dari asetisme ke zuhd (reorientasi makna zuhd dalam islam) antologi islam dan kemiskinan, pasca...

17
1 | Page DARI ASETISME KE ZUHD (Reorientasi Makna Zuhd dalam Islam) Oleh: Mu’ammar Zayn Qadafy, M. Hum. 1 Abstrak Selama ini, ‚zuhd‛ telah salah-kaprah diterjemahkan dengan asetisme. Kesalahan ini disebabkan oleh kegagalan umat Islam memahami kehidupan para sufi, pemahaman yang parsial terhadap teks-teks agama tentang zuhd dan sejarah Islam yang tidak dibaca secara kontekstual. Implikasinya, alih-alih sebagai konsep luhur tentang pemusatan obsesi kepada Tuhan, zuhd lebih sering dikonotasikan sebagai pandangan anti kemapanan. Artikel ini ditulis untuk mendeskripsikan dua terminologi di atas (zuhd dan asetisme) dalam kaitannya dengan paradigma umat Islam tentang ‚hidup miskin‛. Melalui kajian historis, tulisan ini menyimpulkan bahwa di antara kedua terminologi di atas terdapat perbedaan yang mendasar. Pertama, dalam asetisme, pola hidup ‚serba kekurangan‛ menjadi satu-satunya standar, sedang dalam zuhd, hal tersebut hanya menjadi salah satu tanda saja; Kedua, asetisme menekankan pada sikap seseorang menjaga jarak dari kemewahan dunia. Sedangkan zuhd menekankan pada proses penemuan kebahagiaan sejati yang lebih tinggi dari apa yang disediakan oleh dunia tanpa harus meninggalkannya, karena dalam definisi zuhd, terkandung makna mentalitas hati untuk merasa cukup dengan apa yang dimiliki. Tidak seperti pelaku asetisme, seorang za>hid juga tidak perlu tidak perlu mengasingkan diri dari posisinya sebagai makhluk sosial. Konsep zuhd layak diaktualisasikan ke dalam konteks kekinian umat Islam dalam kaitannya untuk memberantas kemiskinan. Mindset umat Islam yang pada awalnya menganggap zuhd sebagai sesuatu sikap yang pasif harus diubah menjadi pola zuhd aktif yang mencerahkan, baik untuk masyarakat desa maupun perkotaan. Keywords: Zuhd Aktif, Asetisme Pasif, Tafsir Teks-Teks Keagamaan 1 Penulis Adalah dosen al-Qur’an dan Hadith di Sekolah Tinggi Ilmu Tarbiyah Islamiyyah (STITI) Karya Pembangunan, Paron, Ngawi.

Upload: uni-freiburg

Post on 15-May-2023

1 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

1 | P a g e

DARI ASETISME KE ZUHD

(Reorientasi Makna Zuhd dalam Islam)

Oleh: Mu’ammar Zayn Qadafy, M. Hum.1

Abstrak

Selama ini, ‚zuhd‛ telah salah-kaprah diterjemahkan dengan asetisme. Kesalahan ini disebabkan oleh kegagalan umat Islam memahami kehidupan para sufi, pemahaman yang parsial terhadap teks-teks agama tentang zuhd dan sejarah Islam yang tidak dibaca secara kontekstual. Implikasinya, alih-alih sebagai konsep luhur tentang pemusatan obsesi kepada Tuhan, zuhd lebih sering dikonotasikan sebagai pandangan anti kemapanan. Artikel ini ditulis untuk mendeskripsikan dua terminologi di atas (zuhd dan asetisme) dalam kaitannya dengan paradigma umat Islam tentang ‚hidup miskin‛.

Melalui kajian historis, tulisan ini menyimpulkan bahwa di antara kedua terminologi di atas terdapat perbedaan yang mendasar. Pertama, dalam asetisme, pola hidup ‚serba kekurangan‛ menjadi satu-satunya standar, sedang dalam zuhd, hal tersebut hanya menjadi salah satu tanda saja; Kedua, asetisme menekankan pada sikap seseorang menjaga jarak dari kemewahan dunia. Sedangkan zuhd menekankan pada proses penemuan kebahagiaan sejati yang lebih tinggi dari apa yang disediakan oleh dunia tanpa harus meninggalkannya, karena dalam definisi zuhd, terkandung makna mentalitas hati untuk merasa cukup dengan apa yang dimiliki. Tidak seperti pelaku asetisme, seorang za>hid juga tidak perlu tidak perlu mengasingkan diri dari posisinya sebagai makhluk sosial.

Konsep zuhd layak diaktualisasikan ke dalam konteks kekinian umat Islam dalam kaitannya untuk memberantas kemiskinan. Mindset umat Islam yang pada awalnya menganggap zuhd sebagai sesuatu sikap yang pasif harus diubah menjadi pola zuhd aktif yang mencerahkan, baik untuk masyarakat desa maupun perkotaan.

Keywords: Zuhd Aktif, Asetisme Pasif, Tafsir Teks-Teks Keagamaan

1 Penulis Adalah dosen al-Qur’an dan Hadith di Sekolah Tinggi Ilmu Tarbiyah

Islamiyyah (STITI) Karya Pembangunan, Paron, Ngawi.

2 | P a g e

A. Kemiskinan Yang Diatasnamakan Agama

Ketertinggalan umat Islam –khususnya di Indonesia- dalam hal

kemapanan ekonomi2 perlu ditinjau dari berbagai sudut pandang. Salah satunya

dari pemahaman-pemahaman relijius yang mempengaruhi pandangan komunitas

muslim di Indonesia tentang hakikat kekayaan dan kemiskinan. Tidak sedikit

yang mengatakan bahwa kemiskinan umat Islam di Indonesia disebabkan oleh

paradigma anti kemapanan yang teraktualisasikan –secara teoretik dan praktik-

dalam konsep ‚zuhd‛.

