evaluasi kerentanan bangunan rumah masyarakat terhadap

12
1 EVALUASI KERENTANAN BANGUNAN RUMAH MASYARAKAT TERHADAP GEMPABUMI DI DESA WISATA BUGISAN KECAMATAN PRAMBANAN KABUPATEN KLATEN Intan Putra Perdana Mahasiswa Program Studi MTPBA Universitas Gadjah Mada, Jl. Grafika No.2 Yogyakarta [email protected] Iman Satyarno Departemen Teknik Sipil dan Lingkungan Universitas Gadjah Mada, Jl. Grafika No.2 Yogyakarta 55281 [email protected] Ashar Saputra Departemen Teknik Sipil dan Lingkungan Universitas Gadjah Mada, Jl. Grafika No.2 Yogyakarta 55281 [email protected] ABSTRACT Earthquake that happened on May 27, 2006 in Yogyakarta Province and Central Java Province effected 1154 people died in Klaten Regency, including 212 people died in Prambanan District. Almost earthquake victims were caused by stricken building collapse. One of the villages in Prambanan District where located in disaster prone areas is Bugisan Village. The purpose of this research is to evaluate building vulnerability of community houses which were collapsed, severe damaged, and slight damaged that rebuilding or repairing houses through people initiative (nongovernment) post 2006 earthquake in Bugisan Tourism Village. This research is conducted by qualitative descriptive method based on data of community house buildings condition in Bugisan Tourism Village. Collecting data method was conducted by observing building through rapid visual screening (RVS), interview, and study documentation. Rapid visual screening (RVS) has been done proportionally to 9 districts (padukuhan) in Bugisan Village with 454 houses as a sample. The result of the research shows the community houses condition in Bugisan Tourism Village that has medium vulnerability level, using the result of vulnerability evaluation at medium vulnerability level (score 33,4-66,3%) for 63% or 287 houses, high vulnerability level (score 0-33,3%) for 35% or 159 houses, and low vulnerability level (score 66,4-100%) for 2% or 9 houses. Based on new building performance indicator, there are 24 houses in Padukuhan Dengok Kulon that being collapsed during the earthquake in 2006 and having the highest vulnerability so that required assistance from the government in rebuilding homes after earthquake. Factor that determine high and low damage to the house buildings is the differences in the type of construction used. Almost traditional houses with wooden structure have not experienced total collapse although they had low vulnerability level. Hence, this building type should be kept at the original form and also to support Bugisan Village as tourism village. Key Words: building, earthquake, evaluation, house, tourism village, vulnerability 1. PENDAHULUAN Indonesia merupakan negara dengan pertemuan beberapa lempeng tektonik, yaitu lempeng Indo- Australia, Eurasia dan Lempeng Pasifik. Lempeng tektonik tersebut saling bergerak 1 sama lain, ada yang saling mendekat, saling menjauh, atau saling bergeser. Adanya pergerakan lempeng tersebut dapat menyebabkan terjadinya gempa bumi di Indonesia. Gempa-gempa yang terjadi di sepanjang Pulau Sumatera, Pulau Jawa, Kepulauan Nusa Tenggara dan Maluku Selatan disebabkan adanya gerakan relatif dari Lempeng Indo-Australia terhadap lempeng Eurasia (Pramumijoyo,2008).Satyarno dkk, (2009) menjelaskan bahwa seperti halnya di negara-negara asia, kebanyakan kerugian dan korban akibat gempa bumidi Indonesia disebabkan kerusakan dan robohnya rumah- rumah masyarakat yang kebanyakan terbuat dari

Upload: others

Post on 05-Nov-2021

8 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

1

EVALUASI KERENTANAN BANGUNAN RUMAH MASYARAKAT TERHADAP GEMPABUMI DI DESA WISATA BUGISAN

KECAMATAN PRAMBANAN KABUPATEN KLATEN

Intan Putra Perdana Mahasiswa Program Studi MTPBA Universitas Gadjah Mada, Jl. Grafika No.2 Yogyakarta

[email protected]

Iman Satyarno Departemen Teknik Sipil dan Lingkungan Universitas Gadjah Mada, Jl. Grafika No.2 Yogyakarta 55281

[email protected]

Ashar Saputra Departemen Teknik Sipil dan Lingkungan Universitas Gadjah Mada, Jl. Grafika No.2 Yogyakarta 55281

[email protected]

ABSTRACT

Earthquake that happened on May 27, 2006 in Yogyakarta Province and Central Java Province effected 1154 people died in Klaten Regency, including 212 people died in Prambanan District. Almost earthquake victims were caused by stricken building collapse. One of the villages in Prambanan District where located in disaster prone areas is Bugisan Village. The purpose of this research is to evaluate building vulnerability of community houses which were collapsed, severe damaged, and slight damaged that rebuilding or repairing houses through people initiative (nongovernment) post 2006 earthquake in Bugisan Tourism Village. This research is conducted by qualitative descriptive method based on data of community house buildings condition in Bugisan Tourism Village. Collecting data method was conducted by observing building through rapid visual screening (RVS), interview, and study documentation. Rapid visual screening (RVS) has been done proportionally to 9 districts (padukuhan) in Bugisan Village with 454 houses as a sample. The result of the research shows the community houses condition in Bugisan Tourism Village that has medium vulnerability level, using the result of vulnerability evaluation at medium vulnerability level (score 33,4-66,3%) for 63% or 287 houses, high vulnerability level (score 0-33,3%) for 35% or 159 houses, and low vulnerability level (score 66,4-100%) for 2% or 9 houses. Based on new building performance indicator, there are 24 houses in Padukuhan Dengok Kulon that being collapsed during the earthquake in 2006 and having the highest vulnerability so that required assistance from the government in rebuilding homes after earthquake. Factor that determine high and low damage to the house buildings is the differences in the type of construction used. Almost traditional houses with wooden structure have not experienced total collapse although they had low vulnerability level. Hence, this building type should be kept at the original form and also to support Bugisan Village as tourism village.

Key Words: building, earthquake, evaluation, house, tourism village, vulnerability

1. PENDAHULUAN Indonesia merupakan negara dengan pertemuan beberapa lempeng tektonik, yaitu lempeng Indo-Australia, Eurasia dan Lempeng Pasifik. Lempeng tektonik tersebut saling bergerak 1 sama lain, ada yang saling mendekat, saling menjauh, atau saling bergeser. Adanya pergerakan lempeng tersebut dapat menyebabkan terjadinya gempa bumi di Indonesia.

