teori komunikasi massa terhadap individu

55
TEORI KOMUNIKASI MASSA TERHADAP INDIVIDU Oleh : Fajar Junaedi S.Sos, M.Si. Teori-teori yang terangkum dalam bagian terdahulu menekankan pada hasil publik dan kebudayaan dari komunikasi massa. Perkembangan kajian teori komunikasi massa lainnya, yang akan dibahas dalam bagian ini menekankan pada pengaruh individual dari komunikasi massa. Pada bagian ini, kita membahas beberapa dari teori tradisi pengaruh-individu dalam studi mengenai komunikasi massa. Teori Pengaruh Tradisi (The Effect Tradition) Teori pengaruh komunikasi massa dalam perkembangannya telah mengalami perubahan yang kelihatan berliku-liku dalam abad ini. Dari awalnya, para peneliti percaya pada teori pengaruh komunikasi “peluru ajaib” ( bullet theory) Individu- individu dipercaya sebagai dipengaruhi langsung dan secara besar oleh pesan media, karena media dianggap berkuasa dalam membentuk opini publik. Menurut model ini, jika Anda melihat iklan Close Up maka setelah menonton iklan Close Up maka Anda seharusnya mencoba Close Up saat menggosok gigi. Kemudian pada tahun 50-an, ketika aliran hipotesis dua langkah (two step flow) menjadi populer, media pengaruh dianggap sebagai sesuatu yang memiliki pengaruh yang minimal. Misalnya iklan Close Up dipercaya tidak akan secara langsung mempengaruhi banyak orang-orang untuk mencobanya. Kemudian dalam 1960-an, berkembang wacana baru yang mendukung minimalnya pengaruh media massa, yaitu bahwa pengaruh media massa juga ditengahi oleh variabel lain. Suatu kekuatan dari iklan Close Up secara komersil atau tidak untuk mampu mempengaruhi khalayak agar mengkonsumsinya, tergantung pada variabel lain. Sehingga pada saat itu pengaruh media dianggap terbatas (limited-effects model). Sekarang setelah riset di tahun 1970-an dan 1980-an, banyak ilmuwan komunikasi sudah kembali ke powerful-effects model, di mana media dianggap memiliki pengaruh yang kuat, terutama media televisi.Ahli komunikasi massa yang sangat mendukung keberadaan teori mengenai pengaruh kuat yang ditimbulkan oleh media massa adalah Noelle-Neumann melalui pandangannya mengenai gelombang kebisuan.

Upload: independent

Post on 24-Nov-2023

0 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

TEORI KOMUNIKASI MASSA TERHADAP INDIVIDU

Oleh : Fajar Junaedi S.Sos, M.Si.

Teori-teori yang terangkum dalam bagian terdahulu menekankan pada hasil publik

dan kebudayaan dari komunikasi massa. Perkembangan kajian teori komunikasi

massa lainnya, yang akan dibahas dalam bagian ini menekankan pada pengaruh

individual dari komunikasi massa. Pada bagian ini, kita membahas beberapa dari

teori tradisi pengaruh-individu dalam studi mengenai komunikasi massa.

Teori Pengaruh Tradisi (The Effect Tradition)

Teori pengaruh komunikasi massa dalam perkembangannya telah mengalami

perubahan yang kelihatan berliku-liku dalam abad ini. Dari awalnya, para peneliti

percaya pada teori pengaruh komunikasi “peluru ajaib” (bullet theory) Individu-

individu dipercaya sebagai dipengaruhi langsung dan secara besar oleh pesan

media, karena media dianggap berkuasa dalam membentuk opini publik. Menurut

model ini, jika Anda melihat iklan Close Up maka setelah menonton iklan Close

Up maka Anda seharusnya mencoba Close Up saat menggosok gigi.

Kemudian pada tahun 50-an, ketika aliran hipotesis dua langkah (two step flow)

menjadi populer, media pengaruh dianggap sebagai sesuatu yang memiliki

pengaruh yang minimal. Misalnya iklan Close Up dipercaya tidak akan secara

langsung mempengaruhi banyak orang-orang untuk mencobanya. Kemudian

dalam 1960-an, berkembang wacana baru yang mendukung minimalnya pengaruh

media massa, yaitu bahwa pengaruh media massa juga ditengahi oleh variabel

lain. Suatu kekuatan dari iklan Close Up secara komersil atau tidak untuk mampu

mempengaruhi khalayak agar mengkonsumsinya, tergantung pada variabel lain.

Sehingga pada saat itu pengaruh media dianggap terbatas (limited-effects model).

Sekarang setelah riset di tahun 1970-an dan 1980-an, banyak ilmuwan komunikasi

sudah kembali ke powerful-effects model, di mana media dianggap memiliki

pengaruh yang kuat, terutama media televisi.Ahli komunikasi massa yang sangat

mendukung keberadaan teori mengenai pengaruh kuat yang ditimbulkan oleh

media massa adalah Noelle-Neumann melalui pandangannya mengenai

gelombang kebisuan.

Uses, Gratifications and Depedency

Salah satu dari teori komunikasi massa yang populer dan serimg diguankan

sebagai kerangka teori dalam mengkaji realitas komunikasi massa adalah uses and

gratifications. Pendekatan uses and gratifications menekankan riset komunikasi

massa pada konsumen pesan atau komunikasi dan tidak begitu memperhatikan

mengenai pesannya. Kajian yang dilakukan dalam ranah uses and gratifications

mencoba untuk menjawab pertanyan : “Mengapa orang menggunakan media dan

apa yang mereka gunakan untuk media?” (McQuail, 2002 : 388). Di sini sikap

dasarnya diringkas sebagai berikut :

Studi pengaruh yang klasik pada mulanya mempunyai anggapan bahwa konsumen

media, bukannya pesan media, sebagai titik awal kajian dalam komunikasi massa.

Dalam kajian ini yang diteliti adalah perilaku komunikasi khalayak dalam

relasinya dengan pengalaman langsungnya dengan media massa. Khalayak

diasumsikan sebagai bagian dari khalayak yang aktif dalam memanfaatkan

muatan media, bukannya secara pasif saat mengkonsumsi media massa(Rubin

dalam Littlejohn, 1996 : 345).

Di sini khalayak diasumsikan sebagai aktif dan diarahkan oleh tujuan. Anggota

khalayak dianggap memiliki tanggung jawab sendiri dalam mengadakan

pemilihan terhadap media massa untuk mengetahui kebutuhannya, memenuhi

kebutuhannya dan bagaimana cara memenuhinya. Media massa dianggap sebagai

hanya sebagai salah satu cara memenuhi kebutuhan individu dan individu boleh

memenuhi kebutuhan mereka melalui media massa atau dengan suatu cara lain.

Riset yang dilakukan dengan pendekatan ini pertama kali dilakukan pada tahun

1940-an oleh Paul Lazarfeld yang meneliti alasan masyarakat terhadap acara radio

berupa opera sabun dan kuis serta alasan mereka membaca berita di surat kabar

(McQuail, 2002 : 387). Kebanyakan perempuan yang mendengarkan opera sabun

di radio beralasan bahwa dengan mendengarkan opera sabun mereka dapat

memperoleh gambaran ibu rumah tangga dan istri yang ideal atau dengan

mendengarkan opera sabun mereka merasa dapat melepas segala emosi yang

mereka miliki. Sedangkan para pembaca surat kabar beralasan bahwa dengan

membeca surat kabar mereka selain mendapat informasi yang berguna, mereka

juga mendapatkan rasa aman, saling berbagai informasi dan rutinitas keseharian

(McQuail, 2002 : 387).

Riset yang lebih mutakhir dilakukan oleh Dennis McQuail dan kawan-kawan dan

mereka menemukan empat tipologi motivasi khalayak yang terangkum dalam

skema media – persons interactions sebagai berikut :

Diversion, yaitu melepaskan diri dari rutinitas dan masalah; sarana pelepasan

emosi

Personal relationships, yaitu persahabatan; kegunaan sosial

Personal identity, yaitu referensi diri; eksplorasi realitas; penguatan nilai

Surveillance (bentuk-bentuk pencarian informasi) (McQuail, 2002 : 388).

Seperti yang telah kita diskusikan di atas, uses and gratifications merupakan suatu

gagasan menarik, tetapi pendekatan ini tidak mampu melakukan eksplorasi

terhadap berbagai hal secara lebih mendalam. Untuk itu mari sekarang kita

mendiskusikan beberapa perluasan dari pendekatan yang dilakukan dengan teori

uses and gratifications.

Teori Pengharapan Nilai (The Expectacy-Value Theory)

Phillip Palmgreen berusaha mengatasi kurangnya unsur kelekatan yang ada di

dalam teori uses and gratification dengan menciptakan suatu teori yang disebutnya

sebagai expectance-value theory (teori pengharapan nilai).

Dalam kerangka pemikiran teori ini, kepuasan yang Anda cari dari media

ditentukan oleh sikap Anda terhadap media --kepercayaan Anda tentang apa yang

suatu medium dapat berikan kepada Anda dan evaluasi Anda tentang bahan

tersebut. Sebagai contoh, jika Anda percaya bahwa situated comedy (sitcoms),

seperti Bajaj Bajuri menyediakan hiburan dan Anda senang dihibur, Anda akan

mencari kepuasan terhadap kebutuhan hiburan Anda dengan menyaksikan

sitcoms. Jika, pada sisi lain, Anda percaya bahwa sitcoms menyediakan suatu

pandangan hidup yang tak realistis dan Anda tidak menyukai hal seperti ini Anda

akan menghindari untuk melihatnya.

Teori Ketergantungan (Dependency Theory)

Teori ketergantungan terhadap media mula-mula diutarakan oleh Sandra Ball-

Rokeach dan Melvin Defleur. Seperti teori uses and gratifications, pendekatan ini

juga menolak asumsi kausal dari awal hipotesis penguatan. Untuk mengatasi

kelemahan ini, pengarang ini mengambil suatu pendekatan sistem yang lebih jauh.

Di dalam model mereka mereka mengusulkan suatu relasi yang bersifat integral

antara pendengar, media. dan sistem sosial yang lebih besar.

Sejalan dengan apa yang dikatakan oleh teori uses and gratifications, teori ini

memprediksikan bahwa khalayak tergantung kepada informasi yang berasal dari

media massa dalam rangka memenuhi kebutuhan khalayak bersangkutan serta

mencapai tujuan tertentu dari proses konsumsi media massa. Namun perlu

digarisbawahi bahwa khalayak tidak memiliki ketergantungan yang sama terhadap

semua media. Lalu apa yang sebenarnya melandasi ketergantungan khalayak

terhadap media massa ?

Ada dua jawaban mengenai hal ini. Pertama, khalayak akan menjadi lebih

tergantung terhadap media yang telah memenuhi berbagai kebutuhan khalayak

bersangkutan dibanding pada media yang menyediakan hanya beberapa

kebutuhan saja. Jika misalnya, Anda mengikuti perkembangan persaingan antara

Manchester United, Arsenal dan Chelsea secara serius, Anda mungkin akan

menjadi tergantung pada tayangan langsung Liga Inggris di TV 7. Sedangkan

orang lain yang lebih tertarik Liga Spanyol dan tidak tertarik akan Liga Inggris

mungkin akan tidak mengetahui bahwa situs TV 7 berkaitan Liga Inggris telah di

up date, atau tidak melihat pemberitaan Liga Inggris di Harian Kompas.

Sumber ketergantungan yang kedua adalah kondisi sosial. Model ini menunjukkan

sistem media dan institusi sosial itu saling berhubungan dengan khalayak dalam

menciptakan kebutuhan dan minat. Pada gilirannya hal ini akan mempengaruhi

khalayak untuk memilih berbagai media, sehingga bukan sumber media massa

yang menciptakan ketergantungan, melainkan kondisi sosial.

Untuk mengukur efek yang ditimbulkan media massa terhadap khalayak, ada

beberapa metode yang dapat digunakan, yaitu riset eksperimen, survey dan riset

etnografi.

Riset Eksperimen

Riset eksperimen (experimental research) merupakan pengujian terhadap efek

media dibawah kondisi yang dikontrol secara hati-hati. Walaupun penelitian yang

menggunakan riset eksperimen tidak mewakili angka statistik secara keseluruhan,

namun setidaknya hal ini bisa diantisipasi dengan membagi obyek penelitian ke

dalam dua tipe yang berada dalam kondisi yang berbeda.

Riset eksperimen yang paling berpengaruh dilakukan oleh Albert Bandura dan

rekan-rekannya di Stanford University pada tahun 1965. Mereka meneliti efek

kekerasan yang ditimbulkan oleh tayangan sebuah film pendek terhadap anak-

anak. Mereka membagi anak-anak tersebut ke dalam tiga kelompok dan

menyediakan boneka Bobo Doll, sebuah boneka yang terbuat dari plastik, di

setiap ruangan. Kelompok pertama melihat tayangan yang berisi adegan

kekerasan berulang-ulang, kelompok kedua hanya melihat sebentar dan kelompok

ketiga tidak melihat sama sekali.

Ternyata setelah menonton, kelompok pertama cenderung lebih agresif dengan

melakukan tindakan vandalisme terhadap boneka Bobo Doll dibandingkan dengan

kelompok kedua dan ketiga. Hal ini membuktikan bahwa media massa memiliki

peran membentuk karakter khalayaknya.

Kelemahan metode ini adalah berkaitan dengan generalisasi dari hasil penelitian,

karena sampel yang diteliti sangat sedikit, sehingga sering muncul pertanyaan

mengenai tingkat kemampuannya untuk diterapkan dalam kehidupan nyata

(generalizability). Kelemahan ini kemudian sering diusahan untuk diminimalisir

dengan pembuatan kondisi yang dibuat serupa mungkin dengan keadaan di dunia

nyata atau yang biasa dikenal sebagai ecological validity Straubhaar dan Larose,

1997 :415).

Survey

Metode survey sangat populer dewasa ini, terutama kemanfaatannya untuk

dimanfaatkan sebagai metode dasar dalam polling mengenai opini publik. Metode

survey lebih memiliki kemampuan dalam generalisasi terhadap hasil riset daripada

riset eksperimen karena sampelnya yang lebih representatif dari populasi yang

lebih besar. Selain itu, survey dapat mengungkap lebih banyak faktor daripada

manipulasi eksperimen, seperti larangan untuk menonton tayangan kekerasan

seksual di televisi dan faktor agama. Hal ini akan diperjelas dengan contoh

berikut.

Seorang peneliti melakukan penelitian mengenai efek menonton tayangan

kekerasan seksual terhadap remaja. Yang pertama dilakukannya adalah

menentukan sampel, kemudian membuat variabel independen yang berupa terpaan

media (seperti, “Berapa kali Anda menonton tayangan kekerasan seksual di

televisi dalam minggu kemarin ?”). Kemudian ditanyakan efek media massa yang

menjadi variabel dependen, seperti kekerasan seksual yang dilakukan responden.

Keduanya kemudian dibuat skala pengukuran yang tepat (ordinal, nominal atau

interval). Setelah itu, diukur dengan rumus statistik yang sesuai (Straubhaar dan

Larose, 1997 :414).