Konsep luhur tentang zuhd, jika disalahpahami, rawan untuk dijadikan

alibi apologis bagi seorang muslim yang secara ekonomi belum mapan. Pada titik

ini, zuhd bukan berarti penolakan total terhadap dunia. Zuhd telah menjadi

tempat pelarian yang nyaman bagi sekelompok orang yang gagal bertahan dan

bersaing di kehidupan duniawi. Pada akhirnya, zuhd pasif tersebut berpotensi

mengurung etos kerja seseorang yang terlanjur miskin, sehingga sulit baginya

untuk bangkit dari kemiskinannya3. Dengan demikian, adagium-adagium yang

masyhur di masyarakat muslim seperti ‚nrimo ing pandhum‛ (menerima apa

yang telah diberikan Allah) dan ‚urip moloikatan‛ (hidup seperti malaikat), di

satu sisi mampu mendorong tumbuhnya sikap sabar menghadapi kemiskinan, di

sisi lain berpotensi membentuk pribadi yang pasif dan apatis dalam bekerja.

Dengan kata lain, Zuhd seringkali diasosiakan dengan ‚hidup sangat

sederhana‛, ‚hidup tanpa dunia‛ atau ‚hidup menderita‛. Padahal, dalam definisi

2 Pada 1978, Bank Dunia merilis laporan bahwa dalam 132 juta penduduk Indonesia saat

itu, 72 juta jiwa dalam keadaan miskin. Dari 1976 hingga 2000, angka kemiskinan di Indonesia

berubah-ubah. Jumlah penduduk miskin pada 1998 adalah 29,5 juta orang atau 24,2% dari total

penduduk Indonesia. Lihat: Siahaan N. H.T; Hukum Lingkungan dan Ekologi Pembangunan (Jakarta: Erlangga, 2004), hal. 83-84.

3 Etos kerja, dalam teori kemiskinan, termasuk kedalam kategori individual explanation,

yaitu sebab-sebab kemiskinan dari diri si miskin itu sendiri. Baik karena ketidak cakapannya

bersaing dalam bidang ekonomi, maupun karena sifat alaminya yang tidak memiliki hasrat untuk

memperbaiki kehidupannya. Selain individual explanation, sebab kemiskinan yang lain menurut

teori ini adalah: familial explanation (misalkan saja jika si miskin berasal dari keluarga

berpendidikan rendah), subcultural explanation (misalnya kultur masyarakat yang melarang

wanita berkarir), structural explanation (jika ada golongan tertentu yang secara sengaja

memonopoli kemakmuran dan mewariskan kemiskinan). Bandingkan dengan: Suroyo dkk. Agama dan Kepercayaan Membawa Pembaruan (Yogyakarta: Kanisius, 2006), hlm. 97.

3 | P a g e

zuhd, terkandung makna kompleks yang lebih dari sekedar kemiskinan lahiriah

saja. Ada beberapa hal yang membentuk kesalahpahaman umat Islam tentang

makna zuhd, sehingga kebanyakan dari mereka menyamakan arti zuhd dengan

perilaku asetis (dalam bahasa Inggris: asceticism) -padahal keduanya memiliki

perbedaan yang fundamental-. yaitu:

Pertama, kesalahan umat Islam memahami kehidupan para sufi, figur-

figur yang dianggap memelopori aplikasi zuhd dalam kehidupan nyata. Dalam

diskursus ilmu tasawuf, ada dua istilah kunci: zuhd dan faqr. Yang pertama

adalah langkah awal seorang sufi untuk mendekat dan ‚bersatu‛ dengan Allah.

Yang kedua adalah manifestasi maqam tertinggi melalui fana>’ dan baqa>’ yang

dialami seorang sufi. Dua konsep ini memunculkan stigma bahwa setiap ahli

tasawuf adalah anti dunia dan anti peradaban. Lebih jauh, gerakan keruhanian

mereka –oleh para pemikir belakangan- dipandang sebagai sumber kemunduran

dan keterbelakangan Islam4.

Padahal, sejarah Islam Indonesia menunjukkan bahwa para sufi berperan

aktif dalam penyebaran Islam di nusantara pada abad ke-13 sampai abad ke-17.

Dalam hikayat-hikayat Melayu, mereka disebut darwish, sedang dalam babad

Jawa, mereka kerap disebut wali. Di antara para sufi tersebut ada yang

berdagang, menjadi tabib, perajin, pengusaha kapal, guru bela diri dan lain

sebagainya. Sebagian mereka berperan secara aktif mendirikan pesantren, seperti

misalnya Hamzah Fansuri serta para wali di Jawa seperti Sunan Bonang dan

Sunan Giri.5

Kedua, pemahaman yang parsial terhadap teks-teks hadith tentang

keutamaan zuhd dan ciri-ciri pelakunya. Di antara Nas}-nas} mengenai keutamaan

zuhd adalah hadith yang menyebutkan bahwa orang yang bersikap zuhd terhadap

4 Abdul Hadi W. M., Zuhd dan Faqr dalam Pemikiran Hamzah Fansuri dan Ayatullah

Khomeini, dalam www.al-shia.org diakses tanggal 8 September 2014.

5 Bahkan, Sarekat Dagang Islam yang kemudian bernama Sarekat Islam (SI) adalah

gerakan kebangsaan pertama yang pada tahun 1905 didirikan oleh para pemimpin dan anggota

tarikat sufi seperti H. Omar Said Cokroaminoto dan H. Samanhudi. Ibid.

4 | P a g e

dunia dianggap memiliki kebijaksanaan (yulqi> al-h}ikmah)6. Tentang siapa yang

termasuk ahli zuhd, sebuah riwayat lain dari ‘Ali> Ibn Abi> T}a>lib menyebutkan,

ketika turun al-Muja>dalah: 127 yang menganjurkan orang-orang mukmin

memberikan sedekah pada orang-orang miskin, Rasul bertanya kepada Ali apakah

ia memiliki satu dinar untuk disedekahkan. ‘Ali menafikannya karena ia hanya

memiliki secuil emas (sha’i>rah min dhahab). Rasul lalu mengatakan kepada ‘Ali:

‚innaka lazahi>d‛ (sungguh kamu adalah orang yang zuhd). 8Hadith-hadith

semacam ini, jika tidak disandingkan dengan hadith-hadith lain lalu dimaknai

secara kontekstual dapat dislahpahami sebagai legitimasi makna miskin dalam

definisi zuhd.

