dinamika kinerja fiskal di indonesia - wordpress.com

315

Upload: khangminh22

Post on 29-Apr-2023

5 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

DINAMIKA

KINERJA FISKAL

DI INDONESIA

Sanksi pelanggaran Pasal 72:Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002tentang Hak Cipta

Barang siapa dengan sengaja dan tanpa hak melakukan perbuatan 1. sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) atau pasal 49 ayat (1) dan ayat (2) dipidana penjara masing-masing paling singkat 1 (satu) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp. 1.000.000,00 (satu juta rupiah), atau pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).Barang siapa dengan sengaja menyiarkan, memamerkan, menge-2. darkan, atau menjual kepada umum suatu ciptaan atau barang ha-sil pelanggaran hak cipta atau hak terkait, sebagaimana dimaksud ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah)

Dr. Jaka Sriyana

DINAMIKA

KINERJA FISKAL

DI INDONESIA

U I I P r e s s

Katalog Dalam Terbitan (KDT)

Jaka Sriyana

xx + 294 hlm. ; 16 x 23 x 1.5 cm.

ISBN. 978 - 979 - 3333 - 49 - 6

Cetakan Pertama : September 2012Editor : Muhammad Jauharul Maknun, SECover - Layout : UII Press YogyakartaPenerbit : UII Press Yogyakarta (Anggota IKAPI) Jl. Cik Di Tiro No.1, Yogyakarta - 55223 Tel. (0274) 547865 (Hotline); Fax. (0274) 547864E-mail : [email protected]; [email protected]; fb: UII PressHak cipta © 2011 pada UII Press dilindungi undang-undang (all rights reserved)

Dinamika Kinerja Fiskal di Indonesia ; -- Yogyakarta: UII Press, 2012

v

KATA PENGANTAR

Puji syukur hanya kepada Allah SWT, yang telah memberikan rahmat, kesempatan, kekuatan, dan kemudahan sehingga buku ini dapat tersusun sesuai dengan rencana.

Pembahasan tentang perkembangan dan kebijakan fi skal mulai menunjukkan perkembangan yang cukup besar sejak diberlakukannya kebijakan desentralisasi fi skal di Indonesia tahun 1999. Namun demikian sebagaian besar bahasan tersebut berfokus pada keuangan daerah dan transfer fi skal. Selain itu banyak berkembangan bahasan tentang praktek-praktek tata kelola keuangan daerah, baik dari segi kelembagaan maupun dari segi kebijakan terkait alokasi keuangan publik.

Buku ini berorientasi pada pembahasan tentang perkembangan data-data fi skal di Indonesia, yang intinya membahas tentang sumber-sumber keuangan pemerintah dan belanja pemerintah. Selain perkembangan data-data yang dipaparkan pada hampir semua bab, buku ini juga mendeskripsikan analisis kinerja fi skal dalam rentang waktu sekitar dua puluh tahun terakhir. Dalam analisis kinerja fi skal tersebut juga dilengkapi dengan penjelasan secara garis besar tentang metode yang digunakan.

Pokok-pokok bahasan tentang dinamika kinerja fi skalyang dibahas dalam buku ini meliputi kerangka dasar konsep kebijakan fi skal, kebijakan fi skal dan makro ekonomi, in-efi siesni fi skal, ketahanan fi skal, dan efektifi tas fi skal. Semua pokok bahasan dilengkapi dnegan data-data dan informasi pendukung sehingga diharapkan pada pembaca dapat memahaminya dengan lebih baik. Sebagai buku referensi, buku ini ditujukan kepada para akademisi dalam bidang ekonomi, kebijakan

vi

Dinamika Kinerja Fiskal di Indonesia

publik, adminisitrasi negara, ilmu pemerintahan maupun bidang lain yang berminat dalam tata kelola fi skal. Namun demikian untuk memahami buku ini dengan baik perlu pemahaman tentang alat analisis ekonometrika dasar.

Sebagian materi buku ini, khususnya data-data yang dianalisis merupakan hasil dari kegiatan penelitian yang sebagiannya dibiayai dari Hibah Penelitian Strategis Nasional tahun 2010-2011. Buku ini diharapkan menjadi bahan informasi dan referensi bagi akademisi maupun praktisi yang ingin mendalami tentang kinerja fi skal di Indonesia. Kegiatan ini dapat dilaksanakan berkat bantuan berbagai pihak yang tidak dapat kami sebutkan satu per satu, terutama Direktorat Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat (DP2M), Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia. Penulisan buku ini juga tidak akan terlaksana tanpa bantuan dari beberapa kolega saya, yaitu Suharto, M.Si, Rokhedi P Santosa, M.Ec, Dr. Unggul Priyadi, Dr. Akhsym Afandi, Dr. Abdul Hakim, dan Prof. Akhmad Fauzi. Terima kasih yang tak terhingga kepada Muhammad Jauharul Maknun, SE, yang telah bertindak sebagai editor naskah buku ini. Terima kasih juga kepada asisten mahasiswa saya, Azizah Kurniasih dan Rahmad Dedi. Untuk itu kami mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada berbagai pihak tersebut.

Semoga buku ini dapat menjadi referensi bagi pembaca dan memberikan kontribusi bagi pengambilan keputusan tentang manajemen fi skal. Segala kekeliruan dan kesalahan yang ada dalam buku ini menjadi tanggung jawab penulis.

Hormat Kami,

(Jaka Sriyana)

vii

DAFTAR ISI

Halaman Judul .................................................... iKata Pengantar .................................................... vDaftar Isi ............................................................. viiDaftar Tabel ........................................................ xiDaftar Gambar ..................................................... xvBAB 1 PERKEMBANGAN MAKRO EKONOMI INDONESIA .............................. 1

1.1. Pengantar ................................................. 1

1.2. Strategi Pembangunan Ekonomi ............... 2

1.3. Perekonomian Indonesia: Sejarah dan

Strategi Pembangunan ............................... 4

1.4. Perkembangan Perekonomian Indonesia .. 15

BAB 2 KONSEP DASAR KEBIJAKAN FISKAL ......... 272.1. Pengantar .................................................. 27

2.2. Kebijakan fi skal dan keseimbangan makro

ekonomi .................................................... 27

2.3. Permintaan terhadap barang publik ........ 38

2.4. Pertumbuhan dan permodelan belanja

publik ........................................................ 43

2.5. Kesinambungan fi skal ............................... 51

viii

Dinamika Kinerja Fiskal di Indonesia

BAB 3 KEBIJAKAN FISKAL & INDIKATOR MAKRO

BAB 4 KINERJA FISKAL DAN KOMPONEN KEBIJAKAN FISKAL

...................................... 90

BAB 5 HARMONISASI FISKAL DAN MONETER ...... 1235.1. Pengantar .................................................. 123

5.2. Pertumbuhan uang, infl asi dan tingkat

bunga ........................................................ 123

5.3. Pajak infl asi, defi sit, dan seignorage ........... 132

BAB 6 ANALISIS IN-EFISIENSI FISKAL ................. 1376.1. Pengantar .................................................. 137

6.2. Konsep belanja pemerintah ........................ 137

6.3. Spesifi kasi model belanja pemerintah ........ 140

EKONOMI................................... 553.1. Pengantar .................................................. 55

3.2. Pengaruh kebijakan fi skal pada makro

ekonomi .................................................... 55

3.3. Kajian empirik pengaruh kebijakan

fi skal ......................................................... 66

................................. 87

4.5. Perkembangan komponen kebijakan

fi skal di indonesia

................................. 734.1. Pengantar ..................................................

734.2. Mekanisme dan pengaruh kebijakan

fi skal ......................................................... 73

4.3. Ketahanan Fiskal (Fiscal Strength) ............ 83

4.4. Kesinambungan Fiskal

(Fiscal Sustainability)

ix

6.4. Analisis model dinamik .............................. 142

6.5. Spesifi kasi model koreksi kesalahan .......... 145

6.6. Aplikasi model empirik .............................. 162

BAB 7 KETAHANAN FISKAL ....................................... 1757.1. Pengantar .................................................. 175

7.2. Hubungan kausalitas penerimaan dan

belanja pemerintah .................................... 179

7.3. Metode analisis hubungan kausalitas

(causality) .................................................. 182

7.4. Analisis kausalitas pajak dan

belanja operasional .................................... 186

7.5. Analisis kausalitas pajak dan belanja

publik ........................................................ 191

7.6. Analisis kausalitas pajak-belanja total ....... 196

7.7. Analisis kausalitas penerimaan total dan

belanja operasional .................................... 202

7.8. Analisis kausalitas penerimaan total dan

belanja publik ............................................ 207

7.9. Analisis kausalitas penerimaan total dan

belanja total ............................................. 213

BAB 8 EFEKTIVITAS KEBIJAKAN FISKAL ............2258.1. Pengantar .................................................. 225

8.2. Analisis efektivitas kebijakan fi skal ............ 225

8.3. Hasil analisis efektivitas kebijakan fi skal

terhadap indikator makro ekonomi ............ 228

8.4. Rangkuman efektifi tas kebijakan fi skal ...... 265

x

Dinamika Kinerja Fiskal di Indonesia

BAB 9 PENUTUP ...................................................2699.1 Kesimpulan ................................................ 269

9.2 Implikasi Kebijakan .................................... 275

xi

DAFTAR TABEL

Tabel 1.1. Indikator Makro Ekonomi Indonesia ......... 14

Tabel 1.2. Perkembangan Indikator Fiskal dan

Makro Ekonomi ........................................ 16

Tabel 1.3. Perkembangan GDP,Infl asi dan

Jumlah Penduduk .................................... 19

Tabel 1.4. Perkembangan Investasi Indonesia ........... 22

Tabel 1.5. Perkembangan pendapatan perkapita ....... 26

Tabel 4.1. Perkembangan Komponen

Anggaran Pemerintah ............................... 94

Tabel 4.2. Perkembangan Belanja Pemerintah .......... 104

Tabel 4.3. Perkembangan Komponen Belanja

Pemerintah ............................................... 111

Tabel 4.4. Perkembangan Prosentase Belanja

Pemerintah ............................................... 113

Tabel 4.5. Perkembangan Pajak dan

Penerimaan Pemerintah ............................ 117

Tabel 4.6. Perkembangan Berbagai Komponen

Pajak ....................................................... 121

Tabel 5.1. Utang Pemerintah dan Uang Primer .......... 125

xii

Dinamika Kinerja Fiskal di Indonesia

Tabel 5.2. Perkembangan Uang Kuasi,

M1 dan M2 (Milyar) ................................... 126

Tabel 5.3. Pajak Infl asi dan IAD ................................ 133

Tabel 5.4. Tingkat Seignorage ...................................135

Tabel 6.1 Hasil Uji Stasioneritas Data .......................152

Tabel 6.2 Hasil Uji Kointegrasi ..................................153

Tabel 6.3. Estimasi Model Autoregresif Defi sit

Anggaran ..................................................154

Tabel 6.4. Hasil Estimasi ECM Model Belanja

Pemerintah ..............................................156

Tabel 6.5. Hasil Estimasi Jangka Panjang .................158

Tabel 6.6. Hasil Uji Kestabilan Model ........................161

Tabel 6.7 Hasil Estimasi Model Pertumbuhan

Ekonomi ...................................................174

Tabel 6.8 Hasil Estimasi Jangka Panjang ..................174

Tabel 7.1 Hasil Analisis Kointegrasi Pajak dan

Belanja Operasional ..................................189

Tabel 7.2 Hasil Analisis Kointegrasi Pajak dan

Belanja Operasional ...................................190

Tabel 7.3 Hasil Analisis Kointegrasi

Pajak-Belanja Pembangunan ....................192

Tabel 7.4 Hasil Analisis Kausalitas

Pajak-Belanja Pembangunan ....................194

Tabel 7.5 Hasil Analisis Kointegrasi Pajak dan

Belanja Total ............................................197

Tabel 7.6 Hasil Analisis Kausalitas Pajak-Belanja

Total ..........................................................198

xiii

Tabel 7.7 Hasil Analisis Kointegrasi Total

Penerimaan -Belanja Operasional .............203

Tabel 7.8 Hasil Analisis Kausalitas Total

Penerimaan-Belanja Operasional ..............204

Tabel 7.9 Hasil Analisis Kointegrasi Total

Penerimaan dan Belanja Publik ...............208

Tabel 7.10 Hasil Analisis Kausalitas Total

Penerimaan-Belanja Publik ......................210

Tabel 7.11 Hasil Analisis Kointegrasi Total

Penerimaan dan Belanja Total ................214

Tabel 7.12 Hasil Analisis Kausalitas Penerimaan

Total dan Belanja Total ...........................215

Tabel 8.1 Hasil Uji Stasioneritas Data .......................231

Tabel 8.2 Hasil Analisis Kointegrasi Model

Pertumbuhan Ekonomi .............................232

Tabel 8.3 Hasil Analisis Model Pertumbuhan

Ekonomi ...................................................234

Tabel 8.4 Hasil Analisis Stasioneritas Data ...............237

Tabel 8.5 Hasil Analisis Kointegrasi Model Infl asi ......237

Tabel 8.6 Hasil Analisis Model VECM Infl asi .............239

Tabel 8.7 Hasil Analisis Stasioneritas Data ...............243

Tabel 8.8 Hasil Analisis Kointegrasi Investasi

Pemerintah dengan Investasi Swasta .........243

Tabel 8.9 Hasil Analisis Kausalitas Investasi

Pemerintah-Swasta ....................................245

xiv

Dinamika Kinerja Fiskal di Indonesia

Tabel 8.10. Hasil Analisis Kointegrasi Model

Investasi Swasta (1) ...............................247

Tabel 8.11 Hasil Analisis Model VECM Investasi

Swasta (1) ...............................................248

Tabel 8.12 Hasil Analisis Kointegrasi Model

Investasi Swasta (2) ................................251

Tabel 8.13 Hasil Analisis Model VECM Investasi

Swasta (2) ...............................................252

Tabel 8.14 Hasil Analisis Stasioneritas Data .............256

Tabel 8.15 Hasil Analisis Kointegrasi Neraca

Perdagangan ...........................................257

Tabel 8.16 Hasil Analisis Model Neraca

Perdagangan ............................................259

Tabel 8.17 Hasil Analisis Kointegrasi Transaksi

Berjalan ..................................................262

Tabel 8.18 Hasil Analisis Model Transaksi

Berjalan ..................................................263

xv

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1.1. Perkembangan Pertumbuhan

ekonomi Indonesia ............................... 19

Gambar 1.2. Perkembangan rata-rata infl asi

tahunan Indonesia............................... 20

Gambar 1.3. Perkembangan Jumlah Penduduk ........ 25

Gambar 1.4. Perkembangan Pendapatan

Per Kapita ............................................ 25

Gambar 2.1. Perubahan Belanja Pemerintah

Terhadap Keseimbangan Makro

Ekonomi .............................................. 32

Gambar 2.2. Pengaruh Perubahan Belanja Publik

terhadap Pendapatan Nasional ............ 36

Gambar 2.3. Hubungan Permintaan Barang

Publik Pendapatan Masyarakat ............ 41

Gambar 2.4. Hubungan antara Belanja Pemerintah

dengan Penerimaan Pemerintah ............ 52

Gambar 3.1. Model Sederhana Hubungan Kebijakan

Fiskal dan Moneter dengan Indikator

Makroekonomi ...................................... 59

Gambar 3.2. Hubungan Permintaan Barang Publik

dengan Pendapatan ............................. 61

Gambar 4.1 Mekanisme Kebijakan Fiskal ................. 79

xvi

Dinamika Kinerja Fiskal di Indonesia

Gambar 4.2. Perkembangan total belanja

pemerintah .......................................... 96

Gambar 4.3. Perkembangan total Penerimaan

pemerintah .......................................... 96

Gambar 4.4. Perkembangan defi sit anggaran

pemerintah ........................................... 97

Gambar 4.5. Rasio defi sit anggaran terhadap

belanja pemerintah .............................. 97

Gambar 4.6. Rasio defi sit anggaran terhadap

penerimaan pemerintah ....................... 98

Gambar 4.7. Defi sit primer dan total defi sit

anggaran ............................................. 99

Gambar 4.8. Rasio defi sit primer terhadap PDB ........ 100

Gambar 4.9. Rasio defi sit total terhadap PDB ........... 101

Gambar 4.10. Perkembangan PDB dan

Belanja Pemerintah ............................ 106

Gambar 4.11. Pertumbuhan Belanja Pemerintah ...... 107

Gambar 4.12. Pertumbuhan Penerimaan

Pemerintah ........................................ 108

Gambar 4.13. Perkembangan Komponen Belanja

Pemerintah ........................................ 112

Gambar 4.14. Rasio Belanja Operasional Terhadap

Belanja Total ..................................... 114

Gambar 4.15. Rasio Belanja Pembangunan

Terhadap Belanja Total ...................... 114

xvii

Gambar 4.16. Perkembangan Rasio Belanja Total

terhadap PDB .................................... 115

Gambar 4.17. Perkembangan Rasio Belanja

Operasional terhadap PDB ................. 115

Gambar 4.18. Perkembangan Rasio Belanja

Publik terhadap PDB ......................... 116

Gambar 4.19. Pertumbuhan Penerimaan Pajak ....... 119

Gambar 4.20. Perkembangan Rasio Pajak terhadap

Total Penerimaan ...............................120

Gambar 4.21. Perkembangan Rasio Pajak Terhadap

Defi sit APBN ......................................120

Gambar 4.22. Perkembangan Penerimaan pemerintah

dan Defi sit Anggaran .........................121

Gambar 5.1. Perkembangan Utang Pemerintah .........124

Gambar 5.2. Perkembangan Uang Kuasi, M1 dan M2 125

Gambar 5.3. Pertumbuhan Uang Kuasi M1 dan M2 ..126

Gambar 5.4. Perkembangan Uang M1 dan Utang

Dalam Negeri .......................................128

Gambar 5.5. Pertumbuhan Uang M1, M2 dan

Infl asi ..................................................129

Gambar 5.6. Pertumbuhan Uang M1, M2 dan

Tingkat Bunga .....................................130

Gambar 5.7. Perkembangan Infl asi dan Tingkat

Bunga..................................................132

Gambar 5.8. Rasio Pajak Infl asi dan defi sit

Bertingkatkan Infl asi pada GDP ............134

xviii

Dinamika Kinerja Fiskal di Indonesia

Gambar 6.1. Perkembangan Belanja Pemerintah ......151

Gambar 6.2. Perkembangan Data dan Estimasi

Belanja Operasional ..............................163

Gambar 6.3. Uji Stabilitas Data Hasil Estimasi

Belanja Operasional ..............................164

Gambar 6.4. Perkembangan Data dan Estimasi

Belanja Publik ......................................165

Gambar 6.5. Uji Stabilitas Data Hasil Estimasi

Belanja Publik ......................................165

Gambar 6.6. Perkembangan Data dan Estimasi

Belanja Total .......................................166

Gambar 6.7. Uji Stabilitas Data Hasil Estimasi

Belanja Publik .....................................167

Gambar 6.8. In-efi siensi Belanja Operasional ............171

Gambar 6.9. In-efi siensi Belanja Publik ....................171

Gambar 6.10. In-efi siensi Belanja Total ....................172

Gambar 7.1. Hubungan Kausalitas antara Belanja

dengan Penerimaan Pemerintah. ..........181

Gambar 7.2. Belanja Publik dan Belanja

Operasional Pemerintah .......................186

Gambar 7.3. Penerimaan Pajak dan Belanja

Pemerintah Total .................................187

Gambar 7.4. Timbal Balik Pajak dan

Belanja Operasional .............................191

Gambar 7.5. Timbal Balik Belanja Publik dan

Pajak ....................................................196

xix

Gambar 7.6. Timbal Balik Pajak dan Belanja

Total .................................................202

Gambar 7.7. Timbal Balik Total Penerimaan dan

Belanja Operasional ..........................207

Gambar 7.8. Timbal Balik Total Penerimaan dan

Belanja Publik ....................................213

Gambar 7.9. Timbal Balik Total Penerimaan dan

Belanja Total .......................................220

Gambar 8.1. Respon GGDP pada Kejutan pada

TAX dan GET .......................................235

Gambar 8.2. Respon INF pada Kejutan pada GET,

M2, dan DB. .......................................240

Gamber 8.3. Respon PBI pada Kejutan pada LPI .......246

Gambar 8.4. Respon PI pada Kejutan TAX

dan GET ..............................................250

Gambar 8.5. Respon PI pada Kejutan DB,

dan GET ..............................................254

Gambar 8.6. Respon Neraca Perdagangan pada

Kejutan DB, GET, dan KURS ...............261

Gambar 8.7. Respon Transaksi Berjalan pada

Kejutan DB, GET, dan KURS. ..............264

BAB 1

PERKEMBANGAN MAKRO EKONOMI INDONESIA

1.1. Pengantar

Pada bagian pertama ini dipaparkan mengenai perkembangan keadaan makro ekonomi Indonesia dan berbagai kebijakan ekonomi yang dilakukan

oleh pemerintah. Keadaan makro ekonomi ditunjukkan oleh berbagai perkembangan data makro ekonomi akibat penerapan kebijakan-kebijakan pemerintah seperti kebijakan fi skal dan moneter. Dinamika perkembangan kebijakan fi skal ditunjukkan oleh berbagai perubahan dalam pengelolaan anggaran pemerintah yang meliputi pengelolaan pendapatan dan belanja pemerintah. Selian itu ada juga pengaruh kebijakan moneter yang terpantau dari bagaimana pemerintah mengatur persediaan uang untuk mencapai tujuan tertentu; seperti menahan laju infl asi, mencapai pekerja penuh atau sejahtera. Akan tetapi pada kesempatan kali ini pembahasan mengenai kebijakan fi skal yang diterapkan dalam kontribusinya menggerakkan makro ekonomi nasional akan lebih kental terasa. Berdasarkan data perkembangan makro ekonomi tersebut diharapkan dapat diketahui perkembangan prestasi ekonomi nasional serta indikator pengaruh kebijakan fi skal yang telah dilakukan oleh pemerintah terhadap perkembangan keadaan makro ekonomi negara.

Pembahasan akan dimulai dengan pemaparan strategi pembangunan ekonomi dan perkembangan makro ekonomi, dengan menjelaskan perkembangan berbagai

2

Dinamika Kinerja Fiskal di Indonesia

variabel indikator makro ekonomi. Berikutnya dijelaskan tentang realisasi kebijakan fi skal yang dilaksanakan oleh pemerintah yang dimulai dengan pemaparan singkat tentang sistem anggaran yang digunakan selama ini. Pembahasan tersebut dilengkapi pula dengan bagan alir yang menjelaskan mekanisme pelaksanaan kebijakan fi skal. Selanjutnya dipaparkan pula berbagai data yang berkaitan dengan berbagai variabel fi skal dan makro ekonomi yang dibahas pada bagian masing-masing sub bab.

1.2. Strategi Pembangunan EkonomiDalam masa beberapa tahun terakhir ini telah

terjadi peningkatan yang cukup pesat pada prestasi ekonomi kelompok negara-negara sedang membangun (developing countries). Perubahan tersebut terjadi karena keberhasilannya dalam melakukan pembangunan ekonomi. Jika dilihat dari konsep ekonomi, keberhasilan pembangunan ekonomi suatu negara dipengaruhi oleh pola kebijakan ekonomi yang dilakukan oleh pemerintah negara tersebut. Dalam perspektif ekonomi, ada dua macam kebijakan ekonomi yang utama, yaitu kebijakan moneter dan kebijakan fi skal. Penerapan kebijakan moneter tanpa diimbangi kebijakan fi skal yang efi sien dan pengelolaan yang baik pada sektor barang dan jasa justru akan menimbulkan spekulasi ekonomi, serta terjadi kegagalan/ilusi fi skal dan tidak tercapainya target besaran makro ekonomi (Arestis et.al. 2002).

Kebijakan fi skal mulai menampakkan pengaruhnya dalam menyelesaikan permasalahan ekonomi negara selepas berlakunya krisis besar pada tahun 1930-an, dengan lahirnya konsep ekonomi Keynesian, yang memperkenalkan peranan pemerintah dalam bentuk belanja pemerintah untuk menyelesaikan krisis ekonomi negara. Bahkan krisis ekonomi yang melanda beberapa negara Asia pada tahun 1997 telah pula mendorong

3

Perkembangan Makro Ekonomi Indonesia

pemerintah melakukan kebijakan fi skal ekspansif untuk menstimulasikan peningkatan output. Instrumen kebijakan fi skal yang utama adalah pengelolaan anggaran (budget) pemerintah. Anggaran pemerintah mengandung pendapatan pemerintah (revenue) dan belanja (expenditure). Sumber utama pendapatan pemerintah adalah pajak, pendapatan bukan pajak dan penerimaan dari hutang pemerintah, serta sumber pendapatan lainnya, misalnya penjualan minyak dan gas. Belanja publik terdiri dari belanja operasional pemerintah dan belanja pembangunan. Belanja operasional merupakan bentuk belanja untuk berbagai jenis pembelian barang dan pelayanan, seperti pembayaran gaji pegawai, pembayaran hutang luar negeri serta subsidi kepada masyarakat. Belanja pembangunan merupakan belanja untuk membiayai pembangunan baik fi sik (infrastruktur) maupun bukan fi sik yang diperlukan oleh masyarakat. Belanja pembangunan dapat pula dikatakan sebagai investasi publik (public investment).

Besarnya jumlah investasi pemerintah yang diperlukan dalam ekonomi untuk satu jangka waktu tertentu, misalnya satu tahun bergantung pada sasaran indikator makro ekonomi yang ditetapkan oleh pemerintah, misalnya sasaran pertumbuhan ekonomi sebanyak 5% tentu akan memerlukan investasi yang lebih besar daripada sasaran pertumbuhan ekonomi misalnya 3%. Di samping itu besarnya keberhasilan investasi pemerintah juga sangat dipengaruhi oleh tingkat efi siensi nasional, yang pada umumnya ditunjukkan oleh nilai Capital Output Ratio serta kemampuan sektor swasta membuat investasi. Walaupun kemampuan investasi sektor swasta meningkat pesat sehingga mampu meningkatkan aktivitas ekonomi dan pertumbuhan ekonomi negara, tetapi peningkatan investasi pemerintah tetap masih diperlukan.

Peningkatan belanja pemerintah dapat memberikan pengaruh kepada berbagai indikator makro ekonomi negara. Akan tetapi, ketika peningkatan belanja pemerintah

4

Dinamika Kinerja Fiskal di Indonesia

terlalu besar sehingga melebihi ukuran optimalnya, dapat menyebabkan pengaruh negatif pada ekonomi negara. Pertumbuhan ekonomi yang pesat dari suatu negara ditentukan oleh kebijakan ekonomi pemerintah dan sektor swasta, oleh sebab itu belanja pemerintah merupakan salah satu kebijakan fi skal untuk menggerakkan aktivitas sektor swasta. Agar aktivitas ekonomi negara berada pada tingkat optimalnya dengan dukungan sektor swasta, maka diperlukan pengelolaan kebijakan fi skal yang efi sien dan tingkat belanja pemerintah yang optimal. Proses mekanisme tersebut terjadi terus-menerus sehingga ekonomi negara mengalami kesuksesan. Oleh karena itu perlu pula diketahui tingkat permintaan untuk barang dan pelayanan pemerintah pada tingkat optimalnya agar pengaruh yang diperoleh juga berada pada tingkat optimalnya. Indonesia sebagai salah satu negara yang sedang membangun juga mengalami fenomena yang tidak berbeda. Untuk itu diperlukan pengelolaan kebijakan fi skal secara efektif dan efi sien sehingga implikasinya terhadap keadaan makro ekonomi Indonesia akan optimal.

1.3. Perekonomian Indonesia: Sejarah dan Strategi Pembangunan Ketika mencapai kemerdekaannya pada tahun 1945,

Indonesia merupakan negara dengan skala perekonomian yang relatif kecil walaupun secara kewilayahan tergolong sangat luas. Indonesia yang mempunyai sistem ekonomi tertutup mulai melakukan pembangunan. Selama periode 1945-1966 belum ada strategi pembangunan yang terarah dan terencana dengan baik karena situasi politik belum mantap. Hal ini sebagai akibat dari pergolakan mempertahankan kemerdekaan yang masih berlangsung. Berbagai kendala juga menambah sulitnya perekonomian Indonesia untuk bergerak maju. Kesulitan yang dapat dicatat diantaranya adalah adanya infl asi yang tinggi. Salah satu penyebabnya adalah berlakunya mata uang lebih

5

Perkembangan Makro Ekonomi Indonesia

dari satu yang beredar di masyarakat tanpa kemampuan pengendalian. Pada saat itu, pemerintah menyatakan bahwa di Indonesia berlaku 3 mata uang, yaitu mata uang De Javasche Bank, mata uang pemerintah Hindia Belada, dan mata uang pendudukan Jepang. Bulan Oktober 1946, bertujuan mengurangi kesemrawutan pemerintah RI juga mengeluarkan uang kertas baru, yaitu ORI (Oeang Republik Indonesia) sebagai pengganti uang Jepang, namun ternyata kebijakan tersebut juga mentah dan tidak memberi perubahan kearah yang lebih baik. Berdasarkan teori moneter, banyaknya jumlah uang yang beredar dapat mempengaruhi kenaikan tingkat harga. Adanya blokade ekonomi oleh Belanda sejak bulan November 1945 untuk menutup pintu perdagangan luar negeri RI juga memiliki andil dalam menyeret perekonomian Indonesia bergerak lamban, ditambah lagi kondisi kas negara yang kosong. Eksploitasi dilakukan secara besar-besaran di masa itu.

Berbagai upaya terus dilakukan untuk menyelamatkan negara dari jeratan carut marut masalah ekonomi negara. Sistem ekonomi dibongkar dan mulai diterapkan prinsip-prinsip liberal. Perekonomian diserahkan pada pasar sesuai teori-teori mazhab klasik yang menyatakan laissez faire laissez passer, dan berlakulah sistem ekonomi pintu terbuka (liberal). Sistem ini didasari oleh adanya desakan dari kaum Humanis Belanda yang menginginkan perubahan nasib warga pribumi ke arah yang lebih baik dengan langkah mendorong pemerintah Hindia Belanda untuk mengubah kebijakan ekonominya. Dibuatlah peraturan-peraturan agraria yang baru, yang antara lain mengatur tentang penyewaan tanah pada pihak swasta untuk jangka 75 tahun, dan aturan tentang tanah yang boleh disewakan dan yang tidak boleh. Namun hal ini masih berjalan setengah hati, dan masih tidak lepas dari teori-teori mazhab klasik, antara lain dibuktikan dengan keberadaan pemerintah Hindia Belanda sebagai tuan tanah, pihak swasta yang mengelola perkebunan swasta

6

Dinamika Kinerja Fiskal di Indonesia

sebagai golongan kapitalis, dan masyarakat pribumi sebagai buruh penggarap tanah; prinsip keuntungan absolut : bila di suatu tempat harga barang berada diatas ongkos tenaga kerja yang dibutuhkan, maka pengusaha memperoleh laba yang besar dan mendorong mengalirnya faktor produksi ke tempat tersebut; meskipun perekonomian diserahkan pada pihak swasta, namun pemerintah Belanda masih memegang peran yang besar sebagai penjajah yang sesungguhnya. Pada akhirnya, sistem ini bukannya meningkatkan kesejahteraan masyarakat pribumi, tapi malah menambah penderitaan, terutama bagi para kuli kontrak yang pada umumnya tidak diperlakukan layak.

Kemudian ketika pemerintah militer Jepang berkuasa sistem ekonomi baru diterapkan. Lagi-lagi Indonesia menjadi pihak yang dirugikan. Kebijakan pengerahan sumber daya ekonomi mendukung gerak maju pasukan Jepang dalam perang Pasifi k. Sebagai akibatnya, terjadi perombakan besar-besaran dalam struktur ekonomi masyarakat. Kesejahteraan rakyat merosot tajam dan terjadi bencana kekurangan pangan, karena produksi bahan makanan untuk memasok pasukan militer dan produksi minyak jarak untuk pelumas pesawat tempur menempati prioritas utama. Impor dan ekspor macet, sehingga terjadi kelangkaan tekstil yang sebelumnya didapat dengan jalan impor. begitulah sistem sosialis ala bala tentara Dai Nippon. Segala hal diatur oleh pusat guna mencapai kesejahteraan bersama yang diharapkan akan tercapai seusai memenangkan perang Pasifi k.

Ketika Jepang kalah dengan sekutu, Indoensia berusaha bangkit kembali melalui berbagai usaha untuk mengatasi masalah ekonomi. Sederet strategi dijejalkan untuk mengobati ketidakberdayaan ekonomi Indonesia, diantaranya Gunting Syariffudin, yaitu pemotongan nilai uang (sanering) yang diterapkan pada 20 Maret 1950. Selanjutnya, Program Benteng (diterapakan pada kabinet Natsir), yaitu upaya menumbuhkan wiraswastawan

7

Perkembangan Makro Ekonomi Indonesia

pribumi dan mendorong importir nasional agar bisa bersaing dengan perusahaan asing. Tidak ketinggalan pendirian Nasionalisasi De Javasche Bank menjadi Bank Indonesia pada 15 Desember 1951 lewat UU no.24 tahun 1951 dengan fungsi sebagai bank sentral dan bank sirkulasi juga dilakukan. Dilanjutkan dengan Sistem ekonomi Ali-Baba (kabinet Ali Sastroamijoyo I) yaitu penggalangan kerjasama antara penusaha cina dan pengusaha pribumi. Satu lagi langkah yang diterapkan yaitu pembatalan sepihak atas hasil-asil KMB, termasuk pembubaran Uni Indonesia-Belanda. Sayangnya sederetan strategi yang diterapkan tetap belum mampu membawa perekonomian Indonesia pada posisi yang menggembirakan.

Setelah kepemimpinan berganti pada tahun 1967, mulailah perencanaan pembangunan dilaksanakan secara terencana dan terprogram dengan baik. Periode ini disebut pula dengan orde baru yang merupakan sebutan masa pemerintahan presiden Soeharto. Pada awal orde baru, stabilitas ekonomi dan stabilitasi politik menjadi prioritas utama. Program pemerintah berorientasi pada usaha pengendalian infl asi, penyelamatan keuangan negara dn pengamanan kebutuhan pokok rakyat. Pengendalian infl asi mutlak dibutuhkan, karena pada tahun 1966 tingkat infl asi kurang lebih 650% per tahun, sungguh angka yang sangat fantastis sepanjang sejarah. Pemerintah pada masa orde baru berusaha menurunkan infl asi dan menstabilkan harga.

Pada masa orde baru ini, pemerintah memilih sistem ekonomi campuran dalam kerangka sistem ekonomi demokrasi Pancasila. Sistem ekonomi campuran merupakan paktek dari salah satu teori Keynes tentang campur tangan pemerintah dalam perekonomian secara terbatas. Sistem campuran ini pemerintah dan swasta saling bekerja dan berinteraksi dalam menyelesaikan masalah. Pemerintah turut serta dalam kegiatan transaksi ekonomi. Kebijakan-kebijakan pemerintah mulai berkiblat

8

Dinamika Kinerja Fiskal di Indonesia

pada teori-teori keynesian. Kebijakan ekonominya diarahkan pada pembangunan di segala bidang, tercermin dalam 8 jalur pemerataan : kebutuhan pokok, pendidikan dan kesehatan, pembagian pendapatan, kesempatan kerja, kesemptan berusaha, pertisipasi wanita dan generasi muda, penyebaran pembangunan, dan peradilan.

Dalam pergerakan perekonomian Indonesia terjadi juga praktik korupsi, kolusi dan nepotisme. Selain itu, pembangunan di Indonesia hanya mengutamakan pertumbuhan ekonomi tanpa diimbangi kehidupan politik dan sosial yang adil. Selain itu, Indonesia juga mengalami krisis yang merupakan akibat dari ekonomi global. Harga-harga naik, nilai rupiah melemah sangat serta timbulnya kekacuan disegala bidang.Pada awal pembangunannya yaitu tahun 1967, dalam menyusun strategi pembangunan banyak dipengaruhi oleh negara-negara dunia ketiga lainnya. Tujuan utama pembangunan Indonesia adalah untuk mencapai pertumbuhan ekonomi melalui pengumpulan dan pembentukan modal terutama modal asing. Adanya pertumbuhan ekonomi yang tinggi diharapkan dapat berjalan sesuai dengan konsep trickle down effect sehingga pengaruhnya berupa peningkatan pendapatan masyarakat, pengurangan penduduk miskin, peningkatan kesempatan kerja dan peningkatan sektor pelayanan, baik pelayanan oleh swasta ataupun oleh pemerintah. Berdasarkan keyakinan itulah maka tujuan pertumbuhan ekonomi selalu menempati peringkat utama dalam setiap rancangan pembangunan. Strategi yang digunakan adalah dengan menggalakkan pembangunan sektor perindustrian. Strategi ini mengandung maksud bahwa ekonomi Indonesia tidak bergantung pada sektor pertanian, semata-mata untuk meningkatkan peluang pekerjaan dan ekspor. Dalam usaha untuk membangun sektor perindustrian tersebut, Indonesia telah merancang beberapa perubahan kebijakan untuk dilaksanakan, yaitu swasembada pangan pada masa 1970-1985, kebijakan

9

Perkembangan Makro Ekonomi Indonesia

pengembangan substitusi impor mulai tahun 1985, dan kebijakan pengembangan ekspor mulai pada tahun 1990-an.

Perkembangan indikator ekonomi Indonesia sejauh ini menunjukkan sinergi yang membaik, kecuali pada masa krisis ekonomi yang terjadi di kawasan Asia pada tahun 1997. Beberapa indikator utama makro ekonomi dapat diamati pada tabel 1.1. Indikator makro ekonomi tersebut tentu tidak terlepas dari kebijakan ekonomi, baik kebijakan fi skal atau moneter yang dijalankan oleh pemerintah. Kebijakan anggaran defi sit yang dilaksanakan oleh pemerintah, yaitu belanja publik lebih besar daripada pendapatan pemerintah, tentu berpengaruh besar terhadap makro ekonomi. Keputusan pemerintah untuk menetapkan atau meningkatkan belanja tentulah akan menjadi insentif bagi aktivitas ekonomi, sebaliknya keputusan pemerintah untuk meningkatkan tingkat perpajakan tentu pula akan mengurangi aktivitas ekonomi. Oleh karena itu besar kecilnya tingkat pertumbuhan ekonomi atau indikator makro ekonomi lainnya merupakan dampak pengaruh dari kebijakan fi skal yang dilaksanakan oleh pemerintah, di samping pengaruh faktor lain, baik dari dalam maupun luar negeri.

Indonesia telah menunjukkan perkembangan kondisi ekonomi yang membanggakan pada beberapa tahun belakangan ini. Dimulai dengan melihat angka pertumbuhan ekonomi Indonesia. Pertumbuhan ekonomi dapat dikatakan sebagai salah satu indikator kemajuan pembangunan suatu negara. Beberapa terori mengatakan indikator ini mengukur kemampuan suatu negara untuk memperbesar output yang dihasilkannya dalam laju yang lebih cepat dibanding dengan tingkat pertumbuhan penduduknya. Berdasarkan teori ekonomi pula, pertumbuhan ekonomi bisa menunjukkan semakin banyaknya output nasional, yang juga mencerminkan semakin banyaknya orang yang bekerja sehingga pengertian yang lain mengatakan dapat

10

Dinamika Kinerja Fiskal di Indonesia

menyebabkan angka pengangguran berkurang. BPS pernah mengemukakan melalui data yang dikeluarkan, bahwa setiap kenaikan pertumbuhan ekonomi sebesar 1 persen maka akan dapat mengurangi angka pengangguran hingga mencapai 400.000 orang. Oleh sebab itu pemerintah terus menerus mengupayakan peningkatan pertumbuhan ekonomi nasional melalui kebijakan-kebijakan yang pro-growth, pro-job, pro-poor dan juga pro-enviroment.

Data yang diperoleh menyatakan bahwa pertumbuhan ekonomi Indonesia telah tumbuh rata-rata sebesar 6.8 persen selama kurun waktu tahun 1988-1994, kemudian meningkat dan mencapai puncaknya di angka 8.24 persen pada tahun 1995. Angka 8.24 persen tersebut banyak di dorong oleh tingginya konsumsi dan terjadinya boom pada tahun 1995, dengan nilai investasi yang mencapai angka 39.914,7 juta US$ (Bank Indonesia, 2003). Sayangnya pada pertengahan 1997 terjadi krisis, hingga akhirnya pada tahun 1998 pertumbuhan ekonomi indonesia terpuruk diangka minus 13,24 persen. Lalu, perbaikan demi perbaikan dilakukan yang akhirnya pada periode 2001-2005 angka merah pertumbuhan ekonomi tersebut berhasil di rubah sehingga pertumbuhan ekonomi negara berada pada kisaran 4,7 persen. Pada periode selanjutnya angka tersebut juga berkembang dengan cukup baik sehingga posisi pertumbuhan ekonomi Indonesia mencapai angka 5,9 persen pada periode 2006-2010.

Keadaan yang demikian tentu pula berpengaruh pada tingkat pendapatan per kapita penduduk di Indonesia. Pendapatan per kapita merupakan cerminan dari taraf kemakmuran suatu negara dan kemakmuran penduduk yang tinggi tentu merupakan tujuan yang ingin diwujudkan oleh suatu negara. Pendapatan nasional yang tinggi tidak mampu menggambarkan tingginya tingkat kemakmuran penduduk, hal ini dikarenakan jumlah penduduk setiap negara tidaklah sama. Untuk dapat mengetahui tingkat kemakmuran penduduk disuatu

11

Perkembangan Makro Ekonomi Indonesia

negara maka pendapatan nasional perlu dibandingkan dengan jumlah penduduk totalnya sehingga di dapatkan angka pendapatan pendududk per kapita. Data Badan Pusat Statistik menunjukkan bahwa tingkat pendapatan nasional per kapita Indonesia telah mencapai angka sebesar 6,171 juta Rupiah pada tahun 2000. Kemudian dalam kurun waktu 5 tahun angka tersebut telah naik 12% lebih tinggi menjadi sebesar 6,885 juta Rupiah pada tahun 2005. Angka ini memiliki relevansi dengan angka kemiskinan di Indonesia. Pada tahun 1998, angka kemiskinan di Indonesia mencapai 24.2 persen. Pada tahun 2004, tingkat kemiskinan ini turun menjadi 16.7 persen. Dan pada 2008 tinggal 15.4 persen dari total penduduk Indonesia. Keadaan ini tentu sangat menggembirakan mengingat kenaikan pendapatan per kapita terjadi ketika ekonomi di kawasan Asia pada umumnya mengalami penurunan hebat yang disebabkan oleh gejolak moneter. Pada periode selanjutnya, pendapatan nasional perkapita Indonesia kembali naik dengan kenaikan yang lebih lebih tinggi dibandingkan periode 5 tahun sebelumnya menjadi 8,516 juta Rupiah pada tahun 2010.

Perkembangan yang positif juga dapat dilihat dari indikator makro ekonomi Indonesia yang lain yaitu angka infl asi. Tercatat angka infl asi pada beberapa tahun terakhir menunjukkan perkembangan yang semakin menurun. Berdasarkan data yang dikeluarkan oleh Badan Pusat Statistik, rata-rata infl asi Indonesia dalam kurun waktu 1991-2000 adalah sebesar 14,87 persen, kemudian pada periode 2001-2010 infl asi Indonesia bisa ditekan menjadi angka 8,51 persen. Periode ke depan pemerintah Indonesia mentargetkan bahwa infl asi Indonesia tidak akan mencapai angka 7 persen.

Kemudian dilihat dari defi sit fi skal pemerintah kembali menunjukkan perkembangan yang baik, meskipun diketahui bahwa sistem anggaran yang diterapkan oleh pemerintah adalah sistem anggaran yang meletakkan

12

Dinamika Kinerja Fiskal di Indonesia

pengeluaran belanja pemerintah diatas pendapatan pemerintah atau sistem defi sit anggaran. Rata-data defi sit anggaran pemerintah sebesar 1,32 persen dari total PDB pemerintah pada periode 2005-2010. Angka ini lebih baik jika dibandingkan dengan rata-rata defi sit anggaran pemerintah sebelumnya yang menunjukkan angka 1,76 persen pada periode 2001-2005 1,76.

Indikator makro ekonomi selanjutnya adalah pendapatan dan belanja pemerinah. Indikator ini dipengaruhi oleh penerapan kebijakan fi skal pemerintah, sebagaimana diketahui bahwa kebijakan fi skal digunakan pemerintah untuk mengendalikan besaran anggaran pemerintah yaitu pendapatan dan belanja pemerintah. Pendapatan pemerintah Indonesia jika dibandingkan dengan total PDB yang dihasilkannya adalah sebesar 50,79 persen pada tahun 2001-2005 sebelum akhirnya mengalami peningkatan yang cukup signifi kan menjadi sebesar 66,83% dari PDB pada 2006-2010. Kenaikan pendapatan pemerintah ini juga diikuti oleh kenaikan belanja pemerintah baik itu belanja operasional maupun belanja publik. Tercatat nilai belanja pemerintah jika dibandingkan dengan total PDB yang dihasilkan adalah sebesar 23,21 persen selama kurun waktu 2001-2005. Kemudian belanja pemerintah tersebut naik mengikuti kenaikan pendapatan pemerintah sehingga mencapai angka 30,98 persen dari total PDB yang dihasilkan. Beberapa komponen belanja pemerintah yang menyumbang tingginya angka belanja pemerintah diantanya adalah belanja kesehatan dan pendidikan. Pada tahun 2007 dan 2008 pemerintah telah mengganggarkan belanja kesehatan masing-masing sebesar 16 triliun Rupiah. Angka tersebut lebih besar 8 kali lipat jika dibandingkan dengan anggaran kesehatan pada tahun 2000 yang hanya sebesar 2,8 triliun Rupiah. Sedangkan untuk anggaran pendidikan pemerintah telah menetapkan angka sebesar 154,2 triliun Rupiah. Jika dibandingkan dengan tahun 2000 angka

13

Perkembangan Makro Ekonomi Indonesia

154,2 akan sangat begitu besar karena pada tahun 2000 anggaran pemerintah untuk pendidikan hanya sebesar 11,7 triliun Rupiah atau naik sebesar 1300 persen.

Indikator makroekonomi yang lain yang juga menunjukan kondisi yang membaik adalah dari cadangan devisa (foreign exchange reserves) dan hutang pemerintah Indonesia. Cadangan devisa merupakan simpanan mata uang asing oleh bank central (Bank Indonesia) dan otoritas moneter. Simpanan ini merupakan asset Bank Indonesia yang tersimpan dalam beberapa mata uang cadangan (reserve currency) seperti dolar, euro atau yen dan digunakan untuk menjamin kewajibannya, yaitu mata uang lokal yang diterbitkannya dan cadangan berbagai bank yang disimpan di Bank Indonesia oleh pemerintah dan lembaga keuangan (wikipedia,1999). Cadangan devisa pemerintah Indonesia pada tahun 2000 hanya sebesar 29,4 Miliar dolar Amerika. Dan hanya dalam waktu tidak kurang dari 10 tahun cadangan devisa pemerintah Indonesia telah naik sebesar 135 persen menjadi sebesar 69,1 Miliar dolar Amerika pada tahun 2008. Hal ini menunjukkan bahwa kondisi keuangan Indonesia dalam kondisi yang prima.

Selanjutnya mengenai hutang pemerintah Indonesia sebagai indikator makroekonomi. Tercatat dari data yang dikeluarkan oleh Badan Pusat Statistik rata-rata hutang pemerintah Indonesia pada periode 2001-2005 adalah sebesar 66,3 persen dari PDB yang berarti lebih dari setengah total PDB yang dihasilkan oleh Indonesia. Kemudian dalam perkembangan selanjutnya terjadi perbaikan sehingga hutang pemerintah pada periode 5 tahun selanjutnya rata-rata hanya sebesar 35,6 persen dari total PDB. Perkembangan ingin sungguh menakjubkan karenan hanya dalam waktu kurang lebih 5 tahun total hutang pemerintah mampu ditekan hampir mencapi 50 persennya.

14

Dinamika Kinerja Fiskal di Indonesia

Dalam tabel 1.1 berikut ini secara ringkas ditampilkan perkembangan beberapa data indikator makroekonomi Indonesia.

Tabel 1.1. Indikator Makro Ekonomi Indonesia

Indikator Makroekonomi Nilai

1. Pertumbuhan Ekonomi (rata-rata %) (2001-2005) (2006-2010)2. Pendapatan Per Kapita (Rp.Juta) (2000) (2005) (2010)3. Infl asi (rata-rata %) (1991 - 2000) (2001 - 2010)4. Defi sit Fiskal (% PDB) (2001-2005) (2006-2010)5. Pendapatan Pemerintah (% PDB) (2001-2005) (2006-2010)6. Belanja Pemerintah (% PDB)

(2001-2005)(2006-2010)

7. Hutang Pemerintah (% PDB)(2001-2005)(2006-2010)

8. Cadangan Devisa (US$ Miliar)(2000)(2008)

4.75.9

6,1716,8858,516

14,878,51

1.761.32

50.7966.83

23.2130.98

66,335,6

29,469,1

Sumber: Badan Pusat Statistik

Dari data-data indikator ekonomi makro diatas tingkat infl asi sebagai indikator kestabilan ekonomi Indonesia menunjukkan perubahan yang tidak terlalu drastis, kecuali pada masa krisis saja. Hal ini menunjukkan

15

Perkembangan Makro Ekonomi Indonesia

bahwa kebijakan ekonomi yang dilakukan oleh pemerintah dapat dikatakan telah berhasil dalam menjaga kestabilan ekonomi negara. Faktor makro ekonomi yang belum menunjukkan perkembangan adalah pengelolaan hutang pemerintah yang pada tahun 1997 telah menjadi sumber krisis ekonomi moneter. Pada akhir tahun 2010 hutang pemerintah secara total telah mencapai 1.676,15 triliun Rupiah (Kemenkeu,2011).

1.4. Perkembangan Perekonomian Indonesia Selama sepuluh tahun terakhir ini pada umumnya

negara-negara yang tergabung dalam kelompok negara masa membangun yang ada di kawasan Asia menjalankan pola kebijakan fi skal defi sit untuk menjaga kestabilan ekonomi dan peningkatan pertumbuhan ekonomi (Hill 1996:66). Selain itu perkembangan selama sepuluh tahun terakhir menunjukkan bahwa kebijakan moneter di kawasan ASEAN belum membuahkan hasil yang memadai (Adjie 1998). Kebijakan anggaran defi sit tersebut ternyata memberikan dampak pada belanja publik total yang mengalami kenaikan setiap tahun (lihat juga Ahmed dan Kenneth 2000; Hondroyiannis dan Papapetrue 2001). Pola kebijakan fi skal defi sit yang diterapkan pemerintah dan peningkatan belanja publik tersebut memberikan pengaruh pada nilai variabel makro ekonomi negara. Pengaruh tersebut terutama muncul akibat efi siensi ekonomi yang rendah, termasuk efi siensi pengelolaan keuangan negara (belanja publik). Jadi, dari fakta yang ada dapat dikatakan bahwa belanja publik merupakan suatu kebijakan yang memerlukan kehati-hatian dalam pengelolaannya.

16

Dinamika Kinerja Fiskal di Indonesia

Tabel 1.2. Perkembangan Indikator Fiskal dan Makro Ekonomi

Indikator 1991-1996

1996-2000

2001-2005

2006-2010

Belanja Publik1. Turun Turun Turun NaikDefi sit 2. Anggaran Turun Turun Naik Turun

Pertumbuhan 3. Ekonomi Naik Naik Turun Stabil

Infl asi4. Turun Naik Naik StabilInvestasi5. Turun Naik Turun NaikDefi sit Trans. 6. Berjalan Naik Turun Naik Stabil

Kebijakan defi sit anggaran yang semakin besar serta peningkatan belanja publik di negara-negara Asia Tenggara yang telah mencapai rata-rata lebih dari 10%, menunjukkan komitmen pemerintah untuk mendorong ekonomi nasional melalui kebijakan anggaran. Jika dilihat pada kasus Indonesia, maka dapat diketahui bahwa perkembangan kebijakan fi skal, khususnya perkembangan belanja publik dan keadaan makro ekonomi yang lain terus memperlihatkan kondisi yang menggembirakan. Pada tabel 1.2 dapat diketahui bahwa pertumbuhan ekonomi pada tahun 1991-1996 rata-rata telah mengalami peningkatan, demikian pula pada periode tahun 1996-2000 juga mengalami peningkatan. Meskipun pada tahun 2001-2005 rata-rata mengalami penurunan namun kembali naik pada periode selanjutnya. Kebijakan fi skal menimbulkan pengaruh pula pada perubahan berbagai indikator makro ekonomi seperti yang terdapat pada tabel tersebut.

Sejak mencapai kemerdekaan pada tahun 1957, ekonomi Indonesia telah mengalami perkembangan yang amat pesat. Hal ini ditandai dengan tingkat pertumbuhan ekonomi yang tinggi, yaitu rata-rata kenaikannya lebih dari 4 persen setiap tahun. Peningkatan yang tinggi

17

Perkembangan Makro Ekonomi Indonesia

ditunjukkan pada tahun 1970-an, meskipun kemudian harus mengalami penurunan menjadi sekitar 5 persen setiap tahun pada tahun 1980-an. Kemudian pada 10 tahun terakhir ini pertumbuhan ekonomi terus mengalami peningkatan, dengan rata-rata peningkatan mencapai angka 5%. Mengenai pekembangan pertumbuhan ekonomi Indonesia dipaparkan pada Tabel 1.3. dan Gambar 1.1. Angka ini lebih tinggi daripada rata-rata tingkat pertumbuhan ekonomi di negara-negara membangun lainnya di kawasan Asia. Walaupun mengalami berbagai masa ancaman ekonomi, diantaranya pada tahun 1970-an, tahun 1980-an dan terkahir pada tahun 1997 serta tahun 2008, pemerintah dapat melakukan perbaikan ekonominya dengan segera. Keberhasilan ini disebabkan struktur ekonomi negara yang kuat dan didukung pula oleh efi siensi dalam pengelolaan keuangan pemerintah serta strategi Kebijakan Ekonomi Baru dan berbagai rancangan dan kebijakan ekonomi lain yang dilaksanakannya. Keberhasilan tersebut didukung pula oleh kesuksesannya dalam menekan laju pertumbuhan infl asi. Peningkatan pertumbuhan ekonomi yang tinggi tidak akan ada artinya jika dibarengi dengan kegagalan dalam mengendalikan laju infl asi. Banyak faktor baik internal maupun eksternal yang dengan mudahnya mampu memberikan rangsangan terhadap laju infl asi sehingga mengganggu stabilitas ekonomi nasional. Pemerintah bersama Bank Indonesia harus terus melakukan koordinasi yang baik dan melakukan harmonisasi kebijakan dalam mengendalikan infl asi. Tercatat dari tahun 1990-an sampai 2000-an Indonesia pernah kewalahan dalam menekan laju infl asi seperti tahun 1998 dimana angka infl asi tahunan Indonesia membumbung tinggi mencapai angka 77,63 persen. Selanjutnya angka infl asi tahunan juga sempat berusaha naik kembali yaitu pada tahun 2005 dan 2008 dimana angka infl asi berada diatas 10 persen yaitu masing-masing sebesar 17,11 persen dan 11,06 persen.

18

Dinamika Kinerja Fiskal di Indonesia

Namun pada beberapa tahun terahir Indonesia berhasil mengendalikan infl asinya sehingga tidak jauh beda dengan angka yang ditargetkan yaitu sekitar 5-6 persen per tahunnya. Perkembangan infl asi selama 10 tahun terahir dapat dilihat pada gambar 1.2 dibawah ini.

Tingkat pertumbuhan ekonomi Indonesia dapat bertahan pada tingkat yang tinggi disebabkan oleh berbagai faktor yang menjadi penentunya. Selain berbagai kebijakan ekonomi negara, baik fi skal maupun moneter, faktor lain yang mendukung pertumbuhan ekonomi adalah adanya transformasi ekonomi, infrastruktur yang lengkap dan investasi swasta yang kuat dan berkelanjutan dalam jangka waktu yang lama. Tidak dapat dinafi kan lagi bahwa peranan pemerintah amatlah penting dalam menjalankan kebijakan-kebijakan ekonomi untuk mencapai tingkat pertumbuhan ekonomi yang dikehendaki. Pada umumnya, di negara membangun, kebijakan pembangunan negara bertujuan untuk mencapai pertumbuhan ekonomi yang tinggi dengan melibatkan pula sektor swasta. Pemerintah berperanan dalam merencanakan kebijakan ekonomi untuk menjamin pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan. Pemerintah dapat pula menyusun rencana pembangunan untuk menentukan alokasi sumber dan pembagian pendapatan yang adil kepada masyarakat. Pemerintah Indonesia telah melakukan berbagai rancangan untuk mencapai tingkat petumbuhan ekonomi serta menjalankan fungsi-fungsi pemerintah lainnya agar hasil pembangunannya dapat dinikmati oleh semua rakyat. Diantaranya termasuk menyusun Rencana Pembangunan Lima Tahun Indonesia Pertama (Repelita-1) hingga Repelita-6. Dengan rancangan tersebut proses pembangunan dapat berjalan sesuai dengan tujuan yang dikehendaki, sehingga pembangunan dapat mencapai tujuannya secara maksimum.

19

Perkembangan Makro Ekonomi Indonesia

Tabel 1.3. Perkembangan GDP,Infl asi dan Jumlah Penduduk

Tahun GDP HK:2000(Rp. Milyar)

Infl asi(Persen) Penduduk (Juta)

2001 1.437.583,0 12,55 207,792002 1.499.446,6 10,03 210,502003 1.621.529,9 5,06 220,502004 1.656.516,8 6,40 216,012005 1.750.815,2 17,11 219,852006 1.847.126,7 6,60 221,662007 1.964.327,3 6,59 231,632008 2.082.456,1 11,0 232,502009 2.178.850,4 2,78 234,442010 2.313.838,0 6,96 237,642011 2.463.242,0 3,79 240,49

Sumber: Bank Indonesia;Sensus;Olah Data;BPS

3,50 4,40

4,90 5,10 5,70 5,50

6,30 6,40

4,63

6,20 6,46

0,00

1,00

2,00

3,00

4,00

5,00

6,00

7,00

2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011Pert

umbu

han

ekon

omi (

%)

Tahun

PERTUMBUHAN EKONOMI INDONESIA

Sumber : BPS dan Olah dataGambar 1. 1

Perkembangan Pertumbuhan ekonomi Indonesia

20

Dinamika Kinerja Fiskal di Indonesia

12,55

10,03

5,06 6,40

17,11

6,60 6,59

11,06

2,78

6,96

3,79

0,002,004,006,008,00

10,0012,0014,0016,0018,00

2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011

Infla

si (%

)

Tahun

INFLASI (%)

Sumber : BPS dan Olah dataGambar 1.2. Perkembangan rata-rata infl asi tahunan

Indonesia

Keberhasilan pembangunan dipengaruhi pula oleh adanya transformasi ekonomi yang terjadi di sebuah negara, khususnya negara yang sedang membangun. Sebagaimana negara lain, pada awal kemerdekaannya, ekonomi Indonesia mengandalkan sektor primer yang meliputi pertanian, perikanan, perkebunan dan perhutanan. Proses transformasi ekonomi merupakan suatu proses perubahan peran sektor ekonomi dari sektor pertanian kepada perindustrian dan jasa. Adanya proses ini akan menimbulkan tingkat efi siensi ekonomi yang lebih besar, sehingga output yang dihasilkannya menjadi lebih besar pula. Proses transformasi ini perlu dirancnag karena adanya berbagai faktor, diantaranya adalah terjadinya ketidakstabilan harga komoditas di pasar internasional, persaingan yang semakin hebat antar negara pengekspor, dan persaingan dengan barang pengganti. Untuk memastikan pertumbuhan ekonomi berkelanjutan, maka sektor perindustrian diperlukan untuk mengambil alih

21

Perkembangan Makro Ekonomi Indonesia

sektor pertanian sebagai andalan pembangunan negara. Sektor perindustrian mampu menampung tenaga kerja yang lebih besar dibandingkan dengan sektor pertanian. Perkembangan sektor perindustrian yang pesat juga mampu meningkatkan eksport barang ke luar negari untuk meningkatkan perekonomian negara .

Faktor lain yang mendukung keberhasilan pembangunan ekonomi negara adalah adanya infrastruktur yang lengkap yang disediakan oleh pemerintah. Infrastruktur dan fasilitas lain yang lengkap akan memainkan peran penting dalam mendukung pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan. Pemerintah menyediakan infrastruktur untuk pengembangan sektor perindustrian yang menjadi pusat pertumbuhan ekonomi. Infrastruktur ini secara tidak langsung akan menjadi input dalam perindustrian, misalnya suplai air, listrik serta fasilitas perhubungan dan jalan raya akan memperlancar proses pengembangan perindustrian. Fasilitas infrastruktur dapat disediakan oleh pemerintah karena adanya kebijakan fi skal yang dilaksanakan melalui anggarannya pada setiap tahun. Untuk menentukan ukuran infrastrukur ini pemerintah harus memperhatikan permintaan masyarakat. Untuk memperlancar penyediaannya, pemerintah Indonesia telah mendirikan berbagai badan sebagai pelaksananya.

