pbl 23
DESCRIPTION
pblTRANSCRIPT
Konjungtivitis Viral Okulo Dextra Sinistra
Hilary10.2012.249
email : [email protected]
Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida WacanaJl. Arjuna Utara No.6 Kebon Jeruk, Jakarta Barat. Telp. (021) 56942061
Pendahuluan
Konjungtiva adalah membran mukosa yang transparan dan tipis yang membungkus permukaan
posterior kelopak mata (konjungtiva palpebra) dan permukaan anterior sklera (konjungtiva bulbaris).
Konjungtiva bersambungan dengan kulit pada tepi kelopak mata (persambungan mukokutan) dan dengan
epitel kornea di limbus. Konjungtiva mengandung kelejar musin yang dihasilkan oleh sel Goblet. Musin
bersifat membasahi bola mata terutama kornea.1,2
Konjungtiva merupakan bagian yang mudah untuk terkena infeksi dikarenakan lokasinya yang
mudah terpapar oleh mikroorganisme. Maka apabila terjadi peradangan pada konjungtiva disebut
konjungtivitis. Konjungtivitis ini dapat diakibatkan oleh banyak penyebab seperti bakteri, virus, klamidia,
alergi toksik dan molluscum contagiosum.2
Skenario
Seorang wanita 28 tahun yang bekerja sebagai customer service, datang ke poliklinik dengan
keluhan utama kedua mata merah sejak dua hari yang lalu. Keluhan disertai dengan mata yang terasa
berat, sekret serous, gatal minimal dan silau bila melihat cahaya namun pandangan tidak kabur. Pasien
mengatakan bahwa empat orang rekan sekerjanya menderita sakit yang sama.
Anamnesis
Sebelum melakukan pemeriksaan terhadap pasien, setiap dokter harus melakukan anamnesis.
Anamnesis merupakan wawancara yang dilakukan terhadap pasien. Tehnik anamnesis yang baik disertai
dengan empati merupakan seni tersendiri dalam rangkaian pemeriksaan pasien secara keseluruhan dalam
usaha untuk membuka saluran komunikasi antara dokter dengan pasien. Anamnesis dapat langsung
dilakukan terhadap pasien (auto-anamnesis) atau terhadap keluarga atau pengantarnya (alo-anamnesis)
jika keadaan pasien tidak memungkinkan untuk diwawancarai misalnya dalam keadaan gawat darurat.
Hal-hal yang ditanyakan dokter pada pasien dalam melakukan anamnesis antara lain:
1. Identitas. Meliputi nama lengkap pasien, umur, tempat tanggal lahir, alamat, pekerjaan,
pendidikan terakhir, suku bangsa dan agama. Identitas perlu ditanyakan untuk memastikan bahwa
pasien yang dihadapi adalah memang pasien yang dimaksud.
2. Keluhan utama. Merupakan alasan spesifik atau keluhan yang dirasakan seseorang
sehingga ia datang ke dokter atau rumah sakit. Dalam menuliskan keluhan utama, harus
disertai dengan indicator waktu, berapa lama pasien mengalami hal tersebut. Dalam
kasus, yang menjadi keluhan utama adalah kedua mata merah sejak 2 hari yang lalu.
Keluhan disertai dengan mata terasa berat, sekret serous, gatal minimal dan silau bila
melihat cahaya namun pandangan tidak kabur.
3. Riwayat penyakit sekarang. Merupakan cerita yang kronologis, terperinci dan jelas mengenai
keadaan kesehatan pasien sejak sebelum keluhan utama sampai pasien datang berobat.
4. Riwayat penyakit dahulu. Tanyakan apakah pasien pernah mengalami hal yang sama dengan
yang dialaminya sekarang. Dalam kasus tidak diberitahukan apakah pasien pernah mengalami
keluhan yang sama atau tidak.
5. Riwayat penyakit keluarga. Tanyakan apakah ada anggota keluarga mengalami hal yang serupa
dengan pasien. konjungtivitis merupakan penyakit yang sangat menular sehingga perlu
ditanyakan apakah ada keluarga ataupun teman di sekolah atau kantor yang mengalami keluhan
yang sama dengan pasien. Dari kasus didapat bahwa 4 rekan kerja pasien menderita sakit yang
sama.
6. Riwayat sosial. Tanyakan kebiasaan pasien yang berhubungan dengan kasus. Tanyakan apakah
pasien memperhatikan kebersihannya. Misalnya apakah pasien mencuci tangan setelah berkontak
dengan rekan kantornya atau apakah pasien meminjam barang-barang rekan kerjanya seperti
saputangan handuk dan sebagainya.
Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik mata adalah serangkaian pemeriksaan yang bertujuan untuk mengetahui
keadaan mata secara umum. Pemeriksaan ini dikhususkan pada bagian mata. Langkah pemeriksaan yang
dilakukan yakni :
1. Palpebra, dilihat apakah ada edema, warna kemerahan, lesi, arah bulu mata, dan
kemampuan palpebra untuk menutup sempurna. Pada pasien didapatkan palpebra
bengkak minimal.
2. Apparatus lakrimalis, dilihat apakah ada pembengkakan pada daerah kelenjar lakrimalis
dan sakus lakrimalis
3. Konjungtiva dan sclera, dilihat warnanya dan vaskularisasinya, cari setiap nodulus atau
pembengkakan. Pada konjungtiva tarsus superior dicari kelainan seperti folikel,
membran, papil, papil raksasa, pseudomembran, sikatriks, dan simblefaron. Pada
konjungtiva tarsus inferior dicari kelainan seperti folikel, papil, sikatriks, hordeolum dan
kalazion. Pada konjungtiva bulbi dilihat ada tidaknya sekret. Bila ada amati warna sekret,
kejernihan, dan volume sekret. Kemudian cari ada tidaknya injeksi konjungtival, siliar,
atau episklera, perdarahan subkonjungtiva, flikten, simblefaron, bercak degenerasi,
pinguekula, pterigium, dan pseudopterigium. Pada pasien didapatkan konjungtiva bulba
hiperemis, dan pada tarsus ada reaksi folikuler.
4. Kornea, lensa, dan pupil dengan cahaya yang dipancarkan dari temporal dilihat apakah
ada kekeruhan (opasitas) pada lensa melalui pupil, apakah ada
bayangan berbentuk bulan sabit pada sisi medial, kemudian dilihat ukuran, bentuk dankes
imetrisan pupil.
5. Gerakan ekstraokular, dengan mengikuti gerakan jari pemeriksa yang membentuk huruf
H di udara, lihat apakah ada nistagmus, lid lag, dan tanyakan apakah ada rasa nyeri saat
pergerakan.
6. Pada konjungtivitis, hasil pemeriksaan fisik bisaanya ditemukan visus yang normal,
hiperemis konjungtiva bulbi, lakrimasi, eksudat, pseudoptosis akibat kelopak mata yang
bengkak, kemosis, hipertrofi papil, folikel, membran, psudomembran, granulasi, flikten
dan adenopati preaurikular.
7. Pemeriksaan visus. Ini biasa dilakukan ketika pasien datang dengan keluhan pengelihatan
tidak jelas. Biasanya pasien akan diminta duduk pada sebuah kursi dan di hadapannya
diberikan papan tulisan huruf (papan Snellen) atau angka sekitar 6 meter atau 20 feet di
depan. Pasien akan diminta untuk membaca tulisan dari atas (terbesar) hingga tulisan
terbawah yang bisa dibaca. Masing-masing tulisan memiliki nilai visus atau ketajaman
mata. Misalnya bila pasien bisa membaca tulisan teratas, maka ketajaman mata adalah
6/60. Pemeriksaan dilanjutkan hingga tulisan terkecil yang dapat dibaca. Setelah
dilanjutkan hingga tulisan terkecil yang dapat dibaca. Setelah diketahui nilai visus, pasien
biasanya akan diberikan kacamata periksa, dimana lensanya dapat diganti-ganti.
Tujuannya adalah agar mata dengan baik membaca tulisan terbawah dalam papan Snellen
dengan visus 6/6. Ketajaman 6/6 adalah ketajaman terbaik. Bila visus mata sangat buruk
atau tulisan terbesar pun tidak terbaca, biasanya pemeriksa akan melakukan dengan
memperagakan jumlah jari pada 1 meter dihadapan pasien (finger counting test). Pasien
harus menghitung jumlah jarinya. Bila pasien tidak dapat melihatnya, maka lakukan
pemeriksaan lambaian tangan (hand movement test). Bila pasien tetap tidak dapat melihat
maka lakukan dengan cahaya senter untuk mengetes proyeksi dan persepsi cahaya pada
pasien. Bila cahaya pun tak terlihat maka mungkin pasien mengalami kebutaan.
Pemeriksaan Penunjang
1. Serologi untuk membantu membedakan tipe-tipe virus penyebab konjungtivitis. Bahan
dapat diambil dari swab konjungtiva atau sekret.
2. Pewarnaan gram dilakukan jika pasien dicurigai menderita konjungtivitis akibat infeksi
bakteri. Bahan dapat diambil dari swab konjungtiva atau sekret.
