perlindungan hukum terhadap konsumen …fh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/skripsi...
TRANSCRIPT
PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP KONSUMEN DILIHAT DARI ASPEK
KEBIJAKAN KRIMINAL PADA SERTIFIKASI DAN LABELISASI HALAL
MUI UNTUK PRODUK PENYEDAP MAKANAN AJI-NO-MOTO
SKRIPSI
Oleh :
MASERATIH DEWINTHA
E1A008109
Disusun Untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan
Memperoleh Gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum
Universitas Jenderal Soedirman Purwokerto
KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN
UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
FAKULTAS HUKUM
PURWOKERTO
2012
LEMBAR PENGESAHAN SKRIPSI
PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP KONSUMEN DILIHAT DARI ASPEK
KEBIJAKAN KRIMINAL PADA SERTIFIKASI DAN LABELISASI HALAL
MUI UNTUK PRODUK PENYEDAP MAKANAN AJI-NO-MOTO
Oleh:
MASERATIH DEWINTHA
E1A008109
Untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum
Universitas Jenderal Soedirman
Diterima dan Disahkan
Pada Tanggal ......... Mei 2012
Menyetujui,
Pembimbing I, Pembimbing II, Penguji,
I Ketut Karmi. N, S.H.,M. Hum
NIP. 19610520 198703 1 002
Sunaryo, S.H., M. Hum
NIP. 19531224 198601 1 001
Eti Purwiyantiningsih, S.H., M.H
NIP. 19610707 198803 2 002
Mengetahui,
Dekan Fakultas Hukum
Universitas Jenderal Soedirman,
Hj. Rochani Urip Salami, S.H., M.S.
NIP. 19520603 198003 2 001
SURAT PERNYATAAN
Yang bertandatangan dibawah ini:
NAMA : MASERATIH DEWINTHA
NIM : E1A008109
JUDUL : PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP KONSUMEN DILIHAT
DARI ASPEK KEBIJAKAN KRIMINAL PADA SERTIFIKASI
DAN LABELISASI HALAL MUI UNTUK PRODUK PENYEDAP
MAKANAN AJI-NO-MOTO
Dengan ini menyatakan bahwa Skripsi ini merupakan hasil karya asli penulis,
tidak terdapat karya yang pernah diajukan memperoleh gelar kesarjanaan disuatu
perguruan tinggi manapun, dan sepanjang pengetahuan penulis juga tidak terdapat karya
atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh penulis lain, kecuali yang secara
tertulis diacu dalam naskah ini dan disebutkan dalam daftar pustaka.
Apabila penulisan Skripsi ini terbukti merupakan duplikasi ataupun plagiasi dari
hasil karya penulis lain dan/atau dengan sengaja mengajukan karya atau pendapat yang
merupakan hasil karya penulis lain, maka penulis bersedia menerima sanksi akademik
dan/atau sanksi hukum.
Demikian surat pernyataan ini penulis buat sebagai pertanggungjawaban ilmiah
tanpa ada paksaan maupun tekanan dari pihak manapun juga.
Purwokerto, 30 Mei 2012
MASERATIH DEWINTHA
NIM. E1A008109
PRAKATA
Puji syukur kehadirat Allah SWT atas segala rahmat dan karuniaNya. Sehingga
penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul: “PERLINDUNGAN HUKUM
TERHADAP KONSUMEN DILIHAT DARI ASPEK KEBIJAKAN KRIMINAL
PADA SERTIFIKASI DAN LABELISASI HALAL MUI UNTUK PRODUK
PENYEDAP MAKANAN AJI-NO-MOTO”. Skripsi ini merupakan salah satu
persyaratan dalam memperoleh gelar sarjana hukum pada Fakultas Hukum Universitas
Jenderal Soedirman.
Berbagai kesulitan dan hambatan Penulis hadapi dalam penyusunan skripsi ini.
Namun berkat bimbingan, bantuan materiil dan moril serta pengarahan dari berbagai
pihak, maka skripsi ini dapat terselesaikan dengan baik. Oleh karena itu Penulis ingin
menyampaikan terima kasih yang tulus kepada:
1. I Ketut Karmi. N, S.H., M.Hum selaku pembimbing I Skripsi sekaligus sebagai
dosen pembimbing akademik, yang telah memberikan waktu dan kesabarannya
dalam membimbing penulis hingga selesainya skripsi ini;
2. Sunaryo, S.H., M. Hum selaku pembimbing II Skripsi yang telah memberikan
waktu dan kesabarannya dalam membimbing penulis hingga selesainya skripsi ini;
3. Eti Purwiyantiningsih, S.H., M.H selaku dosen penguji skripsi atas segala bantuan,
arahan dan masukan yang telah diberikan untuk skripsi ini;
4. Hj. Rochani Urip Salami, S.H, M.S, selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas
Jenderal Soedirman;
5. Edi Waluyo, S.H., M.H., selaku Ketua Bagian Hukum Perdata yang telah
memberikan saran, kritik, dan arahan demi kesempurnaan skripsi ini;
6. Orang tua (Sukestopo Kardiasworo dan Tri Abri Marhaeningsih) dan adik-adikku
yang cantik Nadia Nurmalasari dan Melviana Ainun Fajri yang selalu memberikan
semangat dan motivasi penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini;
7. Dosen Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman Purwokerto yang telah
banyak memberikan bekal ilmu pengetahuan sehingga dapat dipergunakan dalam
penyusunan skripsi ini, beserta karyawan dan staf Fakultas Hukum Universitas
Jenderal Soedirman Purwokerto;
8. Ir. Hendra Utama selaku Auditor LPPOM MUI (Lembaga Pengkajian Pangan,
Obat-Obatan dan Kosmetika Majelis Ulama Indonesia) Bogor yang telah
memberikan ijin, bantuan dan informasinya kepada penulis untuk melakukan
penelitian di LPPOM MUI Bogor;
9. Tiodora M. Sirait, S.H., M.H., selaku Kasubag Penyuluhan Hukum, Biro Hukum
dan Hubungan Masyarakat, Badan Pengawas Obat dan Makanan (Badan POM)
Jakarta dan keluarga yang telah memberikan ijin, bantuan dan informasinya kepada
penulis untuk melakukan penelitian;
10. Tulus Abadi selaku anggota pengurus harian Yayasan Lembaga Konsumen
Indonesia (YLKI) Jakarta yang telah memberikan memberikan bantuan, informasi,
data dan arahan selama melakukan penelitian;
11. Keluarga besar M. Soedijo dan Oerip Martodiharjo yang telah memberikan kasih
sayang, mendoakan, perhatian dan dukungannya selama ini kepada penulis;
12. Sahabat-sahabat sekaligus saudara, Anita Meriam, Nuri Amallia, Lia Amalia,
Kartika Aprilia Sukardi, Kiki Amalia, Shinta Listya Dewi, Fitri Ayu Respani dan
Maya Ruhtiani (Genkce ) aku sayang kalian. Terima kasih atas segala bantuannya,
dukungan doa serta semangatnya, tanpa kalian semua sulit bagi penulis untuk
menyelesaikan skripsi ini;
13. Semua teman-teman se-angkatan (2008) maupun yang tidak se-angkatan, terima
kasih atas segala doa, masukan dan dukungannya;
14. Keluarga besar Marching Band Bahana Putera Soedirman (MB BPS) Universitas
Jenderal Soedirman. Kalian adalah pelajaran hidup yang sangat berharga bagi
penulis. Terima kasih atas doa, perhatian, dukungan, kasih sayang dan cintanya tim.
Be The Best, Do The Best & For The Best Tim!! One Band One Sound...
15. Teman-teman KKN Desa Kenteng 2011, Subana, Didit, Ulfa “si rempong”, Erma
“miss jutek”, Ririn “miss reject”, Raras “miss galau”, Linda “dokter galau”, kalian
tim yang paling the best ... Terima kasih atas doa dan dukungan serta
semangatnya;
16. Semua pihak-pihak yang ikut menbantu penulis dalam menyusun skripsi ini, namun
tidak dapat penulis sebutkan satu-persatu dalam prakata ini;
Semoga amal kebaikan serta bantuan yang telah diberikan mendapat balasan
dari Allah SWT. Skripsi ini hanyalah hasil karya manusia biasa yang memiliki banyak
kekurangan, oleh karenanya kritik dan masukan demi kesempurnaan skripsi ini sangat
penulis harapkan.
Purwokerto, 30 Mei 2012
MASERATIH DEWINTHA
NIM. E1A008109
ABSTRAK
Penanganan masalah halal pada produk pangan di Indonesia memiliki dua hal
yang saling terkait, yaitu sertifikasi dan labelisasi halal. Hal ini merupakan salah satu
bentuk perlindungan hukum yang diberikan oleh Pemerintah kepada konsumen agar
mendapatkan hak yang sebagaimana telah diatur dalam Pasal 4 huruf (c) UUPK yaitu
hak atas informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang
dan/atau jasa. Apabila pelaku usaha ternyata melanggar hak tersebut maka pemerintah
akan memberikan perlindungan hukum berupa penerapan kebijakan kriminal. Menurut
teori kebijakan kriminal dibagi menjadi dua yaitu kebijakan penal (penerapan sanksi
termuat dalam Pasal 61-63 UUPK) dan kebijakan non penal (pembinaan dan
pengawasan termuat dalam Pasal 29 dan 30 UUPK).
Penelitian ini dilakukan dengan penelitian yuridis normatif, dengan
menggunakan pendekatan perundang-undangan dan adanya data sekunder maupun data
primer mengenai sertifikasi dan labelisasi halal. Melalui penelitian studi kepustakan
yang kemudian diolah dan dianalisa dengan menggunakan metode normatif kualitatif
yang akhirnya disajikan dalam bentuk deskriptif.
Pada hasil penelitian tersebut, diperoleh kesimpulan bahwa secara garis besar
pemerintah telah melakukan kewajibannya dalam memberikan perlindungan hukum
terhadap konsumen. Namun dengan dikeluarkannya SP3 oleh pihak kepolisian tehadap
kasus AJI-NO-MOTO, maka upaya perlindungan hukum dengan sarana penal dianggap
belum memberikan jaminan terhadap masyarakat.
Kata kunci : Perlindungan Hukum, Kebijakan Kriminal, Sertifikasi dan Labelisasi
Halal.
ABSTRACT
Handling of halal food products in Indonesia has two things are interrelated,
that is halal certification and labeling. This is one form of legal protection provided by
the Government to the consumers in order to get the rights as stipulated in Article 4 (c)
UUPK the right to correct information, clear and honest about the condition and
security of goods or services. If the bussiness was violating the rights of the government
would provide legal protection in the form of the application of criminal policy.
According to the theory of criminal policy is divided into two types: penal policy
(sanctions set forth in Article 61-63 UUPK) and non penal policy (establishment and
supervision contained in Articles 29 and 30 UUPK).
The research was carried out with normative juridical studies, using approaches
legislation and the secondary data and primary data on halal certification and labeling.
Through the bibliography research afterwards was processed and analyzed by using
qualitative methods are ultimately normative presented in descriptive form.
On these findings, the conclusion that in general the government has done his
duty inproviding legal protection for consumers. But with the release of SP3 by police
cosmos case AJI-NO-MOTO, efforts by means of penal law protection is deemed not to
give assurance to the public.
Keywords : Legal Protection, Criminal Policy, Halal Certification And Labeling.
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL ........................................................................ i
HALAMAN PENGESAHAN ........................................................... ii
HALAMAN PERNYATAAN ........................................................... iii
PRAKATA ................................................................................... ........ iv
ABSTRAK ....................................................................................... ........ viii
ABSTRACT ...................................................................................... ........ ix
DAFTAR ISI ................................................................................... ........ x
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ........................................................... 1
B. Perumusan Masalah ................................................................. 10
C. Tujuan Penelitian ..................................................................... 10
D. Kegunaan Penelitian ................................................................. 11
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. Hukum Perlindungan Konsumen ................................................ 12
B. Konsumen dan Pelaku Usaha
1. Pengertian Konsumen .......................................................... 20
2. Hak dan Kewajiban Konsumen ............................................. 22
3. Pengertian Pelaku Usaha ...................................................... 26
4. Hak dan Kewajiban Pelaku Usaha ......................................... 27
C. Kebijakan Kriminal ................................................................... 29
D. Halalan Thayiban dan Haram ..................................................... 35
E. Sertifikasi dan Labelisasi Halal .................................................. 40
BAB III METODE PENELITIAN
A. Metode Pendekatan ................................................................... 43
B. Spesifikasi Penelitian ................................................................ 44
C. Lokasi Penelitian ...................................................................... 44
D. Sumber Data ............................................................................ 45
E. Metode Pengumpulan Data ....................................................... 46
F. Metode Penyajian Data ............................................................. 47
G. Metode Analisis Data ............................................................... 47
BAB IV HASIL PENELITIAN
A. Hasil Penelitian ........................................................................ 48
B. Pembahasan ............................................................................. 71
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan ............................................................................. 105
B. Saran ...................................................................................... 106
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
Lampiran I. Proses Sertifikasi Halal dalam Bentuk Diagram Alir
Lampiran II. Organisasi Badan POM
Lampiran III. Sertifikat Halal PT. Ajinomoto
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Kehalalan suatu produk menjadi kebutuhan wajib bagi setiap konsumen,
terutama konsumen muslim. Baik itu produk berupa makanan, obat-obatan maupun
barang-barang konsumsi lainnya. Seiring besarnya kuantitas konsumen muslim di
Indonesia yang jumlahnya mencapai 204,8 juta jiwa penduduk Indonesia1, maka dengan
sendirinya pasar Indonesia m
erupakan pasar konsumen muslim yang sangat besar. Oleh karena itu, jaminan akan
produk halal menjadi suatu yang penting untuk mendapatkan perhatian dari negara.
Sebagaimana yang tercantum dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 bahwa Negara berkewajiban melindungi segenap
bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk mewujudkan
kesejahteraan umum.
Melihat dari beberapa kasus belakangan ini tentang jaminan halal suatu produk
terutama pada produk makanan, yaitu masih banyak pelaku usaha yang belum
memberikan label halal pada produknya dan tidak ada sertifikat halalnya. Hal ini dapat
mengakibatkan konsumen terutama konsumen muslim, sulit untuk membedakan produk
mana yang benar-benar halal dan dapat dikonsumsi sesuai dengan syariat Islam. Halal
1 Vivanews. Riset: Jumlah Muslim RI Akan Digeser Pakistan: Data Tahun 2010. Diakses
tanggal 5 Mei 2012.
bagi umat muslim merupakan syarat mutlak yang harus dijalankan, hal ini ditegaskan
dalam Al-Qur’an surat Al Baqarah ayat 168, yaitu:
“Hai orang-orang yang beriman, makanlah diantara rezeki yang baik-baik yang
kami berikan kepadamu dan bersyukurlah kepada Allah SWT, jika benar-benar
kepada-Nya kamu menyembah”
Ayat di atas dapat disimpulkan bahwa, Tuhan menyuruh manusia memakan
apa saja di dunia ini yang diciptakan-Nya, sepanjang batas-batas yang halal dan baik
(thayibah). Selain ayat diatas masih banyak lagi ayat-ayat dalam Al Qur’an yang berisi
suruhan atau perintah agar manusia berhati-hati dalam memilih makanan, yaitu dalam
memisahkan mana yang halal (dibolehkan) dan mana yang haram (tidak dibolehkan),
cara memperoleh makanan itu, maupun memilih makanan mana yang baik dari segi
kesehatan jasmani maupun rohani. Katagori halal dan haramnya suatu makanan sudah
ditegaskan pula didalam Al-Qur’an yaitu pada surat Al-Maidah ayat 3, yaitu:
“Diharamkan bagi kalian bangkai, darah, daging babi, hewan yang disembelih
dengan atas nama selain Allah, yang tercekik, yang dipukul, yang jatuh, yang
ditanduk, dan yang diterkam binatang buas kecuali yang kalian sempat
menyembelihnya. Dan diharamkan pula bagi kalian binatang yang disembelih di
sisi berhala”.
Ayat di atas dapat ditarik kesimpulan yaitu makanan dianggap haram apabila
makanan tersebut berupa bangkai, darah, daging babi, hewan yang disembelih dengan
atas nama selain Allah, yang tercekik, yang dipukul, yang jatuh, yang ditanduk, dan
yang diterkam binatang buas serta diharamkan pula binatang yang disembelih di sisi
berhala. Makanan dianggap halal apabila makanan tersebut terbebas dari apa yang
diharamkan sesuai dengan bunyi salah satu surat yang ada di dalam Al-Qur’an,
misalnya dalam surat Al-Maidah ayat 3.
Sebenarnya berbagai larangan telah dikenakan bagi para pelaku usaha.
Prinsipnya konsumen berada di posisi yang secara ekonomis kurang diuntungkan.
Konsumen disini semata-mata bergantung pada informasi yang diberikan dan
disediakan oleh pelaku usaha. Kenyataannya informasi yang diberikan tanpa disertai
dengan edukasi akan kurang dirasakan manfaatnya. Hal ini antara lain dilakukan
melalui pemasangan label dan/atau standarisasi mutu. Adanya labelisasi produk sangat
penting dirasakan, terutama pada produk-produk makanan. Hal ini sangat berhubungan
erat dengan nyawa manusia, sekurang-kurangnya ada 2 (dua) persoalan2, yaitu:
a. Masalah pelabelan, yaitu sampai seberapa jauh produk makanan
menyantumkan informasi secara lengkap tentang produk tersebut dalam
pelabelan.
b. Bagaimana mutu produk itu sendiri.
Produk halal sendiri menurut definisi Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-
obatan, dan Kosmetika Majelis Ulama Indonesia (LPPOM-MUI)3 adalah produk yang
memenuhi syarat kehalalan sesuai syari’at Islam. Produk itu tidak mengandung babi
atau produk-produk yang berasal dari babi serta tidak menggunakan alkohol sebagai
ingridient yang sengaja ditambahkan, selain itu daging yang digunakan juga harus
berasal dari hewan halal yang disembelih menurut tata cara syariat Islam. Produk
2 John Pieris & Wiwik Sri Widiarty. Negara Hukum Dan Perlindungan Konsumen:
Terhadap Produk Pangan Kadaluarsa. (Pelangi Cendikia. Jakarta). Hlm. 6-7. 3 Tempo Interaktif, http://www.tempo.co.id/harian/fokus/56/2,1,24,id.html Diakses tanggal 4
Januari 2012.
makanan yang halal termasuk juga semua bentuk minuman yang tidak beralkohol.
Semua tempat penyimpanan, penjualan, pengolahan, tempat pengelolaan dan tempat
transportasinya pun tidak tercampur dengan babi atau barang yang tidak halal lainnya.
Tempat itu harus terlebih dahulu dibersihkan dengan tata cara yang diatur menurut
syari'at Islam. Masalahnya, kategorisasi suatu produk halal atau haram menjadi lebih
rumit saat berkembangnya teknologi pangan di Indonesia, contoh yang paling gampang
yaitu penggunaan bahan-bahan tambahan dalam suatu produk. Di antara bahan-bahan
tambahan itu banyak orang awam tidak mengetahui asal usulnya. Untuk itu diperlukan
ahli yang dapat meneliti secara pasti apakah di antara bahan tambahan makanan itu ada
yang mengandung lemak babi. Bahan yang dapat juga diperoleh melalui reaksi kimia
dengan menggunakan bahan awal salah satu komponen yang berasal dari lemak babi
seperti kasus AJI-NO-MOTO, yang kasusnya berawal pada bulan Desember tahun
2000.
Kegemparan luar biasa, yakni ketika Presiden Abdurrahman Wahid melalui
juru bicara kepresidenan, Wimar Witoelar menyatakan bahwa AJI-NO-MOTO itu halal.
Bersamaan dengan itu, masyarakat dibuat heboh akibat fatwa Majelis Ulama Indonesia
(MUI) yang mengharamkan AJI-NO-MOTO. Sehubungan dengan akan berakhirnya
sertifikat halal dari MUI untuk AJI-NO-MOTO pada September 2000, maka PT.
Ajinomoto Indonesia mengajukan perpanjangan sertifikat halalnya pada akhir Juni
2000. Audit kemudian dilakukan oleh LPPOM-MUI Pusat (2 orang), LPPOM-MUI
Jatim, BPOM Surabaya dan dari Departemen Agama pada tanggal 7 Agustus 2000.
Setelah melakukan audit, ditemukan bahwa pengembangan bakteri untuk
proses fermentasi tetes tebu (molase) mengandung bactosoytone (nutrisi untuk
pertumbuhan bakteri itu). Bactosoytone sendiri merupakan hasil hidrolisa enzim kedelai
dengan biokatalisator porcine yang berasal dari pankreas babi. Pada 7 Oktober 2000,
Komisi Fatwa memutuskan bahwa Bactosoytone tidak dapat digunakan sebagai bahan
dalam media pembiakan mikroba untuk menghasilkan MSG. PT. Ajinomoto Indonesia
lalu diminta untuk mencari alternatif bahan pengganti bactosoytone. Sesuai dengan
instruksi Komisi Fatwa, PT. Ajinomoto Indonesia mengganti bactosoytone dengan
mameno dalam tempo 2 bulan. Setelah itu, LPPOM-MUI melakukan audit sehubungan
dengan penggantian bactosoytone dengan mameno pada 4 Desember 2000. LPPOM-
MUI memutuskan mameno dapat digunakan dalam proses pembiakan mikroba untuk
menghasilkan MSG. Komisi Fatwa melakukan rapat kedua pada 16 November 2000
dan LPPOM-MUI menyampaikan hasil rapat tersebut kepada PT. Ajinomoto Indonesia
pada 18 Desember 2000, bahwa produk yang menggunakan bactosoytone dinyatakan
Haram. MUI lalu mengirim surat kepada PT. Ajinomoto Indonesia pada 19 Desember
2000 yang berisikan perintah untuk menarik semua produk AJI-NO-MOTO yang
diproduksi dan diedarkan sebelum tanggal 23 November 2000 (Produk yang dihasilkan
setelah 23 November 2000 sudah menggunakan mameno). Sekertaris Umum MUI
mengumumkan di media massa pada 24 Desember 2000, bahwa produk AJI-NO-
MOTO mengandung babi dan masyarakat diminta untuk tidak mengonsumsi bumbu
masak AJI-NO-MOTO yang diproduksi pada periode 13 Oktober hingga 16 November
2000. Pengumuman MUI ini lalu ditindaklanjuti dengan pertemuan antara jajaran
Departemen Perindustrian Dan Perdagangan, Departemen Agama, Majelis Ulama
Indonesia (MUI), Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman (GPMI), Dirjen POM
dan Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) pada tanggal 2 & 5 Januari 2001
yang menghasilkan keputusan bahwa PT. Ajinomoto Indonesia harus menarik seluruh
produknya di pasaran dalam negeri termasuk produk lain yang tidak bermasalah dalam
jangka waktu 3 minggu terhitung dari 3 Januari 2001.4
Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) menyatakan hal ini jelas-jelas
dapat dikatakan telah melanggar ketentuan yang terdapat pada ketentuan Undang-
Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (UUPK) terutama pada
Pasal 8 huruf (a), (f) dan (h) tentang perbuatan yang dilarang bagi pelaku usaha.5 Pasal
8 huruf (a) menyatakan bahwa pelaku usaha dilarang memperdagangkan barang
dan/atau jasa yang tidak memenuhi atau tidak sesuai dengan standar yang
dipersyaratkan dan ketentuan peraturan perundang-undangan. Pasal 8 huruf (f)
menyatakan bahwa pelaku usaha dilarang memproduksi dan/atau memperdagangkan
barang dan/atau jasa yang tidak sesuai dengan janji yang dinyatakan dalam label, etiket,
keterangan, iklan atau promosi penjualan barang dan/atau jasa tersebut. Pasal 8 huruf
(h) menyatakan bahwa pelaku usaha dilarang memproduksi dan/atau memperdagangkan
barang dan/atau jasa yang tidak mengikuti ketentuan berproduksi secara halal, sebagai
pernyataan “halal” yang dicantumkan dalam label. Hal ini juga jelas-jelas melanggar
hak dari konsumen yang termuat pada Pasal 4 huruf (c) Undang-Undang Perlindungan
4 Rita Mulia. Manajemen Resiko: Sejarah Perusahaan Ajinomonto. http://rita-
mulia.blogspot.com/. Diakses tanggal 16 Januari 2012. 5 Hukum Online. YLKI Tidak Perlu Bukti Baru dalam Kasus Ajinomoto.
http://www.hukumonline.com/berita/baca/hol3460/ylki--tidak-perlu-bukti-baru-dalam-kasus-ajinomoto.
Diakses tanggal 22 Maret 2012.
Konsumen, yaitu hak atas informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan
jaminan barang dan/atau jasa.
Hak atas mendapatkan informasi ini sangat penting, karena dengan tidak
memadainya informasi yang disampaikan kepada konsumen ini dapat juga merupakan
salah satu bentuk cacat produk, yaitu yang dikenal dengan cacat instruksi atau cacat
karena informasi yang tidak memadai. Hak atas informasi yang benar, jelas dan jujur
disini dimaksudkan agar konsumen dapat memperoleh gambaran yang benar tentang
suatu produk, karena dengan informasi tersebut, konsumen dapat memilih produk yang
diinginkan atau sesuai kebutuhannya serta terhindar dari kerugian akibat kesalahan
dalam penggunaan produk. Hak konsumen dalam mendapatkan informasi yang benar,
jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa dalam hal ini telah
dilanggar oleh pelaku usaha, maka untuk dapat mengembalikan seperti keadaan semula
dibutuhkan upaya perlindungan hukum terhadap konsumen.
Perlindungan hukum menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah perbuatan
(hal tahu peraturan) untuk menjaga dan melindungi subjek hukum, berdasarkan
peraturan perundang-undangan yang berlaku.6 Pada umumnya perlindungan hukum
merupakan bentuk pelayanan kepada seseorang dalam usaha pemulihan secara
emosional.
