melacak metode ushul fikih mazhab hanafi dalam … · 2015. 4. 9. · sampai terbit fajar. dalam...
TRANSCRIPT
MELACAK METODE USHUL FIKIH
MAZHAB HANAFI DALAM KITAB AL-MABSUTH
KARYA IMAM AS-SARKHASI
Oleh: Azhariah Khalida
A. Pendahuluan
Al-Mabsuth merupakan kitab fikih yang sangat lengkap
dalam Mazhab Hanafi. Kitab ini merupakan salah satu dari
beberapa karya Imam as-Sarakhasi.1 Kitab ini terdiri dari 10 jilid
materi; terdiri dari 20 juzu‟, dan 1 jilid indeks (indeks ditulis
oleh Syekh Khalil al-Mais, seorang ulama Libanon, ketika buku
ini diterbitkan pada tahun 1409 H/ 1989 M oleh penerbit Dar al-
Ma‟rifah, Beirut). Penulisan kitab ini, oleh Imam as-Sarakhasi
dilakukan ketika ia berada dalam penjara, dengan cara
mendiktekan kepada murid-muridnya, tanpa merujuk pada
literatur apapun, sehingga dalam buku ini tidak mencantumkan
catatan kepustakaan, yang memang belum biasa pada waktu itu.
1Nama lengkapnya Abu Bakr Muhammad bin Ahmad bin Abi Sahl as-
Sarakhsi. Ia adalah salah seorang ulama terbesar mazhab Hanafi. Ia berada
pada peringkat ke-3 dalam jajaran ulama pengikut Mazhab Hanafi setelah
Imam Abu Yusuf dan Imam Muhammad bin Hasan asy-Syaibani, pada
peringkat pertama, dan Imam Abu al-Hasan Ubaidillah bin Hasan al-Karkhi,
pada peringkat ke dua. Sekalipun as-Sarakhsi tergolong ulama besar, namun
riwayat hidupnya tidak ditemukan secara lengkap. Ia diketahui lahir di
Sarakhs (Sarkhas), daerah Khurasan (Iran timur laut), tetapi tahun
kelahirannya tidak tercatat. Sedangkan tahun wafatnya ada beberapa versi ;
menurut Abu al-Wafa‟ al-Afghani, penahkik buku Ushul as-Sarakhsi, Imam
as-Sarakhsi wafat tahun 483 H/1090M. Sedangkan menurut Muhyiddin Abu
Muhammad Abdul Qadir, pengarang kitab al-Jawahir al-Mudi‟ah fi Tabaqat
al-Hanafiyyah (sebuah buku biografi ulama mazhab Hanafi), Imam as-
Sarakhsi wafat pada akhir tahun 490 H/1097 M, sedangkan tempat wafatnya
tidak tercatat. Imam As-Sarakhsi belajar fikih pada Abdul Aziz bin Ahmad
al-Hulwani (w. 448 H/1056 M), seorang ahli fikih mazhab Hanafi yang
bergelar Syams al-a‟immah (matahari para imam). Karena penguasaannya
yang sangat baik terhadap pengetahuan gurunya itu, maka gelar gurunya pun
kemudian dijadikan gelar Imam as-Sarakhsi sendiri. Bahkan jika disebut
Syams al-a‟immah, tanpa penjelasan di belakangnya, maka yang dimaksud
adalah Imam as-Sarakhsi. Lihat Abdul Aziz Dahlan, dkk (ed.), Ensiklopedi
Hukum Islam, ( Jakarta; P.T. Ikhtiar Baru van Hoeve, 1997), jilid 5, h. 1608.
Melacak Metode Ushul Fikih Mazhab Hanafi
dalam Kitab al-Mabsuth Karangan Imam al-Zarkhasi
50 Al Muqaranah Volume V, Nomor 2, Tahun 2014
Hal ini juga menunjukkan kepandaian dan daya ingat Imam as-
Sarakhasi yang luar biasa.
Tulisan ini akan memaparkan beberapa contoh persoalan
fikih yang terdapat dalam kitab al-Mabsuth dan melacak metode
istimbath yang digunakan ulama Hanafiyah dalam membuat
kesimpulan hukum yang meliputi masalah ibadat, munakahat,
jinayat dan mu‟amalat.
B. Analisa Metode Ushul dalam Kitab Al-Mabsuth
1. Bab Ibadat
Masalah ibadah yang akan penulis kemukakan dalam
tulisan ini adalah bab shala2
Imam as-Sarakhasi memulai
pembahasan kitab fikihnya dengan Kitab Shalat, berbeda dengan
kitab-kitab fikih pada umumnya, karena shalat adalah rukun
Islam yang paling utama setelah keimanan (syahadat). Menurut
ulama Hanafiyah, shalat itu ada empat macam, yaitu : 3
a. Shalat fardhu „ain, seperti shalat lima waktu
b. Shalat fardhu kifayah, seperti shalat jenazah
c. Shalat wajib4, yaitu shalat witir, mengqadha shalat nafilah
yang rusak (batal) setelah shalat itu dilakukan dan shalat „id
(„Idul Fithri dan „Idul Adha).
2Shalat menurut bahasa adalah do‟a dan pujian, sedangkan menurut
istilah syarak adalah sebutan untuk beberapa rukun tertentu yang terdiri dari
do‟a dan selainnya. Syamsu ad-ddin As-Sarakhsi, Al-Mabsuth, dalam al-
Maktabah asy-Syamilah, (Sumber kitab : Mauqi‟ al-Kitab. http://www.al-
islam.com), juz 1, h. 5 3Abdurrahman al-Jaziri, Fiqh Empat Mazhab, judul asli al-Fiqh „ala al-
Mazahib al-Arba‟ah, penerjemah Chatibul Umam dan Abu Hurairah, (Jakarta
: Darul Ulum Press, 1994), Jilid 2, h. 10 4 Ulama Hanafiyah membedakan hukum fardhu dan wajib. Fardhu
adalah sesuatu yang ditetapkan (untuk melaksanakannya) dengan dalil yang
qath‟I, tidak ada syubhat (keraguan) padanya, seperti rukun Islam yang 5
yang ditetapkan dengan Nash Alquran, dan yang ditetapkan dengan sunnah
mutawatir atau masyhur, seperti bacaan Alquran dalam shalat. Adapun wajib
Azhariah Khalida
Al Muqaranah Volume V, Nomor 2, Tahun 2014 51
d. Shalat nafilah, baik yang sunnat ataupun yang mandub.
Sehubungan dengan hal tersebut, penulis akan menelaah
beberapa shalat yang dihukum wajib menurut ulama Hanafiyah,
yaitu shalat witir dan shalat „id.
a. Jumlah rakaat Shalat Witir
Tentang wajibnya shalat Witir, Imam Abu Hanifah
berdalil dengan hadits Nabi SAW yaitu :
ما فصلوىاإن الل ت عال زادكم صلة أل وىي الوت ر ، ب ي العشاء إل طلوع الفجر
Sesungguhnya Allah Ta‟ala menambahkan untukmu
satu shalat, ketahuilah, ia adalah shalat witir, maka
lakukanlah olehmu shalat witir antara waktu Isya‟
sampai terbit fajar.
Dalam hadits tersebut terdapat lafaz amar (perintah)
yang memfaedahkan hukum wajib. Tetapi bagi orang yang
tidak melakukannya tidak menjadikan dia kufur, karena
kewajiban tersebut ditetapkan dengan sunnah.5
Shalat witir berjumlah 3 rakaat dengan satu salam
pada rakaat terakhir. Berbeda dengan pendapat Imam Asy-
adalah sesuatu yang ditetapkan (untuk melaksanakannya) dengan dalil zhanni
yang masih terdapat keraguan padanya, seperti shadaqah al-fitri, shalat witir
dan dua shalat „id, yang ditetapkan dengan dalil zhanni yaitu khabar wahid.
Bila seseorang mengingkari sesuatu yang fardhu akan menjadikan orang
tersebut kufur, tetapi bila mengingkari yang wajib tidak mengakibatkannya
jatuh kepada kufur. Meninggalkan sesuatu yang fardhu akan mengakibatkan
suatu ibadah menjadi batal (tidak sah), namun tidak demikian halnya bila
meninggalkan sesuatu yang wajib. Lihat Wahbah az-Zuhaili, Ushul al-Fiqh
al-Islami, (Damsyik ; Dar al-Fikri, tt), juz. 1, h. 47 5 Kamal bin Hummam, Fath al- Qadir, dalam Maktabah Syamilah, juz
2, h. 347.
Melacak Metode Ushul Fikih Mazhab Hanafi
dalam Kitab al-Mabsuth Karangan Imam al-Zarkhasi
52 Al Muqaranah Volume V, Nomor 2, Tahun 2014
Syafi‟i, shalat witir itu satu raka‟at (sekurang-kurangnya.
pen), dan menurut Imam Malik, shalat witir itu 3 rakaat
dengan dua salam. Imam asy-Syafi‟i berdalil dengan hadits
Nabi SAW, yaitu :
ب الوت ر فأوتروا يا أىل القرآن إن الل وت ر ي
Sesungguhnya Allah itu witir (ganjil), Dia menyukai
witir, maka lakukanlah witir wahai ahlu Alquran.
