makalah tbc untuk para pekerja

52
BAB 1 PENDAHULUAN 1. 1. Latar belakang Tenaga kerja merupakan partner kerja bagi perusahaan dan sekaligus sebagai subjek yang sangat penting dalam pembangunan nasional sehingga perlu terus di tingkatkan kualitas kesehatan dan produktifitas kerjanya antara lain melalui keselamatan dan kesehatan kerja(K3). Berkaitan dengan hal tersebut,perlu dilakukan berbagai upaya untuk mewujudkan tempat,kondisi dan lingkungan kerja yang aman,sehat,dan bebas dari kecelakaan dan penyakit akibat kerja. Salah satu masalah yang menuntut perhatian kita berkaitan dengan penyakit yang dapat memepengaruhi kesehatan dalam dunia kerja dewasa ini adalah masalah penyakit tuberculosis (TB) di tempat kerja.Di Indonesia kondisi ini dapat dilihat bahwa 75% pasien TB berada pada usia produktif (15-59 tahun) dengan prevalensi 110 per 100.000 penduduk pada tahun 2004 (Depkes RI). Kondisi tersebut dapat menganggu produktifitas kerja dan produktifitas perusahaan,sekaligus berdampak buruk terhadap pembangunan sektor ketenagakerjaan,mengingat TB Merupakan penyakit yang 1

Upload: muhammad-arham

Post on 24-Jul-2015

212 views

Category:

Education


0 download

TRANSCRIPT

BAB 1

PENDAHULUAN

1. 1. Latar belakang

Tenaga kerja merupakan partner kerja bagi perusahaan dan sekaligus

sebagai subjek yang sangat penting dalam pembangunan nasional sehingga

perlu terus di tingkatkan kualitas kesehatan dan produktifitas kerjanya antara

lain melalui keselamatan dan kesehatan kerja(K3).

Berkaitan dengan hal tersebut,perlu dilakukan berbagai upaya untuk

mewujudkan tempat,kondisi dan lingkungan kerja yang aman,sehat,dan bebas

dari kecelakaan dan penyakit akibat kerja.

Salah satu masalah yang menuntut perhatian kita berkaitan dengan

penyakit yang dapat memepengaruhi kesehatan dalam dunia kerja dewasa ini

adalah masalah penyakit tuberculosis (TB) di tempat kerja.Di Indonesia kondisi

ini dapat dilihat bahwa 75% pasien TB berada pada usia produktif (15-59

tahun) dengan prevalensi 110 per 100.000 penduduk pada tahun 2004 (Depkes

RI).

Kondisi tersebut dapat menganggu produktifitas kerja dan produktifitas

perusahaan,sekaligus berdampak buruk terhadap pembangunan sektor

ketenagakerjaan,mengingat TB Merupakan penyakit yang mudah tertular antara

sesama pekerja melaui kondisi tempat kerja yang tidak higienis.

Undang-undang no 1 tahun 1970 tentang Keselamatan Kerja pasal 3

ayat (1) huruf h,menyatakan bahwa salah satu syarat K3 adalah pengusaha di

wajibkan untuk mencegah dan mengendalikan timbulnya penyakit akibat kerja

baik fisik,maupun psikis,keracunan,infeksi,dan penularan.

Guna mewujudkan cita-cita undang-undang tersebut.Pemerintah

berkomitmen untuk melakukan upaya perlindungan kesehatan tenaga

kerja ,antara lain melaui menteri tenaga kerja dan transmigrasi yang terkait

dengan pencegahan dan pengendalian terhadap penularan penayakit di tempat

kerja.pada tahun 1999 pemerintah melalui Departemen Kesehatan telah

mencanangkan gerakan nasional terpadu Pemberantasan TBC.karena itu

1

diharapkan setiap pekerja dan perusahaan lebih aktif dalam gerakan nasional

pemberantasan TB Khususnya di tempat kerja.

Tuberculosis (TBC) merupakan penyakit infeksi kronik yang dapat di

sembuhkan bila berobat dengan baik .Di Indonesia setiap tahunnya seperempat

juta kasus baru TB ditemukan dengan jumlah kematian sekitar 140.000 jiwa.

Sebagian besar penderita TB berada di usia produktif (15sd 55 tahun)

Menurut data BPJS tahun2006 jumlah usia produktif sebanyak 159.257.680

orang dan yang merupakan angkatan kerja sebanyak 106.281.795 (66,73%)

orang.Di mana sebagian besar waktu dalam hidupnya berada di tempat kerja.

Artinya populasi pekerja yang menderita Tb Besar sekali.70% pekerja kita

bekerja di sektor informal dan pada umumnya pendidikan rendah,hygiene diri

rendah,lingkungan kerja yang buruk, dilain pihak pengetahuan penanganan TB

untuk pengusaha dalam penanggulangan TB masih kurang.Sehingga jika

terdapat penderita TB di dalam pekerja maka solusinya adalah Pemecatan.

Selain itu masalah operational biaya perusahaan terhadap penanggulangan dan

pengobatan dianggap masalah yang merugikan perusahaan.oleh karena itu perlu

adanya pendekatan yang komprehensif dan terintegrasi.

TB adalah penyakit infeksi kronis menular yang masih merupakan masalah

kesehatan di dunia termasuk Indonesia (global epidemic). World health

organization dalam Annual Report On Global Tb Control 2003 meyatakan

terdapat 22 negara yang dikategorokan high burden countries terhadap TB.

Indonesia menduduki peringkat ke tiga setelah india dan china dalam

menyumbang kasus TB di dunia. Estimasi insiden menular (BTA+) di

Indonesia adalah 107 per 100.000 penduduk untuk tahun 2004. Sedangkan

untuk tahun yang sama prevalensi TB 110 per 100.000 penduduk (Survey

Prevalen Nasional, 2004)

Apabila dikaitkan dengan pengaruh terhadap keadaan ekonomi, TB akan

mempengaruhi ekonomi rumah tangga, masyarakat dan bangsa, karena TB

sebagian besar 75% menyerang usia produktif (15-59 tahun). Seorang pasien

TB diperkirakan akan mengalami kerugian ekonomi secara langsung untuk

berobat dan biaya tidak langsung untuk transportasi serta kerugian 3 sampai 4

2

bulan waktu kerja yang sebanding dengan 20-30% pendapatan rumah tangga

setahun. Apabila seseorang meninggal karena TB, maka kerugian keluarga

sebanding dengan mengestimasi kerugian ekonomi secara nasional yang

diakibatkan TB, hamper sama dengan total anggaran kesehatan pemerintah

Indonesia.

Komitmen internasional terhadap penanggulangan TB antara lain

dinyatakan pada deklarasi Amsterdam tahun 2000, dimana Menteri kesehatan

menyetujui untuk mencapai 70% angka deteksi kasus 2005 dan keberhasilan

pengobatan sebesar 85% Millennium Development Goals (MDG), mendukung

komitmen politis yang ada untuk menghentikan dan menurunkan penularan TB

pada 2015.

Komitmen Nasional pemerintah Indonesia menerapkan penanggulangan TB

sebagai otoritas kesehatan nasional. Sebagai bukti komitmen ini, pemerintah

Indonesia menyediakan sejumlah dana untuk pengendalian TB dan pada 1999

menteri kesehatan mencanangkan Gerakan Nasional Terpadu TB atau

Gendurnas TB.

Program penanggulangan TB dengan strategi DOTS di Indonesia sudah

dilaksanakan sejak tahun1995, hingga saat ini telah banyak mencapai beberapa

kemajuan. Kemajuan tersebut dapat dilihat dari kecenderungan peningkatan

pencapaian indicator program (CDR, CR dan Conversoin Rate). Unit pelayanan

kesehatan (UPK) yang melakukan program DOTS selain puskesmas, mulai

dikembangkan ke BP4, rumahsakit TB paru (RSTP), RSPI, serta Rumash Sakit

Umum baik Pemerintah dan swasta seta RS POLRI, RSTNI, poliklinik lapas,

dokter praktek swasta dsb.

