pembahasan ushul fiqih

18
USHUL FIQH PENDAHULUAN Ushul fiqh merupakan komponen utama dalam menghasilkan produk fiqh, karena ushul fiqh adalah ketentuan atau kaidah yang harus digunakan oleh para mujtahid dalam menghasilkan fiqh. Namun dalam penyusunannya ilmu fiqh dilakukan lebih dahulu daripada ilmu ushul fiqh. Secara embrional ushul fiqh telah ada bahkan ketika Rasulullah masih hidup, hal ini didasari dengan hadits yang meriwayatkan bahwa Rasulullah pernah bertanya kepada Muadz bin Jabal ketika diutus untuk menjadi gubernur di Yaman tentang apa yang akan dilakukan apabila dia harus menetapkan hukum sedangkan dia tidak menemukan hukumnya dalam al- Qur’an maupun as -Sunah, kemudian Muadz bin Jabal menjawab dalam pertanyaan terakhir ini bahwa dia akan menetapkan hukum melalui ijtihadnya, dan ternyata jawaban Muadz tersebut mendapat pengakuan dari Rasulullah. Dari cerita singkat tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa Rasulullah pada masanya telah mempersiapkan para sahabat agar mempunyai alternatif cara pengambilan hukum apabila mereka tidak menemukannya dalam al- Qur’an maupun as -Sunah. Namun pada masa inibelum sampai kepada perumusan dan prakteknya, karena apabila para sahabat tidak menemukan hukum dalam al- Qur’an mereka dapat langsung menanyakan pada Rasulullah. Berdasarkan uraian di atas diperlukan sekali adanya pemahaman tentang hukum-hukum dalam Islam yang sesuai dengan hal sejarah pertumbuhan dan perkembangan Islam. Supaya tidak terjadi simpang siur tentang sejarah penetapan hukum Islam. Dengan demikian diharapkan tidak terjadinya kesulitan didalam pemahaman sejarah pertumbuhan dan perkembangan hukum Islam. Setelah melakukan penelitian kami merasa terdorong untuk mengulangi lebih lanjut masalah sejarah itu sesuai dengan hasil dan kemampuan. Pengertian Ushul Fiqh Pengertian Ushul Fiqh dapat dilihat sebagai rangkaian dari dua buah kata, yaitu : kata Ushul dan kata Fiqh; dan dapat dilihat pula sebagai nama satu bidang ilmu dari ilmu- ilmu Syari'ah.

Upload: alfaqir-ali-fikri

Post on 22-Jul-2015

177 views

Category:

Education


6 download

TRANSCRIPT

Page 1: Pembahasan ushul fiqih

USHUL FIQH

PENDAHULUAN

Ushul fiqh merupakan komponen utama dalam menghasilkan produk fiqh,

karena ushul fiqh adalah ketentuan atau kaidah yang harus digunakan oleh para

mujtahid dalam menghasilkan fiqh. Namun dalam penyusunannya ilmu fiqh

dilakukan lebih dahulu daripada ilmu ushul fiqh. Secara embrional ushul fiqh telah

ada bahkan ketika Rasulullah masih hidup, hal ini didasari dengan hadits yang

meriwayatkan bahwa Rasulullah pernah bertanya kepada Muadz bin Jabal ketika

diutus untuk menjadi gubernur di Yaman tentang apa yang akan dilakukan apabila

dia harus menetapkan hukum sedangkan dia tidak menemukan hukumnya dalam al-

Qur’an maupun as-Sunah, kemudian Muadz bin Jabal menjawab dalam pertanyaan

terakhir ini bahwa dia akan menetapkan hukum melalui ijtihadnya, dan ternyata

jawaban Muadz tersebut mendapat pengakuan dari Rasulullah. Dari cerita singkat

tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa Rasulullah pada masanya telah

mempersiapkan para sahabat agar mempunyai alternatif cara pengambilan hukum

apabila mereka tidak menemukannya dalam al-Qur’an maupun as-Sunah. Namun

pada masa inibelum sampai kepada perumusan dan prakteknya, karena apabila para

sahabat tidak menemukan hukum dalam al-Qur’an mereka dapat langsung

menanyakan pada Rasulullah. Berdasarkan uraian di atas diperlukan sekali adanya

pemahaman tentang hukum-hukum dalam Islam yang sesuai dengan hal sejarah

pertumbuhan dan perkembangan Islam. Supaya tidak terjadi simpang siur tentang

sejarah penetapan hukum Islam. Dengan demikian diharapkan tidak terjadinya

kesulitan didalam pemahaman sejarah pertumbuhan dan perkembangan hukum Islam.

Setelah melakukan penelitian kami merasa terdorong untuk mengulangi lebih lanjut

masalah sejarah itu sesuai dengan hasil dan kemampuan.

Pengertian Ushul Fiqh

Pengertian Ushul Fiqh dapat dilihat sebagai rangkaian dari dua buah kata, yaitu :

kata Ushul dan kata Fiqh; dan dapat dilihat pula sebagai nama satu bidang ilmu dari ilmu-

ilmu Syari'ah.

Page 2: Pembahasan ushul fiqih

Dilihat dari tata bahasa (Arab), rangkaian kata Ushul dan kata Fiqhtersebut

dinamakan dengan tarkib idlafah, sehingga dari rangkaian dua buah kata itu memberi

pengertian ushul bagi fiqh.

Kata Ushul adalah bentuk jamak dari kata ashl yang menurut bahasa, berarti sesuatu

yang dijadikan dasar bagi yang lain. Berdasarkan pengertian Ushul menurut bahasa tersebut,

maka Ushul Fiqh berartisesuatu yang dijadikan dasar bagi fiqh.

Menurut Istitah yang digunakan oleh para ahli Ushul Fiqh ini, Ushul Fiqh itu

ialah, suatu ilmu yang membicarakan berbagai ketentuan dan kaidah yang dapat digunakan

dalam menggali dan merumuskan hukum syari'at Islam dari sumbernya. Dalam

pemakaiannya, kadang-kadang ilmu ini digunakan untuk menetapkan dalil bagi sesuatu

hukum; kadang-kadang untuk menetapkan hukum dengan mempergunakan dalil Ayat-ayat

Al-Our'an dan Sunnah Rasul yang berhubungan dengan perbuatan mukallaf, dirumuskan

berbentuk "hukum Fiqh" (ilmu Fiqh) supaya dapat diamalkan dengan mudah. Demikian pula

peristiwa yang terjadi atau sesuatu yang ditemukan dalam kehidupan dapat ditentukan hukum

atau statusnya dengan mempergunakan dalil.

