pengelolaan ekosistem di wilayah pesisir dan laut …

26
BAHARI Jogja Vol.XI No.19 /2011 Juli 2011 21 PENGELOLAAN EKOSISTEM DI WILAYAH PESISIR DAN LAUT SECARA TERPADU Benny Hartanto Dosen Akademi Maritim Yogyakarta Abstrak Sebagai salah satu negara kepulauan besar di dunia, Indonesia memiliki potensi sumberadaya alam pesisir yang besar. Oleh karena itu mutlak diperlukan perencanaan yang terpadu dalam pengelolaan pesisir terkait dengan kapasitas fungsional ekosistem pesisir dan laut serta pengaruh dari lahan atas dan laut, di samping tentunya keterpaduan berbagai sektor dan berbagai pemangku kepentingan (stakeholders) yang memanfaatkan pesisir. Beberapa potensi sumberdaya di wilayah pesisir dan laut Indonesia antara lain : estuaria, hutan mangrove, padang lamun, dan terumbu karang. Masing-masing mempunyai karakteristik yang kuat dalam ekosistemnya, sehingga diperlukan suatu pengelolaan yang terpadu dan berkesinambungan. Demikian juga keterkaitan ekologis, zonasi dan kesesuaian pada lingkungannya sangat menentukan pola dan strategi dalam pengelolaan sumberdaya pesisir dan laut agar bisa optimal. Kata kunci : ekosistem pesisir dan laut, pengelolaan terpadu I. PENDAHULUAN Sebagai suatu negara kepulauan terbesar di dunia dengan luas laut (termasuk ZEE) sekitar 5,8 juta km 2 dan panjang pantai sekitar 95.181 km, Indonesia memiliki potensi sumberdaya alam pesisir dan laut yang sangat besar. Ekosistem pesisir dan laut dan laut menyediakan sumberdaya alam yang produktif baik sebagai sumber pangan, tambang mineral dan energi, transportasi, media komunikasi maupun kawasan rekreasi atau pariwisata. Karena itu ekosistem pesisir dan laut merupakan tumpuan harapan manusia dalam pemenuhan kebutuhan hidupnya di masa datang. Ekosistem pesisir dan laut yang merupakan suatu himpunan integral dari komponen hayati (organisme hidup) dan nir-hayati (fisik), mutlak dibutuhkan oleh manusia untuk hidup dan untuk meningkatkan mutu kehidupan. Komponen hayati dan nir-hayati secara fungsional berhubungan satu sama lain dan saling berinteraksi membentuk suatu sistem, yang dikenal dengan ekosistem atau sistem ekologi. Apabila terjadi perubahan pada salah satu dari kedua komponen tersebut, maka

Upload: others

Post on 16-Oct-2021

16 views

Category:

Documents


2 download

TRANSCRIPT

Page 1: PENGELOLAAN EKOSISTEM DI WILAYAH PESISIR DAN LAUT …

BAHARI Jogja Vol.XI No.19 /2011 Juli 2011

21

PENGELOLAAN EKOSISTEM DI WILAYAH PESISIR DAN LAUT SECARA TERPADU

Benny Hartanto

Dosen Akademi Maritim Yogyakarta Abstrak

Sebagai salah satu negara kepulauan besar di dunia, Indonesia memiliki potensi sumberadaya alam pesisir yang besar. Oleh karena itu mutlak diperlukan perencanaan yang terpadu dalam pengelolaan pesisir terkait dengan kapasitas fungsional ekosistem pesisir dan laut serta pengaruh dari lahan atas dan laut, di samping tentunya keterpaduan berbagai sektor dan berbagai pemangku kepentingan (stakeholders) yang memanfaatkan pesisir.

Beberapa potensi sumberdaya di wilayah pesisir dan laut Indonesia antara lain : estuaria, hutan mangrove, padang lamun, dan terumbu karang. Masing-masing mempunyai karakteristik yang kuat dalam ekosistemnya, sehingga diperlukan suatu pengelolaan yang terpadu dan berkesinambungan. Demikian juga keterkaitan ekologis, zonasi dan kesesuaian pada lingkungannya sangat menentukan pola dan strategi dalam pengelolaan sumberdaya pesisir dan laut agar bisa optimal. Kata kunci : ekosistem pesisir dan laut, pengelolaan terpadu I. PENDAHULUAN Sebagai suatu negara kepulauan terbesar di dunia dengan luas laut (termasuk ZEE) sekitar 5,8 juta km2 dan panjang pantai sekitar 95.181 km, Indonesia memiliki potensi sumberdaya alam pesisir dan laut yang sangat besar. Ekosistem pesisir dan laut dan laut menyediakan sumberdaya alam yang produktif baik sebagai sumber pangan, tambang mineral dan energi, transportasi, media komunikasi maupun kawasan rekreasi atau pariwisata. Karena itu ekosistem pesisir dan laut merupakan tumpuan harapan manusia dalam pemenuhan kebutuhan hidupnya di masa datang. Ekosistem pesisir dan laut yang merupakan suatu himpunan integral dari komponen hayati (organisme hidup) dan nir-hayati (fisik), mutlak dibutuhkan oleh manusia untuk hidup dan untuk meningkatkan mutu kehidupan. Komponen hayati dan nir-hayati secara fungsional berhubungan satu sama lain dan saling berinteraksi membentuk suatu sistem, yang dikenal dengan ekosistem atau sistem ekologi. Apabila terjadi perubahan pada salah satu dari kedua komponen tersebut, maka

Page 2: PENGELOLAAN EKOSISTEM DI WILAYAH PESISIR DAN LAUT …

BAHARI Jogja Vol.XI No.19 /2011 Juli 2011

22

akan dapat mempengaruhi keseluruhan sistem yang ada baik dalam kesatuan struktur fungsional maupun dalam keseimbangannya. Di dalam suatu ekosistem terjadi pertukaran materi dan transformasi energi yang berlangsung di antara kedua komponen dalam sistem tersebut, maupun dengan komponen-komponen dari sistem lain di luarnya. Kelangsungan suatu fungsi ekosistem sangat menentukan kelestarian dari sumberdaya alam sebagai komponen yang terlibat dalam sistem tersebut. Karena itu untuk menjamin kelestarian sumberdaya alam, kita perlu memperhatikan hubungan-hubungan ekologis yang berlangsung di antara komponen-komponen sumberdaya alam yang menyusun suatu sistem. Pembangunan yang merupakan suatu proses perubahan untuk meningkatkan taraf hidup manusia, tidak terlepas dari aktivitas pemanfaatan sumberdaya alam. Di dalam aktivitas ini sering dilakukan perubahan-perubahan pada sumberdaya alam. Perubahan-perubahan yang dilakukan tentunya akan memberikan pengaruh pada lingkungan hidup. Makin tinggi laju pembangunan, makin tinggi pula tingkat pemanfaatan sumberdaya alam dan makin besar perubahan-perubahan yang terjadi pada lingkungan hidup. Oleh karena itu, dalam perencanaan pembangunan pada suatu sistem ekologi yang berimplikasi pada perencanaan penggunaan sumberdaya alam, perlu diperhatikan kaidah-kaidah ekologis yang berlaku untuk mengurangi akibat-akibat negatif yang merugikan bagi kelangsungan pembangunan itu sendiri secara menyeluruh. Perencanaan pemanfaatan dan pengelolaan sumberdaya alam perlu dipertimbangkan secara cermat dan terpadu dalam setiap perencanaan pembangunan, sehingga dapat dicapai suatu pengembangan lingkungan hidup dalam lingkungan pembangunan. II.KETERKAITAN FUNGSIONAL EKOSISTEM PESISIR

DAN LAUT 2.1. Keragaman Ekosistem Utama Pesisir Dilihat dari sudut ekologi, wilayah pesisir kita merupakan lokasi beragam ekosistem yang unik dan saling terkait, dinamis dan produktif. Beberapa ekosistem utama di wilayah pesisir yang dikemukakan di Indonesia adalah : (1) estuaria, (2) hutan mangrove, (3) padang lamun, dan (4) terumbu karang. 2.1.1 Estuaria Deskripsi dan Klasifikasi

