama-lamanya dua puluh
tahun.
Sedangkan Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP, merumuskan :
Dihukum sebagai orang yang melakukan peristiwa pidana :
Orang yang melakukan, yang menyuruh melakukan atau turut melakukan perbuatan
itu.
Rumusan pasal tersebut di atas, mengandung unsur-unsur sebagai berikut :
1. Barangsiapa;
2. Dengan sengaja;
3. Dengan direncanakan terlebih dahulu;
4. Menghilangkan nyawa orang lain;
5. Dipidana sebagai pelaku, mereka yang melakukan, yang menyuruh melakukan dan yang
turut serta melakukan.
Mendasarkan pada tuntutan yang dilakukan oleh Jaksa Penuntut Umum pada
dakwaan kesatu primair, yaitu melanggar Pasal 340 KUHP jo Pasal 55 ayat (1) ke-1
KUHP dengan unsur-unsurnya sebagai berikut:
1) Unsur barangsiapa;
Mengenai unsur barangsiapa, dari hasil penelitian dapat diketahui bahwa unsur
barangsiapa di sini yaitu barangsiapa yang menurut undang-undang hukum pidana
menunjukkan pada suatu subyek tindak pidana, yang berarti siapa saja baik laki-laki atau
perempuan tanpa kecuali, sehat jasmani rokhani dapat berlaku sebagai pelaku tindak
pidana.
Berkaitan dengan unsur barangsiapa, Wirdjono Prodjodikoro mengatakan :
Menurut pandangan dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana, yang dapat
menjadi subjek tindak pidana adalah manusia. Ini dapat dilihat pada perumusan
dari tindak pidana dalam KUHP, yang menampakkan daya berpikir sebagai syarat
bagi subjek tindak pidana itu, juga terlihat pada ujud hukuman/pidana yang
termuat dalam pasal-pasal KUHP, yaitu hukuman penjara, kurungan dan denda.
(Wirjono Prodjodikoro, 1989 : 55).
Sedangkan menurut Sudarto, bahwa unsur pertama tindak pidana itu adalah
perbuatan orang, pada dasarnya yang dapat melakukan tindak pidana itu manusia
(natuurlijk personen). Hal ini dapat disimpulkan berdasarkan hal-hal sebagai berikut :
1. Rumusan delik dalam undang-undang lazim dimulai dengan kata “barang
siapa”…. Kata “barangsiapa” ini tidak dapat diartikan lain daripada “orang”.
2. Dalam Pasal 10 KUHP disebutkan jenis-jenis yang dapat dikenakan pada subyek
tindak pidana, sehingga pada dasarnya hanya dapat dikenakan pada manusia.
3. Pengertian kesalahan yang dapat berupa kesengajaan dan kealpaan itu
merupakan sikap dalam batin manusia. (Sudarto, 1990 : 18-19).
Selanjutnya menurut Lamintang, kata “barangsiapa” menunjukan orang yang
apabila orang tersebut memenuhi semua unsur tindak pidana, maka ia dapat disebut
sebagai pelaku atau dader dari tindak pidana tersebut. (Lamintang, 1989 : 107). Dengan
demikian dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud barangsiapa adalah siapapun juga
yang dapat menjadi subyek hukum, yang berarti orang atau manusia yang didakwa
sebagai pelaku.
Berdasarkan hasil penelitian dengan mendasarkan pada fakta-fakta hukum yang
terungkap di persidangan, unsur barangsiapa jika dihubungkan dengan Putusan Perkara
Nomor : 81/Pid.B/2010/PN.Clp., maka unsur “barangsiapa” atau unsur “setiap orang”
dalam hal ini adalah para terdakwa yaitu terdakwa I. Wastar al Madsulhan bin Madiswan
dan terdakwa II. Samirno al madmukti bin Kartamiharja, dengan identitas seperti telah
disebutkan dalam putusan perkara.
