tinjauan terhadap kewenangan penyidikan pada satuan polisi pamong praja kabupaten subang dihubungkan...
DESCRIPTION
hukumTRANSCRIPT
1
TINJAUAN TERHADAP KEWENANGAN PENYIDIKAN PADA SATUAN POLISI PAMONG PRAJA (SATPOL PP) KABUPATEN SUBANG
DIHUBUNGKAN DENGAN PASAL 7 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 1981 TENTANG KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM ACARA PIDANA (KUHAP) JO. PERATURAN
PEMERINTAH NOMOR 6 TAHUN 2010 TENTANG SATUAN POLISI PAMONG PRAJA
A. Latar Belakang Masalah
Dalam rangka penyelenggaraan Pemerintahan Daerah, sesuai dengan
amanat Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 amandemen
keempat Pasal 18 dibentuklah Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah, dan kemudian di perbaharui dengan Undang-undang
Nomor 23 Tahun 20014 Pemerintahan Daerah, karena tidak sesuai lagi dengan
perkembangan keadaan, ketatanegaraan dan tuntutan penyelenggaraaan Otonomi
Daerah, Pemerintah Daerahlah yang mengatur dan mengurus sendiri urusan
pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantu. Ini diarahkan untuk
mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan
pelayanan, dengan memperhatikan prinsip demokrasi, pemerataan dan keadilan.
Dalam percepatan pembangunan yang sedang berlangsung saat ini sangat dituntut
adanya peningkatan pelayanan kepada masyarakat di segala aspek kehidupan.
Untuk mencapai tujuan tersebut diperlukan dukungan sumberdaya
manusia yang profesional dan proposional. Sumberdaya manusia yang profesional
apabila dapat bekerja berdasarkan standar baku, bekerja dengan penuh rasa
tanggung jawab serta dengan etos dan moralitas tinggi.
Akan tetapi belakangan ini gerak langkah Satuan Polisi Pamong Praja
(Satpol PP) tidak pernah luput dari perhatian publik, mengingat segala
2
aktifitasnya dengan mudah diketahui, melalui pemberitaan mass media, baik cetak
maupun elektronik. Sayangnya image yang terbentuk masyarakat atas sepak
terjang Aparat Satuan Polisi Pamong Praja sangat jauh dari sosok ideal, yang
sejatinya menggambarkan aparatur pemerintah daerah yang dalam melaksanakan
tugasnya menjunjung tinggi norma hukum, norma agama, Hak Asasi Manusia dan
norma-norma sosial lainnya yang hidup dan berkembang di masyarakat.
Akan tetapi munculnya gambaran terhadap sosok aparat Polisi Pamong
Praja (Pol PP) tidak lain tidak bukan, karena seringnya masyarakat disuguhi aksi-
aksi represif, namun terkesan arogan dari aparat daerah tersebut saat menjalankan
perannya dalam memelihara dan manyelenggarakan keamanan dan ketertiban
umum.
Bentrok Satpol PP dengan warga masyarakat menjadi pemberitaan hangat
peristiwa bentrok tersebut biasanya merupakan imbas dari langkah Satpol PP
melakukan penertiban pedagang kaki lima, pembongkaran bangunan liar, eksekusi
penggusuran tanah, atau penertiban masyarakat penyandang masalah sosial seperti
gelandangan, pengemis, pengamen jalanan, pekerja seks komersial. Tidak jarang,
penggusuran terhadap warga yang diduga telah melakukan pelanggaran Peraturan
Daerah dilakukan melalui cara-cara kekerasan dengan melibatkan aparat Tentara
Negara Indonesia atau Polisi Republik Indonesia
Berkaitan dengan eksistensi Satuan Polisi Pamong Praja dalam
penegakkan hukum (represif), sebagai perangkat pemerintah daerah, kontribusi
satuan Polisi Pamong Praja sangat diperlukan guna mendukung suksesnya
3
pelaksanaan Otonomi Daerah dalam penegakan peraturan daerah menciptakan
pemerintahan yang baik. Dengan demikian aparat Polisi Pamong Praja merupakan
garis depan dalam hal motivator dalam menjamin kepastian pelaksanaan peraturan
daerah dan upaya menegakkannya ditengah-tengah masyarakat, sekaligus
membantu dalam menindak segala bentuk penyelewengan dan penegakan hukum.
