infeksi odontogenik pada spasia wajah
DESCRIPTION
Spasium wajah da InfeksinyaTRANSCRIPT
PERLUASAN INFEKSI ODONTOGENIK
KE SPASIUM FASIAL
OLEH:
HERI HERLIANA
ANGEI LAURA DANIEL
HARFINDO NISMAL
GATOT SUBROTO
CONNY DIANAWATI
PROGRAM PENDIDIKAN DOKTER GIGI SPESIALIS BEDAH MULUT
FAKULTAS KEDOKTERAN GIGI
UNIVERSITAS PADJADJARAN
BANDUNG
2009
BAB I
PENDAHULUAN
Gigi geligi dengan karies yang diikuti dengan nekrosis pulpa dan infeksi di
periapikal serta infeksi periodontal mempunyai potensi cukup besar untuk
menyebarkan infeksi ke berbagai tempat dalam rongga mulut, muka dan leher
bahkan komplikasi seperti emboli dan septikemia. Penyebab infeksi ini adalah
mikroba komensal dalam mulut yang kemudian menjadi pathogen, yang
penyebarannya dipengaruhi oleh meningkatnya virulensi dan kuantitas mikroba
dan menurunnya daya tahan tubuh penderita.
Infeksi menurut Topazian merupakan proses masuknya mikroorganisme
ke dalam tubuh, dan selanjutnya mikroorganisme tersebut mengadakan penetrasi
dan menghancurkan host secara perlahan-lahan, hingga berkembang biak.
Kebanyakan infeksi yang berasal dari rongga mulut bersifat campuran
(polimikrobial), umumnya terdiri dari dua kelompok mikroorganisme atau lebih.
Karena flora normal di dalam rongga mulut terdiri dari kuman gram positif dan
aerob serta anaerob gram negatif maka yang paling banyak menyebabkan infeksi
adalah kuman-kuman tersebut. Secara umum biasanya diasumsikan bahwa infeksi
di rongga mulut disebabkan oleh Streptococcus dan Staphylococcus serta
mikrooganisme gram negatif yang berbentuk batang dan anaerob.
Infeksi dapat bersifat akut dan kronis. Suatu kondisi akut biasanya disertai
dengan pembengkakan dan rasa sakit yang hebat dengan malaise dan demam yang
berkepanjangan. Bentuk kronis dapat berkembang dari penyembuhan sebagian
keadaan akut, serangan yang lemah atau pertahanan tubuh yang kuat. Infeksi
kronis sering ditandai dengan ketidaknyamanan dalam berbagai tingkatan dan
reaksi ringan dari jaringan sekitarnya, misalnya edema, kemerahan, rasa sakit
tekan, dan manifestasi sistemik episodik yaitu : demam ringan, letalergi dan
lemah badan. (pedersen: 1996)
Infeksi odontogenik biasanya mempunyai derajat sedang dan dapat
dirawat dengan mudah dengan pemberian antibiotik dan perawatan bedah lokal.
2
Abses berukuran kecil di vestibulum bukolingual ditangani dengan prosedur insisi
intraoral dan drainase, termasuk pencabutan gigi. Tetapi, beberapa infeksi
odontogenik sangat serius dan membutuhkan penanganan lebih lanjut. Bahkan
setelah pemberian antibiotik dan peningkatan kebersihan mulut, infeksi
odontogenik serius dapat menimbulkan kematian. Kondisi tersebut dapat terjadi
ketika virulensi mikroba patogen meningkat dan terganggunya sistem kekebalan
tubuh akibat suatu penyakit tertentu. Kematian dapat terjadi ketika infeksi
mencapai daerah yang jauh dari prosesus alveolaris, yaitu daerah-daerah vital
(Peterson, 2003).
Perluasan infeksi ke daerah vital tersebut berawal dari perluasan infeksi ke
spasium-spasium wajah. Penyebaran infeksi dapat terjadi karena ruangan di
daerah kepala dan leher satu sama lain hanya dipisahkan jaringan ikat longgar.
Biasanya pertahanan terhadap infeksi pada daerah tersebut kurang sempurna
(Karasutisna dan Soeparwadi, 2001). Maka penanganan infeksi spasium wajah
dengan tepat dapat mencegah perluasan infeksi ke daerah vital dan mencegah
kematian penderita.
ANATOMI SPASIUM WAJAH
Pada penyebaran infeksi odontogenik arah tembusan pada korteks tulang
rahang ditentukan oleh ketebalan tulang di sekitar apeks gigi dan hubungannya
antara tempat terjadinya perforasi dengan perlekatan muskulus pada tulang
maksila dan madibula. Tempat perforasi umumnya di daerah bukal karena tulang
bagian bukal lebih tipis. Tetapi dari akar palatal molar maksila perforasi lebih
sering ke arah palatal sedang pada molar kedua dan ketiga mandibula lebih sering
kerjadi ke arah lingual (Karasutisna dan Soeparwadi, 2001).
