teori komunikasi massa terhadap individu
TRANSCRIPT
TEORI KOMUNIKASI MASSA TERHADAP INDIVIDU
Oleh : Fajar Junaedi S.Sos, M.Si.
Teori-teori yang terangkum dalam bagian terdahulu menekankan pada hasil publik
dan kebudayaan dari komunikasi massa. Perkembangan kajian teori komunikasi
massa lainnya, yang akan dibahas dalam bagian ini menekankan pada pengaruh
individual dari komunikasi massa. Pada bagian ini, kita membahas beberapa dari
teori tradisi pengaruh-individu dalam studi mengenai komunikasi massa.
Teori Pengaruh Tradisi (The Effect Tradition)
Teori pengaruh komunikasi massa dalam perkembangannya telah mengalami
perubahan yang kelihatan berliku-liku dalam abad ini. Dari awalnya, para peneliti
percaya pada teori pengaruh komunikasi “peluru ajaib” (bullet theory) Individu-
individu dipercaya sebagai dipengaruhi langsung dan secara besar oleh pesan
media, karena media dianggap berkuasa dalam membentuk opini publik. Menurut
model ini, jika Anda melihat iklan Close Up maka setelah menonton iklan Close
Up maka Anda seharusnya mencoba Close Up saat menggosok gigi.
Kemudian pada tahun 50-an, ketika aliran hipotesis dua langkah (two step flow)
menjadi populer, media pengaruh dianggap sebagai sesuatu yang memiliki
pengaruh yang minimal. Misalnya iklan Close Up dipercaya tidak akan secara
langsung mempengaruhi banyak orang-orang untuk mencobanya. Kemudian
dalam 1960-an, berkembang wacana baru yang mendukung minimalnya pengaruh
media massa, yaitu bahwa pengaruh media massa juga ditengahi oleh variabel
lain. Suatu kekuatan dari iklan Close Up secara komersil atau tidak untuk mampu
mempengaruhi khalayak agar mengkonsumsinya, tergantung pada variabel lain.
Sehingga pada saat itu pengaruh media dianggap terbatas (limited-effects model).
Sekarang setelah riset di tahun 1970-an dan 1980-an, banyak ilmuwan komunikasi
sudah kembali ke powerful-effects model, di mana media dianggap memiliki
pengaruh yang kuat, terutama media televisi.Ahli komunikasi massa yang sangat
mendukung keberadaan teori mengenai pengaruh kuat yang ditimbulkan oleh
media massa adalah Noelle-Neumann melalui pandangannya mengenai
gelombang kebisuan.
Uses, Gratifications and Depedency
Salah satu dari teori komunikasi massa yang populer dan serimg diguankan
sebagai kerangka teori dalam mengkaji realitas komunikasi massa adalah uses and
gratifications. Pendekatan uses and gratifications menekankan riset komunikasi
massa pada konsumen pesan atau komunikasi dan tidak begitu memperhatikan
mengenai pesannya. Kajian yang dilakukan dalam ranah uses and gratifications
mencoba untuk menjawab pertanyan : “Mengapa orang menggunakan media dan
apa yang mereka gunakan untuk media?” (McQuail, 2002 : 388). Di sini sikap
dasarnya diringkas sebagai berikut :
Studi pengaruh yang klasik pada mulanya mempunyai anggapan bahwa konsumen
media, bukannya pesan media, sebagai titik awal kajian dalam komunikasi massa.
Dalam kajian ini yang diteliti adalah perilaku komunikasi khalayak dalam
relasinya dengan pengalaman langsungnya dengan media massa. Khalayak
diasumsikan sebagai bagian dari khalayak yang aktif dalam memanfaatkan
muatan media, bukannya secara pasif saat mengkonsumsi media massa(Rubin
dalam Littlejohn, 1996 : 345).
Di sini khalayak diasumsikan sebagai aktif dan diarahkan oleh tujuan. Anggota
khalayak dianggap memiliki tanggung jawab sendiri dalam mengadakan
pemilihan terhadap media massa untuk mengetahui kebutuhannya, memenuhi
kebutuhannya dan bagaimana cara memenuhinya. Media massa dianggap sebagai
hanya sebagai salah satu cara memenuhi kebutuhan individu dan individu boleh
memenuhi kebutuhan mereka melalui media massa atau dengan suatu cara lain.
Riset yang dilakukan dengan pendekatan ini pertama kali dilakukan pada tahun
1940-an oleh Paul Lazarfeld yang meneliti alasan masyarakat terhadap acara radio
berupa opera sabun dan kuis serta alasan mereka membaca berita di surat kabar
(McQuail, 2002 : 387). Kebanyakan perempuan yang mendengarkan opera sabun
di radio beralasan bahwa dengan mendengarkan opera sabun mereka dapat
memperoleh gambaran ibu rumah tangga dan istri yang ideal atau dengan
mendengarkan opera sabun mereka merasa dapat melepas segala emosi yang
mereka miliki. Sedangkan para pembaca surat kabar beralasan bahwa dengan
membeca surat kabar mereka selain mendapat informasi yang berguna, mereka
juga mendapatkan rasa aman, saling berbagai informasi dan rutinitas keseharian
(McQuail, 2002 : 387).
Riset yang lebih mutakhir dilakukan oleh Dennis McQuail dan kawan-kawan dan
mereka menemukan empat tipologi motivasi khalayak yang terangkum dalam
skema media – persons interactions sebagai berikut :
Diversion, yaitu melepaskan diri dari rutinitas dan masalah; sarana pelepasan
emosi
Personal relationships, yaitu persahabatan; kegunaan sosial
Personal identity, yaitu referensi diri; eksplorasi realitas; penguatan nilai
Surveillance (bentuk-bentuk pencarian informasi) (McQuail, 2002 : 388).
Seperti yang telah kita diskusikan di atas, uses and gratifications merupakan suatu
gagasan menarik, tetapi pendekatan ini tidak mampu melakukan eksplorasi
terhadap berbagai hal secara lebih mendalam. Untuk itu mari sekarang kita
mendiskusikan beberapa perluasan dari pendekatan yang dilakukan dengan teori
uses and gratifications.
Teori Pengharapan Nilai (The Expectacy-Value Theory)
Phillip Palmgreen berusaha mengatasi kurangnya unsur kelekatan yang ada di
dalam teori uses and gratification dengan menciptakan suatu teori yang disebutnya
sebagai expectance-value theory (teori pengharapan nilai).
Dalam kerangka pemikiran teori ini, kepuasan yang Anda cari dari media
ditentukan oleh sikap Anda terhadap media --kepercayaan Anda tentang apa yang
suatu medium dapat berikan kepada Anda dan evaluasi Anda tentang bahan
tersebut. Sebagai contoh, jika Anda percaya bahwa situated comedy (sitcoms),
seperti Bajaj Bajuri menyediakan hiburan dan Anda senang dihibur, Anda akan
mencari kepuasan terhadap kebutuhan hiburan Anda dengan menyaksikan
sitcoms. Jika, pada sisi lain, Anda percaya bahwa sitcoms menyediakan suatu
pandangan hidup yang tak realistis dan Anda tidak menyukai hal seperti ini Anda
akan menghindari untuk melihatnya.
Teori Ketergantungan (Dependency Theory)
Teori ketergantungan terhadap media mula-mula diutarakan oleh Sandra Ball-
Rokeach dan Melvin Defleur. Seperti teori uses and gratifications, pendekatan ini
juga menolak asumsi kausal dari awal hipotesis penguatan. Untuk mengatasi
kelemahan ini, pengarang ini mengambil suatu pendekatan sistem yang lebih jauh.
Di dalam model mereka mereka mengusulkan suatu relasi yang bersifat integral
antara pendengar, media. dan sistem sosial yang lebih besar.
Sejalan dengan apa yang dikatakan oleh teori uses and gratifications, teori ini
memprediksikan bahwa khalayak tergantung kepada informasi yang berasal dari
media massa dalam rangka memenuhi kebutuhan khalayak bersangkutan serta
mencapai tujuan tertentu dari proses konsumsi media massa. Namun perlu
digarisbawahi bahwa khalayak tidak memiliki ketergantungan yang sama terhadap
semua media. Lalu apa yang sebenarnya melandasi ketergantungan khalayak
terhadap media massa ?
Ada dua jawaban mengenai hal ini. Pertama, khalayak akan menjadi lebih
tergantung terhadap media yang telah memenuhi berbagai kebutuhan khalayak
bersangkutan dibanding pada media yang menyediakan hanya beberapa
kebutuhan saja. Jika misalnya, Anda mengikuti perkembangan persaingan antara
Manchester United, Arsenal dan Chelsea secara serius, Anda mungkin akan
menjadi tergantung pada tayangan langsung Liga Inggris di TV 7. Sedangkan
orang lain yang lebih tertarik Liga Spanyol dan tidak tertarik akan Liga Inggris
mungkin akan tidak mengetahui bahwa situs TV 7 berkaitan Liga Inggris telah di
up date, atau tidak melihat pemberitaan Liga Inggris di Harian Kompas.
Sumber ketergantungan yang kedua adalah kondisi sosial. Model ini menunjukkan
sistem media dan institusi sosial itu saling berhubungan dengan khalayak dalam
menciptakan kebutuhan dan minat. Pada gilirannya hal ini akan mempengaruhi
khalayak untuk memilih berbagai media, sehingga bukan sumber media massa
yang menciptakan ketergantungan, melainkan kondisi sosial.
Untuk mengukur efek yang ditimbulkan media massa terhadap khalayak, ada
beberapa metode yang dapat digunakan, yaitu riset eksperimen, survey dan riset
etnografi.
Riset Eksperimen
Riset eksperimen (experimental research) merupakan pengujian terhadap efek
media dibawah kondisi yang dikontrol secara hati-hati. Walaupun penelitian yang
menggunakan riset eksperimen tidak mewakili angka statistik secara keseluruhan,
namun setidaknya hal ini bisa diantisipasi dengan membagi obyek penelitian ke
dalam dua tipe yang berada dalam kondisi yang berbeda.
Riset eksperimen yang paling berpengaruh dilakukan oleh Albert Bandura dan
rekan-rekannya di Stanford University pada tahun 1965. Mereka meneliti efek
kekerasan yang ditimbulkan oleh tayangan sebuah film pendek terhadap anak-
anak. Mereka membagi anak-anak tersebut ke dalam tiga kelompok dan
menyediakan boneka Bobo Doll, sebuah boneka yang terbuat dari plastik, di
setiap ruangan. Kelompok pertama melihat tayangan yang berisi adegan
kekerasan berulang-ulang, kelompok kedua hanya melihat sebentar dan kelompok
ketiga tidak melihat sama sekali.
Ternyata setelah menonton, kelompok pertama cenderung lebih agresif dengan
melakukan tindakan vandalisme terhadap boneka Bobo Doll dibandingkan dengan
kelompok kedua dan ketiga. Hal ini membuktikan bahwa media massa memiliki
peran membentuk karakter khalayaknya.
Kelemahan metode ini adalah berkaitan dengan generalisasi dari hasil penelitian,
karena sampel yang diteliti sangat sedikit, sehingga sering muncul pertanyaan
mengenai tingkat kemampuannya untuk diterapkan dalam kehidupan nyata
(generalizability). Kelemahan ini kemudian sering diusahan untuk diminimalisir
dengan pembuatan kondisi yang dibuat serupa mungkin dengan keadaan di dunia
nyata atau yang biasa dikenal sebagai ecological validity Straubhaar dan Larose,
1997 :415).
Survey
Metode survey sangat populer dewasa ini, terutama kemanfaatannya untuk
dimanfaatkan sebagai metode dasar dalam polling mengenai opini publik. Metode
survey lebih memiliki kemampuan dalam generalisasi terhadap hasil riset daripada
riset eksperimen karena sampelnya yang lebih representatif dari populasi yang
lebih besar. Selain itu, survey dapat mengungkap lebih banyak faktor daripada
manipulasi eksperimen, seperti larangan untuk menonton tayangan kekerasan
seksual di televisi dan faktor agama. Hal ini akan diperjelas dengan contoh
berikut.
Seorang peneliti melakukan penelitian mengenai efek menonton tayangan
kekerasan seksual terhadap remaja. Yang pertama dilakukannya adalah
menentukan sampel, kemudian membuat variabel independen yang berupa terpaan
media (seperti, “Berapa kali Anda menonton tayangan kekerasan seksual di
televisi dalam minggu kemarin ?”). Kemudian ditanyakan efek media massa yang
menjadi variabel dependen, seperti kekerasan seksual yang dilakukan responden.
Keduanya kemudian dibuat skala pengukuran yang tepat (ordinal, nominal atau
interval). Setelah itu, diukur dengan rumus statistik yang sesuai (Straubhaar dan
Larose, 1997 :414).
Riset Ethnografi
Riset etnografi (ethnografic research) mencoba melihat efek media secara lebih
alamiah dalam waktu dan tempat tertentu. Metode ini berasal dari antropologi
yang melihat media massa dan khalayak secara menyeluruh (holistic), sehingga
tentu saja relatif membutuhkan waktu yang lama dalam aplikasi penelitian. Dalam
penelitian yang menggunakan metode ini, para peneliti menggunakan teknik
observasi, pencatatan dokumen dan wawancara mendalam. Dalam melakukan
wawancara mendalam, peneliti harus mampu mengeksplorasi beragam informasi
dari responden, tanpa melalui pertanyaan yang sifatnya kaku sebagaimana
penelitian survey (Straubhaar dan Larose, 1997 :417). Peneliti hanya memerlukan
daftar pertanyaan sebagai acuan dalam wawancara yang dapat dikembangkan
secara lentur ketika mengadakan wawancara, sehingga daftar pertanyaan dalam
metode ini dinamakan sebagai petunjuk wawancara (interview guide).
Misalnya, peneliti yang melakukan penelitian mengenai efek kehadiran media
televisi terhadap kebudayaan penduduk Samin, sebuah sub suku Jawa yang hidup
di perbatasan Jawa Tengah dan Jawa Timur yang selama ini terkenal dengan
ketertutupannya dengan dunia luar. Yang dilakukan peneliti adalah mengamati
secara seksama bagaimana masyarakat Samin mengkonsumsi televisi. Ikut
bersama mereka menonton televisi, untuk mengamati apa saja yang mereka
lakukan dan komentari pada saat menonton televisi, kemudian setelah itu
mewawancarai mereka secara mendalam mengenai apa yang telah mereka tonton.
Setalah itu semuanya dicatat secara lengkap, sehingga hasil dari penelitian ini
kemudian akan sangat kaya informasi yang mendalam.
posted by Fajar Junaedi @ 8:27 PM 0 comments links to this post
TEORI MEDIA DAN KHALAYAK DALAM KOMUNIKASI MASSA
Oleh : Fajar Junaedi S.Sos, M.Si
Tidak ada dalam teori media yang telah menyajikan dilema dan perdebatan yang
pelik dalam kajian komunikasi massa selain studi khalayak media atau khalayak
(audience). Para pembuat teori media berada pada posisi yang saling berjauhan
mengenai konsensus tentang bagaimana untuk mengkonseptualkan khalayak dan
pengaruh khalayak. Ada dua pandangan yang secara vis a vis berhadapan tentang
sifat khalayak telah melibatkan dua dialektika yang berhubungan.
