skripsi - welcome to fakultas hukum unsoed |...

96
PELAKSANAAN PENCATATAN PERKAWINAN BEDA AGAMA DI KOTA MAGELANG (Tinjauan Yuridis Penetapan Nomor : 04/PDT.P/2012/PN.MGL) SKRIPSI Disusun guna memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar Sarjana Hukum Universitas Jenderal Soedirman Disusun Oleh : ADITYA DWI PAMUNGKAS E1A008056 KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN FAKULTAS HUKUM PURWOKERTO 2013

Upload: donga

Post on 10-Apr-2018

216 views

Category:

Documents


2 download

TRANSCRIPT

PELAKSANAAN PENCATATAN PERKAWINAN BEDA AGAMA

DI KOTA MAGELANG

(Tinjauan Yuridis Penetapan Nomor : 04/PDT.P/2012/PN.MGL)

SKRIPSI

Disusun guna memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar

Sarjana Hukum Universitas Jenderal Soedirman

Disusun Oleh :

ADITYA DWI PAMUNGKAS

E1A008056

KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN

UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN

FAKULTAS HUKUM

PURWOKERTO

2013

2

3

4

ABSTRAK

PELAKSANAAN PENCATATAN PERKAWINAN BEDA AGAMA

DI KOTA MAGELANG

(Tinjauan Yuridis Penetapan Nomor : 04/PDT.P/2012/PN.MGL)

Oleh :

Aditya Dwi Pamungkas

E1A008056

Menurut ketentuan Pasal 35 huruf (a) Undang-Undang Nomor 23 Tahun

2006 tentang Administrasi Kependudukan, pencatatan perkawinan diperuntukan

pula kepada perkawinan yang dilangsungkan antar umat yang berbeda agama

dimana syarat untuk dapat dicatatkannya perkawinan beda agama adalah adanya

salinan penetapan pengadilan yang memberikan izin untuk itu. Adapun yang

menjadi permasalahan dalam penelitian ini adalah alasan substansial hakim dalam

menetapkan untuk memberi izin dilangsungkan dan dicatatkannya perkawinan

beda agama di Kantor Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil pada Penetapan

Nomor 04/PDT.P/2012/PN.MGL serta pelaksanaan pencatatan perkawinan beda

agama di Kantor Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kota Magelang.

Dalam penulisan hukum ini penulis menggunakan metode penelitian yuridis

normatif dengan metode pendekatan peraturan perundang-undangan dan

pendekatan kasus. Dari hasil penelitian tersebut dapat disimpulkan bahwa :

1. Alasan substansial hakim dalam Penetapan Nomor

04/PDT.P/2012/PN.MGL adalah telah terjadi kekosongan hukum dalam

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Hakim

menetapkan perkawinan beda agama dengan alasan bahwa perkawinan

beda agama merupakan hak konstitusi dan hak azasi manusia yang

dimiliki setiap warga negara Indonesia, serta merupakan suatu kenyataan

yang hidup dalam masyarakat Indonesia.

2. Pencatatan perkawinan beda agama yang dilaksanakan oleh pejabat

pencatatan sipil di Kantor Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil

Kota Magelang tidak berlandaskan hukum.

Berdasarkan kesimpulan tersebut maka dapat diajukan saran bahwa

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 perlu diperbarui agar dapat memenuhi hak

konstitusi dan hak azasi manusia yang dimiliki oleh setiap warga negara

Indonesia.

Kata Kunci : Perkawinan, beda agama.

5

ABSTRACT

THE IMPLEMENTATION OF INTERFAITH MARRIAGE

REGISTRATION IN MAGELANG

(The Juridical Review of Case Number : 04/PDT.P/2012/PN.MGL)

By :

Aditya Dwi Pamungkas

E1A008056

Based on article 35 point a of statute number 23 of 2006 about demographic

administration said that interfaith marriage registration is important to do, but it

should be completed with copy of court order. Therefore, the research problem are

why does the judge issue local regulation about the interfaith marriage registration

and how does the Demographic and Civilian Registration Department of

Magelang City implement it. Moreover, the juridical-normative research method

with cases and statute approach is used in this research. Based on the result

research could be concluded that :

1. The judge substansial reason at case number 04/Pdt.P/2012/PN.MGL is

no regulation about interfaith marriage, especially in Statute Number 1 of

1974 about marriage. Therefore, the judge set a interfaith marriage,

because marriage is constitution right and human right for every

Indonesian citizen, as well as the reality in Indonesia.

2. The registration interfaith marriage in Demographic and Civilian

Registration Department of Magelang City is not based in law.

Based on these conclusions can be suggested, that the Statute Number 1 of

1974 about marriage must be updated to be able to fulfill the constitution right and

human right for every Indonesian Citizen.

Keywords : marriage, religious differences.

6

Life Without

Risk is Not

Worth Living

7

KATA PENGANTAR

Bismillahirrohmaanirrohim,

Assalaamu’alaikum warohmatullahi wabarokaatu.

Puji syukur kehadirat Tuhan semesta alam, atas rahmat, hidayah, inayah

dan ridhoNYA sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan hukum dengan

lancar. Tidak ada sesuatu yang istimewa dan berguna dari sebuah ilmu jika tidak

memberikan kontribusi dan tidak bisa berbuat apa-apa dihadapan realitas. Sampai

detik ini kita masih melihat bahwa hukum di Indonesia masih terlalu jauh dari

langit. Bahkan terpuruk hingga dasar bumi. Begitu juga dengan karya tulis ini,

penulis merasa masih terlalu jauh untuk menjadi jawaban atas problematika yang

melanda hukum di negara kita tercinta ini. Terlepas dari semua itu penulis

bersyukur akhirnya dapat menyelesaikan tanggungjawab ini, walaupun tidak

sempurna tetapi setidaknya memberikan wacana dan harapan baru bagi kita

semua.

Penelitian skripsi ini mengambil permasalahan tentang bagaimana

pelaksanaan pencatatan perkawinan beda agama di kota Magelang sehingga judul

yang dipilih adalah PELAKSANAAN PENCATATAN PERKAWINAN BEDA

AGAMA DI KOTA MAGELANG (Tinjauan Yuridis Penetapan Nomor

04/Pdt.P/2012/PN.MGL), atas tersusunnya skripsi ini penulis mengucapkan

terima kasih kepada pihak-pihak yang telah membantu seperti :

1. Bapak Dr. Angkasa, S.H., M.Hum. sebagai Dekan Fakultas Hukum

Universitas Jenderal Soedirman.

8

2. Bapak Satrio Saptohadi, S.H., M.H. sebagai Pembimbing Akademik,

yang telah memberi banyak bimbingan, arahan, masukan, dan kritikan

selama masa studi.

3. Bapak Trusto Subekti, S.H., M.Hum. sebagai Dosen Pembimbing

Skripsi I yang telah memberikan bimbingan, arahan, serta masukan

demi terselesaikannya skripsi ini.

4. Ibu Haedah Faradz, S.H., M.H. sebagai Dosen Pembimbing Skripsi II

atas segala bantuan, bimbingan, arahan, dukungan dan masukan yang

telah diberikan selama penulisan skripsi ini.

5. Bapak Bambang Heryanto, S.H., M.H. sebagai Penguji yang telah

membuka tabir kesalahan dan kekurangan penulis.

6. Seluruh dosen dan staf akademik di Fakultas Hukum Universitas

Jenderal Soedirman.

7. Bapak Arif Prasetyo dan Ibu Suwarti selaku Pejabat Pencatatan Sipil di

Kantor Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kota Magelang,

terima kasih atas bantuannya.

8. Bapak Murino dan Ibu Pratiwi Utari, terima kasih banyak atas kasih

sayang, doa, dukungan, nasihat, semangat, dorongan dan

kepeduliannya selama 23 tahun penulis hidup.

9. Bapak Irianto, terima kasih atas dukungannya baik moril maupun

materiil terhadap keluarga penulis serta nasehatnya setiap penulis

sedang mengalami masalah dalam hidup, thank’s a lot.

9

10. Saudara-saudara saya dalam keluarga besar M. Yusuf I Made Segare

dan keluarga besar Almarhum Ny. Nisah, terima kasih atas

dukungannya, doanya, semangatnya, serta kepeduliannya.

11. Dwi Aditya Nugroho, terima kasih sudah menjadi sahabat setia penulis

selama ini.

12. Johan Ari Purnomo (Jondel), terima kasih atas pinjaman printernya

dan sudah bersedia direpotkan selama ini, Suwun banget mas.

13. Yogi Prayitno, Widya Riyatmaja (Djimboen), dan seluruh keluarga

besar KIMCULERS HUKUM 08, terima kasih atas semua dukungan

yang telah kalian berikan kepada penulis, we love you all guy’s.

Akhirnya, ibarat pepatah mengatakan tiada karya cipta yang sempurna

kecuali ciptaan-Nya, begitu juga dengan penyusunan penelitian ini tentunya masih

jauh dari kesempurnaan. Namun demikian, penulis berharap semoga hasil karya

penulis ini bisa bermanfaat bagi pembaca sekalian.

Wassalaamu’alaikum warohmatullahi wabarokaatu.

Purwokerto, 18 Mei 2013

Penulis

Aditya Dwi Pamungkas

10

DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN JUDUL ........................................................................................... i

HALAMAN PENGESAHAN ............................................................................ ii

SURAT PERNYATAAN.................................................................................... iii

ABSTRAKSI ..................................................................................................... iv

ABSTRACT ........................................................................................................ v

MOTTO .............................................................................................................. vi

KATA PENGANTAR ........................................................................................ vii

DAFTAR ISI ...................................................................................................... x

BAB I. PENDAHULUAN ........................................................................... 1

A. Latar Belakang Masalah ............................................................. 1

B. Perumusan Masalah ................................................................... 6

C. Tujuan Penelitian ....................................................................... 6

D. Kegunaan Penelitian ................................................................... 7

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA .................................................................. 8

1. Tentang Perkawinan ................................................................... 8

a. Pengertian Perkawinan ........................................................... 8

b. Tujuan Perkawinan ................................................................. 11

c. Sahnya Perkawinan ................................................................ 15

d. Syarat-Syarat Perkawinan ...................................................... 16

e. Azas-Azas Perkawinan dalam Undang-Undang Nomor 1

Tahun 1974 tentang Perkawinan ........................................... 21

11

f. Pencatatan Perkawinan .......................................................... 25

2. Perkawinan Beda Agama ........................................................... 29

3. Administrasi Kependudukan ....................................................... 34

BAB III. METODE PENELITIAN .................................................................. 43

1. Metode Pendekatan ..................................................................... 42

2. Spesifikasi Penelitian .................................................................. 43

3. Lokasi Penelitian ........................................................................ 44

4. Sumber Bahan Hukum ................................................................ 44

5. Metode Pengumpulan Bahan Hukum ......................................... 45

6. Metode Penyajian Bahan Hukum ................................................ 46

7. Metode Analisis Bahan Hukum................................................... 46

8. Masalah dan Solusi yang Dihadapi Selama Penelitian ............... 47

BAB IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ................................ 48

1. Hasil Penelitian ........................................................................... 48

2. Pembahasan ................................................................................ 61

BAB V. PENUTUP ......................................................................................... 80

1. Simpulan ..................................................................................... 80

2. Saran ........................................................................................... 81

DAFTAR PUSTAKA

LAMPIRAN

12

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Persoalan perkawinan telah menjadi persoalan yang selalu aktual dan

selalu menarik untuk dibicarakan, ini dikarenakan perkawinan merupakan

salah satu dimensi kehidupan yang sangat penting dalam kehidupan manusia

dibelahan dunia manapun, selain itu persoalan ini juga tidak hanya

menyangkut tabiat dan hajat hidup manusia saja, tetapi juga menyentuh suatu

lembaga yang luhur, yaitu rumah tangga. Luhur, karena lembaga ini

merupakan benteng bagi pertahanan martabat manusia dan nilai-nilai

kehidupan yang luhur.

Perkawinan tidak hanya berkaitan dengan hubungan pribadi dari

pasangan yang melangsungkan perkawinan saja, perkawinan berkaitan juga

dengan permasalahan agama, permasalahan sosial dan permasalahan hukum.

Permasalahan agama yang menyangkut perkawinan, dapat kita lihat bahwa

dalam setiap agama tentunya mempunyai ketentuan-ketentuan yang mengatur

masalah perkawinan, sehingga pada prinsipnya diatur dan tunduk pada

ketentuan-ketentuan dari agama yang dianut oleh pasangan yang akan

melangsungkan perkawinan. Permasalahan sosial yang berkaitan dengan

perkawinan, adalah cara pandang masyarakat mengenai pelaksanaan

perkawinan yang akan membawa dampak tertentu pada pasangan yang akan

melangsungkan perkawinan dalam lingkungan masyarakatnya. Perkawinan

13

menjadi permasalahan hukum karena perkawinan terjadi disebabkan oleh

adanya hubungan antar manusia, dari hubungan antar manusia untuk

membentuk suatu ikatan pekawinan inilah yang akan menyebabkan

timbulnya suatu perbuatan hukum.

Sejak tanggal 2 Januari 1974 di Indonesia masalah perkawinan telah

diatur tersendiri di dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang

Perkawinan. Undang-undang tersebut berlaku efektif sejak peraturan

pelaksanaanya dikeluarkan pada tanggal 1 Oktober 1975, yaitu Peraturan

Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang

Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.

Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, memberikan

pengertian tentang perkawinan sebagai ikatan lahir bathin antara seorang pria

dengan seorang wanita sebagai suami istri, dengan tujuan membentuk

keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan ke-Tuhanan

Yang Maha Esa. Perkawinan yang didasari ikatan lahir bathin dapat dikatakan

sah jika telah memenuhi ketentuan Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1

Tahun 1974 yang menyebutkan perkawinan adalah sah apabila dilakukan

menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu.

Penjelasan Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974

menyebutkan, bahwa tidak ada perkawinan di luar hukum masing-masing

agamanya dan kepercayaannya itu, sesuai dengan Undang-Undang Dasar

1945, dari hal tersebut dapat disimpulkan bahwa perkawinan mutlak harus

14

dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu,

kalau tidak maka perkawinan itu tidak sah.1

Setiap orang pada umumnya menginginkan pasangan hidup yang

seagama, bukan sengaja membeda-bedakan atau mendirikan dinding pemisah

antara agama yang satu dengan agama yang lain, namun diharapkan

membangun keluarga berdasarkan satu prinsip tentunya diharapkan akan

lebih mudah dan permasalahan perbedaan agama tidak perlu muncul dalam

rumah tangga, namun realita adanya pergaulan antar manusia yang begitu

bebas dan seakan tiada batasnya karena pengaruh perkembangan budaya dan

tekhnologi komunikasi membuka kemungkinan adanya pasangan yang akan

melangsungkan perkawinan dengan perbedaan agamanya, karena semakin

eratnya hubungan antar pemeluk agama dalam pergaulan masyarakat.

Indonesia merupakan negara yang mempunyai bangsa yang plural,

bangsa yang multikultural dan multiagama. Pluralitas dibidang agama

terwujud dengan banyaknya agama yang diakui sah di Indonesia, selain

Islam, ada agama Hindu, Budha, Kristen, Khatolik dan satu aliran

kepercayaan yaitu konghuchu. Kenyataan bahwa bangsa Indonesia adalah

bangsa yang multikultural dan multiagama tidak menutup kemungkinan

untuk adanya calon pasangan yang akan melangsungkan perkawinan dengan

perbedaan agamanya. Fenomena perkawinan beda agama banyak dijumpai di

lingkungan masyarakat kita, para pemirsa infotainment juga seringkali

disuguhi berita tentang pasangan artis yang melangsungkan perkawinan beda

1 Wantjik K Shaleh, Hukum Perkawinan Di Indonesia, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1982, hal 16.

15

agama, contohnya perkawinan yang dilakukan Clift Andro Nathalia atau

sering dipanggil Clift Sangra, duda yang ditinggal mati Suzanna Martha

Frederika Van Osh atau yang akrab dipanggil Suzanna aktris film horor

Indonesia. Clift Sangra, seorang lelaki beragama Katholik menikahi wanita

muslim yang bernama Nana Mahliana Hasan, mereka menikah pada 9

Agustus 2009 dan baru dicatatkan pada Kantor Dinas Kependudukan dan

Pencatatan Sipil 2 bulan kemudian setelah mendapatkan pengesahan dari

pengadilan negeri kota Magelang pada 17 September 2009.2

Permasalahan mengenai perkawinan yang dilakukan antar umat yang

berbeda agama yang selanjutnya akan disebut perkawinan beda agama sudah

lama menjadi bahan perbincangan yang selalu menarik, perkawinan yang

dilakukan oleh Clift dan Nana ini secara implisit bertentangan dengan

ketentuan Pasal 2 ayat (1) jo. Pasal 8 huruf f Undang-Undang Nomor 1 Tahun

1974, sebab agama Nana yaitu Islam secara jelas melarang wanita Islam

melangsungkan perkawinan dengan seorang pria yang tidak beragama Islam,

ketentuan tentang larangan ini disebutkan secara jelas dalam Pasal 44

Kompilasi Hukum Islam. Melihat ketentuan tersebut bisa kita katakan bahwa

perkawinan antara Clift dan Nana itu tidaklah sah menurut Undang-Undang

Nomor 1 Tahun 1974, namun perkawinan tersebut telah dicatatkan di Kantor

Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kota Magelang.

2Banyumasnews.com, Clift Sangra resmi nikahi gadis belia,

http://banyumasnews.com/2009/11/11/clift-sangra-resmi-nikahi-gadis-belia/, diakses pada tanggal 20

Oktober 2012, Pukul 23:28 WIB.

16

Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 menyebutkan

bahwa perkawinan yang sah harus dicatat menurut peraturan perundang-

undangan yang berlaku. Wantjik K. Saleh mengatakan bahwa:

Perbuatan pencatatan itu tidaklah menentukan sahnya suatu

perkawinan, tetapi menyatakan bahwa peristiwa itu memang ada dan

terjadi, jadi semata-mata bersifat administratif3.

Pengaturan mengenai perkawinan beda agama bisa dicatatkan ini ada

pada ketentuan Pasal 35 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang

Administrasi Kependudukan yang menyebutkan bahwa :

Pencatatan perkawinan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34

berlaku pula bagi:

a. perkawinan yang ditetapkan oleh Pengadilan; dan

b. perkawinan Warga Negara Asing yang dilakukan di Indonesia

atas permintaan Warga Negara Asing yang bersangkutan.

Kemudian dalam penjelasan Pasal 35 huruf (a) disebutkan bahwa yang

dimaksud dengan "Perkawinan yang ditetapkan oleh Pengadilan" adalah

perkawinan yang dilakukan antar-umat yang berbeda agama.

Ketentuan Pasal 35 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 dan

penjelasannya inilah yang menjadi dasar bagi Kantor Dinas Kependudukan

dan Pencatatan Sipil Kota Magelang untuk mencatatkan perkawinan Clift

Sangra dan Nana. Kepala Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kota

Magelang, Drs. Sugiharto mengatakan :

Pencatatan perkawinan beda agama pasangan suami isteri ke lembaran

catatan sipil diperbolehkan secara hukum asal sudah mendapat

pengesahan dari pengadilan. Sebelumnya, pasangan Clift dan Nana

3 Wantjik K Shaleh, Op. Cit., hal. 17.

17

telah mendapat pengesahan dari Pengadilan Negeri Kota Magelang

dan telah disyahkan pada 17 September silam.4

Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan di atas, maka

penulis tertarik untuk mengadakan penelitian tentang “PELAKSANAAN

PENCATATAN PERKAWINAN BEDA AGAMA DI KOTA MAGELANG

(Tinjauan Yuridis Penetapan Nomor : 04/PDT.P/2012/PN.MGL)”.

B. Perumusan Masalah

Berdasarkan hal-hal yang telah diuraikan dalam latar belakang masalah

diatas, penulis menemukan permasalahan sebagai berikut:

1. Bagaimana pertimbangan hakim dalam menetapkan untuk

memberikan ijin dicatatkannya perkawinan beda agama di Kantor

Pencatatan Sipil Kota Magelang dalam Penetapan Nomor :

04/PDT.P/2012/PN.MGL?

