perlindungan hukum nasabah terhadap likuidasi bank dihubungkan dengan undang-undang nomor 10 tahun...
DESCRIPTION
perlindungan hukum nasabah terhadap likuidasi bank dihubungkan dengan undang-undang nomor 10 tahun 1998 tentang perbankanTRANSCRIPT
BAB I
PENDAHULUAN
A.Latar Belakang
Pembangunan nasional memerlukan sumber pendanaan yang tidak kecil guna
mencapai sasarannya: pertumbuhan ekonomi, pendapatan perkapita, kesempatan
kerja distribusi pendapatan, dan lain-lain. sasaran ini terus di upayakan untuk di
tingkatkan kualitasnya dari waktu ke waktu. upaya memperbaiki dan memperkuat
sektor keuangan khususnya industri perbankan menjadi sangat penting. Sektor
perbankan memiliki peran yang sangat vital, antara lain sebagai pengatur urat nadi
perekonomian nasional. Lancarnya aliran uang sangat diperlukan untuk mendukung
kegiatan ekonomi. Kondisi sektor perbankan yang sehat dan kuat penting menjadi
sasaran akhir dari kebijakan di sektor perbankan. Peran sektor perbankan dalam
pembangunan juga dapat di lihat pada fungsinya sebagai alat transmisi kebijakan
moneter. Disamping itu, perbankan merupakan alat yang sangat vital dalam
menyelenggarakan transaksi pembayaran, baik nasional maupun internasional.
Mengingat pentingnya fungsi ini, maka upaya menjaga kepercayaan masyarakat.
1
Terhadap perbankan menjadi bagian yang sangat penting untuk diperhatikan oleh
bank.1
Bisnis perbankan merupakan bisnis yang penuh risiko, di samping
menjanjikan keuntungan yang besar jika di kelola secara baik dan hati-hati.dikatakan
sebagai bisnis penuh risiko karena aktivitasnya sebagian besar mengandalkan dana
titipan masyarakat, baik dalam bentuk tabungan giro maupun deposito. Besarnya
peran yang diperhatikan oleh sektor perbankan, bukan berarti membuka peluang
sebebas-bebasnya bagi siapa saja untuk mendirikan, mengelola ataupun menjalankan
bisnis perbankan tanpa di dukung dengan aturan perbankan yang baik dan sehat.
pemerintah melalui otoritas keuangan dan perbankan berwenang menetapkan aturan
dan bertanggung jawab melakukan pengawasan terhadap jalannya usaha dan aktivitas
perbankan oleh karenanya, kebijakan pemerintah disektor perbankan harus di arahkan
pada upaya mewujudkan perbankan yang sehat, kuat dan kokoh. Hal ini mengingat
kebijakan di bidang perbankan ini tidak lagi semata-mata memegang pernan penting
dalam pengembangan infrasturktur keuangan dalam rangka mengatasi kesenjangan
antara tabungan dan investasi, tetapi juga berperan penting dalam memelihara
kesetabilan ekonomi makro melalui keterkaitannya dengan efektivitas kebijakan
moneter 2
Pemerintah telah cukup mencurahkan perhatian pada penyempurnaan
peraturan-peraturan hukum di bidang perbankan . Mulai dari undang-undang hingga
1 Adrian Sutedi, Hukum Perbankan Suatu Tinjauan Pencucian Uang, Merger, Likuidasi, dan Kepailitan.,Sinar Grafika, Jakarta 2007, hlm., 130
2 Ibid., hlm 131.
peraturan yang sifatnya teknis sudah cukup tersedia. Bahkan, peraturan yang
berhubungan dengan prinsip kehati-hatian pun sudah sangat memadai. Namun
demikian, kelengkapan peraturan terutama menyangkut prinsip kehati-hatian tidaklah
cukup untuk dijadikan ukuran bahwa perbankan nasional lepas dari segala
permasalahan. Buktinya sebagian besar bank nasional (khususnya bank swasta)
merupakan bank bermasalah, yang satu persatu masuk pengawasan Badan
Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) bahkan lebih tragis lagi beberapa bank
swasta nasional terpaksa di likuidasi pada masa pemerintahan Sosilo Bambang
Yhudhoyono.3
Salah satu contoh bank sawasta tersebut adalah Bank Century, laporan
keuangan Bank Century pada rapat KSSK pada tanggal 20-21 November 2008 jam
00:11WIB – 05:00 WIB, dalam salinan notulensi rapat KSSK, inilah rincian dana
yang telah di kucurkan oleh LPS dan penarikan dana nasabah di Bank Century,
adalah sebagai berikut:4
1. Kucuran dana LPS (biaya penyelamatan):
a. 20 Nov 2008 (saat penyelamatan): Rp 632 miliar
b. Juli 2009 : Rp 6,76 triliun. (msh tersisa sekitar Rp 2 triliun di brangkas
Century untuk memenuhi rasio kecukupan modal /CAR 8% yang di
persyaratkan Bank Indonesia
2. Dana Nasabah (saat penyelamatan 20 November 2008)
3 Ibid. 4 M. Muifti Mubarok Membongkar Kotak Hitam Century Gate, Java Pustaka Media Utama,
Jakarta Selatan, 2010 hlm.,56.
a. Yang dijamin pemerintah : Rp 5,6 triliun
b. Di luar penjamin :3,4 triliun
c. Dana nasabah yang dijamin di 18 bank yang terancam kolaps Rp 5,6
triliun + Rp 15 triliun = Rp 20,6 triliun
3. Penarikan dana nasabah
a. Seblum penylamatan (1-20 November 2008) : Rp 1,2 triliun
b. Setelah pnyelamatan (20 November 2008-31 Desember 2008):
1) Penarikan dana nasabah yang dijamin : Rp 3,5 triliun
2) Penarikan dana nasabah besar : 1 triliun.
Berdasarkan data-data di atas, dana yang harus dikeluarkan oleh LPS untuk
penutupan Bank Century (Rp 20,6 triliun) jauh lebih besar dibandingkan biaya
penyelamatan (6,7 triliun). Penarikan dana pasca penyelamatan, sebagian besar
dilakukan oleh nasabah yang dijamin oleh pemerintah (simpanan di bawah Rp 2
miliar), yaitu sebesar Rp 3,5 triliun.5
Besarnya peran pengawasan oleh sektor perbankan, bukan berarti membuka
peluang sebebas-bebasnya bagi siapa saja untuk mendirikan, mengelola ataupun
menjalankan bisnis perbankan tanpa di dukung dengan aturan perbankan yang baik
dan sehat. pemerintah melalui otoritas keuangan dan perbankan berwenang
menetapkan aturan dan bertanggung jawab melakukan pengawasan terhadap jalannya
usaha dan ativitas perbankan oleh karenanya, kebijakan pemerintah disektor
5 Ibid .,hlm 58.
perbankan harus di arahkan pada upaya mewujudkan perbankan yang sehat, kuat dan
kokoh. Hal ini mengingat kebijakan di bidang perbankan ini tidak lagi semata-mata
memegang pernan penting dalam pengembangan infrasturktur keuangan dalam
rangka mengatasi kesenjangan antara tabungan dan investasi, tetapi juga berperan
penting dalam memelihara kesetabilan ekonomi makro melalui keterkaitannya
dengan efektivitas kebijakan moneter. 6
Salah satu faktor yang membuat sistem perbankan nasional mengalami
masalah likuidasi adalah akibat perilaku para pengelola dan pemilik bank yang
cenderung mengekploitasi dan/atau mengabaikan prinsip kehati-hatian dalam
berusaha, disamping faktor penunjang lain, yakni lemahnya pengawasan dari bank
Indonesia (BI).7
Sebagai tindak lanjut dari pencabutan ijin usaha, dilakukan pembubaran
badan hukum bank tersebut melalui proses likuidasi bank tersebut menimbulkan
domino effect antara lain di dahului dengan adanya rush di sektor perbankan
sehingga kepercayaan masyarakat terhadap perbankan nasional menjadi terpuruk.8
Berdasarkan uraian diatas, untuk mengatasi hal tersebut diperlukan suatu
kajian untuk melengkapi hal-hal yang belum tersentuh pengaturannya terkait dengan
kewenangan Bank Indonesia melakukan pencabutan, pembubaran dan likuidasi bank,
disamping tidak menutup kemungkinan memunculkan alternatif lain dalam
penanganan bank bermasalah misalnya melalui sarana Undang-Undang Kepailitan,
6 Adrian Sutedi, Hukum Perbankan…,Op.Cit., hlm 131.7 Ibid.8 Ibid., hlm 132.
yakni Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1998 tentang penetapan peraturan pemerintah
pengganti Undang-Undang No.1 Tahun 1998 tentang perubahan atas Undang-
Undang tentang kepailitan menjadi Undang-Undang (sekarang Undang-Undang
Nomor 37 Tahun 2004 tentang kepailitan)
Untuk mengembalikan kepercayaan masyarakat terhadap perbankan nasional ,
pemerintah mengeluarkan jaminan kewajiban pembayaran bank umum atau dikenal
dengan blanket guarantee yang merupakan financial safety net dengan keputusan
presiden Nomor 26 Tahun 1998 dan Undang-Undang No.10 Tahun 1998 (Pasal 37)
Atas dasar tersebut, peneliti mencoba meneliti tentang perlindungan nasabah terhadap
likuidasi bank , yang di tuangkan ke dalam skripsi ini dengan judul :
Perlindungan Hukum Nasabah Terhadap Likuidasi Bank Dihubungkan dengan
Undang-Undang Nomor. 10 Tahun 1998 tentang Perbankan.
B. Identifikasi Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, peneliti mengidentifikasi hal-hal yang
akan diteliti, sebagai berikut :
1. Bagaimana pengaturan likuidasi bank menurut Undang-Undang Nomor10
Tahun 1998 tentang Perbankan ?
2. Bagaimana perlindungan hukum terhadap nasabah bank yang di atur dalam
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan ?
C. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan dilakukannya penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Untuk mengetahui pengaturan likuidasi bank menurut Undang-Undang No.10
Tahun 1998 tentang Perbankan.
2. Untuk mengetahui perlindungan nasabah apabila terjadi likuidasi bank yang
tertuang dalam Undang-Undang No.10 Tahun 1998 tentang Perbankan.
D. KegunaanPenelitian
Kegunaan dari penelitian ini dapat di lihat dari 2 (dua) segi yaitu: 9
1. Kegunaan Teoritis
Guna memberikan dan sumbangan pemikiran bagi pengembangan
bidang ilmu hukum perbankan di bidang perlindungan nasabah berkenaan
dengan masalah likuidasi bank, serta memberikan bahan referensi bagi
kepentingan akademis dan juga sebagai tambahan bagi kepustakaan dalam
bidang ilmu hukum.
2. Kegunaan Praktis
a. Bagi nasabah menambah wawasan dan pengetahuan dalam segi kehati-
hatiannya dalam memilih produk yang ditawarkan oleh bank
9 Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, Universitas Indonesia, Jakarta 2010, hlm., 103.
b. Bagi peneliti, menambah wawasan dan pengetahuan dalam segi ilmu
hukum perbankan.
c. Bagi praktisi, memberikan informasi dan bahan masukan tentang
pentingnya perlindungan nasabah terhadap likuidasi bank.
E.Kerangka Pemikiran
Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia
Tahun 1945 menyebutkan, bahwa “Negara Indonesia negara hukum”. Negara hukum
dimaksud adalah negara yang menegakan supermasi hukum untuk menegakan
kebenaran dan keadilan dan tidak ada kekuasaan yang tidak
dipertanggungjawabkan.10
Berdasarkan uraian di atas yang dimaksud dengan Negara Hukum ialah
negara yang berediri di atas hukum yang menjamin keadilan kepada warga
negaranya. Keadilan merupakan syarat bagi terciptanya kebahagiaan hidup untuk
warga negaranya, dan sebagai dasar dari pada keadilan itu perlu diajarkan rasa susila
kepada setiap manusia agar ia menjadi warga negara yang baik. Demikian pula
peraturan hukum yang sebenarnya hanya ada jika peraturan hukum itu mencerminkan
keadilan bagi pergaulan hidup antar warga negaranya.11
10 Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia,Panduan Pemasyarakatan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 (Sesuai dengnan Urutan Bab, Pasal dan ayat), Sekertaris Jendral MPR RI, Jakarta, 2010, hlm, 46
11 Moh. Kusnardi dan Harmaily Ibrahim, Hukum Tata Negara Indonesia, Sinar Bakti, Jakarta 1988, hlm., 153.
Menurut Aristoteles yang memerintah dalam negara bukanlah manusia
sebenarnya, melainkan fikiran yang adil, sedangkan penguasa sebenarnya hanya
pemegang hukum dan keseimbangan saja. Kesusilaan yang akan menentukan baik
tidaknya suatu peraturan undang-undang dan membuat undang-undang adalah
sebagian dari kecakapan menjalankan pemerintahan negara. Oleh karena itu Menurut,
bahwa yang penting adalah mendidik manusia menjadi warga negara yang baik,
karena dari sikapnya yang adil akan terjamin kebahagiaan hidup warga negaranya.12
Secara umum, dalam setiap negara yang menganut paham negara hukum,
selalu berlakunya tiga prinsip dasar, yakni supermasi hukum (supremacy of law),
kesetaraan di hadapan hukum (equality before the law), dan penegakan hukum
dengan cara tidak bertentangan dengan hukum (due process of law).
Supermasi hukum, artinya bahwa yang mempunyai kekuasaan yang tertinggi
di dalam negara adalah hukum (kedaulatan hukuum.13
Prinsip penting dalam negara hukum adalah perlindungan yang sama (equal
protection) atau persamaan dalam hukum (equality before the law). Perbedaan
perlakuan hukum hanya boleh jika ada alasan yang khusus, misalnya, anak-anak yang
di bawah umur 17 tahun mempunyai hak yang berbeda dengan anak-anak yang di
atas 17 tahun. Perbedaan ini ada alasan yang rasional. Tetapi perbedaan perlakuan
tidak dibolehkan jika tanpa alasan yang logis, misalnya karena perbedaan warna
kulit, gender agama dan kepercayaan, sekte tertentu dalam agama, atau perbedaan
12 Ibid., hlm,154.13 Ibid., hlm 161.
status seperti antara tuan tanah dan petani miskin. Meskipun demikian, perbedaan
perlakuan tanpa alasan yang logis seperti ini sampai saat ini masih banyak terjadi di
berbagai negara, termasuk di negara yang hukumnya sudah maju sekalipun.14
Mengenai konsep kesetaraan dihadapan hukum (equality before the law),
menurut Dicey, Bahwa berlakunya Konsep kesetaraan dihadapan hukum (equality
before the law), di mana semua orang harus tunduk kepada hukum, dan tidak seorang
pun berada di atas hukum (above the law).15
Istilah due process of law mempunyai konotasi bahwa segala sesuatu harus
dilakukan secara adil. Konsep due process of law sebenarnya terdapat dalam konsep
hak-hak fundamental (fundamental rights) dan konsep kemerdekaan/kebebasaan yang
tertib (ordered liberty).16
Konsep due process of law yang prosedural pada dasarnya didasari atas
konsep hukum tentang “keadilan yang fundamental” (fundamental fairness).
Perkembangan , due process of law yang prossedural merupakan suatu proses atau
prosedur formal yang adil, logis dan layak, yang harus dijalankan oleh yang
berwenang, misalnya dengan kewajiban membawa surat perintah yang sah,
memberikan pemberitahuan yang pantas, kesempatan yang layak untuk membela diri
termasuk memakai tenaga ahli seperti pengacara bila diperlukan, menghadirkan
saksi-saksi yang cukup, memberikan ganti rugi yang layak dengan proses negosiasi
atau musyawarah yang pantas, yang harus dilakukan manakala berhadapan dengan
14 Munir Fuady, Teori Negara Hukum Modern (Rehctstaat) ,Refika Aditama, Bandung 2009, hlm., 207.
15Ibid., hlm., 3. 16 Ibid., hlm,46.
hal-hal yang dapat mengakibatkan pelanggaran terhadap hak-hak dasar manusia,
seperti hak untuk hidup, hak untuk kemerdekaan atau kebebasan (liberty), hak atas
kepemilikan benda, hak mengeluarkan pendapat, hak untuk beragama, hak untuk
bekerja dan mencari penghidupan yang layak, hak pilih, hak untukberpergian kemana
dia suka, hak atas privasi, hak atas perlakuan yang sama (equal protection) dan hak-
hak fundamental lainnya.17
Sedangkan yang dimaksud dengan due process of law yang substansif adalah
suatu persyaratan yuridis yang menyatakan bahwa pembuatan suatu peraturan hukum
tidak boleh berisikan hal-hal yang dapat mengakibatkan perlakuan manusia secara
tidak adil, tidak logis dan sewenang-wenang.18
Pasal 23 huruf D Undang-Undang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia
1945 menyebutkan bahwa negara memiliki suatu bank sentral yang susunan,
kedudukan, kewenangan, tanggung jawab, dan independensinya diatur dengan
Undang-Undang. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2004 perubahan atas Undang-
Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia, disebutkan bahwa tujuan
Bank Indonesia adalah mencapai dan memelihara kestabilan nilai rupiah, dan untuk
mencapai tujuan tersebut, Bank Indonesia melaksanakan kebijakan moneter secara
berkelanjutan. Untuk mencapai tujuan tersebut, Bank Indonesia memiliki tugas
menetapkan dan melaksanakan kebijakan moneter, mengatur dan menjaga kelancaran
sistem pembayaran, dan mengawasi bank-bank. Undang-undang ini lahir setelah
17 Ibid., hlm.,47.18Ibid.
krisis karena sebelumnya berlaku Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1968 tentang
Bank Indonesia.19
Perbedaan yang mendasar yang terkait dengan penyelsaian krisis perbankan
adalah, bahwa pada undang-undang sebelumnya secara kelembagaan Bank Indonesia
berada di dalam pemerintah atau di bawah presiden sebagai kepala pemerintah dan di
bawah Dewan Moneter yang diketuai oleh Menteri Keuangan dalam melakukan
kebijakan moneter. Sementara itu, dengan undang-undang baru, Bank Indonesia
berada di luar pemerintah, artinya tidak berada di bawah menteri kabinet dalam
pemerintahan presiden, tetapi tetap dalam koordinasi presiden sebagai kepala negara.
Perbedaan kewenangan yang mendasar terkait dengan penyelsaian likuidasi
perbankan adalah bahwa kebijakan-kebijakan pengaturan dan pengawasan bank-bank
termasuk penutupan bank harus berada dalam koordinasi menteri keuangan, termasuk
hak untuk memberikan dan mencabut izin usaha bank berada pada menteri
keuangan.20
Sementara itu, setelah undang-undang baru, koordinasi dengan Menteri
Keuangan lebih dikaitkan, karena Departemen Keuangan yang merupakan otoritas
keuangan dan fiskal, sementara kebijakan pengaturan dan pengawasan sepenuhnya
berada di Bank Indonesia, termasuk hak pemberian dan pencabutan izin usaha bank.21
19 Kusumaningtuti, Peranan Hukum dalam Penyelsaian Krisis Perbankan di Indonesia, Raja Grafindo Persada Grafika 2009, Jakarta, hlm,162.
20 Ibid.21 Ibid., hlm.162.
Undang-Undang Perbankan Indonesia yaitu, Undang-Undang Nomor 10
Tahun 1998 tentang Perbankan, kedudukan dan kapasitas Bank Indonesia di bidang
perbankan diatur, yang terkait dengan penyelsaian likuidasi perbankan dan
perlindungan nasabah adalah kedudukan Bank Indonesia dalam merekomendasi
kepada pemerintah untuk membentuk badan khusus yang bersifat sementara untuk
menyehatkan perbankan sebagaimana diatur dalam pasal 37A undang-undang
tersebut.22
Pengertian hukum dalam konteks terhadap likuidasi bank, dipergunakan
sistem hukum dari Lawrence M Friedman. Teori ini menyebutkan, bahwa sistem
hukum mengandung tiga faktor yaitu structur, substance, dan legal culture. Ketiga
faktor tersebut saling terkait sehingga mewujudkan gambaran yang sebenarnya
mengenai bagaimana suatu sistem hukum di suatu negara tersebut berfungsi.23
Mengenai structure, Friedman mengatakan bahwa sistem selalu berubah,
tetapi bagian-bagian dari sistem tersebut berubah dengan kecepatan yang berbeda-
beda, dan tidak setiap bagian berubah secepat dan memiliki kepastian seperti bagian
lainnya. Bagian-bagian ini memiliki pola jangka panjang bagian ini adalah aspek-
aspek dari sistem yang ada di sini pada waktu sebelumnya (atau bahkan ada sejak
abad yang lalu) dan akan tetap ada dalam waktu yang lama di masa depan. Inilah
struktur dari sistem hukum, yaitu kerangka atau cara kerja. Bagian tetap, yang
memberikan sebuah bentuk dan definisi bagi keseluruhan sistem. Struktur sistem
22 Ibid., hlm.163.23 M.Khozim, Lawrence M. Friedman Sistem Hukum Presfektif Ilmu Sosial, Nusa Media,
Bandung, 2009, hlm 12.
hukum ini terdiri dari beberapa elemen seperti : jumlah dan kapasitas pengadilan,
yuridiksi (yaitu apa kasus yang mereka tangani, bagaimana, serta mengapa), dan
bentuk banding dari satu pengadilan ke pengadilan lainnya. Struktur juga berarti cara
badan hukum berorganisasi, beberapa anggota yang duduk di komisi, apa yang dapat
dan tidak dapat dilakukan (secara legal) oleh seorang presiden, prosedur apa yang
harus diikuti oleh kepolisisan, dan lain sebagainya.struktur dapat dikatakan,sebagai
sebuah bentuk lintas bagian dari sistem hukum sebuah bentuk visualisasi yang
merekam sebuah peristiwa.24
Mengenai substance, Friedman mengatakan Substance adalah peraturan atau
regulasi dalam arti yang sebenarnya, yaitu norma dan pola perilaku dari orang-orang
yang berada dalam sistem. Ini adalah pertama-tama “hukum” dalam istilah populer,
kenyataan bahwa batas kecepatan kendaran adalah lima puluh lima mil per jam,
peratuaran yang dapat membuat seorang perampok masuk ke penjara, bahwa sesuai
hukum seorang pembuat acara harus mencantumkan komposisi isi pada kemasan.
Namun, hal ini juga, dengan kata lain “substansi”, bahwa polisi hanya menangkap
pengemudi yang memacu kendaraannya tujuh puluh mil per jam. hal-hal seperti ini
merupakan pola kerja dari hukum yang hidup. substance juga berarti “produk” yang
di hasilkan, oleh orang–orang dalam sistem hukum, keputusan–keputusan yang di
hasilkan oleh orang peraturan baru yang di ikuti. Penekanannya disini adalah pada
hukum hidup, bukan sekedar peraturan pada buku-buku tentang hukum.25
24 Ibid.,hlm 202.25 Ibid.,hlm.377.
Mengenai legal culture, Friedman mengatakan, legal culture adalah sikap
orang-orang hukum dan sistem hukum , kepercayaan nilai-nilai ide-ide dan ekspresi
mereka. Dengan kata lain, legal culture merupakan bagian dari budaya secara umum
yang terkait dengan sistem hukum. Ide-ide dan opini ini dapat dikatakan adalah apa
yang menentukan sebuah proses hukum berjalan. Legal culture, dalam pengertian
lain, adalah iklim dari pemikiran sosial dan kekuatan social yang menentukan
bagaimana hukum digunakan dihindari, disalah gunakan. Tanpa legal culture, sistem
hukum menjadi statis, seperti seekor ikan mati didalam sebuah keranjang, bukan
seperti seekor ikan yng berenang di laut. Setiap masyarakat, setiap negara, setiap
komunitas, memiliki legal culture. Selalu ada sikap dan opini tentang hukum. Salah
satu subkultur yang penting adalah legal culture dari para “insiders”, yaitu para
hakim dan jaksa yang bekerja didalam sistem hukum itu sendiri. karena hukum
menjadi kepentingan mereka, nilai-nilai dan sikap mereka menjadi penentu yang
membedakan sistem.26
Ringkasnya pendapat tersebut mengemukakan bahwa structure mencakup
sebagai lembaga yang diciptakan oleh sistem hukum. Substance mencakup segala hal
yang di hasilkan oleh structure, sedangkan legal culture adalah mengenai siapa yang
menentukan struktur tersebut berjalan dan bagaimana structure dan substance
tersebut akan digunakan.27
26 Ibid., hlm.254.27 Kusumaningtuti.Peranan Hukum dalam Penyelsaian Perbankan di Indonesia, Rajagrafindo
Persada, Jakarta 2009. hlm. 17.
Perubahan kelembagaan dalam rangka penyelamatan sistem perbankan cara
simultan akan memberikan pengaruh penyempurnaan sistem hukum yang berlaku,
sementara unsur governance dalam pembangunan akan menentukan tingkat
keberhasilan perubahan yang sedang dilaksanakan. Optimal atau kurang optimalnya
peran hukum dalam program-program penyelesaian krisis perbankan dapat dikaji dari
terpenuhi atau tidak terpenuhinya faktor-faktor yang menjadi kriteria, seperti
penerapan hukum yang memadai, adanya pemerintahan yang bersih, serta adanya
sistem pengaturan yang efisien, demokratis dan akuntabel. Kajian terhadap indikasi
tidak berfungsinya hukum dengan baik merupakan kajian yang harus dilakukan
secara mendalam guna menjawab permasalahan-permasalahan yang menghambat
peranan hukum dalam pembangunan. Sementara itu, sejauh mana suatu sistem hukum
diterapkan dalam suatu perekonomian dapat ditelaah dari interaksi tiga faktor yang
disebut dengan struktur (kelembagaan), substansi (regulasi), dan budaya hukum
(pandangan atau pemahaman masyarakat pelaku, pengguna, dan otoritas kebijakan).28
Faktor substansi atau regulasi yang menurut Friedman adalah actual rules,
norma-norma, dan pola perilaku dari masyarakat di dalam sistem meliputi segala
regulasi atau peraturan yang dapat menimbulkan implikasi dampak negatif atau
kerugian.29 Sistem perbankan, yang dimaksud dengan substansi adalah setiap regulasi
dan kebijakan yang berkaitan dengan perizinan, kegiatan usaha dan pembubaran
bank, baik yang diberlakukan secara individual maupun secara sistem. Dalam
28 Ibid.,29 Didik J.Rachbini, Ekonomi Politik – Kebijakan dan Setrategi Pembangunan, (Jakarta :
Penerbit Granit , 2004 )hlm 23.
penyelsaian likudasi perbankan, yang disebut dengan substansi selain sama seperti
pengertian dalam sistem perbankan juga segala ketentuan dan kebijakan yang terkait
dengan penyelesaian likuidasi bank tersebut.30
Faktor budaya hukum, yang didefinisikan oleh Friedman sebagai perilaku/
sikap, kepercayaan, nilai-nilai pemikiran, dan harapan masyarakat terhadap hukum,
mencakup mengenai siapa dan bagaimana dalam menentukan faktor struktur dan
substansi hukum berjalan dan digunakan. Dalam budaya hukum dikenal teori yang
membedakan formal law dan law in action. Formal law berarti suatu perangkat
norma atau aturan yang dimuat dalam perundang-undangan atau dalam penyelsaian
suatu kasus hukum sedangkan law in action adalah hukum yang di terapkan atau
dilaksanakan oleh para pihak, pengacara, dan pengadilan.31
Interaksi ketiga faktor,yaitu struktur, substansi, dan budaya hukum, akan
mencerminkan bagaimana peran hukum pada suatu kondisi di suatu negara. Telaahan
terhadap interaksi ketiga faktor sistem hukum tersebut dapat memberikan gambaran
apakah hukum berperan secara memadai atau tidak dalam penyelesaian persoalan-
persoalan atau permasalahan.