Kepala Daerah mempunyai kewajiban menegakan peraturan perundangundangan
dan memelihara ketertiban dan kententraman masyarakat. Ketertiban adalah
suasana yang mengarah kepada peraturan dalam masyarakat menurut norma yang
berlaku sehingga menimbulkan motivasi bekerja dalam rangka mencapai tujuan
yang diinginkan1. Tugas kewajiban Kepala Daerah selain berasal dari tugas yang
timbul karena inisiatif sendiri dari alat perlengkapan daerah (Otonomi Daerah)
dapat juga diperintahkan oleh penguasa yang lebih atas atau yang disebut tugas
pembantuan.2
Dalam melaksanakan kewenangan guna menegakkan Peraturan Daerah
dan keputusan kepala daerah, sebagai salah satu tugas utama dari Polisi Pamong
Praja, tentunya tidak semudah membalikkan telapak tangan, terlebih dalam
melaksanakan kewenangan ini Polisi Pamong Praja dibatasi oleh kewenangan represif
yang sifatnya non yustisial. Aparat Polisi Pamong Praja seringkali harus menghadapi
berbagai kendala ketika harus berhadapan dengan masyarakat yang memiliki
kepentingan tertentu dalam memperjuangkan kehidupannya, yang akhirnya bermuara
pada munculnya konflik (bentrokan).
1 Dirjen Pemerintahan Umum, Pedoman Prosedur Tetap Operasional Satuan Polisi Pamong Praja, Departemen Dalam Negeri, Jakarta, 2005, hal.9.2 Irawan Soejito, Sejarah Daerah Indonesia,:Pradanya Paramita, Jakarta 1984, hal.100.
4
Dalam menghadapi situasi seperti ini Polisi Pamong Praja harus dapat
mengambil sikap yang tepat dan bijaksana, sesuai dengan paradigma baru Polisi
Pamong Praja yaitu menjadi aparat yang ramah, bersahabat, dapat menciptakan
suasana batin dan nuansa kesejukan bagi masyarakat, namun tetap tegas dalam
bertindak demi tegaknya peraturan yang berlaku.
Pasal 255 Undang-undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2014 tentang
Pemerintahan Daerah, menyebutkan bahwa Polisi Pamong Praja ditetapkan sebagai
perangkat pemerintah daerah dengan tugas pokok menegakkan peraturan daerah,
penyelenggaraan ketertiban umum dan ketentraman masyarakat, sebagai pelaksana
tugas desentralisasi. Desentralisasi sendiri adalah suatu cara pemerintahan dimana
sebagian dari kekuasaan mengatur dan mengurus dari Pemerintah Pusat diserahkan
kepada kekuasaan-kekuasaan bawahan3. Pada dasarnya setiap daerah mempunyai 2
macam kekuasaan, yaitu otonomi dan medebewind (memberi kuasa untuk
dijalankan)4. Otonomi ialah hak untuk mengatur dan mengurus rumah tangga
daerahnya, sedangkan medebewind adalah hak menjalankan peraturanperaturan dari
Pemerintah Pusat atau daerah tingkat atasan berdasarkan perintah pihak atasan itu5.
Sesuai dengan Undang- Undang Pemerintahan Daerah disebutkan, bahwa
Satuan Polisi Pamong Praja mempunyai tugas pokok membantu Kepala Daerah
dalam penyelenggaraan ketentraman dan ketertiban umum serta penegakan
Peraturan Daerah sehingga semua permasalahan ketentraman dan ketertiban
3 Hazairin, Otonomi dan Ketatanegaraan (dalam Ceramah Kongres III Serikat Sekerja Kementrian dalam Negeri,Bogor, 3-5 Desember 1953, di muat dalam buku 7 Tahun Serikat Sekerja Kementerian Dalam Negeri (SSKDN), 1954, hal. 160.4 Wojowasito, Kamus Umum Belanda Indonesia. PT Ichtiar baru van hoeve, Jakarta, 2003, hal. 80 dan 397.5 The Liang Gie, Pertumbuhan Pemerintahan Daerah di Republik Indonesia, Liberty, Yogyakarta , 1993, hal, 99.
5
umum yang terkait langsung dengan penegakan Peraturan Daerah yang
diindikasikan belum bereskalasi luas menjadi tanggung jawab SatPol PP. Namun
dalam pelaksanaannya, tugas SatPol PP sering berbenturan dengan penegak
hukum yang lain, terutama polisi.
Belakangan ini, gerak langkah SatPol PP tidak pernah luput dari perhatian
publik, mengingat segala aktivitasnya dengan mudahdiketahui melalui
pemberitaan di mass media, baik cetak maupun elektronik.Sayangnya, image yang
terbentuk di benak masyarakat atas sepak terjang aparat SatPol PP sangat jauh
dari sosok ideal, yang sejatinya menggambarkan aparaturpemerintah daerah yang
dalam melaksanakan tugasnya menjunjung tinggi normahukum, norma agama,
Hak Asasi Manusia dan norma-norma sosial lainnya yang hidup dan berkembang
di masyarakat.
