antologi esai 1

181
1 MEMBANGUN TRADISI Wacana Kritis Intelektual Lokal 1 Sudah saatnya dibangun wacana kritis di tingkat lokal sebagai suatu tradisi. Wacana kritis lokal yang dimaksud adalah hasil-hasil pemikiran para intelektual, akademisi, praktisi, dan pengamat, yang berusaha mengangkat persoalan-persoalan lokal berdasarkan sudut pandang dan kompetensi-nya. Pentingnya tradisi wacana kritis intelektual lokal itu terletak pada realitas pembangunan daerah selama ini, belum berangkat dari referensi yang menyeluruh dari semua komponen yang ada di daerah itu. Salah satunya adalah, peranan intelektual yang ada di

Upload: unirow

Post on 25-Feb-2023

1 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

1

MEMBANGUN TRADISI Wacana Kritis Intelektual Lokal

1

Sudah saatnya dibangun wacana kritis di

tingkat lokal sebagai suatu tradisi. Wacana kritis lokal

yang dimaksud adalah hasil-hasil pemikiran para

intelektual, akademisi, praktisi, dan pengamat, yang

berusaha mengangkat persoalan-persoalan lokal

berdasarkan sudut pandang dan kompetensi-nya.

Pentingnya tradisi wacana kritis intelektual lokal itu

terletak pada realitas pembangunan daerah selama

ini, belum berangkat dari referensi yang menyeluruh

dari semua komponen yang ada di daerah itu. Salah

satunya adalah, peranan intelektual yang ada di

2

daerah itu sebagai komponen penting bagi

perubahan masyarakat.

Sejarah di mana pun mengungkapkan suatu

fakta bahwa perubahan suatu bangsa (masyarakat)

tidak akan lepas dari sejarah pemikiran yang ada.

Semenjak peradaban masih dikuasai cara pandang

mitis-metafisis, kelompok intelektual sudah me-

nanamkan pemikiran-pemikirannya sebagai landas-

an untuk memahami realitas demi menjalankan

kehidupan sehari-hari. Kekuasaan yang paling

totaliter sekalipun, tidak luput dari warisan pemikiran

para intelektual sebagai landasannya. Sejarah

Indonesia modern pun sesungguhnya didorong oleh

suatu gerakan para intelektual dengan semangat

nasionalisme untuk membangun suatu bangsa di

awal abad XX. Lahirnya Sumpah Pemuda sebagai

tonggak bangkitnya jiwa dan semangat untuk

membangun Indonesia, merupa-kan bukti bahwa

kaum intelektual terpelajar memiliki peranan penting

bagi perubahan.

3

Marilah kita menyederhanakan sebuah

realitas sejarah pentingnya wacana intelektual bagi

pembangunan bangsa Indonesia modern. Itu dimulai

ketika awal abad XX. Tepatnya, pada saat

masyarakat Indonesia mulai bersentuhan dengan

budaya Barat. Sentuhan tersebut mengakibatkan

munculnya kelompok sosial terpelajar, hasil dari

pendidikan barat. Dari kelompok sosial inilah timbul

semangat dan keinginan untuk berbangsa dan

bernegara. Nilai-nilai budaya barat yang ditanamkan

pada kelompok sosial ini menyadarkan mereka

tentang pentingnya nasionalisme. Meskipun orientasi

pemikiran mereka berbeda-beda, tetapi pada

dasarnya mereka bersepakat membangun

masyarakat Indonesia sebagai suatu bangsa yang

modern.

Pemikiran kelompok sosial terpelajar di awal

kembangkitan bangsa Indonesia, beraneka ragam

orientasinya. Hal itu terlihat pada saat Kongres

Pemuda II dan terus berlanjut hingga terjadinya

4

polemik kebudayaan pada masa 30-an. Tidak hanya

itu, keanekaragaman pemikiran mereka juga terlihat

pada wacana kritis yang dibangun atas karya-karya

mereka. Sebagian dari mereka ber-pendapat bahwa

masa depan masyarakat Indonesia berpijak pada

nilai-nilai lokal. Berseberangan dengan pendapat itu,

terdapat kelompok yang ber-orientasi ke barat.

Tetapi tidak sedikit di antara mereka yang

berpendapat bahwa masa depan masyarakat

Indonesia adalah sintesa dari nilai-nilai lokal dan

barat. Tetapi tidak sedikit pula terdapat pemikiran

yang berpijak pada nilai-nilai agama.

Hal yang bisa kita tangkap dari keberagaman

pendapat itu adalah, tidak terjadinya konflik yang

justru mengotori semangat dan harapan mereka

untuk membangun suatu bangsa. Fakta sejarah itu

merupakan sebuah narasi besar tentang bagaimana

bangsa ini mesti dibangun. Perbedaan tersebut

menjadi pendorong berkembangnya suatu wacana

kritis kultural masyarakat Indonesia yang modern.

5

Polemik yang terjadi merupakan bagian dari suatu

proses perkembangan masyarakat Indonesia ke-

mudian. Itu adalah sebuah pintu keterbukaan yang

mesti mereka tegakkan setelah sekian abad

mengalami keterbuntuhan akibat ideologi lokal dan

kolonialisme bangsa lain.

Jika kemudian, masyarakat Indonesia di-

hadapkan pada sebuah pilihan pada modernisme

barat, melalui pintu itulah faham yang meng-

gagungkan rasio, kebebasan, universalitas, dan

teknologi tersebut sebagai sebuah ideologi baru

yang menekan dan menjajah. Arus perkembangan

masyarakat Indonesia yang dicita-citakan, tak

mampu mengelakkan dirinya dari faham itu. Masa

depan yang modern tak mungkin tercipta tanpa

modernisasi. Kemudahan, efisiensi dan efektivitas,

manajemen pembangunan yang tertata dan

terencana, rasionalitas yang didasarkan pada ilmu

pengetahuan dan teknologi, dan kebebasan yang

universal, merupakan serangkaian adagium yang

6

menjanjikan. Pemikiran barat meyakini bahwa

dengan semua itu, surga dunia akan tercipta.

Fakta sejarah di atas seharusnya mempunyai

makna bagi perjalanan kehidupan bangsa Indo-nesia

ke depan. Paling tidak, fakta sejarah tersebut

memberikan inspirasi bagi bangsa Indonesia untuk

tidak mereduksi kelompok intelektual terpelajar

secara eksklusif tanpa berpijak pada bumi tempat

mereka dilahirkan dan dibesarkan. Di sinilah

pentingnya, ketika masyarakat bersepakat bahwa

pembangunan daerah sebagai bagian dari pem-

bangunan sebuah bangsa, harus mampu me-

nyentuh persoalan yang substansial dan fundamen-

tal yang berkembang di masyarakat daerah itu, maka

diperlukan wacana kritis (kultural) yang menarik

keterlibatan kaum intelektual untuk menyumbangkan

pemikiran kritisnya.

Persoalan ini semakin penting dan mendesak

jika dicermati bahwa modernisme yang dipilih

sebagai landasan pembangunan nasional, ternyata

7

memunculkan kolonialisme baru dari Barat. Dominasi

Barat yang merambah sekecil apapun ruang publik

di negeri ini, merupakan bentuk penjajahan terhadap

tradisi dan pemikiran lokal. Belum lagi ekses yang

ditimbulkan dari modernisasi tersebut mengancan

peradaban masa depan. Apalagi di tempat asalnya,

muncul kesadaran bahwa modernisme ternyata lebih

banyak meng-hancurkan dari pada membangun

peradaban. Mengagung-agungkan rasio ternyata

telah me-nerjang batas-batas keyakinan,

kepercayaan, ke-imanan, dan agama. Kebebasan

mengeksplorasi alam demi kepentingan ekonomi dan

kesejahteraan umat manusia, ternyata malah

merusak kese-imbangan alam itu sendiri.

Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi

sebagai agen moderni-sasi, ternyata mengakibatkan

dehumanisasi.

Serangkaian realitas itulah yang perlu

dicermati bagi bangsa Indonesia. Jika selama ini

pembangunan nasional tercentralistik dan pem-

8

bangunan di daerah sebagai kepanjangan tangan

yang pusat, maka sudah saatnya orientasi ke-

daerahan memegang peranan yang pertama dan

utama. Dengan memperhatikan realitas sejarah dan

ekses yang ditimbulkan atas pilihan paradigma

pembangunan nasional selama ini, maka kerangka

pembangunan daerah mesti harus dibangun. Salah

satu bagian dari kerangka pembangunan daerah

tersebut adalah tersusunnya referensi bagi di-

ambilnya suatu kebijakan dari sebuah wacana kritis

intelektual lokal.

2

Hakekat pembangunan di daerah sesung-

guhnya merupakan upaya berkelanjutan untuk

merubah kondisi masyarakat suatu daerah menjadi

lebih baik di semua sektor kehidupan. Untuk

mewujudkan perubahan yang lebih baik itu, sudah

tentu berangkat dari persoalan-persoalan yang

berkembang di tengah masyarakat. Dan me-

9

mandang persoalan-persoalan masyarakat bukan

sekedar mengidentifikasi permasalahan tersebut,

tetapi ditempatkan pada konteks sistemik dan

kultural masyarakat itu. Tidak ada satu pun

persoalan masyarakat yang lepas dari konteks sosio-

kultural dan pranata yang mengatur ek-sistensi

masyarakat itu. Dengan demikian, pe-mahaman

terhadap persoalan-persoalan tersebut memerlukan

kajian kritis berdasarkan pemikiran, analisis, dan

aplied reaserch. Pendekatan yang lebih rasional dan

berorientasi pada pemecahan masalah. Di sinilah

pentingnya wacana kritis sebagai salah satu

referensi utama para pengambil kebijakan di tingkat

lokal.

Permasalahannya adalah, apakah sudah

terbangun tradisi wacana intelektual lokal di daerah-

daerah? Apakah para pengambil kebijakan

pembangunan daerah memiliki sikap dan pan-

dangan yang positif terhadap wacana intelektual

lokal tersebut?

10

Pembangunan pada dasarnya menciptakan

perubahan yang lebih baik. Perubahan yang lebih

baik tersebut akan berhasil apabila bertujuan

memecahkan persoalan yang berkembang di suatu

daerah. Implementasi dari pemikiran tersebut adalah,

pembangunan suatu masyarakat bukan semata-

mata suatu kebutuhan, tetapi suatu cara yang

diperlukan untuk memecahkan permasalahan yang

ada. Jika pembangunan hanya dipandang dan

berangkat dari kebutuhan suatu masyarakat, maka

persoalannya adalah, apakah kebutuhan yang

dimaksud benar-benar sebagai solusi bagi

permasalahan yang selama ini berkembang di

masyarakat itu? Jika tidak, pembangun di daerah

justru akan memunculkan permasalahan yang baru.

Oleh karena itulah, keberhasilan pem-bangunan di

daerah akan tercapai apabila mampu memecahkan

permasalahan yang ada di ma-syarakat tersebut.

Untuk mencapai kebijakan pembangunan

semacam itu diperlukan pemahaman yang me-

11

nyeluruh terhadap permasalahan yang ber-kembang

di masyarakat. Pemahaman tersebut bukan sekedar

mengidentifikasi permasalahan tanpa ditempatkan

dalam konteks sosiokultural dan pranata yang

mengatur eksistensi masyarakat tersebut. Tak ada

persoalan satu pun di suatu masyarakat yang lepas

dari konteksnya. Artinya, permasalahan yang timbul

di suatu masyarakat selalu bersumber dari fenomena

yang berkembang di masyarakat itu. Oleh karena itu,

pemahamannya diperlukan cara pandang yang

holistik, menyangkut keseluruhan kausalitas yang

menyangkut muncul-nya permasalahan tersebut.

Tidak cukup data kuantitatif dari sebuah laporan atau

dokumen kelembagaan untuk memahami suatu

permasalah-an bagi pengambilan kebijakan

pembangunan di daerah.

Di sinilah peran intelektual lokal diperlukan

untuk memberikan sumbangan pemikirannya dalam

rangka pemahaman permasalahan yang ber-

kembang di masyarakat. Pemahaman permasalahan

12

secara holistik membutuhkan kom-petensi yang

khusus dan kajian yang rasional. Ranah inilah yang

seharusnya menjadi wilayah bagi para intelektual di

daerah untuk turut serta dalam pengambilan

kebijakan pembangunan daerah. Paling tidak, hasil-

hasil pemikiran intelektual lokal menjadi referensi

untuk pengambilan suatu ke-bijakan pembangunan

yang efektif. Sayangnya, referensi pengambilan

kebijakan pembangunan daerah belum meng-

ikutsertakan hasil-hasil pe-mikiran intelektual lokal.

Ada dua alasan mengapa hal tersebut terjadi.

Pertama, kurangnya kemauan para intelektual lokal

untuk turut melibatkan secara profesional bagi

pembangunan di daerah. Kesibukan mereka lebih

berfokus pada pe-ngembangan keilmuan secara an

sich tanpa mengimplementasi-kan keilmuan itu

secara praktis. Kedua, kurangnya fasilitas dan

kesempatan yang diberikan pemerintah daerah bagi

munculnya pemikiran para intelektual lokal untuk

turut serta terlibat terhadap pem-bangunan daerah.

13

Kedua hal tersebut dapat terpecahkan dengan

membangun tradisi wacana kritis intelektual lokal.

Di belahan bumi mana pun, wacana kritis

selalau memberikan warna bagi terbentuknya

kesadaran dan kehidupan masyarakat modern.

Secara kultural, wacana kritis merupakan suatu

narasi besar yang dibangun berdasarkan produk-

produk budaya yang dihasilkan oleh masyarakat.

Ranah produk budaya selama sejarah bangsa ini

ada, selalau dibangun dari kelompok intelektual

terpelajar. Semenjak sistem kerajaan di Indonesia

pada masa silam hingga saat ini, penanaman

ideologi, baik demi kepentingan kelanggengan

kekuasaan maupun semata-mata membangun

kemasyuran peradaban (?), selalu menempatkan

wacana intelektual sebagai medianya.

Ujung pemikiran ini menyiratkan suatu makna

bahwa wacana kritis yang dibangun atas dasar

pemikiran-pemikiran kaum intelektual menjadi acuan

utama untuk mengarahkan bentuk-bentuk kehidupan

14

dan kesadaran masyarakat. Kalau saat ini muncul

suatu pemikiran baru tentang pentingnya perspektif

kedaerahan sebagai hal pertama dan utama dalam

perubahan masyarakat ke depan melalui pem-

bangunan daerah, maka sudah saatnya wacana

kritis intelektual lokal harus dibangun. Kedua makna

tersirat yang kita tangkap tersebut dapat di-

implementasikan jika, paling tidak, ada empat

prasyarat mesti dipenuhi. Pertama, diperlukan

keterlibatan para intelektual lokal secara serius dan

berkelanjutan terhadap pelaksanaan pembangunan

di daerah sesuai dengan fungsi dan kompetensinya.

Kedua, dimanfaatkannya semua fasilitas yang ada

bagi terbangunnya wacana kritis intelektual lokal

sebagai kontribusi terhadap kebijakan pembangun-

an daerah. Ketiga, perlunya referensi kritis dalam

pengambilan kebijakan pembangunan di daerah.

Keempat, adanya sikap dan pandangan yang positif

terhadap pentingnya sumbangan pemikiran para

15

intelektual bagi pengambilan kebijakan dan pe-

laksanaan pembangunan daerah.

3

Inilah sekelumit pemikiran awal sebagai

bahan diskusi dalam rangka membangun tradisi

wacana kritis bagi pembangunan daerah. Muara

pemikiran ini diharapkan terjadi ke dalam sikap dan

pandangan yang positif pentingnya keterlibatan

semua komponen daerah bagi perubahan ma-

syarakat ke depan. Sinyalemen para ahli tentang

ancaman globalisasi, kolonialisme baru, dan

indikator terjadinya gegar budaya di Indonesia, bisa

disikapi secara kritis dan rasional. Membiarkan

permasalahan yang muncul tanpa berupaya

memperbaiki dan memecahkannya, merupakan

kesalahan yang tak termaafkan.

Tema utama yang menarik perhatikan untuk

didiskusikan dalam kerangka membangun wacana

kritis di daerah dewasa ini adalah, pertama,

membangun paradigma kedaerahan sebagai

16

landasan pembangunan nasional (juga daerah).

Kedua, narasi globalisasi ternyata merupakan

intensitas dari bentuk kolonialisme Barat terhadap

negara-negara berkembang yang harus diwaspadai

dan disikapi. Ketiga, budaya pop harus diwaspadai

dan diadaptasi secara bijak agar tidak menimbulkan

permasalahan ke depan (simak kasus Prita dan Luna

Maya sebagai dampak kurang bijaknya menyikapi

dan mengadaptasi budaya pop; termasuk di

dalamnya Undang-Undang ITE).

17

LOKALISME DAN KEBIJAKAN KEBUDAYAAN DI KAB. TUBAN

Beberapa Gagasan Awal

Pendahuluan

Di awal makalah ini marilah kita menyingkap

tiga fenomena dalam kebudayaan Indonesia yang

sangat menarik dan terkesan ironis. Pertama, koleksi

naskah lama Indonesia (khususnya sastra Jawa)

yang terlengkap berada di negeri Belanda.

Penelitian-penelitian terhadap sastra lama Indonesia

pada akhirnya kurang lengkap kiranya tanpa harus

pergi ke negara bekas penjajah Indonesia itu.

Kedua, pertunjukan drama La Galigo, karya sastra

paling panjang di dunia dari Bugis, tidak mungkin

dipentaskan di Indonesia lantaran keterbatasan

sarana pertunjukan. Pertunjukan yang mengangkat

18

epos asli Bugis itu disutradarai oleh Robert Wilson

(AS). Setelah dari Singapura, pertunjukan dilanjutkan

di Belanda, Prancis, Spanyol, Barcelona, Italia dan

Amerika Serikat. Pertunjukan ini dinilai sangat

berhasil dan banyak mendatangkan decak kagum

para penonton. Dan peristiwa ketiga adalah, konsep

tentang struktur masyarakat Jawa --santri, Priyayi,

dan abangan¸ menjadi proposisi teoritis yang teruji

dalam konteks keilmuan justru di tangan ilmuwan

Belanda Cliford Geertz. Konsep struktur masyarakat

Jawa tersebut sesungguhnya telah lama dibicarakan

orang Jawa sendiri jauh sebelum Geertz meng-

adakan penelitian antropologinya.

Apa makna dari tiga fenomena di gelanggang

kebudayaan Indonesia di atas? Ketiga fenomena

di atas memang memiliki dampak positif lantaran

kebudayaan Indonesia telah memasuki percaturan di

dunia internasional. Dalam konteks diplomasi

kebudayaan, tiga peristiwa tersebut mengangkat

citra bangsa Indonesia sebagai bangsa yang kaya

19

dan aneka ragam kebudayaannya di mata dunia.

Tetapi apakah di dalam negeri Indonesia sendiri

persoalan kebudayaan sudah tertangani lebih

serius? Nampaknya Indonesia harus berbenah diri

dalam menangani persoalan kebudayaannya.

Peristiwa pertama menunjukkan, ternyata penjajahan

di masa lalu tidak saja telah mengakibatkan

penderitaan ekonomi dan politik, tetapi juga

pengurasan habis-habisan warisan kebudayaan

bangsa ini. Sungguh ironis jika mempelajari

kebudayaan (sastra lama) sendiri harus pergi ke

negara lain. Bahkah, upaya pemerintah Sulawesi

Selatan untuk mengumpulkan kembali teks naskah

La Galigo, harus pergi ke Leiden Belanda dan

memakan waktu dan beaya tak sedikit.

Peristiwa kedua menunjukkan bagaimana

sarana pertunjukkan di Indonesia belum memadai

sehingga pertunjukan drama, yang mengangkat

cerita lama Indonesia, justru harus ke luar negeri.

Tak kurang dari presiden Megawati dan Yusuf Kalla,

20

yang waktu itu harus pergi ke Singapura untuk

menonton pertunjukan itu, harus merasa kecewa

terhadap realitas gelanggang kebudayaan Indonesia.

Sementara peristiwa ketiga menunjuk-kan betapa

bangsa Indonesia menjadi obyek perahan di dunia

keilmuan. Konsep santri-priyayi-abangan sesungguh-

nya bukan hal yang asing dalam pemikiran

masyarakat Jawa, jauh sebelum Clifort Geertz

mengadakan penelitian dan meng-angkatnya dalam

kancah keilmuan internasional.

Bangsa Indonesia harus mengakui bahwa

kesadaran menangani kebudayaan belumlah secara

serius ditangani di negeri ini. Gagasan dan pemikiran

kerap kali dilahirkan dalam kongres, simposium,

seminar, dialog, forum kerja sama, penelitian ilmiah,

dan forum-forum kebudayaan lainnya. Tetapi hal itu

hanya bersifat spasial dan cenderung terbatas

sekedar sebuah wacana. Gagasan dan pemikiran

tersebut belumlah ter-implementasikan ke dalam

kebijakan dan strategi penanganan kebudayaan

21

Indonesia. Persoalan kebudayaan memang teramat

luas. Apalagi dalam masyarakat Indonesia yang kaya

akan keanekaragaman budayanya, persoalan

kebudaya-an pada akhirnya samal halnya dengan

persoalan hidup dan kehidupan masyarakat

seluruhnya. Oleh karena itu, penanganan kebudaya-

an terasa hanya ‘tebang pilih”. Lebih dari itu,

pemahaman konsep kebudayaan nasional pada

masa lalu, yang dipahami sebagai puncak-puncak

ke-budayaan daerah, sungguh bersifat kanon dan

mengorbankan unsur-unsur kebudayaan daerah

yang lain.

Mencermati realitas gelanggang kebudayaan

di atas, perlu perubahan strategi penanganan ke-

budayaan Indonesia. Pertama, penelaahan kembali

identitas masyarakat dan kebudayaannya di tingkat

lokal, yang selama ini secara alamiah diterima begitu

saja. Kedua, penanganan persoalan kebudayaan

harus berangkat dari daerah-daerah (lokalitas)

sebagai kantong-kantong kebudayaan nasional. Dan

22

Ketiga, pentingnya pendekatan kebudayaan dalam

kebijakan pembangunan, baik secara nasional

maupun daerah. Ketiga pemikiran itulah tak ada

salahnya, menjadi bahan diskusi dalam dialog

kebudayaan saat ini. Tentunya pembahasannya

perlu dikonsentrasikan ke dalam konteks masyarakat

dan kebudayaan di kabupaten Tuban.

GAGASAN PERTAMA:

Telaah Identitas Masyarakat dan Kebudayaan Tuban

Chris Barker dalam bukunya Cultural

Studies,Teori dan Praktik (2009) mengemukakan

bahwa identitas yang stabil jarang dipertanyakan; ia

tampak ‘alamiah’ dan diterima begitu saja. Namun,

ketika ‘kealamiahan’ mulai terlihat pudar, kita

cenderung menelaah identitas-identitas ini dengan

cara baru.

Apa yang dikemukakan Barker di atas menjadi

relevan ketika isu Global Village muncul mengiringi

akselerasi kebudayaan dunia yang begitu cepat

23

akibat globalisasi. Seorang futurolog, Alfin Toffler

(dalam I Nengah Duija, Jurnal Wacana, Vol. 7, No. 2,

Oktober 2005, hl. 111), mengemuka-kan bahwa

suatu peradaban baru sedang tumbuh dalam

kehidupan saat ini. Bagi mereka yang buta

merekamnya, peradaban ini telah membawa gaya

baru kehidupan keluarga, mengubah cara kerja, cara

bercinta dan cara hidup, membawa tatanan ekonomi

baru, konflik-konflik baru, dan di atas semua itu, juga

mengubah kesadaran manusia. Serpihan peradaban

itu telah ada sekarang ini. Jutaan orang telah

menyelaraskan hidupnya dengan irama hari esok itu.