Sedangkan Imam Malik berdalil dengan hadits dari
Ibnu Umar dan amal sahabat, yaitu :
عن هما قال النب صلى الل ابن عمر رضي الل ت عال عن بح عليو وسلم} صلة الليل مث ن مث ن فإذا خشيت الصلو { وكان سعد بن أب وقاص فأوتر بركعة يوت ر لك ما ق ب
ت عال عنو يوتر بركعة واحدة ر ضي الل
Dari Ibnu Umar r.a, Nabi SAW berkata : (Shalat
malam itu dua-dua rakaat. Tetapi sekiranya kamu
khawatir terburu masuknya waktu subuh, maka
lakukanlah witir satu rakaat, untuk mewitirkan
rakaat-rakaat sebelumnya) dan Sa‟ad bin Abi
Waqash melakukan witir satu rakaat.
Sementara Ulama Hanafiyah menggunakan dalil
hadits dari Aisyah r.a, khabar dari Ibnu Mas‟ud, khabar dari
Ibnu Abbas tentang fi‟liyah Nabi SAW dan khabar yang
disandarkan kepada Umar r.a, yaitu :
Azhariah Khalida
Al Muqaranah Volume V, Nomor 2, Tahun 2014 53
ها كما روي نا ) ولنا ( حديث عائشة رضي الل ت عال عن } ف صفة قيام رسول الل صلى الل عليو وسلم ث يوتر
بثلث {
Dalil kami adalah hadits Aisyah r.a sebagaimana
kami riwayatkan mengenai sifat shalat malam
Rasulullah SAW kemudian Rasulullah SAW
melakukan shalat witir 3 rakaat.
و لت راقب } وب عث ابن مسعود رضي الل ت عال عنو أمت أنو أوت ر وت ر رسول الل صلى الل عليو وسلم فذكر
بثلث ركعات ق رأ ف الول سبح اسم ربك العلى وف الثانية قل يا أي ها الكافرون وف الثالثة قل ىو الل أحد
وق نت ق بل الركوع {
Ibnu Mas‟ud R.A mengutus ibunya untuk
memperhatikan Rasulullah SAW melaksanakan
shalat witir. Kemudian ibunya memberitahukan
bahwa Rasulullah SAW shalat witir tiga rakaat, pada
rakaat pertama beliau membaca “sabbihisma
rabbikal a`la”. Pada rakaat kedua beliau membaca “
qul ya ayyuhal kafirun”. Pada rakaat ketiga beliau
membaca”qul huwa Allahu ahad” dan beliau
berqunut sebelum ruku‟.
Melacak Metode Ushul Fikih Mazhab Hanafi
dalam Kitab al-Mabsuth Karangan Imam al-Zarkhasi
54 Al Muqaranah Volume V, Nomor 2, Tahun 2014
هما حي بات وىكذا ذكر ابن عباس رضي الل ت عال عن عليو عند خالتو ميمونة لي راقب وت ر رسول الل صلى الل
وسلم
Demikian pula Ibnu Abbas r.a menyebutkan ketika
dia bermalam di (rumah) bibinya Maimunah untuk
memperhatikan shalat witir Rasulullah SAW.
ا رأى عمر رضي الل ت عال عنو سعدا يوتر بركعة ولما قال ف قال ما ىذه ها أو لوذي نك وإن راء لتشفعن البت ي
عليو وسلم ذلك ؛ لن الوت ر اشتهر } أن النب صلى اللراء { ن هى عن البت ي
Tatkala Umar r.a melihat Sa‟ad melakukan shalat
witir satu rakaat, beliau berkata, Bukankah ini al-
butaira‟ (rakaat yang terpotong), engkau harus
pasangkan dengan rakaat lainnya, atau aku akan
mencelamu. Umar berkata seperti itu karena
sesungguhnya (tata cara) shalat witir itu telah
termasyhur (sesungguhnya Nabi SAW melarang
(melakukan) al-butaira‟).
رت وقال ابن مسعود رضي الل ت عال عنو والل ما أخركعة قط ولنو لو جاز الكتفاء بركعة ف شيء من
Azhariah Khalida
Al Muqaranah Volume V, Nomor 2, Tahun 2014 55
فر ة الصلوات لدخل ف الفجر قصر بسبب الس ول حج 6 لو
Ibnu Mas‟ud r.a berkata : Demi Allah aku tidak akan
mengakhirkan shalat dengan satu rakaat saja, karena
sungguh kalaulah boleh mencukupkan satu rakaat
saja dalam rakaat shalat-shalat, tentu masuk pula
hukum qashar pada shalat fajar (subuh) dengan sebab
perjalanan, tapi tidak ada hujjah untuk hal itu.
Memperhatikan semua dalil yang digunakan oleh
ulama Hanafiyah di atas, hadits atau khabar tersebut
tergolong khabar ahad dan atsar sahabat. Akan tetapi
terdapat kesamaan materi yang disampaikan dalam
hadits/khabar dan atsar tersebut, sehingga masing-
masingnya terhadap yang lain saling menguatkan.
Ulama Hanafiyah dalam menerima khabar ahad
sebagai hujjah membagi perawi kepada dua kelompok, yaitu
perawi yang ma‟ruf (dikenal) dan perawi yang majhul.
Perawi yang ma‟ruf ada dua segi, yaitu, dari segi dikenal
sebagai faqih dan memiliki kemampuan berijtihad dan dari
segi dikenal dengan „adalahnya, baik dhabit dan hafalnya
tetapi kurang dalam bidang fikih. Termasuk dalam
kelompok pertama, seperti para khulafa‟ al-rasyidin, Zaid
bin Tsabit, Mu‟az bin Jabal, Abu Musa al-„Asy‟ari, Aisyah
dan selain mereka dari kalangan sahabat yang dikenal
sebagai ahli fikih. Khabar mereka diterima sebagai hujjah
dan menjadi landasan dalam beramal. Bahkan apabila
khabar tersebut berbeda dengan qiyas, maka ditinggalkan
qiyas dan beramal berdasarkan khabar ahad. Termasuk
kelompok ke dua (ma‟ruf dengan „adalah, dhabit dan
6Imam As-Sarakhsi, op.cit, juz 1, h. 478-479.
Melacak Metode Ushul Fikih Mazhab Hanafi
dalam Kitab al-Mabsuth Karangan Imam al-Zarkhasi
56 Al Muqaranah Volume V, Nomor 2, Tahun 2014
hafiznya) seperti Abu Hurairah dan Anas bin Malik dan
selain mereka yang terkenal bersama Rasulullah SAW dari
kalangan sahabat dan mendengar dari beliau dalam waktu
yang panjang, ketika mukim dan safar.7
Dalil yang digunakan oleh ulama Hanafiyah di atas
diriwayatkan oleh para sahabat yang tergolong ma‟ruf dari
segi kefakihan dan kemampuan mereka dalam berijtihad,
seperti „Aisyah dan Umar. Demikian pula dengan Ibnu
Mas‟ud8 dan Ibnu Abbas.
Dalil yang digunakan ulama Syafi‟iyah, bahwa shalat
witir itu (paling kurang) satu rakaat adalah hadits innallaha
witrun dst. Karena Allah itu satu, maka witru diartikan
dengan satu, sehingga dipahami bahwa shalat witir itu satu
rakaat. Dalam hal ini ulama Syafi‟iyah menggunakan
7Ahmad bin Abi Sahal as-Sarakhsi, Ushul as-Sarakhsi, ditahqiq oleh
Abu al-Wafa‟ al-Afghani, (Beirut : Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 2005), Cet.ke 2,
jilid 1, h. 338-339. 8Nama lengkapnya Abdullah bin Mas‟ud bin Ghafil bin Hubaib (w.33
H/652 M). Ia adalah sahabat besar dan termasuk orang pertama masukIslam.
Ibnu Mas‟ud adalah pembantu Nabi SAW yang terpercaya dan
setiamengikuti beliau di rumah, di perjalanan maupun dalam peperangan. Ia
ikut hijrah ke Habasyah dan Madinah, shalat ke dua kiblat : Baitul Maqdis
dan Ka‟bah, mengikuti perang Badar, Uhud, Khandaq, Bait ar-Ridwan dan
lain-lain. Dialah orang yang menebas kepala Abu Jahal sewaktu perang
Badar. Nabi SAW memberi jaminan bahwa ia akan masuk surga. Ibnu
Mas‟ud banyak meriwayatkan hadits Nabi SAW. Di dalam kitab hadits
Shahih Bukhari dan Muslim, ia meriwa yatkan 848 hadits. Di antara para
sahabat yang menerima riwayat dari Ibnu Mas‟ud adalah Ibnu Abbas, Ibnu
Umar, Abu Musa, Imran bin Husain, Ibnu Zubair, Jabir, Anas, Abu Sa‟id dan
Abu Hurairah. Pada masa pemerintahan Umar, ia ditugaskan ke Kufah
bersama-sama „Ammar bin Yasir. Amar sebagai gubernur dan Ibnu Mas‟ud
sebagai guru dan pembantu „Ammar. Di Kufah, ia mengajarkan hadits-hadits
Nabi. Ia menjadi guru dan hakim. Pada masa pemerintahan Utsman, ia
kembali ke Madinah dan meninggal di Madinah dalam usia 60 tahun lebih.