2. Bagaimanakah pelaksanaan pencatatan perkawinan beda agama di

Kantor Pencatatan Sipil Kota Magelang?

C. Tujuan Penelitian

Tujuan diadakannya penelitian ini adalah untuk mengetahui :

1) Pertimbangan Hakim dalam penetapan untuk memberikan ijin

pencatatan perkawinan beda agama di Kantor Pencatatan Sipil Kota

Magelang dalam Penetapan Nomor : 04/PDT.P/2012/PN.MGL

2) Pelaksanaan pencatatan perkawinan beda agama di Kantor

Pencatatan Sipil Kota Magelang.

4Banyumasnews.com. Op. Cit.

18

D. Kegunaan Penelitian

1. Kegunaan teoritik

Penelitian ini diharapkan dapat menjadi salah satu bahan masukan

untuk perkembangan dan menjadi referensi di bidang Hukum Perkawinan,

serta peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan masalah

perkawinan.

2. Kegunaan praktis

Sebagai bahan kajian, referensi, pedoman, sumber informasi dan

sosialisasi bagi civitas akademika Fakultas Hukum Universitas Jenderal

Soedirman, masyarakat serta pihak-pihak terkait mengenai pelaksanaan

perkawinan beda agama.

19

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

1. Tentang Perkawinan

a. Pengertian Perkawinan

Arti kata perkawinan dalam Wikipedia Ensiklopedia bebas ialah:

Ikatan sosial atau ikatan perjanjian hukum antar pribadi yang

membentuk hubungan kekerabatan dan yang merupakan suatu pranata

dalam budaya setempat yang meresmikan hubungan antar pribadi

yang pada umumnya dimulai dan diresmikan dengan upacara

perkawinan dan dijalani dengan maksud untuk membentuk keluarga.5

Kemudian M. Idris Ramulyo juga berpendapat bahwa :

Kawin (nikah) menurut arti asli ialah hubungan seksual tetapi menurut

arti hukum ialah aqad atau perjanjian yang menjadikan halal

hubungan seksual sebagai suami istri antara seorang pria dengan

seorang wanita.6

Perkawinan pada dasarnya merupakan suatu kebutuhan kodrati yang

dimiliki oleh setiap manusia, dimana kebutuhan manusia untuk melakukan

perkawinan, ini juga telah diakui sebagai salah satu hak azasi manusia yang

dijamin oleh negara untuk pelaksanaannya. Perkawinan juga merupakan

salah satu peristiwa yang sangat penting dalam kehidupan masyarakat kita,

sebab perkawinan itu tidak hanya menyangkut calon mempelai wanita dan

pria saja, tetapi orang tua kedua belah pihak, saudara-saudaranya, bahkan

keluarga mereka masing-masing.

5Wikipedia Ensiklopedia Bebas, Perkawinan, http://id.wikipedia.org/wiki/Perkawinan, diakses

pada 25 September 2012, Pk. 18:33. 6M. Idris Ramulyo, Hukum Perkawinan Islam (Suatu Analisis Dari Undang-undang No.1

Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam), Bumi Aksara, Jakarta, 1966, hal. 1.

20

Istilah perkawinan dalam agama dikatakan sebagai nikah, yang dalam

hal ini Soemiyati mengatakan bahwa :

Nikah adalah melakukan suatu aqad atau perjanjian untuk

mengikatkan diri antara seorang laki-laki dengan wanita untuk

menghalalkan hubungan kelamin antara kedua belah pihak, dengan

dasar sukarela dan keridhoan kedua belah pihak untuk mewujudkan

suatu kebahagiaan hidup berkeluarga yang diliputi rasa kasih sayang

dan ketentraman dengan cara yang diridhoi oleh Allah.7

Kitab Undang-undang Hukum Perdata tidak memuat suatu ketentuan

arti atau definisi tentang perkawinan, namun pemahaman perkawinan dapat

dilihat dalam Pasal 26 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, dalam pasal

tersebut disebutkan bahwa undang-undang memandang perkawinan hanya

dari sudut perhubungannya dengan hukum perdata saja, lain dari itu adalah

tidak. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata masih menjunjung tinggi

nilai-nilai perkawinan yang tata cara dan pelaksanaannya diserahkan kepada

adat masyarakat atau agama dan kepercayaan dari orang-orang yang

bersangkutan.8

Pemahaman tentang konsep perkawinan di dalam Kitab Undang-

Undang Hukum Perdata berbeda dengan konsep perkawinan dalam Undang-

Undang Nomor 1 Tahun 1974, yang mana pengertian perkawinan menurut

Pasal 1 adalah sebagai berikut :

Perkawinan ialah ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan

seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk

keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan

keTuhanan Yang Maha Esa.

7 Soemiyati, Hukum Perkawinan Islam dan Undang-Undang Perkawinan, Liberty,

Yogyakarta, 1982, hal. 8 8 Asyari Abdul Ghofar, Hukum Perkawinan Antar Agama Menurut Agama Islam, Kristen Dan

Undang-Undang Perkawinan, CV. Gramada, Jakarta, 1992, Hal 16.

21

Perbedaan mengenai pengertian perkawinan pada Pasal 1 Undang-

Undang Nomor 1 Tahun 1974 dengan pengertian perkawinan yang terdapat

di dalam Pasal 26 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, ialah dimana

Pasal 26 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata hanya menganggap

perkawinan adalah sebuah ikatan lahiriah saja tanpa memperhatikan unsur

batiniah seperti perkawinan yang dimaksudkan oleh Pasal 1 Undang-

Undang Nomor 1 Tahun 1974 yang menganggap perkawinan ialah ikatan

lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri,

maksud dari ikatan lahir bathin ialah bahwa ikatan tersebut tidak cukup

diwujudkan dengan ikatan lahir saja, tetapi harus terwujud pula ikatan

bathin yang mana akan mendasari ikatan lahir tersebut agar memiliki

kekuatan (tidak rapuh) atau hanya merupakan hubungan sesaat saja.

Rusli dan R. Tama mengatakan:

Definisi atau pengertian perkawinan dalam Pasal 1 Undang-

Undang Perkawinan dapat dimengerti bahwa dengan melakukan

perkawinan pada masing-masing pihak telah terkandung maksud

untuk hidup bersama secara abadi, dengan memenuhi hak-hak

dan kewajiban-kewajiban yang telah ditetapkan oleh negara,

untuk mencapai keluarga bahagia.9

Sementara itu, Asyari Abdul Ghofar menyatakan bahwa:

Perkawinan itu merupakan peristiwa yang penting yang

mengakibatkan keluarnya warga lama di satu pihak dan lain pihak

berarti masuknya wargabaru dan serta merta mempunyai

tanggung jawab penuh terhadap masyarakat persekutuannya.10

9Rusli dan R. Tama, Perkawinan Antar Agama Dan Permasalahannya, Pionir Jaya, Bandung,

2000, hal. 11. 10

Asyhari Abdul Ghofar. Op. Cit., hal. 20.

22

Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 yang menyebutkan

pengertian perkawinan merumuskan unsur-unsur dari perkawinan adalah

sebagai berikut :

a. Perkawinan merupakan ikatan lahir bathin antara seorang pria

denganseorang wanita.

b. Perkawinan bertujuan untuk membentuk keluarga (rumah

tangga) yang kekal dan bahagia.

c. Perkawinan dilaksanakan berdasarkan keTuhanan Yang Maha

Esa.

b. Tujuan Perkawinan

Perkawinan adalah sesuatu yang sakral, sesuatu yang amat penting

bagi kehidupan manusia termasuk kehidupan agama, dan dianggap bahwa

perkawinan itu adalah bagian dari ibadah. Tujuan sebuah perkawinan bagi

orang beragama harus merupakan suatu alat untuk menghindarkan diri dari

perbuatan buruk dan menjauhkan diri dari dosa. Dalam konteks inilah

pasangan yang baik dan cocok memegang peranan penting. Dua orang

beriman melalui perkawinan membentuk sebuah keluarga, dari hubungan

mereka akan memberikan keuntungan dalam memperkuat rasa saling

mencintai dan menyayangi yang ada dalam diri mereka, karena itulah tujuan

perkawinan harus dicari dalam konteks spiritual.

M. Idris Ramulyo, menyatakan pendapatnya bahwa :

Tujuan perkawinan dalam Islam selain untuk memenuhi kebutuhan

jasmani dan rohani manusia, juga sekaligus untuk membetuk keluarga

dan memelihara serta meneruskan keturunan dalam menjalankan

hidupnya di dunia ini, juga untuk mencegah perzinaan, agar tercipta

23

ketenangan daan ketentraman jiwa bagi yang bersangkutan,

ketentraman keluarga dan masyarakat.11

Soemiyati mengatakan bahwa :

Tujuan perkawinan adalah untuk memenuhi tuntutan hajat tabiat

kemanusiaan, berhubungan antara laki-laki dan perempuan dalam

rangka mewujudkan suatu keluarga yang bahagia dengan dasar cinta

dan kasih sayang, untuk memperoleh keturunan yang sah dalam

masyarakat dengan mengikuti ketentuan-ketentuan yang telah diatur.12

Pendapat Soemiyati tersebut oleh seorang filosof Islam Imam Ghazali

kemudian dibagi menjadi 5 tujuan perkawinan, yaitu :

1) Memperoleh keturunan yang sah yang akan melangsungkan

keturunan serta memperkembangkan suku-suku bangsa manusia.

2) Memenuhi tuntutan naluriah hidup kemanusiaan.

3) Memelihara manusia dari kejahatan dan kerusakan.

4) Membentuk dan mengatur rumah tangga yang menjadi basis

pertama dari masyarakat yang besar diatas dasar kecintaan dan

kasih sayang.

5) Menumbuhkan kesungguhan berusaha mencari rezeki penghidupan

yang halal, dan memperbesar rasa tanggung jawab.13

Lebih jelasnya mengenai tujuan dan faedah perkawinan di atas maka akan

diuraikan satu persatu sebagai berikut:14

a. Untuk memperoleh keturunan yang sah yang akan melangsungkan

keturunan serta akan memperkembangkan suku-suku bangsa manusia.

Memperoleh keturunan dalam perkawinan bagi penghidupan manusia

mengandung pengertian dua segi yaitu:

1) Untuk kepentingan diri pribadi

Memperoleh keturunan merupakan dambaan setiap orang. Bisa

dirasakan bagaimana perasan sepasang suami istri yang hidup

berumah tangga tanpa seorang anak, tentu kehidupannya akan sepi

dan hampa. Disamping itu keinginan untuk memperoleh anak bisa

dipahami, karena anak-anak itulah yang nantinya bisa diharapkan

membantu orang tua dan keluarganya di kemudian hari.

11

M. Idris Ramulyo, Op. Cit, hal. 26. 12

Soemiyati, Op. Cit, hal. 12. 13

Loc. Cit 14

Loc. Cit

24

2) Untuk kepentingan yang bersifat umum atau universal

Dari aspek yang bersifat umum atau universal karena anak-anak

itulah yang menjadi penghubung atau penyambung keturunan

seseorang dan yang akan berkembang untuk meramalkan dan

memakmurkan dunia.

b. Memenuhi tuntutan naluriah hidup kemanusiaan.

Tuhan telah menciptakan manusia dengan jenis kelamin yang berlainan

yaitu laki-laki dan perempuan. Sudah menjadi kodrat manusia bahwa

antara laki-laki dan perempuan memiliki daya tarik. Daya tarik ini

adalah kebirahian atau seksual. Sifat ini yang merupakan tabiat

kemanusiaan. Dengan perkawinan pemenuhan tuntutan tabiat

kemanusiaan dapat disalurkan secara sah.

c. Memelihara manusia dari kejahatan dan kerusakan.

Dengan perkawinan manusia akan selamat dari perbuatan amoral,

disamping akan merasa aman dari keretakan sosial. Bagi orang yang

memiliki pengertian dan pemahaman akan nampak jelas bahwa jika ada

kecenderungan lain jenis itu dipuaskan dengan perkawinan yang

disyari’atkan dengan hubungan yang halal. Maka manusia baik secara

individu maupun kelompok akan menikmati adab yang utama dan

ahklak yang baik. Dengan demikian masyarakat dapat melaksanakan

risalah dan memikul tanggung jawab yang dituntut oleh Allah.

d. Membentuk dan mengatur rumah tangga yang menjadi basis utama dari

masyarakat yang besar atas dasar kecintaan dan kasih sayang.

Ikatan perkawinan adalah ikatan lahir batin yang berupa asas cinta dan

kasih sayang merupakan salah satu alat untuk memperkukuh ikatan

perkawinan. Diatas rasa cinta dan kasih sayang inilah kedua belah pihak

yang melakukan ikatan perkawinan itu berusaha membentuk rumah

tangga yang bahagia. Dari rumah tangga inilah kemudian lahir anak-

anak, kemudian bertambah luas menjadi rumpun keluarga demikian

seterusnya sehingga tersusun masyarakat besar. Dengan demikian tanpa

adanya perkawinan, tidak mungkin ada keluarga dan dengan sendirinya

tidak ada pula unsur yang mempersatukan bangsa manusia dan

selanjutnya tidak ada peradaban. Hal ini sesuai dangan pendapat

Mohammad Ali yang dikutip oleh Soemiyati mengatakan bahwa:

“Keluarga yang merupakan kesatuan yang nyata dari bangsa-bangsa

manusia yang menyebabkan terciptanya peradaban hanyalah mungkin

diwujudkan dengan perkawinan”. Oleh sebab itu dengan perkawinan

akan terbentuk keluarga dan dengan keluarga itu akan tercipta

peradaban.

e. Menumbuhkan kesungguhan berusaha mencari rezeki kehidupan yang

halal dan memperbesar rasa tanggung jawab.

Pada umumnya pemuda dan pemudi sebelum melaksanakan

perkawinan, tidak memikirkan soal penghidupan, karena tanggung

jawab mengenai kebutuhan kehidupan masih relatif kecil dan segala

keperluan masih ditanggung orangtua. Tetapi setelah mereka berumah

tangga mereka mulai menyadari akan tanggung jawabnya dalam

25

mengemudikan rumah tangga. Suami sebagai kepala keluarga mulai

memikirkan bagaimana mulai mencari rezeki yang halal untuk

mencukupi kebutuhan rumah tangga. Dengan keadaan yang demikian

akan menambah aktifitas kedua belah pihak, suami akan berusaha dan

bersungguh-sungguh dalam mencari nafkah atau rezeki apalagi jika

mereka sudah memiliki anak.

Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 menyebutkan bahwa

tujuan dari perkawinan adalah membentuk keluarga (rumah tangga) yang

bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, dari rumusan

pasal tersebut dapat disimpulkan bahwa tujuan pokok perkawinan adalah

membentuk keluarga yang bahagia dan kekal. Suami istri perlu saling

membantu agar masing-masing dapat mengembangkan kepribadiannya

membantu dan mencapai kesejahteraan spiritual maupun material.

Soedharyo Soimin dalam hal ini mengatakan bahwa :

Tujuan material yang akan diperjuangkan oleh suatu perjanjian

perkawinan mempunyai hubungan yang erat sekali dengan agama,

sehingga bukan saja mempunyai unsur lahir atau jasmani, tetapi unsur

batin atau rohani juga mempunyai peranan penting (Penjelasan

Undang-undang No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan). Jadi

perkawinan adalah suatu perjanjian yang diadakan oleh dua orang,

dalam hal ini perjanjian antara seorang pria dan seorang wanita

dengan tujuan material, yaitu membentuk keluarga (rumah tangga)

yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa,

sebagai asas pertama dalam Pancasila.15

Ketentuan undang-undang yang menyatakan berdasarkan Ketuhanan Yang

Maha Esa mengartikan bahwa perkawinan mempunyai hubungan yang

sangat erat dengan agama atau kerohanian, dalam hal perkawinan di setiap

agama pasti mempunyai suatu tujuan yang jelas, tujuan perkawinan tersebut

15

Soedharyo Soimin, Hukum Orang dan Keluarga, Sinar Grafika, Jakarta, 1992, hal. 6.

26

diharapkan dapat membuat suatu ketenangan (sakinah) dalam hubungan

rumah tangga dengan dasar agama.

Berdasarkan uraian diatas maka tujuan perkawinan dapat dijabarkan

sebagai berikut:

1. Melaksanakan ikatan perkawinan antara pria dan wanita yang

sudah dewasa guna membentuk kehidupan rumah tangga.

2. Mengatur kehidupan seksual antara seorang laki-laki dan

perempuan sesuai dengan ajaran dan firman Tuhan Yang Maha

Esa.

3. Memperoleh keturunan untuk melanjutkan kehidupan

kemanusiaan dan selanjutnya memelihara pembinaan terhadap

anak-anak untuk masa depan.

4. Memberikan ketetapan tentang hak kewajiban suami dan istri

dalam membina kehidupan keluarga.

5. Mewujudkan kehidupan masyarakat yang teratur, tentram dan

damai.16

c. Sahnya Perkawinan

Sahnya perkawinan diatur oleh ketentuan Pasal 2 Undang-Undang

Nomor 1 Tahun 1974 yang menyebutkan :

1) Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-

masing agamanya dan kepercayaanya itu.

2) Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-

undangan yang berlaku.

kemudian pada bagian Penjelasan pasal demi pasal, khususnya penjelasan

Pasal 2 tersebut disebutkan sebagai berikut :

“Tidak ada perkawinan diluar hukum masing-masing agamanya dan

kepercayaanya itu, sesuai dengan Undang-Undang Dasar 1945.”

dengan demikian dapat dikatakan konsep perkawinan menurut Undang-

Undang Nomor 1 Tahun 1974 adalah perkawinan yang sesuai ketentuan

16

Ibid, hal. 7

27

agama para pihak dan juga tidak bertentangan dengan peraturan perundang-

undangan yang berlaku. Hilman Hadikusuma mengatakan bahwa :

Kata sah berarti menurut hukum yang berlaku, apabila perkawinan itu

dilaksanakan tidak menurut tata tertib hukum yang telah ditentukan

maka perkawinan itu tidak sah. Jadi kalau tidak menurut aturan

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 berarti tidak sah menurut

perundang-undangan.17

Mengenai hal tersebut Trusto Subekti berpendapat bahwa :

Perkawinan merupakan suatu peristiwa hukum, yaitu peristiwa yang

akibatnya diatur oleh hukum, atau sebagai suatu peristiwa yang diberi

akibat hukum. Suatu perkawinan merupakan suatu peristiwa hukum

apabila perkawinan tersebut merupakan peristiwa yang sah. Jadi suatu

perkawinan dikatakan sah menurut hukum adalah apabila suatu

perkawinan dilakukan menurut aturan hukum yang berlaku, yang

dalam hal ini adalah menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974

tentang Perkawinan dan Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975

tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, diakui

(kebenarannya), mengikat, dan juga memiliki akibat hukum serta

memperoleh perlindungan hukum.18

d. Syarat-Syarat Perkawinan

Menurut Trusto Subekti Syarat perkawinan adalah:

“Keadaan yang harus ada atau keadaan yang menghalangi untuk

dilakukanya suatu perkawinan, dan apabila syarat-syarat tersebut

dilanggar berarti proses perkawinan tidak bisa dilangsungkan”.19

Bagi pasangan yang hendak melangsungkan perkawinan, harus

memenuhi syarat-syarat tertentu untuk sahnya suatu perkawinan. Ikatan

antara seorang pria dan seorang wanita dapat dipandang sebagai suami-

isteri, mana kala ikatan tersebut didasarkan pada adanya perkawinan yang

17

Hilman Hadikusuma, Hukum Perkawinan Indonesia, Mandar Madju, Bandung, 1990,

hal. 26. 18

Trusto Subekti, Bahan Pembelajaran Hukum Keluarga dan Perkawinan, Fakultas Hukum

Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto, 2009, hal. 26. 19

Ibid, hal. 43.

28

sah, untuk sahnya perkawinan harus memenuhi syarat-syarat tertentu yang

telah ditentukan oleh undang-undang.

Syarat-syarat untuk melangsungkan perkawinan telah diatur dalam

Pasal 6 sampai dengan Pasal 12 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974.

