gambaran tingkat pengetahuan kader tentang penyakit tb paru di puskesmas klirong ii
TRANSCRIPT
Gambaran Tingkat Pengetahuan Kader Tentang Penyakit TB Paru di Puskesmas Klirong II
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Penyakit tuberkulosis adalah penyakit yang menular langsung antar manusia
yang disebabkan oleh kuman Mycobacterium tuberkulosis. Kuman ini cepat mati oleh
cahaya sinar matahari langsung karena terkena sinar ultraviolet dan radiasi panas.
Dalam tempat yang gelap dan lembab kuman tersebut dapat bertahan hidup selama
beberapa jam. Mycobacterium tubeculosis telah menginfeksi sepertiga penduduk dunia.
Hingga saat ini Tuberkulosis (TBC) merupakan salah satu penyakit infeksi menular
yang masih menjadi masalah kesehatan masyarakat di tingkat dunia. (Depkes.RI,2002)
Pada tahun 1993, WHO mencanangkan kedaruratan global penyakit TBC, karena
pada sebagian besar negara di dunia, penyakit TBC tidak terkendali penularanya. Hal
ini disebabkan banyaknya penderita yang tidak berhasil disembuhkan, Di Negara-
negara berkembang kematian TBC merupakan 25% dari penyakit seluruh kematian.
Diperkirakan 95% penderita TBC berada di negara berkembang, 75 % penderita
TBC adalah kelompok usia produktif (15–50 tahun) ( Depkes RI, Ibid)
Indonesia menempati urutan ketiga terbesar di dunia dalam hal jumlah penderita
TBC (583 ribu orang) setelah cina (2 juta orang) dan India (1,5 juta orang), Di Indonesia
kematian akibat penyakit TBC setiap tahun ada sekitar 140.000 orang meninggal dunia
dari total penderita. Berdasarkan Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) tahun 1995
menunjukkan bahwa TBC merupakan penyebab kematian nomor tiga setelah penyakit
kardiovaskuler dan penyakit saluran pernafasan. Pada golongan penyakit infeksi TBC
menjadi kematian nomor satu .
Tujuan jangka panjang penanggulangan TBC di Indonesia adalah menurunkan
angka kesakitan dan angka kematian penyakit TBC dengan cara memutus mata rantai
penularan. Dengan harapan penyakit TBC tidak lagi merupakan masalah kesehatan
masyarakat di indonesia. Sedangkan tujuan jangka pendek adalah tercapainya angka
kesembuhan minimal 85% dari semua penderita TBC dengan BTA positip yang
ditemukan. Tercapainya cakupan penemuan penderita secara bertahap, sehingga pada
tahun 2007 dapat mencapai 60% dari perkiraan semua penderita TBC dengan BTA
positif.
Dalam rangka mensukseskan pelaksanaan program penanggulangan TBC,
prioritas kegiatan ditujukan terhadap peningkatan mutu pelayanan, penyempurnaan
kebijakan operasional dengan mengaktifkan serta meningkatkan infrastruktur yang ada.
Disamping itu diupayakan mengikutsertakan komponen kesehatan di luar program,
pengadaan sarana - prasarana, penyuluhan, pelatihan, supervisi, serta penggunaan
obat yang rasional dan panduan obat yang sesuai dengan strategi DOTS ( Directly
Observed Treatment, Shortcourse chemotherapy).
Pada pelaksanaan strategi DOTS di puskesmas dibentuk Kelompok Puskesmas
Pelaksana (KPP) yang terdiri dari Puskesmas Rujukan Mikroskopis (PRM) dengan
dikelilingi oleh kurang lebih lima Puskesmas Satelit (PS) atau Puskesmas Pelaksana
Mandiri (PPM). KPP mencakup wilayah kerja dengan jumlah penduduk 50.000-150.000
jiwa. Pada keadaan geografis yang sulit dan dalam upaya mendekatkan pelayanan
kepada penderita TBC, dapat dibentuk PPM yang merupakan peningkatan dari
Puskesmas Satelit dilengkapi tenaga dan fasilitas pemeriksaan dahak.
Untuk dapat melihat kinerja petugas TBC puskesmas salah satunya adalah
dengan melihat cakupan penemuan kasus TBC BTA positif, yaitu indikator Case
detection rate (CDR). CDR adalah : persentase jumlah penderita TBC BTA positif yang
ditemukan dibanding dengan jumlah penderita TBC BTA positif yang diperkirakan ada
dalam wilayah tersebut. CDR menggambarkan cakupan penemuan penderita TBC BTA
positif pada wilayah tersebut.
Beberapa faktor yang terkait dengan CDR antara lain yaitu:
1. Jumlah suspek TBC yang berkunjung ke puskesmas.
2. Kegiatan penyuluhan oleh petugas puskesmas, kader, PMO guna memberikan
informasi tentang TBC kepada masyarakat untuk meningkatkan kunjungan suspek.