Pada sistem perbankan Indonesia, bagian-bagian yang dapat dikelompokan
dalam struktur, substansi, dan budaya hukum adalah sebagaimana diuraikan dibawah
ini. Sistem perbankan, yang termasuk dalam struktur adalah institusi yang menjadi
otoritas yang mengeluarkan peraturan-peraturan perbankan yang baik. Lazimnya
30 Kusumaningtuti.peranan…op.Cit.,hlm18.31 Ibid.
bank sentral atau otoritas pengawasan perbankan merupakan merupakan bagian
pokok dari sturktur. Setiap lembaga pemerintah atau non pemerintah yang memiliki
kewenangan untuk menentukan berfungsinya sistem perbankan yang baik juga
merupakan bagian dari struktur ini. Sistem perbankan Indonesia, pada awalnya yang
termasuk dalam cakupan struktur adalah Bank Indonesia sebagai lembaga supervisi
dan regulasi perbankan, Departemen Keuangan sebagai lembaga perizinan perbankan
(sebelum Undang-Undang Perbankan Nomor 10 Tahun 1998 tenteng Perbankan) dan
sebagai lembaga pemberi penjaminan pemerintah, Badan Penyehatan Perbankan
Nasional (BPPN) sebagai lembaga penyehatan perbankan dan Komite Kebijakan
Sektor Keuangan (KKSK) sebagai lembaga yang merumuskan kebijakan yang terkait
dengan restrukturisasi perbankan dalam rangka pemulihan krisis.32 Saat ini, cakupan
struktur dalam praktik Perbankan Indonesia adalah Bank Indonesia (sebagai lembaga
supervisi dan regulasi perbankan), Departemen Keuangan (sebagai lembaga
penjaminan pemerintah ), dan KKSK (sebagai lembaga yang merumuskan kebijakan
yang terkait dengan restrukturisasi perbankan dalam rangka pemulihan krisis) Masih
termasuk dalam struktur adalah pembentukan pengadilan khusus untuk menangani
restrukturisasi bank dan perusahaan. Demikian pula dengan perlunya pembentukan
panel abritase dan fasilitas-fasilitas lain yang berkaitan dengan penyelsaian 32 Secara teori dalam restrukturisasi perbankan, yang termasuk dalam structure adalah hal-hal
yang terkait dengan kerangka kelembagaannya .pembentukan otoritas tingkat tinggi yang di beri tuga untuk memastikan terdapatnya kebijakan yang konsisten di antara beberapa instansi pemerintah .institusi ini akan memperkuat setrategi restrukturisasi .lembaga-lembaga pengawasan sektor keuangan . agar efektif ,pejabat-pejabat wajib terus memiliki komitmen politik.Fakta menujukan bahwa pelaksanaan yang konsisten atas proses restrukturisasi yang kompleks menjadi sulit apabila tidak disertai dengan otoritas tunggal berikut mandate yang jelas .Institusi tersebut harus mendelegasikan sebagian besar masalah pelaksanaan pada lembaga –lembaga terkait yang secara tepat. ibid , hlm19.
perselisihan di bidang keuangan luar pengadilan. Oleh karena itu, Pengadilan Niaga
yang dibentuk dalam rangka memfasilitasi perselisihan penyelsaian asset serta
sebagai forum yudisial yang menyelsaikan perkara kepailitan merupakan bagian dari
struktur ini. Demikian pula dengan forum-forum penyelsaian sengketa di luar
pengadilan.33
Sistem perbankan, yang termasuk dalam substansi adalah setiap regulasi dan
kebijakan yang berkaitan deng perizinan, kegiatan usaha, maupun pembubaran bank-
bank baik yang diberlakukan secara individual maupun secara kelompok. Pada
awalnya, yang termasuk substansi dalam sistem perbankan Indonesia adalah setiap
ketentuan yang tertulis maupun tidak tertulis yang berbentuk peraturan perundangan
maupun berbentuk arahan dari pemerintah termasuk KKSK maupun dari Bank
Indonesia atau BPPN. Berdasarkan restrukturisasi perbankan, yang termasuk
substansi adalah aturan hukum yang akan digunakan untuk menyelsaikan bank-bank
bermasalah seperti halnya likuidasi bank. Aturan tersebut harus didasarkan pada
undang-undang, dan bila perlu, dibuat peraturan yang sifatnya mendesak peraturan
tersebut sekurang-kurangnya memuat (a) hak untuk melakukan intervensi bank–bank
yang lemah dan mendata penyertaan modal para pemegang saham ; (b) pengaturan
penilaian asset dan memindahkan hak kreditor dan kepemilikan property dalam
rangka melaksanakan strategi restrukturisasi bank; (c) penyesuaian aturan-aturan
akunting dan auditing serta aturan-aturan penilaian koleteral; (d) pemastian kelayakan
kewajaran pemilik dan pengurusan bank; (e) kemungkinan masuknya investor asing;
33 Ibid., hlm 20.
(f) penyusunan kriteria perizinan bank baru; (g) pembatasan ekspor kewajiban dalam
valuta asing serta pinjaman pada pihak terkait dan (h) pemusatan pemberian kredit.
Setelah dibubarkan BPPN, yang termasuk substansi pada sistem perbankan Indonesia
saat ini hanya ketentuan yang di keluarkan pemerintah, KKSK dan Bank Indonesia.34
Sementara itu yang termasuk budaya hukum dalam sistem perbankan adalah
hal-hal yang terkait dengan cara para aparat otoritas yang melaksanakan hukum
perbankan maupun bagaimana para pengurus atau pemilik bank memahami,
mematuhi, dan melaksanakan ketentuan serta kebijakan perbankan. Pada konteks ini,
tidak terlepas pula aspek politik hukum yang mempengaruhi penerapan kebijakan dan
ketentuan di bidang perbankan demikian pula dengan sistem perbankan Indonesia,
yang termasuk dalam budaya hukum adalah segala kebiasaan dan perilaku otoritas
perbankan dan bank-bank beserta aparatnya dalam melaksanakan kebijakan operasi
perbankan. Termasuk budaya hukum dalam restrukturisasi perbankan adalah kultur
yang tidak mendukung kelancaran atau keberhasilan restrukturisasi perbankan seperti
praktik korupsi, kolusi, dan koronisme. Sudut pandang kepentingan stabilitas
keuangan, praktik korupsi yang merajalela akan melemahkan kepercayaan
masyarakat terhadap sistem keuangan dan akan menurunkan investasi. 35
34 Ibid.35 Oleh karena itu , ada beberapa persyaratan minimal yang di perlukan untuk tidak
mendorong praktik korupsi seperti (a) batas maksimum kredit kepada setiap debitor sesuai dengan standar internasional ;(b) larangan bagi kegiatan manipulasi pasar; dan (c) self dealfing . pengaturan yang memberikan perlindungan terhadap kepemilikan sejalan dengan upaya peningkatan kepercayaan dalam sistem keuangan ,perlu dilaksanakan secara efektif . Joseph J. Norton , Financial Sector Reform and International Financial Crises :The Legal Challenges, The London Institute of International Baking, Finance & Development Law , Great Britain 1988, hlm .28.
Berkaitan dengan teori perlindungan hukum terhadap nasabah, penulis
mengambil pendapat dari Marulak Pradede mengemukakan bahwa dalam sistem
perbankan Indonesia, mengenai perlindungan terhadap nasabah penyimpan dana,
dapat dilakukan melalui 2 teori yaitu, teori perlindungan secara impilisit (implicit
deposit protection), dan teori perlindungan secara eksplisit (Explicit deposit
protection).36
Mengenai teori perlindungan secara implisit (implicit deposit protection),
yaitu perlindungan yang dihasilkan oleh pengawasan dan pembinaan bank yang
efektif, yang dapat menghindarkan terjadinya kebangkrutan bank. Perlindungan ini
yang diperoleh melalui: (1) peraturan perundang-undangan dibidang perbankan, (2)
perlindungan yang dihasilkan oleh pengawasan dan pembinaan yang efektif, yang
dilakukan oleh Bank Indonesia, (3) upaya menjaga kelangsungan usaha bank sebagai
sebuah lembaga pada khususnya dan perlindungan terhadap sistem perbankan pada
umumnya, (4) memelihara tingkat kesehatan bank, (5) melakukan usaha sesuai
dengan prinsip kehati-hatian, (6) cara pemberian kredit yang tidak merugikan bank
dan kepentingan nasabah, dan (7) menyediakan informasi risiko pada nasabah.37
Mengenai teori perlindungan secara eksplisit (Explicit deposit protection),
yaitu perlindungan melalui pembentukan suatu lembaga yang menjamin simpanan
masyarakat, sehingga apabila bank mengalami kegagalan, lembaga tersebut yang
akan mengganti dana masyarakat yang disimpan pada bank yang gagal tersebut,
36 Hermansyah, Hukum Perbankan Nasional Indonesia, Kencana Pernada Media grup, Jakarta 2011, hlm., 145
37 Ibid
perlindungan ini diperoleh melalui pembentukan lemabaga yang menjamin simpanan
masyarakat, sebagaimana diatur dalam Keputusan Presiden RI Nomor 26 Tahun 1998
tentang Jaminan terhadap Kewajiban Bank Umum.38
F. Metode Penelitian
Dalam pembuatan skripsi ini, peneliti melakukan penelitian dengan
menggunakan metode dan data sebagai berikut :
1. Spesifikasi Penelitian
Dalam penelitian hukum ini peneliti menggunakan spesifikasi penelitian
deskritif analitis yaitu menggambarkan serta menguraikan semua data yang diperoleh
dari hasil studi kepustakaan yang berkaitan dengan judul penulisan hukum yang
secara jelas dan rinci kemudian dianalisis guna menjawab permasalahan yang diteliti.
2. Metode Pendekatan
Metode pendekatan yang penulis pergunakan dalam penyusunan penulisan
hukum ini adalah penelitian yuridis normatif atau penelitian hukum kepustakaan,
yaitu penelitian hukum yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka atau data
sekunder yang terdiri dari bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan
hukum tersier39.
38 Ibdi., hlm 146.39 Abdul Kadir. Hukum dan Penelitian Hukum. Citra Aditya Bakti, Bandung. 2004. hlm101
Dalam penelitian ini penulis melakukan penelitian terhadap asas-asas hukum
yang dikomaparasikan dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang
Perbankan Indonesia khususnya berhubungan dengan perlindungan nasabah terhadap
likuidasi Bank yang dituangkan dalam kasus Bank Century.
3. Tahap Penelitian
Tahap penelitian yang penulis pergunakan dalam penelitisn ini berupa
pengumpulan data sekunder, yaitu data atau informasi hasil penelaahan dokumen
penelitian serupa yang pernah dilakukan sebelumnya, bahan kepustakaan seperti
buku-buku, literatur, Koran, majalah, jurnal, artikel internet, Undang-Undang,
Peraturan Pemerintah, Peraturan Menteri, maupun arsip-arsip yang berkesesuaian
dengan penelitian yang dibahas.40
Menurut Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji menyatakan bahwa suatu
penelitian hukum normatif mengandalkan pada penggunaan bahan hukum primer,
bahan hukum sekunder dan bahan hukum tertier. 41
a. Bahan hukum primer, yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat, dalam
pembuatan skripsi ini bahan hukum yang akan di gunakan adalah Undang-
Undang Nomor. 10 Tahun 1998 tentang Perbankan , Undang-Undang No. 8
tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, Undang-Undang Nomor 24
40 Ibid., hlm 67.41 Soerjono Soekanto dan Srimantudji, Penelitian Hukum Normative Suatu Tinjauan
Singkat .Rajagrafindo Persada ,Jakarta 2001, hlm 13.
Tahun 2004 tentang Lembaga Penjamin Simpanan, dan KUHPerdata,
KUHPidana.
b. Bahan hukum sekunder, yaitu bahan yang memberikan penjelasan mengenai
bahan hukum primer, seperti rancangan undang-undang, hasil-hasil penelitian,
atau pendapat pakar hukum.
c. Bahan hukum tersier, yaitu bahan yang memberikan petunjuk maupun
penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder, seperti
kamus(hukum), ensiklopedia.
4.Teknik Pengumpulan Data.
Teknik pengumpulan data yang dipergunakan dalam penulisan ini adalah
studi kepustakaan. Studi kepustakaan adalah merupakan penelaahan peraturan
perundang- undangan yang terkait serta buku-buku atau literatur sebagai bahan
bacaan. Menurut Soejono Soekanto studi kepustakaan ini menelaah bahan-bahan
hukum yang pokok yaitu undang-undang dalam arti materiil dan formal, hukum
kebiasaan dan hukum adat yang tercatat, yurisprudensi yang konstan, traktat dan
doktrin. Juga bahan-bahan yang dinamakan dokumen seperti autobiografi yang
konprohensif, surat-surat pribadi, buku harian dan memori, surat kabar dan majalah,
dokumen-dokumen pemerintah dan cerita-cerita rakyat.42
5. Metode Analisis Data
42 Moh. Nazir, Metode Penelitian, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1988, hlm. 246.
Mengenai kegiatan analisis data dalam penelitian ini peneliti
mengklasifikasikan pasal-pasal dalam peraturan perundang-undangan, karya tulis
para sarjana serta dokumen penunjang lainnya ke dalam kategori yang tepat. Setelah
analisis data selesai, peneliti akan menyajikan hasilnya secara deskritif analisi yaitu
dengan jalan menuturkan dan menggambarkan serta menganalisis hasil penelitian
guna menemukan titik permasalahan yang deteliti.
6. Lokasi Penelitian
Penelitian ini peneliti memilih lokasi penelitian di perpustakaan Universitas Subang
BAB II
TINJAUAN TENTANG PERBANKAN BERDASARKAN HUKUM
PERBANKAN DI INDONESIA
A. Pengertian Hukum Perbankan
Apabila kita menelusuri sejarah dari terminologi ”bank”, kita temukan bahwa
kata bank berasal dari bahasa italy “banca”, yang berarti bence, yaitu suatu tempat
duduk. Sebab, pada zaman pertengahan pihak bankir italy yang memberikan
26
pinjaman-pinjaman melakukan usahanya tersebut dengan duduk di bangku-bangku di
halaman pasar.43 Sementara itu Munir Fuady menyatakan, bahwa hukum yang
mengatur masalah perbankan disebut hukum perbankan (banking law), yakni
seperangkat kaidah hukum dalam bentuk peraturan perundang-undangan,
yurisprudensi, doktrin, dan lain-lain sumber hukum, yang mengatur masalah-masalah
perbankan sebagai lembaga dan aspek kegiatannya sehari-hari, rambu-rambu yang
harus dipenuhi oleh suatu bank, perilaku petugas-petugasnya, hak, kewajiban tugas
dan tanggung jawab para pihak yang tersangkut dengan bisnis perbankan, apa yang
boleh dan tidak boleh dilakukan oleh bank, eksistensi perbankan, dan lain-lain yang
berkenan dengan dunia perbankan.44
Sedangkan Hermansyah menyatakan, bahwa bertitik tolak dari pengertian
perbankan sebagai segala sesuatu yang menyangkut tentang bank, mencakup
kelembagaan, kegiatan usaha, serta cara, dan proses melaksanakan kegiatan
usahanya, maka pada prinsipnya hukum perbankan adalah keseluruhan norma-norma
tertulis maupun norma-norma tidak tertulis yang mengatur tentag bank, mencakup
kelembagaan, kegiatan usaha, serta cara, dan proses melaksanakan kegiatan
usahanya. Norma-norma tertulis dimaksud adalah seluruh peraturan perundang-
undangan yang mengatur menganai bank, sedangkan norma-norma yang tidak tertulis
adalah seluruh peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai bank,
43 Munir Fuady., Hukum Perbankan Modern kesatu , Citra Aditya Bakti, Bandung 2003, hlm.,13.
44 Djoni S. Gazali dan Rachmadi Usman., Hukum Perbankan, Sinar Grafika, Jakarta 2010, hlm 2.
sedangkan norma-norma yang tidak tertulis adalah hal-hal atau kebiasaan-kebiasaan
yang timbul dalam praktik perbankan.45
Pengertian yang senada dikemukakan pula Tan Kamello menyatakan bahwa
jika hukum perbankan diartikan dengan Undang-Undang Perbankan, maka diperoleh
batasan bahwa hukum perbankan adalah sekumpulan peraturan hukum yang
mengatur segala hal yang menyangkut tentang bank, baik kelembagaan, kegiatan
usaha, serta cara dan proses dalam melaksanakan usaha bank. Namun jika dilihat
dalam prespektif sistem sebagai entitas, maka hukum perbankan adalah sekumpulan
peraturan hukum yang merupakan satu kesatuan yang masing-masing unsurnya
berkaitan satu sama lain dan bekerja sama secara aktif untuk mencapai tujuan
keseluruhan dari hukum perbankan. Unsur sistem hukum perbankan yang
dimaksudkan adalah peratuaran hukum (norma), asas-asas hukum, dan pengertian-
pengertian hukum yang terdapat di dalamnya. Unsur hukum tersebut dibangun di atas
tertib hukum, sehingga terdapat keharmonisan di dalam atau di luarnya, dan dapat
dihindarkan adanya tumpang tindih (overlapping) di antara unsur-unsur yuridis
tersebut. Kalau terjadi konflik mengenai persoalan perbankan, maka solusinya adalah
melalui asas hukum yang terdapat dalam sistem hukum perbankan itu sendiri.46
Dari pendapat-pendapat di atas, kiranya dapat di rumuskan pengertian hukum
perbankan itu, yaitu kumpulan ketentuan hukum, yang meliputi peraturan hukum
(norma) dan asas-asas hukum, struktur hukum dan budaya hukum yang mengatur
45 Ibid.46 Ibid ., hlm 3.
segala sesuatu yang menyangkut tentang bank, mencakup kelembagaan, kegiatan
usaha, serta cara dan proses dalam melaksanakan kegiatan usahanya.47
Pengertian perbankan menurut Pasal 1 Undang-Undang Nomor 10 Tahun
1998 tentang Perbankan adalah segala sesuatu yang menyangkut tentang bank,
mencakup kelembagaan, kegiatan usaha serta cara dan proses dalam melaksanakan
kegiatan usahanya.48
Bank adalah badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dalam
bentuk simpanan dan menyalurkannya kepada masyarakat dalam bentuk kredit dan
atau bentuk-bentuk lainnya dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat banyak
( Pasal 1 butir 2 Undang-Undang Nomor. 10 Tahun 1998 Tentang Perbankan ).49
B. Sumber Hukum Perbankan.
Setelah mendapat gambaran pengertian hukum perbankan sebagaimana
diuraikan di atas, maka tidak dapatlah dikesampingkan perlunya pemahaman
terhadap sumber-sumber hukum yang ada dalam sistem hukum perbankan, yaitu
sumber hukum dalam arti formal dan sumber hukum dari arti materiil.
Sumber hukum formal dalam Hukum Perbankan Indonesia tidak hanya
terbatas pada sumber hukum tertulis, dimungkinkan adanya sumber hukum yang
tidak tertulis meskipun sangat sedikit, mengingat hukum perbankan itu sendiri lebih
mengedepankan positifistik. Berbicara mengenai sumber hukum formal di Indonesia,
47 Ibid.48 Sentosa Sembiring., Hukum Perbanka, Mandar Maju, Bandung 2008, hlm 1.49 Ibid., hlm 2.
maka kita akan selalu menempatkan Undang-Undang Dasar 1945 sebagai sumber
utama. Kita selanjutnya bisa mengurut sumber hukum formal mengenai bidang
perbankan tersebut, sebagai berikut: 50
1. Undang-Undang Dasar 1945 Negara Kesatuan Republik Indonesia Pasal 23
huruf D beserta amandemennya.
2. Undang-Undang pokok di Bidang Perbankan dan undang-undang pendukung
sektor ekonomi dan sektor lainya yang terkait, seperti :
a. Peraturan pokok, yaitu Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang
Perbankan beserta perubahannya, yakni Undang-Undang Nomor 10 Tahun
1998 dan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia
beserta perubahannya, yaitu Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2004 dan
Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2004 tentang Lembaga Penjamin
Simpanan.
b. Peraturan pendukung yaitu baik Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
dan Kitab Undang-Undang Hukum dagang maupun Kitab Undang-
Undang Hukum Pidana serta undang-undang lainnya yang berkaitan dan
banyak hubungannya dengan kegiatan perbankan, misalnya:
1) Undang-Undang yang mengatur badan usaha atau lembaga yang
berkaitan dengan perbankan, seperti Undang-Undang Nomor 49
Tahun 1960 tentang Panitia Urusan Piutang Negara; Undang-Undang
50 Muhamad Djumhana., Hukum Perbankan di Indonesia, Citra Aditya Bakti, Bandung 2006, hlm.6
Nomor 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian; Undang-Undang
Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas; Undang-Undang
Nomor 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara; serta
Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan
penundaan kewajiban Pembayaran Utang
2) Undang-undang pengesahan yang berkaitan dengan perjanjian
internasional, baik di bidang perbankan maupun bidang ekonomi,
seperti Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1994 tentang pengesahan
Agreement Establishing Trade Organization.
3) Undang-undang yang mengatur kegiatan ekonomi lainya, seperti
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal, Undang-
Undang Nomor 24 Tahun 1999 tentang Lalu Lintas Devisa dan Sistem
Nilai Tukuar Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002 tentang Tindak
Pidana Pencucian Uang beserta perubahannya, yaitu Undang-Undang
Nomor 25 Tahun 2003; Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2002
tentang Surat Utang Negara.
4) Undang-undang yang berkaitan dengan jaminan, seperti Undang-
Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan atas Tanah
Beserta Benda-Benda yang Berkaitan dengan Tanah dan Undang-
Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia.
3. Peraturan Pemerintah
a. Peraturan pelaksanaan dari Undang-Undang Perbankan seperti:
1) Peraturan Pemerintah Nomor 84 Tahun 1998 tentang Program
Rekapitulasi Bank Umum.
2) Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1999 tentang ketentuan dan
Tata Cara Pembukaan Kantor Cabang, Kantor Cabang Pembantu, dan
Kantor Perwakilan dari Bank yang berkedudukan di luar negeri.
3) Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 1999 tentang Pencabutan Izin
Usaha, Pembubaran, dan Likuidasi Bank.
4) Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1999 tentang Merger,
Konsolidasi, dan akuisisi Bank.
5) Peraturan Pemerintah Nomor 29 Tahun 1999 tentang Pembelian
Saham Bank Umum.
6) Peraturan Pemerintah Nomor 30 Tahun 1999 tentang Pencabutan
Peraturan Pemerintah Nomor 70 Tahun 1992 tentang Bank Umum
sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Peraturan
Pemerintah Nomor 73 Tahun 1998, Peraturan Pemerintah 71 Tahun
1992 tentang Bank Perkereditan Rakyat, dan peraturan Pemerintah
Nomor 72 Tahun 1992 tentang Bank Berdasarkan Prinsip Bagi Hasil.
7) Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2005
tentang Modal Awal Lembaga Penjamin Simpanan.
8) Peraturan Pemerintah Nomor 39 Tahun 2005 tentang Penjaminan
Simpanan Nasabah Bank Berdasarkan Prinsip Syariah
b. Peraturan pemerintah pelaksanaan dari undang-undang yang berkaitan
dengan kegiatan perbankan termaksud dalam angka 5 diatas, seperti:
1) Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 1994 tentang Pajak
Penghasilan atas Bunga Deposito dan Tabungan serta Diskonto
Sertifikat Bank Indonesia.
2) Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 1998 tentang Perusahaan
Perseroan (persero) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan
Pemerintah Nomor 45 Tahun 2001
3) Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1998 tentang Penggabungan,
Peleburan dan Pengambilalihan Perseroan Terbatas
4) Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 2005 tentang Penghitungan
Jumlah Hak Suara Kreditur
5) Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 2005 tentang Modal Awal
Lembaga Penjamin Simpanan
6) Peraturan Pemerintah Nomor 54 Tahun 2005 tentang Pinjaman
Daerah.
c. Peraturan Presiden (Perpres),51 misalnya:
51 Istilah Peraturan Presiden menggantikan keputusan Presiden sesuai dengan ketentuan Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
1) Keputusan Presiden Nomor 59 Tahun 1972 tentang Penerimaan Kredit
Luar negeri
2) Keputusan Presiden Nomor 5 Tahun 1984 tentang Penerbitan Sertifikat
Bank Indonesia.
3) Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2005 tentang Pengakhiran
Jaminan Pemerintah terhadap Kewajiban Pembayaran Bank Perkeriditan
Rakyat.
4) Dan peraturan presiden lainnya.
d. Peraturan lainnya yang dikeluarkan oleh institusi pemerintah yang tidak
langsung mengurus perbankan, tetapi peraturannya memuat ketentuan yang
erat dengan kegiatan perbankan atau secara langsung mengatur kegiatan
perbankan, misalnya, Peraturan Menteri Dalam Negeri yang mengatur
Perbankan Milik Pemerintah Daerah dan Keputusan Ketua Badan Pengawas
Pasar Modal, contoh peraturan tentang Persetujuan Bank Umum sebagai
Kustodian.
C. Pengaturan Perlindungan Nasabah Bank Likuidasi dalam Hukum
Perbankan Indonesia.
Salah satu aspek penting dalam bahasan hubungan hukum antara nasabah
dengan bank adalah perjanjian antara keduanya, yang biasanya dibuat secara sepihak
oleh bank. Seiring dengan perkembangan hukum dan masuknya hukum dari negara
Anglo Saxon, maka perjanjian sebagaimana diatur dalam KUHPerdata Pasal 1320
tentang syarat syahnya perjanjian yang dianut oleh Indonesia yaitu meliputi :52
1.Sepakat mereka mengikat dirinya.
Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya mengandung makna bahwa para
pihak yang membuat perjanjian telah sepakat atau ada persesuaian kemauan atau
saling menyetujui kehendak masing-masing, yang dilahirkan oleh para pihak dengan
tidak ada paksaan, kekeliruan dan penipuan.53 Persetujuan mana dapat dinyatakan
secara tegas maupun secara diam-diam.
Persoalan yang sering dikemukakan dalam hubungan ini adalah, kapan saja
kesepakatan itu terjadi. Persoalan ini sebenarnya tidak akan timbul jika para pihak
yang membuat perjanjian itu pada suatu saat bersama-sama berada di satu tempat dan
disitulah dicapai kata sepakat. Akan tetapi, nyatanya dalam pergaulan hukum di
masyarakat tidak selalu demikian, melainkan banyak perjanjian terjadi antara pihak
melalui surat menyurat, sehingga menimbulkan persoalan kapan saatnya kesepakatan
itu terjadi. Hal ini penting dipersoalkan sebab untuk perjanjian-perjanjian yang
tunduk pada asas konsesualitas, saat terjadi kesepakatan merupakan saat terjadinya
perjanjian.
Ada empat teori yang mencoba memberikan penyelsaian persoalan itu:
a. Uiting theorie (teori saat melahirkan kemauan).
52 Riduan Syahrani, Seluk Beluk dan Asas-asas Hukum Perdata, Alumin, Bandung 2004, hlm., 205.
53 Paksaan (dwang) dan penipuan (bedrog) merupakan 3 hal yang mengakibatkan kesepakatan tidak sempurna (Pasal 1321KUHPidana).
Menurut teori ini perjanjian terjadi apabila atas penawaran telah dilahirkan
kemauan menerimanya dari pihak lain. Mulai menulis surat penerimaan
b. Verzend theorie (teori saat mengirim surat penerimaan)
Menurut teori ini perjanjian terjadi pada saat surat penerimaan dikirimkan kepada
si penawar.
c. Ontavangs theorie (teori saat menerima surat penerimaan)
menurut teori ini perjanjian terjadi pada saat menerima surat penerimaan sampai
di alamat si penawar.
d. Vernemings theorie (teori saat mengetahui surat penerimaan)
Menurut teori ini perjanjian baru terjadi, apabila si penawar telah membuka dan
membaca surat penerimaan itu.
Subekti dalam bukunya Hukum Perjanjian menyatakan bahwa menurut ajaran
yang lazim dianut sekarang perjanjian harus dianggap dilahirkan pada saat dimana
pihak yang melakukkan penawaran (efferete) menerima yang termaktub dalam surat
tersebut, sebab detik itulah dapat dianggap sebagai detik lahirnya kesepakatan.
Bahwasanya mungkin ia tidak membaca surat itu, hal itu menjadi tanggungjawabnya
sendiri. Surat itu dianggap sepantasnya membaca surat-surat yang diterimanya dalam
waktu sesingkat-singkatnya.
Menurut Wirjono Prodjodikoro, Ontavangs theorie dan Vernemings theorie
dapat disatukan sedemikian rupa, yaitu dalam keadaan biasa perjanjian harus
dianggap terjadi pada saat surat penerimaan sampai pada alamat penawar (ontavangs
theorie), tetapi dalam keadaan luar biasa kepada sipenawar diberikan kesempatan
untuk membuktikan bahwa itu tidak mungkin dapat mengetahui isi surat penerimaan
pada saat surat itu sampai dialamtnya, melainkan baru beberapa hari kemudian atau
beberapa bulan kemudian, misalnya karena berpergian atau sakit keras.
Persoalan kapan lahirnya perjanjian betapapun juga adalah sangat penting
untuk diketahui dan ditetapkan, berhubung undangan yang mempunyai pengaruh
terhadap pelaksanaan perjanjian, beralihnya risiko dalam perjanjian, tempat lainnya
dan ditutupnya perjanjian dan sebagainya.
Persoalan kapan lahirnya perjanjian betapapun juga adalah sangat penting
untuk diketahui dan ditetapkan, yang mempunyai pengaruh terhadap pelaksanaan
perjanjian, beralihnya risiko dalam perjanjian, tempat lainnya dan ditutupnya
perjanjian.
Persoalan lain dalam hubungan ini yang sering juga diperbincangkan adalah,
seandainya kata-kata penawaran yang dikeluarkan lewat alat komunikasi itu tidak
cocok dengan apa yang sebetulnya diinginkan oleh orang yang mengeluarkan
penawaran itu, sedangkan dipihak lain telah mempercayainya dan menyesuaikan
dirinya dengan pernyataan yang keliru itu, apakah disini terjadi perjanjian Menurut
wils theorie (teori kemauan), tidak terjadi perjanjian perjanjian tetapi pihak yang
mengeluarkan pernyataan tersebut tidak terlepas baegitu saja dari tanggung jawab
atas akibat-akibat yang timbul karena pernyataan yang dikeluarkan tapi keliru.
