analisis spasial aglomerasi industri jawa
TRANSCRIPT
TUGAS MATA KULIAH ANALISIS SPASIAL
Analisis Spasial pada Aglomerasi Industri Manufaktur
di Pulau Jawa
Dosen:
Dr. Sutikno
Dr. Setiawan
Disusun Oleh:
RINDANG BANGUN PRASETYO
NRP. 1313 301 702
PROGRAM STUDI DOKTOR
JURUSAN STATISTIKA
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
INSTITUT TEKNOLOGI SEPULUH NOPEMBER
SURABAYA
2014
1 | R i n d a n g B . P .
Analisis Spasial pada Aglomerasi Industri Manufaktur
di Pulau Jawa
I. Pendahuluan
Seringkali kita dihadapkan dengan permasalahan ataupun sekedar pertanyaan yang
timbul pada benak kita tentang suatu fenomena yang terjadi dalam kehidupan nyata.
Untuk dapat mengetahui dan memahami fenomena yang terjadi maka kita perlu
melakukan suatu analisis data statistik. Analisis data statistik yang berkembang hingga
saat ini sangat beragam, oleh sebab itu penggunaan teknik analisis yang tepat untuk
menangkap fenomena yang terjadi merupakan tuntutan agar interpretasi kita terhadap
fenomena tersebut tidak meleset.
Salah satu analisis yang berkembang dewasa ini yaitu analisis spasial. Prinsip utama
dari analisis spasial adalah mempertimbangkan adanya hubungan antar wilayah yang
diperlihatkan oleh data spasial tersebut. Dengan demikian data spasial memuat dua
informasi yaitu informasi wilayah dan informasi pengamatan (respon). Cressie (1993)
mendefinisikan data spasial sebagai data yang berasal dari peta. Ketika data pengamatan
terdapat hubungan antar wilayah, yang disebut sebagai data spasial maka metode analisis
data yang digunakan pada umumnya mengalami keterbatasan dalam memenuhi asumsi,
yaitu asumsi yang berkenaan dengan masalah error yang berkorelasi dan atau masalah
heterogenity. Hal ini disebabkan pengamatan di suatu lokasi memiliki hubungan atau
ketergantungan yang cukup kuat dengan pengamatan di lokasi lain yang berdekatan
(nearest-neighbor), yang disebut dengan efek spasial. Menurut Anselin (1988), efek
spasial dapat dibagi menjadi autokorelasi spasial dan heterogenity spasial. Adanya
dependensi (korelasi error spatial) dalam data cross section menyebabkan terjadinya
autokorelasi spasial, sedangkan heterogenity spasial dikarenakan adanya efek random dari
wilayah yaitu perbedaan karakteristik antar satu wilayah dengan wilayah yang lainnya.
Analisis spasial sangat membantu dalam menggambarkan fenomena aglomerasi
industri manufaktur. Terjadinya aglomerasi industri manufaktur sangat mungkin
dipengaruhi oleh lokasi atau kondisi geografis. Hal ini didasarkan pada teori ekonomi
geografi baru (New Economic Geography) yang berupaya untuk menurunkan efek-efek
aglomerasi dari interaksi antara besarnya pasar, biaya transportasi dan increasing return
dari perusahaan. Teori ekonomi geografi baru menekankan pada adanya mekanisme
2 | R i n d a n g B . P .
kausalitas sirkular untuk menjelaskan konsentrasi spasial dari kegiatan ekonomi
(Krugman, 2008). Aglomerasi merupakan suatu lokasi yang “tidak mudah berubah” akibat
adanya penghematan eksternal yang terbuka bagi semua perusahaan yang letaknya
berdekatan dengan perusahaan lain dan penyedia jasa-jasa, dan bukan akibat kalkulasi
perusahaan atau para pekerja secara individual (Kuncoro, 2002). Selanjutnya dengan
mengacu pada teori tersebut, dapat disimpulkan bahwa aglomerasi merupakan konsentrasi
dari aktivitas ekonomi dan penduduk yang mempunyai efek spasial, oleh karena itu
analisis data yang dapat menjelaskan aglomerasi industri manufaktur dengan baik yaitu
analisis spasial.
Untuk menganalisis pola aglomerasi industri manufaktur secara spasial digunakan
ukuran Location Quotient (LQ) dari jumlah tenaga kerja dan besarnya nilai tambah.
Ukuran LQ sebagai ukuran aglomerasi industri manufaktur juga digunakan oleh Liu
(2008). Besarnya LQ di suatu daerah menunjukkan terjadinya spesialisasi di daerah
tersebut dibandingkan dengan daerah lain (Kuncoro, 2002). Jika suatu daerah memiliki
nilai LQ>1 maka daerah tersebut memiliki konsentrasi industri dibandingkan dengan
daerah lain, demikian pula sebaliknya. Sedangkan besarnya nilai tambah digunakan
sebagai indikator skala industri manufaktur di daerah tersebut. Kedua kriteria tersebut
kemudian diterapkan bersama-sama untuk menggambarkan penyebaran aglomerasi
industri manufaktur. Berikut ini peta tematik konsentrasi tenaga kerja dan nilai tambah
dari industri manufaktur besar sedang (IBS).
Gambar 1. Peta konsentrasi tenaga kerja dan nilai tambah IBS di Indonesia menurut
Provinsi, Tahun 2011
1000 0 1000 2000 3000 Kilometers
N
LQ Industri0 - 0.5
0.5 - 1
1 - 5
LEGENDA:
Nilai Tambah
3 | R i n d a n g B . P .