Dalam persidangan terbukti, bahwa yang dimaksud barangsiapa atau setiap orang
dalam hal ini adalah siapapun juga yang dapat menjadi subyek hukum, dalam arti
orang/manusia yang didakwa sebagai pelaku tindak pidana. Dalam perkara ini para
terdakwa telah dihadapkan oleh Jaksa Penuntut Umum dengan identitas yang dibenarkan
oleh para terdakwa, dan sesuai pula dengan surat dakwaan, dengan demikian para
terdakwa adalah sebagai subyek hukum.
Selama persidangan berlangsung para terdakwa dapat menjawab setiap
pertanyaan dengan tepat dan dapat pula menanggapi keterangan saksi-saksi, maka
dapatlah dipandang sebagai subyek yang mampu memikul tanggung jawab hukum. Dari
fakta yang ada dapat disimpulkan bahwa unsur barangsiapa atau setiap orang, telah dapat
dibuktikan secara sah dan meyakinkan. Dengan demikian unsur ini telah terpenuhi dan
telah sesuai dengan pendapat para sarjana tersebut di atas.
2) Unsur dengan sengaja
Unsur kesengajaan dapat diuraikan berdasarkan fakta-fakta yuridis yang terungkap di
persidangan, yaitu :
Menurut Moch. Anwar :
Perbuatan menggerakan orang adalah membawa orang itu dengan mempergunakan
sarana-sarana sehingga mau melakukan sesuatu perbuatan yang sebelumnya ia tolak.
(Moch. Anwar, 1986 : 136).
Berdasarkan fakta yang terungkap dalam pemeriksaan di persidangan, diketahui bahwa
terdakwa I dan terdakwa II serta teman-temannya menyetujui untuk membunuh
Madyusron (korban). Hal ini dilakukan para terdakwa dengan cara setelah sampai
digubug korban para terdakwa dan teman-temanya melempari korban dengan batu,
selanjutnya saksi VIII memukul leher korban dengan linggis, terdakwa I menjerat leher
korban dengan tali plastik dan menerik keatas sambil menignjak punggung korban
sementera saki VII dan Sahidin menerik tangan korban ke atas terdakwa II juga memukul
pantat dan kaki korban dengan kayu dadap.
Dari uraian tersebut ternyata para terdakwa tahu dan menyedari akibat dari perbuatannya
yang dilakukan serta menghendaki akibat tersebut, dengan demikian maka unsur dengan
sengaja telah terpenuhi.
3) Unsur dengan direncanakan terlebih dahulu
Unsur direncanakan menurut pendapat R. Soesilo dikatakan bahwa unsur direncanakan
terlebih dahulu (voorbedachte rade) = antara timbulnya maksud untuk membunuh
dengan pelaksanaannya itu masih ada tempo bagi si pembuat untuk dengan tenang
memikirkan misalnya dengan cara bagaimanakah pembunuhan itu akan dilakukan.
Berdasarkan hasil penelitian mendasarkan fakta yang terungkap di persidangan bahwa
terdakwa I mempunyai dendam terhadap korban karena menurut terdakwa I, korban
sebagai tukang santet dan pernah menyantet keluarga terdakwa I. Oleh karena itu
terdakwa I berencana membunuh korban dengan mengajak teman-temannya. Terlebih
dahulu dengan datang ke rumah saksi VIII dan mengajaknya untuk membunuh korban,
lalu terdakwa I juga mengajak terdakwa II dan disepakati setelah maghrib kumpul di
lapangan dekat kebun kelapa. Selanjutnya terdakwa I juga sempat memerintahkan
kepada terdakwa II, saksi VII, saksi VIII untuk masing-masing mengambil batu kurang
lebih sebesar kepalan tangan orang dewasa dan nantinya akan digunakan untuk
melempari korban. Selanjutnya para terdakwa juga telah menyiapkan alat yang akan
digunakan untuk membunuh korban seperti tali, linggis dan kayu.