Gempa-gempa yang terjadi di sepanjang Pulau Sumatera, Pulau Jawa, Kepulauan Nusa Tenggara dan Maluku Selatan disebabkan adanya gerakan relatif dari Lempeng Indo-Australia terhadap lempeng Eurasia (Pramumijoyo,2008).Satyarno dkk, (2009) menjelaskan bahwa seperti halnya di negara-negara asia, kebanyakan kerugian dan korban akibat gempa bumidi Indonesia disebabkan kerusakan dan robohnya rumah-rumah masyarakat yang kebanyakan terbuat dari

2

dinding batu bata. Hal ini memperlihatkan adanya kerentanan bangunan rumah terhadap gempa bumi, termasuk di Indonesia. Pada 27 Mei 2006, terjadi gempa bumi di Indonesia yang menimbulkan dampak terutama di Provinsi Yogyakarta dan Provinsi Jawa Tengah. Dampak dari gempa bumi tersebut antara lain adanya korban jiwa dan kerusakan yang tidak sedikit jumlahnya. Di Kabupaten Klaten Provinsi Jawa Tengah,korban meninggal sebanyak 1154 jiwa, yang sebagian besar diakibatkan karena tertimpa reruntuhan bangunan (Gambar 1.1). Sektor perumahan merupakan sektor yang paling banyak mengalami kerusakanyaitu sebanyak 191.891 unit rumah, yang terdiri atas rumah roboh sebanyak 29.989 unit, rumah rusak berat sebanyak 62.992 unit, dan rumah rusak ringan sebanyak 98.910 unit.Untuk fasilitas umum yang mengalami kerusakan yaitu 582 unit sekolah, 56 unit puskesman, 275 unit pasar, 362 unit sarana pemerintahan, 855 unit sarana peribadatan, 3 unit candi dan 3 unit obyek wisata (BPPD Kabupaten Klaten, 2006). Sesuai dengan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kabupaten Klaten yang terdapat pada Peraturan Daerah Kabupaten Klaten Nomor 11 Tahun 2011 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Klaten Tahun 2011-2031, wilayah rawan bencana gempa bumidi Kabupaten Klaten dibagi menjadi daerah potensi 1, potensi 2 dan potensi 3. Daerah potensi 1 merupakan daerah dengan tingkat kerusakan akibat gempabumi paling tinggi, meliputi Kecamatan Gantiwarno, Kecamatan Wedi, Kecamatan Bayat, dan Kecamatan Prambanan. Untuk daerah potensi 2 dan potensi 3 merupakan daerah dengan tingkat bahaya gempa sedang dan rendahsecara berturut-turut. Kecamatan Prambanan menjadi salah 1 kecamatan yang memiliki korban terbanyak di Kabupaten Klaten pada gempa bumi 27 Mei 2006. Korban meninggal di kecamatan tersebut sebanyak 212 jiwa.Kecamatan Prambanan di Kabupaten Klaten merupakan kecamatan di daerah potensi 1. Salah 1 upaya Pemerintah Kabupaten Klaten untuk meningkatkan kemampuan ekonomi masyarakat di Kecamatan Prambanan yaitu melalui pembangunan desa wisata. Desa wisata Bugisan di kecamatan Prambanan dibangun untuk mengangkat potensi kepariwisataan yang ada di sebelah utara Candi Prambanan. Desa Wisata Bugisan diresmikan pada tanggal 2 September 2016. Desa dengan potensi wisata Candi Plaosan ini juga memiliki potensi kesenian seperti karawitan, pring sedapur, jathilan, hingga gejog lesung yang di kembangkan di rumah-rumah masyarakat. Berdasarkan pada dampak gempa bumi yang dapat menimbulkan banyak korban jiwa akibat runtuhnya

bangunan khususnya untuk bangunan perumahan, maka perlu dilakukan evaluasi kerentanan terhadap bangunan rumah. Hal ini merupakan salah 1 bentuk kesiapan dalam menghadapi bencana gempa bumi yang dapat terjadi di masa datang. Bangunan rumah masyarakat di Desa Wisata Bugisan memerlukan evaluasi kerentanan bangunan terhadap bencana gempa bumi sebagai upaya kesiapan dan antisipasi ketika terjadi gempa bumi.Selain itu, antisipasi diperlukan sebagai upaya untuk lebih mendukung Desa Bugisan sebagai desa wisata. Tujuan dari penelitian ini adalah mengevaluasi kerentanan bangunan rumah masyarakat terhadap gempa bumi, dengan kondisi bangunan rumah roboh, rusak berat, dan rusak ringan, yang dibangun kembali atau diperbaiki secara swadaya pasca gempa bumi tahun 2006 di Desa Wisata Bugisan Kecamatan Prambanan Kabupaten Klaten. Penelitian ini meliputipendahuluan, tinjauan pustaka, landasan teori, metode penelitian, hasil dan pembahasan, serta kesimpulan. 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Studi Terdahulu Beberapa penelitian tentang yang pernah dilakukan: a. Kumar, dkk. (2017) melakukan penelitian dengan

pendekatan RVS yaitu bagaimana menggunakan metode RVS untuk 5 jenis bangunan di Himachal Pradesh, India. Tipologi rumah yang diteliti termasuk didalamnya rumah dengan struktur beton bertulang dan rumah dengan struktur dinding pemikul. Penelitian tersebut melakukan penghitungan skoring RVS untuk 9099 bangunan, dan kurva distribusi normal di plot untuk tiap tipologi bangunan untuk diketahui distribusi dari bangunan di Himachal Pradesh. Hasil akhir dari penelitian tersebut berupa format baru yang telah dimodifikasi untuk penggunaan metode RVS yang baru.

b. Satyarno (2011) melakukan penelitian yang berjudul Kerentanan Rumah Masyarakat di Indonesia Terhadap Bencana Gempa Bumi. Dalam penyelidikan di lapangan pada penelitian tersebut ditemukan bahwa kebanyakan rumah yang mengalami kerusakan akibat gempa bumi disebabkan bangunan rumah yang tidak sesuai dengan ketentuan dalam membangun rumah yang lebih aman terhadap gempa bumi. Penelitian tersebut membahas perbedaan jenis tipe rumah terhadap kerentanan gempa bumi di Indonesia.

c. Prihatmaji, dkk (2014) meneliti pengaruh proporsi struktur rumah joglo terhadap tingkat kerusakan yang terjadi akibat gempa bumi. Gempa bumi mengakibatkan kerusakan yang berbeda-beda

3

sesuai dengan tingkat kerusakanya. Terdapat 4 tingkatan kerusakan rumah kayu tradisional Jawa akibat gempa bumi.

