gagal ginjal kronik
DESCRIPTION
laju filtrasi glomerulusTRANSCRIPT
Tahap pertama penyakit ginjal kronik dengan laju filtrasi glomerulus 50%-75% dari rentang
nilai normal menurut umur tidak menimbulkan gejala klinis (asimtomatik). Peningkatan
ureum, kreatinin dan hormone paratiroid terjadi jika laju filtrasi glomerulus < 50% dari
rentang nilai normal. Tahap kedua penyakit ginjal kronik (insufisiensi ginjal kronik) dengan
laju filtrasi glomerulus 25% -50% dari rentang nilai normal, pada tahap ini sering terdapat
proteinuria > 1.000 mg/hari, hipostenuria (urin dengan berat jenis rendah) dan nokturia. Pada
tahap pertama keadaan infeksi dan dehidrasi jarang menyebabkan masalah karena fungsi
ginjal masih relatif baik, akan tetapi keadaan ini dapat memicu azotemia berat pada tahap
kedua. Tahap ketiga dari penyakit ginjal kronik ( gagal ginjal kronik) dengan laju filtrasi
glomerulus 10% - 25% dari rentang normal, dengan gambaran klinis anemia, asidosis,
hiperfosfatemia hipokalsemia, osteodistrofi ginjal dan rakhitis. Tahap keempat dan terakhir
dari penyakit ginjal kronik (gagal ginjal terminal) dengan laju filtrasi glomerulus <10% dari
rentang normal. Pada tahap ini harus dilakukan dialisis secara rutin dan direncanakan untuk
transplantasi.7
Penatalaksanaan gagal ginjal secara umum dibagi menjadi 2, yaitu : tatalaksana sebelum
terjadi gagal ginjal terminal dan tatalaksana setelah terjadi gagal ginjal terminal.6, 8
Tatalaksana sebelum terjadi gagal ginjal terminal merupakan suatu terapi konservatif yang
bertujuan agar :
1. Anak merasa sehat, tidak ada keluhan atau rasa sakit yang disebabkan oleh uremia, seperti
misalnya mual, muntah.
2. Merasa normal, seperti teman-temannya, mempunyai cukup energi untuk berpartisipasi
dalam kegiatan sekolah dan aktivitas sosial lainnya; sehingga dapat mencapai pertumbuhan
motorik, sosial, dan intelektual yang optimal.
3. Mempertahankan pertumbuhan fisik yang normal.
4. Mempertahankan agar fungsi keluarga berjalan seperti biasanya.
5. Memperlambat progresivitas penurunan laju filtrasi glomerulus ( untuk LFG < 50/m/1,73
m2) .
6. Mempersiapkan anak dan keluarganya untuk menghadapi keadaan gagal ginjal
terminal.
Nutrisi
Malnutrisi energi protein seringkali ditemukan pada anak-anak dengan GGK. Patogenesis terjadinya malnutrisi ini multifaktorial. Faktor-faktor tersebut, antara lain adalah anoreksia, diet protein yang rendah, proses katabolisme akibat uremia yang menyebabkan pemecahan protein otot dan inhibisi sintesis protein, sekresi kortisol dan hormon paratiroid yang meningkat, resistensi insulin, asidosis metabolik, dan toksin uremia lain. Pada pasien yang mendapat terapi dialisis, terjadi
1
pembuangan asam amino, peptida dan protein melalui dialisis, dan proses katabolisme pada hemodialisis yang akan memperberat malnutrisinya.
Bila nutrisi tidak diperhatikan, pasien gagal ginjal akan jatuh dalam keadaan malnutrisi, dan anak-anak akan mengalami gagal tumbuh. Terapi nutrisi, berperan dalam menghambat kecepatan
penurunan fungsi ginjal dan akan dapat meningkatkan perasaan well-being serta pertumbuhan. 7
Intake nutrisi yang direkomendasikan untuk anak-anak dengan GGK hendaklah memperhatikan hal-hal berikut: 1. Asupan nutrisi sebaiknya dipantau melalui cara penilaian diet secara prospektif 3 hari berturut-
turut 2 kali setahun, dan lebih sering bila ada indikasi klinik. 2. Anak-anak dengan GGK cenderung kehilangan nafsu makan dan seringkali mendapatkan intake
dibawah kebutuhan yang dianjurkan. EAR adalah estimasi kebutuhan rata-rata energi, protein, vitamin, mineral. Kriteria ini dipakai untuk menggantikan Recommended Daily Allowance9, yang didefinisikan sebagai kecukupan kebutuhan nutrisi untuk anak sehat dengan jenis kelamin, tinggi badan dan umur yang sama. Asupan energi kurang dari 80% dari RDA telah terbukti berasosiasi dengan gagal tumbuh (Rizzoni 1984), yang dapat dipulihkan dengan meningkatkan energi menjadi 100% RDA. Asupan energi berlebih tidak memberikan manfaat, kecuali pada anak-anak dengan ratio berat terhadap tinggi badan yang rendah, yang membutuhkan asupan energi sampai 120% RDA. Untuk mencapai EAR yang sesuai umur dan energi, sebagian besar anak dengan GGK membutuhkan suplemen kalori dalam bentuk polimer glukosa atau emulsi lemak, dimana
pada bayi dan anak-anak kecil, diperlukan nutrisi tambahan melalui pipa nasogastrik.8
3. Untuk mencegah atau mengobati hiperparatiroidisme sekunder, kadar fosfat plasma harus dipertahankan antara mean dan -2SD untuk umurnya, dengan cara membatasi diet fosfat dan
pemakaian kalsium karbonat sebagai pengikat fosfat.9 Sumber fosfat terbanyak adalah susu, keju dan yoghurt.
4. Pada binatang coba, diet rendah protein terbukti mampu menghambat laju penurunan fungsi ginjal. Pada anak-anak, yang kebutuhan proteinnya lebih tinggi untuk pertumbuhannya, restriksi protein
ternyata tidak bermanfaat dalam menghambat laju penurunan fungsi ginjal,10 dan bahkan akan
mengakibatkan gagal tumbuh.11 Anak-anak dengan GGK sebaiknya memperoleh asupan protein minimum sesuai EAR for age (lihat tabel). Tetapi bila kadar urea darah anak tetap diatas 120 mg/dl, barulah dilakukan restriksi protein secara bertahap sampai kadar ureumny menurun. Restriksi protein tidak perlu diberlakukan bila protein telah mencapai 6% dari kebutuhan total kalori. Beberapa penelitian mengenai pemberian diet protein yang dicampur dengan asam amino essensial atau analog ketoasidnya menunjukkan perbaikan keadaan umum, perbaikan pertumbuhan dan fungsi ginjal, namun diet ini sangat kompleks, mahal, rasanya tidak enak, dan belum ada penelitian yang membuktikan bahwa diet ini lebih unggul dibanding kelompok kontrol dengan makanan yang kurang kompleks.
Keseimbangan air dan elektrolit
Penilaian secara klinik adanya dehidrasi dapat dilakukan dengan pemeriksaan turgor kulit, kekeringan mukosa, tekanan darah, tekanan vena juguler, dan berat badan, yang harus selalu dilakukan pada setiap kunjungan. Anak dengan uropati obstruktif atau displasia ginjal umumnya cenderung menderita kekurangan garam natrium dan kalium, yang akan mengganggu pertumbuhannya. Suplemen natrium khlorida sebaiknya diberikan pada kasus-kasus tersebut dengan pemantauan ketat terhadap pertumbuhan, sembab, hipertensi, atau hipernatremia. Kebutuhan air disesuaikan dengan jumlah urine yang keluar.
Anak-anak dengan penyakit ginjal primer yang menimbulkan hipertensi, dianjurkan untuk membatasi asupan natrium dan air.
Sebagian besar anak dengan GGK mampu mempertahankan homeostasis kalium. Bila terjadi hiperkalemia, perlu dipikirkan apakah tidak ada obat2an seperti misalnya ACE inhibitors, katabolisme, atau asidosis metabolik, sebagai penyebabnya, sebelum membatasi asupan kalium atau memberikan kalium exchange resin.
2
Keseimbangan asam – basa
Metabolik asidosis yang menetap seringkali menyebabkan gagal tumbuh pada bayi dan menimbulkan demineralisasi tulang, serta hiperkalemia. Untuk mempertahankan keseimbangan asam basa perlu diberikan suplemen natrium bikarbonat dimulai dari dosis 2 mmol/kg/hari, dengan pemantauan pH dan kadar bikarbonat pada analisis gas darahnya.
Osteodistrofi Renal
1. Kadar hormon paratiroid (PTH) meningkat dan kadar 1,25 dihydroxycholecalciferol menurun,
sejak mulai terjadinya insufisiensi ginjal ringan, yaitu pada LFG 50-80 ml/menit/1.73m2. Kadar fosfat plasma merupakan sebab utama terjadinya hiperparatiroidisme sekunder. Fosfat mengatur sel paratiroid secara independen pada kadar calcium serum dan kadar 1,25-dihydroxycholecalciferol endogen. Oleh karenanya kontrol terhadap fosfat plasma adalah hal paling penting sebagai prevensi dan terapi hiperparatiroidisme sekunder, meskipun hal tersebut paling sulit dicapai dalam jangka panjang, oleh karena membutuhkan kepatuhan akan diet rendah fosfat yang ketat and pemberian pengikat fosfat untuk mengurangi absorbsinya. Diet rendah fosfat berarti membatasi intake susu sapi dan produknya. Bila kadar fosfat plasma tetap diatas harga rata-rata untuk umur, pengikat fosfat misalnya kalsium karbonat 100 mg/kg/hari diberikan bersama makanan, dosis disesuaikan sampai kadar fosfat plasma berada antara harga rata-rata dan -2SD sesuai umurnya. Kalsium asetat, dan
10
3
yang lebih baru, sevelamer (non-calcium/non-aluminium containing polymer) juga merupakan pengikat fosfat yang bermanfaat.
2. Penurunan kadar fosfat plasma dapat meningkatkan kadar 1,25-dihydroxycholecalciferol endogen dan kalsium ion, yang mampu menormalkan kadar PTH. Namun, bila kadar PTH tetap tinggi dan kadar fosfat plasma normal, perlu ditambahkan vitamin D3 hidroksilasi.
3. Tipe, dosis, frekuensi, dan rute pemberian vitamin D sebagai prevensi dan terapi osteodistrofi renal masih merupakan kontroversi. Dianjurkan pemberian dosis rendah 1,25-dihydroxycholecalciferol 15-30 ng/kg/sekali sehari untuk anak-anak dengan berat kurang dari 20 kg, dan 250-500 ng sekali sehari untuk anak-anak yang lebih besar, untuk menaikkan kadar kalsium plasma sampai batas normal atas: bila kadar PTH telah normal, 1,25-dihydroxycholecalciferol dapat dihentikan sementara. Pemberian 1,25-dihydroxycholecalciferol secara intravena lebih efektif untuk menurunkan kadar PTH, tetapi dapat menyebabkan adynamic bone, oleh karena 1,25-dihydroxycholecalciferol pada dosis tinggi mempunyai efek antiproliferatif pada osteoblast.
