laporan patgul uts - fiza balya. fix

63
Laporan Praktikum Hari/Tanggal : Kamis/28 Feb- 21 Mar 2013 Teknologi Pati, Gula, Golongan : P3 dan Sukrokimia Dosen : Dr.Ir. Titi Candra Sunarti , MSi Asisten : 1. Ade Damayanti F34090064 2. Duwi Ichsan Yahya F34090128 PEMBUATAN GULA MERAH CETAK, GULA SEMUT, GULA INVERT, DAN PRODUK HIDROLISAT PATI, SERTA ANALISIS MUTU PRODUK GULA Balya Al Bashir (F34100097) Hafizah Khaerina (F34100110)

Upload: hafizah-khaerina

Post on 16-Feb-2015

166 views

Category:

Documents


29 download

TRANSCRIPT

Page 1: Laporan Patgul Uts - Fiza Balya. FIX

Laporan Praktikum Hari/Tanggal : Kamis/28 Feb- 21 Mar 2013

Teknologi Pati, Gula, Golongan : P3

dan Sukrokimia Dosen : Dr.Ir. Titi Candra Sunarti , MSi

Asisten :

1. Ade Damayanti F34090064

2. Duwi Ichsan Yahya F34090128

PEMBUATAN GULA MERAH CETAK, GULA SEMUT,

GULA INVERT, DAN PRODUK HIDROLISAT PATI,

SERTA ANALISIS MUTU PRODUK GULA

Balya Al Bashir (F34100097)

Hafizah Khaerina (F34100110)

DEPARTEMEN TEKONOLOGI INDUSTRI PERTANIAN

FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

2013

Page 2: Laporan Patgul Uts - Fiza Balya. FIX

I. PENDAHULUAN 

A. Latar BelakangIndonesia merupakan negara yang memiliki perkebunan penghasil gula yang cukup luas dan

tersebar di berbagai daerah. Tidak dapat dipungkiri, tersedianya bahan baku baik dari tanaman tebu,

kelapa, aren dan lain-lain seharusnya dapat menjadi peluang dalam pasar lokal maupun pasar

internasional. Namun kenyataannya, Kurangnya teknologi pengolahan adalah salah satu kendala yang

dihadapi di negara ini menyebabkan Indonesia masih melakukan import gula khususnya gula tebu

karena permintaan masyarakat yang tinggi. Agroindustri merupakan salah satu bentuk industri

berbasis produk-produk pertanian maupun perkebunan. Perekonomian Indonesia memperoleh

dukungan yang cukup besar dari sektor industri tersebut. Salah satu produk agroindustri potensial dan

telah berperan aktif dalam meningkatkan sumber devisa negara adalah produksi gula., sehingga

produk-produk yang dihasilkan dari tebu kurang memiliki nilai kualitas yang tinggi.

Gula merupakan senyawa kimia yang termasuk karbohidrat sehingga memiliki

kemampuansebagai sumber energi. Karakteristik gula antara lain mempunyai rasa manis, larut dalam

air, dan mempunyai sifat aktif optik. Gula yang paling banyak diperdagangkan sebagai bahan

makanan adalah gula sukrosa (saccharose) yang berbentuk kristal putih. Gula sukrosa diproses dari

beberapa bahan baku utama yaitu nira aren, nira tebu, dan nira kelapa. Nira secara alami terdapat

dalam berbagai macam tanaman yang mengandung gula. Nira adalah cairan bening yang keluar dari

bunga kelapa yang pucuknya belum membuka atau pohon penghasil nira lain seperti aren, siwalan,

dan lontar yang disadap. Cairan ini merupakan bahan baku untuk pembuatan gula

Jenis gula yang sering ditemui di pasaran yaitu gula merah cetak dan gula pasir, sedangkan gula

semut dan gula invert banyak ditemui di industri-industri. Semua jenis gula tersebut memiliki potensi

untuk dikembangkan menjadi suatu peluang usaha. Meningkatnya teknologi yang sekarang sudah

berkembang baik dari transportasi hingga prosesnya, seharusnya sudah dapat meningkatkan

produktivitas dari industri tersebut. Untuk itu diperlukan pembelajaran untuk para mahasiswa

agroindustri untuk mempelajari produk gula ini, baik dari inovasi bahan baku, produk,

teknologi prosesnya, hingga produk yang memenuhi keinginan konsumen. Pembelajaran produk-produk gula ini dimulai dari mengetahui karakteristik gula seperti gula

merah, gula invert dan gula semut. Dalam praktikum pati gula ini dipelajari bagaimana cara

pembuatan dan analisis produk sehingga dapat diketahui bagaimana mutu gula yang dihasilkan.

Analisis produk gula untuk mengetahui sifat fisik dan sifat kimia dari masing-masing produk gula.

Hal yang termasuk sifat fisik antara lain kekerasan dan warna produk. Sedangkan hal yang termasuk

sifat kimia adalah bagian yang tidak larut dalam air, kadar gula pereduksi dan kadar sukrosa. Sifat-

sifat ini yang menentukan kualitas dari produk gula yang dihasilkan dalam suatu industri.

B. TujuanPraktikum ini bertujuan untuk mempelajari proses pembuatan gula merah cetak dari nira tebu,

mempelajari proses pembuatan gula semut dari gula kelapa dan gula aren, mempelajari proses

pembuatan gula invert dengan metode asam tartarat dan metode HCl, mempelajari proses pembuatan

produk hidrolisat pati, dan menganalisis sifat fisik dan kimia produk gula merah, gula semut, gula

invert, dan produk hidrolisat pati.

Page 3: Laporan Patgul Uts - Fiza Balya. FIX
Page 4: Laporan Patgul Uts - Fiza Balya. FIX

II. METODOLOGI

A. Alat dan Bahan1. Pembuatan Gula Merah Tebu

Pada praktikum pertama, akan dilakukan ekstraksi nira dari tebu dan produksi gula merah

dari tebu. Adapun bahan yang digunakan adalah batang tebu, nira tebu yang dihasilkan, kapur,

minyak goreng. Alat yang digunakan adalah mesin penggiling tebu, nampan, pisau, saringan,

penggorengan, kompor, pengaduk, kertas indicator pH dan cetakan gula.

2. Pembuatan Gula Semut

Pada praktikum yang kedua ini, dipelajari proses pembuatan gula palma atau sering

disebut dengan gula semut. Bahan baku utama yang digunakan untuk pembentukan gula semut

adalah gula cetak dari bahan kelapa dan aren. Sementara bahan tambahan yang digunakan adalah

gula pasir, air dan santan kelapa/minyak nabati. Adapun alat yang digunakan pada praktikum ini

adalah wajan, saringan, timbangan, kompor, sendok, pisau dan pengaduk kayu.

3. Pembuatan Gula Invert

Pada praktikum ketiga ini, dibuat gula invert dari sukrosa. Gula sukrosa yang digunakan

berasal dari gula pasir, gula kelapa, gula aren. Bahan kimia yang digunakan sebagai katalis

adalah HCl sebagai asam mineral, dan asam tartarat sebagai asam organik. Adapun alat yang

digunakan adalah gelas piala, pengaduk, termometer, sendok, dan pemanas/kompor listrik

4. Produksi Hidrolisat Pati

Pada praktikum pembuatan produk hidrolisat pati digunakan bahan-bahan sebagai berikut :

pati, CaCO3, termamil 60 L (α-amylase), amiloglukosidase, iod, HCl 3%, arang aktif, kertas

saring, dan kertas pH. Sedangkan alat-alat yang digunakan adalah erlenmeyer, hot stirer,

autoclave, pipet tetes, inkubator goyang, corong buchner, penyarig vakum, labu penyaring

vakum.

5. Analisis Mutu Produk Gula

Pada percobaan ini, diperlukan bahan-bahan sebagai berikut : larutan Luff, KI 20%, H2SO4

24%, Na2S2O5 0,1 N, indikator kanji 0,5%, DNS, NaOH, Potasium Sodium Tartarat, phenol,

Sodium Metabiosulfit,dan glukosa. Adapun peralatan yang digunakan adalah pipet ukur, tabung

reaksi, gelas piala, spektrofotometer, kuvet, refraktometer, erlenmeyer, pendingin balik,

pemanas, labu ukur, gelas ukur, dan buret.

A. Metode1. Gula Merah

Tebu

Pengupasan dan pemotongan tebu menjadi lempengan-lempegan tipis, kemudian penimbangan

Penggilingan sehingga terperas menjadi nira; volume nira yang dihasilkan diukur.

Page 5: Laporan Patgul Uts - Fiza Balya. FIX

2. Gula Semut

3. Gula Inverta. Metode asam tartarat

Pencetakan gula dengan cetakan bambu

Pengeringan gula

Pemasakan nira sampai mengental dengan terus diaduk, tambahkan minyak nabati jika berbusa

Pengecekan kematangan gula dengan diteteskan ke air dingin, menjadi benang yang mudah dipatahkan

Gula cetak

Gula Merah

Pencairan

Penguapan

Penambahan minyak

Pengujian kemasakan

Pengadukan cepat

Gula semut

100 g gula

Page 6: Laporan Patgul Uts - Fiza Balya. FIX

b. Metode HCl

4. Produksi Hidrolisat Pati

a. Maltodekstrin dengan katalis asam

pencampuran

Pemanasan 100ᵒC, 30 menit

penetralan

Pengadukan cepat

Gula invert

0,1134 g Na2CO3

100 g gula

pencampuran

Pemanasan 100ᵒC, 30 menit

penetralan

Pengadukan cepat

Gula invert

0,1134 g Na2CO3

0,1 g asam tartarat42 ml air

42 ml HCl 0.1%

500 ml larutan pati

Pengaturan keasaman larutan dengan HCl 1 N hingga pH 2

Page 7: Laporan Patgul Uts - Fiza Balya. FIX

b. Maltodekstrin dengan katalis enzim

c. Sirup glukosa dengan katalis asam

500 ml larutan pati 30%

Penambahan 200 ppm CaCl2 dan pengaturan keasaman larutan dengan HCl 1 N hingga pH 2

Penambahan 0,7 µl/g enzim dan panaskan sambil diaduk rata pada suhu 100oC, 30 menit

Pendinginan larutan dalam loyang ke dalam freezer suhu -4oC, 11 jam

Pengeringan pada oven suhu 50oC

Penghalusan adonan yang telah kering dan ayak

500 ml larutan pati

500 ml larutan pati 30%

Pengaturan keasaman larutan dengan HCl 1 N hingga pH 2

Pemanasan dan pengadukan pada suhu 100oC selama10 menit

Penetralan larutan dengan NaOH 1 N hingga pH 4,2

Penuangan pada loyang

Pengeringan pada oven suhu 50oC

Pengeringan dan pengayakan adonan

500 ml larutan pati

Page 8: Laporan Patgul Uts - Fiza Balya. FIX

d. Sirup glukosa dengan katalis enzim

Pemanasan sambil diaduk rata pada suhu 100oC selama60 menit

Pengujian iod sampai negatif dan dinetralkan larutan dengan NaOH 1 N hingga pH 4,2

Penuangan pada loyang

Pengeringan pada oven suhu 50oC

Pengeringan dan pengayakan adonan

500 ml larutan pati

500 ml larutan pati

Pengaturan keasaman larutan dengan HCl 1 N hingga pH 2

Pemanasan sambil diaduk rata pada suhu 100oC selama10 menit

Penetralan larutan dengan NaOH 1 N hingga pH 4,2

Penuangan pada loyang

Pengeringan pada oven suhu 50oC

Penghalusan dan pengayakan adonan yang telah kering

500 ml larutan pati

Page 9: Laporan Patgul Uts - Fiza Balya. FIX

5. Analisis Produk Gula

5.1. Uji Warna

5.2. Uji Kekerasan

5.3. Bagian yang Tidak Larut Air

.

Sebanyak 20 gram contoh ditambah 200 ml air panas

kemudian diaduk hingga larut

Dalam keadaan panas, kemudian disaring dengan menggunakan kertas saring yang

telah dikeringkan dan ditimbang

Dinalisa warnanya dengan calori-meter (merk Colori Tec-PCM).

Gula disiapkan

Diperoleh nilai L, a, b; gunakan

persamaan: °H= tan -1(b/a)

Gula cetak disiapkan

Dinalisa tingkat kekerasannya dengan penetrometer.

Hasil dinyatakan dalam mm/10 detik/bobot beban

Page 10: Laporan Patgul Uts - Fiza Balya. FIX

5.4. Gula Pereduksi (Metode Luff Schoorl)

]

.

Mendinginkan dan menimbang bobotnya

Kemudian gelas piala dan kertas dibilas dengan air panas

Terakhir, kertas saring dikeringkan pada oven suhu

105°C selama 2 jam

Sebanyak 2 gram contoh dilarutkan dalam air dan dimasukkan ke dalam

labu ukur 250 ml.

Labu ukur dikocok dan ditambahkan aquades sampai tanda tera kemudian dikocok 12 kali

Larutan didiamkan beberapa menit sebelum akhirnya disaring

Sebanyak 10 ml larutan hasil penyaringan dipipet dan dimasukkan ke dalam erlenmeyer

Ditambahkan 15 ml aquades dan 25 ml larutan Luff serta beberapa butir batu didih

Kemudian Erlenmeyer dihubungkan dengan pendingin balik selama 10 menit dipanaskan

Page 11: Laporan Patgul Uts - Fiza Balya. FIX

5.5. Gula Pereduksi (Metode DNS)

a. Pereaksi DNS

.

kemudian dingkat dan didinginkan (erlenmeyer tidak boleh mengalami goncangan)

Setelah dingin, ditambahkan 10 ml larutan KI 20% dan 25 ml H2SO4 25% dengan hati-hati karena akan terbentuk gas CO2 sehingga buih

terbentuk

Larutan dititrasi dengan larutan tio 0,1 N sebagai indicator menggunakan larutan kanji 0,5%

Prosedur blanko seperti di atas ditentukan dengan

menggunakan 25 ml aquades dan 25 ml larutan Luff.

