pendahuluan sejarah militer memiliki usia yang sangat ...eprints.uny.ac.id/8633/2/bab 1 -...
TRANSCRIPT
1
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Sejarah militer memiliki usia yang sangat panjang. Salah satu teks sejarah
lama Histoire de la guerre du Peloponnese (Sejarah Perang Peloponesos) yang
ditulis Thucydide abad ke-5 merupakan sejarah militer. Setelah tahun 1870
miningkatnya minat Perancis terhadap sejarah militer, dengan alas an sebagai
berikut. Pertama, dalam rangka mengenang kemenangan tentara terhadap musuh.
Kedua, pentingnya pengkajian strategi militer. Yayasan La Sabretache yang
didirikan untuk mengumpulkan benda-benda yang berhubungan dengan
kemiliteran menjadi cikal bakal Museum Tentara di Perancis tahun 1896.
Sejak awal, kemerdekaan Indonesia telah menghadapi berbagai ujian, mulai
dari peristiwa berdarah merebut senjata tentara Jepang, masuknya NICA,
pemberontakan PKI Madiun 19481, pemberontakan daerah, pengepungan istana
presiden hingga gagalnya parlemen hasil pemilu 1955 menetapkan konstitusi
nasional. Proklamasi Kemerdekaan Indonesia, tanggal 17 Agustus 1945, adalah
sumber dari seluruh tatanan dan kehidupan politik bagi Indonesia sebagai negara
yang baru. Kemerdekaan yang dicapai bangsa Indonesia bukanlah sesuatu yang
diraih tanpa perjuangan. Perjuangan yang panjang dan penuh dengan lika-liku
pada akhirnya menghasilkan proklamasi kemerdekaan yang dikumandangkan oleh
1 Peristiwa instabilitas nasional pada awal kemerdekaan dapat dibaca
diantaranya dalam Nugroho Noto Susanto, (PJ), 1985. Tiga Puluh Tahun Indonesia Merdeka, (Ed Lux). Jakarta: Citra Lamtorogung Persada. hlm. 71. Cet ke-5
2
Ir. Sukarno dan Moh. Hatta pada tanggal 17 Agustus 1945 merupakan titik awal
dimulainya kehidupan baru bagi bangsa ini.
Ternyata Presiden Soekarno tidak membentuk tentara bersamaan dengan
diproklamirkannya kemerdekaan RI, mengangkat Supriyadi sebagai menteri
Keamanan dan Hankam secara absteinsi. Ketidakpastian negara meletakkan dasar
tentara dan pertahanan nasional pada awal kemerdekaan menyebabkan kelahiran
tentara Indonesia berbeda dengan negara lain. Tentara Indonesia dibangun atas
desakan tentara KNIL dan PETA karena kepentingan revolusi kemerdekaan.
Nugroho Notosusanto2 menyebutkan militer Indonesia sebagai tentara patriot
revolusioner. Tentara lahir karena revolusi kemerdekaan yang berintikan tentara
peninggalan penjajah (PETA dan KNIL) dan milisi rakyat yang terbentuk secara
tidak sengaja karena patriotisme membela negara. Sehari sesudah pernyataan
kemerdekaan itu, Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia mulai mengadakan
siding sebanyk tiga kali, untuk membicarakan hal-hal yang sehubungan dengan
telah berdirinya Republik Indonesia3.
Salah satu organ yang perlu dimiliki oleh pemerintah suatu negara ialah
militer, yang merupakan satu kelompok orang-orang yang di organisir dengan
2 Nugroho Notosusanto, 1985. Prajurit dan Pejuang, Persepsi dan
Implementasi Dwi Fungsi ABRI, Jakarta: Sinar Harapan, Cet II , hlm 17. Pendapat ini tidak disepakati Burhan Magenda yang menyebutkan tentara Indonesia sebagai Tentara Revolusioner, lahir karena revolusi kemerdekaan, lihat Amos Permutter, 1984, The Militery and Politic In Modern times on Profesional, Prerian ang Revolusioner, (terjm) Sahat Simamora. Jakarta: Rajawali. hlm. 42
3 Harun Al Rasyid. (1968). Sekitar Proklamasi, Konstitusi, dan Dekrit Presiden. Djakarta: Pelita Ilmu. hlm. 11-13.
3
disiplin untuk melakukan pertempuran, yang dibedakan dari orang-orang sipil.4
Militer pada masa awal kemerdekaan belum jelas statusnya, masih diambang
awan.
Pada masa pemerintahan kolonial, Indonesia tidak mempunyai militer. Pada
masa pemerintahan kolonial militer hanya dimiliki oleh pemerintah dan orang-
orangnya hanya berasal dari orang Eropa atau Belanda dan sedikit sekali dari
orang pribumi. Pembentukan militer pada masa kolonial pada tangal 4 Desember
1830 oleh Van den Bosh, untuk meredem konflik atau serangan dari tentara
kerajaan ditanah Jawa. Nama pasukan yang dibentuk oleh pemerintah Hindia
Belanda adalah Oost Indische Leger (Tentara Hindia Timur). Tahun 1836 Raja
Willem I menghendaki pemberian status sebagai Koninklijk Leger (Tentara
Kerajaan), sehingga nama lengkapnya adalah Koninklijk Nederlandche Oos
Indische Leger (KNIL)5.
Pada masa pendudukan Jepang di Indonesia 1942-1945 sifat pergerakan
berubah menjadi sangat militan, dengan berbagai doktrin yang diberikan pasukan
Jepang kepada rakyat Indonesia terutama para pemuda. Mobilitas penduduk
Indonesia oleh pemerintah Jepang mempercepat proses penyerapan dan
pengetahuan tentang kemiliteran yang dimiliki Jepang6. Pada masa itu, Jepang
4 Yahya A. Muhaimin, 2005. Perkembangan iliter dalam Politik di
Indonesia 1945-1966. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. hlm. 1.