4. Kadar kalsium, fosfat, dan alkali fosfatase plasma hendaknya diperiksa setiap kunjungan. Kadar PTH diukur setiap bulan, atau setiap kunjungan bila anak melakukan kunjungan yang lebih jarang, dan terapi disesuaikan. Bila anak asimtomatik dan parameter biokimia normal, hanya perlu dilakukan pemeriksaan radiologi manus kiri dan pergelangan tangan setiap tahun untuk menilai usia tulang.
Hipertensi
Hipertensi dapat berasal dari penyakit ginjal primer, misalnya nefropati refluks, penyakit ginjal polikistik autosomal resesif, atau karena GGK yang telah lanjut, akibat retensi natrium dan air. Pengendalian tekanan darah pada GGK, bukan saja untuk mencegah morbiditas dan mortalitas akibat hipertensi itu sendiri, melainkan juga untuk mencegah progresivitas penurunan fungsi ginjal. Bila tidak ada circulatory volume overload, sistolik dan diastolik dalam pemeriksaan berulang lebih dari 90 persentil untuk umur, perlu diberikan terapi antihipertensi untuk prevensi komplikasi hipertensi dan menghambat laju GGK. Bila ada tanda-tanda circulatory volume overload sebagai penyebab hipertensi, diberikan diuretik dari golongan furosemide dengan dosis 1-3 mg/kg dan diet rendah garam 11
4
Infeksi
Anak-anak dengan kelainan ginjal rentan mengalami infeksi saluran kemih berulang. Bila menderita refluks vesiko-ureter perlu diberikan antibiotik dosis rendah sebagai profilaksis.
Anemia
Anemia pada GGK adalah anemia normokromik normositer, karena produksi eritropoietin yang tidak adekuat. Eritropoietin rekombinan (rHuEPO) telah dipakai secara luas untuk mencegah anemia pada GGK. Disamping eritropoietin masih ada faktor lain yang dapat mempermudah terjadinya anemia antara lain menurunnya daya survival sel darah merah, inhibisi sumsum tulang terutama oleh PTH, kehilangan darah intestinal, dan paling sering defisiensi besi dan folat.
Sebagian besar anak-anak dengan pra-GGT dapat mempertahankan kadar hemoglobin tanpa bantuan terapi eritropoietin rekombinan, dengan cara pengaturan nutrisi yang baik, suplemen besi dan folat, dan bila diperlukan supresi hiperparatiroid sekunder dengan memakai pengikat fosfat yang tidak mengandung aluminium. Bila anemia tetap terjadi, dapat diberikan eritropoietin rekombinan dengan dosis 50 unit/kg secara subkutan dua kali seminggu, dosis dapat dinaikkan sesuai respon agar mencapai target hemoglobin 10-12 g/dl. Kadar ferritin serum dipertahankan diatas 100 mcg/l agar tercapai suplemen besi yang adekuat. Anak-anak dengan pra-GGT biasanya mendapatkan suplemen besi peroral, sedangkan mereka yang telah dilakukan dialisis biasanya memerlukan suplemen besi secara intra-vena.
Pertumbuhan
Pertumbuhan merupakan indikator yang paing sensitif untuk terapi GGK yang adekuat. Pengukuran
tinggi badan, berat badan, lingkar kepala, status pubertal, volume testes, dan lingkar lengan atas
sangat dianjurkan untuk dilakukan secara rutin, sehingga akan dapat dideteksi secara dini setiap
gangguan kecepatan pertumbuhan. Faktor-faktor yang menyebabkan gangguan pertumbuhan adalah
multifaktorial, seperti tercantum dalam tabel dibawah ini.
Pola pertumbuhan masing-masing anak dengan GGK dipengaruhi oleh umur anak, umur saat onset GGK dan terapi yang diberikan. Pada anak normal, kecepatan pertumbuhan maksimal selama tahun pertama kehidupan, pertumbuhan kemudian melambat selama masa anak-anak, dan meningkat lagi dengan pubertal growth spurt. Pertumbuhan yang tidak optimal pada salah satu atau kedua periode kritis tersebut akan mengakibatkan berkurangnya tinggi badan akhir.
Anak-anak pra-pubertas dengan GGK yang tumbuh dibawah persentil ke-3 untuk umurnya akan menunjukkan respon yang baik terhadap hormon pertumbuhan rekombinan dengan dosis supra-fisiologik.
Mempertahankan fungsi ginjal
Pada sebagian besar anak dengan GGK, fungsi ginjalnya akan terus menurun secara progresif, meskipun penyakit ginjal primernya telah tidak aktif. Progresifitas GGK berkaitan dengan kelainan histologinya yaitu glomerulosklerosis progresif, fibrosis interstitial, dan sklerosis vaskuler atau arterioler.
Untuk mempertahankan fungsi ginjal yang berada pada suatu fase tertentu, dapat dilakukan dengan cara-cara: pengendalian hipertensi, menghilangkan proteinuria, mencegah terjadinya hiperparatiroidisme sekunder, dan diet protein yang cukup.
Berbagai penelitian baik invivo maupun invitro membuktikan bahwa lipid mempunyai peran penting dalam progresivitas penyakit ginjal kronik. Gangguan metabolisme lipid sering ditemukan pada GGK sehingga menimbulkan keadaan hiperlipoproteinemia, kadar HDL menurun, LDL meningkat, dan VLDL kholesterol sangat menurun, disertai hipertrigliseridemia, dan gangguan apolipoprotein. Hal ini disebabkan karena terjadinya gangguan klirens lipoprotein LDL, dan menurunnya aktivitas lipolitik yang sebagian 13
5
disebabkan oleh hiperparatiroidisme sekunder dan resistensi insulin. Selain dengan manipulasi diet, beberapa penelitian juga membuktikan manfaat penggunaan zat untuk menurunkan kadar lipid darah terhadap perbaikan LFG dan aliran plasma ginjal.
Edukasi dan persiapan
Masa terapi konservatif GGK, merupakan saat terbaik untuk melaksanakan program edukasi bagi pasien dan keluarganya, untuk menjelaskan tentang apa yang sebenarnya terjadi sehingga mereka dan keluarganya akan ikut secara aktif dalam program pengobatan tersebut. Masa tersebut juga dapat digunakan untuk mempersiapkan mereka menghadapi stadium gagal ginjal terminal.
1. Hal-hal yang harus diperhatikan sebelum anak masuk dalam stadium GGT: 2. Anak harus telah mendapatkan imunisasi lengkap sebelum dilakukan transplantasi,
setidak-tidaknya 3 bulan sebelum dimulainya TPG. 3. Anak-anak dengan GGK yang mengalami disfungsi buli-buli, misalnya buli-buli
neurogenik, atau katup uretra posterior harus diatasi terlebih dahulu sebelum transplantasi dilakukan.
4. Anak-anak yang membutuhkan dialisis sebelum transplantasi, tetapi tidak sesuai untuk dialisis peritoneal, hendaknya dibuatkan fistula arteri-vena untuk akses hemodialisis.
Kelainan kulit karena penyakit ginjal dibagi menjadi 3 kategori , yaitu kelainan kulit karena
progresivitas penyakit menjadi gagal ginjal terminal, kelainan kulit karena uremia, dan
kelainan kulit karena transplantasi ginjal. Alopesia banyak didapatkan pada pasien dengan
gagal ginjal terminal. Kemungkinan besar penyebab alopesia pada gagal ginjal terminal
adalah systemic lupus erythematosus 10 atau chronic telogen effluvium. Chronic telogen
effluvium mungkin berhubungan dengan banyak faktor dan keparahan penyakit pasien atau
dapat berhubungan dengan pemakaian obat seperti heparin, obat antihipertensi atau obat
untuk menurunkan kolesterol. 11
Hemodialisis adalah metode artificial renal support paling efisien yang mampu melakukan
transfer molekul lebih cepat dibandingkan dengan dialisis peritoneal ataupun continuous
renal replacement therapies lainnya. Metode ini sangat efektif untuk keadaan akut terjadinya
kelebihan cairan dan beberapa indikasi lain, dan salah satu metode dialisis kronik. Sejarah
dialisis bermula pada tahun 1943 dengan dikenalkannya ginjal buatan oleh Kolff. Terapi awal
tersebut dapat membuang toksin uremik, tetapi tidak dapat dipertahankan lama karena
sukarnya akses vaskular permanen. Scribner dan Quanton memperkenalkan pintas
arteriovena pada tahun 1960, sehingga pasien gagal ginjal kronik (GGK) dapat melakukan
hemodialisis berkesinambungan. Perkembangan teknik pembedahan vaskular juga terus
berkembang hingga saat ini. Kompleksitas hemodialisis menjadikannya sukar untuk
digunakan oleh pasien anak. Kemajuan teknologi membuat hemodialisis kini dapat
digunakan pada anak. Kateter vaskular dual-lumen, ditemukan oleh Hickman, memudahkan
akses vaskular pada anak. Mesin hemodialisis dengan kendali ultrafiltasi juga memudahkan
pengaturan volume intravaskular pada pasien anak.
6
DASAR FISIOLOGI DIALISIS
Prinsip transpor zat terlarut (solut) menjadi dasar semua modalitas terapi pengganti ginjal (renal
replacement therapy), termasuk hemodialisis.
1. Difusi adalah pergerakan zat-zat terlarut dari larutan berkonsentrasi tinggi ke larutan
berkonsentrasi rendah melalui membran semipermeabel. Mekanisme difusi dipengaruhi
oleh perbedaan konsentrasi dalam kedua larutan tersebut, berat molekul zat terlarut dan
resistensi membran semipermeabel.
2. Ultrafiltrasi adalah proses perpindahan air dan zat-zat terlarut yang permeabel melalui
membran semipermeabel, karena adanya perbedaan antara tekanan hidrostatik dan
tekanan osmotik.
Ultrafiltrasi hidrostatik. Pergerakan air terjadi dari kompartemen bertekanan
hidrostatik tinggi ke kompartemen yang bertekanan hidrosatik rendah. Ultrafiltrasi
hidrostatik tergantung pada tekanan transmembran (transmembrane pressure/TMP)
dan koefisien ultrafiltrasi (KUF).
Ultrafiltasi osmotik. Perpindahan air terjadi dari kompartemen yang bertekanan
osmotik rendah ke kompartemen yag bertekanan osmotik tinggi, sampai tercapai
keadaan tekanan osmotik di dalam kedua kompartemen tersebut seimbang.
