peran komisi kepolisian nasional ... - fakultas hukum...
TRANSCRIPT
i
PERAN KOMISI KEPOLISIAN NASIONAL (KOMPOLNAS) DALAM
PENGAWASAN PERKARA PIDANA DI TINGKAT PENYIDIKAN
SKRIPSI
Untuk Memenui Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Hukum
Pada Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman
Oleh:
Dyah Tantri Tillotami
E1A010042
KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN
UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
FAKULTAS HUKUM
PURWOKERTO
2014
ii
iii
iv
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah
melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan
skripsi yang berjudul: PERAN KOMISI KEPOLISIAN NASIONAL
(KOMPOLNAS) DALAM PENGAWASAN PERKARA PIDANA DI TINGKAT
PENYIDIKAN. Melalui kesempatan ini, penulis menyampaikan rasa hormat dan
terima kasih yang tulus kepada:
1. Bapak Dr. Angkasa, S.H., M.Hum, selaku Dekan Fakultas Hukum
Universitas Jenderal Soedirman.
2. Bapak Sanyoto, S.H., M.Hum. selaku Ketua Bagian Hukum Acara Fakultas
Hukum Universitas Jenderal Soedirman.
3. Bapak Dr. Hibnu Nugroho, S.H., M.H. dan ibu Handri Wirastuti Sawitri,
S.H., M.H. selaku Dosen Pembimbing skripsi penulis, atas segala bimbingan,
bantuan, arahan, dukungan dan masukan yang telah diberikan selama
penulisan skripsi ini. Terima kasih atas bimbinganya semoga suatu saat nanti
penulis dapat membalas jasa yang telah Bapak dan Ibu berikan. Walaupun
penulis tahu, Bapak dan Ibu tidak mengharapkan imbalan apapun dari
penulis.
4. Bapak Pranoto, S.H., M.H. Dosen Penguji skripsi penulis yang telah bersedia
untuk menjadi penguji penulis.
5. Bapak Komari, S.H., M.Hum, selaku Dosen Pembimbing Akademik
penulis.Terima kasih atas kebaikan serta kesediannya setiap kali penulis
berkonsultasi Kartu Rencana Studi (KRS).
v
6. Segenap dosen, karyawan, dan karyawati serta keluarga besar Fakultas
Hukum Universitas Jenderal Soedirman, yang telah berjasa kepada Penulis
selama menempuh kuliah.
7. Ibuku tercinta Maria Stephanie wanita terhebat yang telah melahirkan,
menyayangi, membesarkan, mendoakan dan memberikan motivasi kepada
penulis.
8. Mamah ku tersayang Suryati wanita yang telah merawat, menyayangi,
membesarkan, mendoakan dan memberikan motivasi kepada penulis.
9. Bapakku Kusmanto lelaki yang telah mendidik, menyayangi, mendoakan dan
selalu memberikan motivasi kepada penulis sehingga penulis dapat
menyelesaikan skripsi.
Terimakasih atas semua cinta, perjuangan, dukungan, nasihat-nasihat serta
doa yang terus-menerus diberikan kepada penulis hingga saat ini.Terimakasih
yang setulus-tulusnya untuk kalian, walaupun penulis tahu bahwa ucapan
terimakasih tidak cukup untuk mewakili betapa penulis bangga dan sayang
terhadap kalian, semoga Allah SWT membalas segalanya yang telah papa dan
mama berikan kepada saya. Amin.
10. Adikku tercinta Dyah Niken Larasati, Dimas Tantra Eswaryapada, dan Dimas
Rakyan Suryokusumo yang telah mendoakan penulis.
11. Anak-anak “BOBO” betty, ika, aya, ama, pika, ein, dini, syarah, anti, kiki,
budi, hilman yang telah memberikan warna-warni selama kuliah dari sedih,
senang, banyak cerita indah yang tak pernah penulis lupakan.
vi
12. Teman-teman “PLKH” riska, ica, usi, haya, ama, arif, oki, syarah, ika,
hilman, ai terimakasih atas kerjasamanya.
13. Keluarga Besar Justitia English Club, Organisasi tempat penulis menimba
ilmu dan berproses.
14. My partner in Public Relation JEC bondan you are the best, zhara, loria, saad,
and andra terimakasih atas semua hal menyenangkan yang sudah kalian
berikan untuk penulis.
15. My partner skripsweet pika dan deta terimakasih atas semua semangat yang
telah diberikan sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.
16. Terimakasih banyak buat mira, ana, tami, fajar, nanda tidak ada kata-kata lain
yang dapat menggambarkan kalian kecuali “kalian luar biasa”.
17. Keluarga Besar FH UNSOED angkatan 2010, teman-teman UKM di kampus
merah, serta semua pihak yang turut membantu dan tidak mungkin penulis
sebutkan satu persatu.
18. Temen-temen terbaik ku di luar Fakultas Hukum Unsoed baning, ifha, dita,
dan farah terimakasih untuk semua doa dan semangat yang kalian berikan
untuk penulis.
Semoga segala kebaikan yang mereka berikan kepada penulis,
mendapatkan balasan sebesar-besarnya dari ALLAH SWT. Penulis juga
memohon maaf kepada semua pihak apabila terdapat kesalahan dalam ucapan
maupun tindakan selama berproses di FH UNSOED. Akhir kata, semoga
skripsi ini dapat bermanfaat dan menambah pengetahuan tentang Hukum
vii
Acara khususnya Hukum Acara Pidana.
Purwokerto, Agustus 2014
DYAH TANTRI TILLOTAMI
E1A010042
viii
PERAN KOMISI KEPOLISIAN NASIONAL DALAM PENGAWASAN
PERKARA PIDANA DI TINGKAT PENYIDIKAN
Oleh:
Dyah Tantri Tillotami
E1A010042
ABSTRAK
Dewasa ini kinerja para aparatur penegak hukum khususnya dalam hal ini
lembaga kepolisian makin banyak disorot dan menjadi perhatian publik akibat
kinerjanya yang buruk. Sebagai lembaga pengawas eksternal Polri Komisi
Kepolisian Nasional (Kompolnas) turut berkewajiban untuk memperbaiki kinerja
Polri sehingga, penelitian ini bertujuan untuk mengetahui peran dan hambatan
yang dialami oleh Kompolnas dalam melaksanakan pengawasan perkara pidana
khususnya di tingkat penyidikan. Guna mencapai tujuan tersebut maka penelitian
ini dilakukan dengan menggunakan metode penelitian yuridis normatif dengan
spesifikasi penelitian preskriptif.
Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) mempunyai dua peran pokok
dalam melaksanakan pengawasan perkara pidana di tingkat penyidikan yang
tertuang dalam Perpres Nomor 17 tahun 2011 yaitu sebagai lembaga pengawas
eksternal Polri dan sebagai penerima Saran dan keluhan dari Masyarakat (SKM).
Terdapat 3 kendala yang dialami Kompolnas dalam melaksanakan peranya
tersebut. Kendala internal Kompolnas yang pertama adalah kurangnya sumber
daya berupa man power dan wewenang punitif yang tidak dimiliki Kompolnas.
Kendala internal kedua Kompolnas adalah kurangnya kecepatan waktu yang
dibutuhkan oleh Polda untuk membalas surat permohonan klarifikasi yang
dikirimkan oleh Kompolnas. Kendala eksternal Kompolnas dalam melaksanakan
tugasnya adalah kesediaan untuk diawasi dan kesediaan untuk berubah anggota
Polri yang melakukan pelanggaran.
Kata Kunci : peran, pengawasan, penyidikan.
ix
ABSTRACT
The current performance of law enforcement, especially police department
is high lighted and become public attention cause of it’s bad performance. As
anexternal monitoring department of the National Police Commission Police
(Kompolnas) is also obliged to improve the performance of the Police so, the aim
of this research is to perceive the roleand the obstacle experienced by the
National Police Commissionin carrying out the supervision of the criminal case,
especially on investigation. To achieve the goal, the research was conducted
using research methods to the specification of normative juridical prescriptive
research.
National Police Commission (Kompolnas) has two main roles in carrying
out surveillance on investigation of criminal cases which statein Presidential
Decree No. 17of 2011 is as an external regulatory department and the police as
the recipient of the Community Suggestions and complaints (SKM). There are 3
obstacles by the National Police Commission in carrying out the role. Internal
constraints in Kompolnas the first is the lackness of human resources in the form
of man power and authority that is not owned Kompolnas punitive. The second
internal constraints is the lackness of speed Kompolnas time required by the
Police to reply to requests for clarification submitted by the National Police
Commission. Kompolnas external constraintsin performing their duties is
awillingness to be supervised and willingness to change members of the police
who committed the offense.
Keywords: role, supervision, investigation.
x
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL......................................................................................... i
LEMBAR PENGESAHAN.............................................................................. ii
SURAT PERNYATAAN.................................................................................. iii
KATA PENGANTAR....................................................................................... iv
ABSTRAK......................................................................................................... viii
ABSTRACT........................................................................................................ ix
DAFTAR ISI..................................................................................................... x
DAFTAR SINGKATAN.................................................................................. xii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah............................................................................. 1
B. Perumusan Masalah.................................................................................... 8
C. Tujuan Penelitian........................................................................................ 8
D. Kegunaan Penelitian................................................................................... 9
1. Kegunaan Teoritis................................................................................... 9
2. Kegunaan Praktis.................................................................................... 9
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. Penyidikan................................................................................................ 10
1. Penyidikan Secara Umum....................................................................... 10
2. Proses Penyidikan oleh penyidik.......................................................... 15
a. Penangkapan.................................................................................. 18
b. Penahanan...................................................................................... 22
xi
c. Penggeledahan............................................................................... 31
d. Penyitaan........................................................................................ 38
e. Pemeriksaan Surat......................................................................... 45
f. Penghentian Penyidikan................................................................. 54
B. Komisi Kepolisian Nasional..................................................................... 49
1. Pengertian Kompolnas....................................................................... 49
2. Fungsi, Tugas dan Wewenang Kompolnas....................................... 50
3. Peran Kompolnas............................................................................... 53
BAB III METODE PENELITIAN
A. Metode penelitian..................................................................................... 56
B. Spesifikasi Penelitian................................................................................ 57
C. Lokasi Penelitian ..................................................................................... 57
D. Sumber Hukum......................................................................................... 58
E. Metode Pengambilan Data........................................................................ 58
F. Metode penyajian data.............................................................................. 60
G. Analisa data.............................................................................................. 60
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PE,BAHASAN
A. Hasil Penelitian........................................................................................ 61
B. Pembahasan.............................................................................................. 94
BAB V SIMPULAN DAN SARAN
A. Simpulan................................................................................................. 115
B. Saran....................................................................................................... 115
xii
DAFTAR SINGKATAN
Divpropam Divisi Profesi dan Pengamanan (Polri)
HIR Herziene Inlandsch Reglement
Interface Interaksi, interkoneksi dan interdependensi
Irwasda Inspektur Pengawas Daerah (Polda)
Itwasum Inspektorat Pengawasan Umum
JSI Jaringan Suara Indonesia
Kapolri Kepala Kepolisian Rpublik Indonesia
Kemenpan Kementrian Pendayagunaan Aparatur Negara
Komnas HAM Komisi Nasional Hak Asasi Manusia
Kompolnas Komisi Kepolisian Nasional
KPAI Komisi Perlindungan Anak Indonesia
KUHAP Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana
KUHP Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
KPK Komisi Pemberantasan Korupsi
Perpres Peraturan presiden
SKM Saran dan Keluhan Masyarakat
Polri Kepolisian Republik Indonesia
Sekjen DPR Sekertaris jenderal Dewan Perwakilan Rakyat
SPI Pengawas Internal Polri
SP3 Surat Pemberitahuan Penghentian Penyidikan
TII Transparancy Internasional Indonesia
UKP 4 Unit Kerja Presiden Bidang Pengawasan dan
Pengendalian Pembangunan
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Istilah criminal justice system secara harafiah diartikan sebagai sistem
peradilan pidana. Sistem peradilan pidana ini menurut Mulyadi1 merupakan suatu
jaringan (network) peradilan yang menggunakan hukum pidana sebagai sarana
utamanya, baik hukum pidana materiil, hukum pidana formil, maupun
pelaksanaan hukum pidana yang pada hakekatnya merupakan open system.2
Bersifat terbuka (open system) karena pengertian Sistem Peradilan Pidana dalam
geraknya akan selalu mengalami interface (interaksi, interkoneksi dan
interdependensi) dengan lingkungannya dalam peringkat-peringkat masyarakat :
ekonomi, politik, pendidikan dan teknologi serta sub sistem sub sistem dari
Sistem Peradilan Pidana itu sendiri (subsystem of criminal justice system ).3 Pada
sistem peradilan pidana ini masukannya (input) adalah perkara pidana atau
kejahatan termasuk pelanggaran (overtredingen) dan kejahatan ringan yang
tercatat. Sedangkan keluarannya (out-put) yang bersifat langsung berupa hukuman
penjara, menimbulkan nista, pencabutan hak milik maupun hukuman mati.4
Aparatarur penegak hukum yang di miliki oleh Indonesia sebagai bagian
dari suatu Criminal Justice system saat ini adalah lembaga kepolisian, kejaksaan,
1 Mulyadi, Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana, Badan Penerbit Universitas
Diponegoro Semarang, Cetakan ke-II. 2002, hlm.4. 2 Ibid, hlm. 2.
3 Muladi dalam Mahrus Ali, 2007, Sistem Peradilan Pidana progresif;Alternatif Dalam
penegakan Hukum Pidana, Jurnal Hukum Program Pascasarjana FH-UII, Vol. 14, Program
Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia, hlm. 218. 4 ML. HC. Hulsman, Sistem Peradilan Pidana Dalam Prespektif Perbandingan Hukum,
Disadur oleh Soedjono Dirjosisworo, Rajawali, Jakarta, 1984, hlm. 2.
2
kehakiman dan lembaga pemasyarakatan. Kinerja aparatur penegak hukum di
Indonesia saat ini memang telah menjadi sorotan oleh masyarakat Indonesia
Jaringan Suara Indonesia (JSI)5 mengatakan bahwa terjadi penurunan kepuasan
publik terhadap kinerja lembaga hukum di Indonesia dari tahun ke tahun sejak Juli
2009 sampai Oktober 2011. Bahkan berdasarkan data survei yang di ambil oleh
Transparancy Internasional Indonesia (TII)6 mengatakan bahwa Polri sebagai
lembaga terkorup di Indonesia.
Bicara mengenai polisi pasti berbicara juga mengenai tugas-tugasnya
sebagai lembaga keamanan negara. Menurut Undang-Undang Nomor 2 Tahun
2002 tentang kepolisian Negara Republik Indonesia Pasal 13 tugas polisi yaitu :
1. Memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat;
2. Menegakkan hukum; dan
3. Memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada
masyarakat.
Apabila dijabarkan lebih lanjut mengenai tugas polisi yang pertama yaitu
Memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, dalam melaksanakan tugas ini
polisi harus tetap memperhatikan norma-norma dan nilai-nilai yang berlaku dalam
bingkai integritas wilayah hukum Negara Kesatuan Republik Indonesia. Pada
tugas polisi yang kedua yaitu sebagai aparat penegakkan hukum harus di
laksanakan secara profesional dan proporsional dengan menjunjung tinggi
supremasi hukum dan hak asasi manusia menuju kepada adanya kepastian hukum
dan rasa keadilan. Ketiga memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan
5 Tempo.co, Tingkat Kepercayaan Publik Terhadap Kinerja Lembaga Hukum Turun,
http://m.tempo.co/read/news/2011/11/02/063364495/Tingkat-Kepercayaan-Publik-Terhadap-
Kinerja-Lembaga-Hukum-Turun, di akses pada tanggal 6 April 2014, Pukul 21.38 WIB. 6Portalkbr.com, Polisi Terkorup dan Tantangan Kapolri Baru,
http://www.portalkbr.com/berita/perbincangan/2947874_5534.html, di akses pada tanggal 6 April
2014, Pukul 22.08 WIB.
3
kepada masyarakat meliputi aspek security, surety, safety, dan peace sehingga
masyarakat bebas dari gangguan psikis maupun fisik.7
Hal yang menarik untuk dikaji lebih lanjut adalah kata “pelayanan
masyarakat” yang terdapat pada poin ke 3 dalam tugas kepolisian karena
memiliki arti yang ambigu sebab memberikan penekanan pada obyek yang
dilayani (masyarakat) tanpa memberikan batasan tentang apa yang dilayani.
Dengan menggunakan kata “pelayan masyarakat” polri dapat dituntut oleh setiap
masyarakat untuk melayani segala sesuatu yang mungkin diluar bidang tugas dan
wewenangnya seperti yang dialami oleh kepolisian amerika serikat.8 Kata
“pelayanan masyarakat” sebenarnya mengandung pengertian yang tak jauh beda
dengan “pelayanan kepolisian” yang ini berarti bahwa pelayanan oleh polisi
kepada masyarakat. Pelayanan disini tidak mencakup segala sesuatu yang
dibutuhkan oleh masyarakat tetapi terbatas pada hal-hal yang berkaitan dengan
fungsi kepolisian. 9
Melihat tugas tersebut tentunya polisi sudah mendapatkan posisi yang
penting dalam peningkatan keamanan negara yang dalam hal ini adalah Negara
Kesatuan Republik Indonesia atau yang biasa di singkat NKRI di samping tentara.
Menurut pendapat Kunarto10
tahun 1997 yang dikutip dari sebuah website
“sejarah kepolisian tumbuh dan berkembang bersama dengan tumbuh dan
berkembangnya peradaban manusia. Setiap peradaban manusia yang
7 Organisasi Polri-Visi Misi, http://www.polri.go.id/organisasi/op/vm/, Diakses pada
tanggal 30 April 2014 Pukul 9.02 WIB. 8 Koeparmono Irsan, Adrianus, Farouk, dkk,. 2000. Polisi Indonesia. Jurnal Polisi
Indonesia Program Pascasarjana KIK-UI. Vol.2. Program Pascasarjana Kajian Ilmu Kepolisian
Universitas Indonesia dan Yayasan Obor Indonesia. Hal. 30. 9 Ibid., Hal. 30.
10 La patuju. Polisi di mata masyarakat. http://lapatuju.blogspot.com/2013/04/polisi-di-
mata-masyarakat.html. di akses pada tanggal 24 Februari 2014 pukul 20.38 WIB.
4
memulai dan merasakan perlunya keamanan, ketentraman, dan ketertiban
dalam mempertahankan kehidupannya, pada saat itulah sebenarnya fungsi
polisi itu ada, tumbuh dan berkembang. “
Apabila menghayati latar belakang pembentukan lembaga kepolisian, kita
dapat mengidentifikasi bahwa harapan masyarakat yang esensial dari
penyelenggaraan fungsi kepolisian hanya mencakup timbulnya rasa keamanan dan
adanya kepastian hukum. Pertanggungjawaban kepolisian tidak hanya
mencangkup “apa yang di lakukannya” tapi juga “bagaimana melakukannya”
dalam hal ini polisi harus melaksanakan tugas-tugasnya sesuai dengan aturan
hukum oleh karena itu aspek ke 3 dari harapan masyarakat adalah ditegakannya
keadilan.11
Kepolisian tidak mungkin berhasil menjalankan tugasnya untuk mencapai
tujuan tanpa dukungan masyarakat. Kepercayaan masyarakat dapat dicapai
apabila Polri mampu menyajikan layanan jasa kepolisian dan melalui proses
hukum dan apabila polisi dapat di senangi oleh masyarakat. Agar dapat disenangi
oleh masyarakat polisi di tuntut untuk dapat bersikap simpatik dalam
melaksanakan tugasnya.
Dewasa ini banyak sekali kasus-kasus yang membuat nama polisi
tercoreng sehingga sulit untuk mendapatkan simpati dari masyarakat, salah satu
kasus yang sering terjadi adalah kekerasan baik fisik maupun nonfisik yang
dilakukan oleh anggota polisi pada saat proses penyidikan contohnya adalah kasus
11
Koeparmono Irsan, Adrianus, Farouk, dkk. Loc.Cit., Hal 31.
5
salah tangkap di sertai penganiayaan terhadap susanto, waga Giriputro
Wonogiri.12
Padahal saat ini cara penyidikan dengan kekerasan Inkusitur sudah di
larang dan diganti dengan cara penyidikan Akusatur. Para pembuat Undang-
Undang berusaha untuk memahami tentang hak-hak tersangka atau terdakwa yang
secara langsung ada hubungannya dengan sistem pemeriksaan dalam penyelidikan
dan selama dipersidangan, sehingga munculah 2 teknik pemeriksaan yaitu
Inqusitoir (inkusitur) dan Aqusitoir (akusitur).
Setiap penyidikan dan penyelidikan harus didasarkan pasa azas praduga
tak bersalah. Anggota Polri selalu di berikan arahan agar tidak melakukan
kekerasan kepada masyarakat. Pada Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981
tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana sendiri para pembuat
Undang-undang sudah memikirkan mengenai tatacara penangkapan, penahanan
serta bagaimana cara melindungi hak-hak tersangka terdakwa bahkan terpidana
karena bagaimanapun juga proses penegakan hukum di Indonesia harus
berpedoman pada asas Equality before the law atau asas perlakuan sama
dihadapan hukum. Tersangka sendiri termasuk kedalam subjek yang harus di
lindungi hak asasinya hal ini sesuai dengan KEPKAP Nomor 8 tahun 2009
tentang Implementasi Pelaksanaan Hak Asasi Manusia.
Aturan-aturan di atas tentunya sudah memberikan perintah kepada para
penegak hukum untuk memperlakukan tersangka atau terdakwa secara manusiawi
dan tetap memperhatikan hak-hak mereka, tapi pada kenyataanya masih banyak
12
Wisnu Adhi Nugroho, Diduga Menganiaya Empat Anggota Polres Wonogiri Terancam
Dipecat, http://www.antarajateng.com/detail/index.php?id=73920, diakses pada tanggal 31 Mei
2014 Pukul 6.28 WIB.
6
kekerasan yang dilakukan oleh aparat kepolisian dalam suatu proses penyidikan
dan hal ini menggambarkan kurang profesionalnya kinerja polisi saat ini. Salah
satu alasan mengapa kinerja polisi tidak profesional adalah tidak adanya lembaga
pengawas. Selama lembaga pengawas tidak ada maka aturan-aturan tersebut
agaknya susah untuk ditegakan dengan baik.
Pembuatan dan penguatan mekanisme kontrol dan pengawasan terhadap
sektor keamanan merupakan bagian dari agenda demokratisasi pasca 1998.
Tujuannya adalah mencegah potensi abuse of power dan juga memastikan
akuntabilitas penyelenggaraan kekuasaan negara. Salah satu institusi di sektor
keamanan yang tidak luput dari agenda itu adalah Kepolisian Republik Indonesia
(Polri), bersamaan dengan jalannya reformasi institusi tersebut. 13
Reformasi Polri mulai sejak tahun 2000, diawali dengan pemisahan TNI-
Polri dalam ketetapan (TAP) MPR Nomor VI Tahun 2002 dan TAP MPR Nomor
VII tahun 2000, yang kemudian dilakukan melalui perubahan ke dua UUD 1945
BAB XII tentang Pertahanan dan Keamanan Negara dan terbitnya Undang-
Undang (UU) Nomor 2 Tahun 2002 tentang Polri. Sejalan perubahan regulasi itu
juga mengamanatkan pembentukan Komisi Kepolisian Nasional. 14
Pada tahun 2005 akhirnya terbentuklah Komisi Kepolisian Nasional
(Kompolnas) yang merupakan lembaga pengawas Eksteren atas kinerja Polri
untuk menjamin profesionalisme dan kemandirian Polri. Pada tanggal 7 Februari
2005 Kompolnas akhirnya terbentuk dengan terbitnya Peraturan Presiden
13
Ujang Firmanysah, Executive Summary (Sebuah Study Perbandingan),
http://www.imparsial.org/en/2010/evaluasi-peran-komisi-kepolisian-nasional-di-masa-
reformasi.html, diakses pada tanggal 31 Mei 2014, Pukul 5.59 WIB. 14
Ibid.
7
(Perpres) Nomor 17 Tahun 2005 tentang Kompolnas. Setelah melalui proses
seleksi, Kompolnas yang pertama akhirnya terbentuk yang bekerja dari periode
2005 sampai 2009. Pada tanggal 4 Maret 2011, Presiden Susilo Bambang
Yudhoyono di masa jabatannya yang kedua sejak 2009, kembali menandatangani
Perpres Nomor 17 Tahun 2005 tentang Kompolnas. Berdasarkan perpres tersebut,
periode Kompolnas yang kedua pun terbentuk untuk periode jabatan dari 2012-
2016. 15
Berdasarkan data yang di peroleh oleh Kompolnas16
terdapat bebrapa
keluhan yang di laporkan oleh masyarakat kepada Kompolnas yang secara garis
besar difokuskan pada 4 keluhan utama yaitu :
1. Penyalah gunaan wewenang;
2. Pelayanan yang buruk;
3. Perlakuan diskriminasi;
4. Penggunaan diskresi yang keliru.
Sebagai penunjang data di atas berdasarkan keterangan salah satu
komisioner Kompolnas Edi Saputra Hasibuan mengatakan, sekitar 90%
masyarakat mengaku tidak puas dengan kinerja reserse, baik di tingkat Polri,
Polda, Polres maupun Polsek.17
Sebagai tambahannya menurut survei yang di lakukan oleh Ombudsman18
di bidang penyelesaian laporan, pada tahun 2012, lembaga pengawas pelayanan
publik mengelola 2.209 laporan masyarakat. Sebanyak 383 aduan di antaranya
15
Ibid. 16
http://www.kompolnas.go.id/masyarakat-bisa-adukan-masalah-pelayanan-oknum-
polisi-melalui-posko-kompolnas-di-fh-unsoed/, di akses pada tanggal 24 februari 2014, pukul
21.10 WIB. 17
liputan6.com/news/read/725956/kompolnas-masyarakat-tidak-puas-dengan-kinerja-
reserse-polri, diakses pada tanggal 10 April 2014, pukul 13.10 WIB. 18
http://www.jpnn.com/read/2013/11/07/199615/Polri-Dapat-Rapor-Merah-dari-
Ombudsman-RI- , di akses pada tanggal 24 April 2014, Pukul 20.15 WIB.
8
terkait dengan pelayanan di kepolisian. Sementara pada 2013 hingga September,
Ombudsman RI telah menangani 129 laporan masyarakat yang mengadukan
buruknya kinerja pelayanan di kepolisian.
Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, maka penulis tertarik untuk
melakukan penelitian yang berkaitan dengan peran Komisi Kepolisian Nasional,
namun di sini penulis ingin memfokuskan penelitian penulis di taraf penyidikan
sehingga penulis mempunyai judul penelitian PERAN KOMISI KEPOLISIAN
NASIONAL (KOMPOLNAS) DALAM PENGAWASAN PERKARA
PIDANA DI TINGKAT PENYIDIKAN.
B. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang permasalahan di atas, maka dapat dirumuskan
permasalahan yaitu:
1. Bagaimanakah peran Komisi Kepolisian Nasional dalam melakukan
pengawasan perkara pidana di tingkat penyidikan?
2. Apakah yang menjadi hambatan Komisi Kepolisian Nasional dalam
melakukan pengawasan perkara pidana di tingkat penyidikan?
C. Tujuan Penelitian
Berdasarkan perumusan masalah di atas, maka penelitian ini dilakukan
bertujuan untuk:
1. Untuk mengetahui peran Komisi Kepolisian Nasional dalam melakukan
pengawasan perkara pidana di tingkat penyidikan.
2. Untuk mengetahui hambatan Komisi Kepolisian Nasional dalam
melakukan pengawasan perkara pidana di tingkat penyidikan.
9
D. Kegunaan Penelitian
Peneliti berharap agar penulisan usulan penelitian ini dapat memberikan
kegunaan sebagai berikut:
1. Kegunaan Teoritis
Untuk memberikan gambaran pengetahuan dan informasi yang jelas
bagi mahasiswa dan masyarakat tentang peran Komisi Kepolisian
Nasional khususnya tentang peran Komisi Kepolisian Nasional.
2. Kegunaan Praktis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat sebagai acuan wacana bagi para
praktisi dalam mengambil kebijakan atau bagi para akademisi dalam
menelaah sauatu permasalahan di bidang hukum pidana serta bagi para
pihak yang menaruh perhatian terhadap lembaga Polisi Republik
Indonesia khususnya dalam hal ini adalak Komisi Kepolisian Nasional.
10
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Penyidikan
Penyidikan adalah salah satu bagian yang dibahas dalam hukum acara
pidana. Penyidikan adalah hal yang diatur dalam hukum acara pidana. Tatacara
penyidikan yang benar adalah yang sesuai dengan hukum acara pidana yang
terkodifikasi dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Kitab
Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Tindakan-tindakan penyidik
yang tidak sesuai dengan ketentuan-ketentuan yang ada dalam KUHAP lah yang
akan menjadi salah satu bahan koreksi Kompolnas dalam memperbaiki kinerja
penyidik yang dalam hal ini adalah aparat kepolisian. Cara untuk mengetahui
apakah suatu penyidikan telah melanggar ketentuan dalam hukum acara pidana
atau telah melanggar prosedur yang telah diatur dalam KUHAP mengenai
penyidikan maka ada baiknya jika kita mengetahui apa itu penyidikan dan
bagaimana prosedurnya.
1. Penyidikan Secara Umum
Sebelum membahas mengenai penyidikan secara lebih mendalam ada
baiknya jika pertama-tama kita membahas penyidikan secara umum terlebih
dahulu. Penyidikan adalah suatu istilah yang dimaksudkan sejajar dengan
pengertian opsporing (Belanda) dan investigation (Inggris) atau dalam bahasa
Malaysia disebut dengan penyiasatan atau siasat. 19
19
Bambang Poernomo, Pola Dasar Teori-Asas Umum Hukum Acara Pidana dan
Penegakkan Hukum Pidana, Liberty, Yogyakarta, 1993, hlm 118.
11
Bahasa Belanda memaknai kata penyidikan ini sama dengan opsporing.
Menurut de Pinto 20
menyidik (opsporing) berarti
“pemeriksaan permulaan oleh pejabat-pejabat yang untuk itu ditunjuk oleh
undang-undang segera setelah mereka dengan jalan apapun mendengar
kabar yang sekedar beralasan, bahwa ada terjadi suatu pelanggaran
hukum”.
Penyidikan merupakan bagian awal dari proses penegakan hukum pidana,
kedudukan penyidikan sangat penting mengingat proses ini menentukan berhasil
tidaknya proses selanjutnya. Istilah penyidikan dilihat dari bahasa Indoesia berasal
dari kata dasar 'sidik'. Sidik berarti terang, jadi menyidik itu berarti membuat
menjadi terang. Pada sidik jari, sidik juga bisa berarti bekas, bekas jari atau bekas
telapak jari. Dengan begitu menyidik juga bisa berarti mencari bekas yaitu bekas
kejahatan secara lebih rinci. 21
Pengertian Penyidikan diatur dalam Pasal 1 butir 2 Undang-Undang
Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang – Undang Hukum Acara Pidana yang
menjelaskan bahwa:
"Penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut
cara yang diatur dalam undang-undang ini untuk mencari serta
mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tentang
tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya."
Banyak orang yang keliru dan menyamakan antara penyelidikan dan
penyidikan, padahal 2 hal tersebut adalah beda sama sekali, antara penyelidikan
dan penyidikan adalah dua fase tindakan yang berwujud satu. Diantara keduanya
saling berkaitan dan isi mengisi guna dapat diselesaikan pemeriksaan suatu
20
Ibid., hlm. 118. 21
Hibnu Nugroho dalam Niko Demus Pracaya, 2013, Skripsi " Pengawasan Terhadap
Kekerasan Dalam Penyidikan di Polisi Daerah (POLDA) Jawa Tengah", hlm.22 dan 23.
12
peristiwa pidana. Hal yang membedakan dari penyelidikan dan penyidikan
sebagaiman dikemukakan oleh Yahya Harahap22
yaitu:
1. Dari segi pejabat pelaksana, pejebat penyelidik terdiri dari semua
anggota Polri dan pada dasarnya pangkat dan wewenangnya berada di
bawah pengawasan penyidik.
2. Wewenang penyidik sangat terbatas, hanya meliputi penyelidikan atau
mencari dan menemukan data atas suatu tindakan yang diduga
merupakan tindak pidana. Hanya dalam hal-hal telah mendapat
perintah dari pejabat penyidik, barulah penyelidik melakukan tindakan
yang disebut Pasal 5 ayat 1 huruf b seperti penangkapan, larangan,
meninggalkan tempat, penggeledahan dan penyitaan.
Pengetahuan dan pengertian penyidikan perlu dinyatakan dengan pasti dan
jelas, karena hal itu langsung menyinggung dan membatasi hak-hak asasi
manusia. Bagian-bagian hukum acara pidana yang menyangkut penyidikan adalah
sebagai berikut :
1) Ketentuan tentang alat-alat penyidik.
2) Ketentuan tentang diketahui terjadinya delik.
3) Pemeriksaan di tempat kejadian.
4) Pemanggilan tersangka atau terdakwa.
5) Penahanan sementara.
6) Penggeledahan.
7) Pemeriksaan dan introgasi.
8) Berita acara (penggeledahan, interogasi, dan pemeriksaan di tempat).
9) Penyitaan.
10) Penyimpangan perkara.
22
Damang. Penyelidikan dan Penyidikan.
http://www. negarahukum.com /hukum/penyelidikan-dan-penyidikan.html. diakses pada tanggal 1
Juli 2014. Pukul 11.18 WIB.
13
11) Pelimpahan perkara kepada penuntut umum dan pengembaliannya
kepada penyidik untuk disempurnakan. 23
Pada kenyataanya penyidikan dimulai sesudah terjadinya tindak pidana.
Sebelum diadakan penyidikan terlebih dulu dilakukan penyelidikan gunanya
adalah untuk mengetahui apakah suatu perbuatan tertentu merupakan perbuatan
pidana atau bukan. Apabila merupakan suatu perbuatan pidana maka selanjutnya
barulah dilakukan penyidikan. Penyidikan dilakukan untuk mendapatkan
keterangan-keterangan mengenai :
a. Tindak pidana apa yang telah dilakukan;
b. Kapan tindak pidana itu dilakukan;
c. Dimana tindak pidana itu dilakukan;
d. Dengan apa tindakan pidana itu dilakukan;
e. Bagaimana tindak pidana itu dilakukan;
f. Mengapa tindak pidana itu dilakukan;
g. Siapa pembuatnya.24
Hal tersebut diatas dicari tahu pada hakekatnya adalah untuk mengetahui
siapa yang akan mendapatkan hukuman pidana dan seberapa beratkah hukuman
pidana yang akan dijatuhkan. Pihak yang berhak untuk melakukan penyidikan
adalah seorang penyidik. Penyidik menurut Pasal 1 butir 4 Undang-Undang
Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara pidana
adalah :
" Penyidik adalah pejabat polisi negara Republik Indonesia atau
23
Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta, 2008, hlm. 118. 24
Suryono Sutarto, Sari Hukum Acara Pidana I, Yayasan Cendekia Purna Dharma,
Semarang, 1987, hlm. 28.
14
pejabat pegawai negeri sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh
undang- undang untuk melakukan penyidikan.”
Pada Pasal 6 KUHAP juga mengatur mengenai pengertian penyidik.
(1) Penyidik adalah :
a. Pejabat polisi negara Republik Indonesia.
b. Pejabat pegawai negri sipil tertentu yang diberi wewenang khusus
oleh undang-undang.
(2) Syarat kepangkatan pejabat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
akan diatur lebih lanjut dalam peraturan pemerintah.
Pada penjelasan ayat (2), disebutkan bahwa kedudukan dan kepangkatan
penyidik yang diatur dalam peraturan pemerintah. Kedudukan penyidik
diselaraskan dan diseimbangkan dengan kedudukan dan kepangkatan penuntut
umum dan hakim peradilan umum.
Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983 tentang Pelaksanaan Kitab
Undang-Undang Hukum Acara Pidana. Pada Pasal 2 Peraturan Pemerintah Nomor
27 tahun 1983 telah menetapkan kepangkatan pejabat polisi sebagi penyidik yaitu
sekurang-kurangnya pembantu letnan Dua Polisi sedangkan bagi pegawai negri
sipil yang dibebani wewenang sebagai penyidik ialah yang berpangkat sekurang-
kurangnya Pengatur Muda Tingkat 1 (Golongan II b) atau yang disamakan dengan
itu.
Pengecualiannya adalah jika disuatu tempat tidak ada pejabat penyidik
berpangkat Pembantu Letnan Dua ke atas, maka Komandan Sektor Kepolisian
yang berpangkat Bintara dibawah Pembantu Letnan Dua Polisi, karena jabatannya
adalah Penyidik.
15
Penyidik pejabat polisi negara tersebut diangkat oleh Kepala Kepolisian
Republik Indonesia, yang dapat melimpahkan wewenangnya kepada pejabat polisi
lain sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. 25
Penyidik Pejabat polisi negara Republik Indonesia lah yang menjadi
subjek pengawasan yang dilakukan oleh Kompolnas, karena kompolnas adalah
lembaga pengawas eksteren Polri. Setiap perbuatan yang dilakukan oleh penyidik
polisi harus sesuai dengan asas dan ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang
yang berlaku.
Wewenang yang dimiliki penyidik Polri dalam Pasal 7 KUHAP sebagai
berikut :
1) Penyidik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf a karena
kewajibannya mempunyai wewenang :
a. menerima laporan atau pengaduan dari seorang tentang adanya
tindakan pidana;
b. melakukan tindakan pertama pada saat di tempat kejadian;
c. menyuruh berhenti seseorang tersangka dan memeriksa tanda
pengenal diri tersangka;
d. melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan, dan
penyitaan;
e. melakukan pemeriksaan dan penyitaan surat;
f. mengambil sidik jari dan memotret seseorang;
g. memanggil seseorang untuk di dengar dan diperiksa sebagai
tersangka atau saksi;
h. mendatangkan orang ahli yang diperlukan dalam hubungannya
dengan pemeriksaan perkara;
i. mengadakan penghentian penyidikan;
j. mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung
jawab.
2. Proses Penyidikan oleh penyidik
Penyidik dalam melakukan penyidikan haruslah sesuai dengan proses dan
prosedur yang telah ditentukan oleh undang-undang. Proses penyidikan yang baik
25
Ibid., hlm. 28.
16
dan benar akan menciptakan suatu ketertiban hukum dan akan mempermudah
tercapainya tujuan penyidikan.
Pada suatu proses penyidikan ada beberapa kewenangan polisi apabila
terjadi suatu tindak pidana, yaitu penangkapan, penahanan, penggeledahan badan,
pemasukan rumah, penyitaan dan pemeriksaan surat, baik dilakukan dengan
prosedur biasa ataupun dengan upaya paksa.
Sebelum dilakukan penangkapan dan tindakan penyidikan yang lainnya
terlebih dahulu dilakukan proses pemanggilan terhadap tersangka dan juga saksi.
Pada peraturan lama (HIR) mengatur tentang pemanggilan dalam dua buah pasal
yaitu Pasal 80 dan 81. Sedangkan KUHAP mengatur mengenai pemanggilan
terhadap tersangka dan juga saksi hanya dalam 1 pasal yang isinya adalah
penyidik yang tersebut pada Pasal 6 ayat (1) huruf a (Polri) karena kewajibannya
mempunyai wewenang “memanggil orang untuk didengar dan diperiksa sebagai
tersangka atau saksi”. (Pasal 7 ayat (1) butir g).
Tidak disebut seperti halnya dengan Pasal 81 HIR bahwa jika yang
dipanggil tidak dapat menghadap karena alasan yang hanya dapat diterima, maka
pemeriksaan dapat dilakukan di rumahnya. Alasan yang dapat diterima misalnya
sakit berat.26
Apabila yang dipanggil tidak mau datang tanpa alasan yang dapat
diterima, maka ia dapat dipidana menurut Pasal 21 KUHP. Kalau pemanggilan itu
untuk menghadap di sidang pengadilan dan saksi tidak mau datang tanpa alasan
yang dapat diterima, maka ia dapat dipidana menurut Pasal 522 KUHP.
26
Andi Hamzah, Op.cit., hlm. 125.
17
Petugas yang berwenang mengeluarkan surat panggilan adalah Kepala
Kesatuan atau Pejabat yang ditunjuk selaku penyidik atau penyidik pembantu.
Pertimbangan pembuatan surat pemanggilan adalah adanya :
a. Laporan polisi;
b. Pengembangan hasil pemeriksaan yang tertuang dalam Berita Acara;
c. Laporan Hasil Penyelidikan yang dibuat oleh petugas atas perintah
penyidik atau penyidik pembantu. 27
Petugas yang menyampaikan surat panggilan adalah setiap anggota Polisi
Negara Republik Indonesia. Apabila seorang yang dipanggil tidak ada ditempat,
surat panggilan tersebut dapat diterimakan pada keluarganya atau ketua RT atau
ketua RW atau Ketua Lingkungan atau Kepala Desa atau orang lain yang dapat
dijamin bahwa surat itu sampai kepada yang bersangkutan. Apabila seseorang
menolak untuk menandatangani Surat Panggilan, maka petugas yang
menyampaikan surat tersebut berusaha menyampaikan betapa pentingnya surat
tersebut. Terhadap tersangka atau saksi yang tidak memenuhi tanpa alasan yang
patut dan wajar atau menolak untuk menerima dan menanda tangani Surat
Panggilan, maka akan diterbitkan surat panggilan untuk yang kedua kalinya
dengan disertai surat perintah membawa.
Hal - hal yang harus diperhatikan dalam hal ini adalah:
1. Terhadap orang yang menolak memenuhi panggilan, maka petugas
yang menyampaikan surat panggilan, agar memberikan penjelasan
tentang kewajiban memenuhi panggilan dan adanya sanksi pidana
27
Niko Demus Pracaya, 2013, Skripsi " Pengawasan Terhadap Kekerasan Dalam
Penyidikan di Polisi Daerah (POLDA) Jawa Tengah", hlm.29.
18
sebagai mana tercantum dalam Pasal 216 Kitab Undang – Undang
Hukum Pidana;
2. Apabila tersangka atau saksi yang dipanggil untuk kedua kalinya, tidak
memenuhi tanpa alasan yang patut dan wajar atau menolak untuk
menerima dan menanda tangani Surat Panggilan kedua, maka Surat
Panggilan Membawa dapat diberlakukan kepada saksi atau tersangka.
Dasar hukum dari pemanggilan tersangka atau saksi adalah:
1. Undang - Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana;
2. Undang - Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisisn Negara
Republik Indonesia;
3. Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983 tentang Pelaksanaan
Hukum Acara Pidana.
4. Peraturan Pemerintah Nomor 50 Tahun 2010 tentang Perubahan Atas
Pelaksanaan Hukum Acara Pidana.
Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, selain pemanggilan penyidik
mempunyai wewenang yang lainnya yaitu penangkapan, penahanan,
penggeledahan badan, pemasukan rumah, penyitaan dan pemeriksaan surat, baik
dilakukan dengan prosedur biasa ataupun dengan upaya paksa. Berikut merupakan
penjelasan masing-masing kewenangan tersebut:
a. Penangkapan
a.1. Istilah Penangkapan
Istilah penangkapan sejajar dengan arrest (Inggris), sedangkan
penahanan sejajar dengan detention (Inggris). jangka waktu penangkapan
19
tidak lama, dalam hal tertangkap tangan, penangkapan (yang dapat
dilakukan oleh setiap orang) hanya berlangsung antara ditangkapnya
tersangka sampai ke pos polisi terdekat. Sesampai dikantor polisi atau
penyidik, maka polisi atau penyidik dapat menahan jika delik yang
dilakukan ditentukan tersangkanya dapat ditahan.28
Pasal 1 butir 20 KUHAP memberi definisi tentang penangkapan.
Penangkapan adalah :
“Penangkapan adalah suatu tindakan penyidik berupa pengekangan
kebebasan sementara waktu tersangka atau terdakwa apabila
terdapat cukup bukti guna kepentingan penyidikan atau penuntutan
dan atau peradilan dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam
undang-undang ini.”
Hal yang dimaksud dengan “atas perintah penyidik” termasuk juga
penyidik pembantu sebagaimana dimaksud dalam penjelasan Pasal 11
KUHAP. Perintah yang dimaksud berupa suatu surat perintah yang dibuat
secara tersendiri, dikeluarkan sebelum penangkapan dilakukan. Perintah
penangkapan dilakukan terhadap seorang yang diduga keras melakukan
tindak pidana berdasarkan bukti permulaan yang cukup. 29
Hal yang dimaksud dengan “bukti permulaan yang cukup” ialah
bukti awal untuk menduga kemungkinan adanya tindak pidana sesuai
dengan bunyi Pasal 1 butir 14. Ketentuan ini menunjukan bahwa perintah
penangkapan tidak dapat dilakukan secara sewenang-wenang, tetapi
diajukan kepada orang yang betul-betul melakukan tindak pidana.30
28
Andi Hamzah, Op.cit., hlm. 126. 29
Nico Ngani, dkk, Mengenal Hukum Acara Pidana (Bagian Umum dan Penyidikan),
Liberty, Yogyakarta, 1984, hlm. 24. 30
Ibid.
20
Menurut Andi Hamzah definisi Pasal 1 butir 20 KUHAP tentang
penangkapan ini tidak sesuai dengan bunyi Pasal 16 yang mengatur
tentang penangkapan. Pasal 16 KUHAP berbunyi sebagai berikut :
1. Untuk kepentingan penyelidikan, penyelidik atas perintah
penyidik berwenang untuk melakukan penangkapan.
2. Untuk kepentingan penyidikan, penyidik dan penyidik
pembantu berwenang melakukan penangkapan.
Tidak cocok disini bukan hanya karena penyidik yang dapat
melakukan penangkapan seperti yang disebutkan dalam definisi
penangkapan Pasal 1 butir 20 KUHAP tetapi penyelidik juga dapat
melakukan penangkapan. Bahkan dalam hal tertangkap tangan setiap
orang dapat melakukan penangkapan. Namun mengenai alasan
penangkapan bukan hanya untuk kepentingan penyidikan tetapi juga untuk
kepentingan penyelidikan sehingga definisi penangkapan tersebut perlu
diperbaiki.31
a.2. Orang yang berhak melakukan penangkapan
Pelaksanaan tugas penangkapan dilakukan oleh petugas kepolisian
negara dengan memperlihatkan surat perintah penangkapan yang
mencantumkan identitas tersangka dan menyebutkan alasan penangkapan
serta uraian singkat perkara kejahatan yang dipersangkakan serta tempat ia
diperiksa.
31
Andi Hamzah, Op.cit., hlm. 127.
21
Surat perintah penagkapan dikeluarkan oleh pejabat Kepolisian
Negara yang berwenang dalam melakukan penyidikan didaerah
hukumnya. Tembusan surat perintah penangkapan harus diberikan kepada
keluarganya segera setelah penangkapan dilakukan.32
a.3. Jangka waktu penangkapan
Jangka waktu penangkapan ada pada Pasal 19 KUHAP yang menentukan :
(1) Penangkapan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17, dapat
dilakukan untuk paling lama satu hari.
(2) terhadap tersangka pelaku pelanggaran tidak diadakan
penangkapan kecuali dalam hal ia telah dipanggil secara sah
dua kali berturut-turut tidak memenuhi panggilan itu tanpa
alasan yang sah.
Menurut pendapat Nico Ngani, dkk33
penangkapan hanya dapat
dikenakan kepada mereka yang diduga melakukan tindak pidana
kejahatan, sedangkan bagi tindak pidana pelanggaran tidak dapat
dilakukan penangkapan dengan pengecualian yang disebutkan dalam Pasal
19 ayat (2) KUHAP.
a.4. Dasar hukum penangkapan
Dasar hukum dilakukanya penangkapan adalah :
1. Undang-Undang No 8 Tahun 1981 tentang Acara Pidana;
2. Undang - Undang Nomor 2 Tahun 2002 tetang Kepolisian Negara
Republik Indonesia;
3. Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983 tentang pelaksanaan
Hukum acara pidana;
32
Nico Ngani, dkk, Op.cit., hlm. 25. 33
Ibid., hlm. 26.
22
4. Peraturan Pemerintah Nomor 50 Tahun 2010 tentang Perubahan Atas
Pelaksanaan Hukum Acara Pidana.
b. Penahanan
b.1. Pengertian penahanan
menurut Pasal 1 butir 21 KUHAP
“penahanan adalah penempatan tersangka atau terdakwa di tempat
tertentu oleh penyidik atau penuntut umum atau hakim dengan
penetapannya dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam undang-
undang ini”
Penahanan adalah salah satu bentuk perampasan kemerdekaan bergerak
seseorang. Penahanan harus dilakukan dengan alasan yang sah, karena jika ada
kekeliruan dalam penahanan dapat mengakibatkan hal-hal fatal bagi penahan.
Pada KUHAP diatur tentang ganti rugi dalam Pasal 95 disamping
kemungkinan digugat pada praperadilan.
Menurut Pendapat ahli larnaude34
“Penahanan merupakan salah satu bentuk perampasan kemerdekaan
bergerak seseorang yang merupakan hak asasi manusia yang harus
dihormati disatu pihak, dan kepentingan ketertiban umum di lain pihak,
yang harus dipertahankan untuk masyarakat, dari perbuatan jahat si-
tersangka.”
b.2. Fungsi penahanan.
Perlunya penahanan menurut Ned.Sv dengan HIR dan KUHAP itu
berbeda. Menurut Ned.Sv mengatakan bahwa perlunya penahanan itu jika
dikhawatirkan tersangka akan melarikan diri dan kedua adalah adanya alasan
kuat bahwa keamanan masyarakat menuntut agar diadakan penahanan segera.
34
Penahanan dan Syarat Penahanan. http://kantorhukumludwichbernhardhshpartners.
blogspot.com/2011/06/penahanan-syarat-penahanan.html. diakses pada tanggal 1 Juli 2014. Pukul
11.35 WIB.
23
Sedangkan menurut HIR dan KUHAP diperlukanya penahanan adalah” jika
ada keadaan yang menimbulkan kekhawatiran bahwa tersangka atau terdakwa
akan melarikan diri”,” juga merusak barang bukti dan atau mengulangi tindak
pidana”.35
b.3. Syarat dilakukanya penahanan
Menahan seseorang berarti orang itu diduga keras telah melakukan salah
satu delik yang tercantum pada Pasal 21 ayat (4) KUHAP. Pada KUHAP syarat
dan ketentuan mengenai penahanan sudah ada dalam Pasal 21 KUHAP yang
berbunyi :
(1) Perintah penahanan atau penahanan lanjutan dilakukan terhadap
seorang tersangka atau terdakwa yang diduga keras melakukan tindak
pidana berdasarkan bukti yang cukup, dalam hal adanya keadaan yang
menimbulkan kekhawatiran bahwa tersangka atau terdakwa akan
melarikan diri, merusak atau menghilangkan barang bukti dan atau
mengulangi tindak pidana.
(2) Penahanan atau penahanan lanjutan dilakukan oleh penyidik atau
penuntut umum terhadap tersangka atau terdakwa dengan memberikan
surat perintah penahanan atau penetapan hakim yang mencantumkan
identitas tersangka atau terdakwa dan menyebutkan alasan penahanan
serta uraian singkat perkara kejahatan yang dipersangkakan atau
didakwakan serta tempat ia ditahan.
(3) Tembusan surat perintah penahanan atau penahanan lanjutan atau
penetapan hakim sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) harus
diberikan kepada keluarganya.
(4) Penahanan tersebut hanya dapat dikenakan terhadap tersangka atau
terdakwa yang melakukan tindak pidana dan atau percobaan maupun
pembenian bantuan dalam tindak pidana tersebut dalam hal:
a.tindak pidana itu diancam dengan pidana penjara lima tahun atau lebih;
b.tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 282 ayat (3), Pasal
296, Pasal 335 ayat (1), Pasal 351 ayat (1), Pasal 353 ayat (1), Pasal
372, Pasal 378, Pasal 379 a, Pasal 453, Pasal 454, Pasal 455, Pasal
459, Pasal 480 dan Pasal 506 Kitab Undang-undang Hukum Pidana,
Pasal 25 dan Pasal 26 Rechtenordonnantie (pelanggaran terhadap
ordonansi Bea dan Cukai, terakhir diubah dengan Staatsblad Tahun
1931 Nomor 471), Pasal 1, Pasal 2 dan Pasal 4 Undang-undang
35
Andi hamzah, Op.cit., hlm. 128.