3. Oftalmoskop. Oftalmoskop merupakan suatu alat yang digunakan untuk pemeriksaan
oftalmoskopi. Pemeriksaan oftalmoskopi bertujuan untuk melihat bagian dalam mata atau
fundus okuli. Oftalmoskopi dibedakan menjadi oftalmoskopi langsung dan oftalmoskopi
tidak langsung. Oftalmoskopi langsung bertujuan untuk melihat daerah paling perifer
sampai daerah ekuator, tidak stereoskopis, berdiri tegak atau tidak terbalik, dan
perbesaran 15 kali. Sedangkan dengan oftalmoskopi tidak langsung akan terlihat daerah
fundus okuli 8 kali diameter papil, dapat dilihat sampai daerah ora serata, karena dilihat
dengan 2 mata maka terdapat efek stereoskopik dan dengan perbesaran 2-4 kali.
Pemeriksaan dengan oftalmoskop ini dilakukan dalam kamar gelap.
Working Diagnosis
Konjungtivitis virus adalah penyakit mata yang umum ditemukan baik di Indonesia
maupun di seluruh dunia. Karena begitu umum dan banyak kasus yang tidak dibawa ke perhatian
medis, statistik yang akurat pada frekuensi penyakit tidak tersedia. Pada penelitian di
Philadelphia, 62% dari kasus konjungtivitis penyebabnya adalah virus. Sedangkan di Asia
Timur, adenovirus dapat diisolasi dari 91,2% kasus yang didiagnosa epidemik
keratokonjunctivitis. Infeksi virus sering terjadi pada epidemi dalam keluarga, sekolah, kantor,
dan organisasi militer. Gejala klinis konjungtivitis virus dapat terjadi secara akut maupun kronis.
Manifestasi konjungtivitis virus beragam dari mulai gejala yang ringan dan sembuh sendiri
hingga gejala berat yang menimbulkan kecacatan. Umumnya pasien datang dengan keluhan mata
merah unilateral yang dengan segera menyebar ke mata lainnya, muncul sekret berwarna bening,
bengkak pada palpebra, pembesaran kelenjar preaurikuler, dan pada keterlibatan kornea dapat
timbul nyeri dan fotofobia.2,3
Diagnosis konjungtivitis virus ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik serta
pemeriksaan penunjang yang mendukung. Anamnesis yang teliti mengenai keluhan utama dan riwayat
terdahulu disertai adanya gejala klinis yang sesuai biasanya sudah dapat mengarahkan pada diagnosis
konjungtivitis virus. Pemeriksaan sitologi maupun biakan dari kerokan konjungtiva maupun sekret dapat
membantu membedakan agen penyebab konjungtivitis. Pemeriksaan serologi juga dapat membantu
membedakan tipe-tipe virus penyebab konjungtivitis. Konjungtivitis virus harus dibedakan dengan
penyebab mata merah yang lain seperti konjungtivitis oleh bakteri/alergi, keratitis, uveitis, dan glaucoma
akut. Konjungtivitis dibedakan menjadi 2 bentuk yaitu:
Konjungtivitis akut, onset mendadak, durasi kurang dari 4 minggu
Konjungtivitis kronik, durasi lebih dari 4 minggu.
Etiologi
Berbagai jenis virus diketahui dapat menjadi agen penyebab konjungtivitis. Adenoviral
merupakan etiologi tersering dari konjungtivitis virus. Beberapa subtipe dari konjungtivitis
adenovirus antara lain demam faringokonjungtiva serta keratokonjungtivitis epidemika. Infeksi
mata primer oleh karena herpes simplex sering ditemukan pada anak-anak dan biasanya
menimbulkan konjungtivitis folikuler. Infeksi ini umumnya disebabkan oleh HSV tipe I
walaupun HSV tipe II dapat pula menyebabkan konjungtivitis terutama pada neonatus.
Penyebab lain yang lebih jarang antara lain infeksi virus varicella-zoster (VZV),
pikornavirus (enterovirus 70, coxsakie A24), poxvirus (molluskum kontagiosum, vaccinia).
