pembahasan ushul fiqh.docx

28
17 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dinamika kehidupan manusia selalu bergelut dengan beragam peristiwa yang melingkupinya. Perbedaan sifat yang demikian itu sudah merupakan sunnatullah (alamiah), sehingga tak dapat terelakkan dalam keseharian setiap insan. Sebagai agama yang membawa misi kemaslahatan universal (Rahmatan li al-‘Alamin), Islam tidak melepaskan perhatiannya pada unsur-unsur kesulitan yang dialami umatnya. Islam memberikan apresiasi besar pada kesulitan yang dihadapi kaum muslimin dengan dengan memberikan keringanan hukum pada obyek hukum yang dinilai sulit. Terbukti, dalam kaidah ini ditegaskan bahwa kesulitan-kesulitan yang dialami seorang Muslim, baik dalam konstruksi ritual (ibadah) maupun sosial (mu’amalah), akan mendorong diterapkannya kemudahan hukum pada obyek yang dibebankan kepadanya. Bila seorang Muslim dalam menjalankan sebuah kewajiban mengalami kendala, maka di titik inilah Islam memberikan toleransi serta kemudahan-kemudahannya.

Upload: ahmad-khoirudin

Post on 30-Nov-2015

93 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: Pembahasan Ushul Fiqh.docx

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Dinamika kehidupan manusia selalu bergelut dengan beragam peristiwa

yang melingkupinya. Perbedaan sifat yang demikian itu sudah merupakan

sunnatullah (alamiah), sehingga tak dapat terelakkan dalam keseharian setiap

insan. Sebagai agama yang membawa misi kemaslahatan universal (Rahmatan li

al-‘Alamin), Islam tidak melepaskan perhatiannya pada unsur-unsur kesulitan

yang dialami umatnya. Islam memberikan apresiasi besar pada kesulitan yang

dihadapi kaum muslimin dengan dengan memberikan keringanan hukum pada

obyek hukum yang dinilai sulit.

Terbukti, dalam kaidah ini ditegaskan bahwa kesulitan-kesulitan yang

dialami seorang Muslim, baik dalam konstruksi ritual (ibadah) maupun sosial

(mu’amalah), akan mendorong diterapkannya kemudahan hukum pada obyek

yang dibebankan kepadanya. Bila seorang Muslim dalam menjalankan sebuah

kewajiban mengalami kendala, maka di titik inilah Islam memberikan toleransi

serta kemudahan-kemudahannya.

Dalam  penggalian Hukum Islam, kita mengenal kaidah “Kesulitan itu

mendatangkan  kemudahan”. Yang dikenal  dengan  nama: تجلب المشقة

.التيسير

Qa’idah ini merupakan dasar penting sumber syariah. Mayoritas

dispensasi syar’i didassari oleh kaidah ini, selain menjadi Qa’idah fiqhiyah,

Qa’idah ini juga menjadi Qa’idah ushuliyah ai-ammah. Bahkan menjadi Qa’idah

yang memiliki sifat qath’y, karena dalil-dalil yang mendasari dan menjadi

landasan tumpuannya sangant sempurna.

1

Page 2: Pembahasan Ushul Fiqh.docx

Sesungguhnya syari’ah tidak menuntut seseorang untuk melakukan

sesuatu yang menjatuhkannya pada kesulitan, atau sesuatu yang tidak sesuai

dengan karakter dan hati nuraninya. Kemudahan dan keringanan adalah tujuan

dasar dari “pemilik syari’ah yang bijaksana” dalam memberlakukan syari’ah

Islam.

Kesulitan sesuatu bisa terjadi secara insidentil dan secara kontinyu. Orang

yang menderita sakit-berdasarkan perkiraan medis-yang tidak memungkinkan

sembuh secara biasa, akan mengalami kesulitan dalam melaksanakan bebrapa

kewajiban. Oleh karena itu, kesulitan tersebut diatasi dengan cara memberi

dispensasi, mengganti, dan mengubahnya. Sedangkan orang yang berpergian jauh

berdasarkan kebiasaan mengalami kelelahan dan karenanya berat dalam

melaksanakan kewajiban. Itupun diatasi dengan cara memberikan keringanan.

B. Rumusan Masalah

Adapun rumusan masalah yang hendak diuraikan dalam makalah ini adalah:

1. Apakah yang dimaksud dengan kaidah al-masyaqqah tajli al-taisir?

2. Bagaimanakah tanggapan Al-Qur’an terhadap kaidah al-masyaqqah tajli

al-taisir?