3. Komitmen petugas TBC puskesmas untuk melaksanakan penanggulangan TBC di
wilayahnya.
4. Kerjasama dengan lintas program dan lintas sektor untuk mensosialisasikan
pengobatan TBC di masyarakat.
5. Error rate petugas laboratorium puskesmas.
Permasalahan program penanggulangan TBC di kabupaten kebumen adalah
masih rendahnya cakupan CDR. Pada tahun 2007 hanya ada beberapa puskesmas
yang dapat memenuhi target CDR yaitu puskesmas Gombong I dengan CDR 142 %,
Puskesmas Ayah II dengan CDR 122 %, Puskesmas Buluspesantren I dengan CDR
105%, sedangkan puskesmas lainya masih di bawah target yang ditetapkan.
Puskesmas Klirong II tahun 2007 belum memenuhi target yaitu 28 % ( 8 penderita BTA
+) dari 28 penderita BTA + yang di targetkan. Sedangkan untuk suspek baru 50% (144
suspek) dari target 284 Suspek baru. (Dinkes.kabupaten Kebumen,2007)
Dari laporan hasil kegiatan P2 TBC tahun 2007 di Puskesmas klirong II dijumpai
beberapa permasalahan yaitu :
1. Keterpaduan pemberantasan TBC belum optimal baik lintas program maupun lintas
sektor. Keterlibatan lintas sektor masih bersifat serah, misalnya kerja sama dengan
LSM lebih sering merupakan inisiatif dari dinas kesehatan, sehingga akan dilakukan
apabila ada ajakan untuk kegiatan tersebut.
2. Belum semua petugas puskesmas klirong II memprioritaskan program
pemberantasan TBC di wilayahnya, dan masih menjadi tanggung jawab pemegang
program TBC saja.
3. Sosialisasi program TBC di masyarakat belum terlihat hasilnya, hal ini terlihat dari
masih kurangnya partisipasi dari masyarakat dan pengiriman suspek TBC yang
masih rendah.
4. Penyuluhan oleh kader kesehatan pada masyarakat masih kurang, hal ini di
sebabkan masih banyaknya kader yang berusia lanjut, sehingga perlu adanya
regenerasi kader – kader muda yang handal, belum adanya penghargaan untuk
kader yang memadai, sehingga kerja kader tidak maksimal, pengetahuan kader
yang masih rendah mengenai: Pengertian penyakit TBC, Penyebab penyakit TBC,
Tanda dan gejala penyakit TBC, Pengobatan penyakit TBC, Pencegahan penyakit
TBC
(Petugas TBC Puskesmas)
B. Rumusan Masalah
Dari latar belakang di atas, penulis merumuskan masalah penelitian
bagaimana tingkat pengetahuan kader tentang penyakit TBC di Puskesmas Klirong II
Kecamatan Klirong Kabupaten Kebumen?
C. Tujuan
1. Tujuan Umum
Untuk mengetahui tingkat pengetahuan kader tentang penyakit TBC di Puskesmas
Klirong II Kabupaten Kebumen.
2. Tujuan Khusus
1. Untuk mengetahui tingkat pengetahuan kader tentang :
1. Pengertian penyakit TBC.
2. Penyebab Penyakit TBC.
3. T anda-tanda seseorang terkena penyakit TBC .
4. Pengobatan penyakit TBC.
5. Pencegahan penyakit TBC.
D. Manfaat
Penulis berharap hasil penelitian ini bermanfaat :
1. Bagi Kepala Puskesmas, sebagai motivator agar mampu memberikan teladan yang baik kepada para petugas dan kader dalam pelaksanaan program TBC.
2. Bagi para kader, untuk menambah pengetahuan tentang penyakit TBC demi tercapainya pelayanan yang baik.
3. Bagi penulis, antara lain :
a. Dapat menambah ilmu pengetahuan, terutama tingkat pengetahuan kader tentang
penyakit TBC di Puskesmas Klirong II Kabupaten Kebumen.
b. Memberikan masukan dan informasi tentang betapa pentingnya pengetahuan
tentang penyakit TBC yang baik dan memadai untuk mewujudkan masyarakat
yang bebas penyakit TBC.
4. Bagi Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan (STIKES) Muhammadiyah Gombong, untuk menambah bahan kepustakaan sebagai literature berharga dan berguna untuk penelitian selanjutnya.
5. Bagi Dunia Ilmu Pengetahuan, mengetahui secara mendalam pengetahuan kader tentang penyakit TBC, maka diharapkan dapat menambah wawasan dan pengetahuan baik yang bersifat konseptual dan teoritis.
