leksikon arsitektur hijau dalam bahasa kaili: …
TRANSCRIPT
1
LEKSIKON ARSITEKTUR HIJAU DALAM BAHASA KAILI:PEMANFAATAN KEARIFAN LOKAL
GREEN ARCHITECTURE LEXICON IN KAILI LANGUAGE:UTILIZATION OF LOCAL WISDOM
Deni KarsanaBalai Bahasa Sulawesi Tengah
Jalan Untad 1, Bumi Roviga, Tondo Palu 94118Pos-el: [email protected]
Naskah diterima: 10 Desember 2018; direvisi: 04 Maret 2019; disetujui: 21 Juni 2019
AbstractThis study aims to reveal the lexicons in the Kaili etnic architecture as an effort to protect their ethno-architectural lexicons (houses). Remember the fundamental nature of the house as a necessity for humanlife, the local wisdom embedded in the Kaili house building reflects the concept of green architecture. Thisis an inseparable part of the fact that the language and culture of the houses in the Kaili etnics live, namelyPalu, Sigi and Donggala as areas that often occur in earthquakes (Palu-Koro strike-slip fault). Localknowledge that becomes local wisdom that carries the green architecture concept needs to be preserved.This reflects the value of local wisdom that is environmentally sound by upholding customs for thepreservation of human civilization. The disclosure of this lexicon is done using a qualitative descriptivemethod. Language data in the form of lexicons of house buildings were analyzed to explore the descriptionof Kaili etnics houses, their socio-cultural functions, and the concept of green architecture as disastermitigation efforts. The findings of this study are expected to be able to strengthen research related todisaster mitigation (earthquake) in an interdisciplinary perspective to minimize the impact of disasters onhuman life.Keywords: architecture, ethnic, local wisdom, Kaili
AbstrakKajian ini bertujuan mengungkap leksikon dalam arsitektur suku Kaili sebagai upaya pelindungan terhadapleksikon etnoarsitektur tempat berlindung (rumah) mereka. Mengingat begitu fundamentalnya rumahsebagai kebutuhan hidup manusia, kearifan lokal yang tertanam dalam bangunan rumah suku Kailimencerminkan konsep pembangunan arsitektur hijau (green achitecture). Hal ini menjadi bagian yang tidakterlepaskan dari fakta bahasa dan budaya rumah di daerah suku Kaili tinggal, yaitu Palu, Sigi dan Donggalasebagai wilayah yang sering terjadi gempa (sesar Palu-Koro). Pengetahuan lokal yang menjadi kearifanlokal yang mengusung konsep green architecture perlu dilestarikan. Hal ini mencerminkan nilai kearifanlokal yang berwawasan lingkungan dengan menjunjung adat istiadat demi kelestarian peradaban umatmanusia. Pengungkapan leksikon ini dilakukan dengan menggunakan metode deskriptif kualitatif. Databahasa yang berupa leksikon bangunan rumah dianalisis untuk menggali deskripsi bangunan rumah sukuKaili, fungsi sosial budayanya, dan konsep green architecture sebagai upaya mitigasi bencana. Hasilpenelitian ini diharapkan mampu memperkuat riset sekaitan mitigasi bencana (gempa) dalam perspektifinterdisipliner untuk meminimalkan dampak bencana bagi kehidupan manusia.Kata kunci: arsitektur, etnik, kearifan lokal, Kaili
2
PENDAHULUAN
Tempat berlindung atau rumah
merupakan bagian sistem teknologi
tradisional. Koentajraningrat (2005: 26--27)
menyatakan bahwa beragam jenis dan bentuk
tempat berlindung, seperti tenda dan rumah
yang dibuat oleh beribu-ribu suku bangsa di
seluruh muka bumi dapat digolongkan juga
sesuai dengan bahan mentah yang digunakan.
Di seluruh dunia terdapat tempat berlindung
(atau rumah) yang dibangun dari serat, jerami,
kayu, dan bambu; berbagai suku bangsa
Indian Amerika Utara membangun rumah dari
kulit pohon; di daerah-daerah yang sangat
kering dapat dijumpai rumah-rumah yang
terbuat dari tanah liat; ada suku-suku bangsa
peternak atau suku-suku bangsa yang bermata
pencaharian berburu (suku-suku bangsa yang
menghuni daerah padang rumput di Asia Barat
Daya, Asia Tengah, dan Amerika Tengah)
yang membangun tenda-tenda yang terbuat
dari kulit hewan; sementara orang Eskimo
penduduk Kanada Utara bagian tengah dan
Greenland Utara, membangun rumahnya dari
salju yang telah mengeras yang disebutnya
igloo. Rumah batu adalah rumah yang paling
lazim di berbagai tempat di dunia (terutama di
daerah perkotaan).
Sistem teknologi pembuatan rumah
yang beraneka ragam di dunia ini belum
banyak diteliti antropolog karena bahan-bahan
etnografi yang ada umumnya juga terbatas
pada pelukisan mengenai bentuk kerangka
serta bentuk lahirnya saja, walaupun ada yang
membuat deskripsi mengenai teknik
penyambungan balok-balok, sistem mengikat
berbagai bagian rumah, dan sebagainya.
Secara garis besar, berbagai bentuk rumah
yang ada di dunia dapat diklasifikasikan
sebagai berikut; (1) rumah yang sebagian
berada di bawah permukaan tanah, (2) rumah
yang dibangun di atas tanah, dan (3) rumah
yang dibangun di atas tiang-tiang.
Selanjutnya, Koentjaraningrat juga
menyatakan bahwa dilihat dari segi
pemakaiannya, tempat berlindung dapat
dibagi ke dalam 3 golongan pula, yaitu: (1)
tadah angina, (2) tenda atau gubuk yang
mudah dipasang dan dibongkar, dan (3) rumah
tinggal tetap. Dilihat dari segi fungsi
sosialnya, berbagai jenis rumah tinggal tetap
masih dapat dibagi lagi menjadi: (i) rumah
tangga keluarga kecil, (ii) rumah tangga
keluarga besar, (iii) rumah suci, (iv), tempat
pemujaan, (v) gedung pertemuan, dan (vi)
benteng pertahanan.
Tempat tinggal merupakan hasil
kegiatan arsitektur. Menurut Kamus Besar
Bahasa Indonesia edisi keempat (2014: 82),
arsitektur n 1 seni dan ilmu merancang serat
membuat kontruksi bangunan, jembatan dsb;
2 metode dan gaya rancangan suatu konstruksi
Multilingual, Vol. 18, No.1, Juni 2019
3
bangunan. Kata arsitektur berasal dari kata
dasar arsitek. Menurut Kamus Besar Bahasa
Indonesia edisi keempat (2014: 82), arsitek n
1 ahli merancang dan mengambar bangunan,
jembatan, dsb, biasanya sekaligus sbg
penyelia kontruksinya; 2 ki perencana
(pencipta suatu paham, negara dsb).
Pengertian arsitektur umumnya
dimengerti sebagai suatu ilmu atau studi
merancang bangunan. Arsitektur adalah
sistem mendirikan bangunan termasuk proses
perancangan, konstruksi, struktur, dan juga
mencakup aspek dekorasi dan keindahannya.
Arsitektur hampir selalu identik dengan
aktivitas membangun (konstruksi); dan
membangun berarti menambahkan sesuatu.
Meskipun pengertian awal dari kata arsitektur
sesungguhnya tidak terbatas hanya pada
membangun atau merancang konstruksi
bangunan. Berikut ini pengertian arsitektur.
Arsitektur hampir selalu identik dengan
aktivitas membangun (kontruksi). Asal kata
arsitektur dalam bahasa Indonesia diserap
dari bahasa Latin “architectura” yang secara
etimologi berasal dari bahasa yunani Kuno
“akchitekton”, yang secara harfiah berarti
pembangunan utama (www.kanalinfo.
web.id).
