liturgi fundamental old.docx

24
LITURGI FUNDAMENTAL 1 Dosen : Rm Agus Lie CDD --------------------------------------------------------------------- PENGERTIAN 1. ARTI ASLI/PERTAMA Leitourgia: leitos (leos=laos=penduduk) + ergo (bekerja) Leitourgos = orang yang menjalankan kewajiban orang banyak/publik/bangsa. Leitourgeo = menjalankan tugas Leitourgema = pertunjukan Leitourgia = pelayanan publik Di Atena , leitourgia = kerja bakti, iuran/sumbangan dari warga yang kayak, pajak untuk masyarakat/negara. Jadi leitourgia memiliki arti profan-politis. 2. DALAM KITAB SUCI A. Perjanjian Lama Dipakai sejak abad ke dua SM dalam arti kultis = pelayanan ibadat. LXX = Pelayanan Ibadat kaum Lewi/para imam= leitourgia. Untuk umat = latria = penyembahan. Leitourgikos = alat/perlengkapan ibadat Leitourgos (Yes 61:6; Sir 7:30) = pelayan liturgi. B. Perjanjian Baru Luk 1:23: Zakaria “ketika selesai jangka waktu tugas jabatannya” (ai hemerai tes leitourgia autou) memiliki makna yang sama dengan LXX Ibr 8:6; 9:21; 10:11 memiliki konteks baru, yakni: pelayanan imamat Yesus Kristus sebagai satu2nya imamat PB, imam agung Hukum Baru Pelayanan religius publik yang lebih baik dari yang di Bait Allah

Upload: stftws

Post on 11-Dec-2023

0 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

LITURGI FUNDAMENTAL 1

Dosen : Rm Agus Lie CDD

---------------------------------------------------------------------

PENGERTIAN

1. ARTI ASLI/PERTAMA

Leitourgia: leitos (leos=laos=penduduk) + ergo (bekerja)

Leitourgos = orang yang menjalankan kewajiban orang banyak/publik/bangsa.

Leitourgeo = menjalankan tugas

Leitourgema = pertunjukan

Leitourgia = pelayanan publik

Di Atena , leitourgia = kerja bakti, iuran/sumbangan dari warga yang kayak, pajak untuk masyarakat/negara.

Jadi leitourgia memiliki arti profan-politis.

2. DALAM KITAB SUCI

A. Perjanjian Lama

Dipakai sejak abad ke dua SM dalam arti kultis = pelayanan ibadat.

LXX = Pelayanan Ibadat kaum Lewi/para imam= leitourgia. Untuk umat = latria = penyembahan.

Leitourgikos = alat/perlengkapan ibadat

Leitourgos (Yes 61:6; Sir 7:30) = pelayan liturgi.

B. Perjanjian Baru

Luk 1:23: Zakaria “ketika selesai jangka waktu tugas jabatannya” (ai hemerai tes leitourgia autou) memiliki makna yang sama dengan LXX

Ibr 8:6; 9:21; 10:11 memiliki konteks baru, yakni:

pelayanan imamat Yesus Kristus sebagai satu2nya imamat PB,

imam agung Hukum Baru

Pelayanan religius publik yang lebih baik dari yang di Bait Allah

Kis 13:2a = Ibadah kepada Tuhan

Rm 15:16 = Paulus disebut pelayan (leitourgos)

2Kor 9:12; Rm 15:27 = Liturgi adalah sumbangan tanda amal kasih bagi saudara seiman.

Jadi leitourgia dalam PB dihubungkan dengan pelayanan kepada Allah dan sesama

Pemahaman umat perdana:

Imamat PB tidak berdasarkan pada imamat PL

Imamat PL dihubungkan dengan kelompok Lewi dan Bait Allah, imamat PB didasarkan pada imamat Yesus Kristus

Imamat umum & imamat jabatan merupakan partisipasi pada imamat Yesus Kristus

3. DALAM GEREJA

Pasca para rasul, kata liturgi sudah dipakai untuk menunjuk kegiatan ibadat atau doa kristiani

Di Abad Pertengahan, dipakai hanya untuk Ekaristi

Muncul istilah2 baru:

* Minister, officium = pelayan, tindakan liturgis

* Officia divina = karya/buku tentang liturgi = ibadat harian

Ritus (Ibadat) = titel buku, untuk menunjuk pada sisi luar Liturgi, yakni dari aspek manusia yang beribadat kepada Allah pada abad XVI-XX.

Ceremoniae (Upacara) = titel buku liturgi dari abad XVI-XVII

4. DEWASA INI

Liturgi dimengerti sebagai kompleksitas pelayanan resmi, seluruh ritus, perayaan, doa, dan sakramen Gereja.

Liturgi ≠ devosi pribadi

Singkatnya, liturgi = pelayanan seperti yang tercantum dalam buku perayaan (ritus) liturgis

LITURGI & TEOLOGI

1. DEFINISI & PEMBEDAAN

Premis dasar: orthodoxia prima, peristiwa teologis

Esensinya: tindakan teologi (acts of theology), tindakan Gereja sebagai umat beriman yang terarah kepada Allah , berdialog dengan Allah, menyatakan kepercayaannya kepada Allah, melambangkan kepercayaannya kepada Allah melalui aneka ragam sarana: benda, kata, gerak.

Jadi Liturgi adalah rangkaian ritual bersama yang bersifat simbolis. Memahami liturgi harus menghormati kekayaan kata dan simbol teologis yang dipakai dalam liturgi untuk memasuki misteri kehadiran Allah yang hidup dan dialami dalam liturgy. Sebagai ortodoksi prima liturgi adalah tata doksologis (pujian kepada Allah Tritunggal) pertama bagi dan tentang Allah. Tindakan liturgi pun merupakan theologia prima dalam arti bahwa dalam liturgi orang mengalami diri terarah kepada dan bertemu dengan Allah. Theologia secunda adalah refleksi atas tindakan liturgis (act of liturgy) sebagai theologia prima. Teologi liturgi adalah theologia secunda.

[a] Gerard Lukken: Gereja perdana menganggap liturgi sebagai theologia prima sedangkan spekulasi dogmatik sebagai theologia secunda. Arti pertama ortho-doxia: pujian yang benar [prima], lalu juga: ajaran yang benar [secunda]. Liturgi menjadi sumber pertama dan norma iman bagi ajaran yang benar. Karena liturgi adalah ungkapan diri Gereja melalui rangkaian tindakan ritual (kata, gerak, dan simbol). Ekspresi liturgis dari iman tampak lebih segera dan langsung daripada ekspresi intelektual atau justifikasi iman dalam argumen teologis atau ajaran dogmatis. Dialog konstan antara teologi-ortodoksi prima dan sekunda adalah esensial jika kita yakin bahwa liturgi tak akan terisolasi dari iman Gereja.

[b] David Power: memberi distingsi theologia prima dan secunda dalam konteks lebih luas. Ada tiga realitas penting dan saling berkaitan: (1) pengalaman spiritual pewahyuan Kristiani,

(2) ekspresi simbolika dan devosional dari pengalaman itu yang mewadahi pengalaman spiritual dalam cara yang hidup,

(3) interpretasi ilmiah atas pengalaman spiritual dan ekspresi simbolik.

Teologi prima ada di unsur kedua dan teologi sekunda pada unsur ketiga. Simbolika dan teoretika itu komplementer dan saling membutuhkan. Ada lagi, teologia tersia (theologia tertia), yang menggarisbawahi kaitan erat antara liturgi dengan kehidupan Kristiani sehari-hari (moral, spiritual).

Teologi tersia mengalir dari teologia prima dan sekunda.