Pertama adalah adanya pertentangan antara dua gagasan yang menyatakan bahwa
khalayak adalah publik massa dan di sisi yang lain, gagasan yang menyatakan
bahwa khalayak adalah komunitas kecil. Kedua adalah pertentangan antara
gagasan yang menyatakan khalayak adalah pasif dan gagasan yang meyakini
bahwa khalayak adalah aktif. Perdebatan di atas kemudian terlihat dengan jelas
mewarnai teori-teori di bawah ini.
Masyarakat Massa Vs Komunitas
Kontroversi mengenai masyarakat massa versus komunitas melibatkan beragam
perspektif yang tidak sama dalam kajian komunikasi massa mengenai keberadaan
khalayak. Sebagian kalangan memiliki perspektif bahwa khalayak sebagai massa
yang tidak dapat dibedakan, dan beberapa yang lain melihatnya sebagai satu
kesatuan kelompok kecil atau komunitas yang tidak seragam. Pada kaca mata
perspektif seperti ini, khalayak dipahami sebagai populasi dalam jumlah yang
besar yang kemudian bisa dipersatukan keberadaannya melalui media massa.
Dalam perspektif kedua, khalayak dipahami sebagai anggota yang
mendiskriminasi anggota kelompok kecil yang terpengaruh paling banyak dari
yang segolongan.
Teori masyarakat massa merupakan sebuah konsep yang sangat kompleks
sifatnya. Teori masyarakat massa memberikan suatu gambaran mengenai
kehidapan massa di mana kehidupan komunitas dan identitas etnik telah
tergantikan oleh relasi yang mengandung karakter depersonalisasi seluruh
masyarakat.
Para penganut teori masyarakat massa memberi alasan mengenai teori yang
mereka bangun. Alasan yang dikemukakan adalah bahwa perkembangan cepat
yang terjadi dalam komunikasi telah meningkatkan kontak manusia, sehingga
pada akhirnya telah membuat masyarakat mengalami saling ketergantungan yang
lebih besar dibandingkan di masa lalu. Namun ternyata saling ketergantungan ini
kemudian mengakibatkan terjadinya ketidakseimbangan yang mempengaruhi
semua masyarakat. Ketidakseimbangan ini berbentuk saling ketergantungan yang
secara bersamaan membuat manusia semakin teralienasi satu dengan yang lain.
Yang terjadi adalah keterputusan relasi komunitas dan keluarga, serta juga
dipertanyakannya nilai-nilai lama.
Sebagai contoh kongkret adalah bagaimana masyarakat Badui di pedalaman Jawa
Barat yang masih teguh memelihara tradisi mereka, dengan menolak kehadiran
media massa. Relasi sosial mereka masih sangat dipengaruhi oleh tradisi yang
bersendi nilai-nilai lama. Kondisi yang sangat berbeda akan kita jumpai dalam
masyarakat Sunda yang telah berada di Kota Bandung yang sudah banyak
menerima terpaan media. Relasi sosial mereka, terutama dengan keluarga dan
tetangga, pasti lebih longgar dibandingkan dengan masyarakat Badui. Bisa jadi
mereka tidak akan mengenal tetangga yang berada di sebelah rumah. Kondisi ini
dapat dengan mudah kita jumpai di berbagai perumahan mewah yang saling
teralienasi satu dengan yang lain.
Sedangkan dalam pendekatan komunitas isi media ditafsirkan di dalam komunitas
berdasarkan makna-makna yang dikerjakan secara sosial di dalam kelompok, dan
individu dipengaruhi lebih oleh sejawat mereka daripada oleh media. Menurut
Gerard Shoening dan James Anderson, gagasan mengenai komunitas dalam kajian
komunikasi massa melihat isi media sebagai sesuatu yang media-interpretif, di
mana makna yang dilahirkan oleh pesan media dihasilkan secara interaktif di
dalam kelompok orang yang menggunakan media dengan cara yang sama
(Shoening dan Anderson dalam Littlejohn, 1996 : 332-333).
Khalayak Aktif versus Khalayak Pasif
Dalam pandangan teori komunikasi massa khalayak pasif dipengaruhi oleh arus
langsung dari media, sedangkan pandangan khalayak aktif menyatakan bahwa
khalayak memiliki keputusan aktif tentang bagaimana menggunakan media.
Selama ini yang terjadi dalam studi komunikasi massa, teori masyarakat massa
lebih memiliki kecenderungan untuk menggunakan konsepsi teori khalayak pasif,
meskipun tidak semua teori khalayak pasif dapat dikategorisasi sebagai teori
masyarakat massa. Demikian juga, sebagian besar teori komunitas yang
berkembang dalam studi komunikasi massa lebih cenderung menganut kepada
khalayak aktif.
Wacana di atas berelasi dengan pelbagai teori pengaruh media yang berkembang
setelahnya. Teori “pengaruh kuat” seperti teori peluru (bullet theory) yang
ditimbulkan media lebih cenderung untuk didasarkan pada khalayak pasif,
sedangkan teori “pengaruh minimal” seperti uses and gratification theory lebih
banyak dilandaskan pada khalayak aktif.
Dalam kajian yang dilakukan oleh Frank Biocca dalam artikelnya yang berjudul
”Opposing Conceptions of the Audience : The Active and Passive Hemispheres of
Communication Theory” (1998), yang kemudian diakui menjadi tulisan paling
komprehensif mengenai perdebatan tentang khalayak aktif versus khalayak pasif,
ditemukan beberapa tipologi dari khalayak aktif.
Pertama adalah selektifitas (selectivity). Khalayak aktif dianggap selektif dalam
proses konsumsi media yang mereka pilih untuk digunakan. Merka tidak asal-
asalan dalam mengkonsumsi media, namun didasari alasan dan tujuan tertentu.
Misalnya, kalangan bisnis lebih berorientasi mengkonsumsi Majalah Swasembada
dan Harian Bisnis Indonesia untuk mengetahui perkembangan dunia bisnis,
penggemar olahraga mengkonsumsi Tabloid Bola untuk mengetahui hasil
berbagai pertandingan olah raga dan sebagainya.
Karakteristik kedua adalah utilitarianisme (utilitarianism) di mana khalayak aktif
dikatakan mengkonsumsi media dalam rangka suatu kepentingan untuk memenuhi
kebutuhan dan tujuan tertentu yang mereka miliki.
Karakteristik yang ketiga adalah intensionalitas (intentionality), yang
mengandung makna penggunaan secara sengaja dari isi media. Karakteristik yang
keempat adalah keikutsertaan (involvement) , atau usaha. Maksudnya khalayak
secara aktif berfikir mengenai alasan mereka dalam mengkonsumsi media.
Yang kelima, khalayak aktif dipercaya sebagai komunitas yang tahan dalam
menghadapi pengaruh media (impervious to influence), atau tidak mudah dibujuk
oleh media itu sendiri (Littlejohn,1996 : 333).
Khalayak yang lebih terdidik (educated people) cenderung menjadi bagian dari
khalayak aktif, karena mereka lebih bisa memilih media yang mereka konsumsi
sesuai kebutuhan mereka dibandingkan khalayak yang tidak terdidik.
Kita bisa melihat tipologi khalayak pasif dan khalayak aktif ini dari konsumsi
media cetak masyarakat di sekitar kita. Media cetak kriminal, seperti Pos Kota
dan Lampu Merah di Jakarta, Meteor di Jawa Tengah, Koran Merapi di
Yogyakarta dan Memorandum di Jawa Timur sangat populer di kalangan
menengah ke bawah. Berbagai harian ini dapat dengan mudah dijumpai di lapak-
lapak koran yang bersebaran di pinggir jalan dengan konsumen yang didominasi
kalangan menengah ke bawah. Mereka mengkonsumsi media di atas dengan
selektivitas yang menimal dan tujuan yang tidak begitu jelas. Berbeda dengan
kalangan menengah ke atas yang lebih terdidik yang mengkonsumsi media massa
dengan tujuan tertentu secara selektif. Misalnya, mereka yang aktif dalam
kegiatan perekonomian tentu akan lebih memilih Bisnis Indonesia dibanding
memilih media lain. Alasan mereka memilih media ini tentu saja karena harian ini
lebih banyak mengupas masalah ekonomi dan dunia usaha yang berhubungan
langsung dengan kehidupan mereka sehari-hari.
Namun mayoritas ahli komunikasi massa dewasa ini lebih meyakini bahwa
komunitas massa dan dikotomi aktif-pasif merupakan konsep yang terlalu
sederhana atau deterministik, karena konsep-konsep di atas tidak mampu
menelaah kompleksitas sebenarnya dari khalayak. Bisa jadi pada saat tertentu
khalayak menjadi khalayak aktif, namun pada saat yang lain mereka menjadi
khalayak pasif, sehingga pertanyaannya kemudian bergeser lebih jauh mengenai
kapan dan dalam situasi apa khalayak menjadi lebih mudah terpengaruh.
posted by Fajar Junaedi @ 8:24 PM 0 comments links to this post
Monday, July 18, 2005
Ada Apa dengan Budaya Massa dan Budaya Pop ?
Oleh : Fajar Junaedi S.Sos, M.Si
Budaya massa sering diperbandingkan dengan budaya tinggi ( high culture ) yang
berciri pada produk yang memiliki dua ciri khas. Pertama, diciptakan dan berada
di bawah pengawasan elit budaya yang berperan sesuai tradisi estetis, sastra dan
ilmu pengetahuan. Kedua standar yang ketat, yang tidak bergantung kepada
konsumen produk mereka dan dilaksanakan secara sistematis. Sedangkan budaya
massa mengacu kepada pengertian produk budaya yang dicitakan semata-mata
untuk pasar. Ciri-ciri lain yang tidak tersurat dalam definisi tersebut adalah
standarisasi produk dan perilaku massa dalam penggunaan produk tersebut
(Mc.Quail, 1998 : 38 ). Dengan kata lain dalam budaya massa, orientasi produk
adalah trend atau mode yang sedang diminati pasar.
Bahkan dalam bukunya yang paling berpengaruh One – Dimensional Man,
Marcuse berkeyakinan bahwa dengan adanya kebudayaan massa, aspek progresif
dari seni klasik telah dihapus hanya sekedar menjadi industri. Seni hanya menjadi
nilai operasional dan keinginanya akan kebahagiaan diganti dengan kebutuhan
yang salah atau palsu (false need) dalam masyarakat konsumtif ini. Itulah
sebabnya Marcuse, sebagaimana halnya pemikir mahzab Frankfurt (Frankfurt
School) lainya seperti Theodore Adorno memandang rendah kebudayaan populer
(popular culture) karena sifatnya yang konservatif dan afirmatif. Kebudayaan
populer, menurutnya selalu mendamaikan kita dengan kondisi represif dalam
masyarakat kapitalis ini (Marwoto, 2001:37).
Menurut Adorno (dalam Storey [ed], 1994:202), karakteristik fundamental dari
budaya populer, khususnya musik populer, termasuk di dalamnya musik rock
adalah standarisasi (standarization). Karakteriktik yang membedakannya dengan
bentuk high culture yang dianggap adiluhung.
Kritik terhadap pemikiran para pemikir Mahzab Frankfurt kemudian banyak
berasal dari Center for Contemporary Cultural Studies (CCCS) atau yang
kemudian lebih dikenal sebagai Birmingham School yang. Para pemikir dari
Mazhab Birmingham menyoroti kegagalan analisa para pemikir Mazhab Frankfurt
dalam menganalisis kebudayaan, termasuk media culture dan seni yang
dikandungnya. Kegagalan mahzab Frankfurt adalah disebabkan karena mereka
melihat segala fenomena dari konteks kapitalisme kontemporer (Kellner, 1995 :
35).
Berbeda dengan Marcuse yang memandang rendah budaya populer, para pemikir
Mazhab Birmingham seperti John Fiske menyatakan bahwa terminologi “popular”
menunjukan bahwa budaya media mucul dari “people” (rakyat kebanyakan).
Sebagaimana halnya di Amerika Latin, budaya populer menunjukan seni yang
diproduksi dari dan untuk rakyat sebagai satu bentuk oposisi terhadap budaya
yang hegemonik (hegemonic culture) yang berasal dari kelas yang berkuasa
(Kellner, 1995 : 34).
Media culture merupakan perwujudan dari industrial culture, yang
diorganisasikan atas satu model produksi massa dan diproduksi untuk audiens
massa menurut genre yang diminatinya, mengikuti aturan (rules), kode (code) dan
formula yang konvensional. Ini menunjukan bahwa media culture merupakan
bentuk dari budaya yang komersial (commercial culture) dan produksinya
merupakan komoditi yang diusahakan untuk memperoleh keuntungan (profit)
yang diproduksi oleh korporasi besar yang terlibat dalam usaha akumulasi kapital
(Kellner, 1995:1).
Media culture mampu menunjukan siapa yang memegang kuasa (power) dan
siapa yang tidak memegang kuasa (powerless), siapa yang berkuasa untuk
melakukan kekerasan dan kekuatan serta siapa yang tidak berkuasa untuk
melakukannya. Mempelajari bagaimana membaca, mengkritisi dan melakukan
resistensi terhadap manipulasi media dapat membantu individu untuk memperkuat
(empower) diri mereka sendiri dalam relasinya kepada ideologi dominan dan
budaya dominan (Kellner, 1995:2).
Musik Rock, Sebuah Analisis Singkat tentang Budaya Pop
Di tahun 1960-an relasi antara rock dan revolusi bukanlah merupakan satu joke.
Bob Dylan, misalnya terpengaruh oleh gerakan sayap kiri sehingga ia sering
dimata-matai oleh agen-agen FBI. Solidaritas politik juga sering dimunculkan
dalam berbagai lagu rock dan festival musik rock yang muncul saat itu, seperti
halnya Woodstock Music and Art Fair 1969, yang kemudian lebih dikenal sebagai
Woodstock saja (Frith dalam Lazare [ed],1987 :309)
Perkembangan rock sebagai satu bentuk resistensi terhadap hegemoni kelas
dominan yang berkuasa bermula dari wilayah Pantai Barat Amerika (West Coast)
pada tahun 1960-an. Counter culture yang lahir dari berbagai kota di wilayah
Pantai Barat Amerika merupakan gabungan dari berbagai macam kelompok
kultural kelas menengah, seperti hippies, yippies, freaks, heads, flower generation
dan gerakan mahasiswa radikal. Budaya yang berkembang muncul secara
serempak dalam bentuk demonstrasi dan festival musik rock, seperti yang terjadi
pada saat pelaksanaan festival musik Woodstock ’69 pada tanggal 15 Agustus
1969. Festival ini pada mulanya diperkirakan hanya akan dihadiri oleh sebanyak
50.000 orang, namun pada kenyataannya yang hadir dalam festival ini adalah
sebanyak 500.000 orang, karenanya Woodstock ’69 dianggap sebagai gerakan
terbesar dalam khasanah counter culture (Storey dalam Storey [ed],1994 : 236).
