ii kajiankepustakaan 2.1. kelincimedia.unpad.ac.id/thesis/200110/2010/200110100312_2_6330.pdf ·...
TRANSCRIPT
9
II
KAJIANKEPUSTAKAAN
2.1. Kelinci
Klasifikasi kelinci menurut Sarwono (2001) adalah
Kingdom : Animal
Phylum : Chordata
Sub phylum : Vertebrata
Kelas : Mammalia
Ordo : Legomorpha
Family : Leporidae
Genus : Oryctogalus
Species : Oryctogalus cuniculus
Pada saat ini di Indonesia terdapat tiga macam kelinci yaitu kelinci lokal,
kelinci unggul, dan kelinci hasil persilangan. Kelinci lokal adalah keturunan
kelinci yang masuk ke Indonesia sejak lama yang memiliki ciri-ciri berbentuk dan
berbobot kecil (sekitar 1,5 kg), bulu berwarna putih, hitam, belang, dan abu-abu,
serta apabila diperhatikan memiliki ciri-ciri keturunan kelinci Belanda (Dutch)
dan atau kelinci New Zealand (Whendrato dan Madyana, 1989).
Kelinci lokal walaupun bukan berasal dari Indonesia asli, terjadi akibat
perkawinan silang yang tidak terkontrol dari generasi ke generasi, faktor
makanan, faktor cuaca, faktor pemeliharaan dan lain-lain sehingga terjadilah
kelinci yang biasa disebut kelinci local. Kelinci crossing merupakan kelinci hasil
silang antara kelinci lokal dengan kelinci unggul atau hasil silang dua jenis strain
unggul (Whendrato dan Madyana, 1989).
10
Kelinci lokal lebih kecil dari kelinci impor, laju pertumbuhannya lebih
lambat, tetapi kelinci ini diduga mempunyai toleransi terhadap panas dan tahan
terhadap penyakit, sehingga mempunyai angka kematian lebih rendah bila
dibandingkan dengan kelinci impor (Sartika dkk, 1986).
Kebanyakan jenis-jenis kelinci luar negeri yang terdapat di Indonesia
sudah tidak murni lagi karena merupakan hasil perkawinan campuran (blaster)
dari beberapa jenis yang ada. Karena di dalam pembibitannya kurang
diperhatikan, bentuk dan timbangan badannya rata-rata ada dibawah kelinci luar
negeri. Sebaliknya, kelinci-kelinci luar negeri yang dibawa ke Indonesia sudah
menyesuaikan diri dengan keadaan iklim dan alam yang ada (Rukmana, 2011).
2.2. Kulit
Kulit ternak merupakan salah satu hasil sampingan (by-product) yang
berasal dari pemotongan ternak baik ternak besar, ternak kecil maupun jenis
unggas (Said, 2012). Kulit mentah adalah bahan baku kulit hewan yang baru
ditanggalkan dari hewannya sampai kepada yang telah mengalami proses-proses
pengawetan (Judoamidjojo, 1974). Dalam dunia perkulitan, kulit mentah
dibedakan menjadi dua kelompok yaitu kulit dari hewan besar seperti sapi,
kerbau, kuda, dalam istilah asing disebut hides dan kelompok kulit dari hewan
kecil seperti kambing, domba, anak sapi, kelinci dan dalam istilah asing disebut
skins (Purnomo, 1991).
Sesuai dengan bentuk badan hewan maka kulitnya pun terdiri dari daerah-
daerah punggung, perut, kaki, leher dan ekor bahkan ada pula daerah kepala.
Daerah satu dan lainnya mempunyai sifat-sifat berbeda, diantaranya tebal kulit
hewan kira-kira bergeser dari daerah pundak (gumba) yang bertebal dan
11
berangsur-angsur semakin tipis sampai ke daerah ekor, sedangkan secara lateral
maka daerah tulang punggung bertebal dan berangsur-angsur menipis ke daerah
perut. Kepadatan dari pada jaringan serat kolagen pun tidak sama pada daerah
satu dan lainnya. Daerah tulang punggung adalah yang terpadat yang berangsur-
angsur semakin longgar pada daerah yang menjauhi daerah ini kecuali didaerah
kaki yang dibeberapa tempat terdapat daerah-daerah yang berjaringan padat
(Judoamidjojo, 1974).
Menurut Judoamidjojo (1974), secara topografi (Ilustrasi 1) kulit hewan
terdiri dari beberapa daerah sebagai berikut :
a. Daerah croupon (butt), daerah ini mempunyai mutu yang relatif paling baik
dibandingkan dengan daerah-daerah yang lain. Daerah ini meliputi kira-kira
55% dari seluruh kulit dan mempunyai jaringan kuat, rapat, padat, dan merata.
b. Daerah kepala dan leher, daerah ini relatif lebih tebal daripada daerah croupon
dan daerah lain tetapi mempunyai tenunan yang lebih longgar dibandingkan
dengan daerah croupon dan kira-kira 23% dari seluruh kulit.
c. Daerah kaki, perut dan ekor, daerah ini meliputi kira-kira 22% dari seluruh
kulit. Pada daerah perut, kulit relatif tipis dan bertenunan longgar sedangkan
daerah kaki lebih tebal dan bertenunan lebih padat.
