makalah evolusi molekular

37
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Berbagai penelitian di bidang biologi molekular telah mencoba mengungkap asal usul kehidupan dan evolusi berbagai makhluk hidup yang masih hidup atau yang telah punah. Teori-teori yang berkembang tentang asal usul kehidupan memang sulit dibuktikan. Saat ini fosil molekular seperti intron yang terdapat dalam materi genetik tiap makhluk hidup merupakan salah satu petunjuk yang mendukung teori-teori tersebut. Sel-sel yang hidup pada masa kini mempunyai ciri (1) membran pembatas yang memisahkan isi sel dengan lingkungan eksternalnya, (2) satu atau lebih molekul DNA yang membawa informasi genetik untuk menentukan struktur protein yang kelak akan berperan dalam replikasi DNA, metabolisme, pertumbuhan, atau pembelahan sel, (3) sistem transkripsi untuk mensintesis RNA, (4) sistem translasi untuk menguraikan rangkaian kode ribonukleotida menjadi asam amino, dan (5) sistem metabolisme yang akan memberikan energi untuk berbagai kepentingan fisiologis. Oleh karena itu bentuk kehidupan pertama di planet ini merupakan sistem yang jauh lebih sederhana daripada sel-sel yang terdapat saat ini. Usia planet bumi ini diperkirakan telah mencapai 4,6 milyar tahun. Fosil tertua yang telah ditemukan oleh manusia berwujud seperti bakteri yang usianya 3,5 milyar tahun. Dengan demikian evolusi kimiawi diperkirakan terjadi saat 1 hingga 1,5 milyar tahun pertama dari usia bumi. Hal ini menandakan bahwa evolusi kimiawi terjadi sebelum munculnya bentuk kehidupan selular dan evolusi biologis. Saat ini sebagian besar para ilmuwan sepakat bahwa pada mulanya atmosfer bumi tidak mengandung oksigen dan terutama mengandung nitrogen, CO 2 , H 2 S, dan H 2 O. Fosil tertua tersebut berupa sianobakteri yang ditemukan pada lapisan batu stromalit yang telah berusia 3,5 milyar tahun. Bakteri tersebut adalah bakteri fotosintetik yang diduga memproduksi oksigen dari hasil pemecahan air seperti yang dilakukan sianobakteri modern saat ini. Selama milyaran tahun sejarah bumi ini diperkirakan mulai terakumulasi senyawa oksigen hingga pada akhirnya mengubah atmosfer primitif bumi menjadi atmosfer yang bersifat pengoksidasi.

Upload: mochammad-haikal

Post on 19-Jun-2015

3.524 views

Category:

Documents


19 download

TRANSCRIPT

Page 1: Makalah Evolusi Molekular

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Berbagai penelitian di bidang biologi molekular telah mencoba mengungkap

asal usul kehidupan dan evolusi berbagai makhluk hidup yang masih hidup atau yang

telah punah. Teori-teori yang berkembang tentang asal usul kehidupan memang sulit

dibuktikan. Saat ini fosil molekular seperti intron yang terdapat dalam materi genetik

tiap makhluk hidup merupakan salah satu petunjuk yang mendukung teori-teori

tersebut.

Sel-sel yang hidup pada masa kini mempunyai ciri (1) membran pembatas yang

memisahkan isi sel dengan lingkungan eksternalnya, (2) satu atau lebih molekul DNA

yang membawa informasi genetik untuk menentukan struktur protein yang kelak akan

berperan dalam replikasi DNA, metabolisme, pertumbuhan, atau pembelahan sel, (3)

sistem transkripsi untuk mensintesis RNA, (4) sistem translasi untuk menguraikan

rangkaian kode ribonukleotida menjadi asam amino, dan (5) sistem metabolisme yang

akan memberikan energi untuk berbagai kepentingan fisiologis. Oleh karena itu bentuk

kehidupan pertama di planet ini merupakan sistem yang jauh lebih sederhana daripada

sel-sel yang terdapat saat ini.

Usia planet bumi ini diperkirakan telah mencapai 4,6 milyar tahun. Fosil tertua

yang telah ditemukan oleh manusia berwujud seperti bakteri yang usianya 3,5 milyar

tahun. Dengan demikian evolusi kimiawi diperkirakan terjadi saat 1 hingga 1,5 milyar

tahun pertama dari usia bumi. Hal ini menandakan bahwa evolusi kimiawi terjadi

sebelum munculnya bentuk kehidupan selular dan evolusi biologis. Saat ini sebagian

besar para ilmuwan sepakat bahwa pada mulanya atmosfer bumi tidak mengandung

oksigen dan terutama mengandung nitrogen, CO2, H2S, dan H2O.

Fosil tertua tersebut berupa sianobakteri yang ditemukan pada lapisan batu

stromalit yang telah berusia 3,5 milyar tahun. Bakteri tersebut adalah bakteri

fotosintetik yang diduga memproduksi oksigen dari hasil pemecahan air seperti yang

dilakukan sianobakteri modern saat ini. Selama milyaran tahun sejarah bumi ini

diperkirakan mulai terakumulasi senyawa oksigen hingga pada akhirnya mengubah

atmosfer primitif bumi menjadi atmosfer yang bersifat pengoksidasi.

Page 2: Makalah Evolusi Molekular

2

Saat ini terdapat dua teori utama tentang asal usul kehidupan di bumi. Teori

pertama menyatakan bahwa kehidupan berevolusi di bumi dari zat kimiawi tidak hidup,

sedangkan teori ke-2 yang disebut teori panspermia menyatakan bahwa kehidupan

berevolusi di suatu tempat di alam semesta dan terbawa ke bumi oleh komet atau

meteorit. Pada dasarnya banyak laporan tentang berbagai asam amino dan prekursor

biomolekul modern yang ditemukan di dalam meteorit sehingga kemungkinan

terjadinya evolusi kimia pada molekul-molekul ini bisa saja terjadi di berbagai tempat

di alam semesta.

Pada tahun 1953, Stanley Miller yang mendapat bimbingan dari Harold Urey

membuat suatu alat untuk merekonstruksi keadaan atmosfer purba untuk

menggambarkan evolusi kimia dari beberapa molekul prekursor biologis. Miller

menciptakan suatu sirkulasi uap air dan beberapa gas (CH4, NH3, dan H2) melalui ruang

yang dialiri listrik bertegangan tinggi (yang merupakan simulasi petir saat itu). Setelah

beberapa hari, senyawa yang dihasilkan dari eksperimen tersebut dianalisis dan

ditemukan sedikitnya 10 asam amino yang berbeda, beberapa aldehid, dan hidrogen

sianida. Eksperimen serupa yang dilakukan oleh para ilmuwan dari generasi selanjutnya

menghasilkan berbagai blok pembangun polimer biologis lainnya yang serupa dengan

hasil percobaan Miller.

Sidney Fox beserta koleganya melakukan percobaan dengan cara memanaskan

asam amino dalam keadaan anhidrik dengan suhu 160-210oC dan percobaan ini

menghasilkan asam-asam amino yang terpolimerisasi yang rantai serupa protein yaang

disebut ”proteinoid”. Proteinoid yang ditemukan tersebut mempunyai struktur

bercabang dan saat dimasukkan ke dalam air menunjukkan beberapa sifat biologis

seperti aktivitas enzimatik dan renta terhadap proteinase.

Peptida-peptida serupa juga dapat disintesis dari asam amino dari tanah liat

”clay”. Clay mengandung berbagai lapisan yang berselang-seling dan tersusun atas ion

anorganik dan H2O. Struktur tanah liat semacam ini dapat menarik molekul-molekul

organik dengan sangat kuat dan memicu terjadinya reaksi-reaksi kimia di antara

molekul-molekul tersebut. Sebuah simulasi di laboratorium menunjukkan bahwa

polipeptida dapat ditemukan pada proses-proses tersebut.

Ketika sebuah molekul proteinoid dipanaskan di dalam air dan kemudian di

dinginkan, maka selanjutnya akan terbentuk partikel kecil berbentuk bola yang disebut

Page 3: Makalah Evolusi Molekular

3

mikrosfer. Mikrosfer tersebut mempunyai ukuran dan bentuk yang kira-kira sama

dengan bakteri berbentuk coccus. Beberapa di antaranya dapat tumbuh (mengalami

pertambahan massa) melalui penambahan proteinoid dan lipid. Kemudian terjadi

proliferasi melalui pembelahan biner ataupun budding.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan penjabaran pada latar belakang di atas, maka permasalahan yang

perlu dibahas dalam makalah ini adalah sebagai berikut.

1. Bagaimana garis besar evolusi molekular?

2. Bagaimana proses evolusi molekular berlangsung?

C. Tujuan

Berdasarkan penjabaran latar belakang dan rumusan masalah yang diajukan,

maka tujuan penulisan ini adalah sebagai berikut.

1. Untuk menjelaskan garis besar evolusi molekular.

2. Untuk menjelaskan proses evolusi molekular.

Page 4: Makalah Evolusi Molekular

4

BAB II

PEMBAHASAN

A. Garis Besar Evolusi Molekular

Dunia RNA

Suatu system kehidupan harus dapat mereplikasikan materi genetiknya dan

mampu berevolusi. Protein sangat penting dalam replikasi DNA, tetapi sebagian besar

potein di sintesis pada cetakan RNA dan cetakan RNA itu sendiri disintesis pada

cetakan DNA.

Para saintis telah membuat hipotesis bahwa molekul-molekul RNA yang dapat

melakukan sendiri muncul secara prabiotis melalui kondensasi acak dari

mononukleotida-mononukleotida menjadi polimer-polimer kecil. Situs-situs aktif pada

sebagian besar protein modern dan RNA katalitik merupakan komponen penyusun

segmen-segmen yang relatif kecil dari polimer-polimernya. Polimer-polimer RNA

replikasi primitif berukuran kecil yang terbentuk secara abiotis kemungkinan hanya

mempunyai aktifitas katalitik yang lemah dan rentan terhadap replikasi yang salah.

Meskipun demikian, molekul tersebut barangkali dapat menggunakan dirinya atau

molekul RNA lain sebagai cetakan untuk mempolimerisasi nukleotida RNA.

Kesalahan-kesalahan dalam jumlah banyak yang terjadi selama replikasi pada RNA

replikasi awal menghasilkan sebuah pool keragaman genetic yang dapat dipilah-pilah

oleh seleksi alam untuk menemukan molekul-molekul yang dapat mereplikasikan

dengan lebih cepat atau mempunyai akurasi yang lebih tinggi. Akan tetapi, terdapat

sebuah masalah, yaitu tidak ada replikasi yang dapat mengadakan situs aktifnya sendiri.

Karenanya, dibutuhkan minimum dua replikasi RNA yang disintesis pada saat hampir

bersamaan dari prakursor ”sup purba” (primordial soup). Sebuah tipe primitive sel yang

mengandung sebuah genom RNA, yang disebut eugenot, diduga berkembang dari

populasi progenot.

Molekul RNA diduga merupakan molekul genom atau enzim primordial (purba)

pada sistem-sistem kehidupan primitif. Gula ribose lebih mudah disintesi pada simulasi

kondisi primordial dibandingkan gula deoksiribosa. Prakursor DNA dari semua sel yang

hidup pada saat ini dihasilkan dari reduksi nuleosid difosfat RNA oleh enzim protein

yang amat lestari (conserved) yang disebut ribonukleosida difosfat reduktase. Enzim

Page 5: Makalah Evolusi Molekular

5

ini terdapat pada semua sel modern dengan hanya sedikit perbedaan struktur. Hal

tersebut tanpa menunjukan bahwa enzim ini adalah enzim purba yang telah melakukan

tugas penting yang sepanjang sejarah evolusioner yang panjang. System-sisitem

kehidupan dengan genom RNA diduga telah berevolusi terlebih dahulu. Genom-genom

DNA yang lebih stabil dievolusikan kemudia untuk menyimpan informasi genetik.