24
Tindak Pidana Imigrasi (Undang-undang Nomor 8 Drt. Tahun 1955,
Lembaran Negara Tahun 1955 Nomor 8), Pasal 36 ayat (7), Pasal 41,
Pasal 42, Pasal 43, Pasal 47, dan Pasal 48 Undangundang Nomor 9
Tahun 1976 tentang Narkotika (Lembaran Negara Tahun 1976 Nomor
37, Tambähan Lembaran Negara Nomor 3086).
Penahanan oleh penyidik dapat dilakukan apabila memenuhi dua
syarat, yaitu syarat materiil dan syarat formil. Syarat formil tercantum
dalam Pasal 21 ayat (1) Kitab Undang - Undang Hukum Acara Pidana
penahanan terhadap seoarang tersangka atau terdakwa dapat dilakukan
apabila:
1. Ada bukti yang cukup;
2. Ada kehawatiran tersangka atau terdakwa akan melarikan diri,
merusak atau menghilangkan barang bukti; dan
3. Mengulangi tindak pidananya.
Syarat materiil penahanan pada Pasal 21 ayat (2) Kitab Undang - Undang
Hukum Acara Pidana.
b.4. Yang berhak melakukan penahanan
Menurut HIR hanya ada 2 macam pejabat atau instansi yang
berhak melakukan penahanan yaitu jaksa (magistraat) dan pembantu jaksa
(hulp magistraat). Hakim hanya berhak untuk memperpanjang penahanan
yang dilakukan oleh jaksa.36
Sedangkan menurut KUHAP yang ada dalam
Pasal 20 sampai Pasal 31, yang berhak melakukan penahanan ada 3
macam pejabat atau instansi yaitu penyidik atau penyidik pembantu,
36
Andi Hamzah, Op.cit., hlm. 130.
25
penuntut umum, dan hakim yang menurut tingkatan pemeriksaan terdiri
atas hakim pengadilan negri, pengadilan tinggi dan Mahkamah Agung.
b.5. Jangka waktu penahanan
Perintah penahanan yang dikeluarkan oleh penyidik sebagaimana
dimaksud oleh Pasal 20 KUHAP, hanya berlaku paling lama dua puluh
hari. Penahanan yang dilakukan oleh penyidik tersebut dapat diperpanjang
oleh penuntut umum paling lama empat puluh hari (Pasal 24 ayat (1) dan
(2) KUHAP). Hal ini berbeda dengan ketentuan HIR dulu, dimana
penuntut umum tidak berhak memperpanjang penahanan yang dilakukan
oleh pembantu jaksa dan hanya dapat melakukan penahanan sendiri paling
lama 30 hari. Pada Pasal 24 ayat (4) KUHAP ditentukan bahwa setelah
waktu empat puluh hari tersbut penyidik harus sudah mengeluarkan
tersangka dari tahanan demi hukum.
Jaksa penuntut umum mempunyai hak untuk melakukan penahanan
selama dua puluh hari dan dapat diperpanjang oleh ketua pengadilan yang
berwenang paling lama tigapuluh hari hal ini diatur dalam Pasal 25
KUHAP.
Selanjutnya yang berhak melakukan penahanan adalah hakim
pengadilan negri sesuai dengan Pasal 84 KUHAP. Menurut Pasal 26 ayat
(2) KUHAP Pengadilan negri berhak melakukan penahanan selama
tigapuluh hari, dan dapat diperpanjang oleh ketua pengadilan negri paling
lama 60 hari dengan alasan “apabila diperlukan guna kepentingan
pemeriksaan yang belum selesai”, Jadi total waktu penahanan yang
26
dilakukan oleh pengadilan negri adalah 90 hari. Pada Pasal 26 ayat (4)
disebutkan bahwa apabila lewat dari 90 hari masa penahanan walaupun
perkara tersebut belum putus, terdakwa harus dikeluarkan dari tahanan
demi kepentingan hukum. Batas waktu penahanan yang dimiliki oleh
pengadilan tinggi adalah sama dengan pengadilan negri. Berbeda halnya
dengan Mahkamah Agung yaitu limapuluh hari dan dapat diperpanjang
selama enampuluh hari.
Namun ada pengecualian tentang penahanan yang diatur dalam
Pasal 29 ayat (1) KUHAP yang mengatakan bahwa dikecualikan dari
jangka waktu penahanan sebagaimana tersebut pada Pasal 24, Pasal 25,
Pasal 26, Pasal 27 dan Pasal 28 guna kepentingan pemeriksaan, penahanan
terhadap tersangka atau terdakwa dapat diperpanjang berdasarkan alasan
yang patut dan tidak dapat dihindarkan karena :
a. Tersangka atau terdakwa menderita gangguan fisik atau mental
yang berat, yang dibuktikan dengan surat keterangan dokter;
b. Perkara yang sedang diperiksa diancam dengan pidana penjara
sembilan tahun atau lebih.
b.6. Bentuk-bentuk penahanan
Bentuk-bentuk penahanan diatur dalam Pasal 22 KUHAP. Pada
KUHAP mengenal 2 bentuk penahanan yaitu, dirumah tahanan negara
yang juga dikenal dengan rumah tahanan kota dan penahanan rumah.
Penahan Rumah Tahanan Negara adalah penempatan tersangka
atau terdakwa di Rumah Tanahan Negara dan selama Rumah Tahanan
27
Negara belum ada, maka penahanan dapat dilakukan di Ruang Tahanan
Kantor Kepolisian Negara, Kantor Kejaksaan Negeri , pada Lembaga
Pemasyarakatan, atau diRuang Khusus Rumah Sakit dan dalam keadaan
memaksa di tempat lain.37
Penahanan Rumah adalah penahanan yang dilaksanakan di rumah
tempat tinggal atau rumah kediaman tersangka atau terdakwa dengan
mengadakan pengwasan terhadapnya untuk menghindarkan segala sesuatu
yang dapat maenimbulkan kesulitan dalam penyidikan, penuntuan atau
pemeriksaan di sidang pengadilan.38
Penahanan kota adalah penahanan yang dilaksanakan di kota
tempat tinggal atau tempat kediaman tersangka atau terdakwa, dengan
kewajiban bagi tersangka atau terdakwa untuk melapor pada waktu yang
ditentukan.39
Perbedaan bentuk penahanan ini mengakibatkan perbedaan
perhitungan masa penahanan pada penjatuhan pidana dalam ketiga macam
bentuk penahanan tersebut. Menurut Pasal 22 ayat (5) untuk tahanan kota
pengurangan tersebut seperlima dari jumlah lamanya waktu penahanan,
sedangkan untuk penahanan rumah sepertiga dari jumlah lamanya
penahanan.
Timbul pertanyaan adalah bagaimana jika seseorang tahanan
masuk rumah sakit. Apakah selama dirumah sakit itu tahananya
diperhitungkan sepertiganya dalam penjatuhan pidana karena ia berstatus
37
Niko Demus Pracaya, Op.cit., hlm. 34. 38
Ibid. 39
Ibid.
28
tahanan rumah dan masuk rumah sakit atau dihitung penuh karena tahanan
rumah sakit dihitung sebagai tahanan negara?
Menurut Andi Hamzah40
bahwa
“tahanan dirumah sakit itu menurut penjelasan pasal 22 ayat 1
KUHAP tersebut sama dengan rumah tahanan negara”.
Maka menurut Andi Hamzah status tersangka yang dirawat dirumah sakit
adalah tetap dengan status sebagai tahanan negara dan selama masa
menjalani perawatan tersebut harus dihitung sebagai penahanan penuh,
karenanya harus pula dikurangkan secara penuh dengan lamanya hukuman
yang dijatuhkan nantinya. Artinya, masa tahanan dirumah sakit tetap
dihitung sebagai masa penahanan.
b.7. Prosedur penahanan
Ketika melakukan penahanan terhadap tersangka atau terdakwa,
penyidik wajib memberikan surat perintah penahanan atau penetapan
hakim yang mencantumkan identitas tersangka atau terdakwa dan
menyebutkan alasan penahanan serta uraian singkat perkara kejahatan
yang dipersangkakan atau didakwakan serta tempat ia ditahan (Pasal
21ayat (2) Kitab Undang - Undang Hukum Acara Pidana). Tembusan surat
penahanan atau penahanan lanjutan atau penetapan hakim diberikan
kepada keluarganya ( Pasal 21 ayat (3) Kitab Undang - Undang Hukum
Acara Pidana). Petugas yang berwenang mengeluarkan Surat Perintah
Penahanan adalah Kepala Kesatuan atau Pejabat yang ditunjuk selaku
40
Andi Hamzah, Op.Cit., hlm. 139.
29
Penyidik atau Penyidik Pembantu atau pelimpahan wewenang dari
penyidik.
Setelah satu hari pasca tersangka ditahan, harus mulai diperiksa.
Setelah dilakukan penahanan harus dibuat Berita Acara Penahanan. Hal-
hal yang harus diperhatikan adalah:
1. Penahanan tersangka dilakukan dengan memberikan Surat Perintah
Penahanan kepada tersangka dan tembusan Surat Perintah Penahanan
tersebut kepada keluarganya;
2. jika ada alasan yang patut dan tidak dapat dihindarkan karena
tersangka menderita gangguan fisik atau mental berat yang dibuktikan
dengan Surat Keterangan Dokter atau tersangka diperiksa dalam
perkara yang diancam dengan penjara 9 tahun atau lebih, maka
penahanan terhadapnya dapat diperpanjang lagi paling lama 2 x 30 hari
oleh Ketua Pengadilan Negeri atas permintaan dari penyidik yang
bersangkutan yang disertai dengan laporan hasil penyidikan (Pasal 29
Kitab Undang - Undang Hukum Acara Pidana);
3. Terhadap tersangka yang menderita ganguan fisik atau mental berat
yang dibuktikan dengan keterangan Dokter dapat pula dilakukan
Pembatalan Penahanan;
4. Apabila tengget waktu penahanan maupun perpanjangan penahanan
yang telah dilakukan ternyata tidak sah, tersangka berhak mengajukan
ganti kerugian sesuai Pasal 95 dan Pasal 96 KUHAP;
30
5. Penyidik atau atas penyidik dapat menolak permintaan keberatan yang
diajukan tersangka, keluarganya atau penasehat hukumnya atas
penahanan atau jenis penahanan yang dilakukan terhadap tersangka;
6. Penahanan dilakukan di Rumah Tanahan Negara dan selama Rumah
Tahanan Negara belum ada, maka penahanan dapat dilakukan di Ruang
Tahanan Kantor Kepolisian Negara, Kantor Kejaksaan Negeri , pada
Lembaga Pemasyarakatan, atau diRuang Khusus Rumah Sakit dan
dalam keadaan memaksa di tempat lain;
7. Penahanan di Rumah Tahanan Negara agar diusahakan jangan sampai
menggangu kelancaran pemeriksaan;
8. Bagi tersangka yang statusnya dinyatakan sebagai tahanan, maka
sebelum melakukan penahanan harus diambil foto dan sidik jarinya.
Berdasarkan uraian diatas maka dapat disimpulkan bahwa dalam
melaksanakan penahanan harus sesuai dengan norma-norma yang telah
ada. Norma-norma tersebut ada di dalam :
1. Undang-Undang No 8 Tahun 1981 tentang Acara Pidana;
2. Undang - Undang Nomor 2 Tahun 2002 tetang Kepolisian Negara
Republik Indonesia;
3. Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983 tentang pelaksanaan
Hukum acara pidana;
4. Peraturan Pemerintah Nomor 50 Tahun 2010 tentang Perubahan Atas
Pelaksanaan Hukum Acara Pidana.
31
c. Penggeledahan
Berkaitan dengan kepentingan penyidikan maka penyidik dapat
melakukan penggeledahan. Ada dua jenis penggeledahan yang diakui di Indonesia
yaitu penggeledahan rumah, penggeledahan pakaian atau penggeledahan badan.
Semua jenis penggeledahan ini harus dilakukan sesuai dengan hukum acara
pidana yang berlaku. Penggeledahan menjadi penting untuk diperhatikan apalagi
mengenai penggeledahan rumah karena setiap orang mempunyai perlindungan
terhadap ketentraman rumah atau tempat kediaman, dan ini merupakan salah satu
asas dasar Hak Asasi Manusia. Pelanggaran mengenai hal ini akan dikenakan
ancaman pidana yang serius sesuai dengan Pasal 167 KUHP dan 429 KUHP.
Menggeledah atau memasuki rumah atau tempat kediaman orang dalam
rangka penyidik suatu delik menurut hukum acara pidana harus dibatasi dan diatur
secara cermat. Menggeledah rumah atau tempat kediaman merupakan suatu usaha
mencari kebenaran, untuk mengetahui baik salah maupun tidak salahnya
seseorang. Ini berarti menggeledah tidak selalu harus berarti mencari kesalahan
seseorang, tetapi kadang-kadang juga bertujuan untuk mencari
ketidaksalahannya41
.
c. 1. Pihak yang berhak menggeledah
Pihak yang berhak melakukan penggeledahan adalah hanya
penyidik atau anggota kepolisian yang diperintah olehnya yang boleh
melakukan penggeledahan atau memasuki rumah orang. Setiap
41
E Boon dalam Andi Hamzah, Op.cit., hlm. 138.
32
penggeledahan baru boleh dilaksanakan setelah mendapatkan izin dari
ketua pengadilan negri (Pasal 33 ayat (1) KUHAP).
Ketentuan lain dalam KUHAP adalah jika yang melakukan
penggeledahan itu bukan penyidik sendiri, maka petugas kepolisian yang
diperintahkan melakukan penggeledahan itu harus dapat menunjukan
selain surat izin ketua pengadilan negri juga surat perintah tertulis dari
penyidik (Penjelasan Pasal 33 ayat (2) KUHAP).
c.2. Jenis-jenis penggeledahan.
Penggeledahan dalam hukum acara pidana diklasifikasikan menjadi
dua yaitu penggeledahan rumah dan penggeledahan badan dan atau
pakaian. Penggeledahan rumah adalah tindakan penyidik untuk memasuki
rumah tempat tinggal dan tempat tertutup lainnya untuk melakukan
tindakan pemeriksaan dan atau penyitaan dan atau penangkapan dalam hal
dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini (Pasal 1 angka 17
KUHAP). Penggeledahan rumah oleh penyidik dilakukan dengan izin
ketua pengadilan negeri setempat dan apabila dilakukan oleh petugas
kepolisian (bukan penyidik) diperlukan surat perintah tertulis dari penyidik
(Pasal 33 ayat (2)). Penggeledahan dilakukan apabila tersangka atau
penghuni menyetujuinya dengan disaksikan oleh dua orang saksi. jika
tersangka atau penghuni menolak atau tidak hadir dalam penggeledahan,
penggeledahan disaksikan oleh oleh kepala desa atau ketua lingkungan dan
dua orang saksi. Dua hari setelah memasuki dan atau menggeledah rumah,
harus dibuat suatu berita acara dan turunannya disampaikan kepada
33
pemilik atau penghuni rumah yang bersangkutan (Pasal 33 ayat (4) dan (5)
KUHAP).
Penyidik, selaian dapat melakukan penggeledahan rumah, dapat
pula melakukan penggeledahan pakaian dan atau badan tersangka apabila
terdapat dugaan keras dengan alasan yang cukup bahwa pada tersangka
tersebut terdapat benda yang dapat disita (Pasal 37). Penggeledahan badan
adalah tindakan penyidik untuk mengadakan pemeriksaan badan dan atau
pakaian tersangka untuk mencari benda yang diduga keras ada pada
badannya atau dibawanya serta, untuk disita (Pasal 1 angka 18 KUHAP).
Penjelasan Pasal 37 menyebutkan bahwa penggeledahan badan meliputi
pemeriksaan rongga badan, di mana apabila tersangkanya adalah wanita,
maka dilakukan oleh pejabat wanita. ketika penyidik berpendapat perlu
dilakukan pemeriksaan rongga badan, penyidik minta bantuan kepada
pejabat kesehatan.
c.3. Pengecualian dalam pasal-pasal penggeledahan
Penggeledahan baru dapat dilakukan apabila mendapatkan surat
izin dari ketua pengadilan negri. Pasal 34 ayat (1) KUHAP berisi
pengecualian dari Pasal 33 ayat (1) KUHAP yaitu bahwa dalam keadaan
yang sangat perlu dan mendesak bilamana penyidik harus segera bertindak
dan tidak mungkin untuk mendapatkan surat izin terlebih dahulu penyidik
dapat melakukan penggeledahan. “keadaan yang sangat perlu dan
mendesak” adalah bilamana di tempat yang akan digeledah diduga keras
terdapat tersangka atau terdakwa yang dikhawatirkan segera melarikan diri
34
atau mengulangi tindak pidana atau benda yang dapat di sita
dikhawatirkan segera dimusnahkan atau dipindahkan, sedangkan surat izin
ketua pengadilan tidak mungkin diperolah dengan cara yang layak dan
dalam waktu yang singkat.42
Pasal 34 ayat (1) KUHAP juga telah memperluas mengenai
pengertian rumah yang ada dalam Pasal 33 KUHAP mengikuti Pasal 78
HIR. Setelah diperluar yang dimaksud dengan rumah adalah juga meliputi:
a. Pada halaman rumah tersangka bertempat tinggal, berdiam dan
yang ada diatasnya;
b. Pada setiap tempat lain tersangka bertempat tinggal, berdiam
atau ada;
c. Ditempat tindak pidana dilakukan;
d. Ditempat penginapan dan tempat umum lain.
Disamping batasan yang ditentukan tersebut, untuk melakukan
penggeledahan masih dibatasi oleh Pasal 35 KUHAP yang menyatakan
bahwa dalam hal bukan tertangkap tangan, penyidik tidak diperkenankan
memasuki :
a. Ruang di mana sedang berlangsung sidang Majelis
Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat atau
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah;
b. Tempat di mana sedang berlangsung ibadah dan atau upacara
keagamaan;
42
Andi Hamzah, Op.cit., hlm. 141.
35
c. Ruang di mana sedang berlangsung sidang pengadilan.
Penjelasan diatas membuktikan bahwa dalam hal tertangkap
tangan penyidik mempunyai wewenang yang lehih luas.
Penggeledahan dapat dilakukan di tempat-tempat yang di
sebutkan dalam Pasal 35 dengan syarat harus dalam keadaan
tertangkap tangan.
Pengecualian yang selanujutnya adalah yang ada dalam Pasal 34 ayat (2)
KUHAP yang isinya berbunyi :
(2) Dalam hal penyidik melakukan penggeledahan seperti
dimaksud dalam ayat (1) penyidik tidak diperkenankan
memeriksa atau menyita surat, buku dan tulisan lain yang tidak
merupakan benda yang berhubungan dengan tindak pidana
yang bersangkutan, kecuali benda yang berhubungan dengan
tindik pidana yang bersangkutan atau yang diduga telab
dipergunakan untuk melakukan tindak pidana tersebut dan
untuk itu wajib segera melaporkan kepada ketua pengadilan
negeri setempat guna memperoleh persetujuannya.
c.4. Prosedur penggeledahan.
Penyidik dapat melakukan penggeledahan, baik penggeledahan
rumah, pakaian, maupun badan menurut tata cara yang ditentukan
undangundang guna kepentingan penyidikan (Pasal 32 KUHAP).
Saat melaksanakan penggeledahan rumah di samping harus
dilengkapi Surat Ijin Ketua Pengadilan Negeri dan Surat Perintah
Penggeledahan, Pejabat yang berwenang mengeluarkan Surat Perintah
Penggeledahan adalah Kepala Kesatuan atau Pejabat yang ditunjuk selaku
Penyidik atau Penyidik Pembantu. Pertimbangan dilakukan penggeledahan
dan Pembuatan Surat Penggeledaan adalah adanya laporan polisi, hasil
36
pemeriksaan tersangka dan atau saksi, dan dari laporan hasil penyelidikan
yang dibuat oleh petugas atas perintah Penyidik atau Penyidik pembantu.
43
Setiap memasuki rumah harus disaksikan oleh 2 orang saksi
apabila tersangka atau penghuni rumah mengijinkan namun apabila
penghuni tidak menyetujui harus disaksikan oleh Ketua Lingkungan atau
Kepala Desar bersamasama 2 (dua) orang saksi dari lingkungan yang
bersangkutan. Proses pelaksanaan penggeledahan di luar daerah hukum
penyidik, harus dengan Surat Ijin Ketua Pengadilan Negeri Setempat di
mana dilakukan penggeledahan dan di dampingi oleh penyidik dari daerah
hukum di mana penggeledahan itu dilakukan.44
Saat melaksanakan penggeledahan badan wanita, dilakukan oleh
penyidik/penyidik pembantu wanita atau dapat meminta bantuan seorang
wanita yang dapat dipercaya dalam hal perlu dilakukan penggeledahan
atau pemeriksaan rongga badan diminta bantuan pejabat kesehatan.45
Setelah kurun waktu 2 (dua) hari pasca dilakukan penggeledahan,
harus sudah dibuat Berita Acara Penggeledahan dan turunannya
disampaikan kepada pemilik atau perighuni rumah atau tempat yang
bersangkutan. Apabila keadaan sangat perlu dan mendesak, penyidik dapat
melakukan penggeledahan dengan segera meski belum mendapatkan surat
izin terlebih dahulu (Pasal 34 ayat (1)).
43
Niko Demus Pracaya, Op.cit., hlm. 40. 44
Ibid. 45
Ibid.
37
Penyidik dalam penggeledahan rumah atau tempat tertutup lainnya,
boleh menyita surat, buku, dan tulisan lain atau benda yang berhubungan
atau diduga telah dipergunakan untuk melakukan tindak pidana. Semua
tindakan penyidik itu kemudian wajib segera dilaporkan kepada ketua
pengadilan negeri setempat untuk memperoleh persetujuan (Pasal 34 ayat
(2)).
c.5. Dasar hukum penggeledahan.
1. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang
Hukum Acara Pidana;
2. Undang - Undang Nomor 2 Tahun 2002 tetang Kepolisian Negara
Republik Indonesia;
3. Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983 tentang pelaksanaan
Hukum acara pidana;
4. Peraturan Pemerintah Nomor 50 Tahun 2010 tentang Perubahan Atas
Pelaksanaan Hukum Acara Pidana.
Selain undang-undang diatas masih ada beberapa undang-undang
yang bersifat khusus yang juga mengatur mengenai penggeledahan.
Undang-undang itu adalah :
1. Undang-Undang Nomor 7 (drt) Tahun 1955 tentang Tindak Pidana
Ekonomi;
2. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Korupsi;
3. Undang-Undang Nomor 11 (pnps) Tahun 1973 tentang Kegiatan
Pemberantasan Subversi;
38
4. Undang-Undang Nomor 9 Tahun 197 tentang Narkotika.
Semua undang-undang diatas mengatur tentang penggeledahan
yang hampir sama dengan ketentuan dalam KUHAP, kecuali tentang
keharusan adanya izin dari ketua pengadilan negri yang dikeluarkan dalam
Pasal 33 ayat (1) KUHAP. Pada perundan-undangan tersebut tidak
ditentukan adanya syarat semacam itu. 46
d. Penyitaan
d.1. Pengertian penyitaan.
Pengertian penyitaan ada pada Pasal 1 butir 16 KUHAP yang berbunyi :
“Penyitaan adalah serangkaian tindakan penyidik untuk mengambil
alih dan atau menyimpan di bawah penguasaannya benda bergerak
atau tidak bergerak, berwujud atau tidak berwujud untuk
kepentingan pembuktian dalam penyidikan, penuntutan dan
peradilan.”
Terdapat hal baru yang membedakan antara definisi penyitaan
menurut HIR dengan KUHAP. Pada HIR penyitaan hanya dapat dilakukan
untuk benda-benda yang berwujud, namun dalam KUHAP benda-benda
yang tidak berwujud juga dapat di sita sebagai contohnya seperti tagihan
piutang. 47
Andi Hamzah48
mengatakan bahwa:
“Definisi ini (penyitaan dalam KUHAP) agak panjang tetapi
terbatas pengertiannya karena hanya untuk kepentingan
pembuktian dalam penyidikan, penuntutan, dan peradilan. Dalam
Pasal 134 Ned.Sv juga diberikan definisi penyitaan
(inbeslagnming) yang lebih pendek tetapi lebih luas pengertiannya.
Terjemahannya kira-kira sebagai berikut “dengan penyitaan suatu
benda diartikam pengambil alihan atau penguasaan benda itu guna
46
Andi Hamzah, Op.cit., hlm. 143 dan 144. 47
Mohammad Taufik Makarao dan Suharsil, Acara Pidana Dalam teori dan Praktek,
Ghalia Indonesia, Jakarta, 2004, hlm. 54. 48
Andi hamzah dalam Mohammad Taufik Makarao dan Suharsil, Acara Pidana Dalam
teori dan Praktek, Ghalia Indonesia, Jakarta, 2004, hlm. 54.
39
kepentingan acara pidana.” Jadi tidak dibatasi hanya untuk
pembuktian ”.
Arti dari pembeslahan sama dengan menyita, yakni mengambil barang
atau benda dari kekuasaan pemegang benda itu untuk kepentingan
pemeriksaan dan bahan pembuktian seedangkan, arti dari perampasan
benda atau barang berbeda dengan penyitaan. Perampasan adalah tindakan
hakim yang berupa putusan tambahan pidana pokok sebagaimana
dimaksudkan dalam Pasal 10 KUHP, yakni mencabut dari hak
kepemilikan seseorang atas benda itu, dengan demikian benda itu atas
penetapan hakim dirampas dan kemudian dapat dirusakan atau
dibinasahkan atau bahkan dapat dijadikan sebagai milik negara.49
d.2. Benda-benda yang dapat disita.
Benda-benda yang dapat disita diatur dalam Pasal 39 KUHAP
yang berbunyi :
(1)Yang dapat dikenakan penyitaan adalah:
a.Benda atau tagihan tersangka atau terdakwa yang seluruh atau
sebagian diduga diperoleh dan tindak pidana atau sebagai hasil
dan tindak pidana;
b.Benda yang telah dipergunakan secara Iangsung untuk
melakukan tindak pidana atau untuk mempersiapkannya;
c.Benda yang dipergunakan untuk menghalang-halangi
penyidikan tindak pidana;
d.Benda yang khusus dibuat atau diperuntukkan melakukan
tindak pidana;
e.Benda lain yang mempunyai hubungan langsung dengan
tindak pidana yang dilakukan.