Berdasarkan peta tematik pada Gambar 1, terlihat bahwa aglomerasi industri
manufaktur di Indonesia masih terkonsentrasi di hampir seluruh provinsi di Pulau Jawa,
yang diindikasikan dengan besarnya nilai LQ lebih dari satu. Dengan demikian aglomerasi
industri manufaktur yang terjadi di Indonesia dapat diwakili oleh wilayah-wilayah di
Pulau Jawa. Selanjutnya, untuk memperjelas gambaran aglomerasi yang terjadi maka
analisis akan dibatasi pada aglomerasi yang terjadi di Pulau Jawa yang ditampilkan dalam
peta menurut kabupaten/kota.
Gambar 2. Peta konsentrasi tenaga kerja dan nilai tambah IBS di Jawa menurut kabupaten,
Tahun 2011
Dari hasil identifikasi terdapat tiga lokasi aglomerasi industri manufaktur di Pulau
Jawa. Lokasi yang pertama yaitu di ujung barat, tepatnya di Provinsi DKI Jakarta, Banten
dan Jawa Barat, lokasi kedua yaitu di Provinsi Jawa Timur, dan lokasi ketiga berada di
Provinsi Jawa Tengah yang berada disekitar ibukota provinsi. Di ujung barat Pulau Jawa
(DKI Jakarta, Banten dan Jawa Barat) merupakan pusat aglomerasi industri terbesar di
Indonesia, jumlah tenaga kerja yang diserap pada tahun 2011 mencapai 2,1 juta atau 45,43
persen dari total nasional dengan nilai tambah mencapai 48,64 persen. Sedangkan untuk
lokasi konsentrasi industri kedua, Jawa Timur, tenaga kerja yang diserap mencapai 956,27
ribu atau 20,66 persen dan nilai tambah mencapai 16,74 persen. Pusat Aglomerasi di
Indonesia khususnya di Pulau Jawa pada umumnya lebih disebabkan oleh pembentukan
kawasan industri pada masa yang lalu. Beberapa pengembangan kawasan industri di Pulau
Jawa yaitu: Jakarta Industrial Estate Pulo Gadung (JIEP) pada Tahun 1973, Pasuruan
Industri Estate Rembang (PIER) Tahun 1974, Surabaya Industrial Estate Rungkut (SIER)
pada 1974, Kawasan Industri Cilacap Tahun 1974 dan Kawasan Industri Cirebon pada
Tahun 1984.
300 0 300 Kilometers
N
LQ Tenaga Kerja
0.026 - 0.432
0.432 - 1.081
1.081 - 2.254
2.254 - 3.675
3.675 - 5.605
LEGENDA:
Nilai Tambah IBS
4 | R i n d a n g B . P .
II. Analisis spasial
Hukum tentang geografi dikemukakan oleh Tobler pada Tahun 1979, yang
menyatakan bahwa segala sesuatu saling berhubungan satu dengan yang lainnya, tetapi
sesuatu yang dekat lebih mempunyai pengaruh daripada sesuatu yang jauh (Anselin,
1988). Hukum tersebut merupakan dasar pengkajian permasalahan berdasarkan efek lokasi
atau metode spasial untuk analisis data. Anselin (1988) menjelaskan bahwa jika analisis
dilakukan pada data spasial tanpa mencakup unsur spasial didalamnya, maka bisa
menyebabkan kesimpulan yang kurang tepat karena asumsi error saling bebas dan asumsi
homogenitas tidak terpenuhi.
Untuk mengetahui terpenuhi atau tidaknya asumsi error yang saling bebas dan
asumsi homogenitas perlu dilakukan pengujian. Pengujian efek spasial dilakukan dengan
uji heterogenitas dan dependensi spasial. Penyelesaian jika ada efek dependensi spasial
adalah dengan mengunakan pendekatan area. Regresi spasial dengan pendekatan area
misalkan: Spatial Autoregressive Model (SAR), Spatial Error Model (SEM), Spatial
Autoregressive Moving Average (SARMA), Spatial Durbin Model (SDM) dan
Conditional Autoregressive Models (CAR). Sedangkan untuk penyelesaian jika ada efek
heterogenitas adalah dengan mengunakan pendekatan titik. Regresi spasial pendekatan
titik antara lain: Geographically Weighted Regression (GWR), Geographically Weighted
Poisson Regression (GWPR) dan Geographically Weighted Logistic Regression (GWLR).
Pengujian dan penggunaan metode-metode spasial tersebut di atas didasarkan pada
pembobotan dalam bentuk matriks yang menggambarkan kedekatan hubungan antar
pengamatan, disebut sebagai matrik pembobot spasial. Matriks inilah yang mencerminkan
adanya hubungan antara satu wilayah dengan wilayah lainnya (Grasa, 1989). Terdapat
beberapa metode dalam membuat matriks pembobot spasial. Perbedaan utama pada matrik
pembobot spasial didasarkan pada perbedaan efek spasial yang ada. Bobot spasial
contiguity (neighbourhood) digunakan jika ada efek dependensi spasial dengan
pendekatan area, sedangkan bobot spasial jarak (distance) digunakan pada pendekatan
titik (terdapat efek heterogenitas).