Anggapan bahwa Woodstock merupakan gerakan perlawanan budaya merupakan
hal yang tidak berlebihan. Woodstock ’69 merupakan permulaan segala sesuatu
yang merupakan awal dari realisasi apa yang dinamakan sebagai sayap politik
dalam perlawanan budaya terhadap kelas dominan. Hal ini didasari oleh
kenyataan bahwa kaum yippies, pada tahun sebelumnya hanya mampu
mengorganisir 10.000 pengikutnya untuk melakukan demonstrasi terhadap
Democratic Death Convention, sedangkan Woodstock ’69 secara fantastis mampu
mewujudkan dirinya sebagai medium perlawanan (resistensi) yang disuarakan
oleh 500.000 audiensnya (Storey dalam Storey [ed],1994 : 236). Perlawanan yang
ditujukan pada keterlibatan Amerika Serikat dalam Perang Vietnam yang banyak
memakan korban generasi muda Amerika (Bannet, 2001:1)
Di samping merupakan perwujudan dari counter culture, festival ini dalam sisi
lain menunjukan bahwa perluasan dan perkembangan counter culture membuka
peluang bagi komersialisasi. Di saat khalayak yang datang di Woodstock 1969
merayakan komunitas counter culture-nya, berbagai perusahaan rekaman
merayakan semakin luasnya pasar bagi rekaman yang mereka produksi (Storey
dalam Storey [ed], 1994 : 237)
Di samping anggapan bahwa rock merupakan satu bentuk budaya perlawanan,
rock juga dipahami sebagai musik yang lahir dari spontanitas, karenanya rock
merupakan bagian dari budaya rakyat (folk culture). Pendapat ini muncul di tahun
1960-an ketika rock benar-benar mampu mewujudkan resistensinya, dan
memudar saat tahun 1970-an ketika korporasi media mampu mengkooptasi musik
rock. Saat itu musisi rock memiliki suatu kepercayaan mengenai komunitas
alternatif yang mereka miliki, daripada sekedar industri entertainment semata.
Bagi para musisi yang politis, musik telah menjadi alat untuk memobilisasi massa
kelas maupun organisasi serta merupakan perwujudan solidaritas (Storey dalam
Storey [ed],1994 : 323). Hal ini berpijak dari apa yang dikatakan oleh Chistian
Landau, bahwa disaat itu rock diperdengarkan dan dibuat oleh sekumpulan orang
yang sama. Rock tidak berasal dari dalam bangunan kantor-kantor di New York di
mana orang duduk dan menulis apa yang mereka pikirkan mengenai apa yang
ingin didengar khalayak luas. Rock berasal dari pengalaman hidup sehari-hari
(everyday life experience) para musisinya dalam interaksinya dengan audiensnya
yang seusia dengan mereka. Namun jika spontanitas dan kreativitas tersebut
kemudian menjadi lebih distilisasi dan distrukturisasi, maka akan menjadi lebih
mudah bagi para pelaku bisnis yang merupakan manipulator di belakang layar
untuk menstrukturkan pendekatan mereka dalam menjadikan musik sebagai
komoditas (Frith dalam Lazare [ed], 1987 : 311).
Perbedaan antara budaya massa dan budaya rakyat selama ini merupakan wacana
yang esensial bagi teori-teori kiri yang berkaitan dengan seni. Oposisi yang
dimaksudkan disini adalah antara komunitas versus massa, solidaritas versus
alienasi, aktif versus pasif. Argumen yang mendasarinya adalah bahwa budaya
rakyat diciptakan secara langsung dari pengalaman komunal masyarakat tertentu.
Tidak ada jarak antara artis dengan audiens, dan juga tidak dari perbedaan antara
produksi dan konsumsi seni. Basis kultural dari budaya rakyat kemudian
dihancurkan oleh tujuan dari relasi dari produksi artistik di bawah sistem
kapitalisme. Produk budaya menjadi barang komoditas, diproduksi dan dijual
untuk mendapatkan keuntungan dan saling mengalienasikan antara produser
dengan khalayak (Frith dalam Lazare [ed], 1987 : 312).
Diskursus mengenai musik rock sebagai budaya massa dan budaya rakyat,
selanjutnya juga tidak dapat dilepaskan dengan diskursus mengenai budaya
populer (popular culture). Budaya populer sendiri seperti yang telah disinggung di
atas merupakan satu konsep yang dapat diwacanakan ke dalam berbagai definisi.
Dalam relasinya dengan budaya massa, budaya populer dianggap sebagai budaya
yang diproduksi untuk konsumsi massa serta bersifat manipulatif. Sedangkan
sebagai budaya rakyat, budaya populer dianggap sebagai budaya yang berasal dari
“rakyat” ( the people) dan ditujukan juga bagi rakyat. Definisi ini tidak terlepas
dari romantisme mengenai adanya budaya kelas pekerja (proletariat) yang
dikonstruksi sebagai sumber utama untuk melakukan protes terhadap kapitalisme.
Permasalahan yang muncul dari pendekatan kedua ini adalah mengenai siapa saja
yang memiliki kualifikasi untuk dianggap sebagai rakyat. Kemudian muncul
permasalahan lain mengenai sifat dari berbagai sumber dimana budaya dibuat,
karena pada kenyataannya budaya tidak dapat diolah secara langsung dari
berbagai material yang bersifat mentah bagi diri mereka sendiri. Apapun jenis
budaya populer yang ada, termasuk musik rock, tidak dapat melepaskan dirinya
dari komersialisasi (Storey,1993 : 12).
Pemikiran selanjutnya mengenai hal perdebatan diatas dapat dianalisis dengan
teori hegemoni yang dikemukakan Antonio Gramsci. Gramsci memakai konsep
hegemoni untuk menunjukan metode yang dilakukan oleh kelas-kelas dominan
dalam masyarakat melalui proses kepemimpinan moral dan intelektual untuk
menguasai kelas-kelas yang berada dalam posisi subordinat. Penggunaan
pendekatan ini melihat budaya populer sebagai satu lahan pertarungan (site of
strunggle) antara kekuatan resistensi dari kelas subordinat terhadap kekuatan kelas
– kelas dominan. Teks-teks yang ada dalam wacana budaya populer selalu
bergerak ke dalam apa yang dinamakan Gramsci sebagai compromise
equilibrium. Dengan kata lain analisa neo-Gramscian melihat bahwa budaya
populer juga merupakan pertarungan ideologi antara kelas-kelas dominan dan
subordinat serta budaya dominan dan subordinat (Storey, 1993 : 13).
Musik rock memperlihatkan adanya compromise equilibrium seperti ini, dimana
musik rock yang lahir secara bottom up akhirnya harus mengalami inkorporasi
(incorporation). Namun setelah terjadi inkorporasi ini ternyata masih ada musisi
yang secara idealis meyuarakan pemberontakannya. Kaum punk dengan semangat
independensi komunitanya di tengah masyarakat kapitalis lanjut misalnya,
menyuarakan perlawanan kelasnya dengan slogan “do it yourself” dan tentu saja
Rage Against The Machine (RATM) yang bahkan bukan hanya meyuarakan
perlawanannya dari atas panggung, namun juga dengan turun dalam aksi
demonstrasi di jalan. Bahkan RATM memerankan dirinya sebagai agen perubahan
(agen of change) dan sekaligus membuktikan bahwa dibawah pencaplokan
perusahaan rekaman besar di bawah naungan sistem kapitalisme, musik masih
mampu menjadi agen perubahan. Namun berbeda dengan komunitas punk
maupun underground yamg memilih untuk bersikap independen dengan tidak mau
berada dalam naungan produksi dan distribusi perusahaan rekaman besar melalui
jalur indie label, RATM dalam sisi lain berada dalam pencaplokan industri
rekaman besar, yaitu Sony Music Etertainment.
posted by Fajar Junaedi @ 6:20 PM 0 comments links to this post
Friday, July 01, 2005
BAGAIMANA BELAJAR KOMUNIKASI MASSA DARI SINI ??
TEMAN-TEMAN MAHASISWA YANG BERBAHAGIA..AGAR LEBIH
MUDAH BELAJAR KOMUNIKASI MASSA DARI SINI, SILAHKAN DI
PRINT DARI BAWAH...BAHAN KULIAH YANG BERADA DI BAWAH
BERARTI ADALAH BAHAN KULIAH YANG HARUS DIPELAJARI DULU,
BARU MENGINJAK KE ATAS...MAAF SEKALI MINGGU PERTAMA
SEMESTER PENDEK TERPAKSA KOSONG..UNTUK MENGGANTINYA
SAYA BUATKAN TULISAN-TULISAN DI SINI..MET BELAJAR..
posted by Fajar Junaedi @ 7:59 AM 0 comments links to this post
Thursday, June 30, 2005
BAGAIMANA MENGUTIP SUMBER DARI INTERNET DI DAFTAR
PUSTAKA
Untuk mengutip sumber di internet
1. Jika kurang dari 5 baris yang dikutip menjadi satu bagian dengan
esai/makalah/paper yang ditulis
2. Kalau 5 baris atau lebih harus dipisah dengan cara : 1 spasi, masuk 1 tab
3. Tulis nama penulis dan tahun akses. Misal ...............................(Junaedi, 2005)
4. Di daftar pustaka ditulis :
Junaedi, Fajar (2005). Judul. Alamat internet, tanggal akses
5. Jika tidak seperti ini dianggap plagiatisme !!
posted by Fajar Junaedi @ 6:17 AM 0 comments links to this post
Monday, June 27, 2005
Metode Analisis dalam Komunikasi Massa
Oleh : Fajar Junaedi S.Sos, M.Si
(Staf Pengajar Jurusan Ilmu Komunikasi Universitas Muhammadiyah Yogyakarta,
e-mail/friendster di [email protected])
Untuk mengkaji isi dan struktur media massa, ada empat metode yang dapat
digunakan sebagai alat penelitian, yaitu analisis isi, analisis semiotika, analisis
wacana dan analisis framing.
Analisis Isi
Analisis isi (content analysis) dilaksanakan dengan melakukan kuantifikasi
terhadap sifat-sifat yang dikandung isi media massa. Analisis isi telah sering
dipakai dalam mengkaji pesan-pesan media. Karena metode ini pada dasarnya
merupakan sebuah metode untuk menguji secara kuantitatif , keyakinan,
kepentingan para editor dan penerbit, kecenderungan pembaca (dengan asumsi
bahwa bahan-bahan yang dipublikasikan secara berhasil bagi golongan tertentu,
mencerminkan secara akurat kecenderungan golongan yang bersangkutan).
Teknik analisis isi dalam pelaksanaannya dapat dilakukan sebagai berikut, peneliti
memulainya dengan membuat sampel yang sistematis dari isi media. Misalnya
jika para peneliti ingin meneliti tayangan kekerasan seksual yang dihadirkan
televisi, maka mereka dapat memilih beberapa tayangan prime time berkaitan
dengan isu di atas. Kemudian dikembangkan definisi obyektif mengenai
“kekerasan seksual”, misalnya scene di mana terjadi kekerasan seksual. Kemudian
diklasifikasikan agar sesuai dengan definisi yang telah dibuat dan kemudian
dihitung, sehingga peneliti dapat mengetahui adegan kekerasan seksual per jam
dan membandingkannya dengan statistik yang dihasilkan penelitian sebelumnya
(Gerbner dan Gross dalam Straubhaar dan Larose, 1997 :413). Sedangkan untuk
menganalisis koran atau majalah dapat dilakukan dengan mengukur inchi kolom
dari berita yang telah dikategorisasi dalam berbagai kategori berdasarkan tujuan
penelitian.
Keunggulan analisis isi adalah kemampuannya untuk memberi deskripsi
mengenai profil media secara mendetail dan menunjukan trend media dalam
waktu tertentu. Namun kelemahannya adalah ketidakmampuannya untuk melihat
efek yang ditimbulkan media massa terhadap khalayak. Untuk meneliti efek
media massa terhadap khalayak, kita harus mengadakan penelitian yang
melibatkan khalayak.
Selain itu, dalam penelitian analisis isi, seringkali hanya melihat sampel tayangan
yang jumlahnya tidak banyak. Misalnya saat kita akan melakukan penelitian
mengenai kekerasan seksual di tayangan televisi, bisa jadi kita hanya mengambil
sampel tayangan prime time dari tiga stasiun televisi terbesar di Indonesia.
Padahal masih banyak stasiun televisi yang lain, apalagi jika kemudian kita juga
mempertimbangkan keberadaan stasiun televisi lokal, maka jumlah tiga stasiun
televisi tersebut sangatlah kecil, sehingga apakah hasil penelitian representatif
atau tidak menjadi sangat dilematis.
Pembuatan definisi sebelum melakukan riset juga dapat problematis. Misalnya,
pada sebuah tayangan komedi ada seorang aktor berkata jorok yang dibumbui
kata-kata yang berhubungan dengan seksualitas sembari tertawa dan tersenyum,
baik aktor maupun artisnya. Apakah hal ini dapat didefinisikan sebagai kekerasan
seksual ? Bagi beberapa orang bisa jadi ini sudah termasuk kekerasan seksual,
namun bagi yang lain tidak, karena dengan alasan artisnya saja ikut tertawa.
Semiotika
Semiotika (semiotic) atau yang juga dikenal sebagai semiologi (semiology) telah
menjadi alat analisis yang populer untuk meneliti isi dari media massa dan telah
banyak digunakan oleh para mahasiswa ilmu komunikasi dalam meneliti makna
dari pesan yang termuat dalam media massa. Bagi para ahli semiotika, pesan
(massage) dari media massa menjadi bagian terpenting untuk dikaji, dan bagi
mereka isi media massa adalah produk dari penggunaan tanda-tanda bahasa (sign).
Pendekatan ini berfokus pada cara produsen tanda bahasa (author) membuat tanda
bahasa dan cara khalayak memahaminya.
Semiotika memiliki sejarah dengan perkembangan yang cukup panjang dalam
abad 21. Bidang ini membantu kita melihat bagaimana tanda-tanda bahasa
digunakan untuk menginterpretasi kejadian-kejadian dan dapat menjadi alat
analisis yang terutama baik untuk menganalisis kandungan dari pesan media.
Nyaris tidak dapat dipungkiri bahwa tanda bahasa memiliki peran istimewa dalam
media, dan media dalam banyak cara membentuk bagaimana lambang-lambang
berfungsi untuk kita.
Pada mulanya semiotika dikembangkan oleh Ferdinand de Saussure dan Roland
Barthes serta kemudian banyak dikembangkan Jean Baudrillard, salah seorang
pemikir posmoderisme yang terkenal.
