teori general komunikasi

103
2014 DISUSUN OLEH : FITRIA ADIANTI PUTRI 210 110 120 321 TALITHA SABELLA 210 110 120 388 DESTIKA GITANIA 210 110 120 451 KHANZA P 210 110 120 459 GHEA SM MELATI 210 110 120 476 SUSAN IMANNIAR 210 110 120 477 DINDA SEKAR P 210 110 120 479 MATA KULIAH TEORI KOMUNIKASI HUMAS G PROGRAM STUDI HUBUNGAN MASYARAKAT FAKULTAS ILMU KOMUNIKASI UNIVERSITAS PADJADJARAN TOERI KOMUNIKASI GENERAL THEORY

Upload: independent

Post on 28-Mar-2023

1 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

 

 

       

2014  

     

DISUSUN OLEH :

FITRIA ADIANTI PUTRI 210 110 120 321

TALITHA SABELLA 210 110 120 388

DESTIKA GITANIA 210 110 120 451

KHANZA P 210 110 120 459

GHEA SM MELATI 210 110 120 476

SUSAN IMANNIAR 210 110 120 477

DINDA SEKAR P 210 110 120 479

MATA KULIAH TEORI KOMUNIKASI HUMAS G

PROGRAM STUDI HUBUNGAN MASYARAKAT FAKULTAS ILMU KOMUNIKASI UNIVERSITAS PADJADJARAN

TOERI KOMUNIKASI GENERAL THEORY

GENERAL THEORIES

Perkembangan teori-teori komunikasi dilatarbelakangi dengan keragaman gagasan tentang komunikasi dalam kehidupan. Bahkan dalam ilmu sosial, ada kecenderungan ideologi dan cara pandang epistemologis teori komunikasi yang ada. Littlejohn (2005) menyebut klasifikasi pembagian ini sebagai genre sementara Miller (2005) menyebutnya Conceptual Domains of Communication Theory. Menurut Littlejohn (2005), berdasarkan metode penjelasan serta cakupan objek pengamatannya, secara umum teori-teori komunikasi dapat dibagi dalam dua kelompok, yaitu teori-teori umum dan kontekstual. Teori-teori Umum (general theories) merupakan genre yang fokus bagaimana menjelaskan fenomena komunikasi, sementara teori-teori kontekstual (contextual theories), diklasifikasikan berdasarkan konteks dan tingkatan analisis.

General Theories terbagi menjadi 6 teori yaitu :

1. Teori Sistem 2. Teori Struktural dan Fungsional 3. Teori Kognitif dan Tingkah Laku 4. Teori Interaksi 5. Teori Interpretasi 6. Teori Kritis

(Tambahan) 7. Teori Pragmatis 8. Covering Laws Theory

(Tambahan) 9. Perspektif psikologis Audrey Fisher

1. SYSTEM THEORY

Sistem berasal dari bahasa Latin (systēma) dan bahasa Yunani (sustēma), dapat diartikan sebagai kesatuan yang terbentuk dari beberapa unsur (elemen). Unsur, komponen atau bagian yang banyak ini satu sama lain berada dalam keterkaitan yang mengikat dan fungsional. Masing-masing kohesif satu sama lain, sehingga ketotalitasannya unit terjaga utuh eksistensinya. Tinjauan tersebut adalah pandangan dari segi bentuknya. Jadi pengertian sistem, disamping dapat diterapkan pada hal yang bersifat “immaterial” atau suatu proses “immaterial”, juga dapat diterapkan pada hal yang bersifat material. Untuk yang bersifat “immaterial” penguraian atau penentuan “model”-nya lebih cenderung berfungsi sebagai alat analisis dan merupakan cara, tata, rencana, skema, prosedur atau metode. Sistem adalah suatu cara yang mekanismenya berpatron (berpola) dan konsisten, bahkan mekanismenya sering disebut otomatis.

Kata “sistem” banyak sekali digunakan dalam percakapan sehari-hari, dalam forum diskusi maupun dokumen ilmiah. Kata ini digunakan untuk banyak hal, dan pada banyak bidang pula, sehingga maknanya menjadi beragam. Dalam pengertian yang paling umum, sebuah sistem adalah sekumpulan benda yang memiliki hubungan di antara mereka.

Sistem memiliki objek yang beragam, mulai dari hal fisik misalnya untuk organisme dan barang elektronik, pada dunia sosial misalnya untuk menyebut sebuah organisasi, sampai ke dunia ide misalnya “sistem nilai”. Konsep “pemikiran sistem” lahir dari dunia ilmu alam yang digeluti Herbert Spencer dan penerusnya, serta bidang biologi oleh HJ Henderson dan pengikutnya. Konsep sistem telah digunakan dalam ilmu ekonomi, antropologi, psikologi, ilmu politik, sosiologi, dan terutama dalam teori organisasi.

Sistem terdapat dalam tubuh manusia sebagai unit fungsi fisiologis, dalam suatu organisme berupa fungsi dan proses vital di dalamnya, dalam sekumpulan komponen mekanik dan elektrik pada benda elektronik, dalam suatu jaringan saluran sehingga memungkinkan untuk berkomunkasi, atau dalam suatu jaringan komputer yang saling terhubung dalam satu kantor misalnya. Sistem juga dapat bemakna sejumlah ide dan prinsip yang saling berhubungan yang terorganisasi, sebagai suatu bentuk organisasi sosial-ekonomi-politik, atau sebagai sejumlah objek dan fenomena yang terkelompok bersama.

Dalam makna sistem sebagai suatu organisasi dari sejumlah elemen dan bagian yang bekerja sebagai sebuah unit, maka beberapa kata yang dekat dengan pengertian ini adalah entity, integral, sum, totality, dan whole. Sistem juga dapat bermakna sebagai sejumlah bagian yang berkomposisi saling terkoneksi, atau disebut sebagai kompleks (complex). Dan, dalam makna sebagai susunan dan desain yang sistematis, maka ia dekat dengan kata-kata: method, order, orderliness, organization, pattern, plan, systematization, dan systemization. Sedangkan, sebagai pendekatan yang digunakan untuk melihat sesuatu, makna sistem tergambar dalam kata-kata: fashion, manner, method, mode, modus operandi, style, dan way.

Sebuah sistem, adalah sebuah komposisi dari sejumlah element yang saling berinteraski sehingga membentuk sebuah kesatuan yang padu (a unified whole). Kata “sistem” berasal dari bahasa Latin dan Yunani ini bermakna sebagai “combine, to set up, to place together”. Jadi, sebuah sistem berisi komponen atau elemen, yang saling terkoneksi secara bersama-sama dalam tujuan untuk memfasilitasi aliran informasi, materi, maupun energi. Setiap objek mestilah merupakan sebuah sistem.

A. ELEMEN DALAM SISTEM

Pada prinsipnya, setiap sistem selalu terdiri atas empat elemen:

• Objek, yang dapat berupa bagian, elemen, ataupun variabel. Ia dapat benda fisik, abstrak, ataupun keduanya sekaligus; tergantung kepada sifat sistem tersebut.

• Atribut, yang menentukan kualitas atau sifat kepemilikan sistem dan objeknya. • Hubungan internal, di antara objek-objek di dalamnya. • Lingkungan, tempat di mana sistem berada.

B. JENIS SISTEM

Ada berbagai tipe sistem berdasarkan kategori:

• Atas dasar keterbukaan: • Sistem terbuka, dimana pihak luar dapat mempengaruhinya. • Sistem tertutup.

Atas dasar komponen:

• Sistem fisik, dengan komponen materi dan energi. • Sistem non-fisik atau konsep, berisikan ide-ide.

Teori sistem telah berumur seratus tahun lebih. Pada teori sosiologi dan politik, yang menonjol adalah David Easton dan Talcott Parsons. Parsons melahirkan Teori Sistem yang berkaitan kemudian dengan perspektif “struktural fungsional”. Dalam pandangan ini, sejumlah kebutuhan harus dipenuhi kalau suatu masyarakat ingin hidup. Kebutuhan tersebut adalah untuk penyesuaian, pencapaian tujuan, integrasi, dan pemeliharaan pola-pola. Maka itu, perlu empat subsistem dalam masyarakat, yaitu ekonomi, politik, kebudayaan, dan sosialisasi (melalui keluarga dan sistem pendidikan). Masyarakat berkembang bila terjadi pertukaran yang kompleks di antara subsistem-subsistem. Subsistem politik menghasilkan sumber-sumber, kekuasaan otoritas, yang kemudian melahirkan ekonomi berdasarkan uang. Dengan otoritas yang diperoleh dari negara, ekonomi menciptakan modal, yang pada gilirannya menjalankan politik.

� Dalam pendekatan sistem, organisasi dibangun oleh individu dan kepribadian, struktur formal, pola interaksi yang informal, pola status dan peranan-peranan yang menimbulkan pengharapan-pengharapan, dan lingkungan fisik pekerjaan.

Bagian-bagian ini yang selanjutnya tersusun menjadi sebuah konfigirasi sistemik. Setiap bagian dalam organisasi saling berhubungan dan berinteraksi. Setiap bagian memberikan makna bagi yang lainnya. Untuk lebih jelasnya akan dijelaskan dalam penjelasan berikut ini.

Pengertian sistem

Ada 4 hal untuk menjelaskan tentang sistem:

• Pertama adalah objek, yakni bagian-bagian, elemen-elemen dan variable dalam sebuah system.

• Kedua adalah system yang terdiri hubungan-hubungan, yakni kualitas atau sifat dari system dan objeknya.

• Ketiga adalah system yang mempunyai hubungan internal diantara objek-objenya • Keempat adalah system yang berada didalam lingkungan, yakni sebuah system yang

kemudian sesuatu didalamnya mempengaruhi satu sama lain dalam lingkungan dengan bentuk yang berbeda dari bentuk-bentuk yang lain.

Konsep Teori Sistem

Scott menyatakan bahwa ”satu-satunya cara yang bermakna untuk mempelajari organisasi adalah sebagai suatu sistem”. Ia mengemukakan bahwa bagian-bagian penting organisasi sebagai sistem adalah individu dan kepribadian setiap individu dalam organisasi. Struktur formal, pola interaksi informal, pola status dan peranan menimbulkan pengharapan-pengharapan.

Bagian-bagian inilah yang merupakan konfigurasi yang disebut sistem organisasi. Semua bagian saling berinteraksi dan berhubungan satu dengan lainnya. Proses penghubung utamanya adalah komunikasi.

Inti dari pemahaman teori sistem adalah setiap bagian berpengaruh pada keseluruhan atau sesuatu tidak dapat ada tanpa keberadaan yang lain. Ketika organisasi dipandang sebagai sebuah sistem sosial, maka seluruh aspek harus diperhatikan atau dianggap penting.

Menurut Fisher, teori sistem adalah seperangkat prinsip yang terorganisasikan secara longgar dan sangat abstrak, yang berfungsi mengarahkan pikiran kita namun terikat pada berbagai penafsiran.

Pemahaman atas konsep interdependensi ini merupakan bagian integral dari pendefinisian sistem dan teori sistem :

1. Nonsumativas Nonsumativas menunjukkan bahwa suatu sistem tidak sekedar jumlah dari bagian-bagiannya. Ketika komponen tersebut saling berhubungan satu sama lainnya dalam sebuah interdependensi, sistem tersebut memperoleh suatu identitas yang terpisah dari masing-masing komponen.

2. Unsur struktur, fungsi dan evolusi Struktur menunjukkan hubungan antar komponen dalam suatu sistem. Struktur mencerminkan keteraturan. Tindakan yang dilakukan seseorang dalam hubungannya dengan orang lain dianggap sebagai bagian dari unsur fungsional suatu sistem. Evolusi (beubah atau tidak berubahnya suatu sistem akan mempengaruhi struktur dan fungsional dalam suatu sistem

3. Keterbukaan Organisasi adalah sistem sosial. Sehingga memungkinkan organisasi untuk berinteraksi dengan lingkungannya, sehingga memperoleh energi dan informasi.

4. Hierarkhi Suatu sistem mungkin merupakan suprasistem bagi sistem-sistem yang lain didalamnya atau merupakan subsistem bagi sistem yang lebih besar. Arus informasi yang melintasi batas-batas suatu sistem dapat mempengaruhi perilaku struktural-fungsional sistem tersebut.

Fisher membedakan sistem menjadi 2 yaitu :

System tertutup tidak ada pertukaran dengan lingkungan. Sedangkan system terbuka, menerima energy dari lingkungannya dan mengirimkannya kembali ke lingkungannya.

Sistem terbuka yaitu sistem yang menerima masukan (input) dari lingkungannya. Input tersebut bisa berupa aspirasi, kepentingan atau tuntutan maupun dukungan (suport). Misalnya, sebuah perusahaan tidak saja memikirkan atau memperhitungkan lingkungan internalnya (pegawai, struktur, pola komunikasi, tujuan, dll), tetapi juga harus memikirkan lingkungan eksternalnya (kebijakan pemerintah, masyarakat, pesaing, sosial dan budaya yang berkembang, dll).

Dalam system terbuka sebagai contoh keluarga dimana anggota dalam keluarga adalah objek-objek. Dan karakter mereka adalah attribute (sifat), sistem keluarga dibentuk oleh interaksi diantara anggota-anggotanya. Keluarga juga berada dalam lingkungan sosial dan budaya. Keluarga dan lingkungannya mempengaruhi satu sama lain. Pengertian ini yang dinamakan sebagai unit.

Perusahaan yang memilih sistem yang tertutup, cenderung menutup diri dari perkembangan disekitarnya. Mereka membuat batas-batas yang ttegas dengan lingkungannya. Sebuah organisasi atau apapun namanya akan tetap bisa hidup (survive) apabila mampu menselaraskan organisasinya dengan tuntutan yang terus berkemban, namun bila organisasi tersebut tidak merasa mampu mengimbangi perkembangan sekitarnya lebih memilih aman dengan kondisi sistem mereka yang tertutup, dalam rangka menjaga kelangsungan hidupnya (survive).

Dalam teori ini menyangkut dua hal, yakni Cybernetic dan Teori informasi. Cybernetic lebih bersangkutan dengan control dan regulasi dalam sistem, sedangkan teori informasi lebih fokus kepada pengukuran dan pengiriman dari sinyal.

Kualitas-kualitas sistem

1. Kesatuan dan saling ketergantungan Sistem adalah kesatuan yang unik, yakni terdiri dari bentuk-bentuk yang salng berhubungan yang berbeda-beda dari sistem yang lain. Dalam konsep interdependensi, satu variable kadang-kadang menyebabkan variabel yang lain. Variable A menyebabkan B dan menyebabkan C dan seterusnya dalam proses sirkular dan kembali lagi ke variabel A.

2. Herarki Sistem cenderung untuk melekatkan satu dengan yang lain. Maksudnya suatu sistem adalah bagian dari sistem yang lebih besar. Sistem yang lebih besar kemudian disebut sebagai Suprasystem dan yang lebih kecil di sebut dengan subsistem. Contohnya keluarga, dimana keluarga besar merupakan suprasistem, dimana dirinya merupakan bagian dari sistem yang lebih besar dari masyarakat. Subsistem dari keluarga besar adalah keluarga inti, dan subsistem dari keluarga inti terdiri dari ayah, ibu dan anak. Gambaran ini menunjukkan adanya herarki diantara sistem yang lebih kecil dalam sistem yang lebih besar.

3. Pengaturan diri dan control

Banyak sistem yang berfokus pada tujuan dan mengatur perilakunya untuk mencapai suatu tujuan.

4. Pertukaran dengan lingkungan Sistem terbuka berinteraksi dengan lingkungan. Dalam kondisi ini mereka memasukan dan mengeluarkan energy ke lingkungan.

5. Keseimbangan Ini kadangkala mengacu pada Homeostatis, ini adalah bentuk dari pemeliharaan diri. Sistem akan selalu mencari titik keseimbangan dan selalu memperbaiki diri jika ada subssistem yang mengganggu sistem lain yang akan mempengaruhi sistem yang lebih besar.

6. Kemampuan berubah dan beradaptasi. Sistem harus bisa beradaptasi karena berada dalam lingkungan yang berubah setiap saat. Sehingga selain mempunyai keseimbangan, sistem juga harus mempunyai kemampuan untuk berubah.

7. Equifinality Berarti usaha untuk menyelesaikan dengan cara-cara yang berbeda dan dari permulaan yang berbeda. Dalam sistem adaptasi dapat mencapai tujuan dengan kondisi lingkungan yang berbeda.

1.1 TEORI INFORMASI

Teori informasi menyangkut studi kuantitatif dari sinyal-sinyal. Informasi merupakan sebuah ukuran dari ketidakpastian atau entropy dalam sebuah situasi. Sehingga ketika situasi dapat diprediksi secara lengkap maka informasi tidak ada, kondisi ini dikenal dengan negentropy. Informasi sebagai pilihan-pilihan atau aternatif-alternatif, menyediakan seseorang untuk memprediksi hasilnya. Dengan kata lain seseorang membutuhkan fakta-fakta untuk memprediksi hasil dari situasi yang komplek daripada mempresiksi hasil dari sesuatu yang sedarhana. Sehingga dapat disimpulkan dengan kalimat, informasi lebih dalam sebuah informasi akan membuat pilihan-pilihan lebih banyak dapat diambil dalam situasi. Ada istilah yang dikenal sebagai redudansi, dimana keseluruhan pengaturan dari sebuah kalimat sudah terbentuk dan perbagiannya sudah terprediksi. Kalimat dalam hal ini mengandung ketidakpastian karena tidak dapat diprediksi dengan tepat secara lengkap.

Transmisi Informasi

Secara khusus transmisi informasi penting digunakan dalam komunikasi elektronik, dimana sinyal dikirimkan melalui sebuah media. Ada beberapa faktor yang mempengaruhi akurasi transmisi. Yakni Kapasitas Chanel yaitu jumlah maksimal dari informasi yang dapat dikirimkan melalui sebuah chanel dalam waktu tertentu. Sedangkan Throughput merupakan jumlah actual dari informasi dalam sebuah chanel.

1.2 CYBERNETIC

Yakni kajian dari regulasi dan kontrol dalam sebuah sistem. Sistem diatur, mencapai tujuan-tujuan dan dan penuh tujuan. Ini merupakan subyek cybernetic atau kajian tentang feedback. Cybernetics berhubungan dengan cara sebuah sistem mengukur efeknya dan membuat penyesuaian yang dibutuhkan. Ide paling simple dari cybernetic terdiri dari sebuah sensor, komparator dan activator. Sensor menghasilkan feedback kepada komparator dan kemudian komparator mengahasilkan panduan kepada activator yang mengasilkan output yang mempengaruhi lingkungan dengan beberapa cara. Proses dasar dari Output-feedback-adjustment adalah dasar dari cybernetic.

1.3 TEORI DYNAMIC SOCIAL IMPACT

Teori ini mengibaratkan masyarakat sebagai sistem komunikasi yang besar terdiri dari subsistem budaya yang banyak, termasuk interaksi individu dengan yang lain. Dimana elemen dasarnya memang individu. Individu berinteraksi dengan yang lain dalam ruang sosial (tempat dmana individu bertemu, berkomunikasi dan bersosialisasi dan mempengaruhi satu sama lain.

Ruang sosial dipengaruhi oleh berbagai macam media komunikasi yang menjadikan orang-orang dapat berkomunikasi dalam jarak, seoerti telep

1.4 TEORI SOSIAL SISTEM DARI ELIHU KATZ DAN KAHN

Teori-teori klasik dan behavioral seringkali merujuk komunikasi dalam bentuk aktivitas daripada proses penyatuan (a lingking process). Komunikasi sebagai proses penyatuan memiliki makna

yang spesial dalam apa yang dikemukakan Katz dan Kahn, yaitubahwa struktur sosial berbeda dari struktur mekanik dan biologi.Ketika sistem sosial berhenti berfungsi, ia tidak lagi memiliki struktur yang bisadiidentifikasi karena sistem sosial adalah struktur dari peristiwa-peristiwa ataukejadian daripada bagian-bagian fisik dan tidak memiliki struktur selain fungsinya.

Komunikasi sebagai suatu proses penghubung, akan mempunyai arti khusus bila kita menerima pendapat Katz dan Kahn, bahwa struktur sosial berbeda dengan struktur mekanis dan struktur biologis. Bila suatu sistem sosial berhenti berfungsi, ia tidak lagi mempunyai struktur yang dapat diidentifikasi. Sebab sistem sosial merupakan struktur peristiwa bukannya bagian-bagian fisik.

Suatu sistem sosial, secara keseluruhan terdiri dari manusia-manusia. Ia tidak sempurna, namun kesinambungan hubungan manusianya begitu baik. Hubungan-hubungan antara orang-orang, bukan orang-orang itu sendiri. Hal ini mengandung pengertian apabila ada seseorang yang tidak bisa menjalankan fungsinya dapat diganti.

Katz dan Khan menerangkan bahwa kebanyakan interaksi kita dengan orang-orang merupakan tindakan komunikatif (verbal dan nonverbal, bicara dan diam). Komunikasi � pertukaran informasi dan transmisi makna - adalah inti dari sistem sosial atau organisasi. Komunikasi merupakan penghubung di antara orang-orang dalam organisasi. Pencapaian tujuan organisasi akan sangat tergantung kepada bagaimana komunikasi berjalan dengan efektif dan tanpa mengalami hambatan yang berarti.

Teori sistem menyadari bahwa suatu keadaan yang terorganisasi perlu mengenal berbagai hambatan untuk mengurangi komunikasi acak ke saluran-saluran yang sesuai untuk pencapaian tujuan organisasi. Katz dan Khan berpendapat bahwa watak suatu sistem sosial mengisyaratkan selektivitas saluran dan tindakan komunikatif.

Scott mengatakan bahwa organisasi terdiri dari bagian-bagian yang berkomunikasi antara yang satu dengan yang lainnya, menerima pesan-pesan dari dunia luar dan menyimpan informasi. Fungsi komunikasi bagian-bagian ini merupakan konfigurasi yang menggambarkan sistem secara keseluruhan. Dapat dikatakan bahwa dari sudut pandang sistem, komunikasi adalah organisasi.

Hawes menyatakan ”suatu kolektivitas sosial adalah perilaku komunikatif yang terpolakan; perilaku komunikatif tidak terjadi dalam jaringan hubungan tetapi merupakan jaringan itu sendiri”

1.5 AD-HOCRACY & TEORI BUCK ROGERS DARI ALFIN TOFFLER

Buck Rogers merupakan karakter fiksi yang melakukan ekplorasi luar angkasa.Terinspirasi dari cerita petualangan tokoh fiksi tersebut, Alfin Toffler menulis mengenai future shock dan konsekuensi yang tak terhindarkan yang diakibatkanoleh perubahan yang begitu cepat di seluruh aspek kehidupan. Tulisan Tofflertersebut diberi judul “Organizations: The Coming Ad-hocracy.”Ciri-ciri birokrasi baru yang disebut sebagai ad-hocracy, seperti: bergerak cepat,kaya informasi, sangat aktif, berubah secara konstan, diisi oleh unit-unit yang tidakabadi dan individu yang sangat mobile. Di dalam ad-hocracy, adalah kerja itusendiri, masalah yang diatasi, tugas yang diselesaikan yang menarik komitmenpegawai, daripada organisasi. Beberapa ad-hocracies diawali dengan istilah associate (siapa yang bekerja sama dengan). Ad-hocracy meningkatkan kemampuan adaptasi organisasi; namun merengangkan kemampuan adaptasi orang. (Pace & Fauler, 1994. Hal. 45-48)

Sebagian visi kita tentang penjelajahan luar angkasa yang paling mustahil berasal dari fantasi-fantasi para penciptafigur fiksi terkenal, Buck Rogers. Teori Buck Rogers yang lazim dan kontemporer mengenai organisasi adalah organisasi matriks, yaitu suatu organisasi yang berlapiskan organisasi fungsional yang lebih tradisional. Kepala-kepala bagian fungsional membawahi proyek-proyek yang mamang cocok bekerja sama antara manajer-manajer fungsional.

Organisasi matriks dan organisasi ad-hokrasi adalah organisasi-organisasi komunikasi saat ini dan masa depan. Studi komunikasi adalah studi organisasi. Praktek organisasi masa kini menegaskan prediksi teoritis terdahulu, fungsi pertama seorang eksekutif, memang, adalah menciptakan dan memelihara suatu sistem komunikasi. Komunikasi sistem adalah organisasi. Komunikasi organisasi adalah teori Buck Rogers mengenai organisasi.

Berdasarkan petunjuk Buck, Alvin Toffler, 1970 menulis tentang future shock dan akibat-akibat tak terelakkan yang disebabkan perubahan dahsyat dalam semua aspek kehidupan kita. Organisasi formal disinggung dalam analisis ini. Hal ini menunjukkan bahwa kita sedang bergerak menuju era

pascabirokratik dalam teori organisasi yang berdasarkan konsep futuristik tentang struktur organisasi yang berubah cepat.

Toffler melukiskan, “apa yang kita lihat di sini tidak kurang dari penciptaan suatu bagian yang dapat dibuang...” Menurut Bennis (1966), struktur sosial birokrasi baru akan bersifat temporer. Organisasi akan terdiri dari satuan-satuan tugas (task forces) yang diciptakan guna mengatasi suatu program khusus.

Manajer di suatu organisasi yang strukturnya terus menerus berubah, menjadi seorang kordinator, seorang penghubung antara berbagai kelompok proyek. Keterampilan komunikasi dan interaksi manusia akan sangat berharga, karena sebagian dari tugas-tugas utama akan berkenaan dengan bagaimana meneruskan informasi dan menjembatani pengertian serta perbedaan antara kelompok-kelompok. Bennis berpendapat bahwa orang-orang ”harus belajar mengembangkan hubungan yang cepat dan intens dalam pekerjaan, dan belajar menanggung kehilangan hubungan kerja yang lebih kekal”.

Toffler lebih lanjut mengemukakan ciri-ciri birokrasi baru yang disebut ad-hokrasi (ad-hocracy) sebagai:

• Bergerak cepat • Kaya dengan informasi • Aktif • Selalu berubah • Berisi unit-unit yang selalu bersifat sementara • Individu-individu yang selalu bergerak

Dalam ad-hokrasi, bukanlah organisasi yang menarik komitmen pegawai, melainkan pekerjaan, problem yang harus dipecahkan, dan tugas yang harus dilakukan. Masih menurut Toffler, bahwa gelar-gelar jabatan dalam beberapa ad-hokrasi didahului dengan sebutan associate. Sebutan itu menberi kesan kesederajatan yang merupakan ciri khas organisasi baru--- associate berarti teman sejawat, bukan atasan atau bawahan dalam organsasi.

Pemakaian istilah tersebut mencerminkan pergeseran dari hirarki vertikal ke pola-pola komunikasi lateral (ke samping). Di sebuah perusahaan konsultasi dan pelatihan, digunakan istilah organizational associates yang menunjukkan bahwa para kolega mempunyai hak yang sama dalam memecahkan masalah organisasi. Staf profesional yang terdiri dari para associate itu berorientasi ke tugas-tugas mereka, memperoleh kepuasan dan pengharapan menangani masalah di manapun masalah itu terjadi.

Namun Toffler mengingatkan bahwa ad-hokrasi menambah adaptabilitas organisasi, terutama adaptabilitas manusia. Setiap perubahan hubungan dalam organisasi membawa serta kerugian dalam penyesuaian pribadi, hubungan, dan kepuasan. Ketegangan sosial, ketegangan psikologis, dan usaha individu untuk mengatasi masalah semakin bertambah banyak karena perubahan yang cepat, kondisi kerja yang kontemporer, dan kurangnya komitmen kepada organisasi. Perubahan yang konstan dalam hubungan organisasi menjadi beban yang berat bagi orang-orang untuk melakukan penyesuaian diri.

1.6 TEORI CHAOS

Chaos menunjukkan ketidakberaturan, kekacauan, keacakan atau kebetulan, yaitu: gerakan acak tanpa tujuan, kegunaan atau prinsip tertentu. Alam semesta yang bersifat dinamis ini kelihatannya bekerja melalui system yang linier, tetapi banyak juga yang tidak bekerja secara linier dan tidak dapat dipahami melalui system linier, seperti awan, pohon, garis pantai, ombak dan lain sebagainya, yang secara sekilas menampakkan acak dan tidak teratur. Sistem seperti inilah yang dinamakan dengan teori chaos, yaitu suatu teori yang berkaitan dengan proses alam yang nampaknya kacau, acak dan tidak linier (system yang tidak dapat diprediksi berdasarkan kondisi awal). Seperti yang dikemukakan Dhani bahwa teori chaos adalah teori yang menjelaskan gerakan atau dinamika yang kompleks dan tidak terduga dari sebuah system yang tergantung dari kondisi awalnya. Lebih lanjut Dhani mengemukakan bahwa walaupun berlangsung acak, system chaotic dapat ditentukan secara matematis, hal ini disebabkan system chaotic mengikuti hukum-hukum yang berlaku di alam. Hanya saja, karena sifatnya yang tidak teratur maka dilihat sebagai peristiwa yang acak. Chaotik dapat ditemukan pada berbagai system umum, mulai dari system yang

sederhana seperti gerak pendulum sampai system yang kompleks seperti: irama detak jantung, aktivitas listrik pada otak, dan lain sebagainya. Bahkan system ekonomi seperti: pergerakan harga di bursa saham, kurs mata uang sampai harga minyak mentah merupakan system chaotic. Jacques Hadamard pada tahun 1898 menerbitkan suatu tulisan tentang gerakan yang tidak stabil atau acak dari suatu “arah peluru”. Ia menunjukkan bahwa semua arah peluru yang ditembakkan dari senapan memiliki arah yang berbeda dan menyimpang satu sama lainnya. Sementara itu istilah “chaos” dirumuskan pertama kali oleh Henri Poincaré (1854 � 1912), seorang ahli matematika Perancis. Ia menemukan bukti bahwa system tata surya tidak bekerja secara teratur dan dapat diprediksi dengan pasti. Ia mengungkapkan bahwa “dapat terjadi perbedaan kecil pada kondisi awal menghasilkan peristiwa yang berdampak sangat besar. Sebuah kesalahan kecil pada permulaannya akan menghasilkan penyimpangan yang lebih besar. Prediksi akan menjadi hal yang mustahil. Semula gagasan Henri Poincaré tidak terlalu dihargai oleh para ilmuwan pada saat itu, sampai penemuan computer yang memungkinkan para ahli membuat model dan menggambarkan system chaostik.

Teori chaos pertama kali dicetuskan oleh seorang meteorologis bernama Edward Lorenz pada tahun 1961. Teori chaos berusaha mencari bentuk keseragaman dari data yang kelihatannya acak. Teori ini ditemukan secara tidak sengaja, Lorenz pada saat itu sedang mencari penyebab mengapa cuaca tidak bisa diramalkan. Ia menggunakan bantuan computer dan menggunakan 12 model rumusan. Program yang ia ciptakan tidak bisa memprediksi cuaca, tetapi dapat menggambarkan seperti apa cuaca tersebut jika diketahui titik awalnya. Suatu saat Lorenz ingin melihat hasil urutan model cuaca. Ia memulai dari bagian tengah dan tidak dari awal.

1.7 TEORI SISTEM GEORGE RITZER PADA PARADIGMA FAKTA SOSIAL

Maksudnya adalah penggunaan teori ini dikhususkan pada masalah-masalah sosial yang berkaitan dengan nilai-nilai, institusi/pranata-pranata sosial yang mengatur dan menyelenggarakan eksistensi kehidupan bermasyarakat. Sistem sendiri merupakan suatu kesatuan dari elemen-elemen fungsi yang beragam, saling berhubungan dan membentuk pola yang mapan. Hubungan antara elemen-elemen sosial tersebut adalah hubungan timbal-balik atau hubungan dua arah.

Sebagai contoh, misalnya masalah hukum adat yang mempengaruhi segi kehidupan ekonomi masyarakat atau nelayan tradisional, atau lebih konkrit lagi misalnya bila kita ingin mengetahui bagaimana pengaruh dari nilai-nilai dalam hukum adat "nedosa" terhadap persepsi masyarakat tentang perkawinan dalam masyarakat adat Sangihe, sehingga dengan adanya fenomena dalam satu aspek akan mempengaruhi aspek-aspek lainnya dalam kehidupan bermasyarakat. Masih banyak permasalahan sosial, politik, ekonomi, pendidikan, dsb yang dapat dikaji dengan menggunakan teori sistem.

1.8 WALTER BUCKLEY (1967)

Melalui karyanya yang berjudul: Sociology and Modern Systems Theory. (Ritzer & Goodman, 2009:351).

Menurut Buckley, ada beberapa manfaat menggunakan teori sistem, yakni:

1. Dapat diterapkan pada semua ilmu perilaku dan ilmu sosial 2. Memiliki beragam level yg dapat diterapkan pada semua skala terbesar sampai skala

terkecil atau yang paling objektif sampai yang paling subjektif. 3. Membahas beragam hubungan antar aspek sosial, tidak parsial. 4. Keseluruhan aspek dipandang dalam konteks proses khususnya terkait dengan

jaringan informasi dan komunikasi. 5. Bersifat integratif.

Buckley memperkenalkan tiga jenis sistem, yaitu: 1) Sistem sosial budaya, 2) Sistem mekanis dan 3) Sistem organis. Dalam sistem mekanis, kesalingketerkaitan antar bagian didasarkan pada transfer energi, dalam sistem organis kesalingketerkaitan antar bagian lebih didasarkan pada pertukaran informasi ketimbang pertukaran energi. Dalam sistem sosial budaya, kesalingketerkaitan lebih didasarkan pada pertukaran informasi.

Dalam memahami sistem sosial, dikenal dua pendekatan, yaitu: 1) Pendekatan sibernetis dan 2) Pendekatan Ekuilibrium. Umpan balik merupakan aspek esensial dari pendekatan sibernetis. Friksi,

pertumbuhan, evolusi dan perubahan sosial dapat dipelajari dengan pendekatan sistem sibernetis. Sedangkan keseimbangan fungsi merupakan esensi dasar pendekatan ekuilibrium.

Teori sistem mengenal dua konsep krusial yaitu: entropi dan negentropi. Entropi adalah kecenderungan sistem berhenti bekerja dan negentropi adalah kecenderungan sistem pada struktur yang lebih besar. Sistem dalam suatau masyarakat yang tertutup cenderung entropis, sementara sistem pada masyarakat yang terbuka cenderung negentropis.

Melalui karyanya yang berjudul: Sociology and Modern Systems Theory. (Ritzer & Goodman, 2009:351).

Ada berbagai manfaat yang diambil dari teori sistem sosiologis Buckley, termasuk kosakata umum antar berbagai ilmu alam dan ilmu sosial, kemampuannya untuk diaplikasikan (applicability) pada level mikro maupun makro analisis dunia sosial secara keseluruhan, fokus pada proses, perspektif integratif, dan orientasi dinamis. Lebih lanjut, variasi dari prinsip-prinsip teori sistem didiskusikan, termasuk sejauh mana sistem itu terbuka atau tertutup, cenderung surut (entropy), cenderung mengelaborasi struktur (negentropy), dicirikan oleh umpan balik (feed-back), dan ciri-ciri proses yang membantu sistem mempertahankan diri (morphotasis) dan tumbuh (morphogenesis). Buckley mengaplikasikan teori sistem untuk kesadaran, interaksi, dan domain sosiokultural.

Isu utama yang dibahas oleh Buckley adalah apa yang didapatkan sosiologi dari teori sistem. Pertama, karena teori sistem diturunkan dari ilmu pasti (hard sciences) dan karena teori ini, setidaknya di mata pendukungnya, dapat diaplikasikan ke semua ilmu sosial dan behavioral, maka ia mengandung harapan bisa menyatukan ilmu-ilmu itu.

Kedua, teori sistem mengandung banyak tingtkatan dan dapat juga diaplikasikan pada aspek dunia sosial berskala terbesar dan terkecil, ke aspek yang paling subjektif dan objektif.

Ketiga, teori sistem tertarik dengan keragaman hubungan dari berbagai aspek dunia sosial dan karena beroperasi terhadap berbagai analisis dunia sosial. Argumen dari teori sistem adalah bahwa hubungan dari bagian-bagian tidak dapat diperlakukan di luar konteks keseluruhan. Teoritisi sistem menolak ide bahwa masyarakat atau komponen masyarakat berskala luas lainnya harus diperlakukan sebagai fakta sosial yang menyatu. Sebaliknya, fokusnya adalah pada hubungan dari proses-proses pada tingkat yang bervariasi di dalam sistem sosial. Buckley mendeskripsikan fokus tersebut : Jenis sistem yang kami minati bisa dideskripsikan secara umum sebagai susunan elemen-elemen atau komponen-komponen yang secara langsung atau tak langsung berkaitan di dalam jaringan kausal sedemikian rupa sehingga masing-masing komponen dikaitkan dengan setidaknya beberapa komponen lain dalam cara yang kurang lebih stabil di dalam periode waktu (Buckley, 1967:41).

Keempat, pendekatan sistem cenderung menganggap melihat semua aspek sistem sosiokultural dari segi proses, khususnya sebagai jaringan informasi komunikasi. Kelima, dan mungkin yang terpenting, teori sistem secara inheren bersifat integratif. Buckley, dalam definisinya tentang perspektif, memandang perspektif melibatkan integrasi struktur objektif berskala besar, sistem simbol aksi dan interaksi, serta “kesadaran dan kesadaran diri”.

Dalam kenyataannya, teori sistem sangat akrab dengan integrasi sehingga Buckley mengkrtik tendensi para sosiolog lainnya yang membuat perbedaan analisis antar-level : kami melihat kecenderungan dalam kebanyakan sosiologi untuk menekankan pada apa yang dinamakan “perbedaan analitis” (analytic distinction) antara personalitas” (yang dianggap intracranial), sistem simbol (kultur), dan matriks sosial (sistem sosial), meski karya aktual dari proponen pembedaan analisa itu tampak menyesatkan dan atau sering kali tak bisa bertahan dalam praktik (Buckley, 1967:101).

Terakhir, teori sistem cenderung melihat dunia sosial dari sudut dinamis, dengan perhatian yang berlebihan pada “kemunculan sosiokultural dan dinamika secara umum” (Buckley, 1967:39).

Prinsip Umum

Buckley mendiskusikan hubungan antarsistem sosiokultural, sistem mekanis, dan sistem organis. Buckley memfokuskan pada penjelasan perbedaan esensial antara sistem-sistem tersebut. Pada sejumlah dimensi ada suatu kontinum mulai dari sistem mekanis ke sistem organis ke sistem sosiokultural yang bergerak dari bagian yang kompleksitasnya kecil sampai yang paling besar, dan

dari tingkatan terendah sampai tertinggi yang mana bagian-bagiannya dapat dinisbahkan pada sistem secara keseluruhan.

Pada dimensi lain, sistem lebih berbeda secara kualitatif ketimbang kuantitatif. Dalam sistem mekanis, kesalinghubungan dari bagian-bagian tersebut didasarkan pada transfer energi. Dalam sistem organik, kesalinghubungan dari bagian-bagian tersebut lebih didasarkan pada pertukaran informasi ketimbang pertukaran energi. Dalam sistem sosiokultural, kesalinghubungan itu bahkan lebih banvak didasarkan pada pertukaran informasi.

Tiga tipe sistem itu juga berbeda dalam derajat keterbukaan dan ketertutupannya yakni, dalam derajat pertukaran (interchange) dengan aspek dari lingkungan yang lebih besar. Sistem yang lebih terbuka lebih mampu merespon secara selektif terhadap lingkungan yang lebih luas dan bervariasi.

Dari sisi ini, sistem mekanis cenderung tertutup, sistem organik cenderung terbuka, dan sistem sosiokultural adalah yang paling terbuka

Aplikasi untuk Dunia Sosial

Buckley (1967) berpindah dari diskusi prinsip umum ke aspek khusus dari dunia sosial untuk menunjukkan aplikasi teori sistem. Dia mulai pada tingkat individual, di mana dia sangat terkesan dengan karya Mead, di mana kesadaran dan tindakan saling berkaitan. Dalam kenyataannya, Buckley menyusun ulang problematik Meadian dari sudut pandang teori sistem. Tindakan (action) dimulai dengan sinyal dari lingkungan, yang ditransmisikan ke aktor. Akan tetapi, transisi mungkin diperumit oleh kekacauan (noise) dalam lingkungan. Saat ia bergerak, sinyal memberi informasi kepada aktor. Berdasarkan informasi ini, aktor bisa memilih respon. Kuncinya di sini adalah mekanisme mediasi yang dimiliki aktor yakni kesadaran diri (self-consciousness). Buckley mendiskusikan kesadaraan diri dalam terminologi teori sistem:

Dalam bahasa sibernetika (cybernetics), kesadaran diri adalah mekanisme umpan balik internal milik sistem itu sendiri yang bisa dipetakan atau dibandingkan dengan informasi lain dari situasi dan dari memori, mengizinkan seleksi dari perulangan (repertoire) tindakan yang dilakukan berdasarkan tujuan dengan mempertimbangkan diri dan perilaku diri sendiri secara implisit (Buckley, 1967:100).

Buckley memandang bahwa kesadaran dan interaksi saling berkaitan dan bahwa levelnya tidak boleh dipisahkan, dia tetap bergerak dari domain kesadaran ke domain interaksional. Pola interaksi yakni imitasi dan respon jelas sesuai dengan pandangan sistemik tentang dunia. Yang lebih penting, Buckley mengaitkan dunia interpersonal secara langsung dengan sistem personalitas; dia memandang keduanya saling menentukan satu sama lain, Terakhir, Buckley beralih ke organisasi masyarakat berskala besar, khususnya peran dan institusi, yang dia lihat dari sudut sistemik dan berhubungan dengan level realitas sosial lainnya.

Buckley menarik kesimpulan dengan mendiskusikan beberapa prinsip umum dari teori sistem sebagaimana diaplikasikan pada domain sosiokultural. Pertama, teoritisi sistem menerima ide bahwa ketegangan adalah normal, senantiasa hadir, dan merupakan realitas yang diperlukan sistem sosial.

Kedua, ada fokus pada sifat dan sumber dari variasi dalam sistem sosial. Penekanan pada ketegangan dan variasi membuat perspektif sistem menjadi dinamis.

Ketiga, ada perhatian pada proses seleksi di tingkat individual maupun interpersonal di mana beragam alternatif yang terbuka untuk sistem akan disortir dan disaring. Ini memperbesar dinamismenya.

Keempat, level interpersonal dipandang sebagai basis pengembangan dari struktur yang lebih besar. Proses transaksional dari pertukaran, negosiasi, dan tawar-menawar (bargaining) adalah proses-proses yang memunculkan struktur sosial dan kultural yang relatif stabil.

Terakhir,kendati ada dinamisme di dalam pendekatan sistem, ada pengakuan terhadap proses pengekalan (perpetuation) dan transmisi. Seperti dikatakan oleh Buckley, “dari transaksi yang terus-menerus muncullah penyesuaian dan akomodasi yang relatif stabil” (1967:160).

1.9 TALCOTT PARSON

Mengemukakan bahwa sistem mengandaikan adanya kesatuan antara bagian-bagian yang berhubungan satu dengan yang lain untuk mencapai suatu tujuan tertentu. Untuk mempelajari tindakan sosial, maka Parson mendefenisikan empat sistem tindakan, sebagai berikut:

1. Sistem budaya, disebut juga sistem simbolik yang menganalisis "arti", seperti kepercayaan, agama, bahasa dan nilai-nilai dan konsep sosialisasi. Sosialisasi mempunyai kekuatan integratif yang sangat tinggi dalam mempertahankan kontrol sosial dan keutuhan masyarakat.

2. Sistem sosial, yang memandang masyarakat berada dalam interaksi berdasarkan peran. Sistem sosial selalu terarah pada ekuilibrium.

3. Sistem kepribadian, kesatuan yang paling kecil dipelajari adalah individu yang menjadi aktor. Fokus kajian disini adalah kebutuhan, motif dan sikap.

4. Sistem organisme, kesatuan yang mendasar pada sistem ini adalah manusia dalam arti biologis dan lingkungan fisik dimana manusia itu hidup, juga sistem syaraf yang berkaitan dengan kegiatan motorik dan sistem organ manusia.

Teori Parson di atas dikembangkan oleh Luhmann yang dikenal dengan Teori Sistem Umum (TSU), sambil mengkritik beberapa hal yang sangat prinsip.

Sejarah

Talcott Parson mempunyai teori yang mengemukakan tentang social cybernatic yang awalnya di kemukakan oleh Durkheim. Menurut Talcott Parson, masyarakat bukan persamaan tetapi dapat dikatakan sebagai masyarakat jika mereka dapat mengintegrasikan suatu perbedaan-perbedaan. Didalam integrasi itu terdapat suatu proses-proses dalam perbedaan. Masyarakat ada jika sudah terbentuk suatu sistem. Manusia menciptakan suatu hubungan yang bertujuan menciptakan hal-hal yang terdapat didalam benak kita yang biasa dikatakan dengan super ego. Tallcot parson mengadakan suatu penelitian yaitu tentang perkembangan masyarakat Eropa. Dalam hal adanya kekuasaan terhadap gereja. Didalam kekuasaan gereja kelompok yang satu menghancurkan yang lain. Kekuasaan gereja itu muncul satu mekanisme yang terdapat dalam hukum dan hukum tersebut telah diterapkan dalam negara tersebut.

Tallcot parson juga berbicara tentang kondisi prasyarat yang artinya menggambarkan masyarakat melalui proses-proses. Kondisi prasyarat merupakan gambaran yang berjaring-jaring yang biasa disebut dengan Cyber. Parson sebagai sistem sosial. Esensi sistem sosial menurut Tallcot Parson disebut dengan Cybernatic. Menurut Tallcot Parson, walaupun kita mempunyai sebuah konflik tetapi tetap mempunyai tujuan yang jelas.

Menurut pendapat dari Tallcot Parson, masyarakat itu saling keterkaitan dalam menjalankan suatu hubungan atau interaksi, sehingga kondisi satu merupakan prasyarat dalam kehidupan. Esensi masyarakat itu berawal dari yang kecil menuju yang lebih besar kemudian menjadi prasyarat.

Terdapat proses-proses yang ditandai dalam 4 fungsi, yaitu sumber ekonomi atau fungsi adaptasi, yang mendorong fungsi adaptasi adalah menyesuaikan dengan kemampuan. Fungsi adaptasi ini dijalankan oleh sistem ekonomi. Jika individu mau berkorban maka suatu integrasi membutuhkan sumber daya.

Yang kedua adalah pencapaian tujuan. Didalam pencapaian tujuan terdapat beberapa suatu tujuan yang harus dijalankan misalnya menentukan tujuan bersama dari suatu kelompok. Mencari persamaan visi dan misi didalam suatu kelompok. Misalnya saja negara yang mempunyai fungsi politik.

Yang ketiga adalah integrasi. Integrasi sebagai hukum yang terdiri dari suatu teks yang tertulis dan terdapat bukti, kemudian setelah disepakati akan muncul suatu aturan-aturan yang berlaku.

Yang terakhir adalah pemeliharaan pola-pola yang sudah ada. Didalam pemeliharaan pola-pola ini terdapat fungsi-fungsi yang harus dijalankan. Misalnya dalam sistem budaya yaitu sistem cara hidup bersama dengan pendidikan yang sudah ada.

Asumsi Parsons terkait dengan tatanan sistem:

Sistem memiliki bagian-bagian yang saling tergantung satu sama lain, sehingga suatu sistem tidak dapat dipisahkan antara satu dengan yang lain. Sebagai contoh, sistem tindakan itu mendapat pengaruh maupun dapat memberi pengaruh pada sistem kepribadian.

Sistem cenderung menjadi tatanan yang memelihara dirinya, dapat menjadi statis/mengalami proses perubahan secara tertata. Sifat satu bagian sistem berdampak pada bagian yang lain. Sistem memelihara batas dengan lingkungan mereka. Alokasi & Integrasi adalah 2 proses fundamental bagi kondisi ekuilibrium sistem. Sistem cenderung memelihara dirinya yang meliputi pemeliharaan batas & hubungan bagian-bagian dengan keseluruhan, kontrol variasi lingkungan, dan kontrol kecendrungan untuk mengubah sistem dari dalam.

Sistem harus terstruktur agar dapat menjaga kelangsungan hidupnya dan juga harus harmonis dengan sistem lain. Sistem juga harus mendapat dukungan yang diperlukan dari sistem lain, artinya suatu sistem tidak dapat berdiri sendiri. Tetapi antara satu sistem dengan sistem lainnya akan saling terkait. Sistem juga dituntut untuk mampu mengakomodasi para aktornya secara proporsional (imbang), melahirkan partisipasi yang memadai dari para aktornya, Mampu untuk mengendalikan perilaku yang berpotensi mengganggu, dapat dikendalikan bila terjadi konflik atau menimbulkan kekacauan dan memiliki bahasa dan aktor sosial.

Menurutnya persyaratan kunci bagi terpeliharanya integrasi pola nilai dan norma ke dalam sistem ialah dengan sosialisasi dan internalisasi. Pada proses Sosialisasi yang sukses, nilai dan norma sistem sosial itu akan diinternalisasikan. Artinya ialah nilai dan norma sistem sosial ini menjadi bagian kesadaran dari aktor tersebut. Akibatnya ketika si aktor sedang mengejar kepentingan mereka maka secara langsung dia juga sedang mengejar kepentingan sistem sosialnya.

Talcott Parson mengatakan seperti halnya teoretisi neoevolusi lainnya, menunjukkan adanya perkembangan masyarakat tradisional. Menurut Parsons, masyarakat akan berkembang melalui tiga tingkatan utama yaitu primitif, intermediate, dan modern.

Dari tiga tahapan ini, oleh Parsons dikembangkan lagi ke dalam sub klasifikasi evolusi sosial sehingga menjadi lima tingkatan yaitu primitif, advanced primitif and archaic, historic intermediate, seedbed societies, dan modern societies.

Parsons meyakini bahwa perkembangan masyarakat berkaitan dengan perkembangan keempat unsur sub-sistem utama yaitu kultural (pendidikan), kehakiman (integrasi), pemerintahan (pencapain tujuan), dan ekonomi (adaptasi).

Tolak ukur yang digunakan Parsons untuk mendeteksi dan sekaligus membedakan tingkatan perubahan masyarakat (5 tingkatan) adalah artikulasi pengembangan fungsi integrasinya. Puncak perkembangan terpenting terhadap fungsi integrasi ini adalah ditemukan bahasa tulisan dan kunci terhadap sambungan proses evolusi sosial. Penemuan simbol komunikasi bahasa menandai fase transisi dari masyarakat primitif ke tingkat intermediate. Sedangkan penemuan hukum formal menandai fase transisi dari intermediate ke masyarakat maju (advanced).

Menurut Talcott Parson, sistem adalah interdepedensi antar bagian, komponen & proses yang mengatur hubungan-hubungan tersebut. Interpedensi berarti tanpa satu bagian atau komponen maka akan mengalami guncangan. Suatu sistem akan terintegrasi ke suatu equilibrium.

Teori Sibenertika Parson yaitu sistem sosial merupakan suatu sinergi antara berbagai sub sistem sosial yang saling mengalami ketergantungan dan keterkaitan. Adanya hubungan yang saling keterkaitan, interaksi dan saling ketergantungan.

Gambaran Sistem Sosial

Menurut Talcott Parson, ada 4 syaraf fungsional agar sistem sosial bertahan yaitu Adaptation (Adaptasi), Goal Attainment (Pencapaian Tujuan), Integration (Integrasi), dan Latent Pattern Maintenance (Pemeliharaan Pola Latent).

• Adaptasi atau Penyesuaian : Sistem Sosial harus mampu menyesuaikan diri dengan lingkungan yang dihadapi.

• Pencapaian Tujuan Yang Diharapkan : Tujuan individu harus menyesuaikan dengan tujuan sosial yang lebih besar agar tidak bertentangan dengan tujuan-tujuan lingkungan sosial.

• Integrasi atau Kebersamaan : Menunjukan adanya solidaritas sosial dari bagian-bagian yang membentuknya, serta berperannya masing-masing unsur tersebut sesuai dengan posisinya. Integrasi hanya bisa terwujud jika semua unsur yang membentuk sistem tersebut saling menyesuaikan.

• Pemeliharaan Pola Latent : Sebagai pemeliharaan pola yang tersembunyi, yang biasanya berwujud sistem nilai budaya yang selalu mengontrol tindakan-tindakan individu

• Nilai-nilai yang telah disepakati oleh suatu masyarakat akan dapat mengendalikan keutuhan solidaritas sosial.

Parson mengemukakan bahwa sistem mengandaikan adanya kesatuan antara bagian-bagian yang berhubungan satu dengan yang lain untuk mencapai suatu tujuan tertentu. Untuk mempelajari tindakan sosial, maka Parson mendefenisikan empat sistem tindakan, sebagai berikut:

1. Sistem budaya, disebut juga sistem simbolik yang menganalisis "arti", seperti kepercayaan, agama, bahasa dan nilai-nilai dan konsep sosialisasi. Sosialisasi mempunyai kekuatan integratif yang sangat tinggi dalam mempertahankan kontrol sosial dan keutuhan masyarakat.

2. Sistem sosial, yang memandang masyarakat berada dalam interaksi berdasarkan peran. Sistem sosial selalu terarah pada ekuilibrium.

3. Sistem kepribadian, kesatuan yang paling kecil dipelajari adalah individu yang menjadi aktor. Fokus kajian disini adalah kebutuhan, motif dan sikap.

4. Sistem organisme, kesatuan yang mendasar pada sistem ini adalah manusia dalam arti biologis dan lingkungan fisik dimana manusia itu hidup, juga sistem syaraf yang berkaitan dengan kegiatan motorik dan sistem organ manusia.

Teori Parson di atas dikembangkan oleh Luhmann yang dikenal dengan Teori Sistem Umum (TSU), sambil mengkritik beberapa hal yang sangat prinsip.

Tiga Isu Teoritis Talcott Parson

a. Konsepsi Parsons tentang teori induk (grand theory) sebagaimana yang diwantahkan oleh teori bertindak (action theory)

Bagi Parsons teori sosiologis tidak berdiri sendiri tetapi sangat erat berkaitan dangan ilmu-ilmu perilaku (behavioral), termasuk ilmu ekonomi dan ppolitik serta beberapa aspek dari biologi, antropologi serta psikologi.