Premis dasar: orthodoxia prima, peristiwa teologis

Esensinya: tindakan teologi (acts of theology), tindakan Gereja sebagai umat beriman yang terarah kepada Allah , berdialog dengan Allah, menyatakan kepercayaannya kepada Allah, melambangkan kepercayaannya kepada Allah melalui aneka ragam sarana.

2. PENGERTIAN TEOLOGI LITURGI

Teologi liturgi berarti

“teologi tentang liturgi” (theology of liturgy) dan

“teologi dari liturgi” (theology drawn from the liturgy, termasuk teologi moral dan spiritual):

A. Teologi tentang liturgi

Menjelaskan apa itu liturgi Kristiani dan bagaimana aktualisasi realitas misteri Paskah Kristus bagi Gereja yang berkumpul dan dihidupi oleh daya Roh Kudus

Di dalam liturgi umat memasuki misteri Paskah dan mengalami penebusan.

Dkl, Secara fundamental liturgi adalah tindakan kenangan (memorial action) yang menghadirkan misteri Paskah bagi umat sekarang melalui sarana-sarana simbolis.

Prinsip teologis pengertian liturgi:

[a] anamnetik (lawannya amnesia! Bersifat kristologis): pengenangan misteri Paskah, yang dihadirkan kembali saat ini, demi penggenapan penebusan di akhir zaman nanti

[b] epikletik (bersifat pneumatologis): mengalir dan bergantung pada karya Roh Kudus yang mentransofmasi iman umat melalui pengalaman liturgis akan misteri Paskah

[c] eklesiologis (bersifat soteriologis): selalu merupakan tindakan dari pemahaman diri dan pengungkapan diri Gereja, disempurnakan oleh, dan dalam Gereja yang sedang berhimpun dan berdoa (partisipasi aktif, sadar, penuh SC 14, sakramen kesatuan SC 26). Hakikat liturgis yang anamnetik, epikletik, dan eklesiologis menegaskan bahwa liturgi merupakan cara unik karena umat yang beribadat itu mengalami pengantaraan keselamatan Kristus dan daya Roh Kudus yang menguduskan dan memersatukan Gereja.

Liturgi adalah locus bagi pengalaman akan Allah. Roh Kuduslah yang memampukan Gereja merayakan liturgi. Maka, Gereja menjadi peristiwa dan peristiwa liturgis membuat Gereja secara penuh lebih menjadi Tubuh Kristus di dunia. Liturgi adalah peristiwa yang menetapkan Gereja, dan peristiwa itu menjadi kairos (bukan kronos) keselamatan. Mengalami misteri Paskah dalam liturgi berbeda dengan dalam meditasi pribadi tentang sengsara, wafat, dan kebangkitan Kristus. Liturgi menghadirkan peristiwa keselamatan itu, sedangkan meditasi pribadi hanya merenungkannya.

B. Teologi dari liturgi:

Teologi ini tentang bagaimana sarana komunikasi dan interaksi dalam liturgi, khususnya kata dan simbol, dapat digunakan sebagai sumber generatif bagi engembangan teologi sistematik. Artinya, bagaimana konsep dalam teologi sistematik dapat dieksplorasi secara penuh dari data yang terbentang dalam ritus liturgis. Misalnya: Bagaimana menggambarkan keberadaan Allah [teologi], keberadaan dan karya penebusan Kristus [kristologis], keberadaan dan karya Roh

Kudus [pneumatologis], Gereja [eklesiologis], menjelaskan dan merefleksikan kebutuhan kita akan rahmat [antropologi kristiani]). Contoh: penggunaan gelar atau istilah untuk Kristus atau karya-Nya (penebus-penebusan, kudus-pengudusan, pengampunan, pendamaian, dst), menjelaskan juga kebutuhan akan Kristus dan menggambarkan bagaimana penyelamatannya berlangsung dalam liturgi. Di sini disiplin antropologi kristiani dan kristologi bertemu secara tepat karena keduanya berasal dari refleksi tentang apa yang terjadi dalam liturgi dan bagaimana liturgi itu sendiri menjelaskannya. Secara metodologis, liturgi digunakan sebagai sumber bagi teologi sistematik, dan sebaliknya teologi sistematik secara intrinsik berkaitan dengan tindakan ibadat itu.

Berteologi dari liturgi mewajibkan suatu pengujian ulang atas sumber konsep dalam teologi kristiani dan atas cara-cara konsep itu berkembang.

Hal ini menyentuh pada distingsi penting akhir-akhir ini tentang bahasa “simbolis” dan “teknis”.

Bahasa liturgis ditujukan untuk menemui dan menopang misteri-misteri yang dirayakan.

3. METODE DALAM TEOLOGI LITURGI

A. Konteks Liturgi adalah Teks

Liturgical context is text = konteks liturgis menyediakan sumber/teks [ritus, mitos, simbol] untuk mengembangkan teologi liturgi.

Ada tiga komponen konteks liturgis:

(a) Evolusi historis dari ritus liturgis yang ada untuk menentukan

* asal-usulnya,

* bagian-bagian unsurnya (teks, simbol, aksi, tata gerak), dan

* variasi dalam sejarah baik secara liturgis maupun teologis.

* Studi ini bermaksud untuk menyingkap makna-makna teologis yang terkandung dalam ritus dan juga untuk membedakan aspek-aspek dari ritus itu mana yang esensial dan mana yang periferial.

(b) Pembaruan liturgis kontemporer.

* Mengandaikan adanya pengujian ritus sekarang (yang sudah diperbarui) untuk menentukan apakah perayaan kontemporer dari ritus itu dalam konteks khusus mengungkapkan apa yang sesungguhnya diharapkan dalam buku ritus yang diterbitkan (partisipasi penuh, sadar, aktif).

* Yang diuji adalah tindakan liturgis secara keseluruhan, di mana kata-simbol-gerak ditafsir dan dipahami dalam kaitan satu sama lain. Bagaimana pula setting for liturgy (jemaat, tempat/lingkungan) dan conducting of liturgy (khotbah, musik, gestur, sarana partisipasi lain) dapat membantu memahami teks biblis, doa, simbol, gestur liturgis. (c) Adaptasi liturgis dan

kritik teologi liturgi yang memperhatikan konteks kultural dan teologis dari perayaan liturgi. Pada umumnya, “konteks adalah text” untuk membetulkan fokus dalam teologi liturgi, dari studi filologis-teologis atas teks liturgis (sakramentari, pontifikal, dsb) menjadi pada perbincangan tentang sumber-sumber itu dalam terang perayaannya, baik pada waktu dulu maupun sekarang. Dari lex orandi-lex credendi, menuju lex agendi. Lex agendi menjadi fokus juga dalam teologi liturgi. Lex agendi menjadi locus, sumber untuk berteologi.

B. Teks Membentuk Konteks

Antara text dan context ada relasi dialektis berkelanjutan, di mana setting kultural dan eklesial yang menjadi tempat liturgi (context) memengaruhi cara kita mengalami dan menafsirkan liturgi (text).

BAB II MENUJU SUATU TEOLOGI LITURGI

2.1. DALAM GEREJA PERDANA

2.1.1. DASAR PERIBADATAN: UNSUR ROHANI

• Ada tuduhan terhadap Gereja:

- Ateis, - ibadah tak sempurna, - Bidaah Yahudi karena tidak memilik: kenisah, altar, kurban.

• Umat kristiani beribadah dalam roh dan kebenaran (bdk. Yoh 4:22-24).

• Ada visi baru:

- Menjadikan diri sebagai pemakluman pujian cinta Allah.

- Allah telah memanggil jemaat kepada kesucian dalam Kristus (Ef 1:4-6).

• Kurban, altar, kenisah Kristen berbeda dengan pengertian Yahudi, mendapat makna baru: Kristus sendiri = inilah beribadah dalam Roh.