Munculnya gambaran miring terhadap sosok aparat SatPol PP tidak lain
dan tidak bukan karena seringnya masyarakat disuguhi aksi-aksirepresif, namun
terkesan arogan dari aparat daerah tersebut saat menjalankanperannya dalam
memelihara dan menyelenggarakan keamanan dan ketertiban umum.Diberikannya
kewenangan pada SatPol PP untuk memelihara keamanan dan ketertiban
masyarakat bukanlah tanpa alasan. Namun, didukung oleh dasar pijakan yuridis
yang jelas, sebagaimana yang tertuang dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun
2014 tentang Pemerintahan Daerah bahwa untuk membantu kepala daerah dalam
menegakkan Perda dan penyelenggaraan ketertiban umum dan ketentraman
masyarakat dibentuk Satuan Polisi Pamong Praja6.
6 Pasal 255 undang-undang Nomor 23 tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah
6
Melalui Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan
Daerah ini, pemerintah diamanatkan membentuk Satuan Polisi Pamong
Prajauntuk membantu Kepala Daerah dalam menegakkan Peraturan Daerah
danpenyelenggaraan ketertiban umum serta ketentraman masyarakat.Dengan
melihat pada kewenangan yang diberikan kepada SatPol PP, tidakdapat dipungkiri
bahwa keberadaan SatPol PP sangat penting dan strategis dalampenyelenggaraan
pemerintahan daerah sesuai dengan lingkup tugasnya, termasuk didalamnya
penyelenggaraan perlindungan masyarakat (Linmas).
Penyelenggaraan ketertiban umum dan ketentraman masyarakat seringkali
dibenturkan pada perbedaan persepsi. Perbedaan persepsi itu antara lain mengenai
tindakan atau perilaku yang dianggap melanggar ketertiban umum dan
ketentraman masyarakat. Tindakan kriminal sebagai salah satu perbedaan persepsi
yang terjadi diantara polisi dan Satpol PP yang didasarkan atas wewenangnya
masing-masing. Secara sosiologis, perbedaan-perbedaan tersebut dapat mengarah
pada kategori sosial. Dan dari ketegori sosial inilah dimulai lahirnya perbedaan
persepsi sosial antara polisi dan warga masyarakat lain dalam memandang
berbagai persoalan7. Termasuk perbedaan persepsi mengenai persoalan mengenai
tindakan kriminal yang menimbulkan benturan kewenangan antara polisi dan
SatPol PP untuk mengatasinya yang mengarah pada penyelenggaraan ketertiban
umum dan ketentraman masyarakat.
Keberadaan SatPol PP di Kabupaten Subang merupakan bagian dari
proses penegakan hukum sebagai perangkat pemerintah daerah yang diperlukan
7 Achmad Ali. 1998. Menjelajahi Kajian Empiris. Kencana. Makassar. Hal. 169.
7
guna mendukung suksesnya pelaksanaan otonomi daerah. Dalam pelaksanaan
tugasnya, kewenangan Satpol PP sering tumpang tindih dan berbenturan dengan
penegak hukum yang lain terutama polisi. Tindakan pidana pelanggaran Peraturan
Daerah yang terjadi di Kota Subang sering ditangani oleh SatPol PP dengan
berdasarkan adanya kewenangan yang diberikan oleh peraturan pemerintah dan
peraturan daerah dalam hal menjaga ketertiban dan ketentraman masyarakat.
Kondisi ini menghasilkan friksi antara kewenangan Polisi sebagai aparat
sentralistik dengan Satpol PP yang merupakan aparat Pemda yang otonom
meskipun kehadiran SatPol PP sendiri dapat memberikan kontribusi dalam
membantu kepolisian untuk bertugas di lapangan.
Satpol PP juga bisa menjalankan fungsi yudisial yaitu anggota Satuan
Polisi Pamong Praja dapat diangkat sebagai penyidik pegawai negeri sipil sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang- undangan. Dengan adanya ketentuan ini,
maka sebagian anggota SatPol PP adalah bagian dari Sistem Peradilan Pidana
(Criminal Justice System) karena mempunyai kewenangan penyidikan.Yang
menjadi masalah, sesuai dengan UU Nomor 23 Tahun 2014 Satpol PP adalah
bagian dari Pemerintah Daerah, sehingga dalam menjalankan tugasnya anggota
SatPol PP bertanggung jawab langsung dengan Kepala Daerah dalam hal ini
Bupati, Walikota atau Gubernur. Dengan kondisi ini, maka tidak ada hubungan
hierarki maupun struktur antara SatPol PP Provinsi dengan Satpol PP Kabupaten
ataupun Kota.