Yang menjadi obyek utama dalam pembahasan Ushul Fiqh ialah Adillah

Syar'iyah (dalil-dalil syar'i) yang merupakan sumber hukum dalam ajaran Islam. Selain dari

membicarakan pengertian dan kedudukannya dalam hukum Adillah Syar'iyah itu dilengkapi

dengan berbagai ketentuan dalam merumuskan hukum dengan mempergunakan masing-

masing dalil itu.

Topik-topik dan ruang lingkup yang dibicarakan dalam pembahasan ilmu Ushul Fiqh

ini meliputi:

a. Bentuk-bentuk dan macam-macam hukum, seperti hukum taklifi(wajib, sunnat, mubah,

makruh, haram) dan hukum wadl'i (sabab, syarat, mani', 'illat, shah, batal, azimah dan

rukhshah)

b. Masalah perbuatan seseorang yang akan dikenal hukum (mahkum fihi) seperti apakah

perbuatan itu sengaja atau tidak, dalam kemampuannya atau tidak, menyangkut hubungan

dengan manusia atau Tuhan, apa dengan kemauan sendiri atau dipaksa, dan sebagainya.

c. Pelaku suatu perbuatan yang akan dikenai hukum (mahkum 'alaihi) apakah pelaku itu

mukallaf atau tidak, apa sudah cukup syarat taklif padanya atau tidak, apakah orang itu

ahliyah atau bukan, dan sebagainya.

Page 3: Pembahasan ushul fiqih

d. Keadaan atau sesuatu yang menghalangi berlakunya hukum ini meliputi keadaan yang

disebabkan oleh usaha manusia, keadaan yang sudah terjadi tanpa usaha manusia yang

pertama disebut awarid muktasabah, yang kedua disebut awarid samawiyah.

e. Masalah istinbath dan istidlal meliputi makna zhahir nash, takwil dalalah lafazh, mantuq dan

mafhum yang beraneka ragam, 'am dan khas, muthlaq dan muqayyad, nasikh dan mansukh,

dan sebagainya.

f. Masalah ra'yu, ijtihad, ittiba' dan taqlid; meliputi kedudukan rakyu dan batas-batas

penggunannya, fungsi dan kedudukan ijtihad, syarat-syarat mujtahid, bahaya taqlid dan

sebagainya.

g. Masalah adillah syar'iyah, yang meliputi pembahasan Al-Qur'an, As-Sunnah, ijma', qiyas,

istihsan, istishlah, istishhab, mazhabus shahabi, al-'urf, syar'u man qablana, bara'atul ashliyah,

sadduz zari'ah, maqashidus syari'ah/ususus syari'ah.

h. Masa'ah rakyu dan qiyas; meliputi. ashal, far'u, illat, masalikul illat, al-washful munasib, as-

sabru wat taqsim, tanqihul manath, ad-dauran, as-syabhu, ilghaul fariq; dan selanjutnya

dibicarakan masalah ta'arudl wat tarjih dengan berbagai bentuk dan penyelesaiannya.

BAB I

Mahkum Fih

A. Pengertian Mahkum Fih

Yaitu perbuatan orang mukallaf yang terkait dengan titah Syari’ (Allah dan

Rasulnya) yang bersifat tuntutan mengerjakan suatu perbuatan, tuntutan

meninggalkan suatu perbuatan, memilih suatu perbuatan dan yang bersifat syarat,

sebab, halangan, azimah, rukhshah, sah dan batal

B. Syarat-syarat Mahkum Fih

1. Mukallaf mengetahui perbuatan yang akan dilakukan, tentang rukun, syarat dan tata caranya

2. Mukallaf harus mengetahui sumber taklif, yaitu Allah. Suatu perintah shalat misalnya

adalah perintah Allah Swt

3. Perbuatan mungkin dilaksanakan

C. Macam-macam mahkum Fih

Dilihat dari segi keberadaanya secara material dan syara, mahkum fih terdiri dari 4 macam :

Page 4: Pembahasan ushul fiqih

1. Perbuatan yang ada secara material, tetapi tidak terkait dengan syara (tidak menimbulkan

akibat hukum syara), seperti makan dan minum

2. Perbuatan yang ada secara material, tetapi menjadi sebab adanya hukum, seperti

pembunuhan menjadi sebab adanya hukuman qishash.

3. Perbuatan yang ada secara material, dan baru bernilai syara apabila memenuhi rukun dan

syarat, seperti shalat dan haji.

4. Perbuatan yang ada secara material dan diakui syara’,serta mengakibatkan munculnya

hukum syara yang lain, seperti nikah mengakibatkan halalnya hubungan seks, kewajiban

nafkah.

BAB II

Mahkum Alaih

A. Pengertian Mahkum Alaih

Yang dibebani hukum/Subjek hukum.

a. Definisinya,”Seseorang yang perbuatannya dikenai khitab (titah) Allah Swt”, yang

disebut dengan Mukallaf.

b. Mukallaf diartikan sebagai orang yang dibebani hukum.Sedangkan dalam ushul fiqh

mukallaf disebut juga mahkum ‘alaih (Subjek hukum)

B. Mukallaf

adalah orang yang dianggap mampu bertindak hukum, baik yang berhubungan dengan

perintah Allah maupun laranganNya

Dasar Taklif (Pembebanan Hukum)

a. Dasar pembebaban hukum bagi seorang mukallaf adalah berakal dan pemahaman

b. Seseorang baru dibebani hukum apabila ia berakal dan dapat memahami secara baik taklif

yang ditujukan kepadanya. Sabda Nabi

Sabda Nabi Muhammad Saw :

أمتي عن الخطاء والنسيان وما استكرهوا عليه رفع

Artinya : Ummatku tidak dibebani hukum apabila mereka terlupa, tersalah dan dalam

keadaan terpaksa (HR. Ibnu Majah dan Thabrani)

Kesimpulannya : Anak kecil, orang gila, orang lupa, orang terpaksa, orang tidur dan orang

tersalah, tidak dikenai taklif (beban hukum)

C. Syarat-Syarat Taklif

Page 5: Pembahasan ushul fiqih

1. Orang tersebut telah mampu memahami khitab /titah Allah Swt yang terkandung dalam Al-

Quran dan Sunnah, baik secara langsung maupun melalui orang lain. Maka, anak kecil, orang

gila,orang lupa, terpaksa, tidur, tidak dikenakan taklif

2. Seseorang harus cakap bertindak hukum. Dalam istilah ushul fiqh disebut

dengan ahliyah (kecakapan), maka anak kecil dan orang gila dipandang belum cakap

bertindak hukum. Demikian juga orang pailit dan orang yang berada di bawah pengampuan

(mahjur alaih), dianggap tidak cakap bertindak hukum dalam masalah harta.