Syarat-syarat perkawinan ini telah ditentukan secara limitatif dan

dirumuskan dengan menggunakan kata “harus”, “hanya”, “larangan”, “tidak

boleh”, dan meliputi aspek persetujuan calon suami-isteri, izin dari orang

tua, umur kawin, larangan kawin, waktu tunggu, serta tatacara (formalitas).

Syarat-syarat perkawinan yang diatur dalam Undang-Undang Nomor

1 Tahun 1974 dan Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 dapat

dikelompokkan sebagai berikut :

a. Syarat-Syarat Materiil

Syarat materiil adalah syarat mengenai orang-orang yang hendak

kawin dan ijin-ijin yang harus diberikan oleh pihak ketiga dalam hal-hal

yang ditentukan oleh undang-undang. Syarat-syarat materiil ini terbagi

menjadi 2 (dua) yaitu:

1. Syarat Materiil Mutlak

Syarat yang harus dipenuhi setiap orang yang akan melangsungkan

perkawinan yang terdiri dari:

a) Perkawinan harus didasarkan atas persetujuan kedua calon suami-

isteri (Pasal 6 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974)

b) Seorang yang belum mencapai umur 21 tahun harus mendapatkan

ijin dari kedua orang tuanya (Pasal 6 ayat (2) Undang-Undang

Nomor 1 Tahun 1974)

c) Perkawinan diijinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19

tahun dan pihak wanita sudah mencapai umur 16 (Pasal 7 ayat (1)

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974)

d) Bagi wanita yang putus perkawinannya berlaku waktu tunggu

(Pasal 11 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974), yaitu :

1) Apabila perkawinan putus karena kematian waktu tunggu

ditetapkan 130 hari.

2) Apabila perkawinan putus karena perceraian, waktu tunggu bagi

yang masih berdatang bulan ditetapkan 3 kali suci dengan

sekurang-kurangnya 90 hari, bagi yang tidak berdatang bulan

ditetapkan 90 hari.

29

3) Apabila perkawinan putus, sedangkan janda dalam keadaan

hamil, maka waktu tunggu ditetapkan sampai ia melahirkan.

4) Apabila perkawinan putus karena perceraian, sedangkan antara

janda dan bekas suaminya belum pernah terjadi hubungan

kelamin, maka tidak ada waktu tunggu.

2. Syarat Materiil Relatif

Syarat materiil relatif, adalah syarat-syarat bagi pihak yang hendak

dikawini, seseorang yang telah memenuhi syarat materiil mutlak

diperbolehkan kawin, tetapi ia tidak boleh kawin dengan setiap orang.

Dengan siapa ia hendak kawin, harus memenuhi syarat materiil relatif,

syarat-syarat tersebut adalah :

a) Perkawinan dilarang antara 2 (dua) orang yang :

1) Berhubungan darah dalam garis keturunan ke bawah atau ke

atas.

2) Berhubungan darah dalam garis keturunan menyamping, yaitu

antara saudara, antara seseorang dengan saudara orang tua dan

antara seseorang dengan saudara neneknya.

3) Berhubungan semenda, yaitu mertua, anak tiri, menantu dan ibu-

bapak tiri.

4) Berhubungan susuan, yaitu orang tua susuan, anak susuan, bibi

susuan.

5) Berhubungan saudara dengan isteri, dalam hal seorang suami

beristeri lebih dari 1 (satu) orang.

6) Mempunyai hubungan yang oleh agamanya atau peraturan lain

yang berlaku sekarang (Pasal 8 Undang-Undang Nomor 1

Tahun 1974).

b) Seseorang yang masih terikat tali perkawinan dengan orang lain

tidak dapat kawin lagi dalam hal yang tersebut dalam Pasal 3 ayat

(2) dan Pasal 4 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 (Pasal 9

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974).

c) Apabila suami dan isteri yang telah cerai kawin lagi satu dengan

yang lain dan bercerai lagi untuk kedua kalinya, maka di antara

mereka tidak boleh dilangsungkan perkawinan lagi, sepanjang

bahwa masing-masing agamanya dan kepercayaannya dari yang

bersangkutan tidak menentukan lain (Pasal 10 Undang-Undang

Nomor 1 Tahun 1974).

b. Syarat-Syarat Formal

Syarat-syarat formal terdiri dari formalitas-formalitas yang

mendahului perkawinan. Syarat-syarat formil tersebut terdiri dari 3 (tiga)

tahap, yaitu :

1) Pemberitahuan kepada Pegawai Pencatat Perkawinan.

2) Penelitian syarat-syarat perkawinan

Penelitian syarat-syarat perkawinan dilakukan setelah ada

pemberitahuan akan perkawinan oleh Pegawai Pencatat Perkawinan.

Penelitian syarat-syarat perkawinan memeriksa apakah syarat-syarat

30

perkawinan sudah terpenuhi atau belum dan apakah ada halangan

perkawinan menurut undang-undang.

3) Pengumuman tentang pemberitahuan untuk melangsungkan

perkawinan.

Tujuan diadakan pengumuman ini, yaitu untuk memberi kesempatan

kepada umum untuk mengetahui dan mengajukan keberatan-keberatan

terhadap dilangsungkannya perkawinan. Pengumuman tersebut

ditanda tangani oleh Pegawai Pencatat Perkawinan dan memuat hal

ihwal orang yang akan melangsungkan perkawinan, yang memuat

kapan dan di mana perkawinan itu akan dilangsungkan.20

Maksud dari persetujuan seperti yang tertulis dalam Pasal 6 ayat (1)

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 adalah persetujuan dari kedua belah

pihak calon pasangan suami isteri untuk melangsungkan perkawinan yang

diberikan dalam keadaan bebas, yaitu dengan tidak adanya paksaan,

penipuan maupun kekhilafan. Persetujuan tersebut menjadi landasan untuk

membina hubungan suatu rumah tangga bagi pasangan yang akan

melangsungkan perkawinan. Pasangan yang belum memenuhi umur yang

telah ditentukan harus mendapatkan ijin dari kedua orang tua masing-

masing calon suami isteri hal ini dikarenakan perkawinan bukan semata-

mata hubungan antara calon suami istri saja tetapi juga mempunyai

hubungan antar keluarga.

Mengingat banyak hal yang mungkin timbul dikemudian hari setelah

adanya suatu perkawinan, baik dari pasangan suami-istri itu sendiri maupun

dari keluarga termasuk dari orang tua diharapkan tidak adanya perpecahan

dalam perkawinan tersebut yang disebabkan oleh ketidakcocokan atau tidak

adanya persesuaian sebelumnya dikarenakan pelaksanaan perkawinan

20

Zakiyah Alatas, Pelaksanaan Perkawinan Beda Agama Setelah Berlakunya Undang-

Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan di Kabupaten Semarang, Magister

Kenotariatan Universitas Diponegoro, Semarang, 2007, hal. 11-15.

31

tersebut bukan kemauan dari salah satu pihak saja, baik hanya kemauan dari

pasangan itu sendiri atau kemauan dari keluarga ataupun orang tua semata.

Adanya persetujuan perkawinan dari semua pihak terkait akan membuat

risiko dan tanggungjawab dari perkawinan tersebut dipikul secara bersama-

sama.

Penentuan batasan umur untuk melangsungkan perkawinan seperti

yang diatur di dalam Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974

sangat penting artinya. Hal ini sesuai dengan apa yang dikemukakan oleh

Wirjono Projodikoro, bahwa :

“Suatu perkawinan disamping menghendaki kematangan biologis,

menghendaki juga adanya kematangan psikologis.”21

Ketentuan Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974

tersebut dapat disimpangi apabila ternyata dari pasangan yang akan

melangsungkan pernikahan ada yang belum memenuhi persyaratan tentang

batasan umur, yaitu dengan pengajuan dispensasi ke pengadilan atau pejabat

lain yang ditunjuk oleh kedua orang tua dari pihak pria sebagai calon suami

maupun pihak wanita sebagai calon isteri.

Waktu tunggu bagi wanita yang akan menikah lagi juga diatur dalam

Pasal 39 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975. Pasal tersebut

menyebutkan waktu tunggu bagi wanita yang akan melakukan perkawinan

lagi dibedakan menjadi 3 (tiga) macam menurut sebab putusnya

perkawinan, yaitu :

21

Wiryono Projodikoro,Hukum Perkawinan Di Indonesia, Sumur Bandung, Jakarta, 1984,

hal. 41.

32

1) Masa tunggu bagi wanita yang perkawinannya putus karena

kematian maka waktu tunggu ditetapkan selama 130 (seratus tiga

puluh) hari dihitung sejak kematian suami.

2) Masa tunggu bagi wanita yang perkawinannya putus karena cerai

maka waktu tunggu ditetapkan selama 3 (tiga) kali suci dengan

sekurang-kurangnya 90 (sembilan puluh) hari dan bagi yang tidak

berdatang bulan ditetapkan selama 90 (sembilan puluh) hari

dihitung sejak jatuhnya putusan pengadilan yang telah mempunyai

kekuatan hukum yang tetap.

3) Masa tunggu bagi wanita yang perkawinannya putus baik karena

perceraian ataupun kematian dan dalam keadaan sedang hamil

maka waktu tunggu ditetapkan sampai melahirkan.

Pengaturan waktu tunggu bagi seorang janda dimaksudkan untuk

menghindari adanya percampuran darah dari anak yang sedang dikandung.

e. Azas-Azas Perkawinan dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974

tentang Perkawinan

Menurut Abdul Manan, asas-asas perkawinan menurut Undang-

Undang Nomor 1 Tahun 1974 adalah sebagai berikut :

a. Asas Sukarela

Dalam Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 dijelaskan bahwa

yang dimaksud dengan perkawinan adalah ikatan lahir batin antara

seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan

untuk membentuk keluarga yang sejahtera, kekal berdasarkan

Ketuhanan Yang Maha Esa. Perkawinan dianggap sah apabila

dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan

kepercayaannya itu. Sehubungan dengan hal tersebut di atas agar

perkawinan terlaksana dengan baik, maka perkawinan yang

dilaksanakan itu haruslah didasarkan dengan persetujuan kedua

33

mempelai agar suami istri dapat membentuk keluarga bahagia, sejahtera

dan kekal, maka diwajibkan bagi calon mempelai untuk saling

mengenal terlebih dahulu. Perkenalan yang dimaksud dalam hal ini

adalah perkenalan atas dasar moral dan tidak menyimpang dari norma

agama yang dianutnya. Orang tua dilarang memaksa anak-anaknya

untuk dijodohkan dengan pria atau wanita pilihan orang tua, melainkan

diharapkan dapat membimbing dan menuntun anak-anaknya untuk

memilih pasangan hidup yang serasi bagi mereka yang sesuai dengan

anjuran agama. Sesuai dengan prinsip hak asasi manusia, maka kawin

paksa sangat dilarang oleh Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 ini.

Selain itu asas sukarela ini juga dibuktikan dengan adanya batas umur

yang dikehendaki Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, yaitu

minimal 16 tahun bagi wanita dan 19 tahun bagi laki-laki.

Penyimpangan dari batas umur yang ditentukan dalam undang-undang

ini harus mendapat dispensasi terlebih dahulu dari pengadilan.

Pengajuan dispensasi dapat diajukan oleh orang tua atau wali dari calon

mempelai yang belum mencapai batas umur minimal yang telah

ditentukan tersebut. Antara kedua mempelai harus ada kerelaan yang

mutlak untuk melangsungkan perkawinan berdasarkan kesadaran dan

keinginan bersama secara ikhlas untuk mengadakan akad sesuai dengan

hukum agama dan kepercayaannya.

b. Asas Partisipasi Keluarga

Meskipun calon mempelai diberi kebebasan untuk memilih pasangan

hidupnya berdasarkan asas sukarela, tetapi karena perkawinan itu

merupakan suatu peristiwa yang penting dalam kehidupan seseorang,

Sebab perkawinan itu tidak hanya menyangkut calon mempelai wanita

dan pria saja, tetapi orang tua kedua belah pihak, saudara-saudaranya,

bahkan keluarga mereka masing-masing, maka dari itu partisipasi

keluarga sangat diharapkan di dalam pelaksanaan akad perkawinan

tersebut. Pihak keluarga masing-masing diharapkan memberikan restu

perkawinan kepada kedua mempelai. Hal ini sesuai dengan sifat dan

kepribadian bangsa Indonesia yang penuh dengan etika sopan, santun

dan religius. Sehubungan dengan hal tersebut diatas bagi para mempelai

yang belum mencapai umur 21 tahun harus mendapat izin terlebih

dahulu dari orang tuanya sebelum melaksanakan perkawinannya.

Dalam keadaan orang tuanya tidak ada atau tidak mampu menyatakan

kehendaknya, maka izin tersebut dapat diperoleh dari walinya, atau

keluarga dalam garis lurus ke atas. Seandainya pihak-pihak tersebut

keberatan, maka izin untuk melangsungkan perkawinan tersebut dapat

diperoleh dari Pengadilan Umum bagi orang-orang non-muslim dan

Pengadilan Agama bagi yang beragama Islam (Pasal 6 ayat (4) dan (5)

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974). Partisipasi keluarga

diharapkan dalam peminangan dan dalam hal pelaksanaan perkawinan,

dengan demikian diharapkan dapat terjalin hubungan silahturahmi

antara pihak keluarga kedua mempelai, dan dengan harapan agar dapat

34

membimbing pasangan yang baru menikah itu menciptakan rumah

tangga yang baik sesuai dengan norma-norma yang berlaku.

c. Perceraian Dipersulit

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 berusaha menekan angka

perceraian pada titik yang paling rendah. Hal ini didasarkan pada

pandangan bahwa perceraian yang dilakukan tanpa kendali dan

sewenang-wenang dapat mengakibatkan kehancuran bukan hanya pada

pasangan suami-istri tersebut, juga kepada anak-anak mereka yang

seharusnya diasuh dan dipelihara dengan baik. Oleh karena itu,

pasangan suami-istri yang telah menikah secara sah harus bertanggung

jawab dalam membina keluarga agar perkawinan yang telah

dilangsungkan itu dapat utuh sampai maut memisahkan. Banyak

sosiolog menyatakan bahwa berhasil atau tidaknya dalam membina

masyarakat sangat ditentukan oleh masalah perkawinan yang

merupakan salah satu faktor diantara beberapa faktor yang lain.

Kegagalan membina rumah tangga bukan hanya membahayakan rumah

tangga itu sendiri, tetapi juga berpengaruh bagi kehidupan masyarakat.

Sebagian kenakalan remaja yang terjadi di beberapa Negara disebabkan

oleh keluarga yang berantakan. Penggunaan hak cerai dengan

sewenang-wenang dengan dalih bahwa perceraian itu adalah hak suami

harus segera dihilangkan. Pemikiran yang keliru itu harus segera

diperbaiki. Hal cerai tidak dipegang oleh suami saja, tetapi istri juga

dapat menggugat cerai suaminya apabila ada hal-hal yang menurut

keyakinan rumah tangga yang telah dibina tersebut sudah tidak dapat

dipertahankan dan diteruskan. Untuk itu Undang-Undang Nomor 1

Tahun 1974 merumuskan bahwa perceraian itu harus dilakukan di

depan pengadilan. Perceraian yang dilaksanakan di luar pengadilan

dianggap tidak mempunyai kekuatan hukum, dengan demikian tidak

diakui kebenarannya di mata hukum. Pengadilan berusaha semaksimal

mungkin untuk mendamaikan kedua belah pihak untuk rukun kembali.

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tidak melarang perceraian tetapi

mempersulit pelaksanaannya, artinya tetap dimungkinkan perceraian

jika seandainya memang benar-benar tidak dapat dihindarkan, dan

harus dilakukan secara baik-baik di depan sidang pengadilan.

Perceraian yang demikian merupakan hal yang baru dalam masyarakat

Indonesia, yang sebelumnya hak cerai sepenuhnya berada di tangan

suami yang pelaksanaannya dapat dilakukan semaunya yang sama

sekali tidak memperhatikan hak-hak istri dan anak-anaknya.

d. Poligami Dibatasi dengan Ketat

Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, perkawinan adalah

bersifat monogami, namun demikian mempunyai istri lebih dari satu

orang dapat dibenarkan asalkan tidak bertentangan dengan hukum

agama yang dianutnya, serta memenuhi alasan dan persyaratan tertentu

yang ditetapkan dengan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, yaitu

beristri lebih dari satu orang dapat dilaksanakan apabila ada izin dari

istrinya dan baru dapat dilaksanakan apabila ada izin dari Pengadilan

35

Agama terlebih dahulu. Dalam pasal 4 dan pasal 5 Undang-Undang

Nomor 1 Tahun 1974 dijelaskan bahwa seorang pria yang bermaksud

kawin lebih dari satu orang harus dengan alasan bahwa istri tidak dapat

menjalankan kewajibannya sebagai seorang istri, istri mendapat cacat

badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan dan istri tidak dapat

melahirkan keturunan. Dalam hal ini tidak dijelaskan secara rinci

apakah ketentuan tersebut bersifat kumulatif atau alternatif. Oleh karena

itu, penggunaan alasan-alasan tersebut diserahkan kepada Hakim.22

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 menentukan prinsip-prinsip

perkawinan yang pengaturannya terdapat dalam penjelasan umum dari

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974. Azas-azas perkawinan ada 6 macam

sebagaimana termuat dalam Penjelasan Umum Undang-Undang Nomor 1

Tahun 1974, yaitu :

1. Tujuan perkawinan adalah membentuk keluarga yang bahagia dan

kekal. Untuk itu suami istri perlu saling membantu dan melengkapi,

agar masing-masing dapat mengembangkan kepribadiannya

membantu dan mencapai kesejahteraan spiritual dan materiil.

2. Dalam undang-undang ini dinyatakan, bahwa suatu perkawinan

adalah sah bilamana dilakukan menurut hukum masing-masing

agamanya dan kepercayaannya itu, dan disamping itu tiap-tiap

perkawinan harus dicatat menurut peraturan perundang-undangan

yang berlaku.

3. Undang-undang ini menganut asas monogami. Hanya apabila

dikehendaki oleh yang bersangkutan karena hukum agama dari yang

bersangkutan mengizinkannya, seorang suami dapat beristri lebih

dari seorang. Namun demikian, perkawinan seorang suami dengan

lebih dari seorang istri, meskipun hal itu dikehendaki oleh pihak-

pihak yang bersangkutan, hanya dapat dilakukan apabila dipenuhi

berbagai persyaratan tertentu dan diputuskan oleh pengadilan.

4. Undang-undang ini menganut prinsip, bahwa calon suami istri itu

harus telah matang jiwa dan raganya untuk dapat melangsungkan

perkawinan, agar supaya dapat diwujudkan tujuan perkawinan secara

baik tanpa berakhir pada perceraian dan mendapat keturunan yang

baik dan sehat.

5. Karena tujuan perkawinan adalah untuk membentuk keluarga yang

bahagia, kekal dan sejahtera, maka undang-undang ini menganut

prinsip untuk mempersukar terjadinya perceraian. Untuk

22

Abdul Manan, Hukum Perdata Islam di Indonesia, Kencana Prenada Media Group,

Jakarta, 2006, hal. 6-9.

36

memungkinkan perceraian, harus ada alasan-alasan tertentu serta

harus dilakukan di depan sidang pengadilan.

6. Hak dan kedudukan istri adalah seimbang dengan hak dan kewajiban

suami baik dalam kehidupan rumah tangga maupun dalam pergaulan

masyarakat, sehingga dengan demikian segala sesuatu dalam

keluarga dapat dirundingkan dan diputuskan bersama oleh suami

istri.