Manusia yang takut terhadap masa depan itu terlibat

dalam suatu pelarian yang sia-sia ke masa lalu dan

mencoba memulihkan kembali dunia mereka yang

sekarat, dunia yang melahirkan mereka.

Apa yang dibayangkan Toffler di atas,

betapapun jauh dan mengerikan ilustrasinya,

nampaknya menjadi background (dalam konteks

tulisan ini) bagi pandangan Barker tentang

24

pentingnya identitas suatu masyarakat dipertanya-

kan kembali. Dalam perspektif kultural, identitas

merupakan nilai-nilai kultural yang direpresentasi-kan

masyarakat dalam praktik-praktik kehidupan sehari-

hari. Ia yang membedakan dan menandai

karakteristik dalam batas-batas kebudayaan suatu

masyarakat. Dan jika diterapkan dalam kajian

tentang ke-Indonesia-an, sesungguhnya bergerak

pada wilayah kelokalan, sebagai alternatif cara

pandang ‘baru’ sebagaimana yang dimaksud oleh

Barker di atas.

Berbicara tentang identitas lokal (baca:

Tuban) mengarah pada suatu rumusan jawaban atas

pertanyaan, bagaimana mendiskripsikan diri (ma-

syarakat lokal Tuban) kepada luar diri (masyarakat

lokal lain). Hal itu merupakan konstruksi secara

historis dan kultural tentang makna-makna yang

direpresentasikan ke dalam praktik-praktik kehidupan

masyarakat. Makna-makna tersebut mempengaruhi

pola-pola hubungan sosial, produksi tek-teks kultural,

25

dan penilaian diri terhadap hakikat kehidupan kolektif

masyarakat (Tuban). Dengan demikian, masyarakat

Tuban dipandang sebagai diskursus yang bermakna.

Identitas lokal (Tuban) pada akhirnya adalah makna-

makna kultural tersebut.

Cara pandang yang selama ini dianut dengan

menempatkan identitas sebagaimana sifatnya yang

alamiah dan tetap, sudah tak relevan lagi. Konsep

identitas pada masa sekarang haruslah secara

eksplisit dirumuskan dan didiskripsikan secara

sengaja dan dinamis. Dengan cara semacam itu,

identitas mampu berperan sebagai kontrol diri,

pedoman, dan referensi bagi perkembangan

masyarakat Tuban ke depan. Identitas bukan hanya

diperlakukan sebagai slogan yang sangat lemah

posisinya ketika menghadapi arus perubahan dunia

yang cenderung mendominasi.

Idealnya, identitas suatu masyarakat merupa-

kan produksi sejarah dan kultural masa lalu yang

diinternalisasikan ke masa kini untuk memberikan

26

pedoman, pengarahan, dan kontrol diri ke masa

depan. Ia secara evolutif mengalami perkembangan

dan penghayatan dalam mengatur dan mempolakan

praktik-praktik kehidupan masyarakat melalui citra,

bunyi, obyek, dan aktivitas. Jika berangkat dari

asumsi itu, maka cara pandang tentang identitas

daerah Tuban tak dapat dilepaskan dari konteks

sejarah dan kultural yang membingkai perjalanan

kehidupan masya-rakatnya. Dengan demikian,

pembicarakan identi-tas daerah Tuban dapat melalui

empat pilar sejarah dan ultural yang membangun-

nya, yaitu realitas sejarah, keruangan, dan dan

orientasi nilai budaya.

Realitas Sejarah Tuban

Tuban memiliki sejarah penting pada masa

lalu. Pada zaman Singosari, Kediri, dan Majapahit,

kabupaten Tuban merupakan daerah pelabuhan

internasional yang sangat penting pada waktu itu.

Beberapa referensi sejarah Nasional Indonesia

27

mengungkapkan bahwa Tuban merupakan pusat

perdagangan Nusantara semenjak abad ke-11. Pada

abad ini Tuban telah banyak dikunjungi oleh

pedagang dari Arab, Persia, India, Burma, Kamboja,

Campa, dan Cina, di samping pedagang dari daerah-

daerah di nusantara. Sedangkan memasuki abad ke-

16 orang-orang Eropa, terutama Portugis dan

Belanda, masuk ke Tuban untuk memperluas

ekspansi kekuasaannya melalui Tuban.

Karena latar belakang geografis yang

strategis dan memiliki pelabuhan yang besar

tersebut, Tuban akhirnya menjadi pintu masuk

pengaruh dan infiltrasi asing ke Indonesia (Jawa).

Tercatat dalam sejarah nasional Indonesia, Tuban

merupakan daerah pendaratan pasukan Mongol di

bawah pimpinan Ku Bhilai Khan, untuk menyerang

kerajaan Majapahit. Begitu juga pelabuhan Tuban

menjadi pusat perdagangan di masa itu dalam

menyokong tata perekonomian Majapahit sebagai

kerajaan terbesar sepanjang sejarah Indonesia.

28

Islamisasi di Jawa juga tidak bisa dipisahkan

dari peran Tuban sebagai gerbangnya di masa awal

masuknya agama Islam di Jawa pada abad ke-15.

Tuban merupakan daerah terpenting bagi penyiaran

agama Islam pada zaman kerajaan Demak.

Runtuhnya kerajaan Majapahit pada awal abad XV,

yang ditandai oleh candrasengkala ‘Sirna Ilang

Kertaning Bumi’ (1400), pusat kerajaan beralih dari

Mojokerto ke Demak. Peralihan pusat kerajaan

tersebut tidak serta merta mengurangi peranan

Tuban sebagai daerah pelabuhan terpenting di

Jawa. Hubungan internasional dan regional bahkan

semakin meluas dalam bidang keagamaan dan

sosial. Wilayah ini menjadi pintu bagi masuknya

agama Islam, baik dari daerah lain seperti Aceh

misalkan, maupun dari Negara Arab.

Fakta sejarah di atas sudah tentu meninggal-

kan identitas dan kearifan lokal hingga masa kini.

Kebanggaan, citra, simbol, ritual, folklore, dan Ikon

sejarah menandai identitas Tuban sebagai daerah

29

yang memiliki ciri dan karakteristik sebagai

peninggalan sejarahnya. Dua situs peninggalan

periode sejarah tersebut, khususnya dari masa

kerajaan Majapahit dan Demak, adalah situs ka-

dipaten Tuban sebagai kota lama dan banyaknya

situs Makam Wali atau Sunan. Meskipun situs yang

pertama belum banyak digali, tetapi dalam

rekonstruksi sejarah kabupaten Tuban, peta situs

tersebut telah terbukti secara ilmiah dalam penelitian

sejarah. Sedangkan situs yang kedua hingga

sekarang masih terpelihara dan banyak dikunjungi

peziarah, yaitu: Makam Sunan Bonang, Syaikh

Ibrahin Asmaraqondi, Sunan Bejagung Lor (Syekh

Maulana Abdullah Asy’ari) dan Sunan Bejagung

Kidul (Hasyim ‘Alamuddin), Nyai Ageng Manyura,

Andong Wilis, Gagarmanik (Pangeran Tundung

Musuh), dan makam-makam lain yang banyak

tersebar di daerah-daerah di kabupaten Tuban.

Bahkan masyarakat Tuban menganggap makam

30

Syeh Siti Jenar berada di kelurahan Gedongombo,

Kecamatan Semanding.

Realitas sejarah masa lalu di atas dapat

menjadi titik pandang dalam pengungkapan identitas

Tuban. Realitas sejarah tersebut bukan hanya

terbatas sebagai fakta, tetapi memiliki pengaruh

psikologis dan praktik-praktik kebudaya-annya.

Semangat, kebanggsaan, pencitraan, peri-laku dan

cara pandang kelokalan, baik oleh masyarakat

Tuban sendiri maupun luar Tuban, sangat

dipengaruhi oleh hal itu. Dapat dikatakan bahwa

realitas sejarah masa lalu meninggalkan nilai-nilai

yang membangun pola pikir, perilaku, dan

berkebudayaan bagi masyarakat Tuban.

Berkaitan dengan itu, beberapa fokus

perbincangan tentang identitas kelokalan masya-

rakat Tuban, dapat diperoleh dalam empat hal.

Pertama, artefak, folklore, dan ritual ceremony yang

sampai saat ini masih dipertahankan, dipelihara, dan

menjadi sumber inspirasi bagi produk-produk budaya

31

kekinian. Kedua, pengaruh peninggalan sejarah

tersebut terhadap praktik-praktik ke-hidupan sehari-

hari masyarakat; Ketiga, norma, adat-istiadat dan

tradisi lokal yang secara kontinyu masih

dipertahankan masyarakat. Keempat, sejarah lokal

sebagai titik tumpu penyusunan sejarah nasional.

Pertanyaan yang kemudian muncul adalah,

apakah keempat hal tersebut masih cukup kuat

mengakar dalam praktik-praktik kehidupan masya-

rakat Tuban? Apakah kebijakan pembangunan

daerah Tuban selama ini memperhatikan hal

tersebut? Nampaknya perlu secara eksplisit di-

diskusikan dalam segala forum masyarakat.

Realitas Kewilayahan Tuban

Kalau sejarah Tuban menandai praktik-praktik

sosial budaya masyarakat, maka realitas

kewilayahan akan menandai kesadaran potensi diri

masyarakat. Identitas lokal Tuban pada sudut

pandang ini adalah kesadaran untuk memahami

32

kekuatan dan kekayaan yang dimiliki untuk

berkembang ke depan. Ketidaktahuan tentang

potensi diri dan/atau melupakannya, adalah sebuah

bentuk kemiskinan identitas.

Kesadaran tentang realitas kewilayahan tidak

sekedar sebuah wacana (dalam pengertian tekstual)

sebagaimana dalam wacana resmi pemerintah. Juga

bukan sebatas sebuah fakta keruangan tempat

masyarakat hidup dan berkembang. Lebih dari itu,

seberapa jauh masyarakat dan kebijakan pem-

bangunan daerah telah mampu memanfaatkan

realitas keruangan itu. Atau malah sebaliknya,

masyarakat dan pemerintah daerah sibuk dengan

paradima dari luar tanpa menyadari bahwa di dalam

dirinya banyak hal yang bisa dijadikan landasan,

orientasi, dan pedoman untuk berkembang. Terdapat

banyak pertanyaan yang dapat dilontarkan sebagai

indikator bahwa masyarakat Tuban telah menyadari

atau sebaliknya, kurang menyadri realitas

keruangan-nya. Jawaban atas berbagai pertanyaan

33

tersebut sekaligus menjadi indikator apakah realitas

keruangannya menjadi faktor bagi pembentukan

identitas kelokalan Tuban.

Secara keruangan, Tuban adalah daerah

pantai laut Jawa yang membentang di sebelah utara.

Laut merupakan anugerah Tuhan Yang Mahakuasa

untuk dimanfaatkan, dikembangkan, dan dioptimal-

kan bagi kemaslahatan masyarakat. Tuban juga

merupakan daerah yang dilalui pegunungan kapur

yang membujur di sebelah selatan. Di dalamnya,

begitu banyak energi alam yang besar yang dapat

dimanfaatkan dan dioptimalkan pula untuk kehidup-

an masyarakat. Realitas laut dan pegunungan yang

menjadi ciri keruangan daerah Tuban bukan semata-

mata sebagai fakta keruangan. Tetapi, keduanya

menjadi kekuatan dan potensi diri yang akan menjadi

faktor utama bagi pembangunan aspek-aspek

kehidupan masyarakat.

Pertanyaannya adalah, apakah realitas ke-

ruangan itu telah dimanfaatkan secara optimal

34

masyarakat untuk berkembang? Apakah realitas itu

telah menjadi salah satu orientasi dan prioritas

utama bagi kebijakan pembangunan daerah?

Seberapa jauh realitas itu menjadi warna dominan

bagi perjalanan kehidupan masyarakat untuk

memperbaiki hajat hidupnya? Ataukah sebaliknya,

realitas tersebut belum menjadi warna bagi

perjalanan kehidupan masyarakat Tuban; termasuk

di dalamnya, pemerintah daerah tidak menjadikan

realitas keruangan tersebut menjadi prioritas dan

target bagi rumusan kebijakan pembangunan

daerah. Nampaknya perlu keberanian untuk obyektif

dan jujur untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan

itu. Dengan begitu, dapat dirumuskan sebuah kontrol

diri dan kesadaran terhadap potensi diri ke arah

bangunan masyarakat yang beridentitas lokal.

Realitas Orientasi Nilai Budaya

Apakah yang ada di dalam benak masyarakat

sebagai landasan praktik-praktik sosial budayanya?

35

Bagaimana pandangan, sikap, dan keyakinan

masyarakat dalam memandang hakikat kehidupan-

nya sehari-hari? Jawaban terhadap pertanyaan

tersebut menjadi konsep pemahaman tentang

orientasi nilai budaya masyarakat daerah Tuban.

Dengan pemahaman tersebut akan dipahami pula

karakteristik masyarakat Tuban sebagai bagian dari

masyarakat-bangsa secara nasional. Orientasi nilai

budaya itu merupakan bagian dari identitas

masyarakat Tuban yang secara implisit selama ini

dipakai untuk menyikapi dan memandang perubahan

dan perkembangan dirinya. Dalam konteks

administrasi dan birokrasi pemerintahan, orientasi

nilai budaya juga menjadi landasan bagi pe-

ngambilan keputusan dan kebijakan pem-bangunan

oleh pemerintah.

Dalam kaitan dengan budaya lokal Ayu

Sutarto mengatakan, nilai-nilai budaya lokal memiliki

kekuatan strategis, baik kekuatan yang bermuatan

politis-filosofis, maupun ekonomis. Kekuatan yang

36

bermuatan filosofis dan politis dapat digunakan

sebagai rujukan dalam meningkatkan kualitas

kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan ber-

negara, sedangkan kekuatan yang bermuatan

ekonomis dapat dijadikan sebagai komoditas wisata

bagi kesejahteraan masyarakat pemiliknya (2002:9-

10). Nilai-nilai budaya tersebut akan menata struktur

budaya yang tampak dalam praktik-praktik kehidup-

an sehari-hari. Dapat dikatakan, nilai-nilai budaya

merupakan esensi terdalam yang menjiwai struktur

permukaan kehidupan ma-syarakat. Ke arah mana

nilai-nilai budaya tersebut diorientasi pemilik-nya,

akan menandai hakikat kehidupan yang dijalaninya.

Pemahaman orientasi nilai budaya

masyarakat Tuban semakin penting ketika per-

ubahan sosial budaya masyarakat modern semakin

cepat dan sebuah keniscayaan. Apalagi semangat

dan ke-sadaran kelokalan menjadi harta kekayaan

yang tak ternilai yang bisa menjadi kurban dalam

perubahan itu. Jika rasional masyarakat meng-

37

anggap bahwa perubahan yang tak terbendung itu

jangan sampai menghilangkan nilai-nilai dan

identitas lokal dan nasional, maka pemahaman

tentang orientasi nilai budaya menjadi landasan

setiap perubahan yang diakibatkan oleh kebijakan

pembangunan yang diterapkan ataupun perubahan

yang disebabkan oleh pengaruh dinamika

masyarakat yang lebih luas.

Diperlukan penelitian dan kajian tentang

orientasi nilai budaya masyarakat Tuban. Hasil-

hasilnya akan menjadi pertimbangan tentang

bagaimana menerapkan kebijakan pembangunan

daerah. Berbagai strategi kebijakan pembangunan

nasional selama ini telah diambil pemerintah daerah.

Berbagai pendekatan diterapkan dalam melaksana-

kan pembangunan daerah. Satu hal yang

nampaknya belum dilakukan pemerintah daerah,

yaitu menggunakan orientasi nilai budaya

masyarakat sebagai pertimbangan utama dalam

pengambilan kebijakan pembangunan daerah. Kira-

38

nya ke depan hal tersebut menjadi pertimbangan

pemerintah daerah. Sekaligus dengan pemahaman

orientasi nilai budaya masyarakat Tuban dapat

dipahami karakteristik dan kognitif masyarakat Tuban

sebagai sebuah identitas kelokalan.

GAGASAN KEDUA:

Lokalisme: dari Nasional ke Lokal

Apakah yang dimaksud dengan Lokalisme?

Lokalisme adalah semua pemikiran, gagasan, ide,

kepercayaan, keyakinan, dan sebagainya, yang

mengangkat persoalan-persoalan kelokalan sebagai

temanya. Apakah Lokalisme merupakan teori atau

gerakan? Lokalisme merupakan sikap dan

kesadaran untuk memperhatikan persoalan-

persoalan yang berkembang dalam wilayah lokal

atau daerah. Apakah bentuk manifestasi dari

lokalisme itu? Sebuah tradisi pewacanaan lokal yang

dibangun oleh semua pihak yang terlibat, merupakan

perwujudan dari lokalisme.

39

Apa pentingnya lokalisme dalam masyarakat

modern dewasa ini? Pada tataran yang lebih awal,

pentingnya lokalisme terletak pada tumbuhnya

kesadaran untuk mengangkat persoalan-persoalan

lokal sebagai sebuah wacana pemikiran dan

inspirasi kreatif. Mengapa? Produk-produk budaya

modern telah menipiskan dan menepiskan nilai-nilai

lokal di semua sendi kehidupan masyarakat.

Keaneka-ragaman produk budaya modern telah

menggeser produk-produk budaya lokal, baik

material maupun mental, ke arah bentuk kehidupan

dan pola kesadaram masyarakat yang berciri

konsumtif, instan, dan global.

Budaya massa, produk konsumtif, dan agen-

agen budaya modern lainnya, memiliki daya tarik

yang luar biasa. Secara evolutif dan pasti, produk-

produk budaya modern tersebut telah membangun

peradaban masyarakat modern yang mereduksi nilai-

nilai kelokalan. Masyarakat tidak mungkin menolak

semua itu, termasuk resiko yang ditimbulkannya.

40

Penolakan terhadap produk-produk budaya modern

yang telah terlanjur membentuk pola kehidupan

masyarakat sehari-hari, akan memunculkan

persoalan-persoalan baru yang tak kalah berat

resikonya. Yang perlu disikapi adalah, bagaimana

produk-produk budaya modern tersebut diadaptasi

dan ditransformasi dalam konteks kelokalan atau

kedaerahan. Bangunan peradaban masyarakat

modern bukanlah hasil dari internasionalisasi,

westernalisasi, dan globalisasi. Tetapi, peradaban

masyarakat modern adalah internalisasi nilai-nilai

modern ke dalam nilai-nilai lokal dan sebaliknya.

Internalisasi merupakan kata kunci pem-

bangunan peradaban masyarakat Indonesia modern

yang berangkat dari lokal (daerah). Internalisasi

bukan hanya dalam pengertiannya yang material,

tetapi juga mental. Internalisasi secara mental

merupakan penghayatan terhadap adanya nilai-nilai

kehidupan modern sebagai hasil modernisasi dan

nilai-nilai lokal hasil sejarah masa lalu yang secara

41

turun-menurun diwarisi masyarakat. Di satu sisi,

hasil-hasil modernisasi tidak mungkin ditolak beserta

dampak yang ditimbulkannya, baik positif maupun

negatif. Di sisi yang lain, nilai-nilai sosiokultural yang

telah mengakar dalam sejarah, semenjak masa lalu

hingga sekarang, harus tetap menjadi penanda dan

maknanya dalam kehidupan masyarakat hingga ke

depan. Keduanya tidak saling meniadakan satu

sama lain. Dan tidak mendominasi satu sama lain.

Keduanya dihayati dalam sikap, kesadaran,

tindakan, dan produksi budaya modern yang

mengindonesia.

Selama ini konsep indonesia cenderung

dihayati sebagai bagian dari wilayah yang luas,

global. Meskipun telah lama disadari bahwa

Indonesia merupakan negara yang berciri plural-istik,

tetapi perjalanan kehidupannya cenderung ber-

orientasi ke persoalan-persoalan global. Indonesia

lebih digerakkan untuk siap berhadapan dengan

persoalan internasional (Barat) dari pada persoalan-

42

persoalan lokal. Penghayatan semacam ini

menipiskan dan menepiskan persoalan-persoalan

lokal. Indonesia akan dinilai dari keberhasilannya

mengejar kemajuan yang telah dicapai negara-

negara lain. Caranya, transfer ilmu pengetahuan dan

teknologi dilakukan dengan akselarasi yang tinggi;

tentunya di dalamnya turut serta kapitalisme liberal.

Tetapi hal itu meninggalkan kekayaan dan potensi

sendiri yang seharusnya digali. Tak pelak lagi

berakibat pada dominasi Barat terhadap yang lokal.

Biang keladinya adalah pilihan tanpa reserve

terhadap modernisme sebagai paradigma pem-

bangunan nasional.

Sudah saatnya untuk menghayati konsep

Indonesia membangun sejarahnya sendiri. Indonesia

adalah sebuah bangsa yang bernegara lokal.

Indonesia adalah bangsa yang bertempat tinggal di

daerah-daerah. Indonesia adalah sebuah bangsa

yang memiliki persoalan-persoalan daerah yang

harus dipecahkan; memiliki kekayaan dan potensi

43

daerah yang harus dikembangkan; memiliki nilai-nilai

sosiokultural daerah untuk menghadapi masuknya

pengaruh dan kebudayaan global.

Sejarah nasional dan kebudayaannya pada

gilirannya terdiri dari sejarah-sejarah lokal yang

beraneka ragam (multikultural). Tidak ada kanon-

isasi di sana, karena kanonisasi akan

menghilangkan sekian banyak fakta-fakta sejarah

lokal. Sejarah nasional dengan demikian merupakan

sejarah lokal; dan sebaliknya, sejarah lokal adalah

sejarah nasional. Bentuk sejarah nasional yang

berciri lokal itulah yang mampu mewadahi dan

mewacanakan hasil-hasil internalisasi dalam

bangunan peradaban ma-syarakat Indonesia

modern, yang sudah semenjak lama memiliki

kekayaan kultural yang beraneka ragam

(multikultural). Bentuk sejarah nasional yang berciri

lokal itulah yang mampu mem-belajarkan

masyarakat ke depan. Karena ke-budayaan pada

hakikatnya adalah proses belajar masyarakat.

44

Lokalisme merupakan sikap dan kesadaran

membangun sejarah lokal (nasional) di atas sejarah

global. Sejarah dalam konteks ini bukanlah dalam

pengertian sebagai perekaman dan/atau penulisan

atas fakta-fakta sejarah, melainkan masyarakat dan

proses kebudayaannya itu sendiri. Wacana nasional

dan internasional selama ini lebih mengemuka dan

mendominasi sejarah masyarakat Indonesia.

Sementara wacana lokal yang begitu banyak dan

berkembang di daerah-daerah tidak mampu meng-

imbanginya. Budaya masa dan orang-orang dalam

lingkaran kekuasaan pusat, memiliki andil terbesar

dalam mengangkat wacana nasional dan inter-

nasional seolah-olah begitu darurat dan pentingnya

untuk segera terpecahkan. Sedangkan wacana-

wacana lokal yang tak kalah penting, ibarat

penyedap rasa bagi masakan nasional dan

internasional tersebut. Ekstremnya, ada atau tidak

penyedap rasa itu, tak ada bedanya.