6. Bagi Dunia Praktisi, hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan dan penyempurnaan kepada para Petugas Puskesmas serta para kader mengenai cara-cara praktis dalam menunjang pelayanan kesehatan masyarakat yang baik khususnya untuk penyakit TBC.
E. Ruang Lingkup Penelitian
1. Lingkup Keilmuan
Bidang ilmu kesehatan masyarakat dengan penekanan epidemiologi penyakit tropic,
khususnya penyakit TBC.
2. Lingkup Masalah
Masalah dibatasi untuk mengetahui tingkat pengetahuan kader tentang TBC .
3. Lingkup Sasaran
Sasaran penelitian ini adalah seluruh kader TBC di Puskesmas Klirong II kabupaten
Kebumen .
4. Lingkup Lokasi
Lokasi penelitian di puskesmas Klirong II Kabupaten Kebumen.
5. Lingkup Waktu
Penelitian ini dilakukan pada bulan Juni dan Juli tahun 2008.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Landasan Teori
1. Penyakit TBC
TBC adalah penyakit yang disebabkan oleh Mycobacterium Tuberkulosisyakni
kuman aerob yang dapat hidup terutama di paru atau diberbagai organ tubuh lainya
yang mempunyai tekanan partial oksigen yang tinggi (Tabrani,1996:236).
TBC adalah penyakit infeksi yang disebabkanoleh bakteri aerob gram positif,
bakteri asam lemak, bakteri tersebut sering menyerang pada paru-paru, meskipun juga
dapat ke beberapa organ tubuh lainya (Ni Luh Gede Yasmin, 1999;120).
TBC adalah infeksi saluran nafas bawah yang disebabkan
olehMycobacterium yang biasanya ditularkan melalui percikan (droplet) dari orang ke
orang, dan mengkolonasi Bronkheolus dan alveolus (Corwin, 2000:412).
Dari pengertian diatas dapat diambil kesimpulan bahwa TBC adalah penyakit
infeksi saluran pernafasan bawah yang disebabkan oleh Mycobacterium yakni
kumanaerob yang dapat hidup terutama di paru atau organ lain yang mempuyai
tekananpartial oksigen tinggi dan dapat ditularkan melalui droplet dari orang ke orang
dan mengkolonasi Bronkheolus dan Alveolus.
2. Penyebab
Penyebab penyakit TBC dalah Mycobacterium Tuberculosis yaitu kuman yang
berbentuk batang dengan ukuran panjang 1-4 / um (Soeparman,1998:718).
TBC disebabkan oleh Mycobacterium Tuberculosis yakni kuman aerob yang dapat
hidup terutama di paru / di beberapa organ tubuh lainya yang mempunyai
tekanan partial oksigen tinggi pada membran selnya sehingga bakteri ini tahan terhadap
asam dan pertumbuhanya berlangsung lambat . Bakteri ini tidak tahan
terhadap ultraviolet sehingga penyebaranya terjadi pada malam hari (Tabrani,1996:236)
3. Tanda – tanda TBC
Pada awalnya TBC primer sukar diketahui secara klinis karena penyakit ini mulai
secara perlahan – lahan . kadang – kadang TBC juga ditemukan pada anak tanpa
gejala atau keluhan. Gejala TBC pada anak dibagi menjadi dua yaitu :
a. Gejala umum / non spesifik, berupa :
1. Berat badan turun tanpa sebab yang jelas atau tidak naik dengan penaganan
gizi.
2. Anoreksia dengan gagal tumbuh dan berat badan tidak naik.
3. Demam lama / berulang tanpa sebab jelas, dapat disertai keringat malam.
4. Pembesaran kelenjar limpfe superfisial multiple dan tidak nyeri.
5. Batuk lebih dari 30 hari.
6. Diare persiten, tidak sembuh dengan pengobatan diare. (Stork,2000)
b. Gejala spesifik sesuai dengan organ yang terkena, yaitu :
1. TBC kulit / skofuloderma.
2. TBC tulang dan sendi.
3. TBC Otak dan syaraf : meningitis dengan gelala iritabel, kaku, muntah dan
kesadaran menurun.
4. TBC Mata : conjungtivitis , tuberkel khoroid.
5. TBC Organ Lainya.
TBC juga dapat menunjukan gejala seperti bronkopneumonia, sehingga pada
anak dengan pengobatan broncopneumonia tidak menunjukan perbaikan,
sehingga harus dipikirkan juga kemungkinan menderita TBC (stork,2000)
Tanda klinis dari TBC adalah terdapatnya keluhan berupa : Batuk berdahak
(lebih dari 3 minggu), Sputum Mukoid atau purulen, Nyeri dada, Demam,dan
berkeringat di malam hari, Berat badan menurun, Anoreksia, Malaise, Ronki
basah di apeks paru (Stork, 2000).