Parsons setuju terhadap kesatuan ilmu-ilmu perilaku, yang keseluruhannya merupakan suatu studi tentang sistem yang hidup (living system). Dia mengakui bahwa sistem yang tidak hidup (non-living system), misalnya kimia-fisika memiliki beberapa ketersendirian indentitas (property) dari sistem yang hidup itu, tetapi Parsons memilih untuk tidak mengembangkan perbedaan dan kesamaannya. Dia bergerak terus dengan analisa sistem yang hidup dan menyatakan bahwa “konsep fungsi merupakan inti untuk memahami semua sistem yang hidup”

b. Kedudukan masyarakat dalam teori bertindak (action theory)

Parsons melihat sistem sosial sebagai komponen dari sistem � bertindak yang lebih umum. Masing-masing dari keempat subsistem tersebut harus memenuhi salah satu dari kebutuhan fungsional.

Sebagai masalah pokok sosiologi makro, masyarakat hanya merupakan contoh dari sistem sosial, tetapi merupakan substansi yang paling penting untuk dianalisa; ‘kita membahas masyarakat sebagai suatu tipe sosial yang ditandai oleh tingkat swadaya tertinggi dalam lingkungannya’. Parsons menyebut teorinya sebagai teori bertindak, yang menganalisa struktur dan proses dengan mana manusia membentuk maksud-maksud yang penuh arti dan melaksanakannya.

c. Pemasukan unsur perubahan ke dalam model

Modifikasi yang diterapkan oleh parsons ialah perpindahan dari pengembangan keseimbangan (yang menekankan stabilitas sistem) ke konsep keseimbangan yang dinamis yang akhirnya kepada model sibernetika teori sistem yang umum.

Dalam model sibernetika itu Parsons memajukan teori evolusioner yang menjelaskan gerakan masyarakat dari primitive ke modern melalui 4 proses perubahan structural yang utama yaitu:

diferensiasi, pembaharuan bersifat penyesuaian, adaptif upgrading (pemasukan), dan generalisasi nilai.

1 . 10 MENURUT DAVID EASTON (1984:395)

Teori sistem adalah:

“Teori sistem adalah suatu model yang menjelaskan hubungan tertentu antara sub-sub sistem dengan sistem sebagai suatu unit (yang bisa saja berupa suatu masyarakat, serikat buruh, organisasi pemerintah)”

Easton juga meringkas ciri-cirinya sebagai berikut:

1. Sistem mempunyai batas yang didalamnya ada saling hubungan fungsional yang terutama dilandasi oleh beberapa bentuk komunikasi.

2. Sistem terbagi kedalam sub-sub sistem yang satu sama lainnya saling melakukan pertukaran (seperti antara desa dengan pemerintah daerah atau antara pemerintah daerah dengan pemerintah pusat).

3. Sistem bisa membuat kode, yaitu menerima informasi, mempelajari dan menerjemahkan masukan (input) kedalam beberapa jenis keluaran (output).

Menurut Carl. D. Friedrich, dalam buku “Man and His Government” mengemukakan definisi sistem, yaitu :

Apabila beberapa bagian yang berlainan dan berbeda satu sama lain membentuk suatu kesatuan, melaksanakan hubungan fungsional yang tetap satu sama lain serta mewujudkan bagian-bagian itu saling tergantung satu sama lain. Sehingga kerusakan suatu bagian mengakibatkan kerusakan keseluruhan, maka hubungan yang demikian disebut sistem. (Sukarna, 1981:19).

Michael Rush dan Phillip Althoff (1988:19):

Gejala sosial merupakan bagian dari politik tingkah laku yang konsisten, internal dan reguler dan dapat dilihat serta dibedakan, karena itu kita bisa menyebutnya sebagai: sistem sosial, sistem politik dan sejumlah sub-sub sistem yang saling bergantung seperti ekonomi dan politik.

Sebenarnya tiap-tiap sistem yang ada dalam masyarakat itu tidak otonom atau tertutup tetapi terbuka, dalam arti suatu sistem akan dipengaruhi oleh sistem yang lain. Setiap sistem akan menerima input dari sistem lainnya dan sistem akan memproses input tersebut dalam bentuk output bagi sistem lainnya.

Sistem secara luas digunakan dalam ilmu manajemen. Analisa sistem pada konteks manajemen didasarkan atas penentuan informasi yang terperinci yang dihasilkan setahap demi setahap dari proses, sehingga diketahui bagaimana sistem bekerja agar memenuhi kebutuhan yang telah ditentukan, dengan membangun kriteria jalannya sistem agar mencapai optimasi. Dari proses identifikasi sistem dihasilakan spesifikasi yang terperinci tentang peubah yang menyangkut rancangan dan proses kontrol. Identifikasi sistem ditandai dengan adanya determinasi kriteria jalannya sistem yang akan membantu dalam evaluasi alternatif sistem. Kriteria tersebut meliputi pula penentuan output yang diharapkan, dan mungkin juga perhitungan rasio biaya dan manfaat .

Satu istilah yang sering digunakan masyarakat umum, yang erat kaitannya dengan sistem adalah “Model”. “Model” adalah rancangan struktur dalam bentuk kecil (small scale representation of something) yang dapat diperbanyak dan dikembangkan, merupakan suatu abstraksi, penyederhanaan suatu sistem, atau tiruan yang sederhana dari suatu sistem yang nyata. Model seringkali digunakan untuk mempelajari sistem .

Dalam konteks pendekatan sistem, dikenal pula “Pendekatan Analitis”. Meskipun bagi sebagian orang terlihat sebagai “lawan”, namun sesungguhnya pendekatan analitis (the analytic approach) dan pendekatan sistem (the systemic approaches) lebih sebagai saling melengkapi (complementary) daripada berlawanan . Pendekatan analitis berupaya memecah suatu sistem ke dalam elemen-elemen dasar dalam upaya mempelajari secara detail dan memahami tipe dan interaksi yang ada di antara mereka. Dengan memodifikasi satu variabel, dicoba menduga sifat umum untuk memperkirakan apa yang akan terjadi pada seluruh sistem dalam satu kondisi yang berbeda. Sedangkan menurut Prof. Wagiono Ismagil, (1982) mengatakan pendekatan sistem adalah

suatu pendekatan analisis organisasi yang mempergunakan ciri-ciri sistem sebagai titik tolak analisis.

Saat ini telah dikembangkan beberapa metode yang populer yang sesungguhnya diturunkan dari Teori Sistem, misalnya Analisa Jaringan (network analysis) dan “ECCO analysis”. ECCO adalah singkatan dari “Episodic Communication Channels in Organization”, yang menganalisis dari sekumpulan data yang dikumpulkan. Metode ini didesain untuk menganalisa dan memetakan jaringan komunikasi, mengukur kecepatan alirannya, mempelajari distrosi pesan yang mngkin terjadi, dan masalah kesia-siaan (redundancy).

CONTOH SISTEM

Sistem juga terjadi di laut yaitu pada saat pasang surut air laut . Sistem ini terbentuk dari kejadian dalam alam . Pasang surut laut merupakan suatu fenomena pergerakan naik turunnya permukaan air laut secara berkala yang diakibatkan oleh adanya sistem kombinasi gaya gravitasi dan gaya tarik menarik dari benda-benda astronomi terutama oleh matahari, bumi dan bulan.

Pasang surut laut merupakan hasil dari gaya tarik gravitasi dan efek sentrifugal. Efek sentrifugal adalah dorongan ke arah luar pusat rotasi. Gravitasi bervariasi secara langsung dengan massa tetapi berbanding terbalik terhadap jarak. Meskipun ukuran bulan lebih kecil dari matahari, gaya tarik gravitasi bulan dua kali lebih besar daripada gaya tarik matahari dalam membangkitkan pasang surut laut karena jarak bulan lebih dekat daripada jarak matahari ke bumi.

Hal tersebut merupakan salah satu contoh dari sistem karena dilihat dari proses kejadiannya pasti menggunakan suatu sistem yang mengakibatkan dapat terjadinya pasang surut air laut. Hal tersebut juga saling berhubungan dan memiliki tujuan atau fungsi yaitu pasang surut sangat diperlukan dalam transportasi laut, kegiatan di pelabuhan, pembangunan di daerah pesisir pantai, dan lain-lain.

Teori sistem sangat berguna dalam public relations karena memberi kita sebuah cara untuk memikirkan tentang hubungan. Secara umum, teori sistem memandang organisasi sebagai suatu wadah yang tercipta dari bagian yang saling terkait, yang dapat beradaptasi serta menyesuaikan diri terhadap perubahan dalam bidang politik, ekonomi, dan lingkungan sosial di mana organisasi itu beroperasi. Organisasi biasanya memiliki batas yang jelas, di mana di dalamnya harus ada struktur komunikasi yang mengarahkan setiap bagian organisasi untuk mencapai tujuan organisasi. Pemimpin organisasi bertugas menciptakan dan memelihara struktur internal ini. Grunig, Grunig, dan Dozier menyatakan bahwa perspektif sistem menekankan adanya saling ketergantungan organisasi dengan lingkungan mereka, baik lingkungan internal maupun eksternal.

Menurut perspektif sistem, organisasi bergantung pada sumber daya dari lingkungan mereka, seperti “bahan mentah, sumber pekerja, klien atau konsumen dari layanan yang diberikan, atau produk yang mereka hasilkan.” Organisasi dengan sistem terbuka menggunakan orang-orang public relations untuk mencari informasi tentang seberapa produktifkah hubungan mereka dengan klien, nasabah, dan stakeholder lainnya. Sementara organisasi dengan sistem tertutup tidak berusaha mencari informasi baru. Pengambil keputusan beroperasi dengan mendasarkan pada apa yang terjadi pada masa lalu atau berdasarkan keinginan pribadi saja. Organisasi merupakan bagian yang lebih besar dari lingkungan yang terbuat dari banyak sistem.

Dalam lingkungan sistem akan terdiri komunitas yang berkaitan. Kelompok inilah yang disebut dengan stakeholder karena “mereka dan organisasi memiliki konsekuensi satu sama lain” mereka menciptakan masalah dan kesempatan satu sama lain. Kita bisa menggunakan teori sistem ini tidak hanya untuk menguji kualitas hubungan dengan stakeholder eksternal, tetapi juga untuk melihat fungsi internal dan stakeholder organisasi kita. Organisasi menyusun pegawai mereka dengan fungsi dan pekerjaan yang spesifik. Banyak departemen yang berbeda, seperti akuntansi, hukum, dan public relations membuat sendiri fungsi manajerialnya. Fungsi produksi dari sebuah organisasi adalah karya dari semua pekerja, termasuk pekerja yang cakap atau kurang cakap, yang menghasilkan sesuatu atau memberikan layanan kepada konsumen. Sementara fungsi pemasaran dilakukan oleh para staf penjualan. Semua pekerja dari unit yang berbeda ini sesungguhnya saling bergantung satu sama lain.

2. TEORI STRUKTURAL DAN FUNGSIONAL Asumsi teori struktural fungsional adalah masyarakat pada dasarnya merupakan suatu sistem yang terdiri dari bagian-bagian (sub-sistem) yang saling berhubungan satu sama lain. Teori struktural fungsional mula-mula tumbuh dari cara melihat masyarakat yang dianalogikan dengan organisme biologis. Masyarakat maupun organisme biologis sama-sama mengalami pertumbuhan. Tiap bagian yang tumbuh di dalam masyarakat memiliki fingsi dan tujuan tertentu. Pendekatan struktural fungsional dalam kaitannya dengan perilaku manusia, menolak gagasan-gagasan tentang jiwa, spirit, kemauan, pikiran, introspeksi, kesadaran, subjektivitas, dan sebagainya, karena konsep-konsep itu tidak dapat diamati secara objektif. Dengan kata lain, pendekatan ini terhadap manusia berusaha mengukur pengaruh struktur sosial terhadap identitas, respons dan perilaku manusia melalui peran (role), sosialisasi, dan keanggotaan kelompok mereka. Pendekatan ini jelas menekankan orientasi peran dalam arti bahwa teori itu memandang manusia pada dasarnya ditentukan secara sosial (socially-determined).

Teori fungsionalisme struktural adalah suatu bangunan teori yang paling besar pengaruhnya dalam ilmu sosial di abad sekarang. Tokoh-tokoh yang pertama kali mencetuskan fungsional yaitu August Comte, Emile Durkheim dan Herbet Spencer. Pemikiran structural fungsional sangat dipengaruhi oleh pemikiran biologis yaitu menganggap masyarakat sebagai organisme biologis yaitu terdiri dari organ-organ yang saling ketergantungan, ketergantungan tersebut merupakan hasil atau konsekuensi agar organisme tersebut tetap dapat bertahan hidup. Sama halnya dengan pendekatan lainnya pendekatan structural fungsional ini juga bertujuan untuk mencapai keteraturan sosial. Teori struktural fungsional ini awalnya berangkat dari pemikiran Emile Durkheim, dimana pemikiran Durkheim ini dipengaruhi oleh Auguste Comte dan Herbert Spencer. Comte dengan pemikirannya mengenai analogi organismik kemudian dikembangkan lagi oleh Herbert Spencer dengan membandingkan dan mencari kesamaan antara masyarakat dengan organisme, hingga akhirnya berkembang menjadi apa yang disebut dengan requisite functionalism, dimana ini menjadi panduan bagi analisis substantif Spencer dan penggerak analisis fungsional. Dipengaruhi oleh kedua orang ini, studi Durkheim tertanam kuat terminology organismik tersebut. Durkheim mengungkapkan bahwa masyarakat adalah sebuah kesatuan dimana di dalamnya terdapat bagian � bagian yang dibedakan. Bagian-bagian dari sistem tersebut mempunyai fungsi masing � masing yang membuat sistem menjadi seimbang. Bagian tersebut saling interdependensi satu sama lain dan fungsional, sehingga jika ada yang tidak berfungsi maka akan merusak keseimbangan sistem. Pemikiran inilah yang menjadi sumbangsih Durkheim dalam teori Parsons dan Merton mengenai struktural fungsional. Selain itu, antropologis fungsional-Malinowski dan Radcliffe Brown juga membantu membentuk berbagai perspektif fungsional modern.

Selain dari Durkheim, teori struktural fungsional ini juga dipengaruhi oleh pemikiran Max Weber. Secara umum, dua aspek dari studi Weber yang mempunyai pengaruh kuat adalah

• Visi substantif mengenai tindakan sosial dan • Strateginya dalam menganalisis struktur sosial.

Pemikiran Weber mengenai tindakan sosial ini berguna dalam perkembangan pemikiran Parsons dalam menjelaskan mengenai tindakan aktor dalam menginterpretasikan keadaan.

Teori fungsionalisme struktural mengutarakan bahwa masyarakat adalah suatu sistem sosial yang terdiri dari bagian dan struktur-struktur yang saling berkaitan dan saling membutuhkan keseimbangan, fungsionalisme struktural lebih mengacu pada keseimbangan. Teori ini menilai bahwa semua sistem yang ada di dalam masyarakat pada hakikatnya mempunyai fungsi tersendiri. Suatu struiktur akan berfungsi dan berpengaruh terhadap struktur yang alin. Maka dalam hal ini, semua peristiwa pada tingkat tertentu seperti peperangan, bentrok, bahkan sampai kemiskinan pun mempunyai fungsi tersendiri, dan pada dasarnya dibutuhkan dalam masyarakat . Pelopor teori ini adalah Robert K. Merton, beliau berpendapat bahwa obyek analisa sosiologi adalah fakta sosial, seperti proses sosial, organisasi kelompok, pengendali sosial, dan sebagainya. Suatu pranata atau sistem tertentu bisa dikatakan fungsional bagi suatu unit sosial tertentu, dan sebaliknya, suatu institusi juga bisa bersifat disfungsional bagi unit sosial yang lain

Penganut teori fungsional ini memandang bahwa segala pranata sosial yang ada dalam masyarakat itu bersifat fungsional dalam artian positif dan negatif. Sebagai contoh: lembaga pendidikan, ini berfungsi dan sangat penting dalam masyarakat, terutama untuk memajukan kualitas pendidikan di negeri ini. Lembaga pendidikan memberikan pengajaran dan ilmu-lmu

pengetahuan untuk para generasi muda penerus bangsa. Dalam hal ini, lembaga pendidikan bersifat fungsional, dan manjurus pada artian yang positif. Kemudian perampok, dan pelaku kriminalitas, pada dasarnya pelaku kriminalitas selain merugikan masyarakat, juga mempunyai fungsi tersendiri. Bayangkan saja jika tidak ada pelaku kriminalitas, apa yang akan dikerjakan dan ditangani oleh para polisi? Otomatis mereka juga tidak mempunyai job untuk menghasilkan tambahan uang. Meskipun bagi orang yang menjadi korban juga merupakan suatu kerugian tersendiri. Bagitulah dalam kehidupan masyarakat, memang saling berkesinambungan, mempunyai suatu akibat dan fungsi-fungsi tersendiri.

Ciri dari jenis teori ini (meskipun istilah fungsional dan struktural barangkali tidak tepat) adalah adanya kepercayaan atau pandangan tentang berfungsinya secara nyata struktur yg berada di luar diri pengamat. Menurut pandangan ini, seorang pengamat adalah bagian dari struktur. Oleh karena itu cara pandangnya juga akan dipengaruhi oleh struktur yg berada di luar dirinya.

CIRI- CIRI STRUKTURAL DAN FUNGSIONAL

Menurut Sendjaja (1994: 32) mengemukakan bahwa model struktural fungsional mempunyai ciri sebagai berikut:

1. sistem dipandang sebagai satu kesatuan yang terdiri dari unsur-unsur yang saling berkaitan;

2. adanya spesifikasi lingkungan yakni spesifikasi faktor-faktor eksternal yang bisa mempengaruhi sistem;

3. adanya ciri-ciri, sifat-sifat yang dipandang esensial untuk kelangsungan sistem; 4. adanya spesifikasi jalan yang menentukan perbedaan nilai; dan 5. adanya aturan tentang bagaimana bagian-bagian secara kolektif beroperasi sesuai ciri-

cirinya untuk menjaga eksistensi sistem.

2.1 TEORI FUNGSIONALISME PARSONS

Suatu keyakinan akan perubahan dan kelangsungan sistem. Pada saat depresi kala itu, teorinya merupakan teori sosial yang optimistis. Akan tetapi agaknya optimisme Parson itu dipengaruhi oleh keberhasilan Amerika dalam Perang Dunia II dan kembalinya masa kemewahan setelah depresi yang parah itu. Bagi mereka yang hidup dalam sistem yang kelihatannya galau dan kemudian diikuti oleh pergantian dan perkembangan lebih lanjut maka optimisme teori Parsons dianggap benar. Sebagaimana yang dinyatakan oleh Gouldner (1970: 142): untuk melihat masyarakat sebagai sebuah firma, yang dengan jelas memiliki batas-batas srukturalnya, seperti yang dilakukan oleh teori baru Parsons, adalah tidak bertentangan dengan pengalaman kolektif, dengan realitas personal kehidupan sehari-hari yang sama-sama kita miliki. Talcott Parsons melahirkan teori fungsional tentang perubahan. Dalam teorinya, Parsons menganalogikan perubahan sosial pada masyarakat seperti halnya pertumbuhan pada mahkluk hidup. Komponen utama pemikiran Parsons adalah adanya proses diferensiasi. Parsons berpendapat bahwa setiap masyarakat tersusun dari sekumpulan subsistem yang berbeda berdasarkan strukturnya maupun berdasarkan makna fungsionalnya bagi masyarakat yang lebih luas. Ketika masyarakat berubah, umumnya masyarakat tersebut akan tumbuh dengan kemampuan yang lebih baik untuk menanggulangi permasalahan hidupnya. Dapat dikatakan Parsons termasuk dalam golongan yang memandang optimis sebuah proses perubahan.

Asumsi dasar dari Teori Fungsionalisme Struktural, yaitu bahwa masyarakat menjadi suatu kesatuan atas dasar kesepakatan dari para anggotanya terhadap nilai-nilai tertentu yang mampu mengatasi perbedaan-perbedaan sehingga masyarakat tersebut dipandang sebagai suatu sistem yang secara fungsional terintegrasi dalam suatu keseimbangan. Dengan demikian masyarakat adalah merupakan kumpulan sistem-sistem sosial yang satu sama lain berhubungan dan saling memiliki ketergantungan.

Sejarah

Suatu keyakinan akan perubahan dan kelangsungan sistem. Pada saat depresi kala itu, teorinya merupakan teori sosial yang optimistis. Akan tetapi agaknya optimisme Parson itu dipengaruhi oleh keberhasilan Amerika dalam Perang Dunia II dan kembalinya masa kemewahan setelah depresi yang parah itu. Bagi mereka yang hidup dalam sistem yang kelihatannya galau dan kemudian diikuti oleh pergantian dan perkembangan lebih lanjut maka optimisme teori Parsons dianggap benar. Sebagaimana yang dinyatakan oleh Gouldner (1970: 142): untuk melihat

masyarakat sebagai sebuah firma, yang dengan jelas memiliki batas-batas srukturalnya, seperti yang dilakukan oleh teori baru Parsons, adalah tidak bertentangan dengan pengalaman kolektif, dengan realitas personal kehidupan sehari-hari yang sama-sama kita miliki.

Talcott Parsons melahirkan teori fungsional tentang perubahan. Seperti para pendahulunya, Parsons juga menganalogikan perubahan sosial pada masyarakat seperti halnya pertumbuhan pada mahkluk hidup. Komponen utama pemikiran Parsons adalah adanya proses diferensiasi.

Tokoh

Fungsionalisme struktural diperkenalkan dan dikembangkan oleh Talcot Person dan Robert K. Merton sebagai tradisi teoritik dalam kajian-kajian kemasyarakatan khususnya yang menyangkut sturktur dan fungsi masyarakat.

Teori fungsionalisme struktural mengambil basis teoritis dari teori stratifikasi sosial yang diperkenalkan oleh Kingsley davis dan Wilbert Moore (1945). Namun dalam perkembangannya teori ini telah mengalami kemerosotan khususnya pada empat dekade terakhir dan akhirnya hanya bermakna historis, untuk kemudian dikembangnya menjadi neo-fungsionalime oleh Zevry Alexander pada tahun 1980an.

Buah Pikir

Parsons berasumsi bahwa setiap masyarakat tersusun dari sekumpulan subsistem yang berbeda berdasarkan strukturnya maupun berdasarkan makna fungsionalnya bagi masyarakat yang lebih luas. Ketika masyarakat berubah, umumnya masyarakat tersebut akan tumbuh dengan kemampuan yang lebih baik untuk menanggulangi permasalahan hidupnya. Dapat dikatakan Parsons termasuk dalam golongan yang memandang optimis sebuah proses perubahan. Asumsi dasar dari Teori Fungsionalisme Struktural, yaitu bahwa masyarakat menjadi suatu kesatuan atas dasar kesepakatan dari para anggotanya terhadap nilai-nilai tertentu yang mampu mengatasi perbedaan-perbedaan sehingga masyarakat tersebut dipandang sebagai suatu sistem yang secara fungsional terintegrasi dalam suatu keseimbangan. Dengan demikian masyarakat adalah merupakan kumpulan sistem-sistem sosial yang satu sama lain berhubungan dan saling memiliki ketergantungan.

Perkembangan

Teori Fungsionalisme Struktural mempunyai latar belakang kelahiran dengan mengasumsikan adanya kesamaan antara kehidupan organisme biologis dengan struktur sosial dan berpandangan tentang adanya keteraturan dan keseimbangan dalam masyarakat. Teori Fungsionalisme Struktural Parsons mengungkapkan suatu keyakinan yang optimis terhadap perubahan dan kelangsungan suatu sistem. Akan tetapi optimisme Parson itu dipengaruhi oleh keberhasilan Amerika dalam Perang Dunia II dan kembalinya masa kejayaan setelah depresi yang parah itu. Parson memberikan jawaban atas masalah yang ada pada fungsionalisme structural dengan menjelaskan beberapa asumsi yaitu system mempunyai property keteraturan dan bagian-bagian yang saling tergantung, system cenderung bergerak kea rah mempertahankan keteraturan diri atau keseimbangan., system bergerak statis, artinya ia akan bergerak pada proses perubahan yang teratur., sifat dasar bagian suatu system akan mempengaruhi begian-bagian lainnya, system akam memelihara batas-batas dengan lingkungannya, alokasi dan integrasi merupakan ddua hal penting yang dibutuhkan untuk memelihara keseimbangan system, system cenderung menuju kerah pemeliharaan keseimbangan diri.

Teori fungsional ini menganut faham positivisme, yaitu suatu ajaran yang menyatakan bahwa spesialisasi harus diganti dengan pengujian pengalaman secara sistematis, sehingga dalam melakukan kajian haruslah mengikuti aturan ilmu pengetahuan alam. Dengan demikian, fenomena tidak didekati secara kategoris, berdasarkan tujuan membangun ilmu dan bukan untuk tujuan praktis. Analisis teori fungsional bertujuan menemukan hukum-hukum universal (generalisasi) dan bukan mencari keunikan-keunikan (partikularitas). Dengan demikian, teori fungsional berhadapan dengan cakupan populasi yang amat luas, sehingga tidak mungkin mengambilnya secara keseluruhan sebagai sumber data. Sebagai jalan keluarnya, agar dapat mengkaji realitas universal tersebut maka diperlukan representasi dengan cara melakukan penarikan sejumlah sampel yang mewakili.

Dengan kata lain, keterwakilan (representatifitas) menjadi sangat penting.Walaupun fungsionalisme struktural memiliki banyak pemuka yang tidak selalu harus merupakan ahli-ahli pemikir teori, akan tetapi paham ini benar-benar berpendapat bahwa sosiologi adalah merupakan suatu kajian tentang struktur-struktur sosial sebagai suatu unit-unit yang terbentuk atas bagian-bagian yang saling terkait.

Pendekatan fungsionalisme-struktural dapat dikaji melalui anggapan-anggapan dasar berikut :

a. Masyarakat haruslah dilihat sebagai suatu sistem dari bagian-bagian yang saling berhubungan satu sama lain.

b. Hubungan saling mempengaruhi di antara bagian-bagian suatu sistem bersifat timbal balik c. Sekalipun integrasi sosial tidak pernah dapat dicapi dengan sempurna, namun secara

fundamental sistem sosial selalu cenderung bergerak kearah keseimbangan yang bersifat dinamis.

d. Sistem sosial senantiasa berproses ke arah integrasi sekalipun terjadi ketegangan, disfungsi dan penyimpangan.

e. Perubahan-perubahan dalam sistem sosial, terjadi secara gradual (perlahan-lahan atau bertahap), melalui penyesuaian-penyesuaian dan tidak secara revolusioner.

f. Faktor paling penting yang memiliki daya integrasi suatu sistem sosial adalah konsensus atau mufakat di antara para anggota masyarakat mengenai nilai-nilai kemasyarakatan tertentu.

Demi memudahkan kajian teori-teori yang digagas oleh Parsons, Peter Hamilton berpendapat bahwa Teori Parsonian dapat dibagi kedalam 3 fase:

• Fase Permulaan. Fase ini berisi tahap-tahap perkembangan atas teori Voluntaristik (segi Kemauan) dari tindakan sosial dibandingkan dengan pandangan-pandangan sosiologi yang positivistis, utilitarian, dan reduksionis.

• Fase Kedua. Fase ini berisi gerakannya untuk membebaskan diri dari kekengan teori tindakan sosial yang mengambil arah fungsionalisme struktural ke dalam pengembangan suatu teori tindakan kebutuhan-kebutuhan yang sangat penting.

• Fase Ketiga. Fase ini terutama mengenai model sibernetik (elektronik pengendali) dari sistem-sistem sosial dan kesibukannya dengan masalah empiris dalam mendefinisikan dan menjelaskan perubahan sosial.

Dari ketiga fase tersebut, dapat dinyatakan bahwa Parsons telah melakukan tugas penting, yaitu: Ia mencoba untuk mendapatkan suatu penerapan dari sebuah konsep yang memadai atas hubungan-hubungan antara teori sosiologi dengan ekonomi. Ia juga mencari kesimpulan-kesimpulan metodologis & epistemologis dari apa yang dinamakan sebagai konsep sistem teoretis dalam ilmu sosial. Ia mencari basis-basis teoretis dan metodologis dari gagasan tindakan sosial dalam pemikiran sosial.

Dalam mengkategorikan tindakan atau menggolongkan tipe-tipe peranan dalam sistem sosial,

Parsons mengembangkan 5 buah skema yang dilihat sebagai kerangka teoritis utama dalam analisa sistem sosial. 5 buah skema itu adalah:

Affective versus Affective Neutrality, maksudnya dalam suatu hubungan sosial, orang dapat bertindak untuk pemuasan Afeksi (kebutuhan emosional) atau bertindak tanpa unsur tersebut (netral).

Self-orientation versus Collective-orientation, maksudnya, dalam berhubungan,, orientasinya hanya pada dirinya sendiri atau mengejar kepentingan pribadi. Sedangkan dalam hubungan yang berorientasi kolektif, kepentingan tersebut didominasi oleh kelompok.

Universalism versus Particularism, maksudnya, dalam hubungan yang universalistis, para pelaku saling berhubungan menurut kriteria yang dapat diterapkan kepada semua orang. Sedangkan dalam hubungan yang Partikularistis, digunakan ukuran/kriteria tertentu.

Quality versus Performance, maksudnya variable Quality ini menunjuk pada Ascribed Status (keanggotaan kelompok berdasarkan kelahiran/bawaan lahir). Sedangkan Performance (archievement) yang berarti prestasi yang mana merupakan apa yang telah dicapai seseorang.

Specificity versus Diffusness, maksudnya dalam hubungan yang spesifik, individu berhubungan dengan individu lain dalam situasi terbatas .

Fungsi dikaitkan sebagai segala kegiatan yang diarahkan kepada memenuhi kebutuhan atau kebutuhan-kebutuhan dari sebuah sistem. Ada empat persyaratan mutlak yang harus ada supaya termasuk masyarakat bisa berfungsi. Keempat persyaratan itu disebutnya AGIL. AGIL adalah singkatan dari Adaption, Goal, Attainment, Integration, dan Latency. Demi keberlangsungan hidupnya, maka masyarakat harus menjalankan fungsi-fungsi tersebut, yakni, Adaptasi (adaptation): supaya masyarakat bisa bertahan dia harus mampu menyesuaikan dirinya dengan lingkungan dan menyesuaikan lingkungan dengan dirinya, Pencapain tujuan (goal attainment): sebuah sistem harus mampu menentukan tujuannya dan berusaha mencapai tujuan-tujuan yang telah dirumuskan itu, Integrasi (integration): masyarakat harus mengatur hubungan di antara komponen-komponennya supaya dia bisa berfungsi secara maksimal, dan Latency atau pemeliharaan pola-pola yang sudah ada: setiap masyarakat harus mempertahankan, memperbaiki, dan membaharui baik motivasi individu-individu maupun pola-pola budaya yang menciptakan dan mepertahankan motivasi-motivasi itu.

Sistem Tindakan. Sistem mengandaikan adanya kesatuan antara bagian-bagian yang berhubungan satu sama lain. Kesatuan antara bagian itu pada umumya mempunyai tujuan tertentu. Dengan kata lain, bagian-bagian itu membentuk satu kesatuan (sistem) demi tercapainya tujuan atau maksud tertentu, seperti halnya, Sistem organisme biologis (aspek bilogis manusia sebagai satu sistem), dalam sistem tindakan berhubungan dengan fungsi adaptasi yakni menyesuaikan diri dengan lingkungan dan mengubah lingkungan sesuai dengan kebutuhan, Sistem kepribadian, melaksanakan fungsi pencapaian tujuan dengan merumuskan tujuan dan menggerakkan seluruh sumber daya untuk mencapai tujuan-tujuan itu, Sistem sosial berhubungan dengan fungsi integrasi dengan mengontrol komponen-komponen pembentuk masyarakat itu, dan Sistem kebudayaan berhubungan dengan fungsi pemeliharaan pola-pola atau struktur-struktur yang ada dengan menyiapkan norma-norma dan nilai-nilai yang memotivasi mereka dalam berbuat sesuatu.

Didalam skema tindakan, terdapat empat komponen skema tindakan yang di kemukakan oleh Talcott Parsons, yang pertama yaitu Pelaku atau actor, dalam artian aktor atau pelaku ini dapat terdiri dari seorang individu atau suatu koletifitas. Parsons melihat aktor ini sebagai termotivisir untuk mencapai tujuan.

Yang kedua yaitu Tujuan (goal) dalam artian tujuan yang ingin dicapai biasanya selaras denga nilai-nilai yang ada di dalam masyarakat.

Yang ketiga yaitu Situasi dalam artian tindakan untuk mencapai tujuan ini biasanya terjadi dalam situasi. Hal-hal yang termasuk dalam situasi ialah prasarana dan kondisi.

Yang ke empat yaitu Standar-standar normative dalam artian ini adalah skema tindakan yang paling penting menurut Parsons. Guna mencapai tujuan, aktor harus memenuhi sejumlah standar atau aturan yang berlaku. Perubahan Sosial. Konsep perubahan sosial Parsons bersifat perlahan-lahan dan selalu dalam usaha untuk menyesuaikan diri demi terciptanya kembali equilibrium. Dengan kata lain, perubahan yang dimaksudkan oleh Parsons itu bersifat evolusioner dan bukannya revolusioner.

Pendekatan fungsionalisme-struktural dapat dikaji melalui anggapan -anggapan dasar yaitu, Masyarakat haruslah dilihat sebagai suatu sistem dari bagian-bagian yang saling berhubungan satu sama lain, Hubungan saling mempengaruhi di antara bagian-bagian suatu sistem bersifat timbal balik, Sekalipun integrasi sosial tidak pernah dapat dicapi dengan sempurna, namun secara fundamental sistem sosial selalu cenderung bergerak kearah keseimbangan yang bersifat dinamis, Sistem sosial senantiasa berproses ke arah integrasi sekalipun terjadi ketegangan, disfungsi dan penyimpangan, Perubahan-perubahan dalam sistem sosial, terjadi secara gradual (perlahan-lahan atau bertahap), melalui penyesuaian-penyesuaian dan tidak secara revolusioner, Faktor paling penting yang memiliki daya integrasi suatu sistem sosial adalah konsensus atau mufakat di antara para anggota masyarakat mengenai nilai-nilai kemasyarakatan tertentu.

Fungsionalisme Struktural Talcot Person

Teori struktural fungsional Talcot Person dimulai dengan empat fungsi penting untuk semua sistim ”tindakan” yang disebut dengan AGIL. Melalui Agil ini kemudian dikembangkan pemikiran mengenai struktur dan sistim.

Menurut Person fungsi adalah kumpulan kegiatan yang ditujukan ke arah pemenuhan kebutuhan tertentu atau kebutuhan sistim. Dengan difinisi ini Person yakin bahwa ada empat fungsi penting yang diperlukan semua sistim yang dinamakan AGIL yang antara lain adalah :

Adaptation (adaptasi).

Sebuah sistim harus menanggulangi situasi eksternal yang gawat. Sistim harus menyesuaikan diri dengan lingkungan dan menyesuaikan lingkungan itu dengan kebutuhannya.

Goal attainment (pencapaian tujuan).

Sebuah sistim harus mendifiniisikan diri untuk mencapai tujuan utamanya.

Integration (integrasi).

Sebuah sistim harus mengatur antar hubungan bagian-bagian yang menjadi komponennya. Sistim juga harus mengelola antar hubungan ketiga fungsi penting lainnya (A, G, L).

Latency (pemeliharaan pola

Sebuah sistim harus memperlengkapi, memelihara, dan memperbaiki, baik motivasi individu maupun pola-pola kultural yang menciptakan dan menopang motivasi.

Agar dapat tetap bertahan, maka suatu sistim harus mempunyai keempat fungsi ini. Parson mendisain skema AGIL ini untuk digunakan di semua tingkat dalam sistim teorinya, yang aplikasinya adalah sebagai berikut :

• Organisme perilaku adalah sistim tindakan yang melaksanakan fungsi adaptasi dengan menyesuaikan diri dengan dan mengubah lingkungan eksternal.

• Sistim kepribadian melaksanakan fungsi pencapaian tujuan dengan menetapkan tujuan sistim dan memobilisasi sumber daya yang ada untuk mencapainya.

• Sistim sosial menanggulangi fungsi integrasi dengan mengendalikan bagian-bagian yang menjadi komponennya.

• Sistim kultural melaksanakan fungsi pemeliharaan pola dengan menyediakan aktor seperangkat norma dan nilai yang memotivasi mereka untuk bertindak.

Inti pemikiran Parson ditemukan dalam empat sistim tindakan yang diciptakannya. Tingkatan yang paling rendah dalam sistim tindakan ini adalah lingkunagn fisik dan organisma, meliputi aspek-aspek tubuh manusia, anatomi, dan fisiologisnya. Sedang tingkat yang paling tinggi dalam sistim tindakan adalah realitas terakhir yang mungkin dapat berupa kebimbangan, ketidak pastian, kegelisahan, dan tragedi kehidupan sosial yang menantang organisasi sosial. Di antara dua lingkungan tindakan itulah terdapat empat sistim yang diciptakan oleh Parson meliputi organisme perilaku, sistim kepribadian, sistim sosial, dan sistim kultutral. Semua pemikiran Parson tentang sistim tindakan ini didasarkan pada asumsi-asumsi beikut :

1. Sistim memiliki properti keteraturan dan bagian-bagian yang saling bergantung. 2. Sistim cenderung bergerak ke arah mempertahankan keteraturan diri atau

keseimbangan. 3. Sistim mungkin statis atau bergerak dalam proses perubahan yang teratur. 4. Sifat dasar bagian dari suatu sistim berpengaruh terhadap bentuk bagian-bagian lain. 5. Sistim memelihara batas-batas dengan lingkunganya. 6. Alokasi dari integrasi merupakan dua proses fundamental yang diperlukan untuk

memelihara keseimbangan sistim. 7. Sistim cenderung menuju ke arah pemeliharaan keseimbangan diri yang meliputi

pemeliharaan batas dan pemeliharaan hubungan antara bagian-bagian dengan kerseluruhan sistim, menegndalikan lingkungan yang berbeda-beda dan mengendalikan kecenderungan untuk merubah sistim dari dalam.

Dari asumsi-asumsi inilah Parson menempatkan analisis struktur keteraturan masyarakat pada prioritas utama. Parson sedikit sekali memperhatikan masalah perubahan sosial. Keempat sistim tindakan ini tidak muncul dalam kehidupan nyata; tetapi lebih merupakan peralatan analisis untuk menganalisis kehidupan nyata.

Secara umum semua teori Parson dianggap pasif dan konservatif. Untuk menepis semua tuduhan yang dialamatkan kepadanya, Parson memperlihatkan sisi dinamis yang berubah-ubah ke dalam teorinya melalui gagasannya tentang media pertukaran umum di dalam dan di antara empat sistim tindakannya. Media pertukaran umum itu bisa berujud material maupun simbolik, di antaranya adalah uang, kekuasaan politik, pengaruh, dan komitmen terhadap nilai. Namun Parson lebih menekankan pada kualitas simbolik daripada aspek materialnya. Uang sebagai media pertukaran umum, sangat berperan sebagai medium di dalam perekonomian, dan juga dalam membangun hubungan sosial sistim kemasyarakatan, termasuk juga membangun kekuasaan politik melalui sistim politik. Inilah yang memberikan dinamisme terhadap sebagian besar analisis struktural Parson.

2.2 TEORI STRUKTURAL FUNGSIONALISME EMILE DURKHEIM

Menurut Emile Durkheim fungsionalisme struktural lahir sebagai perspektif yang berbeda dalam sosiologi, karena masyarakat modern memiliki seperangkat kebutuhan dan fungsi-fungsi tertentu yang harus dipenuhi oleh bagian-bagian yang menjadi anggotanya agar dalam keadaan normal, tetap langgeng. Bila mana kebutuhan tertentu tadi tidak dipenuhi maka akan berkembang suatu keadaan yang bersifat "patologis".

Dalam analisa fungsionalis nya, Durkheim mendasarkan teori nya pada kohesi sosial atau solidaritas dan pada dua kebutuhan sosial yang khusus, yakni peraturan dan integrasi]. Hipotesanya adalah bahwa masyarakat yang ditandai oleh terlalu banyak atau terlalu sedikit peraturan dan integrasi akan memperoleh tingkat bunuh diri yang agak tinggi. Karena ikatan yang terlalu kuat terhadap integrasi yang terlau tinggi bisa menyebabkan bunuh diri. Misalnya, di dalam suatu masyarakat yang sederhana, seorang pemuda dianggap pengecut oleh teman-temannya, dan angapan-anggapan itu memalukan anak muda itu, ia malu terhadap masyarakat yang menjunjung tinggi nilai keberanian. Oleh karena rasa malu itu, ia akhirnya bunuh diri.

Teori struktural fungsionalis ini pada awal nya memang pemikiran Durkheim, akan tetapi di pengaruhi oleh Auguste Comte dan Herbert Spencer. Comte dengan pemikirannya mengenai analogi organismik kemudian dikembangkan lagi oleh Herbert Spencer dengan membandingkan dan mencari kesamaan antara masyarakat dengan organisme, hingga akhirnya berkembang menjadi apa yang disebut dengan requisite functionalism. Karena dipengaruhi oleh comte dan herbert, maka Durkheim mengungkapkan bahwa masyarakat adalah sebuah kesatuan dimana di dalamnya terdapat bagian � bagian yang dibedakan. Bagian-bagian dari sistem tersebut mempunyai fungsi masing � masing yang membuat sistem menjadi seimbang. Bagian tersebut saling interdependensi satu sama lain dan fungsional, sehingga jika ada yang tidak berfungsi maka akan merusak keseimbangan sistem. Pemikiran inilah yang menjadi sumbangsih Durkheim dalam teori Parsons dan Merton mengenai struktural fungsional.

Fokus Durkheim pada fakta-fakta sosial level makro merupakan salah satu alasan kenapa karyanya memiliki peran sentral dalam perkembangan fungsionalisme struktural. Akan tetapi, apakah Durkheim seorang fungsionalis atau tidak, masih bisa di perdebatkan dan tergantung pada bagaimana kita mendefinisikan Fungsionalisme.

Fungsionalisme bisa di definisikan dalam dua cara yang berbeda, yaitu pengertian yang lemah dan pengertian yang kuat. Kingsley Davis merujuk pada pengertian yang lemah "bahwa fungsionalisme adalah suatu pendekatan yang menyatukan masyarakat secara keseluruhan dan menyatukan antara satu dengan yang lainnya". Sementara pengertian yang kuat di berikan oleh Turner dan Maryanski "bahwa fungsionalime adalah sebuah pendekatan yang berdasarkan pada analogi masyarakat dengan organisme biologis, dan menjelaskan struktur sebagian masyarakat berdasarkan kebutuhan secara menyeluruh".

Dalam pengertian kedua nya, Durkheim menjadi fungsionalis secara tidak langsung dan bisa dikatakan kebetulan. Durkheim tidak menolak analogi antara organismebiologis dan struktural sosial, akan tetapi, ia tidak percaya bahwa sosiolog bisa menyimpulkan hukum sosiologis dengan analogi biologi, Durkheim menyebutnya dengan kesimpulan yang tidak berguna.

Durkheim berpendapat bahwa membedakan fungsi-fungsi berdasrkan sebab-sebab historis fakta sosial. Hipotesis awal Durkheim menyatakan bahwa fakta sosial mungkin memiliki fungsi-fungsi tertentu dan ia mengakui bahwa beberpa fakta sosial adalah kebetulan sejarah. Oleh karena itu, kebutuhan sebagian masyarakat bisa ditentukan dengan memepelajari masyarakat dengan pendekatan fungsionalis walaupun mesti didahului oleh studi historis.

Masyarakat modern dilihat oleh Durkheim sebagai keseluruhan organis yang memiliki realitas tersendiri. Keseluruhan tersebut memiliki seperangkat kebutuhan atau fungsi-fungsi tertentu yang harus dipenuhi oleh bagian-bagian yang menjadi anggotanya agar dalam keadaan normal, tetap langgeng. Bila mana kebutuhan tertentu tadi tidak dipenuhi maka akan berkembang suatu keadaan yang bersifat patologis. Sebagai contoh dalam masyarakat modern fungsi ekonomi merupakan kebutuhan yang harus dipenuhi. Bilamana kehidupan ekonomi mengalami suatu fluktuasi yang keras, maka bagian ini akan mempengaruhi bagian yang lain dari sistem itu dan akhirnya sistem sebagai keseluruhan. Suatu depresi yang parah dapat menghancurkan sistem politik, mengubah sistem keluarga dan menyebabkan perubahan dalam struktur keagamaan. Pukulan yang demikian terhadap sistem dilihat sebagai suatu keadaan patologis, yang pada akhirnya akan teratasi dengan sendirinya sehingga keadaan normal kembali dapat dipertahankan. Para fungsionalis kontemporer menyebut keadaan normal sebagai equilibrium, atau sebagai suatu sistem yang seimbang, sedang keadaan patologis menunjuk pada ketidakseimbangan atau perubahan sosial.

2.3 BRONISLAW MALINOWSKI DAN A.R. RADCLIFFE-BROWN

Malinowski dan Brown dipengaruhi oleh ahli-ahli sosiologi yang melihat masyarakat sebagai organisme hidup, dan keduanya menyumbangkan buah pikiran mereka tentang hakikat, analisa fungsional yang dibangun di atas model organis. Di dalam batasannya tentang beberapa konsep dasar fungsionalisme dalam ilmu-ilmu sosial, pemahaman Radcliffe-Brown (1976:503-511) mengenai fungsionalisme struktural merupakan dasar bagi analisa fungsional kontemporer : Fungsi dari setiap kegiatan yang selalu berulang, seperti penghukuman kejahatan, atau upacara penguburan, adalah merupakan bagian yang dimainkannya dalam kehidupan sosial sebagai keseluruhan dan, karena itu merupakan sumbangan yang diberikannya bagi pemeliharaan kelangsungan struktural (Radcliffe-Brown (1976:505).

Fungsionalisme-Struktural Radcliffe-Brown, adalah teori yang menggagasan mengenai sebuah kerangka kerja yang menggambarkan konsep-konsep dasar yang berkaitan dengan struktur sosial dari peradaban masyarakat tertentu.

Gagasan mengenai teorinya tersebut terlihat pada karangannya “The Andaman Islanders”(1922), yang berbicara mengenai gagasan dan pandangannya terhadap kehidupan sosial kebudayaan. Dalam karyanya tersebut ia menggunakan suatu diskripsi etnografi yang terintegrasi secara fungsional, deskripsi etnografi The Andaman Islanders merupakan suatu contoh dari suatu deskripsi terintegrasi secara fungsional, di mana berbagai upacara agama dikaitkan dengan mitologi atau dongeng-dongeng suci yang bersangkutan, dan di mana pengaruh dan efeknya terhadap struktur hubungan antara warga dalam suatu komunitas desk Andaman yang kecil, menjadi tampak jelas. Ia merumuskan metode pendiskripsian terhadap karangan etnografi. Salah satunya ialah melalui aspek upacara, yang dirumuskan kedalam beberapa bagian seperti berikut:

Agar suatu masyarakat dapat hidup langsung, maka harus ada suatu sintimen dalam jiwa warganya yang merangsang mereka untuk berperilaku sesuai dengan kebutuhan mereka.Tiap unsur dalam sistem sosial dan tiap gejala atau benda yang dengan demikian mempunyai efek pada solidaritas masyarakat menjadi pokok orientasi dari sentimenn tersebut.

Sentimen itu ditimbulkan dalam pikiran individu warga masyarakat sebagai pengaruh hidup warga masyarakat.Adat istiadat upacara adalah wahana dengan apa sentimen-sentimen itu dapat diekspresikan secara kolektif dan berulang pada saat tertentu. Ekspresi kolektif dari sentimen memelihara intensitas itu dalam jiwa warga masyarakat dan bertujuan meneruskan kepada warga generasi berikutnya.

Brown juga menyarankan untuk memakai istilah “fungsi sosial” untuk menyatakan efek dari suatu keyakinan, adat, atau pranata kepada solidaritas sosial dalam masyarakat tersebut. Dengan demikian pendirian Radcliffe-Brown mengenai fungsi sosial, pada dasarnya sama dengan pendapat yang dikemukakan Malinowski mengenai fungsi dalam tingkat abstraksi ketiga, yaitu pengaruh efek dari suatu upacara keagamaan atau dongeng mitologi terhadap kebutuhan mutlak untuk berlangsungnya secara berintegrasi dari suatu sistem sosial tertentu.

2.4 COSER DAN ROSENBERG (1976: 490)

Melihat bahwa kaum fungsionalisme struktural berbeda satu sama lain di dalam mendefinisikan konsep-konsep sosiologi mereka. Sekalipun demikian adalah mungkin untuk memperoleh suatu batasan dari dua konsep kunci berdasarkan atas kebiasaan sosiologis standar. Struktur menunjuk pada seperangkat unit-unit sosial yang relatif stabil dan berpola, atau suatu sistem dengan pola-pola yang relatif abadi.Lembaga-lembaga sosial seperti keluarga, agama, atau pemerintahan, termasuk struktur kelembagaan partai politik adalah contoh dari struktur atau sistem sosial yang masing-masing merupakan bagian yang saling bergantungan satu sama lain (norma-norma mengatur status dan peranan) menurut beberapa pola tertentu.

Coser dan Rosenberg (1976: 490) membatasi fungsi sebagai konsekuensi-konsekuensi dari setiap kegiatan sosial yang tertuju pada adaptasi penyesuaian suatu struktur tertentu dari bagian-bagian komponennya. Dengan demikian fungsi menunjuk kepada proses dinamis yang terjadi di dalam struktur itu. Hal ini melahirkan masalah tentang bagaimana berbagai norma sosial yang mengatur status-status, ini memungkinkan status-status tersebut saling berhubungan satu sama lain dan berhubungan dengan sistem yang lebih luas.

2.5 DI TAHUN 1959 KINGSLEY DAVIS

Dalam pidato kepemimpinannya di hadapan anggota American Sociological Association, bahkan melangkah lebih jauh dengan menyatakan bahwa fungsionalisme struktural sudah tidak dapat lagi dipisahkan dari sosiologi itu sendiri. Tetapi dalam sepuluh tahun terakhir ini teori fungsionalisme struktural itu semakin banyak mendapat serangan sehingga memaksa para pendukungnya untuk mempertimbangkan kembali pernyataan mereka tentang potensi teori tersebut sebagai teori pemersatu dalam sosiologi. Selama beberapa dasawarsa, fungsionalisme struktural telah berkuasa sebagai suatu paradigma atau model teoritis yang dominan di dalam sosiologi kontemporer Amerika.

Kingsley Davis dan Wilbert Moore

Menurut mereka, dalam masyarakat pasti ada stratifikasi atau kelas, stratifikasi sosial merupakan fenomena yang penting dan bersifat universal. Stratifikasi adalah keharusan fungsional, semua masyarakat memerlukan sistem seperti dan keperluan ini sehingga memerlukan stratifikasi. Mereka memandang sistem stratifikasi sebagai sebuah struktur, dan tidak mengacu pada stratifikasi individu pada system stratifikasi, melainkan pada sistem posisi (kedudukan).

Pusat perhatiannya ialah bagaimana agar posisi tertentu memiliki tingkat prestise berbeda dan bagaimana agar individu mau mengisi posisi tersebut. Masalah fungsionalnya ialah bagaimana cara masyarakat memotivasi dan menempatkan setiap individu pada posisi yang tepat. Secara stratifikasi masalahnya ialah bagaimana meyakinkan individu yang tepat pada posisi tertentu dan membuat individu tersebut memiliki kualifikasi untuk memegang posisi tersebut.

Penempatan sosial dalam masyarakat menjadi masalah karena tiga alasan mendasar,

• Posisi tertentu lebih menyenangkan daripada posisi yang lain • Posisi tertentu lebih penting untuk menjaga keberlangsungan masyarakat daripada posisi

yang lain • Setiap posisi memiliki kualifikasi dan bakat yang berbeda.

Posisi yang tinggi tingkatannya dalam stratifikasi cenderung untuk tidak diminati tetapi penting untuk menjaga keberlangsungan masyarakat, juga memerlukan bakat dan kemampan terbaik. Pada keadaan ini masyarakat dianjurkan agar memberi reward kepada individu yang menempati posisi tersebut agar dia menjalankan fungsinya secara optimal. Jika ini tidak dilakukan maka masyarakat akan kekurangan individu untuk mengisi posisi tesebut yang berakibat pada tercerai-berainya masyarakat.

Adapun kritik terhadap Teori Stratifikasi Struktural-Fungsional ialah :

• Teori ini menolak keberadaan masyarakat tanpa kelas pada waktu kapanpun. • Teori ini melanggengkan orang yang pada keadaan awal telah memiliki kekuasaan, prestise

dan uang.

• Posisi penting yang disebutkan dalam teori ini merupakan sesuatu yang relatif satu dengan yang lain.

2.6 TEORI STRUKTURAL FUNGSIONAL ROBERT K. MERTON

Sebagai seorang yang mungkin dianggap lebih dari ahli teori lainnya telah mengembangkan pernyataan mendasar dan jelas teori-teori fungsionalisme, adalah seorang pendukung yang mengajukan tuntutan lebih terbatas bagi perspektif ini. Mengakui bahwa pendekatan ini telah membawa kemajuan bagi pengetahuan sosiologis, ia juga mengakui bahwa fungsionalisme struktural mungkin tidak akan mampu mengatasi seluruh masalah sosial (Merton, 1975: 25). Pada saat yang sama Merton tetap sebagai pelindung setia dari analisa fungsional, yang dinyatakannya mampu melahirkan suatu masalah yang saya anggap menarik dan cara berfikir yang saya anggap lebih efektif dibanding dengan cara berfikir lain yang pernah saya temukan (Merton, 1975: 30). Di dalam kata-kata Coser dan Rosenberg (1976: 492) model fungsionalisme struktural Merton ini adalah merupakan pernyataan yang paling canggih dari pendekatan fungsionalisme yang tersedia dewasa ini.Model analisa fungsional Merton merupakan hasil perkembangan pengetahuan yang menyeluruh dari teori-teori klasik yang menggunakan penulis besar seperti Max Weber.