Sebanyak 10,6 gram DNS dan 19,8 gram NaOH dilarutkan ke dalam 1416

ml aquades

Setelah larut sempurna, ditambahkan 306 gram potassium sodium tartarat, 7,6 gram phenol (sebelumnya mencairkannya terlebih dahulu pada 50°C) dan 8,3 gram sodium metabisulfit

Dititrasi 3 ml larutan ini dengan HCl 0,1 N mengggunakan indicator phenolptalein, volume titrasi sebanyak 5-6 ml

Ditambahkan NaOH bila dibutuhkan sebanyak 2 gram untuk setiap ml penggunaan HCl 0,1 N pada titrasi tadi

Page 12: Laporan Patgul Uts - Fiza Balya. FIX

b. Standar Glukosa

Standar glukosa dibuat pada selang 50-250 ppm.

c. Cara Analisa

Sebanyak 1 ml contoh dimasukan ke dalam tabung reaksi, ditambahkan 3

ml pereaksi DNS

Diletakkan di dalam air mendidih selama 5 menit (tepat), kemudian didinginkan hingga suhu

kamar

Contoh dibaca dengan spektrofotometer pada panjang gelombang 550 nm

Ditetapkan pula blanko seperti cara di atas, tetapi sebagai pengganti contoh sebaiknya digunakan

aquades

Kemudian absorbansi atau % transmittance diukur dan dicatat

Kurva standar dibuat dengan membuat larutan glukosa konsentrasi 100 ppm, 150 ppm, 200 ppm, dan 250 ppm

Nilai yang dapat digunakan adalah

pada selang transmittance 20%-80%.

Page 13: Laporan Patgul Uts - Fiza Balya. FIX

5.6. Kadar Sukrosa (Metode Luff Schoorl)

Sebanyak 50 ml hasil saringan pada penetapan gula pereduksi dimasukkan

ke dalam labu ukur 100 ml.

didinginkan dan dinetralkan dengan menambahkan NaOH 30% hingga netral (ditambah indicator phenolptalein

sehingga terbentuk warna merah muda).

Ditambahkan 25 ml HCl 25% dan dihidrolisis pada suhu 68-70°C selama 10 menit

Ditepatkan tanda tera dan dikocok hingga 12 kali. Kemudian 10 ml larutan tersebut dimasukkan ke dalam

erlenmeyer.

Ditambahkan 15 ml aquades dan 25 ml larutan Luff serta beberapa butir batu didih

Setelah dingin, ditambahkan 10 ml larutan KI 20% dan 25 ml H2SO4 25% dengan hati-hati

karena akan terbentuk gas CO2 sehingga membentuk buih

Larutan dititrasi dengan larutan tio 0,1 N dengan larutan kanji 0,5% sebagai indicator

Terakhir selisih kebutuhan titrasi blanko dan sampel dihitung

dengan rumus sebagai berikut :

% gula sesudah invers = Z x fp x 100%

Bobot Contoh (mg)

Page 14: Laporan Patgul Uts - Fiza Balya. FIX

III. TINJAUAN PUSTAKA

Tebu biasanya ditanam pada waktu cukup tersedia air (irigasi) atau awal musim hujan sedangkan

dipanen pada waktu tebu sudah mencapai kemasakan yaitu pada musim kering. Di daerah yang

beririgasi pada saat mendekati musim panen, pertumbuhan dapat ditekan dan kadar sukrosa

ditingkatkan dengan menghentikan pemupukan N dan air. Kemasakan adalah proses dari ruas ke ruas

dan derajat kemasakan dari masing-masing ruas tergantung daripada umur tebu. Hal ini artinya bahwa

pada tebu yang belum masak (tebu muda) kadar gula dari ruas bawah dan ruas atas semakin kecil, dan

pada saat kemasakan optimal maka perbedaan kadar gula antara ruas atas dengan ruas bawah semakin

tidak nampak, kecuali pada bagian pucuk dan ujung batang dibawah tanah. Rendahnya kadar gula

pada bagian pucuk karena ruas pada bagian ini masih belum terbentuk sepenuhnya, sedangkan

rendahnya kadar gula pada bagian ujung bawah tanah disebabkan oleh kadar sabut yang tinggi.

Menurut Risvan (2011), proses kemasakan tebu tersebut dapat dicirikan dalam 4 hal sebagai

berikut:

1. Pada saat tebu masih muda maka setiap bagian ruas akan bertambah kadar gulanya sejalan

dengan umur tanaman.

2. Dengan bertambahnya umur tanaman maka perbedaan peningkatan kadar gula di antara bagian

batang tebu semakin mengecil. Hal ini disebabkan karena peningkatan kadar gula pada bagian

batang yang di bawah tidak lagi secepat bagian batang yang di atas.

3. Pada saat tebu mencapai kemasakan maksimal, maka kadar gula batang bagian bawah tidak

bertambah lagi. Sedangkan kadar gula batang bagian atas hampir sama dengan batang bagian

bawah.

4. Pada tebu yang telah kelewat masak , maka batang bagian bawah mulai menurun kadar gulanya

kemudian diikuti oleh batang bagian yang lebih atas ,tetapi dengan kecepatan penurunan yang

lebih rendah.

Tebu dapat diolah menjadi beberapa produk yang dapat dikonsumsi, seperti gula merah cetak,

gula semut, gula invert, dan produk hidrolisat pati. Gula merah adalah gula yang berwarna kekuningan

atau kecoklatan. Gula ini terbuat dari cairan nira atau legen yang dikumpulkan dari pohon kelapa,

aren, lontar atau tebu. Cairan yang dikumpulkan direbus secara perlahan sehingga mengental lalu

dicetak dan didinginkan.

Nira adalah cairan yang disadap dari bunga jantan pohon aren. Cairan ini mengandung gula

antara 10-15%. Nira dapat diolah menjadi minuman ringan, maupun beralkohol, sirup aren, gula aren

dan nata de arenga. Penyadapan aren tidak sulit dilakukan (Tarwiyah et al 2001). Nira terdapat di

dalam bunga tanaman aren, kelapa dan lontar yang pucuknya belum membuka dan diperoleh dengan

cara penyadapan. Nira diperoleh dengan menyadap mayang yang belum membuka. Satu buah mayang

dapat disadap selama 10-35 hari. Hasil yang diperoleh adalah 0,5-1 liter nira setiap mayang

(Suhardiyono 1988).

Nira yang baik bercirikan masih segar, rasa manis, harum, tidak berwarna dan derajat keasaman

pH-nya antara 6,0 – 7,0. Nira yang jelek pHnya >6,0 dan bila digunakan, mutu gulanya akan ikut

jelek. Nira yang kurang baik mudah menjadi basi, aroma dan rasanya kecut, dan akan menghasilkan

gula kelapa yang mudah lengket. Nira tebu terdiri dari sakarosa sekitar 70 – 88%, protein 0,5 – 0,6%,

pati 0.001 – 0.05%, asam organik lainnya adalah bahan organik seperti karbohidrat, asam amino, zat

warna dan lemak serta garam mineral.  (Risvan 2011).

Proses pembuatan gula merah cetak yang pertama dilakukan adalah menampung nira dari

penggilingan tebu, nira yang ditampung adalah nira yang belum rusak atau belum mengalami

Page 15: Laporan Patgul Uts - Fiza Balya. FIX

fermentasi. Kondisi yang terbaik dalam pembuatan gula merah adalah nira yang mengandung kadar

gula diatas 12% dan pH 6-7. Untuk menghindari kerusakan nira saat penampungan dapat diberi bahan

pengawet berupa kapur sirih. Tahap kedua yaitu nira dituang kedalam wajan kemudian dimasak pada

suhu 110-1200C dan terus menerus dilakukan pengadukan agar nira tidak meluap. Untuk

menghilangkan buih dapat ditambahkan minyak kelapa. Nira yang telah masak biasanya apabila

diteteskan ke dalam air akan mengeras. Nira yang telah masak diaduk terus agar cepat dingin,

kemudian nira dituangkan kedalam cetakan yang telah dibasahi dengan air bersih agar mudah

dilepaskan. Gula merah yang sudah dingin dikeluarkan dari cetakan untuk dikemas (Balai Pengkajian

dan Pengembangan Teknologi Pertanian (BP2TP) 2010)

Pada saat pembuatan gula merah cetak dilakukan dua macam perlakuan yaitu dengan

penambahan kapur dan tanpa penambahan kapur. Penambahan kapur dalam pembuatan gula merah

cetak dapat disebut proses pemurnian nira. Proses pemurnian nira merupakan proses untuk membuang

atau menghilangkan zat organik dan anorganik yang bukan gula yang terdapat dalam nira gula kasar

(crude), sehingga diperoleh nira gula dengan kadar sukrosa yang maksimum dan jernih. Proses

pemurnian nira dapat dilakukan dengan penambahan kapur ke dalam cairan nira. Penambahan kapur

berfungsi untuk menghambat atau menghentikan aktifitas mikroorganisme dan mengatur agar pH nira

menjadi 6,0 sampai 7,0 karena akan berpengaruh terhadap kualitas gula merah cetak yang akan

dihasilkan. Nira yang telalu asam susah mengalami pengentalan cairan atau tidak dapat dicetak. Selain

itu, penambahan kapur pada saat pemasakan nira bertujuan untuk memperoleh hasil nira yang jernih,

namun penambahan kapur yang berlebihan dapat menyebabkan rasa gula merah cetak menjadi kurang

enak sehingga akan berpengaruh pada kualitasnya (Setyamidjaja 1984). Gula merah yang dihasilkan

dengan penambahan kapur akan terlihat lebih bersih dan memiliki kadar sukrosa maksimum. Selain

itu, penambahan kapur akan menghentikan aktifitas mikroorganisme. Sedangkan gula merah tanpa

penambahan kapur akan terlihat kurang bersih dan kadar sukrosanya akan lebih rendah.

Selain penambahan kapur, pemasakan juga harus dilakukan pengadukan secara terus menerus

agar nira dapat masak secara merata serta tidak menjadi gosong terutama pada bagian bawah dan

dapat mengurangi buih yang terbentuk. Ketika sudah mendidih nira mengeluarkan buih dan tampak

bercampur dengan kotoran halus, maka ditambahkan minyak. Penambahan minyak dilakukan untuk

menghilangkan buih jika selama pemasakan buih yang muncul cukup banyak.

Pada saat pemasakan nira dapat terjadi reaksi karamelisasi dan reaksi browning (pencoklatan).

Reaksi karamelisasi pada gula terjadi apabila suatu larutan sukrosa diuapkan maka konsentrasinya

akan meningkat, demikian juga titik didihnya. Apabila keadaan tersebut telah tercapai dan pemanasan

diteruskan,maka cairan yang ada bukan lagi terdiri dari air tetapi cairan sukrosa yang akan menjadi

lebur. Titik lebur sukrosa adalah 1600C. Apabila gula yang telah mencair tersebut dipanaskan terus

sehingga suhunya melampaui titik leburnya, misalnya suhu 1700C, maka mulailah terjadi karamelisasi

sukrosa. Warna coklat karamel didapat dari pemanasan larutan sukrosa dengan amonium bisulfat

seperti yang digunakan pada minuman cola, minuman asam lainnya, produk-produk hasil

pemanggangan, sirup, permen, pelet, dan bumbu kering. Terdapat tiga kelompok karamel, yaitu

karamelen, dan karamelin yang masing-masing memiliki bobot molekul berbeda (Fennema 1996).

Reaksi browning (pencoklatan) pada gula apabila dipanaskan bersama protein akan bereaksi

membentuk gumpalan-gumpalan berwarna gelap yang disebut melanoidin. melanoidin menyerupai

karamel dalam hal warna, bau dan rasa. Bila terus dipanaskan maka gumpalan-gumpalan itu akan

berubah menjadi hitam dan tidak dapat larut. Sukrosa tidak akan bereaksi dengan protein. Pada

umumnya fruktos dan dekstros paling aktif dalam reaksi browning. Pada semua jenis gula, kecuali

sukrosa, reaksi browning dapat dipercepat dengan meningkatkan pH. Pengulalian dan browning

memiliki peranan penting dalam penentuan warna hasil produksi, terutama pada kulitnya (crust).

Page 16: Laporan Patgul Uts - Fiza Balya. FIX

Gula semut adalah gula merah yang berbentuk serbuk atau tepung dikenal dengan nama palm

sugar. Bahan dasar untuk membuat gula semut adalah nira dari pohon kelapa, aren (enau), nipah,

lontar maupun tebu. Kelebihan gula semut dibandingkan gula cetak adalah dapat disimpan dalam

waktu kurang lebih dua tahun tanpa mengalami perubahan setelah dikeringkan dan ditutup rapat. Gula

semut memiliki kadar air yang lebih rendah dibandingkan dengan gula cetak. Selain itu gula semut

mudah larut sehingga sering kali gula semut digunakan sebagai pemanis pada makanan dan minuman

serbuk, lebih praktis baik baik penggunaan maupun penyimpanannya, memiliki aroma yang khas, dan

memiliki nilai ekonomi yang lebih tinggi.

Menurut LIPI (2000), proses pengolahan gula semut sama dengan pengolahan gula cetak, yaitu

tahap pemanasan nira hingga menjadi kental atau dari pencairan gula merah tebu maupun aren. Pada

pengolahan gula cetak, setelah diperoleh nira kental, wajan diangkat dari tungku,  dilakukan

pencetakan, sedangkan pada pengolahan gula semut setelah diperoleh nira kental berwarna coklat

hasil pemasakan pada suhu 110-120ᵒC. Untuk menghindari busa yang berlebihan, saat pemasakkan

ditambahkan minyak kelapa (minyak klentik) dengan perbandingan 10 gram (1 sendok makan) untuk

25 liter nira. Pemasakan dianggap selesai apabila tetesan nira kental bila dimasukkan ke dalam air

berbentuk gumpalan atau serabut gula. Kemudian nira dalam wajan didinginkan sambil terus diaduk

perlahan-lahan selama kurang lebih 10 menit. Pemasakan didiamkan beberapa saat sampai

mengembang. Pengadukan diulangi dengan cepat memakai garpu kayu untuk memperoleh butiran-

butiran kristal. Setelah itu dilakukan pengayakan untuk memperoleh butiran-butiran yang seragam dan

kemudian dikemas dalam kantong plastik.