2.2 Gempa Bumi Pawirodikromo (2012) menjelaskan bahwa gempa bumi adalah bergetarnya permukaan tanah karena pelepasan energi secara tiba-tiba dari pecah atau slipnya massa batuan di lapisan kerak bumi. Dari pengertian tersebut dapat dipahami bergetarnya permukaan tanah akibat gempa bumidisebabkan akibat energi gempa yang yang merambat dari pusat gempa ke segala arah. Pelepasan energi dari pecah atau slipnya massa di lapisan kerak bumi tersebut disebabkan aktifitas tektonik, atau pergerakan lempeng tektonik baik saling mendekat (konvergen), saling menjauh (divergen) ataupun saling bergeser ke samping (transform). Hal ini mengakibatkan bergetarnya benda benda yang terdapat di permukaan tanah, termasuk juga didalamnya bangunan perumahan. Akibat dari terjadinya gempa bumi dapat berupa akibat secara langsung maupun tidak langsung (The Center for Earthquake Engineering, Dynamic Effect, and Disaster Studies, 2004). Akibat gempa bumi secara langsung, antara lain: a. Kerusakan bangunan rumah tinggal sederhana dari

yang retak-retak hingga yang roboh, atau kerugian-kerugian lainya, misalnya rusaknya gedung teknis, jembatan, instalasi listrik, telepon, dan pipa-pipa air minum serta gas,

b. Penurunan atau peninggian permukaan tanah, c. Tanah longsor, d. Tanah pecah atau rekah, e. Likuifaksi, dimana sewaktu gempa terjadi sifat

lapisan tanah berubah menjadi seperti cairan sehingga tak mampu menopang beban bangunan di dalam atau di atasnya, dan

f. Tsunami. Akibat gempa secara tidak langsung antara lain: a. Korban jiwa dan luka-luka yang disebabkan oleh

keruntuhan bangunan, b. Korban jiwa dan luka-luka yang disebabkan oleh

gelombang besar tsunami pada daerah di sekitar pantai,

c. Kebakaran yang disebabkan oleh putusnya saluran gas dan hubungan pendek listrik atau letupan kompor,

d. Wabah penyakit yang disebabkan oleh sarana dan prasarana kesehatan tidak berfungsi dengan baik,

e. Masalah keamanan akibat terjadi penjarahan, perampokan, dan

f. Ekonomi yang diakibatkan oleh hancurnya sarana dan prasarana ekonomi, sosial, misalnya terjadi pengungsian dan gelandangan.

Pada gempa bumi yang terjadi di Yogyakarta pada tanggal 27 Mei 2006, kerusakan terbesar bukan berada pada sekitar episenter, tetapi tersebar di lokasi tanah endapan, yaitu di Kabupaten Bantul dan selatan Kabupaten Klaten. Salah 1 penyebab yang mempengaruhi tingkat kerusakan bangunan adalah kondisi tanah setempat. Kondisi tanah setempat adalah kondisi tanah di bawah suatu bangunan yang mempengaruhi kerusakan pada bangunan. Adanya kondisi tanah setempat yang berbeda-beda tersebut dapat menyebabkan tingkat kerusakan yang berbeda beda pada bangunan, ketika terjadi gempa bumi. Menurut para ahli, kondisi tanah dapat dikategorikan menjadi 3 bagian utama (Prawirodikromo, 2012), yaitu: a. Kondisi fisik tanah, b. Efek basin endapan, dan c. Efek kondisi topografi permukaan tanah. 2.3 Kerentanan Bangunan Secara umum kerentanan bangunan adalah faktor-faktor yang dapat menyebabkan suatu bangunan rusak atau tidak dapat memenuhi kinerja yang diharapkan apabila terjadi gempa. Kinerja yang diharapkan yaitu kinerja struktur bangunan yang menjaga bangunan tidak roboh apabila terjadi gempa bumi. Untuk itu diperlukan upaya pengurangan risiko gempa bumi (earthquake risk reduction), salah satunya dengan mewujudkan bangunan tahan gempa di daerah rawan bencana gempa bumi. Filosofi bangunan tahan gempa adalah apabila terjadi gempa ringan bangunan tidak boleh mengalami kerusakan baik pada komponen non struktural (dinding retak, genting dan langit-langit jatuh, kaca pecah, dan lainnya) maupun pada komponen strukturalnya (kolom dan balok retak, pondasi amblas, dan lainnya). Apabila terjadi gempa sedang, bangunan dapat mengalami kerusakan pada komponen non-strukturalnya akan tetapi komponen struktural tidak boleh rusak (Satyarno, 2009). Dengan adanya pemahaman tersebut maka dapat dilakukan upaya pengurangan risiko bencana gempa bumi melalui analisa terhadap kerentanan bangunan, sehingga dapat meminimalisir korban akibat tertimpa reruntuhan bangunan. 2.4 Pembangunan Rumah Masyarakat Pasca Bencana

Gempa Bumi Pascagempa bumi besar, terdapat perbedaan pembangunan kembali rumah-rumah yang roboh antara rumah yang dibangun dengan dana donasi dengan rumah yang dibangun secara swadaya oleh masyarakat. Marcillia, dkk (2012) menyatakan bahwa adanya ruang interaksi sosial, fleksibilitas, dan desain rumah yang dapat tumbuh sangat penting bagi masyarakat ketika melaksanakan pembangunan rumah pasca bencana. Hal

4

ini yang tidak didapatkan pada rumah-rumah yang dibangun dengan dana donasi. Sebagian besar rumah masyarakat di Desa Wisata Bugisan yang roboh dan rusak dibangung kembali secara swadaya oleh masyarakat dengan menggunakan dana bantuan dari pemerintah tanpa pendampingan dalam proses pembangunannya. Pembangunan rumah oleh masyarakat juga terkait dengan kemampuan ekonomi masyarakat. Seiring dengan perkembangan ekonomi di Pulau Jawa, penggunaan dinding bata telah digabungkan dengan beton bertulang sebagai bahan utama untuk rumah dan dan menjadi bahan yang paling populer hingga saat ini (Idham, N., 2014). Hal ini juga berakibat pada kekuatan struktur rumah, yang juga berakibat pada ketahanan suatu rumah terhadap gempa bumi. Pembangunan kembali rumah-rumah masyarakat pasca gempa bumi juga dipengaruhi oleh kemampuan ekonomi masyarakat untuk memenuhi kualitas bangunan rumah yang sesuai ketentuan. Satyarno (2009) menjelaskan beberapa permasalahan dalam pembangunan kembali rumah warga yang tahan terhadap gempa bumi pasca terjadinya bencana tersebut, yaitu: a. Beberapa ketentuan dalam panduan pembangunan

rumah tidak mudah dilakukan b. Dana bantuan terbatas, khususnya terkait dengan

harga material bangunan yang melambung pada saat bencana.