4. Pengobatan TBC
a. Minum obat secara teratur sampai tuntas (selama pengobatan 6-8 bulan).
b. Jangan berhenti berobat sebelum petugas kesehatan / dokter mengatakan sembuh, jika
berhenti sebelum waktunya penyakit TBC akan lebih sukar diobati.
c. Periksa dahak selama masa pengobatan , untuk memastikan apakah ada kemajuan dari
pengobatan.
d. Selama masa pengobatan bersedia diawasi oleh Pengawas minum obat (PMO) / kader
TBC, anda bebas memilih siapa yang anda inginkan sebagai PMO.
e. Pola hidup sehat dan istirahat cukup.
Tanpa pengobatan penyakit TBC setelah 5 tahun, akan meninggal 50%, akan
sembuh sendiri dengan daya tahan tubuh tinggi sebanyak 25%, dan 25 % lagi
sebagai kasus kronik yang tetap menular (WHO,1996).
5. Pencegahan TBC
a. Perhatikan pergantian udara dalam rumah atau tempat kerja.
b. Usahakan agar sinar matahari masuk dalam ruangan.
c. Tutup Mulut saat batuk.
d. Jangan meludah sembarang tempat.
e. Imunisasi BCG saat bayi.
1. Tipe Penderita
Tipe penderita ditentukan berdasarkan riwayat pengobatan sebelumnya.
Ada beberapa tipe penderita yaitu:
a. Kasus baru
Adalah penderita yang belum pernah diobati dengan OAT atau sudah pernah
menelan OAT kurang dari satu bulan (30 dosis harian).
b. Kambuh (Relaps)
Adalah penderita TBC yang sebelumnya pernah mendapat obat anti tuberkulosis
dan telah dinyatakan sembuh, kemudian kembali lagi berobat dengan hasil
pemeriksaan dahak BTA Positif.
c. Pindahan (Transfer In)
Adalah penderita yang sedang mendapat pengobatan disuatu kabupaten lain
dan kemudian pindah berobat ke kabupaten ini. Penderita pindahan tersebut
harus membawa surat rujukan/pindah.
d. Setelah Lalai (Pengobatan setelah default/drop out)
Adalah penderita yang sudah berobat paling kurang 1 bulan, dan berhenti 2
bulan atau lebih, kemudian datang kembali berobat.
e. Gagal
- Adalah penderita BTA positf yang tetap positif atau kembali menjadi positif pada
akhir bulan ke 5 (1 bulan sebelum akhir pengobatan) atau lebih.
- Adalah penderita dengan hasil BTA negatif rongent positif menjadi BTA positif
pada akhir bulan ke 2 pengobatan.
f. Kasus kronis
Adalah penderita dengan hasil pemeriksaan masih BTA positif setelah selesai
pengobatan ulang kategori 2.
2. Hasil Pengobatan dan Tindak Lanjut.
Hasil pengobatan seorang penderita dapat dikatagorikan sebagai: Sembuh,
Pengobatan Lengkap, Meninggal, Pindah (Transfer Out), Defaulter (lalai) atau DO
dan Gagal.
a. Sembuh
Penderita dinyatakan sembuh bila penderita telah menyelesaikan pengobatan
secara lengkap, dan pemeriksaan ulang dahak (follow-up) paling sedikit 2 kali
berturut-turut hasilnya negatif (yaitu pada Akhir Pengobatan/ AP dan atau
sebulan sebelum AP, dan pada satu pemeriksaan follow-up sebelumya).
b. Pengobatan Lengkap
Adalah penderita yang telah menyelesaikan pengobatan secara lengkap tapi tidak
ada hasil pemeriksaan ulang dahak 2 kali berturut-turut negatif.Tindak lanjut:
Penderita diberitahu apabila gejala muncul kembali supaya memeriksakan diri
dengan mengikuti prosedur tetap.
c. Meninggal
Adalah penderita yang dalam masa pengobatan diketahui meninggal karena sebab
apapun.
d. Pindah
Adalah penderita yang pindah berobat ke daerah kabupaten/ kota lain.
Tindak lanjut: Penderita yang ingin pindah,dibuatkan surat pindah dan bersama sisa
obat dikirim ke unit pelayanan kesehatan yang baru.
e. Defaulted atau droup out
Adalah penderita yang tidak mengambil obat 2 bulan berturut-turut atau
lebihsebelum masa pengobatannya selesai.
Tindak Lanjut: penderita tersebut dilacak dan dibeeri penyuluhan pentingya berobat
secara teratur. Apabila penderita akan melanjutkan pengobatan, lakukan
pemeriksaan dahak. Bila positif mulai pengobatan dengan kategori 2, bila negatif
sisa pengobatan kategori 1 dilanjutkan.
f. Gagal
1). Penderita BTA positif yang hasil pemeriksaan dahaknya tetap positif atau
kembali menjadi positif pada satu bulan sebelum akhir pengobatan atau pada
akhir pengobatan.