Pengkristalan pada nira kental terjadi ketika pengadukan menggunakan garpu kayu.  Pengadukan

dilakukan secara perlahan-lahan, dan makin lama makin cepat hingga terbentuk serbuk gula (gula

semut). Kristalisasi merupakan proses pemisahan dengan cara suatu larutan dipekatkan sampai

konsentrasi bahan yang terlarut menjadi lebih besar daripada larutannya pada suhu yang sama. Bahan

yang terlarut kemudian dikeluarkan dari larutan dalam bentuk kristal murni. Cara yang paling mudah

dalam pelaksanaan untuk memperoleh kristal sukrosa adalah meningkatkan konsentrasi sukrosa

pada suhu kamar, yaitu larutan yang sangat lewat jenuh. Kemampuan membentuk kristal

diawali dengan kemampuan membentuk inti kristal, dilanjutkan dengan pertumbuhan kristal. Pada

kurva lewat jenuh, inti kristal terbentuk secara spontan. Konsentrasi sukrosa larutan kurva lewat

jenuh sekitar 80%, hal ini membutuhkan jumlah energi yang sangat besar untuk mencapainya.

Dalam industri gula kristal, hal ini sangat sulit untuk dilakukan. Pada daerah metastabil

(konsentrasi sukrosa larutan sekitar 60%), bibit gula dalam bentuk kristal ditambahkan pada larutan

untuk meningkatkan konsentrasi sukrosa dan kemudian membiarkan kristal tersebut meneruskan

pembentukan inti kristal lebih lanjut. Sekali inti terbentuk, baik secara spontan atau dengan

penambahan bibit, kristal akan terus tumbuh. Apabila lewat jenuh dipertahankan, inti yang terbentuk

akan terus tumbuh dan kristal besar akan terbentuk. Ukuran kristal juga ditentukan oleh proses

pendinginan. Pendinginan perlahan-lahan akan menghasilkan lewat jenuh yang sangat kecil yang

akan menghasilkan kristal yang besar. Sebaliknya, pendinginan yang cepat akan menghasilkan kristal

yang kecil.

Ada beberapa faktor yang dapat mempengaruhi keberhasilan pembuatan gula semut, yakni suhu

pemasakan, pengadukan, dan kualitas nira. Suhu pemasakan sangat berpengaruh dalam pembuatan

gula semut karena suhu yang terlalu tinggi akan membuat aroma gula menjadi gosong dan terjadinya

karamelisasi yang cepat dan membuat gula sulit menjadi serbuk dan malah menjadi karamel. Proses

pengadukan yang menyertai pembuatan gula semut ini harus dilakukan perlahan karena akan

mempengaruhi tingkat kehalusan serbuk gula. Setelah nira mengental dan pekat, pengadukan harus

dilakukan dengan cepat agar nira tersebut tidak menggumpal dan cepat menjadi serbuk. Kualitas nira

Page 17: Laporan Patgul Uts - Fiza Balya. FIX

yang digunakan untuk membuat gula semut juga haruslah nira dengan kualitas yang baik dan tidak

boleh tercemar oleh bakteri. Bakteri akan mengonversi gula menjadi asam dan hal ini akan

mempengaruhi pembentukan serbuk pada gula semut. Ketika nira tersebut mulai mengental, nira

tersebut malah akan menjadi karamel dan tidak menjadi serbuk.

Gula semut yang dijual secara komersil di pasaran, memiliki syarat mutu yang seharusnya

dimiliki agar produk tersebut dinilai berkualitas oleh masayarakat. Syarat mutu gula semut dapat

dilihat pada tabel 1.

Tabel 1. Syarat mutu gula palma kristal (gula semut)No Jenis uji Persyaratan

1

Penampakan

- Bentuk

- Warna

Serbuk

Kuning kecoklatan

2 Air (%) Maks. 3%

3 Abu (%) Maks. 2%

4 Gula pereduksi Maks. 6%

5 Jumlah gula dihitung sebagai sukrosa Min. 80%

6 Padatan yang tidak larut dalam air Min. 0,2%

7 Pati Tidak nyata

8 Belerang dioksiada (SO2) Tidak nyata

9

Cemaran logam

- Timbal (Pb)

- Seng (Zn)

- Air raksa (Hg)

Maks. 1 mg/kg

Maks. 25 mg/kg

Maks. 0,025 mg/kg

10 Arsen (As) Maks. 1 mg/kg

11 Tembaga (Cu) Maks. 20 mg/kg

Sumber : SII 2043-78

Gula invert merupakan sukrosa yang dilarutkan dalam air dan dipanaskan, sehingga sebagian

sukrosa akan terurai menjadi glukosa dan fruktosa dengan perbandingan yang sama. Invert sukrosa ini

terjadi dalam suasana asam. Gula invert ini tidak dapat berbentuk kristal karena kelarutan fruktosa dan

glukosa sangat besar (Kirk dan Othmer, 1954). Gula invert merupakan campuran ekuimolar antara α-

D-glukosa dan β-D-fruktosa yang dihasilkan dari hidrolisa sukrosa dengan asam maupun enzim. α- D-

glukosa dan β-D- fruktosa masing-masing biasa disebut dekstrosa dan fruktosa. Persamaan

stoikiometri reaksinya adalah :

100 5.26 52.63 52.63

C12H22O11 + H2O C6H12O6 + C6H12O6

Sukrosa air dekstrosa fruktosa

(dekstrosa dan fruktosa yang terbentuk merupakan gula invert.)

Dari persamaan di atas menunjukkan bahwa dari 100 % sukrosa apabila terhidrolisis sempurna,

setelah hidrolisis dihasilkan 52.63% dekstrosa dan 52.63% fruktosa. Jadi, dari hasil reaksi ada

tambahan padatan terlarut sekitar 5 %. Hal ini tergantung dari derajat inversinya. Selanjutnya, reaksi

hidrolisis ini disebut inversi karena terjadi akibat perubahan putaran optik sebagai berikut,

Sukrosa + air D (+) -glukosa + D(-) –fruktosa

[α]D = +66.5ᵒ [α]D = +52.5ᵒ [α]D = -92ᵒ

Gula invert akan mengkatalisis proses inversi sehingga kehilangan gula akan berjalan dengan

cepat. Laju inversi sukrosa akan semakin besar pada kondisi pH rendah dan temperatur tinggi dan

Page 18: Laporan Patgul Uts - Fiza Balya. FIX

berkurang pada pH tinggi (pH>7) dan temperature rendah. Laju inversi yang paling cepat adalah

pada kondisi pH asam (pH 5) (Winarno 1983).

Gula pereduksi adalah gula yang memiliki gugus aldehid bebas pada struktur kimianya.

Kandungan gula pereduksi berperan dalam proses pencoklatan nira tebu. Gula invert yang banyak

mengandung gula pereduksi akan lebih mudah mengalami proses pencoklatan sehingga warnanya

lebih coklat. Gula pereduksi juga mempengaruhi tingkat kemanisan karena glukosa dan fruktosa

mempunyai tingkat kemanisan yang relatif lebih kecil dibandingkan sukrosa sehingga gula invert akan

mempunyai tingkat kemanisan yang lebih rendah. Pembentukan gula pereduksi ini ada yang disengaja

namun ada juga yang dicegah. Pembentukan gula pereduksi disengaja melalui proses inversi untuk

menghasilkan gula invert.

Ada tiga cara untuk memproduksi sirup gula invert, yaitu menggunakan enzim invertase,

hidrolisis asam kuat atau asam lemah, dan penggunaan resin penukar ion, pertama asam kemudian

basa. Penggunaan asam telah digunakan secara luas baik dalam sistem reaktor curah atau sinambung.

Secara komersial asam klorida banyak digunakan untuk menghidrolisis sukrosa karena asam klorida

mempunyai daya inversi yang tinggi. Faktor- faktor yang berpengaruh terhadap kesempurnaan

hidrolisis asam adalah konsentrasi asam yang ditambahkan, suhu pemanasan, dan waktu pemanasan

(Junk dan Pancoast 1980). Semakin tinggi konsentrasi asam yang digunakan dan makin lama waktu

pemanasan pada proses hidrolisis kejernihan sirup gula invert akan menurun

Pembuatan sirup gula invert dengan hidrolisis asam lemah dan asam kuat dilakukan dengan

dua metode yakni metode asam tartarat dan metode HCl. Pada dasarnya kedua metode tersebut

memiliki prosedur yang hampir sama, perbedaannya HCl memiliki daya inversi lebih tinggi dari

pada penggunaan asam tartarat. Pada kedua metode tersebut ada penambahan sodium bikarbonat

yang berfungsi untuk menetralkan asam sehingga gula invert yang dihasilkan tidak berbahaya

terhadap kesehatan konsumen.

Pada metode asam tartarat, sejumlah bahan gula dicampurkan dengan air dan asam tartarat

kemudian dipanaskan pada suhu 100ᵒC selama 30 menit. Selanjutnya dilakukan penetralan dengan

sodum bikarbonat (Na2CO3) dan diaduk cepat hingga menjadi produk gula invert. Pada metode

asam klorida (HCl), sejumlah gula dicampur dengan HCl 0.1% kemudian dilakukan pemanasan

pada suhu yang lebih rendah, yakni 70ᵒC selama 90 menit. Selanjutnya dilakukan penetralan

dengan penambahan sodium bikarbonat. Penambahan sodium bikarbonat ini adalah untuk

menetralkan larutan gula yang telah dihidrolisis dengan asam sehingga memiliki pH kurang lebih 7.

Selanjutnya, larutan diaduk dengan cepat hingga terbentuk gula invert.

Hidrolisis merupakan reaksi pengikatan gugus hidroksil / OH oleh suatu senyawa. Gugus OH

dapat diperoleh dari senyawa air. Hidrolisis dapat digolongkan menjadi hidrolisis murni, hidrolisis

katalis asam, hidrolisis katalis basa, gabungan alkali dengan air dan hidrolisis dengan katalis enzim.

Sedangkan berdasarkan fase reaksi yang terjadi diklasifikasikan menjadi hidrolisis fase cair dan

hidrolisis fase uap.

Hidrolisis pati terjadi antara suatu reaktan pati dengan reaktan air. Reaksi ini adalah orde satu

karena reaktan air yang dibuat berlebih, sehingga perubahan reaktan dapat diabaikan. Reaksi hidrolisis

pati dapat menggunakan katalisator ion H+ yang dapat diambil dari asam. Reaksi yang terjadi pada

hidrolisis pati adalah sebagai berikut: (C6H10O5)x + x H2O → x C6H12O6. Produk hasil hidrolisa pati

sangat banyak digunakan dan diterapkan dalam penggunaan pati pada produk-produk pengolahan

hasil pangan. Proses hidrolisa pati menggunakan asam maupun enzim adalah proses yang umum

digunakan untuk mengubah pati menjadi molekul yang lebih kecil lagi bahkan hingga mengubah pati

menjadi gula sederhana.

Page 19: Laporan Patgul Uts - Fiza Balya. FIX

Klasifikasi proses hidrolisa dapat dibagi menjadi: (1) Hidrolisa fase gas: sebagai penghidrolisa

adalah air dan reaksi berjalan pada fase uap. (2) Hidrolisa fase cair: pada hidrolisa ini, ada 4 tipe

hidrolisa, yaitu: (a) Hidrolisa murni: efek dekomposisinya jarang terjadi, tidak semua bahan

terhidrolisa. Efektif digunakan pada : reaksi Grigrard dimana air digunakan sebagai penghidrolisa, (b)

Hidrolisa bahan-bahan berupa anhidrid asam laktan dan laktanida. Hidrolisa senyawa alkil yang

mempunyai komposisi kompleks, hidrolisa asam berair. Pada umumnya dengan HCl dan H2SO4,

dimana banyak digunakan pada industri bahan pangan, misal: hidrolisa gluten menjadi monosodium

glutamate, hidrolisa pati menjadi glukosa. Sedangkan H2SO4 banyak digunakan pada hidrolisa

senyawa organik dimana peranan H2SO4 tidak dapat diganti. (c) Hidrolisa dengan alkali berair:

Penggunaan konsentrasi alkali yang rendah dalam proses hidrolisa diharapkan ion H+ bertindak

sebagai katalisator sedangkan pada konsentrasi tinggi diharapkan dapat bereaksi dengan asam yang

terbentuk. (d) Hidrolisa dengan enzim Senyawa dapat digunakan untuk mengubah suatu bahan

menjadi bahan hidrolisa lain. Hidrolisa ini dapat digunakan : hidrolisa molase, beer (pati →

maltosa/glukosa) dengan enzim amilase.

Pembuatan produk hidrolisat pati sering dilakukan karena produk hidrolisat pati memiliki banyak

kegunaan terutama industri pangan. Aplikasi hidrolisa pati banyak digunakan dalam Industri makanan

dan minuman menggunakan sirup glukosa hasil hidrolisis pati sebagai pemanis. Produk akhir hidrolisa

pati adalah glukosa yang dapat dijadikan bahan baku untuk produksi fruktosa dan sorbitol. Hasil

hidrolisis pati juga banyak digunakan dalam industri obat-obatan. Dan juga glukosa yang dihasilkan

dapat digunakan sebagai bahan baku pembuatan bioethanol.

Sirup glukosa adalah cairan kental dan jernih dengan komponen utama glukosa yang diperoleh

dari hidrolisis pati dengan cara kimia atau enzimatik. Proses hidrolisis pada dasarnya adalah

pemutusan rantai polimer pati (C6H12O6)n menjadi unit-unit monosakarida (C6H12O6) (Nuri 2012).

Sirup glukosa sering disebut juga dengan gula cair dan merupakan monosakarida, yang terdiri atas

satu monomer yaitu glukosa, sedangkan gula pasir atau sukrosa merupakan disakarida, yang terdiri

atas ikatan glukosa dan fruktosa. Proses pembuatan sirup glukosa dapat dibuat dengan cara hidrolisis asam atau dengan cara

enzimatis. Pembuatan sirup glukosa ini menggunakan bahan baku yang berasal dari pati umbi-umbian

seperti pati dari ubi jalar, ubi ganyong, garut, kimpul, ataupun suweg, yang kurang dimanfaatkan dan

dikembangkan di Indonesia. Pembuatan sirup glukosa (gula cair) ini diharapkan menjadi alternatif

pengganti gula pasir (sukrosa) untuk memenuhi kebutuhan pokok pangan penduduk Indonesia. Pada

saat proses pembuatan sirup glukosa, pemilihan sumber pati harus mempertimbangkan kandungan

amilosa dan amilopektinnya. Sumber pati yang mempunyai amilopektin tinggi lebih baik karena

memiliki pati ISP (Insoluble Starch Particles) yang dapat dihidrolisis secara asam maupun enzimatik

(Nuri 2012).

