keluhan pelayanan rumah sakit melalui media cetak atau elektronik sebagai hak pasien menurut uu no....
TRANSCRIPT
Keluhan Pelayanan Rumah Sakit melalui Media Cetak atau Elektronik sebagai
Hak Pasien menurut UU No. 44 Tahun 2009
oleh: Hwian Christianto
AbstrakThe declaration of UU. No. 44 tahun 2009, about hospital actually fulfilling
the expectation for clear health-service regulation, including the patient’s right to the hospital service. Pasal 32 huruf r UU. No. 44, tahun 2009, particularly gives a protection to the patient for complaining into mass media and the electronic one. The existence of this complaining right is actually to protect the patient’s right, but on the other hand, it brings a threat to the hospital or its proper name. The regulating pasal 32 huruf r UU No. 44 tahun 2009 is actually doubted when pasal 60 huruf f UU. No. 44, tahun 2009 juncto.. pasal 29 UU No. 36 tahun 2009, for each health – service conflict, must be held a mediation. This thing has currently risen law issue which is interesting as far as complaining – right can be proposed by the patient and so is the role of mediation in solving the conflict.
Keywords: Hak Keluh, Nama Baik, Mediasi
Pendahuluan
Rumah sakit sebagai institusi yang menyelenggarakan pelayanan kesehatan
memegang peranan penting dalam menjaga dan meningkatkan standar kualitas
kesehatan. Peran penting ini tentu saja harus di imbangi dengan standar kualitas
pelayanan rumah sakit sendiri ketika menerima permintaan pelayanan dari pasien. UU
No. 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit telah memberikan pengaturan secara khusus
atas kewajiban pelayanan kesehatan rumah sakit yang baik. Pasal 29 UU No. 44
Tahun 2009 menyebutkan 20 kewajiban yang harus dipernuhi oleh Rumah Sakit
dalam kaitannya dengan peningkatan standar kualitas pelayanannya. Jika di satu sisi
rumah sakit di berikan satu kewajiban untuk menyelenggarakan pelayanan kesehatan
di sisi lain terdapat kewajiban yang harus dipenuhi oleh Pasien yang diatur dalam
Pasal 31 UU No. 44 Tahun 2009. Hanya saja jika di perhatikan secara teliti, pasal 31 Dosen Fakultas Hukum Universitas Surabaya
ayat (1) UU No. 44 Tahun 2009 memberikan pengaturan yang bersifat pasif bagi
pasien. “Setiap pasien mempunyai kewajiban terhadap Rumah Sakit atas pelayanan
yang diterimanya.” Tidak ada pengaturan secara spesifik bentuk kewajiban apa
sajakah yang dilakukan oleh pasien terhadap rumah sakit. Baru di dalam penjelasan
Pasalm 31 Ayat (1) UU No. 44 Tahun 2009 di berikan penjabaran tentang kewajiban
pasien ini meliputi mematuhi ketentuan yang berlaku dalam rumah sakit, memberikan
imbalan jasa atas pelayanan yang diterima di rumah sakit, memberikan informasi
yang lengkap dan jujur tentang masalah kesehatannya pada tenaga kesehatan dan
mematuhi kesepakatan dengan rumah sakit.
Tujuan dari pengaturan kewajiban dari masing-masing pihak, yaitu rumah
sakit dan pasien tidak lain untuk menjamin agar pelayanan kesehatan dapat benar-
benar berjalan dengan standar pelayanan yang baik. Hal yang menarik dari pengaturan
hak dan kewajiban yang dimiliki pasien adalah hak keluh atas pelayanan rumah sakit
di media massa (media elektronik dan media cetak). Hak ini diatur dalam Pasal 32
huruf r. UU No. 44 Tahun 2009 mengakui “setiap pasien memiliki hak untuk …
mengeluhkan pelayanan Rumah Sakit yang tidak sesuai dengan standar pelayanan
melalui media cetak dan media elektronik sesuai dengan peraturan perundang-
undangan”.
Pengaturan hak ini sebenarnya merupakan hal yang sangat baru mengingat
mekanisme keluhan pasien biasanya disampaikan kepada pihak rumah sakit secara
langsung dan tidak disampaikan kepada pihak luar. Di dalam hukum perlindungan
konsumen pun sebenarnya pasien yang adalah konsumen memiliki hak untuk
mendapatkan pelayanan sesuai dengan informasi yang ditawarkan, apabila pasien
melihat terdapat hal-hal yang tidak sesuai dengan informasi maka ia akan melakukan
permintaan ganti rugi kepada pihak pelaku usaha, yang dalam hal ini adalah rumah
sakit. UU No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan pun tidak mengenal hak pasien
untuk melakukan hak keluh. Pasal 29 UU Kesehatan lebih mengutamakan mekanisme
mediasi sebagai lembaga alternatif penyelesaian sengketa yang utama apabila terjadi
sengketa antara tenaga kesehatan dengan pasien.
Keberadaan hak keluh ini sendiri jika dilihat dari sisi perlindungan konsumen
memang sangat baik karena memberikan jaminan atas kebebasan berbicara bagi
konsumen hanya saja bagi pihak rumah sakit, keberadaan hak keluh ini bisa
berdampak negatif. Misalnya saja, seorang pasien setelah mendapatkan pelayanan
kesehatan oleh tenaga kesehatan di sebuah rumah sakit berpendapat bahwa pelayaan
kesehatannya tidak baik atau kurang memuaskan lalu menuliskan hal itu di media
massa tanpa terlebih dahulu menyampaikan keluh kesahnya kepada pihak rumah sakit
akan sangat merugikan nama baik rumah sakit. Pada hakekatnya, rumah sakit
merupakan sebuah institusi yang mengutamakan nama baik (good will) sebagai
jaminan atas pelayanan kesehatan yang baik dan bermutu. Nama baik ini pastinya
telah dijaga dan di upayakan sedemikian rupa sehingga tetap dikenal dan diakui oleh
masyarakat atas kualitas pelayanan kesehatannya. Permasalahan timbul manakala
usaha untuk menjaga nama baik Rumah Sakit ini berhadapan dengan hak pasien untuk
menyampaikan keluhannya di media cetak/elektronik. Ketika hak pasien di sampaikan
di media massa./elektronik tentang pelayanan rumah sakit yang menurutnya tidak
memuaskan secara langsung akan berdampak kerugian imateriil bagi rumah sakit.
Nama baik dan jaminan pelayanan rumah sakit menjadi kurang dipercaya oleh
masyarakat oleh karena mendapatkan informasi bersifat negatif dari pasien.
Dari latar belakang di atas, dapat diajukan beberapa isu hukum yang bisa dibahas
untuk memfokuskan pembahasan, yaitu:
1. Apakah hak keluh itu merupakan hak pokok yang dimiliki oleh pasien?
2. Apakah ruang lingkup dan tujuan dari hak keluh itu?
3. Akibat hukum apakah yang ditimbulkan atas hak keluh dalam hubungannya
dengan perlindungan nama baik rumah sakit?
Hak Keluh sebagai Hak Pasien yang Mendasar
UU No. 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit merupakan satu produk hukum
di bidang kesehatan yang memang telah lama dinanti-nantikan. Baik pasien maupun
tenaga kesehatan membutuhkan pengaturan yang jelas dan tegas tentang pelayanan
kesehatan yang dilakukan di sebuah institusi bernama rumah sakit. Lahirnya undang-
undang ini juga tidak dapat dilepaskan dari pengaturan dua Undang-undang di bidang
kesehatan yang terlebih dahulu ada, yaitu Undang-undang Nomor 36 Tahun 2009
tentang Kesehatan dan Undang-undang Praktek Kedokteran. Secara khusus, UU No.