Page 3: PENGELOLAAN EKOSISTEM DI WILAYAH PESISIR DAN LAUT …

BAHARI Jogja Vol.XI No.19 /2011 Juli 2011

23

Estuaria adalah perairan pesisir semi tertutup yang mempunyai hubungan bebas dengan laut terbuka dan menerima masukan air tawar dari daratan. Sebagian besar estuaria didominasi oleh substrat berlumpur yang merupakan endapan yang dibawa oleh air tawar dan air laut. Contoh dari estuaria adalah muara sungai, teluk dan rawa pasang-surut. Berdasarkan pola sirkulasi dan stratifikasi air, terdapat tiga tipe estuaria : (1) Estuaria berstratifikasi sempurna/nyata atau estuaria baji garam, dicirikan oleh adanya batas yang jelas antara air tawar dan air asin. Estuaria tipe ini ditemukan di daerah-daerah dimana aliran air tawar dari sungai besar lebih dominan dari pada intrusi air asin dari laut yang dipengaruhi oleh pasang -surut. (2) Estuaria berstratifikasi sebagian/parsial merupakan tipe yang paling umum dijumpai. Pada estuaria ini, aliran air tawar dari sungai seimbang dengan air laut yang masuk melalui arus pasang. Pencampuran air dapat terjadi karena adanya turbulensi yang berlangsung secara berkala oleh aksi pasang-surut. (3) Estuaria campuran sempurna atau estuaria homogen vertikal. Estuaria tipe ini didapatkan di lokasi-lokasi di mana arus pasang-surut sangat dominan dan kuat, sehingga air estuaria tercampur sempurna dan tidak terdapat stratifikasi. Karakteristik Fisik Perpaduan antara beberapa sifat fisik estuaria mempunyai peranan yang penting terhadap kehidupan biota estuaria. Beberapa sifat fisik yang penting adalah sebagai berikut : (1) Salinitas. Estuaria memiliki gradien salinitas yang bervariasi, terutama bergantung pada masukan air tawar dari sungai dan air laut melalui pasang-surut. Variasi ini menciptakan kondisi yang menekan bagi organisme, tapi mendukung kehidupan biota yang padat dan juga menangkal predator dari laut yang pada umumnya tidak menyukai perairan dengan salinitas yang rendah. (2) Substrat. Sebagian besar estuaria didominasi oleh substrat berlumpur yang berasal dari sedimen yang dibawa melalui air tawar dan air laut. Sebagian besar partikel lumpur estuaria bersifat organik, sehingga substrat ini kaya akan bahan organik. Bahan organik ini menjadi cadangan makanan yang penting bagi organisme estuaria. (3) Sirkulasi Air. Selang waktu mengalirnya air tawar ke dalam estuaria dan masuknya air laut melalui arus pasang-surut menciptakan suatu gerakan dan transport air yang bermanfaat bagi biota estuaria, khususnya plankton yang hidup tersuspensi dalam air. (4) Pasang-surut. Arus

Page 4: PENGELOLAAN EKOSISTEM DI WILAYAH PESISIR DAN LAUT …

BAHARI Jogja Vol.XI No.19 /2011 Juli 2011

24

pasang-surut berperan penting sebagai pengangkut zat hara dan plankton. Di samping itu arus ini juga berperan untuk mengencerkan dan menggelontorkan limbah yang sampai di estuaria. (5) Penyimpanan Zat Hara. Peranan estuaria sebagai penyimpan zat hara sangat besar. Pohon bakau dan rumput laut serta ganggang lainnya dapat mengkonversi zat hara dan menyimpannya sebagai bahan organik yang akan digunakan kemudian oleh organisme hewani. Komposisi Biota dan Produktivitas Hayati Di estuaria terdapat tiga komponen fauna, yaitu fauna lautan, air tawar dan payau. Komponen fauna yang terbesar didominasi oleh fauna lautan, yaitu hewan stenohalin yang terbatas kemampuannya dalam mentolerir perubahan salinitas (umumnya 30‰) dan hewan eurihalin yang mempunyai kemampuan mentolerir berbagai penurunan salinitas di bawah 30‰. Komponen air payau terdiri dari spesies organisme yang hidup di pertengahan daerah estuaria pada salinitas antara 5 - 30‰. Spesies-spesies ini tidak ditemukan hidup pada perairan laut maupun tawar. Komponen air tawar biasanya terdiri dari hewan yang tidak mampu mentolerir salinitas di atas 5‰ dan hanya terbatas pada bagian hulu estuaria. Jumlah organisme yang mendiami estuaria jauh lebih sedikit jika dibandingkan dengan organisme yang hidup di perairan tawar dan laut. Sedikitnya jumlah spesies ini terutama disebabkan oleh fluktuasi kondisi lingkungan, sehingga hanya spesies yang memiliki kekhususan fisiologis yang mampu bertahan hidup di estuaria. Selain miskin dalam jumlah spesies fauna, estuaria juga miskin akan flora. Keruhnya perairan estuaria menyebabkan hanya tumbuhan mencuat yang dapat tumbuh mendominasi. Rendahnya produktivitas primer di kolom air, sedikitnya herbivora dan terdapatnya sejumlah besar detritus menunjukkan bahwa jaring-jaring makanan pada ekosistem estuaria merupakan rantai makanan detritus. Detritus membentuk substrat untuk pertumbuhan bakteri dan algae yang kemudian menjadi sumber makanan penting bagi organisme pemakan suspensi dan detritus. Suatu penumpukan bahan makanan yang dimanfaatkan oleh organisme estuaria merupakan produksi bersih dari detritus ini. Secara fisik dan biologis, estuaria merupakan ekosistem produktif yang setaraf dengan hutan hujan tropik dan terumbu karang , karena : (1) Estuaria berperan sebagai jebak zat hara yang cepat

Page 5: PENGELOLAAN EKOSISTEM DI WILAYAH PESISIR DAN LAUT …

BAHARI Jogja Vol.XI No.19 /2011 Juli 2011

25

didaurulang. (2) Beragamnya komposisi tumbuhan di estuaria baik tumbuhan makro (makrofiton) maupun tumbuhan mikro (mikrofiton), sehingga proses fotosintesis dapat berlangsung sepanjang tahun. (3) Adanya fluktuasi permukaan air terutama akibat aksi pasang-surut, sehingga antara lain memungkinkan pengangkutan bahan makanan dan zat hara yang diperlukan berbagai organisme estuaria. Fungsi Ekologis Estuaria dan Pemanfaatannya Secara umum estuaria mempunyai peran ekologis penting, antara lain sebagai berikut : (1) Sebagai sumber zat hara dan bahan organik yang diangkut lewat sirkulasi pasang-surut (tidal circulation). (2) Penyedia habitat bagi sejumlah spesies hewan (ikan, udang...) yang bergantung pada estuaria sebagai tempat berlindung dan tempat mencari makanan (feeding ground). (3) Sebagai tempat untuk bereproduksi dan/atau tempat tumbuh besar (nursery ground) terutrama bagi sejumlah spesies ikan dan udang. Sedangkan secara umum estuaria dapat dimanfaatkan oleh manusia sebagai : tempat pemukiman, tempat penangkapan dan budidaya sumberdaya ikan, jalur transportasi, bahkan juga pelabuhan maupun kawasan industri. 2.1.2 Hutan Mangrove Deskripsi dan Zonasi Hutan mangrove atau bakau merupakan komunitas vegetasi pantai tropis, yang didominasi oleh beberapa spesies pohon bakau yang mampu tumbuh dan berkembang pada daerah pasang-surut pantai berlumpur. Komunitas vegetasi ini umumnya tumbuh pada daerah intertidal dan supratidal yang cukup mendapat aliran air, dan terlindung dari gelombang besar dan arus pasang-surut yang kuat. Karena itu hutan mangrove banyak ditemukan di pantai-pantai teluk yang dangkal, estuaria, delta dan daerah pantai yang terlindung. Penyebaran hutan mangrove ditentukan oleh berbagai faktor lingkungan, salah satu diantaranya adalah salinitas. Berdasarkan salinitas kita mengenal zonasi hutan mangrove sebagai berikut (De Haan dalam Russell & Yonge, 1968) : (1) Zona air payau hingga air laut dengan salinitas pada waktu terendam air pasang berkisar antara 10 – 30 per mil (‰), yang meliputi : Area yang terendam sekali atau dua kali sehari selama 20 hari dalam sebulan, seperti Rhizophora mucronata yang masih dapat tumbuh. Area yang terendam 10 - 19 kali per bulan, misalnya Avicennia (A. alba, A. marina),

