tondano masa kolonial: kota kolonial berwajah tradisional

10
13 Tondano Masa Kolonial: Kota Kolonial Berwajah Tradisional - Irfanuddin W Marzuki TONDANO MASA KOLONIAL: Kota Kolonial Berwajah Tradisional Tondano in Colonial Era: Colonial City with Traditional Face Irfanuddin W Marzuki Balai Arkeologi DI Yogyakarta Jalan Gedongkuning No. 174 Yogyakarta [email protected]; [email protected] Abstract Tondano is a city in the bustling interior of Minahasa and has been the center of traditional Minahasa government since before the arrival of Europeans. During the colonial administration, Tondano became the capital of afdelling Tondano with an area covering Tondano and countries around Lake Tondano. Urban planning pattern Tondano was designed by the British colonial government during the reign of Resident Jansen in 1810. The city center is a field surrounded by settlements, offices, markets, schools, and houses of worship. The pattern of settlement is in the form of blocks that are bordered by roads. The research method is descriptive using an urban archeology study approach. The assessment unit includes the physical environment, archeological remains, toponyms, and historical sources. The research phase includes the stages of data collection, data analysis, data interpretation, and conclusions. The results showed the Tondano urban spatial pattern was a new colonial urban spatial pattern, but the urban settlement was dominated by traditional Minahasa houses Keywords: urban pattern, colonial, Tondano, traditional settlement Abstrak Tondano merupakan salah satu kota di pedalaman Minahasa yang ramai dan menjadi pusat pemerintahan tradisional Minahasa semenjak sebelum kedatangan bangsa Eropa. Pada masa pemerintahan colonial, Tondano menjadi ibukota afdelling Tondano dengan wilayah meliputi Tondano dan negeri-negeri sekitar Danau Tondano. Pola tata kota Tondano dirancang oleh pemerintah colonial Inggris pada masa pemerintahan Residen Jansen tahun 1810. Pusat kota berupa lapangan yang dikelilingi permukiman, perkantoran, pasar, sekolah, dan rumah ibadah. Pola permukiman berbentuk blok yang dibatasi dengan jalan-jalan. Metode penelitian bersifat deskriptif dengan menggunakan pendekatan kajian arkeologi perkotaan. Unit pengkajian meliputi lingkungan fisik, tinggalan arkeologi, toponim, dan sumber sejarah. Tahap penelitian meliputi tahap pengumpulan data, analisis data, interpretasi data, dan kesimpulan. Hasil penelitian menunjukkan pola tata ruang kota Tondano merupakan pola tata ruang kota colonial baru, tetapi permukiman kota didominasi rumah- rumah tradisional Minahasa. Kata kunci: pola kota, kolonial, Tondano, permukiman tradisional. PENDAHULUAN Tondano semenjak dahulu merupakan salah satu kota utama di Minahasa, walaupun tidak sebesar Manado (Graafland, 1991:373), yang makmur dan memiliki tanah yang subur sebagai penghasil kopi dan beras (Hickson, 1889:212). Wilayah Tondano pada tahun 1617 merupakan salah satu wilayah di Minahasa yang padat penduduknya (Bleeker, 1856:90; Limadharma, 1987:17; Henley, 2005:180). Kota Tondano dihuni oleh orang-orang yang berbicara dalam bahasa Tondano (termasuk dalam kelompok etno-linguistik Tondano), dan mendiami wilayah yang sebelumnya dibentuk oleh walak Tondano (Marzuki, 2019:297). Asal muasal sub etnis Tondano terdapat beberapa versi, menurut Riedel, seperti dikutip (Renwarin, 2007:80), sub etnis Tondano awalnya dikenal sebagai kelompok Tounsingal yang mendiami tepi Sungai Tikala dan Talawaan. Orang Tombulu dan Tonsea memberikan lahan untuk menetap di Liang dan

Upload: others

Post on 17-Nov-2021

10 views

Category:

Documents


1 download

TRANSCRIPT

Page 1: TONDANO MASA KOLONIAL: Kota Kolonial Berwajah Tradisional

13

Tondano Masa Kolonial: Kota Kolonial Berwajah Tradisional - Irfanuddin W Marzuki

TONDANO MASA KOLONIAL: Kota Kolonial Berwajah Tradisional Tondano in Colonial Era: Colonial City with Traditional Face

Irfanuddin W Marzuki

Balai Arkeologi DI Yogyakarta Jalan Gedongkuning No. 174 Yogyakarta

[email protected]; [email protected]

Abstract Tondano is a city in the bustling interior of Minahasa and has been the center of traditional Minahasa government since before the arrival of Europeans. During the colonial administration, Tondano became the capital of afdelling Tondano with an area covering Tondano and countries around Lake Tondano. Urban planning pattern Tondano was designed by the British colonial government during the reign of Resident Jansen in 1810. The city center is a field surrounded by settlements, offices, markets, schools, and houses of worship. The pattern of settlement is in the form of blocks that are bordered by roads. The research method is descriptive using an urban archeology study approach. The assessment unit includes the physical environment, archeological remains, toponyms, and historical sources. The research phase includes the stages of data collection, data analysis, data interpretation, and conclusions. The results showed the Tondano urban spatial pattern was a new colonial urban spatial pattern, but the urban settlement was dominated by traditional Minahasa houses Keywords: urban pattern, colonial, Tondano, traditional settlement