5 Petrik Matanasi, 2007. KNIL Bom Waktu Tinggalan Belanda. Yogyakarta: Medpress. hlm. 17
6 Suyatno Kartodirdjo, 1997. “Kepemimpinan ABRI dalam Perspektif sejarah.” Dalam Djoko Subroto, Visi ABRI Menatap Masa Depan. Yogyakarta: Gadjah Mada University Pres. hlm. 120
4
sedang menjalankan pertempuran menghadapi pasukan sekutu atau dikenal
dengan Perang Dunia II dan Perang Pasifik. Jepang membutuhkan pasukan untuk
membantu tentara Jepang dalam perang tersebut. Karena Jepang terus menghadapi
kekalahan maka pemerintahan Jepang di Indonesia mengambil keputusan untuk
melatih rakyat Indonesia tentang militer untuk membantu tentara Jepang melawan
Sekutu.
Para pemuda dilatih kemiliteran dalam PETA (Pembela Tanah Air), Haiho7
dan Gyugun8. Pasukan Jepang juga melatih kemiliteran kepada seluruh lapisan
masyarakat dengan membentuk organisasi-organasasi semi-milter seperti
Keibondan dan Seinendan.9 Militer ini dibentuk oleh Jepang dikarenakan Jepang
tidak menginginkan Indonesia lepas dari pemerintahanya, maka Jepang
membentuknya dengan alasan untuk mempertahankan Indonesia terhadap
serangan Sekutu.
7 Heiho adalah pembantu prajurit Jepang baik digaris depan pertempuran maupun digaris belakang. Heiho dibentuk atas kehendak kementrian angkatan darat. Anggota Heiho mendapatkan pendidikan militer selama 2bulan kemudian disebarkan dalam satuan-satuan yang diperbantukan kepada angkatan perang Jepang. Atim Supomo, dkk. 1996. Brimob Polri Jateng dan DIY dalam Lintasan Sejarah. Semarang: Brigade Mobile Polri Polda Jateng. hlm. 19
8 Gyugun adalah angkatan bersenjata yang dibentuk di Sumatra yang hampir sama kedudukannya dengan PETA di Jawa. Latihan militer diselenggarakan oleh Sumatra Gunseibu di Bukittinggi selama 6 bulan. Latihan militer dimulai pada bulan November 1943. Harsja W. Bachtiar, 1988, Siapa Dia? Perwira Tinggi Tentara Nasional Angkatan Darat (TNI-AD). Jakarta: Djambatan. hlm. 41
9 Pembentukan Keibondan (Barisan Pembantu Polisi) dan Seinendan (Barisan Pemuda) diumumkan pada tanggal 29 April 1943 bersamaan dengan ulang tahun Kaisar Jepang. Kedua oragnisasi ini bertugas untuk mempersiakan para pemuda baik mental maupun teknis untuk memberikan sumbangan kepada usaha pertahanan Jepang garis belakang, terutama didaerah propinsi, desa, pabrik-pabrik dan perkebunan. Keibondan adalah barisan pemuda sebagai pembantu polisi Jepang.
5
Awal masuk Jenderal Besar A.H. A.H. Nasution dalam dunia militer dan
menjabat sebagai anggota Badan Pembantu Prajurit di bawah pimimpinan Otto
Iskandardinata, yang bertugas membantu kesejahteraan prajurit PETA10. Setelah
Proklamasi Kemerdekaan ia aktif dalam kepemimpinan pemuda dan menjadi
penasehat Badan Keamanan Rakyat (BKR) di Bandung.
Setelah terbentuknya TKR, A.H. Nasution diangkat menjadi Kepala Staf
Komandan TKR Jawa Barat dengan pangkat kolonel. Tidak lama kemudian ia
diangkat sebagai Panglima Divisi III/TKR Priangan yang kemudian menjadi
Divisi I/Siliwangi sampai tahun 1948.
Tujuan skripsi ini adalah, untuk mengetahui aktivitas A.H. Nasution dalam
politik yang dimana letak pondasi ikutsertanya TNI dalam kancah politik tidak
luput dari peran dan pemikiran dari A.H. Nasution yang terkenal yaitu tentang
Jalan Tengah, dan juga mengetahui tentang aktivitas A.H. Nasution dalam Militer.
Dimana sejarah perjuangan TNI AD tidaklah lepas dari polesan tangan dari
seorang Jenderal A.H. Nasution. Jenderal Besar Soedirman dikenal sebagai Bapak
TNI sedangkan A.H. Nasution dikenal sebagai Bapak TNI AD.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana Peranan A.H. Nasution dalam Bidang Politik?
2. Bagaimana Peranan A.H. Nasution dalam Bidang Militer?
3. Apakah Dampak dari Dwi Fungsi ABRI?
10 A.H. Nasution, 1993, M.E.M.O.A.R senerai Kiprah sejarah diangkat dari
majalah Tempo. Buku kesatu. Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, hlm. 13
6
C. Tujuan Penelitian
1. Tujuan Umum
a) Melatih daya pikir, analisis dan objektif terhadap fenomena yang terjadi
dalam masyarakat sehingga dapat mengambil hikmahnya.
b) Sebagai sarana untuk melatih diri secara langsung dalam
mempraktekkan dan mengaplikasikan metodologi penulisan sejarah
sehingga dapat memperluas dan memperdalam wawasan dalam
meningkatkan mutu karya sejarah.
c) Merupakan upaya untuk meningkatkan dan mengembangkan kualitas
sebagai pendidik sekaligus sejarawan
2. Tujuan Khusus
a) Untuk mengetahui latar belakang, karier A.H. Nasution hingga tahun
1966.
b) Untuk mengetahui peranan A.H. Nasution dalam perpolitikan Indonesia
sampai dengan tahun 1966
c) Untuk mengetahui dampak dari pemikiran A.H. Nasution tentang
reorganisasi TNI AD dan masuknya TNI AD ke dalam dunia politik.