Page 6: PENGELOLAAN EKOSISTEM DI WILAYAH PESISIR DAN LAUT …

BAHARI Jogja Vol.XI No.19 /2011 Juli 2011

26

Sonneratia griffithii dan dominan Rhizophora sp. Sedangkan pada area yang terendam kurang dari sembilan kali setiap bulan, dapat ditemukan semisal Rhizophora sp., Bruguiera sp. Dan pada area yang terendam hanya beberapa hari dalam setahun, contohnya Bruguiera gymnorhiza dominan, dan Rhizophora apiculata. (2) Zona air tawar hingga air payau, dimana salinitas berkisar antara 0- 10‰, meliputi : Area yang kurang lebih masih dibawah pengaruh pasang surut, seperti asosiasiasi Nypa dan di area yang terendam secara musiman, biasanya didominasi Hibiscus. Adaptasi Pohon Bakau Hutan mangrove yang umumnya didominasi oleh pohon bakau dari empat genera (Rhizophora, Avicennia, Sonneratia dan Bruguiera), memiliki daya adaptasi yang khas untuk dapat hidup dan berkembang pada substrat berlumpur yang sering bersifat asam dan anoksik. Daya adaptasi ini meliputi : (1) Sistem perakaran yang khas bertipe cakar ayam dan penyangga. Sistem perakaran cakar ayam yang menyebar luas di permukaan substrat, memiliki sederet cabang akar berbentuk pinsil yang tumbuh tegak lurus ke permukaan substrat. Cabang akar ini disebut pneumatofora dan berfungsi untuk mengambil oksigen. Sistem perakaran penyangga berbeda dengan sistem perakaran cakar ayam, dimana akar-akar penyangga tumbuh dari batang pohon menembus permukaan substrat. Pada akar penyangga ini tidak ditemukan pneumatofora seperti pada akar cakar ayam, tapi mempunyai lobang-lobang kecil yang disebut lentisel yang juga berfungsi untuk melewatkan udara (mendapatkan oksigen). (2) Berdaun tebal dan kuat yang mengandung kelenjar-kelenjar garam untuk dapat menyekresi garam. (3) Mempunyai jaringan internal penyimpan air untuk mengatur keseimbangan garam. Fungsi Ekologis Hutan Mangrove dan Pemanfaatannya Sebagai suatu ekosistem khas perairan pesisir, hutan mangrove memiliki beberapa fungsi ekologis penting : (1) Sebagai peredam gelombang dan angin badai, pelindung pantai dari abrasi, penahan lumpur dan perangkap sedimen yang diangkut oleh aliran air permukaan. (2) Sebagai penghasil sejumlah besar detritus, terutama yang berasal dari daun dan dahan pohon bakau yang rontok. Sebagian dari detritus ini dapat dimanfaatkan sebagai bahan makanan bagi para pemakan detritus, dan sebagian lagi diuraikan secara bakterial menjadi mineral-mineral hara yang berperan dalam penyuburan perairan. (3) Sebagai daerah asuhan (nursery ground), daerah mencari makanan (feeding

Page 7: PENGELOLAAN EKOSISTEM DI WILAYAH PESISIR DAN LAUT …

BAHARI Jogja Vol.XI No.19 /2011 Juli 2011

27

ground) dan daerah pemijahan (spawning ground) bermacam biota perairan (ikan, udang dan kerang-kerangan...) baik yang hidup di perairan pantai maupun lepas pantai.

Sedangkan manfaat dari hutan mangrove sebagai penghasil kayu untuk bahan konstruksi, kayu bakar, bahan baku untuk membuat arang, dan juga untuk dibuat pulp. Di samping itu ekosistem mangrove dimanfaatkan sebagai pemasok nutrient, larva ikan dan udang alam. 2.1.3 Padang Lamun Deskripsi Lamun (seagrass) merupakan satu-satunya tumbuhan berbunga yang hidup terendam di dalam laut. Lamun umumnya membentuk padang lamun yang luas di dasar laut yang masih dapat dijangkau oleh cahaya matahari yang memadai bagi pertumbuhannya. Lamun hidup di perairan yang dangkal dan jernih, dengan sirkulasi air yang baik. Air yang bersirkulasi diperlukan untuk menghantarkan zat-zat hara dan oksigen, serta mengangkut hasil metabolisme lamun ke luar daerah padang lamun. Hampir semua tipe substrat dapat ditumbuhi lamun, mulai dari substrat berlumpur sampai berbatu. Namun padang lamun yang luas lebih sering ditemukan di substrat lumpur-berpasir yang tebal antara hutan wara mangrove dan terumbu karang. Padang lamun merupakan ekosistem yang tinggi produktivitas organiknya. Pada ekosistem ini hidup beraneka ragam biota laut, seperti ikan, krustasea, moluska, dan cacing. Fungsi Padang Lamun dan Pemanfaatannya Secara ekologis padang lamun mempunyai beberapa fungsi penting bagi perairan pesisir, yaitu : produsen detritus dan zat hara, mengikat sedimen dan menstabilkan substrat yang lunak, dengan sistem perakaran yang padat dan saling menyilang. Di samping itu juga sebagai tempat berlindung, mencari makan, tumbuh besar, dan memijah bagi beberapa jenis biota laut, terutama yang melewati masa dewasanya di lingkungan ini, serta sebagai tudung pelindung yang melindungi penghuni padang lamun dari sengatan matahari secara langsung. Sedangkan manfaat dari padang lamun antara lain : seabagai tempat kegiatan marikultur berbagai jenis ikan, kerang-kerangan dan tiram, rekreasi atau pariwisata, pendidikan dan penelitian, serta sebagai sumber pupuk hijau. 2.1.4 Terumbu Karang

Page 8: PENGELOLAAN EKOSISTEM DI WILAYAH PESISIR DAN LAUT …

BAHARI Jogja Vol.XI No.19 /2011 Juli 2011

28

Diskripsi Struktur dan Tipe Terumbu Karang Sama halnya dengan hutan mangrove, terumbu karang merupakan suatu ekosistem khas yang terdapat di perairan pesisir daerah tropis. Pada dasarnya terumbu terbentuk dari endapan-endapan masif kalsium karbonat (CaCO3), yang dihasilkan oleh organisme karang pembentuk terumbu (karang hermatipik) dari filum Cnidaria, ordo Scleractinia yang hidup bersimbiosis dengan zooxantellae, dan sedikit tambahan dari algae berkapur serta organisme lain yang menyekresi kalsium karbonat. Karang pembentuk terumbu (karang hermatipik) hidup berkoloni, dan tiap individu karang yang disebut polip menempati mangkuk kecil yang dinamakan koralit. Tiap mangkuk koralit mempunyai beberapa septa yang tajam dan berbentuk daun yang tumbuh keluar dari dasar koralit, dimana septa ini merupakan dasar penentuan spesies karang. Tiap polip adalah hewan berkulit ganda, dimana kulit luar yang dinamakan epidermis dipisahkan oleh lapisan jaringan mati (mesoglea) dari kulit dalamnya yang disebut gastrodermis. Dalam gastrodermis terdapat tumbuhan renik bersel tunggal yang dinamakan zooxantellae yang hidup bersimbiosis dengan polip. Zooxantellae dapat menghasilkan bahan organik melalui proses fotosintesis, yang kemudian disekresikan sebagian ke dalam usus polip sebagai pangan. Secara umum terumbu karang terdiri atas tiga tipe: (1) terumbu karang tepi (fringing reef), (2) terumbu karang penghalang (barrier reef), dan (3) terumbu karang cincin atau atol. Terumbu karang tepi dan penghalang berkembang sepanjang pantai, namun perbedaannya adalah bahwa terumbu karang penghalang berkembang lebih jauh dari daratan dan berada di perairan yang lebih dalam dibandingkan dengan terumbu karang tepi. Terumbu karang cincin atau atol merupakan terumbu karang yang muncul dari perairan dalam dan jauh dari daratan. Faktor-faktor Pembatas Perkembangan Terumbu Karang Perkembangan terumbu dipengaruhi oleh beberapa faktor fisik lingkungan yang dapat menjadi pembatas bagi karang untuk membentuk terumbu. Adapun faktor-faktor fisik lingkungan yang berperan dalam perkembangan terumbu adalah sebagai berikut : (1) Suhu air >18oC, tapi bagi perkembangan yang optimal diperlukan suhu rata-rata tahunan berkisar antara 23 - 25oC, dengan suhu maksimal yang masih dapat ditolerir berkisar antara 36 - 40oC. (2) Kedalaman perairan