Abstrak

Tondano merupakan salah satu kota di pedalaman Minahasa yang ramai dan menjadi pusat pemerintahan tradisional Minahasa semenjak sebelum kedatangan bangsa Eropa. Pada masa pemerintahan colonial, Tondano menjadi ibukota afdelling Tondano dengan wilayah meliputi Tondano dan negeri-negeri sekitar Danau Tondano. Pola tata kota Tondano dirancang oleh pemerintah colonial Inggris pada masa pemerintahan Residen Jansen tahun 1810. Pusat kota berupa lapangan yang dikelilingi permukiman, perkantoran, pasar, sekolah, dan rumah ibadah. Pola permukiman berbentuk blok yang dibatasi dengan jalan-jalan. Metode penelitian bersifat deskriptif dengan menggunakan pendekatan kajian arkeologi perkotaan. Unit pengkajian meliputi lingkungan fisik, tinggalan arkeologi, toponim, dan sumber sejarah. Tahap penelitian meliputi tahap pengumpulan data, analisis data, interpretasi data, dan kesimpulan. Hasil penelitian menunjukkan pola tata ruang kota Tondano merupakan pola tata ruang kota colonial baru, tetapi permukiman kota didominasi rumah-rumah tradisional Minahasa. Kata kunci: pola kota, kolonial, Tondano, permukiman tradisional.

PENDAHULUAN

Tondano semenjak dahulu merupakan salah satu kota utama di Minahasa, walaupun tidak sebesar Manado (Graafland, 1991:373), yang makmur dan memiliki tanah yang subur sebagai penghasil kopi dan beras (Hickson, 1889:212). Wilayah Tondano pada tahun 1617 merupakan salah satu wilayah di Minahasa yang padat penduduknya (Bleeker, 1856:90; Limadharma, 1987:17; Henley, 2005:180). Kota Tondano dihuni oleh orang-orang yang berbicara

dalam bahasa Tondano (termasuk dalam kelompok etno-linguistik Tondano), dan mendiami wilayah yang sebelumnya dibentuk oleh walak Tondano (Marzuki, 2019:297).

Asal muasal sub etnis Tondano terdapat beberapa versi, menurut Riedel, seperti dikutip (Renwarin, 2007:80), sub etnis Tondano awalnya dikenal sebagai kelompok Tounsingal yang mendiami tepi Sungai Tikala dan Talawaan. Orang Tombulu dan Tonsea memberikan lahan untuk menetap di Liang dan

Page 2: TONDANO MASA KOLONIAL: Kota Kolonial Berwajah Tradisional

14

Jurnal Tumotowa Volume 2 Nomor 1, Juli 2019: 13 - 22

Limambot di bawah kontrol pemerintah Belanda karena beberapa kali berperang melawan orang Tonsea dan Tonsawang pada tahun 1711 (Renwarin, 2007:84). Menurut Watuseke (1962:17), orang Tondano merupakan pendatang yang mendarat di Tanjung Pulisan (pesisir Likupang), karena banyak mendapat gangguan berpindah ke pedalaman dekat Danau Tondano. Pendapat lain dari (Palar, 2009:39), menyebutkan orang Tondano merupakan orang Ternate yang di pesisir Minahasa, karena diserang bajak laut Moro kemudian pindah ke pedalaman Minahasa.

Tondano sudah berperan sebagai ibukota pemerintahan lokal (walak Tondano), semenjak sebelum kedatangan bangsa Eropa di Minahasa. Wilayah Tondano sebelum tahun 1800an dibagi menjadi dua walak (wilayah administratif otonom) yaitu: Tondano-Toulimambot dan Tondano-Touliang (Algemeene Verslag Residentie Manado voor jaar 1800). Walak Tondano disatukan Belanda pada tahun 1809, dan Jacob Supit diangkat sebagai kepala walak tanggal 20 Agustus 1809. Tugas utamanya adalah menyatukan masyarakat Tondano yang sering berperang karena tapal batas wilayah (Renwarin, 2007:84), namun tidak berhasil (Wewngkang, 1995:31).

Nama Tondano diganti menjadi Toulour pada tahun 1920 dan digunakan secara resmi selama 46 tahun (tahun 1966 berganti kembali menjadi Tondano). Pemilihan nama Tondano dibanding dengan Tolour karena Toulour atau Tolour tidak berasal dari bahasa Tondano, tetapi diambil dari bahasa Tombulu. Nama Tondano berasal dari kata Tou-en-dano, yang berarti 'orang air' atau 'rakyat air', yaitu orang yang tinggal di atau dekat air. Morfem tou dalam bahasa Tondano berarti manusia, orang, laki-laki. (e) n = penanda genitive + rano = air. Orang Totemboan menyebut dengan Tondano, orang Tonsea menyebut dengan Tou Doud (doud berarti air dalam bahasa Tonsea), dan orang Kalawat Atas menyebut dengan Tou-dour (dour sama dengan rano, yang berarti 'air') (Watuseke, 1987). Penamaan tersebut dikarenakan masyarakat Tondano tinggal di atas air Danau Tondano, bukan di daratan.

Kota Tondano berkembang dan menjadi ibukota distrik/afdeeling Tondano pada masa pemerintahan kolonial. Wilayah Tondano merupakan penghasil kopi terbesar di wilayah Minahasa pada masa penjajahan kolonial

Belanda. Kopi dari Tondano dikenal sebagai kopi Manado yang sangat terkenal di Belanda. “Manado is a good brand” demikian dikemukakan oleh Batavus Droogstoppel, pedagang kopi di Lauriergracht, Amsterdam dalam novel Max Havelaar (Schouten, 1998:53; Marzuki, 2019:6). Penanaman kopi di Tondano dimulai tahun 1795 oleh Bastian Enoch (Parengkuan, 1983:91). Hasil panen kopi tersebut diangkut menggunakan pedati dan ditampung dalam gudang yang banyak terdapat di Tondano (Graffland, 1991:375). Tata kota dan tampilan permukiman Tondano sangat menarik untuk diteliti, karena pola tata kota Tondano secara sekilas merupakan pola kota kolonial, namun tampilan fisik perukiman masih mempertahankan rumah tradisional Minahasa. Penelitian ini bertujuan untuk mencari latar belakang yang mendasari hal tersebut. Permasalahan yang dibahas dalam penelitian ini adalah bagaimana pola tata ruang kota Tondano pada masa kolonial dan perkembangannya. METODE