Menurut Peterson (2003), spasium wajah adalah daerah berlapis fasia yang
dapat terisi atau ditembus oleh eksudat purulen. Daerah ini merupakan ruang
potensial yang tidak ada pada orang sehat, tetapi terisi selama infeksi. Beberapa
di antaranya mengandung struktur neurovaskular dan dikenal sebagai
kompartemen. Sedangkan bagian yang diisi oleh jaringan ikat jarang disebut
celah.
3
Spasium wajah yang langsung terlibat pertama kali dikenal sebagai
spasium wajah primer baik pada maksila maupun mandibula (tabel 1). Sedangkan
perluasan infeksi melebihi daerah spasium primer ini adalah ke daerah spasium
sekunder (tabel 1).
Tabel 1. Spasium wajah yang terlibat dalam infeksi odontogenik (Peterson, 2003)
a. Spasium primer maksila1. Spasium kaninus2. Spasium bukal3. Spasium infratemporalb. Spasium primer mandibula1. Spasium submental2. Spasium bukal3. Spasium submandubular4. Spasium sublingalc. Spasium sekunder wajah1. Spasium maseter2. Spasium pterigomandibular3. Spasium temporal superfisial dan
dalam4. Spasium faringeal lateral5. Spasium retrofaringeal6. Spasium prevertebra
a. Spasium primer maksila
1. Spasium kaninus, merupakan ruangan tipis yang potensial antara muskulus
levator anguli oris dan muskulus levator labii superior. Infeksi gigi kaninus
atas menyebabkan terlibatnya spasium kaninus. Penderita yang mengalami
infeksi pada spasium kaninus mengeluh pembengkakan daerah alar dan
sembab di bawah mata. Kulit dapat memperlihatkan daerah kemerahan dan
edema sehingga lipatan nasolabial menghilang, nyeri tekan dapat dirasakan
di sekitar kaninus.
4
Gambar 1. Abses spasium kaninus
2. Spasium bukal, dibatasi oleh kulit superfisial wajah pada bagian lateral dan
muskulus buccinator pada bagian medial. Spasium ini dapat terlibat baik
akibat perluasan infeksi gigi pada maksila maupun mandibula. Selain itu,
spasium bukal terjadi akibat infeksi yang merusak tulang di atas perlekatan
muskulus buccinator. Gejala klinis yang ditimbulkan berupa pembengkakan di
sudut zigomaticus dan sekitar batas bawah dari mandibular. Abses membesar
pada mukosa bukal dan menonjol ke dalam rongga mulut dan batas tegas yang
terlihat pada lengkung zygomaticus dan batas bawah mandibula
Gambar 2. Perluasan spasium bukal (Peterson, 2003).
5
3. Spasium Infratemporal, terletak di posterior maksila. Bagian medial
spasium ini dibatasi oleh lempeng lateral prosesus pterigoideus tulang
sfenoid, bagian superior dibatasi oleh dasar tengkorak. Sedangkan ke arah
lateral, spasium ini menyambung dengan spasium temporal bagian dalam.
Proses infeksi daerah ini biasanya disebabkan oleh trauma terhadap gigi
posterior maksila dan biasanya terdapat penonjolan jaringan tepat di atas
dan di bawah arkus zigomatikus, menyebabkan kesan dari luar seperti
“dumbbell” (Karasutisna dan Soeparwadi, 2001).
Gambar 3. Abses spasium infratemporal
b. Spasium primer mandibula
1.Spasium submental, Terletak di antara simfisis mandibula dan tulang hyoid.
Bagian lateral dibatasi oleh anterior muskulus digastrikus kanan dan kiri. Di
bagian superior dibatasi oleh muskulus milohyoid dan bagian inferior oleh
kulit . Spasium ini sering terinfeksi oleh insisiv rahang bawah. Gejala klinis
yang ditemukan biasanya pembengkakan keras dengan fluktuasi positif, hampir seperti
gambaran umum selulitis.
6
Gambar 4. Abses Submental
2.Spasium bukal, serupa dengan spasium bukal yang disebabkan oleh infeksi
gigi rahang atas.