III. Matrik Pembobot Spasial
Pembobot Contiguity (neighbourhood)
Salah satu cara untuk memperoleh matriks pembobot spasial (W) yaitu dengan
menggunakan informasi jarak dari wilayah yang bertetangga (neighborhood), atau
5 | R i n d a n g B . P .
kedekatan antara satu region dengan region yang lain. Matriks pembobot spasial pada
pendekatan area pada dasarnya merupakan matriks contiguity (singgungan) yang
distandardisasi. Matriks pembobot spasial dapat dikatakan juga sebagai matriks yang
menggambarkan kekuatan interaksi antar lokasi. Matriks pembobot contiguity dapat
ditentukan dengan berbagai metode, LeSage dan Pace (2001) mendefinisikan hubungan
persinggungan (contiguity) antar wilayah dalam beberapa metode yaitu:
a. Linear Contiguity (Persinggungan tepi); mendefinisikan wij = 1 untuk region yang
berada di tepi (edge) kiri maupun kanan region yang menjadi perhatian, wij = 0
untuk region lainnya.
b. Rook Contiguity (Persinggungan sisi); mendefinisikan wij = 1 untuk region yang
bersisian (common side) dengan region yang menjadi perhatian, wij = 0 untuk
region lainnya.
c. Bishop Contiguity (Persinggungan sudut); mendefinisikan wij = 1 untuk region yang
titik sudutnya (common vertex) bertemu dengan sudut region yang menjadi
perhatian, wij = 0 untuk region lainnya.
d. Double Linear Contiguity (Persinggungan dua tepi); mendefinisikan wij = 1 untuk
dua entity yang berada di sisi (edge) kiri dan kanan region yang menjadi perhatian,
wij = 0 untuk region lainnya.
e. Double Rook Contiguity (Persinggungan dua sisi); mendefinisikan wij = 1 untuk dua
entity di kiri, kanan, utara dan selatan region yang menjadi perhatian, wij = 0 untuk
region lainnya.
f. Queen Contiguity (persinggungan sisi-sudut); mendefinisikan wij = 1 untuk entity
yang bersisian (common side) atau titik sudutnya (common vertex) bertemu dengan
region yang menjadi perhatian, wij = 0 untuk region lainnya.
Berikut ini akan diberikan ilustrasi untuk menentukan matrik pembobot dengan
metode Queen contiguity (persinggungan sisi-sudut). Metode lainnya mempunyai analogi
yang sama. Misalkan matrik pembobot berukuran nxn, dimana setiap elemen matrik (wij)
menggambarkan ukuran kedekatan antara pengamatan i dan j, nilai satu menunjukkan
daerah yang bertetanggaan satu sama lain. Untuk melihat seberapa besar pengaruh
masing-masing tetangga terhadap suatu daerah dapat dihitung dari rasio antara nilai pada
daerah tertentu dengan tota nilai daerah tetangganya. Hasilnya merupakan nilai
pembobotan (wij) untuk setiap kebertetanggaan. Sesuai dengan persamaan :
6 | R i n d a n g B . P .
wij
= cij
/ ci.
Sebagai contoh, terdapat lima unit pengamatan yang mempunyai lokasi sebagaimana
digambarkan pada peta berikut ini:
Sumber: LeSage (1999)
Gambar 3. Peta persinggungan antar wilayah pengamatan
Berdasarkan lokasi unit pengamatan, jika digunakan metode Queen contiguity maka
diperoleh susunan matriks berukuran 5×5, sebagai berikut:
0 1 0 0 0
1 0 1 0 0
0 1 0 1 1
0 0 1 0 1
0 0 1 1 0
QueenW
Keterangan: baris dan kolom menyatakan region yang ada pada peta. Karena matriks
pembobot contiguity merupakan matriks simetris, dan dengan kaidah bahwa diagonal
utama selalu nol. Matriks dilakukan standarisasi untuk mendapatkan jumlah baris sama
dengan satu, sehingga matriks menjadi sebagai berikut:
0 1 0 0 0
0,5 0 0,5 0 0
0 0,3 0 0,3 0,3
0 0 0,5 0 0,5
0 0 0,5 0,5 0
QueenW
Selanjutnya matrik pembobot contiguity W inilah yang akan digunakan dalam pengujian-
pengujian dan pemodelan pada analisis spasial berbasis area.
(1)
(2)
(3)
(4)
(5)
7 | R i n d a n g B . P .
Pembobot Jarak (Distance)
Pada analisis spasial dengan pendekatan titik, penaksiran parameter di suatu titik
(ui,vi) akan lebih dipengaruhi oleh titik-titik yang dekat dengan lokasi (ui,vi) dari pada
titik-titik yang lebih jauh. Dua variabel ui dan vi merupakan lokasi geografis (titik
koordinat) dari setiap obyek pengamatan. Oleh sebab itu, pemilihan metode pembobot
spasial yang digunakan dalam menaksir parameter pada pendekatan titik menjadi sangat
penting.
Matrik pembobot W(i) dihitung untuk tiap i dan wij yang mengindikasikan
kedekatan atau bobot tiap titik data pengamatan dengan lokasi i. Hal ini yang
membedakan GWR dengan WLS pada umumnya yang mempunyai matrik bobot yang
konstan. Peran pembobot sangat penting karena nilai pembobot tersebut mewakili letak
data observasi satu dengan lainnya sehingga sangat dibutuhkan ketepatan cara
pembobotan.
Beberapa jenis fungsi pembobot yang dapat dipergunakan menurut Fotheringham,
Brunsdon, dan Charlton (2002) antara lain:
1 Fungsi invers jarak (inverse distance function)
Dengan r adalah radius dan
2 Fungsi Kernel Gauss
Bentuk fungsi kernel gauss adalah
])/(2/1[exp)v,(uw 2
iij bdij
Fungsi kernel gauss akan memberi bobot yang akan semakin menurun mengikuti
fungsi gaussian ketika dij semakin besar.
3 Fungsi Tricube
Fungsi tersebut dapat dinotasikan sebagai berikut :
4 Fungsi Kernel Adaptive Bi-square
1,
0,
ij
j i i
ij
jika d rw (u ,v )
jika d r
2 2
i j i j( ) ( )ijd u u v v
3
31 ( / ) ,
0,
ij ij
j i i
ij
d h jika d hw (u ,v )
jika d h
2
21 ( / ) ,
0,
ij i ij
j i i
ij
d h jika d hw (u ,v )
jika d h
8 | R i n d a n g B . P .