BAB III

Ahliyah

A. Pengertian Ahliyah

Suatu sifat yang dimiliki seseorang, yang dijadikan ukuran oleh syari’ untuk menentukan

seseorang telah cakap dikenai tuntutan syara.

Ahliyah ada’ adalah ‘sifat kecakapan bertindak hukum seseorang yang telah dianggap

sempurna untuk mempertanggungjawabkan seluruh perbuatannya’, baik yang positif maupun

negatif. Bila ia mengerjakan perintah syara’, maka ia berpahala dan jika ia melaksanakan

larangan, maka ia berdosa

Para ulama ushul fiqh menyatakan bahwa yang menjadi ukuran dalam menentukan

seseorang telah memiliki ahliyatul ada’ ialahaqil, baligh dan cerdas

Menurut Ulama Ushul, ukuran yang digunakan dalam menentukanahliyatul

wujub adalah sifat kemanusiaannya yang tidak dibatasi oleh umur, baligh dan kecerdasan.

Sifat ini telah dimiliki seseorang semenjak lahir.

Berdasarkan ahliyatul wujub, anak yang baru lahir berhak menerima wasiat dan menerima

warisan, jika muwarrisnya meninggal dunia Harta seorang anak yang belum baligh tak boleh

dikelola sendiri, tetapi oleh walinya

B. Ahliyah al-Wujub al-Naqishah

Yaitu anak yang masih berada dalam kandungan ibunya (janin). Janin sudah dianggap

memiliki ahliyatul wujub, tetapi belum sempurna.Para ulama sepakat, ada 4 hak bagi janin:

1. Hak keturunan dari ayahnya

2. Hak warisan dari pewarisnya yang wafat

3. Hak wasiat

4. Harta waqaf yang ditujukan kepadanya

C. Ahliyah al Wujub al-Kamilah

Page 6: Pembahasan ushul fiqih

Yaitu kecakapan menerima hak bagi seorang anak yang telah lahir ke dunia sampai baligh

dan beraka. Seorang yang ahliyah wujub tidak dibebani tuntutan syara’, baik yang bersifat

ibadah mahdhah seperti shalat maupun tindakan muamalah, seperti transaksi yang bersifat

pemindahan hak milik . Namun, bila mereka melakukan tindakan hukum yang

merugikan/merusak harta orang lain, maka wajib memberikan ganti dari hartanya. Pengadilan

berhak memerintahkan walinya untuk mengeluarkan ganti rugi, tetapi ; Apabila tindakannya

berkaitan dengan perusakan fisik (seperti melukai), maka tindakan hukum anak yang ahliyah

wujub kamilah tersebut, tidak bisa dipertangung jawabkan secara hukum syara, (misalnya ia

dihukum qishash), karena ia tidak dianggap cakap hukum

D. Awaridh (Halangan) Ahliyah

Awaridh Ahliyah ada 2 (dua) yaitu :

1. Awaridh Samawiyah : yaitu halangan ahliyah yang datangnya dari Allah, bukan karena

perbuatan manusia, seperti gila, dungu, lupa, dsb.

2. Awaridh al-muktasabah : yaitu halangan ahliyah yang disebabkan perbuatan manusia, seperti

mabuk, terpaksa, mahjur ‘alaih (dibawah pengampuan)

Kedua bentuk halangan itu sangat berpengaruh terhadap tindakan hukumya, yakni

adakalanya menghilangkan ahliyah, mengurangi atau mengubahnya.

Dalam hal ini halangan itu terdiri dari 3 bentuk :

1. Halangan yang menyebabkan hilangnya kecapakan secara sempurna (ahliyt ada) sama sekali,

seperti gila, tidur, lupa dan terpaksa.

2. Halangan yang mengurangi ahliyah ada, seperti orang dungu. Tindakannya harus dibatasi,

karena ia tidak rusydi dalam mengelola harta.

3. Halangan yang sifatnya dapat mengubah tindakan hukum seseorang, seperti orang yang

berhutang, pailit (di bawah pegampuan). Awalnya iaahliyatul ada, tetapi karena pailit, maka

terjadi perubahan ahliyah pada dirinya, di mana ia tak cakap lagi mengelola harta

BAB IV

Al-ahkaam Asy-syarr’iyyah

A. Pengertian Al-ahkaam Asy-syarr’iyyah

Menurut Wahbah al-Zuhaili dan Abd al-Wahhab Khallaf, dalil adalah sesuatu yang

dijadikan landasan berpikir yang benar dalam memperoleh hukum syara yang bersifat

praktis. Berdasarkan penelitian dapat dipastikan para jumhur ulama bersepakat menetapkan

empat sumber dalil (al-Quran, as-Sunnah, al-Ijma, dan al-Qiyas) sebagai dalil yang

disepakati. Akan tetapi, ada beberapa ulama yang tidak menyepakati dua sumber yang

Page 7: Pembahasan ushul fiqih

terakhir (Ijma dan Qiyas). A. Hassan, guru Persatuan Islam, menganggap musykil terjadinya

Ijma, terutama setelah masa sahabat. Demikian juga Muhammad Hudhari Bek. Para ulama

dari kalangan madzhab Zhahiri (di antara tokohnya adalah Imam Daud dan Ibnu Hazm al-

Andalusi) dan para ulama Syiah dari kalangan Akhbari tidak mengakui al-Qiyas sebagai dalil

yang disepakati.