36 Tahun 2009 memberikan sebuah paradigma sehat yaitu paradigma kesehatan yang
mengutamakan upaya promotif dan preventif tanpa mengabaikan kuratif dan
rehabilitatif (Penjelasan Umum UU No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan).
Paradigma ini sangat berbeda jika di bandingkan dengan UU No. 23 Tahun 1992
tentang Kesehatan yang menekankan paradigma kuratif saja (pengobatan),
masyarakat memandang masalah kesehatan sebagai hal yang bersifat pemborosan dan
bukan sebagai hal yang pokok.
Paradigma sehat sebagaimana ditekankan dalam UU No. 36 Tahun 20009 ini
memang sesuai dengan UUD 1945 yang mengatur hak atas kesehatan sebagai hak
konstitusional. Pasal 28H ayat (1) UUD 1945 menyebutkan “Setiap orang berhak
hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan
hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan.” Paling
tidak terdapat 3 (tiga) macam hak atas kesehatan sebagaimana diatur dalam Pasal 28H
ayat (1) UUD 1945, diantaranya:
1. Hak diri sendiri atas kesehatan;
2. Hak atas tempat tinggal dan lingkungan hidup yang baik dan sehat;
3. Hak memperoleh pelayanan kesehatan.
Cakupan hak asasi manusia di bidang kesehatan pada dasarnya dapat ditinjau melalui
Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia, International Covenant, maupun ketentuan
hukum nasional. Roberia dan Siti Maimunah menegaskan perlindungan tersebut:
Tabel 1. Hak-hak Bidang Kesehatan berdasarkan Deklarasi Universal Hak
Asasi Manusia1
No. Ragam Hak-Hak Bidang Kesehatan dalam DUHAM 1. Hak Hidup/kehidupan 2. Hak Kebebasan 3. Hak Keamanan 4. Hak pengakuan sebagai Manusia 5. Hak berkeluarga/kawin 6. Hak Kebebasan mencari informasi 7. Hak kebebasan meneruma informasi8. Hak mendapatkan akses pelayanan umum yang sama 9. Hak Jaminan Sosial baik dari Nasional maupun Internasional10. Hak memperoleh Tunjangan pelayanan kesehatan yang layak bagi pekerja dan
keluarganya 11. Hak perlindungan sosial bagi ibu dan anak-anak12. Hak memperoleh manfaat dari kemajuan Ilmu Pengetahuan
Tabel 2.Hak-hak Bidang Kesehatan berdasarkan International Covenant2
No. International Covenant on Economic, Social and Cultural
Rights (ICESCR)
International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR)
1. Hak Penentuan/keputusan sendiri Hak Penentuan/keputusan sendiri 2 Hak mendapatkan lingkungan
pekrjaan yang adil, aman, sehat dan nyaman
Hak Hidup/kehidupan
3 Hak jaminan sosial Hak Informed Consent
1Roberia dan Siti Maimunah, “Cakupan Hak Asasi Manusia bidang Kesehatan”, Jurnal Hukum Kesehatan, Vo. 2 No.4 Tahun 2009, hlm. 69
2Ibid, hlm. 75-76
4 Hak berkeluarga Hak kebebasan 5 hak perlindungan ibu selama dan
setelah melahirkan Hak keamanan/keselamatan
6 Hak memperoleh standar kehidupan yang layak bagi diri dan keluarganya
Hak perlakuan secara manusiawi
7 Hak upaya peningkatan standar kehidupan yang kontinu
Hak kebebasan mencari informasi
8 Hak bebas dari kelaparan Hak kebebasan menerima informasi 9 Hak memperoleh derajat kesehatan
yang setinggi-tingginya baik fisik maupun mental
Hak berkeluarga/perkawinan
10 Hak memperoleh menfaat dari kemajuan ilmu pengetahuan
Hak perlindungan anak
11 Hak mendapatkan akses pelayanan umum yang sama
Ketentuan hukum nasional pun memberikan pengaturan yang spesifik tentang hak-
hak di bidang kesehatan, yaitu:
Tabel 3. Hak di bidang kesehatan dalam UU No. 32 Tahun 2009
No. Macam Hak di Bidang Kesehatan Ketentuan Hukum 1. Hak atas kesehatan:
- Hak memperoleh fasilitas atas pelayanan kesehatan
- Hak untuk mewujudkan derajat kesehatan yang setinggi-tingginya
Pasal 4 Penjelasan Pasal 4
2. Hak yang sama dalam akses sumber daya di bidang kesehatan
Pasal 5 ayat (1)
3. Hak memperoleh pelayanan kesehatan yang aman, bermutu dan terjangkau
Pasal 5 ayat (2)
4. Hak untuk menentukan sendiri dan bertanggung jawab pelayanan kesehatan yang diperlukan bagi dirinya
Pasal 5 ayat (3)
5. Hak atas lingkungan yang sehat untuk mencapai derajat kesehatan
Pasal 6
6. Hak mendapatkan informasi dan edukasi tentang kesehatan yang seimbang dan bertanggug jawab
Pasal 7
7. Hak atas informasi terkait data kesehatan dirinya dan tindakan serta pengobatan yang sudah atau akan diterimanya
Pasal 8
Ketujuh hak di bidang kesehatan dalam Undang-Undang Kesehatan tersebut menjadi
dasar bagi pelaksanaan pemenuhan hak pasien atau tenaga kesehatan yang akan
menjalankan tugasnya. Mengingat Undang-Undang Praktek Kedokteran telah terlebih
dahulu di berlakukan (UU No. 29 Tahun 2004) maka seyogyanya prinsip pemenuhan
hak dibidang kesehatan disesuaikan dengan hak kesehatan di dalam Undang-undang
Kesehatan 2009. Berikut ini hak di bidang kesehatan menurut UU No. 29 Tahun
2004:
Tabel 4. Hak-hak Bidang Kesehatan yang tercantum dalam UUPK3
No. Macam Hak Bidang Kesehatan Pasal1 Hak pelayanan kedokteran yang bermutu sesuai standar pelayanan 442 Hak mendapatkan penjelasan secara lengkap sebelum dilakukan
tindakan 45, 52
3 Hak memberikan persetujuan tindakan 454 Hak diselenggarakan rekam medis 46
hak memperoleh isi rekam medis 47, 52
Hak pemeliharaan dan penyimpanan rekam medis 47Hak atas Rahasia Kedokteran 48Hak kendali mutu dan biaya penyelenggaraan praktik kedokteran 49hak audit medis 49Hak rujukan 51hak pertolongan darurat 51Hak meminta pendapat dokter lain 52Hak mendapatkan pelayanan sesuai kebutuhan 52Hak menolak tindakan medis 52Hak perlindungan disiplin 55Hak pengaduan 66Hak perlindungan hukum 73-
80
Sehubungan dengan UU No. 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit setidaknya
terdapat 2 (dua) macam hak atas kesehatan yang sesuai dengan Pasal 28H ayat (1)
UUD 1945, yaitu hak diri sendiri atas kesehatan dan hak memperoleh pelayanan
kesehatan. Pengaturan ini mempunyai implikasi bahwa setiap warga negara harus
menyadari dan mengusahakan hak ini bukan hanya secara pasif tetapi aktif dalam
mendapatkan pelayanan kesehatan. Boleh dikatakan paradigma sehat-lah yang dianut
dalam UUD 1945. Setiap orang bertanggung jawab pula atas kesehatan dirinya
3Ibid., hlm. 84-85
sedangkan pelayanan kesehatan pada dasarnya merupakan tindakan yang diadakan
atas persetujuan dari pasien.