Riset Ethnografi

Riset etnografi (ethnografic research) mencoba melihat efek media secara lebih

alamiah dalam waktu dan tempat tertentu. Metode ini berasal dari antropologi

yang melihat media massa dan khalayak secara menyeluruh (holistic), sehingga

tentu saja relatif membutuhkan waktu yang lama dalam aplikasi penelitian. Dalam

penelitian yang menggunakan metode ini, para peneliti menggunakan teknik

observasi, pencatatan dokumen dan wawancara mendalam. Dalam melakukan

wawancara mendalam, peneliti harus mampu mengeksplorasi beragam informasi

dari responden, tanpa melalui pertanyaan yang sifatnya kaku sebagaimana

penelitian survey (Straubhaar dan Larose, 1997 :417). Peneliti hanya memerlukan

daftar pertanyaan sebagai acuan dalam wawancara yang dapat dikembangkan

secara lentur ketika mengadakan wawancara, sehingga daftar pertanyaan dalam

metode ini dinamakan sebagai petunjuk wawancara (interview guide).

Misalnya, peneliti yang melakukan penelitian mengenai efek kehadiran media

televisi terhadap kebudayaan penduduk Samin, sebuah sub suku Jawa yang hidup

di perbatasan Jawa Tengah dan Jawa Timur yang selama ini terkenal dengan

ketertutupannya dengan dunia luar. Yang dilakukan peneliti adalah mengamati

secara seksama bagaimana masyarakat Samin mengkonsumsi televisi. Ikut

bersama mereka menonton televisi, untuk mengamati apa saja yang mereka

lakukan dan komentari pada saat menonton televisi, kemudian setelah itu

mewawancarai mereka secara mendalam mengenai apa yang telah mereka tonton.

Setalah itu semuanya dicatat secara lengkap, sehingga hasil dari penelitian ini

kemudian akan sangat kaya informasi yang mendalam.

posted by Fajar Junaedi @ 8:27 PM 0 comments links to this post

TEORI MEDIA DAN KHALAYAK DALAM KOMUNIKASI MASSA

Oleh : Fajar Junaedi S.Sos, M.Si

Tidak ada dalam teori media yang telah menyajikan dilema dan perdebatan yang

pelik dalam kajian komunikasi massa selain studi khalayak media atau khalayak

(audience). Para pembuat teori media berada pada posisi yang saling berjauhan

mengenai konsensus tentang bagaimana untuk mengkonseptualkan khalayak dan

pengaruh khalayak. Ada dua pandangan yang secara vis a vis berhadapan tentang

sifat khalayak telah melibatkan dua dialektika yang berhubungan.

Pertama adalah adanya pertentangan antara dua gagasan yang menyatakan bahwa

khalayak adalah publik massa dan di sisi yang lain, gagasan yang menyatakan

bahwa khalayak adalah komunitas kecil. Kedua adalah pertentangan antara

gagasan yang menyatakan khalayak adalah pasif dan gagasan yang meyakini

bahwa khalayak adalah aktif. Perdebatan di atas kemudian terlihat dengan jelas

mewarnai teori-teori di bawah ini.

Masyarakat Massa Vs Komunitas

Kontroversi mengenai masyarakat massa versus komunitas melibatkan beragam

perspektif yang tidak sama dalam kajian komunikasi massa mengenai keberadaan

khalayak. Sebagian kalangan memiliki perspektif bahwa khalayak sebagai massa

yang tidak dapat dibedakan, dan beberapa yang lain melihatnya sebagai satu

kesatuan kelompok kecil atau komunitas yang tidak seragam. Pada kaca mata

perspektif seperti ini, khalayak dipahami sebagai populasi dalam jumlah yang

besar yang kemudian bisa dipersatukan keberadaannya melalui media massa.

Dalam perspektif kedua, khalayak dipahami sebagai anggota yang

mendiskriminasi anggota kelompok kecil yang terpengaruh paling banyak dari

yang segolongan.

Teori masyarakat massa merupakan sebuah konsep yang sangat kompleks

sifatnya. Teori masyarakat massa memberikan suatu gambaran mengenai

kehidapan massa di mana kehidupan komunitas dan identitas etnik telah

tergantikan oleh relasi yang mengandung karakter depersonalisasi seluruh

masyarakat.

Para penganut teori masyarakat massa memberi alasan mengenai teori yang

mereka bangun. Alasan yang dikemukakan adalah bahwa perkembangan cepat

yang terjadi dalam komunikasi telah meningkatkan kontak manusia, sehingga

pada akhirnya telah membuat masyarakat mengalami saling ketergantungan yang

lebih besar dibandingkan di masa lalu. Namun ternyata saling ketergantungan ini

kemudian mengakibatkan terjadinya ketidakseimbangan yang mempengaruhi

semua masyarakat. Ketidakseimbangan ini berbentuk saling ketergantungan yang

secara bersamaan membuat manusia semakin teralienasi satu dengan yang lain.

Yang terjadi adalah keterputusan relasi komunitas dan keluarga, serta juga

dipertanyakannya nilai-nilai lama.

Sebagai contoh kongkret adalah bagaimana masyarakat Badui di pedalaman Jawa

Barat yang masih teguh memelihara tradisi mereka, dengan menolak kehadiran

media massa. Relasi sosial mereka masih sangat dipengaruhi oleh tradisi yang

bersendi nilai-nilai lama. Kondisi yang sangat berbeda akan kita jumpai dalam

masyarakat Sunda yang telah berada di Kota Bandung yang sudah banyak

menerima terpaan media. Relasi sosial mereka, terutama dengan keluarga dan

tetangga, pasti lebih longgar dibandingkan dengan masyarakat Badui. Bisa jadi

mereka tidak akan mengenal tetangga yang berada di sebelah rumah. Kondisi ini

dapat dengan mudah kita jumpai di berbagai perumahan mewah yang saling

teralienasi satu dengan yang lain.

Sedangkan dalam pendekatan komunitas isi media ditafsirkan di dalam komunitas

berdasarkan makna-makna yang dikerjakan secara sosial di dalam kelompok, dan

individu dipengaruhi lebih oleh sejawat mereka daripada oleh media. Menurut

Gerard Shoening dan James Anderson, gagasan mengenai komunitas dalam kajian

komunikasi massa melihat isi media sebagai sesuatu yang media-interpretif, di

mana makna yang dilahirkan oleh pesan media dihasilkan secara interaktif di

dalam kelompok orang yang menggunakan media dengan cara yang sama

(Shoening dan Anderson dalam Littlejohn, 1996 : 332-333).

Khalayak Aktif versus Khalayak Pasif

Dalam pandangan teori komunikasi massa khalayak pasif dipengaruhi oleh arus

langsung dari media, sedangkan pandangan khalayak aktif menyatakan bahwa

khalayak memiliki keputusan aktif tentang bagaimana menggunakan media.

Selama ini yang terjadi dalam studi komunikasi massa, teori masyarakat massa

lebih memiliki kecenderungan untuk menggunakan konsepsi teori khalayak pasif,

meskipun tidak semua teori khalayak pasif dapat dikategorisasi sebagai teori

masyarakat massa. Demikian juga, sebagian besar teori komunitas yang

berkembang dalam studi komunikasi massa lebih cenderung menganut kepada

khalayak aktif.

Wacana di atas berelasi dengan pelbagai teori pengaruh media yang berkembang

setelahnya. Teori “pengaruh kuat” seperti teori peluru (bullet theory) yang

ditimbulkan media lebih cenderung untuk didasarkan pada khalayak pasif,

sedangkan teori “pengaruh minimal” seperti uses and gratification theory lebih

banyak dilandaskan pada khalayak aktif.

Dalam kajian yang dilakukan oleh Frank Biocca dalam artikelnya yang berjudul

”Opposing Conceptions of the Audience : The Active and Passive Hemispheres of

Communication Theory” (1998), yang kemudian diakui menjadi tulisan paling

komprehensif mengenai perdebatan tentang khalayak aktif versus khalayak pasif,

ditemukan beberapa tipologi dari khalayak aktif.

Pertama adalah selektifitas (selectivity). Khalayak aktif dianggap selektif dalam

proses konsumsi media yang mereka pilih untuk digunakan. Merka tidak asal-

asalan dalam mengkonsumsi media, namun didasari alasan dan tujuan tertentu.

Misalnya, kalangan bisnis lebih berorientasi mengkonsumsi Majalah Swasembada

dan Harian Bisnis Indonesia untuk mengetahui perkembangan dunia bisnis,

penggemar olahraga mengkonsumsi Tabloid Bola untuk mengetahui hasil

berbagai pertandingan olah raga dan sebagainya.

Karakteristik kedua adalah utilitarianisme (utilitarianism) di mana khalayak aktif

dikatakan mengkonsumsi media dalam rangka suatu kepentingan untuk memenuhi

kebutuhan dan tujuan tertentu yang mereka miliki.

Karakteristik yang ketiga adalah intensionalitas (intentionality), yang

mengandung makna penggunaan secara sengaja dari isi media. Karakteristik yang

keempat adalah keikutsertaan (involvement) , atau usaha. Maksudnya khalayak

secara aktif berfikir mengenai alasan mereka dalam mengkonsumsi media.

Yang kelima, khalayak aktif dipercaya sebagai komunitas yang tahan dalam

menghadapi pengaruh media (impervious to influence), atau tidak mudah dibujuk

oleh media itu sendiri (Littlejohn,1996 : 333).

Khalayak yang lebih terdidik (educated people) cenderung menjadi bagian dari

khalayak aktif, karena mereka lebih bisa memilih media yang mereka konsumsi

sesuai kebutuhan mereka dibandingkan khalayak yang tidak terdidik.

Kita bisa melihat tipologi khalayak pasif dan khalayak aktif ini dari konsumsi

media cetak masyarakat di sekitar kita. Media cetak kriminal, seperti Pos Kota

dan Lampu Merah di Jakarta, Meteor di Jawa Tengah, Koran Merapi di

Yogyakarta dan Memorandum di Jawa Timur sangat populer di kalangan

menengah ke bawah. Berbagai harian ini dapat dengan mudah dijumpai di lapak-

lapak koran yang bersebaran di pinggir jalan dengan konsumen yang didominasi

kalangan menengah ke bawah. Mereka mengkonsumsi media di atas dengan

selektivitas yang menimal dan tujuan yang tidak begitu jelas. Berbeda dengan

kalangan menengah ke atas yang lebih terdidik yang mengkonsumsi media massa

dengan tujuan tertentu secara selektif. Misalnya, mereka yang aktif dalam

kegiatan perekonomian tentu akan lebih memilih Bisnis Indonesia dibanding

memilih media lain. Alasan mereka memilih media ini tentu saja karena harian ini

lebih banyak mengupas masalah ekonomi dan dunia usaha yang berhubungan

langsung dengan kehidupan mereka sehari-hari.

Namun mayoritas ahli komunikasi massa dewasa ini lebih meyakini bahwa

komunitas massa dan dikotomi aktif-pasif merupakan konsep yang terlalu

sederhana atau deterministik, karena konsep-konsep di atas tidak mampu

menelaah kompleksitas sebenarnya dari khalayak. Bisa jadi pada saat tertentu

khalayak menjadi khalayak aktif, namun pada saat yang lain mereka menjadi

khalayak pasif, sehingga pertanyaannya kemudian bergeser lebih jauh mengenai

kapan dan dalam situasi apa khalayak menjadi lebih mudah terpengaruh.

posted by Fajar Junaedi @ 8:24 PM 0 comments links to this post

Monday, July 18, 2005

Ada Apa dengan Budaya Massa dan Budaya Pop ?

Oleh : Fajar Junaedi S.Sos, M.Si

Budaya massa sering diperbandingkan dengan budaya tinggi ( high culture ) yang

berciri pada produk yang memiliki dua ciri khas. Pertama, diciptakan dan berada

di bawah pengawasan elit budaya yang berperan sesuai tradisi estetis, sastra dan

ilmu pengetahuan. Kedua standar yang ketat, yang tidak bergantung kepada

konsumen produk mereka dan dilaksanakan secara sistematis. Sedangkan budaya

massa mengacu kepada pengertian produk budaya yang dicitakan semata-mata

untuk pasar. Ciri-ciri lain yang tidak tersurat dalam definisi tersebut adalah

standarisasi produk dan perilaku massa dalam penggunaan produk tersebut

(Mc.Quail, 1998 : 38 ). Dengan kata lain dalam budaya massa, orientasi produk

adalah trend atau mode yang sedang diminati pasar.

Bahkan dalam bukunya yang paling berpengaruh One – Dimensional Man,

Marcuse berkeyakinan bahwa dengan adanya kebudayaan massa, aspek progresif

dari seni klasik telah dihapus hanya sekedar menjadi industri. Seni hanya menjadi

nilai operasional dan keinginanya akan kebahagiaan diganti dengan kebutuhan

yang salah atau palsu (false need) dalam masyarakat konsumtif ini. Itulah

sebabnya Marcuse, sebagaimana halnya pemikir mahzab Frankfurt (Frankfurt

School) lainya seperti Theodore Adorno memandang rendah kebudayaan populer

(popular culture) karena sifatnya yang konservatif dan afirmatif. Kebudayaan

populer, menurutnya selalu mendamaikan kita dengan kondisi represif dalam

masyarakat kapitalis ini (Marwoto, 2001:37).

Menurut Adorno (dalam Storey [ed], 1994:202), karakteristik fundamental dari

budaya populer, khususnya musik populer, termasuk di dalamnya musik rock

adalah standarisasi (standarization). Karakteriktik yang membedakannya dengan

bentuk high culture yang dianggap adiluhung.

Kritik terhadap pemikiran para pemikir Mahzab Frankfurt kemudian banyak

berasal dari Center for Contemporary Cultural Studies (CCCS) atau yang

kemudian lebih dikenal sebagai Birmingham School yang. Para pemikir dari

Mazhab Birmingham menyoroti kegagalan analisa para pemikir Mazhab Frankfurt

dalam menganalisis kebudayaan, termasuk media culture dan seni yang

dikandungnya. Kegagalan mahzab Frankfurt adalah disebabkan karena mereka

melihat segala fenomena dari konteks kapitalisme kontemporer (Kellner, 1995 :

35).

Berbeda dengan Marcuse yang memandang rendah budaya populer, para pemikir

Mazhab Birmingham seperti John Fiske menyatakan bahwa terminologi “popular”

menunjukan bahwa budaya media mucul dari “people” (rakyat kebanyakan).

Sebagaimana halnya di Amerika Latin, budaya populer menunjukan seni yang

diproduksi dari dan untuk rakyat sebagai satu bentuk oposisi terhadap budaya

yang hegemonik (hegemonic culture) yang berasal dari kelas yang berkuasa

(Kellner, 1995 : 34).

Media culture merupakan perwujudan dari industrial culture, yang

diorganisasikan atas satu model produksi massa dan diproduksi untuk audiens

massa menurut genre yang diminatinya, mengikuti aturan (rules), kode (code) dan

formula yang konvensional. Ini menunjukan bahwa media culture merupakan

bentuk dari budaya yang komersial (commercial culture) dan produksinya

merupakan komoditi yang diusahakan untuk memperoleh keuntungan (profit)

yang diproduksi oleh korporasi besar yang terlibat dalam usaha akumulasi kapital

(Kellner, 1995:1).