3. Sebab-sebab apasaja yang dapat menimbulkan keringanan atau toleransi?

C. Tujuan dan Kegunaan Penulisan

Dengan rumusan-rumusan tersebut diatas, tujuan yang ingin dicapai oleh

penyusun adalah untuk mengetahui:

1. Mengetahui maksud dari kaidah al-masyaqqah tajli al-taisir dan

memahaminya.

2. Mengetahui tanggapan Al-Qur’an terhadap kaidah al-masyaqqah tajli

al-taisir.

2

Page 3: Pembahasan Ushul Fiqh.docx

3. Mengetahui sebab-sebab yang dapat menimbulkan keringanan atau

toleransi.

BAB II

PEMBAHASAN

1.1 Pengertian Kaidah

Secara bahasa, al-masyaqqat berarti al-ta’b (kelelahan,kepenatan,

keletihan), Sedang arti terminology kata al-taysir adalah al-subulat (gampang,

mudah, ringan), dan al-luyunat (lunak, halus, dan ramah).1

Adapun makna terminologi kaidah asasi ketiga di atas adalah :

فى ومشقة المكلف على حرج تطبيقها عن ينشا التي االحكام ان

عسر دون المكلف قدرة تحت يقع بما تخففهما فاالشريعة ماله او نفسه

خرج او

“Hukum yang praktiknya menyulitkan mukallaf, dan pada diri dan

sekitarnya terdapat kesulitan, maka syari’at meringankannya sehingga bebab

tersebut berada di bawah kemampuan mukallaf tanpa kesulitan dan kesusahan.”2

Jadi makna kaidah tersebut adalah kesulitan menyebabkan adanya

kemudahan. Maksudnya adalah bahwa hukum-hukum yang dalam penerapannya

menimbulkan kesulitan dan kesukaran bagi mukallaf (subyek hukum), maka

syari’ah meringankannya sehingga mukallaf mampu melaksanakannya tanpa

kesulitan dan kesukaran.3

1 Mubarok, Jaih, Kaidah Fiqh Sejarah dan Kaidah Asas, (Jakarta: P.T. RajaGrafindo Persada, 2002), hlm. 139.2 Ibid., hlm 139.3 Djazuli, Ahmad, Prof, H, Kaidah-Kaidah Fikih, (Jakarta: Kencana, 2007), hlm. 55.

3

Page 4: Pembahasan Ushul Fiqh.docx

2.1 Sumber Hukum

2.1.1 Al Qur’an4

a. Surat Al Baqarah ayat 185 disebutkan:

العسر بكم يريد وال اليسر بكم هللايريدArtinya: “Allah swt. mencintai terwujudnya kemudahan dan tidak

mencintai kesulitan bagimu sekalian”.

b. Surat Al Hajj ayat 78 dinyatakan:

حرج من الدين فى عليكم وماجعل

Artinya: “Dan Dia tidak menjadikan atas kamu sekalian suatu

kesempitan dalam urusan agama”.

c. Surat Al Maidah ayat 6 dinyatakan:

حرج من هللاليجعلعليكم مايريدArtinya: “Allah tidak menghendaki membuat kesulitan bagi kamu

sekalian”.

d. Ayat lain yang menjadi dasar kaidah ini adalah surat An Nisa ayat

28 dinyatakan:

عنكم يخفف هللاأن يريدArtinya: “Allah mencintai kemudahan bagi kamu sekalian”.

2.1.2 Al Hadits5

Banyak sekali hadits Nabi saw. yang menjadi dasar

terbentuknya kaidah ini, diantaranya adalah:

a. الشيخان رواه ﴿ معسرين تبعثوا ولم ين ميسر بعثتم ﴾ انما“Kalian semua ( kaum Muslimin dengan perantara Nabi saw)

diutus untuk memberi kemudahan; tidak untuk menyulitkan”.

(H.R. Bukhari-Muslim)

b. Hadits riwayat Imam Ahmad ra.:

هللايسر : دين إن وسلم هللاعليه رسولهللاصاى ثا ٬قال ثال

4 Haq, Abdul, Formulasi Nalar Fiqh, (Surabaya: Khalista, 2005), hlm. 173-1755 Haq, Abdul, Formulasi Nalar Fiqh, hlm. 175-177

4

Page 5: Pembahasan Ushul Fiqh.docx

Rasulullah saw. bersabda: “Sesungguhnya agama Allah

adalah agama yang mudah.” (kata-kata itu) diucapkan tiga

kali.

c. Hadits riwayat Imam Bukhari-Muslim:

اال أمرين بين وسلم رسولهللارسولهللاصىلهللاعليه ماخير

إثما يكن لم ما أيسرهما اختار“Tidaklah Rasulullah diberi pilihan diantara dua perkara,

kecuali beliau memilih yang lebih mudah atau ringan, selama

yang lebih mudah itu bukan perbuatan dosa”.

d. Hadits yang berbunyi:

تعسروا وال يسروا“Permudahlah dan jangan menyulitkan”.

e. Hadits riwayat Imam Ahmad dari Jabir ra.:

السمحة لحنيفية با بعثت“Aku (Nabi saw.) diutus untuk meninggalkan yang tidak

berhak dan dengan membawa ajaran yang mudah”.