45

Menghadapi semua itu diperlukan semua

pemikiran, gagasan, ide, sikap, kepercayaan,

keyakinan, dan sebagainya, yang berangkat dari

persoalan-persoalan lokal. Sebutlah lokalisme; tapi

bukan ikut-ikutan menitru isme-isme-an yang

bermunculan dewasa ini. Ia adalah penanda beserta

maknanya; semua sikap dan pola berpikir yang

mewacanakan persoalan-persoalan lokal sebagai

fokus perhatian dan tema inspirasi kreatif

masyarakat. Dibutuhkan semua komponen masya-

rakat daerah untuk membangun lokalisme. Lokal-

isme tidak dibangun dari atas (pusat) secara

sentralistik. Ia mesti dibangun dari daerah, karena

hanya daerah yang memahami persoalannya sendiri.

Semangat desentralisasi yang muncul

semenjak tumbangnya kekuasaan Orde Baru,

seharusnya dibarengi munculnya semangat lokal-

isme. Tetapi semangat desentralisasi tersebut

hanyalah termanifestasikan pada kebijakan institusi

pemerintah dalam bidang birokrasi dan regulasi.

46

Dengan begitu, desentralisasi lebih cenderung

membentuk raja-raja kecil yang kekuasaannya lebih

represif dari pada sebelum isu desentralisasi

tersebut muncul.

Sudah saatnya semua pemikiran, gagasan,

ide, sikap, kepercayaan, keyakinan, dan se-

bagainya, yang berangkat dari persoalan-persoalan

lokal, secara kolektif digerakkan lebih kuat lagi.

Budaya massa yang selama ini memiliki dosa besar

dalam mengakselerasi budaya modern beserta

dampaknya, harus menjadi bagian dari proyek

lokalisme ini. Aparatus kekuasaan yang selama ini

juga tenggelam dalam pola berpikir normatif dan

konvensional harus membuka wawasannya. Para

akademis, praktisi, dan profesional harus

menempatkan lokalisme ke dalam bidang garapan-

nya. Budayawan dan seniman daerah harus meng-

angkat tema-tema lokal sebagai inspirasi kreatif

mereka, tanpa mengurbankan hak-hak kreativitas-

nya. Pendeknya, diperlukan semua komponen

47

masyarakat untuk mengangkat kelokalan dalam

proyek-proyek garapannya. Dengan begitu, lokal-

isme akan mampu mengimbangi wacana-wacana

nasional dan internasional untuk me-ngemuka dan

mendominasi sejarah peradaban dan kebudayaan

bangsa.

Hegemoni ideologi global perlu ditandingi

dengan ideologi lokal. Lokalisme menjadi semakin

penting ketika arus globalisasi menyeruak ke

permukaan. Arus deras informasi dan komunikasi

sebagai penanda globalisasi membawa dampak

masuknya budaya asing tanpa filterisasi. Ia secara

mudah, cepat, dan efektif memasuki ruang-ruang

publik. Masyarakat tanpa dibedakan status, usia,

agama, geografi, dan sosiokulturalnya, dapat

langsung menerima setiap isi informasi dan

komunikasi. Tak ada skat apapun yang mem-

batasinya. Batas-batas bangsa, kebudayaan, kelas

sosial, hingga status dan latar belakang orang

perorang, diterabas. Pada sisi ini, globalisasi lebih

48

merusak dari pada membangun. Lantas, apakah

globalisasi dibiarkan begitu saja bergerak tanpa

disikapi? Apakah globalisasi diterima begitu saja,

sebagaimana menerima modernisasi sebagai satu-

satunya pilihan tanpa reserve, yang ternyata banyak

membawa bencana dari pada membangun per-

adaban yang lebih baik?

Lokalisme akhirnya juga menempatkan dirinya

dalam konteks globalisasi tersebut. Pada konteks ini,

lokalisme menjadi efektif sebagai filter dan kebijakan

terhadap budaya asing dan resikonya yang dibawa

oleh derasnya arus informasi dan komunikasi dunia.

Budaya asing tak mungkin dibendung. Budaya asing

tak mungkin ditolak masuk ke ruang publik

masyarakat. Apapun bentuk, isi, dan dampaknya

akan merambah masyarakat. Tetapi membiarkannya

begitu saja terjadi merupakan kelemahan dan

ketidak-mampuan masyarakat menyikapi perubahan.

Lokalisme akan mengambil perannya sebagai cara

pandang dan landasan untuk mengelola, mengolah,

49

memilih, dan menentukan apa yang bermanfaat bagi

konteks sosiokultural masyarakat.

Semua itu tak akan pernah berhasil apabila

lokalisme tidak secara tegas menjadi kesepakatan

masyarakat daerah (Tuban). Di dalam konteks

pemikiran inilah masyarakat Tuban perlu me-

nyepakati bahwa lokalisme menjadi paradigma

pembangunan daerah. Modernisme yang berdasar-

kan kebebasan, rasio, universalitas, dan dengan ilmu

pengetahuan dan teknologi sebagai agennya,

haruslah digantikan oleh lokalisme. Lokalisme bukan

menolak kemajuan yang telah dicapai oleh

modernisasi selama ini. Tapi lokalisme juga tak akan

membiarkan produk-produk budaya sebagai hasil

modernisasi itu tanpa berpijak pada nilai-nilai

kelokalan yang selama ini telah mengakar dalam

bentuk kehidupan dan pola kesadaran masyarakat.

Dengan lokalisme itulah, persoalan kebudayaan

Tuban memperoleh tempat dan porsi penting dalam

dinamika masyarakat Tuban.

50

GAGASAN KETIGA:

Pendekatan Kebudayaan dalam Kebijakan

Pembangunan Daerah di Tuban

Dalam teori kebudayaan diungkapkan sebuah

proposisi bahwa masyarakat menciptakan kebudaya-

annya, yang pada gilirannya kebudayaan itu akan

mengatur kehidupan masyarakat yang mencipta-

kannya. Artinya, masyarakat sebagai subyek

sekaligus obyek bagi kebudayaannya. Sebagai

subyek, masyarakat membangun kebu-dayaan se-

bagai hasil akal budinya. Sebagai obyek, masyarakat

akan dipedomani, diatur, dan diarahkan oleh

kebudayaan yang telah diciptakannya itu. Peradaban

masyarakat pada akhirnya ditentukan oleh

bagaimanakah dialog secara dialektik antara

masyarakat dengan kebudayaannya terjadi dalam

kehidupan sehari-hari.

Menarik apa yang terjadi dalam realitas

sejarah masyarakat Indonesia semenjak tahun 70-an

hingga sekarang. Pada era kekuasaan Soeharto

51

dengan regim Orde Barunya, bahwa segala

pengertian, kebenaran, sistem pemaknaan, dan

kekuasaan berada dalam dominasi negara

(meminjam analisis Mudji Sutrisno dan Hendar

Putranto dalam bukunya berjudul “Teori-Teori

Kebudayaan,2005). Dan ketika Orde Reformasi

berhasil menumbangkan rezim Orde Baru itu, bukan

dengan sendirinya menumbangkan pula bentuk-

bentuk kesadaran yang telah dibangun selama

pemerintahan Soeharto berkuasa. Ke-bebasan,

demokratisasi, sentralisme, dan dominasi, memang

bergerak lebih terbuka di era Reformasi. Tetapi

dalam wajah yang berbeda, reformasi melahirkan

regimitas baru yang juga tak mampu menyelesaikan

persoalan yang menyangkut hajat hidup orang

banyak, sebagaimana di era Soeharto. Korupsi,

penyimpangan hukum, ke-miskinan, pe-ngangguran,

dan sebagainya, masih menjadi per-soalan yang

seolah tak pernah bisa teratasi. Dominasi negara di

era Orde Baru beralih pada dominasi raja-raja kecil

52

sebagai ekses yang ditimbulkan oleh semangat

desentralisasi. Lantas apa yang terjadi sesungguh-

nya?

Cara pandang kebudayaan dalam memahami

desentralisasi kekuasaan yang terjadi di era

reformasi adalah, mengurangi pemegang klaim

kebenaran dan sistem pemaknaan terhadap

dinamika masyarakat dari pemerintah pusat ke arah

pemerintahan daerah sebagai bagiannya. Dengan

demikian, dominasi negara terhadap klaim ke-

benaran dan sistem pemaknaan masyarakat dan

kebudayaan tetap terjadi, hanya beralih di tangan

kekuasaan pemerintah daerah. Dalam pemahaman

seperti ini, sesungguhnya semangat untuk merubah

dominasi negara (=kekuasaan) tidak menghasilkan

apa-apa. Dinamika masyarakat dan kebudayaannya

masih ditentukan oleh asumsi-asumsi dan

metodologis yang dibangun oleh kekuasaan, baik

pusat maupun daerah.

53

Kerangka pemikiran dalam konteks realitas

masyarakat Indonesia di atas kiranya menjadi

perhatian semua pihak. Ketika kemiskinan dan

pengangguran masih menjadi persoalan yang tak

terpecahkan semenjak kemerdekaan negeri ini,

maka dibutuhkan asumsi-asumsi yang menyokong

kebijak-an pemerintah dalam rangka me-nyelesaikan

persoalan itu. Apalagi, jika mencermati bahwa

strategi yang diambil selama ini, ternyata tidak

berhasil menyelesaikan persoalan kemiskinan dan

pengangguran itu. Berbagai asumsi telah diletakkan

sebagai landasannya. Berbagai metodologi telah

dibangun sebagai strateginya. Dan berbagai aturan

perundangan telah dibuat untuk mendorong

terselesaikan kedua persoalan itu. Tetapi semua itu

seolah seperti melabur angin.

Di sinilah diperlukan pendekatan kebudayaan

dalam menerapkan kebijakan pem-bangunan daerah

(nasional). Jika ditarik lebih sempit ke arah

pembangunan daerah kabupaten Tuban, sudah

54

waktunya secara eksplisit menempatkan pendekatan

kebudayaan sebagai cara pandang dalam

menangani persoalan-persoalan daerah dan me-

mecahkannya melalui penerapan kebijakan pem-

bangunannya. Pendekat-an kebudayaan sema-cam

itu memanfaatkan kelebihan atau keunggulan dan

kelemahan-ke-lemahan yang dimiliki masyarakat di

kabupaten Tuban.

Ayu Sutarto mengatakan, pendekatan

budaya dapat digunakan sebagai alat untuk

mencermati kehidupan sehari-hari yang berkaitan

dengan kemajemukan, perbedaan, keterbelahan,

ketidak-sinambungan ber-bagai peristiwa, kemuncul-

an berbagai gejala yang bercampur aduk dengan

berbagai macam variable yang tentunya sulit

dipahami melalui pendekatan kuantitatif (2002:2-3).

Pendekatan budaya juga dapat digunakan

untuk mencermati dan memahami sejarah konflik,

mempelajari budaya lokal berbagai etnik secara rinci,

kemudian melakukan dialog dengan berbagai pihak

55

untuk mendengarkan aspirasi mereka serta

alternatif-alternatif jalan keluar yang mereka tawar-

kan. Pendekatan budaya ini juga dapat diterapkan

untuk menetapkan kebijakan-kebijakan di berbagai

bidang (Kusni dalam Sutarto,2001:36-37). Pendek

kata, pendekatan kebudayaan menyatakan bahwa

pembangunan di daerah mesti berlandaskan pada

kebudayaan di daerah itu. Pernyataan ini bukanlah

tanpa mengandung kesulitan. Terdapat model-model

pembangunan modern yang acap kali berbenturan

dengan kebudayaan daerah. Tetapi melalui upaya

internalisasi budaya daerah dan modern, se-

bagaimana diungkapkan sebelumnya, dapat dike-

temukan berbagai solusinya. Di samping itu, pen-

dekatan budaya bukanlah satu-satunya pendekatan

dalam pembangunan daerah. Pendekat-an budaya

dapat menjadi wacana tandingan melawan

hegemoni pendekatan yang lain yang selama ini

telah dipilih.

56

Penutup

Alur pemikiran di atas pada akhirnya dapat

diambil beberapa kesimpulan sebagai berikut.

1. Diperlukan cara pandang baru dalam memahami

dinamika masyarakat yang serba cepat ini.

Lokalisme dapat menjadi alternatif cara pandang

tersebut. Semua pemikiran, gagasan, ide,

sikap, kepercayaan, keyakinan, dan sebagainya,

yang berangkat dari persoalan-persoalan lokal

merupakan lokalisme. Lokalisme adalah pe-

nanda beserta maknanya semua sikap dan

pola berpikir yang me-wacanakan persoalan-

persoalan lokal sebagai fokus perhatian dan

tema inspirasi kreatif masyarakat. Dibutuhkan

semua komponen masyarakat daerah untuk

membangun lokal-isme. Lokalisme tidak di-

bangun dari atas (pusat) secara sentralistik.

Ia mesti dibangun dari daerah, karena hanya

daerah yang memahami persoalannya sendiri.

57

2. Salah satu wujud lokalisme adalah pemahaman

diri masyarakat atas karakteristik, potensi,

beserta kebudayaannya, sebagai suatu identitas.

Dalam dinamika masyarakat modern yang serba

cepat dan bersifat internasionalisasi, westernal-

isasi, dan globalisasi, identitas kelokalan semakin

memegang peranan penting. Perkem-bangan

masyarakat modern perlu upaya filterisasi dan

internalisasi ke dalam konteks kelokalan.

Identitas kelokalan sangat penting untuk

mewujudkan itu.

3. Masyarakat Tuban dapat mengambil aspek

sejarah, keruangan, dan orientasi nilai budaya

masyarakat, sebagai pilar untuk memahami

karakteristik dan potensi diri. Ketiga aspek

tersebut sekaligus sebagai pilar terbentuknya

identitas kelokalan masyarakat Tuban. Pe-

merintah daerah dan komponen masyarakat

lainnya memegang peranan penting untuk

mewujudkan hal tersebut.

58

4. Semua persoalan di atas sesungguhnya

bermuara pada penerapan pendekatan ke-

budayaan sebagai landasan pengambilan ke-

bijakan pembangunan daerah di kabupaten

Tuban. Pendekatan tersebut akan memandang

bahwa pembangunan daerah mesti harus

berdasarkan persoalan sendiri. Hal tersebut

menjadi wacana tandingan terhadap model-

model pembangunan yang selama ini menjadi

pendekatan pembangunan.

Tulisan ini Disampaikan dalam Dialog Kebudayaan

Dinas Perekonomian dan Pariwisata Kabupaten Tuban

20 Oktober 2011

59

DAFTAR PUSTAKA

1. Barker, Chris. 2006. Cultural Studies, Teori dan

Praktik. Bantul: Kreasi Wacana.

2. Duija, I Nengah . dalam Jurnal Wacana, Vol. 7,

No. 2, Oktober 2005, hl. 111

3. Nunus Supardi, 2007. Kongres Kebudayaan

1918-2003, Yogyakarta : Penerbit

”Ombak”

4. Sutrisno, Mudji dan Hendar Putranto. 2005.

Teori-Teori Kebudayaan. Yogyakarta:

Kanisius.

5. Sutarto, Ayu dan Setyo Yuwono Sudikan,

Pendekatan Kebudayaan dalam

Pembangunan Provinsi Jawa Timur.

Surabaya:

6. Sarup, Madan. 2008. Postrukturalisme dan

Posmodernisme. Yogyakarta:

Jalasutra.

7. Selu Margaretha Kushendrawati, Masyarakat

Konsumen Sebagai Ciptaan

60

Kapitalisme Global: Fenomena Budaya

Dalam Realitas Sosial dalam Makara,

Sosial Humaniora, Vol. 10, No. 2,

Desember 2006: 49-57.

61

RASIONALITAS

Menentukan Jalan Peradaban Sendiri

Satu hal yang tidak disadari –barangkali juga

kurang dimengerti --bahkan cenderung untuk ditolak

karena tidak seidologis, adalah rasionalitas manusia

semenjak abad XIX hingga kini dituntun oleh tradisi

pemikiran kaum Marxis. Andaikan Karl Marx tak ada,

rasionalitas manusia tak segempita seperti ini.

Barangkali juga, modernisme tak memiliki tandingan,

kapitalisme melesat tanpa ada yang melihat, yang

marginal tetap marginal, yang lokal tetap lokal, pusat

dengan kanonisasinya semakin mendominasi, kaum

buruh hanya dapat menatap nanar pada majikan,

perempuan terpinggirkan, ideologi menjajah warisan

kolonial dan feodal dipertahankan, dan seterusnya.

62

Tapi mungkin juga tidak. Namanya pengandaian,

bisa terjadi bisa tidak. Semuanya tergantung arus

perubahan. Dan dalam perubahan banyak hal bisa

terjadi. Ia seperti aliran sungai, semuanya dapat

dihanyutkan.

Di sisi yang lain, kita menyadari satu hal pula,

bahkan cenderung tak lagi mampu menolaknya,

bahwa ekonomi politik masyarakat telah dituntun

oleh tradisi pemikiran liberal kapitalis. Dengan filsafat

modern-ismenya, beragenkan sain dan teknologinya,

ber-in-strumenkan industri, dan berjiwakan rasional,

ia mendominasi bentuk kehidupan dan kesadaran

manusia hingga kini. Andaikan proyek pencerahan

sebagai ibu kelahiran liberal kapitalis itu tak pernah

terjadi, kehidupan ini tak seglamour sekarang ini.

Barangkali pemikiran marxis tak pernah ada, karena

ke-ada-annya disulut oleh liberal kapitalisme.

Barangkali juga tak ada klaim kebenaran rasional,

tak ada pertentangan kelas, marginal bersanding

harmonis dengan pusat, lokal dengan nasional,

63

keberbedaan dan kesamaan, lelaki dan perempuan,

dan seterusnya. Tapi mungkin juga tidak. Namanya

pengandaian, bisa terjadi bisa tidak. Semuanya

tergantung arus perubahan. Dan dalam perubahan

banyak hal bisa terjadi. Ia seperti aliran sungai,

semuanya dapat dihanyutkan.

Apa yang sebenarnya menjadi titik pangkal

semua itu? Ambisi manusia untuk menjadikan dunia

ini seperti surga. Itu terjadi pada abad pencerahan di

belahan dunia tempat semua gegap gempita

rasionalitas manusia ini bermula. Mana lagi kalau

bukan di negeri Barat. Cakrawala mitologis yang

cenderung mencampur-baurkan keyakinan dan

pengetahuan, mitos dan nalar, kebaikan dan

kebenaran, yang mendominasi sebelumnya, oleh

negeri Barat mesti direvolusi dengan cara pandang

yang lebih sistematis, rasional, dan universal. Rene

Descartes pun menggugat dengan jargonnya yang

hingga kini masih melekat di ingatan manusia, cogito

ergo sum; aku berpikir karena itu aku ada. Bukan

64

‘aku ada karena Ada’. Adaku karena aku berasional.

Maka rasionalitas dijunjung tinggi sebagai panglima

untuk membangun peradaban yang lebih indah,

sejahtera, bebas, dan berpengetahuan.

Revolusi industri di Eropa seperti sebuah

hajatan; sebuah pilihan bijaksana akan masa depan

yang lebih baik. Untuk sebuah revolusi industri,

diperlukan ilmu pengetahuan dan teknologi.

Keduanya tak mungkin akan ada tanpa rasionalitas;

aku berpikir karena itu aku ada. Inilah sebuah bentuk

kesadaran yang ditandai oleh kebebasa, rasional,

dan individual, sebagai akibat filsafat kesadaran

yang berkembang saat itu. Rene Descartes berhasil

meletakkan landasan bagi kesadaran manusia untuk

menuju ke pada kehidupan masa depan yang lebih

baik. Bentuk kesadaran itu sekaligus melandasi

lahirnya bentuk-bentuk kehidupan ke arah ekonomi

kapitalis dan politik liberalis.

Manusia memanfaatkan penemuan-penemu-

an baru di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi

65

untuk memperluas industri dan pasar bisnis. Di

sinilah terjadi perubahan orientasi hidup besar-

besaran dari humanis ke arah materialis.

Rasionalitas sebagai inti filsafat kesadaran telah

memisahkan keyakinan dari pe-ngetahuan, mitos

dari nalar, dan kebaikan dari kebenaran. Mulanya

keduanya merupakan pasangan, rasionalitas

menceraiberaikan keharmonisannya. Ber-ubahnya

suatu ideologi untuk menuju ke ideologi baru,

bernama modernism beagenkan ilmu pengetahuan

dan teknologi, berinstrumenkan industry, berjiwa

rasional, dan di situlah ekonomi kapitalis lahir. Dalam

ideologi baru ini pasangan jargon kehidupan telah

berubah menjadi: ilmu pengetahuan dan teknologi,

rasionalitas dan kebenasan, industri dan pasar

bisnis, majikan dan keuntungan, ekonomi dan politik,

kapitalis dan liberalis. Tak terpisahkan. Tak tercerai-

beraikan.

Apa maknanya kecenderungan rasionalitas

zaman pencerahan semacam itu? Klaim kebenaran

66

atas semua hal berdasarkan rasional ilmu

pengetahuan dan teknologi. Semuanya diukur benar

sejauh koheren dengan rasional. Bagaimana dengan

keyakinan, mitos, kepercayaan, peng-hayatan,

kemanusiaan, keindahan, kebaikan, ke-tuhanan?

Semuanya benar sejauh bisa dijelaskan dengan

rasional. Cobalah pembaca tengok ke dalam praktik

kehidupan sekarang ini. Betapa klaim kebenaran

semacam itu hingga kini masih menuntun bentuk-

bentuk kesadaran manusia. Akhirnya, keyakinan,

mitos, kepercayaan, penghayatan, kemanusiaan,

keindahan, kebaikan, dan ketuhanan, mengalami

penyempitan ruang hidupnya.

Situasi seperti itulah yang mendorong lahirnya

cara pandang baru, yang menentang. Marxisme

mengambil posisinya sebagai oposipan bentuk

kesadaran dan kehidupan semacam itu. Sejak awal

pemikirannya Karl Marx memang telah menunjukkan

pertentangan. Pertentangan itu pula menjadi kata

kunci dalam pemikiran-pemikiran kemudian dari para

67

penerusnya; tradisi marxisme. Dialektis adalah corak

pemikiran kaum marxis dalam menerjemahkan

kehidupan ini. Tesa melawan antitesa menjadi tesa.

Kelas buruh (proletar) yang tersubordinasi melawan

majikan (borjuis) yang mendominasi menjadi

masyarakat tanpa kelas; masyarakat komunis.

Sebuah pertentangan antara liberalisme kapitalis

melawan sosialisme kumunis.

Tetapi kekokohan dan dominasi liberal

kapitalis hingga saat ini masih tak tergoyahkan.

Mengapa? Mereka telah dinikahi oleh banyak

kekuasaan, sedangkan sosialis komunis semakin

diceraikan oleh kekuasaan. Liberalis kapitalis

semakin pragmatis dan praktis, sedangkan sosialis

komunis semakin utopis. Kalau liberal kapitalis

semakin rasionalis, maka sosialis komunis semakin

fanatis. Ketangguhan liberal kapitalis karena selalu

memperbaharui landasan pemikirannya yang

bernama ilmu pengetahuan dan teknologi.

68

Sedangkan sosialis komunis konsisten pada cita-

citanya; sebuah perubahan.

Sesungguhnya kaum marxis selalu mem-

perbaharui landasan berpikirnya melalui para

eksponennya: Gramsci, Lucien Goldman, Lukacs,

Adorno, Horkheimer, Walter Benjamin, Bourdielard,

hingga Habermas, dan terpecah-pecah menjadi

benang-benang tipis dan halus sehingga begitu

samar ke-marxis-annya sampai sekarang.