Keterangan : a. Croupon b. Kepala dan Leher c. Kaki, Perut, dan Ekor
Ilustrasi 1. Pembagian Kulit Hewan secara Topografi (Judoamidjojo, 1974)
12
Menurut Purnomo (1991) kulit mentah segar mengandung 65% air, lemak
1,5%, mineral 0,5%, dan protein 33%. Secara histologis kulit hewan dapat dibagi
atas 3 lapisanyaitu lapisan epidermis, lapisan corium atau cutis, dan lapisan
subcutis. Lapisan dermis dibuang sampai bersih. Lapisan corium atau dermis
sebagian besar terdiri dari jaringan serat kolagen, elastin, dan retikulin. Lapisan
subcutis akan terlepas pada saat pengapuran (Judoamidjojo, 1974).
2.3. Pengawetan Kulit
Kulit mentah segar (yang baru ditanggalkan dari hewannya) bersifat
mudah busuk karena merupakan media yang baik untuk tumbuh dan
berkembangbiaknya mikroorganisme (Judoamidjojo, 1974). Selain itu, sebab-
sebab kulit mentah perlu diawetkan adalah karena proses pengolahan kulit pada
umumnya tidak dilakukan segera setelah pengulitan, dalam proses penimbunan
dan pemasaran kulit mentah memerlukan proses mutasi dan transportasi
(Djojowidagdo, 1979).
Pengawetan kulit secara umum didefinisikan sebagai suatu cara atau
proses untuk mencegah terjadinya lisis atau degradasi komponen-komponen
dalam jaringan kulit. Prinsip pengawetan kulit adalah menciptakan kondisi yang
tidak cocok bagi pertumbuhan dan perkembangan mikroorganisme perusak kulit.
Hal tersebut dilakukan dengan mengurangi kadar air yang terkandung didalamnya
sampai batas maksimum bagi kehidupan mikroorganisme (Judoamidjojo, 1974).
Menurut Aten dkk (1995), beberapa metode dalam pengawetan kulit
adalah pengeringan, penggaraman (penggaraman kering dan basah) dan
pengasaman (pickle). Perbedaan yang nyata dari prinsip-prinsip tersebut adalah
kadar air kulit awetnya. Pengawetan dengan pengeringan kadar air maksimal
13
hanya 12-15%, sedangkan pada pemberian bahan pengawet kadar air kulit
minimal sekitar 40% dan untuk kombinasi dari kedua prinsip tersebut akan
menghasilkan kadar air maksimal 25-30% (Judoamidjojo, 1974).
Metode pengawetan dengan cara kering garam menghasilkan kualitas kulit
awetan yang sangat baik. Hal ini dapat dilihat mudahnya proses perendaman yang
dapat memudahkan proses selanjutnya sehingga kualitas kulit samak menjadi
baik. Pengawetan kulit dengan cara penggaraman kristal dapat dilakukan apabila
kulit kelinci disimpan untuk waktu yang tidak terlalu lama (Rossuartini dkk,
1999).
Pengawetan dengan cara penggaraman mengakibatkan penyusutan luas
kulit setelah pengeringan membuat bulu lebih kuat oleh lapisan epidermis
sehingga tidak mudah rontok. Kadar air kulit segar yang berasal 60-65% setelah
proses penggaraman menjadi 15% (Rossuartini dkk, 1999). Jumlah garam yang
banyak dapat mengadakan plasmolisa sel-sel mikroorganisme. Chlorida dalam
garam berguna sebagai racun mikroorganisme (Frazier, 1976).
Pada pengawetan kulit, perubahan komposisi kimia dan sifat-sifat fisis
terjadi selama penyimpanan diantaranya denaturasi bahkan degradasi dari
komponen penyusun kulit. Banyak sedikitnya air yang terkandung dan diserap
kulit akan mempengaruhi sifat-sifat fisis. Sifat-sifat fisis kulit adalah ketahanan
kulit terhadap pengaruh luar, antara lain pengaruh mekanik dan lingkungan.
Dalam penyimpanan terjadi peristiwa hidrolisis di dalam kulit (Pertiwiningrum,
1998).
Pemberian garam pada penggaraman kering berjumlah 40-50% untuk kulit
pedet dan 30-40% untuk kulit hewan besar dari berat kulit segar dengan lama
penggaraman 1 – 2 hari untuk kulit pedet dan 3 – 4 hari untuk kulit hewan besar
14
(Djojowidagdo, 1979). Menurut Sasanadharma (1992) pengawetan kulit kelinci
Rex yang terbaik adalah dengan penggaraman 30% menghasilkan kulit jadi
dengan mutu dibawah kulit segar dan lebih baik dibandingkan dengan pengawetan
dengan cara kering biasa dan kering racun. Sama hal nya dengan Anwar (2002)
bahwa pengawetan terbaik adalah dengan garam tidak jenuh yang menggunakan
30% garam tidak seperti garam jenuh, larutan garam, dan penggaraman basah
yang mendapatkan penambahan garam kembali. Bienkiewicz (1983)
menambahakan bahwa pada semua penggaraman terdapat reaksi osmotik dari
garam ke kulit karena garam dari permukaan menyerap air yang ada di dalam
kulit. Pada perlakuan pengawetan garam jenuh penaburan garam ke bagian
subcutis kulit lebih banyak daripada perlakuan pengawetan garam tidak jenuh
sehingga banyaknya air yang terserap akibat sifat higroskopis garam ini berbeda.