2.1.1.1. Kurban

A. Kurban Kristus

• Kurban bukan lagi hewan, tapi Kristus sendiri (Ef 5:2; Ibr 9:14; 10:11-12).

• Kurban dari Roh (Ibr 9:14).

• Kurban tak bercela/bercacat.

• Kurban penghapus dosa.

B. Kurban Umat Beriman

• Umat mempersembahkan tubuh sendiri sebagai kurban yang hidup, kudus, dan berkenan pada Allah (Rom 12:1).

• Kurban yang disertai dengan doa dan permohonan (ibadat) (Ibr 5:7; 13:15-16)

• Kurban disebut sebagai Liturgia (Ibr 8:2.6; Flp 2:17)

• Kematian para martir = kurban yg indah.

• St. Ignatius dari Antiokhia: “Aku adalah gandum Allah yang akan digiling oleh gigi-gigi binatang buas agar aku boleh menjadi roti murni Kristus. Doakanlah aku kepada Kristus agar binatang-binatang itu menjadi sarana menjadikan aku sebagai kurban bagi Allah.

2.1.1.2. Altar

• Altar dipakai untuk mempersembahkan kurban pelunas dosa.

• Kristus menghimpun umat di sekeliling altar tubuh-Nya untuk menguduskan mereka.

• Rm 3:25: Kristus Yesus telah ditentukan Allah menjadi jalan pendamaian (hilast-rion) karena iman, dalam darah-Nya”.

- Hilast-rion = tutup tabut perjanjian, tempat Allah berbicara dengan Israel (kel 25:21-22).

- Di atas tutup ini imam agung pada hari raya pendamaian harus memercikkan darah hewan kurban penghapus dosa.

- Jadi tutup tabut itu menjadi altar tempat Tuhan menerima kurban penghapus dosa dari manusia.

2.1.1.3. Kenisah

• Tirai kenisah Yerusalem yang robek menandai era baru dalam beribadah (Mrk 15:38)

• Kemusnahan Kenisah Yerusalem berhubungan dengan “beribadah dalam Roh”, yang tidak dibangun oleh tangan manusia (Mrk 14:5-8).

• Kenisah itu = tubuh Kristus sendiri (Yoh 2:21) yang bangkit mulia.

• Pusat ibadah umat perdana: Kristus segala-galanya.

• Gereja beribadah: ritual, tindakan, tanda tanda simbolik à menginterpretasikan imannya akan Kristus yang menderita sengsara, wafat dan bangkit.

• Jadi

- Kurban = kekudusan hidup dan pengungkapannya dalam doa-doa.

- Altar = Kristus yang menghimpun persembahan diri umat dan doa-doanya.

- Kenisah = Tubuh Kristus dalam dua dimensi: kepala dan anggota.

• Seluruh ritus sakramental bertujuan menguduskan manusia dan menjadikannya hidup selalu dalam Kristus.

2.1.2. BENTUK POKOK LITURGI PARA RASUL

• Liturgi berasal dari para Rasul yang “berkumpul bersama dalam doa dan memecah-mecahkan roti”.

• Para Rasul memberi isi teologis baru dalam bentuk baru:

• Pembaptisan dalam nama Yesus: mencelupkan ke air dan menyerukan Allah Tritunggal.

• Pemecahan roti = perjamuan Tuhan = peringatan wafat Kristus.

• Pelbagai bentuk doa baru: sh’ema (shemoneh Eshreh), berakoth; Ibadat Harian pada jam-jam tertentu, Ibadat Sabda di sinagoga.

• Penumpangan tangan menjadi simbol kehadiran Roh Kudus dan kuasa memimpin Gereja.

• Pengurapan orang sakit.

• Terlihat akar ibadat Yahudi dalam liturgi Kristen.

• Terjadi pergeseran mendalam teologi ibadah.

2.2. ABAD IV – ABAD VIII

2.2.1. ABAD IV: PENGARUH KEBUDAYAAN ROMAWI

• Cara hidup dan ibadah umat Kristiani sangat mengesankan banyak orang.

• Dalam “Surat Mathetes kepada Diognetus” (100-150): Pujian kepada Diognetus atas kerinduannya mencari metode ibadah kristiani sejati yang berbeda dengan Yahudi dan menolak penyembahan berhala Yunani.

• Thn 313 Kaisar Konstantin Agung mengeluarkan edik Milan:

– Orang-orang Kristen yang dianggap “jahat” dan tidak taat pada pemerintah diampuni.

– Orang Kristen wajib mendoakan seluruh rakyat dan kerajaan.

– Seluruh milik orang Kristen yang disita negara dikembalikan.

• Akibatnya, segala unsur budaya Romawi & Yunani mempengaruhinya (Greco-Romani) dlm bidang institusional & ibadah.

– Tanda, peralatan ibadah dipengaruhi oleh budaya Romawi, juga ritus kafir ikut masuk.

– Teks ibadat dan Kitab Suci bahasa Yunani diganti dengan bahasa Latin.

– Bentuk doa disesuaikan dengan mentalitas Romawi yang lebih yuridis dan formal.

– “Improvisasi” dalam doa yang merupakan ekspresi spontan dari penghayatan ibadat rohani (Rom 8:15.26) menjadi hilang.

– Muncul bentuk-bentuk upacara yang semarak meriah yang sebelumnya tidak dikenal.

• Perayaan ibadah tidak lagi di rumah-rumah dan katakombe, tetapi di basilika yang besar dan mewah.

• Hirarki Gereja dibentuk menurut tingkatan martabat sesuai dengan sistem hiraki kekaisaran Romawi, lengkap dengan atribut lahiriah.

• Belum ada altar sampai Abad III, tetapi memakai meja (1Kor 11:20.27) atau sarcofagus. Sekarang muncul altar yg tidak boleh disentuh awam, terbuat dari marmer, dihiasi lilin dan kandelar semarak, dupa, dll.

2.2.2. ABAD V – ABAD VIII

2.2.2.1. Dalam Gereja Timur

• Situasi politik: Romawi Barat (Roma) – Timur (Konstantinopel).

• Awalnya ada Pentarchy (5 Patriarkat)

• Gereja Timur: pusat sekolah teologi di Aleksandria, Antiokia, Konstantinopel, Yerusalem (Patriarkat).

• Patriark πατήρ (pater) = bapak dan ἄρχων (archon) = pemimpin, ketua, penguasa, raja, dll.

• Patriarkat: pemimpin Gereja yang memiliki kesatuan legislatif, disiplin, otonomi pemilihan uskup, liturgi sendiri.

• Abad V pembentukan struktural menjadi lebih tegas dalam hal doktrinal, kultur dan sosial, disesuaikan dengan pola pemerintahan. Liturgi sangat inkulturatif.

• Konsili Nicea (425), Efesus (431), Konstantinopel (481): terjadi pertentangan teologi yg sengit, dan perpecahan.

• Rumpun Gereja Timur menerima hasil konsili periode empat abad pertama.

• Gereja Barat & Timur sudah mempunyai buku liturgi dan manuskrip kuno.

• Dipengaruhi oleh tradisi dari Jerusalem yg menjadi pusat peziarahan.

• Corak dasar liturgi Gereja Barat & Timur sama: eskalogis, terutama dalam Ekaristi, mengingatkan kesatuan apokaliptis surga dan dunia.

• Nyanyian liturgi menggairahkan kepekaan akan Roh.

• Ikon sangat bernuansa Kerajaan Allah.

• Keterlibatan dalam madah surgawi para malaikat.

• Ciri teologi Liturgi Gereja Timur:

• Realitas Allah sebagai mysterium tremendum, fascinosum et impenetrabile (dahsyat, mempesona, dan tak terhampiri).

• Teoantropia: Selama perayaan liturgi Pribadi Ilahi berkarya dalam keilahiran dan kemanusiaan-Nya.