Page 9: PENGELOLAAN EKOSISTEM DI WILAYAH PESISIR DAN LAUT …

BAHARI Jogja Vol.XI No.19 /2011 Juli 2011

29

<50 m, dengan kedalaman bagi perkembangan optimal pada 25 m atau kurang. (3) Salinitas air yang konstan berkisar antara 30 - 36‰. (4) Perairan yang cerah, bergelombang besar dan bebas dari sedimen. Komposisi Biota Terumbu Karang Terumbu karang merupakan habitat bagi beragam biota antara lain beragam avertebrata (hewan tak bertulang belakang): terutama karang batu (stony coral), juga berbagai krustasea, siput dan kerang-kerangan, ekinodermata (bulu babi, anemon laut, teripang, bintang laut dan leli laut). Juga beraneka ragam ikan : 50 - 70% ikan karnivora oportunistik, 15% ikan herbivora dan sisanya omnivora. Sedangkan jenis reptil : umumnya ular laut dan penyu laut dan berupa ganggang maupun rumput laut, seperti : algae koralin, algae hijau berkapur dan sejenisnya. Fungsi Terumbu Karang dan Pemanfaatannya Terumbu karang, khususnya terumbu karang tepi dan penghalang, berperan penting sebagai pelindung pantai dari hempasan ombak dan arus kuat yang berasal dari laut. Selain itu, terumbu karang mempunyai peran utama sebagai habitat (tempat tinggal), tempat mencari makanan (feeding ground), tempat asuhan dan pembesaran (nursery ground), tempat pemijahan (spawning ground) bagi berbagai biota yang hidup di terumbu karang atau sekitarnya. Sedangkan manfaat dari terumbu karang baik secara langsung maupun tidak langsung sebagai tempat penangkapan berbagai jenis biota laut konsumsi, dan berbagai jenis ikan hias, bahan konstruksi bangunan dan pembuatan kapur, bahan perhiasan maupun sebagai bahan baku farmasi. 2.2 Komponen Fungsional Ekosistem Pesisir dan Laut Sebagaimana telah dikemukakan di atas bahwa sumberdaya hayati pesisir yang merupakan satuan kehidupan (organisme hidup) saling berhubungan dan berinteraksi dengan lingkungan nir-hayatinya (fisik) membentuk suatu sistem. Dengan demikian, pembahasan selanjutnya dititik beratkan pada ekosistem pesisir dan laut yang merupakan unit fungsional komponen hayati (biotik) dan nir-hayati (abiotik). Komponen biotik yang menyusun suatu ekosistem pesisir dan laut terbagi atas empat kelompok utama: (1) produser, (2) konsumer primer, (3) konsumer sekunder dan (4) dekomposer. Sebagai produser adalah vegetasi autotrof, algae dan fitoplankton yang menggunakan energi matahari untuk proses fotosintesa yang menghasilkan zat organik

Page 10: PENGELOLAAN EKOSISTEM DI WILAYAH PESISIR DAN LAUT …

BAHARI Jogja Vol.XI No.19 /2011 Juli 2011

30

kompleks dari zat anorganik sederhana. Sebagai konsumer primer adalah hewan-hewan yang memakan produser, disebut herbivora. Herbivora ini menghasilkan pula materi organik (pertumbuhan, reproduksi.), tapi mereka tergantung sepenuhnya dari materi organik yang disintesa oleh tumbuhan atau fitoplankton yang dimakannya. Konsumer sekunder adalah karnivora, yaitu semua organisme yang memakan hewan. Untuk suatu analisis yang lebih jelas, kita dapat membagi lagi konsumer sekunder ke dalam konsumer tersier yang memakan konsumer sebelumnya. Sesungguhnya banyak jenis organisme yang tidak dengan mudah dapat diklasifikasikan ke dalam tingkatan trofik ini, karena mereka dapat dimasukkan ke dalam beberapa kelompok: konsumer primer dan sekunder (omnivora), konsumer sekunder dan tersier (predator atau parasit herbivora dan karnivora). Sebagai dekomposer adalah organisme avertebrata, bakteri dan cendawan yang memakan materi organik mati: bangkai, daun-daunan yang mati, ekskreta... Pada prinsipnya terdapat tiga proses dasar yang menyusun struktur fungsional komponen biotik ini : (1) proses produksi (sintesa materi organik), (2) proses konsomasi (memakan materi organik) dan (3) proses dekomposisi atau mineralisasi (pendaurulangan materi). Komponen abiotik dari suatu ekosistem pesisir dan laut terbagi atas tiga komponen utama : (1) unsur dan senyawa anorganik, karbon, nitrogen dan air yang terlibat dalam siklus materi di suatu ekosistem, (2) bahan organik, karbohidrat, protein dan lemak yang mengikat komponen abiotik dan biotik dan (3) regim iklim, suhu dan faktor fisik lain yang membatasi kondisi kehidupan. Dari sejumlah besar unsur dan senyawa anorganik sederhana yang dijumpai di suatu ekosistem pesisir dan laut, terdapat unsur-unsur tertentu yang penting bagi kehidupan. Unsur-unsur tersebut merupakan substansi biogenik atau unsur hara baik makro (karbon, nitrogen, fosfor) maupun mikro (besi, seng, magnesium). Karbohidrat, protein dan lemak yang menyusun tubuh organisme hidup juga terdapat di lingkungan. Senyawa tersebut dan ratusan senyawa kompleks lainnya menyusun komponen organik dari kompartimen abiotik. Bila tubuh organisme hancur, selanjutnya akan terurai menjadi fragmen-fragmen dengan berbagai ukuran yang secara kolektif disebut detritus organik. Karena biomassa tanaman lebih besar dibandingkan dengan hewan, maka detritus tanaman biasanya lebih

Page 11: PENGELOLAAN EKOSISTEM DI WILAYAH PESISIR DAN LAUT …

BAHARI Jogja Vol.XI No.19 /2011 Juli 2011

31

menonjol dibandingkan dengan hewan. Demikian pula tanaman biasanya lebih lambat hancur dibandingkan dengan hewan. Bahan organik terdapat dalam bentuk terlarut dan partikel. Bila bahan organik terurai, bahan tersebut dinamakan humus atau zat humik, yaitu suatu bentuk yang resisten terhadap penghancuran lebih lanjut. Peranan humus dalam ekosistem tidak sepenuhnya dimengerti, tapi diketahui dengan pasti kontribusinya pada sifat tanah. Kategori ketiga dari komponen abiotik suatu ekosistem pesisir dan laut adalah faktor-faktor fisik (iklim). Faktor iklim (suhu, curah hujan, kelembaban) sebagaimana halnya sifat kimiawi air dan tanah serta lapisan geologi di bawahnya, merupakan penentu keberadaan suatu jenis organisme. Faktor-faktor ini senantiasa berada dalam satu seri gradien.Kemampuan adaptasi organisme seringkali berubah secara bertahap sepanjang gradien tersebut, tapi sering pula terdapat titik perubahan yang berbaur atau zona persimpangan yang disebut ekoton (misalnya zona intertidal perairan laut). 2.3. Keterkaitan Ekologis Ekosistem Pesisir dan Laut Pesisir merupakan wilayah peralihan antara ekosistem daratan dan laut yang saling berhubungan satu sama lain. Karena itu pengelolaan wilayah pesisir baik langsung maupun tidak langsung harus memperhatikan keterkaitan ekologis antar ekosistem di wilayah pesisir dan juga dengan daratan. Ekosistem pesisir dan laut berperan penting sebagai penyedia pangan, tempat perlindungan dan tempat berkembangbiak berbagai jenis ikan, udang, kerang dan biota laut lainnya (Bengen, 2000). Selain itu, ekosistem pesisir dan laut (terutama ekosistem mangrove dan terumbu karang) juga memiliki fungsi yang sangat penting sebagai pelindung pantai dan pemukiman pesisir dari hantaman gelombang, badai dan erosi pantai. Karena itu pengelolaan ekosistem pesisir dan laut baik langsung maupun tidak langsung harus memperhatikan keterkaitan ekologis antar ekosistem di wilayah pesisir. Salah satu bentuk keterkaitan antara ekosistem darat dan laut di wilayah pesisir dapat dilihat dari pergerakan air sungai, aliran air limpasan (run-off), aliran air tanah (ground water) dengan berbagai materi yang terkandung di dalamnya (seperti nutrien, sedimen dan bahan pencemar) yang akhirnya bermuara di perairan pesisir. Pola sedimentasi dan abrasi juga ditentukan pergerakan massa air baik dari daratan maupun laut. Di samping itu pergerakan massa air ini juga berperan

Page 12: PENGELOLAAN EKOSISTEM DI WILAYAH PESISIR DAN LAUT …

BAHARI Jogja Vol.XI No.19 /2011 Juli 2011

32

dalam perpindahan biota perairan (misalnya plankton, ikan, dan udang) dan bahan pencemar dari satu lokasi ke lokasi lainnya. Keterkaitan berbagai ekosistem pesisir dan laut, seperti antara ekosistem mangrove, padang lamun dan terumbu karang, menyebabkan wilayah pesisir memiliki produktivitas hayati yang tinggi, dan berperan penting sebagai penunjang kehidupan manusia. Hal ini dapat terlihat dari kenyataan bahwa kehidupan dari sekitar 85% biota laut tropis, termasuk Indonesia, bergantung pada ekosistem pesisir dan laut (Berwick, 1993). Demikian pula sekitar 90% dari total hasil tangkapan ikan dunia berasal dari perairan pesisir (coastal waters) (FAO, 1998). Ekosistem mangrove, padang lamun dan terumbu karang sebagai ekosistem utama di pesisir memiliki keterkaitan dan interaksi yang erat satu sama lain, dimana bila terjadi gangguan pada salah satu ekosistem tersebut akan mempengaruhi ekosistem lainnya, dan selanjutnya keseluruhan ekosistem di kawasan pesisir akan terganggu pula (lihat Gambar 1).