Infeksi oleh pikornavirus menyebabkan konjungtivitis hemoragika akut yang secara klinis mirip
dengan infeksi oleh adenovirus namun lebih parah dan hemoragik. Molluscum kontagiosum
dapat menyebabkan konjungtivitis kronis yang terjadi akibat shedding partikel virus dari lesi ke
dalam sakus konjungtiva. Infeksi oleh virus Vaccinia saat ini sudah jarang ditemukan seiring
dengan menurunnya insiden infeksi smallpox. Infeksi HIV pada pasien AIDS pada umumnya
menyebabkan abnormalitas pada segmen posterior, namun infeksi pada segmen anterior juga
pernah dilaporkan. Konjungtivitis yang terjadi pada pasien AIDS cenderung lebih berat dan lama
daripada individu lain yang immunokompeten. Konjungtivitis juga kadang dapat ditemukan pada
periode terinfeksi virus sistemik seperti virus influenza, Epstein-Barr virus, paramyxovirus
(measles, mumps, Newcastle) atau Rubella.1,3
Epidemiologi dan Faktor Risiko
Konjungtivitis viral adalah penyakit mata yang umum di Amerika Serikat dan seluruh
dunia. Infeksi virus seringkali terjadi pada epidemi dalam keluarga, sekolah, kantor, dan
organisasi militer. Konjungtivitis viral tidak mempunyai predileksi jenis kelamin, dapat terjadi
pada laki-laki dan perempuan dengan perbandingan yang sama. Konjungtivitis viral dapat
mengenai semua umur, tergantung dari etiologi virus penyebab. Biasanya, adenovirus
menyerang pasien usia 20-40 tahun. Virus herpes simpleks dan infeksi varisela-zoster primer
biasanya mengenai anak kecil dan bayi. Herpes zoster oftalmikus berasal dari reaktivasi infeksi
laten virus varisela-zoster dan dapat muncul pada semua usia. Khasnya, picornavirus menyerang
anak-anak dan dewasa muda yang kelas sosioekonominya rendah. Epidemi tersebar melalui rute
mata-tangan-mata.4,5
Virus masuk ke mata melalui benda-benda yang terkontaminasi, seperti tangan,
waslap/handuk, kosmetik, lensa kontak, bulu mata palsu, air yang terkontaminasi. Karena itu
risiko konjungtivitis ada pada orang yang jarang mencuci tangan, sering mengucek mata,
menggunakan lensa kontak, menggunakan peralatan pribadi seperti handuk secara bersama-
sama, berenang, dan menggunakan kosmetik mata.6
Anatomi Konjungtiva
Konjungtiva merupakan lapisan terluar dari mata yang terdiri dari membran mukosa tipis
yang melapisi kelopak mata, kemudian melengkung melapisi permukaan bola mata dan berakhir
pada daerah transparan pada mata yaitu kornea. Secara anatomi, konjungtiva dibagi atas 3 bagian
yaitu konjungtiva tarsal yang menutupi tarsus, konjungtiva tarsal sukar digerakkan dari tarsus,
konjungtiva bulbi menutupi sclera dan mudah digerakkan dari sklera dibawahnya dan
konjungtiva forniks yang merupakan tempat peralihan konjungtiva tarsal dan konjungtiva bulbi.
Namun, secara letak areanya, konjungtiva dibagi menjadi 6 area yaitu area marginal, tarsal,
orbital, forniks, bulbar dan limbal. Konjungtiva bersambungan dengan kulit pada tepi kelopak
(persambungan mukokutan) dan dengan epitel kornea pada limbus. Secara histologis, lapisan sel
konjungtiva terdiri atas dua hingga lima lapisan sel epitel silindris bertingkat, superfisial dan
basal. Sel-sel epitel superfisial mengandung sel-sel goblet bulat atau oval yang mensekresi
mukus yang diperlukan untuk dispersi air mata. Sel-sel epitel basal berwarna lebih pekat
dibandingkan sel-sel superfisial dan dapat mengandung pigmen. 4
Stroma konjungtiva dibagi menjadi satu lapisan adenoid (superfisialis) dan satu lapisan
fibrosa (profundus). Lapisan adenoid mengandung jaringan limfoid dan tidak berkembang
sampai setelah bayi berumur 2 atau 3 bulan. Lapisan fibrosa tersusun dari jaringan penyambung
yang melekat pada lempeng tarsus dan tersusun longgar pada mata. Arteri-arteri konjungtiva
berasal dari arteria siliaris anterior dan arteria palpebralis. Kedua arteri ini beranastomosis
dengan bebas dan bersama dengan banyak vena konjungtiva membentuk jaringan vaskular
konjungtiva yang sangat banyak. Konjungtiva juga menerima persarafan dari percabangan
pertama nervus V dengan serabut nyeri yang relatif sedikit. Konjungtiva palpebralis melekat kuat
pada tarsus, sedangkan bagian bulbar bergerak secara bebas pada sklera kecuali yang dekat pada
daerah kornea.4
Gambar 1. Anatomi konjungtiva7
Pada konjungtiva terdapat pembuluh darah:
Arteri konjungtiva posterior yang meperdarahi konjungtiva bulbi
Arteri siliar anterior atau episklera yang memberikan cabang:
o Arteri episklera masuk kedalam bola mata dan dengan arteri siliar posterior lomus bergabung
membentuk arteri sirkular mayor atau pleksus siliar, yang akan memperdarahi iris dan badan
siliar.
o Arteri perikornea yang memperdarahi kornea
o Arteri episklera yang terletak diatas sclera, merupakan bagian arteri siliar anterior yang
memberikan perdarahan ke dalam bila mata.
Bila terjadi pelebaran pembuluh-pembuluh darah diatas maka akan teradi mata merah.