2.4. Kerupuk Kulit
Kerupuk kulit adalah produk makanan ringan, dibuat dari kulit sapi (Bos
indicus), atau kerbau (Bos bubalus) melalui tahap proses pembuangan bulu,
pengembangan kulit, perebusan, pengeringan dan perendaman bumbu untuk
kerupuk mentah atau dilanjutkan penggorengan untuk kerupuk kulit siap
dikonsumsi (SNI 01-4308-1996). Syarat mutu kerupuk kulit tercantum pada
Tabel 1.
15
Tabel 1. Syarat Mutu Kerupuk Kulit (SNI, 1996)
No Kriteria Uji Satuan Persyaratan
Mentah Siap dikonsumsi 1. Keadaan : 1.1. Bau - normal normal 1.2. Rasa - khas khas 1.3. Warna - normal normal 1.4. Tekstur - renyah renyah 2. Keutuhan % b/b min.95 min.95 3. Benda-benda asing,
serangga, dan potongan-potongannya
- Tidak boleh ada Tidak boleh ada
4. Air % b/b maks.8 maks.6 5. Abu tanpa garam % b/b maks.1 maks.1 6. Asam lemak bebas
(dihitung sebagai asam laurat)
% b/b maks.1,0 maks.0,5
7. Cemaran logam : 7.1. Timbal (Pb) mg/kg maks.2,0 maks.2,0 7.2. Tembaga (Cu) mg/kg maks.20,0 maks.20,0 7.3. Seng (Zn) mg/kg maks.40,0 maks.40,0 7.4. Timah (Sn) mg/kg maks.40,0 maks.40,0 7.5. Raksa (Hg) mg/kg maks.0,03 maks.0,03 8. Arsen (As) mg/kg maks.1,0 maks.1,0 9. Cemaran mikroba : 9.1. Angka lempeng total koloni/g maks.5 x 10
4 maks.5 x 10
4
9.2. Coliform APM/g < 3 < 3 9.3. Salmonella koloni/g negatif negatif
Berdasarkan tabel di atas diketahui bahwa syarat mutu kerupuk kulit
mentah maupun siap dikonsumsi harus memiliki bau normal, rasa khas, warna
normal, tekstur renyah, keutuhan minimal 95%, dan tidak boleh ada benda-benda
asing seperti serangga dan potongan-potongannya didalamnya. Terdapat
perbedaan persyaratan kandungan air, pada kerupuk kulit mentah maksimal 8%
sedangkan pada kerupuk kulit siap dikonsumsi maksimal 6% dan persyaratan
komposisi kimia lainnya memiliki nilai yang sama.
16
2.5. Proses Pembuatan Kerupuk Kulit
Perendaman
Tujuan perendaman adalah sebagai berikut (Judoamidjojo, 1980):
a. Melemaskan kulit, terutama kulit kering, sehingga mendekati kulit hewan
yang baru lepas dari badannya (kulit segar). Dalam hal ini terjadi
peresapan air ke dalam jaringan atau tenunan kulit (rehidrasi). Untuk kulit
segar atau kulit awet garam, cukup dicuci dengan air mengalir (Purnomo,
1991).
b. Membuang darah, feses, tanah dan lain-lain bahan atau zat-zat asing yang
tidak hilang pada waktu pengawetan.
c. Membuka tenunan kulit, artinya tenunan kulit disiapkan untuk dapat
bereaksi dengan bahan kimia yang akan dibubuhkan kemudian.
d. Membuang garam karena garam dapat memberikan pengaruh kurang baik
pada reaksi dalam proses lebih lanjut.
Faktor utama yang perlu diperhatikan pada proses perendaman adalah
waktu perendaman, karena kulit adalah bahan yang mudah rusak oleh
mikroorganisme jadi lamanya perendaman sebaiknya tidak lebih dari 24 jam
(Purnomo, 1991).
Pembuangan Bulu
Proses pembuangan bulu yang paling mudah adalah dengan pengapuran. Tujuan
proses pengapuran yang dikemukakan oleh Judoamidjojo (1980) sebagai berikut:
a. Untuk menghilangkan atau melepaskan epidermis sehingga baik rambut
atau wol dapat lepas.
17
b. Untuk menghilangkan kelenjar keringat, urat saraf, vena dan pembuluh
darah yang terdapat dalam substansi kulit.
c. Untuk memperlunak dan menghilangkan tenunan retikular,
menggabungkan fibril serta membuka tenunan serat.
d. Untuk membengkakkan sisa-sisa daging serta tenunan pengikat yang
terdapat pada permukaan daging guna memudahkan pembuangannya
dalam pengerjaan lebih lanjut.