Selain di UPK di atas, tempat kerja merupakan salah satu lingkungan

potensial dalam penganggulangan TB melalui penyelenggaraan pelayanan

kesehatan kerja, mengingat hal hal sebagai berikut :

Tempat kerja merupakan lingkungan yang spesipik dengan populasi yang

terkontaminasi pada tempat dan waktu yang sama.

3

Pekerja umumnya tinggal di sekitar perusahaan di perumahan yang padat dan

lingkungan tidak sehat.

Pelayanan kesehatan kerja di perusahaan pada umumnya telah melaksanakan

upaya pelayanan kesehatan akan tetapi pelayanan TB belum menerapkan

strategi DOTS/

Sebagian pihak management perusahaan masih bersikap diskriminatif terhadap

pasien TB, misalnya masih ada pekerja yang menderita TB di PHK atau di tolak

pada saat akan melamai kerja.

Program TB strategi DOTS di tempat kerja sangat penting, mengingat jumlah

industry yang meningkat.

75% Kelompok TB adalah usia produktif sehingga program TB DOTS di

tempat kerja akan memberikan kontribusi pada produktivitas perusahaan dan

ekonomi nasional.

Oleh karena itu diperlukan pedoman nasional penanggulangan TB di tempat

kerja sebagai acuan sebagai penerapan penanggulangan TB secara nasional

khususnya di tempat kerja.

4

BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Pengertian

Tuberkulosis adalah penyakit menular langsung yang disebabkan oleh kuman

Tuberkulosis (Mycobacterium tuberculosa) yang ditularkan melalui udara (droplet

nuclei) saat seorang pasien Tuberkulosis batuk dan percikan ludah yang

mengandung bakteri tersebut terhirup oleh orang lain saat bernapas.(Widoyono,

2008)

2.2 Penyebaran TBC

Tuberkulosis Paru adalah suatu penyakit menular yang disebabkan oleh basil

mycobacterium tuberculosis.Tuberkulosis paru merupakan salah satu penyakit

saluran pernapasan bawah.Di Indonesia,merupakan salah satu penyakit salran

pernapasan bagian bawah.Di Indonesia,Penyakit ini merupakan penyakit infeksi

terpenting setelah eradikasi penyakit malaria.

Sebagian besar basil mikobacterium tuberculosis masuk kedalam jaringan

paru melalui airborne infection dan selanjutnya mengalami proses yang di kenal

sebagai fokus primer dari Ghon.Pada stadium permulaan ,setelah pembentukan

fokus primer,akan terjadi beberapa kemungkinan :

Penyebaran bronkogen

Penyebaran limfogen

Penyebaran hematogen

Keadaan ini hanya berlangsung beberapa saat. Penyebaran akan berhenti

bila jumlah kuman yang masuk sedikit dan telah berbentuk daya tahan tubuh yang

spesifik terhadap basil tuberkulosis.tetapi jumlah basil tuberculosis yang masuk

kedalam saluran pernapasan cukup banyak,maka akan terjadi tuberculosis milier

atau tuberculosis meningitis.

Kelanjutan proses tersebut ,dapat terjadi penyebaran infeksi primer ke

saluran getah bening dan kelenjar getah bening setempat (local) sehingga

5

Infeksi Primer

Penyebaran Basil TB

Sumber penularan

Out break of tuberculosis

Sembuh Spontan

Pembentukan primer kompleks

Sembuh 90%

Penyebaran endogen basil TB

10 %

Mati

terbentuklah suatu primer kompleks dari ranke.Dalam perjalanan penyakit lebih

lanjut ,sebagian besar penderita penderita tuberculosis primer (90%) akan sembuh

sendiri dan 10% akan mengalami penyebaran

Gambar perjalanan penyakit Tuberculosis

Mikobacterium tuberculosis tipe humanus,dan tipe bovinus adalah

mikobacterium yang paling banyak menimbulkan penyakit tuberculosis pada

manusia. Basil tersebut berbentuk batang,bersifat aerob,mudah mati pada air

mendidih (5 Menit pada suhu 800C,dan 20 menit pada suhu 600C),dan muda mati

apabila terkena sinar ultraviolet (Sinar matahari),Basil tuberculosis tahan hidup

berbulan-bulan pada suhu kamara dan dalam ruangan yang lembab.

Identifikasi basil dapat dilakukan dengan cara hapusan, Fluoresensi, biakan pada media khusus dan inokulasi basil pada hewan percobaan,bahan-bahan untuk identifikasi dapat diambil dari dahak secara langsung,kumbah lambung,kumbah saluran pernafasan dengan bantuan alat bronkoskopi dan dari cairan plura.bahan

6

hapusan tersebut di cat dengan cara Ziehl Nielsen dan dapat dibaca dengan gradasi yang diusulkan oleh Gaffky atau bronchorst.

Proses dapat meluas dengan cara :

1. Penyebaran langsung basil tuberculosis kedaerah sekitarnya.

2. Penyebaran basil tuberculosis dengan saluran pernafasan

(brongenik,duktal,canalicular asemination)

3. Penyebaran basil tuberculosis melalui saluran limfe,penyebaran secara

limfogen inilah yang bertanggung jawab terhadap proses dipleura,dinding

toraks dan tulang belakang.

4. Penyebaran hematogen

Menurut weigert penyebaran dengan cara ini menghasilkan tuberculosis

milier ,tetapi harus memenuhi beberapa persyaratan terlebih dahulu :

1. Proses berasal dari paru dan telah meluas sampai menembus vena

pulmonalis.

2. Pecahnya proses yang terdapat di dinding vena sehingga hasil tuberculosis

ikut aliran darah

3. Basil tuberculosis berasal dari kelenjar mediastinum yang pecah.

4. Penyebaran yang berasal dari tuberculosis ekstra pulmoner.

2.3 Epidemiologi

Mycobacterium tuberculosis telah menginfeksi sepertiga penduduk dunia.

Pada tahun 1993, WHO mencanangkan kedaruratan global penyakit TB, karena

pada sebagian besar Negara di dunia, penyakit TB tidak terkendali, ini disebabkan

banyaknya penderita yang tidak berhasil disembuhkan, terutama penderita menular

(BTA positif). Pada tahun 1995, diperkirakan setiap tahun terjadi sekitar 9 juta

penderita baru TB dengan 3 juta kematian akibat TB di seluruh dunia. Di negara-

negara berkembang. kematian TB merupakan 25% dari keseluruhan kematian yang

sebenarnya dapat dicegah. Diperkirakan 95% penderita TB dan 98% kematian

akibat TB di dunia, terjadi pada negara-negara berkembang (Depkes RI, 2006).

Di Indonesia, TB merupakan masalah utama kesehatan masyarakat. Jumlah

pasien TB di Indonesia merupakan ke-3 terbanyak di dunia setelah India dan Cina

7

dengan jumlah pasien sekitar 10% dari total jumlah pasien TB di dunia. Pada tahun

2004, ada 539.000 kasus baru dan kematian 101.000 orang. Insidensi kasus TB

BTA positif sekitar 110 per 100.000 penduduk (Depkes RI, 2006). Setiap tahunnya,

Indonesia bertambah dengan seperempat juta kasus baru TB paru dan sekitar

140.000 kematian terjadi setiap tahunnya disebabkan oleh TB paru. Bahkan,

Indonesia adalah negara ketiga terbesardengan masalah TB paru di dunia setelah

India dan Cina. Terdapat sekitar 9 juta kasus baru dan kirakira 2 juta kematian

karena TB paru pada tahun 2005. Perkiraan insidensinya adalah 8,9 juta kasus baru

TB paru pada tahun 2005. Diperkirakan 1.6 juta orang (27/100,000) meninggal

karena TB paru pada tahun 2005, termasuk mereka yang juga memperoleh infeksi

HIV (219,000). Penemuan kasus di Indonesia pada tahun 2005 adalah 68%, telah

mendekati target global untuk penemuan kasus pada tahun 2005 yaitu sebesar 70%

(Depkes RI, 2008 ).