Fungsi dari konjungtiva adalah memproduksi air mata, menyediakan kebutuhan oksigen ke
kornea ketika mata sedang terbuka dan melindungi mata, dengan mekanisme pertahanan nonspesifik yang
berupa barier epitel, aktivitas lakrimasi, dan menyuplai darah. Selain itu, terdapat pertahanan spesifik
berupa mekanisme imunologis seperti sel mast, leukosit, adanya jaringan limfoid pada mukosa tersebut
dan antibodi dalam bentuk IgA 1,2
Pada konjungtiva terdapat beberapa jenis kelenjar yang dibagi menjadi dua grup besar yaitu 4,6
1. Penghasil musin
a. Sel goblet; terletak dibawah epitel dan paling banyak ditemukan pada daerah
inferonasal.
b. Crypts of Henle; terletak sepanjang sepertiga atas dari konjungtiva tarsalis
superior dan sepanjang sepertiga bawah dari konjungtiva tarsalis inferior.
c. Kelenjar Manz; mengelilingi daerah limbus.
2. Kelenjar asesoris lakrimalis. Kelenjar asesoris ini termasuk kelenjar Krause dan kelenjar
Wolfring. Kedua kelenjar ini terletak dalam dibawah substansi propria.
Pada sakus konjungtiva tidak pernah bebas dari mikroorganisme namun karena suhunya
yang cukup rendah, evaporasi dari cairan lakrimal dan suplai darah yang rendah menyebabkan
bakteri kurang mampu berkembang biak. Selain itu, air mata bukan merupakan medium yang
baik. 1
Patofisiologi
Konjungtiva merupakan jaringan ikat longgar yang menutupi permukaan mata (konjungtiva bulbi),
kemudian melipat untuk membentuk bagian dalam palpebra (konjungtiva palpebra). Konjungtiva melekat
erat dengan sklera pada bagian limbus, dimana konjungtiva berhubungan dengan kornea. Glandula
lakrima aksesori (Kraus dan Wolfring) serta sel Goblet yang terdapat pada konjungtiva bertanggung
jawab untuk mempertahankan lubrikasi mata. Seperti halnya membran mukosa lain, agen infeksi dapat
melekat dan mengalahkan mekanisme pertahanan normal dan menimbulkan gejala kinis seperti mata
merah, iritasi serta fotofobia. Pada umumnya konjungtivitis merupakan proses yang dapat menyembuh
dengan sendirinya, namun pada beberapa kasus dapat menimbulkan infeksi dan komplikasi yang berat
tergantung daya tahan tubuh dan virulensi virus tersebut.4
Manifestasi Klinis
Secara umum, gejala penting dari konjungtivitis adalah adanya rasa benda asing di mata, rasa
tercakar atau terbakar, rasa penuh di sekitar mata, gatal, dan fotofobia. Adanya gejala ini
diasosiasikan dengan pembengkakan dan hipertrofi papil yang normalnya bersamaan dengan
hiperemia konjungtiva. Jika ada rasa sakit, mungkin kornea juga terkena.
Manifestasi pada konjungtivitis folikular viral akut8
1) Demam faringkonjungtivitis
Demam faringokonjungtivitis ditandai dengan demam 38.3-40oC yang berakhir 4-5 hari,
faringitis dengan keterlibatan khas jaringan limfoid faring, dan konjungtivitis folikular pada satu
atau kedua mata.7 Folikel sering sangat mencolok pada konjungtiva dan mukosa faring. Penyakit
ini dapat unilateral atau bilateral. Injeksi dan lakrimasi sering terjadi, dan dapat terjadi keratitis
epitel superficial transien dan kadang-kadang opasitas subepitelial. Limfadenopati preaurikular
yang tidak lunak merupakan karakteristiknya. Sindrom ini dapat tidak lengkap, hanya satu atau
dua dari tanda kardinal. (demam, faringitis, dan konjungtivitis).
2) Keratokonjungtivitis epidemik
Keratokonjungtivitis epidemik biasanya bilateral. Onsetnya sering dimulai hanya pada satu
mata, dan mata yang pertama akan lebih parah. Terdapat injeksi konjungtiva, nyeri moderat,
lakrimasi, diikuti 5-14 hari fotofobia, keratitis epithelial, dan opasitas subepitel. Sensasi kornea
normal. Limfadenopati preaurikular yang lunak merupakan karakteristiknya. Edema palpebra,
kemosis, hiperemia konjungtiva menandai fase akut, dengan folikel dan perdarahan
subkonjungtiva sering terjadi dalam 48 jam. Pseudomembran (dan kadang-kadang membran)
dapat muncul dan diikuti oleh scar yang rata atau pembentukan simblefaron. Konjungtivitisnya
akan bertahan sampai 3-4 minggu seringkali. Opasitas subepitelial difokuskan di kornea sentral,
dan dapat bertahan beberapa bulan tapi dapat sembuh tanpa scar. Keratokonjungtivitis epidemik
pada orang dewasa terbatas hanya pada mata eksternal, tapi pada anak-anak mungkin terjadi
gejala sistemik infeksi virus seperti demam, sakit tenggorokan, otitis media, dan diare.