Menurut Saussure, tanda bahasa (sign) tidak lepas dari beberapa unsur, yaitu
pertama, penanda (signifier) dan petanda (signified). Penanda adalah aspek
material dari satu tanda bahasa, sedangkan petanda adalah aspek mental dari tanda
bahasa. Relasi keduanya bersifat arbiter (arbitrary) atau diada-adakan. Misalnya
tidak ada relasi alamiah antara kata kucing (k-u-c-i-n-g) dengan binatang berkaki
empat, berbulu, menyusui, suka mengeong dan memiliki cakar yang ditunjukan
kata kucing. Kedua, tanda bahasa terstruktur dalam langue dan parole. Langue
adalah pemakaian bahasa secara umum dan parole adalah pemakaian tanda
bahasa secara oleh individu. Saussure memberi anologi bermain catur untuk
menjelaskan hal ini. Kuda dalam catur diatur dalam langue dalam bentuk gerak L,
dan para pemain catur bebas memilih untuk bergerak dalam gerakan L ke atas,
bawah, kanan ataupun kiri yang menjadi parole yang mereka miliki. Jika bergerak
selain L maka kacaulah permainan catur tersebut Aturan yang seperti di atas
mengikat tanda bahasa ke dalam suatu struktur, makanya semiotika generasi ini
dikenal sebagai peletak dasar strukturalisme yang banyak dikembangkan oleh
Louis Althusser dan Jean Claude Levi-Strauss (Bignell, 1997 : 7-10).
Hal lain yang tidak bisa dilepaskan dalam kajian semiotika adalah pemikiran
Saussure yang menyatakan bahwa konsep memiliki makna disebabkan karena
adanya faktor – faktor relasi, dan dasar dari relasi tersebut adalah berlawanan atau
oposisi yang bersifat duaan (binary oposition). Untuk lebih jelasnya kita dapat
mengambil ilustrasi sebagai berikut. Konsep “kaya” misalnya, tidak akan
memiliki arti apapun jika tidak ada konsep “miskin”. Konsep “cantik” juga tidak
memiliki arti apapun jika tidak ada konsep “jelek”. Namun harus dicatat bahwa
konsep tidak didefinisikan pada isi positifnya tetapi negatifnya, melalui relasi-
relasinya dengan istilah-istilah lain dalam sistemnya (Berger, 2000 : 7).
Dalam kajian semiotika, bukan “isi” yang menentukan makna, tetapi “relasi-
relasi” dalam berbagai sistem, seperti yang diutarakan oleh Saussure bahwa sifat
yang paling tepat untuk untuk menggambarkan konsep tersebut adalah “ada dalam
keberadaannya, sedang yang lain tidak”. Sehingga tidak ada makna pada dirinya
sendiri, karena semua terbentuk dari relasi (Saussure dalam Berger 2000 : 7).
Konsepsi yang dikemukakan oleh Saussure ini kemudian dikembangkan oleh
Roland Barthes untuk memahami mitos (myth) yang lahir dari tanda bahasa.
Mitos lahir melalui konotasi tahap kedua di mana rangkaian tanda yang
terkombinasikan sebagaimana dalam film disebut sebagai teks (text) akan
membentu pemaknaan tingkat kedua (secondary signification) (Thwaites, 1994 :
67). Ide-ide dari Barthes banyak digunakan untuk memahami realitas budaya
media kontemporer yang dikonsumsi oleh manusia setiap harinya (Bignell,
1997:16). Film, lagu, sinetron, novel, majalah dan sebagainya merupakan bagian
dari budaya media yang dipenuhi oleh berbagai praktik penandaan (signifying
practice), yang dapat dianalisis dari banyak sisi. Film misalnya dapat dianalisis
dari berbagai unsur yang ada di dalamnya, yaitu posisi kamera (angle), posisi
obyek atau manusia dalam frame, pencahayaan (lighting), proses pewarnaan
(tinting) dan suara (sound) (Bignell, 1997:187).
Semua sisi sebagaimana yang tersebut di atas akan menjalin satu kaitan yang
dinamakan sebagai intertekstualitas. Intertektualitas melibatkan bahan teks dari
banyak ragam yang menjadi hal umum dewasa ini, menjadi budaya dan mencari
arah teks baru tanpa disadari oleh pencipta teks bersangkutan (the author)
(Berger, 2000 : 26).
Berbagai tanda bahasa yang saling berelasi kemudian akan membentuk teks (text).
Istilah “teks” sendiri berasal dari Bahasa Latin texture yang berarti rajutan,
sehingga teks dapat diartikan sebagai rajutan dari berbagai tanda bahasa yang
melahirkan makna-makna. Makna inilah kemudian melahirkan representasi
(representation). Menurut Norman Fairclough, representasi dapat secara ideologis
mereproduksi relasi sosial yang mengandung eksploitasi dan dominasi (Burton,
2000 : 171).
Ada beberapa unsur penting dalam representasi yang lahir dari teks media massa.
Pertama adalah stereotype yaitu pelabelan terhadap sesuatu yang sering
digambarkan secara negatif. Selama ini representasi sering disamakan dengan
stereotype, namun sebenarnya representasi jauh lebih kompleks daripada
stereotype. Kompleksitas representasi akan terlihat dari unsur-unsurnya yang lain.
Kedua adalah identity, yaitu pemahaman kita terhadap kelompok yang
direpresentasikan. Pemahaman ini menyangkut siapa mereka, nilai apa yang
dianutnya dan bagaimana mereka dilihat oleh orang lain baik dari sudut pandang
positif maupun negatif. Ketiga adalah pembedaan (difference), yaitu mengenai
pembedaan antarkelompok sosial, di mana satu kelompok dioposisikan dengan
kelompok yang lain. Keempat, naturalisasi (naturalization), yaitu strategi
representasi yang dirancang untuk mendesain menetapkan difference, dan
menjaganya agar kelihatan alami selamanya. Kelima adalah ideologi. Untuk
memahami ideologi dalam representasi ada baiknya kita mengingat kembali
konsepsi ideologi yang dikemukakan oleh Althusser. Representasi dalam
relasinya dengan ideologi dianggap sebagai kendaraan untuk mentransfer ideologi
dalam rangka membangun dan memperluas relasi sosial (Burton, 2000 : 170-175).
Jean Baudrillard kemudian mewacanakan semiotika pascastrukturalisme
(poststructuralism) yang menyatakan bahwa tanda bahasa telah semakin terpisah
dari objek yang mereka wakili dan bahwa media telah mendorong proses ini ke
titik dimana tidak ada sesuatu yang nyata. Media tidak secara mendadak
menciptakan kondisi ini, namun memperburuk suatu kecenderungan yang telah
lama berlangsung sepanjang sejarah modern.
Penggunaan tanda bahasa telah berjalan melalui suatu evolusi dalam masyarakat.
Pada mulanya, tanda bahasa adalah representasi yang sifanya sederhana dari suatu
objek atau kondisi. Tanda bahasa mempunyai relasi yang jelas dengan yang obyek
yang dilambangkannya. Baudrillard menyatakan pentahapan ini sebagai tahapan
dari urutan simbolis, umum dalam masyarakat feodal. Pada tahap kedua,
kepalsuan, umum dari masa Renaissance ke masa Revolusi Industri, lambang-
lambang dianggap kurang memiliki relasi langsung dengan benda-benda dalam
kehidupan, yang oleh Baudrillard dinamakan sebagai hiperrealitas.
Analisis Framing
Analisis framing dikembangkan terutama oleh William A. Gamson. Gamson
melihat wacana media massa (khususnya berita) terdiri dari sejumlah kemasan
(package) melalui mana konstruksi atas suatu peristiwa dibentuk. Kemasan itu
merupakan skema atau struktur pemahaman yang dipakai oleh seseorang ketika
mengkonstruksi pesan-pesan yang dia sampaikan, dan menafsirkan pesan yang ia
terima.
Ada dua perangkat bagaimana ide sentral yang merupakan framing diterjemahkan
ke dalam teks berita melalui dua cara. Pertama, framing devices (perangkat
framing) yang berelasi langsung dengan ide sentral atau bingkai yang ditekankan
dalam teks berita. Perangkat framing ini ditandai dengan pemakaian kata, kalimat,
metafora, dan grafik/gambar. Perangkat kedua adalah reasoning devices
(perangkat penalaran) yang berhubungan dengan kohesi dan koherensi dari teks
tersebut yang merujuk pada gagasan tertentu (Eriyanto, 2004 : 225-226).
Ada beberapa komponen yang menjadi alat analisis dalam analisis framing yang
dikembangkan oleh Gamson, yaitu :
Pertama, elemen inti berita (idea element) yaitu ide atau pemikiran yang
dikembangkan dalam teks berita itu kemudian didukung dengan simbol tertentu
untuk menekankan arti yang hendak dikembangkan dalam teks berita. Simbol itu
dapat diamati dari pemakaian kata, kalimat, grafis, atau pemakaian foto atau
aksentuasi gambar tertentu.
Semua elemen dalam perangkat pembingkai tersebut digunakan untuk memberi
citra tertentu atas seseorang atau peristiwa tertentu. Citra itu juga dilakukan
dengan memberi label (depiction) terhadap suatu peristiwa. Citra juga dapat
ditekankan dengan melakukan ilustrasi (eksemplaar)
Kedua, perangkat pembingkai (framing devices) dipakai untuk memberi citra
negatif maupun positif terhadap suatu berita atau obyek yang diberitakan. Ketiga,
perangkat penalaran (reasoning devices). Dapat berupa roots ataupun dengan
memberi klaim moral tertentu (appeals to principle). Keduanya berpotensi
membawa konsekuensi (consequences) mengenai isu berita.
Analisis Wacana
Michel Foucault adalah salah seorang pemikir Prancis yang memberi banyak
kontribusi dalam perkembangan analisis wacana (discourse analysis).
Kontribusinya dapat dilacak dari pemikirannya mengenai kuasa (power), sebuah
tema yang merupakan topik terpenting dalam khasanah pemikiran Foucault yang
kemudian banyak digunakan dalam analisis wacana. Berbagai karya besar
Foucault memang berkisar pada subyek kekuasaan. Menurut Foucault, kekuasaan
merupakan sesuatu yang inheren sifatnya dari semua formasi diskursif. Misalnya,
kekuasaan merupakan fungsi wacana atau ilmu dan bukan sebagai properti
manusia atau institusi. Episteme, sebagaimana diekspresikan dalam bahasa,
menjamin kekuasaan. Dengan begitu, kekuasaan dan pengetahuan tidak bisa
dipisahkan.
Banyak literatur yang sudah ditulis berusaha mengungkap kuasa, namun bagi
Foucault sedikit sekali yang berhasil mengurai kuasa. Ada misalnya analisis
Marxian yang banyak mengurai mengenai orang-orang yang berkuasa seperti
negara, parlemen, institusi agama, namun tidak menyinggung bagaimana
mekanisme kuasa atau strategi kuasa. Tema seperti inilah yang menjadi fokus
perhatian Foucault. Ia ingin menganalisis strategi kuasa yang faktual. Ia tidak
menyajikan suatu metafisika mengenai kuasa, tapi satu mikrofisika tentang kuasa.
Maksudnya, masalahnya bukanlah pada apakah itu kuasa, melainkan bagaimana
berfungsinya kuasa pada bidang tertentu.
Berikut ini adalah beberapa pendapat Foucault mengenai kuasa. Pertama, kuasa
bukanlah milik melainkan strategi. Maksudnya kuasa biasanya disamakan dengan
milik. Kuasa dianggap sebagai sesuatu yang dapat diperoleh, disimpan, dibagi,
ditambah, dan dikurangi. Tapi dalam pandangan Foucault kuasa tidak dimiliki tapi
dipraktekan dalam suatu ruang lingkup di mana ada banyak posisi yang secara
strategis berelasi satu sama lain dan senantiasa mengalami pergeseran.
Kedua, kuasa tidak dapat dilokalisasi tetapi ada di mana-mana. Biasanya kuasa
dihubungkan dengan orang atau lembaga tertentu, khususnya aparat negara. Tapi
menurut Foucault strategi kuasa berlangsung di mana-mana. Di mana saja terdapat
susunan, aturan, sistem regulasi, di mana saja ada manusia yang mempunyai relasi
tertentu sama lain dan dengan dunia luar, di situ kuasa sedang bekerja. Kuasa
tidak datang dari luar, tetapi menentukan susunan, aturan-aturan, relasi-relasi itu
dari dalam, malah memungkinkan semua itu. Sebagai contoh adalah bahwa setiap
masyarakat mengenal berbagai strategi kuasa yang menyangkut kebenaran:
beberapa diskursus diterima dan disebarluaskan sebagai benar. Dalam hal ini
terdapat institusi-institusi yang menjamin perbedaaan antara yang benar dan tidak
benar. Selain itu terdapat pula pelbagai aturan dan prosedur untuk memperoleh
dan menyebarkan kebenaran
Secara khusus, Foucault memberi perhatian ada relasi antara kuasa (power)
dengan pengetahuan (knowledge). Pengetahuan tidak berasal dari dari salah satu
subyek yang mengenal, tetapi dari relasi-relasi kuasa yang menandai subyek itu.
Pengetahuan tidak “mencerminkan” relasi kuasa sebagaimana yang selama ini
dikenal dalam pemikiran Marxian, pengetahuan tidak merupakan pengungkapan
secara samar-samar dari relasi-relasi kuasa tetapi pengetahuan berada di dalam
relasi kuasa itu sendiri. Kuasa memroduksi pengetahuan dan bukan saja karena
pengetahuan berguna bagi kuasa. Lebih lanjut dalam pandangan Foucault tidak
ada pengetahuan tanpa kuasa dan tidak ada kuasa tanpa pengetahuan. Pada titik ini
terdapat relasi: pengetahuan mengandung kuasa seperti juga kuasa mengandung
pengetahuan. Dengan demikian tidak ada pengetahuan yang netral dan murni,
karena di dalamnya ada kuasa.
Ketiga, kuasa tidak selalu bekerja melalui penindasan atau represi, tetapi terutama
melalui normalisasi dan regulasi. Selama ini kuasa sering dianggap subyek yang
berkuasa (raja, pemerintah, ayah, laki-laki dan kehendak umum) dan subyek itu
dianggap melarang, membatasi, menindas dan sebagainya. Menurut pendapat
Foucault kuasa tidak bersifat subyektif. Inilah yang membedakannya dengan
pandangan marxisme yang melihat kuasa sebagai satu proses dialektis, di mana A
menguasai B, kemudian setelah beberapa syarat terpenuhi ganti B menguasai A.
Kuasa juga tidak bekerja secara represif dan negatif, melainkan bekerja secara
produktif dan positif, karena ada kenyataannya kuasa memproduksi realitas.
Kuasa memproduksi realitas dengan memproduksi lingkup obyek dan ritus-ritus
kebenaran. Strategi kuasa tidak berjalan melalui jalan penindasan melainkan
melalui normalisasi dan regulasi.
Keempat, kuasa tidak bersifat destruktif melainkan produktif. Yang dimaksudkan
oleh Foucault disini adalah bahwa kuasa tidak menghancurkan, tetapi malah
menghasilkan sesuatu. Hal ini sekaligus meruakan penolakan Foucault terhadap
sebagaian pandangan yang menyatakan bahwa kuasa meruakan sesuatu yang jahat
dan harus ditolak, karena menolak kuasa sendiri termasuk dari strategi kuasa.
