overview infrastruktur dalam menunjang pengembangan pariwisata perdesaan

29
STATEMENT OF AUTHORSHIP Saya yang bertandatangan dibawah ini menyatakan bahwa paper terlampir adalah murni hasil pekerjaan saya sendiri. Tidak ada pekerjaan orang lain yang saya gunakan tanpa menyebutkan sumbernya." Materi ini tidak/belum pernah disajikan/digunakan sebagai bahan untuk paper orang lain kecuali saya menyatakan dengan jelas bahwa saya menyatakan menggunakannya. Saya memahami bahwa paper yang saya kumpulkan ini dapat diperbanyak dan atau dikomunikasikan untuk tujuan mendeteksi adanya plagiarisme.” Nama : MUHAMMAD ABDUH NPM : 1206333452 Mata Kuliah : Manajemen Infrastruktur Publik (MIP) Judul Paper : Overview Infrastruktur Dalam Menunjang Pengembangan Pariwisata Perdesaan Tanggal : 10 September 2013 Dosen : Lukas Sihombing Salemba, 10 September 2013 ttd (MUHAMMAD ABDUH)

Upload: hhhhhh

Post on 04-Dec-2023

2 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

STATEMENT OF AUTHORSHIP

“Saya yang bertandatangan dibawah ini menyatakan bahwa paper terlampir adalah murni hasil pekerjaan saya sendiri. Tidak ada pekerjaan orang lain yang saya gunakan tanpa menyebutkan sumbernya." Materi ini tidak/belum pernah disajikan/digunakan sebagai bahan untuk paper orang lain kecuali saya menyatakan dengan jelas bahwa saya menyatakan menggunakannya. Saya memahami bahwa paper yang saya kumpulkan ini dapat diperbanyak dan atau dikomunikasikan untuk tujuan mendeteksi adanya plagiarisme.”

Nama : MUHAMMAD ABDUH

NPM : 1206333452

Mata Kuliah : Manajemen Infrastruktur Publik (MIP)

Judul Paper : Overview Infrastruktur Dalam Menunjang

Pengembangan Pariwisata Perdesaan

Tanggal : 10 September 2013

Dosen : Lukas Sihombing

Salemba, 10 September 2013 ttd

(MUHAMMAD ABDUH)

Paper

“Overview Infrastruktur Dalam Menunjang Pengembangan Pariwisata Perdesaan”

Muhammad Abduh

Universitas Indonesia

Catatan Tentang Penulis

Para Penulis sedang menempuh studi pascasarjana di Magister Perencanaan dan

Kebijakan Publik (MPKP) di Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia (FEUI).

Penelitian ini merupakan salah satu syarat penilaian akhir dari mata kuliah Manajemen

Infrastruktur Publik di MPKP-FEUI.

A. Pendahuluan

Upaya pengurangan kesenjangan antar wilayah, sebagaimana diamanahkan dari tujuan

Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2009-2014 dilaksanakan

melalui 3 (tiga) arah kebijakan dan strategi utama, yaitu (1) pelaksanaan pengendalian dan

pelaksanaan penataan ruang, (2) koordinasi dan integrasi pembangunan wilayah, baik dalam

lingkup perkotaan dan perdesaan, maupun dalam lingkup kawasan-kawasan prioritas

(kawasan strategis, tertinggal, perbatasan, dan rawan bencana), yang diperkuat dengan (3)

penyelenggaraan desentralisasi dan pemerintahan daerah, yang dilaksanakan melalui 12

prioritas bidang1. Perlu diketahui bahwa diantara 12 poin prioritas bidang tersebut, upaya

peningkatan daya saing desa menjadi salah satunya.

Salah satu upaya yang dilakukan pemerintah dalam meningkatkan daya saing perdesaan ini

bisa dilihat dari upaya menjadikan sektor pariwisata sebagai basis peningkatan potensi dan

kapasitas sumber daya lokal. Hal ini sebagaimana tertuang dalam rencana induknya terkait

pengembangan pariwisata nasional pemerintah telah yang diterbitkan dalam Peraturan

Pemerintah Nomor 50 tahun 2011 (yang direncanakan akan berlaku mulai 2010 hingga 2025

nanti) Pasal 28 (c) dan 29 (3-b).

Perlu diketahui disini, Kepariwisataan merupakan keseluruhan kegiatan yang terkait dengan

pariwisata dan bersifat multidimensi serta multi displin yang muncul sebagai wujud

kebutuhan setiap orang dan negara serta interaksi antara wisatawan dan masyarakat setempat,

sesama wisatawan, pemerintah, pemerintah daerah, dan para pengusaha (sebagaimana tercatat

dalam PP 50/ 2011).

1 Prioritas bidang tersebut meliputi: (1) Kebijakan pemetaan seluruh wilayah nasional dan penyediaan data serta informasi spasial untuk melindungi keutuhan wilayah NKRI dan memperkuat daya saing perekonomian nasional; (2) Kebijakan penyelenggaraan penataan ruang yang berkelanjutan; (3) Kebijakan Reforma Agraria sebagai pendekatan integral pengelolaan pertanahan; (4) Kebijakan pengembangan kota sebagai penggerak pertumbuhan nasional dan regional serta kota sebagai tempat itnggal yang nyaman, layak huni dan berkelanjutan; (5) Kebijakan peningkatan daya tarik desa dengan membangun ketahanan desa dan peningkatan daya saing desa; (6) Kebijakan membangun keterkaitan antara kota dan desa melalui pengembangan ekonomi lokal; (7) Kebijakan pengembangan kawasan strategis sebagai pusat-pusat pertumbuhan ekonomi nasional; (8) Kebijakan percepatan pembangunan kawasan tertinggal; (9) Kebijakan percepatan pembangunan kawasan perbatasan; Kebijakan peningkatan kesadaran, pengarusutamaan, penguatan kapasitas dalam pengurangan risiko bencana dan penggulangan bencana di kawasan rawan bencana; (11) Kebijakan penataan pembagian urusan Pemerintah-Pemerintah Daerah Provinsi maupun kabupaten/Kota; Kebijakan pengembangan kapasitas aparatur pemerintah daerah dan kemampuan pemerintah daerah dan kemampuan keuangan pemerintah daerah, dalam pelayanan publik dan peningkatan daya saing daerah.

Definisi ini diambil, salah satunya untuk memberikan dampak kesejahteraan dari masyarakat,

tak terkecuali dari masyarakat perdesaan. Maka dalam prosesnya ini, seluruh pihak

memegang peranan penting dalam rangka mewujudkan suksesnya pengembangan pariwisata

nasional, yang ditempuh dalam beberapa cara. Baik itu dalam hal menjadikan desa itu

destinasi wisata; meningkatkan kualitas pemasaran; upaya industrialisasi; serta manajemen

stakeholders yang terkait (PP 50/2011). Dengan demikian, pariwisata (dalam hal ini)

merupakan sebuah potensi yang digunakan untuk alasan peningkatan kesejahteraan, dengan

indikator berkurangnya kesenjangan anatara daerah kota dan desa.