5 Fungsi Kernel Bi-square
Fungsi tersebut dapat dinotasikan sebagai berikut:
2 2
ij ij
j i i
ij
[1 (d /b) ] , jika d b
w (u ,v )
0 , jika d b
Fungsi kernel bi-square akan memberi bobot nol ketika lokasi j berada pada atau
diluar radius b dari lokasi i, sedangkan apabila lokasi j berada didalam radius b maka
akan mendapat bobot yang mengikuti fungsi kernel bi-square.
IV. Pengujian Efek Spasial
Pada analisis spasial, pengujian efek spasial dilakukan pada efek dependensi spasial dan
heterogenitas spasial. Pengujian adanya dependensi spasial memakai metode Moran’s I dan
Lagrange Multiplier (LM). Untuk pengujian adanya heterogenitas spasial menggunakan metode
Breusch-Pagan Test.
Dependensi Spasial dengan Moran’s I dan Lagrange Multiplier (LM)
Anselin (1988) menyatakan bahwa untuk mengetahui adanya dependensi spasial
dapat digunakan metode Moran’s I dan Lagrange Multiplier (LM). Indeks Moran’s I
adalah ukuran dari korelasi (hubungan) antara pengamatan yang saling berdekatan.
Statistik ini membandingkan nilai pengamatan di suatu daerah dengan nilai pengamatan
daerah lainnya. Menurut Lee dan Wong (2001), Moran’s I dapat diukur dengan
menggunakan persamaan:
n n
ij i j
i=1 j=1
n2
0 i
i=1
n w (x -x)(x -x)
I =
S (x -x)
(1)
dimana:
n : Banyaknya pengamatan
x : Nilai rata-rata dari {xi} dari n lokasi
ix : Nilai pada lokasi ke-j
jx : Nilai pada lokasi ke-j
wij : Elemen matrik pembobot spasial
9 | R i n d a n g B . P .
S0 : Jumlah dari elemen pembobot spasial (
n n
0 i j
i=1 j=1
S = w )
Nilai dari Moran’s I berkisar antara -1 sampai 1. Nilai yang tinggi mengartikan
bahwa korelasinya tinggi, sedangkan nilai 0 dapat diartikan tidak ada autokorelasi. Akan
tetapi untuk mengatakan ada atau tidak adanya autokorelasi perlu dibandingkan dengan
nilai statistik I dengan nilai harapannya. Menurut Lee dan Wong (2001), nilai harapan
(ekspektasi) dari I dirumuskan dengan E(I) = I0 = -1/(n-1). Identifikasi pola menggunakan
kriteria nilai indeks I dimana jika didapat nilai I > I0 maka mempunyai pola mengelompok
(cluster), jika I = I0 maka berpola menyebar tidak merata atau tidak ada autokorelasi, dan
jika I < I0 memiliki pola yang menyebar.
Hipotesis yang digunakan pada pengujiaan hipotesis terhadap satu parameter yaitu
sebagai berikut:
H0: tidak ada autokorelasi spasial
H1: terdapat autokorelasi (indek Moran’s I bernilai positif atau negatif)
Statistik uji dari indeks Moran’s I dapat diturunkan dalam bentuk statistik peubah
acak normal baku (Lee dan Wong, 2001). Hal ini didasarkan pada teori Dalil Limit Pusat
dimana untuk n yang besar dan ragam diketahui, maka Z(I) akan menyebar normal baku.
hitung
I-E(I)Z =
Var(I) (2)
Keterangan,
I : indeks Moran’s I
hitungZ : nilai statistik uji indeks Moran’s I
E(I) : nilai harapan (ekspektasi) indeks Moran’s I
Var (I) : nilai varians dari indeks Moran’s I
2 2 2
1 2 0 1 2 0
2 2 2
0 0
n[(n -3n+3)S -nS +3S ] k[n(n-1)S -2nS +6S ] 1Var(I)= - -
(n-1)(n-2)(n-3)S (n-1)(n-2)(n-3)S (n-1) (3)
dengan
2
1
1 1
1( )
2
n n
ij ji
i j
S w w
n4
i
i=1
k= (x -x)
10 | R i n d a n g B . P .
n n n2
2 i i i i j i ji
i=1 j=1 j=1
S = (w +w ) , w = w dan w = w
Pengujian ini akan menolak H0 jika jika nilai hitung (α)Z > Z (autokorelasi positif) atau
hitung (α)Z < -Z (autokorelasi negatif).
Visualisasi dari nilai Moran’s I, untuk menggambarkan sebaran hubungan antar
pengamatan dapat digunakan Moran’s Scatterplot. Lee dan Wong (2001) menyebutkan
bahwa Moran’s Scatterplot merupakan salah satu cara untuk mengintepretasikan statistik
Indeks Moran’s. Ilustrasi Moran’s Scatterplot adalah sebagai berikut:
WZstd
Kuadran II
(Low-High)
Kuadran I
(High-High)
Kuadran III
(Low-Low)
Kuadran IV
(High-Low)
Zstd
Gambar 4. Bentuk Moran’s Scatterplot
Kuadaran I terletak di kanan atas, disebut High-High (HH) menunjukkan daerah
yang mempunyai nilai pengamatan tinggi dikelilingi oleh daerah yang mempunyai niai
pengamatan tinggi. Kuadran II terletak di kiri atas, disebut Low-High (LH) menunjukkan
daerah dengan pengamatan rendah tapi dikelilingi daerah dengan nilai pengamatan tinggi.
Kuadran III terletak di kiri bawah, disebut Low-Low (LL) menunjukkan daerah dengan
nilai pengamatan rendah dikelilingi daerah yang mempunyai nilai pengamatan rendah.
Kuadran IV terletak di kanan bawah, disebut High-Low (HL) menunjukkan daerah dengan
nilai pengamatan tinggi yang dikelilingi oleh daerah dengan nilai pengamatan rendah.