Bahan pembantu yang digunakan dalam pembuatan sirup glukosa adalah enzim alfa amilase,

glukoamilase, karbon aktif, resin, bahan kimia NaOH dan HCl untuk pengatur pH dan NaHCO3 untuk

menstabilkan pH. Proses produksi sirup glukosa meliputi likuifikasi, sakarifikasi, penjernihan,

penetralan, dan evaporasi. Tahap likuifikasi adalah proses hidrolisa pati menjadi dekstrin oleh a-

amilase pada suhu di atas suhu gelatinisasi dan pH optimum aktivitas a-amilase, selama waktu yang

telah ditentukan untuk setiap jenis enzim. Proses likuifikasi berlangsung pada suhu 95oC (aktivitas

enzim termofilik), karena itu suhu gelatinisasi pati yang akan dihidrolisis sebaiknya kurang dari 95oC.

Di bawah suhu gelatinisasinya, pati tidak akan terurai atau terhidrolisis secara enzimatis maupun

asam. Sesudah itu tangki diusahakan pada suhu 105oC dan pH 4,0-7,0 untuk pemasakan sirup sampai

semua amilosa dapat terdegradasi menjadi dekstrin. Setiap dua jam, sirup pada tangki dianalisis kadar

amilosanya dengan uji iod untuk mengetahui nilai DE (Dextrose Equivalen). Bila iod sudah

Page 20: Laporan Patgul Uts - Fiza Balya. FIX

menunjukkan warna coklat berarti amilosa sudah terdegradasi (nilai DE sekitar 8,0-14,0) maka proses

likuifikasi sudah selesai  (Nuri 2012).

Pada proses sakarifikasi, dekstrin didinginkan sampai 60oC, pH diatur pada angka 4,0-4,6. Proses

ini biasanya berlangsung selama 72 jam dengan pengadukan secara terus-menerus. Proses sakarifikasi

dianggap selesai bila sirup telah mencapai nilai DE minimal 94,5%, nilai warna 60%, transmiten dan

Brix 30-36. Selanjutnya dilakukan proses pemucatan, penyaringan dan penguapan. Pemucatan

bertujuan untuk menghilangkan bau, warna, kotoran, dan menghentikan aktivitas enzim. Proses

hidrolisa pati menjadi molekul glukosa secara kimia dapat ditulis (C6H10O5)n →n (C6H12O6) (pati).

Maltodekstrin dan sirup glukosa pada saat pembuatannya juga rentan mengalami kegagalan.

Faktor yang dapat mempengaruhi kegagalan pembuatan maltodekstrin dan sirup glukosa adalah

perbedaan konsentrasi asam klorida dalam perlakuan, asam klorida yang lebih kuat akan lebih kuat

mendegradasi polisakarida dalam bahan, pengaruh pengadukan pada saat memasak maltodekstrin dan

sirup glukosa, pengadukan yang tidak merata pada saat pemasakan menyebabkan larutan pati yang

akan diolah menjadi maltodekstrin dan sirup glukosa akan gosong pada bagian bawah. Selain itu,

mutu bahan yang digunakan mungkin sudah tidak bagus lagi karena dalam pembuatan bahan dengan

analisis mutu memiliki waktu yang relatif lama.

Penggunaan asam sebagai penghidrolisa menghasilkan biaya produksi yang sedikit, namun

produk yang dihasilkan tidak seragam dan banyak senyawa pati yang rusak oleh asam tersebut,

sedangkan penggunaan enzim sebagai penghidrolisa menghasilkan produk yang seragam, lebih

terkontrol, namun biaya produksi lebih tinggi karena harga dari enzim sendiri lebih mahal jika

dibandingkan dengan asam.

Variabel-variabel yang berpengaruh terhadap reaksi hidrolisa :

1. Katalisator

Hampir semua reaksi hidrolisa memerlukan katalisator untuk mempercepat jalannya reaksi.

Katalisator yang dipakai dapat berupa enzim atau asam sebagai katalisator, karena kerjanya lebih

cepat. Asam yang dipakai beraneka ragam mulai dari asam klorida (Agra dkk 1973; Stout &

Rydberg Jr. 1939), Asam sulfat sampai asam nitrat. Yang berpengaruh terhadap kecepatan reaksi

adalah konsentrasi ion H, bukan jenis asamnya. Meskipun demikian di dalam industri umumnya

memakai larutan HCl yang mempunyai konsentrasi asam lebih tinggi dari pada pembuatan sirup.

Hidrolisa pada tekanan 1 atm memerlukan asam yang jauh lebih pekat.

2. Suhu dan tekanan

Pengaruh suhu terhadap kecepatan reaksi mengikuti persamaan Arhenius.makin tinggi suhu,

makin cepat jalannya reaksi. Untuk mencapai konversi tertentu diperlukan waktu sekitar 3 jam

untuk menghidrolisa pati ketela rambat pada suhu 100°C. tetapi kalau suhunya dinaikkan sampai

suhu 135°C, konversi yang sebesar itu dapat dicapai dalam 40 menit (Agra dkk1973). Hidrolisis

pati gandum dan jagung dengan katalisator asam sulfat memerlukan suhu 160°C. karena panas

reaksi hampir mendekati nol dan reaksi berjalan dalam fase cair maka suhu dan tekanan tidak

banyak mempengaruhi keseimbangan.

3. Pencampuran (pengadukan)

Supaya zat pereaksi dapat saling bertumbukan dengan sebaik-baiknya, maka perlu adanya

pencampuran. Untuk proses batch, hal ini dapat dicapai dengan bantuan pengaduk atau alat

pengocok (Agra dkk 1973). Apabila prosesnya berupa proses alir (kontinyu), maka pencampuran

dilakukan dengan cara mengatur aliran di dalam reaktor supaya berbentuk olakan.

4. Perbandingan zat pereaksi

Jika salah satu zat pereaksi berlebihan jumlahnya maka keseimbangan dapat menggeser ke

sebelah kanan dengan baik. Oleh karena itu suspensi pati yang kadarnya rendah memberi hasil

Page 21: Laporan Patgul Uts - Fiza Balya. FIX

yang lebih baik dibandingkan kadar patinya tinggi. Bila kadar suspensi diturunkan dari 40%

menjadi 20% atau 1%, maka konversi akan bertambah dari 80% menjadi 87 atau 99% (Groggins

1958). Pada permukaan kadar suspensi pati yang tinggi sehingga molekul-molekul zat pereaksi

akan sulit bergerak. Untuk menghasilkan pati sekitar 20%.

Pada produk hidrolisat pati, dilakukan pengujian dengan menggunakan iod. Uji iod bertujuan

untuk mengidentifikasi polisakarida. Reagent yang digunakan adalah larutan iodin yang merupakan I 2

terlarut dalam potassium iodide. Reaksi antara polisakarida dengan iodin membentuk rantai

poliiodida. Polisakarida umumnya membentuk rantai heliks (melingkar), sehingga dapat berikatan

dengan iodin, sedangkan karbohidrat berantai pendek seperti disakarida dan monosakaraida tidak

membentuk struktur heliks sehingga tidak dapat berikatan dengan iodin.

Pada hidrolisis sempurna, pati seluruhnya dikonversi menjadi dektrosa, derajat konversi tersebut

dinyatakan dengan dextrose equivalent (DE), dari larutan tersebut diberi indeks 100. Dextrose

Equivalent (DE) adalah besaran yang menyatakan nilai total pereduksi pati atau produk modifikasi

pati dalam satuan persen. DE berhubungan dengan derajat polimerisasi (DP). DP menyatakan jumlah

unit monomer dalam satu molekul. Unit monomer dalam pati adalah glukosa sehingga maltosa

memiliki DP 2 dan DE 50 (Wurzburg 1989).

Produk yang dihasilkan dari proses hidrolisat pati contohnya adalah maltodekstrin dan sirup

glukosa. Maltodekstrin didefinisikan sebagai produk hidrolisis pati yang mengandung unit α-D-

glukosa yang sebagian besar terikat melalui ikatan 1,4 glikosidik dengan DE kurang dari 20. Rumus

umum maltodekstrin adalah [(C6H10O5)nH2O)] . Maltodekstrin merupakan produk dari modifikasi pati

salah satunya singkong (tapioka). Maltodekstrin sangat banyak aplikasinya. Seperti halnya pati

maltodekstrin merupakan bahan pengental sekaligus dapat sebagai emulsifier. Kelebihan

maltodekstrin adalah bahan tersebut dapat dengan mudah melarut pada air dingin. Aplikasinya

penggunaan maltodekstrin contohnya pada minuman susu bubuk, minunan berenergi (energen) dan

minuman prebiotik.

Proses pembuatannya ada dua, yaitu maltodekstrin dengan hidrolisat asam dan maltodekstrin

dengan hidrolisat enzim. Maltodekstrin dengan hidrolisat asam prosesnya cukup sederhana yang

pertama larutkan tapioka kedalam air hingga konsentrasi 30%. Kemudian, tambahkan asam (HCL)

kedalamnya dan dipanaskan pada suhu antara 80-90ᵒC. dalam pemanasan harus selalu diaduk untuk

menghindari proses gelatinisasi dari pati. proses berikutnya adalah mengeringkan suspensi tersebut

dengan drum drier atau spray drier. jika telah dikeringkan, produk yang masih dalam bentuk kerak

digiling menggunakan blander hingga halus. Produk selanjutnya dengan kemasan kering dan

disimpan pada tempat kering. Untuk maltodekstrin dengan hidrolisat enzim caranya hampir sama

dengan pembuatan maltodekstrin dengan hidrolisat asam hanya mengganti asam yang telah

ditambahkan dengan enzim. jika dibandingkan proses pembuatan malto dekstrin dengan hidrolisat

enzim akan lebih mudah dengan biaya yang murah daripada pembuatan maltodekstrin dengan

hidrolisat enzim.

Pembuatan produk gula seperti gula cetak, gula semut, gula invert, sirup glukosan, dan produk

hidrolisat pati diuji mutunya agar memiliki kualitas sesuai dengan standar. Uji yang dilakukan pada

produk gula ini meliputi uji warna, uji kekerasan, bagian yang tidak larut dalam air, gula pereduksi

metode luff schoorl, gula pereduksi metode DNS, kadar sukrosa metode luff schoorl, dan kandungan

total gula dengan metode fenol- asam sulfat.

Warna merupakan sifat produk pangan yang dapat dipandang sebagai sifat fisik (obyektif) dan

sifat organoleptik (subyektif). Warna dapat dianalisa secara obyektif dengan instrumen fisik dan

secara organoleptik atau subyektif dengan indera manusia. Persepsi warna benda oleh seorang

subyek dapat ditetapkan setelah pada benda tersebut dikenai sinar, kemudian sinar yang dipantulkan

Page 22: Laporan Patgul Uts - Fiza Balya. FIX

oleh benda tersebut mengenai retina mata. Retina mempunyai 3 sel reseptor warna Retina

mempunyai 3 sel reseptor warna yang disebut dengan cone atau kerucut karena bentuknya yang

menyerupai kerucut, yang masing-masing mempunyai respon terhadap spektrum yang berbeda.

Warna benda ditentukan oleh:

- Adanya sinar sebagai sumber penerangan yang menyinari benda

- Sifat absorpsi dan refleksi spektrum dari benda yang disinari

- Kondisi lingkungan benda

- Kondisi subyek yang melihat benda.

Warna sebagai sifat obyektif merupakan manifestasi dari sifat sebagai fenomena fisik,

yaitu sinar atau radiasi gelombang elektromagnetik. Warna mempunyai dua parameter, yaitu

panjang gelombang () dan intensitas sinar. Panjang gelombang merupakan parameter sinar yang

berkaitan dengan warna. Intensitas sinar merupakan tingkat besaran energi gelombang

elektromagnetik yang dipancarkan, dimana sinar dengan intensitas tinggi akan menghasilkan cahaya

terang, sebaliknya sinar yang intensitasnya rendah akan menghasilkan cahaya yang redup dan

lemah.

Kecerahan warna diukur dengan menggunakan colorimeter berdasarkan metode sistem

Hunter/L*,a*,b* (Suyatma 2009). Prosedur penggunaan alat tersebuta adalah sebagai berikut. Alat

dihidupkan, dipilih color space L* a* b*, lab ditekan. Lensa fokus (bagian ujung alat) diletakkan

pada target sampel. Tombol pengukuran ditekan sampai berbunyi nada beep dan display

menunjukkan hasil pengukuran nilai L*, a*, b*. Sistem Notasi Hunter dikembangkan oleh Hunter

pada tahun 1952. Sistem warna ini dicirikan dengan 3 parameter warna, yaitu warna kromatik

(hue): a* intensitas warna: b*, kecerahan: L*. Keuntungan penggunaan sistem ini adalah

pengukuran dapat dilakukan secara obyektif, prosedur pengukuran cepat dan mudah, notasinya

dapat diterjemahkan atau dikonversikan dengan sistem notasi lain, seperti I.C.I, serta alat pengukur

warna relatif sederhana sehingga harganya relatif rendah. Prinsip pengukuran alat colorimeter

didasarkan pada pengukuran secara langsung nilai L*, a* dan b* dari contoh.

Notasi-notasi yang terdapat dalam sistem Hunter, yaitu:

Notasi L*: 0 (hitam); 100 (putih) menyatakan cahaya pantul yang menghasilkan warna

akromatik putih, abu-abu dan hitam.

Notasi a*: warna kromatik campuran merah-hijau dengan nilai +a* (positif) dari 0 sampai

+80 untuk warna merah, sedangkan nilai –a* (negatif) dari 0 sampai -80 untuk warna

hijau.

Notasi b*: warna kromatik campuran biru-kuning dengan nilai +b* (positif) dari 0

sampai +70 untuk warna kuning, sedangkan nilai –b* (negatif) dari 0 sampai -70 untuk

warna biru

Page 23: Laporan Patgul Uts - Fiza Balya. FIX

Gambar 1. Sistem Notasi Hunter

Menurut Supardi (1993), faktor kekerasan gula merah meliputi kadar air produk, perlakuan

selama penyimpanan, penambahan minyak nabati, penundaan pengolahan nira, dan penambahan pati.