Selain itu, DNA lebih kecil kemungkinnnya untuk membentuk konfigurasi-

konfigurasi tiga dimesi yang kompleks akibat ketidakadaan gugus 2 hidroksilnya yang

telah dapat mengakibatkan ikatan hidrogen yang tidak biasa. Lebih lanjut, bahwa

aktifitas kataliik dari beberapa ribosom modern melibatkan gugus 2’ OH ini. terakhir,

molekul-molekul dsDNA mempunyai struktur yang sama berupa struktur heliks ganda

yang menunjukan kepada kita bahwa molekul tersebut tidak mempunyai sifat seperti

enzimatis. Akan tetapi, dsDNA dapat melipat ballikke untaiannya sendiri dan ssDNA

melipat membentuk struktur tersier.

Secara bertahap, protein mulai mengambil alih fungsi-fungsi kataltik yang

sebelumnya dilaksanakan oleh molekul-molekul RNA. Hal ini memberikan flaksibilitas

yang tinggi di dalam sekuens karena terdapat 20 asam amino dan hanya 4

ribonukleotida. Selain itu, bentuk tiga dimensi molekul RNA membutuhlan suatu

skuens komplementer ditempat lain pada untaiannya untuk dapat membentuk ikatan

hydrogen.

Sintesis-sintesis kehidupan awal yang bias membuat berbegai protein penting

cenderung memiliki keuntungan selektif dibandingkan system-sistem dengan protein-

protein yang terbatas. Dengan demikian, seleksi mendorong munculnya variasi-variasi

pada protoribosom, tRNA, dan tRNA sintesis awal. Proses ini diduga telah

menghasilkan satu set ribosom spesifik-peptida yang masing-masing mempunyai

sekuens mRNA. Dengan demikian, suatu kode genetik primitive dapat termantapkan

sebagai set-set tRNA sintase dan protoribosom spesifik-peptida berevolusi.

Dunia DNA

Molekul DNA beruntai ganda mempunyai struktur yang lebih stabil

dibandingkan ssRNA. Karena lebih menguntungkan bagi system kehidupan untuk

menyimpan informasi yang dapat diwariskan di dalam molekul DNA daripada molekul

RNA. Gugus 2” OH pada RNA dapat menyerang ikatan fosfodiester yang berada

Page 6: Makalah Evolusi Molekular

6

didekanya sehingga membuat RNA menjadi jauh lebih stabil dari pada DNA. Proses

autokatalitik ini barangkali dipercaya oleh kondisi-kondisi yang keras pada bumi

primitif. Seiring semakin kompleksnya sel-sel ukuran genomnya juga harus meningkat.

Jika eugenot pertama memiliki genot RNA yang tersegmentasi, setidaknya satu genom

dari tiap segmen harus ada di dalam tiap sel anaknya agar sel tersebut dapat sintas

(survive). Untuk meningkatkan probabilitas sel-sel anakan memperoleh genom yang

utuh, seleksi alam akan lebih memilih produksi genom polisistroni, akan tetapi semakin

besar segmen genomik RNA, semakin tidak stabil pula RNA tersebut sebagai sifat

autokatalitiknya, jadi merupakan suatu keuntungan bagi molekul DNA polisistronik

stabil untuk mengambil alih fungsi genomic dari RNA dan membiarkan RNA

melakukan fungsi-fungsi yang tidak memerlukan molekul-molekul yang berusia

panjang. Sel-sel tak bernukleus pertama yang mengandung genom DNA (dan semua sel

semacam itu yang muncul berikutnya) disebut prokariota.

Setidaknya diperlukan empat proses utama untuk menyelasaikan transisi ini,

yaitu (1) sintesis monomer DNA oleh ribonukleotida difospat reduktase; (2) transkripsi

balik dari genom RNA menjadi polimer DNA; (3) replikasi genom DNA oleh DNA

polymerase; dan (4) transkripsigenom DNA menjadi molekul RNA fungsional

(nongenomik) seperti tRNA, mRNA, dan rNA.

Gen-gen yang terpisah pada sel eukariotik modern terdiri dari daerah pengkode

(ekson) dan daerah yang bukan pengkode (intron. Terselingnya gen-gen oleh intron

menawarkan suatu keuntungan evolusioner. Tampaknya,ekson-ekson dari gen yang

berbeda kadangkala dapat direkombinasi melalui mekanisme-mekanisme alami untuk

mengkode protein dengan fungsi yang berbeda namun mempunyai domain-domain

asam amino yang mirip. Tiap domain tersebut mempunyai fungsi spesifik (misalnya

sebagai tempat pengikatan reseptor, pembentukan heliks- α dan lain-lain) proses ini

disebut pengocokan akson (exon shuffling), tampaknya telah digunakan secara luas di

dalam dunia DNA eukariota awal.

Analisis Filogenetik

Protein-protein dapat berevolusi dengan laju yang berbeda-beda akibat adanya

faktor intrinsic (mekanisme-mekanisme perbaikan). Protein –protein yang sangat lestari

(conserved) tampaknya hanya mampu menoleransi sedikit perubahan kecil, sedangkan

Page 7: Makalah Evolusi Molekular

7

sejumlah protein lainnya mampu menyerap berbagai mutasi tanpa kehilangan

fungsinya. Mutasi yang terjadi diluar daerah yang terlibat dalam fungsi normal dapat

ditoleransi sebagai mutasi netral secara selektif. Seiring berjalannya waktu biologis,

mutasi-mutasi netral tersebut cenderung terakumulasi di dalam garis keturunan

geneologis. Jika kita asumsikan kalau mutasi –mutasi netral semacam itu terakumulasi

dengan laju konstan untuk protein yang sangat lestari, maka kita bisa menentukan pola

percabangan dari pohon filogenetik (disebut juga kladogram atau pohon evolusi).

Prinsip parsimoni umum digunakan untuk menentukan jumlah minimum

perubahan genetic yang dibutuhkan untuk menyebabkan perbedaan-perbedaan skuens

asam amino atau nukleotida di antara organisme-organisme yang mempunyai nenek

moyang (ancestor) yang sama. Jarak evolusi yang memisahkan organisme di dalam

pohon filogenetik biasanya dinyatakan dalam unit-unit mutasi nukleotida atau subtitusi

asam amino sepanjang masing-masinglengan pohon tersebut di antara titik-titik

percabangan seperti pada Gambar 1 berikut.

Gambar 1. Pohon Filogenetik Berdasar Homologi antara Sitokrom c berbagai Organisme

Page 8: Makalah Evolusi Molekular

8

Evolusi Sel-sel Eukariotik

Dahulu, prokariota diduga berkerabat lebih dekat denganprogenot hasil postulasi

(nenek moyang dari semua sel, sebelum adanya genom) daripada eukariota, dan sesame

prokariota diduga juga mempunyai kekerabatan yang lebih dekat daripada denga

eukariota manapun. Sebagian besar spesies prokariota kemudian biasa di klasifikasikan

lebih lanjut sebagai eubakteria. Subkingdom prokariotik lainnya, yaitu archae, hidup

pada lingkungan-lingkungan yang diduga tesebar luas pada saat kehiudpan mulai

berevolusi untuk pertama kalinya. Karenanya, dipercaya bahwa eubakteria berevolusi

dari archae primitive dan eukariota berevolusi dari eubakteria. Akan tetapi, secara

bertahap ditemukan lebih banyak lagi perbedaa yang memisahkan kedua sub kingdom

prokariota tersebut. Beberapa sifat dari archae dapat dijumpai pula pada eubakteria

(keduanya merupakan prokariota), sedangkan beberapa sifat lainnya ditemukan pula

pada eukariota (misalnya gen-gen bagi rRNA dan tRNA mengandung intron).

Berdasarkan hasil analisisnya terhadap sekuens-sekuens nukleotida pada rRNA 165

yang amat lestari dari berbagai organisme. Pada tahun 1977 Carl Woese mengatakan

bahwa archae berbeda dengan eubakteria dan dari eukariota. Saat ini, ketiga kelompok

tersebut diduga berevolusi dari progenot yang sama.

Organisme-organisme yang mempunyai sebuah nucleus kemungkinan telah

berevolusi sekitar 3,5 miliar tahun yang lalu, akan tetapi bagaimana munculnya

membran nukleus pertama masih berupa misteri. Berdasarkan hipotesis proliferasi

membran, satu atau lebih invaginasi membrane plasma pada progenot akan bersatu

secara internal mengelilingi genom, menjadi terpisah dari membran plasma dan

membetuk membran nukleus berlapis ganda. Proses melipatnya membran plasma

kearah dalam menenerangkan fakta bahwa nukleus sel-sel eukariotik modern

diselubungi oleh “membrane ganda” yang terdiri dari dua lapisan ganda lipid (lipid

bilayer)

Asal usul mitokondria pada eukariota yang berusia lebih muda dapat dijelaskan

pada teori endosimbiotik. Beberapa sel purba dapat mengingesti partikel-partikel

makanan me;alui invaginasi endositik membran plasmanya. Barangkali setidaknya ada

sebuah sel pencari makan berukuran besar yang mampu berfermentasi dan menelan satu

atau lebih bakteri respirasi kecil, namun tidak dpat mencernanya. Endosimbion ini

dapat bertahan hidup pada lingkungan yang kaya akan nutrisi dan dapat bersembunyi

Page 9: Makalah Evolusi Molekular

9

dari sel predator lani. Sebaliknya sel-sel inang pencari makan tadi mendapatkan

keuntungan energy dari respirasi oksidasi melebihi dari fermentasi. Keuntungan-

keuntungan komplementer ini kemudian berevolusi menjadi sebuah hubungan

simbiosis (“hidup bersama”) dimana salah satu entitas tidak dapat hidup tanpa entitas

lainnya. Sebagian dari adaptasi bersama ini melibatkan transfer sebagian besar gen

bakteri endo simbion kedalam nukleus sel inang. Sebagian besar molekul bermuatan

negative, termasuk diantaranya mRNA, tRA, rRNA, dan beberapa jenis protein yang

tidak dapat melewati membrane organel-organel tersebut harus tetap dikode oleh genom

organel itu sendiri. Proses ini diduga telah memunculkan mitokondria pada sel-sel

eukariotik modern setidaknya 1,5 miliar tahun yang lalu.

Gambar 2. Asal Mula Terbentuknya Membran lapis Ganda pada Eukariot

Bukti yang lebih kuat dapat ditunjukan pada evolusi kloroplas melalui

endosimbisis dari pada evolusi mitokondria. Suatu sel eukariotik pencari makan yang

aerob (sel yang telah mengevolusikan mitokondria) diduga mampu menelan satu atau

labih eubakteria (yang berkerabat dengan sianobakteri) yang dapat melakukan

fotosintesis organic. Dalam proses evolusinya menjadi kloroplas, endosimbion

melepaskan beberapa gennya kedalam genom nukleus namun dalam jumlah yang tidak

sebanyak seperti yang dilepaskan oleh endosimbion yang berevolusi menjadi

Page 10: Makalah Evolusi Molekular

10

mitokondria. Seperti halnya mitokondria, protokloroplas juga harus mempertahankan

gen-gen yang mengkode tRNA dan rRNA bagi sintesis protein dalam kloroplas.

Banyak bukti yang mendukung teori endosimbiotik bagi asal-usul kloroplas dan

mitokondria. Organela-organela ini mempunyai ukuran yang hamper sama dengan

bakteri genomnya terdapat didalam sebuah molekul DNA sirkuler tunggal tanpa protein

histon, seperti pada bakteri.kedua organela bereproduksi secara aseksual melalui

pertumbuhan dan pembelahan organel yang menyerupai pembelahan biner. Sintesis

protein pada mitokondria dan kloroplas dihambat oleh berbagai antibiotik yang

mengaktifkan ribosom bakteri, namun hanya mempunyai efek yang sangat kecil pada

ribososm sitoplasma eukariotik. Polipeptida yang baru dibentuk pada bakteri,

mitokondria dan kloroplas mempunyai N-formilmetionin pada ujung aminomnya.