Pengaruh Weber dapat dilihat dalam batasan Merton tentang birokrasi. Mengikuti Weber, Merton (1957: 195-196) mengamati beberapa hal berikut di dalam organisasi birokrasi modern :

(1). Birokrasi merupakan struktur sosial yang terorganisir secara rasional dan formal; (2). Meliputi suatu pola kegiatan yang memiliki batas-batas yang jelas; (3). Kegiatan-kegiatan tersebut secara ideal berhubungan dengan tujuan-tujuan organisasi; (4). Jabatan-jabatan dalam organisasi diintegrasikan ke dalam keseluruhan struktur birokratis; (5). Status-status dalam birokrasi tersusun ke dalam susunan yang bersifat hirarkis; (6). Berbagai kewajiban serta hak-hak di dalam birokrasi dibatasi oleh aturan-aturan yang

terbatas serta terperinci; (7). otoritas pada jabatan, bukan pada orang; (8). hubungan-hubungan antara orang-orang dibatasi secara formal. Organisasi-organisasi

yang berskala besar, termasuk universitas atau akademi, memberikan ilustrasi yang baik tentang model birokrasi yang diuraikan oleh Weber dan Merton.

Paradigma analisa fungsional Merton, mencoba membuat batasan-batasan beberapa konsep analitis dasar dari bagi analisa fungsional dan menjelaskan beberapa ketidakpastian arti yang terdapat di dalam postulat-postulat kaum fungsional. Merton mengutip tiga postulat yang terdapat di dalam analisa fungsional yang kemudian disempurnakannya satu demi satu.

Postulat pertama, adalah kesatuan fungsional masyarakat yang dapat dibatasi sebagai suatu keadaan di mana seluruh bagian dari sistem sosial bekerja sama dalam suatu tingkat keselarasan atau konsistensi internal yang memadai, tanpa menghasilkan konflik yang berkepanjangan yang tidak dapat diatasi atau diatur (Merton, 1967: 80). Merton menegaskan bahwa kesatuan fungsioanal yang sempurna dari suatu masyarakat adalah bertentangan dengan fakta. Sebagai contoh dia mengutip beberapa kebiasaan masyarakat yang dapat bersifat fungsional bagi suatu kelompok (menunjang integrasi dan kohesi suatu kelompok) akan tetapi disfungsional (mempercepat kehancuran) bagi kelompok lain. Para sesepuh sosiologi melihat agama, misalnya, sebagai suatu unsur penting (kalau tidak esensial) di dalam masyarakat. Kita memiliki banyak contoh di mana agama mampu mempertinggi tingkat kohesi suatu masyarakat, kita juga mempunyai banyak kasus di mana agama memiliki konsekuensi disintegratif.

Paradigma Merton menegaskan bahwa disfungsi (elemen disintegratif) tidak boleh diabaikan hanya karena orang begitu terpesona oleh fungsi-fungsi positif (elemen integratif). Sebagai contoh, beliau juga menegaskan bahwa apa yang fungsional bagi suatu kelompok (masyarakat Katolik atau Protestan di kota Belfast, misalnya) dapat tidak fungsional bagi keseluruhan bagi kota Belfast. Oleh karena itu batas-batas kelompok yang dianalisa harus diperinci.

Postulat kedua, yaitu fungsionalisme universal, terkait dengan postulat pertama. Fungsionalisme universal menganggap bahwa seluruh bentuk sosial dan kebudayaan yang sudah baku memiliki fungsi-fungsi positif (Merton, 1967: 84), seperti apa yang telah kita ketahui Merton memperkenalkan konsep disfungsi maupun fungsi positif. Beberapa perilaku sosial jelas bersifat disfungsioanal. Merton menganjurkan agar elemen-elemen kultural seharusnya dipertimbangkan menurut kriteria keseimbangan konsekuensi fungsional (net balance of functional consequences), yang menimbang fungsi positif relatif terhadap fungsi negatif. Sehubungan dengan kasus agama yang dicontohkan

tadi, seorang fungsionalis harus mencoba mengkaji fungsi positif maupun negatifnya, dan kemudian menetapkan keseimbangan di antara keduanya.

Postulat ketiga melengkapi trio postulat fungsionalisme, adalah postulat indispensability. Ia menyatakan bahwa dalam setiap tipe peradaban, setiap kebiasaan, ide, obyek materil, dan kepercayaan memenuhi beberapa fungsi penting, memiliki sejumlah tugas yang harus dijalankan, dan merupakan bagian penting yang tidak dapat dipisahkan dalam kegiatan sistem sebagai keseluruhan (Merton, 1967: 86).

2.7 TEORI STRUKTURAL FUNGSIONAL SEBAGAIMANA GARNA (1996: 54)

Mmengemukakan, Pertama, bahwa fungsionalisme sebagai kaidah atau teori dapat menjelaskan gejala-gejala dan institusi sosial dengan memfokuskan kepada fungsi yang dibentuk dan disusun oleh gejala sosial dan institusi sosial tersebut. Dari sisi kaidah tersebut, maka fungsional memperhatikan sistem dan pola komunikasi sebagai fakta sosial (social facts). Kedua, struktur sosial merujuk pada pola hubungan dalam setiap satuan sosial yang mapan dan sudah memiliki identitas sendiri; sedangkan fungsi merujuk pada kegunaan atau manfaat dari tiap satuan sosial tadi.

Garna mengemukakan bahwa konsep struktur sosial merupakan dasar atau teras bagi pendekatan struktural-fungsional, yang diajukan oleh para antropolog Inggris. Aliran struktural fungsional dalam antropologi yang dikembangkan oleh A.R. Radcliffe Brown, mengembangkan aliran ini dengan pra anggapan bahwa masyarakat analogi dengan organisme yang bekerja secara mekanik. Menurut Radcliffe Brown15, bahwa masyarakat itu semacam organisme yang bagian-bagiannya tidak hanya saling berhubungan melainkan juga memberikan andil bagi pemeliharaan, stabilitas dan kelestarian hidup organisme itu. Dengan demikian masyarakat itu mempunyai syarat-syarat fungsional tertentu untuk memungkinkan eksistensinya. Syarat-syarat tersebut adalah:

1) Jaminan adanya hubungan yang memadai dengan lingkungan dan adanya rekruitmen seksual;

2) Diferensiasi peran dan pemberian peran; 3) Komunikasi; 4) Perangkat tujuan yang jelas dan disangga bersama; 5) Pengaturan normatif atas sarana-sarana; 6) Pengaturan ungkapan efektif; 7) Sosialisasi; dan 8) Kontrol efektif atas perilaku disruptif.

Salah satu konsep yangmMenurut Garna, dasar penting dalam struktur sosial adalah relasi-relasi sosial yang apabila relasi-relasi tersebut tidak dilakukan maka masyarakat itu tidak akan berwujud lagi. Lebih lanjut Garna menyatakan bahwa struktur sosial juga dapat ditinjau dari segi status, peranan, nilai-nilai, norma-norma dan institusi sosial dalam suatu sistem relasi. Brown23 menyatakan bahwa struktur sosial adalah keseluruhan relasi sosial yang terwujud dalam suatu masyarakat. Brown menganalogikan struktur sosial dengan organisme biologis yang memiliki kesatuan yang sungguh ada yang dipersatukan oleh seperangkat relasi.

Hal yang paling esensial dalam organisasi sosial adalah proses pemben tukan kelompok sosial serta sistem dan fungsi interelasi yang terkandung di dalamnya. Organisasi sosial adalah penyusunan dari aktivitas dari dua orang atau lebih yang disesuaikan n untuk menghasilkan kesatuan aktivitas yang merupakan satu kerjasama. Garna menjabarkan organisasi sosial sebagai:

9) Suatu tindakan yang tertata melalui aktivitas sosial, tindakan itu terkait satu sama lainnya; 10) Susunan kerja suatu masyarakat atau dapat dikatan proses penyusunan suatu tindakan

dan hubungannya menurut tujuan sosial yang dapat diterima oleh umum atau masyarakat; dan

11) Aspek kerjasama yang mendasar yang menggerakkan tingkah laku individu pada tujuan sosial dan ekonomi tertentu.

2.8 MENURUT SANDJADJA (1994: 32)

Mengemukakan bahwa model struktural fungsional mempunyai ciri sebagai berikut:

(1). Sistem dipandang sebagai satu kesatuan yang terdiri dari unsur-unsur yang saling berkaitan;

(2). Adanya spesifikasi lingkungan yakni spesifikasi faktor-faktor eksternal yang bisa mempengaruhi sistem;

(3). Adanya ciri-ciri, sifat-sifat yang dipandang esensial untuk kelangsungan sistem; (4). Adanya spesifikasi jalan yang menentukan perbedaan nilai; dan (5). Adanya aturan tentang bagaimana bagian-bagian secara kolektif beroperasi sesuai ciri-

cirinya untuk menjaga eksistensi sistem. 2.9 FRANCESCA CANCIAN

Memberikan sumbangan pemikiran bahwa sistem sosial merupakan sebuah model dengan persamaan tertentu. Analogi yang dikembangkan didasarkan pula oleh ilmu alam, sesuatu yang sama dengan para pendahulunya. Model ini mempunyai beberapa variabel yang membentuk sebuah fungsi. Penggunaan model sederhana ini tidak akan mampu memprediksi perubahan atau keseimbangan yang akan terjadi, kecuali kita dapat mengetahui sebagaian variabel pada masa depan. Dalam sebuah sistem yang deterministik, seperti yang disampaikan oleh Nagel, keadaan dari sebuah sistem pada suatu waktu tertentu merupakan fungsi dari keadaan tersebut beberapa waktu lampau.

2.10 TEORI STRATIFIKASI STRUKTURAL FUNGSIONAL KINGSLEY DAVIS DAN WILBERT MOORE

Menurut mereka, dalam masyarakat pasti ada stratifikasi atau kelas, stratifikasi sosial merupakan fenomena yang penting dan bersifat universal. Stratifikasi adalah keharusan fungsional, semua masyarakat memerlukan sistem seperti dan keperluan ini sehingga memerlukan stratifikasi. Mereka memandang sistem stratifikasi sebagai sebuah struktur, dan tidak mengacu pada stratifikasi individu pada system stratifikasi, melainkan pada sistem posisi (kedudukan).

Pusat perhatiannya ialah bagaimana agar posisi tertentu memiliki tingkat prestise berbeda dan bagaimana agar individu mau mengisi posisi tersebut. Masalah fungsionalnya ialah bagaimana cara masyarakat memotivasi dan menempatkan setiap individu pada posisi yang tepat. Secara stratifikasi masalahnya ialah bagaimana meyakinkan individu yang tepat pada posisi tertentu dan membuat individu tersebut memiliki kualifikasi untuk memegang posisi tersebut.

Penempatan sosial dalam masyarakat menjadi masalah karena tiga alasan mendasar,

• Posisi tertentu lebih menyenangkan daripada posisi yang lain • Posisi tertentu lebih penting untuk menjaga keberlangsungan masyarakat daripada posisi

yang lain. • Setiap posisi memiliki kualifikasi dan bakat yang berbeda.

Posisi yang tinggi tingkatannya dalam stratifikasi cenderung untuk tidak diminati tetapi penting untuk menjaga keberlangsungan masyarakat, juga memerlukan bakat dan kemampan terbaik. Pada keadaan ini masyarakat dianjurkan agar memberi reward kepada individu yang menempati posisi tersebut agar dia menjalankan fungsinya secara optimal. Jika ini tidak dilakukan maka masyarakat akan kekurangan individu untuk mengisi posisi tesebut yang berakibat pada tercerai-berainya masyarakat.

2 . 1 1 HERBERT SPENCER

Herbert Spencer (1820-1903) adalah seorang filsuf Inggris yang terkenal untuk menerapkan teori seleksi alam kepada masyarakat . Dia dalam banyak hal pertama fungsionalis sejati sosiologis. Bahkan, sementara Durkheim secara luas dianggap sebagai fungsionalis paling penting di antara teori positivis, hal ini juga diketahui bahwa banyak dari analisis nya diambil dari membaca karya Spence , khususnya Prinsip tentang Sosiologi (1874-1896). Spencer menyinggung masyarakat ke analogi tubuh manusia. Sama seperti bagian struktural dari tubuh manusia - kerangka , otot , dan berbagai organ internal - fungsi independen untuk membantu seluruh organisme hidup , struktur sosial bekerja sama untuk melestarikan masyarakat.

Sementara sebagian besar menghindari tugas-tugas membosankan membaca volume besar Spencer ( diisi seperti mereka dengan ayat-ayat yang panjang memberi penjelasan analogi organik , dengan mengacu pada sel-sel , organisme sederhana , hewan , manusia dan masyarakat ) , ada beberapa informasi penting yang telah diam-diam mempengaruhi banyak kontemporer teori ,

termasuk Talcott Parsons , dalam karya awalnya The Structure of Social Action ( 1937) . Antropologi budaya juga konsisten menggunakan fungsionalisme .

Model evolusi ini , tidak seperti kebanyakan teori evolusi abad ke-19 , adalah siklus, dimulai dengan diferensiasi dan meningkatkan komplikasi dari ( istilah Spencer untuk sistem sosial ) "super - organik" organik atau badan , diikuti oleh negara fluktuasi keseimbangan dan ketidakseimbangan ( atau keadaan penyesuaian dan adaptasi ) , dan , akhirnya , tahap disintegrasi atau pembubaran . Mengikuti prinsip-prinsip populasi Malthus Thomas ' , Spencer menyimpulkan bahwa masyarakat terus menghadapi tekanan seleksi ( internal dan eksternal ) yang memaksanya untuk beradaptasi struktur internal melalui diferensiasi .

Setiap solusi , bagaimanapun, menyebabkan satu set baru tekanan seleksi yang mengancam kelangsungan hidup masyarakat . Perlu dicatat bahwa Spencer bukan determinis dalam arti bahwa ia tidak pernah mengatakan bahwa

• Tekanan seleksi akan dirasakan pada waktunya untuk mengubah mereka ; • Mereka akan merasa dan bereaksi terhadap ; atau • Solusi akan selalu bekerja .

Bahkan , ia dalam banyak hal seorang sosiolog politik, dan diakui bahwa tingkat otoritas terpusat dan konsolidasi dalam pemerintahan yang diberikan bisa membuat atau menghancurkan kemampuannya untuk beradaptasi. Dengan kata lain, ia melihat kecenderungan umum ke arah sentralisasi kekuasaan sebagai menyebabkan stagnasi dan akhirnya, tekanan untuk mendesentralisasikan.

Lebih khusus, Spencer diakui tiga kebutuhan fungsional atau prasyarat yang menghasilkan tekanan seleksi : mereka regulasi , operasi ( produksi ) dan distributif . Dia berargumen bahwa semua masyarakat harus memecahkan masalah kontrol dan koordinasi , produksi barang , jasa dan ide-ide , dan , akhirnya , untuk menemukan cara mendistribusikan sumber daya tersebut.

Awalnya , dalam masyarakat suku , tiga kebutuhan ini tidak dapat dipisahkan , dan sistem kekerabatan adalah struktur dominan yang memuaskan mereka . Seperti banyak sarjana telah mencatat , semua lembaga yang dimasukkan di bawah organisasi kekerabatan, tetapi , dengan meningkatnya populasi ( baik dari segi angka yang jelas dan densitas ) , masalah muncul berkaitan dengan individu makan , menciptakan bentuk-bentuk baru dari organisasi - pertimbangkan muncul yang pembagian dan mengendalikan berbagai unit sosial dibedakan , dan mengembangkan sistem distribusi sumber daya koordinasi tenaga kerja .

Solusinya , sebagai Spencer melihatnya , adalah untuk membedakan struktur untuk memenuhi fungsi yang lebih khusus ; demikian seorang kepala atau " orang besar " muncul , segera diikuti oleh sekelompok letnan , dan raja-raja berikutnya dan administrator . Bagian-bagian struktural dari masyarakat ( keluarga ex. , pekerjaan ) fungsi interdependently untuk membantu fungsi masyarakat . Oleh karena itu , struktur sosial bekerja sama untuk melestarikan masyarakat.

Mungkin kendala terbesar Spencer yang sedang banyak dibahas dalam sosiologi modern adalah kenyataan bahwa sebagian besar filsafat sosialnya berakar dalam konteks sosial dan sejarah Mesir Kuno . Dia menciptakan istilah " survival of the fittest " dalam membahas fakta sederhana bahwa suku-suku kecil atau masyarakat cenderung dikalahkan atau ditaklukkan oleh yang lebih besar . Tentu saja, banyak sosiolog masih menggunakan dia ( sadar atau tidak ) dalam analisis mereka , terutama karena munculnya kembali baru-baru teori evolusi.

2 . 12 TEORI SEMIOTIKA

Teori Semiotika ini dikemukakan oleh Ferdinand De Saussure (1857-1913). Dalam teori ini semiotik dibagi menjadi dua bagian (dikotomi) yaitu penanda (signifier) dan pertanda (signified). Penanda dilihat sebagai bentuk/wujud fisik dapat dikenal melalui wujud karya arsitektur, sedang pertanda dilihat sebagai makna yang terungkap melalui konsep, fungsi dan/atau nilai-nilai yang terkandung didalam karya arsitektur. Eksistensi semiotika Saussure adalah relasi antara penanda dan petanda berdasarkan konvensi, biasa disebut dengan signifikasi. Semiotika signifikasi adalah sistem tanda yang mempelajari relasi elemen tanda dalam sebuah sistem berdasarkan aturan atau konvensi tertentu. Kesepakatan sosial diperlukan untuk dapat memaknai tanda tersebut.

Beberapa ahli/pemikir teori semiotika dikaitkan dengan kedustaan, kebohongan dan kepalsuan sebuah teori dusta. Jadi, ada asumsi terhadap teori dusta ini serta beberapa teori lainnya sejenis, yang dijadikan sebagai titik berangkat dari sebuah kecenderungan semiotika, yang kemudian disebut juga sebagai hipersemiotika (hyper-semiotics).

Umberto Eco yang menulis tentang teori semiotika ini mengatakan bahwa semiotika. “�pada prinsipnya adalah sebuah disiplin yang mempelajari segala sesuatu yang dapat digunakan untuk berdusta (lie).” Definisi Eco cukup mencengangkan banyak orang, secara eksplisit menjelaskan betapa sentralnya konsep dusta didalam wacana semiotika, sehingga dusta tampaknya menjadi prinsip utama semiotika itu sendiri.

Semiotik atau semiologi merupakan terminologi yang merujuk pada ilmu yang sama. Istilah semiologi lebih banyak digunakan di Eropa sedangkan semiotik lazim dipakai oleh ilmuwan Amerika. Istilah yang berasal dari kata Yunani semeion yang berarti ‘tanda’ atau ‘sign’ dalam bahasa Inggris itu adalah ilmu yang mempelajari sistem tanda seperti: bahasa, kode, sinyal, dan sebagainya. Secara umum, semiotik didefinisikan sebagai berikut. Semiotics is usually defined as a general philosophical theory dealing with the production of signs and symbols as part of code systems which are used to communicate information.

Semiotics includes visual and verbal as well as tactile and olfactory signs (all signs or signals which are accessible to and can be perceived by all our senses) as they form code systems which systematically communicate information or massages in literary every field of human behaviour and enterprise. (Semiotik biasanya didefinisikan sebagai teori filsafat umum yang berkenaan dengan produksi tanda-tanda dan simbol-simbol sebagai bagian dari sistem kode yang digunakan untuk mengomunikasikan informasi. Semiotik meliputi tanda-tanda visual dan verbal serta tactile dan olfactory [semua tanda atau sinyal yang bisa diakses dan bisa diterima oleh seluruh indera yang kita miliki ketika tanda-tanda tersebut membentuk sistem kode yang secara sistematis menyampaikan informasi atau pesan secara tertulis di setiap kegiatan dan perilaku manusia).

Macam-macam Semiotik

Hingga saat ini, sekurang-kurangnya terdapat sembilan macam semiotik yang kita kenal sekarang (Pateda, dalam Sobur, 2004). Jenis-jenis semiotik ini antara lain semiotik analitik, diskriptif, faunal zoosemiotic, kultural, naratif, natural, normatif, sosial, struktural.

1. Semiotik analitik merupakan semiotik yang menganalisis sistem tanda. Peirce mengatakan bahwa semiotik berobjekkan tanda dan menganalisisnya menjadi ide, obyek dan makna. Ide dapat dikatakan sebagai lambang, sedangkan makna adalah beban yang terdapat dalam lambang yang mengacu pada obyek tertentu

2. Semiotik deskriptif adalah semiotik yang memperhatikan sistem tanda yang dapat kita alami sekarang meskipun ada tanda yang sejak dahulu tetap seperti yang disaksikan sekarang

3. Semiotik faunal zoosemiotic merupakan semiotik yang khusus memper hatikan sistem tanda yang dihasilkan oleh hewan. Semiotik kultural merupakan semiotik yang khusus menelaah system tanda yang ada dalam kebudayaan masyarakat

4. Semiotik naratif adalah semiotik yang membahas sistem tanda dalam narasi yang berwujud mitos dan cerita lisan (folklore)

5. Semiotik natural atau semiotik yang khusus menelaah sistem tanda yang dihasilkan oleh alam. Semiotik normative merupakan semiotik yang khusus membahas sistem tanda yang dibuat oleh manusia yang berwujud norma-norman.

Semiotik sosial merupakan semiotik yang khusus menelaah sistem tanda yang dihasilkan oleh manusia yang berwujud lambang, baik lambang kata maupun lambang rangkaian kata berupa kalimat. Semiotik struktural adalah semiotik yang khusus menelaah system tanda yang dimanifestasikan melalui struktur bahasa.

Metode Semiotika

Metode semiotika secara prinsip bersifat kualitatif-interpretatif dan dapat diperluas sehingga bersifat kualitatif-empiris. Metode kualitatif-interpretatif lebih berfokus kepada teks dan kode yang nampak secara visual sedang metode kualitatif-empiris membahas pada subyek pengguna teks (Yusita Kusumarini,2006).

Sistem Tanda (Semiotik)

Semiotik (semiotic) adalah teori tentang pemberian ‘tanda’. Secara garis besar semiotik digolongkan menjadi tiga konsep dasar, yaitu semiotik pragmatik (semiotic pragmatic), semiotik sintatik (semiotic syntactic), dan semiotik semantik (semiotic semantic) (Wikipedia, 2007).

Semiotika Teks

Pengertian teks secara sederhana adalah “kombinasi tanda-tanda” (Piliang, 2003). Dalam pemahaman yang sama, semua produk desain (termasuk arsitektur dan interior) dapat dianggap sebagai sebuah teks, karena produk desain tersebut merupakan kombinasi elemen tanda-tanda dengan kode dan aturan tertentu, sehingga menghasilkan sebuah ekspresi bermakna dan berfungsi (Yusita Kusumarini,2006). Dalam menganalisis dengan metode semiotika, pada prinsipnya dilakukan dalam dua tingkatan analisis, yaitu :

� Analisis tanda secara individual (jenis tanda, mekanisme atau struktur tanda), dan makna tanda secara individual

� Analisis tanda sebagai sebuah kelompok atau kombinasi (kumpulan tanda yang membentuk teks), biasa disebut analisis teks

Pada komunikasi, bidang terapan semiotika pun tidak terbatas. Adapun beberapa contoh aplikasi semiotika di antara sekian banyak pilihan kajian semiotika dalam domain komunikasi antara lain :

1. MEDIA

Mempelajari media adalah adalah mempelajari makna dari mana asalnya, seperti apa, seberapa jauh tujuannya, bagaimanakah ia memasuki materi media, dan bagaimana ia berkaitan dengan pemikiran kita sendiri. Dalam konteks media massa, khususnya media cetak kajian semiotika adalah mengusut ideologi yang melatari pemberitaan. Untuk teknik � teknik analisnya sendiri, secara garis besar yang diterapkan adalah :

1. Teknik kuantitatif

Teknik yang paling dapat mengatasi kekurangan dalam objektivitas, namun hasilnya sering kurang mantap. Ciri � ciri yang dapat di ukur dinyatakan sebagai tanda merupakan titik tolak penelitian ini.Menurut Van Zoest, 19993:146-147), hasil analisis kuantitatif selalu lebih spektakuler namun sekaligus selalu mengorbankan ketahanan uji metode � metode yang digunakan

2. Teknik kualitatif

Pada analisis kualitatif, data � data yang diteliti tidak dapat diukur secara matematis. Analisis ini sering menyerang masalah yang berkaitan dengan arti atau arti tambahan dari istilah yang digunakan.

Tiga pendekatan untuk menjelaskan media (McNair, 1994, dalam Sudibyo, 2001:2-4)

1. Pendekatan Politik-Ekonomi

Pendekatan ini berpendapat bahwa isi media lebih ditentukan oleh kekuatan-kekuatan ekonomi dan politik di luar pengelolaan media

2. Pendekatan Organisasi

Bertolak belakang dengan pendekatan politik-ekonomi, pendekatan ini menekankan bahwa isi media diasumsikan dipengaruhi oleh kekuatan-kekuatan eksternal di luar diri pengelola media

3. Pendekatan Kulturalis

Merupakan pendekatan politik-ekonomi dan pendekatan organisasi. Proses produksi berita dilihat sebagai mekanisme yang rumit yang melibatkan faktor internal media. Media pada dasarnya memang mempunyai mekanisme untuk menentukan pola dan aturan oragnisasi, tapi berbagai pola yang dipakai untuk memaknai peristiwa tersebut tidak dapat dilepaskan dari kekuatan � kekuatan politik-ekonomi di luar media.Secara teoritis, media massa bertujuan menyampaikan informasi dengan benar secara efektif dan efisien. Namun, pada praktiknya apa yang disebut sebagai kebenaran ini sangat ditentukan oleh jalinan banyak kepentingan

Terdapat pemilahan atas fakta atau informasi yang dianggap penting dan yang dianggap tidak penting, serta yang dianggap penting namun demi kepentingan survival menjadi tidak perlu disebar luaskan. Media menyunting bahkan menggunting realitas dan kemudian memolesnya menjadi suatu kemasan yang layak disebar luaskan.

Tiga zona dalam teori media menurut Berger dan Luckman :

1. Orders and practices of signification = Tatanan dan praktik � praktik signifikasi 2. Orders and practises of power = Tatanan dan praktik � praktik kekuasaan 3. Orders and practises of production = Tatanan dan praktik � praktik produksi

Praktik-praktik kekuasaan media memiliki banyak bentuk (John B. Thomson, 1994) antara lain:

• Kekuasaan Ekonomi : di lembagakan dalam industri dan perdagangan • Kekuasaan Politik : dilembagakan dalam aparatur negara • Kekuasaan Koersif : dilembagakan dalam organisasi militer dan paramiliter

2. PERIKLANAN

Dalam perspektif semiotika iklan dikaji lewat sistem tanda dalam iklan, yang terdiri atas dua lambang yakni; lambang verbal (bahasa) dan lambang non verbal (bentuk dan warna yang disajikan dalam iklan).Dalam menganalisis iklan, beberapa hal yang perlu diperhatikan antara lain (Berger) :

g. Penanda dan petanda h. Gambar, indeks, simbol i. Fenomena sosiologi j. Sifat daya tarik yang dibuat untuk menjual produk k. Desain dari iklan l. Publikasi yang ditemukan dalam iklan dan khayalan yang diharapkan oleh publikasi

tersebut.

Lain halnya dengan model Roland Barthes, iklan dianalisis berdasarkan pesan yang dikandungnya yaitu :

• Pesan Linguistik : Semua kata dan kalimat dalam iklan • Pesan yang terkodekan : Konotasi yang muncul dalam foto iklan • Pesan ikonik yang tak terkodekan : Denotasi dalam foto iklan

3. TANDA NONVERBAL

Komunikasi nonverbal adalah semua tanda yang bukan kata-kata dan bahasa.Tanda-tanda digolongkan dalam berbagai cara :

a. Tanda yang ditimbulkan oleh alam yang kemudian diketahui manusia melalui pengalamannya

b. Tanda yang ditimbulkan oleh binatang c. Tanda yang ditimbulkan oleh manusia, bersifat verbal dan nonverbal

Namun tidak keseluruhan tanda-tanda nonverbal memiliki makna yang universal. Hal ini dikarenakan tanda-tanda nonverbal memiliki arti yang berbeda bagi setiap budaya yang lain. Dalam hal pengaplikasian semiotika pada tanda nonverbal, yang penting untuk diperhatikan adalah pemahaman tentang bidang nonverbal yang berkaitan dengan benda konkret, nyata dan dapat dibuktikan melalui indera manusia.

Pada dasarnya, aplikasi atau penerapan semiotika pada tanda nonverbal bertujuan untuk mencari dan menemukan makna yang terdapat pada benda-benda atau sesuatu yang bersifat nonverbal. Dalam pencarian makna tersebut, menurut Budianto, ada beberapa hal atau beberapa langkah yang perlu diperhatikan peneliti, antara lain :

• Langkah Pertama : Melakukan survai lapangan untuk mencari dan menemukan objek penelitian yang sesuai dengan keinginan si peneliti

• Langkah Kedua : Melakukan pertimbangan terminologis terhadap konsep-konsep pada tanda nonverbal

• Langkah Ketiga : Memperhatikan perilaku nonverbal, tanda dan komunikasi terhadap objek yang ditelitinya

• Langkah Keempat : Merupakan langkah terpenting �� menentukan model semiotika yang dipilih untuk digunakan dalam penelitian. Tujuan digunakannya model tertentu adalah pembenaran secara metodologis agar keabsahan atau objektivitas penelitian tersebut dapat terjaga

4. FILM

Film merupakan bidang kajian yang amat relevan bagi analisis struktural atau semiotika.

Van Zoest

film dibangun dengan tanda semata-mata. Pada film digunakan tanda-tanda ikonis, yakni tanda-tanda yang menggambarkan sesuatu. Gambar yang dinamis dalam film merupakan ikonis bagi realitas yang dinotasikannya. Film umumnya dibangun dengan banyak tanda. Yang paling penting dalam film adalah gambar and suara. Film menuturkan ceritanya dengan cara khususnya sendiri yakni, mediumnya, cara pembuatannya dengan kamera dan pertunjukannya dengan proyektor dan layar.

Sardar & Loon

Film dan televisi memiliki bahasanya sendiri dengan sintaksis dan tata bahasa yang berbeda. Film pada dasarnya bisa melibatkan bentuk-bentuk simbol visual dan linguistik untuk mengkodekan pesan yang sedang disampaikan. Figur utama dalam pemikiran semiotika sinematografi hingga sekarang adalah Christian Metz dari Ecole des Hautes Etudes et Sciences Sociales (EHESS) Paris. Menurutnya, penanda (signifant) sinematografis memiliki hubungan motivasi atau beralasan dengan penanda yang tampak jelas melalui hubungan penanda dengan alam yang dirujuk. Penanda sinematografis selalu kurang lebih beralasan dan tidak pernah semena.

Teori-teori Semiotika

C.S PEIRCE

Peirce mengemukakan teori segitiga makna atau triangle meaning yang terdiri dari tiga elemen utama, yakni tanda (sign), object, dan interpretant.

Tanda adalah sesuatu yang berbentuk fisik yang dapat ditangkap oleh panca indera manusia dan merupakan sesuatu yang merujuk (merepresentasikan) hal lain di luar tanda itu sendiri. Tanda menurut Peirce terdiri dari Simbol (tanda yang muncul dari kesepakatan), Ikon (tanda yang muncul dari perwakilan fisik) dan Indeks (tanda yang muncul dari hubungan sebab-akibat). Sedangkan acuan tanda ini disebut objek.

Objek atau acuan tanda adalah konteks sosial yang menjadi referensi dari tanda atau sesuatu yang dirujuk tanda.

Interpretant atau pengguna tanda adalah konsep pemikiran dari orang yang menggunakan tanda dan menurunkannya ke suatu makna tertentu atau makna yang ada dalam benak seseorang tentang objek yang dirujuk sebuah tanda.Hal yang terpenting dalam proses semiosis adalah bagaimana makna muncul dari sebuah tanda ketika tanda itu digunakan orang saat berkomunikasi.

Contoh: Saat seorang gadis mengenakan rok mini, maka gadis itu sedang mengomunikasi mengenai dirinya kepada orang lain yang bisa jadi memaknainya sebagai simbol keseksian. Begitu pula ketika Nadia Saphira muncul di film Coklat Strowberi dengan akting dan penampilan fisiknya yang memikat, para penonton bisa saja memaknainya sebagai icon wanita muda cantik dan menggairahkan.

FERDINAND DE SAUSSURE

Menurut Saussure, tanda terdiri dari: Bunyi-bunyian dan gambar, disebut signifier atau penanda, dan konsep-konsep dari bunyi-bunyian dan gambar, disebut signified.

Dalam berkomunikasi, seseorang menggunakan tanda untuk mengirim makna tentang objek dan orang lain akan menginterpretasikan tanda tersebut. Objek bagi Saussure disebut “referent”. Hampir serupa dengan Peirce yang mengistilahkan interpretant untuk signified dan object untuk signifier, bedanya Saussure memaknai “objek” sebagai referent dan menyebutkannya sebagai unsur tambahan dalam proses penandaan. Contoh: ketika orang menyebut kata “anjing” (signifier) dengan nada mengumpat maka hal tersebut merupakan tanda kesialan (signified). Begitulah, menurut Saussure, “Signifier dan signified merupakan kesatuan, tak dapat dipisahkan, seperti dua sisi dari sehelai kertas.” (Sobur, 2006).

ROLAND BARTHES

Roland Barthes adalah penerus pemikiran Saussure. Saussure tertarik pada cara kompleks pembentukan kalimat dan cara bentuk-bentuk kalimat menentukan makna, tetapi kurang tertarik pada kenyataan bahwa kalimat yang sama bisa saja menyampaikan makna yang berbeda pada orang yang berbeda situasinya.

Roland Barthes meneruskan pemikiran tersebut dengan menekankan interaksi antara teks dengan pengalaman personal dan kultural penggunanya, interaksi antara konvensi dalam teks dengan konvensi yang dialami dan diharapkan oleh penggunanya. Gagasan Barthes ini dikenal dengan “order of signification”, mencakup denotasi (makna sebenarnya sesuai kamus) dan konotasi (makna ganda yang lahir dari pengalaman kultural dan personal). Di sinilah titik perbedaan Saussure dan Barthes meskipun Barthes tetap mempergunakan istilah signifier-signified yang diusung Saussure.

Barthes juga melihat aspek lain dari penandaan yaitu “mitos” yang menandai suatu masyarakat. “Mitos” menurut Barthes terletak pada tingkat kedua penandaan, jadi setelah terbentuk sistem sign-signifier-signified, tanda tersebut akan menjadi penanda baru yang kemudian memiliki petanda kedua dan membentuk tanda baru. Jadi, ketika suatu tanda yang memiliki makna konotasi kemudian berkembang menjadi makna denotasi, maka makna denotasi tersebut akan menjadi mitos.

Misalnya: Pohon beringin yang rindang dan lebat menimbulkan konotasi “keramat” karena dianggap sebagai hunian para makhluk halus. Konotasi “keramat” ini kemudian berkembang menjadi asumsi umum yang melekat pada simbol pohon beringin, sehingga pohon beringin yang keramat bukan lagi menjadi sebuah konotasi tapi berubah menjadi denotasi pada pemaknaan tingkat kedua. Pada tahap ini, “pohon beringin yang keramat” akhirnya dianggap sebagai sebuah Mitos.

BAUDRILLARD

Baudrillard memperkenalkan teori simulasi. Di mana peristiwa yang tampil tidak mempunyai asal-usul yang jelas, tidak merujuk pada realitas yang sudah ada, tidak mempunyai sumber otoritas yang diketahui. Konsekuensinya, kata Baudrillard, kita hidup dalam apa yang disebutnya hiperrealitas (hyper-reality). Segala sesuatu merupakan tiruan, tepatnya tiruan dari tiruan, dan yang palsu tampaknya lebih nyata dari kenyataannya (Sobur, 2006).

Sebuah iklan menampilkan seorang pria lemah yang kemudian menenggak sebutir pil multivitamin, seketika pria tersebut memiliki energi yang luar biasa, mampu mengerek sebuah truk, tentu hanya ‘mengada-ada’. Karena, mana mungkin hanya karena sebutir pil seseorang dapat berubah kuat luar biasa. Padahal iklan tersebut hanya ingin menyampaikan pesan produk sebagai multivitamin yang memberi asupan energi tambahan untuk beraktivitas sehari-hari agar tidak mudah capek. Namun, cerita iklan dibuat ‘luar biasa’ agar konsumen percaya. Inilah tipuan realitas atau hiperealitas yang merupakan hasil konstruksi pembuat iklan. Barangkali kita masih teringat dengan pengalaman masa kecil (entah sekarang masih ada atau sudah lenyap) di pasar-pasar tradisional melihat atraksi seorang penjual obat yang memamerkan hiburan sulap kemudian mendemokan khasiat obat di hadapan penonton? Padahal sesungguhnya atraksi tersebut telah ‘direkayasa’ agar terlihat benar-benar manjur di hadapan penonton dan penonton tertarik untuk beramai-ramai membeli obatnya.

JACQUES DERRIDA

Derrida terkenal dengan model semiotika Dekonstruksi-nya. Dekonstruksi, menurut Derrida, adalah sebagai alternatif untuk menolak segala keterbatasan penafsiran ataupun bentuk kesimpulan yang baku. Konsep Dekonstruksi �yang dimulai dengan konsep demistifikasi, pembongkaran produk pikiran rasional yang percaya kepada kemurnian realitas�pada dasarnya dimaksudkan menghilangkan struktur pemahaman tanda-tanda (siginifier) melalui penyusunan konsep (signified). Dalam teori Grammatology, Derrida menemukan konsepsi tak pernah membangun arti tanda-tanda secara murni, karena semua tanda senantiasa sudah mengandung artikulasi lain (Subangun, 1994 dalam Sobur, 2006: 100). Dekonstruksi, pertama sekali, adalah usaha membalik secara terus-menerus hirarki oposisi biner dengan mempertaruhkan bahasa sebagai medannya. Dengan demikian, yang semula pusat, fondasi, prinsip, diplesetkan sehingga berada di pinggir, tidak lagi fondasi, dan tidak lagi prinsip. Strategi pembalikan ini dijalankan dalam kesementaraan dan ketidakstabilan yang permanen sehingga bisa dilanjutkan tanpa batas.

Sebuah gereja tua dengan arsitektur gothic di depan Istiqlal bisa merefleksikan banyak hal. Ke-gothic-annya bisa merefleksikan ideologi abad pertengahan yang dikenal sebagai abad kegelapan. Seseorang bisa menafsirkan bahwa ajaran yang dihantarkan dalam gereja tersebut cenderung ‘sesat’ atau menggiring jemaatnya pada hal-hal yang justru bertentangan dari moral-moral keagamaan yang seharusnya, misalnya mengadakan persembahan-persembahan berbau mistis di altar gereja, dan sebagainya.

Namun, Ke-gothic-an itu juga dapat ditafsirkan sebagai ‘klasik’ yang menandakan kemurnian dan kemuliaan ajarannya. Sesuatu yang klasik biasanya dianggap bernilai tinggi, ‘berpengalaman’, teruji zaman, sehingga lebih dipercaya daripada sesuatu yang sifatnya temporer.

Di lain pihak, bentuk gereja yang menjulang langsing ke langit bisa ditafsirkan sebagai ‘fokus ke atas’ yang memiliki nilai spiritual yang amat tinggi. Gereja tersebut menawarkan kekhidmatan yang indah yang ‘mempertemukan’ jemaat dan Tuhan-nya secara khusuk, semata-mata demi Tuhan. Sebuah persembahan jiwa yang utuh dan istimewa.

Dekonstruksi membuka luas pemaknaan sebuah tanda, sehingga makna-makna dan ideologi baru mengalir tanpa henti dari tanda tersebut. Munculnya ideologi baru bersifat menyingkirkan (“menghancurkan” atau mendestruksi) makna sebelumnya, terus-menerus tanpa henti hingga menghasilkan puing-puing makna dan ideologi yang tak terbatas.

Berbeda dari Baudrillard yang melihat tanda sebagai hasil konstruksi simulatif suatu realitas, Derrida lebih melihat tanda sebagai gunungan realitas yang menyembunyikan sejumlah ideologi yang membentuk atau dibentuk oleh makna tertentu. Makna-makna dan ideologi itu dibongkar melalui teknik dekonstruksi. Namun, baik Baurillard maupun Derrida sepakat bahwa di balik tanda tersembunyi ideologi yang membentuk makna tanda tersebut.

UMBERTO ECO

Stephen W. Littlejohn (1996) menyebut Umberto Eco sebagai ahli semiotikan yang menghasilkan salah satu teori mengenai tanda yang paling komprehensif dan kontemporer. Menurut Littlejohn, teori Eco penting karena ia mengintegrasikan teori-teori semiotika sebelumnya dan membawa semiotika secara lebih mendalam (Sobur, 2006).

Eco menganggap tugas ahli semiotika bagaikan menjelajahi hutan, dan ingin memusatkan perhatian pada modifikasi sistem tanda. Eco kemudian mengubah konsep tanda menjadi konsep fungsi tanda. Eco menyimbulkan bahwa “satu tanda bukanlah entitas semiotik yang dapat ditawar, melainkan suatu tempat pertemuan bagi unsur-unsur independen (yang berasal dari dua sistem berbeda dari dua tingkat yang berbeda yakni ungkapan dan isi, dan bertemu atas dasar hubungan pengkodean”. Eco menggunakan “kode-s” untuk menunjukkan kode yang dipakai sesuai struktur bahasa. Tanpa kode, tanda-tanda suara atau grafis tidak memiliki arti apapun, dan dalam pengertian yang paling radikal tidak berfungsi secara linguistik. Kode-s bisa bersifat “denotatif” (bila suatu pernyataan bisa dipahami secara harfiah), atau “konotatif” (bila tampak kode lain dalam pernyataan yang sama). Penggunaan istilah ini hampir serupa dengan karya Saussure, namun Eco ingin memperkenalkan pemahaman tentang suatu kode-s yang lebih bersifat dinamis daripada yang ditemukan dalam teori Saussure, di samping itu sangat terkait dengan teori linguistik masa kini.

2,13 TEORI KOMUNIKASI NON-VERBAL

� Prosemik

Menurut Hall, manusia dapat berkomunikasi dengan berbagai macam cara, tidak hanya dengan bahasa verbal. Meskipun Hall juga mengakui peranan bahasa salam komunikasi, hanya bahasa yang memberikan peluang bagi pembentukan variasi-variasi komunikasi antarbudaya.

Namun menurut Hall, banyak kasus belum tentu semua konsep pesan dapat diwakili oleh kata-kata dalam bahasa verbal. Kebebasan manusia telah memungkinkan setiap kelompok budaya untuk menentukan bermacam-macam cara penyampaian pesan. Diantaranya melalui “bahasa” jarak dan ruang antar tubuh di saat berkomunikasi. Proksemik adalah studi tentang sistematika keterlibatan seorang dalam struktur ruang, atau jarak antara manusia dalam pergaulan sehari hari . Definisi tersebut sekaligus menggambarkan bahwa studi tentang ruang atau jarak berkaitan erat dengan interaksi antarmanusia yang berlandaskan pada ciri-ciri budaya tertentu.

Ada tiga bentuk dasar ruang antarpribadi yang dikemukakan Hall, yakni :

a. Fixed Feature Space:

Suatu struktur yang tidak dapat digerakan tanpa persetujuan manusia. Struktur tetap itu hendak dimanfaatkan dalam konteks pengembangan variasi perilaku komunikasi (kebebasan gerakan dan jarak antar fisik) maka kita dapat mengubah struktur tetap tersebut sesuai dengan kehendak budaya tertentu. Pola-pola perilaku komunikasi antarmanusia senantiasa disesuaikan dengan struktur ruang tersebut.

b. Semi Fixed Feature Space:

Struktur ruang yang sebagiannya bisa digerakkan atas kemauan manusia. Misalnya kita dapat menata ruang kita disesuaikan dengan pemilikian alat-alat rumah tangga sehingga masih tersedia ruang untuk berkomunikasi antarpribadi.

c. Informal Space

Ruang atau wilayah di antara dua orang tak kala komunikasi berlangsung. Besar atau jarak ruang sangat ditentukan oleh konsep kebudayaan suatu masyarakat tertentu. Di Amerika, lebih tepatnya Amerika Utara bagian Timur Laut, dikenal empat jenis jarak atau ruang antar pribadi, yakni :

1) Jarak Intim

Zona ini mencakup perilaku yang ada pada jarak antara 0 sampai 18 inchi (46 sentimeter). Hall (1966) mengamati bahwa perilaku-perilaku ini termasuk perilaku yang bercariasi mulai dari sentuhan (misalnya, berhubungan intim) hingga mengamati bbentuk wajah seseorang. Bisikan yang biasanya digunakan dalam kisaran jarak intim (intimate distance) ini dapat menjadi sangat berpengaruh. Hall menganggapnya sebagai suatu hal yang menarik bahwa ketika warga Amerika Serikat sedang berada dalam suasana dan lingkungan yang intim tetapi sedang tidak bersama pasangan yang dekat dengan mereka sering kali berusaha menciptakan pengalaman yang tidak intim. Coba ingat kembai apa yang terjadi di dalam sebuah lift. Melewati lantai demi lantai. Orang biasanya melihat kelangit-langit, kancing baju, atau kea rah pintu ketika lift melewati lantai demi lantai. Orang berdiri dengan lengan disamping tubuh mereka, atau memegang beda tertentu. Hall menganggap hal ini menarik, ketika orang menghabiskan bbegitu banyak energy untuk mengalihkan diri mereka dari jarak intim.sangat penting untuk diingat bahwa invasi terhadap ruang personal dapat dianggap sebagai pelecehan seksual, tana memerhatikan apa tujuan sebenarnya. Karena alas an inilah, kita harus tetap peka terhadap berbagai macam persepsi mengenai jarak intim.

2) Jarak personal

Zona ini mencakup perilau yang terdapat pada are yang berkisar antara 18 inci (46 centimeter) sampai 4 kaki (1,2 meter). Menurut Hall (1966), perilaku dalam jarak personal (personal distance) termasuk bergandengan tangan hingga menjaga jarak dengan seseorang sejauh panjang lengan. Anda mungkin telah mengamati bahwa hamper semua, jika tidak semua, hubungan dekat anda dengan seseorang berada paling banyak dalam zona personal. Jarak personal seringkali digunakan untuk keluarga dan teman-teman anda. Titik yang terjauh � 4 kaki � biasanya digunakan untuk hubungan yang kurang personal, seperti karyawan penjualan. Hall mengatakan bahwa dalam

zona jarak personal, volume suara yang digunakan biasanya sedang, panas tubuh dapat dirasakan, bau napas dan bau badan dapat tercium.

3) Jarak Sosial

Dengan range proksemik yang berkisar antara 4 � 12 kaki (1,2 � 3,6 meter), kategori jarak social (social space) menggambarkan banyak percakapan dalam budaya Amerika Serikat, COntohnya, percakapan di antara percakapan diantara rekan kerja. Hall (1966) menyatakan bahwa jarak social yang terdekat biasanya digunakan di dalam latar social yang kasual, contohnya pesta koktail. Walaupun jarak ini tampak sedikit jauh, Hall mengingatkan kita bahwa kita masuh dapat melihat tekstur rambut dan kulit pada fase dekat dari kategori ini. Fase yang jauh biasanya dikaitkan dengan orang yang harus berbicara lebih keras dibanding dengan mereka yang ada di dalam fase deat selain itu, fase jauh dapat dianggap sebagai fase yang lebih formal dari fase dekat. Fase jauh dari jarak social memungkinkan seseorang untuk menjalankan berbagai pekerjaan sekaligus. Misalnya, seorang resepsionis dapat meneruskan ekerjaannya sembari berbicara dengan orang asing yang mendekat. Leh karenanya, sangat mungkin untuk memerhatikan orang lain sembari menyelesaikan suatu pekerjaan.

4) Jarak Publik

Jarak yang melampaui 12 kaki (3,7 meter) dan selebihnya biasanya dianggap sebagai jarak public public space). Titik terdekat dari jarak public biasanya digunakan untuk diskusi formal, contohnya, diskusi di dalam kelas antara guru dan murid. Figure public biasanya berada pada fase jauh (sekitar 25 kaki [7,7 meter] atau lebih). Sebagaimana telah anda ketahui, sangat sulit utuk membaca ekspresi wajah dalam jarak ini, kecuali penggunaan media (seperti pryektor layar lebar) digunakan dalam sebuah presentasi. Jika fase dekat menunjukan jarak antara dosen dan mahasiswa di dalam kelas, fase jauh biasanya juga menggunakan jarak public dalam pertunjukan mereka. Sebagai akibatnya, semua tindakan dan perkataan mereka selalu dilebih-lebihkan. Dose dan actor hanya dua dari banyak tipe orang yang menggunakan jarak public dalam kehidupan mereka.

Hall mengemukakan masih ada delapan kemungkinan kategori utama dari proksemik, yakni :

(1) Posture-Sex Factors:

Jarak antara pria dan wanita pada waktu berhubungan sex melalui posisi dasar tidur, berdiri, duduk dan menungging.

(2) Sociofugal-Sociopetal Axis:

• Sociofugal Axis: hambatan ruang antarpribadi dalam komunikasi. • Sociopetal Axis: tingkat keluasan ruangan antarpribadi dalam berkomunikasi (tidak atas

hambatan). Dimensi ini memperkenankan jenis-jenis ruang kedekatan antarpribadi yang diharuskan atau yang dilarang. Apakah jarak fisik sepanjang satu bahu, berhadap-hadapan atau membelakangi dan lain-lain.

(3) Kinesthetic factors:

Perilaku proksemik yang memperkenankan kebiasaan menyentuh tubuh sebagai bukti tingkat keakraban antarpribadi. Dalam kontak fisik, setiap individu harus memperhatikan dengan teliti jarak anggota tubuh, apakah harus bersinggungan atau bersentuhan atau tidak boleh bersentuhan sama sekali.

(4) Meraba dan menyentuh:

Perilaku yang diperkenankan oleh suatu kebudayaan tertentu untuk meraba-raba, menyentuh, memegang, mengusap, menyinggung orang lain dengan tangan. Termasuk di dalamnya adalah kebiasaan mengecapi makanan, minuman, memperpanjang pegangan, membuat tekanan-tekanan pada pegangan, sentuhan mendadak, atau kebetulan menyentuh.

(5) Visual Code:

Kebiasaan kontak mata (langsung atau tidak langsung) yang diperkenankan oleh kebudayaan tertentu.

(6) Thermal Code:

Kebiasaan untuk mengamati atau menikmati kehangatan antarpribadi.

(7) Olfactory Code:

Tatanan jenis dan tingkat kehangatan yang terlihat pada waktu orang bercakap-cakap.

(8) Voice Loudness:

Kekuatan suara waktu berbicara dan dihubungankan secara langsung dengan ruang antarpribadi.

Kinesik

1. Teori Kinesik dari Birdwhistell 2. Manusia telah memakai banyak saluran pengalihan pesan antara lain melalui

sensoris-sensoris tubuh, yang dalam banyak hal sangat dipengaruhi oleh oleh latar belakang kebudayaan manusia. Menurut dia, komunikasi nonverbal merupakan suatu proses berkesinambungan karena manusia tidak menggunakan satu saluran secara tetap, yang pasti manusia selalu menggunakan lebih dari satu saluran untuk komunikasi antar pribadi.

3. Ray Birdwhistell dalam karyanya kinesik dan konteks menggarisbawahi tujuh asumsi yang melandasi teori yang dibangunnya itu. Tujuh asumsi itu adalah :

4. Semua kejadian alam mempunyai arti dan makna tertentu, sama dengan setiap gerakan tubuh atau setiap pernyataan manusia tidak mungkin tidak mewakili dan menampilkan makna tertentu.

5. Sama seperti aspek-aspek perilku manusia yang lain yang telah terpola, maka penampilan tubuh, gerakan tubuh dan anggota tubuh, pernyataan wajah juga merupakan suatu pola yang mempunyai reguralitas sehingga dapat dijadikan sebagai objek penelitain yang dapat ditelaah secara sistematis.

6. Semua gerakan tubuh dan anggota tubuh dapat dijelaskan secara biologis. Namun karena gerakan-gerakan itu dilakukan oleh manusia yang mempunyai relasi sosial dan budaya, maka sistematika gerakan-gerakan tersebut dapat dijelaskan dari sudut pandang sosial dan budaya. Sistematika gerakan tubuh dan anggota tubuh dipandang sebagai fungsi sosialisasi dan pembudayaan yang berlaku pada kelompok tertentu.

7. Ada kesamaan antara aktivitas tubuh dengan aktivitas gelombang suara. Secara sistematis dua bentuk aktivitas tersebut berpengaruh terhadap pola-pola aktivitas tubuh dan suara dari para anggota suatu kelompok sosial dan budaya tertentu.

8. Demikian pula, apabila masih ada bentuk-bentuk perilaku lain manusia yang belum ditampilkan maka hal itu dapat dijelaskan melalui penelitian yang mendalam tentang fungsi komunikasi dan perilaku tersebut.

9. Makna suatu pesan dapat diperoleh dari fungsi-fungsi perilaku yang ditampilkan manusia, makna tersebut masih bisa dijadikan sebagai objek penyelidikan lanjutan.

10. Sebagian sistem biologis dan pengalaman khusus manusia menentukan unusr-unusr ideosinkratik pada sistem kinesik.

Ada tiga tingkat penggunaan kinesik, yaitu :

1. prekinesik, merupakan studi psikologis tentang aktivitas gerakan tubuh. Aktivitas-aktivitas tersebut merupakan representasi dari perilku satu kelompok sosial tertentu;

2. mikrokinesik, merupakan studi yang khusus mengkaji unit-unit perilaku kinesik; 3. kinesik sosial, merupakan studi tentang perilkau kinesik dalam konteks sosial tertentu.

Petunjuk Kinesik (Kinesic Cues)

Persepsi yang didasarkan kepada gerakan orang lain yang ditunjukkan kepada kita. Beberapa penelitian membuktikan bahwa persepsi yang cermat tentang sifat-sifat dari pengamatan petunjuk kinesik. Begitu pentingnya petunjuk kinesik, sehingga apabila petunjuk-petunjuk lain (seperti ucapan) bertentangan dengan petunjuk kinesik, orang mempercayai yang terakhir. Mengapa? Karena petunjuk kinesik adalah yang paling sukar untuk dikendalikan secara sadar oleh orang yang menjadi stimuli (selanjutnya disebut persona stimuli-orang yang dipersepsi;lawan dari persona penanggap).