Semakin rendah kadar air suatu produk, maka kekerasan yang dihasilkan akan semakin tinggi. Kadar

air tersebut dipengaruhi oleh lama pemasakkan saat memproduksi gula merah. Perlakuan selama

penyimpanan berpengaruh pula terhadap kekerasan gula metah. Kelunakan gula merah selama

penyimpanan pada umumnya disebabkan oleh peningkatan kadar air produk, akibat pengikatan air

yang berasal dari lingkungan oleh produk. Cara pengemasan yang salah seperti mengemas gula dalam

kantung plastik dalam keadaan masih panas, dapat menyebabkan gula menjadi lunakatau basah pada

bagian permukaan. Pelunakan terjadi akibat akumulasi atau pengembunan uap air yang berasal dari

dalam gula itu sendiri karena tertahan oleh plastik, dan terserap ke permukaan gula.

Dalam menganalisis mutu gula, dilakukan pula analisis sifat kimia yang mencakup bagian

yang tidak larut di dalam air, gula pereduksi metode luff schoorl dan metode DNS, kadar

sukrosa metode luff schoorl, serta kandungan gula total metode fenol- asam sulfat. Pada

umumya, dalam melakukan analisis sifat kimia dilakukan pengenceran pada bahan yang akan

diuji. Pengenceran pada prinsipnya hanya menambahkan pelarut saja, sehingga jumlah mol zat

terlarut sebelum pengenceran sama dengan jumlah mol zat terlarut sesudah pengenceran atau

jumlah gram zat terlarut sebelum pengenceran sama dengan jumlah gram zat terlarut sesudah

pengenceran. Rumus sederhana pengenceran adalah M 1V1=M2V2, dimana M1 adalah molaritas

sebelum pelarutan, V1 adalah volume larutan sebelum pelarutan, M2 adalah molaritas sesudah

pelarutan, dan V2 adalah volume larutan sesudah pelarutan.

Bagian gula yang tidak larut air menentukan mutu gula disebabkan pada dasarnya gula murni

memiliki karakteristik larut dalam air. Seberapa besar bagian yang tidak larut air dapat menjadi

penduga tingkat kemurnian gula, di mana semakin tinggi tingkat kemurnian gula maka bagian tidak

larut airnya semakin kecil, begitu pula sebaliknya. Berdasarkan SNI 01-3743-1995, bagian tidak

larut air pada gula palma (aren, kelapa, atau siwalan) yang berbentuk gula cetak maksimum sebesar

1% dan gula semut sebesar 0,2%.

Prinsip uji ini dilakukan untuk mengetahui bagian yang terlarut dan tidak terlarut pada proses

pembuatan gula, khususnya untuk menentukan bagian tidak terlarut pada gula invert. Umumnya data

bagian yang tidak larut atau larut hasilnya bisa lebih tinggi ataupun lebih rendah. Banyaknya

kandungan bahan yang tidak terlarut ini dipengaruhi oleh banyak sedikitnya kandungan sukrosa.

Seperti yang diketahui, bahwa sukrosa merupakan oligosakarida yang sukar larut dalam air. Maka

partikel yang tertinggal dalam kertas saring adalah partikel sukrosa yang disebut bagian tidak larut

pada gula.

Metode luff schoorl merupakan suatu cara penentuan monosakarida (gula pereduksi)

dengan cara kimiawi. Pada metode ini yang ditentukan bukan kuprooksida yang mengendap,

melainkan dengan menentukan kuprioksida dalam larutan sebelum direaksikan dengan gula

pereduksi (titrasi blanko) dan sesudah direaksikan dengan sampel gula pereduksi (titrasi sampel).

Larutan sampel dan blanko tersebut ditirasi menggunakan Na-tiosulfat. Selisih titrasi blanko dengan

titrasi sampel ekuivalen dengan kuprooksida yang terbentuk dan juga ekuivalen dengan jumlah gula

pereduksi yang ada dalam sampel bahan.

DNS merupakan larutan yang mengandung 3,5 3,5-dinitrosalicylic acid, potassium sodium

tartarate, dan NaOH. DNS berfungsi untuk menghentikan reaksi pada metode deteksi amilase dengan

menggunakan metode tersebut. Turunnya kandungan gula yang dilepaskan selama reaksi dan

mengukur pati sebagai sumber karbon. Metode DNS ini menggunakan spektrofotometer untuk

mengukur absorban dari suatu cairan. Menurut Khopkar (2003), nilai yang dihasilkan oleh

Page 24: Laporan Patgul Uts - Fiza Balya. FIX

spektofotometer bukanlah nilai absoeban (A) tetapi nilai transmitan (T). Nilai absorban adalah

besarnya sinar radiasi yang diserap oleh zat, sedangkan nilai transmitan adalah besarnya sinar radiasi

yang melewati zat dan ditangkap oleh detektor spektofotometer. Untuk mendapatkan nilai absorban

maka diperlukan konversi menggunakan rumus:

Prinsip kerja yang digunakan oleh alat spektrofotometer adalah dengan menggunakan

gelombang dengan panjanng tertentu yang diatur guna menembus suatu lautan. Semakin kecil

kerapatan yang dimiliki suatu larutan, maka semakin mudah suatu gelombang α menembusnya,

akhirnya berkorelasi dengan nilai absorban yang semakin kecil pula. Unsur- unsur yang terpenting

pada alat ini adalah (1) sumber energi radiasi yang kontinyu dan meliputi daerah spektrum, (2)

monokromator, yang merupakan suatu alat untuk mengisolasi suatu berkas sempit dan panjang

gelombang dari spektrum luas yang disiarkan oleh sumber, 930 wadah untuk contoh, kuvet yang

terbuat dari kuarsa memiliki ketelitian tinggi, (4) detektor yang merupakan transducer yang

mengubah energi radiasi menjadi isyarat listrik, (5) penguat dan rangkaian yang bersangkutan yang

membuat isyarat listrik cocok untuk diamati, (6) sistem pembacaan yang dapat mempertunjukkan

besarnya isyarat listrik (Rohman 2007).

Setelah menggunakan alat spektrofotometer untuk mengetahui absorbansi sesuai dengan

konsentrasi blanko yang telah dibuat, tahap selanjutnya adalah pembuatan kurva standar. Kurva ini

dibuat dengan membuat deret laturan standar kemudian diukur serapan atau absorbasinya

menggunakan spektrofotometer, selanjutnya dibuat kurva kalibrasi antara konsentrasi larutan dengan

absorbasi. Kurva inilah yang disebut dengan kurva standar. Dengan membandingkan serapan radiasi

oleh sampel terhadap larutan standar yang telah diketahui konsentrasinya, maka konsentrasi sampel

yang diuji dapat ditentukan melalui hasil plot kurva standar.

Selain menggunakan metode DNS, kadar gula pereduksi dapat diukur dengan menggunakan uji

luff schoorl. Pengujian gula pereduksi menggunakan metode luff schoorl untuk mengukur kadar gula

pereduksi, metode luff schoorl ini didasarkan pada reaksi sebagai berikut:

R-CHO + 2 Cu2+ R-COOH + Cu2O

2 Cu2+ + 4 I- Cu2I2 + I2

2 S2O32- + I2 S4O62- + 2 I-

Monosakarida akan mereduksikan CuO dalam larutan luff menjadi Cu2O. Kelebihan CuO akan

direduksikan dengan KI berlebih, sehingga dilepaskan I2. I2 yang dibebaskan tersebut dititrasi dengan

larutan Na2S2O3. Pada dasarnya prinsip metode analisa yang digunakan adalah Iodometri karena kita

akan menganalisa I2 yang bebas untuk dijadikan dasar penetapan kadar. Dimana proses iodometri

adalah proses titrasi terhadap iodium (I2) bebas dalam larutan. Apabila terdapat zat oksidator kuat

(misal H2SO4) dalam larutannya yang bersifat netral atau sedikit asam penambahan ion iodida

berlebih akan membuat zat oksidator tersebut tereduksi dan membebaskan I2 yang setara jumlahnya

dengan dengan banyaknya oksidator. I2 bebas ini selanjutnya akan dititrasi dengan larutan standar

Na2S2O3 sehinga I2 akan membentuk kompleks iod-amilum yang tidak larut dalam air.

Pengujian kadar sukrosa dengan metode luff schoorl, didahului dengan penambahan HCl.

Penambahan ini dimaksudkan untuk menghidrolisis kandungan sukrosa yang ada supaya berubah

menjadi monosakarida. Monosakarida yang dimaksud adalah glukosa dan fruktosa. Jika larutan

Na2S2O3 yang digunakan banyak, maka mengindikasikan banyak kandungan glukosa dan fruktosa

dalam larutan. Hal ini juga mengindikasikan gula tersebut mengandung banyak sukrosa yang telah

terkonversi secara sempurna. Penggunaan asam pada awal praktikum memang dimaksudkan untuk

menghidrolisis sukrosa yang ada pada bahan supaya berubah menjadi glukosa dan fruktosa.

A = -long %T

Page 25: Laporan Patgul Uts - Fiza Balya. FIX

Pengujian gula pereduksi metode fenol dilakukan dengan cara memasukkan 1 ml sampel ke

dalam tabung reaksi dan ditambahkan 1 ml larutan fenol 5%. Larutan tersebut kemudian dikocok

dengan vorteks. Lalu, dilakukan penambahan H2SO4 sebanyak 5 ml ke dalam larutan. Dibiarkan

sampai dingin pada suhu ruang, kemudian diukur absorbansinya pada panjang gelombang 550 nm.

Pengukuran gula pereduksi dengan metode fenol didasarkan pada prinsip bahwa gula sederhana,

oligosakarida, polisakarida dan turunannya dapat bereaksi dengan fenol dalam asam sulfat pekat

menghasilkan warna oranye yang stabil (Apriyantono, 1989).

Page 26: Laporan Patgul Uts - Fiza Balya. FIX

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Hasil Pengamatan[Hasil pengamatan terlampir]

B. PembahasanPada praktikum Teknologi Pati, Gula, dan Sukrokimia, praktikan membuat berbagai macam

produk yang berasal dari bahan yang mengandung pati. Produk yang dibuat adalah gula cetak, gula

semut, gula invert, dan pemanis berbasis pati atau produk hidrolisat pati. Selain membuat produk,

praktikan juga melakuka analisis mutu produk gula. Analisis mutu produk gula ini meliputi uji warna,

uji kekerasan, bagian yang tidak larut dalam air, gula pereduksi metode luff schoorl, gula pereduksi

metode DNS, kadar sukrosa metode luff schoorl, dan kandungan total gula. Namun pada praktikum

ini, tidak dilakukan seluruh jenis analisa mutu produk gula. Praktikan hanya melakukan uji warna

pada gula cetak, gula semut, dan gula invert; kadar gula pereduksi metode luff schoorl yang dilakukan

pada gula semut dan gula cetak, gula pereduksi metode DNS pada gula invert dan produk hidrolisat

pati seperti maltodextrin dan sirup glukosa; kadar sukrosa metode luff schoorl pada gula semut dan

gula cetak; dan terakhir kandungan gula total metode fenol- asam sulfat pada gula invert dan produk

hidrolisat pati.

B.1 Gula Cetak

Pembuatan gula cetak berasal dari bagian batang tebu yang berbeda, yakni batang tebu bagian

atas, dan batang tebu bagian bawah. Pada kelompok 1, 3, dan 5 menggunakan batang tebu bagian

atas dan kelompok 2, 4, dan 6 menggunakan batang tebu bagian bawah. Pada kelompok 1 bobot awal

1200 gram, bobot batang 1130 gram, dan bobot bagase 340 gram sehingga volume nira diperoleh

sebesar 650 ml dan gula cetak yang diperoleh adalah sebesar 4.76 kg. Pada kelompok 2 bobot awal

1420 gram, bobot batang 1050 gram, dan bobot bagase 270 gram sehingga diperoleh volume nira

sebesar 660 ml dan gula cetak yang diperoleh adalah sebesar 4.54 kg. Pada kelompok 3 bobot awal

1260 gram, bobot batang 850 gram, dan bobot bagase 240 gram sehingga diperoleh volume nira 525

ml, dan gula cetak yang diperoleh adalah sebesar 4.04 kg. Pada kelompok 4 bobot awal 1440 gram,

bobot batang 840 gram, dan bobot bagase 240 gram sehingga diperoleh volume nira sebesar 463 ml.

gula cetak yang dihasilkan sebesar 3.74 kg. Pada kelompok 5 bobot awal 1220 gram, bobot batang

650 gram, dan bobot bagase 150 gram sehingga diperoleh volume nira sebesar 380 ml dan gula cetak

yang diperoleh adalah sebesar 2.65 kg. Pada kelompok 6 bobot awal 1430 gram, bobot batang 980

gram, dan bobot bagase 200 gram sehingga diperoleh volume nira 657 ml, sedangkan gula cetak

yang dihasilkan tidak dapat diketahui karena ketidaklengkapan data. Tebu bagian bawah

menghasilkan kadar gula yang lebih tinggi dibandingkan tebu bagian atas. Perbedaan tersebut

disebabkan oleh adanya proses respirasi yang membutuhkan karbohidrat sebagai nutrisi

makanan. Hal tersebut menyebabkan nira semakin berkurang pada tebu bagian atas, sedangkan

nira pada tebu bagian bawah masih tersimpan dalam jumlah banyak. Sehingga, berat tebu dan

volume nira yang terkandung dalam tebu juga berbeda.

Selanjutnya, pada proses pembuatan gula cetak ini dilakukan dua macam perlakuan, yaitu

dengan penambahan kapur dan tanpa penambahan kapur. Kelompok yang melakukan perlakuan

dengan penambahan kapur yaitu kelompok 3, 4, 5, dan 6. Sedangkan kelompok 1 dan 2 melakukan

perlakuan tanpa penambahan kapur. Hasil praktikum menunjukan bahwa pembuatan gula merah cetak

Page 27: Laporan Patgul Uts - Fiza Balya. FIX

dengan penambahan kapur memiliki derajat kemanisan sekitar 10-14 brix, kadar sukrosa gula cetak

yang dihasilkan sekitar 30-31%, memiliki warna hijau kecoklatan sampai coklat tua, mempunyai rasa

manis, dan pH setelah penambahan kapur meningkat dari pH awal sebesar 5 menjadi 6-7. Sedangkan

gula merah tanpa penambahan kapur memiliki derajat kemanisan sebesar 11,6-13 brix, kadar sukrosa

gula yang dihasilkan sekitar 28,15%, memiliki warna hijau opaque, hijau kecoklatan, rasa yang

dihasilkan adalah manis, dan mempunyai pH yang tidak berubah dari pH awal yaitu sebesar 5.