D. Manfaat Penelitian
1. Bagi Pembaca
a) Dengan membaca skripsi ini diharapkan dapat mengetahui sejarah
perkembangan TNI AD antara tahun 1945-1966.
b) Skripsi ini diharapkan dapat dijadikan sebagai referensi bagi pembaca.
7
c) Setelah membaca skripsi ini diharapkan pembaca akan mengetahui
pelaksanaan dan dampak yang ditimbulkan dengan pemberlakuan
reorganisasi dan masuknya TNI AD ke ranah politik.
2. Bagi Penulis
a) Sebagai tolak ukur kemampuan penulis dalam meniliti, menganalisis,
dan merekonstruksi suatu peristiwa sejarah serta menyajikan dalam
bentuk karya sejarah.
b) Dengan skripsi ini diharapkan penulis dapat berpikir lebih kritis dan
objektif dalam menyikapi setiap permasalahan yang ada.
c) Penulis dapat belajar banyak tentang sejarah perkembangan kemiliteran
di Indonesia.
E. Kajian Pustaka
Kajian pustaka mempunyai arti, peninjauan kembali pustaka-pustaka yang
terkait (review of related literature). Sesuai dengan arti tersebut, suatu kajian
pustaka berfungsi sebagai peninjauan kembali (review) pustaka (laporan
penelitian, dan sebagainya) tentang masalah yang berkaitan—tidak selalu harus
tepat identik dengan bidang permasalahan yang dihadapi—tetapi termasuk pula
yang seiring dan berkaitan (collateral). Leedy (1997) bahwa semakin banyak
seorang peneliti mengetahui, mengenal dan memahami tentang penelitian-
penelitian yang pernah dilakukan sebelumnya (yang berkaitan erat dengan topik
penelitiannya), semakin dapat dipertanggungjawabkan caranya meneliti
permasalahan yang dihadapi.
8
Penulisan karya ilmiah diperlukan kajian pustaka. Hal ini dimaksudkan
supaya penulis dapat memperoleh data-data atau informasi yang selengkap-
lengkapnya mengenai permasalahan yang dikaji. Kajian pustaka atau teori yang
menjadi landasan pemikiran.11 Dalam penulisan ini penulis menggunakan
beberapa literature sebagai bahan kajian pustaka.
Objek dari penulisan skripsi ini yaitu A.H. Nasution juga merupakan
seorang penulis buku tentang sejarah perjuangan Indonesia, sejarah militer, dan
politik, bahkan menulis tentang pengalaman pribadinya di bidang militer dan
politik. Sumber atau buku yang menjadi kajian pustaka antara lain, Yahya A.
Muhaimin. (2005). Perkembangan Militer Dalam Politik Di Indonesia.
Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. A.H. Nasution. (1966). ABRI
Penegak Demokrasi UUD 1945. Djakarta; Seruling Masa. Feith, Herbert dan
Lance Castles (ed). (1970). Pemikiran Politik Indonesia 1945-1965. Jakarta;
LP3ES. Skripsi Puji Astuty. (2006). Peranan Abdul Haris A.H. Nasution Dalam
Modernisasi TNI-AD (1948-1952), Jurusan Pendidikan Sejarah, Fakultas Ilmu
Sosial dan Ekonomi, Universitas Negeri Yogyakarta. A.H. Nasution. (1966).
Tjatatan-tjatatan Sekitar Politik Militer Indonesia. Djakarta; CV. Pembimbing.
Hendri Supriyatmono, 1994. A.H. Nasution, Dwi fungsi ABRI dan Kontribusi Ke
Arah Reformasi Politik: Tinjauan Kebijaksanaan Politik Jendral A.H. Nasution
tahun 1955-1959. Surakarta; UNS Pers dan Yayasan Pustaka Nusatama.
11 Jurusan Pendidikan Sejarah. 2006, Pedoman Penulisan Tugas Akhir
Skripsi. Yogyakarta: Jurusan Pendidikan Sejarah, FISE UNY, hlm. 3.
9
A.H. Nasution terlahir dari keluarga yang agamis, ia mendapat pendidikan
agama yang keras dari orang tuanya. Hal ini terlihat dari keteguhannya dalam
melaksanakan sholat lima waktu tepat pada waktunya dalam kondisi apapun juga.
Setelah menamatkan diri di Holands Inlandse School (HIS) Kotanopan, A.H.
Nasution melanjutkan sekolahnya di sekolah guru yang bernama “Sekolah Raja”.
Disekolah itu dia banyak membaca buku-buku tentang sejarah luar negeri,
misalnya sejarah negeri Belanda, sejarah Revolusi Perancis dan lain sebagainya
yang semua itu ikut membentuk kepribadiannya12. Dia juga banyak mendengar
cerita-cerita tentang pergerakan nasional yang kemudian membuatnya begitu
tertarik sehingga kemudian memutuskan untuk masuk sekolah kemiliteran.
Perjalanan karier Abdul Haris A.H. Nasution mengalami masa-masa transisi
bisa dikatakan perjalanan karier A.H. Nasution mengalami pasang surut. Pernah di
berhentikan sebagai KSAD selama 3 tahun, dan diangkat kembali oleh Presiden
Soekarno pada tanggal 27 Oktober 1955 masa Kabinet Burhanuddin. Perjalanan
militernya dimulai setelah menjadi anggota Badan Pembantu Prajurit yang
bertugas membantu kesejahteraan prajurit PETA, kemudian menjadi kepala staf
komandemen I/Jawa Barat, Kepala staf TKR, Kepala Staf Angkatan Darat
(KSAD) dijabat tahun 1945 sampai tahun 1952 dan dilantik kembali tahun 1955
sampai tahun 196213.
12 Eko Endarnoko (ed). 1993. Memoar: Senarai Kiprah Sejarah. Jakarta:
Pustaka Utama Grafiti, hlm. 221.