Hak pasien pada dasarnya adalah memperoleh pelayanan kesehatan demi
terpenuhinya pemulihan kesehatan bagi tubuhnya. Sebaliknya, merupakan kewajiban
tenaga kesehatanlah untuk memberikan pelayanan kesehatan bagi pasien sesuai
persetujuannya. Sebagai sebuah persetujuan tindakan medik, seringkali terdapat
pelayanan kesehatan yang tidak cukup memuaskan pasien. Hal yang menarik, UU No.
44 Tahun 2009 melalui Pasal 32 huruf r yang memberikan ‘hak spesial’ bagi pasien
untuk mengeluhkan pelayanan kesehatan melalui media massa, baik cetak maupun
elektronik. Jika dicermati penjelasan Pasal 32 huruf r UU No. 44 Tahun 2009, tidak
diperoleh penjelasan dari maksud dan tujuan hak keluh ini. Pemahaman terdekat dari
hak keluh pasien atas pelayanan rumah sakit dapat dilihat dalam Pasal 4 huruf d.
Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen yang
menegaskan hak konsumen untuk didengar pendapat dan keluhanyya atas barang
dan/atau jasa yang digunakan. Berangkat dari dua pengaturan ini maka diperoleh
beberapa prinsip hak keluh. Hak keluh ini memang dilakukan setelah
pasien/konsumen menerima atau menikmati suatu barang dan/atau jasa, yang dalam
hal ini pelayanan kesehatan dari rumah sakit. Hak keluh tidak dapat diberikan pada
konsumen apabila pelaku usaha belum selesai memberikan pelayanan kesehatan
kepadanya. Keberadaan hak keluh ini dipandang penting bagi perlindungan hukum
atas hak konsumen mengingat terdapat kewajiban pelaku usaha untuk memberikan
pelayanan yang terbaik dan bertanggung jawab. Berdasarkan pengaturan kedua
ketentuan hukum ini maka dapat dikemukakan tujuan hak keluh untuk memberikan
kedudukan yang kuat bagi konsumen dalam memperoleh barang dan/atau jasa sesuai
persetujuan awal. Definisi hak keluh pun sebenarnya dapat dikemukakan sebagai
kekuasaan yang dimiliki oleh seseorang untuk menyatakan ketidakpuasannya baik
berupa pendapat, kesan, saran, atau pun kritik terhadap barang dan/atau jasa yang
diberikan oleh pelaku usaha. Jika definisi ini diterapkan dalam bidang kesehatan maka
pasien mempunyai hak keluh atas pelayanan kesehatan yang tidak memuaskan
dirinya.
Keberadaan hak keluh yang dimiliki pasien ini jika dilihat latar belakang
pengaturannya mempunyai satu maksud agar pasien juga terlibat secara aktif dan
bertanggung jawab atas kesehatannya. Di samping itu bagi rumah sakit merupakan
kewajiban untuk menghormati hak-hak pasien.
Ruang Lingkup dan Pengaturan Hak Keluh
Pemikiran mengenai hak yang dimiliki manusia di dalam sejarah pemikiran
hukum tidak dapat dipisahkan dari perkembangan manusia itu sendiri dalam menilai
arti penting dari hak. Paton menyebutkan bahwa terdapat hak yang timbul dari hukum
dan ada juga hak yang timbul dari norma yang lain.4 Ruang lingkup hak dapat
dibedakan menjadi hak yang dilindungi berdasarkan hukum (legal rights) dan ada
juga hak yang tidak berdasarkan hukum tetapi berdasarkan norma yang lain.
Keberadaan dari hak disini sangat bergantung pada hukum yang mengaturnya sebagai
hak yang dilindungi ataukah tidak. Peran legislator menjadi sangat krusial ketika
menentukan hak mana yang akan diatur atau dilindungi oleh Undang-undang.
Sudikno Mertokusumo juga memberikan definisi tentang hak sebagai “kepentingan
hukum yang dilindungi oleh hukum sedangkan kepentingan adalah tuntutan yang
diharapkan untuk dipenuhi”5. Pandangan berbeda di kemukakan oleh Peter Mahmud
yang menyatakan
4 G.W. Paton, A Textbook of Jurisprudence (Oxford: Clarendon Press, Fourth Editions, 1972). 5Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum: Suatu Pengantar, (Yogyakarta: Liberty,
Yogyakarta, 1986), hlm. 40
”Secara kodrati kehidupan bermasyarakat merupakan modus survival bagi manusia. Berdasarkan pemikiran ini tidak berkelebihan kalau dikatakan bahwa hak merupakan sesuatu yang melekat pada manusia secara kodrati dan karena adanya hak inilah diperlukan hukum untuk menjaga kelangsungan eksistensi hak dalam pola kehidupan bermasyarakat.”6
Hukum di tempatkan sebagai alat yang berfungsi untuk menjamin eksistensi
dan pelaksananaan hak yang dimiliki manusia karena memang pada dasarnya
demikianlah tujuan hukum. Hukum dalam kaitannya dengan hak memiliki hubungan
yang erat tetapi berada dalam kapasitas yang berbeda. Hak sebagai hal esensi (isi)
sedangkan hukum seperti wadah yang menjaganya. Peter Mahmud menegaskan
hubungan ini dengan mengatakan ”hukum diciptakan karena adanya hak”7 dan bukan
sebaliknya. Jika ditinjau dari sisi penggunaan istilah ’hak’ dan ’hukum’ sendiri
digunakan istilah ’recht’ dalam bahasa Belanda yang dibedakan menjadi subjectief
recht untuk hak dan objectief recht untuk hukum8. Oleh karena itu hak terlebih dahulu
ada daripada hukum dan keberadaan hukum untuk menjaga pelaksanaan hak,
termasuk didalamnya hak keluh.
Pengaturan hak keluh sebagai salah satu hak (subjectief recht) juga terdapat
dalam Undang-undang lain, seperti berikut ini:
Tabel 5. Hak Keluh dalam Ketentuan Hukum Positif
NO. KETENTUAN HUKUM MACAM HAK1. UU NO. 8 TAHUN 1999
TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN
Pasal 4 huruf d. → hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan/atau jasa yang digunakan
2. UU NO. 36 TAHUN 2009 TENTANG KESEHATAN
Pasal 58 ayat (1) → tuntutan ganti rugi atas kerugian yang ditimbulkan pelayanan kesehatan;
3. UU NO. 29 TAHUN 2004 TENTANG PRAKTEK KEDOKTERAN
Pasal 66 ayat (1) → pengaduan kerugian atas tindakan dokter pada Majelis Kehormatan Disiplin
6 Peter Mahmud Marzuki, Pengantar Ilmu Hukum (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, Cetakan Pertama, 2008), hlm. 166
7Ibid 8Ibid, hlm. 165
Kedokteran Indonesia4. UU No. 30 TAHUN 2009
TENTANG KETENAGALISTRIKAN
Pasal 29 ayat (1) huruf e → hak ganti rugi akibat kelalaian pengoperasian oleh pemegang izin usaha penyediaan tenaga listrik
5. UU NO. 32 TAHUN 2009 TENTANG PERLINDUNGAN DAN PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP
Pasal 65 ayat (5) & Pasal 70 → hak melakukan pengaduan akibat dugaan pencemaran/perusakan lingkungan hidup
Data di atas menunjukkan bahwa sebenarnya pengakuan akan pentingnya hak
keluh sebagai hak harus dilindungi pelaksanaanya. Hak keluh pada hakekatnya
merupakan kekuasaan seseorang untuk memberikan tanggapan ketidakpuasan atas
tindakan (prestatie) yang dilakukan seseorang berdasarkan perjanjian sebelumnya.