Berkaitan dengan tempo untuk membunuh berdasarkan hasil penelitian ditemukan fakta
bahwa ajakan terdakwa untuk membunuh korban dimulai dari mengajak saksi VIII jam
15.30 WIB, kemudian mengajak terdakwa II kurang lebih jam 16.00 WIB dan sepakat
berkumpul setelah maghrib, selanjutnya jam 20.00 WIB terdakwa mengajak teman-
temannya berangkat menuju gubug dengan membawa peralatan yang digunakan untuk
membunuh yaitu linggis, batu, golok, senter dan tali plastik. Dengan demikian telah
sesuai dengan pendapat R. Soesilo yang mengatakan : Tempoh ini tidak boleh terlalu
sempit, akan tetapi sebaliknya juga tidak perlu terlalu lama, yang penting ialah apakah
didalam tempoh itu sipembuat dengan tenang masih dapat berpikir-pikir, yang sebenarnya
ia masih ada kesempatakan untuk membatalkan niatnya akan membunuh itu, akan tetapi
tidak ia pergunakan. Dengan demikian unsur direncanakan telah terpenuhi.
4) Menghilangkan nyawa orang lain
Unsur “menghilangkan nyawa orang lain”, disini yang dimaksud adalah perbuatan yang
dilakukan itu mengakibatkan matinya orang dan matinya orang itu dikehendaki oleh si
pelaku. Dalam tindak pidana pembunuhan sebagaimana dirumuskan dalam Pasal 338
KUHP, sipelaku bertujuan untuk merampas nyawa orang lain dan perampasn nyawa itu
dilakukan dengan sengaja atau perbuatan sipelaku ditujukan kepada seseorang manusia.
Menurut Sughandi, dalam peristiwa pembunuhan perlu dibuktikan suatu perbuatan yang
mengakibatkan kematian orang lain, dan kematian itu memang disengaja (Sughandi, 1980
: 357).
Apabila dihubungkan dengan Wastar al Madsulhan bin Madiswan dalam Putusan
Pengadilan Negeri Cilacap Nomor : 81/Pid.B/2010/PN.Clp, unsur keempat Pasal 340
KUHP, yaitu unsur menghilangkan nyawa orang lain telah terbukti. Berdasarkan
keterangan saksi-saksi dan keterangan tedakwa serta visum et repertum yang dibuat oleh
dr. Muslim M, dokter Puskesmas Karangpucung I, Nomor : 440/240/12/01 tertanggal 29
Desember 2009, yang menyatakan bahwa hasil pemeriksaan yang dilakukan dapat
disimpulkan bahwa kematian Korban Madyusron adalah sumbatan jalan nafas dan
benturan keras di dada sebelah kiri.
Oleh karena itu berdasarkan fakta-fakta yang terungkap di persidangan tersebut di atas,
maka dapat disimpulkan bahwa unsur “menghilangkan nyawa orang lain” telah terpenuhi.
5) Dipidana sebagai pelaku, mereka yang melakukan, yang menyuruh melakukan dan
yang turut serta melakukan
Berkaitan dengan jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP dalam perkara ini terkandung
unsur secara bersama-sama. Selengkapnya Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP merumuskan :
Dihukum sebagai orang yang melakukan peristiwa pidana :
1e. Orang yang melakukan, yang menyuruh melakukan atau turut melakukan
perbuatan itu.
R. Soesilo, dengan mendasarkan pada rumusan Pasal 55 ayat (1) KUHP mengatakan :
Disini disebutkan peristiwa pidana, jadi baik kejahatan maupun pelanggaran yang
dihukum sebagai orang yang melakukan disini dapat dibagi atas 4 macam, yaitu :
5. Orang yang melakukan (pleger). Orang ini ialah seorang yang sendirian telah berbuat
mewujudkan segala anasir atau elemen dari peristiwa pidana. Dalam peristiwa pidana
yang dilakukan dalam jabatan misalnya orang itu harus pula memenuhi elemen status
sebagai Pegawai Negeri.