Tidak mungkin memilih kawasan di luar kawasan strategi kuasa itu sendiri.
Ringkasnya, kuasa produktif karena memungkinkan segala sesuatu dapat
dilakukan (Bertens, 2000 : 297 – 325).
Menurut Foucault struktur wacana adalah suatu satuan aturan inheren yang
menentukan bentuk dan substansi praktek diskursif. Struktur wacana ini tidak
sekedar aturan untuk bagaimana cara berbicara; tetapi juga aturan-aturan yang
menentukan sifat pengetahuan, kekuasaan, dan etika. Aturan-aturan ini
mengontrol apa yang bisa dibicarakan atau dituliskan dan siapa yang boleh bicara
atau menulis (atau pembicara yang harus ditanggapi dengan serius). Aturan-aturan
seperti di atas kemudian mampu mengontrol apa yang bisa kita bicarakan atau
tuliskan, yang tentu juga menentukan bentuk wacana yang harus dipakai
Berlawanan dengan pendapat yang lebih populer, dalam pandangan Foucault
masyarakat tidak bertanggung jawab dalam membuat kondisi wacana. Sebaliknya,
wacanalah memerlukan tempat seseorang dalam skema dunia. Struktur diskursif
terbaru kita mampu memberi penjelasan mengenai manusia sebagai pondasi dan
asal ilmu pengetahuan, tetapi masyarakat tidak pernah mendapatkan kedudukan
seperti ini sebelumnya di periode yang lain dan dengan sendirinya akan segera
kehilangan kedudukan ini. Di jaman kita, orang diyakini mendapatkan ilmu
pengetahuan dan mempunyai kekuasaan, tetapi ide ini merupakan penciptaan
bentuk diskursif yang pra dominan di jaman kita, dan aturan-aturan berekspresi
dalam komunikasi kita mempunyai ide seperti ini. Di lain waktu, seluruh ide-ide
yang berbeda tentang pengetahuan dan kekuasaan muncul dari penggunaan
wacana.
Penelitian Foucault tentang sistem hukum dalam karyanya The Birth of Prison,
dapat digunakan sebagai contoh mengenai analisis wacana. Dia menemukan
adanya perbedaan yang sangat dramatis di abad 18 dan 19 dari kekejaman dan
hukuman publik menjadi pemahaman dan perlindungan kriminal dari penyiksaan
tubuh. Sebelum masa sekarang, narapidana disiksa atau atau bahkan dieksekusi di
depan publik dan bahkan seringkali oleh publik sendiri dan dijadikan sebagai
bentuk tontonan. Dalam formasi diskursif saat itu orang/kriminal dilihat sebagai
obyek sentral dalam hubungan politis. Sangat alami bahwa kekuasaan seharusnya
digunakan untuk melawan orang/kriminal dan bahwa hukuman seharusnya
mencakup kesakitan tubuh. Tetapi kemudian dalam formasi diskursif yang ada di
masa sekarang, orang/kriminal kehilangan statusnya, karena kekuasaan lebih
menjadi persoalan fisik atau jiwa individu manusianya. Dengan begitu menahan
kriminal dilihat sebagai hukuman yang lebih sesuai daripada mencambuk mereka
di depan publik.
Studi yang dikerjakan oleh Foucault berkisar pada analisis wacana yang memiliki
fungsi untuk melakukan pengungkapan terhadap aturan-aturan dan struktur
wacana. Studi ini oleh Foucault dinamakan archaelogy. Archaelogy berusaha
mengungkap berbagai aturan-aturan wacana dengan melewati deskripsi yang
seksama. Studi ini menunjukkan perbedaan atau kontradiksi, daripada adanya
koherensi, dan mengungkap tentang suksesi dari satu bentuk wacana ke wacana
yang lain. Untuk alasan inilah Foucault menitikberatkan deskripsi komparatif
lebih dari satu buah wacana.
Interpretasi, atau pemaknaan teks, tidak bisa dihindari dalam analisis teks, tapi
pemaknaan itu seharusnya diminimalisir kerena interpretasi tidak membuka
struktur diskursif dan pada kenyataannya malah mengaburkannya. Foucault
berpandangan bahwa seorang analis sudah seharusnya menghindari untuk
merelasikan wacana dengan pengarang/penulis karena penulis dalam wacana yang
muncul hanya menjalankan fungsi wacana semata dan bukan merupakan
instrumen di setiap cara yang fundamental di dalam pembuatan struktur teks yang
mereka hasilkan. Sehingga, wacana sering dimengerti sebagai bahasa yang
digunakan dalam merepresentasikan praktik sosial dari sudut pandang tertentu.
Dalam memahami wacana, kita juga tidak bisa lepas dari konsep ideologi karena
setiap makna dari wacana selalu bersifat ideologis (Fairclough dalam Burton,
2000 : 31).
posted by Fajar Junaedi @ 10:15 PM 0 comments links to this post
Teori Medium
Oleh : Fajar Junaedi S.Sos, M.Si
(Staf Pengajar Jurusan Ilmu Komunikasi Universitas Muhammadiyah Yogyakarta,
e-mail/friendster di [email protected])
Marshall McLuhan merupakan teoritisi yang paling berpengaruh dalam kajian
mengenai pentingnya media dalam peradaban kehidupan manusia. Ia dikenal
secara luasa dalam studi kebudayaan populer (popular culture), selain itu ia
mendapat perhatian karena pemikiran-pemikirannya brilian mengenai kemajuan
komunikasi massa kontemporer. Meskipun keistemewaan teori yang diutarakan
oleh McLuhan dalam kajian komununikasi massa dewasa ini tidak lagi menjadi
acuan, tesis yang dikemukakannya umumnya telah mendapat pengakuan yang
sangat luas serta masih relevan digunakan sebagai alat analisis dalam memahami
komunikasi massa. Menurutnya media terpisah dari apapun kandungan yang
disebarkan, mempengaruhi individu-individu dalam masyarakat, atau yang
kemudian lazim dinamakan sebagai teori medium (Littlejohn, 1996 : 326).
McLuhan bukanlah peneliti komunikasi massa yang pertama menulis tentang
pemikiran ini. Malahan, ide-idenya yang saat ini banyak dirujuk dalam kajian
komunikasi massa, sangat dipengaruhi oleh pemikiran dari Harold Adams Innis.
Innis menyatakan bahwa media komunikasi adalah intisari dari peradaban dan
bahwa jalannya roda sejarah adalah diarahkan oleh media dominan pada tiap masa
(Littlejohn, 1996 : 326). Sebelum muncul MTV misalnya, para artis yang ingin
tenar di seluruh jagad hanya cukup membuat rekaman, tampil di konser dan sering
muncul di pemberitaan, namun setelah MTV semakin menglobal, para artis harus
membuat video klip yang diputar terus menerus di MTV agar menjadi terkenal.
Tanpa menjadi bagian MTV mustahil rasanya untuk dapat meraih ketenaran.
Bagi McLuhan dan Innis, media adalah perpanjangan dari pikiran manusia,
sehingga kepentingan utama dari periode sejarah manapun ditentukan oleh media
dominan yang digunakan. Dengan kata lain, apa yang terjadi dan apa yang
mungkin berpengaruh dalam periode sejarah ditentukan oleh media (Littlejohn,
1996 : 326). Media dianalogikan sebagai berikut : berat seperti gerabah, liat
ataupun batu adalah berlanjut dan maka dari itu terikat waktu. Karena mereka
memfasilitasi komunikasi dari satu generasi ke generasi lainnya, media ini
dipengaruhi oleh tradisi. Sebaliknya, media terikat tempat seperti kertas adalah
ringan dan mudah untuk dipindahkan, sehingga media mampu memfasilitasi
komunikasi dari satu tempat ke tempat lain.
Sebelum mesin cetak ditemukan oleh Johannes Guttenberg di abad pertengahan,
masyarakat lebih menekankan pada komunikasi yang berorientasi pada indra
pendengaran, yang dekat secara emosional dan interpersonal. Bagi masyarakat
suku-suku tradisional prinsip “mendengar adalah mempercayai” lebih ditekankan
dalam kehidupan mereka. Namun penemuan mesin cetak mengubah semua itu.
Abad Gutenberg membawa rasio pemikiran, yang didominasi oleh indra
penglihatan. Timbulnya percetakan, yang terutama terjadi secara massif dalam
khasanah budaya Barat, memaksa individu untuki lebih menekankan kepada
persepsi yang sifatnya linier, logis, kategoris bukan lagi emosional dan
interpersonal.
Teknologi elektronika telah membawa kembali suatu dominasi aural atau
pendengaran. Teknologi percetakan Gutenberg menciptakan ledakan dalam
masyarakat, memisahkan dan mensegmentasi individu dari masyarakat, namun
abad elektronik telah membuat penyatuan kembali, menyatukan dunia kembali
satu dalam “perkampungan global”. Hasilnya, “teknologi komunikasi baru
memaksa kita untuk meninjau ulang dan mengevaluasi ulang semua pemikiran,
semua tindakan, dan semua lembaga yang sebelumnya diabaikan. Jika kalau
McLuhan saat ini masih hidup, apakah yang mungkin dapat ia katakan tentang
internet yang saat ini menggurita baik di perkantoran, kampus, rumah pribadi
ataupun warnet ?
Donald Ellis membuat suatu ringkasan dari berbagai pandangan mengenai teori
medium dan serempak ia juga membuat satu proposisi menarik yang mampu
mewakili cara pandang kontemporer mengenai subjek kajian ini. Dengan
mengamini Innis dan McLuhan, Ellis menyatakan bahwa keberadaan media
dominan pada waktu tertentu akan membentuk perilaku dan pemikiran masyarakat
bersangkutan. Sejalan dengan berubahnya media, begitu juga cara kita berpikir,
mengolah informasi, dan menghubungkan satu dengan yang lain. Ada perbedaan
yang tajam dalam perubahan sosial dalam masyarakat yang disebabkan oleh
bagaimana masyarakat memilih cara komunikasi tertentu melalui media oral,
tertulis atau elektronik.
Komunikasi oral yang bersifat verbal memiliki keunikan yaitu sangat
mengesankan dan organik. Pesan oral secara cepat dan berlangsung singkat,
sehingga individu-individu dan kelompok harus menyimpan informasi di alam
pikiran mereka dan meneruskannya melalui pembicaraan. Karena pengalaman
sehari-hari tidak dapat benar-benar dipisahkan dari transmisi media oral,
kehidupan dan pengetahuan tidak dapat dipisahkan. Penceritaan dan penceritaan
kembali cerita naratif bebas terhadap waktu sebagai suatu bentuk komunikasi
memerlukan memori kelompok sebagai “penyimpan” pengetahuan masyarakat.
Ini dapat membawa kepada kesadaran kolektif dimana pembedaan yang kecil
dibuat antara diri sendiri dan kelompok. Pengidentitasan kelompok dan
keterikatan menjadi tinggi ketika media oral mendominasi.
Perubahan besar gelombang ketiga terjadi ketika media elektronik berhasil
ditemukan dan dikembangkan secara revolusioner. Perubahan besar ini dapat
diuraikan sebagai berikut, media elektronik adalah sesuatu yang seperti oralitas di
mana ia juga cepat dan berlangsung singkat, namun ia tidak terikat pada tempat
khusus karena ia dapat disiarkan. Inilah yang selanjutnya menjadi keunikan media
elektronik karena media ini mampu memadukan komunikasi oral dan komunikasi
tulisan. Media elektronik memperpanjang persepsi kita melebihi tempat kita pada
waktu tertentu, menciptakan “perkampungan global” (global village). Pada waktu
yang sama, seperti media cetak, media elektronik memungkinkan penyimpanan
informasi. Karena ia lebih siap pakai daripada media cetak, media elektronik
menciptakan ledakan informasi, dan kompetisi yang sangat besar terjadi antar
berbagai media untuk didengar dan dilihat. Informasi dalam media elektronik
adalah solid seperti komoditas, yang menciptakan tekanan pada informasi agar
menarik. Pengetahuan dalam abad media elektronik berubah sangat cepat, dan
kita, terutama yang menjadi public figure, menjadi semakin waspada terhadap
beragam versi yang berbeda dari suatu realitas tertentu. Perubahan yang konstan
yang diciptakan dari media elektronik dapat membuat kita menjadi bingung dan
mungkin tidak tenang. Berita artis ditayangan infotainment yang banyak disiarkan
oleh berbagai stasiun televisi di Indonesia dapat menunjukan fenomena ini. Para
artis yang diliput di acara infotainment saling menyangkal isu miring yang
menerpa mereka, bahkan mereka pun kemudian merasa privasi mereka terganggu
oleh kru infotainment yang memburunya, seperti yang terjadi pada Parto, seorang
anggota grup lawak terkenal Patrio, yang menembakan pistol ke udara karena
merasa terganggu oleh kru infotainemt di bulan Agustus tahun 2004.
Jika oralitas menciptakan suatu kebudayaan komunitas dan peradaban tulisan
menciptakan kebudayaan kelas, maka komunikasi elektronik menciptakan suatu
kebudayaan “sel,” atau kelompok-kelompok yang saling diadu untuk
meningkatkan ketertarikan khusus mereka. Suatu bentuk publik baru yang tidak
terikat tempat tercipta. Politik kepentingan mendominasi, dan demokrasi, bersama
dengan nilai-nilai kesopanan dari pengikutnya, menganggap sesuatu yang penting
sebagai suatu cara untuk mengolah perbedaan. Tapi, ironisnya, kompetisi dan
ekonomi berbasis komoditas yang datang seiring perkembangan media elektronik
melawan nilai-nilai yang sama yang paling dibutuhkan di lingkungan ini yaitu
kesopanan dan saling menghargai. Munculnya beragam demo mengecam
pornografi di media televisi menjelang bulan Ramadhan tahun 2004, seperti acara
komedi Nah Ini Dia yang ditayangkan SCTV, Layar Tancap yang ditayangkan
Lativi setiap malam minggu, dialog tengah malam yang acap diwarnai tema seks
secara vulgar dan sebagainya, menandai beradunya nilai-nilai baru yang dibawa
media elektronik dengan norma kesopanan dalam alam dunia Timur.
Jika kita merupakan anggota dari budaya yang didominasi oral, maka perbedaan
yang ada dalam masyarakat dapat terminimalisir, dan keputusan akan diambil
secara bersama melalui konsensus dengan berdasar pada kebijaksanaan (wisdom)
tradisi yang telah diwariskan dari generasi ke generasi. Berbeda sekali jika kita
merupakan anggota dari suatu masyarakat yang budayanya lebih berorientasi pada
media cetak, maka keputusan terhadap masalah yang terjadi dalam masyarakat
akan banyak dipengaruhi oleh “kenyataan” yang tersimpan dalam dokumen, dan
kelas-kelas tertentu dalam masyarakat yang mempunyai akses ke informasi akan
memegang pengaruh yang besar di dalam pembuatan keputusan masyarakat.
