antologi esai 1
TRANSCRIPT
1
MEMBANGUN TRADISI Wacana Kritis Intelektual Lokal
1
Sudah saatnya dibangun wacana kritis di
tingkat lokal sebagai suatu tradisi. Wacana kritis lokal
yang dimaksud adalah hasil-hasil pemikiran para
intelektual, akademisi, praktisi, dan pengamat, yang
berusaha mengangkat persoalan-persoalan lokal
berdasarkan sudut pandang dan kompetensi-nya.
Pentingnya tradisi wacana kritis intelektual lokal itu
terletak pada realitas pembangunan daerah selama
ini, belum berangkat dari referensi yang menyeluruh
dari semua komponen yang ada di daerah itu. Salah
satunya adalah, peranan intelektual yang ada di
2
daerah itu sebagai komponen penting bagi
perubahan masyarakat.
Sejarah di mana pun mengungkapkan suatu
fakta bahwa perubahan suatu bangsa (masyarakat)
tidak akan lepas dari sejarah pemikiran yang ada.
Semenjak peradaban masih dikuasai cara pandang
mitis-metafisis, kelompok intelektual sudah me-
nanamkan pemikiran-pemikirannya sebagai landas-
an untuk memahami realitas demi menjalankan
kehidupan sehari-hari. Kekuasaan yang paling
totaliter sekalipun, tidak luput dari warisan pemikiran
para intelektual sebagai landasannya. Sejarah
Indonesia modern pun sesungguhnya didorong oleh
suatu gerakan para intelektual dengan semangat
nasionalisme untuk membangun suatu bangsa di
awal abad XX. Lahirnya Sumpah Pemuda sebagai
tonggak bangkitnya jiwa dan semangat untuk
membangun Indonesia, merupa-kan bukti bahwa
kaum intelektual terpelajar memiliki peranan penting
bagi perubahan.
3
Marilah kita menyederhanakan sebuah
realitas sejarah pentingnya wacana intelektual bagi
pembangunan bangsa Indonesia modern. Itu dimulai
ketika awal abad XX. Tepatnya, pada saat
masyarakat Indonesia mulai bersentuhan dengan
budaya Barat. Sentuhan tersebut mengakibatkan
munculnya kelompok sosial terpelajar, hasil dari
pendidikan barat. Dari kelompok sosial inilah timbul
semangat dan keinginan untuk berbangsa dan
bernegara. Nilai-nilai budaya barat yang ditanamkan
pada kelompok sosial ini menyadarkan mereka
tentang pentingnya nasionalisme. Meskipun orientasi
pemikiran mereka berbeda-beda, tetapi pada
dasarnya mereka bersepakat membangun
masyarakat Indonesia sebagai suatu bangsa yang
modern.
Pemikiran kelompok sosial terpelajar di awal
kembangkitan bangsa Indonesia, beraneka ragam
orientasinya. Hal itu terlihat pada saat Kongres
Pemuda II dan terus berlanjut hingga terjadinya
4
polemik kebudayaan pada masa 30-an. Tidak hanya
itu, keanekaragaman pemikiran mereka juga terlihat
pada wacana kritis yang dibangun atas karya-karya
mereka. Sebagian dari mereka ber-pendapat bahwa
masa depan masyarakat Indonesia berpijak pada
nilai-nilai lokal. Berseberangan dengan pendapat itu,
terdapat kelompok yang ber-orientasi ke barat.
Tetapi tidak sedikit di antara mereka yang
berpendapat bahwa masa depan masyarakat
Indonesia adalah sintesa dari nilai-nilai lokal dan
barat. Tetapi tidak sedikit pula terdapat pemikiran
yang berpijak pada nilai-nilai agama.
Hal yang bisa kita tangkap dari keberagaman
pendapat itu adalah, tidak terjadinya konflik yang
justru mengotori semangat dan harapan mereka
untuk membangun suatu bangsa. Fakta sejarah itu
merupakan sebuah narasi besar tentang bagaimana
bangsa ini mesti dibangun. Perbedaan tersebut
menjadi pendorong berkembangnya suatu wacana
kritis kultural masyarakat Indonesia yang modern.
5
Polemik yang terjadi merupakan bagian dari suatu
proses perkembangan masyarakat Indonesia ke-
mudian. Itu adalah sebuah pintu keterbukaan yang
mesti mereka tegakkan setelah sekian abad
mengalami keterbuntuhan akibat ideologi lokal dan
kolonialisme bangsa lain.
Jika kemudian, masyarakat Indonesia di-
hadapkan pada sebuah pilihan pada modernisme
barat, melalui pintu itulah faham yang meng-
gagungkan rasio, kebebasan, universalitas, dan
teknologi tersebut sebagai sebuah ideologi baru
yang menekan dan menjajah. Arus perkembangan
masyarakat Indonesia yang dicita-citakan, tak
mampu mengelakkan dirinya dari faham itu. Masa
depan yang modern tak mungkin tercipta tanpa
modernisasi. Kemudahan, efisiensi dan efektivitas,
manajemen pembangunan yang tertata dan
terencana, rasionalitas yang didasarkan pada ilmu
pengetahuan dan teknologi, dan kebebasan yang
universal, merupakan serangkaian adagium yang
6
menjanjikan. Pemikiran barat meyakini bahwa
dengan semua itu, surga dunia akan tercipta.
Fakta sejarah di atas seharusnya mempunyai
makna bagi perjalanan kehidupan bangsa Indo-nesia
ke depan. Paling tidak, fakta sejarah tersebut
memberikan inspirasi bagi bangsa Indonesia untuk
tidak mereduksi kelompok intelektual terpelajar
secara eksklusif tanpa berpijak pada bumi tempat
mereka dilahirkan dan dibesarkan. Di sinilah
pentingnya, ketika masyarakat bersepakat bahwa
pembangunan daerah sebagai bagian dari pem-
bangunan sebuah bangsa, harus mampu me-
nyentuh persoalan yang substansial dan fundamen-
tal yang berkembang di masyarakat daerah itu, maka
diperlukan wacana kritis (kultural) yang menarik
keterlibatan kaum intelektual untuk menyumbangkan
pemikiran kritisnya.
Persoalan ini semakin penting dan mendesak
jika dicermati bahwa modernisme yang dipilih
sebagai landasan pembangunan nasional, ternyata
7
memunculkan kolonialisme baru dari Barat. Dominasi
Barat yang merambah sekecil apapun ruang publik
di negeri ini, merupakan bentuk penjajahan terhadap
tradisi dan pemikiran lokal. Belum lagi ekses yang
ditimbulkan dari modernisasi tersebut mengancan
peradaban masa depan. Apalagi di tempat asalnya,
muncul kesadaran bahwa modernisme ternyata lebih
banyak meng-hancurkan dari pada membangun
peradaban. Mengagung-agungkan rasio ternyata
telah me-nerjang batas-batas keyakinan,
kepercayaan, ke-imanan, dan agama. Kebebasan
mengeksplorasi alam demi kepentingan ekonomi dan
kesejahteraan umat manusia, ternyata malah
merusak kese-imbangan alam itu sendiri.
Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi
sebagai agen moderni-sasi, ternyata mengakibatkan
dehumanisasi.
Serangkaian realitas itulah yang perlu
dicermati bagi bangsa Indonesia. Jika selama ini
pembangunan nasional tercentralistik dan pem-
8
bangunan di daerah sebagai kepanjangan tangan
yang pusat, maka sudah saatnya orientasi ke-
daerahan memegang peranan yang pertama dan
utama. Dengan memperhatikan realitas sejarah dan
ekses yang ditimbulkan atas pilihan paradigma
pembangunan nasional selama ini, maka kerangka
pembangunan daerah mesti harus dibangun. Salah
satu bagian dari kerangka pembangunan daerah
tersebut adalah tersusunnya referensi bagi di-
ambilnya suatu kebijakan dari sebuah wacana kritis
intelektual lokal.
2
Hakekat pembangunan di daerah sesung-
guhnya merupakan upaya berkelanjutan untuk
merubah kondisi masyarakat suatu daerah menjadi
lebih baik di semua sektor kehidupan. Untuk
mewujudkan perubahan yang lebih baik itu, sudah
tentu berangkat dari persoalan-persoalan yang
berkembang di tengah masyarakat. Dan me-
9
mandang persoalan-persoalan masyarakat bukan
sekedar mengidentifikasi permasalahan tersebut,
tetapi ditempatkan pada konteks sistemik dan
kultural masyarakat itu. Tidak ada satu pun
persoalan masyarakat yang lepas dari konteks sosio-
kultural dan pranata yang mengatur ek-sistensi
masyarakat itu. Dengan demikian, pe-mahaman
terhadap persoalan-persoalan tersebut memerlukan
kajian kritis berdasarkan pemikiran, analisis, dan
aplied reaserch. Pendekatan yang lebih rasional dan
berorientasi pada pemecahan masalah. Di sinilah
pentingnya wacana kritis sebagai salah satu
referensi utama para pengambil kebijakan di tingkat
lokal.
Permasalahannya adalah, apakah sudah
terbangun tradisi wacana intelektual lokal di daerah-
daerah? Apakah para pengambil kebijakan
pembangunan daerah memiliki sikap dan pan-
dangan yang positif terhadap wacana intelektual
lokal tersebut?
10
Pembangunan pada dasarnya menciptakan
perubahan yang lebih baik. Perubahan yang lebih
baik tersebut akan berhasil apabila bertujuan
memecahkan persoalan yang berkembang di suatu
daerah. Implementasi dari pemikiran tersebut adalah,
pembangunan suatu masyarakat bukan semata-
mata suatu kebutuhan, tetapi suatu cara yang
diperlukan untuk memecahkan permasalahan yang
ada. Jika pembangunan hanya dipandang dan
berangkat dari kebutuhan suatu masyarakat, maka
persoalannya adalah, apakah kebutuhan yang
dimaksud benar-benar sebagai solusi bagi
permasalahan yang selama ini berkembang di
masyarakat itu? Jika tidak, pembangun di daerah
justru akan memunculkan permasalahan yang baru.
Oleh karena itulah, keberhasilan pem-bangunan di
daerah akan tercapai apabila mampu memecahkan
permasalahan yang ada di ma-syarakat tersebut.
Untuk mencapai kebijakan pembangunan
semacam itu diperlukan pemahaman yang me-
11
nyeluruh terhadap permasalahan yang ber-kembang
di masyarakat. Pemahaman tersebut bukan sekedar
mengidentifikasi permasalahan tanpa ditempatkan
dalam konteks sosiokultural dan pranata yang
mengatur eksistensi masyarakat tersebut. Tak ada
persoalan satu pun di suatu masyarakat yang lepas
dari konteksnya. Artinya, permasalahan yang timbul
di suatu masyarakat selalu bersumber dari fenomena
yang berkembang di masyarakat itu. Oleh karena itu,
pemahamannya diperlukan cara pandang yang
holistik, menyangkut keseluruhan kausalitas yang
menyangkut muncul-nya permasalahan tersebut.
Tidak cukup data kuantitatif dari sebuah laporan atau
dokumen kelembagaan untuk memahami suatu
permasalah-an bagi pengambilan kebijakan
pembangunan di daerah.
Di sinilah peran intelektual lokal diperlukan
untuk memberikan sumbangan pemikirannya dalam
rangka pemahaman permasalahan yang ber-
kembang di masyarakat. Pemahaman permasalahan
12
secara holistik membutuhkan kom-petensi yang
khusus dan kajian yang rasional. Ranah inilah yang
seharusnya menjadi wilayah bagi para intelektual di
daerah untuk turut serta dalam pengambilan
kebijakan pembangunan daerah. Paling tidak, hasil-
hasil pemikiran intelektual lokal menjadi referensi
untuk pengambilan suatu ke-bijakan pembangunan
yang efektif. Sayangnya, referensi pengambilan
kebijakan pembangunan daerah belum meng-
ikutsertakan hasil-hasil pe-mikiran intelektual lokal.
Ada dua alasan mengapa hal tersebut terjadi.
Pertama, kurangnya kemauan para intelektual lokal
untuk turut melibatkan secara profesional bagi
pembangunan di daerah. Kesibukan mereka lebih
berfokus pada pe-ngembangan keilmuan secara an
sich tanpa mengimplementasi-kan keilmuan itu
secara praktis. Kedua, kurangnya fasilitas dan
kesempatan yang diberikan pemerintah daerah bagi
munculnya pemikiran para intelektual lokal untuk
turut serta terlibat terhadap pem-bangunan daerah.
13
Kedua hal tersebut dapat terpecahkan dengan
membangun tradisi wacana kritis intelektual lokal.
Di belahan bumi mana pun, wacana kritis
selalau memberikan warna bagi terbentuknya
kesadaran dan kehidupan masyarakat modern.
Secara kultural, wacana kritis merupakan suatu
narasi besar yang dibangun berdasarkan produk-
produk budaya yang dihasilkan oleh masyarakat.
Ranah produk budaya selama sejarah bangsa ini
ada, selalau dibangun dari kelompok intelektual
terpelajar. Semenjak sistem kerajaan di Indonesia
pada masa silam hingga saat ini, penanaman
ideologi, baik demi kepentingan kelanggengan
kekuasaan maupun semata-mata membangun
kemasyuran peradaban (?), selalu menempatkan
wacana intelektual sebagai medianya.
Ujung pemikiran ini menyiratkan suatu makna
bahwa wacana kritis yang dibangun atas dasar
pemikiran-pemikiran kaum intelektual menjadi acuan
utama untuk mengarahkan bentuk-bentuk kehidupan
14
dan kesadaran masyarakat. Kalau saat ini muncul
suatu pemikiran baru tentang pentingnya perspektif
kedaerahan sebagai hal pertama dan utama dalam
perubahan masyarakat ke depan melalui pem-
bangunan daerah, maka sudah saatnya wacana
kritis intelektual lokal harus dibangun. Kedua makna
tersirat yang kita tangkap tersebut dapat di-
implementasikan jika, paling tidak, ada empat
prasyarat mesti dipenuhi. Pertama, diperlukan
keterlibatan para intelektual lokal secara serius dan
berkelanjutan terhadap pelaksanaan pembangunan
di daerah sesuai dengan fungsi dan kompetensinya.
Kedua, dimanfaatkannya semua fasilitas yang ada
bagi terbangunnya wacana kritis intelektual lokal
sebagai kontribusi terhadap kebijakan pembangun-
an daerah. Ketiga, perlunya referensi kritis dalam
pengambilan kebijakan pembangunan di daerah.
Keempat, adanya sikap dan pandangan yang positif
terhadap pentingnya sumbangan pemikiran para
15
intelektual bagi pengambilan kebijakan dan pe-
laksanaan pembangunan daerah.
3
Inilah sekelumit pemikiran awal sebagai
bahan diskusi dalam rangka membangun tradisi
wacana kritis bagi pembangunan daerah. Muara
pemikiran ini diharapkan terjadi ke dalam sikap dan
pandangan yang positif pentingnya keterlibatan
semua komponen daerah bagi perubahan ma-
syarakat ke depan. Sinyalemen para ahli tentang
ancaman globalisasi, kolonialisme baru, dan
indikator terjadinya gegar budaya di Indonesia, bisa
disikapi secara kritis dan rasional. Membiarkan
permasalahan yang muncul tanpa berupaya
memperbaiki dan memecahkannya, merupakan
kesalahan yang tak termaafkan.
Tema utama yang menarik perhatikan untuk
didiskusikan dalam kerangka membangun wacana
kritis di daerah dewasa ini adalah, pertama,
membangun paradigma kedaerahan sebagai
16
landasan pembangunan nasional (juga daerah).
Kedua, narasi globalisasi ternyata merupakan
intensitas dari bentuk kolonialisme Barat terhadap
negara-negara berkembang yang harus diwaspadai
dan disikapi. Ketiga, budaya pop harus diwaspadai
dan diadaptasi secara bijak agar tidak menimbulkan
permasalahan ke depan (simak kasus Prita dan Luna
Maya sebagai dampak kurang bijaknya menyikapi
dan mengadaptasi budaya pop; termasuk di
dalamnya Undang-Undang ITE).
17
LOKALISME DAN KEBIJAKAN KEBUDAYAAN DI KAB. TUBAN
Beberapa Gagasan Awal
Pendahuluan
Di awal makalah ini marilah kita menyingkap
tiga fenomena dalam kebudayaan Indonesia yang
sangat menarik dan terkesan ironis. Pertama, koleksi
naskah lama Indonesia (khususnya sastra Jawa)
yang terlengkap berada di negeri Belanda.
Penelitian-penelitian terhadap sastra lama Indonesia
pada akhirnya kurang lengkap kiranya tanpa harus
pergi ke negara bekas penjajah Indonesia itu.
Kedua, pertunjukan drama La Galigo, karya sastra
paling panjang di dunia dari Bugis, tidak mungkin
dipentaskan di Indonesia lantaran keterbatasan
sarana pertunjukan. Pertunjukan yang mengangkat
18
epos asli Bugis itu disutradarai oleh Robert Wilson
(AS). Setelah dari Singapura, pertunjukan dilanjutkan
di Belanda, Prancis, Spanyol, Barcelona, Italia dan
Amerika Serikat. Pertunjukan ini dinilai sangat
berhasil dan banyak mendatangkan decak kagum
para penonton. Dan peristiwa ketiga adalah, konsep
tentang struktur masyarakat Jawa --santri, Priyayi,
dan abangan¸ menjadi proposisi teoritis yang teruji
dalam konteks keilmuan justru di tangan ilmuwan
Belanda Cliford Geertz. Konsep struktur masyarakat
Jawa tersebut sesungguhnya telah lama dibicarakan
orang Jawa sendiri jauh sebelum Geertz meng-
adakan penelitian antropologinya.
Apa makna dari tiga fenomena di gelanggang
kebudayaan Indonesia di atas? Ketiga fenomena
di atas memang memiliki dampak positif lantaran
kebudayaan Indonesia telah memasuki percaturan di
dunia internasional. Dalam konteks diplomasi
kebudayaan, tiga peristiwa tersebut mengangkat
citra bangsa Indonesia sebagai bangsa yang kaya
19
dan aneka ragam kebudayaannya di mata dunia.
Tetapi apakah di dalam negeri Indonesia sendiri
persoalan kebudayaan sudah tertangani lebih
serius? Nampaknya Indonesia harus berbenah diri
dalam menangani persoalan kebudayaannya.
Peristiwa pertama menunjukkan, ternyata penjajahan
di masa lalu tidak saja telah mengakibatkan
penderitaan ekonomi dan politik, tetapi juga
pengurasan habis-habisan warisan kebudayaan
bangsa ini. Sungguh ironis jika mempelajari
kebudayaan (sastra lama) sendiri harus pergi ke
negara lain. Bahkah, upaya pemerintah Sulawesi
Selatan untuk mengumpulkan kembali teks naskah
La Galigo, harus pergi ke Leiden Belanda dan
memakan waktu dan beaya tak sedikit.
Peristiwa kedua menunjukkan bagaimana
sarana pertunjukkan di Indonesia belum memadai
sehingga pertunjukan drama, yang mengangkat
cerita lama Indonesia, justru harus ke luar negeri.
Tak kurang dari presiden Megawati dan Yusuf Kalla,
20
yang waktu itu harus pergi ke Singapura untuk
menonton pertunjukan itu, harus merasa kecewa
terhadap realitas gelanggang kebudayaan Indonesia.
Sementara peristiwa ketiga menunjuk-kan betapa
bangsa Indonesia menjadi obyek perahan di dunia
keilmuan. Konsep santri-priyayi-abangan sesungguh-
nya bukan hal yang asing dalam pemikiran
masyarakat Jawa, jauh sebelum Clifort Geertz
mengadakan penelitian dan meng-angkatnya dalam
kancah keilmuan internasional.
Bangsa Indonesia harus mengakui bahwa
kesadaran menangani kebudayaan belumlah secara
serius ditangani di negeri ini. Gagasan dan pemikiran
kerap kali dilahirkan dalam kongres, simposium,
seminar, dialog, forum kerja sama, penelitian ilmiah,
dan forum-forum kebudayaan lainnya. Tetapi hal itu
hanya bersifat spasial dan cenderung terbatas
sekedar sebuah wacana. Gagasan dan pemikiran
tersebut belumlah ter-implementasikan ke dalam
kebijakan dan strategi penanganan kebudayaan
21
Indonesia. Persoalan kebudayaan memang teramat
luas. Apalagi dalam masyarakat Indonesia yang kaya
akan keanekaragaman budayanya, persoalan
kebudaya-an pada akhirnya samal halnya dengan
persoalan hidup dan kehidupan masyarakat
seluruhnya. Oleh karena itu, penanganan kebudaya-
an terasa hanya ‘tebang pilih”. Lebih dari itu,
pemahaman konsep kebudayaan nasional pada
masa lalu, yang dipahami sebagai puncak-puncak
ke-budayaan daerah, sungguh bersifat kanon dan
mengorbankan unsur-unsur kebudayaan daerah
yang lain.
Mencermati realitas gelanggang kebudayaan
di atas, perlu perubahan strategi penanganan ke-
budayaan Indonesia. Pertama, penelaahan kembali
identitas masyarakat dan kebudayaannya di tingkat
lokal, yang selama ini secara alamiah diterima begitu
saja. Kedua, penanganan persoalan kebudayaan
harus berangkat dari daerah-daerah (lokalitas)
sebagai kantong-kantong kebudayaan nasional. Dan
22
Ketiga, pentingnya pendekatan kebudayaan dalam
kebijakan pembangunan, baik secara nasional
maupun daerah. Ketiga pemikiran itulah tak ada
salahnya, menjadi bahan diskusi dalam dialog
kebudayaan saat ini. Tentunya pembahasannya
perlu dikonsentrasikan ke dalam konteks masyarakat
dan kebudayaan di kabupaten Tuban.
GAGASAN PERTAMA:
Telaah Identitas Masyarakat dan Kebudayaan Tuban
Chris Barker dalam bukunya Cultural
Studies,Teori dan Praktik (2009) mengemukakan
bahwa identitas yang stabil jarang dipertanyakan; ia
tampak ‘alamiah’ dan diterima begitu saja. Namun,
ketika ‘kealamiahan’ mulai terlihat pudar, kita
cenderung menelaah identitas-identitas ini dengan
cara baru.
Apa yang dikemukakan Barker di atas menjadi
relevan ketika isu Global Village muncul mengiringi
akselerasi kebudayaan dunia yang begitu cepat
23
akibat globalisasi. Seorang futurolog, Alfin Toffler
(dalam I Nengah Duija, Jurnal Wacana, Vol. 7, No. 2,
Oktober 2005, hl. 111), mengemuka-kan bahwa
suatu peradaban baru sedang tumbuh dalam
kehidupan saat ini. Bagi mereka yang buta
merekamnya, peradaban ini telah membawa gaya
baru kehidupan keluarga, mengubah cara kerja, cara
bercinta dan cara hidup, membawa tatanan ekonomi
baru, konflik-konflik baru, dan di atas semua itu, juga
mengubah kesadaran manusia. Serpihan peradaban
itu telah ada sekarang ini. Jutaan orang telah
menyelaraskan hidupnya dengan irama hari esok itu.
Manusia yang takut terhadap masa depan itu terlibat
dalam suatu pelarian yang sia-sia ke masa lalu dan
mencoba memulihkan kembali dunia mereka yang
sekarat, dunia yang melahirkan mereka.