Lihat Abdullah al-Musthofa al-Maraghi, Pakar-pakar Fikih Sepanjang
Sejarah, judul asli : Fath al-Mubin fi Tabaqat al-Ushuliyin, Penerjemah:
Husein Muhammad, (Yogyakarta; LKPSM, 2001), h. 51
Azhariah Khalida
Al Muqaranah Volume V, Nomor 2, Tahun 2014 57
dalalah isyarah (isyarat Nash).9 Sedangkan ulamaHanafiyah
menggunakan hadits dari „Aisyah dan riwayat Ibnu Mas‟ud
yang secara jelas menunjukkan bahwa Nabi melakukan
shalat witir sebanyak 3 rakaat. Dalam hal ini ulama
Hanafiyah menggunakan dalalah „ibarah (ibarat Nash).10
Oleh ulama Hanafiyah, apabila berbenturan antara dalalah
„ibarah dengan dalalah isyarah,maka didahulukan
mengambil pengertian dari dalalah ibarah, karena itulah
yang lebih jelas.
b. Membaca qunut pada shalat witir
Berdasarkan kebanyakan sunnah, Nabi SAW
berqunut dalam shalat witir. Menurut Imam Asy-Syafi‟i
Nabi SAW tidak berqunut kecuali pada separoh terakhir dari
bulan Ramadhan berdasarkan riwayat dari Umar r.a bahwa
Umar menyuruh Ubay bin Ka‟ab menjadi imam pada
malam-malam Ramadhan dan menyuruhnya berqunut pada
separoh terakhir bulan Ramadhan. Menurut pendapat kami
(as-Sarakhasi) takwilnya adalah yang dimaksud dengan
berqunut (dalam riwayat Umar itu) adalah memanjangkan
bacaan shalat, bukan berqunut dalam shalat witir.11
Menurut ulama Hanafiyah, membaca qunut
waktunya sebelum ruku‟ sebagaimana yang diriwayatkan
dalam atsar, karena qunut bermakna bacaan, yaitu
9
Isyarat Nash adalah suatu pengertian yang ditangkap darisuatu
lafaz,sebagai kesimpulan dari pemahaman terhadap suatu ungkapan (ibarat)
dan bukan dari ungkapan itu sendiri. (Muhammad Abu Zahrah, Ushul al-
Fiqh, penerjemah : Saefullah Ma‟shum dkk, (Jakarta: Pustaka Firdaus,1994),
h.205. 10
Dalalah ibarah ialah: makna yang dipahami dari lafaz, baik lafaz
tersebut berupa zahir maupun Nash, muhkam maupun tidak. Atau setiap
pengertian yang dipahami dari keadaan lafaz yang jelas.(Ibid, h. 204). 11
As-Sarakhsi, Al-Mabsuth, op.cit., h. 480
Melacak Metode Ushul Fikih Mazhab Hanafi
dalam Kitab al-Mabsuth Karangan Imam al-Zarkhasi
58 Al Muqaranah Volume V, Nomor 2, Tahun 2014
Allahumma innaa nasta‟inuka ….- ditulis dalam mushaf
Ubay bin Ka‟ab dan Ibnu Mas‟ud dalam dua surat, dan
bacaan itulah yang dinamakan qunut menurut kami
(Hanafiyah). Sedangkan menurut Asy-Syafi‟i, qunut dibaca
sesudah ruku‟, dan tidak ada atsar yang menjadi hujjah
berqunut pada shalat witir. Yang ada hanyalah atsar untuk
berqunut pada shalat subuh, maka disamakan dengannya
waktu qunut witir.12
Menurut ulama Hanafiyah tidak ada qunut dalam
shalat-shalat lain, selain pada shalat witir. Sedangkan oleh
Asy-Syafi‟i, beliau berqunut dalam shalat subuh pada rakaat
ke dua sesudah ruku‟ dengan berdalil pada hadits riwayat
Anas r.a yaitu:
عليو وسلم ي قنت ف صلة الفجر } كان النب صلى اللن يا { إل أن فارق الد
Menurut Asy-Syafi‟i, sah berqunut pada shalat subuh
dan siapa yang mengatakan bahwa hal itu sudah dinasakh,
maka hal itu harus ditetapkan dengan dalil. Asy-Syafi‟i juga
berdalil dengan amalan „Ali r.a yang melakukan qunut pada
shalat subuh.
Sedangkan Hanafiyah menggunakan hadits riwayat
Ibnu Mas‟ud, riwayat Anas dan atsar sahabat, yaitu :
12
Ibid
Azhariah Khalida
Al Muqaranah Volume V, Nomor 2, Tahun 2014 59
ت عال عنو } أن النب صلى حديث ابن مسعود رضي اللالل عليو وسلم ق نت ف صلة الفجر شهرا يدعو على
حي من أحياء العرب ث ت ركو {
Sesungguhnya Nabi SAW berqunut dalam shalat
subuh selama sebulan untuk memohon keselamatan
hidup bangsa Arab, kemudian beliau
meninggalkannya.
عن أنس رضي الل ت عال عنو قال } ق نت رسول الل عليو وسلم ف صلة الفجر شهرا أو قال أربعي صلى اللي وما يدعو على رعل وذكوان وي قول ف ق نوتو اللهم اشدد وطأتك على مضر واجعلها عليهم سني كسن ا ن زل ق ولو ت عال } ليس لك من المر شيء يوسف ف لم
ت رك ذلك { أو ي توب عليهم { الية
Diriwayatkan dari Anas r.a, dia berkata (bahwa
Rasulullah SAW berqunut dalam shalat subuh
selama sebulan atau katanya empat puluh hari untuk
mendoakan Ra‟al dan Zakwan dan Nabi berdoa
dalam qunutnya “Allahumma usydud wath-ataka „ala
mudhara waj‟alha „alaihim siniina kasinii Yusufa” ,
maka ketika turun firman Allah “Laisa laka minal
amri syai-un aw yatuba „alaihim”, beliau
meninggalkannya.
Melacak Metode Ushul Fikih Mazhab Hanafi
dalam Kitab al-Mabsuth Karangan Imam al-Zarkhasi
60 Al Muqaranah Volume V, Nomor 2, Tahun 2014
هدي رضي الل ت عال عنو صليت وقال أبو عثمان الن سني وخلف عمر كذلك ف لم أر واحدا خلف أب بكر
هما ي قنت ف صلة الفجر . من
Abu Utsman an-Nahdiy r.a berkata : Aku shalat di
belakang Abu Bakar selama beberapa tahun, dan
(aku shalat) di belakang Umar demikian juga, aku
tidak pernah menyaksikan seorangpun dari keduanya
berqunut dalam shalat subuh.
Jadi menurut Hanafiyah bahwa memang Nabi pernah
berqunut dalam shalat subuh (qunut nazilah), tetapi hal itu
sudah dinasakh. Demikianlah, perbuatan Nabi yang
kemudian menasakh perbuatan Nabi yang terdahulu. Mereka
tidak menyangkal kesahan melakukan qunut dalam shalat
maghrib sebagaimana juga berqunut dalam shalat subuh, tapi
kemudian hal itu telah dinasakh.13
Dalam persoalan ini, ulama Hanafiyah menerapkan
nasakh terhadap fi‟liyah Nabi yang pernah berqunut pada
shalat subuh, yaitu nasakh dengan ayat Alquran, yaitu:
14} ليس لك من المر شيء أو ي توب عليهم {
Hal ini dijelaskan oleh riwayat Ibnu Mas‟ud dan
riwayat Anas serta perkataan Abu Utsman an-Nahdiy yang
menceritakan tentang amalan Abu Bakar dan Umar (atsar
sahabat) di atas. Sementara qunut pada shalat witir tetap
dilakukan.
13
Ibid, h. 481 14
Alquran Surat Ali Imran, ayat 128
Azhariah Khalida
Al Muqaranah Volume V, Nomor 2, Tahun 2014 61
c. Dua Shalat „Id („Idul Fitri dan „Idul Adha).
Dua shalat „id (hari raya) disyari‟atkan berdasarkan
hadits riwayat Anas, yaitu :
ي الل عنو قال } : قدم رسول الل حديث أنس رض صلى الل عليو وسلم المدينة ولم ي ومان ي لعبون فيهما هما را من ف قال : قد أبدلكم الل سبحانو وت عال بما خي
15الفطر والضحى {
Rasulullah SAW datang ke Madinah, sedangkan
mereka sedang berhura-hura selama dua hari.
Kemudian Rasulullah bersabda: Sesungguhnya Allah
telah menggantikan yang lebih baik dari dua hari itu
untukmu, yaitu hari „Idul Fitri dan „Idul Adha.
Menurut pendapat Imam Abu Hanifah, shalat „id itu
hukumnya wajib. Al-Hasan meriwayatkan dari Abu Hanifah,
bahwa shalat ‟id hukumnya wajib bagi orang yang
diwajibkan melaksanakan shalat jum‟at. Dasarnya adalah :
ل يصلى التطوع ف الماعة ما خل قيام رمضان مس وكسوف الش
Tidak dilakukan shalat tathawwu‟ itu secara
berjama‟ah selain qiyam Ramadhan (shalat tarawih)
dan gerhana matahari.
Itu adalah dalil bahwa shalat „id itu hukumnya wajib.