Ketiga, sejarah Islam yang dibaca dengan tidak lengkap. Dalam kitab-

kitab klasik tentang zuhd, tak hanya perilaku pelaku zuhd yang hidup miskin dan

serba kekurangan saja yang disebutkan, melainkan juga kisah-kisah lain tentang

pertobatan dan penyesalan para za>hid, sikap mereka yang senantiasa tawa>dhu’

dengan menjaga lisan dan perbuatan, serta bagaimana mereka setiap malam

menyibukkan diri dengan ritual-ritual ibadah. Karenanya, sangat riskan, jika

kisah-kisah para za>hid yang miskin saja yang popular di masyarakat kita.

Di antaranya adalah riwayat Muja>hid tentang ‘Isa> A.S. yang hanya makan

dari apa yang disediakan pepohonan (ya’kulu al-shajar), memakai pakaian

seadanya, tinggal di sembarang tempat, dan tidak pernah menyimpan makanan

untuk esok hari9. Lalu cerita Anas bin Ma>lik tentang ‘Umar Ibn al-Khat}t}a>b yang

di kesehariannya memakai kain sejenis sarung dengan 14 tambalan dari kulit

6 Ibn Ma>jah, Sunan Ibn Ma>jah dalam CD RoM Mawsu>’ah al-H}adi>th al-Shari>f (Solo:

Ridwana Press, 2007), hadith ke- 4091.

7 اا ةا ا ا ا لا ا ملذل ا

إ يا ا ا اذل ا أ هي

8 Al-Tirmidhi>, Sunan al-Tirmidhi>, dalam CD RoM Mawsu>’ah al-H}adi>th…hadith ke-

3222.

9 Abu> H}a>tim al-Ra>zi>, al-Zuhd, dalam DVD RoM al-Maktabah al-Sha>milah, (Solo:

Ridwana Press, 2007), hal. 4.

5 | P a g e

hewan yang di-sama’10. Belum lagi cerita-cerita tentang Muh}ammad yang oleh

‘Amr Ibn al-‘A>s} disebut sebagai azhad al-na>s fi> al-dunya> (baca: manusia yang

paling zuhd terhadap dunia), sedangkan orang Islam selain Nabi, disebutnya

sebagai arghob al-na>s fi>ha> (baca: manusia yang paling tidak zuhd terhadap dunia)

11. ‘A>ishah misalnya, menceritakan sosok Nabi yang tidur hanya beralaskan kulit

hewan12

. Paparan di atas menjelaskan pentingnya peninjauan ulang, apakah benar

jika zuhd dialih-bahasakan sebagai asetisme. Makalah ini akan membahas hal

tersebut serta relevansinya dengan kondisi sosial ekonomi umat Islam di zaman

sekarang.

B. Asetisme Vis a Vis Zuhd: Kajian Historis

Merriam Webster, dalam Encyclopedia of World Religions mendefiniskan

asetisme sebagai ‚The practice of the denial of physical or psychological desires

in order to attain a spiritual ideal or goal.‛ 13 (Praktik menghilangkan hasrat fisik

maupun psikologis untuk mencapai tujuan spiritual). Dari definisi di atas, ada

dua makna kunci yang bisa ditangkap: (1) praktek pengendalian diri seseorang

dari ‚kesenangan duniawi‛ secara fisik maupun psikologis, dan (2) adanya

keyakinan dalam diri pelakunya bahwa perilaku yang ia lakukan merupakan

bagian dari ajaran agama/keyakinannya.14

Makna ini berbeda dengan asal arti kata Asetisme yang dalam bahasa

Yunani disebut ascesis yang berarti ‚gaya hidup yang sangat teratur (ketat/

10

Abu> Da>wu>d al-Sajasta>ni>, al-Zuhd, dalam DVD RoM al-Maktabah al-Sha>milah…, hal.

59.

11 Ahmad Ibn Hanbal, Musnad Ah}mad, dalam CD RoM Mawsu>’ah al-H}adi>th…hadith ke-

17105.

12 Abu> Da>wu>d al-Sajasta>ni>, al-Zuhd…, hal. 14.

13 Merriam Webster, Merriam Webster’s Enclyclopedia of World Religions¸ (Springfield:

Merriam-Webster, 1999), hal. 80.

14 Dalam The Oxford Dictionary of World Religions disebutkan: ‛it’s the practice of

self-denial or self-control as a means of religious attainment through discipline. Baca: John

Bowker (ed.), The Oxford Dictionary of World Religions (New York: Oxford University Press,

1997), hal. 96. Baca juga: James Hastings, Encyclopedia of Religion and Ethnics, volume II (New

York: Morrison and Gibb Limited, tt), hal. 99-105.

6 | P a g e

disciplined lifestyle) baik lahir maupun batin‛. Dalam tradisi Yunani kuno, kata

ascesis sering dipakai untuk menyifati salah satu dari dua golongan: atlit dan

filosof. Para atlit disebut Asetik karena mereka sangat keras berlatih untuk

mempersiapkan sebuah kompetisi tertentu. Sedang para Filosof, disebut

demikian karena dalam usaha mencari ‚kebijaksanaan‛, mereka secara kontinyu

menghabiskan banyak waktu untuk merenung dan menjauhi banyak pekerjaan

yang menurut mereka tidak lebih penting dari kontemplasi- kontemplasi yang

telah menjadi kebiasaan mereka.15

Dalam tradisi–tradisi peradaban kuno, Asetisme seringkali dipraktikkan

dengan cara yang ekstrim. Pelakunya memisahkan diri dari kehidupan

bermasyarakat, pergi menuju hutan, gua atau tempat terpencil lain untuk

melakukan meditasi. Dalam proses meditasi tersebut, mereka kerap mengabaikan

urusan - urusan sehari – hari seperti makan dan minum. Tradisi Jawa mengenal

istilah semedhi atau tapa bratha yang berarti praktik menjauh dari keramaian

dunia untuk meditasi, mencari wangsit dan lain sebagainya16

.