Genom mitokondria dan kloroplas mengkodekan molekul tRNA dan rRNA bagi

system-sistem sintesi-proteinnya sendiri. Ribosom yang terdapat pad kedua organel

mempunyai bentuk dan ukuran yang serupa dengan ribosom bakteri. Terakhir, teori

endosimbiotik menerangkan fakta bahwa kedua organela tersebut mempunyai membran

ganda. Membran dalamnya menyerupai membran plasma endosimbion nenek moyang,

sdangkakn membrane luarnya merepresentasikan membrane plasma nenek moyang sel

inang pencari makannya.

B. Proses Evolusi Molekular

Terbentuknya Planet Bumi

Pembentukan alam semesta diawali dari peristiwa Big Bang yang terjadi 20

milyar tahun yang lampau. Sekitar 15 milyar tahun sesudah peristiwa tersebut,

terbentuklah gugusan awan yang tersusun atas gas dan debu, dimana pengaruh gravitasi

menyebabkan benda-benda tersebut berkondensasi membentuk bola gas yang disebut

bintang. Bintang ini dikelilingi oleh berbagai benda sferis yang disebut planet. Gas

hidrogen dan helium adalah komposisi utama pembentuk bintang, sementara sebagian

kecil unsur-unsur berat berperan menyusun berbagai planet. Dalam tahap awal

pembentukannya, planet bumi masih sangat panas hingga H2O selalu dalam bentuk uap.

Pada tahap selanjutnya, saat temperatur bumi mulai menurun, molekul air dapat

berkondensasi hingga terbentuk danau dan lautan. Kehidupan di bumi diperkirakan

Page 11: Makalah Evolusi Molekular

11

berasal dari berbagai reaksi kimia di atmosfer yang diikuti dengan terjadinya berbagai

reaksi di perairan purba tersebut.

Pembentukan Atmosfer

Atmosfer yang pertama kali terbentuk adalah atmosfer primer yang masih

tersusun atas hidrogen dan helium. Akan tetapi helium dan hidrogen memiliki massa

yang ringan sehingga mudah hanyut ke luar angkasa. Oleh karena itu pada tahap

selanjutnya terbentuk atmosfer sekunder yang terbentuk dari semburan gunung berapi.

Semburan gunung berapi mengandung 95% uap air dan sisanya adalah berbagai

senyawa seperti CO2, SO2, H2S, HCl, belerang, H2, CH4, SO3, dan NH3. Pada masa

tersebut oksigen belum terbentuk. Uap air yang tersebar di atmosfer dapat bereaksi

dengan beragam mineral purba sehingga terbentuk amonia, dengan karbid dapat

membentuk metan, dan dengan sulfida membentuk H2S.

Atmosfer selanjutnya yang terbentuk adalah atmosfer tersier yang juga terdapat

di masa kini. Atmosfer inilah yang menjadi asal usul kehidupan di bumi. Pada tahap ini

telah muncul organisme fotosintetik yang melepas oksigen ke atmosfer. Organisme

petama yang melakukan fotosintesis di bumi ini adalah cyanobacteria yang secara

perlahan meningkatkan kadar O2 di atmosfer hingga 20% seperti saat ini.

Teori Asal Usul Kehidupan oleh Oparin

Radiasi UV dari matahari bersama dengan percikan listrik dari halilintar diduga

menyebabkan berbagai gas di atmosfer bereaksi dan membentuk senyawa organik

sederhana. Senyawa tersebut akan jatuh kebumi dan terlarut dalam lautan dan terus

bereaksi hingga tercipta bentukan seperti sup yang disebut ”primitive soup”. Sup purba

ini mengandung beragam senyawa seperti asam amino, gula, dan basa asam nukleat.

Pada tahap selanjutnya senyawa dalam sup tersebut mulai mengalami polimerisasi dan

menghasilkan bentukan seperti kantung. Kantung inilah yang diduga kelak akan

menjadi sel-sel purba yang pertama muncul di muka bumi. Teori ini diajukan oleh pakar

biokimia dari Rusia bernama Alexander Oparin di tahun 1920-an. Charles Darwin

sendiri juga pernah memprediksikan bahwa kehidupan pertama muncul dari suatu

kolam yang mengandung amonia dan senyawa lain yang dibutuhkan. Dalam hal ini

Oparin memberi penekanan bahwa kehidupan muncul di bumi sebelum adanya oksigen.

Page 12: Makalah Evolusi Molekular

12

Hal ini disebabkan oksigen adalah senyawa yang reaktif dan bila bereaksi dengan

molekul-molekul prekursor tersebut dan terjadi oksidasi, maka senyawa yang baru

terbentuk tersebut akan terurai menjadi air dan CO2.

Percobaan Miller

Pakar biokimia bernama Stanley Miller pada tahun 1950 berupaya membuat

simulasi berbagai reaksi yang diduga terjadi di atmosfer masa lampau. Miler

menciptakan atmosfer buatan yang mengandung metan, amonia, dan uap air yang

dipaparkan pada muatan listrik tegangan tinggi (sebagai simulasi petir). Senyawa

organik yang dihasilkan dari percobaan ini dapat terlarut dalam air (sebagai simulasi

lautan masa lampau) dan terus melakukan reaksi kimia. Telah banyak percobaan serupa

dilakukan dengan berbagai variasi campuran gas, sumber energi, dan sebagainya.

Sekitar 20% dari total campuran gas tersebut dapat dikonversi menjadi berbagai

molekul organik.

Sesungguhnya proses ini berjalan secara reversibel, yaitu energi yang dipakai

untuk menciptakan molekul organik tersebut juga dapat menghancurkan dan

menguraikan. Oleh karena itu molekul organik ini juga membutuhkan perlindungan dari

sumber energi yang dahulu menciptakannya. Dalam hal ini Miller menekankan

pentingnya peran lautan dalam memberi perlindungan terhadap molekul organik yang

baru terbentuk dari serangan radiasi UV dan sengatan listrik. Kelestarian molekul

organik dalam keadaan bumi yang primitif dilakukan dengan cara larut dalam perairan

atau melekat pada mineral. Sedangkan molekul organik yang masih melayang di

angkasa akan segera terurai.

Polimerisasi Monomer Hingga Menghasilkan Makromolekul

Polimerisasi suatu monomer untuk menghasilkan makromolekul seperti proein

dan asam nukleat membutuhkan energi untuk membangun ikatan dan pelepasan H2O.

Tidak seperti sel masa kini yang menggunakan pospat berenegi tinggi, sel di masa

lampau menggunakan sumber energi yang lain. Protein yang pertama kali tercipta

adalah suatu polimer yang memiliki urutan asam amino yang acak disebut sebagai

proteinoid. Senyawa ini dapat dibuat dengan cara memanaskan asam amino kering pada

suhu 150oC selama beberapa jam. Bila protein masa kini membangun ikatan antar asam

Page 13: Makalah Evolusi Molekular

13

amino pada gugus amin dan hidroksil, maka protein di masa lampau bahkan dapat

membuat ikatan pada gugus rantai samping. Proteinoid ini terkadang tersusun atas 250

asam amino dan sudah memiliki kemampuan enzimatik. Terbentuknya proteinoid ini

diperkirakan terjadi disekitar gunung berapi. Pengamatan tentang terbentuknya

proteinoid banyak dilakukan oleh seorang pakar bernama Sydney Fox.

Terjadinya polimerisasi asam amino juga dapat terjadi melalui pengikatan

dengan mineral tanah liat yang disebut ”clay”. Ikatan antara tanah liat ini dengan

molekul-molekul kecil organik dapat memicu terjadinya reaksi polimerisasi. Sebagai

contoh, jenis tanh liat tertentu seperti Montmorillonite dapat mengkondensasi asam

amino menjadi polipeptida sepanjang 200 residu.

Polimerisasi asam amino juga dapat terjadi dalam suatu larutan yang

mengandung agen kondensasi. Beberapa agen kondensasi yang telah dikenal adalah

sejenis derivat sianida reaktif yang disebut poliphospat. Polifosfat dapat bereaksi

dengan beragam molekul organik untuk menghasilkan fosfat organik. Salah satu produk

dari reaksi ini adalah asam amino asil fosfat dan fosforamidat. Asil fosfat adalah asam

amino yang memiliki gugus fosfat yang terikat pada gugus karboksil, sedangkan

fosforamidat adalah asam amino yang gugus fosfatnya berikatan pada gugus amin. Bila

senyawa derivat semacam ini dipanaskan, maka akan terbentuk polipeptida. Melalui

cara yang serupa, molekul AMP dapat dibuat dari adenin yang ditambah polifosfat, dan

selanjutnya dapat terbentuk polipeptida melalui polimerisasi.

Kemampuan Enzimatik Pada Proteinoid

Proteinoid yang telah dikembangkan di laboratorium dalam simulasi kondisi

bumi di masa lampau ternyata menunjukkan aktivitas enzimatik. Sesungguhnya

kemampuan enzimatiknya sangat lambat dan tidak akurat, tetapi jelas menunjukkan

adanya kemampuan enzimatik. Sebagaimana enzim yang ada di masa kini memiliki ion

logam sebagai kofaktor, adanya ion logam pada proteinoid dapat meningkatkan

kemampuan enzimatiknya.

Asal Mula Makromolekul sebagai Materi Genetik

Informasi genetik suatu organisme diwariskan pada keturunannya melalui suatu

untaian nukelotida. Campuran polifosfat, purin, dan pirimidin dapat menghasilkan

Page 14: Makalah Evolusi Molekular

14

rantai asam nukleat, tentu dengan adanya ribosa atau deoksiribosa. Bila suatu RNA

template diinkubasikan dalam campuran nukleotida dan suatu agen kondensasi, maka

dapat terbentuk untai RNA komplementer. Kemudian bila campuran nukleosida

trifosfat (atau campuran nukleotida dan polifosfat) diinkubasikan dalam kondisi seperti

bumi di masa lampau, lalu menggunakan Zn sebagai katalis, maka pada akhirnya dapat

terbentuk satu untai RNA. Proses polimerisasi seperti ini berjalan sangat lambat. Namun

untuk selanjutnya, bila polimer RNA telah ada, maka RNA ini dapat berperan sebagai

template untuk pembuatan RNA komplemen selanjutnya.

Ribozim dan RNA World

Dalam proses evolusi, nampaknya RNA adalah molekul kehidupan pertama yng

muncul di muka bumi ini. Molekul RNA memiliki kemampuan merakit dan

menduplikasi dirinya sendiri dalam kondisi bumi di masa lampau. Meskipun sebagian

besar enzim di masa kini adalah protein, ternyata RNA juga memiliki kemampuan

enzimatis untuk mengkatalis reaksi tanpa bantuan protein. Hal ini menunjukkan bahwa

asam nukleat primitif dapat mereplikasi dirinya sendiri.

Terdapat suatu gagasan bahwa organisme yang pertama kali muncul di muka

bumi ini telah memiliki gen dan enzim yang terbuat dari RNA yang disebut “RNA

world”. Gagasan ini diajukan oleh Walter Gilbert pada tahun 1986 dalam menghadapi

paradox bahwa asam nukleat diperlukan untuk mensintesis protein, sementara enzim

yang terbuat dari protein ternyata dibutuhkan untuk mereplikasi asam nukleat. Gagasan

RNA world dari Gilbert tahun 1986 menyatakan bahwa RNA memiliki kemampuan

ganda sebagai asam nukleat sekaligus sebagai enzim. Walau peran sebagai enzim kini

sebagian besar telah dilakukan oleh protein, serta DNA sebagai pembawa informasi

genetik, RNA tetap memiliki posisi transisi sebagai gen dan enzim. Berikut adalah

contoh peran RNA dalam melakukan reaksi enzimatik sekaligus perannya dalam

mengkode informasi genetik.