Perkawinan yang dilangsungkan tanpa didasari oleh agama atau

kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa dapat dipandang sebagai

perkawinan yang tidak sah dan tidak mempunyai kekuatan hukum. Bagi

pasangan yang tetap hidup bersama seatap dengan tidak didasari oleh

perkawinan yang sah maka tak ubahnya pasangan tersebut sebagai pasangan

“kumpul kebo” yang tidak mempunyai perlindungan hukum baik bagi

mereka ataupun bagi anak-anak yang dihasilkan dari perkawinan yang tidak

sah tersebut.

f. Pencatatan Perkawinan

Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 menyatakan

bahwa tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan

yang berlaku. Penjelasan umum undang-undang tersebut menyebutkan

bahwa pencatatan perkawinan adalah sama halnya dengan peristiwa-

peristiwa penting dalam kehidupan seseorang misalnya kelahiran, kematian

yang dinyatakan dalam surat-surat keterangan, suatu akta resmi yang juga

dimuat dalam daftar pencatatan. Menurut Djoko Prakoso dan I Ketut

Murtika:

Pencatatan perkawinan itu tidaklah menjadi suatu ketentuan sahnya

suatu perkawinan, tetapi hanya menyatakan bahwa peristiwa

37

perkawinan itu memang ada dan terjadi, hal ini hanya semata-mata

bersifat administratif.23

Pencatatan perkawinan dijelaskan pada Bab II Pasal 2 Peraturan

Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang pencatatan perkawinan yang

menyebutkan bahwa bagi mereka yang melakukan perkawinan menurut

agama Islam, pencatatan dilakukan oleh Pegawai Pencatatat sebagaimana

dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 1954 tentang Pencatatan

Nikah, Talak dan Rujuk, sedangkan untuk mencatatkan perkawinan dari

mereka yang beragama dan kepercayaan selain Islam, menggunakan dasar

hukum Pasal 2 Ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975

dilakukan di Kantor Pencatatan Sipil.

Pasal 3 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 menyebutkan

bahwa setiap orang yang hendak melangsungkan perkawinan harus

memberitahukan kehendaknya itu, baik secara lisan maupun tertulis kepada

pegawai pencatat di tempat perkawinan akan dilangsungkan, dalam jangka

waktu sekurang-kurangnya sepuluh hari kerja sebelum perkawinan

dilangsungkan. Kehendak melangsungkan perkawinan harus memuat :

a) Nama

b) Umur

c) Agama atau Kepercayaan

d) Pekerjaan

e) Tempat kediaman calon mempelai

23

Djoko Prakoso dan I Ketut Murtika, Azas-Azas Hukum Perkawinan Di Indonesia, Bina

Aksara, Jakarta., 1987, hal. 22.

38

f) Apabila salah seorang atau keduanya pernah kawin disebutkan juga

nama istri atau nama suami terdahulu.

Pasal 6 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 menyebutkan,

bahwa pegawai pencatat selain meneliti tentang apakah syarat-syarat

perkawinan telah dipenuhi dan apakah tidak terdapat halangan perkawinan

menurut undang-undang, juga mempunyai tugas untuk meneliti :

a) Kutipan akta kelahiran calon mempelai

b) Keterangan mengenai nama, agama atau kepercayaan, pekerjaan dan

tempat tinggal kedua orang tua calon mempelai

c) Izin tertulis atau izin pengadilan sebagai dimaksud dalam Pasal 6

ayat (2), (3), (4) dan (5) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974

d) Izin pengadilan sebagaimana dimaksud Pasal 4 Undang-Undang

Nomor 1 Tahun 1974

e) Dispensasi pengadilan atau pejabat sebagaimana dimaksud dalam

Pasal 7 ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974

f) Surat kematian istri atau suami atau surat keterangan perceraian bagi

perkawinan untuk kedua kalinya atau lebih

g) Surat kuasa otentik atau dibawah tangan yang disahkan oleh pegawai

pencatat, apabila salah seorang calon mempelai atau keduanya tidak

dapat hadir sendiri karena sesuatu alasan yang penting sehingga

diwakilkan kepada orang lain.

Setelah dipenuhinya tata cara dan syarat-syarat pemberitahuan, serta

tidak ada halangan perkawinan, pegawai pencatat menyelenggarakan

39

pengumuman tentang pemberitahuan kehendak melangsungkan perkawinan

di kantor pencatatan perkawinan pada tempat yang sudah ditentukan dan

mudah dibaca oleh umum. Sepuluh hari setelah pengumuman perkawinan

tersebut, dan selama pengumuman tadi tidak ada pencegahan perkawinan,

maka perkawinan bisa dilaksanakan. Menurut Trusto Subekti:

Saat pencatatan perkawinan adalah sesaat sesudah dilangsungkannya

perkawinan menurut hukum masing-masing agamanya dan

kepercayaanya itu, agar peristiwa pencatatan perkawinan itu dapat

menjadi jelas, baik bagi yang bersangkutan maupun bagi orang atau

masyarakat lainnya, perkawinan dicatatkan dalam surat yang bersifat

resmi yang berupa akta dan sewaktu-waktu dapat dipergunakan bila

diperlukan, terutama sebagai alat bukti tertulis yang otentik.24

Pendapat beliau sejalan dengan ketentuan Pasal 11 ayat (3) Peraturan

Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 yang menentukan bahwa dengan

penandatanganan akta perkawinan, maka perkawinan tercatat secara resmi.

Menurut Sudikno Mertokusumo :25

Akta adalah surat yang diberi tanda tangan, yang memuat peristiwa-

peristiwa yang menjadi dasar sesuatu hak atau perikatan, dan dibuat

sejak semula dengan sengaja untuk pembuktian.

Menurut Wahyono Darmabrata :26

Akta perkawinan adalah suatu alat bukti yang membuktikan

kebenaran tentang terjadinya peristiwa hukum yang berupa peristiwa

perkawinan tersebut.

24

Trusto Subekti, Kumpulan Artikel dan Laporan Penelitian Hukum, Fakultas Hukum

Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto, 2012, hal. 13. 25

Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata di Indonesia, Liberty, Yogyakarta, 1976,

hal. 106. 26

Wahyono Darmabrata dan Surini Ahlan Sjarif, Hukum Perkawinan dan Keluarga di

Indonesia, Rizkita, Jakarta, 2002, hal. 39-40.

40

Pencatatan menjadi hal yang sangat penting dalam suatu perkawinan,

menurut Saidus Syahar pentingnya pendaftaran dan pencatatan perkawinan

adalah :27

1) Agar ada kepastian hukum dengan adanya alat bukti yang kuat bagi

yang berkepentingan mengenai perkawinannya, sehingga

memudahkannya dalam melakukan hubungan dengan pihak ketiga.

2) Agar lebih menjamin ketertiban masyarakat dalam hubungan

kekeluargaan sesuai dengan akhlak dan etika yang dijunjung tinggi

oleh masyrakat dan negara.

3) Agar ketentuan undang-undang yang bertujuan membina perbaikan

sosial lebih efektif.

4) Agar nilai-nilai dan norma keagamaan dan kepentingan umum lainnya

sesuai dengan dasar negara Pancasila lebih ditegakan.

2. Tinjauan tentang Perkawinan beda agama

Sebagai negara yang besar Indonesia mempunyai beragam etnis, suku

bangsa, budaya serta agama. Agama yang diakui secara resmi di Indonesia

adalah Islam, Kristen, Katholik, Budha dan Hindu. Konstitusi menjamin setiap

pemeluk agama bebas menjalankan dan mengamalkan agamanya masing-

masing dengan seluas-luasnya.

Setiap agama mengajarkan kebaikan kepada pemeluknya, meskipun

prinsip-prinsip dasarnya berbeda-beda. Kebaikan yang diajarkan agama

mempunyai dimensi yang universal, sehingga antara pemeluk agama

diharuskan untuk mengamalkan ajaran agamanya agar tercipta keharmonisan

secara internal diantara umat beragama itu sendiri dan keharmonisan eksternal

antar pemeluk agama yang berbeda.

27

Saidus Syahar, Undang-Undang Perkawinan dan Masalah Pelaksanaannya Ditinjau Dari

Segi Hukum Islam, Alumni, Bandung, 1981, hal. 108.

41

Keharmonisan diantara pemeluk agama yang berbeda sudah pasti

membawa nilai-nilai yang positif tersendiri bagi masyarakat, tetapi terkadang

juga menimbulkan permasalahan tersendiri, sebagai contoh adalah ketika dua

insan manusia yang berbeda jenis kelamin dan saling menyayangi, saling

mengasihi, mereka hendak mengikat tali janji untuk melakukan perkawinan,

sementara agama mereka berbeda dan mereka tetap berprinsip pada keyakinan

agamanya masing-masing. Hal inilah yang menimbulkan permasalahan

tersendiri, karena hukum perkawinan di Indonesia menentukan bahwa

perkawinan hanya sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing

agama dan kepercayaanya itu, sudah menjadi pengetahuan umum bahwa tidak

ada agama yang memperbolehkan umatnya melangsungkan perkawinan

dengan umat agama lain.

Perkawinan beda agama adalah perkawinan yang dilakukan oleh

sepasang calon suami istri yang menganut agama berbeda pada saat

melangsungkan perkawinannya. Menurut Rusli dan R. Tama Perkawinan beda

agama berarti:

Perkawinan yang dilangsungkan antara pasangan yang berbeda agama

satu sama lain. Selain itu istilah lain dari perkawinan beda agama ialah

perkawinan antar agama yang diartikan sebagai ikatan lahir dan bathin

antara seorang pria dan seorang wanita, yang karena berbeda agama,

menyebabkan tersangkutnya dua peraturan yang berlainan mengenai

syarat-syarat dan tata cara pelaksanaan perkawinan sesuai dengan

hukum agamanya masing-masing, dengan tujuan untuk membentuk

keluarga bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.28

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 maupun peraturan pelaksananya

yaitu Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tidak menyebutkan secara

28

Rusli dan R. Tama.Op. Cit., hal. 17.

42

tertulis/tekstual/eksplisit (expressis verbis) mengenai pengertian maupun

definisi perkawinan beda agama ini. Sampai saat ini belum ada kesamaan

pendapat diantara para pakar hukum mengenai pengaturan perkawinan beda

agama. Ada tiga pandangan tentang perkawinan beda agama di Indonesia

terkait dengan pemahaman terhadap Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974,

yaitu :

1. Perkawinan beda agama tidak dibenarkan dan merupakan pelanggaran

terhadap undang-undang perkawinan berdasarkan Pasal 2 ayat (1) dan

Pasal 8 huruf (f) yang dengan tegas menyebutkan hal itu, oleh karena

itu perkawinan beda agama adalah tidak sah dan batal demi hukum.

2. Perkawinan beda agama adalah diperbolehkan dan sah, oleh sebab itu

dapat dilangsungkan, sebab perkawinan tersebut termasuk dalam

perkawinan campuran. Menurut pendapat ini titik tekan Pasal 57

tentang perkawinan campuran terletak pada dua orang yang di

Indonesia tunduk pada hukum yang berlainan, oleh karena itu pasal

tersebut tidak saja mengatur perkawinan antara dua orang yang

memiliki kewarganegaraan yang berbeda tapi juga mengatur

perkawinan antara dua orang yang berbeda agama. Menurut pendapat

ini pelaksanaan perkawinan beda agama dilakukan menurut tata cara

yang diatur oleh Pasal 6 Peraturan Perkawinan Campuran.

3. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tidak mengatur tentang masalah

perkawinan beda agama, oleh karena itu dengan merujuk pada

ketentuan Pasal 66 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, maka

peraturan-peraturan lama selama Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974

belum mengaturnya dapat diberlakukan, dengan demikian masalah

perkawinan beda agama harus berpedoman kepada peraturan

perkawinan campuran. Sehubungan dengan pandangan kelompok

ketiga ini, menarik untuk dicatat bahwa Ketua Mahkamah Agung

Republik Indonesia dalam suratnya Nomor : KMA/72/IV/1981 tanggal

20 April 1981 yang ditujukan kepada Menteri Agama dan Menteri

Dalam Negeri secara tegas menyatakan:

1) Merupakan suatu kenyataan yang hidup dalam masyarakat Indonesia

yang serba majemuk ini yang terdiri dari berbagai macam golongan

suku, adalah pemeluk agama dan penganut Kepercayaan terhadap

Tuhan Yang Maha Esa yang berbeda satu dengan lainnya.

2) Adalah suatu kenyataan pula bahwa antara mereka itu ada yang

menjalin suatu hubungan dalam membentuk suatu keluarga yang

bahagia dan kekal melalui proses perkawinan, dimana Undang-

Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan belum mengatur

perihal perkawinan campuran.

43

3) Meskipun demikian dapat dicatat bahwa Pasal 66 Undang-Undang

Nomor 1 Tahun 1974 memungkinkan S. 1898 No. 158 diberlakukan

untuk mereka sepanjang Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974

belum mengatur hal-hal yang berhubungan dengan perkawinan

campuran yang dimaksud.29

Adanya ketiga pemahaman itulah yang membuat perkawinan beda agama

semakin tidak jelas pengaturannya, apakah diperbolehkan ataukah dilarang.

Praktik perkawinan beda agama di Indonesia, memang masih

memunculkan permasalahan diantara keluarga yang hendak melakukan

perkawinan maupun dalam pengesahan dan pencatatan perkawinan mereka.

Adanya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 yang mengikutsertakan hukum

agama sebagai syarat sahnya perkawinan seakan menjadi penghalang bagi

mereka yang akan melakukan perkawinan beda agama, ini merupakan suatu

permasalahan yang cukup penting untuk di carikan jalan keluarnya, karena

secara sosiologis fakta perkawinan beda agama kerap terjadi di masyarakat

Indonesia sebagai konsekuensi bangsa Indonesia yang sangat majemuk dan

adanya pergaulan antar manusia yang sangat terbuka dan bebas.

Guru Besar Hukum Perdata Universitas Indonesia, Wahyono

Darmabrata, menjabarkan bahwa penyelundupan hukum sering dilakukan oleh

para pasangan beda agama agar pernikahannya dapat dilangsungkan, yaitu

dengan 4 cara yang populer berikut ini :

1. Meminta penetapan pengadilan

Meminta penetapan pengadilan untuk dapat mencatatkan perkawinannya

di Kantor Catatan Sipil adalah cara yang dilakukan pertama kali oleh

Andi Vony Gani seorang perempuan Islam dan Pasangannya Andrianus

seorang lelaki bergama Kristen pada tahun 1989. Perbuatan Andi Vony

29

Muhibuddin, Tafsir Baru Perkawinan Beda Agama di Indonesia,

http://hakimmuhibuddin.blogspot.com/2008/08/Tafsir-Baru-Perkawinan-Beda-Agama-di-

Indonesia.html, di akses pada 26 November 2012, Pk. 22:24 WIB.

44

ini menimbulkan reaksi pro dan kontra di masyarakat hingga

mengundang campur tangan Mahkamah Agung yang akhirnya

mengeluarkan Putusan Nomor 1400/Pdt.P/1986 yang intinya menyatakan

bahwa dengan pengajuan pencatatan pernikahan di Kantor Catatan Sipil,

maka Andi Vony telah memilih untuk perkawinannya tidak

dilangsungkan menurut agama Islam melainkan memilih untuk

mengikuti agama Andrianus, maka Kantor Catatan Sipil harus

melangsungkan dan mencatatkan perkawinan tersebut.

2. Perkawinan dilakukan menurut masing-masing agama

Perkawinan menurut masing-masing agama merupakan interpretasi lain

dari pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang

Perkawinan. Pagi menikah sesuai agama laki-laki, siangnya menikah

sesuai dengan agama perempuan. Tapi masalah yang timbul adalah

perkawinan mana yang sah, terhadap cara ini, Wahyono Darmabrata

menyatakan perlu penelitian lebih jauh lagi.

3. Penundukan sementara pada salah satu hukum agama

Penundukan diri terhadap salah satu hukum agama mempelai mungkin

lebih sering digunakan. Dalam agama Islam, diperbolehkan laki-laki

Islam menikahi wanita non-Islam, yang termasuk ahli kitab. Ayat Al-

Quran inilah yang dipraktekan sungguh oleh lembaga-lembaga seperti

Paramadina, Wahid Institute, dan Indonesian Conference on Religion

and Peace (ICRP),bahkan diperluas jadi memperbolehkan kawin beda

agama bagi wanita muslim. Kasus yang cukup terkenal adalah

perkawinan artis Deddy Corbuzier dan Kalina, pada awal 2005 lalu.

Deddy yang Katolik dinikahkan secara Islam oleh penghulu pribadi yang

dikenal sebagai tokoh yayasan Paramadina.

4. Menikah di luar negeri

Banyak artis yang lari keluar negeri seperti Singapura dan Australia

untuk melakukan perkawinan beda agama. Ia menjelaskan jika

melakukan perkawinan di luar negeri, berarti tunduk pada hukum di luar

negeri. Pasangan tersebut mendapat akta dari negara yang bersangkutan,

kemudian akta dibawa pulang untuk dicatatkan saja. Artinya tidak

memperoleh akta lagi dari negara. Menurut Wahyono Darmabrata,

perkawinan seperti itu tetap tidak sah karena belum memenuhi ketentuan

yang diatur oleh agama.30

Cara-cara penyelundupan hukum yang tersebut diatas timbul akibat dari

resistensi birokrasi dalam hal pelaksanaan perkawinan beda agama, namun

dapat kita ketahui bahwa cara-cara tersebut dapat menimbulkan masalah

dikemudian hari menyangkut keabsahan perkawinannya.

30

Hukumonline.com, Empat Cara Penyelundupan Hukum Bagi Pasangan Beda Agama,

http://hukumonline.com/Berita/Empat-Cara-Penyelundupan-Hukum-Bagi-Pasangan-Beda-

Agama.html, diakses pada 25 November 2012, Pk. 13.18 WIB.

45

Perkawinan beda agama yang ada dan banyak timbul dimasyarakat

Indonesia yang multikultural dan multiagama semata-mata hanyalah faktor

pilihan hukum, apakah mau menggunakan hukum agama calon mempelai pria,

ataukah hukum agama calon mempelai wanita. Ketika kedua calon mempelai

sama-sama berkeras hati untuk menggunakan hukum agamanya masing-

masing maka akan timbul perbenturan, namun ketika ada yang mau mengalah

dan mengikuti hukum agama calon pengantinya maka tidak akan timbul

masalah.

3. Tinjauan tentang Administrasi Kependudukan

Administrasi Kependudukan, terdiri atas dua suku kata yaitu

Administrasi dan Kependudukan. Kata Administrasi dalam Wikipedia

Ensiklopedia bebas :

Apabila diartikan secara sempit berasal dari kata Administratie (bahasa

Belanda), yang meliputi kegiatan catat-mencatat, surat-menyurat,

pembukuan ringan, ketik-mengetik, agenda dan sebagainya, yang

bersifat teknis ketatausahaan (clerical work), Kemudian apabila

diartikan secara luas berasal dari kata Administration (bahasa Inggris),

yakni rangkaian kegiatan atauproses kegiatan usaha kerja sama

sekelompok orang untuk mencapai tujuan tertentu secara efisien.31

Menurut Leonard D. White :

Administrasi merupakan suatu proses yang biasanya terdapat pada

semua usaha kelompok, baik usaha Pemerintah maupun swasta, sipil

maupun militer baik secara besar-besaran maupun kecil-kecilan.32

31

Wikipedia Ensiklopedia Bebas, Administrasi, http://id.wikipedia.org/wiki/Administrasi,

diakses pada 25 November 2012, Pk. 18:33. 32

Dinas Pendidikan dan Pelatihan, Materi Kuliah by DISPEN,

http://dispenmaterikuliah.blogspot.com/2011/08/makalah-kependudukan.html,diakses pada

tanggal 25 November 2012, Pk. 14.35 WIB.

46

Mengenai hal tersebut, Sondang P. Siagian juga berpendapat bahwa :

Administrasi adalah keseluruhan proses kerjasama antara dua orang

manusia atau lebih yang didasarkan atas rasionalitas tertentu untuk

mencapai tujuan yang telah ditentukan sebelumnya.33

Jadi dari beberapa pendapat diatas dapat disimpulkan bahwa

administrasi adalah keseluruhan proses rangkaian pelaksanaan kegiatan yang

dilakukan oleh dua orang atau lebih yang terlibat dalam suatu bentuk usaha

bersama demi tercapainya tujuan yang telah ditetapkan sebelumnya.

Kemudian mengenai kata Kependudukan yang mempunyai kata dasar

penduduk yang artinya yaitu orang yang tinggal di daerah tersebut atau orang

yang secara hukum berhak tinggal di daerah tersebut atau dengan kata lain

orang yang mempunyai surat resmi untuk tinggal di situ seperti Kartu Tanda

Penduduk misalnya. Menurut kamus besar bahasa Indonesia, kependudukan

adalah hal-hal atau sifat-sifat sebagai penduduk, serta urusan-urusan mengenai

penduduk. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi

Kependudukan menyebutkan bahwa :

Kependudukan adalah hal yang berkaitan dengan jumlah, pertumbuhan,

persebaran, mobilitas, penyebaran, kualitas, kondisi kesejahteraan, yang

menyangkut politik, ekonomi, sosial, budaya, agama serta lingkungan.