Petunjuk ini terdiri dari tiga kompunen utama yaitu:

a. Pesan Fasial

Pesan ini menggunakan air muka untuk menyampaikan makna tertentu. Berbagai penelitian menunjukkan bahwa wajah dapat menyampaikan paling sedikit sepuluh kelompok makna : kebahagiaan, rasa terkejut, ketakutan, kemarahan, kesedihan, kemuakan, pengecaman, minat, ketakjuban, dan tekad. Leathers (1976) menyimpulkan penelitian tentang wajah sebagai berikut:

• Wajah mengkomunikasikan penilaian tentang ekspresi senang dan tak senang, yang menunjukkan komunikator memandang objek penelitiannya baik atau buruk.

• Wajah mengkomunikasikan minat seseorang kepada orang lain atau lingkungan. • Wajah mengkomunikasikan intensitas keterlibatan dalam suatu situasi. • Wajah mengkomunikasikan tingkat pengendalian individu terhadap pernyataannya sendiri. • Wajah barangkali mengkomunikasikan adanya atau kurangnya pengertian.

b. Pesan gestural

Menunjukkan gerakan sebagian anggota badan seperti mata dan tangan untuk mengkomunikasikan berbagai makna. Menurut Galloway, pesan ini berfungsi untuk mengungkapkan:

• Mendorong/membatasi. • Menyesuaikan/mempertentangkan. • Responsif/tak responsif. • Perasaan positif/negatif. • Memperhatikan/tidak memperhatikan. • Melancarkan/tidak reseptif. • Menyetujui/menolak.

Pesan gestural yang mempertentangkan terjadi bila pesan gestural memberikan arti lain dari pesan verbal atau pesan lainnya. Pesan gestural tak responsif menunjukkan gestur yang yang tidak ada kaitannya dengan pesan yang diresponnya. Pesan gestural negatif mengungkapkan sikap dingin, merendahkan, atau menolak. Pesan gestural tak responsive mengabaikan permintaan untuk bertindak.

c. Pesan postural

Berkaitan dengan keseluruhan anggota badan. Mehrabian menyebutkan tiga makna yang dapat disampaikan postur:

• Immediacy Merupakan ungkapan kesukaan atau ketidaksukaan terhadap individu yang lain. Postur yang condong kea rah lawan bicara menunjukkan kesukaan atau penilaian positif.

• Power Mengungkapkan status yang tinggi pada diri komunikator.

• Responsiveness Individu mengkomunikasikannya bila ia bereaksi secara emosional pada lingkungan, baik positif maupun negatif.

KEKURANGAN TEORI STRUKTURAL DAN FUNGSIONAL

Walaupun teori struktural fungsional banyak manfaatnya, namum kritik dan revisi atas teori ini masih terus berlangsung, diantaranya kekurangan teori ini dikemukakan oleh Garna (1996: 114-117) sebagai berikut:

(2) keyakinan bahwasanya ada masyarakat yang tanpa lapisan sosial harus diabaikan; (3) beberapa tindakan dan institusi sosial tampak tidak nyata hubungannya dengan tindakan

dan institusi sosial lainnya;

(4) teori ini beranjak dari pengalaman lapangan formatif untuk menemukan bahwa masyarakat itu dapat dipahami sebagai suatu sistem yang berkaitan dan rasional, tanpa melihat kaitan unsur-unsur budaya yang diteliti masa silam;

(5) pertimbangan teori ini sebagian terletak hanya pada gambaran eksplanasi yang memerlukan fakta yang diketahui dan mampu diobservasi, terutama kebudayaan material atau benda-benda yang tampak.

3. TEORI KOGNITIF DAN PERILAKU Teori - Teori Behavioral dan Cognitive. Teori - teori ini merupakan gabungan dari dua tradisi yg berbeda. Asumsinya tentang hakikat dan cara menentukan pengetahuan juga sama dengan aliran strukturalis dan fungsional.

Teori Belajar

3.1 TEORI BELAJAR KOGNITIF

Model belajar kognitif mulai berkembang pada abad terakhir sebagai protes terhadap teori perilaku yang telah berkembang sebelumnya. Model kognitif ini memiliki perspektif bahwa mahasiswa memproses informasi dan pelajaran melalui upayanya mengorganisisr, menyimpan, dan kemudian menemukan hubungan antara pengetahuan yang baru dengan pengetahuan yang lama.

Prinsip teori psikologi kognitif adalah bahwa setiap orang dalam bertingkah laku dan mengerjakan sesuatu segala sesuatu senantiasa di pengaruhi oleh tingkat � tingkat perkembangan dan pemahaman atas dirinya sendiri. Seseorang memiliki kepercayaan, ide � ide dan prinsip yang dipilih untuk kepentingan dirinya sendiri. Dalam hal belajar, aspek psikologis ini memandang bahwa proses belajar yang terjadi pada seseorang tidak tampak dari luar dan sifatnya kompleks. Psikologi kognitif lebih menekankan pada proses internal atau proses mental mahasiswa daripada tampak luarnya. Teori belajar kognitif adalah proses internal yang tidak tampak secara langsung. Adapun perubahan tingkah laku yang tampak sesungguhnya adalah refleksi dari perubahan interaksi persepsi dirinya terhadap sesuatu yang diamati dan dipikirkan.(Andriyani:2007:33)

Teori belajar kognitif adalah sebuah teori yang lebih menekankan proses belajar daripada hasil belajar itu sendiri. Bagi penganut teori ini, belajar tidak hanya sekedar melibatkan hubungan stimulus respon. Belajar melibatkan proses berpikir yang sangat kompleks. Teori ini sangat erat kaitannya dengan teori sebernetika. Pada awal diperkenalkan teori ini, para ahli mencoba menjelaskan bagaimana mahasiswa mengolah stimulus dan bagaimana mahasiswa tersebut dapat sampai pada respon tertentu. Namun lambat laun perhatian tersebut mulai bergeser. Saat ini perhatian mereka terpusat pada proses bagaimana suatu ilmu yang baru dapat berasimilasi dengan ilmu yang sebelumnya lebih dikuasai oleh mahasiswa. Menurut teori ini, ilmu pengetahuan yang dibangun dalam diri seseorang individu melalui proses interaksi yang berkesinabungan dengan lingkungan. Proses ini tidak berjalan dengan sendirinya atau terpisah � pisah. Tetapi proses ini suatu rangkaian yang saling terkait.

Ciri � Ciri teori belajar kognitif adalah sebagai berikut :

(1). Mementingkan apa yang ada pada diri si anak (nativistik) (2). Mementingkan keseluruhan (holistic) (3). Mementingkan peranan kognitif (4). Mementingkan keseimbangan dalam diri si pelajar (dynamic equilibrium) (5). Mementingkan kondisi pada waktu sekarang (6). Mementingkan pembentukan struktur kognitif (7). Dalam pemecahan masalah, cirri khasnya adalah insight

Beberapa teori yang dapat dimasukkan ke dalam teori belajar kognitif adalah sebagai berikut :

Teori Gestalt (Belajar Kognitif)

(Koffka 1935, Kohler 1925, 1947, 1969 Wertheimer 1945)

Gestalt menekankan pada proses � proses intelektual yang komplek seperti bahasa, pikiran, pemahaman, pemecahan, masalah sebagai aspek utama dalam proses belajar. Dasar pemikiran yang dikemukan oleh Wartneimer ketika memunculkan teori ini adalah keseluruhan yang terorganisir adalah lebih bermakna dari bagian � bagian. Keseluruhan bukan pula penjumlahan dari bagian atau unsur � unsur. Menurutnya belajar adalah proses penguatan dan pemahaman terhadap stimulasi dan bagaimana reaksinya yang secara prisip disebutkan sebagai law of effect. Tingkah laku terutama dipengaruhi oleh efek, yakni tindakan yang membawa kesenangan bertambah dan yang mengganggu berkurang. Ia menganggap bahwa proses belajar yang komplek

dapat dimengerti dengan melihat proses belajar yang paling sederhana yang dianggap sebagai dasar proses belajar.

Para ahli psikolog Gestalt berpendapat bahwa “hokum � hokum dan prinsip � prinsip yang berlaku dalam bidang pengamatan itu juga berlaku dalam bidang belajar dan berfikir”. Pendapat yang demikian itu dikemukan karena apa yang dipelajari dan dipikirkan itu bersumber dari apa yang dikenal lewat fungsi pengamatan, belajar dan berfikir itu pada hakikatnya adalah melakukan pengubahan struktur kognitif.

3.2 TEORI PERILAKU

Menurut Thorndike dalam (Nursalam, :18) yang merupakan salah satu pendiri dari teori perilaku, belajar adalah proses tingkah laku antara stimulus (berupa pikiran, perasaaan atua gerakan) dan respon (yang juga bisa berbentuk pikiran, perasaan dan gerakan). Jelasnya, menurut Thorndike perubahan perilaku itu boleh berwujud sesuatu yang konkret (dapat diamati) atau nonkonkret (tidak dapat diamati). Meskipun Thorndike tidak menjelaskan bagaimana cara mengukur tingkah laku yang nonkonkret itu (pengukuran adalah salah satu hal yang menjadi obsesi semua penganut teori tingkah laku), tetpai teori Thorndike ini telah banyak memberikan inpirasi pakar lain yang datang sesudahnya. Teori Thorndike ini juga dikenal dengan teori koneksionis (connetionism).

3.3 TEORI MEDAN KOGNITIF (KURT LEWIN)

Teori belajar kognitif ditarik dari piper psikologi medan (field psychology) Kurt Lewin (1890 � 1947). Psikolog Jerman � Amerika ini menaruh perhatian terhadap motivasi manusia. Konsekuensinya teori medan telah berkembang tidak sebagai teori belajar, tetapi lebih banyak sebagai teori motivasi dan persepsi. Namun demikian mereka menerapkan teorinya kepada situasi belajar,. Konsep utamanya adalah life space sebagai model dasar untuk belajar, termasuk segala sesuatu yang dibutuhkan seseorang untuk tahu mengenai pribadi agar dapat memahami tingkah lakunya yang konkrit dalam situasi psikologis yang spesifik pada suatu waktu tertentu.

Thesis dasar psikologi medan kognitif adalah bahwa setiap pribadi, sesuai dengan tingkat perkembangnya yang telah dicapai tahu bahwa bagaimana dan untuk apapun yang ia pikirkan adalah dirinya. Dalam proses ini ia berhubungan dengan tingkah laku yang membawa kearah tujuan paling kuat. Dalam teori medan kognitif, belajar dapat didefinisikan sebagai proses interaksional diman pribadi menjangkau wawasan � wawasan baru dan atau merubah sesuatu yang lama. Untuk meningkatkan belajar secara efektif, para dosen harus peduli terhadap mereka sendiri dan orang lain.

3.4 TEORI BELAJAR COGNITIVE DEVELOPMENTAL DARI PIAGET

Dalam teorinya, piaget memandang bahwa proses berfikir sebagai aktivitas gradual dari fungsi intelektual dari konkret menuju abstrak. Piaget adalah seorang psikolog Developmental karena penelitiannya mengenai tahap-tahap perkembangan pribadi serta perubahan umum yang mempengaruhi kemampuan belajar individu. Dia adalah salah seorang psikolog suatu teori komprehensif tentang perkembangan intelegensi atau proses berfikir. Pertumbuhan kapasitas mental memberikan kemampuan-kemampuan mental baru yang sebelumnya tidak ada. Pertumbuhan intelektual adalah tidak kuantitatif, melainkan kualitatif. Apabila ahli biologi menekankan penjelasan tentang pertumbuhan struktur yang memungkinkan individu mengalami penyesuaian diri dengan lingkungan, maka piaget tekanan penyelidikannya lain. Piaget menyelidiki masalah yang sama dari segi penyesuaian/adaptasi manusia serta meneliti perkembangan intelektual atau kognisi berdasarkan dalil bahwa struktur intelektual terbentuk di dalam individu akibat interaksinya dengan lingkungan.

Piaget memakai istilah scheme secara interchangeably, dengan istilah struktur. Scheme adalah pola tingkah laku yang dapat diulang. Scheme berhubungan dengan :

a. Refleks-refleks pembawaan, misalnya bernapas, makan, minum. b. Scheme mental, misalnya scheme of classification, scheme of operation (pola tingkah laku

yang masih sukar diamati seperti sikap), dan scheme of operation (pola tingkah laku yang dapat diamati).

Menurut Piaget, inteligensi itu sendiri terdiri dari tiga aspek, yaitu :

(a) Struktur disebut juga scheme seperti yang dikemukakan di atas. (b) Isi disebut juga content yaitu pola tingkah laku spesifik tatkala individu menghadapi sesuatu

masalah. (c) Fungsi disebut juga fungtion, yang berhubungan dengan cara seseorang mencapai

kemajuan intelektual. Fungsi itu sendiri tediri dari dua macam fungsi invariant, yaitu organisasi dan adaptasi.

Dengan penjelasan seperti di atas dapatlah kita ketahui tentang bagaimana terjadinya pertumbuhan dan perkembangan intelektual. Pertumbuhan intelektual terjadi karena adanya proses yang kontinu dari adanya equilibrium-equilibrium. Bila individu dapat menjaga adanya equilibrium, individu dapat mencapai tingkat perkembangan intelektual yang lebih tinggi. Pengaplikasian di dalam belajar perkembangan kognitif bergantung pada akomodasi kepada siswa harus diberikan suatu area yang belum diketahui agar ia dapat belajar, karena ia tak dapat belajar dari apa yang telah diketahuinya saja. Ia tak dapat menggantungkan diri pada asimilasi. Dengan adanya area baru ini siswa akan mengadakan usaha untuk dapat mengakomodasikan. Situasi atau area itulah yang akan mempermudah pertumbuhan kognitif.

Jadi, secara singkat dapat dikatakan bahwa pertumbuhan intelektual anak mengandung tiga aspek, yaitu structure, content, dan fungtion. Anak yang sedang mengalami perkembangan, struktur dan konten intelektualnya berubah/berkembang. Fungsi dan adaptasi akan tersusun sehingga melahirkan suatu rangkaian perkembangan; masing-masing mempunyai struktur psikologis khusus yang menetukan kecakapan pikir anak. Maka Piaget mengartikan intelegensi adalah sejumlah strukur psikologis yang ada pada tingkat perkembangan khusus.

Tahap-tahap perkembangan

Piaget mengidentifikasi 4 (empat) faktor yang mempengaruhi transisi tahap perkembangan anak, yaitu:

1. Kematangan 2. Pengalaman fisik/lingkungan 3. Transmisi sosial 4. Equilibrium atau self regulation

3.5 DAVID AUSUBEL

Sebagai pelopor aliran kognitif, David Ausubel mengemukakan teori belajar bermakna (meaningfull learning). Belajar bermakana adalah proses mengaitkan dalam informasi baru dengan konsep � konsep yang relevan dan terdapat dalam struktur kognitif seseorang. Dapat dikatakan sebagai belajar bermakna apabila memenuhi persyaratan sebagai berikut :

1) Materi yang dipelajari melakasanakan belajar bermakna secara potensial 2) Anak yang belajar bertujuan melaksanakan bermakna

Berdasarkan pandangan tentang belajar bermakna, maka David mengajukan empat prinsip pembelajaran yaitu :

Menurut Ausubel, mahasiswa akan belajar dengan baik apabila apa yang disebut pengatur kemajuan belajar (advance organizer) didefinisikan dan dipresentasikan dengan baik dan tepat kepada mahasiswa. Pengatur kemajuan belajar adalah konsep informasi umum yang mewadahi mencangkup semua isi pelajaran yang akan diajarkan kepada mahasiswa. Ausubel paercaya bahwa advance organizer dapat memberikan tiga manfaat yaitu :

1) Dapat menyediakan suatu kerangka konseptual untuk materi pelajaran yang akan dipelajari oleh mahasiswa

2) Berfungsi sebagai jembatan yang menghubungkan antara apa yang sedang dipelajari mahasiswa saat ini dengan apa yang akan dipelajari

3) Mampu membantu mahasiswa untuk memahami bahan ajar secara lebih mudah.Untuk itu, pengetahuan dosen terhadap isi mata pelajaran harus sangat baik. Hanya dengan cara tersebut seorang dosen mampu menemukan informasi yang menurut Ausubel sangat abstrak, umum dan inklusif mewadahi apa yang akan diajarkan. Selain itu, logika berfikir dosen juga dituntut sebaik mungkin. Tanpa memiliki logika yang baik, maka dosen akan kesulitan memilah pelajaran serta merumuskan dalam rumusan yang singkat dan padat

dan mengatur materi demi materi itu ke dalam struktur urutan yang logis dan mudah dipahami.

Empat tipe belajar menurut Ausubel yaitu :

1) Belajar dengan penemuan yang bermakna yaitu mengaitkan pengetahuan yang telah dimilikinya dengan materi pelajaran yang dipelajari itu. Atau sebaliknya, mahasiswa terlebih dahulu menemukan pengetahuannya dari apa yang ia pelajari kemudian pengetahuan baru tersebut ia kaitkan dengan pengetahuan yang sudah ada

2) Belajar dengan penemuan yang tidak bermakna yaitu pelajaran yang dipelajari ditemukan sendiri oleh mahasiswa tanpa mengaitkan pengetahuan yang dimilikinya kemudian dihafalkan

3) Belajar menerima (ekspositori) yang bermakna yaitu materi pelajaran yang telah tersusun secara logis disampaikan kepada mahasiswa sampai bentuk akhir, kemudian pengetahuan yang baru ia peroleh itu dikaitkan dengan pengetahuan yang lain yang telah ada.

4) Belajar menerima (ekspositori) yang tidak bermakna yaitu materi pelajaran yang telah tersusun secara logis disampaikan kepada mahasiswa sampai bentuk akhir, kemudian pengetahuan yang baru ia peroleh dihafalkan tanpa mengaitkan dengan pengetahuan lain yang telah dimilikinya.

3.6 JEROME BRUNER

Jerome Bruner dilahirkan pada tahun 1915. Jerome Bruner seorang ahli psikolog yang terkenal dan telah banyak menyumbang penulisan tentang pembelajaran, beliau bertugas sebagai professor psikologi di Universiti Harvard di Amerika Serikat dan dilantik sebagai pengarah dipusat pengajaran kognitif tahun 1961 � 1972. Dalam mempelajari manusia, ia menganggap manusia sebagai proses, pencipta, dan pemikir. Bruner menganggap, bahwa belajar itu meliputi tiga proses kognitif yaitu : memperoleh informasi baru, tranformasi pengetahuan, dan menguji relevansi dan ketepatan pengetahuan. Pandangan terhadap belajar konseptualisme instrumental ini didasarkan pada dua prinsip, yaitu pengetahuan orang tentang alam didasarkan pada model � model mengenai kenyataan yang dibangunnya, dan model � model itu diadaptasikan kegunaan bagi orang itu. Menurut Bruner belajar bermakna hanya dapat terjadi melalui belajar penemuan. Pengetahuan yang diperoleh melalui belajar penemuan akan bertahan lama, dan mempunyai efek transfer yang baik. Belajar penemuan meningkatkan penalaran dan kemampuan berfikir secara bebas dan melatih ketrampilan � ketrampilan kognitif untuk menemukan dan memecahkan masalah.

Bruner mengusulkan teori yang disebut free discovery learning. Menurut teori ini proses belajar akan berjalan dengan baik dan kreatif jika dosen memberi kesempatan kepada mahasiswa untuk dapat menemukan suatu aturan, seperti konsep, teori, definisi dan sebagainya melalui contoh � contoh yang menggambarkan aturan yang menjadi sumbernya. Dengan kata lain mahasiswa dibimbing secara indukatif untuk memahami suatu kebenaran umum. Untuk memahami konsep kejujuran mahasiswa tidak semata � mata menghafal definisi kata kejujuran, melainkan dengan mempelajari contoh � contoh konkret dari kejujuran. Dari contoh � contoh itulah mahasiswa dibimbing untuk mendefinisikan kata jujur. Lawan dari pendekatan ini disebut ekspositon (belajar dengan cara menjelaskan). Dalam hal ini mahasiswa disodori sebuah informasi umum dan diminta untuk menjelaskan informasi tersebut melalui contoh � contoh khusus dan konkret. Berdasarkan contoh di atas, mahasiswa pertama � tama diberi definisi tentang kejujuran, dari definisi itulah mahasiswa diminta untuk mencari contoh � contoh konkret yang dapat menggambarkan makna kata tersebut. Proses belajar ini jelas berjalan secara deduktif.

Dalam teori belajarnya Jerome Bruner berpendapat bahwa “kegiatan belajar akan berjalan dengan baik dan mahasiswa kreatif jika mahasiswa menemukan sendiri suatu aturan dan kesimpulan. Dalam hal ini Bruner membedakan menjadi tiga tahap yaitu :

2) Tahap infomasi yaitu tahap awal untuk memperoleh pengetahuan atau pengalaman baru 3) Tahap tranformasi yaitu tahap memahami, mencerna dan menganalisis pengetahuan baru

serta mentranformasikan dalam bentuk baru yang mungkin bermanfaat untuk hal � hal lain 4) Tahap evaluasi yaitu tahap untuk mengetahui apakah hasil tranformasi pada tahap kedua

tadi benar atau tidak”.

Yang menjadikan dasar ide J. Bruner ialah pendapat dari Piaget yang menyatakan bahwa anak harus berperan secara aktif di dalam belajar di kelas. Untuk itu Bruner memakai cara dengan apa yang disebutnya discovery learning, yaitu dimana murid mengorganisasi bahan yang dipelajari dengan suatu bentuk akhir. Prosedur ini berbeda dengan reception learning atau expository

teaching, dimana guru menerangkan semua informasi dan murid harus mempelajari semua bahan/informasi itu.

Banyak pendapat yang mendukung discovery learning itu, di antaranya J. Dewey (1933) dengan complete art of reflective activity atau terkenal dengan problem solving. Ide bruner itu di tulis dalam bukunya Process of Education. Di dalam buku itu Ia melaporkan hasil dari konferensi di antara para ahli science. Dalam hal ini Ia mengemukakan pendapatnya, bahwa mata pelajaran dapat di ajarkan secara efektif dalam bentuk intelektual yang sesuai dengan tingkat perkembangan anak. Pada tingkat permulaan pengajaran hendaknya dapat diberikan melalui cara-cara yang bermakna, dan makin meningkat ke arah yang abstrak.

Bruner mendapatkan pertanyaan, bagaimana kita mengembangkan program pengajaran yang lebih efektif bagi anak yang muda? jawaban bruner adalah dengan mengkoordinasikan metode penyajian bahan dengan cara dimana anak dapat mempelajari bahan itu, yang sesuai dengan tingkat kemajuan anak. Tingkat-tingkat kemajuan anak dari tingkat representasi sensory (enactive) ke representasi konkret (iconic) dan akhirnya ke representasi yang abstrak (symbolic). Bruner menyebutkan hendaknya guru harus memberikan kesempatan kepada muridnya untuk menjadi seorang problem solver, seorang scientist, historin, atau ahli matematika. Biarkanlah muri-murid kita menemukan arti bagi diri mereka sendiri. Dan memungkinkan mereka untuk mempelajari konsep-konsep di dalam bahasa yang dapat dimengerti oleh mereka.

Bruner mengungkapkan perlunya seorang guru mengembangkan insight (wawasan) atau pengetahuan ynag tidak hanya sekedar siswa mampu mengorganisasi materi dan memahami hubungan-hubungan tetapi mengajak siswa memanipulasi lingkungan secara lebih aktif untuk menemukan sesuatu yang baru (pengetahuan, keahlian atau keterampilan, sikap dan atau nilai). Tujuan dari teori Bruner ini adalah individu dapat memperoleh dari pengetahuan melalui keaktifan dari belajarnya untuk pengembangan dirinya. (Tingginya volume kegiatan berpikir kognitif akan melahirkan dampak negatif bagi individu). Ia menikmati peran belajarnya. [8]

Saat ini model belajar penemuan menduduki peringkat atas dalam dunia pendidikan modern. Salah satu yang banyak diterapkan dalam pembelajaran di Indonesia adalah konsep belajar siswa aktif atau cara belajar siswa aktif (CBSA). Dalam menerapkan model belajar penemuan ini, seorang guru dianjurkan untuk tidak memeberikan materi pelajaran secara utuh. Siswa cukup diberikan konsep utama, untuk selanjutnya siswa dibimbing agar dapat menemukan sendiri sampai akhirnya dapat mengorganisasikan konsep tersebut bsecara utuh. Untuk itu guru perlu memberikan kesempatan seluas-luasnya kepada siswa untuk mendapatkan konsep-konsep yang belum disampaikan oleh guru dengan pendekatan belajar problem solving.

3.7 TEORI KOGNITIF SOSIAL

Teori ini dikembangkan oleh L.S. Vygotsky, yang didasari oleh pemikiran bahwa budaya berperan penting dalam belajar seseorang. Budaya adalah penentu perkembangan, tiap individu dipengaruhi oleh lingkungan utama budaya keluarga. Budaya lingkungan individu membelajarkannya apa dan bagaimana berpikir. Konsep dasar teori ini diringkas sebagai berikut:

• Budaya memberi sumbangan perkembangan intelektual individu melalui 2 cara, yaitu melalui budaya dan lingkungan budaya. Melalui budaya banyak isi pikiran (pengetahuan) individu diperoleh seseorang, dan melalui lingkungan budaya sarana adaptasi intelektual bagi individu berupa proses dan sarana berpikir bagi individu dapat tersedia.

• Perkembangan kognitif dihasilkan dari proses dialektis (proses percakapan) dengan cara berbagi pengalaman belajar dan pemecahan masalah bersama orang lain, terutama prangtua, guru, saudara sekandung dan teman sebaya.

• Awalnya orang yang berinteraksi dengan individu memikul tanggung jawab membimbing pemecahan masalah, lambat-laun tanggung jawab itu diambil alih sendiri oleh individu yang bersangkutan.

• Bahasa adalah sarana primer interaksi orang dewasa untuk menyalurkan sebagian besar pembendaharaan pengetahuan yang hidup dalam budayanya.

• Seraya bertumbuh kembang, bahasa individu sendiri adalah sarana primer adaptasi intelektual, ia berbahasa batiniah (internal language) untuk mengendalikan perilaku.

• Internalisasi merujuk pada proses belajar. Menginternalisasikan pengetahuan dan alat berpikir adalah hal yang pertama kali hadir ke kehidupan individu melalui bahasa.

• Terjadi zone of proximal development atau kesengajaan antara sanggup dilakukan individu sendiri dengan yang dapat dilakukan dengan bantuan orang dewasa. Konsep zone of proximal development merujuk pada zona yang mana individu memerlukan bimbingan guna melelanjutkan belajarnya

• Karena apa yang dipelajari individu berasal dari budaya dan banyak di antara pemecahan masalahnya ditopang orang dewasa, maka pendidikan hendaknya tidak berpusat pada individu dala isolasi dari budayanya.

• Interaksi dengan budaya sekeliling dan lembaga-lembaga sosial sebagaimana orangtua, saudara sekandung, individu dan teman sebaya yang lebih cakap sangat memberi sumbangan secara nyata pada perkembangan intelektual individu.

3.8 TEORI PEMROSESAN INFORMASI

Berdasarkan temuan riset linguistik, psikologi, antropologi dan ilmu komputer, dikembangkan model berpikir. Pusat kajiannya dalam proses belajar dan menggambarkan cara individu memanipulasi simbol dan memproses informasi. Menurut Gagne bahwa dalam pembelajaran terjadi proses penerimaan informasi, untuk kemudian diolah sehingga menghasilkan keluaran dalam bentuk hasil belajar. Dalam pemrosesan informasi terjadi adanya interaksi antara kondisi-kondisi internal dan kondisi-kondisi eksternal individu. Kondisi internal yaitu keadaan dalam diri individu yang diperlukan untuk mencapai hasil belajar dan proses kognitif yang terjadi dalam individu. Sedangkan kondisi eksternal adalah rangsangan dari lingkungan yang mempengaruhi individu dalam proses pembelajaran.

Ketika individu belajar, di dalam dirinya berlangsung proses kendali atau pemantau bekerjanya sistem yang berupa prosedur strategi mengingat, untuk menyimpan informasi ke dalam long-term memory (materi memory atau ingatan) dan strategi umum pemecahan masalah (materi kreativitas).

3.9 TEORI PERKEMBANGAN KOGNITIF, DIKEMBANGKAN OLEH ROBERT M. GAGNE

Menurut gagne belajar dipandang sebagai proses pengolahan informasi dalam otak manusia. Dalam pembelajaran terjadi proses penerimaan informasi, untuk kemudian diolah sehingga menghasilkan keluaran dalam bentuk hasil belajar. Pengolahan otak manusia :

a) Reseptor b) Sensory register c) Short-term memory d) Long-term memory e) Response generator

Salah satu teori yang berasal dari psikolog kognitiv adalah teori pemrosesan informasi yang dikemukakan oleh Robert M. Gagne. Menurut teori ini belajar dipandang sebagai proses pengolahan informasi dalam otak manusia. Sedangkan pengolahan otak manusia sendiri dapat dijelaskan sebagai berikut:

b. Reseptor (alat indera) : menerima rangsangan dari lingkungan dan mengubahnya menjadi rangsaangan neural, memberikan symbol informasi yang diterimanya dan kemudian di teruskan.

c. Sensory register (penempungan kesan-kesan sensoris) : yang terdapat pada syaraf pusat, fungsinya menampung kesan-kesan sensoris dan mengadakan seleksi sehingga terbentuk suatu kebulatan perceptual. Informasi yang masuk sebagian masuk ke dalam memori jangka pendek dan sebagian hilang dalam system.

d. Short term memory ( memory jangka pendek ) : menampung hasil pengolahan perceptual dan menyimpannya. Informasi tertentu disimpan untuk menentukan maknanya. Memori jangka pendek dikenal juga dengan informasi memori kerja, kapasitasnya sangat terbatas, waktu penyimpananya juga pendek. Informasi dalam memori ini dapat di transformasi dalam bentuk kode-kode dan selanjutnya diteruskan ke memori jangka panjang.

e. Long Term memory (memori jangka panjang) :menampung hasil pengolahan yang ada di memori jangka pendek. Informasi yang disimpan dalam jangka panjang, bertahan lama, dan siap untuk dipakai kapan saja.

f. Response generator (pencipta respon) : menampung informasi yang tersimpan dalam memori jangka panjang dan mengubahnya menjadi reaksi jawaban.

3.10 TEORI BELAJAR COGNITIVE FIELD LEWIN

Bertolak dari penemuan Gestalt Psychology, Kurt Lewin (1989) mengembangkan suatu teori belajar cognitivefield dengan menaruh perhatian kepada keperibadian dan psikologi sosial. Lewin memandang masing-masing individu berbeda di dalam suatu medan kekuatan, yang bersifat psikologis. Medan kekuatan psikologis dimana individu bereaksi disebut life space. Life space mencakup perwujudan lingkungan dimana individu bereaksi, misalnya : orang-orang yang Ia jumpai, objek materil yang Ia hadapi, serta fungsi-fungsi kejiwaan yang Ia miliki. Lewin berpendapat, bahwa tingkah laku merupakan hasil interaksi antar kekuatan-kekuatan, baik yang dalam diri individu seperti tujuan, kebutuhan, tekanan kejiwaan maupun dari luar luar individu seperti tantangan dan permasalahan. Menurut Lewin, belajar berlangsung sebagai akibat dari perubahan dalam struktur kognitif. Perubahan struktur kognitif itu adalah hasil dari dua macam kekuatan, satu dari struktur medan kognisi itu sendiri, yang lainnya dari kebutuhan dan motivasi internal individu. Lewin memberikan peranan yang lebih penting pada motivasi dari reward.

Teori Behavioristik (tingkah laku)

Teori belajar behavioristik adalah sebuah teori yang dicetuskan oleh Gage dan Berliner tentang perubahan tingkah laku sebagai hasil dari pengalaman.

Teori ini lalu berkembang menjadi aliran psikologi belajar yang berpengaruh terhadap arah pengembangan teori dan praktik pendidikan dan pembelajaran yang dikenal sebagai aliran behavioristik. Aliran ini menekankan pada terbentuknya perilaku yang tampak sebagai hasil belajar.

Teori behavioristik dengan model hubungan stimulus-responnya, mendudukkan orang yang belajar sebagai individu yang pasif. Respon atau perilaku tertentu dengan menggunakan metode pelatihan atau pembiasaan semata. Munculnya perilaku akan semakin kuat bila diberikan penguatan dan akan menghilang bila dikenai hukuman.

Belajar merupakan akibat adanya interaksi antara stimulus dan respon (Slavin, 2000:143). Seseorang dianggap telah belajar sesuatu jika dia dapat menunjukkan perubahan perilakunya. Menurut teori ini dalam belajar yang penting adalah input yang berupa stimulus dan output yang berupa respon. Stimulus adalah apa saja yang diberikan guru kepada pebelajar, sedangkan respon berupa reaksi atau tanggapan pebelajar terhadap stimulus yang diberikan oleh guru tersebut. Proses yang terjadi antara stimulus dan respon tidak penting untuk diperhatikan karena tidak dapat diamati dan tidak dapat diukur. Yang dapat diamati adalah stimulus dan respon, oleh karena itu apa yang diberikan oleh guru (stimulus) dan apa yang diterima oleh pebelajar (respon) harus dapat diamati dan diukur. Teori ini mengutamakan pengukuran, sebab pengukuran merupakan suatu hal penting untuk melihat terjadi atau tidaknya perubahan tingkah laku tersebut.

Faktor lain yang dianggap penting oleh aliran behavioristik adalah faktor penguatan (reinforcement). Bila penguatan ditambahkan (positive reinforcement) maka respon akan semakin kuat. Begitu pula bila respon dikurangi/dihilangkan (negative reinforcement) maka respon juga semakin kuat.

Beberapa prinsip dalam teori belajar behavioristik, meliputi:

(1). Reinforcement and Punishment; (2). Primary and Secondary Reinforcement; (3). Schedules of Reinforcement; (4). Contingency Management; (5). Stimulus Control in Operant Learning; (6). The Elimination of Responses (Gage, Berliner, 1984).

Tokoh-tokoh aliran behavioristik di antaranya adalah Thorndike, Watson, Clark Hull, Edwin Guthrie, dan Skinner. Berikut akan dibahas karya-karya para tokoh aliran behavioristik dan analisis serta peranannya dalam pembelajaran.

3.11 THORNDIKE

Belajar adalah proses interaksi antara stimulus dan respon. Stimulus adalah apa yang merangsang terjadinya kegiatan belajar seperti pikiran, perasaan, atau hal-hal lain yang dapat ditangkap melalui alat indera. Sedangkan respon adalah reaksi yang dimunculkan peserta didik ketika belajar, yang dapat pula berupa pikiran, perasaan, atau gerakan/tindakan. Jadi perubahan tingkah laku akibat

kegiatan belajar dapat berwujud konkrit, yaitu yang dapat diamati, atau tidak konkrit yaitu yang tidak dapat diamati. Meskipun aliran behaviorisme sangat mengutamakan pengukuran, tetapi tidak dapat menjelaskan bagaimana cara mengukur tingkah laku yang tidak dapat diamati. Teori Thorndike ini disebut pula dengan teori koneksionisme (Slavin, 2000).

Ada tiga hukum belajar yang utama, menurut Thorndike yakni (1) hukum efek; (2) hukum latihan dan (3) hukum kesiapan (Bell, Gredler, 1991). Ketiga hukum ini menjelaskan bagaimana hal-hal tertentu dapat memperkuat respon.

3.12 TEORI BELAJAR MENURUT WATSON

Watson mendefinisikan belajar sebagai proses interaksi antara stimulus dan respon, namun stimulus dan respon yang dimaksud harus dapat diamati (observable) dan dapat diukur. Jadi walaupun dia mengakui adanya perubahan-perubahan mental dalam diri seseorang selama proses belajar, namun dia menganggap faktor tersebut sebagai hal yang tidak perlu diperhitungkan karena tidak dapat diamati. Watson adalah seorang behavioris murni, karena kajiannya tentang belajar disejajarkan dengan ilmu-ilmu lain seperi Fisika atau Biologi yang sangat berorientasi pada pengalaman empirik semata, yaitu sejauh mana dapat diamati dan diukur.

3.13 TEORI BELAJAR MENURUT CLARK HULL

Clark Hull juga menggunakan variabel hubungan antara stimulus dan respon untuk menjelaskan pengertian belajar. Namun dia sangat terpengaruh oleh teori evolusi Charles Darwin. Bagi Hull, seperti halnya teori evolusi, semua fungsi tingkah laku bermanfaat terutama untuk menjaga agar organisme tetap bertahan hidup. Oleh sebab itu Hull mengatakan kebutuhan biologis (drive) dan pemuasan kebutuhan biologis (drive reduction) adalah penting dan menempati posisi sentral dalam seluruh kegiatan manusia, sehingga stimulus (stimulus dorongan) dalam belajarpun hampir selalu dikaitkan dengan kebutuhan biologis, walaupun respon yang akan muncul mungkin dapat berwujud macam-macam. Penguatan tingkah laku juga masuk dalam teori ini, tetapi juga dikaitkan dengan kondisi biologis (Bell, Gredler, 1991).

3.14 TEORI BELAJAR MENURUT EDWIN GUTHRIE

Azas belajar Guthrie yang utama adalah hukum kontiguiti. Yaitu gabungan stimulus-stimulus yang disertai suatu gerakan, pada waktu timbul kembali cenderung akan diikuti oleh gerakan yang sama (Bell, Gredler, 1991). Guthrie juga menggunakan variabel hubungan stimulus dan respon untuk menjelaskan terjadinya proses belajar. Belajar terjadi karena gerakan terakhir yang dilakukan mengubah situasi stimulus sedangkan tidak ada respon lain yang dapat terjadi. Penguatan sekedar hanya melindungi hasil belajar yang baru agar tidak hilang dengan jalan mencegah perolehan respon yang baru. Hubungan antara stimulus dan respon bersifat sementara, oleh karena dalam kegiatan belajar peserta didik perlu sesering mungkin diberi stimulus agar hubungan stimulus dan respon bersifat lebih kuat dan menetap. Guthrie juga percaya bahwa hukuman (punishment) memegang peranan penting dalam proses belajar. Hukuman yang diberikan pada saat yang tepat akan mampu mengubah tingkah laku seseorang.

Saran utama dari teori ini adalah guru harus dapat mengasosiasi stimulus respon secara tepat. Pebelajar harus dibimbing melakukan apa yang harus dipelajari. Dalam mengelola kelas guru tidak boleh memberikan tugas yang mungkin diabaikan oleh anak (Bell, Gredler, 1991).

3. 15 TEORI BELAJAR MENURUT SKINNER

Konsep-konsep yang dikemukanan Skinner tentang belajar lebih mengungguli konsep para tokoh sebelumnya. Ia mampu menjelaskan konsep belajar secara sederhana, namun lebih komprehensif. Menurut Skinner hubungan antara stimulus dan respon yang terjadi melalui interaksi dengan lingkungannya, yang kemudian menimbulkan perubahan tingkah laku, tidaklah sesederhana yang dikemukakan oleh tokoh tokoh sebelumnya. Menurutnya respon yang diterima seseorang tidak sesederhana itu, karena stimulus-stimulus yang diberikan akan saling berinteraksi dan interaksi antar stimulus itu akan memengaruhi respon yang dihasilkan. Respon yang diberikan ini memiliki konsekuensi-konsekuensi. Konsekuensi-konsekuensi inilah yang nantinya memengaruhi munculnya perilaku (Slavin, 2000). Oleh karena itu dalam memahami tingkah laku seseorang secara benar harus memahami hubungan antara stimulus yang satu dengan lainnya, serta memahami konsep yang mungkin dimunculkan dan berbagai konsekuensi yang mungkin timbul akibat respon tersebut. Skinner juga mengemukakan bahwa dengan menggunakan perubahan-

perubahan mental sebagai alat untuk menjelaskan tingkah laku hanya akan menambah rumitnya masalah. Sebab setiap alat yang digunakan perlu penjelasan lagi, demikian seterusnya.

4. TEORI INTERAKSI 4.1 TEORI PERBANDINGAN SOSIAL

Teori ini di kemukakan oleh Festinger (1950, 1954). Pada dasarnya teori ini berpendapat bahwa proses saling mempengaruhi dan perilaku saling bersaing dalam interaksi sosial ditimbulkan oleh adanya kebutuhan untuk menilai diri sendiri (self evaluation) dan kebutuhan ini dapat dipenuhi dengan memebandingkan diri dengan orang lain.

• Dorongan untuk menilai pendapat dan kemampuan Festinger mempunyai hipotesa bahwa setiap orang mempunyai dorongan (drive) untuk menilai pendapat dan kemampuan diri sendiri dengan cara membandingkan dengan pendapat atau kemampuan orang lain. Akan tetapi Festinger mengingatkan bahwa dalam menilai kemampuan ada 2 macam situasi. Situasi pertama adalah dimana kemampuan orang dinilai berdasarkan ukuran yang objektif. Situasi kedua adalah situasi dimana kemampuan dinilai berdasarkan pendapat.

• Sumber-sumber penilaian Orang yang akan menggunakan ukuran-ukuran yang objektif (realitas obyektif) sebagai dasar penilaian-penilainnya selama ada kemungkina untuk melakuukan hal itu. Tetapi kalau kemungkinan itu tidak ada maka orang akan mempergunakan pendapat atau kemampuan orang lain sebagai ukuran. Dari kenyataan ini Festinger sampai kepada hipotesisnya yang kedua yaitu bahwa jika tidak ada cara-cara yang nonsosial, maka orang akan mengunakan ukuran-ukuran yang melibatkan orang lain.

• Memilih orang untuk perbandingan Dalam membuat perbandingan dengan orang-orang lain, setiap orang mempunyai banyak pilihan. Tetapi setiap oarng cenderung memilih oarng-orang yang sebaya taua rekan-rekannya sendiri untuk dijadikan perbandingan. Hipotesa 3 : Kecendrungan untuk membandingkan diri dengan orang lain menurun jika perbedaan pendapat dengan orang lain itu meningkat. Corollary 3 A : Kalau ia boleh memilih, seseorang akan memilih oarng yang pendapat atau kemampuannya mendekati pendapat atau kemampuannya sendiri untuk dijadikan pembanding. Corollary 3 B : Jika tidak ada kemungkinan lain keculai membandingkan diri dengan pendapat atau kemampuan orang lain yang jauh berbeda, maka seseorang tidak akan mampu membuat penilaian yang tepat tentang pendapat atau kemajuannya sendiri.

• Faktor-faktor yang mempengaruhi perubahan Festinger mengajukan hipotesis 4 sebagai berikut : Dalam hal ini perbedaan kemampuan, terdapat desaka untuk perubahan searah, yaitu perubahann ke atas, yang tidak terdapat dalam dalam hal perbedaan pendapat. Hipotesa 4 ini menurut Festinger setidak-tidaknya berlaku untuk masyarakat seperti di Amerika serikat dimana prestasi yang tinggi sangat dihargai. Hipotesa berikut adalh Hipotesa 5 : Ada faktor-faktor nonsosial yang menyulitkan atau tidak memungkinkan perubahan kemampuan pada seseorang, yang hampir-hampir tidak ada pada perubahan pendapat.

• Berhentinya perbandingan Deriviasi D3 : Jika perbedaan pendapat atau kemampuan dengan orang-orang lain dalam kelompok terlalu besar, maka akan terdapat kecendrungan untuk menhentikan perbandingan-perbandingan. Hipotesis 6 : sejauh perbandingan yang berkepanjangan dengan orang lain menimbulkan konsekuensi-konsekuensi yang tidak menyenangkan, perhatian perbandingan akan diikuti oleh persaan bermusuhan dan kebencian.

• Desakan kearah keseragaman Corollary 7 A : Desakan ke arah keseragaman pendapat atau kemampuan tergantung dari daya tarik kelompok itu. Corollary 7 B : Desakan kearah kseragaman bervariasi, tergantung pada relevansi pendapat atau kemampuan bagi kelompok. Hipotesis 8 : kecendrungan untuk memperkecil kemungkina perbandingan makin besar jika orang-orang yang pandangan atau kemampuannya berbeda dari diri tersebut, dianggap juga berbeda dalam sifat-sifat lain.

• Pengaruhnya terhadap pembentukan kelompok

Karena perbandingan hanya bisa terjadi dalam kelompok, maka untuk menilai diri sendiri orang terdorong untuk berkelompok dan menghubungkan dirinya sendiri dengan orang lain. Kelompok yang paling memuaskan adalah yang pendapatnya paling dekat dengan pendapat sendiri.

• Konsekuensi-konsekuensi dari perbandingan yang dipaksakan Jika perbedaan pendapat dalam kelompok terlalu besar, maka kelompok akan mengatur dirinya sedemikian rupa sehingga perbedaan-perbedaan itu dapat didekatkan dan perbandingan-perbandingan dapat dilakukan.

4.2 TEORI INFERENSI KORESPODENSI

Teori ini dikembangkan oleh Jones & davis (1965). Teori ini pada dasarnya mencoba untuk menernagkan kesimpulan yang ditarik oleh seorang pengamat (perceiver) dari pengamatannya atas perilaku tertentu dari orang lain. Dengan perkataan lain pengamat mengadakan peramalan (inferences) terhadap niat (intention) orang lain dari perilaku orang lain tersebut.

Tesis utama dari teori ini adalah sebagai berikut : perkiraan tentang intensi dari suatu perbuatan tertentu bisa ditarik dengan mempertimbangkan kemungkinan-kemungkinan lain yang dapat dilakukan oleh si pelaku.

Konsep Korespondensi

Istilah korespondensi digunakan oleh Jones & Davis jika suatau perilaku dari intensi yang mendasari tingkah laku itu diperkirakan sama.

Dengan perkataan lain, korespondensi dari hubungna anatara suatu perbuatan dan niat yang mendasari perbuatan itu akan meningkat jika si pengamat menilai bahwa ciri-ciri perilaku tersebut berbeda atau menyimpang dari ciri-ciri perilaku orang lain pada umumnya yang berada pada posisi yang sama.

Tindakan dan Efek

Tindakan (act) oleh Jones &Davis diberi definisi yang luas, yaitu keseluruhan respons (reaksi) yang mencerminkan piligan si pelaku dan yang mempunyai akibat (efek) terhadap lingkungannya.

Efek diartikan oleh Jones & Daivis sebagai perubahan-perubahan yang nyata yang dihasilkan oleh tindakan. Efek dari suatu tindakan bisa satu bisa bermacam-macam. Kalau suatu tindakan mempunyai efek ganda, maka inferensi akan jadi lebih sulit.

Faktor-faktor yang menentukan korespondensi

• Bila suatu tindakan mengakibatkan efek ganda, maka si pengamat pertama-tama memperkirakan bahwa ada beberapa efek tertentu yang lebih merupakan tujuan dari pelaku. Jika dari berbagai efek itu ternyata hanya satu yang dianggap merupakan tujuan pelaku oleh pengamat, maka ia dikatakan probabilitas.

• Aspek lain dari proses interferensi adalah signifikansi dari efek tindakan yang menjadi tujuan kator bagi pengamat.

Faktor-faktor yang menentukan assumed desirability

Assumed desirability adalah perkiraan pengamat bahwa perilaku tertentu akan dilakukan oleh orang-orang lain pada posisi perilaku dan bahwa pelaku mengharapkan efek yang tidak berbeda dari orang-orang lain pada posisinua.

Yang mempengaruhi assumed desirabillity adlah hal-hal seperti penampilan pelaku, stereotipi pengamat dan lain-lain.

Memperhitungkan kebiasaan efek

Di atas telah disebutkan bahwa pengamat harus memperhitungkan apakah suatu efek biasa terjadi atau tidak bisa terjadi. Ada 2 masalh yang menyangkut proses memperhitungkan kebiasaan dari efek-efek :

Masalah yang menyangkut identifikasi dan penentuan biasa atau tidaknya efek-efek

Memilih efek-efek yang tida biasa dan memisahkanny dari efek-efek lain dari suatu tindakan tertentu.

Korespondensi dan Keterlibatan Pribadi

Keterlibatan ini ada 2 macam yaitu : relevansi hedonik dan personalisme. Suatu tindakan mempunyai relevansi hedonik buat pengamat jika tindakan itu mendorong atau menghambat tercapainya tujuan-tujuan pengamat sendiri, jika tindakan itu menyenangkan atau mengecewakan pengamat.

Di lain pihak, suatu tindakan adalah personalistik jika pengmat merasa yakin bahwa dirinya sendirilah yang dijadikan sasaran dari tindakan termaksud.

4.3 TEORI ATRIBUSI EKSTERNAL.

Teori atribusi eksternal adalah teori yang membahas tentang prilaku seseorang. Apakah itu di sebabkan karena faktor internal, misalnya sifat, karakter, sikap, dan sebagainya. Atau karena faktor eksternal, misalnya tekanan situasi atau keadaan tertentu yang memaksa seseorang melakukan perbuatan tertentu. Sehingga pengamat dapat mengambil kesimpulan atas prilaku yang sedang di tampilkan orang lain. Ini berarti setiap individu pada dasarnya adalah seorang ilmuan semu yang berusaha mencari sebab kenapa seseorang berbuat dengan cara tertentu.

Contoh:

Seorang siswa, yang bernama topan, bertengkar dengan seorang guru matematikanya, begitu pula dengan siswa lainnya. Hal ini menunjukkan konsensus yang tinggi. Topan pernah juga bertengkar dengan guru matematika itu sebelumnya. Hal ini menunjukkan bahwa konsistensi yang tinggi. Kemudian topan tidak bertengkar dengan guru lainnya , Topan hanya bertengkar dengan guru matematikanya saja. Maka kita akan menyimpulkan bahwa Topan marah kepada guru matematikanya itu karena ulah gurunya sendiri, bukan karena watak topan yang pemarah. Ini sebagai salah satu contoh atribusi eksternal yang merupakan proses pembentukan kesan berdasarkan kesimpulan yang kita tafsirkan atas kejadian yang terjadi.

Sementara menurut Weiner (Weiner, 1980, 1992) attribution theory is probably the most influential contemporary theory with implications for academic motivation. Artinya Atribusi adalah teori kontemporer yang paling berpengaruh dengan implikasi untuk motivasi akademik. Hal ini dapat diartikan bahwa teori ini mencakup modifikasi perilaku dalam arti bahwa ia menekankan gagasan bahwa peserta didik sangat termotivasi dengan hasil yang menyenangkan untuk dapat merasa baik tentang diri mereka sendiri.

Teori yang dikembangkan oleh Bernard Weiner ini merupakan gabungan dari dua bidang minat utama dalam teori psikologi yakni motivasi dan penelitian atribusi. Teori yang diawali dengan motivasi, seperti halnya teori belajar dikembangkan terutama dari pandangan stimulus-respons yang cukup popular dari pertengahan 1930-an sampai 1950-an.

Sebenarnya istilah atribusi mengacu kepada penyebab suatu kejadian atau hasil menurut persepsi individu. Dan yang menjadi pusat perhatian atau penekanan pada penelitian di bidang ini adalah cara-cara bagaimana orang memberikan penjelasan sebab-sebab kejadian dan implikasi dari penjelasan-penjelasan tersebut. Dengan kata lain, teori itu berfokus pada bagaimana orang bisa sampai memperoleh jawaban atas pertanyaan “mengapa”? (Kelly 1973).

Komponen dan Karakteristik Atribusi

Model Atribusi mengenai motivasi mempunyai beberapa komponen, yang terpenting adalah hubungan antara atribusi, perasaan dan tingkah laku. Menurut Weiner, urutan-urutan logis dari hubungan psikologi itu ialah bahwa perasaan merupakan hasil dari atribusi atau kognisi. Perasaan tidak menentukan kognisi, misalnya semula orang merasa bersyukur karena memperoleh hasil positif dan kemudian memutuskan bahwa keberhasilan itu berkat bantuan orang lain. Hal ini merupakan urutan yang tidak logis (weiner, 1982 hal 204).

Hubungan antara kepercayaan, pada reaksi afektif dan tingkah laku. Penyebab keberhasilan dan kegagalan menurut persepsi menyebabkan pengharapan untuk terjadinya tindakan yang akan

datang dan menimbulkan emosi tertentu. Tindakan yang menyusul dipengaruhi baik oleh perasaan individu maupun hasil tindakan yang diharapkan terjadi.

Menurut teori atribusi, keberhasilan atau kegagalan seseorang dapat dianalisis dalam tiga karakteristik, yakni :

Penyebab keberhasilan atau kegagalan mungkin internal atau eksternal. Artinya, kita mungkin berhasil atau gagal karena factor-faktor yang kami percaya memiliki asal usul mereka di dalam diri kita atau karena factor yang berasal di lingkungan kita.

Penyebab keberhasilan atau kegagalan seseorang dapat berupa stabil atau tidak stabil. Maksudnya, jika kita percaya penyebab stabil maka hasilnya mungkin akan sama jika melakukan perilaku yang sama pada kesempatan lain.

Penyebab keberhasilan atau kegagalan dapat berupa dikontrol atau tidak terkendali. Faktor terkendali adalah salah satu yang kami yakin kami dapat mengubah diri kita sendiri jika kita ingin melakukannya. Adapun factor tak terkendali adalah salah satu yang kita tidak percaya kita dengan mudah dapat mengubahnya.

Merupakan factor internal yang dapat dikontrol, yakni kita dapat mengendalikan usaha dengan mencoba lebih keras. Demikian juga factor eksternal dapat dikontrol , misalnya seseorang gagal dalam suatu lembaga pelatihan , namun dapat berhasil jika dapat mengambil pelatihan yang lebih mudah. Atau dapat disebut sebagai factor tidak terkendali apabila kalkulus dianggap sulit kareba bersifat abstrak, akan tetap abstrak, tidak akan terpengaruh terhadap apa yang kita lakukan.

Secara umum, ini berarti bahwa ketika peserta didik berhasil di tugas akademik, mereka cenderung ingin atribut keberhasilan ini untuk usaha mereka sendiri, tetapi ketika mereka gagal, mereka ingin atribut kegagalan mereka untuk factor-faktor dimana mereka tidak memiliki kendali, sepeti mengajarkan hal buruk atau bernasib buruk.

Menurut Weiner, factor paling penting yang mempengaruhi atribusi ada empat factor yakni antara lain :

Ability yakni kemampuan, adalah factor internal dan relative stabil dimana peserta didik tidak banyak latihan control langsung.

Task difficulty yakni kesulitan tugas dan stabil merupakan factor eksternal yang sebgaian besar di luar pembelajaran control.