Tindak lanjut: Penderita BTA positif baru dengan kategori 1 diberi kategori 2
mulai dari awal. Penderita BTA positif pengobatan ulang dengan kategori 2
dirujuk ke unit pelaksana kesehatan spesialistik atau berikan INH seumur
hidup.
2). Penderita BTA negatif yang hasil pemeriksaan dahaknya pada akhir bulan ke
2 menjadi positif.
Tindak lanjut: diberikan pengobatan kategori 2 mulai dari awal.
D. Faktor-faktor yang menyebabkan pengobatan tidak tuntas/ DO.
Sebagaimana telah ditulis sebelumnya, pengobatan yang tidak teratur dan tidak tuntas
tidak dapat menyembuhkan TBC.Bahkan kuman yang ada akan resisten terhadap obat
TBC. Dari hasil kajian, hal-hal yang melatarbelakangi antara lain adalah:
a. Adanya efek samping obat yang sering mengganggu; mual-mual, gatal-gatal, dan
lain-lain. Timbulya efek samping obat merupakan salah satu penyebab kegagalan
pengobatan. 8
Pengobatan yang adekuat setiap kasus merupakan hal yang sangat penting. Oleh
karena itu setiap perubahan dari paduan pengobatan yang diduga karena efek
samping obat harus betul-betul diperhitungkan gejala samping dari penderita OTA
sangat jarang ditemukan, kalaupun ada biasanya ringan dan tidak perlu
menghentikan pengobatan. Pemakaian obat anti Tuberkulosis (OAT) sebelumya,
pemakaian OAT sebelumnya tekait dengan resistensi obat. Pemakaian OTA maki
lama,makin sering, dan makin tidak teratur akan meningkatkan resistensi kuman
terhadap OTA. Pemakaian obat sebelumya karena putus berobat sebelum
waktunya, merupakan faktor terbesar dalam kegagalan pengobatan TBC di
Indonesia. Angka ini sekitar 50% penderita yang pernah minum OAT selam satu
bulan atau lebih lalu berhenti 9, mempunyai kemungkinan yang lebih tinggi untuk
menjadi kebal terhadap obat pemberian komunikasi, informasi dan edukasi (KIE)
kepada penderita oleh petugas kesehatan atau oleh PMO sebelum menjalani masa
pengobatan menjadi sesuatu hal yang amat penting. Melalui KIE yang lengkap dan
baik diharapkan penderita selalu mempunyai motivasi untuk patuh dan teratur
memenuhi anjuran yaitu tertib minum obat sesuai aturan.
b. Tidak diketahuinya bahaya resistensi kuman terhadap OAT.
c. Jumlah obat yang banyak dan frekuensi minum.
d. Sudah merasa sembuh.
e. Karakteristik penderita (umur, jenis kelamin, pendidikan, pekerjaan). Tingkat
pendidikan penderita mempengaruhi pemahaman tentang penyakit TBC cara
pengobatan, bahaya akibat minum obat tidak teratur, dan akan mempengaruhi
kepatuhan minum obat, disamping akan berpengaruh kepada perilaku sehari-hari.
Pekerjaan berhubungan dengan tingkat sosial ekonomi, mempengaruhi kemampuan
menyediakan pangan, papan dan sandang. Diketahui berkembangnya kuman
Tuberkulosis akan lebih banyak terjadi pada lingkungan perumahan yang buruk
seperti tidak adanya ventilasi, kurangnya pencahayaan dan terbatasnya sanitasi.
Disisi lain sosial ekonomi mempengaruhi kemampuan pembiayaan dalam bidang
kesehatan, karena masik terfokus pada kebutuhan pokoknya.
f. Pengetahuan, sikap, praktik tentang penyakit TBC.
g. Jarak rumah penderita dengan tempat pelayanan kesehatan.
h. Biaya yang harus dikeluarkan untuk berobat.
i. Ada tidaknya Pengawas Minum Obat/PMO.
Tidak adanya PMO dapat menyebabkan ketidakteraturan minum obat sesuai
dengan jadwal yang seharusnya dan dapat menyebabkan penderita putus berobat
(drop out), sehingga dapat memungkinkan kegagalan pengobatan dan resistensi
terhadap OAT. Dukungan keluarga dan masyarakat dalam hal pengawasan dan
pemberian semangat mempunyai andil yang besar dalam peningkatan kepatuhan
pengobatan penderita.
Dibanyak negara dokter memberikan terapi yang salah atau tidak adekuat. Hal ini
mungkin menyebabkan:
1. Kegagalan menyembuhkan penderita.
2. Membuat penderita kebal terhadap obat-obatan dan menyulitkan penyembuhannya.
3. Membuat penderita hidup dengan infeksi yang sudah kebal terhadap pengobatan
sehingga memudahkan penularan kepada orang lain. Jadi pengobatan yang kurang baik
merupakan gabungan antara pengobatan oleh dokter yang kurang baik dengan kesehatan
masyarakat yang kurang baik.