Penambahan kapur mempengaruhi kadar sukrosa dan pH nira yang akan diolah menjadi gula merah

cetak. Perubahan pH mempengaruhi proses pembuatan gula cetak karena nira yang telalu asam susah

mengalami pengentalan cairan atau tidak dapat dicetak. Hal ini menunjukkan bahwa perlakuan

penambahan kapur terhadap nira berdampak positif terhadap: kadar gula total, kadar gula reduksi, pH

serta penerimaan panelis terhadap nilai rasa, aroma, warna dan tekstur gula merah cetak yang

dihasilkan. Selain itu, penambahan kapur pada saat pemasakan nira bertujuan untuk memperoleh hasil

nira gula dengan kadar sukrosa yang maksimum dan jernih, namun penambahan kapur yang

berlebihan dapat menyebabkan rasa gula merah cetak menjadi kurang enak sehingga akan

berpengaruh pada kualitasnya.

Pengujian warna pada gula cetak hanya menggunakan pengamatan secara visual dan

membandingkan kepekatan warnanya. Pada praktikum analisis mutu pengujian warna mendapatkan

hasil pada kelompok 1 setelah dilakukan pengamatan warna, diperoleh warna kuning kecoklatan, pada

kelompok 2 diperoleh warna coklat atau lebih tua dari warna yang dihasilkan kelompok 1, kelompok

3 memperoleh warna coklat tua atau hamper sama dengan warna pada kelompok 2 . Sedangkan pada

kelompok 4 dan 5 tidak terdapat data mungkin disebabkan kelompok 4 dan 5 tidak melakukan

pengujian warna, sedangkan kelompok 6 setelah dilakukan pengamatan warna, diperoleh warna

kuning kecoklatan. Dari hasil pengamatan didapatkan bahwa pada gula cetak pada bagian bawah lebih

gelap daripada warna bagian atas. Warna tersebut muncul karena ada kandungan proteinnya. Semakin

tinggi konsentrasi protein, semakin gelap warnaya

Pada praktikum analisa produk gula ini tidak dilakukan uji kekerasan menggunakan

penetrometer. Hal ini disebabkan gula cetak yang terlalu keras dan beban untuk menguji kekerasan ini

tidak mencukupi bebannya.

Dalam praktikum analisis mutu gula pereduksi (luff schoorl) dengan bahan gula cetak untuk

mendapatkan persentasi gula sebelum inversi. Hasil pengamatan menunjukan bahwa sebagian besar

kelompok mendapatkan kandungan gula pereduksi pada gula cetak yang diuji,akan tetapi ada satu

kelompok praktikum yang tidak mendapatkan kandungan gula pereduksi pada gula cetak yang diuji.

peresntase gula pereduksi dengan fp : 0,01 pada setiap kelompok masing-masing mendapatkan hasil

19.87%, - , 34.87%, 24.25%, 43%, 37.37%. Sedangkan dengan penggunaan Na-tiosulfat

menggunakan blanko 18.3, pada kelompok 1 mendapatkan kandungan gula pereduksi sebesar 15 ml,

kelompok 2 tidak mendapatkan kandungan gula pereduksi mungkin disebabkan kandungan gula

pereduksi dalam bahan sudah tidak ada, kelompok 3 mendapatkan kandungan gula pereduksi sebesar

12.6 ml, kelompok 4 mendapatkan kandungan gula pereduksi 14.7 ml, kelompok 5 mendapatkan

kandungan gula pereduksi sebesar 11.3 ml, kelompok 6 mendapatkan kandungan gula pereduksi

sebesar 12.2 ml. Semakin banyak tiosulfat yang diperlukan untuk titrasi maka semakin banyak I2

bebas. I2 bebas ini merupakan dasar penetapan banyaknya gula monosakarida (pereduksi) dalam

bahan.

Selanjutnya adalah uji kadar sukrosa dengan metode luff school. Uji metode ini dilakukan

dengan menggunakan 50 ml hasil saringan penetapan gula pereduksi. Gula pereduksi tersebut

diencerkan dengan faktor pengenceran sebesar 0.01. Persentase kadar sukrosa gula cetak setelah

inverse dari masing- masing kelompok adalah 49.5%, 69%, 67.75%, 56%, dan 50.23%. Sedangkan

Page 28: Laporan Patgul Uts - Fiza Balya. FIX

penggunaan tiosulfat dengan blanko 21 ml, pada masing-masing kelompok mendapatkan hasil 13ml,

10ml, 10.2 ml, 12 ml, 11.8 ml, dan 10 ml. Semakin banyak Na-tiosulfat yang diperlukan untuk titrasi

maka semakin banyak I2 bebas. I2 bebas ini merupakan dasar penetapan banyaknya gula monosakarida

(pereduksi) dalam bahan. Persentase kadar sukrosa total dari masing-masing kelompok adalah

28.15%, - , 31.24%, 30.16 %, 13.58 %, 30.05%. Pada gula merah cetak dari tebu yang diuji, kadar

sukrosa yang tertinggi ada pada kelompok 3(31.24%) yaitu pada bahan tebu bagian atas. Hal ini

disebabkan karena sukrosa yang ada belum terkonversi menjadi glukosa dan fruktosa. Sedangkan

hasil dari tingkat hidrolisis setelah penambahan asam gula cetak yang paling banyak berubah menjadi

monosakarida (glukosa dan fruktosa) pada kelompok 5 (79) dari bahan tebu bagian bawah. Semakin

banyak larutan asam yang digunakan maka akan semakin banyak kandungan glukosa dan fruktosa

yang dihasilkan dalam larutan. Kadar sukrosa sendiri merupakan faktor mutu yang menentukan,

karena berpengaruh pada kadar air dan kandungan gula pereduksi yang selanjutnya mempengaruhi

kekerasan gula merah (Nurhayati, 1992).

Dalam praktikum analisis mutu gula cetak yang terakhir adalah total gula. Uji ini dilakukan

dengan cara seperti uji kandungan gula pereduksi metode DNS dengan menggunakan alat

spektrofotometer. Kurva standar diukur pada konsentrasi 10- 60 ppm dengan absorbansi diukur pada

panjang gelombang 490 nm. Persentase kadar sukrosa total dari masing-masing kelompok adalah

47.02%, 65.55%, 64.36%, 53.2 %, 54.43 %, 65.55%. Dari hasil praktikum total gula yang paling

tinggi terdapat pada kelompok 2 dan 6 dari bahan tebu bagian atas, sedangkan total gula yang

terendah terdapat pada kelompok 1 dari bahan tebu bagian bawah. Dari hasil praktikum sesuai dengan

literatur bahwa tebu bagian bawah menghasilkan kadar gula yang lebih tinggi dibandingkan tebu

bagian atas. Perbedaan tersebut disebabkan oleh adanya proses respirasi yang membutuhkan

karbohidrat sebagai nutrisi makanan. Hal tersebut menyebabkan nira semakin berkurang pada tebu

bagian atas, sedangkan nira pada tebu bagian bawah masih tersimpan dalam jumlah banyak.

B.2 Gula Semut

Pada praktikum kali ini, pembuatan gula semut dilakukan dengan bahan baku gula cetak kelapa

dan gula cetak aren. Gula semut yang dibuat dari gula cetak kelapa dibuat oleh kelompok 1, 2, dan 3,

sedangkan gula semut yang dibuat dari gula cetak aren dibuat oleh kelompok 4, 5, dan 6. Dari hasil

pengamatan, rasa gula semut yang terbuat dari gula aren lebih manis dibandingkan dengan gula

kelapa. Untuk kelompok 1, 2, dan 3 memiliki tingkat kemanisan masing- masing gula semut adalah 3,

sedangkan untuk kelompok 4, 5, dan 6 memiliki tingkat kemanisan masing masing 4, 3, dan 4.

Aroma gula semut aren dan gula semut kelapa adalah khas gula merah dan berwarna coklat

muda. Hal ini sesuai dengan syarat mutu gula palma kristal (gula semut) yang dapat dilihat pada tabel

3. Namun, ada beberapa gula semut yang terbuat dari gula kelapa yang memiliki kriteria yang tidak

sesuai dengan standar, yakni dari segi penampakan terutama bentuk. Bentuk gula semut kelapa yang

dibuat oleh masing- masing kelompok ini tidak berbentuk serbuk, melainkan karamel yang mengeras

dan menjadi gulali. Aroma yang diciptakan pun tercium gosong, dan rasanya agak pahit. Kegagalan

pembuatan gula semut kelapa ini disebabkan oleh kualitas gula cetak yang tidak bagus atau mungkin

gula cetak telah terkontaminasi oleh mikroba pembentuk asam.

Selanjutnya adalah uji gula pereduksi metode luff schoorl pada gula semut. Gula pereduksi yang

dikandung oleh gula semut sebanyak 0,4 gram memiliki nilai glukosa yang ditunjukkan oleh

banyaknya titrasi yang dilakukan larutan tiosulfat yang kemudian dikonversi menjadi mg glukosa.

Persentasi gula pereduksi yang dikandung gula semut masing- masing kelompok adalah 60.52%,

27.75%, 43%, 46.9%, dan 21.13%. Dari hasil pengamatan, gula semut kelapa milik kelompok 1 sudah

sesuai dengan literatur, namun gula semut aren kelompok 4 dan 5 ternyata memiliki kandungan gula

Page 29: Laporan Patgul Uts - Fiza Balya. FIX

pereduksi yang lebih tinggi dibandingkan dengan gula semut kelapa kelompok 2. Hal ini tidak sesuai

dengan literatur karena seharusnya kandungan gula pereduksi pada kelapa lebih tinggi dari pada gula

pereduksi yang dikandung oleh aren. Komposisi nira yang berasal dari aren dan kelapa, masing-

masing memiliki kandungan gula pereduksi sebanyak 2-4 g/l dan 7-10 g/l (Suniarti dkk 2013).

Dari uji gula pereduksi metode luff schoorl, dapat dilanjutkan uji kadar sukrosa metode luff

schoorl dengan menggunakan 50 ml hasil saringan penetapan gula pereduksi. Gula pereduksi tersebut

diencerkan dengan faktor pengenceran sebesar 0.01. Persentase kadar sukrosa gula semut dari masing-

masing kelompok adalah 14.46%, 38%, 23.02%, 28.02%, dan 50.23%. Kadar sukrosa akan

menentukan sifat mudah mengkristalnya suatu gula. Semakin tinggi kandungan sukrosa, maka akan

semakin tinggi pula kemampuan mengkristalnya. Berdasarkan literatur, komposisi nira yang berasal

dari aren dan kelapa, masing- masing memiliki kandungan sukrosa sebanyak 130-170 g/l dan 120-180

g/l. Sehingga gula yang dibuat dari nira kelapa akan lebih mudah mengkristal dibandingkan gula yang

dibuat dari nira aren.

B.3 Gula Invert

Pada praktikum kali ini, pembuatan sirup gula invert dengan hidrolisis asam lemah dan asam

kuat dilakukan dengan dua metode yakni metode asam tartarat dan metode HCl. Setiap kelompok

membuat sirup gula invert dari berbagai macam gula dan metode yang digunakan, dengan kelompok

1 adalah gula pasir dan metode HCl, kelompok 2 adalah gula kelapa dan metode HCl, kelompok 3

adalah gula aren dan metode HCl, kelompok 4 adalah gula pasir dan metode asam tartarat, kelompok

5 adalah gula kelapa dengan metode asam tartarat, dan kelompok 6 dari gula aren dan metode asam

tartarat. Banyaknya gula pasir, gula kelapa, dan gula aren yang digunakan masing-masing 100 g, 100

g, dan 500 g.

Dari data hasil praktikum, sirup gula invert yang dihasilkan masing- masing kelompok adalah 110

ml, 105 ml, 109 ml, 89 ml, 100 ml, dan 76 ml. Dapat disimpulkan bahwa gula invert yang dihasilkan

dengan metode HCl lebih banyak volumenya dibandingkan dengan metode asam tartarat. Hal ini

disebabkan oleh daya inversi asam klorida (100%) yang lebih tinggi dari pada daya inversi asam

tartarat (3.00%) (Junk dan Pancoast 1980).

Uji gula pereduksi metode DNS diawali dengan membuat pereaksi DNS dan standar glukosa.

Pembuatan kurva standar DNS dibuat dengan membuat larutan glukosa konsentrasi 100 ppm, 150

ppm, 200 ppm, dan 250 ppm. Kemudian, masing- masing sampel dari kelompok 1-6 yang telah diberi

pereaksi DNS diuji nilai absorbansi dengan menggunakan spektrofotometer. Dari data hasil

pengamatan, nilai absorbansi gula invert dari tiap kelompok adalah -0.041, 0.516, -0.25, 0.544, 0.115,

dan 0.103. Dari nilai absorbansi tersebut, dapat digunakan untuk menentukan nilai konsentrasi gula

pereduksi yang dikandung oleh gula invert dengan menggunakan kurva standar yang sebelumnya

telah dibuat. Sehingga diperoleh nilai kandungan gula pereduksi dari masing- masing kelompok,

yakni 33.5 ppm, 232.429 ppm, -41.1429 ppm, 242.429 ppm, 89.214 ppm, dan 84.928 ppm. Terjadi

kejanggalan pada nilai kandungan gula pereduksi pada kelompok 3 karena telah menunjukkan hasil

yang negatif atau minus dan diduga bahwa terjadi kesalahan pada nilai yang ditunjukkan oleh

spektrofotometer.

Kadar gula pereduksi sirup gula invert ditentukan oleh kesempurnaan proses hidrolisis. apabila

konsentrasi asam dan waktu hidrolisis berlebihan maka kadar gula pereduksinya akan turun. Hal ini

dikarenakan glukosa dan fruktosa yang telah terbentuk selama hidrolisis pada suasana asam dan suhu

tinggi dapat terurai menjadi senyawa lain yang tidak diinginkan yaitu hidroksi metil sehingga akan

menurunkan kadar gula pereduksi (Hall 1973).