13 A.H. Nasution, 1989, Memenuhi Panggilan Tugas Jilid IIa: Kenangan Masa Gerilya. Jakarta: Haji Masagung, hlm. 4.
10
Untuk melaksanakan rasionalisasi dikalangan TNI AD dicetuskan oleh Z.
Baharudin, seorang anggota KNIP dari fraksi sayap kiri14, dalam bentuk mosi
yang diajukan pada bulan Desember 1947.15 Mosi itu memuat dua hal pokok
yaitu, rasionalisasi dalam kesatuan angkatan perang (darat, laut, udara) serta
dalam komando dan pimpinan angkatan perang. Tujuan politis dari mosi tersebut
adalah keinginan untuk menempatkan TNI sepenuhnya di bawah kekuatan sipil
karena kekecewaan mereka atas TNI yang tidak dapat menahan gerak maju
tentara Belanda pada saat itu.16
Pelaksanan reorganisasi dan rasionalisasi mulai dilaksanakan pada masa
kabinet Hatta.17 Langkah yang diambil Hatta dalam upaya mereorganisasi dan
merasionalisasi TNI AD adalah dengan mengurangi jumlah personelnya.
Tujuannya adalah membentuk tentara yang kecil tetapi efisien di bawah komando,
juga untuk mencapai sedikit perimbangan antara pendapatan dengan belanja
negara dan alat-alat negara.18 Reorganisasi dan rasionalisasi TNI AD bisa
dipandang sebagai isu politik yang menimbulkan dampak psikologis pada tentara,
14 Fraksi sayap kiri adalah fraksi adalah fraksi pimpinan Amir Syarifudin
yang melakukan gerakan oposisi dengan mendirikan Front Demokrasi Rakyat (FDR). Anggota FDR terdiri dari kalangan angkatan bersenjata dan lascar rakyat, laskar merah, laskar buruh. Tujuannya adalah untuk mendominasi kekuasaan pemerintah. (Todiruan Dydo. 1990. Pergolakan Politik Tentara Sebelum dan Sesudah G30 S/PKI. Jakarta: Golden Teroyan Press. hlm. 49. )
15 A.H. Nasution. 1989, loc.cit.,
16 Ibid.
17 Amrin Imran, dkk. 1971. Sejarah Perkembangan Angkatan-Darat. Jakarta: Departemen pertahanan dan Keamanan Pusat Sejarah ABRI. hlm. 12
18 A.H. Nasution. 1968. TNI Jiid II. Jakarta: Seruling Masa. hlm. 134.
11
anggota badan perjuangan, dan kelaskaran terutama yang terkena reorganisasi dan
rasionalisasi TNI AD.19 Reorganisasi dan rasionalisasi TNI AD telah
menimbulkan kepanikan dikalangan prajurit karena tidak ada kriteria yang jelas
tentang “siapa” yang terkena dan “mengapa”. Ketiadaan kriteria yang jelas itulah
yang menimbulkan rasa ketidakadilan.20
Selain menimbulkan pro dan kontra di kalangan TNI sendiri pelaksanaan
reorganisasi TNI AD juga mengakibatkan terjadinya krisis keamanan RI dengan
adanya pemberontakan PKI/Moeso tahun 1948 dan peristiwa 17 Oktober 1952.
Pemberontakan ini dapat ditumpas berkat kerjasama antara pemerintah, rakyat,
dan militer khususnya Divisi Siliwangi di bawah pimpinan A.H. Nasution.
F. Historiografi yang Relevan
Dalam penulisan karya sejarah mutlak diperlukan adanya sumber-sumer
sejarah yang relevan. Sumber-sumber tersebut berisikan data dan informasi
seputar masalah yang hendak dikaji. Historiografi yang relevan merupakan kajian
historis yang mendahului penelitian dengan tema atau topik yang hampir sama.
Hal ini berfungsi sebagai pembeda antara penelitian, sekaligus sebagai bentuk
penunjukan orisinalitas tiap-tiap peneliti.21 Historiografi merupakan suatu kisah
masa lampau yang disusun oleh sejarawan berdasarkan fakta yang ada. Menurut
Gottschalk, historiografi adalah usaha untuk mengolah data-data dan fakta-fakta
19 Yason Demeterius Bani. 1992. Skripsi: Reorganisasi dan Rasionalisasi
Angkatan Perang Republik Indonesia. Yogyakarta: UGM. hlm. 9
20 Frans M. Parera,ed. 1982. Bung Tomo: dari 10 November 1945 ke Orde Baru. Jakarta: Gramedia. hlm. 148
21 Jurusan Pendidikan Sejarah, op.cit.
12
sejarah menjadi suatu kisah yang menjelaskan dalam bentuk lisan maupun tulisan
dalam buku atau artikel maupun perkuliahan sejarah.22
Menurut Louis Gottschalk historiografi adalah rekonstruksi yang imajinaif
dari masa lampau berdasarkan data yang diperoleh dengan menempuh proses
menguji dan menganalisis secara kritis semua rekaman dan peninggalan masa
lampau yang diperoleh melalui proses tersebut.23 Kajian terhadap karya sejarah
atau historiografi yang relevan adalah suatu hal yang pokok dalam penulisan
karya sejarah kritis dalam rangka membedakan tulisan yang pernah ada dengan
skripsi ini.
Dalam pembahasan skripsi ini mungkin sudah ada yang membahasnya,
tetapi penulis benar-benar tidak tahu adanya judul skripsi yang sama. Skripsi ini
membahas tentang kiprah A.H. A.H. Nasution baik secara langsung maupun tidak
dalam perkembangan dunia militer dari tahun 1945-1966. A.H. Nasution
merupakan pencetus berdirinya Dwi Fungsi ABRI. Peranan ABRI tidak hanya
dalam dunia militer saja melainkan masuk dalam kancah perpolitikan di Indonesia
ini. Oleh sebab itu, penelitian yang mengambil kesimpulan dari sumber-sumber
buku yang ada supaya dapat menemukan perkembangan TNI dan kiprah A.H.