Gambar 1. Interaksi antara tiga ekosistem utama di pesisir (Ogden

dan Gladfelter, 1983) Selain bentuk interaksi seperti terlihat pada Gambar 1, ekosistem pesisir dan laut (khususnya keempat ekosistem tersebut di atas) memiliki keterkaitan ekologis penting sebagai tempat pemijahan, asuhan, dan mencari makanan bagi beragam biota laut, disamping sebagai tempat persinggahan satwa burung pada saat migrasi maupun sebagai penunjang kehidupan lainnya. Di samping itu interaksi ketiga

Page 13: PENGELOLAAN EKOSISTEM DI WILAYAH PESISIR DAN LAUT …

BAHARI Jogja Vol.XI No.19 /2011 Juli 2011

33

ekosistem pesisir dan laut tersebut juga berperan sebagai perangkap sedimen dari lahan atas (hulu), mereduksi konsentrasi bahan-bahan pencemar, menahan laju abrasi yang disebabkan oleh gelombang laut dan banjir.

Ekosistem mangrove sebagai salah satu ekosistem utama di wilayah pesisir memiliki peran biologis yang sangat penting untuk tetap menjaga kestabilan produktivitas dan ketersediaan sumberdaya hayati wilayah pesisir. Hal ini mengingat karena ekosistem mangrove juga merupakan daerah asuhan (nursery ground) dan pemijahan (spawning ground) beberapa jenis biota perairan seperti udang, ikan dan kerang-kerangan. Menurut Martosubroto dan Naamin (1979) dan Turner (1985) produksi hasil tangkapan udang di suatu perairan pesisir berbanding lurus dengan luas hutan mangrove di wilayah tersebut (lihat Gambar 2).

Gambar 2. Grafik hubungan antara produksi hutan dengan luas hutan mangrove di suatu perairan (Naamin, 1979; Turner, 1985)

III. KETERPADUAN DALAM PENGELOLAAN PESISIR BERBASIS EKOSISTEM Kompleksitas sistem pada wilayah pesisir, baik itu sumberdaya

alam maupun masyarakatnya, mutlak memerlukan suatu pengelolaan yang tepat dan terpadu, bagi keberlanjutan pembangunan wilayah pesisir. Berdasarkan pada karakteristik dan dinamika dari wilayah pesisir, potensi dan permasalahan pembangunan, serta banyaknya tumpang tindih kepentingan pemanfaatan, baik dari masyarakat maupun

Luas hutan mangrove (Ha)

Y = 0.06 + 0.15 X

Has

il Ta

ngka

pan

Uda

ng (t

on/th

)

Page 14: PENGELOLAAN EKOSISTEM DI WILAYAH PESISIR DAN LAUT …

BAHARI Jogja Vol.XI No.19 /2011 Juli 2011

34

pemerintah, maka pencapaian pembangunan wilayah pesisir secara berkelanjutan hanya dapat dilakukan melalui pengelolaan wilayah secara terpadu.

Pembangunan wilayah merupakan proses interaksi positif di antara faktor-faktor internal (nasional) dan eksternal (internasional). Keterbatasan pemanfaatan sumberdaya alam di daratan sudah sampai pada batas-batas yang mengkhawatirkan , entah karena keterbatasan semata atau salah kelola. Kondisi seperti ini mendorong pergeseran basis dari pemanfaatan intensif (padat modal dan teknologi) di daratan ke pemanfaatan alternatif di pesisir. Pergeseran ini sekaligus menjadi peringatan keras terhadap metode dan sistem pengelolaan sumberdaya alam pesisir yang akan dikembangkan, yaitu agar menghindari pengulangan hal yang sama seperti dialami dalam pemanfaatan sumberdaya alam di daratan.

Di pihak lain tema pengelolaan lebih menitikberatkan pada inovasi dari aspirasi lokal. Kata ini sejalan dengan konsep pembangunan partisipatif, demokratis, dan bertumpu pada kemampuan lokal. Berbagai kebutuhan masyarakat yang selama ini terpenuhi oleh ketersediaan sumberdaya lokal dengan teknologi tradisional, perlu mendapat perhatian untuk pengembangannya lebih lanjut, dalam bentuk asimilasi teknologi tradisional dengan yang mutakhir dalam rangka peningkatan efisiensi. Di samping itu introduksi teknologi yang sudah terlanjur dikembangkan tetapi memberikan dampak pada penurunan kualitas lingkungan hidup baik di darat maupun di laut, perlu mendapat peninjauan ulang demi pertumbuhan teknologi tradisional dan kelestarian lingkungan hidup. Teknologi yang memberikan dampak negatif terhadap kualitas lingkungan hidup biasanya berdampak pula pada penghambatan proses peningkatan kesejahteraan masyarakat miskin.

Fenomena reformasi dan krisis, mengajarkan kepada kita untuk lebih memperhatikan konteks sosial dari pekerjaan-pekerjaan pengelolaan pesisir. Kita tidak dapat dengan serta merta, meminta masyarakat Indonesia untuk mendukung pendekatan pengelolaan sumberdaya pesisir secara terpadu tanpa memberikan banyak contoh dan implementasi pengelolaan pesisir di banyak wilayah di Indonesia. Hal ini bermakna, keberlanjutan pengelolaan sumberdaya pesisir menjadi urgen sebagai upaya pembelajaran baik teknis maupun kapabilitas untuk memperkaya dan menyempurnakan contoh-contoh

Page 15: PENGELOLAAN EKOSISTEM DI WILAYAH PESISIR DAN LAUT …

BAHARI Jogja Vol.XI No.19 /2011 Juli 2011

35

(aplikasi) lapangan mengenai substansi pengelolaan pesisir Indonesia yang terpadu dan berkelanjutan bagi generasi mendatang.

3.1. Kepentingan Zonasi Dalam Pengelolaan Pesisir Terpadu

Berdasarkan perspektif keterpaduan pembangunan wilayah berbasis ekosistem, maka pengelolaan wilayah pesisir secara terpadu pada dasarnya adalah bagaimana mengelola segenap kegiatan pembangunan yang terkait dengan ekosistem pesisir agar total dampaknya tidak melebihi kapasitas fungsional ekosistem tersebut. Setiap ekosistem alamiah, termasuk di wilayah pesisir, memiliki 4 fungsi pokok bagi kehidupan manusia : (1) sebagai penyedia jasa-jasa pendukung kehidupan, (2) sebagai penyedia jasa-jasa kenyamanan, (3) sebagai penyedia sumberdaya alam, dan (4) sebagai penerima limbah (Ortolano, 1984).

Dari keempat fungsi ekosistem alamiah tersebut, dapatlah dimengerti bahwa kemampuan dua fungsi yang pertama tidak terlepas dari dua fungsi yang terakhir. Ini berarti bahwa jika kemampuan dua fungsi terakhir (sebagai penyedia sumberdaya alam dan sebagai penerima limbah) dari suatu ekosistem alamiah tidak dirusak oleh kegiatan manusia, maka fungsinya sebagai pendukung kehidupan dan penyedia jasa-jasa kenyamanan diharapkan tetap terpelihara. Sedangkan berdasarkan keempat fungsi ekosistem di atas, maka secara ekologis terdapat tiga persyaratan yang dapat menjamin tercapainya pengelolaan ekosistem yang optimal dan lestari, yaitu : (1) keharmonisan spasial, (2) kapasitas asimilasi, dan (3) pemanfaatan berkelanjutan. Keharmonisan spasial mensyaratkan, bahwa suatu wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil hendaknya memiliki tiga zona, yaitu zona preservasi, konservasi dan pemanfaatan, atau dengan kata lain suatu wilayah pesisir seyogyanya tidak seluruhnya diperuntukkan bagi zona pemanfaatan, tetapi juga dialokasikan untuk zona preservasi dan konservasi. Contoh daerah preservasi adalah daerah pemijahan ikan (spawning ground) dan jalur hijau pantai. Dalam zona preservasi ini tidak diperkenankan adanya kegiatan pembangunan yang bersifat ekstraktif, kecuali untuk pendidikan dan penelitian. Sementara itu, beberapa kegiatan pembangunan, seperti pariwisata alam, pemanfaatan hutan mangrove dan kegiatan perikanan secara berkelanjutan dapat berlangsung dalam zona konservasi

Page 16: PENGELOLAAN EKOSISTEM DI WILAYAH PESISIR DAN LAUT …

BAHARI Jogja Vol.XI No.19 /2011 Juli 2011

36

Keberadaan zona preservasi dan konservasi dalam suatu wilayah pembangunan sangat penting dalam memelihara berbagai proses penunjang kehidupan, seperti siklus hidrologi dan unsur hara, membersihkan limbah secara alamiah, dan sumber keanekaragaman hayati (biodiversity). Selanjutnya, setiap kegiatan pembangunan (industri, pertanian, budidaya perikanan, pemukiman dan lainnya) dalam zona pemanfaatan hendaknya ditempatkan pada lokasi yang secara biofisik sesuai, sehingga membentuk suatu mozaik yang harmonis. Penempatan setiap kegiatan dalam zona pemanfaatan ini hendaknya memperhatikan: (1) kesesuaian (suitability) dari unit lahan atau perairan bagi setiap kegiatan pemanfaatan; (2) pengaruh (dampak) kegiatan di lahan atas/daratan, terutama dalam bentuk pencemaran, sedimentasi, dan perubahan regim hidrologi; dan (3) keserasian (compatibility) antar kegiatan pemanfaatan.