(2) Benda yang berada dalam sitaan karena perkara perdata atau
karena pailit dapat juga disita untuk kepentingan penyidikan,
penuntutan dan mengadili perkara pidana, sepanjang memenuhi
ketentuan ayat (1).
49
Martiman Prodjohamidjojo dalam Mohammad Taufik Makarao dan Suharsil, Acara
Pidana Dalam teori dan Praktel, Ghalia Indonesia, Jakarta, 2004, hlm. 54.
40
d.3. Tujuan penyitaan.
Tujuan penyitaan berbeda dengan tujuan penggeledahan. Seperti
yang sudah dijelaskan, tujuan penggeledahan dimaksudkan untuk
kepentingan penyelidikan dan atau untuk kepentingan penyidikan. Tujuan
penyitaan ialah untuk kepentingan “pembuktian”, terutama ditujukan
sebagai barang bukti dimuka sidang pengadilan. Kemungkinan besar tanpa
adanya barang bukti perkaranya tidak dapat diajukan kemuka sidang
pengadilan. Oleh karena itu agar perkara tadi lengkap dengan barang bukti,
penyidik melakukan tindakan penyitaan guna kepentingan barang bukti di
persidangan pengadilan.50
d.4. Tatacara penyitaan
Penyitaan hanya dapat dilakukan oleh penyidik dengan surat izin
ketua pengadilan negeri setempat apabila keadaan sangat perlu dan
mendesak, dimana penyidik harus segera bertindak dan tidak mungkin
untuk mendapatkan surat izin terlebih dahulu, penyidik dapat melakukan
penyitaan hanya atas benda bergerak dan untuk itu wajib segera
melaporkan kepada ketua pengadilan negeri setempat guna memperoleh
persetujuannya (Pasal 38 Kitab Undang – Undang Hukum Acara Pidana).
Pejabat yang berwenang mengeluarkan Surat Perintah Penyitaan
adalah Kepala Kesatuan atau Pejabat yang ditunjuk selaku penyidik atau
penyidik pembantu. Pertimbangan dilakukan penyitaan dan pembuatan
50
Ibid.
41
Surat Perintah Penyitaan adalah adanya laporan polisi, hasil pemeriksaan,
laporan hasil penyelidikan yang dibuat oleh petugas atas perintah penyidik
atau penyidik pembantu, dan hasil penggeledahan.51
Ada beberapa hal yang harus diperhatikan oleh penyidik dalam
melakukan penyitaan selain yang berkartan dengan surat izin yaitu :
1) Jika tertangkap tangan penyidik dapat menyita benda dan alat
yang ternyata atau yang patut diduga telah dipergunakan untuk
melakukan tindak pidana atau benda lain yang dapat dipakai
sebagai barang bukti (Pasal 40 Kitab Undang-Undang Hukum
Acara Pidana).
2) Penyidik berwenang menyita paket atau surat atau benda yang
pengangkutannya atau pengirimannya dilakukan oleh kantor pos
dan telekomunikasi, jawatan atau perusahaan komunikasi atau
pengangkutan, sepanjang paket, surat atau benda tersebut
diperuntukkan bagi tersangka atau berasal dari padanya dan
kepada tersangka atau pejabat institusi tersebut harus diberikan
surat tanda penerimaan (Pasal 41 Kitab Undang - Undang
Hukum Acara Pidana).
3) Penyidik berwenang memerintahkan kepada orang yang
menguasai benda yang dapat disita, menyerahkan benda tersebut
kepadanya untuk kepentingan pemeriksaan dan kepada yang
menyerahkan benda itu harus diberikan surat tanda penerimaan
51
Ibid. hlm. 44.
42
(Pasal 42 ayat (1) Kitab Undang - Undang Hukum Acara
Pidana).
4) Penyidik dapat menyita surat atau tulisan lain jika surat atau
tulisan itu berasal dari tersangka atau terdakwa atau ditujukan
kepadanya atau kepunyaannya atau diperuntukkan baginya atau
jikalau benda tersebut merupakan alat untuk melakukan tindak
pidana (Pasal 42 ayat (2) Kitab Undang – Undang Hukum Acara
Pidana).
5) Terhadap penyitaan ini, mereka berkewajiban merahasiakan
sepanjang tidak menyangkut rahasia negara, hanya dapat
dilakukan atas persetujuan mereka atau atas izin khusus ketua
pengadilan negerti setempat (Pasal 43 Kitab Undang - Undang
Hukum Acara Pidana).
d.5. Penyimpanan benda sitaan.
KUHAP Pasal 44 mengatakan :
(1) Benda sitaan disimpan dalam rumah penyimpanan benda sitaan
negara.
(2) Penyimpanan benda sitaan dilaksanakan dengan sebaik-baiknya
dan tanggung jawab atasnya ada pada pejabat yang berwenang
sesuai dengan tingkat pemeriksaan dalam proses peradilan dan
benda tersebut dilarang untuk dipergunakan oleh siapapun juga.
Barang-barang sitaan harus dijaga dan dirawat dengan baik, karena
jika sampai kesalahan tersangka tidak terbukti atau barang tersebut tidak
tersangkut atau terlibat dalam tindak pidana yang dilakukan tersangka,
ternyata pada saat benda yang disita itu dikembalikan kepadanya sudah
hancur dan tidak mempunyai nilai apa-apa lagi hal ini dapat merugikan
43
pemilik dari benda yang disita tersebut. Atau jika memang benda yang
disita tersebut memang tersangkut dalam tindak pidana dan benda sitaan
tersebut milik saksi yang menjadi korban tindak pidana tersebut, dan pada
saat putusan memerintahkan pengembalian benda-benda sitaan tersebut
kepada korban ternyata barang sitaan tersebut sudah rusak dan tidak bisa
lagi dimanfaatkan hal ini akan menampah penderitaan dan kerugian yang
telah dialami oleh korban.52
Apabila benda sitaan adalah benda yang cepat rusak atau
membahayakan atau terlalu tinggi biaya penyimpanannya sehingga tidak
mungkin untuk disita sampai putusan pengadilan, maka atas persetujuan
tersangka atau kuasanya, benda sitaan itu dapat dijual lelang atau dapat
diamankan oleh penyidik dengan disaksikan tersangka atau kuasanya.
Hasil pelelangan benda sitaan berupa uang akan dipakai sebagai barang
bukti. Ketentuan ini tidak berlaku bagi benda sitaan yang bersifat terlarang
atau dilarang untuk diedarkan.
Ketentuan diatas ada dalam Pasal 45 Kitab Undang-Undang
Hukum Acara Pidana yang berbunyi :
(1) Dalam hal benda sitaan terdiri atas benda yang dapat lekas
rusak atau yang membahayakan, sehingga tidak mungkin
untuk disimpan sampai putusan pengadilan terhadap perkara
yang bersangkutan memperoleh kekuatan hukum tetap atau
jika biaya penyimpanan benda tersebut akan menjadi terlalu
tinggi, sejauh mungkin dengan persetujuan tersangka atau
kuasanya dapat diambil tindakan sebagai berikut:
a. Apabila perkara masih ada ditangan penyidik atau penuntut
umum, benda tersebut dapat dijual lelang atau dapat
52
Ibid., hlm. 57.
44
diamankan oleh penyidik atau penuntut umum, dengan
disaksikan oleh tersangka atau kuasanya;
b. Apabila perkara sudah ada ditangan pengadilan, maka benda
tersebut dapat diamankan atau dijual yang oleh penuntut
umum atas izin hakim yang menyidangkan perkaranya dan
disaksikan oleh terdakwa atau kuasanya.
(2) Hasil pelelangan benda yang bersangkutan yang berupa uang
dipakai sebagai barang bukti.
(3) Guna kepentingan pembuktian sedapat mungkin disisihkan
sebagian kecil dan benda sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1).
(4) Benda sitaan yang bersifat terlarang atau dilarang untuk
diedarkan, tidak termasuk ketentuan sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1), dirampas untuk dipergunakan bagi
kepentingan negara atau untuk dimusnahkan.
d.6. Pengembalian barang sitaan
Penyidik mengembalikan barang sitaan kepada mereka yang
berhak apabila:
a) Perkara sudah diputus, kecuali apabila menurut putusan hakim benda itu
dirampas untuk negara, dimusnahkan atau dirusakan sampai tidak dapat
dipergunakan lagi (Pasal 46 ayat (2) KUHAP);
b) Kepentingan penyidikan sudah tidak memerlukan lagi, perkara tersebut
tidak jadi dituntut atau perkara tersebut dikesampingkan untuk
kepentingan umum atau ditutup demi hukum (Pasal 46 KUHAP).
e. Pemeriksaan Surat
Pada saat penyidikan penyidik berhak untuk membuka, memeriksa, dan
menyita surat lain yang dikirim melalui kantor pos dan telekomunikasi, jawatan
atau perusahaan komunikasi atau pengangkutan jika benda tersebut dicurigai
dengan alasan yang kuat mempunyai hubungan dengan perkara pidana yang
45
sedang diperiksa, dengan izin khusus yang diberikan untuk itu dari ketua
pengadilan negeri.53
Maksud dari “surat lain” adalah surat yang tidak langsung mempunyai
hubungan dengan tindak pidana yang diperiksa akan tetapi dicurigai dengan
alasan yang kuat. Untuk kepentingan ini maka penyidik dapat meminta kepada
kepala kantor pos dan telekomunikasi, kepala jawatan atau perusahaan
komunikasi atau pengangkutan lain umtuk menyerahkan kepadanya surat yang
dimaksud dan untuk itu harus diberikan surat tanda penerimaan.54
Demi kepentingan penyidikan, penyidik berwenang melakukan
pemeriksaan surat. Pemeriksaan surat dilakukan dengan tata cara sebagai berikut:
1. Dengan ijin Ketua Pengadilan Negeri, penyidik berhak membuka,
memeriksa dan menyita surat lain yang dikirim melalui kantor pos dan
telekomunikasi atau perusahaan pengangkutan lainnya yang dicurigai
dengan alasan yang kuat mempunyai hubungan dengan perkara pidana
yang sedang diperiksa, dan untuk kepentingan ini dapat meminta agar
surat tersebut diserahkan kepadanya dengan memberikan surat tanda
terima. Yang dimaksud surat lain adalah surat yang tidak mempunyai
hubungan langsung dengan tindak pidana yang diperiksa tetapi
dicurigai dengan alasan kuat;
2. Apabila surat tersebut sesudah dibukan dan diperiksa, ternyata surat
tersebut ada hubungannya dengan perkara yang sedang diperiksa, maka
surat tersebut dilampirkan dalam berkas perkara, sedangkan apabila
53
Nico Ngani,dkk, Op.cit., hlm.58. 54
Ibid.
46
tidak ada hubungannya dengan perkara tersebut, surat itu harus ditutup
kembali dengan rapi dan segera diserahkan kepada kantor pos dan
telekomunikasi, jawatan atau perusahaan telekomunikasi atau
pengangkutan lain setelah dibubuhi cap yang berbunyi, "telah dibuka
oleh penyidik" dengan diberi tanggal, tanda tangan beserta identitias
penyidik;
3. Penyidik yang melakukan pemeriksaan surat wajib merahasiakan
dengan sungguh-sungguh atas kekuatan sumpah jabatan isi surat yang
dikembalikan itu;
4. Jika timbul dugaan kuat adanya surat palsu atau dipalsukan, dengan ijin
ketua pengadilan negeri, penyidik dapat datang dan minta kepada
pejabat penyimpan umum supaya surat asli yang disimpannya
dikirimkan kepada penyidik, dan apabila tidak dikirimkan, penyidik
berwenang mengambilnya;
5. Membuat berita acara dan turunan berita acara ini dikirimkan kepa
kantor atau jawatan atau instansi di mana surat-surat tersebut disita.
f. Penghentian Penyidikan
Selain beberapa proses penyidikan secara umum di atas masih ada satu
lagi proses penyidikan yang penting untuk diketahui yaitu mengenai penghentian
penyidikan. Hukum Acara Pidana di Indonesia mengatur tentang aturan main
(rule of the game) penegakan hukum pidana khususnya adalah KUHP, termasuk
didalamnya jika ada kemungkinan penghentian penyidikan karena alasan-alasan
tertentu. Setiap ketetapan yang dikeluarkan oleh penyidik mengenai penghentian
47
penyidikan suatu kasus pidana wajib mengeluarkan SP3 atau Surat Pemberitahuan
Penghentian Penyidikan. SP3 merupakan surat pemberitahuan dari penyidik pada
penuntut umum bahwa perkara dihentikan penyidikannya. Penghentian
penyidikan sendiri diatur oleh KUHAP dalam Pasal 109 ayat (2). Pasal 109 ayat
(2) KUHAP menyebutkan bahwa
“ Dalam hal penyidik menghentikan penyidikan karena tidak cukup bukti
atau peristiwa tersebut ternyata bukan merupakan tindak pidana atau
penyidikan dihentikan demi hukum, maka penyidik memberitahukan hal
itu kepada penuntut umum, tersangka atau keluarganya.”
Dengan demikian dapat disimpulkan alasan-alasan penyidik
menghentikan penyidikan sesuai dengan Pasal 109 ayat (2) KUHAP adalah
sebagai berikut :
1. Tidak diperoleh bukti yang cukup, yaitu apabila penyidik tidak
memperoleh cukup bukti untuk menuntut tersangka atau bukti yang
diperoleh penyidik tidak memadai untuk membuktikan kesalahan
tersangka.55
Menurut Harun Husein56
“Penyidikan yang memperoleh tidak cukup bukti dan menuntut
tersangka untuk membuktikan kesalahan tersangka di depan
persidangan maka penyidik berwenang untuk menghentikan
penyidikan.”
2. Peristiwa yang disangkakan bukan merupakan tindak pidana. 57
55
http://www.hukumonline.com/klinik/detail/cl624/sp3. Diakses pada tanggal 11 Juli
2014. Pukul 6.24 WIB. 56
http://lontar.ui.ac.id/file?file=digital/122580-PK%20III%20637.8250 Penghentian
%20penyidikan-Literatur.pdf. Diakses pada tanggal 11 Juli 2014. Pukul 8.34 WIB. 57
http://www.hukumonline.com/klinik/detail/cl624/sp3. Diakses pada tanggal 11 Juli
2014. Pukul 6.24 WIB.
48
3. Penghentian penyidikan demi hukum. Alasan ini dapat dipakai apabila
ada alasan-alasan hapusnya hak menuntut dan hilangnya hak
menjalankan pidana, yaitu antara lain karena nebis in idem, tersangka
meninggal dunia, atau karena perkara pidana telah kedaluwarsa.58
Pada proses penghentian penyidikan, Keberlakuan KUHAP merupakan
realisasi dan unifikasi dan kodifikasi dalam bidang hukum acara pidana.
Tujuannya agar masyarakat dapat menghayati kewajiban dan haknya dan
pembinaan sikap para penegak hukum sesuai fungsi dan wewenangnya.59
SP3
diberikan dengan merujuk pada pasal 109 ayat (2) KUHAP, yaitu:
1. Jika yang menghentikan penyidikan adalah penyidik Polri,
pemberitahuan penghentian penyidikan disampaikan pada penuntut
umum dan tersangka atau keluarganya.
2. Jika yang menghentikan penyidikan adalah penyidik PNS, maka
pemberitahuan penyidikan disampaikan pada:
a) penyidik Polri, sebagai pejabat yang berwenang melakukan
koordinasi atas penyidikan; dan
b) penuntut umum.60
Penuntut umum juga wajib untuk diberitahu jika terjadi suatu penghentian
penyidikan karena ini sesuai dengan amanah yang ada di dalam Pasal 109 ayat (3)
KUHAP yang berbunyi:
58
http://www.hukumonline.com/klinik/detail/cl624/sp3. Diakses pada tanggal 11 Juli
2014. Pukul 6.24 WIB. 59
Djoko Prakoso. 1987. Penyidik, Penuntut Umum, Hakim Dalam Proses Hukum Acara
Pidana. Bina Aksara. Jakarta. h. 5. 60
Ibid.
49
“Dalam hal penghentian tersebut pada ayat (2) dilakukan oleh penyidik
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf b, pemberitahuan
mengenai hal itu segera disampaikan kepada penyidik dan penuntut
umum.”
Ketika penyidik memulai tindakan penyidikan, kepadanya dibebani
kewajiban untuk memberitahukan hal dimulainya penyidikan tersebut kepada
penuntut umum. Akan tetapi masalah kewajiban pemberitahuan itu bukan hanya
pada permulaan tindakan penyidikan, melainkan juga pada tindakan penghentian
penyidikan. Untuk itu, setiap penghentian penyidikan yang dilakukan pihak
penyidik secara resmi harus menerbitkan suatu Surat Perintah Penghentian
Penyidikan (SP3).61
3. Komisi Kepolisian Nasional
a. Pengertian Kompolnas
Menurut Undang-Undang Nomor 2 tahun 2002 tentang Kepolisian Pasal
37 ayat (1) Kompolnas adalah
“Lembaga kepolisian nasional yang disebut dengan Komisi Kepolisian
Nasional. Kompolnas merupakan lembaga non-struktural yang dalam
melaksanakan tugas dan fungsinya berpedoman kepada prinsip tata
pemerintahan yang baik. “
Berdasarkan Perpres Nomor 17 Tahun 2011 kedudukan kompolnas berada
di bawah dan bertanggung jawab kepada Presiden. Kompolnas bekerja dengan
mengumpulkan dan menganalisis data sebagai bahan pemberian saran kepada
Presiden. Kompolnas di pimpin oleh seorang ketua yang merangkap sebagai
anggota.
61
Lilik Mulyadi dalam I Dewa Gede Dana Sugama. 2014. Surat Perintah Penghentian
Penyidikan (Sp3) Dalam Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Jurnal Hukum. Program
Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Udhayana Denpasar. Hlm. 5.
50
b. Fungsi, Tugas dan Wewenang Kompolnas
Fungsi Komisi Kepolisian Nasional dapat di lihat dalam Perpres Nomor
17 tahun 2011 Pasal (3) yaitu Kompolnas melaksanakan fungsi pengawasan
fungsional terhadap kinerja Polri untuk menjamin profesionalisme dan
kemandirian Polri, Pelaksanaan fungsi pengawasan fungsional sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui kegiatan pemantauan dan penilaian
terhadap kinerja dan integritas anggota dan pejabat Polri sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
Pengertian pengawasan fungsional ada dalam Peraturan Pemerintah
Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pembinaan dan Pengawasan Atas
Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah. Pada Pasal 1 poin 10 Peraturan
Pemerintah Nomor 20 Tahun 2001 menyebutkan pengertian Pengawasan
fungsional adalah
“Pengawasan fungsional adalah pengawasan yang dilakukan oleh
Lembaga atau Badan atau Unit yang mempunyai tugas dan fungsi
melakukan pengawasan melalui pemeriksaan, pengujian, pengusutan dan
penilaian.”
Kompolnas adalah pengawas external Polri karena anggota Kompolnas
bukanlah bagian dari anggota Polri. Pengertian pengawas ekternal adalah
pengawasan yang dilancarkan oleh petugas-petugas dari luar organisasi ataupun
perusahaan atau jawatan yang bersangkutan, baik merupakan pengawasan dari
pihak pemerintah maupun masyarakat umum.
Tugas Kompolnas di atur dalam Pasal (4) Perpres Nomor 17 tahun 2011
yaitu:
a. Membantu presiden dalam menentukan arah kebijakan polri; dan
51
b. Memberikan pertimbangan kepada presiden dalam pengangkatan dan
pemberhentian Kapolri.
Tugas Kompolnas yang pertama adalah membantu presiden dalam
menentukan arah kebijakan Polri, Kompolnas bekerja dengan mengumpulkan dan
menganalisis data sebagai bahan pemberian saran kepada Presiden. Saran yang
diberikan oleh Kompolnas berkaitan dengan anggaran Polri, pengembangan
sumber daya Polri , dan pengembangan sarana dan prasarana Polri, dalam upaya
mewujudkan Polri yang profesional dan mandiri.62
Berkaitan dengan tugas Kompolnas yang kedua yaitu memberi
pertimbangan kepada Presiden dalam pengangkatan dan pemberhentian Kapolri.
Jika Komisi Kepolisian Nasional memberikan masukan-masukan dan kriteria-
kriteria kepada Presiden untuk menentukan calon Kapolri yang akan diajukan ke
DPR yang kemudian mengadakan uji kelayakan dan memutuskan siapa calon
yang layak memangku jabatan tersebut sebagaimana yang telah diatur dalam Pasal
11 Undang-undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian.
Pada Pasal 11 ayat (6) Undang-undang Nomor 2 Tahun 2002 disebutkan
bahwa calon Kapolri adalah perwira tinggi Kepolisian Negara Republik Indonesia
yang masih aktif dengan memperhatikan jenjang kepangkatan dan karir.
Pengertian ”jenjang kepangkatan” dan “jenjang karir” dapat dilihat di penjelasan
Pasal 11 ayat (6) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002. Jenjang kepangkatan
ialah prinsip senioritas dalam arti penyandang pangkat tertinggi dibawah Kapolri
yang dapat dicalonkan sebagai kapolri. Sedangkan yang dimaksud dengan jenjang
62
Komisi Kepolisian Nasional. http://id.wikipedia.org/wiki/Komisi_Kepolisian_Nasional.
diakses pada tanggal 7 Juli 2014. Pukul 14.15 WIB.
52
karir ialah pengalaman penugasan dari pati calon Kapolri pada berbagai bidang
profesi Kepolisian atau berbagai macam jabatan di Kepolisian.
Kemudian mengenai pemberhentian Kapolri diatur dalam Pasal 2 sampai
Pasal 14 Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2003 tentang Pemberhentian
Anggota kepolisian Negara Republik Indonesia ada dua macam,
a. Pemberhentian dengan hormat, yaitu apabila: mencapai batas usia
pensiun,pertimbangan khusus untuk kepentingan dinas, tidak
memenuhi syarat jasmani dan/atau rohani, dan gugur, tewas,
meninggal dunia atau hilang dalam tugas.
b. Pemberhentian dengan tidak hormat, yaitu apabila: melakukan tindak
pidana, melakukan pelanggaran, meninggalkan tugas atau hal lain.
Wewenang Kompolnas di atur dalam bab III Perpres Nomor 17 tahun
2011 tentang Kompolnas dari Pasal 7 sampai dengan Pasal 11. Namun, pokok
wewenang Kompolnas ada pada Pasal 7.
Wewenang Kompolnas adalah :
a) Mengumpulkan dan menganalisis data sebagai bahan pemberian saran
kepada Presiden yang berkaitan dengan anggaran Kepolisian Negara
Republik Indonesia, pengembangan Polri, dan pengembangan sarana
dan prasarana Polri;
b) Memberikan saran dan pertimbangan lain kepada Presiden dalam upaya
mewujudkan Polri yang Profesional dan mandiri;
c) Menerima saran dan keluhan dari masyarakat mengenai kinerja
kepolidian dan menyampaikannya kepada Presiden.
Keluhan yang diterima Kompolnas adalah pengaduan masyarakat yang
menyangkut penyalahgunaan wewenang, dugaan korupsi, pelayanan yang buruk,
perlakuan diskriminasi, dan penggunaan diskresi kepolisian yang keliru.
53
Pengumpulan data dan keluhan masyarakat ini dilakukan melalui jalur media
komunikasi elektronik, terutama internet.63
Wewenang yang dimiliki oleh Kompolnas terlampau lemah bagi sebuah
komisi yang diharapkan menjalankan fungsi pengawasan terhadap Polri. Kalau
hanya menerima saran dan keluhan masyarakat mengenai kinerja kepolisian untuk
disampaikan kepada Presiden, hal ini cukup dilakukan oleh kepolisian sendiri,
tidak harus oleh sebuah komisi nasional.64
Efektifitas pengawasan terhadap Polri juga diragukan jika Kompolnas
hanya sebatas menampung keluhan-keluhan masyarakat mengenai penegakan
hukum pada tahap penyelidikan dan atau penyidikan tanpa memiliki kewenangan
untuk memberi penilaian atas tindakan kepolisian atau diskresi kepolisian.
Betapapun pentingnya kepatuhan terhadap norma agama, kesopanan, kesusilaan,
maupun berbagai pertimbangan etik lainnya, salah satu kunci bagi penilaian
masyarakat atas kinerja Polri adalah kemampuan Polri menjalankan fungsi
pelayanan dan penegakkan hukum secara adil, konsisten dan konsekuen.65
c. Peran Kompolnas
Peran adalah sebuah kata yang sering kita ucapkan dalam kehidupan
sehari-hari namun pada kenyataanya sukar untuk menerjemahkan arti dari kata
peran. Ketika kita mendengar kata peran yang terpikirkan oleh kita adalah apa
yang di perbuat sesuai fungsi, tugas dan tujuannya.
63
www.kompolnas.go.id/hubungi-kami. diakses pada tanggal 19 April 2014. Pukul 15.06
WIB. 64
Catur Cahyono Wibowo, Op.cit., hlm. 8. 65
Ibid, hlm. 10.
54
Pada Kamus Besar Bahasa Indonesia peran sendiri bermakna pemain
sedangkan peranan mempunyai makna tindakan yg dilakukan oleh seseorang
dalam suatu peristiwa.66
Jika menurut Kamus Umum Bahasa Indonesia yang
disusun oleh W.J.S Poerwardaminta67
peran adalah sesuatu yang menjadi bagian
atau yang memegang pimpinan yang terutama dalam mewujudkan terjadinya tata
pemerintahan yang baik.
Peraturan Presiden Nomor 17 Tahun 2011 memang tidak secara tegas
mengatakan apa peran Kompolnas itu, namun jika dilihat dari fungsi, tugas dan
wewenang Kompolnas maka dapat disimpulkan bahwa peran kompolnas ada 4
yaitu :
1. Membuat arah kebijakan Polri sebagai dokumen tertinggi Polri dalam
rangka membuat arah bijak.
2. Memberi usulan dalam rangka pemberhentian dan pengangkatan
Kapolri.
3. Memberikan rekomendasi kepada Presiden dan Kapolri dalam rangka
3 hal yaitu :
a. Anggaran.
b. Sarana dan prasarana.
c. Sumber daya manusia.
66
Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), http://kbbi.web.id/, di akses pada tanggal 26
Februari 2014, pukul 10.46. 67
W.J.S. Poerwardaminta, 1991, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta.
Hal. 735.