Penularan TB paru terjadi melalui batuk, bersin, berbicara atau meludah.

Mereka akan mengeluarkan kuman TB ke udara yang dikenal sebagai basil (WHO,

2007). Basil ini dapat menetap dalam udara bebas selama 1-2 jam, tergantung pada

ada tidaknya sinar ultra violet, ventilasi yang baik dan kelembaban. Dalam suasana

lembab dan gelap kuman dapat tahan berhari-hari sampai berbulan-bulan (Suhaymi,

2008). Penderita TB paru dengan status BTA (Basil Tahan Asam) positif dapat

menularkan sekurangkurangnya kepada 10-15 orang lain. Seseorang yang tertular

dengan kuman TB belum tentu menjadi sakit TB paru. Kuman TB dapat menjadi

tidak aktif (dormant) selama bertahun-tahun dengan membentuk suatu dinding sel

berupa lapisan lilin yang tebal. Bila sistem kekebalan tubuh seseorang menurun,

kemungkinan menjadi sakit TB paru menjadi lebih besar (Depkes RI, 2008).

Berbagai masalah kesehatan masyarakat yang berkaitan dengan perumahan

masih sangat menonjol terutama yang berkaitan dengan masalah air bersih,

pembuangan kotoran manusia, pengelolaan sampah, kualitas udara dan

pencahayaan dalam rumah. Salah satu penyakit yang terkait dengan masalah

perumahan adalah TB (Depkes RI, 2005). Luas ventilasi rumahdan pencahayaan

memegang peranan penting dalam penyebaran bibit penyakit, baik kuman yang

sudah ada di dalam rumah maupun dibawa oleh angin bersama debu-debu halus.

8

Mycobacterium tuberkulosis sangat peka terhadap udara dalam ruangan

kuman ini mampu bertahan bila suhu dan kelembaban udara memungkinkan dan

tidak bisa bertahan hidup bila terkena sinar matahari langsung maupun udara yang

panas (Wahyuni, 2005).

Penderita TBC anak (0 – 14 tahun) di Kabupaten Jember pada tahun 2005

sebanyak 54 orang, tahun 2006 sebanyak 74 orang dan pada tahun 2007 adalah 80

orang. Dilihat dari data ini diketahui bahwa penderita TBC anak meningkat dari

tahun 2005 sampai 2007 (Dinkes, Kab. Jember, 2008). Hasil penelitian Tim peneliti

mantoux test RS Paru Jember pada bulan November tahun 2007 di wilayah kota

Kabupaten Jember sangat mengejutkan, di mana ditemukan 17 kasus (11%) siswa

terinfeksi TB dari 123 siswa SD yang diperiksa. Hasil ini melebihi ARTI (Annual

Risk of TB Infection) di Indonesia yaitu bervariasi sebesar 1 – 3%, di mana ARTI

sebesar 1% berarti 10 dari 1000 orang terinfeksi TB (Depkes, RI, 2006). Dengan

ditemukannya infeksi TB pada anak berarti di sekitarnya terdapat sumber

penularan, yaitu penderita TB paru dengan sputum BTA positif. Penularan sering

terjadi pada kontak erat serumah (Widjayanti dan Sadjimin, 2002).

Tuberkulosis paru merupakan penyakit menular langsung yang disebabkan

oleh kuman TB (Mycobacterium tuberculosis). Gejala utama adalah batuk selama 2

minggu atau lebih, batuk disertai dengan gejala tambahan yaitu dahak, dahak

bercampur darah, sesak nafas, badan lemas, nafsu makan menurun, berat badan

menurun, malaise, berkeringat malam hari tanpa kegiatan fisik, demam lebih dari 1

bulan. Penyakit TB paru ditanyakan pada responden untuk kurun waktu ≤1 tahun

berdasarkan diagnosis yang ditegakkan oleh tenaga kesehatan melalui pemeriksaan

dahak, foto toraks atau keduanya.

9

Tabel 1. Prevalensi TB paru berdasarkan diagnosis dan gejala TB paru

menurut provinsi, Indonesia 2013

Prevalensi penduduk Indonesia yang didiagnosis TB paru oleh tenaga

kesehatan tahun 2013 adalah 0.4 persen, tidak berbeda dengan 2007 (Gambar 1).

Lima provinsi dengan TB paru tertinggi adalah Jawa Barat (0.7%), Papua (0.6%),

DKI Jakarta (0.6%), Gorontalo (0.5%), Banten (0.4%) dan Papua Barat (0.4%).

10

Tabel 2. Prevalensi TB paru berdasarkan diagnosis dan gejala TB paru

menurut karakteristik, Indonesia 2013

Proporsi penduduk dengan gejala TB paru batuk ≥2 minggu sebesar 3,9

persen dan batuk darah 2.8 persen (Tabel 2). Berdasarkan karakteristik penduduk,

prevalensi TB paru cenderung meningkat dengan bertambahnya umur, pada

pendidikan rendah, tidak bekerja. Prevalensi TB paru terendah pada kuintil teratas.

(Tabel 3.4.4). Dari seluruh penduduk yang didiagnosis TB paru oleh tenaga

11

kesehatan, hanya 44.4% diobati dengan obat program. Lima provinsi terbanyak

yang mengobati TB dengan obat program adalah DKI Jakarta (68.9%). Di

Yogyakarta (67,3%), Jawa Barat (56,2%), Sulawesi Barat (54,2%) dan Jawa

Tengah (50.4%) (Buku Riskesdas 2013 dalam angka).

Penyakit Tuberculosis (TB) paru disebabkan oleh Mycobacterium

tuberculosis dan telah menginfeksi sepertiga penduduk dunia, sehingga merupakan

salah satu masalah dunia. Kejadian TB paru di negara industri 40 tahun terakhir ini

menunjukkan angka prevalensi yang sangat kecil. Diperkirakan terdapat 8 juta

penduduk terserang TB paru dengan kematian 3 juta per tahun dan 95%

penderitanya berada di negara-negara berkembang (WHO, 1993). TB paru di

Indonesia menurut WHO (1999 dan 2004) menunjukkan di Indonesia terdapat

583.000 kasus, kematian 140.000 dan 13/100.000 penduduk merupakan penderita

baru. Prevalensi TB paru pada tahun 2002 mencapai 555.000 kasus (256

kasus/100.000 penduduk), dan 46% diantaranya merupakan kasus baru atau kasus

baru meningkat 104/100.000 penduduk (DEPKES, 2002).

Konsekuensi yang dapat terjadi pada penderita TB paru yang tidak

melakukan pengobatan, setelah lima tahun menderita diprediksikan 50% dari

penderita TB paru akan meninggal. Sedangkan sekitar 25% akan sembuh sendiri

dengan daya tahan tubuh tinggi dan 25% lainnya sebagai "kasus kronis" yang tetap

menular (WHO, 1996). Kekhawatiran menurunnya kualitas kesehatan manusia di

dunia, akhirnya WHO tahun 1993 mencanangkan kedaruratan global penyakit TB

12

paru. Kekhawatiran dan perhatian dunia semakin kentara saat muncul epidemi

HIV/AIDS, sehingga diperkirakan penderita TB paru semakin meningkat.