Naoi, dkk (2009) menyatakan bahwa masyarakat pemilik rumah cenderung tidak menghiraukan risiko gempa bumi pada suatu rumah apabila tidak baru saja terjadi gempa bumi besar. Hal ini berpengaruh pada tingkat kerentanan bangunan yang di bangun oleh masyarakat, meskipun terletak pada daerah rawan bencana gempa bumi. Kesadaran masyarakat untuk menempati rumah yang tahan gempa belum muncul apabila belum pernah mengalami gempa bumi besar. 2.5 Pengembangan Desa Wisata Pengembangan desa wisata didasarkan pada paradigma bahwa pariwisata adalah milik rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Desa merupakan satuan terkecil wilayah dan masyarakat dari bangsa/negara yang menunjukkan keragaman Indonesia. Desa wisata adalah suatu bentuk integrasi antara atraksi, akomodasi dan fasilitas pendukung yang disajikan dalam suatu struktur kehidupan masyarakat yang menyatu dengan tata cara dan tradisi yang berlaku (Nuryanti, W., 1993). Studi dari World Trade Organization (WTO, 1981) menjelaskan adanya 2 pendekatan dalam menyusun rangka kerja/konsep kerja dari pengembangan sebuah desa menjadi desa wisata, yaitu pendekatan pasar dan pendekatan fisik. Pendekatan pasar dilakukan melalui adanya interaksi kepada wisatawan baik secara

langsung maupun tidak langsung. Pendekatan fisik dilakukan melalui penggunaan standar-stadar khusus dalam mengontrol perkembangan dan mengimplementasika aktivitas konservasi. Salah 1 pendekatan fisik pengembangan desa wisata yang dapat dilakukan adalah mengkonservasi sejumlah rumah yang memiliki budaya dan arsitektur yang tinggi dan mengubah fungsi rumah fungsi rumah tinggal menjadi sebuah museum desa untuk menghasilkan biaya perawatan dari rumah tersebut. 2.6 Pendekatan Evaluasi Kerentanan Bangunan Berdasarkan FEMA 310 (FEMA, 1998 dalam Idham 2014) terdapat 3 rekomendasi tingkatan proses untuk mengevaluasi kerentanan seismik bangunan eksisting dengan peningkatan analisis detail yang menggunakan tingkatan keselamatan. Prosedur-prosedur tersebut meliputi Tier 1, Tier 2, dan Tier 3. Tier 1 adalah tingkatan (fase) penyaringan untuk mengetahui potensi kelemahan dan memperkirakan perilaku bangunan di bawah gempa untuk kepentingan agar dapat mengenali risikonya. Tier 2 adalah proses evaluasi untuk menilai kecukupan kekuatan bangunan untuk menahan beban lateral yang dibatasi oleh teknik analisis dasar linier. Tier 3 adalah fase evaluasi lanjutan rinci untuk bangunan yang memiliki kekurangan yang telah diidentifikasi dalam Tier 2 guna kepentingan evaluasi lanjutan. Untuk tingkatan Tier 1 menggunakan prosedur Rapid Visual Screening (RVS). Prosedur ini merupakan evaluasi visual tanpa memerlukan analisis numerik. Untuk bangunan rumah telah dikembangkan modifikasi untuk keperluan RVS, yaitu menggunakan ketentuan Persyaratan Pokok Membangun Rumah yang Lebih Aman (Boen, dkk.,2009). Ketentuan persyaratan tersebut dilakukan dengan cara memasukkan ke dalam form hasil pengamatan visual dan hasil wawancara. Setelah itu masing-masing variabel yang diberi tanda centang dijumlah sesuai dengan ketentuan bobot masing masing variabel. Hasil penjumlahan dibagi 40 atau dibagi sesuai jumlah isian yang dapat dijawab apabila tidak terdapat kuda-kuda atau gunung-gunung. Setelah didapatkan hasilnya dikalikan dengan 100% untuk didapat persentase hasil evaluasi. 3 LANDASAN TEORI 3.1 Parameter Bangunan Rumah yang Lebih Aman

Terhadap Gempa Bumi Untuk mengetahui tingkat kerentanan bangunan rumah masyarakat, penelitian ini menggunakan parameter sesuai yang tercantum dalam Persyaratan Pokok Membangun Rumah Yang Lebih Aman (Boen dkk, 2009) meliputi ketentuan untuk:

5

a. Bahan bangunan Ketentuan untuk bahan bangunan yang digunakan meliputi beberapa ketentuan, yaitu: 1) Menggunakan semen tipe I 2) Menggunakan pasir dan kerikil bersih 3) Menggunakan kayu berkualitas baik dengan ciri-

ciri : keras, kering, berwarna gelap, tidak ada retak dan lurus

4) Untuk Fondasi menggunakan batu kali yang keras

5) Beton menggunakan campuran 1 semen + 2 pasir + 3kerikil, dengan catatan perlu diperhatikan penambahan air dilakukan sedikit demi sedikit dan disesuaikan agar beton dalam keadaan pulen (tidak terlalu encer dan tidak terlalu kental)

6) Mortar menggunakan campuran 1 semen + 4 pasir + air secukupnya

b. Struktur utama Ketentuan untuk struktur utama terdiri dari ketentuan untuk fondasi, dinding, beton bertulang, dan kuda-kuda kayu.

