laporan praktikum silvikultur

30
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hutan sebagai sumberdaya alam yang dpat diperbaharui memberikan manfaat pada setiap manusia. Namu dari tahun ke tahun kawasan hutan semakin berkurang seiring meningkatnya kebutuhan manusia akan hasil hutan dan adanya kemajuan teknologi. Pertambahan penduduk yang semakin meningkat berbanding terbalik dengan persediaan sumberdaya hutan. Hal ini akan menjadi ancaman bagi kehidupan manusia di masa datang (Anonim, 2012). Keberadaan hutan sebagai sumberdaya alam yang dapat diperbaharui, terutama hasil hutan yang berupa kayu dan non kayu yang memiliki sifat estetika yang alamiah membuat banyak orang tertarik untuk mengelolanya. Akan tetpi pengolahan hutan ini, biasanya dilakukan dengan cara yang tidak bertanggung jawab misalnya menebang tanpa melakukan penanaman kembali, sehingga mengakibatkan terputusnya siklus kehidupan di dalam hutan dan berdampak langsung bagi kehidupan masyarakat sekitar hutan dan perekonomian negara (Anonim, 2012). Banyak cara yang telah dilakukan untuk menutupi ketersediaan sumberdaya hutan yang semakin terbatas, misalnya melalui kegiatan reboisasi, penghijauan dan Gerakan Nasional Rehabilitasi Lahan (GNRHL) yang merupakan kegiatan yang menggunakan rangkaian kegiatan silvikultur. Dalam ilmu silvikultur membahas mengenai penenaman, penumbuhan, pemeliharaan, pemungutan hasil dan melaksanakan permudaan. Oleh karena itu, dalam usaha melestarikan hutan perlu dipahami prinsip dan cara teknis dalam penerapan ilmu silvikultur ini (Anonim, 2012). Untuk mengetahui dan memahami teknik silvikultur yang lebih baik, maka perlu dilakukan praktek lapang silvikultur mengenai produktivitas dan potensi tegakan jati Tectona grandis. 1

Upload: fatahuddin

Post on 17-Nov-2023

0 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Hutan sebagai sumberdaya alam yang dpat diperbaharui memberikan manfaat

pada setiap manusia. Namu dari tahun ke tahun kawasan hutan semakin berkurang

seiring meningkatnya kebutuhan manusia akan hasil hutan dan adanya kemajuan

teknologi. Pertambahan penduduk yang semakin meningkat berbanding terbalik

dengan persediaan sumberdaya hutan. Hal ini akan menjadi ancaman bagi kehidupan

manusia di masa datang (Anonim, 2012).

Keberadaan hutan sebagai sumberdaya alam yang dapat diperbaharui, terutama

hasil hutan yang berupa kayu dan non kayu yang memiliki sifat estetika yang alamiah

membuat banyak orang tertarik untuk mengelolanya. Akan tetpi pengolahan hutan

ini, biasanya dilakukan dengan cara yang tidak bertanggung jawab misalnya

menebang tanpa melakukan penanaman kembali, sehingga mengakibatkan

terputusnya siklus kehidupan di dalam hutan dan berdampak langsung bagi

kehidupan masyarakat sekitar hutan dan perekonomian negara (Anonim, 2012).

Banyak cara yang telah dilakukan untuk menutupi ketersediaan sumberdaya hutan

yang semakin terbatas, misalnya melalui kegiatan reboisasi, penghijauan dan Gerakan

Nasional Rehabilitasi Lahan (GNRHL) yang merupakan kegiatan yang menggunakan

rangkaian kegiatan silvikultur. Dalam ilmu silvikultur membahas mengenai

penenaman, penumbuhan, pemeliharaan, pemungutan hasil dan melaksanakan

permudaan. Oleh karena itu, dalam usaha melestarikan hutan perlu dipahami prinsip

dan cara teknis dalam penerapan ilmu silvikultur ini (Anonim, 2012).

Untuk mengetahui dan memahami teknik silvikultur yang lebih baik, maka perlu

dilakukan praktek lapang silvikultur mengenai produktivitas dan potensi tegakan jati

Tectona grandis.

1

B. Tujuan dan Kegunaan

Tujuan dilakukannya praktikum ini adalah sebagai berikut:

1. Mengetahui sebaran diameter tegakan jati.

2. Mengetahui kerapatan tegakan jati.

3. Mengetahui bonita tegakan jati.

4. Mengetahui derajat kekerasan penjarangan tegakan jati.

Adapun kegunaan praktikum ini yaitu mahasiswa dapat menentukan sebaran

diameter dalam suatu tegakan dan dapat membuat kurva kelas diameter tersebut serta

mengetahui pertumbuhan dan perkembangan tanaman sebagai bahan informasi dalam

penerapan praktikum selanjutnya serta sebagai bahan perbandingan antara teori dan

praktikum di lapangan.

2

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Bonita

Bonita adalah suatu ukuran kualitas tempat tumbuh hutan tanaman yang

ditetapkan berdasar hasil pengukuran tinggi rata – rata seratus pohon tertinggi per ha

(pohon peninggi ) suatu tegakan pada umur tertentu. Bonita I menunjukkan kualitas

tempat tumbuh paling rendah dan bonita V dan VI menunjukkan kualitas paling

tinggi (Junus dkk, 1984).

