tugas kelompok hukum ekonomi islam gadai syariah
TRANSCRIPT
TUGAS KELOMPOK HUKUM EKONOMI ISLAM
GADAI SYARIAH
Dosen Pengampu: Ro’fah Setyowati, SH, MH, PhD
DISUSUN OLEH:
KELOMPOK 8
ISMA LEONITA (11010111140481)
ALIS NINDY RAIHANAH (11010111140509)
ADHITYAS RIZKA ANDHINI (11010111140516)
ANISA SOLEKHA (11010111140562)
DIAH NUZUL PERMATASARI (11010111140570)
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS DIPONEGORO
2014
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 LATAR BELAKANG
Dalam realitas social ekonimo masyarakat kerap ditemukan
kondisi masyarakat yang memiliki harta dalam bentuk selain uang
tunai dan pada saat yang sama, yang bersangkutan mengalami
kesulitan likuiditas sehingga membutuhkan dana dalam bentuk
tunai. Pilihan transaksi yang sering digunakan oleh masyarakat
yang menghadapi masalah ini adalah menggadaikan barang-barang
yang berharga. Istilah gadai barang nampaknya sudah sangat akrab
di masyarakat kita, terutama kalangan masyarakat yang membutuhkan
dana tunai saat kondisi likuiditasnya kurang baik. Karena
masyarakat yang membutuhkan dana tunai dengan model gadai
permintaannya cenderung besar, pegadaian sebagai lembaga yang
merespon kebutuhan masyarakat pun akhirnya dapat eksis dan
berkembang pesat. Pegadaian lahir dari interaksi permintaan dan
penawaran terhadap dana tunai dalam waktu yang cepat dengan
barang berharga sebagai jaminannya. Selama ini, bisnis pegadaian
relative tumbuh dan berkembang, baik yang dilaksanakan oleh
swasta maupun pemerintah. Tingginya permintaan terhadap praktik
gadai, bahkan menyebabkan munculnya pelaku bisnis gadai dalam
berbagai skala dengan beragam model dan bentuk transaksi. Tidak
jarang karena masyarakat membutuhkan dana tunai dengan cepat,
gadai barang menjadi salah satu modus rentenir dalam menjalankan
operasinya.
1.2 RUMUSAN MASALAH
1.2.1 Apa Pengertian Gadai Syariah?
1.2.2 Bagaimana sejarah Gadai Syariah?
1.2.3 Apa saja yang menjadi dasar hukum Gadai Syariah?
1.2.4 Apa saja rukun, akad dan syarat-syarat Gadai
Syariah?
1.2.5 Hal-hal apa saja yang berkaitan dengan Gadai
Syariah?
1.2.6 Apa saja yang menjadi hak dan kewajiban penerima
dan pemberi Gadai Syariah?
1.2.7 Bagimana operasional Gadai?
1.2.8 Bagaimana perbedaan Gadai Syariah dengan Gadai
Konvensional?
1.3 TUJUAN
Tujuan dalam penulisan makalah ini adalah untuk mempelajari
tentang dan meninjau lebih lanjut tentang pegadaian syariah
sebagaimana adanya rumusan-rumusan masalah yang sudah disebutkan
diatas yang akan dibahas lebih lanjut.
Tujuan utama usaha pegadaian adalah mengatasi agar
masyarakat yang sedang membutuhkan uang tidak jatuh kepada
rentenir dengan bunga yang sangat tinggi. Perusahaan pegadaian
menyediakan pinjaman uang dengan jaminan barang-barang berharga.
Jika seseorang membutuhkan dana, ia dapat mengajukan ke berbagai
sumber dana, seperti meminjam uang di bank dan lembaga keuangan
lain. Sementara kendala utamanya adalah prosedur yang rumit dan
memakan waktu yang relative lama, disamping persyaratan yang
lebih sulit. Begitu pula dengan jaminan barang-barang tertentu
karena tidak semua barang dapat dijadikan jaminan di bank.
Adapun di perusahaan pegadaian, prosesnya sangat mudah.
Masyarakat cukup dating ke kantor pegadaian terdekat dengan
membawa jaminan barang tertentu sehingga uang pinjaman pun dapat
dalam waktu singkat terpenuhi sesuai dengan nilai barang-barang
yang untuk apa uang tersebut digunakan dan hal ini tentu bertolak
belakang dengan perbankan yang harus dibuat serinci mungkin
tentang penggunaan dananya. Begitu pula dengan transaksi yang
diberikan relatif ringan, apabila tidak dapat melunasi dalam
waktu tertentu. Sanski yang paling berat adalah pelelangan barang
jaminan untuk menutupi kekurangan pinjaman.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Gadai Syariah
Transaksi hukum gadai dalam fikih Islam disebut ar-rahn. Ar-
rahn adalah suatu jenis perjanjian untuk menahan suatu barang
sebagai tanggungan utang. Pengertian ar-rahn dalam bahasa Arab
adalah ats-tsubut wa ad-dawan, yang berarti “tetap” dan “kekal”,
seperti dalam kalimat maun rahin, yang berarti air yang tenang.
Hal itu, berdasarkan firman Allah SWT dalam QS. Al-Muddatstsir
(74) ayat 38 sebagai berikut:
Setiap orang bertanggung jawab atas apa yang telah diperbuatnya.
Pengertian “tetap” dan “kekal” dimaksud, merupakan makna
yang tercakup dalam kata al-habsu, yang berarti menahan. Kata ini
merupakan makna yang bersifat materiil. Karena itu, secara bahasa
kata ar-rahn berarti “menjadikan sesuatu barang yang bersifat
materi sebagai pengikat utang”.
Pengertian gadai (rahn) secara bahasa seperti diungkapkan di
atas adalah tetap, kekal dan jaminan; sedangkan dalam pengertian
istilah adalah menyandera sejumlah harta yang diserahkan sebagai
jaminan secara hak, dan dapat diambil kembali sejumlah harta
dimaksud sesudah ditebus. Namun, pengertian gadai yang terungkap
dalam Pasal 1150 KUHPER adalah suatu hak yang diperoleh seseorang
yang mempunyai piutang atas suatu barang bergerak, yaitu barang
bergerak tersebut diserahkan kepada orang yang berpiutang oleh
orang yang mempunyai utang atau orang lain atas nama orang yang
mempunyai utang. Karena itu, makna gadai (ar-rahn) dalam bahasa
hukum perundang-undangan disebut sebagai barang jaminan, agunan,
dan rungguhan. Sedangkan pengertian gadai (rahn) dalam hukum
Islam (syara’) adalah:
Menjadikan seuatu barang yang mempunyai nilai harta dalam pandangan syara’
sebagai jaminan utang, yanag memungkinkan untuk mengambil seluruh atau
sebagian utang dari barang tersebut.
Selain pengertian gadai (rahn) yang dikemukakan diatas,
penulis mengungkapkan pengertian gadai (rahn) yang diberikan oleh
para ahli hukum Islam sebagai berikut.
a. Ulama Syafi’iyah mendefinisikan sebagai berikut.
Menjadikan suatu barang yang biasa dijual sebagai jaminan utang dipenuhi
dari harganya, bila yang berutang tidak sanggup membayar utangnya.
b. Ulama Hanabilah mengungkapkan sebagai berikut.
Suatu benda yang dijadikan kepercayaan suatu utang, untuk dipenuhi dari
harganya, bila yang berutang tidak sanggup membayar utangnya.
c. Ulama Malikiyah mendefinisikan sebagai berikut.