Dari beberapa diatas hanya Undang-undang Perlindungan Konsumen yang mengatur
atau bahkan menyebutkan secara khusus mengenai hak keluh. Hak keluh di dalam
pasal 4 huruf d UU No. 8 Tahun 1999 mengatur ”hak konsumen adalah hak untuk
didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan/atau jasa yang digunakan” pada
dasarnya sesuai dengan asas keseimbangan dan tujuan perlindungan konsumen.
Pengaturan hukum atas hak pasien sebagai konsumen juga diakui oeh Masyarakat Uni
Eropa melalui Europese Ekonomische Gemeenschap atau EEG yang menyebutkan
lima hak dasar konsumen:
1. Hak perlindungan kesehatan dan keamanan (recht op bescherming van zijn economische belangen);
2. Hak perlindungan kepentingan ekonomi (recht op bescherming van zijn economische belangen);
3. Hak mendapatkan ganti rugi (recht op schadevergoedig)
4. Hak atas penerangan (recht op voorlichting en vorming)
5. Hak untuk didengar9
9Mariam Darus Badrulzaman, Perlindungan terhadap konsumen dilihat dari sudut perjanjian baku, dalam Hasil Simposium Aspek-aspek Hukum Masalah Perlindungan Konsumen yang diselenggarakan BPHN, Jakarta: Bina Cipta, 1986, hlm. 61
Terkait dengan hak keluh maka dari kelima hak konsumen diatas, hak keluh dapat
digolongkan kedalam hak untuk didengar. Sedangkan tentang hak untuk didengar,
Ahmadi Miru menjelaskan ruang lingkupnya
“Hak ini dapat berupa pertanyaan tentang berbagai hal yang berkaitan dengan produk-produk tertentu apabila informasi yang diperoleh tentang produk tidak memadai, ataukah berupa pengaduan atas adanya kerugian yang telah dialami akibat penggunaan suatu produk”10
Konsumen ditempatkan sebagai salah satu pihak yang berhak atas prestasi yang
merupakan kewajiban pelaku usaha untuk memenuhinya. Perlu dipahami bahwa
hubungan hukum disini merupakan perikatan atau perjanjian bisnis yang tunduk
dalam hukum keperdataan. Hubungan hukum ini melahirkan hak dan kewajiban bagi
para pihak yang membuat dan apabila salah satu pihak tidak melakukan seperti apa
yang diperjanjikan maka telah melakukan wanprestatie. Secara argumentum a
contrario, prestatie di Pasal 1234 BW maka diperoleh 3 bentuk wanprestatie yaitu
tidak memberikan sesuatu seperti apa yang diperjanjikan, tidak berbuat sesuatu dan
berbuat sesuatu yang tidak sesuai perjanjian. Jika dikaitkan dengan Pasal 4 huruf d
UU No. 8 Tahun 1999 maka tindakan pelaku usaha yang tidak sesuai dengan
perjanjian dapat dikategorikan dalam tindakan yang berbuat sesuatu tetapi tidak
sesuai dengan apa yang dijanjikan. Sebagai catatan terdapat kondisi tertentu yang
terjadi bahwa pelaku usaha sudah selesai melakukan prestasi, baru kemudian
konsumen mengajukan keluhannya. Misalnya dalam transaksi jual beli, keluhan
pembeli (konsumen) dilakukan setelah proses jual beli selesai dilakukan, pembeli
menikmati barang yang dibeli lalu mengajukan keluhan atas hal-hal yang tidak sesuai.
Lalu apakah konsep hak keluh Pasal 4 huruf d UU Perlindungan Konsumen
dapat disamakan dengan hak keluh sebagaimana diatur dalam Pasal 32 huruf r UU
10 Ahmadi Miru & Sutarman Yodo, Hukum Perlindungan Konsumen,(Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2004), hlm. 43
Rumah Sakit? Hubungan hukum antara pasien dan dokter melalui Rumah sakit
merupakan hubungan terapeutik yang bertujuan mencari/menentukan terapi yang
paling tepat bagi pasien oleh dokter11. Jika dilihat dari sudut pandang perjanjian,
Veronica Komalawati menyebutnya sebagai perjanjian penyembuhan karena memiliki
obyek khusus yaitu pelayana medis atau upaya penyembuhan12. Hubungan terepeutik
ini didasarkan atas hubungan kepercayaan dan standar profesi seorang dokter dan
pelayanan rumah sakit menyangkut kesehatannya atau bahkan nyawanya. Ciri-ciri ini
memang mirip dengan hubungan antara pelaku usaha dengan konsumen yang
mendasarkan hubungannya berdasarkan kepercayaan (itikad baik) dan standardisasi
produk. Hanya saja terdapat perbedaan mendasar yaitu hubungan terapeutik lebih
didasarkan atas standar profesi kedokteran dan hubungan kepercayaan pelayanan
kesehatan (Pasal 14 ayat (1) Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No.
512/MENKES/PER/IV 2007). Berangkat dari kesepakatan inilah dokter sebagai
tenaga kesehatan memberikan pengabdian secara maksimal dalam memberikan
pelayanan kesehatan. Jadi pada dasarnya hubungan pasien-dokter (tenaga kesehatan)
merupakan hubungan terapeutik berdasarkan kepercayaan dan pengabdian demi
peningkatan kualitas kesehatan pasien. Perbedaan inilah yang sangat membedakan
hubungan antara pelaku usaha dan konsumen dengan rumah sakit (dokter) dan
pasien. Oleh karena itu hubungan antara dokter dan pasien tidak dapat dimasukkan ke
dalam hubungan antara pelaku usaha dan konsumen.
Pemahaman hubungan terapeutik sebagai perjanjian penyembuhan memang
dapat dikaji ke dalam aspek perdata sebagaimana diatur dalam Buku III BW secara
khusus Pasal 1601 BW yang mengatur tentang perjanjian kerja untuk melakukan jasa-11Hermien Hadiati Koeswadji, Asas-asas dan Permasalahan Undang-undang Nomor 23
Tahun 1992 tentang Kesehatan dan Implementasinya, Citra Aditya Bhakti, Cet. I, Bandung, 1992, hlm. 19
12Veronica D. Komalawati, Hukum dan Etika dalam Praktek Dokter, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 1989, hlm. 84
jasa tertentu yang salah satu pihak bersedia. Meskipu demikian perjanjian tersebut
baru dikatakan sah secara hukum ketika memenuhi semua unsur dalam Pasal 1320
BW. Terkait dengan hal ini Bambang S. Ariadi menjabarkan Perjanjian penyembuhan
ini kedalam 4 (empat) syarat sah perjanjian, sebagai berikut13:
1. Sepakat dari pihak yang saling mengikatkan dirinya (Toesteming van degene die zich verbinden). Dalam hubungan terapeutik diketahui dari Persetujuan Tindakan Medik (Informed Consent) sebagaimana diatur tata caranya dalam PERMENKES RI No. 585/Menkes/Per/IX/ 1989 tentang Persetujuan Tindakan Medik;
2. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan (bekwaamheid omene verbindtenis aan te gaan). Dalam hubungan terapeutik tampak dalam kategori usia dewasa yang telah berumur 21 tahun atau telah kawin serta dalam keadaan sadar dan sehat mental
3. Mengenai suatu hal tertentu (eene kepaald onderwerp). Unsur ketiga ini terlihat jelas dalam obyek perjanjian penyembuhan yaitu upaya yang dilakukan oleh dokter untuk menyembuhkan pasiennya;
4. karena suatu kausa yang sah (eene geoorloofde orzaak). Dikaitkan dengan Pasal 1337 BW maka perjanjian yang tidak sah karena dilarang Undang-undang atau berlawanan dengan kesusilaan dan ketertiban umum. Perjanjian penyembuhan merupakan perjanjian yang pada dasarnya untuk menyembuhkan pasien sehingga tidak melanggar Undang-undang, kesusilaan dan ketertiban.