Page 30: Laporan Patgul Uts - Fiza Balya. FIX

Terakhir, analisa mutu produk gula invert dilakukan dengan menguji kandungan total gula

metode fenol- asam sulfat. Uji ini dilakukan dengan cara seperti uji kandungan gula pereduksi metode

DNS dengan menggunakan alat spektrofotometer. Kurva standar diukur pada konsentrasi 10-60 ppm

dengan absorbansi diukur pada panjang gelombang 490 nm. Dari data pengamatan didapatkan

kandungan total gula pada gula semut tiap kelompok adalah 28.54%, 34.87%, 30.01%, 2.95%,

49.27%, dan 67.53% sehingga dapat disimpulkan bahwa kandungan total gula yang dikandung oleh

gula semut aren lebih tinggi dibandingkan dengan gula semut kelapa.

Praktikum selanjutnya yaitu uji DE dan DP. Nilai DE diperoleh dari total gula dibagi dengan

total gula pereduksi dikali 100, sedangkan nilai DP diperoleh dari total gula dibagi total gula

pereduksi. Nilai DE gula invert masing- masing kelompok yaitu 66.67, 72.87, 352.6, 527.68, dan 103.

Menurut Tjokroadikoesoemo (1985), konversi asam umumnya terbatas sampai DE 55, konversi diatas

55, DE akan menghasilkan banyak zat warna dan timbulnya rasa pahit. Nilai DE 100 adalah murni

dekstrosa sedangkan nilai DE 0 adalah pati alami. Hidrolisat dengan nilai DE 50 adalah maltosa, nilai

DE di bawah 20 adalah maltodekstrin, sedangkan hidrolisat dengan DE berkisar antara 20-100 adalah

sirup glukosa.

Nilai DP gula invert masing- masing kelompok adalah 1.5, 1.37, 1.26, 0.19, dan 0.79. Nilai DP

menurun dari 1,5– 0,19, seiring dengan perbedaan perlakuan yang digunakan dalam hidrolisis. Hal ini

disebabkan oleh perbedaan konsentrasi asam klorida dalam perlakuan, asam klorida yang lebih kuat

akan lebih kuat mendegradasi polisakarida dalam bahan, sehingga nilai DP yang menunjukkan angka

rata-rata unit monomer dalam suatu molekul akan menurun dan mutu bahan yang digunakan sudah

jelek.

B.4 Produk Hidrolisat Pati

Pada praktikum praktikum kali ini, kelompok 1 membuat maltodekstrin dari tapioka dengan

katalis asam, kelompok 2 membuat maltodekstrin dari tapiokadengan katalis enzim alfa amilase,

kelompok 3 membuat maltodextrin dari sagu dengan asam, kelompok 4 membuat maltodextrin dari

sagu dengan enzim, kelompok 5 membuat sirup glukosa dengan katalis asam, dan kelompok 6

membuat sirup glukosa dengan katalis enzim. Pada praktikum ini dilakukan beberapa uji, antara lain

total gula, total gula pereduksi, nilai DE dan nilai DP.

Pada uji total gula diukur dengan menggunakan metode fenol. Dari hasil praktikum uji fenol

dilakukan pada sampel gula yang belum mengalami inversi untuk melihat kandungan total gula yang

terdapat di dalam larutan gula. Bahan yang digunakan untuk pengujian ini adalah gula invert dan hasil

produk hidrolisat pati (maltodekstrin dan sirup glukosa). Diketahui saat nilai blanko (0), Dari data

hasil pengamatan, nilai absorbansi produk hidrolisat pati dari tiap kelompok adalah 0,198, 0.26,

0.105, 0.214, 0.57, dan 0.759. Dari nilai absorbansi tersebut, dapat digunakan untuk menentukan

nilai konsentrasi total gula yang dikandung oleh produk hidrolisat pati dengan menggunakan kurva

standar yang sebelumnya telah dibuat. Sehingga diperoleh nilai kandungan total gula pada saat 40

ppm dan nilai blanko 3.49 dari masing- masing kelompok, yakni 21.66 ppm, 27.34 ppm, 13.13 ppm,

23.13 ppm, 55.79 ppm, dan 73.13 ppm. Produk hidrolisat pati didapatkan nilai absorbansi tertinggi

yaitu pada kelompok 6 (0.759) yang dibuat dari sirup glukosa dengan katalis enzim dan yang terendah

ada pada kelompok 3 (0.105) yang dibuat dari maltodextrin dari sagu dengan asam. Sedangkan nilai

kandungan total gula dari produk hidrolisat pati yang memliki nilai absorbansi tertinggi dimiliki oleh

kelompok 6 (73.13) yaitu sirup glukosa dengan enzim dan yang terendah ada pada kelompok 3

(23.13) yang dibuat dari maltodextrin dari sagu dengan asam. Hal ini disebabkan karena nilai

absorbansi sebanding dengan kandungan gula pereduksi di dalam suatu larutan dengan asumsi tidak

ada senyawa pengotor lain yang tidak diinginkan.

Page 31: Laporan Patgul Uts - Fiza Balya. FIX

Selanjutnya uji total gula pereduksi dengan menggunakan metode DNS. Dari hasil praktikum uji

gula pereduksi (DNS) dilakukan pada setiap sampel produk hidrolisat pati (maltodekstrin dan sirup

glukosa). Diketahui saat nilai blanko (0), Dari data hasil pengamatan, nilai absorbansi produk

hidrolisat pati dari tiap kelompok adalah -0.049, 0.028, -0.816, 0.09, 0.025, dan 0.064. Dari nilai

absorbansi tersebut, dapat digunakan untuk menentukan nilai konsentrasi gula pereduksi yang

dikandung oleh produk hidrolisat pati dengan menggunakan kurva standar yang sebelumnya telah

dibuat. Sehingga diperoleh nilai kandungan gula pereduksi dari masing- masing kelompok, yakni

30.643 ppm, 58.143 ppm, -243.286 ppm, 80.286 ppm, 57.0714 ppm, dan 71 ppm. Produk hidrolisat

pati didapatkan nilai absorbansi tertinggi yaitu pada kelompok 6 (0.064) yang dibuat dari sirup

glukosa dengan katalis enzim dan yang terendah ada pada kelompok 3 (-0.816) yang dibuat dari

maltodextrin dari sagu dengan asam. Rentang transmitat yang baik adalah diantara 0.2-0.8. Sedangkan

hasil kandungan gula pereduksi dari produk hidrolisat pati yang memliki nilai absorbansi tertinggi

dimiliki oleh kelompok 4 (80.286) yaitu maltodextrin dari sagu dengan enzim. Terjadi kejanggalan

pada nilai kandungan gula pereduksi pada kelompok 3 karena telah menunjukkan hasil yang negatif

atau minus dan diduga bahwa terjadi kesalahan pada nilai yang ditunjukkan oleh spektrofotometer.

Praktikum selanjutnya yaitu uji DE dan DP. nilai DE diperoleh dari total gula dibagi dengan

total gula pereduksi dikali 100, sedangkan nilai DP diperoleh dari total gula dibagi total gula

pereduksi. Nilai DE hidrolisat pati pada kelompok 1 mendapat nilai 78.72, kelompok 2 tidak

mendapatkan nilai mungkin karena terjadi kesalahan dalam praktikum sehingga nilai DE tidak

didapatkan, kelompok 3 mendapatkan nilai 82.97, kelompok 4 mendapatkan nilai 15.9, kelompok 5

mendapat nilai 110.04, kelompok 6 mendapat nilai 97.1. Menurut Tjokroadikoesoemo (1985),

konversi asam umumnya terbatas sampai DE 55, konversi diatas 55, DE akan menghasilkan banyak

zat warna dan timbulnya rasa pahit. Nilai DE 100 adalah murni dekstrosa sedangkan nilai DE 0 adalah

pati alami. Hidrolisat dengan nilai DE 50 adalah maltosa, nilai DE di bawah 20 adalah maltodekstrin,

sedangkan hidrolisat dengan DE berkisar antara 20-100 adalah sirup glukosa.

Uji nilai DP dengan menggunakan bahan produk hidrolisat pati. Mendapatkan hasil pada

kelompok 1 mendapat nilai 1.27, kelompok 2 tidak mendapatkan nilai mungkin karena terjadi

kesalahan dalam praktikum sehingga nilai DP tidak didapatkan, kelompok 3 mendapatkan nilai 0 .79,

kelompok 4 mendapatkan nilai 6.047, kelompok 5 mendapat nilai 0.89, kelompok 6 mendapat nilai

1.26. Uji nilai DP mendapatkan nilai menurun dari 6.9047– 0.89, seiring dengan perbedaan perlakuan

yang digunakan dalam hidrolisis. Hal ini disebabkan oleh perbedaan konsentrasi asam klorida dalam

perlakuan, asam klorida yang lebih kuat akan lebih kuat mendegradasi polisakarida dalam bahan,

sehingga nilai DP yang menunjukkan angka rata-rata unit monomer dalam suatu molekul akan

menurun dan mutu bahan yang digunakan sudah jelek.

Page 32: Laporan Patgul Uts - Fiza Balya. FIX

V. PENUTUP

A. KesimpulanWarna yang dihasilkan pada saat pengujian sampel relatif sama yaitu coklat. Warna tersebut

muncul karena ada kandungan proteinnya. Semakin tinggi konsentrasi protein semakin gelap

warnanya. Kadar gula pereduksi tertinggi (% gula sebelum inversi) untuk sampel gula merah yaitu

43% dengan pemakaian tiosulfat 15ml. Semakin banyak tiosulfat yang diperlukan untuk titrasi maka

semakin banyak I2 bebas. I2 bebas ini merupakan dasar penetapan banyaknya gula monosakarida

(pereduksi) dalam bahan. Kadar sukrosa yang tertinggi (31.24%) pada bahan tebu bagian atas.

Sukrosa yang ada belum terkonversi menjadi glukosa dan fruktosa. hasil dari tingkat hidrolisis yang

tertinggi (79) pada bahan tebu bawah. Semakin banyak larutan asam yang digunakan maka akan

semakin banyak kandungan glukosa dan fruktosa yang dihasilkan dalam larutan. Kadar total gula

yang tertinggi bagian bawah.Hal tersebut menyebabkan nira semakin berkurang pada tebu bagian atas,

sedangkan nira pada tebu bagian bawah masih tersimpan dalam jumlah banyak. Uji kekerasan tidak

dilakukan karena terlalu keras

Selanjutnya adalah pengujian atau analisa mutu gula semut. Rasa gula semut yang terbuat dari

gula aren lebih manis dibandingkan dengan gula kelapa. Aroma gula semut aren dan gula semut

kelapa adalah khas gula merah dan berwarna coklat muda. Kegagalan pembuatan gula semut kelapa

ini disebabkan oleh kualitas gula cetak yang tidak bagus atau mungkin gula cetak telah terkontaminasi

oleh mikroba pembentuk asam. Persentasi gula pereduksi yang dikandung gula semut kelapa adalah

60.52%, 27.75%, sedangkan gula semut aren adalah 43%, 46.9%, dan 21.13%. Gula semut aren

memiliki kandungan gula pereduksi yang lebih tinggi dibandingkan dengan gula semut kelapa. Hal ini

tidak sesuai dengan literatur karena seharusnya kandungan gula pereduksi pada kelapa lebih tinggi

dari pada gula pereduksi yang dikandung oleh aren. Persentase kadar sukrosa gula semut kelapa

adalah 14.46%, 38%, sedangkan kadar sukrosa gula semut aren adalah 23.02%, 28.02%, dan 50.23%.

Kadar sukrosa akan menentukan sifat mudah mengkristalnya suatu gula, sehingga gula yang dibuat

dari nira kelapa akan lebih mudah mengkristal dibandingkan gula yang dibuat dari nira aren.

Pembuatan sirup gula invert dengan hidrolisis asam dilakukan dengan dua metode yakni

metode asam tartarat dan metode HCl. Dari hasil pengamatan, gula invert yang dihasilkan dan

kandungan gula pereduksi dari bahan gula pasir dengan metode HCl adalah 110 ml dan 33.5 ppm,

bahan gula kelapa dengan metode HCl adalah 105 ml dan 232.429 ppm, bahan gula aren dengan

metode HCl adalah 109 ml dan -41.1429 ppm, bahan gula pasir dan metode asam tartarat adalah 89

ml dan 242.429 ppm, bahan gula kelapa dengan metode asam tartarat adalah 100 ml dan 89.214 ppm,

dan bahan gula aren dengan metode asam tartarat adalah 76 ml dan 84.928 ppm. Gula invert yang

dihasilkan dengan metode HCl lebih banyak volumenya dibandingkan dengan metode asam tartarat

karena daya inversi HCl yang lebih tinggi dari pada daya inversi asam tartarat.

Pada pengujian gula pereduksi menggunakan DNS, didapatkan nilai adsorbansi tertinggi gula

untuk produk hidrolisat pati kelompok 6 (0,064) yang dibuat dari sirup glukosa dengan enzim,

dengan rentang transmitat yang baik pada DNS adalah diantara 0,2-0,8, ini mengindikasikan bahwa

nilai absorban yang memenuhi kriteria. Sedangkan untuk metode fenol nilai adsorbansi yang tertinggi

untuk produk hidrolisat pati terdapat kelompok 6 (0.759) yang dibuat dari sirup glukosa dengan

katalis enzim. Pada pengujian nilai DE terjadi peningkatan karena konversi asam umumnya terbatas

sampai DE 55, konversi diatas 55, DE akan menghasilkan banyak zat warna dan timbulnya rasa

pahit.Uji nilai DP mendapatkan nilai menurun dari 6,9047– 0,89. nilai DP yang menunjukkan angka

Page 33: Laporan Patgul Uts - Fiza Balya. FIX

rata-rata unit monomer dalam suatu molekul akan menurun dan mutu bahan yang digunakan sudah

jelek

B. SaranPada pelaksanaan praktikum kali ini, sebaiknya praktikan membaca dahulu dengan seksama

prosedur dari tiap uji yang akan dilakukan. Sehingga praktikum tidak menghabiskan waktu yang

cukup lama. Dapat dilihatdari data hasil praktikum, data hasil pengamatan masih terdapat beberapa

kejanggalan nilai yang ada. Hal ini disebabkan karena adanya faktor kesalahan yang ditunjukkan

akibat perlakuan sampel yang mungkin dibuat tidak sesuai dengan prosedur atau kesalahan

perhitungannya. Kemungkinan kedua yang menyebabkan data tidak valid atau janggal adalah

kesalahan alat dan kekurangtelitian praktikan dalam menganalisa, khususnya pada saat pengujian yang

menggunakan titrasi.