Selain itu, masih banyak hadits-hadits lain yang membincang

seputar kemudahan dan keringanan syariat yang dibawa oleh Nabi

saw. Namun kelima hadits diatas kiranya sudah cukup untuk dijadikan

parameter, bahwa Islam bukanlah agama yang sulit.

Dari akumulasi (kumpulan) ayat dan hadits yang telah

disebutkan diatas, maka tercetuslah kaidah fiqh: al-masyaqqah tajlib

al-taysir yang oleh Ali Haydar dijelaskan bahwa kesulitan yang

terdapat pada sesuatu menjadi sebab dalam mempermudah dan

memperingan sesuatu tersebut, yang pada intinya menekankan

besarnya apresiasi syariat pada bentuk-bentuk kemudahan dan

keringanan hukum. Bahkan al-Sya’bi pernah menyatakan, jika

seorang muslim diperintahkan melakukan salah satu diantara dua hal,

kemudian ia memilih yang paling ringan baginya, maka pilihannya itu

lebih dicintai oleh Allah swt.

5

Page 6: Pembahasan Ushul Fiqh.docx

Namun perlu dicatat, kemudahan dimaksud jelas tidak berlaku

serampangan dan tanpa arah. Ada batasan dan kualifikasi tertentu

yang harus dipenuhi agar kemudahan itu dapat diperoleh.

3.1 Masyaqqah

3.1.1 Definisi Masyaqqah

Lafazh masyaqqah secara bahasa berarti sulit, berat, dan yang

searti dengannya. Dalam bahasa Arab, ketika dikatakan syaqqa alayhi

al-syai’ berarti ada sesuatu yang telah memberatkan seseorang. Di

dalam Al Qur’an terdapat lafazh yang berasal dari akar yang sama

dengan masyaqqah, yakni syiqq al-anfus, sebagaimana yang terdapat

dalam surat al-Nahl ayat tujuh.6

Adapun secara istilah, al-Syathibi memberikan empat makna.

(1) Masyaqqah dimaknai secara umum; meliputi hal-hal yang mampu

dilakukan oleh mukallaf ataupun tidak, karenanya ketika ada seorang

manusia berusaha untuk terbang dia dianggap melakukan masyaqqah

dalam pengertian pertama ini. (2) Masyaqqah dimaknai sebagai

perbuatan yang sebenarnya mampu dikerjakan manusia, hanya saja

hal itu akan menyebabkan orang yang melakukannya berada dalam

kesulitan yang sangat berat.7 (3) Masyaqqah dalam pengertian

kesulitan yang tidak sampai ‘keluar’ dari kebiasaan umum. (4)

Masyaqqah yang dimaknai sebagai ‘melawan hawa nafsu’.8

3.1.2 Karakter dan Kualifikasi Masyaqqah

Berdasarkan analisa al-Suyuthi, karakteristik kesulitan

(masyaqqah) secara umum terbagi dalam dua pembagian pokok:9

6 Al-Syathibi: al-Muwafaqat fi Ushul al-Ahkam, II/119, ed. Abdullah Darraz. Dar al-Ma’rifah, Beirut.7 Bagian yang kedua ini oleh al-Syathibi dibagi lagi menjadi dua bagian. Pertama, berupa sifat yang menetap pada sebuah pekerjaan. Artinya ketika pekerjaan itu dikerjakan untuk pertama kali akan langsung menimbulkan masyaqqah. Kedua, masyaqqah yang bukan merupakan ‘sifat asli’ dari pekerjaan itu, dengan kata lain kesulitan dalam perbuatan semacam ini baru terasa setelah dilakukan berulang-ulang al-Muwafaqat, Ibid, II/ 1208 Ibid, II/ 1219 Periksa antara lain, Jalal al-Din al-Suyuthi: al-Asybah wa al-Nahzair, ed. Muhammad al-Mu’tashim Billah. Dar al-Kitab al-‘Arabi, cet.IV, 1998, hal. 168, dan Abu al-Faydl Muhammad Yasin bin Isa al-Fadani, Op.cit., hal. 234

6

Page 7: Pembahasan Ushul Fiqh.docx

1) Masyaqqah yang tidak dapat menggugurkan kewajiban (ibadah).

Misalnya: rasa lelah ketika melakukan perjalanan haji, tidak

secara otomatis menggugurkan kewajiban haji.