Tradisi beberapa agama mengamalkan pola asetis yang seperti itu. Di dunia

Hindu, ada istilah pravrajya yang digunakan untuk menyebut seseorang yang

meninggalkan rumahnya untuk mencari ketenangan batin. Juga Yoga yang

sekarang mulai marak dilakukan orang-orang yang tidak beragama Hindu

sekalipun. Yoga pada awalnya, adalah perilaku Asetik seorang pemeluk agama

Hindu untuk bermeditasi, mengosongkan pikiran mereka dari keinginan–

keinginan duniawi. Sedang dalam tradisi Kiristen, Asetisme dapat dilihat dari

perilaku beberapa penganutnya yang memilih jalan hidup yang ekstrim, yaitu

dengan menghabiskan waktunya untuk berpuasa, berdoa, dan bahkan rela untuk

tidak menikah17

. Jadi, bisa disimpulkan bahwa asetisme merujuk pada perilaku

15

Elizabeth M. Dowling and W. George Scarlet (ed.), Encyclopedia of Religious and Spiritual Development (London: Sage Publications, 2006), hal. 15.

16 Baca: Jonathan Z. Smith (ed,) The Harpercollins Dictionary of Religion, (San

Fransisco: HarperCollins Publisher, tt), hal. 81.

17 Lihat lebih lengkap : John Bowker (ed.), The Oxford Dictionary... Hal. 97.

7 | P a g e

hidup yang menjaga jarak dari dunia dengan sebisa mungkin tidak mengejarnya.

Itu karena pelaku hidup asetis memiliki keyakinan bahwa dunia akan menjauhkan

mereka dari tujuan hidup yang hakiki.

Adapun Zuhd, secara bahasa berarti ‚mencegah (man’)‛18. Menurut Ibn

Manz}u>r, zuhd atau zaha>dah adalah terminologi khusus yang hanya dipakai dalam

lingkup ‚ke-beragama-an‛. Secara terminologis, zuhd bermakna ‚tidak

membutuhkan hal-hal duniawi‛ sebagai lawan dari kata ‚cinta dan tamak

terhadap dunia (al-raghbah wa al-h}ars} ‘ala> al-dunya>)19. Dengan makna demikian,

pengarang kitab Lisa>n al-‘Arab mengkonotasikan zuhd dengan ‚kemiskinan‛.

Pendapat ini berdasarkan sebuah hadith yang memaknai al-muzhid (orang yang

zuhd) dengan al-qali>l al-ma>l (orang yang sedikit hartanya)20

.

Telah diuraikan sebelumnya, bahwa terminologi zuhd, mulai dikenal

secara masif dalam tradisi Islam, pasca muncul dan berkembangnya gerakan sufi

yang menelurkan konsep zuhd bersandingan dengan konsep faqr. Gerakan sufi

muncul pada akhir abad pertama Hijriah, sebagai reaksi atas pola hidup mewah

para khalifah dan keluarganya serta para pembesar negara yang merupakan

dampak dari kekayaan yang diperoleh oleh umat muslim dalam pembebasan

negeri–negeri suriah, Mesir, Mesopotamia, dan Persia. Golongan ini terdiri dari

orang–orang yang rindu untuk kembali pada kehidupan sederhana yang

ditunjukkan oleh Nabi dan sahabat–sahabatnya. Muncul di Kufah dan Basrah,

tokoh-tokoh sufi seperti Hasan al-Bas}ri, Rabi>’ah al-‘Adawiyyah dan Sufyān al-

Thawri>.21

Lalu, meluasnya ajaran sufi beserta konsep zuhd dan faqr nya, oleh

beberapa ahli sejarah dikaitkan dengan paradigma sosial masyarakat muslim

18

al-Thāhir ahmad al-Zāwi, Tartib al-Qāmūs al-Muhith juz 2, (Riyādh: Dār ‘Alam al-

Kutub, 1996), hal. 484.

19 Muh}ammad Ibn Mukrim Ibn Mand}u>r, Lisa>n al-‘Arab, (Beirut: Da>r S}a>dir, tt), vol. 3,

hal. 196.

20 Ibid.

21 Ensiklopedi Islam, (Jakarta: PT Ichtiar Baru Van Hoeve, 1993) hal. 241.

8 | P a g e

yang mengalami pergeseran fundamental pasca diserbunya peradaban Islam oleh

tentara Salib dari Barat dan tentara Mongol dari Timur. Penyerbuan ini meluluh-

lantahkan perpustakaan-perpustakaan dan observatorium milik umat Islam.

Sebagai reaksinya, umat Islam mundur ke pedalaman sembari melakukan

perlawanan dari zawiyyah-zawiyyah dan khanaqah-khanaqah kaum sufi dan

mengikuti tarekat-tarekat yang berkembang di sana. Itulah sebabnya, ketika

peradaban Islam bangkit kembali, warna dasarnya telah berubah dari peradaban

Islam yang pada awalnya rasional-relijius menjadi peradaban yang mitis-

relijius22

.

Komparasi historis terhadap makna asetisme dan zuhd di atas

memberikan beberapa kesimpulan penting mengenai kesamaan dan perbedaan

dua istilah tersebut. yaitu: (1) baik zuhd maupun asetisme, sama-sama

terkandung di dalamnya makna ‚menjadi miskin‛. Tetapi, jika dalam asetisme,

berperilaku ‚sangat sederhana‛ bahkan ‚serba kekurangan‛ menjadi satu-satunya

tolok ukur, dalam zuhd, hal tersebut hanya menjadi salah satu tanda saja; (2)

ditinjau dari sejarahnya, keduanya memiliki makna ‚menjauhi dunia‛ tetapi

dengan penekanan yang berbeda. Dalam asetisme, lebih ditekankan pada usaha

untuk menjaga jarak dari kemewahan dunia. Sedangkan dalam zuhd,

penekanannya pada usaha untuk menemukan kebahagiaan sejati yang lebih tinggi

dari apa yang bisa didapat dari dunia tanpa harus meninggalkannya.