Definisi Administrasi Kependudukan menurut ketentuan umum

Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 adalah :

Rangkaian kegiatan penataan dan penertiban dalam penerbitan

dokumen dan Data Kependudukan melalui Pendaftaran Penduduk,

Pencatatan Sipil, pengelolaan informasi Administrasi Kependudukan

serta pendayagunaan hasilnya untuk pelayanan publik dan

pembangunan sektor lain.

33

Loc. Cit.

47

Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 merupakan pengaturan hukum

nasional Indonesia terhadap pencatatan sipil di Indonesia yang telah

diundangkan pada Desember tahun 2006 silam. Pertimbangan dibentuknya

Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan

adalah :

1. Bahwa Negara Kesaturan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila

dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

pada hakikatnya berkewajiban memberikan perlindungan dan

pengakuan terhadap penentuan status pribadi dan status hukum atas

setiap peristiwa penting yang dialami oleh penduduk Indonesia yang

berada di dalam dan/ atau diluar wilayah Negara Kesatuan Republik

Indonesia.

2. Untuk memberikan perlindungan, pengakuan, penentuan status pribadi

dan status hukum setiap peristiwa kependudukan dan peristiwa penting

yang dialami oleh penduduk Indonesia dan warga negara Indonesia

yang berada di luar wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia, perlu

dilakukan pengaturan tentang Administrasi Kependudukan.

3. Pengaturan tentang Administrasi Kependudukan hanya dapat terlaksana

apabila didukung oleh pelayanan yang profesional dan peningkatan

kesadaran penduduk, termasuk warga negara Indonesia yang berada di

luar negeri.

4. Peraturan perundang-undangan mengenai Administrasi Kependudukan

yang ada tidak sesuai lagi dengan tuntunan pelayanan Administrasi

48

Kependudukan yang tertib dan tidak diskriminatif sehingga diperlukan

pengaturan secara menyeluruh untuk menjadi pegangan bagi semua

penyelenggara negara yang berhubungan dengan Kependudukan.

Tujuan dibenahinya administrasi kependudukan dengan dibentuknya

Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 adalah agar dapat memberikan

pemenuhan hak administratif seperti pelayanan publik serta perlindungan yang

berkaitan dengan dokumen kependudukan tanpa adanya perlakuan yang

diskriminatif. Hakikat administrasi kependudukan adalah pengakuan Negara

terhadap hak publik (domisili, pindah dan datang) dan hak sipil penduduk

dibidang administrasi kependudukan. Administrasi Kependudukan diarahkan

untuk memenuhi hak azasi setiap orang di bidang administrasi kependudukan

tanpa diskriminasi melalui pelayanan publik yang profesional. Pendaftaran

penduduk dilakukan dengan pencatatan biodata penduduk, pencatatan atas

pelaporan peristiwa kependudukan dan pendataan penduduk serta penerbitan

dokumen kependudukan.

Administrasi Kependudukan bila berjalan sesuai dengan ketentuan,

dimulai dari kelengkapan biodata penduduk, pencatatan kelahiran, kematian,

perkawinan, pindah dan datang, yang pada akhirnya akan mempermudah

berbagai urusan yang diperlukan masyarakat berupa pelayanan publik dan

pendayagunaan untuk penetapan kebijakan pembangunan.

Pada hakekatnya upaya tertib dokumen kependudukan atau tertib

administrasi kependudukan, tidak sekedar pengawasan terhadap pengadaan

blangko-blangko yang dipersyaratkan dalam penerbitan dokumen, tapi

49

hendaknya harus tersistem, konkrit dan pragmatis, artinya mudah difahami

oleh penduduk dan diyakini bermakna secara hukum berfungsi melindungi,

mengakui/mengesahkan status kependudukan atau peristiwa penting (vital

event) yang dialami penduduk, sehingga dibutuhkan oleh penduduk karena

dapat memudahkan atau melancarkan urusannya dalam kehidupan sehari-hari,

dimana upaya tersebut merupakan tugas negara atau pemerintah sebagai

pelayan publik, dan menjadi urusan wajib pemerintah.

Undang-Undang Dasar 1945 Amandemen IV menjamin setiap orang

berhak untuk membentuk keluarga dan berketurunan melalui perkawinan yang

sah pada ketentuan Pasal 28B. Pasal 29 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945

Amandemen IV menyebutkan bahwa, negara menjamin tiap-tiap warga negara

untuk menjalankan agama dan kepercayaanya secara bebas. Berdasarkan hal

tersebut, jelas bahwa perkawinan adalah salah satu hak asasi manusia yang

dilindungi Undang-Undang Dasar dan bersifat tanpa diskriminasi.

Ada yang menganggap bahwa tidak diakomodirnya perkawinan beda

agama dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 adalah tidak sesuai

dengan penegakan hak asasi manusia, apalagi kenyataan membuktikan bahwa

negara yang rakyatnya sangat heterogen seperti Indonesia, sering terjadi

perkawinan beda agama, meskipun jika dilaksanakan itu tidak sah menurut

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974.

Berkaitan dengan perwujudan adanya tertib dokumen dan tertib

administrasi kependudukan dimana peristiwa-peristiwa penting yang terjadi

dimasyarakat harus dicatat kedalam register kependudukan agar peristiwa

50

penting tersebut diyakini bermakna secara hukum, sah dan diakui serta

mendapatkan perlindungan dari negara, perkawinan sebagai salah satu

peristiwa penting dalam masyarakat yang menurut ketentuan Pasal 2 ayat (2)

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 haruslah dicatatkan sesuai dengan

peraturan perundang-undangan yang berlaku, kemudian Pasal 34 Undang-

Undang Nomor 23 Tahun 2006 juga menyebutkan bahwa Perkawinan yang sah

berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan wajib dilaporkan oleh

penduduk kepada Instansi Pelaksana (Kantor Dinas Kependudukan dan

Pencatatan Sipil) di tempat terjadinya perkawinan paling lambat 60 (enam

puluh) hari sejak tanggal perkawinan untuk dilakukan pencatatan tentang

perkawinan tersebut ke dalam Register Akta Perkawinan oleh pejabat

Pencatatan Sipil. Ketentuan Pasal 34 Nomor 23 Tahun 2006 yang mewajibkan

adanya pencatatan terhadap perkawinan, oleh Pasal 35 huruf (a) Undang-

Undang Nomor 23 Tahun 2006 diperuntukan juga untuk perkawinan yang telah

ditetapkan oleh pengadilan, yang dalam Penjelasan Pasal 35 huruf (a) Undang-

Undang Nomor 23 Tahun 2006 disebutkan bahwa yang dimaksud dengan

perkawinan yang ditetapkan oleh pengadilan adalah perkawinan yang

dilakukan antar-umat yang berbeda agama.

Pasal 35 huruf (a) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006

memperkenalkan adanya tugas baru kepada Kantor Dinas Kependudukan dan

Pencatatan Sipil, yaitu tugas untuk mencatat perkawinan beda agama, selain itu

melalui ketentuan Pasal 35 huruf (a) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006,

hukum positif di Indonesia membuka kemungkinan pengakuan terhadap

51

perkawinan beda agama di Indonesia, dengan cara memohon penetapan

pengadilan yang menjadi dasar dapat dicatatkannya perkawinan beda agama di

Kantor Pencatatan Sipil. Penetapan pengadilan yang dimaksud dalam hal ini

adalah penetapan pengadilan yang amarnya berupa penetapan pemberian izin

untuk dilakukannya pencatatan perkawinan beda agama dicatatkan oleh pejabat

yang berwenang dalam hal itu kedalam buku register pencatatan yang

diperuntukan untuk itu. Jadi dalam hal pelaksanaan pencatatan perkawinan

beda agama, penetapan dari pengadilan berfungsi sebagai izin untuk

mencatatkan perkawinan tersebut.

Kata izin artinya adalah pernyataan mengabulkan (tidak melarang) atau

suatu persetujuan yang memperbolehkan sesuatu.34

Kamus istilah hukum

menjelaskan izin sebagai :

Perkenaan dari pemerintah berdasarkan undang-undang atau peraturan

pemerintah yang disyaratkan untuk perbuatan yang pada umumnya

memerlukan pengawasan khusus, tetapi yang pada umumnya tidaklah

dianggap sebagai hal-hal yang sama sekali tidak dikehendaki.35

Mengenai hal yang sama, Ateng Syafrudin mengatakan bahwa :

Izin bertujuan dan berarti menghilangkan halangan, hal yang dilarang

menjadi boleh, atau Als opheffing van een algemene verbodsregel in het

conrete geval (sebagai peniadaan ketentuan larangan umum dalam

peristiwa konkret).36

Moh. Mahfud MD., mengenai kata izin tersebut ia juga menyatakan

pendapatnya, yaitu :

34

Lihat Artikata.com, Izin, http://www.artikata.com/arti-331222-izin.html, diakses pada

tanggal 29 November 2012, Pk. 23.22 WIB. 35

Ridwan H.R., Hukum Administrasi Negara, Rajawali Grafindo Persada, Jakarta, 2007,

hal. 207. 36

Loc. Cit.

52

Apabila pembuat peraturan, secara umum tidak melarang sesuatu

perbuatan, asal saja dilakukan sesuai dengan ketentuan-ketentuan yang

berlaku. Perbuatan Administrasi Negara yang memperkenankan

perbuatan tersebut bersifat suatu izin.37

Selain dua pendapat tersebut, pengertian izin pada dasarnya dapat dibedakan

menjadi dua, yaitu :

1) Dalam arti luas, izin adalah suatu persetujuan dari penguasa

berdasarkan undang-undang atau peraturan pemerintah lain untuk

dalam keadaan tertentu menyimpang dari ketentuan larangan

undang-undang.

2) Dalam arti sempit, izin adalah suatu tindakan dilarang kecuali

diperkenankan, dengan tujuan agar dalam ketentuan yang dikaitkan

dapat diberi batas-batas tertentu, dengan demikian yang pokok

adalah suatu tindakan dapat dilakukan dengan cara-cara tertentu.38

Berdasarkan pemaparan dari para pakar tersebut diatas dapat

disimpulkan bahwa izin ialah tidak lain merupakan sesuatu yang dibutuhkan

untuk kita melakukan sesuatu yang pada umumnya dilarang atau dihalangi

untuk dilakukan. Jadi dalam hal pengadilan menetapkan izin dilakukannya

pencatatan terhadap perkawinan beda agama, maka sama halnya pengadilan

tidak melarang atau memperbolehkan perkawinan beda agama tersebut untuk

dicatatkan. Dapat dikatakan Keabsahan perkawinan akan dinilai oleh hakim

pengadilan negeri dimana permohonan diajukan.

37

SF. Marbun dan Moh. Mahfud MD., Pokok-Pokok Hukum Administrasi Negara, Liberty,

Yogyakarta, 2000, hal. 95. 38

Kartono dan Setiadjeng Kadarsih, Buku Ajar Kapita Selekta Hukum Administrasi Negara,

Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto, 2004, hal. 5.

53

BAB III

METODE PENELITIAN

Metode adalah suatu prosedur atau cara untuk mengetahui sesuatu, yang

mempunyai langkah-langkah sistematis. Metode penelitian yang digunakan dalam

penelitian ini adalah metode yuridis normatif. Ronny Hanintijo, mengatakan

bahwa :

Metode yuridis normatif, yaitu metode pendekatan yang menggunakan

konsepsi legis positivis. Konsep ini memandang hukum identik dengan

norma-norma tertulis yang dibuat dan diundangkan oleh lembaga atau

pejabat yang berwenang dan meninjau hukum sebagai suatu sistem normatif

yang mandiri, bersifat tertutup dan terlepas dari kehidupan masyarakat yang

nyata serta menganggap bahwa norma-norma lain bukan sebagai hukum.39

1. Metode Pendekatan

Pendekatan yang penulis gunakan adalah Pendekatan Undang-Undang

(Statute Approach). Pendekatan undang-undang (Statute Approach)

dilakukan dengan menelaah semua undang-undang dan regulasi yang

bersangkut paut dengan isu hukum yang sedang ditangani. Bagi penelitian

untuk kegiatan praktis, pendekatan undang-undang ini akan membuka

kesempatan bagi peneliti untuk mempelajari adakah konsistensi dan

kesesuaian antara suatu undang-undang dengan undang-undang lainnya atau

antara undang-undang dengan undang-undang dasar atau antara regulasi

dengan undang-undang. Hasil dari telaah tersebut merupakan suatu argumen

untuk memecahkan isu yang dihadapi.

39

Ronny Hanintijo Soemitro, Metodologi Penelitian Hukum, Jakarta, Ghalia Indonesia,

1988. hal. 13-14.

54

Selain pendekatan undang-undang, dalam penelitian ini penulis juga

menggunakan pendekatan kasus (Case Approach) yaitu mempelajari

penerapan norma-norma dan kaidah hukum yang digunakan dalam praktik

hukum untuk mendapat gambaran seperti apa penerapan norma-norma

tersebut dalam realita di masyarakat seperti penetapan dan putusan

pengadilan.

Pendekatan perundang-undangan dan pendekatan kasus digunakan

karena yang akan diteliti adalah berbagai aturan hukum dan realisasi

penerapan aturan tersebut dalam penetapan pengadilan yang menjadi fokus

sekaligus tema sentral dalam penelitian ini.

2. Spesifikasi Penelitian

Spesifikasi yang digunakan dalam penelitian ini adalah spesifikasi

penelitian preskriptif. Ilmu hukum mempunyai sifat sebagai ilmu yang

preskriptif, artinya sebagai ilmu yang bersifat preskriptif, ilmu hukum

mempelajari tujuan hukum, konsep-konsep hukum, dan norma-norma hukum.

Peter Mahmud Marzuki berpendapat bahwa:

“Ilmu hukum mempunyai karakteristik sebagai ilmu yang bersifat

preskriptif dan terapan. Sebagai ilmu yang bersifat preskriptif, ilmu

hukum mempelajari tujuan hukum, nilai-nilai keadilan, validitas aturan

hukum, konsep-konsep hukum, dan norma-norma hukum. Sebagai ilmu

terapan ilmu hukum menetapkan standar prosedur, ketentuan-ketentuan,

rambu-rambu dalam melaksanakan aturan hukum.”40

40

Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Surabaya, Kencana Perdana Media Group,

2007, hal. 22.

55

3. Lokasi Penelitian

Peneliti menggunakan lokasi penelitian di wilayah Dinas

Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kota Magelang, dalam penelitian ini

diperoleh data berdasarkan telaah dokumen melalui pengambilan data dan

dokumen lain yang relevan ke instansi yang menjadi lokasi penelitian.

4. Sumber Bahan Hukum

Sumber Bahan Hukum diperoleh dari : Bahan Hukum Primer, yaitu

bahan-bahan hukum yang mengikat.41

Bahan hukum primer tersebut

kemudian ditelaah agar dapat menjadi jelas menggunakan bahan hukum

skunder, yaitu bahan hukum yang memberikan penjelasan mengenai bahan

hukum primer.42

Untuk memberikan penjelasan terhadap bahan hukum

primer penulis juga menggunakan bahan hukum tersier yang semata-mata

dilakukan untuk mendapatkan penjelesan atas bahan hukum primer yang

digunakan.

Dalam penelitian ini penulis mengumpulkan bahan hukum yang terdiri

dari :

1) Bahan hukum primer, yaitu bahan yang isinya mengikat,

dikeluarkan oleh penguasa pembentuk peraturan perundang-

undangan, terdiri dari:

a. Undang-Undang Dasar 1945 Amandemen IV

b. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan

41

Amiruddin dan H. Zainal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum, Jakarta, PT

RajaGrafindo Persada, 2004, hal. 31. 42

Ibid, hal. 32.

56

c. Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Azasi

Manusia

d. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi

Kependudukan

e. Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan

f. Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 2007 tentang

Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang

Administrasi Kependudukan.

g. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 12 Tahun 2010 tentang

Pedoman Pencatatan Perkawinan dan Pelaporan Akta yang

Diterbitkan Oleh Negara Lain.

2) Bahan hukum sekunder, yaitu bahan-bahan hukum yang

memberikan penjelasan terhadap bahan hukum primer, digunakan

untuk menganalisa dan memahami bahan hukum primer, yang

antara lain terdiri dari : pustaka dibidang ilmu hukum, hasil

penelitian dibidang ilmu hukum, dan artikel-artikel ilmiah baik dari

koran maupun dari internet.

3) Bahan hukum tersier, yaitu bahan-bahan yang memberikan

informasi maupun penjelasan tentang bahan hukum primer dan

bahan hukum sekunder, antara lain: kamus dan ensiklopedia.

5. Metode Pengumpulan Bahan Hukum

Metode pengumpulan data yaitu dengan menginventarisir peraturan

perundang-undangan untuk dipelajari sebagai suatu kesatuan yang utuh dan

57

dengan studi kepustakaan, internet browsing, telaah artikel ilmiah dan studi

dokumen, termasuk di dalamnya karya tulis ilmiah maupun jurnal surat kabar.

Metode pengumpulan data menggunakan Studi Kepustakaan yaitu teknik

mengumpulkan data dengan jalan membaca dan mempelajari buku-buku

literatur yang berkaitan dengan materi penelitian, kemudian menyusunnya

sebagai sajian data. Metode dokumentasi adalah salah satu cara pengumpulan

data yang digunakan penulis dengan cara menelaah dokumen-dokumen

pemerintah maupun non pemerintah yang berkaitan dengan penelitian ini.

6. Metode Penyajian Bahan Hukum

Bahan hukum yang diperoleh akan disajikan dalam bentuk uraian yang

disusun secara sistematis, logis dan rasional, yang dalam arti keseluruhan

bahan hukum yang diperoleh akan dihubungkan satu dengan yang lainnya

disesuaikan dengan pokok permasalahan yang diteliti, sehingga merupakan

suatu kesatuan yang utuh.

7. Metode Analisis Bahan Hukum

Bahan-bahan hukum yang diperoleh akan dianalisis secara normatif-

kualitatif tentang pelaksanaan pencatatan perkawinan beda agama oleh Dinas

Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kota Magelang. Normatif karena

penelitian ini bertitik tolak dari peraturan-peraturan yang ada sebagai norma

hukum positif. Kualitatif karena data yang diperoleh, kemudian disusun

secara sistematis, untuk selanjutnya dianalisa secara kualitatif, untuk

mencapai kejelasan masalah yang akan dibahas.43

43

Ibid, hal. 98.

58

8. Masalah dan Solusi yang Dihadapi Selama Penelitian

Pada latar belakang masalah pada proposal penelitian (Skripsi)

peristiwa hukum yang menjadi obyek penelitian adalah peristiwa hukum

perkawinan beda agama yang dilakukan oleh Clift Sangra dan Nana

Mahliana Hasan, namun setelah dilakukan penelitian di lapangan ternyata

pihak Kantor Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil enggan

memberikan berkas-berkas terkait pencatatan perkawinan beda agama yang

dilakukan Clift Sangra dan Nana Mahliana Hasan, dengan alasan Clift

Sangra adalah orang populer dan dikhawatirkan menjadi pelanggaran

privasi dirinya. Untuk itu obyek penelitiannya dicarikan gantinya yaitu

peristiwa pencatatan perkawinan beda agama antara Yudi Kristanto, lahir

di Magelang pada tanggal 30 Mei 1981, beragama Islam, pekerjaan swasta,

bertempat tinggal di Jalan Jagoan 1 RT 06 RW 05, Jurangombo Utara

Magelang dengan Yeni Aryono yang lahir di Magelang pada tanggal 9 Mei

1978 dan telah ada Penetapan Pengadilan Nomor 04/Pdt.P/2012/PN.MGL

tanggal 9 Januari 2012 dengan persyaratan dan kualifikasi obyek penelitian

yang sama.

