Download - Contoh Laporan Praktikum Biokimia
LAPORAN PRAKTIKUM
PERCOBAAN II
ENZIM
A. TINJAUAN TEORI
Enzim adalah biomolekul berupa protein yang berfungsi sebagai katalis (senyawa yang mempercepat proses reaksi tanpa habis bereaksi) dalam suatu reaksi kimia. Molekul awal yang disebut substrat akan dipercepat perubahannya menjadi molekul lain yang disebut produk. Jenis produk yang akan dihasilkan bergantung pada suatu kondisi/zat, yang disebut promoter. Semua proses biologis sel memerlukan enzim agar dapat berlangsung dengan cukup cepat dalam suatu arah lintasan metabolisme yang ditentukan oleh hormon sebagai promoter.
Enzim bekerja dengan cara bereaksi dengan molekul substrat untuk menghasilkan senyawa turunan melalui suatu reaksi kimia organik yang membutuhkan energi aktivasi lebih rendah, sehingga percepatan reaksi kimia terjadi karena reaksi kimia dengan energi aktivasi lebih tinggi membutuhkan waktu lebih lama.
Sebagian besar enzim bekerja secara khas, yang artinya setiap jenis enzim hanya dapat bekerja pada satu macam senyawa atau reaksi kimia. Hal ini disebabkan perbedaan struktur kimia tiap enzim yang bersifat tetap. Sebagai contoh, enzim α-amilase hanya dapat digunakan pada proses perombakan pati menjadi glukosa.
Kerja enzim dipengaruhi oleh beberapa faktor, terutama adalah substrat, suhu, keasaman, kofaktor dan inhibitor. Tiap enzim memerlukan suhu dan pH (tingkat keasaman) optimum yang berbeda-beda karena enzim adalah protein, yang dapat mengalami perubahan bentuk jika suhu dan keasaman berubah. Di luar suhu atau pH yang sesuai, enzim tidak dapat bekerja secara optimal atau strukturnya akan mengalami kerusakan. Hal ini akan menyebabkan enzim kehilangan fungsinya sama sekali. Kerja enzim juga dipengaruhi oleh molekul lain. Inhibitor adalah molekul yang menurunkan aktivitas enzim, sedangkan aktivator adalah yang meningkatkan aktivitas enzim.
Konsentrasi enzim juga mempengaruhi kecepatan reaksi. Semakin besar konsentrasi enzim semakin cepat pula reaksi yang berlangsung. Dengan kata lain, konsentrasi enzim berbanding lurus dengan kecepatan reaksi. Sisi aktif suatu enzim dapat digunakan berulang kali oleh banyak substrat. Substrat yang berikatan dengan sisi aktif enzim akan membentuk produk. Pelepasan produk menyebabkan sisi aktif enzim bebas untuk berikatan dengan substrat lainnya. Oleh karenanya dibutuhkan sejumlah kecil enzim untuk mengkatalis sejumlah besar substrat.
Bila jumlah enzim dalam keadaan tetap, kecepatan reaksi akan meningkat dengan adanya peningkatan konsentrasi substrat. Namun, pada saat sisi aktif semua enzim bekerja,penambahan substrat tidak dapat meningkatkan kecepatan reaksi enzim lebih lanjut. Kondisi ini disebut
konsentrasi substrat pada titik jenuh atau disebut dengan kecepatan reaksi telah mencapai maksimum (V max). banyaknya molekul substrat yang dapat diubah menjadi produk oleh suatu molekul enzim selama satu menit lihat table dibawah ini.
Jumlah pergantian substrat pada enzim.
B. PROSEDUR KERJA
1. Alat
Tabung Reaksi dan Rak Pipet Tetes Hot Plate Pipet Ukur Gelas Ukur Penjepit Tabung
2. Bahan
Larutan Amilum Enzim Amilase (ludah) Larutan Iodium Pereaksi Benedict
3. Gambar Alat Utama
Tabung Reaksi dan Rak
Pipet Tetes
C. HASIL PENGAMATAN
- Pengaruh Konsentrasi Enzim terhadap Perombakan suatu Substrat
Tabung
Konsentrasi Substrat
Konsentrasi Enzim
Perubahan WarnaUji Iodium Uji Benedict
IAmilum
2 mL
Amilase
0,5 mL
Warna yang semula putih keruh menjad kuning kecoklatan, ada endapan coklat.
Warna coklat muda
IIAmilum
2 mL
Amilase
1,0 mL
Warna kuning muda, endapan coklat
Warna coklat kuning
IIIAmilum
2 mL
Amilase
1,5 mL
Warna kuning lebih tua dan endapan coklat
Warna coklat tua, kental.
- Pengaruh Konsentrasi Substrat terhadap Aktivitas Enzim
Tabung
Konsentrasi Substrat
Konsentrasi Enzim
Perubahan WarnaUji Iodium Uji Benedict
IAmilum
1 mL
Amilase
1,0 mL
Warna awal putih keruh menjadi coklat muda
Larutan menjadi warna hijau kekuningan
IIAmilum
2 mL
Amilase
1,0 mL
Endapan putih yang terbentuk menjadi bintik2 hitam
Larutan berwarna coklat kehijauan
IIIAmilum
4 mL
Amilase
1,0 mL
Warna menjadi coklat tua dan sedikit endapan
Larutan berwarna coklat muda
IVAmilum
6 mL
Amilase
1,0 mL
Warna menjadi coklat tua dan lebih banyak endapan
Larutan berwarna merah bata
D. PEMBAHASAN
Reaksi enzimatis merupakan suatu reaksi dengan menggunakan penambahan katalis enzim. Enzim berfungsi untuk mempercepat suatu reaksi kimia organik. Salah satu faktor yang mempengaruhi kerja dari enzim adalah konsentrasi, yaitu baik dari konsentrasi enzim itu sendiri maupun dari konsentrasi substrat.
Berdasarkan data hasil percobaan pada pengaruh konsentrasi enzim terhadap perombakan suatu substrat. Diketahui bahwa semakin besar konsentrasi enzim yang ditambahkan menunjukkan warna yang berbeda pada setiap tabung. Pada uji warna dengan menggunakan metode uji iodium yaitu Identifikasi warna dari tabung pertama sampai ketiga yaitu kuning kecoklatan, coklat muda, dan coklat tua. Sedangkan pada uji benedict menunjukkan bahwa terbentuk endapan dengan warna endapan yang berbeda dari tabung satu sampai tabung tiga, yaitu endapan coklat muda, coklat kuning, dan coklat tua. Jadi, dapat dijelaskan bahwa; Pada konsentrasi substrat tertentu, bertambahnya konsentrasi enzim secara bertingkat menaikkan kecepatan reaksi enzimatis. Dengan kata lain, semakin besar volume atau konsentrasi enzim, semakin tinggi pula aktivitas enzim dalam memecah substrat yang dikatalisis.
Pada percobaan uji pengaruh konsentrasi substrat terhadap aktivitas enzim, dengan uji iodium kurang memberikan warna yang jelas pada masing-masing tabung. Karena pereaksianya dengan menggunakan plat tetes. Sedangka pada uji benedict perbedaan adanya endapan dan warna yang diberikan cukup memberikan gambaran yang jelas yaitu dari tabung pertama sampai yang keempat endapan yang terbentuk berturut-turut yaitu endapan berwarna hijau, coklat kehijauan, coklat muda, dan merah bata. Dari hasil percobaan tersebut penambahan substrat dengan konsentrasi berbeda pada konsentrasi enzim yang sama masih menunjukkan aktivitas enzim yang normal. Sedangkan Pada literatur Bila jumlah enzim dalam keadaan tetap, kecepatan reaksi akan meningkat dengan adanya peningkatan konsentrasi substrat. Namun, pada saat sisi aktif semua enzim bekerja,penambahan substrat tidak dapat meningkatkan kecepatan reaksi enzim lebih lanjut. Kondisi ini disebut konsentrasi substrat pada titik jenuh atau disebut dengan kecepatan reaksi telah mencapai maksimum (V max).
E. SIMPULAN
Bertambahnya konsentrasi enzim secara bertingkat menaikkan kecepatan reaksi enzimatis. Dengan kata lain, semakin besar volume atau konsentrasi enzim, semakin tinggi pula aktivitas enzim dalam memecah substrat yang dikatalisis.
Bila jumlah enzim dalam keadaan tetap, kecepatan reaksi akan meningkat dengan adanya peningkatan konsentrasi substrat. Namun, pada saat sisi aktif semua enzim bekerja, penambahan substrat tidak dapat meningkatkan kecepatan reaksi enzim lebih lanjut. Kondisi ini disebut konsentrasi substrat pada titik jenuh atau disebut dengan kecepatan reaksi telah mencapai maksimum (V max).
F. REKOMENDASI
Penelitian ini menambah pengetahuan praktikan bahwa saliva merupakan suatu enzim. Dan enzim dapat mengkatalisis karbohidrat menjadi glukosa.
G. JAWABAN PERTANYAAN
1. Aktifitas enzim optimal pada konsentrasi (volume) enzim 1,5 mL. Karena bertambahnya konsentrasi enzim akan menjadikan aktivitas enzim dalam memecah substrat yang dikatalisis akan bertambah pula.
2. Aktifitas enzim optimal pada konsentrasi (volume) substrat 6 mL. Karena semakin tinggi konsentrasi substrat, maka aktifitas enzim semakin meningkat.
H. REFERENSI
Ngili, Yohanes. 2010. Buku Penuntun Praktikum Biokimia. Jayapura : Universitas Cenderawasih.
Moko. PENGARUH KONSENTRASI SUBSTRAT TERHADAP AKTIVITA ENZIM/ PENETAPAN NILAI KM dan Vmaks C2 AB/Apt.htm. (09-10-10)
LAPORAN FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI ENZIM
LAPORAN PRAKTIKUM BIOKIMIAPRAKTIKUM 7I. JUDUL : FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KERJA ENZIM
II. TUJUAN : Mengetahui dan mengamati faktor-faktor yang mempengaruhi aktivitas enzim baik mempercepat maupun memperlambat kerja enzim itu sendiri
III. TANGGAL PRAKTIKUM : 14 Desember 2011
IV. PENDAHULUANEnzim adalah biomolekul berupa protein yang berfungsi sebagai katalis (senyawa yang mempercepat proses reaksi tanpa habis bereaksi) dalam suatu reaksi kimia organik. Molekul awal yang disebut substrat akan dipercepat perubahannya menjadi molekul lain yang disebut produk. Jenis produk yang akan dihasilkan bergantung pada suatu kondisi/zat, yang disebut promoter. Semua proses biologis sel memerlukan enzim agar dapat berlangsung dengan cukup cepat dalam suatu arah lintasan metabolisme yang ditentukan oleh hormon sebagai promoter.Enzim bekerja dengan cara bereaksi dengan molekul substrat untuk menghasilkan senyawa intermediat melalui suatu reaksi kimia organik yang membutuhkan energi aktivasi lebih rendah, sehingga percepatan reaksi kimia terjadi karena reaksi kimia dengan energi aktivasi lebih tinggi membutuhkan waktu lebih lama.Sebagian besar enzim bekerja secara khas, yang artinya setiap jenis enzim hanya dapat bekerja pada satu macam senyawa atau reaksi kimia. Hal ini disebabkan perbedaan struktur kimia tiap enzim yang bersifat tetap. Sebagai contoh, enzim α-amilase hanya dapat digunakan pada proses perombakan pati menjadi glukosa.Kerja enzim dipengaruhi oleh beberapa faktor, terutama adalah substrat, suhu, keasaman, kofaktor dan inhibitor. Tiap enzim memerlukan suhu dan pH (tingkat keasaman) optimum yang berbeda-beda karena enzim adalah protein, yang dapat mengalami perubahan bentuk jika suhu dan keasaman berubah. Di luar suhu atau pH yang sesuai, enzim tidak dapat bekerja secara optimal atau strukturnya akan mengalami kerusakan. Hal ini akan menyebabkan enzim kehilangan fungsinya sama sekali. Kerja enzim juga dipengaruhi oleh molekul lain. Inhibitor adalah molekul yang menurunkan aktivitas enzim, sedangkan aktivator adalah yang meningkatkan aktivitas enzim. Banyak obat dan racun adalah inihibitor enzim.
V. METODE PRAKTIKUM1. Kerja Enzim Amilase pada Proses Pencernaan di Dalam Muluta. Alat dan BahanAlat Bahan1. Rak Tabung Reaksi2. Pembakar Spirtus3. Tabung Reaksi4. Penjepit Tabung Reaksi5. Bekker Glass6. Label Nama 1. Hati Sapi2. Kentang
3. Air
VI. CARA KERJA
VII. HASIL PENGAMATAN
NO ISI TABUNG H2O2 : AIR TinggiSebelum Tinggi Sesudah Gambar Sebelum Gambar Sesudah1 Hati 1 3 : 0 2, 4 cm 5 cm 2 Hati 2 2 : 1 3, 8 cm 6,8 cm 3 Hati 3 1,5 : 1,5 3 cm 4,6 cm 4 Hati 4 1 : 2 3,3 cm 6,2 cm 5 Hati 5 0 : 3 2 cm 4,5 cm 6 Kentang 3 : 0 2 cm 4 cm 7 Hati Rebus 3 : 0 2 cm 3,6 cm 8 Kentang Rebus 3 : 0 2 cm 3,6 cm
VIII. PEMBAHASANBeberapa enzim tidak memerlukan komponen tambahan untuk mencapai aktivitas penuhnya. Namun beberapa memerlukan pula molekul non-protein yang disebut kofaktor untuk berikatan dengan enzim dan menjadi aktif.[38] Kofaktor dapat berupa zat anorganik (contohnya ion logam) ataupun zat organik (contohnya flavin dan heme). Kofaktor dapat berupa gugus prostetik yang mengikat dengan kuat, ataupun koenzim, yang akan melepaskan diri dari tapak aktif enzim semasa reaksi.Enzim yang memerlukan kofaktor namun tidak terdapat kofaktor yang terikat dengannya disebut sebagai apoenzim ataupun apoprotein. Apoenzim beserta dengan kofaktornya disebut holoenzim (bentuk aktif). Kebanyakan kofaktor tidak terikat secara kovalen dengan enzim, tetapi terikat dengan kuat. Namun, gugus prostetik organik dapat pula terikat secara kovalen (contohnya tiamina pirofosfat pada enzim piruvat dehidrogenase). Istilah holoenzim juga dapat digunakan untuk merujuk pada enzim yang mengandung subunit protein berganda, seperti DNA polimerase. Pada kasus ini, holoenzim adalah kompleks lengkap yang mengandung seluruh subunit yang
diperlukan agar menjadi aktif.Contoh enzim yang mengandung kofaktor adalah karbonat anhidrase, dengan kofaktor seng terikat sebagai bagian dari tapak aktifnya.[39]Koenzim
Model pengisian ruang koenzim NADHKoenzim adalah kofaktor berupa molekul organik kecil yang mentranspor gugus kimia atau elektron dari satu enzim ke enzim lainnya.[38][40][41] Contoh koenzim mencakup NADH, NADPH dan adenosina trifosfat. Gugus kimiawi yang dibawa mencakup ion hidrida (H–) yang dibawa oleh NAD atau NADP+, gugus asetil yang dibawa oleh koenzim A, formil, metenil, ataupun gugus metil yang dibawa oleh asam folat, dan gugus metil yang dibawa oleh S-adenosilmetionina. Beberapa koenzim seperti riboflavin, tiamina, dan asam folat adalah vitamin.Oleh karena koenzim secara kimiawi berubah oleh aksi enzim, adalah dapat dikatakan koenzim merupakan substrat yang khusus, ataupun substrat sekunder. Sebagai contoh, sekitar 700 enzim diketahui menggunakan koenzim NADH.[42]Regenerasi serta pemeliharaan konsentrasi koenzim terjadi dalam sel. Contohnya, NADPH diregenerasi melalui lintasan pentosa fosfat, dan S-adenosilmetionina melalui metionina adenosiltransferase.