7
3. Konveksi adalah gerakan molekul-molekul lainnya akibat perbedaan tekanan hidrostatik,
yang terlarut dalam air, melalui membran semipermeabel. Akibat adanya tekanan
hidrostatik, molekul-molekul kecil dan besar cenderung berpindah hingga tercapai keadaan
keseimbangan, sesuai dengan ukuran yang dapat dilalui oleh membran semipermeabel.
Molekul besar tidak dapat berpindah.
Hemodialisis menggabungkan ketiga prinsip transpor solut dan air di atas. Darah pasien melalui
dialiser yang bertindak selaku membran semipermeabel. Aliran dialisat melalui dialiser di bagian luar
membran semipermeabel, dan bertindak sebagai media tempat molekl dari darah dapat berdifusi.
Adanya tekanan hidrostatik yang melalui membran dialiser menimbulkan ultrafiltrasi air dari darah,
8
seiring pemindahan molekul secara konveksi, sampai dengan batas ukuran pori-pori membran
dialisis.
INDIKASI DIALISIS
Dialisis dilakukan secara elektif bila klirens kreatinin menurun sampai 0,1-0,15
ml/menit/kgBB atau 5-10 ml/menit/1,73 m2.
Dialisis akut dilakukan pada gagal ginjal akut dengan keadaan:
1. Hiperkalemia berat.
2. Asidosis metabolik yang sulit diatasi (biasanya pada keadaan overload cairan yang
mempersulit pemberian natrium bikarbonat).
3. Overload cairan dengan atau tanpa hipertensi berat atau gagal jantung kongestif
4. Gejala uremia, pada anak biasanya berupa depresi susunan saraf pusat.
5. Gangguan elektrolit yang persisten (hipo atau hipernatremia, hipokalsemia,
hiperfosfatemia).
6. Sindrom lisis tumor.
7. Pembuangan obat atau toksin lain yang dapat dibersihkan dengan dialisis.
Indikasi absolut dialisis kronik pada anak dengan gagal ginjal:
1. Hipertensi tidak terkendali.
2. Gagal jantung kongestif.
3. Perikarditis.
4. Neuropati perifer.
5. Osteodistrofi ginjal.
6. Depresi sumsum tulang.
7. Trombositopenia.
PRINSIP DASAR HEMODIALISIS
Sistem hemodialisis terdiri atas 3 elemen dasar, yaitu sistem sirkulasi darah di luar tubuh
(ekstrakorporeal), dialiser (ginjal buatan), dan sistem sirkulasi dialisat.
1. Sistem sirkulasi darah ekstrakorporeal
Sistem ini dimulai dari pembuluh darah yang akan mengalirkan darah kepada sistem sirkulasi
darah. Pembuluh yang langsung dapat dipakai tanpa persiapan lebih dulu adalah vena di paha
dan di dekat leher. Pembuluh darah yang disiapkan sebagai sarana untuk hubungan sirkulasi
yaitu pembuatan fistula arteriovenosa atau fistula arteri-vena di lengan yang berfungsi
9
menghubungkan arteri dan vena sehingga aliran darah di vena tinggi (arteriovenous
fistula/Cimino fistula). AV Shunt yaitu pemasangan kanula di pembuluh darah lengan atau
kaki (Scribner Shunt). Pilihan lain adalah dengan pemasangan graft khusus.
2. Dialiser
Dialiser adalah suatu alat berupa tabung atau lempeng, terdiri dari kompartemen darah dan
kompartemen dialisat yang dibatasi oleh membran semipermeabel. Darah dialirkan pada satu
sisi, dan dialisat pada sisi yang bersebelahan. Tekanan transmembran dapat disesuaikan
dengan mengatur kecepatan aliran darah dan dialisat. Di dalam dialiser terjadi proses
”pencucian” darah melalui proses difusi dan ultrafiltrasi, sehingga dihasilkan darah yang
sudah ”bersih” dari zat-zat yang tidak dikehendaki.
3. Sistem sirkulasi dialisat
Dialisat terbentuk dari 2 bahan yaitu cairan dialisat pekat dan air. Dialisat dapat dicampur
terlebih dahulu (batch system) atau dicampur secara otomatis sambil hemodialisis berjalan
(on line proportioning system). Dialisat terdiri atas natrium, kalium, kalsium, magnesium,
asetat/bikarbonat, klorida, dekstrosa, dan air. Dialisat dipompa dan dialirkan dalam sirkulasi
dialisat dengan kecepatan 500 ml/menit menuju ke dialiser, kemudian keluar menuju drain.
10
Berikut adalah pedoman hemodialysis pada anak yang dikeluarkan oleh The European Pediatric
Dialysis Working Group.12
Pedoman 1: Unit Dialisis
-Hemodialisa harus dilakukan di pusat dialisis ‘pediatri’ dengan tim dari multidisiplin ilmu yang
menunjang terapi berdasarkan tiap individu dan terpadu.
- Kepentingan utama adalah nutrisi, pertumbuhan dan edukasi.
Karena ada kebutuhan khusus pada anak, maka hemodialisis harus diberikan dengan baik, dan
mungkin hanya, dilakukan pada unit dialisis pediatri saja.Terapi ini termasuk untuk terapi remaja
hingga berumur 18 tahun dan tergantung dari pertumbuhan fisik dan psikologis anak dan
tergantung penyesuaian dengan alat untuk orang dewasa. Perawatan pasien anak dengan ESRF
memerlukan koordinasi tim yang terdiri dari dokter, perawat, ahli gizi, psikolog, guru sekolah,
ahli terapi bermain, dan pekerja sosial. ‘keluarga sekunder atau tim pendukung’ ini harus terdiri
dari multidisiplin ilmu dan harus siap sedia dengan cepat untuk anak dengan penyakit kronis,
baik berjarak jauh maupun dekat untuk menstimulasi kehidupan keluarga yang normal,
menunjang pendidikan sesuai usia, yang berguna untuk menunjang kehidupan sosial di masa
depan. Hemodialisis, kontras dengan dialisis peritoneal, biasanya dilakukan di rumah sakit, di
mana pada kebanyakan pasien dilakukan tiga kali seminggu. Frekuensi ini mungkin dapat
meningkat untuk memenuhi kebutuhan pada bayi dan remaja yang membutuhkan ‘dialisis yang
lebih banyak.
Pedoman 2: kualitas air
- Komposisi cairan biokimia yang adekuat
11
- Bebas dari kontaminasi bakteri
Mesin dialisis memerlukan air untuk memproduksi dialisat dengan komposisi biokimia yang
adekuat dan bebas dari kontaminasi bakteri, seperti bakteri dan endotoksin (Tabel 1). Sterilisasi
air tergantung dari kualitas sumber air. Biasanya dilakukan filtrasi dengan menggunakan arang
dan penyaring kecil dengan system osmosis terbalik untuk memproduksi air yang digunakan
pada dialisis yang sesuai dengan yang direkomendasikan. Saat ini, semua mesin dialisis yang
baru memiliki kemampuan untuk menyaring dialisat melalui membran beraliran tinggi, yang
meningkatkan kemurnian mikrobiologi. Pada hemodiafiltrasi yang menggunakan teknik on-line
dengan hasil produksilangsung dari dialisat yang merupakan hasil hemofiltrasi dari cairan
pengganti,dialisat merupakan hasil dari ultrafiltrasi ganda, menghasilkan dialisat ultra murni
yang steril dan bebas endotoksin, setidaknya dalam level yang seharusnya terdeteksi. Dialisat
ultra murni ini seharususnya membatasi risiko yang berhubungan dengan kontaminasi
mikrobiologi, yaitu menginduksi proses inflamasi dan konsekuensinya baik akut dan kronis.
Dialisat ultra murni memerlukan penggunaan membran sintetik beraliran tinggi ketika atau
terutama menggunakan hemodialisis konvensional dengan cara konvensional. Dekontaminasi
atau sterilisasi oleh agen kimia atau oleh pemanasan harus dilakukan dalam air, sebelum dialisat
akhir diproduksi oleh mesin dialisis, dengan proses filtrasi dan instalasi osmosis dan distribusi
air, tanpa ada jeda antara sterilisasi dan produksi dialisat akhir. Pengendalian mutu air untuk
dialisat harus dilakukan secara teratur berkaitan dengan komposisi kimia (minimal sekali
pertahun), dan kemurnian dialisat akhir harus dinilai yang berhubungan dengan bakteri dan
endotoksin (lebih sering, tergantung pada cara dialisis, dan bisa mingguan jika menggunakan
membran beraliran tinggi) (Tabel 2).
Pedoman 3: Mesin Dialisis
- Pengontrolan ultrafiltrasi volumetrik
- Pilihan dialisis baik dengan jarum tunggal atau ganda
Dalam dekade terakhir banyak inovasi telah dikembangkan dalam segi peralatan oleh produsen
yang berbeda. Tapi relevansinya dengan hasil akhir pada anak tetap tidak diketahui, karena dari
tidak adanya hasil studi terkontrol yang cukup. Namun demikian inovasi berikut tampak penting:
produksi dialisat dengan pompa pengenceran ganda menggunakan kontrol ultrafiltrasi
volumetrik dan pompa darah dengan jarum ganda dapat digunakan untuk dialisis tunggal pompa.
Inovasi "teknologi tinggi" lainnya disebutkan karena penggunaan yang terbatas pada pusat-pusat
12
"ahli " tertentu saja: dialisis berdasarkan individu dengan pemantauan ultrafiltrasi dan
konsentrasi larutan dialisat (sodium, bikarbonat); mesin polyvalensi yang memungkinkan tidak
hanya dilakukan dialisis konvensional tetapi juga hemofiltration dan hemodiafiltration yang
memberikan standar tertinggi dalam hal toleransi dan efisiensi. Mesin dialisis baru menyediakan
pemantauan variasi hematokrit sebagai inovasi utama yang menjanjikan dan pemantauan
langsung kinetik urea . Ada tawaran yang terbatas untuk pemantauan suhu darah untuk
menghindari hilangnya kalori pada dialisat atau jika memberikan dialisat yang
didinginkan.Semua inovasi ini memungkinkan hemodialisis berdasarkan individu bagi anak-
anak, tetapi cara konvensional harus dipertimbangkan keseimbangannya antara manfaat dan
biaya yang diharapkan.
Pedoman 4: Jalur darah
- Tersedia dalam ukuran bayi/infant
- Bahan yang biokompatibel
Tersedia berbagai jalur untuk dialisis bayi sampai yang terbesar untuk dialisis remaja. Harus
dipertimbangkan tentang biokompatibilitas mereka, jenis sterilisasi (bebas etilena oksida), dan
volume darah yang diperlukan.