3.2 Teknik Pengambilan Sampel Salah 1 cara menentukan sampel adalah menggunakan Tabel Isaac dan Michael yang ditunjukan pada Tabel 3.2. Tabel tersebut memperlihatkan sampel yang didapatkan dari jumlah populasi yang diketahui dengan mempertimbangkan tingkat kesalahan 1%, 5%, dan 10% (Isaac dan Michael, 1981). Dari total populasi rumah sejumlah 846 rumah yang rusak di Desa Bugisan didapatkan jumlah sampel sejumlah 454 rumah yang digunakan dalam pelaksanaan penelitian di Desa Bugisan ini. Jumlah sampel tersebut terdiri dari 119 rumah roboh, 200 rumah rusak berat, dan 135 rumah rusak ringan. Sebagai contoh penggunaan Tabel Isaac dan Michael dalam penelitian ini yaitu berdasarkan kondisi di desa Bugisan, populasi terbagi menjadi tiga untuk kondisi rumah yang roboh, rusak berat, dan rusak ringan pada saat gempa 2006. Populasi untuk rumah rusak berat berdasarkan data arsip kantor kepala desa Bugisan sebanyak 429. Berdasarkan tabel Isaac dan Michael diatas maka sampel untuk populasi sejumlah 429 dengan ketelitian 95 % sampelnya sebanyak 191. 3.3 Mitigasi Bencana Gempa Berdasarkan Peraturan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana, mitigasi adalah serangkaian upaya untuk mengurangi risiko bencana baik melalui pembangunan fisik maupun penyadaran dan peningkatan kemampuan menghadapi bencana. Untuk pembangunan fisik sebagai upaya mengurangi risiko bencana termasuk didalamnya merupakan upaya mitigasi struktural. Isah (2011) menjelaskan upaya mitigasi struktural

dalam menangani gempa adalah upaya teknis yang bertujuan meminimalkan kerusakan bangunan (rumah masyarakat/rumah penduduk), korban jiwa dan harta benda akibat gempa. Tujuan utama adalah meningkatkan kualitas bangunan non-enginered di suatu wilayah secara bertahap sehingga memenuhi persyaratan tahan gempa, baik terhadap bangunan baru maupun bangunan lama melalui peningkatan kualitas sistem strukturnya dan kualitas pengerjaan serta ketrampilan para tukang dan pekerja bangunan di wilayah tersebut. Upaya mitigasi bencana gempa bumistruktural antara lain meliputi: a. Membangun bangunan baru tahan gempa

(enginered building), b. Meningkatkan kualitas bangunan non enginered di

suatu wilayah sehingga memenuhi persyaratan tahan gempa, baik terhadap bangunan baru maupun terhadap bangunan lama, melalui peningkatan kualitas material yang digunakan, kualitas sistem strukturnya, dan kualitas pengerjaan serta keterampilan para tukang atau pekerja bangunan di wilayah tersebut.

4 METODOLOGI PENELITIAN 4.1 Lokasi Penelitian Penelitian ini dilakukan di Desa Wisata Bugisan Kecamatan Prambanan Kabupaten Klaten. Desa Bugisan terletak kecamatan paling barat Kabupaten Klaten, yang berbatasan dengan Kabupaten Sleman Daerah Istimewa Yogyakarta.

Gambar 1. Peta Lokasi Penelitian 4.2 Tahapan Penelitian Penelitian ini dilakukan dengan metode deskriptif kualitatif dengan sampel sumber data kondisi bangunan dan persepsi masyarakat di Desa Wisata Bugisan. Penelitian deskriptif kualitatif ini bertujuan untuk mendeskripsikan apa-apa yang saat ini berlaku, termasuk upaya untuk mendeskripsikan, mencatat, analisis, dan menginterpretasikan kondisi yang saat ini terjadi atau ada. Dengan kata lain penelitian deskriptif

6

kualitatif ini bertujuan untuk memperoleh informasi-informasi mengenai keadaan yang ada (Mardalis, 1999). Pada hakikatnya penelitian deskriptif kualitatif adalah suatu metode dalam meneliti status sekelompok manusia, suatu objek dengan tujuan membuat deskriptif, gambaran atau lukisan secara sistematis, factual dan akurat mengenai fakta-fakta atau fenomena yang diselidiki (Cevilla, dkk, 1993). Dalam penelitian yang dilakukan di Desa Wisata Bugisan ini objek yang diteliti adalah bangunan rumah-rumah masyarakat yang terletak di Desa Wisata Bugisan. Sedangkan sekelompok manusia yang diteliti adalah masyarakat warga Desa Wisata Bugisan. Tahapan penelitian meliputi tahap awal (pengumpulan data awal, penentuan bangunan), tahap pengumpulan data (observasi, wawancara), tahap pengolahan data (pengelompokan data, proses evaluasi data, tahap perumusan), dan hasil identifikasi kerentanan bangunan masyarakat yang kemudian dipetakan.

5 HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Identifikasi Kerentanan Bangunan Rumah

Masyarakat di Desa Wisata Bugisan Kecamatan Prambanan

Berdasarkan data dari kantor Desa Bugisan didapatkan data kerusakan rumah di desa Bugisan yang digunakan untuk identifikasi kerentanan rumah masyarakat di desa tersebut. Identifikasi tersebut meliputi kerusakan berat dan ringan, serta rumah yang roboh atau rusak total. Sebagai gambaran di Padukuhan Plaosan dan Dengok Kulon merupakan Padukuhan dengan jumlah rumah yang roboh paling banyak, yaitu sebanyak 58 rumah di Padukuhan Plaosan, dan 74 rumah di Padukuhan Dengok Kulon. Sementara Padukuhan Cepoko dan Candirejo merupakan Padukuhan dengan jumlah rumah yang roboh paling sedikit. Tidak ada rumah yang roboh di Padukuhan Cepoko sementara terdapat 1 rumah yang roboh di Padukuhan Candirejo. Jenis kerusakan rumah di tiap padukuhan dapat dilihat pada Gambar 2.

Gambar 2. Identifikasi Kerentanan Bangunan Rumah Masyarakat di Desa Bugisan

7

5.2 Evaluasi Kerentanan Bangunan Rumah Masyarakat Di Desa Wisata Bugisan Kecamatan Prambanan Terhadap Bencana Gempa Bumi

Secara keseluruhan di Desa Bugisan hasil evaluasi kerentanan rumah masyarakat yaitu sebanyak 35% untuk tingkat kerentanan tinggi (skor 0-33,3%) atau sebanyak 159 rumah, 63% untuk tingkat kerentanan sedang (skor 33,4-66,3%) atau sebanyak 286 rumah, dan 2% untuk tingkat kerentanan rendah atau paling aman (skor 66,4-100%) atau sebanyak 9 rumah.