Sesuatu yang bernilai harta (mutamawwal) yang diambil dari pemiliknya untuk
dijadikan pengikat atas utang yang tetap (mengikat).
d. Ahmad Azhar Bayir
Rahn adalah perjanjian menahan sesuatu barang sebagai
tanggungan utang, atau menjadikan sesuatu benda bernilai
menurut pandangan syara’ sebagai tanggungan marhum bih,
sehingga dengan adanya tanggungan utang itu seluruh atau
sebagian utang dapat diterima.
e. Muhammad Syafi’I Antonio
Gadai syariah (rahn) adalah menahan salah satu harta milik
nasabah (rahin) sebagai barang jaminan (marhun) atas
utang/pinjaman (marhun bih) yang diterimanya. Marhun tersebut
memiliki nilai ekonomis. Dengan demikian, pihak yang menahan
atau penerima gadai (murtahin) memperoleh jaminan untuk dapat
mengambil kembali seluruh atau sebagian piutangnya.
Berdasarkan pengertian gadai yang dikemukakan oleh para ahli
hukum Islam diatas, penulis berpendapat bahwa gadai (rahn) adalah
menahan barang jaminan yang bersifat materi milik si peminjam
(rahin) sebagai jaminan atas pinjaman yang diterimanya, dan barang
yang diterima tersebut bernilai ekonomis, sehingga pihak yang
menahan (murtahin) memperoleh jaminan untuk mengambil kembali
seluruh atau sebagian utangnya dari barang gadai dimaksud, bila
pihak yang menggadaikan tidak dapat membayar utang pada waktu
yang telah ditentukan. Karena itu, tampak bahwa gadai syariah
merupakan perjanjian antara seseorang untuk menyerahkan harta
benda berupa emas/perhiasan/kendaraan dan/ atau harta benda
lainnya sebagai jaminan dan/ atau agunan kepada seseorang dan/
atau lembaga penggadaian syariah berdasarkan hukum gadai syariah;
sedangkan pihak lembaga penggadaian syariah menyerahkan uang
sebagai tanda terima dengan jumlah maksimal 90% dari nilai taksir
terhadap barang yang diserahkan oleh penggadai. Gadai dimaksud,
ditandai dengan mengisi dan menandatangani Surat Bukti Gadai
(rahn).
Jika memperhatikan pengertian gadai (rahn) diatas, maka
tampak bahwa fungsi dari akad perjanjian antara pihak peminjam
dengan pihak yang meminjam uang adalah untuk memberikan
ketenangan bagi pemilik uang dan/ atau jaminan keamanan utang
yang dipinjamkan. Karena itu, rahn pada prinsipnya merupakan
suatu kegiatan utang piutang yang murni berfungsi social,
sehingga dalam bukti fiqh mu’amalah akad ini merupakan akad tabarru’
atau akad derma yang tidak mewajibkan imbalan.
2.2 Sejarah Gadai Syariah
Sejarah pengadilan syariah di Indonesia tidak dapat di
ceraipisahkan dari kemauan warga masyarakat islam untuk
melaksanakan transaksi akad gadai berdasarkan prinsip syariah dan
kebijaka pemerintah dalam pengembangan praktik ekonomi dan
lembaga keuangan yang sesuai dengan nilai dan prinsip hukum
islam. Hal ini dimaksud, dilatarbelakangi oleh maraknya aspirasi
warga masyarakat islam di berbagai daerah yang menginginkan
pelaksanaan hukum islam dalam berbagai aspeknya termasuk
pegadaian syariah. Selain itu semakin populernya praktik bisnis
ekonomi syariah dan mempunyai peluang yang cerah untuk
dikembangkan.
Berdasarkan hal di atas, pihak pemerintah mengeluarkan
peraturan perundang-undanga untuk melegitimasi secara hukum
positif pelaksanaan praktik bisnis sesuian dengan syariah yang
termasuk gadai syariah. Karena itu, pihak pemerintah bersama DPR
merumuskan rancangan peraturan perundang-undangan yang kemudian
disahkan pada bulan Mei menjadi UU No. 10 Tahun 1998 tentang
Perbankan. Undang-undang dimaksud, memberikan peluang untuk
diterapkan praktik perekonomian sesuai syariah di bawah
perlindungan hukum positif.
Berdasarkan undang-undang tersebut maka terwujud lembaga-
lembaga keuangan syariah (LKS). Pada awalnya, muncul lembaga
perbankan syariah, yaitu Bank Mualamat menjadi pionirnya, dan
seterusnya bermunculan lembaga pegadaian syariah, dan lain-
lainnya.
Besarnya permintaan warga masyarakat terhadap jasa Perum
Pegadaian membuat lembaga-lembaga keuangan syariah juga melirik
kepada sektor pegadaian, sektor yang dapat dikatakan agak
tertinggal dari sekian banyak lembaga keuangan syariah lainnya.
Padahal dalam diskursus ekonomi islam, pegadaian juga merupakan
salah satu praktik transaksi sosial dan keuangan yang pernah
dipraktikkan di masa Nabi Muhammad saw. Yang amat menjajikan
mengayomi perekonomian rakyat untuk dikembangkan.
Melihat semakin berkembang permintaan warga masyarakat dan
pola bisnis berbasis syarian di indonesia, Perum Pegadaian
tertarik untuk menerapkan pola ini. Apalagi, pola pegadaian
syariah memungkinkan perusahaan untuk dapat proaktif dan lebih
produktif untuk menghasilkan berbagai produk jasa keuangan
modern, seperti jasa piutang dan jasa sewa beli. Pada lembaga
gadai model dimaksud, nilai-nilai dan prinsip-prinsip syariah
dalam hal gadai dapat diimplementasikan. Selain itu,
mempertimbangkan fungsinya sebagai lembaga intermediasi bagi
warga masyarakat terhadap sektor keuangan.
Usaha lembaga keuangan syariah dimaksud, dimulai oleh PT
Bank Muamalat Indonesia (BMI), ysng merupakan salah satu lembaga
perbankan syariah pertama di Indonesia, beraliansi dengan Perum
Pegadaian. Bentuk kerjasama kedua pihak, yaitu Perum Pegadaian
bertindak sebagai kontributor sistem gadai dan BMI sebagai pihak
kontibutor muatan sistem syariah dan dananya. Aliansi kedua pihak
dimaksud, melahirkan Unit Layanan Gadai Syariah (kini, Cabang
Pegadaian Syariah). Selain aliansi kedua lembaga dimaksud, gadai
syariah juga dilakukan oleh bank-bank umum syariah, seperti BANK
Syariah Mandiri (BSM) dan bank-banki umum lainnya yang membuka
unit usaha syariah (UUS).
Melihat adanya peluang dalam mengimplementasikan praktik
gadai berdasarkan prnsip syariah, Perum Pegadaian yang telah
bergelut dengan bisnis pegadaian konvensional selama beratus-
ratus tahun lebih, berinisiatif untuk mengadakan kerjasama dengan
PT Bank Muamalat Indonesia (BMI) dalam mengusahakan praktik gadai
syariah sebagai diversifikasi usaha gadai yang sudah dilakukannya
sehingga pada bulan Mei tahun 2002, ditandatangani sebuah
kerjasama antara keduanya untuk meluncurkan gadai syariah, yaitu
BMI sebagai penyandang dana.
Untuk mengelola kegiatan dimaksud, dibentuklah Unit Layanan
Gadai Syariah sebagai gerai layanan tersendiri namun masih dalam
satu atap pada cabang-cabang Perum Pegadaian. Cabang pertama yang
terpilih ketika itu adalam Perum Pegadaian Cabang Dewi Sartika,
yang menerima pembiayaan modal dari BMI sebesar Rp.
1.550.000.000,00 dan sejumlah uang sebesar Rp. 24.435.000,00 yang
diperuntukkan bagi perluasan jarinhan Unit Layanan Gadai Syariah
(kini, Cabang Pegadaian Syariah). Kerja sama dimaksud,
menggunakan skim musyarakah ( kerjasama investasi bagi hasil).
Nisbah bagi hasil yang disepakati oleh BMI dengan Perum Pegadaian
adalah 50:50, yang ditinjau setiap 6 bulan sekali dengan cara
pembayaran bulanan.