Terjadinya pertumbuhan ekonomi yang kuat dan berkelanjutan akan bergantung pula pada adanya investasi. Dalam ekonomi sebuah negara tingkat investasi tertentu diperlukan untuk mencapai tujuan pertumbuhan ekonomi yang dikehendaki. Investasi yang dikehendaki adalah investasi swasta dan publik (public investment). Investasi publik disediakan oleh pemerintah, sedangkan investasi swasta disediakan oleh swasta dan masyarakat. Sebuah negara yang sedang berada pada tahap membangun, pada umumnya, mengalami kekurangan dana untuk menyediakan investasi, demikian halnya yang terjadi dengan Indonesia. Oleh karena itu diperlukan investasi

22

Dinamika Kinerja Fiskal di Indonesia

asing untuk mencukupi keperluan tersebut. Meskipun sejauh ini pemerintah Indonesia mampu memenuhi berbagai investasi publiknya, investasi swasta terus ditingkatkan. Peningkatan investasi terus diupayakan oleh pemerintah dan hasilnya selama beberapa tahun terakhir jumlah investasi di Indonesia baik dari pihak pemerintah maupun dari pihak swasta terus mengalami peningkatan. Total investasi di Indonesia periode tahun 1990-an mengalami peningkatan rata-rata sebesar 16 persen setiap tahunnya. Angka tersebut di dapat dari peningkatan nilai investasi pihak swastas rata-rata sebesar 16 persen dan dari pihak pemerintah rata-rata sebesar 25 persen. Kemudian pada periode 2000-an keatas peningkatan total investasi mampu didorong sehingga kenaikannya rata-rata menjadi sebesar 25 persen tiap tahunnya. Hal yang lebih menggembirakan adalah ternyata angka 25 persen tersebut dihasilkan dari peningkatan investasi swasta yang rata-rata sebesar 29 persen sedangkan pemerintah hanya sebesar 15 persen. Hal ini berarti pemerintah telah berhasil mendorong pihak swasta untuk terus menigkatkan nilai investasinya dari tahun ke tahun.

Tabel 1.4. Perkembangan Investasi Indonesia

Tahun Jumlah Investasi (Rp Triliun)Pemerintah Swasta Total

2001 41,8 333,3 375,12002 50,8 329,9 380,72003 70,1 335,2 405,32004 76,4 438,9 515,32005 90,2 567,4 657,62006 108,2 697,2 805,42007 125,4 858,5 983,92008 144,6 1106,2 1250,82009 166,8 1425,3 1592,12010 192,3 1836,5 2028,8

Sumber : Sumber: Dirangkum dan diolah dari Buku Repelita VI, Rencana Kerja Pemerintah (RKP) berbagai tahun, Laporan Perekonomian Indonesia (Bank Indonesia) berbagai tahun

23

Perkembangan Makro Ekonomi Indonesia

Tingkat pertumbuhan ekonomi yang tinggi di suatu negara tidak akan bermakna jika pemerintah tidak mampu membendung peningkatan infl asi karena peningkatan infl asi memiliki dampak menurunkan pendapatan riil masyarakat. Sebagaimana telah dibahas pula diatas, tingkat infl asi yang terjadi di Indonesia sejauh ini masih mampu dikelola dengan baik oleh pemerintah. Tingkat infl asi mencapai tingkat yang mengkhawatirkan ketika melebihi 10 persen pada tahun 1973-1974 dan mencapai tingkat 9.7 persen pada tahun 1981. Selain dua periode tersebut tingkat infl asi hanya berada pada tingkat rata-rata 5 persen kecuali pada tahuan 2005 dan 2008. Angka lengkapnya dapat dilihat pada Tabel 1.3 sedang perkembangan dapat dilihat melalui gamba 1.2 diatas. Keberhasilan pemerintah dalam menjaga fl uktuasi tingkat infl asi ini membawa makna bahwa masyarakat dapat menikmati peningkatan pendapatan riil. Meskipun berbagai krisis ekonomi telah melanda negara, namun pemerintah dengan efi sien dapat mengatasinya, sehingga tingkat infl asi tidak meningkat pesat. Bahkan krisis moneter yang melanda daratan Asia pada tahun 1997 juga tidak mengakibatkan tingkat infl asi meningkat. Bahkan dalam masa dua tahun terakhir ekonomi negara telah membaik dan pertumbuhan ekonominya kembali berada pada tingkat 4 persen pada tahun 2001-2003. Dibandingkan dengan negara lain di ASEAN, Indonesia merupakan negara yang paling kuat struktur ekonominya selepas adanya krisis ekonomi tersebut. Keberhasilan ini merupakan usaha pemerintah dan sektor swasta yang cepat melakukan penyesuaian dalam kegiatan ekonominya.

Makna nyata peningkatan pendapatan masyarakat adalah terjadinya peningkatan pendapatan per kapita yang dirasakan oleh seluruh masyarakat. Peningkatan tingkat pertumbuhan ekonomi akan menjadi lebih bermakna pula jika dapat didistribusikan kepada seluruh

24

Dinamika Kinerja Fiskal di Indonesia

masyarakat. Oleh karena itu masalah yang berkaitan erat dengan peningkatan pendapatan per kapita adalah terjadinya peningkatan penduduk yang terlalu tinggi serta distribusi pendapatan tersebut. Indonesia merupakan salah satu negara yang menghadapi pertambahan jumlah penduduk yang tinggi sehingga mencapai rata-rata lebih dari 2.5 persen pada setiap tahunnya. Walaupun begitu peningkatan pendapatan per kapita masih dapat dinikmati oleh masyarakat. Pada periode 1980 sampai dengan periode 1990-an pendapatan per kapita mengalami penurunan hanya dua kali, yaitu pada tahun 1985 dan tahun 1997 sebagai akibat adanya krisis ekonomi. Namun begitu pada tahun berikutnya perekonomian sudah mengalami peningkatan. Ini berarti bahwa kegiatan ekonomi telah mengalami peningkatan selepas terjadinya krisis ekonomi. Pada Gambar 1.4 dijelaskan perkembangan pendapatan per kapita tahun 2001-2011. Dapat dilihat bahwa pendapatan per kapita Indonesia terus mengalami peningkatan dengan rata-rata peningkatannya sebesar 2 hingga 5 persen per tahunnya. Suatu negara dengan kenaikan jumlah penduduk yang tinggi tentu merupakan suatu upaya yang sulit untuk mendorong kenaikan angka pendapatan perkapita, namun Indonesia telah membuktikan bahwa meskipun berada pada kondisi tingginya pertambahan jumlah penduduk namun kenaikan pendapatan per kapita tetap bisa dilakukan. Gambar dan tabel ini dibawah ini menggambarkan bagaimana perkembangan dari jumlah penduduk Indonesia dan perkembangan pendapatan perkapita Indonesia beberapa tahun terakhir.

25

Perkembangan Makro Ekonomi Indonesia

207.799 210.500

213.237 216.009

218.868 221.661

231.630 231.501 234.550

237.640

190.000 195.000 200.000 205.000 210.000 215.000 220.000 225.000 230.000 235.000 240.000

2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010

Jum

lah

Pen

du

du

k (0

00 ji

wa)

Tahun

Jumlah Penduduk Indonesi (Ribu Jiwa)

Gambar 1.3 Perkembangan Jumlah Penduduk

6.918 7.123 7.354 7.669 7.964 8.333 8.480 8.957 9.294 9.737

10.243

0

2.000

4.000

6.000

8.000

10.000

12.000

2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011

PEND

APAT

AN P

ERKA

PITA

(R

IBU

RUPI

AH)

TAHUN

Pendapatan Perkapita (ribu Rp)

Gambar 1.4 Perkembangan Pendapatan Per Kapita

26

Dinamika Kinerja Fiskal di Indonesia

Tabel 1.5 Perkembangan pendapatan perkapita

TahunPendapatan per kapita

(Rp)

Pertumbuhan

(Persen)2001 6.918.442 2,102002 7.123.262 2,962003 7.353.877 3,242004 7.668.704 4,282005 7.963.681 3,852006 8.333.153 4,642007 8.480.453 1,772008 8.956.800 5,622009 9.293.851 3,762010 9.736.736 4,772011 10.242.596 5,20

Sumber : BPS

BAB 2

KONSEP DASARKEBIJAKAN FISKAL

2.1 Pengantar

Pada bab ini dijelaskan berbagai teori dan hasil kajian yang menjelaskan tentang kebijakan fi skal di berbagai negara. Teori tersebut meliputi teori tentang

pengaruh kebijakan fi skal terhadap berbagai indikator makro ekonomi, khususnya tentang keseimbangan pendapatan nasional, teori tentang perkembangan model-model belanja publik. Selain itu juga dipaparkan teori tentang hubungan kausalitas antara penerimaan pemerintah dengan belanja publik serta teori tentang keterkaitan instrumen kebijakan fi skal, khususnya belanja publik terhadap berbagai indikator makro ekonomi, yang meliputi tingkat pertumbuhan ekonomi, infl asi, investasi swasta dan transaksi berjalan.

2.2. Kebijakan fi skal dan keseimbangan makro ekonomiKebijakan fi skal merupakan salah satu kebijakan

ekonomi yang dapat dilakukan oleh pemerintah dalam mengelola perekonomian nasional. Kebijakan fi skal juga merupakan kebijakan berupa tindakan pemerintah dalam melakukan penetapan atau perubahan dalam anggaran pendapatan dan belanja negara, khususnya terhadap tarif pajak dan belanja pemerintah. Tindakan pemerintah dalam bentuk peningkatan pajak atau pengurangan

28

Dinamika Kinerja Fiskal di Indonesia

belanja pemerintah akan mengakibatkan penurunan pendapatan nasional, sedangkan tindakan berupa peningkatan belanja pemerintah atau penurunan tarif pajak akan mengakibatkan peningkatan pendapatan nasional. Pengaruh berikutnya yang dapat terjadi adalah adanya perubahan pada berbagai indikator makro ekonomi nasional sebagai akibat dari perubahan pendapatan masayarakat, misalnya peningkatan investasi swasta, permintaan barang dan jasa secara agregat serta peningkatan produksi secara nasional.

Kebijakan fi skal yang dilakukan oleh pemerintah dalam bentuk pengelolaan anggaran pemerintah merupakan suatu aspek pengelolaan keuangan sebagai alat untuk mencapai tujuan ekonomi dan sosial yang telah ditetapkan serta untuk memastikan bahwa sumber keuangan negara yang digunakan dapat menghasilkan manfaat yang optimum. Secara umum pengelolaan anggaran pemerintah adalah suatu proses politik tentang perencanaan keuangan untuk suatu periode tertentu yang akan datang, biasanya dalam periode satu tahun, yang meliputi penentuan pendapatan pemerintah besrta sumber-sumbernya dan belanja pemerintah yang ditargetkan dan diolah sedemikian rupa untuk mencapai tujuan pembangunan nasional. Pada umumnya anggaran pemerintah memiliki berbagai fungsi, yaitu fungsi produksi, fungsi distribusi pendapatan, fungsi stabilisasi ekonomi, sebagai alat mengelola sumber keuangan, sebagai dokumen anggaran belanja dan keuangan dan sebagai alat pengukur prestasi pelayanan pemerintah kepada masyarakat. Oleh karena itu kebijakan fi skal dalam bentuk penetapan maupun perubahan anggaran pemerintah akan memiliki pengaruh pada berbagai variabel ekonomi, diantaranya investasi, pertumbuhan ekonomi, pendapatan masyarakat, infl asi dan berbagai indikator hubungan ekonomi dalam lingkup internasional.

29

Konsep Dasar Kebijakan Fiskal

Untuk melakukan analisis pengaruh kebijakan fi skal, baik perubahan pajak maupun belanja pemerintah terhadap pendapatan perekonomian nasional dapat dilakukan dengan pendekatan analisis model IS-LM sederhana. Kurva IS merupakan kurva yang menggambarkan hubungan keseimbangan antara variabel output dan tingkat bunga di pasar barang. Adapun kurva LM merupakan kurva yang menggambarkan hubungan keseimbangan antara variabel output dan tingkat bunga di pasar uang. Menurut pendekatan tersebut suatu tindakan kebijakan fi skal akan berpengaruh pada pergeseran kurva IS, sedangkan kurva LM akan bergeser sebagai akibat tindakan kebijakan keuangan yang dapat berupa pengurangan atau penambahan suplai uang (money supply) yang beredar. Suatu tindakan kebijakan fi skal dalam bentuk peningkatan tarif pajak atau pengurangan belanja pemerintah akan mengakibatkan pergeseran kurva IS ke kiri, sedangkan tindakan yang berupa peningkatan belanja pemerintah atau penurunan tarif pajak akan mengakibatkan pergeseran kurva IS ke kanan. Pergeseran kurva IS tersebut tentu akan mengakibatkan perubahan keseimbangan dalam penentuan pendapatan nasional, sehingga akan berpengaruh pada perubahan pendapan nasional dan tingkat keseimbangan. Perubahan pada kedua variabel tersebut akan berpengaruh pada perubahan berbagai variabel makro ekonomi lainnya.

Sama halnya dengan kebijakan moneter, kebijakan fi skal juga dapat difahami sebagai kebijakan pengelolaan pada permintaan agregat. Tujuan kedua kebijakan ini adalah sama, yaitu untuk menentukan permintaan agregat yang bersamaan dengan penawaran agregat supaya tingkat harga dapat dikendalikan, sehingga tidak menimbulkan ketidakakstabilan perekonomian nasional berupa peningkatan infl asi atau pengangguran. Permintaan agregat yang berlebihan akan menimbulkan terjadinya infl asi. Dalam kasus yang demikian, pemerintah

30

Dinamika Kinerja Fiskal di Indonesia

harus melakukan kebijakan fi skal kontraktif berupa pengurangan belanja pemerintah atau peningkatan tarif pajak. Keadaan penawaran yang berlebihan akan menimbulkan pengangguran, dan dalam hal yang sedemikian pemerintah harus melakukan kebijakan fi skal ekspansif berupa peningkatan belanja pemerintah atau pengurangan tarif pajak (Taggart et.al. 1999). Dengan demikian jelaslah betapa pentingnya suatu tindakan kebijakan fi skal berupa pengelolaan belanja publik dalam mengendalikan perekonomian nasional.

Dalam kenyataannya, kebijakan fi skal berupa perubahan belanja publik yang sering dilakukan oleh pemerintah tidak selalu berbanding lurus dengan perubahan pajak. Perubahan belanja pemerintah selalu dilakukan untuk menetapkan anggaran negara setiap tahun, sedangkan perubahan tarif pajak belum tentu dilakukan setiap tahun oleh pemerintah. Jika dilihat dari aspek luasnya pengaruh yang terjadi, belanja pemerintah memiliki pengaruh yang lebih luas pada berbagai kelompok masyarakat, yaitu kelompok masyarakat miskin, kelompok masyarakat menengah, perusahaan atau berbagai unsur masyarakat dari luar negeri. Sedangkan tarif pajak pada umumnya berpengaruh besar pada perusahaan, walaupun begitu beberapa kelompok masyarakat juga akan terkena pengaruhnya. Oleh karena itu pengelolaan belanja publik perlu mendapat perhatian yang besar oleh pemerintah sehingga kebijakan tersebut dapat mencapai tujuannya secara lebih efektif dan efi sien.

Pengelolaan belanja publik juga mengandung berbagai masalah dalam pelaksanaannya. Belanja publik memiliki berbagai unsur, yaitu belanja operasional atau belanja tidak langsung, dan belanja pembangunan atau belanja langsung yang masing-masing masih terbagi dalam berbagai bagian yang lebih kecil. Oleh karena itu, pengelolaan masing-masing menurut ukurannya perlu dilakukan dengan baik. Ukuran belanja publik yang

31

Konsep Dasar Kebijakan Fiskal

terlalu besar akan mengakibatkan ketidakefi sienan dalam pengelolaan, sedangkan ukuran yang terlalu kecil akan mengakibatkan tujuan kebijakan fi skal tidak tercapai. Agar pemerintah dapat menetapkan ukuran yang tepat maka perlu dilakukan analisis yang melibatkan berbagai faktor yang berpengaruh pada ukuran belanja publik tersebut. Analisis dalam hal yang tersebut dapat dilakukan dengan berbagai metode permodelan tentang belanja publik.

1. Model Sederhana Penentuan Pendapatan NasionalUntuk melakukan analisis tentang keseimbangan

perekonomian sebuah negara dapat menggunakan pendekatan IS-LM, yang akan dikemukakan dalam bagian berikut ini. Pendekatan tersebut merupakan suatu pendekatan yang berasal dari perkembangan pemikiran John Mynard Keynes (1936), yang untuk pertama kalinya dikembangkan oleh John Hicks pada tahun 1937, dan selanjutnya sering diistilahkan dnegan aliran Keynesian. Namun begitu tidak berarti bahwa pemikiran ekonomi klasik yang dikembangkan oleh Adam Smith (1776) terlepas dari pendekatan ini. Pada kenyataannya, pendekatan IS-LM mengandung berbagai asumsi yang berasal dari pemikiran Klasik dan Keyensian. Namun begitu dalam buku ini tidak dipaparkan berbagai model tersebut karena begitu luas dan kompleks. Karena dalam buku ini lebih difokuskan pada pembahasan perubahan belanja publik, maka penjelasan tentang pendekatan IS-LM hanya bersifat sederhana.

Pendekatan IS-LM merupakan satu pendekatan untuk menjelaskan keseimbangan makro ekonomi sebuah negara sebagai hasil interaksi antara keseimbangan di sektor keuangan dengan pasar barang. Keseimbangan pasar barang dapat menghasilkan kurva IS, sedangkan keseimbangan di sektor keuangan akan menghasilkan kurva LM. Kurva IS menunjukkan keterkaitan antara berbagai tingkat bunga dengan output sehingga belanja

32

Dinamika Kinerja Fiskal di Indonesia

agregat yang direncanakan sama dengan pendapatan agregat dalam perekonomian nasional. Sedangkan kurva LM menunjukkan keberkaitan antara berbagai tingkat bunga dengan output sehingga permintaan uang riil sama dengan penawaran uang dalam perekonomian nasional. Untuk mempermudah analisis dapat diamati Gambar 2.1.

Gambar 2.1 Perubahan Belanja Pemerintah terhadap Keseimbangan Makro Ekonomi

Dalam perhitungan keseimbangan makro ekonomi, pendapatan nasional (GNP) dapat dilihat sebagai aliran belanja (expenditure) atau pendapatan (income). Aliran belanja merupakan aliran dari semua pelaku ekonomi, yaitu belanja dari pengguna barang dan jasa, berupa belanja rumah tangga (C), aliran belanja dari perusahaan swasta berupa investasi (I), aliran dari pemerintah berupa belanja pemerintah (G), dan aliran dari negara lain berupa eksport dan import (X-M). Aliran pendapatan juga merupakan aliran dari berbagai sumber, yaitu pendapatan rumah tangga yang digunakan untuk belanja

33

Konsep Dasar Kebijakan Fiskal

konsumen dan tabungan (C+S), pendapatan pemerintah berupa pajak (T), dan jumlah transfer swasta kepada warga negara asing (Rf). Dalam kedua kasus tersebut, jumlah nilai nominal barang dan jasa yang dikeluarkan dalam sebuah perekonomian suatu negara akan sama. Pernyataan tersebut dapat ditulis sebagai yang berikut: C + I + G + (X – M) = Y = C + S + T + Rf....(2.1)Semua variabel tersebut adalah dalam angka nominal. Jika semua variabel didefl asikan dengan Indek Harga Konsumen untuk memperoleh angka riil, maka dapat diperoleh: c + i + g + (x – m) = y = c + s + t + rf .....(2.2)Untuk analisis kasus sederhana, jika sektor luar negeri dikesampingkan, persamaan (2.2) dapat ditulis sebagai:

c + i + g = y = c + s + t ....(2.3)Dalam bentuk yang lebih sederhana dapat ditulis sebagai:

i + g = s + t....(2.4)

Persamaan (2.4) menjelaskan bahwa injeksi pada ekonomi nasional berupa penambahan investasi atau belanja publik akan sama besarnya dengan tabungan dan pajak. Persamaan ini lebih dikenal dengan istilah imbangan tabungan-investasi. Selanjutnya untuk memperoleh bentuk fungsi IS, semua variabel pada persamaan (2.4) diselesaikan berdasarkan bentuk fungsi masing-masing. Variabel investasi merupakan fungsi dari tingkat bunga, tabungan dan pajak merupakan fungsi dari pendapatan, sedangkan variabel belanja publik bersifat outonomus. Dengan penyelesaian matematik dari semua variabel pada persamaan (2.4) akan diperoleh suatu fungsi IS yang merupakan hubungan antara variabel tingkat bunga (r) dengan variabel pendapatan (y) seperti yang terdapat pada gambar 2.1. Atas dasar pendekatan tersebut, kurva IS akan

34

Dinamika Kinerja Fiskal di Indonesia

bergeser jika masing-masing unsur dari fungsi IS, yaitu belanja konsumen (c), tabungan (s), investasi (i), pajak (t), atau belanja pemerintah (g) mengalami perubahan.

Setelah mendiskusikan proses penentuan kurva IS, maka perlu pula dibahas tentang proses penentuan kurva LM. Karena pembahasan ini lebih memfokuskan pada dampak dari belanja publik yang berkait erat dengan kurva IS, maka proses penentuan kurva LM tidak dibahas secara terinci. Seperti yang telah dijelaskan, bahwa kurva LM menunjukkan keadaan keseimbangan di sektor keuangan, maka pada sepanjang kurva tersebut terjadi asumsi bahwa permintaan uang (Lt) sama dengan penawarannya (MS). Sesuai dengan teori Keynes, bahwa ada tiga motif yang melandasi permintaan uang riil oleh masyarakat. Ketiga faktor tersebut adalah motif untuk transaksi, motif berjaga-jaga dan motif untuk spekulasi. Kedua motif yang pertama merupakan komponen permintaan uang yang merupakan fungsi dari pendapatan, sehingga permintaan uang yang pertama itu dapat ditulis sebagai L1 = f (Y), sedangkan motif spekulasi merupakan fungsi dari tingkat bunga, sehingga permintaan uang yang kedua itu menjadi L2 = f (r). Keadaan keseimbangan pada sektor keuangan menunjukkan bahwa L1 + L2 = MS. Jika kedua fungsi permintaan uang tersebut bersamaan dengan penawaran uang (MS) diselesaikan secara matematik sesuai fungsi masing-masing, maka akan diperoleh fungsi LM yang merupakan hubungan antara variabel tingkat bunga (r) dengan pendapatan (Y). Seperti yang dapat dilihat pada gambar 2.1, perpotongan antara kedua kurva tersebut (IS dan LM) akan menghasilkan satu titik keseimbangan (Eo), yang menunjukkan suatu nilai keseimbangan pada pendapatan nasional (Y) dan tingkat bunga (r). Keseimbangan pendapatan nasional akan berubah jika salah satu dari dua kurva tersebut mengalami pergeseran. Seperti yang dapat dilihat pada gambar 2.1, bahwa penambahan belanja publik dari go ke g1 akan

35

Konsep Dasar Kebijakan Fiskal

mengakibatkan pergeseran kurva ISo ke IS1, sehingga terjadi perubahan keseimbangan ekonomi dari titik Eo ke titik E2. Keadaan ini akan mengakibatkan pertambahan pendapatan dari yo ke y1 serta peningkatan tingkat bunga dari r1 ke r2.

2. Pengaruh Perubahan Belanja Publik terhadap Pendapatan Nasional

Seperti yang telah dijelaskan bahwa sebagai salah satu alat kebijakan fi skal, belanja publik dapat digunakan untuk mengendalikan tingkat pendapatan nasional (output). Pertambahan belanja publik akan meningkatkan pendapatan nasional dan tingkat bunga, sebaliknya pengurangan pada belanja publik akan mengakibatkan penurunan pada kedua variabel tersebut. Namun yang perlu diamati adalah bahwa peningkatan tingkat bunga sebagai akibat peningkatan belanja publik atau adanya kebijakan fi skal ekspansif akan mengakibatkan penurunan investasi swasta (crowding out). Jika diamati pada Gambar (2.1), maka dapat diketahui bahwa sebagai akibat peningkatan belanja publik dari go ke g1 akan mengakibatkan pergeseran kurva IS sehingga keseimbangan ekonomi bergeser, dan terjadi peningkatan pendapatan nasional dari yo ke y1, dengan asumsi bahwa tingkat bunga juga mengalami peningkatan. Namun, jika tingkat bunga mampu distabilkan, maka peningkatan output akan terjadi pada y3. Ini berarti bahwa peningkatan output menjadi lebih besar dibandingkan dengan jika terjadi peningkatan tingkat bunga. Keadaan inilah yang sering dikhawatirkan karena pada kenyataannya sering terjadi pada perekonomiana suatu negara.

Untuk melakukan analisis tentang besarnya penurunan pendapatan nasional yang terjadi, dapat dibahas dengan membuat asumsi pada dua kurva LM itu. Pada Gambar 2.2. dapat dilihat bahwa kurva LM memiliki kemiringan yang lebih rendah (LM2) yang akan

36

Dinamika Kinerja Fiskal di Indonesia

menyebabkan terjadinya crowding out yang lebih kecil dibandingkan dengan jika kurva LM memiliki kecerunan yang lebih besar. Pada gambar tersebut dapat diketahui bahwa, jika LM1 digunakan, maka dengan adanya pertambahan belanja publik dapat menimbulkan crowding out sebesar (y3-y1), sebaliknya jika kurva LM2 digunakan pertambahan belanja publik dengan tingkat yang sama dapat mengakibatkan terjadinya crowding out sebesar (y3-y2). Ini berarti bahwa efi siensi kebijakan fi skal berupa peningkatan belanja publik untuk meningkatkan output negara juga bergantung pada keadaan kurva LM yang merupakan gambaran dari keadaan pasar uang (monetary sector). Untuk itulah analisis tentang pengaruh kebijakan fi skal pada output dalam perekonomian sudah semestinya melibatkan variabel pada sektor keuangan.

Gambar 2.2 Pengaruh Perubahan Belanja Publik terhadap Pendapatan Nasional

37

Konsep Dasar Kebijakan Fiskal

3. Ukuran Optimum Belanja PemerintahSetelah membahas pengaruh belanja publik

terhadap perubahan pendapatan nasional, maka dalam bagian ini perlu pula dibahas ukuran optimum belanja publik tersebut. Tanpa mengesampingkan tingkat kemiringan kurva IS dan LM, ukuran belanja publik akan menentukan efi siensi pengaruh belanja publik pada variabel makro ekonomi yang ditargetkan. Jika ukuran belanja publik terlalu besar, maka akan menimbulkan terjadinya pemborosan sumber keuangan negara, dan juga ilusi fi skal (fi scal illusion), yaitu apabila kebijakan fi skal tidak mempunyai pengaruh sebesar yang ditargetkan oleh pemerintah. Dengan kata lain efektivitas dan efi siensi anggaran pemerintah tergolong rendah. Sebaliknya jika ukurannya terlalu kecil, belanja publik itu tidak akan mencukupi untuk semua kelompok masyarakat yang ditargetkan oleh kebijakan fi skal. Keadaan yang demikian menunjukkan bahwa kebijakan fi skal tidak mampu mencapai tujuan yang dikehendaki. Dengan lain perkataan akan terjadi penurunan manfaat kepada masyarakat (degrre of publicness), yaitu kelompok masyarakat yang merasakan pengaruh positif dari kebijakan fi skal tersebut terlalu kecil. Oleh karena itu pemerintah perlu mengenal dengan pasti ukuran optimum belanja publik yang diperlukan untuk memastikan kebijakan fi skal tersebut dapat mencapai tujuan yang optimum.

Mengikuti Fisher (1997), untuk memperoleh ukuran optimum belanja publik dapat dilakukan dengan analisis terhadap model belanja publik. Jika diasumsikan bahwa model belanja publik merupakan model permintaan, nilai perkiraan dari belanja publik adalah nilai yang diinginkan (desired) oleh semua pelaku ekonomi dalam perekonomian nasional. Permodelan belanja publik pada prinsipnya memerlukan penelitian tentang variabel riil untuk menentukan nilai belanja publik tersebut. Jika dapat diketahui variabel yang riil dalam model tersebut,

38

Dinamika Kinerja Fiskal di Indonesia

kesalahan yang diperoleh akan minimal sehingga nilai belanja publik yang diingini yang diperoleh akan mendekati nilai sebenarnya.

Permasalahan yang perlu dibahas berikutnya adalah cara memperoleh berbagai variabel yang tepat dan benar, sehingga dapat diperoleh model belanja publik yang tepat. Perlu dibahas secara teliti pula bahwa ketepatan sebuah pembahasan model ekonomi tidak hanya ditentukan oleh bentuk dan jumlah variabel yang digunaan, namun juga ditentukan oleh bentuk fungsi model yang digunakan. Oleh karena itu untuk membahas model belanja publik yang tepat, pemilihan asumsi bentuk fungsi yang tepat harus dipertimbangkan. Perkembangan kajian permodelan ekonomi, sejauh ini telah mengalami perkembangan yang sangat pesat. Perkembangan tersebut berkait erat dengan penggunaan permodelan dinamik (Tridimas 2001). Oleh karena itu untuk menentukan ukuran optimum belanja publik yang digunakan oleh pemerintah dalam rangka memproduksi barang publik perlu mengakomodasi dinamika perkembangan dinamik permintaan barang publik oleh para pelaku ekonomi.

2.3 Permintaan terhadap barang publikSelain berfungsi sebagai instrumen kebijakan

fi skal untuk mengendalikan perekonomian nasional, belanja publik juga merupakan instrumen dari peran pemerintah (the role of government) untuk menyediakan berbagai fasilitas, baik yang berupa barang maupun jasa kepada masyarakat dalam rangka untuk meningkatkan kesejahteraannya. Selain itu adanya berbagai fasilitas baik yang fi sik maupun yang bukan fi sik yang diberikan oleh pemerintah dapat menjadi indikator bagi peningkatan aktivitas ekonomi. Bahkan kelancaran dan kualitas birokrasi pemerintah akan meningkatkan berbagai fasilitas tersebut. Oleh karena itu dapatlah difahami bahwa belanja publik untuk menyediakan berbagai fasilitas yang sangat

39

Konsep Dasar Kebijakan Fiskal

diperlukan oleh semua pelaku ekonomi, baik masyarakat, pelaku bisnis maupun birokrat pemerintah. Namun demikian pihak masyarakat dan bisnislah yang memiliki kepentingan yang lebih besar akan ketersediaan barang dan jasa dari pemerintah.

Besar kecilnya jumlah belanja publik yang harus dikeluarkan oleh pemerintah semestinyalah tergantung pada permintaan akan barang dan jasa oleh masyarakat. Jika pemerintah membelanjakan jumlah yang lebih besar dari pada yang diperlukan, maka akan terjadi ketidakefi sienan atau pemborosan, yaitu terjadinya salah alokasi sumber daya (missalocation resources) sehingga akan menghasilkan barang yang tidak berguna. Namun sebaliknya jika pemerintah membelanjakan jumlah alokasi yang lebih kecil dari pada yang diperlukan, maka akan terjadi ketidakpuasan oleh sekelompok masyarakat pengguna. Jika ini yang terjadi maka akan dapat menimbulkan permasalahan pada masyarakat serta dapat pula mengakibatkan ketakstabilan ekeonomi yang berupa peningkatan harga barang (infl asi) yang berlebihan maupun stagnasi ekonomi, sehingga barang-barang keperluan rumah tangga tidak mudah didapatkan di pasar. Bahkan masalah yang muncul itu mungkin berupa permasalahan politik, yaitu ketidakpuasan kepada pemerintah.

Untuk dapat memahami gejolak perubahan maupun peningkatan permintaan terhadap barang dan jasa pemerintah dapat dilakukan dengan pendekatan teori permintaan seperti yang dikemukakan oleh Fisher (1997). Dalam teorinya, Fisher mengemukakan bahwa ada berbagai faktor yang mempengaruhi permintaan akan barang dan jasa pemerintah. Faktor tersebut meliputi tarif pajak yang ditetapkan pemerintah, tingkat harga (infl asi) serta tingkat pendapatan masyarakat. Peningkatan tarif pajak tentu akan meningkatkan pula permintaan terhadap kedua barang tersebut. Hal ini dapat difahami karena dengan

40

Dinamika Kinerja Fiskal di Indonesia

adanya peningkatan pembayaran pajak, masyarakat akan menuntut kualitas pelayanan pemerintah yang lebih baik. Untuk memenuhinya pastilah kerjaan memerlukan pembiayaan yang lebih besar sehingga belanja pemerintah akan bertambah besar pula.

Faktor dominan yang umumnya mempengaruhi peningkatan belanja publik adalah kenaikan tingkat harga barang dan jasa. Peningkatan harga barang secara langsung akan mengakibatkan belanja publik yang dikeluarkan oleh pemerintah juga mengalami peningkatan. Hal penting yang perlu diperkirakan dalam hal ini adalah elastisitas harga terhadap permintaan barang dan jasa tersebut. Jika elastisitasnya tinggi, maka perubahan harga dalam tingkat yang sedikit saja akan mengakibatkan perubahan pada permintaan kedua barang tersebut dalam jumlah yang besar. Hal ini tentunya sangat berpengaruh pada belanja yang harus dikeluarkan oleh pemerintah. Contohnya jasa dalam bidang pendidikan, penyediaan air bersih, dan kesihatan. Jika harga air terlalu murah, maka akan terjadi pemborosan penggunaan air, namun jika terlalu mahal akan memberatkan masyarakat. Namun pada umumnya elastisitas permintaan air relatif rendah. Sebaliknya, bidang kesehatan akan mengalami perbedaan. Penurunan pada tingkat tarif kesehatan milik pemerintah akan mengakibatkan perpindahan masyarakat untuk berobat di rumah sakit pemerintah dari sebelumnya ke rumah sakit swasta. Keadaan ini akan menyebabkan keperluan akan fasilitas dalam bidang kesehatan meningkat dengan pesatnya sehingga pemerintah perlu meningkatkan belanjanya.

Tingkat pendapatan riil masyarakat juga merupakan faktor yang sangat penting dalam mempengaruhi tingkat belanja pemerintah untuk penyediaan barang dan jasa publik. Semakin tinggi pendapatan masyarakat, maka akan semakin besarlah permintaan terhadap barang dan jasa tersebut. Hal yang menarik dalam teori Bergstrom-

41

Konsep Dasar Kebijakan Fiskal

Goodman ini adalah keinginan masyarakat miskin untuk memiliki barang dan pelayanan publik lebih besar daripada masyarakat yang berpendapatan menengah. Oleh karena itu mereka berdua menggambarkan kurva permintaan itu dalam bentuk huruf U, seperti yang dapat dilihat pada Gambar 2.3.

Gambar 2.3. Hubungan Permintaan Barang Publik dengan Pendapatan Masyarakat

Berdasarkankan Gambar 2.3 tersebut dapat dipahami bahwa masyarakat sebuah negara yang memiliki tingkat pendapatan sebesar y1 akan menuntut penyediaan barang dan jasa pemerintah, yaitu barang publik sebesar B1. Oleh karena itu, pada tingkat pendapatan sebesar y2 masyarakat itu hanya memerlukan skala barang dan jasa dari pemerintah sebesar B2 saja. Keadaan tersebut berubah apabila tingkat pendapatan masyarakat mengalami peningkatan pada y3 sehingga keperluan terhadap barang dan jasa itu sebesar B3. Jika dilihat, ternyata pada keadaan y2 yang lebih besar daripada y1 masyarakat akan memerlukan skala barang dan jasa publik yang lebih rendah. Keadaan ini dapat

42

Dinamika Kinerja Fiskal di Indonesia

dijelaskan bahwa pada tingkat pendapatan yang sangat rendah (miskin) masyarakat belum memiliki infrastruktur dan berbagai fasilitas yang memadai, sehingga pemerintah memerlukan belanja yang sangat besar. Namun jika pendapatan mengalami peningkatan, masyarakat belum memerlukan peningkatan kepada barang dan jasa tersebut. Peningkatan pendapatan masyarakat akan digunakan untuk belanja barang keperluan primer, sehingga permintaan barang dan jasa publik secara relatif malah lebih rendah daripada sebelumnya. Namun jika pendapatan mengalami peningkatan kembali, permintaan terhadap barang dan jasa tersebut juga akan mengalami peningkatan.

Seperti yang telah dikemukakan sebelumnya bahwa peningkatan permintaan barang dan jasa publik sangat dipengaruhi oleh kegiatan bisnis. Pelaku bisnis sangat memerlukan berbagai fasilitas untuk menjalankan aktivitas mereka. Jika dilihat dari segi tujuannya, kebijakan fi skal berupa peningkatan belanja pemerintah memang bertujuan untuk meningkatkan aktivitas perekonomian nasional yang didominasi oleh para bisnis. Dalam sebuah negara yang semakin maju, jumlah unit perusahaan bisnis swasta akan semakin besar sehingga perekonomian nasional akan tertumpu pada aktivitas mereka. Shriban (1986), dalam kajiannya telah melaporkan bahwa para pebisnis di Amerika Serikat melakukan kampanye untuk menetapkan tarif pajak yang tetap tinggi agar jasa yang diberikan oleh pemerintah dapat meningkatkan kualitasnya. Atas kebijakan kenyataan itu dapat disimpulkan bahwa belanja publik berkait erat dengan penggunaan barang-barang swasta. Semakin tinggi belanja terhadap barang swasta maka akan semakin meningkatkan aktivitas pengeluaran barang tersebut, sehingga infrastruktur dan fasilitas dari pemerintah yang diperlukan oleh masyarakat juga semakin besar. Akibatnya belanja yang harus dikeluarkan oleh pemerintah juga semakin besar jumlahnya.

43

Konsep Dasar Kebijakan Fiskal

2.4 Pertumbuhan dan permodelan belanja publikBelanja publik merupakan alat kebijakan fi skal

yang dilakukan oleh pemerintah dengan tujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat (maximize social welfare). Oleh sebab itu sesuai dengan teori ekonomi, belanja publik akan cenderung mengalami peningkatan yang lebih besar di negara miskin dan di negara sedang membangun dibandingkan dengan negara maju. Untuk mengetahui kondisi empirik, belanja publik dapat dianalisis dengan model yang didasarkan pada beberapa teori yang dikemukakan oleh ekonom sebelumnya. Konsep belanja publik sebenarnya dapat dipandang sebagai bentuk permintaan oleh masyarakat terhadap penyediaan barang publik oleh pemerintah (Merifi eld 2000).

Secara teoritik, bentuk fungsi belanja publik dapat dikatakan mengikuti hukum permintaan. Realisasi belanja publik untuk menyediakan barang dan jasa yang diperlukan oleh masyarakat akan diberikan dalam bentuk anggaran (budget) sebagai representasi kebijakan fi skal pemerintah. Pada umumnya, penyusunan anggaran pemerintah suatu negara diproses berdasarkankan pencapaian sasaran makro ekonomi yang ditargetkan dicapai pada masa berikutnya, serta berdasarkan pertimbangan dan keperluan dari daerah dan pemerintah pusat. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa dari segi ekonomi penentuan anggaran pemerintah mengikuti permintaan daripada masayarakat di daerahnya. Namun demikian tidak dapat dipungkiri bahwa penentuan besaran dan alokasi belanja publik oleh pemerintah juga sangat diengaruhi oleh dinamika politik antara eksekutif dan legislatif di tingkat pemerintah pusat. Hal ini dapat dipahami karena anggaran pemerintah merupakan produk politik dari kedua institusi tersebut.

Sebenarnya pembahasan mengenai masalah tersebut telah banyak dijelaskan oleh banyak teori seperti

44

Dinamika Kinerja Fiskal di Indonesia

dikemukakan dalam beberapa teori. Pioner penggagas teori tentang belanja publik adalah teori atau hukum yang dikemukakan oleh Adolph Wagner (1958), yang menyatakan bahwa ada kecenderungan ukuran belanja pemerintah akan meningkat dengan adanya pertumbuhan ekonomi yang positif negara tersebut. Pendapat ini didukung oleh beberapa orang peneliti berikutnya, diantaranya adalah Mugrave (1969), dan Ghandi (1971).

Secara eksplisit, teori Wagner menyatakan bahwa pertambahan belanja pemerintah akan lebih cepat dibandingkan dengan pertumbuhan ekonomi. Keadaan ini disebabkan oleh adanya peningkatan permintaan oleh masyarakat terhadap tiga kategori barang dan jasa publik. Pertama tuntutan masyarakat yang semakin meningkat terhadap peraturan dan perlindungan. Hal ini terjadi karena adanya hubungan antara undang-undang dan komunikasi antara kelompok masyarakat yang semakin komplek. Kedua peningkatan permintaan terhadap fasilitas sosial, di samping peningkatan keselamatan dan pertahanan yang menjadi tanggungjawab pemerintah untuk meningkatkan taraf keamanan dan taraf hidup rakyatnya. Ketiga tuntutan terhadap usaha mengatasi adanya kegagalan pasar (market failure) yang pada umumnya berupa kegiatan monopoli yang dilakukan oleh kelompok perusahaan tertentu. Wagner telah melakukan kajian empirik tentang pertumbuhan belanja pemerintah di beberapa negara maju. Menurut pendapat tersebut, dinyatakan bahwa tingkat pertumbuhan kegiatan pemerintah ternyata lebih besar daripada tingkat pertumbuhan ekonomi. Hal ini bermakna bahwa elastisitas belanja pemerintah terhadap pendapatan nasional lebih daripada satu, yang berarti bahwa belanja pemerintah untuk penyediaan barang dan jasa publik belum mampu mendorong secara efektif aktivitas perekonomian nasional.

Wagner bersama Weber (1977) telah melakukan kajian empirik di 34 negara dengan menggunakan data

45

Konsep Dasar Kebijakan Fiskal

periode 1950-1972. Mereka memperoleh hasil kajian bahwa elastisitas belanja pemerintah kurang dari satu dalam 47 kasus. Ini berarti tingkat elastisitas permintaan terhadap barang publik termasuk rendah. Oleh karena itu mereka merumuskan bahwa elastisitas belanja pemerintah terhadap pendapatan nasional dapat berbeda antara satu dengan yang lainnya, tergantung pada keadaan negara tersebut, khususnya tahap peran pemerintah dalam perekonomiannya. Semakin tinggi tingkat pendapatan masyarakat sebuah negara maka semakin besarlah tingkat elastisitas terhadap belanja publik. Tingkat elastistas permintaan terhadap barang publik yang lebih tinggi menunjukkan respon masyarakat yang relatif tinggi terhadap peningkatan penyediaan barang publik yang harus disediakan oleh pemerintah.

Pembahasan tentang pertumbuhan belanja publik juga dikemukakan oleh Peacock dan Wiesman (1961) yang dikenal sebagai hipotesis Peacock – Wiesman. Dari kajian mereka dapat dikemukan sebuah teori yang menyatakan bahwa pertumbuhan belanja pemerintah antara pemerintah pusat dan daerah tidaklah sama tetapi bertingkat-tingkat. Oleh karena itu, pertumbuhan belanja pemerintah di pemerintah pusat akan lebih besar daripada pertumbuhan di negera bagian atau daerah yang lain yang lebih rendah pemerintahnnya. Berbagai penyebab adanya perbedaan pertumbuhan belanja pemerintah antara pemerintah pusat dan daerah adalah adanya keterbatasan pajak, kemerosotan ekonomi, terjadinya krisis ekonomi dan adanya goncangan (shock), baik yang berupa perubahan harga barang maupun perubahan faktor makro ekonomi lainnya dalam perekonomian suatu negara.

Teori lainnya tentang belanja pemerintah juga dikemukakan oleh Baumol (1967) yang dikenal sebagai teori pertumbuhan tak seimbang. Teori yang dikemukakannya didasarkan pada hasil kajian yang telah dilakukan di berbagai negara. Dalam kajiannya

46

Dinamika Kinerja Fiskal di Indonesia

dikemukakan berbagai macam asumsi, seperti adanya sektor ekonomi yang produktif dan yang tidak produktif, dan juga asumsi perspektif proses pembangunan ekonomi dalam jangka panjang. Dalam teorinya, sebagai hasil dari kajiannya menyatakan bahwa dalam jangka panjang pertumbuhan belanja pemerintah akan merosot seiring dengan kemerosotan pertumbuhan perekonomian nasional. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa jika pertumbuhaan sebuah negara mengalami penurunan pada sesuatu periode tertentu, maka akan berakibat pada penurunan belanja publik negara tersebut. Kenyataan ini dapat dipahami bahwa dengan merosotnya pertumbuhan ekonomi akan meyebabkan merosotnya pembayaran pajak, sehingga penerimaan pemerintah akan turut mengalami penurunan. Dengan demikian pemerintah akan mengalami kekurangan biaya untuk belanjanya. Secara matematik dapat dinyatakan bahwa belanja pemerintah merupakan fungsi daripada variabel pendapatan atau Gross National Product (GNP).

Teori berikutnya yang dapat dikemukakan adalah teori kepentingan birokrat yang dikemukakan oleh Mises, Tullock, dan Downs (1944). Formulasi teori ini didasarkan pada kepentingan birokrat pemerintah sebagai perencana dan pelaksana program pelayanan dan penyediaan barang publik. Teori ini menjelaskan bahwa peningkatan pertumbuhan belanja publik tidak hanya disebabkan oleh peningkatan permintaan masyarakat terhadap barang dan jasa publik, tetapi juga permintaan oleh golongan birokrat yang bertindak sebagai penyelenggara program publik tersebut. Perilaku kelompok birokrat ini juga akan mengakibatkan bahwa ukuran belanja publik akan melebihi ukuran optimalnya. Dengan demikian dampak yang timbul adalah adanya ketidakefi sienan dalam pengelolaan belanja publik.

Teori yang dikemukakan oleh Mises, Tullock, dan Downs tersebut didukung pula oleh Niskanen (1971) yang

47

Konsep Dasar Kebijakan Fiskal

menyatakan bahwa pertumbuhan belanja yang besar, yang melebihi ukuran optimumnya dapat meningkatkan gaji birokrat, peruntukan tambahan pejabat dan kuasa birokrat. Keadaan ini akan pula menimbulkan inefi siensi dan efektivitas yang rendah dari belanja publik terhadap perekonomian nasional dan dapat mendorong timbulnya ilusi fi skal. Dari berbagai macam teori yang telah dikemukakan itu, akhirnya dapat jelaskan bahwa penyebab pertumbuhan belanja pemerintah akan meliputi kenaikan pendapatan masyarakat, kemajuan teknologi, pertambahan penduduk, biaya relatif jasa, pengelolaan tata kota, keadaan keselamatan negara, inefi siensi sektor publik, pengaruh globalisasi ekonomi, ilusi fi skal dan perubahan tata hubungan politik internasional.

Berdasarkankan rangkuman beberapa referensi teori tersebut, para pelaku ekonomi dianggap telah memaksimalkan utilitasnya (U) dalam menjalankan kegiatan ekonomi dan bisnisnya. Utilitas tersebut merupakan fungsi dari dua macam barang, yaitu barang swasta (private goods and services= PV) dan barang publik (public goods and services = G). Barang swasta merupakan barang dan jasa yang dihasilkan oleh sektor swasta, sedangkan barang publik merupakan barang dan jasa yang disediakan oleh pemerintah (government services). Permintaan kepada barang swasta berdasarkan mekanisme pasar (market mechanism), sedangkan permintaan kepada barang publik tidak mengikuti mekanisme pasar. Penyediaan barang publik akan sejalan dengan kehendak pelaku ekonomi tersebut. Dengan melalui proses politik dan ekonomi serta informasi yang efi sien, pemerintah akan merespon keinginan tersebut, melalui kebijakan fi skal, khususnya belanja pemerintah. Oleh karena itu, belanja publik (Gt) merupakan fungsi dari beberapa variabel yang secara teoritis dapat berupa pendapatan masyarakat (GDPt), jumlah penduduk (POPt), tingkat harga (Pt), defi sit anggaran pemerintah (DBt), belanja swasta (PPS) serta

48

Dinamika Kinerja Fiskal di Indonesia

variabel berupa goncangan / shocks (St). Secara sederhana permodelan tersebut dapat ditulis sebagai:

Max Ut = F (PVt , Git)Gi t = F (GDPit , POPit , Pit, DBit , PPSit , St) ..... (2.5)

i = jenis belanja publik

Dalam kenyataannya pemerintah dapat melaksanakan pola kebijakan fi skal ekspansif (expansive fi scal policy) atau kontraktif (contractive fi scal policy) dalam menjalankan implementasi belanja pemerintah untuk kepentingan pelayanan sektor publik dan penyediaan barang publik. Kebijakan fi skal ekspansif adalah perubahan pembiayaan yang lebih besar daripada perubahan pendapatan pemerintah yang berasal dari masyarakat, khususnya pajak, akan berpengaruh positif terhadap output nasional dan tingkat pendapatan masyarakat. Kebijakan fi skal yang demikian ditunjukkan oleh adanya kebijakan fi skal berupa defi sit anggaran. Peningkatan defi sit anggaran pemerintah sebagai instrumen fi skal ekspansif dengan cara peningkatan belanja akan meningkatkan permintaan agregat (Dornbusch dan Fischer, 1994). Sesuai konsep ekonomi makro, bahwa komponen permintaan agregat adalah konsumsi rumah tangga, investasi swasta, belanja publik dan eksport bersih. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa peningkatan defi sit anggaran dapat berakibat pada pertumbuhan belanja publik pada periode masa berikutnya (Ahmad dan Kenneth 2000). Selain beberapa alasan tersebut, mekanisme ini dapat dipahami bahwa dengan adanya kebijakan anggaran defi sit akan menyebabkan aktivitas ekonomi meningkat sehingga pendapatan masyarakat meningkat. Peningkatan pendapatan secara ekonomis akan meningkatkan permintaan terhadap barang dan jasa publik maupun swasta.

49

Konsep Dasar Kebijakan Fiskal

Sejalan dengan pemikiran Tridimas (1992), peningkatan belanja publik juga ditentukan oleh ketersediaan dana dan tingkat biaya per unit yang diperlukan oleh pemerintah. Pembelian barang dan jasa yang dilakukan oleh pemerintah, pada umumnya, tidak melewati mekansime pasar sehingga sulit untuk menentukan besarnya pembiayaan tersebut. Namun, Tridimas (1992) dan Feers dan West (1996) dapat mengatasi permasalahan tersebut dengan menggunakan proksi rata-rata tertimbang dari komponen belanja publik. Sumber utama pembiayaan pemerintah adalah pajak. Dengan demikian, pertumbuhan belanja publik juga dipengaruhi oleh pertumbuhan penerimaan pajak. Kemampuan dan besarnya pembayaran pajak yang dilakukan oleh masyarakat bergantung pada tingkat pendapatan masyarakat. Dari aspek negara, pendapatan ini merupakan pendapatan nasional. Oleh karenanya, belanja publik juga sangat dipengaruhi oleh tingkat pendapatan nasional. Dari segi ekonomi, mekanisme ini dapat dipahami sebagai belanja publik yang akan mendorong aktivitas perekonomian nasional. Pada akhirnya, peningkatan aktivitas perekonomian nasional tersebut akan berpengaruh positif terhadap tingkat pendapatan masyarakat sehingga kemampuan membayar pajak juga meningkat. Dengan kata lain terjadi hubungan timbal balik antara belanja publik dengan tingkat pendapatan pemerintah.

Aspek penting lainnya adalah besar kecilnya jumlah penduduk sebagai sasaran belanja publik tersebut. Tinggi rendahnya pertambahan penduduk akan menyebabkan pula tingkat belanja publik berubah (Hyman 1996). Namun, seperti yang telah dikemukakan sebelumnya, bahwa secara teori belanja publik total mencerminkan keinginan (permintaan) masyarakat, namun dalam kenyataannya sebuah negara belum tentu sesuai. Jika itu yang terjadi, maka masalah tersebut dapat menimbulkan alokasi biaya

50

Dinamika Kinerja Fiskal di Indonesia

yang tidak efi sien. Keadaan ini menunjukkan indikator bahwa goncangan (shock) telah terjadi dalam membuat keputusan penetapan belanja publik, baik goncangan endogen (endogenous shock) maupun goncangan eksogen (exogenous shoc). Goncangan endogen merupakan suatu goncangan akibat dari perubahan belanja publik, sedangkan goncangan eksogen merupakan suatu goncangan akibat dari luar variabel belanja publik. Baik goncangan endogen maupun goncangan eksogen akan mempengaruhi tingkat belanja pemerintah riil pada akhir tahun anggaran pemerintah. Adanya goncangan ini dapat menimbulkan perubahan kebijakan fi skal (cut back) yang terpaksa dilakukan oleh pemerintah. Goncangan yang dimaksud adalah adanya variabel (faktor-faktor) yang tidak diinginkan (unanticipated) dalam ekonomi yang turut serta mempengaruhi tingkat belanja publik.

Faktor goncangan itu dapat terjadi pada berbagai variabel, baik variabel ekonomi maupun variabel bukan ekonomi. Namun demikian goncangan dari variabel bukan ekonomi sangat sukar untuk dikenali dengan pasti. Variabel ekonomi terdiri dari berbagai macam variabel. Namun demikian untuk pembahasan belanja publik ini variabel ekonomi belum tentu sesuai antara teori dan empiriknya. Berkaitan dengan topik belanja publik ini, baik berlandaskan antar dasar teori maupun dengan hasil kajiannya sering memberikan hasil yang bertentangan. Beberapa variabel ekonomi yang diduga faktor sebagai penentu penyebab goncangan itu adalah infl asi, defi sit anggaran dan pengeluaran belanja swsata.

Berbentuknya faktor goncangan dalam belanja publik tersebut tentu akan turut berpengaruh pada nilai-nilai indikator makroekonomi sebagai sasaran kebijakan fi skal yang dilakukan oleh pemerintah. Pemahaman terhadap berbagai sifat yang terjadi pada goncangan tersebut akan sangat bermanfaat bagi pemerintah dalam menetapkan kebijakan fi skal. Oleh karena itu permasalahan yang

51

Konsep Dasar Kebijakan Fiskal

dihadapi oleh pemerintah dalam pengelolaan belanja pemerintah dapat diselesaikan jika informasi dan aspek-aspek yang berkaitan dengan sikap dan respon pelaku ekonomi terhadap pemerintah, khususnya keperluan pada jasa publik dapat diketahui. Hasil analisis terhadap aspek bekenaan dapat dijadikan pertimbangan oleh pemerintah untuk menetapkan ukuran optimal belanja publik (the optimum size of government expenditure) yang tepat untuk memperoleh manfaat kebijakan fi skal yang optimal.

2.5 Kesinambungan fi skalAspek utama tentang tata kelola kebijakan fi skal

adalah pengelolaan terhadap penerimaan (pendapatan) pemerintah dan belanja publik untuk proyek penyediaan barang dan sarana (jasa) pemerintah untuk masyarakat yang dapat menjamin kesinambungan fi skal (fi scal sustainability). Kondisi fi skal yang berkesinambungan menunjukkan bahwa pemerintah telah berhasil mengelola dengan baik sehingga prospek penerimaan negara tidak terancam, dan sekaligus dapat menjamin ketercapaian tujuan dari belanja pemerintah yang telah ditargetkan. Namun demikian kedua sisi penerimaan dan belanja anggaran pemerintah tersebut memiliki kerterkaitan yang erat. Analisis tentang hubungan kausalitas antara penterimaan pemerintah dengan belanja publik (pemerintah) merupakan topik yang masih menimbulkan persoalan (debatable), seperti yang dikemukakan oleh Hondroyiannis dan Papapterou (1996). Para pakar ekonomi, khususnya pakar keuangan publik (public fi nance) masih banyak yang berbeda pendapat. Peacock dan Wiseman (1979) menyatakan bahwa belanja pemerintah akan mempengaruhi penerimaan pajak, sedangkan Buchanan dan Wagner (1978) menyatakan bahwa pertambahan penerimaan pajak akan mempengaruhi pertambahan belanja pemerintah. Namun Meltzer dan Richard (1981) menyatakan bahwa belanja pemerintah dan penerimaan

52

Dinamika Kinerja Fiskal di Indonesia

pemerintah merupakan variabel yang saling berkait erat secara serentak (simultaneously).

Atas dasar perspektif teori ekonomi kemungkinan hubungan kausalitas antara dua variabel tersebut, yaitu pajak dan belanja pemerintah dapat dijelaskan sebagai berikut. Tahap pertama adalah peningkatan belanja pemerintah akan mempengaruhi pertambahan pendapatan nasional. Proses ini dapat terjadi seperti yang dijelaskan pada Gambar 2.4. Peningkatan belanja pemerintah akan meningkatkan dan menggeser kurva permintaan agregat, sehingga keseimbangan ekonomi akan bergeser yang membawa arti bahwa keseimbangan pendapatan nasional (GNP) akan bergeser. Keadaan ini akan menimbulkan peningkatan pendapatan negara yang seimbang. Peningkatan pendapatan nasional bermakna bahwa pendapatan masyarakat meningkat, sehingga akan meningkatkan jumlah pajak (tax) dari pendapatan tersebut, yang pada akhirnya akan meningkatkan jumlah penerimaan pemerintah.

Gambar 2.4 Hubungan antara Belanja Pemerintahdengan Penerimaan Pemerintah

53

Konsep Dasar Kebijakan Fiskal

Peningkatan pendapatan masyarakat seperti yang telah dikemukakan tersebut akan meningkatkan kegiatan ekonomi dan sosial masyarakat, sehingga akan meningkatkan permintaan terhadap barang dan jasa, termasuk permintaan terhadap barang publik (public goods and services). Peningkatan permintaan barang jasa pemerintah ini dapat pula karena disebabkan oleh adanya peningkatan pajak. Pembayaran pajak yang meningkat oleh masyarakat akan menimbulkan pula keinginan untuk meningkatkan kualitas barang publik, termasuk permintaan terhadap pembaikan infrastruktur yang berupa fasilitas fi sik, seperti jalan, listrik, air dan sebagainya. Keadaan ini tentu akan menimbulkan respon oleh pemerintah untuk meningkatkan belanjanya, sehingga belanja pemerintah pula mengalami peningkatan.

54

Dinamika Kinerja Fiskal di Indonesia

BAB 3

KEBIJAKAN FISKAL DAN INDIKATOR MAKRO EKONOMI

3.1 Pengantar

Pada bab ini akan dibahas tentang konsep kebijakan hubungan antara kebijakan fi skal dan berbagai indikator makro ekonomi. Berbagai kajian

empirik tentang model belanja publik, hubungan antara penerimaan pemerintah dengan belanja publik maupun pengaruh kebijakan fi skal terhadap berbagai indikator makro ekonomi di berbagai negara yang telah banyak dilakukan oleh banyak peneliti dalam bidang ekonomi. Hasil kajian tersebut ternyata memberikan hasil yang banyak berbeda, baik disebabkan oleh perbedaan konsep maupun karena perbedaan metode kajian yang digunakan. Pemaparan berbagai kajian tersebut dapat digunakan untuk menyatakan berbagai temuan serta membentuk model teori yang menjelaskan hubungan antara kebijakan fi skal dan berbagai indikator makro ekonomi.

3.2 Pengaruh kebijakan fi skal pada makro ekonomiPada dasarnya ada tiga pola kebijakan fi skal yang

bisa dilakukan oleh pemerintah, yaitu kebijakan fi skal defi sit, berimbang, dan surplus. Kebijakan fi skal defi sit terjadi jika penerimaan pajak lebih kecil daripada jumlah anggaran publik. Kebijakan berimbang terjadi jika kedua unsur pendapatan dan belanja tersebut sama besar. Adapun kebijakan fi skal surplus terjadi jika penerimaan pemerintah, khususnya penerimaan pajak lebih besar dari pada belanja pemerintah total. Kebijakan fi skal defi sit

56

Dinamika Kinerja Fiskal di Indonesia

akan berpengaruh efektif apabila kegiatan perekonomian negara sedang mengalami peningkatan (expansive), sedangkan kebijakan fi skal surplus akan berpengaruh efektif apabila kegiatan perekonomian negara mengalami penurunan (contractive). Pengaruh langsung kegiatan ekonomi pemerintah terhadap perekonomian negara ditentukan pula oleh besar kecilnya anggaran pemerintah yang tertuang dalam anggaran pendapatan dan belanja negara.

Pengelolaan anggaran belanaj pemerintah yang tidak tepat akan merugikan perekonomian nasional karena akan terjadi ketidakefi sienan negara dan mendorong terjadinya ilusi fi skal, dimana kebijakan fi skal tidak dapat mencapai tujuannya. Selanjutnya, permasalahan lain yang mungkin ditimbulkan oleh ketidaktepatan kebijakan fi skal ialah adanya himpitan (crowding out), yaitu kondisi yang menunjukkan peningkatan belanja pemerintah justru menurunkan investasi swasta (Dimsdale dan Horsewod 1995). Untuk menghindari permasalahan tersebut pengelolaan fi skal oleh pemerintah perlu ditangani dengan berhati-hati dengan mengedepankan aspek efi siensi tata kelola anggaran dan efektivitas dalam pencapaian tujuan kebijakan fi skal.

Pengaruh kebijakan fi skal, khususnya belanja publik pada berbagai variabel indikator makro ekonomi tergantung pada kualitas pengelolaan anggaran itu sendiri. Semakin baik pengelolaannya tentunya akan memberikan hasil dan pengaruh yang semakin baik kepada perekonomian negara, dan kesejahteraan masyarakat (social welafare). Kualitas pengelolaan dapat ditingkatkan dengan lebih baik jika birokrasi pemerintah bekerja dengan baik. Namun demikian ada beberapa faktor yang mempengaruhi kualitas birokrasi, diantaranya adalah kualitas sumber daya manusia, sistem birokrasi, teknologi informasi, mekanisme politik, serta visi, misi, dan kepemipminan dalam birokrasi (Moesen dan Philipe, 2000).

57

Kebijakan Fiskal dan Indikator Makro Ekonomi

Pada era liberalisasi ini sudha selayaknya jika pemerintah menetapkan misi dan visinya (orientasi) yang baru dalam pengelolaan anggaran publik agar diperoleh hasil yang efi sien dan tidak bertentangan dengan hubungan dinamika ekonomi internasional. Orientasi yang perlu dibangun adalah pengelolaan anggaran pemerintah yang harus tertumpu pada tujuan sosial, pertumbuhan ekonomi, perpindahan orientasi kebijakan alokasi anggaran kepada orientasi produktivitas (input driven to productivity driven), usaha meminimumkan beban dan risiko masyarakat, peningkatan daya saing bangsa, efi siensi ekonomi nasional, perluasan cakupan kebijakan publik (degree of publicness), peningkatan investasi publik, usaha meminumkan tunggakan pajak dan ilusi fi skal (minimize free rider and fi scal illusion)

Keputusan dalam pengelolaan anggaran peemrintah merupakan salah satu alat kebijakan fi skal yang bertujuan untuk mencapai sasaran prestasi berbagai indikator makro ekonomi (macroeconomic performance). Kuantitas anggaran tersebut juga merupakan instrumen dalam menyediakan jasa kepada masyarakat (public services) oleh pemerintah. Peningkatan kualitas dan kuantitas jasa oleh pemerintah akan meningkatkan kegiatan ekonomi nasional, sehingga sasaran pada indikator makro ekonomi dapat dicapai. Dalam era liberalisasi, perekonomian suatu negara akan semakin menuju ke arah mekanisme pasar, sehingga peran pemerintah menjadi stimulator aktivitas ekonomi nasional semakin berkurang (Boadway 2000). Untuk itu anggaran pemerintah dituntut mampu menjadi pendorong dan stimulan bagi kegiatan perekonomian nasional (market guide), agar pertumbuhan ekonomi semakin baik. Stimulasi tersebut memiliki arti bahwa anggaran pemerintah harus mampu memiliki daya insentif kepada pasar (market incentive) agar mekanisme pasar dapat berkembang semakin maju.