Nasution sendiri. Penulis menggunakan historiografi yang berjudul Peranan A.H.
22 Helius Sjamsuddin dan Ismaun. 1996. Pengantar Ilmu Sejarah. Jakarta:
hlm. 17
23 Gottschalk, Louis, 1985, Understanding Hisory: A Primer Hisorical Methode, a.b. Nugroho Notosusanto, Mengerti Sejarah, Jakarta: UNI Press, hlm 32.
13
Nasution Dalam Modernisasi TNI-AD (1948-1952) karya Puji Astuty, Fakultas
Ilmu Sosial dan Ekonomi, Universitas Negeri Yogyakarta.
Persamaan historiografi ini dengan skripsi penulis adalah mengulas tentang
peranan dari A.H. Nasution terhadap perkembangan Militer TNI AD di Indonesia.
Sedangkan perbedaanya adalah penulis tidak membahas militer saja tetapi juga
membahas kiprah atau peranan A.H. Nasution terhadap politik di Indonesia.
Skripsi yang kedua dari Heru Didik Setiyawan mahasiswa Pendidikan
Sejarah UNY. Judul skripsi tersebut adalah Pelaksanaan Fungsi Sosial Ekonomi
ABRI Pada Masa Orde Baru (1966-1997). Karya tersebut berbeda dengan skripsi
yang akan disusun ini karena dalam skripsi Heru Didik Setiyawan inti
pembahasannya adalah keterlibatan ABRI dalam bidang ekonomi, sedangkan
skripsi ini akan membahas tentang keterlibatan A.H. Nasution terhadap
perkembangan militer dan politik di Indonesia. Relevansinya dengan skripsi ini
yaitu, skripsi ini menggunakan pendekatan ekonomi. Sehingga dapat digabungkan
atau menjadi sumber untuk pendekatan yang digunakan dalam penulisan skripsi
ini.
Skripsi yang ketiga adalah karya Febrinita Dwi Istyaningrum yang berjudul
Peran ABRI Sebagai Kekuatan Sosial Politik Pada Masa Orde Baru (1966-1997).
Dalam skripsi ini pembahasannya masih terlalu luas, yaitu bukan hanya peran
ABRI dalam bidang politik saja tetapi juga dibahas peran ABRI dalam ekonomi,
ideologi, sosial budaya, serta pertahanan keamanan, sehingga pembahasan tentang
peran ABRI dalam bidang politik belum maksimal. Sedangkan dalam skripsi ini,
14
penulis lebih condong peran dari seorang tokoh sebagai objek penelitian yaitu
A.H. Nasution.
Historiografi yang kelima yaitu buku dari karangan Amrin Imran, dkk.
(1971). Sejarah Perkembangan Angkatan Darat. Jakarta: Departemen Pertahanan
dan Keamanan Pusat Sejarah ABRI. Buku ini berisi tentang sejarah pembentukan
dan pembinaan TNI AD, dimulai dengan BKR hingga kemudian menjadi TNI.
Dalam buku ini juga dibahas mengenai perkembangan TNI AD yang ditandai
dengan dibukanya sekolah-sekolah militer sebagai upaya pembentukan kader-
kader tentara yang professional, siap ditugaskan, sebab pada masa itu kondisi
Indonesia sedang mengalami masa sulit dalam menghadapi serangan-serangan
dari Belanda. Buku tersebut kurang menyoroti peranan tokoh-tokoh militer dalam
perkembangan militer khususnya TNI AD. Sementara skripsi ini membahas
tentang A.H. Nasution sebagai salah satu tokoh TNI AD yang berperan dalam
politik dan perkembangan militer AD.
Historiografi yang keenam yaitu skripsi karya mahasiswi Jurusan
Pendidikan Sejarah Fakultas Ilmu Sosial dan Ekonomi Universitas Negeri
Yogyakarta angkatan 2005 yang bernama Ummi Lathifathul Chasanah yang
berjudul Dinamika Hubungan Sipil-Militer di Indonesia (1945-1966). Skripsi ini
membahas tentang hubungan sipil militer antara tahun 1945-1966 yang sedang
mengalami ketegangan dan menyebabkan revolusi fisik dimulai dengan
terbentuknya Tentara Nasional Indonesia (TNI) pada 3 Juni 1947. Penempatan
Amir Sjarifuddin pada Kabinet Sjahrir sebagai Menteri Keamanan menimbulkan
konflik baru antara sipil-militer. Hal ini karena Amir telah melakukan pendidikan
15
politik pada tentara melalui organisasi yang dibentuknya, kemudian dihapuskan
saat kabinet Hatta melaksanakan program Reoganisasi dan Rasionalisasi (RERA).
Pada masa Demokrasi Liberal ruang gerak militer sangatlah terbatas keadaan ini
mengakibatkan peristiwa 17 Oktober 1952 dan peristiwa 27 Juni 1955. Sedangkan
skripsi ini tentang masuknya A.H. Nasution ke dalam dunia politik.
G. Metode Penelitian dan Pendekatan Penelitian
1. Metode Penelitian
Sejarah memiliki metode sendiri dalam mengungkapkan peristiwa masa
lampau. Metode penelitian sejarah adalah seperangkat aturan dan prinsip
sistematis untuk mengumpulkan sumber-sumber sejarah secara efektif,
menilainya secara kritis dan mengajukan sintesis dari hasil-hasil dalam
bentuk tulisan24. Seorang sejarawan dalam memulai penulisan sejarah, harus
mengumpulkan sumber secara sistematis yang berkaitan dengan kejadian-
kejadian masa lampau. Hal ini untuk menguji kebenaran, sehubung dengan
sebab akibat kecenderungan kajian tersebut yang dapat menerangkan
kejadian masa kini dan mengantisipasi masa yang akan datang.