Kesimpulan ini sekaligus menjawab pertanyaan tentang korelasi zuhd

dengan kehidupan bersosial. Karena esensi zuhd adalah peniadaan perhatian

kepada selain-Nya untuk semata-mata fokus kepada-Nya tanpa harus

mengacuhkan sisi kemanusiaan pelakunya, seorang za>hid, dengan demikian, tidak

perlu mengasingkan diri dari posisinya sebagai makhluk sosial. Ini sepenuhnya

berbeda dengan asetisme yang pelakunya menarik diri dari interaksi sosial

dengan manusia lain.

22

Beni Ahmad Saebani dan Hendra Akhdiyat, Ilmu Pendidikan Islam 1, (Bandung:

Pustaka Setia, 2009), hal. 142.

9 | P a g e

C. Zuhd dalam al-Qur’an dan Hadith: Dari Asetisme Pasif ke Zuhd Aktif

Untuk memperkuat kesimpulan pada pembahasan sebelumnya, akan

dilakukan pembacaan terhadap makna zuhd dalam teks-teks keagamaan. Dalam

al-Qur’an, istilah zuhd hanya dipakai satu kali pada Yu>suf: 20 dalam bentuk al-

za>hidi>n dalam frasa wa sharawhu bithaman bakhsin dara>hima ma’du>dah wa ka>nu>

fi>hi min al-za>hidi>n (dan mereka menjual Yu>suf dengan harga yang murah. Yaitu

beberapa dirham saja. Dan mereka tidak tertarik hati kepadanya)23. Ada dua versi

tafsir untuk yang dimaksud ‚mereka‛ dalam ayat ini. Menurut Ibn ‘Abba>s,

Muja>hid dan al-Dhah}h}a>k, yang juga dibenarkan oleh Ibn Kathi>r, yang dimaksud

‚mereka‛ adalah para saudara Yu>suf. Sedangkan menurut Qata>dah, yang

dimaksud adalah para kafilah yang menemukan Yu>suf di dalam sumur. Dalam hal

ini, pendapat yang pertama lebih masuk akal, karena para kafilah nampaknya

girang ketika pertama kali mereka menemukan Yu>suf, hingga mereka berkata ‚ya>

bushra> ha>dza> ghula>m‛24. Para saudara Yu>suf tidak menaruh simpati padanya

karena mereka belum memgetahui kenabian dan kedudukannya yang mulia di sisi

Allah25

.

Pada ayat al-Qur’an ini, kita mendapati makna Zuhd yang masih umum,

yaitu ‚ketidak tertarikan‛ atau ‚ketidak perdulian‛ pada sesuatu. Dalam hadith,

juga bisa ditemukan zuhd dalam artinya yang umum. Misalnya sebuah hadith

dari Ibn ‚Abba>s yang memakai redaksi ‚lialla> tazhadu> fi> al-H}arb‛ untuk merujuk

pada orang-orang yang bermalas-malasan dalam berperang26

. Sebagaimana dapat

ditemukan pula dalam h}adi>th, penggunaan kata zuhd dalam makna khusus (baca:

tidak tertarik terhadap dunia). Berbeda dengan al-Qur’an yang hanya

menyebutkan kata zuhd satu kali dengan satu variasi kata saja, hadith Nabi

23

Muh}ammad Bassa>m Rushdi> al-Zayn, al-Mu’jam al-Mufahras li Ma’a>ni> al-Qur’a>n al-‘Azi>m, (Beirut: Da>r al-Fikr al-Mu’a>s}ir, 1995), vol. 1, hal. 545.

24 Isma’i>l Ibn ‘Umar Ibn Kathi>r, Tafsi>r al-Qur’a>n al-‘Az}i>m, (Beirut: Da>r T}ayyibah,

1999), Vol. 4, hal. 377.

25 Ibid.

26 Abu> Da>wud, Sunan Abi> Da>wu>d, dalam CD RoM Mawsu>’ah al-H}adi>th…hadith ke-

2158.

10 | P a g e

menyebutkan beberapa sifat seorang zahi>d dengan memakai beberapa istilah: al-

muzhid, al-za>hid, yuzahhiduha>, zahida, zahidna>, zuhd, yazhadu>na, tuzahhidu,

azhadu, dan la> tazhadanna. Pengkajian terhadap nas}-nas{ di atas akan dilakukan

untuk menemukan makna zuhd yang komprehensif, yang tidak terbatas hanya

pada makna ‚kemiskinan‛ atau ‚anti dunia‛ saja.

Dalam definisi zuhd, terdapat pengertian ‚tidak memperdulikan dunia,

meskipun pada hakikatnya memiliki‛. Abu> Hurairah meriwayatkan:

اعيا أبا تاعياز دا مطذل ئ زةا مزذل ذل ثن ا حمذل ابيا ضيلاعياح ثن ا أ اكل باح ذل ح ذل

ذل ا يا ني اوكن ذل اعن كار ذلتا ل ن اوزه افا دلهي اكنإا امن ا هل لةا لا لن ا ار لا للذل

ن ا نكل ا أنفس ن ا أه مين اوشمن ا أولد ا أ اخل ا ياعن كا آنس إ27… أهلا لخلةا

“… Dari Abu> Hurairah berkata: wahai Rasululah, mengapa kami ketika bersama denganmu, bergetar hati kami, kami merasa tidak butuh dunia dan kami menjadi ahli akhirat. Lalu ketika kami pergi dari hadapanmu, keluarga dan anak-anak kami memenuhi pikiran kami sehingga kami mengingkari diri kami sendiri?...‛

Ada dua hal yang bisa ditarik dari pertanyaan Abu> Hurairah di atas.

pertama, dunia yang dijauhi oleh zuhd tidak ‚melulu‛ harta. Keluarga, istri

bahkan anakpun termasuk ke dalam definisi dunia yang harus dilupakan ketika

seseorang memilih untuk bersikap zuhd. Kedua, ‚tidak menghiraukan dunia‛

bukan berarti tidak mencari dan tidak memilikinya. Karena para sahabat mestilah

memiliki keluarga meskipun mereka bersikap zuhd terhadap keluarganya.