IX. KESIMPULANKerja enzim dipengaruhi oleh beberapa faktor, terutama adalah substrat, suhu, keasaman, kofaktor dan inhibitor. Tiap enzim memerlukan suhu dan pH (tingkat keasaman) optimum yang berbeda-beda karena enzim adalah protein, yang dapat mengalami perubahan bentuk jika suhu dan keasaman berubah. Di luar suhu atau pH yang sesuai, enzim tidak dapat bekerja secara optimal atau strukturnya akan mengalami kerusakan. Hal ini akan menyebabkan enzim kehilangan fungsinya sama sekali. Kerja enzim juga dipengaruhi oleh molekul lain. Inhibitor adalah molekul yang menurunkan aktivitas enzim, sedangkan aktivator adalah yang meningkatkan aktivitas enzim. Banyak obat dan racun adalah inihibitor enzim.
X. DAFTAR PUSTAKA• Poedjiadi,Anna dkk. 2005. Dasar-dasar Biokimia. Jakarta : Penerbit Universitas Indonesia (UI-Press)• http://id.wikipedia.org/ wiki/enzim• http://sectidacdaveris.wordpress.com/artikel-kedokteran-peran-enzim-dalam-metabolisme-dan-manfaatnya-dalam-pengobatan.• http://www.edukasi.net/mapok/mp_full.php?id=372&fname=materi3.html
PENGARUH pH dan SUHU terhadap AKTIVITAS ENZIM
Diposkan oleh Rosalia Kusumaningtyas Sabtu, 29 Januari 2011 1. PENDAHULUAN
1.1. Tinjauan Pustaka
Metabolisme merupakan salah satu ciri kehidupan yang merupakan bentuk transformasi tenaga atau
pertukaran zat melalui serangkaian reaksi biokimia. Dalam mahkluk hidup, reaksi metabolisme
berlangsung dengan melibatkan suatu senyawa protein yang disebut enzim. Enzim merupakan protein
yang khusus disintesis oleh sel hidup untuk mengkatalisis reaksi yang berlangsung di dalamnya. Fungsi
khusus dari enzim adalah untuk menurunkan energi aktivasi, mempercepat reaksi pada suhu dan
tekanan yang tetap tanpa mengubah besarnya tetapan keseimbangan dan sebagai pengendali reaksinya
(Martoharsono, 1994).
Enzim adalah substansi yang dihasilkan oleh sel-sel hidup dan berperan sebagai katalisator pada reaksi
kimia yang berlangsung dalam organisme. Katalisator adalah substansi yang mempercepat reaksi tetapi
pada hasil reaksi, substansi tersebut tidak berubah. Enzim mempunyai ciri dimana kerjanya dipengaruhi
oleh lingkungan. Salah satu lingkungan yang berpengaruh terhadap kerja enzim adalah pH. pH optimal
enzim adalah sekitar pH 7 (netral) dan jika medium menjadi sangat asam atau sangat alkalis enzim
mengalami inaktivasi (Gaman & Sherrington, 1994).
Suasana yang terlalu asam atau alkalis menyebabkan denaturasi protein dan hilangnya secara total
aktivitas enzim. Pada sel hidup, perubahan pH sangat kecil. Enzim hanya aktif pada kisaran pH yang
sempit. Oleh karena itu media harus benar-benar dipelihara dengan menggunakan buffer (larutan
penyangga). Jika enzim memiliki lebih dari satu substrat, maka pH optimumnya akan berbeda pada
suatu substrat (Tranggono & Sutardi, 1990). Tiap enzim memiliki karakteristik pH optimal dan aktif
dalam range pH yang relatif kecil, dalam banyak kasus, bentuk kurva menandakan dari keaktifan enzim
berbanding pH yang terkandung di dalamnya (Almet & Trevor, 1991).
Salah satu enzim yang diperlukan untuk pertumbuhan adalah amilase. Amilase dapat diartikan
sebagai segolongan enzim yang merombak pati, glikogen dan polisakarida yang lain. Tumbuhan
mengandung α dan β amilase, hewan memiliki hanya α amilase, dijumpai dalam cairan pankreas
dan juga (pada manusia dan beberapa spesies lain) dalam ludah. Amilase memotong rantai
polisakarida yang panjang, menghasilkan campuran glukosa dan maltosa. Amilosa merupakan
polisakarida yang terdiri dari 100-1000 molekul glukosa yang saling berikatan membentuk rantai
lurus. Dalam air, amilosa bereaksi dengan iodin memberikan warna biru yang khas (Fox, 1991).
Ada beberapa faktor untuk menentukan aktivitas enzim berdasarkan efek katalisnya yaitu
persamaan reaksi yang dikatalis, kebutuhan kofaktor, pengaruh konsentrasi substrat dan
kofaktor, pH optimal, daerah temperatur, dan penentuan berkurangnya substrat atau
bertambahnya hasil reaksi. Penentuan ini biasa dilakukan di pH optimal dengan konsentrasi
substrat dan kofaktor berlebih, menjadikan laju reaksi yang terjadi merupakan tingkat ke 0 (zero
order reaction) terhadap substrat. Pengamatan reaksinya dengan berbagai cara kimia atau
spektrofotometri. Ada dua teori tentang mekanisme pengikatan substrat oleh enzim, yaitu teori
kunci dan anak kunci (lock and key) dan teori induced fit (Wirahadikusumah, 1989).
Enzim sebagai protein akan mengalami denaturasi jika suhunya dinaikkan. Akibatnya daya kerja enzim
menurun. Pada suhu 45°C efek predominanya masih memperlihatkan kenaikan aktivitas sebagaimana
dugaan dalam teori kinetik. Tetapi lebih dari 45°C menyebabkan denaturasi ternal lebih menonjol dan
menjelang suhu 55°C fungsi katalitik enzim menjadi punah (Gaman & Sherrington, 1994). Hal ini juga
terjadi karena semakin tinggi suhu semakin naik pula laju reaksi kimia baik yang dikatalisis maupun
tidak. Karena itu pada suhu 40oC, larutan tidak ada gumpalan, begitu juga pada suhu ruang, sedngkan
pada suhu 100oC masih ada gumpalan – gumpalan yang menunjukkan kalau enzim rusak. Pada suhu
ruang, enzim masih dapat bekerja dengan baik walaupun tidak optimum (Gaman & Sherrington, 1994).
Amilase adalah enzim pemecah karbohidrat dari bentuk mejemuk menjadi bentuk yang lebih
sederhana. Misalnya, pati dan glikogen dipecah menjadi maltosa, maltotriosa atau oligosakarida.
Enzim ini terdapat dalam air liur (ptialin) dan getah pankreas yang membantu pencernaan
karbohidrat dalam makanan. Darah normal juga mengandung sedikit amilase dari hasil
pemecahan sel yang berlangsung secara normal. Pada penyakit radang pankreas, gondongan,
kencing manis, kadarnya dalam darah meningkat. Sebaliknya pada penyakit hati, kadarnya
menurun (Anonim, 1990).
Sifat-sifat enzim antara lain :
1. Spesifitas
Aktivitas enzim sangat spesifik karena pada umumnya enzim tertentu hanya akan mengkatalisis satu
reaksi saja. Sebagai contoh, laktase menghidrolisis gula laktosa tetapi tidak berpengaruh terhadap
disakarida yang lain. Hanya molekul laktosa saja yang akan sesuai dalam sisi aktif molekul (Gaman &
Sherrington, 1994).
2. Pengaruh suhu
Aktivitas enzim sangat dipengaruhi oleh suhu. Untuk enzim hewan suhu optimal antara 35°C dan
40°C, yaitu suhu tubuh. Pada suhu di atas dan di bawah optimalnya, aktivitas enzim berkurang. Di
atas suhu 50°C enzim secara bertahap menjadi inaktif karena protein terdenaturasi. Pada suhu
100°C semua enzim rusak. Pada suhu yang sangat rendah, enzim tidak benar-benar rusak tetapi
aktivitasnya sangat banyak berkurang (Gaman & Sherrington, 1994). Enzim memiliki suhu optimum
yaitu sekitar 180-230C atau maksimal 400C karena pada suhu 450C enzim akan terdenaturasi karena
merupakan salah satu bentuk protein. (Tranggono & Setiadji, 1989).
Suhu yang tinggi akan menaikkan aktivitas enzim namun sebaliknya juga akan mendenaturasi enzim
(Martoharsono, 1994). Peningkatan temperatur dapat meningkatkan kecepatan reaksi karena
molekul atom mempunyai energi yang lebih besar dan mempunyai kecenderungan untuk
berpindah. Ketika temperatur meningkat, proses denaturasi juga mulai berlangsung dan
menghancurkan aktivitas molekul enzim. Hal ini dikarenakan adanya rantai protein yang tidak
terlipat setelah pemutusan ikatan yang lemah sehingga secara keseluruhan kecepatan reaksi akan
menurun (Lee, 1992).
3. Pengaruh pH
pH optimal enzim adalah sekitar pH 7 (netral) dan jika medium menjadi sangat asam atau sangat
alkalis enzim mengalami inaktivasi. Akan tetapi beberapa enzim hanya beroperasi dalam keadaan
asam atau alkalis. Sebagai contoh, pepsin, enzim yang dikeluarkan ke lambung, hanya dapat
berfungsi dalam kondisi asam, dengan pH optimal 2 (Gaman & Sherrington, 1994).
Enzim memiliki konstanta disosiasi pada gugus asam ataupun gugus basa terutama pada residu
terminal karboksil dan asam aminonya. Namun dalam suatu reaksi kimia, pH untuk suatu enzim
tidak boleh terlalu asam maupun terlalu basa karena akan menurunkan kecepatan reaksi dengan
terjadinya denaturasi. Sebenarnya enzim juga memiliki pH optimum tertentu, pada umumnya
sekitar 4,5–8, dan pada kisaran pH tersebut enzim mempunyai kestabilan yang tinggi (Williamson &
Fieser, 1992).
4. Ko-enzim dan aktovator
Ko-enzim adalah substansi bukan protein yang mengaktifkan enzim. Beberapa ion anorganik,
misalnya ion kalsium dan ion klorida, menaikkan aktivitas beberapa enzim dan dikenal sebagai
aktivator (Gaman & Sherrington, 1994).
Salah satu enzim yang diperlukan untuk pertumbuhan adalah amilase, khususnya pada tanaman yang
mengandung banyak karbohidrat seperti pisang dan beberapa serealia serta bahan makanan pokok.
Dimana amilase ini akan mengkatalis hidrolisis karbohidrat yang berupa pati menjadi dekstrin dan
kemudian menjadi maltosa, yang terjadi saat perkecambahan serealia. Pati yang merupakan polisakarida
dan tidak larut dalam air dingin serta membentuk koloid pada air panas memiliki reaksi spesifik dengan
iodium. Poligalakturonase, peroksidase dan fosfatase semuanya merupakan enzim yang berfungsi
menguraikan komponen kompleks menjadi sederhana sehingga bisa dikonsumsi (Kartasapoetra, 1994).
Kecepatan reaksi enzim dipengaruhi oleh berbagai kondisi fisik dan kimia. Beberapa faktor penting yang
mempengaruhi kerja enzim adalah konsentrasi berbagai komponen (seperti substrat, produk, enzim,
kofaktor, dll), pH, temperatur, dan gaya irisan. Kecepatan reaksi enzim sangat dipengaruhi oleh pH
larutan baik secara in vivo maupun secara in vitro. Jenis hubungan antara kecepatan reaksi dan pH
ditunjukkan dengan kurva berbentuk lonceng. Setiap enzim mempunyai pH optimum yang berbeda–
beda (Lee, 1992).
Aktivitas enzim juga dipengaruhi oleh suhu. Untuk enzim, suhu optimal antara 35◦ C dan 40◦ C, yaitu suhu
tubuh. Pada suhu di atas dan di bawah optimalnya, aktifitas enzim akan berkurang. Di atas suhu 50 ◦ C
enzim secara bertahap menjadi inaktif karena protein terdenaturasi. Pada suhu 100◦ C semua enzim
rusak. Pada suhu yang sangat rendah, enzim tidak benar-benar rusak tetapi aktivasinya sangat banyak
berkurang (Gaman & Sherrington, 1994).
Kebanyakan enzim membutuhkan medium cair untuk mendukung aktivitas katalisasi air penting untuk
menyusun struktur enzim. Hasil dari protein dalam air terdiri dari 3 bagian:
Tipe I : molekul air mempunyai penyusun seperti larutan murni dan tidak memiliki interaksi dengan
protein.