2) Masyaqqah yang dapat menggugurkan kewajiban. Masyaqqah

jenis kedua ini terbagi lagi dalam tiga tingkatan:

a. Masyaqqah yang sangat berat dan umumnya sulit ditanggung

(a’la). Seperti rasa khawatir akan keselamatan jiwa, harta,

keturunan, organ tubuh, dan hal-hal mendasar lainnya. Pada

taraf inilah syariat memberlakukan keringanan hukum

(rukhshah). Sebab, demikian tulis al-Suyuthi, pemeliharaan

jiwa dan raga untuk menjalankan kewajiban-kewajiban

syariat lebih diutamakan daripada tidak melaksanakan sama

sekali. Artinya, jika umat Islam masih ‘dipaksa’

melaksanakan kewajiban yang sebenarnya sudah tidak

mampu dikerjakan, maka akan berakibat fatal pada

keselamatan jiwa maupun raganya.

b. Masyaqqah yang sangat ringan (adna). Seperti pegal-pegal,

pilek, pusing, dan lain sebagainya. Pada strata ini, tidak ada

sama sekali legitimasi syariat untuk memberi rukhshah.

Sebab kemaslahatan ibadah masih lebih penting daripada

menghindari mafsadah (kerusakan) yang timbul dari

masyaqqah kategori ini. Artinya, timbulnya mafsadah dari

hal-hal seperti ini masih sangat minim, sehingga

kemaslahatan ibadah yang nyata punya nilai lebih besar harus

lebih diutamakan.

c. Masyaqqah pertengahan (al-mutawassithah) yang berada

pada titik interval diantara dua bagian sebelumnya. Jenis

masyaqqah yang terakhir ini bisa mendapat rukhshah, jika

telah mendekati kadar masyaqqah pada urusan yang tertinggi

(a’la). Dan sebaliknya apabila lebih dekat pada kategori

7

Page 8: Pembahasan Ushul Fiqh.docx

masyaqqah yang paling ringan (adna) maka ia tidak dapat

menyebabkan rukhshah.

3.1.3 Metode Taqribi10

Masyaqqah adalah sesuatu yang bersifat abstrak dan relatif,

dalam arti ukuran dan batasannya sangat sulit dibedakan (kadang si A

merasa berat mengerjakan, tapi si B tidak, padahal pekerjaannya

sama). Hal ini terjadi pada jenis masyaqqah mutawassitah. Karena

itulah fuqaha mengajukan solusi metodologis berupa taqribi guna

mengukur berapa jenis masyaqqah yang bisa memperoleh keringanan

hukum.

Secara umum, taqribi dimaknai sebagai upaya pengukuran

kadar masyaqqah apakah telah melewati batas minimal atau tidak.

Jika kadar masyaqqah masih dalam taraf rendah (adna), maka tidak

ada pemberlakuan rukhshah. Tapi jika telah melampaui taraf rendah,

baik telah mencapai kategori mutawassithah ataupun sampai level

tertinggi (a’la), maka ia akan mendapat rukhshah.

Seseorang yang sedang berpuasa misalnya, pasti mengalami

masyaqqah, baik berupa lapar, haus, dan seterusnya. Jika puasa itu

dilakukan dalam keadaan sakit, maka secara otomatis masyaqqah-nya

bertambah, yakni masyaqqah berpuasa ditambah masyaqqah sakit.

Nah, pada kondisi inilah masyaqqah itu telah melewati batas minimal

(adna) sehingga bisa mendapatkan rukhshah.11

Contoh lainnya adalah musafir yang mengerjakan puasa. Selain

mengalami musyaqqah puasa, ia juga ditimpa masyaqqah berupa

beratnya melakukan perjalanan.12

3.2 Rukhshah (Toleransi)

3.2.1 Definisi Rukhshah dan ‘Azimah

Pada dasarnya, rukhshah adalah sebuah kodifikasi hukum yang

diberikan syariat bagi mukallaf yang mengalami kesulitan dalam

10 Haq, Abdul, Formulasi Nalar Fiqh, hlm. 18011 Muhammad Yasin al-Fadani: Op.cit., hlm. 232-23312 Haq, Abdul, Formulasi Nalar Fiqh, hlm. 181