Effort yakni upaya, adalah factor internal dan tidak stabil dimana peserta didik dapat latihan banyak control.

Luck yakni factor eksternal dan tidak stabil dimana peserta didik latihan control sangat kecil.

Untuk memahami seseorang dalam kaitannya dengan suatu kejadian, Weiner menunjuk dua dimensi yaitu :

a. Dimensi internal-eksternal sebagai sumber kausalitas b. Dimensi stabil-tidak stabil sebagai sifat kausalitas

4.4 TEORI PENILAIAN SOSIAL

Teori penilaian sosial adalah suatu teori yang memusatkan bagaimana kita membuat penilaian tentang opini atau pendapat yang kita dengar dengan melibatkan ego dalam pendapat tersebut.

Teori ini dikemukakan oleh Sherif dan Hovland (1961)mencoba menggabungkan sudut pandangan psikologi, sosiologi dan antropologi.mereka mengatakan bahwa dalil yan mendasar dari teorinyaini adalah oan yang membentuk situasi yang penting buat dirinya. Jadi ia tidak ditentukan oleh factor intern (sikap, situasi dan motif) maupun ekstern (obyek, orang-orang dan lingkungan fisik). Interaksi dan factor intern dan ekstern inilah yang menjadi kerangka acuan dari setiap perilaku. Pasokan-[sokan inilah yang dianalisis oleh Sherif dalam teorinya dan dicari sejah mana pengaruhnya terhadap penilaian social dilakukan oleh individu.

Jadi teori penilaian social ini khususnya mempelajari proses psikologis yang mendasari pernyataan sikap dan perubahan sikap melalui komunikasi. Anggapan dasarnya adalah bahwa dalam menilai manusia membuat deskripsi dan kategorisasi khusus. Dalam kategorisasi manusia melakukan perbandingan-perbandingan diantara berbagai alternatifyang disusun oleh individu untuk menilai stimulus-stimulus yang datang dari luar.

Oleh karena itu kita harus memahami penilaian social dari segi

Dalam hal ini bagaimana terjadinya penilaian pada diri individu, Sherf mengemukakan bahwa dalam percobaannya dia memerikkan sejumlah benda dan setiap benda itu menyatakan mana yang lebih berat dan mana yang lebih ringan. Disitlah jelas sifat yang akan dinilai dan makin jelas patokan-patokan yang akan disusun agar penilaiana makin mantap. Misalnya orang diberikan barang/benda yang dapat ditimabang yang beratnya bervariasi antara 5-100gram. Dan orang percobaan tersebut disuruh menetapkan 50 gram sebagai patokannya, maka menggolongkan benda yang brat dan yang ringan ini.stabil. sebaliknya kalau sifat yang ditimbang itu meragukan dantidaka ada patokan jelas, maka penilaian akan labil.

Komunikasi menurut Sherif dan holand bisamendekatkan sikap individu dengansikap orang lain.tetapi bias juga menjahui orang lain. Hal ini tergantung dari posisi awal tersebut terhadap individu lain. Jika posisi awal mereka saling berdekatan, komunikasi akan semakin memperjelas persamaan-persamaan diantara mereka dan sehingga terjadilah pendekatan. Tetapi sebaliknya, jika posisi awal saling berjauhan, maka komuniksi akan mempertegas perbedaan dan posisi mereka akan saling menjahui.

4.5 TEORI INTERAKSIONISME SIMBOLIK

Ada tiga konsep penting yang dibahas dalam teori interaksi simbolik. Hal ini sesuai dengan hasil pemikiran George H. Mead, yang dibukukan dengan judul Mind, Self and Society. Konsep pertama adalah pikiran (mind). Mead mendefinisikan pikiran sebagai kemampuan untuk menggunakan simbol yang mempunyai makna sosial yang sama. Mead juga percaya bahwa manusia harus mengembangkan pikiran melalui interaksi dengan orang lain. Bayi tidak akan berinteraksi dengan orang lain sampai ia mempelajari bahasa atau simbol-simbol baik verbal maupun nonverbal yang diatur dalam pola-pola untuk mengekspresikan pemikiran dan perasaan dan dimiliki bersama. Dengan menggunakan bahasa dan berinteraksi dengan orang lain, kita mengembangkan pikiran. Jadi pikiran dapat digambarkan sebagai cara orang menginternalisasi masyarakat. Akan tetapi pikiran tidak dapat hanya tergantung pada masyarakat.

Terkait dengan konsep pikiran, ada pemikiran (thought), yang merujuk pada percakapan di dalam diri sendiri. Mead berpandangan bahwa tanpa rangsangan sosial dan interaksi dengan orang lain, orang tidak akan mampu mengadakan pembicaraan dalam dirinya sendiri atau mempertahankan pemikirannya.

Salah satu aktivitas penting yang digunakan orang melalui pemikiran adalah pengambilan peran (role taking), atau kemampuan untuk secara simbolik menempatkan dirinya sendiri dalam diri khayalan dari orang lain. Kapan pun kita selalu berusaha untuk membayangkan bagaimana orang lain mungkin melihat kita, kita sebagai mereka. Kita selalu mengambil peran orang lain dalam diri kita. Pengambilan peran adalah sebuah tindakan simbolis yang dapat membantu menjelaskan perasaan kita mengenai diri dan juga memungkinkan kita untuk mengembangkan kapasitas untuk berempati dengan orang lain.

Konsep penting yang kedua adalah diri (self). Mead mendefinisikan diri sebagai kemampuan untuk merefleksikan diri kita sendiri dari perspektif orang lain. Diri bukan berasal dari intropeksi atau dari pemikiran sendiri yang sederhana. Namun diri berkembang dari sebuah jenis pengambilan peran khusus�maksudnya, membayangkan bagaimana kita dilihat oleh orang lain. Mead menyebut istilah ini sebagai cermin diri (loking-glass self), atau kemampuan kita untuk melihat diri kita sendiri dalam pantulan dari pandangan orang lain.

Mead mengamati bahwa bahasa orang mempunyai kemampuan untuk menjadi subjek dan objek bagi dirinya sendiri. Sebagai subjek, ia bertindak dan sebagai objek kita mengamati diri kita sendiri bertindak. Mead menyebut subjek atau diri yang bertindak sebagai I. sementara objek atau diri yang mengamati adalah Me. I bersifat spontan, impulsif dan kreatif, sedangkan Me lebih reflektif dan peka secara sosial. I mungkin berkeinginan untuk pergi keluar jalan-jalan malam, sementara Me mungkin lebih berhati-hati dan menyadari adanya pekerjaan rumah yang harus diselesaikan. Diri adalah sebuah proses yang mengintegrasikan antara I dan Me.

Konsep penting yang ketiga adalah masyarakat (society). Mead berargumen bahwa interaksi mengambil tempat di dalam sebuah struktur sosial yang dinamis�budaya, masyarakat dan sebagainya. Individu-individu lahir dalam konteks sosial yang sudah ada. Mead mendefinisikan masyarakat sebagai jejaring hubungan sosial yang diciptakan manusia. Individu-individu terlibat di dalam masyarakat melalui perilaku yang mereka pilih secara aktif dan sukarela. Jadi, masyarakat menggambarkan keterhubungan beberapa perangkat perilaku yang terus disesuaikan oleh individu-individu. Masyarakat ada sebelum individu tetapi diciptakan dan dibentuk oleh individu.

4 .6 KONSEP DEFINISI SITUASI (THE DEFINITION OF THE SITUATION)

Konsep definisi situasi (the definition of the situation) merupakan implikasi dari konsep interaksi simbolik mengenai interaksi sosial yang dikemukakan oleh William Isac Thomas (1968)dalam Hendariningrum (2009). Konsep definisi situasi merupakan perbaikan dari pandangan yang mengatakan bahwa interaksi manusia merupakan pemberian tanggapan (response) terhadap rangsangan (stimulus) secara langsung. Konsep definisi situasi mengganggap bahwa setiap individu dalam memberikan suatu reaksi terhadap rangsangan dari luar, maka perilaku dari individu tersebut didahului dari suatu tahap pertimbangan-pertimbangan tertentu, dimana rangsangan dari luar tidak ”langsung ditelan mentah-mentah”, tetapi perlu dilakukan proses selektif atau proses penafsiran situasi yang pada akhirnya individu tersebut akan memberi makna terhadap rangsangan yang diterimanya.

Menurutnya tindakan seseorang selalu didahului suatu tahap penilaian dan pertimbangan; rangsangan dari luar diseleksi melalui proses yang dinamakannya definisi atau penafsiran situasi. Dalam proses ini orang yang bersangkutan memberi makna pada rangsangan yang diterimanya itu. Misalnya dalam proses ini orang yang memberi salam, maka rangsangan yang berupa ucapan “selamat pagi” diseleksi dan diberi makna. Bila menurut definisi situasi seorang gadis ucapan “selamat pagi” dari seorang pria yang belum dikenalnya tidak dilandasi itikad baik, ia akan cenderung memberikan reaksi berupa tindakan yang sesuai dengan penafsirannya-misalnya mengabaikan salam tersebut.

Dalam kaitannya dengan definisi situasi ini, Thomas terkenal karena ungakpannya : “when men define situations as real, they are real in the consequnces” � bila orang mendefinisikan situasi sebagai hal yang nyata, maka konsekuensinya nyata. Yang dimaksudkannya di sini ialah bahwa definisi situasi yang dibuat orang akan membawa konskeunsi nyata.

Thomas membedakan antara dua macam definisi situasi : definisi situasi yang dibuat secara spontan oleh individu, dan definisi situasi yang dibuat oleh masyarakat (definisi situasi yang mengatur interaksi manusia). Definisi situasi dibuat oleh masyarakat � keluarga, teman, komunitas. Thomas melihat adanya persaingan antara kedua macam definisi situasi tersebut. Menurutnya moralitas yang berwujud aturan atau hukum muncul untuk mengatur kepentingan pribadi agar tidak bertentangan dengan kepentingan masyarakat.

4 .7 TEORI KOMUNIKASI : DRAMATISME (KENNETH BURKE)

Teori dramatisme adalah teori yang mencoba memahami tindakan kehidupan manusia sebagai drama. Dramatisme, sesuia dengan namanya, mengonseptualisasikan kehidupan sebagai sebuah drama, menempatkan suatu focus kritik pada adegan yang diperlihatkan oleh berbagai pemain. Seperti dalam drama, adegan dalam kehidupan adalah penting dalam menyingkap motivasi manusia. Dramatisme memberikan kepada kita sebuah metode yang sesuai untuk membahas tindakan komunikasi antara teks dan khalayak untuk teks, serta tindakan di dalam teks itu sendiri.

Drama adalah metafora yang berguna bagi ide-ide Burke untuk tiga alasan: (1) drama menghasilkan cakupan yang luas, dan Burke tidak membuat klaim yang terbatas; tujuannya adalah untuk berteori mengenai keseluruhan pengalaman manusia. Metafora dramatis khususnya berguna dalam menggambarkan hubungan manusia karena didasarkan pada interaksi atau dialog. (2) drama cenderung untuk mengikuti tipe-tipe atau genre yang mudah dikenali: komedi, musical, melodrama dan lainnya. Burke merasa bahwa cara kita membentuk dan menggunakan bahasa dapat berhubungan dengan cara drama manusia ini dimainkan. (3) drama selalu ditujukan pada khalayak. Drama dalam hal ini bersifat retoris. Burke memandang sastra sebagai “peralatan untuk hidup”, artinya bahwa literature atau teks berbicara pada pengalaman hidup orang dan masalah serta memberikan reaksi untuk menghadapi pengalaman ini. Dengan demikian, kajian dramatisme mempelajari cara-cara dimana bahasa dan penggunaannya berhubungan dengan khalayak.

Asumsi Dramatisme

1. Manusia adalah hewan yang menggunakan symbol. Beberapa hal yang dilakukan manusia dimotivasi oleh naluri hewan yang ada dalam diri kita dan beberapa hal lainnya dimotivasi oleh symbol-simbol. Dari semua symbol yang digunakan manusia yang paling penting adalah bahasa.

2. Bahasa dan symbol membentuk sebuah system yang sangat penting bagi manusia. Sapir dan Whorf (1921; 1956) menyatakan bahwa sangat sulit untuk berfikir mengenai konsep atau objek tanpa adanya kata-kata bagi mereka. Jadi, orang dibatasi (dalam batas tertentu) dalam apa yang dapat mereka pahami oleh karena batasan bahasa mereka. Ketika manusia menggunakan bahasa, mereka juga digunakan oleh bahasa tertentu. Ketika bahasa dari suatu budaya tidak mempunyai symbol untuk motif tertentu, maka pembicara yang menggunakan bahasa tersebut juga cenderung untuk tidak memiliki motif tersebut. Kata-kata, pemikiran, dan tindakan memiliki hubungan yang sangat dekat satu sama lain.

3. Manusia adalah pembuat pilihan. Dasar utama dari dramatisme adalah pilihan manusia. Hal ini ada keterikatannya dengan konseptualisasi akan agensi (agency), atau kemampuan actor sosial untuk bertindak sebagai hasil pilihannya.

Dramatisme sebagai Retorika Baru

Dramatisme merupakan retorika baru. Bedanya dengan retorika lama adalah retorika baru lebih menekankan pada identifikasi dan hal ini dapat mencakup faktor-faktor yang secara parsial “tidak sadar” dalam mengajukan pernyataannya disamping retorika yang lama menekankan pada persuasi dan desain yang terencana.

Identifikasi dan Substansi

Substansi (sifat umum dari sesuatu) dapat digambarkan dalam diri seseorang dengan mendaftar karakteristik demografis serta latar belakang dan fakta mengenai situasi masa kini, seperti bakat dan pekerjaan. Burke berargumen bahwa ketika terdapat ketumpangtindihan antara dua orang dalam hal substansi mereka, mereka mempunyai identifikasi (ketika dua orang memiliki ketumpangtindihan pada substansi mereka). Semakin besar ketumpangtindihan yang terjadi, makin besaridentifikasi yang terjadi. Kebalikannya juga benar, semakin kecil tingkat ketumpangtindihan individu, makin besar pemisahan (ketika dua orang gagal untuk mempunyai ketumpangtindihan dalam substansi mereka). Walaupun demikian, pada kenyataannya dua orang tidak dapat sepenuhnya memiliki ketumpangtindihan satu dengan lainnya. Burke sadar akan hal ini dan menyatakan bahwa “ambiguitas substansi” menyatakan bahwa identifikasi akan selalu terletak pada kesatuan dan pemisahan. Para individu akan bersatu pada masalah-masalah substansi tertentu tetapi pada saat bersamaan tetap unik, keduanya “disatukan dan dipisahkan” (Burke, 1950). Selanjutnya Burke mengindikasikan bahwa retorika dibutuhkan untuk menjembatani pemisahan dan membangun kesatuan. Burke merujuk proses ini sebagai konsubstansiasi (ketika permohonan dibuat untuk meningkatkan ketumpangtindihan antara orang), atau meningkatkan identifikasi mereka satu sama lain.

Proses Rasa Bersalah dan Penebusan

Konsubstansiasi, atau masalah mengenai identifikasi dan substansi, berhubungan dengan siklus rasa bersalah/penebusan karena rasa bersalah dapat dihilangkan sebagai hasil identifikasi dan pemisahan. Bagi Burke, proses rasa bersalah dan penebusan mengamankan keseluruhan konsep simbolisasi. Rasa bersalah (tekanan, rasa malu, rasa bersalah, rasa jijik, atau perasaan yang menyebalkan lainnya) adalah motif utama untuk semua aktifitas simbolik, dan Burke mendefinisikan rasa bersalah secara luas untuk mencakup berbagai jenis ketegangan, rasa malu, rasa bersalah, rasa jijik, atau perasaan yang tidak menyenangkan lainnya. Hal yang sama dalam teori Burke adalah bahwa rasa bersalah adalah sifat intrinsic yang ada dalam kondisi manusia. Karena it uterus merasa bersalah, kita juga terus berusaha untuk memurnikan diri kita sendiri dari ketidaknyamanan rasa bersalah. Proses merasa bersalah dan berusaha untuk menghilangkannya ada di dalam siklus Burke, yang mengikuti pola yang dapat diprediksi:

1. Tatanan atau hierarki (peringkat yang ada dalam masyarakat terutama karena kempuan kita untuk menggunakan bahasa).

2. Negatifitas (menolak tempat seseorang dalam tatanan sosial; memperlihatkan resistensi). 3. Pengorbanan (cara dimana kita berusaha untuk memurnikan diri kita dari rasa bersalah yang

kita rasakan sebagai bagian dari menjadi manusia). Ada dua metode untuk memurnikan diri

dari rasa bersalah, dengan menyalahkan diri sendiri) dan pengkambinghitaman (salah satu metode untuk memurnikan diri dari rasa bersalah, dengan menyalahkan orang lain).

4. Penebusan (penolakan sesuatu yang tidak bersih dan kembali pada tatanan baru setelah rasa bersalah diampuni sementara).

Pentad

Selain mengembangkan teori dramatisme, Burke (1954) menciptakan suatu metode untuk menerapkan teorinya terhadap sebuah pemahaman aktifitas simbolik. Metode tersebut adalah pentad (metode untuk menerapkan dramatisme). Hal-hal ini yang diperhatikan untuk menganalisis teks simbolik, yaitu:

1. Tindakan (sesuatu yang dilakukan oleh seseorang). 2. Adegan (konteks yang melingkupi tindakan). 3. Agen (orang yang melakukan tindakan). 4. Agensi (cara-cara yang digunakan untuk melakukan tindakan). 5. Tujuan (hasil akhir yang dimiliki agen dari suatu tindakan). 6. Sikap (cara dimana agen memosisikan diri relative terhadap elemen lain).

Kita menggunakan pentad untuk menganalisis sebuah interaksi simbolik, penganalisis pertama-tama menentukan sebuah elemen dari pentad dan mengidentifikasi apa yang terjadi dalam suatu tindakan tertentu. Setelah memberikan label pada poin-poin dari pentad dan menjelaskannya secara menyeluruh, analisis kemudian mempelajari rasio dramatistik (proporsi dari satu elemen pentad dibandingkan dengan elemen lainnya).

4 .8 TEORI SELF CARL ROGERS

A. ORGANISME

Organisme adalah keseluruhan indifidu. Organisme memiliki sifat-sifat senbagai berikut :

1. Organisme bersaksi sebagai keseluruhan terhadap medan phenomenal dengan maksud memenuhi kebutuhan-kebutuhannya.

2. Organisme memiliki satu motif dasar yaitu mengaktualisasikan, mempertahankan dan mengembangkan diri.

3. Organisme mungkin melambangkan pengalaman pengalamannya sehingga itu disadari atau mungkin tidak disadari.

B. MEDAN PHENOMENAL

Medan phenomenal adalah “frame of reference” dari individu yang hanya diketahui oleh orang itu sendiri. Medan phenomenal mempunyai sifat disadari atau tidak disadari, tergantung apakah pengalaman yang mendasari medan phenomena hal itu dilambangkan atau tidak.

C. THE SELF

Carl Rogers mendeskripsikan the self sebagai sebuah konstruk yang menunjukan bagaimana setiap individu melihat dirinya sendiri. Konsep pokok dari teori kepribadian Rogers adalah self, sehingga dapat dikatakan self merupakan satu-satunya sruktur kepribadian yang sebenarnya. Self ini dibagi 2 yaitu : Real Self dan Ideal Self. Real Self adalah keadaan diri individu saat ini, sementara Ideal Self adalah keadaan diri individu yang ingin dilihat oleh individu itu sendiri atau apa yang ingin dicapai oleh individu tersebut. Perhatian Rogers yang utama adalah bagaimana organisme dan self dapat dibuat lebih kongruen.

Self atau konsep self adalah konsep menyeluruh yang ajeg dan terorganisir tersusun dari persepsi ciri-ciri tentang “I” atau “me” (aku sebagai subyek atau aku sebagai obyek) dan persepsi hubungan “I” atau “me” dengan orang lain dan berbagai aspek kehidupan, berikut nilai-nilai yang terlibat dalam persepsi itu. Konsep self menggambarkan konsepsi orang tentang dirinya sendiri, ciri-ciri yang dianggapnya menjadi bagian dari dirinya. Konsep self juga menggambarkan pandangan diri dalam kaitannya dengan berbagai perannya dalam kehidupan dan dalam kaitannya dengan hubungan interpersonal.

SIFAT-SIFAT SELF

1. SELF berkembang dari interaksi organisme dengan lingkungannya.

2. SELF mungkin menginteraksikan nilai-nilai orang lain dan mengamatinya dalam cara(bentuk) yang tidak wajar.

3. SELF mengejar konsistensi(kebutuhan/kesatuan), keselarasan. 4. Organisme bertingkah laku dalam cara yang selaras atau konsisten dengan SELF 5. Pengalaman-pengalaman yang tidak selaras dengan struktur SELF diamati sebagai

ancaman. 6. SELF mungkin berubah sebagai hasil dari pematangan dan belajar.

4 .9 TEORI KONSTRUKSI SOSIAL

Konstruksi sosial (social construction) merupakan teori sosiologi kontemporer yang dicetuskan oleh Peter L. Berger dan Thomas Luckmann. Menurut kedua ahli sosiologi tersebut, teori ini dimaksudkan sebagai satu kajian teoritis dan sistematis mengenai sosiologi pengetahuan (penalaran teoritis yang sistematis), dan bukan sebagai suatu tinjauan historis mengenai perkembangan disiplin ilmu. Oleh karena itu, teori ini tidak memfokuskan pada hal-hal semacam tinjauan tokoh, pengaruh dan sejenisnya. Tetapi lebih menekankan pada tindakan manusia sebagai aktor yang kreatif dan realitas sosialnya.

Realitas sosial merupakan konstruksi sosial yang diciptakan oleh individu. Individu adalah manusia bebas yang melakukan hubungan antara manusia yang satu dengan yang lain. Individu menjadi penentu dalam dunia sosialyang dikonstruksi berdasarkan kehendaknya. Individu bukanlah sosok korban sosial, namun merupakan sebagai mesin produksi sekaligus reproduksi yang kreatif dalam mengkonstruksi dunia sosialnya (Bungin, 2001:4)

Teori konstruksi sosial yang dicetuskan oleh Berger & Luckmann ini banyak dipengaruhi oleh pemikiran sosiologi yang lain. Terutama terpengaruh oleh ajaran dan pemikiran Schutzian tentang fenomenologi, Weberian tentang makna subjektif (melalui Carl Meyer), Durkhemian � Parsonian tentang “struktur” (melalui Albert Solomon), dan Marxian tentang “dialektika”, serta Herbert Mead tentang “interaksi simbolik”.

Pijakan Teori Konstruksi Realitas Sosial

Berger & Luckmann berusaha mengembalikan hakikat dan peranan sosiologi pengetahuan dalam kerangka mengembangkan teori sosiologi. Beberapa usaha tersebut dapat dikemukakan sebagai berikut :

Pertama, mendefinisikan kembali pengertian “kenyataan” dan “pengetahuan” dalam konteks sosial. Dalam hal ini teori sosiologi harus mampu memberikan pemahaman bahwa kehidupan masyarakat itu dikonstruksi secara terus menerus. Oleh karena itu pusat perhatian seharusnya tercurah pada bentuk-bentuk penghayatan (Erlebniss) kehidupan masyarakat secara menyeluruh dengan segala aspeknya (kognitif, afektif dan konatif). Kenyataan sosial itu ditemukan dalam pergaulan sosial yang termanifestasikan dalam tindakan. Kenyataan sosial itu ditemukan dalam pengalaman intersubjektif dan melalui pengalaman ini pula masyarakat terbentuk secara terus menerus (unlimited).

Kedua, menemukan metodologi atau cara meneliti pengalaman intersubjektif dalam kerangka mengkonstruksi realitas. Yakni menemukan “esensi masyarakat” yang implisit dalam gejala-gejala sosial itu. Dalam hal ini memang perlu ada kesadaran bahwa apa yang dinamakan masyarakat pasti terbangun dari “dimensi objektif” dan sekaligus “dimensi subjektif” sebab masyarakat itu sendiri sesungguhnya buatan kultural dari masyarakat (yang didalamnya terdapat hubungan intersubjektifitas) dan manusia adalah sekaligus pencipta dunianya sendiri (Poloma, 1994)

Ketiga, memilih logika yang tepat dan cocok karena realitas sosial memiliki ciri khas seperti pluralis, dinamis dan memiliki proses perubahan terus menerus. Sehingga diperlukan pendekatan akal sehat “common sense “ untuk mengamati. Maka perlu memakai prinsip logis dan non logis. Dalam pengertian berpikir secara dialektis. Kemampuan berpikir secara dialektis tampak dalam pemikiran Berger, sebagaimana dimiliki Karl Marx dan beberapa filosof eksistensial yang menyadari manusia sebagai makhluk paradoksial. Oleh karena itu kenyataan hidup sehari-hari memiliki dimensi objektif dan subjektif (Berger & Luckmann, 1990)

Arah Pemikiran Teori Konsruksi Realitas Sosial

Berger & Luckmann berpandangan bahwa kenyataan itu dibangun secara sosial, dalam pengertian individu-individu dalam masyarakat itulah yang membangun masyarakat. Maka

pengalaman individu tidak terpisahkan dengan masyarakatnya. Berger memandang manusia sebagai pencipta kenyataan sosial yang objketif melalui tiga momen dialektis yang simultan yaitu eksternalisasi, objektivasi dan internalisasi.

1. Eksternalisasi, yaitu usaha pencurahan atau ekspresi diri manusia kedalam dunia, baik dalam kegiatan mental maupun fisik. Proses ini merupakan bentuk ekspresi diri untuk menguatkan eksistensi individu dalam masyarakat. Pada tahap ini masyarakat dilihat sebagai produk manusia (Society is a human product ).

2. Objektifikasi, adalah hasil yang telah dicapai, baik mental maupun fisik dari kegiatan eksternalisasi manusia tersebut. Hasil itu berupa realitas objektif yang bisa jadi akan menghadapi si penghasil itu sendiri sebagai suatu faktisitas yang berada diluar dan berlainan dari manusia yang menghasilkannya (hadir dalam wujud yang nyata). Realitas objektif itu berbeda dengan kenyataan subjketif perorangan. Ia menjadi kenyataan empiris yang bisa dialami oleh setiap orang. Pada tahap ini masyarakat dilihat sebagai realitas yang objektif ( Society is an objective reality), atau proses interaksi sosial dalam dunia intersubjektif yang dilembagakan atau mengalami proses institusionalisasi.

3. Internalisasi, lebih merupakan penyerapan kembali dunia objektif ke dalam kesadaran sedemikian rupa sehingga subjektif individu dipengaruhi oleh struktur dunia sosial. Berbagai macam unsur dari dunia yang telah terobjektifikasi tersebut akan ditangkap sebagai gejala realitas diluar kesadarannya, sekaligus sebagai gejala internal bagi kesadaran. Melalui internalisasi manusia menjadi hasil dari masyarakat ( Man is a social product ).

Eksternalisasi, objektifikasi dan internalisasi adalah tiga dialektis yang simultan dalam proses (re)produksi. Secara berkesinambungan adalah agen sosial yang mengeksternalisasi realitas sosial. Pada saat yang bersamaan, pemahaman akan realitas yang dianggap objektif pun terbentuk. Pada akhirnya, melalui proses eksternalisasi dan objektifasi, individu dibentuk sebagai produk sosial. Sehingga dapat dikatakan, tiap individu memiliki pengetahuan dan identitas sosial sesuai dengan peran institusional yang terbentuk atau yang diperankannya.

Dalam kehidupan masyarakat, adanya aturan-atauran dan hukum yang menjadi pedoman bagi institusi sosial adalah merupakan produk manusia untuk melestarikan keteraturan sosial. Sehingga meskipun peraturan dan hukum itu terkesan mengikat dan mengekang, tidak menutup adanya kemungkinan terjadi pelanggaran sosial. Hal itu dikarenakan ketidakmampuan individu untuk menyesuaikan dengan aturan yang digunakan untuk memelihara ketertiban sosial. Dalam proses eksternalisasi bagi masyarakat yang mengedepankan ketertiban sosial individu berusaha sekeras mungkin untuk menyesuaikan diri dengan peranan-peranan sosial yang sudah dilembagakan.

Masyarakat dalam pandangan Berger & Luckmann adalah sebuah kenyataan objektif yang didalamnya terdapat proses pelembagaan yang dibangun diatas pembiasaan (habitualisation), dimana terdapat tindakan yang selalu diulang-ulang sehngga kelihatan polanya dan terus direproduksi sebagai tindakan yang dipahaminya. Jika habitualisasi ini telah berlangsung maka terjadilah pengendapan dan tradisi. Keseluruhan pengalaman manusia tersimpan dalam kesadaran, mengendap dan akhirnya dapat memahami dirinya dan tindakannyadidalam konteks sosial kehidupannya dan melalui proses pentradisian. Akhirnya pengalaman yang terendap dalam tradisi diwariskan kepada generasi penerusnya. Proses transformasi pengalaman ini salah satu medianya adalah menggunakan bahasa.

Menurut Berger dan Luckmann , realitas sosial tidak berdiri sendiri melainkan dengan kehadiran individu, baik di dalam maupun di luar realitas tersebut. Realitas sosial tersebut memiliki makna ketika realitas sosial tersebut dikonstruksi dan dimaknakan secara subjektif oleh individu lain sehingga memantapkan realitas itu secara objektif. Individu mengkonstruksi realitas sosial dan merekonstruksinyadalam dunia realitas, memantapkan realitas itu berdasarkan subjektifitas individu lain dalam institusi sosialnya.

Lebih lanjut Berger dan Luckmann mengatakan bahwa institusi masyarakat tercipta dan dipertahankan atau diubah melalui tindakan dan interaksi manusia. Meskipun masyarakat dan institusi soaial terlihat nyata secara objektif, pada kenyataanyasemua dibangun dalam definisi subjketif melalui proses interaksi. Objektifitas baru bisa terjadi melalui penegasan berulang-ulang yang diberikan oleh orang lainyang memiliki definisi subjektif yang sama. Pada tingkat generalitas yang paling tinggi manusia menciptakan dunia dalam makna simbolik yang universal, yaitu pandangan hidupnya yang menyeluruh, yang memberi legitimasi dan mengatur bentuk-bentuk sosial serta membri makna pada berbagai bidang kehidupannya.

Institusionalisasi muncul bersamaan dengan munculnya tipifikasi (typification : proses menggolongkan sesuatu menjadi tipe-tipe tertentu) oleh orang-orang tertentu yang disebut sebagai aktor. Tipifikasi inilah yang disebut institusi. Tipifikasi ini selalu dibagi oleh sesama anggota kelompok sosial. Tiap institusi ini memilih mekanisme kontrolnya masing-masing. Mekanisme kontrol ini sering dilengkapi dengan sanksi. Tiap anggota wajib untuk meraih penghargaan sosial bila menaati realitas dalam institusinya atau menanggung resiko mendapat konsekuensi hukuman bila menyimpang dari kontrol yang ada.

Institusionalisasi, secara manifest, mengikutsertakan sejumlah orang, di mana setiap orang bertanggung jawab atas “pengkonstruksian dunia”-nya karena merekalah yang membentuk dunia tersebut. Mereka memahami dunia yang sebenarnya mereka bentuk sendiri.

Dari penjelasan di atas, dap dapat diketahui bahwa pemahaman individu terhadap dunia sekitarnya dan bagaimana perilaku individu yang dianggap sesuai dengan harapan masyarakatnya merupaka sebuah proses dialektis yang terjadi terus menerus diantara mereka. Selain itu, mereka tidak hanya hidup dalam dunia yang sama, masing-masing dari mereka juga berpartisipasi dalam keberadaan pihak lain (Bungin, 2001 : 19-20). Baru setelah mencapai taraf internalisasi semacam ini, individu menjadi anggota masyarakat.

Realitas sosial yang dimaksud oleh Berger & Luckmann terdiri atas tiga bagian dasar yaitu :

1. Realitas Sosial Objektif

Realitas sosial objektif adalah gejala-gejala sosial yang terdapat dalam kehidupan sehari-hari dan sering dihadapi oleh individu sebagai fakta.

2. Realitas Sosial Subjektif

Realitas sosial subjektif adalah realitas sosial yang terbentuk pada diri khalayak yang berasal dari realitas sosial objektif dan realitas sosial simbolik

3. Realitas Sosial Simbolik

Realitas sosial simbolik adalah bentuk � bentuk simbolik dari realitas sosial objektif, yang biasanya diketahui oleh khalayak dalam bentuk karya seni, fiksi serta isi media (Bungin,2011 : 24)

Setiap peristiwa merupakan realitas sosial objektif dan merupakan fakta yang benar-benar terjadi. Realitas sosial objektif ini diterima dan diinterpretasikan sebagai realitas sosial subjektif dalam diri pekerja media dan individu yang menyaksikan peristiwa tersebut. Pekerja media mengkonstruksi realitas subjektif yang sesuai dengan seleksi dan preferensi individu menjadi realitas objektif yang ditampilkan melalui media dengan menggunakan simbol-simbol. Tampilan realitas di media inilah yang disebut realitas sosial simbolik dan diterima pemirsa sebagai realitas sosial objektif karena media dianggap merefleksikan realitas sebagaimana adanya.

Konsep ketiga ini memperjelas konsep yang dikemukakan oleh Berger & Luckmann, yang hanya menyebutkan adanya penggambaran realitas melalui proses sedimentasi dan penjelasan sebuah realitas melalui proses legitimasi. Sedimentasi adalah proses dimana beberapa pengalaman mengendap dan masuk ke dalam ingatan, memori ini selanjutnya menjadi proses yang intersubjektif bila individu-individu yang berbeda berbagi pengalaman dan gambaran yang sama.

Legitimasi memiliki dua fungsi yaitu sebagai landasan untuk menginterpretasi realitas objektif dan untuk membantu membuat interpretasi yang dapat diterima secara luas. Dalam proses ini , individu tidak hanya membutuhkan “ a common stock of knowledge “ (sedimentasi), tetapi juga harus belajar untuk menerima dan menjalankannya sebagai sebuah kenyataan objektif sebagaimana adanya (Berger & Luckmann, 1967).

Jika konstruksi sosial adalah konsep, kesadaran umum dan wacana publik, maka menurut Gramsci, negara melalui alat pemaksa seperti birokrasi, administrasi maupun militer yang berada lebih tinggi dari masyarakat akan mendominasi kepemimpinan moral dan intelektual secara konstektual. Sistem hukum pada negara-negara Barat telah lama mengasumsikan bahwa individu tahu perilaku apa yang diharapkan oleh penegak masyarakatnya dan bila mereka melanggarnya secara sengaja, merke akan dihukum (Defleur & Ball- Rokeach). Inilah yang menjadi dasar diberlakukannya hukum dan aparat

Penegak hukum sebagai pengawas ketertiban dalam masyarakat.

4. 10 TEORI ROLE (PERAN)

Teori peran (Role Theory)Teori ini merupakan implikasi selanjutnya dari interaksi simbolik menurut pandangan Mead (West-Turner 2008: 105). dimana, salah satu aktivitas paling penting yang dilakukan manusia setelah proses pemikiran (thought) adalah pengambilan peran (role taking). Teori peran menekankan pada kemampuan individu secara simbolik dalam menempatkan diri diantara individu lainnya ditengah interaksi sosial masyarakat.

Ketidak berhasilan peran :

Dalam kaitannya dengan peran yang harus dilakukan, tidak semuanya mampu untuk menjalankan peran yang melekat dalam dirinya. Oleh karena itu, tidak jarang terjadi kekurangberhasilan dalam menjalankan perannya. Dalam ilmu sosial, ketidakberhasilan ini terwujud dalam role conflict dan role strain.

Role Conflict

Setiap orang memainkan sejumlah peran yang berbeda, dan kadang-kadang peran-peran tersebut membawa harapan-harapan yang bertentangan. Menurut Hendropuspito [1989], konflik peran (role conflict) sering terjadi pada orang yang memegang sejumlah peran yang berbeda macamnya, kalau peran-peran itu mempunyai pola kelakuan yang saling berlawanan meski subjek atau sasaran yang dituju sama. Dengan kata lain, bentrokan peranan terjadi kalau untuk menaati suatu pola, seseorang harus melanggar pola lain. Setidaknya ada dua macam konflik peran. Yakni, konflik antara berbagai peran yang berbeda, dan konflik dalam satu peran tunggal. Pertama, satu atau lebih peran (apakah itu peran independen atau bagian-bagian dari seperangkat peran) mungkin menimbulkan kewajiban-kewajiban yang bertentangan bagi seseorang. Kedua, dalam peran tunggal mungkin ada konflik inheren.

Role Strain

Adanya harapan-harapan yang bertentangan dalam satu peran yang sama ini dinamakan role strain. Satu hal yang menyebabkan terjadinya role strain adalah karena peran apapun sering menuntut adanya interaksi dengan berbagai status lain yang berbeda. Sampai tingkatan tertentu, masing-masing interaksi ini merumuskan peran yang berbeda, karena membawa harapan-harapan yang berbeda pula. Maka, apa yang tampak sebagai satu peran tunggal mungkin dalam sejumlah aspek sebenarnya adalah beberapa peran. Misalnya, status sebagai karyawan bagian pemasaran (sales) eceran di sebuah perusahaan, dalam arti tertentu sebenarnya membawa beberapa peran: sebagai bawahan (terhadap atasan di perusahaan itu), sebagai sesama pekerja (terhadap karyawan-karyawan lain di perusahaan itu), dan sebagai penjual (terhadap konsumen dan masyarakat yang ditawari produk perusahaan tersebut).

Stres Peran

Posisi dimasyarakat dapat merupakan stresor terhadap peran karena struktur sosial yang menimbulkan kesukaran, atau tuntutan posisi yang tidak mungkin dilaksanakan. Stres peran terdiri dari :

Konflik peran, dialami jika peran yang diminta konflik dengan sistem individu atau dua peran yang konflik satu sama yang lain.

Peran yang tidak jelas, terjadi jika individu yang diberi peran yang tidak jelas dalam hal perilaku dan penampilan yang diharapkan.

Peran yang tidak sesuai, terjadi jika individu dalam proses transisi merubah nilai dan sikap. Misalnya, seseorang yang masuk dalam satu profesi, dimana terdapat konflik antara nilai individu dan profesi.

Peran berlebih, terjadi jika individu menerima banyak peran misalnya, sebagai istri, mahasiswa, perawat, ibu. Individu dituntut melakukan banyak hal tetapi tidak tersedia waktu untuk menyelesaikannya. (Keliat, 1992)

Faktor-faktor yang mempengaruhi dalam menyesuaikan diri dengan peran yang harus dilakukan, yaitu :

• -Kejelasan perilaku dan pengetahuan yang sesuai dengan peran • -Konsistensi respon orang yang berarti terhadap peran yang dilakukan • -Kesesuaian dan keseimbangan antar peran yang diemban • -Keselarasan budaya dan harapan individu terhadap perilaku peran • -Pemisahan perilaku yang akan menciptakan ketidak sesuaian perilaku peran

Proses Yang Umum Untuk Memperkecil Ketegangan Peran Dan Melindungi Diri Dari Rasa Bersalah

Menurut Horton dan Hunt [1993], seseorang mungkin tidak memandang suatu peran dengan cara yang sama sebagaimana orang lain memandangnya. Sifat kepribadian seseorang mempengaruhi bagaimana orang itu merasakan peran tersebut. Tidak semua orang yang mengisi suatu peran merasa sama terikatnya kepada peran tersebut, karena hal ini dapat bertentangan dengan peran lainnya. Semua faktor ini terpadu sedemikian rupa, sehingga tidak ada dua individu yang memerankan satu peran tertentu dengan cara yang benar-benar sama.Ada beberapa proses yang umum untuk memperkecil ketegangan peran dan melindungi diri dari rasa bersalah, yaitu antara lain:

Rasionalisasi

Rasionalisasi yakni suatu proses defensif untuk mendefinisikan kembali suatu situasi yang menyakitkan dengan istilah-istilah yang secara sosial dan pribadi dapat diterima.

Rasionalisasi menutupi kenyataan konflik peran, yang mencegah kesadaran bahwa ada konflik. Misalnya, orang yang percaya bahwa “semua manusia sederajat” tapi tetap merasa tidak berdosa memiliki budak, dengan dalih bahwa budak bukanlah “manusia” tetapi “benda milik.”

Pengkotakan (Compartmentalization)

Pengkotakan (Compartmentalization) yakni memperkecil ketegangan peran dengan memagari peran seseorang dalam kotak-kotak kehidupan yang terpisah, sehingga seseorang hanya menanggapi seperangkat tuntutan peran pada satu waktu tertentu. Misalnya, seorang politisi yang di acara seminar bicara berapi-api tentang pembelaan kepentingan rakyat, tapi di kantornya sendiri ia terus melakukan korupsi dan merugikan kepentingan rakyat.

Ajudikasi (Adjudication)

Ajusikasi yakni prosedur yang resmi untuk mengalihkan penyelesaian konflik peran yang sulit kepada pihak ketiga, sehingga seseorang merasa bebas dari tanggung jawab dan dosa.

Kedirian (Self)

Kadang-kadang orang membuat pemisahan secara sadar antara peranan dan “kedirian” (self), sehingga konflik antara peran dan kedirian dapat muncul sebagai satu bentuk dari konflik peran. Bila orang menampilkan peran yang tidak disukai, mereka kadang-kadang mengatakan bahwa mereka hanya menjalankan apa yang harus mereka perbuat. Sehingga secara tak langsung mereka mengatakan, karakter mereka yang sesungguhnya tidak dapat disamakan dengan tindakan-tindakan mereka itu.Konflik-konflik nyata antara peran dan kedirian itu dapat dianalisis dengan konsep jarak peran (role distance) yang dikembangkan Erving Goffman. “Jarak peran” diartikan sebagai suatu kesan yang ditonjolkan oleh individu bahwa ia tidak terlibat sepenuhnya atau tidak menerima definisi situasi yang tercermin dalam penampilan perannya. Ia melakukan komunikasi-komunikasi yang tidak sesuai dengan sifat dari peranannya untuk menunjukkan bahwa ia lebih dari sekadar peran yang dimainkannya. Seperti, pelayan toko yang mengusulkan pembeli untuk pergi ke toko lain karena mungkin bisa mendapatkan harga yang lebih murah. Ini merupakan tindakan mengambil jarak dari peran yang mereka lakukan dalam suatu situasi. Penampilan “jarak peran” menunjukkan adanya perasaan kurang terikat terhadap peranan. Pada sisi lain, “penyatuan diri” dengan peranan secara total merupakan kebalikan dari “jarak peran.” Penyatuan diri terhadap peran tidak dilihat dari sikap seseorang terhadap perannya, tetapi dari tindakan nyata yang dilakukannya. Seorang individu menyatu dengan perannya bila ia menunjukkan semua kemampuan yang diperlukan dan secara penuh melibatkan diri dalam penampilan peran tersebut.

TEORI INTERPRETASI Hermenetik - Teori Interpretasi

Hermeneutics’ adalah studi teori interpretasi; bisa jadi seni interpretasi maupun praktek interpretasi. Traditional hermeneutics -- dimana Biblical hermeneutics termasuk di dalamnya � mengacu ke studi interpretasi teks-teks tertulis, terutama di bidang kesusastraan, agama, dan hukum. Modern hermeneutics melingkupi tidak hanya teks-teks tertulis, namun segala sesuatu yang mengalami proses diinterpretasi. Hal ini termasuk komunikasi verbal dan non verbal. Ketika kita membaca sesuatu, kita akan mendapatkan sebuah interpretasi. Ketika membacanya kembali, akan selalu mungkin terjadi bahwa kita akan mendapatkan pemahaman yang lebih mendalam lagi dimana akhirnya akan membawa kita ke sebuah interpretasi yang jauh lebih menyeluruh. Tatkala kita sampai ke interpretasi yang menyeluruh ini, sangatlah mungkin bahwa hasil interpretasi tersebut dipengaruhi oleh apa yang kita simpan dalam otak maupun memori kita: bacaan-bacaan yang telah kita baca, interpretasi-intepretasi yang kita hasilkan sendiri dari kegiatan membaca atau mengamati segala hal yang terjadi di sekitar kita, pengalaman kita sendiri maupun pengalaman orang lain yang kita dengar atau lihat, dll. Maka tidaklah mengherankan jika kemudian muncullah pertanyaan: adakah suatu interpretasi yang objektif, lepas dari segala yang telah kita simpan dalam otak maupun memori kita, lepas dari segala indoktrinasi yang telah dia terima sepanjang hidupnya, juga lepas dari segala pengalaman hidupnya. Tentu saja jawabannya adalah TIDAK.

Dalam bidang kesusastraan, teori hermeneutics ini tentu sangat mendukung adanya multi-interpretasi dari sebuah karya sastra. Apalagi dengan sangat luwesnya sebuah karya sastra dianalisis, tergantung teori mana yang kita gunakan, mulai dari teori klasik yang diajukan oleh Aristotle � expressive theory: berdasarkan pemikiran pengarang; pragmatic theory: berdasarkan pemikiran pembaca; mimetic theory: pemikiran bahwa karya sastra merupakan tiruan apa yang terjadi di masyarakat; dan objective theory: teori yang berdasarkan semata-mata pada karya sastra itu sendiri � sampai ke teori-teori sastra yang lebih modern, seperti Historical & Biographical Criticism, New Criticism, Russian Formalism, Structuralism, sampai ke Marxism, Feminism, Reader-Response Theory, Deconstruction, Psychoanalytic Criticism, Postcolonialism, etc. Dengan pemaparan yang sangat kuat, berdasarkan teori yang kita pilih, hampir tidak mustahil kita bisa menghasilkan interpretasi apa pun yang kita ingini. Bahkan, dengan teori The Death of the Author milik Roland Barthes, seorang kritikus sastra bisa menafikan keberadaan seorang pengarang di balik karya sastra yang dihasilkannya. ”The essential meaning of a work depends on the impressions of the reader, rather than the “passions” or “tastes” of the writer, “a text’s unity lies not in its origins, or its creator”, but in “its destination” or it audience.”

Dalam ranah spiritualitas, hal ini pun berlaku. ‘Kedewasaan’ spiritualitas seseorang tentu amatlah ditentukan oleh seberapa banyak seseorang membaca, seberapa banyak variasi bahan bacaannya, seberapa banyak seseorang mengalami ‘guncangan-guncangan’ spiritualitas, yang bisa jadi disebabkan oleh pengalaman bergaul dengan orang-orang yang memiliki pengalaman spiritualitas yang berbeda, bahkan mungkin kontradiktif, kesediaan diri untuk membuka otak dan mata hati bahwa tidak ada interpretasi tunggal dalam memahami Kitab Suci, (contoh yang paling ‘mudah’ dalam hal ini misalnya pemahaman seseorang atas ayat ‘lakum dinukum waliyadin’ bisa jadi menghasilkan interpretasi yang berbeda dengan orang lain, yang disebabkan oleh pengalaman spiritualitas yang berbeda). Maka, tidaklah mengherankan jika seorang Amina Wadud berani mengutarakan pendapatnya bahwa seorang perempuan boleh menjadi imam shalat Jumat, meski ditentang oleh banyak ulama; seorang Irshad Manji dengan berani mengaku sebagai seorang lesbian padahal dia adalah seorang Islam scholar; seorantg Siti Musdah Mulia membolehkan seorang perempuan Muslim untuk menikah dengan lelaki non Muslim, dlsb. Pengalaman spiritualitas yang berbeda, didukung dengan teori hermeneutics tatkala menafsirkan suatu ayat sangat memungkinkan hal ini terjadi.

Gagasan-gagasannya banyak berasal dari berbagai tradisi seperti sosiologi interpretif (interpretive sociology), pemikiran Max Weber, phenomenology dan hermeneutics Marxisme dan aliran ”Frankfurt School”, serta berbagai pendekatan kelompok teori ini terutama sekali populer di negara-negara Eropa.

Interpretif berarti pemahaman (verstechen) berusaha menjelaskan makna dari suatu tindakan. Karena suatu tindakan dapat memiliki banyak arti, maka makna idak dapat dengan mudah diungkap begitu saja. Interpretasi secara harfiah merupakan proses aktif dan inventif.

Teori interpretif umumnya menyadari bahwa makna dapat berarti lebih dari apa yang dijelaskan oleh pelaku. Jadi interpretasi adalah suatu tindakan kreatif dalam mengungkap kemungkinan-kemungkinan makna.

Implikasi social kritis pada dasarnya memiliki implikasi ekonomi dan politik, tetapi banyak diantaranya yang berkaitan dengan komunikasi dan tatanan komunikasi dalam masyarakat. Meskipun demikian teoritisi kritis biasanya enggan memisahkan komunikasi dan elemen lainnya dari keseluruhan system. Jadi, suatu teori kritis mengenai komunikasi perlu melibatkan kritik mengenai masyarakat secara keseluruhan.

Pendekatan kelompok ini terutama sekali popular di Negara-negara Eropa. Karakteristik umum yang mencirikan teori ini adalah:

• Penekanan terhadap peran subjektifitas yang didasarkan pada pengalaman individual. • Makna merupakan konsep kunci dalam teori-teori ini. Pengalaman dipandang sebagai

meaning centered. • Bahasa dipandang sebagai kekuatan yang mengemudikan pengalaman manusia.

Di samping karakteristik di atas yang menunjukan kesamaan, terdapat juga perbedaan mendasar antara teori-teori interpretif dan teori-teori kritis dalam pendekatannya. Pendekatan teori interpretif cenderung menghndarkan sifat-sifat preskriptif dan keputusan-keputusan absolute tentang fenomena yang diamati. Pengamatan menurut teori interpretif, hanyalah sesuatu yang bersifat tentative dan relative. Sementara teori-teori kritis lazimnya cenderung menggunakan keputusan-keputusan absolut, preskriptif dan juga politis sifatnya.

Jadi dapat disimpulkan bahwa teori interpretif ditujukan untuk memahami pengalaman hidup manusia, atau untuk menginterpretasikan makna-makna teks. Sedangkan teori kritis berkaitan dengan cara-cara di mana kondisi manusia mengalami kendala dan berusaha menciptakan berbagai metode untuk memperbaiki kehidupan manusia.

A. TEORI PERSPEKTIF INTERPRETASI

Tumbuh berdasarkan ketidakpuasan dengan teori Post Positivis, karena dianggap terlalu umum, terlalu mekanis dan tidak mampu menangkap keruwetan, nuansa, dan kompleksitas dari interaksi manusia.

Perspektif interpretif mencari sebuah pemahaman bagaimana kita membentuk dunia pemaknaan melaui interaksi dan bagaimana kita berprilaku terhadap dunia yang kita bentuk itu. Dalam pencarian jenis pemahaman ini, teori interpretif mendekati dunia dan pengetahuan yang sangat berbeda dengan cara teori post positivis.

Pandangan dasar Perspektif Interpretif

Meliputi tiga bagian utama yakni :

1. Kajian Fenomenologi;

Dunia kehidupan (lebenswelt) adalah dasar makna yang dilupakan oleh ilmu pengetahuan. Begitulah ujar Hussel[14]. Dunia kehidupan adalah unsur sehari-hari yang membentuk kenyataan kita, unsur-unsur dunia sehari-hari yang kita libati dan hadapi sebelum kita meneorikan atau mereflesikannya sehari-hari. Jadi pemikirannya bukan merupakan sebuah gerakan yang kohern. Ia mungkin lebih merfleksikan pemikiran dari beberapa filsuf, termasuk didalamnya Edmund Husselr, Maurice Marleu Ponty, Martin Haidger dan Alfred Schutz.

Secara singkat dapat dikatakan, fenomenolgi adalah kajian pemaknaan berdasaran kehidupan sehari-hari. Terbagi atas dua bagian, yakni Klasik (trasendantal) dan Modern.

2. Kajian Hermeuneutika;

Adalah kajian yang menunjukkan para ilmuwan pada pentingnya teks dalam dunia sosial dan pada metode analisis yang menekankan keterhubungan antara teks, pengarang, konteks dan kalangan teorisi. Dengan demikian Heurmeneutika pada dasarnya menyediakan suatu jalan untuk menghindar dari tekanan dalam penjelasan dan kontrol pada kalangan positivis serta pemahaman subjektif atas penelitian sosial.

Sebagai salah seorang tokoh filsafat yang memusatkan perhatiannya pada hermeneutika, Paul Ricoeur berpandangan bahwa hermeneutika merupakan suatu teori mengenai aturan-aturan penafsiran terhadap suatu teks atau sekumpulan tanda maupun simbol yang dipandangnya atau dikelompokkan sebagai teks juga. Ricoeur menganggap bahwa tidak ada pengetahuan langsung tentang diri sendiri, oleh sebab itu pengetahuan tentang diri sesungguhnya hanya diperoleh melalui kegiatan penafsiran. Melalui kegiatan ini, setiap hal yang melekat pada diri (yang bisa dianggap sebagai teks) harus dicari makna yang sesungguhnya/objektif agar dapat diperoleh suatu kebenaran (pengetahuan) yang hakiki tentang diri tersebut.

Hermeneutika bertujuan untuk menggali makna yang terdapat pada teks dan simbol dengan cara menggali tanpa henti makna-makna yang tersembunyi ataupun yang belum diketahui dalam suatu teks. Penggalian tanpa henti harus dilakukan mengingat interpretasi dalam teks bukanlah merupakan interpretasi yang bersifat mutlak dan tunggal, melainkan temporer dan multi interpretasi. Dengan demikian, tidak ada kebenaran mutlak dan tunggal dalam masalah interpretasi atas teks karena interpretasi harus selalu kontekstual dan tidak selalu harus tunggal. Dalam pengertian kontekstual, seorang interpreter dituntut untuk menerapkan hermeneutika yang kritis agar selalu kontekstual. Dalam konteks ini, barangkali interpreter perlu menyadari bahwa sebuah pemahaman dan interpretasi teks pada dasarnya bersifat dinamis. Sementara itu, dalam pengertian bahwa makna hasil dari interpretasi tidak selalu tunggal mengandung pengertian bahwa suatu teks akan memiliki makna yang berbeda ketika dihubungkan dengan konteks yang lainnya, sehingga akan membuat pengkayaan interpretasi dan makna.