3.Spasium submandibula, bagian anteromedial dibatasi oleh muskulus
digastrikus anterio dan bagian posteromedialnya dibatasi oleh muskulus
digastrikus posterior serta muskulus stilohyoid, dasarnya dibentuk oleh
muskulus milohyoid dan muskulus hyoglosus. Di bagian anterior spasium
submandibula terdapat spasium sublingual yang dibatasi oleh muskulus
milohyoideus. Infeksi pada spasium submandibula dan sublingual sering
disebabkan oleh infeksi yang berasal dari gigi molar dan premolar mandibula
yang menembus ke lingual. Apabila spasium submandibula, sublingual dan
submental bilateral terkena infeksi, dikenal sebagai ludwig’s angina. Infeksi
ini merupakan selulitis yang menyebar dengan cepat. Pada infeksi ini hampir
selalu terlihat lidah terangkat, indurasi daerah submandibula dan penderita
biasanya mengalami trismus, saliva menetes serta kesulitan menelan dan
bernafas. Infeksi ini menyebar dengan cepat dan luas, dapat mengakibatkan
obstruksi saluran pernafasan sehingga dapat menimbulkan kematian.
7
Gambar 5. Abses submandibular
4.Spasium sublingual, dasarnya dibatasi oleh muskulus milohyoideus, lateral
dibatasi oleh prosesus alveolaris mandibula dan bagian medial dibatasi oleh
muskulus genioglosus dan geniohyoideus. Bagian atap berbatasan dengan dasar
mulut dan lidah. Secara klinis infeksi pada spasium sublingual memperlihatkan
pembengkakan ekstra oral yang kecil atau tidak memperlihatkan pembengkakan,
namun pembengkakan terlihat pada dasar mulut pada sisi yang terkena. Infeksi
pada spasium sublingual bilateral mengakibatkan lidah terangkat. Bagian
posterior sublingual berhubungan dengan spasium submandibula.
Gambar 6
c. Spasium sekunder wajah
Infeksi pada daerah spasium fasial sekunder dapat terjadi sebagai akibat
dari infeksi pada daerah fasial primer yang tidak dirawat. Jika spasia ini terlibat,
infeksi sering akan menjadi lebih parah, disebabkan karena semakin besarnya
komplikasi dan kerusakan, dan juga perawatannya akan semakin sulit. Karena
8
sedikitnya suplai darah pada jaringan konektif disekitar spasia, perawatan infeksi
akan semakin sulit tanpa dilakukan pembedahan sebagai drain eksudat purulen.
(Peterson: 2003)
1. Spasium masseter, terletak antara bagian lateral mandibula dan medial
muskulus masseter. Masuknya infeksi ke spasium ini karena penyebaran
dari spasium bukal atau infeksi dari molar ketiga mandibula. Infeksi pada
spasia ini berasal dari gigi molar tiga mandibula, dan merupakan kasus
yang jarang terjadi, yaitu karena perpindahan perjalanan dari abses. Infeksi
pada spasium ini mempunyai ciri-ciri berupa edema dengan tekanan yang
sangat sakit pada regio otot masseter, yang meluas dari batas posterior dari
ramus mandibula hingga tepi anterior dari otot masseter. Selain itu tampak
juga trismus dan sudut dari mandibula tidak dapat dipalpasi. Secara
intraoral, tampak edema pada daerah retromolar dan pada bagian anterior
dari ramus. Abses ini jarang berfluktuasi, dan dapat juga timbul gejala
sistemik.
Gambar 7. Abses submasseter
Perawatan abses ini terutama melalui intraoral, dengan melakukan insisi
awal pada bagian prosessus coronoid dan berjalan sepanjang tepi anterior
dari ramus hingga mucobuccal fold, sampai kira-kira sejauh molar kedua.
Insisi mungkin juga dilakukan di daerah ekstraoral pada kulit di bawah
9
sudut dari mandibula. Pada kasus kedua, hemostat dimasukkan sejauh pusat
dari supurasi dan sampai ini berkontak dengan tulang. Karena akses yang
jauh dari akumulasi purulent, sering sukar untuk drain area ini dengan baik,
sehingga sering relaps.
2. Spasium pterigomandibular, terletak di sebelah lateral muskulus
pterigomandibula medialis dan medial mandibula. Merupakan tempat
injeksi anestesi lokal untuk blok saraf alveolaris inferior. Penyebaran
infeksi terutama berasal dari spasium submandibula dan sublingual.
Gambar 8. Spasium pterigomandibular
Penyebab utama abses pada spasia ini adalah infeksi dari gigi molar tiga
atau akibat dari suatu blok nervus alveolaris inverior, jika sisi penetrasi dari
needle terinfeksi (pericoronitis). Gejala klinis pada infeksi spasium ini
adalah trismus yang parah dan sedikit edema ekstraoral yang tidak
biasanya tampak pada sudut mandibula. Secara intraoral, edema dari
palatum lunak tampak pada sisi yang terinfeksi sehingga terjadi
perpindahan tempat dari uvula dan dinding faringeal lateral. Perawatan
dapat dilakukan dengan cara insisi dan drainase dilakukan mukosa rongga
mulut dan lebih spesifik sepanjang crest temporal mesial. (gambar 2 b)
insisi seharusnya sepanjang 1,5 cm dan dalamnya 3 – 4 mm. Suatu
10
hemostat bengkok kemudian dimasukkan, yang berjalan ke posterior dan
lateral sampai berkontak dengan permukaan medial ramus mandibula.