Kekuasaan Negara boleh menceraikan pemikiran

Marxian, tetapi kekuasaan pengetahuan telah

didominasi olehnya. Jadilah liberal kapitalis

menggunakan jalur kekuasaan negara dengan

sistem ekonomi politiknya, sementara pemikiran

Marxian berjalur ilmu pengetahuan. Nampaknya

kaum Marxian mau belajar dari musuhnya itu, bahwa

untuk menghegemoni bentuk-bentuk kehidupan dan

kesadaran masyarakat, sebuah ideologi pemikiran

harus menumpang ilmu pengetahuan. Tapi

kelemahan yang menyurutkan mereka barangkali

69

adalah, ia tak mempunyai akses pada teknologi yang

representatif bagi ideologinya itu.

Apa lacur? Liberal kapitalis menjadikan kita

materialistis, individualistis, konsumeristis, dan

dehumanistis. Sedangkan Marxian dengan sosialis

komunismenya itu menjadikan kita ingin selalu

berpikir revolusioner, menolak kemapanan,

fanatisme berlebihan, melanggengkan kediktatoran,

antikemanusian, dan kebudayaan antikebudayaan.

Jadilah rasionalitas ilmu pengetahuan hingga

kini dituntun tradisi Marxian. Sedangkan rasionalitas

kekuasaan ekonomi politik dituntun tradisi liberal

kapitalis. Sementara kita terhimpit oleh keduanya.

Menerima dan menolak adalah dua hal berbeda

tetapi sama akibatnya. Menentang keduanya, jelas

seperti menentang arus sungai yang deras sambil

kita tenggelam ke dasarnya. Menerima keduanya,

seperti kita menelan semua yang ikut hanyut

bersama arus deras itu sambil kita tenggelam pula

ke dasarnya. Itulah gegap gempita rasionalitas kita

70

hingga sekarang ini, dan entah sampai kapan. Jalan

peradaban ke depan sudah tertata sejarah pemikiran

dan kebudayaan semacam itu. Tinggal kita

menentukan atau tidak menentukan sikap atas

perjalanan peradaban ke depan. Kalau kita memilih

pilihan yang pertama, apa yang mesti kita lakukan?

Jika memilih pilihan kedua, biarlah waktu yang akan

merubahnya. Menentukan atau tidak menentukan,

sama-sama beratnya.

Pilihan pada ‘menentukan jalan kita sendiri’,

nampaknya pilihan paling bijaksana. Persoalannya

adalah, apa yang mesti kita lakukan? Apa yang

terjadi sekarang ini adalah akibat arus sejarah

pemikiran manusia. Maka, belajar dari sejarah

pemikiran itulah yang mesti kita lakukan. Logika yang

sederhana tapi tak sederhana implementasi-nya.

Substansinya adalah rasionalitas. Inilah jiwa

bagi perkembangan bentuk-bentuk kehidupan dan

kesadaran selama ini. Rasionalitas itu mengadopsi

dari Barat lewat filsafat dan teori-teorinya. Kalau

71

rasionalitas adalah roh, maka filsafat dan teori-teori

itu adalah fisiknya. Kalau negeri ini sekarang telah

memiliki segudang ilmuwan, berpuluh-puluh lembaga

ilmiah, dan kelengkapan infrastrukturnya, kenapa tak

memulai menentukan jalan peradaban kita sendiri

dengan filsafat dan teori yang mengindonesia. Dan

kalau kita harus belajar dari sejarah pemikiran yang

menjadikan peradaban sekarang seperti ini, maka

nampaknya kita membutuhkan satu periode dalam

sejarah pemikiran itu, yaitu renaissance. Kita bukan

untuk mengadopsi apa yang ada di sana, tetapi

meng-adopsi semangat apa yang telah terjadi di

sana. Kembali ke sejarah kita sendiri; kembali

kepada apa yang kita punya dalam sejarah kita

sendiri.

72

PERADABAN BUDAYA MEDIA:

Kekuasaan yang Tersebar

Karena media, seorang yang pergi dari

rumah, hanya dengan pakaian melekat di badan,

tiba-tiba di suatu tempat berubah bak seorang raja.

Ia dielu-elukan, disanjung, dan diteriak-histerisi para

penggemarnya. Ia menjadi buah bibir, memenuhi

ruang dan waktu sekecil apapun. Ia sebuah berita

yang menyedot perhatian masa. Berita yang

menenggelamkan peristiwa apapun di negeri ini.

Berita kematian seorang yang telah berjasa di negeri

ini, tak sepenting berita tentangnya. Berita

kontroversi penguras anggaran negara, tak sebesar

berita tentangnya. Bahkan berita yang sebelumnya

begitu ramai dibicarakan orang, tiba-tiba menjadi

73

berita biasa-biasa saja. Sebut saja ia seorang

Pesohor.

Di sudut yang lain, berbanding terbalik

dengan sang Pesohor di atas, lantaran media pula,

seseorang hancur kehidupannya, setelah ia

bersusah payah mem-perjuangkannya. Ketika ia tak

mampu mengendalikan dirinya, lantas iseng melihat

video porno yang ada di media, tiba-tiba orang

media pula menangkapnya melalui kamera. Kalau

seorang pesohor dielu-elukan dan disanjung bak

raja, akhirnya tokoh yang satu ini dihujat, ditertawai,

dan diteriaki sebagai seorang yang tak pantas

mengemban amanat. Sebut saja ia seorang

Pengkianat.

Itulah sebuah narasi pertunjukan budaya

negeri ini, yang saat ini sedang memainkan

lakonnya. Tapi jangan cepat mengatakan kalau sang

Pesohor dan Pengkianat adalah aktor utamanya.

Mereka hanyalah aktor kecil dari sebuah narasi kecil

yang dibingkai ke dalam narasi yang besar. Narasi

74

kecil bersifat temporer. Ia akan tenggelam secepat

kemunculannya. Ia akan digantikan dengan

munculnya narasi-narasi kecil lainnya. Sementara

narasi besar akan terus bergerak ke dalam alur

cerita yang tak pernah akan berakhir. Narasi kecil

dapat diramal ujungnya, tapi narasi besar teramat

sulit; bahkan boleh dikatakan tak berujung. Narasi

kecil itulah yang saat ini sedang dimainkan oleh

kedua tokoh ini; Sang Pesohor dan Pengkianat.

Lantas, siapakah aktor utama dalam per-

tunjukan ini? Siapa lagi kalau bukan Media. Sang

Pesohor dan Pengkianat adalah aktor yang terpaksa

dan dipaksa menerima perannya. Sang Pesohor

akan menikmati peran itu karena merasa nyaman,

enak, dan menguntungkan. Sebaliknya, sang Peng-

kianat dipaksa untuk memerankan tokoh yang tragik.

Kesamaan keduanya, semua itu terjadi tanpa

mereka rencanakan. Apalagi sebagai sebuah

kesengajaan. Narasi kecil yang mereka emban,

mengalir seperti mata air. Di hilir sungai itu, aliran

75

mata air bercabang-cabang. Dan sang Pesohor dan

Pengkianat terbawa arus ke cabang yang berbeda.

Ke mana ujung cabang sungai itu? Cabang yang

satu akan mengurai dirinya untuk menyuburkan

tanaman ke sawah-sawah. Sedang cabang yang

lain, akan berujung ke selokan bau bacin.

Selebihnya barangkali akan bermuara ke samudra

luas. Di sanalah samudra akan menantang peng-

huninya untuk mengadapi hukum alamnya masing-

masing. Sang Pesohor dan Pengkianat mengalir

begitu saja mengikuti arus media ke mana mereka di

bawa.

Apa hikmah dan amanat dari semua ini?

Layaknya sebuah pertunjukan yang bernarasi, ia

memiliki hikmah dan amanatnya. Tinggal para

penontonnya mau sedikit memikirkan, merenung-

kan, dan menghayati narasi yang dipertunjukan itu

atau tidak. Penonton (masyarakat) mempunyai hak

untuk berapresiasi sesuai keinginan dan ke-

mampuannya. Barangkali mereka hanya sekedar

76

ingin menikmati apa yang dilihat dan didengar;

sekedar sebuah hiburan. Atau mereka sah-sah saja

untuk hanya sebatas mengerti dan memahaminya.

Mereka juga boleh-boleh saja untuk menghayati dan

memikirkan untuk mencerahkan kehidupan-nya;

Aristoteles menyebutnya Chatarsis.

Media adalah budaya. Sebagai budaya yang

dominan, ia akan menjadi sebuah peradaban.

Sebagai sebuah peradaban, ia akan mengatur,

mempedomani, dan menentukan hajat hidup

masyarakat. Kalau sekarang ini media telah mampu

membalikkan kehidupan manusia, bahkan di luar

pikiran manusia, itulah sebuah tanda bahwa media

telah menjadi pengatur, pedoman, dan penentu

hidup manusia. Itulah tanda bahwa media telah

menjadi sebuah peradaban. Peradaban media. Jika

meminjam pemikiran seorang tokoh postruktural-

isme, Michel Foucault, situasi seperti ini ia sebut

sebagai sebuah diskursus (Wacana). Narasi

77

pertunjukan budaya media yang dewasa ini sedang

memainkan lakonnya, merupakan diskursus.

Marilah serba sedikit mengadopsi pemikiran

Foucault ini untuk sekedar menjelaskan siapa aktor

dibalik narasi pertunjukan budaya ini. Tokoh pos-

strukturalisme itu mengungkapkan bahwa diskursus

datang dari orang yang memiliki kekuasaan dan dari

orang yang memiliki pemikiran kritis. Kekuasaan

yang dimaksud bukanlah Negara atau pemerintah,

sebagaimana anggapan ma-syarakat selama ini.

Kekuasaan itu datang dari mana-mana (kekuasaan

yang tersebar). Kekuasaan ini bukanlah sebuah

institusi atau struktur, melainkan suatu situasi

strategis kompleks dalam masyarakat. Kekuasaan

muncul dari proses sejarah. Dengan begitu, wacana

pada akhirnya mengatur praktik-praktik kehidupan

masyarakat.Ia berisi suatu mekanisme sosial dan di

situlah kekuasaan melekat ke dalam dirinya.

Pemikiran Foucault inilah nampaknya bisa menjadi

penjelasan tentang pertunjukan budaya media negeri

78

ini. Peradaban media menjadi sebuah diskursus atau

wacana yang mengatur praktik-praktik kehidupan

masyarakat. Sebagai sebuah situasi strategis yang

dilekati oleh kekuasaan, maka diskursus budaya

media memiliki kekuasaan yang menekan,

mendefinisikan, membentuk, dan mentransformasi

sejarah.

Dalam bahasa yang lain, dalam adagium ilmu

budaya, barang siapa yang mampu menguasai

budaya, dialah yang memiliki kekuasaan atas

perjalanan hidup masyarakat dan keberadabannya

itu. Dalam konteks ini, barang siapa menguasai

media, dialah yang menguasai pola hidup

masyarakat dan keberadabannya. Dialah yang akan

menikmati manfaat dari budaya media itu. Tapi

sebaliknya, barang siapa yang tak waspada, dia

akan ditenggelamkan media itu. Dialah menjadi

kurban dari sebuah budaya yang telah men-dominasi

sebuah peradaban. Itulah yang sekarang ini dialami

oleh Sang Pesohor dan Pengkianat. Betapapun tak

79

sengaja, Sang Pesohor telah menguasai media.

Dialah yang kemudian akan menguasai masyarakat

dan peradabannya. Dialah yang menikmati

manfaatnya. Semua perhatian, sanjungan, dan

materi tercurah pada Sang Pesohor itu. Sementara

Sang Pengkianat tinggal meratapi

ketidakwaspadaannya pada budaya media. Dia telah

dihancurkan oleh budaya media itu. Dialah sebuah

kurban dari peradaban media. Sang Pesohor dan

Pengkianat telah dibentuk oleh situasi strategis yang

bernama peradaban budaya media.

Itulah sebuah hikmah dan amanat yang

disuarakan narasi kecil dalam pertunjukan budaya

negeri ini. Dua aktor yang berbeda peran dan ending

ceritanya, tetapi dalam cerita yang sama, Peradaban

Media sebagai sebuah Kekuasan Yang Tersebar.

Kalau bisa disambung, telah banyak diskursus

kecil bermunculan dalam pertunjukan budaya ini.

Kasus Prita, Aril dan Luna Maya, Bilqis, dan sederet

kasus-kasus yang lain, telah membuktikan betapa

80

luar biasanya sebuah media menentukan perjalanan

hidup seseorang. Kasus Prita muncul karena media,

sekaligus mendapatkan sokongan yang luar biasa

dari media juga. Aril dan Luna telah dibesarkan oleh

media, sekaligus juga ditenggelamkan oleh media.

Sang Bayi Bilqis, karena media ia telah mengundang

simpati dan keprihatinan khalayak. Tiga kasus ini

hanyalah sebutir cerita di tengah-tengah gurun pasir

yang bernama peradaban media.

Media adalah sebentuk pembangun citra.

Hakikatnya adalah, siapa yang lihai dan mampu

merangkul media, ia akan dibangun pencitraan

dirinya secara positif. Dan sebaliknya, siapa yang

bodoh dan terjebak media, ia juga akan dibangun

pencitraan dirinya secara negatif. Pemahaman

terhadap hakikat budaya media semacam itu, saat ini

sedang menjadi kegemaran sebagian masyarakat

negeri ini. Di tingkat atas, betapa media diman-

faatkan untuk membangun citra positif terhadap

seseorang. Ia dibutuhkan untuk mengundang

81

perhatian, sanjungan, dan pujian dari masyarakat. Ia

semacam kitab Babad Tanah Jawa dalam

kesusasteraan Jawa masa lalu, yang mampu

membangun nasionalisme dan legitimasi dari

masyarakat. Dengan begitu, kepentingan mobilisasi

sosial politik masyarakat dapat diperoleh. Di tingkat

bawah, sebut saja di tingkat kaum muda, media

menjadi ikon kemodernan seseorang. Kemelekan

huruf dan teknologi mereka, menjadi pendorong

terhadap pentingnya menyalurkan kebutuhan

aktualisasi dan komunikasi diri. Meskipun kalau

benar-benar dicermati, budaya media belum mampu

dimanfaatkan mereka untuk membangun pencitraan

yang sesungguhnya bagi masa depan. Ia hanya

sekedar ikon dan gengsi diri.

Jika kemudian kembali meminjam pemikiran

Foucault di atas, bahwa sebagai diskursus

peradaban budaya media berasal dari orang yang

memiliki kekuasaan dan dari orang yang memiliki

pemikiran kritis, maka yang terakhir itulah yang

82

sebenarnya dibutuhkan untuk mampu menyikapi

peradaban budaya media itu. Dibutuhkan pemikiran

kritis untuk mampu menguasai dan memiliki

peradaban. Dalam bahasa yang lebih konkrit, orang

yang memiliki pemikiran kritis adalah orang yang

memiliki pengetahuan. Lantas, dalam golongan yang

mana sang Pesohor dan Pengkianat di atas?

83

PERTUNJUKAN TEATER NEGERI INI

Sebuah Peradaban

Kalau negeri ini dipandang sebagai panggung

teater, siapakah tokoh utama pengemban cerita

untuk diungkapkan di atas panggung itu? Mereka

adalah penguasa, pengusaha, dan media. Ketiga

aktor inilah yang akan memainkan perannya secara

ekspresif agar pertunjukkan yang dimainkan

meyakinkan dan menghanyutkan penontonnya.

Siapakah penontonnya? Mereka adalah rakyat yang

tidak memiliki akses untuk mendekati lingkaran

ketiga aktor tersebut. Narasi apakah yang akan

dibangun dan diungkapkan dalam pertunjukkan itu?

Narasi itu adalah sebuah adaptasi dari intrik-intrik

zaman yang berasal dari kepentingan-kepentingan

kelompok dan tekanan-tekanan eksternal yang tidak

84

bisa dielakan oleh aktor-aktor tersebut. Agar kita

dapat mengapresiasi bagaimana pertunjukkan itu

berlangsung, sebaiknya kita urai pertunjukkan itu

secara interpretatif.

Sebagai sebuah interpretatif, pemikiran ini

jelas mengambil perspektif subyektif dengan pisau

analisis rasional; bukan lantaran dengan perspektif

subyektif itu lantas tidak menggunakan rasional

untuk memahami persoalan ini. Dan sebagaimana

layaknya mengapresiasi sebuah pertunjukkan teater,

tulisan ini harus bermula dari narasi sebagai skenario

yang akan dimainkan. Tetapi yang perlu diingat,

bahwa pertunjukkan ini bergenre modern, meski

naskah atau skenario tersebut tidak tertulis. Cukup

seperti dalam teater tradisional, narasi yang akan

dimainkan dipahami kemudian diimprovisasi oleh

para aktor di atas panggung.

Proses berperadaban yang terjadi hingga

sekarang ini, sesungguhnya sebuah narasi yang

diciptakan dan sekaligus menjadi pedoman bagi

85

masyarakat dalam kehidupan sehari-hari. Faucoul,

seorang tokoh pencetus postrukturalisme dan

posmodernisme Barat, mengatakannya sebagai

Diskursus. Namun demikian, narasi itu adalah

sebuah wacana kebudayaan yang tidak cukup

dipahami secara tekstual, melainkan terdapat makna

dibalik yang kasat mata itu, yaitu proses produksi

dan konteks yang melatarbelakanginya. Proses

produksi dalam konteks ini dapat dipahami sebagai

proses sejarah bagaimana narasi itu terbentuk dan

siapakah yang berperan dalam produksi narasi itu.

Sedangkan konteks yang melatarbelakanginya itu

jelas adalah sosial, budaya, politik, ideologi,

ekonomi, dan sebagainya, dari masyarakat di mana

narasi itu diciptakan, dipedomani, dan mengatur

dirinya. Teks (baca: narasi) dan Konteks. Kedua hal

tersebut akan muncul ketika seseorang mau

mendudah dan mengurai hingga ke akar narasi itu.

Kalau perlu, hingga ke aspek filosofis yang

mendasari terbangunnya narasi itu.

86

Kalau boleh saya sebut, narasi yang mengikat

semua elemen pertunjukan teater negeri ini dengan

judul Pembangunan Nasional. Semua orang

mengetahuinya dan menyambutnya sebagai narasi

yang akan mempedomani semua orang untuk

meningkatkan martabat dan kesejahteraan mereka.

Dengan demikian, perlu dituangkan ke dalam

seperangkat kebijakan dan strategi untuk

mengekspresikannya ke dalam perjalanan ke-

hidupan negeri ini. Tetapi persoalannya, se-

perangkat kebijakan dan strategi dalam narasi yang

bernama Pembangunan Nasional itu sangat

ditentukan oleh siapa yang berkuasa. Penguasalah

yang menjadi aktor penting di dalam skenario atau

narasi itu. Marilah kita menyederhanakan dan

membatasi teks dan proses produksinya semenjak

rezim Orde Baru di bawah kepemimpinan Soeharto.

Ada tiga tema yang diungkapkan dalam

kebijakan dan strategi pembangunan nasional

menurut visi Soeharto, yaitu: pertumbuhan ekonomi,

87

pemerataan ekonomi, dan stabilitas nasional. Tetapi

jika kita melihat kenyataan yang ada, pertumbuhan

ekonomi dan stabilitas nasional itulah menjadi hal

utama selama pemerintahan Soeharto itu. Asumsi

sang aktor utama ini tentang pertumbuhan ekonomi

adalah dengan menciptakan sebanyak mungkin

kelas-kelas pengusaha. Entah dari mana pemikiran

ini berasal, yang jelas Suharto memiliki backing

intelektual dan ilmuwan yang cukup ahli di bidang ini.

Pengusaha inilah yang kemudian menjadi aktor

penting kedua dalam pertunjukan teater negeri ini.

Para pengusaha yang mampu masuk ke dalam

lingkaran kekuasaan Soeharto mendapatkan fasilitas

yang sangat menggiurkan. Peranan mereka adalah

membangun konglomerasi dan industrialisasi negeri

ini. Dengan begitu, pertumbuhan ekonomi dapat

dikatrol naik sekaligus dipakai sebagai indikator

keberhasilan pemerintahan Orde Baru. Strategi inilah

yang kemudian menepiskan tema pemerataan

ekonomi, yang kata Suharto sebagai salah satu tema

88

sentral narasi pembangunan nasional itu. Kalau kita

mau merasionalisasi kebijakan ini kita bisa

mengatakan adanya manajemen silang dalam

menghitung tingkat pertumbuhan ekonomi nasional.

Dengan meningkatnya pendapatan kelas atas yang

semakin melangit, dapat mengcover pendapatan

minimal masyarakat bawah. Dengan demikian, kalau

berhitung di atas kertas dan secara kuantitatif, jelas

terjadi peningkatan. Tapi terjadi jurang yang semakin

lebar antara si kaya (pengusaha) dan si miskin

(masyarakat bawah).

Tidak mungkin jaminan fasilitas yang

menggiurkan itu diperoleh secara gratis. Harus ada

timbal balik dalam prinsip simbiosis mutualism; saling

menguntungkan. Oleh karena itulah, kenapa di masa

narasi ini diberlakukan banyak improvisasi yang kita

sebut korupsi. Atau kita sebut dengan istilah KKN;

Kolusi, Korupsi, dan Nepotisme. Kedua aktor inilah,

penguasa dan pengusaha, pada akhirnya menikmati

kekayaan yang lumayan; sementara masyarakat

89

bawah hanya menjadi penonton yang pasif. Tipe

penonton inilah yang diidealkan oleh kekuasaan

Soeharto. Bahkan media massa yang seharusnya

juga menjadi kontrol sosial, tidak mempunyai gigi.

Jangan salah tafsir dulu atau malah mengatakan

jangan-jangan media massa dan rakyat adalah

penopang yang paling utama terhadap peran yang

dimainkan oleh aktor pengusaha dan penguasa itu.

Tak ada narasi yang begitu sempurna dan

matang sepanjang sejarah negeri ini kecuali narasi

yang dibangun oleh Suharto. Rakyat sebagai

penonton pasif dan media kehilangan giginya karena

ada kartu truf yang dimiliki Soeharto, yaitu adagium

yang berbunyi stabilitas nasional. Dalam adagium itu

terdapat aturan-aturan yang cukup efektif untuk

mempasifkan rakyat dan media massa. Di antara

aturan itu adalah, barang siapa yang menggangu

stabilitas nasional, maka orang itu telah bertindak

subversif. Menurut kamus subversi yang dibuat oleh

pemerintahan Orde Baru dan yang belum pernah

90

diterbitkan, tapi memiliki kekuatan represif yang luar

biasa, pengertian subversi adalah merongrong

pemerintah, menggangu ketertiban, dan mengacau

negara. Dari pengertian ini sangat jelas maknanya,

bahwa tindakan subversif pasti harus dihukum atau

dikenai sanksi. Barangkali kita akan miris dan takut

kalau membaca pasal-pasal hukum yang berkaitan

dengan subversi ini. Bahkan kalau perlu dan

dipandang sebagai ancaman bagi stabilitas nasional,

militer diperbolehkan mengambil kebijakan untuk me-

numpas habis kelompok masyarakat yang akan

mengacau keamanan. Dan menjuluki mereka

dengan sebutan GPK. Memang cukup efektif,

bahkan dengan senda gurau kita dapat mengatakan:

“Apakah ada pada zaman Orde Baru suporter Sepak

Bola ngamuk, seperti sekarang ini terjadi, gara-gara

kesebelasannya kalah!?” “Apa-kah ada unjuk rasa

seperti sekarang ini di zaman Orde Baru!?” “Apa ada

koran berani memberitakan tentang penyimpangan

yang terjadi pada zaman Orde Baru!?” Bahkan

91

seorang aktivis harus digiring ke meja hijau lantaran

dalam unjuk rasa, yang saya anggap nekat,

membawa sepanduk berbunyi “King Kong Lu

Lawan.” Dan menjelang akhir Orde Baru, seorang

ilustrator sebuah media massa harus berurusan

dengan polisi gara-gara menggambar kartu remi

King dengan kepala Suharto. Dan kalau cerita ini

diteruskan, entah berapa lembar kertas yang harus

dihabiskan untuk itu.