Realisasi kerjasama strategis tersebut, sebenarnya sudah
pernah direncanakan sejak awal tahun 1998 ketika beberapa General
Manager (GM) Perum Pegadaian melakukan studi banding ke Malaysia,
yang selanjutnya diadakan penggodokan rencana pendirian pegadaian
syariah. Hanya saja dalam proses selanjutnya, hasil studi banding
yang didapatkan hanya ditumpuk dan dibiarkan, karena terhambat
oleh permasalahan internal perusahaan.
Sebelum Perum Pegadaian membuka unit Gadai Syariah,
pelayanan jasa serupa telah dimulai oleh Bank Syariah Mandiri
(BSM) dengan meluncurkan sebuah produk Gadai Syariah yang disebut
Gadai Emas Syariah Mandiri (BSM), pada tangal 1 November 2001
atau bertepatan dengan ulang tahun kedua BSM. Dalam pelaksanaan
Gadai Syariah ini, BSM menerapkan konsep transaksi (akad), yaitu
gadai sebagai prinsip dan akad sebagai tambahan terhadap produk
lain, seperti dalam pembiayaan bai’al-murabahah, yaitu (a) bank
dapat menahan barang nasabah sebagai konsekuensi dari akad yang
dilakukannya. Namun bank tidak menahan jaminan fisik, kecuali
surat-suratnya saja (secara fiducia), (b) gadai sebagai produk,
yaitu bank dapat menerima dan menahan barang jaminan untuk
pinjaman yang diberikan dalam jangka waktu pendek.
Gadai Emas Banik Syariah Mandiri ketika itu, masih
menerapkan fee terhadap jumlah pinjaman yang diberikan sebesar 4%
, yang dialokasikan sebagai pendapatan yang dibagikan kepada para
deposan dan biaya administrasi bank, yang didalamnya juga
termasuk asuransi. Pelaksanaan gadai dimaksud, mendapat reaksi
dari Dewan Syariah Nasional (DSN) yang menganggapnya tidak lebih
sebagai praktis bisnis ribawi dan menyalahi prinsip dan nilai
hukum islam, yang membungakan pinjaman. Oleh karena itu, mulai
bulan Juli 2002, BSM tidak lagi menerapkan praktik gadai
konvensional dan menggantinya dengan skim pembebanan biaya pada
penyimpanan barang gadai, (deposit box) yang ditentukan oleh
besar dan kecilnya terhadap risiko barang gadai (marhum), bukan
pada besarnya pinjaman. Hal dimaksud, sesuai fatwa DSN No.
26/DSN/MUI/2002.
Berdasarkan perubahan status pegadaian, maka lembaga syariah
mulai melirik pegadaian . Bank Muamalat dalam salah satu langkah
aliansinya telah menggandeng Perum Pegadaian. Bentuk kerjasama
Bank Muamalat dengan Perum Pegadaian , yaitu memberikan
kontribusi dalam sistem gadainya, sedangkan Bank Muamalat memberi
muatan sistem syariah. Lain halnya pihak Bank Syariah Mandiri,
yaitu mengembangkan sendiri sebagai salah satu produk yang cukup
diandalkan.
Apabila pegadaian dibanding dengan perbankan secara umum
dapat dikatakan mempunyai kelebihan dalam hal kemudahan dan
kecepatan prosedur pencairan dana pinjaman. Pegadai (nasabah)
tinggal membawa barang yang cukup berharga, kemudian ditaksir
nilainya, dan uang akan ditetima oleh pemilik barang sehingga
sangat menguntungkan buat warga masyarakat yang membutuhkan dana
cepart. Namun bila perbedaan gadai syariah dengan konvensional
hanya dalam hal pengenaan bunga. Pegadaian syariah menerapkan
beberapa sistem pembiayaan, antara lain qardhul hasan (pinjaman
kebajikan), dan mudharabah (bagi hasil). Bukanlah tanpa alasan
bagi warga masyarakat yang tertarik untuk menggarap gadai ini.
Disamping alasan rasional, bahwa gadai ini memiliki potensi pasar
yang besar, sistem pembiayaan ini memang memiliki landasan
syariah. Apalagi terbukti, di negara-negara yang mayoritas
penduduk muslim, seperti Timur Tengah dan Malaysia, pegadaian
syariah telah berkembang pesat.
Pengertian gadai atau ar-rahn seperti yang telah diuraikan
adalah menyimpan sementara harta milik si peminjam sebagai
jaminan atas pinjaman uang yang diberikan oleh yang meminjamkan.
Berarti, barang yang dititipkan pada si peminjam uang dapat
diambil kembali dalam jangka waktu tertentu.
Dalam QS. Al-Baqarah (2) ayat 283:
Jika kamu dalam perjalanan (dan bermuamalah tidak secara tunai) sedang kamu tidak
memperoleh seorang penulis, hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang (oleh
yang berpiutang).
Pengertian ayat tersebut, secara eksplisit menyebutkan
barang tanggungan yang dipegang oleh orang yang berpiutang. Dalam
dunia finansial dan perbankan, barang tanggungan bisa dikenal
sebagai objek gadai atau jaminan (kolateral). Selain itu istilah
ar-rahnu juga disebut dalam salah satu hadis Nabi Muhammad saw.
Yang artinya : Apabila ada ternak digadaikan, punggungnya boleh dinaiki (oleh
orang yang menerima gadai) karena ia telah mengeluarkan biaya (menjaga)
nya.......kepada orang yang naik ia harus mengeluarkan biaya perawatannya. (HR.
Al-Jamaah kecuali Muslim dan An-Nasa’i, Al-Bukhari no. 2329,
kitab Ar-Rahn).\
Karena itu, secara teknis gadai syariah dapat dilakukan oleh
suatu lembaga tersendiri seperti Perum Pegadaian, perusahaan
swasta dan pemerintah, atau merupakan bagian dari produk-produk
finansial yang ditawarkan oleh pihak bank.
Dalam hal perbankan syariah, kontak rahn digunakan pada 2
(dua) hal sebagai berikut :
1. Sebagai produk pelengkap, yakni sebagai akad tambahan
(jaminan) bagin produk lain misalnya pembiayaan
murabahah.
2. Sebagai produk tersendiri. Bedanya dengan pegadaian
biasa, pada rahn nasabah tidak dikenai bunga, yang
dipungut dari nasabah adalah biaya penaksiran
(valuation), penitipan, pemeliharaan, penjagaan dan
administrasi.
Mekanismenya biasa saja: barang yang digadaikan ditaksir
(tentu pemilik barang harus dapat membuktikan bahwa itu barang
miliknya secara sah) kemudian nasabah memperoleh pembiayaan dalam
jumlah tertentu, yang bisa dicover oleh nilai barang yang
digadaikan dimaksud. Prosesnya cepat dan praktis. Dewan Syariah
Nasional telah menetapkan bahwa lembaga gadai diperkenankan
mengambil biasa yang memang diperlukan, tanpa ada unsur mengambil
keuntungan berlebihan
Praktik gadai syariah ini sangat strategis mengingat citra
pegadaian memang telah berubah sejak enam-tujuh tahun terakhir
ini. Pegadaian, kini bukan lagi dipandang tempatnya masyarakat
kalangan bawah mencari dana di kala anaknya sakit atau butuh
biaya sekolah. Lembaga pegadaian saat ini juga tempat para
pengusaha mencari dana segar untuk kelancaran bisnisnya. Sebagai
ilustrasi seorang eksportir produk kerajinan membutuhkan dana
cepat untuk memberikan modal kerja bagi para pengerajin
binaannya. Maka bisa saja ia menggadaikan mobilnya untuk
memperoleh dana segar beberapa puluh juta rupiah. Setelah produk
kerajinannya jadi dan diekspor, ia pun mendapat bayaran dari
mitra luar negerinya, selekas itu pula ia menebus mobil yang
digadaikannya. Bisnis tetap jalan, likuiditas lancar, dan yang
penting kepercayaan dari mitra bisnis di luar negeri tetap
terjaga.