8

Page 9: Pembahasan Ushul Fiqh.docx

melaksanakan taklif yang dibebankan kepadanya. Dengan kata lain,

rukhshah adalah sebuah formulasi hukum yang telah berubah dari

bentuk asalnya, karena mempertimbangkan obyek hukum, situasi,

kondisi, dan tempat tertentu. Bisa pula dimaknai sebagai

diperbolehkannya sesuatu yang asalnya dilarang, beserta wujudnya

dalil yang melarang.13

Sebaliknya, jika formulasi hukum syariat tidak mengalami

perubahan, maka ia dinamakan ‘azimah. Atau dapat dikatakan,

‘azimah adalah suatu formulasi hukum-hukum dasar syariat yang

bersifat umum dan tidak tidak terbatas pada obyek, situasi, kondisi,

dan orang tertentu. Atau lebih mudahnya, ‘azimah adalah sebentuk

kerangka hukum dasar (fundamental) yang belum mengalami

perubahan, kodifikasi, reformasi, reformulasi, maupun reduksi.14

Dari sini dapat disimpulkan, bila hukum syariat masih seperti

sedia kala, maka ia dinamakan ‘azimah. Tapi bila telah berubah dan

mengalami perubahan bentuk dengan beberapa syarat tertentu, maka

ia dinamakan rukhshah.15

3.2.2 Hukum-hukum Rukhshah16

Bila ditilik dari sisi hukumnya, rukhshah terbagi menjadi lima:17

a. Rukhshah wajib. Contohnya, memakan bangkai bagi orang yang

sedang kelaparan, atau minum arak (khamr) bagi seseorang yang

tenggorokannya tersumbat hingga tak bisa bernafas. Jika makan

bangkai atau minum arak yang notabene haram merupakan satu-

satunya jalan yang diyakini bisa menyelamatkan jiwanya, maka

hal itu wajib dilakukan.

b. Rukhshah sunnah. Misalnya, shalat qashar bagi seorang musafir

yang telah melakukan perjalanan sepanjang dua marhalah atau

lebih, dan berbuka puasa bagi orang yang sakit atau musafir yang

13 Baca al-Syathibi, Op.cit., I/30114 Ibid.15 Haq, Abdul, Formulasi Nalar Fiqh, hlm. 18116 Ibid.17 Jalal al-Din al-Suyuthi: op.cit., hlm. 171

9

Page 10: Pembahasan Ushul Fiqh.docx

mengalami masyaqqah bila melaksanakan puasa. Demikian pula

mengakhirkan shalat dhuhur, karena cuaca pada awal waktu

dhuhur sangat panas. Atau seperti melihat muka dan dua telapak

tangan calon istri saat meminangnya. Semua contoh diatas

merupakan rukhshah yang sunnah dikerjakan.

c. Rukhshah mubah. Contohnya, seperti transaksi pesan-memesan

(salam) dan sewa-menyewa (ijarah). Dua jenis transaksi ini

dikategorikan rukhshah yang mubah karena memandang hukum

asalnya yang tidak diperbolehkan. Akad salam pada permulaanya

tidak diperbolehkan karena dianggap membeli barang yang tidak

wujud (ma’dum), dan manfaat dalam ijarah juga dinilai ma’dum.

d. Rukhshah khilaf al-awla (lebih utama ditinggalkan). Seperti

membilas bagian luar sepatu kulit (al-khuf atau muzah), menjama’

shalat atau berbuka puasa bagi seorang musafir yang tidak

mengalami masyaqqah bila harus mengerjakannya. Begitu pula

tayamum bagi orang yang telah mendapat air, tapi harus dibeli

dengan nilai diatas harga standar, sementara dia sebenarnya

memiliki uang (mampu) untuk membelinya. Semua toleransi

(rukhshah) dalam contoh diatas lebih utama untuk tidak

dikerjakan.

e. Rukhshah makruh. Contohnya mengqashar shalat dalam

perjalanan yang belum mencapai tiga marhalah. Kemakruhan ini

dimotivasi untuk menghindari khilaf Imam Hanafi yang tidak

memperbolehkan qashar sebelum perjalanan mencapai tiga

marhalah (142 km. Versi Hanafiyah). Sementara al-Syafi’i menilai

dua marhalah cukup untuk melakukan qashar.

3.2.3 Bentuk-bentuk Rukhshah

Jika ditilik dari bentuknya, rukhshah terbagi menjadi enam:18

a. Takhfif Isqath (keringanan pengguguran).

18 Haq, Abdul, Formulasi Nalar Fiqh, hlm. 183

10

Page 11: Pembahasan Ushul Fiqh.docx

Yaitu: Keringanan dalam bentuk penghapusan, seperti tidak wajib

Sholat bagi wanita yang mentruasi atau nifas. Tidak wajib Haji

bagi yang tidak mampu (istitha’ah).19

b. Takhfif Tanqish (keringanan pengurangan).

Misalnya: Sholat qashar bagi orang berpergian yang telah

mencukupi syarat, seperti disebut dimuka.20

c. Takhfif Ibdal (keringanan penggantian).