Tipe II : molekul air tidak sepenuhnya terikat pada protein.
Tipe III : molekul air terikat kuat dengan protein menghasilkan bagian yang berkembang dalam struktur
protein (Fox, 1991).
Salah satu enzim yang diperlukan untuk pertumbuhan adalah amilase. Amilase dapat diartikan sebagai
segolongan enzim yang merombak pati, glikogen, dan polisakarida yang lain. Tumbuhan mengandung α
dan ß amylase; hewan memiliki hanya α amylase, dijumpai dalam cairan pankreas dan juga (pada
manusia dan beberapa spesies lain) dalam ludah. Amilase memotong rantai polisakarida yang panjang,
menghasilkan campuran glukosa dan maltosa. Amilosa merupakan polisakarida yang terdiri dari 100-
1000 molekul glukosa yang saling berikatan membentuk rantai lurus. Dalam air, amilosa bereaksi dengan
iodine memberikan warna biru yang khas (Fox, 1991). Pada manusia, α amilase pada ludah dan pankreas
berguna dalam hidrolisis pati yang terkandung dalam makanan ke dalam bentuk aligosakarida, di mana
dalam perubahan tersebut dapat dihidrolisis oleh disakarida atau trisakarida dalam jumlah kecil.
Contohnya, α amilase pada mamalia memiliki pH optimum 6-7, bergantung pada ada atau tidaknya ion
halogen (Whitackr, 1994).
α amilase mempunyai beberapa sifat, antara lain :
a. Di dalam larutan pati, kehilangan daya viskositas yang lebih cepat.
b. Warna iodine akan lebih cepat hilang.
c. Proses produksi maltosa lebih lambat.
d. Tidak memproduksi glukosa.
e. Suhu tinggi konsentrasi α amylase akan mempercepat proses kerja dari viskositas dan perubahan
warna iodine (Whitackr, 1994).
Larutan buffer adalah larutan yang tahan terhadap perubahan pH dengan penambahan asam atau basa.
Larutan seperti itu digunakan dalam berbagai percobaan biokimia dimana dibutuhkan pH yang
terkontrol dan tepat ( Fardiaz, 1992 ). Larutan buffer bermanfaat untuk melarutkan kotoran yang masih
terikut di dalam endapan enzim tersebut sekaligus bisa mencegah enzim dari denaturasi dan kehilangan
fungsi biologisnya ( Fox, 1991 ). Buffer dapat mempertahankan kondisi enzim presipitat agar tidak terjadi
perubahan pH dan mencegah agar enzim tidak mengalami inaktivasi (Winarno, 1995 ).
1.2. Tujuan Praktikum
Tujuan dilakukannya praktikum ini adalah untuk mengetahui efek dari nilai pH yang berbeda dan
pemanasan terhadap aktivitas enzim.
2. MATERI DAN METODE
2.1. Materi
2.1.1. Alat
Alat yang digunakan dalam pratikum ini adalah water bath, spektofotometer, tabung reaksi, timbangan
analitik, penjepit, pipet volume, pompa, stopwatch, beaker glass, vortex, cawan dan batang porselin.
2.1.2. Bahan
Bahan yang digunakan dalam praktikum ini adalah reagen Benedict, larutan Buffer pada pH 3,5,7,9,
larutan pati 1%, air destilasi, kacang hijau segar, kacang tanah segar, kecambah kacang hijau, kecambah
kacang tanah dan pepaya (menatah dan mendidih).
2.2. Metode
Kecambah dan buah ditimbang dalam beaker glass sebanyak 15 g. Setelah itu ditambahkan dengan 30
ml larutan buffer. Larutan campuran tersebut disaring dengan kain mori dan filtrat yang dihasilkan
ditampung. Larutan tersebut ada yang tidak dipanaskan(kelompok 1, 2, 3, 4, 5, 6, 7, 8) dan ada yang
dipanaskan (kelompok 9, 10, 11, 12, 13). Kemudian masing-masing tabung reaksi diberi label dan diisi
dengan 2 ml larutan pati dan ditambahkan pula ke dalamnya masing – masing tabung berbeda yaitu 1
ml aquadestilata, 1 ml buffer pH 3, 1 ml buffer pH 5, 1 ml buffer pH 7, dan 1 ml buffer pH 9 seperti tabel
di bawah ini :
TabungLarutan pati 2 2 2 2 2Enzim = tidak dididihkan (setelah inkubasi 2 menit)
4 4 4 4 4
1 Aquades 2 - - - -2 Buffer pH 3 - 2 - - -3 Buffer pH 5 - - 2 - -4 Buffer pH 7 - - - 2 -5 Buffer pH 9 - - - - 2
Kelima tabung reaksi tersebut di-vortex. Kemudian di-inkubasi dalam waterbath 38oC selama 2 menit.
Setelah itu, 2 ml larutan enzim yang didinginkan atau dipanaskan tadi ditambahkan ke masing – masing
tabung reaksi dan di-vortex. Inkubasi selama 10 menit dilakukan kembali terhadap tabung–tabung reaksi
tersebut. Setelah itu, 0,5 ml larutan reagen Benedict ditambahkan ke setiap tabung reaksi dan diukur
besar OD ( Optical Density ) pada λ 620. Grafik hubungan antara nilai pH terhadap OD digambar.
3. HASIL PENGAMATAN
Hasil percobaan tentang pengaruh pH yang berbeda dan pemanasan terhadap aktivitas enzim, dapat
dilihat pada Tabel 1 dan Grafik 1.
Tabel 1. Pengamatan Nilai Absorbansi pada Larutan
KelTabung
1aquades
2pH 3
3pH 5
4pH 7
5pH 9
B1 + B2 0,9581 1,1245 0,8719 0,9199 0,9213
B3 + B4 1,3486 1,3844 1,2830 1,4868 1,4480B5 + B6 0,2706 0,2289 0,1968 0,2388 0,2415B7 + B8 0,8425 0,3041 0,5631 1,0240 1,1146
B9 + B10 0,1237 0,1879 0,1180 0,1219 0,1552B11
B12
B13
0,99480,33910,4248
0,94580,24120,2143
0,85610,19570,5701
0,78780,21200,6078
0,90050,20800,6193
Kelompok B1-B8 mengalami perlakuan enzim tidak didihkan dan kelompok B9-B13 mengalami perlakuan
enzim didihkan. Dengan perincian kelompok B1 + B2 & B9 + B10 Kacang Hijau Segar, B3 + B4 & B11
Kecambah Kacang Hijau, B5 + B6 & B12 Pepaya Mentah, B7 + B8 & B13 Pepaya Matang.
Grafik 1. Grafik Pengamatan Nilai Absorbansi pada Larutan
Pada Tabel 1 dan Grafik 1 nilai absorbansi yang didapat oleh semua kelompok berbeda satu dengan yang
lain. Dapat dilihat bahwa nilai absorbansi pada kelompok B9-B13 (enzim mendidih) jika dibandingkan
dengan nilai absorbansi kelompom B1-B8 (enzim tidak mendidih) memiliki nilai yang jauh lebih rendah
pada bahan dan pH yang sama.
4. PEMBAHASAN
Berdasarkan hasil pengamatan di atas, data dan grafik kelompok B1-B8 dengan kelompok B9-B13
tidaklah sama. Pada percobaan kelompok B1-B8 enzim tidak dididihkan sedangkan pada percobaan
kelompok B9-B13 enzim dididihkan dengan perlakuan pH yang sama dari percobaan tersebut terdapat
perbedaan hasil pengamatan. Pada enzim yang tidak dididihkan dihasilkan nilai OD berada ditingkat nilai
absorbansi yang lebih tinggi, sedangkan pada enzim yang dipanaskan cenderung nilai OD-nya berada
ditingkat absorbansi yang lebih rendah. Hal tersebut terlihat bahwa enzim dipengaruhi oleh panas atau
suhu, yang ditunjukkan dengan nilai absorbansinya. Semakin tinggi suhunya, nilai absorbansinya
semakin turun, karena enzim mengalami inaktivasi pada suhu tinggi. Enzim memiliki suhu optimum yaitu
sekitar 180-230C atau maksimal 400C karena pada suhu 450C enzim akan terdenaturasi karena
merupakan salah satu bentuk protein, pernyataan ini sesuai dengan Tranggono & Setiadji (1989). Pada
enzim yang dididihkan, enzim akan bertahap menjadi inaktif karena terjadi perubahan struktur enzim.
Sesuai dengan pernyataan Gaman & Sherrington (1994), bahwa suhu optimal enzim antara 35oC dan
40oC. Sehingga jika suhu berada di atas optimal, maka aktivitasnya akan berkurang yang terlihat dari
menurunnya nilai absorbansinya.
Sedangkan pada pengaruh pH didapatkan bahwa setiap bahan memiliki nilai pH optimum untuk
melakukan aktivitas enzimnya, yang dapat dilihat dari nilai absorbansinya. Pada bahan yang tidak
dipanaskan enzimnya dengan kacang hijau segar diperoleh bahwa nilai absorbansi tertinggi diperoleh
pada pemberian pH 3, pada kecambah kacang hijau pada pemberian pH 7, pada pepaya mentah pada
pemberian aquades dan pada pepaya matang pada pemberian pH 9. Sedangkan pada bahan yang
dipanaskan enzimnya dengan kacang hijau segar diperoleh bahwa nilai absorbansi tertinggi diperoleh
pada pemberian pH 3, pada kecambah kacang hijau pada pemberian aquades, pada pepaya mentah
pada pemberian aquades dan pada pepaya matang pada pemberian pH 9. Seharusnya, menurut Gaman
& Sherrington (1994) semakin besar atau basa pH yang digunakan maka semakin rendah nilai OD-nya
dikarenakan enzim mengalami denaturasi. Suhu yang tinggi akan menaikkan aktivitas enzim tapi suhu
yang terlalu tinggi pun dapat mendenaturasi enzim. Ketika temperatur meningkat, pH optimal enzim
adalah sekitar pH 7 (netral) dan jika medium menjadi sangat asam atau sangat alkalis enzim mengalami
inaktivasi. Akan tetapi beberapa enzim hanya beroperasi dalam keadaan asam atau alkalis, sedangkan
aktivitas enzim sangat dipengaruhi oleh suhu. Hal ini dapat terjadi karena terjadi kesalahan saat
praktikum saat pengukuran absorbasi atau mungkin juga setiap bahan yang berbeda memang memiliki
pH optimumnya masing-masing.
Untuk enzim hewan suhu optimal antara 35°C dan 40°C, yaitu suhu tubuh. Pada suhu di atas dan di
bawah optimalnya, aktivitas enzim berkurang. Di atas suhu 50°C enzim secara bertahap menjadi inaktif
karena protein terdenaturasi. Pada suhu 100°C semua enzim rusak. Pada suhu yang sangat rendah,
enzim tidak benar-benar rusak tetapi aktivitasnya sangat banyak berkurang, hal ini sesuai pernyataan
Gaman & Sherrington (1994). Enzim sebagai protein akan mengalami denaturasi jika suhunya dinaikkan.
Akibatnya daya kerja enzim menurun. Suasana yang terlalu asam atau alkalis menyebabkan denaturasi
protein dan hilangnya secara total aktivitas enzim. Larutan buffer adalah larutan yang tahan panas
terhadap perubahan pH dengan penambahan asam atau basa. Dengan menggunakan larutan buffer
inilah kita mendapatkan pH yang terkontrol dan tepat.
5. KESIMPULAN
· Enzim pada umumnya memiliki pH optimum 7 atau sekitarnya sehingga kerja enzim optimum,
karena suasana yang terlalu asam atau alkalis menyebabkan denaturasi protein dan
hilangnya secara total aktivitas enzim.
· Suhu optimum enzim yaitu 30-40oC, pada suhu 50oC enzim menjadi inaktif karena protein
terdenaturasi, dan pada suhu 100oC enzim rusak.
· Larutan Buffer digunakan untuk menjaga aktivitas enzim agar tidak rusak dan mengalami
aktivasi saat penambahan pH.
· Nilai absorbansi pada percobaan ini dapat menunjukkan nilai aktivitas enzim yang dipengaruhi
oleh pH dan suhu tertentu.
6. DAFTAR PUSTAKA
Anonim. (1990). Ensiklopedi Nasional Indonesia.PT Cipta Adi Pustaka. Jakarta.
Fardiaz, S. (1992). Mikrobiologi Pangan 1. Gramedia Pustaka. Jakarta.
Fox, P.F. (1991). Food Enzymology Vol 2. Elsevier Applied Science. London.
Gaman, P.M & K.B. Sherrington. (1994). Ilmu Pangan, Pengantar Ilmu Pangan, Nutrisi dan Mikrobiologi.
Universitas Gadjah Mada press. Yogyakarta.
Kartasapoetra,A.G. (1994). Teknologi Penanganan Pasca Panen. Rineka Cipta. Jakarta.
Lee, J. M. (1992). Biochemical Engineering. Prentice Hall Inc. New Jersey.
Martoharsono, S. (1994). Biokimia jilid 1. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.
Tranggono,B.S. (1989). Petunjuk Laboratorium Biokimia Pangan. Pusat Antar Universitas
Pangan dan Gizi. Yogyakarta.
Tranggono & Sutardi. (1990). Biokimia dan Teknologi Pasca Panen. Gajah Mada university Press.
Yogyakarta.
Williamson,K.L & L.F.Fieser. (1992). Organic Experiment 7th Edition. D C Health ang
Company. United States of America.
Wirahadikusumah, M. (1989). Biokimia : protein, enzim, dan asam nukleat. Institut Teknologi Bandung.
Bandung.