Media culture mampu menunjukan siapa yang memegang kuasa (power) dan

siapa yang tidak memegang kuasa (powerless), siapa yang berkuasa untuk

melakukan kekerasan dan kekuatan serta siapa yang tidak berkuasa untuk

melakukannya. Mempelajari bagaimana membaca, mengkritisi dan melakukan

resistensi terhadap manipulasi media dapat membantu individu untuk memperkuat

(empower) diri mereka sendiri dalam relasinya kepada ideologi dominan dan

budaya dominan (Kellner, 1995:2).

Musik Rock, Sebuah Analisis Singkat tentang Budaya Pop

Di tahun 1960-an relasi antara rock dan revolusi bukanlah merupakan satu joke.

Bob Dylan, misalnya terpengaruh oleh gerakan sayap kiri sehingga ia sering

dimata-matai oleh agen-agen FBI. Solidaritas politik juga sering dimunculkan

dalam berbagai lagu rock dan festival musik rock yang muncul saat itu, seperti

halnya Woodstock Music and Art Fair 1969, yang kemudian lebih dikenal sebagai

Woodstock saja (Frith dalam Lazare [ed],1987 :309)

Perkembangan rock sebagai satu bentuk resistensi terhadap hegemoni kelas

dominan yang berkuasa bermula dari wilayah Pantai Barat Amerika (West Coast)

pada tahun 1960-an. Counter culture yang lahir dari berbagai kota di wilayah

Pantai Barat Amerika merupakan gabungan dari berbagai macam kelompok

kultural kelas menengah, seperti hippies, yippies, freaks, heads, flower generation

dan gerakan mahasiswa radikal. Budaya yang berkembang muncul secara

serempak dalam bentuk demonstrasi dan festival musik rock, seperti yang terjadi

pada saat pelaksanaan festival musik Woodstock ’69 pada tanggal 15 Agustus

1969. Festival ini pada mulanya diperkirakan hanya akan dihadiri oleh sebanyak

50.000 orang, namun pada kenyataannya yang hadir dalam festival ini adalah

sebanyak 500.000 orang, karenanya Woodstock ’69 dianggap sebagai gerakan

terbesar dalam khasanah counter culture (Storey dalam Storey [ed],1994 : 236).

Anggapan bahwa Woodstock merupakan gerakan perlawanan budaya merupakan

hal yang tidak berlebihan. Woodstock ’69 merupakan permulaan segala sesuatu

yang merupakan awal dari realisasi apa yang dinamakan sebagai sayap politik

dalam perlawanan budaya terhadap kelas dominan. Hal ini didasari oleh

kenyataan bahwa kaum yippies, pada tahun sebelumnya hanya mampu

mengorganisir 10.000 pengikutnya untuk melakukan demonstrasi terhadap

Democratic Death Convention, sedangkan Woodstock ’69 secara fantastis mampu

mewujudkan dirinya sebagai medium perlawanan (resistensi) yang disuarakan

oleh 500.000 audiensnya (Storey dalam Storey [ed],1994 : 236). Perlawanan yang

ditujukan pada keterlibatan Amerika Serikat dalam Perang Vietnam yang banyak

memakan korban generasi muda Amerika (Bannet, 2001:1)

Di samping merupakan perwujudan dari counter culture, festival ini dalam sisi

lain menunjukan bahwa perluasan dan perkembangan counter culture membuka

peluang bagi komersialisasi. Di saat khalayak yang datang di Woodstock 1969

merayakan komunitas counter culture-nya, berbagai perusahaan rekaman

merayakan semakin luasnya pasar bagi rekaman yang mereka produksi (Storey

dalam Storey [ed], 1994 : 237)

Di samping anggapan bahwa rock merupakan satu bentuk budaya perlawanan,

rock juga dipahami sebagai musik yang lahir dari spontanitas, karenanya rock

merupakan bagian dari budaya rakyat (folk culture). Pendapat ini muncul di tahun

1960-an ketika rock benar-benar mampu mewujudkan resistensinya, dan

memudar saat tahun 1970-an ketika korporasi media mampu mengkooptasi musik

rock. Saat itu musisi rock memiliki suatu kepercayaan mengenai komunitas

alternatif yang mereka miliki, daripada sekedar industri entertainment semata.

Bagi para musisi yang politis, musik telah menjadi alat untuk memobilisasi massa

kelas maupun organisasi serta merupakan perwujudan solidaritas (Storey dalam

Storey [ed],1994 : 323). Hal ini berpijak dari apa yang dikatakan oleh Chistian

Landau, bahwa disaat itu rock diperdengarkan dan dibuat oleh sekumpulan orang

yang sama. Rock tidak berasal dari dalam bangunan kantor-kantor di New York di

mana orang duduk dan menulis apa yang mereka pikirkan mengenai apa yang

ingin didengar khalayak luas. Rock berasal dari pengalaman hidup sehari-hari

(everyday life experience) para musisinya dalam interaksinya dengan audiensnya

yang seusia dengan mereka. Namun jika spontanitas dan kreativitas tersebut

kemudian menjadi lebih distilisasi dan distrukturisasi, maka akan menjadi lebih

mudah bagi para pelaku bisnis yang merupakan manipulator di belakang layar

untuk menstrukturkan pendekatan mereka dalam menjadikan musik sebagai

komoditas (Frith dalam Lazare [ed], 1987 : 311).

Perbedaan antara budaya massa dan budaya rakyat selama ini merupakan wacana

yang esensial bagi teori-teori kiri yang berkaitan dengan seni. Oposisi yang

dimaksudkan disini adalah antara komunitas versus massa, solidaritas versus

alienasi, aktif versus pasif. Argumen yang mendasarinya adalah bahwa budaya

rakyat diciptakan secara langsung dari pengalaman komunal masyarakat tertentu.

Tidak ada jarak antara artis dengan audiens, dan juga tidak dari perbedaan antara

produksi dan konsumsi seni. Basis kultural dari budaya rakyat kemudian

dihancurkan oleh tujuan dari relasi dari produksi artistik di bawah sistem

kapitalisme. Produk budaya menjadi barang komoditas, diproduksi dan dijual

untuk mendapatkan keuntungan dan saling mengalienasikan antara produser

dengan khalayak (Frith dalam Lazare [ed], 1987 : 312).

Diskursus mengenai musik rock sebagai budaya massa dan budaya rakyat,

selanjutnya juga tidak dapat dilepaskan dengan diskursus mengenai budaya

populer (popular culture). Budaya populer sendiri seperti yang telah disinggung di

atas merupakan satu konsep yang dapat diwacanakan ke dalam berbagai definisi.

Dalam relasinya dengan budaya massa, budaya populer dianggap sebagai budaya

yang diproduksi untuk konsumsi massa serta bersifat manipulatif. Sedangkan

sebagai budaya rakyat, budaya populer dianggap sebagai budaya yang berasal dari

“rakyat” ( the people) dan ditujukan juga bagi rakyat. Definisi ini tidak terlepas

dari romantisme mengenai adanya budaya kelas pekerja (proletariat) yang

dikonstruksi sebagai sumber utama untuk melakukan protes terhadap kapitalisme.

Permasalahan yang muncul dari pendekatan kedua ini adalah mengenai siapa saja

yang memiliki kualifikasi untuk dianggap sebagai rakyat. Kemudian muncul

permasalahan lain mengenai sifat dari berbagai sumber dimana budaya dibuat,

karena pada kenyataannya budaya tidak dapat diolah secara langsung dari

berbagai material yang bersifat mentah bagi diri mereka sendiri. Apapun jenis

budaya populer yang ada, termasuk musik rock, tidak dapat melepaskan dirinya

dari komersialisasi (Storey,1993 : 12).

Pemikiran selanjutnya mengenai hal perdebatan diatas dapat dianalisis dengan

teori hegemoni yang dikemukakan Antonio Gramsci. Gramsci memakai konsep

hegemoni untuk menunjukan metode yang dilakukan oleh kelas-kelas dominan

dalam masyarakat melalui proses kepemimpinan moral dan intelektual untuk

menguasai kelas-kelas yang berada dalam posisi subordinat. Penggunaan

pendekatan ini melihat budaya populer sebagai satu lahan pertarungan (site of

strunggle) antara kekuatan resistensi dari kelas subordinat terhadap kekuatan kelas

– kelas dominan. Teks-teks yang ada dalam wacana budaya populer selalu

bergerak ke dalam apa yang dinamakan Gramsci sebagai compromise

equilibrium. Dengan kata lain analisa neo-Gramscian melihat bahwa budaya

populer juga merupakan pertarungan ideologi antara kelas-kelas dominan dan

subordinat serta budaya dominan dan subordinat (Storey, 1993 : 13).

Musik rock memperlihatkan adanya compromise equilibrium seperti ini, dimana

musik rock yang lahir secara bottom up akhirnya harus mengalami inkorporasi

(incorporation). Namun setelah terjadi inkorporasi ini ternyata masih ada musisi

yang secara idealis meyuarakan pemberontakannya. Kaum punk dengan semangat

independensi komunitanya di tengah masyarakat kapitalis lanjut misalnya,

menyuarakan perlawanan kelasnya dengan slogan “do it yourself” dan tentu saja

Rage Against The Machine (RATM) yang bahkan bukan hanya meyuarakan

perlawanannya dari atas panggung, namun juga dengan turun dalam aksi

demonstrasi di jalan. Bahkan RATM memerankan dirinya sebagai agen perubahan

(agen of change) dan sekaligus membuktikan bahwa dibawah pencaplokan

perusahaan rekaman besar di bawah naungan sistem kapitalisme, musik masih

mampu menjadi agen perubahan. Namun berbeda dengan komunitas punk

maupun underground yamg memilih untuk bersikap independen dengan tidak mau

berada dalam naungan produksi dan distribusi perusahaan rekaman besar melalui

jalur indie label, RATM dalam sisi lain berada dalam pencaplokan industri

rekaman besar, yaitu Sony Music Etertainment.

posted by Fajar Junaedi @ 6:20 PM 0 comments links to this post

Friday, July 01, 2005

BAGAIMANA BELAJAR KOMUNIKASI MASSA DARI SINI ??

TEMAN-TEMAN MAHASISWA YANG BERBAHAGIA..AGAR LEBIH

MUDAH BELAJAR KOMUNIKASI MASSA DARI SINI, SILAHKAN DI

PRINT DARI BAWAH...BAHAN KULIAH YANG BERADA DI BAWAH

BERARTI ADALAH BAHAN KULIAH YANG HARUS DIPELAJARI DULU,

BARU MENGINJAK KE ATAS...MAAF SEKALI MINGGU PERTAMA

SEMESTER PENDEK TERPAKSA KOSONG..UNTUK MENGGANTINYA

SAYA BUATKAN TULISAN-TULISAN DI SINI..MET BELAJAR..

posted by Fajar Junaedi @ 7:59 AM 0 comments links to this post

Thursday, June 30, 2005

BAGAIMANA MENGUTIP SUMBER DARI INTERNET DI DAFTAR

PUSTAKA

Untuk mengutip sumber di internet

1. Jika kurang dari 5 baris yang dikutip menjadi satu bagian dengan

esai/makalah/paper yang ditulis

2. Kalau 5 baris atau lebih harus dipisah dengan cara : 1 spasi, masuk 1 tab

3. Tulis nama penulis dan tahun akses. Misal ...............................(Junaedi, 2005)

4. Di daftar pustaka ditulis :

Junaedi, Fajar (2005). Judul. Alamat internet, tanggal akses

5. Jika tidak seperti ini dianggap plagiatisme !!

posted by Fajar Junaedi @ 6:17 AM 0 comments links to this post

Monday, June 27, 2005

Metode Analisis dalam Komunikasi Massa

Oleh : Fajar Junaedi S.Sos, M.Si

(Staf Pengajar Jurusan Ilmu Komunikasi Universitas Muhammadiyah Yogyakarta,

e-mail/friendster di [email protected])

Untuk mengkaji isi dan struktur media massa, ada empat metode yang dapat

digunakan sebagai alat penelitian, yaitu analisis isi, analisis semiotika, analisis

wacana dan analisis framing.

Analisis Isi

Analisis isi (content analysis) dilaksanakan dengan melakukan kuantifikasi

terhadap sifat-sifat yang dikandung isi media massa. Analisis isi telah sering

dipakai dalam mengkaji pesan-pesan media. Karena metode ini pada dasarnya

merupakan sebuah metode untuk menguji secara kuantitatif , keyakinan,

kepentingan para editor dan penerbit, kecenderungan pembaca (dengan asumsi

bahwa bahan-bahan yang dipublikasikan secara berhasil bagi golongan tertentu,

mencerminkan secara akurat kecenderungan golongan yang bersangkutan).

Teknik analisis isi dalam pelaksanaannya dapat dilakukan sebagai berikut, peneliti

memulainya dengan membuat sampel yang sistematis dari isi media. Misalnya

jika para peneliti ingin meneliti tayangan kekerasan seksual yang dihadirkan

televisi, maka mereka dapat memilih beberapa tayangan prime time berkaitan

dengan isu di atas. Kemudian dikembangkan definisi obyektif mengenai

“kekerasan seksual”, misalnya scene di mana terjadi kekerasan seksual. Kemudian

diklasifikasikan agar sesuai dengan definisi yang telah dibuat dan kemudian

dihitung, sehingga peneliti dapat mengetahui adegan kekerasan seksual per jam

dan membandingkannya dengan statistik yang dihasilkan penelitian sebelumnya

(Gerbner dan Gross dalam Straubhaar dan Larose, 1997 :413). Sedangkan untuk

menganalisis koran atau majalah dapat dilakukan dengan mengukur inchi kolom

dari berita yang telah dikategorisasi dalam berbagai kategori berdasarkan tujuan

penelitian.

Keunggulan analisis isi adalah kemampuannya untuk memberi deskripsi

mengenai profil media secara mendetail dan menunjukan trend media dalam

waktu tertentu. Namun kelemahannya adalah ketidakmampuannya untuk melihat

efek yang ditimbulkan media massa terhadap khalayak. Untuk meneliti efek

media massa terhadap khalayak, kita harus mengadakan penelitian yang

melibatkan khalayak.

Selain itu, dalam penelitian analisis isi, seringkali hanya melihat sampel tayangan

yang jumlahnya tidak banyak. Misalnya saat kita akan melakukan penelitian

mengenai kekerasan seksual di tayangan televisi, bisa jadi kita hanya mengambil

sampel tayangan prime time dari tiga stasiun televisi terbesar di Indonesia.

Padahal masih banyak stasiun televisi yang lain, apalagi jika kemudian kita juga

mempertimbangkan keberadaan stasiun televisi lokal, maka jumlah tiga stasiun

televisi tersebut sangatlah kecil, sehingga apakah hasil penelitian representatif

atau tidak menjadi sangat dilematis.

Pembuatan definisi sebelum melakukan riset juga dapat problematis. Misalnya,

pada sebuah tayangan komedi ada seorang aktor berkata jorok yang dibumbui

kata-kata yang berhubungan dengan seksualitas sembari tertawa dan tersenyum,

baik aktor maupun artisnya. Apakah hal ini dapat didefinisikan sebagai kekerasan

seksual ? Bagi beberapa orang bisa jadi ini sudah termasuk kekerasan seksual,

namun bagi yang lain tidak, karena dengan alasan artisnya saja ikut tertawa.