3) Konjungtivitis herpes simpleks
Konjungtivitis herpes simpleks, biasanya penyakit pada anak-anak kecil, ditandai dengan
injeksi unilateral, iritasi, discharge mukoid, nyeri, dan fotofobia ringan. Keadaan ini terjadi
selama infeksi primer HSV atau selama episode rekuren dari herpes okular. Penyakit ini sering
diasosiasikan dengan keratitis herpes simpleks, dimana kornea menunjukkan lesi epithelial
diskret yang biasanya bersatu untuk membentuk ulkus yang bercabang epitel single atau multipel
(dendritik). Terdapat folikel, atau jarangnya, pseudomembranosa pada konjungtivitisnya. (pasien
yang menerima antiviral topikal dapat berkembang menjadi konjungtivitis folikular yang dapat
dibedakan karena konjungtivitis folikular herpetik onsetnya akut). Vesikel herpetik kadang-
kadang dapat muncul pada kelopak dan tepi kelopak, diasosiasikan dengan edema palpebra yang
berat. Biasanya ada nodus kecil kelenjar limfe preaurikular yang lunak. Jika konjungtivitisnya
folikular, reaksi inflamasi yang predominan adalah mononuclear, tapi jika pseudomembranosa,
reaksi predominannya polimorfonuklear. Ditemukannya sel epitel multinuclear raksasa
mempunyai nilai diagnostik. Diagnosis dikesankan oleh adanya vesikel herpes pada kelopak
mata, diagnosis ditegakkan dengan isolasi virus. Konjungtivitis herpes simpleks dapat bertahan
sampai 2-3 minggu, dan jika pseudomembranosa dapat menyisakan bekas garis atau scar dan
gangguan penglihatan. Komplikasi mencakup ikut terkenanya kornea dan adanya vesikel di kulit.
Walaupun herpes virus tipe 1 merupakan penyebab mayor kasus-kasus pada mata, tipe 2 adalah
penyebab umum pada bayi baru lahir dan jarang pada dewasa. Pada bayi baru lahir, mungkin
terdapat penyakit yang menyeluruh seperti ensefalitis, korioretinitis, hepatitis, dll. Setiap infeksi
HSV pada bayi baru lahir harus diobati dengan antiviral sistemik (asiklovir) dan di monitor di
rumah sakit.
4) Konjungtivitis hemoragik akut
Penyakit ini mempunyai karakterisik masa inkubasi yang pendek (4-48 jam) dan penyakitnya
berlangsung selama 5-7 hari. Tanda dan gejala umumnya yaitu sakit/nyeri, fotofobia, terasa ada
benda asing, lakrimasi yang banyak, hiperemi, edema palpebra, dan perdarahan subkonjungtiva.
Kadang-kadang kemosis juga terjadi. Perdarahan subkonjungtiva biasanya difus, tapi dapat
punctata saat onset, dimulai dari konjungtiva bulbi superior dan menyebar ke inferior.
Kebanyakan pasien mengalami limfadenopati preaurikular, folikel pada konjungtiva, dan
keratitis epithelial. Uveitis anterior pernah dilaporkan; demam, malaise, dan mialgia di seluruh
tubuh telah diobservasi pada 25% kasus; dan paralisis motorik di ekstremitas bawah juga terjadi
pada kasus yang jarang di India dan Jepang.
5) Konjungtivitis penyakit Newcastle
Konjungtivitis Newcastle disebabkan oleh virus Newcastle dengan gambaran klinis sama
dengan demam faring konjungtiva. Penyakit ini biasanya terdapat pada pekerja peternak unggas
yang ditulari virus Newcastle pada unggas. Umumnya penyakit bersifat unilateral walaupun
dapat juga bilateral. Konjungtivitis ini memberikan gejala influenza dengan demam ringan, sakit
kepala dan nyeri sendi. Konjuntivitis Newcastle akan memberikan keluhan rasa sakit pada mata,
gatal, mata berair, penglihatan kabur dan fotofobia. Penyakit ini sembuh dalam jangkat waktu
kurang dari satu minggu. Pada mata akan terlihat edema palpebral ringan, kemosis dan secret
yang sedikit, dan folikel-folikel yang terutama ditemukan pada konjungtiva tarsal superior dan
inferior. Pada kornea ditemukan keratitis epithelial atau keratitis subepitel. Pembesaran kelenjar
getah bening yang tidak nyeri tekan.