Industri pariwisata nasional mengalami peningkatan yang menggembirakan dalam beberapa

tahun belakangan. Data Bank Dunia hingga 2010 lalu ada sekitar 7 juta wisatawan

mancanegara yang masuk ke Indonesia. Hal ini meningkat sebesar 10,74 dari tahun

sebelumnya, dengan total pemasukan mencapai. 7,618 miliar dolar AS atau setara dengan

4,36% dari total ekspor.

Dengan ekspektasi kondisi ekonomi global yang terus membaik (dengan kurs rata-rata Rp

9262,3 per USD), dan dengan asumsi pertumbuhan jumlah kedatangan wisatawan

mancanegara (wisman) sekitar 1-2% per tahun, diperkirakan jumlah turis asing yang akan

menjejeaki Indonesia pada 2025 mendatang akan mencapai 8,49 juta orang. Hal ini dengan

membawa sekitar 10.517 juta dolar US atau sekitar Rp 105,84 Trilun.

Gambar 1: Perkembangan Kunjungan Wisatawan Mancanegara (Wisman) 15 Tahun

Terakhir

0.0

10.0

20.0

30.0

40.0

50.0

60.0

70.0

80.0

90.0

100.0

4.0

4.5

5.0

5.5

6.0

6.5

7.0

7.5

19

95

19

96

19

97

19

98

19

99

20

00

20

01

20

02

20

03

20

04

20

05

20

06

20

07

20

08

20

09

20

10

Wisman (Juta Orang) Penerimaan (Rp Triliun)

Wis

man

(Ju

ta O

rg)

Pen

erimaan

(Rp

Triliun

)

Krisis 98

Bom Bali ITsunami & Bom Bali II

Bom JW Marriot

Sumber: World Bank; BPS; CEIC (diolah)

Hal ini tentu bukan perkara mudah. Selain hambatan internal, hambatan eksternal juga

mengancam pertumbuhan pariwisata lokal kita dalam konteks persaingan dengan negara lain.

World Economic Forum, dalam Laporan The Travel & Tourism Competitiveness Report

2013 yang diluncurkan baru-baru ini (2013) mencatat ada 14 pilar yang mendukung daya

saing dari pariwisata suatu negara. Hal itu meliputi: Regulasi; Keberlanjutan Lingkungan;

Keamanan dan Kenyamanan; Kesehatan dan Higienis; Keberpihakan/ Prioritas terhadap

Pariwisata; Infrastruktur Udara; Infrastruktur darat; Infrastruktur Pariwisata; Infrastruktur

Informasi (ICT); Harga yang kompetitif; Sumber daya manusia; Daya tarik untuk di

Kunjungi (penerimaan masyarakat dan negara); Sumberdaya Alam; dan Sumberdaya Budaya.

Dalam laporan tersebut Indonesia harus lebih bekerja keras untuk menaikan peringkatnya

dengan menduduki posisi 70 dari 140 negara. Sebenarnya peringkat ini sudah mengalami

kemajuan dibandingkan tahun 2011 yang ada di posisi 74, atau pada 2009 dengan peringkat

81. Namun posisi ini jauh dibawah Thailand yang bisa mencapai posisi 43 pada 2013 ini, atau

Malaysia yang berada di posisi 35, dan Singapura yang ada di posisi 10. Indonesia hanya

berada diatas Vietnam (peringkat 80), Filipina (peringkat 82), maupun kamboja (106).

Gambar 2: Indeks daya Saing Pariwisata Dunia Tahun 2013

Sumber: The Travel & Tourism Competitiveness Report 2013 (diolah)

Hal ini tentu perlu menjadi evaluasi dalam memonitor perkembangan pariwisata di Indonesia,

termasuk dalam menyukseskan desa sebagai komoditas pariwisata. Perlu diingat kembali dari

penjelasan desa wisata yang tertuang baik dari RPJMN maupun induk rencana

pengembangan pariwisata nasional, bahwa desa pariwisata bisa dikatakan sebagai alat

3.563.93 3.95 4.01 4.03

4.47 4.75.23

5.66

Cambodia Philippines Vietnam BDS Indonesia Thailand Malaysia Singapore Switzerland

pengembangan kapasitas perekonomian masyarakat desa, sehingga kesenjangan anatar desa

dengan kota bisa dikendalikan dan diminimalisir.

Perlu diketahui bahwa saat ini pembangunan ekonomi cenderung berpusat di daerah

perkotaan saja. Perkeonomian masyarakat desa yang saat ini didominasi oleh sektor pertanian

nampaknya tidak mampu mengimbangi perubahan gaya hidup dari masyarakat desa yang

dilihat dalam pola konsumsi masayarakatnya. Hal ini memberikan dampak, salah satunya,

pada masalah-masalah yang berimplikasi pada keberlangsungan kehidupan di perkotaan

perkotaan –dalam kaitannya dengan mobilisasi penduduk.

Hasil anallisis terhadap pola konsumsi masyarakat yang dilakukan pada tahun 2012 lalu,

yang dikutip dari buku profil pembanguan perdesaan 2012, diketahui bahwa porsi

pengeluaran non-makanan atas makanan menunjukkan trend yang semakin meningkat. Hal

ini bisa juga diartikan sebagai pergeseran pola konsumsi kepada pola yang sifatnya bergaya

urban (kota). Dimana orientasi masyarakat desa mulai memperhatikan aspek-aspek

kebutuhan yang sifatnya sekunder maupun tersier.Hal ini bisa dilihat dari rasio (porsi) antara

data pengeluaran masyarakat desa untuk tujuan makanan terhadap non-makanan. Hingga

tahun 2012 rasionya bahkan kembali turun sekitar mencapai 1,44. Hal ini berarti hanya ada

144 unit kebutuhan akan makanan, dari tiap 100 kebutuhan non makanan (Profil

Pembangunan Perdesaan 2012, Bappenas).

Gambar 3: Pola Konsumsi Dalam Masyarakat Tahun 2000-2011

Sumber: CEIC, dan BPS (diolah)

0.50

1.00

1.50

2.00

2.50

3.00

20

00

20

02

20

04

20

06

20

08

20

10

20

12

Rasio Pengeluaran Makanan Thd Non Makanan

Desa Kota

25.0

30.0

35.0

40.0

45.0

50.0

20

00

20

01

20

02

20

03

20

04

20

05

20

06

20

07

20

08

20

09

20

10

20

11

Rasio Pengeluaran Terhadap Upah per Kapita (%)

Desa Kota

%

“Kombinasi atas rendahnya produktivitas sektor pertanian dan meningkatnya kebutuhan non-

makanan, meskipun rasionya masih ada diatas daerah perkotaan, memberikan rasionalitas

warga desa untuk mendapatkan akses pekerjaan dan fasilitas penyedia kebutuhan hidup yang

lebih baik. Maka dari itulah mobilisasi baik secara geografis, maupun sektoral merupakan

sebuah keniscayaan bagi penduduk desa, selama ketimpangan antara keduanya tidak di

pecahkan” (Profil Pembangunan Perdesaan 2012, Bappenas).