Menurut Judoamidjojo (1980) banyaknya kapur dalam proses pengapuran
sebesar 0,4 kg kapur dalam 5 liter air untuk 1 kg kulit, sama halnya dengan
pendapat Amertaningtyas dkk (2010) bahwa teknik buang bulu yang paling baik
adalah dengan menggunakan konsentrasi kapur 20Be sebesar 4% untuk
menghasilkan kualitas kerupuk kulit kelinci terbaik.
Buang kapur dilakukan setelah kulit mengalami pengapuran dengan cara
mencuci dengan air yang mengalir sambil diperas dengan tangan, tetapi jika
dikerjakan dengan air mengalir di atas bangku kulit berkali-kali serta dikerok
menggunakan pisau tumpul maka zat kapur dapat diperas ke luar dari kulit
(Judoamidjojo, 1980).
Perebusan
Menurut Sudarminto dkk (2000) bahwa lama perebusan akan
meningkatkan kadar air, volume kerupuk mentah dan matang, daya rekah,
sedangkan daya patah dan kadar protein akan mengalami pernurunan sebagai
akibat dari lama perebusan. Pemanasan terhadap kolagen pada suhu >800C akan
mengubah kolagen menjadi gelatin. Kulit akan menyerap air dan mengalami
18
superkontraksi dari panjang semula. Dalam kondisi ini kulit menjadi matang,
tekstur yang dihasilkan lunak dan warna kulir transparan (Widati dkk, 2007).
Pemotongan Kulit
Menurut Sutejo (2000) bahwa pemotongan kulit melalui cara
pengguntingan dengan posisi miring di setiap sisinya. Tujuan pengguntingan
dengan cara ini adalah untuk mendapatkan hasil potongan dalam jumlah
maksimal. Kulit yang telah ditiriskan dan dibersihkan dari lapisan subcutis
selanjutnya digunting dengan ukuran 2 x 3 cm. Pemotongan dilakukan untuk
menghasilkan kulit dengan luas yang cukup sehingga memudahkan perambatan
panas yang akan mempercepat proses pengeringan. Pada saat penggorengan
kerupuk cepat terambati oleh panas yang akan memudahkan minyak mendorong
dan melepaskan air yang masih tersisa sehingga kerupuk mengembang sempurna.
Pengeringan
Pengeringan adalah suatu metode untuk mengeluarkan atau
menghilangkan sebagian air dari suatu bahan pangan dengan cara menguapkan air
tersebut dengan menggunakan energi panas. Biasanya kandungan air bahan
tersebut dikurangi sampai batas mikroba tidak dapat tumbuh (Buckle dkk, 1985).
Pengeringan ini dapat dilakukan dengan menggunakan sinar matahari atau alat
pengering.
Menurut Buckle dkk (1985) keuntungan utama dehidrasi (pengeringan)
dengan menggunakan sinar matahari adalah :
1) Bobot menjadi ringan karena kandungan air pada bahan pangan yang
semula sekitar 60 – 90% sebagian dikeluarkan dengan dehidrasi.
19
2) Produk yang dikeringkan membutuhkan tempat lebih sedikit dari aslinya.
3) Stabil pada suhu penyimpanan, yaitu suhu kamar, tetapi ada batasan pada
suhu penyimpanan maksimal untuk masa simpan yang cukup baik.
Sedangkan kerugiannya adalah :
1) Semua bahan pangan mempunyai derajat kepekaan terhadap panas tertentu
dan dapat menimbulkan bau gosong pada kondisi pengeringan yang tidak
terkendalikan.
2) Hilangnya flavor yang mudah menguap.
3) Reaksi pencoklatan non enzimatis.
Kerupuk mentah dikatakan kering apabila bersifat keras dan mudah
dipatahkan (getas), sedangkan yang belum cukup kering bersifat keras tetapi tidak
getas dan kerupuk mentah yang basah sekali bersifat lentur dan tidak
getas.Pengeringan menggunakan panas matahari dilakukan selama 2 hari bila
cuaca cerah dan sekitar 4 – 5 hari bila cuaca kurang cerah (Koswara, 2009).
Apabila kulit tidak dijemur sampai kering dapat membuat kerupuk hancur pada
saat penggorengan (Amertaningtyas, 2011).
Penggorengan
Menggoreng adalah suatu proses untuk memasak bahan pangan dengan
menggunakan lemak atau minyak pangan dalam ketel penggorengan. Pada
umumnya proses penggorengan ada dua macam yaitu proses gangsa (pan frying)
dan menggoreng biasa (deep frying). Pada proses gangsa, bahan pangan yang
digoreng tidak sampai terendam dalam minyak. Pada proses penggorengan
dengan sistem deep frying, bahan pangan digoreng terendam dalam minyak
(Ketaren, 1986).
20
Pada proses penggorengan dengan sistem deep frying, suhu minyak dapat
mencapai 200 – 2050C tapi untuk menggoreng berbagai jenis kerupuk yang
terbaik pada suhu 163 – 1780C. Pada proses gangsa, suhu pemanasan umumnya
lebih rendah dari suhu pemanasan pada sistem deep frying (Ketaren, 1986).