55
4. Menampung atau menerima saran dan keluhan dari masyarakat yang
berkaitan dengan kinerja Polri.68
Peran Kompolnas pada periode sebelumnya atau pada Perpres Nomor 17
Tahun 2005 hanya seperti tukang Pos atau pak Pos karena Kompolnas hanya
menerima pengaduan dari masyarakat atas kinerja Polri untuk disampaikan
kepada Presiden. 69
Peran Kompolnas kini telah diperkuat dengan lahirnya Perpres Nomor 17
Tahun 2011 tentang Komisi kepolisian Nasional. Pada Perpres ini peran
Kompolnas diperkuat. Penguatan peran Kompolnas sendiri ada dalam pasal 9
Poin d, e, dan f.
Pasal 9 poin d Perpres Nomor 17 Tahun 2011 menyebutkan bahwa
Kompolnas berhak meminta pemeriksaan ulang atau pemeriksaan tambahan atas
pemeriksaan yang telah dilakukan satuan pengawas internal Polri terhadap
anggota dan/atau pejabat Polri yang diduga melakukan pelanggaran disiplin
dan/atau etika profesi, dengan catatan, dalam satu kasus ada temuan novum (bukti
baru) yang bisa digunakan untuk didalami dan dilakukan pemeriksaan.
Selain itu, Pasal 9 poin e Perpres Nomor 17 Tahun 2011,
merekomendasikan kepada Kapolri agar anggota dan/atau pejabat Polri yang
melakukan pelanggaran disiplin, etika profesi, dan/atau diduga melakukan tindak
pidana diproses sesuai peraturan dan perundang-undangan yang berlaku. Adanya
68
Hasil wawancara dengan Prof. Adrianus Eliasta Meliala, Ph.D.Komisioner Komisi
Kepolisian Nasional, tanggal 17 Juni 2014. 69
Imam Syafi’i. Setelan Kompolnas Bukan Pak Pos. www.jawapos.com. diakses pada
tanggal 1 Juni 2014. Pukul 08.00 WIB.
56
aturan ini, diharapkan pihak eksternal (Kompolnas) bisa ikut mengawasi Internal
Polri.
Kemudian, Pasal 9 poin f Perpres Nomor 17 Tahun 2011 juga disebutkan,
Kompolnas dapat mengikuti gelar perkara, sidang disiplin, dan sidang komisi
kode etik profesi kepolisian. Terakhir, poin g menyebutkan, Kompolnas bisa
mengikuti pemeriksaan dugaan pelanggaran disiplin dan kode etik yang dilakukan
anggota dan/atau pejabat Polri.70
70
Ibid.
57
BAB III
METODE PENELITIAN
Menurut Woody71
Penelitian merupakan sebuah metode untuk
menemukan kebenaran yang juga merupakan sebuah pemikiran kritis (critical
thinking). Penelitian meliputi pemberian definisi dan redevinisi terhadap suatu
masalah, memformulasikan hipotesis atau jawaban sementara, membuat
kesimpulan dan sekurang-kurangnya mengadakan pengujian yang hari-hati atas
semua kesimpulan untuk menentukan apakan ia cocok dengan hipotesis.
Penelitian ilmiah adalah penelitian dengan menggunakan metode ilmiah (scientific
method).72
A. Metode penelitian
Metode pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah
metode pendekatan yuridis normatif, yaitu penelitian hukum yang
dilakukan dengan cara meneliti data, wawancara dengan responden terkait
dan mengkaji bahan kepustakaan yang merupakan data sekunder.
Menurut Johny Ibrahim73
, dalam bukunya mengatakan bahwa:
“Metode pendekatan yuridis normatif adalah suatu prosedur ilmiah
untuk menemukan kebenaran berdasarkan logika keilmuan hukum dan
sisi normatifnya. Logika keilmuan yang ajeg dalam penelitian hukum
normatif dibangun berdasarkan disiplin ilmiah dan cara-cara kerja ilmu
hukum normatif, yaitu ilmu hukum yang objeknya hukum itu
sendiri”.
71
Moh. Nazir,2005, Metode Penelitian, Bogor: Ghalia Indonesia, hal.14. 72
Ibid., hlm. 14. 73
Joni Ibrahim, Teori dan Metedologi Penelitian Hukum Normatif, 2010, Malang:Bayu
Media Publishing, hlm. 295.
58
Bahan hukum primer meliputi Undang-Undang N0. 17 Tahun 2011
tentang Komisi kepolisian Nasional, Undang-Undang Nomor 2 Tahun
2002 tentang Kepolisian.
B. Spesifikasi Penelitian
Spesifikasi yang digunakan dalam penelitian ini adalah spesifikasi
penelitian preskriptif. Ilmu hukum mempunyai sifat sebagai ilmu yang
preskriptif, artinya sebagai ilmu yang bersifat preskriptif, ilmu hukum
mempelajari tujuan hukum, konsep-konsep hukum, dan norma-norma
hukum.
Menurut Peter Mahmud Marzuki74
, bahwa:
“ilmu hukum mempunyai kerakteristik sebagai ilmu yang bersifat
preskriptif dan terapan. Sebagai ilmu yang bersifat preskriptif, ilmu
hukum mempelajari tujuan hukum, nilai-nilai keadilan, validitas aturan
hukum, konsep-konsep hukum, dan norma-norma hukum. Sebagai
ilmu terapan ilmu hukum menetapkan standar prosedur, ketentuan-
ketentuan, rambu-rambu dalam melaksanakan aturan hukum”.
C. Lokasi Penelitian
Untuk memperoleh data primer penelitian akan dilakukan di kantor
Komisi Kepolisian Nasional di Jakarta, dan untuk memperoleh data
skunder maka penelitian di lakukan di Pusat Informasi Ilmiah Fakultas
Hukum Universitas Jendral Soedirman dengan menelaah pustaka yang
berkaitan dengan kajian penelitian, Pusat Informasi Ilmiah Universitas
Jendral Soedirman dengan menelaah pustaka yang berkaitan dengan kajian
74
Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, 2007, Surabaya:Kencana Perdana Media
Group, hlm. 22.
59
penelitian, perpustakaan Sekolah Polisi Negara Purwokerto dengan
menelaah pustaka yang berkaitan dengan kajian penelitian.
D. Sumber Hukum
Pada penelitian normatif pustaka merupakan data dasar, dimana dalam
penelitian ini penulis mengumpulkan bahan primer dan bahan sekunder,
yang merupakan penunjang data primer. Data primer berupa wawancara
dengan pihak Komisi Kepolisian Nasional yang berwenang untuk
mendapatkan informasi yang akan diteliti, yang termasuk sebagai data
sekunder. Pada hal ini sekunder dibagi menjadi tiga bagian yaitu :
a. Sumber Data Sekunder
Sumber hukum yang diperoleh dari peraturan perundang-undangan
serta dokumen resmi lain sesuai dengan pokok masalah yang
diajukan.
b. Sumber Data Primer
Diperoleh dari hasil wawancara dengan pihak Komisi Kepolisian
Nasional Jakarta.
c. Sumber Data Tersier
Sumber hukum memberikan petunjuk atau penjelasan terhadap
bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder seperti kamus
hukum, literatur, dan lain-lain.
60
E. Metode Pengambilan Data
Sesuai dengan sumber data yang di perlukan yaitu data primer dan
data sekunder maka metode pengambilan data dapat dijelaskan sebagai
berikut :
1.1 Data Sekunder yaitu data yang diperoleh dengan cara melakukan
studi dokumen terhadap peraturan perundang-undangan, buku-
buku literatur, dan dokumen-dokumen lainnya yang berkaitan
dengan objek atau materi penelitian.
1.2 Data primer yaitu data yang di peroleh dengan wawancara secara
langsung dari lokasi penelitian yaitu di Sekertariat Komisi
Kepolisian Nasional, terhadap data primer menggunakan metode
interview dilakukan terhadap narasumber penelitian untuk
mendapatkan informasi yang di perlukan. Observasi di lakukan
terhadap kegiatan yang dilakukan oleh para pelaku yang diamati.
a. Interview (wawancara)
wawancara adalah salah satu metode pengumpulan
data untuk mendapatkan informasi dengan cara bertanya
langsung kepada responden.75
Pada penelitian ini peneliti
menggunakan metode wawancara semi terstruktur yaitu
jenis wawancara campuran antara wawancara terstruktur
yang untuk mengetahui informasi baku dimana peneliti
memiliki panduan wawancara dan wawancara tak
75
Masri Singarimbun dan Sofian Effendi, 1985, Metode Penelitian Survai, Lembaga
Penelitian, Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan Sosial, Jakarta. hlm. 145.
61
terstruktur dimana wawancara berjalan mengalir sesuai
topik atau dikatakan wawancara terbuka. Pemilihan
wawancara semi terstruktur ditujukan untuk mendapatkan
informasi yang lengkap.
b. Observasi
Observasi yang dilakukan adalah observasi
takterlibat yaitu peneliti hanya mengamati saja tanpa
terlibat langsung kedalam objek yang diteliti.
F. Metode penyajian data
Hasil penelitian disajikan dalam bentuk teks naratif yang disusun
secara sistematis. Sistematis disini maksudnya adalah keseluruhan data
primer yang di peroleh akan di hubungkan dengan data sekunder yang
diperoleh serta saling di hubungkan dengan pokok permasalahan sehingga
menjadi satu kesatuan yang utuh.
G. Analisa data
Tahap awal yang dilakukan sebelum melakukan analisis data
adalah dengan melakukan pengolahan data. Pengolahan data diartikan
sebagai kegiatan merapikan data hasil pengumpulan data sehingga siap
pakai untuk dianalisis.76
76 Bambang Waluyo, 2002, Penelitian Hukum Dalam Praktek, Jakarta : Sinar Grafika,
hlm. 72.
62
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Penelitian peran Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) dalam
pengawasan perkara pidana di tingkat penyidikan ini menggunakan pendekatan
yuridis normatif. Pada penelitian ini diperlukan data primer atau data empiris dan
data sekunder. Data primer yaitu data berupa informasi dan pendapat yang
diperoleh langsung dari anggota Komisi Kepolisian Nasional dan staff Komisi
Kepolisian Nasional. Data sekunder diperoleh dari peraturan perundang-
undangan, literatur dan doktrin yang berkaitan dengan permasalahan yang diteliti.
Peranan Kompolnas yang diteliti oleh penulis adalah peranan Kompolnas
dalam kaitannya sebagai lembaga pengawas eksternal Polri dan di khususkan
dalam pengawasan terhadap kinerja penyidik dalam melakukan penyidikan suatu
perkara pidana. Bab ini menyajikan hasil penelitian dan analisis data baik data
primer maupun data sekunder yang diperoleh selama penelitian di lokasi
penelitian. Data sekunder akan disajikan terlebih dahulu untuk mengetahui dasar
dari peranan Komisi kepolisian Nasional dalam melakukan pengawasan terhadap
kinerja Polri.
A. Hasil Penelitian
1. Hasil Penelitian Data Skunder
1.1 Peran Kompolnas dalam roses penyidikan perkara pidana
a. Sebagai Pengawas eksternal polri
Kompolnas diatur secara khusus dalam Perpres Nomor 17
Tahun 2011. Peran Kompolnas sendiri dapat dilihat dalam BAB III
63
Perpres Nomor 17 Tahun 2011. Peran Kompolnas dapat kita lihat
dalam Tugas pokok dan Fungsi Kompolnas yang ada dalam BAB
III yaitu:
1. Pada Pasal 3 Perpres Nomor 17 Tahun 2011
menyebutkan bahwa Kompolnas melaksanakan fungsi
pengawasan fungsional terhadap kinerja Polri untuk
menjamin profesionalisme dan kemandirian Polri.
2. Pada Pasal 4 Perpres Nomor 17 Tahun 2011
menyebutkan peran Kompolnas yang ke 2 yaitu
membantu Presiden dalam menetapkan arah kebijakan
Polri
3. Pasal 4 ayat (2) Perpres Nomor 17 Tahun 2011
menyebutkan peran Kompolnas yang ke 3 yaitu
memberikan pertimbangan kepada Presiden dalam
pengangkatan dan pemberhentian Kapolri.
4. Peran Kompolnas yang terakhir ada dalam Pasal 9
huruf a yaitu Kompolnas sebagai penerima dan
meneruskan saran dan keluhan masyarakat kepada Polri
untuk ditindak lanjuti.
Kaitanya dengan Peran kompolnas dalam suatu proses
penyidikan kasus pidana adalah 2 hal yaitu Kompolnas sebagai
pengawas Polri dan kompolnas sebagai penerima saran dan
keluhan masyarakat.
64
Peran Kompolnas sebagai pengawas Polri ada dalam Pasal
3 ayat (1) Perpres Nomor 17 Tahun 2011. Pasal 3 ayat (2)
menyebutkan bahwa
“Pelaksanaan fungsi pengawasan fungsional sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui kegiatan
pemantauan dan penilaian terhadap kinerja dan integritas
anggota dan pejabat Polri sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.”
Pasal 3 ayat (2) Perpres Nomor 17 Tahun 2011
menyebutkan mengenai hal yang harus di awasi oleh Kompolnas
terhadap Polri yaitu:
1) Kinerja Anggota dan Pejabat Polri;
2) Integritas anggota dan Pejabat Polri.
Pengawasan yang dilakukan oleh Kompolnas menurut Pasal
3 ayat (2) Perpres Nomor 17 Tahun 2011 adalah pengawasan
fungsional. Pengertian pengawasan fungsional ada dalam Peraturan
Pemerintah Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pembinaan dan
Pengawasan Atas Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah. Pada
Pasal 1 poin 10 Peraturan Pemerintah Nomor 20 Tahun 2001
menyebutkan pengertian Pengawasan fungsional adalah
“Pengawasan fungsional adalah pengawasan yang
dilakukan oleh Lembaga atau Badan atau Unit yang
mempunyai tugas dan fungsi melakukan pengawasan
melalui pemeriksaan, pengujian, pengusutan dan penilaian.”
Kompolnas adalah pengawas eksternal Polri dengan jenis
pengawasan fungsional. Pengertian pengawas ekternal adalah
pengawasan yang dilancarkan oleh petugas-petugas dari luar
65
organisasi ataupun perusahaan atau jawatan yang bersangkutan,
baik merupakan pengawasan dari pihak pemerintah maupun
masyarakat umum.
Kompolnas sebagai pengawas ekteren karena Kompolnas
adalah lembaga negara tersendiri yang independent yang di bentuk
oleh presiden sebagai pembantu presiden dalam rangka mengawasi
polri agar menjadi lebih baik dan profesional. Hal ini diatur dalam
Pasal 37 Undang-undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian
Negara Republik Indonesia jo Pasal 1 dan Pasal 2 ayat (1) Perpres
Nomor 17 Tahun 2011 tentang Komisi Kepolisian nasional yang
menyebutkan bahwa
Pasal 37 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002
1) Lembaga kepolisian nasional yang disebut dengan
Komisi Kepolisian Nasional berkedudukan di bawah
dan bertanggung jawab kepada Presiden.
2) Komisi Kepolisian Nasional sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) dibentuk dengan Keputusan
Presiden.
Pasal 1 angka 1 Perpres Nomor 17 Tahun 2011
“Komisi Kepolisian Nasional yang selanjutnya disebut
Kompolnas adalah Lembaga Kepolisian Nasional
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 ayat (1) Undang-
Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara
Republik Indonesia.”
Pasal 2 ayat (1) Perpres Nomor 17 Tahun 2011
66
“Kompolnas merupakan lembaga non struktural, yang
dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya berpedoman
pada prinsip tata pemerintahan yang baik.”
b. Sebagai penerima saran dan keluhan dari masyarakat terkait
dengan kinerja Polri
Peran Kompolnas yang ke dua dalam kaitanya dengan
proses penyidikan ada dalam Pasal 9 huruf a yaitu Kompolnas
sebagai penerima dan meneruskan saran dan keluhan masyarakat
kepada Polri untuk ditindak lanjuti.
Peran Kompolnas sebagai penerima saran dan keluhan
masyarakat juga di atur dalam Pasal 7 huruf c Perpres Nomor 17
Tahun 2011 yang berbunyi :
“menerima saran dan keluhan dari masyarakat mengenai
kinerja kepolisian dan menyampaikannya kepada Presiden.”
Saran dan keluhan dari masyarakat yang masuk ke
Komplnas dinamakan SKM atau Saran dan keluhan Masyarakat.
Saran dan keluhan dari masyarakat yang diterima oleh Kompolnas
adalah yang berkaitan dengan kinerja dan intergritas Polisi.
Tindak lanjut dari SKM yang masuk adalah Kompolnas
mengklarifikasi SKM tersebut ke pihak yang bersangkutan
bersama dengan satuan pengawas internal Polri (SPI) yaitu Itwasda
dan Divpropam dan memonitoring hasil dari kesepakatan atau
keputusan mengenai kasus dalam SKM tersebut. Hal ini di atur
dalam Pasal 9 huruf c Perpres Nomor 17 Tahun 2011 yang
berbunyi:
67
“Melakukan klarifikasi dan monitoring terhadap proses
tindak lanjut atas saran dan keluhan masyarakat yang
dilakukan oleh Polri”
Selain melakukan klarifikasi dan monitoring terhadap SKM
yang masuk ke Kompolnas, Kompolnas juga wajib untuk
memberiahukan hasil dari penanganan kasus tersebut kepada
pelapor SKM. Hal ini diatur dalam Pasal 11 Perpres Nomor 17
Tahun 2011 yang berbunyi :
“Kompolnas menyampaikan hasil tindak lanjut atas saran
dan keluhan masyarakat yang disampaikan dan dilaporkan
kepada Kompolnas kepada pelapor yang bersangkutan.”
Apabila Kompolnas merasa bahwa penanganan kasus yang
dilakukan oleh SPI belum dianggap cukup maka Kompolnas
berhak untuk meminta SPI melakukan pemeriksaan tambahan atau
pengulangan pemeriksa terhadap kasus tersebut. Hal ini diatur
dalam Pasal 9 huruf d Perpres Nomor 17 Tahun 2011 yang
berbunyi
“Meminta pemeriksaan ulang atau pemeriksaan tambahan
atas pemeriksaan yang telah dilakukan oleh satuan
pengawas internal Polri terhadap anggota dan/atau Pejabat
Polriyang diduga melakukan pelanggaran disiplin dan/atau
etika profesi”
Selain yang telah disebutkan sebelumnya Kompolnas
mempunyai hak-hak lain dalam kaitanya dengan pelaksanaan peran
kompolnas yang telah diatur dalam Pasal 9 Perpres Nomor 17
Tahun 2011. Kompolnas dalam melakukan wewenangnya dapat :
Pasal 9 huruf e Perpres Nomor 17 Tahun 2011
68
“Merekomendasikan kepada Kapolri, agar anggota dan/atau
pejabat Polri yang melakukan pelanggaran disiplin, etika
profesi dan/atau diduga melakukan tindak pidana, diproses
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan
yang berlaku”
Pasal 9 huruf f Perpres Nomor 17 Tahun 2011
“Mengikuti gelar perkara, Sidang Disiplin, dan Sidang
Komisi Kode Etik Profesi Kepolisian”
Pasal 9 huruf g Perpres Nomor 17 Tahun 2011
“Mengikuti pemeriksaan dugaan pclanggaran disiplin dan
kode etik yang dilakukan oleh anggota dan/atau Pejabat
Polri.”
1.2 Struktur Keanggotaan Kompolnas
Struktur kepengurusan Kompolnas diatur dalam bab IV Perpres
nomor 17 Tahun 2011. Keanggotaan Kompolnas terdiri dari 9 orang
Komisioner dengan ketentuan seperti pada Pasal 14 Perpres Nomor 17
Tahun 2011 yaitu :
“Keanggotaan Kompolnas terdiri dari unsur:
a. pemerintah sebanyak 3 (tiga) orang;
b. pakar Kepolisian sebanyak 3 (tiga) orang; dan
c. tokoh Masyarakat sebanyak 3 (tiga) orang.”
Ketiga unsur tersebut tersusun atas 4 hal yang diatur dalam pasal 15
Perpres Nomor 17 Tahun 2011 yaitu :
“Susunan keanggotaan Kompolnas, terdiri atas:
a. ketua merangkap anggota;
b. wakil Ketua merangkap anggota;
c. sekretaris merangkap anggota; dan
d. 6 (enam) orang Anggota.”
Anggota aktif Kompolnas berjumlah 6 yang terdiri dari 3 orang Pakar
kepolisian dan 3 orang tokoh masyarakatlah yang aktif melakukan
69
klarifikasi ke Polda atau Polres yang terdiri atas 31 rayon di seluruh
Indonesia. Hanya anggota Kompolnas lah yang berwenang untuk
melakukan seluruh Peran Kompolnas yang diatur dalam Perpres Nomor 17
Tahun 2011.
1.3 Hasil Pengawasan dan Penanganan SKM
Pertama setelah melakukan pengawasan terhadap kinerja dan
integritas Polri maka Kompolnas akan memberikan hasil kerjanya kepada
Presiden. Selain memberikan hasil pengawasan kepada presiden
Kompolnas juga dapat menggunakan hasil pengawasanya untuk membuat
usulan arah kebijakan strategis untuk Polri agar dapat meminimalisis
terjadinya pelanggaran yang dilakukan oleh oknum anggota Polri dalam
rangka menciptakan polri yang baik dan profesional. Hal ini diatur dalam
Pasal 4 huruf a Perpres Nomor 17 Tahun 2011yaitu :
“Kompolnas bertugas membantu Presiden dalam menetapkan arah
kebijakan Polri”
Penyusunan arah bijak yang dilakukan oleh Kompolnas sesuai
dengan Pasal 4 huruf a Perpres Nomor 17 Tahun 2011, Kompolnas
melakukanya bersama-sama dengan Polri. Hal ini diatur dalam Pasal 5
ayat (3) Perpres Nomor 17 Tahun 2011 yang berbunyi :
“Penyusunan arah kebijakan Polri sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dilakukan bersama dengan Polri.”
Kedua hasil klarifikasi atas SKM yang dilakukan oleh Kompolnas
wajib diberitahukan kepada Pelapor SKM tersebut. Kewajiban ini diatur
dalam Pasal 11 Perpres nomor 17 Tahun 2011 yang berbunyi :
70
“Kompolnas menyampaikan basil tindak lanjut atas saran dan
keluhan masyarakat yang disampaikan dan dilaporkan kepada
Kompolnas kepada pelapor yang bersangkutan.”
2. Hasil Penelitian Data Primer
Narasumber dalam penelitian ini adalah Komisioner Komisi
Kepolisian Nasional (Kompolnas) dan Staff Komisi Kepolisian Nasional.
Wawancara dilakukan secara terarah dan mendalam. Wawancara terarah
maksudnya dalam wawancara terdapat pengarahan atau struktur tertentu
dengan membatasi aspek masalah yang dibicarakan dan menggunakan
daftar pertanyaan yang sudah dipersiapkan. Sedangkan wawancara
mendalam dimaksudkan untuk membangkitkan pernyataan-pernyataan
bebas yang dikemukakan secara berterus terang. Berdasarkan hasil
wawancara terhadap narasumber di kota tersebut maka diperoleh data
sebagai berikut:
2.1. Peranan Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) dalam
pengawasan perkara pidana di tingkat penyidikan
a. Peran Komisi Kepolisian Nasional dalam melakukan
pengawasan perkara di tingkat penyidikan
Berdasarkan hasil wawancara dengan Prof. Adrianus
Eliasta Meliala, Ph.D selaku salah 1 Komisioner Komisi
Kepolisian Nasional diketahui bahwa peran kompolnas secara
umum menurut Tugas pokok dan fungsi Kompolnas adalah ada 4
yaitu :
71
1. Membuat arah kebijakan Polri sebagai dokumen
tertinggi Polri dalam rangka membuat arah bijak.
2. Memberi usulan dalam rangka pemberhentian dan
pengangkatan Kapolri.
3. Memberikan rekomendasi kepada Presiden dan Kapolri
dalam rangka 3 hal yaitu :
a. Anggaran
b. Sarana dan prasarana
c. Sumber daya manusia
4. Menampung atau menerima saran dan keluhan dari
masyarakat yang berkaitan dengan kinerja Polri.77
Berdasarkan ke 4 peran umum Kompolnas yang telah
disebutkan di atas, Prof. Adrianus mengatakan bahwa Peran
Kompolnas dalam melakukan pengawasan ditingkat Penyidikan
ada pada Point ke 4 yaitu masuk pada peran menampung atau
menerima saran dan keluhan dari masyarakat. Jadi peran
kompolnas dalam melakukan pengawasan ditingkat penyidikan
adalah peran Kompolnas yang paling akhir, paling belakang dan
merupakan peran yang paling kecil dan pendek.78
Secara singkat
menurut Tetra Megayanto Putra S.H. selaku Kabab Pelayanan
Teknis Komisi Kepolisian Nasional mengatakan bahwa peran
Kompolnas dalam hal sebagai pengawas perkara pidana di tingkat
77
Hasil wawancara dengan Prof. Adrianus Eliasta Meliala, Ph.D. Komisioner Komisi
Kepolisian Nasional. di Jakarta. pada hari Selasa 17 Juni 2014. 78
Ibid.
72
penyidikan adalah mengadakan klarifikasi berdasarkan SKM
(Saran dan Keluhan Masyarakat) yang masuk.79
Menurut Tetra Megayanto, setiap SKM yang masuk ke
Kompolnas harus diklarifikasi, karena dalam Perpres Nomor 17
Tahun 2011 tugas Kompolnas yang ke 4 adalah sebagai penerima
saran dan keluhan dari masyarakat.80
b. Batasan Komisi Kepolisian Nasional dalam melakukan
pengawasan perkara pidana di tingkat penyidikan
Prof. Adrianus mengatakan bahwa dalam melakukan
pengawasan perkara ditingkat penyidikan harus tetap di ingat
bahwa Kompolnas adalah lembaga pengawas Eksternal Polri.
Sebagai lembaga pengawas eksternal Polri, Kompolnas tidak bisa
melakukan tindakan berupa pengambil alihan kasus atau proses
penyidikan. Kompolnas sebagai lembaga pengawas eksternal Polri
dalam hal ini hanya bisa “melongok” atau “melihat” proses
penyidikan tersebut. Jika memang semua proses penyidikan
berjalan baik maka Kompolnas tidak perlu bertindak apa-apa.