Lebih jauh lagi, jika kita memahami narasi

pada zaman ini, sesungguhnya memiliki konteks

yang lebih luas dan dalam. Apa yang diungkapkan di

atas hanyalah sebuah tahapan alur yang bernama

konflik dalam pertunjukkan teater negeri ini.

Modernisasi adalah judul lain yang bisa diberikan

kepada narasi pada zaman ini. Industrialisiasi yang

ingin ditumbuhkan se-sungguhnya merupakan agen

modernisme. Ber-sama-sama dengan ilmu

pengetahuan dan teknologi, industrialisasi mau tidak

mau harus diterapkan jika memilih modernisme

92

sebagai cara pandang terhadap pembangun

nasional itu. Ini sebenarnya bersumber dari narasi

besar masyarakat Barat yang ingin menjadikan dunia

ini menjadi surga. Surga dunia adalah bentuk

masyarakat modern yang universal, rasional, dan

bebas, yang dibangun atas penggunaan ilmu

pengetahuan dan teknologi secara besar-besaran

untuk mencapai kesejahteraan umat manusia.

Ternyata pilihan terhadap modernisme tidak

sesuai dengan yang dibayangkan. Ada banyak

persoalan yang kemudian muncul dalam skala dan

wilayah yang luas. Tidak hanya negeri pengekor

paradigma modernisme ini yang mengalaminya,

bahkan di negara Barat sendiri, ternyata modernisme

mengakibatkan bencana dari pada kemaslahatan

bagi masa depan. Eksplorasi alam secara besar-

besaran mengakibatkan terganggunya keseimbang-

an alam; industrialisasi dan teknologi merusak

ekosistem. Belum lagi perubahan yang paling

fundamental dalam sosiokultural masyarakatnya.

93

Konsumerisme, materialisme, individualisme,

demoral-isasi, dehumanisasi, gegar budaya,

longgarnya hubungan sosial, dan masih panjang

daftar ketimpangan yang mesti diwaspadai. Dan

ketika itu semua terjadi, negeri ini sudah terlanjur

basah. Dan cerita narasi teater negeri ini belum

cukup samapai di sini.

Ketika dunia tersentak oleh apa yang terjadi,

modernisasi sudah seperti pesawat yang melesat

yang tak mungkin lagi dihentikan. Dengan menyebut

globalisasi untuk mengkover kemajuan bidang

informasi dan komunikasi, modernisasi sampai pada

pembongkaran skat-skat budaya dan bangsa.

Pesatnya perkembangan informasi dan komunikasi

mengakibatkan jarak antar bangsa, masyarakat, dan

budayanya dipersempit. Orang begitu cepat

mengakses semua hal yang ada di belahan bumi

dalam waktu sekerdipan mata. Begitu sebaliknya,

kita mampu mengirim segudang informasi dalam

94

hitungan detik. Hal termudah sepanjang kehidupan

manusia terjadi hari ini. Apa akibat dari semua itu?

Arus informasi ibarat banjir deras yang

mengalir dari hulu ke hilir, hingga ia meluap sampai

rumah-rumah, di daerah paling pelosok sekali pun..

Perjalanan air itu nyaris tak terbendung, walau cuma

sebutir kerikil. Ia membanjiri ruang-ruang tempat kita

berpijak. Ia memenuhi waktu senggang kita. Dalam

ngigau pun barangkali air itu telah menjadi ludah dan

liurnya.. Dan kita tak lagi hidup tanpa bersentuhan

dengan informasi yang dilolohkan oleh kemajuan

teknologi itu. Dalam narasi semacam itulah, media

massa pada akhirnya mendapatkan perannya dalam

teater negeri ini, yang sebelumnya cuma duduk

termenung menyaksikan pertunjukan teater Orde

Baru.

Arus informasi dan komunikasi yang semakin

deras itu membutuhkan media untuk mewadahinya.

Teknologi media massa mesti disesuaikan dengan

narasi yang demikian itu. Ia harus lebih canggih dan

95

representatif secara teknis untuk mewadahi informasi

dan komunikasi tersebut. Dan secara psikologi,

media massa itu juga harus mampu menyodorkan

sederet informasi yang menarik dan menekan demi

sebuah kepentingan. Apapun kepentingan itu. Bisa

ekonomi, sosial, politik, ideologi, dan sebagainya.

Tinggal siapa yang akan ikut menumpang aliran

sungai yang bernama informasi dan komunikasi itu.

Dan narasi itu mengungkapkan pertarungan

bermacam-macam kepentingan. Inilah sebuah

konflik yang ada dalam narasi pasca-Orde baru.

Pada perkembangan alur kemudian, ternyata

ada pergeseran cerita. Ada suara-suara lain yang

tidak puas terhadap cerita modernisme. Cerita itu

membawa bencana, katanya. Korbannya lebih

banyak dari pada hasilnya, ujarnya. Modernisme

dianggap kendaraan di mana negeri barat ikut

menumpang di sana. Sebuah bentuk kolonialisme

baru negeri barat terhadap negeri yang sedang

membangun. Mereka menjajah; mengekspansi

96

wilayah seperti siluman. Apalagi kalau tidak

kepentingan ekonomi dan pilitik. “Ah, seperti orang

bodoh kita,” ujar seorang teman di sebuah warung

kopi. “Kita memang bodoh,” timpal yang lain. “Kita

bukan bodoh, tetapi mereka yang lebih pinter!”

Pemilik warung pun ikut berpartisipasi dalam diskusi

itu. Memang sebagai penonton, mereka berhak

mengapresiasi. Soal benar atau salah bukan

masalah, yang penting para pelanggan warung itu

lebih jenak berdiam diri di warung. Logikanya,

semakin lama berdiam di warung, semakin banyak

barang dagangan yang terjual. Ilmu jual beli yang

sederhana, tapi manjur. Apa ilmu negeri barat itu ya

seperti ilmu pemilik warung itu? Semakin dalam dan

lama modernisme bercokol di suatu negara, semakin

laku jualan mereka. Bukankah orang-orang barat itu

memiliki aset jualan di sini? Mungkin saja.

Suara-suara lain itu muncul seperti siluman

juga. Tak perlu bertanya dari mana suara-suara itu.

Terlalu mudah untuk menerkanya. Modernisme

97

mempunyai karakter rasional. Tak heran jika

modernisme memiliki agen yang namanya ilmu

pengetahuan dan teknologi. Bukankah kedua agen

itu hasil dari karakternya yang rasional itu!? Tak

heran pula jika suara-suara yang melawan

modernisme itu berasal dari negeri di mana

modernisme itu berasal. Wah, ada skenario apa lagi

sekarang? Ada perkembangan cerita yang

bagaimana lagi sekarang? Seperti di awal

modernisme masuk ke dalam narasi negeri ini

dengan sambutan yang gegap gempita, begitu pula

dengan sambutan terhadap suara-suara lain itu.

Ramai juga perayaan terhadap datangnya suara-

suara lain itu. Kenapa?

Paling tidak ada dua alasan yang cukup

penting kenapa sambutan terhadap suara-suara lain

itu tak kalah gegap gempitanya. Pertama, suara-

suara lain itu seolah sudah tahu apa yang terjadi

pada negeri-negeri yang memberlakukan

modernisme; ketidakmerdekaan. Ketidakmerdekaan

98

memang menjadi tema yang muncul kemudian. Itu

pun sebenarnya telah dirasakan lama, tetapi aktor

utama narasi itu terlalu kuat untuk dilawan. Butuh

pendorong yang kuat untuk melawan. Dari mana lagi

kalau tidak dari asal modernisme itu sendiri. Jadi

suara-suara lain itu perlu disambut dengan gegap

gempita. Kedua, para penonton pertunjukan teater

negeri ini sudah tak tahan dengan kekuatan yang

luar biasa dari aktor utama itu. Masa selama ini

mereka hanya jadi penontong penderita saja; pasif

lagi. Tidak pernah sekali waktu diberi kesempatan

untuk mengungkapkan uneg-uneg-nya. Tak pernah

barang sejenak untuk menikmari hasil dari cerita

modernisme itu. Adanya Cuma tidak bebas, tidak

merdeka. Semua serba di atur. Semua serba

dibungkam. Dan suara-suara lain itu muncul seolah

mengetahui apa yang ada dalam perasaan para

penonton. Suara-suara lain itu memang tahu persis

apa yang harus dilakukan. Tidak terkejut kalau

99

kemudian suara-suara lain itu kehadirannya

disambut dengan pesta meriah.

Suara-suara lain itu jelas berkarakter rasional

pula, seperti modernisme dengan agen-agennya.

Yang membedakannya ia lebih siluman. Ia seperti

angin yang datang tiba-tiba dan membawa hawa

segar bagi negeri ini. Ia bisa disebut prewangan

modernisme itu sendiri. Dan karena rasional, maka

suara-suara lain itu pun harus hadir terlebih dahulu

di ruang rasional pula. Ingat hukum adaptasi dalam

bidang ekologi. Maka terjadilah suara-suara lain itu

menjadi tema diskusi, seminar, dialog, workshop,

kongres, hingga obrolan para rasionalis di tempat

yang tak perlu rasional seperti di warung kopi

misalnya. Ibarat angin yang tak mengenal rintangan,

suara-suara lain itu pun merambah ke ruang-ruang

publik. Demam suara-suara lain merebak ke segala

penjuru. Dari ruang formal, seperti karya ilmiah,

buku, artikel, perkuliahan, tugas mahasiswa,

kesenian, arsitektur, hingga ruang nor-formal,

100

seperti obrolan waktu senggang di pasar, warung,

trotoar, atau di taman dan parkir, suara-suara lain itu

bermunculan. Itulah bentuk sambutan yang luar

biasa gegap gempita itu.

Karena suara-suara lain itu pada hakekatnya

adalah prewangan modernisme, maka namanya pun

tak bisa lepas dari nama modernisme. “Jangan

berani-beraninya meninggalkan nama modernisme

itu, tak akan bisa populer kamu! Mesti kau melawan

aku, tapi kau tak akan lepas dari pengaruhku.”

Begitu kata modernisme. Maka suara-suara lain itu

menambahi sedikit kata di depan kata ‘modern-isme’.

Jadilah nama ‘Posmodernisme’. Nama itu pun

menjadi populer. Posmodernisme tahu apa yang

harus dilakukan untuk negeri-negeri yang sedang

beranjak modern itu. Di negeri lain juga sama. Tapi

untuk apa membahas pertunjukan negeri lain yang

tak pernah kita tonton. Lebih baik mengapresiasi

pertunjukan yang kita tonton setiap hari ini.

101

Ia harus menciptakan narasi lain di atas narasi

pertunjukan teater negeri ini. Sebuah narasi yang

relevan bagi alur cerita narasi sebelumnya. Dengan

begitu, narasi lain yang dibangunnya bisa

nyambung. Kamu tahu ndak, ini rahasia, narasi yang

dibangun, yang katanya narasi yang baru dan

mutakhir itu, sesungguhnya berasal dari narasi-

narasi tua yang umurnya setua modernisme, bahkan

narasi-narasi yang berangkat dari modernisme itu

sendiri. Cuma karena narasi-narasi tua itu terlambat

ikut menumpang dalam kereta modernisme, jadinya

ia Cuma teronggok di rak-rak perpustakaan atau

musium. Posmodernisme tahu itu. Lantas

membersihkannya dari debu-debu yang melekat,

memandikannya, mendandaninya, ke-mudian ia

bawa ke zaman mutakhir. Brilian juga

posmodernisme itu. Ah, kalau tidak brilian mana

mungkin bisa disambut dengan gegap gempita di

negerti ini.

102

Kalau narasi modernisme dibangun atas kata-

kata kunci, seperti rasional, sain, teknologi, universal,

kebebasan, dan seterusnya, maka posmodernisme

pun narasinya dibangun atas kata-kata kunci yang

diciptakannya. Tapi, karena saking briliannya, kata-

kata kunci yang membangun narasi posmodernisme

berasal dari isi pikiran dan perasaan negeri-negeri

sasarannya itu. Itu cara yang paling efektif dan

penuh kekeluargaan agar mudah diterima

pemilikinya. Maka muncullah kata-kata, gender,

lokal, bongkar, keanekaragaman, marginal,

majemuk, rakyat kecil, tradisonal, bebas-kreasi,

populer, bawah, pinggir, yang semuanya itu menjadi

buah bibir di negeri-negeri yang sedang beranjak

modern itu. Kamu tahu ndak, kalau kata-kata itu,

padanannya dalam bahasa negeri barat bukan kata-

kata produktif. Mereka bahkan asing dengan

pengertian yang diwadahinya. Dengan mengambil

kata-kata kunci dari negeri-negeri sasaran

bercokolnya posmodernisme itu, maka kata-kata itu

103

begitu mudah diterjemahkan, dijabarkan, dan

diwacanakan. Memang, di samping tidak asing, kata-

kata itu sudah menjadi idaman. Jadi mudah saja

untu dikembangkan setinggi langit; setinggi

posmodernisme ikut di dalamnya. Skenario apa lagi

yang muncul di dalam narasi pertunjukan negeri ini?

Sekarang ini kita susah untuk meramal ujungnya.

Alasannya, para pe-makainya baru senang-

senangnya bergaya posmodernisme. Mereka masih

belum berpikir ke mana sebenarnya arah yang

sengaja diciptakan oleh narasi di atas narasi

pertunjukan negeri ini. Waspadalah! Bukankah di

awal modernisme juga seperti itu. Bagaimana

ujungnya? Kamu tahun kan!?

Posmodernisme memang sangat tepat ketika

muncul dalam narasi pertunjukan teater negerti ini.

Ketika penontonnya sudah tak tahan dengan

kedidayaan aktor utama yang bernama kekuasaan

dan pengusaha, maka saat itulah posmodernisme

muncul. Ia memang akhirnya menjadi pendorong

104

untuk melawan. Di ujung alur narasi itu, penonton

mendapatkan perannya di dalam narasi. Tapi bukan

semua penonton cukup nyalinya untuk ikut serta.

Atau mungkin sudah terlanjur apatis terhadap cerita.

Atau juga penonton yang tidak ikut serta karena

menyadri kapasitas dan kemampu-annya. Maka

hanya penonton-penonton yang memiliki kapasitas

yang secara langsung terdorong melawan. Mereka

adalah para penonton yang secara langsung

merasakan perlakuan aktor utama, mahasiswa dan

kaum intelektual yang memang memiliki inspirasi dari

sejarah negeri ini, para ‘pengkianat’ yang dulunya

setia sebagai penyokong aktor utama, dan sebagian

lagi penonton yang tahu persis bagaimana

memanfaatkan kesempatan dalam kesempitan.

Merekalah yang kemudian menjadi pengembang

cerita pertunjukan negeri ini. Suspen cerita

pertunjukan teater negeri ini adalah apa yang disebut

dengan reformasi.

105

Mau tidak mau, akhirnya, gairah dan

semangat keterbukaan dan kebebasan menjadi tema

utama yang muncul kemudian dalam narasi ini.

Apakah suara-suara lain yang bernama

posmodernisme itu sanggup membuahkan hasil bagi

negeri ini? Ternyata tidak juga. Atau mungkin belum

waktunya untuk melihat hasilnya. Yang jelas, ia

merupakan pendorong utama bagi sebuah era yang

disebut reformasi. Itulah hasilnya sementara ini.

Sebuah revolusi! Para penganut Marxisme ortodok

seharusnya belajar dari pos-modernisme untuk

mewujudkan cita-citanya itu; sebuah revolusi. Pada

akhirnya, cerita pertunjukan teater negeri ini semakin

ramai dan lucu. Tapi kelucuannya justru muncul dari

ketidaklucuannya. Aneh. Absurd. Pertunjukan teater

ini memang sudah lama penuh dengan kelucuan

yang tidak lucu. Tapi yang penting, ada pergeseran

yang lumayan dalam alurnya. Kalau dulu aktor utama

yang bernama kekuasaan sangat digdaya dan

benar-benar berperan sebagai penguasa yang

106

berkuasa, sekarang aktor utama itu nyaris menjadi

bulan-bulanan aktor lain. Semua improvisasinya

mengundang geleng-geleng kepala bagi penonton.

Kalau dulu penonton cuma bisa melakukan: takut

dan nurut, sekarang mereka bebas melakukan reaksi

apa saja, termasuk kerusuhan, perkelahian, dan

sejenisnya.

Monolitik kekuasaan sudah tidak memiliki

tempatnya dalam narasi ini kemudian. Kekuasaan

mulai disikapi secara dekonstruktif. Wah ikut-ikutan

posmodern, nih! Dan aktor utama dalam pertunjukan

teater negeri ini telah beralih dari pengusaha-

penguasa, ke arah media massa-pengusaha. Alur

cerita semakin tajam, setajam represi Suharto

terhadap para musuh-musuhnya. Kalau Soeharto

telah menjajah kebebasan dan kemerdekaan berfikir

dan berproduksi secara kreatif, maka pada zaman

narasi akhir ini, media massa telah menjajah di ruang

kultural masyarakat. Ruang publik dan ruang privasi

hampir tidak terbedakan ketika media massa

107

menyentuhnya. Sebuah kekuasaan baru. Kamu

tahu, itu adalah hasil dari modernisme.Aktor ini lihai

dalam improvisasi. Tapi, sebenarnya ke-lihaiannya

itu merupakan kecerdasan aktor pengusaha yang

berada di balik aktor ini. Salah satu improvisasi yang

luar biasa adalah, kekuasaan pun tunduk pada aktor

media masa itu. Sekaligus terjebak pada strategi

aktor pengusaha. Jadi sebenarnya hanya ada satu

aktor utama dalam narasi, yaitu pengusaha.

Kalau dipandang dari konvensi penciptaan

narasi pertunjukan, narasi di masa ini sudah tidak

dapat dijelaskan dengan kaidah-kaidah teori narasi

yang selama ini dianut. Atau mungkin, teori-teori

yang kemarin diagung-agungkan keakuratannya,

sekarang sudah tak relevan lagi. Elemen-elemen

baru telah muncul dan ditawarkan dalam narasi

teater negeri ini. Para ilmuwan dan akademisi mulai

tersentak kalau pemahaman dan penguasaan teori-

teori yang selama ini dipelajari tak mampu lagi

menjelaskan fenomena yang berkembang di dalam

108

pertunjukan. Biang keladinya adalah apa yang

disebut dengan Budaya Pop. Jenis ini dulunya tak

diakui dan pantang menjadi obyek kajian para

ilmuwan dan akademisi. Mereka selama ini hanya

mengakui yang kanon, monumental, herois, dan adi

luhung. Lagi-lagi inilah hasil dari dorongan

posmodernisme untuk mengakui budaya pop. Dan

mulai kelihatan rahasianya, bahwa posmodernisme

ternyata menyokong dan mengukuhkan modern-

isme juga. Budaya pop memperoleh tempatnya

untuk diakui dan dikaji, dengan begitu semakin

dikonsumsi. Masyarakat digerakkan untuk meng-

apresiasi, yang ujungnya masyarakat pula yang

harus menempatkan budaya pop sebagai bagian

hidup yang tak terpisahkan.

Memang budaya pop menjadi tema di atas

tema-tema central narasi yang sekarang ini

mendasari gerak pertunjukan teater negeri ini. Tak

ada dalam teori bahasa atau teori seni yang

mengungkapkan tema di atas tema itu. Yang ada

109

tema dan sub-tema yang berada di bawahnya.

Budaya pop adalah tema yang begitu saja muncul

dan menempati posisi yang tinggi, hingga tema

central sebelumnya menjadi ter-subordinasi. Ilmu-

wan dan akademisi pun harus membongkar imajinasi

dan intuisinya, --selama ini harus disisihkan jikalau

tidak mau dikatakan tidak ilmiah—untuk

menerangkan fenomena budaya pop ini.

Seorang teman yang sudah terlanjur belajar

secara serius teori dan metodologi dalam sejarah

pemikiran modern dunia, pada akhirnya nglokro.

Ternyata dia harus kembali pada imajinasi dan

intuisinya yang tak berteori dan bermetodologi ketika

harus menjelaskan tentang tema budaya pop ini. Ia

harus membuka mata, telinga, dan hatinya lebar-

lebar untuk menangkap ke mana arah alur narasi

yang berkembang dalam lakon pertunjukan teater

negeri ini. Tidak heran kalau kemudian, dia lebih

banyak nongkrong di warung kopi, supermarket,

KFC, jalan raya, kerumunan pelajar, TV, toko buku

110

(tapi bukan untuk beli), rental CD/DVD, warnet, dan

café, untuk melihat fenomena budaya pop

membanjiri benak-benak kesadaran masyarakat.

Sekali-kali dia membaca koran, bahkan beberapa

koran dan majalah sekaligus, untuk menangkap

ramainya orang tenggelam dalam hiruk pikuk zaman

ini.

Kalau kemudian, teman saya ini mengurai

semua itu untuk menemukan benang merahnya,

maka imajinasi dan intuisinya merasakan, betapa

mereka, termasuk dia tentunya, telah terjajah

kemerdekaannya oleh budaya pop itu. Tidak

berlebihan saya pikir jika ia menemukan ke-

cenderungan itu. Dalam petualangannya di atas, ia

mencatat sederet fakta yang mengusik hatinya. Ia

mulai menangkap ke arah mana alur narasi

pertunjukan teater negeri ini. Ada perasaan ngeri

dan khawatir tentang peradaban yang kelak akan

menjadi setting kehidupan anak cucunya. Dia tak

bisa mengatakan secara lebih kokrit. Semuanya

111

serba gelap. Semuanya serba menakutkan. Tapi

semua itu tak bisa dielakkan oleh generasi masa

depan. Itu semua warisan; sebuah alur cerita yang

senantiasa berkait dengan kekinian dan masa

sebelumnya. Lantas apa yang bisa aku lakukan?

Bayangan teman saya itu mengharu biru hatinya.

Kalau kita tempatkan dalam konteks

pertunjukan teater negeri ini, teman saya ini bolehlah

disebut seorang pengamat atau kritikus teater.

Dialah salah satu orang yang memiliki kepekaan dan

kemampuan untuk menangkap makna terdalam dari

narasi pertunjukan itu. Sebagai seorang kritikus, dia

mesti mengamati, bukan sekedar menonton. Lantas,

dia tergelitik untuk memikirkan maknanya,

mengurainya dalam bahasa yang mudah dipahami,

dan mengkritisi bagaimana seharunya sebuah narasi

teater itu bergerak. Dia telah menangkap maknanya

dari pertunjukan negeri ini yang ditontonnya. Sebuah

narasi besar yang bergerak tanpa terkendali. Sebuah

narasi yang kemudian dipandang oleh aktor-aktor

112

utamanya, pengusaha dan media, sebagai sebuah

kesempatan emas bagi kehidupan mereka.

Sementara aktor-aktor figurannya cuma bisa terlena

oleh pengaruh yang begitu luar biasa dalam

kehidupannya.