Yang jelas adalah bahwa minimal ia adalah sunat, karena ia
merupakan bendera agama, mengambilnya adalah petunjuk
15
As-Sarakhsi, op.cit., juz. 2, h. 356
Melacak Metode Ushul Fikih Mazhab Hanafi
dalam Kitab al-Mabsuth Karangan Imam al-Zarkhasi
62 Al Muqaranah Volume V, Nomor 2, Tahun 2014
dan meninggalkannya adalah kesesatan. Sesungguhnya pada
dua hari „id itu keluarlah penduduk negri-negri besar selain
penduduk al-qura dan sawad, sebagaimana yang kami
riwayatkan :
} ل جعة ول تشريق إل ف مصر جامع {Tidak ada shalat jumat dan tidak ada shalat tasyriq
kecuali di negri yang (berpenduduk) banyak.
Yang dimaksud dengan shalat tasyrik adalah shalat
„id berdasarkan hadits :
16عد التشريق {} ل ذبح إل ب
Tidak ada penyembelihan, kecuali sesudah shalat
tasyriq („id).
Menurut Hanafiyah, terhadap shalat „id disyaratkan
khutbah sebagaimana disyaratkan pula khutbah dalam shalat
jumat. Hanya perbedaannya, khutbah pada shalat jum‟at
dilakukan sebelum shalat sedangkan pada shalat „id,
waktunya sesudah shalat. Di samping itu khutbah pada
shalat jum‟at menempati posisi sebagai syarat sah shalat
jum‟at seperti juga halnya khutbah pada hari „Arafah.17
Menurut pendapat mereka, berjamaah merupakan
syarat sah shalat „id, seperti halnya shalat jum‟at,
berdasarkan perbuatan Rasulullah SAW maka tidak boleh
melakukannya selain seperti yang dilakukan oleh Rasulullah
SAW. Bila seseorang tertinggal oleh imam, maka ia tidak
dituntut mengqadhanya, baik pada waktu itu juga ataupun
setelahnya. Sebagaimana pada seseorang yang tertinggal
dalam shalat jum‟at, hendaklah ia melaksanakan shalat
16
Ibid, h. 357 17
Ibid, h.358
Azhariah Khalida
Al Muqaranah Volume V, Nomor 2, Tahun 2014 63
zuhur empat rakaat seperti pada hari-hari yang lain. Apabila
ia ingin juga melakukan shalat, hendaklah ia melakukan
shalat dua rakaat atau empat rakaat seperti shalat dhuha pada
hari-hari yang lain, berdasarkan hadits riwayat „Umarah bin
Ruwaybah, hadits riwayat Ibnu Mas‟ud dan hadits riwayat
„Ali r.a, yaitu :
بة رضي الل عنو } كان رسول الل حديث عمارة بن روي صلى الل عليو وسلم ي فتتح الضحى بركعت ي { ولديث عليو عنو } كان رسول الل صلى الل ابن مسعود رضي الل
ركعات ف صلة الضحى { وسلم ي واظب على أربع والذي يتص بذا الي وم حديث علي رضي الل عنو عن رسول الل صلى الل عليو وسلم قال } : من صلى ب عد
ن بت ن بت العيد أربع ركعات كتب الل ت عال لو بكل 18وبكل ورقة حسنة {
Hadits „Umarah bin Ruwaibah r.a (bahwa Rasulullah
SAW membuka shalat dhuha dengan dua rakaat),
dan hadits Ibnu Mas‟ud r.a (bahwa Rasulullah SAW
mengerjakan dengan teratur empat rakaat pada shalat
dhuha), dan hadits yang khusus tentang hari „Id ini
adalah hadits riwayat Ali r.a, dari Rasulullah SAW,
beliau bersabda : Siapa yang shalat sesudah shalat „id
empat rakaat, Allah akan menuliskan untuknya amal
kebaikan pada setiap tumbuhan yang tumbuh dan
pada setiap daun.
18
Ibid, h. 364
Melacak Metode Ushul Fikih Mazhab Hanafi
dalam Kitab al-Mabsuth Karangan Imam al-Zarkhasi
64 Al Muqaranah Volume V, Nomor 2, Tahun 2014
Dari uraian di atas dapat dipahami bahwa Imam
Abu Hanifah menetapkan wajibnya dua shalat „id,
berdasarkan hadits dari Anas bahwa hari raya „idul fitri dan
„idul adha ditetapkan Allah SWT kepada umat Nabi
Muhammad menggantikan kebiasaan bangsa Arab pada
waktu itu yang berhura-hura pada dua hari tertentu. Dan
Rasulullah menyebutnya dengan hari yang lebih baik dari
hari-hari lainnya. Selain itu ada hadits yang menjelaskan
secara khusus (takhsish) tentang shalat tathawwu‟ (sunat)
yang dikerjakan secara berjamaah, yaitu shalat tarawih dan
shalat gerhana matahari. Sedangkan shalat „id tidak
termasuk pada shalat ini, padahal shalat „id selalu dilakukan
oleh Rasulullah SAW secara berjamaah.
Di samping itu dalam pelaksanaan shalat „id,
disyaratkan adanya khutbah, seperti halnya pada shalat
jum‟at, tetapi khutbah tersebut dilakukan setelah shalat dan
tidak menjadi syarat sah shalat „id. Agaknya Abu Hanifah
melihat terdapat banyak kesamaan antara pelaksanaan shalat
jum‟at dengan shalat „id, sekalipun terdapat beberapa
perbedaan, sehingga melaksanakan shalat „id wajib bagi
orang yang diwajibkan melakukan shalat jum‟at. Semua hal
tersebut, menurut Abu Hanifah mempunyai landasan hadits
qauli maupun fi‟li yang disandarkan kepada Rasulullah
SAW, walaupun hadits-hadits tersebut tidak sampai pada
derjat mutawatir atau masyhur. Oleh karenanya shalat „id
adalah wajib, bukan fardhu.
2. Bab Munakahat
Azhariah Khalida
Al Muqaranah Volume V, Nomor 2, Tahun 2014 65
Sebagai contoh masalah fikih dalam bab munakahat ini,
penulis akan mengemukakan tentang pernikahan19
bikir (gadis),
pernikahan tsayib (janda) dan nikah tanpa wali, karena dalam
persoalan tersebut, mazhab Hanafi sangat berbeda dengan
mazhab lainnya.
a. Pernikahan bikir
Menurut Abu Hanifah, apabila seorang ayah
menikahkan anak perempuannya yang bikir yang sudah
dewasa/baligh, sedangkan dia diam, hal itu menunjukkan
kerelaannya ,maka nikah itu boleh. Tetapi bila dia enggan
19
Nikah, menurut bahasa, adalah ungkapan untuk watha‟. Makna
hakikatnya adalah adh-dhammu (berkumpul). Kemudian kata ini dipinjamkan
untuk akad sebagai majaz, karena akad adalah sebab syar‟i yang
membolehkan watha‟. Atau dalam akad terdapat makna adh-dhammu, maka
akad itu menggabungkan antara satu orang dengan yang lainnya menjadi
seperti satu individu dalam mencapai kemaslahatan hidup. Menurut Imam
Asy-Syafi‟I, istilah nikah dalam syari‟at hanya mencakup akad saja. Namun
menurut Hanafiyah tidaklah demikian. Hal itu dapat dipahami dari firman
Allah, di antaranya :
} حتى إذا ب لغوا النكاح { Maksudnya adalah ihtilam (bermimpi), maka orang yang bermimpi itu
melihat dalam tidurnya gambaran watha‟. Begitu pula dengan firman Allah :
} الزىان ل ي نكح إلى زانية {
Maksudnya adalah watha‟. Pada tema yang lain,kata nikah digunakan untuk
akad. Hal itu sebagai dalil tentang kaitan antara nikah dengan penyebutan
akad atau khitab kepada para wali, seperti dalam firman Allah :
} وأنكحوا اليامى منكم { Atau disyaratkan izin keluarga perempuan untuk nikah, seperti dalam firman
Allah :
إذن أهلهن {} فانكحوهن ب
(As-Sarakhsi, Al-Mabsuth, (Libanon : Dar al-Ma‟rifah, 1989), juz. 4, h.
Melacak Metode Ushul Fikih Mazhab Hanafi
dalam Kitab al-Mabsuth Karangan Imam al-Zarkhasi
66 Al Muqaranah Volume V, Nomor 2, Tahun 2014
dan menolak, maka dia tidak boleh dinikahkan. Alasannya
adalah hadits yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah dan Abu
Musa al-Asy‟ari, yaitu :
لل عليو وسلم رد نكاح بكر زوجها } أن النب صلى اأبوىا وىي كارىة { وف حديث آخر قال } ف البكر ي زوجها ولي ها : فإن سكتت ف قد رضيت وإن أبت ل
ه 20ا .تكره { وف رواية : فل جواز علي
Sesungguhnya Nabi SAW menolak nikah bikir yang
dinikahkan oleh ayahnya sedangkan ia
membencinya). Dalam hadits yang lain, Nabi berkata
(tentang pernikahan bikir yang dinikahkan oleh
walinya: jika dia diam, maka dia rela dan jika dia
enggan, tidak boleh dipaksa), dan dalam satu
riwayat: maka tidak dibolehkan menikahkannya.