Keunikan dan kompleksitas wilayah pesisir dengan beragam ekosistem yang ada, mengisyaratkan pentingnya pengelolaan ekosistem di wilayah tersebut secara terpadu dengan berbasis pada zonasi. Hal ini dapat dijelaskan dengan alasan sebagai berikut : (1) Secara empiris, terdapat keterkaitan ekologis (hubungan fungsional) baik antar ekosistem di dalam wilayah pesisir maupun antara wilayah pesisir dengan lahan atas dan laut lepas. Dengan demikian perubahan yang terjadi pada suatu ekosistem pesisir dan laut (ekosistem mangrove, misalnya), cepat atau lambat akan mempengaruhi ekosistem lainnya. Begitu pula halnya, jika pengelolaan kegiatan pembangunan (industri, pertanian, pemukiman, dan lain-lain) di lahan atas suatu DAS (Daerah Aliran Sungai) tidak dilakukan secara arif (berwawasan lingkungan), maka dampak negatifnya akan merusak tatanan dan fungsi ekologis wilayah pesisir (Gambar 3). (2) Dalam beragam ekosistem di wilayah pesisir, biasanya terdapat lebih dari satu macam sumberdaya alam dan jasa-jasa lingkungan yang dapat dikembangkan untuk kepentingan pembangunan. (3) Baik secara ekologis maupun ekonomis, pemanfaatan tunggal ekosistem di wilayah pesisir (single use) adalah sangat rentan terhadap perubahan internal maupun eksternal yang menjurus pada kegagalan usaha.

Page 17: PENGELOLAAN EKOSISTEM DI WILAYAH PESISIR DAN LAUT …

BAHARI Jogja Vol.XI No.19 /2011 Juli 2011

37

Gambar 3. Keterkaitan antara berbagai komponen ekosistem dan pemanfaatannya

di kawasan pesisir. Dengan berbagai alasan keunikan dan kompleksitas sistem pada wilayah pesisir sebagaimana dikemukakan di atas, maka untuk menjamin pemanfaatan potensi sumberdaya dan lingkungan pesisir secara bekelanjutan, mutlak diperlukan suatu pendekatan pengelolaan pesisir terpadu yang berbasis pada zonasi.

3.2.Kesesuaian Lingkungan Sebagai Basis Zonasi Pengelolaan Pesisir

Kesesuaian unit lahan/perairan untuk zonasi pengelolaan pesisir pada dasarnya mensyaratkan agar setiap kegiatan pemanfaatan pesisir ditempatkan pada zona yang secara ekologis (biogeofisik-kimiawi) sesuai dengan kegiatan pemanfaatan dimaksud. Untuk wilayah pesisir yang menerima dampak negatif (negative externalities) berupa bahan pencemar, sedimen, atau perubahan regim hidrologi, baik melalui aliran sungai, limpasan air permukaan (run off), atau aliran air tanah (ground water), dampak kegiatan pemanfaatan tersebut hendaknya ditekan seminimal mungkin, sehingga kegiatan yang berada di wilayah pesisir masih dapat menenggang segenap dampak negatif tersebut. Contohnya, jika suatu wilayah pesisir sudah diperuntukkan bagi kegiatan pariwisata, budidaya tambak, budidaya laut, atau kawasan konservasi, maka dampak negatif (pencemaran, sedimentasi, atau perubahan regim hidrologi) yang diakibatkan oleh

Page 18: PENGELOLAAN EKOSISTEM DI WILAYAH PESISIR DAN LAUT …

BAHARI Jogja Vol.XI No.19 /2011 Juli 2011

38

kegiatan pemanfaatan di lahan atas/daratan hendaknya diminimalkan atau kalau mungkin ditiadakan.

Pemanfaatan sumberdaya alam yang dapat pulih (ikan, udang, kayu mangrove, rumput laut, dll) hendaknya dilakukan tidak boleh melebihi potensi lestarinya. Sementara itu, pemanfaatan sumberdaya alam tidak dapat pulih perlu dilakukan secara efisien, hemat hingga dapat ditemukan sumberdaya substitusinya, dan dampaknya diminimalkan. Manakala perairan pesisir digunakan untuk tempat penampungan limbah, maka jenis limbah yang dibuang tidak boleh mengandung B3 (Bahan Beracun dan Berbahaya). Selain itu, jumlah limbah yang dibuang ke dalamnya tidak boleh melampaui kapasitas asimilasi (assimilative capacity) dari perairan pesisir bersangkutan.

Jika melakukan kegiatan rekayasa pesisir (coastal engineering, construction, and development), maka perubahan proses-proses ekologis atau oseanografis serta bentang alam (landscape) yang ditimbulkan hendaknya masih dapat ditenggang oleh ekosistem pesisir dan laut tersebut. Dengan perkataan lain, kegiatan pembangunan (seperti reklamasi, pembuatan jetty, pemecah gelombang, dll) hendaknya menyesuaikan dengan karakteristik dan dinamika alamiah (design with nature principles).

Setiap aktifitas manusia dalam pemanfaatan sumberdaya tentu dimaksudkan untuk sebesar-besarnya kemakmuran bagi dirinya dan lingkungan sekitarnya. Dalam prakteknya upaya untuk memakmurkan diri dan lingkungannya dibatasi oleh hak individu lainnya dan kemampuan terbatas sumberdaya untuk memenuhi segenap maksud manusia tersebut. Dengan demikian perlu optimalisasi pemanfaatan sumberdaya melalui pengelolaan yang terpadu, agar kebutuhan manusia dapat terpenuhi sekaligus menjaga sumberdaya agar tetap lestari/berkelanjutan. Salah satu cara untuk mencapai keseimbangan antara ketersediaan sumberdaya dan kebutuhan manusia adalah menetapkan jenis dan besaran aktifitas manusia sesuai dengan kemampuan lingkungan untuk menampungnya. Dengan perkataan lain penzonasian pemanfaatan sumberdaya di suatu wilayah pesisir harus didasarkan pada analisis kesesuaian lingkungan.

Secara teoritis analisis kesesuaian lingkungan harus mencakup aspek ekologis, sosial dan ekonomi .

Page 19: PENGELOLAAN EKOSISTEM DI WILAYAH PESISIR DAN LAUT …

BAHARI Jogja Vol.XI No.19 /2011 Juli 2011

39

Aspek ekologis Dari aspek ekologis dapat didekati dengan menganalisis : (1) Potensi Maksimum Sumberdaya Berkelanjutan. Berdasarkan analisis ilmiah dan teoritis dihitung potensi atau kapasitas maksimum sumberdaya untuk menghasilkan barang dan jasa (goods and services) dalam jangka waktu tertentu. (2) Kapasitas Daya Dukung (Carrying Capacity), yaitu sebagai tingkat pemanfaatan sumberdaya alam atau ekosistem secara berkesinambungan tanpa menimbulkan kerusakan sumberdaya alam dan lingkungannya. (3) Kapasitas Penyerapan Limbah (Assimilative Capacity), yaitu kemampuan sumberdaya alam dapat pulih (misalnya air, udara, tanah) untuk menyerap limbah aktifitas manusia. Kapasitas ini bervariasi akibat faktor eksternal seperti cuaca, temperatur dan intervensi manusia. Aspek Sosial

Aspek sosial dapat ditilik dari penerimaan masyarakat terhadap aktifitas yang akan dilakukan, mencakup dukungan sosial/terhindar dari konflik pemanfaatan, terjaganya kesehatan masyarakat dari akibat pencemaran, budaya, estetika, keamanan, dan kompatibilitas. Aspek Ekonomi

Aspek ekonomi dapat ditinjau dari kelayakan usaha dari aktifitas yang akan dilaksanakan. Analisisnya meliputi : Revenue Cost Ratio (R/C), Net Present Value (NPV), Net Benefit Cost Ratio (Net B/C), Internal Rate Return (IRR), dan Analisis Sensitivitas (Sensitivity Analysis).