Perlindungan hukum menurut Sudikno Mertokusumo adalah suatu hal atau
perbuatan untuk melindungi subjek hukum berdasarkan pada peraturan perundang-
undangan yang berlaku disertai dengan sanksi-sanksi bila ada yang melakukan
6 Depdikbud. Kamus Besar Bahasa Indonesia: Buku Satu. (Jakarta: Balai Pustaka, 1989).
Hlm. 874.
Wanprestasi.7 Pengertian perlindungan hukum lainnya menurut Soedikno Mertokusumo
yaitu, perlindungan hukum adalah adanya jaminan hak dan kewajiban manusia dalam
rangka memenuhi kepentingan sendiri maupun didalam hubungan dengan manusia
lain.8 Kata perlindungan diatas menunjukkan adanya pelaksanaan atas penanganan
kasus yang dialami dan akan diselesaikan menurut ketentuan hukum yang berlaku
secara penal maupun non penal dan juga adanya kepastian-kepastian usaha-usaha untuk
memberikan jaminan-jaminan pemulihan yang dialami.
Peraturan perundang-undangan yang digunakan untuk menyelesaikan kasus
diatas adalah Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen.
Di dalam undang-undang tersebut berlaku ketentuan hukum yang memberikan
perlindungan hukum terhadap konsumen secara penal maupun non penal. Kedua sarana
ini juga berkaitan dengan kebijakan kriminal dalam usaha untuk menanggulangi
kejahatan maupun pelanggaran yang dilakukan oleh pelaku usaha. Menurut Muladi
sendiri, pengertian kebijakan kriminal adalah:9
Usaha rasional dan terorganisasi dari suatu masyarakat untuk menanggulangi
kejahatan. Kebijakan kriminal disamping dapat dilakukan secara represif melalui
sistem peradilan pidana (pendekatan penal) dapat pula dilakukan dengan sarana non
penal melalui pelbagai usaha pencegahan tanpa harus menggunakan sistem
peradilan pidana, misalnya usaha penyehatan mental masyarakat, penyuluhan
hukum, pembaharuan hukum perdata dan hukum administrasi, dan sebagainya.
Berdasarkan pernyataan di atas maka dapat diketahui bahwa dalam upaya
penyelenggaraan perlindungan hukum bagi konsumen masih banyak menyimpan
7 Soedikno Mertokusumo. Mengenal Hukum (Suatu Pengantar). Yogyakarta: Liberty, 1991).
Hlm.9. 8 Ibid.
9 Muladi, Lembaga Pidana Bersyarat, (Alumni: Bandung, 1985). Hlm. 182.
permasalahan klasik, dan konsumen disini masih sering menjadi korban daripada pelaku
usaha yang tidak bertanggungjawab. Hal ini terlihat pada saat pelaku usaha mengganti
bahan dasar produk penyedap makanan AJI-NO-MOTO tanpa memberitahukan kepada
masyarakat. Jelas ini telah melanggar hak konsumen pada Pasal 4 huruf (c) Undang-
Undang Perlindungan Konsumen. Konsumen membutuhkan perlindungan hukum demi
haknya kembali terpenuhi, maka dilakukanlah upaya perlindungan hukum yang ditinjau
dari aspek kebijakan kriminal. Upaya ini dapat ditempuh dengan 2 (dua) cara, yaitu
dengan sarana penal (penanggulangan kejahatan dengan sistim peradilan pidana) dan
sarana non penal (pembinaan dan pengawasan).
Kasus AJI-NO-MOTO ini kiranya perlu di kaji lebih mendalam. Pertama,
tentang bagaimana upaya perlindungan hukum bagi konsumen, terutama untuk
konsumen muslim yang sangat membutuhkan kejelasan halal atau tidaknya produk
penyedap makanan AJI-NO-MOTO. Kedua, bagaimanakah keberpihakkan upaya
perlindungan hukum tersebut kepada konsumen saat itu. Berdasarkan pertimbangan dan
pemaparan diatas, maka saya sebagai penulis tertarik untuk mengetahui lebih dalam
mengenai perlindungan hukum terhadap konsumen yang dilihat dari aspek kebijakan
kriminal melalui penelitian dan penulisan skripsi tentang “Perlindungan Hukum
Terhadap Konsumen Dilihat Dari Aspek Kebijakan Kriminal Pada Sertifikasi Dan
Labelisasi Halal MUI Untuk Produk Penyedap Makanan AJI-NO-MOTO”.
B. Perumusan Masalah
Berdasarkan uraian tersebut di atas, maka dapat ditarik suatu perumusan
masalah sebagai berikut:
a. Bagaimana bentuk perlindungan hukum terhadap konsumen dilihat dari aspek
kebijakan kriminal pada sertifikasi dan labelisasi halal MUI untuk kasus AJI-
NO-MOTO ini?
b. Bagaimanakah keberpihakkan bentuk perlindungan hukum tersebut kepada
konsumen itu sendiri?
C. Tujuan Penelitian
Tujuan utama yang ingin dicapai penulis dalam penelitian ini adalah sebagai
berikut:
a. Mengetahui bentuk perlindungan hukum bagi konsumen dilihat dari aspek
kebijakan kriminal sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku
di Indonesia.
b. Mengetahui seberapa jauh perlindungan hukum terhadap konsumen itu dapat
melindungi masyarakat yang menggunakan produk-produk yang beredar
dipasaran Indonesia.
D. Kegunaan Penelitian
a. Kegunaan Teoritis
Secara teoritis, penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan
pengetahuan dan pemikiran pada Ilmu Hukum untuk kemudian memberikan
kontribusi pada perkembangan bidang hukum dan masyarakat, memberikan
sumbangan pengetahuan dan pemikiran terhadap wacana kehalalan produk di
Indonesia yang diwujudkan dalam sertifikasi dan labelisasi halal sebagai
pengaturannya serta memberikan masukan dan membuka wacana dengan
menambah referensi mengenai adanya keterkaitan hukum positif Indonesia
dengan hukum lainnya.
b. Kegunaan Praktis
Secara praktis, hasil penelitian yang berfokus pada kebijakan kriminal
perlindungan konsumen ini diharapkan bisa menjadi bahan pertimbangan dan
sumbangan pemikiran serta dapat memberikan kontribusi dalam meningkatkan
daya kritis dan pola penulis sebagai implementasi pengetahuan hukum yang
diperoleh selama menempuh kuliah di Fakultas Hukum UNSOED, diharapkan
juga dapat memberikan referensi serta wacana terhadap pihak-pihak yang
terkait untuk membantu sinkronisasi antara hukum positif Indonesia dengan
hukum-hukum lainnya serta memberikan sumbangan pengetahuan kepada
masyarakat agar tetap menjalankan syariat Islam secara benar disamping tetap
menjalankan fungsi dan peran sebagai warga negara Indonesia yang baik.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Hukum Perlindungan Konsumen
Terlebih dahulu penulis akan memaparkan apa yang dimaksud dengan definisi
perlindungan hukum sebelum membahas hukum perlindungan konsumen. Pengertian
Perlindungan adalah tempat berlindung, hal (perbuatan dan sebagainya)
memperlindungi.10
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan
Kekerasan dalam Rumah Tangga, memberikan definisi perlindungan adalah segala
upaya yang ditujukan untuk memberikan rasa aman kepada korban yang dilakukan oleh
pihak keluarga, advokat, lembaga sosial, kepolisian, kejaksaan, pengadilan, atau pihak
lainnya baik sementara maupun berdasarkan penetapan pengadilan. Definisi
perlindungan yang lain tertuang dalam Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2002
Tentang Tata Cara Perlindungan Terhadap Korban dan Saksi dalam Pelanggaran Hak
Asasi Manusia yang Berat, perlindungan adalah suatu bentuk pelayanan yang wajib
dilaksanakan oleh aparat penegak hukum atau aparat keamanan untuk memberikan rasa
aman baik fisik maupun mental, kepada korban dan saksi, dari ancaman, gangguan,
teror, dan kekerasan dari pihak manapun, yang diberikan pada tahap penyelidikan,
penyidikan, penuntutan, dan atau pemeriksaan di sidang pengadilan.
Pengertian selanjutnya tentang hukum, menurut J.C.T. Simorangkir dan
Woerjono Sastropranoto, hukum adalah peraturan-peraturan yang bersifat memaksa,
10
Kamus Besar Bahasa Indonesia. www.artikata.com. Diakses tanggal 10 April 2012.
yang menentukan tingkah laku manusia dalam lingkungan masyarakat yang dibuat oleh
badan-badan resmi yang berwajib. Menurut R. Soeroso SH, definisi hukum adalah
himpunan peraturan yang dibuat oleh yang berwenang dengan tujuan untuk mengatur
tata kehidupan bermasyarakat yang mempunyai ciri memerintah dan melarang serta
mempunyai sifat memaksa dengan menjatuhkan sanksi hukuman bagi yang
melanggarnya. Menurut Mochtar Kusumaatmadja, pengertian hukum yang memadai
seharusnya tidak hanya memandang hukum itu sebagai suatu perangkat kaidah dan
asas-asas yang mengatur kehidupan manusia dalam masyarakat, tapi harus pula
mencakup lembaga (institusi) dan proses yang diperlukan untuk mewujudkan hukum itu
dalam kenyataan.11
Perlindungan hukum menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah perbuatan
(hal tahu peraturan) untuk menjaga dan melindungi subjek hukum, berdasarkan
peraturan perundang-undangan yang berlaku.12
Pada umumnya perlindungan hukum
merupakan bentuk pelayanan kepada seseorang dalam usaha pemulihan secara
emosional.
Perlindungan hukum menurut Sudikno Mertokusumo adalah suatu hal atau
perbuatan untuk melindungi subjek hukum berdasarkan pada peraturan perundang-
undangan yang berlaku disertai dengan sanksi-sanksi bila ada yang melakukan
Wanprestasi.13
Pengertian perlindungan hukum lainnya menurut Soedikno
11
Putra. 2009. Definisi Hukum Menurut Para Ahli: www. putracenter.net. Diakses tanggal
10 April 2012. 12
Depdikbud. Kamus Besar Bahasa Indonesia: Buku Satu. (Jakarta: Balai Pustaka, 1989).
Hlm. 874. 13
Soedikno Mertokusumo. Mengenal Hukum (Suatu Pengantar). Yogyakarta: Liberty,
1991). Hlm.9.
Mertokusumo yaitu, perlindungan hukum adalah adanya jaminan hak dan kewajiban
manusia dalam rangka memenuhi kepentingan sendiri maupun didalam hubungan
dengan manusia lain.14
Kata perlindungan diatas menunjukkan adanya pelaksanaan atas
penanganan kasus yang dialami dan akan diselesaikan menurut ketentuan hukum yang
berlaku secara penal maupun non penal dan juga adanya kepastian-kepastian usaha-
usaha untuk memberikan jaminan-jaminan pemulihan yang dialami.
Berdasarkan masing-masing definisi tentang perlindungan hukum di atas, maka
dapat disimpulkan bahwa pengertian perlindungan hukum adalah:
Suatu perlindungan yang diberikan terhadap subyek hukun dalam bentuk
perangkat hukum baik yang bersifat preventif maupun yang bersifat represif, baik
yang tertulis maupun tidak tertulis. Dengan kata lain perlindungan hukum sebagai
suatu gambaran dari fungsi hukum, yaitu konsep dimana hukum dapat memberikan
suatu keadilan, ketertiban, kepastian, kemanfaatan dan kedamaian.15
Hukum konsumen terdiri dari rangkaian peraturan perundang-undangan yang
mengatur tentang perilaku orang dalam pergaulan hidup untuk memenuhi kebutuhan
hidup mereka. Orang-orang tersebut terutama dari (pengusaha) penyedia barang
dan/atau jasa yang merupakan kebutuhan hidup manusia serta konsumen pengguna
barang dan/atau jasa tersebut.
Asas-asas dan kaidah-kaidah hukum yang mengatur hubungan dan masalah-
masalah konsumen itu terdapat didalam berbagai bidang hukum, baik tertulis maupun
tidak tertulis, antara lain hukum perdata, hukum internasional, terutama konvensi-
konvensi yang berkaitan dengan kepentingan-kepentingan konsumen. Oleh karena itu,
menjadi penting penggunaan instrumen-instrumen hukum perdata, hukum pidana,
14
Ibid. 15
Rahayu. 2009. Pengangkutan Orang: etd.eprints.ums.ac.id. Diakses tanggal 10 April 2012.
hukum administrasi, hukum internasional dan hukum-hukum acara yang berkaitan
dengan instrumen hukum itu, dalam pembahasan hubungan dengan masalah
perlindungan konsumen.
Secara universal, berdasarkan berbagai hasil penelitian dan pendapat para
pakar, ternyata konsumen umumnya berada pada posisi yang lebih rendah dalam
hubungannya dengan pelaku usaha, baik secara ekonomis, tingkat pendidikan, maupun
kemampuan atau daya bersaing/ daya tawar. Kedudukan konsumen ini, baik yang
bergabung dalam suatu organisasi apalagi secara individu, tidak seimbang dibandingkan
dengan kedudukan pengusaha. Oleh sebab itu, untuk menyeimbangkan kedudukan
tersebut dibutuhkan perlindungan kepada konsumen. Adapun pokok-pokok dan
pedomannya telah termuat dalam Undang-Undang Dasar 1945 dan Ketetapan MPR.16
Sejalan dengan batasan hukum konsumen, maka hukum perlindungan
konsumen adalah keseluruhan asas-asas dan kaidah-kaidah hukum yang mengatur dan
melindungi konsumen dalam hubungan dan masalahnya dengan para penyedia barang
dan/atau jasa konsumen.17
Hukum konsumen pada pokoknya lebih berperan dalam hubungan dan masalah
konsumen yang kondisi para pihaknya berimbang dalam kedudukan sosial ekonomi,
daya saing maupun tingkat pendidikan. Rasionya adalah sekalipun tidak selalu tepat,
bagi mereka yang berkedudukan seimbang, maka mereka masing-masing lebih mampu
mempertahankan dan menegakkan hak-hak mereka yang sah.
16
UUD 1945, Pembukaan Alinea 4 yang berbunyi “Kemudian daripada itu untuk membentuk
suatu Pemerintah Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia ...” 17
Az. Nasution. Hukum Perlindungan Konsumen: Suatu Pengantar. (Jakarta: Daya Widya,
1999)., Hlm 66.
Mochtar Kusumaatmadja berpendapat, bahwa hukum konsumen adalah
keseluruhan asas-asas dan kaidah-kaidah hukum yang mengatur hubungan dan masalah
antara berbagai pihak satu sama lain berkaitan dengan barang dan/atau jasa konsumen,
di dalam pergaulan hidup.18
Ketentuan dalam KUH Perdata yang paling banyak digunakan atau berkaitan
dengan asas-asas dan kaidah-kaidah hukum mengenai hubungan dan masalah konsumen
adalah pada Buku Ketiga KUH Perdata tentang Perikatan dan Buku Keempat KUH
Perdata tentang Pembuktian dan Daluarsa. Buku Ketiga KUH Perdata memuat berbagai
hubungan dalam perikatan, terjadi baik berdasarkan suatu perjanjian maupun yang lahir
karena undang-undang (Pasal 1233 KUH Perdata). Hubungan hukum konsumen itu
adalah untuk memberikan sesuatu, berbuat sesuatu atau untuk tidak berbuat sesuatu
(Pasal 1234 KUH Perdata).19
Hal ini berkaitan dengan perjanjian jual beli dimana akan
melahirkan hak dan kewajiban bagi para pihak. Di dalam Buku Keempat KUH Perdata
tentang Pembuktian dan Daluarsa terdapat ketentuan-ketentuan tentang beban
pembuktian dan alat-alat bukti. Hal ini berkaitan erat dengan pertanggungjawaban para
pihak apabila terjadi sengketa dalam jual beli.
Kepustakaan ilmu ekonomi, digunakan berbagai istilah untuk kedua jenis
konsumen tersebut. Di antaranya untuk konsumen dengan tujuan komersial digunakan
istilah intermediate consumer, intermediate buyer, derived buyer, atau consumer of the
industrial market, sedangkan bagi konsumen pengguna barang dan/atau jasa untuk
keperluan sendiri, keluarga atau rumah tangga (konsumen non-komersial), digunakan
18
Ibid. Hlm. 64. 19
Ibid. Hlm. 101.
istilah ultimate consumer, ultimate buyer, end user, final consumer atau consumer of the
consumer market.20
Posisi konsumen yang dianggap lemah, maka ia harus dilindungi oleh hukum.
Salah satu sifat, sekaligus tujuan hukum itu adalah memberikan perlindungan
(pengayoman) kepada masyarakat. Sebenarnya hukum konsumen dan hukum
perlindungan konsumen adalah dua bidang hukum yang sulit dipisahkan dan ditarik
batasnya. Pendapat lainnya menyatakan bahwa hukum perlindungan konsumen
merupakan bagian dari hukum konsumen yang lebih luas itu.
Az. Nasution berpendapat, hukum perlindungan konsumen merupakan bagian
dari hukum konsumen yang memuat asas-asas atau kaidah-kaidah bersifat mengatur,
dan juga mengandung sifat yang melindungi kepentingan konsumen. Adapun hukum
konsumen diartikan sebagai keseluruhan asas-asas dan kaidah-kaidah hukum yang
mengatur hubungan dan masalah antara berbagai pihak satu sama lain berkaitan dengan
barang dan/atau jasa konsumen, di dalam pergaulan hidup.21
Az. Nasution menyatakan bahwa asas-asas dan kaidah-kaidah hukum yang
mengatur hubungan dan masalah konsumen itu tersebar dalam berbagai bidang hukum,
baik tertulis maupun tidak tertulis, ia menyebutkan, seperti hukum perdata, hukum
dagang, hukum pidana, hukum administrasi (negara) dan hukum internasional, terutama
konvensi-konvensi yang berkaitan dengan kepentingan-kepentingan konsumen.22
Hukum perlindungan konsumen dibutuhkan apabila kondisi pihak-pihak yang
mengadakan hubungan hukum atau bermasalah dalam masyarakat itu, tidak seimbang.
20
Lazo H., Marketing, Alexander Hamilton Institute, 1971, New York. Hlm. 61. 21
Shidarta, Hukum Perlindungan Konsumen Indonesia, (Grasindo: Jakarta, 2000). Hlm.9. 22
Ibid. Hlm. 10.
Merupakan kenyataan bahwa kedudukan konsumen yang berjumlah besar itu,
mempunyai kedudukan sangat lemah dibandingkan dengan para penyedia kebutuhan
konsumen, baik penyedia swasta maupun pemerintah (publik) seperti dalam kasus AJI-
NO-MOTO ini.
Perlindungan konsumen diatur dalam Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999
tentang Perlindungan Konsumen (UUPK) yang disahkan pada tanggal 20 April 1999.
Dan dalam Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Perlindungan Konsumen itu disebutkan
bahwa:
“Perlindungan Konsumen adalah segala upaya yang menjamin adanya
kepastian hukum untuk memberi perlindungan kepada konsumen”
Melalui pengertian perlindungan konsumen diatas, muncullah kerangka umum
tentang sendi-sendi pokok pengaturan perlindungan konsumen, yang dapat dijabarkan
sebagai berikut:23
a. Kesederajatan antara konsumen dan pelaku usaha;
b. Konsumen mempunyai hak;
c. Pelaku usaha mempunyai kewajiban;
d. Pengaturan tentang perlindungan konsumen berkontribusi pada pembangunan
nasional;
e. Perlindungan konsumen dalam iklim bisnis yang sehat;
f. Keterbukaan dalam promosi barang dan/atau jasa;
g. Pemerintah selalu berperan aktif;
h. Masyarakat juga perlu berperan serta;
i. Perlindungan konsumen memerlukan terobosan hukum dalam berbagai bidang;
j. Konsep perlindungan konsumen memerlukan pembinaan sikap.
Menurut pendapat Husni Syawali dan Neni Sri Imaniyani, untuk sebuah usaha
perlindungan konsumen ini dapat dilakukan dengan beberapa cara, yaitu:24
23
Happy Susanto. Hak-Hak Konsumen Jika Dirugikan, (Visimedia: Jakarta, 2008). Hlm.5.
a. Menciptakan sistem perlindungan konsumen yang mengandung akses dan
informasi, serta menjamin kepastian hukum;
b. Melindungi kepentingan konsumen pada khususnya dan melindungi kepentingan
pelaku usaha pada umumnya;
c. Meningkatkan kualitas barang dan pelayanan jasa;
d. Memberikan perlindungan kepada konsumen dari praktik usaha yang menipu
dan menyesatkan;
e. Memadukan penyelenggaraan, pengembanagn dan pengaturan perlindungan
konsumen dengan bidang-bidang perlindungan pada bidang-bidang lainnya.
Seyogianya dengan demikian, hukum konsumen berskala lebih luas meliputi
berbagai aspek hukum yang terdapat kepentingan pihak konsumen didalamnya. Kata
aspek hukum ini sangat bergantung pada kemauan untuk mengartikan hukum, termasuk
juga hukum diartikan sebagai asas dan norma. Salah satu bagian dari hukum konsumen
ini adalah aspek perlindungannya, misalnya bagaimana cara mempertahankan hak-hak
konsumen terhadap gangguan pihak lain yang tidak bertanggungjawab.25
B. Konsumen dan Pelaku Usaha
1. Pengertian Konsumen
Pengertian konsumen yang ada didalam Pasal 1 angka (2) Undang-Undang
Perlindungan Konsumen menyebutkan bahwa:
24
Husni Syawali dan Neni Sri Imaniyani ed, Op. Cit., hlm.7 dalam buku Happy Susanto, Ibid.
Hlm. 18. 25
Shidarta, Hukum Perlindungan Konsumen Indonesia, (Grasindo: Jakarta, 2006). Hlm.12.
“Konsumen adalah setiap orang pemakai barang dan/atau jasa yang tersedia
dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain, maupun
mahluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan.”
Penjelasannya menyebutkan bahwa:
“Didalam kepustakaan ekonomi dikenal konsumen akhir dan konsumen antara.
Konsumen akhir adalah pengguna atau pemanfaat akhir dari suatu produk,
sedangkan konsumen antara adalah konsumen yang menggunakan suatu produk
sebagai bagian dari proses produksi suatu produk lainnya. Pengertian konsumen
dalam undang-undang ini adalah konsumen akhir.”
Istilah konsumen berasal dari alih bahasa kata consumer (Inggris-Amerika)
atau consument/ konsument (Belanda). Pengertian consumer atau consument itu
tergantung dalam posisi nama ia berada.26
Mariam Darus mendefinisikan konsumen
dengan cara mengambil alih pengertian uang dipergunakan oleh kepustakaan Belanda,
yaitu semua individu mempergunakan barang dan jasa secara konkrit dan riil.27
Munculnya Undang-Undang Perlindungan Konsumen (yang diberlakukan pemerintah
mulai 20 April 2000), hanya sedikit pengertian normatif yang tegas tentang pengertian
konsumen dalam hukum positif di Indonesia. Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN)
dalam Ketetapan Majelis Permusyawaratan/TAP MPR Nomor II/MPR/1993 disebutkan
kata konsumen dalam rangka membicarakan tentang penjelasan pengertian konsumen
itu sendiri. Salah satu ketentuan normatif yang memberikan definisi/ pengertian
konsumen adalah Undang-undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek
Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat (diberlakukan pemerintah mulai 5 Maret
2000). Undang-Undang ini memuat definisi tentang konsumen, yaitu setiap pemakai
26
Az. Nasution. Op. Cit., Hlm. 3. 27
Mariam darus Badrulzaman, Pembentukan Hukum Nasional Dan Permasalahannya,
(Kumpulan Karangan, Alumni: Bandung, 1981). Hlm. 48.
dan/atau pengguna barang dan/atau jasa, baik untuk kepentingan sendiri maupun untuk
kepentingan orang lain.28
Menurut Munir Faudy, konsumen adalah pengguna terakhir
(end user) dari suatu produk, yaitu setiap pemakai barang dan/atau jasa yang tersedia
dalam masyarakat, baik bagi kepentingan sendiri, keluarga, orang lain maupun mahluk
hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan.29
Hakikatnya manusia sebagai konsumen dimulai sejak lahir sampai dengan
meninggal dunia, bahkan untuk kondisi tertentu anak yang masih dalam kandungan pun
sudah menjadi konsumen yaitu konsumen yang berkaitan dengan kesehatan tambahan
berupa susu, baik berupa susu bubuk, instan atau jenis susu yang lain yang dikonsumsi
oleh ibu untuk kepentingan anak yang masih di dalam kandungan. Konsumen tidak
hanya terbatas terhadap suatu benda dan/atau barang saja tetapi juga pada jasa. Contoh
konsumen terhadap suatu benda yaitu antara lain perumahan, makanan dll, sedangkan
yang berkaitan dengan jasa antara lain listrik, transportasi, pos, kesehatan, pendidikan
dll.
Pengertian konsumen menurut Undang-Undang Perlindungan Konsumen yang
terdapat dalam Pasal 1 angka (2), menentukan bahwa konsumen adalah setiap orang
pemakai barang dan/atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan
diri sendiri, keluarga, orang lain, maupun mahluk hidup lain dan tidak untuk
diperdagangkan.30
Kalimat tidak untuk diperdagangkan dari rumusan pasal tersebut di
atas menunjukan bahwa konsumen yang dimaksud dalam Undang-Undang
28
Shidarta, Op. Cit,. Hlm. 2. 29
Munir Faudy, Pengantar Hukum Bisnis: Menata Bisnis Modern di Era Pasar Global
(Bandung: Citra Aditya Bakti, 2002), Hlm. 227. 30
Ibid.
Perlindungan Konsumen adalah konsumen akhir yang artinya tujuan penggunaan
barang dan/atau jasa bukan untuk dijual kembali, sehingga mempunyai tujuan yang
non-komersial, seperti untuk kepentingan pribadi atau rumah tangga, sedangkan
konsumen antara yaitu konsumen yang menggunakan barang dan/atau jasa untuk
kepentingan dijual kembali (komersial).