Genderang perang terhadap kuman Mycobacterium tuberculosis akhirnya dilakukan

berbagai program penanggulang, termasuk di Indonesia (DEPKES, 2002).

Menurut Departemen Kesehatan RI (2001) penderita TB paru 95% berada

di negara berkembang dan 75% penderita TB paru adalah kelompok usia produktif

(15 – 50 tahun) dengan tingkat sosial ekonomi rendah. Di Indonesia TB paru

merupakan penyebab kematian utama ketiga setelah penyakit jantung dan saluran

pernafasan. Risiko penularan setiap tahun (Annual Risk of Tuberculosis Infection =

ARTI) di Indonesia dianggap cukup tinggi dan bervariasi antara 1-2 %. Hal ini

berarti pada daerah dengan ARTI sebesar 1 %, setiap tahun diantara 100.000

penduduk, 100 (seratus) orang akan terinfeksi. Sebagian besar dari orang yang

terinfeksi tidak akan menjadi penderita TB paru, hanya 10 % dari yang terinfeksi

yang akan menjadi penderita TB paru. Faktor yang mempengaruhi kemungkinan

seseorang menjadi penderita TB paru adalah daya tahan tubuh yang rendah;

diantaranya karena gizi buruk atau HIV/AIDS. Di samping itu tercapainya cakupan

penemuan penderita TB paru secara bertahap dengan target sebesar 70% akan

tercapai pada tahun 2005 (DEPKES, 2002).

Survey Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) (1995) TB paru merupakan

penyebab kematian nomor satu untuk penyakit infeksi di Indonesia dan SKRT

(2001), prevalensi TB paru klinis 0,8% dari seluruh penyakit di Indonesia

(DEPKES, 2002). Penemuan penderita TB paru menurut Profil kesehatan Jawa

Tengah tahun 2002 sebesar 8.648 penderita dengan angka penemuan penderita

(CDR) 22%. Penemuan penderita BTA positif tahun 2003 sebanyak 10.390

penderita yang dilaporkan dari 35 Kabupaten / Kota, 11 BP4 dan 1 Rumah Sakit

Paru dengan angka penemuan penderita (CDR) 28,5% dan ditemukan jumlah

penderita baru BTA positif 39.061 kasus. Angka tersebut meningkat dibandingkan

tahun sebelumnya sebesar 1.742 kasus (Dinkes Propinsi Jateng, 2002).

Menurut Dinas Kesehatan Kabupaten Pati tahun 2005 kasus TB paru baru

ditemukan 254 kasus dengan (CDR) 26,19 % dan tahun 2006 sampai dengan

triwulan ketiga sebanyak 171 kasus dengan (CDR) 13,05 % (DKK Pati, 2006).

Penyakit TB paru sebagian besar terjadi pada orang dewasa yang telah

13

mendapatkan infeksi primer pada waktu kecil dan tidak ditangani dengan baik.

Morbiditas TB paru terutama akibat keterlambatan pengobatan, tidak terdeteksi

secara dini, tidak mendapatkan informasi pencegahan yang tepat dan memadai

(Miller, 1982).

Faktor-faktor yang erat hubungannya dengan kejadian TB paru adalah

adanya sumber penularan, riwayat kontak penderita, tingkat sosial ekonomi, tingkat

paparan, virulensi basil, daya tahan tubuh rendah berkaitan dengan genetik,

keadaan gizi, faktor faali, usia, nutrisi, imunisasi, keadaan perumahan meliputi

(suhu dalam rumah, ventilasi, pencahayaan dalam rumah, kelembaban rumah,

kepadatan penghuni dan lingkungan sekitar rumah ) dan pekerjaan (Amir dan

Alsegaf, 1989). Lamanya perlindungan akibat vaksin BCG merupakan perdebatan,

pengalaman dari suatu pengkajian berpendapat 7-12 tahun hingga 50 tahun setelah

pengembangan vaksin ( Nelson, 1992).

Hasil penelitian dengan kohort, case control dan meta analisis serta

eksperimen yang terseleksi bahwa vaksin BCG mempunyai efektifitas sekitar 50%

dalam mencegah TB paru, biasanya tidak menetap lama dan bervariasi dari strain

satu kestrain lainnya (Colditz, 1993). Kontak yang berlebihan dengan kuman

Mycobacterium tuberculosis adalah kontak yang berlangsung terus menerus selama

3 bulan atau lebih . Masalah kontak ini terutama dilihat dari kebiasaan penderita

yang kurang baik dalam pengeloalan ludah / sekret, kepadatan penghuni dan

kondisi perumahan rakyat pada umumnya kurang memenuhi syarat (Bloom Barry,

1994), Menurut cakupan Penderita baru BTA positif dari 2003-2006 di BP4 Pati

tahun 2003 – 2006 jumlah penderita TB paru 419 kasus baru. Tujuan untuk

mengetahui faktor–faktor yang berhubungan dengan kejadian TB paru pada usia

dewasa.

14

BAB III

TBC DI TEMPAT KERJA

3. 1. Prinsip penanggulangan TB Di tempat kerja

Beberapa keuntuntungan penanggulangan TB di tempat kerja adalah

pekerja berkumpul secara regular pada waktu yang pasti, system komunikasi

relative mudah dan pada beberapa tempat kerja memiliki system pelayanan dan

fasilitas kesehatan kerja sehingga dapat digunakan untuk keperluan pencegahan,

penanganan pasien dan dukungan lainnaya.

Perusahaan memiliki kemampuan management untuk menyukseskan

kegiatan penganggulangan TB, karena mempunyai kemampuan dalam proses

menganalisa dan management proyek, kemampuan dibidang pegadaan dan hal

hal yang tekait masalah kebutuhan dan suplay (supply and demand) serta dalam

mencapai hasil (target) pendekatan yang sama dalam menjalankan inisiatif

usaha akan memungkinkan menjalankan program DOTS di tempat kerja yang

diharapkan juga akan mengharapkan hasil yang optimal, melalui kapasitas

ketenagaan, pendanaan, dan dukungan managerial. Monitoring program juga

akan dapat dilaksanakan, sejalan dengan praktek perusahaan seperti triwulan

kemajuan usaha.

Dalam penerapan TB di tempat kerja, penting untuk memperhatikan

prinsip prinsip yang dapat dijadikan pedoman oleh stack holder pada

penanggulangan tb di tempat kerja, khususnya tenaga kesehatan yang akan

terlibat langsung

A. Perlindungan pasien keluarga dan tempat lain di lingkungan kerja

Selalu berpihak kepada pasien, menjaga kerahasiaan kondisi

medic dan catatan medic, sangant krusial untuk menjamin

kepercayaan diri tenaga kerja untuk mengobati penyakitnya.

15

Lemahnya kepercayaan dapat menyebabkan terlambatan dalam

diagnose pasien tb. Staff medis tidak boleh menyebarluaskan

status pasien pada karwayan lainnya atau kepihak managemnent

yang belum paham DOTS. Dia hanya memberikan petunjuk

kepada staff management pada saat pasien tersebut memerlukan

waktu istirahat dan juga apabila memerlukan beban kerja dan

tanggung jawab akibat perubahan status kesehatannya.

Memberikan manfaat kesejahteraan social bagi pasien dan

keluarganya. Jaminan kesejahteraan social bagi pasien dan

keluarga akan membantu pasien menyelesaikan pengobatan.