Misalnya: Salah satu syarat untuk melakukan shalat adalah wudlu’

tetapi karena adanya halangan, maka orang dapat mengganti

wudlu’ dengan tayamum.21

d. Takhfif Taqdim (keringanan mendahulukan).

Misalnya: Melakukan sholat ‘Ashar di waktu dhuhur, atau sholat

‘Isya’ di dalam waktu Magrib bagi orang yang sedang berpergian

(ini yang disebut jama’Taqdim).22

e. Takhfif ta’khir (keringanan mengakhirkan).

Misalnya: kebalikan dari contoh no. 4, yakni jama’ takkhir, yaitu

melakukan sholat Dhuhur di dalam waktu ‘Ashar, atau

mengerjakan sholat Magrib didalam waktu ‘Isya’.23

f. Takhfif Tarkhish (keringanan kemurahan).

Misalnya: orang sedang sangat kehausan, kalau tidak cepat minum

mungkin bisa mati, padahal yang ada hanyalah arak, maka orang

itu di beri keringanan boleh meminum arak tersebut.24

3.2.4 Obyek-obyek Rukhshah25

a. Ikrah (terpaksa)

19 Adib Bisri, Moh, Drs, Op., Cit., hlm. 1920 Ibid.,21 Ibid.,22 Ibid.,23 Ibid.,24 Ibid.,25 Haq, Abdul, Formulasi Nalar Fiqh, hlm. 185

11

Page 12: Pembahasan Ushul Fiqh.docx

Yaitu: Sesuatu keadaan yang membahayakan kelangsungan

hidupnya. Setiap akad yang dilakukan dalam keadaan terpaksa

maka akad tersebut tidak sah.26

Seperti dalam surat al-Nahl: 106, Allah swt. berfirman:27

مطمئن وقلبه أكره من إال نه إيما بعد هللامن كفربا من

باإليمانArttinya: “Barang siapa kafir kepada Allah setelah beriman (dia

mendapat kemurkaan dari Allah), kecuali orang yang dipaksa

kafir padahal hatinya tenang...”

Misalnya: minum arak hukumnya haram, tetapi karena ia dipaksa

orang yang lebih kuat, dengan ancaman akan dianiaya kalaua tidak

mau minum, maka meminumnya menjadi tidak haram.28

b. Nis-yan (lupa)

Secara terminologis, nis-yan adalah hilangnya daya ingat

terhadap hal-hal yang sudah diketahui (ma’lum). Untuk

mengingatnya kembali dibutuhkan usaha dari awal lagi. Berbeda

dengan sahwu (lalai) yang hanya berupa keadaan lupa yang

bersifat temporal (sementara). Sehingga dengan hanya sedikit

diingatkan, maka otak akan mampu “merekam” kembali data dan

memori yang sempat hilang.29

Misalnya: Seharusnya makan itu membatalkan puasa, tetapi kalau

makannay karena lupa, maka puasanya tidak batal.

c. Jahl (ketidaktahuan)

Misalnya: Orang yang baru masuk Islam karena tidak tahu,

kemudian memakan makanan yang diharamkan, maka ia tidak

dikenai sanksi.30

d. Al-‘Usr (kesulitan)

26 Djazuli, Ahmad, Prof, H, Op., Cit., hlm. 56.27 Haq, Abdul, Formulasi Nalar Fiqh, hlm. 18928 Adib Bisri, Moh, Drs, Terjemah al-Faraidul Bahiyyah Risalah Qawa-id Fiqh, Kudus, Menara  Kudus, 1977, hlm. 18.29 Haq, Abdul, Formulasi Nalar Fiqh, hlm. 18930 Djazuli, Ahmad, Prof, H, Op., Cit.

12

Page 13: Pembahasan Ushul Fiqh.docx

Yaitu: Suatu kondisi yang sulit dihindari.

Misalnya: Debu di jalan yang bercampur dengan kotoran, pada

hakekatnya adalah najis, tetapi karena sulitnya menghindar dari

debu itu, maka hukumnya menjadi tidak apa-apa.31

e. Safar (bepergian)

Misalnya: Sholat Dhuhur, ‘Ashar, Isya, masing-masing mestinya

empat raka’at, tetapi karena bepergian yang telah mencukupi

syari’at maka masing-masing bisa diqashar menjadi dua raka’at.

f. Maradl (sakit)

Contohnya, seorang yang sedang sakit “diperbolehkan” tayamum

sebagai pengganti wudlu, atau sholat sambil duduk, tidur, maupun

dengan isyarah ketika tidak bisa melakukanya dengan sempurna

(berdiri).32

g. Naqish (nilai minus)