6. Orang yang menyuruh melakukan (doen plegen). Disini sedikitnya ada dua orang,
yang menyuruh (doen plegen) dan yang disuruh (pleger). Jadi bukan orang itu sendiri
yang melakukan peristiwa pidana, akan tetapi ia menyuruh orang lain, meskipun
demikian toch ia dipandang dan dihukum sebagai orang yang melakukan sendiri yang
melakukan peristiwa pidana, akan tetapi ia menyuruh orang lainnya ia tidak dapat
dihukum karena tidak dapat dipertanggungjawabkan atas perbuatannya, misalnya
dalam hal-hal sebagai berikut :
a. tidak dapat dipertanggungjawabkan menurut Pasal 44 KUHP;
b. telah melakukan perbuatan itu itu karena terpaksa oleh kekuasaan yang tidak dapat
dihindarkan (overmacht);
c. telah melakukan perbuatan itu atas perintah jabatan yang tidak syah menurut Pasal
51 KUHP;
d. telah melakukan perbuatan itu dengan tidak ada kesalahan sama sekali.
7. Orang yang turut melakukan (medepleger). Turut melakukan dalam arti kata bersama-
sama melakukan. Sedikit-dikitnya harus ada dua orang, ialah orang yang melakukan
(pleger) dan orang turut melakukan (medepleger) peristiwa pidana. (R. Soesilo, 1990
: 73).
Sedangkan menurut Sugandhi, pengertian “secara bersama-sama”, adalah
dilakukan oleh dua orang atau lebih bersama-sama. Orang yang hanya mengikuti dan
tidak turut melakukan kekerasan, tidak dapat dituntut dengan pasal ini. (Sugandhi, 1980 :
190).
Pengertian bersama-sama, maksudnya adalah paling tidak harus dilakukan oleh
dua orang atau lebih. Pada putusan Perkara No.81/Pid.B/2010/PN.Clp terungkap fakta-
fakta hukum di persidangan bahwa pelakunya adalah para terdakwa I Wastar al
Madsulhan bin Madiswan dan terdakwa II Samirno al Madmukti bin Kartahiharja yang
menurut penulis telah melakukan tindak pidana pembunuhan berencana secara bersama-
sama. Dan perbuatan para terdakwa tersebut diketahui oleh para saksi yang telah
menyampaikan kesaksiannya di persidangan. Dengan demikian unsur secara bersama-
sama telah terbukti secara sah dan meyakinkan dan telah sesuai dengan pendapat R.
Soesilo dan Sugandhi tersebut. Dengan demikian menurut hemat penulis pada Putusan
Perkara No. 81/Pid.B/2010/PN.Clp, unsur turut serta telah terbukti karena pada peristiwa
tersebut para terdakwa adalah sebagai para pelaku. Hal ini dapat dilihat dari ketika para
terdakwa dalam melakukan perbuatannya yaitu diawali dengan terdakwa I datang
menemui saksi Wartam al. Wahyono selanjutnya menuju kerumah terdakwa Wastar alias
Madsulhan lalu mengajak pula saksi Dudung bersama dengan Smirno alias Madmukti
dan Sahidin. Dengan demikian menurut penulis para terdakwa bukannya turut serta
melakukan akan tetapi sebagai orang yang melakukan (plager) atau sebagai orang yang
turut melakukan (medepleger) peristiwa pidana.
b. Perbuatan yang dilakukan bersifat melawan hukum
Menurut Sudarto, salah satu unsur dari tindak pidana dalah sifat melawan hukum.
Perbuatan yang dilarang oleh undang-undang atau perbuatan yang melanggar perintah di dalam
undang-undang itulah perbuatan yang melawan hukum, karena bertentangan dengan apa yang
dilarang oleh atau diperintahkan di dalam undang-undang. Sifat melawan hukum tersebut terdiri
dari sifat melawan hukum yang formil dan sifat melawan hukum yang materiil. (Sudarto, 1990 :
44).