Lingkungan hutan biasanya dinamakan tempat tumbuh. Tempat tumbuh dapat

diartikan dengan jumlah dari keadaan – keadaan yang efektif yang mempengaruhi

penghidupan suatu tumbuh – tumbuhan atau masyarakat tumbuh – tumbuhan. Dilihat

dari segi silvikultur maka tempat tumbuh adalah semua yang berhubungan dengan

faktor – fakor yang mempengaruhi vegetasi hutan. Jadi jelasnya bahwa tempat

tumbuh adalah amat kompleks dan merupakan hasil interaksi dari banyak faktor yang

dihasilkan persatuan areal berkorelasi dengan faktor – faktor tempat tumbuh. Suatu

perubahan – perubahan dalam fsktor – faktor akan menyebabkan suatu perubahan

dalam volume kayu yang diprodusir dan juga perubahan dalam sifat – sifat

vegetasinya. Suatu perubahan dalam suplai air di bawah jumlah optimum yang

diperlukan suatu tipe vegetasi akan menurunkan hasil volume. Kualitas tempat

tumbuh menunjukkan kapasitas produksi dari suatu areal tanah hutan biasanya untuk

suatu kombinasi dari spesies (Soetrisno, 1998).

Namun konteks kualitas tumbuh dan bonita itu berbeda. Kualitas tempat tumbuh

adalah ukuran tingkat kesuburan tanah yang berhubungan erat dengan produktivitas

kayu yang dapat dihasilkan. Sedangkan yang dimaksud dengan bonita adalah ukuran

yang digunakan untuk menentukan kualitas tempat tumbuh. Penetapan nilai bonita

sering didasarkan pada hubungan antara rata-rata peninggi dengan umur dengan

tegakan. Salah satu penentu kualitas kayu jati adalah tinggi tanaman jati semakin baik

kualitas dari jati tersebut. Sedang penilaian bonita melalui penilaian karakteristik

3

lahan mungkin dapat dikembangkan dan akan lebih bermanfaat khususnya bagi

kepentingan perencanaan, pengembangan dan pengolahan hutan jati (Anonim, 2009).

Penetapan kualitas tempat tumbuh berdasarkan antara peninggi dan umur tegakan

di lapangan memang sangat praktis tetapi mempunyai kelemahan dimana penilaian

terlalu rendah bagi tegakan yang masih muda dan sebaliknya penilaian terlalu tinggi

untuk tanaman yang sudah tua. Evaluasi kualitas tempat tumbuh dapat dilakukan

dengan metode langsung dan tidak langsung. Metode langsung untuk menentukan

kualitas tempat tumbuh adalah dengan menumbuhkan tegakan berkerapatan penuh

terhadap jenis yang diinginkan pada suatu tempat tumbuh untuk periode yang

direncanakan (Soetrisno, 1998).

B. Penjarangan

Penjarangan merupakan kegiatan yang dijalankan pada tegakan seumur atau

kelompok seumur dan tegakan tidak seumur pada setiap saat sebelum permulaan atau

periode permudaa. Tujuannya yaitu pemungutan pohon terutama untuk

mendistribusikan kembali potensi pertumbuhan atau untuk meningkatkan kualitas

tegakan tinggal (Soekotjo, 1992).

Pada dasarnya penjarangan adalah suatu upaya pemeliharaan yang dilakukan

manusia pada tegakan pohon dalam suatu areal hutan, tujuannya adalah menciptakan

keseimbnagan antara kepentingan biologi dari pohon dan kepentingan eki=onomi

untuk memperoleh hasil yang maksimal dikemudian hari. Penjarangan berpengaruh

terhadap tegakan yaitu meningkatkan diameter batang, tinggi tegakan dan volume

total tegakan. Selain itu jumlah batang tegakan dan volume tegakan tinggal berkurang

(Wanggai, 2009).

Dampak penjarangan adalah memberikan ruang tumbuh yang lebih baik pada

tegakan tinggal, terutama perkembangan tajuk aupun pertambahan riap. Dapat

diungkapkan pula bahwa pada penjarangan pohon-pohon dengan diameter yang

snagat kecil yaitu kurang dari 5 cm memang tidak menguntungkan dan menambah

bebean biaya pemeliharaan. Dengan alasan tersebut, maka dalam banyak hal,

kegiatan penjarangan tidak dilaksanakan, Jika dianalisis lebih lanjut, maka tampak

4

bahwa pohon-pohon tanpa penjarangan akan sangat berpengaruh pada hasil akhir

yang diperoleh dari suatu kawasan hutan (Wanggai, 2009).

Manan (1976) mengemukakan bahwa secara alami terjadi persaingan dalam suatu

masyarakat tumbuh-tumbuhan. Pada kondisi yang demikian, terjadi suksesi hingga

mencapai kondisi klimaks, yaitu saat tercatat keseimbangan antara masyarakat

tumbuh-tumbuhan dengan lingkungannya. Pohon-pohon yang tertekan, kalah dalam

persaingan akan mati dan ini merupakan penjarangan alami. Dalam proses demikian

akan terjadi pengurangan jumlah pohon secara bebas dan tidak teratur akibat seleksi

alami dalam suatu kawasan hutan. Selanjutnya diungkapkan bahwa penjarangan

secara alami akan membiarkan banyak energi dan materi yang terbuang dalam jangka

panjang sehingga memerlukan campur tangan manusia. Untuk itu penjarangan buatan

perlu dilakukan agar lebih banyak energi dan materi alam dapat digunakan oleh

tumbuhan secara optimum sesuai ruang dan waktu tertentu.

Penjarangan dapat dilakuan 2 kali pada umur 5-7 tahun sebanyak 25% dan pada

umur 10 tahun sebanyak 25% dan pada umur 15 tahun dilakukan tebang habis atau

panen total. Penjarangan dan penebangan dilakukan dengan berbagai pertimbangan

yang mungkin bisa dilakukan ini tergantung pada:

Jarak tanam; Kesuburan tanah; Perawatan; Pelaksanaan penjarangan sendiri

didasarkan atas beberapa pertimbangan antara lain: Pertimbangan ekonomis; Jumlah

pohon persatuan luas ideal; Penjarangan sistematik; Penjarangan seleksi rendah;

Penjarangan tajuk; Berkaitan dengan prinsip-prinsip penjarangan tersebut, maka yang

ideal adalah dilakukan dengan kaidah selemah mungkin akan tetapi sesering

mungkin. Sebab penjarangan yang terlalu keras akan menyebabkan ruang tumbuh

yang terlalu terbuka yang mengakibatkan tanaman menjadi lunglai, sedangkan

penjarangan yang telalu lemah menyebabkan tanaman menjadi kurang optimal

pertumbuhannya (Manan, 1976).