Namun jika memang terbukti ada suatu pelanggaran yang terjadi
pada saat proses penyidikan maka Kompolnas akan melakukan
kelarifikasi mengenai kasus pelanggaran penyidikan tersebut
79
Hasil wawancara dengan Tetra Megayanto Putra, S.H. Kabab Pelayanan Teknis Komisi
Kepolisian Nasional. di Jakarta. pada hari Selasa 17 Juni 2014. 80
Ibid.
73
kepada penyidik yang bersangkutan dengan ditemani oleh
Divpropam dan Itwasda.81
Kompolnas sebagai lembaga pengawas Eksternal Polri
dalam melaksanakan perannya hanya sebagai “Pengkelarifikasi”
apakah benar ada suatu penyimpangan dalam proses penyidikan.
Kompolnas tidak bisa mengambil alih perkara tersebut namun
mengembalikanya kepada Satuan Pengawas Internal Polri (SPI)
yang sudah ada dan dalam hal ini adalah Itwasda dan Divpropam.
Itwasda adalah SPI yang menangani masalah penyimpangan dan
pelanggaran yang umum dilakukan oleh polri. Divpropam adalah
SPI yang menangani masalah mengenai perilaku anggota Polri. 82
Kompolnas tidak wenang untuk mengusik kemandirian
Polri dalam hal penyidikan, Itwasum dan Divpropam yang bertugas
dan berwenang untuk merivew atau menangani mengenai kasus
pelanggaran penyidikan tersebut. Karena Itwasum dan Divpropam
yang bertugas untuk menangani kasus pelanggaran penyidikan
tersebut maka ke dua satuan inilah yang berkewajiban untuk
memberi informasi kepada Kompolnas mengenai kelanjutan,
perkembangan dan segala informasi kasus pelanggaran penyidikan
tersebut.83
Kompolnas juga berhak untuk bertanya dan menyatakan
ketidak puasanya dalam hal perkembangan kasus pelanggaran
81
Hasil wawancara dengan Prof. Adrianus Eliasta Meliala, Ph.D. Op.Cit. 82
Hasil wawancara dengan Prof. Adrianus Eliasta Meliala, Ph.D. Op.Cit. 83
Ibid.
74
penyidikan tersebut. Jika dirasa hasil perkembangan suatu kasus
tidak memuaskan menurut Kompolnas maka Kompolnas dapat
meminta Itwasum dan Divpropam untuk melanjutkan proses
penyelesaian kasus pelanggaran penyidikan, bahkan Kompolnas
dapat datang dan mengklarifikasi sendiri bersama dengan Itwasda
dan Divpropam mengenai perkembangan kasus pelanggaran
penyidikan tersebut kepada polda dan hal ini akan terus berlanjut
sampai Kompolnas merasa puas.84
Proses Klarifikasi yang dilakukan oleh Kompolnas yang
dilakukan langsung ke Polda ataupun Polres yang diduga terjadi
suatu pelanggran penyidikan, Kompolnas tidak boleh
melakukannya sendiri namun harus didampingi oleh Itwasda (jika
berada di daerah) dan Divpropam. 85
Dalam Perpres Nomor 17
Tahun 2005 peran Kompolnas diibaratkan hanya seperti Tukang
Pos karena hanya sebagai penyambung lidah antara masyarakat
dengan Polda namun sejak dikeluarkanya Perpres Nomor 17 Tahun
2011 peran kompolnas ditingkatkan yaitu Kompolnas dapat
melakukan klarifikasi mengenai suatu kasus pelanggaran
penyidikan.86
c. Tipologi Pelanggaran tentang Kinerja Polri.
Kompolnas dalam melaksanakan tugas dan fungsinya
sebagai lembaga pengawas eksternal Polri telah membuat tipologi
84
Ibid. 85
Ibid. 86
Ibid.
75
pelanggaran tentang kinerja Polri. Tipologi ini dibentuk
berdasarkan data-data yang masuk ke Kompolnas tentang
pelanggaran yang sering dilakukan oleh anggota Polri. Pada
dasarnya ada lima tipologi pelanggaran tentang kinerja Polri yaitu :
1. Pelayanan yang buruk;
2. Dugaan Korupsi;
3. Penyalahgunaan wewenang;
4. Diskresi yang keliru;
5. Diskriminasi.
Kelima hal inilah yang menjadi tolak ukur adanya suatu
pelanggaran atas kinerja Polri atau tidak. 87
Saat ini sedang di
matangkan mengenai 5 tipologi pelanggaran atas kinerja polri yang
akan di tambah 1 point lagi yaitu hak-hak warga negara dan
Kompolnas sedang membuat elaborasi dari masing-masing point
tipologi tersebut. Elaborasi atas point-point tersebut sangat penting
karena pada kenyataanya ada beberapa lembaga di Indonesia yang
menjadi penerima keluhan-keluhan dari masyarakat mengenai
kinerja Polri. Lembaga-lembaga negara yang menjadi penerima
keluhan mengenai kinerja Polri adalah Komisi Nasional Hak Asasi
Manusia (Komnas HAM), Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK),
Unit Kerja Presiden Bidang Pengawasan dan Pengendalian
Pembangunan (UKP 4), Sekertaris jenderal Dewan Perwakilan
87
Ibid.
76
Rakyat (Sekjen DPR), Kementrian Pendayagunaan Aparatur
Negara (Kemenpan), Call center Telkom, Komisi Perlindungan
Anak Indonesia (KPAI), dan Komnas Perempuan. Selain lembaga
negara ada beberapa LSM yang menjadi penerima keluhan dari
masyarakat mengenai kinerja Polri yaitu Imparsial, YLBHI dan
Kontras.88
Semua lembaga-lembaga tersebut baik lembaga negara
maupun non negara mempunyai mekanisme yang berbeda-beda
dalam menampung keluhan dari masyarakat. Sebagai lembaga
negara yang paling berwenang untuk menampung keluhan
mengenai kinerja Polri, Kompolnas berupaya untuk
mengumpulkan lembaga-lembaga tersebut untuk mengumpulkan
data yang ada pada lembaga tersebut. Dengan mengumpulkan data
yang dimiliki dari lembaga-lembaga tersebut maka Kompolnas
akan mendapatkan data yang valid tentang Polri dan mengetahui
apa yang menjadi indikator lembaga tersebut dalam menerima
keluhan dari masyarakat mengenai kinerja Polri lalu indikator
tersebut akan di masukan kedalam indikator yang dimiliki oleh
Kompolnas. Hasil dari pengumpulan data dan indikator dari
lembaga-lembaga tersebut adalah masih ada 1 hal yang tidak
termasuk kedalam indikator yang dimiliki oleh kompolnas
sebelumnya dalam tipologi pelanggaran tentang kinerja Polri yaitu
88
Ibid.
77
hak-hak warga negara, oleh karena itu hak-hak warga negara akan
dimasukan menjadi indikator ke 6 dari tipologi pelanggaran
tentang kinerja Polri.89
d. Mekanisme kerja Kompolnas dalam menangani SKM atau
Kasus Pelanggaran Penyidikan.
Mekanisme kerja Kompolnas dalam menjalankan fungsinya
sebagai lembaga pengawas Polri dan sebagai penampung dan
penerima saran dan keluhan masyarakat adalah ketika Komponas
menerima SKM maka :
1. Kompolnas akan menyaring SKM yang masuk tersebut
dan melihat apakah SKM ini termasuk wewenang
Kompolnas atau tidak dalam menindak lanjutinya.
2. lalu Kompolnas akan memilah SKM tersebut termasuk
kedalam bagian mana dari lima tipologi pelanggaran
tentang kinerja Polri.
3. Kompolnas akan mengirim surat permohonan klarifikasi
ke Polda sebanyak 8 surat.
4. Polda membalas surat permohonan klarifikasi dari
Kompolnas.
5. Kompolnas bersama dengan Itwasum dan Divpropam
melakukan klarifikasi atas SKM tersebut.
89
Ibid.
78
6. Kompolnas mengirim tembusan Surat permohonan
klarifikasi SKM kepada pelapor surat.
7. Kompolnas akan menerima hasil klarifikasi SKM dari
Polri melalui surat.
8. Hasil dari klarifikasi tersebut diberitahukan kepada
pelapor surat.90
9. Apabila pelapor masih belum puas terhadap hasil
klarifikasi yang dilakukan oleh Kompolnas maupun
jawaban yang dikirim Polda maka pelapor dapat
mengirimkan ketidak puasanya kembali kepada
Kompolnas dengan menyertakan dokumen pendukung
untuk selanjutnya oleh Kompolnas akan diteruskan ke
Polda kembali.91
10. Apabila Kompolnas menilai bahwa penanganan Polda
ditemukan ada suatu kejanggalan, maka Kompolnas akan
meminta kepada Polda untuk dilaksanakan gelar perkara
dengan dihadiri oleh Kompolnas dan Kompolnas dapat
meminta kepada Itwasum Polri dan bareskrim Polri
untuk mendampingi Kompolnas dalam pelaksanaan gelar
perkara yang dilaksanakan oleh Polda.92
90
Hasil wawancara dengan Tetra Megayanto Putra, S.H. Op.Cit. 91
Komisi Kepolisian Nasional. 2014. Laporan. "Laporan Analisa dan Evaluasi
Penanganan Saran dan keluhan Masyarakat Kompolnas Tahun 2013". hlm 5. 92
Ibid.
79
Pada saat SKM di register, maka Kompolnas akan
mengirimkan SKM surat kepada daerah mana objek dari
pengaduan dalam SKM tersebut, namun apabila SKM ini
menyangkut kinerja Polri di Polres maka Kompolnas tidak dapat
langsung mengirimkan Surat ijin mengadakan Klarifikasi atau
Kompolnas tidak dapat langsung datang ke Polres namun harus
tetap melalui Polda daerah itu. Hal ini karena suber hubungan
Kompolnas adalah dengan Polda dalam hal ini adalah Itwasda.
Selanjutnya dari Polda tersebut yang akan menghubungkan
Kompolnas dengan polres yang dimaksud.93
Pada dasarnya semua SKM harus di tindak lanjuti oleh
Kompolnas, namun yang membuat tidak pada dasarnya atau yang
membuat SKM tersebut tidak ditindak lanjuti oleh Kompolnas
apabila :
1. Bahan – bahan SKM tersebut tidak lengkap.
2. Setelah dilihat dan di saring ternyata SKM ini tidak
menjadikan Kompolnas sebagai sumber pengaduan.
Maksudnya adalah Kompolnas hanya sekedar menjadi
tembusan dari sebuah pengaduan.
3. SKM tersebut tidak ada unsur polisinya. Unsur polisi
sangat penting karena ini adalah sebagai dasar wewenang
93
Hasil wawancara dengan Tetra Megayanto Putra, S.H. Op.Cit.
80
Kompolnas dalam menangani kasus tersebut. Kompolnas
hanya berkompetnsi mengurus masalah polisinya saja.
Ke 3 hal tersebutlah yang menjadi dasar penyaringan dari kasus-
kasus, pengaduan dan SKM yang masuk ke Kompolnas. 94
SKM bukanlah suatu hal yang mutlak dibutuhkan bagi
Kompolnas dalam melakukan peranya, tanpa adanya SKM
Kompolnas tetap dapat melakukan pengawasan terhadap kinerja
polri. Kompolnas turut berperan aktif dalam mengawasi Polri.95
Selama ini ada 2 katagori SKM yang masuk ke Kompolnas yaitu:
1. SKM yang bertingkat dan bersifat dari bawah ke atas.
Tipikal SKM ini adalah jika ada orang yang memiliki
kasus di polsek tertentu. Jika yang bersangkutan tidak
puas, maka bisa mengadukannya tetap di Polsek yang
sama atau ke Polres yang mengatasi Polsek tersebut. Jika
tetap tidak puas, bisa naik ke Polda, bahkan ke mabes
Polri. Ketika tetap saja tidak puas maka datanglah
anggota masyarakat itu ke Kompolnas.
2. SKM yang bersifat melambung dan acak. Tipikal SKM
ini adalah ketika ada orang yang memiliki kasus terkait
kepolisian, maka kemudian SKM dilayangkan kemana
saja. Bisa langsung ke Kapolri, ke Kompolnas atau
bahkan ke presiden RI. Bisa pula SKM yang sama
94
Hasil wawancara dengan Prof. Adrianus Eliasta Meliala, Ph.D. Op.Cit. 95
Ibid.
81
dikirim ke berbagai Komisi, mulai dari Komisi
Pemberantasan korupsi, Komisi Nasional Hak Asasi
Manusia atau ke komisi-komisi yang lain.96
Setelah klarifikasi selesai dilakukan maka Kompolnas akan
membuat suatu berita acara yang berisikan apakah kasus tersebut
telah selesai atau belum, mana kasus yang sudah terbukti atau
belum. Ketika suatu kasus belum selesai padahal sudah diadakan
klarifikasi maka Kompolnas akan menghubungi SPI untuk
menindak lanjuti kasus tersebut. Kompolnas akan memantau
apakah kasus tersebut ditindak lanjuti atau tidak oleh SPI.
Kompolnas akan melihat apakah kasus ini harus ditindak lanjuti
melalui peradilan pidana atau cukup dengan sanksi yang ada dalam
kode etik atau sanksi disiplin. Ketika memang suatu kasus
pelanggaran yang dilakukan oleh penyidik harus diselesaikan
melalui peradilan pidana maka Kompolnas juga akan memantau
jalannya persidangan hingga penjatuhan putusan.97
Pemantauan
yang dilakukan oleh Kompolnas ini dilakukan melalui Itwasda dan
Divpropam.
Setelah semua proses penanganan SKM usai maka
Kompolnas akan melakukan Kegiatan Analisis Evaluasi
penanganan SKM yang masuk di Kompolnas. Kegiatan ini
96
Suara Komisi Kepolisian Nasional. “Mengadu ke Kompolnas? Jangan Melempar Bola
Panas’’ Kompolnas. Juli 2013. hlm. 47. 97
Hasil wawancara dengan Tetra Megayanto Putra, S.H. Op.Cit.
82
dilakukan setiap bulan dengan membuat Laporan Analisa Evaluasi
Perbulan.98
Terlampir data hasil pelaksanaan penanganan SKM di
kompolnas dan hasil evaluasi penanganan SKM Tahun 2012-2013
sebagai bukti kinerja Kompolnas dalam melaksanakan peranya.
Tabel 1. Rekapitulasi Berdasarkan Surat Masuk Perbulan Tahun 2013.
No Satwil Total
Surat Masuk
SKM Saran Bukan
SKM Audiensi BKK TMS
1 Januari 99 95 0 1 1 2 0
2 Februari 50 46 1 2 0 0 1
3 Maret 42 41 0 0 0 1 0
4 April 109 101 1 3 0 0 4
5 Mei 64 63 0 1 0 0 0
6 Juni 61 57 1 1 0 1 1
7 Juli 69 63 0 1 0 2 3
8 Agustus 1 1 0 0 0 0 0
9 September 164 160 0 1 0 0 3
10 Oktober 106 98 0 3 0 2 3
11 November 93 91 0 1 0 1 0
12 Desember 81 77 0 1 0 2 1
Jumlah 939 893 3 15 1 11 16
Sumber Laporan Analisa dan Evaluasi Penanganan Saran dan keluhan
Masyarakat Tahun 2013
Surat masuk terbanyak yang masuk ke Kompolnas adalah
pada bulan September 2013 sebanyak 164 surat, disamping pada
bulan April 2013 sebanyak 109 surat dan Oktober 2013 sebanyak
106 surat. Banyaknya surat-surat yang diterima pleh Kompolnas
pada bulan-bulan tersebut dimungkinkan karena antar bulan
Februari sampai dengan Juli 2013, Kompolnas mengadakan
98
Ibid.
83
kegiatan tatap muka dengan tokoh masyarakat di beberapa Polda
serta sosialisasi dibeberapa mass media cetak maupun televisi
sehingga berpengaruh terhadap kepedulian masyarakat khususnya
yang menginginkan keadilan dan perlindungan hukum terhadap
kinerja Polri kepada Kompolnas.99
Tabel 2. Rekapitulasi SKM Berdasarkan Pengelompokan Jenis Keluhan Tahun
2012.
NO Jenis Keluhan Jumlah Rangking
1 Penyalahgunaan wewenang 173 II
2 Pelayanan Buruk 277 I
3 Diskriminasi 25 III
4 Diskresi yang keliru 0 -
5 Korupsi 1 IV
Total 467
Sumber Laporan Analisa dan Evaluasi Penanganan Saran dan keluhan
Masyarakat Tahun 2013
Pada Tahun 2012 SKM yang berdasarkan
pengelompokannya, seperti dalam pengelompokan SKM
berdasarkan jenis keluhan, dari jumlah SKM yang masuk 467 surat
yang paling banyak dikeluhkan masyarakat adalah Pelayanan yang
buruk.100
99
Komisi Kepolisian Nasional. Op.Cit.,hlm 5. 100
Komisi Kepolisian Nasional. Op.Cit.,hlm 6.
84
Tabel 3. Rekapitulasi Rekapitulasi SKM Berdasarkan Pengelompokan Jenis
Keluhan Tahun 2013.
No Satwil JS
Jenis Keluhan
KK PB LW DK
DM KR
1 NAD 6 3 2 0 1 0 0
2 SUMUT 131 80 39 0 11 1 11
3 SUMBAR 8 6 2 0 0 0 0
4 RIAU 30 18 11 0 1 0 2
5 Kep. RIAU 8 5 3 0 0 0 0
6 JAMBI 13 8 5 0 0 0 1
7 SUMSEL 35 18 14 0 1 2 0
8 BENGKULU 7 7 0 0 0 0 1
9 LAMPUNG 25 18 7 0 0 0 1
10 BABEL 11 4 7 0 0 0 1
11 METRO JAYA 169 122 26 0 0 1 5
12 JABAR 70 42 23 0 5 0 2
13 JATENG 62 37 20 0 4 1 1
14 DIY 16 10 6 0 0 0 1
1 BANTEN 8 6 2 0 0 0 0
16 JATIM 67 39 24 0 3 1 1
17 KALBAR 10 5 5 0 0 0 0
18 KALTIM 34 16 15 0 3 0 3
19 KALSEL 14 7 4 0 3 0 0
20 KALTENG 14 7 6 0 1 0 1
21 SULSEL 43 28 14 0 1 0 0
22 SULTRA 8 5 2 0 1 0 0
23 SULTENG 6 3 3 0 0 0 0
24 SULUT 23 13 9 0 1 0 0
2 GORONTALO 2 1 1 0 0 0 0
26 MALUKU UTARA 2 1 1 0 0 0 0
26 BALI 18 11 6 0 1 0 1
28 NTB 15 9 5 0 1 0 0
29 NTT 10 5 5 0 0 0 0
30 PAPUA 11 8 3 0 0 0 0
31 MALUKU UTARA 12 5 7 0 0 0 1
32 MABES POLRI 5 2 1 0 2 0 0
Jumlah 893 548 298 0 40 6 33
Sumber Laporan Analisa dan Evaluasi Penanganan Saran dan keluhan
Masyarakat Tahun 2013
85
Keterangan :
Satwil : Satuan wilayah
JS : Jumlah Saran dan Keluhan Masyarakat
PB : Pelayanan Buruk
LW : Penyalah gunaan wewenang
DK : Diskresi yang keliru
KR : Korupsi
KK : Kekerasan
Keluhan masyarakat apabila dilihat dari jenis keluhanya
maka keluhan tertinggi yaitu mengenai kinerja Polri yaitu 548
SKM atau 61%, sisanya adalah penyalah gunaan wewenang
sebanyak 298 SKM atau 33% dan diskriminasi, dugaan korupsi
dan kekerasan yang dilakukan oleh anggpta Polri total ada 79 SKM
atau 6%. Polda Metro jaya dan Polda sulut adalah yang paling
banyak menerima keluhan dari masyarakat karena pelayanan yang
buruk.
Tabel 4. Rekapitulasi SKM Berdasarkan Satuan Fungsi kepolisianTahun 2012.
Sumber Laporan Analisa dan Evaluasi Penanganan Saran dan keluhan
Masyarakat Tahun 2013
Berdasarkan tabel diatas dapat diketahui bahwa fungsi
reserse adalah yang paling banyak menerima keluhan masyarakat,
menyusul dibawahnya adalah fungsi Lantas diurutan ke II dengan
jumlah 7 surat SKM, Fungsi Samapta di urutan ke III dengan
No Satuan Fungsi kepolisian Jumlah Rangking
1 Reserse 417 I
2 Samapta 2 III
3 Lantas 7 II
4 Intelkam 1
5 fungsi Lainya 49 IV
Jumlah 476
86
jumlah SKM 2 surat dan fungsi lainya berjumlah 49 Sutar SKM.
Fungsi reserse paling banyak dikeluhkan oleh masyarakat karena
reserse adalah fungsi yang mengemban tugas untuk memberikan
pelayanan duubidang penegakan hukum yang rawan terjadinya
pelanggaran sesuai dengan 5 tipologi pelanggaran yang dilakukan
oleh anggota polri.101
Tabel 5. Rekapitulasi berdasarkan satuan fungsi kepolisian tahun 2013.
No SATWIL
FUNGSI KEPOLISIAN
JS R L I BM S LL
1 NAD 6 4 0 0 0 0 2
2 SUMUT 131 108 4 0 0 2 17
3 SUMBAR 8 6 2 0 0 0 0
4 RIAU 30 28 0 0 0 0 2
5 Kep. RIAU 8 8 0 0 0 0 0
6 JAMBI 13 12 0 0 0 0 1
7 SUMSEL 35 29 1 0 0 0 5
8 BENGKULU 7 5 1 0 0 0 1
9 LAMPUNG 25 22 0 0 0 0 3
10 BABEL 11 11 0 0 0 0 0
11 METRO JAYA 169 157 2 0 0 0 10
12 JABAR 70 59 0 0 0 0 11
13 JATENG 62 49 2 0 0 0 11
14 DIY 16 15 1 0 0 0 0
15 BANTEN 8 7 0 0 0 1 0
16 JATIM 67 62 2 0 0 0 3
17 KALBAR 10 8 0 0 0 0 2
18 KALTIM 34 30 0 0 0 0 4
19 KALSEL 14 13 0 0 0 1 0
20 KALTENG 14 14 0 0 0 0 0
21 SULSEL 43 39 0 0 0 0 4
22 SULTRA 8 8 0 0 0 0 0
23 SULTENG 6 3 0 0 0 0 3
24 SULUT 23 21 0 0 0 0 2
101
Komisi Kepolisian Nasional. Op.Cit.,hlm 8.
87
25 GORONTALO 2 2 0 0 0 0 0
26 MALUKU UTARA 2 0 0 0 0 0 2
27 BALI 18 18 0 0 0 0 0
28 NTB 15 13 0 0 0 0 2
29 NTT 10 8 0 0 0 0 2
30 PAPUA 11 9 0 0 0 0 2
31 MALUKU UTARA 12 10 0 0 0 0 2
32 MABES POLRI 5 4 0 0 0 1
Jumlah 893 782 15 0 0 4 92
Sumber Laporan Analisa dan Evaluasi Penanganan Saran dan keluhan
Masyarakat Tahun 2013
Keterangan :
Satwil : Satuan Wilayah
JS : Jumlah Saran dan Keluhan Masyarakat
R : Reserse
L : Lantas
I : Intel
BM : Bina Mitra
S : Samapta
Fungsi reserse paling banyak mendapatkan keluhan yaitu
sebesar 782 atau 88% hal ini dikarenakan fungsi reserse adalah
satuan ungsi kepolisian yang banyak menjalankan upaya
penegakan hukum terhadap pelanggar. Para pelaku pelanggaran
sering merasa tidak puas dengan penanganan perkara yang
dilakukan oleh fungsi reserse.102
Tabel 6. Rekapitulasi Berdasarkan Satuan Fungsi Kepolisian per bulan Tahun
2013.
N
o
SATWIL
JML SURAT MASUK
SKM RESERS
E
LANTA
S
INTE
L
BINA-
SAM
-
LAIN
-
MITR
A
APT
A LAIN
1 Januari 95 81 1 0 0 0 13
102
Komisi Kepolisian Nasional. Op.Cit.,hlm 9.
88
2 Februari 46 32 0 0 0 0 14
3 Maret 41 32 3 0 0 0 6
4 April 101 84 4 0 0 2 11
5 Mei 63 55 0 0 0 0 8
6 Juni 57 47 0 0 0 0 10
7 Juli 63 52 2 0 0 0 9
8 Agustus 1 1 0 0 0 0 0
9
Septemb
er 160 149 0 0 0 1 10
10 Oktober 98 92 2 0 0 0 4
11
Novembe
r 91 84 2 0 0 1 4
12
Desembe
r 77 73 1 0 0 0 3
Jumlah 893 782 15 0 0 4 92
Sumber Laporan Analisa dan Evaluasi Penanganan Saran dan keluhan
Masyarakat Tahun 2013
Apabila ditinjau dari data SKM perbulan selama Tahun
2013, maka dapat dilihat bahwa pengaduan masyarakat terkait
dengan kinerja Polri banyak diterima oleh Kompolnas pada bulan-
bulan september, April, Oktober, Januari dan November Tahun
2013. Pengaduan masyarakat tersebut mencapai jumlah diatas 90
SKM. 103
Khusus pada bulan September 2013 jumlah SKM sebanyak
160 SKM sedang masyarakat yang mengadu tentang kinerja fungsi
reserse sebanyak 149 SKM, pada bulan April 2013 sejumlah 101
SKM, sedang Masyarakat yang mengadu tentang kinerja fungsi
reserse sebanyak 84 SKM.104
103
Komisi Kepolisian Nasional. Op.Cit.,hlm 10. 104
Ibid.
89
h. perbandinga data SKM Tahun 2012 dan 2013
No Bulan 2012 2013 Analisa Evaluasi
1 Januari 48 95 +4/95%
2 Februari 37 46 +9/24%
3 Maret 42 41 -1/-2%
4 April 29 101 +72/248%
5 Mei 44 63 +19/43%
6 Juni 29 57 +28/96%
7 Juli 37 63 +26/70%
8 Agustus 32 1 -31/-97%
9 September 61 160 +99/162%
10 Oktober 44 98 +54/122%
11 November 28 91 +63/225%
12 Desember 45 77 +32/71%
Jumlah 476 893 +417/94%
Sumber Laporan Analisa dan Evaluasi Penanganan Saran dan keluhan
Masyarakat Tahun 2013
Berdasarkan perbandingan data SKM Tahun 2012-2013
terjadi kenailan sebanyak 417 SKM dari 476 SKM Tahun 2012,
menjadi 893 SKM diTahun 2013 atau terjadi kenaikan sebesar
94%. Sedang apabila dilihat dari tabel tersebut diatas, maka pada
bulan April, September, Oktober, Nofember Tahun 2013 terjadi
kenaikan yang signifikan dibanding Tahun 2012, rata-rata kenaikan
diatas 100%, namun sebaliknya pada bulan Agustus 2013 terjadi
penurunan drastis dibanding pada Tahun yang sama maupun Tahun
2012 karena pada bulan Agustus Tahun 2013 SKM yang diterima
Kompolnas hanya 1 SKM.105
105
Komisi Kepolisian Nasional. Op.Cit.,hlm 13.