Sebagaimana manusia yang hidup dan
berkembang, tentunya mempunyai
kebutuhan, baik berupa kebutuhan utama
(primer) dan kebutuhan bukan utama
(sekunder) maupun kebutuhan lanjutan
(tersier). Kebutuhan primer manusia berupa
pangan, sandang, dan papan. Kebutuhan akan
tempat tinggal menjadi hal yang utama bagi
manusia. Keberadaaan tempat tinggal suatu
etnik menjadi hal yang unik. Setiap etnik
memiliki kekhasan dalam membangun tempat
tinggal. Bangunan tempat tinggal mencirikan
kekhasan dan kearifan lokal yang ada dalam
suku tersebut.
Arsitektur tempat berlindung suku
Kaili sebagai hasil budaya masyarakat Kaili
yang mencerminkan kearifan lokal etnik
tersebut. Ada banyak produk tempat
berlindung yang dapat diketahui dan
dikenalkan pada masyarakat. Tempat
berlindung yang dibuat oleh etnik Kaili sangat
unik dalam proses pembuatannya dan
terutama tahan terhadap gempa. Suku Kaili
secara umum mendiami tiga wilayah utama,
yaitu Kota Palu, Kabupaten Sigi, dan
Kabupaten Donggala. Gempa yang sering
melanda Sulawesi Tengah, khususnya di Kota
Palu, Kabupaten Sigi, dan Kabupaten
Donggala seperti yang terjadi baru-baru ini
(28 September 2018 lalu) yang meng-
hancurkan bangunan-bangunan, seperti
gedung, hotel, dan rumah-rumah. Semua
bangunan tersebut dibuat dengan kurang
Deni Karsana: Leksikon Arsitektur Hijau dalam Bahasa Kaili:Pemanfaatan Kearifan Lokal
4
memperhitungkan bahwa bangunan-
bangunan itu harus dirancang tahan gempa.
Tulisan arsitektur suku Kaili memang
cukup banyak dibuat, seperti oleh Herniwati
(2008), Nutfa (2012), dan Rahmah (2016).
Akan tetapi, dari semua tulisan tersebut belum
ada yang mengkhususkan pada bidang
leksikon arsitekturnya. Untuk itulah,
penelitian ini dilakukan penulis.
LANDASAN TEORI
Chaer (2003:51) menyatakan bahwa
bahasa itu bersifat unik. Unik artinya
mempunyai ciri khas yang spesifik yang tidak
dimiliki oleh yang lain. Ciri khas itu bisa
menyangkut sistem bunyi, pembentukan kata,
pembentukan kalimat, atau sistem-sistem
lainnya. Selain bersifat unik, Chaer juga
menambahkan bahwa bahasa mempunyai
hubungan yang sangat erat dengan budaya
masyarakat pemakainya. Oleh sebab itu,
analisis suatu bahasa hanya berlaku pada
bahasa itu saja, tidak dapat digunakan untuk
menganalisis bahasa lain.
Menurut Verhaar (2004:13), istilah
leksikon dalam linguistik berarti
perbendaharaan kata-kata itu sendiri atau yang
disebut leksem. Cabang linguistik yang
berurusan dengan leksikon itu disebut
leksikologi. Istilah leksikologi agak jarang
dipakai karena urusan utama para ahli
leksikologi adalah penyusunan kamus, dan
penyusunan kamus disebut leksikografi.
Leksikografi itu tidak lain adalah bentuk
terapan dari leksikologi. Lebih lanjut, Verhar
menyebutkan bahwa setiap bahasa
mempunyai perbendaharaan kata yang cukup
besar, meliputi puluhan ribu kata. Setiap kata
mempunyai arti atau makna sendiri. Urusan
leksografi tidak lain adalah pemerian arti
masing-masing leksem.
Sekaitan dengan itu, Chaer (2007:48)
menambahkan, bahwa leksikon berkaitan erat
dengan bidang-bidang tertentu. Setiap bidang
kegiatan atau keilmuan, selain memiliki
kosakata umum yang sama dengan bidang-
bidang kegiatan lain, juga memiliki sejumlah
kosakata yang khusus digunakan dalam
bidang itu.
Sapir (dalam Bonvillain, 1997:49)
menyatakan bahwa analisis suatu kosa kata
suatu bahasa sangat penting untuk menguak
lingkungan fisik dan sosial tempat penutur
suatu bahasa bermukim. Hubungan antara
kosakata dan nilai budaya bersifat
multidireksional. Sejalan dengan pendapat itu,
Folley (1997:160) menyatakan bahwa bahasa
mengategorisasi realitas budaya. Bahasa
menampakkan sistem klasifikasi yang dapat
dipergunakan untuk menelusuri praktik-
praktik budaya dalam suatu masyarakat.
Multilingual, Vol. 18, No.1, Juni 2019
5
Kajian seperti ini setidaknya
melibatkan dua payung ilmu, yaitu linguistik
antropologi (anthropological linguistics) dan
antropologi linguistik (linguistic
anthropology). Artinya, kajian tentang
leksikon dengan potensi daerah dalam suatu
bahasa tidak hanya dilakukan terbatas dalam
konteks lingusitik semata, tetapi juga
dilakukan dalam konteks sosial budaya yang
lebih luas sehingga mampu menjangkau
fungsinya dalam menopang praktik
kebudayaan (Folley, 2001). Selanjutnya,
Wierzbicka (1997:40) menyatakan bahwa
kata mencerminkan dan menceritakan
karakteristik cara hidup dan cara berpikir
penuturnya dan dapat memberikan petunjuk
yang sangat bernilai dalam upaya memahami
budaya penuturnya.
Menurut Putra (2008:12--13) kearifan
lokal mencakup berbagai pengetahuan,
pandangan, nilai serta praktik-praktik dari
sebuah komunitas baik itu yang diperoleh dari
komunitas, masyarakat, atau budaya lain di
masa kini. Oleh karena itu, kearifan lokal
didefinisikan sebagai perangkat pengetahuan
dari praktik-praktik baik yang berasal dari
generasi-generasi sebelumnya maupun dari
pengalaman berhubungan dengan lingkungan
dan masyarakat lainnya milik suatu komunitas
di satu tempat yang digunakan untuk
menyelesaikan secara baik dan benar berbagai
persoalan dan/atau kesulitan yang dihadapi.
Selanjutnya, Putra juga menambahkan
bahwa, pengetahuan manusia tersimpan dalam
bahasa, karena bahasa merupakan wahana
utama manusia untuk menyampaikan
pengetahuan dari suatu individu ke individu
yang lain.
Menurut Rahman (dalam laman
www.bangunan88.com ) konsep arsitektur
hijau (green architecture) adalah sebuah
kesadaran lingkungan arsitektur yang tidak
hanya memasukkan aspek utama aristektur
(kuat, fungsi, nyaman, rendah biaya, estetika,
tetapi juga memasukkan aspek lingkungan
dari sebuah green buildings, yaitu efisiensi
energi, konsep keberlanjutan, dan pendekatan
secara holistik terhadap lingkungan.
Arsitektur hijau memiliki pengertian sebagai
sebuah istilah yang menggambarkan tentang
ekonomi, hemat energi, ramah lingkungan,
dan dapat dikembangkan menjadi
pembangunan berkesinambungan.