59

BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

1. Hasil Penelitian

a. Duduk Perkara

Kasus ini berawal karena adanya keinginan pemohon untuk

melaksanakan dan mencatatkan perkawinannya di Kantor Dinas

Kependudukan dan Catatan Sipil Kota Magelang dengan izin Pengadilan

Negeri. Pada tanggal 4 Januari 2012 pemohon mengajukan surat

permohonan dengan perihal izin menikah pada Pengadilan Negeri Magelang

dibawah Nomor 04/Pdt.P/2012/PN.MGL tanggal 9 Januari 2012.

Pengadilan Negeri Magelang yang memeriksa dan mengadili perkara-

perkara Perdata pada tingkat pertama yang dilangsungkan dalam Gedung

Pengadilan Negeri Magelang telah memberikan Penetapan seperti tersebut

dibawah ini dalam permohonan atas nama :

Yudi Kristanto, lahir di Magelang pada tanggal 30 Mei 1981, beragama

Islam, pekerjaan swasta, bertempat tinggal di Jalan Jagoan 1 RT 06 RW

05, Jurangombo Utara Magelang, yang selanjutnya disebut sebagai

PEMOHON.

Dalam surat yang diajukan pemohon tersebut kepada Pengadilan

Negeri Magelang telah mengemukakan hal-hal yang menjadi dasar dan

alasan diajukannya permohonan, yaitu :

1. Bahwa Pemohon lahir di Magelang pada tanggal 30 Mei 1981 anak

dari seorang Ibu : SULIBAH;

60

2. Bahwa saat ini pemohon akan melangsungkan perkawinan dengan

seorang perempuan yang bernama YENI ARYONO yang lahir di

Magelang pada tanggal 9 Mei 1978 anak dari pasangan suami isteri

ARYO JOKO SOEWITO dengan HENI SRIJATUN;

3. Bahwa pemohon akan segera melaksanakan perkawinan dan sudah

mendaftarkan di Kantor Pencatatan Sipil Kota Magelang untuk

dilakukan perkawinan, namun oleh karena pemohon dan calon

isterinya berbeda agama, dalam hal ini pemohon beragama ISLAM

dan calon isteri pemohon beragama KATHOLIK, maka Kantor

Pencatatan Sipil Kota Magelang tidak bisa melaksanakan dan

mencatat perkawinan tersebut dan Kantor Pencatatan Sipil Kota

Magelang bisa melaksanakan dan mencatat perkawinan apabila ada

Surat Penetapan dari Pengadilan Negeri Magelang yang memberikan

ijin kepada pemohon untuk melangsungkan perkawinan beda agama;

4. Bahwa atas akan dilaksanakannya perkawinan antara pemohon YUDI

KRISTANTO dan YENI ARYONO yang berbeda agama dan akan

dilaksanakan di Kantor Pencatatan Sipil Kota Magelang, telah

mendapat restu dari orang tua calon isteri dan orang tua calon isteri

juga tidak keberatan;

5. Bahwa menurut pemohon untuk melangsungkan perkawinan yang

beda agama diharuskan ada penetapan dari Pengadilan Negeri yang

menyatakan tentang hal tersebut;

6. Bahwa dikarenakan pemohon berdomisili di Kota Magelang, maka

sepantasnyalah pemohon mengajukan permohonan ini di Pengadilan

Negeri Magelang;

61

Bahwa berdasarkan alasan-alasan yang dikemukakan tersebut di atas

kiranya permohonan pemohon beralasan serta berdasarkan hukum.

Selain alasan-alasan yang telah disebutkan oleh pemohon tersebut,

untuk menguatkan permohonannya, pemohon mengajukan bukti-bukti surat

baik asli maupun berupa foto copy yang telah dicocokan dengan aslinya,

bukti-bukti mana telah diberi bea materai sebagaimana mestinya berupa :

1. Surat Keterangan/ Pengantar Nomor : 470/05/I-12/535 tertanggal 5

Januari 2012 atas nama YUDI KRISTANTO, yang dikeluarkan oleh

Kepala Kelurahan Jurangombo Utara, selanjutnya diberi tanda P-1;

2. Foto copy Kartu Tanda Penduduk dengan N.I.K 3371013005810001

atas nama YUDI KRISTANTO, yang berlaku hingga 30 Mei 2015,

selanjutnya diberi tanda P-2;

3. Foto copy Kutipan Akta Kelahiran Nomor : 188/DIS/2006 atas nama

YUDI KRISTANTO tertanggal 19 April 2006, selanjutnya diberi

tanda P-3;

4. Foto copy Kartu Keluarga Nomor : 3371012309110004 atas nama

Kepala Keluarga SULIBAH, yang dikeluarkan oleh Kantor Dinas

Kependudukan dan Catatan Sipil Kota Magelang, tertanggal 23-09-

2011, selanjutnya diberi tanda P-4;

5. Surat Pernyataan tertanggal 4 Januari 2012, yang dibuat dan

ditandatangani oleh Sulibah selaku orang tua YUDI KRISTANTO,

selanjutnya diberi tanda P-5;

6. Surat Pernyataan tertanggal 5 Januari 2012, yang dibuat dan

ditandatangani oleh YUDI KRISTANTO, selanjutnya diberi tanda P-

6;

62

7. Foto copy Surat Keterangan Kesehatan Calon Pengantin atas nama

YUDI KRISTANTO, tertanggal 7 September 2011 yang

ditandatangani dr. ERAWATI, dokter Puskesmas Magelang Selatan,

selanjutnya diberi tanda P-7;

8. Surat Keterangan Nomor : 017/2010/I/2012 tertanggal 5 Januari 2012

atas nama YENI ARYONO yang ditandatangani oleh Kepala Desa

Mertoyudan, HERU JOKO SUSENO, S. Sos, selanjutnya diberi tanda

P-8;

9. Foto copy Kartu Tanda Penduduk dengan N.I.K : 3308104905780002

atas nama YENI ARYONO, yang berlaku hingga 09-05-2015,

selanjutnya diberi tanda P-9;

10. Foto copy Kutipan Akta Kelahiran Nomor : 5771/DSP/1988 atas

nama YENI ARYONO tertanggal 10 Febuari 1989, selanjutnya diberi

tanda P-10;

11. Foto copy Kartu Keluarga Nomor : 3308102602075089 atas nama

Kepala Keluarga ARYO DJOKO SOEWITO, tertanggal 08-10-2011,

selanjutnya diberi tanda P-11;

12. Surat Pernyataan yang dibuat dan ditandatangani ARYO DJOKO

SOEWITO dan SRIJATUN tertanggal 4 Januari 2012, selanjutnya

diberi tanda P-12;

13. Surat Pernyataan yang dibuat dan ditandatangani oleh YENI

ARYONO tertanggal 5 Januari 2012, selanjutnya diberi tanda P-13;

14. Foto copy Surat Keterangan Kesehatan Calon Pengantin atas nama

YENI ARYONO tertanggal 7 September 2012, yang ditandatangani

63

oleh dr. ERAWATI, dokter Puskesmas Magelang Selatan, selanjutnya

diberi tanda P-14;

15. Surat Perkawinan atas nama YUDI KRISTANTO dan FLORENTINA

YENI ARYONO tertanggal 20 Oktober 2011 yang dikeluarkan oleh

Paroki St. Ignatius Magelang dan ditandatangani oleh Rama Paroki

FRANCISCUS XAVERIUS KRISNO HANDOYO Pr., selanjutnya

diberi tanda P-15;

Setelah mengajukan bukti-bukti surat tersebut diatas, pemohon juga

mengajukan 4 (empat) orang saksi yaitu saksi BOEDIJONO OERIP, saksi

PITOYO, saksi SULIBAH, dan saksi HENI SRIJATUN yang memberikan

keterangan dibawah sumpah, dan keterangannya tersebut satu sama lain

saling bersesuaian yang pada pokoknya menerangkan sebagai berikut :

1. Saksi BOEDIJONO OERIP :

a) Bahwa saksi kenal dengan pemohon;

b) Bahwa saksi menjabat sebagai Ketua RW 05 Kelurahan

Jurangombo Utara, Kecamatan Magelang Selatan, Kota Magelang,

sekaligus Ketua Lingkungan Yohanes I Warga Katholik, dan

pemohon adalah warga saksi;

c) Bahwa tugas saksi selaku Ketua Lingkungan warga Katholik antara

lain adalah membina dan mengkordinir warga untuk kegiatan-

kegiatan di gereja termasuk diantaranya perkawinan;

d) Bahwa pemohon yang bergama Islam pernah datang kerumah

saksi, namun waktunya saksi sudah tidak ingat lagi, dalam rangka

melapor akan melangsungkan perkawinan dengan seorang

perempuan bergama Katholik bernama YENI ARYONO;

64

e) Bahwa atas laporan pemohon tersebut kemudian saksi

mengeluarkan surat pengantar dari Lingkungan Yohanes I untuk

diserahkan kebagian sekretariat di gereja St. Ignatius, Magelang;

f) Bahwa perkawinan antara pemohon dengan YENI ARYONO telah

terlaksana di Gereja St. Ignatius Magelang, pada sekitar bulan

Oktober tahun 2011, dimana dilangsungkan dihadapan Pastur

Romo FX. Krisno Handoyo, Pr dan sebagai saksi dari pernikahan

tersebut adalah saksi sendiri dan Pak Kusrin, serta dihadiri oleh

keluarga kedua mempelai;

g) Bahwa atas perkawinan tersebut kemudian pihak gereja

mengeluarkan surat perkawinan (Testimonium Matrimoni);

2. Saksi PITOYO :

a) Bahwa saksi kenal dengan pemohon, karena sering bertemu dengan

pemohon ketika pemohon berkunjung kerumah YENI ARYONO

anak dari Sdr. ARYO DJOKO SOEWITO yang tinggal satu

lingkungan dengan saksi di Salakan, Kabupaten Magelang;

b) Bahwa pada bulan-bulan menjelang akhir tahun 2011, saksi

dimintai bantuan oleh Sdr. ARYO DJOKO SOEWITO

menguruskan surat-surat untuk persyaratan perkawinan antara

pemohon dengan YENI ARYONO;

c) Bahwa surat-surat N1 sampai dengan N5 tersebut berhasil diurus

oleh saksi;

d) Bahwa perkawinan antara pemohon dan YENI ARYONO telah

berlangsung di gereja, kapan tepatnya saksi tidak ingat, akan tetapi

65

saksi hadir pada selamatan sehari sebelum perkawinan di gereja

tersebut dilaksanakan;

3. Saksi SULIBAH :

a) Bahwa saksi adalah ibu kandung pemohon YUDI KRISTANTO;

b) Bahwa pemohon adalah anak pertama saksi;

c) Bahwa pemohon beragama Islam, dan telah melaksanakan

perkawinan secara agama Katholik di gereja St. Ignatius,

Magelang, dengan seorang perempuan bernama YENI ARYONO,

pada tanggal 20 Oktober 2011;

d) Bahwa perkawinan secara agama (dikenal dengan sebutan

pemberkatan perkawinan) tersebut berlangsung lancar dengan

dihadiri oleh keluarga kedua mempelai;

4. Saksi HENI SRIJATUN :

a) Bahwa saksi kenal dengan pemohon, karena pemohon sudah

berpacaran dengan YENI ARYONO anak kedua saksi selama

sebelas tahun, dan kini keduanya telah menikah secara Katholik di

Gereja St. Ignatius, Magelang;

b) Bahwa perkawinan secara agama tersebut, atau dikenal sebagai

pemberkatan pernikahan, dilangsungkan pada tanggal 20 Oktober

2011 dengan dihadiri keluarga kedua mempelai, setelah

sebelumnya mengikuti pelajaran perkawinan yang diselenggarakan

oleh gereja selama 3 (tiga) hari;

c) Bahwa sejak awal saksi mengetahui bahwa pemohon beragama

Islam sementara anak saksi YENI ARYONO beragama Katholik,

namun demikian sebagai orang tua dari anak-anak yang sudah

66

dewasa saksi menganggap mereka bisa menentukan sikap dan

memilih yang terbaik bagi diri mereka sendiri;

Selanjutnya untuk mendapatkan keterangan yang lebih jelas, YENI

ARYONO sebagai isteri pemohon juga memberikan keterangan dalam

persidangan yang keterangannya sebagai berikut :

a) Bahwa YENI ARYONO telah kenal lama dengan pemohon,

berpacaran selama sebelas tahun, dan kini telah menikah secara

agama dengan pemohon;

b) Bahwa yang bersangkutan beragama Katholik sedangkan pemohon

beragama Islam;

c) Bahwa perkawinan tersebut dilangsungkan di Gereja St. Ignatius,

Magelang pada tanggal 20 Oktober 2011, dengan direstui seluruh

keluarga, dihadapan Pastur Romo FX. Krisno Handoyo Pr.;

d) Bahwa yang bersangkutan merasa yakin akan berbahagia dengan

perkawinan beda agama ini, dan bertekad untuk saling menghargai

dalam menjalankan agama masing-masing;

Berdasarkan hal-hal tersebut diatas, maka pemohon mengajukan

permohonan kepada Pengadilan Negeri Magelang, sebagai berikut :

1. Mengabulkan permohonan pemohon;

2. Memberikan izin kepada YUDI KRISTANTO yang lahir di

Magelang pada tanggal 30 Mei 1981 anak dari seorang Ibu

SULIBAH untuk melangsungkan perkawinan beda agama di Kantor

Catatan Sipil Kota Magelang dengan YENI ARYONO yang lahir di

Magelang pada tanggal 9 Mei 1978 anak dari pasangan suami isteri

ARYO JOKO SOEWITO dan HENI SRIJATUN;

67

3. Memerintahkan kepada Pegawai Kantor Dinas Kependudukan dan

Catatan Sipil Kota Magelang setelah salinan Penetapan yang sudah

mempunyai kekuatan hukum tetap ini ditunjukan kepadanya untuk

melaksanakan perkawinan antara YUDI KRISTANTO dan YENI

ARYONO dan mencatat didalam daftar yang diperuntukan untuk hal

itu;

4. Membebankan biaya yang timbul sehubungan dengan Permohonan

ini kepada pemohon;

b. Pertimbangan Hukum

Adapun yang menjadi pertimbangan hukum hakim adalah :

1. Adanya fakta pemohon adalah laki-laki beragama Islam yang telang

melangsungkan perkawinan dengan wanita beragama Khatolik di

gereja St. Ignatius Magelang pada 20 Oktober 2011.

2. Menimbang, bahwa perkawinan di Indonesia diatur oleh Undang-

Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan; adapun tujuan

dari undang-undang tersebut adalah sebagai unifikasi atau

penyeragaman hukum perkawinan yang sebelumnya sangat beragam

mengingat keberagaman masyarakat Indonesia;

3. Menimbang, bahwa dalam Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor

1 Tahun 1974, diatur mengenai penegasan peran keagamaan dari

suatu perkawinan, dimana disebutkan bahwa perkawinan adalah sah,

apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan

kepercayaanya;

4. Menimbang, bahwa selanjutnya dalam Pasal 2 ayat (2) Undang-

Undang Nomor 1 Tahun 1974 tersebut menyatakan bahwa tiap-tiap

68

perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang

berlaku, bagi yang beragama Islam pencatatan dilakukan oleh Kantor

Urusan Agama (KUA) dan bagi yang beragama selain Islam

dilakukan oleh Pegawai Pencatat Perkawinan pada Kantor Catatan

Sipil, sekarang Kantor Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil;

5. Menimbang, bahwa Pasal 35 huruf (a) Undang-Undang Nomor 23

Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan mengatur bahwa

Kantor Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil dapat mencatatkan

perkawinan yang telah ditetapkan oleh Pengadilan; Selanjutnya

didalam penjelasan dari pasal tersebut telah ditegaskan bahwa yang

dimaksud dengan Perkawinan yang ditetapkan oleh Pengadilan

adalah perkawinan yang dilakukan antar umat yang berbeda agama;

6. Menimbang, bahwa senafas dengan peraturan tersebut, yaitu termuat

dalam Putusan Mahkamah Agung RI No. 1400/K/Pdt/1986 tanggal

20 Januari 1989 yang menyatakan bahwa adalah keliru apabila Pasal

60 Undang-Undang tentang Perkawinan ditunjuk oleh Kepala KUA

dan Pegawai Luar Biasa Pencatatan Sipil DKI Jakarta untuk menolak

perkawinan beda agama;

7. Bahwa benar perkawinan beda agama tidak diatur secara tegas di

dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, akan tetapi keadaan

tersebut adalah suatu kenyataan yang terjadi dalam masyarakat dan

sudah merupakan kebutuhan sosial yang harus dicarikan jalan

keluarnya menurut hukum agar tidak menimbulkan dampak negatif

dalam kehidupan bermasyarakat dan beragama; sementara itu

undang-undang tersebut juga tidak melarang secara tegas tentang

69

perkawinan beda agama tersebut sehingga terjadilah kekosongan

hukum;

8. Bahwa Undang-Undang Dasar 1945 Amandemen IV Pasal 27

menentukan bahwa seluruh warga negara bersamaan kedudukannya

dalam hukum, tercakup didalamnya kesamaan hak asasi untuk

melangsungkan perkawinan dengan sesama warga negara sekalipun

berlainan agama, sedangkan Pasal 29 Undang-Undang Dasar 1945

Amandemen IV mengatur bahwa negara menjamin kemerdekaan

warga negara untuk memeluk agamanya masing-masing;

9. Menimbang, bahwa selain itu di dalam Undang-Undang Nomor 39

Tahun 1999 tentang Hak Azasi Manusia, di dalam Pasal 10 ayat (1),

(2) dan Pasal 16 ayat (1) pada pokoknya mengatur bahwa setiap

orang berhak untuk menikah dan membentuk keluarga serta

melanjutkan keturunan yang dilangsungkan atas kehendak bebas

sesuai dengan ketentuan undang-undang;

10. Menimbang, bahwa terlepas dari adanya pro dan kontra dari

berbagai pihak, pernikahan antarumat beragama ini haruslah dapat

diterima sebagai suatu kenyataan dalam kehidupan bermasyarakat;

dalam kehidupan bermasyarakat ini tidak dapat dipungkiri adanya

praktek budaya yang dilakukan oleh masyarakat, tanpa sekat-sekat

perbedaan agama maupun kebiasaan-kebiasaan hidup; praktek

budaya tersebut termasuk diantaranya adalah pernikahan beda agama

sebagai salah satu mekanisme masyarakat membangun sikap

solidaritas dan rasa toleransi.

70

11. Bahwa berdasarkan pertimbangan tersebut diatas maka perkawinan

antarumat bergama yang dilakukan pemohon dan akan dicatatkan ini

merupakan suatu fenomena yang banyak terjadi dalam masyarakat

Indonesia yang pluralistis;

12. Menimbang, bahwa berdasarkan bukti-bukti yang telah diajukan,

terbukti bahwa perkawinan pemohon dengan YENI ARYONO telah

memenuhi persyaratan dan sungguh-sungguh dilakukan dengan

tujuan yang baik bukan dengan tujuan yang bertentangan dengan

peraturan perundang-undangan yang berlaku;

13. Menimbang, bahwa berdasarkan uraian-uraian pertimbangan

tersebut diatas maka Pengadilan Negeri Magelang, berpendapat

bahwa permohonan pemohon cukup beralasan dan berdasarkan

hukum, oleh karenanya permohonan pemohon dapat dikabulkan

untuk seluruhnya;

14. Menimbang, bahwa oleh karena permohonan pemohon dikabulkan

maka pemohon patut dibebani untuk membayar biaya perkara ini;

Mengingat, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang

Perkawinan, Pasal 35 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang

Administrasi Kependudukan, Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999

tentang Hak Azasi Manusia, serta ketentuan perundang-undangan lainnya

yang bersangkutan;

Berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tersebut diatas, hakim

akhirnya menetapkan :

1. Mengabulkan permohonan pemohon untuk seluruhnya;

71

2. Memberikan ijin kepada YUDI KRISTANTO yang lahir di

Magelang pada tanggal 30 Mei 1981 anak dari seorang ibu

SULIBAH untuk melangsungkan perkawinan beda agama di Kantor

Catatan Sipil Kota Magelang pada tanggal 9 Mei 1987 anak dari

pasangan suami isteri HENI SRIJATUN dan ARYO DJOKO

SOEWITO;

3. Memerintahkan kepada Pegawai Kantor Dinas Kependudukan dan

Pencatatan Sipil Kota Magelang, setelah salinan penetapan yang

sudah mempunyai kekuatan hukum tetap ini ditunjukan kepadanya

untuk melaksanakan perkawinan antara YUDI KRISTANTO dengan

YENI ARYONO dan mencatat didalam daftar yang diperuntukan

untuk hal itu;

4. Membebankan biaya yang timbul dalam perkara ini kepada

pemohon sebesar Rp. 159.000,- (seratus lima puluh sembilan ribu

rupiah);

c. Narasumber

Untuk memperjelas interpretasi mengenai pelaksanaan pencatatan

perkawinan beda agama dalam penelitian ini perlu disajikan keterangan dari

Sdr. Arief Prasetyo dan Sdr. Suwarti selaku pejabat Pencatatan Sipil Kota

Magelang, disebutkan bahwa :

1. Kantor Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kota Magelang

memang memiliki kewenangan untuk melaksanakan pencatatan

perkawinan beda agama, ini didasarkan pada ketentuan Pasal 35 huruf

(a) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 beserta penjelasan

pasalnya.