• Ribozim: ribozim adalah sebuah molekul RNA yang dapat berperan sebagai

enzim. Sebagai enzim senyawa ini dapat mengkatalis sejumlah besar molekul

lain tanpa mengubah keadaan dirinya selama reaksi. Saat ini telah banyak

ribozim yang telah diidentifikasi. Salah satunya adalah ribonuklease P, yaitu

ribosomal RNA yang berperan dalam sintesis protein. Enzim ini mempunyai

Page 15: Makalah Evolusi Molekular

15

komponen RNA dan protein yang mengatur transfer molekul RNA. Bagian

RNA ribonuklease P berperan menjalakan reaksi, sedangkan bagian protein

melekatkan ribozim dan tRNA.

• Self-splicing intron (“group I” introns): intron ini adalah contoh RNA yang

bersifat katalitik. Gen pada sel eukariot pada umumnya disisipi non-coding

region yang disebut intron. Intron ini harus dilepaskan dari mRNA sebelum

ditranslasi menjadi protein dengan bantuan spliceosome atau molekul RNA kecil

lainnya. Akan tetapi intron juga memiliki kemampuan untuk melepaskan dirinya

dari mRNA tanpa bantuan siapapun. Intron semacam ini dapat dijumpai pada

kelompok protozoa, mitokondria sel fungi, dan kloroplas sel tumbuhan.

• Viroid: viroid adalah molekul RNA yang dapat menginfeksi tanaman. RNA

semacam ini mampu mereplikasi dirinya sendiri.

• RNA polimerase: RNA polimerase yang dibutuhkan sebagai primer untuk untai

DNA baru memiliki kemampuan dalam inisiasi dan pemanjangan. Oleh karena

itu diduga RNA polimerase telah ada sebelum DNA polimerase tercipta di muka

bumi ini.

• Molekul RNA kecil: RNA semacam ini digunakan dalam berbagai keperluan,

antara lain berperan dalam melepas untaian intron, modifikasi dan editing

mRNA.

• Riboswitch: bila tidak terdapat protein regulator, maka senyawa ini berperan

dalam pengendalian ekspresi gen.

Dalam hal ini masih terdapat pertanyaan tentang kemampuan RNA dalam

menyalin dirinya tanpa bantuan dari DNA atau protein. Sebuah percobaan yang

menggunakan molekul RNA buatan menunjukkan bahwa molekul RNA tersebut

memiliki kemampuan ligase primitif. Ribozim ligase tersebut dapat menyambung dua

untai RNA sebagaimana protein enzim pada sel masa kini. Pada tahap selanjutnya

ribozim tersebut digunakan sebagai template untuk membentuk RNA komplementer

dengan tingkat akurasi 96-99%. Akan tetapi proses ini berjalan sangat lambat. Tidak

seperti polimerase pada umumnya yang tetap menempel pada template untuk

menambahkan nukleotida, ribozim melakukan tugasnya dengan cara melepaskan diri

dari template setelah menambahkan sebuah nukleotida.

Page 16: Makalah Evolusi Molekular

16

Masalah lain pada konsep RNA world adalah bahwa RNA jauh lebih reaktif

daripada DNA. Meskipun RNA dapat disintesis dengan mudah, akan tetapi senyawa ini

tidak stabil. DNA yang terbentuk lebih lambat sebenarnya juga dapat terbentuk dalam

kondisi bumi yang primitif. Sebuah lautan yang dikenal sebagai primitive soup bisa

sesungguhnya dapat mengandung campuran asam nukleat RNA atau DNA, protein,

lipida, dan karbohidrat. Pada akhirnya dapat diduga bahwa sebelum tercipta RNA dan

DNA, primitive soup memiliki sejenis asam nukleat hybrid yang memiliki sifat

keduanya.

Asal Mula Terbentuknya Sel

Terbentuknya molekul organik dalam dunia purba adalah tahap pertama

pembentukan sel primitif. Diduga bahwa protein dan lipida terkumpul di sekitar RNA

atau DNA primitif sehingga menghasilkan bentukan serupa kantung. Sel primitif ini

mulai mengembangkan kemampuan untuk menggunakan RNA sebagai materi

genetiknya. Lipid berperan membangun membran yang melindungi berbagai komponen

sel. Walau protein dan RNA memiliki kemampuan enzimatik, tetapi bila protein lebih

dominan dalam perannya, maka RNA akan mengurangi peran katalitiknya. DNA baru

ditemukan pada tahap evolusi berikutnya. Karena DNA lebih stabil daripada RNA,

maka DNA dapat menyimpan dan mentransfer informasi genetik dengan tingkat

kesalahan yang rendah.

Sel primitif ini sangat mirip dengan bakteri, sel ini hidup dalam media senyawa

organik yang disebut primitive soup. Akan tetapi media ini menyediakan suplai energi

yang terbatas. Secara perlahan sel primitif ini mulai mencari sumber energi baru, yaitu

sinar matahari. Bentuk awal fotosintesis di muka bumi ini berupa proses yang mengolah

energi sinar matahari dan belerang. Bentuk fotosintesis pada tahap selanjutnya tidak lagi

memakai belerang, tetapi memakai H2O dan melepaskan O2 ke atmosfer. Keberadaan

oksigen di atmosfer mulai mengubah wajah bumi, karena dengan adanya oksigen, maka

kemampuan respirasi mulai terbentuk. Sel pada tahap selanjutnya mampu menghasilkan

energi dengan cara mengoksidasi zat makanannya. Fotosintesis melepas oksigen dan

mengambil karbohidrat, sementara respirasi melakukan sebelumnya. Proses ini

membuka jalan terbentuknya ekosistem dimana flora dan fauna berinteraksi saling

melengkapi.

Page 17: Makalah Evolusi Molekular

17

Asal Mula Terbentuknya Metabolisme: Teori Autotrof

Ilmu kimia memandang asal mula kehidupan dari sisi yang berbeda. Dalam

pandangan ilmu kimia, sel primitif di masa lampau bukanlah sel heterotrof yang

bergerak secara aktif mencari makan. Sebaliknya sel tersebut bersifat autotrof dan

memfiksasi CO2 untuk menghasilkan materi organik untuk dimanfaatkan sendiri.

Organisme autotrof memanfatkan materi anorganik seperti karbon untuk menghasilkan

makanan untuk diri sendiri. Contoh organisme autotrof adalah tanaman yang

menggunakan energi sinar matahari untuk mengubah CO2 menjadi berbagai derivat

gula. Selain itu beragam bakteri juga bersifat autotrof dan mampu memfiksasi CO2

untuk dijadikan asam karboksilat.

Teori autotrof mengajukan postulat bahwa kehidupan di masa lampau

menggunakan persenyawaan besi untuk menghasilkan energi. Hal ini dilakukan dengan

mengubah FeS menjadi FeS2 oleh H2S dapat melepaskan energi dan menghasilkan atom

H untuk mereduksi CO2 menjadi materi organik. Beberapa jenis bakteri anaerobik di

masa kini menghasilkan energi dengan cara oksidasi Fe2+

menjadi Fe3+

, sementara

organisme lain melakukan hal serupa dengan cara mengoksidasi sulfur. Jadi diduga

bentuk metabolisme di masa lampau yang melakukan metabolisme berbasis besi dan

sulfur cukup masuk akal.

Beberapa kemungkinan cara fiksasi CO2 yang dilakukan di masa lampau telah

banyak diusulkan. Pertama, yaitu melibatkan insersi CO2 dengan dikatalis Fe menjadi

derivat sulfur semacam asam karboksilat. Metode ini masih bisa disaksikan di masa

kini, yaitu sebagai perantara metabolik seperti asam asetat, asam piruvat, asam suksinat,

dan sebagainya. Hanya saja kejadian semacam ini tidak terjadi dalam lautan primitive

soup, nampaknya lebih dimungkinkan terjadi di permukaan mineral besi sulfida di

bawah tanah. Jadi asal mula senyawa asam organik tersebut mungkin terjadi melalui

proses seperti percobaan Miller. Pendapat lain menyatakan bahwa molekul organik

pertama yang ada di bumi adalah turunan karbon monoksida dan H2S. Hal ini pernah

diujicobakan bahwa campuran katalis FeS atau NiS dapat mengubah CO yang ditambah

methane thiol (CH3SH) menjadi tioester (CH3-CO-SCH3). Selanjutnya tioester ini dapat

dihidrolisis menjadi asam asetat. Sejumlah katalis selenium dapat membantu konversi

CO yang ditambah H2S menjadi CH3SH yang dapat diproses menjadi asam asetat. Saat

Page 18: Makalah Evolusi Molekular

18

ini juga terbukti bahwa CO dapat diaktivasi katalis FeS/NiS sehingga dapat

menciptakan ikatan peptida di antara asam amino alpha dalam larutan suhu tinggi.

Evolusi Sequence DNA, RNA, dan Protein

Selama jutaan tahun berputarnya roda evolusi, laju mutasi yang terjadi pada

sequence DNA pada gen di masa lampau berjalan sangat lambat dan tidak fluktuatif.

sebagian besar dari hasil mutasi tersebut terseleksi karena menglami kerusakan,

sementara yang lain akan tetap lestari. Terkadang mutasi pada suatu gen menjadi mutasi

netral yang tidak menguntungkan atau berbahaya bagi organisme pembawa gen

tersebut. Ada pula mutasi yang dapat memperkuat fungsi suatu gen atau protein yang

dikode, tetapi kejadian semacam ini masih jarang terjadi. Sementara ada pula mutasi

yang semula merugikan lalu berubah menjadi menguntungkan saat terjadi perubahan

lingkungan.

Dalam kondisi sesungguhnya protein jauh lebih penting daripada bagaimana

keadaan sequence gen. Selama protein masih berfungsi dengan normal, maka mutasi

pada gen pengkode protein tersebut tidak perlu dipermasalahkan. Banyak asam amino

yang menyusun suatu protein dapat membentuk berbagai variasi, akan tetapi dalam

batas tertentu mutasi semacam ini tidak merusak fungsi protein. Pergantian asam amino

jarang sekali menyebabkan kerusakan protein. Bila dilakukan perbandingan beberapa

sequence protein yang sama dari berbagai organisme masa kini maka akan nampak

kemiripan dari sequence tersebut. Sebagai contoh, rantai α pada hemoglobin pada

manusia dan simpanse adalah serupa, tingkat perbedaan asam amino hemoglobin pada

manusia dan babi adalah sebesar 13%, bila dibandingkan dengan ayam perbedaannya

sebesar 25%, dan bila dibandingkan dengan ikan perbedaannya sebesar 50%.

Selanjutnya dapat disusun pohon evolusi berdasarkan set sequence untuk protein

pada berbagai organisme yang diamati. Sebagai contoh adalah rantai α pada hemoglobin

yang hanya terdapat pada organisme yang berkerabat dengan manusia. Sedangkan

sitokrom c adalah protein yang berperan dalam menghasilkan energi pada organisme

tingkat tinggi termasuk tanaman dan fungi. Manusia dan ikan memiliki perbedaan

sitokrom c sebesar 18%, sedangkan bila dibandingkan dengan tanaman atau fungi

memiliki tingkat perbedaan 45%, sementara tanaman dan fungi juga memiliki

perbedaan sebesar 45%. Dari hasil tersebut dapat tergambar bahwa jalur evolusi

Page 19: Makalah Evolusi Molekular

19

tanaman dan fungi telah terpisah amat jauh sebagaimana terpisahnya evolusi hewan dari

tanaman.

Mutasi individual dapat berperan mengubah suatu sequence gen menjadi

sequence leluhurnya. Akan tetapi mutasi balik semacam itu hampir tidak pernah terjadi.

Hal ini terkait dengan probabilitas. Pada dasarnya tidak ada yang menghalangi suatu

mutasi untuk berbalik mengubah suatu sequence menjadi sequence leluhurnya, akan

tetapi kemungkinannya teramat kecil.