Apa yang ditonton dan dimaknai oleh teman

saya yang kritikus itu, menjadi sebuah perenungan

dan pemikirannya. Pada sebuah titik kritisinya,

muncullah satu penilaian: “Bagaimana seharusnya

narasi pertunjukan teater itu bergerak?” Mendiamkan

alur cerita narasi semacam itu, pikirnya, ending-nya

akan menjadi sebuah tragedi yang menyedihkan.

Narasi itu harus dibelokkan jalannya. Narasi itu mesti

berjalan atas cerita yang baru. Tak boleh

menggantung ke arah mana suasana dan semangat

para aktor-aktor utama membawanya. Semuanya

harus berubah. Khusus-nya, aktor utamanya mesti

memperoleh karakter-isasi yang baru. Kedudukan

aktor Penguasa yang sekarang terlalu lemah, mesti

113

dikembalikan kekuatannya dengan wajah dan

karakter yang baru.

Yang dipelukan adalah suatu kebijaksanaan

dan kebijakan dalam merubah narasi pertunjukan

teater negeri ini. Dasar di mana negeri ini sebagai

ruang dan waktu pertunjukan dan narasinya

berlangsung, telah lama dibangun. Di sana jelas-

jelas telah dirumuskan cita-cita dan tujuan yang

hendak diraih. Pilar dan simpul yang membangun

narasi telah kokoh. Semua potensi alamiah dan

kultural, cukup tersedia untuk menopang

keberlangsungan pertunjukan tersebut. Semua itu

adalah modal untuk mengarahkan narasi

pertunjukan teater negeri ini ke arah terciptanya

peradaban yang humanis, agamis, dan menjunjung

tinggi azas kehidupan dalam keadilan, kesejatera-an,

dan kenyamanan. Teman saya itu pun tak menyadari

bahwa pola pikirnya itu kemudian mengarah pada

suara-suara posmodern pula. Seuah tanda-tanda

pencengkeraman postmodern-isme terjadi.

114

Penjajahan atas pola pikir. Dan ujungnya, semakin

mengukuhkan modernisme itu sendiri.

Teman saya itu pura-pura tidak

menyadarinya. Sebenarnya ia tahu persis. Dialah

sebenarnya salah satu penyokong utama, pe-

nyambut paling gegap gempita atas kehadiran

posmodernisme. Ia malu mengakuinya. Ia hanya

berkata, “Kok terlalu bombastis, ya? Apa tidak

sebaiknya yang konkrit saja untuk sebuah gerak alur

narasi ke depan? Alur narasi yang mampu

menciptakan pencerahan peradaban dan ke-

budayaan ke depan. Seharusnya kita sudah dapat

memahami ke arah mana perjalanan narasi

pertunjukan ke depan. Indikator-indikator kultural

modern menunjukkan kecenderungan pergerakan

itu. Tinggal kita menggarisnya ke dalam alur

pemikiran yang lebih jelas untuk penyusunan sebuah

policy kebudayaan sesuai yang kita cita-citakan.

Sang kritikus teman saya itu mulai menunjukkan

keseriusannya. “Ini harus serius memperbincang-

115

kannya. Ada gerak alur narasi yang

mengkhawatirkan. Sementara aktor-aktornya belum

menyadari bahwa improvisasi yang telah mereka

buat, ke arah yang salah. Ujung gerakan alur narasi

itu mengarah pada sebuah tragedi.” Apa kita butuh

post-posmodernisme?

Kita sesungguhnya mempunyai dasar dan

tujuan nasional yang ingin kita raih melalui

pembangunan ke depan. Namun demikian, kita juga

harus mengakui bahwa paradigma yang kita pilih

selama ini dan perkembangan dunia Barat tempat

paradigma itu berasal, justru menunjukkan kecen-

derungan yang membahaya-kan peradaban

masyarakat. Di samping itu, budaya yang muncul

akibat pilihan itu malah menjajah ruang kesadaran

dan bentuk kehidupan manusia. Dalam realitas

seperti ini, sebuah kekeliruan terbesar jika kita tidak

mengadakan perubahan yang mendasar dalam

mengatur negeri ini. Secara kultural, saat inilah

waktunya kita memikirkan dan merumuskan sebuah

116

bentuk pencerahan yang kita tuangkan dalam policy

kebudayaan nasional.

Kekuatan aktor Penguasa dalam per-

tunjukkan harus mengimbangi aktor-aktor yang lain.

Pengusaha dan mass media merupakan aktor yang

begitu kuat dan efektif dalam membangun dan

mengendalikan alur cerita narasi sekarang ini.

Jangan terjebak pada permainan kedua aktor

tersebut. Apa yang telah ditunjukkan oleh aktor

Penguasa itu sangatlah kontra-produktif. Per-

tengkaran dan adu kekuatan, tipisnya iman ketika

melihat tumpukan uang, sarat kepentingan demi

kekuasaan, dan seterusnya, justru melemahkan

peran yang seharusnya dimainkan dalam mem-

bangun narasi yang lebih baik. Sadarlah, ada

persoalan yang lebih penting dari semua itu, yaitu

memperkuat posisinya dalam pertunjukan untuk

mengimbangi aktor pengusaha dan mass media

dalam membangun narasi yang kelak diwariskan ke

generasi selanjutnya.

117

Janganlah membiarkan narasi pertunjukan

negeri ini dikuasai oleh para aktor pengusaha

dengan alat-alat produksinya. Merekalah agen

kebudayaan modern yang belum banyak disadari

kekuatannya. Cara pandang terhadap aktor ini, yang

semata-mata dipandang sebagai pelaku ekonomi,

mesti harus diubah. Mereka bukan hanya pencipta

lapangan pekerjaan, penumbuh ekonomi, dan yang

terlibat pada persoalan-persoalan ekonomi saja. Ada

yang lebih bermakna peranannya dalam peradaban

ini. Merekalah yang telah membentuk kesadaran dan

tindakan masyarakat melalui produk-produk dan

mesin pengumpul uangnya. Merekalah yang telah

men-dewasakan dirinya untuk peka dan lihai melihat

kesempatan yang menguntungkan. Terciptanya

Budaya instan merupakan sasaran ekonomi yang

menjanjikan tanpa melihat ekses yang ditimbul-

kannya. Dalam budaya instan, kehidupan memang

serba cepat, mudah, dan efektif. Tapi eksesnya juga

mesti diantisipasi. Munculya berbagai penyakit,

118

perusakan lingkungan, sifat konsumtif dan

materialistik, dan seterusnya, adalah persoalan yang

membayangi kehidupan ini.

Sampai di ujung ini, inilah alur perjalanan

budaya dan peradaban negeri Indonesia. Mirip

pertunjukan teater, pergerakan kebudayaan dan

peradaban berdasarkan sebuah narasi yang sengaja

dibangun oleh penguasa, pengusaha, dan media

massa. Lantas, kapan rakyat menjadi actor yang

turut membangun narasi juga!?.

119

PEMANFAATAN SENI SANDHUR

DALAM TEATER MODERN

Ruang pertunjukan tampak gelap; membawa

suasana mitis dan imajinatif. Beberapa saat,

gamelan mulai bertalu, mengabarkan seni

pertunjukan segera dimulai. Obor dinyalakan di

sudut-sudut ruang. Berdatangan orang-orang

memasuki ruang yang gelap itu. Tak ada yang

mengatur, mereka melingkar di semua sisi ruang

arena pertunjukan. Melingkar. Dengan gerak ritmis

beberapa pemain memasuki arena permainan.

Ditimpa musik kendang dan acapela, para penari itu

semakin semangat. Gerak-gerak mereka semakin

cepat. Penonton pun semakin bergairah;

memandang tak berkedib, menatap tak berpaling.

120

Mereka terhanyut dalam irama dan suasana

pertunjukan.

Itulah opening pertunjukan teater yang

mengangkat naskah Orang-Orang Bawah Tanah,

yang dimainkan oleh Teater Institut UNIROW Tuban.

Pertunjukan teater yang disutradari M. Taufik itu,

terlihat tidak asing bagi penonton Tuban,

Bojonegoro, atau Lamongan. Performansi Seni

Sandhur terlihat dalam pertunjukan itu. Namun

demikian, M. Taufik sebagai sutradaranya, bukan

ingin menampilkan seni tradisi yang saat ini mulai

punah itu. Ia dan crew-nya berproses kreatif dalam

bentuk teater modern. Sebuah konsep pertunjukan

teater modern yang dicoba untuk ditawarkan dalam

bentuk hibriditas. Dalam konsep pertunjukan

semacam itu, jelas memiliki idealisme dan pemikiran

yang berangkat dari nilai-nilai tradisi masyarakat.

Seberapa jauh seni Sandhur mampu

memberikan kontribusinya ke dalam seni teater

modern tersebut? Pemikiran apa yang me-

121

latarbelakangi konsep pertunjukan semacam itu?

Dua hal itulah yang mengemuka untuk di-diskusikan

ketika komunitas teater kampus di atas, menawarkan

konsep hybrid. Sebuah konsep yang diambil dari

teori Poskolonial yang saat ini merebak dalam kajian

budaya di Indonesia. Dalam konteks kritik

poskolonial, sebagaimana yang diungkapkan

Manneke Budiman dalam kata pengantar buku

Sastra Indonesia Modern, Kritik Poskolonial (2008),

konsep pertunjukan tersebut perlu diposisikan

sebagai bagian dari praksis, yang tak hanya

berdimensi tekstual tapi juga sosial, serta bercita-cita

melakukan transformasi melalui diseminasi wawasan

atau kesadaran kritis. Sebagai praksis produk

budaya, hal tersebut terfokus pada cara pandang

dalam memahami identitas dengan jalan melakukan

interaksi antara bentuk-bentuk budaya berbeda

dalam kerangka pembentukan budaya dan identitas-

identitas baru.

122

Dalam konteks pemikiran poskolonial di atas,

pertunjukan berjudul Orang-Orang Bawah Tanah di

atas membawa dimensi pemikiran untuk

diperbincangkan ketika melihat realitas seni tradisi

Sandhur mulai punah di tengah-tengah budaya

modern. Konkritnya adalah, seni tradisi Sandhur mau

tak mau berjalan ke arah kepunahannya. Namun

demikian, sungguh disayangkan apabila jejak-

jejaknya tidak dijumpai dalam pertunjukan teater

modern. Pelestarian seni Sandhur sebagai seni

tradisi lebih bersifat dokumentatif teks. Tetapi dalam

tataran praksis produk budaya modern, perlu

dicermati kebermanfaatannya untuk memperkaya

nilai-nilai modern yang meng-indonesia. Sebuah

tawaran kelokalan yang mesti dilakukan menghadapi

gempuran budaya global yang saat ini luar biasa

pengaruhnya.

***

Sebagai seni pertunjukan tradisi, seni

Sandhur mengandung nilai-nilai tradisional yang

123

bersifat mitis dan kosmis. Kedua sifat tersebut

merupakan ciri yang menonjol, sebagaimana ada

dalam seni tradisi yang lainnya. Ciri tersebut

merupakan perwujudan dari paradigma masyarakat

dahulu terhadap hakikat kehidupannya. Dunia

manusia adalah micro cosmos sebagai bagian dari

macro cosmos yang melingkupinya. Pandangan ini

tidak saja menempatkan manusia sebagai subyek

yang berdiri sendiri dengan rasionalnya, tetapi juga

merefleksikan nilai-nilai religius. Dunia manusia

hanyalah sebutir pasir di tengah-tengah luas tak

terbatasnya dunia abadi yang bersifat transendental.

Manusia dengan keterbatasannya harus tunduk

pada hukum Tuhan, karena ke sanalah manusia

mesti menuju. Hukum dunia manusia adalah hukum

alam yang micro (kecil) dan fana. Hukum Tuhan

adalah macro (besar) dan abadi. Oleh karena itu,

dunia micro harus menyelaraskan dirinya dengan

yang macro.

124

Hal itulah menjadi jiwa pertunjukan seni

Sandhur sebagai tradisi masyarakat di Tuban,

Bojonegoro, dan Lamongan pada masa silam. Pada

sisi ini jelas memiliki perbedaan dengan seni modern

yang cenderung sekuler, terbuka, dan universal.

Perbedaan ini dilatarbelakangi oleh paradigma yang

berbeda pula. Teater modern memiliki akar sejarah

pemikiran kebudayaan modern yang berasal dari

Barat. Kebudayaan Indonesia telah mengalami

gempuran dari kebudayaan Barat yang cenderung

bebas, rasional, dan universal. Gempuran yang tak

terelakan itu membawa pengaruh terhadap

perkembangannya.

Masuknya konsep-konsep pertunjukan Barat

merebak ke ranah produk seni teater modern

Indonesia. Jiwa teater modern Indonesia mau tidak

mau berkembang selaras dengan semangat

kebudayaan modern tersebut. Pengaruh yang

sangat dirasakan atas realitas modern tersebut

adalah, semakin longgarnya jarak antara tradisi dan

125

modern. Perbedaan keduanya semakin jauh.

Problema itulah yang kemudian menjadi isu

pentingnya mendekatkan jarak tersebut. Dalam

konteks pembicaraan budaya multikultural, ke-

tegangan antara tradisi dan modern mengarah pada

pembauran keduanya dengan tetap mempertahan-

kan identitas keindonesiaan.

Kebudayaan modern boleh bergerak pesat.

Teater modern Indonesia sebagai bagiannya pun,

juga mesti bergerak. Tetapi persoalannya adalah,

bagaimana dinamika teater modern tersebut

diarahkan untuk mentranformasikan tradisi dan

modern tersebut secara dialektis. Dalam konteks

teori poskolonial, transformasi budaya tersebut

diarahkan pada diseminasi dalam bentuk hibriditas

yang beridentitas keindonesiaan. Pada tataran yang

ideologis dan filosofis, hibriditas teater modern

tersebut tidak hanya berkutat pada persoalan teknis

dan dramaturgi, tetapi juga kedalaman jiwa

pertunjukan yang lebih bersifat profetik. Konsep jiwa

126

seni Sandhur sebagai tradisi yang mengarah pada

religius tanpa mengurangi batas-batas yang profan,

tampaknya dapat menjadi konsep pertunjukan teater

modern. Tanda-tanda dan simbol dalam bahasa

panggung, yang menge-jawantahkan jiwa pertunjuk-

an dalam seni tradisi Sandhur, kiranya dapat dipilih

untuk mewakilinya.

Teater tidak telepas dari aspek tanda dan

simbol kehidupan manusia. Artinya, kehidupan

manusia yang merupakan bahan penciptaan akan

diwakili oleh tanda dan simbol-simbol tersebut ke

dalam pertunjukan. Tanda dan simbol kehidupan

manusia menjadi bahasa panggung untuk di-

komunikasikan ke pada penontonnya. Penulis

naskah dan pekerja teater menyadari betul bahwa

bahasa panggung menjadi sarana yang mesti dipilih,

dimunculkan, dan dikreasikan, untuk membangun

pertunjukan. Pada gilirannya, akan merefleksikan

makna dan pesan yang ingin disampaikan kepada

penonton. Dalam konteks tanda dan simbol

127

kehidupan manusia tersebut, di manakah kontribusi

seni tradisi Sandhur diimplementasikan?

Seni Sandhur sebagai seni pertunjukan juga

memiliki tanda dan simbol yang khas untuk

memaknakan kehidupan manusia. Bentuk pang-

gung, alur, penokohan, cerita, dan tata artistik

lainnya, mengandung makna tentang kehidupan

manusia dalam cara pandang yang mitis dan kosmis.

Konsep mitis dan kosmis sebagai jiwanya, dapat

diterjemahkan sebagai ciri religius dan profetik.

Sarana pertunjukan tersebut membangun kualitas

pertunjukan yang bermakna.

Jika mengambil kasus yang ditawarkan oleh

Teater Institut Unirow ketika menggarap naskah

modern Orang-Orang Bawa Tanah, dalam konsep

pemanfaatan seni Sandhur dalam proses peng-

garapannya, nampaknya bisa menjadi sebuah

pilihan. Tanda-tanda dan simbol dalam seni Sandhur

sengaja ditransformasikan untuk mengungkapkan

makna dan pesan yang akan disampaikan kepada

128

penonton. Proses pentrans-formasian tersebut

bukan sekedar untuk ditempelkan begitu saja, tetapi

menjadi sarana dan bahasa panggung yang

merefleksikan makna dan pesan tersebut. Pe-

mahaman terhadap upaya ini mesti ditempatkan

pada sudut pandang yang religius dan profetik,

sebagaimana jiwa seni Sandhur yang mitis dan

kosmis. Dengan begitu, tanda dan simbol yang

ditransformasikan tersebut memperoleh makna yang

baru dalam mewadahi tema modern yang

diungkapkan dalam naskah.

Seberapa jauh pencapaiannya, tergantung

pada proses pemaknaan dalam konteks ko-munikasi.

Berelson dan Teiner mengemukakan bahwa

komunikasi adalah suatu proses penyampaian

informasi, gagasan, emosi, keahlian, dan lain-lain

melalui penggunaan simbol-simbol seperti kata-kata,

gambar, angka-angka dan lain-lain (dalam Indra

Suherjanto dalam makalahnya berjudul Komunikasi

Dalam Seni Pertunjukan Teater,2008). Sebagai

129

tindak komunikasi, keber-hasilan konsep pertunjukan

di atas ditentukan oleh sejauh mana proses

pemaknaannya berlangsung dalam diri komunikan,

dalam hal ini adalah penonton. Perlu ancangan

untuk mendekati dan memahami proses pemaknaan

tersebut dalam diri penonton. Alih-alih untuk

memahami proses pemaknaan penonton,

pemahaman atas horizon penerimaan akan

diperoleh dalam rangka umpan balik atas tawaran

konsep pertunjukan.

***

Inilah sekelumit pemikiran awal tentang

pemafaatan seni tradisi Sandhur ke dalam

pertunjukan teater modern. Seni Sandhur me-

rupakan warisan kultural masyarakat di daerah

Tuban, Bojonegoro, dan Lamongan. Dalam bentur-

an budaya modern saat ini, seni tradisi tersebut

sangat sulit mempertahankan eksistensinya. Di

samping kurangnya kaderisasi para pelaku seni

Sandhur, generasi muda sebagai penerus warisan

130

kultural masyarakat pun enggan meliriknya. Upaya

pelestariannya pun lebih bersifat dokumentatif teks

yang mentranskripsikan pertunjukan seni Sandhur

itu. Namun demikian, dalam rangka produk budaya

modern tentunya jejak-jejaknya seharusnya tam-pak.

Dengan demikian, modernisasi budaya Indonesia

tetap berpijak pada identitas ke-indonesiaan.

131

BERHARAP MENANG DAN BERHARAP DARI KEMENANGAN

Prolog

Kalau boleh penulis sebut, tahun 2009 adalah

tahun Hajatan Massal. Di tahun inilah pesta

demokrasi susul menyusul, khususnya di Jawa

Timur. Dari pilihan gubernur yang berdurasi panjang,

lantaran dua putaran, belum lagi di beberapa daerah

mesti mengulang, hingga pilihan legislatif dan pilihan

presiden. Hajatan massal itu tentunya menguras

waktu, pikiran, tenaga, dan anggaran tak sedikit. Dan

itu semua telah usai. Begitu cepat waktu telah

bergeser, merapat ke tahun 2010.

Hasil hajatan massal itu adalah kekuasaan.

Tapi jangan dilupakan, bukan itu buah yang mesti

132

dinikmati dari hajatan itu. Kekuasaan dan jabatan

hanyalah instrumen yang dipilih rakyat untuk

menjadikan harapan, cita-cita, dan keinginan mereka

menjadi kenyataan. Mereka yang dipilih telah menuai

harapan dan keinginan, tetapi yang memilih masih

menanti hasil dari pilihannya itu. Maka, tak ada

salahnya jika kita barang sejenak memutar kembali

sambil merenungkan apa makna dari semua itu,

Berharap Menang dan Berharap dari Kemengan

Berharap menang dan berharap dari

kemengan, adalah dua hal yang berbeda. Masuk

akal jika orang berharap menang dalam sebuah

pertaruhan. Apalagi jika pertaruhan itu membutuhkan

pengorbanan. Apalagi jika konsekuensi dari

kekalahan akan begitu dalam. Harapan menang

akhirnya semakin tinggi pula. Berharap menang

merupakan suatu cita-cita setelah orang terjun di

dalam suatu pertaruhan. Segala upaya dilakukan.

Teknik, strategi, rayuan, dan “tipuan“ dilakukan agar

133

harapan tidak tinggal harapan. Beaya tidak sedikit

dikucurkan; boleh jadi hutang pun dilakukan untuk

itu. Tak salah jika seseorang begitu berharap untuk

menang. Lumrah, kalau orang Jawa mengatakan.

Yang tidak lumrah adalah berharap dari

kemenangan. Hukum pertaruhan memang me-

ngatakan: “Siapa yang menang, membawa

keberuntungan”. Siapa yang menang, tentu mem-

bawa hasil kemengangannya. Lantas, dengan

sendirinya akan menikmati jerih payahnya. Dalam

hukum seperti ini, hasil kemengan merupakan

penghargaan yang otomatis akan datang. Tidak

usah berharap, toch sudah ada hukum pertaruhan

yang mengaturnya. Lain persoalannya, jika harapan

tak pernah berhenti karena merasa orang itu

menang. Lain masalahnya, jika harapan itu terus

muncul karena kemengan itu membutuhkan modal

yang besar. Dan, lain perhitungannya, jika modal

yang besar itu harus mengakibatkan keuntungan

material yang besar pula. Sepertinya, kemenangan

134

itu menjadi legitimasi untuk berharap terus

mendapatkan dan menikmati kemengannya tanpa

berfikir ada pertaruhan lain yang menjadi

konsekuensi kemengan itu, yaitu pertaruhan dengan

kemenangannya itu.

Ilustrasi di atas melintas di benak setelah

pertaruhan, yang disebut Pileg, usai dihelat. Hajatan

Masal, yang bernama pemilu, meninggalkan bayak

persoalan yang mesti direnungkan. Usai sudah hiruk

pikuk sang kandidat merayu rakyat dengan janji dan

senyum yang dipaksakan; meski sebagian di antara

mereka tak terbiasa untuk senyum. Janji yang

mereka rajut menjadi keyword dan terminologi di

dalam khazanah per-kampanye-an. Barang siapa

yang bisa mengobral janji, dialah yang bisa

mengeruk keuntungan. Bukan masalah, itu janji

palsu, janji-janjian, atau janji tetek bengek, yang

penting janji. Senyum yang mereka ukir, mencipta-

kan cermin personality yang ramah, semanak, akrab,

dan bersahabat. Bukankah dengan senyum

135

membuat orang lain menjadi senang. Maka,

senyumlah. Bukan masalah, apakah itu senyum

kepalsuan, senyum membawa maut, atau senyum

penuh pamrih. Yang penting, senyum. Dan harapan

untuk menang pantas dilakukan.

Kini, itu semua sudah usai. Kembali kepada

asal-muasalnya. Janji dan senyum hanyalah aspek

entertaint, agar menarik. Hajatan Masal sudah

selesai. Selesai pula sang Entertainer memasang

taktik dan strategi. Semuanya sudah harus

dilupakan. Itu semuanya hanyalah bedak dan gincu.

Pagi dipakai, malam dihapus. Bagai seorang penari

topeng, ketika usai, topeng pun harus dilepas. Dan

jadilah manusia biasa. Jadilah manusia yang

sesungguhnya. Jangan mengobral janji lagi.

Semakin banyak janji, semakin sulit ditepati. Jangan

mengobral senyum lagi. Semakin banyak senyum,

orang menyangka itu gila. Apalagi yang tidak pernah

bisa senyum, bisa-bisa malah menakutkan.