Hermeneutika tidak dimaksudkan untuk mencari kesamaan antara maksud pembuat pesan dan penafsir. Melainkan menginterpretasi makna dan pesan seobjektif mungkin sesuai dengan yang diinginkan teks yang dikaitan dengan konteks. Seleksi atas hal-hal di luar teks harus selalu berada dalam petunjuk teks. Suatu interpretasi harus selalu berpijak pada teks. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa proses penafsiran selalu merupakan dialog antara teks dan penafsir

Pengkajian teks yang dianalis terus mengalami perkembangan dan kini stdui komunikasinya meluas pada beberapa hal diantaranya, pidato, acara televisi, pertemuan bisnis, percakap

3. Kajian Interaksionis Simbolik;

Berorientasi pada prinsip bahwa orang merespon makna yang mereka bangun sejauh mereka satu sama lain. Setiap individu merupakan agen aktif dalam dunia sosial, yang tentu saja dipengaruhi oleh budaya dan organisasi sosial, bahkan ia juga menjadi instrumen penting dalam produksi budaya, masyarakat dan hubungan yang bermakna yang memengaruhi mereka[15].

B. TEORI KOMUNIKASI KRITIS

Kritik merupakan knsep kunci untuk memahami teori kritis. Teori ini dikembangkan oleh Mashab Frankfrut. Konsep kritik dupergunakan mazhab ini memiliki kaitan dengan sejarah dengan konsep kritik yang berkembang pada masa-masa Rennaisance.

(1) Teori Marxist

Tokohnya Karl Marx (1818-1883). Teorinya terus memberikan inspirasi bagi perkembangan ilmu sosial juga ilmu komunikasi. Model analisisnya adalah model khas Marx atau Marxisme, yaitu model analisis yang mencoba menemukan keuntungan pihak tertentu (dan kerugian pihak lain) di balik fenomena yang dianggap biasa-biasa.

Marxisme mengembangkan dua istilah pokok yakni;

(1) substrkutur atau faktor ekonomi yang berkembang dimasyarakat. (2) Superstruktur atau faktor nonekonomi seperti agama, politik, seni dan literatur. Maxs

berpendapat bahwa kondisi-kondisi ekonomi dipengaruhi faktor-faktor superstrukrur.

Atas dasar analisa ini, Marx mengarahkan pemikirannya untuk melakukan REVOLUSI (perubahan secara mendasar dan cepat) struktur masyarakat.

(2). Frankfrut School

Mazhab Frankfurt ialah sebuah nama yang diberikan kepada kelompok filsuf yang memiliki afiliasi dengan Institut Penelitian Sosial di Frankfurt, Jerman, dan pemikir-pemikir lainnya yang

dipengaruhi oleh mereka. Tahun yang dianggap sebagai tahun kemulaian Mazhab Frankfurt ini adalah tahun 1930, ketika Max Horkheimer diangkat sebagai direktur lembaga riset sosial tersebut.

Beberapa filsuf terkenal yang dianggap sebagai anggota Mazhab Frankfurt ini antara lain Theodor Adorno, Walter Benjamin, dan Jürgen Habermas. Perlu diingat bahwa para pemikir ini tidak pernah mendefinisikan diri mereka sendiri di dalam sebuah kelompok atau 'mazhab', dan bahwa penamaan ini diberikan secara retrospektif. Walaupun kebanyakan dari mereka memiliki sebuah ketertarikan intelektual dengan pemikiran neo-Marxisme dan kritik terhadap budaya (yang di kemudian hari memengaruhi munculnya bidang ilmu Studi Budaya), masing-masing pemikir mengaplikasikan kedua hal ini dengan cara-cara dan terhadap subyek kajian yang berbeda.

Ketertarikan Mazhab Frankfurt terhadap pemikiran Karl Marx disebabkan antara lain oleh ketidakpuasan mereka terhadap penggunaan teori-teori Marxisme oleh kebanyakan orang lain, yang mereka anggap merupakan pandangan sempit terhadap pandangan asli Karl Marx.

Menurut mereka, pandangan sempit ini tidak mampu memberikan 'jawaban' terhadap situasi mereka pada saat itu di Jerman. Setelah Perang Dunia Pertama dan meningkatnya kekuatan politik Nazi, Jerman yang ada pada saat itu sangatlah berbeda dengan Jerman yang dialami Karl Marx. Sehingga jelaslah bagi para pemikir Mazhab Frankfurt bahwa Marxisme harus dimodifikasi untuk bisa menjawab tantangan zaman.

Patut dicatat bahwa beberapa pemikir utama Mahzab Frankfurt beragama Yahudi, dan terutama di perioda awal secara langsung menjadi korban Fasisme Nazi. Yang paling tragis ialah kematian Walter Benjamin, yang dicurigai melakukan bunuh diri setelah isi perpustakaannya disita oleh tentara Nazi. Beberapa yang lainnya, seperti Theodor Adorno dan Max Horkheimer terpaksa melarikan diri ke negara lain, terutama Amerika Serikat.

(2) Teori Feminist Media

Menurut Stephen W. Littlejohn, studi-studi feminis merupakan sebuah sebutan generik bagi sebuah perspektif yang menggali pengertian dari gender dalammasyarakat. Dimulai dengan asumsi bahwa gender adalah kategori yang luas untuk memahami pengalaman manusia, pembahasan feminis bertujuan untuk mengekspos kekuatan-kekuatan dan batasan-batasan dari pembagian dunia berdasarkan gendernya.

Fatalnya, banyak teori feminis yang memberi penekanan pada sifat mengekang dari hubungan jenis kelamin di bawah dominasi patriarki. Dengan sendirinya, feminisme dalam banyak hal merupakan sebuah studi tentang distribusi kekuasaan di antara jenis-jenis kelamin.

Para feminis sepertinya meminta adanya persamaan hak bagi perempuan, sebuah pengakuan publik bahwa perempuan memiliki kualitas dan kekuatan yang sama, yang dapat tampil sama baiknya di segala bidang kehidupan. Di lain pihak, mereka sepertinya ingin mengatakan bahwa perempuan berbeda dengan laki-laki, dan bahwa kekuatan dan bentuk2 ekspresi mereka harus dihargai dalam sisi mereka sendiri. Hal tersebut menimbulkan sebuah paradoks murni, supaya perempuan dihargai dan memiliki hak-hak yang sama, kekuatan perempuan harus diakui, tetapi penyorotan pada kekuatan-kekuatan perempuan ternyata semakin memperkuat pandangan patriarkis bahwa perempuan memiliki tempat sendiri.

(4). Teori Political Economi Media

Vincent Mosco dalam bukunya “The Political Economi of Communication” secara tersirat menyebutkan bahwa Posmodernitas dengan ekonomi politik tidak dapat dipisahkan keberadaannya. Hal tersebut terbukti dari beberapa teori dalam buku Mosco yang mengupas tentang adanya keterkaitan hal tersebut diatas. Diantara teori-teori tersebut adalah komodifikasi, spasialisasi dan strukturalisasi[16].

Komodifikasi menurut Karl Marx ialah kekayaan masyarakat dengan menggunakan produksi kapitalis yang berlaku dan terlihat seperti “kumpulan komoditas (barang dagangan) yang banyak sekali”; lalu komoditi milik perseorangan terlihat seperti sebuah bentuk dasar. Oleh karena itu kami mulai mengamati dengan sebuah analisis mengenai komoditi (barang-barang dagangan) (Mosco,1996:140). Komodifikasi diartikan sebagai transformasi penggunaan nilai yang dirubah ke dalam nilai yang lain. Dalam artian siapa saja yang memulai kapital dengan mendeskripsikan sebuah komoditi maka ia akan memperoleh keuntungan yang sangat besar.

Spasialisasi ialah sebuah sistem konsentrasi yang memusat. Dijelaskan jika kekuasaan tersebut memusat, maka akan terjadi hegemoni. Hegemoni itu sendiri dapat diartikan sebagai globalisasi yang terjadi karena adanya konsentrasi media. Sebagai contoh, media barat yang menyebarkan budaya mereka melalui media elektronik. Dari adanya hal tersebut memunculkan translator (orang-orang yang tidak dapat menyaring budaya) yang akirnya berakibat budaya barat menjadi budaya dunia. Dan kelompok hegemoni itu sendiri adalah kelompok yang menguasai politik, media dan teknologi sekaligus.

Strukturalisasi merupakan salah satu karakteristik yang penting dari teori struktural. Yang didalammya menggambarkan tentang keunggulan untuk memberi perubahan sosial sebagai proses yang sangat jelas mendeskripsikan bagaimana sebuah struktur diproduksi dan diproduksi ulang oleh manusia yang berperan sebagai pelaku dalam struktur ini.

(5). Teori Cultural Studies

Bidang ilmu pengetahuan yang relatif baru ini dengan sengaja mengambil kata majemuk sebagai penamaan diri, yakni studies (kajian-kajian), bukannya study (kajian). Penamaan ini dengan sendirinya menyiratkan sikap dan positioning para penggagas cultural studies terhadap kondisi ilmu pengetahuan di era modern yang terkotak-kotak, saling mengklaim kebenaran, meskipun lambat laun dimengerti juga bahwa kebenaran yang dihasilkan disiplin ilmu pengetahuan bersifat parsial. Kondisi semacam itu dijawab oleh cultural studies dengan menempuh strategi inter dan multidisipliner.

Cultural studies memasukkan kontribusi teori maupun metode dari berbagai disiplin ilmu yang dipandang strategis untuk mengedepankan realita kehidupan umat manusia maupun representasinya yang dipandang krusial dalam kehidupan mutakhir.

Karena cultural studies merupakan bidang keilmuan yang multi, maka wilayah kajian, pendekatan, teori dan konsep, maupun pendekatan metodologisnya pun sangat bervariasi; sehingga tidak mungkin dibahas selengkap-lengkapnya dalam makalah ini. Berikut hanya akan dibahas beberapa hal yang saya pandang berkaitan dengan sejarah sosial

Salah satu ciri terpenting cultural studies adalah pemahamannya terhadap dunia sehari-hari sebagai bagian dari budaya yang perlu dicermati. Hal-hal yang biasa dilakukan, dirasakan, diomongkan, didengar, dilihat, digunjingkan, dalam kehidupan sehari-hari oleh orang kebanyakan merupakan wilayah amatan cultural studies.

(6). Analisis Framing

Dalam analisis framing yang ditekankan adalah bagaimana berita dibingkai? sisi mana yang ditekankan dan sisi mana yang hendak dilupakan analisis framing dapat digambarkan sebagai analisis untuk mengetahui bagaimana realitas (peristiwa, paktor, kelompok, atau apa saja) dibingkai oleh media.pembingkaian tersebut melalui proses yang disebut kontruksi. Disini, realitas sosial dimaknai dan dikontruksi dengan makna tertentu.

Dalam ranah penelitian media, analisis framing masuk dalam pradikma kontruksionis. Pandangan ini dipengaruhi oleh berger dan luckman.

Media bukanlah satu saluran yang bebas memberitakan sesuatu apa adanya.mediajustru bersipat subyektip dan cenderung mengkonstruksi realitas. Analisis framing bertijuan untuk mengetahui bagaimana realitas dikonstruksi oleh media.dengan cara dan teknik peristiwa itu ditekankan dan ditonjolkan. Apakah dalam berita itu ada bagian yang dihilangkan, lupuk,atau sengaja disembunyikan dalam pemberitaan.

Analisis framing adalah metode untuk melihat cara bercerita(histori telling)media atas suatu peristiwa. Cara bercerita itu tergambar pada ’cara melihat’temadak realitas yang dijadikan berita. Sebagai suatu metode, analis framing banyak mendapat pengaruh dari sosiologi dan pisiologi.dan sosiologi, terutama sumbangan pemikiran dari peterberger dan erfing goffman. Dari psikologi adalah sumbangan dari teori yang berhubungan deng skema dan kognisi,dalam ranah penelitia media, analisis framing masuk dalam pradikma konstruksionis. Pandangan ini dipengaruhi oleh berger dan lukman.

Media dan berita dilihat dari para dogma konstruksionis. Fakta peristiwa adalah hasil konstruksi realitas itu bersifat subjektif. Realitas hadir karena konsep subjektif wartawan. Realitas hadir sudut pandang tertera dari wartawan.

(7). Analisis Wacana

Banyak model dan teori analisis wacana yang dikembangkan oleh para ahli. Seperti yang dijabarkan oleh Eriyanto (2001) dalam buku Analisis Wacana, ada beberapa model analisis wacana yang populer dan banyak digunakan oleh para peneliti, diantaranya adalah model dan teori analisis wacana yang dikembangkan oleh Roger Fowler dkk (1979), The van Leeuwen (1986), Sara Mills (1992), Norman Fairclough (1998) dan Teun A. Van Dijk (1998).

Menurut van Dijk, penelitian atas wacana tidak cukup hanya didasarkan pada analisis teks semata, karena teks hanya hasil dari suatu praktik produksi yang harus juga diamati. Melalui berbagai karyanya, van Dijk membuat kerangka analisis wacana yang dapat didayagunakan.

Van Dijk membaginya kedalam tiga tingkatan :

� Stuktur makro. Ini merupakan makna global/umum dari suatu teks yang dapat dipahami dengan melihat topik dari suatu teks. Tema wacana ini bukan hanya isi, tetapi juga sisi tertentu dari suatu peristiwa.

� Superstuktur, adalah kerangka suatu teks : bagaimana stuktur dan elemen wacana itu disusun dalam teks secara utuh.

� Stuktur mikro, adalah makna wacana yang dapat diamati dengan menganalisa kata, kalimat, proposisi, anak kalimat, parafrase yang dipakai dan sebagainya.

Hall menurunkan 3 intepretasi (Ida, 2010) yang digunakan individu untuk menafsirkan atau memberi respons terhadap persepsinya mengenai kondisi dalam masyarakat, yaitu dominan/hegemonic code adalah disini posisi audiens yang menyetujui dan menerima langsung apa saja yang disajikan oleh televisi, menerima penuh ideology yang dari program tayangan tanpa ada penolakan atau ketidaksetujuan terhadapnya. Negotiated code, penonton yang mencampurkan intepretasinya dengan pengalaman-pengalaman sosial tertentu mereka. Penonton yang masuk kategori negosiasi ini bertindak antara adaptif dan oposisi terhadap intepretasi pesan atau ideology dalam televisi. Oppositional code adalah ketika penonton melawan atau berlawanan dengan representasi yang ditawarkan dalam tayangan dengan cara yang berbeda dengan pembacaan yang telah ditawarkan (Hall: 138). Tipe ini tidak merasakan kesenangan pada saat menonton televisi. Ia menolak sajian atau ideology dominan dari televisi.

Studi khalayak ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan metode reception analysis. Penelitian ini dilakukan untuk memfokuskan peneliti pada produksi tentang pemaknaan teks dan proses negosiasi makna khalayak terhadap studi kasus penelitian pada penerimaan khalayak terhadap konsep kecantikan dalam iklan Pond’s dan Pantene. Dengan menggunakan tipe penelitian eksploratif dan teknik indepth interview, peneliti akan dapat menggali lebih dalam tentang penerimaan yang dilakukan oleh informan. Pada penelitian ini transkrip wawancara yang dari informan yang berjumlah 5 orang remaja yang berasal dari wilayah Indonesia Timur menjadi unit yang dianalisis kemudian di tambahkan dengan interpretasi dari informan untuk memperkuat data pada pembahasan.

5. TEORI KRITIS Teori Kritis merupakan salah suatu perspektif teoritis yang bersumber pada berbagai pemikiran yang berbeda seperti pemikiran Aristoteles, Foucault, Gadamer, Hegel, Marx, Kant, Wittgenstein dan pemikiran-pemikiran lain. Pemikiran-pemikiran berbeda tersebut disatukan oleh sebuah orientasi atau semangat teoretis yang sama, yakni semangat untuk melakukan emansipasi. Tujuan teori kritis adalah menghilangkan berbagai bentuk dominasi dan mendorong kebebasan, keadilan dan persamaan. Teori ini menggunakan metode reflektif dengan cara mengkritik secara terus menerus terhadap tatanan atau institusi sosial, politik atau ekonomi yang ada, yang cenderung tidak kondusif bagi pencapaian kebebasan, keadilan, dan persamaan.]

Ciri khas Teori Kritis tidak lain ialah bahwa teori ini tidak sama dengan pemikiran filsafat dan sosiologi tradisional. Singkatnya, pendekatan teori ini tidak bersifat kontemplatif atau spektulatif murni. Pada titik tertentu, ia memandang dirinya sebagai pewaris ajaran Karl Marx, sebagai teori yang menjadi emansipatoris.Selain itu, tidak hanya mau menjelaskan, mempertimbangkan, merefleksikan dan menata realitas sosial tapi juga bahwa teori tersebut mau mengubah.

6.1 TEORI KRITIS MAZHAB FRANKFURT

Teori kritis merupakan teori yang tidak berkaitan dengan prinsip-prinsip umum, tidak membentuk sistem ide. Teori ini berusaha memberikan kesadaran untuk membebaskan manusia dari irasionalisme. Dengan demikian fungsi teori ini adalah emansipatoris. Ciri teori ini adalah :

a) Kritis terhadap masyarakat. Teori Kritis mempertanyakan sebab-sebab yang mengakibatkan penyelewengan-penyelewengan dalam masyarakat. Struktur masyarakat yang rapuh ini harus diubah.

b) Teori kritis berpikir secara historis, artinya berpijak pada proses masyarakat yang historis. Dengan kata lain teori kritis berakar pada suatu situasi pemikiran dan situasi sosial tertentu, misalnya material-ekonomis.

c) Teori kritis tidak menutup diri dari kemungkinan jatuhnya teori dalam suatu bentuk ideologis yang dimiliki oleh struktur dasar masyarakat. Inilah yang terjadi pada pemikiran filsafat modern. Menurut Madzhab Frankfurt, pemikiran tersebut telah berubah menjadi ideologi kam kapitalis. Teori harus memilikikekuatan, nilai dan kebebasan untuk mengkritik dirinya sendiri dan menghindari kemungkinan untuk menjadi ideologi.

d) Teori kritis tidak memisahkan teori dari praktek, pengetahuan dari tindakan, serta rasio teoritis dari rasio praktis. Perlu digarisbawahi bahwa rasio praktis tidak boleh dicampuradukkan dengan rasio instrumental yang hanya memperhitungkan alat atau sarana semata. Madzhab Frankfurt menunjukkan bahwa teori atau ilmu yang bebas nilai adalah palsu.

Teori kritis harus selalu melayani transformasi praktis masyarakat. Pada dasarnya Teori Kritis Aliran Frankfurt ingin memperjelas struktur yang dimiliki oleh masyarakat pasca industri serta melihat akibat-akibat struktur tersebut dalam kehidupan manusia dan kebudayaan secara rasional. Teori Kritis ingin menjelaskan hubungan manusia dengan bertolak dari pemahaman rasio instrumental. Teori Kritis ingin membangun teori yang mengkritik struktur dan konfigurasi masyarakat aktual sebagai akibat dari suatu pemahaman yang keliru tentang rasionalitas.

Karya yang terkenal dari Horkheimer adalah buku berjudul Dialektika Pencerahan yang ditulis bersama dengan Adorno pada tahun 1944. Isi buku tersebut adalah kritik terhadap modernitas, yang dipandang oleh Adorno dan Horkheimer, sebagai sejarah dominasi atau penguasaan. Pemikiran ini mirip dengan kritik Marx. Perbedaannya adalah Adorno dan Horkheimer tidak menjelaskan sejarah penguasaan dari hubungan produksi, melainkan dari dorongan psikologis manusia, yakni kehendak untuk berkuasa. Paham kehendak berkuasa tersebut diambil alih dari Nietzsche. Karena itu, Adorno dan Horkheimer mengkritik kesadaran yang ada pada masyarakat itu sendiri, yakni kesadaran modern dengan rasio sebagai alat utama dominasi. Selanjutnya, mereka juga menyimpulkan bahwa Pencerahan yang dipandang sebagai kemajuan dari cara pandang mitologis, sebenarnya telah menjadi mitos itu sendiri. Kemudian mitos itu juga menghasilkan penindasan dan penguasaan manusia yang satu terhadap yang lainnya. Contoh kongkret dari penindasan itu adalah munculnya ideologi fasisme Jerman serta kemajuan teknologi yang memanupulasi manusia.

Dalam Dialectics of Enlightenment (1972), Horkheimer dan Adorno seolah memakai teori sebelumnya (Marx dll) namun juga mengkritiknya. Jika Marx hanya pada kapitalisme, maka Horkheimer dan Adorno memiliki lebih banyak aspek yang dipikirkan; politik, alam, kamausiaan dsb.

Horkheimer dan Adorno mengkritik 'dominasi' yang biasa dilakukan olehj filsafat barat, bahkan karena terlalu mementingkan kemajuan dan rasionalisasi, maka alam begitu saja menjadi obyek untuk dikuasai. Walau pun demikian, Horkheimer dan Adorno tetap mengakui bahwa manusia membutuhkan makanan, pertanian dan industri bagi teknologi, namun semua itu haruslah dikendalikan agar tidak menjadikan martabat manusia mengalami kemunduran.

Namun yang terjadi adalah identitas manusia justru direndahkan karena keinginan para penguasa, pada pemilik industri, manusia menjadi alat bagi kemajuan teknologi. Dalam hal ini, selain kemajuan teknologi, kakuasaan manusia juga sudah mengalami kealpaan untuk menghargai martabat manusia lain. Hal ini terjadi dalam peristiwa pembantaian yang dilakukan oleh Nazi di bawah kekuasaan Hitler yang membantai manusia layaknya objek saja.

Aufklarung atau pencerahan sumbangan Kant dalam diri manusia dimanfaatkan sebagai optimisme oleh Horkheimer. Manusia yang berakal budi dapat mengeluarkan dirinya sendiri dari keterpurukan akibat pihak di luar dirinya. Di sini, akal budi dianggap sebagai bekal untuk mengentaskan manusia yang menurut Horkheimer irasional, padahal manusia haruslah rasional. Lalu Horkheimer memulai teori kritisnya dengan pertanyaan-pertanyaan; "dapatkan teori rasional tentang diri manusia dalam lingkungannya?", "bagaimanakah teori ini menjadi emansipatoris?", "manakah teori yang mampu mengembalikan manusia menjadi rasional kembali?", "di mana martabat dan kepenuhan individu dapat terpenuhi?" dsb. Dari pertanyaan-pertanyaan inilah, dia berteori berbagai bidang sosial dalam usaha menyadarkan manusia agar tidak terjerat proses kapitalisme yang sedang memonopoli kemanusiaannya.

Kritik-kritik yang dipakai Horkheimer adalah kritik tradisional di mana terdapat tiga hal yang harus dilakukan;

1. Dia harus curiga dan kritis terhadap masyarakat. 2. Ia harus berpikir historis. 3. Ia harus tidak memisahkan teori dan praksis.

Namun pada akhirnya terori ini gagal menurutnya. Kegagalan itu terletak pada ketidakmampuan memberikan pengertian rasional tentang manusia dalam alam lingkungannya. Namun sebaliknya, justru membiarkan individu terbelenggu dalam masyarakat irasional. Dari kegagalan inilah, maka teori kritis haruslah menjadi emansipatoris.

6.2 TEORI KRITIS SIGMUND FREUD

Teori-teori psikoanalitis Sigmund Freud memberi pengaruh penting pada pengembangan pemikiran postrukturalis. Adorno, Fromm, dan Marcus dari Mahzab Frankfurt atau pemikir berikutnya seperti Butler, Lacan, dan Zizek mengakui utang intelektual mereka pada Freud, meskipun mereka telah menjauh dari teori-teorinya.

CIVILIZATION AND ITS DISCONTENTS [1930]

Civilization And Its Discontents [1930] karya Freud menguraikan pandangannya tentang kondisi manusia. Model dialektisnya tentang kemanusiaan melihat kemanusiaan itu di dorong oleh kekuatan berlawanan, yakni cinta dan benci, altruisme dan egoisme, atau naluri Eros dan Kematian (Freud, 1994; 46-49). Naluri altruistik dalam individu menarik orang untuk bersama-sama, sementara Naluri Destruktif membawa orang untuk saling menolak (Freud, 1994; 49).

Model Dialektis Freud terhadap individu meliputi: id, Ego, dan Super-Ego, yang secara luas sebagai berikut :

1. Id = Diri yang Naluriah 2. Ego = Rasa individual yang di kembangkan sebagai diri yang berbada dari dunia luar. 3. Super-Ego = Nrma-norma budaya atau Nurani yang sudah di internalkan.

Awalnya, ego seseorang adalah tidak beda dari dunia luar: seorang bayi yang masih tergantung merasa menjadi satu dengan dunia. Lalu, ego anak berkembang melalui prinsip kesenangan atau

kebahagiaan. Saat anak menjadi lebih sadar diri, ia mengidentifikasi figur “ayah�pelindung” yang bisa bergantung dan menginternalkan norma-norma budaya dan mengembangkan hati nurani.

Ketergantungan individual pada figur ayah�pelindung membuat individu takut pada hukuman atau pencabutan cinta jika ia melakukan pelanggaran (Freud, 1994: 54). Ketakutan yang bersifat antisifasi ini mengarah ke penolakan naluriah. Jadi, individu menginternalkan otorita pelarangan eksternal. Ketakutan atau hukuman eksternal ini menjadi ketakutan dari hati nurani atau super-ego internal, dan mengarah pada dinamika penolakan personal.

Oleh karena itu, bagaimana individu mengembangkan karakter atau kepribadian mereka itu tergantung pada figur otorita. Otoritas eksternal bisa melindungi sekaligus mengekang individu, oleh karena itu si individu merasa terpenuhi sekaligus terampas oleh otoritas eksternal. Akibatnya, individu merasa cinta sekaligus benci terhadap otorita eksternal.

Konsep Freud tentang Oedifus complex mengacu pada bagaimana anak-anak mencintai dan membenci figur ayah�pelindung. Anak-anak mengidentifikasi diri dengan figur ayah�pelindung itu, tetapi ingin juga menghancurkan dan menggantikannya. Anak-anak mencintai orang tua mereka karena mereka bergantung pada perawatan orang tua. Akan tetapi, anak-anak membenci orang tua karena orang tua tidak dapat memnuhi semua keinginan mereka. Orang tua membatasi rangsangan egoistis dan naluriah anak dan mengharuskan kepatuhan pada klaim orang lain (keluarga, komunitas, dan lain-lain).

Ketegangan antara anak dan orang dewasa akan di ulang dalam ketegangan antara individu dan masyarakat. Model dialektis Freud melihat ketegangan inheren antara individu dan masyarakat, dan dalam individu (antara id, ego dan super-ego). Naluri Eros menarik orang bersama-sama melawan alam dan dikaitkan ke pengembangan masyarakat dan budaya (Freud, 1994; 49). Naluri merusak dalam individu menolak penggabungan antara orang dan program peradaban (Freud, 1994; 49), walau itu mungkin memiliki peran kreatif dalam menyerang tradisi dan memungkinkan munculnya hubungan sosial baru.

Secara naluriah, orang terdorong untuk mencari kebahagiaan (Freud, 1994; 11). Akan tetapi, kondisi manusia pati di tandai oleh tiga sumber dasar penderitaan: kematian dan penurunan kondisi tubuh; subordinasi manusia terhadap alam; dan rasa sakit akibat hubungan manusia dengan manusia lain (Freud, 1994; 19). Kebahagiaan individual manusia pada akhirnya adala ilusif atau menyesatkan karena terdorong oleh rangsangan biologis bawaan lahir yang saling bertentangan, dan ketegangan inheren yang ada di antara strategi-strategi untuk mengatasi sumber-sumber penderitaan manusia.

Tidak ada “resep tertinggi”, atau resep psikologis, untuk mengatasi tragedi kondisi manusia (Freud, 1994; 17). Freud skeptis terhadap kemungkinan kemanusiaan menjadi lebih bahagia dibawah kondisi-kondisi primitif. Ia lebih percaya bahwa kemajuan manusia mungkin mengurangi penderitaan manusia dibawah subordinasi alam (Freud, 1994; 20-21). Akan tetapi, peradaban mungkin merusak kebahagiaan individual karena pembatasan budayanya lebih berkembang bagi naluri biologis yang di bawa manusia sejak lahir. Freud mengkritik peradaban modern karena begitu parah membatasi naluri manusia, terutama pembatasan peradaban terhadap seksualitas. Freud menulis:

“Kita mungkin berharap, dalam perjalanan waktu, perubahan akan dilaksanakan dalam peradaban kita sehingga lebih memuaskan kebutuhan kitadan tidak lagi terbuka pada pencelaan yang kita lawan. Akan tetapi, barang kali kita juga harus membiasakan diri pada gagasan bahwa ada tulisan tertentu yang melekat pada hakikat kebudayaan yang tidak akan tunduk pada setiap reformasi. Selain kewajiban untuk menempatkan pembatasan atas naluri kita, yang kita lihat menjadi hal yang tak terelakan, kita juga terancam dengan bahaya dari keadaan yang disebut la misere psychologique dari kelompok (Freud, 1994; 43)"

Penderitaan yang tak terhindarkan dalam kondisi manusia cenderung menurunkan tuntutan manusia untuk mendapatkan kebahagiaan, dan membatasi harapan manusia untuk menghindari penderitaan (Freud, 1994; 12). Freud berhati-hati tentang bagaimana kmencapai kesempurnaan manusia, dan oleh itu ia mendiagnosis neurosis kolektif dan mengusulkan solusi terafi kolektif. Proposal seperti itu melibatkan problem teoretis serius dan implikasi politik serius.

“Jika evolusi peradaban punya kesamaan sedemikian luas dengan perkembangan suatu individu, dan jika metode yang sama di terapkan pada keduanya, apakah diagnosis tidak akan dapat di benarkan bahwa banyak sistem peradaban�atau epos tentang itu, bahkan mungkin seluruh umat

manusia�telah menjadi neurotik di bawah tekanan tren pembudayaan? Untuk pembedahan analitik atas neurosis ini, rekomendasi terapi mungkin mengikuti yang bisa mengklaim kepentingan besar praktis. Saya tidak mengatakan bahwa upaya penerapa psikoanalisis pada masyarakat beradab akan menyenangkan atau mungkin dikutuk menjadi tanpa hasil. Akan tetapi, ini mendorogn kita untuk sangat berhati-hati, tidak melupakan bahwa kita hadapi hanya dengan analogi. Itu berbahaya, tidak hanya dengan manusia tetapi juga dengan konsep, untuk menyeret keluar dari kawasan tempat mereka berasal dan di matangkan. Selain itu, diagnosis neurosis kolektif akan dihadapkan pada kesulitan khusus. Dalam neurosis, masing-masing individu dapat kita gunakan sebagai titik awal kontras yang disajikan antara pasien dan lingkungannya yang di asumsikan normal.

6.3 MARXISME

Tokohnya Karl Marx (1818-1883). Teorinya terus memberikan inspirasi bagi perkembangan ilmu sosial juga ilmu komunikasi. Model analisisnya adalah model khas Marx atau Marxisme, yaitu model analisis yang mencoba menemukan keuntungan pihak tertentu (dan kerugian pihak lain) di balik fenomena yang dianggap biasa-biasa.

Marxisme mengembangkan dua istilah pokok yakni;

(2) substrkutur atau faktor ekonomi yang berkembang dimasyarakat. (3) Superstruktur atau faktor nonekonomi seperti agama, politik, seni dan literatur. Maxs

berpendapat bahwa kondisi-kondisi ekonomi dipengaruhi faktor-faktor superstrukrur.

Atas dasar analisa ini, Marx mengarahkan pemikirannya untuk melakukan REVOLUSI (perubahan secara mendasar dan cepat) struktur masyarakat.

Marxisme dianggap sebagai dasar pemikiran dari semua teori-teori yang ada dalam tradisi kritis. Marxiesme ( dengan M besar) berasal dari pemikiran Karl Marx, seorang ahli filsafat, sosiologi dan ekonomi dan Friedrich Engels, sahabatna. Marxisme beranggapan bahwa sarana produksi dalam masyarakat bersifat terbatas. Ekonomi adalah basis seuruh kehidupan sosial. Saat ini, kehidupan sosial dikuasai oleh kelompok kapitalis, atau sistem ekonomi yang ada saat ini adalah sistem ekonomi kapitalis.

Dalam masyarakat yang menerapkan sistem ekonomi kapitalis, profit merupakan faktor yang mendorong proses produksi, dan menekan buruh atau kelas pekerja. Hanya dengan perlawanan terhadap kelas dominan (pemilik kapital) dan menguasai alat-alat produksi, kaum pekerja dapat memperoleh kebebasan. Teori Marxist klasik ini dinamakan ’The Critique of Political Economy’ (kritik terhadap Ekonomi Politik).

Marx ingin membangun suatu filsafat praxis yang benar-benar dapat menghasilkan kesadran untuk merubah realitas, pada saat Marx hidup, yakni masyarakat kapitalis berkelas dan bercirikan penghisapan. Teori Marx meletakkan filsafat dalam konteks yang historis, sosiologis dan ekonomis. Teori Marx bukan sekedar analisa terhadap masyarakat. Teori Marx tidak bicara eonomi semata tetapi ”usahanya untuk membuka pembebasan manusia dari penindasan kekuatan-kekutan ekonomis”.

Menurut Marx, dalam sistem ekonomi kapitalis yang mengutamakan profit, masing-masing kapitalis beruang mati-matian untuk mengeruk untuk sebanyak mungkin. Jalan paling langsung untuk mencapai sasaran itu adalah dengan penghisapan kerja kaum pekerja. Namun kaum pekerja lama-lama memiliki kesadaran kelas dan melawan kaum kapitalis.

Yang akan terjadi menurut ramalan Marx adalah penghisapan ekonomi dengan cara penciptaan kebutuhan-kebutuhan artifisial (palsu) lewat kepandaian teknologi kaum kapitalis. Oleh karena itu kaum kapitalis monopolis ditandai dengan kemajuan teknologi yang luar biasa. Dengan difasilitasi teknologi, tidak lagi terjadi penghisapan pekerja oleh majikan di sebuah perusahaan, tetapi penghisapan ekonomi ”si miskin” oleh ”si kaya” di luar jam kerja, di luar institusi ekonomi. Kapitalisme dapat menimbun untung karena nilai yang diberikan oleh tenaga kerja secara gratis, di luar waktu yang sebenarnya diperlukan untuk memproduksi suatu pekerjaan, Inilah salah satu kritik ekonomi politik kapitalisme Marx.

6.4 FRANKFURT SCHOOL

Frankfurt School atau Sekolah Frankfurt merupakan aliran atau mazhab yang secara sederhana sering dipahami sebagai ”aliran kritis”. Teori-teori kritis banyak dikembangkan oleh akademisi

dengan meninggalkan ajaran asli Marxisme, namun perlawanan terhadap dominasi dan penindasan tetap menjadi ciri khas. Teori-teori kritis ini sering disebut neo marxist (amarxisme baru) atau marxist (denan m kecil).

Farnkfurt School berasal dari pemikiran sekelompok ilmuwan German di bidang filsafat, sosiologi dan ekonomi yang tergabung ”the Institute for Sosial Research” yang didirikan di Frankfurt, Jerman pada tahun 1923. Anggota-anggotanya antara lain : Max Horkheimer, Theodor Adorno dan Hebert Macuse.

Frankfurt School diilhami ajaran Karl Marx, namun sekaligus melampui dan meninggalkan ajaran Marx secara baru dan kreatif. Cara pemikiran Sekolah Frankfurt mereka sebut sendiri sebagai ”Teori Kritik Masyarakat”. Teori Kritis memandang diri sebagai pewaris cita-cita Karl Marx, sebagai teori yang emansipatoris. Teori Kritis tidak hanya menjelaskan tetapi mengubah pemberangusan manusia.

Maksud teori itu adalah membebaskan manusia dari pemanipulasian para teknokrat modern. (Sindhunata, 1983 : xiii). Teori Kritik Masyarakat pada hakekatnya mau menjadi ”Aufklarung”. Aufklarung berarti : mau membuat cerah, mau mengungkap segala tabir yang menutup tabir, yang menutup kenyataan yang tak manusiawi terhadap kesadaran kita. Teori Kritik Masyarakat mengungkapkan apa yang dirasakan oleh kelas-kelas tertindas, sehingga kelas-kelas ini menyadari ketertindasannya dan memberontak.

Dalam Frankfurt School dikeal nama Jurgen Habermas, murid termasyhur Theodor W. Adorno, yang membaharui Teori Kritis secara fundamental. Pokok pembaharuannya tersebut adalah :

1. Bila ajaran Marx menganggap basik seluruh kehidupan adalah ekonomi dan bekerja adalah aktivitas pokok manusia, maka menurut Habermas pekerjaan hanya salah satu tindakan dasar manusia saja.

2. Di samping pekerjaan masih terdapat tindakan yang sama dasariah, yaitu interaksi atau komunikasi antarmanusia

Dalam konteks kedua ini kemudian nama Jurgen Habermas menjadi sangat terkenal di kalangan akademisi komunikasi. Menurut Habermas penidasan tidak dapat bersifat total, tetapi masih ada tempat di mana manusia dapat mengalami ide kebebasan, sehingga selalu masih ada tempat berpijak untuk menentang penindasan. Tempat itu adalah komunikasi.

Temuan Habermas bahwa komunikasi adalah ”tempat ide kebebasan” dijelaskan Suseno sebagai berikut :

”Habermas memperlihatkan bahwa komunikasi tidak mungkin tanpa adanya kebebasan, Kita dapat saja dipaksa atau didesak untuk mengatakan ini atau itu, tetapi kita tak pernah dapat dipaksa untuk mengerti. Manangkap maksud orang lain pun tak pernah dapat dipaksakan. Begitu pula orang tak dapat dipaksa menyadari suatu kebenaran, untuk menyetujui suatu pendapat dalam hati, atau untuk mencinta seseorang. Dalam pengalaman komunikasi sudah tertanam pengalaman kebebasan”. (Sindhunata, 1983 : xxiii).

6.5 POSTMODERNISME

Postmodernisme adalah paham yang menolak bahwa proyek pencerahan yang dijanjikan moderenitas. Menurut penganut posmodernisme, modernitas yang ditandai dengan munculnya masyarakat industri dan banyaknya informasi telah memanipulasi berbagai hal termasuk pengetahuan. Beberapa tokoh postmodernisme adalah :

Jean Fracois Lyotard, berpendapat bahwa postmodernime menolak janji besar modernisme, bahwa modernisme membawa kemauan masyarakat.

Jean Baurillard, berpendapat bahwa dalam modernisme, realitas dan cerita tdak dapat dibedakan. Maka budaya dalam masyarakat modern tidak dapat dipercaya karena merupakan realitas artifisal atau realitas palsu. Misal : dengan kemauan teknologi, lukisan asli tidak dapat dibedakan dengan lukisan pasu. Bahkan kadang yang palsu lebih bagus dari yang asli.

Postsrukturalis : adalah salah satu cabang postmodernisme yang secara khusus menolak makna-makna tanda yang sudah terstruktur dalam pola pikir masyarakat. Setiap orang bebas menafsirkan makna tanda yang ditemui. Roland Barthes tentang semiotika adalah salah satu contoh.

Postkolonialisme : juga merupakan salah satu anak cabang postmodernisme, tetapi yang secara khusus mempelajari budaya-budaya yang ada saat ini sebagai akibat proses penjajahan masa lalu.

6.6 TEORI KRITIS KAJIAN BUDAYA

Teori-teori dalam Kajian Budaya berminat dalam mempelajari budaya-budaya yang terpinggirkan oleh ideologi-ideologi dominan yang hidup pada sebuah budaya. Fokus Kajian Budaya adalah perubahan sosial, yaitu munculnya atau diakuinya budaya-budaya yang termarginalkan tersebut. Ini yang membedakan dengan Frankfur School yang melawan dominasi untuk merebut kekuasaan dalam masyarakat. ”Arena bermain” Kajian Budaya antara lain : ras, gender, usia.

Kajian Budaya merupakan sebuah bidang studi interdisipliner. Kajian Budaya diakui sebagai bidang studi secara resmi, ditandai dengan munculnya ”the Centre for Contempory Cultural Studies” di Birmingham, Inggris tahun 1964.

Salah satu teori atau konsep baru postmodern khususnya postkolonialisme dan juga dapat dikategorikan sebagai kajian Budaya adalah : Teori Identitas Budaya yang dibuat Stuart Hall. Teori ini menolak identitas Afrika (orang-orang kulit hitam) seperti yang diberikan oleh Eropa (orang-orang kulit putih).

Setidaknya ada 2 cara yang berbeda untu berpikir tentang ”identitas budaya” :

1. Cara pertama mendefinisikan ”identitas budaya” sebagai suatu kesatuan, sebuah kumpulan tentang kebenaran seseorang, menyembunyikan atau menonjolkan sesuatu tentang diri kita dimana usur sejarah bersatu di masa sekarang. Dengan definisi ini identitas budaya kita merefesikan pengalaman sejarah dan kode-kode budaya memiliki andil dalam membentuk kita menjadi ”seseorang:, dengan krangka yang stabil, tidak berubah dan tetap tentang refernsi dan makna.

2. Cara kedua yang disusun Stuart Hall untuk melihat identitas budaya adalah melihat beberapa kesamaan sekaligus perbedaan yang membentuk siapa diri kita sekaligus perbedaan yang membentuk ”siapa diri kita sesungguhnya”, dibandingkan ”ita telah menjadi apa”. Idenitas budaya dalam cara pandang kedua ini adalah masalah akan menjadi apa ita kelak dan siapa kita sekarang. Identitas budaya menjadi bagian dari masa depan juga masa lalu. Identitas budaya datang dari suatu tempat, meiliki sejarah, secara konstan beruaha. Identitas budaya adalah permainan dari sejarah, budaya dan kekuasaan. Identitas adalah nama yang kita berikan kepada kita dengan cara berbeda dimana kita diposisikan dan posisi dimana kita berada di masa lalu.

Teori Stuart Hall menyusun teori yang menghasilkan konsep baru atau definisi baru berdasarkan pemahaman tentang karakter traumatik pengalaman penjajahan. Cara dimana orang-orang kulit putih hitam diposisikan dan diperlakukan dalam rezim dominan kulit putih, yang memiliki dampak pada kekuatan budaya. Oang kulit hitam dikonstrusikan sebagai kelompok yang berbeda dalam rezim barat.

6.7 FEMINISME

Menurut Stephen W. Littlejohn, studi-studi feminis merupakan sebuah sebutan generik bagi sebuah perspektif yang menggali pengertian dari gender dalammasyarakat. Dimulai dengan asumsi bahwa gender adalah kategori yang luas untuk memahami pengalaman manusia, pembahasan feminis bertujuan untuk mengekspos kekuatan-kekuatan dan batasan-batasan dari pembagian dunia berdasarkan gendernya.

Fatalnya, banyak teori feminis yang memberi penekanan pada sifat mengekang dari hubungan jenis kelamin di bawah dominasi patriarki. Dengan sendirinya, feminisme dalam banyak hal merupakan sebuah studi tentang distribusi kekuasaan di antara jenis-jenis kelamin.

Para feminis sepertinya meminta adanya persamaan hak bagi perempuan, sebuah pengakuan publik bahwa perempuan memiliki kualitas dan kekuatan yang sama, yang dapat tampil sama baiknya di segala bidang kehidupan. Di lain pihak, mereka sepertinya ingin mengatakan bahwa perempuan berbeda dengan laki-laki, dan bahwa kekuatan dan bentuk2 ekspresi mereka harus dihargai dalam sisi mereka sendiri. Hal tersebut menimbulkan sebuah paradoks murni, supaya perempuan dihargai dan memiliki hak-hak yang sama, kekuatan perempuan harus diakui, tetapi

penyorotan pada kekuatan-kekuatan perempuan ternyata semakin memperkuat pandangan patriarkis bahwa perempuan memiliki tempat sendiri.

Studi feminisme adalah label ”generik” bagi studi yang menggali makna penjenis kelaminan (gender) dalam masyarakat. Perumus-perumus teori feminisme mengamati bahwa banyak aspek dalam kehidupan memiliki makna gender. Gender adalah konstrusi sosial yang meskipun bermanfaat, tetapi telah didominasi oleh bias laki-laki dan merugikan wanita. Teori Feminisme bertujuan untuk terjadina kesetaraan antara laki-laki dan wanita di dunia.

Salah satu teori feminisme, khususnya teori komunikasi feminisme adalah tentang Representasi yang disusun oleh Rakow dan Wackwitz. Rakow dan Wackwitz meneliti penggunaan-penggunaan bahasa yang digunakan beberapa pertanyaan penelitian sebagai berikut :

1. Siapa dipilih untuk berbicara atau memutuskan sesuatu adalah merupakan pertanyaan politis, yang menempatkan dimana posisi perempuan dan dimana laki-laki.

2. Siapa berbicara untuk siapa, atau suara siapa, yang dimuculkan dalam teks. 3. Satu bagian untuk mengungkapkan keseluruhan atau berbicara sebagai bagian dari

kelompok. 4. Siapa dapat berbiara dan merepresentasikan siapa? 5. Pemilihan penulis dan penerbit media.

Dalam kaitan dengan 5 pertanyaan di atas, penelitian Claire Johnson tentang film sejak 1970 menyimpulkan bahwa ”perempuan ditampilkan sebagaimana dikehendaki oleh laki-laki”, dan Mary Ann Doane’s seorang analis film hollywood mengatakan bahwa ”perempuan harus ditampilkan dalam sudut pandang perempuan, keinginan perempuan dan kegiatan perempuan”.

Salah satu teori feminisme itu adalah muted group theory, yang dirintis oleh antropolog Edwin Ardener dan Shirley Ardener. Melalui pengamatan yang mendalam, tampaklah oleh Ardener bahwa bahasa dari suatu budaya memiliki bias laki-laki yang melekat di dalamya, yaitu bahwa laki-laki menciptakan makna bagi suatu kelompok, dan bahwa suara perempuan ditindas atau dibugkam. Perempuan yang dibungkam ini, dalam pengamatan Ardener, membawa kepada ketidakmampuan perempuan untuk dengan lantang mengekspresikan dirinya dalam dunia yang didominasi laki-laki.

Teori komunikasi feminisme Cheris Kramarae memperluas dan melengkapi teori bungkam ini dengan pemikiran dan penelitian mengenai perempuan dan komunikasi. Dia mengemukakan asumsi-asumsi dasar dari teori ini sebagai berikut :

Perempuan menanggapi dunia secara berbeda dari laki-laki karena pengalaman dan aktivitasnya berbeda yang berakar pada pembagian kerja.

Karena dominasi politiknya, sistem persepsi laki-laki menjadi dominan, menghambat ekspresi bebas bagi pemikiran alternatif perempuan.

Untuk dapat berpartisipasi dalam masyarakat, perempuan harus menguah perspektif mereka ke dalam sistem ekspresi yang dapat diterima laki-laki.

Kramarae mengemukakan sejumlah hipotesis mengenai perempuan berdasarkan beberapa temuan penelitian :

Perempuan lebih banyak mengalami kesulitan dalam mengekspresikan diri dibanding laki-laki. Ekspresi perempuan biasanya kekurangan kata untuk pengalaman yang feminim, karena laki-laki yang tidak berbagi pengalaman tersebut, tidak mengembangkan istilah-istilah yang memadai.

Perempuan lebih mudah memahami makna laki-laki daripada laki-laki memahami makna perempuan. Bukti dari asumsi ini dapat dilihat pada berbagai hal : Laki-laki cenderung menjaga jarak dari ekspresi perempuan karena mereka tidak memahami ekspresi tersebut, perempuan lebih sering menjadi obyek dari pengalaman daripada laki-laki, laki-laki dapat menekan perempuan dan merasionalkan tindakan tersebut dengan dasar bahwa perempuan tidak cukup rasional atau jelas. Jadi perempuan harus mempelajari sistem komunikasi laki-laki, sebaliknya laki-aki mengisolasi dirinyadari sistem perempuan.

Hipotesis ke-3 ini membawa pada asumsi yang ketiga, perempuan telah menciptakan cara-cara ekspresinya sendri di luar sistem lak-laki dominan misalnya : diary, surat, kelompok-kelompok penyadaran dan bentuk-bentuk seni alternatif.

Perempuan cenderung untuk mengekpresikan lebih banyak ketidakpuasan tentang komunikasi dibanding laki-laki. Perempuan mungkin akan berbicara lebih banyak mengenai persoalan mereka dalam menggunakan bahasa atau kesukarannya untuk menggunakan perangkat komunikasi laki-laki.

Perempuan seringkali berusaha untuk mengubah aturan-aturan komunikasi yang dominan dalam rangka menghindari atau menentang aturan-aturan konvensional.

Secara tradisional perempuan kurang menghasilkan kata-kata baru yang populer di masyarakat luas, konsekuensinya, mereka merasa tidak dianggap memiliki kontribusi terhadap bahasa.

Perempuan memiliki konsepsi huloris yang berbeda daripada laki-laki. Karena perempuan memiliki metode konseptualisasi dan ekspresi yang berbeda, sesuatu yang tampak lucu bagi laki-laki menjadi sama sekali tidak lucu bagi perempuan.

6.8 TEORI KRITIS HABBERMAS

Teori Kritis bukanlah suatu teori ‘ilmiah’ sebagaimana dikenal secara luas di kenal di kalangan publik akademis dalam masyarakat kita. Habermas melukiskan Teori Kritis sebagai suatu metodologi yang berdiri di dalam ketegangan dialektis antara filsafat dan ilmu pengetahuan (sosiologi). Dalam ketegangan itulah dimaksudkan bahwa Teori Kritis tidak berhenti pada fakta obyektif seperti dianut teori-teori positivis. Teori Kritis hendak menembus realitas sebagai fakta sosiologis, untuk menemukan kondisi-kondisi yang bersifat transendental yang melampaui data empiris. Dengan kutub ilmu pengetahuan dimaksudkan bahwa Teori Kritis juga bersifat historis dan tidak meninggalkan data yang diberikan oleh pengalaman kontekstual. Degan demikian Teori Kritis tidak hendak jatuh pada metafisika yang melayang-layang. Teori kritis merupakan dialektika antara pengetahuan yang bersifat transedental dan yang bersifat empiris.

Karena sifat dialektis itu Teori Kritis dimungkinkan untuk melakukan dua macam kritik. Di satu pihak melakukan kritik transendental dengan menemukan syarat-syarat yang memungkinkan pengetahuan dalam diri subyek sendiri. Di lain pihak melakukan kritik imanen dengan menemukan kondisi-kondisi sosio-historis dalam konteks tertentu yang memengaruhi pengetahuan menusia. Dengan kata lain, Teori Kritis merupakan Ideologiekritik ( Kritik-Ideologi), yaitu suatu refleksi diri untuk membebaskan pengetahuan manusia bila pengetahuan itu jatuh dan membeku pada salah satu kutub, entah transedental entah empiris.

Dalam konteks masyarakat industri maju, Teori Kritis sebagai kritik ideologi mengemban tugas untuk membuka ‘kedok’ ideologis dari positivisme. Positivisme bukan sekedar pandangan positivistis mengenai ilmu pengetahuan melainkan jauh lebih luas lagi, positivisme sebagai ‘cara berpikir’ yang menjangkiti kesadaran masyarakat industri maju. Dari keseluruhan keprihatinannya atas permasalahan rasionalitas zaman ini, dapat dikatakan bahwa Teori Kritis mengarahkan diri pada dua taraf yang berkaitan secara dialektis. Pada taraf teori pengetahuan, Teori Kritis berusaha untuk mengatasi saintisme atau positivisme. Pada taraf teori sosial, kritik itu dibidikkan ke arah berbagai bentuk penindasan ideologis yang melestarikan konfigurasi sosial masyarakat yang represif. Pada kedua taraf itu saling mengandaikan, seperti dinyatakan Habermas: “� suatu kritik radikal atas pengetahuan itu mungkin hanya sebagai teori social”. Pemahaman positivisme atas ilmu-ilmu sosial mengandung relevansi politik yang sama beratnya dengan klaim-klaim politis lain karena pemahaman itu berfungsi dalam melanggengkan status quo masyarakat. Sebaliknya, interaksi social sendiri diarahkan oleh cara berpikir teknokratis dan positivistis yang pada prinsipnya adalah rasio instrumental atau rasionalitas teknologis. Ke dalam situasi ideologis itulah Teori Kritis membawa misi emansipatoris untuk mengarahkan masyarakat menuju masyarakat yang lebih rasional melalui refleksi diri. Di sini teori mendorong praxis hidup politis manusia.

Meskipun terdapat garis umum yang sama, Teori Kritis itu cukup bervariasi dalam gaya dan isinya menurut pemikirannya masing-masing, entah itu Horkheimer, Adorno atau Marcuse. Sementara Teori Kritis menurut Habermas secara khusus mempebaharui Teori Kritis Mazhab Frankfurt yang mengalami jalan buntu. Tanpa meninggalkan keprihatinan para pendahulunya, untuk mengadakan perubahan-perubahan structural secara radikal, Habermas merumuskan kepribatinan itu secara baru. Perubahan itu tidak dapat dipaksakan secara revolusioner melalui ‘jalan kekerasan’, juga tak dapat dipastikan datangnya seperti gerhana matahari. Memaksakan perubahan revolusioner

melalui kekerasan hanyalah akan mengganti penindas lama dengan penindas baru, seperti terjadi pada rezim Stalin. Di lain pihak, masyarakat memang tidak akan berubah selama angggota-anggotanya menunggu datangnya perubahan bagaikan menunggu terjadinya gerhana. Menurut Habermas � dan inilah gagasan orisinalnya � transformasi social perlu diperjuangkan melalui ‘ dialog-dialog emansipatoris’ . Hanya melalui ‘jalan komunikasi’ dan bukan melalui ‘jalan dominasi’ inilah diutopikan terwujudnya suatu masyarakat demokratis radikal, yaitu masyarakat yang berinteraksi dalam susasana ‘komunikasi bebas dari penguasaan’.

Pandangan Habermas inilah yang kiranya menarik untuk kita simak lebih dalam. Di tengah derap pembangunan dalam masyarakat kita, kontradiksi-kontradiksi yang diakibatkan oleh perubahan-perubahan sosio-kultural menghasilkan tidak hanya kemajuan, tetapi juga kemajuan yang timpang. Ketidakadilan sosial bukan hanya fakta yang sedang diusahakan perbaikannya melainkan pula suatu keadaan yang terlestasikan secara tersamar dan menjadi suatu iklim. Situasi semacam itu tidak hanya memerlukan penanganan teknis �praktis, melainkan juga perlu menerima terang teoritis yang bersifat kritis untuk mengoyak selubung ideologis yang menggelapkan pengetahuan para anggota masyarakat mengenai realitas sosialnya. Dalam situasi semacam itulah diperlukan kritik ideologi, baik terhdap ilmu-ilmu yang melukiskan fakta sosial itu maupun terhadap masyarakat itu sendiri.