Metode sejarah ialah petunjuk teknis tentang bahan, kritik, interpretasi
dan penyajian sejarah25. Metode sejarah adalah prosedur atau langkah-
langkah kerja yang digunakan dalam proses menguji dan menganalisis
secara kritis rekaman dan peninggalan historis. Rekonstruksi yang imajinatif
24 Dudung Abdurahman. 1999. Metode Penelitian Sejarah. Jakarta: Logos
Wacana Ilmu. hlm. 43-44
25 Kuntowijoyo. 1994. Metodologi Sejarah. Yogyakarta: Tiara Wacana. hlm. XII.
16
terhadap masa lampau berdasarkan data yang diperoleh dengan menempuh
proses tesebut dengan historiografi atau penulisan sejarah.26 Sejarawan
berusaha untuk merekonstruksi masa lampau manusia sebanyak-banyaknya.
Kuntowijoyo merumuskan metode penelitian sejarah mempunyai lima tahap
yaitu: pemilihan topik, heuristik, kritik sumber atau verifikasi, interpretasi
dan historiografi.27
a) Pemilihan Topik
Pemilihan topik yaitu menentukan permasalahan yang dikaji.
Sebuah penelitian sejarah, topik yang dipilih adalah kesejarahan yang
workable, yaitu dapat diselesaikan dalam waktu yang tersedia. Pemilihan
topik penelitian ini telah dipertimbangkan dengan beberapa faktor
pendukung untuk menyelesaikan penelitian. Faktor tersebut antara lain
adalah minat dan kemampuan penulis unutk menyelesaikan penelitian.
Dengan pertimbangan tersebut maka penulis telah merumuskan tema
bahasan yaitu Kiprah A.H. Nasution Dalam Politik dan Perkembangan
Militer TNI AD (1945-1966).
b) Heuristik
Heuristik berasal dari bahasa Yunani heuriskein yang berarti
mencari atau menemukan jejak-jejak sejarah. Heuristik merupakan
26 Helius Sjamsuddin dan Ismaun. loc.cit., hlm. 17.
27 Kuntowijoyo. 1999. Pengantar Ilmu Sejarah, Yogyakarta: Bentang. hlm. 90
17
kegiatan pengumpulan sumber yang digunakan dalam penelitian28.
Heuristik merupakan langkah awal dalam melakukan penelitian sejarah,
yaitu suatu kegiatan mencari sumber-sumber untuk mendapatkan data-
data, atau materi sejarah atau evidensi sejarah.29
Heuristik diperoleh dari sumber primer dan sumber sekunder.
Sumber primer adalah kesaksian dari seorang saksi yang melihat dengan
mata kepalanya sendiri dan mengalami sendiri peristiwa tersebut A.H.
Nasution merupakan objek dari penulis yang mengalami peristiwa dan
kejadian apa yang penulis tulis di skripsi ini. Sumber sekunder yaitu
kesaksian dari saksi orang lain.30
Sumber primer dan sekunder yang digunakan dalam penulisan ini
berupa buku-buku, dokumen dimana buku tersebut ditulis oleh orang
yang menyaksikan peristiwa tersebut kemudian dituangkan dalam
bentuk tulisn. Contoh dari sumber primer, yaitu Tjatatan-Tjatatan
sekitar Politik Militer Indonesia Karya A.H. Nasution penerbit CV.
Pembimbing Jakarta, Memenuhi Panggilan Tugas karya A.H. Nasution,
dan masih banyak lagi karya tulisan A.H. Nasution lainnya. Sumber
sekunder misalnya buku-buku pendukung yang berkaitan dengan A.H.
Nasution atau TNI, misalnya; A.H. Nasution, Dwi Fungsi ABRI dan
28 Ibid, hlm. 94
29 Saefur Rochmat. 2009. Ilmu Sejarah Dalam Perspektif Ilmu Sosial. Yogyakarta: Graha Ilmu. hlm. 153
30 IG Widja, 1989, Sejarah Lokal Suatu Perspektif Dalam Pengajaran Sejarah, Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, hlm. 18.
18
Kontribusi ke Arah Reformasi Politik karya Hendri Supriyatmono
Penerbit UNS Pers, Politik Militer Indonesia 1945-1967 menuju Dwi
Fungsi ABRI karya Ulf Sundhaussen Penerbit LP3ES, dan beberapa
buku penujang lain yang berkaitan dengan judul srkipsi ini.
c) Kritik Sumber (Verifikasi)