6. LAMPIRAN
6.1. Laporan Sementara
6.2. Lampiran Artikel
Laporan Praktikum Biokimia : Enzim
Pendahuluan
Enzim adalah suatu kelompok protein yang menjalankan dan mengatur perubahan-perubahan
kimia dalam system biologi. Zat ini dihasilkan oleh organ-organ hewan dan tanaman, yang secara
katalitik menjalankan berbagai reaksi seperti pemecahan hidrolisis, oksidasi, reduksi, isomerisasi, adisi,
transfer radikal dan pemutusan rantai karbon (Timotius 1982). Kebanyakan enzim yang terdapat di
dalam alat atau organ dari organisme berupa larutan koloidal dalam cairan tubuh seperti, air ludah,
darah, cairan lambung, dan cairan pancreas. Enzim terdapat di bagian dalam sel, berkaitan dengan
protoplasma. Enzim juga terdapat dalam mitokondria dan ribosom. Enzim atau biokatalisator adalah
katalisator organik yang dihasilkan oleh sel
Aktivitas katalis yang dimiliki enzim merupakan alat ukur yang selektif dan sensitif terhadap
aktivitas enzim. Aktivitas enzim dapat diamati dari sisa substrat, pH, suhu, dan indikator. Faktor yang
mempengaruhi pengukuran aktivitas enzim antara lain konsentrasi enzim dan substrat, suhu, pH, dan
indikator. Aktivitas enzim meningkat bersamaan dengan peningkatan suhu, laju berbagai proses
metabolisme akan naik sampai batasan suhu maksimal. Sebagian besar enzim suhu optimalnya berada
diatas suhu dimana enzim itu berada.
Aktivitas enzim maksimal diperoleh pada pH optimal, untuk saliva (enzim amilase) pHnya 7.
Bentuk kurva aktivitas pH ditentukan oleh denaturasi enzim (pada pH tinggi atau rendah) dan
penambahan status bermuatan pada enzim dan atau substrat. Enzim dapat pula mengalami perubahan
bentuk bila pH bervariasi. Untuk menentukan kecepatan reaksi, sebenarnya pengaruh konsentrasi
substratlah yang sangat berarti. Namun, konsentrasi substrat yang menunjukkan kecepatan maksimal
aktivitas enzim akan mencerminkan jumlah enzim aktif yang ada.Inhibitor non kompetitif irreversibel
adalah suatu zat yang menghambat kerja enzim dengan cara berikatan dengan enzim tetapi bukan pada
active sidenya, karena inhibitor tidak memiliki kesamaan dengan struktur substrat, maka peningkatan
konsentrasi substrat umumnya tidak menghilangkan inhibitor tersebut. Banyak racun yang bekerja
sebagai inhibitor non kompetitif irreversibel terhadap aktivitas enzim, antara lain ion logam berat,
iodosetamida, dan zat-zat pengoksidatif.
Air liur mengandung air kira-kira 99,5%. Sekitar dua pertiga dari bahan terlarut dalam air liur
merupakan bahan organik dan sepertiganya adalah bahan anorganik. Cairan air liur mengandung α-
amilase yang menghidrolisa ikatan α(1→4) pada cabang sebelah luar glikogen dan amilopektin menjadi
glukosa, sejumlah kecil maltosa, dan suatu inti tahan hidrolisa yang disebut dekstrin. Hanya sebagian
kecil amilum yang dapat dicema di dalam mulut, oleh karena itu sebaiknya makanan dikunyah lebih
lama untuk memberi kesempatan lebih banyak pemecahan amilum di rongga mulut. Enzim amilase
memiliki kemampuan untuk memecah molekul-molekul pati dan glikogen. Molekul pati yang merupakan
polimer dari alfa-D-glikopiranosa akan dipecah oleh enzim pada ikatan alfa-1,4- dan alfa-1,6-glikosida
(DSC Biokimia FKG UGM 2004).
Papain merupakan enzim protease yang terkandung dalam getah papaya, baik dalam buah,
batang dan daunnya. Sebagai enzim yang berkemampuan memecah molekul protein, papain menjadi
suatu produk yang sangat bermanfaat bagi kehidupan manusia, baik di rumah tangga maupun industri.
Enzim yang bekerja pada papain ialah enzim protease (Subagyo 2008).
Penggolongan (Klasifikasi) enzim antara lain Hidrolase merupakan enzim-enzim yang
menguraikan suatu zat dengan pertolongan air, oksidase dan reduktase yaitu enzim yang membantu
dalam proses oksidasi dan reduksi dan desmolase yaitu enzim-enzim yang memutuskan ikatan-ikatan C-
C, C-N dan beberapa ikatan lainnya. Enzim juga dapat dibedakan menjadi eksoenzim dan endoenzim
berdasarkan tempat kerjanya, ditinjau dari sel yang membentuknya. Selain itu dikenal juga enzim
konstitutif dan enzim induktif(Anna 2006).
Tujuan
Percobaan ini bertujuan menentukan sifat dan susunan air liur, getah lambung, menentukan
pengaruh pH dan suhu terhadap aktivitas enzim, dan menentukan titik akromatik.
Alat dan Bahan
Alat-alat yang digunakan ialah gelas piala 100mL, 250 mL, dan 500 mL, pipet tetes, pipet Mohr 5
mL dan 10 mL, tabung reaksi, piknometer, termometer, pembakar Bunsen, kaki tiga, kawat kassa,
corong gelas, gelas arloji, sudip, kertas saring, glass wool, spot plate, kertas indicator universal,
penangas air, dan botol semprot.
Bahan-bahan yang digunakan ialah air liur (saliva), indikator fenolftalein, metil orange, pereaksi
Biuret, pereaksi Molisch, pereaksi Millon, pereaksi Molibdat, pereaksi Benedict, pereaksi Iodium, HNO 3
10%, AgNO3 2%, HCl 10%, urea 10%, larutan Na2CO3 1 %,0.1%, dan 0.5%, NaOH 10%, CuSO4 0.1%, asam
asetat encer, larutan BaCl2, larutan ferosulfat, H2SO4 pekat indikator amilum 1%, tepung pati, aquades,
ekstrak papain, dan fibrin.
Prosedur Kerja
Prosedur awal yang dilakukan adalah pembuatan sampel enzim amylase. Rongga mulut
dibersihkan dengan cara berkumur-kumur sebanyak 3 kali. Sepotong kapas dikunyah atau dengan kertas
saring yang dibasahi asam asetat encer (untuk menstimulasi air liur). Air liur dikumpilkan sampai 50 mL
dan emulsi yang terbentuk disaring dengan glass wool. Air lur yang telah dikumpulkan akan digunakan
untuk uji air liur terhadap bobot jenis dengan menggunakan piknometer, uji reaksi dengan lakmus PP
dan MO, uji terhadap pereaksi Biuret, Millon dan Molisch, uji terhadap klorida, sulfat dan fosfat, serta uji
terhadap Musin.
Uji bobot jenis dengan piknometer. Botol piknometer beserta tutupnya (kosong) ditimbang dan
bobot piknometer kosong dicatat. Botol piknometer selanjutnya diisi dengan air liur sampai meluber lalu
tutup. Piknometer yang telah berisi sampel air liur (saliva) kemudian ditimbang kembali dan bobotnya
dicatat. Bobot jenis saliva dihitung dengan cara membandingkan massa air liur (saliva) dengan volume
piknometer yang digunakan.
Uji reaksi dengan lakmus PP dan MO. Sebanyak dua buah tabung reaksi disiapkan dan sebanyak
2 mL saliva dipipet ke dalam masing-masing tabung. Tabung pertama diberi 3 tetes indikator fenolftalein
dan tabung kedua diberi 3 tetes indikator metil orange. Kedua tabung diuji keasaman dan kebasaannya
dengan kertas lakmus.
Uji terhadap pereksi Biuret. Sebanyak 1 mL sampel air liur (saliva) dipipet ke dalam tabung reaksi
dan ditambahkan beberapa tetes pereaksi Biuret sampai larutan berubah warna menjadi violet. Uji
terhadap pereaksi Millon. Sebanyak 1 mL sampel air liur (saliva) dipipet ke dalam tabung reaksi dan
ditambahkan 2 tetes pereaksi Millon. Tabung kemudian dipanaskan pada penangas air sampai
menunjukkan perubahan warna (+ merah, - kuning). Uji terhadap pereaksi Molisch. Sebanyak 1 mL
sampel air liur (saliva) dipipet ke dalam tabung reaksi. Sebanyak ditambahkan 2 tetes peraksi Molisch
dan 1.5 mL H2SO4 (P) (dilewatkan melalui dinding). Jika terbentuk cincin berwarna ungu menunjukkan
hasil (+), jika cincin berwarna coklat atau kuning menunjukkan hasil (-).
Uji Klorida. Sebanyak 1 mL sampel air liur (saliva) dipipet ke dalam tabung reaksi. Kemudian
ditambahkan 1 mL AgNO3 2% dan 1 mL HNO3 10% sampai terbentuk endapan berwarna putih. Uji Sulfat.
Sebanyak 1 mL sampel air liur (saliva) dipipet ke dalam tabung reaksi. Kemudian ditambahkan 1 mL BaCl 2
dan 1 mL HCl 10% sampai terbentuk endapan berwarna putih. Uji fosfat. 1 mL sampel air liur (saliva)
dipipet ke dalam tabung reaksi. Kemudian ditambahkan 1 mL urea 10%, 1 mL pereaksi Molibdat dan 1
mL ferosulfat sampai larutan berubah warna menjadi biru (+). Jika larutan berwarna kuning, maka hasil
negatif. Uji Musin. Sebanyak 2 mL sampel air liur (saliva) dipipet ke dalam tabung reaksi dan ditambah
pertetes asam asetat encer sampai terbentuk endapan yang amorforus.
Prosedur kedua adalah uji pengaruh suhu pada aktivitas amylase air liur. Sebanyak 4 buah
tabung reaksi disiapkan dan masing-masing tabung diisi dengan 2 mL sampel air liur (saliva) dan 2 mL
aquades. Tabung dikocok dan masing-masing disimpan pada suhu yang berbeda. Tabung 1 diletakkan di
dalam penangas es bersuhu 10˚C, tabung 2 diletakkan pada suhu ruang 25˚C, tabung 3 dan 4 diletakkan
di dalam penangas air yang bersuhu 37˚C dan 80˚C selama 15 menit. Setelah itu pada masing-masing
tabung ditambahkan 1 mL larutan kanji 1%. Larutan dikocok dan dikembalikan ke masing-masing kondisi
sebelumnya selama 10 menit.
Prosedur ketiga adalah uji pengaruh pH terhadap aktivitas amylase air liur. Sebanyak 4 buah
tabung reaksi disiapkan. Tabung 2 diisi dengan 2 mL HCl, tabung 2 diisi dengan 2 mL asam asetat, tabung
3 diisi dengan 2 mL aquades, dan tabung 4 diisi dengan 2 mL Na2CO3 0.1%. masing nilai pH larutan
adalah 1, 5, 7, dan 9. Kemudian ditambahkan 1 mL larutan kanji 1% dan 2 mL air liur (saliva) ke dalam
masing-masing tabung lalu dikocok dan diletakkan pada penangas air bersuhu 37˚C selama 15 menit.
Setelah 15 menit, isi tabung masing-masing diuji dengan pereaksi iodium dan pereaksi Benedict.
Prosedur keempat adalah hidrolisis pati matang oleh amylase air liur. Sebanyak 4 tetes sampel
air liur (saliva) dipipet ke dalam tabung reaksi dan ditambah 10 mL larutan kanji 1%. Tabung dikocok lalu
disimpan pada penangas air bersuhu 37˚C. Setiap 1 menit larutan dipipet ke atas spot plate dan
diteteskan pereaksi Iodium. Perubahan warna dicatat sampai larutan tidak menunjukkan perubahan
warna lagi (mencapai titik akromatik).
Prosedur kelima adalah hidrolisis pati mentah oleh amylase air liur. Seujing sudip tepung pati
dimasukkan ke dalam tabung reaksi dan ditambahkan 5 mL aquades. Tabung dikocok lalu ditambah 10
tetes sampel air liur (saliva) dan disimpan pada penangas air bersuhu 37˚C selama 20 menit. Setiap 5
menit larutan diteteskan ke atas spot plate dan diteteskan pereaksi Iodium. Perubahan warna dicatat
sampai larutan berwarna kuning pudar. Hasil percobaan dibandingkan dengan hasil percobaan hidrolisis
pati matang oleh amylase air liur.
Prosedur keenam adalah uji temperatur optimum aktivitas papain. Sebanyak 4 buah tabung
reaksi disiapkan dan masing-masing tabung diisi dengan 3 mL ekstrak papain 0.5% . tabung 1 disimpan
pada penangas es, tabung 2 disimpan pada suhu kamar 25˚C, tabung 3 dan 4 disimpan pada penangas
air bersuhu 37˚C dan 70˚C selama 10 menit. Setelah 10 menit (temperatur dalam tabung telah sama
dengan temperature lingkungan) temperatur isi tabung diukur dan dicatat. Seujung sudip fibrin
dibubuhkan ke dalam masing-masing tabung (sama banyak) dan diaduk dengan hati-hati. Masing-
masing tabung diamati setiap selang waktu 1 menit (sampai 5 menit) dan jika ada pelepasan warna
fibrin dicatat ada menit ke berapa.
Prosedur ketujuh adalah uji aktivitas papain. Sebanyak 4 buah tabung reaksi disiapkan. Tabung 1
dan 2 diisi dengan 3 mL ekstrak papain dan tabung 3 dan 4 diisi dengan 3 mL aquades (kontrol). Seujung
sudip fibrin dibubuhkan ke dalam masing-masing larutan (sama banyak) dan diaduk lalu disimpan pada
penangas air pada suhu 37˚C (tabung 1 dan 3) dan suhu 65˚C (tabung 2 dan 4). Masing-masing tabung
diamati apakah terjadi pelepasan warna fibrin. Jika tidak terjadi pelepasan warna fibrin, konsentrasi
lrutan ekstrak fibrin dinaikkan.
Prosedur kedelapan adalah uji pH optimum aktivitas papain. Sebanyak 4 buah tabung reaksi
disiapkan dan masing-masing diisi 3 mL ekstrak papain 0.5%. Tabung 1 ditambah 3 mL aquades (kontrol),
tabung 2 ditambah 3 mL Na2CO3 0.5%, tabung 3 ditambah 3 mL Na2CO3 1%, dan tabung 4 ditambah 3 mL
HCl 0.6%. Larutan diaduk dan masing-masing diukur pH-nya dengan indikator universal. Seujung sudip
fibrin dibubuhkan ke dalam masing-masing larutan (sama banyak) lalu disimpan pada penangas air
bersuhu 37˚C . Larutan diamati setiap selang waktu 5 menit selama 20 menit. Perubahan dicatat pada
pH berapa pelepasan fibrin terjadi paling banyak.