Dalil yang lain adalah hadits yang diriwayatkan dari
al-Khansa‟, yaitu :
حديث النساء } فإن ها جاءت إل النب صلى الل عليو وسلم ف قالت : إن أب زوجن من ابن أخيو وأنا لذلك
عليو وسلم أجيزي ما صنع أبوك كارىة ف قال : صلى اللل رغبة فيما صنع أب ف قال صلى الل عليو ف قالت ما
وسلم : اذىب فل نكاح لك انكحي من شئت ف قالت
20
Ibid., juz 5, h. 2
Azhariah Khalida
Al Muqaranah Volume V, Nomor 2, Tahun 2014 67
أجزت ما صنع أب ولكن أردت أن ي علم النساء أن ليس ء {للباء من أمور ب ناتم شي
Sesungguhnya dia datang kepada Nabi SAW
kemudian dia berkata: Sesungguhnya ayahku
menikahkan aku dengan anak saudaranya sedangkan
aku membenci pernikahan itu. Maka Nabi SAW
berkata : apakah engkau berkenan dengan apa yang
diperbuat ayahmu, maka dia berkata : aku tidak
menyukai apa yang diperbuat ayahku. Kemudian
Nabi SAW berkata : pergilah engkau, tidak (sah)
pernikahanmu, menikahlah kamu dengan orang yang
kamu inginkan. Kemudian dia berkata : apakah aku
boleh melakukannya terhadap ayahku, akan tetapi
aku ingin para wanita mengetahui bahwa tiada
satupun hak (untuk memaksa) bagi para ayah dalam
urusan anak perempuan mereka.
Dalam hadits tersebut Rasulullah SAW tidak
mengingkari pernyataan al-Khansa‟, dan tidak dijelaskan
bahwa dia seorang bikir atau tsayib (janda). Hal itu
menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan hukum terhadap
keduanya. Dalam hadits yang ma‟ruf dinyatakan bahwa
“Bikir itu dimintakan persetujuannya, dan diamnya
menunjukkan kerelaannya”. Hadits ini menjadi dalil bahwa
pada dasarnya persetujuan dari seorang perempuan itu
dihargai.21
Dalam hal ini ulama Hanafiyah tidak membedakan
antara hak bikir dengan tsayib, bahwa keduanya berhak atas
dirinya untuk menentukan pasangan hidup (suami) mereka
berdasarkan keumuman makna hadits al-Khansa di atas dan
hadits-hadits yang secara khusus menjelaskan bahwa
pernikahan bikir hendaklah dengan persetujuannya yang
21
Ibid.
Melacak Metode Ushul Fikih Mazhab Hanafi
dalam Kitab al-Mabsuth Karangan Imam al-Zarkhasi
68 Al Muqaranah Volume V, Nomor 2, Tahun 2014
diriwayatkan oleh para rawi dari kalangan sahabat yang
ma‟ruf yaitu Abu Hurairah dan Abu Musa al-Asy‟ari.
b. Pernikahan tsayib (janda)
As-Sarakhasi mengemukakan bahwa terdapat hadits
Rasulullah SAW tentang pernikahan seorang janda, yaitu :
} ب لغنا رسول الل صلى الل عليو وسلم أن رجل زوج يانا ف فرق رسول اب نتو ، وىي كارىة ، وىي تريد عم صب
ن ها وب ي الذي زوجها منو الل صلى الل عليو وسلم ب ي أبوىا ث زوجها عم ولدىا {
Rasulullah SAW telah menyampaikan kepada kami
bahwa sesungguhnya seorang laki-laki menikahkan
anak perempuannya, sedangkan dia tidak suka, dan
dia ingin menikah dengan paman anak-anaknya,
maka Rasulullah SAW menceraikan antara dia
dengan orang yang menikahinya karena keinginan
ayahnya, kemudian Rasulullah menikahkan
perempuan tersebut dengan paman anaknya.
Dalam hadits tersebut perempuan yang dimaksud
adalah seorang janda, karena perawi mengatakan “hiya
turiidu „amma shibyaniha”. Hadits ini menjadi dalil bahwa
seorang ayah yang menikahkan anak perempuannya (janda)
tidak akan berlaku tanpa kerelaan anaknya itu, dan hal ini
disepakati oleh para ulama. Akan tetapi oleh Imam Asy-
Syafi‟I, hadits ini tidaklah menjadi hujjah bahwa ia juga
berlaku untuk bikir, karena lawan dari hukum ini
diberlakukan kepada bikir yang diambil dari mafhum hadits
tersebut. Sementara menurut Hanafiyah, mafhum tidak dapat
Azhariah Khalida
Al Muqaranah Volume V, Nomor 2, Tahun 2014 69
dijadikan hujjah, karena pengkhususan tsayib yang
disebutkan dalam hadits itu dan takhsis tsayib yang
disebutkan dalam hadits tidak menunjukkan/ tidak menjadi
dalil bahwa hukum terhadap selainnya adalah lawannya
(Hanafiyah tidak menerima hujjah dengan mafhum
mukhalafah).
Kemudian hadits di atas juga menjadi dalil bahwa
bila seorang wali menghalangi pernikahan (putrinya), maka
imam/sultan dapat menikahkan perempuan tersebut dengan
sebab seorang ayah menghalangi pernikahan putrinya
dengan orang yang disukainya. Dalam hal ini Rasulullah
menikahkan perempuan tersebut dengan wewenang beliau
sebagai imamah (kepala negara). Hadits ini juga menjadi
dalil bahwa memilih suami adalah hak seorang perempuan
bukan hak walinya, karena perempuan tersebutlah yang akan
bergaul dengan sang suami, maka baiknya pergaulan dapat
dicapai bersama orang yang dipilihnya, bukan dengan
seseorang yang dipilih oleh seorang wali.22
Dalam hal ini ulama Hanafiyah tidak memandang
sebab yang khusus pada hadits di atas (kasus terkait dengan
seorang janda), tetapi memandang maksud dari tindakan
Nabi SAW bahwa seorang perempuan berhak atas dirinya
untuk menentukan pilihannya dalam menentukan calon
suami. Hal ini menunjukkan penghargaan terhadap hak yang
dimiliki seseorang, tidak berbeda antara yang bikir dengan
yang janda.
c. Nikah tanpa wali
22
Ibid, h. 10
Melacak Metode Ushul Fikih Mazhab Hanafi
dalam Kitab al-Mabsuth Karangan Imam al-Zarkhasi
70 Al Muqaranah Volume V, Nomor 2, Tahun 2014
Imam As-Sarakhasi mengemukakan perkataan „Ali
bin Abi Thalib tentang perkara yang diajukan kepadanya
yaitu :
عن علي بن أب طالب رضي الل عنو أن امرأة زوجت اب نت ها برضاىا فجاء أولياؤىا فخاصموىا إل علي رضي
عنو فأجاز النكاح اللSesungguhnya seorang perempuan telah menikahkan
putrinya dengan persetujuan putrinya itu, kemudian
para walinya datang, lalu mereka memperkarakan
perempuan itu kepada „Ali r.a, maka Ali
membolehkan pernikahan tersebut.
Riwayat dari Ali bin Abi Thalib tersebut menjadi
dalil bahwa seorang perempuan yang menikahkan dirinya
sendiri atau meminta orang lain selain wali untuk
menikahkannya, maka pernikahan tersebut boleh. Imam Abu
Hanifah r.a berpendapat demikian, seorang perempuan yang
menikahkan dirinya sendiri, maka nikahnya itu boleh,
berdasarkan zahir riwayat Ali r.a tersebut, baik perempuan
itu seorang bikir atau janda, dan sama saja apakah suaminya
sekufu dengannya atau tidak, maka nikahnya sah. Apabila
sang suami tidak sekufu dengan perempuan itu, maka
walinya berhak mengajukan keberatan.
Terhadap persoalan ini, terdapat perbedaan pendapat
di kalangan ulama Hanafiyah. Menurut riwayat al-Hasan,
jika (calon) suami tersebut sekufu dengan si perempuan,
maka nikahnya boleh. Sedangkan jika mereka tidak sekufu,
maka nikahnya tidak boleh. Sedangkan menurut Abu Yusuf,
pada mulanya dia mengatakan bahwa pernikahan tersebut
tidak boleh, baik keduanya sekufu maupun tidak, bila
Azhariah Khalida
Al Muqaranah Volume V, Nomor 2, Tahun 2014 71
perempuan itu masih memiliki wali. Kemudian dia
mengatakan, jika keduanya sekufu, boleh nikahnya, tetapi
bila tidak sekufu maka tidak boleh. Kemudian Abu Yusuf
kembali menyatakan pandangannya, bahwa nikahnya shahih,
baik keduanya sekufu atau tidak.
Ath-Thahawi menambahkan pendapat Abu Yusuf
tersebut, bila si laki-laki sekufu dengan perempuan itu,
hakim akan menyuruh wali untuk mengizinkan akad. Jika
wali mengizinkannya, maka pernikahan itu boleh. Tetapi
jika wali enggan memberi izin, tidak difasakh nikah tetapi
hakim yang memberi izin, maka nikahnya boleh.