• Filantropia ilahi: Aktualisasi Cinta Ilahi di mana umat menerima cinta dan keselamatan dari Anak Allah dan karunia Roh Kudus. Kristus satu-satunya filantropos (pencinta manusia).

• Pneumatologi: suatu “keajaiban besar”, pentekosta yang aktual.

• “Pemberian dari surga”: Karunia Allah untuk mengilahikan manusia lewat liturgi dan tanda-tanda: gereja = tahta surgawi, dinding dilukis, mozaik, kaya akan simbol.

• Dimensi Parousia: pelaksanaan puncak akan akhir peristiwa keselamatan manusia, puncak teoantropia dan filantropia. Menampakkan teofania dalam tanda-tanda manusiawi.

• Tempat istimewa bagi Maria: memperkaya dan menggambarkan lingkaran trinitas dan kristologis Liturgi.

• Liturgi adalah dasar kesatuan komunitas Gereja Lokal di bawh uskup. Ada Ekaristi plenaria.

2.2.2.2. Dalam Gereja Barat

A. Dari Bahasa Yunani ke Bahasa Latin

• Ditemukan naskah Hippolytus tahun 220 dengan judul “Tradisi Rasuli” (Apostolike Paradosis). Dari tulisan Hippolytus, dalam bahasa Yunani, diketahui bahwa dipakai rumusan doa yang dipakai di provinsi2 gerejawi yang amat luas, baik di Barat maupun Timur, baik dalam bentuk asli maupun terjemahan, dengan berbagai macam tingkap penyesuaian dari naskah asli.

• Munculnya naskah teks liturgi yang tertulis barangkali disebabkan:

- Munculnya pelbagai praktek liturgi yang berbeda-beda di berbagai tempat (skisma, bidaah). Hippolytus mau menyampaikan yang sesuai dengan tradisi para rasul.

• Berakhirnya masa pemimpin2 kharismatis, yang berbicara dalam ilham Roh Kudus. Mulai munculnya uskup2 dari golongan kurang terpelajar/budak (Paus Kalistus I), yang tidak bisa berdoa spontan.

Buku Traditio Apostolica memuat: tahbisan uskup, imam dan diakon, pelantikan janda, lektor dan subdiakon, pengudusan perawan, Penerimaan katekumen, pembaptisan, krisma. puasa, agape, ibadat harian.

• Untuk Ekaristi, ada beberapa petunjuk:

- Umat menghaturkan persembahan. Dari sana diakon mengambil roti dan anggur, dan menyerahkan kepada uskup.

- Uskup mengucapkan Doa Syukur Agung meriah atas persembahan. Dibuka dgn dialog spt sekarang ini. DSA mencakup ‘sebuah kisah institusi Ekaristi singkat,’ anamnesis, epiklese, dan doksologi. Umat menjawab ‘Amin’.

- Doa syukur diucapkan atas roti, kemudian roti dipecah-pecah dan dibagikan. Juga anggur yang telah menjadi Darah Kristus dibagikan kepada umat.

• 150 kemudian, Marius Victorinus mengutip sebagian kanon itu ke dlm bukunya dgn bahasa Latin. Begitu sampai kepada kanon, dia melanjutkan dalam bahasa Yunani tanpa keterangan.

• 20 tahun kemudianAmbrosiaster mengutip lagi sebagian kanon itu, kali ini dalam bahasa Latin.

• Jadi dpt disimpulkan dengan pasti sekitar tahun 380 (Paus Damasus) bahasa Latin sudah masuk ke jantung Ekaristi Romawi.

B. Pembakuan Liturgi

• Akibatnya, mulailah masa pembakuan tata cara liturgi dan keseragaman yang makin meluas. Keanekaragaman kebiasaan setempat mulai menghilang, dan dianggap “menyimpang”.

• Gubahan doa-doa liturgis oleh uskup atau imam disesuaikan dengan pola tradisional. Gubahan ini mulai dikumpulkan dan semakin kaya.

• Pada abad VII, gubahan menjadi semakin berkurang, mulai dari Roma.

• Dibedakan doa-doa liturgi dan non liturgis.

• Beberapa wilayah Gereja Barat mulai memiliki ritus sendiri:

- Ritus Celtic: Irlandia (abad VI-IX)

- Ritus Ambrosiana: (Milan, abad IV)

- Ritus Mozarabic: Spanyol (Abad VI)

- Ritus Gallia: Perancis (Abad VI)

- Ritus Romawi

C. Roh Pembaharuan

Ibadat perlu diusahakan supaya dipahami oleh rakyat (bdk. 1Kor 14:15-17). “Aku akan berdoa dengan rohku (yaitu digerakkan oleh Roh Kudus), tetapi aku akan berdoa juga dengan akal budiku; … Sebab, jika engkau mengucap syukur dengan rohmu saja, bagaimanakah orang biasa yang hadir sebagai pendengar dapat mengatakan "amin" atas pengucapan syukurmu? Bukankah ia tidak tahu apa yang engkau katakan? Sebab sekalipun pengucapan syukurmu itu sangat baik, tetapi orang lain tidak dibangun olehnya.” Peralihan bahasa Yunani ke Latin yang dimengerti menjadi sarana pengajaran iman kepada umat. Bahasa berubah, tetapi kanon dan unsur hakiki ibadat, susunan, tata bahasa, serta misteri yang dirayakan tetap. Pembaharuan tidak boleh sampai kehilangan kerangka dasar iman, baik dalam bahasa liturgi, susunan, maupun tata ruang gereja. Rumusan yang jelas, padat, singkat. Memiliki bentuk yang kokoh dan kuat. Tidak melebih-lebihkan emosi dan perasaan. Cenderung menekankan segi "akal budi”, Kebenaran Ajaran Gereja, dengan susunan dan gagasan yang jelas dan tidak berbelit-belit. Namun, kurang memungkinkan kebebasan daya imajinasi umat dan kurang melibatkan perasaan umat beriman yang aktual.

2.2.3. Perkembangan Selanjutnya (Abad VIII)

Liturgi Roma dikembangkan dan disebarluaskan lewat karya para paus dalam menulis doa, khususnya Leo Agung (sacramentarium Leonianum) dan Gelasius I. Pada zaman Gregorius Agung, liturgi Romawi mendapat bentuk final: Sacramentarium Gregorianum: doa-doa yang harus didaraskan dalam Ekaristi sepanjang tahun dan doa-doa untuk pelayanan sakramen. Antiphonarium Gregorianum: antifon bagi paduan suara dalam Ekaristi. Capitulare Evangeliorum: petunjuk untuk diakon, bagian mana dari keempat Injil yang harus dibacakan dalam liturgi setiap hari. Ordines: pengarahan untuk klerus tentang tata waktu setiap tugas liturgi. Terjadilah pertemuan Liturgi Romawi dengan Inggris dan Perancis, dan lebur menjadi satu, mulai muncul bentuk awal Tahun Liturgi (Natal – Pentekosta). Kaisar Karel Agung (Charlemange 742–814) memaklumkan agar seluruh Gereja dalam wilayahnya memakai liturgi Ritus Romawi, berciri khas hanya memiliki satu DSA, dan variasi ada pada prefasi. Dalam Ekaristi, Liturgi Sabda diakhiri dengan pembubaran katekumen. Persembahan hanya diikuti oleh yg sudah dibaptis (fideles). Setelah itu ada oratio fidelium (Doa Umat) yang seperti Jumat Agung sekarang, dengan menghadap ke Timur. Doa menjadi membosankan karena diulang-ulang . Di Timur, doa disusun dengan bentuk yang lebih singkat, yg dikenal dgn nama litani (litaneia = permohonan). Paus Gelasius I menyukai litani, menghilangkan Doa Umat meriah, dan hanya mengijinkannya pada Rabu dalam Pekan Suci dan Jumat Agung. Akhir abad VIII DSA masih dibacakan secara bisik-bisik, krn ada anggapan inilah saat yang paling kudus. Karena manusia merasa tidak pantas, muncul pelbagai sisipan pengakuan dosa dalam literatur doa dan misa. Abad IX berkembang pengakuan dosa pribadi, dan pengakuan publik menghilang. Buku liturgi

Romawi mulai diberi tambahan rubrik (ruber = merah). Liturgi Romawi sudah terbentuk baik pada abad X dan pelan-pelan mendesak serta mengganti ritus liturgi Mozarabic dan Celtic. Paus Gregorius VII (1073-1085) mengadakan konsolidasi seluruh Gereja, menerapkan liturgi Romawi yang sudah disahkan kuria Roma.