Data dan Hasil Pengamatan
Tabel 1 Data hasil sifat-sifat fisik air liurIndikator Pengamatan Perubahan warna Gambar
Suhu (oC) 29 oCBerat jenis 0.9084 g/mL
pH 8
Fenolftalin (PP) Basa Merah muda
Metil Orange Basa Orange
Perhitungan densitas air liur:m = a – b
= 18.3676 g – 9.1720 g= 9.196 g
Keterangan:a = bobot kosong piknometer + salivab = bobot kosong piknometerV = volume piknometerρ = bobot jenis salivam = bobot saliva
Tabel 2 Data hasil pengamatan susunan air liurUji Hasil uji Pengamatan Gambar
Klorida + Endapan putih
Sulfat - Putih keruh
Fosfat - Kuning
Biuret - Tidak berwarna
Millon - Kuning
Molisch - Hijau
Musin - Tidak berwarna
Tabel 3 Pengamatan suhu terhadap aktivitas amilase air liur
Perlakuan suhu
Uji yodium Uji Benedict
Hasil warna Gambar Hasil pengamatan
warna
10 oC - Kuning kecoklatan
+ Hijau
30 oC - Kuning kecoklatan
+ Hijau
37 oC - Kuning kecoklatan
- Biru
80 oC + Biru pekat - Biru
Tabel 4 Pengamatan pengaruh pH terhadap aktivitas amilase air liurPenambahan
larutanpH Uji Yodium Uji Benedict
HCl 1.0 Biru Biru
Asam asetat 5.0 Biru Biru
Akuades 7.0 Kuning Hijau
Na-karbonat 9.0 Kuning Hijau
Tabel 5 Pengamatan uji iod hidrolisis pati matang oleh amilase air liurWaktu (menit) Hasil Perubahan warna
1-3 ++++ Biru pekat4 ++ Coklat
5-12 ++ Hijau kecoklatan13-20 +++ Biru pudar21-30 + Hijau muda31-32 + Kuning kehijauan
33 - Kuning
Tabel 6 Pengamatan uji iod hidrolisis pati mentah oleh amilase air liurWaktu (menit) Hasil Perubahan warna
25 + Biru30 + Biru35 + Biru40 + Biru45 + Biru kekuningan50 - Kuning
Gambar 1 Hasil uji iod hidrolisis pati mentah oleh amilase air liurTabel 7 Temperatur Optimum Aktivitas Papain
Temperatur (C0)
Terjadinya pelepasan warna fibrin menit ke-Gambar
1 2 3 4 5 10 15 20 25
Es - - - - - - - - -
Ruang - - - - - - - - -
37-40 - - - - - - - - -
65 - - - - - + + + +
Keterangan : ( - ) = tidak terjadi pelepasan warna fibrin
( +) = terjadi pelepasan warna fibrin
Tabel 8 Aktivitas Papain
Tabung Hasil Pengamatan Gambar
Akuades -
Papain +
Keterangan : ( - ) = tidak terjadi pelepasan warna fibrin
( + ) = terjadi pelepasan warna fibrin
Tabel 9 PH optimum aktivitas papain
Tabung pH Pelepasan warna fibrin
Menit ke- Gambar
Air 6 - 20
Na-Karbonat 0,5 % 11 + 10
Na-Karbonat 1 % 11 + 10
HCl 2 - 10
Keterangan : ( - ) = Fibrin tidak pudar
( + ) = Fibrin pudar
Pembahasan
Sifat dan susunan saliva ditentukan dengan berbagai macam uji untuk karbohidrat (uji Yodium
dan uji Benedict), uji bobot jenis, uji garam anorganik (uji Klorida, uji Sulfat, dan uji Fosfat), uji protein
(uji Biuret, uji Molisch, dan uji Millon), dan uji pH (uji pp dan lakmus merah serta biru). Penentuan suhu
optimum dan pH optimum enzim amilase juga ditentukan melalui pengujian serangkaian suhu dan pH
yang berbeda-beda. Kecepatan hidrolisis pati mentah dan pati matang ditentukan dengan metode titik
akromatik. Penentuan sifat asam atau basa saliva ditentukan dengan cara pengujian indikator. Indikator
yang digunakan adalah fenolftalein. Hasil yang diperoleh menunjukan bahwa ketika saliva ditetesi
indikator FF maka saliva tersebut menjadi berwarna merah menunjukkan saliva bersifat basa. Begitu
pula dengan kertas lakmus merah berwarna biru dan lakmus biru tetap tidak berubah sehingga
menunjukkan saliva bersifat basa. Hal ini tidak sesuai dengan sifat dari air liur yang ber pH sedikit asam
yaitu sekitar 6.8.
Air liur atau saliva biasanya mengandung peptida tetapi tidak mutlak ada. Peptida adalah asam
poliamino dan ikatan amidanya yang menyebabkan asam aminonya bergabung disebut ikatan peptida.
Sebagai protein, enzim diproduksi dan digunakan oleh sel hidup untuk mengkatalisis reaksi seperti
konversi energi dan metabolisme pertahanan sel. Pada uji protein dengan menggunakan pereaksi Biuret
ditandai dengan perubahan warna larutan ungu violet (biru) dalam larutan basa. Senyawa biuret
dihasilkan dengan cara memanaskan urea di atas penagas air. Reaksi uji biuret ini memberikan hasil
yang positif akibat pembentukan senyawa kompleks Cu2+ gugus CO dan NH dari suatu rantai peptida
dalam suasana basa. Pada percobaan air liur menunjukkan hasil negatif. Hal ini tidak sesuai dengan hasil
yang ditunjukkan pada literature, disebabkan karena adanya kontaminasi pada bahan yang digunakan,
lalu tidak adanya sisa makanan yang tertinggal pada mulut dan air liur, sehingga uji biuret tidak
menemukan adanya protein dan menghasilkan uji yang negative. Prinsip dari uji millon adalah
pembentukan garam merkuri dari tirosin yang ternitrasi. Tirosin merupakan asam amino yang
mempunyai molekul fenol pada gugus R-nya, yang akan membentuk garam merkuri dengan pereaksi
millon. Warna merah yang terbentuk adalah garam merkuri dari tirosin yang ternitrasi. Hasil percobaan
menunjukkan warna kuning, hal ini manunjukkan hasil negatif terhadap air liur (Chandra 2009).
Uji Molisch adalah uji yang paling umum untuk menyatakan ada atau tidaknya karbohidrat
karena memberikan uji positif (cincin ungu) kepada semua karbohidrat yang lebih besar daripada
tetrosa. Uji Molisch terhadap saliva menunjukkan reaksi yang negatif. Menurut Lehninger (1998) saliva
tidak mengandung karbohidrat. Hal ini menunjukkan pada saliva tidak mengandung karbohidrat. Bila
ada, hal ini dapat disebabkan air liur yang dihasilkan probandus masih mengandung sisa-sisa makanan.
Uji klorida beradasarkan percobaan, pada tabung terdapat warna putih keruh setelah
penambahan AgNO3 dan setelah penambahan ammonia berlebih, larutan menjadi jernih kembali. HNO3
berfungsi untuk membuat suasana menjadi asam dan mencegah endapan perak fosfat. Warna putih
keruh disebabkan karena Cl berikatan dengan Ag+ membentuk AgCl (endapan putih). Endapat putih
tersebut akan larut akan larut kembali (larutan menjadi jernih) setelah penambahan ammonia yang
bersifat basa. Hal ini menyatakan bahwa air liur memiliki kandungan klorida yang jumlahnya relative
sedikit.
Uji sulfat menunjukkan hasil positif ditunjukkan dengan warna putih, dan uji fosfat terhadap
saliva menunjukkan reaksi negatif ditandai dengan terbentuknya endapan berwarna putih kekuningan
dan larutan berwarna kuning serta uji musin menunjukkan hasil yang negatif ditunjukkan dengan larutan
tidak berwarna. Keberadaan fosfat dan sulfat di dalam air liur tidak mutlak adanya. Hal tersebut
bergantung pada makanan yang kita konsumsi (Metjesh 1996).
Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi fungsi enzim antara lain suhu , pH, konsentrasi
substrat, konsentrasi enzim dan zat-zat penghambat. Suhu berpengaruh terhadap fungsi enzim karena
reaksi kimia menggunakan katalis enzim yang dapat dipengaruhi oleh suhu. Di samping itu, karena
enzim adalah suatu protein, maka kenaikan suhu dapat menyebabkan denaturasi dan bagian aktif enzim
akan terganggu, sehingga konsentrasi dan kecepatan enzim berkurang. Pada perubahan suhu,
kecepatan reaksi yang dikatalisis oleh enzim mula-mula meningkat karena adanya peningkatan suhu.
Energi kinetik akan meningkat pada kompleks enzim dan substrat yang bereaksi. Namun, peningkatan
energi kinetik oleh peningkatan suhu mempunyai batas yang optimum. Jika batas tersebut terlewati,
maka energi tersebut dapat memutuskan ikatan hidrogen dan hidrofobik yang lemah yang
mempertahankan struktur sekunder-tersiernya.
Pada suhu ini, denaturasi yang disertai dengan penurunan aktivitas enzim sebagai katalis akan
terjadi. Suhu optimal enzim bergantung pada lamanya pengukuran kadar yang dipakai untuk
menentukannya. Semakin lama suatu enzim dipertahankan pada suhu dimana strukturnya sedikit labil,
maka semakin besar kemungkinan enzim tersebut mengalami denaturasi. Suhu yang digunakan pada
percobaan yaitu 10 C, 37 C, suhu kamar, dan 80 C. Enzim amilase bekerja optimal paada
suhu tubuh manusia yaitu 37 C sebab enzim tersebut terdapat dalam air liur dalam tubuh sehingga
suhunya sama dengan suhu tubuh. Hasil yang diperoleh pada percobaan menunjukkan enzim bekerja
optimal pada suhu 37 . Hal tersebut dilihat dari uji iod dan uji benedict yang dilakukan. Uji iod
yang dilakukan menghasilkan warna kuning dan uji benedict menunjukkan warna hijau , sehingga
berdasarkan hasil tersebut pada suhu 37 enzim pada air liur telah memecah atau mendegradasi
pati menjadi maltose, dekstrin-dekstrin, ataupun monosakarida.
Ph optimal untuk sebagian besar enzim adalah 6 sampai 8. Lingkungan asam akan
mendenaturasi sebagian besar enzim. Kondisi pH dapat mempengaruhi aktivitas enzim melalui
pengubahan struktur atau pengubahan muatan pada residu yang berfungsi dalam pengikatan substrat
atau katalis. Sebagai contoh, enzim bermuatan negatif (Enz -) bereaksi dengan substrat bermuatan positif
(SH+) : Enz- + SH+ EnzSH. Pada pH yang rendah, Enz- mengalami protonasi dan kehilangan muatan
negatifnya (enzim dinetralisir) : Enz- + H+ EnzH. Sedangkan pada pH yang tinggi, SH+ mengalami ionisasi
dan kehilangan muatan positifnya (substrat dinetralisir) : SH+ S + H+. Karena (berdasarkan definisi)
satu-satunya bentuk yang mengadakan interaksi adalah SH+ dan Enz-, nilai pH yang ekstrim (tinggi
ataupun rendah) akan menurunkan kecepatan reaksi.
Pengaruh pH terhadap aktifitas enzim amilase air liur digunakan empat bahan yang berbeda
dengan kondisi pH yang berbeda pula. Suasana asam dilakukan pada larutan asam asetat dan HCl,
suasana netral pada akuades, dan basa pada natrium karbonat 0,1%. Hasil yang diperoleh pada larutan
asam asetat (pH 5) pada uji iod menunjukkan warna biru yang berarti positif mengandung iod dan hasil
pada uji benedict menunjukkan warna biru dan tidak menunjukkan terdapat gula pereduksi. Hasil uji iod
pada larutan HCl (pH 1) menunjukkan warna biru dan pada uji benedict menunjukkan warna biru. Hasil
uji iod pada akuades (pH 7) menunjukkan warna biru dan pada uji benedict menunjukkan warna hijau.
Hasil yang diperoleh pada uji iod dalam larutan natrium karbonat (pH 9) menunjukkan warna kuning dan
pada uji benedict menunjukkan warna hijau. Berdasarkan hasil percobaan enzim amilase bekerja
optimal pada pH 7.
Hidrolisis pati matang oleh amilase air liur dilakukan dengan menggunakan uji iod dan uji
benedict. Uji iod terhadap hidrolisis pati matang oleh amilase air liur mencapai titik akromatik pada
menit ke-33. Titik akromatik adalah titik dimana saat larutan uji dengan larutan iod menghasilkan reaksi
negatif yang menunjukkan bawa pati sudah hilang atau terhidrolisis menjadi maltosa, titik akromatik
dapat dilihat berdasarkan warna larutan yang terbentuk antara iod dengan larutan yang berisi kanji dan
air liur yang sudah menjadi berubah menjadi warna larutan iodiumnya. Sisa larutan yang telah mencapai
titik akromatik kemudian diuji menggunakan pereaksi benedict. Hasil yang diperoleh tidak menunjukkan
adanya endapan merah bata yang menandakan pati tersebut telah terhidrolisis menjadi maltosa,
endapan merah bata terbentuk karena maltose termasuk gula pereduksi sehingga pada saat
ditambahkan pereaksi benedict dan dipanaskan timbul endapan merah bata sehingga hasil percobaan
negatif.
Hidrolisis pati mentah amilase air liur dilakukan seperti pada hidrolisis pati matang, hanya saja
pati yang digunakan masih dalam bentuk tepung yang belum dilarutkan. Titik akromatik pada hidrolisis
pati mentah belum dicapai pada menit ke-20, dicapai pada menit ke-45. Pada saat titik akromatik telah
tercapai ditandai dengan terbentuknya warna yang sama dengan iodin yang digunakan sebagai kontrol
negatif. Hasil pada uji benedict menunjukkan warna biru. Jika dibandingkan dengan hidrolisis pati
matang, pati mentah lebih lama terhidrolisis. Hal tersebut dilihat dari waktu yang diperlukan untuk
mencapai titik akromatik.