Jika dikaitkan dengan harta, bersikap zuhd tidak berkaitan dengan

mencari harta tersebut atau tidak. Seorang za>hid tetap mencari harta untuk

memenuhi kebutuhan hidupnya, tetapi harta tersebut bukan menjadi satu-satunya

tujuan hidupnya. Ini juga berarti bahwa seorang za>hid tidak harus membenci

dunia. Ia malah harus bersikap ‚biasa saja‛ tentang harta yang ia miliki. Dalam

konteks ini, benarlah adagium dari para ulama’ yang mengatakan: ‚al-za>hid

h}aqqan la> yadhummu al-dunya>, wa la> yamdah}uha>, wa la> yanz}uru ilayha>, wa la>

yafrah>u biha> idha> aqbalat, wa la> yah}zan ‘alayha> idha> adbarat‛ (seorang za>hid

sejati tidak membenci dunia, tidak pula memujanya. Ia tidak menjadikan dunia

27

Al-Tirmidhi>, Sunan al-Tirmidhi>, dalam CD RoM Mawsu>’ah al-H}adi>th…hadith ke-

2449.

11 | P a g e

orientasi hidupnya, tidak senang apabila dunia mendatanginya, pun pula tidak

sedih jika dunia meninggalkannya)28.

Adagium di atas senada maknanya dengan al-H}adi>d: 2329

yang

menegaskan bahwa kondisi mental orang-orang beriman seharusnya tidak

terpengaruh dengan datang atau hilangnya kenikmatan dunia yang dianugerahkan

Allah kepadanya. Termasuk dalam definisi zuhd dengan demikian adalah jika

seseorang tidak terlalu bersedih hatinya jika ia mendapatkan musibah dari Allah

(al-H}adi>d: 2230

). Dalam hadith lain tentang ziyarah kubur, Rasul menyebutkan:

‚kuntu nahaytukum ‘an ziya>rah al-qubu>r fazu>ru>ha> fa innaha> tuzhidu fi> al-dunya>

wa tudhakkiru al-a>khirah‛31. Jadi, istilah zuhd tidak serta merta harus berarti

‚menjauhi dunia‛, tetapi lebih kepada proses di mana seseorang tidak

menganggapnya sebagai orientasi utama kehidupannya.

Intinya, seorang Muslim yang bersikap Zuhd berusaha untuk

meninggalkan segala sesuatu yang menurutnya dapat menghalanginya dari Tuhan

karena untuk bertemu sang Pencipta, dia harus lepas dari semua ciptaan-Nya. Ini

bukan berarti bahwa seorang Zāhid harus miskin. Lebih dari itu, seorang Zāhid

bukanlah seorang yang ‚papa‛, tapi seorang Zāhid adalah seseorang yang

hidupnya terlepas dari keinginan–keinginan duniawi (The poor man is not he

whose hand is empty of possesions, but he whose life is empty of desires) (orang

miskin bukanlah orang yang tidak memiliki apa-apa di tangannya, tetapi orang

miskin adalah yang tidak memiliki keinginan apa-apa)32

.

Dalam definisi zuhd, terdapat makna mentalitas hati untuk merasa cukup

dengan apa yang dimiliki. Sebagaimana dalam hadith fi’li> berikut:

28

al-Bayhaqi>, al-Zuhd al-Kabi>r, dalam DVD RoM al-Maktabah al-Sha>milah…, vol. 1,

hal. 5.

29ا ك ك ي ك وي لكى تكأيسك ا عك وا ك ك كاتك ك ي مك حك ا تكفيرك ك كتكااك ي بكمك وول مك ي كاال اك هللا ك ك ب ك ك هللا ك ك

30ا ااك مك كوي ك كي مك ك يك ل مك ي ك ك كييرك كهكا ك ي كيي ك مك ي اك كاال كي ك هللا ك يفك ك ك ي كي ك ك ااي

31 Ibn Ma>jah, Sunan Ibn Ma>jah, dalam CD RoM Mawsu>’ah al-H}adi>th…hadith ke-: 1560.

32 John Bowker (ed.), The Oxford Dictionary..., hal. 1072.

12 | P a g e

ابيا س قا لاثن اميثابيا ع اعيا ز ابيا أباحبيباعياعلإيابيا ثن اي ح ذل

مي اكنار لا لوابيا مع صا لام ا أ بح او أ سي اتلغب نا عتاع ربحا لاس

ا ا للذل ا لذل ني اوكنار لا للذل ا زه ا ها أ بح اتلغب نافا دلهي اعليهاو لذل ا للذل ا لذل للذل

ا يادهلها اميل اعليهاو لذل ا للذل ا لذل ا ا أتتاعلار لا للذل ا زه ا هي او للذل عليهاو لذل

ا مذل ا ا ك اعليها أ اكنا اذل لذلإ …33

‚… ‘Amr Ibn al-‘A>s}s} berkata: kalian telah melalui hari-hari kalian dengan menyenangi apa yang Rasulullah malah menjauhinya. Kalian lalui hari-hari kalian dengan mencintai dunia padahal Rasulullah SAW mencukupkan diri darinya. Demi Allah, tidaklah berlalu satu malampun pada Rasulullah selama hidupnya, kecuali apa yang telah ada pada beliau hari itu, dirasanya lebih banyak dari yang ia butuhkan…‛. Sampai di sini, kita mengetahui bahwa zuhd bukanlah sikap pasif

seseorang yang pasrah dengan ‚bagian dunia‛ yang memang tidak ia usahakan.

Zuhd bukanlah asetisme, karena pelaku asetisme dengan sengaja meninggalkan

dunia. Sedangkan pelaku zuhd, tetap mencarinya namun tidak terobsesi atasnya.