Munculnya Gen Baru melalui Duplikasi

Duplikasi gen adalah cara lazim untuk menciptakan gen baru. Suatu mutasi juga

dapat menyebabkan terjadinya duplikasi segmen DNA yang membawa beberapa gen.

Sequence gen yang asli dipertahankan untuk mempertahankan fungsinya, sedangkan

salinan gen tersebut dapat mengalami mutasi lebih jauh. Pada umumnya mutasi yang

semakin terakumulasi justru akan mematikan fungsi suatu gen hasil salinan tersebut.

Jarang sekali ditemukan salinan gen yang telah mengalami mutasi, kemudian masih

tetap aktif dan mengembangkan fungsi yang berbeda dari sequence aslinya.

Duplikasi berganda yang diikuti dengan perubahan suatu sequence dapat

menciptakan rumpun gen yang memiliki fungsi yang masih berhubungan. Salah satu

contoh yang sangat terkenal adalah gen dari rumpun gen globin. Hemoglobin adalah

pigmen pengikat oksigen di pembuluh darah, sedangkan mioglobin adalah berperan

membawa oksigen di dalam jaringan otot. Kedua protein tersebut memiliki fungsi yang

sama, struktur 3 dimensi yang sama, dan sequence yang masih berkerabat. Leluhur gen

globin yang melakukan duplikasi di masa lampau, secara perlahan menghasilkan ragam

gen hemoglobin dan mioglobin yang mengembangkan fungsi berbeda.

Hemoglobin pada darah mamalia memiliki dua rantai α globin dan β globin yang

membentuk tetramer α2/β2. Sedangkan mioglobin berupa monomer rantai polipeptida

tunggal. Rantai α globin dan β globin adalah hasil duplikasi lanjut dari gen globin purba

di masa lampau. Bahkan pada tahap selanjutnya gen α globin purba menghasilkan gen

untuk α globin dan ζ globin. Sedangkan gen β globin purba juga menghasilkan jalur

terpisah sebanyak dua kali sehingga menghasilkan gen β globin modern dan γ globin

modern, kemudian gen δ globin dan ε globin.

Page 20: Makalah Evolusi Molekular

20

Berbagai varian globin tersebut memiliki peran pada berbagai tahap

perkembangan. Pada setiap tahap, tetramer hemoglobin tersusun atas dua tipe α dan dua

tipe β. Ζ globin dan ε globin mulai terbentuk pada awal terjadinya embrio yang

memiliki hemglobin ζ2/ε2. Saat mulai terbentuk fetus, ε globin yang ada digantikan

dengan γ globin dan ζ globin digantikan oleh α globin, sehingga dalam hal ini terbentuk

struktur hemoglobin α2/γ2. Fetus yang berkembang dalam tubuh seorang ibu berupaya

membentuk ikatan dengan molekul O2, dalam hal ini hemoglobin α2/γ2 berperan

mengikat oksigen.

Berbagai gen globin tersebut adalah contoh famili gen, yaitu sekelompok gen

yang masih berkerabat dan dihasilkan dari proses duplikasi. Setiap anggota famili ini

memiliki sequence dan peran yang serupa. Sejalan dengan berputarnya roda evolusi,

proses duplikasi gen yang dilakukan secara terus menerus akan menghasilkan gen baru

yang berlimpah dan memiliki fungsi yang jauh berbeda dari leluhurnya. Hal ini

membentuk terjadinya superfamili gen. Gen sistem imun adalah contoh famili dan

superfamili gen.

Retroelemen pada eukariot yang mengkode transkriptase adalah hal yang lazim

ditemukan sehingga sesekali terjadi pula transkripsi balik pada mRNA. Proses ini dapat

menghasilkan salinan DNA yang dapat diintegrasikan ke dalam genom. Salinan gen

semacam ini tidak memiliki intron dan tapak promoter untuk titik awal gen. Salinan gen

yang tidak aktif seperti ini disebut sebagai pseudogen dan umumnya membawa

akumulasi mutasi yang menyebabkan matinya fungsi untuk coding. Jarang sekali

pseudogen yang memiliki ujung promoter dan diekspresikan. Gen ini adalah salinan

dari gen yang asli yang mengalami perubahan akibat mutasi.

Kesalahan sedikit selama pembelahan sel dapat berakibat duplikasi total pada

genom. Suatu kesalahan pada meiosis dapat menghasilkan gamet yang diploid. Fusi

gamet diploid akan menghasilkan zigot dan individu yang tetraploid. Terkadang

terbentuk suatu individu triploid yang dibentuk dari fusi satu gamet mutan yang

ditambah satu gamet haploid normal. Pada umumnya organisme triploid adalah steril

karena gametnya memiliki jumlah kromosom yang tidak lazim. Akan tetapi organisme

triploid masih bisa menghasilkan keturunan yang tetraploid. Di sisi lain, kelainan

semacam ini adalah hal yang lazim. Hanya 5 dari 1000 gamet tanaman yang bersifat

diploid. Suatu persilangan antara dua generasi parental ada kemungkinan akan

Page 21: Makalah Evolusi Molekular

21

menghasilkan zigot tetraploid. Sejalan dengan berputarnya waktu, salinan gen

organisme tetraploid akan membentuk berbagai variasi.

Sequence Paralog dan Ortolog

Beberapa sequence dikatakan homolog bila berasal dari leluhur yang sama. Bila

beberapa organisme sama-sama membawa salinan gen tertentu yang berasal dari leluhur

yang sama, maka selanjutnya dapat dilakukan perbandingan sequence tersebut untuk

melihat pohon evolusinya. Akan tetapi duplikasi gen menyebabkan terjadinya salinan

gen yang melimpah dalam satu organisme. Gen ortolog adalah gen yang ditemukan

pada beberapa spesies berbeda dan akan membentuk variasi baru bila organisme yang

membawa gen ini juga membentuk variasi baru. Gen paralog adalah salinan berlipat

akibat duplikasi gen yang terdapat dalam satu organisme.

Berbagai gen yang ortolog perlu dibandingkan untuk menyusun pohon evolusi.

Sebagai contoh, sequence α globin dari hewan dan α globin ortolog dari organisme lain

perlu dibandingkan. Oleh karena sekelompok gen paralog memiliki sequence yang

serupa, hal ini dapat menimbulkan kerancuan kecuali bila organisme leluhur tersebut

telah diketahui. Namun tetap saja penelitian ini berguna untuk menentukan apakah

organisme tersebut membawa sequence berlipat dari leluhur yang sama.

Pembentukan Gen Baru melalui Shuffling

Pembentukan gen baru dapat pula dilakukan dengan menggunakan pre-made

modules. Beberapa segmen dari suatu gen difusikan dengan menggunakan cara DNA

rearrangement untuk menghasilkan gen baru yang memiliki berbagai regio dari sumber

berbeda. Contohnya adalah pembentukan gen baru yang memiliki berbagai regio untuk

mengkode reseptor LDL. LDL adalah singkatan dari low density lipoprotein yang

berperan membawa kolesterol di pembuluh darah. Reseptor LDL ditemukan pada

permukaan sel yang akan menggunakan LDL. Gen pengkode LDL terdiri atas beberapa

regio, dua di antaranya merupakan turunan dari gen lain. Bila suatu mosaik gen

menjalani transkripsi dan translasi, maka akan didapatkan protein campuran yang terdiri

atas beberapa domain.

Page 22: Makalah Evolusi Molekular

22

Setiap Protein Berevolusi dengan Laju yang Berbeda.

Sesungguhnya pohon evolusi tidak dapat dibangun berdasarkan sebuah protein

semata. Bila diusahakan untuk menyusun pohon evolusi berdasarkan berbagai macam

protein, maka hasil yang didapat tidak akan jauh berbeda. Akan tetapi setiap protein

memiliki laju evolusi yang berbeda. Perbedaan rantai α pada hemoglobin manusia dan

ikan memiliki perbedaan sebesar 50%, akan tetapi antara manusia dan ikan memiliki

perbedaan sitokrom c hanya sebesar 20%. Bila digambarkan suatu tabel antara tingkat

perubahan asam amino dengan skala waktu evolusi, maka nampak evolusi sitokrom c

berjalan lambat, sedangkan laju evolusi hemoglobin pada rantai α dan β memiliki

kecepatan sedang, dan laju evolusi pada fibrinopeptida A dan B berjalan cepat.

Fibrinopeptida adalah protein yang berperan dalam pembekuan darah. Protein

ini membutuhkan asam amino arginin dan membutuhkan habitat yang asam. Oleh

karena protein ini tidak memiliki batasan yang ketat dalam fungsinya, maka protein ini

bisa membentuk berbagai varian dengan leluasa. Sebaliknya protein histon pada DNA

sangat menentukan kondisi DNA secara struktural. Perubahan pada histon, walau

sedikit, membawa pengaruh yang mematikan. Hal ini yang menyebabkan protein histon

berevolusi dengan lambat.

Sitokrom c adalah enzim yang fungsinya sangat ditentukan oleh beberapa asam

amino yang berada di bagian active site. Asam amino di bagian tersebut cenderung

tidak mengalami perubahan, sedangkan asam amino di posisi lain bisa mengalami

perubahan. Meskipun 88% residu asam amino milik sitokrom c berubah, konformasi

proteinnya tidak akan berubah.

Insulin adalah hormon yang terdiri atas dua rantai protein A dan B yang dikode

oleh sebuah gen pengkode insulin. Sebenarnya mutasi dapat terjadi pada gen insulin,

pada bagian A, B, atau C. Mutasi pada bagian A dan B dapat berakibat fatal, sementara

mutasi di bagian C tidak akan berpengaruh terhadap protein yang disintesis dan tidak

menjadi masalah bila diturunkan pada generasi berikutnya.

Jam Molekular untuk Melacak Terjadinya Evolusi

Suatu protein pada berbagai organisme yang berevolusi dengan cepat, maka

dengan segera protein akan mengalami perubahan sequence. Bila protein tersebut

terdapat pada beberapa organisme berbeda, maka kekerabatan protein itu akan

Page 23: Makalah Evolusi Molekular

23

menghilang secara perlahan. Sebaliknya bila pada berbagai organisme memiliki suatu

protein yang berevolusi dengan lambat, maka perbedaannya tidak akan mencolok. Oleh

karena itu protein yang berevolusi dengan lambat digunakan untuk melacak kekerabatan

genetik berbagai organisme yang berkerabat jauh. Sedangkan untuk organisme yang

berkerabat dekat menggunakan protein dengan laju yang cepat.

Antara manusia dan simpanse memiliki kemiripan pada sebagian besar protein.

Kemudian metode ini dipakai untuk mengestimasi adanya kekerabatan antara manusia

dan simpanse. Mutasi yang tidak berpengaruh terhadap sequence protein justru akan

terakumulasi dengan cepat selama evolusi karena tidak menimbulkan efek yang

berbahaya. Kemudian bila sequence DNA digunakan untuk mengukur kekerbatan

berbagai organisme, maka akan terungkap banyak perbedaan. Perubahan pada DNA

umumnya terjadi pada untaian bukan pengkode dan terdapat pada posisi kodon ke-3.

perubahan yang terjadi pada posisi tersebut pada umumnya tidak menyebabkan

perubahan asam amino yang dikode dan protein yang dibentuk.

Intron adalah untaian bukan pengkode yang akan dilepas saat proses transkripsi

primer sehingga tidak akan nampak dalam mRNA. Sequence intron tidak berkontribusi

dalam pembentukan protein, oleh karena itu DNA pada untaian intron leluasa untuk

bermutasi. DNA yang terdapat pada segmen antar gen yang tidak berperan dalam

pengendalian fungsi gen juga mengalami mutasi dengan bebas.