2.3. Liturgi dalam Abad-abad Pertengahan

2.3.1. Liturgi yang Terlalu Yuridis dan Lahiriah

Karena pembakuan Liturgi, terjadi hal-hal yang sangat yuridis. Altar dihias dengan istimewa, menciptakan jarak yang terpisah antara imam dan umat. Liturgi semakin dimonopoli klerus dan menjadi arena pementasan (spectaculum), sehingga umat sebagai penonton mencari kepuasan spiritual dalam devosi.

B.1. Sumbangan Devosi Umat dalam Liturgi Gereja

Mengingatkan pentingnya dimensi afeksi-emosi dalam liturgi. Liturgi belum seluruhnya menampung kebutuhan iman umat. Mengingatkan perlunya kesederhanaan ungkapan iman dalam Liturgi. Devosi mengingatkan bahwa liturgi merupakan sebuah doa.

B.2. Hal yang Harus Diperhatikan dalam Devosi

• Devosi bukan pengganti liturgi Gereja. Puncak perayaan iman adalah Ekaristi, bukan pada devosi.

• Praktek devosi harus dijauhkan dari bahaya praktek magis.

• Devosi harus sesuai dengan penghayatan iman yang benar.

2.4. Zaman Modern

2.4.1. Devotio Moderna dalam Liturgi

Devotio Moderna ialah gerakan religius di Abad Pertengahan, sebagai reaksi kaum Benediktin yang menekankan pembaharuan batin. Devotio moderna menekankan pendalaman kehidupan batin melalui sarana-sarana meditasi dan doa pribadi. Buku “Mengikuti Jejak Kristus” tulisan Thomas a Kempis menjadi buku panduan Devotio Moderna, didasarkan pada hubungan pribadi dengan Allah dan cinta aktif yang ditujukan kepada-Nya (mis.: di hadapan sakramen Mahakudus di depan altar atau selama Misa, Jalan Salib Alfonsus Ligouri, dll.)

2.4.2. Pembaharuan Liturgi Konsili Trente

Ajaran dogmatik Konsili Trente (1545-1563) tentang korban Misa & sakramen2 lain menampakkan arti yang tepat daam menghadapi serangan pihak Protestan. Diadakan pemugaran buku Liturgi, diserahkan kepada paus. Gerakan Protestan menggugah Gereja memiliki visi teologis yang jelas yang mendasari simbolisasi Liturgi. Dengan kata lain, Luther & pengikutnya tidak memahami nilai teologis dalam struktur liturgi. Mereka menentang liturgi bukan karena teologinya, melainkan perayaannya.

A. Liturgi Kaum Reformasi (1523-1556)

Pada akhir abad pertengahan arti asli Liturgi Misa & sakramen2 lainnya kabur. Perayaannya ditandai dengan upacara yang berlebihan, bahkan bersifat tahyul. Banyak sinode besar dan konsili tingkat privinsi (pertengahan abad XVI) menyadari kerugian2 yang muncul, dan meminta pemugaran buku-buku liturgi. Namun tertunda-tunda. Kaum Protestan sendiri sibuk menyesuaikan buku Liturgi ke dalam pengakuan iman mereka. Anehnya, mereka menolak unsur korban dalam Misa, namun mempertahankan dan mengembangkan masukan devosi abad pertengahan yang paling dipermasalahkan. Tahun 1523 Luther menerbitkan Formula Missae, dengan membuang Kanon Romawi, kecuali bagian awal prefasi dan kisah institusi, kemudian menyusul Sanctus, dan bagian Benedictus disertai dengan mengangkat piala dan hosti. 2 tahun kemudian terbit Deutsche Messe (1525) yang menghapus prefasi. Luther tetap menuntut supaya kehadiran nyataKristus dalam Ekaristi tetap diimani. Sementara di Zurich, Zwingli menyangkal kehadiran itu. Zwingli mengembangkan suatu Liturgi Perjamuan (1525) yang mempertahankan Ordo Missae sampai Sanctus, tanpa perubahan besar, diikuti Bapa Kami, kemudian kisah institusi dan komuni, yang diterima sambil duduk. Perjamuan Tuhan Zwingli dirayakan empat kali dalam satu tahun. Liturgi Zwingli kemudian memberikan sumbangan kepada Calvin di Jenewa (1542) dan Liturgi Knox di Scotlandia (1556). Tata Perayaan Perjamuan Tuhan yang terdapat dalam “BUKU DOA” Anglikan (1549 dan 1552) yang disusun Cranmer sangat dipengaruhi Calvin. Agar berlutut ini jangan dipikirkan atau ditafsirkan secara salah, maka kami menyatakan dengan tegas bahwa berlutut di sini bukan dimaksudkan untuk menyembah atau melakukan penyembahan … kepada roti dan anggur sakramental yang diterima secara jasmaniah itu … Karena … roti dan anggur itu pada hakikatnya masih tetap sama.”

• Urutan dalam Tata Perayaan 1552 (Anglikan):

- Pembacaan Dekalog, setiap perintah diikuti doa umat.

- Doa Kolekta

- Epistola

- Pembacaan Injil

- Homili

- Pengumpulan derma, disertai pembacaan beberapa ayat KS.

- Pengakuan umum, diikuti dengan absolusi dan “kata-kata penghiburan”

- Kisah institusi Ekaristi ditempatkan dalam sebuah doa permohonan

- Komuni

- Bapa Kami

- Doa syukur atas anugerah, dan nyanyian atau pendarasan “Kemuliaan kepada Allah di tempat tinggi”

- Pembubaran umat disertai berkat.

• Meskipun ada perbedaan dalam rumusan Ekaristi, Liturgi Lutheran, Liturgi Reformasi & Liturgi Anglikan tetap mempertahankan ikatan Missal abad pertengahan.

• Hal baru dalam liturgi protestan: memakai bahasa setempat & partisipasi umat dalam menerima darah Kristus. Di Gereja Katolik baru terjadi pada tahun 1963.

B. Kegiatan Liturgi Konsili Trente

Pembaharuan Liturgi Konsili Trente terutama dalam Perayaan Misa dan Ibadat Harian. Disusun daftar abusus missae oleh suatu komisi khusus. Dekrit De Observandis et Vitandis in Celebratione Missae memerintahkan penghapusan penyelewengan2. Untuk Brevier, ada dua opsi: mengikuti pola Brevir yang disusun Kardinal Quinones (1535) atau kembali ke bentuk tradisional. Pemecahan maslaah mendasar yang ditimbulkan pihak protestan, tergantung keputusan dogmatik konsili tentang korban Misa dan efikaks 7 sakramen. Dalam sidang ke 22 Konsili menetapkan Misa sebagai korban dan pengesahan ritus yang digunakan dalam perayaan. Konsili juga meminta perhatian para bapa konsili tentang dua meja Ekaristi: Sabda (ne oves Christi esuriant: jangan sampai domba2 Kristus kehausan) dan Ekaristi (in singulis missis ad stantes: yang hadir dalam setiap misa). Konsili menolak ijin penggunaan bahasa vernakuler. Peraturan bahwa hanya bahasa Latin saja dalam Liturgi tetap tidak diubah sampai KV II. Paus Pius IV (1564) memberi ijin penerimaan darah Kristus untuk Jerman dan berbagai negara Eropa Tengah, tetapi Pius V membatalkannya.