Sehingga dalam hal ini ia diwajibkan untuk membayar ganti kerugian kepada siapa
yang menderita kerugian akibat tindakannya mengeluarkan pernyataan meskipun
tidak sesuai dengan keinginannya. Sedangkan menurut vertrouwens theorie (teori
kepercayaan), telah terjadi perjanjian. Sebab kemauan yang masih tersimpan dalam
hati sanubari artinya belum dinyatakan belum diatur oleh hukum. Hukum hanya
mengatur apa-apa yang lahir dan dilahirkan yakni segala yang tampak dari tingkah
laku orang seorang dalam pergaulan hidup di tengah-tengah masyarakat.
Kebanyakan para sarjana berpendapat bahwa sepanjang tidak ada dugaan
pernyataan itu keliru melainkan sepantasnya dapat dianggap melahirkan keinginan
orang yang mengeluarkan pernyataan itu, vertrouwens thorie (teori kepercayaan)
yang dipakai.
2. Cakap untuk membuat suatu perjanjian
Cakap (bekwaam) merupakan syarat umum untuk dapat melakukan perbuatan
hukum secara sah yaitu harus sudah dewasa, sehat akal pikiran dan tidak dilarang
oleh suatu peraturan perundang-undangan untuk melakukan suatu perbuiatan tertentu.
Orang yang kurang sehat akal pikiranya, dalam hukum perdata Barat hanya
mereka yang telah berada di bawah pengampuan saja yang dianggap tidak dapat
melakukan perbuatan hukum secara sah. Sedangkan orang-orang yang kurang atau
tidak sehat akal pikirannya yang tidak berada di bawah pengampuan (curatele) tidak
demikian, perbuatan hukum yang dilakukannya tidak dapat dikatakan tidak sah kalau
hanya didasarkan Pasal 1320 Ayat (2) BW. Akan tetapi, perbuatan hukum itu dapat
dibantah dengan alasan tidak sempurnanya kesepakatan yang diperlukan, juga untuk
sahnya perjanjian sebagaimana ditentukan Pasal 1320 Ayat (1) BW.
Dilihat dari sudut rasa keadilan memang benar-benar perlu bahwa orang yang
membuat perjanjian yang nantinya akan terikat oleh perjanjian yang dibuatnya itu
harus benar-benar mempunyai kemampuan untuk menginsyafi segala tanggung jawab
yang bakal dipikulnya karena perbuatannya. Sedangkan bila dilihat dari sudut
ketertiban umum, karena orang yang membuat perjanjian mempertaruhkan
kekayaannya, sehingga sudah seharusnya orang tersebut sungguh-sungguh berhak
berbuat bebas terhadap harta kekayaannya.
Tegasnya syarat kecakapan untuk membuat suatu perjanjian ini mengandung
kesadaran untuk melindungi baik bagi dirinya dan bagi miliknya maupun dalam
hubungan keselamatan keluarganya.
3. Suatu Hal tertentu
Suatu hal tertentu dalam perjanjian adalah barang yang menjadi obyek suatu
perjanjian ini harus tertentu, setidak-tidaknya harus ditentukan jenisnya, sedangkan
jumlahnya tidak perlu ditentukan, asalkan saja kemudian dapat ditentukan atau
diperhitungkan.
Selanjutnya dalam Pasal 1334 Ayat (1) BW ditentukan bahwa barang-barang
yang baru akan ada kemudian hari juga dapat menjadi obyek suatu perjanjian.
Menurut Wirjono Prodjodikoro, zbarang yang belum ada yang dijadikan
obyek perjanjian tersebut bisa dalam pengertian mutlak (absolut) dan bisa dalam
pengertian relatif (nisib). Belum ada dalam pengertian mutlak misalnya, perjanjian
jual beli beras, beras yang diperjual-belikan sudah terwujud beras, pada saat
perjanjian diadakan masih milik orang lain, tetapi akan menjadi milik penjual.
Namun menurut Pasal 1344 Ayat (2) BW barang-barang yang akan masuk
hak warisan seseorang karena yang lain akan meninggal dunia dilarang dijadikan
obyek suatu perjanjian, kendatipun hal itu dengan kesepakatan orang yang akan
meninggal dunia dan akan meninggalkan barang-barang warisan. Adanya laranngan
ini karena menjadikan barang yang akan diwarisi itu dihibahkan oleh calon suami
kepada calon isteri dalam perjanjian kawin atau oleh pihak ketiga kepada calon suami
atau calon isteri, ini diperkenankan.
Kemudian dalam Pasal 1322 BW ditentukan bahwa barang-barang yang dapat
dijadikan obyek perjanjian hanyalah barang-barang yang dapat diperdagangkan.
Lazimnya barang-barang yang dipergunakan untuk kepentingan umum dianggap
sebagai barang-barang diluar perdagangan, sehingga tidak bisa dijadikan obyek
perjanjian.
4. Suatu sebab yang halal
Suatu sebab yang halal merupakan syarat yang keempat untuk sahnya perjanjian.
Mengenai syarat ini Pasal 1335 BW menyatakan bahwa suatu perjanjian tanpa sebab,
atau telah dibuat karena suatu sebab yang palsu atau terlarang, tidak mempunyai
kekuatan.
Ternyata pembentuk undang-undang membayangkan tiga macam perjanjian mungkin
terjadi yakni (1) perjanjian yang tanpa sebab, (2) perjanjian dengan suatu sebab yang
palsu atau terlarang, dan (3) perjanjian dengan suatu sebab yang halal.
Persoalan pokok dalam hal ini adalah apakah pengertian perkataan sebab itu
sebenarnya, dari sejumlah interpretasi dan penjelasan para ahli dapat disimpulkan
bahwa pengertian perkataan sebab itu adalah sebagai berikut:
a. perkataan sebab sebagai salah satu syarat perjanjian adalah sebab dalam
pengertian ilmu pengetahuan hukum yang berbeda dengan pengertian ilmu
pengetahuan lainnya.
b. Perkataan sebab itu bukan pula motif (desakan jiwa yang mendorong seseorang
melakukan perbuatan tertentu) karena motif adalah soal bathin yang tidak
diperdulikan oleh hukum.Perkataan sebab secara letterlijk berasal dari perkataan
oorzak (bahasa Belanda) atau causa (bahasa Latin) yang menurut riwayatnya
bahwa yang dimaksud dengan perkataan itu dalam perjanjian adalah tujuann
yakni apa yang dimaksudkan oleh kedua ppihak dengan mengadakan
perjanjjian. Perkataan lain kata sebab berarti isi perjanjian itu sendiri.
c. Kemungkinan perjanjian tanpa sebab yang dibayangkan dalam Pasal 1335 BW
adalah suatu kemungkinan yang tidak akan terjadi, karena perjanjian itu sendiri
adalah isi bukan tempat yang harus diisi.
Kemudian yang perlu mendapat perhatian dalam hubungan ini adalah apa
yang dinyatakan Pasal 1336 BW, bahwa jika tidak dinyatakan sesuatu sebab, tetapi
ada sesuatu sebab yang halal, ataupun jika sebab yang lain dari pada yang dinyatakan
persetujuan namun demikian sah.54
Oleh para ahli dikatakan bahwa kata sebab dalam Pasal 1336 BW itu adalah
kejadian menyebabkan adanya hutang, misalnya perjanjian jual beli barang atau
perjanjian perjanjian peminjaman uang dan sebagainya. Sehingga yang dimaksud
dengan persetujuan dalam Pasal 1336 BW itu tidak lain adalah surat pengakuan
hutang bukan perjanjiannya sendiri. Oleh karena itu, surat pengakuan hutang yang
menyebutkan sebabnya (causanya) dinamakan cautio discerta. Sedangkan yang tidak
menyebutkan sebabnya (causanya) dinamakan cautioindiscreta.55
Akhirnya, Pasal 1337 BW menentukan bahwa sesuatu sebab dalam perjanjian
tidak boleh bertentangan dengan undang-undang kesusilaan dan ketertiban umum.
Demikianlah syarat-syarat yang harus dipenuhi untuk sahnya suatu perjanjian pada
umumnya sebagaimana dikhendaki Pasal 1320 BW. Untuk perjanjian. Perdamaian
(Pasal11851 Ayat (2) BW), perjanjian tentang besarnya bunga Pasal 1767
Ayat (3) BW. 56
Pasal 1320 KHUPerdata selama ini mengalami pergeseran. Di antara pergeseran
dalam pembuatan perjanjian adalah perjanjian antara produsen dan konsumen yang
salah satunya adalah antara bank dengan nasabah. Hal ini tercermin dalam Pasal 18
54 Ibid., hlm., 21255 Ibid.56 Ibid.
ayat 1 dan 2 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen
selengkapnya berbunyi sebagai berikut:57
Ayat 1: pelaku usaha dalam menawarkan barang dan atau jasa yang ditujukan untuk
diperdagangkan, dilarang membuat atau mencantumkan klaausula baku pada setiap
dokumen dan atau perjanjian apabila:58
1. menyatakan pengalihan tanggung jawab pelaku usaha
2. menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan kembali barang
yang dibeli konsumen;
3. menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan kembali barang
yang dibeli oleh konsumen
4. menyatakan pemberian kuasa dari konsumen kepada pelaku usaha, baik secara
langsung maupun tidak langsung untuk melakukan segala tindakan sepihak yang
berkaitan dengan barang yang dibeli oleh konsumen.
5. mengatur perihal pembuktian atas hilangnya kegunaan barang atau pemanfaatan
jasa yang dibeli oleh konsumen
6. memberi hak kepada pelaku usaha untuk mengurangi manfaat jasa atau
mengurangi jasa atau mengurangi harta kekayaan konsumen yang menjadi objek
jual beli jasa;
57 Try Widiyono, Aspek Hukum Operasional Perbankan di Indonesia, Gahlia Indonesia, Bogor 2006 hlm 66.
58 Ibid., hlm 67.
7. menyatakan tunduknya konsumen kepada peraturan yang berupa aturan baru,
tambahan, lanjutan dan atau pengubahan lanjutan yang dibuat sepihak oleh pelaku
usaha dalam masa konsumen secara angsuran.
Ayat 2: pelaku usaha dilarang mencantumkan klausula baku yang letak atau
bentuknya sulit terlihat atau tidak dapat dibaca secara jelas atau yang
pengungkapannya.59
Adapun langkah nyata dari Bank Indonesia dalam perlindungan nasabah saat
ini sudah semakin terlihat, diantaranya, menempatkan perlindungan nasabah sebagai
salah satu pilar perbankan nasional. Menyangkut pengaturan pun sudah terlihat
dengan diterbitkannya beberapa peraturan yang secara fokus untuk melindungi
nasabah, diantaranya:60
a. Peraturan Bank Indonesia Nomor 7/7/PBI/2006 tentang penyelesaian pengaduan
Nasabah.
b. Peraturan Bank Indonesia Nomor 8/5/PBI/2006 tanggal 30 Januari 2006 tentang
Mediasi Perbankan.
Berdasarkan dua peraturan perundang-undangan khusus di atas yang
materinya ditujukan untuk perlindungan nasabah, maka sudah menjadi keharusan
bagi kita untuk menghargainya atas upaya tersebut. Namun begitu, masyarakat masih
mengharapkan lebih baik lagi kiprah Bank Indonesia dalam rangka melindungi
konsumen tersebut.61
59Ibid. 60 Muhamad Djumhana, Hukum Perbankan…, op.Cit., hlm 343.61 Ibid.
Seiring dengan peratuaran Bank Indonesia yang telah dibuat untuk
mengembalikan kepercayaan masyarakat dan sekaligus melindungi hak-hak
penyimpan dana, akhirnya pemerintah mengeluarkan Keputusan Presiden Nomor 26
Tahun 1998 tentang Jaminan terhadap Kewjiban Pembayaran Bank Umum dan
Keputusan Presiden nomor 193 Tahun 1998 tentang Program Penjaminan Bank
Perkeriditan Rakyat, yang pada intinya memberi perlindungan hukum secara
langsung kepada nasabah penyimpan dana terhadap kegagalan Bank Umum maupun
BPR dalam memenuhi kewajibannya.62
D. Asas-Asas Hukum Perbankan dan Tujuannya
Bahwa dalam memahami asas hukum perbankan, dengan sendirinya harus
terlebih dahulu juga mempunyai pemahaman materi asas hukum pokoknya, seperti
asas hukum administrasi negara dan hukum tata negara, asas hukum perdata, asas
hukum pidana, dan juga asas hukum Islam, serta asas hukum Internasional. Uraian
untuk itu semua khusus dalam bingkai permasalahan yang berkaitan langsung dengan
lembaga atau industri perbankan.63
1. Asas Hukum Umum Perbankan Indonesia
a. Asas-asas Hukum Tata Negara dan Hukum Administrasi Negara
yang Terkait dengan Operasional Perbankan
62 Djoni S.Gazali dan Rachmadi Usman, Hukum perbankan…, op.Cit., hlm 568.63 Muhamad Djumhana, Asas-asas Hukum Perbankan Indonesia, Citra Aditya Bakti,
Bandung 2008, hlm., 235.
Gambaran untuk memahami keterkaitan antara hukum tata negara dan
perbankan, perlu terlebih dahulu memahami mengenai hubungan lembaga
kenegaraan dengan hukum tata negara. Kelembagaan itu sendiri mengandung
pengertian sebagai seperangkat peraturan yang menyangkut hak dan kewajiban. Salah
satu pendapat yang dapat menggambarkan kondisi tersebut, yaitu pendapatnya Van
Vollenhoven, dia mengatakan bahwa:64
”badan-badan kenegaraan tanpa hukum tata negara adalah lumpuh karena mereka tidak diberi kekuasaan atau kekuasaannya itu tidak menentu dan badan kenegraan tanpa hukum administrasi negara adalah bebas karena mereka dapat menggunakan kekuasaannya itu sekehendak hatinya saja.”
Gambaran pendapat tersebut menunjukan bahwa badan-badan kenegaraan itu
memperoleh wewenangnya dari hukum tata negara dan badan-badan kenegaraan itu
menggunakan wewenangnya itu harus berdasarkan atau sesuai dengan hukum
administrasi negara (asas negara hukum).65
Berpijak pada pengertian-pengertian tersebut di atas, maka ruang lingkup
kelembagaan dari sudut pandang administrasi negara menyangkut hal-hal berikut: 66
1) Kelembagaan adalah kreasi manusia, beberapa bagian penting
kelembagaan adalah hasil akhir dari kegiatan manusia yang dilakukan
secara sadar.
2) Kumpulan individu, karena itu kelembagaan dirumuskan dan diputuskan
bersama-sama bukan secara perorangan.
64 Ibid., hlm 236.65 Ibid., 66Ibid., hlm 237.
3) Dimensi waktu, dapat diaplikasikan dalam situasi yang berulang dalam
suatu dimensi waktu.
4) Dimensi tempat, lingkungan fisik adalah salah satu determinan penting
dalam aransemen dan pembentukan struktur kelembagaan
5) Aturan main dan norma, anggota masyarakat harus mengerti rumusan-
rumusan yang mewarnai semua tingkah laku dan norma yang dianut
dalam kelembagaan tersebut.
6) Sistem pemantauan dan penegakan aturan.aturan main dan norma harus
dipantau dan di tegakan oleh suatu badan yang kompeten atau oleh
masyarakat secara internal.
7) Hierarki dan jaringan, bagian dari hierarki dan jaringan atau sistem
kelembagaan yang lebih kompleks.
8) konsekuensi kelembagaan, kelembagaan meningkatkan rutinitas dan
memiliki pengaruh bagi terciptanya suatu pola interaksi yang stabil.
Hal-hal di atas penting dipahami guna mendukung pemahaman yang lebih
komperhensif atas seluruh permasalahan yang berkaitan dengan kelembagaan dan
hubungannya dengan aspek yang menjadi bidang garapan dari lemabaga tersebut.67
Kelembagaan negara atau pemerintahan yang berkaitan dengan perbankan dan
diatur langsung dalam konstitusi, yaitu lembaga bank sentral. Undang-Undang Dasar
1945, diatur sebagai berikut :
67 Ibid.
”Negara memiliki suatu bank sentral yang susunan, kedudukan kewenangan, tanggung jawab, dan independensinya diatur dengan undang-undang”.68
Undang-undang pelaksanaan dari amanat ketentuan konstitusi tersebut, yaitu
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia sebagaimana telah
diubah dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2004 tentang Perubahan atas
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia.
Ketentuan yang mengatur bank sentral, baik susunan kedudukan,
kewenangan, tanggung jawab, dan independensinya semuanya paling tidak berpijak
pada asas-asas sebagai berikut :69
1) asas pemisahan secara organisasional antara jabatan yang menjabatnya
dan pikiran, pandangan hidup, perasaan, kepentingan pribadi tidak
boleh dicampuradukan dengan tugas, fungsi, dan kewajiban jabatan.
2) Asas persamaan ketundukan pada hukum, yang menyatakan bahwa
pejabat penguasa negara (sebagai pemegang policy pemerintah) jika
berbuat atau bertindak diluar batas-batas tugas dan wewenang
jabatannya (jika sedang tidak berdinas) berkedudukan sama
dalam/terhadap hukum, seperti setiap warga masyarakat biasa.
3) Asas pemisahan kas, yang menyatakan, bahwa harta kekayaan pribadi
(kas pribadi) dipisah secara tegas dari harta benda/kekayaan negara
(kas negara)
68 Ketentuan Pasal 23D Undang-Undang Dasar 1945 amandemen keempat.69 Ibid., hlm 238
Ketiga asas tersebut memberikan landasan kepada bank sentral dalam
kedudukannya sebagai suatu lembaga. fungsinya memelihara kestabilan nilai rupiah,
maka Bank Indonesia mempunyai tugas menetapkan dan melaksanakan kebijakan
moneter ; mengatur dan menjaga kelancaran sistem pembayaran; serta mengatur dan
mengawasi bank. Bank indonesia dengan otoritas moneter yang independen, saat ini
tidak lagi memberikan kredit program, tetapi dalam menjalankan tugas dan fungsinya
dapat mengakomodasi prinsip-prinsip yariah kegiatannya.70Bank Indonesia dalam
menjalankan tugas pengaturan dan pengawasan bank,71 berwenang untuk menetapkan
peraturan dan perizinan bagi kelembagaan dan kegiatan usaha bank serta mengenakan
sanksi terhadap bank.72 Bank Indonesia sebagai lembaga negara yang independen
berada di luar pemerintahan, mandiri bebas dari campur tangan pemerintah dan/atau
pihak lainnya, kecuali untuk hal-hal yang secara tegas diatur dalam Undang-Undang
Bank Indonesia.73 Bank Indonesia sebagai lemabaga mandiri, namun harus didasari
dan memenuhi prinsip pertanggungjawaban kepada masyarakat (akuntabilitas publik)
bahwa Bank Indonesia dituntut untuk transparan dalam menetapkan kebijakannya
serta terbuka bagi pengawasan oleh masyarakat.74
70 Lihat pasal 10 ayat (2) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia.
71 Dalam hal pengawasan bank, maka Bank Indonesia sesuai dengan ketentuan Pasal 34 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia akan menyerahkannya kepada lembaga yang akan dibentuk kemudia dan akan dilaksanakan selambat-lambatnya 31 Desember 2002. Ketentuan tersebut diubah waktunya melalui Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2004, menjadi selambat-lambatnya 31 Desember 2010.
72 Lihat ketentuan Pasal 15 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia73 Lihat ketentuan Pasal 4 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2004 tentang Perubahan atas
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia.74 Muhamad Djumhana, Asas…Op.Cit., hlm.239.
Bank Indonesia tersebut hadir dan dibentuk guna dapat mengorganisasi, serta
mengoperasionalisasikan kebijakan publik (public policy) di bidang perbankan dan
moneter. Kedudukan seperti itu, maka kebijakan yang diambilnya dapat berupa
bentuk penetapan-penetapan yang bersifat beschiking, seperti contohnya pemberian
izin usaha jasa perbankan atau pencabutan izin, itu semua merupakan bagian dari
suatu putusan tata usaha negara sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 1 angka 3
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara
sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 9 tahun 2004.75
Pembahasan hukum perbankan yang bersentuhan dengan hukum administrasi
negara, maka konsep dan pengertian kewenangan atau wewenang dasar kewenangan
untuk melakukan perbuatan hukum dalam suatu jabatan yang berkaitan dengan
pelayanan kepada masyarakat menyangkut bidang perbankan.76 Namun, demikian
juga dapat berkaitan dengan kedudukan pejabat administrasi negara sebagai nasabah
di mana kewenangan pengeluaran atau pengelolaan uang negara/daerah yang
menggunakan jasa perbankan harus diperhatikan si pejabat tersebut, apakah
berwenang atau tidak.77
Kedudukan sebagai nasabah, maka pada lembaga tata usaha negara tersebut
melekat asas hukum administrasi negara yang berhubungan dengan pelayanan
perbankan, diantaranya, yaitu sebagai berikut:78
75 Ibid.,hlm. 240. 76 Pelayanan yang diberikan oleh pejabat kepada masyarakat menyangkut bidang perbankan,
yaitu menyangkut perizinan untuk berusaha di bidang perbankan.77 Muhamad Djumhana, Asas…Op.Cit., hlm.24078 Lihat uraian dari philipus M. Hadjon, et al., Pengantar Hukum Administrasi Indonesia,
Cetakan Kelima, Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1997, hlm, 375
1) Asas bahwa terhadap benda-benda public tidak dapat diletakan sita jaminan,
asas tersebut telah diterapkan dalam ketentuan Pasal 50 Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara:
“Pihak mana pun dilarang melakukan penyitaan terhadap :
a) Uang atau surat berharga milik negara/daerah, baik yang berada pada
instansi pemerintah maupun pada pihak ketiga;
b) Uang yang harus disetor oleh pihak ketiga kepada negara/daerah;
c) Barang bergerak milik negara/daerah, baik yang berada pada instansi
pemerintah maupun pada pihak ketiga
d) Barang tidak bergerak dan hak kebendaan lainnya milik
negara/daerah;
e) Barang milik pihak ketiga yang dikuasai oleh negara/daerah yang
diperlukan untuk penyelenggaraan tugas pemerintahan
2) asas bahwa negara selalu harus dianggap akan selalu mampu membayar
(solvable).
Berdasarkan asas-asas tersebut di atas, yang berkaitan dengan perbankan,
diantaranya, bahwa bank yang diberi kepercayaan menyimpan uang atau surat
berharga milik negara/daerah tidak boleh memberikan izin untuk penyitaan milik
negara /daerah yang disimpannya apabila ada permohonan dari pihak mana pun,
bahkan uang yang masih dalam proses untuk diserahkan kepada negara /daerah pun
tidak boleh dihentikan proses pemindahbukuannya. Negara/daerah selalu harus
dianggap akan selalu mampu membayar (solvable), dengan demikian negara/daerah
merupakan nasabah yang mudah dikenali.79
b. Asas-asas Hukum Perdata yang Terkait dengan Operasional
Perbankan
Asas hukum perdata yang terkait dengan operasional perbankan sangatlah
banyak karena kegiatan perbankan pada dasarnya lebih besar keperdataannya. Asas
hukum perdata yang sangat besar keterkaitannya dengan perbankan, yaitu asas-asas
hukum perikatan. Perikatan hukum merupakan bagian dari operasional perbankan,
maka asas hukum perikatan telah menyatu dalam kegiatan operasional perbankan
sehingga dengan sendirinya menjadi bagian dari pembahasan asas hukum perbankan
pula.80
Keberadaan asas hukum perikatan tersebut dikenali, baik dalam operasional
perbankan konvensional maupun operasional perbankan syariah. Paling utama dalam
suatu perikatan atau perjanjian, yaitu syarat sahnya suatu perikatan atau perjanjian
tersebut. Berdasarkan Pasal 1320 KUHPerdata, perikatan atau perjanjian harus
memenuhi empat syarat yaitu:81
1) Sepakat (consensus), yaitu ada perizinan yang bebas dari orang-orang yang
mengikatkan diri serta harus mempunyai kemauan yang bebas untuk
79 Muhamad Djumhana, Asas…Op.Cit., hlm 241.80Ibid. 81 Riduan Syahrani , Seluk-beluk dan Asas-Asas Hukum Perdata, Alumni, Bandung, 2004,
hlm., 205.
meningkatkan diri dan kemauan itu harus dinyatakan, baik dengan tegas
maupun secara diam-diam.
2) Kecakapan untuk membuat suatu perjanjian (capacity)
3) Suatu hal tertentu yang diperjanjikan (certainty of terms), dalam suatu
perikatan atau perjanjian objeknya haruslah suatu hal atau suatu barang yang
cukup jelas atau tertentu, agar dapat menetapkan kewajiban para pihak.
4) Suatu sebab yang halal (consideration), tujuan yang dikehendaki/isi dari
perjanjian yang dilakukan oleh kedua pihak harus ada/jelas.
Syarat pertama dan kedua di atas merupakan syarat subjektif, yang berarti
apabila suatu perikatan atau perjanjian tidak memenuhi kedua syarat tersebut,
perikatan atau perjanjian tersebut dapat dibatalkan, sebaliknya, syarat ketiga dan
keempat diatas merupakan syarat objektif, yang berarti apabila suatu perikatan atau
perjanjian tersebut batal demi hukum dan sejak semula dianggap tidak terjadi
perjanjian.82
Selain asas perikatan sebagaimana tercantum dalam KUHPerdata, ada juga
dikenal beberapa contoh asas dalam perikatan lainnya yang tidak termuat dalam
peraturan perundang-undangan, diantaranya:83
1) asas kebebasan berkontrak
asas kebebasan berkontrak merupakan asas kebebasan para pihak untuk
menentukan isi perjanjian, setelah Perang Dunia Kedua dan terutama
82 Muhamad Djumhana, Asas…Op.Cit., hlm.,24283 Ibid.
menjelang akhir abad ke-20 ini sudah banyak diubah oleh peraturan-peraturan
hukum administrasi negara sehingga hukum kontrak di bidang bisnis kini
tidak lagi dapat dikatakan tunduk sepenuhnya pada asas kebebasan berkontrak
dalam hukum perdata, unsur kepentingan umum dan hukum administrasi
negara.84ketentuan Pasal 1338 KUH Perdata, dinyatakan bahwa
”semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya”.
Sesuai dengan asas pokok dari suatu perjanjian, yakni asas kebebasan
berkontrak (freedom of contract), yaitu adanya kebebasan untuk membuat
suatu perjanjian apa saja asalkan dibuat secara sah dan akibatnya, perjanjian
tersebut akan mengikat mereka yang membuatnya seperti suatu undang-
undang. Hubungan dengan perjanjian kredit maka pihak-pihak yang akan
mengikatkan diri dalam perjanjian kredit, maka pihak-pihak yang akan
mengikatkan diri dalam perjanjian kredit tersebut dapat mendasarkan
perjanjian yang akan dibuatnya pada ketentuan-ketentuan yang ada pada Buku
III KUH Perdata dan peratuaran perundang-undangan lainnya yang mengatur
perkreditan, juga oleh apa yang secara khusus disepakati oleh kedua belah
pihak.
Perkembangan asas kebebasan berkontrak ini, kemudian mendapat pengaruh
dari peraturan ekonomi yang memuat ketentuan yang bersifat memaksa, yang
ditujukan untuk menyeimbangkan kemampuan pihak-pihak pelaku ekonomi
84 Hardjin Rusli, Hukum Perjanjian Indonesia dan Indonesia dan Common Law, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta 1996, hlm., 38.
secara lebih adil dalam rangka pelaksanaan pembangunan nasional yang
berdasarkan asas pemerataan. Pengaruhnya sangat terasa apabila ada suatu
ketentuan dari pemerintah yang menyatakan apa yang harus disepakati,
ataupun persyaratan lainnya untuk melengkapi suatu perjanjian yang dibuat.
Pembatasan-pembatasan terhadap kebebasan berkontrak yang dikeluarkan
oleh pemerintah, haruslah dalam bentuk peraturan perundang-undangan yang
setingkat dengan undang-undang ataupun peraturan pengganti undang-undang
(perpu) tidak boleh dalam bentuk peraturan pemerintah . hal demikian
mengingat karena kebebasan berkontrak diatur dalam undang-undang (KUH
Perdata), ketentuan yang membatasi kebebasan berkontrak pun harus
setingkat dengan KUH perdata, tidak boleh tingkatannya di bawah undang-
undang. Pendapat seperti itu terungkap dari pendapatnya Dr. Sutan Remi
Sjahdeini, S.H., yang lengkapnya sebagai berikut :85
”Asas kebebasan berkontrak eksistensinya diakui oleh peraturan perundang-undangan yang bertingkat undang-undang, yaitu KUH Perdata, maka hanya undang-undang atau peraturan pemerintah pengganti undang-undang (misalnya keputusan menteri) hanya dapat mengatur pelaksanaan dari pembatasan yang telah ditetapkan sebelumnya oleh suatu undang-undang atau peraturan pemerintah pengganti undang-undang tersebut dan bukannya menetapkan pembatasan itu sendiri.”