Hawley dan Smith (1962) dalam Manan (1976) mengemukakan bahwa pada

umumnya terdapat lima metode penjarangan yang digunakan, yaitu:

5

1. Penjarangan Rendah (Low Thinning)

Disebut penjarangan rendah karena dimulai dari lapisan tajuk yang paling bawah

dan merupakan cara tertua diterapkan di Jerman sehingga cara ini dikenal dengan

istilah Metode Jerman. Prinsip dasar yang diterapkan dalam metode ini adalah

semua pohon dan tajuk jelek pada lapisan paling bawah ditebang kemudian

disusul pohon-pohon dengan tajuk yang jelek pada lapisan tajuk di atas sampai

pada lapisan tajuk paling atas.

2. Penjarangan Tajuk (Crown Thinning)

Penjarangan tajuk lebih diarahkan pada pohon-pohon kelas tajuk paling atas

(dominanan trees) dan kelas tajuk pertengahan. Dari proses penjarangan ini maka

perbedaan pokok antara low thinning dan crown thinning adalah bahwa dalam

crown thinning tidak ada penjelasan ringan karena dimulai dari pohon kelas tajuk

paling atas serta pohon-pohon yang ditinggalkan untuk penjarangan ringan karena

dimulai dari pohon kelas tajuk kodominan dan dominan. Dengan demikian, dapat

dikatakan bahwa pohon-pohon yang ditinggalkan berasal dari dua kelas lapisan

tajuk dalam satu kelas umur. Kelemahan metode penjarangan ini adalah dua kelas

diterapkan pada tegakan pohon yang distribusi atau sebaran kelas-kelas tajuknya

yang tidak jelas dalam satu kelas umur tegakan.

3. Penjarangan Seleksi ( Selection Thinnning)

Ciri khusus dari penjarangan ini seleksi adalah dimulai dari pohon-pohon

dominan dengan tajuk paling atas akan dimanfaatkan kayunya. Penjarangan

seleksi sangat berbeda dengan penjarangan rendah yaitu dimulai pada pohon-ohon

yang tertekan. Prinsip dari penjarangan seleksi adalah memanfaatkan secara

maksimal hasil terbaik pohon selama daurnya. Dengan demikian, pohon

kododminan dan yang tertekan diberi ruang tumbuh yang lebih baik untuk

dimanfaatkan kayunya pada penjarangan berikutnya. Dapat disimpulkan bahwa

cara penjarangan ini lebih cocok diterapkan pada suatu tegakan yang

menghasilkan kayu dengan diameter sedang dan kecil.

6

4. Penjarangan Mekanik (Mechanichal Thinning)

Penjarangan ini berbeda dengan metode-metode lainnya yaitu dengan metode

mekanik, yang menjadi pertimbangan utama atau dasar penjarangan pohon adalah

posisi tajuk pohon yang akan ditebang. Biasanya metode penjarangan ini

diterapkan pada tegakan seumur dan tingginya hamper seragam. Dalam

aplikasinya, pohon pada jarak tertentu ditebang sehingga disebut pula

penjarangan jalur atau row thinning. Secara umum penjarangan ini diterapkan

pada tegakan yang berukuran sedang setelah mencapai ukuran poles atau tiang

maka digunakan metode lain.

5. Penjarangan Bebas (Free Thinning)

Penjarangan bebas umumnya merupakan gabungan penerapan dari metode lain

sehingga disebut free thinking tidak terikat pada persyaratan tertentu. Pada

umumnya penjarangan bebas dilakukan pada tegakan yang belum dilakukan

penjarangan. Dalam pelaksanaan penjarangan beberapa hal seperti jarak, posisi

tajuk, bentuk batang menjadi pertimbangan dalam penetapan tegakan yang akan

ditebang. Dengan demikian, pohon-pohon yang ditinggalkan berpenampilan kekar

dan diharapkan memberikan produk kayu terbaik dikemudian hari.

C. Derajat Kekerasan Penjarangan

S% (Derajat Ketinggian Penjarangan), yaitu rata-rata jarak antara pohon yang

dinyatakan dalam persen terhadap rata-rata peninggi pohon (sama dengan rata-rat

pohon tertinggi per ha dalam tegakan). S% optimal memberikan ruang tumbuh

optimal bagi pohon dalam tegakan sampai saat penjarangan berikutnya. Untuk S%

optimal diperlukan data pertumbuhan pohon pada setiap umur tegakan. Besarnya S%

pada akhir penjarangan beragam menurut jenis, umumnya berkisar antara 15 – 35%

(Anonim, 2012).

Pohon yang terbaik yaitu bila jarak antar pohon merupakan segitiga sama sisi,

sehingga 1 pohon dikelilingi oleh 6 pohon yang jaraknya masing-masing sama-sama

jauh, dan pohon yang ditengah tersebut akan mempunyai ruangan untuk

perkembangan tajuk yang tidak menyebelah (Manan, 1976).

7

D. Kerapatan

Kerapatan tegakan hutan merupakan salah satu faktor penting dalam menentukan

produktivitas tempat tumbuh dalam tegakan hutan yang sudah ada. Hal ini penting

karena kerapatan tegakan hutan merupakan faktor utama yang dapat dimanipulasi

dalam rangka pengembangan tegakan (Theodore, dkk, 1987).