Penelitian ini bersifat deskriptif dengan menggunakan pendekatan kajian arkeologi perkotaan. Kajian arkeologi perkotaan berhubungan dengan satuan ruang, yang bertujuan menggambarkan sebaran data arkeologi untuk mengungkap pola pikir dan pola tingkah laku masyarakat masa lampau (Kurniawan, 2011:536). Landasan ontologis arkeologi perkotaan adalah tinggalan-tinggalan arkeologi yang berupa himpunan sarana fisik terutama bangunan, jaringan jalan, sisa kegiatan penghunian, dan sarana produksi (Nurhadi, 1995:5).

Unit pengkajian dalam studi perkotaan meliputi lingkungan fisik, tinggalan arkeologi, toponim, dan sumber sejarah. Lingkungan fisik sebagai unit pengkajian meliputi topografi yang mempengaruhi pemilihan lokasi kota dan permukiman, serta hubungan dengan wilayah penyangga (Penyusun, 2008:185-186). Pengkajian tinggalan arkeologi berupa kajian terhadap sisa-sisa bangunan masa kolonial yang masih tersisa, sebaran komponen tata ruang kota, hubungan antar komponen struktur tata ruang kota, dan sarana transportasi kota Tondano. Kajian toponim dapat menunjukkan hubungan fungsional antara kelompok masyarakat tertentu dengan profesi dan asal usulnya sehingga dapat

Page 3: TONDANO MASA KOLONIAL: Kota Kolonial Berwajah Tradisional

15

Tondano Masa Kolonial: Kota Kolonial Berwajah Tradisional - Irfanuddin W Marzuki

diketahui heterogenitas penduduk kota pada masa lampau (Adrisijanti, 2000:17). Kajian sumber sejarah berupa pengkajian terhadap arsip, peta, dan foto masa lalu yang dapat digunakan sebagai dasar pengkerangkaan dalam studi perkotaan.

Tahap penelitian meliputi tahap pengumpulan data, analisis data, interpretasi data, dan kesimpulan. Pengumpulan data dilakukan dengan studi pustaka, observasi lapangan, dan wawancara. Analisis data digunakan analisis keruangan (spatial analysis), meliputi: observasi fisik tata ruang objek penelitian, identifikasi unsur dan pola ruang kawasan, identifikasi letak komponen pembentuk ruang dan konfigurasinya, identifikasi keterkaitan antar komponen, dan identifikasi struktur tata ruang kota. Hasil analisis kemudian dipetakan, sehingga terlihat sebaran konfigurasi dari tiap-tiap komponen tata ruang kota tersebut. Objek penelitian meliputi kota Tondano Kabupaten Minahasa. HASIL DAN PEMBAHASAN

Kota Tondano dapat dikategorikan sebagai kota kolonial, karena dirancang bangsa Eropa dan mengikuti pola kota kolonial secara umum. Kota kolonial merupakan kota yang terdapat dalam koloni penjajahan, jauh dari negara induknya, memiliki pemisahan hunian berdasar etnis sebagai hasil proses penjajahan (King, 1976:7). Cikal bakal kota kolonial berupa koloni-koloni yang dikembangkan bangsa Eropa di daerah pantai (Taylor, 2003:59), dan mencari perlindungan kepada penguasa lokal (Wertheim, 1999:135). Kota kolonial di Asia Tenggara merupakan produk bangsa Eropa yang menjadi lokasi sumber bahan baku bagi industri negara-

negara Eropa (Gee, 1969:56). Menurut de Bruijne (Buijne, 1985:232), kota kolonial memiliki tiga karakteristik yaitu (a) kota yang didirikan atau dibangun di bawah pengaruh kekuatan kolonial barat, (b) memiliki fungsi utama sebagai kota pusat administrasi kolonial atau pusat ekonomi, (c) memiliki bagian komponen barat (Eropa) yang jelas.

Pola kota kolonial di Indonesia sampai akhir abad XIX ada dua, yaitu: kota lama (oud indisch/old indies) dan kota baru (nieuw indisch/new indies) (Handinoto, 2010:226-230; 430-431). Pola kota lama memiliki dua pusat kekuasaan yang terpisah, yaitu pusat kekuasaan pribumi dengan komponen alun-alun dan kabupaten, serta pusat kekuasaan kolonial dengan komponen utama gedung residen. Pola kota lama mengacu kepada pola kota kerajaan (Yogyakarta dan Surakarta) sebagai model yang dikombinasikan dengan pola kota kolonial. Morfologi kota lama masih menempatkan pusat kota tradisional (khususnya Jawa) dengan menambah penjara, lokasi kantor penguasa kolonial, benteng dan asrama militer ditempatkan pada permukiman Eropa. Pola kota baru hanya terdapat satu pusat kota, pusat kota pribumi dan kolonial digabung menjadi satu dalam satu lokasi, yaitu alun-alun (Gill, 1995); (Handinoto, 2015:109). Latar belakang pembangunan kota baru adalah untuk memperlihatkan eksistensi kekuasaan pemerintah kolonial di tanah jajahan.