2) Asas itikad baik (te goeder trouw, in good faith)86
85 Sutan Remy Sjahdeini, Kebebasan Berkontrak dan Perlindungan yang seimbang bagi para pihak dalam Perjanjian kredit di Indonsia, Institut Bankir Indonesia Jakarta 1993, hlm., 300
86 Hardjin Rusli Hukum Perjanjian…Op. Cit., hlm,119-120.
Menurut Hardijan Rusli, S.H., unsur-unsur itikad baik dan kepatutan itu ada
jika tidak melakukan segala sesuatu yang tidak masuk akal. Putusan-putusan
pengadilan common law juga banyak yang menekankan bahwa pelaksanaan
suatu perjanjian harus dilakukan dengan itikad baik (good faith). Beliau
selanjutnya menjelaskan itikad baik ini, dengan mengambil contoh aturan
yang berasal dari negara common law, Restatment Second, section 205
menyatakan bahwa :
“Every contract imposes upon each party a duty of good faith and fair dealing in its performance and enforcement. (setiap perjanjian membebankan kepada masing-masing pihak suatu kewajiban untuk melaksanakan perjanjian secara itikad baik dan transaksi adil)”.
Keterangan atas section 205 ini memberikan contoh tentang tiada
itikad baik (bad faith) dalam hal terdapat : menghindar dari maksud/ tujuan
transaksi; kurang aktif dan berkurangnya perhatian; melakukan perbuatan
yang baik dengan sengaja; kesewenangan dalam menentukan isi perjanjian;
ikut campur tangan atau gagal bekerja sama dalam prestasi pihak lawannya.
Asas ini tercantum dalam Pasal 1313 jo. Pasal 1320 KUH Perdata yang
berbunyi:87
“suatu persetujuan adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih.”
Dan
87 R. Subekti dan R. Tjitrosudibio. KitabUndang-Undang Hukum Perdata, Pradnya Paramita, Bandung 1992, hlm 338,339.
“Untuk sahnya persetujuan-persetujuan diperlukan empat syarat yaitu sepakat mereka yang mengikatkan dirinya, kecakapan untuk membuat suatu perikatan, suatu hal tertentu, dan suatu sebab yang halal.”
c. Asas-asas Hukum Pidana yang Terkait dengan Operasional Perbankan
Hukum perbankan tidak akan terlepas dari kaidah-kaidah yang secara khusus
memerhatikan kepentingan umum, juga menyangkut kaidah-kaidah tertentu yang
secara khusus memerhatikan kepentingan umum, juga menyangkut kaidah-kaidah
tertentu yang memuat sanksi guna mendorong ditaatinya ketentuan tersebut sehingga
akan terkait dengan hukum pidana, jadi, sangat wajar pula apabila menguraikan
mengenai asas-asas hukum pidana yang terkait dengan ruang lingkup bidang
perbankan.88
pembahasan asas-asas hukum pidana ini, maka perlu pemahamn awal
mengenai tindak pidana atau dalam istilah belanda disebut straf. Tindak pidana suatu
konsep yuridis, yang berarti tingkah laku manusia yang dapat dihukum berdasarkan
hukum pidana. Menurut Prof.Simon, straf ialah ”het leed, door de strafwet als gevolg
aan de overtrading van de norm verbode, dat aan den schuldige bij rechtelijk vonnis
wordt opgelegd,” yang artinya straf adalah “suatu penderitaan yang oleh undang-
undang pidana telah dikaitkan dengan pelanggaran terhadap suatu norma yang
88 Muhamad Djumhana, Asas…Op.Cit., hlm.,246
dengan suatu putusan hakim telah dijatuhkan bagi seseorang yang bersalah. Menurut
Moeljatno disebutkan bahwa :
”Tindak pidana adalah perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum, larangan mana disertai ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu, bagi barang siapa melanggar larangan tersebut. Dapat juga dikatakan bahwa perbuatan pidana adalah perbuatan yang oleh suatu aturan hukum dilarang dan diancam pidana, asal saja dalam pada itu diingat bahwa larangan ditujukan kepada perbuatan ( yaitu suatu keadaan atau kejadian yang ditujukan kepada pertimbulkan oleh kelakuan orang), sedangkan ancaman pidananya ditujukan kepada orang yang menimbulkannya.89
Rumusan di atas seperti itu, kemudian kita mengenal lagi pembedaan antara
kejahatan dan pelanggaran. Juga tidak kalah pentingnya pengenalan unsur-unsur
suatu tindak pidana, yang meliputi kelakuan dan akibat; hal aihwal, atau keadaan
yang menyertai perbuatannya; keadaan yang memberatkan pidana; unsur melawan
hukum yang objektif dan unsur melawan hukum yang subjektif.
Tindak pidana dapat dibedakan antara kejahatan (misdrijven) dan pelanggaran
(overtredingen). Menurut Moeljatno, pada masa sekarang pembedaan antara
kejahatan dan pelanggaran didasarkan pada pembedaan kuantitatif (soal berat atau
entengnya ancaman pidana).90 Penentuan dalam peraturan terhadap perbuatan
seseorang termasuk kejahatan atau bukan didasarkan atas penafsiran masyarakat yang
tentunya akan berbeda menurut waktu dan tempat, jadi bisa terjadi perbuatan satu
abad yang lalu merupakan kejahatan, sekarang tidak lagi (atau sebalinya) atau
perbuatan yang di negara X dianggap sebagai kejahatan, tetapi di negara Y justru
sebaliknya. Jadi, pada prinsipnya kejahatan bersifat subjektif dan relatif bergantung
89 Moeljatno, Azas-azasHukum Pidana, Bina aksara, Jakarta, 1983, hlm 63.90 Ibid., hlm. 73
pada waktu, tempat, dan masyarakat yang bersangkutan. Demikianlah kejahatan di
indonesia ditentukan oleh norma-norma hukum pidana positif Indonesia masyarakat
Indonesia sekarang ini.91
Tindak pidana selain dibedakan dalam kejahatan dan pelanggaran, biasanya
dalam teori dan praktik dibedakan pula, antara lain, dalam delik dolus (kesengjaan)
dan delik culpa (kelalaian); delik commissionis, yaitu delik yang terdiri dari
melakukan sesuatu (berbuat sesuatau) perbuatan yang dilarang oleh aturan pidana dan
delik omissi, yaitu melalaikan kewajiban untuk melakukan sesuatu; delik biasa dan
delik yang dikualifikasi (dikhususkan); serta delik terus berlanjut dan tidak
berlanjut.92
Mengenai masalah tindak pidana ini pula, perlu diperhatikan mengenai
pelaksanaan undang-undang dan perintah jabatan. Ketentuan pasal 50 KUHP
menyebutkan:93
”Barang siapa melakukan perbuatan untuk melksanakan ketentuan undang-undang tidak dipidana.”
Sedangkan Pasal 51 Ayat (1) KUHP, menyebutkan:94
”Barang siapa melakukan perbuatan untuk melaksanakan perintah jabatan yang diberikan oleh penguasa yang wenang tidak dipidana.”
Penerapan suatu ketentuan pidana harus di dasarkan pada pemenuhan unsur-
unsur yang terdapat dalam ketentuan termaksud yang dilanggarnya. Namun,
selanjutnya tetap harus diperhatikan pula apakah ada hal yang menghapuskan sifat
91 Muhamad Djumhana, Asas…Op.Cit., hlm.,247.92 Ibid., hlm248.93 Moeljatno, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, Bumi Aksara, Jakarta 2005, hlm 24. 94 Ibid.
melawan hukumnya perbuatan tersebut. Hal-hal penghapus seperti itu mungkin
terdapat di dalam undang-undang, namun mungkin juga terdapat diluar undang-
undang.Hubungan ini, yurisprudensi Indonesia telah menganutnya, sebagaimana
terdapat dalam Keputusan Mahkamah Agung tanggal 8 januari 1966 dalam suatu
perkara penggelapan yang diakukan oleh seorang pegawai negeri. Dalam bukunya
Hukum dan Hukum Pidana, Sudarto menguraikan bahwa: 95
“Mahkamah Agung membenarkan pendapat dari Pengadilan Tinggi Jakarta, yang mengatakan bahwa “sesuatu tindakan pada umumnya dapat hilang sifatnya sebagai melawan hukum bukan hanya berdasarkan sesuatu ketentuan dalam perundang-undangan, melainkan juga berdasarkan asas-asas keadilan atau asas-asas hukum yang tidak tertulis dan bersifat umum”. Oleh Pengadilan Tinggi Jakarta, asas-asas ini, misalnya, negara tidak dirugikan, kepentingan umum dilayani, dan terdakwa sendiri tidak mendapat untung. Maka dalam perkara tersebut meskipun terdapat telah melakukan perbuatan yang secara formil telah memenuhi rumusan delik yang berupa penggelapan ialah sengaja memiliki barang orang lain yang ada padanya bukan karena kejahatan, namun karena terdapat ketiga faktor tersebut, maka sifat melawan hukumnya perbuatan itu hapus sehingga ia harus dilepas dari segala tuntutan hukum. Jadi, jelas dalam perkara ini pengadilan menganut ajaran sifat melawahn hukum yang materiil…”
Memperhatikan uraian tersebut diatas, menunjukkan bahwa asas-asas hukum
tersebut dapat dipakai dalam praktik peradilan dan itu harus menjadi pedoman semua
penegak hukum, jangan terlalu legisme terpaku pada peratuarn perundang-undangan
tertulis semata,namun juga harus menerima dan menggali rasa keadilan masyarakat.
Kondisi seperti itu sangat diharapkan oleh Achmad Ali. dapat terwujud di negara
kita.96
95 Sudarto,Hukum dan Hukum Pidana, Alumni, Bandung 1990, hlm 101.96Muhamad Djumhana, Asas…Op.Cit., hlm.,249.
Pendapat di atas, dalam kehidupan perbankan sebenarnya juga sangat
diharapkan, yaitu bahwa semua stakeholder perbankan, taat pada aturan tidak semata-
mata taat karena takut sanksi, tetapi harus karena menganggap aturan hukum itu
memang mempunyai tujuan yang baik sesuai dengan nilai kehidupan. Prinsip
ketaatan pada hukum untuk dunia perbankanmerupakan nilai yang harus melekat
pada pribadi setiap individu perbankan sehingga prinsip ini penaatannya telah
menjadi standar internasional dan diterapkan dengan adanya pejabat pengawas
kepatuhan pada peraturan perundang-undangan.97
Secara kasat mata dari pengalaman terdahulu ternyata dirasakan dan menjadi
pemahaman kita bersama bahwa ada keterbatasan pengaruh dari sanksi hukum
tersebut, keterbatasan demikian termasuk dari sanksi pidana itu sendiri. Ahli hukum
pidana mengatakan “The limit of criminal sanction”, hal itu berarti bahwa kita tidak
boleh terlalu mengharapkan ketaatan orang pada suatu peraturan perundang-
undangan hanya dengan mengandalkan pada sanksi pidana semata meskipun juga
tidak boleh mengatakan bahwa sanksi pidana itu tidak ada artinya.98
Sejalan dengan pandangan di atas, maka pengenaan sanksi pidana hanya
dilaksankan apabila upaya lain (sanksi perdata atau administrasi, seperti sanksi biaya
paksa penegakan hukum) sudah tidak memadai lagi sehingga sanksi pidana
mempunyai fungsi yang subsider. Di dalamnya mengandung sifat bahwa pidana
tersebut hendaknya dipakai sebagai obat terakhir (ultimum remedium) dan
97 Ibid.,hlm. 250.98 Ibid.
konsekuensinya pengenaannya harus memerhatikan dengan seksama, persyaratannya
harus tepat dan kuat alasannya.persyaratan demikian ditetapkan oleh pembentuk
peraturan perundang-undangan dan para ahli (doktrin), sedangkan para pejabat
penegak hukumnya harus mempedomani serta memerhatikan persyaratan tersebut.99
Sesuai dengan definisi hukum dari Mochtar Kusumaatmadja hukum itu
meliputi pula proses penegakannya.
“Penegakan dan pentaatan peraturan hanya dapat dijalankan apabila ada organ yang menjadi pelaksananya. Dengan demikian, maka sanksi itu akan dapat dilaksanakan apabila ada organ yang menjalankan untuk pentaatannya.”
Sejalan dengan itu, Max Weber berpendapat bahwa:100
“Suatu tatnan bisa disebut sebagai hukum apabila secara eksternal ia dijamin oleh kemungkinan bahwa paksaan (fisik atau psikologis), yang ditujukan untuk mematuhi tatanan atau menindak pelanggaran, akan diterapkan oleh suatu perangkat terdiri dari orang-orang yang khusus menyiapkan diri untuk melakukan tugas-tugas tersebut.”
Sependapat dengan pandangan Max Weber di atas, maka dalam rangka
penegakan hukum diperlukan organ tertentu yang menjalankan fungsi tersebut, dalam
industri perbankan di Indonesia, organ tersebut sementara ini, di antaranya, berada
pada fungsi Bank Indonesia selain juga pada lembaga penegak hukum lainnya.101
Dasar pemahaman di atas, maka ada beberapa asas hukum pidana yang perlu
dipahami dalam kaitannya dengan perbankan, yaitu menyangkut perbuatan serta
pelakunya:102
99 Ibid.100 Satijpto Rahardjo, Ilmu Hukum,Citra Aditya Bakti, Bandung 1993, hlm., 263101 Muhamad Djumhana, Asas…Op.Cit., hlm.,251.102 Ibid., hlm., 251.
1) Asas nulu poena
Asas nulu poena suatu asas yang menurut sifatnya harus terdapat dalam setiap
peraturan perundang-undangan pidana sebagaimana diatur dalam perjanjian
Roma Tahun 1950, asas ini merupakan asas legalitas, di antaranya, yaitu
dikenal asas nullum crimen sine lege dan asas nulla poena sine culpa (culpa
dalam arti luas meliputi kesengajaan dan kealpaan);
2) Asas presumption of innocence asas praduga tidak bersalah serta asas
kesalahan (culpabilitas).
Asas praduga tidak bersalah hakikatnya, yaitu bahwa tidak seorang pun dapat
dijatuhi sanksi pidana, kecuali diberi kesempatan untuk membuktikan
ketidakbersalahannya;
3) Asas pembuktian terbalik (retroaktif)
Asas pembuktian terbalik yaitu asas yang mewajibkan kepada pihak yang
disangka membuktikan ketidakbersalahnya;
4) Asas ultimum remedium (obat yang terakhir)
Asas ultimum remedium (obat yang terakhir) maksudnya apabila tidak perlu
sekali, hendaknya jangan menggunakan pidana sebagai sarana, asas tersebut
melekat pada pengertian straf atau pidana, dalam pengertian bahwa jika
tindakan yang diputuskan oleh hakim boleh dipandang sebagai obat, asas ini
ingin mengatakan bahwa, hendaklah obat yang diberikan itu jangan sampai
membuat penyakitnya itu menjadi semakin parah. Tidak berlebihan apabila
melihat kenyataan seperti itu, Roeslan Saleh mengemukakan bahwa dalam
menggunakan hukum pidana kita harus bersikap menahan diri, di samping
teliti sekali. Menahan diri dan teliti, baik dalam bidang perundang-undangan
maupun dalam bidang penerapan pidana dan pelaksanaannya.
Asas-asas tersebut di atas, baru sebagian dari asas-asas hukum yang terdapat
di dalam ruang lingkup hukum pidana. Pandangan Sudarto103 asas-asas tersebut
merupakan nilai-nilai yang berkedudukan lebih tinggi dari peraturan perundang-
undangan. Jika ada peraturan yang tidak memenuhi asas-asas atau nilai-nilai yang
dipegang oleh suatu masyarakat, peraturan itu bisa dikatakan dibuat dengan
sewenang-wenang dan sangat mungkin peraturan itu sukar, bahkan tidak dapat
dijalankan.104
Ilustrasi keterkaitan asas-asas hukum pidana dengan pengelolaan kegiatan
perbankan, yaitu mengenal tanggung jawab dan pengenaan sanksi (pemidanaan) dari
dan terhadap pihak-pihak yang berhubungan dengan operasional perbankan ataupun
pihak terkait lainnya. Tanggung jawab dari pejabat bank, termasuk kepada pribadinya
apabila dia melakukan tindakan dengan cara yang secara moral tercela atau bertindak
dengan itikad buruk, lalai dan sembrono, dan melanggar hukum, hal tersebut dalam
kasus-kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia. Ada beberapa sanksi mengancam
untuk dikenakan terhadap pihak-pihak yang melakukan kelalaian dan penyimpangan
103 Satijpto Rahardjo, Ilmu… Op.Cit., hlm., 24.104 Muhamad Djumhana, Asas…Op.Cit., hlm.,252.
ketentuan peraturan perundang-undangan perbankan, yaitu di antaranya, beberapa
pelanggaran yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang
Perbankan dan undang-undang perubahannya, di antaranya :105
1) kejahatan berupa mendirikan usaha bank tanpa izin atau bank gelap
(Pasal 46)
2) Kejahatan tentang pembocoran rahasia bank, yaitu pembocoran rahasia
bank oleh anggota dewan komisaris, direksi, pegawai bank, atau pihak
terafiliasi lainnya (Pasal 47 Ayat (2)), atau sebaliknya mereka sengaja
tidak memberikan keterangan yang menjadi kewajibannya berupa
pembukuan informasi yang dimaksud sebagai rahasia bank untuk
kepentingan tertentu sesuai undang-undang (Pasal 47 A Undang-Undang
Nomor 10 Tahun 1998 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor
7 Tahun 1992 tentang Perbankan).
3) Kejahatan berupa tindakan dari mereka, yaitu anggota dewan komisaris,
direksi, atau pegawai bank yang dengan sengaja tidak memberikan
keterangan dan informasi kepada Bank Indonesia (Pasal 48 Ayat (1)).
kejahatan tindakan dari anggota dewan komisaris, direksi, atau pegawai bank
yang dengan sengaja :
“membuat atau menyebabkan adanya pencatatan palsu dalam pembukuan atau dalam laporan maupun dalam dokumen atau laporan kegiatan usaha, laporan transaksi atau rekening suatu bank.” Kejahatan window dressing (Pasal 49 Ayat (1) huruf a).
105 Ibid. hlm., 253.
4) Kejahatan tindakan dari anggota dewan komisaris, direksi, atau pegawai
bank yang dengan sengaja:
“menghilangkan atau tidak memasukan atau menyebabkan tidak dilakukannya pencatatan dalam pembukuan atau dalam laporan maupun dalam dokumen atau laporan kegiatan usaha, laporan transaksi, atau rekening suatu bank.”(Pasal 49 Ayat (1) huruf b)”.
5) Kejahatan tindakan dari anggota dewan komisaris, direksi, atau pegawai
bank yang dengan sengaja :
“Mengubah, menghaburkan, menyembunyikan, menghapus, atau menghilangkan adanya suatu pencatatan dalam pembukuan atau dalam laporan maupun dalam dokumen atau laporan kegiatan usaha, laporan transaksi, atau rekening suatu bank atau dengan sengaja mengubah, mengaburkan, menghilangkan, menyebunyikan, menghapus, atau menghilangkan catatan pembukuan tersebut.”
6) Kejahatan tindakan dari anggota dewan komisaris, direksi, atau pegawai
bank yang dengan sengaja :
“Meminta atau menerima, mengizinkan atau menyetujui untuk menerima suatu imbalan, komisi, uang tambahan, pelayanan uang, atau barang berharga, untuk keuntungan pribadinya atau untuk keuntungan keluarganya, dalam rangka mendapatkan atau berusaha mendapatkan bagi orang lain dalam memperoleh uang muka, bank garansi, atau fasilitas kredit dari bank, atau dalam rangka pembelian atau pendiskontoan oleh bank atas surat-surat wesel, surat promes, cek, dan kertas dagang atau bukti kewajiban lainnya, ataupun dalam rangka memberikan persetujuan bagi orang lain untuk melaksanakan penarikan dana yang melebihi batas kreditnya pada bank .” (Pasal 49 Ayat (2) huruf a).
7) kejahatan tindakan dari anggota dewan komisaris, direksi, atau pegawai
bank yang sengan sengaja:
“Tidak melaksanakan langkah-langkah yang diperlukan untuk memastikan ketaatan bank tehadap ketentuan dalam undang-undang ini dan ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya yang berlaku bagi bank.” (pasal 49 Ayat (2) huruf b).
8) pihak terafliasi yang dengan sengaja tidak melaksanakan langkah-langkah
yang diperlukan untuk memastikan ketaatan bank terhadap ketentuan
dalam undang-undang ini dan ketentuan peraturan perundang-undangan
lainnya yang berlaku bagi bank diancam dengan pidana penjara paling
lama 6 tahun dan denda paling banyak 6 miliar rupiah (Pasal 50).
Selain perbuatan-perbuatan yang tercantum di atas, satu perbuatan penting
lainnya, yang pelanggarannya merupakan suatu tindak pidana di bidang perbankan,
yaitu pelanggaran yang diatur dalam Undang-Undang Tindak Pidana Pencucian
Uang, serta peraturan perundang-undangan lainnya.106
Dimensi bentuk tindak pidana perbankan bisa berupa tindak kejahatan
seseorang terhadap bank, bank terhadap bank lain, ataupun bank terhadap perorangan
sehingga bank dapat menjadi, baik korban ataupun pelaku. Adapun dimensi ruang
tindak pidana perbankan tidak terbatas pada suatu tempat tertentu. Ia bisa melewati
batas-batas teritorial suatu negara. Begitu pula dimensi waktu, ia bisa terjadi seketika,
bisa juga berlangsung beberapa lama. Sedangkan ruang lingkup terjadinya tindak
pidana perbankan dapat terjadi pada keseluruhan lingkup kehidupan dunia perbankan
atau yang sangat berkaitan dengan kegiatan perbankan dan lebih luasnya mencakup
juga lembaga keuangan lainnya. Sementara ketentuan yang dapat dilanggarnya, baik
106 Ibid, hlm., 255.
yang tertulis maupun yang tidak tertulis juga meliputi norma-norma kebiasaan pada
bidang perbankan, tetapi semua itu tetap harus sudah diatur sanksi pidananya, lingkup
pelaku dari tindak pidana perbankan dapat dilakukan, baik oleh perorangan maupun
badan hukum (korporasi).107
Sanksi-sanksi merupakan bagian penutup yang penting di dalam hukum, pada
umumnya tidak ada gunanya memasukkan kewajiban-kewajiban atau larangan-
larangan bagi masyarakat, manakala aturan-aturan tingkah laku itu tidak dapat
dipaksakan (apabila diperlukan). Adanya sanksi merupakan suatu pengejawantahan
dari salah satu tanda hukum, seperti yang diungkapkan oleh L. Pospisil, yaitu di
antaranya berupa adanya sanksi, yakni bahwa keputusan-keputusan dari pihak yang
berkuasa harus dikuatkan dengan sanksi yang didasarkan pada kekuasaan masyarakat
yang nyata.108
Menurut Hoefnagels, bahwa memberikan sanksi merupakan suatu proses
pembangkitan semangat dan pencelaan untuk tujuan agar seseorang berorientasi atau
menyesuaikan diri dengan suatu norma atau peraturan perundang-undangan yang
berlaku. Hakikat sanksi, yaitu menyerukan untuk tertib. Jenis sanksi yang dapat
dikenakan terhadap suatu perbuatan:109
1) Sanksi pidana.
2) Sanksi administrasi:
a) paksaan pemerintahan (bestuursdwang);
107 Ibid.108 Ibid.109 Ibid, hlm.,256.
b) penarikan kembali keputusan (ketetapan yang menguntungkan (izin,
keringanan,pembayaran, dan subsidi);
c) Pengenaan denda administratif;
d) Pengenaan uang paksa oleh pemerintah (dwansom)
Jenis sanksi sebagaiman disebutkan tersebut di atas merupakan
pengelompokan yang utama. Namun, demikian pula bahwa tidak setiap kaidah
disertai dengan sanksi. Kaidah tanpa sanksi disebut leximperfecta, contoh ketentuan
yang tercantum dalam Pasal 298 KUH Perdata, yaitu setiap anak harus menghormati
orang tuanya.110
Perundang-undangan administrasi juga dapat memuat sanksi pidana. Peters
Moster menyebutnya dengan “hukum pidana pemerintahan”, Peters Moster dalam
hubungan ini menyebut “instrumentalisasi” hukum pidana.111 Sejalan dengan
pendapat tersebut diatas, maka peraturan daerah juga dapat memuat sanksi pidana,
melalui sanksi-sanksi itulah kita dapat berharap untuk mendorong anggota
masyarakat agar bertingkah laku sesuai dengan peraturan tersebut. Penentuan pidana
demikian adalah untuk mencapai tujuan tertentu, yaitu keadaan sosial ekonomi,
kesehatan masyarakat, keamanan lalu lintas, dan sebagainya. Keadaan demikian
membawa konsekuensi perlunya tindak penyidikan jika terjadi suatu pelanggaran.112
Sanksi pidana ini merupakan ketentuan yang tidak mutlak harus selalu ada
dalam peraturan perundang-undangan. Menurut Maria Farida Indrati Suprapto bahwa
110 Ibid.111 Roeslan Saleh, Dari Lembaran Kepustakaan Hukum Pidana, Sinar Grafika, Jakarta, 1990,
hlm., 147.112 Muhamad Djumhana, Asas…Op.Cit., hlm.,256.
kadang-kadang ketentuan pidana ini diperlukan bagi suatu peraturan perundang-
undangan.113 Asas bahwa pidana harus seimbang dengan berat ringannya perbuatan
yang telah dilakukan. Dengan demikian, dalam merumuskan ketentuan lamanya
pidana atau banyak nya denda, perlu dipertimbangkan mengenai dampak yang
ditimbulkan, baik berupa keresahan masyarakat maupun kerugian yang besar atau
motif tindak pidana (perbankan) yang dilakukan.114
Praktik perbankan yang menyimpang dari peraturan perundang-undangan di
bidang perbankan sepanjang ketentuan tersebut dianggap sebagai kendala yang dapat
merugikan kepentingannya, bahkan pemilik/pengurus bank memanfaatkan celah
ketentuan yang ada sehingga pada akhirnya menyebabkan bank berada pada kondisi
yang tidak sehat. Disamping itu, pemilik/pengurus bank dalam menjalankan praktik
operasionalnya sering kali mengabaikan prinsip kehati-hatian. Keadaan tersebut
semakin memburuk dengan lemahnya kondisi internal sektor perbankan, terutama
sebagai dampak dari lemahnya manajemen dan terjadinya konsentrasi kredit pada
suatu sektor/kelompok usaha tertentu saja.115
Kondisi tersebut di atas dapat dimaklumi karena perkembangan kehidupan
masyarakat yang begitu cepat sebagai hasil dan proses pelaksanaan pembangunan di
segala bidang kehidupan sosial, politik, ekonomi, keamanan, dan budaya telah
membawa pula dampak negatif berupa peningkatan kualitas dan kuantitas berbagai
macam kejahatan yang sangat merugikan dan meresahkan masyarakat. Dengan
113 Maria Farida Indrati Suprapto, Ilmu Perundang-undangan Dasar-Dasar dan Pembentukannya, Kansius, Yogyakarta 2000, hlm., 163.
114 Soedarto, Hukum dan Hukum Pidana, Alumni, Bandung 1993, hlm., 37. 115 Muhamad Djumhana, Asas…Op.Cit., hlm.,257.
demikian, upaya penegakan hukum yang terintegrasi, terkoordinasi, dan dengan
mengaktualisasikan secara optimal seluruh potensi pada faktor-faktor yang
memepengaruhi upaya penegakan hukum, menjadi agenda utama pembangunan
hukum nasional. Berkenaan dengan hal tersebut di atas, dibentuklah Unit Khusus
Investigasi Perbankan (UKIP) yang semula disebut Tim Investigasi Penyimpangan di
Bidang Perbankan (TIPER) pada tanggal 31 Desember 1998. pada tanggal 31
Agustus 1999, melalui Peraturan Dewan Gubernur Bank Indonesia Nomor
1/3/PDG/1999, tentang Organisasi Sektor Perbankan TIPPER diubah menjadi UKIP.