Berbeda lagi tatkala kita diandaikan sebagai anggota masyarakat yang
kebudayaannya banyak bertumpu pada media elektronik di mana kita
mengidentitaskan dengan kelompok-kelompok kepentingan yang bersaing satu
sama lain. Dalam kondisi sepeti ini kita memperoleh beragam suara,
menyatukannya dengan cara yang sama, dan membuat suatu bentuk keputusan
berkaitan masalah bersama dengan mengakomodir sebanyak mungkin
kepentingan.
posted by Fajar Junaedi @ 10:14 PM 0 comments links to this post
Teori Hasil Kebudayaan
Oleh : Fajar Junaedi S.Sos, M.Si
(Staf Pengajar Jurusan Ilmu Komunikasi Universitas Muhammadiyah Yogyakarta,
e-mail/friendster di [email protected])
Teori-teori komunikasi massa yang berelasi dengan hasil kebudayaan (theories of
cultural outcomes) banyak tumbuh dan berkembang dalam kajian komunikasi
massa yang ada di Amerika Serikat. Secara garis besar teori-teori yang ada di
ranah ini dibagi menjadi dua bagian yaitu yang berfokus pada hasil-hasil
kebudayaan umum dan yang berfokus pada pengaruh terhadap inidividu. Untuk
mengawalinya, kita akan masuk dari dari kajian mengenai model dan fungsi
komunikasi massa yang dikemukakan oleh Harold Laswell.
Selama ini teori media berkonsentrasi pada bagaimana media bekerja dan
pengaruh media terhadap khalayak. Dasar dari perspektif ini adalah pendekatan
fungsionalis yang memfokuskan pada sistem komunikasi massa, cara kerja sistem
komunikasi massa, dan apa yang dilakukan oleh komunikasi massa.
Salah seorang teoritisi yang mengungkapkan teori yang paling terkenal dan paling
awal dalam kajian ini adalah Harold Lasswell. Dalam sebuah artikel klasik yang
ditulisnya pada tahun 1948 yang berjudul The Structure and Function of
Communication in Society, Lasswell menyajikan suatu model komunikasi yang
berbentuk sederhana. Model ini sering diajarkan kepada mahasiswa yang baru
belajar ilmu komunikasi. Menurut Lasswell komunikasi dapat didefinisikan
sebagai :
Siapa (who)
Bicara apa (says what)
Pada saluran mana (in which channel)
Kepada siapa (to whom)
Dengan pengaruh apa (with what effect)
Model yang diutarakan Lasswell ini secara jelas mengelompokkan elemen-elemen
mendasar dari komunikasi ke dalam lima elemen yang tidak bisa dihilangkan
salah satunya (Laswell dalam Littlejohn, 1996:334). Model yang dikembangkan
oleh Laswell ini sangat populer di kalangan ilmuan komunikasi, dan kebanyakan
mahasiswa komunikasi ketika pertama kali belajar ilmu komunikasi, akan
diperkenalkan dengan model di atas.
Sumbangan pemikiran Lasswel dalam kajian teori komunikasi massa adalah
identifikasi yang dilakukannya terhadap tiga fungsi dari komunikasi massa.
Pertama adalah kemampuan kemampuan media massa memberikan informasi
yang berkaitan dengan lingkungan di sekitar kita, yang dinamakannya sebagai
surveillance. Kedua, adalah kemampuan media massa memberikan berbagai
pilihan dan alternatif dalam penyelesaian masalah yang dihadapi masyarakat,
yang dinamakanya sebagai fungsi correlation. Ketiga adalah fungsi media massa
dalam mensosialisasikan nilai-nilai tertentu kepada masyarakat, yang dalam
terminologi Laswell dinamakan sebagai transmission (Shoemaker dan Resse,
1991 : 28-29). Dalam perkembangannya, Charles Wright menambahkan fungsi
keempat yaitu entertainment, di mana komunikasi massa dipercaya dapat memberi
pemenuhan hiburan bagi para konsumen dengan dikontrol oleh para produsen
(Shoemaker dan Resse, 1991 : 28).
Model Lasswell telah menjadi model komunikasi massa yang melegenda dalam
kajian teori komunikasi massa. Maksudnya model Laswell telah banyak
digunakan sebagai kerangka analisis dalam kajian komunikasi massa.
Karakteristik model Laswell adalah kemampuannya mencatat bagian-bagian yang
membentuk sistem komunikasi massa dan serempak pula dapat menggambarkan
hasil-hasil yang hendak dicapai oleh komunikasi massa melalui ketiga fungsi yang
telah dijelaskan di atas. Sejak awal buku ini, banyak fungsi dari komunikasi massa
yang telah singgung. Agar lebih jelas kita akan melihat pada beberapa di antara
fungsi komunikasi massa secara lebih mendalam melalui berbagai teori dalam
pembahasan berikut. Kita mengawalinya dari bagian tentang teori mengenai difusi
informasi dan pengaruh.
Difusi Informasi dan Pengaruh
Riset yang melahirkan teori difusi dan pengaruh dilakukan pada tahun 1940 oleh
Paul Lazarsfeld terhadap masyarakat kota New York. Hasil penelitian yang
dilakukan oleh Lazarsfeld menunjukan bahwa pengaruh yang ditimbulkan oleh
komunikasi massa dipengaruhi juga oleh faktor lain yaitu oleh komunikasi antar
personal. Lazarsfeld menamainya sebagai two-step flow hipotesis. Teori ini masih
mempunyai pengaruh yang sangat besar mengenai studi komunikasi massa,
terutama terhadap studi mengenai khalayak.
Pada studi awalnya Lazarsfeld menemukan bahwa informasi dan pengaruh dari
media massa disebarluaskan oleh para penentu opini kepada khalayak luas, setelah
mereka menerima informasi dari media, sehingga isi pesan media tidak serta
merta tersebar dan apalagi menjadi opini publik di dalam khalayak luas.
Teori two-step flow terangkum dalam karya Elihu Katz dan Paul Lazarsfeld
“Personal Influence”. Mereka berdua menyatakan bahwa individu tertentu yang
disebut sebagai penentu opini (opinion leader) menerima informasi dari media dan
menyalurkannya kepada teman mereka. Penentu opini adalah dalam semua
kelompok : pekerjaan, sosial, masyarakat dan lainnya. Individual ini sulit
dibedakan dari anggota kelompok lain karena kepemimpinan opini bukan
merupakan pemberian namun merupakan peran yang diambil oleh beberapa
individu dalam keadaan tertentu. Kepemimpinan pendapat berubah dari waktu ke
waktu dari isu ke isu.
Penentu opini dalam pandangan mereka dapat terdiri dari dua bentuk yaitu
penentu opini yang hanya memiliki pengaruh pada satu topik saja, atau
monomorhism, dan mereka yang berpengaruh pada bermacam topik atau
polymorhism. Monomorphism menjadi lebih dominan ketika sistem komunikasi
yang berlaku sifatnya menjadi lebih modern. Seorang kepala desa tentu memiliki
pengaruh terhadap beragam topik, sedangkan seorang sarjana pertanian akan
memiliki pengarh terhadap isu yang berkaitan dengan pertanian, seperti penyakit
tanaman, hama tanaman, cara pemupukan yang benar dan sebagainya.
Riset lanjutan yang dikerjakan oleh Lazarsfeld telah memperlihatkan bahwa
penyebaran ide adalah bukan merupakan proses dua langkah yang sederhana.
Suatu model multi-langkah (multistep flow) sekarang lebih banyak diterima
secara umum. Model ini serupa dengan model hipotesis dua-langkah (two step
flow), tapi memberi lebih banyak kemungkinan daripada hipotesis dua langkah.
Penelitian yang telah dilakukan telah memperlihatkan bahwa jumlah yang terbesar
dari penyaluran antara media dan penerima terakhir adalah suatu variabel. Dalam
adopsi inovasi ini, misalnya, individu tertentu akan mendengar tentangnya
langsung dari sumber media, sedangkan lainnya mungkin akan berkurang banyak
tahapan.
Teori difusi yang paling terkemuka dikemukakan oleh Everett Rogers dan para
koleganya. Rogers menyajikan deksripsi yang menarik mengenai mengenai
penyebaran dengan proses perubahan sosial, di mana terdiri dari penemuan, difusi
(atau komunikasi), dan konsekwensi-konsekwensi. Perubahan seperti di atas dapat
terjadi secara internal dari dalam kelompok atau secara eksternal melalui kontak
dengan agen-agen perubahan dari dunia luar. Kontak mungkin terjadi secara
spontan atau dari ketidaksengajaan, atau hasil dari rencana bagian dari agen-agen
luar dalam waktu yang bervariasi, bisa pendek, namun seringkali memakan waktu
lama.
Dalam difusi inovasi ini, satu ide mungkin memerlukan waktu bertahun-tahun
untuk dapat tersebar. Rogers menyatakan bahwa pada realisasinya, satu tujuan
dari penelitian difusi adalah untuk menemukan sarana guna memperpendek
keterlambatan ini. Setelah terselenggara, suatu inovasi akan mempunyai
konsekuensi konsekuensi – mungkin mereka berfungsi atau tidak, langsung atau
tidak langsung, nyata atau laten (Rogers dalam Littlejohn, 1996 : 336).
Opini Publik dan Gelombang Kebisuan (Public Opinion and the Spiral of Silence)
Ketika Susilo Bambang Yudhoyono meletakan jabatan di penghujung kekuasaan
Presiden Megawati, media massa ramai-ramai memberitakan mengenai peristiwa
tersebut. Banyak media massa yang juga mengekspos perseteruan Susilo
Bambang Yudhoyono dan Taufik Kiemas, suami presiden. Media
menggambarkan Susilo Bambang Yodhoyono sebagai orang teraniaya, dan
timbulah opini publik yang menyudutkan Megawati. Opini ini semakin meluas
karena media massa mem-blow up secara besar-besaran. Suara pendukung
Megawati yang membela kebijakannya semakin lama semakin tenggelam karena
porsi yang diberikan media massa kepada mereka juga semakin mengecil. Dari
realitas di atas dapat disimpulkan bahwa komunikasi massa memiliki banyak
hubungan dengan pembentukan opini publik.
Wacana mengenai opini publik telah menjadi pertimbangan yang besar dalam
pengambilan keputusan politik yang diambil oleh para elit politik. Teori yang
dikemukakan oleh Elisabeth Noelle-Newman mengenai gelombang kebisuan
merupakan pengembangan dari teori mengenai opini publik dengan melanjutkan
analisis yang mampu menunjukan bagaimana komunikasi antar personal dan
media bekerja bersama-sama dalam membangun opini publik. Asumsi dasar yang
dikemukakan oleh Noelle-Newman adalah bahwa orang-orang pada umumnya
secara alamiah memiliki rasa takut terkucil. Dan dalam pengungkapan opini,
mereka berusaha menyatu dengan mengikuti opini mayoritas atau konsensus.
Sumber konsensus utama adalah media massa, dan akibatnya para jurnalis yang
mungkin memiliki pengaruh cukup besar untuk melakukan penetapan mengenai
apa yang dipandang sebagai “iklim opini” yang berlaku pada saat tertentu dalam
isu tertentu atau yang lebih luas.
Noelle-Newman sebenarnya adalah peneliti politik Jerman. Ia mengadakan
observasi dalam pemilihan umum yang memperlihatkan adanya beberapa
pandangan nampaknya lebih berjalan baik daripada pandangan yang lainnya.
Kadang-kadang sebagian publik lebih memilih untuk diam saja atau membisu
mengenai opini yang ada dalam pikiran mereka daripada memperbincangkannya.
Jika opini umum dari media massa semakin tersebar dan meluas di masyarakat,
maka semakin senyap suara perseorangan yang berlawanan dengan pendapat
umum yang lebih dominan. Noelle-Newmann kemudian menyebut proses ini
sebagai gelombang kebisuan. Penelitian yang dilakukannya berkaitan dengan
kondisi di Jerman di tahun 1960 sampai dengan 1970-an, di mana Partai
Demokrasi Sosial berkuasa pada saat itu. Kekuasaan partai ini tidak lepas dari
peran media massa yang cenderung kekiri-kirian di masa itu, sejalan dengan
ideologi Partai Demokrasi Sosial. Peran media massa yang seperti ini mampu
menciptakan gelombang kebisuan di dalam khalayak yang tidak menyukai Partai
Demokrasi Sosial. Yang tersisa hanyalah suara publik yang mendukung kebijakan
Partai Sosial Demokrat (McQuail, 1996 : 252).
Cultivation Analysis
Program penelitian teoritis lain yang berhubungan dengan hasil sosiokultural
komunikasi massa dilakukan George Garbner dan teman-temannya. Peneliti ini
percaya bahwa karena televisi adalah pengalaman bersama dari semua orang, dan
mempunyai pengaruh memberikan jalan bersama dalam memandang dunia.
Televisi adalah bagian yang menyatu dengan kehidupan sehari-hari kita.
Dramanya, iklannya, beritanya, dan acara lain membawa dunia yang relatif
koheren dari kesan umum dan mengirimkan pesan ke setiap rumah. Televisi
mengolah dari awal kelahiran predisposisi yang sama dan pilihan yang biasa
diperoleh dari sumber primer lainnya. Hambatan sejarah yang turun temurun yaitu
melek huruf dan mobilitas teratasi dengan keberadaan televisi. Televisi telah
menjadi sumber umum utama dari sosialisasi dan informasi sehari-hari
(kebanyakan dalam bentuk hiburan) dari populasi heterogen yang lainnya. Pola
berulang dari pesan-pesan dan kesan yang diproduksi massal dari televisi
membentuk arus utama dari lingkungan simbolis umum.
Garbner menamakan proses ini sebagai cultivation (kultivasi), karena televisi
dipercaya dapat berperan sebagai agen penghomogen dalam kebudayaan. Teori
kultivasi sangat menonjol dalam kajian mengenai dampak media televisi terhadap
khalayak. Bagi Gerbner, dibandingkan media massa yang lain, televisi telah
mendapatkan tempat yang sedemikian signifikan dalam kehidupan sehari-hari
sehingga mendominasi “lingkungan simbolik” kita, dengan cara menggantikan
pesannya tentang realitas bagi pengalaman pribadi dan sarana mengetahui dunia
lainnya (McQuail, 1996 : 254).
Ada beberapa tahap riset yang dilakukan untuk meneliti mengenai agresi sebagai
efek komunikasi massa. Di Amerika Serikat semenjak tahun 1950-an telah ada
usaha untuk dilakukan untuk meneliti hubungan antara adegan kekerasan yang
ditonton oleh khalayak dengan perilaku agresi. Riset yang dilakuakn ini mayoritas
lahir disebabkan oleh karena ada kecemasan akibat semakin meningkatnya
proporsi adegan kekerasan dalam televisi. Sebagai bukti tingginya tayangan
kekerasan di televisi diperlihatkan dengan hasil riset analisis isi yang dilakukan
George Gerbner di tahun 1978 yang menunjukan 80 sampai dengan 90 persen
adegan yang ada dalam program televisi di Amerika Serikat berisi adegan
kekerasan (Rakhmat, 1999 : 234).