C. Liturgi dalam Teologi sesudah Konsili Trente

Dekrit De Observandis et Vitandis in Celebratione Missae dalam rumusan doktrin tentang sakramen secara tidak langsung membaharui Liturgi. Tidak menghasilkan visi baru tentang teologi liturgi/ibadah. Merupakan usaha menertibkan ibadah karena kritik Protestan, sehingga menjadi sangat rubrikalis dan yuridis. Membangkitkan semarak lahiriah baru, kreasi musik dan orkes dalam ibadah, seni bangunan à simbolisasi. Pusat Liturgi sebagai perayaan misteri Paskah kurang mendapat perhatian. Theodor Klauser menggambarkan corak Liturgi yang penuh rubrik kaku selama tiga abad sampai Konsili Vatikan II, namun tidak mencegah penambahan pesta-pesta Tuhan, Maria, dan para Kudus. A Short History of the Western Liturgy, 1969 Ada tambahan 118 pesta dari tahun 1584-1903, yang sebelumnya sudah ada 182 pesta. Beberapa pesta besar/devosi: Hati Kudus, Darah Mulia, Kristus Raja, Santo Yosef. Devosi menjadi sangat menarik perhatian drpd bentuk liturgi yg sudah tidak dimengerti dengan tepat, dipandang sebagai urusan khusus para imam. Pada 3 bagian utama Ekaristi (persembahan, konsekrasi, komuni)

umat dijagakan oleh lonceng misdinar, mengalahikan perhatian mereka sebentar pada tindakan kudus yg berlangsung di altar, supaya dapat membangun ‘sikap’ semestinya. Muncul beberapa tokoh penting untuk pembaharuan Liturgi:

Pierre de Lorrain, abas biara Vallemont (1600-1681)

a. Menganalisa DSA I, bahwa Liturgi, khususnya Ekaristi bukan sekadar tindakan klerikal yang formal, tetapi kegiatan seluruh umat Allah yang berhimpun.

b. Berkat pembaptisan, manusia ikut ambil bagian dalam imamat Kristus dan bersama dengan Kristus.

c. Dalam kegiatan Liturgi Gereja, peran Kristus secara nyata dibawakan oleh pemimpin upacara à imam = alter Christus, berperan “in persona Christi, Capitis et Sacrificii”.

Ludovico Muratori. Sejarahwan (1672- 1750)

a. Meninjau kembali tradisi autentik ibadat.

b. Mempertanyakan cara sejati penghormatan kepada para kudus.

Antonio Rosmini (1797-1855)

a. Umat perlu ikut ambil bagian dalam upacara ibadat, pelayanan sakramen dan seluruh kegiatan Gereja

b. Terjadi pemisahan yang jelas antara hierarki dan umat.

c. Tugas hirarki adalah mendidik umat dan membawa umat semakin menghayati keselamatan yang dirayakan dalam liturgi.

2.4.3. Gerakan Pembaharuan Liturgi Abad XIX-XX

Ada gerakan untuk menggali khasanah Liturgi yang membawa iklim romantisme religius.

Pelopor: Prosper Guéranger. Muncul tokoh lain: Lambert Beauduin, Odo Casel, Prosper Guéranger OSB (1805-1877)

Liturgi adalah Doa Gereja

Sebagai doa Gereja, seluruh doa lahir dari Roh Kudus, pemberi iham yg benar.

Nyanyian Mazmur dan para nabi, nyanyian umat Perjanjian Baru dikumandangkan oleh Gereja sebagai Nyanyian Baru à LITURGI.

Memperjuangkan penemuan kembai tipe doa Kristen sejati yang memudar di abad2 lalu.

Pengaruh reformasi Protestan mempengaruhi Katolik yang mengatakan bahwa doa bukanlah perbuatan ibadah à menjadi hampa karena tidak menghantar orang kepada doa Gereja.

Maka Liturgi menjadi sangat agung dan bernilai daripada doa pribadi, sebab Kristus sendiri hadir dalam tindakan liturgi.

Lambert Beauduin OSB (1873-1960)

Liturgi adalah “Ibadat Gereja”

Sifat kodrati Gereja (sosial, hierarkis, universal) adalah merayakan liturgi, yang adalah kelanjutan dari karya Kristus menguduskan manusia.

Subyek satu-satunya dan universal ibadah Gereja adalah Yesus Kristus yang bangkit mulia, hidup di sisi Bapa. Dialah pelaksana ibadah, pengantara satu-satunya antara Allah dan manusia, Imam Agung Abadi dari Perjanjian Baru, yang menyempurnakan ibadat selama hidup di dunia.

Pandangan Beauduin membuka jalan bagi pandangan KV II bahwa liturgi adalah tindakan Kristus, yang adalah karya keselamatan dan kenyataan supranatural yang hadir aktif.

Imamat Kristus: perayaan ibadah.

Maka ibadat Gereja adalah pelaksanaan karya keselamatan Kristus yang sedang aktif berlangsung.

Kristus mebentuk kita sebagai suatu komunitas, dalam persatuan dengan tubuh mistik-Nya

Pandangan Beauduin membuka jalan bagi pandangan KV II bahwa liturgi adalah tindakan Kristus, yang adalah karya keselamatan dan kenyataan supranatural yang hadir aktif.

Imamat Kristus: perayaan ibadah.

Kehadiran pribadi Allah dalam diri Kristus melalui para pelayan sakramen.

Bersifat kolektif/komunal karena Kristus sendiri melaksanakan imamat-Nya dalam komunitas untuk kepentingan seluruh komunitas Gereja.

Bersifat hirarkis, karena karya tak kelihatan Kristus ditampilkan seara kelihatan, karena Kristsu menyerahkan hak dan kuasa bagi para pelayan-Nya untuk bertindak dalam nama-Nya dan demi kuasa-Nya.

Imamat jabatan/fungsional secara sakramental menampakkan kekhususan imamat Kristus.

Odo Casel OSB (1886-1948)

Liturgi adalah “Perayaan Misteri Keselamatan”

Tindakan liturgis disebut Mysterium Sacramentum.

Misteri mengandung makna:

Adanya pangkal karya keselamatan.

Hadir dan berkarya di dalam ritus upacara.

Manusia mengaktualisasikan sejarah keselamatan universal.

Ibadah yang khusus, di mana ada kekuatan misteri/magis.

Misteri-misteri itu adalah ritus/upacara yang berhubungan erat dengan dongeng tentang laju pertumbuhan gandum yang dipersonifikasikan.

Mysteria: masuknya keselamatan ke dalam diri manusia melalui ritus.

Liturgi adalah tindakan Allah yang menyelamatkan, bukan tindakan manusia yang mencari hubungan dengan Allah.

Merupakan pelaksanaan lebih lanjut dari misteri Kristus.

Definisi: Liturgi adalah tindakan ritual dan karya keselamatan oleh Kristus yang menghadirkan karya ilahi penebusan umat manusia secara nyata lewat simbol-simbol.

2.5. Pembaharuan Liturgi oleh para Paus

1. Pius X (1903-1914)

Motu Proprio Tra le Sollecitudini (1903).

Mengajak umat ikut berpartisipasi aktif dalam perayaan misteri ilahi, sebab ia adalah “sumber satu-satunya dan sangat perlu untuk semangat hidup Kristiani sejati”

Nyanyian bersama adalah ungkapan partisipasi.