Keuntungan kejahteraan dapat berupa pemberian OAT dan

pelayanan Cuma Cuma, pemberian gaji stetap selama

pengobatan (bila mungkin pemberian konpensasi atas hilangnya

pendapatan), bebas biaya transport ke UPK dan pemberian

makan tambahan. Yang paling penting dalam memotivasi dalam

berobat teratur dan tuntas, adalah adanya dukungan social yang

disesuaikan dengan pemberian pelayanan dan lama pengobatan

Memberikan perlindungan kepada orang lain yang berada di

tempat kerja untuk tidak tertular oleh pasien TB di tempat kerja

sejalan dengan prinsip perlindungan keselamatan dan kesehatan

kerja (K3), maka setiap orang yang berada di tempat kerja

mempunyai hak untuk tidak tertular TB di tempat kerja. Yang

dimaksud orang lain dalam hal ini adalah orang yang selain

tenaga kerja dan pijhak management yang berada di tampat

kerjauntuk kepentingan tertentu, seperti supler, tenaga magang,

tamu, DSB.

Membantu pasien TB menyesuaikan beban kerja/tugas dengan

kondisi kesehatannya, terutama untuk kurang lebih 2-4 minggu

awal pengobatan pada umumnya pasien TB setelah menjalani

pengobatan yang tepat dan teratur selama 2- 4 minggu pertama

pasien tersebut sudah tidak menularkan lagi kepada orang lain

walaupun masih dalam masa pengobatan. Melalui observasi

16

medis perkembangan pasien, jika diperlukan dapat dilakukan

penyusewaian beban kerja dan perubahan tugas tugas sampai

kesehatannya dan kesegarannya pulih.

Untuk menjamin keberhasilan pengobatan diperlukan seorang

pengawas observasi medic (POB)

B. Menjamin tempat kerja yang aman

Menggunakan kampanye penyuluhan untuk mengurangi stigma.

Kampanye penyuluhan kesehatan yang efekif ditujukan untuk

mengatasi sikap dan pengetahuan yang salah terhadap pasien

TB. TB secara tradisional dipandang sebagai penyakit yang

mematikan untuk orang miskin dan stigma social yang kuat yang

akan mengakibatkan kesulitan pasien TB untuk memeriksakan

dan mencari pengobatan

Mengembangkan dan menerapkan kebijakan management yang

jelas. Kebijakan kerahasiaan bagi para pekerja, diskriminasi,

jangka waktu istirahat pada awal masa pengobatan, penyesuaian

pekerjaan apabila dianggap perlu harus dijelaskan secara rinci

dan dibuat mudah dalam penerapannya. Kebijakan tersebut

diatas harus dijelaskan kepada pekerja yang sakit TB, segera

setelah pekerja terdiagnosa sebagai pasien TB. Untuk menjamin

keterlaksanaannya kebijakan tersebut ada baiknya dimuat dalam

perjanjian kerja bersama (PKB) yang akan mengikat ke 2 pihak

Menerapkan pengawasan lingkungan fisik. Pengawasan

lingkungan fisik berkaitan dengan TB ditujukan untuk

mengurangi kemungkinan terjadinya penularan TB melalui

udara dari pasien kepada tenaga kerja lainnya.

Penularan TB sebagian besar melalui udara (air born

transmission). Kondisi lingkungan fisik yang buruk

meningkatkan resiko terjadinya penularan TB, misalnya,

ruangan yang ventilasinya kurang.

Pengendalian lingkungan fisik di tempat kerja merupakan cara

yang efektif dalam mengendalikan penyebaran TB. Dengan

17

aliran udara segar yang cukup kedalam ruangan tempat kerja.

Akan meminimalisir konsentrasi droplet nuclei infectious dalam

udara lingkungan kerja

C. Langkah membangun kemitraan

1) Identifikasi, calon mitra yang dianggap potensial untuk

menyelesaikan masalah kesehatan yang dihadapi. Untuk itu

perlu dilakukan identifikasi organisasi dan penjajagan. Dapat

digunakan formulir kuesioner kemitraan yang terlampir.

2) Sosialisasi tentang program tuberkulosis kepada calon mitra,

sehingga mitra bisa memilih peran keterlibatannya dalam

penanggulangan tuberkulosis.

3) Penyamaan persepsi, agar diperoleh pandangan dalam

penanganan masalah yang dihadapi bersama, maka para mitra

perlu bertemu untuk saling memahami kedudukan, tugas dan

fungsi masing-masing secara terbuka dan kekeluargaan.

4) Pembentukan Komitmen, masing-masing pihak sangat penting

terutama komitmen para pengambil kebijakan sehingga apa yang

menjadi kesepakatan dan tujuan bersama dapat tercapai.

5) Pengaturan peran, peran masing-masing sektor dalam

penanggulangan tuberkulosis perlu disepakati bersama, lebih

baik secara tertulis jelas yang dituangkan dalam dokumen resmi

berupa Nota Kesepakatan (MoU) antara duabelah pihak.

6) Komunikasi intensif, Untuk menjalin dan mengetahui

perkembangan kemitraan dalam melaksanakan program

tuberkulosis perlu dilakukan komunikasi antar mitra secara

teratur dan terjadwal, dan dapat diselesaikan masalah di

lapangan secara langsung.

7) Melakukan kegiatan, kegiatan yang disepakati harus

dilaksanakan dengan baik sesuai dengan rencana kerja tertulis

hasil kesepakatan bersama.

18

8) Pemantauan dan penilaian, disepakati sejak awal, bila perlu

hasil pemantauan ini dapat untuk penyempurnaan kesepakatan

yang telah dibuat.

D. Stakeholder penanggulangan TB di tempat kerja

Unit/pihak yang bertanggungjawab dalam penanggulangan masalah TB

memiliki tugas dan fungsi sesuai dengan bidang dan kewenangannya.

3. 2. Strategi DOTS

Program nasional penanggulangan TB merupakan strategi DOTS

(directly observed treatment short-course chemotherapy) sesuai dengan

rekomendas WHO, karena DOTS saat ini merupakan strategi yang cost

effective, dan hal ini sudah terbuktidalam program nasional maupun di

beberapa Negara lain.

Penerapan yang efektif kelima komponen strategi DOTS akan dapat

mengurangi penularanTB, mengurangi resiko terjadinya multy drug resistance

(MDR). Mengurasi resiko gagal pengobatan, kambuh (relaps) TB dan

kematian akibat TB. Uraian menunjukan kelima komponen strategi DOTS,

mettode dan alasannya.

Komponen strategi DOTS :

a. Komitment politis dari para pengambil keputusan, termasuk

dukungan dana

b. Diagnosis TB dengan pemeriksaan dahak secara mikroskopik

c. Pengobatan dengan bantuan OAT jangka pendek dengan

pengawasanlangsung oleh pengawas menelan obat (PMO)

d. Kesinambungan persediaan OAT jangka pendek dengan mutu

terjamin

e. Pencatatan dan pelaporan secara baku utuk memudahkan

pemantauan dan evaluasi program penanggulangan TB.

3. 3. Penerapan strategi DOTS

19

Dalam dunia usaha, manajer menetapkan visi dan misi strategis untuk

perusahaan. Mereka juga mengembangkan budaya dan konsep untuk

pertumbuhan, keuntungan dan produktivitas. Pendekatan yang sama akan

membantu ketika akan mengembangkan strategi DOTS TB di tempat kerja.

Manajer senior memegang peran penting dalam kepemimpinan dan peran

advokasi dalam promosi dan pengembangan program kesehatan di tempat kerja.

Ketika seorang manajer menerapkan dan mensosialisasikan kebijakan

pencegahan dan pengobatan TB pada perusahaannya, mereka menempatkan

suatu nilai kesehatan para pekerja dan mengutamakan integrasi program DOTS

TB kedalam budaya usaha perusahaan.

Kegiatan DOTS TB di tempat kerja memerlukan komitmen yang

berkesinambungan dan kebijakan yang konsisten.