Apabila semua sumber yang diperlukan sudah terkumpul, maka
dilakukan kritik sumber terhadap sumber yang diambil. Hal ini
dilakukan untuk melihat tingkat otentisitas (keaslian sumber) dan tingkat
kredibilitas sehingga terhindar dari kepalsuan. Kritik sumber sendiri
berarti usaha untuk menilai, menguji, serta menyeleksi sumber-sumber
yang telah dikumpulkan untuk mendapatkan sumber yang autentik
(asli)31. Fungsi dan tujuan kritik sumber ialah untuk membedakan apa
yang benar, dan yang tidak benar (palsu), apa yang mungkin dan apa
yang meragukan atau mustahil, sedangkan fungsinya menurut Jacques
Barzum & Henry F. Graff [1970:99] Sejarawan mengerahkan segala
kemampuan pikirannya bahkan seringkali ia harus menggabungkan
antara pengetahuan, sikap ragu (skeptis), percaya begitu saja,
menggunakan akal sehat dan melakukan tebakan intelegen sehingga
karya sejarah merupakan produk yang dapat dipertanggungjawabkan,
bukan hasil dari suatu fantasi, manipulasi atau fabrikasi sejarawan.32
31 Kuntowijoyo, op. cit.,hlm. 99.
32 Helius Sjamsuddin. 2007. Metodologi Sejarah. Yogyakarta: Ombak, hlm. 131-132
19
Kritik sumber terdiri atas kritik intern dan kritik ekstern. Kritik
intern adalah kritik sumber yang digunakan untuk meneliti kebenaran isi
dokumen atau tulisan tersebut. Sedangkan kritik ekstern adalah kritik
sumber yang digunakan untuk mengetahui keaslian sumber yang
digunakan untuk mengetahui keaslian sumber yang digunakan dalam
penulisan. Tujuan utama kritik sumber adalah untuk menyeleksi data,
sehingga diperoleh fakta. Setiap data sebaiknya dicatat dalam lembaran
lepas (sistem kartu), agar memudahkan pengklasifikasiannya berdasarkan
kerangka tulisan
d) Interpretasi
Interpretasi adalah menafsirkan fakta-fakta yang telah diuji
kebenarannya, kemudian menganalisa sumber yang pada akhirya akan
menghasilkan suatu rangkaian peristiwa. Dalam tahap ini penulis
dituntut untuk mencermati dan mengungkapkan fakta yang diperoleh dan
hubungan antara satu fakta dengan fakta yang lain. Oleh sebab itu di
dalam interpretasi perlu dilakukan analisis untuk mengurangi unsur
subjektivitas dalam kajian sejarah, karena unsur subyektivitas dalam
suatu penulisan sejarah selalu ada yang dipengaruhi oleh jiwa, zaman,
kebudayaan, pendidikan, lingkungan sosial, dan agama yang melingkupi
penulisannya. Pada intinya penfsiran atas fakta harus dilandasi oleh
sikap obyektif. Untuk itu analisis sumber perlu dilakukan dengan
20
menjelaskan fakta yang ada atau menguraikan informasi dan
mengkaitkannya dengan lainnya.33 Rekonstruksi sejarah harus
menghasilkan sejarah yang benar atau mendekati kebenarannya.
e) Penulisan Sejarah (Historiografi)
Historiografi merupakan tahap akhir dalam penulisan sejarah. Pada
tahap ini penulisan sejarah memerlukan kemampuan tertentu untuk
menjaga standar mutu cerita sejarah, misalnya prinsip strelialisasi (cara
membuat urutan peristiwa) yang mana memerlukan prinsip-prinsip,
seperti prinsip kronologi (urutan waktu), prinsip kaukasi (hubungan
dengan sebab akibat) dan bahkan juga kemampuan imajinasi
(kemampuan untuk menghubungkan peristiwa-peristiwa) yang terpisah-
pisah menjadi suatu rangkaian yang masuk akal dengan bantuan
pengalaman. Jadi, membuat semacam analogi antara peristiwa diwaktu
yang lampau dengan tindakan yang telah kita saksikan dengan mata
kepala sendiri diwaktu sekarang, terutama bagi peristiwa-peristiwa yang
sulit dicari dasar kronologi dan kaukasi dalam penghubungnya. 34
2. Pendekatan Penelitian.
Metodologi sejarah yang digunakan oleh seorang sejarawan haruslah
menggunakan pendekatan sejarah dengan ilmu-ilmu sosial yang relevan.35
Dalam melakukan penelitian sejarah ini tidak terlepas dari pendekatan
33 Kuntowijoyo, op.cit., hlm 22
34 Ibid.
35 Helius Sjamsuddin, loc.cit.
21
beberapa bidang di luar sejarah. Pendekatan menurut satu garis penelitian
menjadi terlalu subjektif dan keterangannya terlalu sederhana untuk
mencakup suatu kehidupan historis yang komplek. Pendekatan
multidimensional diharapkan mampu mengungkapkan faktor-faktor
ekonomi, sosial maupun politik dari peristiwa yang terjadi.36 Pendekatan
penelitian adalah pola pikir yang digunakan untuk memecahkan persoalan
dalam penelitian.
Pendekatan penelitian digunakan untuk memahami suatu peristiwa dari
berbagai sudut pandang. Metodologi sejarah yang digunakan oleh seorang
sejarawan haruslah menggunakan pendekatan sejarah dengan ilmu-ilmu
sosial yang relevan sehingga dalam menganalisis berbagai peristiwa atau
gejala masa lalu harus menyertakan konsep dan ilmu sosial tersebut.
Pendekatan menurut satu garis penelitian menjadi terlalu subjektif dan
keterangannya terlalu sederhana untuk dapat mencakup suatu kehidupan
historis yang komplek itu. 37
Adapun pendekatan atau tinjauan yang digunakan penulis adalah
pendekatan politik, militer, sosiologis, dan ekonomi. Ada pernyataan yang
berbunyi: “Politik adalah sejarah masa kini dan sejarah adalah politik masa
lampau”. Disini ditegaskan bahwa sejarah adalah identik dengan politik,
sejauh keduanya menunjukkan proses yang mencakup keterlibatan para
36 Sartono Kartodirdjo, 1982. Pemikiran dan Perkembangan Historiografi
Indonesia. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, hlm. 40
37 Helius Sjamsuddin. op.cit.
22
aktor dalam interaksinya serta peranannya dalam usahanya memperoleh
“apa, kapan, dan bagaimana”.38 Menurut Kuntowijoyo, perhatian ilmu
politik adalah pada gejala-gejala masyarakat, seperti pengaruh dan
kekuasaan, kepentingan dan partai politik, keputusan dan kebijakan, konflik
dan konsensus, rekrutmen dan perilaku kepemimpinan, massa dan pemilih,
budaya politik, sosialisasi politik, dan sebagainya39. Miriam Budiardjo
mengemukakan bahwa politik terdiri atas beberapa konsep pokok, yaitu
negara, kekuasaan, pengambilan keputusan, kebijaksanaan, dan pembagian
atau alokasi40. Dalam penulisan skripsi ini, pendekatan politik artinya adalah
politik perebutan pengaruh kekuasaan dalam negara antara militer dan sipil.
Doktrin kekaryaan sebagai implementasi pemikiran A.H. Nasution
memberikan ruang kepada militer untuk terlibat dalam masalah politik, dan
masuknya A.H. Nasution ke dalam dunia perpolitikan di Indonesia.