Kerapatan tegakan merupakan faktor terpenting kedua setelah tempat tumbuh

dalam penentuan produktivitas tempat tumbuh. Hal ini penting karena kerapatan

tegakan merupakan faktor utama yang dapat dimanipulasi rimbawan dalam

pengembangan tegakan. Melalui manipulasi kerapatan tegakan silvikulturis dapat

mempengaruhi pemantapan jenis selama periode permudaan, dan juga memodifikasi

kualitas batang, kecepatan pertumbuhan diameter, dan bahkan volume produksi

selama periode perkembangan tegakan. Kerapatan tegakan didefenisikan sebagai

ukuran kuantitatif stok pohon yang dinyatakan secara relative sebagai koefisien,

dengan mengambil jumlah normal, luas bidang dasar atau volume sebagai unit, atau

secara mutlak dalam istilah jumlah pohon, luas bidang dasar total, atau volume setiap

unit areal (Theodore, dkk, 1987).

Kerapatan tegakan adalah ukuran kuantitatif stok pohon didasarkan pada jumlah

normal, luas bidang dasar dan volume. Kerapatan dibagi atas 2 yakni kerapatn rendah

dan kerapatan tinggi. Hubungan antara kerapatan dengan pertumbuhan dapat

dinyatakan secara umum yaitu jumlah produksi dalam kubik dalam suatu tegakan

dengan komposisi tertentu pada umumnya tetap dan optimum dalam suatu kisaran

kerapatan (range density) yang besar (Anonim, 2012).

Pengaruh kerapatan tanaman terhadap diameter dan tinggi tanaman yaitu semakin

besar kerapatan tanaman maka semakin kecil diameter dan tinggi tanaman yang ada.

Hal ini disebabkan karena kerapatan yang besar berarti jumlah tanaman sejenis

banyak tumbuh di ruang sempit, saling berkompetisi untuk mendapatkan air, dan

nutrisi yang jumlahnya terbatas. Oleh karena itu diameter batang dan tinggi tanaman

tidak dapat tumbuh. Bengitupun sebaliknya, jika kerapatan kecil maka air dan nutrisi

yang tersedia akan semakin besar dan kesempatan tanaman untuk menyerap air dan

8

nutrisi semakin besar, sehingga diamtere batang dan tinggi tanaman bisa tumbuh

secara maksimal. Pengaruh kerapatan tanaman terhadap pertumbuhan akar dan tajuk

yaitu semakin besar kerapatan tanaman, pertumbuhan akar dan tajuk tanaman akan

semakin kecil karena faktor nutrisi dan air akan diperebutkan oleh banyak tanaman

yang sejenis (Anonim, 2012).

Pengaturan jarak tanam merupakan salah satu cara untuk menciptakan faktor-

faktor yang dibutuhkan tanaman dapat tersedia secara merata bagi setiap individu

tanaman dan untuk mengoptimasi penggunaan faktor lingkungan yang tersedia.

Metode untuk pengukuran kerapatan tegakan didasarkan pada prinsip biologis yang

hanya dikenal baru-baru ini yaitu, korelasi yang tinggi antara lebar tajuk pohon yang

tumbuh terbuka dan diameternya. Metode ini terbukti berguna untuk estimasi

pengurangan tinggi yang disebabkan oleh berbagai derajat stagnasi pada Pinus

contorta (Theodore, dkk, 1987).

 Metode ini memberikan alat untuk mengetahui jumlah tekanan sampingan yang

dapat ditahan suatu jenis dan memberikan wawasan yang berharga mengapa beberapa

jenis mampu tumbuh pada tegakan yang lebih rapat dari yang lain. Metode ini

mengukur karakteristik biologis lain suatu jenis yang tidak bergantung pada umur dan

tempat tumbuh. Metode persaingan tajuk dikembangkan untuk memberikan data

ruang tumbuh maksimal yang dapat digunakan oleh pohon dan data keperluan pohon

minimal untuk mempertahankan tempatnya dalam tegakan (Anonim, 2012).

9

BAB III

METODE PRAKTIKUM

A. Waktu dan Tempat

Praktek lapang ini dilaksanakan pada hari Sabtu, 17 Oktober 2015 pukul 09.30

WITA – selesai yang bertempat di tegakan jati Fakultas Sastra Universitas

Hasanuddin Makassar.

B. Alat dan Bahan

1. Alat

Alat-alat yang digunakan pada praktikum ini adalah:

a. Pita meter digunakan untuk mengukur keliling pohon.

b. Roll meter digunakan untuk mengukur plot dan jarak pengamat dari pohon.

c. Abney level digunakan untuk mengukur tinggi total dan tinggi bebas cabang

pohon.

d. Kamera digital digunakan untuk mendokumentasi praktek lapangan.

e. Alat tulis menulis digunakan sebagai alat untuk mencatat hasil yang diamati.

2. Bahan

Adapun bahan yang digunakan dalam praktikum ini adalah sebagai berikut:

a. Tally sheet digunakan sebagai tempat untuk mencatat data hasil pengukuran.

b. Tali rafia digunakan untuk memberi tanda batas wilayah praktikum..

c. Tegakan pohon jati (Tectona  grandis) yang dijadikan sebagai objek dalam

praktikum ini.

C. Prosedur Kerja

Prosedur kerja yang dilakukan dalam praktek lapang silvikultur, ialah:

1. Menentukan lokasi pengamatan.

2. Membuat 2 plot, yang masing-masing plot berukuran 10 x 10 m.

3. Melakukan pengukuran keliling pohon dengan menggunakan pita meter serta

tinggi total dan tinggi bebas cabang pohon menggunakan abney level.