Rahman menambahkan bahwa
arsitektur hijau mencakup keselarasan antara
manusia dan lingkungan alamnya. Arsitektur
hijau mengandung juga dimensi lain, seperti
waktu, lingkungan alam, sosiokultural, ruang
serta teknik bangunan. Arsitektur hijau juga
didefinisikan sebagai arsitektur yang
berwawasan lingkungan dan berlandaskan
kepedulian tentang konservasi lingkungan
Deni Karsana: Leksikon Arsitektur Hijau dalam Bahasa Kaili:Pemanfaatan Kearifan Lokal
6
global alami dengan penekanan pada efisiensi
energi, pola berkelanjutan dan pendekatan
holistik. Bertitik tolak dari pemikiran desain
ekologi yang menekankan pada saling
ketergantungan dan keterkaitan antara semua
sistem dengan lingkungan lokalnya dan
biosfer. Kredo bentuk energi berkelanjutan
diperluas menjadi bentuk lingkungan
berkelanjutan yang berdasarkan pada prinsip
recycle, reuse, dan reconfigure.
Menurut Handayani (2009: 154--155),
ada lima prinsip dalam desain green
architecture untuk menopang green design
dalam pembangunan berkelanjutan, yaitu (1)
hemat energi; (2) memperhatikan kondisi
iklim; (3) penggunaan material bangunan
dengan memperhatikan ekosistem dan sumber
daya alam; (4) tidak berimplikasi negatif
terhadap kesehatan dan kenyamanan
pengguna bangunan; (5) merespons tapak dari
bangunan.
METODE PENELITIAN
Metode yang digunakan dalam
penelitian ini dalah metode deskriptif, yaitu
memberikan gambaran secara objektif
mengenai fakta yang ada. Jenis penelitian ini
adalah penelitian kualitatif. Penulis
melakukan tiga tahap strategis, yaitu
pengumpulan data, pengolahan data, dan
penyajian hasil analisis data. Sudaryanto,
(1993:9) membagi metode dan teknik
penelitian menjadi 3, yaitu (1) metode dan
teknik pengumpulan data atau penyediaan
data, (2) metode analisis data, dan (3) metode
dan teknik penyajian hasil analisis data.
Untuk teknik pengumpulan data,
penulis menggunakan teknik catat, misalnya
mencatat setiap kata yang dapat digolongkan
sebagai istilah arsitektur dalam bahasa Kaili.
Bahan-bahan yang dijadikan sumber
pencarian data berupa data primer dan data
sekunder. Sumber data primer adalah orang
yang mengetahui istilah arsitektur tradisional
dalam masyarakat Kaili dan sumber
sekundernya berupa buku-buku yang memuat
istilah arsitektur tradisional dalam bahasa
Kaili.
Setelah data terkumpul dan
diklasifikasi, tahap berikutnya adalah
pengolahan data. Dalam proses pengolahan
data digunakan teknik pengklasifikasian data
berdasarkan bahan yang dipakai dan cara
mengolah atau membuatnya. Setelah itu data
disajikan sesuai dengan tahapan permasalahan
yang hendak disajikan, yaitu deskripsi
leksikon etnoarsitektur berdasarkan jenis
tempat berlindung, berdasarkan bagian-
bagiannya, berdasarkan bahan bangunan,
fungsi leksikone Etnoarsitektur sebagai
tempat berlindung etnik Kaili, dan konsep
Multilingual, Vol. 18, No.1, Juni 2019
7
green architecture sebagai upaya mitigasi
bencana.
PEMBAHASAN
Klasifikasi dan Deskripsi Data
Pengertian istilah arsitektur dalam
bahasa Kaili tidak hanya mengacu pada
bentuk bangunan atau bendanya, tetapi
meliputi proses pembuatan bangunan tersebut.
Dalam hal ini, penulis membahas produk atau
hasilnya, bagian bagunan, dan bahan
bangunan yang digunakan dalam tempat
berlindung.
1. Leksikon Etnoarsitektur Berdasarkan
Jenis Tempat Berlindung
Klasifikasi leksikon etnoarsitektur
berdasarkan jenis tempat berlindung pada
etnik di Sulawesi Tengah secara umum
menurut Mahmud (1987: 58) adalah (1) sou,
yaitu pondok yang didirikan di sekitar sawah
dan ladang, (2) lolu, yaitu tempat yang dibuat
khusus untuk berteduh, (3) kandepe, yaitu
tempat tinggal sementara, dan (4) bente atau
benteng. Namun demikian, untuk jenis tempat
berlindung pada suku Kaili dapat terbagi atas
(1) sou, (2) gampiri, (3) banua, (4) bantaya,
(5) barunju, (6) kalampa, (7) lolea, (8) soki-
soki, (9) masigi, (10) garega, dan (11) bente.
Kesebelas jenis tempat berlindung ini merujuk
pada fungsinya masing-masing dalam
masyarakat. Berikut ini akan djelaskan
dekripsi kesebelas jenis tempat berlindung
tersebut.
Sou
Sou merupakan bentuk bangunan
rumah panggung. Ada dua jenis sou, yaitu sou
yang biasa dan sou yang istimewa (souraja).
Secara struktur utama sama bentuknya. Istilah
sou sebenarnya hanya bermakna pondok.
Pondok merupakan bangunan untuk tempat
sementara (seperti yang didirikan di ladang, di
hutan dan sebagainya. Dengan demikian,
berbeda istilah sou dengan istilah souraja. Sou
hanya diperuntukkan pada bangunan yang
bersifat sementara dan tidak permanen,
sedangkan souraja bersifat tetap atau
permanen. Istilah souraja diperuntukkan
untuk bangunan yang istimewa, yang
memiliki lebih banyak pernak–pernik dalam
membangunnya, karena dipakai untuk raja dan
keluarganya.
Souraja disebut juga banua mbaso
‘rumah besar’. Souraja merupakan bangunan
rumah untuk golongan bangsawan. Souraja
memiliki sebutan yang berbeda-beda, yakni
banuambaso, sapo oge (sapo bose), dan banua
magau. Souraja merupakan rumah tradisional
tempat tinggal para bangsawan, yang berdiam
di pantai atau di kota. Kata souraja dapat
diartikan rumah besar, merupakan rumah
Deni Karsana: Leksikon Arsitektur Hijau dalam Bahasa Kaili:Pemanfaatan Kearifan Lokal
8
kediaman tidak resmi dari manggan atau raja
beserta keluarga-keluarganya.
Gampiri
Gampiri adalah tempat penyimpanan
padi atau hasil pertanian lainnya atau sebagai
tempat penyimpanan barang-barang yang
sangat berharga yang dimiliki oleh keluarga
secara turun-temurun. Gampiri biasanya
berada di samping rumah, terpisah dan
dibangun seperti model rumah panggung
dengan pintu kecil di depannnya. Gampiri
umumnya berukuran 2 x 2 meter, berbentuk
bujur sangkar. Tidak memiliki pembagian
ruang, karena fungsinya sebagai tempat
menyimpan.
Banua
Banua merupakan istilah untuk
tempat tinggal secara umum; rumah. Dahulu
banua menggunakan dinding dari papan atau
bambu tebal yang diserut dan dianyam dan
beratapkan daun rumbia. Banua merupakan
bangunan tempat tinggal (rumah) yang
berbentuk panggung. Banua merupakan
rumah sederhana dan tradisional etnik Kaili
yang berstatus bukan bangsawan. Ada dua
jenis banua, yaitu kataba (rumah golongan
menengah) dan tinja kanjai (rumah untuk
golongan biasa. Kataba (pataba) berarti
rumah papan. Tipe kataba, yakni berbentuk
rumah panggung yang ditopang dengan tiang-
tiang balok dan beralaskan batu. Atapnya
terdiri dari atap rumbia atau seng saat ini.
sedangkan tinja kanjai berarti rumah ikat.
Tinja kanjai ialah bentuk rumah sederhana
yang tingginya kurang lebih 75--100 cm di
atas tanah. Tiang-tiangnya diikat dan lantai
beralaskan bambu.