Pedoman 5: Prinsip Pemurnian Darah
- Kliren zat terlarut kecil dan lebih, dari proses difusi (urea) hingga konveksi (racun uremik lain "
molekul sedang") transportasi missal
- hemodiafiltration adalah pilihan yang dipertimbangkan untuk memperoleh efisiensi dialisis
yang "maksimum".Ekstraksi toksin uremic dalam dialisis terkait dengan kombinasi proses difusi
dan transportasi massa konveksi (Tabel 3). Dalam hemodialisis (HD), pemurnian darah sangat
tergantung pada proses difusi akibat adanya konsentrasi gradien, yang menjamin proses eliminasi
molekul kecil (urea) yang terbaik. Klirens HD (KHD) berkorelasi langsung dengan laju aliran
darah. Dalam hemofiltration (HF), ekstraksito ksin uremik sebagian besar tergantung pada
transportasi massa konveksi akibat gradien tekanan, yang mengoptimalkan eliminasi senyawa
dengan berat molekul molekul rendah maupun menengah-berat. Klirens HF (KHF) berkorelasi
secara langsung dengan tingkat ultrafiltrasi aliran yang dibatasi oleh aliran darah. Pada mode
post dilution, yakni pengganti cairan pada ruang jalur vena yang terletak setelah membran
dializer, laju maksimum dari filtrasi kurang dari separuh laju aliran darah; biasanya sepertiganya,
13
untuk membatasi risiko hemokonsentrasi yang berlebihan. Dalam mode predilution, yaitu
penggantian cairan perfusi di ruang jalur arteri, yang terletak sebelum membran dializer, laju
maksimum filtrasi aliran harus dua pertiga dari atau sama dengan darah laju aliran.
Hemodiafiltrasi (HDF) menggabungkan HD dan HF secara bersamaan, yang memungkinkan
pemurnian darah oleh kedua proses difusi dan transportasi massal konvektif. Klirens HDF
(KHDF) dalam mode postdilution diukur dengan penggunaan rumus Granger:
KHDF = KHD (1 – QUF x S/Qb) + KHF
Dengan penggantian QUF x S dengan KHF dan Qb dengan Kmax (klirens maksimum yang
dicapai) maka rumus KHDF menjadi:
KHDF = KHD + KHF –
Dengan demikian jelaslah bahwa dalam hal pemurnian darah KHDF meningkatkan pembersihan
toksin uremik jika klirens HF atau HD lebih rendah dibandingkan Kmax (sama dengan laju
aliran darah). HDF dengan membran yang sangat permeable merupakan HD efisien untuk
senyawa dengan dengan berat molekul rendah, tapi lebih efisien daripada HF untuk senyawa
berat molekul berat. Selain efisiensinya dalam pemurnian darah, HDF juga terkait dengan angka
morbiditas yang lebih rendah saat dilakukan dialisis, seperti HF. HDF On-line, dimana dialisat
yang telah disaring bebas dari racun dan pirogen digunakan sebagai cairan, yang
memungkinkan peningkatan kecepatan konveksi cairan, terutama pada modepredilution, dan
menjadikan peningkatan dosis dialisis tanpa peningkatan biaya. Penggunaan dialisat ultra murni,
yaitu steril dan bebas pirogen, seperti yang digunakan pada dialisat HDF on-line, menurunkan
angka penyakit yang terkait dengan peradangan kronis yang berhubungan dengan dialisat yang
terkontaminasi, misalnya amyloidosis mikroglobulin β2, hiperkatabolisme dengan hilangnya
massa tubuh, penurunan kecepatan pertumbuhan, fibrosis dan penyakit kardiovaskuler. Sebuah
membran aliran tinggi, dengan peningkatan koefisien ultrafiltrasi permeabilitas memungkinkan
filtrasi kembali dari dialisat ke kompartemen darah, yang disebut retrofiltration, meningkatkan
risiko di atas, terutama dengan dialisat yang terkontaminasi.
Pedoman 6: Akses pembuluh darah dan sirkulasi ekstrakorporeal
- Akses vaskuler fistula lebih dipilih pada dialisis kronik jangka panjang
- Pada anak kecil, dengan berat kurang dari 15 kg, waktu yang dibutuhkan untuk membuat fistula
sebelum dapat digunakan mungkin dapat berbulan –bulan.
14
- Teknik jarum ganda adalah standarnya, namun teknik jarum tunggal dengan pompa ganda
merupakan alternative.
- Kateter lumen tunggal dengan klem dapat digunakan pada anak kecil dengan pertimbangan
baik volume darah di luar tubuh yang minimal maupun efikasi dialitik yang baik.
- Total volume darah ekstrakorporeal (jarum, tabung dan dializer) harus, kira kira, kurang dari
10% dari volume darah total pasien.
- Antikoagulasi pada sirkuit ekstrakorporeal didapat baik dengan menggunakan heparin
konvensional atau dengan heparin berat molekul rendah.
- Kecepatan rata – rata aliran darah ekstrakorporeal (QB) 150 – 200 mL/menit/m atau 5 – 7
mL/menit/KgBB sudah cukup.
Keberhasilan hemodialisis kronis tergantung pada vaskular akses yang baik: fistula arteriovenosa
internal (AVF), shunt (AVS), graft (AVG) atau kateter vena sentral.Jenis akses yang digunakan
bervariasi tergantung pada faktor-faktor pada unit dan negara masing - masing, misalnya
pengalaman bedah, umur dan ukuran pasien, waktu yang tersedia sebelum dialisis harus dimulai,
dan dianggap sebagai waktu tunggu sebelum transplantasi. Pilihan pasien sendiri memainkan
peran yang besar, terutama dengan remaja. Kateter lebih umum digunakan di Amerika Serikat
daripada di Eropa. Kateter dapat menjadi akses utama khususnya pada gagal ginjal akut atau
gagal ginjal kronis dengan gambaran akut, pada anak-anak kecil dan dalam kasus dianggap
periode singkat pada hemodialisis kronis. Akses kateter internal vena jugular di superior dari
vena subclavian; dimana telah diakui ke depannya dapat melindungi fistula arteriovenosa yang
diimplantasi di lengan. Akses kateter harus femoral hanya digunakan untuk akses "penyelamatan
dan bersifat sementara" jika perawatan intensif dibutuhkan: metode ini mudah untuk dilakukan
tetapi dengan risiko infeksi dan trombosis yang lebih tinggi. Sebuah kateter double lumen,
setidaknya 8 French, lebih banyak digunakan untuk anak-anak dan telah dilaporkan memiliki
tingkat kelangsungan hidup setinggi 60 sampai 85% dalam satu tahun pertama , atau hanya
serendah 30%. Namun pada bayi kecil kateter lumen tunggal yang digunakan dengan teknik
klem alternatif dapat mengkompensasi resirkulasi dan jumlah volume kedua darah
ekstrakorporeal dan aliran darah yang telah dicapai . Trombosis, merupakan penyebab utama
kegagalan fungsi kateter, dilaporkan antara 9 dan 46% . Trombosis yang menyebabkan aliran
yang jelek dapat diperbaiki dengan metode yang berbeda untuk menyelamatkan fungsi kateter:
penggantian kateter dengan kawat pemandu, antikoagulan oral sistemik dan urokinase lokal atau
15
pemberian aktivator plasminogen jaringan. Kejadian hilangnya akses kateter terkait dengan
infeksi telah menurun selama dekade terakhir, penggunaan antibiotik yang agresif dan beberapa
terapi antibiotik, meskipun tidak diterima secara universal menyebabkan infeksi yang terkait
kateter menjadi lebih rendah. Bedah mikro memungkinkan penggunaan aVF fungsional di
pergelangan tangan pada kebanyakan anak, bahkan anak kecil tetapi hanya dilakukan beberapa
ahli bedah yang dilatih untuk bedah mikro vaskular, yang oleh karena itu jarang
digunakan.Membuat fistula di siku adalah akses vaskuler pilihan kedua. Dengan vena cephalic
yang sudah tidak fungsional, dapat dilakukan transposisi vena basilika, yaitu dibuat lebih
superfisial. Cangkok sintetis seharusnya disediakan untuk anak-anak yang telah kehabisan
pembuluh darah vena autologous dan seharusnya digunakan pada anak-anak walaupun sangat
jarang. Untuk semua alasan di atas maka evaluasi preoperatif terhadap pembuluh darah untuk
menentukan pilihan pembuluh darah yang tepat sebelum operasi adalah wajib. Lengan yang non-
dominan harus dipilih sebagai pilihan utama implantasi fistula. Tingkat kelangsungan hidup aVF
lebih tinggi dari angka kelangsungan hidup kateter, dengan lebih dari dua pertiga dari anak-anak
dengan AVF dapat mempertahankan fungsunya selama empat tahun. Menggunakan fistula vena
basilika yang dibuat superfisial tidak boleh digunakan sebelum terjadi penyembuhan penuh (2
untuk 6 minggu) untuk menghindari hematoma saat pembedahan. Waktu yang diperlukan untuk
kematangan vena sebelum digunakan tergantung pada umur pasien dan lokasi AVF (distal atau
proksimal). Pada anak-anak kecil ini jangka waktu ini sering terlambat beberapa bulan. Sebelum
operasi sangat penting untuk menghindari tusukan pada vena di lengan yang dipilih dalam
beberapa minggu sebelum dibuat AVF. Ini sangat penting untuk melindungi lengan dominan
sejak awal perawatan anak dengan "risiko dialisis kronis" untuk mengaktifkanimplantasi dari
fistula jika perlu. Perlindungan terhadap vena tidak boleh dilupakan untuk anak-anak saat dialisis
peritoneal, bahkan pada bayi/infant. Untuk jangka waktu tertentu sebelum operasi, terutama
untuk anak-anak kecil, dilatasi pembuluh darah dengan cara mencelupkan lengan bawah dalam
air panas sangat menguntungkan, manuver ini ditingkatkan dengan pemasangan tourniquet.
Sebuah AVF proksimal dengan aliran darah tinggi, biasanya sekitar 1000 mL/min/m2,
merupakan faktor risiko untuk terjadi gagal jantung. Namun demikian, komplikasi utamanya
adalah trombosis, sebuah konsekuen untuk stenosis lokal. Oleh karena itu, tindak lanjut dari
aliran akses sangat penting, di satu sisi klinis: auskultasi (suara AVF maksimum di lokasi
pembedahan dan menurun menjauh dari fistula tersebut), pengamatan (Elevasi lengan bawah
16
akan mendorong pengosongan pembuluh darah yang melebar sebelumnya, atau dengan Doppler
USG atau pemantauan akses aliran pembuluh darah). Pemantauan aliran akses yang teratur dapat
digunakan untuk mendeteksi stenosis pembuluh darah sebelum trombosis AVF total. Tetapi
harus diingat bahwa pemantauan aliran akses "Transonik" hanya dapat dilakukan dengan dialisis
yang menggunakan pompa ganda yang tidak tersedia untuk ukuran pembuluh darah anak.