Semiotika

Semiotika (semiotic) atau yang juga dikenal sebagai semiologi (semiology) telah

menjadi alat analisis yang populer untuk meneliti isi dari media massa dan telah

banyak digunakan oleh para mahasiswa ilmu komunikasi dalam meneliti makna

dari pesan yang termuat dalam media massa. Bagi para ahli semiotika, pesan

(massage) dari media massa menjadi bagian terpenting untuk dikaji, dan bagi

mereka isi media massa adalah produk dari penggunaan tanda-tanda bahasa (sign).

Pendekatan ini berfokus pada cara produsen tanda bahasa (author) membuat tanda

bahasa dan cara khalayak memahaminya.

Semiotika memiliki sejarah dengan perkembangan yang cukup panjang dalam

abad 21. Bidang ini membantu kita melihat bagaimana tanda-tanda bahasa

digunakan untuk menginterpretasi kejadian-kejadian dan dapat menjadi alat

analisis yang terutama baik untuk menganalisis kandungan dari pesan media.

Nyaris tidak dapat dipungkiri bahwa tanda bahasa memiliki peran istimewa dalam

media, dan media dalam banyak cara membentuk bagaimana lambang-lambang

berfungsi untuk kita.

Pada mulanya semiotika dikembangkan oleh Ferdinand de Saussure dan Roland

Barthes serta kemudian banyak dikembangkan Jean Baudrillard, salah seorang

pemikir posmoderisme yang terkenal.

Menurut Saussure, tanda bahasa (sign) tidak lepas dari beberapa unsur, yaitu

pertama, penanda (signifier) dan petanda (signified). Penanda adalah aspek

material dari satu tanda bahasa, sedangkan petanda adalah aspek mental dari tanda

bahasa. Relasi keduanya bersifat arbiter (arbitrary) atau diada-adakan. Misalnya

tidak ada relasi alamiah antara kata kucing (k-u-c-i-n-g) dengan binatang berkaki

empat, berbulu, menyusui, suka mengeong dan memiliki cakar yang ditunjukan

kata kucing. Kedua, tanda bahasa terstruktur dalam langue dan parole. Langue

adalah pemakaian bahasa secara umum dan parole adalah pemakaian tanda

bahasa secara oleh individu. Saussure memberi anologi bermain catur untuk

menjelaskan hal ini. Kuda dalam catur diatur dalam langue dalam bentuk gerak L,

dan para pemain catur bebas memilih untuk bergerak dalam gerakan L ke atas,

bawah, kanan ataupun kiri yang menjadi parole yang mereka miliki. Jika bergerak

selain L maka kacaulah permainan catur tersebut Aturan yang seperti di atas

mengikat tanda bahasa ke dalam suatu struktur, makanya semiotika generasi ini

dikenal sebagai peletak dasar strukturalisme yang banyak dikembangkan oleh

Louis Althusser dan Jean Claude Levi-Strauss (Bignell, 1997 : 7-10).

Hal lain yang tidak bisa dilepaskan dalam kajian semiotika adalah pemikiran

Saussure yang menyatakan bahwa konsep memiliki makna disebabkan karena

adanya faktor – faktor relasi, dan dasar dari relasi tersebut adalah berlawanan atau

oposisi yang bersifat duaan (binary oposition). Untuk lebih jelasnya kita dapat

mengambil ilustrasi sebagai berikut. Konsep “kaya” misalnya, tidak akan

memiliki arti apapun jika tidak ada konsep “miskin”. Konsep “cantik” juga tidak

memiliki arti apapun jika tidak ada konsep “jelek”. Namun harus dicatat bahwa

konsep tidak didefinisikan pada isi positifnya tetapi negatifnya, melalui relasi-

relasinya dengan istilah-istilah lain dalam sistemnya (Berger, 2000 : 7).

Dalam kajian semiotika, bukan “isi” yang menentukan makna, tetapi “relasi-

relasi” dalam berbagai sistem, seperti yang diutarakan oleh Saussure bahwa sifat

yang paling tepat untuk untuk menggambarkan konsep tersebut adalah “ada dalam

keberadaannya, sedang yang lain tidak”. Sehingga tidak ada makna pada dirinya

sendiri, karena semua terbentuk dari relasi (Saussure dalam Berger 2000 : 7).

Konsepsi yang dikemukakan oleh Saussure ini kemudian dikembangkan oleh

Roland Barthes untuk memahami mitos (myth) yang lahir dari tanda bahasa.

Mitos lahir melalui konotasi tahap kedua di mana rangkaian tanda yang

terkombinasikan sebagaimana dalam film disebut sebagai teks (text) akan

membentu pemaknaan tingkat kedua (secondary signification) (Thwaites, 1994 :

67). Ide-ide dari Barthes banyak digunakan untuk memahami realitas budaya

media kontemporer yang dikonsumsi oleh manusia setiap harinya (Bignell,

1997:16). Film, lagu, sinetron, novel, majalah dan sebagainya merupakan bagian

dari budaya media yang dipenuhi oleh berbagai praktik penandaan (signifying

practice), yang dapat dianalisis dari banyak sisi. Film misalnya dapat dianalisis

dari berbagai unsur yang ada di dalamnya, yaitu posisi kamera (angle), posisi

obyek atau manusia dalam frame, pencahayaan (lighting), proses pewarnaan

(tinting) dan suara (sound) (Bignell, 1997:187).

Semua sisi sebagaimana yang tersebut di atas akan menjalin satu kaitan yang

dinamakan sebagai intertekstualitas. Intertektualitas melibatkan bahan teks dari

banyak ragam yang menjadi hal umum dewasa ini, menjadi budaya dan mencari

arah teks baru tanpa disadari oleh pencipta teks bersangkutan (the author)

(Berger, 2000 : 26).

Berbagai tanda bahasa yang saling berelasi kemudian akan membentuk teks (text).

Istilah “teks” sendiri berasal dari Bahasa Latin texture yang berarti rajutan,

sehingga teks dapat diartikan sebagai rajutan dari berbagai tanda bahasa yang

melahirkan makna-makna. Makna inilah kemudian melahirkan representasi

(representation). Menurut Norman Fairclough, representasi dapat secara ideologis

mereproduksi relasi sosial yang mengandung eksploitasi dan dominasi (Burton,

2000 : 171).

Ada beberapa unsur penting dalam representasi yang lahir dari teks media massa.

Pertama adalah stereotype yaitu pelabelan terhadap sesuatu yang sering

digambarkan secara negatif. Selama ini representasi sering disamakan dengan

stereotype, namun sebenarnya representasi jauh lebih kompleks daripada

stereotype. Kompleksitas representasi akan terlihat dari unsur-unsurnya yang lain.

Kedua adalah identity, yaitu pemahaman kita terhadap kelompok yang

direpresentasikan. Pemahaman ini menyangkut siapa mereka, nilai apa yang

dianutnya dan bagaimana mereka dilihat oleh orang lain baik dari sudut pandang

positif maupun negatif. Ketiga adalah pembedaan (difference), yaitu mengenai

pembedaan antarkelompok sosial, di mana satu kelompok dioposisikan dengan

kelompok yang lain. Keempat, naturalisasi (naturalization), yaitu strategi

representasi yang dirancang untuk mendesain menetapkan difference, dan

menjaganya agar kelihatan alami selamanya. Kelima adalah ideologi. Untuk

memahami ideologi dalam representasi ada baiknya kita mengingat kembali

konsepsi ideologi yang dikemukakan oleh Althusser. Representasi dalam

relasinya dengan ideologi dianggap sebagai kendaraan untuk mentransfer ideologi

dalam rangka membangun dan memperluas relasi sosial (Burton, 2000 : 170-175).

Jean Baudrillard kemudian mewacanakan semiotika pascastrukturalisme

(poststructuralism) yang menyatakan bahwa tanda bahasa telah semakin terpisah

dari objek yang mereka wakili dan bahwa media telah mendorong proses ini ke

titik dimana tidak ada sesuatu yang nyata. Media tidak secara mendadak

menciptakan kondisi ini, namun memperburuk suatu kecenderungan yang telah

lama berlangsung sepanjang sejarah modern.

Penggunaan tanda bahasa telah berjalan melalui suatu evolusi dalam masyarakat.

Pada mulanya, tanda bahasa adalah representasi yang sifanya sederhana dari suatu

objek atau kondisi. Tanda bahasa mempunyai relasi yang jelas dengan yang obyek

yang dilambangkannya. Baudrillard menyatakan pentahapan ini sebagai tahapan

dari urutan simbolis, umum dalam masyarakat feodal. Pada tahap kedua,

kepalsuan, umum dari masa Renaissance ke masa Revolusi Industri, lambang-

lambang dianggap kurang memiliki relasi langsung dengan benda-benda dalam

kehidupan, yang oleh Baudrillard dinamakan sebagai hiperrealitas.

Analisis Framing

Analisis framing dikembangkan terutama oleh William A. Gamson. Gamson

melihat wacana media massa (khususnya berita) terdiri dari sejumlah kemasan

(package) melalui mana konstruksi atas suatu peristiwa dibentuk. Kemasan itu

merupakan skema atau struktur pemahaman yang dipakai oleh seseorang ketika

mengkonstruksi pesan-pesan yang dia sampaikan, dan menafsirkan pesan yang ia

terima.

Ada dua perangkat bagaimana ide sentral yang merupakan framing diterjemahkan

ke dalam teks berita melalui dua cara. Pertama, framing devices (perangkat

framing) yang berelasi langsung dengan ide sentral atau bingkai yang ditekankan

dalam teks berita. Perangkat framing ini ditandai dengan pemakaian kata, kalimat,

metafora, dan grafik/gambar. Perangkat kedua adalah reasoning devices

(perangkat penalaran) yang berhubungan dengan kohesi dan koherensi dari teks

tersebut yang merujuk pada gagasan tertentu (Eriyanto, 2004 : 225-226).

Ada beberapa komponen yang menjadi alat analisis dalam analisis framing yang

dikembangkan oleh Gamson, yaitu :

Pertama, elemen inti berita (idea element) yaitu ide atau pemikiran yang

dikembangkan dalam teks berita itu kemudian didukung dengan simbol tertentu

untuk menekankan arti yang hendak dikembangkan dalam teks berita. Simbol itu

dapat diamati dari pemakaian kata, kalimat, grafis, atau pemakaian foto atau

aksentuasi gambar tertentu.

Semua elemen dalam perangkat pembingkai tersebut digunakan untuk memberi

citra tertentu atas seseorang atau peristiwa tertentu. Citra itu juga dilakukan

dengan memberi label (depiction) terhadap suatu peristiwa. Citra juga dapat

ditekankan dengan melakukan ilustrasi (eksemplaar)

Kedua, perangkat pembingkai (framing devices) dipakai untuk memberi citra

negatif maupun positif terhadap suatu berita atau obyek yang diberitakan. Ketiga,

perangkat penalaran (reasoning devices). Dapat berupa roots ataupun dengan

memberi klaim moral tertentu (appeals to principle). Keduanya berpotensi

membawa konsekuensi (consequences) mengenai isu berita.

Analisis Wacana

Michel Foucault adalah salah seorang pemikir Prancis yang memberi banyak

kontribusi dalam perkembangan analisis wacana (discourse analysis).

Kontribusinya dapat dilacak dari pemikirannya mengenai kuasa (power), sebuah

tema yang merupakan topik terpenting dalam khasanah pemikiran Foucault yang

kemudian banyak digunakan dalam analisis wacana. Berbagai karya besar

Foucault memang berkisar pada subyek kekuasaan. Menurut Foucault, kekuasaan

merupakan sesuatu yang inheren sifatnya dari semua formasi diskursif. Misalnya,

kekuasaan merupakan fungsi wacana atau ilmu dan bukan sebagai properti

manusia atau institusi. Episteme, sebagaimana diekspresikan dalam bahasa,

menjamin kekuasaan. Dengan begitu, kekuasaan dan pengetahuan tidak bisa

dipisahkan.

Banyak literatur yang sudah ditulis berusaha mengungkap kuasa, namun bagi

Foucault sedikit sekali yang berhasil mengurai kuasa. Ada misalnya analisis

Marxian yang banyak mengurai mengenai orang-orang yang berkuasa seperti

negara, parlemen, institusi agama, namun tidak menyinggung bagaimana

mekanisme kuasa atau strategi kuasa. Tema seperti inilah yang menjadi fokus

perhatian Foucault. Ia ingin menganalisis strategi kuasa yang faktual. Ia tidak

menyajikan suatu metafisika mengenai kuasa, tapi satu mikrofisika tentang kuasa.

Maksudnya, masalahnya bukanlah pada apakah itu kuasa, melainkan bagaimana

berfungsinya kuasa pada bidang tertentu.

Berikut ini adalah beberapa pendapat Foucault mengenai kuasa. Pertama, kuasa

bukanlah milik melainkan strategi. Maksudnya kuasa biasanya disamakan dengan

milik. Kuasa dianggap sebagai sesuatu yang dapat diperoleh, disimpan, dibagi,

ditambah, dan dikurangi. Tapi dalam pandangan Foucault kuasa tidak dimiliki tapi

dipraktekan dalam suatu ruang lingkup di mana ada banyak posisi yang secara

strategis berelasi satu sama lain dan senantiasa mengalami pergeseran.

Kedua, kuasa tidak dapat dilokalisasi tetapi ada di mana-mana. Biasanya kuasa

dihubungkan dengan orang atau lembaga tertentu, khususnya aparat negara. Tapi

menurut Foucault strategi kuasa berlangsung di mana-mana. Di mana saja terdapat

susunan, aturan, sistem regulasi, di mana saja ada manusia yang mempunyai relasi

tertentu sama lain dan dengan dunia luar, di situ kuasa sedang bekerja. Kuasa

tidak datang dari luar, tetapi menentukan susunan, aturan-aturan, relasi-relasi itu

dari dalam, malah memungkinkan semua itu. Sebagai contoh adalah bahwa setiap

masyarakat mengenal berbagai strategi kuasa yang menyangkut kebenaran:

beberapa diskursus diterima dan disebarluaskan sebagai benar. Dalam hal ini

terdapat institusi-institusi yang menjamin perbedaaan antara yang benar dan tidak

benar. Selain itu terdapat pula pelbagai aturan dan prosedur untuk memperoleh

dan menyebarkan kebenaran

Secara khusus, Foucault memberi perhatian ada relasi antara kuasa (power)

dengan pengetahuan (knowledge). Pengetahuan tidak berasal dari dari salah satu

subyek yang mengenal, tetapi dari relasi-relasi kuasa yang menandai subyek itu.

Pengetahuan tidak “mencerminkan” relasi kuasa sebagaimana yang selama ini

dikenal dalam pemikiran Marxian, pengetahuan tidak merupakan pengungkapan

secara samar-samar dari relasi-relasi kuasa tetapi pengetahuan berada di dalam

relasi kuasa itu sendiri. Kuasa memroduksi pengetahuan dan bukan saja karena

pengetahuan berguna bagi kuasa. Lebih lanjut dalam pandangan Foucault tidak

ada pengetahuan tanpa kuasa dan tidak ada kuasa tanpa pengetahuan. Pada titik ini

terdapat relasi: pengetahuan mengandung kuasa seperti juga kuasa mengandung

pengetahuan. Dengan demikian tidak ada pengetahuan yang netral dan murni,

karena di dalamnya ada kuasa.