Abses di drain, memungkinkan pengeluaran pus sepanjang tangkai
instrumen.
3. Spasium temporal superfisial dan dalam, terletak posterior dan superior
spasium pterigomandibula dan lateral muskulus pterigomandibula.
Spasium ini membelah muskulus temporalis menjadi dua bagian, bagian
superfisialis yang meluas ke fasia temporal dan bagian dalam yang
berhubungan dengan spasium infratemporal.
Gambar 9. Spasium temporalis
Infeksi pada spasium temporalis disebabkan oleh perluasan dari infeksi pada
spasium infratemporalis yang saling berhubungan. Gejala klinis ditandai
dengan edema yang sakit pada fascia temporalis, trismus (temporal dan
muskulus pterygoid mediana terlibat), dan sakit saat palpasi pada edema.
Perawatan dilakukan dengan insisi dan drainase dilakukan secara horizontal,
pada tepi dari scalp hair dan kira-kira 3 cm di atas dari lengkung zygomatik.
Ini kemudian dilakukan dengan hati-hati diantara dua lapisan pada fasia
temporal hingga muskulus temporalis. Pergunakan hemostat yang bengkok
untuk mendrain abses.
11
4. Spasium faringeal lateral, merupakan bagian spasium fasial servikal dan
dapat mengancam nyawa dengan adanya obstruksi saluran nafas. Perluasan
ke arah posterior dan spasium pterigomandibula dapat menyebar ke
spasium faringeal lateral. Spasium ini meluas dari dasar tengkorak pada
tulang sphenoid ke inferior menuju tulang hyoid. Bagian medial dibatasi
oleh muskulus pterigoideus medialis dan bagian lateral oleh muskulus
konstriktor faringeus superior. Bagian anterior berbatasan dengan rafe
posteromandibula dan menuju fasia prevertebra. Prosesus stiloideus dan
muskulus-muskulus sekitarnya membagi spasium faringeal lateral menjadi
kompartemen anterior yang berisi muskulus dan kompartemen posterior
yang berisi sarung karotis dan saraf kranial.
Spasium ini mengandung arteri carotid interna, vena jugularis interna
dengan beberapa pembuluh limfe, nervus glossofaringeal, nervus vagus,
nervus hypoglossus dan nervus asesorius. Ini berhubungan langsung
dengan spasium submandibula, serta otak melalui foramen kranium. Infeksi
pada daerah ini dapat berasal dari gigi molar tiga dan sebagai akibat
perluasan infeksi spasium submandibula dan pterygomandibula. Gejala
klinis dari infeksi ini adalah edema ekstra oral pada bagian letaral dari leher
yang mungkin dapat meluas ke tragus dari telinga, perubahan posisi dari
dinding faring, tonsil dan uvula membengkak sehingga tampak ke midline,
rasa sakit yang menyebar ke telinga, trismus, susah menelan, peningkatan
suhu yang signifikan dan malaise. Perawatan dengan drainase dilakukan
pada daerah ekstraoral (sesuai dengan tempat pada abses submandibula)
dengan incisi sepanjang 2 cm, pada bagian inferior posterior dari corpus
mandibula. Akses dicapai dengan menggunakan hemostat, dimana setelah
pada pusat terkumpulnya pus, diteruskan ke arah permukaan medial dari
mandibula, ke daerah molar tiga, dan jika memungkinkan dibelakang
daerah tersebut. Drain karet kemudian ditempatkan pada temptakan selama
2 – 3 hari. Drainase abses mungkin juga dilakukan secara intraoral
meskipun ini beresiko dan agak sulit karena saring berpeluang terjadinya
12
aspirasi dari pus, khususnya jika prosedur dilakukan dengan menggunakan
NU.
Gambar 10. Spasia faringeal lateral, terletak antara M. pterigoideus lateral dan M. konstriktor faringeal superior. Spasia retrofaringeal dan spasia prevertebral terletak antara faring dan kolumna vertebral. Spasia retrofaringeal terletak antara M. konstriktor faringeal superior dan portio alar fascia prevertebral. Spasia prevertebral terletak antara alar dan lapisan prevertebral dari fascia prevertebral (Peterson, 2003).
5.Spasium retrofaringeal, terletak di belakang faring, antara muskulus
konstriktor faringeal superior dan lapisan alar fasia servikal dan berawal
dari dasar tengkorak meluas ke inferior setinggi servikalis 7 atau torakalis.