Data awal tentang sitokrom c, hemoglobin, dan sebagainya diperoleh dari

sequencing langsung pada protein. Oleh karena sequencing DNA dapat dilakukan

dengan mudah dan menghasilkan data yang lebih akurat, maka pengamatan dengan

memakai sequence protein dideduksi menjadi pengamatan sequence DNA. Ada banyak

sekali informasi tentang DNA pada berbagai organisme yang berkerabat. Data seperti

ini sangat berguna untuk mengungkap kekerabatan evolusioner di antara berbagai

organisme.

Ribosomal RNA yang Berevolusi dengan Lambat

Untuk membangun pohon evolusi yang menggambarkan kekerabatan pada

banyak organisme, maka yang pertama dibutuhkan adalah molekul yang dapat

ditemukan pada semua organisme yang akan diamati. Kemudian molekul tersebut harus

berevolusi dengan lambat pada kelompok organisme tersebut.

Page 24: Makalah Evolusi Molekular

24

Meskipun histon tergolong molekul yang berevolusi dengan lambat, sayangnya

protein ini hanya terdapat pada sel eukariot. Oleh karena itu ribosomal RNA adalah

solusinya. Sequence DNA yang digunakan adalah pada gen yang mengkode RNA untuk

subunit ribosom kecil (16S dan 18S). Setiap makhluk hidup harus mensintesis protein,

dan oleh karenanya hampir semua organisme memiliki ribosom, kecuali pada virus

yang masih diperdebatkan asal usulnya. Ribosom memiliki peran yang tidak bisa

dikesampingkan karena kontribusinya dalam sintesis protein.

Upaya menyusun kekerabatan berdasarkan ribosomal RNA dapat menghasilkan

pohon evolusi yang dapat meliputi hampir semua organisme tingkat tinggi yang

meliputi tumbuhan, hewan, dan fungi. Analisis rRNA mengindikasikan bahwa leluhur

fungi bukanlah organisme fotosintetik, leluhur fungi sudah memisahkan diri dari garis

tumbuhan sebelum adanya kemampuan menggunakan kloroplas. Para ilmuwan botani

bahkan beranggapan bahwa fungi berkerabat dekat dengan hewan daripada terhadap

tumbuhan. Bahkan terungkap munculnya bentukan organisme bersel tunggal dari jalur

evolusi eukariot dan sudah tidak tergolong dalam 3 kingdom utama.

Sebagian besar sel eukariot memiliki mitokondria dan khusus pada sel tanaman

memiliki kloroplas. Kedua organel ini berasal daribakteri simbiotik yang memiliki

ribosom sendiri. Sequence rRNA di mitokondria dan kloroplas menunjukkan adanya

kekerabatan dengan bakteri. Kekerabatan di antara eukariot telah berhasil disusun

dengan menggunakan rRNA dari ribosom di sitoplasma sel eukariot. Ribosom memiliki

ribosomal RNA sendiri yang dikode oleh gen di nukleus.

Bila sebuah pohon evolusi berbasis rRNA yang melingkupi organisme prokariot

dan eukariot, maka terungkap bahwa makhluk hidup di Bumi terdiri atas 3 garis silsilah,

yaitu domain eubacteria (bakteri dan organel), archaea atau archaebacteria (bakteri

purba), dan eukariot. Walaupun tergolong dalam prokariot, sebenarnya nampak jelas

bahwa eubacteria dan archaea memiliki perbedaan yang besar. Sequencing pada rRNA

organel mengindikasikan bahwa mitokondria dan kloroplas tergolong dalam garis

eubacteria.

Sampel DNA yang membawa gen untuk rRNA 16S sudah cukup sebagai modal

untuk penyusunan pohon evolusi. Meskipun mikroorganisme di laut dan tanah sulit

untuk dikultur, DNA organisme tersebut masih dapat diekstrak dan diperbanyak untuk

mendapatkn sequence-nya. Melalui metode semacam ini, kini telah ditemukan

Page 25: Makalah Evolusi Molekular

25

kelompok bakteri yang membentuk percabangan dari garis archaebacteria meskipun

spesimen bakteri sulit untuk dibiakkan.

Archaebacteria dan Eubacteria

Bakteri yang lazim ditemukan dalam kehidupan sehari-hari pada umunya

tergolong bakteri dari kelompok eubacteria. Namun sebenarnya terdapat kelompok

bakteri yang disebut archaebacteria atau juga dikenal sebagai archaea. Kedua bakteri

kelompok ini adalah sel mikroskopik yang tidak memiliki inti sel. Bakteri memiliki

kromosom berbentuk melingkar dan berkembang biak dengan cara membelah diri. Saat

ini telah dipastikan bahwa kedua jenis bakteri tersebut adalah prokariot dan perbedaan

di antaranya tidak terlampau jauh. Akan tetapi, analisis sekuens ribosomal RNA

mengindikasikan bahwa terdapat perbedaan genetik antara archaebacteria dan

eubacteria. Bahkan lebih jauh nampak bahwa achaea memiliki kekerabatan yang lebih

dekat dengan urkariot, yaitu leluhur organisme eukariot masa kini.

Sebagian archaea memiliki DNA yang disertai sejenis protein yang serupa

dengan histon. Protein ini memiliki homologi sekuens dengan histon yang dimiliki

organisme tingkat tinggi. Detail proses sintesis dan faktor translasi archaea lebih mirip

dengan proses serupa yang terjadi pada hewan eukariot. Hal ini mengakibatkan timbul

dugaan bahwa eukariot purba berevolusi dari archaea.

Dari segi biokimia, archaea memiliki beberapa perbedaan besar dengan

eubacteria, yaitu archaea tidak memiliki peptidoglikan serta membran sitoplasmanya

tersusun atas lipida yang tidak lazim. Membran tersebut terbuat dari unit C5 isoprenoid

dan bukannya unit C2 seperti asam lemak pada lazimnya. Rantai isoprenoid tersebut

berikatan dengan gliserol melalui ikatan ether dan bukannya ikatan ester. Beberapa

rantai hidrokarbon isoprenoid tersusun melintasi seluruh membran sel.

Archaea memiliki habitat di lingkungan yang tidak lazim, sebagian besar hewan

ini beradaptasi dalam kondisi yang ekstrim. Archaea dapat ditemukan sumber mata air

panas yang mengandung belerang, cerobong panas di dasar laut, di perairan yang tinggi

kadar garamnya (seperti Laut Mati dan Danau Great Salt Lake), di dalam saluran usus

hewan mamalia, serta tempat-tempat lain dimana bakteri tersebut dapat membentuk gas

methan. Beberapa contoh organisme archaea adalah sebagai berikut.

Page 26: Makalah Evolusi Molekular

26

• Halobacteria: organisme ini mampu mentoleransi kadar garam yang sangat

tinggi dan masih bertahan hidup dalam lingkungan dengan kadar garam 5M

NaCl. Akan tetapi organisme ini tidak dapat hidup dalam lingkungan dengan

kadar garam di bawah 2,5M NaCl (kadar garam air laut hanya 0,6M). Makhluk

ini mendapatkan energi dari sinar matahari dengan memanfaatkan molekul yang

serupa dengan pigmen rhodopsin (seperti rhodopsin yang digunakan sebagai

detektor cahaya pada hewan).

• Methanogen (bakteri penghasil methan): bakteri ini bersifat anaerob obligat dan

sangat sensitif terhadap oksigen. Bakteri ini dapat mengkonversi H2 dan CO2

menjadi CH4 (methan). Metabolisme bakteri ini cukup unik karena memiliki

koenzim yang tidak dimiliki organisme apapun, tetapi juga tidak memiliki flavin

atau quinon yang khusus.

• Sulfolobus: bakteri ini hidup di sekitar sumber panas geotermal, habitat yang

disukai adalah lingkungan dengan pH optimum 2-3 serta suhu 70-80oC. Archaea

semacam ini mengoksidasi sulfur menjadi asam sulfurat. Jenis archaea lain yang

dapat mengoksidasi sulfur umumnya juga ditemui di berbagai habitat yang

ekstrim.

DNA Sequencing dan Klasifikasi Biologi

Sebelum upaya DNA sequencing mulai dikenal, klasifikasi hewan dan tanaman

telah berhasil dikerjakan, sedangkan untuk klasifikasi fungi dan eukariot primitif

lainnya masih belum memberikan hasil yang memuaskan, dan klasifikasi bakteri

dipersulit dengan karakter bakteri yang juga sulit diamati. Oleh karena itu untuk

pengklasifikasian bakteri menggunakan metode sequencing gen, dan hal ini segera

diaplikasikan untuk kelompok organisme lain. Hingga saat ini manusia dapat melacak

leluhur suatu organisme dengan cara membandingkan untaian DNA, RNA, atau protein

yang dapat menggambarkan kekerabatan genetik secara mendasar, daripada

menggunakan ciri eksternal. Dalam situasi dimana pengelompokan ke dalam spesies,

genera, famili, dan sebagainya sulit untuk dilakukan, maka data hasil sequencing dapat

memberikan pengukuran kekerabatan genetik secara kuantitatif. Bahkan bila penentuan

spesies tidak dapat dilakukan dengan tepat, maka data keragaman sequence dapat

dipakai untuk menempatkan suatu organisme dalam spesies atau famili yang mana.

Page 27: Makalah Evolusi Molekular

27

Pada mulanya usaha klasifikasi dengan sequencing dilakukan pada ribosomal

RNA. Akan tetapi semakin banyak data yang telah dihimpun, bahkan hingga tingkatan

genom, maka sangat dimungkinkan untuk menggunakan sejumlah gen sebagai dasar

klasifikasi. Saat ini komputer dapat dimanfaatkan untuk mengkalkulasi keragaman

relatif pada berbagai sequence dan menyajikan hasilnya sebagai diagram pohon.

Pada contoh tersebut digambarkan bahwa terdapat 4 jenis bakteri dari genus

berbeda tetapi masih dalam satu famili Enterobacteria. Untuk membuat interpretasi

yang tepat atas diagram tersebut, maka juga diperlukan sequence dari jenis ”out group”,

dalam contoh tersebut menggunakan data dari bakteri Pseudomonas yang berkerabat

jauh dengan kelompok bakteri enterik tersebut. Nodus pada diagram menyatakan

adanya kesamaan leluhur. Panjang lengan diagram menyatakan jumlah mutasi yang

terjadi dan adanya angka menyatakan jumlah perubahan basa nukleotida yang

diperlukan untuk mengubah suatu sequence pada tiap cabang. Perlu dicatat bahwa

rRNA dengan satuan 16s memiliki panjang 1542 basa nukleotida.

Hewan parasit adalah hewan yang beradaptasi dan mengembangkan kebiasaan

khusus akibat lingkungan yang tidak lazim. Menyusun kekerabatan filogenetik untuk

hewan parasit sulit dilakukan bila berdasar atas analisis ciri semata. Namun dengan

analisis sequence gen dapat digunakan untuk melacak leluhur hewan parasit atau hewan

dengan rupa tidak lazim. Perkembangan bentuk yang tidak lazim akibat pengaruh

habitat tidak hanya terjadi pada hewan parasit. Tikus tanah adalah hewan yang hidup di

bawah tanah atau di gua. Oleh karena hewan ini beradaptasi untuk tidak menggunakan

organ mata, maka hewan ini tidak memiliki mata. Terkadang struktur organ vestigial

tertentu masih dipertahankan kendati hewan yang memiliki organ tersebut sudah tidak

menggunakannya lagi. Contohnya adalah paus yang memiliki alat gerak belakang yang

mengalami atrofi sehingga menunjukkan bahwa paus bukanlah ikan. Paus adalah

mamalia yang beradaptasi utnuk hidup di perairan dengan cara membentuk tubuhnya

seperti ikan. Sebelum metode sequencing gen dikenal, masih belum terungkap mamalia

mana yang berkerabat dekat dengan paus. Namun kini telah diungkap bahwa paus

berkerabat dengan mamalia berkuku dari kelompok kuda nil, jerapah, babi, dan unta.