B. Definisi Al-Qur’an

Dari segi bahasa Lafadz Al-Quran berasal dari lafadz qira’ah, yaitu mashdar (infinitif)

dari lafadz qara’a, qira’atan, qur’anan. Dari aspek bahasa, lafadz ini memiliki arti

“mengumpulkan dan menghimpun huruf-huruf dan kata-kata satu dengan yang lain dalam

suatu ucapan yang tersusun rapih”. Sedangkan secara istilah al-Qur’an ialah kitab yang

diturunkan kepada Nabi Muhammad Saw yang ditulis dalam mushaf yang diriwayatkan

sampai kepada kita dengan jalan yang mutawatir, tanpa ada keraguan.

C. Bentuk metode tafsir

Bentuk metode tafsir ada 3 (tiga) yaitu :

1. Metode Tahlili : metode menafsirkan Al-Qur’an yang berusaha menjelaskan Al-Qur’an

dengan menguraikan berbagai seginya dan menjelaskan apa yang dimaksudkan oleh Al-

Qur’an. Metode ini adalah yang paling tua dan paling sering digunakan. Tafsir ini dilakukan

secara berurutan ayat demi ayat kemudian surat demi surat dari awal hingga akhir sesuai

dengan susunan Al-Qur’an

2. Metode Ijmali : Metode ini adalah berusaha menafsirkan Al-Qur’an secara singkat dan

global, dengan menjelaskan makna yang dimaksud tiap kalimat dengan bahasa yang ringkas

sehingga mudah dipahami.

3. Metode Muqorin : Tafsir al-Muqarim adalah penafsiran sekolompok ayat al-Qur’an yang

berbicara dalam suatu masalah dengan cara membandingkan antara ayat dengan ayat atau

antaraa ayat dengan hadis baik dari segi isi maupun redaksi atau antara pendapat-pendapat

para ulama tafsir dengan menonjolkan segi-segi perbedaan tertentu dari obyek yang

dibandingkan.

4. Metode Maudhi (Tematik) : Metode ini adalah metode tafsir yang berusaha mencari jawaban

Al-Qur’an dengan cara mengumpulkan ayat-ayat Al-Qur’an yang mempunyai tujuan satu,

yang bersama-sama membahas topik/judul tertentu dan menertibkannya sesuai dengan masa

turunnya selaras dengan sebab-sebab turunnya, kemudian memperhatikan ayat-ayat tersebut

dengan penjelasan-penjelasan, keterangan-keterangan dan hubungan-hubungannya dengan

ayat-ayat lain kemudian mengambil hukum-hukum darinya.

Page 8: Pembahasan ushul fiqih

Pada masa sahabat menggunakan beberapa pendekatan yang antara lain sebagai

berikut:

1. Dengan pendekatan Al-Qur’an itu sendiri

Bahwa dalam ayat yang masih bersifat global terdapat penjelasannya pada ayat lain.

Begitu juga ayat-ayat yang bersifat mutlak atau masih umum, terdapat pada tempat lain ayat

yang menjadi qayyid atau mengkhusukannya.

2. Penafsiran di kembalikan kepada Nabi

Hal ini dilakukan ketika terutama ketika para sahabat Nabi mendapatkan kesulitan

dalam memahami suatu ayat dari Al-qur’an.

3. Pemahaman dan Ijtihad Sahabat Nabi

Hal ini di perlukan jika mereka tidak menemukan tafsiran suatu ayat dalam kitabAllah

dan juga tidak menemukannya dari penjelasan Nabi . Diantara para sahabat Nabi yang

mempunyai keistimewaan dalam menjelaskan nash adalah Khulafa’al-rosyidun, Zaid bin

Tsabit, Ubay bin Ka’ab, Abdullah bin Umar, A’isyah, Abdullah bin Abbas, Abdullah bin

Mas’ud, Anas bin Malik, Abu Musa al- Asy’ari, Mu’az bin Jabal, Ubadah bin Shomad dan

Abdullah bin Amru bin Ash .

D. Definisi Al-Qur’an dan Hadits Qudsi

1. AL-QUR’AN : Seperti yang kita ketahui bahwa Al-qur'an merupakan mu'jizat yang

diturunkan oleh ALLAH kepada nabi Muhummad SAW dengan perantara malaikat jibril

secara berangsur-angsur dan membacanya dianggap sebagai ibadah.

2. AL-HADITS : hadits qudsi adalah perkataan-perkataan nabi dengan mengatakan "Allah

berfirman".sedangkan menurut ath-thibi, hadits qudsi marupakan titah tuhan yang dismpaikan

kepada nabi melalui mimpi'kemudian diterangkan oleh nabi dengan bahasanya sendiri serta

menyandarkannya kepada ALLAH. Oleh sebab itu hadits qudsi disebut juga hadits illahi atau

hadits robbany.

BAB V

AS - SUNNAH

A. Pengertian As-Sunnah

adalah segala perkataan (sabda), perbuatan dan ketetapan dan persetujuan dari Nabi

Muhammad SAW yang dijadikan ketetapan ataupun hukum dalam agama Islam.Hadits

dijadikan sumber hukum dalam agama Islam selain Al-Qur'an, Ijma dan Qiyas, dimana dalam

hal ini, kedudukan hadits merupakan sumber hukum kedua setelah Al-Qur'an.

B. Dalil-Dalil Sunnah Sebagai Hujjah

Page 9: Pembahasan ushul fiqih

Allah Subhanaahu wa Ta`ala berfirman:

ر منأكمأ فإنأ تنازعأتمأ في مأ سول وأولي الأ وأطيعوا الر سول إنأ ياأيها الذين ءامنوا أطيعوا الل والر ء فردوه إلى الل شيأ

خر ذلك خيأر م الأ والأيوأ منون بالل )كنأتمأ تؤأ أويلا سن تأ (95وأحأ

Artinya : “ Hai orang-orang yang beriman, ta`atilah Allah dan ta`atilah Rasul (Nya), dan ulil

amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka

kembalikanlah ia kepada Allah (Al Qur`an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar

beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih

baik akibatnya.” (al-Nisaa’: 59)

Sabda Nabi Sholallohu `alaihi wa sallam dalam hadits Abu Hurairah Rodiallohu `anhu

yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari:

Dari Abu Hurairah Rodiallohu `anhu , bawasanya Rasulullah Sholallohu `alaihi wa sallam

bersabda: “Semua umatku akan masuk surga kecuali yang menolak.” Dikatakan: “Siapakah

yang menolak ya Rasulullah?” Beliau bersabda: “Barangsiapa taat (setia) kepadaku dia pasti

msuk surga dan barangsiapa mendurhakaiku maka berarti ia menolak.” HR. Bukhori : 6751

C. Jenis-Jenis Sunnah

1. Qauliyah atau Perkataan Yang dimaksud dgn perkataan Nabi Muhammad

shalallahu'alaihiwasalam. ialah perkataan yg pernah beliau ucapkan dalam berbagai bidang

syariat akidah akhlak pendidikan dan sebagainya.