Infeksi spasium ini merupakan jalur penyebaran ke spasium prevertebra
dan ke diafragma. Infeksi pada spasium ini mudah menyebar ke atas
melaui foramen menuju otak dan berjalan ke bawah melalui selubung
karotis sampai ke mediastinum. Etiologi dari infeksi pada spasium ini
adalah infeksi yang berasal dari spasium lateral faringeal yang saling
bersebelahan. Gejala klinis sama dengan yang ditemukan pada abses
faringeal lateral secara klinik, kesulitan dalam pengunyahan yang
disebabkan oleh edema pada dinding posterior dari faring. Jika infeksi ini
tidak dirawat maka akan mengakibatkan obstruksi traktus respiratorius atas,
13
ruptur bses sehingga terjadi aspirasi dari pus ke dalam paru-paru, dan
perluasan ke daerah mediastinum. Terapi memerlukan drainase melalui
spasium faringeal lateral, dimana infeksi awal biasanya terjadi dan
pemberian antibiotik
6.Spasium prevertebra, spasium ini meluas dari tuberkel faringeal pada
dasar tengkorak sampai diafragma. Infeksi pada spasium ini dapat meluas
ke inferior setinggi diafragma mencakup torak dan mediastinum.
Gambar 11. Jika spasia retrofaringeal terlibat, mediastinum posterosuperior dapat juga menjadi terinfeksi sekunder. Jika spasia prevertebral terinfeksi, tepi inferior merupakan diafragma dan juga seluruh mediastinum beresiko ikut terinfeksi (Peterson, 2003).
BAB II
PATOFISIOLOGI INFEKSI ODONTOGENIK
14
Saat infeksi melewati akar gigi dan ligamentum periodontal apikal maka
akan timbul osteomyelitis localized apical. Kerusakan tulang pada osteomyelitis
mempunyai kesamaan dengan proses nekrosis pada inflamasi pulpa gigi. Pada
dasarnya peningkatan tekanan hidrostatik disebabkan oleh transudasi cairan
ekstraseluler yang diikuti dengan eksudasi sel-sel inflamasi sehingga mengganggu
masuknya aliran darah yang baru pada regio tersebut. Pada jaringan lunak
peningkatan tekanan cairan interstitial dapat dikurangi oleh pembengkakan.
Apabila jaringan lunak telah terisi oleh struktur keras yang termineralisasi seperti
rongga medulla tulang atau kanal pulpa, peningkatan tekanan tidak dapat
dihindari. Sehingga pulpa atau jaringan lunak medulla mengalami kematian akibat
iskemik. Jaringan yang mati tersebut memperoleh makrofag atau histiocytes pada
proses kemotaksis. Jaringan yang termineralisasi menghalangi penggabungan
makrofag dan berdiferensiasi ke dalam osteoklas yang meresorbsi mineral tulang.
Proses nekrosis dan resorpsi tulang meluas dengan pola melingkar hingga
mencapai korteks tulang. Pada titik ini proses resorpsi tulang diperlambat oleh
jaringan mineral padat sehingga menyebabkan perubahan bentuk kavitas tulang.
Saat lapisan cortex bony berhasil ditembus, maka proses infeksi dapat berlanjut ke
jaringan lunak.
Bakteri patogen yang memicu proses inflamasi autolitik ini akan tetap ada
di semua tingkatan infeksi. Bakteri ini tidak hanya menyebarkan proses inflamasi
melalui produk antigen , tetapi juga dapat menyebabkan kerusakan tulang secara
langsung. Streptococcus umumnya ditemukan pada tahap awal infeksi, dimana
bakteri ini menyerang jaringan melalui penggabungan hyaluronidase yang
menyebabkan rusaknya glikoprotein ekstraseluler dari jaringan ikat. Saat
Streptococcus dalam tahap pertumbuhan, bakteri ini memberikan lingkungan yang
baik untuk pertumbuhan flora anaerobik infeksi odontogenik. Flora tersebut
mengolah oksigen lokal dan zat-zat metabolisme untuk membuat lingkungan
menjadi lebih asam. Flora ini juga menghasilkan produk nutrien untuk bakteri
anaerobik yang muncul setelah tiga hari timbulnya gejala klinik. Bakteri
anaerobik seperti Prevotella dan Porphyromonas spp, menghasilkan collagenase
15
yang dapat menghancurkan kolagen sebagai matriks protein ekstraseluler jaringan
ikat terbanyak.