Kota Tondano awalnya merupakan permukiman baru yang dirancang dan dibuat oleh pemerintahan kolonial Inggris tahun 1810-1812. Permukiman masyarakat Tondano sebelum dipindahkan ke lokasi sekarang berada di rawa-rawa pinggir danau Tondano yang dikenal dengan nama Minawanua atau

Gambar 1. Kondisi Minawanua abad XVII M dan kondisi saat ini.

(Sumber: kitlv.nl dan Penulis, 2019).

Page 4: TONDANO MASA KOLONIAL: Kota Kolonial Berwajah Tradisional

16

Jurnal Tumotowa Volume 2 Nomor 1, Juli 2019: 13 - 22

Winawanua. Pemindahan permukiman tersebut dilatarbelakangi adanya perlawanan masyarakat Tondano terhadap pemerintah kolonial Belanda tahun 1808-1809. Pemerintah kolonial ingin menunjukkan eksistensi kekuasaannya dengan membangun kota Tondano yang baru (Marzuki, 2019:280).

Gambar 2. Struktur tata ruang kota Tondano.

(Sumber: Marzuki, 2019:3017).

Pola kota Tondano dikategorikan sebagai kota kolonial (nieuw indisch staad), karena hanya terdapat satu pusat kota (Marzuki, 2019:280). Ini merupakan suatu temuan yang menarik untuk dicermati dalam penelitian. Struktur tata ruang kota nieuw indisch baru diterapkan di Indonesia (khususnya Jawa) mulai tahun 1854 (Gill, 1995; Handinoto, 2015:101), namun sudah diterapkan di Tondano pada tahun

1810. Latar belakang penerapan Law of Indies di Tondano didasarkan pada faktor lingkungan, politik dan keamanan. Faktor lingkungan yaitu lokasi kota-kota tersebut merupakan kota baru (sebelumnya tanah kosong) yang datar. Faktor politik yaitu tidak perlu ada pengawasan terhadap pemerintahan lokal di Tondano, karena sudah masuk dalam struktur pemerintahan kolonial. Faktor keamanan, pemerintah kolonial Belanda menganggap keamanan wilayah Tondano sudah stabil, tidak ada perlawanan secara fisik (Marzuki, 2019:420). Pusat kota Tondano berupa ruang terbuka/lapangan yang dikelilingi permukiman, bangunan perkantoran, rumah ibadah, pasar, dan sekolah (Gambar 2). Ruang Terbuka Ruang terbuka kota Tondano berupa lapangan di depan Lodji Tondano dengan koordinat 01018’01”LU dan 124054’40”BT dikenal dengan nama Walter’s Plein. Lapangan tersebut digunakan untuk kegiatan-kegiatan masyarakat Tondano, seperti menyambut tamu agung, dan pesta perayaan. Fungsi ruang terbuka kota Tondano lebih mengacu kepada fungsi ruang terbuka berdasarkan konsepsi Eropa, sebagai ruang public (public space), bukan sebagai ruang sakral (sacred space) seperti dalam konsepsi ruang terbuka kota kerajaan. Ruang terbuka public merupakan ruang terbuka yang dapat digunakan oleh setiap orang untuk bermacam-macam kegiatan (Utomo, 2003:50). Ruang terbuka memiliki fungsi ekologis, social budaya, ekonomi, dan estetika (keindahan). Fungsi ekologis ruang terbuka sebagai paru-paru kota, resapan air, serta penyerap media polutan. Fungsi social budaya menggambarkan ekspresi budaya local, media komunikasi warga, tempat

Gambar 3. Lapangan depan Loji Tondano tempat menyambut kedatangan Gubernur Jenderal A.C de Graff

tahun 1927 dan kondisi saat ini. (Sumber: tropen Museum & dok. Balai Arkeologi Manado 2016).

Page 5: TONDANO MASA KOLONIAL: Kota Kolonial Berwajah Tradisional

17

Tondano Masa Kolonial: Kota Kolonial Berwajah Tradisional - Irfanuddin W Marzuki

rekreasi, dan sarana penelitian mempelajari alam lingkungan. Fungsi estetika untuk meningkatkan kenyamanan, memperindah lingkungan, penyeimbang lingkungan binaan dan lingkungan alam (Permen PU No.5/PRT/M/2008, 2008). Ruang terbuka Tondano saat ini masih digunakan sebagai lapangan dengan nama Lapangan Sam Ratulangi, dan masih digunakan sebagai tempat upacara atau kegiatan resmi yang diselenggarakan oleh pemerintah ataupun tempat berkumpul berbagai komunitas di kota Tondano. Permukiman

Permukiman merupakan kawasan hunian dengan fungsi utama sebagai tempat tinggal, memiliki sarana dan prasarana jaringan jalan, jaringan saluran pembuangan air limbah, dan saluran air (drainase) (Nuralia, 2013:34). Permukiman kota Tondano berpola mengelompok teratur dalam blok-blok dengan ukuran tertentu (Penelitian, 2012:159). Pola permukiman merupakan perpaduan antara struktur fisik dengan struktur social yang tercipta dari pengelompokan orang yang saling berdekatan untuk tujuan bertempat tinggal, berbudaya, berproduksi dan berkehidupan social (Kalsum, 2015:82). Pola permukiman blok pada masa tersebut belum dikenal dalam masyarakat tradisional Minahasa. Permukiman tradisional Minahasa berpola linier mengikuti jalan. Penerapan pola blok di Tondano dimungkinkan karena kondisi topografi wilayah Tondano yang datar dan rata (Marzuki, 2019:314). Permukiman tradisional Minahasa umumnya berada di pedalaman dan perbukitan (Bhatta, 1958:8), terbagi menjadi dua jenis, yaitu: pakasaan (permukiman suatu kelompok etnis tertentu) dan lukarz (dusun-dusun kecil yang tersebar) (Renwarin, 2007:207).