Tingkat aliran darah ekstrakorporeal dicapai melalui tusukan vena, paling sering melalui dua
jarum, satu untuk aspirasi darah yang disebut jarum arteri, satu untuk reinjeksi vena yang disebut
jarum vena. Jarak antara jarum harus cukup untuk membatasi resirkulasi, dimana cara yang
terbaik dicegah dengan arah jarum yang berlawanan: satu arteri menuju fistula tersebut, vena
satu pada arah yang berlawanan. Biasanya ukuran jarum adalah 17-gauge pada awal dialisis;
setelah mempertimbangkan kebutuhan pasien dan perkembangan fistula jarum 16 atau 14-gauge,
terutama pada remaja, dapat digunakan untuk mencapai tingkat aliran darah yang cukup tinggi.
Nyeri berhubungan dengan tusukan harus dicegah dengan krim anestesi (EMLA atau Amelop);
hal ini penting untuk kedua anak-anak dan perawat. Kecepatan aliran darah ektrakorporeal (QB)
antara 150 - 200 mL/menit/m2, 5 – 7 mL/menit/kgBB, seringkali cukup untuk mencapai target
dengan dialisis menggunakan jarum ganda; pada anak kecil QB ditentukan menggunakan berat
tubuh (BB, kg): (BB+10) x 2,5 = QB (mL/menit). Tekanan darah arteri saat aspirasi harus
dipantau jika memungkinkan dan dipertahankan antara 150 – 200 mmHg untuk mencegah
trauma endotel. Untuk dialisis jarum tunggal pada anak-anak maka laju aliran darah tertinggi
diperoleh dengan sistem pompa ganda (aliran vena lebih tinggi dibanding aliran arteri) yang
dipantau dengan tekanan, disebut sistem pengaturan waktu tekanan. Risiko resirkulasi penting
pada jangka panjang; beberapa mesin membatasi risiko ini lebih baik dari yang lain, terutama
dengan penambahan klem. Sebaliknya pada bayi kecil penggunaan kateter satu lumen dapat
digunakan dengan teknik klem alternatif yaitu gabungan antara resirkulasi dengan baik volume
darah ekstrakorporeal maupun aliran darah yang sudah didapat.Volume darah ekstrakorporeal
total (jarum, tabung, dan dializer) sebaiknya kurangdari 10% dari total volume darah pasien. Hal
ini penting untuk kecil anak-anak, namun kadar hemoglobin relatif normal diperoleh dengan
terapi eritropoetin yang memungkinkan volume ini dilampaui sedikit tanpa resiko hipotensi yang
signifikan pada akhir sesi dialisis ketika pasien mencapai berat badan kering. Namun
demikian,harus diingat bahwa semakin tinggi volume ekstrakorporeal darah, semakin tinggi
volume cairan kembali, yang akan membuat pasien kelebihan cairan pada akhir sesi dialisis.
17
(Pada anak-anak sangat kecil penggantian dengan udara di satu sisi mungkin diperlukan untuk
membatasi kehilangan darah dan pada sisi lain membatasi penggantian volume yang berlebih,
tapi sangat berbahaya dan harus benar-benar dipantau) Sistem priming dengan garam, albumin,
dan kadang-kadang darah harus diterapkan dalam dialisis sesi pertama pada bayi atau infant.
Antikoagulasi dari volume darah ekstrakorporeal dapat dilakukan dengan cara konvensional,
yaitu pemberian infus heparin kontinu 20 sampai 30 IU/kgBB/jam, atau dengan heparin berat
molekul ringan sebanyak 1 mg/kgBB sebagai bolus diawal sesi dialisis. Jika hematokrit di atas
35%, risiko pembekuan meningkat. Pemberian antikoagulan sitrat regional kadang-kadang
digunakan terutama ketika diperlukan dialisis mendadak. Pengobatan predelusi, dapat dilakukan
baik pada hemofiltrasi atau hemodiafiltrasi, mengurangi risiko dari pembekuan dan bahkan
dalam beberapa keadaan memungkinkan dialisis tanpa antikoagulasi. Dalam keadaan
thrombopenia harus dicurigai terjadi toksisitas heparin. Jalur vena memiliki ukuran anak dengan
ruang hampa udara untuk membatasi volume darah ekstrakorporeal. Membran dialisis ini
dilindungi oleh ekspansi ruang arteri yang pada anak kecil sering dimasukkan dengan tidak
sejalan untuk mengurangi volume darah ekstrakorporeal. Pencegahan atau pengobatan alergi
etilen oksida mungkin dengan menggunakan sterilisasi jarum, selang, dan membran dengan uap
dimana menjadi pilihan yang lebih disukai seluruh Eropa.
Pedoman 7: membran dialisis mana yang akan dipilih
- Membran sintetis, beraliran rendah, konfigurasi kapiler
- Penggunaan membran beraliran tingi membutuhkan penggunaan dialisat ultra murni
- Harus dipertimbangkan pembuangan urea dan racun uremik lainnya
pada dialisis, terutama dalam kondisi kronis, dan dialisis jangka panjang
Saat ini terdapat tiga jenis membran yang umum: selulosa yang tidak
dimodifikasi (fluks rendah dan apa yang disebut membran bioinkompatibel), dimodifikasi /
selulosa yang diregenerasi (fluks rendah atau fluksi tinggi; disebut relatif biokompatibel), sintetis
(flux rendah atau fluks tinggi; yang disebut relatif biokompatibel). Pilihan membran dializer
harus memperhatikan pertimbangan berikut (Tabel 4):
- biokompatibilitas material terhadap leukosit dan aktivasi komplemen
- kebutuhan volume darah saat priming, yang berhubungan dengan area membran
-Permeabilitas, ditentukan dengan cara yang paling sederhana oleh dua karakteristik:
18
- Permeabilitas hidrolik (CUF) diukur dalam tekanan mL per mmHg dari dicapai per jam, yakni
baik permeabilitas rendah, CUF bawah 5 mL/mmHg/jam (membran fluks rendah), maupun
permeabilitas tinggi, CUF lebih dari 15 sampai 20 mmHg/mL/jam (membran fluks tinggi)
- Permeabilitas molekul ditentukan setidaknya oleh berat molekul yang dipertimbangkan,
biasanya 0,8 hingga 0,9 untuk urea dan lebih rendah untuk racun uremik yang lainnya dengan cut
off nol untuk albumin. Dalam praktek cut off ini sering berada di bawah berat molekul dari
20.000 Dalton. Profil permeabilitas molekul ini merupakan karakteristik khusus masing-masing
membran dialisis yang diproduksi. Secara teoritis membran yang sangat permeabel memberikan
potensi mengeluarkan racun uremik dengan berat molekul sedang (teori Babb; 500 sampai 2.000
Dalton) selama dialisis. Pada dialisis pasien dewasa manfaat klinis dari eliminasi senyawa berat
molekul sedang oleh fluks tinggi, pori – pori yang besar, membran biokompatibel, kurang atau
lebih stabil, adalah: pengurangan uremia terkait amyloidosis, pemeliharaan atau fungsi residual
ginjal, dan pengurangan peradangan, kekurangan gizi, anemia, dislipidemia, dan mortalitas.
- Kapasitas penyerapan terhadap membran (IL1, TNF, IL6, b2 mikroglobulin): karakteristik
membran sintetik.
Membran flux rendah cocok untuk dialisis konvensional, tetapi untuk mencapai hemofiltrasi atau
hemodiafiltrasi diperlukan membran flux tinggi. Semakin tinggi permeabilitas hidroliknya,
semakin tinggi pula risiko backfiltration-nya; proses ini dapat dibatasi baik dengan aliran
konvektif permanen yang mengalir dari kompartemen darah ke kompartemen dialisat, sebagai
ultrafiltrasi (HF, HDF, atau setidaknya berkurangnya berat badan) maupun dengan penggunaan
dialisat ultra murni. Membran sintetis tampaknya merupakan pilihan terbaik secara teoritis tetapi
dari pengalaman klinis biayanya relatif lebih tinggi. Pembenaran untuk menggunakan membran
sintetik fluks tinggi, seperti yang digunakan pada HDF online,untuk anak-anak dengan dialisis
dalam jangka waktu yang singkat sambil menunggu untuk transplantasi ginjal, tetap menjadi
perdebatan.
- Penggunaan membran kembali tidak diterapkan dalam praktek untuk anak-anak.
Pedoman 8: dialisat
- buffer bikarbonat,
- kalsium kadar rendah (1,25 mmol/L) merupakan standar,
- konsentrasi glukosa pada tingkat fisiologis,
- diperlukan kontrol kualitas dialisat (kuman dan endotoksin)
19
Dialisat disiapkan dengan konsentrat dialisat yang diencerkan dengan air, idealnya dengan air
ultra murni. Komposisi dialisat telah berubah selama dua dekade terakhir . Asetat sebagai buffer
telah diganti dengan bikarbonat, dengan pengembangan mesin dengan dua pompa cairan yang
terpisah, satu untuk konsentrat bikarbonat yang bebas dari kalsium, yang sering berbentuk
bubuk, dan satu untuk konsentrat asam yang mengandung sisa asetat dan elektrolit (Na, K, Cl,
Ca). Penggunaan kalsium oral karbonat saat ini sebagai bahan pengikat fosfat telah menurunkan
kebutuhan konsentrasi kalsium dari dialisat, biasanya pada kadar rendah, 1,25 mmol/L
Ca2+,jarang pada kadar normal, 1,5 mmol/L, menghindari riwayat kadar yang tinggi yaitu1,75
mmol/L Ca2+. Bahkan, penggunaan kalsium karbonat yang dikombinasikan dengan kalsium
konsentrasi tinggi dalam dialisat, sering menyebabkan peningkatan produk serum Ca X P,
dibandingkan dengan rekomendasi saat ini dari suatu produk yaitu kurang dari 5 mmol2m2
(60mg2dL2). Produk serum CaxP ini tampaknya menjadi faktor penting yang terlibat dalam
kalsifikasi vaskuler yang terlihat pada pasien yang dilakukan dialisis, bahkan mempengaruhi
anak-anak yang didialisis. Kebutuhan glukosa dalam dialisat sangatlah penting dan harus dekat
dengan konsentrasi fisiologis. Konsentrasi glukosa yang lebih tinggi atau pemberian nutrisi
parenteral selama dialisis akan mendorong kalium ke dalam sel, yang menyebabkan ekstraksi
kalium yang tidak efektif. Dialisat bebas kalium jarang digunakan karena secara teori berisiko
terjadi hipokalemia. Oleh karena itu dialisat kalium " rendah" (1 - 1,5 mmol/L), "Normal" (2-2.5
mmol/L), dan "tinggi" (3 - 3,5 L/mmol) memungkinkan individu beradaptasi dan mencegah
arithmogenik potensial akibat dialisis. Namun demikian perhatian khusus harus dicurahkan
untuk menghindari kerancuan yang disebabkan dialisat dengan "beban kalium". Konsentrasi
natrium telah meningkat dari sebelumnya level 132 mmol/L ke level yang lebih fisiologis yaitu
138 – 144 mmol/L. Kemampuan mesin yang lebih baru memungkinkan profil dialisat diubah
profil natrium dan ultrafiltratnya selama dialisis berlangsung untuk meningkatkan toleransi berat
badan yang berkurang, dan profil bikarbonat, untuk meningkatkan eliminasi fosfat. Laju
ultrafiltrasi yang intermiten, yang memungkinkan pengisian ulang plasma yang lebih baik adalah
profil yang paling sering digunakan. Demikian pula, laju aliran dialisat dapat disesuaikan dengan
kebutuhan, biasanya berkisar antara 300 sampai 800 mL/min. Dalam praktek secara umum,
digunakan kecepatan 500 menit/mL. Aliran dialisat biasanya berlawanan arah dari aliran darah,
yang dipisahkan oleh membran dializer tersebut. Penggantian suhu dialitik tampaknya penting
terutama untuk bayi dan atau pada penggunaan dialisat aliran tinggi, dimana pasien berisiko
20
untuk menjadi hipotermia. Oleh karena itu, pengendalian pertukaran panas selama sesi dialisis
tersedia pada mesin baru.