Permasalahan yang lain muncul ketika dalam melaksanakan
kewenangannya guna menegakkan peraturan daerah serta keputusan kepala
8
daerah, sebagai salah satu tugas utama dari SatPol PP, SatPol PP dibatasi oleh
kewenangan represif yang sifatnya nonyustisial. Karenanya, aparat SatPol PP
seringkali harus menghadapi berbagai kendala ketika harus berhadapan dengan
masyarakat yang memiliki kepentingan tertentu dalam memperjuangkan
kehidupannya, yang akhirnya bermuara pada munculnya konflik (bentrokan).
Dari uraian dalam latar belakang masalah diatas penulis tertarik untuk
melakukan penelitian skripsi dengan judul : “Tinjauan Terhadap Kewenangan
Penyidikan Pada Satuan Polisi Pamong Praja Kabupaten Subang
Dihubungkan Dengan Pasal 7 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8
Tahun 1981 Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana
(KUHAP) Jo. Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2010 Tentang Satuan
Polisi Pamong Praja”
B. Identifikasi Masalah
Dari latar belakang masalah diatas, dapat di uraikan identifikasi masalah
sebagai berikut :
1. Bagaimana kewenangan Penyidikan Satuan Polisi Pamong Praja
dihubungkan dengan Pasal 7 Undang-undang Republik Indonesia
Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Kitab Undang-undang Hukum Acara
Pidana (KUHAP) Jo. Peraturan Pemerintah Nomor 6 tahun 2010
Tentang Satuan Polisi Pamong Praja.
2. Apa kendala yang dihadapi oleh Satuan Polisi Pamong Praja
Kabupaten Subang dalam menjalankan Kewenangannya sesuai dengan
9
Pasal 7 Undang-undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1981
Tentang Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) Jo.
Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2010 Tentang Satuan Polisi
Pamong Praja.
C. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Untuk mengetahui kewenangan Penyidikan Satuan Polisi Pamong
Praja Kabupaten Subang sesuai dengan amanat perundang-undangan
yang berlaku.
2. Untuk mengetahui kendala apa saja yang di hadapi Satuan Polisi
Pamong Praja dalam menjalankan kewenangannya sesuai aturan
perundang-undangan yang berlaku.
D. Kegunaan Penelitian
Berdasarkan penelitian ini diharapkan dapat memberikan kegunaan,
baik secara teoritis maupun secara praktis.
1. Kegunaan Teoritis
Secara teoritis penelitian ini diharapkan memberikan sumbangan
pemikiran pada pengembangan pembangunan ilmu hukum pada
umumnya, khususnya pengkajian dan pendalaman materi hukum yang
berkaitan dengan penegakan hukum pidana di daerah yang terkait
dengan Peraturan Daerah dan kewenangan Sat Pol PP dalam
penegakannya.
2. Kegunaan Praktis
10
a. Bagi Pemerintah Daerah diharapkan dapat memberikan masukan
untuk Sat Pol PP terkait kewenangan penyidikan yang dimiliki
sebagai upaya penegakan Peraturan Daerah di Kabupaten Subang.
b. Bagi masyarakat umum diharapkan menimbulkan kesadaran
hukum untuk mentaati hukum yang ada di wilayah Kabupaten
Subang.
E. Kerangka Pemikiran
Indonesia adalah negara hukum berdasarkan pasal 1 ayat (3) Undang-
undang Dasar 1945 yang berbunyi : “Negara Indonesia adalah negara hukum”.
Pengklaiman sebagai negara hukum apabila di maknai secara lebih dalam
memiliki arti bahwa Indonesia menganut paham negara kesejahteraan atau negara
kemakmuran8 yang menjamin keadilan kepada warganya yang tercipta karena atas
berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa dan dengan di dorong oleh keinginan
luhur bangsa untuk berkehidupan, kebangsaan yang bebas, merdeka berdasarkan
suatu ketertiban menuju kesejahteraan9.
Hukum sejatinya merupakan alat untuk menciptakan keselarasan hidup,
menciptakan tatanan hidup yang tertib, dan bertujuan menciptakan keadilan.
Kesemuanya itu di peruntukkan bagi keberlangsungan hidup umat manusia.
Seperti halnya yang di uangkapkan oleh Satjipto Rahardjo, bahwa hukum di buat
untuk manusia, bukan untuk hukum itu sendiri. Pemahaman Satjipto Rahardjo
8`? Krisna Harahap, Konstitusi indonesia Sejak Proklamasi Hingga Reformasi, Grafitri Budi Utami, Bandung, 2007, hlm. 19.9 Moh. Busyro Muqaddas, Politik Pembangunan Hukum Nasional, UII Press, Yogyakarta, 1992, hlm. 43.