Ketiga, kuasa tidak selalu bekerja melalui penindasan atau represi, tetapi terutama

melalui normalisasi dan regulasi. Selama ini kuasa sering dianggap subyek yang

berkuasa (raja, pemerintah, ayah, laki-laki dan kehendak umum) dan subyek itu

dianggap melarang, membatasi, menindas dan sebagainya. Menurut pendapat

Foucault kuasa tidak bersifat subyektif. Inilah yang membedakannya dengan

pandangan marxisme yang melihat kuasa sebagai satu proses dialektis, di mana A

menguasai B, kemudian setelah beberapa syarat terpenuhi ganti B menguasai A.

Kuasa juga tidak bekerja secara represif dan negatif, melainkan bekerja secara

produktif dan positif, karena ada kenyataannya kuasa memproduksi realitas.

Kuasa memproduksi realitas dengan memproduksi lingkup obyek dan ritus-ritus

kebenaran. Strategi kuasa tidak berjalan melalui jalan penindasan melainkan

melalui normalisasi dan regulasi.

Keempat, kuasa tidak bersifat destruktif melainkan produktif. Yang dimaksudkan

oleh Foucault disini adalah bahwa kuasa tidak menghancurkan, tetapi malah

menghasilkan sesuatu. Hal ini sekaligus meruakan penolakan Foucault terhadap

sebagaian pandangan yang menyatakan bahwa kuasa meruakan sesuatu yang jahat

dan harus ditolak, karena menolak kuasa sendiri termasuk dari strategi kuasa.

Tidak mungkin memilih kawasan di luar kawasan strategi kuasa itu sendiri.

Ringkasnya, kuasa produktif karena memungkinkan segala sesuatu dapat

dilakukan (Bertens, 2000 : 297 – 325).

Menurut Foucault struktur wacana adalah suatu satuan aturan inheren yang

menentukan bentuk dan substansi praktek diskursif. Struktur wacana ini tidak

sekedar aturan untuk bagaimana cara berbicara; tetapi juga aturan-aturan yang

menentukan sifat pengetahuan, kekuasaan, dan etika. Aturan-aturan ini

mengontrol apa yang bisa dibicarakan atau dituliskan dan siapa yang boleh bicara

atau menulis (atau pembicara yang harus ditanggapi dengan serius). Aturan-aturan

seperti di atas kemudian mampu mengontrol apa yang bisa kita bicarakan atau

tuliskan, yang tentu juga menentukan bentuk wacana yang harus dipakai

Berlawanan dengan pendapat yang lebih populer, dalam pandangan Foucault

masyarakat tidak bertanggung jawab dalam membuat kondisi wacana. Sebaliknya,

wacanalah memerlukan tempat seseorang dalam skema dunia. Struktur diskursif

terbaru kita mampu memberi penjelasan mengenai manusia sebagai pondasi dan

asal ilmu pengetahuan, tetapi masyarakat tidak pernah mendapatkan kedudukan

seperti ini sebelumnya di periode yang lain dan dengan sendirinya akan segera

kehilangan kedudukan ini. Di jaman kita, orang diyakini mendapatkan ilmu

pengetahuan dan mempunyai kekuasaan, tetapi ide ini merupakan penciptaan

bentuk diskursif yang pra dominan di jaman kita, dan aturan-aturan berekspresi

dalam komunikasi kita mempunyai ide seperti ini. Di lain waktu, seluruh ide-ide

yang berbeda tentang pengetahuan dan kekuasaan muncul dari penggunaan

wacana.

Penelitian Foucault tentang sistem hukum dalam karyanya The Birth of Prison,

dapat digunakan sebagai contoh mengenai analisis wacana. Dia menemukan

adanya perbedaan yang sangat dramatis di abad 18 dan 19 dari kekejaman dan

hukuman publik menjadi pemahaman dan perlindungan kriminal dari penyiksaan

tubuh. Sebelum masa sekarang, narapidana disiksa atau atau bahkan dieksekusi di

depan publik dan bahkan seringkali oleh publik sendiri dan dijadikan sebagai

bentuk tontonan. Dalam formasi diskursif saat itu orang/kriminal dilihat sebagai

obyek sentral dalam hubungan politis. Sangat alami bahwa kekuasaan seharusnya

digunakan untuk melawan orang/kriminal dan bahwa hukuman seharusnya

mencakup kesakitan tubuh. Tetapi kemudian dalam formasi diskursif yang ada di

masa sekarang, orang/kriminal kehilangan statusnya, karena kekuasaan lebih

menjadi persoalan fisik atau jiwa individu manusianya. Dengan begitu menahan

kriminal dilihat sebagai hukuman yang lebih sesuai daripada mencambuk mereka

di depan publik.

Studi yang dikerjakan oleh Foucault berkisar pada analisis wacana yang memiliki

fungsi untuk melakukan pengungkapan terhadap aturan-aturan dan struktur

wacana. Studi ini oleh Foucault dinamakan archaelogy. Archaelogy berusaha

mengungkap berbagai aturan-aturan wacana dengan melewati deskripsi yang

seksama. Studi ini menunjukkan perbedaan atau kontradiksi, daripada adanya

koherensi, dan mengungkap tentang suksesi dari satu bentuk wacana ke wacana

yang lain. Untuk alasan inilah Foucault menitikberatkan deskripsi komparatif

lebih dari satu buah wacana.

Interpretasi, atau pemaknaan teks, tidak bisa dihindari dalam analisis teks, tapi

pemaknaan itu seharusnya diminimalisir kerena interpretasi tidak membuka

struktur diskursif dan pada kenyataannya malah mengaburkannya. Foucault

berpandangan bahwa seorang analis sudah seharusnya menghindari untuk

merelasikan wacana dengan pengarang/penulis karena penulis dalam wacana yang

muncul hanya menjalankan fungsi wacana semata dan bukan merupakan

instrumen di setiap cara yang fundamental di dalam pembuatan struktur teks yang

mereka hasilkan. Sehingga, wacana sering dimengerti sebagai bahasa yang

digunakan dalam merepresentasikan praktik sosial dari sudut pandang tertentu.

Dalam memahami wacana, kita juga tidak bisa lepas dari konsep ideologi karena

setiap makna dari wacana selalu bersifat ideologis (Fairclough dalam Burton,

2000 : 31).

posted by Fajar Junaedi @ 10:15 PM 0 comments links to this post

Teori Medium

Oleh : Fajar Junaedi S.Sos, M.Si

(Staf Pengajar Jurusan Ilmu Komunikasi Universitas Muhammadiyah Yogyakarta,

e-mail/friendster di [email protected])

Marshall McLuhan merupakan teoritisi yang paling berpengaruh dalam kajian

mengenai pentingnya media dalam peradaban kehidupan manusia. Ia dikenal

secara luasa dalam studi kebudayaan populer (popular culture), selain itu ia

mendapat perhatian karena pemikiran-pemikirannya brilian mengenai kemajuan

komunikasi massa kontemporer. Meskipun keistemewaan teori yang diutarakan

oleh McLuhan dalam kajian komununikasi massa dewasa ini tidak lagi menjadi

acuan, tesis yang dikemukakannya umumnya telah mendapat pengakuan yang

sangat luas serta masih relevan digunakan sebagai alat analisis dalam memahami

komunikasi massa. Menurutnya media terpisah dari apapun kandungan yang

disebarkan, mempengaruhi individu-individu dalam masyarakat, atau yang

kemudian lazim dinamakan sebagai teori medium (Littlejohn, 1996 : 326).

McLuhan bukanlah peneliti komunikasi massa yang pertama menulis tentang

pemikiran ini. Malahan, ide-idenya yang saat ini banyak dirujuk dalam kajian

komunikasi massa, sangat dipengaruhi oleh pemikiran dari Harold Adams Innis.

Innis menyatakan bahwa media komunikasi adalah intisari dari peradaban dan

bahwa jalannya roda sejarah adalah diarahkan oleh media dominan pada tiap masa

(Littlejohn, 1996 : 326). Sebelum muncul MTV misalnya, para artis yang ingin

tenar di seluruh jagad hanya cukup membuat rekaman, tampil di konser dan sering

muncul di pemberitaan, namun setelah MTV semakin menglobal, para artis harus

membuat video klip yang diputar terus menerus di MTV agar menjadi terkenal.

Tanpa menjadi bagian MTV mustahil rasanya untuk dapat meraih ketenaran.

Bagi McLuhan dan Innis, media adalah perpanjangan dari pikiran manusia,

sehingga kepentingan utama dari periode sejarah manapun ditentukan oleh media

dominan yang digunakan. Dengan kata lain, apa yang terjadi dan apa yang

mungkin berpengaruh dalam periode sejarah ditentukan oleh media (Littlejohn,

1996 : 326). Media dianalogikan sebagai berikut : berat seperti gerabah, liat

ataupun batu adalah berlanjut dan maka dari itu terikat waktu. Karena mereka

memfasilitasi komunikasi dari satu generasi ke generasi lainnya, media ini

dipengaruhi oleh tradisi. Sebaliknya, media terikat tempat seperti kertas adalah

ringan dan mudah untuk dipindahkan, sehingga media mampu memfasilitasi

komunikasi dari satu tempat ke tempat lain.

Sebelum mesin cetak ditemukan oleh Johannes Guttenberg di abad pertengahan,

masyarakat lebih menekankan pada komunikasi yang berorientasi pada indra

pendengaran, yang dekat secara emosional dan interpersonal. Bagi masyarakat

suku-suku tradisional prinsip “mendengar adalah mempercayai” lebih ditekankan

dalam kehidupan mereka. Namun penemuan mesin cetak mengubah semua itu.

Abad Gutenberg membawa rasio pemikiran, yang didominasi oleh indra

penglihatan. Timbulnya percetakan, yang terutama terjadi secara massif dalam

khasanah budaya Barat, memaksa individu untuki lebih menekankan kepada

persepsi yang sifatnya linier, logis, kategoris bukan lagi emosional dan

interpersonal.

Teknologi elektronika telah membawa kembali suatu dominasi aural atau

pendengaran. Teknologi percetakan Gutenberg menciptakan ledakan dalam

masyarakat, memisahkan dan mensegmentasi individu dari masyarakat, namun

abad elektronik telah membuat penyatuan kembali, menyatukan dunia kembali

satu dalam “perkampungan global”. Hasilnya, “teknologi komunikasi baru

memaksa kita untuk meninjau ulang dan mengevaluasi ulang semua pemikiran,

semua tindakan, dan semua lembaga yang sebelumnya diabaikan. Jika kalau

McLuhan saat ini masih hidup, apakah yang mungkin dapat ia katakan tentang

internet yang saat ini menggurita baik di perkantoran, kampus, rumah pribadi

ataupun warnet ?

Donald Ellis membuat suatu ringkasan dari berbagai pandangan mengenai teori

medium dan serempak ia juga membuat satu proposisi menarik yang mampu

mewakili cara pandang kontemporer mengenai subjek kajian ini. Dengan

mengamini Innis dan McLuhan, Ellis menyatakan bahwa keberadaan media

dominan pada waktu tertentu akan membentuk perilaku dan pemikiran masyarakat

bersangkutan. Sejalan dengan berubahnya media, begitu juga cara kita berpikir,

mengolah informasi, dan menghubungkan satu dengan yang lain. Ada perbedaan

yang tajam dalam perubahan sosial dalam masyarakat yang disebabkan oleh

bagaimana masyarakat memilih cara komunikasi tertentu melalui media oral,

tertulis atau elektronik.

Komunikasi oral yang bersifat verbal memiliki keunikan yaitu sangat

mengesankan dan organik. Pesan oral secara cepat dan berlangsung singkat,

sehingga individu-individu dan kelompok harus menyimpan informasi di alam

pikiran mereka dan meneruskannya melalui pembicaraan. Karena pengalaman

sehari-hari tidak dapat benar-benar dipisahkan dari transmisi media oral,

kehidupan dan pengetahuan tidak dapat dipisahkan. Penceritaan dan penceritaan

kembali cerita naratif bebas terhadap waktu sebagai suatu bentuk komunikasi

memerlukan memori kelompok sebagai “penyimpan” pengetahuan masyarakat.

Ini dapat membawa kepada kesadaran kolektif dimana pembedaan yang kecil

dibuat antara diri sendiri dan kelompok. Pengidentitasan kelompok dan

keterikatan menjadi tinggi ketika media oral mendominasi.

Perubahan besar gelombang ketiga terjadi ketika media elektronik berhasil

ditemukan dan dikembangkan secara revolusioner. Perubahan besar ini dapat

diuraikan sebagai berikut, media elektronik adalah sesuatu yang seperti oralitas di

mana ia juga cepat dan berlangsung singkat, namun ia tidak terikat pada tempat

khusus karena ia dapat disiarkan. Inilah yang selanjutnya menjadi keunikan media

elektronik karena media ini mampu memadukan komunikasi oral dan komunikasi

tulisan. Media elektronik memperpanjang persepsi kita melebihi tempat kita pada

waktu tertentu, menciptakan “perkampungan global” (global village). Pada waktu

yang sama, seperti media cetak, media elektronik memungkinkan penyimpanan

informasi. Karena ia lebih siap pakai daripada media cetak, media elektronik

menciptakan ledakan informasi, dan kompetisi yang sangat besar terjadi antar

berbagai media untuk didengar dan dilihat. Informasi dalam media elektronik

adalah solid seperti komoditas, yang menciptakan tekanan pada informasi agar

menarik. Pengetahuan dalam abad media elektronik berubah sangat cepat, dan

kita, terutama yang menjadi public figure, menjadi semakin waspada terhadap

beragam versi yang berbeda dari suatu realitas tertentu. Perubahan yang konstan

yang diciptakan dari media elektronik dapat membuat kita menjadi bingung dan

mungkin tidak tenang. Berita artis ditayangan infotainment yang banyak disiarkan

oleh berbagai stasiun televisi di Indonesia dapat menunjukan fenomena ini. Para

artis yang diliput di acara infotainment saling menyangkal isu miring yang

menerpa mereka, bahkan mereka pun kemudian merasa privasi mereka terganggu

oleh kru infotainment yang memburunya, seperti yang terjadi pada Parto, seorang

anggota grup lawak terkenal Patrio, yang menembakan pistol ke udara karena

merasa terganggu oleh kru infotainemt di bulan Agustus tahun 2004.

Jika oralitas menciptakan suatu kebudayaan komunitas dan peradaban tulisan

menciptakan kebudayaan kelas, maka komunikasi elektronik menciptakan suatu

kebudayaan “sel,” atau kelompok-kelompok yang saling diadu untuk

meningkatkan ketertarikan khusus mereka. Suatu bentuk publik baru yang tidak

terikat tempat tercipta. Politik kepentingan mendominasi, dan demokrasi, bersama

dengan nilai-nilai kesopanan dari pengikutnya, menganggap sesuatu yang penting

sebagai suatu cara untuk mengolah perbedaan. Tapi, ironisnya, kompetisi dan

ekonomi berbasis komoditas yang datang seiring perkembangan media elektronik

melawan nilai-nilai yang sama yang paling dibutuhkan di lingkungan ini yaitu

kesopanan dan saling menghargai. Munculnya beragam demo mengecam

pornografi di media televisi menjelang bulan Ramadhan tahun 2004, seperti acara

komedi Nah Ini Dia yang ditayangkan SCTV, Layar Tancap yang ditayangkan

Lativi setiap malam minggu, dialog tengah malam yang acap diwarnai tema seks

secara vulgar dan sebagainya, menandai beradunya nilai-nilai baru yang dibawa

media elektronik dengan norma kesopanan dalam alam dunia Timur.