72

2. Perkawinan beda agama yang telah dicatatkan oleh Kantor Dinas

Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kota Magelang, perkawinannya

sudah dilakukan terlebih dahulu baru dimohonkan penetapan ke

Pengadilan Negeri Magelang.

3. Pihak Kantor Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kota

Magelang tidak melangsungkan perkawinan beda agama namun hanya

mencatatkan peristiwa perkawinan tersebut ke dalam lembaran

Pencatatan Sipil yang diperuntukan untuk itu.

4. Syarat untuk dilakukannya pencatatan terhadap perkawinan beda

agama adalah adanya penetapan dari pengadilan yang amarnya

mengizinkan perkawinan tersebut dicatatkan.

5. Pelaksanaan pencatatan perkawinan beda agama dilakukan menurut

pada ketentuan Pasal 10 dan 11 Peraturan Menteri Dalam Negeri

Nomor 12 Tahun 2010 tentang Pedoman Pencatatan Perkawinan dan

Pelaporan Akta Yang Diterbitkan Oleh Negara Lain.

2. PEMBAHASAN

a. Alasan substansial hakim dalam Penetapan Nomor :

04/Pdt.P/2012/PN.MGL

1. Pertimbangan Hakim

Data dalam penelitian ini digunakan untuk menjawab permasalahan

pertama yang difokuskan pada pertimbangan hakim pada bagian Tentang

Hukumnya. Pertimbangan hakim pada bagian Tentang Hukumnya

merupakan konstruksi hukum yang menjadi dasar pemikiran hakim dalam

mengambil keputusan untuk menetapkan diberikannya ijin kepada Pemohon

73

inkasu dan memerintahkan kepada Pegawai kantor Dinas Kependudukan

dan Pencatatan Sipil untuk melangsungkan perkawinan inkasu dan mencatat

di dalam daftar yang diperuntukkan untuk hal itu. Dari hasil penelitian

diperoleh data bahwa terdapat 15 hal yang dipertimbangkan oleh hakim,

dengan sistimatika sebagai berikut:

1) Pada pertimbangan pertama telah dipertimbangkan mengenai fakta

hukumnya, yaitu:

- Pemohon adalah seorang laki-laki dewasa beragama Islam;

- Pemohon telah melangsungkan perkawinan secara agama Katolik

di Gereja Katolik St. Ignatius Magelang pada tanggal 20 Oktober

2011, dengan seorang perempuan yang beragama katolik;

- Perkawinan tersebut direstui keluarga kedua mempelai;

- Pemohon (dan pasangannya) telah mantab untuk menjalani

perkawinan dengan tujuan membentuk keluarga yang bahagia dan

kekal sepanjang hayat.

2) Pada pertimbangan kedua sampai ke sepuluh (ada 8 pertimbangan

hakim) telah mempertimbangkan mengenai landasan hukum yang

dipergunakan, sebagai berikut:

- Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 adalah bertujuan unifikasi

hukum;

- Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang

ketentuan mengenai sahnya perkawinan;

74

- Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang

ketentuan mengenai pencatatan setiap perkawinan;

- Inkasu adalah perkawinan antara pemohon (laki-laki) yang

beragama Islam dengan pasangannya (perempuan) yang beragama

katolik;

- Pasal 35 huruf (a) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006

mengenai pencatatan perkawinan yang telah ditetapkan oleh

Pengadilan, yang dimaksud disini adalah perkawinan beda agama;

- Putusan Mahkamah Agung RI No. 1400/K/P/PDT/1966 tanggal 20

Januari 1989 yang menyatakan bahwa adalah keliru apabila Pasal

60 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 ditunjuk oleh Kepala

KUA dan Pegawai Luar Biasa Pencatatan Sipil DKI Jakarta untuk

menolak perkawinan beda agama;

- Perkawinan beda agama tidak diatur dalam Undang-Undang

Nomor 1 Tahun 1974 dan tidak melarang secara tegas maka terjadi

kekosongan hukum, tetapi merupakan suatu kenyataan yang terjadi

dalam masyarakat dan sudah merupakan kebutuhan sosial yang

harus dicarikan jalan keluarnya menurut hukum agar tidak

menimbulkan dampak negatif dalam kehidupan masyarakat dan

beragama;

- Pasal 27 Undang-Undang Dasar 1945 Amandemen IV mengatur

kesamaan kedudukan dalam hukum bagi setiap warga negara dan

Pasal 29 Undang-Undang Dasar 1945 Amandemen IV mengatur

75

mengenai negara menjamin kemerdekaan warga negara untuk

memeluk agamanya masing-masing;

- Pasal 10 ayat (1), (2) dan Pasal 16 ayat (1) Undang-Undang Nomor

39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia; yang pada pokoknya

setiap orang berhak untuk menikah dan membentuk keluarga serta

melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang sah;

3) Dasar pemikiran hakim untuk mengabulkan permohonan untuk

pencatatan perkawinan beda agama inkasu, tersaji pada pertimbangan

hakim ke lima, ke sebelas sampai ke lima belas, sebagai berikut:

- Pemohon adalah seorang laki-laki beragama Islam yang hendak

melangsungkan perkawinan dan hendak mencatatkan

perkawinannya dengan seorang perempuan beragama katolik;

- Perkawinan antar umat beragama merupakan suatu kenyataan

dalam kehidupan bermasyarakat, merupakan praktek budaya

dengan tanpa sekat-sekat perbedaan agama atau kebiasaan-

kebiasaan hidup, sebagai salah satu mekanisme membangun sikap

solidaritas dan rasa toleransi;

- Perkawinan antar umat berbeda agama dan akan dicatatkan

merupakan fenomena yang terjadi dalam masyarakat di Indonesia;

- Penilaian hakim mengenai bukti-bukti dan dinyatakan sebagai telah

terbukti;

- Pendapat hakim mengenai permohonan Pemohon cukup beralasan

dan berdasarkan hukum, maka permohonan dikabulkan;

76

Alasan substansial dari pertimbangan hakim dalam penetapannya

untuk mengabulkan permohonan Pemohon melangsungkan perkawinan dan

untuk mencatatkan perkawinannya pada intinya didasarkan pada

pertimbangan hakim yang menyatakan adanya kekosongan hukum karena

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tidak mengatur dan tidak secara

tegas melarang perkawinan beda agama, dan adanya ketentuan Pasal 35

huruf (a) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 mengenai pencatatan

perkawinan yang telah ditetapkan oleh Pengadilan, yang dimaksud disini

adalah perkawinan yang dilakukan antar umat yang berbeda agama. Hakim

kemudian mencari landasan pemikiran untuk mengisi kekosongan hukum

yang dimaksud dengan merujuk pada:

1) Ketentuan peraturan perundang-undangan, yaitu:

(a) Pasal 27 dan Pasal 29 Undang-Undang Dasar 1945 Amandemen IV;

(b) Pasal 10 ayat (1), (2) dan Pasal 16 ayat (1) Undang-Undang Nomor

39 Tahun 1999;

(c) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 yang bertujuan unifikasi

hukum, dan Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974

serta Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974;

(d) Pasal 35 huruf (a) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006;

Dengan penjelasan bahwa setiap orang berhak untuk menikah dan

membentuk keluarga serta melanjutkan keturunan (Undang-Undang

Nomor 39 Tahun 1999) dan hal ini merupakan hak yang dijamin

konstitusi (Pasal 27 dan Pasal 29 Undang-Undang Dasar 1945

77

Amandemen IV), dengan demikian perkawinan merupakan hak

konstitusi setiap warga negara Indonesia yang harus dijamin oleh hukum

dalam negara hukum Republik Indonesia, yang dalam hal ini terdapat

ketidak jelasan atau kekosongan hukum bagi warga negara Indonesia

yang menganut agama yang berbeda untuk dapat melangsungkan

perkawinan, karena Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 mengenai

sahnya perkawinan secara tegas menyebutkan bahwa Perkawinan sah

apabila dilakukan menurut hukum agama dan kepercayaannya masing-

masing (Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974),

sehingga hakim berpendapat bahwa perkawinan beda agama tidak diatur

dan tidak secara tegas dilarang, yang artinya telah terjadi kekosongan

hukum.

2) Fenomena yang terjadi dimasyarakat, yaitu:

(a) Pemohon adalah seorang laki-laki beragama Islam yang hendak

mencatatkan perkawinannya dengan seorang perempuan beragama

katolik; dan perkawinan antar umat beragama sebagai suatu

kenyataan dalam kehidupan bermasyarakat, merupakan praktek

budaya dengan tanpa sekat-sekat perbedaan agama atau kebiasaan-

kebiasaan hidup, sebagai salah satu mekanisme membangun sikap

solidaritas dan rasa toleransi44

;

(b) Perkawinan beda agama dan akan dicatatkan merupakan fenomena

yang terjadi dalam masyarakat di Indonesia.

44

NU Studies, Pergolakan Pemikiran Fundamentalisme Islam, A. Baso, hal. 469.

78

Hakim dengan berdasar atas prinsip bahwa Hakim tidak boleh

menolak perkara yang diajukan kepadanya dengan alasan tidak ada

hukumnya atau tidak jelas peraturan hukumnya, mendalilkan bahwa telah

terjadi kekosongan hukum mengenai perkawinan beda agama, maka dengan

bersumber dan berdasar atas Pasal 27 dan Pasal 29 Undang-Undang Dasar

1945 Amandemen IV serta ketentuan Pasal 10 ayat (1), (2) dan Pasal 16

ayat (1) Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 yang menyimpulkan bahwa

perkawinan beda agama merupakan hak konstitusi dan hak asasi manusia

yang dimiliki setiap warga negara Indonesia dan perkawinan beda agama

juga merupakan suatu kenyataan dalam kehidupan bermasyarakat,

merupakan praktek budaya dengan tanpa sekat-sekat perbedaan agama atau

kebiasaan-kebiasaan hidup, sebagai salah satu mekanisme membangun

sikap solidaritas dan rasa toleransi, maka menurut hukum perlu diberikan

jalan keluar agar tidak menimbulkan dampak negatif dalam kehidupan

masyarakat dan beragama. Selanjutnya perkawinan dimaksud yang akan

dicatatkan juga merupakan fenomena yang terjadi dalam masyarakat di

Indonesia. Alasan tersebutlah yang mendasari hakim mengambil keputusan

untuk menetapkan diberikannya ijin kepada Pemohon inkasu dan

memerintahkan kepada Pejabat Pencatatan Sipil pada Kantor Dinas

Kependudukan dan Pencatatan Sipil untuk melangsungkan perkawinan

inkasu dan mencatat di dalam daftar yang diperuntukkan untuk hal itu.

79

2. Analisa Yuridis Untuk Mengkritisi Pertimbangan Hakim

Perlu dijelaskan terlebih dulu mengenai interpretasi hakim yang

menyatakan bahwa dalam perkara inkasu telah terdapat kekosongan hukum

karena Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tidak mengatur dan tidak

secara tegas melarang perkawinan antar umat yang berbeda agama.

Hukum merupakan suatu sistem, demikian juga mengenai hukum

perkawinan juga merupakan suatu sistem, artinya hukum perkawinan harus

dipahami sebagai suatu kesatuan peraturan perundang-undangan yang

mengatur mengenai perkawinan. Dalam hal ini interpretasinya merujuk pada

ketentuan Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 mengenai

sahnya perkawinan dan Pasal 12 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974

mengenai Tatacara Perkawinan jo. Pasal 10 ayat (1), (2), dan (3) Peraturan

Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975.

Data yang diperoleh menyebutkan bahwa Pemohon seorang laki-laki

yang beragama Islam akan melangsungkan perkawinannya dengan seorang

perempuan yang beragama Katolik di Gereja Katolik inkasu, dan kemudian

akan dicatatkan pada Kantor Dinas Kependudukan setempat; untuk itu

diperlukan penetapan Hakim terlebih dulu.

Berangkat dari pertimbangan hakim yang menyatakan bahwa telah

terjadi kekosongan hukum sebagaimana argumentasi Hakim di atas, perlu

dipahami terlebih mendalam mengenai ketentuan sahnya perkawinan yang

dirumuskan bahwa Perkawinan sah apabila dilakukan menurut hukum

agama dan kepercayaannya masing-masing (Pasal 2 ayat (1) Undang-

80

Undang Nomor 1 Tahun 1974), selanjutnya apabila rumusan kalimat

tersebut dikaitkan dengan bagian penjelasan dari Pasal 2 ayat (1) Undang-

Undang Nomor 1 Tahun 1974 yang intinya menyatakan bahwa tidak ada

Perkawinan diluar hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya

itu, sesuai dengan Undang-undang Dasar 1945. Yang dimaksud dengan

hukum masing-masing agamanya dan kepereayaannya itu termasuk

ketentuan perundang-undangan yang berlaku bagi golongan agamanya dan

kepercayaannya itu sepanjang tidak bertentangan atau tidak ditentukan lain

dalam undang-undang ini. Sebenarnya dapat diperoleh pemahaman maksud

dari pembentuk undang-undang bahwa sahnya perkawinan sepenuhnya

merujuk pada ketentuan hukum masing-masing agamanya dan

kepercayaannya itu. Artinya hanya menyebut 2 (dua) aspek saja yaitu

menurut hukum masing-masing agamanya atau kepercayaannya, dengan

demikian perkawinan di luar kedua aspek hukum tersebut tidak

diperbolehkan menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, oleh karena

itu dapat dipertegas disini dapat dibaca bahwa perkawinan beda agama

apabila mau melangsungkan perkawinan harus melakukan pemilihan hukum

memakai hukum agama yang mana diantara calon suami dan calon isteri

dengan sendirinya mengikuti tata cara perkawinan menurut hukum agama

yang dipilihnya. Solusi lain yang dapat ditempuh adalah dengan melakukan

perkawinan di luar negeri dengan menggunakan hukum luar negeri, dengan

berdasar atas ketentuan Pasal 56 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun

1974 perkawinan tersebut dipandang sebagai perkawinan yang sah, dan

81

dalam tempo 1 (satu) tahun dapat dicatatkan perkawinannya di Indonesia

(Pasal 65 ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974). Sebetulnya

pertimbangan Hakim dimaksud yang menyatakan telah ada kekosongan

hukum memang dimaksudkan hendak memberi solusi untuk perkawinan

beda agama pelaksanaan perkawinannya tidak menggunakan Undang-

Undang Nomor 1 Tahun 1974 sebagai jalan keluar mengantisipasi

permasalahan yang terjadi dalam masyarakat; dengan mengisyaratkan dapat

diberlakukannya ketentuan hukum yang lama, dengan pengertian tidak

melanggar ketentuan Pasal 66 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974,

bahwa perkawinan antar umat yang berbeda agama tidak termasuk dalam

kalimat “......... sejauh sudah diatur dalam undang-undang ini dinyatakan

tidak berlaku ...”45

, namun memberlakukan ketentuan hukum yang lama

justru telah memunculkan persoalan lain, yaitu siapa yang bertugas

melangsungkan perkawinan bagi perkawinan beda agama, yang semula

kewenangan itu ada dan diatur dalam BS (Burgerlijk Stand) dan

pelaksanaannya dilakukan oleh Catatan Sipil; tetapi sejak dikeluarkannya

Keputusan Presiden Nomor 12 Tahun 1983 kewenangan tersebut telah

dicabut dan Catatan Sipil hanya melayani pencatatan sipil meliputi

pencatatan perkawinan saja, tidak lagi melayani administrasi untuk

melangsungkan perkawinan.46

Terlebih lagi secara kelembagaan sekarang

ini tidak ada lagi pegawai Catatan Sipil yang mendapat tugas (Tupoksi)

45

Muhibuddin, Tafsir Baru Perkawinan Beda Agama di Indonesia,

http://hakimmuhibuddin.blogspot.com/2008/08/Tafsir-Baru-Perkawinan-Beda-Agama-di-

Indonesia.html, di akses pada 26 November 2012, Pk. 22:24 WIB. 46

Fauzan Arrasyid, Catatan Sipil (BS/Burgerlijk stand), http://my.opera.com/mid-

as/blog/2011/01/22/catatan-sipil-bs-burgerlijk-stand, diakses pada 20 April 2013, Pk. 15.15 WIB.

82

untuk melangsungkan perkawinan. Jadi secara normatif maupun secara

empiris perkawinan beda agama tidak bisa dilangsungkan perkawinannya.

Hakim dalam penetapannya telah memerintahkan kepada Pegawai

Kantor Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil untuk melaksanakan

perkawinan inkasu menjadi tidak bisa dilaksanakan karena secara normatif

dan empiris Kantor Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil tidak lagi

memiliki kewenangan untuk itu dan sudah tidak ada lagi Petugas yang

memiliki kompetensi untuk melaksanakan perkawinan beda agama.

b. Pelaksanaan Pencatatan Perkawinan Beda Agama di Kota Magelang

Pelaksanaan pencatatan perkawinan beda agama, dalam hal ini kata

pelaksanaan diartikan sebagai kegiatan melaksanakan pencatatan

perkawinan beda agama yang prosedur dan tata caranya telah diatur oleh

peraturan perundang-undangan.

Pencatatan perkawinan beda agama merupakan hal baru yang telah

diperkenalkan oleh Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006. Pasal 35 huruf

(a) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 beserta penjelasannya memberi

peluang untuk perkawinan beda agama dapat dicatatkan, dan yang diberi

kewenangan untuk melakukan pencatatan perkawinan beda agama adalah

Kantor Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil.

Berdasarkan ketentuan Pasal 35 huruf (a) Undang-Undang Nomor 23

Tahun 2006 beserta penjelasannya, pencatatan perkawinan yang dimaksud

oleh Pasal 34 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 berlaku pula bagi

perkawinan beda agama. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 dalam hal

83

ini membutuhkan peraturan pelaksana agar dapat berlaku efektif seperti

halnya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 yang berlaku efektif dengan

Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975. Peraturan pelaksanaan untuk

Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 adalah Peraturan Pemerintah

Nomor 37 Tahun 2007 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 23

Tahun 2006 tentang Administrasi Keperndudukan, namun Peraturan

Pemerintah ini tidaklah lengkap dalam mengatur semua ketentuan yang ada

dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006. Pada Peraturan Pemerintah

Nomor 37 Tahun 2007 tidak ada ketentuan mengenai pelaksanaan

pencatatan perkawinan beda agama yang dimaksud oleh Pasal 35 huruf (a)

Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006. Pemerintah seolah-olah

memperbolehkan adanya perkawinan beda agama namun juga menghalangi

dengan tidak menjelaskan pelaksanaan perkawinan beda agama tersebut.

Mengenai hal ini Menteri Dalam Negeri menerbitkan Peraturan

Menteri Dalam Negeri Nomor 12 Tahun 2010 tentang Pedoman Pencatatan

Perkawinan dan Pelaporan Akta Yang Diterbitkan Oleh Negara Lain, dalam

peraturan menteri ini kita dapat menemukan ketentuan tentang pelaksanaan

pencatatan perkawinan beda agama, yaitu pada Pasal 10 dan 11.