Selanjutnya untuk menguji dependensi spasial pada model regresi digunakan uji Lagrange
Multiplier (LM). Uji LM diperoleh berdasar pada asumsi model di bawah H0. Terdapat tiga
hipotesis yang akan digunakan, yaitu:
1. H0 : ρ = 0 dengan H1 : ρ ≠ 0 (untuk model SAR)
2. H0 : λ = 0 dengan H1 : λ ≠ 0 (untuk model SEM)
3. H0 : ρ, λ = 0 dengan H1 : ρ, λ ≠ 0 (untuk model SARMA)
11 | R i n d a n g B . P .
Statistik uji yang digunakan adalah:
1 2 2
22 12 11( ) 2 ( ) (y y e eLM E R T R R T R D T
2LM
Dengan m = jumlah parameter spasial (SAR = 1, SEM =1, SARMA = 2)
2
1 /T
yR e W y
2
2 /T
eR e W y
11 ( )T TM X X X X
T
ij i j i jT tr WW W W
2( ) ( )T T TE W X M W X
2
11 22 22( ) ( )E D T T T
e adalah least square residual untuk observasi. Jika matriks penimbang spasial W1 = W2 = W
maka T11 = T12 = T22 = T = tr{(W + W) W}.
Keputusan tolak H0 jika nilai LM > 2
( )k
Spatial Heterogenity dengan uji Breusch-Pagan (BP).
Spatial heterogenity menunjukkan adanya keragaman antar lokasi. Jadi setiap lokasi
mempunyai struktur dan parameter hubungan yang berbeda. Anselin (1988) menjelaskan
bahwa uji untuk mengetahui adanya heterogenitas spasial digunakan statistik uji Breusch-
Pagan test (BP test). yang mempunyai hipotesis:
2 2 2 2
0 1 2 ... nH (kesamaan varians/homoskedastisitas)
1H = minimal ada satu 2 2
i (heterokedastisitas)
Nilai BP test adalah :
BP = (1/ 2)f T
Z (Z TZ )
-1 Z
Tf ~ 2 ( )k
dengan elemen vektor f adalah,
2
1 21ie
f
Dimana:
ei : merupakan least squares residual untuk observasi ke-i,
Z : merupakan matrik berukuran n x (k+1) yang berisi vektor yang sudah di normal
standarkan (z ) untuk setiap observasi.
Tolak Ho bila BP > 2 ( )k
(4)
(5)
12 | R i n d a n g B . P .
V. Pemodelan Spasial
Berbasis Area (SAR, SEM, SARMA)
Model dari General Spatial Model basis area yang dikembangkan oleh Anselin (1988)
ditunjukkan dengan:
y = W1y + XB + u
u = W2u +
2(0, )nN I
Dimana: y adalah vektor variabel respon yang berukuran n x 1 dan X adalah n x k matriks
variabel prediktor. β adalah koefisien regresi. adalah koefisien spasial lag dari variabel
respon. Sedangkan merupakan koefisien spasial autoregressive yang bernilai <1.
W1 dan W2 adalah matriks penimbang spasial yang berukuran n x n yang elemen
diagonalnya bernilai nol. Matriks penimbang ini biasanya berisi hubungan contiguity
matriks atau juga fungsi jarak dari suatu daerah/region. u adalah error regresi yang
diasumsikan mempunyai efek region random dan juga error yang terautokorelasi secara
spasial. Ada beberapa model yang bisa dibentuk dari General Spatial Model ini yaitu:
1. Apabila = 0 dan = 0 maka persamaan menjadi:
y = XB + .
2(0, )nN I
dalam notasi lain seperti persamaan diatas. Persamaan ini disebut model regresi
klasik atau lazim dikenal sebagai model regresi Ordinary Least Square (OLS), yaitu
regresi yang tidak mempunyai efek spasial.
2. Apabila 0 , = 0 persamaannya menjadi:
y = W1y + XB + ε
2(0, )nN I
Persamaan ini disebut sebagai regresi Spatial Lag Model (SLM). LeSage (1999)
mengistilahkan model ini dengan Spatial Autoregresive Models (SAR).
3. Apabila 0 , = 0 persamaannya menjadi:
y = XB + u , u= W2u + ε
2(0, )nN I
Persamaan diatas disebut juga regresi Spatial Error Model (SEM).
(8)
(7)
(6)
(9)
13 | R i n d a n g B . P .
4. Apabila 0 dan 0 persamaannya menjadi
y = W1y + XB + u , u = W2u + ε
2(0, )nN I
Persamaan tersebut disebut General Spatial Model, ada juga Anselin (1988)
menamainya sebagai model Spatial Autoregressive Moving Average (SARMA).
Spatial Autoregressive Model (SAR)
Model ini sebagaimana pada persamaan (8) mempunyai matriks contiguity spatial
W. Matriks W ini adalah matriks yang sudah distandarkan dimana jumlah nilai tiap
barisan sama dengan 1. LeSage dan Pace (2001) menurunkan estimator untuk koefisien
spatial lag sebagai berikut:
= (yT W
T Wy)
-1 y
T W
T y
Arbia (2006) mengemukakan bahwa untuk menguji signifikansi dari koefisien spasial lag
(r) digunakan Likelihood Ratio Test (LRT) dengan hipotesis:
0 : 0H (tidak terdapat dependensi spasial lag)
1 : 0H (terdapat dependensi spasial lag)
Fungsi log-Likelihood spatial lag adalah:
2 2
2
1( , , ; ) ( ) ln ln | | ( )
2 2
Tnl y c y I W I W y X I W y X
Fungsi log-Likelihood dibawah H0 adalah
2 2
0 2
1, ; ( ) ln
2 2
Tnl y c y y X y X
Statistik uji Likelihood Ratio test merupakan selisih dari keduanya
2 2
0, , ; , ;LRT l y l y atau dijabarkan menjadi
2
2
12 ln ln | | ( ( )
2 2
TnLRT I W I Wy X I W y X
2
2
1ln
2 2
Tny X y X
Disederhanakan menjadi:
2 2
1 12ln | | ( ) ( )
T TLRT I W I W y X I W y X y X y X
tolak H0 bila LRT lebih besar dari 2
(1)
(10)
(11)
(12)
(13)
(14)
(15)
14 | R i n d a n g B . P .