Pedoman 9: Penilaian dan penyesuaian berat badan kering pasca dialisis
- sangat sulit untuk menentukannya pada anak-anak yang masih berkembang
- tidak ada metode "unik" yang optimal, tergantung pengalaman klinis pada "pediatri"
- diperlukan untuk penilaian rutin pada anak yang sedang tumbuh
- berhubungan erat dengan dengan ahli gizi pediatrik yang terkait ginjal
Berat kering pasien didefinisikan sebagai berat pasien pada akhir dari sesi dialisis reguler, di
mana pasien tidak ada gejala hipotensi. Salah perkiraan berat kering akan menyebabkan baik
jumlah cairan berlebih yang kronis mapun dehidrasi kronis. Estimasi berat kering sulit dilakukan
terutama pada anak-anak karena berbagai alasan. Pertama, kecenderungan hipotensi selama sesi
dialysis multifaktorial dan tidak hanya terkait dengan laju ultrafiltrasi tetapi juga terkait dengan
kapasitas laju pengisian ulang plasma. Kedua, komposisi tubuh, yaitu rasio berat air dalam badan
total dengan massa tubuh, bervariasi tergantung usia, khususnya pada bayi dan anak masa
pubertas. Pada bayi dan remaja berat kering harus dinilai hampir setiap bulan untuk mengikuti
perubahan komposisi tubuh yang cepat selama masa pertumbuhan yang juga cepat. Hal ini juga
penting pada kondisi anabolik seperti pada terapi hormon pertumbuhan, dan sebaliknya pada
keadaan katabolik seperti anak yang sakit dengan infeksi berulang atau asupan makanan yang
kurang. Kriteria klinis yang digunakan untuk menilai status hidrasi penting namun tidak selalu
dapat diandalkan. Oleh karena itu, pendekatan yang berbeda telah diusulkan: penilaian total air
dalam tubuh dengan analisis impedansi bioelektrik, pengukuran hematokrit yang terus – menerus
oleh metode non-invasif selama dialisis berlangsung, penentuan plasma peptida natri-uretik atrial
atau guanosin cyclic monophosphate, dan, terakhir, oleh ekokardiografi melalui vena cava
inferior (IVC) . Pengukuran diameter IVC (IVCD) oleh USG, dinyatakan sebagai indeks luas
permukaan tubuh dalam mm/m2, dan pengurangan saat inspirasi dalam, disebut indeks kolaps,
yang diukur dalam persentase (%) tampaknya menjadi metode noninvasif akurat yang mudah
dilakukan secara serial. IVCD antara 8,0 hingga 11,5 mm/m2 dan indeks kolpas antara 40 hingga
75% dianggap sebagai normovolemia. Namun, tidak seperti impedansi tubuh, volume interstisial
dan keseimbangan natrium tidak tercermin pada IVCD. Pada kenyataannya semua pendekatan
ini harus diimbangi dengan penilaian klinis dan pengalaman dan dikombinasikan dengan asupan
gizi. Pencapaian berat kering selama ultrafiltrasi terkait dengan penurunan kadar hematokrit.
21
Ultrafiltrasi dapat ditoleransi dengan baik sampai kadar hematokrit awal turun pada level
tertentu, yang disebut "hematokrit crash" yang tergantung karakteristik masing - masing
individu, biasanya lebih dari 10% volume darah berkurang setelah sesi berlangsung selama 3
jam. Jika kurva hematocrit membentuk garis lurus dari waktu ke waktu selama sesi dialisis, maka
dapat dianggap melebihi kemampuan optimal kering berat pasien. Dalam
prakteknya,pemantauan hematokrit (atau volume darah) dan ultrafiltrasi harus menghindari baik
cairan yang berlebihan maupun hipotensi "hematokrit crash" dan karenanya diperlukan
pendekatan yang lebih tepat tentang berat kering pasien.
Pedoman 10:
Urea model kinetik (UKM) telah diterima secara luas sebagai metode penilaian dosis dialisis
meskipun memiliki keterbatasan sebagai pengukur kecukupanan dialisis. Apakah klirens zat
kecil terlarut benar-benar penting? Pada pasien dewasa, penelitian Hemo menunjukkan bahwa
peningkatan klirens urea di atas target yang berlaku saat ini tidak meningkatkan hasil akhir pada
pasien. Meskipun urea tidak beracun dalam konsentrasi normal pada pasien yang menjalani
dialisis, mungkin senyawa ini berfungsi sebagai penanda terhadap racun uremia, yang disebut
racun uremik dengan “berat molekul sedang”. UKM memfasilitasi identifikasi kecukupan diet
dan pada pasien yang underdialyze. Langkah-langkah paling banyak digunakan untuk mengukur
pengobatan dialyzer adalah Kt/V, yaitu klirens dializer urea 1 dikalikan dengan durasi sesi dialisis 1 dan dibagi dengan distribusi volume urea1, dan kecepatan katabolic protein yang normal
(nPCR). Kecepatan reduksi dialitik urea (URR) ditentukan dari kadar serum urea sebelum dan
sesudah dialisis dan mewakili jumlah urea yang dibuang selama proses dialisis. URR dinyatakan
rasio pasca/pre dialisis setidaknya sama dengan atau lebih rendah dari 0,35 dan ketika dinyatakan
sebagai perbandingan antara kadar urea pre dan pasca, dibagi dengan kadar sebelum dialisis,
setidaknya harus sama atau lebih tinggi dari 0,60. URR sebanding dengan efisiensi dialisis,dan
demikian juga untuk klirens dialitik urea. URR berbanding terbalik dengan kecepatan
kembalinya urea dalam darah dan perpindahan dari ruang intraselular 3 ke ekstraselular ruang13,
yang disebut koefisien perpindahan transelular massa urea (Kie). URR juga berkorelasi dengan
jumlah pemindahan urea dialitik (Kt) dibandingkan dengan jumlah urea tubuh konten 1 dan
dengan demikian juga terhadap Kt/V. Biasanya klirens urea dialitik pada anak lebih rendah
dibandingkan dengan Kie yang tinggi yaitu antara 200 – 1000 menit/mL (6 – 12 mL/min/kgBB).
22
Namun demikian, setelah dialisis konsentrasi urea dalam plasma meningkat ke kadar semula
dengan cepat, biasanya sampai 60 menit setelah dialisis. Peningkatan urea post dialitik (PDUR)
secara cepat ini multifaktorial. Akses vaskuler dan resirkulasi kardiopulmoner terjadi dalam 2 – 3
menit pertama dari penghentian hemodialisis dan terhitung 60 sampai 70% dari total PDUR.
Selanjutnya,terjadi petumbuhan jaringan yang cepat karena ketidakseimbangan urea diantara
kompartmen, yaitu IC versus EC, dan keseimbangan jaringan terjadi satu jam setelah dialisis,
yang sama dengan keseimbangan konsentrasi plasma urea setelah dialisis. Untuk zat yang sangat
mudah terdifusi seperti urea, distribusi dalam total air tubuh (TBW) tampaknya dibatasi oleh
aliran kardiovaskular daripada proses difusi. Model IC-EC dua kutub yang jelas mungkin hasil
dari sistem distribusi aliran darah regional di mana sekitar 80% dari TBW (dan dengan demikian
urea) terletak di otot,tulang, dan kulit, dengan organ-organ menerima hanya 20 sampai 30% dari
cardiac output, pada sistem aliran rendah. Organ yang tersisa mengandung hanya 20% dari TBW
(maka urea) tetapi menerima 70-80% dari cardiac output, pada sistem aliran tinggi. Orang akan
berharap konsentrasi urea di organ-organ ini turun cukup pesat selama dialisis. Sistem aliran
rendah, dan resistensi pembuluh darah bisa menjelaskan variabilitas yang besar dari PDUR
antara pasien dengan model IC-EC dua kutub yang tidak akurat. Apakah beberapa pasien
memiliki dinding sel yang lebih tebal dari yang lain? Sebaliknya kemungkinan penyebab
variabilitas resistensi vaskuler, seperti hipovolemia, hipertensi, gagal jantung, hematokrit,
alkalosis atau asidosis, dialisat suhu rendah, dapat menjelaskan variabilitas PDUR. Variabilitas
URR juga bias dijelaskan dengan resistensi pembuluh darah perubahan selama sesi dialisis,
setidaknya untuk urea. Perhitungan Kt/V berdasarkan model urea kutub tunggal mengabaikan
distribusi urea pada kompartemen dalam tubuh, maka PDUR, akhirnya terjadi estimasi yang
terlalu tinggi dari Kt/V. Oleh karena itu, diterapkan model dua kutub harus, tidak dengan
menggunakan konsentrasi urea plasma pada akhir dialisis, namun dengan ketidakseimbangan
urea, yaitu 60 menit postdialysis. Perkembangan lain dari formula awal diusulkan untuk
memberikan perhitungan Kt/V yang lebih akurat: pengurangan berat badan (UF/BW) dan
kenaikan urea selama sesi dialisis (0.008td), mengarah ke rumus Daugirdas dan Schwartz yang
diusulkan pada tahun 1994: dimana td adalah waktu dialisis (h), Cpre dan Ceq adalah, masing-
masing, konsentrasi urea predialysis dan postdialysis yang diequilibrasi, dan UF/BW adalah rasio
ultrafiltrate dengan berat badan(L/kg).Harus dilakukan pengambilan sampel darah arterial
sebelum dilakukan dialisis, sebelum ada perubahan. Karena dalam prakteknya biasanya kesulitan
23
untuk mendapatkan data kadar urea yang diequilibrasi 60 menit pasca dialisis , cara lain telah
ditemukan untuk mengestimasi Ceq, seperti pengambilan sampel pada menit ke-6 dan menit ke-
15 setelah pengobatan. Hal yang paling penting yang harus diperhatikan dalam pengambilan
sampel urea dan dialisis adalah harus dengan menggunakan ‘metode aliran dialisat yang
berhenti’, pengukuran urea 6 menit setelah akses pembuluh darah dicabut dan telah terjadi
sirkulasi kardiopulmoner yang sempurna. Kesalahan utama lain dalam pengukuran Kt/V adalah
penentuan V. V, sehingga TBW,dapat dihitung dengan rumus (table 5) atau ditentukan dengan
pengukuran bioompedansi.