Sedangkan menurut pendapat Muhammad bahwa
ditangguhkan nikahnya sampai dibolehkan oleh wali, baik
perempuan itu menikahkan dirinya sendiri dengan laki-laki
yang sekufu atau pun tidak sekufu. Jika wali
membolehkannya, maka nikahnya boleh, dan jika wali
membatalkannya, maka nikah itu batal, kecuali apabila si
suami sekufu dengan si perempuan, cukuplah hakim
memperbaharui akadnya apabila wali enggan untuk
menikahkannya.23
Sementara menurut pendapat Imam Malik dan Imam
Asy-Syafi‟i, perempuan yang menikahkan dirinya sendiri
batal dalam segala kondisi dan dia tidak bisa melakukan
akad nikah dengan memandang bahwa dia perempuan
semata-mata, baik dia menikahkan dirinya sendiri, atau
putrinya, atau ibunya atau dia mewakilkan nikahnya kepada
seseorang.
Menurut mazhab Syafi‟i, nikah tidak boleh tanpa
adanya wali, berdasarkan hadits-hadits berikut ini :
23
Ibid, h. 11
Melacak Metode Ushul Fikih Mazhab Hanafi
dalam Kitab al-Mabsuth Karangan Imam al-Zarkhasi
72 Al Muqaranah Volume V, Nomor 2, Tahun 2014
ها أن النب صلى الل عليو حديث عائش ة رضي الل عن ا امرأة نكحت بغي إذن وليها فنكاحها وسلم قال : أيباطل باطل باطل وإذا دخل با ف لها المهر با استحل
لطان من ف رجها ل وكس ، ول شطط فإن تشاجرا فالس ول من ل ول لو
Hadits Aisyah r.a, Sesungguhnya Nabi SAW berkata:
Siapapun perempuan yang menikah tanpa izin
walinya,maka nikahnya batal, batal, batal. Apabila
dia telah dicampuri, maka dia berhak atas mahar
dengan sebab untuk menghalalkan kehormatannya,
tidak boleh kurang dan tidak boleh lebih. Jika
keduanya berselisih,maka sultan adalah wali bagi
siapa yang tidak mempunyai wali.
عليو وسلم قال وف الديث المشهور أن النب صلى الل ل نكاح إل بول :
Dalam hadits yang sudah masyhur, sesungguhnya
Nabi SAW berkata: tidak (sah) nikah kecuali dengan wali.
هما أن النب صلى وف حديث ابن عباس رضي الل عن الل عليو وسلم قال : كل نكاح ل يضره أرب عة ف هو
سفاح خاطب وول وشاىدا عدل Dalam hadits riwayat Ibnu Abbas r.a : Sesungguhnya
Nabi SAW berkata : Setiap nikah yang tidak dihadiri
oleh empat orang maka itu adalah perzinaan, yaitu
orang yang menikah, wali dan dua saksi yang adil.
Azhariah Khalida
Al Muqaranah Volume V, Nomor 2, Tahun 2014 73
وف حديث أب ىري رة رضي الل عنو أن النب صلى اللو وسلم قال : ل ت نكح المرأة المرأة ، ول المرأة علي
ا الزانية ىي الت ت نكح ن فسها ، ن فسها وإنDalam hadits riwayat Abu Hurairah r.a,
sesungguhnya Nabi SAW berkata Tidak bisa seorang
perempuan menikahkan perempuan lainnya dan tidak
bisa pula seorang perempuan menikahkan dirinya.
Sesungguhnya perempuan yang berzina itu dia yang
menikahkan dirinya sendiri.
Selain hadits-hadits di atas, mereka juga
menggunakan qaul Aisyah yaitu :
ها كانت تضر النكاح وتطب وأن عائشة رضي الل عن 24 ث ت قول اعقدوا فإن النساء ل ي عقدن
Sesungguhnya „Aisyah r.a menghadiri pernikahan
dan dia berpidato kemudian dia berkata lakukanlah
akad olehmu maka sesungguhnya perempuan tidak
dapat mengakadkan.
Adapun ulama yang membolehkan nikah tanpa
adanya wali menggunakan dalil-dalil nash berikut ini :
{ بقولو ت عال } فل جناح عليكم فيما ف علن ف أن فسهن ره { وبقولو ت عال } حت ت نكح زوجا غي
لقولو ت عال } أن ي نكحن أزواجهن {
24Ibid.
Melacak Metode Ushul Fikih Mazhab Hanafi
dalam Kitab al-Mabsuth Karangan Imam al-Zarkhasi
74 Al Muqaranah Volume V, Nomor 2, Tahun 2014
Dalam ayat-ayat tersebut menyandarkan akad kepada
perempuan, maka hal itu menjadi dalil bahwa perempuan
memiliki hak dalam pergaulan. Menurut ibarat Nash dari
ayat-ayat tersebut menunjukkan bahwa perempuan
mempunyai kekuasaan (wewenang) terhadap dirinya sendiri.
Selanjutnya dalil berupa khabar adalah :
1) Sabda Rasulullah SAW :
بن فسها من ق ولو صلى الل عليو وسلم } : الي أحق وليها {
Yang dimaksud denhan al-ayyimu adalah seorang
perempuan yang tidak mempunyai suami baik ia bikir
atau janda, dan inilah yang paling sahih menurut ahli
bahasa. Sementara Al-Karkhiy mengatakan bahwa al-
ayyimu dari kalangan perempuan sama halnya dengan
orang yang membujang dari kalangan laki-laki. Berbeda
dengan pendapat Muhammad, bahwa al-ayyimu adalah
sebutan untuk janda.
2) Sabda Rasulullah SAW bahwa tidak ada hak wali suatu
urusanpun terhadap janda :
ليس للول مع الث يب أمر{{ عليو وسلم وقال صلى الل
3) Hadits riwayat Khansa‟ seperti yang telah dikemukakan
sebelumnya ;
Azhariah Khalida
Al Muqaranah Volume V, Nomor 2, Tahun 2014 75
وحديث النساء حيث } قالت : ب ي يدي رسول الل أن ت علم النساء أن صلى الل عليو وسلم ولكن أردت
ليس إل الباء من أمور ب ناتم شيء {4) Sabda Rasulullah ketika menikahi Ummu Salamah :
ها اعتذرت ا خطب رسول الل أم سلمة رضي الل عن ولم بأعذار من جلتها أن أو لياءىا غيب ف قال : صلى الل
عليو وسلم ليس ف أوليائك من ل ي رضى ب قم يا عمر ف زوج أمك من رسول الل صلى الل عليو وسلم خاطب
سني { بو عمر بن أب سلمة وكان ابن سبع Ketika Rasulullah SAW meminang Ummu Salamah
r.a, sementara dia telah pernah menikah beberapa
kali sebelumnya, sesungguhnya para walinya ghaib,
maka Rasulullah SAW berkata: Wali-walimu itu
tidak ada yang tidak ridho denganku, bangunlah hai
Umar dan nikahkanlah ibumu dengan Rasulullah
SAW. Maka Umar bin Abi Salamah menikahkan
ibunya padahal dia anak yang berumur tujuh tahun.
5) Riwayat dari Umar dan Ali serta Ibnu Umar
radhiyallahu anhum bahwa mereka membolehkan nikah
tanpa wali.
6) Riwayat dari Aisyah r.a :
ها زوجت اب نة أخيها وأن عائشة رضي الل ت عال عن حفصة بنت عبد الرحن من المنذر بن الزب ي ، وىو ا رجع قال : أومثلي ي فتات عليو ف ب ناتو ، غائب ف لم
Melacak Metode Ushul Fikih Mazhab Hanafi
dalam Kitab al-Mabsuth Karangan Imam al-Zarkhasi
76 Al Muqaranah Volume V, Nomor 2, Tahun 2014
ها : أوت رغب عن ف قالت عائشة رضي الل ت عال عن المنذر ؟ والل لتملكنو أمرىا
Sesungguhnya Aisyah r.a menikahkan anak
perempuan saudaranya Hafshah binti Abdurrahman
dengan Munzir bin Zubair, sedangkan dia
(Abdurrahman) ghaib. Ketika dia kembali, dia
berkata : apakah seperti terhadapku difatwakan
atasnya tentang anak perempuannya, maka Aisyah
r.a berkata : apakah engkau tidak suka dengan
Munzir? Demi Allah, sungguh dia (Hafshah)
memiliki kekuasaan terhadap urusan(nikah)nya.
Hadits ini menjelaskan bahwa hadits yang
dipakai oleh kelompok ulama (Syafi‟iyah dan
Malikiyah) yang mereka riwayatkan dari Aisyah (yaitu
hadits nikah tanpa wali adalah batal) tidak sahih, karena
fatwa rawi (dalam hadits ini) berbeda dengan hadits itu,
dan jalur hadits tersebut melalui az-Zuhri, sedangkan az-
Zuhri mengingkarinya, maka bolehlah nikah tanpa
wali.25
Berdasarkan dalil-dalil yang dikemukakan ulama
Hanfiyah di atas, berupa Nash Alquran, secara umum
mengisyaratkan bahwa para perempuan dapat
menentukan urusannya sendiri dalam hal yang terkait
dengan pernikahan. Demikian pula dalil-dalil berupa
hadits/khabar menjelaskan hal tersebut. Yaitu perkataan
Nabi bahwa seorang perempuan memiliki hak atas
dirinya untuk menentukan urusannya, termasuk dalam
masalah nikah, kemudian Nabi SAW juga tidak
mengingkari pernyataan al-Khansa‟, ditambah pula
25
Ibid., h. 12
Azhariah Khalida
Al Muqaranah Volume V, Nomor 2, Tahun 2014 77
pernikahan Nabi dengan Ummu Salamah yang dilakukan
oleh anaknya yang belum baligh, menjelaskan bahwa
perempuan, baik bikir atau janda memiliki kekuasaan
atas dirinya dalam pernikahan. Di samping itu terdapat
pula riwayat yang menjelaskan bahwa sahabat Nabi
SAW yaitu Umar, Ali dan Ibnu Umar membolehkan
nikah tanpa adanya wali, bahkan Aisyah pernah
menikahkan anak perempuan saudara laki-lakinya.