Apa yang dibayangkan Toffler di atas,
betapapun jauh dan mengerikan ilustrasinya,
nampaknya menjadi background (dalam konteks
tulisan ini) bagi pandangan Barker tentang
24
pentingnya identitas suatu masyarakat dipertanya-
kan kembali. Dalam perspektif kultural, identitas
merupakan nilai-nilai kultural yang direpresentasi-kan
masyarakat dalam praktik-praktik kehidupan sehari-
hari. Ia yang membedakan dan menandai
karakteristik dalam batas-batas kebudayaan suatu
masyarakat. Dan jika diterapkan dalam kajian
tentang ke-Indonesia-an, sesungguhnya bergerak
pada wilayah kelokalan, sebagai alternatif cara
pandang ‘baru’ sebagaimana yang dimaksud oleh
Barker di atas.
Berbicara tentang identitas lokal (baca:
Tuban) mengarah pada suatu rumusan jawaban atas
pertanyaan, bagaimana mendiskripsikan diri (ma-
syarakat lokal Tuban) kepada luar diri (masyarakat
lokal lain). Hal itu merupakan konstruksi secara
historis dan kultural tentang makna-makna yang
direpresentasikan ke dalam praktik-praktik kehidupan
masyarakat. Makna-makna tersebut mempengaruhi
pola-pola hubungan sosial, produksi tek-teks kultural,
25
dan penilaian diri terhadap hakikat kehidupan kolektif
masyarakat (Tuban). Dengan demikian, masyarakat
Tuban dipandang sebagai diskursus yang bermakna.
Identitas lokal (Tuban) pada akhirnya adalah makna-
makna kultural tersebut.
Cara pandang yang selama ini dianut dengan
menempatkan identitas sebagaimana sifatnya yang
alamiah dan tetap, sudah tak relevan lagi. Konsep
identitas pada masa sekarang haruslah secara
eksplisit dirumuskan dan didiskripsikan secara
sengaja dan dinamis. Dengan cara semacam itu,
identitas mampu berperan sebagai kontrol diri,
pedoman, dan referensi bagi perkembangan
masyarakat Tuban ke depan. Identitas bukan hanya
diperlakukan sebagai slogan yang sangat lemah
posisinya ketika menghadapi arus perubahan dunia
yang cenderung mendominasi.
Idealnya, identitas suatu masyarakat merupa-
kan produksi sejarah dan kultural masa lalu yang
diinternalisasikan ke masa kini untuk memberikan
26
pedoman, pengarahan, dan kontrol diri ke masa
depan. Ia secara evolutif mengalami perkembangan
dan penghayatan dalam mengatur dan mempolakan
praktik-praktik kehidupan masyarakat melalui citra,
bunyi, obyek, dan aktivitas. Jika berangkat dari
asumsi itu, maka cara pandang tentang identitas
daerah Tuban tak dapat dilepaskan dari konteks
sejarah dan kultural yang membingkai perjalanan
kehidupan masya-rakatnya. Dengan demikian,
pembicarakan identi-tas daerah Tuban dapat melalui
empat pilar sejarah dan ultural yang membangun-
nya, yaitu realitas sejarah, keruangan, dan dan
orientasi nilai budaya.
Realitas Sejarah Tuban
Tuban memiliki sejarah penting pada masa
lalu. Pada zaman Singosari, Kediri, dan Majapahit,
kabupaten Tuban merupakan daerah pelabuhan
internasional yang sangat penting pada waktu itu.
Beberapa referensi sejarah Nasional Indonesia
27
mengungkapkan bahwa Tuban merupakan pusat
perdagangan Nusantara semenjak abad ke-11. Pada
abad ini Tuban telah banyak dikunjungi oleh
pedagang dari Arab, Persia, India, Burma, Kamboja,
Campa, dan Cina, di samping pedagang dari daerah-
daerah di nusantara. Sedangkan memasuki abad ke-
16 orang-orang Eropa, terutama Portugis dan
Belanda, masuk ke Tuban untuk memperluas
ekspansi kekuasaannya melalui Tuban.
Karena latar belakang geografis yang
strategis dan memiliki pelabuhan yang besar
tersebut, Tuban akhirnya menjadi pintu masuk
pengaruh dan infiltrasi asing ke Indonesia (Jawa).
Tercatat dalam sejarah nasional Indonesia, Tuban
merupakan daerah pendaratan pasukan Mongol di
bawah pimpinan Ku Bhilai Khan, untuk menyerang
kerajaan Majapahit. Begitu juga pelabuhan Tuban
menjadi pusat perdagangan di masa itu dalam
menyokong tata perekonomian Majapahit sebagai
kerajaan terbesar sepanjang sejarah Indonesia.
28
Islamisasi di Jawa juga tidak bisa dipisahkan
dari peran Tuban sebagai gerbangnya di masa awal
masuknya agama Islam di Jawa pada abad ke-15.
Tuban merupakan daerah terpenting bagi penyiaran
agama Islam pada zaman kerajaan Demak.
Runtuhnya kerajaan Majapahit pada awal abad XV,
yang ditandai oleh candrasengkala ‘Sirna Ilang
Kertaning Bumi’ (1400), pusat kerajaan beralih dari
Mojokerto ke Demak. Peralihan pusat kerajaan
tersebut tidak serta merta mengurangi peranan
Tuban sebagai daerah pelabuhan terpenting di
Jawa. Hubungan internasional dan regional bahkan
semakin meluas dalam bidang keagamaan dan
sosial. Wilayah ini menjadi pintu bagi masuknya
agama Islam, baik dari daerah lain seperti Aceh
misalkan, maupun dari Negara Arab.
Fakta sejarah di atas sudah tentu meninggal-
kan identitas dan kearifan lokal hingga masa kini.
Kebanggaan, citra, simbol, ritual, folklore, dan Ikon
sejarah menandai identitas Tuban sebagai daerah
29
yang memiliki ciri dan karakteristik sebagai
peninggalan sejarahnya. Dua situs peninggalan
periode sejarah tersebut, khususnya dari masa
kerajaan Majapahit dan Demak, adalah situs ka-
dipaten Tuban sebagai kota lama dan banyaknya
situs Makam Wali atau Sunan. Meskipun situs yang
pertama belum banyak digali, tetapi dalam
rekonstruksi sejarah kabupaten Tuban, peta situs
tersebut telah terbukti secara ilmiah dalam penelitian
sejarah. Sedangkan situs yang kedua hingga
sekarang masih terpelihara dan banyak dikunjungi
peziarah, yaitu: Makam Sunan Bonang, Syaikh
Ibrahin Asmaraqondi, Sunan Bejagung Lor (Syekh
Maulana Abdullah Asy’ari) dan Sunan Bejagung
Kidul (Hasyim ‘Alamuddin), Nyai Ageng Manyura,
Andong Wilis, Gagarmanik (Pangeran Tundung
Musuh), dan makam-makam lain yang banyak
tersebar di daerah-daerah di kabupaten Tuban.
Bahkan masyarakat Tuban menganggap makam
30
Syeh Siti Jenar berada di kelurahan Gedongombo,
Kecamatan Semanding.
Realitas sejarah masa lalu di atas dapat
menjadi titik pandang dalam pengungkapan identitas
Tuban. Realitas sejarah tersebut bukan hanya
terbatas sebagai fakta, tetapi memiliki pengaruh
psikologis dan praktik-praktik kebudaya-annya.
Semangat, kebanggsaan, pencitraan, peri-laku dan
cara pandang kelokalan, baik oleh masyarakat
Tuban sendiri maupun luar Tuban, sangat
dipengaruhi oleh hal itu. Dapat dikatakan bahwa
realitas sejarah masa lalu meninggalkan nilai-nilai
yang membangun pola pikir, perilaku, dan
berkebudayaan bagi masyarakat Tuban.
Berkaitan dengan itu, beberapa fokus
perbincangan tentang identitas kelokalan masya-
rakat Tuban, dapat diperoleh dalam empat hal.
Pertama, artefak, folklore, dan ritual ceremony yang
sampai saat ini masih dipertahankan, dipelihara, dan
menjadi sumber inspirasi bagi produk-produk budaya
31
kekinian. Kedua, pengaruh peninggalan sejarah
tersebut terhadap praktik-praktik ke-hidupan sehari-
hari masyarakat; Ketiga, norma, adat-istiadat dan
tradisi lokal yang secara kontinyu masih
dipertahankan masyarakat. Keempat, sejarah lokal
sebagai titik tumpu penyusunan sejarah nasional.
Pertanyaan yang kemudian muncul adalah,
apakah keempat hal tersebut masih cukup kuat
mengakar dalam praktik-praktik kehidupan masya-
rakat Tuban? Apakah kebijakan pembangunan
daerah Tuban selama ini memperhatikan hal
tersebut? Nampaknya perlu secara eksplisit di-
diskusikan dalam segala forum masyarakat.
Realitas Kewilayahan Tuban
Kalau sejarah Tuban menandai praktik-praktik
sosial budaya masyarakat, maka realitas
kewilayahan akan menandai kesadaran potensi diri
masyarakat. Identitas lokal Tuban pada sudut
pandang ini adalah kesadaran untuk memahami
32
kekuatan dan kekayaan yang dimiliki untuk
berkembang ke depan. Ketidaktahuan tentang
potensi diri dan/atau melupakannya, adalah sebuah
bentuk kemiskinan identitas.
Kesadaran tentang realitas kewilayahan tidak
sekedar sebuah wacana (dalam pengertian tekstual)
sebagaimana dalam wacana resmi pemerintah. Juga
bukan sebatas sebuah fakta keruangan tempat
masyarakat hidup dan berkembang. Lebih dari itu,
seberapa jauh masyarakat dan kebijakan pem-
bangunan daerah telah mampu memanfaatkan
realitas keruangan itu. Atau malah sebaliknya,
masyarakat dan pemerintah daerah sibuk dengan
paradima dari luar tanpa menyadari bahwa di dalam
dirinya banyak hal yang bisa dijadikan landasan,
orientasi, dan pedoman untuk berkembang. Terdapat
banyak pertanyaan yang dapat dilontarkan sebagai
indikator bahwa masyarakat Tuban telah menyadari
atau sebaliknya, kurang menyadri realitas
keruangan-nya. Jawaban atas berbagai pertanyaan
33
tersebut sekaligus menjadi indikator apakah realitas
keruangannya menjadi faktor bagi pembentukan
identitas kelokalan Tuban.
Secara keruangan, Tuban adalah daerah
pantai laut Jawa yang membentang di sebelah utara.
Laut merupakan anugerah Tuhan Yang Mahakuasa
untuk dimanfaatkan, dikembangkan, dan dioptimal-
kan bagi kemaslahatan masyarakat. Tuban juga
merupakan daerah yang dilalui pegunungan kapur
yang membujur di sebelah selatan. Di dalamnya,
begitu banyak energi alam yang besar yang dapat
dimanfaatkan dan dioptimalkan pula untuk kehidup-
an masyarakat. Realitas laut dan pegunungan yang
menjadi ciri keruangan daerah Tuban bukan semata-
mata sebagai fakta keruangan. Tetapi, keduanya
menjadi kekuatan dan potensi diri yang akan menjadi
faktor utama bagi pembangunan aspek-aspek
kehidupan masyarakat.
Pertanyaannya adalah, apakah realitas ke-
ruangan itu telah dimanfaatkan secara optimal
34
masyarakat untuk berkembang? Apakah realitas itu
telah menjadi salah satu orientasi dan prioritas
utama bagi kebijakan pembangunan daerah?
Seberapa jauh realitas itu menjadi warna dominan
bagi perjalanan kehidupan masyarakat untuk
memperbaiki hajat hidupnya? Ataukah sebaliknya,
realitas tersebut belum menjadi warna bagi
perjalanan kehidupan masyarakat Tuban; termasuk
di dalamnya, pemerintah daerah tidak menjadikan
realitas keruangan tersebut menjadi prioritas dan
target bagi rumusan kebijakan pembangunan
daerah. Nampaknya perlu keberanian untuk obyektif
dan jujur untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan
itu. Dengan begitu, dapat dirumuskan sebuah kontrol
diri dan kesadaran terhadap potensi diri ke arah
bangunan masyarakat yang beridentitas lokal.
Realitas Orientasi Nilai Budaya
Apakah yang ada di dalam benak masyarakat
sebagai landasan praktik-praktik sosial budayanya?
35
Bagaimana pandangan, sikap, dan keyakinan
masyarakat dalam memandang hakikat kehidupan-
nya sehari-hari? Jawaban terhadap pertanyaan
tersebut menjadi konsep pemahaman tentang
orientasi nilai budaya masyarakat daerah Tuban.
Dengan pemahaman tersebut akan dipahami pula
karakteristik masyarakat Tuban sebagai bagian dari
masyarakat-bangsa secara nasional. Orientasi nilai
budaya itu merupakan bagian dari identitas
masyarakat Tuban yang secara implisit selama ini
dipakai untuk menyikapi dan memandang perubahan
dan perkembangan dirinya. Dalam konteks
administrasi dan birokrasi pemerintahan, orientasi
nilai budaya juga menjadi landasan bagi pe-
ngambilan keputusan dan kebijakan pem-bangunan
oleh pemerintah.
Dalam kaitan dengan budaya lokal Ayu
Sutarto mengatakan, nilai-nilai budaya lokal memiliki
kekuatan strategis, baik kekuatan yang bermuatan
politis-filosofis, maupun ekonomis. Kekuatan yang
36
bermuatan filosofis dan politis dapat digunakan
sebagai rujukan dalam meningkatkan kualitas
kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan ber-
negara, sedangkan kekuatan yang bermuatan
ekonomis dapat dijadikan sebagai komoditas wisata
bagi kesejahteraan masyarakat pemiliknya (2002:9-
10). Nilai-nilai budaya tersebut akan menata struktur
budaya yang tampak dalam praktik-praktik kehidup-
an sehari-hari. Dapat dikatakan, nilai-nilai budaya
merupakan esensi terdalam yang menjiwai struktur
permukaan kehidupan ma-syarakat. Ke arah mana
nilai-nilai budaya tersebut diorientasi pemilik-nya,
akan menandai hakikat kehidupan yang dijalaninya.
Pemahaman orientasi nilai budaya
masyarakat Tuban semakin penting ketika per-
ubahan sosial budaya masyarakat modern semakin
cepat dan sebuah keniscayaan. Apalagi semangat
dan ke-sadaran kelokalan menjadi harta kekayaan
yang tak ternilai yang bisa menjadi kurban dalam
perubahan itu. Jika rasional masyarakat meng-
37
anggap bahwa perubahan yang tak terbendung itu
jangan sampai menghilangkan nilai-nilai dan
identitas lokal dan nasional, maka pemahaman
tentang orientasi nilai budaya menjadi landasan
setiap perubahan yang diakibatkan oleh kebijakan
pembangunan yang diterapkan ataupun perubahan
yang disebabkan oleh pengaruh dinamika
masyarakat yang lebih luas.
Diperlukan penelitian dan kajian tentang
orientasi nilai budaya masyarakat Tuban. Hasil-
hasilnya akan menjadi pertimbangan tentang
bagaimana menerapkan kebijakan pembangunan
daerah. Berbagai strategi kebijakan pembangunan
nasional selama ini telah diambil pemerintah daerah.
Berbagai pendekatan diterapkan dalam melaksana-
kan pembangunan daerah. Satu hal yang
nampaknya belum dilakukan pemerintah daerah,
yaitu menggunakan orientasi nilai budaya
masyarakat sebagai pertimbangan utama dalam
pengambilan kebijakan pembangunan daerah. Kira-
38
nya ke depan hal tersebut menjadi pertimbangan
pemerintah daerah. Sekaligus dengan pemahaman
orientasi nilai budaya masyarakat Tuban dapat
dipahami karakteristik dan kognitif masyarakat Tuban
sebagai sebuah identitas kelokalan.
GAGASAN KEDUA:
Lokalisme: dari Nasional ke Lokal
Apakah yang dimaksud dengan Lokalisme?
Lokalisme adalah semua pemikiran, gagasan, ide,
kepercayaan, keyakinan, dan sebagainya, yang
mengangkat persoalan-persoalan kelokalan sebagai
temanya. Apakah Lokalisme merupakan teori atau
gerakan? Lokalisme merupakan sikap dan
kesadaran untuk memperhatikan persoalan-
persoalan yang berkembang dalam wilayah lokal
atau daerah. Apakah bentuk manifestasi dari
lokalisme itu? Sebuah tradisi pewacanaan lokal yang
dibangun oleh semua pihak yang terlibat, merupakan
perwujudan dari lokalisme.
39
Apa pentingnya lokalisme dalam masyarakat
modern dewasa ini? Pada tataran yang lebih awal,
pentingnya lokalisme terletak pada tumbuhnya
kesadaran untuk mengangkat persoalan-persoalan
lokal sebagai sebuah wacana pemikiran dan
inspirasi kreatif. Mengapa? Produk-produk budaya
modern telah menipiskan dan menepiskan nilai-nilai
lokal di semua sendi kehidupan masyarakat.
Keaneka-ragaman produk budaya modern telah
menggeser produk-produk budaya lokal, baik
material maupun mental, ke arah bentuk kehidupan
dan pola kesadaram masyarakat yang berciri
konsumtif, instan, dan global.
Budaya massa, produk konsumtif, dan agen-
agen budaya modern lainnya, memiliki daya tarik
yang luar biasa. Secara evolutif dan pasti, produk-
produk budaya modern tersebut telah membangun
peradaban masyarakat modern yang mereduksi nilai-
nilai kelokalan. Masyarakat tidak mungkin menolak
semua itu, termasuk resiko yang ditimbulkannya.
40
Penolakan terhadap produk-produk budaya modern
yang telah terlanjur membentuk pola kehidupan
masyarakat sehari-hari, akan memunculkan
persoalan-persoalan baru yang tak kalah berat
resikonya. Yang perlu disikapi adalah, bagaimana
produk-produk budaya modern tersebut diadaptasi
dan ditransformasi dalam konteks kelokalan atau
kedaerahan. Bangunan peradaban masyarakat
modern bukanlah hasil dari internasionalisasi,
westernalisasi, dan globalisasi. Tetapi, peradaban
masyarakat modern adalah internalisasi nilai-nilai
modern ke dalam nilai-nilai lokal dan sebaliknya.
Internalisasi merupakan kata kunci pem-
bangunan peradaban masyarakat Indonesia modern
yang berangkat dari lokal (daerah). Internalisasi
bukan hanya dalam pengertiannya yang material,
tetapi juga mental. Internalisasi secara mental
merupakan penghayatan terhadap adanya nilai-nilai
kehidupan modern sebagai hasil modernisasi dan
nilai-nilai lokal hasil sejarah masa lalu yang secara
41
turun-menurun diwarisi masyarakat. Di satu sisi,
hasil-hasil modernisasi tidak mungkin ditolak beserta
dampak yang ditimbulkannya, baik positif maupun
negatif. Di sisi yang lain, nilai-nilai sosiokultural yang
telah mengakar dalam sejarah, semenjak masa lalu
hingga sekarang, harus tetap menjadi penanda dan
maknanya dalam kehidupan masyarakat hingga ke
depan. Keduanya tidak saling meniadakan satu
sama lain. Dan tidak mendominasi satu sama lain.
Keduanya dihayati dalam sikap, kesadaran,
tindakan, dan produksi budaya modern yang
mengindonesia.
Selama ini konsep indonesia cenderung
dihayati sebagai bagian dari wilayah yang luas,
global. Meskipun telah lama disadari bahwa
Indonesia merupakan negara yang berciri plural-istik,
tetapi perjalanan kehidupannya cenderung ber-
orientasi ke persoalan-persoalan global. Indonesia
lebih digerakkan untuk siap berhadapan dengan
persoalan internasional (Barat) dari pada persoalan-
42
persoalan lokal. Penghayatan semacam ini
menipiskan dan menepiskan persoalan-persoalan
lokal. Indonesia akan dinilai dari keberhasilannya
mengejar kemajuan yang telah dicapai negara-
negara lain. Caranya, transfer ilmu pengetahuan dan
teknologi dilakukan dengan akselarasi yang tinggi;
tentunya di dalamnya turut serta kapitalisme liberal.
Tetapi hal itu meninggalkan kekayaan dan potensi
sendiri yang seharusnya digali. Tak pelak lagi
berakibat pada dominasi Barat terhadap yang lokal.
Biang keladinya adalah pilihan tanpa reserve
terhadap modernisme sebagai paradigma pem-
bangunan nasional.
Sudah saatnya untuk menghayati konsep
Indonesia membangun sejarahnya sendiri. Indonesia
adalah sebuah bangsa yang bernegara lokal.
Indonesia adalah bangsa yang bertempat tinggal di
daerah-daerah. Indonesia adalah sebuah bangsa
yang memiliki persoalan-persoalan daerah yang
harus dipecahkan; memiliki kekayaan dan potensi
43
daerah yang harus dikembangkan; memiliki nilai-nilai
sosiokultural daerah untuk menghadapi masuknya
pengaruh dan kebudayaan global.
Sejarah nasional dan kebudayaannya pada
gilirannya terdiri dari sejarah-sejarah lokal yang
beraneka ragam (multikultural). Tidak ada kanon-
isasi di sana, karena kanonisasi akan
menghilangkan sekian banyak fakta-fakta sejarah
lokal. Sejarah nasional dengan demikian merupakan
sejarah lokal; dan sebaliknya, sejarah lokal adalah
sejarah nasional. Bentuk sejarah nasional yang
berciri lokal itulah yang mampu mewadahi dan
mewacanakan hasil-hasil internalisasi dalam
bangunan peradaban ma-syarakat Indonesia
modern, yang sudah semenjak lama memiliki
kekayaan kultural yang beraneka ragam
(multikultural). Bentuk sejarah nasional yang berciri
lokal itulah yang mampu mem-belajarkan
masyarakat ke depan. Karena ke-budayaan pada
hakikatnya adalah proses belajar masyarakat.
44
Lokalisme merupakan sikap dan kesadaran
membangun sejarah lokal (nasional) di atas sejarah
global. Sejarah dalam konteks ini bukanlah dalam
pengertian sebagai perekaman dan/atau penulisan
atas fakta-fakta sejarah, melainkan masyarakat dan
proses kebudayaannya itu sendiri. Wacana nasional
dan internasional selama ini lebih mengemuka dan
mendominasi sejarah masyarakat Indonesia.
Sementara wacana lokal yang begitu banyak dan
berkembang di daerah-daerah tidak mampu meng-
imbanginya. Budaya masa dan orang-orang dalam
lingkaran kekuasaan pusat, memiliki andil terbesar
dalam mengangkat wacana nasional dan inter-
nasional seolah-olah begitu darurat dan pentingnya
untuk segera terpecahkan. Sedangkan wacana-
wacana lokal yang tak kalah penting, ibarat
penyedap rasa bagi masakan nasional dan
internasional tersebut. Ekstremnya, ada atau tidak
penyedap rasa itu, tak ada bedanya.
45
Menghadapi semua itu diperlukan semua
pemikiran, gagasan, ide, sikap, kepercayaan,
keyakinan, dan sebagainya, yang berangkat dari
persoalan-persoalan lokal. Sebutlah lokalisme; tapi
bukan ikut-ikutan menitru isme-isme-an yang
bermunculan dewasa ini. Ia adalah penanda beserta
maknanya; semua sikap dan pola berpikir yang
mewacanakan persoalan-persoalan lokal sebagai
fokus perhatian dan tema inspirasi kreatif
masyarakat. Dibutuhkan semua komponen masya-
rakat daerah untuk membangun lokalisme. Lokal-
isme tidak dibangun dari atas (pusat) secara
sentralistik. Ia mesti dibangun dari daerah, karena
hanya daerah yang memahami persoalannya sendiri.