2. Hak dan Kewajiban Konsumen
Terdapat 8 (delapan) hak yang secara eksplisit dituangkan dalam Pasal 4
Undang-Undang Perlindungan Konsumen, sementara 1 (satu) hak terakhir dirumuskan
secara terbuka. Hak-hak konsumen itu antara lain:
a. hak atas kenyamanan, keamanan dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang
dan/atau jasa;
b. hak untuk memilih barang dan/atau jasa serta mendapatkan barang dan/atau jasa
tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan;
c. hak atas informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan
barang dan/atau jasa;
d. hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan/atau jasa yang
digunakan;
e. hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan dan upaya penyelesaian
sengketa perlindungan konsumen secara patut;
f. hak untuk mendapat pembinaan dan pendidikan konsumen;
g. hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak
diskriminatif;
h. hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian, apabila
barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak
sebagaimana mestinya;
i. hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya.
Hak-hak konsumen yang diatur dalam Pasal 4 Undang-Undang Perlindungan
Konsumen lebih luas daripada hak-hak dasar konsumen sebagaimana yang pertama kali
dikemukakan oleh presiden Amerika Serikat, Jhon F. Kennedy di depan konggres pada
tanggal 15 Maret 1962, sebagaimana dikutip oleh Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo31
,
yaitu terdiri atas:
1. Hak memperoleh keamanan
Aspek ini terutama ditujukan pada perlindungan konsumen terhadap pemasaran
barang dan/atau jasa yang membahayakan keselamatan jiwa atau diri konsumen.
2. Hak memilih
Hak ini bagi konsumen sebenarnya ditujukan pada apakah ia akan membeli atau
tidak membeli suatu produk barang dan/atau jasa yang dibutuhkannya.
3. Hak mendapat informasi
Hak yang sangat fundamental bagi konsumen tentang informasi yang lengkap
mengenai barang dan/atau jasa yang akan dibelinya, baik secara langsung
maupun secara umum melalui media komunikasi agar tidak menyesatkan.
4. Hak untuk didengar
Hak ini dimaksudkan untuk menjamin kepada konsumen bahwa kepentingannya
harus diperhatikan dan tercermin dalam pola kebijaksanaan pemerintah termasuk
didalamnya turut didengar dalam pembentukan kebijakan tersebut.32
Keempat hak tersebut merupakan bagian dari Deklarasi Hak-hak Asasi
Manusia yang dicanangkan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada tanggal 10
Desember 1948, masing-masing pada Pasal 3, 8, 19, 21 dan Pasal 26, yang oleh
Organisasi Konsumen Sedunia (International Organization of Consumers Union/
IOCU) ditambahkan empat hak dasar konsumen lainnya, yaitu33
:
a. Hak untuk memperoleh kebutuhan hidup;
b. Hak untuk memperoleh ganti rugi;
c. Hak untuk memperoleh pendidikan kosumen;
d. Hak untuk memperoleh lingkungan hidup yang bersih dan sehat.
31
Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo, Hukum Perlindungan Konsumen, (PT. Raja Grafindo
Persada: Jakarta, 2004). Hlm. 39. 32
Ari Purwadi, Aspek Hukum Perdata Pada Perlindungan Konsumen, (Majalah Yudika: FH
UNAIR, 1992). Hlm. 49-50. 33
Sidharta, Op. Cit., Hlm. 2.
Disamping itu, masyarakat Eropa (Europese Economische Gemeenschap atau
EGG) juga telah menyepakati lima hak dasar konsumen sebagai berikut:
a. Hak perlindungan kesehatan dan keamanan;
b. Hak perlindungan kepentingan ekonomi;
c. Hak mendapat ganti rugi;
d. Hak atas penerangan;
e. Hak untuk didengar.
Namun tidak semua organisasi konsumen menerima penambahan hak-hak
tersebut, YLKI misalnya, memutuskan untuk menambahkan satu lagi hak sebagai
pelengkap hak dasar konsumen, yaitu hak mendapatkan lingkungan hidup yang
baik dan sehat sehingga keseluruhnnya dikenal sebagai panca hak konsumen.34
Memperhatikan hak-hak yang disebut di atas, maka secara keseluruhan pada
dasarnya dikenal 10 (sepuluh) macam hak terhadap konsumen yaitu:
a. Hak atas keamanan dan keselamatan;
b. Hak untuk memperoleh informasi;
c. Hak untuk memilih;
d. Hak untuk didengar;
e. Hak untuk memperoleh kebutuhan hidup;
f. Hak untuk memperoleh ganti kerugian;
g. Hak untuk memperoleh pendidikan konsumen;
h. Hak untuk memperoleh lingkungan hidup yang bersih dan sehat;
i. Hak untuk mendapatkan barang sesuai dengan nilai tukar yang diberikannya;
j. Hak untuk mendapatkan upaya penyelesaian hukum yang patut.
Di samping hak-hak dalam Pasal 4 Undang-Undang Perlindungan Konsumen,
terdapat juga hak-hak konsumen yang dirumuskan dalam pasal berikutnya, khususnya
34
Ibid. Hlm. 16.
dalam Pasal 7 Undang-Undang Perlindungan Konsumen, yang mengatur tentang
kewajiban pelaku usaha. Karena hak dan kewajiban merupakan antinomi dalam hukum,
sehingga kewajiban pelaku usaha dapat dilihat sebagai hak konsumen.
Sementara itu sesuai dengan Pasal 5 Undang-Undang Perlindungan Konsumen,
menyebutkan kewajiban yang harus dijalankan oleh konsumen antara lain:
a. membaca atau mengikuti petunjuk informasi dan prosedur pemakaian atau
pemanfaatan barang dan/atau jasa, demi keamanan dan keselamatan;
b. beritikad baik dalam melakukan transaksi pembelian barang dan/atau jasa;
c. membayar sesuai dengan nilai tukar yang disepakati;
d. mengikuti upaya penyelesaian hukum sengketa perlindungan konsumen secara
patut.
3. Pengertian Pelaku Usaha
Pengertian pelaku usaha yang terdapat pada Pasal 1 angka (3) Undang-Undang
Perlindungan Konsumen menyebutkan bahwa:
“Pelaku Usaha adalah setiap orang perseorangan atau badan usaha, baik yang
berbentuk badan hukum maupun bukan badan hukum yang didirikan dan
berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum negara Republik
Indonesia, baik sendiri maupun bersama-sama melalui perjanjian
menyelenggarakan kegiatan usaha dalam berbagai bidang ekonomi.”
Penjelasannya disebutkan bahwa:
“Pelaku usaha yang termasuk dalam pengertian ini adalah perusahaan,
korporasi, koperasi, BUMN, koperasi, importir, pedagang, distributor, dan lain-lain.
Ikatan Sarjana Ekonomi Indonesia (ISEI) menyebut 4 (empat) kelompok besar
kalangan pelaku ekonomi yang tiga diantaranya termasuk kelompok pengusaha (pelaku
usaha; baik privat maupun publik), yaitu:35
a. Kelompok penyedia dana (investor), yaitu pelaku usaha atau orang-perorangan
(konsumen), seperti perbankan, lembaga keuangan non bank (koperasi simpan
pinjam atau perusahaan leasing) dan lain sebagainya.
b. Produsen, yaitu pelaku usaha yang membuat, memproduksi barang dan/atau jasa
dari barang-barang dan/atau jasa-jasa lain (bahan baku, bahan
tambahan/penolong dan bahan-bahan lainnya). Mereka dapat terdiri dari
orang/badan usaha yang berkaitan dengan pangan, orang/badan usaha yang
memproduksi sandang, orang/badan usaha yang berkaitan dengan pembuatan
perumahan, orang/badan usaha yang berkaitan dengan jasa angkutan,
perasuransian, perbankan, orang/badan usaha yang berkaitan dengan obat-
obatan, kesehatan, narkotika, dsb.
c. Distributor, yaitu pelaku usaha mendistribusikan atau memperdagangkan barang
dan/atau jasa tersebut kepada masyarakat, seperti pedagang secara retail,
pedagang kaki lima, warung, toko, supermarket, dsb.
Pengertian pelaku usaha dalam Pasal 1 angka (3) Undang-Undang
Perlindungan Konsumen cukup luas karena meliputi grosir, leveransir, pengecer, dsb.
Cakupan luasnya pengertian pelaku usaha dalam Undang-Undang Perlindungan
Konsumen tersebut memiliki persamaan dengan pengertian pelaku usaha dalam
masyarakat Eropa terutama negara Belanda, bahwa yang dapat dikualifikasi sebagai
produsen adalah pembuat produk jadi (finished product), penghasil bahan baku,
pembuat suku cadang, setiap orang yang menampakkan dirinya sebagai produsen
dengan jalan mencantumkan nama atau tanda pengenal tertentu atau tanda lain yang
membedakan dengan produk asli ataupun pada produk tertentu, importir suatu produk
dengan maksud untuk dijualbelikan, disewakan, disewagunakan (leasing) atau bentuk
distribusi lain dalam transaksi perdagangan, pemasok (supplier) dalam hal identitas dari
35
Suyadi, Buku Ajar: Dasar-Dasar Hukum Perlindungan Konsumen. Fakultas Hukum
Universitas Jenderal Soedirman, 2007. Hlm. 31.
produsen atau importir tidak ditentukan.36
Tampaklah bahwa pelaku usaha yang
dimaksudkan dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen sama dengan cakupan
produsen yang dikenal di Belanda, karena produsen dapat berupa perorangan atau badan
hukum.
4. Hak dan Kewajiban Pelaku Usaha
Sesuai dengan apa yang disebutkan pada Pasal 6 Undang-Undang
Perlindungan Konsumen, hak pelaku usaha adalah:
a. hak untuk menerima pembayaran yang sesuai dengan kesepakatan mengenai
kondisi dan nilai tukar barang dan/atau jasa yang diperdagangkan;
b. hak untuk mendapat perlindungan hukum dari tindakan konsumen yang
beritikad tidak baik;
c. hak untuk melakukan pembelaan diri sepatutnya di dalam penyelesaian hukum
sengketa konsumen;
d. hak untuk rehabilitasi nama baik apabila terbukti secara hukum bahwa kerugian
konsumen tidak diakibatkan oleh barang dan/atau jasa yang diperdagangkan;
e. hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya.
Sesuai dengan adanya hak bagi pelaku usaha, Undang-Undang Perlindungan
Konsumen juga mengatur tentang kewajiban pelaku usaha selama ia menjalankan
kegiatan ekonomi didalam lalu lintas perdagangan di Indonesia. Kewajiban pelaku
usaha diatur dalam pasal 7 Undang-Undang Perlindungan Konsumen yaitu:
a. beritikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya;
b. memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan
barang dan/atau jasa serta memberi penjelasan penggunaan, perbaikan dan
pemeliharaan;
c. memperlakukan atau melayani konsumen secara benar dan jujur serta tidak
diskriminatif;
d. menjamin mutu barang dan/atau jasa yang diproduksi dan/atau diperdagangkan
berdasarkan ketentuan standar mutu barang dan/atau jasa yang berlaku;
36
Johanes Gunawan, “Product Liability” dalam Hukum Bisnis Indonesia, Pro Justitia, Tahun
XII, Nomor 2, April 1994, Hlm. 7.
e. memberi kesempatan kepada konsumen untuk menguji, dan/atau mencoba
barang dan/atau jasa tertentu serta memberi jaminan dan/atau garansi atas barang
yang dibuat dan/atau yang diperdagangkan;
f. memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian atas kerugian akibat
penggunaan, pemakaian dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang
diperdagangkan;
g. memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian apabila barang dan/atau
jasa yang diterima atau dimanfaatkan tidak sesuai dengan perjanjian.
Kewajiban pelaku usaha beritikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya
merupakan salah satu asas yang dikenal dalam hukum perjanjian. Ketentuan tantang
itikad baik ini diatur dalam Pasal 1338 ayat (3) BW, bahwa perjanjian harus
dilaksanakan dengan itikad baik.37
Undang-Undang Perlindungan Konsumen
menyatakan bahwa pelaku usaha diwajibkan beritikad baik dalam melakukan kegiatan
usahanya, sedangkan bagi konsumen diwajibkan beritikad baik dalam melakukan
transaksi jual pembelian barang dan/atau jasa.
Undang-Undang Perlindungan Konsumen didalamnya tampak bahwa itikad
baik lebih ditekankan pada pelaku usaha, karena meliputi semua tahapan dalam
melakukan kegiatan usahanya, sehingga dapat diartikan bahwa kewajiban pelaku usaha
untuk beritikad baik dimulai sejak barang dirancang/ diproduksi sampai pada tahap
purna penjualan, sebaliknya konsumen hanya diwajibkan beritikad baik dalam
melakukan transaksi pembelian barang dan/atau jasa. Hal ini tentu saja disebabakan
karena kemungkinan terjadinya kerugian bagi konsumen dimulai sejak barang
dirancang/ diproduksi oleh produsen (pelaku usaha), sedangkan bagi konsumen,
37
Ahmadi Miru & Sutarma Yodo. Op. Cit., (Rajawali Pers: Jakarta, 2010). Hlm. 52.
kemungkinan untuk dapat merugikan produsen dimulai pada saat melakukan transaksi
dengan produsen.38
C. Kebijakan Kriminal
Kebijakan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia diartikan sebagai kepandaian,
kemahiran, kebijaksanaan. Kebijakan juga dapat diartikan sebagai:
“Rangkaian konsep dan asas yang menjadi garis besar dan dasar rencana
pelaksanaan di suatu pekerjaan, kepemimpinan dan cara bertindak (tentang
pemerintahan, organisasi dan sebagainya), pernyataan cita-cita, tujuan, prinsip atau
maksud, sebagai garis pedoman untuk manajemen dalam usaha mencapai sasaran
atau garis haluan”.39
Pembahasan yang berkaitan dengan kebijakan formulasi tidak lepas dari
kebijakan kriminal. Hal ini dikarenakan kebijakan formulasi merupakan bagian dari
kebijakan hukum pidana yang juga merupakan bagian dari kebijakan kriminal.
Kebijakan kriminal merupakan usaha rasional yang dilakukan untuk menanggulangi
kejahatan dalam rangka perlindungan masyarakat.
Sudarto mengemukakan kebijakan kriminal dapat didefinisikan secara sempit,
lebih luas, dan paling luas. Secara sempit kebijakan kriminal dapat diartikan
sebagai keseluruhan asas dan metode yang menjadi dasar dari reaksi terhadap
pelanggaran hukum yang berupa pidana. Arti yang lebih luas dari kebijakan
kriminal adalah keseluruhan fungsi dari aparatur penegak hukum, termasuk
didalamnya cara kerja dari pengadilan dan polisi. Kebijakan kriminal dalam arti
yang paling luas adalah keseluruhan kebijakan, yang dilakukan melalui perundang-
undangan dan badan-badan resmi, yang bertujuan menegakkan norma-norma
sentral dari masyarakat.40
38
Ibid., Hlm.54. 39
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Balai
Pustaka,Jakarta), Hlm. 131. 40
Sudarto, Kapita Selekta Hukum Pidana, (Alumni: Bandung, 2006), Hlm. 113-114.
Tujuan dari usaha penanggulangan kejahatan (kebijakan kriminal) selain dalam
rangka perlindungan masyarakat sebagaimana yang telah disebutkan sebelumnya, juga
dalam rangka untuk mencapai kesejahteraan masyarakat. Berdasarkan tujuan tersebut
maka, kebijakan kriminal tidak dapat dipisahkan atau merupakan bagian dari kebijakan
yang lebih luas lagi, yaitu kebijakan sosial.41
Kebijakan sosial merupakan usaha rasional
untuk memberikan perlindungan kepada masyarakat dan mencapai kesejahteraan
masyarakat. Oleh karena itu, kebijakan kriminal yang akan digunakan untuk mencegah
dan menanggulangi kejahatan hendaknya harus benar-benar memperhatikan tujuan
akhir dari kebijakan kriminal itu sendiri yaitu perlindungan dan kesejahteraan
masyarakat.
Kebijakan kriminal dalam rangka mencegah dan menanggulangi kejahatan
dapat ditempuh melalui 2 (dua) sarana. Pertama, kebijakan kriminal dengan
menggunakan sarana penal atau bisa juga disebut sebagai kebijakan hukum pidana atau
kebijakan penal (penal policy). Kedua, melalui kebijakan bukan dengan hukum pidana
atau kebijakan non penal.
Kebijakan penal yang digunakan dalam menanggulangi kejahatan memang
sudah lazim digunakan di Indonesia. Kondisi semacam ini tentu saja tidak
mengenyampingkan kebijakan non penal dalam menanggulangi kejahatan. Tidak dapat
dipungkiri kebijakan non penal juga mempunyai peranan penting dalam mencegah dan
menanggulangi kejahatan. Barda Nawawi Arief menyatakan kebijakan non penal itu
sendiri yaitu:
41
Lihat bagan dalam Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana,
(Alumni: Bandung)., Hlm. 3.
“Kebijakan non penal mempunyai tujuan utama yang strategis yaitu
memperbaiki kondisi-kondisi sosial tertentu, namun secara tidak langsung
mempunyai pengaruh preventif terhadap kejahatan, dengan demikian dilihat dari
sudut kebijakan kriminal, keseluruhan kegiatan non penal itu sebenarnya
mempunyai kedudukan yang sangat strategis, memegang posisi kunci yang harus
diintensifkan dan diefektifkan.”42
Melihat kebijakan non penal yang strategis seperti diatas, integrasi dan
keselarasan kebijakan non penal kedalam kebijakan kriminal sebagai usaha preventif
adalah penting adanya. Kebijakan penal dan kebijakan non penal harus dapat dipadukan
secara tepat dalam kebijakan kriminal yang digunakan, sehingga dapat menanggulangi
kejahatan sekaligus mencegah terjadinya kejahatan dengan menangkal atau
meminimalisir faktor-faktor yang dapat menjadi penyebab timbulnya kejahatan.
Istilah kebijakan penal dapat dikatakan sebagai “kebijakan hukum pidana” dan
menurut Barda Nawawi Arief dapat pula disebut dengan istilah “politik hukum pidana”.
Pada kepustakaan asing, istilah politik hukum pidana ini sering dikenal dengan berbagai
istilah, antara lain penal policy, criminal law policy atau strafrechtspolitiek.43
Pendapat lain mengenai definisi kebijakan hukum pidana dikemukakan oleh
Marc Ancel, dimana ia memberikan definisi penal policy sebagai:
Suatu ilmu sekaligus seni yang bertujuan untuk memungkinkan peraturan
hukum positif dirumuskan secara lebih baik. Dengan demikian, yang dimaksud
dengan peraturan hukum positif (the positive rules) dalam definisi Marc Ancel itu
jelas adalah peraturan perundang-undangan hukum pidana. Oleh karena itu, istilah
“penal policy” menurut Marc Ancel adalah sama dengan istilah kebijakan atau
politik hukum pidana.44
Mulder berpendapat bahwa strafrechtspolitiek adalah:
42
Barda Nawawi Arief dan Muladi. Teori-Teori Dan Kebijakan Pidana (Alumni: Bandung,
1984)., Hlm. 159. 43
Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana (Alumni: Bandung, 1984).
Hlm. 24. 44
Ibid.
Garis kebijakan untuk menentukan:
a. seberapa jauh ketentuan-ketentuan pidana yang berlaku perlu diubah atau
diperbaharui;
b. apa yang dapat diperbuat untuk mencegah terjadinya tindak pidana;
c. cara bagaimana penyidikan, penuntutan, peradilan dan pelaksanaan pidana
harus dilaksanakan.
Sesuai dengan kasus yang sedang diteliti oleh peneliti maka untuk kebijakan
non penal ini dapat dilihat dari Pembinaan dan Pengawasan yang dilakukan Pemerintah
dan pihak-pihak yang terkait didalamnya. Pembinaan dan Pengawasan termuat pada
BAB VII Pasal 29 dan 30 Undang-Undang Tentang Perlindungan Konsumen, yang
berbunyi:
Pasal 29 UUPK
(1) Pemerintah bertanggungjawab atas pembinaan penyelenggaraan perlindungan
konsumen yang menjamin diperolehnya hak konsumen dan pelaku usaha serta
dilaksanakannya kewajiban konsumen dan pelaku usaha.
(2) Pembinaan oleh pemerintah atas penyelenggaraan perlindungan konsumen
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan oleh Menteri dan/atau
menteri teknis terkait.
(3) Menteri sebagaimana dimaksud pada ayat (2) melakukan koordinasi atas
penyelenggaraan perlindungan konsumen.
(4) Pembinaan penyelenggaraan perlindungan konsumen sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) meliputi upaya untuk:
a. terciptanya iklim usaha dan tumbuhnya hubungan yang sehat antara pelaku
usaha dan konsumen;
b. berkembangnya lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat;
c. meningkatnya kualitas sumberdaya manusia serta meningkatnya kegiatan
penelitian dan pengembangan di bidang perlindungan konsumen.
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai pembinaan penyelenggaraan perlindungan
konsumen diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 30 UUPK
(1) Pengawasan terhadap penyelenggaraan perlindungan konsumen serta
penerapan ketentuan peraturan perundangundangannya diselenggarakan oleh
pemerintah, masyarakat,dan lembaga perlindungan konsumen swadaya
masyarakat.
(2) Pengawasan oleh pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilaksanakan oleh Menteri dan/atau menteri teknis terkait.
(3) Pengawasan oleh masyarakat dan lembaga perlindungan konsumen swadaya
masyarakat dilakukan terhadap barang dan/atau jasa yang beredar di pasar.
(4) Apabila hasil pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) ternyata
menyimpang dari peraturan perundangundangan yang berlaku dan
membahayakan konsumen, Menteri dan/atau menteri teknis mengambil
tindakan sesuai dengan peraturan perundangundangan yang berlaku.
(5) Hasil pengawasan yang diselenggarakan masyarakat dan lembaga perlindungan
konsumen swadaya masyarakat dapat disebarluaskan kepada masyarakat dan
dapat disampaikan kepada Menteri dan menteri teknis.
(6) Ketentuan pelaksanaan tugas pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1), ayat (2), dan ayat (3) ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.
Kebijakan penal ini terdapat pada BAB XIII Pasal 61-63 tentang sanksi pidana,
yang berbunyi:
Pasal 61 UUPK
Penuntutan pidana dapat dilakukan terhadap pelaku usaha dan/atau pengurusnya.
Pasal 62 UUPK
(1) Pelaku usaha yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8,
Pasal 9, Pasal 10, Pasal 13 ayat (2), Pasal 15, Pasal 17 ayat (1) huruf a, huruf b,
huruf c,huruf e, ayat (2) dan Pasal 18 dipidana dengan pidana penjara paling
lama 5 (lima) tahun atau pidana denda paling banyak Rp 2.000.000.000,00
(dua milyar rupiah).
(2) Pelaku usaha yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
11, Pasal 12, Pasal 13 ayat (1), Pasal 14, Pasal 16, dan Pasal 17 ayat (1) huruf d
dan huruf f dipidana penjara paling lama 2 (dua) tahun atau pidana denda
paling banyak Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
(3) Terhadap pelanggaran yang mengakibatkan luka berat, sakit berat, cacat tetap
atau kematian diberlakukan ketentuan pidana yang berlaku.
Pasal 63 UUPK
Terhadap sanksi pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 62, dapat dijatuhkan
hukuman tambahan, berupa:
a. perampasan barang tertentu;
b. pengumuman keputusan hakim;
c. pembayaran ganti rugi;
d. perintah penghentian kegiatan tertentu yang menyebabkan timbulnya kerugian
konsumen;
e. kewajiban penarikan barang dari peredaran; atau pencabutan izin usaha.
Kebijakan penal yang termuat di dalam Undang-Undang Perlindungan
Konsumen, terutama pada Pasal 62 ayat (3) yang mengatur apabila terjadi pelanggaran
yang mengakibatkan luka berat, sakit berat, cacat tetap ataupun kematian maka akan
diberlakukan ketentuan pidana telah menjelaskan bahwa apabila terjadi pelanggaran
tersebut maka ketentuan pidanalah yang akan menyelesaikannya. Hal ini berkaitan
dengan penegakan hukum pidana. Menurut Barda Nawawi Arief penegakan hukum
pidana adalah:45
Usaha penanggulangan kejahatan dengan hukum pidana pada hakikatnya juga
merupakan bagian dari usaha penegakan hukum (khususnya penegakan hukum
pidana). Oleh karena itu, sering pula dikatakan, bahwa politik atau kebijakan
hukum pidana juga merupakan bagian dari kebijakan penegakan hukum (Law
Enforcement Policy).
Pendapat tersebut menunjukkan hubungan antara kebijakan hukum pidana
dengan kebijakan penegakan hukum dalam rangka menanggulangi kejahatan, dengan
kata lain perkembangan kejahatan yang terjadi dalam masyarakat juga mempengaruhi
kebijakan hukum pidana yang akan digunakan untuk menanggulangi kejahatan tersebut.
Kebijakan penanggulangan kejahatan seperti yang dikemukakan di atas
merupakan bagian dari politik kriminal sehingga kebijakan tersebut juga merupakan
bagian dari usaha perlindungan masyarakat (social defence) dan usaha untuk mencapai
kesejahteraan masyarakat (social welfare). Oleh karena itu, kebijakan hukum pidana
juga merupakan bagian dari kebijakan sosial (social policy) yang merupakan usaha
untuk memberikan perlindungan masyarakat dan kesejahteraan masyarakat.
45
Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, Op. Cit., Hlm. 26.