Partisipasi menjadi penuh bila bergabung pada meja santapan (setiap hari menyambut komuni).

Untuk itu perlu persiapan yang pantas.

Pembaharuan teks Liturgi:

Memugar Ordo Psallendi.

Menyusun prioritas pesta para kudus.

Edisi resmi Antiphonale untuk ibadat Harian.

Menerbitkan edisi resmi Graduale Romanum.

Pius XII

Ensiklik Mediator Dei (20 Nov 1947)

Seirama pemikiran Beauduin, diperjelas dalam menanggapi persoalan jaman itu.

Analisa sintesis doktrinal.

Dimaksudkan sebagai usaha membangkitkan kembali pengenalan akan nilai teologi Liturgi.

Menciptakan equilibrium: mempertahankan dan mengangkat nilai Liturgi.

Mengakui sahnya semua bentuk ibadat rohani lainnya, khususnya dalam tarekat kebiaraan.

Tugas Gereja: “melanjutkan tugas imamat Kristus”.

Liturgi adalah “ibadah umum di mana Penebus kita, Kepala Gereja, mengarahkannya bagi Bapa surgawi dan dengan ibadat umat yang seluruhnya berasal dari Tubuh Mistik Kristus, sekaligus sebagai kepala dan anggota.”

Unsur-unsur Teologi Liturgi

Bertitik tolak dari Kristus, yg adalah perantara dan imam di tengah umat untuk memberikan ibadah yang paling sempurna kepada Bapa .

Kelanjutan tak terputuskan dari ibadah yang telah ditetapkan Kristus dengan dua dimensi aktif: memuliakan Allah (garis glorifikasi) dan menguduskan manusia (garis santifikasi).

Liturgi Gereja yang berasal dari Kristus ini memiliki dua unsur dasar:

Triplex munus (tri tugas Kristus): Kristus menjadi pusat dan kenisah peribadatan yang berkenan kepada Allah Bapa.

Misteri Kehadiran Kristus: Liturgi adalah kelanjutan pelaksanaan tugas imamat Kristus. Jadi liturgi adalah ibadat Kristus. Disebut juga Liturgi Gereja karena Gereja adalah Tubuh Kristus.

Catholic World News (CWN) Feature Stories--Vatican liturgical official makes new plea for 'reform of the reform' Feb. 23, 2009 (CWNews.com) -

A key Vatican official has called for "bold and courageous" decisions to address liturgical abuses that have arisen since the reforms of Vatican II. Archbishop Malcolm Ranjith, the secretary of the Congregation for Divine Worship, cites a flawed understanding of Vatican II teachings and the influence of secular ideologies are reasons to conclude that-- as then-Cardinal Joseph Ratzinger said in 1985-- "the true time of Vatican II has not yet come." Particularly in the realm of the liturgy, Archbishop Ranjith says, "The reform has to go on."

Archbishop Ranjith, who was called to the Vatican personally by Pope Benedict to serve as a papal ally in the quest to restore a sense of reverence in the liturgy, makes his comments in the Foreword to a new book based on the diaries and notes of Cardinal Fernando Antonelli, who was a key figure in the liturgical-reform movement both before and after Vatican II.

The writings of Cardinal Antonelli, Archbishop Ranjith says, help the reader "to understand the complex inner workings of the liturgical reform prior to an immediately following the Council." The Vatican official concludes that implementation of the Council's suggested reforms often

veered away from the actual intent of the Council fathers. As a result, Archbishop Ranjith concludes, the liturgy today is not a true realization of the vision put forward in the key liturgical document of Vatican II, Sacrosanctum Concilium (doc).

Specifically, Archbishop Ranjith writes:

Some practices which Sacrosanctum Concilium had never even contemplated were allowed into the Liturgy, like Mass versus populum, Holy Communion in the hand, altogether giving up on the Latin and Gregorian Chant in favor of the vernacular and songs and hymns without much space for God, and extension beyond any reasonable limits of the faculty to concelebrate at Holy Mass. There was also the gross misinterpretation of the principle of "active participation."

The Sri Lankan prelate argues that it in order to carry out a "reform of the reform," it is essential to recognize how the liturgical vision of Vatican lI became distorted. He praises the book on Cardinal Antonelli for allowing the reader to gain a better understanding of "which figures or attitudes caused the present situation." This, the archbishop says, is an inquiry "which, in the name of truth, we cannot abandon."

While acknowledging "the turbulent mood of the years that immediately followed the Council," Archbishop Ranjith reminds readers that in summoning the world's bishops to an ecumenical council, Blessed John XXIII intended "a fortification of the faith." The Council, in the eyes of Pope John, was "certainly not a call to go along with the spirit of the times."

However, he continues, the Council took place at a time of great worldwide intellectual turmoil, and in its aftermath especially, many would-be interpreters saw the event as a break from the prior traditions of the Church. As Archbishop Ranjith puts it: Basic concepts and themes like Sacrifice and Redemption, Mission, Proclamation and Conversion, Adoration as an integral element of Communion, and the need of the Church for salvation--all were sidelined, while Dialogue, Inculturation, Ecumenism, Eucharist-as-Banquet, Evangelization-as-Witness, etc., became more important. Absolute values were disdained. Even in the work of the Consilium, the Vatican agency assigned to implement liturgical changes, these influences were clearly felt, the archbishop notes: An exaggerated sense of antiquarianism, anthopologism, confusion of roles between the ordained and the non-ordained, a limitless provision of space for experimentation-- and indeed, the tendency to look down upon some aspects of the development of the Liturgy in the second millennium-- were increasingly visible among certain liturgical schools. Today, Archbishop Ranjith writes, the Church can look back and recognize the influences that distorted the original intent of the Council. That recognition, he says, should "help us to be courageous in improving or changing that which was erroneously introduced and which appears to be incompatible with the true dignity of the Liturgy." A much-needed "reform of the reform," he argues, should be inspired by "not merely a desire to correct past mistakes but much more the need to be true to what the Liturgy in fact is and means to us and what the Council itself defined it to be." Archbishop Ranjith's 10-page Foreword appears in the English-language edition of a book entitled True Development of the Liturgy is written by Msgr. Nicola Giampietro, who serves on the staff of the Congregation for Divine Worship. It will be available in September from Roman Catholic Books.

Clear Words of Msgr Ranjith on the Flaws of the Postconciliar Liturgical Reforms and the Need for a Reform of the Reform

Archbishop Malcolm Ranjith, the Secretary of the Congregation of Divine Worship and the Discipline of the Sacraments, has written a foreword to a book by Msgr. Nicola Giampietro (True Development of the Liturgy, due to be published by Roman Catholic Books in September) based on the diaries and notes of Cardinal Fernando Antonelli OFM, who was the Secretary of the Liturgical Commission of the Second Vatican Council from 1962 to 1964 and went on to be Archbishop Ranjith's predecessor as Secretary of the Sacred Congregation of Rites from 1965 until 1969. With his unique insight, then Fr Antonelli was very critical of the modus operandi of the Consilium, the body charged with preparing the liturgical reforms, and wrote a famous Nota sulla riforma liturgica (note on the liturgical reform) in which he deplored many of the symptoms of decay which we still observe today, such as a rampant disregard for liturgical norms or a lack of love and veneration for Sacred Tradition. Based on Antonelli's observation, Archbishop Ranjith finds some very clear words about the problematic genesis and the results of the liturgical reforms after the Council. Speaking of the influences on the work of the Consilium, he writes:

An exaggerated sense of antiquarianism, anthopologism, confusion of roles between the ordained and the non-ordained, a limitless provision of space for experimentation-- and indeed, the tendency to look down upon some aspects of the development of the Liturgy in the second millennium-- were increasingly visible among certain liturgical schools.