Selanjutnya, PDG Nomor 1/3/PDG/1999ini dicabut dan disempurnakan dengan
Peraturan Dewan Gubernur Bank Indonesia Nomor 3/1/PDG/2001tanggal 27 April
2001 tentang Organisasi Sektor Perbankan.116
Secara umum, pembentukan UKIP bertujuan untuk meningkatkan ketaatan
bank terhadap peraturan perundang-undangan di bidang perbankan mengungkap
dengan jelas penyimpangan-penyimpangan yang terjadi di bidang perbankan
sehingga dapat ditemukan akar permasalahan yang ada serta dapat dilakukan tindakan
represif yang tepat. Di samping tujuan dimaksud, keberadaan UKIP ini juga
diharapkan memberikan dampak preventif berupa announcement effect terhadap
dunia perbankan bahwa sejak saat ini penegakan hukum (law enfrocment) telah
dijalankan termasuk law enfocement yang memiliki aspek pidana. Hal ini sejalan
dengan tugas Bank Indonesia dalam membentuk sistem perbankan yang sehat untuk
memenuhi tujuan Bank Indonesia dalam mencapai dan memelihara kestabilan nilai
116 Ibid., hlm., 258.
tukar rupiah. Sistem perbankan yang sehat ini dapat dicapai apabila perbankan
mematuhi peraturan perundang-undangan yang berlaku dan didukung oleh integritas
sumber daya manusia yang bergerak di bidang perbankan itu sendiri.117
2. Asas Hukum Khusus Perbankan Indonesia
Menurut Sudikno Mertokusumo bahwa asas hukum khusus berfungsi dalam
bidang yang lebih sempit. Dengan memerhatikan pendapat demikian, maka di dalam
hukum perbankan terdapat asas hukum khusus yang berlaku secara tersendiri pada
bidang khusus, yaitu perbankan, seperti asas kehati-hatian.118
Asas hukum khusus yang bersifat regulative dalam perbankan di Indonesia,
dapat ditemukan pada peraturan perundang-undangan di bidang perbankan Undang-
Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang perbankan serta peraturan perubahannya, yaitu
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang perubahan atas Undang-Undang
Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan memiliki asas, yaitu asas demokrasi
ekonomi dan prinsip kehati-hatian. Asas-asas tersebut untuk perbankan syariah,
dirasakan belumlah mencukupi, perbankan syariah memerlukan asas-asas yang lebih
luas dalam kegiatan usahanya, yaitu di antaranya, tidak mengandung unsur riba,
maysir, dan gharar, serta menjunjung tinggi asas keadilan.119
a. Asas Khusus di bidang Perkreditan
117 Ibid.118 ibid., hlm. 259.119 Ibid.
Penggunaan istilah tersebut sangat tepat karena kredit dari asal kata “crede”
yang dalam bahasa Latin, artinya percaya dengan bentuk past participle-nya
“creditus”. Hal itu memperjelas bahwa kepercayaan merupakan unsur utama
sehingga terjadinya hubungan antara para pihak (yaitu hubungan debitur dengan
kreditor), dan itu dapat terjadi apabila kreditor mempercayai debitur akan
kemampuannya untuk memenuhi kewajiban mengembalikan pinjamannya atau
kemampuannya untuk memenuhi prestasi suatu perikatan yang dibuatnya.
Berdasarkan gambaran seperti diatas, maka tidak mustahil apabila ada yang
mendefinisikan kredit tersebut, sebagai berikut :
“kredit ialah suatu reputasi yang dimiliki seseorang, yang memungkinkan ia
bisa memperoleh uang, barang-barang, atau buruh tenaga kerja, dengan jalan
menukarkannya dengan suatu janji untuk membayarkannya di suatu waktu
yang akan datang”.120
Unsur pertama dan utama dari kredit, yaitu unsur kepercayaan. Unsur yang
lainnya bersifat sebagai suatu penunjang dari unsur pertama dan utama tersebut,
dalam arti unsur tersebut berguna dalam rangka pertimbangan yang menyeluruh
dalam mendapatkan atau memperoleh keyakinan dan kepercayaan untuk terjadinya
suatu hubungan atau perikatan hukum dalam bidang perkeriditan tersebut.121
Kredit dilihat dari sisi unsur keuntungan, maka pandangan antara kreditor dan
debitur secara jelas mempunyai perbedaan, namun mereka terikat dalam satu
120 M.Rachmat Firdaus S.E., teori dan Analisis kredit, PT Purna Sarana Lingga Utama, Bandung 1985, hlm 12.
121 Muhamad Djumhana, Asas…Op.Cit., hlm.,261.
kepentingan atas kondisi yang ada, maksudnya bahwa dari sisi kreditor kegiatan
kredit, yaitu untuk mengambil keuntungan dari modalnya dengan mengharapkan
kontra prestasi, sedangkan dari pandangan debitur, yaitu bahwa kredit tersebut
memberikan bantuan bagi dirinya untuk menutupi kebutuhannya dan menjadi beban
itu merupakan kewajiban baginya yang berupa utang. Sebaliknya, dari sisi si
penerima pembayaran di masa depan (kreditor), maka hal itu merupakan klaim
terhadap orang untuk membayar kepadanya.122
b. Asas Hukum Khusus di bidang Kerahasiaan Bank
Rahasia bank adalah segala sesuatu yang berhubungan dengan keuangan dan
hal-hal lain dari nasabah bank yang menurut kelaziman dunia perbankan tidak boleh
secara terbuka diungkapkan kepada pihak masyarakat. Hubungan ini, yang menurut
kelaziman wajib dirahasiakan oleh bank adalah seluruh data dan informasi mengenai
segalasesuatu yang berhubungan dengan keuangan, dan hal-hal lain dari orang dan
badan yang diketahui oleh bank karena kegiatan usahanya.123
Ketentuan rahasia bank diperlukan karena perbankan harus melindungi
nasabahnya. Bank yang membocorkan informasi yang dikategorikan rahasia bank
layak dikenakan sanksi berat. Meskipun begitu, ketentuan itu tidaklah bisa kaku serta
ketat tanpa kekecualian. Ketentuan itu dapat dikesampingkan saat kepentingan umum
(masyarakat)tampak bakal dirugikan oleh oknum tertentu. Di sinilah terlihat bahwa
122 Ibid.123 Ibid., hlm.,271
kepentingan masyarakat harus dilindungi, yaitu perbankan bukanlah lembaga yang
bisa dijadikan tempat untuk penyalahgunaan kewenangan atau tempat kerja sama
mereka yang melanggar hukum.124
Tinjauan teori tentang rahasia bank menunjukan ada dua pendapat yaitu :
1) teori rahasia bank bersifat mutlak, yaitu bahwa bank berkewajiban
menyimpan rahasia nasabah yang diketahui oleh bank karena kegiatan
usahanya dalam keadaan apa pun, biasa atau dalam keadaan luar biasa
2) teori yang kedua adalah bank bersifat nisbi, yaitu bahwa bank
diperbolehkan membuka rahasia nasabahnya jika untuk suatu kepentingan
mendesak, misalnya, demi kepentingan negara.
c. Asas Prudential Principle (Prinsip Kehati-hatian)
Menurut ketentuan Pasal 2 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998
dikemukakan, bahwa Perbankan Indonesia dalam melakukan usahanya berasaskan
Demokrasi Ekonomi dengan menggunakan prinsip kehati-hatian. Ketentuan ini,
menunjukan bahwa prinsip kehati-hatian salah satu asas terpenting yang wajib
diterapkan atau dilaksanakan oleh bank dalam menjalankan kegiatan usahanya.125
Prinsip kehati-hatian tersebut mengharuskan pihak bank untuk selalu berhati-
hati dalam menjalankan kegiatan usahanya, dalam arti harus selalu konsisten dalam
124 Ibid., hlm., 274.125 Hermansyah, Hukum Perbankan Nasional Indonesia, Kencana Pernada Media Grup,
Jakarta 2011, hlm.,146.
melaksanakan peraturan perundang-undangan di bidang perbankan berdasarkan
profesionalisme dan itikad baik.126
Berkaitan dengan Prinsip kehati-hatian sebagaimana dimaksud dalam
ketentuan Pasal 2 diatas kita dapat menemukan pasal lain didalam Undang-Undang
Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan yang mempertegaskan kembali mengenai
pentingnya prinsip kehati-hatian itu diterapkan dalam setiap kegiatan usaha bank,
yakni dalam Pasal 29 ayat (2) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang
Perbankan.127
Pasal 29 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan
mengemukakan bahwa:
“Bank wajib memelihara tingkat kesehatan bank sesuai dengagn ketentuan kecukupan modal, kualitas aset, kualitas manajemen, likuidasi, rentabilitas, solvabilitas, dan aspek lain yang berhubungan dengan usaha bank dan wajib melakukan kegiatan usaha sesuai dengan prinsip kehati-hatian”.
Berdasarkan ketentuan Pasal 29 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 10 Tahun
1998 tentang Perbankan di atas, maka tidak ada alasan apa pun juga bagi pihak bank
untuk tidak menerapkan prinsip kehati-hatian dalam menjalankan kegiatan usahanya
dan wajib menjunjung tinggi prinsip kehati-hatian. Pasal 29 Ayat (2) Undang-Undang
Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan mengandung arti, bahwa segala perbuatan
dan kebijaksanaan yang dibuat dalam rangka melakukan kegiatan usahanya harus
senantiasa berdasarkan kepada peraturan perundang-undangan yang berlaku sehingga
dapat dipertanggungjawabkan secara hukum.
126 Ibid., hlm 147.127 Ibid.
Selanjutnya ketentuan Pasal 29 Ayat (3) terkandung arti perlunya diterapkan
prinsip kehati-hatian dalam rangka penyaluran kredit atau pembiayaan berdasarkan
Prinsip Syariah kepada nasabah debitor. Selengkapnya ketentuan tersebut
mengemukakan bahwa:128
Pasal 29 Ayat (3) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang
Perbankan:129
“Dalam memberikan kredit atau pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah dan melakukan kegiatan usaha lainnya, bank wajib menempuh cara-cara yang tidak merugikan bank dan kepentingan nasabah yang memercayakan dananya kepada bank”.
Ketentuan Pasal 29 Ayat (2) dan Ayat (3) di atas tentu berhubungan erat
dengan ketentuan Pasal 29 Ayat (4), karena bertujuan untuk melindungi kepentingan
nasabah penyimpan dan simpanannya. Adapun ketentuan tersebut menyatakan
bahwa:130
Pasal 29 Ayat (4) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan:131
“Untuk kepentingan nasabah, bank wajib menyediakan informasi mengenai kemungkinan terjadinya risiko kerugian sehubungan dengan transaksi nasabah yang dilakukan melalui bank”.
d. Asas Fiduciary Relation Principle (asas kepercayaan)
Asas kepercayaan adalah suatu asas yang melandasi hubungan antara bank
dan nasabah bank. Bank berusaha dari dana masyarakat yang disimpan berdasarkan
128 Ibid. 129 Muhamad Djumhana, Hukum Perbankan…Op.Cit., hlm., 665.130 Hermansyah, Hukum Perbankan… Op.Cit., hlm.,148.131 Muhamad Djumhana, Hukum Perbankan…Op.Cit., hlm., 665.
kepercayaan, sehingga setiap bank perlu menjaga kesehatan banknya dengan tetap
memelihara dan mempertahankan kepercayaan masyarakat. Prinsip kepercayaan
diatur dalam Pasal 29 Ayat (4) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang
Perbankan.132
Pasal 29 Ayat (4) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan:
“Untuk kepentingan nasabah, bank wajib menyediakan informasi mengenai kemungkinan terjadinya risiko kerugian sehubungan dengan transaksi nasabah yang dilakukan melalui bank”.
e. Asas Seccrecy Principle (asas kerahasiaan)
Prinsip kerahasiaan bank diatur dalam pasal 40 sampai dengan Pasal 47 A
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan. Menurut Pasal 40 bank
wajib merahasikan keterangan mengenai nasabah penyimpan dan simpanannya.
Namun dalam ketentuan tersebut kewajiban merahasiakan itu bukan tanpa
pengecualian. Kewajiban merahasiakan itu dikecualikan untuk dalam hal-hal untuk
kepentingan pajak, penyelsaian utang piutang bank yang sudah diserahkan kepada
badan Urusan Piutang dan Lelang/Panitia Urusan Piutang Negara (UPLN/PUPN),
untuk kepentingan pengadilan perakara pidana, dalam perkara perdata antar bank
dengan nasabah, hanya memberikan tukar-menukar informasi antar bank.133
3. Pengertian Likuidasi
132 Neni Sri Imaniyati, PengantrHukum Perbankan Indonesia, Refika Aditama, Bandung 2010, hlm.,16.
133 Ibid.,hlm 17.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia di artikan likuidasi adalah proses
membubarkan perusahaan sebagai badan hukum yang meliputi pembayaran
kewajiban kepada para kreditor dan pembagian harta yang tersisa kepada para
pemagang saham (persero).134
Kemudian menurut Kamus Hukum Ekonomi yang di terbitkan Elips Project,
liquidation adalah pembubaran perusahaan diikuti dengan proses penjualan harta
perusahaan, penagihan piutang, pelunasan utang, serta penyelsaian sisa harta atau
utang antara para pemegang saham. Sedangkan Zainal Asikin menyebutkan bahwa
likuidasi adalah suatu tindakan untuk untuk membubarkan suatu perusahaan atau
badan hukum.135
Berikutnya Van Schilfgaarde dan Doorhout Mess dalam bukunya Van de BV
en de NV dan Nederlands Handels en Failissementrecht mengemukakan sebagai
berikut:
“Likuidasi (pembubaran) adalah penghentian kegiatan Perseroan Terbatas sebagai akibat dari berakhirnya tujuan perseroan. Pembubaran tidak mempunyai arti identik dengan “berakhirnya” eksistensi perseroan. Perseroan adalah subjek hukum, memiliki aktivia dan pasiva. Setelah pembubarannya diucapkan, eksistensinya tetap “ada dengan catatan bahwa posisinya itu dalam stadium likuidasi (pembubaran). Hak yang dimilikinya harus direalisasikan dan kewajiban yang dipikulnya wajib dipenuhi. Perseroan Terbatas itu ada sepanjang diperlukan untuk pemberesan”.136
Menurut Adrian Sutedi likuidasi bank adalah cara atau proses untuk
menyelesaikan hak dan kewajiban bank.137
134 Djoni S. Gazali dan Rachmadin Usman., Hukum..., opCit., hlm 531. 135 Ibid.136 Ibid.137 Adrian Sutedi , Hukum Perbankan, Sinar Grafika, Jakarta 2007, hlm., 139
Sedangkan menurut Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang
Perbankan terdapat dalam Pasal 37 Ayat (2) dan Ayat (3), maka pengertian dari
istilah ”likuidasi” tidak terbatas kepada pencabutan izin usaha bank, tetapi lebih luas
lagi, termasuk tindakan pembubaran (outbinding) badan hukum bank dan penyelsaian
atau pemberesan (verifying) seluruh hak dan kewajiban bank sebagai akibat
dibubarkannya badan hukum bank tersebut.138
4 . Pengaturan Likuidasi Bank di Indonesia
Berdasarkan ketentuan Pasal 37 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 10 Tahun
1998 tentang Perbankan mengatur masalah likuidasi bank, maka dalam hal ini Bank
Indonesia dapat melakukan tindakan baik secara langsung maupun tidak langsung,
juga dapat dilakukan secara alternatif ataupun kumulatif sesuai dengan kondisi bank
yang bersangkutan, yaitu meliputi langkah-langkah berupa saran-saran dan langkah
tindakan yang lebih aktif.139
a. Langkah saran-saran, yang ditujukan kepada pemegang saham dan pengurus,
yaitu agar:140
1) Pemegang saham menambah modal. 2) Pemegang saham mengganti dewan komisaris dan/atau direksi bank.3) Bank menghapus bukukan kredit yang macet dan memperhitungkan kerugian
kerugian bank dengan modalnya.4) Bank melakukan merger atau konsolidasi dengan bank lain. 5) Bank dijual kepada pembeli yang bersedia mengambil alih seluruh kewajiban.
138Djoni S. Gazali dan Rachmadi Usman., Hukum.... op.Cit., hlm 531. 139 Muhamad Djumhana, Hukum perbankan ... op.Cit., hlm 242.140 Ibid.,243.
b. langkah aktif dengan tindakan lain yang sesuai dengan peraturan perundang-
undangan yang berlaku, seperti:141
1) Penyerahkan pengelolaan seluruh atau sebagian kegiatan bank kepada pihak lain
2) Menjual sebagian harta atau seluruh harta dan atau kewajiban bank kepada bank lain.
Menyangkut pencabutan izin usaha kantor cabang dari suatu bank yang
berkedudukan di luar negeri maksudnya adalah pencabutan izin pembukaan
kantornya jadi bukan pencabutan izin usaha sebagai badan hukum bank. Menurut
ketentuan Pasal 22 Ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 1999 tentang
Pencabutan Izin usaha, Pembubaran, dan Likuidasi Bank, Bank Indonesia dapat
mencabut izin usaha kantor cabang tersebut dalam hal:142
1) kantor cabang yang bersangkutan berada dalam keadaan yang membahayakan
kelangsungan usahanya dan atau sistem perbankan
2) kantor cabang yang bersangkutan ditutup atas permintaan kantor pusatnya
3) izin usaha kantor pusat bank yang bersangkutan dicabut dan atau dilikuidasi oleh
otoritas yang berwenang di negara asal bank tersebut.
Apabila terjadi pencabutan izin usaha kantor cabang tersebut, diberitahukan
kepada bank yang bersangkutan dan otoritas negara asal serta diumumkan dalam
surat kabar harian yang mempunyai peredaran luas. Selain itu, bagi bank yang telah
dicabut izin usahanya tersebut berlaku ketentuan bahwa seluruh harta kantor cabang
yang bersangkutan diutamakan untuk pembayaran seluruh kewajibannya di Indonesia
141 Ibid.142 Ibid.,hlm 245.
dan kantor pusat bank yang bersangkutan bertanggung jawab atas pemenuhan
kewajiban kantor cabangnya di Indonesia.143
Bank Indonesia dalam rangka melaksankan kelanjutan dari akibat pencabutan izin usaha tersebut, menyerahkannya kepada tim penyelesai. Tim tersebut memiliki hak, kewajiban, dan kewenangan, seperti halnya tim likuidasi. Tim tersebut bekerja paling lambat dua tahun sejak terbentuknya apabila menyelsaikan bank yang dicabut izinnya karena kantor cabang bank yang bersangkutan berada dalam keadaan yang membahayakan kelangsungan usahanya dan atau sistem perbankan atau karena kantor cabang bank yang bersangkutan ditutup atas permintaan kantor pusatnya. Sedangkan apabila kantor cabang yang bersangkutan dicabut izinnya karena dilikuidasi, jangka waktu tugas tim penyelsai selama lima tahun.144
BAB III
PROSES LIKUIDASI BANK DALAM HUKUM PERBANKAN INDONESIA
A. Prosedur dan Cara-Cara Melakukan Likuidasi Bank terhadap Perbankan di
Indonesia
Sesuai dengan amanat Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang
Perbankan dan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia, agar
sistem perbankan dapat berperan secara maksimal dalam perekonomian nasional,
maka arah kebijakan di sektor perbankan bertujuan agar hanya bank yang sehat saja
yang dapat terus eksis berusaha dalam sektor perbankan nasional, sedangkan bank
143 Ibid.144 Ibid.
83
yang mengalami “kesulitan yang membahayakan kelangsungan usahanya dan tidak
diselamatkan lagi, dan/atau “keadaan suatu bank yang membahayakan sistem
perbankan”, maka bank tersebut harus keluar dari sistem perbankan (exit policy).145
Apabila terjadi kondisi sistem bank yang membahayakan, maka Bank
Indonesia, secara atributif, diberi kewenangan oleh undang-undang untuk mencabut
izin usaha bank yang bersangkutan. Namun demikian, dalam praktiknya, pencabutan
izin usaha bank adalah pilihan keputusan yang terakhir. Pasal 37 ayat (1) Undang-
Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan mengamantkan agar Bank
Indonesia terlebih dahulu mengupayakan tindakan penyelamatan bank yang
mengalami kesulitan yang membahayakan kelangsungan usahanya sebelum bank
yang bersangkutan harus “exit” dari sistem perbankan. Apabila tindakan
penyelamatan yang telah diupayakan belum cukup untuk mengatasi kesulitan yang
dihadapi bank dan/atau menurut penilaian Bank Indonesia keadaan suatu bank dapat
membahayakan sistem perbankan maka barulah suatu bank harus keluar dari sistem
perbankan. Bahkan, pada masa masih eksisnya Badan Penyehatan Perbankan
Nasional (BPPN), masih ada proses penyehatan sistem perbankan melalui tahap Bank
Beku Operasional (BBO) dan Bank Beku Kegiatan Usaha (BBKU) yang hasilnya
adalah bank hasil merger dan bank yang direkomendasikan untuk dicabut izin
usahanya.146
145 Adrian Sutedi , Hukum...., op.Cit., hlm 137.146 Ibid., hlm 138.
Dibentuknya Lembaga Penjamin Simpanan, apabila tindakan penyehatan
yang ditempuh Bank Indonesia atas dasar Pasal 37 Ayat (1) Undang-Undang
Perbankan tidak berhasil, maka Lembaga Penjamin Simpanan masih dimungkinkan
untuk melakukan tindakan penyelamatan terhadap bank dimaksud. Lembaga
Penjamin Simpanan ini juga dimaksudkan untuk menjamin simpanan uang para
nasabah di bank.147
Disebutkan dalam ketentuan Pasal 21 Ayat (2) dan(3) Undang-Undang
Nomor 24 Tahun 2004 tentang Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) bahwa LPS
melakukan penyelesaian bank gagal yang tidak berdampak sistemik setelah Bank
Indonesia menyerahkan penyelsaiannya kepada LPS dan melakukan penanganan
bank gagal yang berdampak sistemik setelah Komite Koordinasi menyerahkan
penanganannya kepada LPS. Kemudian dalam ketentuan Pasal 22 Undang-Undang
Nomor 24 Tahun 2004 tentang Lembaga Penjamin Simpanan ditetapkan, bahwa
penyelsaian atau penanganan bank gagal tersebut dilakukan oleh LPS dengan cara
sebagai berikut:148
1. penyelsaian bank gagal yang tidak berdampak sistemik dilakukan dengan melakukan penyelamatan atau tidak melakukan penyelamatan terhadap bank gagal di maksud;
2. penanganan bank gagal yang berdampak sistemik dilakukan dengan melakukan penyelamatan yang mengikutsertakan pemegang saham lama atau tanpa mengikutsertakan pemegang saham lama.
Pada prinsipnya keputusan untuk melakukan penyelamatan atau tidak
melakukan penyelamatan suatu bank gagal ditetapkan oleh LPS, dengan minimal
147 Ibid. 148 Djoni S.Gazali dan Rachmadi Usman, Hukum..., op.Cit., hlm 540.
didasarkan kepada perkiraan biaya penyelamatan dan perkiraan biaya tidak
melakuakn penyelamatan bank gagal. Selain itu diperkirakan setelah diselamatkan,
bank gagal tadi masih menunjukan prospek usaha yang baik.149
Ditegaskan dalam ketentuan Pasal 31 juncto Pasal 16 Ayat (4) serta
dihubungkan dengan penjelasannya dari Nomor 24 Tahun 2004 tentang Lembaga
Penjamin Simpanan, bahwa dalam hal tidak terpenuhinya persyaratan penyelamatan
bank gagal dimaksud atau LPS memutuskan untuk tidak melanjutkan proses
penyelamtan, maka LPS meminta pencabutan izin usaha bank dimaksud sesuai
dengan peraturan perundang-undangan. Apabila izin usaha bank dicabut oleh Bank
Indonesia, maka selambat-lambatnya dalam waktu lima hari kerja sejak izin usaha
bank dicabut, LPS melaksanakan pembayaran klaim penjaminan kepada nasabah
penyimpan bank yang dicabut izin usahanya. Jadi, LPS tidak melanjutkan
penyelamatan bank gagal apabila dalam proses penyelamatan tersebut LPS
menemukan biaya penyelamatan jauh lebih besar dari perkiraan biaya penyelamatan
pada saat keputusan penyelamatan ditetapkan.150
Ketentuan dalam Pasal 43 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2004 tentang
Lembaga Penjamin Simpanan mengatur bahwa LPS akan bertindak sebagai
“likuidator” dalam proses likuidasi bank gagal oleh LPS, yaitu usahanya, LPS
melakukan likuidasi bank gagal yang dicabut izin usahanya, LPS melakukan tindakan
sebagai berikut :151
149 Ibid. 150 Ibid., hlm 541.151 Ibid., hlm 542.
a. Melakukan kewenangan mengambil alih dan menjalankan segala hak dan wewenang pemagang saham, termasuk hak dan wewenang Rapat Umum pemegang Saham dalam rangka proses likuidasi
b. Memberikan talangan untuk pembayaran gaji pegawai yang terutang dan talangan pesangon pegawai sebesar jumlah minimum pesangon sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan
c. Melakukan tindakan yang diperlukan dalam rangka pengamanan aset bank sebelum proses likuidasi dimulai; dan
d. Memutuskan pembubaran badan hukum bank, membentuk tim likuidasi, dan menyatakan status bank sebagai bank dalam likuidasi, berdasarkan kewenangan LPS.
Secara yuridis sesuai dengan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2004 tentang
Lembaga Penjamin Simpanan, maka terhitung sejak izin usaha suatu bank dicabut,
segala hak dan wewenang pemegang saham, termasuk hak dan wewenang Rapat
Umum Pemegang Saham (RUPS) diambil alih oleh LPS. Oleh karena itu, dengan
diambilalihnya hak dan wewenang RUPS, maka LPS segera memutuskan hal-hal
sebagai berikut :152
a. pembubaran badan hukum bankb. pembentukan tim likuidasic. penetapan status bank sebagai “Bank Dalam Likuidasi”; dan d. penonaktifan seluruh Direksi dan Dewan Komisaris
Menurut ketentuan dalam Pasal 6 Ayat (2) Peraturan Lembaga Penjamin
Simpanan Nomor 02/PLPS/2008, keputusan LPS sebagai mana dimaksud di atas
menjadi keputusan LPS sebagai mana dimaksud di atas menjadi keputusan RUPS dan
dimuat dalam risalah RUPS yang dibuat dalam Akta Notaris. Pelaksanaan proses
likuidasi suatu bank yang dicabut izin usahanya diawali dengan pembubaran badan
152 Ibid.
hukum bank melalui RUPS nya diawali dengan pembubaran badan hukum bank
melalui RUPS dan pembentukan tim likuidasi oleh LPS. Setelah LPS melalui RUPS
memutuskan pembubaran badan hukum bank, sesuai dengan ketentuan dalam Pasal
45 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2004 tentang Lembaga Penjamin Simpanan,
maka keputusan pembubaran badan hukum bank tersebut wajib:153
a. Didaftarkan dalam daftar perusahaan dan di panitera pengadilan negeri yang
meliputi tempat kedudukan bank yang bersangkutan
b. Diumumkan dalam Berita negara Republik Indonesia dan 2 (dua) surat kabar
harian yang mempunyai peredaran luas. Pengumuman tersebut memuat pula
pernyataan bahwa seluruh aset bank dalam likuidasi berada dalam tanggung
jawab dan pengurusan tim likuidasi; dan
c. Diberitahukan kepada instansi yang berwenang.
Menurut ketentuan dalam Pasal 7 Peraturan Lembaga Penjamin Simpanan
Nomor 02/PLPS/2008, maka sejak keputusan RUPS mengenai pembubaran badan
hukum bank tersebut, maka bank disebut sebagai “Bank Dalam Likuidasi” dan wajib
mencantumkan kata “Dalam Likuidasi disingkat “DL” setelah penulisan nama bank.
Berkaitan dengan pembubaran badan hukum bank, ketentuan dalam Pasal 18
Peraturan Lembaga Penjamin Simpanan Nomor 02/PLPS/2008 menentukan sebagai
berikut:154
a. Tim likuidasi dalam rangka melaksanakan tindakan pembubaran badan hukum bank adalah sebagai berikut :
153 Ibid., hlm 543.154 Ibid.
1) memberitahukan kepada semua kreditor mengenai pembubaran badan hukum bank dalam Berita Negara Republik Indonesia dan 2 (dua) surat kabar harian yang mempunyai peredaran luas; dan
2) memberitahukan pembubaran badan hukum bank kepada instansi yang berwenang sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku .
b. Tindakan pemberitahuan yang dilaksanakan paling lama 30 (tiga puluh) hari kalender sejak tanggal pembubaran badan hukum banknya.
c. Pemberitahuan kepada kreditor dimaksud harus memuat 1) pembubaran badan hukum bank dan dasar hukumnya;2) nama dan alamat tim likuidasi 3) tata cara pengajuan tagihan; dan4) jangka waktu pengajuan tagihan
d. jangka waktu pengajuan tagihan adalah 60 (enam puluh) hari kalender terhitung sejak tanggal pengumuman pembubaran badan hukum dari bank dimaksud.