Kajian aspek perdata terhadap perjanjian penyembuhan (transaksi
terapeutik) lebih menunjukkan adanya perikatan atau perjanjian terapeutik yang
sangat berbeda jika dibandingkan dengan perjanjian lainnya. Seperti dijelaskan
Niewenhuis tentang jenis-jenis perikatan maka jenis perikatan yang timbul antara
pasien dan dokter disebut Inspanning Verbitenis14 yang menjanjikan upaya yang
terbaik dalam penyembuhan penyakit pasien dan bukan hasil yang diperjanjikan.
13Bambang Sugeng Ariadi, “Suatu Tinjauan Hukum Keperdataan dalam Transaksi Terapeutik”, Yuridika, No. 2 & 3 Tahun XII, Maret-Juni 1997, hlm. 70 -73
14J.H. Niewenhuis, Pokok-pokok Hukum Perikatan , Terjemahan Djasadin Saragih, Universitas Airlangga, 1985, hlm. 92
Hal inilah yang menjadi dasar pembeda dari perjanjian yang timbul antara pasien
dan dokter dengan perjanjian perdata pada umumnya.
Diaturnya hak keluh dalam Pasal 32 huruf r UU No. 44 Tahun 2009
sebenarnya menimbulkan kerancuan dalam menilai hubungan terapetik sebagai
hubungan pelayanan kesehatan menjadi hubungan antara pelaku usaha dan konsumen
yang hanya dinilai dari segi bisnis. Pengajuan hak keluh ini diberikan oleh pasien
setelah menerima pelayanan kesehatan yang dilakukan rumah sakit. Waktu pengajuan
hak keluh ini dapat diberikan selama pasien menerima pelayanan kesehatan maupun
setelah pelayanan kesehatan selesai dilakukan yang didasarkan atas standar pelayanan
rumah sakit yang telah ditetapkan.
Standar pelayanan rumah sakit dalam peraturan hukum di bidang kesehatan
lebih dikenal dengan ”Standar Prosedur Opersional” sebagaimana disebut Pasal 1
angka 10 PERMENKES No. 512/MENKES/PER/IV/2007:
”Standar Prosedur Operasional adalah suatu perangkat instruksi/langkah-langkah yang dibakukan untuk menyelesaikan suatu proses kerja rutin tertentu, dimana standar prosedur operasional memberikan langkah yang benar dan terbaik berdasarkan konsensus bersama untuk melaksanakan berbagai kegiatan dan fungsi pelayanan yang dibuat oleh sarana pelayanan kesehatan berdasarkan standar profesi.”
Sedangkan standar profesi sendiri didefinisikan dalam Pasal 1 angka 9 PERMENKES
No. 512/MENKES/PER/IV/2007:
”Standar Profesi Kedokteran adalah batasan kemampuan (knowledge, skill and professional attitude) minimal yang harus dikuasai oleh seorang dokter atau dokter gigi untuk dapat melakukan kegiatan profesionalnya pada masyarakat secara mandiri yang dibuat oleh organisasi profesi.”
Ini berarti pasien dapat merujuk semua tindakan pelayanan yang didapatkannya
menurut Standar Prosedur Operasional dan Standar Profesi Kedokteran sehingga bila
diniai tidak sesuai ia dapat mengajukan hak keluh.
Jika dikaji lebih lanjut keberadaan hak keluh dalam Undang-undang Nomor
44 Tahun 2009 justru merupakan standar tata kelola klinis Rumah Sakit yang baik.
Pasal 36 UU No. 44 Tahun 2009 menegaskan setiap ”Rumah Sakit harus
menyelenggarakan tata kelola Rumah sakit dan tata kelola klinis yang baik” mengenai
tata kelola klinis sendiri dalam bagian Penjelasan Pasal 36 dijabarkan sebagai berikut:
“Tata kelola klinis yang baik adalah penerapan fungsi manajemen klinis yang meliputi kepemimpinan klinik, audit klinis, data klinis, risiko klinis berbasis bukti, peningkatan kinerja, pengelolaan keluhan, mekanisme monitor hasil pelayanan, pengembangan profesional, dan akreditasi rumah sakit. (garis bawah dari penulis, HC.)”
Kesimpulannya, hak keluh pasien merupakan hak yang harus diakui oleh
Rumah Sakit untuk selanjutnya dikelola dengan profesional karena merupakan bagian
penting dari tata kelola klinis yang memenuhi standar. Pasien dapat mengajukan atau
menyampaikan keluhannya terkait kekurangan pelayanan yang didasarkan atas
standar pelayanan yang ada secara langsung pada rumah sakit sebagai pemberi
layanan kesehatan. Pengaturan berbeda terdapat dalam pasal 32 huruf r UU No. 44
Tahun 2009, hak keluh tidak disampaikan kepada pemberi pelayanan tetapi secara
tidak langsung kepada masyarakat luas melalui media cetak dan media elekronik. Hak
pasien untuk menyampaikan keluhan atas pelayanan kesehatan rumah sakit melalui
media cetak dan elektronik ini sangat baru dan tidak konsisten jika dikaitkan dengan
semangat Undang-undang Rumah Sakit.
Pasal 3 huruf d UU No 44 Tahun 2009 menegaskan salah satu tujuan
pengaturan penyelenggaraan rumah sakit untuk “memberikan kepastian hukum
kepada masyarakat, pasien, sumber daya manusia rumah sakit dan Rumah Sakit”.
Perlindungan hukum atas hak rumah sakit juga ditegaskan dalam melaksanakan
pelayanan kesehatan yang didalamnya termasuk pula nama baik rumah sakit.
Penyampaian hak keluh melalui media massa jelas sangat merugikan nama baik
Rumah sakit yang telah dibangun sejak lama. Memang secara khusus Rumah sakit
diberikan hak untuk mengugat pihak yang menyebabkan kerugian baik secara materiil
maupun imateriil (Pasal 30 huruf e UU No. 44 Tahun 2009) tetapi dampak kerugian
atas keluhan yang merusak nama rumah sakit jelas tidak dapat dinilai dengan uang.
Inkonsistensi pengaturan juga dapat dilihat dalam pasal 29 UU No. 36 Tahun 2009
yang mengharuskan penyelesaian sengketa melalui mediasi bukan dengan
penyampaian keluhan media massa (pasal 60 huruf f UU No. 44 Tahun 2009 juncto.
Pasal 29 UU No. 36 Tahun 2009).
Hak keluh yang dimiliki pasien ini pada prakteknya sangat berpotensi untuk
disalahgunakan. Seorang pasien yang merasa tidak puas atas pelayanan kesehatan
rumah sakit dapat secara langsung memberitakan hal ini di media massa tanpa harus
meminta keterangan dari Rumah sakit. Bagi pihak Rumah Sakit pengaturan ini
mempunyai dampak negatif terhadap nama baik yang dimilikinya karena hanya dalam
waktu sekejap nama baik (good will) pelayanan rumah sakit langsung hancur.