90
2.2 Hambatan Komisi Kepolisian Nasional dalam melakukan
pengawasan perkara pidana di tingkat penyidikan.
Komisi Kepolisian Nasional dalam melaksanakan peranya sebagai
lembaga pengawas Polri tentunya memiliki kendala-kendala yang
menghambat kinerja mereka. Kendala yang disampaikan adalah kendala
umum yang dijumpai Komisioner kompolnas dalam melaksanakan
tugasnya.
Kendala yang pertama adalah kesediaan untuk diawasi dan
kesediaan untuk berubah oknum anggota Polri. Prof. Adrianus
berpendapat bahwa oknum polisi yang bermain kotor biasanya
mengelak dan menutup diri ketika Kompolnas meminta laporan atas
kejadian yang sebenarnya terkait suatu kasus pelanggaran. Karena kalau
sudah ada niat untuk bermain kotor atau menyimpang maka Kompolnas
tidak punya cukup daya untuk melakukan upaya yang lebih dalam
mencari tahu mengenai kejadian yang sebenarnya. Semua hal itu
dikarenakan Kompolnas hanya bisa memberikan rekomendasi,
Kompolnas tidak berwenang untuk memidanakan, mencopot atau
memindahakan anggota Polri dari suatu jabatan. Kompolnas hanya bisa
memberikan rekomendasi untuk memperbaiki kinerja Polri namun
semua itu tergantung kepada pihak yang diberikan rekomendasi.
Kompolnas adalah pembantu presiden maka rekomendasi yang dibuat
oleh kompolnas adalah untuk presiden. Prof. Adrianus berpendapat
bawa sebagai pembantu presiden yang diberi tugas untuk melakukan
91
pengawasan terhadap Polri, secara logika mestinya presiden mendengar
setiap rekomendasi yang diberikan oleh Kompolnas namun pada
kenyataanya tidak ada yang dapat menjamin hal itu pasti terjadi.106
Prof. Adrianus juga berasumsi bahwa seharusnya Kapolri karena
sudah mengetahui bahwa Kompolnas adalah pembantu presiden,
Kapolri akan mendengar setiap masukan yang diberikan oleh
Kompolnas. Pada kenyataanya tidak semua masukan yang diberikan
oleh Kompolnas ditindak lanjuti oleh Kapolri. Hal seperti inilah yang
dibaca oleh para pelaku yang berniat menyimpang untuk mengelabuhi
Kompolnas.107
Mengetahui bahwa ada beberapa oknum polisi yang berniat atau
telah mengelabuhi Kompolnas maka Kompolnas telah melakukan
upaya untuk meminimalisir terjadinya hal tersebut. Memang benar
dalam konteks “kasus” Kompolnas tidak bisa bermain terlalu jauh
karena semua tindakan yang dilakukan tergantung kepada beberapa hal
yaitu :
1. Tergantung kepada satuan pengawas internal Polri.
2. Tergantung kepada kerjasama antar satuan penyidik polri
3. Tergantung kepada satuan Polri tersebut, apakah mau untuk
mengungkapkan masalah tersebut atau tidak dalam tingkat
kasus. 108
106
Hasil wawancara dengan Prof. Adrianus Eliasta Meliala, Ph.D. Op.Cit. 107
Ibid. 108
Ibid.
92
Mengetahui bahwa Kompolnas tidak bisa “bermain” dalam tingkat
kasus maka pada tingkat yang lain Kompolnas mempunyai wewenang
untuk membuat kebijakan dalam rangka meminimalisir terjadinya
upaya pengelabuhan tersebut.109
Kompolnas membuat arah bijak untuk mempengaruhi berbagai
keputusan Kapolri yang pada dasarnya dapat menghilangkan faktor atau
hal-hal yang sering disalahgunakan oknum Polisi untuk mengelabuhi
Kompolnas. Prof. Adrianus juga berpendapat bahwa dengan
dikeluarkannya satu kebijakan strategis maka dapat menghilangkan
hingga 1000 kasus pelanggaran yang dilakukan oleh penyidik.110
Upaya membuat arah bijak yang strategis dalam menanggulangi
hambatan Kompolnas sebagai pengawas Polri diakui belum cukup
sempurna. Daya ubah yang lama adalah kelemahan dari upaya
tersebut.111
Selain kesediaan untuk di awasi dan untuk berubah masih ada
faktor yang menjadi kendala Kompolnas dalam melaksanakan peranya
yaitu kurangnya Sumber Daya yang dimiliki oleh Kompolnas.
Kompolnas dalam Perpres Nomor 17 Tahun 2011 mempunyai 3 fungsi
yaitu :
1. Sebagai penasehat presiden terkait pembuatan arah bijak
Polri dan pengangkatan Kapolri.
2. Sebagai badan penerima keligan Publik terkait kinerja Polri.
109
Ibid. 110
Ibid. 111
Ibid.
93
3. Sebagai lembaga pengawas eksternal Polri.112
Besarnya fungsi tersebut harus dilakukan hanya dengan 1 lembaga
yang sama yaitu Kompolnas, padahal Sumber daya Kompolnas sangat
minim. Menurut Prof. Adrianus keputusan penggabungan tanggung
jawab Kompolnas harus melaksanakan 3 fungsi sekaligus tersebut
diatas hanya dalam 1 lembaga yang sama dimungkinkan untuk atas
nama efisiensi. Namun dengan keterbatasan Sumber daya ini
Kompolnas tetap di tuntut untuk melaksanakan semua fungsi tersebut
dengan baik. Suber daya yang dimaksud disini bisa berarti man power
atau sumber daya manusia dan kewenangan.113
Kurangnya sumberdaya manusia yang dimaksud adalah kurangnya
staff ahli yang dapat membantu para Komisioner Kompolnas selaku
anggota Kompolnas. Kurangnya Sumber daya dalam hal kewenangngan
adalah kurang adanya fungsi punitif atau fungsi “gebuk” yang tidak
dimiliki oleh Kompolnas. Kompolnas sebagai Public Complain maka
harus mempunyai fungsi punitif. Fungsi punitif perlu untuk dimiliki
agar para reserse mau untuk menuruti Kompolnas. Kurangnya
sumberdaya Kompolnas tentunya dapat mempengaruhi kinerja
Kompolnas dalam melaksanakan tugas-tugas dan wewenangnya. Hali
ini juga secara langsung akan mempengaruhi kinerja Kompolnas
sebagai lembaga pengawas perkara pidana pada tingkat penyidikan.114
112
Ibid. 113
Ibid. 114
Ibid.
94
Menurut Tetra Megayanto kendala Kompolnas dalam menjalanan
tugasnya adalah kecepatan dalam menangani SKM. Seperti yang sudah
dibahas bahwa untuk dapat melakukan klarifikasi Kompolnas terlebih
dahulu mengirimkan surat ijin melakukan klarifikasi ke Polda, namun
tidak semua Polda langsung membalas surat dari Kompolnas. Hal ini
akan memperlambat kinerja Kompolnas dalam menangani suatu
SKM.115
Idelnya untuk penanganan satu SKM diperlukan waktu satu sampai
dua bulan. Namun hal ini sukar untuk dilaksanakan karena Kompolnas
hanya memiliki 6 Komisioner aktif yang harus melaksanakan semua
tugas dan fungsi Kompolnas. Tugas dan fungsi Kompolnas bukan
hanya menerima saran dan keluhan masyarakat tetapi ada beberapa
yang lainnya sesuai dengan Perpres nomor 17 Tahun 2011.
Berdasarkan hasil evaluasi data SKM yang masuk dari bulan
Januari dampai Desember Tahun 2013 tercatat ada 893 SKM yang
masuk ke Kompolnas dan ada 675 SKM yang dikirimkan ke Polda.
Dari 675 SKM yang dikirimkan ke Polda ada 590 tunggakan SKM yang
harus segera diselesaikan oleh Kompolnas.116
Lambatnya penanganan
SKM membuat masyarakat tidak puas dan menggangap bahwa
Kompolnas lamban dalam melaksanakan tugasnya.
115
Hasil wawancara dengan Tetra Megayanto Putra, S.H.Op. Cit. 116
Komisi Kepolisian Nasional. Op.Cit.,hlm 14.
95
B. Pembahasan
3. Peran Komisi Kepolisian Nasional dalam melakukan pengawasan
perkara pidana di tingkat penyidikan.
Peran adalah sebuah kata yang sering kita ucapkan dalam
kehidupan sehari-hari namun pada kenyataanya sukar untuk
menerjemahkan arti dari kata peran. Ketika kita mendengar kata peran
yang terpikirkan oleh kita adalah apa yang di perbuat sesuai fungsi, tugas
dan tujuannya.
Pada Kamus Besar Bahasa Indonesia peran sendiri bermakna
pemain sedangkan peranan mempunyai makna tindakan yg dilakukan oleh
seseorang dalam suatu peristiwa.117
Jika menurut Kamus Umum Bahasa
Indonesia yang disusun oleh W.J.S Poerwardaminta118
peran adalah
sesuatu yang menjadi bagian atau yang memegang pimpinan yang
terutama dalam mewujudkan terjadinya tata pemerintahan yang baik.
Berdasarkan pengertian mengenai peran diatas peranan Komisi
Kepolisian Nasional sesuai dengan Perpres Nomor 17 Tahun 2011 secara
keseluruhan ada 4 yaitu
1. Membuat arah kebijakan Polri sebagai dokumen tertinggi Polri
dalam rangka membuat arah bijak.
2. Memberi usulan dalam rangka pemberhentian dan pengangkatan
Kapolri.
117
Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI). Op.Cit. 118
W.J.S. Poerwardaminta, 1991, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Balai Pustaka,
Jakarta. Hal. 735.
96
3. Memberikan rekomendasi kepada Presiden dan Kapolri dalam
rangka 3 hal yaitu :
a. Anggaran
b. Sarana dan prasarana
c. Sumber daya manusia
4. Menampung atau menerima saran dan keluhan dari masyarakat
yang berkaitan dengan kinerja Polri.119
Peran kompolnas dalam pengawasan perkara pidana di tingkat
penyidikan adalah sebagai lembaga pengawas eksternal Polri dan sebagai
lembaga yang menampung atau menerima saran dan keluhan dari
masyarakat.
Peran Kompolnas yang pertama akan dibahas adalah peran
Kompolnas sebagai lembaga pengawas eksternal polri dalam kaitanya
dengan pengawasan Kompolnas yang dilakukan saat proses penyidikan
perkara pidana. Hal ini di atur dalam Pasal 3 ayat (1) Perpres Nomor 17
Tahun 2011. Pasal 3 ayat (2) menyebutkan bahwa:
“Pelaksanaan fungsi pengawasan fungsional sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dilakukan melalui kegiatan pemantauan dan penilaian
terhadap kinerja dan integritas anggota dan pejabat Polri sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.”
Saat membicarakan mengenai peran Kompolnas dalam mengawasi
perkara pidana pada tingkat penyidikan, sepintas Kompolnas tampak
seperti bukan pihak yang tugasnya berkaitan langsung dengan penyidikan.
Memang, dapat dikatakan polisi sebagai ujung tombak proses peradilan
119
Hasil wawancara dengan Prof. Adrianus Eliasta Meliala, Ph.D. Op.Cit.
97
pidana adalah pihak utama yang memiliki wewenang dan pengaruh
terhadap pelaksanaan suatu penyidikan dan Kompolnas tidak dapat
mempengaruhi kemandirian polisi dalam hal ini. Ketika terjadi suatu
pelanggaran dalam proses penyidikan Kompolnas tetap tidak dapat secara
aktif ikut ambil bagian untuk turut serta menyidik kasus pidana tersebut,
karena wewenang Kompolnas adalah hanya sebagai lembaga pengawas
eksternal Polri. Namun jika dikaji berdasarkan Perpres Nomor 17 Tahun
2011, sebenarnya Kompolnas memiliki peran penting untuk memastikan
seluruh tindakan yang dilakukan polisi pada saat proses penyidikan adalah
benar dan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku
demi terwujudnya Polri yang baik dan profesional.
Kompolnas adalah lembaga pengawas eksternal polri dengan tipe
pengawasan fungsional, maksudnya adalah Kompolnas sebagai lembaga
pengawas yang kedudukanya diluar dari institusi Polri yang mengawasi
kinerja Polri untuk menjamin profesionalisme dan kemandirian Polri dan
Kompolnas merupakan lembaga pengawas yang dibentuk atau ditunjuk
khusus untuk melaksanakan fungsi pengawasan secara independen
terhadap obyek yang diawasi yaitu Polri. Kompolnas adalah lembaga non-
struktural Polri yang bertanggung jawab langsung kepada presiden, hal ini
di atur dalam Pasal 1 angka 1 dan Pasal 2 ayat (1) Perpres Nomor 17
Tahun 2011.
Pada dasarnya peran Kompolnas sebagai lembaga pengawas Polri
dan peran kompolnas sebagai lembaga penerima saran dan keluhan
98
masyarakat terkait dengan kinerja Polri, saling berhubungan erat. Apabila
terjadi suatu pelanggaran pada proses penyidikan perkara pidana maka,
akan ada keluhan dari masyarakat yang diterima Kompolnas, lalu
Kompolnas akan melakukan klarifikasi atas pengaduan tersebut kepada
penyidik yang bersangkutan dan memberikan saran untuk menindak
lanjuti pelanggaran perkara pidana tersebut kepada Satuan pengawas
Internal Polri. Satuan Pengawas Internal Polri (SPI)lah yang berwenang
turut campur dalam proses penyidikan yang telah berlangsung. Terakhir
Kompolnas akan terus mengawasi jalanya penyidikan hingga diketahui
bahwa proses penyidikan telah kembali baik dan sesuai dengan peraturan
perundang-undangan yang ada. Begitu juga sebaliknya Kompolnas saat
melakukan pengawasan dan mengetahui bahwa ada pelanggaran dalam
proses penyidikan perkara pidana, Kompolnas tanpa menunggu adanya
keluhan dari masyarakat dapat langsung mengadakan klarifikasi atas
kasus pelanggaran tersebut dan melakukan mekanisme yang sama seperti
yang telah dijelaskan sebelumnya.
Sebagai lembaga pengawas eksternal Polri, Kompolnas tidak bisa
melakukan tindakan berupa pengambil alihan kasus atau proses
penyidikan. Kompolnas sebagai lembaga pengawas eksternal Polri dalam
hal ini hanya bisa “melongok” atau “melihat” proses penyidikan tersebut.
Apabila terjadi suatu pelanggaran pada proses penyidikan Kompolnas
bekerja sama dengan SPI yaitu Inspektorat Pengawasan Umum
99
(Itwasum) dan Divisi Profesi dan Pengamanan Kepolisian Negara
Republik Indonesia (Divpropam).
Kompolnas akan bekerja sama dengan Itwasum, Jika pelanggaran
yang dilakukan adalah berkaitan dengan kesalahan prosedur atau
pelanggaran umum, namun apabila pelanggaran tersebut berhubungan
dengan perilaku menyimpang anggota Polri maka Kompolnas akan
bekerja sama dengan Divpropam. Itwasum dan Divpropamlah yang
berhak untuk merivew dan menangani proses pelanggaran penyidikan. ke
dua satuan inilah yang berkewajiban untuk memberi informasi kepada
Kompolnas mengenai kelanjutan, perkembangan dan segala informasi
kasus pelanggaran penyidikan tersebut. Itwasum dan Divpropam juga
harus hadir pada saat Kompolnas melakukan klarifikasi atas kasus
pelanggaran penyidikan suatu perkara pidana yang dilakukan oleh oknum
polisi.
Peran Kompolnas yang akan dibahas selanjutnya adalah peran
Kompolnas sebagai lembaga yang menampung atau menerima saran dan
keluhan dari masyarakat. Hal ini telah diatur dalam Pasal 9 huruf a dan
Pasal 7 huruf c Perpres Nomor 17 Tahun 2011 yang pada pokoknya
berisi Kompolnas sebagai lembaga yang menerima saran dan keluhan
masyarakat. Saran dan keluhan dari masyarakat itu akan ditindak lanjuti
oleh Polri selanjutnya Kompolnas sampaikan saran dan keluhan dari
masyarakat tersebut kepada presiden. Peran Kompolnas dalam hal
sebagai penerima saran dan keluhan dari masyarakat adalah mengadakan
100
kalifikasi berdasarkan SKM (Saran dam Keluhan Masyarakat) yang
masuk.120
Saran dan keluhan dari masyarakat tentang Polri yang masuk ke
Kompolnas disebut dengan SKM. SKM berbentuk surat yang dikirimkan
oleh masyarakat baik melalui telfon, mitra Kompolnas maupun datang
langsung ke sekertariat Kompolnas yang berada di Jakarta.
Pada dasarnya setiap SKM yang masuk ke Kompolnas harus
ditindak lanjuti oleh anggota Kompolnas. Hal yang membuat tidak setiap
SKM ditindak lanjuti oleh Kompolnas adalah
1. Apabila Bahan – bahan SKM tersebut tidak lengkap.
2. Setelah dilihat dan si saring ternyata SKM ini tidak
menjadikan Kompolnas sebagai sumber pengaduan.
Maksudnya adalah Kompolnas hanya sekedar menjadi
tembusan dari sebuah pengaduan.
3. SKM tersebut tidak ada unsur polisinya. Unsur polisi sangat
penting karena ini adalah sebagai dasar wewenang Kompolnas
dalam menangani kasus tersebut. Kompolnas hanya
berkompetnsi mengurus masalah polisinya saja.
Ke 3 hal tersebutlah yang menjadi dasar penyaringan dari kasus-kasus,
pengaduan dan SKM yang masuk ke Kompolnas. 121
Selama ini ada 2 katagori SKM yang masuk ke Kompolnas yaitu:
120
Hasil wawancara dengan Tetra Megayanto Putra, S.H. Op.Cit. 121
Hasil wawancara dengan Prof. Adrianus Eliasta Meliala, Ph.D.Op. Cit.
101
1. SKM yang bertingkat dan bersifat dari bawah ke atas. Tipikal
SKM ini adalah jika ada orang yang memiliki kasus di polsek
tertentu. Jika yang bersangkutan tidak puas, maka bisa
mengadukannya tetap di Polsek yang sama atau ke Polres yang
mengatasi Polsek tersebut. Jika tetap tidak puas, bisa naik ke
Polda, bahkan ke mabes Polri. Ketika tetap saja tidak puas
maka datanglah anggota masyarakat itu ke Kompolnas.
2. SKM yang bersifat melambung dan acak. Tipikal SKM ini
adalah ketika ada orang yang memiliki kasus terkait
kepolisian, maka kemudian SKM dilayangkan kemana saja.
Bisa langsung ke Kapolri, ke Kompolnas atau bahkan ke
presiden RI. Bisa pula SKM yang sama dikirim ke berbagai
Komisi, mulai dari Komisi Pemberantasan korupsi, Komisi
Nasional Hak Asasi Manusia atau ke komisi-komisi yang
lain.122
Kedua tipe ini memiliki kesulitanya masing-masing. Tipe SKM
yang pertama menjadikan Kompolnas sebagai lembaga pengawas terakhir
dan tertinggi. Sebagai lembaga pengawas tertinggi maka besar harapan
orang bahwa Kompolnas dapat berbuat banyak. Jika satuan kerja sekelas
Itwasum dan Divpropam sudah tidak dianggap lagi maka beban tanggung
jawab Kompolnas menjadi sangat besar padahal wewenang Kompolnas
dalam melakukan pengawasan sangat terbatas. Tipe SKM yang kedua juga
122
Suara Komisi Kepolisian Nasional. Op.Cit.
102
memiliki kesulitan yaitu Kompolnas cenderung tidak akan menindak
lanjuti SKM tersebut karena akan muncul kemungkinan adanya respon
ganda dari instansi-instansi yang lain.123
Hal ini akan menimbulkan
kekacauan karena setiap instansi memiliki fokus yang berbeda-beda.
sebagai contohnya apabila ada SKM yang masuk ke Komisi
Pemberantasan Korupsi maka tindak lanjut dari SKM tersebut akan
terfokus pada dimensi korupsinya. Begitupula jika SKM tersebut masuk ke
Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) maka tindak lanjut
dari SKM tersebut akan terfokus pada dimensi hak asasi manusianya,
padahal fokus Kompolnas adalah terkait dengan kinerja dan perilaku
polisinya.124
Setelah Kompolnas menerima SKM dari masyarakat maka langkah
pertama Kompolnas adalah melakukan Penyaringan SKM yang masuk
tersebut dan melihat apakah SKM ini termasuk wewenang Kompolnas
atau tidak dalam menindak lanjutinya. Terhadap kasus pelanggaran
penyidikan kompolnas akan melihat apakah Kompolnas tidak menjadi
lembaga tembusan atas pengaduan kasus pelanggaran penyidikan tersebut
dan apakah bahan-bahan SKM telah dipenuhi atau belum.
Kedua, Kompolnas akan memilah SKM tersebut termasuk
kedalam bagian mana dari lima tipologi pelanggaran tentang kinerja Polri.
Terdapat 5 Tipologi pelanggaran tentang kinerja Polri yang telah
dibuat oleh Kompolnas berdasarkan SKM yang masuk ke Kompolnas.
123
Ibid. 124
Suara Komisi Kepolisian Nasional. Op.Cit.
103
Kelima hal inilah yang menjadi tolak ukur adanya suatu pelanggaran atas
kinerja Polri atau tidak. 125
Kelima tipologi tersebut adalah
1. Pelayanan yang buruk.
2. Dugaan Korupsi.
3. Penyalahgunaan wewenang.
4. Diskresi yang keliru.
5. Diskriminasi.
Berdasarkan data yang bersumber dari laporan analisa dan evaluasi
penanganan SKM Kompolnas Tahun 2013 diketahui bahwa terdapat 939
surat masuk ke Kompolnas dan 893 diantaranya adalah SKM. Jumlah ini
meningkat sebesar 93% dari Tahun 2012 yang hanya ada 467 SKM masuk
ke Kompolnas. Jenis keluhan yang paling banyak diadukan pada Tahun
2013 adalah mengenai pelayanan yang buruk sebesar 548 SKM dan
penyalahgunaan wewenang sebesar 298 SKM. Berdasarkan sumber data
yang sama satuan fungsi kepolisian yang paling banyak dikeluhkan oleh
masyarakat adalah satuan reserse sebesar 782 SKM dari 893 SKM yang
masuk. SKM mengenai pelanggaran penyidikan perkara pidana masuk
dalam fungsi satuan kepolisian reserse dan ini membuktikan bahwa masih
banyaknya dugaan pelanggaran yang terjadi dalam proses penyidikan
perkara pidana yang dari Tahun 2012 sampai dengan Tahun 2013
mengalami peningkatan yang sangat tajam. 126
125
Hasil wawancara dengan Tetra Megayanto Putra, S.H.Op. Cit. 126
Komisi Kepolisian Nasional. Op.Cit., hlm 5-13.
104
Ketiga, Kompolnas akan mengirim surat permohonan klarifikasi
ke Polda sebanyak 8 surat. Hal ini dilakukan karena dalam melakukan
klarifikasi Kompolnas bekerja sama dengan SPI, sehingga perlunya
kesiapan dari SPI yang bersangkutan untuk mengadakan klarifikasi atas
suatu kasus pelanggaran penyidikan bersama dengan Kompolnas. Pada
saat SKM di register, maka Kompolnas akan mengirimkan SKM
kedaerah mana objek dari pengaduan dalam SKM tersebut, namun
apabila SKM ini menyangkut kinerja Polri di Polres maka Kompolnas
tidak dapat langsung mengirimkan Surat ijin mengadakan Klarifikasi
atau Kompolnas tidak dapat langsung datang ke Polres namun harus tetap
melalui Polda daerah itu. Hal ini karena suber hubungan Kompolnas
adalah dengan Polda dalam hal ini adalah Itwasda. Nanti dari Polda
tersebut yang akan menghubungkan Kompolnas dengan polres yang
dimaksud.127
Selama Tahun 2013 Kompolnas sudah mengirimkan 676
surat permohonan klarifikasi ke Polda. 128
Empat, Polda membalas surat permohonan klarifikasi dari
Kompolnas. Pada tahap inilah yang sering menjadi kendala Kompolnas
dalam melakukan klarifikasi menjadi tersendat karena terkadang tidak
semua Polda langsung membalas surat dari Kompolnas. Hal ini akan
memperlambat kinerja Kompolnas dalam menangani suatu SKM.129
Lima, Kompolnas bersama dengan Itwasum dan Divpropam
melakukan klarifikasi atas SKM tersebut. Apabila Kompolnas menilai
127
Hasil wawancara dengan Tetra Megayanto Putra, S.H.Op. Cit. 128
Komisi Kepolisian Nasional. Op.Cit., hlm 4. 129
Hasil wawancara dengan Tetra Megayanto Putra, S.H.Op. Cit.
105
bahwa penanganan Polda ditemukan ada suatu kejanggalan, maka
Kompolnas akan meminta kepada Polda untuk dilaksanakan gelar
perkara dengan dihadiri oleh Kompolnas dan Kompolnas dapat meminta
kepada Itwasum Polri dan bareskrim Polri untuk mendampingi
Kompolnas dalam pelaksanaan gelar perkara yang dilaksanakan oleh
Polda.130
Kunjungan kerja Kompolnas ke Polda dalam rangka klarifikasi
SKM selama tahu 2013 sebanyak 36 kali.131
Enam, Kompolnas mengirim tembusan Surat permohonan
klarifikasi SKM kepada pelapor surat. Hal ini diatur dalam Pasal 11
Perpres nomor 17 Tahun 2011 yang berbunyi :
“Kompolnas menyampaikan basil tindak lanjut atas saran dan
keluhan masyarakat yang disampaikan dan dilaporkan kepada
Kompolnas kepada pelapor yang bersangkutan.”