Semangat desentralisasi yang muncul
semenjak tumbangnya kekuasaan Orde Baru,
seharusnya dibarengi munculnya semangat lokal-
isme. Tetapi semangat desentralisasi tersebut
hanyalah termanifestasikan pada kebijakan institusi
pemerintah dalam bidang birokrasi dan regulasi.
46
Dengan begitu, desentralisasi lebih cenderung
membentuk raja-raja kecil yang kekuasaannya lebih
represif dari pada sebelum isu desentralisasi
tersebut muncul.
Sudah saatnya semua pemikiran, gagasan,
ide, sikap, kepercayaan, keyakinan, dan se-
bagainya, yang berangkat dari persoalan-persoalan
lokal, secara kolektif digerakkan lebih kuat lagi.
Budaya massa yang selama ini memiliki dosa besar
dalam mengakselerasi budaya modern beserta
dampaknya, harus menjadi bagian dari proyek
lokalisme ini. Aparatus kekuasaan yang selama ini
juga tenggelam dalam pola berpikir normatif dan
konvensional harus membuka wawasannya. Para
akademis, praktisi, dan profesional harus
menempatkan lokalisme ke dalam bidang garapan-
nya. Budayawan dan seniman daerah harus meng-
angkat tema-tema lokal sebagai inspirasi kreatif
mereka, tanpa mengurbankan hak-hak kreativitas-
nya. Pendeknya, diperlukan semua komponen
47
masyarakat untuk mengangkat kelokalan dalam
proyek-proyek garapannya. Dengan begitu, lokal-
isme akan mampu mengimbangi wacana-wacana
nasional dan internasional untuk me-ngemuka dan
mendominasi sejarah peradaban dan kebudayaan
bangsa.
Hegemoni ideologi global perlu ditandingi
dengan ideologi lokal. Lokalisme menjadi semakin
penting ketika arus globalisasi menyeruak ke
permukaan. Arus deras informasi dan komunikasi
sebagai penanda globalisasi membawa dampak
masuknya budaya asing tanpa filterisasi. Ia secara
mudah, cepat, dan efektif memasuki ruang-ruang
publik. Masyarakat tanpa dibedakan status, usia,
agama, geografi, dan sosiokulturalnya, dapat
langsung menerima setiap isi informasi dan
komunikasi. Tak ada skat apapun yang mem-
batasinya. Batas-batas bangsa, kebudayaan, kelas
sosial, hingga status dan latar belakang orang
perorang, diterabas. Pada sisi ini, globalisasi lebih
48
merusak dari pada membangun. Lantas, apakah
globalisasi dibiarkan begitu saja bergerak tanpa
disikapi? Apakah globalisasi diterima begitu saja,
sebagaimana menerima modernisasi sebagai satu-
satunya pilihan tanpa reserve, yang ternyata banyak
membawa bencana dari pada membangun per-
adaban yang lebih baik?
Lokalisme akhirnya juga menempatkan dirinya
dalam konteks globalisasi tersebut. Pada konteks ini,
lokalisme menjadi efektif sebagai filter dan kebijakan
terhadap budaya asing dan resikonya yang dibawa
oleh derasnya arus informasi dan komunikasi dunia.
Budaya asing tak mungkin dibendung. Budaya asing
tak mungkin ditolak masuk ke ruang publik
masyarakat. Apapun bentuk, isi, dan dampaknya
akan merambah masyarakat. Tetapi membiarkannya
begitu saja terjadi merupakan kelemahan dan
ketidak-mampuan masyarakat menyikapi perubahan.
Lokalisme akan mengambil perannya sebagai cara
pandang dan landasan untuk mengelola, mengolah,
49
memilih, dan menentukan apa yang bermanfaat bagi
konteks sosiokultural masyarakat.
Semua itu tak akan pernah berhasil apabila
lokalisme tidak secara tegas menjadi kesepakatan
masyarakat daerah (Tuban). Di dalam konteks
pemikiran inilah masyarakat Tuban perlu me-
nyepakati bahwa lokalisme menjadi paradigma
pembangunan daerah. Modernisme yang berdasar-
kan kebebasan, rasio, universalitas, dan dengan ilmu
pengetahuan dan teknologi sebagai agennya,
haruslah digantikan oleh lokalisme. Lokalisme bukan
menolak kemajuan yang telah dicapai oleh
modernisasi selama ini. Tapi lokalisme juga tak akan
membiarkan produk-produk budaya sebagai hasil
modernisasi itu tanpa berpijak pada nilai-nilai
kelokalan yang selama ini telah mengakar dalam
bentuk kehidupan dan pola kesadaran masyarakat.
Dengan lokalisme itulah, persoalan kebudayaan
Tuban memperoleh tempat dan porsi penting dalam
dinamika masyarakat Tuban.
50
GAGASAN KETIGA:
Pendekatan Kebudayaan dalam Kebijakan
Pembangunan Daerah di Tuban
Dalam teori kebudayaan diungkapkan sebuah
proposisi bahwa masyarakat menciptakan kebudaya-
annya, yang pada gilirannya kebudayaan itu akan
mengatur kehidupan masyarakat yang mencipta-
kannya. Artinya, masyarakat sebagai subyek
sekaligus obyek bagi kebudayaannya. Sebagai
subyek, masyarakat membangun kebu-dayaan se-
bagai hasil akal budinya. Sebagai obyek, masyarakat
akan dipedomani, diatur, dan diarahkan oleh
kebudayaan yang telah diciptakannya itu. Peradaban
masyarakat pada akhirnya ditentukan oleh
bagaimanakah dialog secara dialektik antara
masyarakat dengan kebudayaannya terjadi dalam
kehidupan sehari-hari.
Menarik apa yang terjadi dalam realitas
sejarah masyarakat Indonesia semenjak tahun 70-an
hingga sekarang. Pada era kekuasaan Soeharto
51
dengan regim Orde Barunya, bahwa segala
pengertian, kebenaran, sistem pemaknaan, dan
kekuasaan berada dalam dominasi negara
(meminjam analisis Mudji Sutrisno dan Hendar
Putranto dalam bukunya berjudul “Teori-Teori
Kebudayaan,2005). Dan ketika Orde Reformasi
berhasil menumbangkan rezim Orde Baru itu, bukan
dengan sendirinya menumbangkan pula bentuk-
bentuk kesadaran yang telah dibangun selama
pemerintahan Soeharto berkuasa. Ke-bebasan,
demokratisasi, sentralisme, dan dominasi, memang
bergerak lebih terbuka di era Reformasi. Tetapi
dalam wajah yang berbeda, reformasi melahirkan
regimitas baru yang juga tak mampu menyelesaikan
persoalan yang menyangkut hajat hidup orang
banyak, sebagaimana di era Soeharto. Korupsi,
penyimpangan hukum, ke-miskinan, pe-ngangguran,
dan sebagainya, masih menjadi per-soalan yang
seolah tak pernah bisa teratasi. Dominasi negara di
era Orde Baru beralih pada dominasi raja-raja kecil
52
sebagai ekses yang ditimbulkan oleh semangat
desentralisasi. Lantas apa yang terjadi sesungguh-
nya?
Cara pandang kebudayaan dalam memahami
desentralisasi kekuasaan yang terjadi di era
reformasi adalah, mengurangi pemegang klaim
kebenaran dan sistem pemaknaan terhadap
dinamika masyarakat dari pemerintah pusat ke arah
pemerintahan daerah sebagai bagiannya. Dengan
demikian, dominasi negara terhadap klaim ke-
benaran dan sistem pemaknaan masyarakat dan
kebudayaan tetap terjadi, hanya beralih di tangan
kekuasaan pemerintah daerah. Dalam pemahaman
seperti ini, sesungguhnya semangat untuk merubah
dominasi negara (=kekuasaan) tidak menghasilkan
apa-apa. Dinamika masyarakat dan kebudayaannya
masih ditentukan oleh asumsi-asumsi dan
metodologis yang dibangun oleh kekuasaan, baik
pusat maupun daerah.
53
Kerangka pemikiran dalam konteks realitas
masyarakat Indonesia di atas kiranya menjadi
perhatian semua pihak. Ketika kemiskinan dan
pengangguran masih menjadi persoalan yang tak
terpecahkan semenjak kemerdekaan negeri ini,
maka dibutuhkan asumsi-asumsi yang menyokong
kebijak-an pemerintah dalam rangka me-nyelesaikan
persoalan itu. Apalagi, jika mencermati bahwa
strategi yang diambil selama ini, ternyata tidak
berhasil menyelesaikan persoalan kemiskinan dan
pengangguran itu. Berbagai asumsi telah diletakkan
sebagai landasannya. Berbagai metodologi telah
dibangun sebagai strateginya. Dan berbagai aturan
perundangan telah dibuat untuk mendorong
terselesaikan kedua persoalan itu. Tetapi semua itu
seolah seperti melabur angin.
Di sinilah diperlukan pendekatan kebudayaan
dalam menerapkan kebijakan pem-bangunan daerah
(nasional). Jika ditarik lebih sempit ke arah
pembangunan daerah kabupaten Tuban, sudah
54
waktunya secara eksplisit menempatkan pendekatan
kebudayaan sebagai cara pandang dalam
menangani persoalan-persoalan daerah dan me-
mecahkannya melalui penerapan kebijakan pem-
bangunannya. Pendekat-an kebudayaan sema-cam
itu memanfaatkan kelebihan atau keunggulan dan
kelemahan-ke-lemahan yang dimiliki masyarakat di
kabupaten Tuban.
Ayu Sutarto mengatakan, pendekatan
budaya dapat digunakan sebagai alat untuk
mencermati kehidupan sehari-hari yang berkaitan
dengan kemajemukan, perbedaan, keterbelahan,
ketidak-sinambungan ber-bagai peristiwa, kemuncul-
an berbagai gejala yang bercampur aduk dengan
berbagai macam variable yang tentunya sulit
dipahami melalui pendekatan kuantitatif (2002:2-3).
Pendekatan budaya juga dapat digunakan
untuk mencermati dan memahami sejarah konflik,
mempelajari budaya lokal berbagai etnik secara rinci,
kemudian melakukan dialog dengan berbagai pihak
55
untuk mendengarkan aspirasi mereka serta
alternatif-alternatif jalan keluar yang mereka tawar-
kan. Pendekatan budaya ini juga dapat diterapkan
untuk menetapkan kebijakan-kebijakan di berbagai
bidang (Kusni dalam Sutarto,2001:36-37). Pendek
kata, pendekatan kebudayaan menyatakan bahwa
pembangunan di daerah mesti berlandaskan pada
kebudayaan di daerah itu. Pernyataan ini bukanlah
tanpa mengandung kesulitan. Terdapat model-model
pembangunan modern yang acap kali berbenturan
dengan kebudayaan daerah. Tetapi melalui upaya
internalisasi budaya daerah dan modern, se-
bagaimana diungkapkan sebelumnya, dapat dike-
temukan berbagai solusinya. Di samping itu, pen-
dekatan budaya bukanlah satu-satunya pendekatan
dalam pembangunan daerah. Pendekat-an budaya
dapat menjadi wacana tandingan melawan
hegemoni pendekatan yang lain yang selama ini
telah dipilih.
56
Penutup
Alur pemikiran di atas pada akhirnya dapat
diambil beberapa kesimpulan sebagai berikut.
1. Diperlukan cara pandang baru dalam memahami
dinamika masyarakat yang serba cepat ini.
Lokalisme dapat menjadi alternatif cara pandang
tersebut. Semua pemikiran, gagasan, ide,
sikap, kepercayaan, keyakinan, dan sebagainya,
yang berangkat dari persoalan-persoalan lokal
merupakan lokalisme. Lokalisme adalah pe-
nanda beserta maknanya semua sikap dan
pola berpikir yang me-wacanakan persoalan-
persoalan lokal sebagai fokus perhatian dan
tema inspirasi kreatif masyarakat. Dibutuhkan
semua komponen masyarakat daerah untuk
membangun lokal-isme. Lokalisme tidak di-
bangun dari atas (pusat) secara sentralistik.
Ia mesti dibangun dari daerah, karena hanya
daerah yang memahami persoalannya sendiri.
57
2. Salah satu wujud lokalisme adalah pemahaman
diri masyarakat atas karakteristik, potensi,
beserta kebudayaannya, sebagai suatu identitas.
Dalam dinamika masyarakat modern yang serba
cepat dan bersifat internasionalisasi, westernal-
isasi, dan globalisasi, identitas kelokalan semakin
memegang peranan penting. Perkem-bangan
masyarakat modern perlu upaya filterisasi dan
internalisasi ke dalam konteks kelokalan.
Identitas kelokalan sangat penting untuk
mewujudkan itu.
3. Masyarakat Tuban dapat mengambil aspek
sejarah, keruangan, dan orientasi nilai budaya
masyarakat, sebagai pilar untuk memahami
karakteristik dan potensi diri. Ketiga aspek
tersebut sekaligus sebagai pilar terbentuknya
identitas kelokalan masyarakat Tuban. Pe-
merintah daerah dan komponen masyarakat
lainnya memegang peranan penting untuk
mewujudkan hal tersebut.
58
4. Semua persoalan di atas sesungguhnya
bermuara pada penerapan pendekatan ke-
budayaan sebagai landasan pengambilan ke-
bijakan pembangunan daerah di kabupaten
Tuban. Pendekatan tersebut akan memandang
bahwa pembangunan daerah mesti harus
berdasarkan persoalan sendiri. Hal tersebut
menjadi wacana tandingan terhadap model-
model pembangunan yang selama ini menjadi
pendekatan pembangunan.
Tulisan ini Disampaikan dalam Dialog Kebudayaan
Dinas Perekonomian dan Pariwisata Kabupaten Tuban
20 Oktober 2011
59
DAFTAR PUSTAKA
1. Barker, Chris. 2006. Cultural Studies, Teori dan
Praktik. Bantul: Kreasi Wacana.
2. Duija, I Nengah . dalam Jurnal Wacana, Vol. 7,
No. 2, Oktober 2005, hl. 111
3. Nunus Supardi, 2007. Kongres Kebudayaan
1918-2003, Yogyakarta : Penerbit
”Ombak”
4. Sutrisno, Mudji dan Hendar Putranto. 2005.
Teori-Teori Kebudayaan. Yogyakarta:
Kanisius.
5. Sutarto, Ayu dan Setyo Yuwono Sudikan,
Pendekatan Kebudayaan dalam
Pembangunan Provinsi Jawa Timur.
Surabaya:
6. Sarup, Madan. 2008. Postrukturalisme dan
Posmodernisme. Yogyakarta:
Jalasutra.
7. Selu Margaretha Kushendrawati, Masyarakat
Konsumen Sebagai Ciptaan
60
Kapitalisme Global: Fenomena Budaya
Dalam Realitas Sosial dalam Makara,
Sosial Humaniora, Vol. 10, No. 2,
Desember 2006: 49-57.
61
RASIONALITAS
Menentukan Jalan Peradaban Sendiri
Satu hal yang tidak disadari –barangkali juga
kurang dimengerti --bahkan cenderung untuk ditolak
karena tidak seidologis, adalah rasionalitas manusia
semenjak abad XIX hingga kini dituntun oleh tradisi
pemikiran kaum Marxis. Andaikan Karl Marx tak ada,
rasionalitas manusia tak segempita seperti ini.
Barangkali juga, modernisme tak memiliki tandingan,
kapitalisme melesat tanpa ada yang melihat, yang
marginal tetap marginal, yang lokal tetap lokal, pusat
dengan kanonisasinya semakin mendominasi, kaum
buruh hanya dapat menatap nanar pada majikan,
perempuan terpinggirkan, ideologi menjajah warisan
kolonial dan feodal dipertahankan, dan seterusnya.
62
Tapi mungkin juga tidak. Namanya pengandaian,
bisa terjadi bisa tidak. Semuanya tergantung arus
perubahan. Dan dalam perubahan banyak hal bisa
terjadi. Ia seperti aliran sungai, semuanya dapat
dihanyutkan.
Di sisi yang lain, kita menyadari satu hal pula,
bahkan cenderung tak lagi mampu menolaknya,
bahwa ekonomi politik masyarakat telah dituntun
oleh tradisi pemikiran liberal kapitalis. Dengan filsafat
modern-ismenya, beragenkan sain dan teknologinya,
ber-in-strumenkan industri, dan berjiwakan rasional,
ia mendominasi bentuk kehidupan dan kesadaran
manusia hingga kini. Andaikan proyek pencerahan
sebagai ibu kelahiran liberal kapitalis itu tak pernah
terjadi, kehidupan ini tak seglamour sekarang ini.
Barangkali pemikiran marxis tak pernah ada, karena
ke-ada-annya disulut oleh liberal kapitalisme.
Barangkali juga tak ada klaim kebenaran rasional,
tak ada pertentangan kelas, marginal bersanding
harmonis dengan pusat, lokal dengan nasional,
63
keberbedaan dan kesamaan, lelaki dan perempuan,
dan seterusnya. Tapi mungkin juga tidak. Namanya
pengandaian, bisa terjadi bisa tidak. Semuanya
tergantung arus perubahan. Dan dalam perubahan
banyak hal bisa terjadi. Ia seperti aliran sungai,
semuanya dapat dihanyutkan.
Apa yang sebenarnya menjadi titik pangkal
semua itu? Ambisi manusia untuk menjadikan dunia
ini seperti surga. Itu terjadi pada abad pencerahan di
belahan dunia tempat semua gegap gempita
rasionalitas manusia ini bermula. Mana lagi kalau
bukan di negeri Barat. Cakrawala mitologis yang
cenderung mencampur-baurkan keyakinan dan
pengetahuan, mitos dan nalar, kebaikan dan
kebenaran, yang mendominasi sebelumnya, oleh
negeri Barat mesti direvolusi dengan cara pandang
yang lebih sistematis, rasional, dan universal. Rene
Descartes pun menggugat dengan jargonnya yang
hingga kini masih melekat di ingatan manusia, cogito
ergo sum; aku berpikir karena itu aku ada. Bukan
64
‘aku ada karena Ada’. Adaku karena aku berasional.
Maka rasionalitas dijunjung tinggi sebagai panglima
untuk membangun peradaban yang lebih indah,
sejahtera, bebas, dan berpengetahuan.
Revolusi industri di Eropa seperti sebuah
hajatan; sebuah pilihan bijaksana akan masa depan
yang lebih baik. Untuk sebuah revolusi industri,
diperlukan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Keduanya tak mungkin akan ada tanpa rasionalitas;
aku berpikir karena itu aku ada. Inilah sebuah bentuk
kesadaran yang ditandai oleh kebebasa, rasional,
dan individual, sebagai akibat filsafat kesadaran
yang berkembang saat itu. Rene Descartes berhasil
meletakkan landasan bagi kesadaran manusia untuk
menuju ke pada kehidupan masa depan yang lebih
baik. Bentuk kesadaran itu sekaligus melandasi
lahirnya bentuk-bentuk kehidupan ke arah ekonomi
kapitalis dan politik liberalis.
Manusia memanfaatkan penemuan-penemu-
an baru di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi
65
untuk memperluas industri dan pasar bisnis. Di
sinilah terjadi perubahan orientasi hidup besar-
besaran dari humanis ke arah materialis.
Rasionalitas sebagai inti filsafat kesadaran telah
memisahkan keyakinan dari pe-ngetahuan, mitos
dari nalar, dan kebaikan dari kebenaran. Mulanya
keduanya merupakan pasangan, rasionalitas
menceraiberaikan keharmonisannya. Ber-ubahnya
suatu ideologi untuk menuju ke ideologi baru,
bernama modernism beagenkan ilmu pengetahuan
dan teknologi, berinstrumenkan industry, berjiwa
rasional, dan di situlah ekonomi kapitalis lahir. Dalam
ideologi baru ini pasangan jargon kehidupan telah
berubah menjadi: ilmu pengetahuan dan teknologi,
rasionalitas dan kebenasan, industri dan pasar
bisnis, majikan dan keuntungan, ekonomi dan politik,
kapitalis dan liberalis. Tak terpisahkan. Tak tercerai-
beraikan.
Apa maknanya kecenderungan rasionalitas
zaman pencerahan semacam itu? Klaim kebenaran
66
atas semua hal berdasarkan rasional ilmu
pengetahuan dan teknologi. Semuanya diukur benar
sejauh koheren dengan rasional. Bagaimana dengan
keyakinan, mitos, kepercayaan, peng-hayatan,
kemanusiaan, keindahan, kebaikan, ke-tuhanan?
Semuanya benar sejauh bisa dijelaskan dengan
rasional. Cobalah pembaca tengok ke dalam praktik
kehidupan sekarang ini. Betapa klaim kebenaran
semacam itu hingga kini masih menuntun bentuk-
bentuk kesadaran manusia. Akhirnya, keyakinan,
mitos, kepercayaan, penghayatan, kemanusiaan,
keindahan, kebaikan, dan ketuhanan, mengalami
penyempitan ruang hidupnya.
Situasi seperti itulah yang mendorong lahirnya
cara pandang baru, yang menentang. Marxisme
mengambil posisinya sebagai oposipan bentuk
kesadaran dan kehidupan semacam itu. Sejak awal
pemikirannya Karl Marx memang telah menunjukkan
pertentangan. Pertentangan itu pula menjadi kata
kunci dalam pemikiran-pemikiran kemudian dari para
67
penerusnya; tradisi marxisme. Dialektis adalah corak
pemikiran kaum marxis dalam menerjemahkan
kehidupan ini. Tesa melawan antitesa menjadi tesa.
Kelas buruh (proletar) yang tersubordinasi melawan
majikan (borjuis) yang mendominasi menjadi
masyarakat tanpa kelas; masyarakat komunis.
Sebuah pertentangan antara liberalisme kapitalis
melawan sosialisme kumunis.
Tetapi kekokohan dan dominasi liberal
kapitalis hingga saat ini masih tak tergoyahkan.
Mengapa? Mereka telah dinikahi oleh banyak
kekuasaan, sedangkan sosialis komunis semakin
diceraikan oleh kekuasaan. Liberalis kapitalis
semakin pragmatis dan praktis, sedangkan sosialis
komunis semakin utopis. Kalau liberal kapitalis
semakin rasionalis, maka sosialis komunis semakin
fanatis. Ketangguhan liberal kapitalis karena selalu
memperbaharui landasan pemikirannya yang
bernama ilmu pengetahuan dan teknologi.
68
Sedangkan sosialis komunis konsisten pada cita-
citanya; sebuah perubahan.
Sesungguhnya kaum marxis selalu mem-
perbaharui landasan berpikirnya melalui para
eksponennya: Gramsci, Lucien Goldman, Lukacs,
Adorno, Horkheimer, Walter Benjamin, Bourdielard,
hingga Habermas, dan terpecah-pecah menjadi
benang-benang tipis dan halus sehingga begitu
samar ke-marxis-annya sampai sekarang.
Kekuasaan Negara boleh menceraikan pemikiran
Marxian, tetapi kekuasaan pengetahuan telah
didominasi olehnya. Jadilah liberal kapitalis
menggunakan jalur kekuasaan negara dengan
sistem ekonomi politiknya, sementara pemikiran
Marxian berjalur ilmu pengetahuan. Nampaknya
kaum Marxian mau belajar dari musuhnya itu, bahwa
untuk menghegemoni bentuk-bentuk kehidupan dan
kesadaran masyarakat, sebuah ideologi pemikiran
harus menumpang ilmu pengetahuan. Tapi
kelemahan yang menyurutkan mereka barangkali
69
adalah, ia tak mempunyai akses pada teknologi yang
representatif bagi ideologinya itu.