Bantaya
Bantaya atau disebut juga baruga
(bahasa Pamona/Baree) merupakan salah satu
bentuk bangunan khas tradisonal. Bentuk
bangunan bantaya adalah biasa saja,
bangunan ini hanyalah sebuah rumah
panggung yang panjang. Bantaya hanya
merupakan bangunan yang berfungsi sosial
dan sebenarnya bukan tempat dilaksanakan
upacara adat. Ada dua macam bantaya dilihat
dari sifatnya, yaitu (1) yang bersifat
sementara: didirikan di saat keluarga
bangsawan mengadakan pesta, yaitu sebuah
bangunan yang disediakan untuk menampung
para tamu. Jadi, bantaya hanyalah berupa
bangunan tambahan sementara, dan akan
segera dibongkar apabila pesta telah selesai;
dan (2) yang bersifat tetap adalah hasil
swadaya masyarakat yang ditujukan untuk
maksud-maksud sosial, seperti: a) pesta
keramaian kampung, b) tempat berkumpul
untuk membicarakan hal-hal yang tidak terlalu
Multilingual, Vol. 18, No.1, Juni 2019
9
prinsipil, karena yang menyangkut masalah
adat dilakukan di rumah adat, dan c) tempat
tinggal sementara kaum musafir dari kampung
lain.
Kalampa
Kalampa merupakan bangunan
sementara yang dibuat untuk kepentingan
khusus. Kalampa merupakan dapur yang
cukup besar dan terbuka yang didirikan di
sekitar rumah yang sifatnya sementara yang
digunakan pada saat adanya pesta besar
sebuah keluarga etnik Kaili. Bangunan
kalampa dibuat sederhana, karena akan
dibongkar kembali saat selesainya acara pesta.
Barunju
Barunju merupakan jenis bangunan
tradisional masyarakat Kaili yang disusun
bertingkat. Barunju berbentuk rumah biasa
hanya bertingkat. Barunju dapat dilihat
sebagai rumah (banua) yang dibangun secara
bertingkat. Umumnya, posisi ruangan tingkat
tidaklah berada di depan, tetapi di belakang
atau di tengah bagian rumah tersebut.
Lolea
Lolea merupakan bentuk bangunan
yang sederhana yang menghubungkan dua
tempat yang terpisah oleh sungai atau kali.
Lolea disebut untuk titian atau jembatan.
Secara umum lolea dibangun tanpa atap, tetapi
pada zaman Belanda, beberapa jembatan
panjang di Sulawesi Tengah yang berfungsi
sebagai penghubung utama menggunakan
struktur beratap.
Soki-soki
Soki-soki dikenal juga sebagai
beranda. Soki-soki merupakan bangunan
dengan model segi empat, beratap dan tanpa
dinding, terbuka. Soki-soki berfungsi
sebagai tempat santai.
Masigi
Masigi atau masjid merupakan tempat
ibadah untuk umat yang beragama Islam.
Agama Islam dibawa oleh para musafir dan
saudagar yang berkunjung ke Sulawesi
Tengah. Masigi dapat menampung jamaahnya
dalam melaksanakaan salat dengan jumlah
yang besar.
Garega
Garega atau gereja merupakan tempat
ibadah untuk umat yang beragama nasrani
atau Kristen. Agama Kristen yang dibawa dan
dianut oleh bangsa Eropa (Belanda) saat itu,
masuk Sulawesi Tengah.
Bente
Bente atau benteng dibangun untuk
melindungi masyarakat Kaili dari serangan
Deni Karsana: Leksikon Arsitektur Hijau dalam Bahasa Kaili:Pemanfaatan Kearifan Lokal
10
musuh, baik dari kerajaan lain maupun dari
penjajahan Belanda.
2. Leksikon Etnoarsitektur Berdasarkan
Bagian-bagiannya
Klasifikasi leksikon etnoarsitektur
berdasarkan bagian-bagiannya pada tempat
berlindung pada suku Kaili akan dijelaskan
berikut ini.
Souraja memiliki atap yang berbeda
dari bangunan tempat tinggal lainnya.
Atapnya berbentuk piramida segitiga, bagian
depan dan belakang atapnya ditutup dengan
papan yang dihiasi dengan ukiran disebut
panapiri dan pada ujung bubungan bagian
depan dan belakang diletakkan mahkota
berukir disebut bangko-bangko.
Seluruh bahan bangunan souraja ini
mulai dari lantai, dinding balok-balok terbagi
atas tiga ruangan, yaitu lonta karawana, lonta
tata ugana, dan lonta rorana. Lonta karawana
atau ‘ruang depan’, ruang yang dibiarkan
kosong, berfungsi untuk menerima tamu.
Dahulu sebelum ada meja dan kursi, di
ruangan ini dibentangkan tikar yang disebut
onysa. Ruangan ini juga untuk tempat tidur
tamu yang menginap. Ruangan kedua adalah
ruang tengah, disebut lonta tata ugana yang
diperuntukkan bagi tamu keluarga. Ruangan
ketiga adalah ruang belakang, disebut lonta
rorana. Lonta rorana berfungsi sebagai ruang
makan, tetapi terkadang ruang makan berada
di lonta tatanga. Antara dinding ruangan
dibuatkan kamar-kamar tidur. Khusus untuk
kamar tidur perempuan atau anak-anak gadis
biasanya ditempatkan di pojok belakang lonta
rorana, maksudnya agar mudah diawasi oleh
orang tua. Untuk tamu perempuan dan para
kenalan dekat, diterima di ruang makan.
Avu ‘ruang dapur’, buvu ‘sumur’ dan
pototai ‘jamban’ dibuatkan bangunan
tambahan atau ruang lain di bagian belakang
rumah induk. Untuk menghubungkan rumah
induk dengan dapur dibuatkan jembatan
beratap disebut hambate. Dibagian ini kadang-
kadang dibuatkan pekuntu, yakni ruangan
terbuka atau berangin-angin anggota keluarga.
Di kolong dapur diberi pagar sekeliling,
sedangkan di bawah rumah induk dibiarkan
terbuka dan kadang-kadang menjadi ruang
kerja untuk pertukangan atau keperluan-
keperluan lainnya. Sedangkan loteng rumah
dipergunakan untuk menyimpan benda-benda
pusaka dan lain-lain.
Bangunan souraja cukup unik dan
artistik. Hal ini dilihat dari hiasannya yang
berupa kaligrafi huruf Arab terpampang pada
jeruji-jeruji pintu atau jendela, atau ukiran
pada dinding, loteng, di bagiang lonta
karavana, pinggiran cucuran atap, papanini,
bangko-bangko dengan motif bunga-bungaan
dan daun-daunan. Semua hiasan tersebut
Multilingual, Vol. 18, No.1, Juni 2019
11
melambangkan kesuburan, kemuliaan,
keramahtamahan, dan kesejahteraan bagi
penghuninya.
Sistem struktur rumah panggung
souraja menggunakan tiang penyangga dan
tidak menggunakan pondasi hanya batu
sebagai alas untuk melindungi dari
kelembapan tanah. Konstruksi dengan bentuk
rumah panggung memungkinkan keberadaan
rumah tetap aman apabila terjadi gempa.
Gempa tersebut hanya menyebabkan terjadi
pergeseran. Apabila terjadi guncangan gempa
yang sangat kuat (diatas skala 6 richter) yang
berbeda, kerusakan yang terjadi pun tidaklah
terlalu banyak merugikan dibanding dengan
bentuk rumah modern yang terbuat dari
kontruksi beton dan batu. Selain itu, pada saat
tertentu, kapeo ‘tempat kosong di bawah
rumah atau kolong rumah’ juga dipergunakan
sebagai aktivitas pemilik rumah dan
keluarganya.