“Akibatnya bisa dilihat dari terjadinya perubahan pola mobilisasi penduduk. Fenomena

migrasi ini bisa kita lihat dari jumlah pertumbuhan rata-rata penduduk desa yang belakangan

cenderung melambat. Angka sementara terkait jumlah penduduk desa hingga 2012 mencapai

121,09 juta jiwa, dengan pertumbuhan yang cenderung melambat dibandingkan tahun

sebelumnya sebesar 0,63%. Rasio jenis kelamin laki-laki terhadap perempuan di desa

mengalami peningkatan pada 2011 dibandingkan tahun sebelumnya menjadi 101,42. Angka

ini berarti terdapat sekitar 101 penduduk laki-laki dari tiap 100 penduduk perempuan. Hal ini

meningkat dibandingkan tahun 2010 yang rasionya sekitar 100” (Profil Pembangunan

Perdesaan 2012, Bappenas).

Dari sini, pengembangan pariwisata di tingkat perdesaan sebagai sebuah alternatif magnet

tenaga kerja perdesaan agar tidak melakukan mobilisasi menjadi liner dengan filosofi

pengembangan pariwisata di perdesaan sebagai alat menanggulangi kesenjangan ekonomi

pada perdesaan terdap kota- sebagaimana disebutkan diatas tadi.

B. Masalah & Maksud Penulisan

Masalah timbul ketika berbicara infrastruktur penunjang pertumbuhan pariwisata di

perdesaan tadi. Secara nasional saja, komponen Infrastruktur & Penunjang Bisnis dari indeks

daya saing pariwisata diatas masih menmpatkan Indonesia pada posisi 84 dari 140 negara.

Posisi ini masih kalah dibandingkan Brunei (57); Thailand (44); maupun Malaysia (41).

Setidaknya dari empat dari sub komponen dari indeks infrastruktur dan penunjang bisnis ini,

masih tergolong lemah. Hal itu baik dilihat dari infrastruktur trasnportasi Darat, Air, Udara,

maupun Informasi.

Gambar 4: Deskripsi Sub-Indeks Daya Saing Infrastruktur Dalam Indeks Daya Saing

Pariwisata Dunia Tahun 2013.

Sumber: The Travel & Tourism Competitiveness Report 2013 (diolah)

Atas dasar itulah dibutuhkan sebuah overview untuk menggambarkan progress pembangunan

infrastruktur penunjang pariwisata di perdesaan. Dan studi kali ini berusaha memperkaya

studi yang mengkaitkan antara pengembangan wisata perdesaan dan infrastruktur ini dalam

kasus Indonesia.

Poin penting tulisan ini akan menggambarkan secara singkat beberapa hal berikut:

1. Mengetahui karakteristik dan potensi wisata perdesaan Indonesia

2. Mengetahui kondisi eksisting infrastruktur perdesaan Indonesia

3. Dari kondisi diatas coba ditawarkan mekanisme pengembangan infrastruktur

perdesaan agar menunjang pariwisatanya.

C. Tinjauan Pustaka

Dalam Buku II RPJMN tentang Wilayah dan tata Ruang (Bab IX) ditulis “Pembangunan

nasional berdimensi kewilayahan bertujuan untuk mengurangi kesenjangan antarwilayah

terdiri dari beberapa unsur yang saling melengkapi satu sama lain, yang mencakup: data dan

informasi spasial, penataan ruang, pertanahan, perkotaan, perdesaan, ekonomi lokal dan

daerah, kawasan strategis, kawasan perbatasan, daerah tertinggal, kawasan rawan bencana,

0

1

2

3

4

5

6Air Transport

Ground Transport

TourismICT

Price

desentralisasi, hubungan pusat daerah, dan antar daerah serta tata kella kapasitas

pemerintahan daerah” (RPJMN Buku II Bab IX).

Permasalahan kesenjangan di tingkat perdesaan merupakan sebuah permasalahn yang penting

untuk di atasi. Hal ini tidak lain dikarenakan perdesaan merupakan organisasi terkecil dari

komponen kewilayahan yang diakui negara. Namun demikian, desa bukanlah sekedar unit

administratif, namun juga merupakan basis sumberdaya ekonomi (tanah, sawah, sungai,

ladang, kebun, hutan, dan sebagainya), basis komunitas yang memiliki keragaman nilai-nilai

lokal dan ikatan-ikatan sosial, ataupun basis kepemerintahan yang mengatur dan mengurus

sumberdaya dan komunitas tersebut (Sebagaimana dikutip dalam RPJMN Buku II Bab IX).

Upaya pengurangan kesenjangan antar wilayah, sebagaimana diamanahkan dari tujuan

Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2009-2014 dilaksanakan

melalui 3 (tiga) arah kebijakan dan strategi utama, yaitu (1) pelaksanaan pengendalian dan

pelaksanaan penataan ruang, (2) koordinasi dan integrasi pembangunan wilayah, baik dalam

lingkup perkotaan dan perdesaan, maupun dalam lingkup kawasan-kawasan prioritas

(kawasan strategis, tertinggal, perbatasan, dan rawan bencana), yang diperkuat dengan (3)

penyelenggaraan desentralisasi dan pemerintahan daerah, yang dilaksanakan melalui 12

prioritas bidang. Perlu diketahui bahwa diantara 12 poin prioritas bidang yang disebutkan,

upaya peningkatan daya saing desa. Salah satu upaya yang dilakukan pemerintah dalam

meningkatkan daya saing perdesaan ini bisa dilihat dari upaya menjadikan sektor pariwisata

sebagai basis peningkatan potensi dan kapasitas sumber daya lokal. Hal ini sebagaimana

tertuang dalam rencana induknya terkait pengembangan pariwisata nasional pemerintah telah

yang diterbitkan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 50 tahun 2011 (yang direncanakan akan

berlaku mulai 2010 hingga 2025 nanti) Pasal 28 (c) dan 29 (3-b).

Perlu diketahui disini, Kepariwisataan merupakan seluruh kegiatan, yang sifatnya multi-

dimensi serta multi displin, yang muncul sebagai wujud kebutuhan setiap orang dan negara

serta interaksi antara wisatawan dan masyarakat setempat, sesama wisatawan, pemerintah,

pemerintah daerah, dan para pengusaha (sebagaimana tercatat dalam PP 50/ 2011). Luasnya

cakupan pariwisata ini, dalam konteks perdesaan yang sektor yang mendominasi adalah

pertanian, bahkan juga bisa diintegrasikan didalamnya menjadi agrowisata.