Selanjutnya mengenai sifat melawan hukum yang formil dan sifat melawan hukum yang
materiil, Sudarto mengatakan :
i. Suatu perbuatan bersifat melawan hukum formil adalah apabila perbuatan yang dilakukan
diancam pidana dan dirumuskan sebagai suatu delik dalam undang-undang, sdang sifat
hukumnya perbuatan itu dapat hanya berdasarkan suatu ketnetuan undang-undang. Jadi
menurut ajaran ini melawan hukum sama dengan bertentangan dengan undang-undang
(hukum tertulis).
ii. Suatu perbuatan bersifat melawan hukum materiil, adalah suatu perbuatan baik itu
melawan hukum atau tidak, tidak hanya yang terdapat dalam undang-undang (yang
tertulis) saja, tetapi harus dilihat berlakunya asas-asas ukumyang tidak tertulis. Sifat
melawan hukumnya perbuatan yang nyata-nyata masuk dalam rumusan delik itu dapat
hapus berdasarkan ketentuan-ketentuan undang-undang dan juga berdasarkan aturan-
aturan yang tidak tertulis (uvergestzlich). (Sudarto, 1990 : 45).
Pada putusan perkara No.81/Pid,B/2010/PN.Clp, diperoleh fakta bahwa perbuatan para
terdakwa, merupakan perbuatan yang bersifat melawan hukum formil (hukum tertulis), sebab
perbuatan para terdakwa tersebut telah memenuhi rumusan tindak pidana sebagaimana diatur
dalam Pasal 340 KUHP jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP, yaitu tentang tindak pidana pembunuhan
berencana secara bersama-sama, dengan demikian unsur ini telah terpenuhi.
c. Adanya kesalahan
Menurut Sudarto, untuk adanya syarat pemidanaan diperlukan adanya syarat bahwa orang
yang melakukan tindak pidana itu mempunyai kesalahan atau bersalah. Unsur kesalahan sangat
menentukan dari perbuatan seseorang sehingga apabila seseorang dianggap telah terbukti bersalah
oleh pengadilan, maka ia dapat dijatuhi pidana. Di sini berlaku asas “tiada pidana tanpa
kesalahan”. (Sudarto, 1990 : 1).
Selanjutnya dikatakan oleh Sudarto, kesalahan itu mempunyai tiga arti yaitu sebagai berikut
a. Kesalahan dalam arti yang seluas-luasnya, yang dapat disamakan dengan pengertian
pertanggungjawaban dalam hukum pidana, di dalamnya terkandung makna dapat
dicelanya (verwijtbaarheid) si pembuat atas perbuatannya;
b. Kesalahan dalam arti bentuk kesalahan (schuldnorm) yang berupa :
i. kesengajaan (dolus);
ii. kealpaan (culpa).
c. Kesalahan dalam arti sempit ialah kealpaan (culpa) seperti yang disebutkan dalam b.2 di
atas.
Dijelaskan lebih lanjut bahwa kesalahan dalam arti seluas-luasnya terdiri atas tiga unsur,
yaitu sebagai berikut :
1) adanya kemampuan bertanggungjawab pada si pembuat, artinya keadaan si pembuat
harus normal;
2) hubungan batin antara si pembuat dengan perbuatannya, yang berupa kesengajaan
(dolus) atau kealpaan (culpa);
3) tidak ada alasan yang menghapus kesalahan atau tidak ada alasan pemaaf.
Bila ketiga unsur tersebut terpenuhi, maka orang bersangkutan dinyatakan bersalah atau
mempunyai pertanggungjawaban pidana, sehingga orang tersebut dapat dipidana. (Sudarto,
1990 : 4).
Berikut ini akan diuraikan mengenai ketiga unsur kesalahan tersebut di atas yaitu :
1. Adanya kemampuan bertanggung jawab
Kemampuan bertanggung jawab menurut Sudarto adalah :
Di dalam KUHP kemampuan bertanggung jawab tidak dirumuskan secara tegas, tetapi
ada pasal menunjuk kea rah itu, yaitu dalam Pasal 44 KUHP yang merumuskan :
Barangsiapa mengerjakan suatu perbuatan yang tidak dapat dipertanggungjawabkan
kepadanya karena kurang sempurna akalnya atau karena sakit berubah akal tidak boleh
dihukum.
Ketentuan undang-undang ini tidak memuat apa yang dimaksud dengan tidak mampu
bertanggung jawab, pasal ini hanya memuat alasan yang terdapat pada diri si pembuat,
sehingga perbuatan yang dilakukan tidak dapat dipertanggungjawabkan. (Sudarto, 1990 : 6).