Pedoman 11: dosis dialisis dan hasil akhir
-hanya diberikan "klirens urea kecil terlarut"?
-kadar urea minimum Kt/V 1,2-1,4 adalah kadar yang diinginkan; tes kecukupan harus dilakukan
tiap bulan
-dialisis dan klirens ginjal terhadap zat kecil sisia terlarut tidak seimbang.
-Pemberian dialisis adekuat untuk menjadi optimal, tidak hanya " dosis dialisis urea"
Meskipun kadar optimum Kt/V yang diperlukan masih dalam perdebatan, sekarang lebih
cenderung kadar minimum Kt/V sebesar 1,2-1,4 . Secara keseluruhan, Kt/V sebagai indeks untuk
menentukan dosis dialisis harus dianalisis yang dibandingkan dengan yang nPCR, begitu juga
diet, protein dan asupan kalori (Gbr. 1). Karena hubungan matematis antara Kt / V dan nPCR ,
dampak nyata dari variabel ini bagi pasien akan menentukan " dosis urea dialisis" yang
diperlukan pasien. Namun demikian peningkatan dosis dialisis tampaknya memiliki dampak
langsung pada gizi, kombinasi antara dosis dialisis yang meningkat dengan gizi yang cukup
dapat menunjang pertumbuhan normal pada anak dengan hemodialisis dalam jangka panjang.
Oleh karena itu gizi buruk harus dihindari dengan menggunakan penilaian diet, pengukuran
antropometri, dan mungkin penentuan IGF1. Apakah klirens zat kecil terlarut, yaitu urea, benar-
benar penting? Karena terbatasnya jumlah anak-anak yang menjalani dialisis kronis maka
hubungan antara dosis optimal dialisis urea dengan hasil akhir pasien akan "sulit" ditentukan.
Namun demikian, diketahui bahwa pemurnian darah, dialisis dan pembersihan ginjal terhadap
zat sisa kecil terlarut, tidak seimbang sehingga lebih penting untuk mengeliminasi racun uremik,
yang eliminasinya ditingkatkan menggunakan dialyzer membran flux tinggi dengan
hemodiafiltrasi on-line . Walaupun data tentang anak-anak tampaknya khas pada tiap pusat
24
penelitian, dosis dialisis urea yang lebih besar berkorelasi dengan peningkatan laju pertumbuhan
dan fungsi jantung yang membaik. Durasi setiap sesi hemodialisis juga masih diperdebatkan,
dimana durasi yang panjang bisa menginduksi regresi hipertrofi ventrikel kiri pada pasien
dewasa dan mampu untuk menunjang pertumbuhan dan kesejahteraan pada anak-anak. Pada
dialisis dengan cara yang sama yang dilakukan setiap hari tampaknya memberikan hasil klinis
yang lebih baik pada orang dewasa dan pada remaja. Pemberian dialisis harus memadai untuk
mencapai dosis optimum (Tabel 6).
Pada anak dengan dialisis kronis jangka panjang maka penentuannya dosis yang berdasarkan
individual harus mempertimbangkan semua strategi baru yang tersedia untuk sepenuhnya
memberikan "kesempatan hidup" yang terbaik.
Pedoman 12: Sesi dialisis, pemberian, dan pengawasan
- Pemberian berdasarkan individu diperlukan pada: bayi / infant/ anak-anak dengan kondisi
khusus
- Penilaian dan penyesuaian diperlukan secara berkala pada anak kecil /
yang sedang dalam masa pertumbuhan
- Diperlukan persiapan psikologis anak dan keluarganya, pencegahan rasa sakit sangatlah
penting.
Dialisis sesi pertama sangatlah penting untuk mendorong kepercayaan anak dan orang tua,
sehingga diperlukan persiapan yang tepat. Lokasi pembuatan fistula ang sebagian besar dengan
menggunakan jarum ganda, ukuran 17 gauge, harus dipilih dan ditentukan dengan hati – hati
sehinggai jarum tersebut cukup terpisah untuk membatasi resirkulasi. Pencegahan nyeri
sangatlah penting dengan pemberian salep xylocaine (EMLA) satu jam sebelum penetrasi
jarum.Persiapan psikologis anak dan keluarga juga diperlukan untuk membatasi "stres cemas" .
Prosedur aseptis sangatlah penting. Jika diukur dengan mesin, sirkulasi ekstrakorporeal
disesuaikan dengan level tekanan aspirasi arteri untuk mencegah trauma endotel vaskular (tidak
kurang dari - 150 mmHg). Tekanan venous return tidak boleh lebih dari +200 mmHg untuk
mencegah trauma endotel vaskuler. Selama dialisis sesi pertama, laju aliran darah dipertahankan
pada tingkat yang rendah untuk mencegah sidroma disequilibrium yang merupakan akibat dari
penghapusan zat terlarut yang terlalu efisien selama sesi pertama ini. Oleh karena itu, laju aliran
darah harus kira-kira 3 mL/ kgBB (atau 90 mL/ m2), atau bahkan kurang, sehingga klirens urea
25
akan berjumlah kurang dari 3 mL/menit/kgBB, yang biasanya ditoleransi dengan baik, bahkan
pada anak-anak kecil dan akan membatasi perkembangan sindrom disequilibrium. Durasi dialisis
pertama sesi harus pendek, tidak lebih dari 3 jam, atau disesuaikan dengan kebutuhan
ultrafiltrasi. Gejala sindrom disequilibrium paling sering timbul setelah 1-2 jam dialisis, dengan
gejala yang bervariasi seperti sakit kepala atau kejang, muntah, kelelahan, mengantuk, atau
kecenderungan hipertensi dengan rentang tekanan antara sistolik dan diastolik yang sempit. Infus
manitol (1 g/kgBB selama 1 sampai 2 jam selama dialisis) efektif mencegah sindrom, jika
diperlukan. Gejala biasanya menghilang dalam beberapa jam setelah dialisis berakhir. Kecepatan
aliran darah ekstrakorporeal, durasi sesi, dan jumlah sesi semakin meningkat dengan progresif
dalam seminggu tergantung kebutuhan individu tekanan nilai. Biasanya laju aliran darah 150
sampai 200 ml/menit/m2 dan tiga sesi perminggu selama 3 sampai 4 jam per sesi sudah
mencapai target pengobatan minimal yaitu 1,2-1,4 Kt/V . Durasi sesi dialisis sering diberikan
untuk mencapai berat kering pada akhir sesi yang sudah diperkirakan sebelumnya. Jumlah total
dan laju ultrafiltrasi yang diperlukan harus dapat ditoleransi. Penurunan berat badan sebanyak
1,5 sampai 2% per jam dari BB masih dikatakan standar dan masih dapat ditoleransi dengan baik
pada sebagian besar anak. Beberapa ‘trik’ yang sering digunakan untuk meningkatkan toleransi
terhadap ultradialisat adalah ultrafiltrasi intermiten dengan dialisat buffer bikarbonat yang tidak
terlalu hangat (yang disebut "dialisat didinginkan"), kadar natrium normal yang "tinggi" (140
sampai 144 mmol/L), dimana tidak melebihi konsentrasi normal natrium per liter air plasma,
normal hematokrit lebih dari 30% dan yang optimal mendekati 35% tetapi tidak tinggi, dan
dialisis berdasarkan hemofiltration, yaitu (optimal HDF). Intoleransi penurunan berat badan
biasanya muncul gejala pada akhir sesi dialisis, ketika pasien sudah mendekati berat kering.
Pemantauan volume darah secara terus-menerus selama sesi dialisis merupakan pemeriksaan
penunjang untuk mengoptimalkan toleransi ultrafiltrasi (pengertian hematokrit crash). Informasi
ini hanya terbatas pada perubahan kompartemen darah. Spasium interstisial, yang kebanyakan
tergantung-natrium, diperkirakan lebih baik secara klinis dengan penilaian berat badan atau
edema. Timbangan tidur yang digunakan untuk menilai berat badan lebih tepat menentukan
perubahan berat selama sesi dialisis. Pada sebagian besar bayi dan anak-anak dengan berat
kurang dari 10 kg yang menjalani sesi lebih dari tiga seminggu bisa diberikan nutrisi, yaitu susu
yang "cair", maka sering diberikan 4 sampai 5 sesi seminggu. Jumlah yang memadai dan durasi
setiap sesi harus menghindari puasa parsial untuk mencapai berat yang diperlukan untuk
26
dilakukan dialisis durasi pendek. Volume cairan yang digunakan untuk menggantikan darah
ekstrakorporeal pada akhir sesi harus dibatasi, dan lebih suka digunakan larutan glukosa daripada
larutan garam, terutama pada infant tanpa fungsi residual ginjal. Pada awal sesi dialisis,
manifestasi klinis dari bioinkompatibilitas mungkin dapat terjadi. Reaksi pertama kali ini terkait
dengan biokompatibilitas dari bahan di sirkuit ekstrakorporeal, membran yaitu, selang atau
bahkan jarum baik selama sesi pertama, kontak pertama dengan yang materi "ekstrakorporeal"
atau misalnya, dialisis di pusat dialisis lain saat melakukan liburan. Kriteria diagnostik utama
yang positif adalah timbulnya reaksi dalam waktu 20 menit sejak dialisis dimulai, dengan gejala
utama dispnea, panas membakar pada seluruh tubuh atau lokasi suntikan, angioedema, vascular
yang memerah atau kolaps, atau dengan gejala ringan seperti gatal, rhinorrhea, lakrimasi,
urtikaria, atau kram perut. Walaupun kejadian ini jarang, atau meremehkan gejala minor yang
hanya berselang selama 1 jam pertama sesi dialisis, risikonya bisa menjadi besar. Membran
biokompatibel, bahan yang disterilkan dengan uap, pembilasan yang cukup dari selang sebelum
diidi dengan darah, adalah beberapa faktor pencegahan yang paling penting. Dialisis sendiri
harus dianggap sebagai bagian dari strategi keseluruhan dalam merawat termasuk kecukupan
makanan dan terapi interdialitik. Penambahan berat badan lebih dari 10% dari BB kering selama
interval dua sesi sering berkorelasi dengan global non-compliance. Dalam kasus ini, hasil yang
dapat terjadi: pertama akut, yaitu hiperkalemia atau edema paru, kedua kronis, yaitu
hiperparatiroidisme, dan ketiga jangka panjang, yaitu keterlibatan jantung dan koroner.