Prinsip penggorengan sistem deep frying dapat dilihat pada Ilustrasi 2,
ditunjukkan input dari ketel penggorengan adalah minyak, bahan pangan yang
digoreng dan panas, sedangkan outputnya adalah bahan pangan hasil gorengan,
uap panas, minyak jelantah, hasil samping berminyak dan potongan-potongan
bahan pangan (Ketaren, 1986).
Ilustrasi 2. Proses penggorengan sistem deep frying (Ketaren, 1986)
Penampakan potongan melintang dari bahan pangan yang digoreng dapat dilihat
pada Ilustasi 3.
Ilustrasi 3. Penampang melintang makanan goreng (Ketaren, 1986)
Ilustrasi di atas memperlihatkan potongan melintang dari bahan pangan
digoreng. Inner zone atau core merupakan bagian dalam dari bahan pangan
21
berkadar air tinggi dan umum terdapat pada bahan pangan yang digoreng. Proses
pemasakan berlangsung oleh penetrasi panas dari minyak yang masuk ke dalam
bahan pangan. Proses pemasakan ini dapat merubah atau tidak merubah karakter
bahan pangan, tergantung dari bahan pangan yang digoreng. Permukaan lapisan
luar (outer zone surface) akan berwarna coklat kemasan akibat penggorengan.
Timbulnya warna pada permukaan bahan disebabkan oleh reaksi browning atau
reaksi Maillard. Tingkat intensitas warna ini tergantung dari lama dan suhu
menggoreng dan juga komposisi kimia pada permukaan luar dari bahan pangan,
sedangkan jenis lemak yang digunakan berpengaruh sangat kecil terhadap warna
permukaan bahan pangan.
Penggorengan kerupuk bertujuan untuk menghasilkan kerupuk goreng
yang mengembang dan renyah. Pada saat proses penggorengan, kerupuk mentah
mengalami pemanasan pada suhu tinggi, sehingga molekul air yang masih terikat
pada struktur kerupuk menguap dan menghasilkan tekanan uap yang
mengembangkan struktur kerupuk tersebut (Lavlinesia, 1998).
Secara umum cara penggorengan kerupuk ada dua macam, yaitu
penggorengan langsung dalam minyak yang telah dipanaskan dan penggorengan
dengan mencelupkan terlebih dahulu kerupuk mentah yang akan digoreng dalam
minyak dingin atau minyak hangat baru kemudian digoreng dalam minyak yang
telah dipanaskan untuk mendapatkan pengembangan kerupuk (Koswara, 2009)
2.6. Sifat Fisik Kerupuk Kulit
2.6.1. Rendemen
Rendemen merupakan suatu parameter yang paling penting untuk
mengetahui nilai efektivitas suatu produk atau bahan. Perhitungan rendemen
22
berdasarkan persentase perbandingan antar berat akhir dengan berat awal proses
(Amiarso, 2003).
Rendemen dapat dinyatakan dalam desimal atau persen. Rendemen
dipengaruhi oleh kadar air. Semakin kecil kadar air yang terkandung dalam
produk (berarti semakin besar jumlah air yang menguap) maka nilai rendemennya
semakin kecil dan demikian sebaliknya, semakin besar kadar air yang terkandung
dalam produk (berarti semakin kecil jumlah air yang menguap) maka nilai
rendemennya semakin besar (Wulandari, 2002).
2.6.2. Daya Rekah
Daya rekah merupakan kemampuan pengembangan produk kering hasil
tekanan uap air, udara, dan gas lain yang diperoleh dari pemanasan kemudian
mendesak struktur bahan, sehingga menimbulkan penggosongan yang membentuk
kantong-kantong udara pad kerupuk (Nabil, 1983). Pengembangan merupakan
salah satu parameter mutu kerupuk goreng (Muliawan, 1991). Menurut
Lavlinesia (1995), daya rekah kerupuk dipengaruhi oleh beberapa faktor antara
lain:
a) Sumber pati yang digunakan.
Penggunaan sumber pati yang berbeda akan menghasilkan daya rekah
kerupuk yang berbeda. Penggunaan pati tapioka dan sagu memberikan
derajat pengembangan linear yang tinggi dibandingkan dari jenis pati
lainnya pada pembuatan kerupuk.
b) Kandungan dan jenis protein.
Kandungan protein yang tinggi cenderung menurunkan daya rekah
kerupuk. Selain jumlah protein yang mempengaruhi daya rekah kerupuk,
23
sumber protein yang berbeda juga berpengaruh terhadap daya rekah
kerupuk.
c) Kadar air.
Pengembangan kerupuk selama digoreng sangat ditentukan oleh
kandungan air yang terikat pada kerupuk sebelum digoreng. Jumlah air
yangterikat dalam bahan akan menentukan banyaknya letusan yang
menguap selama penggorengan. Jumlah uap air yang terdapat di dalam
bahan, selain ditentukan oleh lamanya pengeringan, suhu penggorengan,
kecepatan aliran udara, kondisi bahan dan cara penumpukan. Selain itu
juga dipengaruhi oleh penambahan air sewaktu pembuatan adonan pada
proses gelatinisasi.
d) Suhu penggorengan.