Spatial Error Model (SEM)
Untuk mengetahui SEM perlu dilakukan test untuk uji Residual Spatial error model
berbasis Maximum Likelihood estimation. Anselin (1988) memaparkan bahwa tes untuk
menguji Residual spatial autocorrelation ada 3 metode yaitu: Wald, Likelihood Ratio Test
(LRT), dan Lagrange Multiplier (LM). LRT merupakan metode yang sering dipakai untuk
inferensi dari SEM. Hipotesis yang dikemukakan yaitu:
0 : 0H (tidak ada dependensi error spasial)
1 : 0H (ada dependensi error spasial)
Arbia (2006) mengemukakan inferensi dari LRT sebagai berikut. Sebagaimana persamaan
(9) y = XB + u dengan u = W2u + ε. Dalam bentuk lain dapat ditulis u = y - XB
Matriks varians-kovarians dari SEM adalah V = (I –B)-1
Σ ( I –B)-T
(16)
dimana Σ adalah matriks diagonal yang elemennya adalah 2
i =Var( i ), dalam notasi
matriks
2
1
2
... 0
0 n
β = W, = koefisien error spasial yang bernilai | | < 1 dan W merupakan matriks
penimbang spasial. Apabila varians-nya konstan,
2 2 2 2
1 2 ... i maka 1
2 ( ) ( )TV I B I B
(17)
Fungsi Likelihood dari SEM yaitu:
1
2 120
1( , , ; , ) ( ) exp
2
TL c u
β y X V u V u
dengan mensubtitusikan u = y - XB dan Persamaan (16) kedalam Persamaan (18)
diperoleh fungsi Likelihood:
11
2 1 120
1( , , ; , ) ( ) ( ) ( ) exp ( ) ( ) ( ) ( )
2
T T TL c u
β y X I B Σ I B y Xβ I B Σ I B y Xβ
dengan mensubtitusikan determinan dari V ke dalam Persamaan (19) kemudian di log-
normalkan sehingga diperoleh:
12 2 1 1
0 2
1( , , ; , ) ( , ) ln ( ) ( ) ( ) ( ) ( ) ( )
2 2
T T Tnl c
β y X y X I B I B y Xβ I B I B y Xβ
(18)
(19)
(20)
15 | R i n d a n g B . P .
Dimana B = W, = koefisien error spasial yang bernilai l <1 dan W merupakan matriks
penimbang spasial.
Fungsi Likelihood dibawah 0 : 0H adalah
2 2
0 2
1( , ; , ) ( , ) ln ( ) ( )
2 2
TnL c y X
β y X y Xβ y Xβ
Likelihood Ratio (LR) adalah suatu uji yang berbasis pada selisih antara L dan Lo,
2 2
02 ( , , ; , ) ( , ; , )LRT L L β y X β y X
12 1 1
2
1 12 ln ln ( ) ( ) ( ) ( ) ( )
2 2 2
T T TnLRT I B I B y X I B I B
1
2 1
2
1( ) ln ( ) ( ) ( ) ( )
2 2
T Tny X y X y X I B I B
2
2
1( ) ln ( ) ( )
2 2
Tny X y X y X
dengan B = λW dimana λ = koefisien eror spasial yang bernilai -1< λ < 1 dan W
merupakan matriks pembobot spasial.
H0 ditolak jika statistik uji LRT > 2
,1
Estimasi Parameter SAR
Estimasi parameter β diperoleh dengan memaksimumkan fungsi ln likelihood persamaan
(12), yaitu dengan mendifferensialkan persamaan tersebut terhadap β Sehingga didapatkan
estimasi parameternya adalah
1
1ˆ ( ) ( )T TX X X I W y (23)
Pengujian hipotesis untuk signifikansi parameter pada permodelan spasial (Anselin, 1988)
diantaranya Lagrange Multiplier, Wald test, dan Likelihood Ratio Test. Penelitian ini
digunakan Wald test adalah sebagai berikut
Hipotesis : 0 0, , ... 0T
p kH
1 0pH
Statistik uji :
2ˆ
ˆvar( )
p
p
Wald
Dengan:
(22)
(21)
(24)
16 | R i n d a n g B . P .
2ˆp : estimasi parameter ke-p
ˆ( )pVar : varians estimasi parameter ke-p
H0 ditolak jika statistik uji Wald > 2
,1
Berbasis Titik (GWR)
Metode GWR adalah suatu teknik yang membawa kerangka dari model regresi
sederhana menjadi model regresi yang terboboti (Fotheringham, et al., 2002). Model
GWR merupakan pengembangan dari model regresi global. Namun berbeda dengan
regresi global yang diberlakukan secara umum di setiap lokasi pengamatan, GWR
menghasilkan penduga parameter model yang bersifat lokal untuk setiap lokasi
pengamatan dengan metode Weighted Least Square (WLS), yaitu :
0
1
, ,p
i i i k i i ik i
k
y u v u v x
(25)
Keterangan:
yi = variabel respon pada lokasi ke-i (i = 1, 2, ... , n)
xik = variabel prediktor ke-k pada lokasi ke-i (i = 1, 2, ... , n)
(ui,vi) = koordinat longitude latitude dari titik ke-i pada suatu lokasi geografis.