Pola permukiman kota Tondano tidak dikelompokkan berdasar etnis sebagaimana kota-kota colonial lainnya. Permukiman kota Tondano merupakan permukiman homogen (etnis Minahasa saja), tidak ada permukiman pendatang dari etnis lain. Pedagang-pedagang Cina yang menetap di Tondano tidak membuat permukiman tersendiri, melainkan berbaur dengan permukiman Minahasa. Pola permukiman kota Tondano dapat dikategorikan sebagai integrated pluralism, yaitu pola permukiman dimana pendatang yang bermukim dalam wilayah tertentu tidak dipisahkan secara

geografis menurut asa atau kesukuan (Sulistyo, 1982; Kalsum, 2015:78). Permukiman pendatang terdapat di luar wilayah kota Tondano, yaitu Kampung Jawa Tondano. Kampung Jawa Tondano merupakan permukicman “tahanan politik” pemerintah colonial Belanda yang berasal dari Jawa.

Berbeda dengan kota-kota kolonial lain, kota Tondano tetap mempertahankan penampilan permukiman dengan rumah-rumah tradisional Minahasa, walaupun pola kota dan permukiman sudah menganut pola colonial. Rumah tradisional Minahasa berawal dari rumah besar berbentuk segi empat besar dengan atap tinggi yang dihuni oleh beberapa keluarga (Renwarin, 2007:105). Orientasi rumah menghadap ke arah yang telah ditentukan oleh Tonaas yang memperoleh petunjuk dari Empung Walian Wangko (Tuhan) (Rengkung, 2012:27). Terdapat lorong di bagian dalam dengan bilik-bilik tempat tinggal satu batih (keluarga) di kiri dan kanannya. Rumah tradisional dapat diartikan sebagai rumah yang dibangun dengan cara yang sama oleh beberapa generasidan dilakukan ritual-ritual adat tertentu pada awal pendiriannya (Machmud, 2006:180).

Perubahan terjadi setelah peristiwa gempa besar tanggal 18 Februari 1845, pemerintah dan pendeta Kristen menganjurkan untuk membuat rumah lebih kecil yang dilengkapi banyak tiang atau balok untuk memperkuat bangunan (Marzuki, 2019:94). Material yang digunakan umumnya berasal dari kayu besi, linggua, cempaka hutan atau pohon wasian (michelia celebia), nantu (palagium obtusifolium), dan maumbi (artocarpus dayphyla). Kayu besi digunakan untuk tiang, kayu cempaka untuk dinding dan lantai rumah, kayu nantu untuk rangka atap. Bagi masyarakat strata ekonomi rendah digunakan bambu ‘petung’/bulu Jawa untuk tiang, dan rangka atap. Kayu nibong untuk lantai rumah, dan dinding menggunakan bambu yang dipecah (Rengkung, 2012:28). Bangunan rumah Minahasa dapat dibedakan menjadi dua tipe, yaitu wale meithohtol dan wale meiwangin. Wale Meithohtol berupa bangunan rumah panggung dengan tiang kayu tinggi (3-4m), sedangkan wale meiwangin berupa bangunan rumah kayu dengan tiang dari bata atau batu yang tidak terlalu tinggi (rumah berkolong). Penampilan rumah-rumah tradisional Minahasa tidak hanya dimiliki penduduk asli Minahasa, tetapi juga pendatang Belanda (pendeta, guru,

Page 6: TONDANO MASA KOLONIAL: Kota Kolonial Berwajah Tradisional

18

Jurnal Tumotowa Volume 2 Nomor 1, Juli 2019: 13 - 22

dan pejabat pemerintah) yang tinggal di Tondano, berbeda dengan kota-kota colonial lain, umumnya rumah-rumah pendatang Belanda bergaya Eropa atau indis yang megah.

Kota Tondano dapat dikategorikan sebagai kota tidak kompak terbelah (split cities) (Marzuki, 2019:442). Kota kompak merupakan kota dengan desain perencanaan lahan yang maksimal dan efisien. Kota kompak memiliki keunggulan menghemat sumberdaya dan energi, serta pemusatan kegiatan di pusat kota (Burgess, 2000:9). Kota kompak dipandang sebagai alternatif utama dalam pengimplementasian pembangunan berkelanjutan dalam sebuah kota, karena konsepnya adalah adanya pemusatan fungsi-fungsi perkotaan yang dihubungkan oleh jaringan jalan antar kawasan yang lebih singkat dan cepat (Tondobala, 2015:75). Wilayah kota Tondano terdiri dari enam belas walak (kampung) yang dipisahkan Sungai Tondano (Temberan) menjadi; Tondano Barat dan Tondano Timur. Kampung di sebelah barat sungai yang masuk wilayah Tondano Touliang terdiri dari: Wewelen, Watulambot, Rerewokan, Wawalintouan, Toun Kuramber, Rinegetan, Tuk-tu, dan Roong. Kampung di sebelah timur sungai masuk wilayah Tondano Toulimambot meliputi: Luaan, Ranowangko, Kendis, Wengkol, Katinggolan, Liningaan, Kiniar, dan Toulour.