11
kemudian dikenal dengan istilah Hukum Progresif oleh kalangan akademisi dan
praktisi hukum.
Progresif adalah kata yang berasal dari bahasa asing (Inggris) yang asal
katanya adalah progress yang artinya maju10. Hukum Progresif berarti hukum
yang bersifat maju.
Istilah hukum progresif, diperkenalkan oleh Satjipto Rahardjo, yang dilandasi
asumsi dasar bahwa hukum adalah untuk manusia. Satjipto Rahardjo merasa
prihatin dengan rendahnya kontribusi ilmu hukum dalam mencerahkan bangsa
Indonesia, dalam mengatasi krisis, termasuk krisis dalam bidang hukum itu
sendiri.
Adapun pengertian hukum progresif, adalah mengubah secara cepat,
melakukan pembalikan yang mendasar dalam teori dan praksis hukum, serta
melakukan berbagai terobosan. Pembebasan tersebut di dasarkan pada prinsip
bahwa hukum adalah untuk manusia dan bukan sebaliknya dan hukum itu tidak
ada untuk dirinya sendiri, melainkan untuk sesuatu yang lebih luas yaitu untuk
harga diri manusia, kebahagiaan, kesejahteraan, dan kemuliaan manusia11.
Pengertian sebagaimana dikemukakan oleh Satjipto Rahardjo tersebut berarti
hukum progresif adalah serangkaian tindakan yang radikal, dengan mengubah
sistem hukum (termasuk merubah peraturan-peraturan hukum bila perlu) agar
hukum lebih berguna, terutama dalam mengangkat harga diri serta menjamin
kebahagiaan dan kesejahteraan manusia.
10 Pius A Partanto dan M. Dahlan Al Barry, Kamus Ilmiah Populer, Arkola, Surabaya, 2001, hlm. 95.
11 Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum; Pencarian, Pembebasan dan Pencerahan, Muhammadiyah Press University, Surakarta, 2004, hlm. 5.
12
Secara lebih sederhana hukum progresif adalah hukum yang melakukan
pembebasan, baik dalam cara berpikir maupun bertindak dalam hukum, sehingga
mampu membiarkan hukum itu mengalir saja untuk menuntaskan tugasnya
mengabdi kepada manusia dan kemanusiaan. Jadi tidak ada rekayasan atau
keberpihakan dalam menegakkan hukum. Sebab menurutnya, hukum bertujuan
untuk menciptakan keadilan dan kesejahteraan bagi semua rakyat12.
Satjipto Rahardjo mencoba menyoroti kondisi di atas ke dalam situasi
ilmu-ilmu sosial, termasuk ilmu hukum, meski tidak sedramatis dalam ilmu fisika,
tetapi pada dasarnya tejadi perubahan yang fenomenal mengenai hukum yang di
rumuskannya dengan kalimat dari yang sederhana menjadi rumit dan dari yang
terkotak-kotak menjadi satu kesatuan. Inilah yang disebutnya sebagai pandangan
holistik dalam ilmu (hukum).
Pandangan holistik tersebut memberikan kesadaran visioner bahwa
sesuatu dalam tatanan tertentu memiliki bagian yang saling berkaitan baik dengan
bagian lainnya atau dengan keseluruhannya.
Hukum progresif bermakna hukum yang peduli terhadap kemanusiaan
sehingga bukan sebatas dogmatis belaka. Secara spesifik hukum progresif antara
lain bisa disebut sebagai hukum yang pro rakyat dan hukum yang berkeadilan.
Konsep hukum progresif adalah hukum tidak ada untuk kepentingannya sendiri,
melainkan untuk suatu tujuan yang berada di luar dirinya. Oleh karena itu, hukum
progresif meninggalkan tradisi analytical jurisprudence atau rechtsdogmatiek.13
12 Satjipto Rahardjo, Membedah Hukum Progresif, Kompas, Jakarta, 2007, hlm. 10.
13 Achmad Roestandi, Responsi Filsafat Hukum, Armico, Bandung, 1992, hlm. 35.
13
Aliran-aliran tersebut hanya melihat ke dalam hukum dan membicarakan
serta melakukan analisis ke dalam, khususnya hukum sebagai suatu bangunan
peraturan yang dinilai sebagai sistematis dan logis. Hukum progresif bersifat
responsif yang mana dalam responsif ini hukum akan selalu dikaitkan pada
tujuan-tujuan di luar narasi tekstual hukum itu sendiri .