58

Dinamika Kinerja Fiskal di Indonesia

Adanya kegagalan peran pemerintah dalam menjalankan kebijakan fi skal, khsusunya dalam tat kelola anggaran pemerintah dapat menjadi penyebab adanya kegagalan pasar dan mendorong perekonomian nasional menjadi stagnan (Abrams 1999). Jika anggaran pemerintah mampu menjadi pendorong peningkatan perekonomian nasional, maka peningkatan pada belanja pemerintah akan meningkatkan kegiatan ekonomi dengan adanya peningkatan investasi publik yang akan mendorong peningkatan investasi swasta. Peningkatan investasi tersebut akan membawa pengaruh peningkatan output, lapangan pekerjaan, eksport, pajak, penerimaan pemerintah, dan peningkatan nilai transaksi berjalan (current account). Gambar 3.1 menunjukkan keterkaitan secara teoritis antara kebijakan fi skal dan kebijakan moneter dengan berbagai indikator makro ekonomi.

Dalam perspektif ekonomi, kebijakan fi skal memiliki berbagai tujuan dalam mengarahkan kegiatan perekonomian nasional, yaitu peningkatan pertumbuhan ekonomi, pengendalian tingkat harga barang dan jasa, pemerataan distribusi pendapatan, dan peningkatan lapangan pekerjaan (Taggart, et.al, 2000). Namun demikian, pengaruh kebijakan fi skal pada kegiatan perekonomian nasional sangatlah luas. Berbagai indikator ekonomi lainnya juga mengalami perubahan sebagai akibat adanya kebijakan fi skal yang dilaksanakan oleh pemerintah. Selain tiga indikator makro ekonomi yang telah dikemukakan, berbagai indikator makro ekonomi lain yang dapat berubah sebagai akibat adanya kebijakan fi skal ialah tingkat bunga bank, investasi swasta dan neraca transaksi berjalan.

59

Kebijakan Fiskal dan Indikator Makro Ekonomi

Gambar 3.1 Model Sederhana Hubungan Kebijakan Fiskal dan Moneter dengan

Indikator Makroekonomi Catatan:Y = Pendapatan Nasional r = Tingkat BungaI = InvestasiP = Tingkat harga barang dan jasaCA= Transaksi berjalan

1. Tingkat Pertumbuhan Ekonomi

fi skal ialah peningkatan pendapatan masyarakat. Dapat dikatakan pula untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan untuk mencapai kesejahteraan masyarakat yang optimal. Dengan demikian pengaruh kebijakan fi

Seperti telah dikemukakan, bahwa tujuan utama kebijakan

skal pada pertumbuhan ekonomi diharapkan akan selalu positif. Pemahaman ini berkaitan erat dengan konsep

60

Dinamika Kinerja Fiskal di Indonesia

ekonomi Keynesian, yang menyatakan bahwa kebijakan fi skal sangat berperan dalam mendorong aktivitas perekonomian nasional, khususnya dalam keadaan krisis ekonomi yang serius. Kebijakan fi skal yang dilaksanakan oleh pemerintah dapat berupa kebijakan fi skal ekspansif maupun kontraktif. Adanya kebijakan perpajakan maupun belanja pemerintah akan memberikan pengaruh pada permintaan agregat, sehingga keseimbangan umum ekonomi (Keseimbangan Kurva Permintaan Agregat (AD) dan Penawaran Agregat (AS)) bergeser sebagai akibat adanya pergeseran kurva AD. Pergeseran ini tentunya akan mengakibatkan perubahan tingkat keseimbangan pendapatan nasional.

Gambar 3.2 menjelaskan bahwa jika perekonomian sebuah negara diasumsikan dalam kondisi sederhana, peningkatan belanja pemerintah akan terjadi dari g1 ke g2 dan menyebabkan kurva AD bergeser ke kanan. Titik keseimbangan pendapatan yang baru akan bergeser dari titik E1 ke titik E2. Pada titik E2 tersebut telah terjadi peningkatan keseimbangan pendapatan nasional dari y1 ke y2. Dengan kata lain dalam keadaan ini pertumbuhan ekonomi telah terjadi. Besar kecilnya pertumbuhan ekonomi yang dialami sebagai pengaruh dari peningkatan belanja pememrintah tersebut sangat dipengaruhi oleh berbagai faktor. Sebagai contoh, kemiringan kurva AS (asumsi Klasik dan Keynesian) akan semakin rendah, jika elastisitasnya semakin besar, maka pengaruh pertumbuhan ekonomi semakin besar terjadi. Faktor lain yang berpengaruh ialah adanya asumsi sifat kebijakan pemerintah untuk menghadapi krisis mata uang domestik terhadap mata uang asing. Dalam kasus ini, menurut Fischer (1994), tingkat sistem kurs tetap (fi xed exchange rate) dapat melakukan penyesuaian yang lebih cepat dibandingkan dengan sistem kurs mengambang (fl oating exchange rate).

61

Kebijakan Fiskal dan Indikator Makro Ekonomi

Gambar 3.2 Hubungan Permintaan Barang Publik dengan Pendapatan

2. Tingkat Infl asiKebijakan fi skal ekspansif yang dilakukan dengan

peningkatan belanja pemerintah, akan berpengaruh pada peningkatan infl asi. Keadaan tersebut dapat dijelaskan dengan pendekatan keseimbangan ekonomi dengan menggunakan kurva permintaan agregat (AD) dan penawaran agregat (AS) seperti yang dijelaskan pada Gambar 3.2. Kebijakan fi skal yang dilakukan oleh pemerintah berupa peningkatan belanja pemerintah akan mengakibatkan pergeseran kurva AD ke kanan, sehingga keseimbangan ekonomi dapat ditunjukkan oleh keseimbangan pendapatan negara, dan tingkat harga juga mengalami pergeseran. Pergeseran AD tidak hanya mengakibatkan perubahan tingkat pendapatan, namun juga akan memberikan pengaruh pada perubahan tingkat harga barang (infl asi) dari P1 ke P2, ynag merupakan indikator ketidakstabilan perekonomian nasional.

62

Dinamika Kinerja Fiskal di Indonesia

Mekanisme lain yang mungkin terjadi adalah, bahwa peningkatan belanja pememrintah akan menimbulkan peningkatan defi sit anggaran pemerintah, sehingga memaksa pemerintah melakukan penmabahan utang atau pencetakan uang baru. Penambahan jumlah uang beredar ini secara teori selain berpengaruh pada peningkatan output, juga akan menimbulkan peningkatan daya beli masyarakat. Peningkatan daya beli tersebut akan mengakibatkan peningkatan permintaan total oleh masyarakat terhadap barang dan jasa. Mengikut teori ekonomi Klasik, peningkatan permintaan akan mengakibatkan kenaikan harga, sehingga terjadi infl asi. Dengan demikian dapat dipahami bahwa kebijakan fi skal memiliki keterkaitan erat secara langsung dengan pertumbuhan ekonomi dan perubahan tingkat harga (infl asi).

3. Investasi Swastasejauh kini pembahasan tentang pengaruh

peningkatan belanja pemerintah pada investasi swasta masih memberikan hasil yang berbeda-beda. Ini bermakna bahwa pengaruh peningkatan belanja pemerintah pada investasi swasta masih dipersoalkan oleh sebagian ahli ekonomi. Ada teori yang menyatakan bahwa himpitan (crowding out) merupakan dampak peningkatan anggaran publik yang dapat menurunkan investasi swasta, namun ada juga penemuan kajian yang menjelaskan bahwa peningkatan anggaran publik dapat menjadi insentif bagi peningkatan investasi swasta; semakin besar peningkatan belanja pememrintah untuk anggaran publik semakin berpengaruh peningkatan investasi swasta. Dengan demikian, peningkatan anggaran publik mampu menjadi stimulator aktivitas ekonomi nasional. Analisis yang berkaitan dengan kebijakan fi skal tersebut dapat dijelaskan dengan pendekatan keseimbangan sektor keuangan dan sektor riil.

63

Kebijakan Fiskal dan Indikator Makro Ekonomi

Perubahan tingkat pendapatan pada kondisi keseimbangan sebagai akibat adanya kebijakan fi skal berupa peningkatan anggaran publik akan memiliki pengaruh yang terbatas pada berbagai variabel makro ekonomi lain, termasuk perubahan tingkat bunga akibat dari penurunan anggaran pemerintah dan investasi swasta sehingga terjadilah himpitan (crowding out) (Nunes dan Stemitsiotis 1995). Proses tersebut dapat dibahas dengan pendekatan keseimbangan antara sektor keuangan dan sektor riil. Jika terjadi pertambahan anggaran publik, maka akan berpengaruh meningkatkan permintaan output, sehingga keadaan keseimbangan bergeser. Akibatnya pendapatan negara dan tingkat bunga akan naik. Perubahan pada tingkat bunga dapat juga disebabkan oleh adanya kebijakan defi sit anggaran pemerintah yang dilaksanakan oleh pemerintah. Mekanisme tersebut dapat menjelaskan bahwa peningkatan anggaran pemerintah dapat menimbulkan defi sit anggaran pemerintah, jika penerimaan pajak tidak mengalami peningkatan. Peningkatan defi sit anggaran pemerintah ini akan menimbulkan beban pembayaran kepada pemerintah, sehingga pemerintah terpaksa menjual obligasi. Untuk itulah diperlukan peningkatan tingkat bunga obligasi pemerintah. Akibatnya tingkat bunga pasar uang juga mengalami peningkatan. Keadaan ini akan menimbulkan penurunan investasi swasta karena biaya modal (cost of capital) menjadi bertambah tinggi.

Pengaruh kebijakan fi skal terhadap investasi juga dapat dijelaskan dengan pendekatan yang menyatakan bahwa jumlah tabungan dan defi sit perdagangan akan sama dengan jumlah antara investasi dengan defi sit anggaran pemerintah (Wolfson 1993). Dalam kasus ini kebijakan fi skal ditunjukkan oleh adanya defi sit anggaran pemerintah. Persamaan ini membawa implikasi bahwa jika defi sit anggaran pemerintah meningkat, misalnya sebagai akibat peningkatan anggaran publik, maka

64

Dinamika Kinerja Fiskal di Indonesia

investasi akan berada pada tingkat yang lebih rendah, dengan asumsi dua variabel yang lain, yaitu tabungan dan defi sit perdagangan, dalam kondisi tetap. Namun demikian, peningkatan defi sit anggaran pemerintah dapat disebabkan pula oleh penurunan penerimaan pemerintah. Oleh karena itu, penurunan investasi swasta dapat disebabkan oleh penurunan penerimaan pemerintah sehingga timbul defi sit anggaran pemerintah tersebut.

Asumsi peningkatan biaya modal tersebut akan terjadi apabila investasi berasal dari uang yang berasal dari dalam negeri, tetapi apabila uang untuk investasi itu berasal dari sumber luar negeri yang tingkat bunganya lebih rendah, maka investasi itu dapat mengalami peningkatan. Peningkatan investasi tersebut dapat juga disebabkan oleh stimulasi dari anggaran pemerintah untuk meningkatkan fasilitas fi sik dan bukan fi sik sehingga memudahkan aktivitas perdagangan. Alasan lain adalah, bahwa peningkatan defi sit anggaran pemerintah merupakan respon terhadap peningkatan tabungan, sehingga tingkat bunga di pasar uang tidak mengalami peningkatan dan tidak pula menurunkan laju investasi. Mekanisme ini sesuai dengan teori kesetaraan Ricardian (Rose dan Hakes 1995). Dengan demikian, pengaruh peningkatan anggaran publik terhadap investasi swasta masih dapat dipersoalkan dan perlu dibahas lebih lanjut.

4. Transaksi Berjalan (Current Account)Peningkatan defi sit anggaran pemerintah sebagai

akibat peningkatan anggaran publik seperti yang dikemukakan mungkin pula dapat diselesaikan dengan berbagai alternatif oleh pemerintah. Jika diselesaikan dengan penjualan obligasi, maka kemungkinan terjadi peningkatan tingkat bunga. Akibatnya dapat menurunkan eksport dan mobilitas aset, sehingga terjadi pula perubahan pada transaksi berjalan (current accaunt). Namun, peningkatan defi sit anggaran pemerintah dapat

65

Kebijakan Fiskal dan Indikator Makro Ekonomi

pula diselesaikan dengan peningkatan pajak pada barang dan jasa. Jika ini yang terjadi, maka daya saing di pasar internasional akan menurun sehingga dapat pula menurunkan ekspor. Pengaruh berikutnya ialah pada peningkatan defi sit perdagangan sehingga berpengaruh pada peningkatan defi sit transaksi berjalan. Dengan demikian teori tentang peningkatan defi sit anggaran pemerintah akan meningkatkan defi sit transaksi berjalan (twin defi cit theory) dapat dipahami (Rose dan Hakes 1995). Teori tersebut berdasarkan persamaan yang telah dinyatakan sebelumnya, bahwa sebuah negara yang memiliki ekonomi yang bersifat terbuka, jumlah tabungan (S) dan defi sit perdagangannya (TD) akan sama dengan jumlah antara investasi (I) dengan defi sit anggaran pemerintah (BD). Persamaan matematikanya dapat ditulis sebagai berikut:

S + TD = I + BD Persamaan tersebut membawa implikasi bahwa jika

sebuah negara mengalami peningkatan defi sit anggaran pemerintah yang terjadi akibat peningkatan anggarannya atau penurunan pajaknya, maka akan mengakibatkan penurunan investasi (I) atau peningkatan defi sit perdagangan (TD) atau kedua-duanya secara bersamaan, dengan asumsi bahwa tingkat tabungan tetap. Jika yang terjadi adalah peningkatan defi sit perdagangan, maka transaksi berjalan dan mobilitas modal dari luar negeri yang lainnya akan terancam. Bahkan jika defi sit perdagangan yang terjadi tersebut dialami oleh berbagai perusahaan, maka pengaruhnya adalah kehancuran pada perusahaan-perusahaan tersebut. Untuk memulihkannya, restrukturisasi kembali perlu dilakukan dan akan mengambil masa yang cukup lama. Perusahaan-perusahaan kemungkinan besar akan membuat pinjaman baru yang dapat mengancam kestabilannya pada masa berikutnya (Wolfson 1993).

66

Dinamika Kinerja Fiskal di Indonesia

Pada kasus sebuah negara yang perekonomiannya terbuka, negara tersebut dapat menghadapi defi sit anggaran pemerintah dan defi sit transaksi berjalan secara bersama. Jika defi sit anggaran pemerintah terlalu besar sehingga berpengaruh pada peningkatan defi sit transaksi berjalan, defi sit anggaran pemerintah perlu ditentukan pada tingkat optimalnya, atau anggaran publiknya perlu dikurangi, karena pada hampir semua negara berkembang menjalankan kebijakan fi skal defi sit akibat pertumbuhan anggaran publiknya yang terlalu tinggi. Atas berbagai dasar landasan teori yang telah dijelaskan tersebut dapatlah dipahami bahwa kebijakan fi skal berupa penambahan anggaran pemerintah maupun kebijakan defi sit anggaran pemerintah mempunyai pengaruh pada berbagai indikator makroekonomi.

3.3 Kajian empirik pengaruh kebijakan fi skal terhadap makroekonomi Kajian tentang pengaruh kebijakan fi skal terhadap

berbagai indikator makro ekonomi telah dilakukan oleh beberapa orang pakar ekonomi, seperti Syahrizal (1996), Handayani (1997), Adji (1998), Mansoer dan Soelistyo (1998) Kuncoro (1999), Ibrahim (2000), Sriyana (2001), Hamid et.al, (2001), Chang et.al. (2002). Dari hasil kajian tersebut, dapatlah dibuat suatu kesimpulan bahwa pada umumnya kebijakan fi skal yang dilakukan oleh pemerintah memiliki pengaruh yang signifi kan terhadap perekonomian sebuah negara. Dengan kata lain, kebijakan fi skal dapat digunakan untuk menentukan sasaran makro ekonomi yang hendak dicapai oleh pemerintah sehingga pengelolaan bidang tersebut perlu dilakukan dengan efi sien.

Berbagai kajian tentang pengaruh kebijakan defi sit fi skal dan anggaran publik terhadap ekonomi untuk kasus negara Indonesia telah dilakukan oleh Handayani (1997). Hasil yang diperoleh adalah bahwa kebijakan fi skal yang dilakukan oleh pemerintah telah berhasil

67

Kebijakan Fiskal dan Indikator Makro Ekonomi

menjaga ekonomi nasional, yaitu mampu mendorong pertumbuhan ekonomi, walaupun kurang berhasil untuk mengendalikan peningkatan harga barang konsumsi (infl asi). Dari hasil kajian tersebut dapat pula diketahui bahwa peningkatan anggaran pemerintah tidak memiliki pengaruh pada peningkatan tingkat bunga, dan dapat dikatakan bahwa kebijakan fi skal yang dilakukan oleh pemerintah berupa kebijakan fi skal ekspansif itu tidak memiliki pengaruh pada penurunan investasi swasta, dan tidak terjadi himpitan (crowding out). Sebaliknya, peningkatan anggaran pemerintah tersebut akan menimbulkan peningkatan investasi swasta karena adanya berbagai fasilitas infrastruktur fi sik yang dibangun oleh pemerintah.

Adjie (1998), dalam kajiannya di beberapa negara ASEAN menemukan bahwa peningkatan anggaran publik dan kebijakan fi skal defi sit di Philipina dan Indonesia ternyata tidak menimbulkan peningkatan tingkat bunga. Ini berarti bahwa teori Kesetaraan Ricardian (Ricardian Equivalence) tidak terjadi di Indonesia, namun ada kecenderungan untuk terjadi di Singapura, Thailand dan Malaysia. Begitu juga pengaruh defi sit fi skal terhadap transaksi berjalan pada umumnya hanya terjadi di negara yang memiliki keterkaitan perdagangan yang lebih terbuka dengan ekonomi internasional serta sektor keuangan yang maju seperti Singapura. Adanya pengaruh anggaran publik pada tingkat bunga tentunya akan berpotensi untuk menurunkan investasi, yang pada akhirnya akan menurunkan pertumbuhan ekonomi di ketiga negara tersebut. Keadaannya berbeda dengan Philipina dan Indonesia, bahwa peningkatan anggaran dapat meningkatkan investasi swasta karena penggunaan anggaran tersebut ditujukan untuk pembangunan proyek-proyek yang bermanfaat dan menyediakan fasilitas untuk pertumbuh industri baru.

68

Dinamika Kinerja Fiskal di Indonesia

Hasil kajian lain tentang pengaruh kebijakan fi skal terhadap kestabilan ekonomi telah dilakukan oleh Mansoer dan Sulistyo (1998). Dari kajian tersebut dapat diketahui bahwa kebijakan fi skal telah berhasil meningkatkan pertumbuhan ekonomi, namun tidak berhasil mengendalikan laju peningkatan harga barang konsumsi (infl asi), sedangkan Chang (2002) menemukan hasil yang berbeda. Dalam kajiannya di Koera Selatan, Taiwan dan Thailand tidak ditemukan suatu hasil bahwa kebijakan fi skal mampu mendorong pertumbuhan ekonomi. Hasil kajian Mansoer dan Sulistiyo (1998) ternyata tidak berbeda dengan yang diperoleh Handayani (1997), dan Sriyana (2001). Keadaan ini berarti bahwa peningkatan anggaran pemerintah berpengaruh pada peningkatan permintaan agregat sehingga akan menimbulkan pergeseran keseimbangan ekonomi negara yang pada akhirnya berpengaruh pada peningkatan infl asi. Namun perlu diketahui pula bahwa peningkatan infl asi sebagai akibat peningkatan anggaran publik maupun kebijakan fi skal defi sit belum tentu disebabkan oleh adanya penciptaan uang baru oleh pemerintah untuk menutup defi sit tersebut, karena adanya harapan oleh masyarakat sebagai akibat dari peningkatan anggaran pemerintah untuk membayar gaji pegawai, sehingga memiliki pengaruh berganda pada harga barang konsumsi lainnya.

Hasil kajian yang berkaitan dengan pengaruh anggaran pemerintah terhadap investasi swasta telah dilakukan oleh Kuncoro (1999) yang menemukan bahwa kebijakan pengeluaran pemerintah ternyata signifi kan mengakibatkan penurunan investasi swasta dalam jangka panjang, tetapi tidak demikian dalam jangka pendek. Ini menunjukkan bahwa pengelolaan anggaran swasta kurang berpengaruh dan efi sien. Artinya bahwa pengaruh yang terjadi pada investor swasta hanya terjadi pada jangka pendek dan bersifat sementara. Penemuan tersebut didukung pula oleh Syahrizal (1996) yang mengkaji

69

Kebijakan Fiskal dan Indikator Makro Ekonomi

efi siensi belanja pemerintah, khususnya tentang bantuan kepada daerah provinsi dan pemerintah kabupaten (local government). Hasil yang diperolehnya menunjukkan bahwa efi siensi anggaran publik di Indonesia secara relatif masih rendah. Oleh sebab itu perlu ada kebijakan fi skal yang dapat memberikan arah pada efi siensi pengelolaan anggaran publik, sehingga dampak positif yang diperoleh akan lebih besar.

Hasil kajian yang berbeda diperoleh oleh Ibrahim (2000) yang melakukan kajian tentang pengaruh anggaran publik pada investasi untuk kasus di Malaysia. Hasil kajiannya mengemukakan bahwa anggaran pemerintah, khususnya anggaran operasional berpengaruh pada pengurangan investasi swasta (crowding out terjadi). Sebaliknya anggaran pembangunan berpengaruh pada peningkatan investasi swasta (crowding in terjadi). Namun demikian hasil kajian tersebut tidak mampu menjelaskan ada tidaknya fenomena tersebut terjadi dalam jangka pendek atau jangka panjang. Hal ini berkaitan dengan penggunaan alat analisis berupa model statik yang tidak mampu menjawab isu-isu yang berkaitan dengan fenomena jangka panjang dan jangka pendek (long run and short run phenomena). Analisis ekonomi sesungguhnya ingin mengetahui fenomena jangka panjang (long run phenomena), yang pada dasarnya kebijakan ekonomi juga berpengaruh dalam jangka panjang. Oleh sebab itu perlu dilakukan perubahan pendekatan analisis untuk kajian kasus di Malaysia, sehingga dapat mengetahui fenomena jangka panjang dan jangka pendek.

Kajian tentang pengaruh defi sit fi skal pada transaksi berjalan (CA) telah dilakukan oleh Jayaraman (1993) untuk kasus di negara Vanuatu. Dari hasil kajian tersebut diperoleh bahwa peningkatan anggaran pemerintah secara statistik signifi kan mengurangi defi sit transaksi berjalan. Ini berarti bahwa kebijakan fi skal berupa peningkatan anggaran pemerintah untuk pembiayaan

70

Dinamika Kinerja Fiskal di Indonesia

publik berpengaruh untuk mendukung aktivitas ekonomi, khususnya untuk meningkatkan eksport sehingga terjadi aliran modal masuk dan berpengaruh pada pengurangan defi sit transaksi berjalan. Dari hasil kajian itu dapat dikatakan pula bahwa pemerintah Vanuatu, suatu contoh kasus negara kecil, telah berhasil mengendalikan ketidakseimbangan eksternal pada perekonomiannya melalui kebijakan fi skal ekspansif. Namun, hasil kajian Walfson (1993) memberikan hasil yang berbeda. Kajian yang dilakukannya untuk kasus di Amerika Serikat memperoleh hasil bahwa kebijakan fi skal defi sit berpengaruh pada peningkatan defi sit perdagangan sehingga meningkatkan defi sit CA. Keadaan ini dapat dijelaskan bahwa kebijakan fi skal defi sit mendapat respon dari pemerintah dengan peningkatan pajak, sehingga dapat meningkatkan harga barang eksport. Selanjutnya, peningkatan harga tersebut akan menurunkan permintaan terhadap barang eksport sehingga menyebabkan terjadinya penurunan eksport, maka terjadilah peningkatan defi sit transaksi berjalan.

Hasil kajian oleh Adjie (1998) yang melakukan analisis tentang masalah tersebut untuk kasus di negara-negara ASEAN, yaitu Thailand, Philipina, Singapura, Malaysia dan Indonesia memberikan variasi temuan. Hasil kajian ini menemukan bahwa kebijakan fi skal defi sit memiliki dampak pada peningkatan defi sit transaksi berjalan di negara-negara yang dikaji tersebut. Penemuan ini mengandung makna bahwa kebijakan fi skal defi sit di kawaan ASEAN mempunyai pengaruh pada ketidakseimbangan eksternal di negara-negara tersebut sehingga mengakibatkan terjadinya aliran modal keluar. Fenomena ini merupakan salah satu faktor yang menyebabkan munculnya krisis moneter pada pertengahan 1997.

Hasil kajian yang sama didapati pula oleh Hamid et.al (2001) yang melakukan kajian dengan kasus di Indonesia. Analisis ini dilakukan dengan pendekatan regresi dimana

71

Kebijakan Fiskal dan Indikator Makro Ekonomi

variabel yang dipilih sebagai variabel tak bebas adalah pertumbuhan ekonomi, nilai kurs US $ terhadap rupiah, dan defi sit fi skal. Dari hasil kajian yang dilakukan untuk data periode waktu 1971-1999 dengan menggunakan pendekatan model ECM didapati bahwa, baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang, peningkatan defi sit fi skal menimbulkan peningkatan defi sit transaksi berjalan. Ini berarti bahwa terjadi kecenderungan pada hipotesis The Cycle of Twin Defi cit dapat diterima, yaitu terjadinya keterkaitan antara defi sit anggaran pemerintah dan defi sit transaksi berjalan. Jika defi sit anggaran pemerintah pada umumnya di berbagai negara sedang membangun disebabkan peningkatan anggaran publik, maka dapat dikatakan juga bahwa peningkatan anggaran publik mengakibatkan defi sit transaksi berjalan. Dari beberapa hasil kajian tersebut dapat dikatakan bahwa pengaruh kebijakan fi skal defi sit atau peningkatan anggaran pemerintah memang masih bersifat ambigu sehingga dapat diperdebatkan.

72

Dinamika Kinerja Fiskal di Indonesia

BAB 4

KINERJA FISKAL DAN KOMPONEN KEBIJAKAN FISKAL

4.1 Pengantar

Pada bagian ini dipaparkan tentang berbagai data anggaran pendapatan dan belanja pemerintah dan indikator makro ekonomi nasional. Secara umum

perekonomian Indoneisa telah berkembang dengan begitu pesat pada tahun 2000-2010. Walaupun mengalami krisis ekonomi berulang kali, namun pemulihan segera terjadi dalam waktu yang relatif tidak lama. Ini berarti bahwa pemerintah telah mampu mengelola perekonomian nasional dengan baik dan cepat melakukan kebijakan ekonomi yang bersifat penyesuaian ke arah yang lebih stabil. Tingkat pertumbuhan ekonomi mencapai rata-rata lebih dari 4 persen per tahun dalam tempo sepuluh tahun terakhir dan tingkat infl asi berada pada tingkat di bawah dua digit. Ini berarti masyarakat dapat menikmati peningkatan pendapatan riil.

4.2 Mekanisme dan pengaruh kebijakan fi skal Pengelolaan fi skal merupakan aspek penting dalam

mendorong perekonomian suatu negara. Kondisi fi skal yang tercermin di dalam anggaran pemerintah yang baik, kuat dan memiliki ketahanan (strength) serta kesinambungan (sustainability) yang baik akan semakin mendukung kinerja perekonomian nasional. Kebijakan fi skal memiliki berbagai tujuan dalam mengarahkan aktivitas ekonomi negara, yaitu peningkatan pertumbuhan ekonomi,

74

Dinamika Kinerja Fiskal di Indonesia

stabilisasi harga, pemerataan distribusi pendapatan, dan peningkatan kesempatan kerja (Taggart, et.al, 2000).

Sebagai konsekuensi dari kebutuhan belanja dan keterbatasasn penerimaan pemerintah, pola kebijakan fi skal yang dilakukan oleh pemerintah adalah kebijakan fi skal defi sit. Kebijakan ini juga bertujuan untuk menjaga stabilitas ekonomi dan peningkatan laju pertumbuhan ekonomi. Sejalan dengan kebijakan fi skal defi sit tersebut ternyata dapat memberikan dampak kepada peningkatan pengeluaran pemerintah (Ahmed dan Kenneth, 2000; Hondroyiannis dan Papapetrue, 2001). Pola kebijakan fi skal defi sit yang diterapkan pemerintah dan peningkatan pengeluaran pemerintah tersebut akan berdampak pada nilai besaran variabel makro ekonomi negara. Masalah berikut yang muncul adalah adanya efi siensi perekonomian yang rendah, termasuk pula efi siensi pengelolaan keuangan negara (pengeluaran pemerintah). Jika kondisi ini terjadi dalam jangka panjang akan dapat mengancam kesinambungan fi skal. Jadi dari fakta yang ada dapat dikatakan bahwa pengeluaran pemerintah merupakan suatu kebijakan yang memerlukan kehati-hatian dalam pengelolaannya.

Pemerintah dapat melaksanakan pola kebijakan fi skal ekspansioner (expansive) atau kontraktif (contractive). Kebijakan fi skal yang bersifat ekspansioner ialah perubahan pembiayaan lebih besar dari pada perubahan pendapatan pemerintah yang berasal dari masyarakat (khususnya pajak), hal ini akan berpengaruh positif terhadap output nasional dan tingkat pendapatan masyarakat. Kebijakan fi skal yang demikian ditunjukkan oleh adanya kebijakan fi skal defi sit. Peningkatan defi sit anggaran pemerintah sebagai instrumen fi skal yang ekspansioner dengan cara peningkatan pengeluaran akan meningkatkan permintaan agregat. Seperti diketahui bahwa komponen permintaan agregat adalah konsumsi rumah tangga, investasi oleh swasta, pengeluaran pemerintah

75

Kinerja Fiskal dan Komponen Kebijakan Fiskal

dan ekspor neto. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa peningkatan defi sit anggaran dapat berakibat pula pada pertumbuhan pengeluaran pemerintah pada masa berikutnya (Ahmad dan Kenneth, 2000). Selain alasan yang demikian, mekanisme ini dapat dipahami karena adanya kebijakan anggaran defi sit akan meyebabkan aktivitas perekonomian meningkat sehingga pendapatan masyarakat meningkat. Peningkatan pendapatan secara ekonomis akan meningkatkan permintaan terhadap barang dan jasa, termasuk barang dan jasa yang diproduksi oleh pemerintah.

Peningkatan defi sit anggaran sebagai akibat peningkatan pengeluaran pemerintah seperti dikemukakan dapat diselesaikan dengan berbagai alternatif oleh pemerintah. Jika diselesaikan dengan penjualan bond, maka dimungkinkan terjadi peningkatan tingkat bunga. Akibatnya pula dapat menurunkan ekspor dan asset mobility, sehingga terjadi pula perubahan pada transaksi berjalan (current accaunt). Tetapi peningkatan defi sit anggaran dapat pula diselesaikan dengan peningkatan pajak. Jika ini yang terjadi, maka daya saing di pasar internasional akan menurun sehingga akhirnya juga dapat menurunkan eksport. Dampak berikutnya adalah peningkatan defi sit transaksi berjalan. Dengan demikian teori tentang peningkatan defi sit anggaran akan meningkatkan defi sit transaksi berjalan (twin defi cit) dapat dipahami (Rose dan Hakes, 1995). Sebagaimana sebuah negara dengan perekonomian terbuka dapat menghadapi defi sit anggaran dan defi sit transaksi berjalan. Jika defi sit anggaran terlalu besar sehinggalah berdampak pada peningkatan defi sit transaksi berjalan, oleh karena itu defi sit anggaran perlu ditentukan pada tingkat optimumnya. Atau dapat pula pertumbuhan pengeluaran pemerintah perlu dikurangi. Atas berbagai landasan teori tersebut dapatlah dipahami bahwa kebijakan fi skal berupa pertambahan pengeluaran pemerintah maupun kebijakan

76

Dinamika Kinerja Fiskal di Indonesia

defi sit anggaran dapat memiliki dampak pada berbagai indikator makro ekonomi.

Dampak dari kebijakan fi skal, khususnya pengeluaran pemerintah kepada macroeconomic performance tergantung kepada kualitas pengelolaan pengeluaran tersebut. Semakin baik pengelolaannya tentu pula akan memberikan penerimaan dan dampak yang semakin baik kepada kondisi perekonomian negara, sehingga kesejahteraan masyarakat (social welfare) akan semakin meningkat pula. Kualitas pengelolaan dapat ditingkatkan menjadi lebih baik jika birokrasi pemerintah baik pula. Ada beberapa faktor yang mempengaruhi kualitas birokrasi, antara lain kualitas sumber daya manusia, sistem birokrasi, teknologi, informasi, mekanisme politik, dan visi-misi birokrasi (Moesen and Philipe, 2000).

Keputusan dalam pengelolaan pengeluaran pemerintah merupakan salah satu alat kebijakan fi skal yang bertujuan untuk mencapai target-target makro ekonomi (macroeconomic performance). Kuantitas pengeluaran tersebut juga merupakan alat dalam menyediakan jasa kepada masyarakat (public services) oleh pemerintah. Peningkatan kualitas dan kuantitas jasa oleh pemerintah akan meningkatkan aktivitas ekonomi negara, sehingga target-target kepada indikator makro ekonomi dapat dicapai. Dalam era liberalisasi, perekonomian negara akan semakin menuju pada mekanisme pasar, sehingga peran pemerintah (the role of government) menjadi sebagai stimulator aktivitas perekonomian negara. Untuk itu pulalah pengeluaran pemerintah harus mampu menjadi guidance aktivitas ekonomi negara, (market guide) agar semakin baik. Pedoman tersebut memiliki arti, bahwa pengeluaran pemerintah harus mampu memiliki insentif kepada pasar (market incentive) agar berkembang semakin maju (Boadway, 2000; Purchase, 2000). Kegagalan dalam peran pemerintah menjadi pemandu pasar justru akan mengakibatkan adanya kegagalan pasar, sehingga akan

77

Kinerja Fiskal dan Komponen Kebijakan Fiskal

mendorong perekonomian dalam keadaan stagnasi (Abrams, 1999). Jika pengeluaran pemerintah mampu menjadi pemandu peningkatan ekonomi negara, maka peningkatan pada pengeluaran pemerintah akan meningkatkan aktivitas perekonomian dengan adanya peningkatan investasi. Peningkatan investasi tersebut akan memiliki dampak pada peningkatan output, kesempatan kerja, ekspor, pajak, penerimaan pemerintah dan transaksi berjalan.

Peningkatan pengeluaran pemerintah dapat memberikan dampak kepada berbagai indikator makro ekonomi negara. Namun peningkatan pengeluaran pemerintah yang terlalu besar sehingga melebihi ukuran optimumnya dapat memperbesar defi sit anggaran, yang akan berdampak negatif pada tingkat efi siensi perekonomian negara. Karena laju perekonomian negara ditentukan oleh kebijakan ekonomi pemerintah dan sektor swasta, maka sesungguhnya pengeluaran pemerintah merupakan salah satu bentuk kebijakan fi skal untuk menggerakkan aktivitas sektor swasta. Agar aktivitas perekonomian negara berada pada tingkat optimumnya dengan dukungan sektor swasta, maka diperlukan pengelolaan fi skal yang efi sien dan tingkat pengeluaran pemerintah yang optimum. Proses mekanisme tersebut terjadi terus menerus sehinggalah perekonomian negara tersebut mengalami keberhasilan (Arestis, et.al, 2002).

Dalam era liberalisasi ini semestinyalah pemerintah menetapkan misi dan visinya (orientasi) yang baru dalam pengeluaran pemerintah, agar diperoleh penerimaan yang efi sien dan tidak bertentangan dengan hubungan perekonomian antarbangsa. Orientasi yang perlu dibangun adalah bahwa pengeluaran pemerintah haruslah bertumpu kepada social objectives, economic growth, input driven to productivity driven, minimize burden and risk, competitiveness, efi siensi, degree of publicness, improving

78

Dinamika Kinerja Fiskal di Indonesia

effectiveness, minimize free rider and fi scal illusion (Purchase, 2000; Tridimas, 2001).

Perkembangan indikator perekonomian Indonesia selama ini menunjukkan kinerja yang membaik, terkecuali pada masa krisis ekonomi yang terjadi di kawasan Asia pada tahun 1997. Namun demikian pada era 1990-an hingga sekarang pemerintah mulai terjebak oleh beban utang luar negeri, tingkat infl asi yang tinggi serta pengangguran yang besar. Indikator makro ekonomi tersebut tentu tak dapat lepas dari kebijakan ekonomi, baik kebijakan fi skal atau moneter yang dijalankan oleh pemerintah. Kebijakan fi skal defi sit yang dijalankan oleh pemerintah, yang berarti pengeluaran pemerintah lebih besar daripada penerimaan pemerintah, tentu berpengaruh terhadap besaran makro ekonomi tersebut. Keputusan pemerintah untuk menetapkan atau meningkatkan pengeluaran tentulah akan merupakan insentif bagi aktivitas perekonomian, sebaliknya keputusan pemerintah untuk meningkatkan tingkat perpajakan tentu pula akan memerosotkan aktivitas perekonomian. Oleh karena itu besar kecilnya tingkat pertumbuhan ekonomi atau indikator makro ekonomi lainnya merupakan dampak dari kebijakan fi skal yang dilaksanakan oleh pemerintah, tentu pula di samping pengaruh faktor lain, baik dari dalam maupun luar negeri.

Sebagaimana umumnya negara yang sedang membangun, kebijakan fi skal yang dilaksanakan oleh pemerintah adalah kebijakan fi skal ekspansif dengan instrumen anggaran defi sit (Gambar 4.1). Hal penting yang perlu dianalisis adalah nilai defi sit anggaran ini, karena ia akan memiliki effek yang berantai kepada berbagai variabel makro ekonomi. Masalah pertama yang perlu dikaji adalah bagaimana pemerintah memenuhi pembiayaan untuk mengatasi defi sit anggaran (method of fi nancing) tersebut. Secara teoritik ada dua macam yang biasa dianut oleh pemerintah, yaitu dengan cara pembiayaan dengan utang

79

Kinerja Fiskal dan Komponen Kebijakan Fiskal

dan pembiayaan dengan penambahan uang (printing money).

Kebijakan Fiskal

Anggaran Defisit

Beban Anggaran

Metode Pembiayaan

Dampak terhadap Indikator Makro Ekonomi

Penerbitan Utang

Mencetak Uang, Privatisasi, dll

Rasio Utang

Beban Utang Beban Pembiayaan

Gambar 4.1 Mekanisme Kebijakan Fiskal

Inflasi Jumlah Seignorage

Defisit Primer Tingkat Bunga Seignorage

80

Dinamika Kinerja Fiskal di Indonesia

Berkaitan dengan nilai defi sit anggaran ini, masalah utama yang perlu dikaji adalah bagaimana pemerintah memenuhi pembiayaan untuk mengatasi defi sit anggaran tersebut. Secara teoritik ada dua macam yang biasa dianut oleh pemerintah, yaitu dengan cara pembiayaan dengan utang dan pembiayaan dengan penambahan uang. Kedua metode pembiayaan tersebut akan memiliki dampak yang penting kepada perekonomian, baik dampak positif atau negatif. Metode penambahan uang dalam perekonomian akan menimbulkan permasalahan peningkatan tingkat harga barang dan jasa sehingga berakibat pada peningkatan infl asi. Peningkatan infl asi juga dapat menimbulkan beban pengeluaran pemerintah. Selain dampak kepada infl asi, peningkatan uang dalam perekonomian juga akan berakibat kepada penurunan tingkat bunga perbankan. Penurunan tingkat bunga ini dapat mendorong kepada peningkatan investasi yang merupakan bagian dari permintaan agregat. Peningkatan investasi yang berlebihan dapat mendorong kepada semakin kuatnya peningkatan tingkat harga barang dan jasa.

Pembiayaan defi sit anggaran dengan cara penambahan uang beredar juga akan memiliki dampak kepada peningkatan permintaan uang oleh masyarakat. Hal ini disebabkan adanya penurunan nilai uang dalam perekonomian. Dengan lain perkataan pula bahwa masyarakat perlu menambah uang untuk belanjanya. Dengan demikian pembiayaan defi sit anggaran oleh pemerintah dengan cara menambahkan uang dalam perekonomian dapat meningkatkan total penerimaan pemerintah. Sumber peningkatan total penerimaan pemerintah dari penambahan uang ini dapat dikatakan sebagai seigniorage. Bagi masyarakat adanya peningkatan infl asi sebagai dampak penambahan uang tersebut akan menimbulkan tambahan pengeluaran yang disebut dengan infl ation tax. Jika nilai infl ation tax tersebut dikalikan

81

Kinerja Fiskal dan Komponen Kebijakan Fiskal

dengan nilai uang kebijakan riil (real base money) akan menghasilkan infl ation tax revenue, yang merupakan tingkat tambahan total penerimaan pemerintah sebagai akibat adanya penambahan uang dalam perekonomian.

Cara kedua pembiayaan defi sit anggaran pemerintah adalah dengan utang, baik utang dari dalam negari atau luar negeri. Utang dalam negeri dapat dilakukan dengan cara utang kepada bank sentral atau kepada masyarakat berupa penjualan bonds. Implikasi pertama dari adanya utang kepada bank sentral adalah adanya peningkatan pada uang kebijakan pada bank sentral, sehingga akan berimplikasi lanjut kepada peningkatan jumlah uang beredar secara luas. Utang kepada masyarakat luar negeri dapat dilakukan dalam bentuk multi lateral, bilateral ataupun kepada lembaga keuangan internasional.

Implikasi penting adanya pembiayaan defi sit anggaran dengan cara utang adalah munculnya ketergantungan keuangan pemerintah kepada pihak lain, khususnya pihak luar negeri. Salah satu ukuran yang dapat digunakan adalah rasio utang (debt ratio) yang merupakan rasio antara utang pemerintah dengan GDP. Semakin tinggi nilai rasio utang ini akan berdampak kepada peningkatan kewajiban pembayaran utang yang dilakukan oleh pemerintah. Ini akan memunculkan keadaan bahwa defi sit anggaran menjadi semakin besar. Oleh karena itu analisis tentang defi sit anggaran dibedakan kedalam dua hal, yaitu defi sit total dan defi sit primer (primary defi cit). Defi sit primer ini merupakan selisih antara total defi sit dengan pembayaran bunga utang. Semakin tinggi pembayaran bunga utang, maka akan semakin kecil defi sit primer yang terjadi. Semakin besar pembayaran bunga utang, baik disebabkan oleh nilai utang atau tingkat bunga yang terjadi, akan meningkatkan beban pembiayaan defi sit anggaran oleh pemerintah.

82

Dinamika Kinerja Fiskal di Indonesia

Peningkatan debt ratio dalam jangka panjang akan membahayakan perekonomian negara, karena akan terjadi aliran uang keluar (capital outfl ow) dalam bentuk pembayaran utang. Analisis tentang debt ratio ini dipengaruhi oleh berbagai variabel, yaitu tingkat bunga dan pertumbuhan ekonomi. Separti dikemukakan oleh Dornbusch-Fisher (1994: 596), disebutkan bahwa antara ketiga variabel tersebut terjadi formula:

Δb = b (r - y) - z

Variabel b melambangkan debt ratio, r adalah tingkat bunga, y adalah pertumbuhan ekonomi dan z merupakan tingkat surplus anggaran. Berdasarkan formula tersebut dapat dijelaskan bahwa debt ratio akan mengalami peningkatan jika tingkat bunga melebihi pertumbuhan ekonomi serta anggaran dalam keadaan seimbang atau defi sit. Dengan demikian penting bagi pemerintah dan bank sentral untuk melakukan kebijakan moneter yang memiliki tujuan menstabilkan tingkat bunga pada tingkat yang rendah, agar debt ratio tidak mengalami peningkatan. Pada kesempatan yang sama pula pertumbuhan ekonomi perlu ditingkatkan serta penurunan defi sit anggaran.

Dampak lain yang muncul sebagai akibat debt fi nancing adalah adanya peningkatan tingkat bunga sehingga akan menurunkan investasi. Penurunan investasi ini tentu saja akan menurunkan output. Inilah debt burden yang pertama. Dampak berikutnya adalah, karena pemerintah menghadapi defi sit yang besar, maka akan terdorong untuk meningkatkan tingkat pajak yang terjadi. Tentu saja peningkatan ini akan menurunkan output dan jam bekerja masyarakat. Dampak ini merupakan debt burden yang kedua. Oleh karena itulah pemerintah sekali lagi perlu membuat suatu kebijakan untuk mengetahui ukuran yang tepat tentang defi sit anggarannya.

83

Kinerja Fiskal dan Komponen Kebijakan Fiskal

4.3 Ketahanan Fiskal (Fiskal Strength)Kebijakan fi skal memiliki berbagai tujuan

dalam menggerakkan aktivitas ekonomi negara, yaitu peningkatan pertumbuhan ekonomi, kestabilan harga, pemerataan pendapatan dan lain-lain. Namun demikian, dampak kebijakan fi skal kepada aktivitas ekonomi negara sangatlah luas. Berbagai indikator ekonomi lainnya juga akan mengalami perubahan sebagai akibat pelaksanaan kebijakan fi skal yang dilakukan oleh pemerintah. Dampak kebijakan fi skal kepada pertumbuhan ekonomi diharapkan selalu positif, sedangkan dampak kepada infl asi diharapkan negatif. Namun secara teori, kebijakan fi skal ekspansif yang dilakukan dengan peningkatan pengeluaran pemerintah tanpa terjadinya peningkatan sumber pajak, sebagai sumber keuangan utama pemerintah, akan mengakibatkan peningkatan defi sit anggaran.

Sebagaimana negara sedang membangun umumnya, kebijakan fi skal yang dilaksanakan adalah kebijakan fi skal ekspansif dengan instrumen anggaran defi sit. Hal penting yang perlu dianalisis adalah dampak defi sit anggaran ini. Ini karena pengaruh yang berantai terhadap berbagai variabel makroekonomi. Masalah pertama yang perlu dikaji adalah bagaimana pemerintah memenuhi pembiayaan untuk mengatasi defi sit anggaran (method of fi nancing) tersebut. Secara teori, ada dua metode yang biasa dianut oleh pemerintah, yaitu cara pembiayaan dengan penambahan uang (printing money) dan pembiayaan dengan utang (debt).

Kedua metode pembiayaan tersebut akan memiliki dampak yang penting kepada ekonomi, baik dampak positif atau negatif. Metode penambahan uang dalam ekonomi akan menimbulkan permasalahan meningkatnya tingkat harga barang dan jasa sehingga menyebabkan pada peningkatan infl asi. Pembiayaan defi sit anggaran dengan

84

Dinamika Kinerja Fiskal di Indonesia

cara penambahan uang beredar juga akan memiliki dampak kepada peningkatan permintaan uang oleh masyarakat. Hal ini disebabkan adanya penurunan nilai uang dalam ekonomi. Dengan perkataan lain, masyarakat perlu menambah uang untuk pengeluarannya. Dengan demikian pembiayaan defi sit anggaran oleh pemerintah dengan cara menambahkan uang dalam ekonomi dapat meningkatkan jumlah penerimaan pemerintah. Sumber peningkatan jumlah penerimaan pemerintah dari penambahan uang ini dapat dikatakan sebagai seigniorage.

Sumber penerimaan pemerintah baik dari pajak maupun seigniorage memiliki peranan penting untuk meningkatkan ketahanan fi skal. Namun demikian terjadinya sumber penerimaan dari seigniorage yang berlebihan juga akan menunjukkan terlalu bergejolaknya sektor moneter. Jika hal ini terjadi dapat menimbulkan beban yang berlebihan untuk masyarakat. Oleh karena itu pemerintah juga perlu meningkatkan kebijakan fi skal dan moneter yang dilakukan untuk menyeimbangkan peningkatan pajak dan tingkat harga yang terjadi.

Kemandirian pembiayaan anggaran merupakan faktor penting dalam pembangunan sebuah negara. Hal itu berkait erat dengan berbagai sumber-sumber penerimaan pemerintah. Kekurangan dalam sumber penerimaan pemerintah akan menyebabkan meningkatnya utang pemerintah untuk membiayai pengeluaran pemerintah. Walaupun tingkat utang berhubungan dengan kebijakan fi skal yang dilakukan oleh pemerintah, khususnya tentang kebijakan fi skal ekspansif, namun ia tetap menjadi masalah dalam jangka panjang. Fenomena utang banyak dialami oleh negara -negara yang sedang membangun untuk membiayai defi sit anggaran. Baik utang dalam negeri atau utang luar negeri, ia memerlukan pengembalian yang tentu saja akan mengurangi berbagai sumber keuangan negara.

85

Kinerja Fiskal dan Komponen Kebijakan Fiskal

Ketahanan fi skal sebuah negara dapat dicapai dengan mengoptimalkan penerimaan pemerintah dari sumber pajak dan seigniorage. Kedua sumber keuangan tersebut akan optimal jika biaya (distortionary cost) pada kedua sumber keuangan tersebut minimal (Menkiw 1987; Trehan dan Walsh 1988, 1990; Berument 1994). Karena ketahanan fi skal berkaitan dengan pengeluaran dan penerimaan pemerintah, maka ketahanan fi skal dapat terjadi pada tingkat pengeluaran yang optimum. Untuk mencapai pengeluaran yang optimum, pemerintah dapat melakukannya dengan kombinasi kebijakan fi skal dan moneter. Ini berarti bahwa kebijakan fi skal dan monetar harus dilakukan dalam satu koordinasi (syncronization). Pada kondisi demikian, variabel pengeluaran, penerimaan dan tingkat infl asi akan memiliki sifat stasioneritas (trend stochastic) bersama (Trehan dan Wals 1990).

Terjadinya stasioneritas bersama antara penerimaan pemerintah yang meliputi pajak dan seigniorage dengan pengeluaran pemerintah menunjukkan bahwa pertumbuhan pengeluaran akan diikuti oleh pertumbuhan penerimaan pemerintah. Ini bermakan bahwa pemerintah tidak akan menghadapi peningkatan defi sit anggaran, yang pada umumnya diatasi dengan utang atau printing money.

Untuk mengetahui dampak aspek moneter maupun fi skal terhadap perkembangan defi sit anggaran yang pada umumnya dibiayai dengan utang, maka dapat digunakan pendekatan terjadinya kekangan anggaran sebagai berikut (Mankiw. 1987; Trehan dan Walsh. 1990; dan Berument. 1994):

1. Persamaan kekangan anggaran : bt = (1+r)bt-1 + Gt – Rt (4.1)

2. Total penerimaan pemerintah : Rt = Tt + St (4.2)

86

Dinamika Kinerja Fiskal di Indonesia

3. Seigniorage : St = (Mt – Mt-1) / Pt (4.3)

4. Persamaan defi sit anggaran : DBt = Gt – Tt - St (4.4)

di mana : b: tingkat utang, r: tingkat bunga,G: pengeluaran pemerintah total, R: penerimaan pemerintah, T: pajak, Y: Produk Domestik Bruto, S: tingkat seigniorage, M: uang asas (base money), P: tingkat harga, DB : defi sit anggaran total.

Persamaan kekangan anggaran (budget constraint) membawa implikasi bahwa nilai sekarang (present value) dari masing-masing komponen penerimaan sama dengan pengeluaran pemerintah. Untuk melakukan uji guna mengetahui terlanggarnya kekangan anggaran dilakukan dengan uji kointegrasi pada set variabel yang meliputi pengeluaran Pemerintah (G), pajak (T) dan tingkat seigniorage (S), dengan asumsi semua variabel tidak stasioner pada level tetapi bersifat stasioner pada perbedaan pertama (Trehan dan Walsh, 1990).

Untuk mengetahui kesesuaian kombinasi kebijakan fi skal dan moneter yang dilakukan pemerintah dapat dilakukan dengan analisis Model Moneter yang melibatkan variabel pajak Tt, Rasio uang beredar dengan pendapatan (M t/Y t) dan pengeluaran pemerintah Gt. Merujuk pada Berument (1994), untuk tujuan ini dapat dilakukan dengan model dengan variabel terikat tingkat uang kebijakan (high powered money / M):

87

Kinerja Fiskal dan Komponen Kebijakan Fiskal

Ln(Mt / Mt-1) = βo + β1 ln Tt + β2 ln(M t/Y t) + β3 ln Gt + et

(4.5)

Jika kedua koefi sien β1 dan β2 memiliki keartian secara statistik (signifi kan), maka menunjukkan terjadinya kesesuaian pelaksanan kebijakan fi skal dan moneter dan juga akan menunjukkan terjadinya sumber penerimaan baik dari pajak maupun seigniorage pemerintah untuk membiayai peningkatan pengeluaran Pemerintah. Koefi sien β3 pula menunjukkan keterkaitan antara sektor fi skal dan sektor moneter.

4.4 Kesinambungan Fiskal (Fiscal Sustainability)Kesinambungan fi skal merupakan salah satu ukuran

kinerja utama dari kondisi ketahanan fi skal suatu negara. Kesinambungan fi skal menunjukkan adanya kemampuan jangka panjang pemerintah dalam membiayai kebutuhan belanjanya. Kesinambungan fi skal ini dapat diukur dengan menggunakan indikator surplus primer dan rasio utang terhadap PDB. Kondisi defi sit, surplus ataupun keseneraca primer (primary balance) dalam anggaran pemerintah merupakan indikator utama dalam pengukuran ketahanan fi skal (Cuddington,1996). Dengan demikian dapat diketahui bahwa ketahanan fi skal berkaitan dengan kemampuan menutup defi sit anggaran pemerintah. Pada umumnya defi sit anggaran dibiayai dengan utang. Secara matematis, besar utang pada periode t merupakan utang pada periode sebelumnya (t-1) ditambah bunga, dikurangi surplus primer. Besar utang tersebut dirumuskan sebagai berikut.

Bt = (1 + rt) Bt – n – SURPB ..... (4.6)

88

Dinamika Kinerja Fiskal di Indonesia

di mana :

Bt: jumlah utang pemerintah yang beredar pada tahun t

rt: tingkat bunga

SURPB: surplus pada keseneraca primer

Keseneraca primer adalah selisih antara anggaran dan pengeluaran pemerintah di luar bunga dan cicilan utang. Dari persamaan di atas kesinambungan fi skal dapat diartikan sebagai kesinambungan pada surplus keseneraca primer. Kondisi berkesinambungan ini akan tercapai bila keseneraca primer tersebut menghasilkan rasio utang terhadap PDB yang konstan dan pertumbuhan ekonomi tidak boleh lebih rendah dari suku bunga utang.

Untuk mengetahui pengukuran kesinambungan fi skal secara teknis dapat dilakukan dengan merujuk pada fungsi identitas (Buiter, 1997). Buiter memberikan fungsi stabilitas fi skal sebagai berikut:

)( *1

*1

**−− −+−+−−− ttttttttttt RBEiPRIVAFNETC

)()( *1

*1

*1

*1 −−−− −−−+−+−= tttttttt

dt

tt RREHHBBEBB

(4.7)

di mana:

Ct : konsumsi pemerintah pada periode t

Tt : pajak setelah dikurangi transfer dan subsidi

Et : nilai tukar di pasar spot

Nt : nilai bantuan luar negeri dalam mata uang asing

Ft : aliran kas dari sektor Pemerintah

89

Kinerja Fiskal dan Komponen Kebijakan Fiskal

At : pembentukan modal domestik di sektor Pemerintah

PRIVt : dana hasil privatisasi

it : suku bunga utang Pemerintah domestik

B t-1 : nilai nominal face value kewajiban domestik pemerintah termasuk tunggakan maupun yang sedang berjalan

it : suku bunga utang dalam denominasi mata uang asing

B t-1: nilai nominal kewajiban luar negeri termasuk bunga, tunggakan dan kewajiban bank sentral dalam denominasi mata uang asing

R t-1 : cadangan devisa

H t-1: stok uang beredar

Dari formula tersebut menunjukkan bahwa, menurut Buiter sesungguhnya terdapat banyak variabel yang mempengaruhi kesinambungan fi skal. Ini berarti bahwa kondisi fi skal tidak semata-mata ditentukan oleh variabel fi skal maupun variabel ekonomi lainnya. Menurutnya kondisi kesinambungan fi skal sangat ditentukan oleh faktor-faktor kebijakan yang berkesinambungan dalam jangka panjang.

Keseneraca primer juga dapat dianalisis dengan mengetahui hubungan antara rasio utang dengan keseneraca primer (Bohn, 1999). Hubungan sistematis antara rasio utang terhadap pendapatan dan surplus primer ditunjukkan dengan persamaan regresi sebagai berikut:

tttttt dZdS mrear +=++= ** * ..... (4.8)

90

Dinamika Kinerja Fiskal di Indonesia

di mana:St: Surplus primer Zt: faktor-faktor lain yang mempengaruhi surplus primerεt: error termμt: α . Zt + εt.

Pendekatan ini merupakan kelanjutan dari hasil penelitian Barro (1979). Menurutnya untuk memperoleh surplus primer dapat dilakukan dengan dengan kebijakan tax-smoothing model. Berdasarkan penelitiannya menunjukkan bahwa faktor non-utang yang mempengaruhi surplus primer (Zt) adalah tingkat pengeluaran pemerintah temporal, GVAR dan indikator siklus bisnis, YVAR. Model surplus primer dapat dituliskan sebagai berikut.

tyGtt YVARGVARdS eaaar ++++= **0

* ...... (4.9)

4.5 Perkembangan komponen kebijakan fi skal di indonesia Kebijakan fi skal di Indonesia telah dilaksanakan

sejak kemerdekaan untuk mencapai tujuan pembangunan ekonomi nasional. Pada masa awal kemerdekaannya, fungsi kebijakan fi skal relatif kecil karena pemerintah masih menghadapi keterbatasan sumber-sumber keuangan. Kondisi tersebut juga menunjukkan kondisi bahwa kebijakan fi skal masih memainkan peran tradisional dalam memungut pajak dan menjalankan belanja pemerintah untuk menyediakan berbagai infrastruktur dan pelayanan publik. Dalam perkembangannya, sejak perencanaan pembangunan pada tahun 1967, peran kebijakan fi skal telah berubah menjadi alat untuk mengendakikan perekonomian secara makro bersama-sama dengan kebijakan moneter yang dilakukan oleh Bank Indonesia dan pemerintah. Dalam masa tersebut pemerintah telah mulai melaksanakan kebijakan fi skal

91

Kinerja Fiskal dan Komponen Kebijakan Fiskal

ekspansif untuk mendorong kegiatan perekonomian secara lebih besar. Kebijakan fi skal ini menjadi satu alat kritis untuk mencapai target pembangunan struktur ekonomi. Ada minimal dua alasan, pertama, kebijakan ini perlu untuk mendorong peran sektor pemerintah yang lebih besar dalam kegiatan ekonomi nasional. Kedua, karena pertumbuhan ekonomi sangat penting untuk meterjadikan peluang-peluang pengembangan ekonomi baru, pemerintah merancang menggunakan kebijakan fi skal ekspansif untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi.

Keberhasilan kebijakan fi skal ekpansif mulai mendapatkan masalah di dalam negeri ketika terjadi ancaman krisis ekonomi di negara-negara maju pada tahun 1975 yang kemudian memiliki dampak pada perekonomian Indonesia. Walaupun pendapatan pemerintah tidak mengalami peningkatan, namun pemerintah berketetapan untuk meningkatkan belanja pemerintah untuk menggerakkan perekonomian nasional. Kebijakan tersebut ternyata memberikan hasil positif, karena pertumbuhan ekonomi pada tahun 1976 mampu mencapai 6,89 persen dibandingkan dengan tahun sebelumnya yang hanya berada pada tingkat 4,98 persen. Dengan keberhasilan yang dialami itu, pendekatan yang sama telah digunakan untuk menghadapi krisis ekonomi dunia yang muncul pada tahun 1980-an. Sekali lagi pemerintah melakukan penambahan belanja pemerintah, namun usaha ini kurang berhasil untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi pada tingkat lebih dari 5 persen. Bahkan pemerintah pernah melakukan pemotongan pada beberpa komponen belanjanya pada beberapa tahun berikutnya. Namun demikian penetapan kebijakan fi skal ekspansif yang terlalu besar akan berakibat dengan meningkatnya defi sit anggaran pemerintah dan ini akan menimbulkan masalah baru bagi penyediaan keuangan pemerintah.

92

Dinamika Kinerja Fiskal di Indonesia

Sadar akan kegagalan kebijakan fi skal ekspansif yang telah dilakukan, pemerintah mulai melakukan penyesuaian di awal tahun 1980-an. Hal ini juga sebagai akibat dari perubahan lingkungan ekonomi internasional yang mulai terimbas oleh krisis ekonomi akibat adanya perubahan harga minyak dunia. Suatu strategi baru dalam pengelolaan ekonomi negara mulai diperkenalkan, dengan sektor swasta diberi peranan yang lebih besar untuk proses pemulihan ekonomi. Pada masa ini pemerintah telah menetapkan kebijakan fi skal yang tidak terlalu ekspansif, bahkan boleh dikatakan mulai hati-hati dalam peningkatan belanja pemerintah, namun dengan menambah berbagai peluang kepada sektor swasta untuk menggantikan peluang sektor pemerintah yang ditinggalkan dalam berbagai kegiatan perekonomian. Upaya pemerintah ini ternyata membawa tanda-tanda keberhasilan dalam menggerakkan ekonomi nasional. Walaupun kebijakan anggaran tidak terlalu ekspansif, namun pertumbuhan ekonomi meningkat pada tahun 1980-1985 menjadi rata-rata sekitar 5,61 persen per tahun. Angka ini menjadi lebih baik lagi pada tahun 1985-1990 menjadi rata-rata sebesar 6,26 persen, bahkan pada tahun 1990-1995 mencapai rata-rata 7,13 persen.