Kerupuk yang digoreng dalam minyak yang kurang panas dalam waktu
yang lama akan dihasilkan pengembangan yang kurang baik, sedangkan
bila suhu penggorengan yang terlampau panas, walaupun waktu
dibutuhkan untuk mengembang lebih cepat akan tetapi kerupuk goreng
akan mudah hangus.
e) Penggunaan bahan pengembang.
Penggunaan bahan pengembang seperti soda kue, soda abu dan amoniak
kue dapat meningkatkan kerupuk sekitar 20 %.
f) Pengadukan berpengaruh terhadap volume pengembangan karena
berkaitan dengan pengumpulan udara, gas dan juga proses gelatinisasi pati.
24
2.6.3. Kerenyahan
Kerenyahan merupakan indikator bahwa kerupuk dapat dikonsumsi atau
tidak, jika renyah dimungkinkan produk tersebut dapat dikonsumsi. Kerenyahan
dipengaruhi oleh daya rekah, makin tinggi daya rekah semakin tinggi pula
kerenyahannya (Amertaningtyas dkk, 2010).
Menurut Muliawan (1991) kekerasan kerupuk dipengaruhi oleh kadar air
kerupuk mentah. Peningkatan kekerasan menyebabkan penurunan daya rekah.
Penurunan daya rekah menunjukkan pembentukan rongga-rongga udara yang
semakin menurun, sehingga kekerasan kerupuk meningkat. Kekerasan
berbanding terbalik dengan kerenyahan, semakin tinggi nilai kerenyahannya maka
semakin rendah nilai kekerasannya (Wulandari, 2002).
2.7. Garam Dapur
Secara fisik, garam adalah benda padatan berwarna putih berbentuk kristal
yang merupakan kumpulan senyawa dengan bagian terbesar Natrium Chlorida
(>80%) serta senyawa lainnya seperti Magnesium Chlorida, Magnesium Sulfat,
Calsium Chlorida, dan lain-lain. Garam mempunyai sifat higroskopis yang berarti
mudah menyerap air, bulk density (tingkat kepadatan) sebesar 0,8 – 0,9 dan titik
lebur pada tingkat suhu 8010C (Burhanuddin, 2001)
Garam biasa ditambahkan pada proses pengolahan tertentu. Penambahan
garam tersebut bertujuan untuk mendapatkan kondisi tertentu yang menghasilkan
enzim atau mikroorganisme yang tahan garam (halofilik) bereaksi menghasilkan
produk makanan dengan karakteristik tertentu.
Kadar garam yang tinggi menyebabkan mikroorganisme yang tidak tahan
terhadap garam akan mati. Kondisi selektif ini memungkinkan mikroorganisme
25
yang tahan garam dapat tumbuh. Pada kondisi tertentu penambahan garam
berfungsi mengawetkan karena kadar garam yang tinggi menghasilkan tekanan
osmotik yang tinggi dan aktivitas air rendah. Pengolahan dengan garam biasanya
merupakan kombinasi dengan pengolahan lain seperti fermentasi dan enzimatis
(Desrosier, 1988).
Peran garam NaCl dalam proses pengawetan yang dikemukakan oleh
Frazier (1976) adalah sebagai berikut :
- Garam NaCl dalam larutannya akan terurai menjadi anion (Na+) yang
menghambat pertumbuhan bakteri dan kation (Cl-) yang dapat
menurunkan daya larut O2 dari udara,
- Bekerjanya sistem osmosa terhadap bakteri hidup, karena sel-sel bakteri
hidup bekerja sebagai membrane yang semi-permeabel maka larutan
garam yang ada di sekelilingnya dapat menarik air, sehingga terjadi proses
plasmolysis pada tubuh bakteri,
- Dehidratasi, bakteri kekurangan air karena plasmolysis dimana air yang
ada pada sel bakteri ditarik keluar, yang mengakibatkan hancurnya dinding
sel bakteri dan terjadi pengeringan,
- Garam dalam kadar yang tinggi akan mengekstraksi air dari bahan maupun
bakteri, sehingga menghilangkan syarat hidup bakteri pembusuk dan
menyebabkan bahan pangan menjadi awet.
Widati dkk (2007) meneliti mengenai pengaruh lama pengapuran terhadap
kadar air, kadar protein, kadar kalsium, daya rekah dan sifat organoleptik kerupuk
kulit sapi. Hasilnya menunjukkan bahwa waktu pengapuran yang semakin tinggi
akan menghasilkan kadar kalsium, kerenyahan, rasa, dan daya rekah semakin
tinggi, sedangkan kadar air dan kadar protein memberikan nilai yang lebih rendah
26
yang terbaik pada proses pengapuran selama 4 hari. Kerupuk kulit tersebut
mempunyai kandungan protein sebesar 6,10%, kadar air 0,11%, kadar kalsium
1,88%, daya rekah 372,12%, skor kerenyahan 5,38 dan skor rasa 6,89.