Mempelajari kebijakan hukum pidana pada dasarnya mempelajari masalah
bagaimana sebaiknya hukum pidana itu dibuat, disusun dan digunakan untuk mengatur/
mengendalikan tingkah laku manusia, khususnya untuk menanggulangi kejahatan dalam
rangka melindungi dan menyejahterakan masyarakat.46
D. Halalan Thayiban dan Haram
Kata halalan, bahasa arab, berasal dari kata halla, yang berarti lepas atau tidah
terikat. Secara etimologi kata halalan berarti hal-hal yang boleh dan dapat dilakukan
karena bebas atau tidak terikat pada ketentuan-ketentuan yang melarangnya, atau
diartikan sebagai segala sesuatu yang bebas dari bahaya duniawi dan ukhrawi. Kata
thayyib berarti lezat, baik, sehat, menentramkan dan paling utama.47
Konteks pada
makanan kata thayyib berarti makanan yang tidak kotor dari segi zatnya atau rusak
(kadaluarsa), atau tercampur oleh najis. Ada juga yang mengartikan sebagai makanan
yang mengandung selera bagi yang akan mengkonsumsinya dan tidak membahayakan
fisik serta akalnya. Adapula yang mengartikan sebagai makanan yang sehat,
proporsional dan aman.
Bagi umat Islam, mengkonsumsi yang halal dan baik (thayyib) merupakan
manivestasi dari ketaatan dan ketaqwaan kepada Allah SWT. Hal ini terkait dengan
46
Barda Nawawi Arief. Beberapa Aspek Kebijakan Penegakan dan Pengembangan Hukum
Pidana., (Alumni: Bandung)., Hlm. 125. 47
Prof. Dr. Hj. Aisjah Girindra, Dari Sertifikasi Menuju Labelisasi Halal. Pustaka Jurnal
Halal: LPPOM MUI. 2008.
perintah Allah SWT kepada manusia, sebagaimana yang termaktub dalam Al Qur’an
dalam (QS. Al Maidah: 88), yang artinya:
“Dan makanlah makanan yang halal lagi baik (thayib) dari apa yang telah
dirizkikan kepadamu dan bertaqwalah kepada Allah dan kamu beriman kepada-
Nya” (QS. Al Maidah: 88)
Memakan yang halal dan thayib merupakan perintah dari Allah yang harus
dilaksanakan oleh setiap manusia yang beriman. Bahkan perintah ini disejajarkan
dengan bertaqwa kepada Allah, sebagai sebuah perintah yang sangat tegas dan jelas.
Perintah ini juga ditegaskan dalam ayat yang lain, seperti yang terdapat pada (QS. Al
Baqarah: 168), yang artinya:
“Wahai sekalian manusia, makanlah yang halal lagi baik dari apa yang terdapat
di bumi, dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah syetan; karena
sesungguhnya syetan itu adalah musuh yang nyata bagimu” (QS. Al Baqarah: 168)
Memakan yang halal dan thayib akan berbenturan dengan keinginan syetan
yang menghendaki agar manusia terjerumus kepada yang haram. Oleh karena itu
menghindari yang haram merupakan sebuah upaya yang harus mengalahkan godaan
syetan tersebut. Mengkonsumsi makanan halal dengan dilandasi iman dan taqwa karena
semata-mata mengikuti perintah Allah merupakan ibadah yang mendatangkan pahala
dan memberikan kebaikan dunia dan akhirat. Sebaliknya memakan yang haram, apalagi
diikuti dengan sikap membangkang terhadap ketentuan Allah STW adalah perbuatan
maksiat yang mendatangkan dosa dan keburukan. Sebenarnya yang diharamkan atau
dilarang memakan (tidak halal) jumlahnya sedikit. Selebihnya, pada dasarnya apa yang
ada di muka bumi ini adalah halal, kecuali yang dilarang secara tegas dalam Al-Qur’an
dan Hadits.
Menurut LPPOM MUI pada Panduan Umum Sistem Jaminan Halal ada
beberapa ayat yang menyebutkan bahwa dalam Al-Qur’an hanya sedikit yang tidak
halal. Namun dengan perkembangan teknologi, yang sedikit itu bisa menjadi banyak
karena masuk ke dalam makanan olahan secara tidak terduga sebelumnya. Beberapa
larangan yang terkait dengan makanan haram tersebut adalah: 48
a. QS. Al-Baqarah: 168:
“Hai sekalian umat manusia makanlah dari apa yang ada di bumi ini secara
halal dan baik. Dan janganlah kalian ikut langkah-langkah syaitan.
Sesungguhnya ia adalah musuh yang nyata bagi kalian.” (QS. Al-Baqarah:
168)
b. QS. Al Maidah: 3:
“Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi, (daging hewan)
yang disembelih atas nama selain Allah, yang tecekik, yang dipukul, yang jatuh
ditanduk, dan yang diterkam binatang buas, kecuali kamu sempat
menyembelihnya.” (QS. Al Maidah: 3)
48
LPPOM MUI, Panduan Umum Sistem Jaminan Halal (Jakarta: LPPOM MUI, 2008), Hlm.
42-44.
c. QS. Al-Anam: 145:
“Katakanlah, saya tidak mendapat pada apa yang diwahyukan kepadaku
sesuatu yang diharamkan bagi yang memakannya, kecuali bangkai, darah yang
tercurah, daging babi karena ia kotor atau binatang yang disembelih dengan
atas nama selain Allah. Barang siapa dalam keadaan terpaksa sedangkan ia
tidak menginginkannya dan tidak melampaui batas, maka tidaklah berdosa.
Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Pengasih.” (QS. Al-Anam:
145)
d. QS. Al Baqarah: 173:
“Sesungguhnya Allah yang mengharamkan bagimu bangkai, darah, daging
babi, dan yang disembelih dengan nama selain Allah.” (QS. Al Baqarah: 173)
e. QS. Al-Maidah: 90-91:
“Wahai orang-orang yang beriman sesungguhnya meminum khamr, berjudi,
berkorban untuk berhala, mengundi nasib dengan panah adalah perbuatan keji
termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kalian
mendapat keberuntungan. Sesungguhnya syaitan itu hendak menimbulkan
permusuhan dan perbencian di antara kalian lantaran meminum khamr dan
berjudi dan menghalangi kalian dari mengingat Allah dan shalat, maka apakah
kalian berhenti dari mengerjakan pekerjaan itu.” (QS. Al-Maidah: 90-91)
f. QS. Al-A’raf: 157:
“Dia menghalalkan kepada mereka segala yang baik dan mengharamkan
kepada mereka segala yang kotor.”( QS. Al-A’raf: 157)
Berdasarkan serangkaian ayat di atas, dapat disimpulkan bahwa ada beberapa
jenis makanan yang diharamkan yaitu:
a. Bangkai dan darah;
b. Babi;
c. Binatang yang disembelih selain menyebut nama Allah SWT; dan
d. Khamer atau minuman yang memabukkan.
E. Sertifikasi dan Labelisasi Halal
Peraturan yang menaungi atas ketentuan sertifikasi dan labelisasi halal antara
lain Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1996 Tentang Pangan dan Undang-Undang
Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen itu sendiri. Pasal 34 (1)
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1996 tentang Pangan disebutkan:
“Setiap orang yang menyatakan dalam label atau iklan bahwa pangan yang
diperdagangkan adalah sesuai dengan persyaratan agama atau kepercayaan tertentu
bertanggung jawab atas kebenaran pernyataan berdasarkan persyaratan agama atau
kepercayaan tersebut”.
Penjelasan Undang-undang Nomor 7 Tahun 1996 Pasal 34 ayat (1) disebutkan:
“Dalam ketentuan ini, benar tidaknya suatu pernyataan halal dalam label atau
iklan tentang pangan tidak hanya dapat dibuktikan dari segi bahan baku pangan,
bahan tambahan pangan, atau bahan bantu lain yang dipergunakan dalam
memproduksi pangan, tetapi mencakup pula proses pembuatannya”.
Selanjutnya dalam Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang
Perlindungan Konsumen Pasal 8 huruf (h) disebutkan bahwa:
“Pelaku usaha dilarang memproduksi dan/atau memperdagangkan barang
dan/atau jasa yang tidak mengikuti ketentuan berproduksi secara halal,
sebagaimana pernyataan “halal” yang dicantumkan dalam label”.
Sertifikasi halal dan labelisasi halal merupakan dua kegiatan yang berbeda
tetapi mempunyai keterkaitan satu sama lain. Menurut pengertian LPPOM MUI definisi
sertifikasi halal adalah suatu proses untuk memperoleh sertifikat halal melalui beberapa
tahap untuk membuktikan bahwa penerapan SJH (Sistim Jaminan Halal) di perusahaan
yang bersangkutan telah memenuhi persyaratan LPPOM MUI dengan melakukan
pengujian secara sistematik. Tujuan akhir dari sertifikasi halal adalah adanya pengakuan
secara legal formal bahwa produk yang dikeluarkan telah memenuhi ketentuan halal. Di
Indonesia lembaga yang otoritatif melaksanakan sertifikasi halal adalah Majelis Ulama
Indonesia (MUI) yang secara teknis ditangani oleh Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-
obatan dan Kosmetika (LPPOM)49
, sedangkan labelisasi halal adalah pencantuman
tulisan atau pernyataan halal pada kemasan produk untuk menunjukkan bahwa produk
49
HAS 23000. Persyaratan Sertifikasi Halal. (LPPOM MUI: IPB Bogor, 2012). Hlm.5.
yang dimaksud berstatus sebagai produk halal.50
Kegiatan labelisasi halal dikelola oleh
Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM).
Menurut Ir. Hendra Utama, disimpulkan bahwa sertifikasi halal berbeda
dengan labelisasi halal. Sertifikasi halal diberikan oleh MUI apabila labelisasi halal
diberikan oleh Badan POM, dengan terlebih dahulu pelaku usaha harus sudah
mengantongi Sertifikat Halal dari MUI barulah pelaku usaha dapat memintakan
pencantuman label halal pada produknya kepada Badan POM.51
Di Indonesia peraturan yang bersifat teknis yang mengatur masalah pelabelan
halal yaitu keputusan bersama Menteri Kesehatan dan Menteri Agama Republik
Indonesia Nomor 427/Men.Kes/SKBMII/1985 (Nomor 68 Tahun 1985) Tentang
Pencantuman Tulisan Halal Pada Label Makanan, sedangkan ketentuan teknis tentang
pelaksanaan labelisasi yang didasarkan atas hasil sertifikasi halal baru dikeluarkan tahun
1996 yaitu Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor 924/Menkes/SK/VII/1996 tentang
Perubahan atas Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 82 Menkes/SK/I/1996 Tentang
Pencantuman Tulisan Halal Pada Label Makanan, yaitu dengan menetukan hal yang
temuat dalam Pasal 8, yaitu produsen dan importir yang akan mengajukan permohonan
pencantuman tulisan “halal” wajib siap diperiksa oleh petugas tim gabungan dari
Majelis Ulama Indonesia dan Direktorat Jenderal Pengawasan Obat dan Makanan yang
ditunjuk oleh Direktur Jenderal. Pasal 11 yang memuat tentang persetujuan
pencantuman tulisan “Halal” diberikan berdasarkan fatwa dari Komisi Fatwa Majelis
50
Sertifikasi dan Labelisasi Halal. Web:
http://lppommuikaltim.multiply.com/journal/item/14/Sertifikasi_dan_Labelisasi_Halal. Diakses tanggal
25 Maret 2011. 51
Hasil wawancara dengan Bapak Ir. Hendra Utama. LPPOM MUI Bogor. 5 Maret 2012.
Ulama Indonesia, serta pada Pasal 12 ayat (1) yang menyatakan bahwa berdasarkan
Fatwa dari Majelis Ulama Indonesia. Direktur Jenderal memberikan persetujuan bagi
yang memperoleh sertifikat “Halal” dan penolakan bagi yang tidak memperoleh
sertifikat “Halal”.
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Metode Pendekatan
Metode pendekatan yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah metode
pendekatan yuridis normatif, dengan menggunakan metode pendekatan perundang-
undangan (statute approach) dan pendekatan kasus (case approach). Kalaupun ada
digunakan pendekatan yuridis empiris hanyalah sebagai data pendukung dalam
penelitian penelitian ini.
Pendekatan peraturan perundang-undangan adalah pendekatan dengan
menggunakan legislasi dan regulasi.52
Pendekatan perundang-undangan disini dilakukan
dengan menelaah semua undang-undang yang terkait. Yaitu dengan menelaah Undang-
undang Nomor 7 Tahun 1996 Tentang Pangan, Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999
Tentang Perlindungan Konsumen dan Peraturan Pemerintah Nomor 69 Tahun 1999
Tentang Label dan Iklan Pangan. Sehingga peneliti akan memperoleh gambaran yang
jelas tentang perlindungan konsumen dilihat dari aspek kebijakan kriminal pada
sertifikasi dan labelisasi halal.
Pendekatan kasus dalam penelitian normatif bertujuan untuk mempelajari
penerapan norma-norma atau kaidah hukum yang dilakukan dalam praktik hukum.
Terutama mengenai kasus-kasus yang telah diputus sebagaimana yang dapat dilihat
dalam yurisprudensi terhadap perkara-perkara yang menjadi fokus penelitian. Jelas
52
Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, (Kencana Prenada Media Group, Jakarta,
2010), Hlm. 97.
kasus-kasus yang telah terjadi bermakna empiris, namun dalam suatu penelitian
normatif, kasus-kasus tersebut dipelajari untuk memperoleh gambaran terhadap dampak
dimensi penormaan dalam suatu aturan hukum dalam praktik hukum, serta
menggunakan hasil analisisnya untuk bahan masukan (input) dalam eksplanasi hukum.
Penelitian ini, penulis melihat dari kasus AJI-NO-MOTO yang terjadi pada tahun 2000
tentang penggunaan bahan baku bactosoytone dalam campuran penyedap rasanya.
B. Spesifikasi Penelitian
Spesifikasi yang digunakan dalam penelitian ini adalah spesifikasi penelitian
deskriptif analitis. Spesifikasi penelitian deskriptif oleh Soerjono Soekanto dalam
bukunya Pengantar Penelitian Hukum, Penelitian deskriptif adalah suatu penelitian yang
dimaksudkan untuk memberikan data yang seteliti mungkin dengan manusia, keadaan
atau gejala-gejala lainnya, serta hanya menjelaskan keadaan objek masalahnya tanpa
bermaksud mengambil kesimpulan yang berlaku umum.53
Spesifikasi penelitian ini
adalah Inventarisasi Hukum, yaitu dengan mengumpulkan dan mengklasifikasikan
peraturan perundang-undangan yang terkait dengan sertifikasi dan labelisasi halal.
C. Lokasi Penelitian
Penelitian ini akan dilakukan di Pusat Informasi Ilmiah (PII) Fakultas Hukum
Universitas Jenderal Soedirman, Unit Pelayanan Terpadu (UPT) Perpustakaan
53
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (UI Press, Jakarta, 1981). Hlm. 10.
Universitas Jenderal Soedirman, LPPOM MUI Bogor, BPOM Jakarta dan YLKI
Jakarta.
D. Sumber Data
Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder dan data
primer.
1. Data Sekunder (bahan-bahan pustaka), yang meliputi: 54
a. Bahan Hukum Primer, yaitu bahan hukum yang bersifat mengikat berupa
peraturan dasar dan peraturan perundang-undangan yang berlaku, yaitu
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen,
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1996 Tentang Pangan, PP Nomor 69 Tahun
1999 Tentang Label dan Iklan Pangan serta peraturan terkait lainnya.
b. Bahan Hukum Sekunder, yaitu bahan-bahan hukum yang memberikan
penjelasan terhadap bahan hukum primer, antara lain pustaka di bidang ilmu
hukum dan artikel-artikel ilmiah.
c. Bahan Hukum Tertier, yaitu bahan pendukung di luar bidang hukum, seperti
kamus, ensiklopedia ataupun koran/ majalah yang terkait dengan perlindungan
konsumen dalam hal sertifikasi dan labelisasi halal.
2. Data Primer, yakni data yang diperoleh dari pejabat dalam struktur organisasi,
dalam hal ini adalah melakukan wawancara terhadap:
54
Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat,
(Rajawali Press: Jakarta, 1995). Hlm. 39.
a. Tulus Abadi, S.H., selaku Anggota Pengurus Harian YLKI (Yayasan
Lembaga Konsumen Indonesia) cabang Jakarta;
b. Ir. Hendra Utama selaku Auditor LPPOM MUI; dan
c. Tiodora M. Sirait, S.H., M.H., selaku Kasubag Penyuluhan Hukum, Biro
Hukum dan Hubungan Masyarakat, Badan Pengawas Obat dan Makanan.
E. Metode Pengumpulan Data
Pada penelitian ini, metode yang digunakan dalam hal pengumpulan bahan
hukum penulis menggunakan 2 (dua) alat pengumpulan data, yaitu:
1. Data Sekunder, diperoleh dengan studi pustaka atau dengan mempelajari
peraturan perundang-undangan, dokumen, arsip-arsip penelitian dan litertur
yang memberikan pengaturan dan penjelasan mengenai bentuk perlindungan
hukum konsumen dalam sertifikasi dan labelisasi halal. Metode pengumpulan
data selain melakukan inventarisasi peraturan perundang-undangan dan
literatur, juga berupa studi kepustakaan, internet browsing dan telaah artikel
atau jurnal hukum.
2. Data Primer, diperoleh dengan melakukan wawancara, yaitu proses komunikasi
dan interaksi untuk memperoleh informasi dengan mengadakan tanya jawab
secara langsung dengan narasumber yang terkait.
F. Metode Penyajian Data
Data yang berupa bahan-bahan hukum akan disajikan dalam bentuk teks
naratif, uraian-uraian yang disusun secara sistematis, logis dan rasional. Keseluruhan
data yang diperoleh akan dihubungkan satu dengan yang lainnya disesuaikan dengan
pokok permasalahan yang diteliti sehingga merupakan satu kesatuan yang utuh.
G. Metode Analisis Data
Sebagai cara untuk menarik kesimpulan dari hasil penelitian yang sudah
terkumpul, maka seluruh data yang diperoleh selanjutnya akan dianalisis dengan
menggunakan metode normatif kualitatif. Normatif disini dimaksudkan karena
penelitian saya ini bertitik tolak pada peraturan perundangan-perundangan yang berlaku
sebagai norma hukum positif. Sedangkan kualitatif dimaksudkan analisis data bertitik
tolak pada usaha-usaha penemuan asas dan informasi dari narasumber.
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Hasil Penelitian
Berdasarkan penelitian yang penulis lakukan, maka diperoleh data sebagai
berikut:
a. Data Sekunder
1.1. Fatwa MUI
1.1.1. Fatwa yang Mengharamkan Penggunaan Bactosoytone
Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI), dalam rangka Komisi bersama
dengan Pengurus Harian MUI dan Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-obatan dan
Kosmetika Majelis Ulama Indonesia (LP POM MUI), pada hari Sabtu, tanggal 20
Ramadhan 1421 H/ 16 Desember 2000 M:
- Menetapkan: FATWA TENTANG PRODUK PENYEDAP RASA
(MONOSODIUM GLUTAMATE, MSG) DARI PT. AJI-NO-
MOTO INDONESIA YANG MENGGUNAKAN
BACTOSOYTONE
1. Poduk penyedap rasa (MSG) dari PT. Ajinomoto Indonesia yang
menggunakan bactosoytone dalam proses produksinya adalah haram.
2. Umat Islam yang karena ketidaktahuannya telah mengkonsumsi penyedap
rasa (MSG) dimaksud tidak perlu merasa berdosa.
3. Menghimbau kepada umat islam agar berhati-hati dalam mengkonsumsi
apapun yang diragukan atau diharamkan oleh agama.
4. Keputusan ini berlaku sejak tanggal ditetapkan, dengan ketentuan jika di
kemudian hari ternyata terdapat kekeliruan, akan diperbaiki dan
disempurnakan sebagaimana mestinya.
Agar setiap muslim dan pihak lain yang memerlukan dapat mengetahuinya,
menghimbau semua pihak untuk menyebarluaskan fatwa ini. Ditetapkan di
Jakarta, 20 Ramadhan 1421 H (16 Desember 200 M).
1.1.2. Fatwa Penggunaan Mameno sebagai Pengganti Bactosoytone
Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI), dalam rapat Komisi bersama
dengan Pengurus Harian MUI dan Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-obatan dan
Kosmetika Majelis Ulama Indonesia (LP POM MUI), pada hari Senin, tanggal 25
Dzul Qa’idah 1421 H/ 19 Februari 2001 M:
- Menetapkan: FATWA TENTANG PRODUK PENYEDAP RASA
(MONOSODIUM GLUTAMATE, MSG) DARI PT. AJI-NO-
MOTO INDONESIA YANG MENGGUNAKAN MAMENO
1. Produk penyedap rasa (MSG) dari PT. Ajinomoto Indonesia yang
menggunakan mameno adalah halal.
2. Menhimbau kepada umat Islam agar berhati-hati dalam mengkonsumsi
apapun yang diragukan atau diharamkan oleh agama.
3. Keputusan ini berlaku sejak tanggal ditetapkan, dengan ketentuan jika di
kemudian hari ternyata terdapat kekeliruan, akan diperbaiki dan
disempurnakan sebagaimana mestinya.
Agar setiap muslim dan pihak lain yang memerlukan dapat mengetahuinya,
menghimbau semua pihak untuk menyebarluaskan fatwa ini. Ditetapkan di
Jakarta, 25 Dzul Qa’diah 1421 H (19 Februari 2001 M).
1.2. Majalah Tempo yang menyoroti kasus AJI-NO-MOTO, antara lain:
1.2.1. Pernyataan Gusdur Bahwa AJI-NO-MOTO Halal
Presiden Abdurrahman Wahid menyatakan bahwa Ajinomoto halal untuk
dikonsumsi. Presiden mengatakan hal ini setelah mendapat laporan dari BPPT,
LIPI dan tiga perguruan tinggi. Alasannya, enzim pankreas babi yang dipakai
dalam Ajinomoto itu dianggap sebagai katalis yang tidak menjadi substansi akhir.
Demikian disampaikan Juru Bicara Kepresidenan Wimar Witoelar usai
mendampingi Presiden Wahid menemui enam orang delegasi hukum Jepang, di
Istana Merdeka, Jakarta.
Hal ini, menurut dia, akan diperjelas dalam konferensi pers yang akan digelar oleh
BPPT, Dirjen POM dan LIPI, Rabu (10/1) pagi untuk memberikan keterangan
ilmiah kepada publik. Saat itu, Gus Dur pun mengutip sebuah kaidah usul fikih
yang menurutnya tepat untuk diterapkan dalam masalah ini. “Kaidah itu adalah,
menghindari kesulitan diutamakan daripada mendatangkan kebaikan” ujarnya.
Menurut presiden, jika Ajinomoto ditutup, maka akan terjadi penutupan penanam
modal di bidang lain. Karena itu Indonesia akan kehilangan investor. “Untuk
menutup Ajinomoto saja, kita akan kehilangan investasi asing sebesar US$ 1,3
milyar,” ujarnya. Gus Dur pun menggambarkan akan terjadinya pengangguran
secara masif karena masalah ini.
Pernyataan Presiden yang dikutip Wimar, serupa dengan pernyataan Menteri
Kehakiman Jepang, Masahiko Koumura, yang menyatakan bahwa Presiden
Wahid telah menyatakan kepada dirinya sebagai wakil pemerintah Jepang bahwa
produk Ajinomoto boleh dimakan.
Delegasi Jepang, dalam keterangan persnya yang singkat itu, juga sempat
menegaskan kepada wartawan bahwa pemerintah Jepang selalu menekankan
kepada perusahaan maupun pengusahanya yang melakukan aktifitas di Indonesia
agar menaati undang-undang dan hukum yang ada di negara ini. Pemerintah
Jepang juga menilai, proses hukum yang dilaksanakan oleh Indonesia sudah tepat.
Sementara itu, mengenai proses hukum terhadap empat direksi PT Ajinomoto
Indonesia yang ditangkap, Wimar menegaskan bahwa proses hukum tetap akan
dilanjutkan dengan keterangan yang ada sekarang. Ia menambahkan, Presiden
mengetahui bahwa ada aspek-aspek politik yang meresahkan masyarakat apabila
masalah ini terus diperpanjang. “Presiden tidak memandang masalah ini sebagai
masalah agama, namun masalah politik yang menggunakan ketidaktahuan
masyarakat dengan simbol-simbol agama,” imbuh Wimar mengutip Presiden.
1.2.2. Sikap MUI Menyatakan AJI-NO-MOTO Haram
Atas pernyataan Presiden Abdurrahman Wahid soal kehalalan penyedap rasa
Ajinomoto Selasa kemarin (9/1), Majelis Ulama Indonesia (MUI) pun siap dengan
jawabannya. MUI tetap menyatakan bahwa bumbu masak itu haram. Din
mengatakan bahwa MUI dapat memahami penjelasan dari sudut ilmu
pengetahuan bahwa enzym babi pada bactosoytone tidak terbawa pada produk
akhir Ajinomoto. Meskipun demikian, ada juga pakar yang menyatakan bahwa
enzym babi itu telah mengalami interaksi dalam proses produksi. Karena itu,
selain mempertimbangkan teori ilmiah, MUI mendasarkan pendapatnya atas
alasan hukum agama yang mempunyai kaidah dan metodologi tertentu. Dalam
penetapan status haram atas Ajinomoto, Komisi Fatwa MUI telah melalui
beberapa kali sidang, termasuk kunjungan ke pabrik di Mojokerto, Jawa Timur,
bersama LP POM MUI. Mereka mendasarkan pada alasan-alasan adanya
pencampuran (ikhtilath) yang bersifat maknawi. Maksudnya, enzym babi yang
digunakan dalam proses produksi Ajinomoto itu telah mengalami interaksi karena
tidak mungkin tidak tercampur secara maknawi (bersenyawa) dengan produk.
Alasan ke dua adalah adanya pemanfaatan (intifa) zat haram dalam proses
produksi. Karena itu, produk akhirnya pun menjadi haram. Sementara itu, saat
ditanya keputusan mana yang harus dipegang masyarakat, apakah penyataan
presiden atau pernyataan MUI, Kiai Sahal Mahfudh menjawab dengan diplomatis
“Silakan saja, terserah keyakinan masing-masing.”