Pada tataran praktis, proses penyusunan kesesuaian lingkungan dilakukan dengan prinsip membandingkan kriteria faktor-faktor penentu kesesuaian lingkungan dengan kondisi saat ini, melalui teknik tumpang susun (overlay) dan analisis tabular dengan menggunakan alat (tools) berupa Sistem Informasi Geografis (SIG). Kriteria awal yang disusun umumnya dari prasyarat ekologis, selanjutnya secara terpisah hasil analisis SIG berupa lokasi dan luasan yang sesuai dengan kriteria yang dipersyaratkan, menjadi bahan bagi analisis daya dukung, analisis kapasitas asimilasi dan analisis kelayakan usahanya. Hasil analisis kesesuaian lingkungan secara menyeluruh dapat menghasilkan: (1) Kawasan yang memenuhi kriteria yang dipersyaratkan (sangat sesuai), (2) Kawasan dengan pemenuhan sebagian persyaratan kesesuaian (sesuai), (3) Kawasan dengan sedikit pemenuhan persyaratan kesesuaian, tetapi dengan bantuan teknologi dapat diatasi (sesuai

Page 20: PENGELOLAAN EKOSISTEM DI WILAYAH PESISIR DAN LAUT …

BAHARI Jogja Vol.XI No.19 /2011 Juli 2011

40

bersyarat), dan (4) Kawasan yang sama sekali tidak sesuai dengan persyaratan kesesuaian (tidak sesuai).

Hasil akhir dari analisis kesesuaian, dapat terjadi suatu kawasan sangat sesuai untuk beberapa alternatif aktifitas pembangunan. Pada kondisi seperti ini, maka harus ditetapkan skala prioritas terhadap aktifitas pembangunan yang akan dilaksanakan pada kawasan tersebut, misalnya prioritas utama untuk kawasan konservasi, mengingat sudah banyak terjadi degradasi lingkungan akibat aktifitas manusia. Penetapan skala prioritas ini sudah menyangkut aspek kebijakan yang merupakan kewenangan para pengambil keputusan (decision maker). Meskipun demikian tersedia juga perangkat yang dapat membantu decision maker menetapkan kebijakan, diantaranya Analytical Hierarchy Process (AHP) melalui public hearing, Linier Programming, Decision Support System, Analisis Multikriteria, dan sebagainya. Perangkat tersebut fungsinya adalah membantu proses pengambilan keputusan, dimana keputusan akhir tetap berada pada para pengambil keputusan itu sendiri.

3.2.1 Kesesuaian Lingkungan Pesisir dan Laut Untuk Kawasan Konservasi

Sasaran utama penetapan kawasan konservasi di pesisir adalah untuk melindungi (konservasi) ekosistem dan sumberdaya alam, agar proses-proses ekologis di suatu ekosistem dapat terus berlangsung dan tetap dipertahankan produksi nutrien (bahan makanan) dan jasa-jasa lingkungan bagi kepentingan manusia secara berkelanjutan. Kriteria kesesuaian lingkungan untuk kawasan konservasi mencakup 3 kelompok kriteria, yaitu : (1) Kriteria Ekologis, yang terdiri dari: (a) Kenanekaragaman hayati; (b)

Kealamian; (c) Ketergantungan; (d) Keterwakilan; (e) Keunikan; (f) Integritas; (g) Produktivitas; dan (h) Kerentanan.

(2)Kriteria Sosial, yang terdiri dari: (a) Penerimaan sosial; (b) Kesehatan masyarakat; (c) Relokasi; (d) Budaya; (e) Estetika; (f) Konflik kepentingan; (g) Keamanan; (h) Aksesibilitas; (i) Kepedulian masyarakat; dan (j) Konflik dan kompatibilitas.

(3) Kriteria Ekonomi, terdiri dari: (a) Spesies penting; (b) Kepentingan perikanan; (c) Bentuk ancaman; (d) Manfaat ekonomi; dan (e) Pariwisata.

Page 21: PENGELOLAAN EKOSISTEM DI WILAYAH PESISIR DAN LAUT …

BAHARI Jogja Vol.XI No.19 /2011 Juli 2011

41

3.2.2 Kesesuaian Lingkungan Pesisir dan Laut Untuk Perikanan Bisnis/usaha perikanan di kawasan pesisir dapat dikelompokkan menjadi usaha perikanan tangkap, budidaya laut (marine culture) dan Perikanan air payau (tambak). Kriteria kesesuaian lingkungan masing-masing peruntukan usaha perikanan tersebut berbeda dan dapat diuraikan sebagai berikut : (1) Kesesuaian lingkungan untuk usaha tambak. (2) Kesesuaian lingkungan untuk usaha budidaya laut : keramba jaring apung, budidaya rumput laut dan moluska (kerang darah, kerang bulu, mutiara dan tiram) dan teripang. (3) Kesesuaian lingkungan untuk perikanan tangkap, dibatasi oleh jenis alat tangkap dan armada/kapal penangkap ikan serta aspek sosial untuk melindungi nelayan kecil. Secara umum zonasi wilayah penangkapan disajikan pada Tabel 1. Tabel 1. Zonasi Wilayah Penangkapan, Jenis Kapal dan Jenis Alat

Tangkap yang digunakan Zona Jenis Perahu/Kapal Jenis Alat Tangkap Penangkapan 2 mil laut

- Perahu Tanpa Motor - Perahu Motor Tempel - Bermesin 25 PK

Alat tangkap yang bersifat menetap (pasif) seperti bubu, sero, ambai, jaring insang tetap dengan panjang tali ris < 200, pancing ulur

Penangkapan 2 – 4 mil laut

Kapal Motor < 5 GT Alat tangkap pasif dan aktif seperti jaring insang tetap dengan panjang tali ris < 200, pancing rawai dengan jumlah mata pancing < 100 unit, bagan perahu dengan jumlah lampu petromaks 4 – 6 unit

Penangkapan 4 – 12 mil laut

Kapal Motor 5 – 30 GT Alat tangkap pasif dan aktif seperti payang, dogol, pukat layang (mini trawl) yang dilengkapi Juvenile Excluder Device (JED), gillnet, pukat cincin, rawai dasar, rawai tuna, gillnet ukuran besar, dan stick held dip net.

Selain itu lokasi usaha perikanan tangkap harus berada di luar kawasan perikanan budidaya, jalur transportasi, kuasa pertambangan, dan kawasan konservasi serta tidak menggunakan bahan dan alat yang dapat menyebabkan degradasi lingkungan.

Page 22: PENGELOLAAN EKOSISTEM DI WILAYAH PESISIR DAN LAUT …

BAHARI Jogja Vol.XI No.19 /2011 Juli 2011

42

Untuk menguji apakah dua kegiatan dapat secara serasi berdampingan, dapat ditempuh dengan menyusun matriks keserasian (Tabel 2). Matriks ini disusun berdasarkan pada kemungkinan dampak yang ditimbulkan oleh suatu kegiatan, dan respon dari kegiatan yang berdampingan di dalam menenggang dampak dimaksud. Misalnya, kegiatan tambak udang tidak mungkin dapat berdampingan dengan industri kimia yang mengeluarkan limbah tanpa diolah terlebih dahulu.

Tabel 2. Matriks Keserasian (Compatibility Matrix) Antar Kegiatan Pembangunan di Wilayah Pesisir

No KEGIATAN KEGIATAN A B C D E F G H I J K L M

1. Perikanan tangkap (A) S S S S S S S S S S S S 2. Perikanan Tambak (B) S S S S S K K K S S S S 3. Marikultur (C) S S S S K S S S S S S S 4. Pertanian (D) K K K S S K K K S S S S 5. Perhutanan (E) S S S S S S S S S S S S 6. Perhubungan (F) S K K S K K K K S S S S 7. Pariwisata Pantai Diving (G) S S S S S S S S S S S S 8. Pariwisata Pantai Berpasir (H) S S S S S S S S S S S S 9. Pariwisata Renang & selancar (I) S S S S S K S S S S S S 10. Pertambangan migas (J) K K K K K K K K K K S S 11. Pertambangan mineral (K) K K K K K K K K K K S S 12. Pelabuhan (L) S K K S K S K K K S S S 13 Galangan Kapal (M) S S S S K S S S S S S S

Keterangan :

* Pembacaan tabel dari kiri ke kanan * S = Aktivitas pembangunan di sebelah kiri tidak memberikan dampak

negatif terhadap aktivitas pembangunan di sebelah kanan * K= Aktivitas pembangunan di sebelah kiri memberikan dampak

negatif terhadap aktivitas pembangunan di sebelah kanan Hal selanjutnya yang perlu diperhatikan adalah bahwa dalam

setiap perencanaan suatu kegiatan (single activity) seperti pembukaan tambak di lahan mangrove perlu pula menerapkan kaidah-kaidah pembangunan berkelanjutan. Sebagaimana diketahui, bahwa kawasan hutan mangrove memiliki fungsi yang sangat penting, tidak hanya fungsi ekologis tetapi juga fungsi ekonomis. Oleh karena itu kawasan hutan mangrove tersebut perlu dipertahankan.