Untuk Padukuhan Bugisan, Bener, Candirejo, Plaosan tingkatan kerentanan didominasi untuk tingkatan kerentanan sedang, yaitu skor (skor 33,4-66,3%). Untuk Padukuhan Purwodadi, Dengok Wetan, Dengok Kulon, Cepoko, dan Sukoharjo tingkatan kerentanan rata-rata berimbang antara tingkatan kerentanan paling tinggi (skor 0-33,3%), dan tingkatan kerentanan sedang (skor 33,4-66,3%). Untuk lebih jelasnya hasil tingkatan kerentanan untuk masing-masing Padukuhan di desa Bugisan dapat dilihat pada Gambar 4.

Gambar 3. Persentase Jumlah Rumah Berdasarkan Skor Tingkat Kerentanan Bangunan Rumah Masyarakat

Gambar 4. Grafik Jumlah Rumah Berdasarkan Hasil Skoring Tiap Padukuhan

8

5.3 Pemetaan Rumah Masyarakat Yang Roboh, Rusak Berat, dan Rusak Ringan Berdasarkan Tingkatan Hasil Skor Evaluasi Kerentanan Bangunan Rumah Masyarakat

Pemetaan rumah masyarakat di Desa Bugisan dilakukan dengan membagi kondisi rumah menjadi 3 tingkatan skor yang juga merupakan tingkatan kerentanan. Tingkatan kerentanan paling tinggi (skor 0-33,3%) di gambarkan dengan warna merah untuk tiap rumah penduduk. Tingkatan kerentanan sedang (skor 33,4-66,3%) di gambarkan dengan warna kuning. Untuk tingkat kerentanan rendah atau paling aman (skor 66,4-100%) digambarkan dengan warna hijau. Jumlah rumah yang dipetakan sesuai dengan jumlah sampel, yaitu total sebanyak 453 rumah. Untuk lebih jelasnya peta tersebut dapat dilihat pada Gambar 5. Peta memperlihatkan persebaran rumah untuk ketiga kategori yang merata di wilayah Desa Bagusan. Kebanyakan kerentanan tinggi terjadi di wilayah bagian utara Desa Bugisan. Di sekitar guna lahan bangunan rumah terdapat guna lahan lain yaitu candi sebagai kawasan cagar budaya dan pariwisata. Terdapat 2 candi di Desa Bugisan yaitu, Candi Sewu di sisi barat Desa Bugisan dan Candi Plaosan di sisi timur Desa Bugisan. Selain itu, di Desa Bugisan juga masih banyak terdapat guna lahan sawah pertanian sebagai mata pencaharian masyarakat.

5.4 Identifikasi Kinerja Bangunan Rumah Baru Dibandingkan Rumah Rusak Ringan Dan Rusak Berat

Kinerja bangunan baru (rumah yang roboh pada saat gempa bumi tahun 2006 dan sudah dibangun kembali) dibandingkan rumah rusak ringan dan rusak berat dapat diambil contoh seperti yang terjadi pada Padukuhan Dengok Kulon. Padukuhan Dengok Kulon secara signifikan memberikan perbedaan hasil evaluasi kerentanan jumlah rumah yang roboh memiliki skor kerentanan tinggi dalam jumlah yang banyak, yaitu 24 rumah. Berdasarkan hasil wawancara dengan warga di Dengok Kulon pembangunan kembali rumah yang roboh akibat gempa bumi 2006 dilakukan secara swadaya oleh masyarakat, sehingga tidak ada standardisasi dari kualitas bangunan karena keterbatasan pengetahuan maupun material dan finansial. Faktor faktor kerentanan yang banyak dijumpai pada rumah-rumah di Dengok Kulon yaitu tidak terdapatnya elemen struktur balok miring.

Gambar 5. Peta Hasil Evaluasi Kerentanan Bangunan Rumah Masyarakat di Desa Wisata Bugisan

9

Untuk rumah dengan kondisi rusak berat dan rusak ringan di Padukuhan Dengok Kulon menunjukkan adanya kesesuaian semakin tinggi skor maka rumah semakin banyak yang rusak ringan. Sementara semakin rendah skor atau kerentanan semakin tinggi maka rumah maka semakin banyak rusak berat. Padukuhan Bugisan, Bener, Purwodadi, Cepoko menunjukkan kesesuaian bahwa semakin tinggi skor maka semakin banyak rumah yang rusak ringan. Untuk Padukuhan Purwodadi, Cepoko, dan Sukoharjo menunjukkan kesesuaian bahwa untuk skor rendah maka semakin banyak rumah yang rusak berat. Untuk Padukuhan Plaosan menunjukkan rumah yang dibangun kembali setelah roboh saat gempa tahun 2006 banyak yang memiliki skor sedang yaitu sebanyak 36 rumah.

Gambar 6 merupakan grafik jumlah rumah roboh, rusak berat, rusak ringan berdasarkan tingkat skor tiap dukuh. Warna hitam untuk grafik rumah yang roboh, warna biru untuk grafik rumah yang rusak berat, warna hijau untuk grafik rumah yang rusak ringan. Ketiga grafik tersebut terdapat di tiap tingkatan kategori skor. Semakin tinggi tingkatan pada grafik berarti jumlah rumah semakin banyak, demikian pula sebaliknya semakin rendah tingkatan pada grafik semakin sedikit jumlah rumah yang terdampak bencana.

Gambar 6.Grafik Jumlah Rumah Roboh, Rusak Berat, Rusak Ringan, Berdasarkan Tingkat Skor Tiap Padukuhan