Definisi ini diambil, salah satunya, untuk memberikan dampak kesejahteraan dari

masyarakat, tak terkecuali dari masyarakat perdesaan. Dimana dalam skala regional, arah

pembangunan ini mengikuti filosofi pembangunan desa yang tertuang dalam 7 poin fokus

prioritas pembangunan perdesaan2. Maka dalam prosesnya ini, seluruh pihak memegang

peranan penting dalam rangka mewujudkan suksesnya pengembangan pariwisata nasional,

yang ditempuh dalam beberapa cara. Baik itu dalam hal menjadikan desa itu destinasi wisata;

meningkatkan kualitas pemasaran; upaya industrialisasi; serta manajemen stakeholders yang

terkait (PP 50/2011). Dengan demikian, pariwisata (dalam hal ini) merupakan sebuah potensi

(tools/alat) yang digunakan untuk alasan peningkatan kesejahteraan, sekaligus alat untuk

mengurangi kesenjangan antara desa dengan kota. Baik itu dalam membentuk desa wisata,

desa berbasis industri kreatif, di bidang pariwisata, maupun desa pendukung usaha pariwisata

(sebagaimana menjadi catatan dalam Buku II RPJMN 2010-2014 Bab IX).

Menurut PP No 50 tahun 2011 desa wisata ini sebenarnya merupakan sebuah strategi untuk

mengembangkan sumber daya lokal yang dimiliki desa yang bersangkutan. Desa ini masuk

dalam target intervensi dengan alat PNPM Mandiri pariwisata. Dimana pada 2013 ini

direncanakan akan menyentuh 596 desa, yang tersebar di 33 Provinsi (sebagaimana tertuang

dalam RKP 2013). Pemanfaatan sumber daya lokal ini sekaligus untuk menangkap peluang

baru atas sumberdaya inti yang sudah ada sebelumnya.

Upaya pengembangan/Development dalam pariwisata tak bisa dipisahkan dari pembangunan

infrastruktur. Hal ini bisa dilihat dari bila kita melihat pengembangan pariwisata melalui

pendektan Daur Hidup (Life Cycle Model). Butler, seperti digunakan Andriotis (2000) dalam

thesisnya, bahkan menjelaskan secara tekstual bahwa fase pengembangan pariwisata ditandai

dengan pembangunan infrastruktur pariwisata (fasilitas, jasa, dan akomodasi), dan munculnya

pasar, yang merupakan konsekuensi langsung atas promosi pada para turis yang dilakukan

juga secara luas. Sementara itu, Butler (2011) dalam reviewnya menyebutkan faktor ini yang

2 7 fokus prioritas pembangunan perdesaan meliputi: (1) Menguatkan kapasitas dan peran desa dan tata kelola kepemerintahan desa yang baik; (2) Meningkatkan kualitas dasar sumberdaya manusia perdesaan; (3) Meningkatkan keberdayaan masyarakat perdesaan; (4) Meningkatkan ekonomi ekonomi perdesaan; (5) Meningkatkan kualitas dan ketersediaan sarana dan prasarana; (6) Meningkatkan ketahanan pangan masyarkat perdesaan; dan (7) Meningkatkan pemanfaatan dan pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan hidup yang seimbang, berkelanjutan, berwawasan mitigasi bencana.

kemudian menjadikan laju evolusi pariwisata pada fase setelah berkembang (develop)

menjadi lebih cepat stagnan, atau bahkan mengalami anti klimaks.

Gambar 5: Hipotesa Evolusi Kawasan Pariwisata

Sumber: Butler (1980) dalam Andriotis (2000)

Sayangnya (lanjut Androitis, 2000), pengembangan pariwisata hal ini biasanya

berkonsekuensi atas hilangnya kontrol warga lokal atas perekonomian dan digantikan oleh

dominasi pemodal dari luar. Disini terjadi trade-off antara kepentingan masyarakat umum dan

kepentingan komersial pengusaha. Lebih lanjut Andriotis juga menjelaskan bahwa

pembangunan infrastruktur bisa juga termasuk dalam bagian dampak negatif dari

pengembangan parowosata tadi. Gambar dibawah menunjukkan bagaimana pengembangan

dari pindustri melalui pembangunan infrastruktur berdampak pada terganggunya lingkungan,

ekonomi, maupun kehidupan sosial warga.

Gambar 6: Dampak Pengembangan Industri Pariwisata

Sumber: Adriotis (2000)

Andriotis mengakui bahwa apapun pendekatan dalam mengembangkan pariwisata memiliki

kekurangan. Namun demikian, ia berkesimpulan bahwa pembangunan pariwisata hendaknya

memiliki paradigma memperkecil dampak negatif dari pengembangan pariwisata itu sendiri.

Maka disini, kepahaman seorang palnner akan damapk yang mungkin ditimbulkan atas upaya

mengembangkan pariwisata. (Andriotis, 2000).

D. Hasil dan Pembahasan

Kondisi Eksisting Pariwisata Indonesia

Indonesia perlu bersyukur dalam hal bekal pariwisata. Data dari World Heritage milik PBB

mencatat bahwa di Indonesia pada 2012 lalu Indonesia terdaftar memiliki 8 situs warisan

dunia. Kedelapan situs tersebut baik berupa situs kultural (bentukan manusia); maupun

Alamiah. Situs tersebut meliputi: Candi Borobudur; Taman Nasional Komodo; candi

Prambanan; Taman Nasional Ujung Kulon; Situs Manusia Purba Sangiran; Taman nasional

Lorentz; Landscape persawahan Subak di Bali; dan Hutan Hujan Tropis sumatera. Meskipun

Hutan hujan tropis di Sumatera juga termasuk dalam daftar warisan yang terancam

eksistensinya karena kerusakan hutan. Hal ini belum termasuk dalam daftar objek-objek lain

yang masih menunggu konfirmasi, ataupun pernah tercatat sebagai situs warisan dunia di

PBB tersebut (lihat lampiran 1). Hal ini belum termasuk dalam objek wisata unik lainnya

yang tersebar dalam berbagai lokasi di Indonesia baik yang sudah teridentifikasi maupun

belum. Maka dari itulah, ketika berbicara tentang objek, maka Indonesia bisa dikatakan tidak

kekurangan akan hal tesebut.

Gambar 7: Keberadaan Situs-situs yang diakui UNWTO

Sumber: http://whc.unesco.org/en/statesparties/id

Terkait regulasi, data dari UNWTO, salah satu cabang PBB dibidang Pariwisata sebagaimana

dikutip dari Laporan The Travel & Tourism Competitiveness Report 2013, untuk tahun 2012

mencatat indeks kemudahan mendapatkan visa untuk berkunjung ke Indonesia masih

tergolong rendah. Padahal banyak negara tetangga sesama Asia Tenggara, germasuk

Kamboja, sudah memiliki angka indeks diatas 100.