Kehadiran hukum dikaitkan pada tujuan sosialnya, maka hukum progresif
juga dekat dengan sociological jurisprudence dari Roscoe Pound. Hukum
progresif juga mengundang kritik terhadap sistem hukum yang liberal, karena
hukum Indonesia pun turut mewarisi sistem tersebut. Satu moment perubahan
yang monumental terjadi pada saat hukum pra modern menjadi modern. Disebut
demikian karena hukum modern bergeser dari tempatnya sebagai institusi pencari
keadilan menjadi institusi publik yang birokratis. Hukum yang mengikuti
kehadiran hukum modern harus menjalani suatu perombakan total untuk disusun
kembali menjadi institusi yang rasional dan birokratis. Akibatnya hanya peraturan
yang dibuat oleh legislatiflah yang sah yang disebut sebagai hukum.
Progresifisme hukum mengajarkan bahwa hukum bukan raja, tetapi alat
untuk menjabarkan dasar kemanusiaan yang berfungsi memberikan rahmat
kepada dunia dan manusia. Asumsi yang mendasari progresifisme hukum adalah
pertama hukum ada untuk manusia dan tidak untuk dirinya sendiri, kedua hukum
selalu berada pada status law in the making dan tidak bersifat final, ketiga hukum
adalah institusi yang bermoral kemanusiaan.
Berdasar asumsi-asumsi di atas maka kriteria hukum progresif adalah:
1. Mempunyai tujuan besar berupa kesejahteraan dan kebahagiaan manusia.
14
2. Memuat kandungan moral kemanusiaan yang sangat kuat.
3. Hukum progresif adalah hukum yang membebaskan meliputi dimensi
yang amat luas yang tidak hanya bergerak pada ranah praktik melainkan
juga teori.
4. Bersifat kritis dan fungsional.
Sementara itu menurut Gustav Radbruch tujuan hukum yaitu
keadilan, kepastian dan kemanfaatan. Keadilan harus mempunyai posisi yang
pertama dan yang paling utama dari pada kepastian hukum dan kemanfaatan.
Secara historis, pada awalnya menurut Gustav Radburch tujuan kepastian hukum
menempati peringkat yang paling atas diantara tujuan yang lain. Namun, setelah
melihat kenyataan bahwa dengan teorinya tersebut di Jerman di bawah kekuasaan
Nazi melegalisasi praktek-praktek yang tidak berperikemanusiaan selama masa
Perang Dunia II dengan jalan membuat hukum yang mensahkan praktek-praktek
kekejaman perang pada masa itu. Gustav Radbruch pun akhirnya meralat teorinya
tersebut diatas dengan menempatkan tujuan keadilan menempati posisi diatas
tujuan hukum yang lain14 Sebagaimana diketahui bahwa didalam kenyataannya
sering kali antara kepastian hukum terjadi benturan dengan kemanfaatan, atau
antara keadilan dengan kepastian hukum, antara keadilan terjadi benturan dengan
kemanfaatan. Sebagai contoh dalam kasus-kasus hukum tertentu, kalau hakim
menginginkan keputusan yang adil (menurut persepsi keadilan yang dianut oleh
hukum tersebut tentunya) bagi si penggugat atau tergugat atau bagi si terdakwa, 14 Ahmad Zaenal Fanani, Teori Keadilan dalam Perspektif Filsafat Hukum dan Islam,
diakses dari http://www.badilag.net tanggal 15 September 2015, 15.55 wib.
15
maka akibanya sering akan merugikan kemanfaatan bagi masyarakat luas.
Sebaliknya kalau kemanfaatan masyarakat luas dipuaskan, perasaan adil bagi
orang tertentu terpaksa harus dikorbankan.
Hukum merupakan suatu sistem, yang berarti bahwa hukum itu
merupakan tatanan, merupakan suatu kesatuan yang utuh yang terdiri dari bagian-
bagian yang saling berkaitan erat satu sama lain. Dengan kata lain sistem hukum
adalah suatu satu kesatuan yang terdiri dari unsur-unsur yang mempunyai
interaksi satu sama lain dan bekerja sama untuk mencapai tujuan kesatuan
tersebut15. Sebagai suatu sistem, Lawrence M Friedman, membagi sistem hukum
atas sub-sub sistem yang terdiri dari struktur hukum (legal structure), substansi
hukum (legal substance), dan budaya hukum (legal culture)16.
Struktur hukum merupakan institusi pelaksana (penegak) hukum atau
bagian-bagian yang bergerak didalam suatu mekanisme sistem atau fasilitas yang
ada dan disiapkan dalam sistem. Substansi hukum adalah norma-norma hukum
yang berlaku, yang mengatur bagaimana seharusnya masyarakat berperilaku, atau
hasil aktual yang diterbitkan oleh suatu sistem, sedangkan Budaya hukum adalah
nilai-nilai individualisme atau masyarakat yang mendorong bekerjanya sistem
hukum. Ketiga elemen tersebut merupakan unsur sistem hukum, maka semua itu
mau tidak mau menjadi areal garapan serentak wilayah pengembangan teori
15 Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum, Universitas Atma Jaya Yogyakarta, Yogyakarta, 2010. hlm 161
16 Teori Hukum Lawrence M Friedman tentang Pembagian Sistem Hukum, http://id.shvoong.com/law-and-politics/law/2288470-pengertian-sistem-hukum/, tanggal 2 Januari 2015, jam 17.00 wib.