Apa lacur? Liberal kapitalis menjadikan kita
materialistis, individualistis, konsumeristis, dan
dehumanistis. Sedangkan Marxian dengan sosialis
komunismenya itu menjadikan kita ingin selalu
berpikir revolusioner, menolak kemapanan,
fanatisme berlebihan, melanggengkan kediktatoran,
antikemanusian, dan kebudayaan antikebudayaan.
Jadilah rasionalitas ilmu pengetahuan hingga
kini dituntun tradisi Marxian. Sedangkan rasionalitas
kekuasaan ekonomi politik dituntun tradisi liberal
kapitalis. Sementara kita terhimpit oleh keduanya.
Menerima dan menolak adalah dua hal berbeda
tetapi sama akibatnya. Menentang keduanya, jelas
seperti menentang arus sungai yang deras sambil
kita tenggelam ke dasarnya. Menerima keduanya,
seperti kita menelan semua yang ikut hanyut
bersama arus deras itu sambil kita tenggelam pula
ke dasarnya. Itulah gegap gempita rasionalitas kita
70
hingga sekarang ini, dan entah sampai kapan. Jalan
peradaban ke depan sudah tertata sejarah pemikiran
dan kebudayaan semacam itu. Tinggal kita
menentukan atau tidak menentukan sikap atas
perjalanan peradaban ke depan. Kalau kita memilih
pilihan yang pertama, apa yang mesti kita lakukan?
Jika memilih pilihan kedua, biarlah waktu yang akan
merubahnya. Menentukan atau tidak menentukan,
sama-sama beratnya.
Pilihan pada ‘menentukan jalan kita sendiri’,
nampaknya pilihan paling bijaksana. Persoalannya
adalah, apa yang mesti kita lakukan? Apa yang
terjadi sekarang ini adalah akibat arus sejarah
pemikiran manusia. Maka, belajar dari sejarah
pemikiran itulah yang mesti kita lakukan. Logika yang
sederhana tapi tak sederhana implementasi-nya.
Substansinya adalah rasionalitas. Inilah jiwa
bagi perkembangan bentuk-bentuk kehidupan dan
kesadaran selama ini. Rasionalitas itu mengadopsi
dari Barat lewat filsafat dan teori-teorinya. Kalau
71
rasionalitas adalah roh, maka filsafat dan teori-teori
itu adalah fisiknya. Kalau negeri ini sekarang telah
memiliki segudang ilmuwan, berpuluh-puluh lembaga
ilmiah, dan kelengkapan infrastrukturnya, kenapa tak
memulai menentukan jalan peradaban kita sendiri
dengan filsafat dan teori yang mengindonesia. Dan
kalau kita harus belajar dari sejarah pemikiran yang
menjadikan peradaban sekarang seperti ini, maka
nampaknya kita membutuhkan satu periode dalam
sejarah pemikiran itu, yaitu renaissance. Kita bukan
untuk mengadopsi apa yang ada di sana, tetapi
meng-adopsi semangat apa yang telah terjadi di
sana. Kembali ke sejarah kita sendiri; kembali
kepada apa yang kita punya dalam sejarah kita
sendiri.
72
PERADABAN BUDAYA MEDIA:
Kekuasaan yang Tersebar
Karena media, seorang yang pergi dari
rumah, hanya dengan pakaian melekat di badan,
tiba-tiba di suatu tempat berubah bak seorang raja.
Ia dielu-elukan, disanjung, dan diteriak-histerisi para
penggemarnya. Ia menjadi buah bibir, memenuhi
ruang dan waktu sekecil apapun. Ia sebuah berita
yang menyedot perhatian masa. Berita yang
menenggelamkan peristiwa apapun di negeri ini.
Berita kematian seorang yang telah berjasa di negeri
ini, tak sepenting berita tentangnya. Berita
kontroversi penguras anggaran negara, tak sebesar
berita tentangnya. Bahkan berita yang sebelumnya
begitu ramai dibicarakan orang, tiba-tiba menjadi
73
berita biasa-biasa saja. Sebut saja ia seorang
Pesohor.
Di sudut yang lain, berbanding terbalik
dengan sang Pesohor di atas, lantaran media pula,
seseorang hancur kehidupannya, setelah ia
bersusah payah mem-perjuangkannya. Ketika ia tak
mampu mengendalikan dirinya, lantas iseng melihat
video porno yang ada di media, tiba-tiba orang
media pula menangkapnya melalui kamera. Kalau
seorang pesohor dielu-elukan dan disanjung bak
raja, akhirnya tokoh yang satu ini dihujat, ditertawai,
dan diteriaki sebagai seorang yang tak pantas
mengemban amanat. Sebut saja ia seorang
Pengkianat.
Itulah sebuah narasi pertunjukan budaya
negeri ini, yang saat ini sedang memainkan
lakonnya. Tapi jangan cepat mengatakan kalau sang
Pesohor dan Pengkianat adalah aktor utamanya.
Mereka hanyalah aktor kecil dari sebuah narasi kecil
yang dibingkai ke dalam narasi yang besar. Narasi
74
kecil bersifat temporer. Ia akan tenggelam secepat
kemunculannya. Ia akan digantikan dengan
munculnya narasi-narasi kecil lainnya. Sementara
narasi besar akan terus bergerak ke dalam alur
cerita yang tak pernah akan berakhir. Narasi kecil
dapat diramal ujungnya, tapi narasi besar teramat
sulit; bahkan boleh dikatakan tak berujung. Narasi
kecil itulah yang saat ini sedang dimainkan oleh
kedua tokoh ini; Sang Pesohor dan Pengkianat.
Lantas, siapakah aktor utama dalam per-
tunjukan ini? Siapa lagi kalau bukan Media. Sang
Pesohor dan Pengkianat adalah aktor yang terpaksa
dan dipaksa menerima perannya. Sang Pesohor
akan menikmati peran itu karena merasa nyaman,
enak, dan menguntungkan. Sebaliknya, sang Peng-
kianat dipaksa untuk memerankan tokoh yang tragik.
Kesamaan keduanya, semua itu terjadi tanpa
mereka rencanakan. Apalagi sebagai sebuah
kesengajaan. Narasi kecil yang mereka emban,
mengalir seperti mata air. Di hilir sungai itu, aliran
75
mata air bercabang-cabang. Dan sang Pesohor dan
Pengkianat terbawa arus ke cabang yang berbeda.
Ke mana ujung cabang sungai itu? Cabang yang
satu akan mengurai dirinya untuk menyuburkan
tanaman ke sawah-sawah. Sedang cabang yang
lain, akan berujung ke selokan bau bacin.
Selebihnya barangkali akan bermuara ke samudra
luas. Di sanalah samudra akan menantang peng-
huninya untuk mengadapi hukum alamnya masing-
masing. Sang Pesohor dan Pengkianat mengalir
begitu saja mengikuti arus media ke mana mereka di
bawa.
Apa hikmah dan amanat dari semua ini?
Layaknya sebuah pertunjukan yang bernarasi, ia
memiliki hikmah dan amanatnya. Tinggal para
penontonnya mau sedikit memikirkan, merenung-
kan, dan menghayati narasi yang dipertunjukan itu
atau tidak. Penonton (masyarakat) mempunyai hak
untuk berapresiasi sesuai keinginan dan ke-
mampuannya. Barangkali mereka hanya sekedar
76
ingin menikmati apa yang dilihat dan didengar;
sekedar sebuah hiburan. Atau mereka sah-sah saja
untuk hanya sebatas mengerti dan memahaminya.
Mereka juga boleh-boleh saja untuk menghayati dan
memikirkan untuk mencerahkan kehidupan-nya;
Aristoteles menyebutnya Chatarsis.
Media adalah budaya. Sebagai budaya yang
dominan, ia akan menjadi sebuah peradaban.
Sebagai sebuah peradaban, ia akan mengatur,
mempedomani, dan menentukan hajat hidup
masyarakat. Kalau sekarang ini media telah mampu
membalikkan kehidupan manusia, bahkan di luar
pikiran manusia, itulah sebuah tanda bahwa media
telah menjadi pengatur, pedoman, dan penentu
hidup manusia. Itulah tanda bahwa media telah
menjadi sebuah peradaban. Peradaban media. Jika
meminjam pemikiran seorang tokoh postruktural-
isme, Michel Foucault, situasi seperti ini ia sebut
sebagai sebuah diskursus (Wacana). Narasi
77
pertunjukan budaya media yang dewasa ini sedang
memainkan lakonnya, merupakan diskursus.
Marilah serba sedikit mengadopsi pemikiran
Foucault ini untuk sekedar menjelaskan siapa aktor
dibalik narasi pertunjukan budaya ini. Tokoh pos-
strukturalisme itu mengungkapkan bahwa diskursus
datang dari orang yang memiliki kekuasaan dan dari
orang yang memiliki pemikiran kritis. Kekuasaan
yang dimaksud bukanlah Negara atau pemerintah,
sebagaimana anggapan ma-syarakat selama ini.
Kekuasaan itu datang dari mana-mana (kekuasaan
yang tersebar). Kekuasaan ini bukanlah sebuah
institusi atau struktur, melainkan suatu situasi
strategis kompleks dalam masyarakat. Kekuasaan
muncul dari proses sejarah. Dengan begitu, wacana
pada akhirnya mengatur praktik-praktik kehidupan
masyarakat.Ia berisi suatu mekanisme sosial dan di
situlah kekuasaan melekat ke dalam dirinya.
Pemikiran Foucault inilah nampaknya bisa menjadi
penjelasan tentang pertunjukan budaya media negeri
78
ini. Peradaban media menjadi sebuah diskursus atau
wacana yang mengatur praktik-praktik kehidupan
masyarakat. Sebagai sebuah situasi strategis yang
dilekati oleh kekuasaan, maka diskursus budaya
media memiliki kekuasaan yang menekan,
mendefinisikan, membentuk, dan mentransformasi
sejarah.
Dalam bahasa yang lain, dalam adagium ilmu
budaya, barang siapa yang mampu menguasai
budaya, dialah yang memiliki kekuasaan atas
perjalanan hidup masyarakat dan keberadabannya
itu. Dalam konteks ini, barang siapa menguasai
media, dialah yang menguasai pola hidup
masyarakat dan keberadabannya. Dialah yang akan
menikmati manfaat dari budaya media itu. Tapi
sebaliknya, barang siapa yang tak waspada, dia
akan ditenggelamkan media itu. Dialah menjadi
kurban dari sebuah budaya yang telah men-dominasi
sebuah peradaban. Itulah yang sekarang ini dialami
oleh Sang Pesohor dan Pengkianat. Betapapun tak
79
sengaja, Sang Pesohor telah menguasai media.
Dialah yang kemudian akan menguasai masyarakat
dan peradabannya. Dialah yang menikmati
manfaatnya. Semua perhatian, sanjungan, dan
materi tercurah pada Sang Pesohor itu. Sementara
Sang Pengkianat tinggal meratapi
ketidakwaspadaannya pada budaya media. Dia telah
dihancurkan oleh budaya media itu. Dialah sebuah
kurban dari peradaban media. Sang Pesohor dan
Pengkianat telah dibentuk oleh situasi strategis yang
bernama peradaban budaya media.
Itulah sebuah hikmah dan amanat yang
disuarakan narasi kecil dalam pertunjukan budaya
negeri ini. Dua aktor yang berbeda peran dan ending
ceritanya, tetapi dalam cerita yang sama, Peradaban
Media sebagai sebuah Kekuasan Yang Tersebar.
Kalau bisa disambung, telah banyak diskursus
kecil bermunculan dalam pertunjukan budaya ini.
Kasus Prita, Aril dan Luna Maya, Bilqis, dan sederet
kasus-kasus yang lain, telah membuktikan betapa
80
luar biasanya sebuah media menentukan perjalanan
hidup seseorang. Kasus Prita muncul karena media,
sekaligus mendapatkan sokongan yang luar biasa
dari media juga. Aril dan Luna telah dibesarkan oleh
media, sekaligus juga ditenggelamkan oleh media.
Sang Bayi Bilqis, karena media ia telah mengundang
simpati dan keprihatinan khalayak. Tiga kasus ini
hanyalah sebutir cerita di tengah-tengah gurun pasir
yang bernama peradaban media.
Media adalah sebentuk pembangun citra.
Hakikatnya adalah, siapa yang lihai dan mampu
merangkul media, ia akan dibangun pencitraan
dirinya secara positif. Dan sebaliknya, siapa yang
bodoh dan terjebak media, ia juga akan dibangun
pencitraan dirinya secara negatif. Pemahaman
terhadap hakikat budaya media semacam itu, saat ini
sedang menjadi kegemaran sebagian masyarakat
negeri ini. Di tingkat atas, betapa media diman-
faatkan untuk membangun citra positif terhadap
seseorang. Ia dibutuhkan untuk mengundang
81
perhatian, sanjungan, dan pujian dari masyarakat. Ia
semacam kitab Babad Tanah Jawa dalam
kesusasteraan Jawa masa lalu, yang mampu
membangun nasionalisme dan legitimasi dari
masyarakat. Dengan begitu, kepentingan mobilisasi
sosial politik masyarakat dapat diperoleh. Di tingkat
bawah, sebut saja di tingkat kaum muda, media
menjadi ikon kemodernan seseorang. Kemelekan
huruf dan teknologi mereka, menjadi pendorong
terhadap pentingnya menyalurkan kebutuhan
aktualisasi dan komunikasi diri. Meskipun kalau
benar-benar dicermati, budaya media belum mampu
dimanfaatkan mereka untuk membangun pencitraan
yang sesungguhnya bagi masa depan. Ia hanya
sekedar ikon dan gengsi diri.
Jika kemudian kembali meminjam pemikiran
Foucault di atas, bahwa sebagai diskursus
peradaban budaya media berasal dari orang yang
memiliki kekuasaan dan dari orang yang memiliki
pemikiran kritis, maka yang terakhir itulah yang
82
sebenarnya dibutuhkan untuk mampu menyikapi
peradaban budaya media itu. Dibutuhkan pemikiran
kritis untuk mampu menguasai dan memiliki
peradaban. Dalam bahasa yang lebih konkrit, orang
yang memiliki pemikiran kritis adalah orang yang
memiliki pengetahuan. Lantas, dalam golongan yang
mana sang Pesohor dan Pengkianat di atas?
83
PERTUNJUKAN TEATER NEGERI INI
Sebuah Peradaban
Kalau negeri ini dipandang sebagai panggung
teater, siapakah tokoh utama pengemban cerita
untuk diungkapkan di atas panggung itu? Mereka
adalah penguasa, pengusaha, dan media. Ketiga
aktor inilah yang akan memainkan perannya secara
ekspresif agar pertunjukkan yang dimainkan
meyakinkan dan menghanyutkan penontonnya.
Siapakah penontonnya? Mereka adalah rakyat yang
tidak memiliki akses untuk mendekati lingkaran
ketiga aktor tersebut. Narasi apakah yang akan
dibangun dan diungkapkan dalam pertunjukkan itu?
Narasi itu adalah sebuah adaptasi dari intrik-intrik
zaman yang berasal dari kepentingan-kepentingan
kelompok dan tekanan-tekanan eksternal yang tidak
84
bisa dielakan oleh aktor-aktor tersebut. Agar kita
dapat mengapresiasi bagaimana pertunjukkan itu
berlangsung, sebaiknya kita urai pertunjukkan itu
secara interpretatif.
Sebagai sebuah interpretatif, pemikiran ini
jelas mengambil perspektif subyektif dengan pisau
analisis rasional; bukan lantaran dengan perspektif
subyektif itu lantas tidak menggunakan rasional
untuk memahami persoalan ini. Dan sebagaimana
layaknya mengapresiasi sebuah pertunjukkan teater,
tulisan ini harus bermula dari narasi sebagai skenario
yang akan dimainkan. Tetapi yang perlu diingat,
bahwa pertunjukkan ini bergenre modern, meski
naskah atau skenario tersebut tidak tertulis. Cukup
seperti dalam teater tradisional, narasi yang akan
dimainkan dipahami kemudian diimprovisasi oleh
para aktor di atas panggung.
Proses berperadaban yang terjadi hingga
sekarang ini, sesungguhnya sebuah narasi yang
diciptakan dan sekaligus menjadi pedoman bagi
85
masyarakat dalam kehidupan sehari-hari. Faucoul,
seorang tokoh pencetus postrukturalisme dan
posmodernisme Barat, mengatakannya sebagai
Diskursus. Namun demikian, narasi itu adalah
sebuah wacana kebudayaan yang tidak cukup
dipahami secara tekstual, melainkan terdapat makna
dibalik yang kasat mata itu, yaitu proses produksi
dan konteks yang melatarbelakanginya. Proses
produksi dalam konteks ini dapat dipahami sebagai
proses sejarah bagaimana narasi itu terbentuk dan
siapakah yang berperan dalam produksi narasi itu.
Sedangkan konteks yang melatarbelakanginya itu
jelas adalah sosial, budaya, politik, ideologi,
ekonomi, dan sebagainya, dari masyarakat di mana
narasi itu diciptakan, dipedomani, dan mengatur
dirinya. Teks (baca: narasi) dan Konteks. Kedua hal
tersebut akan muncul ketika seseorang mau
mendudah dan mengurai hingga ke akar narasi itu.
Kalau perlu, hingga ke aspek filosofis yang
mendasari terbangunnya narasi itu.
86
Kalau boleh saya sebut, narasi yang mengikat
semua elemen pertunjukan teater negeri ini dengan
judul Pembangunan Nasional. Semua orang
mengetahuinya dan menyambutnya sebagai narasi
yang akan mempedomani semua orang untuk
meningkatkan martabat dan kesejahteraan mereka.
Dengan demikian, perlu dituangkan ke dalam
seperangkat kebijakan dan strategi untuk
mengekspresikannya ke dalam perjalanan ke-
hidupan negeri ini. Tetapi persoalannya, se-
perangkat kebijakan dan strategi dalam narasi yang
bernama Pembangunan Nasional itu sangat
ditentukan oleh siapa yang berkuasa. Penguasalah
yang menjadi aktor penting di dalam skenario atau
narasi itu. Marilah kita menyederhanakan dan
membatasi teks dan proses produksinya semenjak
rezim Orde Baru di bawah kepemimpinan Soeharto.
Ada tiga tema yang diungkapkan dalam
kebijakan dan strategi pembangunan nasional
menurut visi Soeharto, yaitu: pertumbuhan ekonomi,
87
pemerataan ekonomi, dan stabilitas nasional. Tetapi
jika kita melihat kenyataan yang ada, pertumbuhan
ekonomi dan stabilitas nasional itulah menjadi hal
utama selama pemerintahan Soeharto itu. Asumsi
sang aktor utama ini tentang pertumbuhan ekonomi
adalah dengan menciptakan sebanyak mungkin
kelas-kelas pengusaha. Entah dari mana pemikiran
ini berasal, yang jelas Suharto memiliki backing
intelektual dan ilmuwan yang cukup ahli di bidang ini.
Pengusaha inilah yang kemudian menjadi aktor
penting kedua dalam pertunjukan teater negeri ini.
Para pengusaha yang mampu masuk ke dalam
lingkaran kekuasaan Soeharto mendapatkan fasilitas
yang sangat menggiurkan. Peranan mereka adalah
membangun konglomerasi dan industrialisasi negeri
ini. Dengan begitu, pertumbuhan ekonomi dapat
dikatrol naik sekaligus dipakai sebagai indikator
keberhasilan pemerintahan Orde Baru. Strategi inilah
yang kemudian menepiskan tema pemerataan
ekonomi, yang kata Suharto sebagai salah satu tema
88
sentral narasi pembangunan nasional itu. Kalau kita
mau merasionalisasi kebijakan ini kita bisa
mengatakan adanya manajemen silang dalam
menghitung tingkat pertumbuhan ekonomi nasional.
Dengan meningkatnya pendapatan kelas atas yang
semakin melangit, dapat mengcover pendapatan
minimal masyarakat bawah. Dengan demikian, kalau
berhitung di atas kertas dan secara kuantitatif, jelas
terjadi peningkatan. Tapi terjadi jurang yang semakin
lebar antara si kaya (pengusaha) dan si miskin
(masyarakat bawah).
Tidak mungkin jaminan fasilitas yang
menggiurkan itu diperoleh secara gratis. Harus ada
timbal balik dalam prinsip simbiosis mutualism; saling
menguntungkan. Oleh karena itulah, kenapa di masa
narasi ini diberlakukan banyak improvisasi yang kita
sebut korupsi. Atau kita sebut dengan istilah KKN;
Kolusi, Korupsi, dan Nepotisme. Kedua aktor inilah,
penguasa dan pengusaha, pada akhirnya menikmati
kekayaan yang lumayan; sementara masyarakat
89
bawah hanya menjadi penonton yang pasif. Tipe
penonton inilah yang diidealkan oleh kekuasaan
Soeharto. Bahkan media massa yang seharusnya
juga menjadi kontrol sosial, tidak mempunyai gigi.
Jangan salah tafsir dulu atau malah mengatakan
jangan-jangan media massa dan rakyat adalah
penopang yang paling utama terhadap peran yang
dimainkan oleh aktor pengusaha dan penguasa itu.
Tak ada narasi yang begitu sempurna dan
matang sepanjang sejarah negeri ini kecuali narasi
yang dibangun oleh Suharto. Rakyat sebagai
penonton pasif dan media kehilangan giginya karena
ada kartu truf yang dimiliki Soeharto, yaitu adagium
yang berbunyi stabilitas nasional. Dalam adagium itu
terdapat aturan-aturan yang cukup efektif untuk
mempasifkan rakyat dan media massa. Di antara
aturan itu adalah, barang siapa yang menggangu
stabilitas nasional, maka orang itu telah bertindak
subversif. Menurut kamus subversi yang dibuat oleh
pemerintahan Orde Baru dan yang belum pernah
90
diterbitkan, tapi memiliki kekuatan represif yang luar
biasa, pengertian subversi adalah merongrong
pemerintah, menggangu ketertiban, dan mengacau
negara. Dari pengertian ini sangat jelas maknanya,
bahwa tindakan subversif pasti harus dihukum atau
dikenai sanksi. Barangkali kita akan miris dan takut
kalau membaca pasal-pasal hukum yang berkaitan
dengan subversi ini. Bahkan kalau perlu dan
dipandang sebagai ancaman bagi stabilitas nasional,
militer diperbolehkan mengambil kebijakan untuk me-
numpas habis kelompok masyarakat yang akan
mengacau keamanan. Dan menjuluki mereka
dengan sebutan GPK. Memang cukup efektif,
bahkan dengan senda gurau kita dapat mengatakan:
“Apakah ada pada zaman Orde Baru suporter Sepak
Bola ngamuk, seperti sekarang ini terjadi, gara-gara
kesebelasannya kalah!?” “Apa-kah ada unjuk rasa
seperti sekarang ini di zaman Orde Baru!?” “Apa ada
koran berani memberitakan tentang penyimpangan
yang terjadi pada zaman Orde Baru!?” Bahkan
91
seorang aktivis harus digiring ke meja hijau lantaran
dalam unjuk rasa, yang saya anggap nekat,
membawa sepanduk berbunyi “King Kong Lu
Lawan.” Dan menjelang akhir Orde Baru, seorang
ilustrator sebuah media massa harus berurusan
dengan polisi gara-gara menggambar kartu remi
King dengan kepala Suharto. Dan kalau cerita ini
diteruskan, entah berapa lembar kertas yang harus
dihabiskan untuk itu.