Gampiri tidak mempunyai pembagian
ruang. Gampiri hanya mempunyai satu ruang
sebagai tempat penyimpanan hasil pertanian,
seperti padi (beras) dan palawija (jagung).
Banua tidak mempunyai ruang yang
lengkap dibanding dengan Souraja
(mbanuambaso). Banua mempunyai beberapa
ruang, yaitu teras, ruang tamu, ruang tidur,
ruang dapur, dan kamar mandi yang terletak
di belakang serta terpisah. Secara umum
banua terdiri atas beberapa ruangan, yaitu
kamar tidur, ruang tamu, dan ruang makan.
Banua mempunyai polava ‘pengalas
utama pada lantai rumah yang tinggi’. Banua
memiliki tambale ‘teras’ di bagian depan dan
beberapa ruang. Ruangan-ruangan tersebut
adalah kavana ‘ruang tengah’ yang berfungsi
juga sebagai ruang tamu. Selain itu, ruang
lainnya adalah kamara ‘kamar’ yang
berfungsi sebagai tempat tidur si pemilik
rumah tersebut. Di bagian teras biasanya juga
ada palava dala, ‘pagar pembatas yang berada
di teras’ yang berfungsi menghalangi orang
agar tidak jatuh langsung ke bawah. Di
sebelah depan teras rumah, tersedia tangga
untuk naik. Di belakang tersedia pula tangga
untuk turun ke belakang.
Banua menggunakan lantai yang
disebut jaula avo ‘lantai bambu’. Jaula avo ini
menggunakan bahan dari batang pohon
bambu yang dibelah. Batang bambu yang
dibelah, kemudian serut permukaan dan
pingirnya hingga halus. Batang bambu yang
telah dibentuk sesuai dengan ukuran panjang
dan lebar yang dirangkai dengan
mengggunakan tali yang terbuat dari lauro
‘rotan.’
Bantaya tidaklah memiliki pembagian
ruang. Ruangan bantaya terbuka tanpa kamar,
mempunyai pintu (vamba) dan tangga
(lanjara) di bagian depan samping kiri dan
Deni Karsana: Leksikon Arsitektur Hijau dalam Bahasa Kaili:Pemanfaatan Kearifan Lokal
12
samping kanan atau sering juga di bagian
belakang. Dinding setinggi pinggang (ukuran
1 meter), sisanya dibiarkan terbuka tanpa
dinding, kemudian lantainya rata. Kontruksi
bangunan sama saja dengan rumah-rumah
panggung yang ada di kampung sekarang dan
tanpa dapur.
Kalampa dibangun tanpa memiliki
pembagian ruangan. Kalampa merupakan
ruangan terbuka yang cukup luas untuk
beraktivitas para ibu dalam memasak.
Kalampa biasanya dibangun berada di
belakang atau samping rumah yang
mengadakan pesta.
Bangunan tempat berlindung yang
memang dibangun tanpa memikirkan
pembagian ruangan adalah lolea (lolu) yang
merupakan penghubung antara dua tempat
yang terpisah karena aliran sungai. Ukuran
panjang lolea (lolu) bergantung pada lebar
sungai, sedangkan lebar lolea bergantung pada
kebutuhan masyarakat setempat.
Selanjutnya, tempat berlindung
lainnya pada masyarakat Kaili adalah soki-
soki. Sama halnya dengan kalampa, soki-soki
dibangun tanpa memiliki pembagian ruangan.
Soki-soki dibangun untuk berfungsi sosial,
yaitu tempat untuk bersantai atau beristirahat.
Masigi atau masjid dibangun tanpa
mengunakan pembagian ruangan seperti
halnya rumah yang memiliki ruang tamu,
ruang makan, ruang tidur, dapur atau kamar
kecil. Masjid mempunyai sebuah ruangan
umum untuk beribadah. Perkembangan
berikutnya, masjid memiliki beberapa
ruangan. Pertama, ruangan untuk mimbar
yang berada di tengah bagian ujung depan, dan
di sisinya ada ruang untuk penyimpanan
peralatan dan ruangan untuk marbot atau
pengurus masjid yang tinggal. Kedua, ruangan
untuk beribadah tanpa tempat duduk, hanya
beralaskan tikar atau karpet dan sajadah.
Ketiga, di bagian depan masjid, terutama di
sisinya, biasanya ada satu ruangan atau tempat
yang berupa menara. Menara ini dibangun
untuk mengumandangakan azan. Keempat,
kamar mandi dan tempat wudhu ditempatkan
terpisah dari masjid. Meski terpisah, kamar
mandi dan tempat wudhu masih dalam seputar
area kepemilikan masjid.
Selanjutnya, masjid saat ini dibangun
dengan berbentuk bangunan bertingkat.
Secara umum, bagian lantai atas dan lantai
bawah tidak ada pembagian fungsi pada
lantainya, lantai atas dan lantai bawah dipakai
untuk beribadah (salat dan mengaji). Akan
tetapi, ada juga masjid yang dibangun secara
modern dan luas, membagi fungsi lantainya.
Lantai pertama atau bawah dipakai untuk
kegiatan-kegiatan yang bermanfaat, seperti
pernikahan dan seminar. Untuk lantai kedua,
atas dipakai untuk beribadah.
Multilingual, Vol. 18, No.1, Juni 2019
13
Selanjutnya, garega atau gereja dahulu
dibangun tanpa memikirkan adanya
pembagian ruangan. Perkembangan
berikutnya ini gereja dibangun dengan
membagi beberapa ruangan. Ada ruangan
untuk pendeta bermimbar dan jemaat
mendengarkan khutbah (pastoral). Ada
ruangan untuk pengakuan dosa. Ada ruangan
untuk kamar kecil atau toilet. Tidak ada istilah
dalam bahasa Kaili untuk ruangan pada
garega.
Seperti halnya dengan lolea, bente
dibangun tanpa memikirkan ruangan. Bente
atau benteng memang berfungsi sebagai
tempat berlindung dari musuh yang datang
menyerang. Selain itu, bente dibangun untuk
membatasi wilayah atau daerah kepemilikan
suatu kerajaan atau seseorang.
3. Leksikon Etnoarsitektur Berdasarkan
Bahan Bangunan
Klasifikasi leksikon etnoarsitektur
berdasarkan bahan yang digunakan pada
tempat berlindung pada suku Kaili akan
dijelaskan seperti berikut ini.
Bangunan souraja berbentuk rumah
panggung yang ditopang sejumlah tiang kayu
balok persegi empat dari kayu keras, seperti
kayu ipi ‘kayu ulin’, bayan, atau sejenisnya.
Penggunaan kayu pada bangunan souraja
begitu mendominasi.
Gampiri dibangun dengan
menggunakan bahan berupa kayu, dan
berdinding papan atau dinding yang terbuat
dari bambu yang dianyam (gedek) dan
beratapkan daun rumbia atau seng pada saat
ini (modern).
Dalam membangun banua atau pataba
masyarakat Kaili pada zaman dahulu
menggunakan bahan-bahan dasar bangunan
yang berupa kayu, bambu, atap rumpia atau
ijuk, yang berasal dari lingkungan sekitarnya.
Umumnya, jenis kayu yang digunakan dalam
membangun banua adalah kayu ulin, kayu
besi, kayu nangka dan sebagainya.
Kalampa dibangun dengan beberapa
batang kayu sebagai tiang yang diikat oleh vao
‘tali kulit kayu’ dan diberikan atap dari daun
rumbia. Atap daun rumbia ini terbuat dari
sejumlah daun rumbia yang disusun dan diikat
di sebatang bilah bambu. Kalampa ini tidak
memiliki lantai atau hanya berlantaikan tanah.