Pelaksanaan pencatatan perkawinan beda agama dalam Peraturan

Menteri Dalam Negeri Nomor 12 Tahun 2010 diatur pada ketentuan Pasal

10 dan 11 yang isinya yaitu:

Pasal 10

1) Pencatatan perkawinan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2

huruf b, dilaporkan oleh penduduk kepada Dinas Kependudukan

84

dan Pencatatan Sipil atau UPTD Dinas Kependudukan dan

Pencatatan Sipil tempat diterbitkannya penetapan pengadilan.

2) Pencatatan perkawinan sebagaimana dimaksud pada ayat (1),

dilakukan dengan memenuhi syarat berupa:

a. Salinan Penetapan Pengadilan yang dilegalisir;

b. KTP suami dan isteri;

c. Pas foto suami dan isteri;

d. Kutipan Akta Kelahiran suami dan isteri; dan

e. Paspor bagi suami atau isteri Orang Asing.

Pasal 11

Tata cara pencatatan perkawinan sebagaimana dimaksud dalam

Pasal 10, dilakukan sebagai berikut:

a. Pasangan suami dan isteri mengisi formulir pencatatan

perkawinan dengan melampirkan persyaratan;

b. Pejabat Pencatatan Sipil pada Dinas Kependudukan dan

Pencatatan Sipil atau UPTD Dinas Kependudukan dan

Pencatatan Sipil melakukan verifikasi dan validasi kebenaran

data;

c. Pejabat Pencatatan Sipil pada Dinas Kependudukan dan

Pencatatan Sipil atau UPTD Dinas Kependudukan dan

Pencatatan Sipil mencatat pada Register Akta Perkawinan dan

menerbitkan Kutipan Akta Perkawinan paling lambat 30 (tiga

puluh) hari sejak tanggal dipenuhinya semua persyaratan;

d. Kutipan Akta Perkawinan sebagaimana dimaksud pada huruf c

diberikan kepada masing-masing suami dan isteri.

Ketentuan Pasal 10 Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 12 Tahun

2010 menyebutkan bahwa pelaksanaan pencatatan perkawinan beda agama

dilakukan setelah pemenuhan beberapa persyaratan yang salah satunya

adalah adanya salinan penetapan pengadilan yang telah dilegalisir.

Menurut pendapat dari Arif Prasetyo selaku Pejabat Pencatatan Sipil

yang ada di Kantor Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kota

Magelang, pencatatan perkawinan beda agama yang pernah dan telah

dicatatkan di kantor Pencatatan Sipil Kota Magelang semuanya adalah

perkawinan beda agama yang telah dilakukan perkawinannya, jadi pelaku

85

perkawinan tersebut sudah melangsungkan perkawinan dan datang ke

Kantor Pencatatan Sipil hanya untuk mencatatkan perkawinannya saja.

Berbeda dengan pencatatan perkawinan pada umumnya yang harus melalui

mekanisme pengumuman tentang adanya kehendak melangsungkan

perkawinan, pencatatan perkawinan beda agama hanya membutuhkan

adanya salinan penetapan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap

sebagai syarat untuk dapat dicatatkannya perkawinan tersebut.47

Pelaksanaan pencatatan perkawinan beda agama di Kota Magelang

dilakukan melalui beberapa tahapan, yaitu :

1. Pemohon yang hendak mencatatkan perkawinannya mengisi

formulir pencatatan perkawinan yang telah disediakan oleh Kantor

Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil.

2. Formulir yang telah diisi kemudian diserahkan kepada pejabat

pencatatan sipil disertai persyaratan yaitu :

a) Salinan penetapan pengadilan yang telah dilegalisir;

b) KTP suami dan KTP istri;

c) Pas Foto suami dan istri;

d) Kutipan Akta kelahiran suami dan istri; dan

e) Paspor bagi suami istri orang asing.

3. Setelah menerima formulir dan persyaratan telah dipenuhi oleh

pemohon, pejabat pencatatan sipil di Kantor Dinas Kependudukan

47

Kutipan dari Bapak Arif Suyono selaku Pejabat Pencatatan Sipil pada Kantor Dinas

Kependudukan dan Catatan Sipil Kota Magelang.

86

dan Catatan Sipil melakukan verifikasi dan validasi kebenaran data

pemohon.

4. Setelah verifikasi dan validasi data dilakukan, pejabat pencatatan

sipil mencatatkan perkawinan pemohon pada Register Akta

Perkawinan dan menerbitkan Kutipan Akta Perkawinan paling

lambat 30 (tiga puluh) hari sejak tanggal dipenuhinya semua

persyaratan.

5. Kutipan Akta kemudian diserahkan kepada masing-masing suami

dan istri.

Mengenai adanya persyaratan perkawinan beda agama dalam

pelaksanaan pencatatan perkawinan harus disertai dengan penetapan

pengadilan yang amarnya memberi izin dan memerintahkan kepada pejabat

pencatatan sipil untuk melaksanakan pencatatan terhadap perkawinan

tersebut, menurut penulis penetapan pengadilan tersebut tak ubahnya seperti

surat izin untuk kita mencatatkan perkawinan beda agama. Dikatakan tak

ubahnya seperti surat izin karena dalam hal ini Ridwan HR. berpendapat

bahwa izin adalah Perkenaan dari pemerintah berdasarkan undang-undang

atau peraturan pemerintah yang disyaratkan untuk perbuatan yang pada

umumnya memerlukan pengawasan khusus, tetapi yang pada umumnya

tidaklah dianggap sebagai hal-hal yang sama sekali tidak dikehendaki.48

Pencatatan terhadap perkawinan beda agama inkasu dilaksanakan

berdasarkan perintah dari pengadilan melalui Penetapan Nomor:

48

Ridwan H.R., Op. Cit, hal. 207.

87

04/PDT.P/2012/PN.MGL yang amarnya mengizinkan pemohon untuk

melangsungkan perkawinan beda agama dan menyuruh pihak pencatatan

sipil untuk melangsungkan perkawinan tersebut serta mencatatkan

perkawinan tersebut kelembar pencatatan perkawinan yang diperuntukan

untuk itu, namun pihak pencatatan sipil kota magelang tidak melangsungkan

perkawinan beda agama seperti yang diperintahkan hakim dalam

penetapannya, tetapi pihak pencatatan sipil hanya melakukan pencatatan

perkawinanya saja karena pihak pencatatan sipil tidaklah mempunyai

kewenangan untuk melangsungkan perkawinan beda agama.49

Hakim dalam penetapannya setelah memerintahkan kepada Pegawai

Kantor Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil untuk melaksanakan

perkawinan inkasu, kemudian memerintahkan kepada Kantor Dinas

Kependudukan dan Pencatatan Sipil untuk mencatat perkawinan dimaksud

ke dalam daftar yang diperuntukkan untuk hal itu.

Adapun ketentuan sebagaimana di atur dalam Undang-Undang Nomor

23 Tahun 2006 lebih berorientasi pada aspek pencatatan perkawinan sebagai

implementasi dari ketentuan Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang Nomor 1

Tahun 1974. Untuk inipun harus dipahami bahwa pencatatan perkawinan

adalah merupakan tindakan dilapangan administrasi negara yang mencatat

suatu peristiwa hukum perkawinan, artinya perkawinan yang dicatat adalah

peristiwa perkawinan yang telah dilakukan sesuai hukum yang berlaku.

Kata sah berarti menurut hukum yang berlaku, apabila perkawinan itu

49

Arif Prasetyo, Op. Cit.

88

dilaksanakan tidak menurut tata tertib hukum yang telah ditentukan maka

perkawinan itu tidak sah. Jadi kalau tidak menurut aturan Undang-Undang

Nomor 1 Tahun 1974 berarti tidak sah menurut perundang-undangan50

.

Suatu perkawinan merupakan suatu peristiwa hukum apabila perkawinan

tersebut merupakan peristiwa yang sah, jadi suatu perkawinan dikatakan sah

menurut hukum adalah apabila suatu perkawinan dilakukan menurut aturan

hukum yang berlaku, yang dalam hal ini adalah menurut Undang-Undang

Nomor 1 Tahun 1974 dan Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975,

diakui (kebenarannya), megikat, dan juga memiliki akibat hukum serta

memperoleh perlindungan hukum51

.

Ketentuan Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974

mengharuskan setiap perkawinan harus dilakukan pencatatan, namun

pencatatan perkawinan itu tidaklah menjadi suatu ketentuan sahnya suatu

perkawinan, tetapi hanya menyatakan bahwa peristiwa perkawinan itu

memang ada dan terjadi, hal ini hanya semata-mata bersifat administratif.52

Persoalan pencatatan perkawinan diatur lebih lanjut pada Peraturan

Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975, sebagai aturan pelaksanaan dari

ketentuan Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 dan

tatacara perkawinan sebagai pelaksanaan dari Pasal 2 ayat (1) Undang-

Undang Nomor 1 Tahun 1974.

Uraian di atas telah menjelaskan bahwa untuk sahnya perkawinan

berkaitan dengan persoalan dipenuhi apa tidaknya hal yang berkaitan

50Hilman Hadikusuma, Op. Cit, hal. 26.

51Trusto Subekti, Op. Cit, 2009, hal. 26.

52Djoko Prakoso dan I Ketut Murtika, Op. Cit, hal. 22.

89

dengan tatacara perkawinan, dan untuk aspek administrasinya diatur lebih

rinci mengenai tatacara pencatatannya; dengan demikian tujuan Undang-

Undang Nomor 1 Tahun 1974 dapat dijaga dengan adanya pengawasan

terhadap terpenuhinya syarat-syarat perkawinan sebagaimana diatur pada

Pasal 6 sampai dengan Pasal 12 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974,

karena syarat perkawinan adalah keadaan yang harus ada atau keadaan yang

menghalangi untuk dilakukanya suatu perkawinan, dan apabila syarat-syarat

tersebut dilanggar berarti proses perkawinan tidak bisa dilangsungkan.

Sehubungan dengan telah diterbitkannya Undang-Undang Nomor 23

Tahun 2006 pada Pasal 35 huruf (a) diatur mengenai perkawinan yang telah

ditetapkan oleh Pengadilan, dan pada bagian penjelasannya yang dimaksud

disini adalah perkawinan bagi umat yang berbeda agama, yang selanjutnya

diatur lebih lanjut mengenai tatacara pencatatan perkawinannya dalam

Peraturan Menteri dalam Negeri Nomor 12 Tahun 2010.

Kantor Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil memiliki kewajiban

untuk mencatat setiap peristiwa hukum perkawinan yang pelaksanaannya

telah mengikuti peraturan perundang-undangan yang berlaku. Sebaliknya

kantor Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil tidak akan melakukan

pencatatan perkawinan yang perkawinannya tidak dilaksanakan sesuai

hukum yang berlaku. Sehubungan dengan itu penetapan Hakim yang

memerintahkan kepada Kantor Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil

untuk melakukan pencatatan perkawinan dimaksud dalam kasus ini, secara

normatif menjadi tidak mempunyai landasan hukum untuk melaksanakan

90

perintah pengadilan tersebut. Apabila Kantor Dinas Kependudukan dan

Pencatatan Sipil dengan berdasar atas perintah hakim dimaksud tetap

melakukan pencatatan perkawinan antar umat yang berbeda agama

dimaksud, menjadi semakin membingungkan karena yang dicatat

perkawinan yang mana, karena dalam permohonannya telah secara tersurat

disebutkan bahwa Pemohon akan melangsungkan perkawinan dengan

pasangannya di Gereja Katolik di Magelang, berarti belum terjadi

perkawinan, dan Hakim memerintahkan kepada Kantor Dinas

Kependudukan dan Pencatatan Sipil untuk melangsungkan perkawinan

inkasu yang ternyata secara normatif dan empiris tidak dapat dilaksanakan.

Uraian di atas telah memperlihatkan suatu kenyataan bahwa Undang-

Undang Nomor 1 Tahun 1974 tidak memenuhi kebutuhan perkawinan dari

sebagian warga negara Republik Indonesia, maka sebaiknya Undang-

Undang Nomor 1 Tahun 1974 perlu ditinjau kembali dan bila perlu

dilakukan revisi agar dapat memenuhi aspirasi dan hak konstitusi serta Hak

Asasi Manusia yang pada pokoknya setiap orang berhak untuk menikah dan

membentuk keluarga serta melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang

sah bagi seluruh warga negara Republik Indonesia.

91

BAB V

PENUTUP

1. Simpulan

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan, maka dapat diambil

simpulan bahwa :

a) Pertimbangan hakim dalam Penetapan Nomor 04/Pdt.P/2012/PN.MGL

adalah telah terjadi kekosongan hukum dalam Undang-Undang Nomor 1

Tahun 1974. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tidak mengatur dan

tidak secara jelas melarang perkawinan beda agama, maka hakim

menetapkan perkawinan beda agama dengan berlandaskan bahwa

perkawinan beda agama merupakan hak konstitusi dan asasi yang dimiliki

setiap warga negara Indonesia (Pasal 27 dan Pasal 29 Undang-Undang

Dasar 1945 Amandemen IV serta Pasal 10 dan 16 Undang-Undang Nomor

39 Tahun 1999) dan dengan mempertimbangkan fakta bahwa perkawinan

beda agama merupakan suatu kenyataan yang hidup dalam masyarakat

Indonesia yang memang sangat beragam adat, agama, dan budayanya.

b) Pencatatan perkawinan beda agama yang dilaksanakan oleh pejabat

pencatatan sipil di Kantor Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kota

Magelang tidak berlandaskan hukum.

92

2. Saran

Berdasar atas hasil pembahasan di atas dan simpulan penelitian ini dapat

diajukan saran bahwa Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 perlu ditinjau

kembali dan bila perlu dilakukan revisi agar dapat memenuhi aspirasi dan hak

konstitusi serta Hak Asasi Manusia yang pada pokoknya setiap orang berhak

untuk menikah dan membentuk keluarga serta melanjutkan keturunan melalui

perkawinan yang sah. Kemudian bagi Hakim, dalam memeriksa serta

memutus perkara hendaklah lebih teliti ketika mencari peraturan-peraturan

sebagai rujukan dan pertimbangan.

93

DAFTAR PUSTAKA

Literatur:

Amiruddin dan H. Zainal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum, PT

Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2004.

Ashofa, B., Metode Penelitian Hukum, Rineka Cipta, Jakarta, 2002.

Darmabrata, W. dan Surini A. S., Hukum Perkawinan dan Keluarga di

Indonesia, Rizkita, Jakarta, 2002.

Ghofar, Asyhari Abdul, Hukum Perkawinan Antar Agama Menurut Agama

Islam, Kristen Dan Undang-Undang Perkawinan, CV. Gramada,

Jakarta, 1992.

Hadikusuma, H., Hukum Perkawinan Indonesia, Mandar Madju, Bandung,

1990;

Hanintijo, R. S., Metodologi Penelitian Hukum, Ghalia Indonesia, Jakarta,

1988.

HR., Ridwan, Hukum Administrasi Negara, Raja Grafindo Persada, Jakarta,

2007.

Kadarsih, S., dan Kartono, Buku Ajar Kapita Selekta Hukum Administrasi

Negara, Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto, 2004.

M. Idris Ramulyo, Hukum Perkawinan Islam (Suatu Analisis Dari Undang-

undang No.1 Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam), Bumi

Aksara, Jakarta, 1966.

Manan, A., Hukum Perdata Islam di Indonesia, Kencana Prenada Media

Group, Jakarta, 2006.

Marbun, SF., dan Mahfud MD., Pokok-Pokok Hukum Administrasi Negara,

Liberty, Yogyakarta, 2000.

Marzuki, M. P., Penelitian Hukum, Kencana Perdana Media Group, Surabaya,

2007.

Mertokusumo, S., Hukum Acara Perdata di Indonesia, Liberty, Yogyakarta,

1976.

94

NU Studies, Pergolakan Pemikiran Fundamentalisme Islam, A. Baso

Prakoso, D. dan I Ketut M., Azas-Azas Hukum Perkawinan Di Indonesia, Bina

Aksara, Jakarta, 1987.

Prodjodikoro, W., Hukum Perkawinan Di Indonesia, Sumur Bandung, Jakarta,

1984.

Rusli dan R. Tama, Perkawinan Antar Agama Dan Permasalahannya, Pionir

Jaya, Bandung, 2000.

Saragih, D., Himpunan Peraturan-Peraturan Dan Perundang-Undangan Di

Bidang Perkawinan Indonesia, Tarsito, Bandung, 1980.

Shaleh, W. K., Hukum Perkawinan Di Indonesia, Ghalia Indonesia, Jakarta,

1982.

Soemiyati, Hukum Perkawinan Islam dan Undang-Undang Perkawinan,

Liberty, Yogyakarta, 1982.

Soimin, S., Hukum Orang dan Keluarga, Sinar Grafika, Jakarta, 1992.

Subekti, Trusto, Bahan Pembelajaran Hukum Keluarga dan Perkawinan,

Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto, 2009.

Subekti, Trusto, Kumpulan Artikel dan Laporan Penelitian Hukum, Fakultas

Hukum Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto, 2012.

Syahar, S., Undang-Undang Perkawinan dan Masalah Pelaksanaannya

Ditinjau Dari Segi Hukum Islam, Alumni, Bandung, 1981.

Z., Alatas, Pelaksanaan Perkawinan Beda Agama Setelah Berlakunya

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan di

Kabupaten Semarang, Magister Kenotariatan Universitas

Diponegoro, Semarang, 2007.

Zuhdi, M., Masail Fiqhiyah, CV Haji Masaung, Jakarta, 1993.

Peraturan Perundang-undangan:

Undang-Undang Dasar 1945 Amandemen IV.

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.

Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Azasi Manusia.

Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan.

95

Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 tentang Peraturan Pelaksana Undang-

Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.

Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 2007 tentang Pelaksanaan Undang-

Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan.

Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 12 Tahun 2010 tentang Pedoman

Pencatatan Perkawinan dan Pelaporan Akta yang Diterbitkan Oleh

Negara Lain.

Website:

Artikata.com, Izin, http://www.artikata.com/arti-331222-izin.html, diunduh

pada tanggal 29 November 2012, Pk. 23.22 WIB.

Banyumasnews.com, Clift Sangra resmi nikahi gadis belia,

http://banyumasnews.com/2009/11/11/clift-sangra-resmi-nikahi-

gadis-belia/ , diunduh pada tanggal 20 Oktober 2012, Pukul 23:28

WIB.

Dinas Pendidikan dan Pelatihan, Materi Kuliah by DISPEN,

http://dispenmaterikuliah.blogspot.com/2011/08/makalah-

kependudukan.html, diunduh pada tanggal 25 November 2012, Pk.

14.35 WIB.

Fauzan Arrasyid, Catatan Sipil (BS/Burgerlijk stand),

http://my.opera.com/mid-as/blog/2011/01/22/catatan-sipil-bs-

burgerlijk-stand, diakses pada 20 April 2013, Pk. 15.15 WIB.

Hukumonline.com, Empat Cara Penyelundupan Hukum Bagi Pasangan Beda

Agama, http://hukumonline.com/Berita/Empat-Cara-

Penyelundupan-Hukum-Bagi-Pasangan-Beda-Agama.html, diakses

pada 25 November 2012, Pk. 13.18 WIB.

Muhibuddin, Tafsir Baru Perkawinan Beda Agama di Indonesia,

http://hakimmuhibuddin.blogspot.com/2008/08/Tafsir-Baru-

Perkawinan-Beda-Agama-di-Indonesia.html, di unduh pada 26

November 2012, Pk. 22:24 WIB.

96

Nikah Beda Agama, http://Nikahbedaagama.wordpress.com/2011/04/05/nikah-

beda-agama-dalam-perspektif-katolik/more, diakses pada 23 Januari

2013, Pk. 20.12 WIB.

Wikipedia Ensiklopedia Bebas, Administrasi,

http://id.wikipedia.org/wiki/Administrasi, diunduh pada 25

November 2012, Pk. 18:33.

Wikipedia Ensiklopedia Bebas, Demografi,

http://id.wikipedia.org/wiki/Demografi, diunduh pada 25 November

2012, Pk. 18:53.

Wikipedia Ensiklopedia Bebas, Perkawinan http://id.wikipedia.org-

/wiki/Perkawinan, diunduh pada 25 September 2012, Pk. 18:33.