Kesulitan yang dihadapi dalam metode sequencing adalah basa yang berubah

dapat berbalik ke kondisi semula. Untuk membandingkan berbagai sequence dengan

banyak tapak yang berubah, maka cukup diperlukan teknik statistik. Akan tetapi

Page 28: Makalah Evolusi Molekular

28

kerancuan masih terus menghantui. Untuk mengatasi kerancuan ini, digunakan metode

insersi dan delesi (juga dikenal dengan sebutan sequence pengenal, atau indel).

Meskipun sebuah insersi atau delesi sebuah basa masih dapat mengembalikan

perubahan seperti keadaan semula, kemungkinan bahwa hasil insersi atau delesi akan

kembali ke kondisi semula (merestorasi sequence semula) adalah sangat kecil. Sebagai

konsekuensinya, bila sebuah subgroup famili beberapa sequence berkerabat yang

memiliki indel pada posisi dan panjang yang sama, maka dapat dipastikan sequence

tersebut berasal dari leluhur yang sama.

DNA Mitokondria, Roda Evolusi yang Berputar dengan Cepat

Mitokondria memiliki DNA sirkular yang mirip dengan kromosom bakteri,

walau DNA tersebut lebih kecil. DNA mitokondria mengkode beberapa protein dan

rRNA untuk mitokondria, hanya saja sebagian besar komponennya dikode oleh bagian

inti sel. DNA mitokondria pada hewan mengakumulasi mutasi dengan cepat daripada

gen di inti sel. Tepatnya, akumulasi mutasi terjadi pada posisi kodon ke-3 gen struktural

dan lajunya makin cepat pada tapak regulator antar gen. Hal ini berarti bahwa DNA

mitokondria dapat dipakai untuk pengamatan kekerabatan pada beberapa spesies yang

berdekatan atau berbagai ras dalam satu spesies. Sebagian besar variabilitas pada DNA

mitokondria manusia terjadai pada segmen loop D pada tapak regulator. Sequencing

pada segmen ini membantu peneliti untuk perbedaan beberapa populasi dalam

sekelompok etnis tertentu.

Salah satu kelemahan dalam penggunaan DNA mitokondria adalah bahwa

mitokondria diwariskan dari pihak Ibu. Meskipun sel sperma juga membawa

mitokondria, namun organel tersebut tidak dilepaskan selama terjadi fertilisasi dan tidak

diwariskan. Di sisi lain analisis DNA mitokondria dapat membantu dalam penentuan

leluhur perempuan karena tidak diributkan dengan rekombinasi. Sel eukariot yang

hanya memiliki satu nukleus, tetapi memiliki banyak mitokondria, sehingga terdapat

ribuan salinan DNA mitoondria. Hal ini menyebabkan ekstraksi dan sequencing DNA

mitokondria jauh lebih mudah secara teknis.

DNA mitokondria terkadang dapat diperoleh dari museum dan berbagai hewan

yang punah. DNA mitokondria yang diekstrak dari mammoth beku di Siberia, bila

dibandingkan dengan sequence serupa milik gajah India dan Afrika menunjukkan

Page 29: Makalah Evolusi Molekular

29

perbedaan hanya sebanyak 4-5 dari 350 basa. Quagga adalah sejenis hewan punah yang

mirip dengan zebra. Hewan ini diketahui hidup di selatan daratan Afrika ratusan tahun

yang lalu. Spesimen yang diperoleh dari museum di Jerman menghasilkan potongan

otot dimana DNA akan diekstrak dan disusun sequence-nya. Dua potongan gen dari

DNA mitokondria quagga juga digunakan dalam pengamatan ini. Hasil pengamatan

menunjukkan bahwa tingkat perbedaan basa DNA quagga dan zebra adalah sebesar 5%.

Oleh karena itu dapat disimpulkan bahwa quagga dan zebra berasal dari leluhur yang

sama jutaan tahun yang lalu.

Metode ekstraksi DNA juga pernah dilakukan pada mumi berusia 2400 tahun

dari Mesir. DNA yang berhasil diperoleh hanya sebanyak 5%, tidak sebanyak yang

dapat dilakukan pada spesiemen yang segar. Meskipun peneliti telah berhasil menyusun

sequence sebesar ribuan pasang basa, namun tidak banyak gen yang dapat diungkap.

Hal ini disebabkan sebagian besar DNA pada hewan tingkat tinggi tersusun atas untaian

bukan pengkode. Dari mumi tersebut hanya terungkap adanya elemen Alu yang

merupakan ciri DNA manusia.

Hipotesis “African Eve”

Upaya untuk mengungkap evolusi manusia dari berbagai pecahan tengkorak dan

kerangka kini telah mengerucut pada dua akema alternatif. Pertama adalah model multi-

regional yang menyatakan bahwa Homo erectus berevolusi secara bertahap menjadi

Homo sapiens dan sekaligus juga menyebar menuju Asia, Eropa, dan Afrika. Kedua

adalah model Bahtera Nuh yang menyatakan bahwa sebagian besar percabangan kerabat

manusia telah punah dan digantikan dengan bangsa yang ada saat ini yang merupakan

keturunan dari satu bangsa di masa lampau. Pada umumnya para ahli antropologi

mendukung kedua model tersebut, namun beberapa ahli genetika menganggap bahwa

model Bahtera Nuh lebih masuk akal. Model ini menggambarkan bahwa terjadi

pertukaran informasi genetik secara berkelanjutan pada berbagai suku bangsa yang

tersebar dan terisolasi melintasi putaran waktu yang panjang di masa prasejarah. Tentu

saja analisis molekuler lebih cenderung mendukung model Bahtera Nuh.

Meskipun DNA mitokondria berevolusi dengan cepat, variasi manusia pada

berbagai ras secara keseluruhan ternyata tidak terlalu mengesankan. Kalkulasi pada

berbagai keragaman dan perhitungan laju evolusi pada akhirnya mengungkap bahwa

Page 30: Makalah Evolusi Molekular

30

leluhur manusia hidup di Afrika sekitar 100.000-200.000 tahun yang lalu. Oleh karena

mitokondria diturunkan secara maternal, maka leluhur perempuan umat manusia di

sebut “African Eve”. Pendapat ini diperkuat oleh berbagai analisis akar genetic populasi

Afrika saat ini. Pada sisi lain juga terungkap bahwa berbagai sub-bangsa Afrika tersebar

ke berbagai wilayah jauh sebelum terbentuknya suku bangsa lain di berbagai belahan

dunia.

Leluhur dari bangsa Eropa saat ini berasal dari bangsa Euro-Asia dan bermigrasi

menuju Eropa melalui Timur Tengah sekitar 40.000-50.000 tahun yang lalu. Bangsa

Indian di Amerika berasal dari dua jalur suku bangsa yang bermigrasi dari daratan Asia.

Bangsa Paleo-Indian yang terlebih dahulu tiba menempati wilayah seluruh daratan

Amerika (sekitar 30.000 tahun yang lalu), kemudian pada periode berikutnya hadir

bangsa Na-Dene yang menempati wilayah utara Amerika sekitar 10.000 tahun yang

lalu.

Di samping menggunakan DNA mitokondria, penggunaan sequence mikrosatelit

pada kromosom juga dapat digunakan untuk membandingkan berbagai suku bangsa.

Hasil penelitian filogenetik semacam ini juga menghasilkan kesimpulan yang serupa.

Metode ini juga mengungkapkan bahwa umat manusia berasal dari bangsa Afrika,

bahkan lebih jauh metode ini dapat mengungkap siapa sebenarnya leluhur manusia

100.000 tahun yang lalu.

Terkait dengan sosok Adam, para ahli biologi molekuler menyebut beliau

sebagai Y-guy. Kromosom Y pada manusia yang pendek tidak mengalami rekombinasi

dengan kromosom X yang lebih besar. Hal ini dapat berperan melacak jalur leluhur

laki-laki manusia tanpa adanya kerumitan rekombinasi. Sebagai contoh adalah gen ZFY

pada kromosom Y yang diwariskan dari ayah menuju anak laki-laki dan berperan dalam

maturasi sperma. Data sequence pada ZFY menunjukkan bahwa manusia dan simpanse

berasal dari jalur leluhur yang sama yang hidup sekitar 5 juta tahun yang lalu dan

leluhur laki-laki manusia modern telah hadir sekitar 250.000 tahun yang lalu. Hasil

penelitian terakhir yang melibatkan sejumlah besar marker genetik pada kromosom Y

menunjukkan bahwa munculnya Adam atau Y-guy ini sekitar 100.000 tahun yang lalu.

Hasil penelitian terbaru tentang cluster mutation pada kromosom Y tidak selaras

dengan model multi-regional dan mengkonfirmasi bahwa manusia modern berasal dari

leluhur di Afrika. Hanya saja masih tersisa catatan buruk tentang bangsa Neanderthal.

Page 31: Makalah Evolusi Molekular

31

Meskipun bangsa ini masih bertahan hidup hingga 30.000 tahun yang lalu dan sempat

bersentuhan dengan manusia modern di Eropa dan Timur Tengah, hasil analisis

sequence menunjukkan bahwa leluhur bangsa ini tidak jelas. Perbandingan sequence

DNA menunjukkan bahwa bangsa Neanderthal tidak pernah melakukan persilangan

dengan manusia modern atau berkontribusi dalam gene-pool manusia saat ini.

DNA Purba dari Hewan Punah

Selain dimanfaatkan untuk menganalisis mammoth beku dan mumi kering,

metode sequence DNA pada makhluk hidup juga lazim dipakai untuk mengkonstruksi

skema evolusi. DNA purba yang diekstrak dari fosil sisa-sisa makhluk hidup dapat

menyediakan penanda yang tepat untuk mengukur laju evolusi. DNA tertua yang dapat

diperoleh hingga saat ini adalah DNA dari batuan amber. Amber adalah batuan polimer

resin yang mengeras berbentuk batuan tembus pandang dan telah berusia jutaan tahun.

Terkadang terdapat beberapa hewan yang terjebak dalam resin dan mengalami

pengawetan di dalamnya. Sebagian besar hewan yang terperangkap adalah insecta,

cacing, siput, dan kadal. Batuan amber berperan sebagai preservatif dan oleh karenanya

struktur internal sebuah sel seranga masih dapat diamati dengan mikroskop elektron.

Oleh karena itu sangat dimungkinkan untuk memulihkan kembali DNA melalui PCR

dari spesimen serangga yang telah berusia 125 juta tahun.

Potongan amber terbesar yang pernah ditemukan berukuran tidak lebih dari 6

inchi. Oleh karena itu hewan raksasa seperti dinosaurus tidak pernah ditemukan dalam

keadaan masih awet. Hanya saja bila beberapa sel darah berhasil ditemukan dalam

saluran usus serangga penghisap darah, secara teoritis dapat menyediakan sequence

DNA lengkap dari hewan bertubuh besar. Skenario inilah yang dicoba oleh Michael

Crichton dalam film fiksi Jurassic Park yang dia kerjakan, yaitu mengisahkan bahwa

hewan dinosaurus dapat dihidupkan kembali dengan cara menginsersi DNA dinosaurus

ke dalam telur amphibi. Dalam kondisi sesungguhnya, DNA dinosaurus akan segera

rusak dan hanya sedikit sequence yang dapat dibaca. Tetapi pada prinsipnya bukanlah

hal yang mustahil untuk mendapatkan beberapa fragmen gen Tyrannosaurus rex.

DNA yang telah diisolasi dari berbagai sampel berusia jutaan tahun umumnya

segera mengalami kerusakan sehingga proses identifikasi tidak dapat dilakukan. DNA

tertua yang pernah diperoleh manusia hingga saat ini berusia sekitar 50.000 tahun dan

Page 32: Makalah Evolusi Molekular

32

berasal dari mammoth beku di Siberia. Dari daratan beku tersebut juga ditemukan DNA

tanaman dari rerumputan dan semak yang berusia 300.000-400.000 tahun.