Papain merupakan salah satu enzim proteolitik yang paling banyak digunakan dalam industri.
Enzim ini biasanya disintesis dari buah papaya. Buah pepaya yang berumur 2,5~3 bulan disadap dan
getahnya ditampung. Pada 1 (satu) buah pepaya dapat dilakukan 5 kali sadapan. Tiap sadapan
menghasilkan + 20 gram getah. Getah dapat diambil setiap 4 hari dengan cara menggoreskan buah
tersebut dengan pisau (Gilvery dan Goldstein 1996).
Temperatur optimum merupakan kondisi dimana enzim tersebut bekerja secara maksimal.
Berdasarkan literatur Temperatur Optimum untuk aktivitas enzim papain yaitu berada pada kisaran
suhu 65 °C- 80oC. Suhu di atas 90oC akan cepat menonaktifkan enzim. Suhu optimm yang siperoleh pada
percobaan sama dengan temperature berdasarkan literature yaitu pada suhu 65oC. Penentuan suhu
optimum aktivitas dari enzim papain ini yaitu untuk mengoptimasi dari kerja enzim tersebut. Optimasi
merupakan usaha yang dilakukan untuk memperoleh hasil akhir yang lebih baik. Problem optimasi
merupakan suatu masalah komputasional dengan tujuan untuk mendapatkan atau menemukan solusi
terbaik dari semua solusi yang mungkin. Pada percobaan suhu optimal untuk enzim papain diketahui
dengan melihat pelepasan zat warna fibrin yang paling banyak.
Uji aktivitas dari enzim papain pada tabung yang berisi air; larutan berubah jadi warna merah
muda. Hal ini merupakan biasan warna dari fibrin karena warnanya merah terang. Sedangkan pada
tabung yang berisi papain terjadi hidrolisis fibrin (substrat) mengadi polipeptida dan asam-asam amino.
Hidrolisi fibrin menyebabkan warna merah pada fibrin memudar atau lepas, sehingga warna larutan
menjadi merah muda.
Gambar 1 reaksi hidrolisis polipeptida oleh enzim papain
Berdasarkan literature pH Optimal untuk aktivitas enzim papain yaitu berada pada
kisaran 6.0-7.0. sedangkan berdasarkan percobaan diperoleh pH optimal fibrin pada
kondisi pH 11 yaitu dalam larutan natruim karbonat 1%. Dan 0.1%
Aplikasi enzim papain dalam kehidupan cukup Iuas, mulai dari bahan pelunak daging hingga
berbagai industri pangan, minuman, farmasi, detergent, kulit, wool, kosmetika, dan industri biologi
lainnya. Penggunaannya sebagai bahan aditif dalm berbagai industri pangan dan minuman tetap tinggi
karena aktivitas enzimatiknya yang relatif tinggi dan statusnya sebagai produk alam yang ramah atau
aman untuk dikonsumsi. Badan pengawas pangan dan obat-obatan. Amerika Serikat (Food and Drug
Administration/FDA) mengklasifikasikan status papain ke dalam kelompok GRAS (generally regarded as
safe). Badan sejenis di Inggris menggolongkan papain ke dalam Group A. Ini berarti bahwa papain dapat
digunakan sebagai bahan aditif dalam pangan dan dalam pembuatan makanan (Salisbury 1995).
Penggunaannya juga cenderung meningkat sejalan dengan perubahan teknologi produksi yang
digunakan pada proses produksi berbagai produk biologi. Dewasa ini proses-proses enzimatik telah
umum digunakan pada proses produksi berbagai produk biologi menggantikan proses-proses kimiawi
yang selama ini dinilai bagus dan relatif menguntungkan karena kondisi prosesnya bertemperatur relatif
rendah dan relatif spesifik, Kondisi proses demikian memungkinkan penghematan biaya produksi dan
pengendalian fungsional dasar produk akhirnya (Salisbury 1995).
Papain bisa memecah protein menjadi arginin. Senyawa arginin merupakan salah satu asam
amino esensial yang dalam kondisi normal tidak bisa diproduksi tubuh dan biasa diperoleh melalui
makanan seperti telur dan ragi. Namun bila enzim papain terlibat dalam proses pencerbaan protein,
secara alami sebagian protein dapat diubah menjadi arginin. Proses pembentukan arginin dengan
papain ini turut mempengaruhi produksi hormon pertumbuhan manusia yang populer dengan sebutan
human growth hormone (HSG), sebab arginin merupakan salah satu sarat wajib dalam pembentukan
HGH. Nah, HGH inilah yang membantu meningkatkan kesehatan otot dan mengurangi penumpukan
lemak di tubuh. Informasi penting lain, uji laboratorium menunjukkan arginin berfungsi menghambat
pertumbuhan sel-sel kanker payudara (Salisbury 1995).
Papain juga dapat memecah makanan yang mengandung protein hingga terbentuk berbagai
senyawa asam amino yang bersifatautointoxicating atau otomatis menghilangkan terbentuknya
substansi yang tidak diinginkan akibat pencernaan yang tidak sempurna. Tekanan darah tinggi, susah
buang air besar, radang sendi, epilepsi dan kencing manis merupakan penyakit-penyakit yang muncul
karena proses pencernaan makanan yang tidak sempurna. Papain tidak selalu dapat mencegahnya,
namun setidaknya dapat meminimalkan efek negatif yang muncul. Yang jelas papain dapat membantu
mewujudkan proses pencenaan makanan yang lebih baik (Salisbury 1995).
Simpulan
Berdasarkan hasil percobaan dapat disimpulkan bahwa saliva memiliki bobot jenis sebesar 0.9196
g/ml, bersifat basa, berpH 8, uji biuret menunjukkan hasil negative, uji millon menunjukkan hasil
negative, uji molisch menunjukkan hasil negative, uji klorida menunjukkan hasil positif, uji sulfat
menunjukkan hasil positif, uji fosfat menunjukkan hasil negative, uji musin menunjukkan hasil positif,
suhu optimum enzim amylase pada saliva ialah 37 , pH enzim amylase sebesar 6 sampai 8, titik
akhromatik pada hidrolisis pati mentah dicapai pada menit ke-33, dan titik akhromatik pada hidrolisis
pati mentah dari enzim amylase dicapai pada menit ke-45. Sedangkan suhu optimum aktivitas dari
enzim papain yaitu berada pada suhu 65oC, pH optimumnya yaitu pada pH 11, aktvitas papain tersebut
dilihat dari kemampuannya untuk menghidrolisis fibrin (sebagai substrat) dengan cara pelepasan warna
fibrin tersebut, sehingga warna larutan menjadi merah muda.
Daftar Pustaka
Anna. 2006. Dasar-dasar Biokimia. Jakarta: UI Press
Chandra Hutabarat. 2009. Karakteristik Saliva (Air Liur) dan Kelenjarnya. [Terhubung
berkala] .http://www.meillyssach.co.cc/2009/09/karakteristik-saliva-air-liur-dan.html.(24 November
2011)
Gilvery dan Goldstein. 1996. Biokimia Suatu Pendekatan Fungsional. Edisi 3. Surabaya : Airlangga University
Press
Matjesh, Sabirin. 1996. Kimia Organik II. Jakarta : Depdikbud
Salisbury F.B. dan Ross C.W. 1995. Fisiologi Tumbuhan Jilid 2. Bandung: ITB Press
Subagyo. 2008. Enzim Papain dari Pepaya. [terhubung berkala]. repository.ipb.ac.id/Pusbangtepa_Enzim
%20papain%20dari%20pepaya.pdf [27 November 2011. 16:55]
Timotius, K.H. 1982. Mikrobiologi Dasar. Salatiga : Universitas Kristen Satya Wacana
LAPORAN PRAKTIKUM BIOKIMIA
PENGARUH SUHU DAN PH TERHADAP AKTIVITAS ENZIM AMILASE SALIVA
DENGAN METODE WOHLGEMUTS
DISUSUN OLEH :
ANNANDRA RAHMAN
NIM : I1A010053
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER
UNIVERSITAS LAMBUNG MANGKURAT
TAHUN AKADEMIK
2010/2011
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 LATAR BELAKANG
Prinsip dasar yang digunakan didalam pemanfaatan enzim dalam membantu menentukan
diagnosa adalah dari kenyataan bahwa didalam darah ada dua kelompok enzim yaitu enzim yang
secara normal ada dan berfungsi didalam darah yang dinamakan kelompok fungsional plasma
enzim dan kelompok enzim yang normal tidak berfungsi didalam darah tetapi terdapat didalam
darah, dan dinamakan non fungsional plasma enzim. Kelompok kedua ini normalnya terdapat
didalam sel. Dia dapat berada didalam darah diduga karena proses difusi atau karena sel – sel tua
yang mengalami regenerasi pada saat sel tersebut dirusak isinya akan dapat tumpah dan sebagian
tertuang kedalam darah atau dengan cara lain yang belum diketahui. Dengan demikian logikanya
kalau enzim dalam kelompok dua ini kadarnya dalam darah meningkat pasti ada kerusakan
minimal pada dinding sel yang berisi enzim tersebut.
1.2 TUJUAN
Setelah menyelesaikan program ini dengan baik mahasiswa F.K Unlam semester I diharapkan :
Tujuan Umum :
1. Memahami kinetika enzim.
2. Memahami manfaat enzim dalam kehidupan sehari – hari maupun dalam membantu
menegakkan diagnosa.
Tujuan Khusus
1. Mampu menyebutkan faktor- faktor yang mempengaruhi kecepatan reaksi enzimatik.
2. Mampu membedakan enzim fungsional dan enzim non fungsional dalam plasma.
3. Mampu menyebutkan masing – masing dua contoh enzim fungsional dalam enzim non
fungsional dalam plasma.
4. Mampu menyebutkan contoh pemeriksaan enzim yang dapat membantu menegakkan
diagnosa.
5. Mampu merencanakan pemeriksaan enzimatik yang dapat menunjang diagnosa suatu
kasus tertentu.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Enzim adalah polimer biologis yang mengatalisis reaksi kimia yang memungkinkan
berlangsungnya kehidupan seperti yang kita kenal. Keberadaan danpemeliharaan rangkaian
enzim yang lengkap dan seimbang merupakan hal yang essensial untuk menguraikan nutrient
menjadi energy dan chemical building block (bahan dasar kimiawi); menyusun bahan-bahan
dasar tersebut menjadi protein, DNA, membrane, sel dan jaringan; serta memanfaatkan energy
untuk motilitas sel, fungsi saraf dan kantraksi otot. Dengan pengecualian molekul RNA katalitik
atau ribozim, enzim adalah protein. Kekirangan jumlah atau aktivitas katalitik enzim-enzim
kunci dapat terjadi akibat kelainan genetic, kekurangan gizi atau toksin. Defek enzim bisa
disebabkan oleh mutasi genetic atau infeksi oleh virus atau bakteri pathogen. Para ilmuan
kedokteran mengatasi ketidakseimbangan aktivitas enzim denganmenggunakan bahan
farmakologis untuk menghambat enzim-enzim tertentu dan sedang meneliti terapi gen sebagai
cara untuk mengobati defisiensi jumlah atau fungsi enzim.
Enzim yang mengatalisis perubahan satu atau lebih senyawa (substrat) menjadi satu atau
lebih senyawa lain (produk) meningkatkan laju reaksi setidaknya 1.000.000 kali dibandingkan
jika tidak dikatalisis. Seperti semua katalis lain, enzim tidak berubah secara permanen atau
dikonsumsi sebagai konsekuensi dari keikutsertaannya dalam reaksi yang bersangkutan.
Selain sangat efisien, enzim juga merupakan katalis yang sangat efektif. Tidak seperti
kebanyakan katalis yang digunakan dalam kimia sintetik, enzim bersifat spesifik baik bagi reaksi
yang dikatalisis maupun substrata tau substrat-substrat yang berhubungan erat. Enzim juga
merupakan katalis stereospesifik dan biasanya mengatalisis reaksi dari hanya satu stereoisomer
suatu senyawa, misalnya, D-gula, tetapi bukan L-gula, asam L-amino tetapi bukan asam D-
amino. Karena berikatan dengan substrat melalui sedikitnya tiga titik perlekatan, enzim bahkan
dapat mengubah substrat nonchiral menjadi produk chiral. Spesifitas enzim yang sangat tinggi
member sel hidup kemampuan untuk secara bersamaan melaksanakan dan secara independen
mengontrol beragam proses kimiawi.
Nama-nama yang paling sering digunakan untuk kebanyakan enzim menjelaskan tipe
reaksi yang dikatalisis, diikuti oleh akhiran –ase. Contohnya, dehidrogenas mengeluarkan atom-
atom hydrogen, protease mengatalisis protein dan isomerase mengatalisis tataulang dalam
konfigurasi. Pemodifikasian dapat terletak di depan maupn di belakang nama enzim untuk
menejelaskan substrat enzim (xantin oksidase), sumber enzim ( ribonuklease pancreas),
pengaturannya (lipase peka-hormon) atau suatu gambaran dari mekanisme kinerjanya (protease
sistein). Jika diperlukan, ditambah penanda alfanumerik untuk menunjukan berbagai bentuk
suatu enzim.
Untuk menghilangkan ambiguitas, IUB menciptakan suatu system terpadu tata nama
enzim yaitu setiap enzim memiliki nama dank ode khusus untuk menunjukan tipe reaksi yang
dikatalisis dan substrat yang terlibat. Enzim dikelompokkan dalam enam kelas:
1. Oksidoreduktase, mengatalisis oksidasi dan reduksi
2. Transferase, mengatalisis pemindahan gugus
3. Hidrolase, mengatalisis terjadinya hidrolisis
4. Liase, mengatalisis pemutusa ikatan dengan eliminasi atom yang akanmenghasilkan
ikatan rangkap
5. Isomerase, mengatalisis perubahan geometric atau structural di dalam satu molekul
6. Ligase, mengatalisis penyatuan dua molekul yang dikaitandengan hidrolisis ATP
Meskipun sistem IUB ini jelas, namun nama-nama enzim menjadi panjang dan relatif
tidak praktis sehingga kita biasanya tetap menamai enzim berdasarkan nama tradisionalnya
meskipun nama itu kadang-kadang menyesatkan. Nama IUB untuk heksokinase melukiskan
kejelasan sekaligus kompleksitas sistem IUB. Nama IUB untuk heksokinase adalah
ATP:D_heksosa 6_fosfotransferase E.C.2.7.1.1. nama ini menunjukan heksokinase sebagai
anggota kelas 2 (tranferase), subkelas 7 (pemindahan satu gugus fosforil), sub-subkelas 1
(alcohol adalah akseptor fosforil dan heksosa-6 menunjukan bahwa alcohol yang terfosforilasi
berada di karbon ena heksosa. Namun, kita terus menyebutnya sebagai heksokinase.