Keberhasilan ini tentu pula tak lepas dari peran sektor swasta yang mampu memainkan peran pentingnya dalam ekonomi nasional. Atas pengalaman kebijakan ini dapat diambil satu kesimpulan bahwa kebijakan fi skal ekspansif hanya cocok untuk jangka pendek saja karena kebijakan ini memerlukan sumber keuangan yang besar dan kuat. Ekonomi Indonesia menunjukkan keadaan yang membanggakan pada awal tahun 1990-an hingga pada tahun 1996, sebagai akibat dari liberalisasi sektor moneter sebagaimana negara-negara lain di kawasan Asia. Sebuah negara yang ekonominya sedang ekspansif tidak memerlukan kebijakan fi skal yang ekspansif. Dalam keadaan yang demikian, apabila tingkat infl asi meningkat,

93

Kinerja Fiskal dan Komponen Kebijakan Fiskal

defi sit transkasi berjalan akan meningkat dan terjadi kekurangan infrastruktur di berbagai sektor, sehingga perlu diadakan suatu kebijakan untuk memperlambat gerak laju ekonomi nasional. Namun demikian ekonomi yang cerah tersebut telah mendatangkan surplus anggaran dibandingkan dnegan peningkatan defi sit pada tahun-tahun sebelumnya. Pada masa ini pemerintah masih bisa memperoleh sumber pendapatan dari sektor minyak dan gas bumi. Keadaan ini menyebabkan pemerintah kurang melakukan upaya untuk menggali sumber-sumber keuangan pemerintah, khususnya melakukan reformasi perpajakan. Reformasi ini perlu karena dapat menjadi alat untuk mempertahankan ekonomi pada tingkat yang lebih stabil karena situasi perekonomian yang sedang kepanasan (overheating).

Untuk periode tahun anggaran 2001-2011 perkembangan komponen anggaran pemerintah sebagai refl eksi dari penerapan kebijakan fi skal menunjukkan bahwa pemerintah masih menggunakan metode yang sama yaitu prinsip defi sit anggaran. Hal ini memberikan pandangan bahwa pemerintah masih beranggapan bahwa kebijakan tersebut masih merupakan kebijakan yang paling relefan pada periode 10 tahun terahir. Penerimaan pemerintah dalam periode 2001-2011 terus mengalami peningkatan. Pendapatan hanya menunjukkan penurunan pada tahun 2002 dan 2009 namum kembali naik pada tahun berikutnya yang menandakan perekonomian kembali membaik. Tahun 2010 penerimaan pemerintah berhasil nyaris berada pada angka 1000 triliun rupiah, bahkan di tahun 2011 pendapatannya telah mencapai angka 1210 triliun rupiah. Besarnya pendapatan pemerintah tidak lantas membuatnya merasa puas. Merasa kebijakan yang diberlakukan tepat, maka pemerintah terus mempertahankan agar belanja pemerintah tetap berada diatas pendapatan pemerintah. Pada tahun 2008 ketika terjadi krisi global dan pemerintah menerapkan

94

Dinamika Kinerja Fiskal di Indonesia

kebijakan fi skal yang sama ternyata hasilnya tidak terlalu buruk. Pertumbuhan ekonomi hanya turun sedikit dari 6,3 persen di tahun 2007 menjadi 6,1 persen di tahun 2008. Penurunan tersebut masih bisa dianggap wajar mengingat posisi Indonesia yang masih sebaga small open economy country. Kemudian jika dilihat dari perkembangan defi sit anggaran, pemerintah masih terus berkaca pada pengalaman-pengalaman terdahulu yang menggunakan prinsip kehati-hatian dalam menggunakan kebijakan defi sit anggaran. Sebagai contoh beberapa tahun sepanjang 2001-2011 Indonesia hanya membiarkan anggarannya mengalami sedikit defi sit yaitu dibawah 2% dari total PDB yang dihasilkannya. Kembali kita lihat pada tahun 2008 dimana defi sit anggaran yang diterapkannya hanya sebesar 4.112 milyar rupiah atau sebesar 0,20 persen dari total PDB yang dihasilkan. Berikut ini disajikan mengenai perkembangan komponen anggaran pemerintah selama kurun waktu 2001-2011 yang diambil dari data rilisan Kementerian Kuangan Republik Indonesia.

Tabel 4.1 Perkembangan Komponen Anggaran Pemerintah

TahunBelanja

Pemerintah Total

(Rp Miliar)

Penerimaan Pemerintah

Total(Rp Miliar)

Total Defi sit

Anggaran (Rp Miliar)

Defi sit Anggaran (% PDB)

2001 341.563 301.078 40.485 2,82%2002 322.180 298.528 23.652 1,58%2003 376.505 341.396 35.109 2,17%2004 427.177 403.367 23.810 1,44%2005 509.632 495.224 14.408 0,82%2006 667.129 637.987 29.142 1,58%2007 757.650 707.806 49.844 2,54%2008 985.731 981.609 4.122 0,20%2009 937.382 848.763 88.619 4,07%2010 1.042.117 995.272 46.845 2,02%2011 1.294.999 1.210.600 84.399 3,43%

Sumber: Kementerian Keuangan RI, Olah data

95

Kinerja Fiskal dan Komponen Kebijakan Fiskal

Sedikit melihat masa lalu, krisis ekonomi pada tahun 1997 dipercayai sebagai akibat dari aliran modal ke luar sebagai dampak dari kejatuhan beberapa mata uang negara-negara Asia. Sebagai tindak lanjut, pemerintah segera melakukan kebijakan fi skal dan keuangan yang ketat. Pada tahun berikutnya, pertumbuhan ekonomi menunjukkan angka negatif, yaitu pertama kali paling rendah selama pemerintah orde baru yang telah berjalan sekitar 31 tahun. Oleh karena itu pemerintah mulai melonggarkan kebijakan fi skalnya, namun masih mengetatkan kebijakan keuangannya dengan tingkat bunga perbankan yang relatif tinggi. Pada tahun ini juga pemerintah menjaga nilai tukar rupiah dengan mata uang asing, khsusunya dollar Amerika secara ketat. Namun demikian pemerintah tidak melakukan kebijakan penetapan nilai tukar secara tetap. Dalam keadaan demikian, perekonomian dapat kembali pulih tanpa terancam oleh meningkatnya infl asi hanya dengan kebijakan fi skal, yaitu peningkatan belanja pemerintah yang dialokasikan pada sektor produktif dan tidak mengundang kenaikan harga. Selain peningkatan belanja pemerintah, pemerintah juga memperkenalkan beberapa langkah perpajakan untuk mendorong beberapa sektor ekonomi yang berpotensi. Perkonomian mulai menunjukkan tanda-tanda membaik sebagai hasil kebijakan fi skal ekspansif dan kebijakan keuangan yang mulai longgar karena penetapan tingkat mata uang asing dan larangan terhadap pengaliran keluar modal tersebut.

96

Dinamika Kinerja Fiskal di Indonesia

-

200.000

400.000

600.000

800.000

1.000.000

1.200.000

1.400.000

2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011

TOTA

L BE

LAN

JA P

EMER

INTA

H

(Rp.

Mily

ar)

Tahun

TOTAL BELANJA PEMERINTAH (Rp. Milyar)

Gambar 4.2 Perkembangan total belanja pemerintah

-

200.000

400.000

600.000

800.000

1.000.000

1.200.000

1.400.000

2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011

Tota

l Pen

erim

aan

Pem

erin

tah

(Rp.

Mily

ar)

Tahun

TOTAL PENERIMAAN PEMERINTAH (RP. MILYAR)

Gambar 4.3 Perkembangan total penerimaan pemerintah

97

Kinerja Fiskal dan Komponen Kebijakan Fiskal

Gambar 4.4 Perkembangan defi sit anggaran pemerintahGET= Belanja Pemerintah TotalREVT= Penerimaan pemerintah TotalDB = Defi sit Anggaran

0,12

0,07

0,09

0,06

0,03

0,04

0,07

0,00

0,09

0,04

0,07

-

0,02

0,04

0,06

0,08

0,10

0,12

0,14

2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011

RASIO

DEF

ISIT T

ERHA

DAP B

ELAN

JA

Tahun

RASIO DEFISIT TERHADAP BELANJA

Gambar 4.5 Rasio defi sit anggaran terhadap belanja pemerintah

98

Dinamika Kinerja Fiskal di Indonesia

0,13

0,08

0,10

0,06

0,03

0,05

0,07

0,00

0,10

0,05

0,07

-

0,02

0,04

0,06

0,08

0,10

0,12

0,14

0,16

2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011RASIO

DEF

ISIT T

ERHA

DAP P

ENER

IMAA

N

Tahun

RASIO DEFISIT TERHADAP PENERIMAAN

Gambar 4.6 Rasio defi sit anggaran terhadap penerimaan pemerintah

RDBGET = Rasio Defi sit Anggaran terhadap Belanja Pemerintah TotalRDBREVT = Rasio Defi sit Anggaran terhadap Penerimaan Pemerintah Total

Keberhasilan pengelolaan kebijakan fi skal yang dilakukan oleh pemerintah ternyata mampu membawa ekonomi Indonesia tetap kuat sampai pada sekitar tahun 2002. Pertumbuhan ekonominya masih berada pada tingkat lebih dari pada 4 persen tanpa terancam oleh tingkat infl asi yang tinggi. Namun begitu pemerintah masih menghadapi masalah defi sit anggaran yang meningkat sejak tahun 1998. Peningkatan defi sit anggaran tersebut disebabkan oleh meningkatnya belanja pemerintah serta merosotnya penerimaan pemerintah. Penerimaan pemerintah menurun tajam pada tahun 1998, sedangkan belanja pemerintah meningkat pesat pada tahun 1999 sebagai akibat dari kebijakan fi skal ekspansif yang dilaksanakan oleh

99

Kinerja Fiskal dan Komponen Kebijakan Fiskal

pemerintah. Oleh karena itu pengelolaan defi sit anggaran dilakukan dengan mengelola secara hati-hati dua aspek, yaitu aspek belanja dan aspek penerimaan pemerintah sebagai sumber untuk membiayai belanja pemerintah.

Defi sit anggaran dapat dikelompokkan pada dua macam, yaitu defi sit anggaran total dan defi sit anggaran primer (primary defi cit budget). Defi sit anggaran total merupakan selisih antara total belanja dengan penerimaan total, sedangkan defi sit anggaran primer merupakan total defi sit anggaran dikurangi total pembayaran cicilan dan bunga utang (total interest payment). Pembayaran bunga utang ini merupakan pembayaran bunga untuk total utang pemerintah. Data yang menjelaskannya dapat dilihat pada gambar 4.7.

Gambar 4.7 Defi sit primer dan total defi sit anggaran

DBPR = Defi sit PrimerDB = Defi sit Total

100

Dinamika Kinerja Fiskal di Indonesia

Gambar 4.7 memaparkan nilai defi sit anggaran total dan defi sit anggaran primer nominal. Keduanya memiliki pertumbuhan yang hampir sama, namun defi sit anggaran total lebih besar daripada defi sit anggaran primer. Keduanya mengalami peningkatan yang tajam pada tahun 2001-2003, yaitu ketika terjadi krisis ekonomi nasional. Namun demikian peningkatan pada tahun 2001-2003 jauh lebih besar dibandingkan dengan peningkatan pada tahun 1997. Ini berarti bahwa pemerintah menghadapi kesulitan yang lebih besar untuk mengatasi krisis ekonomi pada tahun 1997 tersebut. Hal ini berarti pula bahwa pemerintah memerlukan sumber-sumber keuangan yang lebih besar pada tahun-tahun berikutnya serta memerlukan pengelolaan kebijakan fi skal yang lebih efi sien. Walaupun demikian, mulai pada tahun 2004 kedua variabel telah mengalami penurunan. Pada masa 2004-2008 kedua angka defi sit tersebut telah mengalami penuruan yang signifi kan, namun gangguan krisis ekonomi tahun 2008-2009 telah menimbulkan peningkatan yang tajam.

Gambar 4.8 Rasio defi sit primer terhadap PDB

101

Kinerja Fiskal dan Komponen Kebijakan Fiskal

2,82%

1,58%

2,17%

1,44%

0,82%

1,58%

2,54%

0,20%

4,07%

2,02%

3,43%

0,00%

0,50%

1,00%

1,50%

2,00%

2,50%

3,00%

3,50%

4,00%

4,50%

2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011

Defis

it An

ggar

an T

ERHA

DAP

PDB

(% )

Tahun

DEFISIT ANGGARAN TERHADAP PDB (%)

Gambar 4.9 Rasio defi sit total terhadap PDB

RDPRGDP = Prosentase Defi sit Primer dari PDBRDBGDP = Prosentase Defi sit Total dari PDB

Pada gambar 4.8 dan gambar 4.9 dapat dilihat perkembangan nilai defi sit total dan primer dalam nilai Rasionya pada GDP. Dibandingkan dengan nilai nominalnya, perkembangan tersebut memberikan gambaran yang berbeda. Dilihat dari segi pertumbuhannya, nilai kedua-dua angka defi sit tersebut mencapai puncaknya pada tahun 1997, dan menurut nilai nominalnya pada tahun 2008-2009. Ini berarti bahwa defi sit sebenar yang dialami oleh pemerintah pada tahun 1997 merupakan yang terbesar sepanjang tahun 1991-2010. Namun yang demikian, kedua-duanya telah mengalami penurunan pada tahun berikutnya. Sama juga pada tahun 2005. Kecepatan ini menunjukkan bahwa pemerintah telah melakukan kebijakan ekonomi yang cepat serta ekonomi negara pula segera melakukan penyelarasan, sehingga peningkatan defi sit tidak berpanjangan.

102

Dinamika Kinerja Fiskal di Indonesia

1. Struktur dan Pertumbuhan Belanja PemerintahPola kebijakan fi skal yang dilaksanakan oleh pemerintah meliputi pengelolaan penerimaan pemerintah dan belanja pemerintah. Selama dua puluh tahun terakhir, pemerintah telah melaksanakan kebijakan defi sit anggaran, yang berarti belanja pemerintah melebihi penerimaan yang diterima pemerintah. Dalam perkembangannya, nilai defi sit fi skal mengalami kecenderungan menurun pada masa dua dasa warsa terakhir. Jika pada masa 1991-2000 kenaikan rata-rata nilai defi sit anggaran mencapai 7.51 persen, maka pada masa 2001-2010 dapat dikurangi menjadi hanya 0.25 persen. Hal ini menunjukkan adanya peningkatan kemampuan riil yang dimiliki oleh pemerintah dalam mengurus perekonomian nasional dnegan pengendalian fi skal yang lebih berhati-hati. Namun, menurunnya nilai defi sit anggaran itu bisa disebabkan oleh meningkatnya penerimaan pemerintah ataupun oleh menurunnya belanja pemerintah. Jika yang terjadi adalah penurunan belanja pemerintah, maka dapat dikatakan bahwa penyediaan jasa kepada masyarakat akan mengalami penurunan yang tentu akan menyebabkan kesejahteraan masyarakat akan menurun pula. Namun jika penurunan defi sit anggaran disebabkan oleh peningkatan penerimaan pemerintah, ini berarti bahwa penyediaan berbagai pelayanan kepada masyarakat tidak terancam.

Perkembangan tingkat defi sit anggaran dapat pula dilihat dari rasio antara defi sit anggaran dengan belanja total atau dengan penerimaan total. Data tahun 1991-2010 menunjukkan bahwa perbandingan antara rasio defi sit anggaran dengan total penerimaan ternyata lebih besar daripada rasio defi sit anggaran dan belanja total. Ini berarti pula bahwa pemerintah telah melaksanakan satu kebijakan fi skal yang ekspansif, khususnya pada tahun 1991-2000. Tingkat tersebut berkurang pada tahun 2001-2010. Setelah krisis keuangan pada tahun 2008 tingkat perbandingan kembali menunjukkan adanya pola

103

Kinerja Fiskal dan Komponen Kebijakan Fiskal

kebijakan fi skal yang ekspansif. Tingkat rasio defi sit dan jumlah peenrimaan yang besar tersebut juga menunjukkan bahwa pemerintah perlu mengambil langkah untuk meningkatkan sumber keuangan negara untuk membiayai belanja pemerintah pada masa yang berikutnya.

Pertumbuhan penerimaan pemerintah sangat diperlukan untuk mempertahankan kemampuan pemerintah dalam melakukan kebijakan fi skal pada masa berikutnya. Selain untuk mempertahankan kemampuan dalam membiayai berbagai pembangunan dan peemrintahan, peningkatan peenrimaan juga menunjukkan perkembangan kegiatan ekonomi negara yang semakin baik. Selain itu peningkatan penerimaan yang dicapai dengan berbagai perubahan kebijakan ekonomi, khususnya perpajakan merupakan suatu keberhasilan dalam pengelolaan ekonomi negara. Ketidakmampuan dalam meningkatkan penerimaan pemerintah bukan hanya akan mengancam belanja pemerintah, namun juga menunjukkan bahwa ekonomi negara tidak stabil. Akibat berikutnya yang terjadi ialah kemerosotan kegiatan ekonomi negara sehingga dapat mengurangi penerimaan pajak. Ini berarti bahwa sumber keuangan pemerintah akan terancam.

Perkembangan defi sit anggaran yang dipaparkan pada Gambar 4.4-4.9 menunjukkan bahwa sebenarnya struktur anggaran pemerintah tidak mengalami ancaman yang parah. Hal ini dapat dilihat pada pertumbuhan yang terjadi pada data-data tersebut. Apabila terjadi peningkatan defi sit, baik defi sit riil atau defi sit nominal, peningkatan itu tidak terjadi dalam jangka waktu yang lama. Artinya peningkatan tersebut hanya terjadi pada satu atau dua tahun, kemudian mengalami penurunan kembali. Ini berarti bahwa pemerintah telah melakukan kebijakan fi skal yang benar dengan terjadinya penyesuaian yang cepat. Begitupun berbagai pelaku ekonomi, baik sektor swasta atau masyarakat dapat merespon berbagai

104

Dinamika Kinerja Fiskal di Indonesia

kebijakan ekonomi yang dilaksanakan oleh pemerintah. Fenomena ini menunjukkan bahwa ekonomi akan lebih mudah dikelola, baik untuk meningkatkan penerimaan pemerintah dengan berbagai insentif yang dapat dilakukan atau untuk mendorong pertumbuhan ekonomi dengan meningkatkan berbagai kegiatan baru dalam ekonomi nasional.

Kebijakan fi skal ekspansif yang dilaksanakan oleh pemerintah sangatlah dipengaruhi oleh pertumbuhan belanja pemerintah. Perkembangan belanja pemerintah boleh diamati pada Tabel 4.2, sedangkan Gambar 4.10 dan Gambar 4.11 menggambarkan pertumbuhannya. Belanja pemerintah terdiri dari dua bagian, yaitu belanja operasional dan belanja publik.

Tabel 4.2 Perkembangan Belanja Pemerintah

Tahun

Prosentase Pertumbuhan

Belanja Pemerintah

Prosentase Belanja

Pemerintah pada PDB

Prosentase Defi sit pada

Belanja Pemerintah

Prosentase Defi sit

pada Total Penerimaan

2001 54,23% 23,76% 11,85% 13,45%2002 -5,67% 21,49% 7,34% 7,92%2003 16,86% 23,22% 9,32% 10,28%2004 13,46% 25,79% 5,57% 5,90%2005 19,30% 29,11% 2,83% 2,91%2006 30,90% 36,12% 4,37% 4,57%2007 13,57% 38,57% 6,58% 7,04%2008 30,10% 47,34% 0,42% 0,42%2009 -4,90% 43,02% 9,45% 10,44%2010 11,17% 45,04% 4,50% 4,71%2011 24,27% 52,57% 6,52% 6,97%

Sumber: Olah data

Pertumbuhan belanja pemerintah mengalami pertumbuhan yang sangat signifi kan pada periode tahun 1991-2010. Pada periode tahun tersebut pertumbuhan belanja pemerintah menunjukkan arah aliran

105

Kinerja Fiskal dan Komponen Kebijakan Fiskal

pertumbuhan yang meningkat. Kebijakan ini dilakukan untuk mengantisipasi keadaan, bahwa ekonomi nasional pada masa tersebut mengalami pertumbuhan yang rendah. Pertambahan belanja pemerintah ini merupakan bagian dari upaya untuk meningkatan permintaan sektor pemerintah. Hal ini karena permintaan tersebut mengalami penurunan yang tajam pada tahun sebelum 1997 an, namun kembali mengalami peningkatan pada tahun-tahun berikutnya sampai pada tahun 2002. Pada saat terjadinya krisis ekonomi pada tahun 1997 pertumbuhan belanja pemerintah meningkat pesat disebabkan kebijakan fi skal pemerintah untuk mendorong ekonomi negara sebagai akibat dari krisis tersebut. Pada tahun 2002 pertumbuhan belanja pemerintah tersebut mengalami penurunan kembali. Ini menunjukkan bahwa pemerintah sudah mulai melakukan kebijakan fi skal yang lebih ketat. Fenomena ini memberikan implikasi bahwa kebijakan fi skal ekspansif yang dilakukan pada tahun-tahun sebelumnya telah menunjukkan manfaatannya.

Ukuran tingkat belanja pemerintah dapat pula dilihat dari prosentasenya pada GDP. Berdasarkan data yang sama dengan yang dipaparkan pada Gambar 4.10 dapat diketahui bahwa prosentase belanja pemerintah pada GDP juga mengalami arah aliran yang meningkat. Bahkan ia mencapai puncaknya pada tahun 2001-2005 sebesar 45 persen dari GDP, sedangkan pada tahun 1992 telah mencapai 37 persen dari GDP. Besarnya angka ini menunjukkan bahwa pertumbuhan ekonomi yang dialami oleh Indonesia didukung oleh sektor pemerintah. Keadaan ini bahkan terjadi pada masa ekonomi mengalami krisis. Sebagai contoh, baik pada tahun 1998-an maupun pada tahun 2008-an, Indonesia juga sedang mengalami krisis ekonomi. Dalam keadaan yang demikian sektor swasta tidak dapat diandalkan untuk mendukung pertumbuhan ekonomi nasional, sehingga sektor pemerintah harus memainkan peranannya.

106

Dinamika Kinerja Fiskal di Indonesia

Gambar 4.10 Perkembangan PDB dan Belanja Pemerintah

GET= Belanja Pemerintah totalPDB = Produk Domestik Bruto

Keadaan dominasi sektor pemerintah sesungguhnya tidak boleh berlangsung dalam jangka panjang, karena ekonomi yang didukung oleh sektor pemerintah, khsusunya oleh pemerintah menunjukkan bahwa pasar belum dapat berperan secara baik, dan ia dapat mengancam ekonomi dalam jangka panjang. Mengingat bahwa peranan pemerintah adalah sebagai pemandu dalam ekonomi, maka secara perlahan pemerintah harus mengurangi peranannya sebagai penyumbang pada permintaan domestik. Dalam era globalisasi dan kecenderungan bahwa ekonomi yang bertumpu pada mekanisme pasar, maka bagian sektor pemerintah sebesar 45 persen pada tahun 2001-2005 sangatlah besar, sehingga pemerintah harus mampu meningkatkan fungsi untuk mendorong sektor swasta agar berkembang lebih besar lagi.

-

500.000

1.000.000

1.500.000

2.000.000

2.500.000

3.000.000

2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011

MIL

IAR

RU

PIA

H

Tahun PDB BELANJA PEMERINTAH

107

Kinerja Fiskal dan Komponen Kebijakan Fiskal

Keberhasilan kebijakan fi skal dalam jangka panjang juga dipengaruhi oleh ketersediaan sumber-sumber keuangan pemerintah. Pertumbuhan belanja pemerintah yang lebih besar dibanding dengan pertumbuhan penerimaan akan mengancam keberhasilan kebijakan fi skal dalam jangka panjang. Berdasarkan data seperti yang dipaparkan pada gambar 4.11 dan gambar 4.12 didapati bahwa secara umum pertumbuhan penerimaan pemerintah lebih besar dibandingkan dengan pertumbuhan belanja pemerintah, kecuali pada masa-masa krisis ekonomi. Peningkatan pertumbuhan belanja yang lebis besar dibandingkan dengan penerimaan terjadi pada tahun 2007-2008 ketika ekonomi mengalami krisis. Fenomena ini menunjukkan bahwa pemerintah telah mampu melakukan pengelolaan keuangan secara baik dan tidak terancam dalam jangka panjang. Bahkan pada tahun 2005pemerintah telah mampu melakukan kebijakan keuangan sehingga pertumbuhan total penerimaan pemerintah lebih besar dibandingkan dengan pertumbuhan belanja.

Gambar 4.11 Pertumbuhan Belanja Pemerintah

54%

-6%

17% 13%

19%

31%

14%

30%

-5%

11%

24%

-10%

0%

10%

20%

30%

40%

50%

60%

2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011

PERT

UMBU

HAN

BEL

ANJA

PEM

ERIN

TAH

(%)

Tahun

PERTUMBUHAN BELANJA PEMERINTAH

108

Dinamika Kinerja Fiskal di Indonesia

Gambar 4.12 Pertumbuhan Penerimaan Pemerintah

GGET= Pertumbuhan Belanja Pemerintah totalGGET= Pertumbuhan penerimaan pemerintah total

Mencermati data perkembangan penerimaan dan belanja pemerintah pada Tabel 4.2 ternyata menunjukkan fakta bahwa telah terjadi penurunan rata-rata relatif belanja dengan prosentase yang lebih besar daripada penerimaan pada sepanjang tahun 2001-2011, meskipun tidak substansial. Hal ini menunjukkan adanya penurunan rata-rata prosentase penerimaan pemerintah. Dalam masa tahun 1991-2000 peningkatan rata-rata penerimaan pemerintah mencapai 51 persen, namun pada masa 2001-2010 rata-rata tersebut turun menjadi 16 persen. Belanja pemerintah juga mengalami rata-rata peningkatan sebesar 53 persen pada masa 1991-2000, dan terus mengalami peningkatan pada tahun 2001-2010 menjadi 15 persen.

109

Kinerja Fiskal dan Komponen Kebijakan Fiskal

Memandangkan pada akhir-akhir ini belanja pemerintah telah mengalami penurunan nilai relatifnya dan diduga akan memiliki dampak pada penyediaan jasa oleh pemerintah, maka kajian perlu dilakukan terhadap sebab-sebab, baik faktor dometik atau faktor eksternal tentang sebab-sebab belanja pemerintah itu mengalami pertumbuhan. Faktor domestik dapat berupa permintaan masyarakat terhadap penyediaan jasa oleh pemerintah yang tidak dapat dipenuhi, ataupun faktor kejutan dalam negeri yang menimbulkan penurunan belanja tersebut. Faktor eksternal dapat pula berasal dari luar negara atau domestik berupa faktor-faktor yang berasal dari luar belanja pemerintah, seperti defi sit fi skal, kenaikan harga barang ataupun peningkatan kurs mata uang asing yang berakibat pada penurunan kemampuan keuangan pemerintah sehingga menurunkan pertumbuhan belanja pemerintah pula.

Keadaan yang demikian mencerminkan bahwa dalam masa 20 tahun tidak terjadi perubahan pola kebijakan fi skal, khususnya dalam pengelolaan belanja jasa pemerintah. Hal tersebut sebenarnya dalam masa tersebut mempunyai pengaruh dan dampak yang sangat besar pada ekonomi negara, yaitu yang dapat mendorong peningkatan skala usaha dan penciptaan usaha baru yang kemudiana memiliki pengaruh pengganda (multiplier effect) pada indikator makro ekonomi nasional. Walaupun demikian, belanja operasional memiliki peranan penting dalam ekonomi negara, karena ia akan mendukung pula kelancaran penyediaan jasa yang dilakukan oleh pemerintah. Peningkatan belanja pemerintah pada setiap tahun yang ditetapkan oleh pemerintah tentu akan memberikan dampak yang besar pada kegiatan ekonomi negara. Namun peningkatan yang terlalu besar dapat menimbulkan inefi siensi dalam pengelolaannya.

110

Dinamika Kinerja Fiskal di Indonesia

2. Perkembangan Komponen Belanja PemerintahSebagaimana struktur anggaran pada sebuah negara

yang lain, struktur anggaran di Indonesia terbagi kepada dua bagian, yaitu belanja operasional dan belanja untuk proyek pembangunan. Seperti yang dijelaskan pada Tabel 4.3, berdasarkan data tahun 2001-2011 dipaparkan perkembangan dan prosentase masing-masing komponen belanja dari belanja total. Dilihat dari segi nilai nominal kedua komponen tersebut, kedua-duanya mengalami kenaikan setiap tahun sepanjang masa 20 tahun tersebut, terkecuali pada tahun 2002-2005 yang mana belanja publiknya mengalami sedikit penurunan. Perkembangan ini merupakan dampak perubahan dari kebijakan fi skal ekspansif kepda kebijakan fi skal kontraktif yang dilakukan oleh pemerintah pada beberapa tahun sebelumnya. Namun demikian secara keseluruhan belanja pemerintah tidak mengalami penurunan yang substansial. Ini membawa implikasi bahwa belanja operasional mampu menutup penurunan belanja publik tersebut.

Jika dilihat perbandingan antara keduanya, selama masa tersebut belanja operasional selalu lebih besar daripada belanja publik. Hal ini dapat dipahami karena pelanja operasional memiliki komponen yang lebih banyak dibandingkan dengan belanja publik. Namun demikian perbandingan keduanya tidak dapat dikatakan bahwa penyediaan jasa oleh pemerintah mengalami kekurangan. Besarnya belanja operasional juga disebabkan belanja operasional pemerintah pusat mengandung belanja untuk diberikan kepada pemerintah daerah. Mengikut fungsi yang berbeda untuk masing-masing komponen kegiatan ekonomi pemerintah, maka besarnya masing-masing komponen belanja tersebut haruslah menyesuaikan dengan keperluannya.

Dilihat dari perkembangan kedua komponen belanja tersebut menunjukkan, bahwa pertumbuhan belanja

111

Kinerja Fiskal dan Komponen Kebijakan Fiskal

operasional lebih stabil dibandingkan dengan belanja publik. Hal ini dapat dipahami karena belanja operasional merupakan belanja untuk kegiatan rutin dan dilaksanakn secara terus menerus, sedangkan belanja publik merupakan belanja untuk pelayanan dan penyediaan infrastruktur, baik fi sik maupun bukan fi sik. Fenomena ini menjelaskan pula bahwa penyediaan barang dan jasa tersebut mengalami peningkatan dan penurunan. Hal ini membawa implikasi bahwa pemerintah melakukan penyesuaian kebijakan fi skalnya dengan perubahan lebih besar pada belanja publik.

Tabel 4.3 Perkembangan Komponen Belanja Pemerintah

TahunBelanja

Operasional (Rp. Triliun)

Pertumbuhan (%)

Belanja Pembangunan (Rp. Triliun)

Pertumbuhan

(%)

2001 218.923 35% 41.585 61%2002 186.651 -15% 37.325 -10%2003 186.944 0% 69.247 86%2004 236.014 26% 61.450 -11%2005 361.156 53% 148.476 142%2006 440.033 22% 227.096 53%2007 504.623 15% 253.027 11%2008 693.357 37% 292.374 16%2009 628.813 -9% 308.569 6%2010 697.336 11% 344.781 12%2011 932.611 34% 362.388 5%

Sumber: Kementerian Keuangan dan Olah Data

Berdasarkan keadaan itu dapatlah dimengerti bahwa peningkatan belanja terjadi pada masa-masa setelah ekonomi mengalami krisis, yaitu pada tahun 1998 dan tahun 2005. Keadaan demikian mudah dimengerti, karena selain untuk membantu masyarakat pemerintah harus melakukan kebijakan fi skal untuk memberikan rangsangan bagi peningkatan kegiatan ekonomi negara. Dengan rangsangan tersebut, kegiatan ekonomi di sektor emerintah atau swasta akan meningkat, sehingga akan terjadi pertumbuhan ekonomi. Dengan adanya peningkatan

112

Dinamika Kinerja Fiskal di Indonesia

pertumbuhan ekonomi yang tinggi setelah terjadinya pertambahan belanja pemerintah di Indonesia ini berarti bahwa kebijakan fi skal yang dilakukan pemerintah telah memberikan pengaruh yang baik kepada ekonomi negara secara menyeluruh.

Gambar 4.13 Perkembangan Komponen Belanja Pemerintah

GET= Belanja Pemerintah totalGEO= Belanja OperasionalGED= Belanja Pembangunan

Perkembangan prosentase komponen belanja, yang meliputi prosentase belanja operasional dan belanja publik terhadap belanja total maupun terhadap GDP dipaparkan pada Tabel 4.3. Pertumbuhan belanja operasional dan belanja publik pada belanja total dapat dilihat pada Gambar 4.13. Dari perkembangan tersebut menunjukkan bahwa prosentase belanja operasional selalu lebih besar

113

Kinerja Fiskal dan Komponen Kebijakan Fiskal

dibandingkan belanja publik. Pada masa 1991-2000 prosentase belanja operasional mengalami penurunan, sednagkan belanja publik mengalami peningkatan. Pada masa 2001-2008 telah terjadi sebaliknya, sedangkan pada masa setelah itu kembali terjadi penurunan prosentase belanja operasional dan peningkatan prosentase belanja publik. Fenomena tersebut menunjukkan suatu siklus jangka panjang perkembangan komponen belanja pemerintah tersebut. Perubahan dalam jang pendek juga menunjukkan suatu siklus yang beraturan dari belanja tersebut. Keadaan ini memberikan suatu pertanda terjadinya respon pemerintah, baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang untuk menstabilkan ekonomi negara karena adanya berbagai ancaman terhadap perekonomian,seperti perlambatan ekonomi yang terjadi beberapa kali dalam sepuluh tahun terakhir.

Tabel 4.4 Perkembangan Prosentase Belanja PemerintahTahun Rasio

Belanja Operasi

terhadap Belanja Total

Prosentase Belanja Operasi

terhadap GDP

Rasio Belanja Publik

terhadap BelanjaTotal

Prosentase Belanja Publik

terhadap GDP

2001 0,64 15,23% 0,12 2,89%2002 0,58 12,45% 0,12 2,49%2003 0,50 11,53% 0,18 4,27%2004 0,55 14,25% 0,14 3,71%2005 0,71 20,63% 0,00 0,00%2006 0,66 23,82% 0,00 0,00%2007 0,67 25,69% 0,00 0,00%2008 0,70 33,30% 0,00 0,00%2009 0,67 28,86% 0,00 0,00%2010 0,67 30,14% 0,00 0,00%2011 0,72 37,86% 0,00 0,00%

Sumber: Kementerian Keuangan

114

Dinamika Kinerja Fiskal di Indonesia

Gambar 4.14 Rasio Belanja Operasional Terhadap Belanja Total

Gambar 4.15 Rasio Belanja Pembangunan Terhadap Belanja Total

RGOGET= Rasio Belanja Operasional terhadap Belanja Total

115

Kinerja Fiskal dan Komponen Kebijakan Fiskal

RGDGET= Rasio Belanja Pembangunan terhadap Belanja Total

Gambar 4.16 Perkembangan Rasio Belanja Total terhadap PDB

Gambar 4.17 Perkembangan Rasio Belanja Operasional terhadap PDB

116

Dinamika Kinerja Fiskal di Indonesia

Gambar 4.18 Perkembangan Rasio Belanja Publik terhadap PDB

RGOGDP= Rasio Belanja Operasional terhadap PDBRGDGDP= Rasio Belanja Pembangunan terhadap PDBRGTGDP= Rasio Belanja Total terhadap PDB

3. Perkembangan Pajak dan Penerimaan PemerintahKeberhasilan pelaksanaan kebijakan fi skal tidak

dapat dinafi kan sebagai aspek pengelolaan penerimaan pemerintah. Kualitas pengelolaan aspek belanja saja tanpa terjadinya efi siensi pengelolaan penerimaan akan mengancam pelaksanaan kebijakan fi skal tersebut. Ini karena kemampuan pemerintah dalam belanjanya sangat dipengaruhi oleh kemampuannya dalam menggali dan mengurus sumber-sumber keuangan pemerintah. Berdasarkan pengalaman sejarah 1991-2010 memang Belanja pemerintah selalu melebihi penerimaan. Ini karena komitmen pemerintah untuk melakukan kebijakan fi skal defi sit. Namun demikian secara konsep ada batas tertentu

117

Kinerja Fiskal dan Komponen Kebijakan Fiskal

terkait tingkat defi sit tersebut. Pada Tabel 4.5 dijelaskan bahwa defi sit anggaran cenderung mengalami peningkatan pada sepanjang masa tersebut. Oleh karena itu pemerintah bertanggung jawab untuk menggali sumber-sumber keuangan pemerintah untuk menurunkan defi sit anggaran tersebut. Pemerintah dapat melakukan berbagai kebijakan perpajakan untuk mencapai tujuan tersebut. Walaupun demikian, selain peningkatan penerimaan diperlukan pula peningkatan kualitas pengelolaan fi skal untuk mencapai tujuan kebijakan fi skal yang lebih efektif.

Tabel 4.5 Perkembangan Pajak dan Penerimaan Pemerintah

Tahun

Penerimaan Pajak

(Rp. Miliar)

Pertumbuhan (%)

Rasio Pajak terhadap

Total Penerimaan

Rasio Pajak

terhadap Defi sit APBN

2001 185.541 60,07% 61,63% 458%2002 210.088 13,23% 70,37% 888%2003 242.048 15,21% 70,90% 689%2004 280.559 15,91% 69,55% 1178%2005 347.031 23,69% 70,08% 2409%2006 409.203 17,92% 64,14% 1404%2007 490.989 19,99% 69,37% 985%2008 658.701 34,16% 67,10% 15980%2009 619.922 -5,89% 73,04% 700%2010 723.307 16,68% 72,67% 1544%2011 873.874 20,82% 72,19% 1035%2012 185.541 60,07% 61,63% 458%

Sumber: Kementerian Keuangan dan Olah Data

Sumber utama keuangan pemerintah ialah Pajak. Secara nominal pajak yang diperoleh biasanya meningkat setiap tahun, namun jika dilihat pertumbuhannya relatif tetap. Begitu juga jika dilihat dari segi tingkat prosentase jumlah penerimaan, ia juga relatif tetap. Ini berarti bahwa sumber keuangan dari pajak belum memiliki peningkatan sumbangan yang substansial kepada penerimaan. Apabila

118

Dinamika Kinerja Fiskal di Indonesia

dilihat prosentase defi sit anggaran kepada pajak, ia juga relatif besar, yaitu pada tingkat rata-rata lebih dari 30 persen, kecuali pada tahun 1998-2000. Tingkat tersebut mencapai puncakannya setelah ekonomi mengalami paska krisis seperti pada tahun 2000 dan 2008. Seperti yang terlihat pada Gambar 4.21 dan 4.22, prosentase defi sit anggaran terhadap pajak sebenarnya telah mengalami penurunan pada tahun 2001-2005, namun ia kembali mengalami peningkatan sebagai akibat dari adanya krisis keuangan yang melanda negara-negara di kawasan Asia pada tahun 2008, termasuk Indonesia.

Tidak dapat dipungkiri lagi bahwa pemerintah harus terus menggiatkan upaya meningkatkan penerimaan penerimaan agar kemandirian sumber keuangan tidak terancam. Ini dapat dilakukan dengan berbagai kebijakan berupa reformasi dalam bidang perpajakan. Keberhasilan dalam usaha ini akan memberikan tingkat kemandirian keuangan pemerintah semakin besar, sehingga tidak akan mengancam kebijakan fi skal yang dilakukan oleh pemerintah dalam jangka panjang. Oleh karena itu dapatlah dimengerti bahwa pengelolaan kedua aspek anggaran tersebut sangat penting untuk memperoleh manfaat yang besar darinya. Namun nampaknya tidak mudah bagi pemerintah untuk melakukan pengurangan belanjanya karena ia akan memberi dampak negatif pada ekonomi yang masih merasakan dampak krisis ekonomi pada tahun 2008. Namun demikian pada ukuran tertentu, yaitu jika tingkat belanja sudah terlalu besar sehinggga tidak memberi dampak pada kegiatan ekonomi negara, pemerintah dapat mengurangi pertumbuhan belanjanya.

Penerimaan pemerintah meliputi pajak langsung, dan pendapatan bukan pajak. Dari ketiga komponen tersebut, ternyata komponen pajak merupakan penerimaan yang terbesar, diikuti oleh pendapatan bukan pajak. Dilihat dari segi pertumbuhannya, pendapatan dari pajak memiliki pertumbuhan yang paling cepat dibandingkan

119

Kinerja Fiskal dan Komponen Kebijakan Fiskal

dengan komponen lainnya. Pendapatan dari pajak ini hanya mengalami penurunan dalam masa tertentu saja, yaitu pada tahun 1998 dan tahun 1999 sebagai dampak terjadinya krisis ekonomi. Namun demikian pada dua tahun berikutnya telah mengalami peningkatan yang pesat. Pendapatan bukan pajak juga mengalami pertumbuhan yang besar pada tahun 2001-2005, namun setelah itu mengalami penurunan yang tajam. Ini juga tidak terlepas dari terjadinya krisis ekonomi di dunia pada amsa tersebut.

60,07%

13,23% 15,21% 15,91%

23,69% 17,92% 19,99%

34,16%

-5,89%

16,68% 20,82%

-10,00%

0,00%

10,00%

20,00%

30,00%

40,00%

50,00%

60,00%

70,00%

2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011

Pertu

mbu

han P

ener

imaa

n Per

pajak

an (%

)

Tahun

PERTUMBUHAN PENERIMAAN PERPAJAKAN (%)

Gambar 4.19 Pertumbuhan Penerimaan Pajak

RDBTAX = Pertumbuhan Penerimaan Pajak

120

Dinamika Kinerja Fiskal di Indonesia

Gambar 4.20 Perkembangan Rasio Pajak terhadap Total Penerimaan

Gambar 4.21 Perkembangan Rasio Pajak Terhadap Defi sit APBN

RTAXREVT = Rasio Pajak terhadap Total PenerimaanRDBTAX = Rasio Pajak terhadap Defi sit APBN

121

Kinerja Fiskal dan Komponen Kebijakan Fiskal

Gambar 4.22 Perkembangan Penerimaan pemerintah dan Defi sit Anggaran

REVT = Penerimaan Total PemerintahTAX = Penerimaan PajakDB = Defi sit APBN

Tabel 4.6 Perkembangan Berbagai Komponen Pajak

TahunPajak Dalam

Negeri(Rp Miliar)

Pajak Perdagangan Internasional

(Rp Miliar)

Penerimaan bukan Pajak (Rp Miliar)

2001 175.974 9.567 115.059 2002 199.512 10.575 88.440 2003 230.934 11.114 98.880 2004 267.817 12.742 122.546 2005 331.792 15.239 146.888 2006 395.972 13.231 226.950 2007 470.052 20.937 215.120 2008 622.359 36.342 320.605 2009 601.252 18.671 227.174 2010 694.392 28.915 268.942 2011 819.753 54.122 331.472

Sumber: Kementerian Keuangan

122

Dinamika Kinerja Fiskal di Indonesia

Sebagai sumber keuangan pemerintah yang utama, maka pertumbuhan dan peningkatan pajak, semua komponen pajak angatlah penting untuk meningkatkan usaha pemerintah untuk membiayai belanja pemerintah. Jika penerimaan pajak ini terancam, maka defi sit anggaran akan meningkat yang pada akhirnya akan berkelanjutan pada peningkatan utang pemerintah atau menyebabkan penurunan belanja publik. Jika hal ini terjadi, maka akan terjadi penurunan investasi pemerintah serta akan terancamnya penyediaan berbagai fasilitas sarana dan infrastruktur fi sik yang disediakan oleh pemerintah. Melihat data berbagai sumber pajak tersebut serta arah aliran perkembangannya dapat dikatakan bahwa dalam jangka masa 1991-2005 tidak menunjukkan akan terancamnya sumber keuangan pemerintah. Kenyataan ini akan semakin menguatkan keupayaan dan keberhasilan kebijakan fi skal yang dilaksanakan pemerintah. Dengan tingkat pertumbuhan yang rendah, maka peningkatan belanja dapat disesuaikan dengan peningkatan pajak sehingga akan memantapkan pelaksanaan kebijakan fi skal pada masa berikutnya.

BAB 5

HARMONISASI FISKAL DAN MONETER

5.1. Pengantar

Pembiayaan defi sit anggaran pemerintah dapat dilakukan melalui pencetakan uang atau utang dari masyarakat dan institusi baik dari dalam

negeri atau luar negeri. Pencetakan uang baru hanya akan dilakukan jika pemerintah pusat menjual obligasi kepada bank sentral (Bank Indonesia). Dengan demikian, BI akan mencetak uang baru untuk membiayai defi sit pemerintah tersebut. Penambahan uang baru tersebut merupakan penambahan pada jenis uang primer (high powered money) dalam perekonomian. Langkah ini akan memberi dampak yang besar dalam perperekonomianan melalui pengganda uang (money multiplier) sehingga akan menambah jumlah uang beredar, baik sebagai uang kuasi, M1 atau M2. Penambahan uang inilah yang akan mendorongkan terjadinya peningkatan infl asi.

5.2. Pertumbuhan uang, infl asi dan tingkat bungaUntuk kasus Indonesia, perkembangan defi sit

anggaran mengalami peningkatan dalam masa 1999-2011. Dalam masa itu pula telah terjadi perubahan utang pemerintah pusat dan peningkatan jumlah uang beredar, high powered money, M1 dan M2. Pada Tabel 5.2 dan Gambar 5.2-5.3 dipaparkan mengenai perkembangannya dari tahun 2001-2011. Jika dilihat dari tingkat utang

124

Dinamika Kinerja Fiskal di Indonesia

pemerintah proses ini tidaklah menunjukkan perubahan yang besar. Ini berarti bahwa pembiayaan defi sit anggaran dengan cara mencetak uang tidak semestinya dilakukan oleh Pemerintah. Bahkan pada tahun tertentu pemerintah mengurangi utangnya. Peningkatan yang cukup besar hanya terjadi pada tahun 1997-1998 dan 2007-2008, yaitu dua periode masa terjadinya krisis perekonomian. Namun demikian, perubahan pada utang pemerintah tersebut tentulah merupakan akibat dari perubahan jumlah uang beredar. Fenomena ini menunjukkan bahwa pemerintah telah memiliki sumber keuangan yang mantap untuk membiayai defi sit anggaran, karena pembiayaan dengan mencetak uang akan memiliki risiko yang besar kepada perekonomian nasional. Di samping itu, independensi antara BI dengan pemerintah juga akan mendukung kebebasan BI dalam mengelola sektor moneter.

(500.000)

-

500.000

1.000.000

1.500.000

2.000.000

2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011

Jum

lah

(M

ilyar

)

Tahun

Perkembangan Utang Pemerintah (Milyar)

Jumlah Hutang Pemerintah Perubahan Hutang Pemerintah

Gambar 5.1 Perkembangan Utang Pemerintah

125

Harmonisasi Fiskal dan Moneter

GOVSECT = Utang Pemerintah Pusat DGOVSECT = Perubahan GOVSECT

Tabel 5.1 Utang Pemerintah dan Uang Primer

TahunUtang

Pemerintah(Rp Milyar)

Uang Primer (Rp Milyar)

2001 1.234.280 177.731 2002 1.273.180 141.939 2003 1.232.500 223.799 2004 1.299.500 248.616 2005 1.313.500 273.419 2006 1.302.160 349.628 2007 1.389.410 453.543 2008 1.636.740 460.067 2009 1.590.660 519.329 2010 1.676.150 614.486 2011 1.803.490 737.380

Sumber: Kemenkeu; Bank Indonesia

Sumber : Bank Indonesia

Gambar 5.2 Perkembangan Uang Kuasi, M1 dan M2

126

Dinamika Kinerja Fiskal di Indonesia

Sumber : Bank IndonesiaGambar 5.3 Pertumbuhan Uang Kuasi M1 dan M2

GM1 = Pertumbuhan M1GM2 = Pertumbuhan M2

Tabel 5.2 Perkembangan Uang Kuasi, M1 dan M2 (Milyar)Tahun Uang Kuasi Uang M1 Uang M22001 666.322 177.731 844.053 2002 691.969 141.939 833.908 2003 731.893 223.799 955.692 2004 785.261 248.616 1.033.877 2005 929.343 273.419 1.202.762 2006 1.032.865 349.628 1.382.493 2007 1.196.119 453.543 1.649.662 2008 1.435.772 460.067 1.895.839 2009 1.622.055 519.329 2.141.384 2010 1.856.720 614.486 2.471.206 2011 2.139.840 737.380 2.877.220

Sumber: Bank Indonesia

127

Harmonisasi Fiskal dan Moneter

Perkembangan uang kuasi hampir sama dengan M2, yang mana kedua-duanya lebih cepat dibandingkan dengan M1. Ini berarti bahwa dampak pengganda lebih tinggi pada kuasi dan M2, sedangkan uang M1 yang sebagian besar merupakan uang primer mengalami pertumbuhan yang lebih lambat. Ini berarti bahwa institusi keuangan telah mencapai fungsinya yang tinggi dalam meningkatkan money deepening. Kenyataan ini sesuai pula dengan pertumbuhan uang seperti yang dipaparkan pada Gambar 5.2 yang menunjukkan bahwa uang kuasi maupun M2 lebih cepat dibandingkan dengan M1. Namun jika dilihat dari segi perkembangan pertumbuhannya, M1 mempunyai perkembangan yang lebih tinggi dari M2 seperti yang dipaparkan pada Gambar 5.3. Ini berarti bahwa berbagai perubahan dalam perperekonomianan memberi dampak yang lebih cepat pada M1 dibandingkan dengan kuasi dan M2. Hal ini memanglah wajar karena M1 mengandung mata uang yang berada di masyarakat dan deposito yang mudah dipindahkan oleh masyarakat dalam waktu yang singkat.

Keterkaitan antara utang pemerintah dengan jumlah uang beredar dapat terjadi karena pencetakan uang untuk pembiayaan defi sit pada BI atau karena pengaruh utang lainnya melalui perubahan tingkat bunga. Perlu diingat bahwa pemerintah memiliki berbagai sumber utang dalam negeri, maka pemerintah dapat mempengaruhi pertumbuhan uang beredar, khususnya uang M1. Seperti yang dipaparkan pada Gambar 5.4, ternyata uang M1 dan utang dalam negeri menunjukkan pola perkembangan yang hampir sama. Ini berarti bahwa peningkatan utang dalam negeri pemerintah akan meningkatkan pula uang M1. Fenomena lain yang mungkin terjadi ialah peningkatan utang pemerintah dengan penjualan obligasi yang akan menyebabkan penurunan tingkat bunga sehingga masyarakat tertarik untuk membeli obligasi. Keadaan ini akan menyebabkan peningkatan jumlah uang beredar.

128

Dinamika Kinerja Fiskal di Indonesia

Namun demikian, fenomena ini hanyalah salah satu sumber peningkatan uang beredar dan masih ada faktor lain yang dapat menyebabkan peningkatan jumlah uang beredar.

Seperti yang telah diketahui, peningkatan uang beredar akan menimbulkan resiko peningkatan infl asi. Peningkatan infl asi dapat terjadi dengan berbagai cara atau mekanisme. Peningkatan uang beredar mungkin akan menurunkan tingkat bunga sehingga akan meningkatkan investasi. Peningkatan investasi ini tentu saja akan meningkatkan permintaan agregat pada perekonomian sehingga akan mengalihkan kurva permintaan ke kanan. Pada akhirnya keseimbangan akan berubah dan tingkat harga mengalami peningkatan.

Gambar 5.4 Perkembangan Uang M1 dan Utang Dalam Negeri

DEBTD = Utang dalam negeri Pemerintah Pusat

129

Harmonisasi Fiskal dan Moneter

Gambar 5.5 Pertumbuhan Uang M1, M2 dan Infl asi

GM1 = Perumbuhan uang M1GM2 = Pertumbuhan uang M2INF = Infl asi

Cara lain yang mungkin ialah peningkatan uang akan meningkatkan uang yang dipegang oleh masyarakat sehingga akan menimbulkan peningkatan penggunaannya. Pada akhirnya peningkatan penggunaan tersebut akan meningkatkan harga barang sehingga infl asi terjadi. Jika dilihat data Indonesia kesesuaian antara pertumbuhan uang beredar, baik dengan M1 atau M2 hanya terjadi pada tahun 1991-1997 saja. Selain itu tidak terjadi hal yang demikian. Ini berarti bahwa peningkatan uang tidak memberi dampak peningkatan infl asi yang besar.

130

Dinamika Kinerja Fiskal di Indonesia

Gambar 5.6 Pertumbuhan Uang M1, M2 dan Tingkat Bunga

GM1 = Perumbuhan uang M1GM2 = Pertumbuhan uang M2RRATE = Tingkat Bunga di Pasar uang

Keterkaitan uang dengan tingkat bunga di Indonesia menunjukkan fenomena yang menarik untuk dianalisis. Untuk periode 1991-1997 tingkat bunga riil di pasar uang berada pada tingkat yang relatif rendah, yaitu kurang dari 10 Persen. Bahkan pada tahun 1995-1997 tingkat tersebut berada tingkat yang lebih rendah lagi. Namun demikian selepas tahun 1997 tingkat bunga mengalami peningkatan serta menunjukkan perkembangan yang lebih tajam sebagai akibat adanya krisis ekonomi. Pada masa yang sama jumlah uang mengalami perkembangan yang sangat tajam. Pertumbuhan uang M1 beberapa kali mencapai

131

Harmonisasi Fiskal dan Moneter

tingkat lebih dari 25 Persen, sedangkan pertumbuhan M2 melebihi 20 persen. Pada saat pertumbuhan uang meningkat, tingkat bunga menunjukkan kecenderungan menurun, dan sebaliknya. Namun perkembangan tingkat bunga tidaklah begitu besar. Ini menunjukkan bahwa elastisitas tingkat bunga terhadap uang beredar pun tidak tinggi. Keadaan demikian menunjukkan bahwa sektor keuangan relatif stabil, tidak dikhawatirkan mempunyai dampak negatif pada pengembangan fi skal dan akan menjadi indikator yang baik untuk investasi.

Keterkaitan antara infl asi dengan tingkat bunga pasar dapat dilihat pada Gambar 5.7. Secara teori kedua-dua indikator memiliki keterkaitan yang positif (Fisher 1994). Hal ini dapat dijelaskan bahwa peningkatan infl asi akan menimbulkan nilai uang riil menurun. Penurunan nilai uang akan menyebabkan masyarakat memegang uang yang lebih banyak, sehingga mendorong pihak bank menaikkan tingkat bunga untuk mengurangi pertumbuhan uang yang bersumber dari masyarakat. Pada tahun 1990-an kedua-duanya tidak menunjukkan keterkaitan yang positif, namun pada tahun sesudahnya hingga tahun 2002 menunjukkan adanya hubungan yang positif. Keduanya memiliki perkembangan yang sama dan meningkatkan infl asi yang diikuti dengan peningkatan tingkat bunga bank.

132

Dinamika Kinerja Fiskal di Indonesia

Gambar 5.7 Perkembangan Infl asi dan Tingkat Bunga

INF = Infl asiRRATE = Tingkat Bunga di Pasar uang

5.3. Pajak infl asi, defi sit, dan seignoragePenambahan jumlah uang dalam masyarakat melalui

pencetakan uang untuk membiayai defi sit anggaran akan menyebabkan peningkatan harga barang dan jasa yang harus dibayar oleh masyarakat. Jumlah nilai yang harus dibayar dalam perekonomian merupakan sumber penerimaan pemerintah yang berasal dari pencetakan uang itu. Namun, bagi masyarakat nilai tersebut harus dibayar sebagai lebihan dari periode sebelumnya. Oleh karena itu, masyarakat akan menanggung beban yang lebih besar dari periode sebelum pencetakan uang dilakukan oleh bank sentral. Beban tambahan ini disebut sebagai Pajak Infl asi (IT) yang besarnya dipaparkan pada Tabel 5.3 dan diperoleh dengan rumus: Pajak infl asi = Tingkat infl asi x Uang Inti (Fisher 1994). Namun, di samping menimbulkan

133

Harmonisasi Fiskal dan Moneter

beban yang lebih, tingkat infl asi juga dapat menurunkan defi sit anggaran. Jika tingkat infl asi turun, maka secara otomatis tingkat defi sit riil juga turun apabila tingkat bunga utang mengalami penurunan. Tingkat penurunan defi sit ini disebut sebagai defi sit yang disesuaikan dengan infl asi (infl ation-adjusted defi cit (IAD)) yang dapat dihitung dengan rumus: IAD = Jumlah defi sit – (Tingkat Infl asi x jumlah Utang)

Tabel 5.3 Pajak Infl asi dan IAD

Tahun

Hasil Pajak Infl asi

(Rp Milyar)

Persen dari GDP

IAD (Rp Milyar)

Persen dari GDP

2001 22.305 1,55% (119.299) -8%2002 14.236 0,95% (99.231) -7%2003 11.324 0,70% (27.256) -2%2004 15.911 0,96% (59.358) -4%2005 46.782 2,67% (210.332) -12%2006 23.075 1,25% (56.801) -3%2007 29.888 1,52% (41.718) -2%2008 50.883 2,44% (176.901) -8%2009 14.437 0,66% 44.399 2%2010 42.768 1,85% (69.815) -3%2011 27.947 1,13% 16.047 1%

Sumber : Hasil olah data

Pajak infl asi dan defi sit yang disesuaiakan dengan infl asi mengalami perkembangan dan tingkat yang berbeda. Tingkat IAD lebih besar dari IT. Ini berarti bahwa terjadi penurunan defi sit yang lebih besar dari peningkatan beban pengeluaran masyarakat. Fenomena ini menunjukkan bahwa dalam periode jangka panjang masyarakat akan beruntung dengan adanya beban defi sit yang semakin kecil. Pemerintah juga akan membayar defi sit yang lebih rendah dalam periode jangka panjang dan dampaknya kepada masyarakat juga lebih kecil. Tingkat IAD berada pada tingkat negatif pada tahun 1991-1997. Ini berarti bahwa pada masa tersebut terjadi peningkatan defi sit

134

Dinamika Kinerja Fiskal di Indonesia

anggaran karena tingkat infl asinya rendah atau karena peningkatan tingkat bunga pada utang pemerintah. Namun ia mengalami peningkatan yang tajam pada tahun 1998-2000, sedangkan IT relatif tetap selama tahun 2001-2008 dengan nilai satu persen dari GDP dan meningkat hanya pada tahun 2008-2010, yaitu sekitar 3 persen dari GDP.

-14,00%

-12,00%

-10,00%

-8,00%

-6,00%

-4,00%

-2,00%

0,00%

2,00%

4,00%

2001

2002

2003

2004

2005

2006

2007

2008

2009

2010

2011

Rasio Pajak Inflasi/GDP

Rasio IAD/GDP

Gambar 5.8 Rasio Pajak Infl asi dan defi sit Bertingkatkan Infl asi pada GDP

RITGDP = Rasio Pajak Infl asi pada GDPRIADGDP = Rasio Defi sit Bertingkatkan Infl asi pada GDP

Aspek lain yang perlu dikaji berkaitan dengan pembiayaan defi sit anggaran dengan proses pencetakan uang adalah besarnya tambahan penerimaan pemerintah yang diperoleh sebagai akibat pencetakan uang tersebut. Tambahan penerimaan tersebut biasa disebut dengan Seignorage. Mengikut Sachs dan Larrian (1993), Tingkat Seignorage dapat dihitung dengan rumus:

Seignorage = Perubahan Uang Inti / Tingkat Infl asi

135

Harmonisasi Fiskal dan Moneter

Hasil perhitungan untuk kasus Indonesia dapat dilihat pada Tabel 5.4. Secara nominal seigniorage realtif tetap pada masa 1991-2002, dengan tingkat rata-rata berkisar 2.5 persen dari GDP. Namun pada masa selepas itu terjadi perkembangan yang tajam dengan tingkat yang sedikit lebih tinggi, yaitu mencapai rata-rata berkisar 3 persen dari GDP. Tingkat tersebut mencapai puncaknya pada tahun 1999 sebanyak sekitar 6 persen dari GDP, sedangkan tingkat terendahnya terjadi pada tahun 1998 sebanyak -2 persen dari GDP.

Tabel 5.4 Tingkat Seignorage

Tahun Seignorage(Rp Juta)

Persenan pada GDP

2001 1.336.502 93%2002 (356.849) -24%2003 1.617.787 100%2004 387.766 23%2005 144.962 8%2006 1.154.682 63%2007 1.576.859 80%2008 58.987 3%2009 2.131.727 98%2010 1.367.198 59%

Sumber : Olah Data dari Bank Indonesia

Pada awal tahun 2000-an seigniorage mengalami penurunan sampai tahun 2002. Pada masa selepas itu terjadi perkembangan dengan puncaknya sebesar 100 Persen pada 2003 dan terendah 3 Persen pada tahun 2008 Dari fenomena ini dapat dikatakan bahwa pemerintah tidak memiliki peluang untuk membuat penerimaan besar melalui proses pencetakaan uang baru sebagai cara untuk membiayai defi sit anggaran.

136

Dinamika Kinerja Fiskal di Indonesia

BAB 6

ANALISIS IN-EFISIENSI FISKAL

6.1. Pengantar

Salah satu masalah yang muncul dalam pengelolaan anggaran pemerintah adalah adanya in-efi siensi (ketidakefi sienan) fi skal yang dicerminkan oleh

in-efi siensi belanja pemerintah. Masalah tersebut dapat dikaitkan dengan pemborosan anggaran, kesalahan alokasi, atau bahkan diasumsikan dengan penyalahgunaan anggaran. Untuk mengetahui tingkat in-efi siensi suatu program atau transaksi ekonomi dapat dilakukan dengan pendekatan analisis ekonometri, yaitu dengan menghitung tingkat kerugian berdasarkan fungsi kerugian (loss function). Oleh karena itu tingkat kerugian ekonomi dari belanja pemerintah yang dianalisis dengan fungsi kerugian tersebut dapat dianalogikan sebagai tingkat in-efi siensi belanja pemerintah. Pada bab ini dilakukan analisis in-efi siensi belanja pemerintah yang meliputi belanja operasional, belanja pembangunan/publik, dan belanja total dengan pendekatan fungsi kerugian ekonomi. Untuk melakukan analisis tersebut dilakukan dengan beberapa tahap, yaitu estimasi belanja pemerintah, penyusunan fungsi kerugian, dan penghitungan kerugian atau in-efi siensi masing-masing belanja pemerintah.