Sebenarnya UU No. 44 Tahun 2009 memberikan perlindungan hukum juga bagi
Rumah sakit dalam hal terdapat keluhan pasien melalui Pasal 44 tentang hak jawab
rumah sakit.
Akibat Hukum dari Hak Keluh Pasien
Pasal 32 huruf r UU No. 44 Tahun 2009 merupakan dasar diberlakukannya
hak keluh pasien atas pelayanan kesehatan Rumah sakit. Sebagai suatu bentuk hak
yang dilindungi oleh hukum maka terdapat pula akibat hukum dari penggunaan hak
keluh ini. Secara khusus UU No. 44 Tahun 2009 memberikan pengaturan tentang
akibat hukum atas pelaksanan hak keluh ini, baik bagi pasien maupun rumah sakit.
Bagi pasien yang menggunakan hak keluh dan menginformasikannya melalui media
massa telah dianggap melepaskan hak rahasia kedokterannya kepada umum (pasal 44
ayat (2) UU No. 44 Tahun 2009). Ini berarti ketika pasien menginformasikan
keluhannya melalui media massa maka pada saat itu juga ia sudah tidak mempunyai
perlindungan hukum atas kerahasiaan informasi medis pada rumah sakit tersebut.
Sedangkan bagi rumah sakit, adanya penginformasian hak keluh melalui media massa
menjadi dasar kewenangan rumah sakit untuk membuka rahasia kedokteran yang
dimiliki pasien sebagai hak jawab. Dengan demikian terdapat satu alasan lagi bagi
rumah sakit (atau dalam hal ini dokter) untuk membuka rahasia medis seseorang
(pasien) atas dasar penginformasian hak keluh melalui media massa (cetak dan
elektronik). Mengenai hal “rahasia pekerjaan dokter” ini Soedarto memberikan ruang
lingkup yang sangat luas dengan menyebutkan:
“Jadi Rahasia dokter tidak hanya meliputi apa yang diberitahukan atau yang dipercayakan kepadanya. Lazimnya termasuk rahasia pekerjaan dokter ialah: segala sesuatu yang diketahui oleh seorang dokter dalam melakukan pekerjaannya dank arena keilmuannya sebagai dokter.”15
Dokter sebagai bagian dari tenaga kesehatan yang bekerja di rumah sakit tidak hanya
bertanggungjawab sebatas apa yang disampaikan pasien kepadanya tetapi juga segala
informasi terkait dengan sakit pasien dan ilmu kedokteran yang dikuasainya. Rahasia
pekerjaan dokter atas pasien inilah yang harus dijaga secara penuh oleh dokter (rumah
sakit) agar tidak tersebar secara luas. Pada dasarnya kewajiban ini merupakan tuntutan
kepentingan masyarakat atas adanya kepercayaan penuh pada profesi dokter16. Jika
dikaitkan dengan alasan tidak berlakunya perlindungan hak atas rahasia pasien
sebagaimana diatur dalam Pasal 44 ayat (2) UU No. 44 Tahun 2009 maka
15Soedarto, Hukum dan Hukum Pidana, (Bandung: Alumi, 1986), hlm. 109 16Ibid, hlm. 108
penyampaian hak keluh melalui media massa termasuk dalam perintah undang-
undang. Sekaligus merupakan pembenar dari tindakan rumah sakit karena harus
membuka rahasia kedokteran yang tidak dilarang dibuka berdasarkan Pasal 322 ayat
(1) KUHP. Sianturi menegaskan subyek dari Pasal 322 ayat (1) KUHP bahwa
“…subyek dari delik ini hanyalah terbatas kepada yang mempunyai jabatan/pencaharian tersebut dan yang wajib merahasiakanya….Seseorang wajib menyimpan rahasia baik karena ditentukan di suatu perundangan maupun karena ia diinstruksikan untuk itu ataupun hal itu ternyata dari sifat jabatan atau pencahariannya”17
Pencaharian atau jabatan yang dimiliki oleh seseorang menjadi suatu syarat keharusan
bagi seseorang untuk merahasiakan segala informasi yang diketahuinya, baik
keilmuan atau informasi tentang seseorang yang dilayaninya. Oleh karena Pasal 44
ayat (2) UU No. 44 Tahun 2009 memberikan hak jawab bagi rumah sakit untuk
membuka rahasia pasien yang menginformasikan keluhannya kepada media
cetak/elektronik.
Tujuan perintah undang-undang ini sudah jelas untuk memberikan
perlindungan hukum bagi rumah sakit atas tindakan yang merugikan kepentingannya
(dalam hal ini nama baiknya). Perlu digaris bawah suatu akibat hukum yang cukup
unik diatur dalam pasal 44 ayat (2) UU No. 44 Tahun 2009 bahwa pasien yang semula
berkehendak untuk mengajukan keluhan tentang pelayanan rumah sakit secara tidak
langsung harus menyetujui kerugian besar berupa kehilangan hak rahasia
kedokterannya. Sedangkan disisi lain secara otomatis rumah sakit mendapatkan hak
jawab dan alasan pembenar dari Pasal 44 ayat (3) UU No. 44 Tahun 2009 untuk
membuka rahasia kedokteran dari pasien yang bersangkutan.
Pengaturan Pasal 44 UU No. 44 Tahun 2009 tersebut jelas membawa
konskuensi lebih lanjut bagi hubungan pasien dengan rumah sakit yang semula hanya 17S.R. Sianturi, Tindak Pidana di KUHP berikut Uraiannya, (Jakarta: Alumni AHM-PTHM,
Cetakan Pertama, 1983), hlm. 579
bersifat privasi menjadi bersifat publik. Jika semula ketidakpuasan pasien atas
pelayanan kesehatan yang diberikan rumah sakit berada dalam ruang lingkup hukum
perdata bisa berubah ke dalam ruang lingkup hukum pidana manakala rumah sakit
menuntut pasien karena dinilai melakukan penghinaan atau pencemaran nama baik.
Penyampaian hak keluh sebagaimana diatur dalam Pasal 44 UU No. 44 Tahun 2009
sebagai tindakan hukum pasien jelas membawa dampak bagi hubungan dokter dan
pasien. Ketidakpuasan pasien yang dimanifestasikan dalam hak keluh tersebut apabila
berlebihan akan memicu ketidakpercayaan dalam ikatan dokter-pasien sehingga
dokter akan lebih defensif18 dalam melakukan pelayanan kesehatan.
Seperti terjadi pada Kasus Prita v. Rumah Sakit Omni Internasional19, Prita
sebagai pasien setelah mendapatkan pelayanan kesehatan dari pihak Rumah sakit
merasa tidak puas selanjutnya menyampaikan keluhannya melalui surat elektronik
berupa email kepada 20 orang temannya yang mengungkapkan buruknya pelayanan
kesehatan yang dialaminya selama dirawat di RS Omni Internasional dan ditangani dr.
Hengky Gosal dan dr. Grace H. Yarlen. Penyampaian informasi ini dinilai pihak
Rumah sakit sebagai pencemaran nama baik dan sangat merugikan rumah sakit.
Rumah sakit pun mengajukan tuntutan atas perbuatan Prita denga Jaksa Penuntut
Umum mengajukan dakwaan Primair melanggar Pasal 27 ayat (3) jo. Pasal 45 ayat (1)
UU No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik serta dakwaan
Subsidair melanggar Pasal 310 KUHP dan Pasal 311 KUHP.