10

5.5 Identifikasi Faktor Utama Penentu Kerusakan Ringan Dan Berat Pada Bangunan Rumah di Desa Wisata Bugisan

Kerusakan total atau roboh, rusak berat, dan rusak ringan rumah masyarakat di Padukuhan Bugisan dapat diidentifikasikan dengan mengklasifikasikan ke dalam 3 tingkatan. Tingkat paling rentan (skor 0-33,3%), tingkat kerentanan sedang (skor 33,4-66,3%), dan tingkat kerentanan rendah atau paling aman (skor 66,4-100%). Hasil penelitian di Desa Bugisan menunjukkan bahwa tidak selalu rumah yang memiliki skor tinggi atau paling aman, maka kondisi rumah ketika terjadi gempa bumi 2006 maka ‘hanya’ akan mengalami rusak ringan. Demikian pula ketika rumah yang memiliki skor rendah atau semakin rentan, maka rumah akan mengalami rusak berat atau bahkan roboh ketika terjadi gempa bumi 2006. Fenomena ini dapat dilihat pada rumah tradisional joglo dan limasan yang berada di desa Bugisan. Sebagian besar rumah tradisional tersebut telah dimodifikasi dengan mengganti dinding asli, yaitu dari bahan kayu atau anyaman bambu dengan dinding. Dalam hasil evaluasi kerentanan di Desa Bugisan terdapat 30 rumah tradisional joglo yang rata rata memiliki skor rendah atau tingkat kerentanan tinggi karena menggunakan dinding pemikul. Ketika rumah menggunakan dinding pemikul maka memiliki skor yang rendah karena tidak menggunakan konstruksi beton bertulang. Dari hasil survey wawancara didapatkan keterangan bahwa sebagian besar rumah tradisional tersebut tidak roboh saat gempa 2006. Hal ini disebabkan rumah tradisional Joglo memiliki 4 sokoguru yang menahan rumah bagian dalam tetap berdiri sampai batas skala MMI tertentu. Gempa bumi akan mengakibatkan kerusakan terjadi pada dinding luar yang merupakan dinding pemikul, sementara ruang dalam yang ditahan 4 soko guru tidak mengalami rusak berat atau roboh. Salah satu penyebab rendahnya tingkat kerusakan adalah konstruksi yang menggunakan 4 soko guru tersebut merupakan konstruksi kayu dengan sambungan dari kayu serta menggunakan pondasi umpak, sehingga lebih bersifat ductile dalam merespon goncangan gempa. Bangunan tradisional joglo maupun limasan tersebut memiliki respon yang lebih baik terhadap guncangan gempa bumi ketika dalam bentuk aslinya, yaitu menggunakan dinding kayu atau anyaman bambu. Hal ini disebabkan bahan tersebut lebih ringan, sehingga tidak menyebabkan kerusakan berat atau roboh ketika terjadi gempa bumi. Dengan demikian, terdapat pengaruh antara rasio perbandingan struktur utama yang vertikal, seperti kolom kayu (soko guru), dan struktur utama yang horizontal, terhadap tingkat kerusakan akibat gempa bumi. Semakin kecil rasio

perbandingan semakin luas kerusakan yang diakibatkan. Contoh penggunaan soko guru seperti yang tertera pada Gambar 7, yaitu rumah tradisional limasan yang didalamnya memiliki 4 soko guru. Rumah tersebut berada di Desa Bugisan, tepatnya di Padukuhan Purwodadi. Pada saat gempa bumi 2006, rumah tersebut mengalami rusak berat pada dinding luarnya, tetapi pada ruang dalam yang ditopang oleh keempat soko guru tersebut tidak mengalami kerusakan ataupun roboh. Hasil evaluasi kerentanan pada bangunan rumah tersebut berada pada tingkatan skor 0-33,3% atau paling rentan. Hal ini disebabkan rumah tersebut tidak menggunakan konstruksi beton bertulang, sehingga hasil nilai skornya rendah. Meskipun mendapatkan skor rendah atau tingkat kerentanan tinggi, tetapi rumah tersebut tidak roboh karena menggunakan penyangga berupa 4 soko guru.

Gambar 7. Rumah di Desa Bugisan dengan 4 Sokoguru 6 KESIMPULAN DAN SARAN 6.1 Kesimpulan Dari hasil evaluasi kerentanan bangunan rumah masyarakat terhadap gempa bumi di Desa Wisata Bugisan maka dapat diambil beberapa kesimpulan, yaitu: a. Hasil identifikasi dampak gempa bumi yang terjadi

pada tahun 2006 di Desa Bugisan memperlihatkan adanya kerusakan bangunan rumah masyarakat yang terjadi di sembilan padukuhan yaitu Bugisan, Bener, Candirejo, Plaosan, Purwodadi, Dengok Wetan, Dengok Kulon, Cepoko, dan Sukoharjo. Kerusakan tersebut meliputi 199 rumah rusak total (roboh), 429 rumah rusak berat, dan 218 rumah rusak ringan. Berdasarkan data tersebut, penelitian ini menggunakan sampel yang terdiri atas 119 rumah rusak total, 200 rumah rusak berat, dan 135 rumah rusak ringan.

b. Hasil evaluasi kerentanan bangunan rumah masyarakat di Desa Bugisan menunjukan kondisi bangunan rumah secara umum memiliki tingkat kerentanan sedang yang dapat dilihat dari hasil evaluasi kerentanan untuk tingkat kerentanan sedang (skor 33,4-66,3%) yaitu sebanyak 63% atau 287 rumah. Untuk hasil evaluasi kerentanan yang menunjukkan tingkat kerentanan tinggi (skor 0-

11

33,3%) sebanyak 35 % atau 159 rumah dan tingkat kerentanan rendah atau paling aman (skor 66,4-100%) sebanyak 2% atau 9 rumah.

c. Pemetaan bangunan rumah masyarakat dilakukan dengan membagi rumah kepada 3 kategori kerentanan bangunan, yaitu kerentanan rendah, kerentanan sedang, dan kerentanan tinggi. Peta memperlihatkan persebaran rumah untuk ketiga kategori yang merata di wilayah Desa Bugisan. Kebanyakan kerentanan tinggi terjadi di wilayah bagian utara Desa Bugisan.

d. Kinerja bangunan baru (rumah yang roboh pada saat gempa bumi tahun 2006 dan sudah dibangun kembali) dibandingkan rumah rusak ringan dan rusak berat dapat dilihat dari tingkat kerentanan bangunan rumah terhadap gempa bumi. Padukuhan Bugisan, Bener, Purwodadi, dan Cepoko menunjukkan kesesuaian bahwa semakin banyak rumah yang rusak ringan maka semakin tinggi skor kerentanan bangunan. Untuk Padukuhan Purwodadi, Cepoko, dan Sukoharjo menunjukkan kesesuaian bahwa semakin banyak rumah yang rusak berat maka memiliki skor kerentanan rendah. Padukuhan Plaosan menunjukkan kebanyakan rumah yang dibangun kembali setelah roboh ketika terjadi gempa bumi tahun 2006 memiliki skor kerentanan sedang. Terdapat 24 rumah di Padukuhan Dengok Kulon yang mengalami kerusakan roboh ketika terjadi gempa bumi tahun 2006 dan berdasarkan observasi memiliki kerentanan bangunan paling tinggi sehingga diperlukan adanya pendampingan dari pemerintah dalam pembangunan kembali rumah masyarakat pasca gempa bumi.