6.2. Konsep belanja pemerintahKajian yang berkaitan dengan kebijakan fi skal,

baik yang berkaitan dengan model belanja publik, uji kausalitas penerimaan pemerintah dan belanja publik, maupun kajian tentang pengaruh kebijakan fi skal terhadap

138

Dinamika Kinerja Fiskal di Indonesia

makro ekonomi telah banyak dilakukan oleh para peneliti ekonomi. Kajian tentang faktor-faktor yang menentukan belanja publik telah dilakukan oleh, misalnya, Bruno dan Smolders (1994), Dallen dan Swank (1996), Chyee (2000), dan Tridimas (2001). Dari hasil yang diperoleh dalam berbagai kajian tersebut sangatlah beragam karena data yang digunakan merupakan data dari negara yang berbeda-beda serta metode kajian yang digunakan juga berbeda antara satu peneliti dengan peneliti yang lainnya.

Hasil kajian lain dilakukan oleh Chyee (2000) menemukan bahwa pertumbuhan belanja publik di Malaysia berkait erat dengan kecenderungan peningkatan defi sit anggaran. Namun, dalam kajian tersebut tidak dijelaskan apakah fenomena tersebut terjadi dalam jangka pendek atau jangka panjang, karena peneliti tidak menggunakan pendekatan model dinamik dalam analisisnya. Pengalaman tentang berbagai variabel yang berpengaruh pada peningkatan belanja publik yang dipaparkan oleh kajian tersebut sesuai dengan pengalaman di beberapa buah negara lain, seperti Amerika Serikat, United Kingdom, Swedia, dan Jepang.

Bruno dan Smolders (1994) telah menganalisis belanja publik di Netherland pada tahun 1994. Variabel yang dipilih sebagai variabel bebas ialah jumlah penduduk, ukuran penerimaan pajak, tingkat pendapatan riil, struktur pajak, dan jumlah penduduk yang tidak bekerja. Data yang dianalisisnya adalah dalam bentuk logaritma, sehingga koefi sien yang ditemukan menunjukkan elastisitas atau perubahan. Hasil yang ditemukan menunjukkan bahwa semua variabel signifi kan mempengaruhi pertumbuhan belanja publik, kecuali jumlah pengangguran. Variabel terakhir tersebut menunjukkan tidak adanya ilusi fi skal di daerah yang diamati.

Penemuan yang menarik tentang belanja publik diperoleh dari Dallen dan Swank (1996) yang membuat

139

Analisis In-Efi siensi Fiskal

penelitian di negara Belanda. Variabel yang dipilih tidak jauh berbeda, yaitu tingkat pendapatan, jumlah penduduk, tingkat harga, penduduk usia tua, penduduk usia muda dan tingkat pengangguran serta variabel politik, yaitu periode waktu adanya pemilihan presiden. Penemuan kedua orang peneliti ini menunjukkkan bahwa variabel pendapatan dan tingkat harga tidak menunjukkan pengaruh yang signifi kan, sedangkan variabel jumlah penduduk dan variabel politik menunjukkan pengaruh yang signifi kan secara statistik. Penemuan tersebut menunjukkan bahwa perubahan pola belanja publik dipengaruhi oleh ada tidaknya proses pemilihan presiden pada tahun tertentu. Jika negara tersebut sedang melakukan pemilihan presiden maka belanja publik untuk membiayai proyek yang ditujukan kepada masyarakat meningkat. Hal ini membawa arti bahwa kebijakan belanja publik di negara tersebut dikaitkan dengan usaha untuk menarik masyarakat terhadap partai yang sedang berkuasa. Dengan demikian belanja publik (fi scal policy) secara empirik juga ditentukan oleh variabel politik.

Kajian yang dilakukan oleh Tridimas (2001) untuk masalah yang sama dengan data-data di United Kingdom memberikan hasil yang tidak jauh berbeda. Variabel bebas yang diteliti ialah tingkat defi sit anggaran, tingkat pendapatan, dan jumlah penduduk serta variabel biaya per unit belanja publik. Peneliti juga menggunakan data dalam bentuk logaritma. Analisisnya menemukan bahwa semua variabel secara statistik signifi kan mempengaruhi pertumbuhan belanja publik, kecuali variabel biaya per unit belanja publik. Hal ini menunjukkan bahwa defi sit anggaran menuntut adanya peningkatan pembiayaan yang dilakukan oleh pemerintah untuk membiayai proyek-proyek yang diperlukan oleh masyarakat. Peningkatan pendapatan masyarakat juga merupakan variabel yang mempengaruhi pertumbuhan belanja publik. Hal ini mudah untuk difahami, karena dengan meningkatnya

140

Dinamika Kinerja Fiskal di Indonesia

pendapatan maka permintaan terhadap barang dan jasa yang disediakan oleh pemerintah juga meningkat.

6.3. Spesifi kasi model belanja pemerintahUntuk memperoleh hasil kajian tentang in-efi siensi

fi skal yang baik dan dapat menjawab tujuan analisis, maka perlu disusun model teoritik terlebih dahulu. Dengan adanya model teoritik ini akan mempermudah proses analisis. Penyusunan model teoritik tersebut didasarkan pada kerangka teori yang digunakan serta mempertimbangkan variabel yang dianalisis. Model teoritik yang hendak disusun berikut ini meliputi model belanja publik. Hal ini dilakukan sebagai tahap awald dalam rangka melakukan analisis tentang in-efi siensi fi skal, yang meliputi in-efi siensi belanja operasional pemerintah, in-efi siensi belanja publik, in-efi siensi belanja pemerintah secara total.

Adanya model teoritik yang dibangun atas dasar berbagai teori tentulah akan merangkum berbagai variabel yang hendak dipilih untuk dimasukkan dalam model. Pemilihan variabel tersebut didasarkan pada kesesuaian dengan kasus negara yang akan dianalisis. Untuk itulah tinjauan pustaka terhadap berbagai hasil kajian yang telah dilakukan sebelumnya menjadi sangat penting. Karena atas dasar tinjauan pustaka terhadap masing-masing hasil kajian tersebut, masing-masing model teori yang akan dianalisis dapat disusun, sehingga diharapkan akan diperoleh hasil analisis yang valid.

Berdasarkan uraian tentang hasil kajian empirik yang telah dikemukakan sebelumnya pada bagian awal bab ini, pada kajian ini dibentuk model teori belanja publik yang meliputi belanja operasional, belanja publik dan belanja total. Ketiga variabel tersebut merupakan variabel terikat, sedangkan variabel tak terikat (bebas) meliputi pendapatan nasional, penerimaan pajak, goncangan indogen (endogenous shock) dan goncangan

141

Analisis In-Efi siensi Fiskal

eksogen (exogenous shock). Variabel goncangan domestik diperoleh dari selisih nilai Riil dan diharapkan masing-masing variabel terikatnya. Variabel goncangan eksogen diperoleh dari selisih nilai riil dengan nilai yang diharapkan dari variabel defi sit anggaran.

Pemilihan variabel pendapatan didasarkan pertimbangan bahwa menurut hukum permintaan, pendapatan merupakan faktor penting untuk permintaan terhadap barang dan pelayanan pemerintah, sedangkan variabel pajak menjadi penentu dalam penyediaan fasilitas dan infrastruktur oleh Pemerintah, khususnya dalam bidang infrastuktur fi sik. Variabel goncangan (shock), baik goncangan endogen atau goncangan eksogen digunakan dalam pembentukan model teori ini karena dari berbagai hasil analisis, serta menyesuaikan dengan keadaan perekonomian nasional. Alasan lain adalah adanya keterkaitan antar pelaku ekonomi yang menunjukkan bahwa variabel goncangan (unanticipated variable) memiliki pengaruh yang lebih penting. Adanya ketidakpastian dalam perekonomian domestik dan pertumbuhan perekonomian internasional yang tidak menentu juga menjadi faktor pendorong peranan goncangan tersebut.

Untuk melakukan analisis empirik model belanja pemerintah, maka perlu dibentuk suatu model belanja pemerintah yang merangkum berbagai variabel bebas. Atas dasar berbagai uraian tersebut, maka secara lengkap ketiga model teori tentang belanja pemerintah tersebut dapat ditulis seperti yang berikut ini.

tahun

GEOt = F (GDPt , POPt, ESt, OSt)................. (1) GEDt = F (GDPt , POPt, ESt, OSt)................. (2) GETt = F (GDPt , POPt, ESt, OSt).................. (3)

GEOt adalah tingkat Belanja Operasional riil tiap tahunGEDt adalah tingkat Belanja pembangunan riil tiap

142

Dinamika Kinerja Fiskal di Indonesia

6.4. Analisis model dinamikPada masa beberapa tahun terakhir ini, metode

ekonometri dinamik mengalami perkembangan yang pesat sebagai salah satu metode analisis dalam kajian ekonomi. Penggunaan metode ekonometri dinamik merupakan alternatif untuk mengatasi masalah dalam model statik, yaitu adanya regresi yang tidak valid dan kegagalan uji statistik untuk data runtun waktu. Keunggulan lainnya ialah, bahwa model dinamik dapat menjelaskan fenomena ekonomi dalam jangka pendek dan jangka panjang, seperti yang diinginkan oleh teori ekonomi. Dalam analisis ekonomi, fenomena jangka panjang memiliki arti yang lebih penting dari fenomena jangka pendek, karena secara umum teori ekonomi merupakan penjelasan fenomena dalam jangka panjang. Selain itu, pada model ekonometri dinamik akan merangkum lag (lag) variabel bebas maupun variabel terikat. Kenyataan ini sesuai pula dengan teori ekonomi, bahwa dalam proses keterkaitan antara variabel ekonomi satu dengan yang lainnya, ataupun satu kebijakan ekonomi dengan variabel ekonomi memerlukan lag waktu (time lag). Pada umumnya, kebijakan ekonomi yang dilakukan oleh pemerintah memiliki tujuan jangka panjang.

Seperti telah dikemukakan sebelumnya, bahwa telah terjadi perkembangan yang pesat dalam metodologi penelitian ekonomi, khususnya yang berkaitan dengan metode ekonometri dinamik. Perkembangan tersebut khususnya berkaitan dengan pembentukan dan aplikasi model dinamik yang sering dinamakan sebagai proses

GETt adalah tingkat Belanja Publik total riil tiap tahun.GDPt adalah pendapatan nasional bruto tiap tahunPOPt adalah jumlah penduduk tiap tahunESt adalah goncangan endogenOSt adalah goncangan eksogen

143

Analisis In-Efi siensi Fiskal

dari bentuk umum menuju ke bentuk khusus (the general to specifi c methodology). Dapat dikemukakan bahwa Domowitz dan Elbadawi (1987) dan Cuthbertson, Hall dan Taylor (1992) telah mengembangkan metodologi ekonometri, khususnya ekonometri dinamik menuju ekonometri modern dengan penggunaan fungsi kerugian (loss function).

Seperti yang telah dipaparkan pada bagian konsep belanja pemerintah, bahwa secara konsep ekonomi belanja pemerintah merupakan implikasi permintaan masyarakat kepada pelayanan pemerintah. Untuk itu, dalam mekanisme tersebut akan terjadi proses interaksi berupa penyesuaian dari waktu tertentu ke waktu berikutnya, seperti yang terjadi dalam penentuan faktor ekonomi lain. Proses penyesuaian ini merupakan salah satu faktor domestik yang mempengaruhi permintaan kepada pelayanan pemerintah oleh masyarakat, yang tentu pula berpengaruh pada belanja pemerintah.

Proses mekanisme lain yang secara teori terjadi ialah adanya pengaruh goncangan. Goncangan ini dapat terbagi dua, yaitu goncangan endogen (endogenous shocks) dan goncangan eksogen (exogenous shocks). Yang dimaksudkan dengan goncangan endogen ialah faktor selisih antara keinginan (desired) dengan yang riil pada belanja publik. Faktor goncangan dapat berpengaruh pada data runtun waktu yang sama atau mungkin pula pada beberapa runtun waktu, sehingga dapat pula dikatakan bahwa pengaruh terjadinya sampai pada beberapa runtun waktu tertentu (optimum shocks) seperti dikemukakan oleh Bohl (1999). Yang dimaksudkan dengan goncangan eksogen ialah suatu goncangan yang disebabkan oleh gejolak faktor ekonomi lain di luar variabel yang diamati, yaitu di luar belanja pemerintah. Untuk masalah belanja pemerintah, secara teori faktor goncangan yang berpengaruh ialah defi sit anggaran, infl asi, atau faktor lain, baik yang berasal dari dalam negeri maupun dari luar negeri. Adanya

144

Dinamika Kinerja Fiskal di Indonesia

perubahan yang tajam pada faktor goncangan eksogen, berupa kenaikan defi sit anggaran atau kenaikan infl asi tentunya akan mempengaruhi perubahan belanja publik. Oleh karena itu perlu dikaji seberapa besar pengaruh goncangan eksogen pada perubahan belanja pemerintah.

Masalah lain yang perlu dibahas adalah adanya aspek jangka pendek dan jangka panjang pada permintaan masyarakat kepada pelayanan publik oleh pemerintah. Secara ekonomi mekanisme dalam perekonomian terjadi dalam jangka panjang. Fenomena atau keadaan dalam jangka pendek tidak selalu mencerminkan realisasi konsep ekonomi dalam sebuah perekonomian. Oleh karena itu, analisis ekonomi sejauh ini lebih banyak terfokus pada analisis jangka panjang. Untuk itu model yang cocok digunakan ialah pendekatan kointegrasi dan model koreksi kesalahan (ECM). Adapun model ECM ada bermacam-macam, namun prinsipnya model ini mengandung aspek jangka pendek dan jangka panjang, serta dapat mengetahui adanya aspek perubahan pada variabel yang dikaji. Berbagai aspek yang dimasukkan dalam model, yaitu penyesuaian, goncangan, jangka pendek dan panjang dalam analisis pada belanja pemerintah ini bertujuan untuk mencapai harapan pada ukuran optimum belanja pemerintah (optimum size of government), sehingga kebijakan fi skal yang efi sien dan efektif dapat dicapai (Moesen and Philipe, 2000).

Pada prinsipnya, salah satu tujuan analisis ekonomi adalah suatu pembuktian teori ekonomi pada suatu fakta yang dijelaskan dengan data pada suatu lokasi dan runtun waktu tertentu. Hakikatnya analisis ekonomi merupakan suatu mekanisme mata rantai ilmu (running well of the wheel of science). Oleh karena itu, analisis ekonomi dapat dilakukan dengan tujuan yang bukan hanya untuk membuktikan teori ekonomi, bahkan juga untuk memperbaik teori tersebut. Proses pembuktian itu hendaklah dilakukan dengan cara atau metode yang

145

Analisis In-Efi siensi Fiskal

benar, mengikuti metode ekonomi baku. Metode ekonomi baku, yaitu proses yang logik, sistematik dan dapat pula dilakukan secara teknis. Hasil dari pembuktian itu selanjutnya digunakan untuk melakukan perkiraan tentang data tersebut untuk runtun waktu yang berikutnya . Untuk analisis jangka pendek dan jangka panjang serta untuk memperbaik metode pengujian digunakan model koreksi kesalahan dengan memasukkan aspek goncangan eksogen optimum (OE-ECM), khususnya untuk menganalisis adanya pengaruh goncangan eksogen pada belanja pemerintah.

6.5. Spesifi kasi model koreksi kesalahan Perkembangan pesat dalam penggunaan alat

analisis dalam bentuk model ekonometri dinamik ternyata mengandung berbagai kekurangan. Untuk itu perlu adanya model dinamik lain yang diharapkan mampu meliput berbagai tujuan yang hendak dicapai serta meminimalkan kesalahan. Untuk itulah dalam analisis ini digunakan model alternantif, yaitu model koreksi kesalahan dengan memasukkan variabel goncangan eksogen optimum (OE-ECM). Model yang digunakan ini merupakan pengembangan dari ECM serta dapat dikatakan sebagai perluasan dari general-ECM, yang akan digunakan sebagai alternatif alat analisis serta sebagai model yang paling luas (the general model) dalam pembahasan di buku ini.

Pada model ini juga masih diasumsikan bahwa model empirik dapat dikembangkan berdasarkan fungsi biaya kuadratik tunggal (Domowitz and Elbadawi. 1987). Hal yang berbeda ialah bentuk fungsi biaya yang digunakan sebagai dasar memperoleh model empirik. Fungsi biaya yang digunakan untuk pembentukan model masih menggunakan asumsi bahwa dalam perekonomian terjadi ketidakseimbangan dan memerlukan penyesuaian dari waktu ke waktu. Setiap pelaku ekonomi, baik konsumen, produsen ataupun pemerintah perlu melakukan

146

Dinamika Kinerja Fiskal di Indonesia

penyesuaian dari waktu ke waktu berikutnya untuk mencapai keseimbangan kegiatannya. Atas dasar itu, dalam rangka penyesuaian ini terdapat tiga jenis variabel, yaitu rancangan jangka pendek (short run planned), keinginan jangka panjang (long run desired) dan kenyataan riil (actual).

Pemerintah sebagai salah satu agen (pelaku) ekonomi juga memiliki perilaku demikian. Sebagai contoh dalam penentuan belanja publik, maka dikenal juga ada tiga variabel berkaitan dengannya, yaitu rencana jangka pendek belanja pemerintah (short run planned government expenditure), belanja pemerintah yang diinginkan jangka panjang (long run desired government expenditure) dan belanja pemerintah kenyataan riil (government expenditure actual). Pada kenyataannya pemerintah merencanakan belanja pemerintah dalam bentuk rencana anggaran pada setiap awal tahun. Penetapan nilai anggaran tersebut tentunya memiliki tujuan dalam jangka panjang, sehinggalah pada tingkat rata-rata jangka panjang. Namun pada akhir tahun tingkat belanja pemerintah riil tidaklah sama dengan yang direncanakan. Perbedaan ini mungkin terjadi karena berbagai faktor yang dikenal sebagai goncangan (unanticipated variable). Goncangan dapat terjadi dalam bentuk berbagai variabel, misalnya infl asi, belanja swasta atau defi sit anggaran.

Model Belanja PemerintahFungsi biaya ynag digunakan mestilah merangkum

berbagai asumsi seperti telah dikemukakan. Oleh karena itu fungsi biaya yang dirancang harus pula memasukkan berbagai variabel tersebut, yaitu rencana jangka pendek belanja pemerintah (short run planned government expenditure), belanja pemerintah yang diinginkan jangka panjang (long run desired government expenditure) dan belanja pemerintah riil (government expenditure actual). Agen ekonomi (pemerintah) mestilah akan meminimalkan

147

Analisis In-Efi siensi Fiskal

biaya tersebut pada setiap periode. Karena fungsi biaya yang dikemukakan bukan merupakan biaya eksplisit, maka dapat pula dikatakan sebagai fungsi kerugian (loss function). Mengikuti Insukindro (1990) secara matematik fungsi tersebut dapat ditulis sebagai berikut. LFt = f1(Gt

p – Gt*)2 + f2 [(1-B) (Gtp – pGt*)]2

Di mana: (f1 + f2) = 1Gt

p = Gt - ESto

Gtp adalah rencana jangka pendek belanja pemerintah

Gt* adalah belanja pemerintah yang diinginkan jangka panjang ESt

o adalah goncangan eksogen optimum

p adalah vektor bagian pada (1-B)Gt*

vektor pembobot. o digunakan

oleh variabel yang secara teori merupakan goncangan endogen (shock) pada variabel Gt, misalnya Domowitz dan Elbadawi (1987) mengaplikasikan vektor variabel yang berpengaruh (shock) yang meliputi variabel terikat (dependent variable). Cuthberson (1988) menggunakan variabel harga barang dan pelayanan, sedangkan Brown (1989) menggunakan variabel perubahan eksogen.

Sama dengan model ECM pada umumnya, pada model ini (OE-ECM) variabel yang akan digunakan sebagai variabel goncangan eksogen (ESt) adalah defi sit anggaran (DBt) sebagai goncangan. Namun yang menjadi masalah adalah penentuan batasan optimum t Untuk variabel

Variabel ESt dapat sedangkan p

merupakan

Komponen pertama fungsi kerugian tersebut merupakan biaya ketidakseimbangan, sedangkan komponen keduamerupakan biaya penyesuaian. Simbol Gt* menunjukkan nilai belanja pemerintah yang diharapkan (desired), yangmerupakan fungsi linear GDPt dan POPt,

148

Dinamika Kinerja Fiskal di Indonesia

tersebut. Dalam analisis ini digunakan metode AIC dari Hsio (1979), sebagaimana yang digunakan oleh para peneliti sebelumnya (Toda dan Philips, 1993).

tetapi memiliki pengaruh sampai pada waktu (k) tertentu, sampai pada tingkat optimumnya. Oleh karena itu variabel goncangan yang digunakan merupakan variabel goncangan optimum pada t-n. Penentuan optimum didasarkan pada sejauh mana ESt-n signifi kan terhadap ESt. Seperti yang telah dikemukakan bahwa variabel goncangan merupakan selisih antara defi sit anggaran DBt dengan variabel defi sit anggaran harapan (DBe

t). Variabel DBet merupakan variabel

yang tak dapat langsung untuk diamati secara langsung. Oleh karena itu perlu dilakukan perkiraan.

Ada beberapa cara untuk memperoleh variabel DBet,

yaitu metode Autoregresif (AR), Rata-rata Bergerak (MA), ARPA, ARIMA, Ratex, dan lain-lainnya. Dalam analisis ini pemilihan metode yang tepat dilakukan untuk digunakan untuk mengestimasi DBe

t. Namun pada umumnya untuk kasus negara membangun seperti Indonesia, digunakan metode AR. Selanjutnya dengan memasukkan unsur goncangan, fungsi kerugian (loss function) dapat ditulis sebagai:

LFt = f1( Gt - ESt o – Gt*)2 + f2 [(1-B) ( Gt - ESt

o – pGt*)]2

Proses bentuk OE-ECM yang siap diestimasi dapat ditemukan dengan proses meminimumkan fungsi in-efi siensi tersebut terhadap Gt

dan substitusi model teori yang dikemukakan sebelumnya pada fungsi kerugian tersebut. Dengan proses minimisasi fungsi biaya terhadap Gt, dan dengan asumsi Gt* merupakan fungsi linear Yt (Pendapatan Naional) dan Nt, (Jumlah Penduduk) dan dengan asumsi bahwa variabel ESt berada pada tingkat optimumnya, maka diperoleh persamaan tersebut (Sriyana, 2005; 2011):

Pada model ini diasumsikan, bahwa goncangan eksogen ESt tidak hanya terjadi pada periode waktu t saja,

149

Analisis In-Efi siensi Fiskal

∆Gt = ηo + η1 ∆ Yt + η2 ∆Nt + η3 B Yt + η4 B Nt + η5 ∆ESt k +θi Σ Bi ESt + η7 ECTt + vt i=1

αo = η0 / η7 α1 = (η3 + η7 ) / η7

α2 = (η4 + η7 ) / η7

η5 = pengaruh jangka pendek dari goncangan eksogen Σθi = pengaruh jangka panjang dari goncangan eksogen v t adalah variabel error

Persamaan terakhir tersebut merupakan model persamaan dalam bentuk general OE-ECM yang siap diestimasi. Sama dengan model ECM, maka persamaan tersebut juga merupakan model empirik jangka pendek, sedangkan model empirik jangka panjang adalah model persamaan yang ditransformasikan dari hasil model empirik jangka pendek tersebut. Koefi sien η1 dan η2 menjelaskan pengaruh variabel bebas dalam jangka pendek, sedangkan koefi sien η3 dan η4 menjelaskan pengaruh variabel tak terikat dalam jangka panjang. Koefi sien η5 menjelaskan pengaruh goncangan eksogen dalam jangka pendek, sedangkan Σ θi menjelaskan pengaruh goncangan eksogen dalam jangka panjang dalam bentuk rata-rata geometri. Σ θi merupakan perluasan dari koefi sien η6 pada berbagai lag.

Atas dasar persamaan tersebut dapat dikatakan bahwa pertumbuhan belanja publik dipengaruhi oleh pertumbuhan pendapatan, pertumbuhan penerimaan pajak, tingkat pendapatan dan tingkat penerimaan pajak tahun sebelumnya serta perubahan goncangan dan akumulasi goncangan pada beberapa tahun sebelumnya.

Di mana :ECTt = B(Y + N - G)t

150

Dinamika Kinerja Fiskal di Indonesia

Variabel lain yang digunakan berpengaruh terhadap pertumbuhan belanja pemerintah dalam model tersebut ialah variabel ECT yang menjelaskan ada tidaknya ketidakseimbangan dalam model. Sama dengan model ECM, variabel ECT memiliki peranan sangat penting dalam spesifi kasi model empirik. Ia menjelaskan apakah model empirik yang dihasilkan sesuai dengan teori atau tidak. Jika variabel ECT signifi kan secara statistik, maka model OE-ECM merupakan model yang valid untuk digunakan, namun jika variabel tersebut tidak signifi kan, maka berarti penyesuaian tak terjadi dalam model belanja pemerintah. Ini berarti pula bahwa analisis dengan model tersebut tidak tepat. Oleh karena itu untuk menemukan model yang terbaik yang dapat digunakan sebagai model empirik dapat ditemukan dengan berbagai uji, yaitu uji nested atau non nested. Karena model ini merupakan model yang paling luas, maka dapat dikatakan sebagai model yang paling lengkap (the general model).

Hasil Empirik Model Belanja PemerintahSebelum melakukan analisis model belanaj

pemerintah dalam rangka melakukan analisis in-efi siensi belanja pemerintah, maka perlu dikemukankan data-data yang digunakan. Dalam analisis ini digunakan data belanja operasional pemerintah, belanja pembangunan (belanja publik), dan belanja total pemerintah. Perode data yang dianalisis adalah tahun 1970-2010. Adapun data dalam bentuk logaritma dari nilai riil yang ditunjukkan oleh persentase dari Gross Domestic Product. Secara grafi k data-data tersebut dipaparkan berikut.

151

Analisis In-Efi siensi Fiskal

0

4

8

12

16

20

1970 1975 1980 1985 1990 1995 2000 2005 2010

Belanja PublikBelanja OperasionalBelanja Total

Per

sen

dari

GD

P

Gambar 6.1. Perkembangan Belanja Pemerintah

Analisis regresi dengan metode model ECM ini merupakan salah satu model dinamik yang telah berkembang pesat dalam beberapa dekade terakhir ini. Model ini merupakan pengembangan daripada model penyesuaian parsial yang mula menunjukkan kegagalan dalam menerangkan berbagai fenomena perilaku ekonomi. Dalam perkembangannya ada berbagi bentuk model koreksi kesalahan ini, yang masing-masing dibangun berdasarkan asumsi yang berbeda. Namun pada dasarnya model ini melibatkan variabel error dari regresi asal yang umumnya merupakan regresi kointegrasi. Regresi kointegrasi merupakan regresi yang menerangkan hubungan keseimbangan jangka panjang antara berbagai variabel ekonomi dalam jangka panjang. Oleh karena itulah model ini dinamakan model koreksi kesalahan.

152

Dinamika Kinerja Fiskal di Indonesia

Sesuai dengan proses pembentukannya, model empirik dengan metode ECM memerlukan data dalam bentuk perbedaan pertama (fi rst difference). Hal ini merupakan implikasi daripada perilaku data makro ekonomi yang umumnya stasioner pada perbedaan pertama tersebut, sehingga hasil regresi yang diperoleh menjadi valid dan tidak mengandung makna yang salah. Oleh karena itu sebelum melakukan analisis regresi dengan metode ECM, uji stasioneritas data perlu dilakukan terlebih dahulu. Jika data yang hendak dianalisis itu stasioneritas pada perbedaan pertama, maka hubungan keseimbangan yang terjadi dalam jangka panjang dapat ditunjukkan oleh regresi kointegrasi, dan model yang tepat untuk proses analisis adialah model ECM.

Hasil uji stasioneritas data dengan metode Aughmented Dicky Fuller untuk kesemua data yang hendak dianalisis dipaparkan pada Tabel 6.1. Oleh sebab data yang hendak dianalisis adalah dalam bentuk logaritma, maka data yang akan diuji hendaklah juga dalam bentuk logaritma. Atas dasar pengujian dengan tingkat keyakinan 0.95 tersebut diperoleh bahwa semua data tersebut stasioner pada perbedaan pertama. Hal ini membawa implikasi bahawa pendekatan kointegrasi dapat dilakukan dan model yang tepat untuk mengestimasi model empirik belanja pemerintah adalah model koreksi kesalahan (ECM).

Tabel 6.1 Hasil Uji Stasioneritas DataVariabel Level Perbedaan Pertama

ADF ADF

-2.121 -2.283-2.113 -2.447 -2.229

-3.737a

-3.451b

-3.878a

-3.794a

-3.431b

LX = log (X); a adalah signifi kan pada α = 1 %; b adalah signifi kan pada α = 5 %

LGDPLPOPLGEOLGEDLGET

153

Analisis In-Efi siensi Fiskal

Untuk membuktikan terjadinya hubungan keseimbangan dalam jangka panjang antara variabel bebas dengan ketiga variabel belanja pemerintah perlu dilakukan uji kointegrasi. Oleh sebab variabel yang dianalisis lebih dari dua, maka metode yang tepat untuk melakukan uji kointegrasi adalah metode Johansen. Hasil uji yang telah dilakukan pada ketiga model belanja pemerintah dipaparkan pada Tabel 6.2.

Tabel 6.2 Hasil Uji Kointegrasi

Null Hypotheses λ-max λ-trace

Ho : r = 0Ho : r ≤ 1Ho : r ≤ 2

Null Hypotheses λ-max λ-trace

Ho : r = 0Ho : r ≤ 1Ho : r ≤ 2

LX = log (X); a adalah signifi kan pada α = 1 %; b adalah signifi kan pada α = 5 %

Dari hasil tersebut, mengikut ujian Trace statistic (λ-trace) dan eigenvalue max (λ-max) diperoleh bahwa terjadi satu kointegrasi pada masing-masing belanja pemerintah. Ini bermakna bahwa terjadi hubungan keseimbangan dalam jangka panjang antara variabel

28.314*5.4311.320

34.216*6.4611.820

18.613*8.3140.530

28.246*8.6420.521

22.18 b

12.681.93

38.86 b

15.61 1.63

LGSO, LGDP, LPOP

LGED, LGDP, LPOP

LGET, LGDP, LPOP Hipotesis Nol λ - max λ-traceHo : r = 0Ho : r ≤ 1Ho : r ≤ 2

154

Dinamika Kinerja Fiskal di Indonesia

pendapatan dan pajak dengan masing-masing belanja pemerintah. Kenyataan ini membawa makna pula bahwa variabel error pada regresi kointegrasi adalah stasioner, sehingga untuk analisis model empirik perlu dilakukan dengan metode model ECM yang melibatkan variabel error dari regresi kointegrasi.

Analisis regresi dengan metode OE-ECM ini merupakan pengembangan dari ECM yang digunakan pada kajian ini. Model ini merupakan bentuk umum model yang digunakan (the general purpose model). Dalam model ini diasumsikan bahwa variabel goncangan terdiri dari berbagai variabel pada berbagai periode waktu. Variabel goncangan yang digunakan dalam kajian ini adalah defi sit anggaran. Metode untuk mengestimasi goncangan (shock) yang akan dimasukkan pada model OE-ECM adalah metode autoregresif. Untuk memperoleh model empirik yang terbaik, maka perlu ditentukan jumlah lag pada variabel goncangan yang didasarkan pada uji t statistik dan nilai Akaike Information Criterion (AIC). Hasil analisis dengan menggunakan jumlah lag dua pada masing-masing variabel goncangan dipaparkan pada Tabel 6.3.

Tabel 6.3. Estimasi Model Autoregresif Defi sit AnggaranVariabel Bebas Koefi sien

KonstantaAR (1)AR (2)AR (3)F HitungR2

a adalah signifi kan pada α = 1 %b adalah signifi kan pada α = 5 %

Setelah diketahui bahawa set variabel yang dianalisis menunjukkan adanya hubungan keseimbangan dalam

22.1730.911

0.14 a 0.06

1.450.46b

155

Analisis In-Efi siensi Fiskal

jangka panjang yang ditunjukkan oleh adanya hubungan kointegrasi, maka tahap berikutnya adalah melakukan analisis tentang keterkaitannya dalam jangka pendek. Untuk itu metode ECM, atau pengembangannya dalam bentuk OE-ECM dapat digunakan. Justifi kasi terpenting pada model empirik dengan metode ECM adalah tingkat signifi kansi variabel error correction term (ECT) pada masing-masing model. Dari hasil analisis tersebut diketahui bahawa ketiga model memiliki koefi sien ECT yang signifi kan pada tingkat keyakinan 0.90 (Tabel 6.4). Ini bermakna bahwa model empirik OE-ECM dapat diterima dan dapat digunakan untuk menerangkan perilaku perubahan ketiga model belanja pemerintah. Model empirik tersebut merupakan model yang menjelaskan hubungan jangka pendek antara berbagai variabel bebas dengan variabel terikat.

sit anggaran. Kesemua variabel tersebut memiliki pengaruh pada jangka pendek terhadap variabel terikat. Selain itu variabel terikat juga dipengaruhi oleh variabel goncangan pada defi sit anggaran yang memiliki dua lag untuk masing-masing variabel goncangan tersebut.

Model empirik pada Tabel 6.4 tersebut merupakan model empirik jangka pendek, sedangkan model jangka panjang hasil transformasinya dipaparkan pada Tabel 6.5. Variabel goncangan yang signifi kan secara statistik adalah variabel defi sit anggaran untuk ketiga model belanja pemerintah. Untuk belanja operasional diperoleh bahwa model yang terbaik memiliki dua lag variabel goncangan, sedangkan untuk belanja pembangunan/publik dan belanja total memiliki lag sejumlah 3. Ini berarti bahwa faktor goncangan berpengaruh lebih lama pada belanja pembangunan dan belanja total. Goncangan pada belanja

jumlah penduduk, dan perubahan goncangan pada defi

Estimasi dengan model OE-ECM tersebut menerangkan bahwa perubahan pada variabel terikatmerupakan fungsi dari perubahan variabel pendapatan,

156

Dinamika Kinerja Fiskal di Indonesia

pembangunan pula lebih dominan dibandingkan dengan goncangan pada belanja operasional terhadap penentuan belanja total.

Seperti halnya model ECM lainnya, justifi kasi terpenting pada model empirik dengan metode OE-ECM ialah tingkat signifi kansi variabel term koreksi kesalahan (ECT) pada masing-masing model. Dari Hasil analisis tersebut diketahui bahwa ketiga model memiliki koefi sien ECT yang signifi kan pada tingkat signifi kansi 0.90. Angka F statistik untuk semua model juga signifi kan pada tingkat signifi kansi 0.99. Angka ini lebih besar dari nilai F kritis. Ini berarti bahwa model empirik OE-ECM dapat diterima dan dapat digunakan untuk menerangkan perilaku perubahan ketiga model belanja pemerintah tersebut. Tabel 6.4. Hasil Estimasi ECM Model Belanja Pemerintah

Variabel Bebas Variabel Terikat

FR2

DLXt = log Xt - log Xt-1a adalah signifi kan pada α = 1 %b adalah signifi kan pada α = 5 %c adalahsignifi kan pada α = 10 %

0.31b

0.04 b0.16 b

0.41 0.83 b

3.76 0.56 a

0.21

3.27 0.84 b

0.73 0.28 b

0.420.54 c

0.07 b

0.28 0.13 a

0.04

4.27 0.62 a

0.24 0.37 b

0.92 b

0.04 a

0.04 0.03 b

0.01 a

10.430.881

8.2180.890

6.3280.640

DLGEO DLGED DLGETKonstantaDLGDPDLPOPLGDP (-1)LPOP (-1)DDEFICITDEFICIT (-1)DEFICIT (-2)ECT

157

Analisis In-Efi siensi Fiskal

Model empirik hasil analisis dengan OE-ECM tersebut merupakan model yang menjelaskan hubungan jangka pendek antara berbagai variabel tak terikat dengan variabel terikat. Hasil tersebut juga memberikan implikasi adanya ketidakseimbangan pada pertumbuhan perubahan belanja publik. Untuk mencapai keseimbangan, maka perlu adanya penyesuaian yang diterangkan oleh koefi sien ECT pada masing-masing model empirik tersebut. Penyesuaian terbesar terjadi pada belanja pembangunan, tetapi terkecil pada belanja operasional.

Variabel goncangan defi sit anggaran memberi pengaruh baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang. Variabel goncangan yang paling dominan yang memberi dampak terhadap perubahan belanja publik ialah variabel goncangan defi sit anggaran pada lag pertama, baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang. Dalam model belanja operasional pula variabel goncangan defi sit anggaran memiliki dampak sehingga pada dua lag, sedangkan pada model belanja pembangunan dan belanja total memiliki dampak sampai pada lag yang ke-3. Fenomena ini menunjukkan adanya goncangan berupa meningkatnya tingkat defi sit anggaran yang tidak diantisipasi akan membebani belanja publik pada periode tahun-tahun selanjutnya. Ini berarti bahwa peningkatan belanja publik hanya untuk membiayai defi sit anggaran untuk membayar hutang pemerintah. Oleh karena itu pemerintah harus segera mengambil kebijakan antisipasi tentang besarnya tingkat defi sit anggaran agar tidak menimbulkan beban yang lebih besar pada waktu mendatang. Dampak variabel goncangan defi ist terhadap ketiga model belanja publik itu sama dengan hasil kajian Tridimas (2001). Analisis kajian ini dapat membedakan antara defi sit anggaran (goncangan) yang diduga dan tidak diduga. Dalam kajian ini ditemukan bahwa yang memiliki pengaruh terhadap belanja publik ialah defi sit anggaran yang tidak diduga.

158

Dinamika Kinerja Fiskal di Indonesia

Hasil analisis empirik jangka pendek model belanja operasional menunjukkan bahwa semua variabel tak terikat adalah signifi kan pada tingkat keyakinan 0.90, baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang, tetapi tidak signifi kan pada variabel perubahan pendapatan dalam jangka pendek. Kenyataan ini mendukung adanya dampak goncangan defi sit anggaran pada perubahan belanja operasional hingga dua periode yang berikutnya. Koefi sien goncangan dalam jangka pendek yang ditunjukkkan oleh koefi sien variabel perubahan goncangan (DSHOCK) adalah lebih kecil dari koefi sien goncangan dalam jangka panjang. Ini berarti bahwa dampak variabel goncangan akan terkumpul pada perubahan belanja operasional dalam beberapa periode berikutnya. Variabel pendapatan juga menunjukkan tingkat signifi kansi yang kuat. Oleh karena itu ketiga model empirik tersebut mendukung teori hubungan positif antara variabel pendapatan dengan belanja pemerintah.

Tabel 6.5. Hasil Estimasi Jangka Panjang

Variabel BebasVariabel Terikat

LGEO LGED LGET18.073.3475.3461.307

15.073.0585.2920.119

15.902.9363.9181.148

Model empirik pada belanja pembangunan tidak menunjukkan hasil yang berbeda dengan model empirik belanja operasional. Semua variabel tak terikat juga signifi kan pada tingkat keyakinan 0.90, baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang, tetapi variabel perubahan pendapatan tidak signifi kan dalam jangka pendek. Hal yang berbeda ialah lag pada variabel goncangan ternyata signifi kan hingga tingkat lag ketiga. Kenyataan ini menunjukkan adanya dampak goncangan

KonstantaLGDPLPOPDEFICIT

159

Analisis In-Efi siensi Fiskal

defi sit anggaran pada perubahan belanja pembangunan sehingga tiga periode berikutnya.

Koefi sien goncangan dalam jangka pendek juga lebih kecil dari koefi sien goncangan dalam jangka panjang. Ini berarti bahwa dampak variabel goncangan akan terkumpul pada perubahan belanja pembangunan beberapa periode yang berikutnya. variabel pendapatan juga signifi kan. Oleh karena itu keduanya mendukung teori hubungan positif antara pendapatan dnegan belanja pembangunan. Dampak perubahan pajak yang bertanda positif menunjukkan bahwa perubahan belanja pembangunan telah mampu memenuhi permintaan dalam persepsi masyarakat.

Hasil model empirik pada belanja total juga sama dengan hasil pada belanja pembangunan. Ini berarti bahwa belanja pembangunan menyumbangkan pengaruh yang lebih besar dari belanja operasional dalam menentukan perilakunya, baik pada tingkat penyesuaian maupun dampak variabel goncangan defi sit anggaran. Penemuan ini juga membawa implikasi bahwa pertumbuhan belanja pemerintah total sangat dipengaruhi oleh tingkat defi sit anggaran yang tak diduga pada tiga periode sebelumnya. Oleh karena itu dalam operasional belanja publik, pemerintah harus memperhatikan tingkat defi sit anggaran yang terjadi.

Implikasi penemuan dari kajian ini ialah tingkat defi sit anggaran hendaklah dikurangi agar tidak membebankan peningkatan belanja publik pada masa mendatang. Selain akan meningkatkan belanja publik, tingginya tingkat defi sit anggaran juga dapat mengakibatkan meningkatnya ketidakseimbangan dalam jangka panjang antara keperluan masyarakat dengan kemampuan pemerintah untuk menyediakan berbagai infrastruktur fi sik, birokrasi dan berbagai fasilitas pemerintah.

Penemuan tentang pengaruh pendapatan dan pajak pada belanja pemerintah dalam aanalisis ini sesuai

160

Dinamika Kinerja Fiskal di Indonesia

dengan hasil kajian yang dilakukan oleh Chyee (2000). Namun dalam kajian ini semua variabel signifi kan pada model jangka pendek dan jangka panjang. Dampak variabel goncangan defi sit terhadap ketiga model belanja pemerintah juga sesuai dengan konsep teori keuangan publik. Namun penemuan pada analisis ini dapat membedakan antara goncangan yang telah diduga dengan goncangan yang tak diduga pada defi sit anggaran. Pada kajian ini ditemukan bahwa yang memiliki pengaruh terhadap belanja publik ialah defi sit anggaran tak diduga. Ini berarti bahwa selalu ada tingkat defi sit anggaran yang tak dapat diperkirakan oleh pemerintah yang ternyata sangat membebankan tingkat belanja publik pada periode-periode yang berikutnya.

3. Uji Kestabilan Model Setelah diperoleh kepastian bahwa model OE-ECM

ialah model yang valid, maka perlu pula dilakukan uji kestabilan terhadap model tersebut. Hal ini bertujuan untuk mengetahui apakah perilaku model empirik mengalami perubahan atau tidak jika dilakukan berbagai pemotongan pada sampel, sehingga dapat secara tepat digunakan untuk melakukan perkiraan (forecasting). Pada analisis ini digunakan metode uji model kestabilan Chow Breakpoint. Metode ini menguji apakah jika dilakukan pemotongan sampel akan terjadi perubahan koefi sien atau tidak. Hipotesis nul (Ho) yang diajukan tidak mengalami perubahan koefi sien jika dilakukan pemotongan sampel.

Dalam uji ini pemotongan dilakukan untuk tahun 1997. Ini berarti uji stabilitas dilakukan pada sebagian dari sampel belanja operasional untuk tahun 1991-1997, dan 1998-2010. Pemotongan juga dilakukan pada sampel belanja pembangunan/publik dan belanja total. Pemilihan tahun untuk pemotongan itu dibuat berdasarkan terjadinya pertumbuhan yang tinggi untuk masing-masing data belanja pemerintah serta terjadinya krisis ekonomi

161

Analisis In-Efi siensi Fiskal

pada tahun tersebut, sehingga kemungkinan besar mengubah perilaku data belanja pemerintah. Dengan demikian kemungkinan untuk menolak Ho semakin besar. Uji terhadap ketiga model empirik belanja publik dengan berbagai pemotongan sampel menunjukkan bahwa Ho diterima pada tingkat keyakinan 0.95. Ini berarti perubahan struktur hasil estimasi tidak terjadi. Hal ini berarti ketiga model itu stabil dan dapat digunakan untuk perkiraan dan penilaian kebijakan ekonomi.

Tabel 6.6. Hasil Uji Kestabilan Model

Tahapan Data

Ho: Tak Ada Perubahan Struktural (Model Stabil)

Statistik F Hasil

LGEO: 1970-1997; 1998-2010

LGED:1970-1997; 1998-2010

1.407 a

1.367 a

1.543 a

Terima Ho

Terima Ho

Terima Ho

a : Tidak signifi kan pada pengujian dengan α = 5%

Dari hasil kajian terhadap model belanja publik dengan berbagai model tersebut dapat disimpulkan bahwa model empirik dengan metode model koreksi kesalahan penyerap goncangan eksogen (OE-ECM) merupakan model empirik yang yang sangat baik dan valid sebagai alat analisis ekonomi. Uji kestabilan model juga menunjukkan bahwa model empirik tersebut stabil pada berbagai pembagian sampel. Penemuan ini menunjukkan bahwa OE-ECM

LGET1970-1997; 1998-2010

162

Dinamika Kinerja Fiskal di Indonesia

sebagai model umum dapat diterima sebagai alternatif alat analisis pada berbagai bidang kajian ekonomi.

6.6. Aplikasi model empirik

1. Hasil Estimasi Variabel Belanja PublikDari hasil estimasi model OE-ECM, maka dapat

dihitung nilai perkiraan terhadap semua variabel belanja pemerintah. Hal ini dilakukan untuk melihat seberapa besar kesamaan antara nilai belanja hasil estimasi dengan nilai riil. Selain itu data perkiraan ini juga diperlukan untuk menghitung nilai in-efi siensi masing-masin belanja pemerintah yang harus dimasukkan dalam loss function yang dapat juga dianggap sebagai fungsi in-efi siensi. Hasil estimasi dan nilai riil variabel perubahan belanja operasional dipaparkan pada Gambar 6.2. Dari kedua gambar tersebut dapat dilihat bahwa hasil estimasi biasanya mengikut nilai riilnya dan memiliki pertumbuhan yang sama. Kesamaan antara nilai estimasi dengan nilai riil pada belanja operasional tersebut membawa implikasi bahwa nilai sisa (residual) yang menerangkan kesalahan hasil estimasi pada model empirik relatif kecil.

163

Analisis In-Efi siensi Fiskal

0

4

8

12

16

1970 1975 1980 1985 1990 1995 2000 2005 2010

Belanja OperasionalEstimasi Belanja Operasional

Per

sen

dari

GD

P

Gambar 6.2. Perkembangan Data dan Estimasi Belanja Operasional

Hasil estimasi pada belanja operasional tersebut perlu pula diuji. Metode Uji yang dapat digunakan ialah metode pangkat dua CUSUM. Metode ini berguna untuk mengetahui apakah data belanja hasil estimasi memiliki varian yang konstan atau tidak pada uji dengan tingkat keyakinan tertentu, misalnya 0.95. Hasil uji pada data hasil estimasi belanja operasional dengan tingkat keyakinan 0.95 dipaparkan pada Gambar 6.3. Dari hasil tersebut dapat diketahui bahwa perilaku data hasil estimasi tidak melebihi kesalahan standardnya yang ditunjukkan oleh kedua garis tepi pada Gambar tersebut. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa perilaku data hasil estimasi adalah stabil.

164

Dinamika Kinerja Fiskal di Indonesia

-20

-15

-10

-5

0

5

10

15

20

1975 1980 1985 1990 1995 2000 2005

CUSUM 5% Significance

Gambar 6.3. Uji Stabilitas Data Hasil Estimasi Belanja Operasional

Hasil estimasi dan riil variabel perubahan belanja pembangunan dipaparkan pada Gambar 6.4. Dari kedua Gambar tersebut dapat dilihat pula bahwa hasil estimasi selalu mengikuti nilai riilnya dan memiliki kesamaan yang tinggi serta pertumbuhan yang sama. Hasil uji CUSUM square pada data hasil estimasi belanja pembangunan dengan tingkat keyakinan 0.95 dipaparkan pada Gambar 6.5. Dari hasil tersebut diketahui pula bahwa perilaku data hasil estimasi tidak melebihi dari kesalahan standarnya yang ditunjukkan oleh kedua garis tepi pada Gambar tersebut. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa perilaku data hasil estimasi adalah stabil.

165

Analisis In-Efi siensi Fiskal

0

4

8

12

16

1970 1975 1980 1985 1990 1995 2000 2005 2010

Belanja PublikEstimasi Belanja Publik

Pers

en d

ari G

DP

Gambar 6.4. Perkembangan Data dan Estimasi Belanja Publik

-20

-15

-10

-5

0

5

10

15

20

1975 1980 1985 1990 1995 2000 2005

CUSUM 5% Significance

Gambar 6.5. Uji Stabilitas Data Hasil Estimasi Belanja Publik

166

Dinamika Kinerja Fiskal di Indonesia

Keterkaitan antara nilai belanja total dengan nilai estimasinya juga tidak berbeda dengan dua variabel tersebut (Gambar 6.6). Begitupun dengan hasil uji pangkat dua CUSUM, yang menunjukkan bahwa data hasil estimasi adalah stabil. Fenomena hasil analisis ini memberikan implikasi bahwa hasil estimasi untuk model terbaik dengan metode OE-ECM mampu menjelaskan perilaku variabel belanja, sama ada belanja operasional, belanja pembangunan atau belanja total dengan baik.

0

4

8

12

16

20

1970 1975 1980 1985 1990 1995 2000 2005 2010

Belanja TotalEstimasi Belanja Total

Per

sen

dari

GD

P

Gambar 6.6. Perkembangan Data dan Estimasi Belanja Total

167

Analisis In-Efi siensi Fiskal

-20

-15

-10

-5

0

5

10

15

20

1975 1980 1985 1990 1995 2000 2005

CUSUM 5% Significance

Gambar 6.7. Uji Stabilitas Data Hasil Estimasi Belanja Publik

Aplikasi model empirik OE-ECM untuk membuat estimasi pada belanja pemerintah menunjukkan bahwa antara data riil dan nilai estimasi pada masing-masing belanja publik memiliki kedekatan yang tinggi. Ini berarti adanya tingkat kesalahan yang rendah pada hasil estimasi. Nilai perkiraan data belanja yang berdasarkan model tersebut juga menunjukkan akan adanya peningkatan belanja pemerintah pada waktu 2005-2010, dan memberikan implikasi bahwa pemerintah mengantisipasi tingkat defi sit anggaran yang cenderung meningkat agar tidak menimbulkan beban anggaran pada waktu akan datang. Peningkatan defi sit anggaran yang semakin besar akan menimbulkan masalah pada pengelolaan sumber pembiayaan anggaran, yang umumnya berasal dari utang.

2. Hasil Penghitungan In-efi siensi Belanja PemerintahTingkat kerugian ekonomi pada belanja pemerintah

yang diestimasi dari loss function merupakan sisi lain

168

Dinamika Kinerja Fiskal di Indonesia

dari aspek in-efi siensi yang harus diminimalkan dalam pengelolaan anggaran, khususnya pengelolaan belanja pemerintah. Kerugian ekonomi ini dari segi ekonomi dapat diartikan sebagai sifat in-efi siensi atau kesalahan alokasi sumber daya anggaran (misallocation resources), yaitu kesalahan penggunaan sumber dana anggran yang semestinya digunakan. Fenomena ini dapat pula menimbulkan penurunan efi siensi belanja pada kegiatan perekonomian nasional. Untuk menghitung kerugian ekonomi yang juga merupakan tingkat in-efi siensi tersebut dapat digunakan sesuatu bentuk fungsi kehilangan seperti yang telah dijelaskan pada bagian metode kajian, yaitu: LFt = f1(Gt

p – Gt*)2 + f2 [(1-B) (Gtp – pGt*)]

= f1( Gt - ESt o – Gt*)2 + f2 [(1-B) ( Gt - ESt

o – pGt*)]2

Komponen pertama fungsi tersebut merupakan komponen in-efi siensi yang berasal dari ketidakseimbangan belanja, yaitu perbedaan antara belanja riil dengan belanja yang diinginkan dalam jangka panjang. Komponen kedua ialah in-efi siensi yang berasal dari penyesuaian yang harus dilakukan oleh pemerintah sebagai akibat terjadinya perubahan belanja dari waktu ke waktu. Variabel belanja jangka pendek (Gt

p) diperoleh dari nilai hasil estimasi model OE-ECM, sedangkan variabel belanja jangka panjang (Gt*) diperoleh dari nilai estimasi berdasarkan fungsi jangka panjang yang diperoleh dari transformasi fungsi jangka pendek model OE-ECM.

Untuk membentuk sebuah fungsi kerugian ekonomi (in-efi siensi) masing-masing belanja secara empirik perlu ditentukan terlebih dahulu ukuran pembobot setiap komponen fungsi in-efi siensi tersebut. Untuk belanja operasional diasumsikan bahwa ukuran in-efi siensi dari sumber ketidakseimbangan itu sebesar 0.745, sedangkan ukuran in-efi siensi dari sumber penyesuaian sebesar 0.26. Angka ini didasarkan pada koefi sien penyesuaian hasil estimasi model OE-ECM yang sebesar 0.26. Aplikasi

169

Analisis In-Efi siensi Fiskal

pada model belanja operasional menghasilkan persamaan in-efi siensi berikut:

IN-EFGEO = 0.74 (Ketidakseimbangan GEO)2 + 0.26 (Penyesuaian GEO)2

= 0.74 (GEOt - ESt o – GEOt*)2 + 0.26 (GEOt - ESt

o – GEOt*)2

Untuk belanja pembangunan/publik diasumsikan bahwa ukuran in-efi siensi ketidakseimbangan sebesar 0.63, sedangkan ukuran in-efi siensi penyesuaian juga sebesar 0.37. Angka ini didasarkan pada koefi sien penyesuaian hasil model OE-ECM yang sebesar 0.37. Oleh karena itu aplikasi untuk model belanja pembangunan menghasilkan satu persamaan fungsi in-efi siensi sebagai berikut:

IN-EFGED = 0.63 (Ketidakseimbangan GED)2 + 0.37 (Penyesuaian GED)2

= 0.63 (GEDt - ESt o – GEDt*)2 + 0.37 (GEDt - ESt

o – GEDt*)2

Hasil perhitungan in-efi siensi dengan menggunakan data 1970-2010 menghasilkan ukuran in-efi siensi yang berbeda-beda untuk masing-masing komponen belanja pemerintah. Angka in-efi siensi belanja total merupakan jumlah tertimbang dari in-efi siensi belanja operasional dan in-efi siensi belanja publik. Hasil ini didasarkan asumsi bahwa in-efi siensi pada belanja total merupakan jumlah nominal dari in-efi siensi pada belanja operasional dan in-efi siensi pada belanja pembangunan. Perkembangan masing-masing in-efi siensi ini dipaparkan pula pada Gambar 6.8-6.10..

Dari Hasil analisis tersebut diketahui bahwa nilai in-efi siensi untuk belanja operasional memiliki rata-rata 16.85 persen dari jumlah belanja operasional, sedangkan in-efi siensi belanja pembangunan memiliki rata-rata 9.19 persen dari jumlah belanja pembangunan. Rendahnya angka in-efi siensi pada belanja operasional menunjukkan bahwa

170

Dinamika Kinerja Fiskal di Indonesia

pengelolaan pada belanja tersebut sudah menunjukkan efi siensi yang baik, sedangkan pengelolaan pada belanja pembangunan memiliki efi siensi yang lebih rendah. Rata-rata in-efi siensi belanja total yang merupakan jumlah rata-rata tertimbang in-efi siensi dari belanja operasional dan belanja pembangunan mencapai 26.05 persen dari jumlah belanja publik. Angka ini merupakan angka yang relatif rendah untuk sebuah negara membangun seperti Indonesia.

Penemuan hasil kajian ini menunjukkan bahwa pengelolaan belanja publik sebagai bagian dari pengelolaan anggaran relatif belum baik karena adanya indikasi tingkat in-efi siensi yang relatif tinggi. Dibandingkan dengan pengelolaan belanja negara lain, misalnya Malaysia, dengan metode yang sedikit berbeda, yaitu metode pengujian dengan VECM, diperoleh in-efi siensi belanja mencapai rata-rata 4.87 persen untuk belanja operasional dan 9.75 persen untuk jumlah belanja pembangunan (Sriyana, 2005). Ini berarti bahwa kesalahan alokasi sumber anggaran untuk belanja operasional dan belanja pembangunan relatif rendah. Berdasarkan kajian Tridimas (1992) dengan menggunakan metode anggran PAM diperoleh, bahwa kesalahan alokasi sumber anggaran di UK mencapai rata-rata 9 persen. Kenyataan tersebut berarti bahwa pengelolaan belanja pemerintah di Indonesia belum dapat disejajarkan dengan negara-negara maju.

171

Analisis In-Efi siensi Fiskal

10

12

14

16

18

20

22

1975 1980 1985 1990 1995 2000 2005

In-efisiensi Belanja Operasional

Per

sen

dari

Ang

gara

n

Gambar 6.8. In-efi siensi Belanja Operasional

6

7

8

9

10

11

12

13

14

1975 1980 1985 1990 1995 2000 2005

In-efisiensi Belanja Pubilk

Pers

en d

ari A

ngga

ran

Gambar 6.9. In-efi siensi Belanja Publik

172

Dinamika Kinerja Fiskal di Indonesia

22

23

24

25

26

27

28

29

1975 1980 1985 1990 1995 2000 2005

In-efisiensi Belanja Total

Pers

en d

ari A

ngga

ran

Gambar 6.10. In-efi siensi Belanja Total

Perkembangan in-efi siensi pada belanja operasional menunjukkan penurunan sepanjang tahun 1970-1985, sedangkan in-efi siensi pada belanja pembangunan dan belanja total menunjukkan kecenderungan menurun pada tahun 1990-2000, kemudian meningkat hingga tahun 2008 dan mengalami penurunan semula selepas masa tersebut. Kenyataan ini menunjukkan bahwa in-efi siensi pada belanja operasional memberikan sumbangan besar dalam perilaku in-efi siensi belanja total. Untuk mengetahui perkembangan lima tahunan sesuai dengan periodisasi rencana pembangunan pemerintah, maka angka rata-rata in-efi siensi pada masing-masing belanja dapat diamati dalam lima tahunan sesuai dengan periode tersebut. Angka terendah rata-rata lima tahunan pada belanja operasional terjadi pada tahun 1980-1985, sedangkan pada belanja publik terjadi pada tahun 1991-1995. Adapun pada belanja total terjadi pada tahun 1980-1985. Kenyataan ini menunjukkan bahwa mula tahun 1990-an dan tahun 2000-an terjadi kecenderungan penurunan efi siensi pengelolaan belanja pemerintah.

173

Analisis In-Efi siensi Fiskal

Namun demikian perlu disadari bahwa hasil kajian ini mengandung berbagai kelemahan. Pertama, data yang digunakan amat terbatas. Data yang menggunakan hanya data runtun waktu beberapa variabel saja. Kedua, metode kajian yang diguna pakai relatif sederhana dan berdasarkan satu bentuk fungsi kehilangan, sehingga akan mengandung berbagai kelemahan pula. Namun perlu diketahui bahwa kajian ini menggunakan pendekatan perilaku ekonomi yang menekankan pembuktian secara saintifi k dan bukannya teknis seperti pendekatan akuntansi atau Ilmu Hukum yang mampu memperoleh hasil nilai secara teknis numerik. Yang perlu diperhatikan adalah, hasil kajian ini diharapkan dapat diambil manfaatnya sebagai petunjuk tentang pengelolaan kebijakan fi skal, khususnya pengelolaan belanja publik, sehingga dapat digunakan dalam pelaksanaan kebijakan fi skal pada masa berikutnya.

3. Analisis Hubungan In-efi siensi dan Pertumbuhan Ekonomi

Peningkatan in-efi siensi secara teori bukan saja akan mengganggu kegiatan perekonomian nasional, tetapi juga dapat menurunkan output negara (GDP). Untuk menguji hipotesis tersebut, maka perlu dilakukan suatu analisis terhadap hubungan antara in-efi siensi dengan pertumbuhan ekonomi. Untuk analisis tersebut digunakan metode ECM untuk mengetahui hubungan antara kedua variabel dalam jangka pendek dan jangka panjang. Hasil analisis model ECM yang menjelaskan hubungan jangka pendek dipaparkan pada Tabel 6.7, sedangkan hasil transformasi yang menjelaskan pengaruh in-efi siensi pada pertumbuhan ekonomi dalam jangka panjang dipaparkan pada Tabel 6.8.

174

Dinamika Kinerja Fiskal di Indonesia

Tabel 6.7 Hasil Estimasi Model Pertumbuhan Ekonomi

Variabel Bebas Koefi sien ProbabilitasKonstantaDIN-EFGEODIN-EFGEDIN-EFGEO(-1)In-EFGED(-1)ECT

4.089-3.5610.094 a

-0.2010.994 a

0.016 a

0.0130.1100.0600.5620.0030.001

R-squaredF-statistic

0.6538.595

DX = (X t-X t-1)a adalah signifi kan pada α = 1 %

Tabel 6.8 Hasil Estimasi Jangka PanjangVariabel Bebas Koefi sienKonstantaIN-EFGEOIN-EFGED

25.55613.56261.250

Dari Hasil analisis tersebut diketahui bahwa perubahan in-efi siensi pada belanja publik memberi pengaruh positif terhadap perubahan pertumbuhan ekonomi dalam jangka panjang, sedangkan perubahan in-efi siensi pada belanja operasional memberi pengaruh negatif yang dan signifi kan dalam jangka pendek. Penemuan ini memberikan rekomendasi supaya pemerintah perlu meningkatkan efi siensi birokrasi pada pengelolaan belanja pemerintah agar tidak memiliki dampak negatif pada kegiatan perekonomian nasional secara keseluruhan.