Diagnosis Banding
1. Konjungtivits bakteri.
Konjungtivits yang disebabkan oleh bakteri dapat saja akibat infeksi gonokok,
meningokok, Staphylococcus aureus, Streptococcus pneumonia, Haemophillus influenza
dan Escherichia coli. Memberikan gejala sekret mukopurulen dan purulen, kemosis
konjungtiva, edema kelopak, kadang-kadang disertai keratitis dan blefaritis.
Konjungtivits bakteri ini mudah menular, pada satu mata ke mata sebelahnya dan
menyebar ke orang lain melalu benda yang dapat menyebarkan kuman. Konjungtivits
bakteri akut disebabkan oleh Streptococcus, Corynobacterium diphterica, Pseudomonas,
Neisseria dan Haemophillus. Gambaran klinis berupa konjungtivitis mukopurulen dan
konjungtivitis purulen. Perjalanan penyakit akut yang dapat berjalan kronis. Dengan
tanda hiperemi konjungtiva, edema kelopak, papil dengan dan kornea yang jernih.9
2. Konjungtivitis alergi. Bentuk radang konjungtiva akibat reaksi alergi terhadap noninfeksi,
dapat berupa reaksi cepat seperti alergi biasa dan reaksi terlambat sesudah beberapa hari
kontak seperti pada reaksi terhadap obat, bakteri, dan toksik. Merupakan reaksi antibodi
humoral terhadap allergen biasanya dengan riwayat atopi. Gejala utama penyakit alergi
ini adalah radang (merah, sakit, bengkak dan panas), gatal, silau, berulang dan menahun.
Tanda karakterisitk lainnya adalah terdapatnya papil besar pada konjungtiva, datang
bermusim yang dapat mengganggu pengelihatan. Walaupun penyakit alergi konjungtiva
sering sembuh sendiri akan tetapi dapat memberikan keluhan yang memerlukan
pengobatan. Pada pemeriksaan laboratorium ditemukan sel eosinofil, sel plasma, limfosit
dan basofil. Pengobatan dengan mengindarkan penyebab pencetus penyakit dengan
memberikan sodium kromolin, steroid topical dosis rendah yang kemudian disusul
dengan kompres dingin untuk menghilangkan edemanya. Pada kasus berat dapat
diberikan antihistamin dan steroid sistemik.9
Penatalaksanaan
Farmakologi
1. Demam faringokonjungtiva
Pengobatan untuk demam faringokonjungtiva hanya bersifat suportif karena dapat sembuh sendiri
diberi kompres, astrigen, lubrikasi, sedangkan pada kasus yang berat dapat diberikan antibiotik
dengan steroid lokal. Pengobatan biasanya simptomatis dan pemberian antibiotik untuk mencegah
infeksi sekunder.3
2. Keratokonjungtivitis epidemika
Hingga saat ini belum ada terapi spesifik, namun kompres dingin akan mengurangi beberapa
gejala. Selama konjungtivitis akut, penggunaan kortikosteroid dapat memperpanjang keterlibatan
kornea lebih lanjut sehingga harus dihindari. Anti bakteri harus diberikan jika terjadi superinfeksi
bakteri.
3. Konjungtivitis herpetic
Untuk konjungtivitis herpes simpleks yang terjadi pada orang dewasa yang umumnya sembuh
sendiri dan mungkin tidak perlu terapi. Namun, antivirus topikal atau sistemik harus diberikan
untuk mencegah terkena kornea. Jika terjadi ulkus kornea, harus dilakukan debridement kornea
dengan mengusap ulkus menggunakan kain steril dengan hati-hati, penetesan obat anti virus, dan
penutupan mata selama 24 jam. Antivirus topikal sendiri harus diberikan 7-10 hari. Misalnya
trikloridin setiap 2 jam sewaktu bangun. Penggunaan kortikosteroid dikontraindikasikan karena
bias memperburuk infeksi herpes simpleks dan mengubah penyakit dari suatu proses singkat yang
sembuh sendiri menjadi infeksi berat yang berkepanjangan. Pada konjungtivitis varicella zooster
pengobatan dapat dilakukan dengan pemberian kompres dingin. Pada saat acyclovir 400 mg/hari
selama 5 hari merupakan pengobatan umum. Walaupun diduga steroid dapat mengurangi
penyulit akan tetapi dapat mengakibatkan penyebaran sistemik. Pada 2 minggu pertama dapat
diberikan analgetik untuk menghilangkan rasa sakit. Pada kelainan peermukaan dapat diberikan
salep terasilin. Steroid tetes deksametason 0,1% diberikan bila terdapat episkleritis, skleritis dan
iritis.