4. Memasukkan data ke dalam tally sheet yang telah disiapkan

10

5. Mengolah data dengan menggunakan rumus.

D. Analisa Data

Metode pengukuran pohon yang dilakukan pada praktek lapang Silvikultur

adalah sebagai berikut :

1. Mengukur diameter pohon dengan cara mengukur keliling pohon yang dikonversi

ke diameter, dengan rumus :  

d   =  kπ , dengan k adalah keliling, π bernilai 3,14

2. Menghitung tinggi pohon menggunakan abney level, dengan rumus :

Tinggi total : tinggi pengamat + jarak . tan α 1

Tinggi bebas cabang (Tbc) : tinggi pengamat + jarak . tan α 2

3. Menghitung Luas Bidang Dasar (LBDS) dengan menggunakan rumus:

B=( π4 )d2 atau B=π r2

4. Menghitung volume pohon Tbc dengan rumus :

Volume Tbc = B .Tbc . f

Dimana : B : Luas Bidang dasar (LBDS) m2

Tbc : Tinggi bebas cabang, m

f : Angka Bentuk (0,8)

5. Menghitung volume tinggi dengan rumus :

Volume Tinggi = B .Ttotal . f

Dimana : B : Luas Bidang dasar (LBDS) m2

Ttotal : Tinggi total pohon, m

f : Angka Bentuk (0,8)

6. Kurva Kelas Diameter

J = d maksimal – d minimal

K = 1 + 3,3 log (jumlah pohon)

P = J/K

Dimana : d = diameter

11

J = jangkauan data

K = banyaknya interval kelas

P = panjang kelas

7. Kerapatan

a. Kerapatan Individu

Kerapatan Individu/ha = Jumlah Pohon

Luas

b. Kerapatan LBDs

Kerapatan LBDs/ha = Σ LBDs seluruh plot

Luas Area

Luas Plot sampel = 0,1 ha

8. Bonita

Menggunakan jumlah pohon dalam seluruh tegakan dengan rumus :

H  = h1 + h2 + h3 +…..+ n

N

Keterangan:

       H : Tinggi rata-rata (peninggi)

       h : Peninggi  masing-masing pohon

       N : Jumlah Pohon.   

  9. Penjarangan

Rumus yang digunakan dalam menghitung tingkat kekerasan  Penjarangan (S%)

adalah sebagai berikut :

S% Hitung = ape x 100 %

a = √10000 x √ 2N √3

Keterangan :  

                      a = jarak antar Pohon                       

p = Peninggi

                      N = jumlah Pohon

12

S% Tabel dapat dilihat pada tabel Bonita.

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Hasil

1. Kelas Diameter

Menghitung kurva kelas diameter dengan mengunakan rumus:

a. Jangkauan Data (J)

J = dmax - dmin

b. Banyak Interval Kelas

K = 1 + 3,3 log (jumlah pohon)

c. Panjang Interval Kelas

P = JK

Penyelesaian:

a. Jangkauan data

Untuk Plot 1: Untuk Plot 6:

J = 26,43 – 11,47 = 14,96 cm J = 23,89 – 12,42 = 11,47 cm

Untuk Plot 2: Untuk Plot 7:

J = 23,89 – 12,42 = 11,47 cm J = 26,43 – 16,88 = 9,55 cm

Untuk Plot 3: Untuk Plot 8:

J = 21,66 – 14,65 = 7,01 cm J = 19,43 – 9,24 = 10,19 cm

Untuk Plot 4: Untuk Plot 9:

J = 25,29 –17,29 = 8 cm J = 25,48 –11,47 = 14,01cm

Untuk Plot 5: Untuk Plot 10:

J = 23,89 –11,47 = 14,19 cm J = 24,84 –12,10 = 12,74 cm

Untuk semua plot dari plot 1 – plot 10

J = 26,43 – 9,24 = 17,19 cm

13

b. Banyak Interval Kelas

k = 1 + 3,3 log (Jumlah Pohon)

k = 1 + 3,3 log 110

k = 1 + 3,3 × 2,04

k = 1 + 3,3 (1,04)

k = 1 + 6,73

k = 7,73

Maka, banyaknya interval kelas adalah 8

c. Panjang Interval Kelas

P = JK

P = 17,19

8

P = 2,15

d. Batas Interval Kelas

Tabel 1. Data Frekuensi Kelas Diameter Pohon

Kelas Interval (cm) Frekuensi

1 9,24-11,39 2

2 11,40-13,55 11

3 13,56-15,71 10

4 15,72-17,87 15

5 17,88-20,03 30

6 20,04-22,19 25

7 22,20-24,35 11

8 24,36-26,51 6

14

9,24-11,39

11,40-13,55

13,56-15,71

15,72-17,87

17,88-20,03

20,04-22,19

22,20-24,350

5

10

15

20

25

30

35

Kelas Diameter Tectona grandis

Kelas DiameterKurva Diameter

Kategori Kelas

Frek

uens

i

2. Kerapatan Tegakan Setiap Pohon

a. Kerapatan Individu

Plot 1 = ∑ Pohon Plot ILuas Area

Plot 6 =

∑ Pohon Plot VILuas Area

Plot 2 = ∑ Pohon Plot IILuas Area

Plot 7 =

∑ Pohon Plot VIILuas Area

Plot 3 = ∑ Pohon Plot IIILuas Area

Plot 8 =

∑ Pohon Plot VIIILuas Area

15

Plot 4 = ∑ Pohon Plot IVLuas Area

Plot 9 =

∑ Pohon Plot IXLuas Area

Plot 5 = ∑ Pohon Plot VLuas Area

Plot 10 =

∑ Pohon Plot XLuas Area

Kerapatan Individu/Ha = ∑ X (Jumlah Seluruh Pohon)∑ Luas Area

b. Kerapatan LBDS

Plot 1 = ∑ LBDS Plot I∑ Luas

Plot 6 = ∑ LBDS Plot VI∑ Luas

Plot 2 = ∑ LBDS Plot II∑ Luas

Plot 7 =

∑ LBDS Plot VII∑ Luas

Plot 3 = ∑ LBDS Plot III∑ Luas

Plot 8 =

∑ LBDS Plot VIII∑ Luas

Plot 4 = ∑ LBDS Plot IV∑ Luas

Plot 9 =

∑ LBDS Plot IX∑ Luas

Plot 5 = ∑ LBDS Plot V∑ Luas

Plot 10 =

∑ LBDS Plot X∑ Luas

Kerapatan LBDs/ha = ∑ LBDS Seluruh Plot∑ Luas Area

16

Penyelesaian:

a. Kerapatan Individu

Plot 1 = 130,1 = 130 Plot 6 =

80,1 = 80

Plot 2 = 120,1= 120 Plot 7 =

60,1 = 60

Plot 3 = 100,1 = 100 Plot 8 =

120,1 = 120

Plot 4 = 7

0,1 = 70 Plot 9 = 150,1 = 150

Plot 5 = 120,1 = 120 Plot 10 =

150,1 = 150

Kerapatan Individu/Ha = 1101 = 110 pohon/ha

b. Kerapatan LBDS

Plot 1 = 0,406 m2 Plot 6 = 0,214 m2

Plot 2 = 0,322 m2 Plot 7 = 0,202 m2

Plot 3 = 0,285 m2 Plot 8 = 0,240 m2

Plot 4 = 0,246 m2 Plot 9 = 0,526 m2

Plot 5 = 0,320 m2 Plot 10 = 0,363 m2

Σ LBDs seluruh plot = 3,124 m2

Jadi, Kerapatan LBDs =3,124

0,1 = 31,24 m2 / ha

3. Bonita

a. Peninggi

Untuk menentukan bonita, sebelumnya peninggi seluruh plot harus ditentukan

terlebih dahulu dengan rumus berikut :

Peninggi Plot ke-n = Σ 10 Pohontertinggi plot ke−n(TT )

10

Peninggi seluruh plot = Σ Peninggi plot

10

17

Penyelesaian:

Peninggi Plot 1 = 15,881 m Peninggi Plot 6 = 18,821 m

Peninggi Plot 2 = 13,104 m Peninggi Plot 7 = 19,600 m

Peninggi Plot 3 = 29,075 m Peninggi Plot 8 = 16,386 m

Peninggi Plot 4 = 24,060 m Peninggi Plot 9 = 16,949 m

Peninggi Plot 5 = 18,143 m Peninggi Plot 10 = 13,899 m

Σ Pohon tertinggi setiap plot = 185,918 m

Jadi, peninggi seluruh plot = 185,918

10 = 18,592 m

b. Bonita

Bonita ditentukan dengan rumus berikut :

Bonita I = (Peninggi pada umur 15 - Peninggi pada umur 10) / 15-10 = x

Bonita I = Peninggi pada umur 10 tahun + x

Bonita II sampai Bonita V ditentukan dengan rumus yang sama.

Penyelesaian:

1) Bonita I = (12,8−10,7)

15−10 = 0,4

10,7 + 0,4 = 11,1

2) Bonita II = (16,4−13,6)

15−10 = 0,6

13,6 + 0,6 = 14,2

3) Bonita III = (20,0−16,6)

15−10 = 0,7

16,6 + 0,7 = 17,30

4) Bonita IV = (23,6−19,6)

15−10 = 0,8

19,6 + 0,8 = 20,4

5) Bonita V = (27,0 – 22,6)15−10

= 0,9

22,6 + 0,9 = 23,5

18

Peninggi yang didapatkan adalah 18,592 m untuk luas 0,1 ha. Jadi tegakan jati

yang diamati berada pada bonita III.

4. Derajat Kekerasan Penjarangan (S%)

a. S% Hitung

Untuk menentukan S% hitung ditentukan dengan rumus :

S% Hitung = ape x 100 %

Keterangan: a = jarak tanam

Pe = Peninggi

Q = 100 × √ 2N √3

→ karena ada 10 plot dengan keseluruhan luasan 1 ha

Sehingga untuk a = √10000 x √ 2N √3

Penyelesaian:

a = 100 x √ 2110 √3

= 100 x 0,1024 = 10,24

S% Hitung = 10,2418,59 × 100% = 55 %

b. S% Tabel

S% Tabel ditentukan dengan rumus berikut :

S% 1 = (S % pada umur 15−S% pada umur 10)

15−10 = y

S% 1 = S% pada umur 10 tahun + y

S% 2 sampai S% 5 ditentukan dengan rumus yang sama

1) S% 1= ¿¿ = 0,3

19,1 + 0,3 = 19,4

2) S% 2 = (21,3−20,4)

15−10 = 0,2

20,4 + 0,2 = 20,6

19

3) S% 3= (22,7−21,3)

15−10 = 0,3

21,3 + 0,3 = 21,6

4) S% 4 = (24,3−22,6)

15−10 = 0,3

22,6 + 0,3 = 22,9

5) S% 5 = (26,2 – 23,8)

15−10 = 0,5

23,8 + 0,5 = 24,3

S% Hitung yang didapatkan adalah 55 %. Jadi tegakan jati yang diamati tidak

perlu dilakukan penjarangan karena S% Tabel (S% 1 - S% 5) lebih kecil dari S%

Hitung.

B. Pembahasan

Kegiatan praktikum pada tegakan jati Tectona grandis di Fakultas Sastra

Universitas Hasanuddin bertujuan untuk menentukan potensi tegakan dan

menentukan preskripsi pengelolaan tegakan mengetahui kondisi bonita maupun

derajat kekerasan penjarangannya melalui data hasil inventarisasi tegakan. Pada

tegakan ini diperoleh pula informasi bahwa pada hutan tanaman yang diamati tidak

hanya terdapat satu jenis tanaman, tetapi memiliki beberapa tanaman lain. Terbukti

pada lokasi praktikum terdapat jenis mangga di antara dominan tegakan jati.