16
tentang hukum. Jelasnya teori hukum dapat dikembangkan baik pada wilayah
substansi hukum maupun pada wilayah struktur dan budaya hukum itu sendiri17.
Sementara itu terkait kepastian hukum, Kepastian hukum merupakan
pertanyaan yang hanya bisa dijawab secara normatif, bukan sosiologi. Kepastian
hukum secara normatif adalah ketika suatu peraturan dibuat dan diundangkan
secara pasti karena mengatur secara jelas dan logis. Jelas dalam artian tidak
menimbulkan keragu-raguan (multi-tafsir) dan logis dalam artian ia menjadi suatu
sistem norma dengan norma lain sehingga tidak berbenturan atau menimbulkan
konflik norma. Konflik norma yang ditimbulkan dari ketidakpastian aturan dapat
berbentuk konsestasi norma, reduksi norma atau distorsi norma. Kepastian hukum
menunjuk kepada pemberlakuan hukum yang jelas, tetap, konsisten dan
konsekuen yang pelaksanaannya tidak dapat dipengaruhi oleh keadaan-keadaan
yang sifatnya subjektif18.
Bahwa dalam hal penegakan hukum, setiap orang selalu mengharapkan
dapat ditetapkannya hukum dalam hal terjadinya peristiwa kongkrit, dengan kata
lain bahwa peristiwa tersebut tidak boleh menyimpang dan harus ditetapkan
sesuai dengan hukum yang ada (berlaku), yang pada akhirnya nanti kepastian
hukum dapat diwujudkan. Pentingnya kepastian hukum sesuai dengan yang
terdapat pada pasal 28D ayat 1 Undang–Undang Dasar 1945 perubahan ketiga
17 Bernard L. Tanya, Teori Hukum: Strategi Tertib Manusia, Lintas Ruang dan Generasi, Genta Publishing Yogyakarta. 2010. hlm 11.18 Apa itu kepastian hukum, http://yancearizona.wordpress.com/2008/04/13/apa-itu-kepastian-hukum/, tanggal 20 Januari 2015, jam 11.00 wib.
17
bahwa “setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan perlindungan dan kepastian
hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum”.
Tentang kepastian hukum menurut Bismar Siregar didalam KUHAP
ternyata lebih menitikberatkan kepada kepastian hukum dan perlindungan hak
terdakwa dari penegak keadilan itu sendiri. Selanjutnya bahwa hakim harus terjun
ke tengah-tengah masyarakat, yakni tiada lain agar hakim lebih peka terhadap
perasaan hukum dan rasa keadilan yang berguna dalam masyarakat. Singkatnya
bahwa hakim tidak boleh terasing dari masyarakat. Seandainya terjadi dan akan
terjadi benturan bunyi hukum antara apa yang dirasakan adil oleh masyarakat
dengan apa yang disebut kepastian hukum, jangan hendaknya kepastian hukum
dipaksakan dan rasa keadilan masyarakat dikorbankan19.
Dalam paradigma positivisme definisi hukum harus melarang seluruh
aturan yang mirip hukum, tetapi tidak bersifat perintah dari otoritas yang
berdaulat. Kepastian hukum harus selalu di junjung apapun akibatnya dan tidak
ada alasan untuk tidak menjunjung hal tersebut, karena dalam paradigmanya
hukum positif adalah satu-satunya hukum. Dari sini nampak bahwa bagi kaum
positivistik adalah kepastian hukum yang dijamin oleh penguasa. Kepastian
hukum yang dimaksud adalah hukum yang resmi diperundangkan dan
dilaksanakan dengan pasti oleh Negara. Kepastian hukum berarti bahwa setiap
orang dapat menuntut agar hukum dilaksanakan dan tuntutan itu harus dipenuhi.
19Bismar Siregar Sang “Pengadil” Yang Progresif, http://musri-nauli.blogspot.com/2012/04/bismar-siregar-sang-pengadil-yang.html?m=1, tanggal 20 Oktober 2014, jam 11.30 wib.