Yang termasuk dalam kategori ini adalah anak-anak, orang gila,

idiot (safih), hamba sahaya.33

3.2.5 Sengaja Mencari Rukhshah (Tatabu’ al-Rukhas)

Sengaja mencari rukhshah bisa diartikan sebagai usaha untuk

melakukan sebab-sebab tertentu dengan tujuan untuk mendapatkan

rukhshah. Artinya, seseorang dengan sengaja memilih salah satu

alternatif yang mungkin untuk dilakukan demi mendapatkan

keringanan yang dia kehendaki. Usaha seperti ini tidak boleh

dilakukan. Karenanya, apabila seorang musafir memiliki dua alternatif

jalan, misalnya, dimana yang satu jaraknya mencapai batas yang

diperbolehkan untuk meringkas sholat dan yang lain tidak, namun

kemudian dia memilih jalan yang lebih panjang dengan tujuan semata-

mata untuk mendapatkan rukhshah, cara yang demikian ini justru

membuatnya tidak bisa mendapatkan rukhshah.34

31 Adib Bisri, Moh, Drs, Op., Cit.32 Haq, Abdul, Formulasi Nalar Fiqh, hlm. 19433 Ibid.34 Abu al-Faydl Muhammad Yasin al-Fadani, Op.cit, hal . 474

13

Page 14: Pembahasan Ushul Fiqh.docx

BAB III

ANALISIS KASUS

1.1 Rukhshah (Toleransi) dalam Mu’amalah35

Banyak aspek yang mendasari diterapkannya rukhshah dalam

mu’amalah, diantaranya gharar (ketidakjelasan). Gharar secara

terminologis adalah sesuatu yang yang masih bersifat kabur dan tidak jelas

akibatnya, sehingga bisa dan biasanya akan mengakibatkan kerugian pada

salah satu pihak yang melakukan transaksi. Dalam setiap mu’amalah,

gharar sangat dilarang sebab akan menggiring salah seorang diantara pelaku

transaksi menggunakan sesuatu dengan cara yang salah dan batil.

Dalam hubungannya dengan keringanan yang terdapat dalam

mu’amalah, gharar (ketidakjelasan) terbagi menjadi tiga tingkatan:

a. Ketidakjelasan yang tidak sulit untuk dihindari dan karenanya tidak

boleh dilakukan. Contohnya, penjualan janin binatang yang masih

berada dalam kandungan induknya dan penjualan sperma hewan

pejantan.

b. Ketidakjelasan yang sulit dihindari dan karenanya terpaksa dilakukan.

Contohnya, menjual telur, delima, semangka, kelapa, kacang tanah, dan

barang-barang sejenis yang umumnya dijual beserta kulitnya. Penjualan

barang-barang konsumsi diatas tidak diharuskan melalui pengelupasan

kulit, walaupun ketika kulitnya masih ada, kualitas isinya sulit

diketahui. Sebagaimana penjualan rumah yang tidak diharuskan melihat

35 Haq, Abdul, Formulasi Nalar Fiqh, hlm. 196

14

Page 15: Pembahasan Ushul Fiqh.docx

kualitas pondasinya, maka penjualan barang-barang konsumsi diatas

juga tidak diharuskan setelah pengelupasan kulitnya. Hal semacam ini

diperbolehkan karena termasuk kategori imasyaqqah (kesulitan).

c. Ketidakjelasan tingkat antara maupun tingkat kedua. Ketidakjelasan

(gharar) jenis ini terbagi menjadi dua:

1. Masyaqqah-nya besar tapi tidak sulit dihindari, seperti buah pala

yang tidak boleh dijual beserta kulitnya. Sebab rempah-rempah

jenis ini walaupun kulitnya telah terkelupas, umumnya masih bisa

bertahan lama (awet), sehingga harus dikelupas terlebih dahulu

sebelum dijual. Contoh lain adalah penjualan barang yang tidak

ditentukan secara pasti, seperti menjual salah satu diantara dua baju

atau lebih. Juga seperti penjualan barang yang tidak berada di

tempat transaksi.

2. Transaksi yang tidak mengandung resiko besar, tapi jika tidak

dilakukan akan menimbulkan masyaqqah. Contohnya, membeli

biji-bijian dengan hanya melihat bagian luar tumpukannya. Contoh

lain adalah membeli barang hanya dengan melihat contohnya

(sample atau master), dimana contoh itu telah dianggap mewakili

kualitas barang-barang lain yang sejenis.

1.2 Rukhshah (Toleransi) dalam Pernikahan36

a. Talak (perceraian). Disyariatkan karena untuk menghindari masyaqah

yang timbul pada saat tali pernikahan tidak mungkin lagi untuk

dipertahankan.

b. Khulu’ dan setiap hal dimana sang istri diperbolehkan untuk mem-

fasakh (membatalkan) nikah dihadapan qadli (penghulu agama).