2.3 Dasar Hukum Gadai Syariah
Dasar hukum yang menjadi landasan gadai syariah adalah ayat-
ayat Al-quran, hadis Nabi Muhammad saw., ijma’ ulama, dan fatwa
MUI. Hal dimaksud, diungkapkan sebagai berikut.
1. Al-quran
QS. Al-Baqarah (2) ayat 283 yang digunakan sebagai dasar dalam
membangun konsep gadai adalah sebagai berikut.
Jika kamu dalam perjalanan (dan bermu’amalah tidak secara tunai) sedang kamu tidak
memperoleh seorang penulis, maka hendaklah ada barang tanggungan dipegang
(oleh yang berpiutang). Akan tetapi, jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang
lain, maka hendaklah yang dipercayai itu menunaikan amanatnya (utangnya) dan
hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya; dan janganlah kamu (para saksi)
menyembunyikan persaksian. Dan barangsiapa yang menyembunyikannya, maka
sesungguhnya ia adalah orang yang berdosa hatinya; dan Allah Maha Mengetahui apa
yang kammu kerjakan.
Syaikh Muhammad ‘Ali As-Sayis berpendapat, bahwa ayat Al-
quran di atas adalah petunjuk untuk menerapkan prinsip kehati-
hatian bila seseorang hendak melakukan traksaksi utang-piutang
yang memakai jangka waktu dengan orang lain, dengan cara
menjaminkan sebuah barang kepada orang yang berpiutang (rahn).
Selain itu, Syaikh Muhammad ‘Ali As-Sayis mengungkapkan
bahwa rahn dapat dilakukan ketika dua pihak yang bertransaksi
demikian ini harus dicatat dalam sebuah berita acara (ada orang
yang menuliskannya) dan ada orang yang menjadi saksi terhadapnya.
Bahkan ‘Ali As-Sayis menganggap bahwa dengan rahn, prinsip kehati-
hatian sebenarnya lebih terjamin ketimbang bukti tertulis
ditambah dengan persaksian seseorang. Sekalipun demikian,
penerima gadai (murtahin) juga diperbolehkan tidak menerima barang
jaminan (marhun) dari pemberi gadai (rahin), dengan alas an bahwa
ia meyakini pemberi gadai (rahin) tidak akan menghindari
kemudaratan yang diakibatkan oleh berkhianatnya salah satu pihak
atau kedua belah pihak ketika keduanya melakukan traksaksi utang-
piutang.
Fungsi barang gadai (marhun) pada ayat diatasn adalah untuk
menjaga kepercayaan masing-masing pihak, sehingga penerima gadai
(murtahin) meyakini bahwa pemberi gadai (rahin) beritikad baik
untuk mengembalikan pinjamannya (marhum bih) dengan cara
menggadaikan barang atau benda yang dimilikinya (marhun), serta
tidak melalaikan jangka waktu pengembalian utangnya itu.
Sekalipun ayat tersebut, secara literal mengindikasian bahwa
rahn dilakukan oleh seseorang ketika dalam keadaan musafir. Hal
ini, bukan berarti dilarang bila dilakukan oleh orang yang
menetap dan/atau bermukim. Sebab, keadaan musafir ataupun menetap
bukanlah merupakan suatu persyaratan keabsahan transaksi rahn.
Apalagi, terdapat sebuah hadis yang mengisahkan bahwaRaulullah
saw, menggadaikan baju besinya kepada seorang Yahudi, untuk
mendapatkan makanan bagi keluarganya, pada saat beliau tidak
melakukan perjalanan.
2. Hadis Nabi Muhammad saw
Dasar hukum yang kedua untuk dijadikan rujukan dalam mebuat
rumusan gadai syariah adalah hadis Nabi Muhammad saw, yang antara
lain diungkapkan sebagai berikut.
A. Hadis A’isyah ra. Yang diriwayatkan oleh Imam Muslim, yang
berbunyi:
Telah meriwayatkan kepada kami Ishaq bin Ibrahim Al-Hanzhali dan Ali bin
Khasyram berkata: keduanya mengabarkan kepada kami Isa bin Yunus bin ‘Amasy
dari Ibrahim dari Aswad dari ‘Aisyah berkata: bahwasannya Rasulullah saw,
membeli makanan dari seorang Yahudi dengan menggadaikan baju besinya. (HR.
Muslim)
B. Hadis dari Anas bin Malik ra. Yang diriwayatkan oleh Ibnu
Majah yang berbunyi:
Telah meriwayatkan kepada kami Nahr bin Ali Al-Jahdhami, ayahku telah
meriwayatkan kepadaku, meriwayatkan kepada kami Hisyam bin Qatadah dari
Anas berkata: Sungguh Rasulullah saw. Menggadaikan baju besinya kepada
seseorang Yahudi di Madinah dan menukarnya dengan gandum untuk
keluarganya.
C. Hadis dari Abu Hurairah yang diriwayatkan oleh Imam Al-
Bukhari, yang berbunyi:
Telah meriwayatkan kepada kami Muhammad bun Muqatil, mengabarkan kepada
kami Abdullah bin Mubarak, mengabarkan kepada kami Zakariyah dari Sya,bi dari
Abu Hurairah, dari Nabi saw, bahwasannya beliau bersabda: Kendaraan dapat
digunakan dan hewan ternak dapat pula diambil manfaatnya apabila digadaikan.
Penggadaian wajib memberikan nafkah dan penerima gadai boleh mendapatkan
manfaatnya. (HR. Al-Bukhari)
D. Hadis riwayat Abu Humairah ra, yang berbunyi:
Barang gadai tidak boleh disembunyikan dari pemilik yang menggadaikan, baginya
risiko dan hasilnya (HR. Asy-Syafi’I dan Ad-Daruqutni)
3. Ijma’ Ulama
Jumhur ulama menyepakati kebolehan status hukum gadai. Hal
dimaksud, berdasarkan pada kisah Nabi Muhammad saw, yang
menggadaikan baju besinya untuk mendapatkan makanan dari seorang
Yahudi. Para ulama juga mengambil indikasi dari contoh Nabi
Muhammad saw, tersebut, ketika beliau berakih dari yang biasanya
bertraksaksi kepada para sahabat yang kaya kepada seorang Yahudi,
bahwa hal itu tidak lebih sebagai sikap Nabi Muhammad saw, yang
tidak mau memberatkan para sahabat yang biasanya enggan mengambil
ganti ataupun harga yang diberikan oleh Nabi Muhammad saw, kepada
mereka.
4. Fatwa Dewan Syariah Nasional
Fatwa Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI)
menjadi salah satu rujukan yang berkenaan gadai syariah,
diantaranya dikemukakan sebagai berikut.
a. Fatwa Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia No:
25/DSN-MUI/III/2002, tentang Rahn;
b. Fatwa Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia No:
26/DSN-MUI/III/2002, tentang Rahn Emas;
c. Fatwa Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia No:
09/DSN-MUI/IV/2000, tentang Pembiayaan Ijarah;
d. Fatwa Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia No:
10/DSN-MUI/IV/2000, tentang Wakalah;
e. Fatwa Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia No:
43/DSN-MUI/VII/2002, tentang Ganti Rugi.
2.4 Rukun, Akad dan Syarat-syarat Gadai Syariah
Rukun Gadai (rahn ) meliputi:
1. Rahin (yang menggadaikan), dalam konteks perbankan, yaitu:
gadai emas syariah adalah nasabah.
2. Murtahin (yang menerima gadai), yaitu bank
3. Marhun (barang yang digadaikan), yaitu emas dan berlian.
4. Marhun bih (utang), yaitu pembiayaan.
5. Sighat (ijab-kabul), yaitu akad kontrak yang dilakukan antara
nasabah dan pihak bank atau pihak yang menggadaikan dengan
yang menerima gadai.