2 2

1

2

1 1 1

2

0 0 0

1

5

3

2

1

3

0

2

1

0 0

1

2

0

3

1

0 0

2

0

1 1

AC

EH

SUM

UT

SUM

BA

R

JAM

BI

SUM

SEL

BEN

GK

ULU

LAM

PU

NG

RIA

U

BA

BEL

KEP

RI

DK

I

JAB

AR

JATE

NG

JOG

JA

JATI

M

BA

NTE

N

BA

LI

NTB

NTT

KA

LBA

R

KA

LTEN

G

KA

LSEL

KA

LTIM

SULU

T

SULT

ENG

SULS

EL

SULT

RA

GO

RO

NTA

LO

SULB

AR

MA

LUK

U

MA

LUT

IRJA

BA

R

PA

PU

A

Gambar 8: Sub-Sub-IndeksKemudahan Administrasi Memasuki Wilayah dalam Indeks

Daya Saing Pariwisata Tahun 2013

Sumber: The Travel & Tourism Competitiveness Report 2013 (diolah)

Rendahnya indeks ini bisa diterjemahkan dalam dua sisi. Yakni terkait sisi keamanan, dan

terkait sisi perolehan pasar. Perlu diketahui bahwa Indonesia adalah negara yang terbuka bagi

siapapun selama mengikuti regulasi ketika masuk kedalam negara. Regulasi ini terkait untuk

menjaga keamanan dan kedaulatan negara, terutama yang berasal dari luar. Sementara itu

kebebasan untuk memasuki wilayah Indonesia juga dimanfaatkan sebagai fasilitas pariwisata.

Maka dengan demikian pertimbangan pengembangan pariwisata kita, dihadapkan dalam dua

kutub kepentingan. Dimana meningkatkan kualitas salah satu dari dua hal diatas (keamanan

dan pariwisata) berpegaruh kepada penurunan kualitas pada sisi yang lain. Oleh karena itu

mencari jalan tengah merupakan solusi dari hal tersebut yang disesuaikan dengan tujuan-

tujuan nasional, tanpa melupakan aspek efisiensi dan efektifitas dalam implementasinya.

Dari sisi intervensi pemerintah (dalam tataran regional) besarnya keberpihakan terhadap

sektor pariwisata dan budaya bisa dilihat dari besarnya alokasi anggaran yang diberikan

untuk sektor ini baik itu dari pemerintah daerah tingkat 1 maupun daerah tingkat 2. Secara

keseluruhan (nasional) dalam lima tahun terakhir alokasi untuk sektor pariwisata hanya

menempati porsi sekitar 0,66% dari total anggaran daerah (terakhir pada 2012 hanya 0,69%).

55.5 60.169.0 71.0

102.1

140.3151.0

161.0 163.0

Gambar 9: Akumulasi Alokasi dan Pertumbuhan Anggaran Pemerintah Provinsi dan

Kabupaten/Kota Untuk Keperluan Pariwisata (%)

Sumber: DJPK Kemenkeu (diolah)

Dilihat dari dinamikanya, proses politik nampaknya ikut berpengaruh terhadap besaran

alokasi anggaran fungsi pariwisata ini. Hal ini bisa dilihat dari pola pertumbuhan dari

anggaran tersebut terutama antara tahun 2008 hingga 2009. Pada rentang tahun tersebut,

secara umum, alokasi anggaran lebih banyak dititik beratkan pada program-program

kesejahteraan yang bersentuhan langsung dengan masyarakat. Hal ini bisa dilihat dari deviasi

proporsi anggran pada tahun 2009 terhadap 2008. Diketahui anggran yang meningkat pada

saat itu dialokasikan pada fungsi-fungsi ketertiban &keamanan (meningkat 0.06%);

perlindungan sosial (0,15%); kesehatan (0,43%); dan pendidikan (2,51%). Hal ini kemudian

berdampak pada alokasi pariwisata yang dampaknya dirasakan tidak langsung, karena

melalui proses investasi terlebih dahulu. Meskipun demikian pada tahun-tahun berikutnya

anggaran pariwisata ini terus mengalami peningkatan (lihat Lampiran 2).

Provinsi yang paling konsern mengalokasikan anggaran pariwisatanya adalah Provinsi Bali

(sekitar 2,4%) dengan total anggaran sebesar 88,34 Miliar. Sementara itu DKI Jakarta

menempati urutan ke 4 terbesar dalam proporsi alokasi anggaran Pariwisatanya. Meski

demikian provinsi ini memiliki jumlah alokasi paling dominan nilainya sebesar Rp 621,92

Miliar. Dalam Tingkat Kabupaten kota, jumlah proporsi alokasi anggaran terbesar di tempati

Kabupaten lingga (Prov Kepulauan Riau) sebesar 3,01% dari total APBD tahun 2012. Diikuti

oleh kabupaten Limapuluhkota (2,85%); Kota Bukit Tinggi (2,74%); dan Kabupaten Raja

0.65

0.69

0.61

0.64

0.65

0.69

-20.00

0.00

20.00

40.00

60.00

80.00

100.00

120.00

140.00

0.60

0.61

0.62

0.63

0.64

0.65

0.66

0.67

0.68

0.69

0.70

2007 2008 2009 2010 2011 2012

Proporsi (%) Pertumbuhan (%)

Pro

po

rsi (

%)

Pertu

mb

uh

an (%

)

Transisi Kabinet

Ampat (2,55%). Diketahui pula bahwa masih terdapat 40 Kabupaten dan 4 kota yang belum

memiliki fungsi anggaran untuk kepentingan Pariwisata dan Budaya.

Gambar 10: Proporsi Alokasi Anggaran Pemerintah per Provinsi dan per

Kabupaten/Kota Untuk Keperluan Pariwisata Terhadap Total APBD Masing-Masing

Tahun 2012

Sumber: DJPK Kemenkeu (diolah)

Dua kasus yang menarik dilihat disini adalah Bali dan DKI Jakarta. Bali sebagaimana kita

ketahui adalah sebuah ikon Indonesia yang mendunia akan objek-objek wisata pantai, dan

kebudayaan (culture) yang eksotik.