Luas plot sampel yaitu 0,1 ha yang selanjutnya dibagi menjadi 10 subplot masing-

masing seluas 0,001 ha. Jumlah total pohon adalah 110 pohon dengan 10 peninggi

yang tersebar secara merata. Tegakan pohon jati ini (Tectona grandis) memiliki

pertumbuhan primer (tinggi) dan pertumbuhan sekunder (diameter) yang cukup baik.

Pohon jati (Tectona grandis) juga memiliki sedikit percabangan, hal ini disebabkan

karena pola penanaman atau jarak tanam yang rapat sehingga pertumbuhan pohon

lebih banyak diarahkan kepada pertumbuhan tinggi karena adanya persaingan atau

kompetisi dalam memperebutkan cahaya matahari sehingga semua pohon bersaing

untuk meninggikan batangnya dalam hal untuk mendapatkan cahaya penuh.

20

1. Kurva Kelas Diameter

Hasil analisis data menunjukkan bahwa tegakan jati lebih banyak berada pada

kisaran interval kelas diameter 17,88-20,03 cm dengan jumlah 30 pohon, dengan arti

bahwa pertumbuhan tegakan tersebut pada umumnya berada pada fase tiang atau

pohon .Kelas diameter dominan pada interval ini karena pengaturan jarak tanam yang

terbilang rapat, sehingga pertumbuhan pohon lebih banyak diarahkan kepada

pertumbuhan tingginya. Jarak tanam yang rapat juga menyebabkan bentuk batang

dari pohon jati berbentuk silindris. Sedangkan pada kelas diameter terkecil berada

pada interval kelas 9,24-11,39 cm yang hanya terdapat 2 pohon saja. Hal ini

dikarenakan kurangnya kemampuan bersaing pada 2 pohon ini.

2. Kerapatan Tegakan

Pada kerapatan tegakan disini didapatkan dua hasil, yaitu yang pertama kerapatan

individu yang menggambarkan kerapatan dari suatu tegakan. Dimana kerapatan

individunya yaitu 110 pohon/ha. Yang kedua yaitu kerapatan LBDS yang

menggambarkan integrasi antara jumlah pohon dan luas permukaan batang dalam

suatu tegakan dengan nilai kerapatan LBDs sebesar 31,24 m2/ha.

3. Bonita

Peninggi yang diperoleh pada seluruh plot adalah 18,592 m. Peninggi ini

diperlukan untuk menentukan kualitas tapak tegakan. Dari data peningi tersebut

dapat dilihat bahwa tegakan jati yang diamati terdapat pada kelas bonita III yang

artinya kualitas kesuburan tapak cukup baik untuk ditumbuhi tanaman.

4. Derajat Kekerasan Penjarangan (S%)

Untuk perhitungan derajat kekerasan maka preskripsi yang dilakukan pada

0,1ha areal ini dilihat pada S% tabel > S% hitung jadi tegakan tersebut membutuhkan

penjarangan. Namun berdasarkan perhitungan yang diperoleh sebaliknya yaitu S %

tabel < S% hitung yakni 55 % ¿ 54.76% sehingga kesimpulannya tegakan jati yang

diamati tidak butuh dijarangi. Untuk hasil riap tahun rata-rata, diperoleh MAI = 0,398

m3/tahun. Dimana MAI ini adalah rata-rata produksi yang terakumulasi tiap

21

tahunselama umur dari tegakan. Dengan mengetahui MAI kita juga dapat menetapkan

berapa seharusnya rotasi untuk memaksimalkan produksi.

BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

Berdasarkan hasil yang diperoleh dari pengamatan yang dilakukan, maka dapat

disimpulkan sebgai berikut:

1. Tegakan jati yang diamati dengan jarak tanam yang rapat memiliki 8 sebaran

kelas diameter dari 9,24 hingga 26,51cm dengan frekuensi pohon terbanyak pada

interval kelas 17,88-20,03 cm dengan 30 pohon dan frekuensi pohon terkecil

pada interval kelas 9,24-11,39cm dengan jumlah 2 pohon.

2. Kerapatan tegakan jati terbilang tinggi yaitu kerapatan individu dengan nilai 110

pohon/ha dan kerapatan LBDS adalah 31,24 m2 / ha.

3. Tegakan jati yang diamati berada pada bonita III yang dikategorikan cukup baik

yaitu 18,592 m.

4. Tegakan jati di Fakultas Sastra Universitas Hasanuddin yang diamati tidak perlu

dilakukan penjarangan karena S% Tabel lebih kecil yaitu 54.76% dari S% Hitung

dengan nilai 55%.

B. Saran

Dalam praktikum diharapkan dapat menggunakan alat ukur dan pembacaannya

secara teliti agar data yang diperoleh akurat serta mengolah data dengan benar agar

data yang diperoleh lebih jelas dan akurat.

22

DAFTAR PUSTAKA

Anonim. 2012. Contoh Preskripsi Silvikultur. http://aldrenp.blogspot.co.id/2012/04/contoh-preskripsi-silvikultur.html. Diakses tanggal 18 Oktober 2015.

Junus, Mas’ud, dkk. 1984. Dasar-dasar Umum Ilmu Kehutanan. Badan Kerjasama Perguruan Tinggi Negeri Indonesia Bagian Timur.

Manan, S. 1976. Pengaruh Hutan dan manajemen DAS. Departemen Manajemen Hutan. Bogor: Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor.

Soetrisno, Kadar, Dr. 1998. Silvika (Bahan Kuliah Fakultas Kehutanan Universitas Mulawarman untuk Kalangan Sendiri). Samarinda: Fakultas Kehutanan Mulawarman.

Theodore, Daniel, dkk. 1987 . Prinsip-Prinsip Silvikultur (Diterjemahkan oleh Dr.Ir. Djoko Marsono, 1992). Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

Wanggai, Frans. 2009. Manajemen Hutan. Jakarta. PT Gramedia Widiarsarana Indonesia.