2. Fi'liyah atau Perbuatan Perbuatan Nabi Muhammad SAW.merupakan penjelasan praktis dari

peraturan-peraturan yg belum jelas cara pelaksanaannya.

3. Taqririyah Arti taqrir Nabi ialah keadaan beliau mendiamkan tidak mengadakan sanggahan

atau menyetujui apa yg telah dilakukan atau diperkatakan oleh para sahabat di hadapan

beliau.

D. Kedudukan Sunnah Terhadap Al-Qur’an

Sunnah adalah sumber syariat kedua setelah al-Qur`an. Tidak mungkin agama Allah ini

bisa sempurna kecuali dengan mengambil sunnah Nabi Sholallohu `alaihi wa sallam dan

disandingkan bersama kitab suci Allah. Oleh karena itu banyak ayat-ayat al-Qur`an dan

hadits-hadits mutawatir yang memerintahkan agar taat kepada Rasul Allah dan berpegang

teguh dengan sunnah dan menjadikannya sebagai hujjah (dalil, bukti). Dan umat Islampun

telah berijma’ atas hal ini.

Dalil –dalil dari al-Qur`an:

Firman Allah:

منون حتى يحكمو افل وربك ل يؤأ ا قضيأت ويسلموا تسأليما ا مم ك فيما شجر بيأنهمأ ثم ل يجدوا في أنأفسهمأ حرجا

Page 10: Pembahasan ushul fiqih

Artinya : “Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka

menjadikan kamu hakim dalam perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak

merasa keberatan dalam hati mereka terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka

menerima dengan sepenuhnya.” (al-Nisaa’: 65)

E. Definisi Mutawatir dan Ahad

Secara bahasa, mutawatir adalah isim fa’il dari at-tawatur yang artinya

berurutan. Sedangkan mutawatir menurut istilah adalah “apa yang diriwayatkan oleh

sejumlah banyak orang yang menurut kebiasaan mereka terhindar dari melakukan dusta

mulai dari awal hingga akhir sanad”. Atau : “hadits yang diriwayatkan oleh perawi yang

banyak pada setiap tingkatan sanadnya menurut akal tidak mungkin para perawi tersebut

sepakat untuk berdusta dan memalsukan hadits, dan mereka bersandarkan dalam

meriwayatkan pada sesuatu yang dapat diketahui dengan indera seperti pendengarannya dan

semacamnya

contoh”. Misalnya hadits (yang artinya) : “Barangsiapa yang sengaja berdusta atas

namaku (Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam) maka dia akan mendapatkan tempat

duduknya dari api neraka”. Hadits ini telah diriwayatkan lebih dari 70 orang shahabat, dan

diantara mereka termasuk 10 orang yang dijamin masuk surga.

a. Syarat-Syaratnya.

1. Diriwayatkan oleh jumlah yang banyak.

2. Jumlah yang banyak ini berada pada semua tingkatan (thabaqat) sanad.

3. Menurut kebiasaan tidak mungkin mereka bersekongkol / bersepakat untuk dusta.

4. Sandaran hadits mereka dengan menggunakan indera seperti perkataan mereka :kami telah

mendengar, atau kami telah melihat, atau kami telah menyentuh, atau yang seperti itu.

Adapun jika sandaran mereka dengan menggunakan akal, maka tidak dapat dikatakan sebagai

hadits mutawatir

F. Jenis-jenis Khobar Ahad

1) Hadits Masyhur

Masyhur menurut bahasa adalah “nampak”. Sedangkan menurut istilah adalah hadits yang

diriwayatkan oleh 3 perawi atau lebih pada setiap thabaqah (tingkatan) dan belum mencapai

batas mutawatir.

2) Hadits ‘Aziz

Aziz artinya : yang sedikit, yang gagah, atau yang kuat. “Aziz menurut istilah ilmu hadits

adalah : Suatu hadits yang diriwayatkan dengan minimal dua sanad yang berlainan rawinya.

3) Hadits Gharib

Page 11: Pembahasan ushul fiqih

Gharib secara bahasa berarti yang jauh dari kerabatnya. Sedangkan hadits gharib secara

istilah adalah hadits yang hanya diriwayatkan oleh seorang perawi secara sendiri.

G. Hadist Ahad

Ahad menurut bahasa mempunyai arti "satu". Dan khabarul-wahidadalah khabar yang

diriwayatkan oleh satu orang. Sedangkan Hadits Ahad menurut istilah adalah "hadits yang

belum memenuhi syarat-syarat mutawatir" .

v Kedudukan Hadist Ahad Sebagai Hujjah

hadits ahad itu tidak dapat dijadikan pedoman dalam akidah tetapi harus berdasarkan

dalil yang qath’i yaitu ayat atau hadits Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam.Pendapat ini

ditolak, karena hadits yang perawinya terpecaya dan sampai kepada kita dengan sanad

shahih, maka wajib diimani dan dibenarkan, baik itu berupa hadits ahad maupun mutawatir.

Inilah madzhab para ulama Salafus Shalih berdasarkan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala :

“Dan tidak patut bagi laki-laki yang Mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan yang

Mukmin, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi

mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka.” (QS. Al Ahzab : 36)

H. Definisi Hadist Sahih,Hasan dan Dha’if

v Hadist Shahih

Secara bahasa (etimologi), kata حيحصلا (sehat) adalah antonim dari kata ميقسلا (sakit). Bila

diungkapkan terhadap badan, maka memiliki makna yang sebenarnya (haqiqi) tetapi bila

diungkapkan di dalam hadits dan pengertian-pengertian lainnya, maka maknanya hanya

bersifat kiasan (majaz).