Di persidangan dalam Putusan Perkara No.81/Pid.B/2010/PN.Clp telah ditemukan
fakta-fakta hukum bahwa terdakwa I dan terdakwa II dinilai mampu bertanggung jawab dan
mampu untuk menilai bahwa perbuatan yang telah dilakukan adalah suatu perbuatan yang
dilarang oleh undang-undang.
2. Adanya kesengajaan (dolus) atau kealpaan (culpa)
Petunjuk untuk dapat mengetahui arti kesengajaan, dapat diambil dari MvT (Memorie van
Toelichting) dan mengetahui. Jadi dapatlah dikatakan, bahwa sengaja berarti menghendaki dan
mengetahui apa yang dilakukan. (Sudarto, 1990 : 11).
Dalam kasus yang penulis teliti terhadap Putusan Perkara No.81/Pid.B/2010/PN.Clp tersebut di
atas, perbuatan yang dilakukan para terdakwa dalam perkara tindak pidana pembunuhan
berencana secara bersama-sama merupakan bentuk kesengajaan. Disini nampak bahwa sejak
semua telah terdapat adanya iktikad buruk atau niat jahat dari para terdakwa untuk membunuh
korban.
3. Tidak ada alasan pemaaf
Menurut Sudarto dikatakan :
Alasan pemaaf adalah menyangkut pribadi si pembuat, dalam arti bahwa orang ini tidak dapat
dicela (menurut hukum), meskipun perbuatannya bersifat melawan hukum, jadi disini ada alas
an yang menghapuskan kesalahan si pembuat, sehingga tidak mungkin ada pemidanaan. Alasan
pemaaf seperti diatur dalam Pasal 44 KUHP (tidak mampu bertanggung jawab), Pasal 49 ayat
(2) KUHP (noodweerexces) dan Pasal 51 ayat (2) KUHP (dengan iktikad baik melaksanakan
perintah jabatan). (Sudarto, 1990 : 3).
Dalam Putusan Perkara No.81/Pid.B/2010/PN.Clp telah terbukti bahwa dalam diri
para terdakwa terdapat adanya kesalahan yang meliputi mampu bertanggungjawab, yaitu
dalam keadaan normal dan dilakukan dengan sengaja yang diwujudkan dengan cara terdakwa
“secara bersama-sama mereka melempari korban hingga jatuh roboh ketanah, pada saat itu
saksi Wartam als. Wahyono memukul leher korban dengan menggunakan linggis, selanjutnya
terdakwa II menjerat leher korban dengan menggunakan tambang plastic serta meneriknya ke
atas sambil menginjak punggung korban. Hal ini diartikan bahwa terdakwa memang sengaja
ingin membunuh korban. Oleh karena itu tidak ada alasan pemaaf, jadi hakim tetap
menyatakan para terdakwa bersalah melakukan tindak pidana.
Pada putusan perkara No. 81/Pid.B/2010/PN.Clp, juga diperoleh fakta hukum bahwa
para terdakwa terbukti dapat mempertanggungjawabkan perbuatannya, melakukan
perbuatannya dengan sengaja dan tidak ada alasan pemaaf. Jadi perbuatan para terdakwa telah
memenuhi ketiga unsur yang mencukupi untuk dilakukan pemidanaan atas dirinya, dan sesuai
dengan pendapat Sudarto yang meliputi :
a. perbuatan yang memenuhi rumusan undang-undang,
b. bersifat melawan hukum,
c. adanya kesalahan yang meliputi : mampu bertanggung jawab, adanya dolus atau
culpa dan tidak ada alasan pemaaf.(Sudarto, 1990 : 4).
Dengan telah terbuktinya semua unsur dalam Pasal 340 KUHP jo Pasal 55 ayat (1) ke-
1 KUHP dan terpenuhinya semua syarat pemidanaan, maka pada putusan perkara
No.81/Pid.B/2010/PN.Clp Majelis Hakim berpendapat bahwa para terdakwa terbukti secara
sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana pembunuhan berencana secara
bersama-sama.
