penegakan diagnosis
DESCRIPTION
reproTRANSCRIPT
PENEGAKAN DIAGNOSIS
A. Diagnosis
Adanya mola hidatidosa harus dicurigai bila ada perempuan dengan
amenorea, perdarahan pervaginam, uterus yang lebih besar dari tuanya kehamilan
dan tidak ditemukan tanda kehamilan pasti seperti ballotemen dan detak jantung
anak. Untuk memperkuat diagnosis dapat dilakukan pemeriksaan kadar Human
Chorionic Gonadotropin (hCG) dalam darah atau urin, baik secara bioassay,
imunoasay, maupun radio imunoasay. Peninggian hCG, terutama di hari ke 100,
sangat sugestif. Bila belum jelas dapat dilakukan pemeriksaan USG, dimana
kasus mola menunjukkan gambaran yang khas, yaitu berupa badai salju (snow
flake pattern) atau gambaran seperti sarang lebah (honey comb) (Prawirohardjo,
2009).
Diagnosis yang paling tepat bila kita telah melihat adanya gelembung mola.
Namun bila menunggu sampai gelembung mola keluar biasanya sudah terlambat
karena pengeluaran gelembung umumnya disertai perdarahan yang banyak dan
keadaan umum pasien menurun (Prawirohardjo, 2009).
Pada kehamilan trimester I gambaran mola ini tidak spesifik, sehingga sulit
dibedakan dengan kehamilan anembrionik, missed abortion, abortus
inkompletus, atau mioma uteri. Pada kehamilan trimester II gambaran mola lebih
spesifik. Kavum uteri berisi massa ekogenikbercampur bagian-bagian anekoik
vesikuler berdiameter antara 5-10 mm. gambaran tersebut dapat dibayangkan
seperti gambaran sarang lebah (coney comb) atau baday salju (snow storm). Pada
20-50% kasus dijumpai adanya massa kistik multilokuler di daerah adneksa.
Massa tersebut berasal dari kista teka-lutein (Prawirohardjo, 2009).
Apabila jaringan mola memenuhi sebagian kavum uteri dan sebagian berisi
jaringan yang ukurannya relatif kecil dari umur kehamilannya disebut mola
parsialis. Umumnya janin mati pada bulan pertama, tapi ada juga yang hidup
sampai besar atau bahkan aterm. pada pemeriksaan histopatologik tampak di
beberapa tempat villi yang edema dengan sel trofoblas yang tidak begitu
berproliferasi, sedangkan di tempat lain masih tampak villi yang normal.
Umumnya mola parsialis mempunyai kariotipe triploid. Pada perkembangan
selanjutnya jenis mola in jarang menjadi ganas (Prawirohardjo, 2009).
B. Gejala dan Tanda
Pada penyakit mola hidatidosa gejala yang muncul hampir sama dengan
kehamilan biasa yaitu adanya mual, muntah, pusing dan lain-lain, tetapi derajat
keluhannya sering dan lebih hebat. Perdarahan merupakan gejala utama mola
yang menyebabkan mereka datang ke rumah sakit. Gejala perdarahan ini biasanya
terjadi antara bulan pertama sama ketujuh dengan rata-rata 12-14 minggu. Sifat
perdarahan ini biasanya intermiten, sedikit-sedikit atau sekaligus banyak sehingga
dapat menyebabkan syok atau kematian. Pada keadaan ini pada pasien mola
hidatidosa masuk dalam keadaan anemia (Prawirohardjo, 2009).
Mola hidatidosa bisa disertai juga dengan preeklampsia (eklampsia), hanya
perbedaan dengan kehamilan biasa adalah bahwa preeklampsia pada mola
terjadinya lebih muda daripada kehamilan biasa. Penyakit yang menyertai mola
hidatidosa biasanya adalah tirotoksikosis. Biasanya penderita meninggal karena
krisis tiroid. Penyulit lain yang mungkin terjadi ialah emboli sel trofoblas ke paru-
paru. Sebenarnya pada tiap kehamilan selalu ada migrasi sel trofoblas ke paru-
paru tanpa memberikan gejala apa-apa. Akan tetapi, pada mola kadang-kadang
jumlah sel trofoblas ini sedemikian banyak sehingga dapat menimbulkan emboli
paru-paru akut yang bisa menyebabkan kematian (Prawirohardjo, 2009).
Mola hidatidosa sering disertai dengan kista lutein, baik unilateral
maupun bilateral. Umumnya kista ini menghilang setelah jaringan mola
dikeluarkan. Dengan pemeriksaan klinis insidensi kista lutein lebih kurang 10,2%,
tetapi bila menggunakan USG angkanya meningkat sampai 50%. Kasus mola
dengan kista lutein mempunyai resiko 4 kali lebih besar untuk mendapat
degenerasi keganasan di kemudian hari daripada kasus tanpa kista
(Prawirohardjo, 2009).
Daftar pustaka
Prawirohardjo, Sarwono. 2009. Ilmu Kebidanan Sarwono Prawirohardjo. Jakarta :
PT Dina Pustaka Sarwono Prawirohardjo.