BAB 7

KETAHANAN FISKAL

7.1. Pengantar

Bagian ini akan menjelaskan topik tentang ketahanan fi skal. Kondisi ketahanan fi skal suatu negara dapat dilihat dari keterkaitan antara tingkat

pengeluaran dan pendapatan pemerintah. Suatau negara dikatakan memiliki ketahanan fi skal yang baik jika terjadi hubungan timbal balik atau kausalitas antara berbagai sumber pendapatan dengan tingkat belanja pemerintah. Untuk mengetahui kondisi tersebut dapat dilakukan dnegan analisis kausalitas antara variabel pendapatan dengan variabel pengeluaran pemerintah. Dari hasil kajian analisis kausalitas antara berbagai variabel penerimaan dan belanja pemerintah dapat diketahui ketahanan fi skal suatu negara. Dalam bab ini akan dipaparkan analisis kausalitas antara pajak dengan belanja operasional, pajak dengan belanja pembangunan, pajak dengan belanja total, total penerimaan pemerintah dengan belanja operasional, total penerimaan pemerintah dengan belanja pembangunan, dan total penerimaan pemerintah dengan belanja total.

Kajian yang berkaitan dengan hubungan kausalitas penerimaan pemerintah dengan belanja publik juga telah dilakukan oleh beberapa pakar ekonomi, misalnya Blackely (1986), Bohn (1991), Baghestoni dan Mc Nown (1994), Hondroyiannis dan Papapetrue (2001), Chang , et.al. (2002). Analisis hubungan kausalitas antara belanja publik dengan penerimaan pemerintah pada umumnya diharapkan untuk memperoleh hasil tentang kebijakan

176

Dinamika Kinerja Fiskal di Indonesia

fi skal yang dilakukan oleh pemerintah, baik belanja publik mendukung penerimaan penerimaan pemerintah, atau penerimaan pemerintah mendukung peningkatan belanja, atau keduanya sekaligus. Hasil yang diperoleh dari berbagai kajian atas berbagai data dari berbagai negara tersebut ternyata berbeda.

Kajian tentang hubungan kausalitas telah dilakukan oleh Blackely (1986) dengan menggunakan data tahunan. Dari hasil kajian tersebut bisa dikemukakan bahwa hubungan antara belanja publik dengan penerimaan pemerintah secara luas lebih banyak terjadi pengaruh penerimaan kepada belanja publik. Ini berarti bahwa peningkatan penerimaan pemerintah lebih banyak digunakan untuk peningkatan belanja publik. Adapun hubungan antara belanja dengan penerimaan secara timbal balik (causality) tergantung pada periode lag (lag) analisis itu dilakukan. Ini berarti bahwa hubungan antara belanja publik dengan penerimaan dapat terjadi dalam jangka panjang, atau peningkatan belanja publik pada tahun tertentu dapat memiliki pengaruh pada tahun-tahun yang akan datang pada periode berikutnya. Keadaan ini sesuai juga dengan mekanisme ekonomi, karena peningkatan belanja publik akan menimbulkan minat investor, sedangkan penerimaan pendapatan dari investasi tersebut bisa didapatkan pada periode tahun berikutnya, sehingga penerimaan pajak terhadap barang tersebut juga bisa diterima pada tahun berikutnya. Hasil kajian oleh Blackely (1986) ini didukung juga oleh Blackely (1986) dan Ram (1988), walaupun mereka mengambil data kasus dari negara yang berlainan.

Hasil analisis yang berbeda juga telah dibuat oleh Zambaras (1991) yang menganalisis kasusnya di negara Greece dan memperoleh hasil bahwa antara penerimaan pajak dan belanja pemerintah tidak mempunyai kausalitas (causality), tetapi hanya mempunyai hubungan satu arah, yaitu belanja akan meningkatkan penerimaan pajak. Hasil

177

Ketahanan Fiskal

analisis hubungan antara belanja dengan penerimaan pemerintah ini didukung juga oleh Miller dan Russek (1990), Bohn (1991), serta Baghestoni dan Mc Nown (1994). Bahkan semua hasil analisis tersebut memberikan kesimpulan tentang adanya hubungan kausalitas antara belanja publik dengan penerimaan pemerintah, namun hanya terjadi dalam jangka panjang. Dalam proses analisisnya kebanyakan mereka menggunakan pendekatan model dinamik yang dapat menjelaskan hubungan antar variabel dalam jangka pendek dan jangka panjang, yaitu model koreksi kesalahan (error correction model (ECM)). Penemuan ini tentunya sesuai dengan teori ekonomi yang pada umumnya menjelaskan adanya hubungan antara variabel ekonomi dalam jangka panjang. Artinya hubungan antara dua variabel ekonomi atau lebih terjadi dalam jangka panjnag.

Kajian lain tentang hubungan penerimaan pemerintah dengan belanja publik yang memberikan penemuan baru telah dilakukan oleh Hondroyiannis dan Papapetrue (2001). Kedua peneliti melakukan pengamatan terhadap hubungan kausalitas belanja publik dengan pendapatan pemerintah dengan menggunakan pendekatan kointegrasi dan ECM (Error Corection Model). Pemilihan metode ini didasari oleh asumsi adanya hubungan keseimbangan (equilibrium ) antar variabel dalam jangka panjang. Dari hasil kajian mereka ditemukan bahwa terjadi hubungan jangka panjang antara kedua variabel yang diamati dan ditunjukkan oleh hasil analisis dengan pendekatan kointegrasi. Penemuan lainnya adalah bahwa hubungan yang lebih nyata dalam jangka pendek dan jangka panjang. Hasil tersebut juga menjelaskan bahwa belanja publik akan meningkatkan penerimaan pemerintah, sedangkan hubungan antara belanja pemerintah dan penerimaan pemerintah hanya terjadi dalam jangka panjang. Artinya adalah, di samping secara ekonomi, pengaruh adanya peningkatan belanja publik hanya terjadi dalam periode

178

Dinamika Kinerja Fiskal di Indonesia

berikutnya, namun bisa juga mengandung dugaan yang telah terjadi akibat in-efi siensi dalam pengelolaan belanja publik tersebut. Hasil ini membawa implikasi bahwa kebijakan fi skal defi sit yang dilakukan pemerintah lebih banyak diakibatkan oleh meningkatnya belanja publik. Kedua peneliti itu juga menyarankan bahwa, untuk meningkatkan efi siensi belanja publik dapat dilakukan dengan pengurangan laju pertumbuhan belanja publik pada periode berikutnya.

Kajian tentang hubungan antara pendapatan dna belanja pemerintah juga telah dilakukan oleh Chang, Liu dan Thompson (2002) yang mengambil data kasus dari tiga negara yang memiliki pertumbuhan ekonomi relagif tinggi di Asia, yaitu Korea Selatan, Taiwan dan Thailand. Metode analisis yang digunakan adalah pendekatan kointegrasi dan ECM. Metode kointegrasi digunakan untuk menganalisis kausalitas antara belanja dan penerimaan pemerintah, sedangkan metode ECM digunakan untuk menganalisis pengaruh belanja fi skal terhadap pertumbuhan ekonomi. Hasil yang diperoleh untuk ketiga negara tersebut pun berbeda-beda. Untuk kasus Korea Selatan terjadi hubungan antara belanja dengan pajak saja, sedangkan untuk Taiwan terjadi hubungan antara pajak dengan belanja dan untuk Thailand tidak dinyatakan adanya hubungan antara kedua variabel tersebut. Apabila dilakukan analisis pengaruh belanja pemerintah terhadap pertumbuhan ekonomi untuk ketiga negara tersebut, ternyata tidak ditemukan bukti kuat bahwa peningkatan belanja pemerintah memiliki pengaruh pada peningkatan output atau pertumbuhan ekonomi. Dari fakta dan data diperoleh juga bahwa ketiga negara memiliki ukuran sektor publik (size of public sector) yang relatif rendah dibandingkan pendaptan nasionalnya (Gross Domestic Product) masing-masing. Dalam penemuan tersebut terkandung implikasi terjadinya in-efi siensi dalam pengelolaan belanja pemerintah. Untuk itu, efi siensi dalam

179

Ketahanan Fiskal

pengelolaan belanja pemerintah direkomendasikan supaya ditingkatkan dengan mengurangi pertumbuhan belanja pemerintah. Artinya bahwa peningkatan pertambahan belanja pemerintah yang lebih besar tidak diperlukan.

Analisis hubungan kausalitas pajak dan belanja yang juga telah dilakukan untuk kasus Indonesia, yaitu oleh Kariem et al. (2003). Metode kajian yang digunakan adalah kointegrasi dan model koreksi kesalahan. Hasil kajian ini merupakan fenomena hubungan antara pajak dengan belanja dalam jangka panjang. Hasil analisis juga menunjukkan adanya kebijakan fi skal yang bersifat belanja dan pajak (spend-tax). Ini berarti bahwa belanja ditentukan lebih dahulu, sedangkan target penerimaan ditentukan kemudian. Dalam analisis ini juga dikemukakan bahwa dalam jangka panjang peningkatan belanja akan mengakibatkan peningkatan pajak. Kedua variabel ekonomi itu memiliki hubungan keseimbangan dalam jangka panjang, namun dalam jangka pendek mungkin terserak pada ketidakseimbangan, sehingga akan ada proses penyesuaian.

7.2. Hubungan kausalitas penerimaan dan belanja pemerintahAnalisis hubungan dua arah antara penerimaan

pemerintah dengan belanja publik bertujuan untuk memperoleh informasi tentang kebijakan fi skal yang harus dilakukan pemerintah. Berdasarkan suatu proses analisis yang komprehensif diharapkan dapat diperoleh hasil informasi yang valid, apakah belanja pemerintah akan meningkatkan penerimaan pemerintah ataukah sebaliknya, penerimaan pemerintah akan meningkatkan belanja publik, ataukah terjadi hubungan kedua-duanya sekaligus (causality). Hubungan antara dua variabel ekonomi dalam bentuk hubungan kausalitas, yaitu antara penerimaan pemerintah dan belanja publik bisa terjadi pada berbagai macam komponen variabel fi skal masing-

180

Dinamika Kinerja Fiskal di Indonesia

masing. Seperti dikemukakan sebelumnya, bahwa beberapa ahli ekonomi telah melakukan kajian pada aspek tersebut masing-masing, misalnya hubungan kausalitas antara pajak dengan jumlah belanja publik, hubungan kausalitas antara pajak dengan belanja untuk pelayanan ekonomi, hubungan kausalitas antara jumlah penerimaan dengan belanja pembangunan atau hubungan kausalitas antara jumlah penerimaan dengan jumlah belanja. Variabel pajak dan belanja pembangunan harus memperoleh perhatian yang lebih besar karena manfaat serta pengaruh dan hubungannya dengan kegiatan perekonomian yang lebih besar.

Seperti yang terjadi di setiap negara, penerimaan pemerintah yang berasal dari pajak merupakan bagian yang paling besar dari sumber penerimaan lainnya. Begitu juga aspek belanja pembangunan atau belanja publik pada umumnya juga memperoleh bagian nilai yang lebih besar dibandingkan dengan aspek belanja lainnya. Hal ini bisa dipahami karena belanja untuk pembangunan dan pelayanan ekonomi memiliki pengaruh yang besar pada kegiatan ekonomi suatu negara, sehingga akan mendukung pada penerimaan pemerintah serta mampu meningkatkan pertumbuhan ekonomi negara. Oleh sebab itu analisis hubungan kausalitas untuk mengetahui ketahanan fi skal dalam kajian kasus di Indonesia ini pun akan mencoba menganalisis berbagai kemungkinan terjadinya hubungan kausalitas antara pajak dengan jumlah belanja operasional, antara pajak dengan belanja pembangunan, antara pajak dengan belanja total, antara total penerimaan dengan belanja operasional, antara total penerimaan dengan belanja publik, dan hubungan kausalitas antara total penerimaan dengan jumlah belanja total. Dengan adanya pemisahan berbagai unsur dari belanja pemerintah maupun penerimaan pemerintah tersebut diharapkan dapat diketahui berbagi aspek yang memiliki hubungan satu arah atau dua arah antara

181

Ketahanan Fiskal

satu aspek dengan apek lainnya. Untuk mempermudah pemahaman, maka analisis hubungan masing-masing variabel antara penerimaan pemerintah dengan belanja pemerintah dapat digambarkan dalam Gambar 7.1 berikut.

Gambar 7.1. Hubungan Kausalitas antara Belanja dengan Penerimaan Pemerintah.

Atas dasar permodelan yang dijelaskan pada Gambar 7.1 tersebut, maka secara lengkap model teori masing-masing adalah:

1). Hubungan kausalitas antara pajak (TAXt) dan jumlah belanja operasional (GEOt):

TAXt = F (GEOt )

GEOt = F (TAXt )

2). Hubungan kausalitas antara pajak (TAXt) dan belanja pembangunan (GEDt):

TAXt = F (GEDt ) GEDt = F (TAXt )

3). Hubungan kausalitas antara pajak (TAXt) dan belanja publik total (GETt):

182

Dinamika Kinerja Fiskal di Indonesia

TAXt = F (GETt ) GETt = F (TAXt )

4). Hubungan kausalitas antara jumlah penerimaan (REVt) dan belanja operasional (GEOt):

REVt = F (GEOt ) GEOt = F (REVt )

5). Hubungan kausalitas antara jumlah penerimaan (REVTt) dan belanja pembangunan (GEDt):

REVt = F (GEDt ) GEDt = F (REVt )

6). Hubungan kausalitas antara jumlah penerimaan (REVt) dan jumlah belanja publik (GETt):

REVt = F (GETt ) GETt = F (REVt )

7.3. Metode analisis hubungan kausalitas (causality) Analisis hubungan kausalitas antara berbagai

variabel fi skal bertujuan untuk mengetahui arah hubungan antara pajak maupun penerimaan total pemerintah dengan belanja. Hasil analisis tersebut diharapkan dapat memberikan sumbangan kepada kebijakan untuk mengurangi tingkat defi sit anggaran yang dialami oleh Indonesia. Hubungan antara pajak dengan belanja dapat didasarkan pada berbagai teori yang telah ada sebelumnya. Ada tiga kemungkinan hubungan antara pajak dengan belanja pemerintah. Pertama, peningkatan belanja akan memiliki dampak pada peningkatan pajak (spend -tax). Konsep ini didukung oleh Peacock dan Wiseman (1979), Anderson et al. (1986), Hondroyiannis dan Papapetrue (1994). Kedua, peningkatan pajak akan meningkatkan belanja publik (tax-and- spend). Konsep ini didukung oleh Friedman (1978), Manage dan Marlow (1986), Ram (1988).

183

Ketahanan Fiskal

Ketiga, peningkatan pajak akan meningkatan belanja, sedangkan peningkatan belanja akan mengakibatkan peningkatan pajak. Dengan kata lain terjadi hubungan dua arah antara kedua-dua variabel itu. Teori ini didukung oleh Miller dan Russek (1990), Bohn (1991), Baghestoni dan Mc Nown (1994), Darrat (1998), Chang et al. (2002).

Pada bagian ini dijelaskan tentang metode analisis yang akan digunakan dalam analisis hubungan kausalitas (causality) antara berbagai aspek belanja pemerintah dengan penerimaaan pemerintah. Untuk melakukan analisis terhadap adanya hubungan kausalitas antara penerimaan pemerintah (revenue) dengan belanja pemerintah (government expenditure) dapat dilakukan dengan berbagai metode. Diantaranya adalah analisis hubungan kausalitas Sims, analisis hubungan kausalitas Granger, dan analisis hubungan kausalitas Kointegrasi-Model Koreksi Kesalahan (Error Correction Model/ECM). Selain sebagai koreksi dan perbaikan metode terdahulu, analisis hubungan kausalitas dengan metode kointegrasi-ECM memberikan adanya keuntungan berupa informasi ketidakseimbangan (disequilibrium) jangka panjang antar variabel ekonomi, serta tujuan pengujian model dalam perspektif jangka pendek dan jangka panjang sehingga akan lebih cocok sebagai dasar pembuatan kebijakan ekonomi. Oleh sebab alasan itulah, maka kajian hubungan kausalitas ini menggunakan metode kointegrasi-ECM.

Dalam analisis di buku ini digunakan metode Kointegrasi dan Model Vektor Koreksi Kesalahan (VECM) sebagai salah satu bentuk model dinamik yang secara luas telah diaplikasikan dalam berbagai analisis ekonomi. Semua variabel yang dianalisis adalah dalam bentuk logaritma yang bertujuan untuk menghindari adanya kesalahan spesifi kasi model dalam analisis regresi dan kesalahan bentuk fungsi hubungan antara kedua variabel dalam model. Penggunaan metode ini juga bertujuan untuk mengetahui adanya hubungan kausalitas jangka

184

Dinamika Kinerja Fiskal di Indonesia

pendek dan jangka panjang antar variabel yang dianalisis dalam sebuah model. Adanya hubungan kausalitas dalam jangka panjang dapat diketahuii dengan uji t pada koefi sien variabel koreksi kesalahan (ECT). Jika koefi sien ECT signifi kan pada tingkat keyakinan tertentu, misalnya 5 %, adanya hubungan yang menuju kepada variabel terikat dalam jangka panjang. Adanya hubungan kausalitas dalam jangka pendek dapat diketahui dari nilai statistik F hasil analisis kendala pada berbagai lag variabel bebas masing-masing model. Jika nilai F signifi kan, maka terjadi hubungan antara variabel kendala pada variabel terikatnya dalam jangka pendek.

Analisis hubungan kausalitas dengan metode kointegrasi-ECM pada mulanya dikemukakan oleh Granger (1988). Selanjutnya metode tersebut digunakan juga oleh beberapa orang peneliti ekonomi lain, misalnya Miller and Russek (1990), Bohn (1991), Baghestoni dan McNown (1994) dan Hondroyiannis dan Papapetrou (1996). Pada umumnya analisis hubungan kausalitas dengan metode tersebut dilakukan dalam tiga tahap. Tahap pertama adalah melakukan analisis akar unit dan derajat integrasi terhadap data yang dianalisis. Analisis ini dilakukan sebagai prasyarat untuk melakukan analisis kointegrasi, karena analisis kointegrasi bisa dilakukan jika semua data memiliki derajat integrasi yang sama (Dicky dan Fuller. 1981). Namun demikian untuk data-data makro ekonomi pada umumnya memiliki sifat stasioner pada derajat integrasi satu sehingga secara langsung dapat dilakukan uji kointegrasi tanpa dilakukan uji akar unit. Selanjutnya, tahap kedua adalah melakukan analisis kointegrasi antara data penerimaan pemerintah dengan belanja publik, maupun sebaliknya dalam dua bentuk regresi kointegrasi. Karena persamaan kointegrasi yang akan dianalisis hanya melibatkan satu variabel bebas, maka metode dua tahap yang disarankan oleh Engle-Granger dapat digunakan dalam analisis dan tetap akan

185

Ketahanan Fiskal

menghasilkan model empirik yang tidak bias. Namun demikian metode Johansen (1991) merupakan metode yang lebih kuat, sehingga dalam kajian ini digunakakan metode tersebut. Menurut Engle dan Granger (1987), jika dua variabel ekonomi berkointegrasi, maka ada hubungan dalam jangka panjang, minimal pada hubungan satu arah. Kondisi ini merupakan syarat dilakukannya analisis ECM. Tahap ketiga adalah melakukan analisis hubungan kausalitas dengan model ECM dengan pendekatan model vektor koreksi kesalahan (vector error correction model (VECM)) dengan memprediksi variabel koreksi kesalahan (ECT) dari persamaan kointegrasi untuk masing-masing persamaan, yaitu masing-masing variabel penerimaan pemerintah terhadap belanja publik dan sebaliknya. Jumlah lag pada VEC ditentukan berdasarkan Akaike Information Critera (AIC). Secara singkat jika variabel masing-masing penerimaan pemerintah dilambangkan dengan REVit dan masing-masing variabel belanja publik dilambangkan dengan GEit, maka model VECM yang menjelaskan hubungan kausalitas jangka pendek pada masing-masing set variabel dapat ditulis sebagai berikut.

ΔREVt = β11 + β 12 ΔGEt-1 + … + β1i ΔGEt-i + γ 11 ΔREVt-1 + … +

γ 1i ΔREVt-i + σ1 ECTt + v t

ΔGE t = β21 + β 22 ΔGEt-1 + … + β2i ΔGEt-i + γ 21 ΔREVt-1 + … +

γ 2i ΔREVt-i + σ2 ECTt + v t

Adanya hubungan kausalitas dalam jangka panjang dapat diketahuii dengan uji t pada koefi sien variabel koreksi kesalahan (error correction term/ECT). Jika koefi sien σ pada variabel ECT signifi kan pada tingkat keyakinan tertentu, misalnya 5 % menunjukkan adanya hubungan menuju kepada variabel terikat dalam jangka panjang.

186

Dinamika Kinerja Fiskal di Indonesia

Adanya hubungan kausalitas dalam jangka pendek dapat diketahui dari nilai F statistik hasil analisis kendala pada berbagai lag variabel bebas masing-masing model, misal lag pada GED untuk model REV dan lag pada REV pada model GED. Jika nilai F signifi kan, berarti terjadi hubungan antara variabel kendala pada variabel terikatnya dalam jangka pendek. Untuk analisis ketahanan fi skal dengan pendekatan kausalitas dengan kasus di Indonesia ini digunakan data time series dari tahun 1970-2010.

7.4. Analisis kausalitas pajak dan belanja operasionalUntuk melakukan kajian ketahanan fi skal di Indonesia

ini dilakukan dengan pendekatan analisis kausalitas antara komponen pendapatan dnegan komponen belanja pemerintah masing-masing. Adapun metode analisis yang digunakan adalah metode kointegrasi-VECM. Data-data yang dianalisis adalah data dari tahun 1970-2010 dalam nilai persentase dari Pendapatan Domestik Bruto (PDB). Gambaran singkat data tersebut dipaparkan pada Gambar 7.2 dan Gambar 7.3.

0

5

10

15

20

25

1970 1975 1980 1985 1990 1995 2000 2005 2010

Belanja PublikBelanja Operasional

Per

sen

dari

GD

P

Sumber: Realisasi APBN, Tahun 1970-2010.Gambar 7.2. Belanja Publik dan Belanja Operasional

Pemerintah

187

Ketahanan Fiskal

0

4

8

12

16

20

1970 1975 1980 1985 1990 1995 2000 2005 2010

Belanja Pemerintah TotalPenerimaan Pemerintah Total

Per

sen

dari

GD

P

Sumber: Realisasi APBN, Tahun 1970-2010.Gambar 7.3. Penerimaan Pajak dan Belanja Pemerintah

Total

Analisis kointegrasi merupakan syarat untuk melakukan analisis yang melibatkan variabel koreksi kesalahan pada model regresi. Untuk melakukan analisis kointegrasi, dapat digunakan dengan metode Engle dan Granger (1987) atau Johansen (1991). Dalam analisis ini digunakan untuk metode Johansen memperoleh hasil analisis yang lebih kuat. Analisis kointegrasi dengan metode Johansen ini berdasarkan bentuk vektor autoregresif (VAR) yang jumlah lag-nya berdasarkan AIC. Ada atau tidaknya kointegrasi ditentukan dengan analisis terhadap hipotesis nul (Ho) tentang jumlah vektor kointegrasi (r) pada analisis. Hasil analisis didasarkan pada perolehan nilai-nilai trace (λ-trace) hitung dibandingkan dengan nilai trace pada masing-masing nilai kritikal yang disediakan oleh Osterwald dan Lenum (1992).

Tabel 7.1 memaparkan hasil analisis kointegrasi antara pajak dengan belanja operasional berdasarkan

188

Dinamika Kinerja Fiskal di Indonesia

model VAR dengan jumlah lag 2. Berdasarkan analisis tersebut, dapat diketahui bahwa hipotesis nul yang tidak menunjukkan adanya vektor kointegrasi (Ho : r = 0) dapat ditolak. Hasil ini menunjukkan bahwa antara kedua variabel itu ada satu vekor kointegrasi dengan keyakinan pada tingkat 0.95. Hasil kajian ini juga menjelaskan terjadinya hubungan keseimbangan jangka panjang antara pajak dengan belanja operasional. Oleh karena itu untuk melakukan analisis kausalitas antara kedua variabel itu, variabel koreksi kesalahan hasil kointegrasi tersebut harus diambil untuk dimasukkan dalam model.

Setelah ditemukan adanya hubungan kointegrasi, maka analisis dengan VECM dapat dilakukan. Model VEC merupakan hasil analisis dengan memasukkan kendala dari VAR yang jumlah lag-nya berdasarkan nilai minimum AIC. Hasil analisis antara pajak dengan belanja operasional dipaparkan pada Tabel 7.2. Hasil analisis menunjukkan, bahwa hanya model belanja operasional yang memiliki koefi sien ECT signifi kansi pada tingkat keyakinan 0.95. Penemuan ini menunjukkan tidak adanya hubungan kausalitas dua arah dalam jangka panjang antara pajak dengan belanja operasional. Hasil pengujian kendala pada variabel bebas juga diketahui bahwa pada model pajak tidak memiliki signifi kansi pada tingkat keyakinan 0.90. Ini berarti bahwa variabel LGEO dapat dikeluarkan dari model LTAX, sedangkan variabel LTAX tidak dapat dikeluarkan dari model LGEO. Hasil ini menunjukkan tidak adanya hubungan kausalitas dalam jangka pendek, baik dari pajak kepada belanja operasional maupun dari belanja operasional kepada pajak. Hubungan yang terjadi adalah hanya bersifat satu arah, yaitu perubahan pajak mempengaruhi perubahan belanja operasional pemerintah.

189

Ketahanan Fiskal

Tabel 7.1 Hasil Analisis Kointegrasi Pajak dan Belanja Operasional

LTAX, LGEO (VAR lag =2)Hipotesis Nol λ-trace

Ho : r = 0Ho : r ≤ 1

20.15 b

9.27

LX = log (Xt) b adalah signifi kan pada α = 5 %

Implikasi dari hasil kajian tersebut adalah peningkatan pertumbuhan pajak akan menyebabkan peningkatan belanja operasional dalam jangka pendek maupun jangka panjang. Begitupun peningkatan pertumbuhan belanja operasional dapat mendorong terjadinya penerimaan pajak oleh pemerintah dalam jangka panjang dan jangka pendek. Kenyataan ini menjelaskan bahwa untuk meningkatkan penerimaan pajak dapat dilakukan dengan meningkatkan kualitas birokrasi dan pelayanan pemerintah. Implikasi lain adalah pembayar pajak memberi respon positif terhadap perilaku pemerintah untuk melakukan pengelolaan negara. Dilihat dari sudut pembiayaan, dapat dijelaskan bahwa pajak merupakan faktor terpenting dalam pembiayaan kegiatan operasional pemerintah. Dilihat dari sisi ketahanan fi skal, hasil ini tidak mendukung ketahanan fi skal yang baik karena kegiatan operasional pemerintah yang dibiaya dari sumber pajak tidak memiliki dampak yang signifi kan pada peningkatan pajak dalam jangka pendek.

Adanya hubungan antara dua variabel dapat menunjukkan terjadinya timbal balik antara satu variabel dengan variabel lainnya. Untuk mengetahui tingkat timbal balik tersebut metode fungsi timbal balik (impulse respon function) dapat digunakan untuk memprediksi respon antar

190

Dinamika Kinerja Fiskal di Indonesia

variabel. Gambar 7.2 memaparkan hasil analisis timbal balik antara pajak dengan belanja operasional. Variabel belanja operasional memberikan timbal balik positif pada kejutan (shock) satu standar deviasi pajak sebesar 4 persen pada tahun pertama dan segera mencapai keseimbangan pada tahun kedua dengan tingkat timbal balik yang semakin rendah. Variabel pajak juga memberikan timbal balik negatif kurang dari 1 persen pada tahun pertama pada kejutan satu standar deviasi belanja operasional dan memerlukan periode satu tahun juga untuk mencapai keseimbangan. Hasil ini juga menunjukkan adanya ketahanan fi skal yang kurang baik dilihat dari sisi dampak belanja operasional terhadap peningkatan penerimaan pajak di Indonesia.

Tabel 7.2 Hasil Analisis Kausalitas Pajak dan Belanja Operasional

Variabel Terikat

Statistik F dengan Kendala Variabel:

Koefi sien Error

Correction∆ LTAX ∆ LGEO

∆ LTAX

∆ LGEO

-

0.717(0.041)b

0.015(0.34)

-

0.023(0.127)

0.184(0.016)b

Hubungan jangka pendek:Hubungan jangka panjang:

LTAX LGEOLTAX LGEO

∆LX = log (Xt) - log (Xt-1)Angka dalam kurung adalah p-value b adalah signifi kan pada α = 5 %

191

Ketahanan Fiskal

-0.2

0.0

0.2

0.4

0.6

0.8

1.0

1.2

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10

Response of TOTTAX to TOTTAX

-0.2

0.0

0.2

0.4

0.6

0.8

1.0

1.2

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10

Response of TOTTAX to OPERATION

-0.2

0.0

0.2

0.4

0.6

0.8

1.0

1.2

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10

Response of OPERATION to TOTTAX

-0.2

0.0

0.2

0.4

0.6

0.8

1.0

1.2

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10

Response of OPERATION to OPERATION

Response to Cholesky One S.D. Innovations

Gambar 7.4. Timbal Balik Pajak dan Belanja Operasional

7.5. Analisis kausalitas pajak dan belanja publikHasil analisis kointegrasi antara pajak dengan

belanja pembangunan atau belanja publik dipaparkan pada Tabel 7.3. Analisis tersebut berdasarkan model VAR dengan jumlah lag 2. Berdasarkan hasil analisis tersebut dapat diketahui dengan pasti bahwa hipotesis nul tidak menyebabkan vektor kointegrasi (Ho : r = 0) ditolak pada tingkat keyakinan 0.95. Hasil ini menunjukkan bahwa antara kedua variabel itu ada satu vektor kointegrasi secara nyata pada tingkat keyakinan tersebut. Oleh

192

Dinamika Kinerja Fiskal di Indonesia

karena itu ada hubungan keseimbangan jangka panjang antara pajak dengan belanja pembangunan. Berdasarkan hasil tersebut analisis kausalitas antara kedua variabel dapat dilakukan dengan memasukkan perkiraan faktor residual hasil kointegrasi tersebut pada koefi sien koreksi kesalahan.

Setelah ditemukan adanya hubungan kointegrasi, maka analisis dengan VECM dapat dilakukan. Hasil analisis analisis antara pajak dengan belanja publik berdasarkan kendala VAR dengan lag 3 dipaparkan pada Tabel 7.4. Dari hasil analisis itu dapat diketahui, bahwa semua koefi sien ECT pada model belanja publik dan pajak tersebut signifi kan. Pada model belanja publik signifi kan pada tingkat keyakinan 0.95, sedangkan koefi sien ECT pada model pajak signifi kan pada keyakinan 0.90. Ini bermakna ada hubungan kausalitas dua arah dalam jangka panjang dari pajak kepada belanja publik dan sebaliknya. Perkembangan belanja publik mengalami ketidakseimbangan dengan tingkat penyesuaian mencapai 29 persen, sedangkan tingkat pajak hanya memiliki tingkat penyesuaian sebebsar 4 persen. Hal ini menunjukkan lambatnya peningkatan sumber pajak sebagai dampak dari pengeluaran pemerintah untuk belanja publik. Tanda koefi sien ECT positif menunjukkan bahwa proses penyesuaian memiliki arah yang sama, yaitu ketidakseimbangan belanja yang terjadi dalam jangka panjang diantisipasi dengan proses penyesuaian berupa penambahan belanja publik.

Tabel 7.3 Hasil Analisis Kointegrasi Pajak-Belanja Pembangunan

LTAX, LGED (VAR lag =2)Hipotesis Nul λ-trace

Ho : r = 0Ho : r ≤ 1

19.15 b

4.18LX = log (Xt) b adalah signifi kan pada α = 5 %

193

Ketahanan Fiskal

Hasil analisis kendala pada variabel bebas juga diketahui bahwa F statistik pada model pajak tidak signifi kan walaupun pada tingkat keyakinan 0.90, sedangkan pada model belanja pembangunan signifi kan pada tingkat keyakinan 0.95. Penemuan ini memberikan arti bahwa variabel LGED dapat dikeluarkan dari model LTAX, sedangkan variabel LTAX tidak dapat dikeluarkan dari model LGED. Hasil ini menunjukkan tidak adanya hubungan kausalitas, dan hanya ada hubungan satu arah dalam jangka pendek, dari pajak kepada belanja publik. Ini berarti bahwa dalam jangka pendek belanja untuk membiayai proyek-proyek publik tidak dapat segera meningkatkan pajak, namun penerimaan pajak tersebut segera dialokasikan untuk pembiayaan proyek-proyek publik pada periode tahun berikutnya.

Implikasi dari hasil kajian tersebut adalah bahwa peningkatan pertumbuhan pajak akan menyebabkan peningkatan belanja pembangunan dalam jangka pendek dan jangka panjang. Peningkatan pertumbuhan belanja pembangunan dapat mendorong adanya peningkatan penerimaan pajak oleh pemerintah dalam periode lebih dari satu tahun. Walaupun hasil analisis menunjukkan tidak adanya hubungan kausalitas dalam jangka pendek dari belanja pembangunan kepada pajak, walaupun berdasarkan tingkat signifi kan 0.90, namun analisis ini menunjukkan signifi kan pada dalam jangka panjang. Dalam kenyataannya, adanya dampak peningkatan belanja pembangunan/publik pada pajak dalam jangka pendek secara otomatis akan meningkatkan akumulasi penerimaan pajak dalam jangka panjang. Dengan demikian dalam jangka panjang tidak dapat ditolak adanya hubungan kausalitas dua arah antara pajak dan belanja publik. Hasil ini mendorong kualitas ketahanan fi skal di Indonesia, khususnya dalam jangka panjang.

Kenyataan adanya hubungan kausalitas dua arah dalam jangka panjang antara pajak dan belanja

194

Dinamika Kinerja Fiskal di Indonesia

pembangunan ini menunjukkan bahwa peruntukan belanja pembangunan mampu menumbuhkan unit-unit kegiatan ekonomi baru sehingga mampu meningkatkan penerimaan pajak dalam jangka pendek. Implikasi lain adalah pembayar pajak memberi respon positif terhadap perilaku pemerintah dalam menjalankan pengelolaan negara. Dilihat dari sudut pembiayaan juga dapat dijelaskan bahwa pajak merupakan faktor terpenting untuk belanja pembangunan.

Tabel 7.4 Hasil Analisis Kausalitas Pajak-Belanja Pembangunan

Variabel Terikat

Statistik F dengan Kendala Variabel:

Koefi sien Error

Correction∆ LTAX ∆ LGED

∆ LTAX

∆ LGED

-

12.52(0.031) b

2.14(0.2201)

-

0.037(0.084) c

0.287(0.027) b

Hubungan jangka pendek:Hubungan jangka panjang:

LTAX LGEDLTAX LGED

∆LX = log (Xt) - log (Xt-1)Angka dalam kurung adalah p-value b adalah signifi kan pada α = 5 % c adalah signifi kan pada α = 10 %

Untuk mengetahui tingkat timbal balik antara pajak dan belanja pembangunan tersebut metode fungsi timbal balik digunakan. Hasil analisisnya dapat dilihat pada Gambar 7.5 yang merupakan timbal balik antara pajak dan belanja pembangunan. Variabel belanja pembangunan memberikan timbal balik positif kepada kejutan satu

195

Ketahanan Fiskal

standar deviasi pajak sebesar 10 persen pada tahun pertama dan 15 persen pada tahun kedua dan segera mencapai keseimbangan pada tahun kedua dengan tingkat timbal balik yang semakin besar. Pada tahun ketiga timbal balik tersebut semakin tinggi. Ini berarti bahwa dampak peningkatan belanja pembangunan untuk meningkatkan penerimaan pajak akan bertambah semakin besar.

Variabel pajak juga memberikan timbal balik negatif 5 persen pada tahun pertama kepada kejutan satu standar deviasi belanja pembangunan dan mengalami peningkatan pada tahun kedua. Pada tahun ketiga juga timbal balik tersebut mencapai negatif 1 persen, kemudian meningkat mencapai negatif 4 persen pada tahun keempat, kemudian mengalami peningkatan dan mencapai keseimbangan pada tingkat mendekati angka dari pada tahun kesepuluh. Fenomena ini menunjukkan bahwa belanja pembangunan masih memberi dampak kepada peningkatan penerimaan pajak sampai pada periode sepuluh tahun. Kenyataan ini merupakan sesuatu yang positif untuk sebuah negara berkembang serta mencerminkan kualitas pengelolaan keuangan pemerintah yang baik.

Timbal balik pajak pada belanja pembangunan ini menguatkan adanya hubungan kausalitas dua arah antara pajak dengan belanja pembangunan dalam jangka panjang. Walaupun pada awal tahun pertama memberikan timbal balik negatif, namun pada tahun kedua dan tahun-tahun berikutnya variabel pajak memberikan timbal balik positif. Ini berarti bahwa peningkatan belanja pembangunan akan meningkatkan penerimaaan pajak, sama ada dalam jangka pendek maupun jangka panjang.

196

Dinamika Kinerja Fiskal di Indonesia

-2.0

-1.5

-1.0

-0.5

0.0

0.5

1.0

1.5

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10

Response of TOTTAX to TOTTAX

-2.0

-1.5

-1.0

-0.5

0.0

0.5

1.0

1.5

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10

Response of TOTTAX to PUBLICEXP

-3

-2

-1

0

1

2

3

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10

Response of PUBLICEXP to TOTTAX

-3

-2

-1

0

1

2

3

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10

Response of PUBLICEXP to PUBLICEXP

Response to Nonfactorized One S.D. Innovations

Gambar 7.5. Timbal Balik Belanja Publik dan Pajak

7.6. Analisis kausalitas pajak-belanja totalHubungan keseimbangan dalam jangka panjang antara pajak dengan belanja total dapat juga dianalisis dengan metode kointegrasi. Hasil analisis kointegrasi antara pajak-belanja total tersebut dipaparkan pada Tabel 7.5. Analisis dilakukan berdasarkan model VAR dengan jumlah lag 1. Atas dasar hasil analisis tersebut dapat diketahui pasti bahwa hipotesis nul tidak adanya vektor kointegrasi (Ho : r = 0) ditolak pada tingkat keyakinan 0.95. Hasil ini menunjukkan bahwa antara kedua variabel itu ada satu vektor kointegrasi pada tingkat keyakinan tersebut.

197

Ketahanan Fiskal

Oleh itu hubungan keseimbangan itu ada dalam jangka panjang antara pajak dengan belanja total. Berdasarkan hasil tersebut, analisis kausalitas-Granger antara kedua variabel dapat dilakukan dengan mengambil perkiraan faktor terma koreksi kesalahan hasil kointegrasi tersebut.

Tabel 7.5 Hasil Analisis Kointegrasi Pajak dan Belanja Total

LTAX, LGET (VAR lag =1)Hipotesis Nul λ-trace

Ho : r = 0Ho : r ≤ 1

19.54 b

6.86

LX = log (Xt);

b adalah signifi kan pada α = 5 %

Setelah ditemukan adanya hubungan kointegrasi, maka analisis dengan VECM dapat dilakukan. Hasil analisis analisis antara pajak dengan belanja total dilakukan berdasarkan model kendala VAR dengan lag 2 seperti yang dipaparkan pada Tabel 7.6. Dari hasil analisis dapat diketahui, bahwa koefi sien ECT pada model pajak signifi kan pada tingkat keyakinan 0.95, sedangkan koefi sien ECT pada model belanja total tidak signifi kan. Ini berarti hubungan kausalitas satu arah dalam jangka panjang hanya ada pada belanja total pada pajak. Perkembangan belanja total mengalami ketidakseimbangan dengan tingkat penyesuaian mencapai sekitar 5 persen. Tanda koefi sien ECT negatif menunjukkan bahwa proses penyesuaian memiliki arah yang berbeda, yaitu ketidakseimbangan belanja yang terjadi dalam jangka panjang diantisipasi dengan proses penyesuaian berupa pengurangan belanja total. Dengan kata lain, dalam jangka panjang terjadi

198

Dinamika Kinerja Fiskal di Indonesia

kebijakan fi skal yang bersifat pengendalian belanja lebih utama daripada pengendalian pajak (spend-tax), dan berarti pula peningkatan pertumbuhan belanja total memberi dampak yang signifi kan kepada peningkatan penerimaan pajak. Fenomena ini menunjukkan bahwa peruntukan belanja total mampu menumbuhkan berbagai unit kegiatan baru dalam ekonomi, sehingga mampu mencipta sumber penerimaan pajak baru. Proses tersebut didukung oleh efi siensi dalam pengelolaan belanja, khususnya belanja pembangunan.

Tabel 7.6 Hasil Analisis Kausalitas Pajak-Belanja Total

Variabel Terikat

Statistik F dengan Kendala Variabel:

Koefi sien Error

Correction∆ LTAX ∆ LGET

∆ LTAX

∆ LGET

-

4.155 (0.224) b

0.658 (0.327)

-

0.139 (0.038) b

-0.048 (0.214)

Hubungan jangka pendek:Hubungan jangka panjang:

LTAX LGETLTAX LGET

∆LX = log (Xt) - log (Xt-1)Angka dalam kurung adalah p-value b adalah signifi kan pada α = 5 %

Tidak adanya hubungan kausalitas dalam jangka panjang dari pajak kepada belanja total menunjukkan bahwa ada sumber-sumber pembiayaan belanja total yang berasal dari luar pajak. Kenyataannya juga menunjukkan bahwa sumber pembiayaan proyek-proyek publik dapat

199

Ketahanan Fiskal

berasal dari utang pemerintah, baik dari dalam negeri atau luar negeri. Melihat hasil kajian ini, maka dalam jangka panjang akan muncul suatu hipotesis yang menyatakan ketergantungan sumber-sumber pembiayaan pembangunan sektor publik pada utang. Jika hal ini terjadi berkelanjutan, maka akan terjadilah beban utang, yaitu ketergantungan pada utang yang dapat mengancam perekonomian nasional. Hasil analisis ini tidak mendukung adanya ketahanan fi skal yang baik.

Hasil analisis kendala pada variabel bebas juga diketahui bahwa F statistik pada model belanja total signifi kan pada tingkat keyakinan 0.95, sedangkan pada model pajak tidak signifi kan, walaupun pada tingkat keyakinan 0.90. Penemuan ini berarti bahwa variabel LGET dapat dikeluarkan dari model LTAX, sedangkan variabel LTAX tidak dapat dikeluarkan dari model LGET. Hasil ini menunjukkan adanya hubungan kausalitas satu arah dalam jangka pendek dari pajak kepada belanja total. Ini menunjukkan bahwa dalam jangka pendek, peningkatan penerimaan pajak akan diperuntukkan untuk membiayai proyek-proyek publik. Peningkatan peruntukan belanja secara total belum dapat segera meningkatkan pajak, tetapi akan memiliki dampak pada peningkatan pajak pada tahun berikutnya. Dengan demikian dalam jangka pendek terjadi kebijakan fi skal yang bersifat pengendalian pajak lebih utama daripada pengendalian belanja (tax- spend). Namun mengingat bahwa pengelolaan kebijakan fi skal sebuah ekonomi berkelanjutan, maka fenomena pajak dan belanja dalam jangka pendek tersebut secara otomatis juga akan terjadi dalam jangka panjang. Artinya peningkatan belanja total sangat tergantung juga pada pajak, baik dalam jangka pendek atau jangka panjang.

Implikasi dari hasil kajian tersebut adalah bahwa peningkatan pertumbuhan pajak akan segera menyebabkan peningkatan belanja total dalam jangka pendek. Artinya pajak merupakan sumber pembiayaan

200

Dinamika Kinerja Fiskal di Indonesia

utama untuk proyek-porojek publik. Peningkatan pertumbuhan belanja total juga dapat mendorong adanya peningkatan penerimaan pajak dan sumber-sumber lain oleh pemerintah dalam jangka panjang. Walaupun hasil analisis tidak menunjukkan adanya hubungan kausalitas dalam jangka panjang dari pajak kepada belanja total, namun dalam kenyataannya dampak peruntukan pajak kepada belanja total adalah berkelanjutan. Artinya fenomena jangka pendek dan jangka panjang adalah periode yang diperlukan untuk timbal balik hubungan antara kedua variabel tersebut.

Adanya dampak peningkatan belanja total pada pajak dalam jangka panjang adalah wajar mengingat proyek-proyek publik memiliki periode pengeluaran yang lama, misalnya dampak pembangunan prasarana dan kemudahan fi sik yang berupa jalan, bekalan air dan listrik akan meningkatkan kegiatan ekonomi swasta. Implikasi lainnya adalah pembayar pajak memiliki respon positif terhadap perilaku pemerintah dalam melakukan pengelolaan negara. Dilihat dari sudut pembiayaan juga dapat dijelaskan bahwa pajak merupakan faktor terpenting dalam belanja total, bahkan pada tahun anggaran yang sama. Artinya target penerimaan pajak sudah diperuntukkan untuk pembangunan proyek publik dan pembiayaan operasi pemerintah pada tahun tersebut. Fenomena ini merupakan sesuatu yang wajar dalam pengelolaan sebuah pemerintah negara yang berkembang.

Untuk mengetahui tingkat timbal balik antara pajak dengan belanja total, dilakukan metode fungsi timbal balik yang dapat dilihat pada Gambar 7.6. Variabel belanja total memberikan timbal balik negatif kepada kejutan satu standar deviasi pajak sebesar 5 persen pada tahun pertama dan hampir 0 persen pada tahun kedua, dan juga pada tahun ketiga dan keempat. Pada tahun kelima keadaan itu juga mencapai keseimbangan dengan tingkat

201

Ketahanan Fiskal

timbal balik yang semakin kecil dan stabil tetap pada tingkat 0 persen. Ini berarti bahwa dampak peningkatan belanja total pada pajak tidak terjadi berkelanjutan dalam jangka panjang.

Variabel pajak juga memberikan timbal balik positif 0 persen pada tahun pertama pada kejutan satu standar deviasi belanja pembangunan dan meningkat pada tahun kedua menjadi sekitar satu persen. Pada tahun ketiga juga timbal balik tersebut mencapai positif sekitar angka 1 persen, kemudian meningkat pada tahun keempat dan selanjutnya mencapai keseimbangan pada tingkat yang semakin meningkat. Fenomena ini menunjukkan bahwa pajak memiliki dampak yang besar dan berkelanjutan ada peningkatan penerimaan belanja total pada periode yang lama. Kenyataan ini merupakan sesuatu yang wajar untuk sebuah negara yang berkembang serta mencerminkan pengelolaan keuangan pemerintah yang menunjukkan bahwa sebagai besar sumber belanja pemerintah berasal dari pajak. Hasil kajian ini sesuai dengan hasil analisis hubungan kausalitas tentang adanya hubungan dua arah antara belanja total dengan pajak. Timbal balik belanja total lebih cepat, dan memerlukan periode yang lebih pendek, sedangkan responnya terhadap pajak lebih lambat dan memerlukan periode yang lebih lama. Namun kedua variabel itu memiliki respon yang positif dan berkelanjutan dalam jangka panjang.

Timbal balik pajak pada belanja total ini menguatkan adanya hubungan kausalitas dua arah antara pajak dengan belanja total dalam jangka panjang. Walaupun pada awal tahun pertama pajak memberikan timbal balik yang rendah, namun pada tahun kedua dan tahun-tahun berikutnya variabel pajak memberikan timbal balik yang positif dan meningkat pada tingkat yang semakin tinggi. Ini berarti bahwa peningkatan belanja total akan meningkatkan penerimaaan pajak, sama ada dalam jangka pendek maupun jangka panjang. Pada tahun kesepuluh

202

Dinamika Kinerja Fiskal di Indonesia

respon pajak mencapai 60 persen, ini berarti bahwa rata-rata peningkatan pajak dalam jangka panjang sebagai dampak dari peruntukan belanja total dapat diperkirakan sekitar 6 persen saja setiap tahun. Fenomena ini, sekali lagi menunjukkan pencapian yang belum baik dalam pengelolaan kebijakan fi skal, khususnya untuk menggali sumber pendapatan pemerintah.

-.1

.0

.1

.2

.3

.4

.5

.6

.7

.8

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10

Response of TOTTAX to TOTTAX

-.1

.0

.1

.2

.3

.4

.5

.6

.7

.8

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10

Response of TOTTAX to TOTGEXP

-1.0

-0.5

0.0

0.5

1.0

1.5

2.0

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10

Response of TOTGEXP to TOTTAX

-1.0

-0.5

0.0

0.5

1.0

1.5

2.0

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10

Response of TOTGEXP to TOTGEXP

Response to Cholesky One S.D. Innovations

Gambar 7.6. Timbal Balik Pajak dan Belanja Total

7.7. Analisis kausalitas penerimaan total dan belanja operasional

Tabel 7.7 memaparkan hasil analisis kointegrasi antara penerimaan total dan belanja operasional berdasarkan

203

Ketahanan Fiskal

model VAR dengan jumlah lag 2. Atas dasar hasil analisis tersebut dapat diketahui pasti bahwa hipotesis nul tidak adanya vektor kointegrasi (Ho : r = 0) ditolak pada tingkat keyakinan 0.95. Hasil ini menunjukkan bahwa antara kedua variabel ada satu vekor kointegrasi dengan keyakinan pada tingkat 0.95. Hasil kajian ini juga menjelaskan terjadinya hubungan keseimbangan jangka panjang antara total penerimaan dengan belanja operasional. Oleh karena itu untuk melakukan analisis kausalitas antara kedua variabel mestilah mengambil perkiraan faktor term koreksi kesalahan hasil kointegrasi tersebut.

Tabel 7.7 Hasil Analisis Kointegrasi Total Penerimaan -Belanja Operasional

LREVT, LGEO (VAR lag =2)Hipotesis Nul λ-trace

Ho : r = 0Ho : r ≤ 1

24.25 b

9.93

LX = log (Xt) b berarti signifi kan pada α = 5 %

Setelah ditemukan adanya hubungan kointegrasi, maka analisis dengan VECM dapat dilakukan. Model VEC merupakan hasil kendala dari VAR dengan jumlah lag berdasarkan nilai minimal AIC juga. Hasil analisis analisis antara total penerimaan dengan perbelanjan operasional dipaparkan pada Tabel 7.8. Dari hasil analisis dapat diketahui, bahwa hanya koefi sien ECT pada model belanja operasional yang memiliki signifi kansi pada tingkat keyakinan 0.99. Temuan ini menunjukkan tidak adanya hubungan kausalitas dua arah dalam jangka panjang antara penerimaan total dan belanja operasional. Hasil analisis ini juga sesuai dengan hasil analisis hubungan

204

Dinamika Kinerja Fiskal di Indonesia

kausalitas antara pajak dan belanja operasional. Ini berarti bahwa penambahan sumber keuangan selain pajak tidak mengubah hubungan kausalitas antara kedua variabel tersebut.

Tabel 7.8 Hasil Analisis Kausalitas Total Penerimaan-Belanja Operasional

Variabel Terikat

Statistik F dengan Kendala Variabel:

Koefi sien Error

Correction∆ LREVT ∆ LGEO

∆ LREVT

∆ LGEO

-

0.264 (0.06) b

0.256 (0.219)

-

0.023 (0.551)

0.258(0.010) a

Hubungan jangka pendek:Hubungan jangka panjang:

LREVT LGEOLREVT LGEO

∆LX = log (Xt) - log (Xt-1)Angka dalam kurung adalah nilai p-value a adalah signifi kan pada α = 1 %

Hasil pengujian kendala pada variabel bebas juga diketahui bahwa model penerimaan tidak signifi kan pada tingkat keyakinan 0.90, namun pada model pajak signifi kan. Ini berarti bahwa variabel LGEO dapat dikeluarkan dari model LREVT, sedangkan variabel LREVT tidak dapat dikeluarkan dari model LGEO. Hasil ini menunjukkan tidak adanya hubungan kausalitas dalam jangka pendek, namun ada hubungan dari total penerimaan kepada belanja operasional, sednagkan dari belanja operasional kepada total penerimaan tidak demikian. Peningkatan belanja operasional tidak memiliki dampak segera pada peningkatan penerimaan total

205

Ketahanan Fiskal

pemerintah, walaupun memiliki dampak pada pajak. Namun peningkatan pada total penerimaan juga segera memiliki dampak pada peningkatan belanja operasional, dan berarti pengelolaan belanja operasional, khususnya untuk birokrasi pemerintah dapat stabil dengan mendapat sumber pembiayaan utama pajak.

Hail analisis tersebut menunjukkan bahwa terjadinya ketidakseimbangan pada variabel total penerimaan dan belanja publik. Namun dalam jangka pendek ada respon dari variabel belanja operasional. Artinya perubahan pada salah satu variabel akan memiliki dampak pada variabel lainnya dalam periode yang lama, yaitu lebih dari satu tahun. Tanda koefi sien ECT untuk kedua-dua model adalah positif, dan berarti bahwa proses penyesuaian terjadi pada arah yang sama, artinya peningkatan kejutan sebagai adanya ketidakseimbangan dan responnya dengan penambahan pada kedua variabel. Kedua variabel juga memiliki tingkat penyesuaian yang sangat berbeda, yaitu 2,3 persen pada variabel penerimaan, dan 26 persen pad avariabel belanja operasional. Angka ini penyesuaian pada penerimaan ini relatif kecil, karena hanya 2,3 persen dari tingkat ketidakseimbangan penerimaan dapat diantisipasi. Adapun ketidakseimbangan belanja operasional dapat diantisipasi sebesar 26 persen.

Implikasi dari hasil kajian tersebut adalah bahwa peningkatan pertumbuhan total penerimaan akan menyebabkan peningkatan belanja operasional dalam jangka panjang dan jangka pendek. Namun peningkatan pertumbuhan belanja operasional tidak mendorong terjadinya penerimaan total penerimaan oleh pemerintah dalam jangka pendek maupun panjang. Kenyataan ini menjelaskan bahwa untuk meningkatkan penerimaan pemerintah dapat dilakukan dengan meningkatkan kualitas birokrasi dan pelayanan pemerintah. Implikasi lain adalah bahwa pembayar pajak tidak memiliki respon positif terhadap perilaku pemerintah dalam

206

Dinamika Kinerja Fiskal di Indonesia

melakukan pengelolaan negara. Dilihat dari sudut pandang pembiayaan juga dapat dijelaskan bahwa total penerimaan merupakan sumber utama untuk pembiayaan kegiatan operasional pemerintah. Tidak adanya hubungan kausalitas dalam jangka pendek antara total penerimaan dengan belanja operasional menunjukkan bahwa proses birokrasi pemerintah tidak terancam dalam jangka pendek seandainya terjadi perubahan dalam penerimaan total penerimaan. Pengelolaan kegiatan pemerintah belum memainkan peranan yang penting untuk peningkatan sumber-sumber keuangan pemerintah, misalnya pajak.

Hasil analisis timbal balik antara total penerimaan dan belanja operasional berdasarkan fungsi timbal balik dapat dilihat pada Gambar 7.7. Variabel belanja operasional memberikan timbal balik negatif pada kejutan satu standar deviasi total penerimaan sebesar 2 persen pada tahun pertama dan hampir 3 persen pada tahun kedua dan segera mencapai keseimbangan pada tahun kedua dengan tingkat respon negatif yang semakin besar. Dalam jangka panjang timbal balik belanja operasional negatif semakin besar, yang berarti tidak mendukung adanya hubungan kausalitas dalam jangka panjang sesuai dengan hasil analisis hubungan kausalitas dan kointegrasi. Respon negatif dalam kasus ini mencerminkan belum adanya adanya sinkronisasi dan kesesuaian pengelolaan keuangan dengan program pemerintah. Kapasitas birokrasi pemerintah akan meningkat hanya sebagai akibat dari peningkatan penerimaan pemerintah.

Variabel jumlah penerimaan juga memberikan timbal balik positif kurang dari satu persen pada tahun pertama pada kejutan satu standar deviasi belanja operasional dan mengalami peningkatan pada tahun kedua untuk selanjutnya mencapai keseimbangan pada tingkat positif yang semakin besar. Fenomena ini menunjukkan bahwa peningkatan belanja operasional yang semakin besar dan berkelanjutan akan memiliki dampak pada

207

Ketahanan Fiskal

peningkatan penurunan total penerimaan dalam jangka panjang. Kenyataan ini mencerminkan ketidakstabilan pada pengelolaan keuangan pemerintah pada periode berikutnya, yaitu adanya birokrasi pemerintah yang melebihi ukurannya (oversize).

-1.5

-1.0

-0.5

0.0

0.5

1.0

1.5

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10

Response of REVTOTAL to REVTOTAL

-1.5

-1.0

-0.5

0.0

0.5

1.0

1.5

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10

Response of REVTOTAL to OPERATION

-1.2

-0.8

-0.4

0.0

0.4

0.8

1.2

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10

Response of OPERATION to REVTOTAL

-1.2

-0.8

-0.4

0.0

0.4

0.8

1.2

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10

Response of OPERATION to OPERATION

Response to Cholesky One S.D. Innovations

Gambar 7.7. Timbal Balik Total Penerimaan dan Belanja Operasional

7.8. Analisis kausalitas penerimaan total dan belanja publik

Analisis kointegrasi dapat dilakukan juga antara total penerimaan dengan belanja publik, mengingat kedua variabel tersebut juga bagian dari data ekonomi makro yang pada umumnya memiliki sifat stasioneritas pada

208

Dinamika Kinerja Fiskal di Indonesia

derajat satu. Hasil analisis kointegrasi antara penerimaan total dan belanja pembangunan dipaparkan pada Tabel 7.9. Analisis tersebut berdasarkan model VAR dengan jumlah lag 1. Atas dasar hasil analisis tersebut dapat diketahui pasti bahwa hipotesis nul tidak adanya vektor kointegrasi (Ho : r = 0) ditolak pada tingkat keyakinan 0.95. Hasil ini menunjukkan bahwa antara kedua variabel ada satu vekor kointegrasi dengan keyakinan pada tingkat keyakinan tersebut. Oleh itu ada hubungan keseimbangan jangka panjang antara penerimaan total dengan belanja publik, walaupun dalam jangka pendek mungkin terjadi ketidakseimbangan. Berdasarkan hasil tersebut analisis kausalitas dengan metode dinamik antara kedua variabel itu dapat dilakukan dengan mengambil perkiraan faktor term hasil kointegrasi untuk dimasukkan pada model vektor koreksi kesalahan.

Tabel 7.9 Hasil Analisis Kointegrasi Total Penerimaan dan Belanja Publik

LREVT, LGED (VAR lag =1)Hipotesis Nul λ-trace

Ho : r = 0Ho : r ≤ 1

24.31b

9.15

LX = log (Xt) b adalah signifi kan pada α = 5 %

Analisis hubungan kausalitas antara penerimaan total dengan belanja publik juga dilakukan dengan metode VECM. Hasil analisis antara penerimaan total dengan belanja publik berdasarkan kendala VAR dengan lag 1 dipaparkan pada Tabel 7.10. Dari hasil analisis dapat diketahui bahwa koefi sien ECT pada model penerimaan total signifi kan pada tingkat keyakinan 0.95, sedangkan koefi sien ECT pada model belanja publik tidak signifi kan.

209

Ketahanan Fiskal

Ini berarti hanya ada hubungan kausalitas satu arah dalam jangka panjang dari belanja pembangunan kepada total penerimaan. Perkembangan total penerimaan mengalami ketidakseimbangan dengan tingkat penyesuaian mencapai 32.5 persen. Tanda koefi sien ECT negatif menunjukkan bahwa proses penyesuaian memiliki arah yang berbeda, yaitu ketidakseimbangan belanja yang terjadi dalam jangka panjang diantisipasi dengan proses penyesuaian yang berupa penurunan belanja pembangunan. Kenyataan ini menunjukkan bahwa besarnya target total penerimaan itu lebih kecil dari gap sebenarnya.

Hasil pengujian kendala pada variabel bebas juga diketahui bahwa F statistik pada model belanja publik signifi kan pada tingkat keyakinan 0.95, sedangkan pada model penerimaan total tidak signifi kan, walaupun pada tingkat keyakinan 0.90. Penemuan ini memberikan arti bahwa variabel LGED dapat dikeluarkan dari model LREVT, sedangkan variabel LREVT tidak dapat dikeluarkan dari model LGED. Hasil ini menunjukkan adanya hubungan kausalitas satu arah dalam jangka pendek, dari total penerimaan kepada belanja pembangunan. Ini berarti bahwa dalam jangka pendek peningkatan total penerimaan langsung digunakan untuk belanja untuk membiayai proyek-proyek publik.

210

Dinamika Kinerja Fiskal di Indonesia

Tabel 7.10 Hasil Analisis Kausalitas Total Penerimaan-Belanja Publik

Variabel Terikat

Statistik F dengan Kendala Variabel:

Koefi sien Error

Correction∆ LREVT ∆ LGED

∆ LREVT

∆ LGED

-

5.231(0.024) b

0.464(0.153)

-

0.325 (0.042) b

-0.021 (0.117)

Hubungan jangka pendek:Hubungan jangka panjang:

LREVT LGEDLREVT LGED

∆LX = log (Xt) - log (Xt-1)Angka dalam kurung adalah p-value b adalah signifi kan pada α = 5 %

Implikasi dari hasil analisis tersebut adalah bahwa peningkatan pertumbuhan belanja pembangunan akan menyebabkan peningkatan total penerimaan dalam jangka panjang saja. Peningkatan pertumbuhan belanja pembangunan dapat mendorong adanya peningkatan penerimaan total oleh pemerintah dalam periode yang relatif lama, yaitu lebih dari satu tahun. Hasil analisis menunjukkan tidak adanya hubungan kausalitas dalam jangka panjang dari penerimaan total kepada belanja publik, namun ada hubungan dalam jangka pendek. Ini berarti bahwa peruntukan total penerimaan untuk belanja publik juga meliputi tahun perencanaan, artinya sasaran untuk total penerimaan tahun tertentu digunakan untuk belanja pembangunan tahun yang bersangkutan tersebut. Ini berarti bahwa belanja sangat tergantung pada total penerimaan, baik sumber keuangan dari pajak atau bukan pajak.