1.2.3. YLKI Melaporkan PT. Ajinomoto Kepada Polda Metro Jaya
Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) pun telah melaporkan tindakan
PT Ajinomoto Indonesia itu, dalam hal ini Tjokorda Bagus Sudarta sebagai
General Manager PT Ajinomoto Indonesia, ke Polda Metro Jaya. Pasalnya,
dianggap melakukan tindak pidana penipuan berdasarkan ketentuan Pasal 378
Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP). Persoalannya, bagi YLKI terletak
pada pencantuman label halal dalam produk itu. Padahal, MUI telah
mengeluarkan fatwa haram. “Ini kan jelas penipuan,” kata Indah. Sebab, label
dalam suatu produk itu merupakan alat komunikasi produsen dengan konsumen
yang paling efektif. Bila dalam produk itu ada label halal, konsumen dengan
sendirinya akan mempercayai kalau produk itu memang sudah lolos uji.
Meskipun demikian, tanda-tanda bakal selesainya kasus Ajinomoto sudah mulai
kelihatan. Kamis (11/1) malam ini sekitar pukul 20.00 Presiden Direktur PT
Ajinomoto Indonesia Mitsuo Arokawa dan dua manajernya, Tjokorda Bagus
Sidharta dan Yosi R Pura dilepaskan karena ditangguhkan penahanannya. Di Jawa
Timur, pabrik PT Ajinomoto juga telah dibuka segelnya oleh aparat Polda Jatim.
Pembukaan pabrik itu dilakukan atas perintah Kapolda Inspektur Jenderal
Soetanto. Peristiwa itu disaksikan oleh Wakil Presiden Direktur PT Ajinomoto,
Yasusy Oda. Dengan demikian, tidak ada halangan bagi pabrik bumbu masak
investasi Jepang tersebut untuk beroperasi lagi. Setelah segel pabrik di Mojokerto
dibuka, empat bos PT Ajinomoto yang ditahan Polda Jatim pun menghirup udara
segar. Permohonan penangguhan mereka diterima Kapolda. Keempat pimpinan
PT Ajinomoto itu adalah Manajer Quality Control Haryono), Manajer Teknik
Yosiko Ogama, Manajer Pabrik Hari Saksono, dan Manajer Produksi Hartono.
Keempatnya ditahan di Polda Jatim, bersaman dengan penyegelan unit produksi
dan gudang PT Ajinomoto serta PT Ajinex. Mereka dituduh bertanggung jawab
dalam penggunaan bactosoytone yang mengandung enzim porcine hasil diekstrak
dari pankreas babi. Namun pengacara mereka, Wijono Subagjo, tak mau
membeberkan alasan polisi di balik pembebasan itu. Uniknya, pembebasan itu
terjadi hanya selang beberapa hari setelah Presiden Wahid bertemu Menteri
Kehakiman Jepang dan mengeluarkan fatwa soal kehalalan Ajinomoto.
1.2.4. Kasus AJI-NO-MOTO Diambilalih oleh Mabes Polri
Penanganan penyidikan kasus Ajinomoto diambilalih oleh Mabes Polri. Ini untuk
menuntaskan dan menyeragamkan penanganan kasus tersebut. Hal tersebut
dikatakan secara singkat oleh Kapolri Jendral S. Bimantoro yang menjelaskan,
para tersangka yang sempat ditahan di Polda Jawa Timur dan Polda Metro Jaya
kini berada di tahanan Mabes Polri. Menurut Bimantoro, walaupun Presiden
Abdurrahman Wahid telah mengemukakan bumbu masak Ajinomoto telah halal
dikonsumsi, namun Polri akan meneruskan penyidikan kasus tersebut.
Menanggapi pernyataan Gus Dur, ia mengatakan bahwa pernyataan Presiden
diungkapkan dalam kapasitasnya sebagai sesama ulama dan digunakan sebagai
pembanding saja. Menteri Agama, Tholhach Hasan setuju dengan pendapat yang
diutarakan oleh Kapolri. Menurut dia, perbedaan pendapat adalah hal yang biasa.
1.2.5. Fatwa MUI Menjadi Pegangan Polisi
Meski terjadi silang pendapat antara presiden dengan MUI, Kepala Polri mengaku
tetap berpegang pada fatwa MUI sebagai dasar penanganan kasus Ajinomoto.
Sebab, MUI adalah lembaga resmi penetap fatwa halal dan haram di Indonesia.
Kapolri pun berargumen soal tindakan aparatnya yang telah menangkap delapan
direksi PT Ajinomoto Indonesia. Menurut Bimantoro, polisi memiliki dasar untuk
mengambil tindakan. Namun, dari Surabaya, Wijono Subagjo, kuasa hukum
empat tersangka pimpinan Ajinomoto di Surabaya telah mengajukan permohonan
penangguhan penahanan. Sementara, Wakil Presiden Direktur PT Ajinomoto,
Yasusi Oda, telah dibebaskan karena dinilai tidak mengetahui kebijakan
penggunaan bactosoytone itu. Dalih Wijono mengajukan penangguhan penahanan
itu adalah karena Presiden Abdurrahman Wahid telah menyampaikan
keyakinannya bahwa produk PT Ajinomoto halal. Namun, hingga kini, Polda
Jatim belum memperlihatkan tanda-tanda akan menghentikan proses hukum
terhadap kasus ini. Menurut Kapolri, pernyataan Presiden akan dijadikan
pembanding. Namun polisi tetap berpatokan pada lembaga resmi. Menurutnya
pembanding-pembanding itu akan digolongkan sebagai saksi-saksi ahli yang
nantinya akan dimintakan keterangannya dalam proses penyelesaian penyelidikan
itu, termasuk hasil penelitian laboratorium. Tindakan tegas Polri diambil karena
melihat aspek-aspek keamanan.
Akibat adanya perbedaan pendapat ini, Menteri Perindustrian dan Perdagangan
Luhut Binsar Pandjaitan pun mengaku belum akan mencabut ijin usaha PT
Ajinomoto Indonesia. Karena pada dasarnya ia mengaku telah melakukan
pembinaan dan pengawasan dengan mengatur perdagangan makanan maupun
minuman dengan sebelumnya harus melalui mekanisme pendaftaran yang
dilakukan oleh Badan POM. Namun hal ini akan ditindak lanjuti bersamaan
dengan instansi yang terkait dengan kasus tersebut. Karena pertimbangan ini,
maka walau Luhut Binsar telah menetapkan untuk menarik produk yang telah
beredar, pemerintah belum akan mengambil langkah pencabutan.
1.2.6. Badan POM Melakukan Penarikan Produk AJI-NO-MOTO
Kendati sudah dinyatakan halal oleh Presiden Abdurrahman Wahid, Direktorat
Jendral Pengawasan Obat dan Makanan (POM) Departemen Kesehatan tetap pada
kebijakan menarik semua produk Ajinomoto yang mengandung Bactosoytone.
Demikian dikemukakan Dirjen POM Depkes HM Sampurno kepada pers di
Jakarta usai pertemuan soal Ajinomoto yang diselenggarakan di Departemen
Agama Jakarta. Produk Ajinomoto yang ditarik dari pasaran itu nantinya sudah
disepakati untuk dijadikan komoditi ekspor. Sedangkan produk baru Ajinomoto
yang baru tentunya tanpa Bactosoytone akan diedarkan di pasaran Indonesia.
Kesepakatan itu adalah komitmen dari Ajinomoto meskipun sudah ada pernyataan
dari Presiden Abdurrahman Wahid bahwa bumbu masak itu halal dikonsumsi
umat Islam. MUI sendiri juga masih mengharamkan produk Ajinomoto yang
tengah ditarik dari pasaran. Bahkan sertifikasi halal produk Ajinomoto yang kini
peredaran di pasaran sudah dicabut. Kehalalan Ajinomoto dipersoalkan MUI pada
akhir Desember 2000 setelah ditemukan bahwa pengembangan bakteri untuk
proses fermentasi tetes tebu (molase) mengandung bactosoytone (nutrisi untuk
pertumbuhan bakteri itu). Bactosoytone sendiri merupakan hasil hidrolisa enzim
kedelai dengan biokatalisator porcine yang berasal dari pankreas babi. Ajinomoto
diduga telah mengubah nutrisi itu pada produksi sejak bulan Juni 2000 dan
sebelumnya mereka menggunakan polypeptone.
Surat Peringatan MUI sendiri dilontarkan 19 Desember 2000 yang ditanda tangani
oleh Ketua MUI Prof.Dr.Umar Shihab dan Sekretaris Umum Dr. Din Syamsudin.
Dalam surat bernomor U-558/MUI/XII/2000 itu juga menyebutkan bahwa PT
Ajinomoto telah mengubah salah satu bahan nutrisi yang digunakan dalam proses
pengembangbiakkan kultur bakteri yaitu polypeptone menjadi bactosoytone
sehingga produk bumbu masak itu tercampur enzim yang berasal dari babi. MUI
juga meminta agar perusahaan bersangkutan sekuat tenaga segera melakukan
penarikan itu secepat mungkin sehingga produk yang beredar di pasar hanya
produk baru Ajinomoto yang tanpa Bactosoytone.
1.2.7. Hasil Kesepakatan Pemerintah terkait Kasus AJI-NO-MOTO
Ditjen Pengawasan Obat dan Makanan (POM) Depkes dan Kesos memerintahkan
PT Ajinomoto Indonesia untuk menarik produk bumbu masaknya dari pasaran
dalam jangka waktu tiga minggu. Hal ini sesuai dengan hasil pertemuan antara
unsur Depdag, Depkes, MUI dan Lembaga Pengawasan (LP) POM MUI yang
memutuskan menarik produk Ajinomoto terhitung mulai tanggal 3 Januari 2001.
Di samping itu, pertemuan itu juga memutuskan bahwa PT Ajinomoto harus
segera mengganti bahan baku yang mengandung enzim porcine (babi)
Bactosoytone dengan bahan yang halal yakni mameno (asam chlorida). Ketika
ditanya sistem untuk membedakan produk lama dan baru bumbu masak itu,
Sampurno menjelaskan, dalam dua minggu mendatang, perusahaan itu akan
melaporkan sistem proses produksinya yang menggunakan bahan halal dan
mengganti label kemasannya dengan yang baru pula. Lebih lanjut dijelaskan,
proses pembuatan bumbu masak itu menggunakan bakteri yang dibiakkan dalam
media yang mengandung nutrisi Bactosoytone berbahan baku enzim dari kedelai
dan porcine (babi). Bahan ini kemudian dipakai dalam fermentasi tetes tebu. Hasil
fermentasi tersebut, melalui proses pemurnian dan kristalisasi, menghasilkan asam
glutamat murni yang ditambah soda air. Selanjutnya, dilakukan pemurnian
menjadi monosodium glutamat (MSG) atau bumbu masak.
Mengutip laporan direksi Ajinomoto, Sampurno mengatakan, produksi bumbu
masak yang menggunakan bahan tidak halal mulai dilakukan pada Oktober-
November 2000. Total produksinya mencapai 10 ribu ton. Tiga ribu ton di
antaranya dipasarkan di dalam negeri, sedang 7.000 ton diekspor.
Sebelumnya, Sekretaris Umum MUI, Din Syamsuddin, mengatakan, PT
Ajinomoto telah mengubah sistem proses produksinya dari bahan yang halal
menjadi tidak halal pada Oktober-November 2000. Untuk itu, MUI mengeluarkan
Surat No.U-558/MUI/XII/2000 tertanggal 19 Desember 2000. Isinya meminta PT
Ajinomoto Indonesia menarik produk bumbu masak yang diedarkan dan
diproduksi sebelum 23 November. Sebab, sesuai dengan pemeriksaan LP POM
MUI, terdapat bahan Bactosoytone yang mengandung enzym babi. MUI juga
meminta umat Islam untuk tidak mengkonsumsi bumbu masak Ajinomoto
sebelum ada keputusan fatwa MUI baru yang menyatakan bahwa produk bumbu
masak itu telah menggunakan bahan baku yang halal. PT Ajinomoto sendiri telah
menyatakan kesanggupannya menarik semua produk tidak halal itu secepatnya.
1.2.8. YLKI menolak SP3 Kasus Ajinomoto
Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) menolak Surat Penghentian
Penyidikan Perkara (SP3) yang dikeluarkan oleh Mabes Polri atas kasus
Ajinomoto. Demikian diungkapkan oleh Kepala Advokasi dan Bantuan Hukum
YLKI, Diah Indriantari. Pihaknya menurut Tari mengadukan Ajinomoto,
produsen konsumen bumbu masak itu kepada polisi, karena membuat ulah dengan
mengganti polypeptone dengan bactosoytone dalam produknya
itu. Bactosoytone yang dibuat dengan enzim porcine ini diduga keras dan menurut
fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengandung bahan yang diharamkan umat
muslim di Indonesia. Bactosoytone diduga berasal dari lemak babi. Lebih lanjut
Tari mengatakan, menurut pasal 22 Undang Undang Nomor 8/1999 tentang
Perlindungan konsumen, tidak diperlukan bukti-bukti baru. Hal ini bertentangan
dengan alasan polisi mengeluarkan SP3, karena unsur kesalahannya adalah
pembuktian terbalik.
Pembuktian terhadap ada tidaknya unsur kesalahan dalam kasus pidana
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 (4), Pasal 20, dan Pasal 21 merupakan
beban dan tanggung jawab pelaku usaha tanpa menutup kemungkinan bagi jaksa
untuk melakukan pembuktian. Dengan demikian, YLKI beranggapan bahwa SP3
yang dikeluarkan oleh pihak kepolisian tidak beralasan. Selain itu, YLKI menilai
bahwa dengan dikeluarkannya SP3 oleh pihak kepolisian, berarti penegakan
hukum, khususnya penegakan hukum di bidang hukum perlindungan konsumen
telah tidak diselenggarakan oleh pejabat yang berwenang.
Oleh karena itu pula, YLKI mempertanyakan apakah dengan kondisi yang
demikian, perlu penegakan hukum oleh rakyat sendiri. Misalnya, melalui
pengadilan atau dengan pemboikotan atau penolakan terhadap Ajinomoto.
Mengenai gugatan terhadap pihak Ajinomoto sendiri, pernah diajukan oleh
Yasayan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI). Gugatan perdata yang diajukan
oleh YLKI tersebut merupakan gugatan class action pertama yang berdasar pada
Undang-Undang Perlindungan Konsumen. Pelanggaran yang dimaksud adalah
pelanggaran terhadap Pasal 4 huruf c Undang-Undang Perlindungan Konsumen.
Dalam pasal tersebut, konsumen berhak untuk mendapatkan informasi yang
benar, jelas, dan jujur tentang kondisi dan jaminan barang dan atau jasa. Kondisi
dimaksud, termasuk kondisi kehalalan produk dan jaminan halal pada label
produk. Pelanggaran lain yang terjadi adalah pelanggaran pada kewajiban pelaku
usaha sebagaimana tercantum dalam Pasal 7 huruf b Undang-Undang
Perlindungan Konsumen. Yaitu, kewajiban pihak Ajinomoto untuk memberikan
informasi yang benar, jelas, dan jujur tentang kondisi dan jaminan barang dan atau
jasanya. Selain itu, YLKI juga melihat dengan jelas adanya pelanggaran pihak
Ajinomoto terhadap ketentuan Pasal 8 huruf a, f, dan h Undang-Undang
Perlindungan Konsumen. Pasalnya, terdapat larangan bagi pelaku usaha untuk
memproduksi dan atau memperdagangkan barang dan atau jasa tidak sesuai
standar dan perundang-undangan, tidak sesuai janji sebagaimana tercantum dalam
label, dan tidak mengikuti ketentuan berproduksi secara halal sebagaimana
pernyataan halal yang dicantumkan pada label. PT Ajinomoto Indonesia pun
dapat digugat menurut UU Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan
Konsumen. Mereka diancam hukuman lima tahun penjara dan denda Rp 2 miliar.
Namun hingga kini, juga tidak jelas apakah proses gugat menggugat itu masih
berjalan atau tidak.
1.3. Putusan SP3 untuk kasus AJI-NO-MOTO oleh Mabes Polri, yaitu:
Penyidikan kasus Ajinomoto dihentikan oleh kepolisian karena dinilai tidak cukup
bukti. Hasil pemeriksaan Pusat Laboratorium Forensik Polri maupun Laboratorium
Pengawasan Obat dan Makanan Departemen Kesehatan pada saat itu, yang bekerja
sama dengan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) menunjukkan, tidak
terdapat unsur babi dalam penyedap masakan (monosodium glutamat/ MSG)
produksi PT Ajinomoto. Namun, Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI)
tetap berkeyakinan, MSG yang dibuat dengan bahan penolong bactosoytone haram.
Kalaupun tidak terdeteksi, bukan berarti unsur babi tidak ada. Yang jelas,
bactosoytone sudah tercemar najis dan tidak disucikan secara Islam, sehingga produk
akhirnya juga terkena najis.
Walau tidak terdeteksi, bukan berarti tidak ada unsur babi. Najis dalam Islam, lanjut
Hasanudin, ada dua. Yaitu, najis a'ini yang bisa dilihat, diraba, dicium (baunya), serta
najis hukmi yang tidak terlihat, tercium (baunya), maupun teraba. MSG termasuk
najis hukmi. Tanggal 19 Desember MUI memanggil manajemen PT Ajinomoto,
meminta perusahaan terkait menarik produk dari peredaran serta minta maaf kepada
masyarakat khususnya umat Islam. Pihak Ajinomoto mengakui hal itu.
Bukan masalah materi, Menurut Dr Ir Anton Apriyantono dari Jurusan Teknologi
Pangan dan Gizi Institut Pertanian Bogor (IPB), masalah halal dan haram bukan
hanya masalah materi. Apalagi semua teknik deteksi yang dikenal di dunia ilmiah
mempunyai keterbatasan. Bagaimana bisa memilah jenis protein dari enzim porcine
protease dengan protein dari kacang kedelai. Selain itu, ada keterbatasan
kemampuan mendeteksi, jika jumlah zat terlalu kecil. Dari sisi produksi
bactosoytone, berdasarkan proses enzimatis yang dipelajari Anton dan kolega di IPB,
secara komersial hampir tidak ada yang memisahkan enzim dari hidrolisat. Enzim
adalah protein, demikian juga kandungan terbesar kedelai. Karena bactosoytone
untuk makanan bakteri, bukan manusia, dianggap tidak ada gunanya memisahkan
enzim. Kesimpulannya, enzim itu ada dalam bactosoytone.
Komisaris Polisi Alex Rewos dari Sub Direktorat Industri dan Perdagangan
Direktorat Pidana Tertentu Korps Reserse Mabes Polri menyatakan, penyidikan
perkara Ajinomoto dihentikan karena tidak cukup bukti. Hal ini dikarenakan hasil
pemeriksaan Puslabfor maupun POM menyatakan, tidak ditemukan porcine dalam
MSG. Selain itu, ada sertifikat dari Difco Australia yang menyatakan bactosoytone
berasal dari unsur nabati. Ketika dicoba dikirim ke kejaksaan, berkas perkara tiga
kali dikembalikan oleh jaksa penuntut umum untuk dilengkapi. Akhirnya diputuskan
untuk dihentikan penyidikannya. Namun, jika kemudian ditemukan bukti-bukti baru
yang mendukung tindak pidana, perkara dapat dibuka kembali.
b. Data Primer
2.1. LPPOM MUI
Berdasarkan hasil wawancara tanggal 5 Maret 2012 dengan Ir. Hendra
Utama selaku Auditor LPPOM MUI (Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-Obatan dan
Kosmetika Majelis Ulama Indonesia) yang berkantor di kampus IPB (Institut
Teknologi Bogor), diperoleh keterangan sebagai berikut:
2.1.1. Sertifikasi Halal berbeda dengan Labelisasi Halal. Sertifikasi halal diberikan
oleh MUI apabila Labelisasi Halal diberikan oleh Badan POM, dengan
terlebih dahulu pelaku usaha harus sudah mengantongi Sertifikat Halal dari
MUI barulah pelaku usaha dapat mencantumkan label halal pada
produknya.
2.1.2. Menurut LPPOM MUI, pada saat itu memang benar produk penyedap
makanan AJI-NO-MOTO mengandung bactosoytone. Menurut pemeriksaan
laboratorium yang dilakukan oleh LPPOM MUI, sebenarnya penggunaan
bactosoytone adalah hanya sebagai bahan medium saja, atau dapat diartikan
hanya digunakan sebagai enzim tambahan yang membantu untuk
memotong-motong kecil mikroba dan bakteri baik yang ada di dalam
komposisi pembuatan penyedap makanan AJI-NO-MOTO tersebut sehingga
produk akhirnya memang tidak terkandung unsur babi. Terdapat perbedaan
pendapat yang dikemukakan oleh peneliti maupun MUI. Karena menurut
MUI, mengapa mereka mengeluarkan fatwa haram adalah berdasarkan 2
(dua) alasan, yaitu:
a. Dianggap haram apabila dalam proses produksinya bersentuhan/
bercampur dan/atau telah bersinggungan dengan unsur babi, dan
b. Dianggap haram karena dalam proses produksinya ada pemanfaatan
unsur babi.
2.1.3. LPPOM MUI selalu memberi rambu-rambu kepada setiap produsen yaitu
apabila ingin mengganti bahan baku pembuatan produknya sebelum jangka
waktu Sertifikat Halalnya masih berlaku, maka pelaku usaha wajib
memberitahukan kepada LPPOM MUI agar dapat dilakukan audit.
2.1.4. Upaya yang dilakukan LPPOM MUI sebagai upaya melakukan
perlindungan hukum terhadap konsumen antara lain adalah:
a. Melakukan product record dengan mengisolasi semua produk yang
memiliki page number atau kode produksi yang pada saat itu bahannya
telah diganti dengan bactosoytone lalu produk tersebut ditarik dari
pasaran di seluruh Indonesia.
b. Melakukan pengauditan ulang yang dilakukan oleh LPPOM MUI, Badan
POM dan Departemen Agama.
c. Setelah adanya kasus tersebut tindakan yang dilakukan adalah melakukan
penarikan/ recall di pasaran wilayah Indonesia dan pemusnahan bahan
yang telah dinyatakan ketidak-halalannya. Pemusnahan ini disaksikan
oleh auditor internal.
d. LPPOM MUI melakukan perintah penggantian bahan baku pembuatan
produk penyedap makanan AJI-NO-MOTO tersebut dari bactosoytone
menjadi mameno.
2.1.5. Terjadinya kasus AJI-NO-MOTO tersebut telah dianggap sebagai pelajaran
yang berharga bagi LPPOM MUI. Menurut Ir. Hendra Utama masih banyak
kelemahan yang terjadi, yaitu:
a. Masih kurang sejalannya koordinasi dengan instansi terkait;
b. Masih belum berjalannya peraturan-peraturan yang telah dibuat;
c. Kesadaran pelaku usaha untuk memberikan informasi bahan baku yang
digunakan pada produknya masih kurang;
d. Ketidaktahuan pemerintah dalam proses sertifikasi dan labelisasi halal
secara menyeluruh; dan
e. Ketidaksepahaman arti halal dan haram antara ahli dan ulama MUI.
Karena MUI berpedoman kepada Al-Quran dan Hadist, sedangkan ahli
berpedoman kepada teknologi.
2.2. Badan POM
Berdasarkan hasil wawancara tanggal 22 Februari 2012 dengan Tiodora M.
Sirait, S.H., M.H., selaku Kasubag Penyuluhan Hukum, Biro Hukum dan Hubungan
Masyarakat, Badan Pengawas Obat dan Makanan, diperoleh keterangan sebagai
berikut:
2.2.1. Badan POM melakukan pengawasan secara pre-market dan post-market.
Evaluasi pre-market adalah pengawasan sebelum barang dipasarakan
dengan cara produsen/ pelaku usaha mengajukan fakta-fakta mengenai
produknya untuk dilakukann pra penilaian agar mendapatkan nomor
regristrasi dengan syarat tertentu. Pengawasan post-market adalah
pengawasan yang dilakukan setelah barang beredar untuk mengetahui
apakah produk yang didaftarkan berubah atau tidak. Badan POM
bertanggung jawab terhadap penilaian kembali terhadap produk yang telah
memiliki izin edar.
2.2.2. Adapun tindakan represif saat itu adalah pemusnahan produk AJI-NO-
MOTO yang telah terindikasi menggunakan bactosoytone dan juga
menginstruksikan kepada masyarakat untuk tidak menggunakan produk
yang telah mengandung bactosoytone.
2.2.3. Badan POM setelah terjadinya kasus ini juga membentuk ULPK (Unit
Layanan pengaduan Konsumen) agar antara pemerintah dan konsumen
dapat bekerjasama dalam memberantas produk-produk yang dinilai tidak
layak edar.
2.2.4. Baik peran dan tanggung jawab yang dilakukan oleh Badan POM saat itu
sebenarnya sudah melakukan pengawasan maupun pembinaan dengan
maksimal. Pengawasan sudah diberikan dengan melakukan koordinasi tugas
dan tanggung jawab masing-masing instansi. Yaitu dengan Departemen
Perdagangan sebagai koordinator pembinaan dan pengawasan akan
mengedarkan barang dan/atau jasa yang dihasilkan produsen apabila sudah
lolos dari pemeriksaan MUI dengan penerbitan sertifikat halal maupun telah
lolos pengujian dalam pemberian label halal oleh Badan POM.
2.3. YLKI
Berdasarkan hasil wawancara tanggal 22 Februari 2012 dengan Tulus Abadi
selaku anggota pengurus harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI)
Jakarta, diperoleh keterangan sebagai berikut:
2.3.1. Secara regulasi, baik di dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen
dan Undang-Undang Pangan untuk masalah sertifikasi halal adalah masih
belum menjadi kewajiban yang harus dilakukan oleh pelaku usaha/ bersifat
fakultatif, namun akan menjadi wajib melakukan kegiatan sertifikasi halal
apabila pelaku usaha telah mencantumkan label halal pada produknya. Jadi,
apabila pelaku usaha telah mencantumkan label halal namun tidak memiliki
Sertifikat Halal dari MUI maka ini dapat dikatakan pelaku usaha telah
melakukan pelanggaran yang dapat dikenai sanksi secara perdata, pidana
maupun administratif.