Pasien dengan gagal ginjal mempunyai risiko infeksi yang besar terhadap berbagai
patogen, terutama pneumokokus dan hepatitis B. Efektivitas vaksinasi pneumokokus pada pasien
gagal ginjal termasuk pada pasien dialisis mungkin lebih rendah dibandingkan dengan pasien
imunokompeten karena kadar antibodinya yang mungkin lebih rendah, sehingga memerlukan
imunisasi ulangan atau peningkatan dosis vaksin. Vaksinasi harus dilakukan saat awal sebelum
berkembang menjadi gagal ginjal progresif karena respon antibodi sekunder lebih lemah
dibandingkan respon antibodi primer, terutama untuk tujuan transplantasi dan terapi
imunosupresif jangka panjang.
Vaksin hepatitis
Vaksinasi hepatitis B direkomendasikan kepada semua pasien dengan rencana hemodialisis
kronik. Vaksin diberikan pada pasien sebelum menjalani hemodialisis rutin (tergantung dengan
hemodialisis) dan pada pasien CAPD. Pasien uremia yang divaksinasi sebelum dialisis
27
menunjukkan nilai serokonversi dan titer antibodi yang lebih baik. Untuk pasien yang sedang
dilakukan hemodialisis dan pasien dengan terapi imunosupresi, diperlukan dosis vaksin yang
lebih besar atau peningkatan jumlah dosis, tersedia vaksin khusus seperti Recombivax HB, 40
μg/mL.
Tidak terdapat rekomendasi khusus untuk dosis vaksinasi pada anak dengan
hemodialisis. Meskipun efektivitas vaksinasi dengan dosis standar sesuai dengan rekomendasi
imunisasi pada anak masih belum ada, proteksi antibodi terjadi pada 75%-97% anak yang
mendapat dosis yang lebih tinggi (20-μg) demikian halnya pada dosis ke 3 atau ke 4. Terdapat
sedikit data yang tersedia tentang lamanya memori sel imun setelah vaksinasi hepatitis B pada
pasien dengan dialisis. Tidak terdapat laporan tentang infeksi HBV secara klinis pada pasien
dengan imunokompromise yang mempunyai nilai proteksi anti HBs. Pada pasien hemodialisis
dengan infeksi hepatitis B didapatkan konsentrasi anti HBs ≤ 10 mIU/mL. Pemeriksaan setelah
vaksinasi direkomendasikan pada pasien (termasuk pasien hemodialisis), harus dilakukan 1-2
bulan setelah pemberian dosis vaksinasi terakhir dengan target protektif anti HBs >10 mIU/mL.
Jika anti-HBs <10 mIU/mL setelah pemberian vaksinasi pertama harus diberikan vaksinasi
ulang. Pemberian 3 dosis vaksinasi sesuai jadwal imunisasi dilanjutkan dengan pemeriksaan
anti HBs 1-2 bulan setelah pemberian dosis ketiga lebih praktis dibandingkan pemeriksaan
serologis setelah pemberian dosis pertama atau kedua. Pasien yang tidak respon apabila
direvaksinasi harus diperiksa HBsAg. Jika HBsAg positif, maka pasien harus ditatalaksana
28
sesuai dengan tatalaksana penderita dengan HbsAg positif. Sedangkan pada pasien dengan
HbsAg negatif dinyatakan masih rentan terhadap infeksi hepatitis B, sehingga harus diberikan
edukasi tentang pencegahan infeksi hepatitis B dan diberikan profilaksis HBIG karena pasein
mempunyai risiko mendapatkan infeksi lewat jalur parenteral . Pada pasien hemodialisis harus
dilakukan pemeriksaan antiHBs sebelum dilakukan pemberian booster. Booster diberikan
apabila anti-HBs <10 mIU/mL.
Inactivated Influenza Vaccine (TIV)
Pemberian vaksinasi influenza inaktif direkomendasikan pada pasien dengan disfungsi ginjal;
penyakit metabolik kronik seperti diabetes melitus; hemoglobinopati, dan imunosupresi.
Penderita tersebut tidak boleh menggunakan vaksin influenza hidup.
Pneumococcal Vaccine
Vaksinasi direkomendasikan pada pasien imunokompromise dewasa dengan peningkatan risiko
infeksi pneumokokus dan komplikasinya (seperti pada pasien dengan disfungsi lien atau pada
asplenia, penyakit Hodgkin's , leukemia, limfoma, multipel mieloma, penyakit ginjal kronik,
sindrom nefrotik atau pada transplantasi organ yang berhubungan dengan imunosupresi).
Revaksinasi pertama direkomendasikan pada pasien ≥ 2 tahun dengan risiko tinggi infeksi
pneumokokus dan pada pasien yang mengalami penurunan cepat antibodi pneumokokus dalam
waktu 5 tahun sejak pemberian vaksin pneumokokus yang pertama. Revaksinasi 3 tahun setelah
dosis sebelumnya diberikan pada anak dengan risiko tinggi infeksi pneumokokus berat pada
anak berumur <10 tahun. Pasien dengan risiko tinggi seperti penyakit ginjal kronik, sindrom
nefrotik, atau yang berhubungan dengan imunosupresi (transplantasi sumsum tulang).
Recommended Dietary Protein Intake in Children with CKD Stages 3 to 5 and 5D14
29
Recommended Maximum Oral and/or Enteral Phosphorus Intake for Children With CKD 14
Tabel Stages of Chronic Kidney Disease (CKD)15
Stadium LFG Kelainan Manajemen1 90+ Fungsi ginjal normal (urinalisis, kelainan
struktural atau genetik mengindikasikan kelainan Observasi dan pemantauan tekanan darah
30
ginjal)2 60-89 Fungsi ginjal menurun (ringan) Observasi, pemantauan tekanan
darah dan faktor risiko kardiovaskular
3a 45-59 Penurunan fungsi ginjal (sedang) Observasi, pemantauan tekanan darah dan faktor risiko kardiovaskular
3b 30-44 Penurunan fungsi ginjal (sedang) Observasi, pemantauan tekanan darah dan faktor risiko kardiovaskular
4 15-29 Penurunan fungsi ginjal (berat) Rencana untuk gagal ginjal terminal5 < 15 Gagal ginjal terminal Transplantasi ginjal / dialisis
Growth Monitoring Guidelines for Children with Chronic Kidney Disease 15
LFG Stadium Pengukuran Frekuensi Tatalaksana90+ 1 Pemantuan pertumbuhan
seperti anak normalPengukuran dan plot sesuai grafik pertumbuhan
60-89
2 Panjang/tinggi badan dan berat badan
Tiap kunjungan Pengukuran dan plot sesuai grafik pertumbuhan
LFG 3-5 Pengukuran Frekuensi minimal Tatalaksana≤ 59 Pada keadaan euvolemik
(cairan normal) berat badan menurut umur
Tiap kunjungan Pengukuran dan plot sesuai grafik pertumbuhan
Lingkar kepala menurut umur
Tiap 2 bulan jika < 1 tahun
Pengukuran dan plot sesuai grafik pertumbuhan
Tiap 3 bulan jika umur 1-2 tahun
Panjang/ tinggi badan menurut umur
Tiap 2 bulan jika berumur 0-1 tahun
Jika <2 tahun pengukuran panjang badan. Jika > 2 tahun dilakukan pengukuran tinggi badan dalam posisi berdiri dengan stadiometer. Kemudian diplotkan ke grafik.
Tiap 3 bulan jika berumur > 1 tahun
Assesmen status pubertas
Dilakukan tiap tahun jika umur ≥12 tahun. Pubertas pada anak perempuan 8-13 tahun, laki-laki 9-14 tahun.
Apakah terdapat keterlambatan pertumbuhan dan perkembangan
Body Mass Index(BMI)
Hanya pada usia > 2 tahun, kemudian dilakukan tiap 6 bulan
Hitung dan plotkan ke grafik BMI sesuai umur kronologis dan menghitung standar deviasi
Mid-parental height Dirujuk jika tinggi badan < persentil 9 atau jika tinggi badan kurang dari 2 persentil
Plotkan ke grafik pertumbuhan
Komplikasi yang dapat terjadi pada penyakit ginjal kronik yang berhubungan dengan sistem
respirasi diantaranya adalah edem pulmo, pleuritis fibrinosa, nyeri dada karena pleuriris,
fibrotorak, efusi pericardium, tuberkulosis dan infeksi lain, kalsifikasi pulmonal, urinothorak,
apnea saat tidur, anemia, dialisi yang berkaitan dengan hipoksemia. Penyakit pleura dapat terjadi
31
sekitar 20-40% pada pasien gagal ginjal kronis . Secara klinis adalah efusi pleura pada 3% dari
pasien dengan stadium akhir penyakit ginjal. Umumnya efusi pleura karena penyakit ginjal
kronik merupakan eksudat, dan mungkin hemoragik, biasanya unilateral, dan dapat berjumlah
besar. Sebagian besar pasien dengan pleuritis fibrinosa tidak menunjukkan gejala, bisa
didapatkan dispnea, namun kondisi ini juga dapat dikaitkan dengan demam dan nyeri dada
pleuritik, kadang didapatkan friction rub pada auskultasi.16
Anak dengan penyakit ginjal kronis memiliki risiko untuk menjadi gagal ginjal terminal.
Menurut Staples dkk dengan menggunakan data the North American Pediatric Renal Trials and
Cooperative Studies CKD , dari 4166 anak –anak dengan penyakit ginjal kronik stadium II
sampai IV terdapat beberapa faktor risiko yang menyebabkan progresivitas penyakit gagal ginjal
kronik menjadi gagal ginjal terminal, yaitu umur, penyakit primer, stadium penyakit ginjal
kronik, tahun pendaftaran, hipertensi, hematokrit, albumin, kalsium yang dikoreksi, pospor yang
dikoreksi , obat yang digunakan untuk terapi anemia dan perawakan pendek.12
32