4. Konjungtivitis new castle
Pengobatan yang khas hingga saat ini tidak ada dan dapat diberikan antibiotik untuk mencegah
infeksi sekunder disertai obat-obat simtomatik.
5. Konjungtivitis hemoragik epidemik akut
Penyakit ini dapat sembuh sendiri sehingga pengobatan hanya simtomatik. Pengobatan
antibiotika spekturm luas, sulfacetamide dapat digunkan untuk mencegah infeksi sekunder.
Penyembuhan dapat terjadi dalam 5-7 hari.
Non farmakologi
Konjungtivitis viral akut biasanya disebabkan Adenovirus dan dapat sembuh sendiri sehingga pengobatan
hanya bersifat suportif, berupa kompres, astrigen, dan lubrikasi.3
Komplikasi
Bila penyakit ini diabaikan dan tidak diobati dalam waktu yang lama, maka akan menimbulkan
komplikasi seperti keratokonjungtivitis dan blepharitis. Beberapa tipe virus dapat menginfeksi bagian
yang lebih dalam mata sehingga menimbulkan keratitis atau radang kornea sehingga menyebabkan
gangguan visus bahkan jaringan parut pada kelopak mata di beberapa kasus.5
Pencegahan
1. Konjungtivitis mudah menular, karena itu sebelum dan sesudah membersihkan atau
mengoleskan obat, penderita harus mencuci tangannya bersih-bersih.
2. Usahakan untuk tidak menyentuh mata yang sehat sesudah menangani mata yang sakit
3. Jangan menggunakan handuk atau lap bersama dengan penghuni rumah lain
4. Gunakan lensa kontak sesuai dengan petunjuk dari dokter dan pabrik pembuatnya.
5. Mengganti sarung bantal dan handuk dengan yang bersih setiap hari.
6. Hindari berbagi bantal, handuk dan saputangan dengan orang lain.
7. Usahakan tangan tidak megang-megang wajah (kecuali untuk keperluan tertentu), dan
hindari mengucek-ngucek mata.
8. Bagi penderita konjungtivitis, hendaknya segera membuang tissue atau sejenisnya setelah
membersihkan kotoran mata
Prognosis
Prognosis penderita konjungtivitis baik karena sebagian besar kasus dapat sembuh spontan
(selflimited disease), namun komplikasi juga dapat terjadi apabila tidak ditangani dengan baik.
Kesimpulan
Konjungtivitis merupakan penyakit yang sangat menular yang dapat terjadi dimana saja dan dapat
dialami oleh semua orang. Faktor hygiene dari masing-masing individu sangat mempengaruhi penyakit
ini. Pada konjungtivitis yang disebabkan virus dapat ditemui gejala seperti hiperemis injeksi konjungtiva,
ada sensasi benda asing sehingga banyak mengeluarkan air mata (lakrimasi), fotofobia, gatal minimal,
sekret serous. Konjungtivitis viral biasanya self limitting disease sehingga hanya dibutuhkan pengobatan
suportif seperti di kompres dengan air dingin sebanyak 3-4 kali per hari.
Daftar Pustaka
1. Garcia-Ferrer FJ, Schwab IR, Shetlar DJ. Conjunctiva. In: Riordan-Eva P, Whitcher JP (editors).
Vaughan & Asburry’s General Opthalmology. 18th edition. McGraw-Hill Companies. USA: 2007.
p108-112
2. Ilyas S. Ilmu Penyakit Mata. Edisik ke-3. Cetakan ke-8. Balai Penerbit FKUI. Jakarta. 2010.
p128-131
3. Greenberg, M.I. Teks Atlas Kedokteran Kedaruratan, jilid 1. Jakarta: Erlangga; 2008.
4. Scott, I.U. Viral conjunctivitis. Edisi 20 September 2011. Diunduh dari:
http://emedicine.medscape.com/article/1191370-overview#showall, 21 Maret 2015
5. Kliegman, Behrman, Jenson, Stanton. Nelson textbook of pediatrics. Edisi ke- 18. USA: Elsevier
Saunders; 2007.h.1115-6, 1458-9.
6. McKesson Health Solutions LLC. Viral or bacterial conjunctivitis. Edisi 2003. Diunduh dari:
http://www.cumc.columbia.edu/student/health/pdf/C/Conjunctivitis.pdf , 21 Maret 2015.
7. Khurana AK. Disease of The Conjunctiva. Dalam: Comprehensive Ophthalmology. 4th edition.
New Delhi: New Age International(P) Limited; 2007
8. Riordan-Eva, P., Whitches, J.P. Vaughan & asbury’s oftalmologi umum Edisi ke-17. Jakarta:
EGC; 2009.h.97-124.
9. DennistonAKO, Murray PI. Oxford handbook of ophthalmology. UK: Oxford University Press;
2009.h. 161-7