Syarat-syarat Gadai:
1. Rahin dan Muntahin
a. Cakap bertindak hukum, menurut jumhur ulama adalah orang-
orang yang telah baligh dan berakal. Oleh karena itu,
tidak sah rungguhan anak kecil dan orang gila. Menurut,
ulama Hanafiyah, kedua belah pihak yang berakad tidak
disyaratkan baligh, tetapi cukup berakal. Oleh sebab itu,
menurut mereka, anak kecil yang mumayyiz boleh melakukan
akad rahn, dengan syarat mendapatkan persetujuan dari
walinya.
b. Layak untuk melakukan transaksi pemilikan. Setiap orang
yang sah melakukan jual beli, juga sah untuk melakukan
gadai karena gadai seperti jual beli merupakan
pengelolaan harta.
2. Sighat (ijab-kabu)
a. Sighat tidak boleh terikat dengan syarat tertentu dan juga
dengan wktu-waktu pada masa depan.
b. Rahn mempunyai sisi pelepasan barang dan pemberian utang,
seperti halnya akad jual beli. Oleh karena itu, tidak
boleh diikat dengan syarat tertentu atau dengan suatu
waktu pada masa depan.
3. Marhun bih (utang)
a. Merupakan hak yang wajib diberikan/diserahkan kepada
pemiliknya.
b. Memungkinkan pemanfaatannya. Apabila sesuatu yang menjadi
utang tidak bisa dimanfaatkan, tidak sah hukumnya.
c. Dapat dikuantifikasikan atau dapat dihitung jumlahnya.
Apabila tidak dapat diukur atau tidak dapat
dikuantifikasikan, tidak sah.
d. Utang boleh dilunasi dengan anggunan itu.
4. Marhun (barang yang digadaikan)
Aturan pokok dalam mahzab Maliki tentang barang yang
digadaikan bahwa gadai dapat dilakukan pada semua jenis
harga dan semua jenis jual beli, kecuali pada jual beli mata
uang (sharf) dan pokok modal salam yang berkaitan dengan
tanggungan. Karena pada sharf diisyaratkan tunai (yaitu kedua
belah pihak saling menerima), tidak boleh terjadi akad
gadai, begitu pula pada harta modal gadai salam.
Menurut ulama Syafi,iyah, gadai dapat dikatakan sah dengan
dipenuhinya tiga syarat. Pertama, harus berupa barang karena
utangg tidak bisa digadaikan. Kedua, penetapan kepemilikian
penggadai atas barang yang digadaikan tidak terhalang. Ketiga,
barang yang digadaikan bisa dijual saat sudah lewat masa
pelunasan utang gadai.
Secara umum, barang gadai harus memenuhi beberapa syarat,
antara lain:
1. Harus diperjualbelikan,
2. Harus berupa harta yang bernilai,
3. Marhun harus bisa dimanfaatkan secara syariah,
4. Harus diketahui keadaan fisiknya sehingga piutang tidak sah
untuk digadaikan harus berupa barang yang diterima secara
langsung,)
5. Harus memilkik rahin (peminjaman atau penggadai), setidaknya
harus seizin pemiliknya,
Disamping syarat-syarat diatas, para ulama sepakat
menyatakan bahwa rahn baru dianggap sempurna apabila barang
yang di rahn kan secara hukum sudah berada ditangan pemberi
utang, dan utang yang dibutuhkan telah diterima peminjam uang.
Syarat terakhir (kesempurnaan rahn) oleh para ulama disebut
qabdh al-marhun (barang jaminan dikuasai secara hukum oleh
pemberi utang/kreditur).
Akad Gadai
Dalam transaksi gadai terdapat empat akad untuk mempermudah
mekanisme perjanjianya, yaitu sebagai berikut:
1. Qard al-Hasan
Akad ini digunakan nasabah untuk tujuan konsumtif. Oleh
karena itu, nasabah (rahin) dikenakan biaya perawatan dan
penjagaan barang barang gadaian (marhun) kepada pengadaian
(murtahin). Ketentuan transaksi pada akad qarad al hasan
adalah:
a. Barang gadai hanya dapat dimanfaatkan dengan jalan
menjual,
b. Karena bersifat sosial, tidak ada pembagian hasil.
Pengadaian hanya diperkenankan untuk mengenakan biaya
administrasi kepada rahin.
2. Mudharabah
Akad ini diberikan bagi nasabah yang ingin memperbesar modal
usahanya atau untuk pembiayaan lain yang bersifat produktif.
Ketentuan transaksi pada akad mudharabah ialah:
a. Barang gadai dapat berupa barang bergerak dan barang
tidak bergerak seperti emas, elektronik, kendaraan
bermotor, tanah, rumah, bangunan, dan lain-lain.
b. Keuntungan dibagi setelah dikurangi dengan biaya
pengelolaan marhun.
3. Ba’i Muqayyadah
Akad ini diberikan bagi nasabah untuk keperluan yang
bersifat produktif, seperti pembelian alat kantor dan modal
kerja. Dalam hal ini, murtahin juga dapat menggunakan akad
jual-beli untuk barang atau modal kerja yang diinginkan oleh
rahin. Barang gadai adalah barang yang dapat dimanfaatkan
oleh rahin dan murtahin.
4. Ijarah
Objek dari akad ini adalah pertukaran manfaat tertentu.
Bentuknya adalah murtahin menyewakan tempat penyimpanan
barang.
2.5 Hal-hal yang berkaitan dengan Gadai Syariah
2.5.1 Status Barang Gadai
Status gadai terbentuk saat terjadinya akad atau kontrak
utang pitang bersama dengan penyerahan jaminan. Misalnya,
ketika seorang penjual meminta pembeli menyerahkan jaminan
seharga tertentu untuk pembelian barang dan kredit. Status
gadai sah setelah terjadinya utang. Para ulama pun menilai hal
ini sah karena utang tetap menuntut pengambilan jaminan. Oleh
karena itu, dibolehkan mengambil sesuatu sebagai jaminan.
Jumhur fuqaha berpendapat bahwa gadai berkaitan dengan
keseluruhan hak barang yang digadaikan dan bagian lainnya,
yaitu jika seseorang mengadaikan jumlah barang tertentu,
kemudian ia melunasi sebagiannya, keseluruhan barang gadai
masih tetap berada ditangan penerima gadai. Sebagaian fuqaha
berpendapat bahwa barang yang masih tetap berada ditangan
penerima gadai hanya sebagaiannya, yaitu sebesar hak yang
belum dilunasi.
2.5.2 Jenis – jenis Barang Gadai
Jenis barang gadai (marhun) adalah barang yang dijadikan
agunan oleh rahin sebagai pengikat utang, dan dipegang oleh
murtahin sebagai jaminan utang. Menurut ukama Hnafi, barang-barang
yang dapat digadaikan adalah barang-barang yang memenuhi
katagori:
1. Barang-barang yang dapat dijual. Karena itu, barang-barang
yang tidak berwujud tidak dapat dijadikan barang gadai,
misalnya menggadaikan buah dari sebuah pohon yang belum
berbuah, menggadaikan binatang yang belum lahir,
menggadaikan burung yang ada di udara.
2. Barang gadai harus berupa harta menurut pandangan syara’ ,
tidak sah menggadaikan sesuatu yang bukan harta, seperti
bangkai, hasil tangkapan di Tanah Haram, arak, aning, serta
babi. Semua barang ini tidak diperbolehkan oleh syara’
dikarenakan berstatus haram.
3. Barang gadai tersebut harus diketahui, tidak boleh
menggadaikan sesuatu yang majhul (tidak dapat dipastikan ada
atau tidaknya).
4. Barang tersebut milik si rahin.
Menurut kesepakatan para ulama fikih, menggadaikan manfaat
tidak sah, seperti seseorang yang menggadaikan manfaat rumahnya
untuk waktu satu bulan dan/atau lebih. Pendapat ini mengikuti
pendapat Imam Abu Hanafi seperti yang dikutip oleh Wahbah
Zuhaily, yang mengatakan bahwa manfaat tidak termasuk dalam
katagori harta. Alasannya, karena ketika akad dilakukan, manfaat
belum berwujud.