Prakondisi yang diperlukan untuk keberhasilan DOTS TB di tempat kerja.

Saat peluncuran:

Jaminan bahwa program dikembangkan menjangkau seluruh pekerja,

Jaminan bahwa program berkolaborasi dengan Dinas Kesehatan, Dinas

Tenaga Kerja serta pihak-pihak terkait setempat,

Menyepakati garis besar tujuan program dan komit terhadap

pelaksanaan jangka panjang.

Menjamin bahwa jajaran tempat kerja memahami dan respek terhadap

pentingnya program,

Menjamin bahwa jajaran tempat kerja memahami kebijakan baru dan

peran mereka dalam pelaksanaan.

Saat program berlangsung:

Jaminan kebijakan sebagai dasar,

Jaminan bahwa kasus tercatat dan terlapor serta hasilnya dilaporkan ke

Subdit TB, atau Dinkes setempat,

Mendorong advokasi program yang efektif.

Review kegiatan:

20

Penanganan isu-isu dan pemanfaatan peluang untuk menyukseskan

tujuan,

Alokasi sumber daya yang memadai secara rutin,

Tahap pelaksana program TB di tempat kerja,

Membangun jejaring (internal & eksternal, alur/map, peran, fungsi

dan tanggung jawab logistic, biaya operasional, rujukan, sistem

pelaporan),

Menjamin kelangsungan penanggulangan TB.

3. 4. Langkah-langkah program DOTS TB di tempat kerja

a. Pembentukan kelompok kerja TB,

b. Penyusunan konsep dan kebijakan pelaksanaan program TB strategi

DOTS di tempat kerja di Indonesia,

c. Advokasi untuk mendapatkan komitmen,

d. Assessment di tempat kerja,

e. Sosialisasi program TB strategi DOTS di tempat kerja khususnya

kepada pihak manajemen (peran manajer) dan petugas poliklinik

industri serta masyarakat pekerja,

f. Pengembangan sistem dan jejaring pelaksanaan program TB strategi

DOTS di industri,

g. Advokasi kepada pihak manajemen industri, Departemen

Perindustrian, SPSI (Serikat Pekerja Seluruh Indonesia) dan

organisasi lain terikat,

h. Menyusun rencana kerja,

i. Pelatihan petugas medis, paramedis dan petugas laboratorium,

j. Implementasi program TB strategi DOTS di industri,

k. Pertemuan koordinasi,

l. Monitoring dan Supervisi,

m. Evaluasi.

3. 5. Membangun Jejaring

21

Tempat kerja memiliki potensi yang besar dalam penemuan pasien

tuberkulosis (case finding) dan menjamin keteraturan dan keberlangsungan

pengobatan pasien (case holding). Akan tetapi ada beberapa keterbatasan antara

lain sarana prasarana, SDM kesehatan dan OAT. Untuk itu perlu dikembangkan

jejaring perusahaan (tempat kerja), baik internal maupun eksternal.

Suatu sistem jejaring dapat dikatakan berfungsi secara baik apabila

penemuan pasien dan pengobatan berjalan dengan baik dengan angka

keberhasilan >85% dari angka DO (drop out rate) < 5% di setiap perusahaan

(tempat kerja).

Garis Komando

Garis Koordinasi

Garis rujukan pelayanan dan manajemen

Garis rujukan pelayanan

22

Dinas Kesehatan

Rumah Sakit

Puskesmas

Dinas Naker Apindo SP/SB

P2K3 Manajemen Perusahaan

Unit SP/SB

TIM DOTS PERUSAHAAN:

Mgt. HSE/HRD

Penanggung jawab Yankesja

Unsur SP/SB

Anggota P2K3

Unit Pelaksana Pelayanan TB DOTS

Perusahaan

Keterangan:

Fungsi masing-masing unit:

1. Dinas Kesehatan

Bertanggungjawab terhadap manajemen program

penanggulangan TB di wilayahnya termasuk di tempat kerja.

Menjamin ketersediaan obat anti TB (OAT), reagensia, formulir

pencatatan pelaporan dan sarana pendukung lainnya.

Mengumpul, mengolah dan menganalisa data penderita TB dari

perusahaan dan memberikan umpan balik ke tim DOTS

perusahaan atau unit pelayanan kesehatan kerja di perusahaan

yang bersangkutan.

Bersama dengan Dinas Tenaga Kerja, melakukan pembinaan,

monitoring, dan evaluasi pelaksanaan program penanggulangan

TB di tempat kerja.

2. Dinas Tenaga Kerja

Bertanggungjawab terhadap terlaksananya program

penanggulangan TB di tempat kerja.

Melaksanakan pembinaan dan pengawasan program

penanggulangan TB di tempat kerja sebagai bagian dari program

Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3).

Memberdayakan kelembagaan dan SDM K3 dalam mendukung

keberhasilan program penanggulangan TB di tempat kerja.

Mengkoordinir peran asosiasi pengusaha dan serikat

pekerja/buruh atau pihak lain terkait dalam pelaksanaan program

penanggulangan TB di tempat kerja.

23

Memfasilitasi pengusaha dalam berkontribusi dalam pelaksanaan

program penanggulangan TB di tempat kerja.

Bersama dengan Dinkes, melakukan pembinaan, monitoring, dan

evaluasi pelaksanaan program penanggulangan TB di tempat

kerja.

3. Asosiasi pengusaha

Pembinaan dan sosialisasi program penanggulangan TB di

tempat kerja kepada anggota.

Memfasilitasi anggota dalam keterlibatan dan pelaksanaan

program penanggulangan TB di tempat kerja.

4. Serikat pekerja/buruh

Pembinaan dan sosialisasi program penanggulangan TB di

tempat kerja kepada anggota.

Memfasilitasi anggota dalam keterlibatan dan pelaksanaan

program penanggulangan TB di tempat kerja.

5. Perusahaan

5.1 Manajemen Perusahaan

Menyediakan sumberdaya dan fasilitas pendukung.

Mengembangkan sumberdaya kesehatan yang ada di perusahaan.

5.2 Tim DOTS perusahaan

Menyusun perencanaan DOTS di perusahaan.

Mengkoordinasikan pelaksanaan DOTS di perusahaan.

Memonitor dan evaluasi pelaksanaan DOTS.

Menjamin mutu dan kelangsungan program.

24

5.3 Unit pelaksana pelayanan TB DOTS di perusahaan

Melaksanakan penemuan suspek, diagnosa, pengobatan dan

pengawasan langsung pengobatan (PMO).

Melakukan rujukan ke unit pelayanan kesehatan setempat bila

diperlukan.

Melaksanakan pencatatan yang sesuai sistem yang baku dan

menyampaikan ke Dinas Kesehatan melalui puskesmas setempat.

5.4 Puskesmas

Menerima rujukan spesimen dahak dan suspek TB dalam

menegakkan diagnosa TB dari Unit pelaksana pelayanan TB DOTS

perusahaan.

Menerima rujukan pasien TB untuk penanganan lebih lanjut.

Membantu pendistribusian OAT, reagensia dan logistik TB lainnya.

Mengumpulkan data pencatatan pasien TB dari Unit pelaksana

pelayanan TB DOTS perusahaan dan disampaikan ke Dinas

Kesehatan setempat.

Bersama dengan petugas Disnaker/Pengawas Ketenagakerjaan

melakukan pembinaan, monitoring dan evaluasi pelaksanaan

program penanggulangan TB di tempat kerja.

5.5 Rumah Sakit

Menerima rujukan spesimen dahak dan suspek TB dalam

menegakkan diagnosa TB dari Unit pelaksana pelayanan TB DOTS

perusahaan.

Menerima rujukan pasien TB untuk penanganan lebih lanjut.