2.3.2. Secara teknis, dalam sertifikasi halal akan di cek 2 (dua) tahun sekali.
Pengecekan ini dilakukan secara proaktif oleh perusahaan yang
bersangkutan maupun oleh Badan POM. Terdapat kecenderungan bahwa
sertifikasi halal hanya menjadi komoditas ekonomi. Hal ini dikarenakan di
Indonesia memiliki penduduk yang mayoritas adalah beragama islam. Jadi
produk halal adalah suatu hal yang sangat penting.
2.3.3. Adanya Undang-Undang Perlindungan Konsumen maupun peraturan
perundang-undangan yang saling terkait, sudah merupakan suatu bentuk
perlindungan hukum terhadap konsumen. Jadi konsumen tidak perlu takut
apabila ada indikasi konsumen dirugikan, namun konsumen lebih dihimbau
untuk lebih berhati-hati dan lebih pintar dalam memilih produk-produk yang
aman bagi mereka.
2.3.4. Saat terjadi kasus tersebut, baik pemerintah dan pihak kepolisian masih
tidak serius. Karena saat itu, pihak kepolisian hanya melakukan recall atau
penarikan kembali produk-produk dari pasaran sesuai dengan nomor
produksi pada saat PT. Ajinomoto mengeluarkan produk penyedap makanan
AJI-NO-MOTO. Menurut YLKI sendiri, upaya tersebut masih merupakan
upaya secara perdata saja, belum mencakup upaya lainnya, misal belum
melakukan upaya pro justice/ melakukan upaya pada dimensi pidana.
2.3.5. Tindakan yang dilakukan oleh YLKI saat itu adalah melakukan pelaporan
ke Polda Metro Jaya sebagai delik aduan, namun karena dinilai sudah
menjadi kasus dengan level nasional maka perkara ini dilimpahkan kepada
Mabes POLRI. Alasan yang digunakan oleh YLKI dalam mengajukan
pelaporan antara lain karena:
a. Adanya fatwa MUI yang menyatakan bahwa produk AJI-NO-MOTO
tersebut adalah haram;
b. Adanya desakkan dari masyarakat untuk menyelesaikannya dalam ranah
hukum. Pengaduan tersebut datang dari berbagai golongan masyarakat
terutama ibu rumah tangga;
c. Polisi dianggap belum menyentuh aspek kepidanaan, padahal ini jelas-
jelas telah melanggar dari hak-hak konsumen yang ada di Undang-
Undang Perlindungan Konsumen maupun Undang-Undang Pangan;
d. Kasus ini ada aspek coorporate crime yang seharusnya ganti rugi yang
diberikan akan lebih besar daripada apabila pelanggaran tersebut
dilakukan oleh perseorangan;
e. Upaya pembelajaran dalam menguji keeksistensian dari Undang-Undang
Perlindungan Konsumen yang pada saat itu masih berumur 1 (satu)
tahun.
2.3.6. Kasus AJI-NO-MOTO tidak berjalan dengan lancar karena kasus tersebut
dihentikan penyidikannya atau dengan kata lain di SP3 (Surat Perintah
Penghentian Penyidikan). Hal ini dikarenakan adanya alasan polisi karena
adanya pembuktian terbalik dan ada indikasi dimensi politik yang pada saat
itu Gusdur selaku Presiden melalui juru bicaranya yaitu Wimar Witoelar,
menyatakan bahwa produk penyedap makanan AJI-NO-MOTO tersebut
halal.
2.3.7. Menurut YLKI, eksistensi Undang-Undang Perlindungan Konsumen sendiri
ada 2 (dua) pendapat. Pertama, Undang-Undang Perlindungan Konsumen
secara teori telah dibuat dengan pengaturan pasal-pasal yang ada di
dalamnya bersifat radikal/ sangat mendasar dan progressive/ sangat maju
sesuai dengan perkembangan teknologi pada saat ini. Misalnya pada saat ini
telah diatur tentang class action/ gugatan perwakilan. Kedua, Undang-
Undang Perlindungan Konsumen secara implementasi memang belum
optimal. Mengetahui efektif atau tidaknya suatu hukum apalagi pada hukum
yang baru, tidak hanya melihat dari konteks of law/ pasal-pasalnya saja,
namun dipengaruhi oleh aspek culture/ kebudayaan yang ada di Indonesia.
Ada 2 (dua) aspek yaitu dapat dilihat dari sistim penegakan hukumnya dan
infrastruktur/ perangkat hukumnya. Misal pada saat kasus AJI-NO-MOTO
itu muncul dan Undang-Undang Perlindungan Konsumen baru berlaku
selama 1 (satu) tahun, banyak hakim yang tidak mengerti bagaimana
menerapkan hukum yang tepat.
2.3.8. Pihak-pihak yang berwenang dianggap masih belum bisa menuangkan
pasal-pasal yang ada di dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen ke
dalam suatu sanksi yang tegas, YLKI selaku pelopor pembentuk Undang-
Undang Perlindungan Konsumen sering memberikan pendidikan, pelatihan
maupun ketrampilan dalam mengimplementasikan Undang-Undang
Perlindungan Konsumen dalam sebuah kasus. Hal ini diharapkan apabila
terjadi kasus yang dapat merugikan konsumen maupun pelaku usaha,
Undang-Undang Perlindungan Konsumen dapat menegakkan hukum dan
memberikan keadilan bagi konsumen maupun pelaku usaha.
B. Pembahasan
1. Bentuk Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen Dilihat Dari Aspek
Kebijakan Kriminal
Terlebih dahulu penulis akan memaparkan apa yang dimaksud dengan definisi
perlindungan hukum, sebelum membahas rumusan masalah pertama. Pengertian
perlindungan adalah tempat berlindung, hal (perbuatan dan sebagainya)
memperlindungi.55
Di dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 Tentang
Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga, memberikan definisi perlindungan
adalah segala upaya yang ditujukan untuk memberikan rasa aman kepada korban yang
dilakukan oleh pihak keluarga, advokat, lembaga sosial, kepolisian, kejaksaan,
pengadilan, atau pihak lainnya baik sementara maupun berdasarkan penetapan
pengadilan. Definisi perlindungan lainnya tertuang dalam Peraturan Pemerintah Nomor
2 Tahun 2002 Tentang Tata Cara Perlindungan Terhadap Korban dan Saksi dalam
Pelanggaran Hak Asasi Manusia yang Berat, yaitu perlindungan adalah suatu bentuk
pelayanan yang wajib dilaksanakan oleh aparat penegak hukum atau aparat keamanan
untuk memberikan rasa aman baik fisik maupun mental, kepada korban dan saksi, dari
55
Kamus Besar Bahasa Indonesia. www.artikata.com. Diakses tanggal 10 April 2012.
ancaman, gangguan, teror, dan kekerasan dari pihak manapun, yang diberikan pada
tahap penyelidikan, penyidikan, penuntutan, dan atau pemeriksaan di sidang pengadilan.
Pengertian Hukum selanjutnya dikemukakan oleh J.C.T. Simorangkir dan
Woerjono Sastropranoto, hukum adalah peraturan-peraturan yang bersifat memaksa,
yang menentukan tingkah laku manusia dalam lingkungan masyarakat yang dibuat oleh
badan-badan resmi yang berwajib. Menurut R. Soeroso SH, definisi hukum adalah
himpunan peraturan yang dibuat oleh yang berwenang dengan tujuan untuk mengatur
tata kehidupan bermasyarakat yang mempunyai ciri memerintah dan melarang serta
mempunyai sifat memaksa dengan menjatuhkan sanksi hukuman bagi yang
melanggarnya.
Menurut Mochtar Kusumaatmadja, Pengertian hukum yang memadai
seharusnya tidak hanya memandang hukum itu sebagai suatu perangkat kaidah dan
asas-asas yang mengatur kehidupan manusia dalam masyarakat, tapi harus pula
mencakup lembaga (institusi) dan proses yang diperlukan untuk mewujudkan hukum itu
dalam kenyataan.56
Perlindungan hukum menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah perbuatan
(hal tahu peraturan) untuk menjaga dan melindungi subjek hukum, berdasarkan
peraturan perundang-undangan yang berlaku.57
Pada umumnya perlindungan hukum
merupakan bentuk pelayanan kepada seseorang dalam usaha pemulihan secara
emosional.
56
Putra. 2009. Definisi Hukum Menurut Para Ahli: www. putracenter.net. Diakses tanggal
10 April 2012. 57
Depdikbud. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Buku Satu. Balai Pustaka. Jakarta. 1989, hlm.
874
Perlindungan hukum menurut Sudikno Mertokusumo adalah suatu hal atau
perbuatan untuk melindungi subjek hukum berdasarkan pada peraturan perundang-
undangan yang berlaku disertai dengan sanksi-sanksi bila ada yang melakukan
Wanprestasi.58
Pengertian perlindungan hukum lainnya menurut Soedikno
Mertokusumo yaitu perlindungan hukum adalah adanya jaminan hak dan kewajiban
manusia dalam rangka memenuhi kepentingan sendiri maupun didalam hubungan
dengan manusia lain.59
Kata perlindungan di atas menunjukkan adanya pelaksanaan atas
penanganan kasus yang dialami dan akan diselesaikan menurut ketentuan hukum yang
berlaku secara penal maupun non penal dan juga adanya kepastian-kepastian usaha-
usaha untuk memberikan jaminan-jaminan pemulihan yang dialami.
Istilah “hukum konsumen” dan “hukum perlindungan konsumen” sudah sangat
sering terdengar. Pengertian hukum perlindungan konsumen merupkan bagian dari
hukum konsumen yang lebih luas. Misalnya yang dikemukakan oleh Az. Nasution,
yang berpendapat:
Hukum perlindungan konsumen merupakan bagian dari hukum konsumen yang
memuat asas-asas atau kaidah-kaidah bersifat mengatur, dan juga mengandung sifat
yang melindungi kepentingan konsumen. Adapun hukum konsumen diartikan
sebagai keseluruhan asas-asas dan kaidah-kaidah hukum yang mengatur hubungan
dan masalah antara berbagai pihak satu sama lain berkaitan dengan barang dan/atau
jasa konsumen, di dalam pergaulan hidup.60
Az. Nasution dalam bukunya Shidarta menyatakan, asas-asas dan kaidah-
kaidah hukum yang mengatur hubungan dan masalah konsumen itu tersebar dalam
berbagai bidang hukum, baik tertulis maupun tidak tertulis. Ia menyebutkan, seperti
58
Soedikno Mertokusumo. Mengenal Hukum (Suatu Pengantar). Liberty. Yogyakarta.
1991,hlm.9. 15 Ibid 59
Ibid. 60
Shidarta, Hukum Perlindungan Konsumen Indonesia, (Grasindo: Jakarta, 2000). Hlm.9.
hukum perdata, hukum dagang, hukum pidana, hukum administrasi (negara) dan hukum
internasional, terutama konvensi-konvensi yang berkaitan dengan kepentingan
konsumen.61
Pengetian konsumen itu sendiri menurut Pasal 1 angka (2) Undang-Undang
Perlindungan Konsumen menyebutkan bahwa:
“Konsumen adalah setiap orang pemakai barang dan/atau jasa yang tersedia
dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain, maupun
mahluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan.”
Penjelasannya menyebutkan bahwa:
“Didalam kepustakaan ekonomi dikenal konsumen akhir dan konsumen antara.
Konsumen akhir adalah pengguna atau pemanfaat akhir dari suatu produk,
sedangkan konsumen antara adalah konsumen yang menggunakan suatu produk
sebagai bagian dari proses produksi suatu produk lainnya. Pengertian konsumen
dalam undang-undang ini adalah konsumen akhir.”
Istilah konsumen berasal dari alih bahasa dri kata consumer (Inggris-Amerika)
atau consument/ konsument (Belanda). Pengertian consumer atau consument itu
tergantung dalam posisi nama ia berada.62
Mariam Darus mendefinisikan konsumen
dengan cara mengambil alih pengertian uang dipergunakan oleh kepustakaan Belanda,
yaitu semua individu mempergunakan barang dan jasa secara konkrit dan riil.63
Pada
kasus ini yang disebut konsumen adalah masyarakat yang terdapat di wilayah Indonesia
61
Az. Nasution, Konsumen dan Hukum: Tinjauan Sosial Ekonomi dan Hukum pada
Perlindungan Konsumen Indonesia (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1995). Hlm. 64. 62
Az. Nasution. Op. Cit., Hlm. 3. 63
Mariam darus Badrulzaman, Pembentukan Hukum Nasional Dan Permasalahannya,
(Kumpulan Karangan, Alumni: Bandung, 1981). Hlm. 48.
yang telah menggunakan produk penyedap makanan AJI-NO-MOTO secara konkrit dan
riil.
Selain tentang hukum perlindungan konsumen, pembahasan ini mencakup
materi dimensional tentang kebijakan kriminal. Hal ini dikarenakan ada hak konsumen
yang dilanggar oleh pelaku usaha yaitu sesuai dengan Pasal 4 huruf (c) Undang-Undang
Perlindungan Konsumen yang menyatakan konsumen berhak atas informasi yang benar,
jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa. Saat itu PT.
Ajinomoto tidak memberitahukan kepada masyarakat karena telah mengganti salah satu
bahan baku yang awalnya menggunakan polypeptone menjadi bactosoytone yang
diindikasi oleh MUI merupakan enzim yang berasal dari pankreas babi. Adanya
pelanggaran ini maka dibutuhkan upaya untuk memberikan suatu perlindungan hukum
kepada konsumen. Upaya perlindungan hukum kepada konsumen ini tercermin pada
penanggulangan kejahatan dengan kebijakan kriminal.
Beberapa pendapat yang dikemukanan para sarjana tentang pengertian dari
kebijakan kriminal, diantaranya yang dikemukakan oleh Sudarto maupun Muladi.
Pertama menurut Sudarto, pengertian kebijakan kriminal adalah:
Kebijakan kriminal dapat didefinisikan secara sempit, lebih luas, dan paling
luas. Secara sempit kebijakan kriminal dapat diartikan sebagai keseluruhan asas dan
metode yang menjadi dasar dari reaksi terhadap pelanggaran hukum yang berupa
pidana. Arti yang lebih luas dari kebijakan kriminal adalah keseluruhan fungsi dari
aparatur penegak hukum, termasuk di dalamnya cara kerja dari pengadilan dan
polisi. Kebijakan kriminal dalam arti yang paling luas adalah keseluruhan
kebijakan, yang dilakukan melalui perundang-undangan dan badan-badan resmi,
yang bertujuan menegakkan norma-norma sentral dari masyarakat.64
64
Sudarto, Kapita Selekta Hukum Pidana, (Alumni: Bandung, 2006), Hlm. 113-114.
Kedua, menurut Muladi pengertian kebijakan kriminal adalah:65
Kebijakan kriminal adalah usaha rasional dan terorganisasi dari suatu
masyarakat untuk menanggulangi kejahatan. Kebijakan kriminal disamping dapat
dilakukan secara represif melalui sistem peradilan pidana (pendekatan penal) dapat
pula dilakukan dengan sarana non penal melalui pelbagai usaha pencegahan tanpa
harus menggunakan sistem peradilan pidana, misalnya usaha penyehatan mental
masyarakat, penyuluhan hukum, pembaharuan hukum perdata dan hukum
administrasi, dan sebagainya.
Penegakan hukum pidana merupakan bagian dari kebijakan penanggulangan
kejahatan. Tujuan akhir dari politik kriminal adalah perlindungan masyarakat untuk
mencapai tujuan utama yaitu kesejahteraan masyarakat, seperti yang digambarkan
dalam skema berikut ini:66
Gambar I. Antara Hubungan Penegakan Hukum Pidana, Politik Kriminal Dan
Politik Sosial
Berdasarkan penjelasan di atas, maka dapat ditarik kesimpulan yaitu untuk
mewujudkan tujuan dari perlindungan hukum yang memberikan suatu keadilan,
65
Muladi, Lembaga Pidana Bersyarat, (Alumni: Bandung, 1985). Hlm. 182. 66
Muladi, Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana. (Universitas Diponegoro: Semarang,
1995). Hlm. 8.
Kebijakan Sosial
(Social Policy)
Kebijakan Kriminal
(Criminal Policy)
Kebijakan Kesejahteraan
Masyarakat
(Social Welfare Policy)
Kebijakan Perlindungan
Masyarakat
(Social Defence Policy)
TUJUAN
Dengan Hukum Pidana
Penegakan Hukum Pidana
(Penal)
Sarana lain bukan Pidana
(Non Penal)
ketertiban, kepastian, kemanfaatan dan kedamaian, maka diperlukan bentuk-bentuk
tindakan represif maupun preventif yang terdapat dalam kebijakan kriminal melalui
sistem peradilan pidana (pendekatan penal) maupun melalui pelbagai usaha pencegahan
tanpa harus menggunakan sistem peradilan pidana (pendekatan non penal) misalnya
dengan melakukan usaha penyehatan mental masyarakat, penyuluhan hukum,
pembaharuan hukum dll, sehingga tercapai tujuan utamanya yaitu memberikan
perlindungan hukum kepada konsumen produk penyedap makanan AJI-NO-MOTO
demi mewujudkan kesejahteraan masyarakat. Hal ini sesuai dengan pengertian
kebijakan kriminal yang telah dikemukakan oleh Muladi. Lebih jelasnya akan penulis
jabarkan dalam penjelasan berikut.
1.1. Kebijakan Kriminal Dengan Sarana Non Penal
Menurut Barda Nawawi Arief pengertian kebijakan non penal itu sendiri yaitu:
“Kebijakan yang mempunyai tujuan utama yang strategis yaitu
memperbaiki kondisi-kondisi sosial tertentu, namun secara tidak langsung
mempunyai pengaruh preventif terhadap kejahatan. Dengan demikian dilihat dari
sudut kebijakan kriminal, keseluruhan kegiatan non penal itu sebenarnya
mempunyai kedudukan yang sangat strategis, memegang posisi kunci yang harus
diintensifkan dan diefektifkan.” 67
Pada kasus ini sarana non penal yang dikehendakai adalah melalui
pembinaan dan pengawasan penyelenggaraan perlindungan konsumen sesuai dengan
Pasal 29 dan 30 Undang-Undang Perlindungan Konsumen jo. Peraturan Pemerintah
Nomor 58 Tahun 2001 Tentang Pembinaan dan Pengawasan Penyelenggaraan
Perlindungan Konsumen. Hal ini bertujuan agar produk yang diproduksi dapat
67
Barda Nawawi Arief dan Muladi. Teori-Teori Dan Kebijakan Pidana (Alumni: Bandung,
1984)., Hlm. 159.
memenuhi standar yang telah ditentukan sesuai dengan peraturan perundang-
undangan yang berlaku. Perilaku yang dilakukan oleh pelaku usaha yang memiliki
sertifikat halal dan/atau mencantumkan label halal yang tidak sesuai dengan
kebenaran, pada dasarnya telah melanggar hak konsumen sesuai Pasal 4 huruf (c)
Undang-Undang Perlindungan Konsumen, serta untuk perbuatan pelaku usaha ini
juga termuat dalam Pasal 8 ayat (1) huruf (f) dan (h) Undang-Undang Perlindungan
Konsumen yaitu “pelaku usaha dilarang memproduksi barang dan/atau jasa yang
tidak sesuai dengan janji yang dinyatakan dalam label, etiket, keterangan, iklan atau
promosi penjualan barang dan/atau jasa tersebut” serta “pelaku usaha dilarang
memproduksi barang dan/atau jasa yang tidak mengikuti ketentuan berproduksi
secara halal, sebagaimana pernyataan “halal” yang dicantumkan dalam label”.
Pembinaan menurut Pasal 29 Undang-Undang Perlindungan Konsumen
adalah upaya yang dilakukan kepada pelaku usaha yang diselenggarakan oleh
pemerintah dalam upaya untuk menjamin diperolehnya hak konsumen dan pelaku
usaha serta dilakukannya kewajiban masing-masing. Pengawasan menurut Pasal 30
Undang-Undang Perlindungan Konsumen adalah pengawasan pada barang dan/atau
jasa yang beredar di pasaran yang diselenggarakan secara bersama oleh Pemerintah,
masyarakat dan LPKSM, dengan mengingat banyak ragam dan jenis barang dan/atau
jasa yang beredar di pasar serta luasnya wilayah Indonesia serta diharapkan
tumbuhnya hubungan usaha yang sehat antara pelaku usaha dengan konsumen
sehingga dapat menciptakan iklim usaha yang kondusif.
Pembinaan dan Pengawasan juga tercermin pada Pasal 45 (2) jo. Pasal 53
(1) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1996 Tentang Pangan. Pasal 45 (2) Undang-
Undang Nomor 7 Tahun 1996 Tentang Pangan, menyebutkan bahwa dalam rangka
mewujudkan ketahanan pangan maka pemerintah menyelenggarakan pengaturan,
pembinaan, pengendalian dan pengawasan terhadap ketersediaan pangan yang
cukup, baik dalam jumlah maupun mutunya, aman, bergizi, beragam, merata dan
terjangkau oleh daya beli masyarakat. Pasal 53 (1) Undang-Undang Nomor 7 Tahun
1996 Tentang Pangan, menyebutkan bahwa untuk mengawasi pemenuhan ketentuan
Undang-undang ini, Pemerintah berwenang melakukan pemeriksaan dalam hal
terdapat dugaan terjadinya pelanggaran hukum di bidang pangan.
Berdasarkan ketentuan yang terdapat dalam pasal tersebut dengan jelas
dapat dilihat bahwa dalam hal ini pemerintah memegang peranan yang sangat
penting dalam penerapan penyelenggaraan Perlindungan Konsumen, adapun salah
satu cara yang ditempuh guna tegaknya perlindungan konsumen tersebut adalah
melalui Pengawasan.
Pengawasan adalah salah satu faktor yang memberi perlindungan kepada
konsumen atas peredaran barang dan/atau jasa di pasaran. Ketentuan Pasal 30
Undang-Undang Perlindungan Konsumen menyebutkan bahwa:
1. Pengawasan terhadap penyelenggaraan perlindungan konsumen serta
penerapan ketentuan peraturan perundang-undangannya diselenggarakan oleh
pemerintah, masyarakat, dan lembaga perlindungan konsumen swadaya
masyarakat.
2. Pengawasan oleh pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilaksanakan oleh Menteri dan/atau menteri teknis terkait.
3. Pengawasan oleh masyarakat dan lembaga perlindungan konsumen swadaya
masyarakat dilakukan terhadap barang dan/atau jasa yang beredar di pasar.
4. Apabila hasil pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) ternyata
menyimpang dari peraturan perundang-undangan yang berlaku dan
membahayakan konsumen, Menteri dan/atau menteri teknis mengambil
tindakan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
5. Hasil pengawasan yang diselenggarakan masyarakat dan lembaga
perlindungan konsumen swadaya masyarakat dapat disebarluaskan kepada
masyarakat dan dapat disampaikan kepada Menteri dan menteri teknis.
6. Ketentuan pelaksanaan tugas pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1), ayat (2), dan ayat (3) ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.
Berdasarkan bunyi ketentuan tersebut dapat dilihat bahwa pada dasarnya
Pengawasan dapat dilakukan oleh pemerintah maupun oleh LPKSM dan masyarakat.
Pelaksanaan upaya ini, pemerintah berwenang untuk melakukan pengawasan sejak
proses produksi, penawaran, promosi, pengiklanan dan cara menjual sampai barang
dan/atau jasa tersebut beredar di pasaran. Mengingat luasnya aspek pengawasan,
dalam ketentuan tersebut, terutama dalam ketentuan Pasal 30 ayat (2) Undang-
undang Perlindungan Konsumen dapat dilihat bahwa dalam melaksanakan
pengawasan tersebut diperlukan adanya koordinasi atau kerja sama diantara para
stakeholder penyelenggara perlindungan konsumen, khususnya koordinasi diantara
sesama instansi terkait seperti Departemen Perdagangan, Departemen Kesehatan,
Departemen Pertanian, Departemen Perhubungan, Badan POM dan Departemen
terkait lainnya.
Pengawasan dalam hal ini dapat pula dilakukan oleh masyarakat dan
Lembaga Non Pemerintah sebagaimana yang diamanatkan dalam Undang-undang
Perlindungan Konsumen. Lembaga Non Pemerintah tersebut menyelenggarakan
perlindungan konsumen yang bersifat preventif yaitu Badan Perlindungan Konsumen
Indonesia (BPKN) dan Lembaga Pengawas Konsumen Swadaya Masyarakat
(LPKSM), maupun lembaga yang memberi perlindungan kepada konsumen yang
bersifat represif yaitu (Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK)). Adapun
yang menjadi kewenangan yang dimiliki oleh Masyarakat dan LPKSM dalam
melaksanakan pengawasan tersebut adalah berupa pengawasan terhadap barang dan
jasa yang sudah beredar di pasar, yang dalam hal ini berarti mengindikasikan bahwa
kewenangan pengawasannya tidak seluas pengawasan yang dilakukan oleh pihak
pemerintah. Pengawasan tersebut selain dilaksanakan atas penyelenggaraan
perlindungan konsumen serta penerapan peraturan perundang-undangan, juga
dilakukan terhadap barang dan/atau jasa yang beredar dipasaran.
Berdasarkan pemaparan diatas, maka yang menjadi unsur pemerintah pada
saat itu adalah Departemen Perdagangan dan Badan POM Departemen Kesehatan
serta yang termasuk dalam LPKSM adalah YLKI. Ini dapat dilihat dari data hasil
penelitian yang telah penulis dapat yaitu data nomor 1.2.7 tentang hasil kesepakatan
terhadap kasus tersebut. Lebih jelasnya penulis akan menjabarkannya sebagai
berikut.