2.5.3 Pemanfaatan Barang Gadai
Para ulama mempunyai perbedaan pendapat berkenaan dengan
pemanfaatan barang gadai, yaitu sebagai berikut :
1. Pendapat Ulama Syafi’iyah
Menurut ulama Syafi’iyah seperti yang dikutip oleh Chuzaimah
T Yanggo Hafiz Anshari bahwa yang mempunyai hak atas manfaat
harta benda gadai (marhun) adalah pemberi gadai (rahin) walaupun
marhun itu berada di bawah kekuasaan penerima gadai (murtahin).
Dasar hukum hal dimaksud adalah hadist Nabi Muhammad saw,
sebagai berikut :
Pertama, hadist Nabi Muhammad saw, sebagai berikut,
Dari Abu Hurairah ra. Berkata bahwasannnya Rasullullah saw. Bersabda : Barang
jaminan itu dapat air susunya dan ditunggangi/ dinaiki.
Kedua, hadist Nabi Muhammad saw, yang artinya:
Dari Abi Huraira Nabi Muhammad saw. Bersabda : Gadaian itu tidak
menutup hak yang punya dari manfaat barang itu, faedahnya
kepunyaan dia, dan dia wajib mempertanggungjawabkan segalanya
(kerusakan dan biaya). (HR. Asy-Syafi’i dan Ad-Daruqutni).
Ketiga, hadist Nabi Muhammad saw, yang artinya :
Dari Umar bahwasannya Rasullulah saw bersabda : Hewan seseorang
tidak boleh diperah tanpa seizin pemiliknya. (HR. Al-Bukhari).
Berdasarkan ketiga dasar hukum tersebut, dapat disimpulkan
bahwa marhun itu hanya sebagai jaminan atau kepercayaan atas
murtahin. Kepemilikan marhun tetap melekat pada rahin. Oleh karena
itu manfaat atau hasil dari murtahin itu tetap berada pada rahin
kecuali manfaat atau hasil dari marhun itu diserahkan kepada
murtahin. Selain itu, perlu diungkapkan bahwa pemanfaatan marhun
oleh murtahin yang mengakibatkan turun kualitas marhun tidak
dibolehkan kecuali diizinkan oleh rahin.
2. Pendapat Ulama Malikiyah
Ulama Malikiyah berpendapat seperti yang dikutip oleh Muhammad
dan Sholikhul Hadi bahwa penerima harta benda gadai (murtahin)
hanya dapat memanfaatkan harta benda barang gadaian atas izin
dari pemberi gadai dengan persyaratan berikut :
A. Utang disebabkan dari jual beli, bukan karena mengutangkan.
Hal itu terjadi seperti orang menjual barang dengan harta
yang tangguh, kemudian orang itu meminta gadai dengan suatu
barang sesuai dengan utangnya maka hal ini diperbolehkan.
B. Pihak murtahin mensyaratkan bahwa manfaat dari harta benda
gadaian diperuntukkan pada dirinya.
C. Jika waktu mengambil manfaat yang telah disyaratkan harus
ditentukan apabila tidak ditentukan batas waktunya maka
menjadi batal.
Pendapat di atas, berdasarkan hadist Rasullullah saw, sebagai
berikut,
Pertama, hadist Nabi Muhammad saw :
Dari Abu Hurairah ra. Berkata, bahwasannya Rasulullah saw, bersabda : Barang
jaminan itu dapat ditunggangi dan diperah susunya.
Kedua, hadist Nabi Muhammad saw, yang artinya :
“Dari Umar bahwasannya Rasullullah bersabda : Hewan seseorang
tidak boleh diperas tanpa seizin pemiliknya”. (HR. Al-Bukhari).
3. Pendapat Ulama Hanabillah
Menurut pendapat ulama Hanabilah, persyaratan bagi murtahin
untuk mengambil manfaat harta benda gadai yang bukan berupa hewan
adalah (a) Ada izin dari pemilik barang, (b) Adanya gadai bukan
karena mengutangkan.
Apabila harta benda gadai berupa hewan yang tidak dapat
diperah dan tidak dapat ditunggangi, maka boleh menjadikannya
sebagai khadam. Akan tetapi, apabila harta benda gadai itu berupa
rumah, sawah, kebun dan semacamnya maka tidak boleh mengambil
manfaatnya.
Hal ini berdasarkan dalil hukum sebagai berikut :
Barang gadai (marhun dikendarai) oleh sebab nafkahnya apabila digadaikan dan
atas yang mengendarai dan meminum susunya wajib nafkahnya. (HR. Al-Bukhari).
Hadist Nabi Muhammad saw, tersebut dijadikan dasar hukum
kebolehan murtahin mengambil manfaat dari barang gadai (marhun).
Dari Muhammad bin Salamah bahwa Rasulullahsaw, bersabda :
Apabila seekor kambing digadaikan maka yang menerima gadai
boleh meminum susunya sesuai dengan kadar memberi makannya,
apabila ia meminum susu itu melebihi harga memberi nafkahnya
maka ia termasuk riba.
Kebolehan murtahin memanfatkan harta benda gadai atas seizin
pihak rahin, dan nilai pemanfatannya harud disesuaikan dengan
biaya yang telah dikeluarkannya untuk marhun didasarkan atas
hadist Nabi Muhammad saw. Yang artinya sebagai berikut :
Dari Abu Hurairah ra. berkata bahwasannya Rasulullah saw.
bersabda : barang jaminan itu dapat ditunggangi dan diperah susunya.
Dari Umar bahwasannya Rasulullah saw. bersabda : Hewan
seseorang tidak boleh diperah tanpa seijin pemiliknya. (HR. Al-Bukhari).
4. Pendapat Ulama Hanafiyah
Menurut ulama Hanafiyah, tidak ada perbedaan antara
pemanfatan barang gadai yang mengakibatkan kurangnya harga atau
tidak. Alasannya adalah hadist Muhammad saw, sebagai berikut :
Dari Abu Shalih dari Abu Hurairah ra. berkata, bahwasannya Rasulullah saw.
bersabda : Barang jaminan utang (gadai) dapat ditunggangi dan diperah susunya,
serta atas dasar menunggangi dan memerah susunya, wajib menafkahi. (HR. Al-
Bukhari)
Menurut ulama Hanafiyah, sesuai dengan fungsi dari barang
gadai (marhun) sebagai barang jaminan dan kepercayaan bagi
penerima gadai (murtahin). Apabila barang tersebut tidak
dimanfaatkan oleh penerima gadai (murtahin) maka berarti
menghilangkan manfaat dari barang tersebut, padahal barang itu
memerlukan biaya untuk pemeliharaan. Hal itu dapat mendatangkan
kemudharatan bagi kedua belah pihak, terutama bagi pemberi gadai
(rahin).
Lain halnya pendapat Sayyid Sabiq, memanfaatkan barang gadai
tidak diperbolehkan meskipun sering orang yang menggadaikan.
Tindakan orang yang memanfaatkan barang gadai tidak ubahnya
qiradh, dan setiap bentuk qiradh yang mengalir manfaat adalah
riba. Kecuali barang yang diagadaikan adalah hewan ternak yang
bisa diambil susunya. Pemilik barang memberikan izin untuk
memanfaatkan barang tersebut, maka penerima gadai boleh
memanfaatkannya.