Semakin lama proses pengapuran, maka proses penghilangan globular
protein maupun perontokkan bulu bisa berjalan dengan baik, yang mengakibatkan
sebagian lemak tersabun menjadi sabun kalsium yang tidak larut dalam air,
sehingga air akan sulit terserap dalam kulit dan hal ini akan meningkatkan daya
rekah dari kerupuk kulit sapi yang dihasilkan.
Amertaningtyas dkk (2009 dan 2010) menjelaskan bahwa terdapat
perbedaan kualitas pada teknik buang bulu pembuatan kerupuk kulit kelinci.
Perbedaan teknik buang bulu tersebut memberikan perbedaan kualitas kadar air,
daya rekah, dan organoleptik (kerenyahan dan rasa). Teknik buang bulu dengan
cara pengapuran (4%) menghasilkan kerupuk kulit kelinci paling baik dengan
nilai kadar air 1,5922%, daya rekah 855,3798%, skor kerenyahan 4,067 dan rasa
4,053 dibandingkan dengan cara perebusan (suhu 500C selama 3 – 5 menit) yang
menghasilkan nilai kadar air 0,0635%, daya rekah 330,8329%, skor kerenyahan
3,587 dan rasa 3,877.
Sabtu, Soemitro, dan Soeharjono (2000) menjelaskan bahwa sifat fisik,
kimia dan organoleptik kerupuk kulit kerbau yang dibuat dari stratum papilare
sama dengan stratum retikulare. Kualitas sifat fisik dan organoleptik dipengaruhi
oleh lama perebusan dan lama pengungkepan yang terbaik bila direbus selama
lebih dari 60 menit pada suhu 900C dan diungkep minimal selama 6 jam pada
suhu 1200C.
Widati (1988) menjelaskan bahwa proses perebusan terbaik pada
pembuatan kerupuk kulit kelinci yaitu selama 60 – 75 yang ditunjukkan dengan
27
tingkat pengembangan kerupuk kulit kelinci paling besar dan pengaruh perebusan
tersebut juga akan menurunkan kadar air kerupuk kelinci sebelum digoreng.
Cayana dan Sumang (2008) meneliti bahwa perendaman dengan air kapur
memberikan kemekaran 13,33% yang lebih baik dibanding dengan perendaman
dengan asam cukadengan kemekaran 7,92%. Kandungan gizi kerupuk kulit cakar
ayam dapat dilihat pada Tabel 2.
Tabel 2. Kandungan Gizi Kerupuk Kulit Cakar Ayam
Zat Gizi Kandungan (%)
Kapur Sirih Asam Cuka Air 16,45 16,45
Protein 45,43 45,43 Lemak 21,45 19,42 Abu 8,87 6,72
Sumber : Cayana dan Sumang (2008)
Kartiwa (2002) membuat kerupuk kulit dari ikan kambing-kambing,
ternyata metode blanching dengan larutan kapur 5% pada suhu 500C selama 10
menit menghasilkan kerupuk kulit dengan tingkat penyusutan paling kecil
(9,72%) dan tingkat kemekaran yang terbaik,serta kandungan gizi masih cukup
tinggi, yaitu kadar protein 43,35 – 79,96% (bb) dan kadar lemak 0,14 – 0,85%.
Malawat dkk (1994) membuat kerupuk kulit dari ikan cucut, ternyata
perebusan kulit cucut selama 45 menit dalam larutan garam 10% menghasilkan
komposisi kimia dengan kadar air 12%, protein 75,6%, lemak 3,1%, abu 2,7%,
dengan kandungan asam amino essensial yang sedikit dan mempunyai daya rekah
2 – 3 kali serta rendemen 27%.
Wulandari (2002) menjelaskan bahwa adanya perbedaan kualitas kerupuk
kulit itik yang mendapat perlakuan pengeringan dan tanpa pengeringan sebelum
digoreng. Metode pembuatan kerupuk kulit dengan tahap tanpa pengeringan
menghasilkan kerupuk kulit itik yang terbaik dengan nilai rendemen 21,14%,
volume pengembangan 64,27%, kekerasan 1,559 kgf/mm, skor warna 2,20,
28
kerenyahan 2,52, dan rasa 3,44, sedangkan melalui tahap pengeringan
menghasilkan rendemen 16,49%, volume pengembangan 23,38%, kekerasan
2,504 kgf/mm, skor warna 4,60, kerenyahan 4,00, dan rasa 3,40
Suryani (2007) menjelaskan bahwa adanya perbedaan kualitas kerupuk
kulit kambing PE (Peranakan Etawa) dan PB (Peranakan Boer) ditinjau dari kadar
air, daya rekah, rasa dan kerenyahan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kadar
air dan rasa kerupuk kulit kambing PE tidak berbeda nyata dengan PB, sedangkan
daya rekah dan kerenyahan berbeda nyata. Kualitas kerupuk kulit kambing PB
menghasilkan nilai daya rekah 416,67%, kadar air 3,22%, skor rasa 4,48 dan
kerenyahan 4,75 lebih baik dibandingkan kualitas kerupuk kulit kambing PE
dengan nilai daya rekah 600%, kadar air 3,26%, skor rasa 4,11 dan kerenyahan
4,38 meskipun keduanya masih memenuhi standar SNI.