Lebih jauh lagi, jika kita memahami narasi
pada zaman ini, sesungguhnya memiliki konteks
yang lebih luas dan dalam. Apa yang diungkapkan di
atas hanyalah sebuah tahapan alur yang bernama
konflik dalam pertunjukkan teater negeri ini.
Modernisasi adalah judul lain yang bisa diberikan
kepada narasi pada zaman ini. Industrialisiasi yang
ingin ditumbuhkan se-sungguhnya merupakan agen
modernisme. Ber-sama-sama dengan ilmu
pengetahuan dan teknologi, industrialisasi mau tidak
mau harus diterapkan jika memilih modernisme
92
sebagai cara pandang terhadap pembangun
nasional itu. Ini sebenarnya bersumber dari narasi
besar masyarakat Barat yang ingin menjadikan dunia
ini menjadi surga. Surga dunia adalah bentuk
masyarakat modern yang universal, rasional, dan
bebas, yang dibangun atas penggunaan ilmu
pengetahuan dan teknologi secara besar-besaran
untuk mencapai kesejahteraan umat manusia.
Ternyata pilihan terhadap modernisme tidak
sesuai dengan yang dibayangkan. Ada banyak
persoalan yang kemudian muncul dalam skala dan
wilayah yang luas. Tidak hanya negeri pengekor
paradigma modernisme ini yang mengalaminya,
bahkan di negara Barat sendiri, ternyata modernisme
mengakibatkan bencana dari pada kemaslahatan
bagi masa depan. Eksplorasi alam secara besar-
besaran mengakibatkan terganggunya keseimbang-
an alam; industrialisasi dan teknologi merusak
ekosistem. Belum lagi perubahan yang paling
fundamental dalam sosiokultural masyarakatnya.
93
Konsumerisme, materialisme, individualisme,
demoral-isasi, dehumanisasi, gegar budaya,
longgarnya hubungan sosial, dan masih panjang
daftar ketimpangan yang mesti diwaspadai. Dan
ketika itu semua terjadi, negeri ini sudah terlanjur
basah. Dan cerita narasi teater negeri ini belum
cukup samapai di sini.
Ketika dunia tersentak oleh apa yang terjadi,
modernisasi sudah seperti pesawat yang melesat
yang tak mungkin lagi dihentikan. Dengan menyebut
globalisasi untuk mengkover kemajuan bidang
informasi dan komunikasi, modernisasi sampai pada
pembongkaran skat-skat budaya dan bangsa.
Pesatnya perkembangan informasi dan komunikasi
mengakibatkan jarak antar bangsa, masyarakat, dan
budayanya dipersempit. Orang begitu cepat
mengakses semua hal yang ada di belahan bumi
dalam waktu sekerdipan mata. Begitu sebaliknya,
kita mampu mengirim segudang informasi dalam
94
hitungan detik. Hal termudah sepanjang kehidupan
manusia terjadi hari ini. Apa akibat dari semua itu?
Arus informasi ibarat banjir deras yang
mengalir dari hulu ke hilir, hingga ia meluap sampai
rumah-rumah, di daerah paling pelosok sekali pun..
Perjalanan air itu nyaris tak terbendung, walau cuma
sebutir kerikil. Ia membanjiri ruang-ruang tempat kita
berpijak. Ia memenuhi waktu senggang kita. Dalam
ngigau pun barangkali air itu telah menjadi ludah dan
liurnya.. Dan kita tak lagi hidup tanpa bersentuhan
dengan informasi yang dilolohkan oleh kemajuan
teknologi itu. Dalam narasi semacam itulah, media
massa pada akhirnya mendapatkan perannya dalam
teater negeri ini, yang sebelumnya cuma duduk
termenung menyaksikan pertunjukan teater Orde
Baru.
Arus informasi dan komunikasi yang semakin
deras itu membutuhkan media untuk mewadahinya.
Teknologi media massa mesti disesuaikan dengan
narasi yang demikian itu. Ia harus lebih canggih dan
95
representatif secara teknis untuk mewadahi informasi
dan komunikasi tersebut. Dan secara psikologi,
media massa itu juga harus mampu menyodorkan
sederet informasi yang menarik dan menekan demi
sebuah kepentingan. Apapun kepentingan itu. Bisa
ekonomi, sosial, politik, ideologi, dan sebagainya.
Tinggal siapa yang akan ikut menumpang aliran
sungai yang bernama informasi dan komunikasi itu.
Dan narasi itu mengungkapkan pertarungan
bermacam-macam kepentingan. Inilah sebuah
konflik yang ada dalam narasi pasca-Orde baru.
Pada perkembangan alur kemudian, ternyata
ada pergeseran cerita. Ada suara-suara lain yang
tidak puas terhadap cerita modernisme. Cerita itu
membawa bencana, katanya. Korbannya lebih
banyak dari pada hasilnya, ujarnya. Modernisme
dianggap kendaraan di mana negeri barat ikut
menumpang di sana. Sebuah bentuk kolonialisme
baru negeri barat terhadap negeri yang sedang
membangun. Mereka menjajah; mengekspansi
96
wilayah seperti siluman. Apalagi kalau tidak
kepentingan ekonomi dan pilitik. “Ah, seperti orang
bodoh kita,” ujar seorang teman di sebuah warung
kopi. “Kita memang bodoh,” timpal yang lain. “Kita
bukan bodoh, tetapi mereka yang lebih pinter!”
Pemilik warung pun ikut berpartisipasi dalam diskusi
itu. Memang sebagai penonton, mereka berhak
mengapresiasi. Soal benar atau salah bukan
masalah, yang penting para pelanggan warung itu
lebih jenak berdiam diri di warung. Logikanya,
semakin lama berdiam di warung, semakin banyak
barang dagangan yang terjual. Ilmu jual beli yang
sederhana, tapi manjur. Apa ilmu negeri barat itu ya
seperti ilmu pemilik warung itu? Semakin dalam dan
lama modernisme bercokol di suatu negara, semakin
laku jualan mereka. Bukankah orang-orang barat itu
memiliki aset jualan di sini? Mungkin saja.
Suara-suara lain itu muncul seperti siluman
juga. Tak perlu bertanya dari mana suara-suara itu.
Terlalu mudah untuk menerkanya. Modernisme
97
mempunyai karakter rasional. Tak heran jika
modernisme memiliki agen yang namanya ilmu
pengetahuan dan teknologi. Bukankah kedua agen
itu hasil dari karakternya yang rasional itu!? Tak
heran pula jika suara-suara yang melawan
modernisme itu berasal dari negeri di mana
modernisme itu berasal. Wah, ada skenario apa lagi
sekarang? Ada perkembangan cerita yang
bagaimana lagi sekarang? Seperti di awal
modernisme masuk ke dalam narasi negeri ini
dengan sambutan yang gegap gempita, begitu pula
dengan sambutan terhadap suara-suara lain itu.
Ramai juga perayaan terhadap datangnya suara-
suara lain itu. Kenapa?
Paling tidak ada dua alasan yang cukup
penting kenapa sambutan terhadap suara-suara lain
itu tak kalah gegap gempitanya. Pertama, suara-
suara lain itu seolah sudah tahu apa yang terjadi
pada negeri-negeri yang memberlakukan
modernisme; ketidakmerdekaan. Ketidakmerdekaan
98
memang menjadi tema yang muncul kemudian. Itu
pun sebenarnya telah dirasakan lama, tetapi aktor
utama narasi itu terlalu kuat untuk dilawan. Butuh
pendorong yang kuat untuk melawan. Dari mana lagi
kalau tidak dari asal modernisme itu sendiri. Jadi
suara-suara lain itu perlu disambut dengan gegap
gempita. Kedua, para penonton pertunjukan teater
negeri ini sudah tak tahan dengan kekuatan yang
luar biasa dari aktor utama itu. Masa selama ini
mereka hanya jadi penontong penderita saja; pasif
lagi. Tidak pernah sekali waktu diberi kesempatan
untuk mengungkapkan uneg-uneg-nya. Tak pernah
barang sejenak untuk menikmari hasil dari cerita
modernisme itu. Adanya Cuma tidak bebas, tidak
merdeka. Semua serba di atur. Semua serba
dibungkam. Dan suara-suara lain itu muncul seolah
mengetahui apa yang ada dalam perasaan para
penonton. Suara-suara lain itu memang tahu persis
apa yang harus dilakukan. Tidak terkejut kalau
99
kemudian suara-suara lain itu kehadirannya
disambut dengan pesta meriah.
Suara-suara lain itu jelas berkarakter rasional
pula, seperti modernisme dengan agen-agennya.
Yang membedakannya ia lebih siluman. Ia seperti
angin yang datang tiba-tiba dan membawa hawa
segar bagi negeri ini. Ia bisa disebut prewangan
modernisme itu sendiri. Dan karena rasional, maka
suara-suara lain itu pun harus hadir terlebih dahulu
di ruang rasional pula. Ingat hukum adaptasi dalam
bidang ekologi. Maka terjadilah suara-suara lain itu
menjadi tema diskusi, seminar, dialog, workshop,
kongres, hingga obrolan para rasionalis di tempat
yang tak perlu rasional seperti di warung kopi
misalnya. Ibarat angin yang tak mengenal rintangan,
suara-suara lain itu pun merambah ke ruang-ruang
publik. Demam suara-suara lain merebak ke segala
penjuru. Dari ruang formal, seperti karya ilmiah,
buku, artikel, perkuliahan, tugas mahasiswa,
kesenian, arsitektur, hingga ruang nor-formal,
100
seperti obrolan waktu senggang di pasar, warung,
trotoar, atau di taman dan parkir, suara-suara lain itu
bermunculan. Itulah bentuk sambutan yang luar
biasa gegap gempita itu.
Karena suara-suara lain itu pada hakekatnya
adalah prewangan modernisme, maka namanya pun
tak bisa lepas dari nama modernisme. “Jangan
berani-beraninya meninggalkan nama modernisme
itu, tak akan bisa populer kamu! Mesti kau melawan
aku, tapi kau tak akan lepas dari pengaruhku.”
Begitu kata modernisme. Maka suara-suara lain itu
menambahi sedikit kata di depan kata ‘modern-isme’.
Jadilah nama ‘Posmodernisme’. Nama itu pun
menjadi populer. Posmodernisme tahu apa yang
harus dilakukan untuk negeri-negeri yang sedang
beranjak modern itu. Di negeri lain juga sama. Tapi
untuk apa membahas pertunjukan negeri lain yang
tak pernah kita tonton. Lebih baik mengapresiasi
pertunjukan yang kita tonton setiap hari ini.
101
Ia harus menciptakan narasi lain di atas narasi
pertunjukan teater negeri ini. Sebuah narasi yang
relevan bagi alur cerita narasi sebelumnya. Dengan
begitu, narasi lain yang dibangunnya bisa
nyambung. Kamu tahu ndak, ini rahasia, narasi yang
dibangun, yang katanya narasi yang baru dan
mutakhir itu, sesungguhnya berasal dari narasi-
narasi tua yang umurnya setua modernisme, bahkan
narasi-narasi yang berangkat dari modernisme itu
sendiri. Cuma karena narasi-narasi tua itu terlambat
ikut menumpang dalam kereta modernisme, jadinya
ia Cuma teronggok di rak-rak perpustakaan atau
musium. Posmodernisme tahu itu. Lantas
membersihkannya dari debu-debu yang melekat,
memandikannya, mendandaninya, ke-mudian ia
bawa ke zaman mutakhir. Brilian juga
posmodernisme itu. Ah, kalau tidak brilian mana
mungkin bisa disambut dengan gegap gempita di
negerti ini.
102
Kalau narasi modernisme dibangun atas kata-
kata kunci, seperti rasional, sain, teknologi, universal,
kebebasan, dan seterusnya, maka posmodernisme
pun narasinya dibangun atas kata-kata kunci yang
diciptakannya. Tapi, karena saking briliannya, kata-
kata kunci yang membangun narasi posmodernisme
berasal dari isi pikiran dan perasaan negeri-negeri
sasarannya itu. Itu cara yang paling efektif dan
penuh kekeluargaan agar mudah diterima
pemilikinya. Maka muncullah kata-kata, gender,
lokal, bongkar, keanekaragaman, marginal,
majemuk, rakyat kecil, tradisonal, bebas-kreasi,
populer, bawah, pinggir, yang semuanya itu menjadi
buah bibir di negeri-negeri yang sedang beranjak
modern itu. Kamu tahu ndak, kalau kata-kata itu,
padanannya dalam bahasa negeri barat bukan kata-
kata produktif. Mereka bahkan asing dengan
pengertian yang diwadahinya. Dengan mengambil
kata-kata kunci dari negeri-negeri sasaran
bercokolnya posmodernisme itu, maka kata-kata itu
103
begitu mudah diterjemahkan, dijabarkan, dan
diwacanakan. Memang, di samping tidak asing, kata-
kata itu sudah menjadi idaman. Jadi mudah saja
untu dikembangkan setinggi langit; setinggi
posmodernisme ikut di dalamnya. Skenario apa lagi
yang muncul di dalam narasi pertunjukan negeri ini?
Sekarang ini kita susah untuk meramal ujungnya.
Alasannya, para pe-makainya baru senang-
senangnya bergaya posmodernisme. Mereka masih
belum berpikir ke mana sebenarnya arah yang
sengaja diciptakan oleh narasi di atas narasi
pertunjukan negeri ini. Waspadalah! Bukankah di
awal modernisme juga seperti itu. Bagaimana
ujungnya? Kamu tahun kan!?
Posmodernisme memang sangat tepat ketika
muncul dalam narasi pertunjukan teater negerti ini.
Ketika penontonnya sudah tak tahan dengan
kedidayaan aktor utama yang bernama kekuasaan
dan pengusaha, maka saat itulah posmodernisme
muncul. Ia memang akhirnya menjadi pendorong
104
untuk melawan. Di ujung alur narasi itu, penonton
mendapatkan perannya di dalam narasi. Tapi bukan
semua penonton cukup nyalinya untuk ikut serta.
Atau mungkin sudah terlanjur apatis terhadap cerita.
Atau juga penonton yang tidak ikut serta karena
menyadri kapasitas dan kemampu-annya. Maka
hanya penonton-penonton yang memiliki kapasitas
yang secara langsung terdorong melawan. Mereka
adalah para penonton yang secara langsung
merasakan perlakuan aktor utama, mahasiswa dan
kaum intelektual yang memang memiliki inspirasi dari
sejarah negeri ini, para ‘pengkianat’ yang dulunya
setia sebagai penyokong aktor utama, dan sebagian
lagi penonton yang tahu persis bagaimana
memanfaatkan kesempatan dalam kesempitan.
Merekalah yang kemudian menjadi pengembang
cerita pertunjukan negeri ini. Suspen cerita
pertunjukan teater negeri ini adalah apa yang disebut
dengan reformasi.
105
Mau tidak mau, akhirnya, gairah dan
semangat keterbukaan dan kebebasan menjadi tema
utama yang muncul kemudian dalam narasi ini.
Apakah suara-suara lain yang bernama
posmodernisme itu sanggup membuahkan hasil bagi
negeri ini? Ternyata tidak juga. Atau mungkin belum
waktunya untuk melihat hasilnya. Yang jelas, ia
merupakan pendorong utama bagi sebuah era yang
disebut reformasi. Itulah hasilnya sementara ini.
Sebuah revolusi! Para penganut Marxisme ortodok
seharusnya belajar dari pos-modernisme untuk
mewujudkan cita-citanya itu; sebuah revolusi. Pada
akhirnya, cerita pertunjukan teater negeri ini semakin
ramai dan lucu. Tapi kelucuannya justru muncul dari
ketidaklucuannya. Aneh. Absurd. Pertunjukan teater
ini memang sudah lama penuh dengan kelucuan
yang tidak lucu. Tapi yang penting, ada pergeseran
yang lumayan dalam alurnya. Kalau dulu aktor utama
yang bernama kekuasaan sangat digdaya dan
benar-benar berperan sebagai penguasa yang
106
berkuasa, sekarang aktor utama itu nyaris menjadi
bulan-bulanan aktor lain. Semua improvisasinya
mengundang geleng-geleng kepala bagi penonton.
Kalau dulu penonton cuma bisa melakukan: takut
dan nurut, sekarang mereka bebas melakukan reaksi
apa saja, termasuk kerusuhan, perkelahian, dan
sejenisnya.
Monolitik kekuasaan sudah tidak memiliki
tempatnya dalam narasi ini kemudian. Kekuasaan
mulai disikapi secara dekonstruktif. Wah ikut-ikutan
posmodern, nih! Dan aktor utama dalam pertunjukan
teater negeri ini telah beralih dari pengusaha-
penguasa, ke arah media massa-pengusaha. Alur
cerita semakin tajam, setajam represi Suharto
terhadap para musuh-musuhnya. Kalau Soeharto
telah menjajah kebebasan dan kemerdekaan berfikir
dan berproduksi secara kreatif, maka pada zaman
narasi akhir ini, media massa telah menjajah di ruang
kultural masyarakat. Ruang publik dan ruang privasi
hampir tidak terbedakan ketika media massa
107
menyentuhnya. Sebuah kekuasaan baru. Kamu
tahu, itu adalah hasil dari modernisme.Aktor ini lihai
dalam improvisasi. Tapi, sebenarnya ke-lihaiannya
itu merupakan kecerdasan aktor pengusaha yang
berada di balik aktor ini. Salah satu improvisasi yang
luar biasa adalah, kekuasaan pun tunduk pada aktor
media masa itu. Sekaligus terjebak pada strategi
aktor pengusaha. Jadi sebenarnya hanya ada satu
aktor utama dalam narasi, yaitu pengusaha.
Kalau dipandang dari konvensi penciptaan
narasi pertunjukan, narasi di masa ini sudah tidak
dapat dijelaskan dengan kaidah-kaidah teori narasi
yang selama ini dianut. Atau mungkin, teori-teori
yang kemarin diagung-agungkan keakuratannya,
sekarang sudah tak relevan lagi. Elemen-elemen
baru telah muncul dan ditawarkan dalam narasi
teater negeri ini. Para ilmuwan dan akademisi mulai
tersentak kalau pemahaman dan penguasaan teori-
teori yang selama ini dipelajari tak mampu lagi
menjelaskan fenomena yang berkembang di dalam
108
pertunjukan. Biang keladinya adalah apa yang
disebut dengan Budaya Pop. Jenis ini dulunya tak
diakui dan pantang menjadi obyek kajian para
ilmuwan dan akademisi. Mereka selama ini hanya
mengakui yang kanon, monumental, herois, dan adi
luhung. Lagi-lagi inilah hasil dari dorongan
posmodernisme untuk mengakui budaya pop. Dan
mulai kelihatan rahasianya, bahwa posmodernisme
ternyata menyokong dan mengukuhkan modern-
isme juga. Budaya pop memperoleh tempatnya
untuk diakui dan dikaji, dengan begitu semakin
dikonsumsi. Masyarakat digerakkan untuk meng-
apresiasi, yang ujungnya masyarakat pula yang
harus menempatkan budaya pop sebagai bagian
hidup yang tak terpisahkan.
Memang budaya pop menjadi tema di atas
tema-tema central narasi yang sekarang ini
mendasari gerak pertunjukan teater negeri ini. Tak
ada dalam teori bahasa atau teori seni yang
mengungkapkan tema di atas tema itu. Yang ada
109
tema dan sub-tema yang berada di bawahnya.
Budaya pop adalah tema yang begitu saja muncul
dan menempati posisi yang tinggi, hingga tema
central sebelumnya menjadi ter-subordinasi. Ilmu-
wan dan akademisi pun harus membongkar imajinasi
dan intuisinya, --selama ini harus disisihkan jikalau
tidak mau dikatakan tidak ilmiah—untuk
menerangkan fenomena budaya pop ini.
Seorang teman yang sudah terlanjur belajar
secara serius teori dan metodologi dalam sejarah
pemikiran modern dunia, pada akhirnya nglokro.
Ternyata dia harus kembali pada imajinasi dan
intuisinya yang tak berteori dan bermetodologi ketika
harus menjelaskan tentang tema budaya pop ini. Ia
harus membuka mata, telinga, dan hatinya lebar-
lebar untuk menangkap ke mana arah alur narasi
yang berkembang dalam lakon pertunjukan teater
negeri ini. Tidak heran kalau kemudian, dia lebih
banyak nongkrong di warung kopi, supermarket,
KFC, jalan raya, kerumunan pelajar, TV, toko buku
110
(tapi bukan untuk beli), rental CD/DVD, warnet, dan
café, untuk melihat fenomena budaya pop
membanjiri benak-benak kesadaran masyarakat.
Sekali-kali dia membaca koran, bahkan beberapa
koran dan majalah sekaligus, untuk menangkap
ramainya orang tenggelam dalam hiruk pikuk zaman
ini.
Kalau kemudian, teman saya ini mengurai
semua itu untuk menemukan benang merahnya,
maka imajinasi dan intuisinya merasakan, betapa
mereka, termasuk dia tentunya, telah terjajah
kemerdekaannya oleh budaya pop itu. Tidak
berlebihan saya pikir jika ia menemukan ke-
cenderungan itu. Dalam petualangannya di atas, ia
mencatat sederet fakta yang mengusik hatinya. Ia
mulai menangkap ke arah mana alur narasi
pertunjukan teater negeri ini. Ada perasaan ngeri
dan khawatir tentang peradaban yang kelak akan
menjadi setting kehidupan anak cucunya. Dia tak
bisa mengatakan secara lebih kokrit. Semuanya
111
serba gelap. Semuanya serba menakutkan. Tapi
semua itu tak bisa dielakkan oleh generasi masa
depan. Itu semua warisan; sebuah alur cerita yang
senantiasa berkait dengan kekinian dan masa
sebelumnya. Lantas apa yang bisa aku lakukan?
Bayangan teman saya itu mengharu biru hatinya.
Kalau kita tempatkan dalam konteks
pertunjukan teater negeri ini, teman saya ini bolehlah
disebut seorang pengamat atau kritikus teater.
Dialah salah satu orang yang memiliki kepekaan dan
kemampuan untuk menangkap makna terdalam dari
narasi pertunjukan itu. Sebagai seorang kritikus, dia
mesti mengamati, bukan sekedar menonton. Lantas,
dia tergelitik untuk memikirkan maknanya,
mengurainya dalam bahasa yang mudah dipahami,
dan mengkritisi bagaimana seharunya sebuah narasi
teater itu bergerak. Dia telah menangkap maknanya
dari pertunjukan negeri ini yang ditontonnya. Sebuah
narasi besar yang bergerak tanpa terkendali. Sebuah
narasi yang kemudian dipandang oleh aktor-aktor
112
utamanya, pengusaha dan media, sebagai sebuah
kesempatan emas bagi kehidupan mereka.
Sementara aktor-aktor figurannya cuma bisa terlena
oleh pengaruh yang begitu luar biasa dalam
kehidupannya.
Apa yang ditonton dan dimaknai oleh teman
saya yang kritikus itu, menjadi sebuah perenungan
dan pemikirannya. Pada sebuah titik kritisinya,
muncullah satu penilaian: “Bagaimana seharusnya
narasi pertunjukan teater itu bergerak?” Mendiamkan
alur cerita narasi semacam itu, pikirnya, ending-nya
akan menjadi sebuah tragedi yang menyedihkan.