Habermas adalah seorang pembela proyek modernitas yang tidak terlepas dari zaman Pencerahan. Pembelaan ini didasarkan atas dasar-dasar yang universal. Pencerahan, bagi Habermas, adalah penanda kesadaran bahwa kemampuan berkomunikasi rasional membedakan manusia dari selainnya. Habermas berpandangan bahwa dunia dewasa ini terdiri dari ragam ideal-ideal kehidupan dan orientasi-orientasi nilai yang saling bersaing, yang, karena pengaruh batas-batas bahasa dan institusi, hanya beberapa diantaranya yang mencapai wilayah publik luas. Untuk itu, bagi Habermas, dibutuhkan teori moral normatif. Kondisi modernitas, dimana ideal-ideal individu begitu beragam sehingga etika tidak lagi bisa memaksakan suatu nilai tertentu, membutuhkan prosedur tertentu untuk menyelesaikan konflik. Agar supaya bisa memenuhi tuntutan moral, prosedur dimaksud harus didasarkan pada prinsip bahwa semua manusia harus saling menghormati sebagai pribadi yang merdeka dan setara.

Teori kebenaran Habermas bersifat realis, yang berarti bahwa dunia objektif, alih-alih kesepakatan ideal, adalah penentu kebenaran. Jika sebuah pernyataan, yang kita anggap benar, ternyata benar, hal itu karena pernyataan itu dengan tepat merujuk pada objek yang ada atau dengan tepat mewakili kondisi sebenarnya. Habermas menghindari perbincangan tentang metafisika dan lebih memilih berbicara tentang hal-hal yang praktis dan implikasinya untuk diskursus dan tindakan keseharian.

6.9 TEORI KRITIS ADORNO

Pria bernama lengkap Theodor Wiesengrund Adorno ini dilahirkan di Frankfurt pada tahun 1903. Dia adalah seorang filosof, komposer, penulis essay, dan teoritisi sosial. Adorno meyakini bahwa pemikiran konseptual muncul dari kebutuhan terhadap adaptasi dan, karenanya, selalu membawa benih-benih dominasi di dalamnya. Dalam sistem pemikiran Hegel, dominasi pada wilayah materi tercermin dengan dominasi pada tataran konsep. Totaliarianisme sistem pemikiran paralel dengan totalitarian fasisme dan totalitarianisme dalam industri kebudayaan. Karenanya, Adorno menolak sistem Hegelian�dan pemikiran sistematis secara umum�juga kecenderungan apapun terhadap sintesis final. Dia menekankan hak untuk tidak sama.

Dalam karyanya bersama Horkheimer berjudul Dialectic of Enlightenment, Adorno berusaha memberikan analisis konseptual tentang bagaimana Pencerahan, yang pada mulanya ditujukan untuk mengamankan kebebasan dari ketakutan dan otoritas manusia, berubah menjadi beberapa bentuk dominasi politik, sosial, dan budaya dimana manusia kehilangan individualitas dan masyarakat kehilangan makna kemanusiaan. Analisis ini diberikan dengan penjelasan tentang motif konseptual dari proses rasionalisasi masyarakat�dalam konteks Weberian�dimana dominasi kapitalis merupakan bahaya terbesar yang muncul darinya.

Konsep sosiologi yang diformulasikan Adorno dimulai dengan usaha untuk memahami kaitan antara musik dan masyarakat. Pada terbitan pertama jurnal yang dipublikasikan Institut Penelitian Sosial Frankfurt, Adorno menulis essay berjudul On the Social Situation of Music, yang memaparkan beberapa temuan-temuan sosiologis. Essay ini penting karena analisis musik adalah awal dari refleksi sosiologis Adorno, yang bertujuan untuk menyingkap kandungan sosiologis dalam tekstur karya estetis. Hal ini berlanjut dengan penemuan apa yang disebut mediasi sosial, yang berarti kesalingterpengaruhan antara yang universal dan partikular; masyarakat dan individu.

Objek sentral dalam teori kritis Adorno adalah hubungan saling keterpengaruhan antara pertentangan-pertentangan dalam masyarakat sebagai sebuah totalitas dan bentuk konkrit kehidupan subjek-subjek dalam masyarakat. Teori kritis diorientasikan pada ide tentang masyarakat sebagai subjek, dengan individu sebagai pusat. Sebuah teori menjadi ”kritis” dengan menegasikan ketidakadilan, egoisme, dan alienasi yang dihasilkan oleh kondisi sosial dibawah ekonomi kapitalis.

6.10 TEORI CULTURAL STUDIES

Bidang ilmu pengetahuan yang relatif baru ini dengan sengaja mengambil kata majemuk sebagai penamaan diri, yakni studies (kajian-kajian), bukannya study (kajian). Penamaan ini dengan sendirinya menyiratkan sikap dan positioning para penggagas cultural studies terhadap kondisi ilmu pengetahuan di era modern yang terkotak-kotak, saling mengklaim kebenaran, meskipun lambat laun dimengerti juga bahwa kebenaran yang dihasilkan disiplin ilmu pengetahuan bersifat parsial. Kondisi semacam itu dijawab oleh cultural studies dengan menempuh strategi inter dan multidisipliner.

Cultural studies memasukkan kontribusi teori maupun metode dari berbagai disiplin ilmu yang dipandang strategis untuk mengedepankan realita kehidupan umat manusia maupun representasinya yang dipandang krusial dalam kehidupan mutakhir.

Karena cultural studies merupakan bidang keilmuan yang multi, maka wilayah kajian, pendekatan, teori dan konsep, maupun pendekatan metodologisnya pun sangat bervariasi; sehingga tidak mungkin dibahas selengkap-lengkapnya dalam makalah ini. Berikut hanya akan dibahas beberapa hal yang saya pandang berkaitan dengan sejarah sosial

Salah satu ciri terpenting cultural studies adalah pemahamannya terhadap dunia sehari-hari sebagai bagian dari budaya yang perlu dicermati. Hal-hal yang biasa dilakukan, dirasakan, diomongkan, didengar, dilihat, digunjingkan, dalam kehidupan sehari-hari oleh orang kebanyakan merupakan wilayah amatan cultural studies.

6.11 TEORI KRITIS DALAM HUBUNGAN INTERNASIONAL

Dalam studi hubungan internasional terdapat teori kritis dimana teori ini dapat disebut sebagai neo marxisme karena merupakan pengembangan dari pemikiran kaum marxis. Teori ini ada sebagai proses pencerahan pada abad ke 14 hingga 15 (Wardhani 2013). Seperti namanya, teori ini mengkritik perspektif-perspektif yang sudah ada sebelumnya. Baik berupa kritikan yang sifatnya bertentangan dengan apa yang mereka pahami maupun kritikan yang sifatnya untuk membangun atau menambahkan hal-hal yang kurang pada perspektif terdahulu. Walaupun teori ini banyak mengkritik teori-teori yang ada sebelumnya, akan tetapi apa yang sudah dianggap benar kemudian diberikan landasan filosofis kepada teori-teori hi tersebut, walaupun teori kritis sendiri bukan lahir dari studi hubungan internasional (Wardhani 2013).

Teori kritis selalu memperbaharui diri karena ia selalu dianggap mampu mengisi kekurangan yang terdapat dari perspektif sebelumnya. Teori kritis juga selalu ingin menjadi yang lebih baik, oleh karena itu ia selalu mempermasalahkan kehidupan sosial politik yang pada saat itu terjadi hingga tidak ada habisnya (Wardhani 2013). Teori ini selalu berusaha mengambil sikap kritis terhadap dirinya sendiri sehingga mereka menggambarkan semua cabang keilmuan dan ahlinya tidak terbatas pada satu bidang ilmu saja, sehingga banyak ahli yang datang dari berbagai disiplin ilmu. Fokus pada teori ini juga tidak hanya terbatas pada ruang lingkup politik saja melainkan juga lingkup sosial dimana teori ini harus bebas nilai.

Teori kritis seperti yang sebelumnya sudah dijelaskan diatas, hadir untuk mengkritik teori-teori yang sudah ada sebelumnya seperti liberalisme, realisme, marxisme, dan lain-lain. Ada asumsi bahwa teori yang ada sebelumnya melihat hubungan internasional sebagai suatu fenomena yang terjadi di negara-negara yang memiliki kekuatan lebih sebagai yang paling diuntungkan. Dan negara-negara kecil disekitarnya hanya dapat merasakan dampak yang buruk dari penguasaan negara-negara hegemon tersebut. Sehingga dari ketidakadilan tersebut, teori kritis muncul untuk meluruskan apa yang seharusnya terjadi. Jadi tidak benar kita menganggap bahwa teori kritis muncul hanya untuk memberikan komentar negatif untuk teori terdahulu saja, akan tetapi membuat teori terdahulu lebih baik dan sempurna sehingga dapat dimengerti sebagai suatu saran yang bernilai positif.

Teori yang terdapat dalam studi hubungan internasional dikondisikan oleh pengaruh sosial, budaya, dan ideologi. Oleh karena itu, teori kritis memiliki tugas utama dalam mengungkapkan efek dari pengkondisian di dalam teori hubungan internasional tersebut (Wardhani 2013). Teori kritis yang mengandung utopianisme dapat memperbaharui teori terdahulu agar menjadi lebih sempurna. Dimana adanya keingian teori kritis untuk menjadi penompang dari kritik-kritik sebelumnya. Hubungan internasional harus diorientasikan pada unsur emansipatori. Kaum kritis menganggap perdebatan yang terjadi pada teoritis tidak lebih dari sekedar perdebatan politik, yang sama halnya dengan kaum idealis. Perbedaan kritis dengan idealis hanya pada kritis menolak kemungkinan pengaitan akademik dan objektivitas (Jackson & Sorensen 1999).

Teori kritis yang merupakan turunan dari mazhab Frankfurt muncul sebagai teori yang reflektif karena teori tersebut menganggap masyarakat sebagai objek analisis. Teori kritis yang muncul dari mazhab Frankfurt ini merupakan sebuah pemikiran untuk memahami sifat-sifat utama dari masyarakat kontemporer dengan memahami perkembangan sejarah dan sosialnya (Burchill&Linklater 1996). Dimana teori tersebut mempelajari pola-pola yang terjadi di masyarakat dalam lingkup sosialnya dengan kurun waktu yang berbeda, sehingga mereka dapat melihat suatu kondisi sosial manusia yang mengalami perkembangan jaman. Konsep teori kritis memungkinkan adanya pemeriksaan tujuan-tujuan dan fungsi-fungsi yang diajukan oleh teori-teori tertentu (Burchill&Linklater 1996).

Teori kritis memandang tatanan hubungan sosial dan politik yang ada sebagai hasil historis yang harus dijelaskan (Burchill&Linklater 1996). Teori ini juga memandang konfigurasi global hubungan kekuasaan sebagai sasarannya dan mempertanyakan bagaimana hal itu terbentuk. Kemudian muncul kritikan terhadap teori kritis sendiri yang menunjuk kepada persamaan nilai dari teori-teori lain. Dimana kritikan tersebut muncul dari kaum teori kritis. Bahwa para pemikir dari teori-teori yang dikritik berasal dari cabang ilmu yang berbeda dan tidak terbatas sehingga banyak dari sebuah cabang ilmu kemudian mengkritik cabang ilmu yang lainnya.

Kemudian bagaimana teori kritis ini mampu menjadi teori yang dapat mengkritik teori-teori yang sudah ada sebelumnya dapat dilihat dari bagaimana ia merepresentasikan hal apa yang sudah dikritik baik kritikan yang menjelaskan ketidaksempurnaan sebuah teori tersebut atau menambahkan apa yang kurang dari teori tersebut. Inilah yang menjadikan teori kritis sebagai teori yang bebas nilai. Kontribusi yang diberikan oleh teori kritis ini terhadap hubungan internasional pun amat besar. Walaupun teori ini diadopsi akan tetapi juga memiliki relevansi dengan ilmu hubungan internasional dirasa mampu membawa perubahan yang signifikan terhadap fenomena hubungan intenasional dan politik global.

7. TEORI PRAGMATIS 1. SEJARAH DAN DEFINISI PERSPEKTIF PRAGMATIS

Perspektif pragmatis pertama kali ditemukan oleh Charles S. Peirce pada tahun 1878 dalam sebuah makalahnya yang berjudul How I Make Our Ideas Clear. Perspektif ini kemudian sering dikaitkan dalam bidang keilmuan filsafat Amerika, sehingga banyak ahli filsafat Amerika yang tertarik untuk mengembangkannya, seperti William James, John Dewey, George Herbert Mead dan C.I. Lewis. Pada perkembangannya, perspektif ini tidak hanya berada di dalam ranah keilmuan filsafat saja, namun dapat digunakan untuk melihat fenomena di ranah ilmu sosial seperti komunikasi dan sosiologi.

Dalam perspektif pragmatis, segala sesuatu dianggap ada dan benar apabila sesuatu tersebut bersifat fungsional, memiliki utilitas dan berguna bagi sebuah sistem. Perspektif ini terkesan sangat praktis karena menekankan pada hasil dan akibat dari sebuah proses, bukan mengamati bagaimana sesuatu tersebut berproses untuk menciptakan akibat. Sehingga keberadaan ‘sesuatu’ tidak dilihat dari prosesnya menjalani fungsi, namun dari akibat yang dihasilkan sesuatu tersebut bagi individu-individu dalam sebuah sistem. Keberadaan konsep ‘makna’ dalam pragmatis ini ditentukan oleh ‘konsekuensi’ yang dihasilkan dari sebuah sesuatu. Apabila sesuatu tidak memiliki konsekuensi praktis maka sesuatu tersebut tidak memiliki makna di dalamnya. Meskipun ia memiliki sebuah proses, namun perspektif pragmatisme hanyalah melihat konsekuensiyang dihasilkan proses tersebut untuk dapat mendefinisikan makna. Di ranah komunikasi, perspektif pragmatis melihat komunikasi sebagai sebuah aktivitas interaksi manusia yang memiliki kualitas, kuantitas, dan relevansi dengan konteks yang dibicarakan. Komunikasi dinyatakan ada apabila memiliki utilitas dan relevansi. Jika terjadi pertukaran proses penyampaian pesan namun tidak memiliki kualitas, kuantitas dan relevansi, maka komunikasi tidak dapat disebut ada. Pragmatis tidak melihat keberadaan komunikasi dari proses yang dijalankan, namun melihat melalui akibat yang dihasilkan dari proses komunikasi tersebut.

2. PRINSIP-PRINSIP PERSPEKTIF PRAGMATIS

Perspektif pragmatis tidak memiliki hubungan dengan semiotics untuk prinsip-prinsip teoritis/filosofisnya. Prinsip-prinsipnya secara langsung lebih banyak berasal dari teori sistem umum (general system theory), campuran, multidisipliner dari asumsi, konsep, dan prinsip-prinsip yang berusaha menyediakan kerangka umum bagi studi berbagai jenis fenomena.

a. Pokok-pokok Teori Sistem

Teori sistem merupakan seperangkat prinsip yang terorganisasikan secara longgar dan bersifat amat abstrak, yang berfungsi untuk mengarahkan jalan pikiran kita, namun yang tergantung pada berbagai penafsiran. Pokok-pokok teori sistem mencerminkan beberapa prinsip yang sifatnya menyeluruh, yang mencerminkan beberapa asumsi aksiomatis pokok yang umumnya dianut oleh para ahli teori sistem.

Prinsip Ketidakmungkinan Dijumlahkan (Nonsummativity). Arti dari prinsip ini yaitu suatu totalitas, “keseluruhan dari sesuatu”. Rapoport (1968:xvii) mendefinisikan sistem sebagai “totalitas yang berfungsi sebagai keseluruhan karena adanya saling ketergantungan dari bagian-bagiannya.” Prinsip ketidakmungkinan penjumlahan dan keseluruhan hanyalah merupakan dua sisi dari mata uang yang sama yakni keseluruhan berarti bahwa sistem itu berlainan dari penjumlahan objek atau komponen-komponen yang secara bersama, membentuk sistem yang bersangkutan. Akan tetapi, apabila bagian-bagian yang merupakan komponennya itu dihubungkan secara interdependen, hasilnya adalah kolektivitas yang memiliki identitasnya sendiri, yang terpisah dari identitas komponen-komponen yang bersangkutan secara individual.

Hubungan yang sifatnya saling tergantung diantara komponen-komponen dapat dilukiskan menurut ketiga unsur yang saling berhubungan yaitu struktur, fungsi, dan evolusi. Hubungan struktural menunjukkan adanya hubungan ruang (spatial) diantara komponen-komponen. Hubungan-hubungan fungsional mengandung arti adanya hubungan yang berorienatsi pada waktu diantara komponen-komponen. Sedangkan hubungan-hubungan evolusioner melacak seluruh sejarah sistem sepanjang waktu.

Prinsip keterbukaan. Semua sistem diklasifikasikan menurut tingkat keterbukaannya. Para ahli menggunakan beberapa karakteristik untuk membedakan sistem yang terbuka. Yang paling

umum dari karakteristik ini adalah adanya pertukaran energi atau informasi yang bebas antara sistem yang terbuka dengan lingkungannya. Menurut Rapoport, 1968:xviii , sistem yang terbuka mempunyai daerah perbatasan yang dapat ditembus, yang memungkinkan pertukaran yang cukup dengan lingkungan sistem tersebut. Prinsip keterbukaan mengandung arti bahwa batas-batasnya dapat ditembus sehingga cara itu memungkinkan sistem tersebut berinteraksi dengan lingkungannya, dalam pengertian bahwa sistem itu dapat memasukkan informasi atau energi dari lingkungan. Sistem yang terbuka juga ditandai dengan ekuifinalitas dan karenanya kurang dapat dipengaruhi oleh kekuatan entropi yang disintegratif, tidak dapat dibalikkan kembali. Sistem terbuka dapat memasukkan dan menghasilkan informasi atau negentropi dan dapat berkembang ke arah organisasi struktural yang makin meningkat, yang tidak mungkin dijalankan dalam sistem yang tertutup. Banyak sistem terbuka yang mempunyai kemampuan untuk menghasilkan informasi sendiri di dalam sistem tersebut terutama pada kebanyakan sistem sosial. Menurut Ackoff dan Emery, 1972 , sistem terbuka memiliki tujuan dan mempunyai kemampuan untuk mengatur diri. Sistem terbuka dapat menilai struktur dan fungsionalisasi sistemnya sendiri maupun keadaan lingkungan dan dapat bertindak selaras dengannya. Adapun karakteristik lain dari sistem yang terbuka adalah makin meningkatnya “kompleksitas” yakni diferensiasi fungsi. Pringle (1951) membahas kompleksitas yang meningkat itu sebagai akibat dari proses evolusioner.

b. Pokok-pokok Teori Informasi

Teori informasi. Secara filososfis, teori informasi berasal dari Norbert Wiener dan secara sibernetis dan statistik dari teori komunikasi yang matematis dari Shannon dan Weaver (1949). Hubungan-hubungan struktural dan fungsional diantara komponen-komponen menyatakan adanya informasi. Apabila komunikasi terjadi dalam sitem sosial, maka individu terlibat dalam pengolahan informasi. Prasyarat bagi pembahasan komunikasi secara pragmatis adalah adanya pemahaman yang menyeluruh tentang hakikat informasi itu. Teori informasi memberikan salah satu cara untuk memperoleh pemahaman tersebut.

Pilihan dan ketidakpastian. Salah satu karakteristik yang memisahkan manusia sebagai suatu spesies yang unik diantara dunia hewan adalah kemampuan manusia untuk menentukan pilihan. Manusia, sebagai komponen yang aktif dalam sistem sosial, secara konstan melakukan pilihan dari populasi selama interaksi sosial. Cara manusia menentukan pilihan adalah dengan mengurangi jumlah alternatif yang terdapat sampai mencapai jumlah yang dapat ditanganinya dan akhirnya sampai pada satu alternatif saja. Manusia dapat melakukan pemilihan karena manusia memiliki informasi. Melalui fungsionalisasi informasi inilah yang menyusutkan rentangan alternatif informasi. Informasi menurut prinsip teori informasi, hanya ada dalam bentuk jumlah ; yakni makna atau arti item informasi tertentu seluruhnya berada di luar lingkup teori informasi. Informasi diukur dalam artian “berapa banyak” ketidakpastian dapat dihilangkan � ketidakpastian yang berkaitan dengan pilihan mana yang sebaiknya dipilih dari serangkaian alternatif. Teori informasi mengasumsikan beberapa persyaratan sebelum ukuran statistisnya dapat diterapkan. Yang pertama, adanya jumlah alternatif tertentu dan terbatas bagi penentuan pilihan. Jadi, populasi pilihan tidak pernak tidak terhingga. Kedua, individu menggunakan informasi untuk mengurangi ketidakpastian.

Redundansi dan kendala. Teori informasi menentukan bahwa penyesuaian yang lampau suatu sistem mempengaruhi masa kini sehingga perilaku pengolahan informasi cenderung untuk berulang sepanjang waktu dalam pola uji coba. Selama urutan itu secara konsisten selalu diulang kembali, sistem itu memperlihatkan redundansi (redundancy). Makin redundan suatu urutan, makin berkurang ketidakpastian yang dikandung dalam urutan itu, yakni makin tinggi probabilitas kejadian (makin banyak redundansi dari suatu peristiwa tertentu dalam urutan, makin banyak kendala dikenakan pada rentangan alternatif yang dapat diperoleh). Karena redundansi membatasi pilihan yang dibuat dari populasi pilihan, suatu pola peristiwa yang berurutan hanya dapat dibedakan dengan cara mengamati sistem perilaku sepanjang periode waktu. Pengulangan masa yang lalu dan pengaruh perilaku yang lampau pada perilaku yang sekarang (juga mempunyai arti bahwa perilaku yang sekarang mempengaruhi urutan perilaku di masa depan) menggambarkan keterbukaan sistem itu dan pentingnya dimensi waktu dalam pengkajian ilimiah (Watzlawick, Beavin, dan Jackson tentang prinsip keterbatasan (1967 : 131-132).

3. PENERAPAN KOMUNIKASI MANUSIA

Perspektif pragmatis tentang komunikasi manusia berlainan sekali dari ketiga perspektif yang terdahulu dan memerlukan konseptualisasi kembali terhadap fenomena komunikatif.

Sistem sosial. Untuk memandang komunikasi manusia sebagai sistem memerlukan eksistensi sistem sosial yang didalamnya terjadi komunikasi. Dari pernyataan tersebut disimpulkan bahwa pertama konseptualisasi komunikasi sebagai aktivitas manusia dan jangan dikacaukan dengan piranti keras komunikasi, walaupun unsur piranti keras itu mungkin saja relevan. Yang kedua yaitu sifat dari sosial komunikasi adalah memusatkan perhatian pada pengolahan informasi pada tingkat sistem dan tidak pada tingkat subsistem, yakni seorang individu. Masalah kesenjangan (discrepancy) antara sikap dan perilaku individu merupakan titik pandang yang penting. Jadi, kesenjangan sikap dan perilaku tidak “diselesaikan” dalam perspektif pragmatis, bahkan tidak dikenal sebagai masalah.

Perilaku. Fokus perilaku sebagai satuan yang fundamental dari sistem komunikasi tidak dimaksudkan untuk mengingkari relevansi atau arti komponen individu yang sifatnya bukan perilaku (subsistem), akan tetapi relevansi atau arti dari unsur-unsur ini bagi sistem sosial secara keseluruhannya juga tidak diasumsikan. Fisher dan Hawes (1971) menyarankan adanya penelitian yang ditujukan untuk menemukan korelasi potensial antara “Model Sistem Interaksi” (hubungan perilaku diantara individu) dan “model sistem manusia” (hubungan yang bersifat bukan atas dasar perilaku). Perspektif pragmatis berpusat pada komunikasi manusia sebagai sistem perilaku.

Pola-pola interaksi yang berurutan. Watzlawick, Beavin, dan Jackson (1967:54-59) menyatakan : “sifat hubungan bergantung pada pungtuasi urutan komunikasi antara para partisipasinya.” Punftuasi (punctuation) ini semata-mata menunjukkan pengelompokan unsur-unsur ke dalam pola yang telah dikenal. Tanpa adanya pengelompokan itu, pola atau struktur interaksi tidka dapat dikenali, hanya akan berupa rangkaian yang kontinu dari tindakan yang mengikuti dan mendahukui tindakan yang lain. Pungtuasi adalah pengelompokan, membuat mudah penafsiran arti. Pungtuasi ke dalam pengelompokan yang sesuai merupakan hal yang wajar dan perlu agar dapat menggambarkan hubungan yang tepat antara unsur-unsur tersebut. Jika kita menuruti arah teori informasi, pungtuasi perilaku yang berurutan tergantung pada redundansi � kejadian yang berulang, atau kemugkinan untuk dapat diulang dari waktu ke waktu. Urutan yang terjadi secara berulangkali yang disertai adanya keteraturan yang paling sering akan memberikan pungtuasi, pengorganisasian atau pengelompokan interaksi yang sesuai. Asumsi teori informasi tentang ekuivalensi redundansi dan pola memungkinakn pengamat untuk menggolongkan perilaku komunikatif ke dalam pola yang berurutan dan dengan itu menetapkan sifat hubungan komunikatifnya.

Dimensi isi dan hubungan. Dimensi isi dari tindakan komunikatif memberikan aspek “data” dari informasi. Dimensi hubungan menghidangkan informasi seperti tentang bagaimana orang sebaiknya menafsirkan data tersebut. Kedua dimensi ini tidak dapat dipisahkan dan selalu hadir dalam setiap tindakan komunikatif. Walaupun aspek isi dan hubungan dari komunikasi itu dianggap sebagai “dimensi” dan karenanya bersifat saling tergantung antara yang satu dengan yang lainnya secara tidak terpisahkan, kedua aspek ini dapat diamati sebagai kualitas tindakan atau interaksi yang sama yang secara analitis berbeda. Aspek hubungan dari komunikasi seperti halnya aspek isi, ditentukan oleh penafsiran yang sama atas pemolaan, pungtuasi, dan pemberian urutan � prinsip-prinsip dari teori informasi. Sebagai dimensi komunikasi, aspek isi dan hubungan serupa dengan dimensi tugas dan dimensi sosial dari proses kelompok �saling tergantung akan tetapi hanya dapat dipishkan untuk tujuan analisis. Secara tidak diragukan, satu dimensi mempengaruhi dan dipengaruhi oleh yang lainnya.

Ringkasnya, aplikasi teori sistem pada komunikasi berfokus pada perilaku individual yang melalui pola-pola yang dapat diamati secara empiris yang berdasar pada redundansi, menandai sistem sosial yang dinamakan komunikasi. Perspektif pragmatis tentang komunikasi manusia didasarkan pada asumsi pokok dari teori sistem dan teori informasi, akan tetapi itu bukanlah satu-satunya cara bagaimana teori sistem dapat diterapkan pada komunikasi manusia. (ulasan dari “Model Sistem Manusia” dalam Fisher dan Hawes, 1971). Dengan demikian, perspektif pragmatis merupakan aplikasi yang sesuai dari teori sistem pada komunikasi manusia dan jelas merupakan perkembangan baru yang berbeda untuk penelitian ilmiah di kalangan para anggota masyarakat ilmiah komunikasi manusia.

4. IMPLIKASI

Implikasi perspektif pragmatis lebih luas dan lebih jauh liputannya dalam perbedaannya dari kebijakan konvensional yang mengitari komunikasi manusia. Dalam banyak hal perspektif pragmatis mengingkari prinsip-prinsip utama mekanisme, psikologi, dan interaksionisme. Menurut Feyerabend, perspektif pragmatis menyajikan alternatif paradigma yang sangat berbeda sifatnya dengan perspektif lainnya.

� Eksternalisasi

Komunikasi memusatkan perhatiannya pada perilaku, karena manusia masih mungkin untuk tidak berkomunikasi namun tidak mungkin untuk tidak berperilaku. Manusia sudah dapat disebut berperilaku hanya dengan bersikap diam ataupun tidak bergerak sekalipun. Oleh karena itu, perilaku tidak memiliki lawan kata, begitu juga dengan komunikasi.

Perilaku yang asal-asalan, seperti menghentakkan kaki sembarangan tidak bersifat komunikatif. Akan tetapi, pandangan memang menunjukkan bahwa semua komunikasi itu bersifat prilaku, dan karenanya dapat ditangkap melalui pengindraan oleh semua partisipan dalam situasi komunikatif. Karena itu, jelas sekali bahwa setiap fenomena internal komunikator tidak begitu berarti dalam perspektif pragmatis. Apabila fokus analisisnya dari tingkat sistem, maka sikap yang diinternalisasikan tidak dapat memengaruhi urutan perilaku interpersonal, namun ia dapat memengaruhi tindakan seseorang yang secara tidak langsung dapat memengaruhi urutan perilaku interpersonal.

Fenomena internal ini memasuki sistem komunikatif sebagai perilaku yang dieksternalisasikan, atau tidak memasuki sistem itu sama sekali. Baru setelah itu, internalisasi menjadi bagian sistem.

� Probabilitas Stokastis

Probabilitas stokastis tidak menunjukan adanya hubungan linear di antara keadaan pemula dan keadaan berikutnya. Proses stokastis hanya menentukan probabilitas bahwa keadaan berikutnya yang tertentu (dari antara rentangan keadaan yang mungkin ada) benar-benar timbul setelah keadaan pemula yang tertentu. Tingkat probabilitasnya dihitung dengan menganalisa bentuk pola urutan yang lalu dalam matriks interaksinya yang mewakili interval waktu yang cukup panjang. Karenanya tingkat probabilitas stokastis itu adalah ukuran dari redudansi yang teruraikan secara deskriptif dalam urutan interaksi.

� Analisis Kualitatif

Pedoman analisis kualitatif dari Lofland memiliki gambaran yang relevan dengan perspektif pragmatis. Lofland mengemukakan bahwa penelitian fenomena sosial dapat disimpulkan dalam tiga buah pertanyaan dasar yang berusaha menemukan “karakteristik” dari fenomena tersebut. Analisis kualitatif amat berkepentingan dengan pengkajian karakteristik fenomena sosial. Karenanya, pertanyaan penelitian mengenai sebab dan efek menjadi kurang penting bagi peneliti kualitatif dan juga tidak dapat diterapkan, tidak praktis, atau bersifat prematur.

Keterbukaan sistem sosial yang intrinsik dalam perspektif pragmatis mengandung arti bahwa inferensi kausal menjadi kurang penting dalam memahami proses komunikasi manusia, jika tidak mau dikatakan tidak sesuai. Yang lebih penting dan relevan adalah masalah-masalah kualitatif tentang karakterisasi sistem komunikasi.

Semakin banyak terdapat kategori tindakan komunikatif, semakin kompleks analisis kualitatifnya. Karenanya, karakterisasi perilaku komunikatif daam suatu sistem kategori tindakan, merupakan langkah pertama dalam menganalisa komunikasi manusia secara kualitatif.

Analisis kualitatif pada sistem komunikasi secara jelas merupakan metodologi penelitian utama yang ditekankan dalam rangka perspektif pragmatis. Analisis kualitataif mencakup pengelompokan semua tindakan komunikasi yang dilakukan oleh perilaku komunikatif. Analisis interaksi pada fungsi-fungsi komunikatif itu mencakup masalah-masalah kompleksitas ruang dan waktu, dalam artian jumlah fungsi komunikatif yang tercermin dalam kategori analisis dan panjangnya urutan dari tindakan yang analisis. Karena karakteristik sistem yang terbuka itu menunjukkan kecenderungan untuk makin meningkat dalam kompleksitas sepanjang waktu, maka analisis kualitatif pada kompleksitas ini penting bagi penelitan komunikasi dalam perspektif.

� Kompleksitas Konsep Waktu

Di dalam kerangka perspektif pragmatis, waktu menjadi lebih kompleks dan semakin menjadi bagian yang integral dari komunikasi manusia.

Mengkonseptualisasikan waktu dalam pengertian lain dari pengertian fisiknya memang agak sedikit sulit. Waktu bersifat hanya satu arah dan selalu bergerak ke depan. Waktu juga bersifat konstan,

tidak dapat bergerak cepat ataupun berjalan lebih lambat. Dan diatas segalanya tadi, waktu bersifat abadi.

Perspektif pragmatis komunikasi manusia mencakup konsep waktu secara fisik. Waktu fisik masih tetap merupakan standar untuk mengukur semua dimensi waktu lainnya, namun begitu perspektif pragmatis juga mencakup konsep-konsep waktu lainnya. Satu aspek waktu yang pragmatis mencakup kesatuarahan. Dalam hal ini, peristiwa atau perilaku dalam tingkat redundansi dapat terukur, waktu dapat mengulang dirinya sendiri. Melalui redudansi, kategori peristiwa yang sama dapat terjadi pada waktu-waktu yang berlainan. Hal tersebut dapat mengartikan bahwa masa lalu memengaruhi masa sekarang.

Dibandingkan dengan kelima indra yang dimiliki, memori manusia relevan dengan konsep waktu. Kita tidak akan memperoleh pengalaman tentang waktu tanpa adanya pengaruh dan bantuan memori. Memori tidak identik dengan waktu tetapi berfungsi sebagai “operator dalam waktu”.

Bahasan terakhir tentang konseptualisasi waktu dari perspektif pragmatis sebagai konsep yang memiliki kompleksitas yang lebih besar. Kompleksitas tersebut adalah waktu dapat berjalan lebih cepat ataupun lambat dalam perspektif pragmatis komunikasi manusia, padahal waktu memiliki sifat konstan secara fisik.

Konsep waktu dicerminkan dalam perilaku yang dapat diamati dan dapat diungkapkan dalam kategori fungsional perilaku komunikatif.

� Komunikasi Interpersonal-Massa

Kecenderungan untuk memisah-misahkan komunikasi ke dalam tingakat sosiologis tertentu �� umpanya seperti intrapersonal, interpersonal, kelompok, organisasi, masyarakat, atau massa � harus menunjukkan adanya potensi teori sistem untuk dipersatukan organisasi hirarkis dari sistem terkandung dalam setiap perspektif pragmatis. Jadi, perspektif pragmatis seharusnya dapat diterapkan secara sama kepada tiap tingkat hirarki tersebut. Konsep tentang urutan perilaku dan redudansi dapat digeneralisasikan bagi setiap tingkat hirarki sistem. Perilaku dalam suatu sistem yang terdiri dari dua orang mungkin hanya komentar verbal seorang individu, dan perilaku pada tingkat masyarakat (komunikasi massa) mungkin lebih abstrak lagi, tetapi tetap berupa “perilaku” juga.

5. MODEL PRAGMATIS

� Komponen-Komponen Khas

Komunikasi dalam perspektif pragmatis dimulai dengan perilaku orang-oran yang terlibat dalam komunikasi. Oleh karena itu, satuan komunikasi yang paling fundamental adalah tindak perilaku atau tindak yang dijalankan secara verbal atau nonverbal oleh seseorang peserta dalam peristiwa komunikatif. Tindak itu lalu dikategorikan ke dalam berbagai fungsi yang dilaksanakan komunikasi.

Karena tindak terjadi dalam rangkaian peristiwa yang sinambung maka keberurutan “tindak” menjadi penting. Tindak tertentu harus mendahului tiap tindakan dan suatu tindakan menyusul setiap tindakan; karena itu, satuan analisis yang lebih penting dari sistem komunikasi bukanlah tindak tetapi interaksi atau interaksi ganda. Setiap kemungkinan pasangan tindak menurut kategorinya terjadi pada tingkat probabilitas tertentu.

Sepanjang waktu pola interaksi itu dapat dipengaruhi oleh perubahan. Sistem komunikasi dapat mengubah pola interaksi yang khas dan perubahan itu secara empiris dapat diketahui melalui pencatatan perubahan dalam pola yang redundan dari interaksi dan interaksi ganda. Bergerser dari satu pola interaksi ke pola karakteristik lainnya menunjukkan bahwa sistem komunikasi itu meninggal satu fase interaksi dan memasuki fase lainnya. Pada tingkat pengertian yang awam, memang wajar jika “percakapan ringan” antar individu yang bersifat basa-basi itu pada permulaan percakapan berbeda sekali dengan jenis interaksi di antara komunikan yang sama beberapa waktu kemudian. Jumlah fase sudah tentu, sangat berbeda-beda dari satu situasi komunikatif ke situasi komunikatif ke situasi lainnya.

Beberapa sistem komunikasi merupakan sistem yang harus berlangsung sebagai suatu sistem dalam periode waktu yang panjang. Kelompok yang sedang berlangsung tidaklah secara kontinyu bergeser dari satu fase yang berbeda ke fase lainnya secara tidak terbatas. Lebih mungkin sistem-sistem itu mengembangkan norma dan pola perilaku tertentu yang cenderung diperkokoh secara berulang-ulang selama periode sejarah sistem tersebut. Dengan kata lain, fase di mana sistem social itu bergerak, cenderung untuk berulang dalam suatu siklus yang sinambung.

Gambar tersebut membatasi pola tindakan, fase, dan siklus dalam parameter sistem social tertentu. Suatu sistem komunikasi secara inheren adalah sistem social yang para anggotanya memberikan kendala dan dengan cara itu mendefinisikan sistem melalui tindakan mereka serta pola interaksi yang berikutnya. Dalam pengertian sistem social dan komunikasi inilah yang divisualisasikan sebagai urutan peristiwa.

Memang sistem social tidaklah sama semua. Tetapi beberapa sistem social amat serupa, yang menunjukkan bahwa penelitian ilmiah tentang fenomena komunikatif akan memperoleh keuntungan dari pengembangan klasifikasi morfologis dari sistem social, yakni sistem komunikasi.

� Fokus � Perilaku Yang Berurutan

Fokus komunikasi dalam perspektif pragmatis secara jelas adalah perilaku, tindakan yang dijalankan oleh para individu yang menjadi anggota sistem komunikasi. Tetapi, kita harus berhati-hati mengkonseptualisasikan tindakan komunikatif secara terpisah. Tanpa tempatnya dalam keseluruhan sistem, yakni dalam urutan redundan atau pola interaksi, maka tindakan itu sendiri secara relative merupakan hal yang sepele dan tidak berarti. Hanya apabila urutan itu dikokohkan kembali oleh tingkat kemungkinan terjadinya kembali barulah tindakan itu menjadi penting untuk sitem tersebut dan mengendalakan atau mendefinisikan sistem. Perilaku dalam isolasi, dalam perspektif pragmatis, sama sekali tidak dapat ditafsirkan.

6. TEORI YANG BERKAITAN DENGAN PERSPEKTIF PRAGMATIS

a. Teori Sistem Umum (Niklas Luhmann)

Luhmann memiliki pandangan yang berbeda dengan Parsons mengenai fungsionalisme struktural. Ia memandang bahwa teori Parsons sangat kompleks dan memiliki beberapa kelemahan. Teori sistem umum lebih menekankan kepada kontingensi dan kemungkinan dimana setiap fakta yang ada tidaklah mutlak dan memiliki peluang untuk menjadi berbeda. Pertama teori fungsionalisme struktural Talcott Parsons tidak memiliki referensi diri. Masyarakat lebih diarahkan untuk melihat subsistem eksternal sedangkan tidak memiliki tempat untuk memahami dirinya sendiri yang Luhmann anggap merupakan suatu hal penting bagi sebuah sistem. Kedua teori Talcott Parsons terlihat kaku karena tidak memiliki kontingensi atau kemungkinan. Luhmann berpendapat bahwa

skema A G I L ciptaan parsons tidak dapat dilihat sebagai sebuah fakta, tetapi sebuah skema kemungkinan.

ü Sistem Autopoietic

Luhmann menggunakan istilah autopoietic untuk menggambarkan sistem ekonomi, politik, hukum, saintifik, dan birokrasi. Terdapat empat karakteristik dalam sistem.

Pertama, sebuah sistem autopoietic menciptakan elemen dasar yang menyusun sistem itu sendiri. Sebagai contoh dalam sistem ekonomi uang merupakan sebuah ‘elemen dasar’ dan sistem ekonomi tanpa adanya uang tidak akan dapat berjalan. Karakteristik yang kedua adalah, sistem autopoietic mengorganisasikan pada batas � batasnya sendiri dan mengorganisasikan sistem internalnya. Misalnya sistem ekonomi memiliki batasan bahwa sesuatu yang dapat disebut dalam sistem ekonomi adalah sesuatu yang langka dan berharga.Karakteristik yang ketiga dalam sebuah sistem adalah self referential. Sistem ekonomi memiliki harga untuk menggambarkan dirinya sendiri. Dalam sebuah pasar saham, harga ditentukan oleh sistem ekonomi. Pasar saham dapat disebut sebagai referensi diri dari sebuah sistem ekonomi.

Ciri terakhir dalam sistem autopoietic adalah tertutup. Sistem ekonomi lebih berpihak kepada pemenuhan kebutuhan si kaya, namun tertutup pada pemenuhan kebutuhan si miskin.

ü Masyarakat dan Sistem Psikis

Terdapat empat karakteristik masyarakat yang dijelaskan oleh Luhmann, yaitu membangun struktur dan batas � batasnya sendiri, self-referential, dan tertutup. Menurutnya elemen dasar dari masyarakat adalah ‘komunikasi’. Masyarakat yang menciptakan komunikasi, dan komunikasi lah yang membentuk masyarakat. Sesuatu yang individu miliki dan tidak pernah dikomunikasikan kepada individu lain bukanlah bagian dari masyarakat.

Sistem psikis masyarakat yang dijelaskan selanjutnya oleh Luhmann dapat disebut sebagai ‘kesadaran’. Kesadaran yang dimaksud dalam hal ini adalah kesadaran terhadap makna yang terbentuk dalam sebuah sistem. Dalam sistem psikis, segala sesuatu yang tidak bermakna berada di luar sistem, yang menjadi penyebab tindakan kita. Sedangkan segala sesuatu yang bermakna di dalam sistem berfungsi sebagai motivasi bagi tindakan kita.

ü Evolusi menurut Niklas Luhmann

Luhmann berpendapat bahwa evolusi tidak bersifat teleologis. Evolusi merupakan sebuah perubahan yang deontologis dan perkembangan bukanlah tujuan yang ditetapkan sebelumnya oleh sebuah sistem.

Evolusi merupakan seperangkat proses yang menjalankan fungsi variasi, seleksi dan stabilitas karakteristik yang dapat diproduksi. Variasi dianggap sebagai berbagai macam cara yang digunakan untuk menghadapi segala masalah yang timbul dari gangguan lingkungan. Dalam memilih variasi tersebut maka dibutuhkanlah seleksi untuk memilih solusi yang dianggap mudah untuk diterapkan. Terakhir, stabilisasi dibutuhkan bagi sistem untuk menyesuaikan diri dengan diferensiasi atau sistem baru yang muncul akibat dari evolusi.

b. Teori Integrasi Informasi

Teori Integrasi Informasi (Information Integration Theory) merupakan teori tentang pengorganisasian pesan atau informasi yang dikemukakan oleh Martin Feishbein. Teori ini berasumsi bahwa organisasi mengakumulasikan dan mengorganisasikan informasi yang diperolehnya tentang sekelompok orang, objek, situasi atau ide-ide untuk membentuk sikap yang sesuai dengan konsep yang terbentuk dari hasil penerimaan informasi tersebut (Little John, 1997:234-240)

Feishbein dalam Little John kemudian mengemukakan bahwa merujuk pada teori ini semua informasi mempunyai kekuatan potensial yang dapat mempengaruhi orang untuk memiliki sikap tertentu. Besar tidaknya pengaruh tersebut tergantung kepada dua hal yaitu:

1. Valensi atau tujuan

Sejauhmana suatu informasi mendukung apa yang sudah menjadi kepercayaan seseorang. Suatu informasi dikatakan positif apabila informasi tersebut mendukung kepercayaan yang telah ada

dalam diri seseorang sebelumnya. Sedangkan jika yang terjadi adalah sebaliknya, maka informasi itu dapat dipandang sebagai sesuatu yang negative.

2. Bobot penilaian

Berkaitan dengan tingkat kredibilitas informasi tersebut. Maksudnya apabila seseorang melihat informasi itu sebagai suatu kebenaran, maka ia akan memberikan penilaian yang tinggi terhadap informasi itu. Sementara jika yang terjadi adalah sebailknya, maka penilaian yang diberikan pun akan rendah. (Littlejohn,1996-137-138)

Secara singkat dapat dijelaskan bahwa Valensi berkaitan dengan bagaimana informasi dipengaruhi sikap seseorang, sedangkan Bobot Penilaian berkaitan dengan sejauhmana informasi tersebut mempengaruhi sikap seseorang. Dengan demikian, walaupun suatu informasi memiliki tingkat valensi yang tinggi, apabila tidak didukung oleh bobot penilaian yang tinggi pula, akan menghasilkan efek yang kecil pada sikap seseorang (Littlejohn,1996:137-138)

Selanjutnya, pendekatan integrasi informasi memusatkan pada cara-cara orang mengakumulasikan dan mengorganisasikan informasi tentang orang, objek, situasi atau gagasan tertentu untuk membentuk sikap terhadap sebuah konsep. Sikap sudah menjadi sebuah satuan penting dalam penelitian tentang persuasi karena arti pentingnya dalam perubahan sikap. Sebuah sikap adalah sebuah predisposisi untuk bertindak dengan suatu cara yang positif atau negatif terdapat sesuatu.

Sebuah sikap merupakan sebuah akumulasi dari informasi tentang sesuatu, objek, orang, situasi atau pengalaman. Perubahan sikap terjadi karena informasi baru memberikan tambahan pada sikap. Sikap mempunyai korelasi dengan keyakinan dan menyebabkan seseorang memiliki perilaku tertentu terhadap objek sikap.

Menurut teori integrasi informasi ini, adanya akumulasi informasi yang diserap seseorang dapat menimbulkan hal-hal sebagai berikut:

1. Informasi dapat mengubah derajat kepercayaan seseorang terhadap suatu objek 2. Informasi dapat merubah kredibilitas kepercayaan seseorang yang sudah dimiliki seseorang. 3. Informasi dapat menambah kepercayaan baru yang telah ada dalam struktur sikap.

Sebuah sikap dipandang sebagai sebuah akumulasi dari informasi tentang suatu objek, orang, situasi, maupun pengalaman. Jadi, perubahan sikap terjadi karena informasi baru memberikan tambahan pada sikap, atau perubahan sikap terjadi karena informasi tersebut telah merubah penilaian seseorang mengenai valensi dan bobot informasi lain. Namun, informasi apapun biasanya tidak akan membawa pengaruh yang terlalu besar terhadap sebuah sikap karena sikap tersebut memuat bebarapa yang bisa menangkal informasi tersebut. Gary L. Kreps dalam bukunya Organizational Communication mengatakan:

Informasi adalah suatu proses pemaknaan pesan dan informasi adalah makna yang kita gunakan untuk membentuk suatu pengertian. Pengertian mengandung nilai informasi yang memungkinkan kita untuk mengerti, menginterpretasikan dan memprediksi suatu fenomena) (Kreps,1990:27)

Makna penting pengorganisasian komunikasi yang menghubungkan kepentingan antara organisasi dengan lingkungan luarnya sebagaimana dikemukakan oleh Kreps yaitu, bahwa media komunikasi eksternal menjembatani pesan antara organisasi dengan lingkungan sekitar dan pesan tersebut bertujuan untuk mempengaruhi bagaimana lingkungan sekitar bersikap terhadap organisasi) (Kreps, 1990:21).

c. Teori Pemrosesan Informasi

Asumsi yang mendasari teori ini adalah bahwa pembelajaran merupakan faktor yang sangat penting dalam perkembangan. Perkembangan merupakan hasil kumulatif dari pembelajaran.

Berdasarkan temuan riset linguistik, psikologi, antropologi dan ilmu komputer, dikembangkan model berpikir. Pusat kajiannya pada proses belajar dan menggambarkan cara individu memanipulasi simbol dan memproses informasi. Model belajar pemrosesan informasi Anita E. Woolfolk (Parkay & Stanford, 1992) disajikan melalui skema yang dikutip berikut ini.

Gambar 1. Skema pemrosesan informasi

Model belajar pemrosesan informasi ini sering pula disebut model kognitif information processing, karena dalam proses belajar ini tersedia tiga taraf struktural sistem informasi, yaitu:

1) Sensory atau intake register: informasi masuk ke sistem melalui sensory register, tetapi hanya disimpan untuk periode waktu terbatas. Agar tetap dalam sistem, informasi masuk ke working memory yang digabungkan dengan informasi di long-term memory.

2) Working memory: pengerjaan atau operasi informasi berlangsung di working memory, dan di sini berlangsung berpikir yang sadar. Kelemahan working memory sangat terbatas kapasitas isinya dan memperhatikan sejumlah kecil informasi secara serempak.

3) Long-term memory, yang secara potensial tidak terbatas kapasitas isinya sehingga mampu menampung seluruh informasi yang sudah dimiliki peserta didik. Kelemahannya adalah betapa sulit mengakses informasi yang tersimpan di dalamnya.

Diasumsikan, ketika individu belajar, di dalam dirinya berlangsung proses kendali atau pemantau bekerjanya sistem yang berupa prosedur strategi mengingat, untuk menyimpan informasi ke dalam long-term memory (materi memory atau ingatan) dan strategi umum pemecahan masalah (materi kreativitas).

Pengetahuan yang diproses dan dimaknai dalam memori kerja disimpan dalam memori jangka panjang dalam bentuk skema-skema teratur secara hirarkis. Tahap pemahaman dalam pemrosesan informasi dalam memori kerja berfokus pada bagaimana pengetahuan baru dimodifikasi. Pemahaman berkenaan dan dipengaruhi oleh interpretasi terhadap stimulus. Faktor stimulus adalah karakteristik dari elemen-elemen desain pesan seperti ukuran, ilustrasi, teks, animasi, narasi, warna, musik, serta video. Studi tentang bagaimana informasi diidentifikasi, diproses, dimaknai, dan ditransfer dalam dan dari memori kerja untuk disimpan dalam memori jangka panjang mengisyaratkan bahwa pendesainan pesan merupakan salah satu topik utama dalam pendesainan multimedia instruksional. Dalam konteks ini, desain pesan multimedia berkenaan dengan penyeleksian, pengorganisasian, pengintegrasian elemen-elemen pesan untuk menyampaikan sesuatu informasi. Penyampaian informasi bermultimedia yang berhasil akan bergantung pada pengertian akan makna yang dilekatkan pada stimulus elemen-elemen pesan tersebut.

d. Teori Information Seeking

Menurut Donohew dan Tipton (1973), Information Seeking menjelaskan tentang pencarian, penginderaan, dan pemrosesan informasi, disebut memiliki akar dari pemikiran psikologi sosial tentang sikap. Salah satu asumsi utamanya adalah bahwa orang cenderung untuk menghindari informasi yang tidak sesuai dengan image of reality-nya karena informasi itu bisa saja membahayakan.

Information seeking adalah proses atau kegiatan yang mencoba untuk mendapatkan informasi dan teknologi baik dalam konteks manusia. Mencari informasi berkaitan dengan, tetapi belum berbeda, pengambilan informasi (IR). Information seeking juga diartikan sebagai upaya menemukan informasi secara umum, dan information searching adalah aktivitas khusus mencari informasi tertentu yang sedikit-banyaknya sudah lebih terencana dan terarah.

Dalam istilah sederhana, information seeking melibatkan pencarian, pengambilan, pengakuan, dan penerapan isi yang maknawi. Pencarian ini bisa eksplisit atau implisit, pencarian mungkin hasil dari strategi khusus atau kebetulan, informasi yang dihasilkan mungkin akan dipeluk atau ditolak, seluruh pengalaman dapat dilakukan melalui suatu kesimpulan logis atau dihentikan di tengah jalan, dan mungkin ada juta potensi hasil lainnya.

Information seeking telah dilihat sebagai latihan kognitif, sebagai pertukaran sosial dan budaya, sebagai strategi diskrit diterapkan ketika menghadapi ketidakpastian, dan sebagai syarat dasar kemanusiaan di mana semua individu ada. Bahkan, perilaku informasi mungkin istilah yang lebih tepat, bukan mencari informasi, untuk terbaik menggambarkan hubungan multi-faceted informasi dalam kehidupan manusia, sebuah hubungan yang dapat mencakup baik aktif mencari melalui saluran informasi formal dan berbagai lain sikap dan tindakan, termasuk skeptisisme dan ambivalensi (Pendleton & Chatman 1998 ).

Kuhlthau menjelaskan proses information seeking sebagai inisiasi, pemilihan, eksplorasi, perumusan, pengumpulan, dan presentasi.

1. INISIASI

Inisiasi dimulai dengan pengakuan kebutuhan informasi dan melibatkan upaya pertama untuk menyelesaikan ketidakpastian. Dalam teori psikologi perilaku, ketidakpastian, kebaruan, dan varietas memberikan motivasi awal untuk mencari informasi ( Wentworth & Witryol 1990 ). Keinginan psikologis untuk memprediksi hasil, untuk mengetahui yang tidak diketahui, atau untuk memperluas jangkauan pengalaman berfungsi sebagai daya dorong utama untuk mencari informasi dari perspektif behavioris. George Kelly berangkat dari kedua behaviorisme dan psikologi kognitif tradisional untuk menyarankan pengetahuan itu, dan informasi mencari yang membangun pengetahuan, muncul dari konstruksi pribadi ketimbang pengambilan murni objektif dan aplikasi (1955). Proses dan produk dari konstruksi ini adalah pengalaman unik dipengaruhi oleh keadaan kognitif, afektif, dan material individu.Kebutuhan untuk memodifikasi pribadi konstruksi sebagai situasi yang baru dan pengalaman muncul kebakaran mencari informasi.

Menggambar pada teori komunikasi dan metodologi kualitatif, pendekatan pembuatan akal untuk informasi pemahaman mencari dan menguraikan penggunaan atas beberapa ide-ide Kelly, tentang pencarian informasi sebagai konstruktif dinamis, dan dinegosiasikan fenomena, ( Dervin 1999 ). Individu terus-menerus membuat dan unmake pemahaman dan perspektif melalui eksplorasi perhubungan luas dan mendalam informasi yang adalah hidup. eksplorasi ini terjadi sebagai proses komunikatif, dialog berpotongan yang melampaui data untuk menyertakan emosi, ide-ide, nilai, pendapat, takhayul, dan keyakinan pada tingkat pribadi dan sosial. Dari perspektif rasa-pembuatan kompleksitas dan perubahan, awal dari sebuah tindakan tertentu atau situasi mencari informasi ini terletak dalam konteks yang lebih luas.