E. Tatalaksana penderita yang berobat tidak teratur
Seorang penderita kadang-kadang berhenti minum obat sebelum masa minum obat
selesai. Hal ini dapat terjadi karena penderita belum memahami bahwa obat harus
ditelan seluruhnya dalam waktu yang telah ditetapkan. Petugas harus mengusahakan
agar penderita yang putus berobat tersebut kembali ketempat pelayanan kesehatan.
Pengobatan yang diberikan tergantung pada tipe penderita, lama pengobatan
sebelumnya, lamanya putus berobat dan hasil bagaimana pemeriksaan dahak sewaktu
sewaktu dia kembali berobat. Untuk lebih jelasnya lihat tabel.
Untuk mendukung kegiatan dilakukan: pelatihan kepada petugas / kader, penyuluhan
kepada masyarakat, melakukan supervisi dan pengawasan pengobatan dengan
memberikan PMO bagi setiap penderita TBC.
F. Sifat Karakteristik Penderita TBC
a. Umur
Merupakan salah satu sifat karakteristik tentang orang yang utama. Penyebaran
keadaan umur dalam masyarakat mudah dilihat dengan kurva penduduk atau
piramida penduduk. Yang mempunyai hubungan dengan tingkat keterpaparan,
besarnya risiko serta sifat resistensi tertentu.
b. Jenis Kelamin
Karakteristik jenis kelamin dan hubungannya dengan sifat keterpaparan dan tingkat
kerentanan memegang peran tersendiri. Rasio jenis kelamin harus selalu
diperhitungkan pada peristiwa penyakit tertentu.
c. Pendidikan
Pendidikan formal yang telah diperoleh seseorang sehingga orang tersebut semakin
mampu untuk beradaptasi dan menerima pesan-pesan yang disampaikan
kepadanya. Pendidikan adalah suatu proses yang unsur-unsurnya terdiri dari
masukan (input), yaitu sasaran pendidikan, dan keluaran (out put). Yaitu suatu
bentuk perilaku baru atau kemampuan baru dari sasaran pendidikan. Proses
tersebut dipengaruhi oleh perangkat lunak (soft ware) yang terdiri dari kurikulum,
pendidik, metode dan sebagainya, dan perangkat keras (hard ware) yang terdiri dari
ruang, perpustakaan (buku-buku) dan alat-alat bantu pendidikan lain. 14)
d. Pekerjaan
Yaitu jenis mata pencaharian utama seseorang yang diperoleh untuk membiayai
keperluan hidup keluarganya. Pekerjaan berhubungan dengan tingkat sosial
ekonomi, mempengaruhi kemampuan menyediakan pangan, papan dan sandang.
Disisi lain sosial ekonomi mempengaruhi kemampuan pembiayaan dalam bidang
kesehatan, karena masih terfokus pada kebutuhan pokoknya.
e. Pengetahuan
Merupakan hasil pengideraan, ini terjadi setelah sesseorang melakukan
penginderaan terhadap suatu obyek tertentu. Melalui indera penglihatan,
pendengaran, penciuman, rasa dan raba. Sebagian besar pengetahuan yang dimiliki
seseorang terhadap suatu obyek melalui indera penglihatan dan pendengaran.
Pengetahuan tidak lain dari hasil atau pengalaman sendiri atau tahu dari
pengetahuan orang lain artinya mengakui sesuatu terhadap atau dari sesuatau yang
disebut putusan sehungga pada dasarnya putusan atau pengetahuan itu adalah
sama.
f. Sikap
1). Pengertian sikap
Sikap sebagai produk dari proses sosialisasi dimana seseorang bereaksi dengan
rangsangan yang diterimanya. Respon timbul apabila individu dihadapkan pada
suatu stimulus yang menghendaki respon individual. Respon yang dinyatakan
sebagai sikap didasari oleh proses evaluasi dari dalam diri individu, yang
memberikan kesimpulan nilai terhadap stimulus dalam bentuk baik atau buruk,
positif atau negativ, menyenagnkan atau tidak menyenangkan, suka atau tidak
suka yang kemudian mengkristal sebagai potensi reaksi terhadap obyek sikap.
Ekspresi sikap individu tergantung pada berbagai kondisi dan situasi yang betul-
betul bebas dari berbagai bentuk tekanan atau hambatan yang dapat
mengganggu ekspresi sikapnya maka dapat diharapkan bahwa bentuk-bentuk
perilaku yang ditampakkan merupakan ekspresi sikap sebenarnya.