Secara istilah (terminologi), maknanya adalah:

Hadits yang bersambung sanad (jalur transmisi) nya melalui periwayatan seorang

periwayat yang ‘adil, Dlâbith, dari periwayat semisalnya hingga ke akhirnya (akhir jalur

transmisi), dengan tanpa adanya syudzûdz (kejanggalan) dan juga tanpa ‘illat (penyakit)

v Hadist hasan

yaitu yang sanadnya bersambung, yang diriwayatkan oleh rawi yang adil, namun tingkat

kedlobithannya kuarang dari hadits shahih, tidak ada syudzudz dan illat.

v Hadist daif

ialah satu hadis yang tidak memenuhi salah satu dari syarat-syarat hadis maqbul

(diterima) yaitu HADIS SAHIH DAN HADIS HASAN.

Page 12: Pembahasan ushul fiqih

BAB VI

IJMA’ DAN QIYAS

A. Pengertian Ijma’

Menurut bahasa : Adanya keinginan yang kuat untuk melakukan sesuatu( العزم والتعميم على

الشيء

Menurut Istilah Yaitu kesepakatan seluruh mujtahid umat Islam pada masa setelah wafatnya

rasulullah: karena dalam kehidupan Rasul, dia adalah satu-satunya sumber hukum islam,

maka tidak terbayangkan perbedaan dalam hukum syari’at dan tidak ada ittifaq. Karena itifaq

tidak terwujud kecuali dari orang banyak.

B. Rukun-rukun ijma’ (أركان اإلجماع)

Harus ada beberapa orang mujtahid dikala terjadinya peristiwa dan para mujtahid itulah

yang melakukan kesepakatan (menetapkan hukum peristiwa itu. Seandainya tidak ada

beberapa orang mujtahid di waktu terjadinya suatu peristiwa tentulah tidak akan terjadi ijma',

karena ijma' itu harus dilakukan oleh beberapa orang.Yang melakukan kesepakatan itu

hendaklah seluruh mujtahid yang ada dalam dunia Islam. Jika kesepakatan itu hanya

dilakukan oleh para mujtahid yang ada pada suatu negara saja, maka kesepakatan yang

demikian belum dapat dikatakan suatu ijma'.

Kesepakatan itu harus dinyatakan secara tegas oleh setiap mujtahid bahwa ia sependapat

dengan mujtahid-mujtahid yang lain tentang hukum (syara') dari suatu peristiwa yang terjadi

pada masa itu. Jangan sekali-kali tersirat dalam kesepakatan itu unsur-unsur paksaan, atau

para mujtahid yang diharapkan kepada suatu keadaan, sehingga ia harus menerima suatu

keputusan. Kesepakatan itu dapat dilakukan dengan berbagai cara, seperti dengan pernyataan

lisan, dengan perbuatan atau dengan suatu sikap yang menyatakan bahwa ia setuju atas suatu

keputusan hukum yang telah disetujui oleh para mujtahid yang lain. Tentu saja keputusan

yang terbaik ialah keputusan sebagai hasil suatu musyawarah yang dilakukan para mujtahid.

Kesepakatan itu hendaklah merupakan kesepakatan yang bulat dari seluruh mujtahid.

Seandainya terjadi suatu kesepakatan oleh sebahagian besar mujtahid yang ada, maka

keputusan yang demikian belum pasti ke taraf ijma'. Ijma' yang demikian belum dapat

dijadikan sebagai hujjah syari'ah.

C. Kehujjahan Ijma’(حجية اإلجماع)

Apabila rukun ijma’ yang empat hal di atas telah terpenuhi dengan menghitung seluruh

permasalahan hukum pasca wafatnya Nabi Saw dari seluruh mujtahid kaum muslimin walau

dengan perbedaan negeri, jenis dan kelompok mereka yang diketahui hukumnya. Perihal ini,

Page 13: Pembahasan ushul fiqih

nampak setiap mujtahid mengemukakan pendapat hukumnya dengan jelas baik dengan

perkataan maupun perbuatan baik secara kolompok maupun individu.

Selanjutnya mereka mensepakati masalah hukum tersebut, kemudian hukum itu disepakati

menjadi aturan syar’i yang wajib diikuti dan tidak mungkin menghindarinya. Lebih lanjut,

para mujtahid tidak boleh menjadikan hukum masalah ini (yang sudah disepakati) garapan

ijtihad, karena hukumnya sudah ditetapkan secara ijma’ dengan hukum syar’i yang qath’i dan

tidak dapat dihapus (dinasakh).

D. Macam-macam ijma’(أنواع اإلجماع)

Ijma’ sharih(اإلجماع الصريح), di mana setiap mujtahid menyatakan bahwa mereka menerima

pendapat yang disepakati tersebut. Ijma’ sharih inilah yang disepakati oleh jumhur fuqaha

sebagai hujjah.

Ijma’ sukuti(اإلجماع السكوتى), yaitu suatu pendapat yang dikemukakan oleh seorang

mujtahid, kemudian pendapat tersebut telah diketahui oleh para mujtahid yang masih hidup

semasa dengan mujtahid di atas, akan tetapi tidak ada seorang pun yang mengingkarinya.

E. Pengertian Qiyas

Menurut Bahasa : Ukuran, yaitu mengenal ukuran sesuatu (هو التقدير , أي معرفة قدر الشيء)

Menurut Istilah : Menghubungkan perkara yang tidak disebutkan hukumnya dalam nash,

dengan perkara yang disebutkan hukumnya dalam nash, disebabkan kesamaan illat hukum

antara keduanya. (هو إلحاق أمر غير منصوص على حكمه الشرعي بأمر منصوص على حكمه)

F. Rukun-rukun Qias (أركان القياس)

.Sesuatu yang telah ditetapkan hukumnya dalam nash, contohnya daging babi : الصل

.Hukum syar’i yang terdapat dalam dalam nash dalam hukum asalnya : حكم الصل

Contohnya keharaman pada memakan babi

Sesuatu yang akan ditentukan hukumnya karena tidak ada dalam nash. Contohnya : الفرع

lemak babi.