And regarding the result of the reforms, he observes:

Some practices which Sacrosanctum Concilium had never even contemplated were allowed into the Liturgy, like Mass versus populum, Holy Communion in the hand, altogether giving up on the Latin and Gregorian Chant in favor of the vernacular and songs and hymns without much space for God, and extension beyond any reasonable limits of the faculty to concelebrate at Holy Mass. There was also the gross misinterpretation of the principle of "active participation". (...)

Basic concepts and themes like Sacrifice and Redemption, Mission, Proclamation and Conversion, Adoration as an integral element of Communion, and the need of the Church for salvation--all were sidelined, while Dialogue, Inculturation, Ecumenism, Eucharist-as-Banquet, Evangelization-as-Witness, etc., became more important. Absolute values were disdained.

Such an unblinkered look at the liturgical reforms can, Msgr Ranjith writes,

help us to be courageous in improving or changing that which was erroneously introduced and which appears to be incompatible with the true dignity of the Liturgy.

This is nothing short of a manifesto for a true Reform of the Reform, issued by a prelate handpicked by the Holy Father for the competent Congregation, and ought to fill us with great hope. You can read the entire article about the foreword at Catholic World News here.

BERGERAK

Oleh: Rhenald Kasali

"Sebagian besar orang yang melihat belum tentu bergerak, dan yang bergerak belum tentu menyelesaikan (perubahan)."

Kalimat ini mungkin sudah pernah Anda baca dalam buku baru Saya, "ChaNge".

Minggu lalu, dalam sebuah seminar yang diselenggarakan Indosat, iseng-iseng Saya mengeluarkan dua lembaran Rp 50.000. Di tengah-tengah ratusan orang yang tengah menyimak isi buku, Saya tawarkan uang itu. "Silahkan, siapa yang mau boleh ambil," ujar Saya. Saya menunduk ke bawah menghindari tatapan ke muka audiens sambil menjulurkan uang Rp 100.000.

Seperti yang Saya duga, hampir semua audiens hanya diam terkesima. Saya ulangi kalimat Saya beberapa kali dengan mimik muka yang lebih serius. Beberapa orang tampak tersenyum, ada yang mulai menarik badannya dari sandaran kursi, yang lain lagi menendang kaki temannya. Seorang ibu menyuruh temannya maju, tetapi mereka semua tak bergerak. Belakangan, dua orang pria maju ke depan sambil celingak-celinguk. Orang yang maju dari sisi sebelah kanan mulanya bergerak cepat, tapi ia segera menghentikan langkahnya dan termangu, begitu melihat seseorang dari sisi sebelah kiri lebih cepat ke depan. Ia lalu kembali ke kursinya. Sekarang hanya tinggal satu orang saja yang sudah berada di depan Saya. Gerakannya begitu cepat, tapi tangannya berhenti manakala uang itu disentuhnya. Saya dapat merasakan tarikan uang yang dilakukan dengan keragu-raguan. Semua audiens tertegun.

Saya ulangi pesan Saya, "Silahkan ambil, silahkan ambil." Ia menatap wajah Saya, dan Saya pun menatapnya dengan wajah lucu. Audiens tertawa melihat keberanian anak muda itu. Saya ulangi lagi kalimat Saya, dan Ia pun merampas uang kertas itu dari tangan Saya dan kembali ke kursinya. Semua audiens tertawa terbahak-bahak. Seseorang lalu berteriak, "Kembalikan,kembalikan!" Saya mengatakan, "Tidak usah. Uang itu sudah menjadi miliknya." Setidaknya, dengan permainan itu seseorang telah menjadi lebih kaya Rp.100.000. Saya tanya kepada mereka, mengapa hampir semua diam, tak bergerak. Bukankah uang yang Saya sodorkan tadi adalah sebuah kesempatan?

Mereka pun menjawab dengan berbagai alasan:

"Saya pikir Bapak cuma main-main ............"

"Nanti uangnya toh diambil lagi."

"Malu-maluin aja."

"Saya tidak mau kelihatan nafsu. Kita harus tetap terlihat cool!"

"Saya enggak yakin bapak benar-benar akan memberikan uang itu ....."

"Pasti ada orang lain yang lebih membutuhkannya...."

"Saya harus tunggu dulu instruksi yang lebih jelas....."

"Saya takut salah, nanti cuma jadi tertawaan doang........."

"Saya, kan duduk jauh di belakang..." dan seterusnya.

Saya jelaskan bahwa jawaban mereka sama persis dengan tindakan mereka sehari-hari. Hampir setiap saat kita dilewati oleh rangkaian opportunity (kesempatan),tetapi kesempatan itu dibiarkan pergi begitu saja. Kita tidak menyambarnya, padahal kita ingin agar hidup kita berubah.

Saya jadi ingat dengan ucapan seorang teman yang dirawat di sebuah rumah sakit jiwa di daerah Parung. Ia tampak begitu senang saat Saya dan keluarga membesuknya. Sedih melihat seorang sarjana yang punya masa depan baik terkerangkeng dalam jeruji rumah sakit bersama orang-orang tidak waras.

Saya sampai tidak percaya ia berada di situ. Dibandingkan teman-temannya, ia adalah pasien yang paling waras. Ia bisa menilai "gila" nya orang di sana satu persatu dan berbicara waras dengan Saya. Cuma, matanya memang tampak agak merah. Waktu Saya tanya apakah ia merasa sama dengan mereka, ia pun protes.

"Gila aja....ini kan gara-gara saudara-saudara Saya tidak mau mengurus Saya. Saya ini tidak gila. Mereka itu semua sakit.....". Lantas, apa yang kamu maksud 'sakit'?"

"Orang 'sakit' (gila) itu selalu berorientasi ke masa lalu, sedangkan Saya selalu berpikir ke depan. Yang gila itu adalah yang selalu mengharapkan perubahan, sementara melakukan hal yang sama dari hari ke hari.....," katanya penuh semangat." Saya pun mengangguk-angguk.

Pembaca, di dalam bisnis, gagasan, pendidikan, pemerintahan dan sebagainya, Saya kira kita semua menghadapi masalah yang sama. Mungkin benar kata teman Saya tadi, kita semua mengharapkan perubahan, tapi kita tak tahu harus mulai dari mana. Akibatnya kita semua hanya melakukan hal yang sama dari hari ke hari,

Jadi omong kosong perubahan akan datang. Perubahan hanya bisa datang kalau orang-orang mau bergerak bukan hanya dengan omongan saja.

Dulu, menjelang Soeharto turun orang-orang sudah gelisah, tapi tak banyak yang berani bergerak. Tetapi sekali bergerak, perubahan seperti menjadi tak terkendali, dan perubahan yang tak terkendali bisa menghancurkan misi perubahan itu sendiri, yaitu perubahan yang menjadikan hidup lebih baik.

Perubahan akan gagal kalau pemimpin-pemimpinnya hanya berwacana saja. Wacana yang kosong akan destruktif. Manajemen tentu berkepentingan terhadap bagaimana menggerakkan orang-orang yang tidak cuma sekedar berfikir, tetapi berinisiatif, bergerak, memulai, dan seterusnya. Get Started. Get into the game. Get into the playing field, Now. Just do it!.

Janganlah mereka dimusuhi, jangan inisiatif mereka dibunuh oleh orang-orang yang bermental birokratik yang bisanya cuma bicara di dalam rapat dan cuma membuat peraturan saja. Makanya tranformasi harus bersifat kultural,tidak cukup sekedar struktural. Ia harus bisa menyentuh manusia, yaitu manusia-manusia yang aktif, berinisiatif dan berani maju. Manusia pemenang adalah manusia yang responsif. Seperti kata Jack Canfield,yang menulis buku Chicken Soup for the

Soul, yang membedakan antara winners dengan losers adalah "Winners take action.they simply get up and do what has to be done.".