Maksud dari pengiriman tembusan permohonan klarifikasi kepada pelapor
adalah agar pelapor tahu sejauh mana SKM ditindak lanjuti oleh
Kompolnas.
Tujuh, Kompolnas akan menerima hasil klarifikasi SKM dari Polri
melalui surat. Kompolnas hanya berwenang untuk melakukan klarifikasi
terhadap penyidik yang melakukan pelanggaran bersama-sama dengan
SPI. Itwasum dan Divpropam selaku SPI yang bertugas dan berwenang
untuk merivew atau menangani mengenai kasus pelanggaran penyidikan
tersebut. Karena Itwasum dan Divpropam yang bertugas untuk menangani
kasus pelanggaran penyidikan tersebut maka ke dua satuan inilah yang
130
Ibid. 131
Komisi Kepolisian Nasional. Op.Cit.,hlm 4.
106
berkewajiban untuk memberi informasi kepada Kompolnas mengenai
kelanjutan, perkembangan dan segala informasi kasus pelanggaran
penyidikan tersebut.132
Selama Tahun 2013 Kompolnas sudah menerima
246 surat laporan hasil klarifikasi dari Polri.133
Delapan, Hasil dari klarifikasi tersebut diberitahukan kepada
pelapor surat.134
Hal ini sesuai dengan amanat Pasal 11 Perpres nomor 17
Tahun 2011 yang berbunyi :
“Kompolnas menyampaikan hasil tindak lanjut atas saran dan
keluhan masyarakat yang disampaikan dan dilaporkan kepada
Kompolnas kepada pelapor yang bersangkutan.”
Pelapor berhak untuk mengetahui hasil tindak lanjut atas SKM
yang telah dikirimkan ke Kompolnas. Selama Tahun 2013 Kompolnas
telah mengirimkan surat jawaban hasil klarifikasi kepada pelapor atau
pengadu sebanyak 510 surat.135
Apabila pelapor masih belum puas terhadap hasil klarifikasi yang
dilakukan oleh Kompolnas maupun jawaban yang dikirim Polda maka
pelapor dapat mengirimkan ketidak puasanya kembali kepada Kompolnas
dengan menyertakan dokumen pendukung untuk selanjutnya oleh
Kompolnas akan diteruskan ke Polda kembali.136
Setelah klarifikasi selesai dilakukan maka Kompolnas akan
membuat suatu berita acara yang berisikan apakah kasus tersebut telah
selesai atau belum, mana kasus yang sudah terbukti atau belum. Ketika
132
Ibid. 133
Komisi Kepolisian Nasional. Op.Cit.,hlm 4. 134
Hasil wawancara dengan Tetra Megayanto Putra, S.H. Op.Cit. 135
Komisi Kepolisian Nasional. Op.Cit.,hlm 4. 136
Komisi Kepolisian Nasional. Op.Cit.,hlm 5.
107
suatu kasus belum selesai padahal sudah diadakan klarifikasi maka
Kompolnas akan menghubungi Irwasda dan bekerja sama dengan irwasda
untuk menindak lanjuti kasus tersebut. Kompolnas akan memantau apakah
kasus tersebut ditindak lanjuti atau tidak, Kompolnas akan melihat apakah
kasus ini harus ditindak lanjuti melalui peradilan pidana atau cukup
dengan sanksi yang ada dalam kode etik atau sanksi disiplin. Ketika
memang suatu kasus pelanggaran yang dilakukan oleh penyidik harus
diselesaikan melalui peradilan pidana maka Kompolnas juga akan
memantau jalannya persidangan hingga penjatuhan putusan.137
Pemantauan yang dilakukan oleh Kompolnas ini dilakukan melalui
itwasda dan Divpropam.
2. Hambatan Komisi Kepolisian Nasional dalam melakukan pengawasan
perkara pidana di tingkat penyidikan
Efektivitas memiliki arti berhasil atau tepat guna. Efektif
merupakan kata dasar, sementara kata sifat dari efektif adalah efektivitas.
Menurut Effendy138
efektivitas adalah:
”Komunikasi yang prosesnya mencapai tujuan yang direncanakan
sesuai dengan biaya yang dianggarkan, waktu yang ditetapkan dan
jumlah personil yang ditentukan”.
Pada realita kehidupan bermasyarakat, seringkali penerapan hukum
tidak efektif sehingga wacana ini menjadi perbincangan menarik untuk di
137
Hasil wawancara dengan Tetra Megayanto Putra, S.H. Op.Cit. 138
http://elib.unikom.ac.id/files/disk1/487/jbptunikompp-gdl-muhamadalf-24330-2
babii.p
df. diakses pada tanggal 7 Agustus 2014. Pukul 0.31 WIB.
108
bahas dalam perspektif efektivitas hukum.139
Penerapan hukum yang baik
akan mempengaruhi efektivitas adanya suatu lembaga hukum karena,
hukum adalah pedoman untuk bertingkah laku untuk mencapai suatu
tujuan yang diinginkan. Suatu lembaga hukum dibentuk tentunya memiliki
suatu tujuan, dalam hal ini pembentukan Kompolnas bertujuan untuk
menjamin profesionalisme dan kemandirian polri, yang dilakukan melalui
kegiatan pemantauan dan penilaian terhadap kinerja dan integritas anggota
dan pejabat Polri sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan
yang ada.140
Kompolnas dapat dikatakan efektif apabila Kompolnas dapat
menyelesaikan masalah sesuai dengan tujuan awal dibentuknya
Kompolnas yaitu untuk meningkatkan profesionalisme dan kemandirian
Polri. Untuk membahas keefektivitasan Kompolnas tentu ada baiknya juga
memperhatikan faktor-faktor yang menghambat Kompolnas dalam
melaksanakan perannya.
Menurut Soerjono Soekanto141
ada lima faktor yang dapat
mempengaruhi efektifitas berlakunya hukum. Faktor-faktor ini dapat
dijadikan patokan untuk menentukan efektifitas Kompolnas selama ini.
Faktor –faktor tersebut yaitu :
1. Hukumnya sendiri.
2. Penegak hukum.
139
http://sarmyendrahendy.blogspot.com/2012/06/dalamrealita-kehidupan bermasyarakat.
html. diakses pada tanggal 6 Agustus 2014. Pukul 21.35 WIB. 140
www.kompolnas.go.id. Diakses pada tanggal Agustus 2014. Pukul 23.07 WIB. 141
http://sarmyendrahendy.blogspot.com/2012/06/dalamrealita-kehidupan bermasyarakat.
html. diakses pada tanggal 6 Agustus 2014. Pukul 21.35 WIB.
109
3. Sarana dan fasilitas.
4. Masyarakat.
5. Kebudayaan
Kenyataan yang terjadi banyak kendala yang dihadapi Kompolnas
untuk mencapai tujuan Kompolnas baik yang berasal dari luar Kompolnas
ataupun dalam Kompolnas yang membuat tidak maksimal dalam
penerapanya.
Berdasarkan data penelitian dari wawancara terhadap narasumber
dan hasil pengamatan penulis maka terdapat beberapa kendala yang
dirasakan oleh Komisi Kepolisian Nasional. Kendala yang disampaikan
adalah kendala umum yang dijumpai Komisioner kompolnas dalam
melaksanakan tugasnya. Kendala ini akan dibagi menjadi dua sumber yaitu
kendala yang bersumber dari dalam Kompolnas (Interen) dan kendala
yang bersumber dari luar Kompolnas (eksteren).
2.1 Kendala yang bersumber dari dalam Kompolnas (interen)
Kendala Kompolnas yang bersumber dari dalam Kompolnas ada
dua yaitu:
a. Kurangnya Sumber Daya yang dimiliki oleh Kompolnas.
b. Kecepatan dalam menangani SKM.
Hambatan Pertama adalah kurangnya sumber daya yang dimiliki
oleh Kompolnas. Sumber daya Kompolnas yang dimaksud ada 3 hal
yaitu Sumber Daya Manusia (SDM), anggaran, dan kewenangan. Untuk
hal anggaran Prof. Adrianus berpendapat bahwa hal itu bukan menjadi
110
hambatan Kompolnas, namun untuk hal SDM dan kewenangan itu
menjadi kendala Kompolnas.
Apabila dikaitkan dengan teori menurut Soerjono Soekanto142
tentang faktor-faktor yang mempengaruhi efektivitas hukum kendala ini
masuk kedalam faktor penegak hukum untuk kurangnya Sumber Daya
Manusia yang dimiliki Kompolnas dan faktor hukum untuk kurangnya
wewenang yang dimiliki oleh Kompolnas dalam Perpres Nomor 17
Tahun 2011.
Kurangnya sumberdaya manusia yang dimiliki Kompolnas. Hal ini
termasuk dalam faktor pertama yaitu faktor penegak hukum. Sumber
daya manusia yang dimaksud adalah kurangnya staff ahli yang dapat
membantu para Komisioner Kompolnas melaksanakan tugasnya
sehingga, kinerja para Komisioner Kompolnas maksimal.
Saat ini Kompolnas hanya memiliki 9 orang Komisioner yang
harus menjalankan seluruh tugas dan wewenang Kompolnas yang
diatur dalam Perpres Nomor 17 Tahun 2011. Dari 9 Komisioner itu
hanya 6 Komisioner yang aktif melakukan klarifikasi ke 31 Polda yang
ada di Indonesia. Hal ini dibuktikan dengan pembagian wilayah rayon
pengawasan terhadap Polda di Indonesia hanya untuk 6 orang
Komisioner yang terdiri dari 3 orang Pakar Kepolisian dan 3 orang
Tokoh Masyarakat. Padahal kita ketahui Jumlah SKM yang masuk ke
142
http://sarmyendrahendy.blogspot.com/2012/06/dalamrealita-kehidupan bermasyarakat.
html. diakses pada tanggal 6 Agustus 2014. Pukul 21.35 WIB.
111
Kompolnas pada Tahun 2013 sejumlah 893 SKM.143
Banyaknya tugas,
fungsi, dan wewenang yang harus dijalankan oleh Kompolnas dengan 9
orang Komisioner ini sudah barang tentu memberatkan para komisioner
yang ada.
Faktor yang kedua adalah faktor hukum, hal ini karena kurangnya
Sumber daya dalam hal kewenangngan yang dimiliki oleh Kompolnas
dalam Perpres Nomor 17 Tahun 2011. Wewenang yang dimaksud
adalah fungsi punitif atau fungsi “gebuk” yang tidak dimiliki oleh
Kompolnas. Kompolnas sebagai Public Complain maka harus
mempunyai fungsi punitif. Fungsi punitif perlu untuk dimiliki agar para
reserse mau untuk menuruti Kompolnas. Kurangnya sumberdaya
Kompolnas tentunya dapat mempengaruhi kinerja Kompolnas dalam
melaksanakan tugas-tugas dan wewenangnya. Hali ini juga secara
langsung akan mempengaruhi kinerja Kompolnas sebagai lembaga
pengawas perkara pidana pada tingkat penyidikan.144
Hambatan kedua adalah Kecepatan dalam menangani SKM.
Hambatan ini berhubungan kausal dengan hambatan yang telah
disebutkan sebelumnya. kecepatan menangani SKM di Kompolnas
rendah karena dua hal yaitu:
1. Sumber daya manusia di Kompolnas yang minim. Hal ini
menyebabkan semakin lamanya proses penanganan SKM karena
para anggota Kompolnas terbatas jumlahnya yaitu hanya 6
143
Komisi Kepolisian Nasional. Op.Cit.,hlm 5.
144
Ibid.
112
anggota aktif. Mininmya sumber daya manusia di Kompolnas
ditambah lagi dengan tugas Kompolnas yang cukup banyak
menyebabkan kurang maksimalnya kinerja para anggota
Kompolnas yaitu dalam hal efisiensi waktu.
2. Waktu yang dibutuhkan oleh Polda untuk membalas surat
permohonan klarifikasi dari Kompolnas. Hal ini dapat terjadi
karena terkadang tidak semua Polda langsung membalas surat
dari Kompolnas bahkan ada Polda yang tidak membalas surat
permohonan klarifikasi dari Kompolnas.
Hal ini akan memperlambat kinerja Kompolnas dalam menangani
suatu SKM. Buruknya kinerja Kompolnas akan berakibat dengan
kepuasan masyarakat akan kinerja Kompolnas. Padahal buruknya
kinerja Kompolnas bukan karena kinerja anggota Kompolnas yang
buruk melainkan karena faktor-faktor lain yang sudah dijelaskan di
atas.
2.1 Kendala yang bersumber dari luar Kompolnas (eksteren)
Hambatan Kompolnas dalam melaksanakan pengawasan perkara
pidana pada tingkat penyidikan yang bersumber dari luar Kompolnas
(eksteren) adalah kesediaan untuk diawasi dan kesediaan untuk berubah
oknum penyidik yang melakukan pelanggaran. Hambatan ini masuk
dalah faktor kebudayaan. Kebudayaan mempunyai fungsi yang sangat
besar bagi manusia dan masyarakat, yaitu mengatur agar manusia dapat
mengerti bagaimana seharusnya bertindak, berbuat, dan menentukan
113
sikapnya kalau mereka berhubungan dengan orang lain. Dengan
demikian, kebudayaan adalah suatu garis pokok tentang perikelakuan
yang menetapkan peraturan mengenai apa yang harus dilakukan, dan
apa yang dilarang.
Pada kenyataanya Layaknya orang yang berbuat kesalahan
sebagian besar dari mereka enggan untuk diawasi karena takut
kesalahanya terbongkar dan harus terkena sanksi, begitu pula dengan
anggota penyidik yang enggan untuk diawasi karena takut terkena
sanksi atas semua penyimpangan yang telah ia lakukan. Anggota
Kompolnas Prof. Adrianus berpendapat bahwa oknum polisi yang
bermain kotor biasanya mengelak dan menutup diri ketika Kompolnas
meminta laporan atas kejadian yang sebenarnya terkait suatu kasus
pelanggaran.145
Kompolnas tidak dapat berbuat banyak ketika memang ada
anggota polisi yang menutup diri dan mengelak ketika dimintai
keterangan oleh kompolnas pada saat proses klarifikasi kasus
pelanggaran penyidikan perkara pidana karena Kompolnas hanyalah
sebagai lembaga pengawas eksternal. Wewenang kompolnas sebagai
lembaga eksternal jika diketahui ada aparat kepolisian yang melakukan
pelanggaran adalah memberikan rekomendasi atau saran kepada satuan
yang berwenang menjatuhkan sanksi terhadap anggota oknum polisi
tersebut. Kompolnas tidak berwenang menjatuhkan sanksi apapun
145
Hasil wawancara dengan Prof. Adrianus Eliasta Meliala, Ph.D. Op.Cit.
114
kepada oknum polisi yang melakukan pelanggaran. Namun sebuah
saran baru dapat dijalankan apabila pihak yang diberikan saran
menerima saran tersebut. Kompolnas tidak dapat memaksakan
rekomendasi yang diberikan oleh Kompolnas di setujui oleh pihak yang
diberi saran.
Menurut Pasal 7 huruf b Perpres Nomor 17 Tahun 2011
Kompolnas berwenang untuk memberikan saran kepada presiden untuk
menciptakan Polri yang mandiri dan profesional. Apabila pelanggaran
terjadi dalam tingkat kasus Kompolnas hanya dapat menegur secara
lisan oknum polisi yang berbuat salah dan untuk hukuman disiplin,
kode etik , ataupun pidana yang dijatuhkan akan diserahkan kepada
pihak yang berwenang. Apabila terjadi kejanggalan dalam proses tindak
lanjut atas pelanggaran yang dilakukan oleh anggota polisi maka
Kompolnas akan meminta bantuan Itwasum dan Divpropam untuk
memperbaiki kelasalah tersebut dan kompolnas akan terus mengawasi
jalanya perbaikan tersebut.
Kendala bahwa Kompolnas hanya bisa memberikan rekomendasi
tanpa bisa memberikan sanksi kepada oknum polisi yang menyimpang
atau turut capur dalam suatu proses penjatuhan sanksi terhadap polisi
yang menyimpang merupakan kelemahan dalam sistem pengawasan
yang dilakukan oleh Kompolnas. Kelemahan ini seringkali
dimanfaatkan oleh oknum polisi yang tidak bertanggung jawab untuk
berbuat menyimpang.
115
Sampai dengan saat ini hal terbaik yang bisa Kompolnas lakukan
hanyalah membuat arah bijak untuk mempengaruhi berbagai keputusan
Kapolri yang pada dasarnya dapat menghilangkan faktor atau hal-hal
yang sering disalahgunakan oknum Polisi untuk mengelabuhi
Kompolnas. Prof. Adrianus juga berpendapat bahwa dengan
dikeluarkannya satu kebijakan strategis maka dapat menghilangkan
hingga 1000 kasus pelanggaran yang dilakukan oleh penyidik.146
Namun solusi ini agaknya masih belum sempurna karena terdapat
suatu kekurangan didalamnya. Pembuatan kebijakan strategis agar
dapat berjalan dan berfungsi dengan benar memerlukan waktu yang
cukup lama. Daya ubah akibat dikeluarkanya kebijakan tersebut juga
memerlukan waktu yang lama.
Kesimpulanya adalah Kompolnas belum sepenuhnya efektif dalam
melaksanakan tujuannya karena, solusi Kompolnas untuk menghadapi
hambatan yang dialami belum sepenuhnya efektif. Solusi yang
diberikan masih mempunyai kelemahan yang cukup besar karna daya
ubahnya yang lama.
146
Ibid.
116
BAB V
PENUTUP
A. Simpulan
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan diatas, maka dapat
disimpulkan sebagai berikut:
1. Peranan Komisi Kepolisian Nasional dalam melakukan pengawasan
perkara pidana di tingkat penyidikan adalah
a. Sebagai lembaga pengawas eksternal Polri dengan jenis
pengawasan fungsional.
b. Sebagai lembaga yang menampung atau menerima saran dan
keluhan dari masyarakat.
2. Kendala atau Hambatan Komisi Kepolisian Nasional dalam melakukan
pengawasan perkara pidana di tingkat penyidikan adalah:
a. Bersuber dari dalam diri Kompolnas
1) Kurangnya Sumber Daya yang dimiliki oleh Kompolnas.
2) Kurangnya Kecepatan dalam menangani SKM.
b. Bersumber dari luar diri Kompolnas adalah kesediaan untuk diawasi
dan kesediaan untuk berubah oknum anggota Polri.
Kendala yang disampaikan adalah kendala umum yang dijumpai
Komisioner kompolnas dalam melaksanakan peranya.
B. Saran
Beberapa saran dapat diberikan berkaitan dengan permasalahan yang
diajukan dalam penelitian ini. Saran-saran tersebut adalah:
117
1. Peningkatan wewenang Kompolnas dalam melaksanakan fungsinya
sebagai lembaga pengawas perlu dilakukan. Sebagai lembaga pengawas
Kompolnas perlu memiliki fungsi punitif agar setiap hal yang dilakukan
oleh Kompolnas dapat memberikan efek preventif untuk polisi yang
hendak melakukan pelanggaran.
2. Penambahan Sumber Daya Manusia juga perlu dilakukan. Beratnya
tanggung jawab yang dipikul oleh anggota Kompolnas dapat
menyebabnyak kurang maksimalnya kinerja Kompolnas. Kurang
maksimalnya kinerja anggota Kompolnas dapat diminimalisir dengan
memberikan bantuan berupa tambahan Sumber Daya Manusia yang
bertugas untuk membantu Kompolnas menjalankan tanggung jawabnya.
DAFTAR PUSTAKA
A. Literatur
Hamzah, Andi. 2008. Hukum Acara Pidana Indonesia. Jakarta:Sinar Grafika.
Ibrahim, Joni. 2010. Teori dan Metedologi Penelitian Hukum Normatif.
Malang:Bayu Media Publishing.
Makaro, Mohammad Taufik dan Suharsil. 2010. Hukum Acara Pidana dalam
Teori dan Praktek. Jakarta:Ghalia Indonesia.
Marzuki, Peter Mahmud. 2007. Penelitian Hukum. Surabaya:Kencana Perdana
Media Group.
Mulyadi. 2002. Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana, Semarang: Badan
Penerbit Universitas Diponegoro.
Nazir, Moh. 2005. Metode Penelitian. Bogor: Ghalia Indonesia.
Ngani, Nico, dkk. 1984. Mengenal Hukum Acara Pidana (Bagian Umum dan
Penyidikan), Yogyakarta: Liberty.
Prakoso, Djoko. 1987. Penyidik, Penuntut Umum, Hakim Dalam Proses Hukum
Acara Pidana. Jakarta: Bina Aksara.
Poernomo, Bambang. 1992. Asas-Asas Hukum Pidana, Jakarta:Ghalia Indonesia.
Poerwardaminta, W.J.S, 1998. Kamus Umum Bahasa Indonesia. Jakarta: PN.
Balai Pustaka.
Singarimbun, Masri dan Sofian Effendi. 1985. Metode Penelitian Survai. Jakarta :
Lembaga Penelitian, Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan Sosial.
Sutarto, Suryono. 1987, Sari Hukum Acara Pidana I. Semarang: Yayasan
Cendekia Purna Dharma.
Waluyo, Bambang. 2002. Penelitian Hukum Dalam Praktek. Jakarta : Sinar
Grafika.
B. Peraturan Perundang-undangan
Indonesia, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang
Hukum Acara Pidana.
________, Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian.
________, Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983 Tentang Pedoman Kitab
Undang-Undang Hukum Acara Pidana.
________, Peraturan Pemerintah Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pembinaan dan
Pengawasan Atas Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah
________, Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2003 Tentang Pemberhentian
Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia.
________, Peraturan Presiden Nomor 17 Tahun 2011 tentang Komisi Polisi
Nasional.
Kapolri Nomor 12 tahun 2009 tentang Pengawasan dan Pengendalian Penanganan
Perkara Pidana di Lingkungan Kepolisian Negara Republik Indonesia.
C. Internet dan lain-lain
http://www.kompolnas.go.id/masyarakat-bisa-adukan-masalah-pelayanan-oknum-
polisi-melalui-posko-kompolnas-di-fh-unsoed/, di akses pada tanggal 24
februari 2014.
http://lapatuju.blogspot.com/2013/04/polisi-di-mata-masyarakat.html, di akses
pada tanggal 24 Februari 2014.
http://kbbi.web.id/, di akses pada tanggal 26 Februari 2014.
http://www.jpnn.com/read/2013/11/07/199615/Polri-Dapat-Rapor-Merah-dari-
Ombudsman-RI- , di akses pada tanggal 24 April 2014.
http://m.tempo.co/read/news/2011/11/02/063364495/Tingkat-Kepercayaan-
Publik-Terhadap-Kinerja-Lembaga-Hukum-Turun, di akses pada tanggal 6
April 2014.
http://www.portalkbr.com/berita/perbincangan/2947874_5534.html, diakses pada
tanggal 6 April 2014.
liputan6.com/news/read/725956/kompolnas-masyarakat-tidak-puas-dengan-
kinerja-reserse-polri, diakses pada tanggal 10 April 2014.
http://www.polri.go.id/organisasi/op/vm/, Diakses pada tanggal 30 April 2014.
http://nawzngapax.blogspot.com/2008/12/pengawasa-fungsional.html. diakses
pada tanggal 6 Mei 2014.
http://anissaisyaa.blogspot.com/2012/01/pengawasan.html. diakses pada tanggal 6
Mei 2014.
http://www.antarajateng.com/detail/index.php?id=73920, diakses pada tanggal 31
Mei 2014.
http://www.imparsial.org/en/2010/evaluasi-peran-komisi-kepolisian-nasional-di-
masa-reformasi.html, diakses pada tanggal 31 Mei 2014.
http://www. negarahukum.com /hukum/penyelidikan-dan-penyidikan.html.
diakses pada tanggal 1 Juli 2014.
http://kantorhukumludwichbernhardhshpartners.blogspot.com/2011/06/penahanan
-syarat-penahanan.html. diakses pada tanggal 1 Juli 2014.
http://id.wikipedia.org/wiki/Komisi_Kepolisian_Nasional. diakses pada tanggal 7
Juli 2014.
http://www.hukumonline.com/klinik/detail/cl624/sp3. diakses pada tanggal 11 Juli
2014.
http://lontar.ui.ac.id/file?file=digital/122580-PK%20III%20637.8250 Penghentian
%20penyidikan-Literatur.pdf. Diakses pada tanggal 11 Juli 2014.
sarmyendrahendy.blogspot.com/2012/06/dalamrealita-kehidupan bermasyarakat.
html. diakses pada tanggal 6 Agustus 2014.
www.kompolnas.go.id. Diakses pada tanggal Agustus 2014.
Wibowo, Catur Cahyono. 2012. Kebijakan Strategis Guna Mengoptimalkan
Peran KOMPOLNAS Dalam Mempercepat Reformasi POLRI. Program
Pasca Sarjana Universitas Diponegoron Semarang.
Irsan, Koeparmono, Adrianus, Farouk, dkk,. 2000.Polisi Indonesia. Jurnal Polisi
Indonesia”. jurnal. Vol.2, Program Pascasarjana Kajian Ilmu Kepolisian
Universitas Indonesia dan Yayasan Obor Indonesia.
Mahrus Ali. 2007. Sistem Peradilan Pidana progresif;Alternatif Dalam
penegakan Hukum Pidana. Jurnal. Vol. 14. Program Pascasarjana Fakultas
Hukum Universitas Islam Indonesia.
Sugama, I Dewa Gede Dana. 2014. Surat Perintah Penghentian Penyidikan (Sp3)
Dalam Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Jurnal Hukum. Program
Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Udhayana Denpasar.
www.sarjanaku.com, diakses pada 10 Juni 2014.
Meliala, Adrianus Eliasta. Tahun 2014. Di wawancara oleh Dyah Tantri Tillotami.
(17 Juni 2014). List Pertanyaan. Koleksi pribadi.
Putra, Tetra Megayanto. Tahun 2014. Di wawancara oleh Dyah Tantri Tillotami.
(17 Juni 2014). List Pertanyaan. Koleksi pribadi.
Komisi Kepolisian Nasional. 2014. Laporan. "Laporan Analisa dan Evaluasi
Penanganan Saran dan keluhan Masyarakat Kompolnas Tahun 2013".
Laporan. Komisi Kepolisian Nasional. Jakarta.
Suara Komisi Kepolisian Nasional. 2013. “Mengadu ke Kompolnas? Jangan
Melempar Bola Panas’’ Kompolnas. hlm. 47.