Jika kita merupakan anggota dari budaya yang didominasi oral, maka perbedaan

yang ada dalam masyarakat dapat terminimalisir, dan keputusan akan diambil

secara bersama melalui konsensus dengan berdasar pada kebijaksanaan (wisdom)

tradisi yang telah diwariskan dari generasi ke generasi. Berbeda sekali jika kita

merupakan anggota dari suatu masyarakat yang budayanya lebih berorientasi pada

media cetak, maka keputusan terhadap masalah yang terjadi dalam masyarakat

akan banyak dipengaruhi oleh “kenyataan” yang tersimpan dalam dokumen, dan

kelas-kelas tertentu dalam masyarakat yang mempunyai akses ke informasi akan

memegang pengaruh yang besar di dalam pembuatan keputusan masyarakat.

Berbeda lagi tatkala kita diandaikan sebagai anggota masyarakat yang

kebudayaannya banyak bertumpu pada media elektronik di mana kita

mengidentitaskan dengan kelompok-kelompok kepentingan yang bersaing satu

sama lain. Dalam kondisi sepeti ini kita memperoleh beragam suara,

menyatukannya dengan cara yang sama, dan membuat suatu bentuk keputusan

berkaitan masalah bersama dengan mengakomodir sebanyak mungkin

kepentingan.

posted by Fajar Junaedi @ 10:14 PM 0 comments links to this post

Teori Hasil Kebudayaan

Oleh : Fajar Junaedi S.Sos, M.Si

(Staf Pengajar Jurusan Ilmu Komunikasi Universitas Muhammadiyah Yogyakarta,

e-mail/friendster di [email protected])

Teori-teori komunikasi massa yang berelasi dengan hasil kebudayaan (theories of

cultural outcomes) banyak tumbuh dan berkembang dalam kajian komunikasi

massa yang ada di Amerika Serikat. Secara garis besar teori-teori yang ada di

ranah ini dibagi menjadi dua bagian yaitu yang berfokus pada hasil-hasil

kebudayaan umum dan yang berfokus pada pengaruh terhadap inidividu. Untuk

mengawalinya, kita akan masuk dari dari kajian mengenai model dan fungsi

komunikasi massa yang dikemukakan oleh Harold Laswell.

Selama ini teori media berkonsentrasi pada bagaimana media bekerja dan

pengaruh media terhadap khalayak. Dasar dari perspektif ini adalah pendekatan

fungsionalis yang memfokuskan pada sistem komunikasi massa, cara kerja sistem

komunikasi massa, dan apa yang dilakukan oleh komunikasi massa.

Salah seorang teoritisi yang mengungkapkan teori yang paling terkenal dan paling

awal dalam kajian ini adalah Harold Lasswell. Dalam sebuah artikel klasik yang

ditulisnya pada tahun 1948 yang berjudul The Structure and Function of

Communication in Society, Lasswell menyajikan suatu model komunikasi yang

berbentuk sederhana. Model ini sering diajarkan kepada mahasiswa yang baru

belajar ilmu komunikasi. Menurut Lasswell komunikasi dapat didefinisikan

sebagai :

Siapa (who)

Bicara apa (says what)

Pada saluran mana (in which channel)

Kepada siapa (to whom)

Dengan pengaruh apa (with what effect)

Model yang diutarakan Lasswell ini secara jelas mengelompokkan elemen-elemen

mendasar dari komunikasi ke dalam lima elemen yang tidak bisa dihilangkan

salah satunya (Laswell dalam Littlejohn, 1996:334). Model yang dikembangkan

oleh Laswell ini sangat populer di kalangan ilmuan komunikasi, dan kebanyakan

mahasiswa komunikasi ketika pertama kali belajar ilmu komunikasi, akan

diperkenalkan dengan model di atas.

Sumbangan pemikiran Lasswel dalam kajian teori komunikasi massa adalah

identifikasi yang dilakukannya terhadap tiga fungsi dari komunikasi massa.

Pertama adalah kemampuan kemampuan media massa memberikan informasi

yang berkaitan dengan lingkungan di sekitar kita, yang dinamakannya sebagai

surveillance. Kedua, adalah kemampuan media massa memberikan berbagai

pilihan dan alternatif dalam penyelesaian masalah yang dihadapi masyarakat,

yang dinamakanya sebagai fungsi correlation. Ketiga adalah fungsi media massa

dalam mensosialisasikan nilai-nilai tertentu kepada masyarakat, yang dalam

terminologi Laswell dinamakan sebagai transmission (Shoemaker dan Resse,

1991 : 28-29). Dalam perkembangannya, Charles Wright menambahkan fungsi

keempat yaitu entertainment, di mana komunikasi massa dipercaya dapat memberi

pemenuhan hiburan bagi para konsumen dengan dikontrol oleh para produsen

(Shoemaker dan Resse, 1991 : 28).

Model Lasswell telah menjadi model komunikasi massa yang melegenda dalam

kajian teori komunikasi massa. Maksudnya model Laswell telah banyak

digunakan sebagai kerangka analisis dalam kajian komunikasi massa.

Karakteristik model Laswell adalah kemampuannya mencatat bagian-bagian yang

membentuk sistem komunikasi massa dan serempak pula dapat menggambarkan

hasil-hasil yang hendak dicapai oleh komunikasi massa melalui ketiga fungsi yang

telah dijelaskan di atas. Sejak awal buku ini, banyak fungsi dari komunikasi massa

yang telah singgung. Agar lebih jelas kita akan melihat pada beberapa di antara

fungsi komunikasi massa secara lebih mendalam melalui berbagai teori dalam

pembahasan berikut. Kita mengawalinya dari bagian tentang teori mengenai difusi

informasi dan pengaruh.

Difusi Informasi dan Pengaruh

Riset yang melahirkan teori difusi dan pengaruh dilakukan pada tahun 1940 oleh

Paul Lazarsfeld terhadap masyarakat kota New York. Hasil penelitian yang

dilakukan oleh Lazarsfeld menunjukan bahwa pengaruh yang ditimbulkan oleh

komunikasi massa dipengaruhi juga oleh faktor lain yaitu oleh komunikasi antar

personal. Lazarsfeld menamainya sebagai two-step flow hipotesis. Teori ini masih

mempunyai pengaruh yang sangat besar mengenai studi komunikasi massa,

terutama terhadap studi mengenai khalayak.

Pada studi awalnya Lazarsfeld menemukan bahwa informasi dan pengaruh dari

media massa disebarluaskan oleh para penentu opini kepada khalayak luas, setelah

mereka menerima informasi dari media, sehingga isi pesan media tidak serta

merta tersebar dan apalagi menjadi opini publik di dalam khalayak luas.

Teori two-step flow terangkum dalam karya Elihu Katz dan Paul Lazarsfeld

“Personal Influence”. Mereka berdua menyatakan bahwa individu tertentu yang

disebut sebagai penentu opini (opinion leader) menerima informasi dari media dan

menyalurkannya kepada teman mereka. Penentu opini adalah dalam semua

kelompok : pekerjaan, sosial, masyarakat dan lainnya. Individual ini sulit

dibedakan dari anggota kelompok lain karena kepemimpinan opini bukan

merupakan pemberian namun merupakan peran yang diambil oleh beberapa

individu dalam keadaan tertentu. Kepemimpinan pendapat berubah dari waktu ke

waktu dari isu ke isu.

Penentu opini dalam pandangan mereka dapat terdiri dari dua bentuk yaitu

penentu opini yang hanya memiliki pengaruh pada satu topik saja, atau

monomorhism, dan mereka yang berpengaruh pada bermacam topik atau

polymorhism. Monomorphism menjadi lebih dominan ketika sistem komunikasi

yang berlaku sifatnya menjadi lebih modern. Seorang kepala desa tentu memiliki

pengaruh terhadap beragam topik, sedangkan seorang sarjana pertanian akan

memiliki pengarh terhadap isu yang berkaitan dengan pertanian, seperti penyakit

tanaman, hama tanaman, cara pemupukan yang benar dan sebagainya.

Riset lanjutan yang dikerjakan oleh Lazarsfeld telah memperlihatkan bahwa

penyebaran ide adalah bukan merupakan proses dua langkah yang sederhana.

Suatu model multi-langkah (multistep flow) sekarang lebih banyak diterima

secara umum. Model ini serupa dengan model hipotesis dua-langkah (two step

flow), tapi memberi lebih banyak kemungkinan daripada hipotesis dua langkah.

Penelitian yang telah dilakukan telah memperlihatkan bahwa jumlah yang terbesar

dari penyaluran antara media dan penerima terakhir adalah suatu variabel. Dalam

adopsi inovasi ini, misalnya, individu tertentu akan mendengar tentangnya

langsung dari sumber media, sedangkan lainnya mungkin akan berkurang banyak

tahapan.

Teori difusi yang paling terkemuka dikemukakan oleh Everett Rogers dan para

koleganya. Rogers menyajikan deksripsi yang menarik mengenai mengenai

penyebaran dengan proses perubahan sosial, di mana terdiri dari penemuan, difusi

(atau komunikasi), dan konsekwensi-konsekwensi. Perubahan seperti di atas dapat

terjadi secara internal dari dalam kelompok atau secara eksternal melalui kontak

dengan agen-agen perubahan dari dunia luar. Kontak mungkin terjadi secara

spontan atau dari ketidaksengajaan, atau hasil dari rencana bagian dari agen-agen

luar dalam waktu yang bervariasi, bisa pendek, namun seringkali memakan waktu

lama.

Dalam difusi inovasi ini, satu ide mungkin memerlukan waktu bertahun-tahun

untuk dapat tersebar. Rogers menyatakan bahwa pada realisasinya, satu tujuan

dari penelitian difusi adalah untuk menemukan sarana guna memperpendek

keterlambatan ini. Setelah terselenggara, suatu inovasi akan mempunyai

konsekuensi konsekuensi – mungkin mereka berfungsi atau tidak, langsung atau

tidak langsung, nyata atau laten (Rogers dalam Littlejohn, 1996 : 336).

Opini Publik dan Gelombang Kebisuan (Public Opinion and the Spiral of Silence)

Ketika Susilo Bambang Yudhoyono meletakan jabatan di penghujung kekuasaan

Presiden Megawati, media massa ramai-ramai memberitakan mengenai peristiwa

tersebut. Banyak media massa yang juga mengekspos perseteruan Susilo

Bambang Yudhoyono dan Taufik Kiemas, suami presiden. Media

menggambarkan Susilo Bambang Yodhoyono sebagai orang teraniaya, dan

timbulah opini publik yang menyudutkan Megawati. Opini ini semakin meluas

karena media massa mem-blow up secara besar-besaran. Suara pendukung

Megawati yang membela kebijakannya semakin lama semakin tenggelam karena

porsi yang diberikan media massa kepada mereka juga semakin mengecil. Dari

realitas di atas dapat disimpulkan bahwa komunikasi massa memiliki banyak

hubungan dengan pembentukan opini publik.

Wacana mengenai opini publik telah menjadi pertimbangan yang besar dalam

pengambilan keputusan politik yang diambil oleh para elit politik. Teori yang

dikemukakan oleh Elisabeth Noelle-Newman mengenai gelombang kebisuan

merupakan pengembangan dari teori mengenai opini publik dengan melanjutkan

analisis yang mampu menunjukan bagaimana komunikasi antar personal dan

media bekerja bersama-sama dalam membangun opini publik. Asumsi dasar yang

dikemukakan oleh Noelle-Newman adalah bahwa orang-orang pada umumnya

secara alamiah memiliki rasa takut terkucil. Dan dalam pengungkapan opini,

mereka berusaha menyatu dengan mengikuti opini mayoritas atau konsensus.

Sumber konsensus utama adalah media massa, dan akibatnya para jurnalis yang

mungkin memiliki pengaruh cukup besar untuk melakukan penetapan mengenai

apa yang dipandang sebagai “iklim opini” yang berlaku pada saat tertentu dalam

isu tertentu atau yang lebih luas.

Noelle-Newman sebenarnya adalah peneliti politik Jerman. Ia mengadakan

observasi dalam pemilihan umum yang memperlihatkan adanya beberapa

pandangan nampaknya lebih berjalan baik daripada pandangan yang lainnya.

Kadang-kadang sebagian publik lebih memilih untuk diam saja atau membisu

mengenai opini yang ada dalam pikiran mereka daripada memperbincangkannya.

Jika opini umum dari media massa semakin tersebar dan meluas di masyarakat,

maka semakin senyap suara perseorangan yang berlawanan dengan pendapat

umum yang lebih dominan. Noelle-Newmann kemudian menyebut proses ini

sebagai gelombang kebisuan. Penelitian yang dilakukannya berkaitan dengan

kondisi di Jerman di tahun 1960 sampai dengan 1970-an, di mana Partai

Demokrasi Sosial berkuasa pada saat itu. Kekuasaan partai ini tidak lepas dari

peran media massa yang cenderung kekiri-kirian di masa itu, sejalan dengan

ideologi Partai Demokrasi Sosial. Peran media massa yang seperti ini mampu

menciptakan gelombang kebisuan di dalam khalayak yang tidak menyukai Partai

Demokrasi Sosial. Yang tersisa hanyalah suara publik yang mendukung kebijakan

Partai Sosial Demokrat (McQuail, 1996 : 252).

Cultivation Analysis

Program penelitian teoritis lain yang berhubungan dengan hasil sosiokultural

komunikasi massa dilakukan George Garbner dan teman-temannya. Peneliti ini

percaya bahwa karena televisi adalah pengalaman bersama dari semua orang, dan

mempunyai pengaruh memberikan jalan bersama dalam memandang dunia.

Televisi adalah bagian yang menyatu dengan kehidupan sehari-hari kita.

Dramanya, iklannya, beritanya, dan acara lain membawa dunia yang relatif

koheren dari kesan umum dan mengirimkan pesan ke setiap rumah. Televisi

mengolah dari awal kelahiran predisposisi yang sama dan pilihan yang biasa

diperoleh dari sumber primer lainnya. Hambatan sejarah yang turun temurun yaitu

melek huruf dan mobilitas teratasi dengan keberadaan televisi. Televisi telah

menjadi sumber umum utama dari sosialisasi dan informasi sehari-hari

(kebanyakan dalam bentuk hiburan) dari populasi heterogen yang lainnya. Pola

berulang dari pesan-pesan dan kesan yang diproduksi massal dari televisi

membentuk arus utama dari lingkungan simbolis umum.

Garbner menamakan proses ini sebagai cultivation (kultivasi), karena televisi

dipercaya dapat berperan sebagai agen penghomogen dalam kebudayaan. Teori

kultivasi sangat menonjol dalam kajian mengenai dampak media televisi terhadap

khalayak. Bagi Gerbner, dibandingkan media massa yang lain, televisi telah

mendapatkan tempat yang sedemikian signifikan dalam kehidupan sehari-hari

sehingga mendominasi “lingkungan simbolik” kita, dengan cara menggantikan

pesannya tentang realitas bagi pengalaman pribadi dan sarana mengetahui dunia

lainnya (McQuail, 1996 : 254).