Menurut Baron dan Byrne terdapat tiga fase riset mengenai kultivasi. Pertama
adalah fase Bobo Doll, kedua adalah fase penelitian laboratorium dan ketiga
adalah fase riset lapangan (Baron dan Byrne dalam Rakhmat, 1999 : 234). Fase
pertama dirintis oleh Bandura dan kawan-kawannya yang mencoba meneliti
apakah anak-anak yang melihat orang dewas melakukan tindakan agresi juga akan
melakukan agresi sebagaimana yang mereka lihat. Seratus anak-anak setingkat
taman kanak-kanak dibagi ke dalam empat kelompok, dengan treatment yang
berbeda. Satu kelompok pertama melihat seorang dewasa menyerang boneka
balon Bobo Doll sambil berteriak garang, “Hantam! Sikat hidungnya!”.
Kelompok kedua dari anak-anak tersebut melihat tindakan yang sama dalam film
berwarna pada pesawat televisi. Kelompok ketiga juga melihat adegan film
televisi, namun yang tidak menampilkan adegan kekerasan. kelompok terakhir,
sama sekali tidak diberi akses menonton adegan kekerasan sama sekali. Setelah
treatment tersebut setiap anak diberikan waktu untuk bermain selama 20 menit
sembari diamati melalui kaca yang tembus pandang. Di ruangan bermain
disediakan Bobo Doll dan alat-alat permainan lainnya, dan terbukti kelompok
pertama dan kedua melakukan tindakan agresif, sebanayk 80 – 90 persen dari
jumlah kelompok tersebut.
Fase kedua penelitian kultivasi yang mencoba mengganti obyek perilaku agresif
secara lebih realitis, yaitu bukan lagi boneka plastik melainkan manusia. Adegan
kekerasan diambilkan dari film-film yang dilihat para remaja yaitu film serial
televisi The Untouchtables. Liebert dan Baron, yang melakukan penelitian
generasi kedua ini di tahun 1972, membagi para remaja menjadi dua kelompok
yaitu kelompok pertama melihat film The Untouchtables yang berisi beragam
adegan kekerasan, dan yang kedua melihat adegan menarik dari televisi tapi tidak
dibumbui adegan kekersan sama sekali. Kemudian mereka diberi kesempatan
untuk menekan tombol merah yang dikatakan dapat menyakiti remaja yang berada
di ruangan lain. ternyata kelompok pertama lebih banyak dan lebih lama
menekana tombol merah daripada kelompok kedua.
Fase ketiga dilakukan Layens dan kawan-kawan di Belgia tahun 1975. Perilaku
agresif diamati pada situasi ilmiah bukan di laboratorium dan dengan jangka
waktu yang lama. kegiatan obyek yang diteliti juga tidak diganggu sama sekali.
Mereka dibagi kedalam dua kelompok, di mana kelompok pertama menonton
lima film berisi adegan kekerasan selama seminggu dan kelompok kedua
menonton lima film tanpa adegan kekerasan. Selama seminggu itu pula perilaku
mereka diamati secara intens, dan ternyata kelompok pertama lebih sering
melakukan adegan kekerasan (Rakhmat, 1999 : 243 – 245).
Agenda Setting
Masyarakat yang terpelajar telah lama mengetahui bahwa media mempunyai
potensi untuk membangun wacana untuk publik. Salah satu dari penulis pertama
yang memformulasi ide ini adalah Walter Lippman, seorang wartawan Amerika
yang memiliki reputasi tinggi. Lippmann dikenal untuk penulisan jurnalistiknya,
pidatonya, dan komentar sosialnya. Lippman menyatakan pandangan bahwa
respon publik tidak kepada kejadian yang sebenarnya dalam lingkungan,
melainkan “menggambarkan di dalam kepala,” yang dia sebut sebagai
pseudoenvironment (Lippman dalam Littlejohn., 1996 : 341).
Fungsi agenda setting dikemukakan oleh Donald Shaw, Maxwell McCombs, dan
teman-teman mereka. Menurut mereka:
Bukti-bukti yang penting telah terakumulasi bahwa editor dan penyiar memegang
peran yang sangat penting dalam membentuk kenyataan sosial kita ketika mereka
menjalani tugas sehari-hari dalam memilih dan menampilkan berita. Pengaruh
media massa ini –kemampuan untuk memberi pengaruh perubahan secara
kognitif, untuk membentuk pemikiran mereka- telah diberi label sebagai fungsi
penetapan agenda dari komunikasi massa. Di sini mungkin terletak pengaruh yang
paling penting dari komunikasi massa, kemampuannya untuk secara mental
mengurutkan dan mengorganisir dunia untuk kita. Sigkatnya, media massa
mungkin tidak akan berhasil dalam menceritakan kepada kita apa pikiran kita,
namun mereka secara besar-besaran berhasil dalam memberi tahu kita apa
pikirkan (Shaw dan McCombs dalam Littlejohn, 1996 : 341).
Agenda setting yang kedua adalah proses linier tiga-bagian. Pertama, prioritas dari
isu yang akan dibahas dalam media, atau yang dikenal sebagai agenda media,
harus ditetapkan. Kedua, agenda media dalam beberapa cara mempengaruhi atau
berinteraksi dengan apa yang publik pikirkan, atau agenda publik. Akhirnya
ketiga, agenda publik mempengaruhi atau berinteraksi dalam beberapa cara
dengan para pembuat keputusan politik yang dianggap penting, atau agenda
politik. Dalam teori yang paling sederhana dan paling langsung, kemudian,
agenda media mempengaruhi agenda publik, dan agenda publik mempengaruhi
agenda politik. Kejadian di sepanjang akhir kekuasan Orde Baru menjadi bukti
yang nyata dari fungsi ini. Tatkala harga-harga kebutuhan pokok semakin melejit
dan nilai tukar rupiah merosot, media massa ramai-ramai memberitakan kejadian
ini. Sebagai akibatnya, kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah saat itu juga
semakin menipis dan mengakibatkan pemerintahan jatuh.
Meskipun sejumlah studi memperlihatkan bahwa media dapat secara kuat
mempunyai kekuatan untuk mempengaruhi agenda publik, namun ternyata masih
belum jelas apakah agenda publik sendiri tidak mempengaruhi agenda media.
Hubungan ini bisa jadi dikarenakan lebih sebagai salah satu dari hubungan sebab
akibat timbal balik daripada hubungan sebab akibat linier (searah). Lebih jauh
lagi, sepertinya kejadian aktual mempunyai pengaruh kepada keduanya, baik
agenda media dan agenda publik.
Setidaknya terdapat tiga macam pengaruh penetapan agenda. Pertama adalah
derajat seberapa media merefleksikan agenda publik, disebut sebagai representasi.
Dalam agenda representasi, publik mempengaruhi media. Kedua, adalah
dipertahankannya agenda yang sama oleh publik di semua waktu, yang disebut
persistence. Dalam agenda publik persisten, media mungkin memiliki pengaruh
yang kecil. Ketiga, terjadi ketika agenda media mempengaruhi agenda publik,
disebut sebagai persuasi. Pengaruh jenis yang ketiga di mana media
mempengaruhi publik adalah tepat seperti yang diprediksi oleh teori agenda
setting (McQuail, 2002 : 456). Ada sebuah pertanyaan mendasar yang menarik
untuk dijawab, yaitu siapa yang pada mulanya mempengaruhi agenda media?
posted by Fajar Junaedi @ 10:12 PM 0 comments links to this post
Media Massa sebagai Institusi Sosial
Oleh : Fajar Junaedi S.Sos, M.Si
(Staf Pengajar Jurusan Ilmu Komunikasi Universitas Muhammadiyah Yogyakarta,
e-mail/friendster di [email protected])
Media massa dipahami sebagai lebih dari sekedar suatu mekanisme yang
sederhana sifatnya yang digunakan untuk menyebarkan informasi, karena media
massa merupakan suatu organisasi yang terdiri dari susunan yang sangat
kompleks dan lembaga sosial yang penting dari masyarakat. Teori besar (grand
theory) yang paling terkemuka untuk menyinggung aspek institusional dari media
adalah teori kritis marxis. Teori kritis berhubungan dengan distribusi kekuasaan
dalam masyarakat dan dominasi kepentingan tertentu terhadap lainnya. Jelasnya,
media massa dalam pendekatan teori kritis marxis dipahami sebagai pemain yang
mempunyai kekuatan pengaruh yang sangat besar dalam pertarungan ideologis.
Media massa dapat dipahami dalam berbagai artikulasi, salah satunya media
massa dipahami sebagai arena pertarungan (site of strunggle) dari berbagai
kepentingan dan ideologi yang hidup di masyarakat.
Ideologi yang keberadaannya telah menjadi ideologi yang dominan pun dapat
dipengaruhi eksistensinya oleh media. Sebagian besar teori komunikasi kritis
menekankan kepada kekuatan media massa karena potensi media untuk
menyebarkan ideologi dominan dan potensinya untuk mengekspresikan ideologi
yang alternatif dan berlawanan dengan ideologi dominan atau ideologi resistensi.
Dalam konteks ini media dipandang sebagai arena pertarungan ideologi (site of
strunggle for ideology) bagi beberapa kalangan penganut teori kritis terutama oleh
kalangan cultural studies. Namun sebaliknya bagi kalangan pengikut Mahzab
Frankfurt, media lebih dipahami sebagai bagian dari industri kebudayaan (culture
industries) yang dikuasai oleh segelintir elit industri yang mampu menciptakan
simbol-simbol yang dapat memanipulasi dan mengalienasi kelas-kelas lainnya.
Singkatnya, berbeda dengan cultural studies yang melihat potensi media massa
sebagai area pertarungan ideologi, Mahzab Frankfurt menganggap media massa
dan segala bentuk kebudayaan massa sebagai bentuk budaya afirmatif yang tidak
dapat diharapkan untuk menggapai emansipasi. mengenai berbagai bentuk
artikulasi dalam memahami media massa dalam teori media kritis akan lebih
dalam didiskusikan dalam pembahasan berikut ini.
posted by Fajar Junaedi @ 10:10 PM 0 comments links to this post
Berkenalan dengan Komunikasi Massa
Oleh : Fajar Junaedi S.Sos, M.Si
(Staf Pengajar Jurusan Ilmu Komunikasi Universitas Muhammadiyah Yogyakarta,
e-mail/friendster di [email protected])
"I don't question our existance..I just question our modern needs..(Pearl Jam,
Garden)
Ketika Sukma Ayu, artis muda berbakat yang melejit lewat sinetron Kecil-kecil
Jadi Manten, meninggal dunia di bulan September 2004, setelah sempat beberapa
lama mengalami koma, seluruh penggemarnya segera mengetahui berita
kematiannya. Mereka yang bersimpati kepadanya, ramai-ramai mengirim pesan
pendek (sandek) atau yang lebih dikenal dengan sebutan sms (service short
massage) kepada berbagai stasiun televisi swasta yang memberi kesempatan
kepada pemirsanya untuk mengungkapkan bela sungkawanya secara interaktif
terutama melalui tayangan acara infotainment. Demikian pula ketika Parto,
anggota kelompok lawak terkenal Patrio menembakan pistol ke udara untuk
mengusir wartawan yang mengejar-ngejarnya di pertengahan tahun 2004, banyak
penggemar tayangan infotainment segera mengetahui berita ini dari tayangan
infotainment yang banyak bersebaran di berbagai stasiun televisi, seperti Kabar-
kabari, Kross Cek, Cek n Ricek dan sebagainya.
Begitu pula ketika para teroris membajak beberapa pesawat dan menabrakannya
ke gedung WTC di New York tanggal 11 September 2002, ratusan juta pasang
mata penduduk dunia dengan cepat segera mengetahui secara rinci, detik demi
detik, bagaimana pesawat menabrak gedung WTC dan diikuti runtuhnya gedung
yang menjadi ikon Amerika Serikat ini. Tatkala gempa dan gelombang tsunami
menerjang Aceh, Sumatera Utara dan berbagai negara di kawasan Samudra
Hindia pada tanggal 26 Desember 2004, berbagai media, terutama media televisi,
segera memberitakan bencana kemanusiaan yang merenggut nyawa lebih dari
seratus ribu manusia ini.
Bahkan masyarakat Indonesia lebih dahulu mengetahui tsunami yang terjadi di
Thailand, yang diliput secara besar-besaran oleh media televisi nasional dengan
banyak mengambil gambar dari stasiun televisi CNN daripada bencana yang lebih
mengerikan dalam skala yang jaun lebih besar yang terjadi di Aceh. Kondisi ini
bisa dimaklumi karena pada tanggal 26 Desember, nyaris semua stasiun televisi di
Indonesia terputus kontak komunikasi dengan kru liputannya di daerah bencana,
sehingga baru sehari kemudian bencana maha dahsyat yang terjadi di Aceh
diketahui secara luas oleh publik, setelah gambar-gambar bencana di Aceh dirilis
secara besar-besaran oleh berbagai media massa.
Berbagai realitas inilah yang oleh Marshall Mc. Luhan disebut sebagai global
village, sebuah perkampungan global yang terintegrasi melalui komunikasi.
Komunikasi media modern telah memberikan kesempatan kepada jutaan manusia
di seluruh dunia saling berhubungan dengan nyaris seluruh tempat di muka bumi
tanpa harus terbatasi lagi oleh ruang dan waktu, serta serempak juga memberi
kesempatan untuk berinteraksi melalui media massa. Suatu kondisi yang nyaris
serupa dengan kehidupan di desa, di mana setiap warga desa dapat saling
berkomunikasi dengan mudah dalam relasi sosial yang coraknya patembayan.
Perkembangan teknologi komunikasi massa tidak dapat dipungkiri telah banyak
membantu umat manusia untuk mengatasi pelbagai hambatan dalam
berkomunikasi. Khalayak dapat mengetaui apa yang terjadi di seluruh dunia jauh
lebih cepat, bahkan sering kali khalayk lebih dahulu mengetahui apa yang terjadi
jauh di luar negeri daripada di dalam negeri. Bukti paling nyata adalah, khalayak
media massa di Indonesia lebih dahulu mengetahui terjadinya tsunami di Thailand
dan Sri Lanka, daripada bencana yang serupa dengan skala yang jauh lebih
menakutkan di Aceh dan Sumatera Utara. Padahal Thailand jaraknya berlipat kali
dengan jarak Jakarta ke Aceh. Namun ternyata media massa kita, terutama
televisi, tidak begitu tanggap ketika bencana tsunami menerjang Aceh dan
Sumatra Utara. Media televisi pada tanggal 26 Desember 2004 masih sibuk
dengan pemberitaan hiruk pikuk Munas Partai Golkar dan kasus perceraian Adjie
Massaid dengan Reza Artamevia. Alasan lain, bisa jadi karena kemampuan
teknologi media televisi kita masih di bawah CNN, sehingga bencana di Thailand
yang diliput CNN yang lebih dahulu disaksikan pemirsa televisi di Indonesia.