Sikap terdiri dari 3 komponen yaitu:
a) Kognitif, berhubungan dengan kepercayaan, ide dan konsep. Komponen
kognisi berisi persepsi, kepercayaan dan stereotip yang dimiliki seseorang
tentang sesuatu.
b) Afektif, berhubungan dengan kehidupan emosional seseorang. Secara umum
komponen ini disamakan denagn perasaan yang dimiliki seseorang terhadap
sesuatu. Namun perasaan pribadi sangat berbeda perwujudannya bila
dikaitkan dengan sikap.
c). Konatif, berhubungan dengan kecenderungan tingkah laku seseorang
berkaitan dengan sikap yang dihadapi. Asumsi dasar adalah bahwa
kepercayaan dan perasaan mempengaruhi perilaku. Artinya orang akan
berperilaku dalam situasi tertentu dan terhadap stimulus tersebut.
Kecenderungan berperilaku konsisten selaras denag kepercayaan dan
perasaan ini membentuk sikap individual, karena itu logis bahwa sikap
seseorang dicerminkan dalam bentuk perilaku dalam obyek.
2). Faktor yang mempengaruhi perubahan sikap
Dalam perkembangannya sikap dipengaruhi oleh lingkungan, individu yang satu
dengan yang lain. Sikap tidak akan terbentuk interaksi manusia terhadap
obyek tertentu atau suatu obyek.
Beberapa faktor yang mempengaruhi sikap:
a) Faktor internal, yaitu faktor yang terdapat dalam kepribadian manusia.
Faktor ini berupa selektifitas atau daya pilih seseorang untuk menerima
dan mengolah perubahan-perubahan yang datang dari luar.
b) Faktor eksternal, yaitu faktor yang terdapat di luar pribadi manusia. Faktor
ini berupa interaksi sosial di luar kelompok.
g. Praktik
Adalah apa yang dikerjakan oleh organisme, baik yang diamati secara langsung
maupun tidak langsung. Secara lebih operasional perilaku dapat diartika sebagai
suatu respon organisme atau seseorang terhadap rangsanga (stimulus) dari luar
subyek tersebut. Respon ini berbentuk 2 macam, yaitu:
1). Bentuk pasif (cover behavior) adalah respon internal, yaitu yang terjadi dalam diri
manusia dan tidak secara langsung dapat terlihat oleh orang lain.
Misalnya: berpikir, tanggapan atau sikap batin dan pengetahuan.
2). Bentuk aktif (over behavior) yaitu apabila perilaku iti sudah tampak dalam bentuk
tindakan nyata, sehingga dapat diobservasi secara langsung.
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
A. Waktu dan Penelitian
Penelitian akan dilakukan selama 1 (satu) bulan yang akan dilaksanakan dari
tanggal 27 Juni 2008 sampai dengan 27 Juli 2008. sedang penelitian akan dilaksanakan
di Puskesmas Klirong II Kabupaten Kebumen yang beralamatkan di Jalan Dandeles No.
07 Kecamatan Klirong Kabupaten Kebumen.
B. Populasi dan Sampel
1. Populasi
Populasi dalam penelitian ini adalah kader yang ada di Puskesmas Klirong II
Kabupaten Kebumen yang berjumlah 250 kader.
2. Sampel
Untuk sampel, penulis mengambil pendapat Suharsimi Arikunto (2003 : 107) yang
menyatakan jika jumlah subjeknya besar dapat diambil antara 10 – 15 % atau 20 –
25 % atau lebih, maka penulis mengambil sampel sebesar 25% dari jumlah populasi
yang ada.
23
Pengambilan sampel dengan menggunakan purposive sampel yaitu, penelitian dilakukan terhadap kader yang menangani langsung/mengetahui pelaksanaan pelatihan kader TB di Puskesmas Klirong II Kabupaten Kebumen. Sampel diambil sebesar 25 % dari jumlah keseluruhan responden, yakni 33 orang dari 250 orang.
C. Pembahasan
Dari sampel, penulis menghubungkan antara hasil jawaban responden (kader)
dengan pengetahuan kader mengenai penyakit TBC, dan penangannya. Hal ini
dimaksudkan agar penulis dapat mengetahui tingkat pengetahuan kader tentang
penyakit TBC di Puskesmas Klirong II Kecamatan Klirong Kabupaten Kebumen.
- Penulis mengadakan secara langsung dengan mengikuti pelatihan tentang penyakit
TBC dan dengan melaksanakan program tentang penanganan penyakit TBC
termasuk kegiatan pelayanan masyarakat dari penyakit TBC. Dimana sebelumnya
penulis telah menyiapkan pertanyaan yaitu yang meliputi sejauhmana tingkat
pengetahuan kader tentang penyakit TBC di Puskesmas Klirong II Kecamatan
Klirong Kabupaten Kebumen.