1.1.1. Departemen Perdagangan
Departeman Perdagangan merupakan Kementerian Negara Republik
Indonesia yang berbentuk Departemen sesuai dengan yang diatur dalam Pasal 1
huruf (b) Peraturan Presiden Nomor 9 Tahun 2009 tentang Kedudukan, Tugas,
Fungsi, Susunan Organisasi dan Tata Kerja Kementrian Negara Republik
Indonesia. Departemen Perdagangan merupakan unsur pelaksana Pemerintah yang
dipimpin oleh Menteri Perdagangan yang berada di bawah dan bertanggung jawab
kepada Presiden. Sehingga mempunyai tugas membantu Presiden dalam
menyelenggarakan sebagian urusan pemerintahan di bidang perdagangan.68
Departemen Perdagangan dalam melaksanakan tugasnya akan
menyelenggarakan fungsi:69
a. Perumusan kebijakan nasional, kebijakan pelaksanaan dan kebijakan
teknis di bidang perdagangan;
b. Pelaksanaan urusan pemerintahan sesuai dengan bidang usahanya;
c. Pengelolaan barang milik/ kekayaan negara yang menjadi
tanggungjawabnya;
d. Pengawasan atas pelaksanaan tugasnya;
e. Penyampaian laporan hasil evaluasi, saran dan pertimbangan di bidang
tugas dan fungsinya kepada Presiden.
Pasal 1 angka 13 Undang-Undang Perlindungan Konsumen jo. Pasal 1
angka 9 Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2001 tentang Pembinaan dan
Pengawasan Penyelenggaraan Perlindungan Konsumen mengatur bahwa
pembinaan dan pengawasan yang dilakukan oleh menteri yang ruang lingkup
tugas dan tanggung jawabnya meliputi bidang perdagangan, dalam kasus ini yang
dimaksud menteri adalah Menteri Perdagangan. Tindakan Menteri Perdagangan
pada saat itu dapat dilihat pada data sekunder nomor 1.2.5.
Sesuai dengan data nomor 1.2.7 tentang hasil kesepakatan pemerintah
yang didukung oleh data primer 2.2.4 lalu dikaitkan dengan Pasal 30 jo. Peraturan
Pemerintah Nomor 58 Tahun 2001 tentang Pembinaan dan Pengawasan
68
Indonesia, (e) Peraturan Presiden Tentang Kedudukan, Tugas, Fungsi, Susunan
Organisasi Dan Tata Kerja Kementerian Negara Republik Indonesia, Perpres Nomor 9 Tahun 2005,
Pasal 25 jo. Pasal 43. 69
Ibid. Pasal 44.
Penyelenggaraan Perlindungan Konsumen serta dikaitkan dengan pengertian
hukum perlindungan konsumen menurut Az. Nasution serta pengertian
perlindungan hukum, maka dapat dideskripsikan bahwa Menteri Perdagangan
yang pada saat itu dijabat oleh Luhut Binsar Pandjaitan, dalam melaksanakan
tindakan preventif berupa pengawasan untuk menciptakan upaya perlindungan
hukum bagi konsumen yang telah sesuai dengan apa yang diamanatkan dalam
peraturan perundang-undangan yang terkait. Terlihat dari dari data sekunder
nomor 1.2.5 yang didukung oleh keterangan narasumber dari Badan POM, yaitu
baik Departemen Perdagangan dan Badan POM telah melakukan koordinasi yang
baik dalam tugas dan tanggungjawabnya. Menteri Perdagangan yang saat itu
dijabat oleh Luhut Binsar Pandjaitan telah melakukan pengawasan dengan
mengatur perdagangan makanan maupun minuman dengan sebelumnya harus
melalui mekanisme pendaftaran yang dilakukan kepada Badan POM. Misalnya
pada saat Menteri Perdagangan akan memberikan izin usaha kepada produsen,
maka produk tersebut sebelumnya harus lulus uji terlebih dahulu baik pada MUI
sebagai lembaga yang memberikan sertifikat halal maupun pada saat dilakukan
pengujian di Badan POM sebagai lembaga yang berwenang memberikan label
halal.
Sesuai dengan data sekunder nomor 1.2.5 sebagai tindakan represif maka
setelah terjadinya pelanggaran tersebut, Menteri Perdagangan melakukan upaya
penarikan produk-produk yang telah beredar di pasaran wilayah Indonesia, namun
tidak untuk melakukan pencabutan izin usaha, karena menurut Menteri
Perdagangan kasus AJI-NO-MOTO ini menyangkut banyak pihak.
Selain dengan upaya yang dilakukan oleh Menteri Perdagangan saat itu
guna memberikan perlindungan kepada konsumen seperti yang dipaparkan diatas,
dengan adanya aturan-aturan yang memang telah diatur sebelumnya mengenai
tugas dan wewenang dari Menteri Perdagangan tersebut yang termuat pada
Undang-Undang Perlindungan Konsumen maupun Peraturan Pemerintah yang
terkait yaitu Pasal 29 dan 30 Undang-Undang Perlindungan Konsumen jo. Pasal 4
s/d Pasal 8 Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2001 Tentang Pembinaan dan
Pengawasan Penyelenggaraan Perlindungan Konsumen, maka dapat dikatakan
peraturan tersebut sebagai asas dan kaidah yang bersifat mengatur dan memiliki
sifat melindungi konsumen seperti yang dikatakan oleh Az. Nasution adalah telah
dilakukan oleh Menteri Perdagangan yang pada saat itu dijabat oleh Luhut Binsar
Pandjaitan.
1.1.2. Badan POM
Badan Pengawas Obat dan Makanan (Badan POM) merupakan lembaga
pemerintah pusat yang dibentuk Presiden untuk melaksanakan tugas dalam bidang
pengawasan obat dan makanan yang berbentuk Lembaga Pemerintah Non
Departemen (LPND).
Badan POM dibentuk Presiden sehingga Badan POM berada di bawah
dan bertanggung jawab kepada Presiden. Hal tersebut diatur dalam Keputusan
Presiden Nomor 103 tahun 2001 tentang Kedudukan, Tugas, Fungsi,
Kewenangan, Susunan Organisasi Dan Tata Kerja Lembaga Pemerintah Non
Departemen sebagaimana telah diubah beberapa kali dalam Peraturan Presiden
Nomor 64 Tahun 2005 tentang Perubahan Keenam atas Keputusan Presiden
Nomor 103 tahun 2001 tentang Kedudukan, Tugas, Fungsi, Kewenangan,
Susunan Organisasi Dan Tata Kerja Lembaga Pemerintah Non Departemen.
Pasal 67 dalam Keppres tersebut menyatakan bahwa Badan POM
memiliki tugas pemerintahan dalam bidang pengawasan obat dan makanan sesuai
dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Badan POM dalam
melaksanakan tugasnya di bidang pengawasan obat dan makanan
menyelenggarakan fungsi:70
a. pengkajian dan penyusunan kebijakan nasional di bidang pengawasan
obat dan makanan;
b. pelaksanaan kebijakan tertentu di bidang pengawasan obat dan makanan;
c. koordinasi kegiatan fungsional dalam pelaksanaan tugas Badan POM;
d. pemantauan, pemberian bimbingan dan pembinaan terhadap kegiatan
instansi pemerintah dan masyarakat di bidang pengawasan obat dan
makanan;
e. penyelenggaraan pembinaan dan pelayanan administrasi umum di bidang
perencanaan umum, ketatausahaan, organisasi dan tata laksana,
kepegawaian, keuangan, kearsipan, hukum, persandian, perlengkapan
dan rumah tangga.
Berdasarkan data sekunder nomor 1.2.6 tentang tindakan administratif
Badan POM berupa penarikan produk AJI-NO-MOTO dari pasaran wilayah
Indonesia lalu dikaitkan dengan Pasal 30 Undang-Undang Perlindungan
Konsumen jo. Pasal 8 Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2001, Pasal 67
70
Indonesia, (f) Keputusan Presiden Tentang Kedudukan, Tugas, Fungsi, Kewenangan,
Susunan Organisasi Dan Tata Kerja Lembaga Pemerintah Non Departemen, Keputusan Presiden
Nomor 103 tahun 2001. Pasal 68.
Keputusan Presiden Nomor 103 tahun 2001 tentang Kedudukan, Tugas, Fungsi,
Kewenangan, Susunan Organisasi Dan Tata Kerja Lembaga Pemerintah Non
Departemen serta didukung oleh data primer, maka dapat dideskripsikan bahwa
Badan POM pada saat itu telah melaksanakan tugasnya dalam memberikan
pengawasan sebagai upaya preventif terhadap pelaku usaha maupun barang
dan/atau jasa yang diproduksi oleh pelaku usaha tersebut.
Tidak hanya pengawasan saja, namun berdasarkan data sekunder nomor
1.2.6 Badan POM juga melakukan tindakan represif sebagai penanggulangan
kasus tersebut, yaitu dengan terlihat pada tindakan administratif yang dilakukan
oleh Badan POM. Seperti halnya hukum pidana, hukum administrasi negara
adalah instrumen hukum publik yang penting dalam perlindungan konsumen.
Sanksi-sanksi hukum secara perdata dan pidana seringkali kurang efektif jika
tidak disertai sanksi administratif.71
Sanksi administratif tidak ditujukan pada konsumen pada umumnya,
tetapi justru kepada pengusaha, baik itu produsen maupun para penyalur hasil-
hasil produknya. Sanksi administratif berkaitan dengan perizinan yang diberikan
pemerintah kepada pengusaha/ penyalur tersebut. Jika terjadi pelanggaran maka
izin tersebut dapat dicabut secara sepihak oleh Pemerintah. Maupun adapula
tindakan lainnya yang telah disebutkan dalam ketentuan Pasal 61 Peraturan
Pemerintah Nomor 69 Tahun 1999 Tentang Label dan Iklan Pangan. Kaitannya
71
Shidarta. Hukum Perlindungan Konsumen Indonesia. Gramedia: Jakarta. Hlm. 117.
dengan pelabelan produk pangan, dalam Pasal 61 Peraturan Pemerintah Nomor 69
Tahun 1999 disebutkan:
(1) Setiap orang yang melanggar ketentuan-ketentuan sebagaimana dimaksud
dalam Peraturan Pemerintah ini dikenakan tindakan administratif.
(2) Tindakan administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a. peringatan secara tertulis;
b. larangan untuk mengedarkan untuk sementara waktu dan atau perintah
untuk menarik produk pangan dari peredaran;
c. pemusnahan pangan jika terbukti membahayakan kesehatan dan jiwa
manusia;
d. penghentian produksi untuk sementara waktu;
e. pengenaan denda paling tinggi Rp. 50.000.000,00 (lima puluh juta
rupiah) dan atau;
f. pencabutan izin produksi atau izin usaha.
(3) Pengenaan tindakan administratif sebagaimana dimaksud dalam ayat (2)
huruf b, c, d, e dan f hanya dapat dilakukan setelah peringatan tertulis
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a diberikan sebanyak-banyaknya
tiga kali.
(4) Pengenaan tindakan administrative sebagaimana dimaksud dalam ayat (2)
dan ayat (3) dapat dilakukan oleh Menteri teknis sesuai dengan
kewenangannya berdasarkan masukan dari Menteri Kesehatan.
Hal yang sama juga disebutkan dalam Pasal 54 Undang-Undang Nomor 7 Tahun
1996 Tentang Pangan.
Sanksi administratif ini seringkali lebih efektif dibandingkan dengan
sanksi perdata atau pidana. Ada beberapa alasan untuk mendukung pernyataan
ini:72
1. Sanksi administratif dapat diterapkan secara langsung dan sepihak.
Dikatakan demikian, karena penguasa sebagai pihak pemberi izin tidak
perlu meminta persetujuan dari pihak manapun. Persetujuan, kalaupun itu
dibutuhkan, mungkin dari instansi-instansi Pemerintah terkait. Sanksi
administratif juga tidak perlu melalui proses pengadilan. Memang bagi
pihak yang terkena sanksi ini dibuka kesempatan untuk “membela diri”,
antara lain mengajukan kasus tersebut ke Pengadilan Tata Usaha Negara,
tetapi sanksi itu sendiri dijatuhkan terlebih dahulu, sehingga berlaku efektif.
72
Ibid. Hlm. 119.
2. Sanksi perdata dan/atau pidana sering kali tidak membawa efek “jera” bagi
pelakunya. Nilai ganti rugi dan pidana yang dijatuhkan mungkin tidak
seberapa dibanding dengan keuntungan yang diraih dari perbuatan negatif
produsen. Belum lagi mekanisme penjatuhan putusan yang berbelit-belit dan
membutuhkan proses yang lama, sehingga konsumen sering menjadi tidak
sabar. Untuk gugatan secara perdata, konsumen dihadapkan pada posisi
tawar yang tidak selalu menguntungkan dibandingkan dengan si produsen.
Berdasarkan data sekunder hasil penelitian nomor 1.2.6 dan 1.2.7
tindakan Badan POM saat itu dapat terlihat dari kesepakatan pada data sekunder
nomor 1.2.7 yang dilakukan oleh Depdag, Badan POM, MUI maupun LPPOM
MUI yang memutuskan bahwa:
a. PT. Ajinomoto harus menarik semua produk AJI-NO-MOTO terhitung mulai
tanggal 3 Januari 2001;
b. PT Ajinomoto harus segera mengganti bahan baku yang mengandung enzim
porcine (babi) Bactosoytone, dengan bahan yang halal yakni mameno (asam
chlorida) sesuai dengan Fatwa MUI yang terdapat pada data sekunder nomor
1.1.2.
Terlihat kesepakatan ini telah memenuhi unsur yang terdapat pada Pasal
61 Peraturan Pemerintah Nomor 69 Tahun 1999, yaitu karena pelaku usaha
melanggar ketentuan dalam hal pelabelan halal pada produknya, maka pelaku
usaha tersebut dapat dikenakan sanksi administratif. Sebelum adanya tindakan
administratif tersebut, terlebih dahulu MUI telah melontarkan Surat Peringatan
MUI sendiri tertanggal 19 Desember 2000 dan bernomor U-558/MUI/XII/2000
yang isinya menyebutkan bahwa:73
a. PT Ajinomoto telah mengubah salah satu bahan nutrisi yang digunakan dalam
proses pengembangbiakkan kultur bakteri yaitu polypeptone menjadi
bactosoytone sehingga produk bumbu masak itu tercampur enzim yang berasal
dari babi.
b. MUI juga meminta agar perusahaan bersangkutan sekuat tenaga segera
melakukan penarikan itu secepat mungkin sehingga produk yang beredar di
pasar hanya produk baru Ajinomoto yang tanpa Bactosoytone.
Tindakan yang dilakukan Badan POM ini apabila dikaitkan dengan Pasal
61 Peraturan Pemerintah Nomor 69 Tahun 1999 Tentang Label dan Iklan Pangan,
maka terlihat unsur upaya tindakan administratif sebagai bentuk perlindungan
hukum terhadap konsumen. Sanksi administratif terhadap pelanggaran (Pasal 61
Peraturan Pemerintah Nomor 69 Tahun 1999 Tentang Label dan Iklan Pangan)
yang dilakukan oleh pelaku usaha, antara lain sanksinya dapat berupa peringatan
tertulis, penarikan produk dari pasaran termasuk penarikan iklan, penghentian
sementara kegiatan produksi, distribusi, penyimpanan, pengangkutan dan
penyerahan produk ke pasaran, serta pembekuan dan/atau pencabutan izin edar
produk tersebut.
Tindakan-tindakan yang dilakukan oleh Badan POM pada saat itu,
menurut penulis telah memenuhi unsur-unsur yang terdapat dalam peraturan
73
TEMPO Interaktif, Ditjen POM Tetap Tarik Ajinomoto dari Pasar (13-1-2001 / 10:26
WIB). Diakses tanggal 10 April 2012.
perundang-undangan maupun pengertian perlindungan hukum maupun pengertian
hukum perlindungan konsumen yang dikemukakan oleh Az. Nasution. Semua
asas dan kaidah yang bersifat mengatur dan memiliki sifat melindungi
kepentingan konsumen telah dilakukan dengan baik oleh Badan POM, yaitu
dengan melakukan tugas dan wewenangnya sesuai dengan Pasal 30 Undang-
Undang Perlindungan Konsumen jo. Pasal 68 Keputusan Presiden Nomor 103
tahun 2001 Tentang Kedudukan, Tugas, Fungsi, Kewenangan, Susunan
Organisasi Dan Tata Kerja Lembaga Pemerintah Non Departemen jo. Pasal 61
Peraturan Pemerintah Nomor 69 Tahun 1999 Tentang Label dan Iklan Pangan
demi menciptakan kesejahteraan dan melindungi masyarakat.
1.1.3. YLKI
Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) merupakan sebuah
organisasi masyarakat yang bersifat nirlaba dan independen yang didirikan pada
tanggal 11 Mei 1973. Keberadaan YLKI diarahkan pada usaha meningkatkan
kepedulian kritis konsumen atas hak dan kewajibannya, dalam upaya melindungi
dirinya sendiri, keluarga, serta lingkungannya. Tujuan berdirinya YLKI adalah
untuk meningkatkan kesadaran kritis konsumen tentang hak dan tanggung
jawabnya sehingga dapat melindungi dirinya sendiri, keluarga dan
lingkungannya.74
YLKI merupakan lembaga non-pemerintah sesuai dengan Pasal
1 angka 3 PP Nomor 59 Tahun 2001 Tentang Lembaga Perlindungan Konsumen
74
YLKI, Tentang Kami: http://www.ylki.or.id/tentang-kami. Diakses tanggal 10 April 2012.
Swadaya Masyarakat, dapat dikatakan bahwa YLKI adalah sebagai LPKSM
(Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat).
Sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 59 Tahun 2001 Tentang
Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat, pada Pasal 3
menyatakan bahwa tugas LPKSM meliputi kegiatan:75
a. Menyebarkan informasi dalam rangka meningkatkan kesadaran atas hak
dan kewajiban serta kehati-hatian konsumen, dalam mengkonsumsi
barang dan/atau jasa;
b. Memberikan nasihat kepada konsumen yang memerlukan;
c. Melakukan kerjasama dengan instansi terkait dalam upaya mewujudkan
perlindungan konsumen;
d. Membantu konsumen dalam memperjuangkan haknya, termasuk
menerima keluhan atau pengaduan konsumen;
e. Melakukan pengawasan bersama pemerintah dan masyarakat terhadap
pelaksanaan perlindungan konsumen.
Berdasarkan data sekunder nomor 1.2.3 tentang pelaporan YLKI kepada
Polda Metro Jaya, yang didukung juga dengan data primer lalu dikaitkan dengan
tugas LPKSM pada Pasal 3 Peraturan Pemerintah Nomor 59 Tahun 2001 Tentang
Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat jo. Pasal 44 Undang-
Undang Perlindungan Konsumen serta dikaitkan pula dengan pengertian
perlindungan hukum serta hukum perlindungan konsumen yang dikemukakan
oleh Az. Nasution, maka dapat dideskripsikan bahwa bentuk perlindungan hukum
yang diberikan oleh YLKI kepada konsumen pada saat itu sudah dapat dikatakan
telah sesuai berdasarkan dengan apa yang diamanatkan dalam undang-undang
pada Pasal 3 Peraturan Pemerintah Nomor 59 Tahun 2001 Tentang Lembaga
Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat. Terlihat dari YLKI yang
75
Pasal 3 Peraturan Pemerintah Nomor 59 Tahun 2001 Tentang Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat.
melakukan pengaduan/ pelaporan ke Polda Metro Jaya sebagai delik aduan. Saat
itu permasalahan semakin meluas serta desakkan masyarakat semakin besar
sehingga dalam penanganan kasus ini Polda Metro Jaya melimpahkan kepada
Mabes Polri sesuai dengan data sekunder 1.2.4. Alasan melakukan pengaduan/
pelaporan tersebut sesuai dengan data sekunder nomor 1.2.3 yaitu adanya tindak
pidana penipuan yang telah dilakukan oleh PT. Ajinomoto. Hal ini berdasarkan
ketentuan dalam Pasal 378 Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP).
Persoalannya, bagi YLKI terletak pada pencantuman label halal dalam produk itu
padahal pada saat bahan baku yang semula berupa polypeptone telah diganti
dengan bactosoytone dengan alasan menghemat, tanpa adanya pemberitahuan
terlebih dahulu kepada masyarakat maka hal ini jelas-jelas penipuan.
Apabila memperhatikan unsur-unsur yang ada pada Pasal 378 KUHP jo
Pasal 379 KUHP, PT. Ajinomoto Indonesia dapat dikenakan sanksi berdasarkan
ketentuan Pasal 378 KUHP dengan ancaman pidana penjara maksimal 4 (empat)
tahun. Pertama, unsur menguntungkan diri sendiri, yakni dengan
mengganti polypepton dengan bactosoytone yang dianggap lebih murah. Kedua,
tindakan melawan hukum, yakni dengan melakukan perubahan itu tanpa
melakukan sertifikasi “halal” ulang kepada MUI. Ketiga, dengan rangkaian
kebohongan, yakni dengan tetap memproduksi dan memperdagangkan barang
yang telah diubah tanpa adanya sertifikasi “halal” ulang, sehingga merugikan
konsumen. Keempat, menggerakkan orang lain untuk menyerahkan barang
sesuatu kepadanya, yakni dengan tetap mengiklankan produk Ajinomoto agar
konsumen tetap membeli produk Ajinomoto dengan uang yang dimilikinya.
Mengenai unsur keempat ini, perlu kiranya kita melakukan penafsiran
sistematis dengan melihat ketentuan pasal-pasal lainnya yang berdekatan dengan
Pasal 378 KUHP, yakni ketentuan Pasal 379 KUHP, dalam hal unsur
“menyerahkan barang”. Maksudnya, apakah penyerahan uang sebagai harga
pembelian Ajinomoto termasuk kategori “menyerahkan barang”. Pasal 379 KUHP
dinyatakan, jika barang yang diserahkan atas perbuatan sebagaimana diatur Pasal
378 KUHP itu bukan ternak dan harga dari suatu barang, maka perbuatan yang
dilakukan dikategorikan sebagai penipuan ringan. Artinya, penyerahan uang
sebagai harga dari suatu barang termasuk dalam unsur “menyerahkan barang”
sebagaimana dimaksud Pasal 378 KUHP dan bukan termasuk unsur pada Pasal
379 KUHP. Maka apa yang dilakukan YLKI terhadap PT Ajinomoto Indonesia
dapat dikatakan sangat tepat.
Hal ini dikuatkan dengan data primer bahwa selain alasan diatas, saat itu
YLKI merasakan baik pemerintah dan pihak kepolisian masih tidak serius. Karena
saat itu, pihak kepolisian hanya melakukan recall atau penarikan kembali produk-
produk dari pasaran sesuai dengan nomor produksi pada saat PT. Ajinomoto
mengeluarkan produk penyedap makanan AJI-NO-MOTO yang mengandung
bactosoytone. Menurut YLKI sendiri, upaya tersebut belum mencakup dalam
ranah pidana dengan melakukan upaya pro justice.
Selain melakukan pelaporan kepada Polda Metro Jaya sebagai suatu
tindak pidana, saat itu gugatan terhadap pihak Ajinomoto sendiri, pernah diajukan
oleh Yasayan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) sesuai dengan data sekunder
nomor 1.2.8. Gugatan perdata yang diajukan oleh YLKI tersebut merupakan
gugatan class action pertama yang berdasar pada Undang-Undang Perlindungan
Konsumen, yaitu berdasarkan pelanggaran sesuai dengan Pasal 4 huruf (c), Pasal
7 huruf (b) maupun Pasal 8 huruf (a), (f) dan (h) Undang-Undang Perlindungan
Konsumen serta berpegangan juga dengan adanya Fatwa MUI sesuai dengan data
sekunder nomor 1.1.1 tentang diharamkannya penyedap rasa yang mengandung
bactosoytone. Selain itu alasan YLKI melakukan gugatan class action karena
banyak masyarakat yang mendesak adanya ganti rugi yang diberikan kepada
korban demi terjaminnya perlindungan hukum terhadap korban. Namun hingga
kini, juga tidak jelas apakah proses gugat menggugat itu masih berjalan atau tidak,
seperti yang ada dalam data sekunder nomor 1.2.8 yang didukung juga data
primer.
Berdasarkan penjabaran diatas, maka upaya represif melalui tindakan
pro-justice yang dilakukan oleh YLKI ini apabila dikaitkan dengan Pasal 3 huruf
(d) jo. Pasal 7 Peraturan Pemerintah Nomor 59 Tahun 2001 Tentang Lembaga
Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat telah sesuai dengan apa yang
diamanatkan dalam peraturan perundang-undangan, yaitu YLKI telah melakukan
upaya dalam membantu konsumen untuk memperjuangkan haknya, dengan
melakukan advokasi atau pemberdayaan konsumen agar mampu memperjuangkan
haknya secara mandiri, baik secara perorangan maupun kelompok.
1.2. Kebijakan Kriminal Dengan Sarana Penal
Perlindungan konsumen adalah merupakan masalah kepentingan manusia,
oleh karenanya menjadi harapan bagi semua bangsa di dunia untuk dapat
mewujudkannya. Mewujudkan perlindungan konsumen adalah mewujudkan
hubungan berbagai dimensi yang satu sama lain mempunyai keterkaitan dan saling
ketergantungan antara konsumen, pelaku usaha dan Pemerintah.