Saat infeksi telah memasuki bony cortical plate, proses inokulasi bakteri
yang diikuti dengan inflamasi dan nekrosis dimulai sekali lagi pada jaringan
lunak. Jaringan yang paling mudah terserang yaitu jaringan ikat yang tidak
tervaskularisasi dengan baik. Jaringan tersebut mudah lepas dan terpotong
sekalipun oleh tekanan hidrostatik yang rendah. Sehingga penyebaran infeksi
yang mengikuti pola resistensi, dihalangi oleh struktur vaskularisasi yang padat
dan baik seperti otot, fascia, organ-organ, dan tulang. Infeksi fasial profunda
dihalangi oleh struktur-struktur yang termasuk dalam anatomi rongga-rongga
fasial profunda. Sebagai contoh apabila infeksi gigi yang baru menembus cortex
bony tertahan oleh periosteum di sekeliling tulang, maka dapat terjadi abses
subperiosteal. Proses ini dapat terjadi pada infeksi rongga mandibula atau pada
abses subperiosteal palatal. Sebaliknya, apabila periosteum juga telah terserang
maka perlekatan otot lokal dapat langsung menyebarkan infeksi ke dalam jaringan
lunak. Contohnya, apabila perlekatan otot buccinator pada permukaan lateral
maksilla terletak di bagian inferior kortikal dan terjadi perforasi pada akar
mesiobukal gigi molar pertama rahang atas maka infeksi dapat masuk dan
menyebar di seluruh rongga bukal. Tetapi apabila infeksi tersebut menyerang
tulang dan periosteum di bagian inferior perlekatan otot tersebut, maka infeksi
akan melewati daerah antara permukaan oral otot buccinator dan mukosa oral
kemudian masuk ke rongga vestibular.
16
Gambar 12. Alur potensial penyebaran infeksi yang berasal dari gigi
Tahap-Tahap Infeksi
Dari proses inflamasi dan destruksi jaringan dapat diketahui tahap-tahap
infeksi dalam perjalanan klinis infeksi odontogenik (tabel 9-1). Tahap inokulasi
diawali dengan penyebaran awal (mungkin oleh Streptococcus) ke dalam jaringan
lunak. Tahap ini ditandai dengan pembengkakan jaringan lunak, lengket, dan agak
halus yang disertai dengan sedikit kemerahan. Selama tahap selulitis proses
inflamasi mencapai puncak dan menyebabkan pembengkakan yang berwarna
sangat merah, keras, dan amat sakit disertai functio laesa seperti trismus atau
ketidakmampuan mendorong lidah ke depan. Pada tahap ke tiga yaitu
pembentukan abses banyak terjadi nekrosis. Istilah fluktuasi sering disalah artikan
untuk menggambarkan edema ringan. Fluktuasi adalah pergerakan cairan dalam
lesi yang dipalpasi secara bimanual atau bidigital menggunakan tangan atau jari.
Pergerakan cairan disebabkan oleh aliran pus di dalam kavitas abses. Tahap akhir
dari infeksi odontogenik yaitu pecahnya abses yang terjadi secara spontan atau
dengan drainase terapeutik.
Tabel 1 : Tahap-tahap infeksi
Karakteristik Inokulasi Sellulitis Abses
17
Durasi
Rasa sakit
Ukuran
Lokalisasi
Palpasi
Warna
Kualitas kulit
Temperatur permukaan
Functio laesa
Cairan jaringan
Tingkat malaise
Keparahan
Bakteri perkutaneus
0-3 hari
ringan-sedang
kecil
menyebar
lunak,lengket, agak halus
normal
normal
panas ringan
minimal atau tidak ada
edema
ringan
ringan
aerobik
3-7 hari
berat dan menyeluruh
besar
menyebar
keras, sangat halus
kemerahan
menebal
panas
berat
serous, bercak pus
berat
berat
gabungan
.> 5 hari
sedang-berat dan lokal
kecil
terbatas
fluktuasi, halus
merah pada daerah sekitarnya
membulat dan mengkilap
panas sedang
berat sedang
pus
sedang-berat
sedang-berat
anaerobik
Sumber: Flyn TR. The timing of incision and drainage ; Oral and maxillofacial surgery knowledge update 2001; III. Rosemont : American Association of Oral and Maxillofacial Surgeons)
Tahapan infeksi dapat digunakan sebagai acuan untuk memahami
bagaimana infeksi odontogenik berat yang tidak dirawat dapat menyebar ke
rongga fasial kepala dan leher profunda. Sebagai contoh, apabila infeksi
odontogenik virulen yang berasal dari gigi molar rahang bawah berkembang
menjadi abses pada rongga mandibula maka mungkin dapat berlanjut menjadi
tahap inokulasi sampai selulitis pada daerah rongga retropharyngeal lateral di
dekatnya. Rongga retropharyngeal yang telah terinokulasi oleh bakteri dapat
berkembang menjadi edema. Konsep ini dapat menjelaskan mengapa kegagalan
prosedur insisi dan drainase yang tidak berhasil mengeluarkan pus masih dapat
menghalangi penyebaran infeksi sehingga berhasil dalam proses penyembuhan.