Media massa merupakan pusat dari kajian komunikasi massa. Media massa
menyebarkan pesan-pesan yang mampu mempengaruhi khalayak yang
mengkonsumsinya dan mencerminkan kebudayaan masyarakat, dan mampu
menyediakan informasi secara simultan ke khalayak yang luas, anonim dan
heterogen, membuat media bagian dari kekuatan institusional dalam masyarakat.
Bahkan di kalangan media, terutama di kalangan pers, media massa dianggap
sebagai pilar demokrasi keempat setelah ekskutif, legislatif dan yudikatif.
Peristiwa jatuhnya kekuasaan Orde Baru menunjukan bagaimana media massa
mampu menggerakan rakyat yang sudah tidak percaya lagi kepada sistem yang
ada di birokrasi eksekutif, legislatif dan yudikatif.
Pada masa itu, semua lembaga demokrasi baik eksekutif, legislatif dan yudikatif
berada dalam kekuasaan satu tangan satu. Begitu juga pers yang lebih banyak
tunduk kepada negara dibandingkan dengan pers yang berani kritis terhadap
negara. Jika ada pers yang berani kritis terhadap negara, maka pembredelan
menjadi matra suci negara untuk menghabisi suara kritis. Pembredelan terakhir di
masa kekuasaan Orde Baru menimpa Majalah Tempo, Majalah Editor dan Tabloid
Detik. Namun alih-alih pembredelan ini memperkokoh rezim, yang terjadi adalah
kalangan pers tetap saja kritis dengan menerbitkan penerbitan bawah tanah,
seperti melalui internet yang relatif masih baru di Indonesia saat itu lewat situs
tempointeraktif dan Apa Kabar Indonesia. Media cetak bawah tanah juga
diterbitkan secara sembunyi-sembunyi melalui penerbitan Independen yang
dikoordinir oleh Aliansi Jurnalis Independen dan Kabar dari Pijar yang diterbitkan
oleh Pusat Informasi dan Jaringan Reformasi (Pijar).
Media massa sendiri dalam kajian komunikasi massa sering dipahami sebagai
perangkat-perangkat yang diorganisir untuk berkomunikasi secara terbuka dan
pada situasi yang berjarak kepada khalayak luas dalam waktu yang singkat
(McQuail, 2002:17). Sejarah perkembangan media massa dimulai dari media
cetak dalam bentuk pamflet dan buku, kemudian muncul surat kabar dan majalah
yang terbit secara teratur. Penemuan film memberi tawaran baru bagi para
khalayak dalam proses konsumsi mereka terhadap media secara lebih
mengasyikan. Penemuan mesin rekam dalam bentuk fonogram, kaset, dan diikuti
compact disc banyak memberi alternatif hiburan terutama bagi khalayak yang
menyukai musik. Seiring dengan perkembangan teknologi digital, MP3 menjadi
alat rekam yang disukai banyak kalangan, karena kemampuannya menyimpan
ratusan lagu dan harganya yang relatif murah. Bahkan saat ini berkembang IpoD,
sebuah alat yang dapat menyimpan jutaan lagu dalam alat yang besarnya tidak
lebih dari sebuah pesawat telepon genggam. Berikutnya adalah media penyiaran
radio dan televisi yang semakin memanjakan khalayak, terutama televisi yang
memiliki sifat audiovisual. Saat final Piala Eropa tahun 2004, para penonton dapat
mengikuti pertandingan tersebut melalui televisi yang menyiarkan final antara
Portugal melawan Yunani dan nyaris dalam waktu yang bersamaan dapat
mengetahui kekalahan Portugal dan kemenangan kuda hitam Yunani. Berbagai
pertandingan Liga Champhion juga dapat disaksikan tanpa harus datang ke
stadion. Ada fenomena menarik yang terjadi di Italia, di mana Liga Italia tahun
2004-2005 jumlah penontonnya yang datang langsung ke stadion menyusut
drastis. Alasan para suporter malas datang ke stadion salah satunya adalah
murahnya langganan televisi kabel yang menyiarkan berbagai pertandingan Liga
Italia, sedangkan tiket masuk ke stadion sangat mahal bagi mereka.
Perkembangan teknologi komunikasi di bidang elektronika, telah melahirkan
teknologi internet yang semakin menjadikan dunia seolah tiada batas. Semua
orang yang mempunyai kesempatan untuk menyuarakan opininya melalui
internet. Situs yang menyediakan layanan website gratis seperti blogspot dan
geocities dapat digunakan sebagai sarana untuk menyuarakan opini. Di masa akhir
kekuasaan Orde Baru, internet telah membuktikan perannya sebagai media
underground dalam melawan berbagai regulasi Orde Baru yang memasung
kebebasan pers. Situs tempo interaktif, yang merupakan reinkarnasi Majalah
Tempo, yang dibredel saat itu, menjadi sarana yang efektif untuk membangun
opini publik.
“Media” dalam konteks ini sudah tentu akan memiliki pengertian “mediasi”
karena mampu menjembatani jarak (distance) antara khalayak dan dunia. Denis
McQuail dalam bukunya McQuail’s Mas Communication Theory, 4th Edition
(2002) mengemukakan beberapa penanda untuk memahami pemikiran ini: Media
adalah jendela yang memungkinkan kita untuk melihat fenomena yang terjadi
melebihi lingkungan dekat kita, penerjemah yang membantu kita membuat
perasaan mengalami, platform atau pembawa yang menyalurkan informasi,
komunikasi interaktif yang meliputi umpan balik kepada khalayak, penanda yang
memberi kita dengan instruksi dan petunjuk, penyaring yang menyaring bagian-
bagian pengalaman dan berfokus pada lainnya, cermin yang memantulkan realitas
kita kepada kita kembali, dan pembatas yang menghalangi kebenaran (McQuail,
2002 : 66). Kemudian apakah sebenarnya pengertian dari media massa yang
menjadi pusat dari kajian komunikasi massa ? Sampai saat ini tidak ada definisi
yang tunggal ataupun definisi yang sederhana yang mampu memberi pengertian
secara komprehensif mengenai media massa.
Definisi paling sederhana dari komunikasi massa dikemukakan oleh Bittner yang
mendefinisikan komunikasi massa sebagai pesan yang dikomunikasikan melalui
media massa pada sejumlah besar orang (Rakhmat, 1999 : 188). Kemudian yang
menjadi pertanyaan adalah apakah komunikasi massa itu pesan atau proses ? Apa
juga yang membedakannya dengan komunikasi interpersonal dan komunikasi
bermedia (mediated communication) ?
Dengan penjelasan yang lebih sederhana, komunikasi massa adalah komunikasi
melalui media massa, yakni surat kabar, radio, televisi, internet dan sebagainya.
Bila sistem komunikasi massa dibandingkan dengan komunikasi interpersonal,
maka secara teknis ada beberapa ciri komunikasi massa menurut Elizabeth –
Noelle Neuman yang membedakannya dengan komunikasi interpersonal, yaitu
pertama, bersifat tidak langsung, artinya harus melalui media teknis. Kedua,
bersifat satu arah (one flow communication), artinya tidak ada interaksi
antarpeserta komunikasi. Ketiga, bersifat terbuka, artinya ditujukan kepada publik
yang tidak terbatas dan anonim. Keempat, memiliki unsur publik yang secara
geografis tersebar (Rakhmat, 1999 : 189). Namun seiring dengan kemajuan
teknologi agaknya ciri kedua perlu dikaji ulang, karena dengan memakai fasilitas
telepon, sms atau teleconference, khalayak dapat mengirimkan komentar mereka
terhadap satu isu yang sedang dibahas di layar televisi, sebagaimana ketika Sukma
Ayu meninggal, para fans yang bersimpati segera mengirim sms ke berbagai
stasiun televisi yang memberi kesempatan berinteraksi melalui beragam tayangan
infotainment. Selain itu, perkembangan teknologi internet semakin menjadikan
media kian tidak berjarak dengan khalayaknya.
Sedangkan Georg Gerbner memberi pengertian komunikasi massa dengan sebuah
definisi singkat yaitu sebagai produksi dan distribusi yang berlandaskan teknologi
dan lembaga dari arus pesan yang berkelanjutan serta paling luas dipunyai orang
dalam masyarakat industri (Rakhmat, 1999 : 188).
Para ahli komunikasi massa mengenal dua sisi dari kajian mengenai komunikasi
massa. Satu sisi menekankan relasi antara media dan masyarakat yang lebih besar
dan lembaga-lembaganya. Para penganutnya tertarik pada teori yang berkaitan
relasi media-masyarakat perhatian terhadap cara media ‘dipasang’ di masyarakat
dan pengaruh timbal balik antara struktur sosial yang lebih besar dan media. Sisi
ini dianggap sebagai sisi makro dari teori komunikasi massa.
Sisi yang kedua menekankan kepada orang-orang sebagai kelompok atau
individu. Sisi ini mencerminkan relasi antara media dan khalayak. Para penganut
teori dalam sisi ini tertarik pada fokus relasi media-audiens dengan memberi
penekanan pengaruh kelompok dan individu dan hasil dari transaksi media. Sisi
kedua ini dianggap sebagai sisi mikro dari teori komunikasi.
Model ini mengandung arti bahwa dua sisi ini adalah dua hal yang berbeda,
namun pada kenyataan mereka adalah hal yang sama dilihat dari perspektif yang
berbeda. Relasi antara media dan lembaga adalah mungkin hanya melalui
transaksi media dengan khalayak, dan relasi media adalah tidak mungkin untuk
memisahkan dari lembaga dari masyarakat di mana khalayak ini tinggal.
Sehingga, model ini bukan merupakan peta proses komunikasi massa namun
menggambarkan area penelitian media dan teori.
Komunikasi massa sendiri memiliki sejarah yang panjang. Pada mulanya
masyarakat kuno menggunakan bahasa oral dan isyarat untuk berkomunikasi.
Suku Indian menggunakan asap sebagai bahasa isyarat untuk berkomunikasi
dalam jarak yang jauh, masyarakat muslim tradisional di Indonesia memakai
bedug untuk mengabarkan datangnya waktu sholat dan serombongan anak remaja
sering berkeliling kampung di saat Bulan Ramadhan dengan beraneka alat musik
sederhana, seperti kentongan dan galon air mineral untuk membangunkan
masyarakat tatkala waktu sahur datang . Namun bukan berarti di era modern ini
komunikasi massa yang sederhana ini sudah hilang dari peradaban. Di pedesaan,
kentongan masih digunakan untuk memanggil warga desa jika ada pertemuan di
balai desa atau jika terjadi ada bencana alam. Di perkotaan, ketika Bulan
Ramadhan datang, banyak anak-anak muda yang membunyikan berbagai alat
musik sederhana, kentongan, galon air mineral dan sebagainya untuk
membangunkan masyarakat untuk sahur.
Penemuan tekonologi komunikasi yang semakin modern, membuat teori
komunikasi massa menjadi semakin signifikan dalam kehidupan manusia.
Internet, komputer, satelit dan telepon genggam adalah beberapa perkakas
komunikasi massa yang banyak digunakan masyarakat modern baik secara
langsung maupun tidak langsung. Memang kita tidak pernah secara langsung
bersinggungan dengan satelit, namun ketika kita menggunakan telepon genggam
untuk berkomunikasi, secara tidak langsung kita memanfaatkan fasilitas satelit
yang berada jauh di antariksa.
Dewasa ini akses internet tidak lagi terbatas pada wilayah yang terjangkau
jaringan telepon, namun cukup dengan komputer, modem dan telepon genggam
yang dilayani operator yang memberi fasilitas akses internet maka kita tinggal
klik. Bahkan dengan PDA (Personal Digital Assistant), hanya dengan komputer
mini yang sudah dilengkapi fasilitas teknologi seluler, kita dapat mengakses
semua informasi via internet. Publikasi berita juga tidak perlu lagi melalui alur
yang kompleks, dari peliputan sampai distribusi, namun satu orang saja sudah
mampu melakukan publikasi berita melalui situs pribadi di internet.
Perkembangan teknologi ini menjadikan kajian komunikasi massa semakin
menarik untuk dipelajari.
Kajian komunikasi massa tentu saja selalu berhubungan dengan perkembangan
komunikasi massa, karena itulah komunikasi massa menjadi kajian dari ilmu
komunikasi yang paling menarik. Sebab utama yang menjadikan kajian
komunikasi massa menjadi kajian yang selalu menarik adalah perkembangan
media massa yang mengalami perkembangan pesat dewasa ini serta semakin
tergantungnya manusia dengan keberadaan media massa. Untuk membuktikan
ketergantungan kita dengan media massa silahkan mencoba hal ini. Anda di
rumah saja dengan tidak membaca koran, melihat berita di televisi, mendengar
berita di radio dan mengakses situs berita di internet selama satu minggu.
Singkatnya selama satu minggu jangan sekalipun mengkonsumsi media massa.
Setelah satu minggu hidup tanpa media massa, Anda kemudian kembali ke
komunitas Anda, baik kampus, lingkungan tempat tinggal atau lingkungan kerja
Anda. Apa yang terjadi ketika Anda kembali ke komunitas Anda mudah ditebak.
Anda pasti akan seperti Tarzan yang baru keluar dari belantara, karena kesulitan
mengimbangi pembicaraan rekan-rekan Anda, ringkasnya Anda akan dianggap
kuper (kurang pergaulan), gara-gara tidak mengkonsumsi media massa selama
satu minggu saja.
posted by Fajar Junaedi @ 10:09 PM 0 comments links to this post
Bahan kuliah Komunikasi Massa di Jurusan Ilmu Komunikasi Universitas
Muhammadiyah Yogyakarta. Diijinkan untuk mengutip sebagai referensi, tetapi
harus menghormati karya intelektual, dengan menulis asal referensi sesuai dengan
kaidah ilmiah.Jika tidak,maka dianggap sebagai plagiatisme !!
About Me
Name: Fajar Junaedi
Location: Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, Jogjakarta, Indonesia
Dosen Departemen Ilmu Komunikasi Universitas Muhammadiyah Yogyakarta.
Dosen tamu di program studi Ilmu Komunikasi Universitas Muhammadiyah
Surakarta dan Universitas Islam Indonesia. Penulis lepas di media massa.
View my complete profile
Links
Google News
Edit-Me
Edit-Me
Previous Posts
BAHAN UJIAN AKHIR SEMESTER 2006/2007
TEORI KOMUNIKASI MASSA TERHADAP INDIVIDU
TEORI MEDIA DAN KHALAYAK DALAM KOMUNIKASI MASSA
Ada Apa dengan Budaya Massa dan Budaya Pop ?
BAGAIMANA BELAJAR KOMUNIKASI MASSA DARI SINI ??
BAGAIMANA MENGUTIP SUMBER DARI INTERNET DI
DAFTAR ...
Metode Analisis dalam Komunikasi Massa
Teori Medium
Teori Hasil Kebudayaan
Media Massa sebagai Institusi Sosial
Archives
June 2005
July 2005
November 2005
January 2007