23

LAMPIRAN

Lampiran 1. Data Inventarisasi Tegakan Jati Tectona grandis di Fakultas Sastra

Unhas

Kelomp

ok

(Penga

mat)

Plo

t

Lua

s

(ha)

No

.

Diamet

er (cm)

Tinggi

Total

(m)

Tinggi

Bebas

Cabang

(m)

Ket.

I 1 0,01 1 26.43 13.518 5.043 Pohon

2 11.47 8.602 4.467 Tiang

3 21.98 13.518 6.052 Pohon

4 21.34 13.949 7.143 Pohon

5 11.78 9.991 2.475 Tiang

6 21.02 13.104 7.374 Pohon

7 20.70 12.706 4.849 Pohon

8 21.02 11.955 4.657 Pohon

9 16.56 10.604 3.184 Tiang

10 23.57 14.399 12.706 Pohon

24

11 22.29 13.949 7.849 Pohon

12 14.33 7.143 3.184 Tiang

13 20.38 15.881 4.279 Pohon

2 0,01

14 12.42 8.094 2.299 Tiang

15 19.75 12.324 9.991 Tiang

16 14.33 11.600 3.184 Tiang

17 23.89 11.600 4.849 Pohon

18 14.97 12.324 3.184 Tiang

19 16.88 11.257 2.475 Tiang

20 23.89 12.706 6.477 Pohon

21 21.34 13.104 7.609 Pohon

22 14.65 13.518 2.299 Tiang

23 15.92 9.413 3.544 Tiang

24 21.66 12.324 5.845 Pohon

25 17.52 13.104 3.184 Tiang

II 3 0,01 26 18.15 18.921 11.600 Tiang

27 21.02 23.045 11.600 Pohon

28 20.06 18.921 8.602 Pohon

29 19.43 13.518 6.263 Tiang

25

30 15.29 18.921 9.991 Tiang

31 20.06 38.921 15.881 Pohon

32 18.79 38.921 13.518 Tiang

33 20.06 29.075 15.881 Pohon

34 14.65 23.045 9.991 Tiang

35 21.66 18.921 3.363 Pohon

4 0,01

36 22.01 19.640 10.604 Pohon

37 23.09 17.603 7.374 Pohon

38 25.29 14.870 6.052 Pohon

39 19.46 53.046 8.602 Tiang

40 18.85 36.474 8.345 Tiang

41 17.29 11.600 7.374 Tiang

42 21.08 24.060 11.955 Pohon

III 5 0,01 43 17.83 15.264 7.994 Tiang

44 19.11 15.781 5.339 Tiang

45 23.89 15.781 11.157 Pohon

46 19.43 18.821 12.224 Tiang

47 11.47 9.036 4.367 Tiang

48 19.43 14.770 10.825 Tiang

26

49 17.52 16.326 11.855 Tiang

50 20.06 18.143 11.855 Pohon

51 19.75 15.781 11.855 Tiang

52 19.11 13.849 10.193 Tiang

53 18.79 12.606 9.891 Tiang

54 10.83 6.377 4.749 Tiang

6 0,01

55 19.43 19.540 11.500 Tiang

56 18.15 11.855 7.274 Tiang

57 18.15 15.264 6.377 Tiang

58 19.75 20.307 11.855 Tiang

59 23.89 18.821 9.313 Pohon

60 15.92 19.540 10.825 Tiang

61 17.83 18.143 11.855 Tiang

62 12.42 11.157 4.557 Tiang

IV 7 0,01 63 20.06 18.203 10.885 Pohon

64 20.38 19.600 7.103 Pohon

65 18.79 16.386 7.334 Tiang

66 16.88 13.909 8.562 Tiang

67 20.38 16.386 6.655 Pohon

27

68 26.43 14.359 7.334 Pohon

8 0,01

69 11.47 15.324 8.825 Tiang

70 19.43 14.359 13.064 Tiang

71 16.24 13.478 6.655 Tiang

72 16.56 15.841 8.305 Tiang

73 16.24 14.830 6.437 Tiang

74 18.15 17.563 9.096 Tiang

75 13.69 16.386 7.334 Tiang

76 17.52 16.386 9.373 Tiang

77 13.06 7.569 8.562 Tiang

78 9.24 5.399 3.686 Sapihan

79 17.20 6.877 5.600 Tiang

80 19.11 14.830 6.012 Tiang

V 9 0,01 81 18.15 13.054 3.313 Tiang

82 11.47 8.815 3.494 Tiang

83 23.25 15.314 7.324 Pohon

84 21.66 16.949 5.795 Pohon

85 20.38 14.349 7.324 Pohon

86 19.43 16.949 8.552 Tiang

28

87 25.48 15.314 6.427 Pohon

88 22.61 16.949 6.645 Pohon

89 23.25 16.376 6.645 Pohon

90 20.70 14.349 5.590 Pohon

91 19.75 14.820 6.213 Tiang

92 23.57 15.831 6.645 Pohon

93 17.52 13.054 5.795 Tiang

94 21.02 15.831 8.044 Pohon

95 24.84 14.820 6.002 Pohon

10 0,01

96 13.06 8.815 3.859 Tiang

97 24.84 13.468 4.799 Pohon

98 12.10 9.648 4.417 Tiang

99 12.74 12.274 5.389 Tiang

10

0 18.15 13.468 3.859 Tiang

10

1 17.20 13.054 4.043 Tiang

10

2 14.65 9.941 3.313 Tiang

10

3 18.15 11.207 5.795 Tiang

29

10

4 14.33 7.799 2.778 Tiang

10

5 19.43 12.656 4.043 Tiang

10

6 14.97 11.905 3.859 Tiang

10

7 20.38 13.899 4.799 Pohon

10

8 18.15 13.054 5.389 Tiang

10

9 19.75 12.274 5.389 Tiang

11

0 20.38 11.550 5.389 Pohon

30