Mikroorganisme juga dapat terperangkap dalam batuan amber dan dalam hal ini

tidak sekedar mendapatkan DNA saja, nampaknya masih dimungkinkan untuk

menghidupkan kembali makhluk tersebut. Spora yang dilapisi selubung protektif pada

umumnya disintesis oleh bakteri untuk menghadapi kondisi lingkungan yang buruk

sehingga bakteri tersebut masih bertahan hidup dalam waktu yang lama. Beberapa spora

bakteri berusia 30 juta tahun telah ditemukan dalam serangga lebah yang terperangkap

dalam amber. Spora tersebut bila ditumbuhkan dalam kultur ternyata dapat

menghasilkan koloni bakteri. Bakteri yang mengalami kebangkitan ini adalah dari jenis

Bacillus sphaericus yang memang selalu ditemukan dalam tubuh lebah hingga saat ini.

Bila DNA Bacillus dibandingkan dengan kerabatnya yang ada di masa kini masih

memiliki kemiripan, tetap tidak identik. Spora dari bakteri jenis yang lain juga telah

ditemukan dan dapat dikultur berasal dari kristal garam berusia 250.000 tahun.

Evolusi Menyamping: Transfer Gen Horizontal.

Teori evolusi yang diajukan Darwin menyatakan bahwa perubahan materi

genetik dapat diwariskan dari satu generasi menuju generasi lainnya. Akan tetapi

sesungguhnya transfer materi genetik juga dapat terjadi antara organisme satu dengan

organisme lain atau antara beberapa organisme yang masih berkerabat. Transfer gen

vertikal mempunyai makna transmisi materi genetik dari generasi parental menuju

generasi turunan secara langsung. Transfer vertikal ini juga dapat berupa transmisi gen

yang terjadi melalui pembelahan sel dan berbagai cara reproduksi yang menghasilkan

salinan utuh suatu genom secara seksual atau tidak. Sedangkan pada transfer gen secara

horizontal/lateral, transmisi materi genetik terjadi dari organisme donor menuju

organisme lain di luar jalur keturunannya.

Sebagai contoh, gen resistensi antibiotik yang dibawa oleh plasmid dapat

dipindahkan ke dalam bakteri lain yang tidak berkerabat. Gen yang dibawa dalam

plasmid terkadang juga terintegrasi dalam kromosom, oleh karena itu gen bakteri dapat

dipindahkan dari genom suatu organisme menuju genom organisme lain. Sebagian besar

gen pada bakteri telah berhasil diungkap sequence-nya. Perhitungan yang dilakukan

berdasarkan data tersebut mengungkapkan bahwa sekitar 5-6% dari genom prokariot

Page 33: Makalah Evolusi Molekular

33

adalah hasil transfer horizontal. Adanya fenomena semacam ini banyak diamati dalam

dunia klinik. Kemampuan virulensi dan resistensi terhadap antibiotik adalah hal yang

lazim dibawa melalui plasmid. Transfer horizontal semacam itu dapat terjadi di antara

organisme dari spesies yang sama (seperti transfer plasmid di antara E. coli) atau

melintasi batasan taksonomi seperti yang terjadi pada transfer Ti-plasmid dari bakteri

menuju sel tanaman. Transfer gen semacam ini ditentukan oleh kemampuan carrier

untuk melintasi batasan antar spesies. Virus, plasmid, dan transposon adalah agen yang

lazim digunakan dalam transfer gen secara horizontal. Retrovirus adalah agen yang

mampu menginsersikan dirinya ke dalam kromosom hewan, mengambil suatu gen, serta

memindahkan gen tersebut menuju organisme lain.

Salah satu contoh transfer gen horizontal pada hewan terkait dengan virogen tipe

C yang terdapat pada baboon dan keluarga kera dari Dunia Lama. Virogen tipe C pada

mulanya telah ditemukan pada leluhur bangsa kera tersebut sejak 30 juta tahun yang

lampau. Selanjutnya terungkap bahwa sequence virogen tipe C ini juga ditemukan pada

berbagai jenis kucing. Tercatat jenis kucing dari Afrika Utara dan Eropa memiliki

virogen tipe C milik baboon ini. Sementara jenis kucing dari Amerika, Asia, dan

Subsahara Afrika tidak memiliki sequence gen ini. Oleh karena itu leluhur bangsa

kucing tidak memiliki gen semacam ini. Labih jauh terungkap bahwa sequence yang

ditemukan di kucing Afrika Utara serupa dengan sequence virogen milik baboon

daripada sequence milik leluhur bangsa kera ini. Oleh karena itu dapat diduga bahwa

bahwa sekitar 5-10 juta tahun yang lalu terdapat retrovirus yang membawa virogen tipe-

C secara horizontal dari leluhur baboon menuju leluhur kucing di Afrika Utara. Kucing

hias yang dipelihara di Eropa sesungguhnya berasal dari daratan Mesir, sehingga dapat

dipastikan membawa virogen tipe C. Akan tetapi bangsa kucing yang berkembang pada

periode 10 juta tahun yang lalu tidak memiliki sequence ini.

Permasalahan dalam Estimasi Transfer Gen Horizontal

Upaya sequencing pada genom manusia kini telah mengungkap bahwa terdapat

ratusan gen manusia yang pada awalnya ditransfer oleh bakteri. Namun hasil analisis

terakhir menunjukkan proporsi gen hasil transfer horizontal tersebut sebenarnya sangat

sedikit. Beberapa faktor yang berkontribusi yang berpengaruh dalam perkiraan jumlah

Page 34: Makalah Evolusi Molekular

34

gen hasil transfer horizontal pada genom manusia atau pada organisme lain adalah

sebagai berikut.

1. Bias selama sampling. Secara relatif masih sedikit genom eukariot yang telah

disusun sequence-nya dengan lengkap, sementara masih terdapat ratusan genom

yang akan disusun. Hilangnya sebuah sequence homolog gen manusia dari sequence

suatu eukariot masih belum bisa membuktikan asal mula sequence tersebut dari

sumber eksternal seperti bakteri. Semakin banyak data sequence yang diperoleh,

maka akan semakin banyak gen yang terungkap

2. Hilangnya sequence homolog pada beberapa garis keturunan yang berkerabat

menunjukkan bahwa terdapat gen yang berasal dari sumber eksternal. Hal yang

dilakukan untuk mengatasi permasalahan ini adalah pengumpulan data sequence

lebih banyak dari berbagai garis keturunan lain yang masih berkerabat.

3. Duplikasi gen yang diikuti dengan laju divergensi yang cepat dapat menghasilkan

gen baru yang terlepas dari garis keturunan suatu organisme.

4. Seleksi evolusioner pada gen tertentu menyebabkan meningkatnya laju perubahan

sequence. Gen yang berevolusi lebih cepat daripada gen yang normal cenderung

menyebabkan kesalahan perbandingan sequence untuk pembentukan pohon evolusi.

5. Mudahnya transfer gen secara horizontal melalui plasmid, virus, dan transposon

dalam kondisi laboratoris ternyata cenderung menyesatkan. Padahal dalam kondisi

di alam masih terdapat barrier yang menghalangi perpindahan tersebut. Lebih jauh,

hasil transfer gen horizontal cenderung bersifat temporer. Gen yang didapat melalui

plasmid, transposon, dan sebagainya ternyata mudah terlepas dan hilang. Gen

semacam itu akan nampak dalam kondisi menghadapi seleksi (seperti gen resistensi

antibiotik), kemudian gen tersebut akan menghilang saat kondisi selektif tersebut

tidak ada.

6. Upaya eksperimental seperti kontaminasi DNA yang sering terjadi. Pada umumnya

parasit dari kelompok bakteri dan virus sering berhubungan dengan organisme

tingkat tinggi dan usaha untuk memurnikan DNA dari organisme parasit tersebut

bukan perkara mudah.

Page 35: Makalah Evolusi Molekular

35

Sebagian besar contoh yang dijelaskan di atas dan dari berbagai kasus transfer

gen horizontal juga menghadapi berbagai permasalahn seperti di atas. Akan tetapi ada

pula kasus transfer yang cukup valid, yaitu salah satunya adalah seringnya terjadi

transfer transfer gen horizontal antara genom mitokondria tumbuhan berbunga. Gen

untuk protein ribosom tertentu di mitokondria terbukti telah ditransfer dari garis

keturunan tanaman monokotiledon menuju beberapa garis keturunan dikotiledon. Salah

satu contohnya adalah transfer gen rps2 pada tanaman kiwi (Actinidia) dan gen rps11

pada tanaman Sanguinaria.

Page 36: Makalah Evolusi Molekular

36

LAMPIRAN

Kromosom Y Jenghis Khan

Sebuah penelitian berskala besar telah membuktikan bahwa 1 di antara 12 laki-

laki di Asia membawa kromosom Y yang berasal dari Mongolia sekitar 1000 tahun

yang lalu. Penelitian tersebut menggunakan 30 marker genetik untuk mensurvey ribuan

laki-laki. Marker tersebut berupa sequence insersi dan delesi, sequence polimorfisme,

dan sequence repetitif. Sebagian besar laki-laki membawa kromosom Y yang

mempunyai kombinasi unik dari berbagai marker tersebut. Akan tetapi sekitar 8% dari

laki-laki di Asia membawa kromosom Y dengan kombinasi marker genetik yang

serupa. Fenomena semacam ini tidak ditemui pada laki-laki di belahan dunia yang lain.

Oleh karena itu laki-laki di Asia yang memiliki marker genetik ”Mongol cluster” hanya

ditemui di wilayah yang dahulu menjadi bagian Imperium Mongolia di bawah

ekukuasaan Jenghis Khan. Sebagai contoh, ”Mongol cluster” tidak ditemukan di Jepang

dan Cina bagian selatan karena kedua wilayah tersebut bukan bagian dari wilayah

kerajaan Mongol. Mongol cluster ditemukan pada 15 populasi yang tersebar di sekitar

bekas wilayah kerajaan Mongol.

Hal yang menarik adalah di Pakistan, dimana hanya sedikit laki-laki Pakistan

yang memiliki ”Mongol cluster”, ternyata muncul suku Hazara yang memiliki 30% dari

populasinya memiliki ”Mongol cluster”. Oleh karena itu dapat diduga bahwa suku

Hazara adalah asal usul bangsa Mongol dan mereka mengklaim diri sebagai turunan

langsung Jenghis Khan. Oleh karena Pakistan tidak tergabung dalam wilayah kerajaan

Mongol, maka diduga suku Hazara bermigrasi di lokasi saat ini mereka berada.

Kromosom Y dari varian tersebut dapat diduga berasal dari Jenghis Khan.

Sekitar 800 tahun yang lalu muncul seorang bernama Temujin yang berhasil

menyatukan Mongolia dan pada tahun 1206 memproklamirkan diri sebagai Jenghis

Khan. Tentara Mongol tercatat membantai kaum laki-laki di wilayah yang mereka

taklukkan, selanjutnya mereka menghamili kaum perempuan yang tersisa. Distribusi

kromosom Y di masa kini membuktikan hal tersebut. Namun belum jelas apakah varian

kromosom Y tersebut berasal dari Jenghis Khan sendiri atau berasal dari prajuritnya.

Akan tetapi bisa dipastikan varian ini tidak berasal dari Jenghis Khan semata karena

pada umumnya prajurit Mongol masih berkerabat.

Page 37: Makalah Evolusi Molekular

37

EVOLUSI MOLEKULAR

Makalah

Untuk memenuhi tugas matakuliah

Evolusi

Yang dibina oleh Bapak Dr. agr. Moh. Amin, S.Pd, M.Si

Oleh:

Safrudin M Abidin 109661521364

Moch. Haikal 109661527719

UNIVERSITAS NEGERI MALANG

PROGRAM PASCA SARJANA

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BIOLOGI

April 2010