Toleransi ini adalah bentuk imbangan bagi wanita yang memang tidak

punya kekuasaan untuk mentalak, sebagaimana seorang suami.

c. Disyariatkannya ruju’ setelah terjadinya perceraian, karena

dimungkinkan perceraian terjadi bukan atas dasar pertimbangan yang

matang.

36 Ibid.

15

Page 16: Pembahasan Ushul Fiqh.docx

1.3 Rukhshah (Toleransi) Bagi Mujtahid37

Contohnya, seorang hakim di pengadilan, yang juga termasuk mujtahid,

juga mendapat keringanan. Dalam membuat keputusan hukum dia cukup

berpegang pada persangkaan kuat yang didapatkan dari kesaksian para saksi

yang adil dan terpercaya. Ia tidak diwajibkan memberi putusan hukum yang

benar-benar sesuai dengan kenyataan yang ada dan dalam pengertian yang

sebenar-benarnya. Walaupun demikian, dia tetap harus berusaha

memutuskan hukum yang sesuai dengan ‘kebenaran’ semaksimal mungkin.

1.4 Rukhshah (Toleransi) dalam Ibadah

Contohnya, seorang yang sedang sakit “diperbolehkan” tayamum sebagai

pengganti wudlu, atau sholat sambil duduk, tidur, maupun dengan isyarah

ketika tidak bisa melakukanya dengan sempurna.

37 Ibid.

16

Page 17: Pembahasan Ushul Fiqh.docx

BAB IV

PENUTUP

Kesimpulan:

1. Maksud dari kaidah al-masyaqqah tajli al-taisir adalah bahwa hokum-

hukum yang dalam penerapannya menimbulkan kesulitan dan kesukaran

bagi mukallaf (subyek hukum), maka syari’ah meringankannya sehingga

mukallaf mampu melaksanakannya tanpa kesulitan dan kesukaran.

Dikatakan pula bahwa dalam hukum-hukum syar’i tidak akan pernah

didapati suatu tuntutan yang melewati batas kemampuan hamba-Nya.

Dalil-dalil tersebut juga mengindikasikan bahwa Allah memberlakukan

hokum-hukum-Nya (yang termuat dalam syari’ah Islam), pada hakikatnya

bertujuan untuk memberikan kemudahan dan keringanan kepada hamba-

Nya. Seluruh amal ibadah, baik yang berhubungan dengan hati, atau yang

berhubungan dengan anggota tubuh, tidak dibebankan oleh Allah, kecuali

semua itu sudah sesuai (seukuran) dengan kadar kemampuan seorang

mukallaf.

2. Menurut pandangan saya dalam Surat Al Maidah ayat 6 dinyatakan:

حرج من ليجعلعليكم هللا مايريد

Artinya: “Allah tidak menghendaki membuat kesulitan bagi kamu sekalian”.Secara etimologis (bahasa), lafadz haraj adalah sinonim dengan lafadz dlayq, yang sama-sama memiliki arti ”kesempitan” atau “kondisi sulit”. Sehingga menurut musafirin, kalimat haraj pada ayat diatas mencakup berbagai macam kesulitan yang terjadi dalam segala bentuknya.

17

Page 18: Pembahasan Ushul Fiqh.docx

3. Setidaknya ada tujuh sebab-sebab yang dapat menimbulkan keringanan

atau toleransi. Seperti: Ikrah (terpaksa), Nis-yan (lupa), Jahl

(ketidaktahuan), Al-‘Usr (kesulitan), Safar (bepergian), Maradl (sakit),

Naqish (nilai minus).

DAFTAR PUSTAKA

Abu al-Faydl Muhammad Yasin bin Isa al-Fadani, al-Fawaid al-Janiyyah, Dar al-

Fikr, Beirut, Libanon, cet. I, 1997

Adib Bisri, Moh, Drs, Terjemah al-Faraidul Bahiyyah Risalah Qawa-id Fiqh,

Kudus: Menara  Kudus, 1977.

Djazuli, Ahmad, Prof, H, Kaidah-Kaidah Fikih, Jakarta: Kencana, 2007.

Haq, Abdul, Formulasi Nalar Fiqh, Surabaya: Khalista, 2005

Mubarok, Jaih, Kaidah Fiqh Sejarah dan Kaidah Asas, Jakarta: P.T. RajaGrafindo

Persada, 2002.

Sudirman Abbas, Ahmad, Dr, Qawa’id Fiqhiyyah Dalam Persepektif Fiqh,

Jakarta: Anglo Media, 2004.

18