Narasi itu harus dibelokkan jalannya. Narasi itu mesti
berjalan atas cerita yang baru. Tak boleh
menggantung ke arah mana suasana dan semangat
para aktor-aktor utama membawanya. Semuanya
harus berubah. Khusus-nya, aktor utamanya mesti
memperoleh karakter-isasi yang baru. Kedudukan
aktor Penguasa yang sekarang terlalu lemah, mesti
113
dikembalikan kekuatannya dengan wajah dan
karakter yang baru.
Yang dipelukan adalah suatu kebijaksanaan
dan kebijakan dalam merubah narasi pertunjukan
teater negeri ini. Dasar di mana negeri ini sebagai
ruang dan waktu pertunjukan dan narasinya
berlangsung, telah lama dibangun. Di sana jelas-
jelas telah dirumuskan cita-cita dan tujuan yang
hendak diraih. Pilar dan simpul yang membangun
narasi telah kokoh. Semua potensi alamiah dan
kultural, cukup tersedia untuk menopang
keberlangsungan pertunjukan tersebut. Semua itu
adalah modal untuk mengarahkan narasi
pertunjukan teater negeri ini ke arah terciptanya
peradaban yang humanis, agamis, dan menjunjung
tinggi azas kehidupan dalam keadilan, kesejatera-an,
dan kenyamanan. Teman saya itu pun tak menyadari
bahwa pola pikirnya itu kemudian mengarah pada
suara-suara posmodern pula. Seuah tanda-tanda
pencengkeraman postmodern-isme terjadi.
114
Penjajahan atas pola pikir. Dan ujungnya, semakin
mengukuhkan modernisme itu sendiri.
Teman saya itu pura-pura tidak
menyadarinya. Sebenarnya ia tahu persis. Dialah
sebenarnya salah satu penyokong utama, pe-
nyambut paling gegap gempita atas kehadiran
posmodernisme. Ia malu mengakuinya. Ia hanya
berkata, “Kok terlalu bombastis, ya? Apa tidak
sebaiknya yang konkrit saja untuk sebuah gerak alur
narasi ke depan? Alur narasi yang mampu
menciptakan pencerahan peradaban dan ke-
budayaan ke depan. Seharusnya kita sudah dapat
memahami ke arah mana perjalanan narasi
pertunjukan ke depan. Indikator-indikator kultural
modern menunjukkan kecenderungan pergerakan
itu. Tinggal kita menggarisnya ke dalam alur
pemikiran yang lebih jelas untuk penyusunan sebuah
policy kebudayaan sesuai yang kita cita-citakan.
Sang kritikus teman saya itu mulai menunjukkan
keseriusannya. “Ini harus serius memperbincang-
115
kannya. Ada gerak alur narasi yang
mengkhawatirkan. Sementara aktor-aktornya belum
menyadari bahwa improvisasi yang telah mereka
buat, ke arah yang salah. Ujung gerakan alur narasi
itu mengarah pada sebuah tragedi.” Apa kita butuh
post-posmodernisme?
Kita sesungguhnya mempunyai dasar dan
tujuan nasional yang ingin kita raih melalui
pembangunan ke depan. Namun demikian, kita juga
harus mengakui bahwa paradigma yang kita pilih
selama ini dan perkembangan dunia Barat tempat
paradigma itu berasal, justru menunjukkan kecen-
derungan yang membahaya-kan peradaban
masyarakat. Di samping itu, budaya yang muncul
akibat pilihan itu malah menjajah ruang kesadaran
dan bentuk kehidupan manusia. Dalam realitas
seperti ini, sebuah kekeliruan terbesar jika kita tidak
mengadakan perubahan yang mendasar dalam
mengatur negeri ini. Secara kultural, saat inilah
waktunya kita memikirkan dan merumuskan sebuah
116
bentuk pencerahan yang kita tuangkan dalam policy
kebudayaan nasional.
Kekuatan aktor Penguasa dalam per-
tunjukkan harus mengimbangi aktor-aktor yang lain.
Pengusaha dan mass media merupakan aktor yang
begitu kuat dan efektif dalam membangun dan
mengendalikan alur cerita narasi sekarang ini.
Jangan terjebak pada permainan kedua aktor
tersebut. Apa yang telah ditunjukkan oleh aktor
Penguasa itu sangatlah kontra-produktif. Per-
tengkaran dan adu kekuatan, tipisnya iman ketika
melihat tumpukan uang, sarat kepentingan demi
kekuasaan, dan seterusnya, justru melemahkan
peran yang seharusnya dimainkan dalam mem-
bangun narasi yang lebih baik. Sadarlah, ada
persoalan yang lebih penting dari semua itu, yaitu
memperkuat posisinya dalam pertunjukan untuk
mengimbangi aktor pengusaha dan mass media
dalam membangun narasi yang kelak diwariskan ke
generasi selanjutnya.
117
Janganlah membiarkan narasi pertunjukan
negeri ini dikuasai oleh para aktor pengusaha
dengan alat-alat produksinya. Merekalah agen
kebudayaan modern yang belum banyak disadari
kekuatannya. Cara pandang terhadap aktor ini, yang
semata-mata dipandang sebagai pelaku ekonomi,
mesti harus diubah. Mereka bukan hanya pencipta
lapangan pekerjaan, penumbuh ekonomi, dan yang
terlibat pada persoalan-persoalan ekonomi saja. Ada
yang lebih bermakna peranannya dalam peradaban
ini. Merekalah yang telah membentuk kesadaran dan
tindakan masyarakat melalui produk-produk dan
mesin pengumpul uangnya. Merekalah yang telah
men-dewasakan dirinya untuk peka dan lihai melihat
kesempatan yang menguntungkan. Terciptanya
Budaya instan merupakan sasaran ekonomi yang
menjanjikan tanpa melihat ekses yang ditimbul-
kannya. Dalam budaya instan, kehidupan memang
serba cepat, mudah, dan efektif. Tapi eksesnya juga
mesti diantisipasi. Munculya berbagai penyakit,
118
perusakan lingkungan, sifat konsumtif dan
materialistik, dan seterusnya, adalah persoalan yang
membayangi kehidupan ini.
Sampai di ujung ini, inilah alur perjalanan
budaya dan peradaban negeri Indonesia. Mirip
pertunjukan teater, pergerakan kebudayaan dan
peradaban berdasarkan sebuah narasi yang sengaja
dibangun oleh penguasa, pengusaha, dan media
massa. Lantas, kapan rakyat menjadi actor yang
turut membangun narasi juga!?.
119
PEMANFAATAN SENI SANDHUR
DALAM TEATER MODERN
Ruang pertunjukan tampak gelap; membawa
suasana mitis dan imajinatif. Beberapa saat,
gamelan mulai bertalu, mengabarkan seni
pertunjukan segera dimulai. Obor dinyalakan di
sudut-sudut ruang. Berdatangan orang-orang
memasuki ruang yang gelap itu. Tak ada yang
mengatur, mereka melingkar di semua sisi ruang
arena pertunjukan. Melingkar. Dengan gerak ritmis
beberapa pemain memasuki arena permainan.
Ditimpa musik kendang dan acapela, para penari itu
semakin semangat. Gerak-gerak mereka semakin
cepat. Penonton pun semakin bergairah;
memandang tak berkedib, menatap tak berpaling.
120
Mereka terhanyut dalam irama dan suasana
pertunjukan.
Itulah opening pertunjukan teater yang
mengangkat naskah Orang-Orang Bawah Tanah,
yang dimainkan oleh Teater Institut UNIROW Tuban.
Pertunjukan teater yang disutradari M. Taufik itu,
terlihat tidak asing bagi penonton Tuban,
Bojonegoro, atau Lamongan. Performansi Seni
Sandhur terlihat dalam pertunjukan itu. Namun
demikian, M. Taufik sebagai sutradaranya, bukan
ingin menampilkan seni tradisi yang saat ini mulai
punah itu. Ia dan crew-nya berproses kreatif dalam
bentuk teater modern. Sebuah konsep pertunjukan
teater modern yang dicoba untuk ditawarkan dalam
bentuk hibriditas. Dalam konsep pertunjukan
semacam itu, jelas memiliki idealisme dan pemikiran
yang berangkat dari nilai-nilai tradisi masyarakat.
Seberapa jauh seni Sandhur mampu
memberikan kontribusinya ke dalam seni teater
modern tersebut? Pemikiran apa yang me-
121
latarbelakangi konsep pertunjukan semacam itu?
Dua hal itulah yang mengemuka untuk di-diskusikan
ketika komunitas teater kampus di atas, menawarkan
konsep hybrid. Sebuah konsep yang diambil dari
teori Poskolonial yang saat ini merebak dalam kajian
budaya di Indonesia. Dalam konteks kritik
poskolonial, sebagaimana yang diungkapkan
Manneke Budiman dalam kata pengantar buku
Sastra Indonesia Modern, Kritik Poskolonial (2008),
konsep pertunjukan tersebut perlu diposisikan
sebagai bagian dari praksis, yang tak hanya
berdimensi tekstual tapi juga sosial, serta bercita-cita
melakukan transformasi melalui diseminasi wawasan
atau kesadaran kritis. Sebagai praksis produk
budaya, hal tersebut terfokus pada cara pandang
dalam memahami identitas dengan jalan melakukan
interaksi antara bentuk-bentuk budaya berbeda
dalam kerangka pembentukan budaya dan identitas-
identitas baru.
122
Dalam konteks pemikiran poskolonial di atas,
pertunjukan berjudul Orang-Orang Bawah Tanah di
atas membawa dimensi pemikiran untuk
diperbincangkan ketika melihat realitas seni tradisi
Sandhur mulai punah di tengah-tengah budaya
modern. Konkritnya adalah, seni tradisi Sandhur mau
tak mau berjalan ke arah kepunahannya. Namun
demikian, sungguh disayangkan apabila jejak-
jejaknya tidak dijumpai dalam pertunjukan teater
modern. Pelestarian seni Sandhur sebagai seni
tradisi lebih bersifat dokumentatif teks. Tetapi dalam
tataran praksis produk budaya modern, perlu
dicermati kebermanfaatannya untuk memperkaya
nilai-nilai modern yang meng-indonesia. Sebuah
tawaran kelokalan yang mesti dilakukan menghadapi
gempuran budaya global yang saat ini luar biasa
pengaruhnya.
***
Sebagai seni pertunjukan tradisi, seni
Sandhur mengandung nilai-nilai tradisional yang
123
bersifat mitis dan kosmis. Kedua sifat tersebut
merupakan ciri yang menonjol, sebagaimana ada
dalam seni tradisi yang lainnya. Ciri tersebut
merupakan perwujudan dari paradigma masyarakat
dahulu terhadap hakikat kehidupannya. Dunia
manusia adalah micro cosmos sebagai bagian dari
macro cosmos yang melingkupinya. Pandangan ini
tidak saja menempatkan manusia sebagai subyek
yang berdiri sendiri dengan rasionalnya, tetapi juga
merefleksikan nilai-nilai religius. Dunia manusia
hanyalah sebutir pasir di tengah-tengah luas tak
terbatasnya dunia abadi yang bersifat transendental.
Manusia dengan keterbatasannya harus tunduk
pada hukum Tuhan, karena ke sanalah manusia
mesti menuju. Hukum dunia manusia adalah hukum
alam yang micro (kecil) dan fana. Hukum Tuhan
adalah macro (besar) dan abadi. Oleh karena itu,
dunia micro harus menyelaraskan dirinya dengan
yang macro.
124
Hal itulah menjadi jiwa pertunjukan seni
Sandhur sebagai tradisi masyarakat di Tuban,
Bojonegoro, dan Lamongan pada masa silam. Pada
sisi ini jelas memiliki perbedaan dengan seni modern
yang cenderung sekuler, terbuka, dan universal.
Perbedaan ini dilatarbelakangi oleh paradigma yang
berbeda pula. Teater modern memiliki akar sejarah
pemikiran kebudayaan modern yang berasal dari
Barat. Kebudayaan Indonesia telah mengalami
gempuran dari kebudayaan Barat yang cenderung
bebas, rasional, dan universal. Gempuran yang tak
terelakan itu membawa pengaruh terhadap
perkembangannya.
Masuknya konsep-konsep pertunjukan Barat
merebak ke ranah produk seni teater modern
Indonesia. Jiwa teater modern Indonesia mau tidak
mau berkembang selaras dengan semangat
kebudayaan modern tersebut. Pengaruh yang
sangat dirasakan atas realitas modern tersebut
adalah, semakin longgarnya jarak antara tradisi dan
125
modern. Perbedaan keduanya semakin jauh.
Problema itulah yang kemudian menjadi isu
pentingnya mendekatkan jarak tersebut. Dalam
konteks pembicaraan budaya multikultural, ke-
tegangan antara tradisi dan modern mengarah pada
pembauran keduanya dengan tetap mempertahan-
kan identitas keindonesiaan.
Kebudayaan modern boleh bergerak pesat.
Teater modern Indonesia sebagai bagiannya pun,
juga mesti bergerak. Tetapi persoalannya adalah,
bagaimana dinamika teater modern tersebut
diarahkan untuk mentranformasikan tradisi dan
modern tersebut secara dialektis. Dalam konteks
teori poskolonial, transformasi budaya tersebut
diarahkan pada diseminasi dalam bentuk hibriditas
yang beridentitas keindonesiaan. Pada tataran yang
ideologis dan filosofis, hibriditas teater modern
tersebut tidak hanya berkutat pada persoalan teknis
dan dramaturgi, tetapi juga kedalaman jiwa
pertunjukan yang lebih bersifat profetik. Konsep jiwa
126
seni Sandhur sebagai tradisi yang mengarah pada
religius tanpa mengurangi batas-batas yang profan,
tampaknya dapat menjadi konsep pertunjukan teater
modern. Tanda-tanda dan simbol dalam bahasa
panggung, yang menge-jawantahkan jiwa pertunjuk-
an dalam seni tradisi Sandhur, kiranya dapat dipilih
untuk mewakilinya.
Teater tidak telepas dari aspek tanda dan
simbol kehidupan manusia. Artinya, kehidupan
manusia yang merupakan bahan penciptaan akan
diwakili oleh tanda dan simbol-simbol tersebut ke
dalam pertunjukan. Tanda dan simbol kehidupan
manusia menjadi bahasa panggung untuk di-
komunikasikan ke pada penontonnya. Penulis
naskah dan pekerja teater menyadari betul bahwa
bahasa panggung menjadi sarana yang mesti dipilih,
dimunculkan, dan dikreasikan, untuk membangun
pertunjukan. Pada gilirannya, akan merefleksikan
makna dan pesan yang ingin disampaikan kepada
penonton. Dalam konteks tanda dan simbol
127
kehidupan manusia tersebut, di manakah kontribusi
seni tradisi Sandhur diimplementasikan?
Seni Sandhur sebagai seni pertunjukan juga
memiliki tanda dan simbol yang khas untuk
memaknakan kehidupan manusia. Bentuk pang-
gung, alur, penokohan, cerita, dan tata artistik
lainnya, mengandung makna tentang kehidupan
manusia dalam cara pandang yang mitis dan kosmis.
Konsep mitis dan kosmis sebagai jiwanya, dapat
diterjemahkan sebagai ciri religius dan profetik.
Sarana pertunjukan tersebut membangun kualitas
pertunjukan yang bermakna.
Jika mengambil kasus yang ditawarkan oleh
Teater Institut Unirow ketika menggarap naskah
modern Orang-Orang Bawa Tanah, dalam konsep
pemanfaatan seni Sandhur dalam proses peng-
garapannya, nampaknya bisa menjadi sebuah
pilihan. Tanda-tanda dan simbol dalam seni Sandhur
sengaja ditransformasikan untuk mengungkapkan
makna dan pesan yang akan disampaikan kepada
128
penonton. Proses pentrans-formasian tersebut
bukan sekedar untuk ditempelkan begitu saja, tetapi
menjadi sarana dan bahasa panggung yang
merefleksikan makna dan pesan tersebut. Pe-
mahaman terhadap upaya ini mesti ditempatkan
pada sudut pandang yang religius dan profetik,
sebagaimana jiwa seni Sandhur yang mitis dan
kosmis. Dengan begitu, tanda dan simbol yang
ditransformasikan tersebut memperoleh makna yang
baru dalam mewadahi tema modern yang
diungkapkan dalam naskah.
Seberapa jauh pencapaiannya, tergantung
pada proses pemaknaan dalam konteks ko-munikasi.
Berelson dan Teiner mengemukakan bahwa
komunikasi adalah suatu proses penyampaian
informasi, gagasan, emosi, keahlian, dan lain-lain
melalui penggunaan simbol-simbol seperti kata-kata,
gambar, angka-angka dan lain-lain (dalam Indra
Suherjanto dalam makalahnya berjudul Komunikasi
Dalam Seni Pertunjukan Teater,2008). Sebagai
129
tindak komunikasi, keber-hasilan konsep pertunjukan
di atas ditentukan oleh sejauh mana proses
pemaknaannya berlangsung dalam diri komunikan,
dalam hal ini adalah penonton. Perlu ancangan
untuk mendekati dan memahami proses pemaknaan
tersebut dalam diri penonton. Alih-alih untuk
memahami proses pemaknaan penonton,
pemahaman atas horizon penerimaan akan
diperoleh dalam rangka umpan balik atas tawaran
konsep pertunjukan.
***
Inilah sekelumit pemikiran awal tentang
pemafaatan seni tradisi Sandhur ke dalam
pertunjukan teater modern. Seni Sandhur me-
rupakan warisan kultural masyarakat di daerah
Tuban, Bojonegoro, dan Lamongan. Dalam bentur-
an budaya modern saat ini, seni tradisi tersebut
sangat sulit mempertahankan eksistensinya. Di
samping kurangnya kaderisasi para pelaku seni
Sandhur, generasi muda sebagai penerus warisan
130
kultural masyarakat pun enggan meliriknya. Upaya
pelestariannya pun lebih bersifat dokumentatif teks
yang mentranskripsikan pertunjukan seni Sandhur
itu. Namun demikian, dalam rangka produk budaya
modern tentunya jejak-jejaknya seharusnya tam-pak.
Dengan demikian, modernisasi budaya Indonesia
tetap berpijak pada identitas ke-indonesiaan.
131
BERHARAP MENANG DAN BERHARAP DARI KEMENANGAN
Prolog
Kalau boleh penulis sebut, tahun 2009 adalah
tahun Hajatan Massal. Di tahun inilah pesta
demokrasi susul menyusul, khususnya di Jawa
Timur. Dari pilihan gubernur yang berdurasi panjang,
lantaran dua putaran, belum lagi di beberapa daerah
mesti mengulang, hingga pilihan legislatif dan pilihan
presiden. Hajatan massal itu tentunya menguras
waktu, pikiran, tenaga, dan anggaran tak sedikit. Dan
itu semua telah usai. Begitu cepat waktu telah
bergeser, merapat ke tahun 2010.
Hasil hajatan massal itu adalah kekuasaan.
Tapi jangan dilupakan, bukan itu buah yang mesti
132
dinikmati dari hajatan itu. Kekuasaan dan jabatan
hanyalah instrumen yang dipilih rakyat untuk
menjadikan harapan, cita-cita, dan keinginan mereka
menjadi kenyataan. Mereka yang dipilih telah menuai
harapan dan keinginan, tetapi yang memilih masih
menanti hasil dari pilihannya itu. Maka, tak ada
salahnya jika kita barang sejenak memutar kembali
sambil merenungkan apa makna dari semua itu,
Berharap Menang dan Berharap dari Kemengan
Berharap menang dan berharap dari
kemengan, adalah dua hal yang berbeda. Masuk
akal jika orang berharap menang dalam sebuah
pertaruhan. Apalagi jika pertaruhan itu membutuhkan
pengorbanan. Apalagi jika konsekuensi dari
kekalahan akan begitu dalam. Harapan menang
akhirnya semakin tinggi pula. Berharap menang
merupakan suatu cita-cita setelah orang terjun di
dalam suatu pertaruhan. Segala upaya dilakukan.
Teknik, strategi, rayuan, dan “tipuan“ dilakukan agar
133
harapan tidak tinggal harapan. Beaya tidak sedikit
dikucurkan; boleh jadi hutang pun dilakukan untuk
itu. Tak salah jika seseorang begitu berharap untuk
menang. Lumrah, kalau orang Jawa mengatakan.
Yang tidak lumrah adalah berharap dari
kemenangan. Hukum pertaruhan memang me-
ngatakan: “Siapa yang menang, membawa
keberuntungan”. Siapa yang menang, tentu mem-
bawa hasil kemengangannya. Lantas, dengan
sendirinya akan menikmati jerih payahnya. Dalam
hukum seperti ini, hasil kemengan merupakan
penghargaan yang otomatis akan datang. Tidak
usah berharap, toch sudah ada hukum pertaruhan
yang mengaturnya. Lain persoalannya, jika harapan
tak pernah berhenti karena merasa orang itu
menang. Lain masalahnya, jika harapan itu terus
muncul karena kemengan itu membutuhkan modal
yang besar. Dan, lain perhitungannya, jika modal
yang besar itu harus mengakibatkan keuntungan
material yang besar pula. Sepertinya, kemenangan
134
itu menjadi legitimasi untuk berharap terus
mendapatkan dan menikmati kemengannya tanpa
berfikir ada pertaruhan lain yang menjadi
konsekuensi kemengan itu, yaitu pertaruhan dengan
kemenangannya itu.
Ilustrasi di atas melintas di benak setelah
pertaruhan, yang disebut Pileg, usai dihelat. Hajatan
Masal, yang bernama pemilu, meninggalkan bayak
persoalan yang mesti direnungkan. Usai sudah hiruk
pikuk sang kandidat merayu rakyat dengan janji dan
senyum yang dipaksakan; meski sebagian di antara
mereka tak terbiasa untuk senyum. Janji yang
mereka rajut menjadi keyword dan terminologi di
dalam khazanah per-kampanye-an. Barang siapa
yang bisa mengobral janji, dialah yang bisa
mengeruk keuntungan. Bukan masalah, itu janji
palsu, janji-janjian, atau janji tetek bengek, yang
penting janji. Senyum yang mereka ukir, mencipta-
kan cermin personality yang ramah, semanak, akrab,
dan bersahabat. Bukankah dengan senyum
135
membuat orang lain menjadi senang. Maka,
senyumlah. Bukan masalah, apakah itu senyum
kepalsuan, senyum membawa maut, atau senyum
penuh pamrih. Yang penting, senyum. Dan harapan
untuk menang pantas dilakukan.
Kini, itu semua sudah usai. Kembali kepada
asal-muasalnya. Janji dan senyum hanyalah aspek
entertaint, agar menarik. Hajatan Masal sudah
selesai. Selesai pula sang Entertainer memasang
taktik dan strategi. Semuanya sudah harus
dilupakan. Itu semuanya hanyalah bedak dan gincu.
Pagi dipakai, malam dihapus. Bagai seorang penari
topeng, ketika usai, topeng pun harus dilepas. Dan
jadilah manusia biasa. Jadilah manusia yang
sesungguhnya. Jangan mengobral janji lagi.
Semakin banyak janji, semakin sulit ditepati. Jangan
mengobral senyum lagi. Semakin banyak senyum,
orang menyangka itu gila. Apalagi yang tidak pernah
bisa senyum, bisa-bisa malah menakutkan.