k (ui,vi) = koefisien regresi ke-k pada masing-masing lokasi
i = error yang diasumsikan identik, independen, dan berdistribusi Normal dengan
mean nol dan varians konstan 2
Persamaan diatas dapat dinyatakan dalam bentuk matriks sebagai berikut:
, i iu vY X β
dengan :
1
2
n
y
y
y
Y ,
11 12 1
21 22 2
1 2
1
1
1
p
p
n n np
x x x
x x x
x x x
X
0
1
,
,,
,
i i
i i
i i
p i i
u v
u vu v
u v
,
1
2
n
Pada model GWR diasumsikan bahwa data observasi yang dekat dengan titik ke-i
mempunyai pengaruh yang besar pada penaksiran dari ),( iik vuβ daripada data yang
berada jauh dari titik ke-i. Menurut Fotheringham, Brunsdon dan Charlton (2002), lokal
(26)
17 | R i n d a n g B . P .
parameter ),( iik vuβ ditaksir menggunakan Weighted Least Squared (WLS). Pada GWR
sebuah observasi diboboti dengan nilai yang berhubungan dengan titik ke-i. Bobot wij,
untuk j = 1, 2, ... , n, pada tiap lokasi ),( ii vu diperoleh sebagai fungsi yang kontinu dari
jarak antara titik ke-i dan titik data lainnya.
Estimasi Parameter GWR
Penaksiran parameter pada masing-masing lokasi ke-I melalui WLS adalah
sebagai berikut :
yWXXWXβ )()()(ˆ 1iii TT
(27)
Keterangan :
X = matrik data dari variabel prediktor
y = vektor variabel respon
W(i) = matriks pembobot
ni
i
i
W
W
W
i
...00
0...0
0...0
)(2
1
W
nknn
k
k
xxx
xxx
xxx
21
22221
11211
1
1
1
X
ny
y
y
2
1
y
nnpnnnn
p
vuvuvu
vuvuvu
,β...,β,β
...
...
...
,β...,β,β
10
11111110
β
Uji signifikansi
Uji signifikansi dapat dilakukan dengan hipotesis sebagai berikut (Sugiyanto, 2008):
0),(:H0 iik vu
p,...,2,1k;0),(:H1 iik vu
Statistik uji:
β ( , )(28)
ˆse (β ( , ))
k i ihit
k i i
u vT
u v
18 | R i n d a n g B . P .
Pengambilan keputusan adalah H0 ditolak jika nilai
2
21;2/
|T|
thit dimana:
)LI()LI(1 Ttr 22 )LI()LI( Ttr
1...00
............
0...10
0...01
I
),(WX]X),(WX[
),(WX]X),(WX[
),(WX]X),(WX[
L
1
22
1
222
11
1
111
nn
T
nn
TT
n
TTT
TTT
vuvux
vuvux
vuvux
VI. Analisis spasial pada Aglomerasi Industri Manufaktur di Pulau Jawa
Pemilihan metode untuk menentukan bobot berdasarkan Contiguity sederhana
(misalnya persinggungan sisi), kedekatan jarak atau yang lainnya sangat erat kaitannya
dengan fitur (bentuk) fisik dari unit spasial pada peta (Arbia, Dominicis dan Groot, 2007).
Interaksi spasial dapat ditentukan oleh faktor-faktor yang terkait dengan variabel yang
menjadi penelitian, sebagai contoh: penelitian ekonomi, dapat digunakan bobot dengan
menentukan langsung sesuai dengan fenomena tertentu yang diteliti (misalkan waktu
perjalanan, jarak sosial atau jarak ekonomi).
Matriks pembobot spasial contiguity (matrik W) yang digunakan dalam analisis
spasial aglomerasi industri manufaktur di Pulau Jawa dibuat dengan metode Rook
Contiguity (persinggungan sisi). Pembobot tersebut dirasa cukup tepat mengingat bahwa
kabupaten/kota di Pulau Jawa mempunyai kondisi jalan (transportasi) yang cukup baik
dan merata di seluruh wilayah, terutama wilayah yang merupakan konsentrasi industri
manufaktur, sehingga tidak perlu menggunakan pembobot costumized. Sedangkan alasan
dipilihnya Rook Contiguity dari pada Queen Contiguity yaitu akses ekonomi (jalan) yang
menghubungkan antar kabupaten/kota tersebut dapat dipastikan tidak ada yang melalui
persinggungan sudut, selain itu perbedaan antara keduanya juga tidak begitu signifikan.
Ukuran aglomerasi industri manufaktur yang digunakan sebagai variabel respon
yaitu Location Quotient LQ dari tenaga kerja industri manufaktur (Industri Besar Sedang).
Nilai LQ tersebut diperoleh dengan rumus:
.
. ..
ir rr
i
E ELQ
E E (29)
19 | R i n d a n g B . P .
Dimana, Eir adalah jumlah tenaga kerja IBS dalam suatu kabupaten/kota r, Er adalah total
tenaga kerja pada kabupaten/kota r, Ei. adalah tenaga kerja IBS untuk seluruh
kabupaten/kota di Pulau Jawa; E.. adalah total tenaga kerja di Pulau Jawa.
Nilai Moran’s I dengan matrik pembobot rook conguinity untuk variabel respon LQ
tersebut yaitu sebesar 0,23022 dengan nilai-p sebesar 0.000037 (kurang dari α = 0.05).
Berdasarkan nilai Moran’s I yang diperoleh maka dapat disimpulkan bahwa variabel
respon aglomerasi industri manufaktur (nilai LQ) mempunyai efek dependensi spasial.