e. Faktor yang dapat menentukan tingkat kerusakan berat dan ringan pada bangunan rumah adalah perbedaan jenis kontruksi yang digunakan. Faktor yang menentukan kerusakan bangunan rumah menjadi rusak berat adalah akibat bangunan rumah tidak menggunakan jenis konstruksi dengan tulangan. Bangunan rumah tersebut biasanya memiliki skor rendah. Sebaliknya, kerusakan ringan yang terjadi pada bangunan rumah dengan skor rendah, banyak dijumpai pada bangunan rumah tradisional joglo dan limasan dengan soko guru yang berfungsi menahan bangunan inti rumah tetap berdiri meskipun dindingnya roboh. Bangunan rumah tersebut memiliki kemampuan dalam merespon gempa lebih baik ketika dalam kondisi asli yaitu menggunakan dinding kayu atau anyaman bambu. Dengan demikian, bangunan jenis ini sebaiknya tetap dipertahankan bentuk aslinya sekaligus untuk mendukung Desa Bugisan sebagai desa wisata.

6.2 Saran a. Perlunya data dari hasil wawancara dengan pihak

yang lebih memahami tentang bangunan rumah yang ditempati oleh masyarakat di Desa Wisata Bugisan.

b. Perlunya ketersediaan data gambar rencana konstruksi bangunan rumah masyarakat di Desa Bugisan yang dibangun dengan menggunakan perencana.

c. Perlunya ketersediaan data jenis tanah untuk tiap Padukuhan di Desa Bugisan.

DAFTAR PUSTAKA Babbie, Earl. 1986.The Practice of Social Research,

Fourth Edition. California: Wadsworth Publishing Co.

Boen, T., Suprobo, P., Sarwidi, Pribadi, K.S., Irmawan, M., Satyarno, I., Saputra, A., 2009, Key Requirement of Safer Houses, Department of Public Work Indonesia and JICA Japan.

Badan Nasional Penanggulangan Bencana. 2013. Peraturan Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana Nomor 7 Tahun 2013 tentang Pedoman Umum Pengkajian Risiko Bencana. Jakarta: Badan Nasional Penanggulangan Bencana

Badan Penanggulangan Bencana Daerah Kabupaten Klaten. 2008. Laporan Pengelolaan Bantuan Korban Bencana Gempa Bumi Pada Fase Tanggap Darurat Kabupaten Klaten. Klaten: Badan Penanggulangan Bencana Daerah Kabupaten Klaten

The Center for Earthquake Engineering, Dynamic Effect, and Disaster Studies. 2004. The Manual of Eathquake Resistant Building. Project Report Between CEEDEDS and Government of Japan: Yogyakarta

Idham, N., 2014. Prinsip-Prinsip Desain Arsitektur Tahan Gempa. Andi:Yogyakarta

Imran, I., dan Hendrik, F. 2010. Perencanaan Struktur Gedung Beton Bertulang Tahan Gempa. Institut Teknologi Bandung: Bandung

Isaac, S., & Michael, W.B. 1981. Handbook in Research and Evaluation. California: Edits Publishers

Isah, A.,2011.Pemahaman Masyarakat Dalam Mengatasi Gempa Bumi Studi Kasus di Kelurahan Mangga Dua Utara Kecamatan Kota Ternate Selatan Kota Ternate. Thesis Magister Teknik Pengelolaan Bencana Alam. Universitas Gadjah Mada: Yogyakarta

Kabupaten Klaten. 2011. Peraturan Daerah Kabupaten Klaten Nomor 11 Tahun 2011 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Klaten Tahun

12

2011-2031. Klaten: Sekretariat Daerah Kabupaten Klaten

Kumar, A., Mishra, Shashank., Kumar, Ramancharla, P., Karnath, Anoop. 2017. Rapid Visual Screening of Different Housing Typologies in Himachal Pradesh India. Journal of the International Society for the Prevention and Mitigation of Natural Hazards, Volume 85 no.3:1851-1875

Marcillia, S, & Ohno, R. 2012. Importance of Social Space in Self-built and Donated Post Disaster Housing after Java Earthquake 2006. Asian Journal of Environment-Behavior Studies, Volume 3 no.8: 25-34

Mardalis. 1999.Metode Penelitian Suatu Pendekatan Proposal. Bumi Aksara: Jakarta

Naoi, Michio& Seko, Miki & Sumita, Kazuto. 2009. Earthquake Risk and Housing Prices in Japan: Evidence Before and After Massive Earthquakes. Regional Science and Urban Economics, Vol.39: 658-669

Nuryanti, W., 1993. Concept, Perspective and Challenges.· Makalah Bagian dari Laporan Konferensi lnternasional mengenai Pariwisata Budaya. Gadjah Mada University Press: Yogyakarta

Pawirodikromo, W., 2012. Seismologi Teknik dan Rekayasa Kegempaan. Pustaka Pelajar: Yogyakarta

Pramumijoyo, S,. 2008.Vulkanologi dan Tsunami, Bahan Kuliah Magister Pengelolaan Bencana Alam, UGM, Yogyakarta

Prihatmaji, Y & Kitamori, Akihisa & Komatsu, Kohei. 2015. Seismic Vulnerability on Structural Proportion of Traditional Javanese Wooden Houses (Joglo). Procedia Environmental Sciences, Volume 28, 804-808

Pusat Penelitian dan Pengembangan Permukiman. 2011. Respon spektral di Desa Bugisan. dilihat 3 Februari 2017. <http://puskim.pu.go.id/Aplikasi/desain_spektra_indonesia_2011/>

Republik Indonesia. 2007. Undang UndangNomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana. Jakarta: Sekretariat Negara

Satyarno, I,, 2009, Chapter: Some Practical Aspects in the Post Yogyakarta Earthquake Reconstruction of Brick Masonry Houses, The Yogyakarta Earthquake of May 27, 2006, Edited by Karnawati D., Pramumijoyo, S., Anderson, R., Husein, S., Star Publishing Company, INC, Belmont, CA

Satyarno, I., 2011. Vulnerability of Indonesian Community Houses to Earthquake Disaster. Proceedings of the 9th International Symposium on Mitigation of Geo-disasters in Asia, 19-20

December 2011: Yogyakarta Singarimbun, M & Sofian& Effendy. 1989. Metode

Penelitian Survey. Jakarta: LP3ES World Tourism Organization. 1981. Village Tourism

Development Programme for Nusa Tenggara. Madrid: World Tourism Organization, UNDP