Tugas dan fungsi tersebut diatas disesuaikan dengan kemampuan dan

kondisi masing-masing perusahaan.

25

3. 6. Menjamin kelangsungan penanggulangan TB

Hal utama untuk menjamin kelangsungan DOTS di tempat kerja adalah

komitmen dalam kelangsungan kegiatan penanggulangan TB (khususnya

berkaitan dengan penurunan risiko terjadinya MDR TB), melalui:

Membangun kapasitas stakeholder bekerjama dengan NTP;

Menyusun perencanaan bersama dengan pembagian

peran/tanggungjawab dalam kegiatan penanggulangan TB pada seluruh

stakeholder yang terlibat;

Membangun komitmen dalam menjamin kelangsungan kegiatan.

PELAKSANAAN PENANGGULANGAN TB DI TEMPAT KERJA

Dalam bab ini akan dibahas tentang kegiatan penanggulangan TB yang

dapat diterapkan di tempat kerja sebagai bagian dari program strategi DOTS

nasional dan memberikan arah/pedoman pelaksanaan. Adanya perbedaan

karakteristik industri/perusahaan akan memberikan perbedaan dalam peran dan

tanggungjawab pelaksanaan di tempat kerja. Sebagai ilustrasi, di suatu tempat

kerja hanya akan berperan dalam mendeteksi suspek, setelah suspek TB

diidentifikasi selanjutnya dirujuk untuk diagnosa ke UPK DOTS. Dapat juga

yang akan berperan dari menemukan pasien sampai mengobati pasien sampai

sembuh. Pilihan terakhir ini termasuk melaksanakan pengawasan langsung

menelan obat (DOT = direct observed treatment) di tempat kerja. Di

lingkungan industri yang besar mungkin dengan jumlah kasus yang banyak,

akan memungkinkan penerapan program DOTS secara penuh di tempat kerja.

Pedoman secara lengkap dapat merujuk ke Buku Pedoman Nasional

Penanggulangan TB.

3. 7. Penemuan pasien TB di tempat kerja

26

Seorang pasien TB menular (TB paru BTA+) sebelum dia sembuh atau

mati, berpotensi menularkan ke orang lain. Sampai saat ini penanggulangan TB

yang paling efektif adalah segera menemukan pasien dan menyembuhkannya,

sehingga penularan dapat ditekan. Penemuan pasien secara nasional umumnya

dilaksanakan di UPK bagi orang yang datang dengan keluhan gejala umum TB.

Penemuan pasien TB melalui dua langkah, identifikasi suspek dan

melakukan diagnosa pada orang yang dinyatakan sebagai suspek TB.

Identifikasi suspek

Identifikasi suspek dilakukan dengan menanyakan seseorang apakah

memiliki gejala-gejala umum TB ketika mereka berkunjung ke UPK di tempat

kerja.

Pekerja diduga TB jika memiliki gejala-gejala sebagai berikut:

Gejala utama:

Batuk terus menerus selama 2-3 minggu;

Berdahak, khususnya bercampur darah.

Gejala tambahan:

Kehilangan berat badan secara signifikan.

Berkeringat di malam hari dan demam.

Badan lemah, nafsu makan berkurang.

Sesak nafas dan sakit di dada.

3. 8. Pengobatan

Tujuan pengobatan:

Menyembuhkan pasien,

27

Mencegah kematian dan kecacatan,

Mencegah kekambuhan dan terjadinya kekebalan ganda obat,

Memutus rantai penularan.

Sebelum pengobatan dimulai, pasien TB harus diklasifikasikan berdasarkan

pada beberapa faktor:

Organ tubuh yang diserang TB (paru atau ekstra paru),

Hasil pemeriksaan dahak (BTA positif atau BTA negatif),

Riwayat pemberian OAT sebelumnya (pasien baru atau kambuh/gagal).

Sesuai pedoman nasional penanggulangan TB, program nasional menetapkan

paduan standar sesuai kategori penyakit.

Saat ini program nasional menggunakan OAT tablet fixed-dose combination

(FDC) dan kombipack untuk kasus-kasus dengan kejadian tidak diharapkan

(KTD) atau efek samping obat.

Paduan Obat TB

Obat anti TB yang direkomendasikan WHO ada beberapa macam, dan setiap

negara menetapkan salah satu pilihan yang disesuaikan dengan ketersediaan

anggaran, akses pasien ke unit pelayanan kesehatan dasar, kemampuan

jangkauan petugas kesehatan, dan hasil terbaik di lapangan.

Tabel paduan OAT setiap kategori yang direkomendasi oleh WHO

Kategori Diagnosa

TBTipe Pasien TB

Paduan OAT

Fase Intensif Fase Lanjutan

Kategori I 1. Pasien baru TB paru

BTA positif

2 HRZE* 4(HR)3*

2. Pasien baru TB paru

BTA negatif rontgen

2 HRZE 4HR

28

positif

3. Pasien TB ekstra paru 2 HRZE 6HE

Kategori II 1. Pasien TB kambuh 2 HRZES/HRZE* 5H3R3E3*

2. Pasien gagal 2 HRZES/HRZE 5 HRE

3. Pasien setelah lalai

(after default)

5 HRE

Sisipan Pasien yang masih BTA

positif pada akhir

pengobatan fase intensif

HRZE*

Program penanggulangan TB nasional menerapkan paduan OAT dengan (*)

3. 9. Kepatuhan Pengobatan

Kepatuhan pengobatan bertujuan agar pasien berobat secara tepat, tuntas

dan sembuh, sehingga terhindar dari kemungkinan terjadinya bahaya resistensi

obat.

Cara menjamin kepatuhan agar pasien tidak putus berobat dilakukan dengan

cara

1. Konseling pada awal pengobatan dan sebaiknya melibatkan anggota

keluarganya. Beberapa hal penting dalam konseling:

Tentang penyakit yang diderita,

Jenis dan jumlah OAT serta lamanya pengobatan,

Kemungkinan efek samping OAT,

Akibat ketidakteraturan pengobatan,

Kesepakatan waktu pengambilan obat dan pemeriksaan ulang

dahak.

29

2. Penetapan Pengawas Menelan Obat (PMO) dengan memberdayakan

petugas K3 atau karyawan yang ditunjuk untuk mengawasi secara

langsung pasien minum obat.

3. Mendekatkan tempat pelayanan kepada pasien dengan memanfaatkan

unit pelayanan kesehatan di tempat kerja atau unit pelayanan kesehatan

terdekat lainnya.

4. Mengidentifikasi kemungkinan munculnya permasalahan yang

menyebabkan pasien putus berobat.

5. Pada akhir fase awal pengobatan, pasien perlu menyepakati kembali

rencana pengobatan fase lanjutan.

6. Membuat kesepakatan jadwal waktu untuk pengambilan OAT ke UPK

antara pasien dan petugas.

7. Apabila pasien terlambat mengambil OAT paling lama 2 hari dari

jadwal, maka petugas kesehatan harus melacak pasien tersebut.

Pengawasan Langsung Pengobatan (Directly Observed Treatment = DOT)

Untuk menjamin kepatuhan pengobatan perlu dilakukan pengawasan

langsung (DOT). Pengawasan langsung dapat dilakukan oleh petugas kesehatan

atau PMO. PMO bisa berasal dari petugas kesehatan, petugas K3, karyawan dan

anggota keluarga yang sebelumnya telah mendapat pembekalan tertentu agar

bisa berfungsi sebagai pengawas pengobatan seperti paramedis/medis pada

pasien yang dirawat. DOT juga menjamin akuntabilitas layanan TB dan

mencegah terjadinya kekebalan terhadap obat.