Dalam terminologi Islam, zuhd juga tidak ‚melulu‛ tentang harta, tetapi juga

tentang hal-hal keduniawian lainnya. Zuhd adalah mentalitas hati untuk merasa

cukup dengan apa yang dimiliki. Dengan demikian, pelaku zuhd bersikap aktif

dan senantiasa berpikiran positif terhadap dunia, tidak malah pasrah dan bersikap

apatis terhadapnya.

D. Aktualisasi Zuhd Aktif Dalam Pengentasan Kemiskinan

Kemiskinan adalah keadaan di mana seseorang tidak sanggup memelihara

dirinya sendiri sesuai dengan taraf kehidupan kelompok dan juga tidak mampu

memanfaatkan tenaga mental maupun fisiknya dalam kelompok tersebut. perlu

dicatat bahwa masing-masing masyarakat memiliki cara pandangnya sendiri

terhadap kemiskinan. Soerjono Soekanto membagi masyarakat dalam kaitannya

dengan kemiskinan ke dalam tiga kategori: masyarakat miskin di desa,

masyarakat miskin di kota, dan masyarakat urban yang miskin. Pada masyarakat

pedesaan yang umumnya masih bersahaja organisasinya dan sederhana pola

pemikirannya, kemiskinan bisa jadi bukan merupakan masalah sosial, karena

33

Ahmad Ibn Hanbal, Musnad Ah}mad, dalam CD RoM Mawsu>’ah al-H}adi>th…hadith ke-

17149.

13 | P a g e

mereka menganggap bahwa semuanya telah ditakdirkan, sehingga tak ada usaha-

usaha memperbaikinya. Mereka tidak akan terlalu memikirkan kemiskinan

tersebut kecuali apabila mereka menderita karenanya34

.

Teori Soekanto ini sesuai dengan premis awal makalah ini yang

mengandaikan segolongan masyarakat yang bersikap pasif dengan kemiskinan

yang mereka alami. Pada masyarakat seperti ini, kemiskinan adalah bagian dari

takdir yang harus diterima dan –lebih jauh- disyukuri. Hal tersebut sekilas tidak

menjadi masalah karena masyarakat tersebut terlihat nyaman-nyaman saja

dengan keadaan mereka. Tetapi, problemnya adalah bahwa kemiskinan, keadaan

serba kekurangan dan jiwa sangat sederhana identik dengan pola kehidupan yang

‚tidak sehat‛, ‚rendah‛, dan ‚koproh‛ (atau meminjam istilahnya Nurcholis

Madjid ketika menganalisa kehidupan di Pesantren: gaya hidup yang sebenarnya

merupakan manifestasi kegagalan dari mendapatkan sebuah kemapanan).35

Konsep zuhd aktif harus dikembangkan dalam masyarakat di atas dalam

kaitannya untuk menyadarkan bahwa ‚mencari dunia‛ bukanlah sesuatu yang

berlawanan dengan takdir, sekaligus tidak menunjukkan bahwa seseorang tidak

menyukuri apa yang telah ia miliki.

Sedangkan pada masyarakat modern yang rumit, kemiskinan menjadi

suatu problem sosial karena –berlawanan dengan masyarakat desa yang

sederhana- mereka membenci kemiskinan. Seseorang di perkotaan tidak merasa

miskin karena kurang makan, pakaian atau perumahan. Tetapi karena harta yang

ia punya dianggap tidak memenuhi standar hidup masyarakat kota. Di sana,

sebuah keluarga dianggap miskin jika tidak memiliki sepeda montor, mobil, dan

barang mewah lain. Barang-barang sekunder atau bahkan tersier dianggap

sebagai barang primer untuk menentukan apakah orang tersebut miskin atau

kaya36

.

34

Soerjono Soekanto, Sosiologi: Suatu Pengantar, (Jakarta, Raja Grafindo Persada,

1995), hal. 406.

35 Lihat: Nurcholis Madjid, Bilik – bilik Pesantren (Sebuah potret perjalanan),(Jakarta :

Penerbit Paramadina, 1997), hal. 100.

36 Soerjono Soekanto, Sosiologi: Suatu Pengantar…,hal. 407.

14 | P a g e

Pada masyarakat semacam ini, konsep zuhd seharusnya dikembangkan.

Utamanya karena sifat zuhd memuat makna agar setiap individu merasa puas

dengan apa yang telah ia miliki. Pada prinspinya, Islam tidak pernah melarang

seorang muslim untuk memenuhi kebutuhan dunianya, sebagaimana hadith-

hadith yang mengesankan bahwa dunia itu penting. Tetapi, Islam juga

mengingatkan –melalui konsep zuhd- kepada manusia agar tidak menjadikan

dunia sebagai obsesi utama yang justru akan menjadikannya berat menghadapi

hidup.

Kategori masyarakat miskin ketiga adalah masyarakat urban yang gagal

bersaing dalam persaingan ekonomi di kota. Bagi mereka, pokok persoalan

kemiskinannya secara sosiologis adalah tidak berfungsinya lembaga

kemasyarakatan di bidang ekonomi. Dalam hal ini, apa yang telah dipaparkan

mengenai pelaku zuhd yang sosial bisa diaktualisasikan. Pemerintah juga bisa

mengaplikasikan zuhd aktif dengan cara mengaktifkan kembali lembaga-lembaga

ekonomi di pedesaan yang mampu menjaring tenaga kerja, sehingga laju

urbanisasi bisa ditekan.

Aktualisasi konsep zuhd untuk mengentaskan masyarakat dari kemiskinan

adalah bagian dari usaha agar Islam tidak menjadi ritual saja, melainkan mampu

mempengaruhi semangat dan psikologi pemeluknya. Islam adalah proses

ketaatan terhadap aturan Allah berkenaan dengan hubungan manusia dengan-Nya

dan hubungan antar sesama manusia, baik dalam urusan domestik, politik,

ekonomi, pendidikan, rekreasi, reproduksi, dan semua bidang yang secara

bersama-sama menopang kehidupan bermasyarakat di muka bumi ini37

.