Ada beberapa tahap riset yang dilakukan untuk meneliti mengenai agresi sebagai

efek komunikasi massa. Di Amerika Serikat semenjak tahun 1950-an telah ada

usaha untuk dilakukan untuk meneliti hubungan antara adegan kekerasan yang

ditonton oleh khalayak dengan perilaku agresi. Riset yang dilakuakn ini mayoritas

lahir disebabkan oleh karena ada kecemasan akibat semakin meningkatnya

proporsi adegan kekerasan dalam televisi. Sebagai bukti tingginya tayangan

kekerasan di televisi diperlihatkan dengan hasil riset analisis isi yang dilakukan

George Gerbner di tahun 1978 yang menunjukan 80 sampai dengan 90 persen

adegan yang ada dalam program televisi di Amerika Serikat berisi adegan

kekerasan (Rakhmat, 1999 : 234).

Menurut Baron dan Byrne terdapat tiga fase riset mengenai kultivasi. Pertama

adalah fase Bobo Doll, kedua adalah fase penelitian laboratorium dan ketiga

adalah fase riset lapangan (Baron dan Byrne dalam Rakhmat, 1999 : 234). Fase

pertama dirintis oleh Bandura dan kawan-kawannya yang mencoba meneliti

apakah anak-anak yang melihat orang dewas melakukan tindakan agresi juga akan

melakukan agresi sebagaimana yang mereka lihat. Seratus anak-anak setingkat

taman kanak-kanak dibagi ke dalam empat kelompok, dengan treatment yang

berbeda. Satu kelompok pertama melihat seorang dewasa menyerang boneka

balon Bobo Doll sambil berteriak garang, “Hantam! Sikat hidungnya!”.

Kelompok kedua dari anak-anak tersebut melihat tindakan yang sama dalam film

berwarna pada pesawat televisi. Kelompok ketiga juga melihat adegan film

televisi, namun yang tidak menampilkan adegan kekerasan. kelompok terakhir,

sama sekali tidak diberi akses menonton adegan kekerasan sama sekali. Setelah

treatment tersebut setiap anak diberikan waktu untuk bermain selama 20 menit

sembari diamati melalui kaca yang tembus pandang. Di ruangan bermain

disediakan Bobo Doll dan alat-alat permainan lainnya, dan terbukti kelompok

pertama dan kedua melakukan tindakan agresif, sebanayk 80 – 90 persen dari

jumlah kelompok tersebut.

Fase kedua penelitian kultivasi yang mencoba mengganti obyek perilaku agresif

secara lebih realitis, yaitu bukan lagi boneka plastik melainkan manusia. Adegan

kekerasan diambilkan dari film-film yang dilihat para remaja yaitu film serial

televisi The Untouchtables. Liebert dan Baron, yang melakukan penelitian

generasi kedua ini di tahun 1972, membagi para remaja menjadi dua kelompok

yaitu kelompok pertama melihat film The Untouchtables yang berisi beragam

adegan kekerasan, dan yang kedua melihat adegan menarik dari televisi tapi tidak

dibumbui adegan kekersan sama sekali. Kemudian mereka diberi kesempatan

untuk menekan tombol merah yang dikatakan dapat menyakiti remaja yang berada

di ruangan lain. ternyata kelompok pertama lebih banyak dan lebih lama

menekana tombol merah daripada kelompok kedua.

Fase ketiga dilakukan Layens dan kawan-kawan di Belgia tahun 1975. Perilaku

agresif diamati pada situasi ilmiah bukan di laboratorium dan dengan jangka

waktu yang lama. kegiatan obyek yang diteliti juga tidak diganggu sama sekali.

Mereka dibagi kedalam dua kelompok, di mana kelompok pertama menonton

lima film berisi adegan kekerasan selama seminggu dan kelompok kedua

menonton lima film tanpa adegan kekerasan. Selama seminggu itu pula perilaku

mereka diamati secara intens, dan ternyata kelompok pertama lebih sering

melakukan adegan kekerasan (Rakhmat, 1999 : 243 – 245).

Agenda Setting

Masyarakat yang terpelajar telah lama mengetahui bahwa media mempunyai

potensi untuk membangun wacana untuk publik. Salah satu dari penulis pertama

yang memformulasi ide ini adalah Walter Lippman, seorang wartawan Amerika

yang memiliki reputasi tinggi. Lippmann dikenal untuk penulisan jurnalistiknya,

pidatonya, dan komentar sosialnya. Lippman menyatakan pandangan bahwa

respon publik tidak kepada kejadian yang sebenarnya dalam lingkungan,

melainkan “menggambarkan di dalam kepala,” yang dia sebut sebagai

pseudoenvironment (Lippman dalam Littlejohn., 1996 : 341).

Fungsi agenda setting dikemukakan oleh Donald Shaw, Maxwell McCombs, dan

teman-teman mereka. Menurut mereka:

Bukti-bukti yang penting telah terakumulasi bahwa editor dan penyiar memegang

peran yang sangat penting dalam membentuk kenyataan sosial kita ketika mereka

menjalani tugas sehari-hari dalam memilih dan menampilkan berita. Pengaruh

media massa ini –kemampuan untuk memberi pengaruh perubahan secara

kognitif, untuk membentuk pemikiran mereka- telah diberi label sebagai fungsi

penetapan agenda dari komunikasi massa. Di sini mungkin terletak pengaruh yang

paling penting dari komunikasi massa, kemampuannya untuk secara mental

mengurutkan dan mengorganisir dunia untuk kita. Sigkatnya, media massa

mungkin tidak akan berhasil dalam menceritakan kepada kita apa pikiran kita,

namun mereka secara besar-besaran berhasil dalam memberi tahu kita apa

pikirkan (Shaw dan McCombs dalam Littlejohn, 1996 : 341).

Agenda setting yang kedua adalah proses linier tiga-bagian. Pertama, prioritas dari

isu yang akan dibahas dalam media, atau yang dikenal sebagai agenda media,

harus ditetapkan. Kedua, agenda media dalam beberapa cara mempengaruhi atau

berinteraksi dengan apa yang publik pikirkan, atau agenda publik. Akhirnya

ketiga, agenda publik mempengaruhi atau berinteraksi dalam beberapa cara

dengan para pembuat keputusan politik yang dianggap penting, atau agenda

politik. Dalam teori yang paling sederhana dan paling langsung, kemudian,

agenda media mempengaruhi agenda publik, dan agenda publik mempengaruhi

agenda politik. Kejadian di sepanjang akhir kekuasan Orde Baru menjadi bukti

yang nyata dari fungsi ini. Tatkala harga-harga kebutuhan pokok semakin melejit

dan nilai tukar rupiah merosot, media massa ramai-ramai memberitakan kejadian

ini. Sebagai akibatnya, kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah saat itu juga

semakin menipis dan mengakibatkan pemerintahan jatuh.

Meskipun sejumlah studi memperlihatkan bahwa media dapat secara kuat

mempunyai kekuatan untuk mempengaruhi agenda publik, namun ternyata masih

belum jelas apakah agenda publik sendiri tidak mempengaruhi agenda media.

Hubungan ini bisa jadi dikarenakan lebih sebagai salah satu dari hubungan sebab

akibat timbal balik daripada hubungan sebab akibat linier (searah). Lebih jauh

lagi, sepertinya kejadian aktual mempunyai pengaruh kepada keduanya, baik

agenda media dan agenda publik.

Setidaknya terdapat tiga macam pengaruh penetapan agenda. Pertama adalah

derajat seberapa media merefleksikan agenda publik, disebut sebagai representasi.

Dalam agenda representasi, publik mempengaruhi media. Kedua, adalah

dipertahankannya agenda yang sama oleh publik di semua waktu, yang disebut

persistence. Dalam agenda publik persisten, media mungkin memiliki pengaruh

yang kecil. Ketiga, terjadi ketika agenda media mempengaruhi agenda publik,

disebut sebagai persuasi. Pengaruh jenis yang ketiga di mana media

mempengaruhi publik adalah tepat seperti yang diprediksi oleh teori agenda

setting (McQuail, 2002 : 456). Ada sebuah pertanyaan mendasar yang menarik

untuk dijawab, yaitu siapa yang pada mulanya mempengaruhi agenda media?

posted by Fajar Junaedi @ 10:12 PM 0 comments links to this post

Media Massa sebagai Institusi Sosial

Oleh : Fajar Junaedi S.Sos, M.Si

(Staf Pengajar Jurusan Ilmu Komunikasi Universitas Muhammadiyah Yogyakarta,

e-mail/friendster di [email protected])

Media massa dipahami sebagai lebih dari sekedar suatu mekanisme yang

sederhana sifatnya yang digunakan untuk menyebarkan informasi, karena media

massa merupakan suatu organisasi yang terdiri dari susunan yang sangat

kompleks dan lembaga sosial yang penting dari masyarakat. Teori besar (grand

theory) yang paling terkemuka untuk menyinggung aspek institusional dari media

adalah teori kritis marxis. Teori kritis berhubungan dengan distribusi kekuasaan

dalam masyarakat dan dominasi kepentingan tertentu terhadap lainnya. Jelasnya,

media massa dalam pendekatan teori kritis marxis dipahami sebagai pemain yang

mempunyai kekuatan pengaruh yang sangat besar dalam pertarungan ideologis.

Media massa dapat dipahami dalam berbagai artikulasi, salah satunya media

massa dipahami sebagai arena pertarungan (site of strunggle) dari berbagai

kepentingan dan ideologi yang hidup di masyarakat.

Ideologi yang keberadaannya telah menjadi ideologi yang dominan pun dapat

dipengaruhi eksistensinya oleh media. Sebagian besar teori komunikasi kritis

menekankan kepada kekuatan media massa karena potensi media untuk

menyebarkan ideologi dominan dan potensinya untuk mengekspresikan ideologi

yang alternatif dan berlawanan dengan ideologi dominan atau ideologi resistensi.

Dalam konteks ini media dipandang sebagai arena pertarungan ideologi (site of

strunggle for ideology) bagi beberapa kalangan penganut teori kritis terutama oleh

kalangan cultural studies. Namun sebaliknya bagi kalangan pengikut Mahzab

Frankfurt, media lebih dipahami sebagai bagian dari industri kebudayaan (culture

industries) yang dikuasai oleh segelintir elit industri yang mampu menciptakan

simbol-simbol yang dapat memanipulasi dan mengalienasi kelas-kelas lainnya.

Singkatnya, berbeda dengan cultural studies yang melihat potensi media massa

sebagai area pertarungan ideologi, Mahzab Frankfurt menganggap media massa

dan segala bentuk kebudayaan massa sebagai bentuk budaya afirmatif yang tidak

dapat diharapkan untuk menggapai emansipasi. mengenai berbagai bentuk

artikulasi dalam memahami media massa dalam teori media kritis akan lebih

dalam didiskusikan dalam pembahasan berikut ini.

posted by Fajar Junaedi @ 10:10 PM 0 comments links to this post

Berkenalan dengan Komunikasi Massa

Oleh : Fajar Junaedi S.Sos, M.Si

(Staf Pengajar Jurusan Ilmu Komunikasi Universitas Muhammadiyah Yogyakarta,

e-mail/friendster di [email protected])

"I don't question our existance..I just question our modern needs..(Pearl Jam,

Garden)

Ketika Sukma Ayu, artis muda berbakat yang melejit lewat sinetron Kecil-kecil

Jadi Manten, meninggal dunia di bulan September 2004, setelah sempat beberapa

lama mengalami koma, seluruh penggemarnya segera mengetahui berita

kematiannya. Mereka yang bersimpati kepadanya, ramai-ramai mengirim pesan

pendek (sandek) atau yang lebih dikenal dengan sebutan sms (service short

massage) kepada berbagai stasiun televisi swasta yang memberi kesempatan

kepada pemirsanya untuk mengungkapkan bela sungkawanya secara interaktif

terutama melalui tayangan acara infotainment. Demikian pula ketika Parto,

anggota kelompok lawak terkenal Patrio menembakan pistol ke udara untuk

mengusir wartawan yang mengejar-ngejarnya di pertengahan tahun 2004, banyak

penggemar tayangan infotainment segera mengetahui berita ini dari tayangan

infotainment yang banyak bersebaran di berbagai stasiun televisi, seperti Kabar-

kabari, Kross Cek, Cek n Ricek dan sebagainya.

Begitu pula ketika para teroris membajak beberapa pesawat dan menabrakannya

ke gedung WTC di New York tanggal 11 September 2002, ratusan juta pasang

mata penduduk dunia dengan cepat segera mengetahui secara rinci, detik demi

detik, bagaimana pesawat menabrak gedung WTC dan diikuti runtuhnya gedung

yang menjadi ikon Amerika Serikat ini. Tatkala gempa dan gelombang tsunami

menerjang Aceh, Sumatera Utara dan berbagai negara di kawasan Samudra

Hindia pada tanggal 26 Desember 2004, berbagai media, terutama media televisi,

segera memberitakan bencana kemanusiaan yang merenggut nyawa lebih dari

seratus ribu manusia ini.

Bahkan masyarakat Indonesia lebih dahulu mengetahui tsunami yang terjadi di

Thailand, yang diliput secara besar-besaran oleh media televisi nasional dengan

banyak mengambil gambar dari stasiun televisi CNN daripada bencana yang lebih

mengerikan dalam skala yang jaun lebih besar yang terjadi di Aceh. Kondisi ini

bisa dimaklumi karena pada tanggal 26 Desember, nyaris semua stasiun televisi di

Indonesia terputus kontak komunikasi dengan kru liputannya di daerah bencana,

sehingga baru sehari kemudian bencana maha dahsyat yang terjadi di Aceh

diketahui secara luas oleh publik, setelah gambar-gambar bencana di Aceh dirilis

secara besar-besaran oleh berbagai media massa.

Berbagai realitas inilah yang oleh Marshall Mc. Luhan disebut sebagai global

village, sebuah perkampungan global yang terintegrasi melalui komunikasi.

Komunikasi media modern telah memberikan kesempatan kepada jutaan manusia

di seluruh dunia saling berhubungan dengan nyaris seluruh tempat di muka bumi

tanpa harus terbatasi lagi oleh ruang dan waktu, serta serempak juga memberi

kesempatan untuk berinteraksi melalui media massa. Suatu kondisi yang nyaris

serupa dengan kehidupan di desa, di mana setiap warga desa dapat saling

berkomunikasi dengan mudah dalam relasi sosial yang coraknya patembayan.

Perkembangan teknologi komunikasi massa tidak dapat dipungkiri telah banyak

membantu umat manusia untuk mengatasi pelbagai hambatan dalam

berkomunikasi. Khalayak dapat mengetaui apa yang terjadi di seluruh dunia jauh

lebih cepat, bahkan sering kali khalayk lebih dahulu mengetahui apa yang terjadi

jauh di luar negeri daripada di dalam negeri. Bukti paling nyata adalah, khalayak

media massa di Indonesia lebih dahulu mengetahui terjadinya tsunami di Thailand

dan Sri Lanka, daripada bencana yang serupa dengan skala yang jauh lebih

menakutkan di Aceh dan Sumatera Utara. Padahal Thailand jaraknya berlipat kali

dengan jarak Jakarta ke Aceh. Namun ternyata media massa kita, terutama

televisi, tidak begitu tanggap ketika bencana tsunami menerjang Aceh dan

Sumatra Utara. Media televisi pada tanggal 26 Desember 2004 masih sibuk

dengan pemberitaan hiruk pikuk Munas Partai Golkar dan kasus perceraian Adjie

Massaid dengan Reza Artamevia. Alasan lain, bisa jadi karena kemampuan

teknologi media televisi kita masih di bawah CNN, sehingga bencana di Thailand

yang diliput CNN yang lebih dahulu disaksikan pemirsa televisi di Indonesia.