18
Berkaitan dengan dua teori diatas, apabila dihubungkan dengan
kewenangan Satuan Polisi Pamong Praja sebagai penegak hukum di daerah, maka
proses penegakan hukum di daerah harus selaras dengan asas kepastian hukum
dimana proses penegakan hukum harus sesuai dengan norma dan kaidah hukum
positif yang berlaku, akan tetapi disamping itu, penegakan hukum di daerah juga
harus memperhatikan kaidah hukum yang hidup di daerah, sesuai perkembangan
masayarakat di daerah.
Dalam menjalankan kewenangannya Satuan Polisi Pamong Praja
berpedoman pada KUHAP dan Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2010.
Sebagai acuan untuk menegakan Peraturan Daerah di Kabupaten Subang. Hal
tersebut menjadi payung hukum Sat Pol PP untuk menjalankan fungsinya di
daerah, akan tetapi pada pelaksanaannya Satpol PP uga harus mengedepankan
aspek sosiologis yang hidup di masyarakat.
F. Metode Penelitian
Di dalam penulisan skripsi ini, penulis melakukan penelitian
dengan menggunakan metode dan data sebagai berikut :
1. Spesifikasi Penelitian
Penelitian ini bersifat deskriptif analtis, yaitu
menggambarkan obyek penelitian yang berkaitan dengan
kewenangan penyidikan SatPol PP menurut KUHAP
dihubungkan dengan Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun
2010 Tentang Satuan Polisi Pamong Praja selanjutnya
19
dilakukan analisis untuk memperoleh kejelasan sehubungan
dengan masalah yang diteliti.
2. Metode Pendekatan
Pada penelitian ini penulis melakukan pendekatan yuridis
normatif, artinya menguji dan mengkaji data sekunder, yaitu
menggunakan data kepustakaan berupa hukum positif yang
berhubungan dengan kewenangan penyidikan Sat Pol PP
menurut KUHAP dihubungkan dengan Peraturan Pemerintah
Nomor 6 Tahun 2010 Tentang Satuan Polisi Pamong Praja.
3. Tahap Penelitian
Sehubungan dengan metode pendekatan yuridis normatif
yang di gunakan, maka penelitian ini menggunakan data
sekunder. Data primer berfungsi sebagai penunjang, untuk itu
penelitian ini dilakukan melalui tahap penelitian kepustakaan
(library research), yaitu dengan meneliti data sekunder dengan
bahan hukum primer berupa Kitab Undang-undang Hukum
Pidana dan Peraturan Pemerintah Nomo 6 Tahun 2010 Tentang
Satuan Polisi Pamong Praja, di samping itu meneliti data
sekunder bahan hukum sekunder berupa karya ilmiah dari para
sarjana.
4. Teknik pengumpulan data
Data penelitian yang ada dikumpulkan oleh penulis dengan
teknik studi kepustakaan, yaitu melakukan penelitian dan
20
analisis terhadap kewenangan penyidikan Satpol PP
dihubungkan dengan KUHAP dan Peraturan Pemerintah
Nomor 6 tahun 2010 Tentang Satuan Polisi Pamong Praja.
5. Metode Analisis data
Penarikan kesimpulan dari hasil penelitian yang sudah
terkumpul kemudian dianalisis dengan metode analisis
normatif kalitatif.20 Normatif karena penelitian ini bertitik tolak
dari peraturan-peraturan yang ada sebagai hukum positif.
Kualitatif karena merupakan analisa data yang berasal dari
informasi-informasi. Dengan demikian akan merupakan
analisa data tanpa mempergunakan rumus matematis dan
angka-angka.
G. Lokasi Penelitian
Lokasi penelitian skripsi ini bertempat di kantor Satuan Polisi Pamong
Praja Kabupaten Subang Jalan Dewi Sartika Nomor 5 Kabupaten Subang.
H. Sistematika Penulisan
Sistematika penulisan skripsi ini terdiri dari V (lima) bab dengan uraian
sebagai berikut :
Bab satu, Pendahuluan yang menguraikan latar belakang, identifikasi
masalah, tujuan peneltian, kegunaan penelitian, kerangka penelitian dan
sistematika penulisan.
20 Ronny Hanitijo Soemitro, Metode Penelitian Hukum dan Jurimetri, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1994, hlm. 53.
21
Bab dua, tinjauan pustaka yang menguraikan tentang ruang lingkup tindak
pidana, pengertian tindak pidana, tujuan hukum pidana, sanksi dalam hukum
pidana, dan kebijakan hukum pidana.
Bab tiga, tinjauan terhadap kedudukan Satuan Polisi Pamong Praja di
Kabupaten Subang sebagai aparat penegakan hukum di daerah.
Bab empat, tinjauan terhadap kewenangan Satuan Polisi Pamong Praja
dihubungkan dengan KUHAP jo. Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2010.
Bab lima berisi penutup yaitu kesimpulan dan saran bagi materi yang
terkandung dari skripsi ini.