Majelis Hakim Pengadilan Negeri Tangerang pada putusannya menyatakan bahwa
Prita Mulyasari tidak terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana
18Roberia dan Evie Flamboyan Minanda, “Implikasi Tuntutan Hukum Malpraktik yang dilakukan Pasien terhadap Dokter dalam Penyelenggaraan Pelayanan Kesehatan”, Jurnal Hukum Kesehatan Vol. 2 No. 4 Tahun 2009, hlm. 91
19Ahmad Rifai, Penemuan Hukum oleh Hakim dalam Perspektif Hukum Progresif, (Jakarta: Sinar Grafika, 2010), hlm. 161
sebagaimana didakwakan Penuntut Umum. Putusan tersebut diberikan dengan
pertimbangan bahwa apa yang dilakukan Prita dengan menuliskan keluhannya kepada
20 temannya merupakan bentuk kritik atas pelayanan rumah sakit dan dua orang
tenaga kesehatan bukan perbuatan pencemaran nama baik. Jika ditinjau dari Hukum
Perlindungan Konsumen, Hak untuk berkeluh kesah ini sebenarnya telah diatur dalam
Pasal 4 UU Perlindungan Konsumen yang menyatakan adanya hak untuk didengar
keluhannya oleh pelaku usaha. Ahmad Rifai menegaskan penyampaian informasi
melalui email yang dilakukan Prita Mulyasari pada dasarnya merupakan bentuk
perwujudan dari hak konsumen dalam menyatakan pendapatnya apalagi dalam kasus
ini Prita tidak mendapatkan akses dalam menyalurkan keluhannya ini pada RS Omni
Internasional.20 Tapi perlu diingat dalam kasus ini Prita sebagai konsumen tidak
mendapatkan kesempatan untuk menyampaikan keluhannya dan memperoleh hak
akses informasi dari RS Omni Internasional. Baru setelah itu ia melakukan
pengiriman informasi berisi keluhan melalui email kepada teman-temannya. Tindakan
Prita ini pada dasarnya dapat dibenarkan secara prosedur karena Prita tidak langsung
mengirimkan keluhannya kepada pihak ketiga. Perlu diperhatikan bahwa Pasal 310
ayat (3) KUHP sebenarnya memberikan pengecualian perbuatan sebagaimana
dimaksud Pasal 310 ayat (1) dan (2) KUHP sebagai tindakan untuk membela diri atau
demi kepentingan umum. Seperti ditegaskan dalam H.R. 26 Nop. 1934, N.J. 1935,
211, W. 12854; 17 Jan 1938, 1938 No. 957, “Apabila publikasi itu adalah untuk
kepentingan umum, maka si pelaku harus menyebutkannya secara cukup. Dengan
menyalahkan seseorang dengan mempergunakan perkataan-perkataan yang bernada
marah, tidaklah dapat kepentingan umum itu dikatakan dibela.”21 Sedangkan untuk
menentukan ada atau tidaknya hal penghapus pidana ini dijelaskan “mengenai
20 Ibid 21P.A.F. Lamintang & C. Djisman Samosir, Hukum Pidana Indonesia, Sinar Baru, Cetakan II,
Agustus 1985, Bandung, hlm. 189
persoalan apakah si pelaku telah bertindak untuk kepentingan umum ataupun untuk
membela diri hanya terpaksa, terletak pada pertimbangan Hakim dan tidak pada
pengelihatan subjektip dari si pelaku.” (H.R. 11 Maret 1901, W. 7579; 31 Okt. 1898,
W. 7196)22. Justru perbuatan rumah sakit tersebut menurut Sudiman Sidabukke
merupakan penyimpangan hukum yang melanggar Ketentuan Pasal 28 UUD 1945,
Pasal 19 Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia tanggal 10 Desember 1928, Pasal 2
UU Pers, Pasal 23 ayat (2) Undang-undang Hak Asasi Manusia bahkan Pancasila dan
UUD 194523 terkait pelanggaran hak asasi manusia.
Pasal 32 huruf r UU No. 44 Tahun 2009 seolah memberikan kesempatan
secara langsung kepada pasien untuk mengungkapkan keluhannya ke media cetak dan
elektronik yang tentu saja akan menimbulkan dampak negatif dikemudian hari.
Sekali lagi keberadaan pasal 32 huruf r UU No. 44 Tahun 2009 ini sangat tidak
konsisten dengan semangat perlindungan hukum yang seimbang baik bagi pasien
maupun rumah sakit. Pengaturan hak keluh dan mekanisme perlindungan hukum bagi
rumah sakit atas hak keluh justru akan menciptakan permasalahan baru, terutama
dalam hal kepastian hukum. Memang hak keluh pasien dilindungi pelaksanaannya
oleh Undang-undang Rumah Sakit namun hal ini justru semakin tidak konsisten
manakala atas penyampaian hak keluh ini pasien kehilangan hak kerahasiaannya.
Padahal pelaksanaan hak keluh ini sangat dilindungi oleh Pasal 32 huruf r UU No. 44
Tahun 2009. Terlebih jika dikaitkan dengan Pasal 44 ayat (2) dan (3) UU No 44
Tahun 2009, hak keluh yang dimiliki pasien seolah dipandang bermuatan negatif bagi
nama baik Rumah Sakit sehingga ketentuan hukum ini memberikan akibat hukum
yang sangat merugikan bagi pasien. Hak keluh melalui media cetak/elektronik pada
22 Ibid, hlm. 18823Sudiman Sidabukke, “Penyimpangan Hukum Kasus Prita Mulyasari”, Jurnal Yustika, Vol.
12, No.1, Surabaya, Juli 2009, hlm. 100 & 102
dasarnya berisi pendapat, saran dan kritik atas pelayanan rumah sakit yang sebenarnya
sangat bermanfaat bagi kemajuan pelayanan rumah sakit. Rumah sakit harus bisa
membuka diri terhadap keluhan yang disampaikan konsumen dan bersikap
professional dalam menanggapi keluhan pasien. Bukan malah mengancam akan
membuka hak pasien atas rahasia kesehatan yang dimilikinya. Jadi pengaturan pasal
44 ayat (2) dan (3) UU No. 44 Tahun 2009 sangat tidak konsisten dengan Pasal 32
huruf r UU No. 44 Tahun 2009 yang menjamin hak keluh pasien dan standar
operasional (tata kelola) rumah sakit yang baik seperti diatur dalam Pasal 36 UU No.
44 Tahun 2009.
Mekanisme Penyampaian Keluhan Pasien dan Penyelesaian Sengketa melalui
Mediasi
Setiap penyelesaian sengketa pada dasarnya harus dilakukan dengan efektif
sehingga menghasilkan keserasian kepentingan. Soerjono Soekanto menegaskan
prinsip ini dengan “keserasian antara kepentingan pasien dengan kepentingan tenaga
kesehatan, merupakan salah satu penunjang keberhasilan pembangunan kesehatan.”24
Hak keluh pun harus dilakukan dengan baik menurut mekanisme yang sudah
ditetapkan. Belajar dari kasus Prita v. Rumah Sakit Omni Internasional, hak keluh
bagi pasien memang sangat diperlukan baik bagi perlindungan hak pasien atas
pelayanan kesehatan yang sesuai standar maupun peningkatan tata kelola klinis
Rumah sakit supaya lebih profesional. Mengingat hak keluh seperti diatur dalam Pasal
32 huruf r UU No. 44 Tahun 2009 merupakan hak keluh yang sangat beresiko
24Soerjono Soekanto, “Hak dan Kewajiban Pasien menurut Hukum dan Kesehatan”, Jurnal Hukum dan Pembangunan No.2 Tahun XX April 1990, hlm. 121
menimbulkan kerugian maka pengaturan mekanisme yang jelas terhadap penggunaan
hak ini mutlak dibutuhkan.