Page 23: PENGELOLAAN EKOSISTEM DI WILAYAH PESISIR DAN LAUT …

BAHARI Jogja Vol.XI No.19 /2011 Juli 2011

43

Namun demikian, bila suatu kawasan hutan mangrove akan dikonversi sebagai lahan tambak, maka petak-petak tambak sebaiknya ditempatkan di belakang wilayah mangrove, atau pada jarak tertentu dari garis pantai sebagaimana yang telah digariskan dalam Keppres 32 tahun 1990 tentang Pengelolaan Kawasan Lindung. Misalkan pada suatu kawasan nilai selisih pasang tertinggi dengan surut terendah tahunan sebesar 2,31 m, maka kawasan hutan mangrove yang harus dipertahankan (sempadan pantai) adalah 130 x 2,31 meter = 300 m; sedangkan kawasan hutan mangrove di sepanjang sungai (sempadan sungai) yang harus dipertahankan adalah minimal 100 meter. Untuk daerah yang memiliki ketebalan mangrove tidak sampai 300 meter, penempatan petak-petak tambak tetap harus mengacu kepada jarak 300 meter tersebut, bahkan sebaiknya pada lahan di belakang mangrove tersebut ditanami dengan anakan mangrove.

Pengaturan letak tambak dalam posisi seperti disebutkan di atas memiliki beberapa keuntungan, khususnya bagi usaha pelestarian kawasan mangrove. Namun demikian, sesungguhnya jika pengelolaan dilakukan dengan baik, penempatan posisi seperti tersebut juga dapat memberikan manfaat bagi usaha budidaya tambak itu sendiri. Beberapa keuntungan tersebut antara lain : (1) Pantai akan terlindung dari kikisan ombak dan abrasi pantai.

(2) Dengan terlindungnya pantai dari abrasi, secara tidak langsung akan mengurangi biaya produksi tambak, khususnya dalam pembuatan pematang ataupun tanggul pencegah abrasi. Pada petak tambak yang langsung berhadapan dengan laut, pematang tambak harus diperkuat (memerlukan biaya tambahan tersendiri) dan bahkan perlu membuat tanggul pengaman pencegah abrasi pantai.

(3) Mencegah timbulnya kerusakan ekologis dan ekonomis lingkungan sekitar mangrove dan tambak, yaitu : mempertahankan keanekaragaman hayati di dalam kawasan hutan mangrove. Di kawasan hutan mangrove dimaksud masih dapat dijumpai berbagai jenis satwa, di antaranya primata, biawak, ular dan burung. Kemudian mencegah terjadinya intrusi air asin ke daratan. Dengan adanya kawasan mangrove, air pasang masih dapat terhalang oleh pepohonan mangrove, sehingga tidak akan masuk jauh ke arah daratan, yang sekaligus mencegah intrusi air asin ke dalam tanah. Seperti diketahui, lahan di belakang mangrove dimaksud, banyak

Page 24: PENGELOLAAN EKOSISTEM DI WILAYAH PESISIR DAN LAUT …

BAHARI Jogja Vol.XI No.19 /2011 Juli 2011

44

diusahakan oleh penduduk sebagai ladang pertanian dan kebun. Jika terjadi intrusi air asin ke daerah perkebunan, dapat mengakibatkan kematian ataupun penurunan produksi perkebunan rakyat di luar tambak. Kerugian lainnya dari intrusi air asin adalah terpengaruhnya sumber air tawar penduduk oleh air asin. Jika hal tersebut terjadi, masyarakat akan sangat terganggu kehidupannya. Diharapkan, dengan sistem penataan ruang di wilayah hutan

mangrove yang dikaitkan dengan budidaya pertambakan, kelestarian ekologis hutan mangrove dapat terpelihara. Selain itu, pengusahaan budidaya sebagai penghasil devisa negara tetap terlaksana. Penataan ruang itu sendiri merupakan suatu kerangka kerja untuk melakukan koordinasi kegiatan seluruh sektor yang telah dan berkembang di suatu wilayah. Dalam upaya ini, maka elemen-elemen untuk melakukan penilaian terhadap alternatif rencana tata ruang yang akan dipilih, yaitu (a) produktivitas, (b) kelayakan ekonomi, (c) perlindungan lingkungan fisik, (d) pemerataan ekonomi dan kesejahteraan, dan (e) dapat diterima oleh seluruh atau mayoritas stakeholder.

Kriteria produktivitas dapat diartikan bahwa perubahan pemanfaatan ruang yang direkomendasikan di dalam perencanaan harus memiliki efisiensi yang lebih tinggi bila dibandingkan dengan kondisi penggunaan pada saat ini. Di samping pilihan perubahan kondisi tersebut efisien, maka harus dapat dilaksanakan secara ekonomi untuk jangka panjang, baik oleh investasi swasta maupun Pemerintah Daerah (kriteria kelayakan ekonomis). Agar pembangunan serta hasil-hasilnya dapat dinikmati oleh generasi yang akan datang, maka perhatian terhadap kerusakan lingkungan fisik perlu dipersyaratkan di dalam penilaian rekomendasi rencana penataan ruang. Dengan demikian, pemanfaatan sumberdaya alam wilayah pesisir yang diarahkan di dalam penataan ruang akan mampu menjamin kegiatan ekonomi secara berkelanjutan yang merupakan kunci pokok dalam upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat baik saat sekarang maupun di masa akan datang.

IV. SIMPULAN

Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa keterpaduan pengelolaan pesisir mutlak harus memperhatikan keterkaitan dan kapasitas fungsional ekosistem pesisir dan laut serta

Page 25: PENGELOLAAN EKOSISTEM DI WILAYAH PESISIR DAN LAUT …

BAHARI Jogja Vol.XI No.19 /2011 Juli 2011

45

pengaruh dari lahan atas dan laut, disamping tentunya keterpaduan sektor dan berbagai pemangku kepentingan (stakeholders) yang memanfaatkan pesisir. Sejalan dengan semangat desentralisasi yang berintikan demokrasi, perumusan kebijakan pengelolaan pesisir secara terpadu dan partisipatif merupakan tuntutan yang tak bisa dihindarkan. Kebijakan pengelolaan pesisir harus terpadu baik berskala local maupun nasional, sehingga dalam proses perumusannya harus menjangkau kepentingan-kepentingan pihak yang terkait agar terakomodasi secara adil dan proporsional, baik peranan dari bawah maupun dari atas yang dijalin melalui pola kepentingan bersama (co-management).

DAFTAR PUSTAKA

Bengen, D.G., 2002, Sinopsis Ekosistem dan Sumberdaya Alam Pesisir dan Laut serta Prinsip Pengelolaannya, PKSPL IPB, Bogor.

Berwick, N.K., 1993, Guidelines for the Analysis of Biophysical Impacts to Tropical Coastal Marine Resources, The Bombay Natural History Society Centenary Seminar Conservation in Developing Countries, Bombay, India.

Carter, R.W.G., 1988, Coastal Environment : An Introduction to the Physical, Ecological and Cultural Systems of Coastlines, Academic Press Inc., San Diego, USA.

Clark, J.R., 1979, Coastal Ecosystem Management. A Technical Manual for the Conservation of Coastal Zone Resources, John Wiley & Sons, New York, USA.

Nair, N.B. & Thampy, D.M., 1980, A Textbook of Marine Ecology, The MacMillan Company of India Ltd, New Delhi, India.

Nybakken, J.W., 1993, Marine Biology : An Ecological Approach, Third Edition, Harper Collins College Publishers, New York, USA.

Odum, E.P., 1971., Fundamentals of Ecology, W.B. Saunders Company, Philadelphia, USA.

Ogden, J.C. & Gladfelter E.H., (Eds.), 1983, Coral Reefs, Seagrass Beds and Mangroves : Their Interaction in The Coastal Zone of the Caribbean, Unesco Reports in Marine Science 23: 6 16.

Ortolano, L.,1984, Environmental Planning and Decision Making, John Wiley and Sons, Toronto.

Page 26: PENGELOLAAN EKOSISTEM DI WILAYAH PESISIR DAN LAUT …

BAHARI Jogja Vol.XI No.19 /2011 Juli 2011

46

Russell, F.S., & Yonge M., (eds), 1968, Advances in Marine Biology, Volume 6. Academic Press, Inc., New York, USA.