Martin Shaw mengemukakan bahwa militer bukanlah masalah
agresifitas, atau mengagungkan perang dan institusi militer, militer adalah
sejauh mana organisasi dan nilai-nilai militer mempengaruhi struktur
sosial41. Pendekatan militer dalam penulisan sejarah tidak selalu digunakan
38 Sartono Kartodirdjo. 1993. Pendekatan Ilmu Sosial dalam Metodologi
Sejarah. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, hlm. 148-149
39 Kuntowijoyo, 2003, Metodologi Sejarah, Yogyakarta: Tiara Wacana, hlm. 173.
40 Miriam Budiardjo, 2002, Dasar-Dasar Ilmu Politik, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, hlm. 9.
41 Martin Shaw, 2001, Bebas dari Militer: Analisa Sosiologis Atas Kecenderungan Masyarakat Modern, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, hlm. 20-21.
23
untuk mengkaji sebuah perang, akan tetapi juga dapat digunakan untuk
mengkaji organisasi dalam militer sendiri. Tinjauan militer adalah
kebijaksanaan pemerintah mengenai persiapan dan pelaksanaan perang
yang menentukan baik buruknya serta besar kecilnya potensi dan kekuatan
perang negara, dengan demikian aktivitas militer mengikuti aktivitas
politik.42 Tinjauan ini digunakan untuk mengetahui kebijakan militer yang
dilakukan melalui perkembangan dan perubahan yang berpengaruh pada
aktivitas politik.
William Ogburn dan Meyer F. Nimkoff berpendapat bahwa sosiologi
adalah penelitian secara ilmiah terhadap interaksi sosial dan hasilnya, yaitu
organisasi sosial. Sedangkan Roucekj dan Warren berpendapat bahwa
sosiologi merupakan ilmu tentang hubungan antara manusia dan kelompok-
kelompoknya.43 Menurut Sartono Kartodirdjo sejarah sosiologis
(sociological history) menunjuk kepada sejarah yang disusun dengan
pendekatan sosiologis, sedangkan sosiologi sejarah (historical sociology)
adalah studi sosiologis mengenai suatu kejadian atau gejala dimasa
lampau.44 Pendekatan sosiologi digunakan untuk melihat interaksi dalam
suatu masyarakat, selain bisa digunakan untuk melihat konflik dalam suatu
masyarakat, organisasi, bangsa, bahkan negara. Dominasi Angkatan Darat
42 Sayidiman Suryohadiprojo. 1981. Suatu Pengantar Dalam Ilmu Perang,
Masalah Pertahanan Negara. Jakarta: Intermasa. hlm. 66
43 Dadang Supardan, 2009, Pengantar Ilmu Sosial: Sebuah Kajian Pendekatan Struktural, Jakarta: Bumi Aksara, hlm. 70.
44 Sartono Kartodirdjo. 1993. loc.cit.
24
dalam pelaksanaan kekaryaan ABRI memberikan pengaruh terhadap
hubungan antar angkatan dalam ABRI. Diskriminasi terhadap tiga angkatan
lainnya (Angkatan Darat, Angkatan Laut, Angkatan Udara dan Polri)
mempengaruhi interaksi yang terjadi dalam tubuh ABRI.
Peristiwa masa lalu sebagai gejala kemanusiaan meliputi berbagai aspek
kehidupan. Faktor-faktor ekonomi dan non-ekonomi jalin-menjalin dan
kadangkala tidak dapat dilacak lagi mana yang menjadi variabel dependen
dan independen. Kartodirdjo (1992) dalam buku Pendekatan Ilmu Sosial
dalam Metodologi Sejarah, membahas mengenai pendekatan ekonomi yang
mengungkapkan bahwa kompleksitas sistem ekonomi dengan sendirinya
menuntut pula pendekatan ilmu-ilmu sosial seperti sosiologi dan lainnya.
Sebuah peristiwa tidak akan jauh dari persoalan ekonomi, bahkan masalah
ekonomi bisa memicu terjadinya perang atau pertikaian antara individu,
kelompok, bahkan sebuah Negara pun bisa terpicu perang. Pendekatan
ekonomi digunakan untuk melihat dampak dari adanya sebuah peristiwa.
Kesimpulan yang dapat diambil yaitu dengan digunakannya beberapa
pendekatan dalam penelitian ini adalah pendekatan politik dan militer maka
akan membantu penelitian ini untuk mengungkap aktivitas A.H. Nasution
dalam politik dan militernya. Sedangkan pendekatan sosiologi dan ekonomi
membantu dalam mengkaji tentang perubahan sosial dan ekonomi masa
1945-1966 dikalangan para politikus dan perwira tinggi TNI AD.
H. Sistematika Pembahasan
25
Skripsi yang berjudul “Kiprah A.H. Nasution Dalam Dunia Militer (AD)”
mempunyai sistematika penulisan sebagai berikut .
Bab pertama berisi tentang latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan
penelitian, manfaat penelitian, kajian pustaka, historiografi yang relevan, metode
dan pendekatan penelitian, sistematika pembahasan.
Bab kedua, penulis ingin menuliskan tentang riwayat singkat dari A.H.
Nasution, meliputi: Latar Belakang Keluarga dan Pendidikan, Masuknya A.H.
Nasution Dalam Dunia Militer, Pemikiran A.H. Nasution Terhadap Dwi Fungsi
ABRI.
Bab ketiga, membahas tentang bagaimana A.H. Nasution terlibat dalam
dunia Politik. Langkah Awal Masuknya Militer ke Dunia Politik, Masuknya
Militer ke Dalam Dunia Politik, Peran A.H. Nasution Terhadap Dunia Politik.
Bab keempat ini membahas mengenai kondisi Angkatan Perang Republik
Indonesia dimulai latar belakang pembentukannya, meliputi: Latar Belakang
Berdirinya TNI AD, Pelaksanaan Modernisasi TNI AD, Ketegangan di Dalam
Tubuh Militer AD.
Dalam bab terakhir kesimpulan, penulis memberikan kesimpulan sebagai
jawaban terhadap rumusan masalah yang diajukan pada bab 1.