Page 34: Laporan Patgul Uts - Fiza Balya. FIX

DAFTAR PUSTAKA

Agra, I.B., Warnijati S, Riyadi R.S. Hydrolisis of Sweet Potato Starch at Atmosphere Pressure ,

Research Journal, volume 2 (3), 34.

Anonim. 2010. Gula Semut. http://balitka.litbang.deptan.go.id/index.php?option=com_content _ view

=article&id=148%3Agula-semut-&catid=46%3Apaket-teknologi-pascapanen&Itemid=80&

lang=en (diakses pada 29 Maret 2013)

Aprijantono, A., D. Fardiaz, Ni Luh Puspitasari, Soedarnawati, S.Budiyanto. 1989. Analisis Pangan;

Petunjuk Laboratorium. Bogor: IPB Press.

Balai Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian (BP2TP). 2010. Teknologi Gula Cetak dan

Gula Semut Dari Nila Kelapa. http://pustaka.litbang.deptan.go.id/agritek/slut0403.pdf. (diakses

pada tanggal 26 Maret 2013)

Fennema, OR. 1996. Food Chemistry. New York: Marcell Dekker Inc.

Groggins, P. H. 1950. Unit Process in Organic Synthesis 5 ed. New York: Mc. Graw-Hill Book

Company.

Hall, M. N. A. 1973. The Small Scale Manufacture of High and Low Boiled Sweet and Toffees .

London: Tropucal Product Institute.

Junk, W.R. dan H. Pancoast. 1980. Handbook of Sugar. Westport, Connecticut: The AV Publishing

Co., Inc,

Khopkar, SM. 2003. Konsep Dasar Kimia Analitik. Jakarta: UI press.

Kirk, R. E. dan O. F. Othmer. 1954. Encyclopedia of Chemical Technology. New York: The

Interscience Encyclopedia Inc.

LIPI. 2000. Gula Semut. http://www.dekindo.com/content/teknologi/Pembuatan%20Gula%20Semut.

htm (diakses pada 30 Maret 2013).

Nurhayati, Daniah. 1992. Mempelajari Pengaruh Penambahan Pengawet terhadap Daya Simpan Nira

Kelapa serta Mutu Gula Semut, Gula Merah, Sirup, dan Gula Pasir yang Dihasilkan. Skripsi.

Bogor: FATETA IPB.

Nuri.2012.Pembuatan Sirup Glukosa. http://pustakanuri.blogspot.com/2012/10/kenalan-yuuukkk-

sama-sirup-glukosa.html#!/2012/10/kenalan-yuuukkk-sama-sirup-glukosa.html. (diakses pada

tanggal 28 maret 2013)

Pusbangtepa. 1991. Buletin Penelitian dan Pengembangan Teknologi Pangan. Bogor: LP IPB.

Risvan, Kuswurj. 2011. Komposisi Nira Tebu dan Pengaruhnya dalam Proses Pengolahan Gula.

http://www.risvank.com/2011/11/29/komposisi-nira-tebu-dan-pengaruhnya-dalam-proses-

pengolahan-gula/. (diakses pada tanggal 26 Maret 2013)

Rohman. 2007. Konsep Dasar Kimia Analitik. Jakarta: UI Press.

Setyamidjaja, Djoehana. 1984. Bertanam Kelapa: Budidaya dan Pengolahannya.Yogyakarta : Penerbit

Kanisisus.

Suhardiyono,L. 1988. Tanaman Kelapa Budidaya dan Pemanfaatannya. Yogyakarta: Kanisius.

Sunarti, Titi Candra. 2013. Penuntun Praktikum Teknologi Pati, Gula, dan Sukrokimia. Bogor:

Teknologi Industri Pertanian IPB.

Supardi, Didi. 1993.Mempelajari Faktor- Faktor yang Mempengaruhi Kelunakan Gula Merah Kelapa

Kasus di Daerah Cianjur. Bogor: Fakultas Teknologi Pertanian IPB.

Suyatma, Nugraha. 2009. Analisis Warna. Bogor: Fakultas Teknologi Pangan IPB.

Tarwiyah et all. 2001. http://www.warintek.ristek.go.id/pangan/tanaman%20 penghasil%20gula

/nira.pdf .(diakses pada tanggal 27 Maret 2013).

Page 35: Laporan Patgul Uts - Fiza Balya. FIX

Tjokroadikoesoemo S. 1985. HFS dan Industri Ubi Kayu Lainnya. Jakarta: PT Gramedia Pustaka

Utama.

Wurzburg, O. B. 1989. Modified Starches : Properties and Uses. Florida: CRC Press, Inc.

Winarno, F.G. 1986. Kimia Pangan dan Gizi. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.

Page 36: Laporan Patgul Uts - Fiza Balya. FIX

LAMPIRANTabel 1. Neraca Massa Sari Tebu

KelTebu

BagianTebuBobot

Awal (g)Bobot

Batang (g)Bobot Kulit

(g)Bobot Bagasse

(g)1 Atas 1200 1130 70 3402 Bawah 1420 1050 370 2703 Atas 1260 850 410 2404 Bawah 1440 840 600 2405 Atas 1220 650 570 1506 Bawah 1430 980 450 200

Tabel 2. Pembuatan Gula Cetak

Kel

Nira

Perlakuan Warna Rasa AromaVolume

(ml)pH

awal

Derajat Kemanisan

(obrix)

pH Setelah Penambahan

CaCO3

1 TanpaPenambahan CaCO3

Hijau Opaque

ManisSeperti Daun

650 5 11,6 -

2 Manis 660 5 13 -

3 Penambahan CaCO3

(1 g / l nira)

Hijau Kecoklatan

ManisSeperti Daun

525 5 10 6

4Hijau

KecoklatanManis Tebu 463 5 12,4 6

5 Penambahan CaCO3

(2 g / l nira)

Kuning Kecoklatan

Kurang Manis

Seperti Daunx

380 5,5 10 7

6 CoklatTua Manis Rumput 657 5 14 6

Tabel 3. Pembuatan Gula Semut dan Gula InvertKel Sumber gula warna Aroma Rasa Metode Volume (ml)1 Gula kelapa Coklat tua Khas gula merah +++ HCl/ gula pasir 1102 Gula kelapa Coklat muda Khas gula merah +++ HCl/ gula

kelapa105

3 Gula kelapa Coklat muda Khas gula merah +++ HCl/ gula aren 1094 Gula aren Coklat muda Khas gula merah ++++ Asam tartarat/

gula pasir89

5 Gula aren Coklat muda Khas gula merah +++ Asam tartarat/ gula kelapa

100

6 Gula aren Coklat muda Khas gula merah ++++ Asam tartarat/ gula aren

76

Page 37: Laporan Patgul Uts - Fiza Balya. FIX
Page 38: Laporan Patgul Uts - Fiza Balya. FIX

Neraca MassaKelompok 1 Kelompok 2

didinginkan

ditimbang….. kg

Tebu100 kg

dikupas Kulit17,07 kg

ditimbang82,93 kg

Dipress dan disaring Ampas28,46 kg

Nira54,47 kg

dimasak Yang menguap49,71 kg

dicetak

didinginkan

Gulamerahcetak4,76 kg

BatangTebu67,5 gram

BatangTebu100 gram

dikupasLimbah kulit Tebu

32,5 gram

BatangTebu67,5 gram

dibelah

Nira41,8 gram atau 580 ml

dipress

Ampas batang tebu

25,7 gram

Gula merah4,54 gram

dimasak

Uap Air37,26 gram

Page 39: Laporan Patgul Uts - Fiza Balya. FIX

Kelompok 3kelompok 4

Tebu utuh = 100 kg

Kulit tebu= 25,93 kg

Tebu yang sudah dikupas = 74,07 kg

Dikupas

Dipress/digiling

Nira tebu = 45,37 kgVolume = 480 ml

Ampas tebu =28,70 kg

Gulamerahcetak =4,04 kg

+10 gram kapur

Dimasak

Dicetak

Tebu utuh 100 kg

Dikupas Kulit 28,19 kg

Tebu setelah dikupas 71,81 kg

Dipress

Nira

Disaring Ampas 30,2 kg

Ditimbang 41,61 kg

Diamati : volume 29,866 kg, Ph 5, kadargula 22, rasa manis, warnacoklat, aroma khastebu

CaCO3 10 g Dimasak

Page 40: Laporan Patgul Uts - Fiza Balya. FIX

Diangkat

Diendapkan

Disaring

Dimasak sampai kental

Dimasukkan ke dalam cetakan

Ditimbang 3,74 kg

Gula merah

Page 41: Laporan Patgul Uts - Fiza Balya. FIX

Kelompok 5

dipressdandisaring Ampas37,93

kg

Nira37,07kg

dimasaknira 31,86 kg

Yang menguap29,21 kg

dicetak

didinginkan

Gulamerahcetak2,65 kg

Tebu100 kg

dikupasKulit25 kg

ditimbang75 kg

CaCO3 tanpa pemanasan 10 gr

Pengendapan Ampas5,21 kg

Page 42: Laporan Patgul Uts - Fiza Balya. FIX

Kelompok 6

Dipress dan disaring Ampas32,46 kg

Nira40,35 kg

dimasaknira

Yang menguap

dicetak

didinginkan

Gula merah cetak

Tebu100 kg

dikupasKulit

27,19 kg

ditimbang72,81 kg

CaCO3 tanpapemanasan

10 gr

Pengendapan Ampas

Page 43: Laporan Patgul Uts - Fiza Balya. FIX

Analisis Mutu Produk Gula

1. Uji WarnaKelompok Gula Cetak Gula Semut Gula Invert

1 +++ ++++ Kuning keemasan

2 ++++ +++ +++++

3 ++++ ++ ++++

4 + Kuning

5 + ++++

6 +++ + ++++

+ = warna coklat

2. Gula Pereduksi (Luff Schoorl)

Nilai ml tiosulfat yang digunakan

Kelompok% Gula sebelum inverse

Gula semut (ml) Gula Cetak (ml)

1 13.2 15

2 9.5 13.4

3 13.8 12.6

4 10.9 14.7

5 7.6 11.3

6 14.8 12.2

Blanko 18.3

Nilai mg Glukosa yg setara dengan ml tio

Kelompok% Gula sebelum inverse

Gula semut (mg) Gula Cetak (mg)

1 24.21 7.95

2 13.5 14.45

3 11.1 13.95

4 17.2 9.7

5 18.76 17.2

6 8.45 14.95

Persentase gula pereduksi dengan fp = 0.01

Kelompok% Gula sebelum inverse

Gula semut (%) Gula Cetak (%)

1 60.52 19.87

2 33.54 37.23

3 27.75 34.87

4 43 24.25

5 46.9 43

Page 44: Laporan Patgul Uts - Fiza Balya. FIX

6 21.13 37.37

3. Kadar Sukrosa (Luff Schoorl)

A. Persen gula sesudah inversi

Nilai ml Na- tiosulfat yang digunakan

Kelompok% Gula sesudah inverse

Gula semut (ml) Gula Cetak (ml)

1 9 ml 13 ml

2 9 ml 10 ml

3 10,2 ml 10,2 ml

4 9,5 ml 12 ml

5 18,1 ml 11,8 ml

6 9,2 ml 10 ml

Blanko 21 ml

Nilai mg Glukosa yg setara dengan ml Na- tiosulfat

Kelompok% Gula sesudah inverse

Gula semut(mg) Gula Cetak (mg)

1 30.3 19.8

2 30.3 27.6

3 27.1 27.1

4 28.95 22.4

5 6.96 22.92

6 29.76 27.6

Persentase gula sesudah inversi dengan fp = 0.01

Kelompok% gula sesudah inverse

Gula Semut (%) Gula Cetak (%)1 75.75 49.52 75.75 69

3 67.75 67.75

4 72.37 56

5 17.4 57.3

6 74 69

B. Persen gula total

Kelompok % Total Gula

Gula Semut Gula Cetak1 71.96 47.022 71.96 65.553 64.36 64.364 68.75 53.25 16.53 54.436 70.3 65.55

Page 45: Laporan Patgul Uts - Fiza Balya. FIX

C. % sukrosa

Kelompok% Sukrosa

Gula Semut Gula Cetak1 14.46 28.152 40.09 30,1813 38 31.244 23.51 30.165 -28.023 13.586 50.23 30.05

D. Tingkat Hidrolisis

Kelompok%Tingkat Hidrolisis

Gula Semut Gula Cetak1 84.10 42.262 46,6 56.7

3 43.12 54.18

4 62.54 45.58

5 283.72 79

6 29.87 57

DE dan DP

KelompokDP DE

Gula invert Produk hidrolisat Gula invert Produk hidrolisat1 1.5 1.27 66.67 78.722 1.14 1.18 87.5 84.853 1.37 0.79 72.87 82.974 1.26 6.047 352.6 150.95 0.19 0.89 527.68 110.046 0,79 1,26 103 97,1

4. Gula Pereduksi (Metode DNS)

Absorbansi

Page 46: Laporan Patgul Uts - Fiza Balya. FIX

% gula pereduksi

KelompokGula Pereduksi

Gula Invert Produk hidrolisat

1 33,5 30,643

2 232,4286 58,143

3 -41,1429 -243,286

4 242,4286 80,286

5 89,21429 57,0714

6 84,92857 71

Blanko

5. Total Gula (Fenol)

KelompokAbsorbansi (ppm)

Gula Invert Produk Hidrolisat blanko

1 0,273 0,1980

2 0,342 0,26

KelompokAbsorbansi (ppm)

Gula invert Produk hidrolisat

1 -0,041 -0,049

2 0,516 0,028

3 -0,25 -0,816

4 0,544 0,09

5 0,115 0,025

6 0,103 0,064

Blanko

Page 47: Laporan Patgul Uts - Fiza Balya. FIX

3 0,289 0,105

4 -0,006 0,214

5 0,499 0,57

6 0,698 0,759

Kelompok% Gula sesudah inversi

Gula invert Produk hidrolisat blanko

1 28,54 21,66

3,49

2 34,87 27,34

3 30,01 13,13

4 2,95 23,13

5 49,27 55,79

6 67,53 73,13