Pola permukiman tradisional penduduk Minahasa tidak mengenal adanya lokasi pemakaman. Permukiman tradisional direpresentasikan sebagai tempat yang masih memegang nila-nilai adat budaya yang berhubungan dengan kepercayaan atau agama

yang bersifat khusus (Sasongko, 2005). Apabila terdapat anggota keluarga yang meninggal, dikuburkan dalam kubur batu (waruga) yang diletakkan di sekitar rumah. Kubur waruga

merupakan kubur komunal, artinya dalam satu waruga digunakan sebagai kubur kelompok (satu keluarga), didasarkan adanya temuan lebih dari satu individu rangka manusia dalam satu waruga. Penggunaan kubur batu waruga dilarang oleh pemerintah Belanda pada tahun 1820an, setelah terjadinya wabah penyakit kolera di Minahasa (Marbun, 2005:64). Sebagai gantinya digunakan pemakaman dengan cara dikubur dalam lokasi yang telah ditentukan, sehingga pada pola permukiman Minahasa ditambahkan pemakaman umum dalam pembagian lahan di desa. Menurut H.B Palar seperti dikutip Irfanuddin W Marzuki (2019:96), lokasi pemakaman umum biasanya terletak di sebelah barat desa, didasarkan pada konsep mengenai kematian masyarakat Minahasa yang menganggap kematian bukan akhir segalanya, kematian merupakan awal kehidupan dalam dunia arwah. Jaringan Jalan

Pola jaringan jalan kota Tondano berpola grid (sudut siku), terdiri dari jalan utama dan jalan sekunder (Marzuki, 2019:318). Jalan utama berukuran lebar 13 m membujur arah utara-selatan, sedangkan jalan sekunder lebar antara 3-5m yang membatasi blok-blok perukiman. Jaringan jalan kota Tondano dapat diklasifikasikan menjadi tiga, yaitu; jaringan jalan antar kota, jaringan jalan lingkar danau, dan jaringan jalan dalam kota. Jaringan jalan

Gambar 4. Rumah tradisional Minahasa di Tondano tahun 1900an (kiri), dan rumah guru Corr Bakker di

Tondano tahun 1920an (kanan). (Sumber: Kitlv.nl)

Page 7: TONDANO MASA KOLONIAL: Kota Kolonial Berwajah Tradisional

19

Tondano Masa Kolonial: Kota Kolonial Berwajah Tradisional - Irfanuddin W Marzuki

antara kota menghubungkan kota Tondano dengan kota-kota lain di Minahasa, seperti Manado, Tomohon, Langowan, dan Air Madidi. Jaringan jalan lingkar danau dibangun melalui kerja wajib oleh penduduk Tondano pada masa tanam paksa kopi (Stokvis, 1971:353; Mawikere, 2000:24), menghubungkan wilayah-wilayah penghasil kopi di sekitar Danau Tondano, seperti Remboken, Eris, dan Kakas dengan kota Tondano. Jaringan jalan dalam kota berupa jalan-jalan sekunder yang ada di dalam kota Tondano. Perbaikan dan peningkatan jaringan di Minahasa dilakukan semenjak adanya tanam paksa kopi tahun 1796. Jalan yang sempit dan kurang bagus diperlebar dan diperbaiki guna memperlancar pengangkutan kopi dengan gerobak (roda) (Marzuki, 2019:431). Kondisi jalan di Tondano pada tahun 1800 digambarkan terpelihara bagus dan terpelihara, walaupun agak licin sehabis hujan (Graafland, 1991:374). Permukiman tradisional Tondano sebelum dipindahkan tidak memiliki jaringan jalan darat, karena tinggal di permukiman rawa-rawa Danau Tondano. Sarana transportasi penduduk berupa perahu-perahu kecil yang dikenal dengan nama bolotho (Marzuki, 2019:308). Fasilitas pendukung

Fasilitas pendukung yang terdapat di kota Tondano berupa perkantoran, pasar, rumah ibadah, dan sekolah. Bangunan perkantoran berupa kantor asisten residen yang berada di sebelah barat lapangan, berbentuk rumah tradisional Minahasa dengan material kayu. Bangunan tersebut dikenal dengan sebutan “Lodji Tondano” yang dibangun tahun 1845 sampai dengan tahun 1849, dan diresmikan oleh

Residen Van Olphen. Pasar di kota Tondano berada di sebelah utara lapangan, di pinggir Sungai Temberan. Penempatan lokasi pasar tersebut berkaitan dengan kondisi sosial budaya dan geografis masyarakat Tondano yang tidak semuanya menggunakan transportasi darat. Pemilihan lokasi pasar di pinggir sungai untuk memudahkan masyarakat sekitar danau dan nelayan untuk menjual hasil tangkapannya langsung ke pasar (Marzuki, 2019:334). Pasar Tondano merupakan salah satu pasar tertua di Minahasa (Watuseke, 1962:43). Bangunan rumah ibadah di Tondano berupa gereja, dikenal dengan nama Gereja Sentrum berlokasi di sebelah timur lapangan yang dibangun tahun 1831. Bangunan gereja sudah mengalami beberapa kali renovasi. Bangunan sekolah tertua di Tondano yaitu bangunan Sekolah Raja atau Hoofdenschool (School voor Zonen van Indlandsche Hoofden en van Aanzienlijke Inlandsche Partikulieren in de Minahasa). Sekolah Raja didirikan tahun 1865 dan ditutup tahun 1872. Atas desakan kepala-kepala distrik Minahasa, sekolah tersebut dibuka kembali tahun 1878 (Watuseke, 1962:44; Parengkuan, 1983:122). Bangunan Sekolah Raja saat ini digunakan untuk SDN 04 dan SDN 08 Tondano. Konstruksi bangunan berupa bangunan berkolong dengan material kayu (Marzuki, 2019:335). Bangunan sekolah yang lebih muda adalah MULO didirikan tahun 1914 (Watuseke, 1962:44), dan direnovasi tahun 1925 dengan biaya 17.070 gulden (Anonimus, 1929:20). Bangunan MULO saat ini digunakan sebagai bangunan SMPN 1 Tondano dan sudah mengalami renovasi.