- Dengan adanya kegiatan pelatihan tentang penyakit TBC, apalagi bila ditunjang
dengan aktifitas mereka untuk mengikutinya, kader akan lebih merasakan penting
dan manfaatnya pengetahuan tentang penyakit TBC. kader akan lebih termotivasi
dan semangat tinggi dengan tersedianya pengalaman tambahan berupa kegiatan
pelatihan tersebut.
BAB IV
PENUTUP
A. KESIMPULAN
1. Pelaksanaan program Puskesmas tentang penyakit TBC, baik yang menyangkut
kegiatan rutin maupun kegiatan pelayanan kesehatan yang meningkat terus sesuai
dengan tahapan tugas-tugas yang ditangani oleh para kader yang mengelolanya
tentu semakin bertambah berat, terlebih dikaitkan dengan pencapaian sasaran yang
harus efektif.
2. Dalam hal ini memerlukan kader yang dapat bekerja sesuai dengan ketentuan yang
dilaksanakan di Puskesmas Klirong II. serta para kader yang mempunyai
pengetahuan tentang penyakit TBC. Untuk ini adalah melalui pelatihan
tentangpenanganan penyakit TBC, sebab melalui pelatihan akan diperoleh kader-
kader yang dapat ditingkatkan pengabdian, mutu, serta akan tercipta pola berfikir
yang sama, terciptanya dan berkembangnya metode kerja yang lebih baik.
3.
25
Adapun pelatihan tentang penyakit TBC yang dilaksanakan di Puskesmas Klirong II kepada para kader, maksudnya untuk mendapatkan pengetahuan tambahan, agar mereka lebih siap menghadapi masalah – masalah penyakit TBC dan untuk kader baru dapat menambah ilmu tentang penyakit TBC
B. Saran
1. Bahwa dengan dilaksanakannya pelatihan kader tentang penyakit TBC akan dapat
meningkatkan pengetahuan, keterampilan bagi para kader dalam menginformasikan
tentang penyakit TBC ke masyarakat luas pada umumnya dan masyarakat klirong pada
khususnya. Untuk itu perlu dilaksanakan secara terus menerus dan berkesinambungan.
2. Untuk menunjang program kerja, faktor-faktor seperti fasilitas dan sarana dan
prasarana pelatihan akan sangat berperan. Adanya gedung dan perpustakaan untuk
menunjang kegiatan pelatihan para kader sudah cukup baik, walaupun masih ada
kekurangan-kekurangan, dan mudah-mudahan kekurangan-kekurangan tersebut di masa
yang akan datang dapat diatasi, karena sarana dan prasarana ikut menentukan dalam
mencapai tujuan.
3. Pelatihan yang telah dijalankan hendaknya dijadikan sebagai tempat menghasilkan
bibit-bibit kader muda untuk menggantikan kader yang akan dan telah pensiun sehingga
alih generasi akan ada hasilnya.
DAFTAR PUSTAKA
Achmad H.M., 1997. Praktisi Aplikasi Chi- Square dalam bidang kesehatan, Alfa Publicing,
Semarang.
Bia Ikawati, Kaitan Karakteristik Petugas dengan Kinerja Petugas Surveilans TB Paru Pada
Puskesmas Di Kabupaten Kebumen, FKM Undip Semarang, Tahun 2001.
Ditjen Bina Kesehatan Masyarakat Depkes RI, Kebijakan pelayanan kesehatn kerja di era desentralisasi . dalam Konvernsi nasional kesehatan kerja, Jakarta 25-26 Agustus 2008
DepKes RI., 1996. Metode Survei Cepat, Pusat Data Kesehatan, DepKes RI, Jakarta.
DepKes RI., 2003. Prosedur Kerja Surveilan Faktor Resiko Penyakit Menular dalam
Intensifikasi Pemberantasan Penyakit Menular Terapdu Berbasis Wilayah,
khusus: Faktor Resiko Lingkungan dan Perilaku, Dirjen PPM & PL, DepKes RI,
Jakarta.
Dinas Kesehatan Kabupaten Kebumen., 2003. Profil Kesehatan Kabupaten Kebumen tahun
2003, Dinkes Kabupaten Kebumen, Kebumen.
Henry Simamora, Manajemen Sumber Daya Manusia, Penerbit STIE YKPN Yogyakarta,
edisi kedua, 1999
Kebijakan Teknis program kesehatan kerja Pusat Kesehatan Kerja Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 2002
Lawlor, A dan Peka F. Manual Peningkatan Produktivitas. SIUP Grower Publising Company
Limited Binamar Teknika. Jakarta. 1998.
Moekijat. Fungsi-fungsi Manajemen. Mandar Maju. Bandung. 2000
Murwati B Raharjo, Pendidikan dan Masyarakat Sebagai sarana Pemerataan Pendapatan.
CSIS. Jakarta. 1983.