Akan tetapi, dalam kesehariannnya untuk
beraktivitas digelar tikar atau terpal sebagai
alas para ibu yang bekerja di situ.
Barunju menggunakan kayu sebagai
tiang, dan berdinding papan atau bambu yang
dibangun secara bersusun (tingkat), berlantai
papan atau bambu, bisa satu atau dua tingkat,
tergantung kemampuan si empunya rumah
dalam membangun. Untuk menghubungkan
antara lantainya, digunakan tangga. Biasanya
Deni Karsana: Leksikon Arsitektur Hijau dalam Bahasa Kaili:Pemanfaatan Kearifan Lokal
14
bangunan tingkat ini dibangun pada posisi
tengah atau belakang, bukan di bagian muka
dari rumah tersebut. Perkembangan
berikutnya, kemajuan ekonomi pada
masyarakat Kaili dan kemajuan zaman
menyebabkan barunju ini dibangun dengan
menggunakan beton dan tembok dinding,
tidak lagi menggunakan kayu atau bambu.
Akhirnya, ketika datang bencana seperti
gempa, menyebabkan runtuh dan
menimbulkan korban baik harta maupun
nyawa, terlebih bangunan dibuat asal jadi dan
tanpa menggunakan atau memikirkan struktur
bangunan yang tahan gempa. Selain itu,
dibangun tanpa konsultasi pada ahli perancang
bangunan atau arsitek terlebih dahulu.
Lolea (lolu) yang merupakan jembatan
sederhana ini dibuat dari satu atau dua papan
atau batang kayu. Batang kayu yang
digunakan untuk jembatan ini adalah batang
kayu kelapa (kayu kaluku). Umumnya dibuat
pegangan yang terbuat dari kayu tiang
penyangga di masing-masing ujung jembatan
dan untuk pegangan yang dibuat dari bambu
(avo, bolovatu). Tinggi pegangan setinggi satu
meter dari atas permukaan tanah dan
jembatan, yang dibuatkan di sebelah kiri dan
kanan, agar si penyeberang dapat berjalan
menyeberang dengan baik. Untuk pegangan,
selain menggunakan pasak dari kayu, untuk
mengikatnya antara kayu dengan bambu
digunakan tali yang terbuat dari lauro ‘rotan’.
Lebar jembatan bergantung pada
kebutuhan masyarakat yang
menggunakannya, terkadang hanya satu
meter, yang diperuntukkan untuk pejalan kaki.
Jika lebarnya lebih dari satu meter, beberapa
buah kayu kelapa lebih dari dua dan di
atasnya ditaruh papan-papan biasanya
jembatan itu dilalui untuk kendaraan, seperti:
sepeda, motor, dan gerobak. Perkembangan
berikutnya lolea, berubah menjadi jembatan
berkontruksi secara tradisional berubah
menjadi modern yang berkontruksi baja dan
beton dikarenakan kendaraan yang
melewatinya pun bertambah jenisnya, seperti
mobil dan truk. Salah satu jembatan yang
dibangun dengan konstruksi beton dan baja
serta berarsitektur yang indah, di Kota Palu
(jembatan Ponulele/Kuning), tinggal
kenangan, karena tidak sanggup menahan
gempa dengan 7,4 skala richter dan tsunami
yang melanda Kota Palu.
Soki-soki merupakan bangunan
berlindung dari panas dan hujan. Soki-soki ini
dibangun bentuk panggung. Bangunan soki-
soki ini menggunakan kayu sebagai tiang dan
berlantai kayu papan, serta dinding pendek
sebagai penghalang di tiga sisinya, dan
menggunakan ata loda ‘beratap daun rumbia
yang diikat pada bilah bambu yang disusun
Multilingual, Vol. 18, No.1, Juni 2019
15
rapi’. Jarak antara lantai dan tanah kira-kira
50 cm dari permukaan tanah. Soki-soki ini
dibuat terpisah dan diletakkan di pojok atau
sudut halaman. Berfungsi sebagai tempat
santai dan bersenda gurau. Kadang-kadang
soki-soki digunakan sebagai tempat untuk
berbicara dengan tamu ketika berbicara santai
atau suatu hal yang tidak resmi atau juga
sebagai tempat jaga.
Perkembangan berikutnya Soki-soki
tidak hanya untuk tempat pribadi, banyak
dibangun sebagai bagian tempat usaha. Soki-
soki ini sebagai tempat yang nyaman untuk
para tamu duduk- duduk, makan dan minum.
Beberapa tahun ini soki-soki banyak
ditemukan di tempat-tempat wisata Kota Palu,
seperti di pinggir Pantai Talise, rumah makan
atau restoran, dan kafe-kafe.
Masigi berbentuk bangunan persegi
panjang dengan beberapa tiang kayu sebagai
sokoguru atau penyangga atap (kubah), lantai
dan dinding dari papan, setiap dinding ada
jendela yang cukup besar, dan pintu di sisi
kanan, kiri dan depan, menggunakan atap dari
seng, serta menggunakan kubah dengan
hiasan lambang bulan dan sabit di atasnya.
Kubah masjid pada zaman dahulu terbuat dari
kayu beratap model segi empat. Dan
kemudian kubah pun dipasang berbentuk bulat
dari dengan rangka besi dan seng yang dilas.
Seiring perkembangan zaman, bentuk masjid
perkembangan berikutnya tidak bertiang kayu
(diganti dengan tiang beton), tidak ada kolong
lagi, lantai dan dindingnya pun berubah dari
dopi ‘papan’ ke rindi ‘tembok’. Bahkan, saat
ini dibangun dengan bertingkat. Kubahnya
yang besar terbuat dari besi dan logam
lainnya.
Garega atau gereja dibangun dengan
menggunakan model rumah yang tanpa
ruang. Sebuah gereja dibangun dengan
menggunakan dinding papan. Di bagian depan
ada pintu yang cukup besar dan di dalamnya
terdapat banyak kursi atau bangku yang
berjejer rapi, sebagai tempat jemaat, dan
sebuah mimbar di depan untuk pendeta
berbicara. Umumnya, di dalam gereja terdapat
ornament kayu salib dan Yesus Kristus serta
patung Bunda Maria. Seiring perkembangan
zaman, bentuk gereja mengikuti
perkembangan berikutnya tidak menggunakan
kayu (diganti dengan dinding dan tiang beton).
Bente dikenal sejak zaman raja-raja
dahulu, yaitu suatu lokasi perlindungan yang
terdiri dari parit dan timbunan tanah dan di
sekelilingnya ditanami pohon bambu yang
rapat. Dalam perkembangannya juga dapat
berupa tumpukan batu-batu gunung (batu
kali) yang disusun secara rapi mengelilingi
suatu daerah atau tempat. Bente atang benteng
dibangun untuk melindungi dari serangan
musuh. Perkembangan berikutnya, bente atau
Deni Karsana: Leksikon Arsitektur Hijau dalam Bahasa Kaili:Pemanfaatan Kearifan Lokal
16
benteng ini kemudian dibangun menggunakan
bahan berupa batu kali yang disusun dengan
memakai adukan semen dan pasir,
membentuk dinding pagar. Selanjutnya, bente
ini hanya mempunyai satu pintu, baik untuk
masuk maupun keluar. Pintu dari benteng ini
biasanya sangat kokoh, terbuat dari batang-
batang kayu yang disatukan. Saat ini, bente
sulit diketemukan, kalaupun ada hanya berupa
pagar besi dan tembok yang mengelilingi
bekas kerajaan.