Pembentukan tim likuidasi oleh LPS melalui RUPS hendaknya dilakukan
sesaat sebelum LPS melalui RUPS hendaknya dilakukan sesaat sebelum LPS melalui
RUPS mengambil keputusan pembubaran badan hukum bank yang dicabut izin
usahanya. Tim likuidasi ini dibentuk dalam rangka melaksanakan fungsi melikuidasi
bank yang dicabut izin usahanya dan yang telah dibubarkan badan hukumnya dengan
cara melakukan pemeberesan aset dan kewajiban bank dimaksud. Jangka waktu
penyelsaian pelaksanaan likuidasi bank oleh tim likuidasi ditegaskan dalam Pasal 48
Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2004 tentang Lembaga Penjamin Simpanan, yaitu
untuk jangka waktu paling lama 2 (dua) tahun terhitung sejak tanggal pembentukan
tim likuidasi dan dapat diperpanjang oleh LPS paling lama 2 (dua) kali masing-
masing paling lama 1 (satu) tahun. Jadi, dalam jangka waktu 3 (tiga) tahun
pelaksanaan likuidasi bank oleh tim likuidasi harus sudah dapat diselsaikan. Dengan
sendirinya pengawasan atas pelaksanaan likuidasi bank dilakukan oleh LPS.
Demikian ditentukan dalam Pasal 49 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2004 tentang
Lembaga Penjamin Simpanan.155
Menurut Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2004 tentang Lembaga Penjamin
Simpanan salah satu unsur dari tim likuidasi dapat berasal dari salah satu anggota
pengurus atau pemegang saham bank yang bersangkutan. Menurut ketentuan dalam
Pasal 44 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2004 tentang Lembaga
Penjamin Simpanan, bahwa dalam hal diperlukan, salah satu anggota direksi, dewan
komisaris, atau pemegang saham lama dapat ditunjuk sebagai anggota tim likuidasi.
Artinya, susunan keanggotaan tim likuidasi dimungkinkan gabungan pihak luar dan
dalam bank yang dicabut izin usahanya.156
Demi efisiensi, maka Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2004 tentang
Lembaga Penjamin Simpanan menentukan batas maksimal jumlah keanggotaan tim
likuidasi, yaitu sebanyak-banyaknya 9 (sembiln) orang sebagai tim likuidasi
sebagaimana telah ditentukan dalam Pasal 44 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 24
Tahun 2004 tentang Lembaga Penjamin Simpanan. Tim likuidasi sebaiknya duduk
orang-orang yang mempunyai keahlian tertentu yang sangat diperlukan untuk
kelancaran pelaksanaan likuidasi. Sekurang-kurangnya dalam tim likuidasi ada ahli
hukum (lawyer), akuntan penilai (appraiser) dan bankir yang berpengalaman
operasional perbankan (commercial banker).157
155 Ibid., hlm 544.156 Ibid. 157 Ibid., hlm 545.
Sehubungan dengan susunan keanggotaan tim likuidasi, ketentuan dalam
Pasal 12 Peraturan Lembaga Penjamin Simpanan Nomor 02/PLPS/2008 menetapkan
sebagai berikut:158
1) Anggota tim likuidasi untuk setiap bank dalam likuidasi paling banyak 9
(sembilan) orang, di antaranya ditetapkan sebagai ketua tim likuidasi. Ketua tim
likuidasi berwenang untuk bertindak mewakili tim likuidasi.
2) Penetapan jumlah anggota tim likuidasi ditetapkan dengan mempertimbangkan
efektivitas dan efisiensi pelaksanaan likuidasi bank. Maka dalam hal diperlukan
salah satu anggota Direksi, Dewan Komisaris, atau pemegang saham dapat
ditunjuk sebagai anggota tim likuidasi dengan mempertimbangkan pemahaman
atas permasalahan yang terjadi pada bank,bersikap kooperatif, dan tidak
mempunyai benturan kepentingan.
3) Penunjukan tim likuidasi dilakukan dengan mempertimbangkan integritas dan
kompetensi calon anggota tim likuidasi. Sesama anggota tim likuidasi dan
antara anggota tim likuidasi dengan tenaga pendukung tim likuidasi tidak boleh
memiliki hubungan keluarga ke atas, ke bawah, dan kesamping sampai dengan
derajat pertama.
4) LPS dapat memberhentikan anggota tim likuidasi sebelum jangka waktu
penugasan tim likuidasi berakhir apabila anggota tim likuidasi
a) tidak menjalankan tugas dengan baik;
b) melakukan pelanggaran terhadap peraturan perundang-undangan;
158 Ibid., hlm 546.
c) mengundurkan diri; atau
d) berhalangan tetap
Sebagaimana dikemukakan dalam ketentuan Pasal 46 Ayat (2) dan Ayat (3)
Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2004 tentang Lembaga Penjamin Simpanan,
bahwa dengan terbentuknya tim likuidasi, tanggungjawab dan kepengurusan bank
dalam likuidasi dilakukan oleh tim likuidasi. Tim likuidasi dalam melaksanakan
tugasnya berwenang mewakili bank dalam likuidasi di dalam dan diluar pengadilan
dalam segala hal yang berkaitan dalam penyelsaian hak dan kewajiban bank tersebut.
Tim likuidasi dengan persetujuan LPS dapat menggunakan jasa pengacara sesuai
dengan ketentuan yang berlaku.159
Hal-hal yang berkaitan dengan tugas dan wewenang tim likuidasi bank dalam
likuidasi lebih lanjut dirinci dalam ketentuan Pasal 9, Pasal 10, dan Pasal 20
Peraturan Lembaga Penjamin Simpanan Nomor 02/PLPS/2008, yang menetapkan
sebagai berikut:160
1. Tim likuidasi mempunyai tugas sebagai berikut:
a. menyelsaikan hal-hal yang berkaitan dengan pembubaran badan hukum bank;
b. menyelsaikan hal-hal yang berkaitan dengan pegawai bank
c. melakukan pemeberesan aset dan kewajiban bank
d. menyampaikan laporan berkala dan laporan insidentil apabila diperlukan
kepada LPS
159 Ibid., hlm548.160 Ibid.
e. melakukan pertanggungjawaban pelaksanaan likuidasi bank;
f. melakukan penyelsaian atas kewajiban dari pihak-pihak yang melakukan
kelalaian dan/atau perbuatan melanggar hukum yang mengakibatkan kerugian
atau membahayakan kelangsungan usaha bank;
g. melakukan tugas lainnya yang dianggap perlu untuk melaksanakan proses
likuidasi; dan
h. membantu kelancaran pelaksanaan penjaminan simpanan.
2. Tim likuidasi dalam rangka melAksanakan tugasnya berwenang :
b) melakukan perundingan dan tindakan lainnya dalam rangka penjualan aset
dan penagihan piutang terhadap para debitur termasuk pemberian potongan
utang (haircut) sesuai dengan kewenangan yang diberikan oleh RUPS dan
peraturan yang berlaku;
c) melakukan perundingan dan pembayaran kewajiban kepada para kreditor;
d) mempekerjakan pegawai, baik yang berasal dari dalam maupun dari luar bank
dalam likuidasi, sebagai tenaga pendukung tim likuidasi
e) menunjuk pihak lain untuk membantu pelaksanaan likuidasi bank, antara lain
perusahaan penilai, konsultan hukum, dan advokat
f) melakukan pemanggilan kepada para kreditor meminta pembatalan kepada
pengadilan niaga atas segala perbuatan hukum bank yang mengakibatkan
berkurangnya aset atau bertambahnya kewajiban bank, yang dilakukan dalam
jangka waktu satu tahun sebelum pencabutan izin usaha bank, kecuali
perbuatan hukum bank yang wajib dilakukan berdasarkan undang-undang.
g) Mewakili bank dalam likuidasi dalam segala hal yang berkaitan dengan
penyelsaian hak dan kewajiban bank tersebut baik di dalam maupun di luar
pengadilan
h) Melakukan tindakan lain yang diperlukan dalam rangka pelaksanaan likuidasi
bank
4. Dalam rangka mempekerjakan pegawai sebagai tenaga pendukung dan
penunjukan pihak lain, tim likuidasi wajib mempertimbangakan:
b. efisiensi dalam pelaksanaan likuidasi
c. keahlian; dan
d. kemampuan keuangan bank dalam likuidasi untuk membayar honor
5. Dalam rangka pemberesan asset dan kewajiban suatu bank yang dilikuidasi, tim
likuidasi melaksanakan tindakan sebagai berikut :
a. melakukan pembayaran biaya kantor
b. menyelsaikan masalah yang berkaitan dengan pegawai bank yang dicabut izin
usahanya, yaitu :
1) memproses pemutusan hubungan kerja dengan pegawai;
2) membuat daftar gaji pegawai yang masih terutang sampai dengan tanggal
pemutusan hubungan kerja, dengan mengajukan daftar tersebut kepada
LPS untuk mendapat persetujuan pembayaran;
3) membayar gaji pegawai terutang dengan menggunakan dana talangan dari
LPS, setelah mendapat persetujuan LPS
4) membuat daftar pesangon pegawai yang jumlahnya diatur dalam peraturan
perundang-undangan, dan mengajukan daftar tersebut kepada LPS untuk
mendapat persetujuan pembayaran; dan
5) melakukan pembayaran pesangon pegawai dengan menggunakan dana
talangan dari LPS, setelah mendapat persetujuan LPS.
c. membantu kelancaran pelaksanaan penjaminan simpanan nasabah, antara lain:
1) membantu proses verifikasi simpanan nasabah; dan
2) memberikan data dan informasi yang diperlukan oleh LPS dan bank
Bagaimana cara melikuidasi suatu bank telah diatur dalam ketentuan Pasal 53
Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2004 tentang Lembaga Penjamin Simpanan, yang
menetapkan bahwa likuidasi suatu bank dapat dilakukan dengan cara-cara sebagai
berikut:161
a. Dilakukan dengan cara pencairan asset dan/atau penagihan piutang kepada para debitur diikuti dengan pembayaran kewajiban bank kepada para kreditor dari hasil pencairan dan/atau penagihan tersebut; atau
b. Dilakukan dengan cara pengalihan asset dan kewajiban bank kepada pihak lain berdasarkan persetujuan LPS.
Peraturan pemerintah Nomor 25 Tahun 1999 mengatur pula mengenai
bagaimana cara-cara likuidasi bank. Menurut ketentuan dalam Pasal 16 Peraturan
161 Ibid., hlm 551.
Pemerintah Nomor 25 Tahun1999, bahwa likuidasi bank dilakukan dengan cara-cara
sebagai berikut :162
a. Dilakukan dengan cara pencairan harta dan atau penagihan piutang kepada para debitur, diikuti dengan pembayaran kewajiban bank kepada para kreditor dari hasil pencairan dan/atau penagihan tersebut; atau
b. Dilakukan dengan cara pengalihan seluruh harta dan kewajiban bank kepada pihak lain yang disetujui Bank Indonesia, yaitu pengalihan atau penjualan aset dan kewajiban bank secara paket (bulk).
Dari ketentuan di atas dapat diketahui terdapat dua cara untuk melakukan
likuidasi bank, yaitu pertama, dilakukan dengan cara pencairan aset dan/atau
penagihan piutang diikuti dengan pembayaran kewajiban bank; dan kedua, dilakukan
dengan cara pengalihan seluruh aset dan kewajiban bank kepada pihak lain. Di antara
kedua cara ini, pada umumnya cara yang pertama yang sering dipilih untuk
melakukan likuidasi bank dari pada cara yang kedua.163
B. Dampak Status Hukum Direksi dan Dewan Komisaris Bank dalam Likuidasi
terhadap Perbankan di Indonesia
Sejak terbentuknya tim likuidasi, anggota direksi dan dewan komisaris dari
Bank dalam likuidasi dinonaktifkan sampai selesainya pelaksanaan likuidasi
banknya. Pasal 47 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2004 tentang
Lembaga Penjamin Simpanan ditentukan bahwa sejak terbentuknya tim likuidasi,
direksi dan dewan komisaris bank dalam likuidasi menjadi nonaktif namun demikian
mereka masih mempunyai kewajiban dan larangan tertentu dalam rangka pemenuhan
162 Ibid.163 Ibid., hlm 552.
kelancaran tugas tim likuidasi, tidak terkecuali pegawai dan mantan pegawai bank
dalam likuidasi, yaitu berkewajiban untuk setiap saat membantu memberikan segala
data dan informasi yang diperlukan oleh tim likuidasi. Ditentukan pula bahwa
pemegang saham, direksi, dan dewan komisaris, dan pegawai dan mantan pegawai
bank dalam likuidasi dilarang secara langsung atau tidak langsung menghambat
proses likuidasi. Demikian kewajiban dan larangan pemegang saham, direksi, dewan
komisaris, dan pegawai dan mantan pegawai bank dalam likuidasi selama proses
likuidasi di tentukan dalam ketentuan Pasal 47 ayat (2) dan ayt (3) Undang-Undang
Nomor 24 Tahun 2004 tentang Lembaga Penjamin Simpanan.164
Kewajiban dan larangan mana dipertegaskan lagi dalam ketentuan Pasal 8
Peraturan Lembaga Penjamin Simpanan Nomor 02/PLPS/ 2008, yang menetapkan
sebagai berikut.165
a. Dengan terbentuknya tim likuidasi:
1) Seluruh tanggung jawab dan kepengurusan bank dalam likuidasi dilaksanakan
oleh tim likuidasi; dan
2) Direksi dan dewan Komisaris:
a) menjadi nonaktif, kecuali untuk menyelsaikan kewajiban sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 4 Ayat (1);
b) tidak diperkenankan mengundurkan diri sebelum likuidasi bank selesai,
kecuali atas persetujuan LPS; dan
164 Ibid., hlm 547.165 Ibid.
c) tidak berhak menerima penghasilan dalam bentuk apapun dari bank dalam
likuidasi
b. pemegang saham, direksi, dewan komisaris, serta pegawai dan mantan pegawai
bank dalam likuidasi berkewajiban untuk setiap saat membantu memberikan
segala data dan informasi
selain itu, dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya, anggota tim
likuidasi, baik secara sendiri-sendiri atau bersama dilarang melakukan tindakan untuk
keuntungan diri sendiri atau pihak lain yang tidak berhak, dan bertanggung jawab
secara pribadi apabila dalam melaksanakan tugasnya melakukan pelanggaran.166
BAB IV
PELAKSANAAN PERLINDUNGAN HUKUM NASABAH BANK LIKUIDASI
DI HUBUNGKAN DENGAN UNDANG-UNDANG NOMOR 10 TAHUN 1998
TENTANG PERBANKAN
A. Pelaksanaan Bank Likuidasi terhadap Nasabah
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan, yang
memiliki kewenangan untuk menerbitkan dan mencabut izin usaha bank adalah
Menteri Keuangan berdasarkan rekomendasi dari Bank Indonesia. Berdasarkan
pengalaman tersebut, dan beberapa negara lain, tampaknya kegiatan perbankan tidak
bisa seluruhnya diserahkan kepada mekanisme pasar, karena kenyataannya pasar
tidak selalu mampu membetulkan dirinya sendiri (self correcting) bila terjadi sesuatu
166 Ibid., hlm 548.
98
diluar dugaan.167 Oleh karena itu, dukungan kontrol terhadap aktivitas perbankan oleh
BI dengan kewajiban melaksanakan prinsip kehati-hatian merupakan solusi terbaik
dalam rangka menjaga dan mempertahankan eksistensi perbankan, yang pada
akhirnya akan menumbuhkan kepercayaan masyarakat kepada industri perbankan itu
sendiri.168
Demikianlah kemudian bagian Umum Penjelasan Undang-Undang Nomor 10
Tahun 1998 dinyatakan, agar pembinaan dan pengawasan bank dapat terlaksana
secara efektif, kewenangan dan tanggung jawab mengenai perizinan bank, yang
semula berada di Mentri keuangan, menjadi berada pada Pimpinan Bank Indonesia
sehingga Bank Indonesia memiliki kewenangan dan tanggung jawab yang utuh untuk
menetapkan perizinan, pembinaan, dan pengawasan bank serta pengenaan sanksi
terhadap bank yang tidak mematuhi peraturan perbankan yang berlaku.169
Ditutupnya kegiatan usaha bank telah memberikan dampak kurangnya
kepercayaan masyarakat terhadap bank. Salah satu upaya untuk tetap
mempertahankan kepercayaan masyarakat terhadap lembaga perbankan, yaitu melalui
asuransi deposito yang dalam pengertian Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998
tentang Perbankan disebut sebagai Lembaga Penjamin Simpanan.Lembaga ini
merupakan suatu badan hukum yang menyelenggarakan kegiatan penjaminan atas
simpanan nasabah penyimpan, melalui skim asuransi, dana penyangga, atau skim
lainnya. Melihat tujuannya maka lembaga tersebut sangat diperlukan dalam rangka
167 Heru Supratomo., Analisis Ekonomi terhadap Hukum Perbankan”, Jurnal Hukum Bisnis, Volume 1/1997, Yayasan Pengembangan Hukum Bisnis, Jakarta, hlm. 63.
168 Adrian Sutedi., Hukum Perbankan…Op. Cit., hlm. 131169 Ibid., hlm 132.
melindungi kepentingan nasabah serta usaha untuk mempertahankan kepercayaan
masyarakat terhadap lembaga perbankan.170
Indonesia Lembaga Penjamin Simpanan ini baru dikenal pada tahun 1973
dengan dikeluarkannya Peraturan Pemerintah Nomor 34 Tahun 1973 tentang Jaminan
Simpanan Uang pada bank. Latar belakang dikeluarkannya peraturan tersebut, yaitu
untuk meningkatkan minat masyarakat berhubungan denngan lembaga
perbankan.Ketentuan Peraturan Pemerintah mengenai Asuransi Deposito tersebut
sangatlah ideal, yaitu:171
1. semua bank kecuali bank asing diwajibkan mejaminkan simpanan uang pihak
ketiga, baik yang berupa giro, deposito, maupun tabungan.
2. penyelenggara jaminan, yaitu Bank Indonesia, dengan tugas menjamin simpanan
uang pihak ketiga yang terdaftar pada bank terjamin atas nama perorangan,
perkumpulan, dan tabungan milik pemerintah dan bank; memungut permi
jaminan, dan bertindak sebagai pengampu dan atau likuidator.
Adapun jumlah yang dijamin terbatas, setinggi-tingginya Rp.1.000.000,00.-
tetapi dewan moneter dapat mengubah jumlah besarnya yang dijamin tersebut,
sedangkan premi jaminan ditentukan 5 per mil/tahun dengan diperhitungkan terhadap
170 Lembaga Penjamin Simpanan sebagaimana diamanatkan dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan, baru dapat terlaksana pembentukannya pada tahun 2004 dengan lahirnya Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2004 tentang Lembaga Penjamin Simpanan. Muhamad Djumhana., Hukum Perbankan…Op. Cit., hlm. 142.
171 Ibid., hlm. 143.
seluruh jumlah simpanan pada bank terjamin. Namun, sayangnya ketentuan mengenai
jaminan simpanan (asuransi deposito) belum pernah dilaksanakan.172
Penyelenggaraan lembaga asuransi deposito sebagaimana diatur dalam
Peraturan Pemerintah Nomor 34 Tahun 1973 secara yuridis didasarkan atas ketentuan
Pasal 30 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1968 tentang Bank Sentral dan ketentuan
Pasal 31 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1967 tentang Pokok-Pokok
Perbankan. Adapun pelaksana dari lembaga asuransi deposito ini adalah Bank
Indonesia. Hal tersebut didasarkan pada pemikiran agar efektivitas dan efisiensi dari
penyelenggaraan usaha termaksud dapat lebih terjamin jika pelaksanaannya dikaitkan
dengan kewenangan yang telah diberikan kepada Bank Indonesia melelui ketentuan
Pasa 31 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1967 tentang Pokok-Pokok
Perbankan, yaitu untuk mengetur dan menjaga likuiditas dan solvabiolitas bank.173
Kegiatan lemabaga penjaminan tersebut ternyata tidak efektif, bahkan
sepertinya tidak dilaksankan. Keberadaan lembaga tersebut tidak dilanjutkan dalam
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sehingga sewaktu
terjadinya likuidasi empat belas bank pada bulan November 1997 tidak dapat
diselsaikan oleh suatu lembaga penjamin sehingga mengakibatkan turunnya rasa
kepercayaan masyarakat terhadap dunia perbankan. Hal demikian disadari oleh
pemerintah sehingga tidak lama kemudian pemerintah melakukan pembayaran uang
nasabah dari bank yang terlikuidasi, berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 26
172 Ibid.173 Ibid., hlm.144.
Tahun 1998 tentang Jaminan terhadap Kewajiban Pembayaran Bank Umum.
Tindakan demikian merupakan tindakan pemerintah yang bersifat cash program,
ditujukan untuk menghindarkan semakin buruknya perekonomian nasional.
Penjaminan pembayaran dana nasabah sebagaimana diatur dalam keputusan presiden
tersebut bersifat sementara hanya berlangsung sampai 26 Januari 2000.
Langkah konkret lainnya dalam rangka menunjang maksud dari Keputusan
Presiden Nomor 26 Tahun 1998, maka pemerintah membentuk perusahaan perseroan
(persero) di bidang penjaminan kewajiban bank sebagaimana dimaksud dalam
Peraturan Pemerintah Nomor 53 Tahun 1998 tentang Penyertaan Modal Negara
Republik Indonesia untuk Pendirian Perusahaan Perseroan (persero) di bidang
Penjaminan Kewajiban Bank tanggal 22 April 1998. Maksud dan tujuan dari
didirikannya perusahaan tersebut, yaittu untuk menyelenggarakan:174
1. Penjaminan simpanan masyarakat pada bank;
2. Penjaminan kewajiban bank lainnya di luar simpanan;
3. Pemupukan keuntungan untuk meningkatkan nilai perusahaan;
4. Usaha-Usaha lain yang menunjang kegiatan dalam rangka penjaminan
Pendirian persero yang bergerak di bidang penjaminan tersebut sangatlah
mempunyai nilai startegis yang tinggi dalam rangka penyehatan perbankan. Namun,
saat ini gerak dan kegiatan usaha dari persero tersebut belum menampakan
174 Ibid.
sebagaimana diharapkan. Hal itu mungkin karena gerak mereka belum memiliki
sandaran aturannya di dalam peraturan perbankan.175
Sejalan dengan program perubahan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992
tentang Perbankan dan dilandasi kesadaran begitu pentingnya sandaran hukum
mengenai Lembaga Penjamin Simpanan (asuransi deposito) maka pada Undang-
Undang Nomor 10 Tahun 1998 diatur adanya kewajiban setiap bank untuk menjamin
dana masyarakat. Ktentuan Pasal 37B mengatur:176
1. Setiap bank wajib menjamin dana masyarakat yang disimpan pada bank yang
bersangkutan.
2. Pembentukan Lembaga Penjamin Simpanan.
3. mekanisme Penjaminan dana masyarakat dan kelembagaannya akan diatur lebih
lanjut dalam peraturan pemerintah
Pokok-pokok yang akan diatur dalam peraturan pemerintah akan memuat,
antara lain, pemebentukan lembaga penjamin; struktur organisasi; pilihan skim
penjaminan, dan kewajiban bank untuk menjadi anggota. Skim yang dapat digunakan
pleh Lembaga Penjamin Simpanan ini dapat berupa: skim dana bersama, skim
asuransi, dan skim lainnya yang disetujui oleh Bank Indonesia.177
Langkah-langkah penjaminan oleh pemerintah dengan model penjaminan
seluruh kewajiban bank (balnket guarantee), seperti yang dilakukan oleh pemerintah
pada saat lalu, sudah tidak dapat dilaksanakn. Akhirnya pada tahun 2004 dibentuk
175 Ibid., hlm145.176 Ibid. 177 Ibid.
Lembaga Penjamin Simpanan berdasarkan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2004
tentang Lembaga Penjamin Simpanan, yang kemudian di antaranya ditindaklanjuti
dengan penerbitan Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 2005 tentang Modal Awal
Lembaga Penjamin Simpanan dan Peraturan Pemerintah Nomor 39 Tahun 2005
tentang penjaminan Simpanan Nasabah Bank Bedasarkan Prinsip Syariah.178
Lembaga Penjamin Simpanan merupakan badan hukum yang mempunyai
kedudukan sebagai lembaga yang independen, transparan, dan akuntabel dalam
melaksankan tugas dan wewenangnya. Fungsi dari Lembaga Penjamin Simpanan,
yaitu merumuskan dan menetapkan kebijakan dalam rangka turut aktif memelihara
stabilitas sistem perbankan; merumuskan, menetapkan, dan melaksanakan kebijakan
penyelsaian bank gagal (bank resolution) yang tidak berdampak sistemik.179
Berdasarkan dalam rangka melaksankan tugas sebagaimana di atas, Lembaga
Penjamin Simpanan mempunyai wewenang:180
1. Menetapkan dan memungut premi
penjaminan
2. menetapkan dan memungut kontribusi pada saat bank pertama kali menjadi
peserta.
3. melakukan pengelolaan kekayaan dan kewajiban LPS
4. mendapatkan data simpanan nasabh, data kesehatan bank, laporan keuangan bank,
dan laporan hasil pemeriksaan bank sepanjang tidak melanggar kerahasiaan bank.
178 Ibid.179 Ibid.,hlm. 146.180 Lihat ketentuan Pasal 6 Ayat (1) dan Ayat (2) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2004
tentang Lembaga Penjamin Simpanan.
5. melakuakan rekonsiliasi, verifikasi, dan/atau konfirmasi atas data simpanan
nasabah, data kesehatan bank, laporan keuangan bank, dan laporan hasil
pemeriksaan bank.
6. menetapkan syarat, tata cara, dan ketentuan pembayaran klaim.
7. menunjuk, menguasakan, dan/atau menugaskan pihak lain untuk bertindak bagi
kepentingan dan /atau atas nama LPS, guna melaksanakan sebagian tugas tertentu
8. Melakukan penyuluhan kepada bank dan masyarakat tentang penjaminan
simpanan; dan
9. menjatuhkan sanksi administratif.
Selain kewenangan di atas, Lembaga Penjamin Simpanan juga dapat
melakuakan penyelsaian dan penanganan bank gagal, yaitu meliputi pengambilalihan
dan menjalankan segala hak dan wewenang pemegang saham, termasuk hak dan
wewenang RUPS; menguasai dan mengelola aset dan kewajiban bank gagal yang
diselamatkan, meninjau ulang, membatalkan, mengakhiri, dan atau mengubah setiap
kontrak yang mengikat bank gagal yang diselamatkan dengan pihak ketiga yang
merugikan bank; serta menjual dan/atau mengalihkan aset bank tanpa persetujuan
debitur dan/atau kewajiban bank tanpa persetujuan kreditur.181
Kewenangan yang dimiliki Lembaga Penjamin Simpanan tersebut
dimaksudkan agar dengan dilakukannya pengambilalihan segala hak dan wewenang
pemagang saham, termasuk hak dan wewenang RUPS, LPS dapat melakuakn
pemberesan aset dan kewajiban dari bank yang dicabut izinnya oleh Lembaga
181 Ibid., hlm147.
Pengawas Perbankan (untuk saat ini oleh Bank Indonesia). Kewenangan melakukan
pemberesan aset dan kewajiban dimaksudkan untuk memaksimalkan pengembalian
(recovery) dana penjaminan. Disamping itu, dengan kewenangan yang sama LPS
dapat melakukan pengelolaan dan pengurusan bank yang diputuskan untuk
diselamatkan.182
Lembaga Penjamin Simpanan dapat menguasai, mengelola, dan melakukan
tindakan kepemilikan seperti halnya sebagai pemilik. Sedangkan dalam hal
peninjauan ulang, pembatalan, pengakhiran, dan/atau perubahan kontrak oleh LPS
tersebut menimbulkan kerugian bagi suatu pihak. Pihak tersebut hanya dapat menutut
penggantian yang tidak melebihi nilai manfaat yang telah diperoleh dari kontrak
dimaksud setelah terlebih dahulu membuktikan secara nyata dan jelas kerugian yang
dialaminya.183
Seluruh kewenangan yang cukup besar yang dimiliki Lembaga Penjamin
Simpanan karena fungsinya yang sangat penting dari lembaga tersebut, yaitu
menjamin simpanan nasabah bank dan melakukan penyelsaian atau penanganan
bank-gagal. Fungsi yang berat tersebut diharapkan dapat memelihara kepercayaan
masyarakat terhadap industri perbankan dan dapat meminimumkan risiko yang
membebani anggaran negara atau risiko yang menimbulkan moral hazard.184
Beberapa cara usaha pelaksanan bank dalam mengatasi likuidasi antara lain:185
182 Ibid.183 Ibid. 184 Ibid., hlm148.185 Munir Fuady., Hukum Perbankan…Op. Cit., hlm.35.
1. Merger ini dimaksudkan adalah sebagai suatu ”fusi” atau ”absorpsi” dari
suatu benda atau hak kepada benda atau hak lainnya. Undang-Undang
Perseroan Terbatas menggunakan istilah ”penggabungan” untuk
pengertian merger ini.