Alawiyah (1999) menjelaskan bahwa kerupuk kulit kerbau yang digoreng
dengan minyak menghasilkan kadar air 5,52%, kadar lemak 31,86%, kadar
protein 63,93%, volume pengembangan 2193%, dan nilai rata-rata kerenyahan
sebesar 5,2 sedangkan kerupuk yang digoreng dengan oven gelombang mikro
memiliki kadar air 3,52%, kadar lemak 2,61%, kadar protein 88,13%, volume
pengembangan 1847% dan nilai rata-rata kerenyahan sebesar 4,2.
2.8. Sifat Organoleptik
Penilaian dengan indera manusia menggunakan indera penglihatan, indera
penciuman, dan indera pencicipan adalah instrumen yang digunakan dalam
analisis sensori. Penilaian ini sudah ada sejak manusia mulai menggunakan
inderanya untuk menilai kualitas dan keamanan suatu makanan dan minuman.
Faktor yang berhubungan dengan organoleptik antara lain warna, aroma, rasa,
29
kerenyahan, dan total penerimaan. Penilaian terhadap kerupuk kulit tergantung
tingkat kesukaan dan selera konsumen dan kepuasan mengkonsumsi kerupuk
kulit, yang dipengaruhi oleh sifat fisik serta masing-masing individu (Soewarno,
1985).
Uji penerimaan menyangkut nilai seseorang akan suatu sifat atau kualitas
suatu bahan yang menyebabkan orang menyenangi. Uji penerimaan termasuk uji
kesukaan (hedonik). Dalam uji hedonik panelis dimintakan tanggapan pribadinya
tentang kesukaan atau sebaliknya ketidaksukaan. Dalam menganalisis skala
hedonik ditransformasikan menjadi skala numerik dengan angka menaik dan
menurun tingkat kesukaan, dengan data numerik ini dapat dilakukan analisis
statistik (Setyaningsih dkk, 2010).
Dalam pengujian organoleptik dilakukan oleh orang atau kelompok orang
yang disebut panel yang bertugas menilai sifat atau mutu benda berdasarkan kesan
subjektif. Orang yang menjadi anggota panel disebut panelis. Penggunaan panel
dapat berbeda tergantung dari tujuan. Ada 6 macam panel yang biasa digunakan
dalam penelitian organoleptik (Soewarno, 1985) sebagai berikut :
1. Panel pencicip perorangan
Panel pencicip peroorangan disebut juga pencicip tradisional, memiliki
kepekaan indrawi yang sangat tinggi. Keistimewaan pencicip ini adalah
dalam waktu yang sangat singkat dapat menilai mutu dengan tepat, bahkan
dapat menilai pengaruh dari proses yang dilakukan dan penggunaan bahan
baku.
2. Panel pencicip terbatas
Panel pencicip terbatas dengan menggunakan 3 – 5 orang ahli yang
memiliki tingkat kepekaan tinggi, berpengalaman, terlatih, dan kompeten
30
untuk menilai beberapa atribut mutu sensori. Hasil penilaian adalah
kesepakatan dari anggota panel.
3. Panel terlatih
Panel terlatih adalah panel yang anggotanya 15 – 25 orang berasal dari
personal laboratorium atau pegawai yang terlatih secara khusus untuk
kegiatan pengujian. Kemampuan terbatas pada uji yang masih parsial
(tidak menyeluruh pada semua atribut utuh). Hasil pengujian yang
diperoleh dari pengolahan data seccara statistik, sehingga untuk beberapa
jenis uji sangat tepat dan dapat bersifat representative (mewakili).
4. Panel agak terlatih
Diantara panel terlatih dan tidak terlatih anggotanya 15 – 25 orang. Panel
ini tidak dipilih menurut prosedur pemilihan panel terlatih, tetapi juga
tidak diambil dari prosedur pemilihan tidak terlatih. Termasuk dalam
kategori panel agak terlatih adalah sekelompok mahasiswa atau staf ahli
yang dijadikan panelis secara musiman atau hanya kadang-kadang. Kalau
akan dijadikan panel mereka dikumpulkan dan dilatih sebentar atau diberi
penjelasan secukupnya.
5. Panel tak terlatih
Panel yang anggotanya tidak tetap, anggotanya 15 – 25 orang dapat dari
karyawan atau bahkan dari tamu yang datang ke perusahaan. Seleksi
hanya berdasarkan latar belakang sosial seperti latar belakang pendidikan,
asal daerah, kelas ekonomi dalam masyarakat, dan sebagainya.
6. Panel konsumen
Panel ini mempunyai anggota 30 – 100 orang. Pengujiannya biasanya
mengenai uji kesukaan dan dilakukan sebelum pengujian pasar. Hasil uji
31
kesukaan dapat digunakan untuk menentukan apakah suatu jenis makanan
dapat diterima oleh masyarakat. Anggota panel konsumen dapat diambil
dari sejumlah orang yang ada di pasar atau dapat pula dilakukan dengan
mendatangi rumah konsumen.