Fungsi Leksikon Etnoarsitektur Tempat
Berlindung Etnik Kaili
Berdasarkan fungsi sosial-budayanya,
fungsi leksikon tempat berlindung Etnik Kaili
diklasifikasikan menjadi (1) fungsi sosial, (2)
fungsi pengetahuan, (3) fungsi seni, dan (4)
fungsi lingkungan. Leksikon etnoarsitektur
tempat berlindung mempunyai fungsi sosial,
membangun rumah dilakukan secara bersama-
sama. Bahkan, dahulu etnik Kaili untuk
membangun rumah harus melalui proses adat,
yakni melalui musyawarah terlebih dahulu.
Berbagai upacara adat juga dilakukan, yaitu
pada saat mulai melubangi tiang, mendirikan
rumah, dan menyelamati rumah. Leksikon
etnoarsitektur yang memiliki fungsi sosial
adalah leksikon bantaya, soki-soki, masigi,
dan garega. Jenis bangunan tempat
berlindung ini berpotensi memperkuat tali
persaudaraan di anatara warga pada
masyarakat Kaili.
Fungsi pengetahuan pada leksikon
etnoarsitektur tempat berlindung (rumah)
terlihat pada sekaitan bahan bangunan rumah,
waktu baik mendirikan rumah, ukuran dari
berbagai bahan bangunan rumah yang menjadi
produk pengetahuan yang mencerminkan
kearifan lokal. Pengetahuan masyarakat Kaili
akan kondisi geografis membuktikan bahwa
masyarakat Kaili memiliki kesadaran yang
tertanam sejak dahulu, seperti saat sebelum
mendirikan rumah, didahului dengan
penelitian tanah untuk tempat di mana rumah
itu akan didirikan. Teknik penelitian tanah itu
sifatnya tradisional, antara lain dengan
memasukkan lidi ke dalam tanah atau
memasukkan ujung parang sedalam lima senti
meter ke dalam tanah yang sedang diteliti yang
diiringi mantra-mantra, di mana nanti akan
nyata apakah itu tempat itu baik atau tidak
baik bagi lokasi bangunan perumahan.
Pekerjaan penelitian tanah tersebut dilakukan
oleh orang yang ahli (dukun) yang khusus
bertugas untuk itu. Jadi, dukunlah yang
menentukan tempat di mana sebaiknya
bangunan itu didirikan.
Bahkan, salah satu etnik Kaili, yakni
orang Tompu yang berada di desa atau dusun
Tompu, di Kabupaten Sigi, terkenal mahir
membuat bangunan berupa sou, bantaya,
Multilingual, Vol. 18, No.1, Juni 2019
17
kalampa ‘dapur sementara yang digunakan
pada saat pesta’, rovu ‘gubuk’, dan barunju
‘rumah kayu yang bertingkat atau bersusun’.
Bangunan-banguna tersebut didirikan di tanah
yang layak untuk ditempati. Pemakaian bahan
bangunan yang diambil dari alam sekitarnya,
beberapa jenis kayu yang merupakan unsur
penting dalam ritual adat, misalnya tidak
boleh dijadikan bahan bangunan. Untuk
menentukan waktu yang tepat mendirikan
rumah, orang Tompu berpatokan pada
kombinasi dari tiga hal, yaitu hari baik, posisi
matahari di langit, dan hitungan bulan di langit
(kalender tahun komariah).
Selain itu, orang Tompu mempunyai
cara tersendiri dalam mengukur panjang
pendeknya bahan bangunan. Mereka tidak
biasa menggunakan meteran, tetapi cukup
menggunakan anggota tubuh saja, misalnya:
salotu ‘seruas jari tangan’, sandanga ‘satu
jengkal’, sanjiku ‘dari ujung jari tengah
sampai siku’, sanggepe ‘dari ujung jari tengah
sampai ketiak’ , sandapa ‘satu depa’,
sampeangga ‘setinggi badan’. Bahkan,
dengan peralatan sederhana orang Tompu
mampu mengerjakan pekerjaan yang rumit
dan dengan bermodalkan sebilah parang
seorang pemuda Tompu berani
mempersunting gadis, akrena dengan itu dia
mampu mendirikan pondok atau rumah untuk
tempat tinggal keluarga dan untuk
mengerjakan talua ‘ladang’.
Menurut Handayani (2009), arsitektur
memiliki dua makna sekaligus, yakni
arsitektur sebagai seni atau ilmu membangun
dan arsitektur sebagai hasil suatu karya cipta
(bangunan yang dihasilkan. Sekaitan dengan
itu, leksikon etnoarsitektur tempat berlindung
etnik Kaili juga berkaitan dengan seni
membangun yang menghasilkan suatu produk
atau karya cipta dari bangunan tersebut.
Fungsi seni ini terlihat dalam leksikon sou
raja sebagai produk seni yang dihasilkan dan
leksikon lonta karavana, lonta tangana, dan
lonta rarana yang menjadi bagian dari seni
membangun rumah dengan baik untuk urusan
pemanfaatan ruang secara maksimal. Fungsi
seni sangat kental pada pembuatan ukiran
penghias atap rumah, penulisan kaligrafi, dan
ukiran daun pintu. Kearifan lokal yang
berwujud artefak berupa bangunan tempat
berlindung yang terekam dalam leksikon
etnoarsitektur dapat menciptakan
terpeliharanya kondisi ekosistem dan
sumberdaya.
Fungsi lingkungan berkaitan dengan
penggunaan bahan bangunan tempat
berlindung yang bersahabat dengan alam dan
lingkungan, seperti: avo, kayu, vatu, lauro,
dan tava rumbia yang tidak menjadi sampah
karena dapat terurai oleh tanah. Pemahaman
Deni Karsana: Leksikon Arsitektur Hijau dalam Bahasa Kaili:Pemanfaatan Kearifan Lokal
18
ini tak terlepas dari kesadaran lingkungan
yang dimiliki masyarakat Kaili ketika
membangun rumah yang berwawasan
lingkungan.
Konsep Green Architecture sebagai Upaya
Mitigasi Bencana
Tempat berlindung etnik Kaili
tampaknya memenuhi klasifikasi bangunan
yang menerapkan arsitektur hijau (green
Architeutre). Hal ini dilihat dari pemilihan
material bangunan yang berkelanjutan
(sustainable material), seperti: batu alam,
bambu, kayu, rotan, atau daun rumbia. Hal
ini terlepas dari fakta bahasa dan budaya yang
melingkupi pengetahuan dan ada tempat
berlindung akan material bangunan yang
bersahabat dengan alam.
Konsep green architecture (arstektur
hijau) terlihat dari penggunaan bahan
bangunan etnik Kaili. Bahan bangunan tempat
berlindung menggunakan bahan alami dari
alam dan menghasilkan efisiensi dalam bahan
bangunan rumahnya, sebagai contoh, leksikon
ompa ‘tikar dari bambu’, laya ‘tikar kecil dari
bambu untuk jemur tembakau’, vunja ovo
‘tiang bambu’, vitate ‘dinding bambu’, jaula
‘lantai’, yang terbuat dari bambu yang
merupakan bahan berkelanjutan karena
bersifat ekonomis dan ekologis. Selain bambu,
bahan bangunan alam lainnya yang diterapkan
dalam membuat tempat berlindung
masyarakat Kaili adalah batu alam, kayu,
rotan, ijuk, dan daun rumbia. Hal ini terekam
dalam leksikon palo nu banua ‘batu pengalas
tiang rumah’ yang menggunakan vatu ‘batu
alam’ sebagai pondasi rumah penahan tanah
dari bencana gempa dan kelembaban tanah;
vamba ‘pintu’ pelaba ‘jendela’, tinja ‘tiang’
baik tinja vumbu ‘tiang rumah yang sampai
bubungan’ maupun tinja kanga ‘tiang yang
tidak sampai bubungan”, polante ‘lantai’,
rindi dopi ‘dinding papan’ dari material kayu;
vao ‘tali dari kulit kayu’ dan lauro ‘rotan’
sebagai pengikat antara bambu dengan bambu,
atau menyambungkan kayu tiang dengan kayu
tiang, atau membuat meja dan kursi atau
perabot rumah lainnya; ata opi ‘atap ijuk’ dan
ata loda ‘atap yang mengunakan daun rumbia
yang dianyam dan diikat pada bambu’ sangat
baik bagi sirkulasi udara, rumah menjadi tidak
panas.