136

Kini tinggal berhitung. Yang menang,

menghitung laba yang akan diterima kelak jika sudah

duduk menjadi anggota dewan yang terhormat.

Waktu lima tahun bukan waktu yang pendek. Lima

tahun, waktu yang cukup untuk menikmati ke-

menangannya. Bukankah kesejahteraan seorang

anggota dewan semakin melangit. Bukan masalah

untuk mengambil laba dari apa yang pernah

dikeluarkan untuk menuju ke sana. Bukankah dunia

politik berbiaya mahal. Karena kemahalannya itulah,

seolah seorang politikus mendapatkan legitimasi

untuk menentukan gajinya sendiri. Dibuat sendiri,

disetujui sendiri, dan dinikmati sendiri. Dan itulah

salah satu wilayah perpolitikan di negeri ini.

Tentunya, yang kalah telah mengorbankan

semuanya untuk berharap kemenangan. Yang kalah,

menghitung rugi yang mesti dipikul semua keluarga,

tetangga, atau teman-teman tempat berhutang.

Bahkan, malam ketika media TV ramai berhitung

cepat perolehan suara, lima orang harus sudah di

137

bawa ke Rumah Sakit (Jiwa); begitu kata sang juru

berita. Benar proyeksi RSJ, mereka telah siaga satu

setelah berhitung, begitu banyaknya caleg yang

kalah. Dan barangkali mereka membutuhkan

konseling.

Politik Jual Beli ataukah Politik Para Ledheg?

Yang menang, janganlah berbangga diri.

Rakyat sudah begitu tulus memilih. Rakyat sudah

mengikuti alur yang telah dibuat oleh peserta pileg.

Dan rakyat kini menanti amanat yang dititipkan pada

yang menang. Janganlah berpolitik ala jual-beli.

Caleg menjual, rakyat membeli. Barang dagangan

habis, usai sudah. Dan yang menang tinggal

menghitung laba jualannya. Dan rakyat yang harus

menanggung, apakah barang yang dibelinya benar-

benar asli atau sebaliknya, palsu. Janganlah

berpolitik ala ledheg. Modal bedak dan gincu. Meliak-

liuk mengikuti irama yang telah dikuasai. Semakin

seru liak-liuknya, semakin banyak perolehan yang

138

didapatkan. Ketika usai, tinggalah kenikmatan semu

yang ditebarkan di benak para penonton.

Merasa menang bukan lantas selalu berharap

dari kemengannya itu. Kalau ini terjadi, persoalannya

menjadi politik jual-beli dan politik para ledheg. TPS

ibarat sebuah pasar tempat orang menjual dan

membeli. Para caleg telah menjual janji dan

pesonanya, rakyat telah membelinya pada saat

pemilihan berlangsung. Apakah janji yang dibeli

rakyat adalah barang palsu? Apakah pesona yang

dibeli adalah rayuan seorang pedagang? Rakyatlah

yang menikmati dan menanggung baik-buruknya;

palsu atau asli yang telah mereka beli. Sementara

penjualnya, dengan senang hati menghitung laba

yang terus mengalir tanpa bertanya dalam dirinya,

“palsukah yang aku jual, aslikah yang aku tawarkan”.

Dalam hukum jual beli, ada penjual yang jujur dan

tanggung jawab; ada pula penjual yang hanya

memikirkan keuntungan semata.

139

Dalam politik para ledheg, TPS merupakan

pertunjukan tari ledheg. Di sore hari, para ledheg

berbedag dan bergincu. Kecantikannya merupakan

pesona yang mesti ia tebarkan pada para penonton.

Di tengah para penonton, musik berirama mengiringi

liak-liuk sang ledheg mengundang decak kagum

orang-orang yang memandang. Akhirnya, kocek pun

keluar sebagai imbalan untuk para ledheg yang telah

mempesonakan mereka. Dan malam semakin

memabukan. Kocek pun terus mengalir untuk

sebuah pesona. Kemenangan demi kemenangan

para ledheg mengalir bersamaan dengan

mengalirnya kocek-kocek penonton. Tapi, jangan

sekali-kali melihat bagaimana para ledheg itu di luar

pertunjukan. Kecantikan ledheg adalah

kepiawaiannya berias diri; bedag dan gincu. Pesona

ledheg adalah liak-liuk ditempa irama musik di

malam hari. Dan itu tak pernah dijumpai di luar

pertunjukan. Dalam politik para ledheg, di luar

pertunjukan adalah masalah lain, di dalam

140

pertunjukan adalah masalah lain pula. Jangan

disamakan jika tidak ingin tertipu. Sebuah

kenikmatan sesaat yang penonton dapat.

Politik jual-belikah yang dibuat para caleg untuk

memenangkan pertaruhan? Politik para ledheg-kah

yang diberlakukan para caleg untuk meraih

harapan? Cara apa saja bisa dilakukan. Cara apa

saja bisa dipakai. Waktu yang akan menjawabnya.

Rakyat bisa menilainya kelak ketika yang menang,

menikmati kemenangannya.

Harapan menang telah menjadi kenyataan. Tapi

jangan berharap dari kemenangan itu. Jangan

merasa telah banyak yang harus dikorbankan.

Jangan berfikir telah banyak yang harus dikeluarkan.

Kalau itu terjadi, pengorbanan untuk sebuah

kemenangan harus dikembalikan. Perhitungan harus

selalu dilakukan tanpa memikirkan ada konsekuensi

dari kemenangan itu. Ada pertaruhan lain yang mesti

dimenangkan lagi. Dan itu adalah menjadikan

harapan rakyat menjadi nyata. Rakyat juga butuh

141

kemenangan. Rakyat juga sudah bertaruh untuk

menentukan suaranya. Harapan untuk menang juga

ada dalam hati rakyat. Bukankah harapan itu bukan

semata-mata tumbuh dari hati rakyat? Bukankah

harapan itu muncul karena tawaran para caleg ketika

berkampanye?

Masih belum hilang dari ingatan orang,

bagaimana para caleg menciptakan sebuah narasi

besar yang akan dilakukan jika terpilih nanti. Sebuah

narasi yang serba hero, serba optimistis, dan

segudang kenikmatan. Seperti air segar atas

kehausan rakyat. Isu perubahan, sekolah gratis,

kesehatan gratis, satu milyar setiap desa, modal

usaha untuk UKM, fasilitas perbankan, dan

sederetan isu yang menggiurkan ada dalam narasi

itu. Itu semua menyuarakan sebuah janji. Itu semua

menimbulkan harapan bagi rakyat. Apakah harapan

ini menjadi nyata, seperti para caleg yang telah

memenangkan pertaruhan dalam Pileg kemarin.

142

Sebuah Narasi atas Kemenangan

Narasi apakah yang telah dibangun dalam

periode kemarin atas kemenangan para anggota

legislatif bersama partai politiknya? Waktu telah

berbicara selama lima tahun dalam peiode itu. Dan

rakyat telah mendengarnya. Skandal sex, korupsi,

penghambur-hamburan uang di saat rakyat prihatin,

kenaikan gaji di saat kenaikan BBM dan bahan

pokok, banyak kursi kosong ketika harus bersidang,

dan manuver politik demi kepentingan kelompoknya

di saat ekonomi rakyat harus diperjuangkan. Itulah

narasi yang telah dibangun. Sebuah narasi yang

mengungkapkan cerita atas kemenangan yang telah

diperoleh lima tahun yang lalu.

Akankah narasi semacam itu akan diteruskan

pada periode berikutnya? Apakah ada bangunan

narasi yang lebih segar lagi? Atau malah lebih parah

lagi? Waktu juga yang akan menunjukkan narasi itu.

Saat inilah waktu yang tepat untuk mengingatkan

para pemenang Pileg kemarin. Saat inilah waktu

143

yang tepat untuk mendorong para pemenang itu

memulai membangun narasi yang lebih baik.

Sebuah narasi dibangun dari niat baik, pola

pikir, sikap, dan kinerja yang tinggi dari seorang

pemenang. Dari ribuan kandidat dalam pertaruhan,

tentunya para pemenang adalah orang-orang yang

terpilih. Dalam sejarah kebudayaan lama di negeri

ini, orang terpilih, satria pinilih, adalah orang-orang

yang benar-benar sakti mandraguna (kredibel), setia,

dan pantang mundur. Ia mengemban amanat

kerajaan demi perdamaian, kesejateraan, dan

kesatuan negeri. Dalam pola pikir satria pinilih ini,

lebih baik mati dari pada tidak berhasil mengemban

amanat negeri. Negeri ini bergantung pada

berhasilnya misi dan tugasnya. Bukan berlebihan

kalau para pemenang Pileg adalah satria pinilih. Ini

bukan sebuah analogi yang mengada-ada. Ini adalah

sebuah harapan. Bisakah? Jangan cepat apriori.

Jangan cepat memvonis sesuatu yang belum terjadi.

144

Meskipun semua orang pesimis, tapi harapan dan

doa tetap mesti ditumpukan pada mereka.

Kalau satria pinilih pada zaman dahulu dikirim

ke medan perang melawan musuh yang merongrong

negeri, sekarang dikirim ke Senayan untuk berjuang

demi kemenangan rakyat. Keduanya memiliki tujuan

yang sama, yaitu: kesejahteraan, kedamaian, dan

kebersatuan rakyat (negeri). Bukankah demokrasi

dibangun karena itu? Bukankah dewan diciptakan

untuk tujuan itu? Dan bukankah pemerintahan

diadakan untuk mengemban amanat seperti itu?

Kalau semua orang berharap bahwa mereka yang

menang dalam pertaruhan Pileg adalah seorang

satria pinilih, kiranya bukan berlebihan. Dan inilah

landasan yang kokoh untuk membangun sebuah

narasi yang besar atas kemenangan.

Narasi yang besar disusun dari kekuatan,

kekuasaan, peristiwa, dan semangat zaman yang

besar pula. Dan ia akan ditumbangkan oleh narasi

yang besar pula, yang muncul kemudian. Narasi

145

kemarin telah menuai kritik. Image yang dibangun

lebih banyak celanya dari pada baiknya. Sudah

waktunya ditumbangkan oleh narasi yang dibangun

oleh para pemenang sekarang. Bukan masalah,

sebagian dari mereka adalah bagian dari narasi yang

kemarin. Barang yang lama dapat menjadi baru

karena tempaan waktu dan penebusan kesalahan.

Narasi dibangun oleh kolaborator yang memiliki

kekuatan dan kekuasaan atas masyarakat. Kekuatan

dan kekuasaan itu diperoleh dari kemenangannya

dalam pertaruhan yang disebut Pileg. Suatu

kolaborasi dari orang-orang atau kelompok yang

memiliki misi dan peran yang sama, tetapi satu

dengan yang lain berhubungan secara oposisif. Di

tingkat permukaan, mereka cenderung berbeda

karena sudut pandang dan ideologi. Tapi tujuan

mereka sama yaitu menjadi kolaborator. Hanya

dengan menjadi bagian dari kolaborasi itulah,

mereka dapat memperoleh eksistensinya dan

menyalurkan kepentingannya. Dengan menjadi

146

kolaborator itulah, mereka dapat turut serta

menyusun narasi yang memungkinkan dapat

menikmati dan mempertahankan kekuatan dan

kekuasaannya. Sekecil apapun kekuatan dan

kekuasaan mereka bukanlah yang utama. Yang

utama adalah mengemban misi seorang satria

piningit.

Sebuah narasi yang baik terdiri atas unsur-

unsur yang baik pula. Unsur-unsur narasi itu adalah

niat baik, pola pikir, sikap, kejujuran, ketaqwaan, dan

kinerja yang tinggi dari seorang kolabor; yaitu orang-

orang yang telah terpilih. Mereka mesti menyimak

bangunan narasi kemarin yang nota bene banyak

menuai protes. Adakah niat baik dalam diri para

pembangun narasi? Adakah pola pikir, pandangan,

dan sikap yang benar dalam melaksanakan amanat

kemenangannya? Adakah kejujuran dan ketaqwaan

menjadi landasannya? Adakah kinerja yang tinggi

dalam melaksanakan tanggung jawab? Semua

147

pertanyaan itu menjadi bahan introspeksi para

pemenang Pileg.

Barangkali ada yang salah dalam membangun

narasi kemarin, sehingga harus menuai kritik dan

protes. Salah satu biang keladi-nya adalah apa yang

mereka sebut kualisi. Dari hakikat maknanya saja

sudah tampak ketidakbenaran pola pikir. Kualisi

adalah pengelompokan atau penggabungan.

Pengelompokan dan penggabungan itu selalu ada

yang jadi lawan dan kawan (kelompok oposisi dan

pemegang pemerintahan). Ini adalah tradisi sistim

yang didasarkan pada pertentangan. Belum apa-apa

sudah berfikir kualisasi. Sama halnya, belum

melakukan sudah berpikir pertentangan. Logika ini

mesti dirubah. Sebuah narasi yang baik bukan

dibangun dari sikap dan landasan berpikir

‘pertentangan’. Sebuah narasi yang baik dibangun

dari kesatuan dari perbedaan. Bukan sebaliknya,

pertentangan dari pengelompokan.

148

Negeri ini semestinya memiliki narasi yang

membumi. Narasi yang berlandaskan pada nilai-nilai

kultural bangsa. Itu tempat pijakan yang tepat untuk

kelangsungan sejarah bangsa. Negeri ini tidak

mengenal kualisi. Nilai-nilai negeri ini menjunjung

tinggi keselarasan, kebersatuan, dan kedamaian.

Kita mesti menggalinya dan mengurainya untuk

diterapkan dalam membangun bangsa. Produk

bangsa lain tidak semestinya dilahap mentah-

mentah. Kualisi merupakan konsep Barat dalam

konteks dan situasi Barat. Bangsa ini mempunyai

konsep yang lebih beradab, yaitu Bhineka Tunggal

Ika; meskipun berbeda-beda tetap satu juga. Bukan

sebaliknya, meskipun satu tetap berbeda-beda juga.

Dan kualisasi mengungkapkan: meskipun dewan

perwakilan itu satu, tapi sesungguhnya berbeda-

beda. Apakah akan diteruskan hal seperti ini? Yang

satu ini nampaknya narasi dewan perwakilan masih

belum berubah.

149

Sesungguhnya kita mesti berani mengeluarkan

kualisi dari narasi dewan perwakilan. Logika dan

realitas kualisi hanyalah mengarah pada

penyusunan kekuatan dan kekuasaan yang

dipertentangkan dengan kekuatan dan kekuasaan

yang lain. Kenapa pola pikir ini nampaknya masih

dipertahankan!? Takutkah pemegang kekuasaan

terhadap goncangan kekuatan yang lain? Bukankah

dikotomi oposisi dan yang teroposisi telah diciptakan

karena sistim kualisi yang diciptakan sendiri? Sekali

lagi, beranilah menghapus kualisi dari narasi.

150

LOKALISME,

Sebuah Pemikiran Awal

-

Apakah yang dimaksud dengan Lokalisme?

Lokalisme adalah semua pemikiran, gagasan, ide,

kepercayaan, keyakinan, dan sebagainya, yang

mengangkat persoalan-persoalan kelokalan sebagai

temanya. Apakah Lokalisme merupakan teori atau

gerakan? Lokalisme merupakan sikap dan

kesadaran untuk memperhatikan persoalan-

persoalan yang berkembang dalam wilayah lokal

atau daerah. Apakah bentuk manifestasi dari

lokalisme itu? Sebuah tradisi pewacanaan lokal yang

dibangun oleh semua pihak yang terlibat merupakan

perwujudan dari lokalisme.

Apa pentingnya lokalisme dalam masyarakat

modern dewasa ini? Pada tataran yang lebih awal,

pentingnya lokalisme terletak pada tumbuhnya

151

kesadaran untuk mengangkat persoalan-persoalan

lokal sebagai sebuah wacana pemikiran dan

inspirasi kreatif. Mengapa? Produk-produk budaya

modern telah menipiskan dan menepiskan nilai-nilai

lokal di semua sendi kehidupan masyarakat.

Keanekaragaman produk budaya modern telah

menggeser produk-produk budaya lokal, baik

material maupun mental, ke arah bentuk kehidupan

dan pola kesadaram masyarakat yang berciri

konsumtif, instan, dan global.

Budaya massa, produk konsumtif, dan agen-

agen budaya modern, sebagai produk budaya

modern memiliki daya tarik yang luar biasa. Secara

evolutif dan pasti, produk-produk budaya modern

tersebut telah membangun peradaban masyarakat

modern yang mereduksi nilai-nilai kelokalannya.

Masyarakat tidak mungkin menolak semua itu,

termasuk menolak resiko yang ditimbulkannya.

Penolakan terhadap produk-produk budaya modern

yang telah terlanjur membentuk pola kehidupan

152

masyarakat sehari-hari, akan memunculkan per-

soalan-persoalan baru yang tak kalah berat

resikonya. Yang perlu disikapi adalah, bagaimana

produk-produk budaya modern tersebut diadaptasi

dan ditransformasi dalam konteks kelokalan atau

kedaerahan. Bangunan peradaban masyarakat

modern bukanlah hasil dari internasionalisasi,

westernalisasi, dan globalisasi. Tetapi, peradaban

masyarakat modern adalah internalisasi nilai-nilai

modern ke dalam nilai-nilai lokal dan sebaliknya.

Internalisasi merupakan kata kunci pem-

bangunan peradaban masyarakat Indonesia modern

yang berangkat dari lokal (daerah). Internalisasi

bukan hanya dalam pengertiannya yang material,

tetapi juga mental. Internalisasi secara mental

merupakan penghayatan terhadap adanya nilai-nilai

kehidupan modern sebagai hasil modernisasi dan

nilai-nilai lokal hasil sejarah masa lalu yang secara

turun-menurun diwarisi masyarakat. Di satu sisi,

hasil-hasil modernisasi tidak mungkin ditolak beserta

153

dampak yang ditimbulkannya, baik positif maupun

negatif. Di sisi yang lain, nilai-nilai sosiokultural yang

telah mengakar dalam sejarah, semenjak masa lalu

hingga sekarang, harus tetap menjadi penanda dan

maknanya dalam kehidupan masyarakat hingga ke

depan. Keduanya tidak saling meniadakan satu

sama lain. Dan tidak mendominasi satu sama lain.

Keduanya dihayati dalam sikap, kesadaran,

tindakan, dan produksi budaya modern yang

mengindonesia.

Selama ini konsep indonesia cenderung

dihayati sebagai bagian dari wilayah yang luas,

global. Meskipun telah lama disadari bahwa

Indonesia merupakan negara yang berciri pluralistik,

tetapi perjalanan kehidupannya cenderung ber-

orientasi ke persoalan-persoalan global. Indonesia

lebih digerakkan untuk siap berhadapan dengan

persoalan internasional (Barat) daripada persoalan-

persoalan lokal. Penghayatan semacam ini

menipiskan dan menepiskan persoalan-persoalan

154

lokal. Indonesia akan dinilai dari keberhasilannya

mengejar kemajuan yang telah dicapai negara-

negara lain. Caranya, transfer ilmu pengetahuan dan

teknologi dilakukan dengan akselarasi yang tinggi.

Tetapi hal itu meninggalkan kekayaan dan potensi

sendiri yang seharusnya digali. Tak pelak lagi

berakibat pada dominasi Barat terhadap yang lokal.

Biang keladinya adalah pilihan tanpa reserve

terhadap modernisme sebagai paradigma pem-

bangunan nasional.

Sudah saatnya untuk menghayati konsep

Indonesia membangun sejarahnya sendiri. Indonesia

adalah sebuah bangsa yang bernegara lokal.

Indonesia adalah bangsa yang bertempat tinggal di

daerah-daerah. Indonesia adalah sebuah bangsa

yang memiliki persoalan-persoalan daerah yang

harus dipecahkan; memiliki kekayaan dan potensi

daerah yang harus dikembangkan; memiliki nilai-nilai

sosiokultural daerah untuk menghadapi masuknya

pengaruh dan kebudayaan global.

155

Sejarah nasional dan kebudayaannya pada

gilirannya terdiri dari sejarah-sejarah lokal yang

beraneka ragam (multikultural). Tidak ada kanonisasi

di sana, karena kanonisasi akan menghilangkan

sekian banyak fakta-fakta sejarah lokal. Sejarah

nasional dengan demikian merupakan sejarah lokal;

dan sebaliknya, sejarah lokal adalah sejarah

nasional. Bentuk sejarah nasional yang berciri lokal

itulah yang mampu mewadahi dan mewacanakan

hasil-hasil internalisasi dalam bangunan peradaban

masyarakat Indonesia modern, yang sudah

semenjak lama memiliki kekayaan kultural yang

beraneka ragam (multikultural). Bentuk sejarah

nasional yang berciri lokal itulah yang mampu

membelajarkan masyarakat ke depan. Karena

kebudayaan pada hakikatnya adalah proses belajar

masyarakat.

Lokalisme merupakan sikap dan kesadaran

membangun sejarah lokal (nasional) di atas sejarah

global. Sejarah dalam konteks ini bukanlah dalam

156

pengertian sebagai perekaman dan/atau penulisan

atas fakta-fakta sejarah, melainkan masyarakat dan

proses kebudayaannya itu sendiri. Wacana nasional

dan internasional selama ini lebih mengemuka dan

mendominasi sejarah masyarakat Indonesia.

Sementara wacana lokal yang begitu banyak dan

berkembang di daerah-daerah tidak mampu meng-

imbanginya. Budaya massa dan orang-orang dalam

lingkaran kekuasaan pusat, memiliki andil terbesar

dalam mengangkat wacana nasional dan inter-

nasional seolah-olah begitu darurat dan pentingnya

untuk segera terpecahkan. Sedangkan wacana-

wacana lokal yang tak kalah pentingnya ibarat

penyedap rasa bagi masakan nasional dan

internasional tersebut. Ada atau tidak penyedap

rasa itu, tak ada bedanya.

Menghadapi semua itu diperlukan semua

pemikiran, gagasan, ide, sikap, kepercayaan,

keyakinan, dan sebagainya, yang berangkat dari

persoalan-persoalan lokal. Sebutlah lokalisme; tapi

157

bukan ikut-ikutan menitru isme-isme-an yang

bermunculan dewasa ini. Ia adalah penanda beserta

maknanya semua sikap dan pola berpikir yang

memwacanakan persoalan-persoalan lokal sebagai

fokus perhatian dan tema inspirasi kreatif

masyarakat. Dibutuhkan semua komponen

masyarakat daerah untuk membangun lokalisme.

Lokalisme tidak dibangun dari atas (pusat) secara

sentralistik. Ia mesti dibangun dari daerah, karena

hanya daerah yang memahami persoalannya sendiri.

Semangat desentralisasi yang muncul

semenjak tumbangnya rezim kekuasaan Orde Baru,

seharusnya dibarengi munculnya semangat

lokalisme. Tetapi semangat desentralisasi tersebut

hanyalah termanifestasikan pada kebijakan institusi

pemerintah dalam bidang birokrasi dan regulasi.

Dengan begitu, desentralisasi lebih cenderung

membentuk raja-raja kecil yang kekuasaannya lebih

represif daripada sebelum isu desentralisasi tersebut

muncul.