Banyak enzim yang mengandung berbagai molekul nonprotein kecil dan ion logam yang
ikut serta secara langsung dalam katalisis atau pengikut substrat. Molekul atau ion ini, yang
disebut gugus prostetik, kofaktor dan koenzim, memperluas ragam kemampuan katalisis
melebihi yang dumingkinkan oleh gugus fungsional di rantai samping aminoasil peptida.
Gugus prostetik dibedakan berdasarkan integritasnya yang kuat dan stabil ke dalam
struktur protein melalui gaya-gaya kovalen atau nonkovalen. Contoh-contohnya antara ain
adalah piridoksal fosfat, flavin mononukleatida dan tiamin. Logam adalah gugus prostetik yang
paling sering dijumpai , sekitar sepertiga dari semua enzim mengandung ion-ion logam yang
terikat kuat dan disebut metaloenzim.
Kofator memiliki fungsi serupa dengan gugus prostetik tetapi berikatan secara transien
dan mudah terlepas dengan enzim atau substrat, misalnya ATP. Tidak seperti gugus prostetik
yang terkat secara stabil, kofaktor harus terdapat dalam medium di sekitar enzim agar katalisis
dapat terjadi. Kofaktor yang paling umum adalah ion logam. Enzim memerlukan kofaktor ion
logam disebut enzim yang memerlukan kofaktor ion logam. Untuk membedakan dari
metaloenzim.
Koenzim berfungsi sebagai pengangkut atau bahan pemindah gugus yang dapat didaur-
ulang dan memindahkan banyak substrat dari tempat pembentukannya ke tempat pemakaiannya.
Ikatan dengan koenzim juga menstabilkan substrat, seperti atom hydrogen atau ion hidrida yang
tidak stabil dalam lingkungan cair sel.
Vitamin B larut-air merupakan komponen penting berbagai koenzim. Selain vitamin B,
beberapa koenzim mengandung gugus adenine, ribose dan fosforil AMP dan ADP. Nikotinamid
adalah komponen koenzim redoks FMN dan FAD. Asam pantotenat adalah komponen dari
koenzim A pengangkut gugus asil. Sebagai pirofosfatnya, tiamin ikut serta dalam dekarboksilasi
asam alfa-ketoglutarat dan koenzim asam folat dan kobamid berfungsi dalam metabolism satu
karbon.
Di kelenjar saliva (liur), granula sekretorik (zimogen) yang mengandung enzim-enzim
saliva dikeluarkan dari sel-sel asinar ke dalam duktus. Karakteristik ketiga pasang kelenjar saliva
manusia diringkas dalam table berikut.
KelenjarJenis
HistologikSekresia
Persentase Total
Saliva pada Manusiab
(1,5L/hr)
Parotis Serosa Cair 20
Submandibula (submaksila)
CampuranAgak kental
70
Sublingual Mukosa Kental 5
aSel-sel serosa mensekresi ptialin; sel-sel mukosa mensekresi musin.
b5% sisa volume saliva dihasilkan oleh kelenjar lingual dan kelenjar minor lainnya di dalam
rongga mulut.
Sekitar 1500 air liur disekresi per hari. pH saliva saat kelenjar istirahat sedikit lebih rendah dari
7,0, tetapi selama sekresi aktif, pHnya mencapai 8,0. Air liur mengandung dua enzim
pencernaan: lipase lingual, yang disekresi oleh kelenjar di lidah, dan α-amilase saliva, yang
disekresi oleh kelenjar-kelenjar saliva. Saliva juga mengandung musin, yaitu glikoprotein yang
melumasi makanan, mengikat bakteri, dan melindungi mukosa mulut. Saliva juga mengandung
immunoglobulin sekretorik IgA; lisozim, yang menyerang dinding kuman; laktoferin, yang
mengikat besi dan bersifat bakteriostatik; dan protein kaya-plorin yang melindung email gigi dan
mengikat tannin yang toksik.
Saliva mempunyai sejumlah fungsi penting, antara lain memudahkan kita menelan,
mempertahankan kelembaban mulut, bekerja sebagai pelarut molekul yang merangsang indera
pengecap, membantu proses bicara dengan memudahkan pergerakan bibir dan lidah, dan
mempertahankan kebersihan mulut dan gigi. Saliva juga mempunyai daya antibakteri, dan
penderita defisiensi salivasi (xerostomia) mempunyai insidens karies gigi yang lebih tinggi
daripada normal. Sistem dapar saliva membantu mempertahankan pH mulut sekitar 7,0. Sistem
ini juga membantu menetralkan asam lambung dan menghilangkan nyeri ulu hati (heartburn) bila
getah lambung mengalami regurgitasi ke dalam esophagus.
Komposisi ion air liur sangat bervariasi dari spesies ke spesies dan dari kelenjar ke
kelenjar. Akan tetapi, umumnya saliva yang disekresi di dalam asini mungkin isotonik, dengan
konsentrasi Na+, K+, Cl-, dan HCO3- yang mirip dengan komposisi plasma. Duktus ekskretorius
dan mungkin duktus interkalaris yang bermuara ke dalam duktus ekskretorius memodifikasi
komponen saliva dengan mengambil Na+ dan Cl- dan menambahkan K+ dan HCO3-. Duktus
tersebut relative impermeable terhadap air. Jadi, pada aliran saliva yang lambat, saliva yang
sampai ke mulut bersifat hipotonik, sedikit asam, dan kaya akan K+ tetapi relatif kurang Na+ dan
Cl-. Jika aliran saliva cepat, komposisi ion tidak memiliki cukup waktu untuk berubah di dalam
duktus. Akibatnya, meskipun pada manusia tetap bersifat hipotonik, saliva lebih cenderung
isotonik, dengan konsentrasi Na+ dan Cl- yang lebih tinggi. Aldosteron meningkatkan konsentrasi
K+ dan menurunkan konsentrasi Na+ saliva dengan kerja yang analog seperti kerja hormone di
ginjal, dan terlihat rasio Na+/K+ saliva yang tinggi bila jumlah aldosteron berkurang pada
penyakit Addison.
Kelenjar saliva yang utama adalah kelenjar parotis, submandibularis, dan sublingualis,
selain itu juga ada beberapa kelenjar bukalis yang sangat kecil. Sekresi saliva normal harian
berkisar 800-1500 ml. Saliva mengandung dua tipe sekresi protein yang utama : (1) Sekresi
serosa yang mengandung ptialin (suatu α-amilase), yang merupakan enzim untuk mencernakan
karbohidrat, dan (2) Sekresi mucus yang mengandung musin untuk tujuan perlindungan dan
pelumasan. Kelenjar parotis hampir seluruhnya menyekresi tipe serosa, sementara kelenjar
submandibularis dan sublingualis menyekresi mucus dan serosa. Kelenjar bukalis hanya
menyekresi mucus. Saliva mempunyai pH antara 6,0-7,0; suatu kisaran yang menguntungkan
untuk kerja pencernaan dari ptialin.
Saliva terutama mengandung sejumlah besar ion kalium dan ion bikarbonat. Sebaliknya,
konsentrasi ion natrium dan klorida pada umumnya lebih rendah pada saliva daripada di dalam
plasma.
Sekresi saliva terdiri dari 2 tahap, yaitu:
1. Tahap pertama melibatkan asinus,
2. Melibatkan duktus salivarius
Sel asinus menyekresi sekresi primer yang mengandung ptialin dan atau musin dalam
larutan ion dengan konsentrasi yang tidak jauh berbeda dari yang disekresikan dalam cairan
ekstrasel biasa. Sewaktu sekresi primer mengalir melalui duktus, terjadi 2 proses transport aktif
utama yang memodifikasi komposisi ion pada cairan saliva secara nyata.
Pertama, ion-ion natrium secara aktif direabsorbsi dari semua duktus salivarius, dan ion-ion
kalsium disekresi secara aktif sebagai pengganti natrium. Oleh karena itu, konsentrasi ion
natrium dari saliva sangat berkurang, sedangkan konsentrasi ion kalium meningkat. Akan tetapi,
ada kelebihan reabsorbsi ion natrium yang melebihi sekresi ion kalium dan ini membuat
kenegatifan listrik sebesar -70 mV di dalam duktus salivarius, dan keadaan ini kemudian
menyebabkan ion klorida direabsorbsi secara pasif. Karena itu, konsentrasi ion klorida pada
cairan saliva turun sekali, serupa dengan penurunan konsentrasi ion natrium pada duktus.
Kedua, ion-ion bikarbonat disekresi oleh epitel duktus ke dalam lumen duktus. Hal ini
sedikitnya sebagian disebabkan oleh : pertukaran pasif ion bikarbonat dengan ion klorida, tetapi
mungkin juga sebagian hasil dari proses sekresi aktif.
Hasil akhir dari proses transport adalah bahwa pada kondisi istirahat, konsentrasi masing-
masing ion natrium dan klorida dalam saliva hanya sekitar 15 mEq/L, sekitar sepertujuh sampain
sepersepuluh konsentrasinya dalam plasma. Sebaliknya, konsentrasi ion kalium adaalah sekitar
30 mEq/L, tujuh kali lebih besar dari konsentrasinya dalam plasma; dan konsentrasi ion
bikarbonat adalah 50-70 mEq/L, sekitar dua sampai tiga kali lebih besar dari konsentrasinya
dalam plasma.
Selama salivasi maksimal, konsentrasi ion saliva sangat berubah karena kecepatan pembentukan
sekresi primer oleh sel asini dapat meningkat sebesar 20 kali lipat. Sekresi asinar ini kemudian
akan mengalir melalui duktus begitu cepatnya sehingga pembaruan sekresi duktus diperkirakan
menurun. Oleh karena itu, bila saliva sedang disekresi dalam jumlah sangat banyak, konsentrasi
natium klorida akan meningkat hanya sekitar setengah sampai dua pertiga konsentrasi dalam
plasma, dan konsentrasi kalium meningkat hanya 4 kali konsentrasi dalam plasma.
Laju aliran saliva (seluruh mulut)
Laju aliran saat istirahat
Rata-rata ± sd: 0,3 ± 0,22 mL/menit
Laju aliran saat terstimulasi
Rata-rata ± sd: 1,7 ± 2,1 mL/menit
Laju aliran total per hari
Antara 500 - 1000 mL/hari
Saliva di mulut bersihat hipotonik (lebih banyak air jika dibandingkan dengan cairan
ekstraselular) dan mengandung lebih dari 99% air.
Komposisi saliva terdiri atas :
Kelenjar parotis (asinus serosa) saliva berprotein yang encer, kaya elektrolit dan enzim
(amilase) tetapi sedikit mukus.
Kelenjar sublingual (asinus musinosa) saliva mukus kental kaya musin, antibodi dan
antigen, protein, dan karbohidrat.
Kelenjar submandibula (campuran asinus serosa dan musinosa) mengandung elektrolit,
enzim, dan sel penyekresi mukus.
Kelenjar saliva minor (sebagian besar asinus musinosa)
Tabel beberapa konstituen saliva di seluruh mulut pada keadaan istirahat dan terstimulasi
Konstituen Istirahat Terstimulasi
Natrium 8 mmoL/L 32 mmoL/L
Kalium 21 mmoL/L 22 mmoL/L
Klorida 8 mmoL/L 18 mmoL/L
Bikarbonat 3 mmoL/L 20 mmoL/L
Amilase 0,6 mmoL/L 1,2 mmoL/L
Protein total 2,6 g/L 3,2 g/L
Osmolalitas 85 mosmol/kg 127 mosmol/kg
Kontribusi beberapa kelenjar
Tidak terstimulasi Terstimulasi
Parotis 20% Parotis 50%
Submandibula 65% Submandibula 30%
Sublingual 7-8% Sublingual 10%
Kelenjar minor 7-8% Kelenjar minor 10%
Tepung, suatu polimer glukosa, adalah karbohidrat utama dalam makanan. Bahan ini
dicerna oleh amilase dalam air liur oleh α-amilase dalam air liur lalu oleh α-amilase yang
dihasilkan oleh pankreas dan bekerja di usus halus. Di-, tri-, dan oligosakarida yang dihasilkan
oleh α-amilase ini diuraikan menjadi glukosa oleh kerja enzim-enzim pencernaan yang terletak
di permukaan brush border sel epitel usus.
BAB III
PRINSIP DAN METODE PRAKTIKUM
3.1 Percobaan Pengaruh Suhu Terhadap Aktivitas Enzim Amilase Saliva dengan Metode
Wohlegemut’s
1. Prinsip
Amilase saliva adalah enzim yang terdapat dalam air ludah. Enzim ini bekerja
pada pati dan dekstrin (atau juga Glikogen ) dan mengubahnya menjadi maltosa, dengan
hasil antara amilo dekstrin, eritrodekstrin, dan aktrodekstrin.
2. Alat dan bahan
Alat Bahan
1. Plat Tetes 1. Saliva
2. Pipet Tetes 2. Amilum
3. Beaker Glass 3. Iodium
4. Labu Erlenmeyer 4. Aquadest
5. Stopwatch
3. Probandus
Suhu 270 C
Nama : Ahmad Muhsinin
Jenis Kelamin : Laki – laki
Umur : 18 Tahun
Suhu 1000 C
Nama : Ahmad Muhsinin
Jenis Kelamin : Laki – laki
Umur : 18 Tahun
4. Cara Kerja
1. Menyiapkan alat dan bahan
2. Probandus berkumur – kumur dengan aquadest.
3. Saliva dikeluarkan dan dikumpulkan di dalam beaker glass.
4. Encerkan saliva 1 ml dengan aquadest 25 ml.
5. Siapkan 3 buah erlenmayer dengan suhu 270 C, 370 C, dan 1000 C.
6. Masukkan 5 ml kanji ke dalam masing – masing erlenmayer.
7. Masukkan buffer fosfat pH 7 2 ml ke dalam masing – masing erlenmayer dan diamkan
dalam 2 menit.