1.01.1

1.21.3

1.5 1.5

1.8

2.12.3

2.4

Sula

wes

i Te

nga

h

Kal

iman

tan

Bar

at

Mal

uku

Ke

pu

lau

an R

iau

Sum

ater

a B

arat

Sula

wes

i Uta

ra

DK

I Jak

arta

Mal

uku

Uta

ra

DI J

ogj

akar

ta

Bal

i

1.97 1.98 2.03 2.04 2.042.18

2.552.74

2.853.01

Ko

ta B

atam

Kab

. Bad

un

g

Ko

ta T

om

oh

on

Ko

ta S

awah

lun

to

Ko

ta D

en

pas

ar

Ko

ta T

anju

ng

Pin

ang

Kab

. Raj

a A

mp

at

Ko

ta B

uki

t Ti

ngg

i

Kab

. Lim

a P

ulu

h K

ota

Kab

. Lin

gga

Yang menarik dalam besarnya alokasi anggaran di Jakarta adalah terkait objek dari pariwisata

yang ditawarkan. Meski ia berada di pusat kota, Jakarta nampaknya mampu memberikan

sebuah alternatif wisata yang tidak berbasis alam (natural grant), akan tetapi wisata yang

sifatnya cultural (buatan manusia). Hal yang mencolok dari wisata ini adalah jenis wisata

perdagangan. Bangunan megah dan mal-mal besar yang ada di Ibukota Indonesia ini

menjadikan sebuah objek menarik dari wisatawan mancanegara. Puluhan mal-mal megah,

dan pusat grosir dan

Permintaan Wisman akan Pariwisata di Indonesia

Dari segi jumlah, selama 2011 kedatangan turis asing ke Indonesia masih berasal dari negara-

negara serumpun yang tergabung dalam ASEAN sebanyak 3,13 juta Warga Negara Asing

(WNA). Hal ini diikuti oleh Asia (1,93 juta) dan paling kecil adalah Afrika (0,032 juta jiwa)

Gambar 11: Jumlah Kedatangan WNA pada tahun 2011 Berdasarkan Daerah Asal

(Ribu Jiwa)

Sumber: BPS (diolah)

Data BPS Tahun 2011 menunjukkan bahwa total uang dibelanjakan para turis asing tersebut

mencapai 8.554 juta USD. Dimana turis paling loyal berasal dari Australia (1502 juta USD),

diikuti Singapura (1054 juta USD) dan Malaysia (931 juta USD).

32163

293

9921,111

1,926

3,132

Africa Middle East America Oceania Europe Asia (ExclAsean)

ASEAN

Rib

uJi

wa

Gambar 12: Rata-rata Pengeluaran Wisman menurut kewarganegaraan

Sumber: BPS (diolah)

Menurut jenis pengeluarannya, akomodasi menempati posisi paling atas sebesar 3764 juta

USD atau sebesar 44% dari total pengeluaran agregat. Hal ini diikuti untuk keperluan

makanan & minuman sebesar 19%, souvenir 9%, dan belanja lain 8%. Tingginya biaya

akomodasi ini bisa menjadi bisa disebabkan oleh dua hal.

Gambar 13: Jenis Pengeluaran dari para Wisman Tahun 2011 (USD Juta)

Sumber: BPS (diolah)

0.0

200.0

400.0

600.0

800.0

1000.0

1200.0

1400.0

1600.0

Cen

tral

Am

eri

caP

akis

tan

Egyp

tSr

i Lan

kaB

angl

ades

hFi

nla

nd

Au

stri

aN

orw

ayD

enm

ark

Bel

giu

mB

run

ei D

aru

ssal

amSo

uth

Am

eri

caSw

eden

Ne

w Z

eal

and

Swit

zerl

and

Ital

yC

anad

aH

on

g K

on

gTh

aila

nd

Ind

iaP

hili

pp

ine

sC

.S.I

/U.S

.S.R

Taiw

anSa

ud

i Ara

bia

Fran

ceG

erm

any

Ne

the

rlan

ds

Un

ited

Kin

gdo

mSo

uth

Ko

rea

USA

Jap

anC

hin

aO

the

r C

ou

ntr

ies

Mal

aysi

aSi

nga

po

reA

ust

ralia

Juta

U

SD

Pendidikan0%

Jasa Pemandu0% Lainnya

1%

Penerbangan domestik

2%

Paket Tur Lokal

2%

Kesehatan & Kecantikan

3%

Pemandangan3%

Hiburan3%

Transport Lokal6%

Belanja8%

Souvenir9%

Makanan & Minuman

19%

Akomodasi44%

Kondisi Infrastruktur di Perdesaan

Indonesia memiliki ribuan pulau yang tersebar dalam 33 provinsi (dan baru-baru ini disahkan

DPR untuk 34 Provinsi) yang masing-masingnya memiliki kondisi geografi yang unuk.

Selain menyimpan potensi wisata didalamnya tantangan yang harus ditempuh untuk bisa

menikmati hal tersebut adalah kemudahan transportasi untuk menuju lokasi pariwisata yang

dimaksud.

Pada 2010, secara umum jumlah bandara di Indonesia mencapai 514 buah. Hal ini

menyesuaikan dengan kondisi dari kontur geografis wilayah masing-masing provinsi

tersebut. Gorontalo dan Sulawesi Barat masing-masing hanya memiliki 1 bandara. Sementara

Papua yang kondisi geografisnya berbukit memiliki jumlah bandara terbanyak.

Tabel 1: Data Jumlah Bandara per Provinsi Tahun 2010

Provinsi Jumlah Bandara Provinsi Jumlah Bandara

NAD 14 Bali 2

Sumatera Utara 10 Nusa Tenggara Barat 5

Sumatera Barat 5 Nusa Tenggara Timur 15

Riau 7 Kalimantan Barat 52

Jambi 3 Kalimantan Tengah 14

Sumatera Selatan 5 Kalimantan Timur 46

Bengkulu 2 Sulawesi Utara 5

Lampung 5 Sulawesi Tengah 8

Kep Bangka Belitung 2 Sulawesi Selatan 8

Kep Riau 7 Sulawesi Tenggara 5

DKI Jakarta 1 Gorontalo 1

Jawa Barat 13 Sulawesi Barat 1

Jawa Tengah 5 Maluku 12

DI Yogyakarta 2 Maluku Utara 11

Jawa Timur 7 Papua Barat 36

Banten 3 Papua 202

Sumber: Angkasa Pura dalam Bappenas (diolah)

Dalam skup wilayah desa, kondisi geografis yang sangat beragam menuntut masyarakat di

dalamnya untuk menyesuaikan diri dalam menggunakan moda transportasi sesuai dengan

kondisi dimana mereka tinggal. Namun demikian modal transportasi darat mendominasi

desa-desa di seluruh Indonesia. Gambar 14 menunjukkan bahwa, Persentase Jumlah Desa

dengan moda transportasi darat di desa lebih rendah dibandingkan kota. Meski demikian

jumlahnya –baik di desa maupun kota- pada 2010 ini lebih meningkat dibandingkan 2008.

Tercatat ada sekitar 89,24% unit desa dari total keseluruhan pada 2010 ini, meningkat

dibandingkan 2008 yang hanya berjumlah 87,305 pada 2008. sedangkan di kota pada 2010

lalu mencapai 95,23% dari total kota keseluruhan, meningkat dibandingkan 2008 yang hanya

93,83%.