Dari beberapa pendapat ulama yang diungkapkan diatas
mempunyai dasar hukum yang sama. Namun mempunyai penafsiran
yang berbeda-beda, oleh karena itu penulis mempunyai pendapat
yang lain, tetapi tetap menjadikan dasar hukum pada hadist yang
dikemukakan oleh para ulama, yaitu fungsi dari barang gadai
(marhun) sebagai barang jaminan dan kepercayaan bagi penerima
gadai (murtahin) sehingga barang tersebut dapat dimanfaatkan oleh
penerima gadai (murtahin). Namun, bila rahin ingin memanfaatkan
marhun harus seiring murtahin. Dari hal tersebut dapat
disimpulkan kekuasaan pemanfaatan marhun berada pada murtahin
selama utang rahin belum dilunasi kepada murtahin. Pendapat
penulis tersebut menjadi kenyataan hukum dalam praktek
pelaksanaan gadai pada umumnya baik gadai kendaraan bermotor,
rumah, toko, empang, sawah maupun kebun maupun yang lainnya.
2.5.4 Sengketa Barang Gadai
Ada beberapa kondisipersengketaan yang terjadi antara pihak
pemberi gadai (rahin) dengan pihak penerima gadai (murtahin).
Persengketaan dimaksud, bisa menyangkut besaran uang pinjaman
(marhun bih) dan status serta kondisi barang gadai (marhun).
Beberapa kondisi yang dapat terjadi adalah sebagai berikut:
a. Jika dalam peristiwa gadai, pihak pemberi gadai (rahin)
menjaminkan barang gadainya (marhun) kemudian menyebut
sejumlah uang yang hendak dipinjamnya kepada pihak
penerima gadai (murhin), katakanlah Rp1.000,00 ,
sedangkan murtahin menghargainya sebesar Rp20.000,00 maka
patokan harga yang dipakai adalah patokan harga yang
diutarakan oleh pemberi gadai (rahin). Pendapat ini
dikemukakan oleh mazhab Hanafiyah, Syafi’iyah, dan
Hanabilah. Sedangkan Mahzab Malikiyah memperbolehkan
penetapan harga dan pihak murtahin, meskipun mayoritas
ulama berpendapat bahwa jarang sekali harga atau nilai
pinjaman (marhun bih) bisa lebih besar dari nilai barang
jaminannya (marhun).
b. Jika rahin dan murtabin beselisih mengenai musnahnya
marhun, sementara murtahin mengatakan bahwa ia tidak
memahami apa sebabnya maka keterangan murtahin dapat
dipercaya kebenerannya. Keterangan murtahin juga bisa
dipercaya ketika ia menakar kisaran marhun setelah
terjadi cacat atau rusak. Hal ini mengingat bahwa ia
adalah pihak yang memberikan pinjaman. Akan tetapi, jika
kerusakan tersebut terjadi pada waktu awal terjadinya
rahn, maka keterangan rahin lah yang dapat dipercaya.
c. Jika rahin dan murtahin bersengketa dalam harga penjualan
marhun, maka pendapat yang diambil adalah harga yang
diberikan oleh murtahin
d. Jika rahin dan murtahin berselisih mengenai cara
penyimpanan marhun, maka apa yang diminta oleh rahin yang
dianggap benar. Sebagai contoh dapat diungkapkan misalnya
rahin meminta agar marhunnya disimpan pada tempat
tertentu, maka murtahin harus mengikutinya.
2.5.5 Musnahnya Barang Gadai
Terdapat perbedaan pendapat dikalangan fuqaha tentang barang
gadai yang rusak atau hilang ditangan penerima gadai. Sebagian
fuqaha, yaitu Imam Syafi’i, Ahmad, Abu Tsaur, dan kebanyakan
ahli hadis berpendapat bahwa barang gadai adalah barang
titipan (amanat), dan merupakann barang dari orang yang
menggadaikan. Pemegang gadai sebagai pemengang amanat, tidak
dapat mengambil tanggung jawab atas kehilangan tanggungan.
Jika terjadi pemusnahan ditangan murtahin diikuti dengan
sumpahnya bahwa dia tidak melalaikan dan tidak menganiaya
barang tersebut. Secara jelas, menurut pendapat ini barang
gadaian sebagai titipan yang tidak hars ditanggung oleh
murtahin.
Sebagai fuqaha seperti Imam Abu Hanifah dan jumhur fuqaha
Kufah berpendapat bahwa murtahin bertanggung jawab jika barang
gadai rusak atau musnah ditangan murtahin. Mereka beralasan
bahwa barang tersebut merupakan jaminan atas utang sehingga
jika barang itu hilang atau rusak, kewajiban melunasi utang
juga hilang.
2.6 Hak dan Kewajiban Penerima dan Pemberi Gadai
1. Hak dan Kewajiban Penerima Gadai
a. Penerima gadai berhak menjual marhun apabilla rahin tidak
dapat memenuhi kewajibannya pada saat jatuh tempo. Hasil
penjualan harta benda gadai (marhun) dapat digunakan
untuk melunasi pinjaman (marhun bih) dan sisanya
dikembalikan kepada rahin.
b. Penerima gadai berhak mendapatkan penggantian biaya yang
telah dikeluarkan untuk menjaga keselamatan harta benda
gadai (marhun).
c. Selama peminjaman belum dilunasi maka pihak pemegang
gadai berhak menahan harta benda gadai yang diserahkan
oleh pemberi gadai (nasabah/rahin).
Berdasarkan hak penerima gadai dimaksud, muncul kewajiban
yang harus dilaksanakannya, yaitu sebagai berikut:
a. Penerima gadai bertanggung jawab atas hilang atau
merosotnya harta benda gadai bila hal itu disebabkan oleh
kelalaiannya.
b. Penerimagadai tidak boleh menggunakan barang gadai untuk
kepentingan pribadinya.
c. Penerima gadai berkewajiban memberitahukan kepada pemberi
gadai sebelum diadakan pelelangan harta benda gadai.
2. Hak dan Kewajiban Pemberi Gadai (Rahin)
Hak Pemberi Gadai (Rahin)
a. Pemberi gadai (rahin) berhak mendapatkan pengembalian harta
benda yang digadaikan sesudah melunasi pinjaman utangnya
b. Pemberi gadai berhak menuntut ganti rugi atau kerusakan
dan/atau hilangnua harta benda yang digadaikan, bila hal itu
disebabkan oleh kelalaian penerima gadai.
c. Pemberi gadai berhak menerima sisa hasil penjualan harta
benda gadai sesudah dikurangi biaya pinjaman dan biaya-biaya
lainnya.
d. Pemberi gadai berhak meminta kembali harta benda gadai bila
penerima gadai diketahui menyalahgunakan harta benda
gadainya.
Berdasarkan hak-hak pemberi gadai diatas maka muncul
kewajiban yang harus dipenuhinya, yaitu:
a. Pemberi gadai berkewajban melunasi pinjaman yang telah
diterimanya dalam tenggang waktu yang telah ditentukan,
termasuk biaya-biaya yang ditentukan oleh penerima gadai.
b. Pemberi gadai berkewajiban merelakan penjualan harta
benda gadaiannya, bila dalam jangka waktu yang telah
ditentukan pemberi gadai tidak dapat melunasi uang
pinjamannya.
2.7 Operasional Gadai
Salah satu bentuk jasa pelayanan lembaga keuangan yang menjadi
kebutuhan masyarakat adalah pembiayaan dengan menggadaikan barang
sebagai jaminan. Landasan akad yang digunakan dalam operasional
perusahaan dalam pegadaian syariah adalah rahn. Berlakunya rahn
adalah bersifat mengikuti (tabi’iyah) terhadap akad tertentu yang
dijalankan secara tidak tunai (dayn) sebagai jaminan untuk
mendapatkan kepercayaan. Adapun secara teknis, implementasi akad
rahn dalam lembaga pegadaian adalah sebagai berikut :
Skema : Operasional Pegadaian Syariah
1. Nasabah menjaminkan barang (marhun) kepada pegadaian
syariah untuk mendapatkan pembiayaan. Kemudian pegadaian
menaksir barang jaminan tersebut untuk dijadikan dasar
dalam memberikan pembiayaan.