Sementara dalil yang menjelaskan bahwa nikah tanpa
wali adalah batal, menurut pandangan ulama Hanafiyah
hadits itu tidak shahih, karena perawinya (Aisyah) tidak
beramal seperti periwayatannya, kemudian az-Zuhri
(rawi berikutnya) juga mengingkarinya. Oleh karena itu
mazhab ini berpendapat bolehnya nikah tanpa wali.
Selain itu menurut ulama Hanafiyah, perempuan
(Imraatun) dalam hadits tersebut ditakwilkan bahwa yang
dimaksud adalah imra‟ atun shaghirah (perempuan yang
masih kecil/belum dewasa).
Dalam penjelasan selanjutnya ulama Hanafiyah
menjelaskan bahwa bolehnya nikah tanpa wali adalah
sebagai jalan keluar bagi seorang perempuan bila dalam
keadaan yang tidak biasa, misalnya wali „adhal/enggan
karena wali tidak menyukai calon suami yang dipilih oleh si
perempuan, atau walinya ghaib. Namun di antara mereka
(Hanafiyah) ada yang berpendapat bahwa apabila
perempuan itu tidak sekufu dengan calon suaminya atau
dikhawatirkan akan memberi mudharat bagi perempuan itu,
maka walinya boleh mengajukan keberatan.
d. Bab Jinayat
Melacak Metode Ushul Fikih Mazhab Hanafi
dalam Kitab al-Mabsuth Karangan Imam al-Zarkhasi
78 Al Muqaranah Volume V, Nomor 2, Tahun 2014
Persoalan jinayat yang akan penulis bahas adalah
tentang had zina. Had adalah istilah untuk hukuman yang
bentuk dan ukurannya ditentukan yang merupakan hak Allah
SWT. Terhadap orang yang berzina, hukumannya ada dua
bentuk yaitu rajam bagi orang yang muhshan dan jilid bagi
ghairu muhshan.
Pada mulanya hukuman bagi orang yang berzina
adalah penahanan di rumah dan dicela dengan lisan,
berdasarkan firman Allah (fa amsikuhunna fil buyut) dan (fa
aazuuhuma).26
Kemudian hal itu dinasakh dengan hadits
yang diriwayatkan oleh Ubadah bin Shamit, bahwa Nabi
SAW berkata :
} خذوا عن قد جعل الل لن سبيل البكر بالبكر جلد مائة ورجم مائة وت غريب عام والث يب بالث يب جلد
بالجارة {Ambillah dariku, sungguh Allah telah memberikan
jalan bagi mereka, bikir dengan bikir (yang berzina)
dijilid seratus kali dan diasingkan selama setahun dan
tsayib dengan tsayib (yang berzina) dirajam dengan
batu.
Hukuman tersebut diterapkan sebelum turunnya ayat
Surat an-Nur (ayat 2). Setelah turunnya surat an-Nur ayat 2,
maka hadits di atas dinasakh. Maka ditetapkanlah hukuman
jilid terhadap pelaku zina yang ghairu muhshan dan
hukuman rajam bagi muhshan. Tentang hukuman jilid bagi
ghairu muhshan disepakati di kalangan ulama, sedangkan
hukuman rajam bagi pelaku zina yang muhsan ditetapkan
dengan sunnah. Kelompok Khawarij mengingkari hukuman
26
Alquran, Surat An-Nisa‟ ayat 15-16.
Azhariah Khalida
Al Muqaranah Volume V, Nomor 2, Tahun 2014 79
rajam kerena tidak ditetapkan dengan sunnah mutawatir.
Dalil bahwa raja madalah had bagi pelaku zina yang muhsan
adalah sebagai berikut :
} أن النب صلى الل عليو وسلم رجم ماعزا ب عد ما سأل عن إحصانو ورجم الغامدية ، وحديث العسيف حيث
س إل امرأة ىذا فإن اعت رفت فارجها قال : واغد يا أن ي }27
Sesungguhnya Nabi SAW merajam Ma‟iz setelah
bertanya tentang ihshannya dan merajam al-
Ghamidiyah, dan juga hadits al-„Asif ketika Nabi
berkata: Pergilah segera hai Unais kepada perempuan
ini, maka jika dia mengaku, rajamlah dia.
Selain itu dalilnya adalah perkataan Umar r.a di atas
mimbar: Sesungguhnya di antara yang diturunkan di dalam
Alquran adalah apabila orang-orang yang telah tua berzina,
maka rajamlah keduanya.
Menurut As-Sarakhasi mengumpulkan antara jilid
dan rajam terhadap orang muhshan tidak disyari‟atkan.
Sedangkan menurut pendapat Zhahiriyah dilakukan
keduanya sebagai had bagi muhshan berdasarkan zhahir
hadits Nabi SAW :
والث يب بالث يب جلد مائة ورجم بالجارة Dan berdasarkan riwayat Ali r.a, bahwa dia menjilid
Syurahah al-Hamdaniyah, kemudian merajamnya, kemudian
27
Ibid., juz 9, h. 36
Melacak Metode Ushul Fikih Mazhab Hanafi
dalam Kitab al-Mabsuth Karangan Imam al-Zarkhasi
80 Al Muqaranah Volume V, Nomor 2, Tahun 2014
dia berkata : jilidnya berdasarkan kitabullah dan rajamnya
berdasarkan sunnah.
Sedangkan hujjah yang dikemukakan As-Sarakhasi
adalah hadits tentang Ma‟iz dan al-Ghamidiyah, bahwa
Rasulullah SAW hanya merajam keduanya dan tidak
menjilid mereka. Begitu pula dengan hadits yang ke dua
yang telah dikemukakan di atas. Maksud dari hukuman
tersebut adalah sebagai pencegahan terjadinya sebab (zina).
Apabila maksud dari hukuman telah tercapai dengan satu
hukuman saja, maka tidak ada faedahnya menggabungkan
dua hukuman. Karena menurut kaidah umum, hukuman
yang lebih ringan (jilid) sudah tercakup oleh hukuman yang
lebih berat (rajam).
Mengumpulkan antara jilid dan rajam menurut As-
Sarakhasi telah dinasakh. Sedangkan hadits “jaldu mi‟atin
wa rajmu bil hijarah” ditakwilkan dengan : jilid adalah
hukuman bagi tsayib yang ghairu muhshan dan rajam adalah
hukuman untuk tsayib yang muhshan. Sedangkan hadits dari
Ali r.a takwilnya adalah: Dia menjilidnya karena tidak
diketahui tentang ihshannya, kemudian setelah ihshannya
diketahui, maka dia merajamnya, dan itu adalah qiyas.28
Terhadap masalah di atas, tentang hukuman bagi
orang yang berzina, metode istimbath yang dipakai adalah
nasakh. Nasakh disini berarti mengganti. Pada mulanya
dinyatakan bahwa hukuman bagi orang yang berzina
berdasarkan firman Allah, yaitu menahannya di rumah dan
mencelanya dengan lisan. Kemudian ayat tersebut dinasakh
oleh hadits bahwa untuk bikir hukumannya dijilid dan
diasingkan selama setahun dan untuk tsayib hukumannya
dijilid dan dirajam. Dalam hal ini terjadi nasakh ayat dengan
28
Ibid, h.37
Azhariah Khalida
Al Muqaranah Volume V, Nomor 2, Tahun 2014 81
sunnah dan hal ini boleh menurut ulama Hanafiyah jika
sunnah tersebut mutawatir atau masyhur.
Kemudian hal tersebut dinasakh lagi oleh ayat
Alquran dengan turunnya surat An-Nur ayat 2, bahwa
hukuman bagi ghairu muhshan adalah dijilid 100 kali
(hukuman had) dan tidak ditambah dengan hukuman
pengasingan. Sedangkan hukuman bagi muhshan tidak
menggabungkan jilid dan rajam, tetapi hanya rajam saja bagi
yang muhshan berdasarkan hadits Nabi SAW. Dalam hal
yang pertama, yaitu hukuman bagi ghairu muhshan, terjadi
nasakh sunnah dengan ayat, sedangkan untuk yang ke dua,
hukuman bagi muhshan, adalah nasakh sunnah dengan
sunnah.
e. Bab Mu’amalat
Masalah mu‟amalah yang penulis kemukakan pada
bab ini adalah tentang wakaf karena dalam persoalan wakaf,
pendapat ulama Hanafiyah berbeda dengan mazhab lainnya
terutama dalam hal sifat akad wakaf dan akibat wakaf.