Secara umum dapat dikatakan, bahwa dalam hal ini, fusi atau absorpsi
teraebut dilakukan oleh suatu subjek yang kurang penting dengan subjek
lain yang lebih penting. Subjek yang kurang penting tersebut kemudian
membubarkan diri
Berdasarkan uraian di atas, merger perusahaan bank berarti 2 (dua)
perusahaan melakukan fusi, dimana salah satu diantaranya akan lenyap
(dibubarkan)
2. Akuisisi adalah perbuatan memiliki harta benda tertentu. Undang-Undang
tentang Perseroan Terbatas menggunakan istilah “pengambilalihan” untuk
pengertian akuisisi ini. Adapun yang dimaksudkan akuisisi dalam
hubungannya dengan perusahaan bank adalah suatu pengambilalihan
kepentingan pengontrol (controlling interest) dalam perusahaan bank lain.
Kata akuisisi mengandung makna ”memiliki” atau ”mengambi alih” (take
over), maka untuk dapat dikatakan akuisisi perusahaan dalam arti
pengambilalihan saham, pengambilalihan tersebut mestilah paling tidak
pengambil alihnya dapat menjadi pemegang suara yang peling besar,
sehingga dapat memutus sendiri tanpa ikut campur pihak pemegang
saham lain, misalnya dengan mayoritas biasa (simple majority), yaitu
minimal 51% (lima puluh satu persen) dari seluruh saham perusahaan
yang diambiil alih.
Berbeda dengan merger, pada kasus akuisis, tidak ada perusahaan bannk
yang melebur ke perusahaan lainnya. Jadi, setelah terjadi akuisisi, kedua
perusahaan bank masih tetap exsit, hanya kepemilikannya yang telah
berubah.
3. Konsolidasi, Undang-Undang Perseroan Terbatas menggunakan istilah
“peleburan” untuk pengertian konsolidasi ini. Pranata ”konsolidasi ini
kurang populer dalam praktek dan kurang banyak diminati orang.
Konsolidasi perusahaan bank terjadi jika sebuah perusahaan bank baru
dibentuk untuk mengambil alih net-aset dari 2 (dua) perusahaan bank
lainnya yang telah dikombinasi.
Konsolidasi adalah suatu proses dimana 2 (dua) atau lebih perusahaan
bank meleburkan diri dan dalam proses tersebut juga dibentuk suatu
perusahaan bank baru, yang mengambil alih aset-aset dan mengasumsi
(mengambil alih) kewajiban dari kedua atau lebih perusahaan bank yang
meleburkan diri tersebut.
B. Pelaksanaan Perlindungan Nasabah terhadap Bank Likuidasi
Pada tanggal 22 September 2004 disahkan Undang-Undang Nomor 24 Tahun
2004 tentang Lembaga Penjamin Simpanan sebagai dasar hukum pemerintah untuk
membentuk Lemabaga Penjamin Simpanan sebagai pengganti program penjamin
pemerintah. Undang-undang Lembaga Penjamin Simpanan itu ditetapkan penjaminan
simpanan nasabah bank, yang diharapkan dapat memelihara kepercayaan masyarakat
terhadap industri perbankan dan dapat meminimumkan risiko yang membebani
anggaran negara atau risiko yang menimbulkan moral hazard. Penjamin simpanan
nasabah bank tersebut diselenggarakan oleh Lembaga Penjamin Simpanan (LPS),
yang dibentuk oleh pemerintah sebagai badan hukum berdasarkan undang-undang
Lembaga Penjamin Simpanan. LPS sendiri memiliki dua fungsi yaitu menjamin
simpanan nasabah bank dan melakukan penyelsaian atau penanganan bank gagal.186
Penjaminan simpanan nasabah bank yang dilakukan LPS bersifat terbatas
tetapi dapat mencakup sebanyak-banyaknya nasabah. Setiap bank yang menjalankan
usahanya di Indonesia diwajibkan untuk menjadi peserta penjaminan dan membayar
premi penjaminan. Apabila bank tidak dapat melanjutkan usahanya dan harus dicabut
izin usahanya, LPS akan membayar simpanan setiap nasabah bank tersebut terlebih
dahulu sampai jumlah tertentu. Adapun simpanan yang tidak dijamin akan
diselsaikan melelui proses likuidasi bank.187
Pemebentukan LPS ini merupakan amanat dari Undang-Undang Nomor 7
Tahun 1992 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun
186 Djoni S. Gazali dan Rachmadi Usman., Hukum Perbankan…Op. Cit., hlm.573187 Ibid.
1998 tentang Perbankan. Ketentuan dalam Pasal 37 B Undang-Undang Nomor 7
Tahun 1992 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun
1998 tentang Perbankan menetapkan bahwa setiap bank wajib menjamin dana
masyarakat yang disimpan pada bank yang bersangkutan. Untuk menjamin simpanan
masyarakat dibentuk Lemabaga Penjamin Simpanan (LPS) yang berbentuk badan
hukum dan diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah. Pembentukan LPS
terasebut dimaksudkan untuk melindungi kepentingan nasabah dan sekaligus
meningkatkan kepercayaan masyarakat kepada bank.188
Indonesia dalam rangka untuk mendukung sistem perbankan nasional yang
sehat dan stabil, maka dilakukan penyempurnaan terhadap program penjaminan
simpanan nasabah bank dengan membentuk suatu lembaga yang independent yang
diberi tugas dan wewenang untuk melaksanakan program penjaminan simpanan
nasabah bank dimaksud yaitu LPS. Pembentukan LPS ini merupakan pelaksanaan
amanat dari ketentuan dalam Pasal 37 B Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992
sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang
Perbankan.189
Pendirian LPS, idealnya dengan kewenangan sebagaimana dimiliki oleh
Federal Deposit Insurance (FDIC),190 pembentukan lembaga penjamin simpanan
haruslah berdasarkan undang-undang. Pasal 37B Undang-Undang Nomor 7 Tahun
188 Ibid.189 Ibid., hlm 574.190 Misi Federal Deposit Insurance (FDIC) adalah memelihara stabilitas dari sistem
keuangan negara dengan cara mengasuransikan para deposan bank dan mengurangi gangguan-gangguan terhadap ekonomi negara yang disebabkan oleh karena kegagalan –kegagalan yang dialami oleh perbankan. Ibid.,hlm 574.
1992 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998
tentang Perbankan tersebut, dilaksanakan dengan undang-undang, yaitu Undang-
Undang Nomor 24 Tahun 2004 tentang Lembaga Penjamin Simpanan.191
Ketentuan dalam Pasal 4 dan Pasal 5 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2004
tentang Lembaga Penjamin Simpanan menetapkan fungsi dan tugas LPS. Fungsi LPS
adalah menjamin simpanan nasabah penyimpan dan turut aktif dalam memelihara
stabilitas sistem perbankan sesuai dengan kewenangannya. Kemudian Pasal 96
Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2004 tentang Lembaga Penjamin Simpanan
menetapkan, bahwa LPS melaksankan fungsi penjaminan tersebut bagi bank
berdasarkan prinsip syariah, yang lebih lanjut ditetapkan dalam Peraturan
Pemerintah.192
1. Identifikasi Nasabah dan Prinsip Mengenal Nasabah
perlindungan terhadap nasabah menurut Undang-Undang Nomor 10 Tahun
1998 tentang Perbankan, terdapat dalam Pasal 29 Ayat (2),(3), dan (4) tentang prinsip
kehati-hatian yang mengharuskan pihak bank untuk selalu konsisten dalam
melaksanakan peraturan perundang-undangan di bidang perbankan berdasarkan
profesionalisme dan itikad baik.193
Ketentuan Pasal 29 Ayat (2),(3) dan (4) antara lain:194
191 Ibid.,hlm.575192 Ibid. 193 Hermansyah., Hukum Perbankan…Op. Cit., hlm. 146.194 Muhamad Djumhana., Hukum Perbankan… Op.Cit., hlm.665
(2) Bank wajib memelihara tingkat kesehatan bank sesuai dengan ketentuan kecukupan modal, kualitas aset, kualitas manajemen likuiditas, rentabilitas, solvabilitas, dan aspek lain yang berhubungan dengan usaha bank, dan wajib melakukan kegiatan usaha sesuai dengan prinsip kehati-hatian.
(3) Dalam memberikan kredit atau pembiayaan berdasarkan prinsip syariah dan melakukan kegiatan usaha lainnya, bank wajib menempuh cara-cara yang tidak merugikan bank dan kepentingan nasabah yang mempercayakan dananya kepada bank.
(4) untuk kepentingan nasabah, bank wajib menyediakan informasi mengenai kemungkinan timbulnya risiko kerugian sehubungan dengan transaksi nasabah yang dilakukan nasabah.
Ketentuan prinsip mengenal nasabah (know your customer principles) ini
perlu dikemukakan, karena seluruh nasabah, apa pun jenisnya dan dalam transaksi
apa pun yang dilakukan dengan bank, wajib dilakukan identifikasi oleh bank
berdasarkan prinsip mengenal nasabah, dengan demikian, baik bank maupun nasabah
mengetahui aspek hukum berkaitan dengan hal dimaksud pada akhirnya kedua belah
pihak dapat memahami fungsi dan kewajiban masing-masing dalam bertransaksi
dengan bank.195
Banyak aspek yang terkandung dalam prinsip mengenal nasabah. Namun
demikian, dalam hal ini pokok-pokok yang perlu diperhatikan berkaitan dengan hal
dimaksud di atas. Apabila berkehendak untuk mengkaji lebih dalam berkaitan dengan
prinsip mengenal nasabah, paling tidak mengetahui ketentuan yang mengatur.196
e. Dasar ketentuan mengenal nasabah
Ketentuan yeng mengatur mengenai prinsip mengenal nasabah (know your
customer principles) khusus di bidang perbankan, antara lain sebagai berikut:197
195 Try Widiyono., Aspek Hukum…Op.Cit., hlm. 77.196 Ibid. 197Ibid.
a. Peraturan Bank Indonesia Nomor 3/10/PBI/2001 tentang penerapan prinsip
mengenal nasabah sebagaimana telah diubah dengan PBI No. 5/23/2003.
b. Peraturan Bank Indonesia Nomor 3/23/PBI/2001 tentang Perubahan atau PBI
Nomor 3/10/PBI/2001tentang Penerapan Prinsip Mengenal Nasabah
(KnowYour Customer Principles)
c. Peraturan Bank Indonesia Nomor 5/21/PBI/2003 tentang Perubahan kedua
atas PBI Nomor 3/10/PBI/2001 tentang Penerapan Prinsip Mengenal Nasabah
(Know Your Customer Principle)
d. Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 3/29/PBI/DPNP/2001 tentang Pedoman
Standar Penerapan Prinsip Mengenal Nasabah.
e. Peraturan Bank Indonesia Nomor 5/23/PBI/2003 tentang Penerapan Prinsip
Mengenal Nasabah (Know Your Customer Principle) bagi Bank Perkeriditan
Rakyat.
f. Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 5/32/DPNP/2003 tentang Perubahan atas
SE BI nomor 3/29/DPNP/2001 tanggal 13 Desember 2004 tentang Pedoman
Standar Penerapan Prinsip mengenal nasabah.
g. Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 6/19/DPBPR/2004 tentang Pedoman
Standar Penerapan Prinsip Mengenal Nasabah (Know Your
CustomerPrinciples) bagi Bank Perkeriditan Rakyat.
f. Identifikasi Nasabah dan Persyaratan NPWP
Bagi lembaga keuangan, termasuk bank, wajib melakukan identifikasi
terhadap nasabah, yang antara lain mengenai identitas diri dan buktinya, keuangan
serta motif transaksi, dan lain-lain yang diformulasikan dalam CIF (Customer
Identification File) atau file data nasabah yang disimpan pada bank.198
Kewajiban identifikasi nasabah ini tidak dibedakan antara nasabah apapun,
apakah nasabah giro, tabungan dan atau kredit. Khusus untuk working customer
(nasabah lepas/nasabah yang tidak mempunyai rekening di bank ) terdapat ketentuan
yang lebih lunak, yaitu bagi nasabah lepas yang nilai transaksinya tidak melebihi
Rp.100.000.000 (seratus juta rupiah) atau nilai yang setara dengan itu (vide Pasal 17
Peraturan Bank Indonesia Nomor 3 /10/PBI/2001 tanggal 18 juni 2001 tentang
Penerapan Prinsip Mengenal Nasabah misalnya dalam transaksi transfer dan atau
travele’ss cheque.199
Penerimaan nasabah secara garis besar dibagi menjadi dua golongan, yaitu
untuk rekening perorangan dan rekening badan.200
a. Rekening Perorangan
1) pengisian formulir standar yang ditetapkan oleh bank sekurang-kurangnya
memuat hal-hal berikut.
a) Nama, tempat dan tanggal lahir, alamat serta kewarganegaraan yang
dibuktikan dengan karu tanda penduduk (KTP), SIM atau paspor dan
dilengkapi dengan informasi mengenai alamat tinggal tetap apabila
198 Ibid., hlm 78.199 Ibid.200 Ibid.
berbeda dengan paspor, dibuktikan dengan Kartu Izin menetap Sementara
(KIMS/KITAS) atau Kartu Izin Tinggal Tetap (KITAP).
b) Alamat dan norma telpon tempat bekerja yang dilengkapi dengan
keterangan mengenai kegiatan usaha perusahaan /instansi tempat bekerja.
c) Keterangan mengenai pekerjaan dan penghasilan. Dalam hal calon
nasabah tidak memiliki pekerjaan, maka data yang diperlukan adalah
sumber pendapatan
d) Keterangan mengenai sumber dan tujuan penggunaan dana.
e) Spesimen tanda tangan.
2) apabila diperlukan, bank dapat meminta informasi lain.
3) Khusus untuk calon nasabah yang melakukan pembukaan rekening melalui
telpon, surat-menyurat atau electronic banking wajib melakukan pertemuan
dengan calon nasabah sebelum pembukaan rekening tersebut.
4) Persyaratan tersebut berlaku juga untuk pembukaan rekening joint account
dan calon nasabah selaku perantara atau pemegang kuasa dari pihak lain
(beneficial owner) berupa berikut ini:
a) perorangan: informasi sebagaimana halnya prosedur penerimaan nasabah
perorangan, bukti penugasan atau kewenangan bertindak dan kebenaran
identitas maupun sumber dana dari beneficial owner.
b) Badan: informasi yang relevan sebagaimana halnya prosedur penerimaan
nasabah perusahaan, kecuali lembaga pemerintah, lembaga Internasional
dan perwakilan negara asing, bukti penugasan atau kewenangan bertindak,
dokumen identitas pengurus yang berwenang mewakili perusahaan,
dokumen identitas pemegang saham pengendali perusahaan dan
pernyataan dari calon nasabah bahwa telah dilakukan penelitian terhadap
kebenaran identitas maupun sumber dana dari benefical owner.
b. Badan
1) Perusahaan yng tergolong kecil
Berdasar ketentuan KYC tidak diatur mengenai klasifikasi suatu perusahaan
termasuk golongan perusahaan kecil atau besar. Oleh karena itu, besar dan
kecilnya perusahaan tersebut dapat diatur dalam lkebijakan prinsip mengenal
nasabah yang ditetapkan oleh direksi bank yang bersangkutan, serta
kelengkapannya seperti berikut ini
a) sekurang-kurangnya mengisi formulir standar, yang memuat
(1) status hukum dari usaha serta bukti akta pendirian dan anggaran dasar;
(2) izin usaha ( antara lain SIUP, SITU)
(3) nama, sepesimen tanda tangan dan kuasa kepada pihak yang ditunjuk
(4) alamat perusahaan, nomor telpon dan atau nomor faksimili
(5) keterangan mengenai sumber dan tujuan penggunaan dana
(6) negara asal dalam hal perusahaan dimaksud berbentuk badan hukum
asing
b) Bank dapat meminta tambahan dokumen lain dan dapat meminta
informasi kepada calon nasabah mengenai hubungan dengan bank lain.
c) Persyaratan tersebut berlaku juga untuk pembukaan rekening joint account
dan calon nasabah selaku perantara atau pemegang kuasa dari pihak lain
(beneficial owner). Dalam hal ini, bank wajib meminta informasi
berkaitan dengan beneficial owner , yang pada prinsipnya sebagaimana
telah diuraikan diatas.
2) Perusahaan yang tergolong besar
Untuk perusahaan yang tergolong besar, pengisian formulir sebagaimana
uraian data untuk perusahaan yang tergolong kecil, namun terdapat
penambahan.
a) Persetujuan dari pejabat bank yang khusus menangani nasabah besar, yang
mempunyai risiko tinggi atau yang dimiliki oleh penyelenggara negara.
b) Adanya NPWP (Nomor Pokok Wajib Pajak) bagi nasabah yang
diwajibkan untuk memiliki NPWP. Apabila saat mengajukan permohonan
belum memiliki NPWP, maka calon nasabah wajib membuat pernyataan
bahwa yang bersangkutan merupakan pihak yang tidak wajib memiiki
NPWP.
c) Adanya laporan keuangan atau deskripsi bidang usaha yang mencakup
profil pelanggan, alamat tempat kegiatan usaha dan nomor telpon
d) Struktur manajemen
e) Dokumen identitas pengurus yang berwenang mewakili perusahaan
(misalnya KTP, Paspor atau SIM)
f) Nama, Spesimen tanda tangan dan kuasa/kewenangan bertindak
g) Keterangan sumber serta penggunaan dana dan tujuan penggunaan dana.
h) Persyaratan tersebut berlaku juga untuk pembukaan rekening joint account
dan calon nasabah selaku perantara atau pemegang kuasa dari pihak lain
(benifical owner). Dalam hal ini, bank wajib meminta informasi berkaitan
dengan benefical owner, yang pada prinsipnya sebagaimana telah
diuraikan di atas
3) Lembaga Pemerintah, lembaga Internasional, dan perwakilan negara asing
Untuk lembaga pemerintah, lembaga internasional dan perwakilan negara
asing wajib mengisi formulir standar yang sekurang-kurangnya memuat
a) nama dan sepesimen tanda tangan yang harus dibuktikan dengan identitas
berupa KTP, paspor atau SIM.
b) Surat penunjukan bagi pihak yang berwenang mewakili lembaga dalam
melakukan hubungan usaha dengan bank.
c) Keterangan mengenai asal negara lembaga dimaksud dan keterangan
mengenai sumber dan tujuan penggunaan dana apabila diperlukan.
4) Bank
Bank wajib mengisi formulir standar, yang minimal memuat:
a) akta pendirian, anggaran dasar atau dokumen sejenis
b) izin usaha dari instansi yang berwenang
c) nama dan specimen tanda tangan dan kuasa atau surat penujukan kepada
pihak lain yang ditunjuk
d) alamat usaha.
Adapun pelaksanaan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan
Konsumen Penerapan Pasal 18 Ayat (1) dan (2) tersebut paling tidak akan nampak
pada formulir-formulir yang digunakan dalam melakukan transaksi antar bank
dengan nasabah. Guna memberikan kemudahan bagi nasabah perbankan dalam
membuat perjanjian dengan bank sebagaimana diamanatkan oleh Undang-Undang
Perlindungan Konsumen, maka bank telah menyediakan berbagai jenis formulir, baik
dalam bidang dana, bidang jasa maupun dalam bidang kredit. Penyediaan formulir
oleh bank tersebut dalam Undang-Undang Perlindungan konsumen disebut sebagai
klausula baku adalah setiap aturan atau ketentuan dan syarat-syarat yang telah
dipersiapkan dan ditetapkan terlebih dahulu secara sepihak oleh pelaku usaha yang
dituangkan dalam suatau dokumen dan atau perjanjian yang mengikat dan wajib
dipenuhi oleh konsumen.201
Banyak alasan untuk menjawab bahwa bank selalu menyediakan formulir
untuk setiap hubungan hukum dengan nasabah. Hal ini dengan alasan berikut ini:202
1. Untuk mempercepat sistem pelayanan sebab tidak mungkin setiap nasabah harus
membuat dan menegosiasikan setiap transaksi dengan bank.
201 Try Widiyono, Aspek Hukum… Op.cit., hlm. 67202 Ibid., hlm 68.
2. Formulir tersebut antara lain memuat berbagai peraturan penting yang berkaitan
dan berlaku dalam hubungan hukum antara nasabah dangan bank.
3. Memudahkan nasabah mengetahui peraturan apa saja dan mana saja yang berlaku
dalam hubungan hukum dengan bank
4. Tidak semua pegawai bank mengetahui mengenai hukum yang berlaku atas suatu
produk. Dengan penyediaan formulir yang dibuat oleh bagian hukum, maka
pegawai lain di kantor cabang dapat dengan mudah menyediakan formulir tanpa
harus berkonsultasi pada bagian hukum. Hal ini membantu mempercepat
pelayanan.
5. Fungsi bank sebagai intermediary dengan formulir yang dibuat secara hati-hati
tersebut dapat mengamankan dana masyarakat yang dikelola bank
Formulir-formulir tersebut seluruhnya dibuat secara sepihak olehh bank akan
tetapi, pada formulir tertentu, misalnya formulir aplikasi permohonan
pemindahbukuan atau transfer bagi nasabah-nasabah korporasi (nasabah besar)
dimungkinkan untuk membuat aplikasi formulir tersendiri, yang dibuat oleh nasabah
yang bersangkutan, dengan syarat formulir tersebut dapat diterima oleh bank.
Artinya, atas formulir yang dibuat nasabah, bank berhak untuk menolak penggunaan
formulir tersebut. Formulir-formulir yang dibolehkan biasanya formulir untuk
trnsaksi yang mengandung risiko kecil yang memang dibolehkan oleh formulir
perjanjian pada produk tersebut. Dengan demikian hakikatnya seluruh formulir yang
digunakan dalam hubungan hukum antara nasabah dengan bank selalu menggunakan
formulir yang disediakan secara sepihak oleh bank.203
Perubahan suatu formulir adalah kewenangan direksi. Oleh karena itu, untuk
mengubah suatu klasula baku yang telah dibuat dan disediakan oleh bank harus
melalui persetujuan direksi. Sulit bagi seorang nasabah, apalagi nasabah ritel untuk
mengusulkan suatu perubahan atas klasula baku yang telah dibuat dan disediakan
bank untuk nasabah, walaupun hakikatnya dimungkinkan.204
Formulir tersebut mendapat perhatian dalam uraian ini karena beberapa hal
sebagai berikut:205
b. Dasar hubungan hukum antara nasabah dengan bank akan tercermin dalam
perjanjian yang mereka buat. Perjanjian tersebut selalu dibuat dan disediakan
secara sepihak oleh bank. Hal ini memungkinkan bahwa bank membuat formulir-
formulir perjanjian tersebut tidak seimbang, yang dapat merugikan
konsumen/nasabah. Sebagai pembuat draft perjanjian yang tidak melibatkan
nasabah, bank secara manusiawi akan cenderung protektif terhadap dirinya
sendiri. Hal ini menyangkut segi kepraktisan karena tidak mungkin bank
membuat perjanjian yang berbeda-beda antara nasabah yang satu dengan yang
lain.
c. nasabah yang akan berhubungan dengan bank pada umumnya tidak
memperhatikan isi dari formulir-formulir yang akan ditandatanganinya. Mereka
203 Ibid.204 Ibid., hlm 69.205 Ibid.
percaya pada bank atau paling tidak “tidak kuasa” untuk menolak formulir yang
disodorkan oleh bank karena tidak mungkin nasabah membuat draft perjanjian
tersebut.
d. nasabah tidak mendapatkan informasi yang cukupbmengenai isi formulir tersebut.
Nasabah sering tidak memahami dengan maksud dan isi dari formulir atau
perjanjian yang dibuat secara sepihak oleh bank. Tulisan-tulisan sangat kecil dan
rumit untuk dipahami, sehingga ketika terjadi dispute, nasabah mungkin akan
dirugikan.
Secara yuridis formal, dalam membuat suatu perjanjian harus memenuhi asas
perjanjian sebagai syarat sahnya suatu perjanjian yang diatur dalam Pasal 1320
KUHPerdata, yaitu sepakat mereka yang mengikatkan diri, kecakapan untuk
membuat perikatan, suatu hal tertentu dan suatu sebab halal disamping itu, terdapat
asas lain dalam perjanjian, yaitu asas-asas kesetaraan dalam berkontrak. Fenomena
kedudukan pelaku usaha dan konsumen adalah agar terdapat suatu perjanjian yang
seimbang antarkonsumen dan produsen berdasarkan asas kesetaraan berkontrak.206
Terdapat beberapa hal yang mengakibatkan lembaga perbankan tidak dapat
menjalankan undang-undang tersebut, dalam arti bahwa apabila ketentuan dalam
Pasal 18 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen
dijalankan, maka akan sangat memberatkan lembaga perbankan. Memperhatikan
kondisi tersebut, terdapat persoalan yang seakan-akan lembaga perbankan tidak
mengindahkan hukum positif, yakni Undang-Undang Perlindungan konsumen karena
206 Ibid.
perjanjian yang dibuat antara nasabah dengan bank seharusnya tunduk kepada
Undang-Undang Perlindungan Konsumen. Hal demikian merupakan kenyataan yang
kita rasakan sehari-hari dalam hubungan dengan bank. Fakta tersebut memberikan
indikasi adanya pelanggaran hukum yang dilakukan oleh bank dalam membuat
perjanjian dengan nasabah. Sebagai hukum positif, Undang-Undang Perlindungan
Konsumen bersifat memaksa dan dapat dipertahankan kepada siapa pun. Dengan
adanyapelanggaran yang dilakukan oleh bank terhadap Pasal 18 Ayat (1) dan (2)
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999, berarti secara sosiologis terdapat
“permasalahan” hukum, baik dari segi pembuatan dan atau dari segi
pelaksanaannya.207
Sifat bank yang mempunyai karakteristik berbeda dengan industri lain juga
dijelaskan melalui beberapa asas dan pikiran serta perundang-undangan penjelasan
ini berkaitan dengan alasan yang menjadi dasar argument oleh bank untuk
menyimpangi ketentuan tersebut. Persoalan yang sering timbul dalam aplikasi Pasal
18 Ayat dan 2 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan
Konsumen adalah perbedaan persepsi antara kedua belah pihak untuk menetapkan
keseimbangan dalam berkontrak. Oleh karena itu, sering terjadi dalam suatu kontrak,
terdapat anggapan subjektif bahwa perjanjian tersebut kurang atau tidak terpenuhinya
keseimbangan. Hal ini dapat dilihat apabila seseorang akan berhubungan hukum
dengan bank, maka nasabah /calon nasabah tersebut wajib menerima “klausula baku”
yang dibuat secara sepihak oleh bank. Hal tersebut menyebabkan adanya
207 Ibid., hlm 70.
ketimpangan dalam perjanjian antara nasabah dengan bank, dimana nasabah sering
dirugikan oleh perjanjian yang dibuat dengan pihak perbankan. Pihak nasabah sering
tidak berdaya untuk mengoreksi “Klausula Baku” yang disodorkan oleh bank. Pihak
nasabah tanpa pikir panjang akan menandatangani “Klausula Baku” tersebut dengan
berbagai alasan, antara lain tulisannya kecil-kecil, bahasanya sulit dimengerti, terlalu
rumit, tidak memahami isi “klausula Baku” tersebut, tidak sempat membaca, dan
lain-lain.208
Akan tetapi, dengan alasan apa pun, setelah ditandatangani kedua belah pihak,
antara nasabah dengan bank, maka hakikatnya perjanjian tersebut berlaku bagi kedua
belah pihak sebagai undang-undang. Hal ini berdasarkan Pasal 1338 KUHPerdata
yang menyatakan bahwa semua persetujuan yang dibuat secara sah berlaku sebagai
undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Pasal ini sebagai asas facta sun
servanda.209
Sebagai pegangan arah dalam penjelasan sub bab ini, perlu diperhatikan
beberapa batasan-batasan atas pengertian-pengertian dasar berikut ini:210
1) pelaku usaha adalah setiap orang perorangan atau badan usaha, baik yang
berbentuk badan hukum maupun bukan badan hukum yang didirikan dan
berkedudukan atau melakukan kegiatan usaha dalam berbagai bidang ekonomi
(Pasal 1 Ayat 3 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan
Konsumen).
208 Ibid.209 Ibid.210 Ibid., hlm 71.
2) Klausula Baku adalah setiap aturan atau ketentuan dan syarat-syarat yang telah
dipersiapkan dan ditetapkan terlebih dahulu secara sepihak oleh pelaku usaha
yang dituangkan dalam suatu dokumen dan atau perjanjian yang mengikat dan
wajib dipenuhi oleh konsumen (Pasal 1 Ayat 10 Undang-Undang Nomor 8
Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen).
3) Konsumen adalah setiap orang pemakai barang dan atau jasa yang tersedia dalam
masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, kleluarga, orang lain maupun
mahluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan. Penjelasan pasal ini
menyatakan, didalam kepustakaan ekonomi dikenal istilah konsumen akhir dan
konsumen antara. Konsumen akhir adalah pengguna atau pemakai akhir dari
suatu produk, sedangkan konsumen antara adalah konsumen yang menggunakan
suatu produk sebagai bagian dari proses produksi suatu produk lainnya.