Berangkat dari pemahaman awal akan hakekat hubungan pasien dan dokter
(rumah sakit) merupakan hubungan terapeutik yang bersifat privasi demi peningkatan
kesehatan maka hubungan hukum yang lahir adalah hubungan keperdataan yang
bersifat rahasia. Rumah sakit melalui dokter (tenaga kesehatan) harus memberikan
informasi Standar pelayanan kesehatan Rumah Sakit terkait dengan pelayanan
kesehatan yang akan diterimanya. Ketika terdapat ketidakpuasan atas pelayanan
kesehatan yang diterima maka pasien tidak boleh serta merta melakukan protes
ataupun pernyataan tidak puas (keluhan) pada rumah sakit tetapi pasien harus
bertanya kepada tenaga kesehatan atau bagian informasi Rumah sakit. Apabila pasien
masih tetap belum puas maka tahapan dilanjutkan pada mediasi seperti diatur dalam
Pasal 60 huruf f UU No. 44 Tahun 2009 juncto. Pasal 29 UU No. 36 Tahun 2009.
Proses mediasi pada dasarnya merupakan proses non litigasi yang bersifat
privasi dengan melibatkan seorang mediator netral yang disepakati oleh para pihak
dan menguasai bidang tersebut. Oleh karena telah diatur secara eksplisit dalam
Undang-undang Kesehatan maka setiap sengketa yang timbul dalam hubungan antara
dokter dan pasien harus ditempuh mekanisme mediasi seperti diatur secara spesifik
dalam UU No. 30 Tahun 1999 tentang Alternatif Penyelesaian Sengketa. Apabila
tahapan mediasi ini ternyata tidak juga memberikan hasil kesepakatan para pihak
maka pasien memiliki hak untuk menginformasikan keluhannya melalui media cetak
atau media elektronik dengan tidak menjelekkan nama baik rumah sakit yang
bersangkutan. Ketidakberhasilan proses mediasi sebaiknya langsung dilanjutkan ke
proses litigasi mengingat proses non litigasi tidak berhasil. Pemahaman terhadap
mekanisme inilah yang seharusnya diatur dalam Undang-undang Rumah Sakit
sehingga tidak terjadi permasalahan lebih lanjut.
Bagan. Mekanisme Penyampaian Keluhan Pasien
Penutup
Hak keluh yang dimiliki pasien sebagaimana diatur dalam Pasal 32 huruf r UU
No. 44 Tahun 2009 menimbulkan permasalahan tersendiri di dalam hal penyelesaian
sengketa pasien atas pelayanan kesehatan. Di satu sisi pasien mempunyai hak yang
kuat untuk menginformasikan hal-hal yang tidak memuaskan terkait pelayanan
kesehatan yang dimilikinya. Sedangkan disisi lain, pasal 44 UU No. 44 Tahun 2009
justru memberikan penjelasan akibat hukum atas penginformasian hak keluh oleh
pasien berupa hilangnya hak atas rahasia yang dimiliki oleh pasien. Kedua pengaturan
ini jelas sangat tidak bersesuaian dengan perlindungan hak pasien sendiri dalam UU
No. 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit. Bagi rumah sakit, keberadaan hak keluh ini
menimbulkan dampak negatif bagi nama baik yang dimiliki rumah sakit tidak hanya
dalam waktu sementara tetapi jangka waktu yang sangat lama. Penyelesaian sengketa
Pasien
Dokter
RUMAH SAKIT
Hubungan Terapeutik
Tidak puas
Pendapat/komplain
PENJELASAN
Tidak puas
MEDIASIMEDIA
CETAK/ELEKTRONIK
Tidak puas
HAK JAWAB
HAK KELUH
LITIGASI
= harus dilakukan
---------- = tidak
Standar Prosedur
Operasional
yang timbul baik atas pengaduan atau masalah kerugian dari hubungan pasien dan
dokter seharusnya diupayakan secara damai melalui mediasi sebagaimana diatur
dalam Pasal 60 huruf f UU No. 44 Tahun 2009 juncto. Pasal 29 UU No. 36 Tahun
2009. Oleh karena itu pemahaman akan mekanisme pengajuan pegaduan, keluhan
hingga penyelesaian sengketa yang timbul sangat penting demi tercipta kepastian
hukum atas hak-hak yang dimiliki oleh pasien dan rumah sakit.
Daftar Pustaka
Badrulzaman,Meriam Darus, Perlindungan terhadap konsumen dilihat dari sudut perjanjian baku, dalam Hasil Simposium Aspek-aspek Hukum Masalah Perlindungan Konsumen yang diselenggarakan BPHN. Jakarta: Bina Cipta, 1986
Koeswadji, Hermien Hadiati, Asas-asas dan Permasalahan Undang-undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan dan Implementasinya, Citra Aditya Bhakti, Cet. I, Bandung, 1992
Komalawati, Veronica D., Hukum dan Etika dalam Praktek Dokter, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 1989
Marzuki, Peter Mahmud, Pengantar Ilmu Hukum, Jakarta: Kencana Prenada Media Group, Cetakan Pertama, 2008
Mertokusumo, Sudikno, Mengenal Hukum: Suatu Pengantar, Yogyakarta: Liberty, 1986
Miru, Ahmadi & Yodo, Sutarman, Hukum Perlindungan Konsumen, Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2004
Niewenhuis, J.H., Pokok-pokok Hukum Perikatan , Terjemahan Djasadin Saragih, Universitas Airlangga, 1985
Paton, G.W., A Textbook of Jurisprudence Oxford: Clarendon Press, Fourth Editions, 1972
Rifai, Ahmad, Penemuan Hukum oleh Hakim dalam Perspektif Hukum Progresif, Jakarta: Sinar Grafika, 2010
Soedarto, Hukum dan Hukum Pidana, Bandung: Alumi, 1986 Sianturi, S.R., Tindak Pidana di KUHP berikut Uraiannya, Jakarta: Alumni AHM-
PTHM, Cetakan Pertama, 1983
Jurnal HukumAriadi, Bambang Sugeng, “Suatu Tinjauan Hukum Keperdataan dalam Transaksi
Terapeutik”, Yuridika, No. 2 & 3 Tahun XII, Maret-Juni 1997Roberia dan Maimunah, Siti,. “Cakupan Hak Asasi Manusia bidang Kesehatan”,
Jurnal Hukum Kesehatan, Vol. 2 No.4 Tahun 2009Roberia dan Minanda, Evie Flamboyan., “Implikasi Tuntutan Hukum Malpraktik
yang dilakukan Pasien terhadap Pasien terhadap Dokter dalam
Penyelenggaraan Pelayanan Kesehatan”, Jurnal Hukum Kesehatan, Vol. 2 No. 4 Tahun 2009
Sidabukke, Sudiman, “Penyimpangan Hukum Kasus Prita Mulyasari”, Jurnal Yustika, Vol. 12, No.1, Surabaya, Juli 2009
Soekanto, Soerjono., “Hak dan Kewajiban Pasien menurut Hukum Kesehatan”, Hukum dan Pembangunan, No. 2 Tahun XX April 1990