Sifat yang didasarkan atas hukum asal atau dasar qiyas yang dibangun : العلة

atasnya. Contohnya, daging babi motifnya memudharatkan

E. Kehujjahan Qias

Jumhur ulama kaum muslimin sepakat bahwa qiyas merupakan hujjah syar’i dan

termasuk sumber hukum yang keempat dari sumber hukum yang lain. Apabila tidak terdapat

hukum dalam suatu masalah baik dengan nash ataupun ijma’ dan yang kemudian ditetapkan

Page 14: Pembahasan ushul fiqih

hukumnya dengan cara analogi dengan persamaan illat maka berlakulah hukum qiyas dan

selanjutnya menjadi hukum syar’i. Sedangkan Mazhab Zhahiriyah dan Syiah Imamiyah,

mereka sama sekali tidak menggunakan qiyas. Mazhab Zhahiri tidak mengakui adalanya illat

nash dan tidak berusaha mengetahui sasaran dan tujuan nash termasuk menyingkap alasannya

guna menetapkan suatu kepastian hukum yang sesuai dengan illat. Sebaliknya, mereka

menetapkan hukum hanya dari teks nash semata.

Dalil-dalil yang menyatakan qias sebagai hujjah

1. “Dia-lah yang mengeluarkan orang-orang kafir di antara ahli Kitab dari kampung-kampung

mereka pada saat pengusiran yang pertama. kamu tidak menyangka, bahwa mereka akan

keluar dan merekapun yakin, bahwa benteng-benteng mereka dapat mempertahankan mereka

dari (siksa) Allah; Maka Allah mendatangkan kepada mereka (hukuman) dari arah yang tidak

mereka sangka-sangka. dan Allah melemparkan ketakutan dalam hati mereka; mereka

memusnahkan rumah-rumah mereka dengan tangan mereka sendiri dan tangan orang-orang

mukmin. Maka ambillah (Kejadian itu) untuk menjadi pelajaran, Hai orang-orang yang

mempunyai wawasan. (Qs.59:2)

2. Dari ayat di atas bahwasanya Allah Swt memerintahkan kepada kita untuk ‘mengambil

pelajaran’, kata I’tibar di sini berarti melewati, melampaui, memindahkan sesuatu kepada

yang lainnya. Demikian pula arti qiyas yaitu melampaui suatu hukum dari pokok kepada

cabang maka menjadi (hukum) yang diperintahkan. Hal yang diperintahkan ini mesti

diamalkan. Karena dua kata tadi ‘i’tibar dan qiyas’ memiliki pengertian melewati dan

melampaui.

3. Sementara diantara dalil sunnah mengenai qiyas ini berdasar pada hadits Muadz ibn Jabal,

yakni ketetapan hukum yang dilakukan oleh Muadz ketika ditanya oleh Rasulullah Saw,

diantaranya ijtihad yang mencakup di dalamnya qiyas, karena qiyas merupakan salah satu

macam ijtihad.

4. Sedangkan dalil yang ketiga mengenai qiyas adalah ijma’. Bahwasanya para shahabat Nabi

Saw sering kali mengungkapkan kata ‘qiyas’. Qiyas ini diamalkan tanpa seorang shahabat

pun yang mengingkarinya. Di samping itu, perbuatan mereka secara ijma’ menunjukkan

bahwa qiyas merupakan hujjah dan waji b diamalkan.

BAB VII

ISTIHSAN

A. Pengertian Istihsan

Page 15: Pembahasan ushul fiqih

Secara Etimologi Istihsan berarti, “ “Menyatakan dan meyakini baik sesuatu”.

Ulama sepakat tentang pengertian istihsan, karena lapaz istihsan banyak terdapat dalam Al-

Quran dan Hadits Az-Zumar : (39) ayat 18

بعون أحأسنه الذين يسأتمعون ل فيت الأقوأ

Artinya : Orang yang mendengarkan perkataan,lalu mengikuti apa yang paling baik di

antaranya.

B. Pengertian Istihsan Menurut Imam Hanafi Ada 2 (dua)

Ø Al-Bazdawii (Hanafi) : Istihsan “Berpaling dari kehendak qiyas kepada Qiyas yang lebih

kuat atau pengkhususan qiyas Berdasarkan dalil yang lebih kuat”

Ø As-Sarakhsy (Hanafi) : Istihsan ialah meninggalkan qiyas dan mengamalkanYang lebih

kuat, karena adanya dalil yang menghendaki Serta lebih sesuai dengan kemaslahatan ummat.

C. Pengertian Istihsan Menurut Imam yg 4 (empat)

Ø Al-Ghazali (Syaf’iy) : Istihsan ialah Semua hal yang dianggap baik oleh mujtahid menurut

akalnya

Ø Ibnu Qudamahi (Hanbali) : Istihsan ialah suatu keadilan terhadap hukum Karena adanya

dalil tertentu dari Al-Quran dan Sunnah

Ø Asy-Syatibi (Maliki) : Istihsan ialah pengambilan suatu kemaslahatan Yang bersifat juz’iy

dalam menanggapi dalil Yang bersifat global.

Ø Al-Karkhi (Hanafi) : Perbuatan adil terhadap suatu permasalahan hukum

dengan memandang hukum yang lain, karena adanya sesuatu yang lebih kuat

yang membutuhkan keadilan

BAB VIII

AL – QUR’AN

A. Pengertian Al – qur’an

Secara etimologis, Al-Quran adalah bentuk masdar dari qa-ra-a.(قرأ(

Ada 2 pengertian Al-Quran Secara etimologi

Ø Bacaan )قرأن(

Ø Apa yang tertulis (مقروء(

Page 16: Pembahasan ushul fiqih

B. Ciri-Ciri Al-Quran

1. Al-Quran merupakan kalam Allah yang diturunkan kpd Nabi Muhmmad

2. Al-Quran diturunkan dalam bahasa Arab

3. Periwayatan Al-quran kepada beberapa generasi secara mutawatir

4. Dijamin kemurniannya (Al-Hijr : 9)

5. Membacanya dinilai ibadah (berpahala)

6. Dimulai dari Surah Al-Fatihah dan diakhiri dengan surah An-Nas

C. Kehujjahan Al-quran

Para ulama ushul fiqh sepakat bahwa Al-Quran merupakan sumber utama hukum Islam

dan wajib diamalkan. Para mujtahid tidak dibenarkan menjadikan dalil lain sebagai hujjah

sebelum membahas dan meneliti ayat-ayat Al-Quran. Jika tidak ditemukan dalam Al-Quran

barulah dibenarkan mencari dalil yang lain.