Gambar 14: Persentase Jumlah Desa/Kota Berdasarkan Moda Transportasinya Tahun

2003-2010 (%)

Sumber: Podes 2003-2011 dalam Buku

Profil Pembangunan Perdesaan 2012 (diolah)

2003 2005 2008 2010

Desa 93.22 88.76 87.30 89.25

Kota 97.97 85.68 93.83 95.24

84.00

86.00

88.00

90.00

92.00

94.00

96.00

98.00

100.00

%

Darat

2003 2005 2008 2010

Desa 6.78 3.80 3.12 3.00

Kota 2.03 4.33 0.52 0.59

0.00

2.00

4.00

6.00

8.00

%

Air

2005 2008 2010

Desa 7.44 9.58 7.75

Kota 9.99 5.65 4.17

4.005.006.007.008.009.00

10.0011.00

%

Darat&Air

Sementara itu proporsi jumlah desa dengan moda transportasi air, masih lebih tinggi dari

kota. Tercatat jumlah desa dengan moda transportasi air pada 2010 jumlahnya mencapai

2,99%. Turun tipis dibandingkan 2008 yang mencapai 3,12% pada 2008. Sedangkan jumlah

kota dengan moda transportasi air jumlahnya relatif stabil antara 2008 dengan 2010, dengan

angka sekitar 0,6%. Sementara itu jumlah desa dengan moda transportasi campuran,

proporsinya juga lebih tinggi dibandingkan desa. Tercatat pada 2010 jumlahnya sekitar

7,75%. Atau turun dibandingkan 2008 dengan jumlah sekitar 9,57% dari jumlah desa total.

Sedangkan kota pada 2010 jumlahnya mencapai 4,17%, atau turun dari 2008 yang mencapai

5,65%.

Dari data Desa/Kota pengguna moda darat diatas, dapat pula dilihat angka desa/kelurahan

berdasarkan kemampuan jalannya untuk dilalui kendaran roda 4. Pada 2010 tercatat jumlah

desa pemilik moda jalan darat yang mampu dilalui kendaran roda 4 mencapai angka 87,23%.

relativ sama dibandingkan 2008. Sementara itu di kota pada 2010 jumlahnya mencapai

98,49%. Juga relativ sama dibandingkan 2008. Akses Jalan Didesa masih terkendala

kualitasnya. Data Podes menunjukkan tahun 2010 jalan tanah masih menutupi 13.6% total

jalan desa

Gambar 15: Persentase Jumlah Desa Dengan Moda Jalan Darat Berdasarkan

Kemampuannya Untuk Dilalui Kendaran Roda 4 Tahun 2003-2010. Dan Jenis

Permukaan Jalan Tahun 2010 (%)

Sumber: Podes 2003-2011 dalam Buku Profil Pembangunan Perdesaan 2012 (diolah)

2003 2005 2008 2010

Desa 89.55 88.88 87.46 87.23

Kota 98.34 88.02 98.56 98.49

86.00

88.00

90.00

92.00

94.00

96.00

98.00

100.00

%

Pengguna Jalan Darat

94.14

4.36 1.34 0.16

61.45

24.3913.60

0.57

Aspal-Beton Kerikil Tanah Lainnya

Persentase Jumlah Kota-Desa Berdasarkan Jenis Permukaan Jalan

yang Dimiliki Tahun 2010

Kota Desa

Untuk melihat perkembangannya, Berdasarkan jenis lapisannya -secara proporsi, Jumlah

Kota yang jalannya sudah beraspal masih lebih tinggi dibandingkan desa. Desa yang

jalannya sudah beraspal/beton pada 2010 mencapai 61,44%, meningkat dibandingkan tahun

2008 yang hanya sebesar 55,8% dari total desa. Sementara itu jumlah kota yang masyoritas

jalannya beraspal mencapai 94,14%. Angka ini meningkat dibandingkan tahun 2008 sebesar

92,75% dari jumlah total kota. Sedangkan menurut jalan yang telah dikeraskan/ hanya diberi

kerikil jumlah proporsi desa lebih unggul dari kota. tercatat jumlah desa pada 2010 menurut

kategori ini mencapai 24,38%, sedikit turun dibandingkan 2008 sebesar 26,38%. Sedangkan

jumlah kota menurut kategori ini pada 2010 hanya mencapai 4,3% dari total kota yang ada.

Angka ini sedikit turun dibandingkan tahun 2008 yang sebesar 5,15%.

Gambar 16: Persentase Jumlah Desa Dengan Moda Transportasi Darat Berdasarkan

Jenis Permukaannya Tahun 2003-2010 (%)

Sumber: Podes 2003-2011 dalam Buku Profil Pembangunan Perdesaan 2012 (diolah)

2003 2005 2008 2010

Desa 52.21 58.17 55.80 61.45

Kota 86.08 56.81 92.75 94.14

50.00

60.00

70.00

80.00

90.00

100.00

%

Aspal

2003 2005 2008 2010

Desa 31.67 25.68 26.38 24.39

Kota 9.92 25.45 5.16 4.36

0.00

5.00

10.00

15.00

20.00

25.00

30.00

35.00

%

Diperkeras

2003 2005 2008 2010

Desa 15.65 15.67 17.34 13.60

Kota 3.83 16.70 1.97 1.34

0.00

5.00

10.00

15.00

20.00

%

Tanah

2003 2005 2008 2010

Desa 0.47 0.48 0.48 0.57

Kota 0.17 1.04 0.11 0.16

0.00

0.20

0.40

0.60

0.80

1.00

1.20

%

Lainnya

Untuk kategori Jalan yang masih berbentuk tanah, Desa juga lebih tinggi proporsi jumlahnya

dibandingkan kota. Jumlah desa berjalan tanah hingga 2010 mencapai 13,59% dari jumlah

desa total, atau lebih rendah dibandingkan 2008 sebesar 17,34%. Sementara itu jumlah Kota

berjalan tanah hingga 2010 mencapai 1,34% dari jumlah kota total, turun dibandingkan 2008

sebesar 1,97%.

E. Analisa dan Kesimpulan

Dari paparan diatas diketahui bahwa Indonesia dianugerahi oleh kondisi alam dengan potensi

pariwisata yang melimpah. Bila dimanfaatkan dengan baik, dampak peningkatan

kesejahteraan bagi rakyat tentu akan meningkat. Terutama ketika kita bewrbicara dalam sisi

wilayah perdesaan.

Hal yang harus kembali diperhatikan dalam pengembangan pariwisata ini adalah dengan

memperkecil dampak negatif atas pembangunan itu sendiri, baik dari sisi Sosial, Ekonomi

(gap), maupun lingkungan. Menurut Andriotis (2000) pembangunan infrastruktur juga paling

bertanggung jawab terhadap terganggunya keseimbangan alam. Hal ini menjadi lebih parah

ketika akses terhadap infrastruktur tadi tidak bisa dinikmati oleh warga lokal.

Di perdesaan yang cenderung homogen masalah sosial memang masih belum nampak.

Namun, pembangunan infrastruktur bisa menjadi bumerang dengan meningkatkan gap-

sosial/ekonomi ketika tidak dilakukan dengan manajemen yang baik. Tingginya konflik di

perkotaan nampaknya bisa dijadikan proxy ketika kondisi sosial yang makin kompleks

memicu terjadinya konflik antar individu maupun kelompok massa. Hal ini mengingat

potensi konflik disana masih cenderung tinggi (lihat Gambar 17).