E. Kesimpulan

Tidak tepat, jika ‚Zuhd‛ disamakan artinya dengan asetisme. Melalui

kajian historis, tulisan ini menyimpulkan bahwa di antara kedua terminologi di

atas terdapat perbedaan yang mendasar. Pertama, dalam asetisme, pola hidup

‚serba kekurangan‛ menjadi satu-satunya standar, sedang dalam zuhd, hal

37

Ilyas BA-Yunus dan Farid Ahmad, Sosiologi Islam dan Masyarakat Kontemporer, terj.

Hamid Basyaih, (Bandung: Penerbit Mizan, 1989), hal. 65.

15 | P a g e

tersebut hanya menjadi salah satu tanda saja; Kedua, asetisme menekankan pada

sikap seseorang menjaga jarak dari kemewahan dunia. Sedangkan zuhd

menekankan pada proses penemuan kebahagiaan sejati yang lebih tinggi dari apa

yang disediakan oleh dunia tanpa harus meninggalkannya.

Di dalam nas}-nas} keagamaan (al-Qur’an dan hadith), kata zuhd kadang

dipakai untuk merujuk makna ‚ketidak tertarikan‛ secara umum, kadang juga

digunakan untuk merujuk makna ‚ketidak tertarikan terhadap dunia‛ secara

khusus. Dunia yang dimaksud bukan hanya harta, melainkan juga keluarga,

teman, kenikmatan-kenikmatan serta cobaan-cobaan di dalamnya. Arti yang

kedua ini memiliki beberapa acuan, di antaranya: (1) tidak memperdulikan dunia

bukan berarti tidak mencari dan memilikinya, (2) mentalitas hati untuk merasa

cukup dengan apa yang dimiliki, (3) mentalitas hati untuk tidak terlalu bahagia

ataupun terlalu bersedih dengan datang dan perginya anugerah Tuhan.

Tiga hal di atas membentuk sebuah konsep mengenai zuhd yang aktif.

Artinya, mengamalkan zuhd bukan berarti bersikap pasif dan apatis terhadap

dunia, melainkan aktif untuk mencari kesejahteraan duniawi untuk tujuan

ukhrawi yang lebih mulia. Zuhd harus dikembangkan dalam masyarakat Islam di

pedesaan dalam kaitannya untuk menyadarkan bahwa ‚mencari dunia‛ bukanlah

sesuatu yang berlawanan dengan takdir, sekaligus tidak menunjukkan bahwa

seseorang tidak menyukuri apa yang telah ia miliki. Sedangkan pada masyarakat

perkotaan, konsep zuhd dikembangkan agar setiap individu merasa puas dengan

apa yang telah ia miliki dan tidak menjadikan harta dunia sebagai obsesi utama

yang justru akan menjadikannya berat menghadapi hidup.

16 | P a g e

DAFTAR PUSTAKA

Arif, Mahmud. Involusi Pendidikan Islam (Mengurai Problematika dalam

perspektif Historis- filosofis). Yogyakarta: IDEA PRESS, 2006.

Bowker, John (ed.). The Oxford Dictionary of World Religions. New York:

Oxford University Press, 1997.

CD RoM Mawsu>’ah al-H}adi>th al-Shari>f. Global Islamic Software, 2007.

Dowling, Elizabeth M. dan W. George Scarlet (ed.), Encyclopedia of Religious

and Spiritual Development. London: Sage Publications, 2006.

DVD RoM al-Maktabah al-Sha>milah. Solo: Ridwana Press, 2007.

Ensiklopedi Islam. Jakarta: PT Ichtiar Baru Van Hoeve, 1993.

Hadi. Abdul. Zuhd dan Faqr dalam Pemikiran Hamzah Fanzsuri dan Ayatullah

Khomeini, dalam www.al-shia.org

Hastings, James. Encyclopedia of Religion and Ethnics, volume II. New York:

Morrison and Gibb Limited, tt.

Kathi>r, Isma’i>l Ibn ‘Umar Ibn. Tafsi>r al-Qur’a>n al-‘Az}i>m. Beirut: Da>r T}ayyibah,

1999.

Madjid, Nurcholis. Bilik – bilik Pesantren (Sebuah potret perjalanan). Jakarta :

Penerbit Paramadina, 1997.

Mand}u>r, Muh}ammad Ibn Mukrim Ibn. Lisa>n al-‘Arab. Beirut: Da>r S}a>dir, tt.

N.H.T, Siahaan. Hukum Lingkungan dan Ekologi Pembangunan. Jakarta:

Erlangga, 2004.

Saebani, Beni Ahmad dan Hendra Akhdiyat, Ilmu Pendidikan Islam 1. Bandung:

Pustaka Setia, 2009.

Smith, Jonathan Z. (ed,) The Harpercollins Dictionary of Religion. San

Fransisco: HarperCollins Publisher, tt.

Soekanto, Soerjono. Sosiologi: Suatu Pengantar. Jakarta, Raja Grafindo Persada,

1995.

Suroyo dkk. Agama dan Kepercayaan Membawa Pembaruan. Yogyakarta:

Kanisius, 2006.

17 | P a g e

Webster, Merriam. Enclycopedia of World Religions. Springfield: Merriam-

Webster, 1999.

Yunus, Ilyas BA- dan Farid Ahmad, Sosiologi Islam dan Masyarakat

Kontemporer, terj. Hamid Basyaih. Bandung: Penerbit Mizan, 1989.

al-Zāwi, al-Thāhir Ahmad. Tartib al-Qāmūs al-Muhith juz 2. Riyādh: Dār ‘Alam

al-Kutub, 1996.

al-Zayn, Muh}ammad Bassa>m Rushdi>. al-Mu’jam al-Mufahras li Ma’a>ni> al-Qur’a>n

al-‘Azi>m. Beirut: Da>r al-Fikr al-Mu’a>s}ir, 1995.