Pengertian konsumen dalam undang-undang ini adalah konsumen akhir.
Permasalahan berkaitan dengan pengertian konsumen akhir ini bagi bank
masih dapat diperdebatkan, apakah konsumen bank yang berbentuk kredit
nonkonsumtif merupakan dan termasuk pengertian akhir atau bukan, karena debitur
tidak menggunakan kredit yang diterimanya tersebut tidak untuk diri sendiri, tetapi
untuk pihak lain. Sluijter yang uraiannya dikutip oleh Sjahdeni mengemukakan
bahwa perjanjian baku bukan perjanjian, sebab kedudukan pengusaha itu (yang
berhadapan dengan konsumen) adalah seperti pembentuk undang-undang swasta (legi
particuliere wetgever), sedangkan Pitlo menyatakan bahwa perjanjian baku sebagai
perjanjian paksa (dwangcontract).211
Sebelum membahas lebih lanjut mengenai pengertian klausula baku, dengan
pertimbangan bahwa definisi klausula baku tersebut telah dinyatakan dalam undang-
undang, maka dalam pembahasan ini kita akan menggunakan pengertian formal
sebagaimana yang tercantum dalam undang-undang perlindungan konsumen.
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen sebagai
hukum positif memang dapat dipertahankan kepada siapa pun. Akan tetapi, secara
sosiologis dan analisis, suatu undang-undang harus memperhatikan segi-segi
tersebut.212
Disamping itu, benturan terhadap berbagai perundang-undangan yang berlaku
bagi bank harus disinkronkan dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang
Perlindungan Konsumen tersebut. Hal demikian bertolak kepada azas bahwa bank is
different, sehingga memerlukan kekhususan dalam aturan yang menyangkut
perlindungan nasabahnya. Perlu dikemukakan, bahwa berdasarkan Pasal 1 Ayat 2
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen beserta
penjelasannya tersebut diatas, dinyatakan bahwa konsumen dalam undang-undang
perlindungan konsumen beserta penjelasannya tersebut diatas, dinyatakan bahwa
konsumen dalam undang-undang perlindungan konsumen adalah konsumen akhir.
Sehubungan dengan hal tersebut timbul pertanyaan, apakah bank dalam memberikan
211 Ibid.212 Ibid., hlm 72.
kredit tersebut termasuk dalam kualifikasi konsumen akhir? Pertanyaan ini perlu
dikemukakan, sebab kredit yang diberikan kepada nasabah hakikatnya dipergunakan
oleh nasabah, antara lain untuk kegiatan proyek dan atau investasi dan atau modal
kerja. Kredit tersebut dipergunakan oleh debitur dapat ditafsirkan sebagai bagian dari
proses produksi. Jika hal ini benar dianggap sebagai proses produksi, maka sesuai
dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen Pasal
1 Ayat (2) dan penjelasannya, nasabah demikian bukan termasuk konsumen
sebagaimana dimaksud dalam undang-undang perlindungan konsumen dan dengan
demikian hubungan hukum antar nasabah dengan debitur tersebut tidak tunduk
kepada undang-undang perlindungan konsumen.213
2. Nasabah Meninggal Dunia Keadaan Tidak Berdaya serta Keadaan Tidak
Hadir
a. Nasabah Meninggal Dunia
1) Hal-hal yang Perlu Diperhatikan
Permasalahan lain berkaitan dengan rekening simpanan adalah apabila
nasabah penyimpan meninggal dunia. Pada saat nasabah dari rekening giro, tabungan
deposito, sertifikat deposito (negotiable certificate deposit), save deposit box,
simpanan pada kustodi; traveler’s cheque, kecuali TC blangko, dan lain-lain dengan
213 Ibid.
berbagai variasi dari masing-masing produk tersebut meninggal dunia, maka pada
saat itu juga harta simpanannya pada bank beralih kepada ahli waris.214
2) Dasar Hukum dan Dokumen Pengambilan Simpanan
Sampai dengan saat ini, belum ada kesatuan pendapat mengenai ketentuan
yang mengatur/menyatakan jenis/bentuk dokumen apa yang berlaku sebagai suatu
bukti tentang penetapan ahli waris. Salah satu referensi sebagai dasar hukum untuk
pengambilan simpanan nasabah pada bank adalah Buku II Pedoman Pelaksanaan
Tugas dan Administrasi Pengadilan dari Mahkamah Agung 1994 jo. Surat Mahkamah
Agung RI No. KMA/1036/X/1994. Sekalipun berlakunya ketentuan tersebut masih
dapat diperdebatkan, status hukum dari buku tersebut berkaitan dengan kekuatan
hukum publik, namun terdapat pihak yang menginterpretasikan kekuatan publik
terletak pada surat Mahkamah Agung yang menegaskan bahwa agar bank dapat
mempedomani ketentuan tersebut dalam pengambilan simpanan nasabahnya pada
bank yang bersangkutan. Hal demikian tidak mengherankan bahwa beberapa bank
besar di Indonesia mempedomani Buku Pedoman Pelaksanaan Tugas dan
Administrasi Pengadilan dari Mahkamah Agung tersebut, hal ini dapat dilihat dari
persyaratan nasabah yang meninggal dan ahli warisnya hendak mengambil
simpanan.215
214 ? Try Widiyono ., Aspek Hukum…Op. Cit., hlm141
215 Ibid., hlm.143.
Berdasarkan ketentuan tersebut, maka pengambilan rekenning pada bank
adalah surat keterangan yang dibuat oleh ahli waris sendiri dan tanda tangannya
disahkan oleh notaris atau pejabat lain yang disebut dalam Pasal 1 Staatblad 1916
Nomor 46, antara lain dari ketua pengadilan negeri atau hakim yang ditunjuk atau
akta yang dibuat oleh notaris, khusus bagi golongan Timur Asing Tionghoa, sesuai
Staatblad 1917 Nomor 129 berlaku diseluruh RI sejak tanggal 1 September 1925.
Sekalipun tetap disadari bahwa dokumen hukum yang menjadi dasar hukum tersebut
masih dapat diperdebatkan.216
Sebagaimana kita ketahui, bahwa dalam kenyataan dimasyarakat terdapat
dokumen lain sebagai bukti ahli waris yang diterbitkan oleh lemabaga yang
berwenang, misalnya fatwa pengadilan agama mengenai ahli waris; penetapan
pengadilan negeri mengenai ahli waris; keputusan pengadilan negeri atau keputusan
penngadilan agama; akta pertolonganpembagian warisan dari pengadilan agama; dan
lain sebagainya. Dokumen-dokumen ini juga merupakan dokumen penting sebagai
bukti dari ahli waris yang sah.217
Sehubungan dengan adanya berbagai dokumen tersebut, maka untuk
penanganan warisan yang ada pada bank (khusus nasabah penyimpan), bukti ahli
waris dapat dipilih salah satu sebagaimana telah diuraikan. Artinya dokumen tersebut
dapat berupa dokumen sebagaimana diuarikan pada Buku II Pedoman Pelaksanaan
Tugas dan Administrasi Pengadilan dari Mahakamah Agung atau memilih salah satu
216 Ibid.217 Ibid., hlm.144.
dari dokumen yang diterbitkan oleh lembaga tersebut. Dokumen tersebut tentunya
masih dilengkapi dengan berbagai dokumen lain sebagai pendukung, misalnya akta
kematian pewaris, hubungan hukum dengan pewaris, apakah menerima warisan
berdasarkan undang-undang (ab intestato) atau berdasarkan wasiat (testamentair).218
Bagi bank, tentunya terdapat kebijakan bahwa persyaratan pengambilan
warisan berupa simpanan yang masih ada di bank tersebut tidak digeneralisasi.
Artinya, simpanan-simpanan yang nominalnya relatif kecil seyogyianya cukup
dilengkapi dengan dokumen lain sebagai pendukung, misalnya akta kematian
pewaris, hubungan hukum dengan pewaris, KTP, dan lain sebagainya.219
3) Akibat Hukum Meninggalnya Nasabah
Akibat meninggalnya seseorang, maka terdapat hal-hal yang berkaitan dengan
hukum yang perlu diperhatikan.220
a) Surat kuasa yang diterbitkan oleh pewaris kepada bank semasa hidupnya,
termasuk standing instruction, baik yang dibuat secara nota riil maupun di
bawah tangan menjadi berakhir demi hukum, sesuai ketentuan Pasal 1813
KUHPerdata, kecuali surat kuasa yang secara tegas menyampingkan pasal
tersebut sehingga surat kuasa demikian masih tetap berlaku sesuai isinya.
b) Hak untuk keuntungan rekening pewaris tetap dibukukan dan merupakan
bagian dari harta peninggalan. Jika pewaris mempunyai kewajiban kepada
218 Ibid. 219 Ibid. 220 Ibid.
bank, maka pada saat bank memutuskan membayar harta peninggalan yang
dimaksud, kewajiban pewaris yang bersangkutan wajib
diperhitungkan/diselsaikan terlebih dahulu.
c) Ahli waris yang tidak cakap hukum harus diwakili oleh wali atau kuratornya,
dengan penjelasan:
(2) wali anak yang belum dewasa secara otomatis walinya adalah orang tua
yang hidup terlama (masih hidup). Jika kedua orang tuanya telah
meninggal dunia, maka wali anak tersebuut harus dimintakan penetapan
wali kepada pengadilan negeri.
(3) Kurator adalah wakil dari orang dewasa tidak cakap hukum, yang
penujukannya berdasarkan penetapan dari pengadilan negeri.
d) Untuk rekening yang menggunakan nama pewaris QQ maka berlaku
ketentuan sebagaimana telah diuraikan dalam pembahasan rekening QQ
e) Cek dan bilyet giro yang telah diterbitkan/ditandatangani sebelum pewaris
meninggal dibayarkan, sepanjang memenuhi persyaratan mengenai
berlakunya cek dan bilyet giro.
f) Apabila pewaris adalah nasabah debitur, maka hubungan kredit antara
nasabah debitur tersebut dengan bank berakhir dan kewajiban debitur beralih
kepada ahli waris dan selanjutnya diberlakukan ketentuan-ketentuan
perkreditan yang berlaku pada bank.
g) Pengertian wali ini agar diperhatikan dan dapat berpedoman pada uraian
mengenai wali yang dibahas/dikemukakan pada pembahasan subab rekening.
b. Keadaan Tidak Berdaya
Keadaan tidak berdaya bagi pemilik rekening simpanan adalah keadaan di
mana seseorang pemilik rekening simpanan pada suatu bank mengalami yang parah
dan menyebabkan yang bersangkutan tidak mampu untuk melakukan tindakan dan
atau perbuatan hukum tertentu, khususnya untuk melakukan perintah kepada bank
dalam transaksi tertentu. Perintah-perintah kepada bank dalam transaksi yang
menyangkut suatu rekening wajib dilakukan melalui sarana dan menurut cara yang
diterima dan disetujui oleh nasabah pada saat pembukaan rekening dan atau adanya
pengembangan fitur produk.Sehubungan dengan pemilik rekening tersebut sakit
berat, maka tindakan hukum untuk memberikan perintah kepada bank tersebut tidak
mampu dilakukan oleh pemilik rekening. Pada sisi lain, simpanan yang terdapat pada
bank atas nama orang yang sakit parah tersebut akan digunakan oleh keluarganya
untuk membiayai ongkos berobat yang bersangkutan.221
Peristiwa di atas, tentunya dilematis, yaitu pemilik rekening tidak dapat
melakukan penarikan dana (karena keadaan dirinya yang sakit parah). Keluarganya,
sekalipun anak, suami atau istri si sakit, tidak mungkin juga untuk melakukan
penarikan simpanannya karena yang bersangkutan tidak berwenang di sisi lain dana
tersebut diperlukan untuk membiayai pemilik rekening yang sakit tersebut.
221 Ibid., hlm145.
Ketidakberdayaan nasabah penyimpan ini, antara lain karena sakit parah, keadaan
dungu atau sakit otak (gila/tidak waras ingatan).222
Pasal 433 KUHPerdaata menyatakan bahwa setiap orang dewasa yang selalu
berada dalam keadaan dungu, sakit otak atau mata gelap harus ditaruh di bawah
pengampu, pun jika ia kadang-kadang cakap mempergunakan pikirannya.
Selanjutnya, Pasal 434 Ayat 1 menyatakan, setiap keluarga sedarah berhak meminta
pengampuan seorang keluarga sedarahnya, berdasarkan atas keadaannya dungu, sakit
otak atau mata gelap. Sedangkan dalam Pasal 434 Ayat 3 dalam hal yang satu dan
yang lain, seorang suami atau istri boleh meminta pengampuan akan istri atau
suaminya. Pasal 436 KUHPerdata segala permintaan akan pengampuan harus di
majukan kepada pengadilan negeri, yang mana dalam daerah hukumnya orang yang
dimintakan pengampuannya berdiam.223
Sehubungan dengan ketentuan tersebut, dalam hal terdapat nasabah
penyimpan yang mengalami keadaan yang tidak berdaya, maka bank dapat
memberlakukan ketentuan tersebut dalam menyelsaikan permasalahannya, Sekalipun
dalam ketentuan itu hanya mengatur mengenai keadaan dungu, sakit otak atau mata
gelap, tetapi dalam praktik (berdasarkan pengalaman penulis untuk memutuskan
pencairan simpanan di cabang), hakim bersedia mengeluarkan penetapan orang
tersebut dan sekaligus menunjuk istrinya yang masih sehat sebagai pengampu
suaminya yang sedang sakit berat. Hal ini karena dalam KUHPerdata tidak terdapat
222 Ibid., hlm. 146.223 Ibid.
ketentuan yang tegas mengenai masalah ini. Atas hal tersebut, hakim atas
permohonan pihak-pihak yang berkepentingan harus dapat memberikan solusi
hukum. Atas dasar hal ini, maka hakim mengeluarkan penerapan pengampuan untuk
orang yang sakit tidak berdaya dan sekaligus menunjuk keluarganya sebagai
pengampu guna bertindak untuk dan atas nama pihak yang tidak berdaya dalam
melakukan transaksi kepada bank, termasuk pemindah bukuan, transfer, penarikan,
dan bahkan penutupan rekening simpanan pihak yang tidak berdaya itu pada bank.224
Oleh karena itu, bank harus meminta kepada keluarga dari pemilik rekening
simpanan yang sakit tersebut apabila dimungkinkan dilakukan oleh suami atau istri
yang masih sehat suatu penetapan hakim pengadilan negeri yang menyatakan bahwa
pemilik rekening tidak dapat melakuakn perbuatan hukum untuk memberikan
perintah kepada bank karena sakit parah. Apabila permohonan tersebut sekaligus
diminta kepada hakim untuk menetapkan juga pihak yang berwenang untuk mewakili
si sakit dalam melakukan perbuatan hukum untuk memberikan perintah apa pun juga
kepada bank berkaitan dengan transaksi rekening si sakit. Pada umumnya pihak yang
memohon untuk ditetapkan oleh hakim mewakili si sakit adalah istri atau suami si
sakit atau anak. Atas dasar penetapan penngadilan tersebut maka pihak bank dapat
menerima perintah dari pihak yang diberi kuasa mewakili si sakit untuk melakukan
perbuatan hukum berkaitan dengan rekening simpanan si sakit.225
224 Ibid.225 Ibid., hlm. 147.
Apabila keluarga dari pemilik rekening yang sakit tersebut akan memberikan
surat keterangan dokter dan atau keterangan rumah sakit kepada bank yang
menyatakan bahwa pemilik rekening dalam kondisi sakit parah dan tidak dapat
melakukan perbuatan hukum sehingga dapat diwakili oleh keluarganya. Apabila bank
menerima data ini saja, seharusnya bank menolak perintah dari keluarga si sakit
tersebut karena rumah sakit atau dokter bukanlah lembaga yang dapat menetapkan
seseorang dalam keadaan tidak dapat melakuakn perbuatan hukum tertentu hanyalah
hakim pengadilan. Rumah sakit atau dokter dalam hal ini hanya berwenang
menetapkan cakap atau tidak cakap. Namun demikian, tentunya hakim pengadilan
dalam menetapkan atau menerima permohonan keluarga si sakit akan memperhatikan
keterangan dari pihak rumah sakit/dokter.226
Sering sekali dihadapi oleh lembaga perbankan, yaitu keadaan di mana
nasabah simpanan (nasabah dana) dan nasabah-nasabah lain yang tidak diketahui lagi
tempat tinggalnya. Permasalahan demikian, bagi lembaga perbankan akan mengalami
kesulitan hendak dikemanakan dana atau barang tersebut akan diserahkan. Secara
sederhana memang dana atau atau barang milik nasabah tersebut dapat diserahkan
kepada Balai Harta Peninggalan setelah meminta penetapan pengadilan, tetapi
prosedur demikian bagi bank akan mengalami kesulitan, terutama adanya biaya yang
dikeluarkan dan lain sebagainya. Oleh karena itu, bagi lembaga perbankan sering kali
mengambil kebijakan sendiri-sendiri.227
226 Ibid.227 Ibid.
Pasal 463 KUHPerdata pada intinya mengatur bahwa apabila orang tersebut
tidak memberikan kuasa pada seseorang dan terdapat kepentingan-kepentingan yang
harus diurus, maka atas permintaan orang yang berkepentingan atau atas permintaan
jaksa, hakim untuk sementara dapat memerintahkan Balai Harta Peninggalan
(Weeskamer) untuk mengurus kepentingan-kepentingan orang yang tidak hadir itu
dan dimana perlu mewakili orang yang tidak hadir tersebut.228
Kekayaan orang yang bepergian itu tidak begitu besar, maka atas permintaan
atau tuntutan seperti di atas atau dengan menyimpang dari permintaan atau tuntutan
itu karena jabatan, pengadilan negeri, baik dengan penetapan seperti tersebut di atas
atau penetapan lebih lanjut, berkuasa memerintahkan pengurus harta kekayaan dan
perwakilan kepentingan-kepentingan sesorang atau lebih dari keluarga sedarah atau
semenda dari yang tidak hadir, yang ditunjuk oleh pengadilan atau kepada isteri atau
suaminya, dengan kewajiban satu-satunya ialah apabila si tak hadir tersebut pulang
kembali, keluarga, istri atau suami tadi harus mengembalikan kepadanya harta
kekayaan itu setelah dikurangi dengan segala utang yang sementara itu telah
dilunasinya dan tanpa hasil-hasil atau pendapatanya.229
Pasal 464 KUHPerdata menyatakan, Balai Harta Peninggalan jika perlu
setelah mengadakan penyegelan, wajib membuat daftar lengkap dari segala harta
kekayaan yang pengurusnya dipercayakan kepadanya. Selanjutnya harus diindahkan
228 Ibid., hlm.148.229 Ibid.
peraturan-peraturan mengenai pengurusan harta kekayaan anak belum dewasa,
kecuali pengadilan memerintahkan lain.230
Pasal 465 menyatakan bahwa Balai Harta Peninggalan wajib tiap tahun
memberikan perhitungan tanggung jawab kepada jaksa pada pengadilan yang
mengangkatnya dan memperlihatkan seluruh efek-efek dan surat-surat yang berkaitan
dengan kepengurusannya. Perhitungan tersebut, jaksa boleh memajukan usul kepada
pengadilan untuk kepentingan si tidak hadir.231
Pasal 467 KUHPerdata yang pada intinya menyatakaan bahwa jika seseorang
telah meninggalkan tempat tinggalnya dan tidak memberi kuasa kepada seseorang
untuk mengurus harta kekayannya, maka setelah lewat waktu 5 tahun setelah
diperoleh kabar terakhir yang membuktikan bahwa ia masih hidup, atas permintaan
pihak yang berkepentingan dan setelah memperoleh ijin dari pengadilan negeri boleh
dipanggil untuk menghadap di muka pengadilan, jika belum juga hadir, diualngi
kembali sampai dengan tiga kali. Apabila setelah pemanggilan ketiga kali tidak
datang menghadap, maka atas tuntutan jaksa, pengadilan dapat menyatakan dugaan
hukum bahwa ia telah meninggal dunia.232
Pasal 470 KUHPerdata menyatakan bahwa dalam hal orang yang tidak hadir
tersebut meninggalkan suatu penguasaan mengurus kepentingan-kepentingannya,
maka harus ditunggu salama 10 (sepuluh) tahun sejak diterimanya kabar terakhir,
barulah dapat diajukan permintaan oleh para pihak yang berkepentingan dan setelah
230 Ibid.231 Ibid. 232 Ibid.,hlm.149
memperoleh izin dari pengadilan tempat tinggal yang ditinggalkan, dapat meminta
hakim agar yang bersangkutan dianggap telah meninggal dunia. Sebelumnya, hakim
terlebih dahulu wajib melakukan pemanggilan guna menghadap dimuka pengadilan
yang sama yang berlaku selama tenggang waktu 3 (tiga) bulan atau lebih.
Pemanggilan tersebut bisa diulangi sampai 3 (tiga) kali. Pernyataan tentang kematian
atas dugaan harus diumumkan dengan surat kabar yang sama dalam mana segala
pemanggilan telah diiklankan.233
Pembagian warisan orang yang tidak hadir. Berdasarkan Pasal 484
KUHPerdata, setelah lewat 30 tahun, terhitung mulai hari dan tanggal surat
pernyataan yang dikeluarkan oleh hakim atau apabila orang yang dianggap telah
meninggal tersebut, seandainya masih hidup dan telah berumur 100 tahun, maka para
ahli waris dapat mengadakan suatu pembagian warisan yang tetap. 234
233 Ibid. 234 Ibid.
BAB V
Kesimpulan dan Saran
A. Kesimpulan
1. Bahwa pengaturan likuidasi bank terdapat dalam Pasal 37 ayat (1) Undang-
Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan, maka dalam hal ini Bank
Indonesia dapat melakukan tindakan baik secara langsung maupun tidak
langsung, juga dapat dilakukan secara alternatif ataupun kumulatif sesuai dengan
kondisi bank yang bersangkutan, yaitu meliputi langkah-langkah berupa saran-
saran dan langkah lebih aktif, dan apabila Bank Indonesia tidak bisa melakukan
tindakan penyehatan bank tidak berhasil, maka Lembaga Penjamin Simpanan
masih dimungkinkan untuk melakukan tindakan penyelamatan terhadap bank
dimaksud. Lembaga Penjamin Simpanan ini juga dimaksudkan untuk menjamin
simpanan uang para nasabah di bank yang disebutkan dalam ketentuan Pasal 21
ayat (2) dan (3) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2004 tentang Lembaga
Penjamin Simpanan
2. Mengenai perlindungan nasabah, antara nasabah dengan bank dibentuknya LPS
ini merupakan amanat dari Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 sebagaimana
telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan.
Ketentuan dalam Pasal 37 B Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 sebagaimana
telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan
139
menetapkan bahwa setiap bank wajib menjamin dana masyarakat yang disimpan
pada bank yang bersangkutan. Untuk menjamin simpanan masyarakat dibentuk
Lemabaga Penjamin Simpanan (LPS) yang berbentuk badan hukum dan diatur
lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah. Fungsi badan hukum LPS untuk
melindungi dana para nasabah yang disimpan di bank yang terlikuidasi, selain itu
juga pemerintah menetapkan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang
Perbankan, terdapat dalam Pasal 29 Ayat (2), (3), dan (4) tentang prinsip kehati-
hatian yang mengharuskan pihak bank untuk selalu konsisten dalam melaksankan
peratuaran perundang-undangan di bidang perbankan berdasarkan
profesionalisme dan itikad baik.
B. Saran
1. Berdasarkan konteks penyelsaian likuidasi bank, perangkat aturan perlu
dilengkapi dengan dasar hukum dan landasan operasional yang khusus
diperuntukan bagi pelaksanaan program penyelsaian likuidasi bank. Peraturan
yang diterapkan dalam situasi dan kondisi khusus atau darurat selayaknya berbeda
dengan peraturan yang diberlakukan pada situasi normal. Landasan ketentuan
tersebut hendaknya memerhatikan gradasi hierarki peraturan perundang-undangan
sehingga mendukung kelancaran penerapannya. Penerapan good governance di
segi regulasi berupa proses penerapan dan penegakan hukum yang baik, struktur
pemerintahan yang bersih, sistem pengaturan yang efisien demokratis, dan dapat
dipertanggungjawabkan merupakan faktor-faktor penting yang diperlukan dalam
penyelsaian krisis perbankan. Hasil pembahasan juga menyarankan suatu regulasi
dapat dikatakan kuat apabila memiliki atau didukung oleh:
a. unsur filsafat yang memadai
b. perimbangan ilmu pengetahuan
c. unsur pertimbangan ekonomi
d. unsur objective atau sasaran yang jelas
e. kesuaian dengan ketentuan dasar yang lebih tinggi; dan
f. pemenuhan kaidah-kaidah legal drafting.
2. Mengenai konteks perlindungan nasabah pemerintah terutama Bank Indonesia
dalam menjalankan tugas dan fungsi harus menjaga integritas dan itikad baik dari
pihak bank tehadap nasabah yang selama ini masih menguntungkan pihak bank
terutama adanya klausula baku dari pihak bank diberlakukan terhadap para
nasabah
DAFTAR PUSTAKA
Buku :
Adrian Sutedi, HUkum Perbankan Suatu Tinjauan Pencucian Uang, Merger, Likuidasi, dan Kepailitan, Sinar Grafika, Jakarta 2007.
Bambang Soesatyo, skandal Gila Bank Century, Ufuk Press, Jakarta, 2010.
Didik J.Rachbini, Ekonomi Politik – Kebijakan dan Setrategi Pembangunan, Granit Jakarta, 2004.
Djoni S Gazali, Hukum Perbankan, Sinar Grafika, Jakarta 2010.
Djony Edward, BLBI Extraordinary Crime Satu Analisis Historis dan Kebijakan, Liks, Yogyakarta2010.
Hermansyah, Hukum Perbankan Nasional Indonesia, Kencana Prenada Media Grup, Jakarta 2011.
Kusumaningtuti, Peran Hukum dalam Penyelsaian Krisis Perbankan di Indonesia, Rajawali Pres, Jakarta 2009.
Mangsa Agustinus Sipthar, Persoalan-Persoalan Perbankan Indonesi, Gorga Media, Jakarta 2007.
M.Khozim, Lawrence M. Friedman Sistem Hukum Presfektif Ilmu Sosial, Nusa Media, Bandung, 2009.
Muhamad Djumhana, Hukum Perbankan di Indonesia, Citra Aditya Bakti, Bandung,2006.
Muhamad Djumhana, Asas-asas Hukum PerbankanIndonesia, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2008.
Moh. Kusnardi dan Harmaily Ibrahim, Hukum Tata Negara Indonesia, Sinar Bakti, Jakarta 1988, hlm., 154.
142
M. Mufti Mubarok, Membongkar Kotak Hitam Century gate, Java Pustaka Media Utama, Surabaya, 2010
Moh. Nazir, Metode Penelitian, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1988.
Munir Fuady, Hukum Perbankan Modern Buku kesatu dan Kedua, Citra Aditya Bakti, Bandung 2004.
Munir Fuady, Teori Negara Hukum Modern (Rehctstaat) ,Refika Aditama, Bandung 2009.
Neni Sri Imniyati, Pengantar Hukum Perbankan Indonesia, Refika Aditama, Bandung, 2010
Adulkadir Muhamad, Hukum dan Penelitian Hukum, Citra Aditya, Bandung 2004.
Riduan Syahrani, Seluk-Beluk dan Asas-asas Hukum Perdata, Alumni, Bandung 2004.
Sentosa Sembiring, Hukum Perbankan, Mandar Maju, Bandung 2008.
Soerjono dan Abdurahman, Metode Penelitian Hukum, Renika cipta, Jakarta 2003.
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, Universitas Indonesia, Jakarta 2010.
Soerjono soekanto dan srimantudji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan singkat .raja grafindo persada ,Jakarta 2001.
Try Widiyono, Aspek Hukum Operasional Produk Perbankan Simpanan jasa dan Kredit, Gahlia Indonesia, Bogor 2006.
Widjantoro, Hukum dan Ketentuan Perbankan di Indonesia, Grafiti, Jakarta, 2003.
Jurnal :
Heru Supratomo., Analisis Ekonomi terhadap Hukum Perbankan”, Jurnal Hukum Bisnis, Volume 1/1997, Yayasan Pengembangan Hukum Bisnis, Jakarta, hlm. 63.
Peraturan Perundang-undangan :
Undang-Undang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia 1945.
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbanakan
Nomor 8 Tahun 1999 tentang perlindungan Konsumen
Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2004 tentang Lembaga Penjamin Simpanan
Undang-Undang Nompr.37 Tahun 2004 tentang Kepailitan, yakni Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1998 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No.1 Tahun 1998 tentang perubahan atas Undang-Undang tentang kepailitan menjadi Undang-Undang.