Wakaf adalah menahan benda yang dimiliki dari
kepemilikan orang lain. Menurut Imam Abu Hanifah bahwa
akad wakaf tidak menjadikannya lazim, karena wakif
menahan ain benda miliknya dan memberdayakan
manfaatnya untuk keperluan yang ditentukan. Akad wakaf
menempati posisi „ariyah, sedangkan „ariyah itu jaiz (boleh),
bukan sesuatu yang lazim (kemestian). Namun kalau
seseorang berwasiat bahwa ia akan berwakaf setelah dia
meninggal, maka wakaf menjadi lazim, ia menempati posisi
sebagaimana wasiat.29
29
Ibid, juz 12, h.27
Melacak Metode Ushul Fikih Mazhab Hanafi
dalam Kitab al-Mabsuth Karangan Imam al-Zarkhasi
82 Al Muqaranah Volume V, Nomor 2, Tahun 2014
Wakaf disyari‟atkan berdasarkan hadits yang
diriwayatkan dari Sakhr bin Juwairiyah dari Nafi‟, bahwa
Umar bin Khattab r.a memiliki tanah yang produktif,
kemudian dia bertanya kepada Nabi SAW tentang hal
terbaik yang harus dilakukannya. Maka Nabi SAW
mengatakan supaya dia bersedekah, sedangkan asalnya tidak
boleh dijual, tidak boleh dihibahkan dan tidak boleh
diwariskan, tetapi diinfakkan buah/hasilnya. Kemudian
Umar bersedekah untuk fi sabilillah, kepada orang-orang
miskin, ibnu sabil dan karib kerabatnya.
Rasulullah SAW menyuruh Umar berwakaf dapat
dipahami dari perkataan beliau :
ق بأصلو ل ي باع ، ول يوىب ، ول يورث تصدDan pernyataan Nabi tersebut menjadi hujjah bagi
orang yang berpendapat bahwa wakaf itu lazim
(mengakibatkan hilangnya kepemilikan).
Akad wakaf tidak menghilangkan kepemilikan,
seperti yang dikemukakan oleh Abu Hanifah, Abu Yusuf
dan Muhammad. Hanya saja wakaf itu menahan „ain benda
dari masuknya ke dalam milik orang lain. Ia tidak bisa
diwariskan setelah meninggalnya wakif, karena benda yang
diwariskan berganti menjadi milik orang yang mewarisi.
Dalam hal ini menurut riwayat Abu Yusuf, pada awalnya dia
mengikuti pendapat Abu Hanifah, tetapi ketika ia pergi
melaksanakan haji dan melihat wakaf-wakaf para sahabat di
Madinah dan sekitarnya dia mengubah pendapatnya bahwa
wakaf menjadi lazim setelah meninggalnya wakif.
Alasannya adalah atsar yang telah masyhur dari Rasulullah
SAW dan para sahabat beliau. Bahwa mereka semua seperti
Umar, Utsman, Ali, Thalhah, Zubair, Aisyah dan Hafshah,
berwakaf dan wakafnya tetap kekal sampai hari ini.
Azhariah Khalida
Al Muqaranah Volume V, Nomor 2, Tahun 2014 83
Demikian pula wakaf Nabi Ibrahim al-Khalil AS tetap
bertahan sampai hari ini. Dan kita disuruh untuk
mengikutinya, seperti terdapat dalam firman Allah :
30فاتبعوا ملة إب راىيم حنيفا
Jadi, Abu Yusuf kemudian mengubah pendapatnya
bahwa akad wakaf menjadi lazim, atau menghilangkan
kepemilikan wakif, bila wakif telah meninggal dunia
berdasarkan atsar para sahabat Rasulullah SAW.
Selanjutnya As-Sarakhasi menjelaskan bahwa jika
pada tanah yang diwakafkan itu dibangun mesjid untuk
kaum muslimin secara umum dan telah dikumandangkan
azan di dalamnya dan telah dilakukan shalat jamaah di
dalamnya sekali shalat atau lebih, maka pemiliknya (wakif)
tidak boleh kembali kepadanya (menarik kembali tanahnya).
Jika dia meninggal, tanah itu tidak boleh diwariskan, karena
ia sudah terlepas dari miliknya dan ia menjadi milik Allah,
berdasarkan firman Allah: wa anna al-masaajida lillah, dan
hadits Nabi SAW: “Siapa yang membangun mesjid untuk
Allah, maka Allah akan mendirikan rumah untuknya di
surga”. Maka tidak boleh lagi kembali kepadanya setelah
menjadikannya milik Allah, seperti halnya sedekah.31
Dalam masalah wakaf ini, ulama Hanafiyah berbeda
dengan mazhab lainnya dalam memahami akibat wakaf.
Menurut mereka, wakaf tidak mengakibatkan berpindahnya
milik karena tidak ada dalil yang menjelaskan hal tersebut.
Mereka menyamakan wakaf dengan „ariyah, bahwa ia jaiz.
Hanya saja wakaf menghalangi berpindahnya benda wakaf
menjadi milik orang lain, yang dipahami dari hadits Umar di
30
Ibid, h. 28 31
Ibid, h. 34
Melacak Metode Ushul Fikih Mazhab Hanafi
dalam Kitab al-Mabsuth Karangan Imam al-Zarkhasi
84 Al Muqaranah Volume V, Nomor 2, Tahun 2014
atas, bahwa benda yang diwakafkan tidak boleh dijual,
dihibahkan dan diwariskan. Dalam hal ini mereka bersandar
pada hadits dan atsar. Akad wakaf menjadi lazim apabila
dikaitkan dengan kematian (menjadi wasiat) dan apabila
wakaf ditujukan untuk masjid (berdasarkan nash alquran dan
hadits) dan setelah wakif meninggal (pendapat Abu Yusuf).
C. Kesimpulan
Dari beberapa contoh masalah fikih yang telah
dikemukakan sebelumnya dapat disimpulkan bahwa metode
istimbath ushul mazhab Hanafi yang ditemukan dalam contoh-
contoh persoalan tersebut adalah :
1. Dalam masalah ibadah, yaitu tentang shalat witir dan shalat
„id, ulama Hanafiyah lebih banyak menggunakan dalil
berupa hadits, termasuk hadits ahad dan atsar sahabat.
Ketika memahami dalil-dalil tersebut, mereka
mendahulukan penggunaan dalalah ibarah daripada dalalah
isyarah.
2. Dalam masalah munakahat, yaitu tentang pernikahan bikir,
tsayib dan nikah tanpa wali, disamping merujuk kepada dalil
Alquran dan hadits, ulama Hanafiyah juga menggunakan
ra‟yu yaitu mempertimbangakan hak seorang perempuan
(yang telah dewasa) untuk menentukan pernikahannya.
Untuk menerima hadits ahad sebagai hujjah, ulama
Hanafiyah mensyaratkan bahwa amalan perawi tidak
berbeda dengan riwayatnya.
3. Dalam masalah jinayat, yaitu tentang hukuman bagi pezina,
dalam menentukan hukuman terhadap pezina yang
bersumber dari nash, ulama Hanafiyah mengakui terjadi
nasakh hukum terdahulu dengan hukum yang datang
kemudian. Selain itu mereka juga mempertimbangkan
tujuan/maksud hukuman.
Azhariah Khalida
Al Muqaranah Volume V, Nomor 2, Tahun 2014 85
4. Dalam masalah mu‟amalat, khususnya dalam masalah
wakaf, ketika tidak ada dalil nash yang menjelaskan secara
rinci, ulama Hanafiyah menggunakan amalan sahabat dan
juga ra‟yu.
Melacak Metode Ushul Fikih Mazhab Hanafi
dalam Kitab al-Mabsuth Karangan Imam al-Zarkhasi
86 Al Muqaranah Volume V, Nomor 2, Tahun 2014
DAFTAR PUSTAKA
al-Jaziri, Abdurrahman, Fiqh Empat Mazhab, judul asli al-Fiqh
„ala al-Mazahib al-Arba‟ah, penerjemah Chatibul Umam
dan Abu Hurairah, Jakarta : Darul Ulum Press, 1994, jilid
2.
Kamal bin Hummam, Fath al- Qadir, dalam Maktabah
Syamilah, juz 2.
al-Maraghi, Abdullah al-Musthofa, Pakar-pakar Fikih
Sepanjang Sejarah, judul asli : Fath al-Mubin fi Tabaqat
al-Ushuliyin, Penerjemah: Husein Muhammad,
Yogyakarta; LKPSM, 2001
as-Sarakhasi, Ahmad bin Abi Sahal, Ushul as-Sarakhasi,
ditahqiq oleh Abu al-Wafa‟ al-Afghani, Beirut : Dar al-
Kutub al-Ilmiyah, 2005, Cet.ke 2, jilid 1.
As-Sarakhasi, Al-Mabsuth, Libanon : Dar al-Ma‟rifah, 1989,
juz. 4
Zahrah, Muhammad Abu. Ushul al-Fiqh. Penerjemah: Saefullah
Ma‟shum dkk. Jakarta: Pustaka Firdaus, 1994.
az-Zuhaili, Wahbah, Ushul al-Fiqh al-Islami, Damsyik ; Dar al-
Fikri, tt, juz. 1