BAB V
PENUTUP
Simpulan
1. Pertanggungjawaban pidana terhadap para terdakwa dalam tindak pidana
pembunuhan berencana secara bersama-sama pada Putusan Perkara No.
81/Pid.B/2010/PN.Clp.
Pertanggungjawaban pidana para terdakwa dalam Putusan Perkara No.
81/Pid.B/200/PN.Clp, nampak bahwa perbuatan menghilangkan nyawa orang lain yang dilakukan
dengan direncanakan terlebih dahulu secara bersama-sama adalah terkandung makna dapat
dicelanya para terdakwa atas perbuatannya. Hal ini terlihat dari sikap terdakwa I yang memusuhi
korban, untuk selanjutnya para terdakwa menghilangkan nyawa korban sehingga perbuatan
tersebut merupakan perbuatan yang dapat dicela oleh masyarakat. Kesalahan yang dilakukan para
terdakwa berupa kesengajaan (dolus), dengan cara merencanakan dulu yaitu ajakan menghabisi
nyawa korban disepakati oleh saksi dengan membawa peralatan seperti linggis, tali plastik, golok
dan cangkul serta senter.
Hakim juga telah menilai unsur kesalahan meliputi adanya kemampuan bertanggungjawab
pada siterdakwa, artinya keadaan jiwa siterdakwa harus normal. Berdasarkan hasil penelitian,
hakim dapat membuktikan bahwa keadaan jiwa terdakwa pada saat melakukan tindak pidana
adalah dalam keadaan normal (psykis). Hal ini terlihat para terdakwa yang pada saat melakukan
tindak pidana dalam keadaan normal psychis dan kematangan (kecerdasan). Sehingga para
terdakwa mampu untuk mengerti nilai dari akibat-akibat perbuatannya sendiri, mampu untuk
menyadari, bahwa perbuatannya itu menurut pandangan masyarakat tidak dibolehkan (dicela),
serta para terdakwa mampu untuk menentukan kehendaknya atas perbuatan-perbuatannya itu.
Tidak adanya alasan yang menghapuskan kesalahan atau tidak ada alasan pemaaf para
terdakwa, hal ini menurut pertimbangan hakim para terdakwa dalam melakukan tindak pidana
dapat mempertanggungjawabkan perbuatannya yaitu tidak karena pembelaan terpaksa serta daya
paksa. Dengan demikian hakim berkesimpulan bahwa para terdakwa dinyatakan bersalah atau
mempunyai pertanggung jawaban pidana sehingga para terdakwa bisa dipidana.
2. Dasar pertimbangan Hakim dalam menjatuhkan putusan pidana dalam tindak
pidana pembunuhan berencana secara bersama-sama pada Putusan Perkara No.
81/Pid.B/2010/PN.Clp.
Hakim Pengadilan Negeri Cilacap dalam menjatuhkan putusan pidana pada Putusan
Perkara No. 81/Pid.B/2010/PN.Clp telah mempertimbangkan dasar penjatuhan pidana yaitu :
a. Hal-hal yang memberatkan para terdakwa I yaitu : terdakwa menyembunyikan mayat korban,
perbuatannya sangat meresahkan masyarakat, pembunuhannya dilakukan secara sadis.
Sedangkan untuk terdakwa II hal yang memberatkan adalah sudah menikmat uang lelah yang
diberikan terdakwa I.
b. Para terdakwa dituntutan oleh Jaksa Penuntut Umum dengan pidana penjara masing-masing
selama 4 tahun, tetapi Majelis Hakim dalam putusan pidananya menjatuhkan pidana penjara
untuk terdakwa I selama 9 tahun dengan pertimbangan karena terdakwa I berperan sebagai
orang yang mempunyai ide dan rencana untuk membunuh korban serta terdakwa I juga masih
ada hubungan keluarga dengan korban. Sedangkan terdakwa II dipidana dengan pindana
penjara selama 7 tahun dengan pertimbangan karena terdakwa II berperan sebagai orang yang
turut serta melakukan perbuatan.