PERJALANAN INFEKSI GIGI
Foramen pulpa yang sempit pada ujung akar gigi meskipun diameternya
tidak cukup untuk dilakukan drainase pulpa yang terinfeksi, tetapi dapat bertindak
sebagai reservoir dari bakteri dan dapat menyebabkan bakteri masuk ke jaringan
periodontal dan tulang. Jalan masuk bakteri ini menunjukkan masalah yang biasa
terjadi apabila hanya antibiotik yang digunakan untuk merawat fistula dari abses
18
gigi. Sekali dilakukan drainase dapat menghentikan papulasi bakteri pada rongga
pulpa kemudian diikuti dengan perpindahan bakteri tersebut ke jaringan periapikal
dari pulpa yang tidak dirawat, jadi dapat kembali menjadi sumber infeksi. Infeksi
gigi yang serius, yang meluas ke luar soket, pada umumnya lebih banyak
disebabkan oleh infeksi pulpa daripada infeksi periodontal. Apabila infeksi telah
meluas melewati apeks gigi, patofisiologi proses infeksi dapat berubah,
tergantung pada jumlah dan virulensi organisme, resistensi host, dan anatomi
daerah yang terlibat.
Gambar 13. Perjalanan infeksi gigi
Bila infeksi tetap terlokalisir pada ujung akar gigi, maka infeksi tersebut
dapat berkembang menjadi infeksi periapikal kronis. Biasanya kerusakan tulang
yang cukup dapat memberikan gambaran radilolusensi yang bagus pada gambaran
radiografi gigi. Proses ini menunjukkan adanya infeksi fokal pada tulang, tetapi
gambaran radiolusensi “garden variety” yang disebabkan oleh karies gigi harus
dapat dibedakan dengan osteomielitis.Apabila infeksi telah meluas ke ujung akar,
maka infeksi dapat berlanjut ke ruang medullar yang lebih dalam dan berkembang
menjadi osteomielitis yang luas.
Contoh perjalanan infeksi dalam rongga mulut :
19
Pada rahang bawah :
a. Pada muskulus Buccinator
- di bawah perlekatan menyebabkan pembengkakkan wajah
- di atas perlekatan menyebabkan pembengkakkan intra oral
b. Pada muskulus Mylohyoid
- di atas perlekatan menyebabkan abses pada superficial sublingual space
- di depan perlekatan menyebabkan abses pada submental space
- di bawah perlekatan menyebabkan abses pada deep sublingual space.
c. Pada muskulus Masseter
- di antara kedua muskulus maseter dalam satu sisi menyebabkan abses
pada sub maseteric space.
- di samping muskulus masseter menyebabkan abses temporal space
d. Pada muskulus Medial Pterygoid
-di samping muskulus medial pterygoid menyebabkan abses pada
pterygomandibular space
-ke arah medial muskulus medial pterygoid menyebabkan abses pada
retropharyngeal space
-di belakang muskulus medial pterygoid menyebabkan abses pada
retropharyngeal space
Pada rahang atas :
a. Pada muskulus buccinator
- ke arah lateral diatas muskulus buccinator menyebabkan
pembengkakkan wajah.
- ke arah lateral dibawah muskulus buccinator menyebabkan
pembengkakkan intraoral.
b. Pada palatum keras
- ke arah medial menyebabkan palatal abses
c. Pada sinus maksilaris
- ke arah superior menyebabkan sinusitis maksilaris.
TERAPI UMUM
20
Penanganan infeksi ringan atau berat, selalu mengikuti beberapa aturan
umum berikut ini:
1. Memberikan dukungan medis kepada pasien dengan perhatian khusus
untuk memperbaiki faktor host dan deteksi tepat dimana sumber dan infeksi aktif
berada.
2. Aturan pemakaian antibiotik yang tepat dalam dosis yang tepat pula.
3. Pengangkatan secara bedah dari sumber infeksi jika infeksi baru muncul
dan hal ini mernungkinkan untuk dilakukan.
4. Drainase secara bedah dari infeksi pada daerah / lokasi yang tepat
5. Evaluasi secara kontinyu dan konstan untuk jalan keluar dari infeksi.
Sedangkan menurut Topazian dan Goldberg (2004) perawatan pada infeksi
odontogenik meliputi :
- Pemberian obat : Analgesik dan antibiotik
- Tindakan operasi : Pencabutan gigi, insisi dan drainase
- Perawatan gigi : Perawatan saluran akar
- Kombinasi dari ketiganya
Prinsip dari metode pengobatan dan bedah pada abses spasium wajah yang
terinfeksi adalah sama seperti yang tidak mengalami infeksi serius. Infeksi spasium
wajah membutuhkan syarat-syarat penanganan yang bersifat cepat dan tepat Penanganan
pada infeksi serius harus rnelibatkan penilaian menyeluruh dan dukungan dari host
seperti mekanisme pertahanan tubuh, termasuk pemberian antibiotik, analgetik,
keseimbangan cairan tubuh dan intek makanan dari pasien itu. Antibiotik untuk bakteri
dengan dosis tinggi selalu dibutuhkan dan hampir selalu diberikan dalam intra vena.