158

Oleh karena itu, sudah saatnya semua

pemikiran, gagasan, ide, sikap, kepercayaan,

keyakinan, dan sebagainya, yang berangkat dari

persoalan-persoalan lokal, secara kolektif digerakkan

lebih kuat lagi. Budaya massa yang selama ini

memiliki dosa besar dalam mengakselerasi budaya

modern beserta dampaknya, harus menjadi bagian

dari proyek lokalisme ini. Aparatus kekuasaan yang

selama ini juga tenggelam dalam pola berpikir

normatif dan konvensional harus membuka

wawasannya. Para akademis, praktisi, dan

profesional harus menempatkan lokalisme ke dalam

bidang garapannya. Budayawan dan seniman

daerah harus mengangkat tema-tema lokal sebagai

inspirasi kreatif mereka, tanpa mengurbankan hak-

hak kreativitasnya. Pendeknya, diperlukan semua

komponen masyarakat untuk mengangkat kelokalan

dalam proyek-proyek garapannya. Dengan begitu,

lokalisme akan mampu mengimbangi wacana-

wacana nasional dan internasional untuk me-

159

ngemuka dan mendominasi sejarah peradaban dan

kebudayaan bangsa.

Lokalisme menjadi semakin penting ketika

arus globalisasi menyeruak ke permukaan. Arus

deras informasi dan komunikasi sebagai penanda

globalisasi membawa dampak masuknya budaya

asing tanpa filterisasi. Ia secara mudah, cepat, dan

efektif memasuki ruang-ruang publik. Masyarakat

tanpa dibedakan status, usia, agama, geografi, dan

sosiokulturalnya, dapat langsung menerima setiap isi

informasi dan komunikasi. Tak ada skat apapun yang

membatasinya. Batas-batas bangsa, kebudayaan,

kelas sosial, hingga status dan latar belakang orang

perorang, diterabas. Pada sisi ini, globalisasi lebih

merusak daripada membangun. Lantas, apakah

globalisasi dibiarkan begitu saja bergerak tanpa

disikapi? Apakah globalisasi diterima begitu saja,

sebagaimana menerima modernisasi sebagai satu-

satunya pilihan tanpa reserve, yang ternyata banyak

160

membawa bencana daripada membangun peradab-

an yang lebih baik?

Lokalisme akhirnya juga menempatkan dirinya

dalam konteks globalisasi tersebut. Pada konteks ini,

lokalisme menjadi efektif sebagai filter dan kebijakan

terhadap budaya asing dan resikonya yang dibawa

oleh derasnya arus informasi dan komunikasi dunia.

Budaya asing tak mungkin dibendung. Budaya asing

tak mungkin ditolak masuk ke ruang publik

masyarakat. Apapun bentuk, isi, dan dampaknya

akan merambah masyarakat. Tetapi membiarkannya

begitu saja terjadi merupakan kelemahan dan

ketidakmampuan masyarakat menyikapi perubahan.

Lokalisme akan mengambil perannya sebagai cara

pandang dan landasan untuk mengelola, mengolah,

memilih, dan menentukan apa yang bermanfaat bagi

konteks sosiokultural masyarakat.

Semua itu tak akan pernah berhasil apabila

lokalisme tidak secara tegas menjadi kesepakatan

nasional; lokalisme menjadi paradigma pem-

161

bangunan masyarakat Indonesia modern. Modern-

isme yang berdasarkan kebebasan, rasio,

universalitas, dan dengan ilmu pengetahuan dan

teknologi sebagai agennya, haruslah digantikan oleh

lokalisme. Lokalisme bukan menolak kemajuan yang

telah dicapai oleh modernisasi selama ini. Tapi

lokalisme juga tak akan membiarkan produk-produk

budaya sebagai hasil modernisasi itu tanpa berpijak

pada nilai-nilai kelokalan yang selama ini telah

mengakar dalam bentuk kehidupan dan pola

kesadaran masyarakat.

Barangkali hal-hal yang dikemukakan di atas

menjadi sebuah bahan perenungan dan pemikiran

untuk didiskusikan. Barangkali juga menjadi sebuah

cita-cita dan cermin dari sebuah keprihatinan.

Karena dunia pasti berubah. Tapi perubahan mesti

diarahkan; bukan dibiarkan. Semua itu akan

membawa manfaat bagi anak cucu kita. Amin.

162

KEKUASAAN YANG TERSEBAR

Peradaban Budaya Media

Karena media, seorang yang pergi dari

rumah, hanya dengan pakaian melekat di badan,

tiba-tiba di suatu tempat berubah bak seorang raja.

Ia dielu-elukan, disanjung, dan diteriak-histerisi para

penggemarnya. Ia menjadi buah bibir, memenuhi

ruang dan waktu sekecil apapun. Ia sebuah berita

yang menyedot perhatian masa. Berita yang

menenggelamkan peristiwa apapun di negeri ini.

Berita kematian seorang yang telah berjasa di negeri

ini, tak sepenting berita tentangnya. Berita

kontroversi penguras anggaran negara, tak sebesar

berita tentangnya. Bahkan berita yang sebelumnya

begitu ramai dibicarakan orang, tiba-tiba menjadi

163

berita biasa-biasa saja. Sebut saja ia seorang

Pesohor.

Di sudut yang lain, berbanding terbalik

dengan sang Pesohor di atas, lantaran media pula,

seseorang hancur kehidupannya, setelah ia

bersusah payah memperjuangkannya. Ketika ia tak

mampu mengendalikan dirinya, lantas iseng melihat

video porno yang ada di media, tiba-tiba orang

media pula menangkapnya melalui kamera. Kalau

seorang pesohor dielu-elukan dan disanjung bak

raja, akhirnya tokoh yang satu ini dihujat, ditertawai,

dan diteriaki sebagai seorang yang tak pantas

mengemban amanat. Sebut saja ia seorang

Pengkianat.

Itulah sebuah narasi pertunjukan budaya

negeri ini, yang saat ini sedang memainkan

lakonnya. Tapi jangan cepat mengatakan kalau sang

Pesohor dan Pengkianat adalah aktor utamanya.

Mereka hanyalah aktor kecil dari sebuah narasi kecil

yang dibingkai ke dalam narasi yang besar. Narasi

164

kecil bersifat temporer. Ia akan tenggelam secepat

kemunculannya. Ia akan digantikan dengan

munculnya narasi-narasi kecil lainnya. Sementara

narasi besar akan terus bergerak ke dalam alur

cerita yang tak pernah akan berakhir. Narasi kecil

dapat diramal ujungnya, tapi narasi besar teramat

sulit; bahkan boleh dikatakan tak berujung. Narasi

kecil itulah yang saat ini sedang dimainkan oleh

kedua tokoh ini; Sang Pesohor dan Pengkianat.

Lantas, siapakah aktor utama dalam per-

tunjukan ini? Siapa lagi kalau bukan Media. Sang

Pesohor dan Pengkianat adalah aktor yang terpaksa

dan dipaksa menerima perannya. Sang Pesohor

akan menikmati peran itu karena merasa nyaman,

enak, dan menguntungkan. Sebaliknya, sang

Pengkianat dipaksa untuk memerankan tokoh yang

tragik. Kesamaan keduanya, semua itu terjadi tanpa

mereka rencanakan. Apalagi sebagai sebuah

kesengajaan. Narasi kecil yang mereka emban,

mengalir seperti mata air. Di hilir sungai itu, aliran

165

mata air bercabang-cabang. Dan sang Pesohor dan

Pengkianat terbawa arus ke cabang yang berbeda.

Ke mana ujung cabang sungai itu? Cabang yang

satu akan mengurai dirinya untuk menyuburkan

tanaman ke sawah-sawah. Sedang cabang yang

lain, akan berujung ke selokan bau bacin.

Selebihnya barangkali akan bermuara ke samudra

luas. Di sanalah samudra akan menantang peng-

huninya untuk mengadapi hukum alamnya masing-

masing. Sang Pesohor dan Pengkianat mengalir

begitu saja mengikuti arus media ke mana mereka di

bawa.

Apa hikmah dan amanat dari semua ini?

Layaknya sebuah pertunjukan yang bernarasi, ia

memiliki hikmah dan amanatnya. Tinggal para

penontonnya mau sedikit memikirkan, merenungkan,

dan menghayati narasi yang dipertunjukan itu atau

tidak. Penonton (masyarakat) mempunyai hak untuk

berapresiasi sesuai keinginan dan kemampuannya.

Barangkali mereka hanya sekedar ingin menikmati

166

apa yang dilihat dan didengar; sekedar sebuah

hiburan. Atau mereka sah-sah saja untuk hanya

sebatas mengerti dan memahaminya. Mereka juga

boleh-boleh saja untuk menghayati dan memikirkan

untuk mencerahkan kehidupannya; Aristoteles

menyebutnya Chatarsis.

Media adalah budaya. Sebagai budaya yang

dominan, ia akan menjadi sebuah peradaban.

Sebagai sebuah peradaban, ia akan mengatur,

mempedomani, dan menentukan hajat hidup

masyarakat. Kalau sekarang ini media telah mampu

membalikkan kehidupan manusia, bahkan di luar

pikiran manusia, itulah sebuah tanda bahwa media

telah menjadi pengatur, pedoman, dan penentu

hidup manusia. Itulah tanda bahwa media telah

menjadi sebuah peradaban. Peradaban media. Jika

meminjam pemikiran seorang tokoh postruktural-

isme, Michel Foucault, situasi seperti ini ia sebut

sebagai sebuah diskursus (Wacana). Narasi

167

pertunjukan budaya media yang dewasa ini sedang

memainkan lakonnya, merupakan diskursus.

Marilah serba sedikit mengadopsi pemikiran

Foucault ini untuk sekedar menjelaskan siapa aktor

dibalik narasi pertunjukan budaya ini. Tokoh

postrukturalisme itu mengungkapkan bahwa

diskursus datang dari orang yang memiliki

kekuasaan dan dari orang yang memiliki pemikiran

kritis. Kekuasaan yang dimaksud bukanlah Negara

atau pemerintah, sebagaimana anggapan

masyarakat selama ini. Kekuasaan itu datang dari

mana-mana (kekuasaan yang tersebar). Kekuasaan

ini bukanlah sebuah institusi atau struktur, melainkan

suatu situasi strategis kompleks dalam masyarakat.

Kekuasaan muncul dari proses sejarah. Dengan

begitu, wacana pada akhirnya mengatur praktik-

praktik kehidupan masyarakat.Ia berisi suatu

mekanisme sosial dan di situlah kekuasaan melekat

ke dalam dirinya. Pemikiran Foucault inilah

nampaknya bisa menjadi penjelasan tentang

168

pertunjukan budaya media negeri ini. Peradaban

media menjadi sebuah diskursus atau wacana yang

mengatur praktik-praktik kehidupan masyarakat.

Sebagai sebuah situasi strategis yang dilekati oleh

kekuasaan, maka diskursus budaya media memiliki

kekuasaan yang menekan, mendefinisikan, mem-

bentuk, dan mentransformasi sejarah.

Dalam bahasa yang lain, dalam adagium ilmu

budaya, barang siapa yang mampu menguasai

budaya, dialah yang memiliki kekuasaan atas

perjalanan hidup masyarakat dan keberadabannya

itu. Dalam konteks ini, barang siapa menguasai

media, dialah yang menguasai pola hidup

masyarakat dan keberadabannya. Dialah yang akan

menikmati manfaat dari budaya media itu. Tapi

sebaliknya, barang siapa yang tak waspada, dia

akan ditenggelamkan media itu. Dialah menjadi

kurban dari sebuah budaya yang telah mendominasi

sebuah peradaban. Itulah yang sekarang ini dialami

oleh Sang Pesohor dan Pengkianat. Betapapun tak

169

sengaja, Sang Pesohor telah menguasai media.

Dialah yang kemudian akan menguasai masyarakat

dan peradabannya. Dialah yang menikmati

manfaatnya. Semua perhatian, sanjungan, dan

materi tercurah pada Sang Pesohor itu. Sementara

Sang Pengkianat tinggal meratapi ketidak-

waspadaannya pada budaya media. Dia telah

dihancurkan oleh budaya media itu. Dialah sebuah

kurban dari peradaban media. Sang Pesohor dan

Pengkianat telah dibentuk oleh situasi strategis yang

bernama peradaban budaya media.

Itulah sebuah hikmah dan amanat yang

disuarakan narasi kecil dalam pertunjukan budaya

negeri ini. Dua aktor yang berbeda peran dan ending

ceritanya, tetapi dalam cerita yang sama, Peradaban

Media sebagai sebuah Kekuasan Yang Tersebar.

Kalau bisa disambung, telah banyak diskursus

kecil bermunculan dalam pertunjukan budaya ini.

Kasus Prita, Aril dan Luna Maya, Bilqis, dan sederet

kasus-kasus yang lain, telah membuktikan betapa

170

luar biasanya sebuah media menentukan perjalanan

hidup seseorang. Kasus Prita muncul karena media,

sekaligus mendapatkan sokongan yang luar biasa

dari media juga. Aril dan Luna telah dibesarkan oleh

media, sekaligus juga ditenggelamkan oleh media.

Sang Bayi Bilqis, karena media ia telah mengundang

simpati dan keprihatinan khalayak. Tiga kasus ini

hanyalah sebutir cerita di tengah-tengah gurun pasir

yang bernama peradaban media.

Media adalah sebentuk pembangun citra.

Hakikatnya adalah, siapa yang lihai dan mampu

merangkul media, ia akan dibangun pencitraan

dirinya secara positif. Dan sebaliknya, siapa yang

bodoh dan terjebak media, ia juga akan dibangun

pencitraan dirinya secara negatif. Pemahaman

terhadap hakikat budaya media semacam itu, saat ini

sedang menjadi kegemaran sebagian masyarakat

negeri ini. Di tingkat atas, betapa media

dimanfaatkan untuk membangun citra positif

terhadap seseorang. Ia dibutuhkan untuk meng-

171

undang perhatian, sanjungan, dan pujian dari

masyarakat. Ia semacam kitab Babad Tanah Jawa

dalam kesusasteraan Jawa masa lalu, yang mampu

membangun nasionalisme dan legitimasi dari

masyarakat. Dengan begitu, kepentingan mobilisasi

sosial politik masyarakat dapat diperoleh. Di tingkat

bawah, sebut saja di tingkat kaum muda, media

menjadi ikon kemodernan seseorang. Kemelekan

huruf dan teknologi mereka, menjadi pendorong

terhadap pentingnya menyalurkan kebutuhan

aktualisasi dan komunikasi diri. Meskipun kalau

benar-benar dicermati, budaya media belum mampu

dimanfaatkan mereka untuk membangun pencitraan

yang sesungguhnya bagi masa depan. Ia hanya

sekedar ikon dan gengsi diri.

Jika kemudian kembali meminjam pemikiran

Foucault di atas, bahwa sebagai diskursus

peradaban budaya media berasal dari orang yang

memiliki kekuasaan dan dari orang yang memiliki

pemikiran kritis, maka yang terakhir itulah yang

172

sebenarnya dibutuhkan untuk mampu menyikapi

peradaban budaya media itu. Dibutuhkan pemikiran

kritis untuk mampu menguasai dan memiliki

peradaban. Dalam bahasa yang lebih konkrit, orang

yang memiliki pemikiran kritis adalah orang yang

memiliki pengetahuan. Lantas, dalam golongan yang

mana sang Pesohor dan Pengkianat di atas?

173

SEJARAH NEGERI ADALAH SEJARAH KEPAHLAWANAN

Mengapa Indonesia memiliki banyak

pahlawan nasional? Jangan cepat memvonis negeri

ini begitu mudahnya mengeluarkan gelar itu.

Indonesia memiliki sejarah yang panjang dalam

menghadapi kolonialisme secara heroik dan tanpa

pamrih. Dan Indonesia memiliki wilayah yang begitu

luas untuk disia-siakan begitu saja dari ancaman

imperialisme bangsa lain. Belum lagi, persoalan-

persoalan kultural dan sosial yang ditinggalkan

akibat penjajahan itu, membutuhkan pengurbanan

banyak orang untuk diselesaikan. Di sisi lain,

Indonesia tidak akan kekurangan tokoh yang mau

berkurban bagi bangsa ini. Serangkaian fakta itulah

menjadi latar belakang Indonesia memiliki banyak

pahlawan nasional. Kalau boleh penulis katakan,

174

seratus atau dua ratus gelar pahlawan nasional

belumlah cukup. Ribuan bahkan puluhan ribu orang-

orang Indonesia yang juga layak diberi penghargaan

sebagai pahlawan nasional.

Dari ujung timur hingga barat, terbentang

sekian ribu pulau dengan kekayaan yang melimpah.

Sebuah anugerah Tuhan Yang Mahakuasa bagi

negeri ini dengan limpahan kekayaan yang luar

biasa itu. Kalau kemudian membuat ngiler bangsa

lain untuk menguasainya, rasanya lumrah. Kalau

kemudian, membuat bangsa yang ngiler itu secara

paksa ingin menguasainya, logika kita juga

mengatakan lumrah. Tapi kita bukan bangsa yang

terlalu lemah untuk menyikapi kerakusan bangsa

lain. Kita bukan bangsa yang penakut untuk

mempertahankan wilayah ini. Banyak tokoh-tokoh

yang bersedia muncul dan mengangkat senjata

untuk itu, memang itulah semangat para leluhur

bangsa ini. Dan sejarah negeri ini juga telah

mengungkapkan fakta bahwa perjuangan mereka

175

pada akhirnya membuahkan hasil mendirikan

sebuah bangsa yang berdaulat dan merdeka.

Rasanya tidak berlebihan, jika pada akhirnya,

bangsa ini memberikan gelar Pahlawan Nasional

kepada mereka.

Sejarah negeri ini hingga masa sekarang juga

mencatat, berpuluh ribu orang yang rela berkurban

untuk gugur demi mempertahankan tanah air ini;

tampak ironis jika dilihat sekarang ini banyak tokoh-

tokoh nasional yang justru melakukan korupsi.

Mereka tak tercatat. Teramat banyak jumlahnya dan

mereka juga tak perlu administrasi untuk berkurban

demi negeri ini. Apakah mereka tak layak untuk kita

berikan gelar pahlawan nasional? Belum lagi, para

mahasiswa yang rela mati dan tak kenal lelah untuk

memperjuangkan keadilan dan kesejateraan rakyat

di zaman orde lama dan orde baru; ironis pula jika

kita bandingkan betapa para hamba hukum dan

pejabat justru melakukan tindakan merusak keadilan

dan mementingkan kesejateraan perutnya sendiri.

176

Apakah mereka tak pantas untuk disebut sebagai

pahlawan nasional? Kalau kita bisa menengok lebih

spesifik lagi betapa persoalan-persoalan hukum, hak

asasi manusia, lingkungan, sosial dan budaya di

negeri ini, masih membutuhkan orang-orang yang

bersedia untuk berjuang memperbaikinya. Tengoklah

Munir, Marsinah, Wiji Thukul, wartawan Bernas Udin

(?), para pengabdi lingkungan, hingga seorang

wanita bergelar Master yang bersedia hidup di hutan

untuk mendidik anak-anak pedalaman (bernama

Butet), mereka itu tak berpikir untuk menjadi

pahlawan nasional meskipun apa yang dilakukan

penuh pengurbanan demi negeri ini. Apakah mereka

itu juga tidak layak untuk disebut pahlawan nasional?

Problematika negeri ini berjajar sepanjang

sejarah eksistensinya sebagai bangsa. Di samping

akibat penjajahan bangsa lain selama lebih dari tiga

abad, problematika itu juga bersumber dari

sosiokultural dalam negeri ini sendiri. Penjajahan

yang terjadi telah mengakibatkan kesengsaraan,

177

penderitaan, keterbelakangan, dan yang utama,

kerugian waktu yang begitu lama yang seharusnya

dapat digunakan untuk membangun bangsa ini

menjadi bangsa yang maju. Tiga abad bukan waktu

yang pendek untuk membangun negeri ini. Sebuah

rentang waktu yang panjang untuk memperjuangkan

kedaulatan dan kemerdekaan. Bisa dibandingkan

dengan negara-negara lain yang memiliki sejarah

panjang dalam suasana kebebasan dan

kemerdekaannya. Negeri ini juga memiliki

problematika yang muncul kemudian, yang tidak

sedikit. Kemiskinan, pengangguran, sikap mental

yang korup, pelanggaran hukum dan HAM, gender,

dan persoalan-persoalan lingkungan dan bencana

alam, merupakan persoalan yang membutuhkan

pengurbanan dan kesetiakawanan sosial yang tinggi.

Jika kemudian muncul orang-orang yang peduli dan

siap berkurban untuk itu, pantas juga jika mereka kita

beri penghargaan sebagai pahlawan nasional.

178

Kalau sekarang ini muncul sinyalemen di

media massa yang mengungkit begitu banyaknya

gelar pahlawan nasional di negeri ini, jika

dibandingkan dengan negara lain, nampaknya

mereka harus belajar banyak dari sejarah dan

realitas negeri ini. Masih terlampau sedikit

penghargaan yang diberikan oleh negeri ini terhadap

orang-orang yang telah membuktikan jiwa

kepahlawanannya. Begitu tingginya orang

memandang selembar kertas bertuliskan Surat

Keputusan untuk menghargai dan menghurmati jasa-

jasa mereka sehingga mesti ribut untuk berdebat

soal itu. Banyak tokoh yang ramai

mempermasalahkan itu dengan membawa bendera

dan kepentingan golongan masing-masing. Mereka

melupakan satu hal, membicarakan tentang

pemahlawanan seseorang seharusnya menerabas

batas-batas golongan dan kepentingan politik

tertentu, karena orang yang kita bicarakan tak

179

pernah mempersoalkan golongan dan kelompoknya

selain kepentingan negara dan bangsanya.

Marilah kita melepaskan baju golongan dan

kepentingan untuk sama-sama mencatat orang-

orang yang telah berusaha memperbaiki negeri ini

dengan tanpa pamrih pribadi dan golongan. Kita

memiliki nurani dan akal sehat untuk itu. Janganlah

menggunakan prasangka, kecemburuan sosial,

harga diri suatu kelompok yang berlebihan,

kepentingan politik dan golongan, apalagi mereka

yang merasa kelompoknyalah yang paling berjasa

pada sejarah negeri ini. Persoalan pemahlawanan

adalah persoalan nasional. Masyarakat yang

merasakan hasil-hasil dari pengurbanan mereka itu,

bukan sekelompok orang. Kita bisa membaca dan

memahami apakah mereka yang kita permasalahkan

kepahlawanannya itu, demi kepentingan

kelompoknya semata ataukah demi masyarakat

seluruhnya. Kalau mereka yang kita bicarakan

adalah orang-orang yang rela berkurban untuk

180

kepentingan seluruh masyarakat, maka sudah

sepantasnya jika yang membicarakan juga siap

berkurban melepaskan kepentingan kelompoknya.

Politiklah yang paling mengemuka dan

dominan di negeri ini ketika orang mempersoalkan

isu dan problematika masyarakat. Bahkan persoalan

keadilan, hukum, pelanggaran HAM, pendidikan,

hingga kriminalitas dan korupsi, diseret ke ranah

politik. Pembicaraan tentang layak tidaknya seorang

K.H. Abdurahman Wakhid mendapatkan gelar

pahlawan nasional pun diwarnai oleh kepentingan

politik. Apakah harus dilakukan semacam

referendum untuk melakukan itu? Ketika masyarakat

lebih bisa berpikir secara jernih untuk menentukan

kelayakan seorang Gus Dur mendapatkan gelar

pahlawan nasional, cara referendum (atau apalah

namanya) nampaknya lebih efektif. Biarlah

masyarakat yang menilai, karena mereka yang

merasakan, atau tidak merasakan apa-apa, hasil-

hasil dari pengurbanan Gus Dur itu. Biarlah

181

masyarakat yang menentukan tanpa berpretensi

politik sama sekali. Bisakah? Bisakah presiden SBY,

sebagai pejabat yang memiliki kewenangan

memutuskan, tanpa berkepentingan politik? Kita

tunggu saja.