Terhadap fakta-fakta tersebut di atas, secara yuridis telah sesuai dan terbukti telah memenuhi
sebagaimana dirumuskan dalam Pasal 340 KUHP jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP. Dari fakta-
fakta tersebut telah membuah keyakinan Majelis Hakim sebagai dasar pertimbangan hakim dalam
menjatuhkan pidana terhadap tindak pidana pembunuhan berencana secara bersama-sama. Oleh
karena itu hakim selanjutnya menjatuhkan putusan pidana terhadap para terdakwa, dengan tujuan
untuk para terdakwa agar tidak mengulangi perbuatannya dan kepada masyarakat supaya jangan
meniru perbuatan pidana yang dilakukan para terdakwa.
DAFTAR PUSTAKA
Ali, Mahrus, 2011. Dasar-Dasar Hukum Pidana, Sinar Grafika, Jakarta
Anwar, Moch., 1986. Hukum Pidana Bagian Khusus (KUHP Buku II) Jilid I, Alumni, Bandung.
Bassar, Soedradjat, M., 1986. Tindak-tindak Pidana Tertentu. Ghalia, Bandung
Bawengan, GW. 1973. Penyidikan Perkara Pidana dan Teknik Introgasi, Pradnya Paramita Jakarta.
Hamzah, Andi, 1984. Hukum Acara Pidana Indonesia, Edisi Revisi. CV Artha Jaya. Jakarta
Kartanegara, Satochid, 1990. Bagian Satu, Hukum Pidana. Kumpulan Kuliah. Balai Lektur
Mahasiswa, Jakarta.
Koeswadji, 1980. Kejahatan Terhadap Nyawa, Asas-asas dan Permasalahannya, Cetakan I. Sinar
Wijaya, Surabaya.
Lamintang, P.A.F. 1989. Delik-delik Khusus Kejahatan-kejahatan Terhadap Harta Kekayaan,
Bandung, Sinar Baru.
________, 1984. Delik-delik Khusus Tindak Pidana Melanggar Norma-norma Kesusilaan dan
Kepatutan. Mandar Maju, Bandung.
Moeljatno, 1982. Azas-azas Hukum Pidana. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.
________, 1985. Delik-delik Percobaan dan Delik-delik Penyertaan. PT. Bina Aksara, Jakarta.
_________, 1987. Asas-asas Hukum Pidana. PT. Bina Aksara, Jakarta
________. 1996. Kitab Undang-undang Hukum Pidana. Bumi Aksara, Jakarta.
Muladi dan Arief, Nawawi, Barda. 1992. Teori-teori Dan Kebijakan Hukum Pidana. Alumni,
Bandung.
Prasetyo, Teguh, 2010. Hukum Pidana, Rajawali Pers, Jakarta.
Prodjodikoro, Wirjono, 1980. Tindak Pidana Tertentu Di Indonesia. Eresco, Bandung
Poernomo, Bambang, 1985. Asas-asas Hukum Pidana Indonesia. Ghalia Indonesia, Jakarta.
________, 1982. Asas-asas Hukum Pidana. Terbitan Keempat, Ghalia Indonesia, Jakarta.
Remmelilnk, Jan, 2003. Hukum Pidana, Komentar atas pasal-pasal terpenting dari Kitab Undang-
Undang Hukum Pidana Belanda dan padanannya dalam Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana Indonesia, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
Roeslan, Saleh 1980. Perbuatan Pidana dan Pertanggungjawaban Pidana. PT. Karya Nusantara,
Jakarta.
Saleh, Roeslan, 1983. Sifat Melawan Hukum Dari Perbuatan Pidana, Aksara Baru, Jakarta.
Soemitro, Hanitijo, Ronny. 1988. Metodologi Penelitian Hukum dan Yurimetri, Ghalia Indonesia,
Jakarta.
Soesilo, R., 1988. Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) Serta Komentar-komentarnya
Lengkap Pasal Demi Pasal, Politea, Bogor.
Sudarto, 1990. Hukum Pidana I. Cetakan ke II. Yayasan Sudarto, Semarang..
WEB. (http://kitabpidana.blogspot.com/2012/04)