Pernafasan pasien selalu harus dikontrol dan dapat dilakukan pembedahan untuk
mernberikan jalan nafas jika memang diperlukan.
Tindakan bedah pada infeksi spasium wajah selalu dipersyarafi insisi haruslah
menyeluruh dan eksplorasi agresif dari spasium wajah yang terlibat dengan hemostat.
Satu atau lebih drain selalu dibutuhkan untuk memastikan drain yang tepat/sempurna dan
pengempesan daerah terinfeksi karena insisi dan drain harus extensive (terus menerus),
pada pasien ini selalu dikerjakan di ruang operasi dengan narkose umum atau general
anaestesi.
21
Sudah menjadi keharusan bahwa seorang ahli bedah cepat tanggap terhadap
kondisi ini, maka pada masa pemberian preantibiotik maka hendaklah dilakukan dengan
metode injeksi saja dan lebih dini, kemudian melakukan terapi bedah yang agresif dan
kuratif berulang-ulang untuk infeksi yang ganas ini. Sangat penting untuk diingat bahwa
explorasi bedah secara agresif adalah metoda utama dari terapi untuk infeksi odontogenik
pada kepala dan leher.
BAB III
KESIMPULAN
22
Dari penjabaran diatas dapatl disimpulkan bahwa penyebab utama infeksi yang
terdapat pada kepala dan leher adalah yang bersifat odontogenik. Artinya infeksi berasal
dari sekitar gigi baik dari gigi itu sendiri yang terserang karies sehingga menyebabkan
pulpitis terus menjadi infeksi apikalis atau dari jaringan periodontal sekitar gigi yang
menimbulkan infeksi periodontal. Infeksi odontogenik pada umumnya bersifat ringan
dan mudah penanganannya dengan tindakan pemberian antibiotik bila diperlukan dan
kemudian dilakukan tindakan pembuangan atau pencabutan dari gigi penyebab.
Tindakan yang sangat sederhana sekali dan dapat dilakukan dirnana saja oleh seorang
dokter gigi.
Tetapi adakalanya infeksi ini berkembang sangat cepat dan sangat agresif sehingga
memerlukan tindakan bedah intensif, segera dan agresif karena dikhawatirkan infeksi ini
berkembang lebih jauh lagi dan membahayakan nyawa pasien. Hal ini dapat terjadi
karena kontaminasi virus, jamur dan bakteri atau pernberian tindakan yang tidak
sempurna pada awal infeksi tersebut, sehingga terjadi komplikasi yang membahayakan.
Untuk itulah perlu diingatkan bahwa sekecil apapun infeksi pada kepala dan leher
khususnya yang berasal dari odontogenik, hendaklah ditangani dengan tepat dan akurat,
sehingga tidak terjadi penyesalan dikernudian hari.
Prinsip perawatan pada infeksi spasium wajah pada dasarnya meliputi :
pemberian obat ( Analgesik dan antibiotik), tindakan operasi (Pencabutan gigi,
insisi dan drainase), perawatan gigi (Perawatan saluran akar), dan kombinasi dari
ketiganya.
BAB IV
23
DAFTAR PUSTAKA
Daud ME., Karasutisna T. 2001. Infeksi odontogenik 1thed. Bandung. Bagian
Bedah Mulut Fakultas Kedokteran Gigi Unpad. Hal 1-23.
Peterson Larry J, D.D.S., M.S . 2003. Contemporaray Oral and Maxillofacial
Surgery. Fouth Edition. Mosby. St. Louise. p 367-376.
Topasian dkk. 2004. Oral and Maxillofasial Infection, 4 rd ed., WB saunders company,
phyladelphia, USA. p. 157-176.
Smith, AG. 2007. Maxillofacial Surgery. Editor: Booth, PW. Mosby. St. Louise. p 1553.
PERLUASAN INFEKSI ODONTOGENIK
24
KE SPASIUM FASIAL
OLEH:
HERI HERLIANA
ANGEI LAURA DANIEL
HARFINDO NISMAL
GATOT SUBROTO
CONNY DIANAWATI
PROGRAM PENDIDIKAN DOKTER GIGI SPESIALIS BEDAH MULUT
FAKULTAS KEDOKTERAN GIGI
UNIVERSITAS PADJADJARAN
BANDUNG
2009
25