3. 10. Kejadian yang tidak diharapkan (KTD)

OAT dapat menyebabkan urin dan air mata berwarna kemerahan. Pasien

perlu diberi pengertian sebelum mulai pengobatan bahwa efek samping ini hal

yang normal/biasa. Efek samping OAT dapat dikelompokkan menjadi dua;

30

pertama adalah efek samping ringan berupa perasaan tidak enak, kelainan kulit

seperti gatal-gatal, kesemutan, gangguan otot, demam, menggigil dsb. Efek

samping ini pada umumnya dapat diatasi melalui obat-obat simptomatis.

Sedangkan efek samping kedua adalah efek samping berat; termasuk dalam

kelompok ini adalah terjadinya icterus, sindrom respirasi berat, purpura, anemi

hemolitik akut, syok dan gagal ginjal. Apabila terjadi indikasi efek samping

berat maka segera pasien melapor ke UPK untuk mendapatkan penanganan.

3. 11. Penyediaan dan distribusi OAT serta alat kesehatan

Program nasional penanggulangan TB akan menyediakan OAT dan

diberikan secara cuma-cuma kepada pasien TB, termasuk untuk

penanggulangan TB di tempat kerja. Distribusi OAT dilaksanakan oleh Dinas

Kesehatan Kabupaten/Kota melalui mekanisme yang ada.

Kebutuhan reagensia, bahan laboratorium (kaca slide, pot dahak) dan bahan

lainnya seperti formulir pencatatan pengadaannya oleh Dinas Kesehatan

setempat. Sedangkan untuk mikroskop dan prasarana laboratorium diharapkan

ada kontribusi dari industri/perusahaan.

3. 12. Pencatatan dan Pelaporan

Sistem pencatatan dan pelaporan dalam program penanggulangan TB

penting untuk memastikan agar pasien TB mendapat pengobatan yang tepat dan

mendapatkan OAT yang adekuat.

Sistem pencatatan dan pelaporan program penanggulangan TB strategi DOT

ada tiga komponen utama ;

Registrasi seluruh pasien yang didiagnosa TB.

Pencatatan hasil pengobatan

Pelaporan hasil program (penemuan kasus,hasil follow-up tahap

intensif dan pengobatan) ke Dinas Kesehatan setempat.

31

Efektifitas penanggulangan TB membutuhkan system pencatatan

menggunakan formulir baku sejak awal diagnosa dan klasifikasi sampai akhir

pengobatan.

System standar pelaporan program DOTS nasional meliputi :

Di tingkat UPK :

Kartu pengobatan TB

Kartu identitas pasien

Registrasi laboratorium TB

Formulir permohonan laboratorium TB untuk pemeriksaan dahak

Daftar tersangka pasien (suspek) yang diperiksa dahak SPS

Formulir rujukan/ Pindah pasien TB

Formulir hasil akhir pengobatan

Ditingkat kabupaten kota :

Registrasi TB kabupaten

Laporan triwulan penemuan kasus baru dan kambuh

Laporan triwulan hasil pengobatan pasien

Laporan triwulan hasil pemeriksaan dahak akhir tahap intensif

Formulir sediaan untuk cross check

Laporan penerimaan dan pemakaian OAT di kabupaten kota

3. 13. Upaya promosi kesehatan dan pencegahan dan di Tempat Kerja

Promosi kesehatan di tempat kerja adalah proses pemberdayaan masyarakat

pekerja dalam memelihara,meningkatkan dan melindungi kesehatannya

melalui peningkatan kesadaran, kemauan dan kemampuan,serta

mengembangkan lingkungan sehat.

Promosi mencakup aspek perilaku,lingkungan atau suasana yang

mempengaruhi perkembangan perilaku yang terkait dengan aspek social

budaya,pendidikan,politik,dan pertahanan/keamanan.

32

Strategi promosi terdiri dari tiga komponen utama yaitu advokasi

kesehatan,komunikasi,dan mobilisasi social. Dalam menjalangkan strategi

diatas memerlukan masukan seperti data dasar masalah tuberculosis dan

promosi kesehatan,ketenagaan,buku pedoman,media promosi dan sumber

dana.

Secara Operasional tujuan yang ingin di capai dalam upaya promosi

penanggulangan tuberculosis di tempat kerja meliputi :

Meningkatkan dukungan politis dan sumber daya dari

pengambil/pemimpin/penyandang dana

Meningkatkan pengetahuan sikap dan perilaku penderita

Meningkatkan pengetahuan sikap dan perilaku PMo

Meningkatkan pengetahuan ,sikap dan perilaku petugas kesehatan

Meninkatkan peran serta aktif lintas sektor,LSM,kelompok potensial

dalam pelaksanaan promosi tuberculosis

Aspek yang perlu diperhatikan dalam penanggulangan TB :

Menyakinkan bahwa TB disebabkan oleh kuman bukan penyakit

keturunan

Menemukan dan menyembuhkan sebanyak mungkin pasien TB adalah

salah satu upaya pencegahan yang paling efektif dn efisisen.

Perilaku hidup sehat,faktor lingkungn fisik,kepadatan hunian dan gizi

juga berpengaruh terhadap penularan TB

Sirkulasi udara yang baik di ruang kerja sangat penting dalam

mencegah penularan TB

Segerah memeriksaan diri ke unit pelayanan kesehatan kerja apabila

mengalami batuk lebih dari dua minggu.

3. 14. Monitoring dan Evaluasi

Pemantauan dan evaluasi merupakan salah satu fungsi manajemen untuk

menilai keberhasilan pelaksanaan program. Pemantauan dilaksanakan secara

berkala dan terus-menerus,untuk dapat segera mendeteksi bila ada masalah

33

dalam pelaksanaan kegiatan yang telah direncanakan supaya dapat dilakukan

tindakan perbaikan segera.Evaluasi biasanya dapat dilakukan setiap 6 bulan

sampai dengan 1 tahun.dengan evaluasi dapat dinilai sejauh mana tujuan dan

target yang telah di tetapkan sebelumnya dicapai.

Indikator evaluasi utama dalam hubungannya dengan pengobatan pasien :

Jumlah Petugas yang telah dilatih

Ketersediaan Logistik

Pencatatan dan pelaporan yang baku.

DAFTAR PUSTAKA

Widoyono.2002.Penyakit tropis epidemiologi,penularan,pencegahan dan pemberantasanya.

Edisi 2 Jakarta:Erlangga

34

Asril Azwar,Tuberculosis Paru,dalam ilmu Penyakit Dalam,Balai Penerbit

FKUI,Jakarta,1987.

http://depkes.go.id/downloads/riskesdas2013/Hasil%20Riskesdas%202013.pdf

Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi R.I Pusat Pendidikan dan Pelatihan

Pegawai. 2009. Modul pemeriksaan kapasitas fungsi paru. Jakarta.

Irwanshari. 2009. Penyakit Paru Akibat Gangguan Kerja.

http://wwwiwanshari.blogspot.com diakses 25 november 2014.

Mukono, H.J. 2008. Pencemaran udara dan pengaruhnya terhadap gangguan

saluran pernafasan, Airlangga University Press, Surabaya.

Muktar, et.al, 2009. Penyakit Paru Kerja dan Lingkungan, Universitas

Indonesia,Jakarta.

Pudjiastuti, W. 2003. Modul Pelatihan bagi Fasilitator Kesehatan Kerja. Jakarta:

Pusat Kesehatan Kerja Departemen Kesehatan RI

Suma’mur. 2008. Higiene perusahaan dan kesehatan kerja (HIPERKES) Edisi 1.

Jakarta: Gunung Agung.

Suma’mur. 2014. Higiene perusahaan dan kesehatan kerja (HIPERKES) Edisi 2.

Jakarta: Gunung Agung.

35