Untuk mencapai sasaran dalam rangka meningkatkan pelayanan sarana dan prasarana

transportasi sesuai dengan Standar Pelayanan Minimal (SPM), maka prioritas arah kebijakan

dan strategi yang menjadi mainstream adalah meningkatkan keselamatan dan kualitas

pelayanan transportasi secara komprehensif dan terpadu dari berbagai aspek (pencegahan,

pemenuhan kelengkapan navigasi pelayaran dan udara, rambu-rambu lalu lintas, sistem

persinyalan kereta api, pembinaan dan penegakan hukum, penanganan dampak kecelakaan

dan daerah rawan kecelakaan, sistem informasi kecelakaan lalu lintas, kelaikan sarana dan

prasarana transportasi, serta pengguna transportasi) (RPJMN 2010-2014).

Gambar 17: Kondisi Kasus Konflik di Perkotaan dan Perdesaan Tahun 2008-2011

Sumber: Podes 2008-2011 (diolah)

Selain itu peningkatan pelayanan transportasi minimal yang memadai dan merata juga

menjadi prioritas guna mewujudkan sistem logistik nasional yang menjamin distribusi bahan

pokok, bahan strategis dan nonstrategis untuk seluruh masyarakat melalui penyediaan

pelayanan angkutan (termasuk angkutan perintis) dari dan menuju di daerah perdesaan.

Pengembangan sarana dan prasarana transportasi perdesaan diprioritaskan untuk memperkuat

Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM), sehingga target area diarahkan pada

pusat-pusat pertumbuhan (Kawasan Khusus, KAPET, Kawasan Kerjasama Antar Daerah, dll)

(RPJMN 2010-2014).

0

200

400

600

800

1000

1200

1400

1600

1800

Ke

lura

han

-2

00

8

Ke

lura

han

-2

01

1

De

sa-2

00

8

De

sa-2

01

1

perkelahian antar kelompokwarga

perkelahian warga antardesa/keluarahan

perkelahian warga denganaparat keamanan

perkelahian warga denganaparat pemerintah

perkelahian antarpelajar/mahasiswa

perkelahian antar suku

lainnya

Daftar Pustaka

Andriotis, Konstantinos (2000). Thesis: Local Community Perceptions of Tourism as a

Development Tool: The Island of Crete. Bournemouth University.

Bappenas (2013), Profil Pembangunan Perdesaan 2012. Jakarta, Bappenas

BAPPENAS (2012), Rencana Kerja Pemerintah (RKP) tahun 2013, Jakarta, BAPPENAS.

BAPPENAS. (2010), Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional 2010-2014: Buku I

& Buku II, Jakarta, BAPPENAS.

Blanke, Jennifer et al (2012). The Travel & Tourism Competitiveness Report 2013: Reducing

Barriers to Economic Growth and Job Creation. Geneve, World Economic

Forum.

Butler, RW. (2011), “Tourism Area Life Cycle”, Contermporary Tourism Reviews (CTR)

Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 50 Tahun 2011 tentang Rencana Induk

Pembangunan Kepariwisataan Nasional Tahun 2010-2025, Republik Indonesia.

Sumber Data Utama

BPS: PODES (Series); SUSENAS (Series)

http://whc.unesco.org/en/statesparties/id

Lampiran 1: Daftar Situs Warisan Dunia yang diakui dan Pernah diakui, serta, secara

Tentatif Diakui oleh PBB

Provinsi

Warisan Dunia

2013 Pernah Tercatat Tentatif

Nanggroe

Aceh

Darussalam

Tropical

Rainforest

Heritage of

Sumatra

Gunongan Historical Park (1995)

Sumatera

Utara

Bawomataluo Site (2009)

Sumatera

Barat

J a m b i

Muarajambi Temple Compound (2009)

Sumatera

Selatan

Bengkulu

Lampung

R i a u

Pulau Penyengat Palace Complex

(1995); Muara Takus Compound Site

(2009)

Bangka

Belitung

Kepulauan

Riau

DKI

Jakarta

Jawa Barat Ujung Kulon National Park

Jawa

Tengah

Prambanan

Temple

Compounds;

Sangiran Early

Man Site

Prambanan Temple

Compounds (1991);

Sangiran Early Man

Site (1996)

Great Mosque of Demak (1995); Sukuh

Hindu Temple (1995)

DI

Yogyakarta

Borobudur

Temple

Borobudur Temple

Compounds (1991)

Yogyakarta Palace Complex (1995);

Ratu Boko Temple Complex (1995)

Compounds

Jawa

Timur

Penataran Hindu Temple Complex

(1995); Trowulan - Former Capital City

of Majapahit Kingdom (2009)

Banten

Banten Ancient City (1995)

B a l i

Landscape of

Subak System

Landscape of Subak

System (2012) Besakih (1995); Elephant Cave (1995)

Nusa

Tenggara

Barat

Nusa

Tenggara

Timur

Komodo

National Park

Ngada traditional house and megalithic

complex (1995)

Kalimantan

Barat

Betung Kerihun National Park

(Transborder Rainforest Heritage of

Borneo) (2004)

Kalimantan

Tengah

Kalimantan

Selatan

Kalimantan

Timur

Derawan Islands (2005)

Sulawesi

Utara

Waruga Burial Complex (1995);

Bunaken National Park (2005)

Sulawesi

Tengah

Sulawesi

Selatan

Tana Toraja Traditional Settlement

(2009); Taka Bonerate National Park

(2005); Prehistoric Cave Sites in Maros-

Pangkep (2009)

Sulawesi

Tenggara

Wakatobi National Park (2005)

Gorontalo

Sulawesi

Barat

Maluku

Belgica Fort (1995); Banda Islands

(2005)

Maluku

Utara

Irian Jaya

Barat

Raja Ampat Islands (2005)

Papua

Lorentz National

Park

Sumber: http://whc.unesco.org/en/statesparties/id

Lampiran 2: Deviasi Proporsi Alokasi Anggaran Daerah Berdasarkan Fungsi Antar

Tahun 2008-2012

Pel

Umum Tib&Kam Ekonomi

Ling

Hdp

Perumahan

& Fasum Kesehatan Budpar Pendidikan

Lin

Sos

2008 2.95 (0.03) 0.04 0.28 0.59 (0.18) 0.04 (3.68) (0.02)

2009 (1.88) 0.06 (0.06) (0.07) (1.07) 0.43 (0.07) 2.51 0.15

2010 1.62 (0.01) 0.01 0.05 (2.58) 0.37 0.02 0.52 (0.01)

2011 (2.77) (0.05) (0.19) (0.23) (1.12) 0.25 0.01 4.06 0.03

2012 0.68 (0.00) 0.41 0.19 0.85 (0.06) 0.04 (2.18) 0.09

Sumber: DJPK Kemenkeu (diolah)