Kota Tondano berkembang sangat lambat, bahkan cenderung stagnan. Perkembangan yang terjadi hanya di sepanjang jalan utama yang

Gambar 5. Kondisi jalan lingkar Danau Tondano tahun 1900 awal.

(Sumber: kitlv.nl)

Page 8: TONDANO MASA KOLONIAL: Kota Kolonial Berwajah Tradisional

20

Jurnal Tumotowa Volume 2 Nomor 1, Juli 2019: 13 - 22

membelah kota Tondano. Menurut Prof. Dr. Judy Obet Waani, lambatnya perkembangan kota Tondano karena letaknya yang kurang strategis dalam jalur lalu lintas Minahasa dan Manado (Marzuki, 2019:329). Menurut Grace Katuuk (2015:89), lambatnya perkembangan kota Tondano karena kurang inovatif dan kreatif dalam membangun kota, seakan “modern pada masa lalu itu tetap dipertahankan sampai kini”. Kondisi tersebut kemungkinan disebabkan lokasi tapak (site) kota Tondano yang berada daerah cekung yang dikelilingi perbukitan (concave area). Menurut (Both, 1983), seperti dikutip (Poerwoningsih, 2000:18), area cekung memiliki sifat ruang memusat (self centered space), dan orientasi ke dalam (inward orientation) yang menyebabkan rasa terisolasi, privasi, dan aman terhadap lingkungan sekeliling. KESIMPULAN

Pola tata kota Tondano dapat dikategorikan sebagai pola kota kolonial baru (nieuw indisch staad) dengan lapangan sebagai pusatnya yang dikelilingi perkantoran, permukiman, pasar, sekolah, dan rumah ibadah. Walaupun dikategorikan sebagai kota colonial, kota Tondano memiliki perbedaan dengan kota-kota colonial lainnya, yaitu; permukiman (tampilan fisik dan pembagian permukiman), dan aspek pertahanan.

Pola permukiman dan jaringan jalan kota Tondano teratur rapi terbagi dalam blok-blok dengan ukuran tertentu. Pola tata kota Tondano tersebut menjadi model dalam penataan permukiman-permukiman baru di Minahasa pada masa berikutnya. Walaupun pola kota teratur rapi dan dikategorikan sebagai kota kolonial, tetapi penampilan rumah-rumah penduduk Tondano masih mempertahankan arsitektur tradisional Minahasa. Bangunan dengan arsitektur kolonial sangat jarang ditemui di Tondano, sehingga dapat dikatakan Tondano sebagai kota kolonial berwajah tradisional. Permukiman kota Tondano tidak seperti permukiman kota-kota colonial umumnya yang terbagi dalam etnis-etnis tertentu. Permukiman kota Tondano hanya dihuni oleh etnis Minahasa. Permukiman etnis Cina berbaur dengan dengan permukiman Minahasa. Faktor yang melatarbelakangi penampilan rumah-rumah penduduk Tondano masih mempertahankan rumah tradisional Minahasa antara lain;

ketersediaan kayu sebagai material utama rumah yang melimpah, minimnya material semen dan bata, dan kurangya ketersediaan tenaga kerja/tukang batu.

Ciri khas kota kolonial yang berupa bangunan pertahanan (benteng/tangsi militer atau makas garnisun) tidak terdapat di Tondano. Tidak adanya bangunan pertahanan di Tondano menunjukkan bahwa wilayah Tondano sudah kondusif dan pemerintah kolonial Belanda tidak khawatir adanya perlawanan fisik yang akan dilakukan masyarakat Tondano.

*****

DAFTAR PUSTAKA Adrisijanti, I. (2000). Arkeologi Perkotaan

Mataram Islam. Yogyakarta: Penerbit Jendela.

Anonimus. (1929). Verslag de Burgerlijke Openbare Werken in Nederlandsch Indie en de jaaren 1925, 1926, 1927 en 1928. Weltevreden: Landsdrukkerij.

Bhatta, M. J. (1958). Tinjauan Tentang Tempat Kediaman Orang Jang Beragama Islam di Minahasa. Jakarta: Direktorat Topografi AD, Kementerian Pertahanan.

Bleeker, P. (1856). Reis door de Minahasa in 1855, Vol. I. Batavia: Lange&Co.

Both, N. K. (1983). Basic Elements of Landscape Architectural Design. New York: Oxford.

Buijne, G. d. (1985). The Colonial City and The Post Colonial World. In R. R. (ed), Colonial Cities Essay on Urbanism in a Colonial Context. Dordrecht: Martinus Nijhoff Publisher.

Burgess, R. (2000). The Compact City Debate: a Global Perspective. In M. J. (editor), Compact Cities Sustainable Urban Forms for Developing Countries (pp. 9-24). London: Spon Press.

Gee, T. M. (1969). The Southeasth Asian City: A Social Geography of The Primates Cities of Southeast Asia. London: G Bell and Sons Ltd.

Gill, R. G. (1995). De Indische Stad op Java en Madura, een Morphologische Studie van haar Ontwikkeling. Disertasi.

Page 9: TONDANO MASA KOLONIAL: Kota Kolonial Berwajah Tradisional

21

Tondano Masa Kolonial: Kota Kolonial Berwajah Tradisional - Irfanuddin W Marzuki

Graafland, N. (1991). Minahasa Negeri, Rakyat, dan Budayanya. Jakarta: Pustaka Utama Grafiti.

Handinoto. (2010). Arsitektur dan Kota-Kota di Jawa Masa Kolonial. Yogyakarta: Grha Ilmu.

Handinoto. (2015). Perkembangan Kota di Jawa Abad XVIII sampai Pertengahan XX Dipandang dari Sudut Bentuk dan Struktur Kotanya. Yogyakarta: Penerbit Ombak.