8. Masukkan saliva yang telah diencerkan dalam masing – masing Erlenmeyer.
9. Nyalakan stopwatch.
10. Teteskan 2 tetes larutan pada plat tetes kemudian tambahkan iodium 1 tetes.
11. Jika larutan berwarna biru, ulangi lagi cara 10 hingga larutan berubah warna menjadi
coklat.
12. Hitung waktu yang diperlukan.
3.2 Percobaan Pengaruh PH terhadap aktivitas enzim amilase saliva dengan metode
wohlegemut’s
1. Prinsip
Amilase saliva adalah enzim yang terdapat dalam air ludah. Enzim ini bekerja pada
pati dan dekstrin (atau juga Glikogen ) dan mengubahnya menjadi maltosa, dengan hasil
antara amilo dekstrin, eritrodekstrin, dan aktrodekstrin.
2. Alat dan bahan
Alat Bahan
6. Plat Tetes 1. Saliva
7. Pipet Tetes 2. Amilum
8. Beaker Glass 3. Iodium
9. Labu Erlenmeyer
10. Stopwatch
11. Gelas ukur
12. Waterbath.
3. Probandus
pH 4
Nama : Ahmad Muhsinin
Jenis Kelamin : Laki - laki
Umur : 18 tahun
pH 10
Nama : Ahmad Muhsinin
Jenis Kelamin : laki - laki
Umur : 18 tahun
4. Cara Kerja
1. Menyiapkan alat dan bahan
2. Probandus berkumur dengan aquadest.
3. Saliva dikeluarkan dan dikumpulkan dalam gelas beaker.
4. Kemudian encerkan saliva dengan 1 ml aquadest.
5. Siapkan 3 buah labu erlenmayer dengan pH 4, pH 7 dan pH 10.
6. Masukkan 5 ml kanji ke dalam masing – masing erlenmayer.
7. Kemudian masukkan ke dalam waterbath dengan suhu 380 C selama 2 menit.
8. Masukkan saliva yang telah diencerkan tadi.
9. Nyalakan stopwatch.
10. Teteskan 2 tetes larutan ke dalam plat tetes kemudian tambahkan 1 tetes iodium.
11. Jika larutan berwarna biru, ulangi lagi cara kerja no 10 hingga larutan berubah warna
menjadi coklat.
12. Catat perubahan yang terjadi dan hitung waktu yang diperlukan.
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 HASIL PRAKTIKUM
Percobaan 1 :
Suhu 270 C.
Pada menit pertama dapat diamati bahwa sudah terjadi reaksi yaitu berubahnya
warna coklat. Perubahan warna ini menandakan bahwa 5 ml amilum yang dicampur
dengan buffer fosfat pH 7 sebanyak 2 ml telah berhasil dipecah oleh 1 ml saliva. Hal ini
dapat kita hitung dengan perhitungan :
Suhu 1000 C.
Pada suhu 1000 C tidak terjadi perubahan warna ( tetap berwarna biru).
Perhitungannya adalah :
Keterangan :
30 unit aktivitas amylase adalah banyaknya milligram amillum yang di pecah oleh 1 ml cairan
(saliva) selama 30 menit pada suhu 38°C.
Jadi, banyaknya milligram amillum yang dipecah oleh 1 ml cairan saliva selama 30 menit pada
suhu 38°C adalah 30 mg.
Percobaan 2 :
pH 4
No. Menit Warna
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
1’
2’
3’
4’
5’
6’
7’
8’
9’
10’
Biru kehitaman
Biru kehitaman
Biru kehitaman
Biru kehitaman
Biru kehitaman
Biru kehitaman
Biru kehitaman
Biru kehitaman
Biru kehitaman
Biru kehitaman
pH 10
No Menit Perubahan
1. 1’ Biru
2. 2’ Biru
3. 3’ Biru
4. 4’ Coklat
4.2 PEMBAHASAN
Pada percobaan yang dilakukan kali ini, yakni menguji aktivitas enzim amylase saliva
dengan metode Wohlgemut’s, bertujuan untuk mengetahui durasi waktu yang dibutuhkan oleh
cairan saliva untuk mencerna karbohidrat dengan bantuan pewarnaan lugol (reagen iodium).
Dalam percobaan yang dilakukan, hasil yang didapat bahwa waktu yang dibutuhkan saliva untuk
mencerna amillum (cairan kanji) secara keseluruhan adalah sekitar lima menit.
Pada menit-menit awal, percernaan amillum oleh saliva ini masih belum sempurna ditandai
dengan masih terbentuknya warna kehitaman pada plat tetes yang ditetesi lugol dan menandakan
bahwa masih ada kandungan amillum dalam objek yang diamati sekaligus menanadakan kerja
saliva yang belum sempurna. Namun, lama-kelamaan specimen dalam plat tetes yang diamati
menunjukkan perubahan warna ketika ditetesi lugol yakni bertambah terang warnanya dan
akhirnya hanya warna lugol yang terlihat (kuning karat).
Percobaan pengaruh suhu terhadap reaksi enzimatik ini juga mengamati bagaimana
aktivitas enzim diukur menurut suhu. Peningkatan suhu akan meningkatkan laju reaksi, akan
tetapi bila melewati suhu optimum (suhu dingin atau panas yang ekstrim), akan menurunkan
aktivitas enzim, yang biasanya disebabkan oleh denaturasi protein pada enzim.
Saliva mengandung enzim amilase. Amilase merupakan enzim yang bertugas sebagai
katalisator sistem pencernaan dalam proses hidrolisis amilum yang menghasilkan
glukosa/maltosa. Amilosa merupakan polisakarida yang polimernya berantai panjang dan tidak
bercabang, tetapi berbentuk spiral. Molekulnya terbentuk dari 300-400 monomer glukosa yang
mempunyai ikatan -1,4. Glukosa ini larut dalam iodium sehingga menjadi warna biru. Hal ini
disebabkan adanya daya adsorbsi iodium yang masuk ke dalam uliran spiral amilosa..
Amilopektin dikenal sebagai glukosa yang molekulnya berantai panjang. Amilopektin jika
ditambahkan iodium akan menjadi warna merah keunguan.
Larutan substrat yang digunakan adalah amilum, karena antara amilum dan amilase
memiliki hubungan dalam proses pencernaan. Amilase akan menghidrolisis amilum menjadi
maltosa. Penambahan HCl pada larutan substrat ini sebagai pemberi elektrolit Cl- agar aktivitas
dari ptialin meningkat.
Pada praktikum ini juga digunakan larutan buffer dengan pH 6,5 untuk menjaga agar
suasana tetap stabil sesuai dengan keadaan tubuh manusia secara fisiologis. Penambahan NaCl
0,9% berperan dalam mengaktifkan atau sebagai aktivator dari enzim amilase salivarius. Selain
itu, larutan ini juga berfungsi sebagai larutan isotonis yang dapat menciptakan kondisi fisiologis
yang sesuai dengan kondisi mulut sehingga enzim -amilase saliva dapat bekerja optimal.
Penambahan HCl 0,05 N pada larutan berfungsi untuk menciptakan suasana asam karena
pada larutan tersebut akan ditambahkan KI-KIO3 yang berfungsi sebagai indikator warna. KI-
KIO3 pada suasana asam akan melepaskan iod dan akan memberikan warna pada larutan.
Pada periode 0’, larutan berwarna biru dikarenakan belum adanya enzim yang
menghidrolisis substrat (amilum), sehingga amilum berikatan dengan iod.
Pada suhu 0o C enzim dapat dikatakan inaktif dan reaksi yang berlangsung bersifat
reversibel, enzim dalam keadaan tidak terdenaturasi, dan karena suhu yang rendah aktivitas
enzim berkurang bila dibandingkan aktivitas enzim suhu optimum. Sehingga warna substrat
berwarna hitam karena amilum berikatan dengan iodine.
Pada suhu 27 oC, warna kuning pada tabung 10’, 15’, dan disebabkan pada kondisi
tersebut enzim bekerja dengan menguraikan amilum menjadi maltosa, sehingga hanya sedikit
iodine yang diabsorpsi oleh amilum. Pada keadaan ini enzim telah berikatan sepenuhnya dengan
substrat yaitu amilum sehingga iodium tidak mempunyai tempat lagi untuk bereaksi dengan
enzim yaitu amilase dan warna yang dihasilkan kuning.
Semakin banyak ion iod yang terlarut, warna kuning akan semakin tua yang masing-
masing menunjukkan tahapan hidrolisis amilum oleh enzim -amilase saliva. Enzim -amilase
saliva menghidrolisis amilum dan menghasilkan satuan maltosa kira-kira 60-70% dari total
amilum sedangkan sisanya sedagai dekstran.
Pada tabung reaksi 10’ terjadi kesalahan percobaan akibat KI-KIO3 pada alat dan bahan
tidak dalam keadaan baik lagi sehingga menyebabkan pengulangan penambahan KI-KIO3.
Akibatnya nilai absorbansinya menurun.
Perubahan kanji (amilopektin dan amilosa) menjadi glukosa berawal di dalam mulut.
Kelenjar liur mensekresikan sekitar 1 liter cairan per hari yang mengandung musin liur dan
amilase-α liur. Musin liur adalah suatu glikoprotein licin yang penting untuk melumasi
(lubrikasi) dan menyebarkan (dispersi) polisakarida. Amilase-α secara acak menghidrolisis
ikatan α-1,4 internal antara residu glukosil dalam amilopektin, amilosa, dan glikogen, mengubah
polisakarida yang berukuran besar menjadi polisakarida yang lebih kecil yang disebut dekstrin.
Amilase-α bekerja pada ikatan internal di tempat yang terpencar-pencar dalam rantai
polisakarida. Karena alas an ini amilase-α disebut suatu endoglikosidase. Sebaliknya,
eksoglikosidase bekerja secara berurutan dari satu ujung pada rantai karbohidrat. Makanan
bergerak dari mulut melalui esofagus masuk ke dalam lambung, tempat kerja amilase-α
dihentikan oleh pH yang asam, yang menyebabkan denaturasi enzim.
Pada manusia, peran amilase liur mencerna sangat sedikit kanji dari kanji total yang
dimakan. Fungsi utama amilase liur mungkin adalah membersihkan remah-remah kue dan sisa
makanan lainnya yang terselip di antara gigi.
Terdapat lima cara utama aktivasi enzim dikontol sel.
1. Produksi enzim dapat ditingkatan metabolisme ya atau diturunkan bergantung pada
respon sel terhadap perubahan linkungan. Bentuk regulasi ini disebut induksi atau inhibisi
enzim.
2. Enzim dapat dikompartemenkan dengan lintasan metabolisme yang berbeda-beda yang
terjadi dalm kompartemen sel yang berbeda. Contoh asam lemak di disintesis oleh
sekelompok enzim dalam sitosol.
3. Enzim dapat diregulasi oleh inhibitor dan aktivator.
4. Enzim dapat diregulasimelalui modifikasi pasca-translasional. Hal ini dapat meliputi
fosforilasi, miristolasi dan glikosilasi.
5. Beberapa enzim dapat menjadi aktif ketika berada pada lingkungan yang berbeda.
Kelenjar saliva kelihatannya menjadi teka-teki kepada sebagian besar penguji terlepas
dari kemudahan pemeriksaan dan frekuensi kelainan saliva. Pasien cenderung mencari perhatian
medis ketika parotis atau kelenjar submandibula membesar atau nyeri. Sering terjadi
kebingungan tentang kemungkinan pembengkakakan terjadi pada nodus limpatik atau kelenjar
saliva. Perawatan tidak selalu harus, namus sejak para spesialis menduga umumnya terjadi dan
kondisi neuroplastik. Bahkan pada keadaan kontraksi berat pada daerah kepala dan leher,
keadaan tersebut masih berfrekuensi tidak stabil. Literatur terbaru yang dapat membantu pasien
dengan perawatan pasien dengan kondisi yang tidak umum seringkali dapat lditemukan di text
umum otolaryngology atau jurnal yang memiliki banyak sumber. Gangguan pada kelenjar saliva
menjengkali setiap menjengkali setiap leretan kondisi yang dapat mempengaruhi jaringan saliva.
BAB V
PENUTUP
5.1 KESIMPULAN
Dari hasil praktikum yang diperoleh, dapat diambil kesimpulan bahwa:
1. Suhu merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi daya kerja enzim.
2. Pada suhu 0oC, enzim amilase mengalami inaktivasi dan aktivitasnya berkurang secara
linear, dengan nilai korelasi 0,4628.
3. Enzim akan bekerja optimal pada suhu optimumnya, pH optimum pada percobaan ini
adalah 27o C, padahal menurut teori 37o C.
4. Pada suhu 100oC, enzim amilase mengalami denaturasi dan aktivitasnya berkurang secara
linear dengan nilai korelasi –0,103.
5. Enzim akan terdenaturasi bila dipertahankan pada suhu melebihi suhu optimum.
5.2 SARAN
Dari praktikum yang telah dilakukan diharapkan alat dan bahan ditambah kualitas dan
kuantitasnya. Sehingga setiap praktikan memiliki kesempatan yang sama untuk melakukan
praktikum. Akibat keterbatasan peralatan maka yang benar-benar melaksanakan percobaan
hanya beberapa orang saja, dan sisanya hanya menjadi penonton.
DAFTAR PUSTAKA
Anonymous. Modul Praktikum Biokimia Kedokteran. Banjarbaru: Bagian Biokimia Kedokteran
FK Unlam 2010.
Murray RK, Graner DK, Rodwell VW. 2009. Biokimia Harper edisi 27. Jakarta: EGC.
Aigner B, Rathkolb B, Klaften M, Sedlmeier R, Klempt M, Wagner S, et al. Generation of N-
ethyl-N-nitrosourea-induced mouse mutants with deviations in plasma enzyme activities
as novel organ-specific disease models. Experimental Physiology 2009; 4: 412–421
Richardson TH, Tan X, Frey G, Callen W, Cabell M, Lam D, et al. A Novel, High Performance
Enzyme for Starch Liquefaction. The Journal of Biological Chemistry 2002; 29: 26501–
26507.