D. Hukum-Hukum yang dikandung Al-Quran

1. Hukum-hukum I’tiqad, yaitu hukum yang mengandung kewajiban para mukalaf untuk

mempercayai Allah, malaikat, rasul, Kitab dan Hari Kiamat.

2. Hukum yang berkaitan dengan akhlak.

3. Hukum-hukum (amaliyah) praktis yang berkaitan dengan Allah (ibadah) dan antara sesama

manusia (muamalah)

BAB IX

SYAR’U MAN QABLANA

A. Pengertian Syar’u Man Qablana

Syar ‘u man qablana ialah syari ‘at atau ajaran agama yang diturunkan Allah kepada

umat sebelum kita, seperti ajaran agama Nabi Musa, Isa, Ibrahim, dan lain-lain.

Pembagian syar’u Man Qablana dan contohnya :

1. Ajaran agama yang telah dihapuskan oleh syariat kita (diNASAKH) Contoh : Pada syari’at

nabi Musa As. Pakaian yang terkena najis tidak suci. Kecuali dipotong apa yang kena najis

itu.

2. Ajaran yang ditetapkan oleh syariat kita. Contoh : Perintah menjalankan puasa.

Page 17: Pembahasan ushul fiqih

3. Ajaran yang tidak ditetapkan oleh Syari’at kita.yang diberitakan kepada kita baik melalui al-

Qur’an atau as-Sunnah, tetapi tidak tegas diwajibkan kepada kita sebagaimana diwajibkan

kepada umat sebelum kita

B. Dalil dalil hujjahnya :

Juhmuru al-Hanafiyah, Malikiyah dan sebagian kalangan Syafi’iyah mengatakan bahwa

hukum-hukum syariat umat sebelum kita bila soheh maka menjadi syariat bagi kita, tapi

tinjauannya tetap melalui Wahyu dari Rasul bukan kitab-kitab mereka.

Asya’irah Mu’tazilah, Si’ah dan yang Rajih dari kalangan Syafi’ie mengatakan bahwa

syariat umat sebelumnya apabila tidak ditegaskan oleh syariat kita, maka tidak termasuk

syariat kita. Pendapat mereka ini diambil juga oleh al-Ghazali, al-Amudi, al-Razi, Ibnu

Hazm dan kebanyakan para ulama’.

Ada empat dalil yang dibuat tendensi mereka, para ulama’ yang menganggap bahwa

syariat umat sebelum kita adalah syariat kita :[6]

al-Nahl, ayat, 123 : Kami wahyukan kepadamu (Muhammad): "Ikutilah agama Ibrahim

seorang yang hanif." dan bukanlah dia termasuk orang-orang yang mempersekutukan Tuhan.

dan surat

al-Syura, ayat, 13 , Disebutkan juga bahwa Ibnu Abbas pernah melakukanSujud

Tilawah ketika membaca salah satu ayat al-Quran dalam surat shod(ص) ayat 24

Syariat umat sebelum kita adalah syariat Allah yang tidak ditegaskan kalausanya telah

dinasakh, karena itu kita dituntut mengikutinya serta mengamalkan berdasarkan firman Allah

dalam surat al-An’am, ayat, 90 : Mereka itulah orang-orang yang telah diberi petunjuk oleh

Allah, maka ikutilah petunjuk mereka. Katakanlah: "Aku tidak meminta upah kepadamu

dalam menyampaikan (Al Qur'an)". Al Qur'an itu tidak lain hanyalah peringatan untuk segala

umat.,

BAB X

MASLAHAH MURSALAH

A. Pengertian Maslahah Mursalah

Maslahah adalah bentuk masdar dari Ash-sholah,yang artinya “adanya manfaat”

Maslahah adalah bentuk tunggal (singular) dari kata “al-masholih”Maslahah sering juga

disebut “Istishlah”

Salah satu metode yang digunakan ulama ushul fiqh dalam mengistimbath hukum

Islam adalah maslahah mursalah

Page 18: Pembahasan ushul fiqih

Maslahah Mursalah ialah suatu kemaslahatan yang tidak ada dalil yang menyuruhnya

dan tidak ada dalil yang menolaknya, tetapi ia mengandung kebajikan/manfaat

Maslahah ada 3 (tiga) yaitu :

1. Maslahah Mu’tabarah : Ada dalil tafshili yang mendukung / menyuruhnya, Seperti

shalat, zakat dll, Syariat qishash, Nikah, bersedeqah, Tolong-menolong Dalam ketaqwaan

2. Maslahah Mulghah : Ada dalil tafshili yang menolak / melarangnya, Seperti riba(2:275)

suap (2:180), Minum khamar (5:90) Makan bangkai (5;3) Berkata “ah” pada Orang tua

(17:23)

3. Maslahah Mursalah : Tidak ada dalil Tafshili yang menyuruh atau menolaknyaSeperti

membuat penjara,membuat bank syari’ah&LKS, Mendirikan RS, Media massa Islam TV

Islam

B. Definisi Maslahah menurut Al-Ghazali

Mengambil manfaat dan Menolak Kemudratan dalam rangka memelihara tujuan-

tujuan syara’. Tujuan syara’ tersebut adalah memelihara lima pokok kehidupan, yaitu

memelihara :

1. Agama

2. Jiwa

3. Akal

4. Keturunan dan

5. Harta

C. Objek Maslahah Mursalah

v Objek Maslahah Mursalah ialah masalah hukum yang tidak terdapat dalam nash Al-Quran,

Sunnah maupun ijma’ dan qiyas

v Masalah ibadah tidak termasuk objek maslahah mursalah. Demikian pula segala sesuatu

yang telah dijelaskan nash secara khusus.

D. Tujuan Maslahah Mursalah

Tujuan utama al Maslahah al Mursalah adalah kemaslahatan; yakni memelihara dari

kemudlaratan dan menjaga kemanfaatannya