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen,
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1996 Tentang Pangan, PP Nomor 69 Tahun 1999
Tentang Label dan Iklan Pangan, Keputusan Menteri Kesehatan Nomor
924/Menkes/SK/VIII/1996 Tentang Pencantuman Tulisan “Halal” pada Label
Makanan adalah dimaksudkan dalam upaya memberikan perlindungan hukum
terhadap masyarakat sebagai konsumen. Oleh karena itu, tanggung jawab pelaku
usaha atas informasi yang tidak memadai dalam label menjadi kebutuhan yang
mutlak. Tanggung jawab merupakan perlindungan hukum represif sebagaimana
dikemukakan oleh Philipus M. Hadjon.76
Apabila apa yang telah diatur dalam peraturan perundang-undangan tersebut
dilanggar oleh pihak-pihak yang tidak bertanggungjawab, maka kebijakan penallah
yang akan menyelesaikannya. Karena kebijakan penal disini merupakan bagian dari
76
Philipus M. Hadjon, Perlindungan Hukum Bagi Rakyat di Indonesia, (PT. Bina Ilmu:
Surabaya. 1987). Hlm. 3.
kebijakan penegakan hukum (Law Enforcement Policy) dalam rangka
menanggulangi kejahatan. Istilah kebijakan penal dapat dikatakan sebagai kebijakan
hukum pidana dan menurut Barda Nawawi Arief dapat pula disebut dengan istilah
politik hukum pidana. Dalam kepustakaan asing, istilah politik hukum pidana ini
sering dikenal dengan berbagai istilah, antara lain penal policy, criminal law policy
atau strafrechtspolitiek.77
Pendapat lain mengenai definisi kebijakan hukum pidana dikemukakan oleh
Marc Ancel, dimana ia memberikan definisi penal policy sebagai:
Suatu ilmu sekaligus seni yang bertujuan untuk memungkinkan peraturan
hukum positif dirumuskan secara lebih baik. Dengan demikian yang dimaksud
dengan peraturan hukum positif (the positive rules) dalam definisi Marc Ancel
itu jelas adalah peraturan perundang-undangan hukum pidana. Oleh karena itu,
istilah “penal policy” menurut Marc Ancel adalah sama dengan istilah kebijakan
atau politik hukum pidana.78
Kendati hukum perlindungan konsumen banyak berkorelasi dengan hukum
perikatan perdata, tidak berarti hukum perlindungan konsumen semata-mata ada
dalam wilayah hukum perdata. Terdapat aspek-aspek hukum perlindungan konsumen
yang berada dalam bidang hukum publik, terutama hukum pidana.79
Jelasnya, hak-
hak konsumen sebagaimana disebutkan di atas ada yang bernuansa publik sehingga
dapat dipertahankan melalui hukum pidana, sehingga perbuatan produsen yang
menimbulkan kerugian kepada konsumen dalam tingkatan tertentu mungkin saja
berdimensi pelanggaran. Artinya, perbuatan produsen yang merugikan dan/atau
77
Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, (Alumni: Bandung, 1984).
Hlm. 24. 78
Ibid. 79
Shidarta. Hukum Perlindungan Konsumen Indonesia. (jakarta: PT. Grasindo Widiasarana
Indonesia, 2006). Hlm. 13.
melanggar hak konsumen yang bertentangan dengan norma-norma hukum pidana
dapat dikategorikan sebagai tindak pidana yang dapat diselesaikan dalam ranah
hukum pidana dan memakai instrumen pidana.
Pengaturan sanksi pidana demi tercapainya suatu perlindungan hukum
terhadap konsumen sebenarnya telah diatur secara tegas didalam Undang-Undang
Perlindungan Konsumen yaitu pada Pasal 61 s/d 63. Selain Undang-Undang
Perlindungan Konsumen dan Pasal 378 KUHP yang digunakan sebagai dasar
pelaporan oleh YLKI, pengaturan tentang perlindungan terhadap konsumen
sebenarnya juga telah diatur secara implisit didalam KUH Pidana (KUHP) sendiri
walaupun tidak pernah disebutkan kata “konsumen“. Secara implisit dapat ditarik
beberapa pasal yang memberikan perlindungan hukum bagi konsumen terkait dengan
kasus ini, antara lain:
Pasal 204 KUHP, menyatakan:
(1) Barang siapa menjual, menawarkan, menerimakan, atau membagi-bagikan
barang, sedang diketahuinya bahwa barang itu berbahaya bagi jiwa atau
keselamatan orang dan sifatnya yang berbahaya itu didiamkannya dihukum
penjara selama-lamanya lima belas tahun;
(2) Kalau ada orang mati lantaran perbuatan itu si tersalah dihukum penjara
seumur hidup atau penjara selamalamanya dua puluh tahun.
Pasal 205 KUHP, menyatakan:
(1) Barang siapa karena salahnya menyebabkan barang yang berbahaya bagi jiwa
atau kesehatan orang, terjual, diterimakan atau dibagi-bagikan, sedang si
pembeli atau yang memperolehnya tidak mengetahui akan sifatnya yang
berbahaya itu, dihukum penjara selama-lamanya sembilan bulan atau
kurungan selamalamanya enam bulan atau denda sebanyak-banyaknya
Rp.4.500,- (empat ribu lima ratus rupiah);
(2) Kalau ada orang mati lantaran itu, maka si tersalah dihukum penjara selama-
lamanya satu tahun empat bulan atau kurungan selama-lamanya satu tahun.
(3) Barang-barang itu dapat dirampas.
Pasal 386 KUHP, menyatakan:
(1) Barang siapa menjual, menawarkan atau menyerahkan barang makanan,
minuman atau obat-obatan yang diketahuinya bahwa itu palsu dan
menyembunyikan hal itu, diancam pidana penjara paling lama empat tahun;
(2) Bahan makanan, minuman atau obat-obatan itu dipalsukan jika nilainya atau
faedahnya menjadi kurang karena sudah dicampur dengan suatu bahan lain.
Pada kasus AJI-NO-MOTO ini, maka tindakan kebijakan kriminal dengan
sarana penal dengan instrumen pidana dapat terlihat dari penyelesaian secara pro-
justice yang dilakukan oleh pihak kepolisian. Berdasarkan data sekunder hasil
penelitian nomor 1.2.3 dan 1.2.4 tentang penanganan terhadap PT. Ajinomoto serta
dikaitkan dengan pengertian kebijakan penal oleh Marc Ancel dan Muladi, maka
dapat dideskripsikan bahwa tindakan yang dilakukan represif oleh Kepolisian saat itu
adalah sangat tepat dalam menangkap dan menahan keempat pimpinan PT.
Ajinomoto sebagai tersangka karena pelanggaran yang telah dilakukan yaitu dengan
mengganti bahan bakunya dengan bactosoytone tanpa memberitahukan/
menginformasikan terlebih dahulu kepada masyarakat luas adalah termasuk tindak
pidana sesuai dengan yang dirumuskan dalam KUHP. Apabila dikaitkan juga dengan
Pasal 61 Undang-Undang Perlindungan Konsumen menyebutkan bahwa penuntutan
pidana dapat dilakukan kepada pelaku usaha dan/atau pengurusnya, maka tindakan
yang saat itu dilakukan oleh YLKI, yang kemudian ditindaklanjuti pihak kepolisian
adalah telah sesuai dengan apa yang diamanatkan oleh Undang-Undang
Perlindungan Konsumen maupun KUHP.
Saat itu walaupun pihak kepolisian telah menangkap dan menahan para
tersangka, namun hal ini tidak menjamin adanya kelancaran dalam penyelesaiannya.
Berdasarkan data sekunder nomor 1.2.3, saat itu para tersangka melakukan
penangguhan penahanan dan akhirnya dikabulkan. Tidak ada alasan yang pasti,
mengapa para tersangka ditangguhkan penahannya. Saat itu terdapat hal yang janggal
yaitu, pembebasan itu terjadi hanya selang beberapa hari setelah Presiden Gusdur
bertemu Menteri Kehakiman Jepang dan mengeluarkan pernyataan halal bagi produk
AJI-NO-MOTO.
Kejanggalan juga terjadi pada saat Mabes Polri mengeluarkan putusan
terhadap kasus tersebut yang didukung dengan data primer, bahwa kasus tersebut
dihentikan pada saat masih tahap penyidikan atau dengan kata lain, kasus tersebut di
SP3 (Surat Perintah Penghentian Penyidikan). Alasan polisi sesuai dengan
keterangan pada data 1.3 adalah karena dinilai tidak cukup bukti. Pihak kepolisian
saat itu lebih mengacu pada hasil pemeriksaan laboratorium yang dilakukan oleh
Pusat Laboratorium Forensik Polri maupun Laboratorium Pengawasan Obat dan
Makanan Departemen Kesehatan yang bekerja sama dengan Lembaga Ilmu
Pengetahuan Indonesia (LIPI), yaitu dengan hasilnya menunjukkan bahwa tidak
terdapat unsur babi dalam penyedap masakan (monosodium glutamat/ MSG)
produksi PT. Ajinomoto Indonesia.
Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) saat itu sangat merasa
kecewa dan masih tetap berkeyakinan bahwa MSG yang dibuat dengan bahan
penolong bactosoytone adalah haram. Alasan MUI menyatakan haram sehingga
keluarlah Fatwa Haram MUI untuk produk penyedap makanan AJI-NO-MOTO
adalah karena adanya unsur pencampuran (ikhtilath) yang bersifat maknawi dan
adanya unsur pemanfaatan (intifa) zat haram dalam proses produksi. Alasan MUI ini
terdapat pada data sekunder hasil penelitian nomor 1.2.2 tentang sikap MUI dalam
menyatakan haram pada produk penyedap makanan AJI-NO-MOTO yang lalu
dikaitkan juga dengan pengertian produk halal menurut Lembaga Pengkajian
Pangan, Obat-obatan, dan Kosmetika Majelis Ulama Indonesia (LPPOM-MUI)80
.
Berdasarkan pemaparan penulis diatas, maka upaya penanggulangan
kejahatan dengan sarana penal yang dilakukan oleh pihak kepolisian saat itu adalah
belum memberikan hasil yang memuaskan kepada konsumen. Hal ini dikarenakan
saat kasus tersebut bergulir di dalam tahap penyidikan, pihak kepolisian menyatakan
bukti yang digunakan tidak cukup dan keluarlah SP3 (Surat Perintah Penghentian
Penyidikan) yang mengakibatkan ganti rugi yang seharusnya diterima konsumen
menjadi tidak terwujud.
2. Keberpihakkan Bentuk Perlindungan Hukum tersebut Kepada
Konsumen dalam Kasus AJI-NO-MOTO
Pengertian perlindungan hukum adalah suatu perlindungan yang diberikan
terhadap subyek hukun dalam bentuk perangkat hukum baik yang bersifat preventif
maupun yang bersifat represif, baik yang tertulis maupun tidak tertulis, dengan kata lain
perlindungan hukum sebagai suatu gambaran dari fungsi hukum, yaitu konsep dimana
80
Tempo Interaktif, http://www.tempo.co.id/harian/fokus/56/2,1,24,id.html. Diakses tanggal 4
Januari 2012. Produk Halal adalah produk yang memenuhi syarat kehalalan sesuai syari’at Islam. Produk
itu tidak mengandung babi atau produk-produk yang berasal dari babi serta tidak menggunakan alkohol
sebagai ingridient yang sengaja ditambahkan. Selain itu, daging yang digunakan juga harus berasal dari
hewan halal yang disembelih menurut tata cara syariat Islam. Produk makanan yang halal termasuk juga
semua bentuk minuman yang tidak beralkohol. Selain itu, semua tempat penyimpanan, penjualan,
pengolahan, tempat pengelolaan dan tempat transportasi tidak tercampur dengan babi atau barang yang
tidak halal lainnya. Tempat itu harus terlebih dahulu dibersihkan dengan tata cara yang diatur menurut
syari'at Islam.
hukum dapat memberikan suatu keadilan, ketertiban, kepastian, kemanfaatan dan
kedamaian.81
Pengertian hukum perlindungan konsumen ada yang berpendapat bahwa
merupakan bagian dari hukum konsumen yang lebih luas. Az. Nasution berpendapat,
hukum perlindungan konsumen merupakan bagian dari hukum konsumen yang memuat
asas-asas atau kaidah-kaidah bersifat mengatur dan juga mengandung sifat yang
melindungi kepentingan konsumen. Adapun hukum konsumen diartikan sebagai
keseluruhan asas-asas dan kaidah-kaidah hukum yang mengatur hubungan dan masalah
antara berbagai pihak satu sama lain berkaitan dengan barang dan/atau jasa konsumen,
di dalam pergaulan hidup.82
Az. Nasution mengakui, asas-asas dan kaidah-kaidah hukum yang mengatur
hubungan dan masalah konsumen itu tersebar dalam berbagai bidang hukum, baik
tertulis maupun tidak tertulis, ia menyebutkan, seperti hukum perdata, hukum dagang,
hukum pidana, hukum administrasi (negara) dan hukum internasional, terutama
konvensi-konvensi yang berkaitan dengan kepentingan-kepentingan konsumen.83
Apabila dikaitkan dengan kasus yang diambil oleh penulis, maka sebenarnya konsumen
akan terjamin perlindungannya apabila hak-haknya terpenuhi, seperti yang dikatakan
oleh pihak YLKI pada data sekunder nomor 1.2.8. Ini juga terkait dengan salah satu hak
konsumen maupun kewajiban dari pelaku usaha yang ada didalam Pasal 4 huruf (h)
Undang-Undang Perlindungan Konsumen jo. Pasal 19 Undang-Undang Perlindungan
Konsumen, yaitu konsumen berhak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan/atau
81
Rahayu. 2009. Pengangkutan Orang: etd.eprints.ums.ac.id. Diakses tanggal 10 April 2012. 82
Shidarta, Hukum Perlindungan Konsumen Indonesia, (Grasindo: Jakarta, 2000). Hlm.9. 83
Ibid. Hlm. 10.
penggantian, apabila barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian
atau tidak sebagaimana mestinya, karena pelaku usaha bertanggung jawab memberikan
ganti rugi atas kerusakan, pencemaran dan/atau kerugian yang diderita konsumen akibat
mengkonsumsi barang dan/atau jasa yang dihasilkan atau diperdagangkan.
Apabila pelaku usaha sudah melakukan kewajibannya untuk membayar ganti
rugi setelah melakukan pelanggaran terhadap hak-hak konsumen tersebut, barulah dapat
dikatakan upaya perlindungan hukum terhadap konsumen akan tercapai. Membicarakan
tentang kompensasi/ ganti rugi maka hal ini berkaitan dengan upaya pemberian sanksi,
yang dalam hal ini adalah sebagai upaya kebijakan kriminal dengan sarana penal.
Sarana penal yang saat itu dilakukan adalah melakukan penegakan hukum secara pidana
terhadap tindakan pelaku usaha yang melanggar hak dan kepentingan korban sebagai
konsumen.
Di awali dengan kegemparan luar biasa, yakni ketika Presiden Abdurrahman
Wahid melalui juru bicara kepresidenan Wimar Witoelar, menyatakan bahwa AJI-NO-
MOTO itu halal. Bersamaan dengan itu, masyarakat dibuat heboh akibat Fatwa MUI
yang mengharamkan AJI-NO-MOTO. Pada saat itu YLKI sebagai lembaga
perlindungan konsumen melaporkan kasus AJI-NO-MOTO kepada Polda Metro Jaya.
Di dalam laporannya YLKI berpegang teguh dengan Pasal 378 KUHP serta bukti
berupa Fatwa yang dikeluarkan oleh MUI. Pada proses penyidikan pihak kepolisian
menemukan fakta berupa ketidakcukupan bukti untuk menjerat pelaku usaha tersebut.
Menurut pihak Mabes Polri hasil pemeriksaan Pusat Laboratorium Forensik Polri
maupun Laboratorium Pengawasan Obat dan Makanan Departemen Kesehatan yang
bekerja sama dengan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) menunjukkan bahwa
tidak terdapat unsur babi dalam penyedap masakan (monosodium glutamat/MSG) AJI-
NO-MOTO. Saat itu dengan memegang hasil laboratorium ini, maka pihak kepolisian
menetapkan proses penyidikan untuk kasus AJI-NO-MOTO dihentikan dan keluarlah
Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3). Dikeluarkannya SP3 oleh pihak
kepolisian maka bukan berarti kasus tersebut ditutup, karena SP3 hanyalah penghentian
sementara terhadap suatu perkara karena adanya beberapa alasan, yang salah satunya
dalam kasus ini adalah kurangnya bukti, apabila ditemukan bukti-bukti baru yang dapat
menguatkan kasus tersebut maka pihak yang merasa dirugikan (korban) dapat
melaporkan kembali kepada pihak yang berwenang asalkan terdapat bukti baru dan
kasusnya tidak daluarsa (Pasal 78 KUHP).
Berdasarkan pemaparan diatas, maka dapat dideskripsikan bahwa bentuk
perlindungan hukum secara penal yang diupayakan oleh pihak kepolisian ini belum
berpihak kepada konsumen sebagai korban. Adanya Surat Perintah Penghentian
Penyidikan (SP3) terhadap kasus ini, maka ganti rugi yang seharusnya diberikan oleh
pelaku usaha kepada korban tidak terwujud. Padahal sesuai dengan Pasal 4 huruf (h) jo.
Pasal 19 Undang-Undang Perlindungan Konsumen konsumen berhak untuk
mendapatkan kompensasi dan/atau ganti rugi apabila pelaku usaha memberikan
kerugian akibat mengkonsumsi barang dan/atau jasa yang dihasilkan atau
diperdagangkan.
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan, maka dapat diambil simpulan
sebagai berikut:
1. Upaya perlindungan hukum terhadap konsumen dilakukan oleh Pemerintah adalah
dengan melakukan kebijakan penal dan kebijakan non penal. Kebijakan non penal
dilakukan dengan upaya pembinaan dan pengawasan sesuai dengan peraturan
perundang-undangan Pasal 29 dan 30 Undang-Undang Perlindungan Konsumen
jo. Peraturan pemerintah Nomor 58 Tahun 2001 Tentang Pembinaan dan
Pengawasan Penyelenggaraan Perlindungan Konsumen. Upaya kebijakan penal
dilakukan melalui instrumen hukum pidana dan instrumen hukum administratif.
Instrumen pidananya dilakukan dengan upaya pihak kepolisian dalam
menyelesaikan kasus Ajinomoto sesuai dengan ketentuan pidana yang ada, serta
instrumen administratifnya dilakukan dengan upaya pemerintah melakukan
penarikan semua produk AJI-NO-MOTO yang telah diubah dengan bactosoytone
serta melakukan penggantian bahan baku yang mengandung enzim porcine (babi)
bactosoytone dengan bahan yang halal yakni mameno (asam chlorida).
2. Bentuk perlindungan hukum terhadap konsumen sebagai korban produk penyedap
makanan AJINOMOTO yang mengandung bactosoytone, secara penal yang
diupayakan oleh pihak kepolisian ini belum berpihak kepada konsumen karena
sebenarnya konsumen akan terjamin perlindungannya apabila hak-haknya
terpenuhi. Hal ini seperti yang termuat didalam Pasal 4 huruf (h) jo. Pasal 19
Undang-Undang Perlindungan Konsumen, yaitu konsumen berhak untuk
mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian, apabila barang
dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana
mestinya, karena pelaku usaha bertanggung jawab memberikan ganti rugi atas
kerusakan, pencemaran dan/atau kerugian yang diderita konsumen akibat
mengkonsumsi barang dan/atau jasa yang dihasilkan atau diperdagangkan.
Melihat pada saat itu, pihak kepolisian mengeluarkan Surat Perintah Penghentian
Penyidikan (SP3) terhadap kasus tersebut dikarenakan masih kurangnya bukti
yang digunakan untuk menjerat pelaku usaha yang dalam hal ini adalah PT.
Ajinomoto, maka upaya ganti rugi yang seharusnya diberikan oleh pelaku usaha
kepada korban menjadi tidak terwujud.
B. Saran
1. Bagi pemerintah hendaknya menyerahkan sepenuhnya masalah penentuan halal
atau tidaknya suatu produk makanan yang beredar di pasaran Indonesia kepada
lembaga yang memang berwenang untuk itu, yaitu MUI.
2. Bagi pihak kepolisian seharusnya tidak mudah terintervensi oleh pihak-pihak
lainnya dalam memutuskan suatu kasus. Agar putusan yang dihasilkan
berdasarkan bukti-bukti yang obyektif bukan subyektif.
DAFTAR PUSTAKA
Literatur:
Arief, Barda Nawawi. Beberapa Aspek Kebijakan Penegakan dan Pengembangan
Hukum Pidana. Bandung: Alumni.
________________. Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana. Bandung: Alumni.
________________. 2001. Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan
Penanggulangan Kejahatan. Bandung: Citra Aditya Bakti.
________________ dan Muladi. 1984. Teori-Teori Dan Kebijakan Pidana. Bandung:
Alumni.
Chazawi, Adami. 2002. Pelajaran Hukum Pidana. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Badan POM. 2005-2009. Rencana Strategi Badan POM. Jakarta.
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta:
Balai Pustaka.
Faudy, Munir. 2002. Pengantar Hukum Bisnis: Menata Bisnis Modern di Era Pasar
Global. Bandung: Citra Aditya Bakti.
Gunawan, Johanes. 1994. “Product Liability” dalam Hukum Bisnis Indonesia Tahun
XII, Nomor 2. Jakarta: Pro Justitia.
Hadjon, Philipus. M. 1987. Hukum Perlindungan Bagi Rakyat di Indonesia. Surabaya:
PT. Bina Ilmu.
LPPOM MUI. 2008. Panduan Umum Sistem Jaminan Halal. Jakarta: LPPOM MUI.
Marzuki, Pieter Mahmud. 2010. Penelitian Hukum. Jakarta: Kencana Prenada Media
Group.
Miru, Ahmadi dan Sutarman Yodo. 2010. Hukum Perlindungan Konsumen; Cetakan
Ke-6. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
Nasution, Az. 1999. Hukum Perlindungan Konsumen: Suatu Pengantar. Jakarta: Daya
Widya.
Pieris, John & Wiwik Sri Widiarty. 2007. Negara Hukum Dan Perlindungan
Konsumen: Terhadap Produk Pangan Kadaluarsa. Jakarta: Pelangi Cendikia.
Sidabalok, Janus. 2010. Hukum Perlindungan Konsumen di Indonesia. Bandung: PT.
Citra Aditya Bakti.
Sidharta. 2000. Hukum Perlindungan Konsumen Indonesia. Jakarta: Grasindo.
Soekanto, Soerjono. 2010. Pengantar Penelitian Hukum; Cetakan 2010. Jakarta: UI
Press.
________________ dan Sri Mamudji. 1995. Penelitian Hukum Normatif Suatu
Tinjauan Singkat. Jakarta: Rajawali Press.
Soemitro, Ronny Hanitijo. 1982. Metode Penelitian Hukum. Jakarta : Ghalia Indonesia.
Sudarto. 2006. Kapita Selekta Hukum Pidana. Bandung: Alumni.
Susanto, Happy. 2008. Hak-Hak Konsumen Jika Dirugikan. Jakarta:Visimedia.
Suyadi. 2007. Buku Ajar: Dasar-Dasar Hukum Perlindungan Konsumen. Fakultas
Hukum Universitas Jenderal Soedirman.
Peraturan Perundang-undangan :
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1996 Tentang Pangan, Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1996 Nomor 99.
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen, Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 42.
Peraturan Pemerintah Nomor 69 Tahun 1999 Tentang Label dan Iklan Pangan,
Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 131.
Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2001 Tentang Pembinaan dan Pengawasan
Penyelenggaran Perlindungan Konsumen, Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2001 Nomor 103.
Peraturan Presiden Nomor 9 Tahun 2005 Tentang Kedudukan, Tugas, Fungsi, Susunan
Organisasi Dan Tata Kerja Kementerian Negara Republik Indonesia.
Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 924/Menkes/SK/VIII/1996 Tentang Pencantuman
Tulisan “Halal” pada Label Makanan.
Keputusan Presiden Nomor 103 Tahun 2001Tentang Keputusan Presiden Tentang
Kedudukan, Tugas, Fungsi, Kewenangan, Susunan Organisasi Dan Tata Kerja
Lembaga Pemerintah Non Departemen.
Sumber lain:
Artikata. Kamus Besar Bahasa Indonesia: www.artikata.com. Diakses tanggal 10 April
2012.
Interaktif, Tempo. Haram dan Halal Harus Jelas:
http://www.tempo.co.id/harian/fokus/56/2,1,24,id.html. Diakses tanggal 4
Januari 2012.
LPPOM MUI Kaltim. Sertifikasi dan Labelisasi Halal:
http://lppommuikaltim.multiply.com/journal/item/14/Sertifikasi_dan_Labelisasi
_Halal. Diakses tanggal 25 Maret 2011.
Mulia, Rita. Manajemen Resiko: Sejarah Perusahaan Ajinomonto: http://rita-
mulia.blogspot.com/. Diakses tanggal 16 Januari 2012.
Online, Hukum. YLKI Tidak Perlu Bukti Baru dalam Kasus Ajinomoto:
http://www.hukumonline.com/berita/baca/hol3460/ylki--tidak-perlu-bukti-
baru-dalam-kasus-ajinomoto. Diakses tanggal 22 Maret 2012.
Putra. 2009. Definisi Hukum Menurut Para Ahli: www.putracenter.net. Diakses tanggal
19 Desember 2011.
Rahayu. 2009. Pengangkutan Orang: etd.eprints.ums.ac.id. Diakses tanggal 10 April
2012.
Vivanews. Riset: Jumlah Muslim RI Akan Digeser Pakistan: Data Tahun 2010.
www.vivanews.com. Diakses tanggal 5 Mei 2012.
YLKI. Tentang Kami: http://www.ylki.or.id/tentang-kami. Diakses tanggal 10 April
2012.
Tidak
Ya
Tidak
Ya
Produk berbasis hewan
Ya
Tidak
Tidak Tidak
Ya
Ya
Tidak
Ya
Lampiran I. Proses Sertifikasi Halal dalam Bentuk Diagram Alir
PERSIAPAN SISTIM JAMINAN HALAL
PENDAFTARAN/ PENYERAHAN DOKUMEN
SERTIFIKASI HALAL
PEMERIKSAAN KECUKUPAN
DOKUMEN
PEMBIAYAAN
DAPAT
DIAUDIT?
LUNAS?
AUDIT
PRE AUDIT
MEMORANDUM
RAPAT AUDITOR
Perlu Analisis Lab? ANALISIS LAB
PERSYARATAN
TERPENUHI?
(Status SJH A/B)
PENYERAHAN
DOKUMEN
SERTIFIKASI HALAL
Mengandung
Bahan Haram? AUDIT
MEMORANDUM
RAPAT KOMISI FATWA
Persyaratan Terpenuhi?
PENERBITAN SERTIFIKAT HALAL
Tidak dapat
Disertifikasi
Perusahaan
LP POM MUI
Lampiran II. Organisasi Badan POM
Lampiran III. Sertifikat Halal PT. Ajinomoto 24 Juni 2010-23 Juni 2012