136
Kini tinggal berhitung. Yang menang,
menghitung laba yang akan diterima kelak jika sudah
duduk menjadi anggota dewan yang terhormat.
Waktu lima tahun bukan waktu yang pendek. Lima
tahun, waktu yang cukup untuk menikmati ke-
menangannya. Bukankah kesejahteraan seorang
anggota dewan semakin melangit. Bukan masalah
untuk mengambil laba dari apa yang pernah
dikeluarkan untuk menuju ke sana. Bukankah dunia
politik berbiaya mahal. Karena kemahalannya itulah,
seolah seorang politikus mendapatkan legitimasi
untuk menentukan gajinya sendiri. Dibuat sendiri,
disetujui sendiri, dan dinikmati sendiri. Dan itulah
salah satu wilayah perpolitikan di negeri ini.
Tentunya, yang kalah telah mengorbankan
semuanya untuk berharap kemenangan. Yang kalah,
menghitung rugi yang mesti dipikul semua keluarga,
tetangga, atau teman-teman tempat berhutang.
Bahkan, malam ketika media TV ramai berhitung
cepat perolehan suara, lima orang harus sudah di
137
bawa ke Rumah Sakit (Jiwa); begitu kata sang juru
berita. Benar proyeksi RSJ, mereka telah siaga satu
setelah berhitung, begitu banyaknya caleg yang
kalah. Dan barangkali mereka membutuhkan
konseling.
Politik Jual Beli ataukah Politik Para Ledheg?
Yang menang, janganlah berbangga diri.
Rakyat sudah begitu tulus memilih. Rakyat sudah
mengikuti alur yang telah dibuat oleh peserta pileg.
Dan rakyat kini menanti amanat yang dititipkan pada
yang menang. Janganlah berpolitik ala jual-beli.
Caleg menjual, rakyat membeli. Barang dagangan
habis, usai sudah. Dan yang menang tinggal
menghitung laba jualannya. Dan rakyat yang harus
menanggung, apakah barang yang dibelinya benar-
benar asli atau sebaliknya, palsu. Janganlah
berpolitik ala ledheg. Modal bedak dan gincu. Meliak-
liuk mengikuti irama yang telah dikuasai. Semakin
seru liak-liuknya, semakin banyak perolehan yang
138
didapatkan. Ketika usai, tinggalah kenikmatan semu
yang ditebarkan di benak para penonton.
Merasa menang bukan lantas selalu berharap
dari kemengannya itu. Kalau ini terjadi, persoalannya
menjadi politik jual-beli dan politik para ledheg. TPS
ibarat sebuah pasar tempat orang menjual dan
membeli. Para caleg telah menjual janji dan
pesonanya, rakyat telah membelinya pada saat
pemilihan berlangsung. Apakah janji yang dibeli
rakyat adalah barang palsu? Apakah pesona yang
dibeli adalah rayuan seorang pedagang? Rakyatlah
yang menikmati dan menanggung baik-buruknya;
palsu atau asli yang telah mereka beli. Sementara
penjualnya, dengan senang hati menghitung laba
yang terus mengalir tanpa bertanya dalam dirinya,
“palsukah yang aku jual, aslikah yang aku tawarkan”.
Dalam hukum jual beli, ada penjual yang jujur dan
tanggung jawab; ada pula penjual yang hanya
memikirkan keuntungan semata.
139
Dalam politik para ledheg, TPS merupakan
pertunjukan tari ledheg. Di sore hari, para ledheg
berbedag dan bergincu. Kecantikannya merupakan
pesona yang mesti ia tebarkan pada para penonton.
Di tengah para penonton, musik berirama mengiringi
liak-liuk sang ledheg mengundang decak kagum
orang-orang yang memandang. Akhirnya, kocek pun
keluar sebagai imbalan untuk para ledheg yang telah
mempesonakan mereka. Dan malam semakin
memabukan. Kocek pun terus mengalir untuk
sebuah pesona. Kemenangan demi kemenangan
para ledheg mengalir bersamaan dengan
mengalirnya kocek-kocek penonton. Tapi, jangan
sekali-kali melihat bagaimana para ledheg itu di luar
pertunjukan. Kecantikan ledheg adalah
kepiawaiannya berias diri; bedag dan gincu. Pesona
ledheg adalah liak-liuk ditempa irama musik di
malam hari. Dan itu tak pernah dijumpai di luar
pertunjukan. Dalam politik para ledheg, di luar
pertunjukan adalah masalah lain, di dalam
140
pertunjukan adalah masalah lain pula. Jangan
disamakan jika tidak ingin tertipu. Sebuah
kenikmatan sesaat yang penonton dapat.
Politik jual-belikah yang dibuat para caleg untuk
memenangkan pertaruhan? Politik para ledheg-kah
yang diberlakukan para caleg untuk meraih
harapan? Cara apa saja bisa dilakukan. Cara apa
saja bisa dipakai. Waktu yang akan menjawabnya.
Rakyat bisa menilainya kelak ketika yang menang,
menikmati kemenangannya.
Harapan menang telah menjadi kenyataan. Tapi
jangan berharap dari kemenangan itu. Jangan
merasa telah banyak yang harus dikorbankan.
Jangan berfikir telah banyak yang harus dikeluarkan.
Kalau itu terjadi, pengorbanan untuk sebuah
kemenangan harus dikembalikan. Perhitungan harus
selalu dilakukan tanpa memikirkan ada konsekuensi
dari kemenangan itu. Ada pertaruhan lain yang mesti
dimenangkan lagi. Dan itu adalah menjadikan
harapan rakyat menjadi nyata. Rakyat juga butuh
141
kemenangan. Rakyat juga sudah bertaruh untuk
menentukan suaranya. Harapan untuk menang juga
ada dalam hati rakyat. Bukankah harapan itu bukan
semata-mata tumbuh dari hati rakyat? Bukankah
harapan itu muncul karena tawaran para caleg ketika
berkampanye?
Masih belum hilang dari ingatan orang,
bagaimana para caleg menciptakan sebuah narasi
besar yang akan dilakukan jika terpilih nanti. Sebuah
narasi yang serba hero, serba optimistis, dan
segudang kenikmatan. Seperti air segar atas
kehausan rakyat. Isu perubahan, sekolah gratis,
kesehatan gratis, satu milyar setiap desa, modal
usaha untuk UKM, fasilitas perbankan, dan
sederetan isu yang menggiurkan ada dalam narasi
itu. Itu semua menyuarakan sebuah janji. Itu semua
menimbulkan harapan bagi rakyat. Apakah harapan
ini menjadi nyata, seperti para caleg yang telah
memenangkan pertaruhan dalam Pileg kemarin.
142
Sebuah Narasi atas Kemenangan
Narasi apakah yang telah dibangun dalam
periode kemarin atas kemenangan para anggota
legislatif bersama partai politiknya? Waktu telah
berbicara selama lima tahun dalam peiode itu. Dan
rakyat telah mendengarnya. Skandal sex, korupsi,
penghambur-hamburan uang di saat rakyat prihatin,
kenaikan gaji di saat kenaikan BBM dan bahan
pokok, banyak kursi kosong ketika harus bersidang,
dan manuver politik demi kepentingan kelompoknya
di saat ekonomi rakyat harus diperjuangkan. Itulah
narasi yang telah dibangun. Sebuah narasi yang
mengungkapkan cerita atas kemenangan yang telah
diperoleh lima tahun yang lalu.
Akankah narasi semacam itu akan diteruskan
pada periode berikutnya? Apakah ada bangunan
narasi yang lebih segar lagi? Atau malah lebih parah
lagi? Waktu juga yang akan menunjukkan narasi itu.
Saat inilah waktu yang tepat untuk mengingatkan
para pemenang Pileg kemarin. Saat inilah waktu
143
yang tepat untuk mendorong para pemenang itu
memulai membangun narasi yang lebih baik.
Sebuah narasi dibangun dari niat baik, pola
pikir, sikap, dan kinerja yang tinggi dari seorang
pemenang. Dari ribuan kandidat dalam pertaruhan,
tentunya para pemenang adalah orang-orang yang
terpilih. Dalam sejarah kebudayaan lama di negeri
ini, orang terpilih, satria pinilih, adalah orang-orang
yang benar-benar sakti mandraguna (kredibel), setia,
dan pantang mundur. Ia mengemban amanat
kerajaan demi perdamaian, kesejateraan, dan
kesatuan negeri. Dalam pola pikir satria pinilih ini,
lebih baik mati dari pada tidak berhasil mengemban
amanat negeri. Negeri ini bergantung pada
berhasilnya misi dan tugasnya. Bukan berlebihan
kalau para pemenang Pileg adalah satria pinilih. Ini
bukan sebuah analogi yang mengada-ada. Ini adalah
sebuah harapan. Bisakah? Jangan cepat apriori.
Jangan cepat memvonis sesuatu yang belum terjadi.
144
Meskipun semua orang pesimis, tapi harapan dan
doa tetap mesti ditumpukan pada mereka.
Kalau satria pinilih pada zaman dahulu dikirim
ke medan perang melawan musuh yang merongrong
negeri, sekarang dikirim ke Senayan untuk berjuang
demi kemenangan rakyat. Keduanya memiliki tujuan
yang sama, yaitu: kesejahteraan, kedamaian, dan
kebersatuan rakyat (negeri). Bukankah demokrasi
dibangun karena itu? Bukankah dewan diciptakan
untuk tujuan itu? Dan bukankah pemerintahan
diadakan untuk mengemban amanat seperti itu?
Kalau semua orang berharap bahwa mereka yang
menang dalam pertaruhan Pileg adalah seorang
satria pinilih, kiranya bukan berlebihan. Dan inilah
landasan yang kokoh untuk membangun sebuah
narasi yang besar atas kemenangan.
Narasi yang besar disusun dari kekuatan,
kekuasaan, peristiwa, dan semangat zaman yang
besar pula. Dan ia akan ditumbangkan oleh narasi
yang besar pula, yang muncul kemudian. Narasi
145
kemarin telah menuai kritik. Image yang dibangun
lebih banyak celanya dari pada baiknya. Sudah
waktunya ditumbangkan oleh narasi yang dibangun
oleh para pemenang sekarang. Bukan masalah,
sebagian dari mereka adalah bagian dari narasi yang
kemarin. Barang yang lama dapat menjadi baru
karena tempaan waktu dan penebusan kesalahan.
Narasi dibangun oleh kolaborator yang memiliki
kekuatan dan kekuasaan atas masyarakat. Kekuatan
dan kekuasaan itu diperoleh dari kemenangannya
dalam pertaruhan yang disebut Pileg. Suatu
kolaborasi dari orang-orang atau kelompok yang
memiliki misi dan peran yang sama, tetapi satu
dengan yang lain berhubungan secara oposisif. Di
tingkat permukaan, mereka cenderung berbeda
karena sudut pandang dan ideologi. Tapi tujuan
mereka sama yaitu menjadi kolaborator. Hanya
dengan menjadi bagian dari kolaborasi itulah,
mereka dapat memperoleh eksistensinya dan
menyalurkan kepentingannya. Dengan menjadi
146
kolaborator itulah, mereka dapat turut serta
menyusun narasi yang memungkinkan dapat
menikmati dan mempertahankan kekuatan dan
kekuasaannya. Sekecil apapun kekuatan dan
kekuasaan mereka bukanlah yang utama. Yang
utama adalah mengemban misi seorang satria
piningit.
Sebuah narasi yang baik terdiri atas unsur-
unsur yang baik pula. Unsur-unsur narasi itu adalah
niat baik, pola pikir, sikap, kejujuran, ketaqwaan, dan
kinerja yang tinggi dari seorang kolabor; yaitu orang-
orang yang telah terpilih. Mereka mesti menyimak
bangunan narasi kemarin yang nota bene banyak
menuai protes. Adakah niat baik dalam diri para
pembangun narasi? Adakah pola pikir, pandangan,
dan sikap yang benar dalam melaksanakan amanat
kemenangannya? Adakah kejujuran dan ketaqwaan
menjadi landasannya? Adakah kinerja yang tinggi
dalam melaksanakan tanggung jawab? Semua
147
pertanyaan itu menjadi bahan introspeksi para
pemenang Pileg.
Barangkali ada yang salah dalam membangun
narasi kemarin, sehingga harus menuai kritik dan
protes. Salah satu biang keladi-nya adalah apa yang
mereka sebut kualisi. Dari hakikat maknanya saja
sudah tampak ketidakbenaran pola pikir. Kualisi
adalah pengelompokan atau penggabungan.
Pengelompokan dan penggabungan itu selalu ada
yang jadi lawan dan kawan (kelompok oposisi dan
pemegang pemerintahan). Ini adalah tradisi sistim
yang didasarkan pada pertentangan. Belum apa-apa
sudah berfikir kualisasi. Sama halnya, belum
melakukan sudah berpikir pertentangan. Logika ini
mesti dirubah. Sebuah narasi yang baik bukan
dibangun dari sikap dan landasan berpikir
‘pertentangan’. Sebuah narasi yang baik dibangun
dari kesatuan dari perbedaan. Bukan sebaliknya,
pertentangan dari pengelompokan.
148
Negeri ini semestinya memiliki narasi yang
membumi. Narasi yang berlandaskan pada nilai-nilai
kultural bangsa. Itu tempat pijakan yang tepat untuk
kelangsungan sejarah bangsa. Negeri ini tidak
mengenal kualisi. Nilai-nilai negeri ini menjunjung
tinggi keselarasan, kebersatuan, dan kedamaian.
Kita mesti menggalinya dan mengurainya untuk
diterapkan dalam membangun bangsa. Produk
bangsa lain tidak semestinya dilahap mentah-
mentah. Kualisi merupakan konsep Barat dalam
konteks dan situasi Barat. Bangsa ini mempunyai
konsep yang lebih beradab, yaitu Bhineka Tunggal
Ika; meskipun berbeda-beda tetap satu juga. Bukan
sebaliknya, meskipun satu tetap berbeda-beda juga.
Dan kualisasi mengungkapkan: meskipun dewan
perwakilan itu satu, tapi sesungguhnya berbeda-
beda. Apakah akan diteruskan hal seperti ini? Yang
satu ini nampaknya narasi dewan perwakilan masih
belum berubah.
149
Sesungguhnya kita mesti berani mengeluarkan
kualisi dari narasi dewan perwakilan. Logika dan
realitas kualisi hanyalah mengarah pada
penyusunan kekuatan dan kekuasaan yang
dipertentangkan dengan kekuatan dan kekuasaan
yang lain. Kenapa pola pikir ini nampaknya masih
dipertahankan!? Takutkah pemegang kekuasaan
terhadap goncangan kekuatan yang lain? Bukankah
dikotomi oposisi dan yang teroposisi telah diciptakan
karena sistim kualisi yang diciptakan sendiri? Sekali
lagi, beranilah menghapus kualisi dari narasi.
150
LOKALISME,
Sebuah Pemikiran Awal
-
Apakah yang dimaksud dengan Lokalisme?
Lokalisme adalah semua pemikiran, gagasan, ide,
kepercayaan, keyakinan, dan sebagainya, yang
mengangkat persoalan-persoalan kelokalan sebagai
temanya. Apakah Lokalisme merupakan teori atau
gerakan? Lokalisme merupakan sikap dan
kesadaran untuk memperhatikan persoalan-
persoalan yang berkembang dalam wilayah lokal
atau daerah. Apakah bentuk manifestasi dari
lokalisme itu? Sebuah tradisi pewacanaan lokal yang
dibangun oleh semua pihak yang terlibat merupakan
perwujudan dari lokalisme.
Apa pentingnya lokalisme dalam masyarakat
modern dewasa ini? Pada tataran yang lebih awal,
pentingnya lokalisme terletak pada tumbuhnya
151
kesadaran untuk mengangkat persoalan-persoalan
lokal sebagai sebuah wacana pemikiran dan
inspirasi kreatif. Mengapa? Produk-produk budaya
modern telah menipiskan dan menepiskan nilai-nilai
lokal di semua sendi kehidupan masyarakat.
Keanekaragaman produk budaya modern telah
menggeser produk-produk budaya lokal, baik
material maupun mental, ke arah bentuk kehidupan
dan pola kesadaram masyarakat yang berciri
konsumtif, instan, dan global.
Budaya massa, produk konsumtif, dan agen-
agen budaya modern, sebagai produk budaya
modern memiliki daya tarik yang luar biasa. Secara
evolutif dan pasti, produk-produk budaya modern
tersebut telah membangun peradaban masyarakat
modern yang mereduksi nilai-nilai kelokalannya.
Masyarakat tidak mungkin menolak semua itu,
termasuk menolak resiko yang ditimbulkannya.
Penolakan terhadap produk-produk budaya modern
yang telah terlanjur membentuk pola kehidupan
152
masyarakat sehari-hari, akan memunculkan per-
soalan-persoalan baru yang tak kalah berat
resikonya. Yang perlu disikapi adalah, bagaimana
produk-produk budaya modern tersebut diadaptasi
dan ditransformasi dalam konteks kelokalan atau
kedaerahan. Bangunan peradaban masyarakat
modern bukanlah hasil dari internasionalisasi,
westernalisasi, dan globalisasi. Tetapi, peradaban
masyarakat modern adalah internalisasi nilai-nilai
modern ke dalam nilai-nilai lokal dan sebaliknya.
Internalisasi merupakan kata kunci pem-
bangunan peradaban masyarakat Indonesia modern
yang berangkat dari lokal (daerah). Internalisasi
bukan hanya dalam pengertiannya yang material,
tetapi juga mental. Internalisasi secara mental
merupakan penghayatan terhadap adanya nilai-nilai
kehidupan modern sebagai hasil modernisasi dan
nilai-nilai lokal hasil sejarah masa lalu yang secara
turun-menurun diwarisi masyarakat. Di satu sisi,
hasil-hasil modernisasi tidak mungkin ditolak beserta
153
dampak yang ditimbulkannya, baik positif maupun
negatif. Di sisi yang lain, nilai-nilai sosiokultural yang
telah mengakar dalam sejarah, semenjak masa lalu
hingga sekarang, harus tetap menjadi penanda dan
maknanya dalam kehidupan masyarakat hingga ke
depan. Keduanya tidak saling meniadakan satu
sama lain. Dan tidak mendominasi satu sama lain.
Keduanya dihayati dalam sikap, kesadaran,
tindakan, dan produksi budaya modern yang
mengindonesia.
Selama ini konsep indonesia cenderung
dihayati sebagai bagian dari wilayah yang luas,
global. Meskipun telah lama disadari bahwa
Indonesia merupakan negara yang berciri pluralistik,
tetapi perjalanan kehidupannya cenderung ber-
orientasi ke persoalan-persoalan global. Indonesia
lebih digerakkan untuk siap berhadapan dengan
persoalan internasional (Barat) daripada persoalan-
persoalan lokal. Penghayatan semacam ini
menipiskan dan menepiskan persoalan-persoalan
154
lokal. Indonesia akan dinilai dari keberhasilannya
mengejar kemajuan yang telah dicapai negara-
negara lain. Caranya, transfer ilmu pengetahuan dan
teknologi dilakukan dengan akselarasi yang tinggi.
Tetapi hal itu meninggalkan kekayaan dan potensi
sendiri yang seharusnya digali. Tak pelak lagi
berakibat pada dominasi Barat terhadap yang lokal.
Biang keladinya adalah pilihan tanpa reserve
terhadap modernisme sebagai paradigma pem-
bangunan nasional.
Sudah saatnya untuk menghayati konsep
Indonesia membangun sejarahnya sendiri. Indonesia
adalah sebuah bangsa yang bernegara lokal.
Indonesia adalah bangsa yang bertempat tinggal di
daerah-daerah. Indonesia adalah sebuah bangsa
yang memiliki persoalan-persoalan daerah yang
harus dipecahkan; memiliki kekayaan dan potensi
daerah yang harus dikembangkan; memiliki nilai-nilai
sosiokultural daerah untuk menghadapi masuknya
pengaruh dan kebudayaan global.
155
Sejarah nasional dan kebudayaannya pada
gilirannya terdiri dari sejarah-sejarah lokal yang
beraneka ragam (multikultural). Tidak ada kanonisasi
di sana, karena kanonisasi akan menghilangkan
sekian banyak fakta-fakta sejarah lokal. Sejarah
nasional dengan demikian merupakan sejarah lokal;
dan sebaliknya, sejarah lokal adalah sejarah
nasional. Bentuk sejarah nasional yang berciri lokal
itulah yang mampu mewadahi dan mewacanakan
hasil-hasil internalisasi dalam bangunan peradaban
masyarakat Indonesia modern, yang sudah
semenjak lama memiliki kekayaan kultural yang
beraneka ragam (multikultural). Bentuk sejarah
nasional yang berciri lokal itulah yang mampu
membelajarkan masyarakat ke depan. Karena
kebudayaan pada hakikatnya adalah proses belajar
masyarakat.
Lokalisme merupakan sikap dan kesadaran
membangun sejarah lokal (nasional) di atas sejarah
global. Sejarah dalam konteks ini bukanlah dalam
156
pengertian sebagai perekaman dan/atau penulisan
atas fakta-fakta sejarah, melainkan masyarakat dan
proses kebudayaannya itu sendiri. Wacana nasional
dan internasional selama ini lebih mengemuka dan
mendominasi sejarah masyarakat Indonesia.
Sementara wacana lokal yang begitu banyak dan
berkembang di daerah-daerah tidak mampu meng-
imbanginya. Budaya massa dan orang-orang dalam
lingkaran kekuasaan pusat, memiliki andil terbesar
dalam mengangkat wacana nasional dan inter-
nasional seolah-olah begitu darurat dan pentingnya
untuk segera terpecahkan. Sedangkan wacana-
wacana lokal yang tak kalah pentingnya ibarat
penyedap rasa bagi masakan nasional dan
internasional tersebut. Ada atau tidak penyedap
rasa itu, tak ada bedanya.
Menghadapi semua itu diperlukan semua
pemikiran, gagasan, ide, sikap, kepercayaan,
keyakinan, dan sebagainya, yang berangkat dari
persoalan-persoalan lokal. Sebutlah lokalisme; tapi
157
bukan ikut-ikutan menitru isme-isme-an yang
bermunculan dewasa ini. Ia adalah penanda beserta
maknanya semua sikap dan pola berpikir yang
memwacanakan persoalan-persoalan lokal sebagai
fokus perhatian dan tema inspirasi kreatif
masyarakat. Dibutuhkan semua komponen
masyarakat daerah untuk membangun lokalisme.
Lokalisme tidak dibangun dari atas (pusat) secara
sentralistik. Ia mesti dibangun dari daerah, karena
hanya daerah yang memahami persoalannya sendiri.
Semangat desentralisasi yang muncul
semenjak tumbangnya rezim kekuasaan Orde Baru,
seharusnya dibarengi munculnya semangat
lokalisme. Tetapi semangat desentralisasi tersebut
hanyalah termanifestasikan pada kebijakan institusi
pemerintah dalam bidang birokrasi dan regulasi.
Dengan begitu, desentralisasi lebih cenderung
membentuk raja-raja kecil yang kekuasaannya lebih
represif daripada sebelum isu desentralisasi tersebut
muncul.