Media massa merupakan pusat dari kajian komunikasi massa. Media massa

menyebarkan pesan-pesan yang mampu mempengaruhi khalayak yang

mengkonsumsinya dan mencerminkan kebudayaan masyarakat, dan mampu

menyediakan informasi secara simultan ke khalayak yang luas, anonim dan

heterogen, membuat media bagian dari kekuatan institusional dalam masyarakat.

Bahkan di kalangan media, terutama di kalangan pers, media massa dianggap

sebagai pilar demokrasi keempat setelah ekskutif, legislatif dan yudikatif.

Peristiwa jatuhnya kekuasaan Orde Baru menunjukan bagaimana media massa

mampu menggerakan rakyat yang sudah tidak percaya lagi kepada sistem yang

ada di birokrasi eksekutif, legislatif dan yudikatif.

Pada masa itu, semua lembaga demokrasi baik eksekutif, legislatif dan yudikatif

berada dalam kekuasaan satu tangan satu. Begitu juga pers yang lebih banyak

tunduk kepada negara dibandingkan dengan pers yang berani kritis terhadap

negara. Jika ada pers yang berani kritis terhadap negara, maka pembredelan

menjadi matra suci negara untuk menghabisi suara kritis. Pembredelan terakhir di

masa kekuasaan Orde Baru menimpa Majalah Tempo, Majalah Editor dan Tabloid

Detik. Namun alih-alih pembredelan ini memperkokoh rezim, yang terjadi adalah

kalangan pers tetap saja kritis dengan menerbitkan penerbitan bawah tanah,

seperti melalui internet yang relatif masih baru di Indonesia saat itu lewat situs

tempointeraktif dan Apa Kabar Indonesia. Media cetak bawah tanah juga

diterbitkan secara sembunyi-sembunyi melalui penerbitan Independen yang

dikoordinir oleh Aliansi Jurnalis Independen dan Kabar dari Pijar yang diterbitkan

oleh Pusat Informasi dan Jaringan Reformasi (Pijar).

Media massa sendiri dalam kajian komunikasi massa sering dipahami sebagai

perangkat-perangkat yang diorganisir untuk berkomunikasi secara terbuka dan

pada situasi yang berjarak kepada khalayak luas dalam waktu yang singkat

(McQuail, 2002:17). Sejarah perkembangan media massa dimulai dari media

cetak dalam bentuk pamflet dan buku, kemudian muncul surat kabar dan majalah

yang terbit secara teratur. Penemuan film memberi tawaran baru bagi para

khalayak dalam proses konsumsi mereka terhadap media secara lebih

mengasyikan. Penemuan mesin rekam dalam bentuk fonogram, kaset, dan diikuti

compact disc banyak memberi alternatif hiburan terutama bagi khalayak yang

menyukai musik. Seiring dengan perkembangan teknologi digital, MP3 menjadi

alat rekam yang disukai banyak kalangan, karena kemampuannya menyimpan

ratusan lagu dan harganya yang relatif murah. Bahkan saat ini berkembang IpoD,

sebuah alat yang dapat menyimpan jutaan lagu dalam alat yang besarnya tidak

lebih dari sebuah pesawat telepon genggam. Berikutnya adalah media penyiaran

radio dan televisi yang semakin memanjakan khalayak, terutama televisi yang

memiliki sifat audiovisual. Saat final Piala Eropa tahun 2004, para penonton dapat

mengikuti pertandingan tersebut melalui televisi yang menyiarkan final antara

Portugal melawan Yunani dan nyaris dalam waktu yang bersamaan dapat

mengetahui kekalahan Portugal dan kemenangan kuda hitam Yunani. Berbagai

pertandingan Liga Champhion juga dapat disaksikan tanpa harus datang ke

stadion. Ada fenomena menarik yang terjadi di Italia, di mana Liga Italia tahun

2004-2005 jumlah penontonnya yang datang langsung ke stadion menyusut

drastis. Alasan para suporter malas datang ke stadion salah satunya adalah

murahnya langganan televisi kabel yang menyiarkan berbagai pertandingan Liga

Italia, sedangkan tiket masuk ke stadion sangat mahal bagi mereka.

Perkembangan teknologi komunikasi di bidang elektronika, telah melahirkan

teknologi internet yang semakin menjadikan dunia seolah tiada batas. Semua

orang yang mempunyai kesempatan untuk menyuarakan opininya melalui

internet. Situs yang menyediakan layanan website gratis seperti blogspot dan

geocities dapat digunakan sebagai sarana untuk menyuarakan opini. Di masa akhir

kekuasaan Orde Baru, internet telah membuktikan perannya sebagai media

underground dalam melawan berbagai regulasi Orde Baru yang memasung

kebebasan pers. Situs tempo interaktif, yang merupakan reinkarnasi Majalah

Tempo, yang dibredel saat itu, menjadi sarana yang efektif untuk membangun

opini publik.

“Media” dalam konteks ini sudah tentu akan memiliki pengertian “mediasi”

karena mampu menjembatani jarak (distance) antara khalayak dan dunia. Denis

McQuail dalam bukunya McQuail’s Mas Communication Theory, 4th Edition

(2002) mengemukakan beberapa penanda untuk memahami pemikiran ini: Media

adalah jendela yang memungkinkan kita untuk melihat fenomena yang terjadi

melebihi lingkungan dekat kita, penerjemah yang membantu kita membuat

perasaan mengalami, platform atau pembawa yang menyalurkan informasi,

komunikasi interaktif yang meliputi umpan balik kepada khalayak, penanda yang

memberi kita dengan instruksi dan petunjuk, penyaring yang menyaring bagian-

bagian pengalaman dan berfokus pada lainnya, cermin yang memantulkan realitas

kita kepada kita kembali, dan pembatas yang menghalangi kebenaran (McQuail,

2002 : 66). Kemudian apakah sebenarnya pengertian dari media massa yang

menjadi pusat dari kajian komunikasi massa ? Sampai saat ini tidak ada definisi

yang tunggal ataupun definisi yang sederhana yang mampu memberi pengertian

secara komprehensif mengenai media massa.

Definisi paling sederhana dari komunikasi massa dikemukakan oleh Bittner yang

mendefinisikan komunikasi massa sebagai pesan yang dikomunikasikan melalui

media massa pada sejumlah besar orang (Rakhmat, 1999 : 188). Kemudian yang

menjadi pertanyaan adalah apakah komunikasi massa itu pesan atau proses ? Apa

juga yang membedakannya dengan komunikasi interpersonal dan komunikasi

bermedia (mediated communication) ?

Dengan penjelasan yang lebih sederhana, komunikasi massa adalah komunikasi

melalui media massa, yakni surat kabar, radio, televisi, internet dan sebagainya.

Bila sistem komunikasi massa dibandingkan dengan komunikasi interpersonal,

maka secara teknis ada beberapa ciri komunikasi massa menurut Elizabeth –

Noelle Neuman yang membedakannya dengan komunikasi interpersonal, yaitu

pertama, bersifat tidak langsung, artinya harus melalui media teknis. Kedua,

bersifat satu arah (one flow communication), artinya tidak ada interaksi

antarpeserta komunikasi. Ketiga, bersifat terbuka, artinya ditujukan kepada publik

yang tidak terbatas dan anonim. Keempat, memiliki unsur publik yang secara

geografis tersebar (Rakhmat, 1999 : 189). Namun seiring dengan kemajuan

teknologi agaknya ciri kedua perlu dikaji ulang, karena dengan memakai fasilitas

telepon, sms atau teleconference, khalayak dapat mengirimkan komentar mereka

terhadap satu isu yang sedang dibahas di layar televisi, sebagaimana ketika Sukma

Ayu meninggal, para fans yang bersimpati segera mengirim sms ke berbagai

stasiun televisi yang memberi kesempatan berinteraksi melalui beragam tayangan

infotainment. Selain itu, perkembangan teknologi internet semakin menjadikan

media kian tidak berjarak dengan khalayaknya.

Sedangkan Georg Gerbner memberi pengertian komunikasi massa dengan sebuah

definisi singkat yaitu sebagai produksi dan distribusi yang berlandaskan teknologi

dan lembaga dari arus pesan yang berkelanjutan serta paling luas dipunyai orang

dalam masyarakat industri (Rakhmat, 1999 : 188).

Para ahli komunikasi massa mengenal dua sisi dari kajian mengenai komunikasi

massa. Satu sisi menekankan relasi antara media dan masyarakat yang lebih besar

dan lembaga-lembaganya. Para penganutnya tertarik pada teori yang berkaitan

relasi media-masyarakat perhatian terhadap cara media ‘dipasang’ di masyarakat

dan pengaruh timbal balik antara struktur sosial yang lebih besar dan media. Sisi

ini dianggap sebagai sisi makro dari teori komunikasi massa.

Sisi yang kedua menekankan kepada orang-orang sebagai kelompok atau

individu. Sisi ini mencerminkan relasi antara media dan khalayak. Para penganut

teori dalam sisi ini tertarik pada fokus relasi media-audiens dengan memberi

penekanan pengaruh kelompok dan individu dan hasil dari transaksi media. Sisi

kedua ini dianggap sebagai sisi mikro dari teori komunikasi.

Model ini mengandung arti bahwa dua sisi ini adalah dua hal yang berbeda,

namun pada kenyataan mereka adalah hal yang sama dilihat dari perspektif yang

berbeda. Relasi antara media dan lembaga adalah mungkin hanya melalui

transaksi media dengan khalayak, dan relasi media adalah tidak mungkin untuk

memisahkan dari lembaga dari masyarakat di mana khalayak ini tinggal.

Sehingga, model ini bukan merupakan peta proses komunikasi massa namun

menggambarkan area penelitian media dan teori.

Komunikasi massa sendiri memiliki sejarah yang panjang. Pada mulanya

masyarakat kuno menggunakan bahasa oral dan isyarat untuk berkomunikasi.

Suku Indian menggunakan asap sebagai bahasa isyarat untuk berkomunikasi

dalam jarak yang jauh, masyarakat muslim tradisional di Indonesia memakai

bedug untuk mengabarkan datangnya waktu sholat dan serombongan anak remaja

sering berkeliling kampung di saat Bulan Ramadhan dengan beraneka alat musik

sederhana, seperti kentongan dan galon air mineral untuk membangunkan

masyarakat tatkala waktu sahur datang . Namun bukan berarti di era modern ini

komunikasi massa yang sederhana ini sudah hilang dari peradaban. Di pedesaan,

kentongan masih digunakan untuk memanggil warga desa jika ada pertemuan di

balai desa atau jika terjadi ada bencana alam. Di perkotaan, ketika Bulan

Ramadhan datang, banyak anak-anak muda yang membunyikan berbagai alat

musik sederhana, kentongan, galon air mineral dan sebagainya untuk

membangunkan masyarakat untuk sahur.

Penemuan tekonologi komunikasi yang semakin modern, membuat teori

komunikasi massa menjadi semakin signifikan dalam kehidupan manusia.

Internet, komputer, satelit dan telepon genggam adalah beberapa perkakas

komunikasi massa yang banyak digunakan masyarakat modern baik secara

langsung maupun tidak langsung. Memang kita tidak pernah secara langsung

bersinggungan dengan satelit, namun ketika kita menggunakan telepon genggam

untuk berkomunikasi, secara tidak langsung kita memanfaatkan fasilitas satelit

yang berada jauh di antariksa.

Dewasa ini akses internet tidak lagi terbatas pada wilayah yang terjangkau

jaringan telepon, namun cukup dengan komputer, modem dan telepon genggam

yang dilayani operator yang memberi fasilitas akses internet maka kita tinggal

klik. Bahkan dengan PDA (Personal Digital Assistant), hanya dengan komputer

mini yang sudah dilengkapi fasilitas teknologi seluler, kita dapat mengakses

semua informasi via internet. Publikasi berita juga tidak perlu lagi melalui alur

yang kompleks, dari peliputan sampai distribusi, namun satu orang saja sudah

mampu melakukan publikasi berita melalui situs pribadi di internet.

Perkembangan teknologi ini menjadikan kajian komunikasi massa semakin

menarik untuk dipelajari.

Kajian komunikasi massa tentu saja selalu berhubungan dengan perkembangan

komunikasi massa, karena itulah komunikasi massa menjadi kajian dari ilmu

komunikasi yang paling menarik. Sebab utama yang menjadikan kajian

komunikasi massa menjadi kajian yang selalu menarik adalah perkembangan

media massa yang mengalami perkembangan pesat dewasa ini serta semakin

tergantungnya manusia dengan keberadaan media massa. Untuk membuktikan

ketergantungan kita dengan media massa silahkan mencoba hal ini. Anda di

rumah saja dengan tidak membaca koran, melihat berita di televisi, mendengar

berita di radio dan mengakses situs berita di internet selama satu minggu.

Singkatnya selama satu minggu jangan sekalipun mengkonsumsi media massa.

Setelah satu minggu hidup tanpa media massa, Anda kemudian kembali ke

komunitas Anda, baik kampus, lingkungan tempat tinggal atau lingkungan kerja

Anda. Apa yang terjadi ketika Anda kembali ke komunitas Anda mudah ditebak.

Anda pasti akan seperti Tarzan yang baru keluar dari belantara, karena kesulitan

mengimbangi pembicaraan rekan-rekan Anda, ringkasnya Anda akan dianggap

kuper (kurang pergaulan), gara-gara tidak mengkonsumsi media massa selama

satu minggu saja.

posted by Fajar Junaedi @ 10:09 PM 0 comments links to this post

Bahan kuliah Komunikasi Massa di Jurusan Ilmu Komunikasi Universitas

Muhammadiyah Yogyakarta. Diijinkan untuk mengutip sebagai referensi, tetapi

harus menghormati karya intelektual, dengan menulis asal referensi sesuai dengan

kaidah ilmiah.Jika tidak,maka dianggap sebagai plagiatisme !!

About Me

Name: Fajar Junaedi

Location: Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, Jogjakarta, Indonesia

Dosen Departemen Ilmu Komunikasi Universitas Muhammadiyah Yogyakarta.

Dosen tamu di program studi Ilmu Komunikasi Universitas Muhammadiyah

Surakarta dan Universitas Islam Indonesia. Penulis lepas di media massa.

View my complete profile

Links

Google News

Edit-Me

Edit-Me

Previous Posts

BAHAN UJIAN AKHIR SEMESTER 2006/2007

TEORI KOMUNIKASI MASSA TERHADAP INDIVIDU

TEORI MEDIA DAN KHALAYAK DALAM KOMUNIKASI MASSA

Ada Apa dengan Budaya Massa dan Budaya Pop ?

BAGAIMANA BELAJAR KOMUNIKASI MASSA DARI SINI ??

BAGAIMANA MENGUTIP SUMBER DARI INTERNET DI

DAFTAR ...

Metode Analisis dalam Komunikasi Massa

Teori Medium

Teori Hasil Kebudayaan

Media Massa sebagai Institusi Sosial

Archives

June 2005

July 2005

November 2005

January 2007