211

Ketahanan Fiskal

Kenyataan adanya hubungan kausalitas satu arah dalam jangka panjang antara belanja publik kepada penerimaan total ini menjelaskan bahwa peruntukan belanja publik mampu menumbuhkan unit-unit kegiatan ekonomi baru sehingga mampu meningkatkan penerimaan total penerimaan dalam jangka pendek, baik sumber keuangan berupa pajak maupun bukan pajak. Implikasi lain adalah bahwa pembayar pajak memiliki respon positif terhadap perilaku pemerintah dalam melakukan pengelolaan negara, khususnya dalam pengelolaan proyek publik. Dilihat dari sudut pembiayaan juga dapat dijelaskan bahwa total penerimaan merupakan faktor terpenting untuk belanja publik. Adanya peningkatan total penerimaan akan diperuntukkan untuk pembiayaan proyek-proyek pemerintah. Fenomena ini merupakan suatu yang wajar dalam pengelolaan pemerintah sebuah negara.

Untuk mengetahui tingkat timbal balik antara total penerimaan dengan belanja pembangunan tersebut dapat dilakukan dengan metode fungsi timbal balik. Gambar 7.8 memaparkan hasil analisis timbal balik antara total penerimaan dengan belanja pembangunan. Variabel belanja publik memberikan timbal balik positif kepada kejutan satu standar deviasi total penerimaan sebesar 0 persen pada tahun pertama dan hampir 4 persen pada tahun kedua dan meningkat pada tahun ketiga menjadi sekitar 12 persen. Pada tahun ketiga juga segera mencapai keseimbangan dengan tingkat timbal balik yang semakin besar. Ini berarti bahwa dampak peningkatan total penerimaan pada peningkatan belanja pembangunan terjadi pada jangka panjang.

Variabel total penerimaan juga memberikan timbal balik 0 persen pada tahun pertama dan kedua kepada kejutan satu standar deviasi belanja pembangunan dan mengalami peningkatan pada tahun ketiga menjadi sekitar negatif 4 persen. Pada tahun kelima timbal balik

212

Dinamika Kinerja Fiskal di Indonesia

tersebut turun mencapai negatif 3 persen, kemudian mencapai 0 persen pada tahun delapan, dan mencapai keseimbangan pada tingkat yang semakin besar. Fenomena ini menunjukkan bahwa belanja pembangunan memiliki dampak pada peningkatan penerimaan total penerimaan sehingga jangka panjang juga. Kenyataan ini merupakan sesuatu yang positif untuk sebuah negara yang berkembang serta mencerminkan kualitas pengelolaan keuangan pemerintah yang baik.

Timbal balik total penerimaan pada belanja pembangunan ini menguatkan adanya hubungan kausalitas dua arah antara pajak dengan belanja pembangunan dalam jangka panjang. Walaupun hasil analisis hubungan kausalitas hanya menunjukkan terjadinya hubungan satu arah dalam jangka panjang dari belanja kepada total penerimaan, namun pada tahun kedua dan tahun-tahun berikutnya variabel total penerimaan memberikan timbal balik positif. Ini berarti bahwa peningkatan belanja pembangunan akan meningkatkan penerimaan total penerimaan dalam jangka panjang saja.

213

Ketahanan Fiskal

-0.4

0.0

0.4

0.8

1.2

1.6

2.0

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10

Response of REVTOTAL to REVTOTAL

-0.4

0.0

0.4

0.8

1.2

1.6

2.0

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10

Response of REVTOTAL to PUBLICEXP

-0.8

-0.4

0.0

0.4

0.8

1.2

1.6

2.0

2.4

2.8

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10

Response of PUBLICEXP to REVTOTAL

-0.8

-0.4

0.0

0.4

0.8

1.2

1.6

2.0

2.4

2.8

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10

Response of PUBLICEXP to PUBLICEXP

Response to Cholesky One S.D. Innovations

Gambar 7.8. Timbal Balik Total Penerimaan dan Belanja Publik

7.9. Analisis kausalitas penerimaan total dan belanja total

Hubungan keseimbangan dalam jangka panjang antara penerimaan total dan belanja total dapat juga dianalisis dengan metode kointegrasi. Hasil analisis kointegrasi antara kedua-dua variabel tersebut dipaparkan pada Tabel 7.11. Analisis dilakukan berdasarkan model VAR dengan jumlah lag 1. Atas dasar hasil analisis tersebut dapat diketahuipasti bahwa hipotesis nul tidak adanya vektor kointegrasi (Ho : r = 0) ditolak pada tingkat keyakinan

214

Dinamika Kinerja Fiskal di Indonesia

0.95. Hasil ini menunjukkan bahwa antara kedua variabel itu ada satu vekor kointegrasi pada tingkat keyakinan tersebut. Oleh karena itu ada hubungan keseimbangan jangka panjang antara pajak dengan belanja total. Berdasarkan hasil tersebut, analisis kausalitas antara kedua variabel dapat dilakukan dengan mengambil perkiraan faktor terma koreksi kesalahan hasil kointegrasi tersebut untuk mendapatkan tingkat penyesuaian untuk mencapai keseimbangannya.

Tabel 7.11 Hasil Analisis Kointegrasi Total Penerimaan dan Belanja Total

LREVT, LGET (VAR lag =2)Hipotesis Nul λ-trace

Ho : r = 0Ho : r ≤ 1

17.24 b

3.16

LX = log (Xt) b adalah signifi kan pada α = 5 %

Hasil analisis kointegrasi menunjukkan bahwa ada hubungan kointegrasi, oleh karena itu analisis dengan VECM juga dapat dilakukan. Hasil analisis analisis antara total penerimaan dengan belanja total yang dibuat berdasarkan model kendala VAR dengan lag 1 dipaparkan pada Tabel 7.12. Dari hasil analisis dapat diketahui bahwa koefi sien ECT pada model total penerimaan itu signifi kan pada tingkat keyakinan 0.95, sedangkan koefi sien ECT pada model belanja total juga signifi kan. Ini berarti ada hubungan kausalitas dua arah dalam jangka panjang dari belanja total dan penerimaan total.

215

Ketahanan Fiskal

Tabel 7.12 Hasil Analisis Kausalitas Penerimaan Total dan Belanja Total

Variabel Terikat

Statistik F dengan Kendala Variabel:

Koefi sien Error

Correction∆ LREVT ∆ LGET

∆ LREVT

∆ LGET

-

1.357(0.084) c

0.420(0.162)

-

0.231 (0.073) c

-0.126 (0.041) b

Hasil pada model jangka pendek:Hasil pada model jangka panjang:

LREVT LGETLREVT LGET

∆LX = log (Xt) - log (Xt-1)Angka dalam kurung adalah p-value b adalah signifi kan pada α = 5 % c adalah signifi kan pada α = 10 %

Perkembangan belanja total mengalami ketidakseimbangan dengan tingkat penyesuaian mencapai 12,6 persen yang ditunjukkan oleh angka koefi sien pada variabel ECT. Tanda koefi sien ECT negatif menunjukkan bahwa proses penyesuaian memiliki arah yang berbeda, yaitu ketidakseimbangan belanja yang terjadi dalam jangka panjang diantisipasikan dengan proses penyesuaian itu berupa pengurangan belanja total. Dapat dikatakan juga bahwa target belanja publik total ternyata lebih rendah dari tingkat gap sebenarnya, sehingga proses penyesuaian perlu melakukan pengurangan. Hasil analisis ini ternyata tidak berbeda dengan hasil analisis antara pajak dengan belanja total. Artinya penambahan sumber keuangan selain pajak tidak mengubah pola hubungan antara keduanya.

216

Dinamika Kinerja Fiskal di Indonesia

Dengan kata lain juga, dalam jangka panjang terjadi kebijakan fi skal yang bersifat pendendalian belanja lebih utama daripada pengendalian penerimaan (spend-revenue), dan artinya peningkatan pertumbuhan belanja total memiliki dampak yang signifi kan pada peningkatan penerimaan total. Fenomena ini menunjukkan bahwa peruntukan belanja total mampu menumbuhkan berbagai unit kegiatan baru dalam ekonomi sehingga mampu mencipta sumber penerimaan jumlah penerimaan baru, sama ada dari pajak atau bukan pajak. Proses tersebut mestilah didukung oleh efi siensi dalam pengelolaan belanja, khususnya belanja pembangunan.

Tidak adanya hubungan kausalitas dalam jangka pendek dari belanja total kepada penerimaan menunjukkan bahwa pembiayaan belanja total belum emmiliki dampak pada peningkatan penerimaan total. Kenyataan ini juga menunjukkan bahwa sumber pembiayaan proyek-proyek publik berupa belanja pembangunan yang mungkin berasal dari utang pemerintah, baik dari dalam negeri atau luar negeri. Melihat hasil analisis ini, maka dalam jangka panjang muncul sesuatu hipotesis yang menyatakan adanya ketergantungan sumber pembiayaan pembangunan sektor publik pada utang. Jika hal ini terjadi berkelanjutan, maka bisa menimbulkan beban utang, yaitu ketergantungan utang akibat terancamnya perekonomian nasional. Hasil analisis ini menguatkan hasil analisis antara pajak dan belanja total.

Hasil analisis kendala pada variabel bebas juga diketahui bahwa F statistik pada model belanja total itu signifi kan pada tingkat keyakinan 0.90, sedangkan pada model jumlah penerimaan tidak signifi kan, walaupun pada tingkat keyakinan 0.90. Penemuan ini memberikan arti bahwa variabel LGET dapat dikeluarkan dari model LREVT, sedangkan variabel LREVT tidak dapat dikeluarkan dari model LGET. Hasil ini menunjukkan adanya hubungan kausalitas satu arah dalam jangka pendek, dari total

217

Ketahanan Fiskal

penerimaan kepada belanja total. Ini menunjukkan bahwa dalam jangka pendek, peningkatan penerimaan total penerimaan diperuntukkan untuk membiayai proyek-proyek publik. Peningkatan peruntukan belanja secara total belum dapat segera meningkatkan total penerimaan, namun akan memiliki dampak pada peningkatan total penerimaan pada periode berikutnya. Dengan demikian dalam jangka pendek terjadi kebijakan fi skal yang bersifat penerimaan dan belanja (revenue-spend). Namun mengingat bahwa pengelolaan kebijakan fi skal adalah sebuah kebijakan ekonomi yang berkelanjutan, maka fenomena penerimaan dan belanja dalam jangka pendek tersebut secara otomatis juga akan terjadi dalam jangka panjang. Artinya peningkatan belanja total sangat tergantung juga pada total penerimaan, sama ada dalam jangka pendek atau jangka panjang.

Implikasi dari hasil kajian tersebut adalah bahwa peningkatan pertumbuhan total penerimaan akan segera diperuntukkan bagi peningkatan belanja total dalam jangka pendek. Ertinya total penerimaan merupakan sumber pembiayaan utama untuk proyek-porojek publik. Peningkatan pertumbuhan belanja total juga dapat mendorong adanya peningkatan penerimaan total penerimaan dan sumber-sumber lain bagi pemerintah dalam jangka panjang. Walaupun hasil analisis menunjukkan tidak adanya hubungan kausalitas dalam jangka panjang dari total penerimaan pada belanja total, namun dalam kenyataannya dampak peruntukan total penerimaan pada belanja total itu berkelanjutan. Artinya fenomena jangka pendek dan jangka panjang adalah periode yang diperlukan untuk timbal balik hubungan antara kedua variabel tersebut.

Adanya dampak peningkatan belanja total kepada total penerimaan dalam jangka panjang adalah wajar, mengingat proyek-proyek publik memiliki periode pengeluaran yang lama, misalnya dampak pembangunan

218

Dinamika Kinerja Fiskal di Indonesia

prasarana dan kemudahan fi sik berupa jalan, air dan listrik untuk meningkatkan kegiatan ekonomi swasta. Dilihat dari sudut pembiayaan juga dapat dijelaskan bahwa total penerimaan merupakan faktor terpenting untuk belanja secara total, bahkan pada tahun anggaran yang sama. Artinya harapan penerimaan total penerimaan sudah diperuntukkan bagi pembangunan proyek-proyek publik dan biaya operasi pemerintah pada tahun yang sama tersebut. Fenomena ini merupakan sesuatu yang wajar dalam pengelolaan sebuah pemerintah negara yang berkembang.

Untuk mengetahui tingkat timbal balik antara total penerimaan dengan belanja total, dapat dilakukan dengan metode fungsi timbal balik yang dapat dilihat pada Gambar 7.9. Variabel belanja total memberikan timbal balik negatif kepada kejutan satu standar deviasi total penerimaan sebesar 12 persen pada tahun pertama dan hampir negatif 10 persen pada tahun kedua, kemudian menurun lagi menjadi mendekati 8 persen pada tahun ketiga dan keempat. Pada tahun kelima juga segera mencapai keseimbangan dengan tingkat timbal balik yang negatif semakin kecil. Pada tahun ke-10 mencapai tingkat sekitar 7 persen. Ini berarti bahwa dampak peningkatan total penerimaan pada belanja total terjadi berkelanjutan dalam periode yang lama (jangka panjang) dengan tingkat yang semakin besar juga.

Variabel total penerimaan juga memberikan timbal balik positif 0 persen pada tahun pertama pada kejutan satu standar deviasi belanja pembangunan dan mengalami peningkatan pada tahun kedua menjadi sekitar negatif satu persen. Pada tahun ketiga juga timbal balik tersebut mencapai positif hampir angka 1 persen, meningkat pada tahun keempat kemudian mencapai keseimbangan pada tingkat yang semakin meningkat. Fenomena ini menunjukkan bahwa belanja total memiliki dampak yang besar dan berkelanjutan pada peningkatan penerimaan

219

Ketahanan Fiskal

total penerimaan pada periode yang lama. Kenyataan ini merupakan sesuatu yang positif untuk sebuah negara yang berkembang serta mencerminkan kualitas pengelolaan keuangan pemerintah yang baik. Hasil kajian ini sesuai juga dengan hasil analisis hubungan kausalitas tentang adanya hubungan dua arah antara belanja total dengan penerimaan total. Timbal balik belanja total lebih cepat, yang berarti memerlukan periode yang lebih pendek, sedangkan respon total penerimaan lebih lambat yang berarti memerlukan periode yang lebih lama. Namun kedua variabel memiliki respon positif dan berkelanjutan dalam jangka panjang.

Timbal balik total penerimaan pada belanja total ini menguatkan adanya hubungan kausalitas dua arah antara total penerimaan dengan belanja total dalam jangka panjang. Walaupun pada awal tahun pertama total penerimaan memberikan timbal balik yang rendah, namun pada tahun kedua dan tahun-tahun berikutnya variabel total penerimaan memberikan timbal balik positif dan meningkat pada tingkat yang semakin tinggi. Ini berarti bahwa peningkatan belanja total akan meningkatkan penerimaaan total penerimaan, sama ada dalam jangka pendek maupun jangka panjang. Pada tahun kesepuluh respon total penerimaan mencapai 8 persen, ini berarti bahwa rata-rata peningkatan total penerimaan dalam jangka panjang sebagai dampak dari peruntukan belanja total dapat dijangka sekitar 0.8 persen setiap tahun. Fenomena ini, sekali lagi menunjukkan pencapian yang baik dalam pengelolaan kebijakan fi skal. Hasil analisis ini hampir sama dengan hasil analsis hubungan kausalitas pajak-belanja total. Artinya penambahan sumber keuangan selain pajak tidak mengubah pola timbal balik keduanya.

220

Dinamika Kinerja Fiskal di Indonesia

-0.8

-0.4

0.0

0.4

0.8

1.2

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10

Response of REVTOTAL to REVTOTAL

-0.8

-0.4

0.0

0.4

0.8

1.2

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10

Response of REVTOTAL to TOTGEXP

-1.5

-1.0

-0.5

0.0

0.5

1.0

1.5

2.0

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10

Response of TOTGEXP to REVTOTAL

-1.5

-1.0

-0.5

0.0

0.5

1.0

1.5

2.0

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10

Response of TOTGEXP to TOTGEXP

Response to Cholesky One S.D. Innovations

Gambar 7.9. Timbal Balik Total Penerimaan dan Belanja Total

Pada bagian awal bab ini telah dipaparkan berbagai analisis antara pajak maupun total penerimaan pemerintah pada berbagai jenis belanja, yaitu belanja operasional, belanja pembangunan dan belanja total. Aspek penting yang perlu dikemukakan adalah hubungan kausalitas antara pajak dengan total penerimaan pada belanja total. Analisis pajak pada belanja total maupun total penerimaan pada belanja total memberikan hasil yang tidak berbeda.

Berdasarkan analisis kointegrasi diperoleh bahwa antara pajak dengan belanja total, mahaupun antara total penerimaan dengan belanja total menunjukkan adanya hubungan kointegrasi. Ini berarti bahwa ada hubungan

221

Ketahanan Fiskal

keseimbangan dalam jangka panjang pada masing-masing set variabel. Hasil analisis tersebut memberikan implikasi adanya arah aliran bersama antara pajak dan total penerimaan dengan belanja publik total. Kenyataan ini memiliki implikasi bahwa perubahan pada salah satu variabel pajak maupun total penerimaan akan mengakibatkan perubahan pada belanja total.

Adanya hubungan keseimbangan dalam jangka panjang belum menjamin adanya keseimbangan dalam jangka pendek. Oleh itu dalam kajian ini dilakukan analisis dengan metode model vektor koreksi kesalahan (VECM) untuk mengenal pasti wujdunya hubungan dalam jangka pendek. Metode ini memberikan informasi tentang hubungan kausalitas dalam jangka panjang maupun jangka pendek. Hasil analisis menunjukkan adanya hubungan kausalitas satu arah dalam jangka panjang dari belanja pada pajak dan total penerimaan. Dengan kata lain, dalam jangka panjang terjadi kebijakan fi skal yang bersifat belanja dan penerimaan, artinya peningkatan pertumbuhan belanja total memiliki dampak yang signifi kan pada peningkatan penerimaan total penerimaan. Fenomena ini menunjukkan bahwa peruntukan belanja total mampu menumbuhkan berbagai unit kegiatan baru dalam ekonomi, sehingga mampu mencipta sumber penerimaan total penerimaan baru, baik dari pajak atau bukan pajak.

Tidak adanya hubungan kausalitas dalam jangka panjang dari total penerimaan pada belanja total menunjukkan bahwa ada sumber-sumber untuk pembiayaan belanja total yang berasal dari luar total penerimaan. Melihat hasil analisis ini, maka dalam jangka panjang muncul suatu hipotesis yang menyatakan adanya ketergantungan sumber pembiayaan pembangunan sektor publik pada utang. Jika terjadi berkelanjutan, maka hal ini dapat menimbulkan beban, yaitu ketergantungan utang yang dapat mengakibatkan terancamnya ekonomi negara.

222

Dinamika Kinerja Fiskal di Indonesia

Dalam jangka pendek juga diperoleh adanya hubungan kausalitas satu arah dari penerimaan dan belanja (revenue -spend). Fenomena jangka pendek dan jangka panjang itu lebih berarti pada jangka periode yang diperlukan oleh hubungan kedua-dua variabel. Adanya hubungan kausalitas satu arah dari pajak maupun total penerimaan pada belanja total menunjukkan bahwa sumber keuangan tersebut merupakan faktor utama pembiayaan kegiatan pemerintah dan proyek-proyek publik. Apabila tidak ada hubungan kausalitas dalam jangka pendek antara belanja total pada pajak maupun total penerimaan, keadaan itu membawa implikasi bahwa unit-unit kegiatan baru dalam ekonomi akan muncul sehingga ada sumber-sumber pajak baru dalam periode lebih dari satu tahun.

Variabel belanja total memberikan timbal balik positif kepada kejutan total penerimaan dan mencapai keseimbangan pada tahun ketiga dengan tingkat timbal balik yang semakin besar. Ini berarti bahwa dampak peningkatan total penerimaan pada belanja total terjadi berkelanjutan dalam jangka panjang dengan tingkat yang semakin besar juga. Variabel total penerimaan juga memberikan timbal balik yang positif walaupun lebih rendah pada kejutan belanja pembangunan dan mencapai keseimbangan pada tahun kedua pada tingkat yang semakin meningkat. Fenomena ini menunjukkan bahwa belanja total memiliki dampak yang besar dan berkelanjutan pada peningkatan penerimaan total penerimaan dalam jangka panjang. Pada tahun kesepuluh respon total penerimaan mencapai 8 persen dan berarti bahwa purata peningkatan total penerimaan dalam jangka panjang sebagai dampak dari peruntukan belanja total dapat dijangka sekitar 0.8 persen pada setiap tahun. Kenyataan ini merupakan suatu yang positif untuk sebuah negara yang berkembang serta mencerminkan kualitas pengelolaan keuangan pemerintah yang baik. Timbal balik belanja total lebih cepat, dan berarti memerlukan periode yang lebih pendek,

223

Ketahanan Fiskal

sedangkan respon total penerimaan lebih lambat dan berarti memerlukan periode yang lebih lama. Namun kedua variabel itu memiliki respon yang positif dan berkelanjutan dalam jangka panjang. Hasil analisis kajian ini secara umum mendukung adanya ketahanan fi skal di Indonesia pada tingkat yang moderat.

224

Dinamika Kinerja Fiskal di Indonesia

BAB 8

EFEKTIVITAS KEBIJAKAN FISKAL

8.1. Pengantar

Dalam bab ini dijelaskan berbagai analisis tentang dampak belanja pemerintah dan indikator kebijakan fi skal terhadap berbagai indikator makro

ekonomi, yaitu tingkat pertumbuhan ekonomi, tingkat harga, investasi swasta dan neraca perdagangan serta transaksi berjalan. Metode analisis yang digunakan adalah metode ekonometri dinamik, khususnya pendekatan kointegrasi dan model vektor koreksi kesalahan (VECM) untuk mengetahui hubungan antara satu variabel dengan yang lainnya dalam jangka pendek dan jangka panjang. Manfaat lainnya adalah untuk menghindari adanya berbagai kesalahan dalam analisis regresi. Semua variabel yang dianalisis adalah dalam nilai riil yang telah didefl asi dengan variabel harga.

8.2. Analisis efektivitas kebijakan fi skalDalam bagian ini dipaparkan tentang metode analisis

yang digunakan, yaitu analisis tentang dampak kebijakan fi skal, khususnya belanja peemrintah pada berbagai indikator makro ekonomi. Dalam melakukan analisis dampak kebijakan fi skal, khususnya belanja pemerintah terhadap indikator makro ekonomi berupa pertumbuhan ekonomi, infl asi, investasi swasta, neraca perdagangan, dan transaksi berjalan merupakan analisis hubungan fungsional yang bisa dilakukan dengan metode ekonometri. Berdasarkan alasan-alasan yang berkaitan dengan permodelan dinamik yang telah dipaparkan sebelumnya,

226

Dinamika Kinerja Fiskal di Indonesia

maka dalam analisis ini digunakan juga metode ekonometri dinamik yang berupa pendekatan kointegrasi dan model ECM. Namun demikian sesuai dengan metode ekonometri, sebelum melakukan analisis model empirik harus dibuat model teori terlebih dahulu berdasarkan teori-teori yang bersesuaian serta fakta-fakta dan data-data kajian. Jika model teori untuk masing-masing variabel makro ekonomi sudah dibuat, maka barulah tahap analisis empirik bisa dilakukan.

Data-data yang digunakan dalam analisis dan penjelasan pada buku ini adalah data sekunder dengan perode waktu 1971-2010. Kebanyakan data runtun waktu makro ekonomi memiliki sifat tak stasioner (non stationer). Oleh karena itu pendekatan model dinamik harus digunakan. Hubungan antara variabel makro ekonomi juga memiliki sifat dinamik dan saling berkait antara satu dengan yang lainnya. Untuk mengakomodasi berbagai sifat itu, dalam analisis ini digunakankan model kointegrasi dan vektor koreksi kesalahan (vector error correction /VEC). Model VEC tersebut merupakan sebagian (special case) dari model vektor autoregrsif (VAR). Pada umumnya penggunaan model tersebut diikuti juga dengan model timbal balik (impulse response). Model tersebut berfungsi untuk mengetahui adanya pengaruh kejutan yang berjalan terhadap perubahan lag ke masa mendatang (forward) variabel terikat. Karena model teori yang dianalisis merupakan model multivariate, maka untuk analisis kointegrasi yang menjelaskan hubungan jangka panjang digunakan pendekatan Johansen (1991).

Dalam bagain ini juga akan dijelaskan masing-masing model teori tentang berbagai indikator makro ekonomi yang akan dianalisis. Jika variabel tentang indikator makro ekonomi dalam satu model teori dilambangkan oleh X1t, sedangkan variabel bebas masing-masing model dilambangkan oleh X2t…n t, maka bentuk model teori yang meliputi satu set variabel itu dapat ditulis sebagai:

227

Efek vitas Kebijakan Fiskal

X1t = f (X2t…nt)

Berdasarkan pembentukan model VAR, bentuk model teori tersebut dapat dianggap sebagai satu set variabel yang mengakomodasi X1t, X2t, X3t…Xnt. Dari model tersebut dapat diterbitkan satu bentuk model VECM:

ΔXt = Πo + ΠXt-1 + Π1 ΔXt-1 + Π2 ΔXt-2 +…+ Πp ΔXt-p + vt

apabila,Xt adalah vektor (n x 1) dari n variabel X1t, X2t, X3t…Xnt

Πo adalah vektor (n x 1) dari konstanta dengan unsur Πio

Πi adalah matrik koefi sien (n x n) dengan unsur Πjk (i)Π adalah matrik dengan unsur Πjk (i), salah satu atau lebih Πjk ≠ 0vt adalah vektor (n x 1) dengan unsur vit.

Dalam bentuk yang lebih sederhana, persamaan tersebut dapat juga ditulis: n-1

ΔXt = ∏o +Σ Πi ΔXt-i + ∏Xt-1 + vt i=1Jika semua variabel yang diestimasi tidak stasioner pada tingkat itu dan memiliki derajat integrasi 1 (satu) atau dapat ditulis I (1) serta berkointegrasi, maka besaran terma koreksi kesalahan (error correction term) yang menunjukkan adanya ketidakseimbangan dapat ditulis sebagai: n-1

ΠXt-1 = ΔXt - Πo - Σ Πi ΔXt-i + ∏Xt-1 + vt i=1

Dalam keadaan yang demikian akan ada penyesuaian (adjustment ) dalam jangka pendek menuju kepada jangka panjang. Namun jika koreksi kesalahan tidak ada, maka estimasi dapat dilakukan dengan model VAR dalam

228

Dinamika Kinerja Fiskal di Indonesia

bentuk variabel perbedaan pertama (fi rst difference). Metode penganggaran dapat dilakukan dengan mengikuti metode Johansen dan Juselius (1991). Adanya hubungan dalam jangka panjang dapat diketahui dengan analisis t pada koefi sien koreksi kesalahan (error correction term/ECT). Jika koefi sien pada variabel ECT signifi kan pada tingkat keyakinan tertentu, misalnya 5 % menunjukkan adanya hubungan menuju kepada variabel terikat dalam jangka panjang. Adanya hubungan dalam jangka pendek dapat diketahui dari nilai F statistik hasil analisis kendala pada berbagai lag variabel bebas masing-masing model. Jika nilai F signifi kan, berarti terdapat hubungan antara variabel kendala pada variabel terikatnya dalam jangka pendek.

8.3. Hasil analisis efektivitas kebijakan fi skal terhadap indikator makro ekonomiUntuk melakukan analisis pengaruh kebijakan fi skal

pada berbagai indikator makro ekonomi perlulah dibuat suatu model teori yang menjelaskan hubungan antara elemen kebijakan fi skal dengan berbagai variabel yang ditargetkan. Model teori untuk masing-masing variabel tersebut dapat dibuat berdasarkan rangkaian pemahaman teori dan keadaan tujuan kajian. Yang berikut ini akan dipaparkan berbagai model teori pada masing-masing variabel makro ekonomi yang dimaksudkan, meliputi model pertumbuhan ekonomi, infl asi, investasi swasta, neraca perdagangan, dan model transaksi berjalan.

1. Model Pertumbuhan Ekonomi Analisis atas pengaruh kebijakan fi skal terhadap

pertumbuhan ekonomi memiliki tujuan utama untuk mengetahui pengaruh perubahan ukuran belanja pemerintah sebagai indikator ukuran pemerintah kepada pertumbuhan ekonomi nasional. Berbagai kajian empirik telah menunjukkan bahwa pengaruh belanja pemerintah

229

Efek vitas Kebijakan Fiskal

pada pertumbuhan ekonomi mungkin positif atau negatif (Sheehey,1993). Pada sebuah perekonomian yang tidak efi sien pengelolannya, pengaruh belanja pemerintah dapat bersifat kontraktif. Perekonomian yang demikian bisa terjadi pada sebuah pemerintah yang memiliki ukuran belanja pemerintah (government ukuran) sangat kecil atau terlalu besar dibandingkan dengan pendapatan nasional (GNP).

Pada kenyataannya ukuran belanja pemerintah sangat tergantung pada kebijakan pemerintah. Pemerintah yang memiliki sumber uang relatif besar akan mengalokasikan dana tersebut ke dalam belanja pemerintah juga besar. Namun demikian pemerintah yang tak memiliki dana besar juga mungkin mengalokasikan belanja dalam ukuran yang besar sedangkan sumber dana tersebut diperoleh dari utang luar (foreign debt). Negara yang demikian akan mengalami defi sit anggaran yang relatif besar. Dengan kata lain pertumbuhan ekonominya ditargetkan akan terdorong dengan adanya kebijakan fi skal.

Untuk sebuah negara yang baru mengalami pembangunan, pada umumnya memiliki ukuran belanja pemerintah yang relatif kecil, oleh karena itu dapat diduga bahwa belanja pemerintahnya kurang mimiliki pengaruh yang besar terhadap pertumbuhan ekonomi nasional. Untuk sebuah negara yang memiliki sumber uang relatif besar juga proses pembangunannya juga akan mengalami peningkatan belanja yang besar juga. Yang menjadi masalah adalah apakah peningkatan belanja pemerintah tersebut juga mampu mendorong pertumbuhan ekonomi nasional atau tidak.

Menurut konsep ekonomi pertumbuhan ekonomi nasional dapat dipengaruhi apakah oleh kebijakan fi skal atau kebijakan keuangan. Oleh karena itu dalam analisis berkaitan dengan masalah tersebut faktor

230

Dinamika Kinerja Fiskal di Indonesia

kebijakan keuangan perlu dimasukkan. Dalam analisis untuk kasus Indonesia ini juga akan dipakai indikator kebijakan keuangan berupa jumlah uang beredar (M2t), sedangkan untuk kebijakan fi skal dipakai variabel pajak (TAXt) dan belanja pemerintah total (GETt). Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya tentang pentingnya ukuran belanja pemerintah dalam memberikan pengaruh pada pertumbuhan ekonomi, maka dalam pembentukan model ini juga dimasukkan berbagai ukuran relatif belanja pemerintah terhadap pendapatan nasional (GNP) pada berbagai periode. Bentuk model teori tentang pertumbuhan ekonomi (GGDPt) secara lengkap dapat ditulis sebagai berikut. GGDP t = F (GET t,TAXt, M2t)

Untuk mengetahui dampak belanja pemerintah pada tingkat pertumbuhan ekonomi dilakukan analisis pada sebuah set variabel. Variabel yang dipilih dalam set tersebut meliputi tingkat pertumbuhan ekonomi (GGDP). pajak (TAX). belanja total (GET) dan jumlah uang beredar (M2).

Uji Stasioneritas DataSebelum dilakukan analisis dengan metode kointegrasi dan VECM, terlebih dahulu dilakukan analisis stasioneritas data dengan metode Dicky-Fuller dengan menggunakan nilai Augmented Dicky-Fuller. Analisis stasioneritas data itu dilakukan dengan dua tahap, yaitu uji akar unit dan uji derajat integrasi. Hasil dari uji akar – akar unit yang dilakukan dengan OLS adalah pada Tabel 8.1. Berdasarkan Tabel tersebut menunjukkan bahwa semua variabel memiliki ADF hitung tidak stationer pada data level. Oleh karena itu perlu dilakukan uji lebih lanjut yaitu derajat integrasi untuk mengetahui pada derajat berapa data akan stationer.

231

Efek vitas Kebijakan Fiskal

Uji derajat integrasi merupakan kelanjutan dari uji akar – akar unit dan hanya diperlukan apabila seluruh datanya belum stationer pada derajat nol atau 1 (0 ). Uji derajat integrasi ini dilakukan untuk mengetahui pada derajat berapa data yang diamati akan stationer. Defi nisi secara formal mengenai integrasi suatu data adalah data runtun waktu X dikatakan berintegrasi pada derajat tertentu atau ditulis d (i ). Jika data itu perlu dideferensiasi sebanyak d kali untuk dapat menjadi data yang stationer atau 1(0). Dari hasil analsis dapat diketahui bahwa semua variabel memiliki sifat stasioneritas pada perbedaan pertama. Oleh karena itu layak dilakukan analisis dengan metode VECM yang melibatkan variabel dalam perbedaan pertama tersebut.

Tabel 8.1 Hasil Uji Stasioneritas Data

VariabelNilai ADF

Data Level Data Perbedaan Pertama

TAXGETM2GGDP

-1.947-1.988-1.820-2.112

-5,780 b

-6.122 a

-5.604 b

-7.654 a

a adalah signifi kan pada α = 1 % b adalah signifi kan pada α = 5 %

Analisis KointegrasiSebelum melakukan analisis dengan metode VECM

perlu dilakukan analisis kointegrasi terlebih dahulu. Karena sekelompok/set variabel yang dianalisis lebih dari dua variabel, maka sangat penting untuk menggunakan metode kointegrasi Johansen (1991) untuk mendapatkan hasil analisis yang lebih valid dibandingkan dengan metode Engle-Granger. Metode kointegrasi Johansen

232

Dinamika Kinerja Fiskal di Indonesia

dibentuk berdasarkan model autoregresi vektor (VAR) dengan pemilihan jumlah lag berdasarkan metode kriteria Akaike (AIC). Ada tidaknya hubungan kointegrasi dapat diketahui berdasarkan pengujian hipotesis nul (Ho) tentang jumlah vektor kointegrasi. Penolakan Ho didasarkan pada nilai λ-trace pada tingkat keyakinan 0.99 atau 0.95. Hasil analisis kointegrasi terhadap set variabel yang dipilih dalam bentuk VAR dengan lag 1 untuk model pertumbuhan ekonomi dipaparkan pada Tabel 8.2. Hasil analisis menunjukkan bahwa pada set variabel ada satu vektor kointegrasi pada tingkat keyakinan 0.99.

Tabel 8.2 Hasil Analisis Kointegrasi Model Pertumbuhan Ekonomi

Set Variabel: GGDP, GET, TAX, M2Hipotesis Nul λ-trace

Ho : r = 0Ho : r ≤ 1Ho : r ≤ 2Ho : r ≤ 3

42.51 a

19.587.110.62

a adalah signifi kan pada α = 1 %

Dengan adanya hubungan kointegrasi, maka variabel koreksi kesalahan (ECT) dari model empirik kointegrasi menjadi penting untuk dilibatkan dalam analisis. Oleh itu metode VECM tepat untuk digunakan. Hasil analisis VECM dengan jumlah lag satu dipaparkan pada Tabel 8.3. Tabel tersebut hanya memaparkan hasil analisis untuk variabel bebas pertumbuhan ekonomi, adapaun variabel lain sebagai variabel bebas tidak dipaparkan. Hal ini bertujuan untuk memfokuskan kajian ini yang berorientasi pada kebijakan fi skal. Dari hasil tersebut diketahui bahwa koefi sien ECT pada model pertumbuhan ekonomi (GGDP) adalah signifi kan pada tingkat keyakinan 0.90. sedangkan model belanja total tidak signifi kan. Model penawaran

233

Efek vitas Kebijakan Fiskal

uang (M2) dan pajak (TAX) juga memiliki koefi sien ECT yang signifi kan pada tingkat keyakinan 0.99. Hasil tersebut menunjukkan bahwa terjadi ketidakseimbangan dalam jangka panjang tentang perubahan pertumbuhan ekonomi. Ini berarti juga bahwa ada penyesuaian sebesar 66,25 % dari perbedaan tingkat pertumbuhan ekonomi yang ditargetkan dibandingkan dengan tahun sebelumnya dengan melibatkan variabel pajak, uang M2, dan belanja total.

Dalam jangka pendek ada pengaruh signifi kan variabel fi skal khususnya belanja total pada perubahan pertumbuhan ekonomi. Hal ini menunjukkan bahwa peningkatan tingkat belanja total akan meningkatkan perubahan tingkat pertumbuhan ekonomi. Perubahan pertumbuhan ekonomi dalam jangka pendek hanya dipengaruhi oleh variabel belanja pememerintah dan uang beredar M2. Ini berarti bahwa kebijakan keuangan lebih berpengaruh dari kebijakan fi skal untuk meningkatkan tingkat pertumbuhan ekonomi. Adapun variabel pajak tidak signifi kan yang menunjukkan tidak adanya dis-insentif dari variabel pajak terhadap pertumbuhan ekonomi.

234

Dinamika Kinerja Fiskal di Indonesia

Tabel 8.3 Hasil Analisis Model Pertumbuhan EkonomiLag Variabel

Bebas Variabel Terikat: ∆GGDP

∆ GET

∆M2

∆ TAX

C

2.541(2.822) b

6.75(2.670) b

5.39 (1.372)

2.107(1.054)

Koefi sien ECT 0.375(5.874) a

∆X = (Xt) - (Xt-1) a adalah signifi kan pada α = 1 % b adalah signifi kan pada α = 5 %

Untuk mengetahui tingkat timbal balik perubahan pertumbuhan ekonomi oleh satu standar deviasi kejutan TAX, GET dan GGDP dapat dicermati pada Gambar 8.1 yang memaparkan hasil analisis timbal balik set variabel tersebut. GGDP memberikan timbal balik positif pada GET sebesar 1.2 persen pada tahun kedua dan selanjutnya menurun pada tahun ketiga dan keempat sehingga mencapai keseimbangan pada tingkat positif. Variabel GET dan TAX juga memberikan timbal balik negatif kurang dari satu persen pada tahun pertama. kemudian menurun pada tahun-tahun berikutnya sehingga mencapai keseimbangan pada tingkat negatif.

235

Efek vitas Kebijakan Fiskal

-12

-8

-4

0

4

8

12

16

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10

GGDP TAX GET

Response of GGDP to CholeskyOne S.D. Innovations

-0.4

-0.2

0.0

0.2

0.4

0.6

0.8

1.0

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10

GGDP TAX GET

Response of TAX to CholeskyOne S.D. Innovations

-1.2

-0.8

-0.4

0.0

0.4

0.8

1.2

1.6

2.0

2.4

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10

GGDP TAX GET

Response of GET to CholeskyOne S.D. Innovations

Gambar 8.1. Respon GGDP pada Kejutan pada TAX dan GET

236

Dinamika Kinerja Fiskal di Indonesia

2. Model Infl asiSalah satu indikator makroekonomi yang

menunjukkan keberhasilan pembangunan ekonomi sebuah negara adalah kestabilan harga barang dan jasa (infl asi). Pertumbuhan ekonomi yang tinggi tidaklah berarti bahwa infl asi juga meningkat pesat karena kesejahteraan sebenar masyarakat akan terancam. Para pakar ekonomi Klasik sangat percaya bahwa peningkatan infl asi berkait erat dengan peningkatan jumlah uang beredar. Dengan kata lain infl asi dapat dikendalikan dengan kebijakan ekonomi keuangan yang berupa pengurusan uang beredar. Namun, para pakar ekonomi Keynesian juga percaya bahwa infl asi timbul karena peningkatan permintaan terhadap barang dan jasa tanpa ada neraca bekalan yang mencukupi. Oleh karena itu mereka percaya bahwa infl asi bisa diurus dengan kebijakan fi skal.

Pengelolaan perekonomian nasional dengan kebijakan fi skal dilakukan dengan menentukan ukuran belanja pemerintah dan defi sit anggaran. Kedua variabel tersebut memiliki pengaruh pada permintaan agregat dan juga memiliki pengaruh yang sangat penting dalam penentuan harga barang dan jasa di pasaran. Oleh itu dalam pembentukan model teori tentang infl asi (INFt) dalam kajian ini dipakai variabel defi sit anggaran (DBt) dan belanja pemerintah total (GET t) sebagai alat kebijakan fi skal, sedangkan alat kebijakan keuangan menggunakan jumlah uang beredar (money supply / M2t). Secara lengkap model tersebut dapat ditulis sebagai yang berikut.

INFt = F (M2t, DBt, GET t) Perubahan tingkat infl asi barang dan jasa di sebuah

negara menunjukkan kestabilan ekonomi negara tersebut. Tingkat infl asi tersebut diukur dengan indeks harga konsumen (consumer price index). Untuk mengetahui dampak kebijakan fi skal kepada tingkat infl asi tersebut. maka dilakukan analisis terhadap satu set variabel yang

237

Efek vitas Kebijakan Fiskal

melibatkan tingkat infl asi (INF). belanja total (GET). penawaran uang luas (M2) dan defi sit estimasi (DB). Data defi sit anggaran merupakan rasio kepada GDP. Hasil analisis stasioneritas data sebagai prasyarat analisis kointegrasi dipaparkan pada Tabel 8.4.

Tabel 8.4 Hasil Analisis Stasioneritas Data

Variabel Nilai ADF

Data Asli Data Perbedaan PertamaINFDBM2

-1.911-2.604-1.820

-4.512 b

-4.723 b

-5.604 b

b adalah signifi kan pada α = 5 %

Hasil analisis stasioneritas data yang dipaparkan menunjukkan bahwa semua data bersifat stasioner pada perbedaan pertama. Hasil analisis kointegrasi dengan metode Johansen dengan VAR jumlah lag 1 dipaparkan pada Tabel 8.5. Berdasarkan hasil analisis tersebut dapat diketahui bahwa pada set variabel tersebut terdapat hubungan kointegrasi dan berarti ada keseimbangan jangka panjang. Oleh karena itu dalam analisis jangka pendek dapat digunakankan metode VECM.

Tabel 8.5 Hasil Analisis Kointegrasi Model Infl asi Set Variabel: INF, GET, M2, DB

Hipotesis Nul λ-traceHo : r = 0Ho : r ≤ 1Ho : r ≤ 2Ho : r ≤ 3

50.26182 b

23.645135.9492130.779676

b adalah signifi kan pada α = 5 %

238

Dinamika Kinerja Fiskal di Indonesia

Tabel 8.6 memaparkan hasil analisis model infl asi dengan metode VECM dengan lag 1. Hasil analisis yang dipaparkan adalah hasil analisis variabel infl asi saja untuk memfokuskan analisis. Dari hasil tersebut dapat diketahui bahwa model tingkat harga dan uang memiliki koefi sien ECT yang signifi kan. Ini berarti ada ketidakseimbangan dan terjadi penyesuaian pada kedua variabel tersebut. Pada tingkat infl asi terjadi penyesuaian sebesar 85.3 persen. Ini berarti bahwa 85.3 persen dari tingkat yang tidak ditargetkan dapat disesuaikan dengan melibatkan variabel belanja total, uang luas dan defi sit anggaran.

Dalam jangka pendek hanya variabel lag dari uang luas dan belanja pemerintah yang mempengaruhi tingkat infl asi tahun berjalan. Ini berarti bahwa sektor keuangan lebih sensitif pada perubahan tingkat infl asi termasuk di dalamnya adalah pengaruh sektor fi skal. Bahkan sektor keuangan juga turut menjadi penentu peningkatan belanja pemerintah total. Pengaruh lag tingkat infl asi pada tingkat infl asi berjalan menunjukkan terjadinya proses penyesuaian jangkaan (adaptive expectation) tentang akan terjadinya kenaikan tingkat infl asi dalam perekonomian. Fenomena tersebut mencerminkan bahwa kebijakan fi skal yang dilaksanakan oleh pemerintah tidak mengancam terjadinya peningkatan infl asi.

239

Efek vitas Kebijakan Fiskal

Tabel 8.6 Hasil Analisis Model VECM Infl asiVariabel Bebas Variabel Terikat: ∆ INF

∆ INF

∆ GET

∆ M2

∆ DB

-0.292 (-1.01)

9.534) (2.87) a

0.049 (4.82) a

0.064 (0.47)

Koefi sien ECT 0. 157 (3.92) a

∆X = (Xt) - (Xt-1)Angka dalam kurung adalah t statistik a adalah signifi kan pada α = 1 %

Proses penyesuaian jangkaan itu tidak hanya terjadi pada tingkat infl asi. malah terjadi pada sektor keuangan. Ini berarti bahwa lag variabel uang luas M2 mempengaruhi peredaran uang luas berjalan. Pada sektor fi skal tak ada terjadinya proses harapan adaptif. apakah ada pada variabel belanja total maupun defi sit anggaran. Hal ini mendukung tidak wujdunya proses penyesuaian sebagai akibat adanya ketidakseimbangan dalam sektor fi skal.

240

Dinamika Kinerja Fiskal di Indonesia

-5

0

5

10

15

20

25

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10

INFGET

DEFISITM2

Response of INF to CholeskyOne S.D. Innovations

-0.5

0.0

0.5

1.0

1.5

2.0

2.5

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10

INFGET

DEFISITM2

Response of GET to CholeskyOne S.D. Innovations

-0.5

0.0

0.5

1.0

1.5

2.0

2.5

3.0

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10

INFGET

DEFISITM2

Response of DEFISIT to CholeskyOne S.D. Innovations

-100

-50

0

50

100

150

200

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10

INFGET

DEFISITM2

Response of M2 to CholeskyOne S.D. Innovations

Gambar 8.2. Respon INF pada Kejutan pada GET, M2, dan DB.

Tingkat timbal balik terhadap tingkat infl asi (INF) karena adanya perubahan satu sisishan deviasi kejutan variabel lainnya. yaitu tingkat harga (INF). uang luas (M2). belanja total (GET) dan defi sit anggaran (DB) dapat diketahui seperti yang ditunjukkan pada Gambar 8.2. Pada tahun pertama dan kedua INF memberikan respon yang positif kepada semua variabel. namun pada tahun kelima INF memberikan respon yang negatif kepada defi sit anggaran. Dengan demikian peningkatan defi sit anggaran akan mengurangi tingkat infl asi. namun peningkatan

241

Efek vitas Kebijakan Fiskal

ketiga-tiga variabel lainnya akan turut meningkatkan tingkat infl asi. Timbal balik INF yang terbesar terjadi pada variabel M2. dan berarti peningkatan isi padu jumlah uang beredar mempunyai dampak pada peningkatan tingkat infl asi dengan tingkat yang tinggi, yaitu mencapai rata-rata sekitar 25 persen per tahun dalam periode sepuluh tahun pertama.

3. Model Investasi Permasalahan utama yang harus dijawab dalam analisis pengaruh kebijakan fi skal terhadap investasi swasta adalah berkait erat dengan apakah ada peningkatan belanja pemerintah yang mengakibatkan peningkatan investasi swasta (crowding in) atau malah yang menurunkan investasi swasta (crowding out), seperti yang diungkapkan oleh Miller dan Russek (1997). Isu lain yang muncul juga adalah bagaimana sumber pembiayaan untuk belanja pemerintah tersebut diperoleh. Kemungkinan pertama, pembiayaan pemerintah berasal dari pajak, sedangkan kemungkinan kedua berasal dari utang pemerintah. Isu lain adalah apakah utang berasal dari dalam negari atau dari luar negari sehingga berdampak pada invstasi domestik. Sumber pembiayaan ini semakin penting apabila pemerintah menghadapi masalah defi sit anggaran yang parah, sehingga dapat mengetahui cara untuk mengatasi defi sit tersebut pada periode berikutnya.

Untuk memperoleh hasil apakah ada kausalitas corwding in atau crowding out yang terjadi, maka perlu dilakukan analisis atas investasi pemerintah dan investasi swasta. Investasi pemerintah pada umumnya dipengaruhi oleh dua komponen utamanya, yaitu belanja operasional dan belanja pembangunan perlu dianalisis sebagai variabel yang terpisah. Belanja operasional memiliki pengaruh yang lebih besar pada pelayanan pemerintah, sedangkan belanja pembangunan memiliki pengaruh yang lebih besar pada penyediaan fasilitas dan infrastruktur

242

Dinamika Kinerja Fiskal di Indonesia

kepada sektor swasta. Oleh karena itu dengan analisi kedua variabel tesebut dalam analisis akan diketemukan, apakah adakah investasi pemerintah (public investment) mampu mendorong investasi swasta (privat investment) atau hanya bersifat menggantikannya.

Untuk memperoleh suatu hasil analisis yang sesuai dengan tujuan yang dikehendaki tersebut, maka analisis harus juga melibatkan semua variabel yang mampu menjawab masalah-masalah tersebut. Untuk itulah dalam analisis ini dibentuk model investasi swasta (PI) sebagai variabel tergantung, sedangkan variabel bebas meliputi investasi pemmerintah (PBIt) dalam bentuk modle kauslitas. Sedangkan model lain melibatkan variabel bebas pajak (TAX), defi sit anggaran (DB), belanja pemerintah total (GET) dalam dua model terpisah, yaitu yang mengandung variabel defi sit fi skal dan tidak mengandung variabel tersebut. Hal ini khsusus untuk mendeteksi pengaruh defi sit anggaran pada investasi swasta. Untuk membuat estimasi perlu dilakukan pemisahan antara analisis kausalitas investasi pememrintah dengan investasi swasta; dan analisis model investasi swasta. Model teori yang akan dianalisis secara lengkap dapat ditulis sebagai yang berikut.

PI t = F (PBI t)

PI t = F (TAX t, GET t)

PI t = F (GET t, DB t)

Analisis Stasioneritas DataIsu penting berkaitan dengan hubungan investasi pemerintah dengan swasta adalah apakah ada ada tidaknya hubungan kausalitas antara kedua variabel tersebut. Untuk mencapai tujuan tersebut. Maka perlu dilakukan analisis kausalitas dengan metode VECM. Analisis stasioneritas data yang merupakan prasyarat untuk analisis model

243

Efek vitas Kebijakan Fiskal

dinamik dipaparkan pada Tabel 8.7. Kedua variabel juga bersifat stasioner pada perbedaan pertama. Oleh karena itu analisis VECM dapat dilakukan.

Tabel 8.7 Hasil Analisis Stasioneritas Data

Variabel Nilai ADF Data Asli Nilai ADF Data Perbedaan Pertama

PIPBI

-1.178-2.419

-3.753 b

-3.462 b

b adalah signifi kan pada α = 5 %

Kausalitas Investasi Swasta dengan Investasi PemerintahAnalisis kointegrasi untuk mengenal ada tidaknya hubungan keseimbangan jangka panjang dipaparkan pada Tabel 8.8. Hasil analisis menunjukkan adanya hubungan kointegrasi dengan adanya satu vektor kointegrasi antara kedua variabel dengan analisis λ - trace yang menunjukkan adanya satu vektor kointegrasi.

Tabel 8.8 Hasil Analisis Kointegrasi Investasi Pemerintah dengan Investasi Swasta

Set Variabel: PI, PBI Hipotesis Nul λ-trace

Ho : r = 0Ho : r ≤ 1

9.871859b

1.073790

b adalah signifi kan pada α = 5 %

Hasil analisis kausalitas dengan metode VECM dipaparkan pada Tabel 8.9. Dari hasil analisis dapat diketahui bahwa ECT pada kedua model signifi kan pada

244

Dinamika Kinerja Fiskal di Indonesia

tingkat keyakinan 0.99. dan memberikan implikasi adanya hubungan kausalitas dua arah antara investasi pemerintah dengan swasta dalam jangka panjang. Investasi pemerintah memiliki tingkat penyesuaian sebesar 74 persen, sedangkan investasi swasta memiliki tingkat penyesuaian sebesar 90 persen. Kedua angka itu tidak memiliki perbedaan yang signifi kan. Kenyataan ini memiliki implikasi bahwa peningkatan investasi pemerintah juga akan meningkatkan investasi swasta (crowding in). sedangkan peningkatan investasi swasta akan menimbulkan peningkatan investasi pemerintah dalam jangka panjang (complementary). Penemuan ini menunjukkan bahwa belanja sektor pemerintah dapat menjadi panduan untuk peningkatan aktiviti sektor swasta dengan adanya peningkatan investasi swasta.

Hubungan keseimbangan yang ada dalam jangka panjang belum tentu ada dalam jangka pendek. Analisis kendala pada variabel bebas menunjukkan hanya model investasi pemerintah saja yang signifi kan pada tingkat keyakinan 0.90. Ini berarti bahwa hanya ada hubungan kausalitas satu arah dalam jangka pendek. dari investasi swasta kepada investasi pemerintah. Artinya peningkatan investasi swasta mempunyai respon segera dari pemerintah yang berupa peningkatan belanja pembangunan dan juga belanja sektor pemerintah lainnya. Namun peningkatan investasi swasta sebagai implikasi peningkatan investasi pemerintah memerlukan periode yang relagifnya lebih lama.

245

Efek vitas Kebijakan Fiskal

Tabel 8.9 Hasil Analisis Kausalitas Investasi Pemerintah-Swasta

Variabel Terikat

Statistik F Analisis Kendala

pada Variabel Bebas Koefi sien

ECT∆ PI ∆ PBI

∆ PI

∆ PBI

-

2.329 (0.026) b

-0.219(0.867)

-

0.103 (2.837) a

0.259 (2.708) a

Hasil pada model jangka pendek:Hasil pada model jangka panjang:

LPI LPBILPI LPBI

∆X = (Xt) - (Xt-1) a adalah signifi kan pada α = 1 % b adalah signifi kan pada α = 5 %

Kecepatan timbal balik kedua variabel itu dapat dilihat pada Gambar 8.3 yang memaparkan hasil analisis fungsi timbal balik. Investasi pemerintah memberikan timbal balik relatif besar kepada satu standar deviasi kejutan pada investasi swasta pada tahun pertama, yaitu sebesar 20 persen. Sedangkan pada tahun kedua meningkat menjadi 9 persen, dan mencapai 40 persen pada tahun kelima sehingga mencapai keseimbangan pada tingkat mendekati tingkat 40 persen. Investasi swasta juga memberikan respon negatif pada tahun pertama kepada satu standar deviasi kejutan terhadap investasi pemerintah, pada tahun keenam mencapai tiga kali lipatnya dan selanjutnya mencapai keseimbangan pada tingkat yang semakin rendah. Ini berarti bahwa timbal balik jangka pendek lebih besar dari timbal balik dalam jangka panjang.

246

Dinamika Kinerja Fiskal di Indonesia

-1500

-1000

-500

0

500

1000

1500

2000

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10

INVPEMRTH INVSWASTA

Response of INVPEMRTH to NonfactorizedOne S.D. Innovations

-60

-40

-20

0

20

40

60

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10

INVPEMRTH INVSWASTA

Response of INVSWASTA to NonfactorizedOne S.D. Innovations

Gamber 8.3. Respon PBI pada Kejutan pada LPI

247

Efek vitas Kebijakan Fiskal

Model Investasi Swasta tanpa Variabel Defi sit FiskalAdanya hubungan kausalitas antara investasi swasta dengan investasi pemerintah memerlukan penyelidikan lanjut untuk mengetahui apakah ada belanja pemerintah memiliki dampak pada investasi swasta. Untuk itu dianalsis dua set variabel yang masing-masing melibatkan investasi swasta sebagai variabel terikat. Set pertama (1) meliputi investasi swasta (PI), pajak (TAX), dan belanja pemerintah (GET). Set variabel ini untuk mengenal dampak komponen belanja pada investasi swasta dengan asumsi pajak adalah tetap (debt fi nanced effect). Set kedua (2) meliputi investasi swasta (PI), defi sit anggaran (DB), dan belanja pemerintah (GET). Set variabel ini digunakankan untuk mengenal dampak komponen belanja pada investasi swasta dengan asumsi defi sit anggaran adalah tetap (tax fi nanced effect).

Analisis kointegrasi pada set variabel (1) dengan model VAR lag 1 dipaparkan pada Tabel 8.10. Hasil analisis tersebut menunjukkan adanya hubungan kointegrasi pada set variabel. dan adanya hubungan jangka panjang antara berbagai variabel bebas dengan variabel terikat. yaitu investasi swasta. Hasil regresi kointegrasi juga mendapati bahwa semua variabel adalah signifi kan pada tingkat keyakinan 0.95. Hasil ini merekomendasikan analisis jangka pendek dengan metode VECM.

Tabel 8.10. Hasil Analisis Kointegrasi Model Investasi Swasta (1)

Set Variabel: PI, TAX, GETHipotesis Nul λ-trace

Ho : r = 0Ho : r ≤ 1Ho : r ≤ 2

38.815b

5.3731.607

b adalah signifi kan pada α = 5 %

248

Dinamika Kinerja Fiskal di Indonesia

Dalam perspektif jangka pendek analisis dengan metode VECM dipaparkan pada Tabel 8.11. Model empirik memiliki koefi sien ECT yang signifi kannegatif, menunjukkan adnaya respon yang berlawanan antara variabel bebas dengan variabel terikat. Semua variabel bebas signifi kan pada tingkat keyakinan 0.99. Fenomena ini menunjukkan bahwa pengaruh semua variabel bebas pada perubahan investasi swasta tidak signifi kan. Artinya hubungan antara variabel hanya terjadi dalam jangka panjang seperti yang ditunjukkan oleh analisis kointegrasi. Tingkat timbal balik semua variabel bebas mendukung hasil analisis metode VECM. Pada tahun pertama hingga tahun ketiga. investasi swasta memberikan timbal balik yang rendah kepada satu standar deviasi kejutan pada variabel tak berandar. malah selepas tahun kelima semua responnya menjadi negatif. Ini berarti bahwa dampak peningkatan pada variabel bebas akan menurunkan investasi swasta. Oleh itu kebijakan fi skal bukan merupakan kebijakan ekonomi utama untuk menjana peningkatan investasi swasta.

Tabel 8.11 Hasil Analisis Model VECM Investasi Swasta (1)Lag Variabel

BebasVariabel Terikat: ∆PI

∆ PI

∆ TAX

∆ GET

-0.755 (6.463) a

-2056.26

(-5.661) a

-4.889 (-3.613) a

Koefi sien ECT -0.7187(-5.626) a

∆X = (Xt) – (Xt-1); a adalah signifi kan pada α = 5 %

249

Efek vitas Kebijakan Fiskal

Koefi sien variabel pajak maupun variabel belanja pemerintah bertanda negatif. Implikasi tersebut menunjukkan adanya hubungan yang saling mengganti (substitution) antara belanja pemerintah dengan investasi swasta. Antara pajak dengan investasi swasta terjadi hubungan saling mengganti negatif yang menunjukkan perubahan peningkatan pajak akan menurunkan pertumbuhan investasi. Oleh karena itu peningkatan belanja pemerintah dapat meningkatkan investasi swasta atau dorongan ke dalam (crowding in), adapun penurunan investasi swasta digantikan oleh peningkatan investasi pemerintah. Adanya pembiayaan pajak (tax fi nanced) telah menimbulkan dorongan keluar (crowding out). Jadi adanya pembiayaan pemerintah dnegan peningkatan pajak dalam anggaran pemerintah telah menimbulkan dorongan keluar atau penurunan investasi swasta.

Hubungan timbal balik ketiga variabel itu dapat dilihat pada Gambar 8.4 yang memaparkan hasil analisis fungsi timbal balik. Variabel pajak dan belanja pemerintah memberikan timbal balik relatif besar kepada satu standar deviasi kejutan pada investasi swasta pada tahun pertama. Sedangkan pada tahun kedua mengalami peningkatan, dan mencapai juga pada periode selanjutnya sehingga mencapai keseimbangan pada tingkat mendekati tingkat yang lebih tinggi. Investasi swasta juga memberikan respon negatif pada tahun pertama kepada satu standar deviasi kejutan terhadap pajak, pada tahun keempat mencapai dua kali lipatnya dan selanjutnya mencapai keseimbangan pada tingkat yang semakin tinggi. Ini berarti bahwa timbal balik jangka pendek lebih besar dari timbal balik dalam jangka panjang.

250

Dinamika Kinerja Fiskal di Indonesia

-4000

-3000

-2000

-1000

0

1000

2000

3000

4000

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10

INVSWASTA TAX GET

Response of INVSWASTA to NonfactorizedOne S.D. Innovations

-0.4

0.0

0.4

0.8

1.2

1.6

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10

INVSWASTA TAX GET

Response of TAX to NonfactorizedOne S.D. Innovations

-0.5

0.0

0.5

1.0

1.5

2.0

2.5

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10

INVSWASTA TAX GET

Response of GET to NonfactorizedOne S.D. Innovations

Gambar 8.4. Respon PI pada Kejutan TAX dan GET

251

Efek vitas Kebijakan Fiskal

Model Investasi Swasta dengan Memasukkan Defi sit Fiskal

Analisis kointegrasi pada set variabel (2) dengan model VAR lag 1 dipaparkan pada Tabel 8.12. Hasil analisis tersebut menunjukkan adanya hubungan kointegrasi antara variabel dalam set ini pada tingkat keyakinan 0.99. Hasil ini juga menunjukkan adanya hubungan jangka panjang antara berbagai variabel bebas yang meliputi defi sit anggaran (DB), belanja pemerintah (GET) dengan variabel terikat, yaitu investasi swasta (PI). Hasil regresi kointegrasi juga mendapati bahwa ada hubungan keseimbangan jangka panjang yang signifi kan pada tingkat keyakinan 0.99, dan berarti bahwa berbagai variabel fi skal memiliki pengaruh yang signifi kan pada investasi swasta dalam jangka panjang.

Tabel 8.12 Hasil Analisis Kointegrasi Model Investasi Swasta (2)

Set Variabel: PI, DB, GETHipotesis Nul λ-trace

Ho : r = 0Ho : r ≤ 1Ho : r ≤ 2

38.815b

5.3731.607

b adalah signifi kan pada α = 1 %

Dalam perspektif jangka pendek, analisis dengan metode VECM dipaparkan pada Tabel 8.13. Hasil analisis model empirik memiliki koefi sien ECT yang signiffi kan. Ini berarti terjadi penyesuaian pada model investasi swasta. Semua variabel bebas signifi kan, walaupun pada tingkat keyakinan 0.99. Fenomena ini menunjukkan bahwa semua variabel bebas memiliki pengaruh yang signifi kan pada perubahan investasi swasta. Artinya hubungan antara variabel bukan hanya terjadi dalam jangka panjang seperti

252

Dinamika Kinerja Fiskal di Indonesia

yang ditunjukkan oleh analisis kointegrasi. Penemuan ini menunjukkan bahwa perubahan pada investasi swasta sebagai dampak dari kebijakan fi skal yang dilaksanakan oleh pemerintah memerlukan periode yang relatif pendek. Oleh karena itu pemerintah perlu melakukan usaha untuk meningkatkan investasi swasta selain kebijakan fi skal, baik dengan kebijakan ekonomi maupun bukan ekonomi lainnya.