2. SELEKSI

Setelah individu mengakui bahwa ia perlu mengetahui sesuatu, pertanyaan tentang apa yang perlu mengetahui harus dijawab. Dalam tahap seleksi, individu mengetengahkan informasi sehubungan dengan topik umum atau bidang pengetahuan. Sebagai contoh, sekolah sering meminta siswa untuk menyelidiki pertanyaan penelitian dengan menggunakan metode yang ditentukan, untuk memanfaatkan sumber-sumber informasi tertentu, dan untuk menyajikan temuan mereka dalam format yang seragam. Untuk menyelesaikan tugas, mahasiswa harus menerjemahkan kebutuhan informasi mereka ke dalam sistem organisasi yang perpustakaan dan agen-agen informasi lainnya telah dikembangkan.

Masalah yang kompleks membutuhkan banyak pemikiran dan usaha. Individu harus menggambar apa yang diketahui dan apa yang tidak diketahui. Dalam model proses pencarian informasinya, Kuhlthau tampaknya mengenali tantangan dan menekankan bahwa individu harus didorong untuk melanjutkan dengan langkah mereka sendiri dalam proses seleksi.

3. EKSPLORASI

Eksplorasi berfungsi sebagai metode dimana dasar-dasar konstruksi baru diletakkan, "membuka dimensi-dimensi pribadi dari makna dalam alam semesta dipahami dalam hal proses ( Warren 1991 , 529). Individu cenderung mengolah untuk informasi nilai yang diperoleh dari tangan investigasi pertama dalam lingkup kehidupan sehari-hari, seperti belajar dari pengalaman mereka sendiri dan mencari saran dari orang lain dalam kelompok sosial mereka ( Pendleton & Chatman 1998 , Myers

1998 ). Hal ini tidak berarti informasi yang dari luar ranah pribadi dan sosial secara langsung tidak relevan atau membantu dalam mencari informasi, tetapi kolaborasi dan komunikasi membayar individu kesempatan untuk menggunakan informasi tersebut dalam cara-cara yang bermakna.

Individu mulai menggunakan informasi umum untuk menghasilkan pertanyaan lebih spesifik dan rinci, untuk mempersempit topik mereka, dan untuk mulai mencari informasi secara lebih dalam. Formulasi mengharuskan pencari untuk membuat hubungan antara ide-ide yang berbeda, untuk berpikir kritis tentang informasi yang ditinjau sejauh ini, dan membuat pilihan pribadi yang relevan berdasarkan belajarnya. Fokus informasi dengan karakter spesifik dan dimensi dari suatu masalah tertentu memerlukan pengetahuan khusus, dan individu harus mempertimbangkan ahli dalam hal memahami dunia mereka, kebutuhan informasi mereka, dan cara informasi dapat diterapkan pada konteks spesifik dari kehidupan mereka (Dervin 1999).

Sama seperti di eksplorasi, individu harus menginvestasikan sebagian dari diri mereka sendiri dalam refleksi dan gejolak merumuskan arah yang lebih disengaja untuk pencarian mereka. ( Kuhlthau 1993 , Mokros et al 1995.). Formulasi bisa berantakan dan tidak nyaman, tetapi di sinilah letak pengalaman bahwa kreativitas semua cita - ekspresi perspektif yang unik seseorang, sebuah visi yang akan memandu mereka mencapai keberhasilan.

4. KOLEKSI

Dalam tahap ini, individu mengumpulkan sumber daya review yang membahas fokus khusus yang telah ia rumuskan. Pada titik ini, individu harus memiliki suatu pemahaman umum tentang prinsip-prinsip dan konsep yang mendasari masalahnya untuk membuat keputusan mengenai relevansi dari kedua isi dan bentuk. Jika tujuan mencari informasi adalah untuk mengembangkan pemahaman pribadi, maka tahap ini lebih dari menerima atau menolak data. Individu tidak hanya memilih apa yang erat dengan perhatian khusus tetapi juga menentukan bagaimana setiap ide baru cocok menjadi solusi untuk mengatur dan dapat terhubung dengan informasi yang berlaku dari kedua tujuan dan perspektif subyektif.

5. PRESENTASI

Kuhlthau menggambarkan tahap presentasi dalam proses pencarian informasi melalui pidato, laporan, atau produk lain untuk latihan sekolah atau tugas (1993). Isu-isu baru dapat memberikan wawasan tentang masalah, tetapi tidak dapat menjamin bahwa keadaan luar memungkinkan untuk dijadikan solusi. Terlepas dari hasilnya, aplikasi dan transformasi data ke dalam pemahaman pribadi baru berfungsi sebagai hasil penting dalam pencarian informasi.

7. 8. COVERING LAWS THEORY Empat Perspekt i f dalam I lmu Komunikasi

Secara umum berdasarkan metode dan logika penjelasannya, terdapat 4 (empat) perspektif yang mendasari pembangan teori dalam ilmu komunikasi. Keempat perspektif tersebut adalah: covering laws (perspektif hukum), rules (perspektif aturan), systems (perspektif system), dan symbolic interactionism (perspektif simbolik interaksionisme). Berikut ini akan dijelaskan pokok-pokok pikiran dari keemoat perspektif tersebut.

Pada dasarnya pemikiran covering laws theory berangkat dari prinsip “sebab-akibat” atau hubungan kausal. Rumusan umum dari prinsip ini antara lain dicerminkan dalam peryataan-pernyataan hipotesis yang berbunyi: Jika A�. maka B�. . Pemikiran “covering laws” model ini diperkenalkan oleh Dray. Menurut Dray, penjelasan-penjelasan “covering laws theory” didasarkan pada dua asas. Pertama, bahwa teori berisikan penjelasan-penjelasan yang berdasarkan pada keberlakuan umum/hukum umum. Kedua, bahwa penjelasan teori berdasarkan analisis keberaturan.

Hempel lebih lanjut memerinci 3 (tiga) macam penjelasan yang duanut dalam covering laws: (1) D-N (Deductive-Nomological ), (2) D-S (Deductive-Statistical), dan (3) I-S (Inductive-Statistical).

Penjelasan yang berprinsipkan D-N dibagi dalam dua bagian: Objek penjelasan dan Subjek Penjelasan. Objek penjelasan menunjuk pada apa yang dijelaskan (explanandum), sementara subjek penjelasan menunjuk pada apa yang menjelaskan (explanans). Contoh pernyataan yang memakai prinsip D-N: “Semua X � adalah Y”. Pernyataaan tersebut mencakup kegiatan pada masa dulu, sekarang, dan juga masa yang akan datang. Dalam artian, semua X, pada masa dulu sekarang, dan juga pada waktu yang akan datang adalah Y, dengan kata lain bahwa X adalah Y bersifat universal.

Sementara itu, menurut Kaplan, pengertian universalitas pada dasarnya bersifat relative. Hal ini disebabkan bahwa tidak mungkin menguji keberlakuan hukum pada segala situasi dan waktu. Alhasil, keberlakuan atau kebenaran hukum bisa juga diragukan.

Hukum D-S berdasarkan prinsip probabilitas dalam statistic. Formula pernyataan D-S adalah sebagai berikut.

P (X,Y) = R

Formula P (X, Y) = R menunjukkan bahwa proporsi X bersama Y bisa sama dengan R.

Hukum D-S ini juga bersifat deduktif. Namun, karena berisikan sedikitnya satu hukum statistik makan pernyataan tentang objek penjelasan harus didukung oleh sedikitnya satu hukum statistik sebagai bagian dari subjek penjelasan.

Sebagai contoh kita kembali ke formula P (X,Y) = R.

Katakanlah bahwa symbol X di sini berarti laki-laki yang bermata hitam., Y adalah wanita bermata hitam juga, sedang R adalah anak-anak dari hasil perkawinan X dan Y. Formula di atas bisa diubah menjadi pernyataan demikian: Jika laki-laki (X) dan perempuan (Y) kedua-duanya bermata hitam maka setelah kawin ada kemungkinan beberapa anaknya (R) juga akan bermata hitam.

Hukum I-S juga berdasarkan prinsip probabilitas statistik. I-S ini, subjek penjelasan (explanans) dijadikan pendukung induktif untuk menerangkan objek pnejelasan.

Contoh:

P (T,R) = 0.90

Umpamakan simbol T menunjuk pada orang yang berambut keriting, simbol R artinya pemarah, sedang angka 0.90 menunjuk pada tingkat probabilitas (P). Dengan demikian formula di atas dapat berbunyi: Orang yang bersifat pemarah mempunyai kemungkinan (probabilitas) 90% bahwa ia akan berambut keriting.

Perspektif “Covering Laws” ini pada dasarnya memiliki beberapa keterbatasan. Keterbatasan-keterbatasan yang dimaksud, khususnya di dalam konteks ilmu sosial adalah: (1) Keberlakuan prinsip universalitas bersifat relatif; (2) Formula statistik covering laws sulit diterapkan dalam mengamati tingkah laku manusia karena pada dasarnya tingkah laku manusia itu berubah-ubah dan sulit diterka; (3) Manusia dalam kehidupannya juga terikat oleh ikatan-ikatan kultur spesifik; (4) Kehidupan manusia penuh keragaman dan kompleks; (5) Sifat kehidupan manusia bisa berubah-ubah; (6) Analisis covering laws terlalu didasarkan pada perhitungan-perhitungan statistik yang belum tentu sesuai dengan realitas.

Pandangan Proses menurut Hukum Peliput (Covering-Law)

Brodbeck (1958) melukiskan hakikat proses dalam artian “hukum proses” � analisis yang langsung tentang proses dari filsafat ilmu yang positivistis. Menurut Brodbeck, hukum proses merupakan cirri dari teori yang disertai “pengetahuan yang sempurna.” Hukum seperti itu mengandung arti bahwa pengetahuan tentang keadaan setiap variabel apapun pada suatu waktu yang manapun berarti pula pengetahuan tentang efeknya pada semua variabel lainnya pada seua waktu yang lainnya. Jadi, setiap dua keadaan dari sistem itu dapat diinferensikan dari satu dan lainnya (yakni, dari arah mana saja) tanpa memandang pada saat di mana keadaan itu terjadi.

Hukum proses seperti itu seperti itu bersifat kausal dan menentukan. Hukum itu hanya tepat dalam meramalkan satu peristiwa dari satu peristiwa yang lainnya dalam salah satu dari kedua arah waktu yang manapun, dan ramalannya tepat sesuai dengan saat (momen) tertentu. Hukum proses fisika, misalnya memungkinkan peramalan yang cermat tentang posisi planet pada suatu dan setiap titik di masa mendatang atau di masa lalu hanya dengan mengetahui posisinya masa kini. Hukum proses memungkinkan peramalan yang cermat, misalnya tentang saat yang tepat terbit dan tenggelamnya matahari setiap hari dalam setiap tahunnya pada setiap tempat manapun di bola dunia ini. Lagi pula, peramalan itu mungkin bagi tahun manapun di masa silam dan yang akan datang. Hukum proses tepat dalam kaitannya dengan saat waktu dan tepat dibalikkan kembali dlam hubungannya dengan peramalan dalam kedua arah waktu yang manapun.

Suatu teori proses � suatu teori yang terbentuk dari hukum proses � memungkinkan untuk meramalkan keadaan suatu sistem pada semua waktu melalui pengathuan tentang keadaan sistem tersebut pada setiap waktu yang diketahui. Brodbeck percaya bahwa teori yang seperti itu secara logis mungkin dalam ilmu-ilmu sosial walaupun ia berargumentasi perlunya individualism metodologis agar memungkinkan adanya kemungkinan itu. Tampakanya iapun menyarankan bahwa meskipun ada pengetahuan yang sempurna dalam ilmu-ilmu sosial secara logis mungkin pada kenyaannya kelihatan tidaklah demikian.

Gustam Bergmann (1962) salah seorang pembicara kontemporer yang terkemuka dari filsafat hukum-peliput ilmu, menajukan tiga buah persyaratan untuk pengetahuan proses: adanya perangkat yang lengkap dari semua variabel yang relevan, dan pengetahuan tentang hukum proses (yakni, semua keteraturaan seperti hukum yang mungkin ada tentang bagaimana setiap variabel itu dapat berinteraksi dengan semua variabel lainnya dalam semua kobinasi yang mungkin). Bergmann pun menunjuk pada pengetahuan proses sebagai “yang ideal” dan secara esensial “tujuan akhir dari semua ilmu, tujuan itu merupakan satu-satunya tujuan tang berharga untuk dikejar dalam setiap ilmu � dan bahkan secara lebih spesifik lagi untuk ilmu sosial.

Smith (1972) mengemukakan bahwa pandangan tentang proses ni mendasari banyak penelitin komunikasi dan mencerminkan faaham Newton, pandangan mekanitstis tentang proses, yang ia anggap jelas-jelas sudah ketinggalan zaman. Secara meyakinkan Smith berargumentasi bahwa banyak anggota masyarakat ilmiah komunikasi manusia, ia akan dapat meramalkan bagaimana orang-orang akan berperilaku dalam setiap tindakan komuniktif atau menanggapi setiap stimulus pesan. Dalam arti persuasi, pengetahuan tentang proses akan memungkinkan para komunikator untuk memanipulasi imbauan mereka agar dapat mencapai secara konsisten, pasti, respons yang diinginkan dalam diri penerima. Cita-cita ini mungkin mengemukakan pandangan tahun 1948 � suatu dunia baru manipulasi massa yang perkasa melalui komunikasi.

Smith meragukan bahwa cita-cita semacam itu sebagai hukum proses dimungkinkan. Iapun meragukan bahwa ada orang yang benar-benar yakin bahwa pengetahuan yang sempurna seperti itu mungkin. Pehatian utamanya adalah bahwa para ahli komunikasi merumuskan proses komunikasi itu benar-benar berbeda dari pandangan hukum peliput ini dan kemudian melanjutkan pelaksanaan penilitian menurut cara yang benar-benar sesuai dengan cita-cita hukum proses. Argumentasinya bukan tidak bercacat, akan tetapi cukup meyakinkan. Perhatiannya yang utama bukanlah bahwa banyak orang memandang proses secara salah namun bahwa penelitian dan

teori (atau, setidak-tidaknya, perspektif filosofinya) komunikasi manusia tidaklah searah,bila tidak dikatakan betul-betul tidak konsisten.

Covering Law Perspective (Pendekatan Hukum/Law Approach)

Prediksi adalah karakter penting dari perspektif hukum liputan dalam human communication. Perspektif hukum liputan banyak digunakan pada bidang pemasaran dan peiklanan. Faktor penting dari perspektif hukum liputan adalahgeneralizability of law like statements. Salah satu penelitian yang mencoba menguak tabir human communication dengan berdasarkan perspektif hukum liputan adalah penelitian mengenai pengaruh persuasi dari suatu pesan, yang dilakukan oleh Carl I Hovland, Janis dan Kelley di Universitas Yale pada tahun 1953.

Kelebihan perspektif hokum liputan adalah pertama, membantu kita membuat prediksi tentang perilaku human communication. Pendekatan hokum liputan pada komunikasi telah banyak mengungkap hubungan sebab diantara variable-variabel komunikasi. Kedua, telah banyak teori komunikasi yang diperkuat dengan hadirnya perspektif hokum liputan.

Konsep utama dari perspektif ini adalah mengenai kausalitas atau hubungan sebab akibat. Menurut perspektif ini, kita akan bisa memahami tentang perilaku komunikasi manusia apabila kita mampu faktor antesenden (faktor pendahulu) yang nantinya akan menyebabkan konsekuensi-konsekuensi tertentu sebagai efeknya. Pendekatan hukum ini (law approach) ini menegaskan tentang hubungan sebab akibat, seperti yang barusan di sebutkan di atas. Orang-orang berkomunikasi dengan seperti adanya disebabkan adanya kondisi yang mendahului perilaku komunikasi mereka, membuat mereka merespon pesan dengan cara-cara tertentu.

Covering Law memandang fenomena komunikasi seperti fenomena alam, yang mana terdapat hukum pasti yang menaunginya. Seperti contoh, hukum alam, gravitasi. Hukum alam gravitasi adalah hukum yang pasti di bumi ini. Siapapun dia, orang jahat orang baik, dia pasti jatuh ke bawah mengikuti hukum gravitasi. Terdapat sesuatu yang mutlak pada hukum ini.

Begitu juga dengan covering law, disebutkan apabila kita sudah berhasil menemukan muasal dari suatu peristiwa komunikasi, maka dapat dipastikan kita bisa membuat kembali peristiwa itu dengan menimbulkan muasal yang sama, karena kita bisa melakukan prediksi, dan karenanya kita bisa berupaya untuk mengontrol lingkungan sekitar kita.Sama halnya dengan hukum alam, pada perspektif ini pun berlaku generalisasi, yang artinya, if the law-like generalization holds true for one group of people, then it should also hold true for many different groups of people as well.

Perspektif ini fokus pada teori perangkat peraturan, untuk meramal respon komunikasi.

(1) kita dapat melihat, menyentuh, mencium, atau mendengar hal itu; atau (2) kita dapat menemukannya melalui beberapa bentuk asal usul logika.

Peneliti hukum percaya bahwa mayoritas tingkah laku manusia dipengaruhi oleh peristiwa yang lampau atau stimuli sebelumnya. Pemahaman peristiwa itu dan stimuli adalah jalan yang terbaik untuk meramalkan perilaku. Hubungan sebab akibat antar variabel komunikasi.

*Manusia itu pasif, menganggap manusia itu reaktif (baru bereaksi kalau ada stimulus), menganggap manusia itu tidak berpikir

Pengkategor ian

Covering Law Perspective dalam Perspektif Ifante termaksud dalam kategori Positive. Mengapa demikian, karena dalam teori tersebut mengatakan bahwa Konsep utama dari perspektif ini adalah mengenai kausalitas atau hubungan sebab akibat. Menurut perspektif ini, kita akan bisa memahami tentang perilaku komunikasi manusia apabila kita mampu faktor antesenden (faktor pendahulu) yang nantinya akan menyebabkan konsekuensi-konsekuensi tertentu sebagai efeknya. Pendekatan hukum ini (law approach) ini menegaskan tentang hubungan sebab akibat, seperti yang barusan di sebutkan di atas. Orang-orang berkomunikasi dengan seperti adanya disebabkan adanya kondisi yang mendahului perilaku komunikasi mereka, yang membuat mereka merespon pesan dengan cara-cara tertentu.

PERSPEKTIF PSIKOLOGIS AUDREY FISHER PERSPEKTIF PSIKOLOGIS

Perspektif psikologis tentang komunikasi memfokuskan perhatiannya pada individu � si komunikator / penafsir � baik secara teoritis maupun empiris. Secara lebih spesifik lagi, yang menjadi fokus utama dari komunikasi adalah mekanisme internal penerimaan dan pengolahan informasi. Fokus ini telah menimbulkan orientasi komunikasi manusia yang terpusat pada si penerima. Walaupun bidang psikologis sebenarnya yang dipinjam, perspektif ini masih tidak jelas, unsur � unsur perantara dari behaviorisme S-O-R dan psikologi kognitif, khususnya teori keseimbangan, cenderung untuk mendominasi usaha penelitian para ilmuan komunikasi yang mempergunakan perpektif psikologis.

Perspektif psikologis tidaklah merupakan perspektif yang menyatu secara manunggal dalam pengkajian komunikasi. Sebaliknya, dalam kerangka perspektif ini terdapat pendekatan metodelogis, konsep yang dipakai, serta definisi operasional yang digunakan, yang amat beranekaragam. Sampai pada tingkat tertentu, ketidaksamaan ini mencerminkan sebagian besar kekalutan yang terdapat di dalam disiplin psikologi. Sudah tentu, penekanan pada filter konseptual yang berupa black box itu (seperti misalnya sikap, persepsi, keyakinan dan keinginan) telah mempercepat timbulnya arah yang berlainan ini.

Hendaknya juga telah menjadi jelas bahwa banyak dari penteorian, pembuatan model, dan penelitian dalam komunikasi tidak menerapkan perpektif psikologis dalam bentuknya yang murni, pada kenyataannya, bagian terbesar dari penelitian tentang dan sekitar komunikasi barangkali merupakan pencampuran unsur mekanistis dan psikologis, mungkin dengan penekanan yang lebih besar pada aspek psikologisnya.

Seandainya kita menghitung suara semua anggota Speech Communication Association and International Communication Assiciation, misalnya, kita barangkali akan mengidentifikasikan diri mereka sebagai penganut sejenis perspektif psikologis. Menurut Khun, paradigma yang paling popular di dalam suatu bidang ilmu adalah paradigma sebenarnya dari ilmu tersebut, yang paling terkenal dan digemari secara khas. Dengan sendirinya, setiap peneliti komunikasi yang serius harus betul � betul mengenal dan mengetahui perspektif psikologis.

Banyak penelitian komunikasi dalam tradisi empiris ilmu sosial kontemporer telah meminjam secara besar-besaran dari psikologi, tetapi fenomena ini dapat dimengerti. Sejak berabad-abad komunikasi meminjam dari disiplin lain seperti filsafat, sosiologi, bahasa dan lain sebagainya. Banyak yang menganggap bahwa tradisi meminjam ini adalah hal yang wajar karena komunikasi merupakan disiplin yang elektik (electic).

Karakteristik Penjelasan Psikologis

Seperti halnya komunikasi, psikologi merupakan disiplin yang beraneka ragam dengan spesialisasi-spesialisasi yang dihubungkan secara longgar, misalnya psikologi kepribadian, psikologi sosial, psikologi industri, dan lain sebagainya. Sebenarnya, pandangan psikologis komunikasi tidak mencakup semua hal dari satu teori saja dalam psikologi. Ingat bahwa peminjaman komunikasi dari psikologi secara relatife bersifat dangkal dan sporadis. Akibatnya, disini tidaklah dimaksudkan untuk mengemukakan cirri-ciri esensial penjelasan psikologis. Akan tetapi, tujuannya adalah untuk menandai ciri-ciri penjelasan psikologis yang tampaknya mengarahkan ahli komunikasi yang mempergunakannya.

Titik beratnya ialah bentuk paham behaviorisme setelah Skinner, disertai aroma penjelasan kognitif yang kuat. Karena itu, karakteristik yang berikut sebaiknya tidak disimpulkan sebagai definisi yang komprehensif atau realistis dari bentuk penjelasan yang dipakai oleh sebagian terbesar para ahli psikologi. Sebaliknya, karakteristik ini merupakan ciri-ciri inti dari suatu yang pada dasarnya, penjelasan S-R yang diadaptasikan pada komunikasi manusia.

PENERIMAAN STIMULI OLEH ALAT-ALAT INDERA

Sebagai manusia, kemanpuan kita sangat terbatas untuk berhubungan dengan lingkungan kita serta dengan sesama kita. Secara fisiologis, setidak-tidaknya, kita hanya memiliki lima alat indera. Fenomena lingkungan itu yang terkandung dalam banyak penjelasan psikologis, termasuk dalam

penjelasan teoritis di luar kecenderungan behavioristis, adalah konsep “stimulus” sebagai satuan masukan alat indera.

Jadi, setiap berkas sinar yang masuk pada retina mata kita, setiap getaran udara yang menggetarkan bagian dalam telinga kita, atau zat apapun yang merangsang indera kita dinamakan stimulus. Akibatnya, stimuli memberikan data yang dipergunakan dalam penjelasan tentang perilaku manusia.

Akan tetapi, konseptualisasi yang kedua dari stimulus tidak dipusatkan pada objek-stimulus itu sendiri akan tetapi pada dampak objek tersebut pada alat indra; yakni, misalnya, stimulus itu merupakan pola visual tertentu pada retina, pola getaran suara tertentu pada gendang telinga, dan seterusnya. Dalam pengenian ini, pada dasarnya stimulus itu merupakan konsep fisiologis � penangkapan objek lingkungan oleh alat indria. Karena itu stimulus adalah objek yang diubah menjadi sensasi, yakni ragam atau pola tertentu yang memiliki sifat visual, pendengaran, bau, rabaan, atau rasa. Apa yang terkandung dalam penjelasan stimuli semacam itu adalah fisiologi � yang menghubungkan pengalaman psikologis dengan pengalaman fisik dan yang fisik dengan yang psikologis. Bidang psikologi ini, seringkali dinamakan sebagai psikofisika, juga agak populer dalam" studi komunikasi yang mempergunakan instrumen untuk pengukuran fisiologis � Umpamanya, detak jantung, kecepatan pemapasan, getaran otak, rentang kornea mata, tingkat pengeluaran kelenjar keringat, dan sejenisnya.

MEDIASI INTERNAL STIMULI

Setelah menerima stimuli-stimuli, indera kita akan mengolahnya kembali di dalam tubuh dan pikiran kita. Hampir seluruhnya, mediasi organisme dalam penjelasan S-R merupakan konsep black-box (kotak hitam); yakni, struktur khusus dan fungsi proses antara yang internal dipandang kurang penting dibandingkan dengan proses pengubahan masukan menjadi keluaran. Karena itu, menurut pengertian black-box ini, penjelasan memerlukan pengamatan masukan dan keluaran namun tidak menuntut pengamatan langsung pada kegiatan dalam diri organisme yang bersangkutan, sekalipun mungkin dapat dilakukan.

Pertama-tama pengamatan-langsung pada proses internal memang merupakan hal yang tidak mungkin; karena itu kita hanya mengamati perilaku eksternal dan menganggapnya sebagai manifestasi dari keadaan internal organisme yang bersangkutan. Jadi, pengkajian keadaan internal secara hakiki merupakan pengamatan tidak langsung � penarikan kesimpulan (inferensi) dari perilaku yang dapat diamati.

Kehidupan kita sehari-hari dipenuhi oleh penyimpulan seperti itu. Apabila kita melihat seseorang sedang tertawa atau tersenyum, bertepuk tangan dan bergaya secara berlebih-lebihan, kita cenderung untuk menarik kesimpulan dari kombinasi perilaku ini tentang keadaan emosi internal seseorang yang sedang bergembira. Orang lain yang 'menguap', selalu tidak tenang duduknya, dan memandang secara tidak acuh ke sekeliling ruangan akan mendorong kita untuk menyimpulkan bahwa orang tersebut merasa bosan. Ini tidak berani bahwa perilaku eksternal selalu merefleksikan keadaan di dalam diri orang, akan tetapi menyatakan bahwa kita hanya dapat menarik kesimpulan tentang keadaan internal seseorang dari perilaku eksternalnya. Kita tidak memiliki cara lain untuk mengamati black box itu.

TEORI PERAMALAN RESPON

Tujuan penjelasan S-R berpusat pada peramalan, dan peramalan berpusat pada respons. Sebenarnya respon dianggap sebagai perulaku yang dapat secara langsung diamatai, dan penjelasan psikolologi berusaha menghubungkan, yakni menjelaskan perilaku dalam artian stimuli dan keadaan internal. Memang jelas bahwa respons tidak dapat diramalkan semata � mata dalam arti sifat fisik stimulus. Respons lebih dapat diuntungkan dengan keadaan internal yang diaktifkan oleh psikologis.

Untuk dapat memahami penjelasan yang didasarkan secara psikologis ada satu factor respons perilaku yang perlu diketahui. Sejarah kondisi stimulus sebelumnya yang telah dihadapi oleh organism penting diketahui untuk meramalkan perilaku, bilai situasi stimulus tertentu diketahui. Dengan perkataan lain, keadaan internal organism berisi anasir stimulasi yang terdahulu, yang mempengaruhi repsons dalam situasi berkutnya yang dinilainya sama. Jika stimulasi smuala mempengaruhi respons kepada kondisi stimulus tertentu, maka setidak � tidaknya beberapa unsure dari keadaan antara internal itu sendiri merupakan produk atau respons pada pengalaman stimulus terdahulu.

Secara singkat, dapat ditarik kesimpulan bahwa setelah organisme menerima stimuli-stimuli dari luar dan kemuadian memporosesnya di dalam dirinya, maka organisme akan dapat meramalkan respons apa yang akan terjadi selanjutnya, baik itu akan dilakukan maupun tidak akan dilakukan.

PENEGUHAN (REINFORCEMENT) RESPONS

Peneguhan respons mempengaruhi keadaan internal organisme dalam keadaan kebalikannya. Maksudnya, organisme itu dipengaruhi tidak hanya oleh peristiwa di masa lampau saja tetapi iapun dipengaruhi oleh masa yang akan datang.

Akibat adanya arah ganda waktu ini adalah untuk memberikan penegasan yang lebih besar pada keadaan internal organisme tersebut. Dalam arti, organisme tidak hanya tergantung pada lingkungannya saja, tetapi ia dapat mengendalikan lingkungan dan pengaruhnya, sampai batas tertentu, melalui penggunaan fungsi antara dari keadaan internalnya.

Perspektif psikologis tentang komunikasi manusia memfokuskan perhatiannya pada individu (si komunikator/ penafsir) baik secara teoritis maupun empiris. Secara lebih spesifik lagi, yang menjadi fokus utama dari komunikasi adalah mekanisme internal peneriamaan dan pengelolahan informasi.

Fokus ini telah menimbulkan orientasi komunikasi manusia yang berpusat pada si penerima. Walaupun bidang sebenarnya psikologi yang dipinjam perspektif ini masih tidak jelas, unsur- unsur perantara dari behaviorisme S-O-R dan psikologi kognitif, khususnya teori keseimbangan, cenderung untuk mendominasi usaha penelitian para ilmuwan komunikasi yang mempergunakan perspektif psikologi.

MODEL PERSPEKTIF PSIKOLOGI KOMUNIKSI MANUSIA.

Pertama- tama, perspektif ini menganggap bahwa manusia berada dalam suatu medan stimulus, yang secara bebas disebut sebagai suatu lingkungan informasi. Dalam model psikologis manusia ditandai sebagai makhluk yang memiliki fungsi ganda menghasilkan dan menerima stimuli- jadi manusia adalah seorang komunikator/ penfsir stimuli informasional.

Psikologis komunikasi memiliki model yang berbeda dari model psikologis yang menjelaskan semua perilaku dalam kerangka asumsi bahwa semua manusia dalam medan stimulus menghasilkan sejumlah besar stimulus yang ditangkap oleh orang lain. Karena itu, sampai batas- batas tertentu, tiap komunikator telah terorientasi secara psikologis kepada yang lain.

Filter konseptual merupkan suatu “kata petunjuk”, yang ditujuan untuk mencakup semua konstruk yang beragam yang telah dipakai untuk melukiskan secara teoritis kegiatan internal dalam diri manusia. Filter konseptual juga berfungsi untuk membantu proses penyandian, apabila proses penyandian kurang ditangkap dengan baik.

Salah satu hambatan perspektif psikologi, yaitu kecenderungan mendehumanisasikan manusia dan pada akhirnya membuat mereka tidak berdaya terhadap lingkungan mereka sendiri.

Penggambaran tentang perspektif psikologis tidaklah merupakan perspektif yang menyatu secara manunggal dalam pengkajian komunikasi. Sebaliknya, dalam kerangka perspektif ini terdapat pendekatan metodologis, konsep yang dipakai, serta definisi operasional yang digunakan, yang amat beranekaragam. Sampai pada tingkat tertentu, ketidaksamaan ini mencerminkan sebagian besar kekalutan yang terdapat di dalam disiplin psikologi. Sudah tentu, penekanan pada filter konseptual yang berupa black box (seperti: sikap, persepsi, keyakinan, dan keinginan) telah mempercepat timbulnya arah yang berlainan.

MODEL PSIKOLOGI KOMUNIKASI MANUSIA

Pertama- tama, perspektif ini menganggap bahwa manusia berada dalam suatu medan stimulus, yang secara bebas disebut sebagai suatu lingkungan informasi. Dalam model psikologis manusia ditandai sebagai makhluk yang memiliki fungsi ganda menghasilkan dan menerima stimuli- jadi manusia adalah seorang komunikator/ penfsir stimuli informasional.

Psikologis komunikasi memiliki model yang berbeda dari model psikologis yang menjelaskan semua perilaku dalam kerangka asumsi bahwa semua manusia dalam medan stimulus menghasilkan sejumlah besar stimulus yang ditangkap oleh orang lain. Karena itu, sampai batas- batas tertentu, tiap komunikator telah terorientasi secara psikologis kepada yang lain.

Filter konseptual merupkan suatu “kata petunjuk”, yang ditujuan untuk mencakup semua konstruk yang beragam yang telah dipakai untuk melukiskan secara teoritis kegiatan internal dalam diri manusia. Filter konseptual juga berfungsi untuk membantu proses penyandian, apabila proses penyandian kurang ditangkap dengan baik.

Salah satu hambatan perspektif psikologi, yaitu kecenderungan mendehumanisasikan manusia dan pada akhirnya membuat mereka tidak berdaya terhadap lingkungan mereka sendiri.

Penggambaran tentang perspektif psikologis tidaklah merupakan perspektif yang menyatu secara manunggal dalam pengkajian komunikasi. Sebaliknya, dalam kerangka perspektif ini terdapat pendekatan metodologis, konsep yang dipakai, serta definisi operasional yang digunakan, yang amat beranekaragam. Sampai pada tingkat tertentu, ketidaksamaan ini mencerminkan sebagian besar kekalutan yang terdapat di dalam disiplin psikologi. Sudah tentu, penekanan pada filter konseptual yang berupa black box (seperti: sikap, persepsi, keyakinan, dan keinginan) telah mempercepat timbulnya arah yang berlainan.Orientasi S-R cukup menonjol dalam perspektif psikologis tentang komunikasi manusia.

KOMPONEN-KOMPONEN KHASNYA

Orientasi S-R cukup menonjol dalam perspektif psikologis tentang komunikasi manusia. Pertama-tama, pcrspektif ini menganggap bahwa manusia berada dalam suatu medan stimulus, yang secara bebas disebut sebagai suatu lingkungan informasi. Di sekeliling setiap orang terdapat arus stimuli yang hampir tidak terbatas jumlahnya, semuanya dapat diproses melalui organ-organ indra penerima, yakni penglihatan, pendengaran, perabaan, penciuman, dan rasa. Dalam pengertian, semua stimulus ini bersaing untuk diterima karena banyaknya sehingga jumlahnya melebihi kapasitas manusia untuk menerima dan mengolahnya.

Sudah tentu, manusia yang sedang berkomunikasi tidak hanya menertma stimuli akan tetapi iapun menghasilkan stimuli. Sama sebagaimana habiya dengan konsep sumber/penerima dalam model mekanistis, dalam model psikologis manusia ditandai sebagai makhluk yang memiliki fungsi ganda menghasilkan dan menerima stimuli � jadi, manusia adalah seorang komunikator/penafsir stimuli informasional.

Model psikologis komunikasi berbeda dari model psikologi yang menjelaskan semua perilaku dalam kerangka asumsi bahwa semua manusia dalam medan .stimulus menghasilkan sejumlah besar stimulus yang ditangkap oleh orang lain. Karena itu, sampai batas-batas tertentu, tiap komunikator telah terorientasi secara psikologis kepada yang lain. Tidak seperti model psikologis yang menerangkan perilaku, situasi komunikatif mengandung suatu kesengajaan atau instrumentalitas pada stimuli perilaku yang dikeluarkan oleh para komunikator, dan kesengjaan itu berorientasi pada seorang komunikator lainnya.

Goyer (1970) mengembangkan model psikologis komunikasi dengan jalan memasukkan respons diskriminatif yang secara kognitif terstruktur oleh si penafsir sebagai sine qua non

komunikasi manusia.

Ketika si penafsir menyerap stimuli ini (dan sudah tentu, yang lain juga), ia secara otomatis mengolahnya melalui berbagai filter konseptual. Filter ini merupakan keadaan internal dari organisme manusia dan secara esensial merupakan konsep "kotak hitam". Filter tidak dapat diamati secara langsung sebagai keadaan internal, akan tetapi dianggap sangat mempengaruhi peristiwa komunikatif.

Komunikasi manusia dalam model psikologis merupakan pengeluaran dan penerimaan tenis menerus stimuli yang ditambahkan dan diseleksi dari stimuli yang terdapat dalam lingkungan informasi. Walaupun penyampaian tidak selalu ada, dalam pengertian pesa.n yang disalurkan pada saluran, setiap komunikator saling terorientasi secara psikologis kepada sesamanya. Barangkali orientasi ini menunjukkan kesadaran tentang adanya orang lain. Goyer (1970) memasukkan kriteria respons diskriminatif dan bukan hanya semata-mata pilihan secara acak dan tidak terstruktur di pihak si penafsir. Dan Fearing (1953) memasukkan konsep intent(maksud). Karena itu, situasi komunikatif ditandai oleh adanya medan stimulus yang terstruktur dan derajat kesengajaan tertentu di pihak para komunikator. Jelaslah, situasi komunikatif dari perspektif psikologis berbeda dari situasi S-R lainnya yang tidak. mengandung eksistensi fenomena komunikatif.

LOKUS � FILTER KONSEPTUAL

Perspektif psikologis komunikasi manusia jelas berfokus pada individu sebagai "tempat" yang utama untuk menemukan terjadinya komunikasi. Tambahan pula, "di situlah" perspektif psikologis memandang individu sebagai organisme kotak hitam, dengan berfokus pada individu secara efektif komunikasi ditempatkan dalam keadaan internal sehingga tidak dapat dicapai melalui pengamatan langsung. Banyak ungkapan klise yang relevan dengan komunikasi memperlihatkan lokus psikologis ini. Misalnya, "Kata-kata tidak berkomunikasi; manusialah yang berkomunikasi." Dan sudah tentu, makna lain yang populer, "Makna adalah persepsi". Lokus komunikasi dalam perspektif psikologis jelas-jelas dan secara konsisten berada di dalam diri individu � dalam pengertian S-R, keadaan internal organisme yang bersangkutan.

Versi Thayer (1968) tentang perspektif psikologis komunikasi mencakup pembedaan antara "data" dan "informasi". Thayer menganggap data hanya sebagai stimuli yang terdapat dalam medan stimulus, akan tetapi data itu tidak seberapa penting bagi komunikator atau peristiwa

komunikatif sampai individu "memperhitungkannya." Ketika individu secara internal memproses data, stimuli itu lalu menjadi informasi dan dengan cara itu menjadi relevan bagi komunikasi.

Istilah yang dijadikan pegangan oleh Thayer adalah kapasitas individu untuk "memperhitungkan" data, dan sekali dilaksanakan, maka individu tersebut mampu menjalankan kontrol terhadap informasi. Komunikator melengkapi data dengan makna. Infomiasi itu tidak lagi "menjadi milik" komunikator yang semula menghasilkannya. Jadi, setiap komunikator mengalih sandi nilai pesan (yakni, informasi) dari data, dan filter konseptual merupakan alat yang dipakai untuk mengubah data menjadi informasi.

Para ilmuwan komunikasi dengan orientasi psikologis dapat menggunakan konstruk instrumental dan teoretis yang saling berbeda antara satu ilmuwan dengan yang lainnya. Meskipun para ilmuwan ini sejalan dalam perspektif umum dan penghampiran mereka terhadap fenomena komunikasi manusia, mereka tetap saja harus memilih di antara berbagai konseptualisasi teoretis dari alat-alat penyaring yang bersifat internal itu. Setidak-tidaknya ada selusin pendekatan teoretis yang berbeda untuk studi tentang persepsi saja. Tambahkan kepadanya sejumlah besar pendekatan teoretis terhadap sikap, dan jumlah pendekatan yang ada untuk pengkajian fenomena komunikatif meningkat secara dramatis.

IMPLIKASI

Perspektif Psikologis tentang komunikasi manusia telah melahirkan banyak masalah dan petunjuk baru, yang telah menandai sejumlah besar upaya penelitian di bidang komunikasi manusia dalam tahun-tahun terakhir ini. Sebagian permasalahan yang diajukan dalam perspektif psikologis merupakan masalah konseptual yang agak rumit, yang belum terpecahkan secara tuntas. Begitu pula, kiranya belum akan ada pemecahan final dalam masa mendatang yang dekat ini. Akan tetapi, implikasi lainnya telah memberikan pengarahan bagi sejumlah besar penelitian komunikasi.

Salah satu kecenderungan umum kelihatannya ialah memperlakukan langsung komunikator sebagai manusia � kembali kepada prinsip humanistis. Sampai taraf tertentu, keyakinan yang populer bahwa psikologi S-R cenderung untuk mendehumanisasikan manusia dan pada akhirnya membuat mereka tidak berdaya terhadap lingkungan mereka tidak ada bedanya dengan tikus, babi ataupun monyet � adalah "dakwaan yang bersifat murahan". Sudah tentu, tuduhan semacam itu tidak seluruhnya tepat. Tanpa bermaksud mencoba untuk menggeneralisasikan seluruh pengkajian psikologis, perspektif psikologis komunikasi manusia secara khas merupakan perspektif yang konsisten, untuk sebagian besar, dengan prinsip humanistis yang abstrak, yang memberikan penekanan pada individualisme dan martabat komunikator manusia.

ORIENTASI PENERIMA

Banyak usaha untuk mengkaji efek komunikasi, terutama yang berhubungan dengan media massa, menimbulkan pemikiran kembali tentang model mekanistis murni. Paham yang terlalu sederhana yang menyatakan bahwa sumber komunikasi "melakukan sesuatu pada" si penerima tampaknya, setelah perenungan kembali berdasarkan penelitian, merupakan gambaran proses komunikasi yang tidak lengkap dan agak kurang tepat. Sama seperti pandangan komunikasi "satu arah", sudut tinjauan itu terkenal sebagai "model target" komunikasi dan didorong oleh adanya kepercayaan yang dipopulerkan tentang manipulasi massa melalui pandangan yang begitu dikenal seperti "propaganda", "cuci otak" (brainwashing), dan (sekali lagi) adanya "perayu-perayu terselubung

(hidden persuaders)." Akan tetapi, hasil penelitian menunjukkan bahwa para penerima tidaklah mudah terpengaruhi oleh manipulasi massa dan bahkan mampu benahan secara kukuh terhadap usaha-usaha manipulasi.

Model psikologis komunikasi dari Fearing (1953) memasukkan konsep “maksud" (intent) sebagai sesuatu yang terkandung dalam situasi komunikatif. Dengan 'maksud', Fearing mengartikannya bahwa si komunikator menstruktur dan mengarahkan isi stimuli .pesan dengan memikirkan si penafsir. Penafsir atau si penerima karenanya mempengaruhi stimuli-pesan yang asli dengan berada terus menerus dalam medan Psikologis si komunikator.

Begitu pula, kontrol tidak dipusatkan dalam diri siapapun dalam situasi komunikatif itu � baik komunikator ataupun penafsir � akan tetapi merupakan sesuatu yang "kompleks dan saling tergantung." Hasilnya adalah suatu pandangan tentang penerima sebagai peserta yang sama-sama (bahkan mungkin lebih) aktif dalam proses komunikatif dan peserta yang dapat mempengaruhi peristiwa dan stimuli informasi. Dengan demikian, si penafsir sebagian menentukan keseluruhan proses komunikasi. Artinya, sasaran memberikan serangan balik.

Sampai batas tertentu orientasi pada penerima dari perspcktif psikologis komunikasi merupakan reaksi terhadap model mekanistis dan sifat satu arah dari saluran yang terkandung di dalamnya. Walaupun mekanisme (dalam konseptualisasi yang disederhanakan secara berlebihan namun mudah untuk dijalankan) mendorong penggunaan model target tentang penerima, perspektif psikologis beserta lokus komunikasi dalam diri individu yang menyertainya mengkonseptualisasikan si penerima sebagai penyandi yang aktif alas stimuli terstruktur yang mempengaruhi pesan dan sumbernya. Karena si penerima memiliki unsur pengendalian melalui pemberian penafsiran yang bermakna pada informasi yang ia proses, kemampuan konseptual komunikator untuk mengontrol komunikator lainnya sangat terbatas.

TINGKAT INTRAPERSONAL

Suatu konsekuensi langsung dari adanya orientasi si penerima adalah makin pentingnya tingkat komunikasi intrapersonal komunikasi. Kontroversi yang umumnya terdengar di kalangan para peneliti komunikasi adalah apakah ada yang disebut komunikasi intrapersonal. Kontroversi itu mencakup masalah seperti apakah seseorang dapat berkomunikasi dengan dirinya sendiri atau apakah seseorang dapat berkomunikasi dengan objek yang tidak bernyawa seperti misalnya pohon.

Pertanyaannya bukanlah apakah ada komunikasi intrapersonal akan tetapi, lebih baik lagi, sejauh mana proses interpersonal itu berarti bagi komunikasi manusia. Dalam perspektif psikologis, proses ini sangat penting sekali. Mortensen (1972) mengemukakan bahwa komunikator itu dapat ditinjau dari segi orientasinya - melihat pada dirinya sendiri (self directed), melihat pada orang lain (other directed), dan koorientasi, yakni, berorientasi yang sama baik kepada diri sendiri maupun orang lain sehingga menjadi kesatuan.

Yang sangat penting lagi adalah filter konseptual � bagaimana diperolehnya, bagaimana mengolah data pengindraan, bagaimana diubahnya, bagaimana mempengaruhi respons perilaku, bagaimana memberikan makna, dan seterusnya. Studi komunikasi manusia secara sentral menjadi studi tentang proses intrapersonal � sikap, kognisi, persepsi, dan semacamnya. Keunikan dan keaktifan individu menyebabkan variabel perbedaan individual (umpamanya, kepribadian, latar belakang sosiokultural, dan seterusnya) menjadi sangat vital dalam melaksanakan penelitian fenomena komunikatif.

Sekalipun komunikasi tingkat intrapersonal masih relevan dalam perspektif mekanistis, ia bukanlah sesuatu yang penting dan dipandang sentral sebagaimana dalam perspektif psikologis. Pada kenyataannya, tidak ada perspektif komunikasi manusia yang memberikan penekanan yang begitu besar pada tingkat komunikasi intrapersonal seperti yang diberikan oleh perspektif psikologis. Bagi ahli komunikasi yang memandang proses komunikasi manusia secara psikologis, penerapan perspektif pragmatis tampak keterlaluan, dan kontroversi yang lain akan lahir.

Hubungan Sikap dan Perilaku

Telah banyak kita jelaskan bahwa perspektif psikologis mengarahkan studi tentang komunikasi manusia kepada variabel black box yang ada di dalam diri individu. Sudah tentu, lokus tersebut tidak memberikan arti bahwa para ahli komunikasi yang mempergunakan perspektif ini sepenuhnya mengabaikan perilaku yang tampak. Akan tetapi, lokus itu hanya

menunjukkan titik berat saja. Karena itu, perilaku komunikatif dapat diterangkan dan dihubungkan dengan pengetahuan tentang variabel intemal itu � filter konseptual. Karena semua studi tentang black box, maka sifat khas dari hubungan antara variabel yang tersembunyi dan perilaku yang tampak merupakan permasalahan asumsi teoretis saja.

Pembahasan yang paling penting mengenai hubungan tampak tersembunyi berpusat pada hubungan antara sikap dan perilaku. Sebagaimana dikemukakan oleh McGuire (1969:156), konsep tentang sikap barangkali merupakan konstruk yang multidimensional (termasuk kognitif, afektif, dan unsur perilaku), karena "laporan sikap secara verbal mempunyai korelasi yang agak rendah dengan perilaku yang sebenarnya ...".

Dalam suatu survai tentang studi psikologis sikap dan perilaku, Wicker (1969) sampai pada kesimpulan yang sama � bahwa hasil penelitian telah memperlihatkan tidak ada konsistensi yang jelas antara sikap yang sifatnya tersembunyi itu dan perilaku yang sifatnya terbuka. Masalah ini telah terkenal secara populer sebagai "kesenjangan (discrepancy) antara sikap perilaku." Hakikat sebenarnya dari hubungan ini (atau kurang adanya hubungan ini) belum dapat diketahui walaupun para ahli komunikasi, antara lain, Burhans (1971), Larson dan Sanders (I975), dan Seibold (1975), telah melakukan berbagai usaha untuk memecahkan kesenjangan yang tampak itu.

KUASI-KAUSALITAS

Kuasi-kausalitas paradigma masukan-keluaran dari penelitian psikologis dapat dengan mudah disesuaikan dengan hipotesis hukum peliput dari filsafat ilmu. Keadaan pendahulu dalam pernyataan yang bersyarat (kondisional) merupakan masukan, dan keadaan berikutnya merupakan keluaran (output). Keadaan perantara internal dapat digambarkan dengan hipotesis tambahan atau secara inferensial, kondisi pendahulu (anteseden) atau yang kemudian (koinsekuen) dalam merumuskan hipotesis penelitian. Unsur utama dalam asumsi masukan-keluaran adalah kesesuaiannya dengan filsafat ilmu yang tradisional dan sebagai konsekuensinya, dengan eksperimentasi sebagai setting metodologis bagi penelitian ilmiah.

BEBERAPA BIDANG PENELITIAN

Penelitian komunikasi perspektif psikologis umumnya, walaupun tidak seluruhnya, bersifat eksperimental. Walaupun model masukan-keluaran telah menandai penelitian semacam itu dan mudah disesuaikan dengan metode eksperimental, faktor itu saja tidaklah menyebabkan penggunaan yang meluas dari disain eksperimental dalam penelitian komunikasi. Mungkin lebih dari hanya sekadar satu faktor, penelitian seperti itu secara langsung berasal dari bias eksperimental yang terdapat dalam bidang psikologi. Karena para ahli komunikasi telah meminjam konsep dan definisi operasionalisasi dari psikologi, maka wajar jika mereka juga merefleksikan metodologi yang menjadi ciri khas yang digunakan oleh para ahli psikologi.

KESIMPULAN

Perspektif psikologis tentang komunikasi manusia memfokuskan perhatiannya pada individu � si komunikator/penafsir � baik secara teoretis maupun empiris. Secara lebih spesifik lagi, yang menjadi fokus utama dari komunikasi adalah mekanisme internal penerimaan dan pengolahan informasi. Fokus ini telah menimbulkan orientasi komunikasi manusia yang berpusat pada si penerima. Walaupun bidang psikologis sebenarnya yang dipinjam perspektif ini masih tidak jelas, unsur-unsur perantara dari behaviorisme S-O-R dan psikologi kognitif, khususnya teori keseimbangan, cenderung untuk mendominasi usaha penelitian para ilmuan komunikasi yang mempergunakan perspektif psikologis.

Selayaknya telah jelas bahkan bagi pembaca yang biasa sekalipun bahwa penggambaran di depan tentang perspektif psikologis tidaklah merupakan perspektif yang menyatu secara manunggal dalam pengkajian komunikasi. Sebaliknya, dalam kerangka perspektif ini terdapat pendekatan metodologis, konsep yang dipakai, serta definisi operasional yang digunakan, yang amat beranekaragam. Sampai pada tingkat tertentu, ketidaksamaan ini mencerminkan sebagian besar kekalutan yang terdapat di dalam disiplin psikologi.

Banyak dari penteori dan pembuat model yang tidak menerapkan perspektif psikologis dalam bentuknya yang murni. Karena sebagian besar penelitian komunikasi barangkali merupakan pencampuran unsur mekanistis dan psikologis, mungkin dengan penekanan yang lebih besar pada aspek psikologisnya.

Menurut Kuhn, paradigma yang paling populer di dalam suatu bidang ilmu adalah paradigma sebenarnya dari ilmu tersebut, yang paling terkenal dan digemari secara khas. Dengan sendirinya, setiap peneliti komunikasi yang serius harus betul-betul mengenal dan mengetahui prespektif psikologis ini.

DAFTAR PUSTAKA

. “Memahami Perspektif dan Teori dalam Sosiologi”. 21 Maret 2011. http://www.scribd.com/doc/97631133/Memahami-Perspektif-Dan-Teori-Dalam-Sosiologi.

. Teori Information Seeking. Januari 2011. http://hariatidonggeapoteker.blogspot.com/2012/01/teori-information-seeking-dan.html.

. “Teori Integrasi Informasi”. Maret 2010. http://all-about-theory.blogspot.com/2010/03/teori-integrasi-informasi.html.

. “Teori Pemrosesan Informasi”. 8 Juni 2011. http://blogzulkifli.wordpress.com/2011/06/08/teori-pemrosesan-informasi/.

Fisher, B.Aubrey. Teori-Teori Komunikasi Perspektif Mekanistis, Psikologis, Interaksional, dan Pragmatis. Bandung: Remadja Karya. 1978.

http://www.blogteori.com/

http://khaliqida.blogspot.com/2009/06/teori-sistem-dan-perilaku-organisasi.html

http://rumahfilsafat.com/

http://salembaschool.blogspot.com/

http://adiprakosa.blogspot.com/

http://filsafat.kompasiana.com/

http://asbsosiologi.blogspot.com/

http://www.forumsains.com/

http://kuliahtantan.blogspot.com/2012/09/teori-fungsionalisme-menurut-emile.html

http://mbegedut.blogspot.com/2012/10/teori-sosiologi-struktural-fungsional.html

http://en.wikipedia.org/wiki/Structural_functionalism

http://duniapolitiku.blogspot.com/2012/12/teori-teori-komunikasi-interpretatif.html

http://kuliahsosial.blogspot.com/2010/07/teori-komunikasi-manusia.html

http://www.makalahkuliah.com/2012/08/teori-teori-komunikasi-interpretif-dan.html

http://ayurahmadhani-fisip12.web.unair.ac.id/artikel_detail-75762-

Teori%20Hubungan%20Internasional-Marxisme%20dan%20Teori%20Kritis.html

http://sinaukomunikasi.wordpress.com/2013/05/16/mengenal-teori-kritis-habermas/

http://robinvanmurdock.blogspot.com/2013/07/mengenal-berbagai-macam-teori-kritis.html

http://karlinawk-fisip12.web.unair.ac.id/artikel_detail-79080-

Teori%20Hubungan%20Internasional-Teori%20Kritis%20%20Teori%20Imanen.html

http://teori-teorikritis.blogspot.com/2013/01/gwf-hegel.html

http://nurazizahzakiyah.blogspot.com/2013/03/tradisi-kritis-dalam-ilmu-komunikasi.html

http://kuliahsosiologi.blogspot.com/2011/05/teori-postkolonialisme.html

http://aingkries.blogspot.com/2009/01/muted-group-theory.html

http://sinausosiologi.blogspot.com/2012/06/teori-struktural-fungsional-talcot.html

http://eprints.ung.ac.id/903/5/2013-­‐2-­‐69201-­‐281409066-­‐bab2-­‐06012014055212.pdf