Henley, D. (2005). Fertility Food and fever Population, Economy, and Environment in North and Central Celebes, 1600-1930. Leiden: KITLV Press.

Hickson, S. (1889). A Naturalist in North Celebes. London: John Murray.

Kalsum, E. (2015). Model Penelitian Hubungan Pola Permukiman dan Konflik Antar Etnik. Langkau Betang Vol. 2 No. 1, 77-85.

Katuuk, G. (2015). Tondano sebagai Kota Kolase. Spasial; Vol 1, No 1 (2015), 88-93.

Katuuk, G. (2015). Tondano Sebagai Kota Kolase. Spasial Vol. 1, No.1, 88-93.

King, A. D. (1976). Colonial Urban Development. London: Routledge Library Editions.

Kurniawan, J. (2011). Tinjauan Umum Mengenai Penelitian Kota Kolonial pada Arkeologi Perkotaan di Indonesia. International Seminar urban Heritage Its Contribution to the Present A Festchrift in Honor of Prof. Dr. Inajati Adrisijanti. Yogyakarta: Fakultas Ilmu Budaya UGM.

Limadharma, H. K. (1987). Tanam Paksa Kopi dan Monetisasi Petani Minahasa, 1822-1870. Tesis, UI, Fakultas Pascasarjana, Jakarta.

Machmud. (2006). Pola Permukiman Masyarakat Tradisional Ammatoa Kajang di Sulawesi Selatan. Jurnal Teknik. XIII (3):178-186., 178-186.

Marbun, J. (2005). Faktor Penyebab Hilangnya Tradisi Penguburan Dengan Waruga di Minahasa. Yogyakarta: FIB UGM. .

Marzuki, I. W. (2019). Perkembangan Struktur Tata Ruang Kota Pantai dan Kota Pedalaman Minahasa, Provinsi Sulawesi Utara tahun 1789-1945. Program Doktor Ilmu-Ilmu Humaniora. Yogyakarta: Fakultas Ilmu Budaya UGM.

Mawikere, F. (2000). Kolonialisme di Minahasa Sebuah Catatan Memahami Dimensi Sejarah Minahasa dalam Konteks Kekinian . Manado: FS Unsrat.

Nuralia, L. (2013). Perkotaan Kolonial Pada Abad XIX-XX di Kota Serang, Banten; Kajian Arkeologis Historis. Patanjala Vol. 5 No. 1 Maret, 20-38.

Nurhadi. (1995). Arkeologi Kota Sebuah Pengantar. Bulletin Arkeologi Amoghapasa 2(1), 3-10.

Palar, H. (2009). Wajah Lama Minahasa. Bogor: Yayasan Gibbon Indonesia.

Parengkuan, F. (1983). Sejarah Sosial Sulawesi Utara. Manado: FS Unsrat.

Penelitian, T. (2012). Pusat Peradaban Minahasa Perkembangan Hunian dan Budaya Minahasa. Manado: Balai Arkeologi.

Penyusun, T. (2008). Metode Penelitian Arkeologi. Jakarta: Puslitbang Arkenas.

Permen PU No.5/PRT/M/2008, 5 (2008). Poerwoningsih, D. (2000). Pola Spasial

Permukiman Kota di Bantaran Sungai Brantas Malang Kasus : Permukiman Kelurahan Kiduldalem. Yogyakarta: Program Pascasarjana UGM.

Rengkung, C. T. (2012). Kajian Semiotika dalam Arsitektur Tradisional Minahasa. Daseng Vo. 1 No. 1 (2012), 21-29.

Renwarin, P. R. (2007). Matuari Wo Tonaas Dinamika Budaya Tombulu di Minahasa, Jilid I Mawanua. Jakarta: Cahaya Pineleng.

Sasongko, I. (2005). Pembentukan Struktur Ruang Permukiman Berbasis Budaya (Studi Kasus:Desa Puyung-Lombok Tengah). Jurnal Dimensi Teknik Arsitektur. 33 (1), 1-8.

Schouten, M. J. (1998). Leadhership and Social Mobility in A Southeast Asian Society Minahasa 1677-1983. Leiden: KITLV Press.

Stokvis, H. C. (1971). Leven en Arbeidvan Mr. Ch. T Deventer, Del III. Amsterdam: PN van Kampen.

Sulistyo, H. (1982). Aspek-Aspek Sosial Transmigrasi. Economica Vol 10, No. 2.

Taylor, J. G. (2003). Indonesia, Peoples and Histories. London: Yale University Press.

Tondobala, L. (2015). Pengembangan Struktur Ruang: Mereduksi Mobilitas Perkotaan.

Page 10: TONDANO MASA KOLONIAL: Kota Kolonial Berwajah Tradisional

22

Jurnal Tumotowa Volume 2 Nomor 1, Juli 2019: 13 - 22

Media Matrasain Volume 12, No. 2 Juli 2015, 73-79.

Utomo, R. H. (2003). Komponen Perancangan Arsitektur Lansekap, Prinsip Unsur, dan Aplikasi Desain. Jakarta: Bumi Aksara.

Watuseke, F. (1962). Sedjarah Minahasa. Manado: Jajasan Penerbit Merdeka.

Watuseke, F. (1987). Tondano not Tolour. Bijdragen tot de Taal, Land en Volkenkunde, Deel 142 Ade Afl (1987), 552-554.

Wertheim, W. (1999). Masyarakat Indonesia dalam Transisi Studi Perubahan Sosial. Yogyakarta: Tiara Wacana.

Wewngkang, S. H. (1995). Sejarah Perkembangan Pemerintahan Wilayah Tondano (1945-1991). Skripsi, Universitas Sam Ratulangie, Fakultas Sastra, Manado.