2. Pegadaian syariah dan nasabah menyepakati akad gadai.
Akad ini meliputi jumlah pinjaman, pembebanan biaya jasa
simpanan dan biaya administrasi. Jatuh tempo pengembalian
yaitu 120 hari (4 bulan).
3. Pegadaian syariah memberikann pembiayaan atau jasa yang
dibutuhkan nasabah sesuia kesepakatan.
4. Nasabah menembus barang yang digadaikan setelah jatuh
tempo. Apabbila pada saat jatuh tempo belum dapat
mengembalikan uang pinjaman, dapat diperpanjang 1 (satu)
kali masa jatuh tempo, demikian seterusnya. Apabila
nasabah tidak dapat mengembalikan uang pinjaman dan tidak
memperpanjang akad gadai,maka pegadaian dapat melakukan
kegiatan pelelangan dengan menjual barang tersebut untuk
melunasi pinjaman.
5. Pegadaian (murtahin) mengembalikan harta benda yang
digadai (marhun) kepada pemiliknya (nasabah).
Pemaparan diatas merupakan ilustrasi cara kerja pegadaian
syarian secara umum. Dengan mendasarkan pada prinsip tersebut, di
pegadaian syariah sekarang ini telah dikenal beberapa jasa
pelayanan yang ditawarkan kepada masyarakat, yaitu :
1. Pemberian pembiayaan atas dasar hukum gadai syariah
(rahn), yaitu berupa penyerahan barang gadai oleh nasabah
(rahin) untuk mendapatkan pinjaman yang jumlahnya
ditentukan oleh nilai barang yang digadaikan.
2. Penaksiran nilai barang , yaitu bahwa pegadaian syariah
memberikan jasa penaksiran atas nilai suatu barang yang
dilakukan oleh calon nasabah (rahin). Jasa ini diberikan
karena biasanya lembaga pegadaian mempunyai alat penaksir
yang keakuratannya dapat dihandalkan.
3. Pegadaian syariah juga menyelenggarakan jasa penyewaan
(ijarah) tempat penitipan barang untuk alasan keamanan.
Usaha ini dapat di jalankan karena pegadaian syariah
menyediakan tempat atau gudang penyimpanan yang memadai.
4. Gerai Emas (Gold Counter), yaitu tempat penjualan emas
yang menawarkan keunggulan kualitas dan keaslian. Emas
yang dijual di gerai ini di lengakapi sertifikat jaminan,
sehingga lebih dipercaya masyarakat.
Lembaga pegadaian dimaksudkan sebagai suatu lembaga yang
memberikan fasilitas bagi warga masyarakat untuk dapat memperoleh
pembiayaan secara praktis. Pembiayaan yang dimaksud biasanya
lebih mudah diperoleh bagi calon nasabah karena menjaminkan
barang-barang yang sudah dimiliki. Kemudahan ini membuat lembaga
pegadaian diminati oleh kalangan masyarakat yang membutuhkan dana
pembiayaan. Karena itu lembaga pegadaian secara relatif mempunyai
kelebihan bila dibandingkan dengan lembaga keuangan lainnya,
yaitu sebagai berikut :
1. Hanya memerlukan waktu yang relatif singkat untuk
mencairkan uang pembiayaan tepat pada hari yang
dibutuhkan karena adanya prosedur yang tidak berbelit-
belit.
2. Persyaratan yang ditentukan bagi konsumen untuk
mendapatkan pembiayaan sangat sederhana.
3. Tidak ada ketentuan dari pihak pegadaian mengenai
keperuntukan pembiayaan, sehingga nasabah dengan bebas
untuk menggunakan uangnya.
Disamping uang tunai, pegadaian juga menyediakan jasa lainnya
seperti penitipan dan taksiran. Jasa penitipan menyangkut layanan
penitipan barang berharga seperti perhiasan, surat berharga dan/
atau barang bernilai lainnya. Sedangka yang dimaksud jasa
taksiran meliputi layanan dalam bentuk penilaian barang berharga
ditinjau dari segi kualitas, kuantitas, dan spesifikasi lainnya
yang bermanfaat bagi warga masyarakat.
2.8 Perbedaan Gadai Syariah dan Gadai Konvensional
No Pengadaian Syariah Pengadaian Konvensional1. Biaya administrasi
berdasarkan barang
Biaya administrasi berupa
prensentase yang didasarkan
pada golongan barang.2. 1 hari dihitung 5 hari 1 hari dihitung 15 hari.3. Jasa simpanan berdasarkan
simpanan
Sewa modal berdasarkan uang
pinjaman4. Apabila pinjaman tidak
dilunasi, barang jaminan
akan dijuak kepada
masyarakat.
Apabila pinjaman tidak
dilunasi, barang jaminan
dilelang kepada masyarakat.
5. Jasa simpanan dihitung
dengan konstanta x
taksiran.
Sewa modal dihitung dengan
presentase x uang jaminan
6. Maksimal jangka waktu 3
bulan.
Maksimal jangka waktu 4 bulan
7. Kelebihan uang hasil dari
penjualan barang tidak
diambil oleh nasabah,
Kelebihan uang hasil lelang
tidak diambil oleh nasabah,
tetpi menjadi milik
BAB III
PENUTUP
3.1 KESIMPULAN
Lembaga Pegadaian Syariah dibentuk untuk kemudahan
dalam mengatasi masalah yang ada pada masyarakat yang sedang
membutuhkan uang dengan segera tetapi mempunyai kendala
tertentu, maka dengan cara menggadaikan barang-barang
sebagai jaminan dari pinjaman uang yang diajukan pada
pegadaian diharapkan mampu untuk mengurangi beban dan
kesulitan dalam memperoleh uang tunai.
Terdapat bebrbagai keuntungan yang didapat dari lembaga
pegadaian yang dibandingkan dengan lembaga keuangan bank dan
nonbank lainnya, yaitu:
1. Waktu yang relative singkat untuk memperoleh uang,
yaitu ppada hari yang sama karena prosedur yang
sederhana
2. Persyaratan yang sederhana dan memudahkan konsumen
3. Pihak pegadaian tidak mempermasalahkan peruntukan
dana yang dipinjam akan digunakan untuk apa dan juga
adanya sanksi yang relative ringan
Selain dapat menguntungkan pihak nasabah, perusahaan
pegadaian juga memperoleh keuntungan yaitu:
1. penghasilan yang bersumber dari sewa modal yang
dibayarkan oleh peminjam dana
2. penghasilan yang bersumber dari ongkos yang
dibayarkan oleh nasabah memperoleh produk gadai
syariah dapat mendapat keuntungan dari
pembebanan biaya administrasi dan biaya sewa
tempat penyimpanan emas.
3. Pelaksanaan misi perum pegadaian sebagai BUMN
yang bergerak di bidang pembiayaan berupa
pemberuan bantun kepada masyarakat yang
memerlukan dana dengan prosedur yang relaitf
sederhana
4. Berdasarkan PP No. 10 tahun 1990, laba yang
diberoleh digunakan untuk: (1) dana pembangunan
semesta 55%, (2) cadangan umum 20%, (3) cadangan
tujuan 5%, (4) dana social.
3.2 SARAN
Dalam memilih pilihan untuk mengatasi keuangan, apalagi
bagi masyarakat yang membutuhkan dana dengan segera namun
dalam keadaan likuiditas yang kurang baik, jangan sampai
memilih untuk meminjam uang pada agen rentenir dengan bunga
tertentu yang sudah diperjanjikan, karena bunga itu sewaktu-
waktu pastilah akan membesar jumlahnya dan malah akan
menambah kesulitan dikemudian hari untuk melunsinya.
Lembaga pegadaian syariah telah memberikan sejumlah
pilihan, dan juga keuntungan-keuntungan yang tidak akan
menyulitkan dikemudian hari, serta konsep-konsep yang ada
didalamnya pun berdasarkan syariah yang sudah pasti lebih
baik dibandingkan dengan lembaga pegadaian konvensional.