Konsep green architecture (arsitektur
hijau) yang digunakan oleh masyarakat Kaili
dapat menjadi gambaran bahwa masyarakat
Kaili sebenarnya memiliki kesadaran akan
kondisi iklim dan letak geografis daerah
pemukimannya. Kesadaran ini disebut
mitigasi bencana karena adnaya pengetahuan
lokal yang berwawasan lingkungan. Mitigasi
bencana ini berlangsung dari suatu generasi
ke generasi melalui proses transmisi dalam
Multilingual, Vol. 18, No.1, Juni 2019
19
bingkai adat istiadat yang masih ada. Fakta
bahwa penggantian struktur dan model rumah
dan pembangunan yang serampangan di Kota
Palu, Sigi, dan Donggala, sepuluh tahun
belakangan ini turut menghadirkan bencana.
PENUTUP
Leksikon arsitektur tempat
perlindungan suku Kaili memiliki dapat
diklasifikasikan berdasarkan jenis, bagian, dan
bahan bangunan. Berdasarkan jenisnya,
leksikon arsitektur etnik Kaili untuk tempat
berlindung meliputi (1) sou, (2) gampiri, (3)
banua, (4) bantaya, (5) barunju, (6) kalampa,
(7) lolea, (8) soki-soki, (9) masigi, (10)
garega, dan (11) bente. Berdasarkan
pembagian ruangan, leksikon arsitektur etnik
Kaili untuk tempat berlindung meliputi lonta
karawana ‘ruang depan’, lonta tata ugana,
‘ruang tengah’ dan lonta rorana‘ ruang
makan’, avu ‘dapur’, pototai ‘jamban’,
hambate ‘jembatan penghubung rumah induk
dengan dapur’, pekuntu ‘ruang terbuka atau
berangin-angin bagi anggota keluarga yang
terletak antara rumah induk dengan dengan
dapur’, panapiri ‘papan penutup sisi atap
rumah yang diukir’, bangko-bangko ‘mahkota
atap rumah’, polava ‘pengalas utama pada
lantai rumah yang tinggi’, tambale ‘teras’,
kavana ‘ruang tengah’, kamara ‘kamar’,
palava dala, ‘pagar pembatas yang berada di
teras’, jaula ‘lantai’, ata ‘atap’, rindi
‘dinding’, vamba ‘pintu’, pelaba ‘jendela’,
dan tangga ‘tangga’. Berdasarkan bahan
bangunan yang digunakan, leksikon arsitektur
etnik Kaili untuk tempat berlindung meliputi
avo bambu’, volovatu ‘bambu batu’, kau
‘kayu’, lauro ‘rotan’, vatu ‘batu’, tava rumbia
‘daun rumbia’, gampuga ‘ijuk’, vao ‘tali kulit
kayu’, dan opi ‘ijuk’.
Leksikon arsitektur tersebut selain
mempunyai fungsi lingual, ternyata juga
mempunyai fungsi sosial budaya, seperti:
fungsi sosial, fungsi pengetahuan, fungsi seni,
dan fungsi lingkungan. Keempat fungsi
tersebut mencerminkan adanya konsep
arsitektur hijau (green architeure) dari
pemahaman masyarakat etnik Kaili akan
leksikon etnoarsitektur yang berkaitan dengan
penggunaan suatu material bangunan yang
berkelanjutan. Bahan tersebut meliputi avo,
vatu, kayu, vao, lauro, serta tava rumbia, yang
memenuhi prinsip penerapan green
architecture sebagai acuan mitigasi bencana
masyarakat dari potensi bencana banjir,
longsor, dan gempa bumi sehingga menopang
terciptanya tujuan pembangunan yang
berkelanjutan.
Deni Karsana: Leksikon Arsitektur Hijau dalam Bahasa Kaili:Pemanfaatan Kearifan Lokal
20
DAFTAR PUSTAKA
Depdikbud. 1986. Arsitektur Tradisional Daerah Sulawesi Tengah. Proyek Penelitian danPencatatan Kebudayaan Daerah. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Bonvillain, Nancy. 1977. Language, Culture and Communication: The Meaning of Messages.New Jersey: Prentice Hall, Inc.
Chaer, Abdul 2003. Linguistik Umum. Jakarta : Rhineka Cipta.
--------------. 2007. Leksikologi & Leksikografi Indonesia. Jakarta: Rhineka Cipta.
Evans, Donna. 2003. Kamus Kaili Ledo-Indonesia-Inggris. Jakarta: Pemda Provinsi SulawesiTengah dan Dinas Kebudayan dan Pariwisata.
Fasya, Mahmud dan Iwan Ridwan. 2017. “Konsep Green Architecture dalam LeksikonEtnoarsitekturt Rumah Adat Kuta (Kajian Etnolinguistik di Kampung Kuta, Ciamis)”.Makalah Kolita, Unika Atmajaya, 5--7 April 2017. Jakarta: Atmajaya.
Folley, William A. 1997. Linguistic Anthropology. Cambridge: Cambridge University.
----------.. 2001. Anthropological Linguistics. Massachusetts: Blackwell Publisher Inc.
Handayani, S. 2009. Arsitektur dan Lingkungan (Suatu Pengantar tentang Arsitektur yangTanggap Lingkungan). Bandung: UPI
Herniwati, Andi .2008. “Penghematan Enegi pada Arsitektur Tradisional Suku Kaili “dalam jurnalSmartek Vol 6, No.1 Februari 2008: 63-70. Palu: Fakultas Teknik Universitas Tadulako.
Koentjaraninrat. 2005. Pengantar Antropologi: Pokok-Pokok Etnografi II. Jakarta: Rineka Cipta.
Mahmud, Zohrah. 1987. Adat Istiadat Daerah Sulawesi Tengah. Proyek Penelitian dan PencatatanKebudayaan Daerah. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Nutfa, Mohammad. 2012. “Baruga: Makna, Simbol, Daya dan Fungsi” pada lamanhttp://nutfa.blogspot.com/2012/11/tentang-rumah-adat-suku-kaili-baruga.html diaksespada tanggal 18 september 2018.
Prahman, Deri. “Definisi Green Architecture (Arsitektur Hijau) “posted 10 Februari 2018.www.banguna88.com. diakses pada tanggal 15 November 2018.
Putra, Heddy Shri Ahimsa. 2008. Ilmuwan Budaya dan Revitalisasi kearifan Lokal: TantanganTeoritis dan Metodologis. Yogyakarta: Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada.
Rahmah, Siti. 2017. Rumahku Istanaku. Jakarta: Badan Pengembangan dan Pembinaan BahasaIndonesia.
21
Sudaryanto. 1993. Metode dan Aneka Teknik Analisis Bahasa: Pengantar Penelitian WahanaKebudayaan Secara Linguistik. Yogyakarta: Duta Wacana University Press.
Verhaar, JWM. 2004. Asas-Asas Linguistik Umum. Jogyakarta: Gajah Mada University Press.
Wierbitzka, Anna. 1997. Understanding Cultures Through Their Key Words: English, Russian,Polish, German, and Japanese. New York: Oxford University Press.
www.kanalinfo.web.id. “Pengertian Arsitektur” tanggal akses 10 Januari 2019.