Koefi sien variabel belanja pemerintah bertanda positif, begitu juga koefi sien pada defi sit anggaran bertanda positif. Implikasi tersebut menunjukkan adanya hubungan saling melengkapi antara belanja pemerintah dengan investasi swasta. Namun hubungan positif antara defi sit anggaran dengan investasi swasta menunjukkan bahwa peningkatan investasi swasta terjadi karena adanya peningkatan defi ist anggaran pemerintah. Secara umum kedua variabel komponen belanja pemerintah tersebut memiliki dampak dorongan ke dalam pada investasi swasta. Adanya pembiayaan defi ist dengan pajak dalam anggaran menimbulkan terjadinya peningkatan investasi swasta.

Tabel 8.13 Hasil Analisis Model VECM Investasi Swasta (2)Variabel Bebas Variabel Terikat: ∆ PI

∆ PI

∆ DB

∆ GET

-0.7554(-6.463) a

2022.03 (4.222) a

2544.084 (5.626) a

Koefi sien ECT -0.7187[-5.626) a

∆X = (Xt) - (Xt-1) ; a adalah signifi kan pada α = 1 %;

253

Efek vitas Kebijakan Fiskal

Timbal balik ketiga variabel sebagai implikasi adanya hubungan kausalitas dipaparkan pada Gambar 8.5. Ketiga variabel saling bertimbal balik positif sehingga tahun kedua, tetapi pada tahun berikutnya timbal balik pada investasi menjadi negatif. Timbal balik defi sit anggaran menunjukkan kecenderungan menaik, sedangkan timbal balik defi sit anggaran cenderung untuk naik mulai tahun kedua ke arah tingkat yang positif. Tingkat timbal balik semua variabel bebas mendukung hasil analisis metode VECM tentang tidak adanya hubungan kausalitas dalam jangka pendek antara set variabel bebas dengan variabel investasi swasta. Berdasarkan analisis fungsi timbal balik diketahui bahwa pada tahun pertama hingga tahun ketiga investasi swasta memberikan timbal balik yang rendah pada satu standar deviasi kejutan variabel bebas yang meliputi defi sit anggaran dan belanja pememrintah. Namun setelah tahun kedua timbal balik investasi swasta menjadi semakin besar semuanya. Timbal balik pada belanja pemerintah semakin besar positif, sedangkan timbal balik pada dua variabel lainnya negatif. Ini berarti bahwa dampak peningkatan pada variabel bebas pada peningkatan investasi swasta dalam jangka panjang hanya terjadi pada belanja pemerintah.

254

Dinamika Kinerja Fiskal di Indonesia

-3000

-2000

-1000

0

1000

2000

3000

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10

INVSWASTA DEFISIT GET

Response of INVSWASTA to CholeskyOne S.D. Innovations

-0.5

0.0

0.5

1.0

1.5

2.0

2.5

3.0

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10

INVSWASTA DEFISIT GET

Response of DEFISIT to CholeskyOne S.D. Innovations

0.0

0.4

0.8

1.2

1.6

2.0

2.4

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10

INVSWASTA DEFISIT GET

Response of GET to CholeskyOne S.D. Innovations

Gambar 8.5. Respon PI pada Kejutan DB, dan GET

255

Efek vitas Kebijakan Fiskal

4. Model Neraca Perdagangan Keberhasilan pembangunan ekonomi sebuah negara tidak hanya ditunjukkan dengan berbagai indikator seperti pertumbuhan ekonomi, investasi dan infl asi, namun juga diukur juga dengan indikator keterbukaan ekonomi dengan negara lain. Variabel yang menunjukkan keterbukaan tersebut, diantaranya adalah neraca perdagangan dan transaksi berjalan. Jika kedua variabel tersebut mencapai keseimbangannya, maka akan memberikan dorongan yang baik juga kepada variabel ekonomi dalam negara. Dengan dasar ekonomi juga dapat diketahui bahwa kebijakan fi skal memiliki pengaruh pada berbagai variabel seperti neraca perdagangan antara negara dan transaksi berjalan. Untuk menegtahui pengaruh kebijakan fi skal pada kedua variabel tersebut, maka perlu dilakukan analisis yang dapat dilakukan dengan metode ekonometri.

Masalah penting yang perlu dilakukan dalam analisis pengaruh kebijakan fi skal pada neraca perdagangan dan transaksi berjalan adalah pembentukan model teori . Seperti model-model yang lain, pembentukan kedua model tersebut juga harus didasarkan pada teori ekonomi. Atas dasar teori tersebut, variabel utama yang bisa mempengaruhi perubahan neraca perdagangan dan transaksi berjalan adalah tingkat tukaran mata uang (exchange rate/KURS t). Oleh karena itu pembentukan model neraca perdagangan (TBt) dalam kajian ini digunakan variabel tersebut, selain variabel kebijakan fi skal. Untuk variabel kebijakan fi skal digunakan paai defi sit anggaran (DBt) dan belanja pemerintah (GETt). Secara lengkap model tersebut dapat ditulis sebagai yang berikut.

TB t = F (DBt, GETt, KURSt)Masalah utama yang berkait dengan hubungan neraca perdagangan dan transaksi berjalan dengan indikator kebijakan fi skal adalah ada tidaknya hubungan kausalitas antara neraca perdagangan dengan defi sit anggaran

256

Dinamika Kinerja Fiskal di Indonesia

ataupun antara transaksi berjalan dengan defi sit anggaran. Untuk mencapai tujuan tersebut. maka perlu dilakukan analisis kausalitas dengan metode VECM. Hasil analisis stasioneritas data yang merupakan prasyarat untuk analisis model dinamik dipaparkan pada Tabel 8.14. Kesemua variabel dalam set yang dianalisis itu bersifat stasioner pada perbedaan pertama. Oleh itu analisis VECM dapat dilakukan.

Tabel 8.14 Hasil Analisis Stasioneritas Data

Variabel Nilai ADF Data Asli Nilai ADF Perbedaan Pertama

TBCAER

-1.213-2.122-1.293

-5.507 a

-5.983 a

-5.581 a

a adalah signifi kan pada α = 1 %

Untuk memperoleh dampak defi sit anggaran, maka dilakukan analisis kointegrasi dengan pemisahan antara defi sit fi skal dengan defi sit anggaran. Oleh karena itu analisis kointegrasi ini meliputi analisis antara neraca perdagangan (TB) dengan defi sit anggaran total (DB). Belanja pemerintah (GET), dan nilai tukar mata uang rupiah dnegan dollar Amreika (KURS). Hasil analisis kointegrasi untuk mengetahui ada tidaknya hubungan keseimbangan jangka panjang dipaparkan pada Tabel 8.15. Hasil analisis menunjukkan bahwa hanya ada satu vektor kointegrasi antara variabel neraca perdagangan dengan defi sit anggaran serta variabel lainnya. Hasil analisis ini mendukung hipotesis adanya hubungan dwi-defi sit antara neraca perdagangan dengan defi sit anggaran.

257

Efek vitas Kebijakan Fiskal

Tabel 8.15 Hasil Analisis Kointegrasi Neraca Perdagangan Set Variabel: TB, DB, GET, KURS

Hipotesis Nul λ-traceHo : r = 0Ho : r ≤ 1Ho : r ≤ 2Ho : r ≤ 3

54.69805b

24.4865111.099022.838281

b adalah signifi kan pada α = 5 % Hasil analisis antara neraca perdagangan dengan

defi sit anggaran, belanja pememrintah, dan nilai tukar dipaparkan pada Tabel 7.15. Koefi sien ECT pada model neraca perdagangan adalah signifi kan pada tingkat keyakinan 0.95. Ini berarti bahwa ada proses penyesuaian pada neraca perdagangan setiap tahun. Tanda positif pada koefi sien ECT menunjukkan bahwa proses penyesuaian memiliki arah yang apakah dengan adanya ketidakseimbangan transaksi berjalan. Artinya perbedaan antara penyesuaian pada neraca perdagangan dengan yang sebenarnya pada tahun sebelumnya diantispasikan dengan peningkatan neraca perdagangan riil. Berdasarkan hasil analisis ini hipotesis adanya dwi-defi sit antara neraca perdagnagan dengan defi sit anggaran primer dapat diterima. Fenomena ini menunjukkan bahwa peningkatan ekspor memiliki pengaruh yang penting pada neraca perdagangan. Hubungan positif antara defi sit anggaran dan neraca perdagangan menunjukkan bahwa peningkatan defi sit anggaran akan meningkatkan defi sit neraca perdagangan.

Analisis hubungan dengan metode VECM dipaparkan pada Tabel 8.16 yang menunjukkan adanya hubungan dalam jangka panjang pada neraca perdagangan dengan variabel bebasnya. Tingkat penyesuaian mencapai 51.5 persen dengan arah yang sama dengan adanya sebab ketidakseimbangan. Dua model lainnya. yaitu defi sit anggaran total dan belanja pemerintah. tidak memiliki

258

Dinamika Kinerja Fiskal di Indonesia

koefi sien ECT yang signifi kan. dan berarti kedua variabel tidak mengalami proses penyesuaian. Ini berarti dalam jangka panjang tidak terjadi hubungan kausalitas dua arah antara defi sit anggaran total dengan neraca perdagangan.

Hasil analisis pada variabel bebas mendapati bahwa variabel belanja pemerintah memiliki pengaruh yang signifi kan pada neraca perdagangan. Ini berarti peningkatan belanja pemerintah memiliki dampak pada peningkatan surplus neraca perdagangan. Variabel tingkat nilai tukar mata uang juga memiliki pengaruh yang positif dan signifi kan. dan berarti penurunan tingkat mata uang rupiah dibandingkan dollar US tidak mengancam surplus neraca perdagangan. Variabel defi sit anggaran total juga memiliki pengaruh yang signifi kan dalam jangka pendek pada neraca perdagangan. Hasil ini menunjukkan hubungan dalam jangka pendek dari neraca perdagangan pada defi sit anggaran. Koefi sien positif pada neraca perdagangan menunjukkan bahwa peningkatan surplus neraca perdagangan mendorong peningkatan pada defi sit anggaran pada tahun berjalan. Ini berarti pemerintah telah melakukan timbal balik segera untuk mempertahankan surplus perdagangan tersebut dengan peningkatan belanja pemerintah.

259

Efek vitas Kebijakan Fiskal

Tabel 8.16 Hasil Analisis Model Neraca PerdaganganVariabel Bebas Variabel Terikat: ∆ TB

C

∆ DB

∆ GET

∆ KURS

1.404 (2.690) a

4.239 (1.692) b

-4.101(-1.601) b

-0.003(-2.170) b

Koefi sien ECT 0.485(1.974) b

∆X = (Xt) - (Xt-1) a adalah signifi kan pada α = 1 % b adalah signifi kan pada α = 5 %

Timbal balik neraca perdagangan dan defi sit anggaran dipaparkan pada Gambar 8.6. Neraca perdagangan memberikan timbal balik negatif pada kejutan satu standar deviasi pada defi sit anggaran dan belanja pemerintah. Ini berarti peningkatan pada kedua indikator kebijakan fi skal tersebut dalam jangka panjang dapat mengancam surplus neraca perdagangan. Implikasinya adalah ukuran belanja yang terlalu besar sehingga tidak memiliki dampak yang dapat meningkatkan neraca perdagangan. Ukuran belanja yang terlalu besar juga dapat meningkatkan defi sit anggaran sehingga dampak pada kedua variabel penurunan surplus neraca perdagangan secara terkumpul menjadi semakin besar.

Defi sit anggaran total juga memberikan timbal balik positif pada variabel neraca perdagangan dan belanja pemerintah pada tahun pertama sehingga tahun kelima.

260

Dinamika Kinerja Fiskal di Indonesia

setelah tahun kelima defi sit anggaran memberikan dampak negatif pada peningkatan surplus neraca perdagangan. Ini berarti bahwa peningkatan surplus perdagangan juga mengakibatkan peningkatan defi sit anggaran total. Fenomena ini semakin meyakinkan penemuan tentang adanya dwidefi sit antara defi sit anggaran dengan defi sit neraca perdagangan. Analisis ini menjelaskan bahwa kebijakan fi skal belum dapat dijadikan alat utama untuk meningkatkan surplus perdagangan. Dampak jangka pendek peningkatan belanja pemerintah pada surplus perdagangan ternyata tidak dapat terjadi dalam jangka panjang.

261

Efek vitas Kebijakan Fiskal

-60

-40

-20

0

20

40

60

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10

TDDEFISIT

GETKURS

Response of TD to CholeskyOne S.D. Innovations

-1.5

-1.0

-0.5

0.0

0.5

1.0

1.5

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10

TDDEFISIT

GETKURS

Response of DEFISIT to CholeskyOne S.D. Innovations

-1.5

-1.0

-0.5

0.0

0.5

1.0

1.5

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10

TDDEFISIT

GETKURS

Response of GET to CholeskyOne S.D. Innovations

-20000

-10000

0

10000

20000

30000

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10

TDDEFISIT

GETKURS

Response of KURS to CholeskyOne S.D. Innovations

Gambar 8.6. Respon Neraca Perdagangan pada Kejutan DB, GET, dan KURS.

5. Model Transaksi Berjalan Masalah penting yang perlu dilakukan dalam analisis

pengaruh kebijakan fi skal pada transaksi berjalan adalah pembentukan model teori . Seperti model-model yang lain, pembentukan model tersebut juga harus didasarkan pada teori ekonomi. Variabel utama yang bisa mempengaruhi perubahan transaksi berjalan adalah tingkat kurs mata uang (exchange rate/KURS t). Oleh karena itu pembentukan

262

Dinamika Kinerja Fiskal di Indonesia

model transaksi berjalan (Current Account/CAt) dalam kajian ini digunakan variabel tersebut, selain variabel kebijakan fi skal. Untuk variabel kebijakan fi skal digunakan paai defi sit anggaran (DBt) dan belanja pemerintah (GETt). Secara lengkap model tersebut dapat ditulis sebagai yang berikut.

CA t = F (DBt, GETt, KURSt)Analisis terhadap dampak pada indikator kebijakan fi skal transaksi berjalan (CA) juga dilakukan dengan variabel belanja pemerintah (GET) dan tingkat nilai tukar uang rupiah Indonesia dengan dollar US (KURS) pada set variabel yang dianalisis. Hasil analisis kointegrasi menunjukkan adanya hubungan kointegrasi dalam set variabel pada tingkat keyakinan 0.90. Ini berarti dalam jangka panjang terjadi hubungan dwidefi sit antara defi sit anggaran dengan defi sit transaksi berjalan. Dengan demikian peningkatan defi sit anggaran akan mengancam surplus transaksi berjalan.

Tabel 8.17 Hasil Analisis Kointegrasi Transaksi BerjalanSet Variabel: CA, DB, KURS, GET

Hipotesis Nul λ-traceHo : r = 0Ho : r ≤ 1Ho : r ≤ 2Ho : r ≤ 3

58.87 a

23.4010.983.97

a adalah signifi kan pada α = 1 %

Analisis hubungan dengan metode VECM dipaparkan pada Tabel 8.18 yang mendapati bahwa koefi sien ECT pada model transaksi berjalan signifi kan. Ini berarti terjadi penyesuaian pada variabel transaksi berjalan. Keseimbangan pada analisis kointegrasi juga terjadi dalam jangka pendek. Tingkat penyesuaian

263

Efek vitas Kebijakan Fiskal

mencapai 40 persen dengan arah yang sama dengan adanya ketidakseimbangan. Ini berarti dalam jangka panjang terjadi hubungan antara defi sit anggaran dengan transaksi berjalan. Berarti peningkatan defi sit anggaran juga memiliki dampak pada ketidakseimbangan transaksi berjalan. Begitu juga belanja pemerintah, dalam jangka panjang memiliki pengaruh yang besar pada transaksi berjalan. Ini berarti sektor fi skal menjadi inferior kepada indikator keterbukaan perekonomian nasional. Variabel tingkat nilai tukar mata uang juga memiliki pengaruh yang positif namun tidak signifi kan, berarti penurunan tingkat mata uang rupiah dibandingkan dollar US tidak mengancam surplus transaksi berjalan. Hasil ini menunjukkan hubungan dalam jangka pendek antara transaksi berjalan dengan nilai tukar rupiah.

Tabel 8.18 Hasil Analisis Model Transaksi Berjalan

Variabel Bebas Variabel Terikat: ∆ CAC

∆ DB

∆ GET

∆ KURS

106.474 (1.790) b

-189.239 (-0.662)

259.101(0.951)

0.087(0.603)

Koefi sien ECT -0.617(-1.979) b

∆X = log (Xt) - log (Xt-1) b adalah signifi kan pada α = 5 %

264

Dinamika Kinerja Fiskal di Indonesia

Timbal balik transaksi berjalan dan defi sit anggaran dipaparkan pada Gambar 8.7. Sama seperti neraca perdagangan transaksi berjalan juga memberikan timbal balik yang negatif pada kejutan satu standar deviasi pada defi sit anggaran dan belanja pemerintah. Ini berarti peningkatan pada kedua indikator kebijakan fi skal tersebut dalam jangka panjang dapat mengancam surplus transaksi berjalan. Defi sit anggaran juga memberikan timbal balik yang positif pada variabel transaksi berjalan dan belanja pemerintah. Ini berarti bahwa peningkatan surplus transaksi berjalan juga mengakibatkan peningkatan defi sit anggaran pemerintah. Fenomena ini semakin meyakinkan hasil penemuan tentang adanya dwi-defi sit antara defi sit anggaran dengan defi sit transaksi berjalan dalam jangka pendek. Dampak peningkatan belanja pemerintah pada surplus transaksi berjalan ternyata tidak dapat terjadi dalam jangka panjang.

-100

-50

0

50

100

150

200

250

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10

CADEFISIT

GETKURS

Response of CA to CholeskyOne S.D. Innovations

-1.6

-1.2

-0.8

-0.4

0.0

0.4

0.8

1.2

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10

CADEFISIT

GETKURS

Response of DEFISIT to CholeskyOne S.D. Innovations

-0.4

0.0

0.4

0.8

1.2

1.6

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10

CADEFISIT

GETKURS

Response of GET to CholeskyOne S.D. Innovations

-8000

-4000

0

4000

8000

12000

16000

20000

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10

CADEFISIT

GETKURS

Response of KURS to CholeskyOne S.D. Innovations

Gambar 8.7. Respon Transaksi Berjalan pada Kejutan DB, GET, dan KURS.

265

Efek vitas Kebijakan Fiskal

8.4. Rangkuman efektifi tas kebijakan fi skalAnalisis terhadap dampak pada kebijakan fi skal.

khususnya belanja pemerintah pada berbagai variabel indikator makroekonomi telah memberikan banyak temuan menarik secara ekonomi. Tujuan utama yang perlu dilihat pada umumnya adalah mengetahui dampak peningkatan ukuran belanja pemerintah dan defi sit anggaran terhadap pertumbuhan ekonomi maupun variabel ekonomi makro lainnya (Chang 2002). Kajian untuk kasus Indonesia ini diutamakan untuk mengetahui dampak peningkatan belanja pemerintah terhadap perubahan pertumbuhan ekonomi.

Hasil analisis dengan metode kointegrasi menunjukkan bahwa pertumbuhan ekonomi memiliki hubungan kointegrasi dengan belanja pemerintah, pajak dan jumlah uang M2. Ini menunjukkan bahwa dalam jangka panjang belanja pemerintah memiliki peranan pada peningkatan pertumbuhan ekonomi. Hasil ini mendukung kajian Sheheey (1993). Namun analisis dengan metode vektor autoregresi (VAR) untuk mengetahui dampak jangka pendek peningkatan belanja pemerintah pada pertumbuhan ekonomi memberikan hasil bahwa peningkatan belanja tidak berpengaruh terhadap peningkatan pertumbuhan ekonomi. Hasil ini sesuai dengan kajian Chang (2002) untuk kasus Taiwan dan Thailand. Fenomena ini menunjukkan bahwa dampak belanja pemerintah pada peningkatan pertumbuhan ekonomi di Indonesia memerlukan periode yang melebihi satu tahun. Dari analisis ini dapat diketahui bahwa kebijakan keuangan mengembang memiliki dampak lebih cepat untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi.

Analisis dampak belanja pemerintah pada tingkat infl asi juga menunjukkan bahwa tidak ada hubungan yang positif antara belanja pemerintah pada peningkatan harga barang dengan harga jasa, apakah ada pada model jangka

266

Dinamika Kinerja Fiskal di Indonesia

panjang (kointegrasi) maupun pada model jangka pendek (VAR). Hasil kajian ini berbeda dengan penemuan Sriyana (2001) yang keduanya menerangkan adanya hubungan antara belanja pemerintah dengan peningkatan tingkat infl asi untuk kasus Indonesia. Hasil untuk kasus Indonesia ini memberikan makna bahwa belanja pemerintah mampu meningkatkan proses pengeluaran sehingga tidak menimbulkan infl asi. Pergeseran permintaan agregat sebagai dampak peningkatan belanja pemerintah dapat diikuti oleh peningkatan penawaran agregat sehingga titik keseimbangan baru akan meningkatkan output. Adanya peningkatan tingkat harga ternyata dipengaruhi oleh kebijakan keuangan meluas dan adanya jangkaan yang terjadi pada tingkat infl asi barang dan jasa.

Hubungan sektor pemerintah dengan investasi swasta dapat dianalisis dengan dua cara. yaitu dampak investasi pemerintah pada investasi swasta dan dampak belanja pemerintah pada investasi swasta. Analisis hubungan kausalitas antara investasi pemerintah dengan investasi swasta menunjukkan terjadinya hubungan kausalitas dalam jangka panjang antara kedua variabel ini. Ini berarti bahwa antara investasi pemerintah dengan investasi swasta terjadi hubungan saling melengkapi. Walau bagaimanapun dalam jangka pendek hal itu menunjukkan respon sektor pemerintah lebih cepat dari sektor swasta. Kenyataan ini menunjukkan tidak terjadinya dorongan keluar. tetapi ada dorongan ke dalam. Hasil kajian ini berbeda dengan kajian Nunes dan Semitsiotis (1995) yang mendapati adanya dorongan keluar. Bagaimanapun hasil analisis ini menyokong kajian Rose dan Hakes (1995) yang menganalisis untuk kasus Indonesia juga menjelaskan adanya hubungan positif antara belanja pembangunan dengan investasi swasta.

Analisis hubungan belanja pemerintah dan swasta dengan metode kointegrasi berbilang variabel menunjukkan hasil yang berbeda. yaitu adanya hubungan

267

Efek vitas Kebijakan Fiskal

saling melengkapi antara belanja operasional dengan investasi swasta. sedangkan antara belanja pembangunan dengan investasi swasta juga terjadi hubungan yang saling mengganti. Dengan demikian peningkatan belanja operasional dapat meningkatkan investasi swasta, sedangkan penurunan investasi swasta digantikan oleh peningkatan investasi pemerintah. Adanya pembiayaan pajak tidak menimbulkan dorongan keluar namun adanya pembiayaan utang dalam anggaran menimbulkan terjadinya dorongan keluar antara belanja pembangunan dengan investasi swasta. Oleh karena itu sumber keuangan dari utang yang dibelanjakan untuk pembangunan dapat menyebabkan tidak saja penurunan investasi swasta namun menimbulkan peningkatan defi sit anggaran. Untuk mengatasi masalah tersebut. pemerintah perlu mengambil kira untuk mengurangi defi sit anggaran dan menerokai sumber keuangan yang lain. apakah ada dari pajak maupun dari sektor pasar uang.

Hasil analisis terhadap dampak kebijakan fi skal pada neraca perdagangan dan transaksi berjalan dilakukan dengan memasukkan defi sit anggaran. Hasil analisis kointegrasi antara defi sit anggaran dengan neraca perdagangan dan transaksi berjalan hanya menghasilkan adanya hubungan keseimbangan jangka panjang antara transaksi berjalan dengan defi sit anggaran, yang keduanya memiliki hubungan negatif. Ini berarti bahwa pembayaran bunga utang memiliki pengaruh yang signifi kan pada adanya aliran modal keluar negeri. Hipotesis adanya dwidefi sit antara defi sit anggaran dengan defi sit neraca perdagangan diterima. Begitu juga hubungan antara defi sit transaksi berjalan dengan defi sit anggaran total juga diterima berdasarkan analisis hubungan dinamik.

Peningkatan belanja juga dalam jangka pendek memiliki dampak yang signifi kan pada peningkatan surplus neraca perdagangan maupun surplus transaksi berjalan. Namun dalam jangka panjang peningkatan

268

Dinamika Kinerja Fiskal di Indonesia

surplus transaksi berjalan juga menimbulkan peningkatan apakah ada defi sit anggaran total. Begitu juga adanya peningkatan belanja pemerintah total yang disebabkan oleh peningkatan defi sit anggaran, sehingga terjadinya siklus defi sit anggaran -surplus transaksi berjalan - belanja pemerintah - defi sit anggaran (defi cit budget-current account circle). Karena antara transaksi berjalan dengan defi sit anggaran total terjadi hubungan kointegrasi, maka penemuan ini memberikan implikasi bahwa tingkat utang pemerintah telah menimbulkan beban utang pada periode mendatang. yaitu pada adanya peningkatan defi sit anggaran.

BAB 9

PENUTUP

Pada bagian ini dikemukakan kesimpulan dan implikasi kebijakan yang diperoleh dari berbagai analisis, meliputi analisis inefi siensi belanja

pemerintah, analisis hubungan kausalitas penerimaan pemerintah dengan belanja pemerintah, dan analisis dampak kebijakan fi skal kepada berbagai variabel indikator makro ekonomi. Penjelasan mulai dengan rumusan tentang permodelan belanja pemerintah kemudian tentang hubungan kausalitas penerimaan dan belanja pemerintah serta dampak kebijakan fi skal kepada variabel indikator makro ekonomi, sedangkan implikasi kebijakan yang dikemukakan merupakan rancangan kebijakan yang diperoleh berdasarkan analisis kajian dari berbagai analisis tersebut.

9.1. KesimpulanPada bahagian ini diterangkan berbagai kesimpulan

berdasarkan analisis kajian yang telah dilakukan. Kesimpulan tersebut merangkum in-efi siensi belanja pemerintah, hubungan kausalitas penerimaan dengan belanja pemerintah dan dampak kebijakan fi skal kepada berbagai indikator makro ekonomi Indonesia.

1. In-efi siensi Belanja Pemerintah

Berdasarkan data-data analisis dengan model a. ECM, baik untuk model jangka panjang (long run desired) dan jangka pendek (short run planned) serta mengaplikasikan pada fungsi in-efi siensi dapat

270

Dinamika Kinerja Fiskal di Indonesia

dihitung tingkat in-efi siensi untuk masing-masing belanja pemerintah. Angka-angka in-efi einsi yang dihasilkan menunjukkan tentang adanya kesalahan peruntukan anggaran (misallocation resources) belanja pemerintah yang dapat memberi dampak negatif terhadap kegiatan ekonomi nasional.

Analisis tentang keberkaitan antara in-b. efi siensi dengan pertumbuhan ekonomi dengan menunjukkan bahwa in-efi siensi belanja peemrintah memberi dampak negatif terhadap pertumbuhan ekonomi dalam jangka panjang. Ini berarti bahwa pemerintah perlu meningkatkan pengawasan dan efi siensi dalam pengelolaan belanja pemerintah, khususnya pada belanja pembangunan yang memiliki in-efi siensi lebih tinggi.

2. Hubungan Kausalitas Penerimaan-Belanja pemerintah

Pada buku ini telah dilakukan berbagai analisis a. antara pajak maupun penerimaan pemerintah dengan berbagai macam belanja pemerintah, yaitu belanja operasional, belanja pembangunan dan belanja total. Aspek penting yang perlu dikemukakan adalah hubungan kausalitas antara pajak dan penerimaan terhadap belanja yang memberi implikasi untuk mengatasi peningkatan defi sit anggaran. Berdasarkan analisis kointegrasi diperoleh bahwa antara pajak dengan belanja operasional, maupun antara penerimaan dengan belanja publik/pembangunan menunjukkan adanya hubungan kointegrasi. Ini berarti bahwa terdapat hubungan keseneraca dalam jangka panjang pada masing-masing set variabel. Analisis tersebut memberikan implikasi adanya arah aliran bersama antara pajak dan penerimaan dengan

271

Penutup

belanja pemerintah. Kenyataan ini memberi implikasi bahwa peran pada salah satu variabel pajak maupun penerimaan akan menimbulkan perubahan pada belanja pemerintah.

Analisis hubungan kausalitas menunjukkan adanya b. hubungan satu arah dalam jangka panjang dari belanja kepada pajak maupun kepada penerimaan total. Dengan kata lain, dalam jangka panjang terjadi kebijakan fi skal yang bersifat spend-and-tax/revenue, yaitu peningkatan belanja memberi dampak yang signifi kan kepada peningkatan penerimaan. Fenomena ini menunjukkan bahwa peruntukan belanja mampu menumbuhkan berbagai unit-unit baru dalam kegiatan ekonomi, sehingga mampu menciptakan sumber-sumber penerimaan baru, baik dari pajak atau bukan pajak.

Tidak adanya hubungan kausalitas dalam jangka c. panjang dari belanja pemerintah penerimaan total kepada menunjukkan bahwa ada sumber-sumber untuk pembiayaan belanja yang berasal dari luar penerimaan pemerintah. Melihat analisis ini, maka dalam jangka panjang muncul sesuatu hipotesis akan adanya ketergantungan sumber-sumber pembiayaan pembangunan sektor pemerintah kepada utang. Jika hal ini terjadi berterusan, maka dapat minimbulkan debt burden, yaitu ketergantungan utang yang akan mengancam perekonomian nasional.

Dalam jangka pendek diperoleh adanya hubungan d. kausalitas satu arah dari penerimaan kepada belanja (tax/revenue-and-spend). Fenomena jangka pendek dan jangka panjang lebih berarti kepada peride waktu yang diperlukan untuk penyesuaian menuju

272

Dinamika Kinerja Fiskal di Indonesia

keseneraca antara kedua variabel. Adanya hubungan kausalitas satu arah dari pajak maupun penerimaan kepada belanja pemerintah menunjukkan bahwa sumber keuangan pemerintah merupakan faktor utama untuk pembiayaan kegiatan pemerintah dan program-program pemerintah. Sedangkan tidak adanya hubungan kausalitas dalam jangka pendek antara belanja kepada pajak maupun penerimaan membawa implikasi bahwa munculnya unit-unit kegiatan ekonomi baru sehingga terciptanya sumber-sumber pajak baru memerlukan masa lebih dari satu tahun.

3. Dampak Kebijakan Fiskal Kepada berbagai Indikator Makroekonomi

Analisis kointegrasi menunjukkan bahwa a. pertumbuhan ekonomi memiliki hubungan kointegrasi dengan belanja pemerintah, pajak dan jumlah uang M2. Ini menunjukkan bahwa dalam jangka panjang belanja pemerintah memiliki peranan kepada peningkatan pertumbuhan ekonomi. Namun analisis dengan metode vector autoregression (VAR) untuk mengetahui dampak jangka pendek peningkatan belanja pemerintah kepada pertumbuhan ekonomi menunjukkan peningkatan belanja pemerintah mempengaruhi peningkatan pertumbuhan ekonomi.

Analisis dampak belanja pemerintah kepada b. tingkat infl asi menunjukkan bahwa tidak ada hubungan yang positif antara belanja pemerintah dengan peningkatan infl asi barang dan jasa, baik pada model jangka panjang (kointegrasi) maupun pada model jangka pendek (VAR). Analisis untuk kasus Indonesia ini memberikan makna bahwa belanja pemerintah mampu meningkatkan proses

273

Penutup

pengeluaran sehingga tidak menimbulkan infl asi. Pergeseran permintaan agregat sebagai dampak peningkatan belanja pemerintah mampu diikuti oleh peningkatan penawaran agregat sehingga titik keseneraca baru akan meningkatkan output. Adanya peningkatan tingkat infl asi ternyata dipengaruhi oleh kebijakan moneter ekspansif dan adanya ekspektasi yang terjadi pada tingkat infl asi barang dan jasa.

Analisis hubungan kausalitas (c. causality) antara investasi pemerintah dengan investasi swasta menunjukkan terjadinya hubungan kausalitas dalam jangka panjang antara kedua variabel tersebut. Ini berarti bahwa antara investasi pemerintah dengan investasi swasta terjadi hubungan saling melengkapi (complementary). Walaupun dalam jangka pendek menunjukkan respon sektor pemerintah lebih cepat dibanding sektor swasta. Kenyataan ini menunjukkan tidak terjadinya crowding out, tetapi justru ada crowding in.

Analisis hubungan belanja pemerintah dan d. swasta dengan metode kointegrai multi variabel menunjukkan analisis yang berbeda, yaitu adanya hubungan saling melengkapi (complementary) antara belanja pemerintah dengan investasi swasta. Dengan demikian peningkatan belanja pemerintah dapat meningkatkan investasi swasta (crowding in), sedangkan penurunan investasi swasta digantikan oleh peningkatan belanja pembangunan. Adanya tax fi nanced tidak menimbulkan crowding out, namun adanya debt fi nanced dalam anggaran menimbulkan terjadinya crowding out antara belanja pembangunan dengan investasi swasta. Analisis

274

Dinamika Kinerja Fiskal di Indonesia

ini menolak hipotesis Kesetaraan Richardian (Richardian Equvalence).

Analisis dampak kebijakan fi skal kepada neraca e. perdagangan dan transaksi berjalan dilakukan dengan memasukkan defi sit anggaran. Analisis kointegrasi antara defi sit anggaran dengan neraca perdagangan dan transaksi berjalan hanya menghasilkan adanya hubungan jangka panjang antara transaksi berjalan dengan defi sit anggaran, yang kedua-duanya memiliki hubungan negatif. Ini berarti bahwa pembayaran bunga utang (interest payment) memiliki pengaruh yang signifi kan kepada adanya aliran modal keluar negeri. Hipotesis adanya twin defi cit antara defi sit anggaran dengan defi sit neraca perdagangan diterima, begitu pula hubungan antara defi sit transaksi berjalan dengan defi sit anggaran juga diterima.

Peningkatan belanja dalam jangka pendek f. memberi dampak yang signifi kan kepada peningkatan surplus neraca perdagangan maupun surplus transaksi berjalan. Namun dalam jangka panjang, peningkatan surplus transaksi berjalan juga menimbulkan peningkatan defi sit anggaran primer maupun defi sit anggaran. Dengan adanya peningkatan belanja pemerintah yang disebabkan oleh peningkatan defi sit anggaran, muncul terjadinya siklus (defi cit budget-current account circle) defi sit anggaran -surplus transaksi berjalan-belanja pemerintah-defi sit anggaran. Kerana antara transaksi berjalan dengan defi sit anggaran tidak terjadi hubungan kointegrasi, maka temuan ini memberikan implikasi bahwa tingkat utang pemerintah telah menimbulkan beban (debt burden) pada masa depan, yaitu mendorong adanya peningkatan defi sit anggaran.

275

Penutup

9.2. Implikasi kebijakanBerdasarkan berbagai kesimpulan yang diperoleh

tersebut, maka dapat dikemukakan berbagai rancangan kebijakan untuk meningkatkan pengaruh kebijakan fi skal terhadap ekonomi nasional.

Perlunya peningkatan kualitas proses penyusunan a. anggaran (budgeting process). Peningkatan kualitas tersebut dapat dilakukan dengan cara (1) perluasan peranan berbagai kelompok masyarakat dan pelaku ekonomi, termasuk sektor swasta yang terlibat dalam perancangan anggaran untuk memperoleh informasi yang tepat tentang keperluan program-program pemerintah; (2) perlu adanya pengurangan birokrasi dalam proses perancangan anggaran sehingga akan mengurangi lag yang timbul dalam proses perancangan tersebut; (3) peningkatan disiplin fi skal (fi scal discipline) pengawasan pada aspek pertanggungjawaban pengelolaan (managerial accountability) sehingga akan diperoleh peningkatan efi siensi alokasi (allocative effi ciency), efi siensi teknik (technical effi ciency) dan efi siensi penyerahan (delivery effi ciency); (4) peningkatan sinergi antara sektor pemerintah dan sektor swasta serta perluasan peranan sektor swasta dalam perekonomian untuk mengurangi biaya ekonomi sehingga akan diperoleh output yang optimum.

Perlu adanya perhitungan kembali tingkat defi sit b. anggaran yang semakin tinggi, sehingga tidak akan muncul dampak negatif yang semakin besar, khususnya ketergantungan kepada utang. Pengurangan tingkat defi sit anggaran dapat dilakukan dengan peningkatan penerimaan pemerintah, khusunya pada komponen pajak yang dinikmati oleh kelompok masyarakat berpendapatan tinggi, dan belanja yang berkaitan dengan aspek politik, sehingga pada titik optimumnya.

276

Dinamika Kinerja Fiskal di Indonesia

Penurunan tingkat belanja tidak akan menurunkan penerimaan pajak, pertumbuhan ekonomi, maupun surplus neraca perdagangan dan transaksi berjalan, karena peningkatan belanja tidak memberi dampak langsung dalam jangka pendek kepada semua variabel tersebut.

Peningkatan kualitas pengelolaan dan produktivitas c. sektor pemerintah, khususnya pada belanja pembangunan sangat diperlukan untuk mengurangi in-efi siensi yang timbul. Peningkatan kualitas dapat dilakukan pada aspek (1) proses perancangan program-program pemerintah yang meliputi penyaringan informasi, distribusi, peruntukan, pengawasan dan sistem pertanggungjawaban; (2) distribusi jasa pemerintah kepada semua kelompok masyarakat dengan cara koordinasi antara semua jabatan kementerian, sama ada secara horizontal maupun vertical; (3) keterlibatan sektor swasta untuk memperoleh keterpaduan dan sinergi antara pembangunan sektor pemerintah dan sektor swasta; (4) peningkatan program-program pemerintah yang memiliki keterkaitan langsung dengan kegiatan sektor swasta.

Peningkatan defi sit anggaran telah membawa implikasi d. kepada peningkatan utang, sehingga meningkatkan tingkat interest payment, sehingga membebankan keuangan pemerintah dan dapat mengancam ekonomi nasional. Oleh karena itu perlu adanya penurunan tingkat defi sit anggaran oleh pemerintah, dan sebagai alternatifnya pemerintah dapat memperluas cakupan sumber-sumber penerimaan pajak tanpa meningkatkan tingkat tarif pajak serta upaya meningkatkan penerimaan dari sumber bukan pajak.

277

Penutup

Untuk menjaga kestabilitan tingkat infl asi barang dan e. jasa lebih banyak dilakukan dengan kebijakan moneter dibanding kebijakan fi skal. Namun demikian adanya keterkaitan antara sektor fi skal dengan sektor moneter serta peningkatan efi siensi pada pengelolaan anggaran dapat digunakan untuk mengurangi dampak negatif kebijakan moneter ekspansif kepada peningkatan tingkat infl asi.

Untuk meningkatkan peranan sektor swasta, maka f. perlu ada kebijakan ekonomi untuk meningkatkan investasi swasta. Tidak adanya hubungan crowding out antara belanja pemerintah dan investasi swasta membawa implikasi tingginya kepercayaan investor. Oleh karena itu perlu segera diikuti oleh kebijakan-kebijakan ekonomi yang dapat merangsang adanya investasi langsung dari luar negeri.

Adanya g. tax fi nanced tidak menimbulkan crowding out, namun adanya debt fi nanced dalam anggaran menimbulkan terjadinya crowding out antara belanja pemerintah dengan investasi swasta. Analisis ini menolak hipotesis Kesetaraan Richardian (Richardian Equvalence). Ini memberikan dukungan perlunya dilakukan kebijakan pengurangan utang dan meningkatkan penerimaan pajak maupun bukan pajak. Peningkatan sumber keuangan pemerintah dari utang akan menjadikan kondisi pada debt trap yang akan mengancam ekonomi nasional.

Untuk meningkatkan pemasukan modal dan surplus h. neraca perdagangan dan transaksi berjalan dapat dilakukan dengan peningkatan alokasi belanja pada penggunaan barang domestik, dibanding dengan barang luar negeri. Oleh karena itu peningkatan pengeluaran dan transfer teknologi pada proses pembuatan barang substitusi impot sangat penting dilakukan oleh pemerintah.

278

Dinamika Kinerja Fiskal di Indonesia

DAFTAR PUSTAKA

Abrams, Burham A. 1999. The Effect of Government Size on Unemployment Rate. Public Choice 99: 355-401.

Anderson, W., Wallace, M.S. & Warner, J.T. 1986. Governement Spending and Taxation: What Causes What? Southern Economic Journal 52: 630-39.

Adji, A.D. 1998. Do Budget Defi cits Raise Current Account Defi cits? Cases in Asean-5. Jurnal Ekonomi dan Bisnis Indonesia 13 (2): 15 – 28.

Ahmed, Sulton & Kenneth V Greene. 2000. Is The Median Voter A Clear Cut Winner? Comparing The Median Voter Theory and Competing Theory in Explaining Local Government Spending. Public Choice. 102: 8-24.

Arestis, Philip, Mosahid Khan & Kul B. Luintel. 2002. Fiscal Defi cits in Monetary Unions: A Comparasion of EMU and United States. Eastern Economic Journal, 1(1): 89-104.

Baghestani & McNown. 1994. Do Revenues or Expenditures Respond to Budgetary Disequilibria? Southern Economic Journal 61:311-322.

Bank Indonesia, Laporan Tahunan Ekonomi dan Keuangan, Jakarta, Indonesia, Edisi 1980-2011.

Barry, F. & M.B. Devereux. 1995. The Expansionary Fiscal Contraction Hypothesis: A Neo – Keynesian Analysis. Oxford Economic Papers 47: 249-264.

Barro, R.J. 1989. The Ricardian approach to Budget Defi cits. Jounal of Economic Perspectives 3: 37-54

Baumol, William J. 1967. Macroeconomics of Unbalanced Growth: The Anatomy of The Urban Crisis. American Economic Review 57: 415-26.

280

Dinamika Kinerja Fiskal di Indonesia

Beetsmaa, R.M.W.J. & F. Van der Ploeg. 1996. Does Inequility Cause Infl ation ?: The Political Economy of Infl ation. Taxation and Government Debt. Public Choice 87: 143 –162.

Bernheim, B.D. 1989. A Neoclassical Perspective on Budget Defi cit. Journal Of Economic Perspectives 3 (2): 55 – 72.

Berument, Hakan. 1994. Political Parties and Government Financing: Empirical Evidence for Industrialized Coutries. Southern Economic Journal 61: 511-518.

Biro Pusat Statistik, Laporan Ekonomi dan Perdagngan, Jakarta, Indonesia, Edisi.1990-2011.

Blakely, Paul R. & Deboer, Larry. 1993. Bias in OMB’s Economic Forecasts and Budget Proposals. Public Choice 76: 215-232.

Boadway, Robin. 1997. Preparing The Public Sector for 2020: Lessons from Industrialised Countries. in Malaysia’s Public Sector in The Twenty First Century: Planning For 2020 and Beyond. Workshop Proceedings. Univeriti Kebangsan Malaysia.

Bohl, M.T. 1999. Presistence in Government Spending Fluctuations: New Evidence in The Displacement Effect. Public Choice 99: 465-467.

Bohn, H. 1999. Budget Balance Through Revenue or Spending Adjustments? Some Historical Evidence for United States. Journal of Monetary Economics 27: 333-59.

Brown, F.X. 1989. A New Test of The Buffer Stock Money Hypothesis. Manchester School of Economics and Social Studies 57: 154-171.

Brown. Yroom W. & Daniel H Sacks. 1983. Spending for Local Public Education: Income Distribution and The Aggregation of Private Demand. Public Finance Quarterly 11:21-45.

281

Da ar Pustaka

Bruno, H. & Carine Smolders. 1996. Fiscal Illusion at The Local Level: Empirical Evidence for The Flemish Municipalities. Public Choice 80: 325 – 338.

Buchanan, J.M. & Wagner, R.E. 1978. Democracy in Defi cit. New York. Academic Press.

Chang, Tsang Yao, Wen Rong Liu & Henry Thompson. 2002. The Vaiability of Fiscal Policy in South Korea. Taiwan and Thailand. ASEAN Economic Bulletin. 19. (2): 170-177.

Chao, C.C. & Edden S.H. Yu. 1993. Can Fiscal Spending Be Contractionary in The Neoclassical Economy? Economica 60:347 – 356.

Chye, N.G. Boon. 2001. Kejutan Luaran dan Penyesuaian Fiskal di Malaysia. Kertas Ilmiah. Fakulti Ekonomi. Universiti Kebangsaan Malaysia.

Cuddington, J. T., 1996, “Analyzing the Sustainability of Fiscal Defi cits in Developing Countries,” University of George Washington, Washington D.C., USA.

Cuthbertson, K. 1988. The Dem& for M1: A Forward Looking Buffer Stock Model. Oxford Economic Paper 40: 110-131

Cuthbertson, K. Stephen G Hal & M. P. Taylor. 1992. Applied Econometrics Techniques. Philip Allen.

Darrat, Ali E. 1988. Have Large Budget Defi cits Caused Rising Trade Defi cits? Southern Economic Journal 54: 879-886.

Darrat, Ali E. 1998. Tax and Spend. or Spend and Tax? An Inquiry into The Turkish Budgetary Process. Southern Economic Journal. 64 (4): 940-956.

Departemen Keuangan, Nota Keuangan dan Rancangan APBN, Edisi 1980-2011, Jakarta, Indonesia, http://depkeu.go.id/notakeuangan/

282

Dinamika Kinerja Fiskal di Indonesia

Departemen Keuangan, Statistik Ekonomi dan Keuangan, Jakarta, Indonesia, http://depkeu.go.id/statistikekonomi/

Diamond, J. 1989. Government Expenditure and Economic Growth: An Empirical Investigation. International Monetary Fund Working Paper 89/45.

Dicky, D.A & Fuller, W.A. 1981. The Likelihood Ratio Statistics for Autoregressive Time Series with a Unit Root. Econometrica 49: 1057-1072.

Dallen, Hendick P.V. & Otto H. Swank. 1996. Government Spending Cycles: Ideological or Opportunistic ?. Public Choice 89: 183 – 200.

Dimsdale, N.H. & N. Horsewood. 1995. Fiscal Policy and Employment in Interwar Britain: Some Evidence from A New Model. Oxford Bulletin Economic Papers. 47: 369 -396.

Domowitz, I. & I. Elbadawi. 1987. An Error Correction Approach to Money Demand: The Case of Sudan Journal of Development Economics 26: 257 – 375.

Dornbusch, R & S. Fischer. 1994. Macroeconomics. Mc-Graw Hill. Co.

Eisner, R. 1989. Budget Defi cit: Rethoric and Reality. Journal Of Economic Perspectives 3 (2): 73 – 93.

Enders, Walter & B.S. Lee. 1990. Current account and Budget Defi cits: Twins or Distans Cousins? The Review of Economics and Statistics 72: 373-381.

Engle, R.F. & C.W.J. Granger. 1987. Cointegration and Error Correction: Representation. Estimation and Testing. Econometrica 55: 251-276.

Feers, J.S. & Edwin G. West. 1996. The Cost Deseas of Government Growth: Qualifi cations to Boumal . Public Choice 89: 35 – 52.

Fisher, Ronald C. 1997. State and Local Public Finance. Richard D Irwin. Washington.

283

Da ar Pustaka

Friedman, Milton. 1978. The Limitations of Tax Limitation. Policy Review (summer): 7-14.

Fry, Maxwell J. 1993. Foreign Debt Accumulation: Financial and Fiscal Effects on Monetary Policy Reactions in Developing Countries. Journal of International Money and Finance 12: 347-346.

Ghandi, V. P. 1971. Wagner’s Law of Public Expenditure: Do Recent Cross-Studies Confi rm It? Public Finance 26 (1): 44-56.

Goffman. I.J. 1968. On The Empirical Testing of Wagner’s Law: A Technical Note. Public Finance 23: 39-51.

Granger, C.W.J. 1988. Developments in Cocept of Causality. Journal of Econometrics. 43: 199-211.

Hamid, Edy S. Nur Feriyanto & M. B. Hendriyanto. 2001. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Defi sit Transaksi Berjalan Indonesia Periode 1971-1999. Jurnal Ekonoi Pembangunan. 6 (2):183-1992.

Handayani, Dwi Pujianastuti. 1997. Pengeluaran Pemerintah: Peran dan Implikasinya Terhadap Pertumbuhan & Stabilitas Ekonomi Indonesia Selama Pembangunan Jangka Panjang Pertama. Tesis S2. Program Pasca Sarjana. Universitas Gadjahmada. Yogyakarta. tidak dipublikasikan.

Hassapis, Christis. 1996. Are Bureaucrats Effi cient? An Application to the Provision of AFDC. Public Choice 86: 157-174.

Hill, Hal. 1996. Transformasi Ekonomi Indonesia Sejak 1966. Penerbit PAU-UGM bekerjasama dengan Tiara Wacana. Yogyakarta.

Hock, E. 1962. The Expansion of The Public Sector: A study of The Public Civilian Expenditure in Sweden. Public Finance 17: 220-235.

284

Dinamika Kinerja Fiskal di Indonesia

Hondroyiannis, G. & Evangela Papapetrue. 1996. An Examination of The Causal Relationship Between Government Spending and Revenue: A Cointegration and ECM Analysis . Public Choice 89: 363 – 374.

Hondroyiannis, G. & Evangela Papapetrue. 2001. An Investigation of The Public Defi cit and Government Spending Relationship: Evidence for Greece. Public Choice 107: 169 – 182.

Hyman, David.N. 1996 Public Finance: A Contemporary Aplications of Theory to Policies. 5th ed. The Dryden Press.

Ibrahim, M Mansor. 2000. Structure of Government Expenditure and Private Investment in Malaysia: An Empirical Analysis. Prosiding pada Seminar Nasional Strenghtening The Macroeconomic Fundamentals of The Malaysian Economy. June. Kualalumpur.

Insukindro. 1990. The Short and Long term Determinants of Money and Bank Credit Markets in Indonesia. Ph.D Thesis. University of Essex. tidak dipublikasikan.

Insukindro. 1992. Dynamic Specifi cation of The Demand for Money: A Survey of Recent Development. Jurnal Ekonomi Indonesia 1: 8-23.

Jayaraman, T.K. 1993. Fiscal Defi cits and Current Account Imbalances of The South Pacifi c Countries. Occasional Paper ADB. Dec. 1993.

Johansen, S. 1991. Estimation & Hypothesis Testing of Cointegration Vectors in Gaussian Vector Autoregressive Models. Econometrica 37: 427-438.

Jones, J.D. & Joulfain. D. 1991. Federal Government Expenditure and Revenues in The Early Years of The American Republic: Evidence from 1792-1860. Journal of Macroeconomics 13: 133-155.

285

Da ar Pustaka

Kuncoro, H.W. 1999. Pengeluaran Pemerintah dan Responsivitas Sektor Swasta. Jurnal Ekonomi Pembangunan 4 (1): 42-56

Landau, D. 1986. Government Expenditure & Economi Growth in Less Developed Country: An Empirical Study for 1960-1980. Economic Development & Culture Change October: 35-75.

Lewis, Simon Wrein, Darby. Julia, Ireland Jonathan. & Ricchi. Ottavio. 1996. The Macroeconomics Effects of Fiscal Policy: Linking an Econometrics with Theory. The Economic Journal. 106: 543-559.

Loehman, Edna, Quesnel. Fabriece N. & Babb. Emerson N. 1996. Free Rider Effects in Rent Seeking Groups Competing for Public Goods. Public Choice 86: 35-61.

Mansoer, F.W. & Aris Soelistyo. 1998. Suatu Pendekatan Ekonometrik Terhadap Ekonomi Makro Indonesia 1978 – 1994. Jurnal Ekonomi & Bisnis Indonesia. 13. (4): 30 – 50.

Manage, N. & Marlow. M.L. 1986. The Causal Relation between Federal Expenditures and Receipts. Southern Economic Journal 52: 617-29.

Mankiw, N. Gregory. 1987. The Optimum Collection of Seigniorage: Theory and Evidence. Journal of Monetary Economics 20: 327-341.

MacKinnon, James. 1991. Critical Values for Cointegration Tests in long Run Economic Relationships. in Reading in Cointegration. edited by Engle and Granger. Oxford University Press.

Meltzer, A.H. & Richard S.F. 1981. A Rational Theory of The Size of The Government. Journal of Political Economy 89: 914-927.

286

Dinamika Kinerja Fiskal di Indonesia

Merifi eld, John. 2000. State Government Expenditure Determinants and Tax Revenue Determinants Revisited. Public Choice 102: 25-50.

Miller, S. & S. Russek. 1990. Co-Integration and Error Correction Model: The Temporal Causality Between Governement Taxes and Spending. Southern Economic Journal 57:221-229.

Miller, S. & S. Russek. 1997. Fiscal Structures and Economic Growth at The State and Local Level. Public Finance Review 25 (2): 213 – 237.

Musgrave, R. S. 1969. Fiscal System. New Heaven: Yale University Press.

Moesen, Wim & Philipe Van Couwemberge. The Status of Budget Constraint. Federalism and The Relative Size of Government: A Bureaucracy Approach. Public Choice 104: 207-224.

Nasara, Suahasil, 2010, Pemerataan Antardaerah Sebagai Tantangan Utama Transformasi Struktural Pembangunan Ekonomi Indonesia Masa Depan, Pidato Pengukuhan Guru Besar dalam Bidang Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi, Universitas Indonesia, 10 Maret 2010.

Niskanen, W.A. 1971. Bureaucracy and Representative Government. Chicago: Aldine-Atherton.

Niskanen, W.A. 1978. Defi cits. Government Spending & Infl ation: What Is The Evidence? Journal of Monetary Economics 4: 591-602.

Nunes, J.C. & L. Stemitsiotis. 1995. Budget Defi cit & Interest Rate: Is There a Link? International Evidence. Oxford Bulletin of Economics & Statistics 57 (4): 425 – 449.

287

Da ar Pustaka

Osterwald-Lenum M. 1992. A note with Quartiles of the Asymptotic Distribution of The Maximum Likelhood of Cointegration Rank Statistic. Oxford Bulletin of Economics and Statistics 54: 461-471.

Peacock, A.T & Wiseman. J. 1961. The Growth of Public Expenditure in the United Kingdom. Princeton: Princeton University Pres.

Peacock, A.T & Wiseman. J. 1979. Approach to The Analysis of Government Expenditure Growth. Public Finance Quarterly 7:3-23.

Pryor, F.L. 1965. The Public Expenditure in Communist and Capitalist Nations. London: Allen and Unwin.

Purchase, Bryne. 1997. The Public Sector and The Market: An International Perspective on Government and Competitiveness. in Malaysia’s Public Sector in The Twenty First Century: Planning For 2020 and Beyond. Workshop Proceedings. National University of Malaysia.

Ram, Rati. 1986. Government Size and Economic Growth: A New Framework and Some Evidence from Cross Section & Time Series Data. American Economic Review. 76: 191-203.

Ram, R. 1988a. Additional Evidence on Causality Between Government Revenue and Government Expenditure. Southern Economic Journal 54: 763-769.

Rose, D.C. & D. R. Hakes. 1995. Defi cits and Interest Rates as Evidence of Ricardiance Equivalence. Eastern Economic Journal 21(1): 57-81.

Saunders, P. 1985. Public Expenditure and Economic Performance in OECD Countries. Journal of Public Policy. February: 1-21.

Schuvnecht, Ludger. 2000. Fiscal Policy Cycles and Public Expenditure in Developing Countries. Public Choice 102: 115-130.

288

Dinamika Kinerja Fiskal di Indonesia

Shah, A.M. 1992. Empirical Tests for Allocative Effi ciency in Te Local Public Sector. Quarterly Public Finance 20 (3): 359 – 377.

Sheehey, E.J. 1993. The Effect of Government Size on Economic Growth. Eastern Economic Journal 19 (3): 321 – 328.

Sriyana, Jaka. 2001. Pengaruh Ekspansi Pengeluaran Pemerintah Terhadap Infl asi di Indonesia. Jurnal Ekonomi Pembangunan 8 (2): 65-77.

Sriyana, Jaka. 2005. Goverment Expenditure and Its Impact on Macroeconomic Indicators: The Case of Malaysia, Ph. D Thesis, Unpublished.

Sriyana, Jaka. 2009. A Causality Relationship between Tax Revenue and Government Expenditure in Indonesia, Economic Journal of Emergeing Markets, Vol.1, No.2, 2009.

Sriyana, Jaka. 2011. The Effect of Budget Defi cit Shock on Government Spending: An Empirical Case in Indonesia, International Journal of Business and Development Studies, Vol. 3, No. 1: 41-58

Swaroop, Vinaya, Jha. Sikha & Rajkumar, Andrew Sunnil. 2000. Fiscal Effects of Foreign Aid in A Federal System of Government. The Case of India. Journal of Public Economics. 77: 302-330.

Syahrizal. 1996. Identifi kasi Faktor-Faktor yang Berpengaruh Pada Bantuan Pembangunan di Propinsi Riau. Tesis S2. UGM. Yogyakarta. tidak dipublikasikan.

Taggart, Dauglass Mc. Christoper Findlay & Michael Parkin. 1999. Macroeconomics. Addison-Wesley.

Trehan, Bharat & Carl E Walsh. 1990. Seigniorage and Tax Smoothing in United States 1914-1986. Journal of Monetary Economics 20: 97-112.

289

Da ar Pustaka

Toda, Hiro Y & Peter C.B. Philips. 1993. Vector Autoregressive and Causality. Econometrica 61 (6): 1367-1393.

Tridimas. George. 1992. Budgetary Defi cits and Government Expenditure Growth : Toward A More Accurate Empirical Specifi cation. Public Finance Quarterly 20 (3): 275-1297.

Tridimas, George. 2001. The Economics and Politics of The Structure of Public Expenditure. Public Choice 106: 299-316.

Von, Fursterberg, George M.. R., Jeffery Green & Jin Ho Jeong. 1986. Tax and Spend or Spend and Tax? Review of Economics and Statistics 68:179-188.

Wagner, E. & W.E. Weber. 1977. Wagner’s Law. Fiscal Institution and The Growth of Government. National Tax Journal. 1: 59-67.

Wolfson, M.H.. 1995. Corporate Restructuring and The Budget Defi cit Debate. Eastern Economic Journal. 19 (4): 494-519.

290

Dinamika Kinerja Fiskal di Indonesia

Index

AAgregat 28,29,32,48,52,60,61,68,74,80,128,238,275Anggaran 1,2,3,9,11,12,13,15,16,21,27,28,30,37,43,47,48,50,51,55,56,57,58Asia 2,9,11,15,16,17,23,78,92,95,118,180 BBudget 3,43,86,99Belanja 1,2,3,4,9,12,20,35,75,270,271,272,273,274,275,276,277,278,279Barang2,3,4,6,20,21,28,29,31,32,38,39,40,41,42,43,44,45,47,48,51,53,59,140,279Base money 81 86

CCrowding out 35,36,56,62,63,67,69,243,251,275,279 Crowding in 69,243,246,251,255Current account 58,64,264,276,281,284,286Cadangan 13,14,89

DDefi sit 79,97,98,101,242,256,263,266Devisa 13,14,89Distribusi 23,24,28,58,74,278Debt 81,82,128,231,249,273,275,276,279,282,285

292

Dinamika Kinerja Fiskal di Indonesia

EExpenditure3,32,51,146,185,281,284,285,286,287,288,289,290,291Ekonomi 1,2,3,5,8,9,10,14,17,19,27,32,42,50,56,58,61,67,73,77,82,91,92,95,104,106,118,142,144,173,173,181,218,277,235,263,272,277,287,290Efi siensi 137,171Ekspor 6,8,9,65,75,77,259

FFiskal 2,4,6,8,10,12,14,16,18,20,22,24,26,27,28,29,30,54,57,71,72,79,80,81,83,85,98Finance 202,284,285Failure 44

GGDP 19,47,48,81,101,105,113,133,134,141,151,189,239Government 38,47,51,69,76,144,146,185,281,282,284,286,287,288,289Goods 47,53,287

IInfl asi 20,79Illusion 37,57,78,284In-efi siensi 137,171,172Indikator 1,2,3,4,5,8,9,13,14,27,57,87,109,257,274,294Investasi 3,8,21,22,64,69,243,245,247,251,268,279

293

Index

KKuasi 123,125,126,127Kebijakan 1,2,3,4,12,27,31,45,53,56,58,61,66,70,77,85,91,93,104,138,229,241,259Krisis 2,10,15,23,24,60,70,78,130,161Kausalitas 27,51,52,137,177,179,181,182,185,195,208,212,246,275Kinerja 2,4,6,8,10,11,12,14,16,30,34,40,83,86,114,115,162,165,222,270,280,282,286,290,294

MMultiplier 109,123,295M1 123,126,127,129,130,283M2 123,125,126,127,129,131,232,242,267Model 27,29,31,38,71,142,145,150,152,154,158,162,185,190,205,228,229,241,253,284Makro 1,2,8,11,13,21,57,77,230,267,271,281

PPajak 3,27,29,30,33,34,39,103 Pembangunan 1,2,3,8,9,137,169,273,275,290Pendapatan 1,3,10,11,24,32,39,42,51,60,119,158,188,231,232Pemerintah 1,2,3,9,14,21,29,38,42,45,49,52,57,63,66,71,75,77,80Publik 3,15,16,35,36,38,43,46,48,53,67,113,140,159,171,179,184,198,213,224,272

294

Dinamika Kinerja Fiskal di Indonesia

SSimultaneously 52Seigniorage 79,80,84 ,85,86,87,135,287,Services 47,53,57,76Simpanan 13Sektor 2,3,8,20,21,89,241,278,279

TTwin defi cit Trade 283Tarif 27,28,29,30,39,40,42,278Transfer 33,88,279