158
Oleh karena itu, sudah saatnya semua
pemikiran, gagasan, ide, sikap, kepercayaan,
keyakinan, dan sebagainya, yang berangkat dari
persoalan-persoalan lokal, secara kolektif digerakkan
lebih kuat lagi. Budaya massa yang selama ini
memiliki dosa besar dalam mengakselerasi budaya
modern beserta dampaknya, harus menjadi bagian
dari proyek lokalisme ini. Aparatus kekuasaan yang
selama ini juga tenggelam dalam pola berpikir
normatif dan konvensional harus membuka
wawasannya. Para akademis, praktisi, dan
profesional harus menempatkan lokalisme ke dalam
bidang garapannya. Budayawan dan seniman
daerah harus mengangkat tema-tema lokal sebagai
inspirasi kreatif mereka, tanpa mengurbankan hak-
hak kreativitasnya. Pendeknya, diperlukan semua
komponen masyarakat untuk mengangkat kelokalan
dalam proyek-proyek garapannya. Dengan begitu,
lokalisme akan mampu mengimbangi wacana-
wacana nasional dan internasional untuk me-
159
ngemuka dan mendominasi sejarah peradaban dan
kebudayaan bangsa.
Lokalisme menjadi semakin penting ketika
arus globalisasi menyeruak ke permukaan. Arus
deras informasi dan komunikasi sebagai penanda
globalisasi membawa dampak masuknya budaya
asing tanpa filterisasi. Ia secara mudah, cepat, dan
efektif memasuki ruang-ruang publik. Masyarakat
tanpa dibedakan status, usia, agama, geografi, dan
sosiokulturalnya, dapat langsung menerima setiap isi
informasi dan komunikasi. Tak ada skat apapun yang
membatasinya. Batas-batas bangsa, kebudayaan,
kelas sosial, hingga status dan latar belakang orang
perorang, diterabas. Pada sisi ini, globalisasi lebih
merusak daripada membangun. Lantas, apakah
globalisasi dibiarkan begitu saja bergerak tanpa
disikapi? Apakah globalisasi diterima begitu saja,
sebagaimana menerima modernisasi sebagai satu-
satunya pilihan tanpa reserve, yang ternyata banyak
160
membawa bencana daripada membangun peradab-
an yang lebih baik?
Lokalisme akhirnya juga menempatkan dirinya
dalam konteks globalisasi tersebut. Pada konteks ini,
lokalisme menjadi efektif sebagai filter dan kebijakan
terhadap budaya asing dan resikonya yang dibawa
oleh derasnya arus informasi dan komunikasi dunia.
Budaya asing tak mungkin dibendung. Budaya asing
tak mungkin ditolak masuk ke ruang publik
masyarakat. Apapun bentuk, isi, dan dampaknya
akan merambah masyarakat. Tetapi membiarkannya
begitu saja terjadi merupakan kelemahan dan
ketidakmampuan masyarakat menyikapi perubahan.
Lokalisme akan mengambil perannya sebagai cara
pandang dan landasan untuk mengelola, mengolah,
memilih, dan menentukan apa yang bermanfaat bagi
konteks sosiokultural masyarakat.
Semua itu tak akan pernah berhasil apabila
lokalisme tidak secara tegas menjadi kesepakatan
nasional; lokalisme menjadi paradigma pem-
161
bangunan masyarakat Indonesia modern. Modern-
isme yang berdasarkan kebebasan, rasio,
universalitas, dan dengan ilmu pengetahuan dan
teknologi sebagai agennya, haruslah digantikan oleh
lokalisme. Lokalisme bukan menolak kemajuan yang
telah dicapai oleh modernisasi selama ini. Tapi
lokalisme juga tak akan membiarkan produk-produk
budaya sebagai hasil modernisasi itu tanpa berpijak
pada nilai-nilai kelokalan yang selama ini telah
mengakar dalam bentuk kehidupan dan pola
kesadaran masyarakat.
Barangkali hal-hal yang dikemukakan di atas
menjadi sebuah bahan perenungan dan pemikiran
untuk didiskusikan. Barangkali juga menjadi sebuah
cita-cita dan cermin dari sebuah keprihatinan.
Karena dunia pasti berubah. Tapi perubahan mesti
diarahkan; bukan dibiarkan. Semua itu akan
membawa manfaat bagi anak cucu kita. Amin.
162
KEKUASAAN YANG TERSEBAR
Peradaban Budaya Media
Karena media, seorang yang pergi dari
rumah, hanya dengan pakaian melekat di badan,
tiba-tiba di suatu tempat berubah bak seorang raja.
Ia dielu-elukan, disanjung, dan diteriak-histerisi para
penggemarnya. Ia menjadi buah bibir, memenuhi
ruang dan waktu sekecil apapun. Ia sebuah berita
yang menyedot perhatian masa. Berita yang
menenggelamkan peristiwa apapun di negeri ini.
Berita kematian seorang yang telah berjasa di negeri
ini, tak sepenting berita tentangnya. Berita
kontroversi penguras anggaran negara, tak sebesar
berita tentangnya. Bahkan berita yang sebelumnya
begitu ramai dibicarakan orang, tiba-tiba menjadi
163
berita biasa-biasa saja. Sebut saja ia seorang
Pesohor.
Di sudut yang lain, berbanding terbalik
dengan sang Pesohor di atas, lantaran media pula,
seseorang hancur kehidupannya, setelah ia
bersusah payah memperjuangkannya. Ketika ia tak
mampu mengendalikan dirinya, lantas iseng melihat
video porno yang ada di media, tiba-tiba orang
media pula menangkapnya melalui kamera. Kalau
seorang pesohor dielu-elukan dan disanjung bak
raja, akhirnya tokoh yang satu ini dihujat, ditertawai,
dan diteriaki sebagai seorang yang tak pantas
mengemban amanat. Sebut saja ia seorang
Pengkianat.
Itulah sebuah narasi pertunjukan budaya
negeri ini, yang saat ini sedang memainkan
lakonnya. Tapi jangan cepat mengatakan kalau sang
Pesohor dan Pengkianat adalah aktor utamanya.
Mereka hanyalah aktor kecil dari sebuah narasi kecil
yang dibingkai ke dalam narasi yang besar. Narasi
164
kecil bersifat temporer. Ia akan tenggelam secepat
kemunculannya. Ia akan digantikan dengan
munculnya narasi-narasi kecil lainnya. Sementara
narasi besar akan terus bergerak ke dalam alur
cerita yang tak pernah akan berakhir. Narasi kecil
dapat diramal ujungnya, tapi narasi besar teramat
sulit; bahkan boleh dikatakan tak berujung. Narasi
kecil itulah yang saat ini sedang dimainkan oleh
kedua tokoh ini; Sang Pesohor dan Pengkianat.
Lantas, siapakah aktor utama dalam per-
tunjukan ini? Siapa lagi kalau bukan Media. Sang
Pesohor dan Pengkianat adalah aktor yang terpaksa
dan dipaksa menerima perannya. Sang Pesohor
akan menikmati peran itu karena merasa nyaman,
enak, dan menguntungkan. Sebaliknya, sang
Pengkianat dipaksa untuk memerankan tokoh yang
tragik. Kesamaan keduanya, semua itu terjadi tanpa
mereka rencanakan. Apalagi sebagai sebuah
kesengajaan. Narasi kecil yang mereka emban,
mengalir seperti mata air. Di hilir sungai itu, aliran
165
mata air bercabang-cabang. Dan sang Pesohor dan
Pengkianat terbawa arus ke cabang yang berbeda.
Ke mana ujung cabang sungai itu? Cabang yang
satu akan mengurai dirinya untuk menyuburkan
tanaman ke sawah-sawah. Sedang cabang yang
lain, akan berujung ke selokan bau bacin.
Selebihnya barangkali akan bermuara ke samudra
luas. Di sanalah samudra akan menantang peng-
huninya untuk mengadapi hukum alamnya masing-
masing. Sang Pesohor dan Pengkianat mengalir
begitu saja mengikuti arus media ke mana mereka di
bawa.
Apa hikmah dan amanat dari semua ini?
Layaknya sebuah pertunjukan yang bernarasi, ia
memiliki hikmah dan amanatnya. Tinggal para
penontonnya mau sedikit memikirkan, merenungkan,
dan menghayati narasi yang dipertunjukan itu atau
tidak. Penonton (masyarakat) mempunyai hak untuk
berapresiasi sesuai keinginan dan kemampuannya.
Barangkali mereka hanya sekedar ingin menikmati
166
apa yang dilihat dan didengar; sekedar sebuah
hiburan. Atau mereka sah-sah saja untuk hanya
sebatas mengerti dan memahaminya. Mereka juga
boleh-boleh saja untuk menghayati dan memikirkan
untuk mencerahkan kehidupannya; Aristoteles
menyebutnya Chatarsis.
Media adalah budaya. Sebagai budaya yang
dominan, ia akan menjadi sebuah peradaban.
Sebagai sebuah peradaban, ia akan mengatur,
mempedomani, dan menentukan hajat hidup
masyarakat. Kalau sekarang ini media telah mampu
membalikkan kehidupan manusia, bahkan di luar
pikiran manusia, itulah sebuah tanda bahwa media
telah menjadi pengatur, pedoman, dan penentu
hidup manusia. Itulah tanda bahwa media telah
menjadi sebuah peradaban. Peradaban media. Jika
meminjam pemikiran seorang tokoh postruktural-
isme, Michel Foucault, situasi seperti ini ia sebut
sebagai sebuah diskursus (Wacana). Narasi
167
pertunjukan budaya media yang dewasa ini sedang
memainkan lakonnya, merupakan diskursus.
Marilah serba sedikit mengadopsi pemikiran
Foucault ini untuk sekedar menjelaskan siapa aktor
dibalik narasi pertunjukan budaya ini. Tokoh
postrukturalisme itu mengungkapkan bahwa
diskursus datang dari orang yang memiliki
kekuasaan dan dari orang yang memiliki pemikiran
kritis. Kekuasaan yang dimaksud bukanlah Negara
atau pemerintah, sebagaimana anggapan
masyarakat selama ini. Kekuasaan itu datang dari
mana-mana (kekuasaan yang tersebar). Kekuasaan
ini bukanlah sebuah institusi atau struktur, melainkan
suatu situasi strategis kompleks dalam masyarakat.
Kekuasaan muncul dari proses sejarah. Dengan
begitu, wacana pada akhirnya mengatur praktik-
praktik kehidupan masyarakat.Ia berisi suatu
mekanisme sosial dan di situlah kekuasaan melekat
ke dalam dirinya. Pemikiran Foucault inilah
nampaknya bisa menjadi penjelasan tentang
168
pertunjukan budaya media negeri ini. Peradaban
media menjadi sebuah diskursus atau wacana yang
mengatur praktik-praktik kehidupan masyarakat.
Sebagai sebuah situasi strategis yang dilekati oleh
kekuasaan, maka diskursus budaya media memiliki
kekuasaan yang menekan, mendefinisikan, mem-
bentuk, dan mentransformasi sejarah.
Dalam bahasa yang lain, dalam adagium ilmu
budaya, barang siapa yang mampu menguasai
budaya, dialah yang memiliki kekuasaan atas
perjalanan hidup masyarakat dan keberadabannya
itu. Dalam konteks ini, barang siapa menguasai
media, dialah yang menguasai pola hidup
masyarakat dan keberadabannya. Dialah yang akan
menikmati manfaat dari budaya media itu. Tapi
sebaliknya, barang siapa yang tak waspada, dia
akan ditenggelamkan media itu. Dialah menjadi
kurban dari sebuah budaya yang telah mendominasi
sebuah peradaban. Itulah yang sekarang ini dialami
oleh Sang Pesohor dan Pengkianat. Betapapun tak
169
sengaja, Sang Pesohor telah menguasai media.
Dialah yang kemudian akan menguasai masyarakat
dan peradabannya. Dialah yang menikmati
manfaatnya. Semua perhatian, sanjungan, dan
materi tercurah pada Sang Pesohor itu. Sementara
Sang Pengkianat tinggal meratapi ketidak-
waspadaannya pada budaya media. Dia telah
dihancurkan oleh budaya media itu. Dialah sebuah
kurban dari peradaban media. Sang Pesohor dan
Pengkianat telah dibentuk oleh situasi strategis yang
bernama peradaban budaya media.
Itulah sebuah hikmah dan amanat yang
disuarakan narasi kecil dalam pertunjukan budaya
negeri ini. Dua aktor yang berbeda peran dan ending
ceritanya, tetapi dalam cerita yang sama, Peradaban
Media sebagai sebuah Kekuasan Yang Tersebar.
Kalau bisa disambung, telah banyak diskursus
kecil bermunculan dalam pertunjukan budaya ini.
Kasus Prita, Aril dan Luna Maya, Bilqis, dan sederet
kasus-kasus yang lain, telah membuktikan betapa
170
luar biasanya sebuah media menentukan perjalanan
hidup seseorang. Kasus Prita muncul karena media,
sekaligus mendapatkan sokongan yang luar biasa
dari media juga. Aril dan Luna telah dibesarkan oleh
media, sekaligus juga ditenggelamkan oleh media.
Sang Bayi Bilqis, karena media ia telah mengundang
simpati dan keprihatinan khalayak. Tiga kasus ini
hanyalah sebutir cerita di tengah-tengah gurun pasir
yang bernama peradaban media.
Media adalah sebentuk pembangun citra.
Hakikatnya adalah, siapa yang lihai dan mampu
merangkul media, ia akan dibangun pencitraan
dirinya secara positif. Dan sebaliknya, siapa yang
bodoh dan terjebak media, ia juga akan dibangun
pencitraan dirinya secara negatif. Pemahaman
terhadap hakikat budaya media semacam itu, saat ini
sedang menjadi kegemaran sebagian masyarakat
negeri ini. Di tingkat atas, betapa media
dimanfaatkan untuk membangun citra positif
terhadap seseorang. Ia dibutuhkan untuk meng-
171
undang perhatian, sanjungan, dan pujian dari
masyarakat. Ia semacam kitab Babad Tanah Jawa
dalam kesusasteraan Jawa masa lalu, yang mampu
membangun nasionalisme dan legitimasi dari
masyarakat. Dengan begitu, kepentingan mobilisasi
sosial politik masyarakat dapat diperoleh. Di tingkat
bawah, sebut saja di tingkat kaum muda, media
menjadi ikon kemodernan seseorang. Kemelekan
huruf dan teknologi mereka, menjadi pendorong
terhadap pentingnya menyalurkan kebutuhan
aktualisasi dan komunikasi diri. Meskipun kalau
benar-benar dicermati, budaya media belum mampu
dimanfaatkan mereka untuk membangun pencitraan
yang sesungguhnya bagi masa depan. Ia hanya
sekedar ikon dan gengsi diri.
Jika kemudian kembali meminjam pemikiran
Foucault di atas, bahwa sebagai diskursus
peradaban budaya media berasal dari orang yang
memiliki kekuasaan dan dari orang yang memiliki
pemikiran kritis, maka yang terakhir itulah yang
172
sebenarnya dibutuhkan untuk mampu menyikapi
peradaban budaya media itu. Dibutuhkan pemikiran
kritis untuk mampu menguasai dan memiliki
peradaban. Dalam bahasa yang lebih konkrit, orang
yang memiliki pemikiran kritis adalah orang yang
memiliki pengetahuan. Lantas, dalam golongan yang
mana sang Pesohor dan Pengkianat di atas?
173
SEJARAH NEGERI ADALAH SEJARAH KEPAHLAWANAN
Mengapa Indonesia memiliki banyak
pahlawan nasional? Jangan cepat memvonis negeri
ini begitu mudahnya mengeluarkan gelar itu.
Indonesia memiliki sejarah yang panjang dalam
menghadapi kolonialisme secara heroik dan tanpa
pamrih. Dan Indonesia memiliki wilayah yang begitu
luas untuk disia-siakan begitu saja dari ancaman
imperialisme bangsa lain. Belum lagi, persoalan-
persoalan kultural dan sosial yang ditinggalkan
akibat penjajahan itu, membutuhkan pengurbanan
banyak orang untuk diselesaikan. Di sisi lain,
Indonesia tidak akan kekurangan tokoh yang mau
berkurban bagi bangsa ini. Serangkaian fakta itulah
menjadi latar belakang Indonesia memiliki banyak
pahlawan nasional. Kalau boleh penulis katakan,
174
seratus atau dua ratus gelar pahlawan nasional
belumlah cukup. Ribuan bahkan puluhan ribu orang-
orang Indonesia yang juga layak diberi penghargaan
sebagai pahlawan nasional.
Dari ujung timur hingga barat, terbentang
sekian ribu pulau dengan kekayaan yang melimpah.
Sebuah anugerah Tuhan Yang Mahakuasa bagi
negeri ini dengan limpahan kekayaan yang luar
biasa itu. Kalau kemudian membuat ngiler bangsa
lain untuk menguasainya, rasanya lumrah. Kalau
kemudian, membuat bangsa yang ngiler itu secara
paksa ingin menguasainya, logika kita juga
mengatakan lumrah. Tapi kita bukan bangsa yang
terlalu lemah untuk menyikapi kerakusan bangsa
lain. Kita bukan bangsa yang penakut untuk
mempertahankan wilayah ini. Banyak tokoh-tokoh
yang bersedia muncul dan mengangkat senjata
untuk itu, memang itulah semangat para leluhur
bangsa ini. Dan sejarah negeri ini juga telah
mengungkapkan fakta bahwa perjuangan mereka
175
pada akhirnya membuahkan hasil mendirikan
sebuah bangsa yang berdaulat dan merdeka.
Rasanya tidak berlebihan, jika pada akhirnya,
bangsa ini memberikan gelar Pahlawan Nasional
kepada mereka.
Sejarah negeri ini hingga masa sekarang juga
mencatat, berpuluh ribu orang yang rela berkurban
untuk gugur demi mempertahankan tanah air ini;
tampak ironis jika dilihat sekarang ini banyak tokoh-
tokoh nasional yang justru melakukan korupsi.
Mereka tak tercatat. Teramat banyak jumlahnya dan
mereka juga tak perlu administrasi untuk berkurban
demi negeri ini. Apakah mereka tak layak untuk kita
berikan gelar pahlawan nasional? Belum lagi, para
mahasiswa yang rela mati dan tak kenal lelah untuk
memperjuangkan keadilan dan kesejateraan rakyat
di zaman orde lama dan orde baru; ironis pula jika
kita bandingkan betapa para hamba hukum dan
pejabat justru melakukan tindakan merusak keadilan
dan mementingkan kesejateraan perutnya sendiri.
176
Apakah mereka tak pantas untuk disebut sebagai
pahlawan nasional? Kalau kita bisa menengok lebih
spesifik lagi betapa persoalan-persoalan hukum, hak
asasi manusia, lingkungan, sosial dan budaya di
negeri ini, masih membutuhkan orang-orang yang
bersedia untuk berjuang memperbaikinya. Tengoklah
Munir, Marsinah, Wiji Thukul, wartawan Bernas Udin
(?), para pengabdi lingkungan, hingga seorang
wanita bergelar Master yang bersedia hidup di hutan
untuk mendidik anak-anak pedalaman (bernama
Butet), mereka itu tak berpikir untuk menjadi
pahlawan nasional meskipun apa yang dilakukan
penuh pengurbanan demi negeri ini. Apakah mereka
itu juga tidak layak untuk disebut pahlawan nasional?
Problematika negeri ini berjajar sepanjang
sejarah eksistensinya sebagai bangsa. Di samping
akibat penjajahan bangsa lain selama lebih dari tiga
abad, problematika itu juga bersumber dari
sosiokultural dalam negeri ini sendiri. Penjajahan
yang terjadi telah mengakibatkan kesengsaraan,
177
penderitaan, keterbelakangan, dan yang utama,
kerugian waktu yang begitu lama yang seharusnya
dapat digunakan untuk membangun bangsa ini
menjadi bangsa yang maju. Tiga abad bukan waktu
yang pendek untuk membangun negeri ini. Sebuah
rentang waktu yang panjang untuk memperjuangkan
kedaulatan dan kemerdekaan. Bisa dibandingkan
dengan negara-negara lain yang memiliki sejarah
panjang dalam suasana kebebasan dan
kemerdekaannya. Negeri ini juga memiliki
problematika yang muncul kemudian, yang tidak
sedikit. Kemiskinan, pengangguran, sikap mental
yang korup, pelanggaran hukum dan HAM, gender,
dan persoalan-persoalan lingkungan dan bencana
alam, merupakan persoalan yang membutuhkan
pengurbanan dan kesetiakawanan sosial yang tinggi.
Jika kemudian muncul orang-orang yang peduli dan
siap berkurban untuk itu, pantas juga jika mereka kita
beri penghargaan sebagai pahlawan nasional.
178
Kalau sekarang ini muncul sinyalemen di
media massa yang mengungkit begitu banyaknya
gelar pahlawan nasional di negeri ini, jika
dibandingkan dengan negara lain, nampaknya
mereka harus belajar banyak dari sejarah dan
realitas negeri ini. Masih terlampau sedikit
penghargaan yang diberikan oleh negeri ini terhadap
orang-orang yang telah membuktikan jiwa
kepahlawanannya. Begitu tingginya orang
memandang selembar kertas bertuliskan Surat
Keputusan untuk menghargai dan menghurmati jasa-
jasa mereka sehingga mesti ribut untuk berdebat
soal itu. Banyak tokoh yang ramai
mempermasalahkan itu dengan membawa bendera
dan kepentingan golongan masing-masing. Mereka
melupakan satu hal, membicarakan tentang
pemahlawanan seseorang seharusnya menerabas
batas-batas golongan dan kepentingan politik
tertentu, karena orang yang kita bicarakan tak
179
pernah mempersoalkan golongan dan kelompoknya
selain kepentingan negara dan bangsanya.
Marilah kita melepaskan baju golongan dan
kepentingan untuk sama-sama mencatat orang-
orang yang telah berusaha memperbaiki negeri ini
dengan tanpa pamrih pribadi dan golongan. Kita
memiliki nurani dan akal sehat untuk itu. Janganlah
menggunakan prasangka, kecemburuan sosial,
harga diri suatu kelompok yang berlebihan,
kepentingan politik dan golongan, apalagi mereka
yang merasa kelompoknyalah yang paling berjasa
pada sejarah negeri ini. Persoalan pemahlawanan
adalah persoalan nasional. Masyarakat yang
merasakan hasil-hasil dari pengurbanan mereka itu,
bukan sekelompok orang. Kita bisa membaca dan
memahami apakah mereka yang kita permasalahkan
kepahlawanannya itu, demi kepentingan
kelompoknya semata ataukah demi masyarakat
seluruhnya. Kalau mereka yang kita bicarakan
adalah orang-orang yang rela berkurban untuk
180
kepentingan seluruh masyarakat, maka sudah
sepantasnya jika yang membicarakan juga siap
berkurban melepaskan kepentingan kelompoknya.
Politiklah yang paling mengemuka dan
dominan di negeri ini ketika orang mempersoalkan
isu dan problematika masyarakat. Bahkan persoalan
keadilan, hukum, pelanggaran HAM, pendidikan,
hingga kriminalitas dan korupsi, diseret ke ranah
politik. Pembicaraan tentang layak tidaknya seorang
K.H. Abdurahman Wakhid mendapatkan gelar
pahlawan nasional pun diwarnai oleh kepentingan
politik. Apakah harus dilakukan semacam
referendum untuk melakukan itu? Ketika masyarakat
lebih bisa berpikir secara jernih untuk menentukan
kelayakan seorang Gus Dur mendapatkan gelar
pahlawan nasional, cara referendum (atau apalah
namanya) nampaknya lebih efektif. Biarlah
masyarakat yang menilai, karena mereka yang
merasakan, atau tidak merasakan apa-apa, hasil-
hasil dari pengurbanan Gus Dur itu. Biarlah