Gambar 7. Nilai Moran’s I dengan Matrik Pembobot Rook
VII. Pemodelan Faktor-faktor yang Mempengaruhi Aglomerasi Industri
Manufaktur di Pulau Jawa
Analisis faktor-faktor yang memengaruhi aglomerasi industri manufaktur dilakukan
dengan menggunakan unit observasi 116 kabupaten/kota di Pulau Jawa. Variabel yang
digunakan sebagai ukuran aglomerasi industri manufaktur yaitu indeks spesialisasi
regional/ Location Quotient (LQ) tenaga kerja industri manufaktur. Pemilihan indeks
spesialisasi sebagai variabel prediktor didasarkan pada pertimbangan teori-teori ekonomi
yang hendak diuji dan pertimbangan studi empiris sebelumnya (Kuncoro dan Wahyuni,
2009).
20 | R i n d a n g B . P .
Model Regresi Linier
Model yang digunakan untuk menganalisis faktor-faktor yang memengaruhi
aglomerasi industri manufaktur didasarkan pada model yang digunakan Prasetyo (2010).
Model yang digunakan adalah sebagai berikut:
(30)
Dari persamaan (30) dapat dijelaskan definisi operasional dari masing-masing variabel
yaitu sebagai berikut:
1. Variabel Y merupakan indeks spesialisasi LQ industri manufaktur kabupaten/kota
ke-i. Indeks spesialisasi menggambarkan adanya konsentrasi industri manufaktur.
2. Variabel X1 dalah ukuran perusahaan berdasarkan rata-rata jumlah pekerja produksi
di kabupaten/kota ke-i. Variabel ini digunakan untuk mendekati skala ekonomi
perusahaan di daerah tersebut. Perusahaan dengan skala yang lebih besar akan
cenderung berada pada wilayah yang terkonsentrasi. Demikian juga sebaliknya,
perusahaan yang lebih kecil cenderung beroperasi pada daerah yang jauh dari sentra
industri.
3. Variabel X2 adalah indeks persaingan industri (IPS) yang digunakan untuk
mendekati struktur pasar di kabupaten/kota ke-i. Indeks ini mengukur derajat
persaingan perusahaan industri di suatu daerah, rumus yang digunakan yaitu:
⁄
⁄ (31)
Dimana firm menunjukan jumlah perusahaan dan output menunjukkan total
produksi. Semakin tinggi IPS atau semakin besar rasio jumlah perusahaan terhadap
output di tingkat provinsi terhadap nasionalnya maka akan semakin besar persaingan
antar perusahaan di daerah tersebut karena jumlah perusahaan relatif lebih banyak.
Dengan kata lain semakin tinggi nilai IPS maka struktur pasar di daerah tersebut
semakin menuju persaingan sempurna.
4. Variabel X3 yaitu HHI atau indeks Hirschman Herfindahl Index adalah ukuran yang
digunakan untuk melihat keanekaragaman industri di kabupaten/kota ke-i. Indeks ini
dihitung dari penjumlahan kuadrat market share jumlah tenaga kerja seluruh
perusahaan dalam industri. Rumus untuk penghitungan HHI yaitu:
∑ (
)
(32)
Dimana L adalah tenaga kerja, i adalah kabupaten/kota dan j adalah industri dua
digit. Semakin merata distribusi tenaga kerja di masing-masing provinsi antar
21 | R i n d a n g B . P .
industri, maka akan semakin kecil rasio kuadrat dari market share tenaga kerja di
kabupaten/kota tersebut. Dengan demikian rasio indeks yang kecil secara relatif
menunjukan tingkat keberagaman industri yang lebih besar.
5. Variabel X4 adalah nilai Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) yang merupakan
pendekatan untuk pendapatan daerah di kabupaten/kota i. Variabel ini digunakan
untuk proxy ukuran pasar di suatu daerah. Semakin besar pendapatan di suatu daerah
maka akan menggambarkan pasar yang semakin besar.
Hasil pengolahan model regresi linear dapat dilihat pada tabel berikut, dengan nilai
R square sebesar 49,94% yang artinya model tersebut mampu menerangkan 49,94% dari
keragaman total.
Berdasarkan tabel diatas dapat ditunjukkan hasil pengujian parsial signifikansi
menggunakan α (0,05) bahwa terdapat dua variabel prediktor yaitu X1 (skala ekonomi)
dan X4 (ukuran pasar) yang secara sigifikan berpengaruh terhadap variabel Y (aglomerasi
industri manufaktur) karena memiliki nilai P-Vaue < α (0,05). Sedangkan untuk variabel
prediktor X3 (keanekaragaman industri) signifikan dengan menggunakan α (0,30) dan
variabel X2 (struktur pasar) tidak signifikan secara statistik. Pengujian kesesuaian model
secara serentak dilakukan dengan melihat nilai Fhit, keputusan model regresi berdasarkan
nilai p-value yang dihasilkan kurang dari 0,05 sehingga keputusannya adalah variabel
prediktor secara serentak signifikan terhadap variabel respon.
Langkah selanjutnya yaitu melakukan identifikasi terhadap efek spasial.
Identifikasi ini bertujuan untuk mengetahui adanya efek heterogenitas spasial dan
SUMMARY OF OUTPUT: ORDINARY LEAST SQUARES ESTIMATION
Data set : jawakab117
Dependent Variable : Y Number of Observations: 117
Mean dependent var : 0.969151 Number of Variables : 5
S.D. dependent var : 1.12138 Degrees of Freedom : 112
R-squared : 0.499451 F-statistic : 27.9386
Adjusted R-squared : 0.481574 Prob(F-statistic) :4.27514e-016
Sum squared residual: 73.644 Log likelihood : -138.934
Sigma-square : 0.657536 Akaike info criterion : 287.869
S.E. of regression : 0.810886 Schwarz criterion : 301.68
Sigma-square ML : 0.629436
S.E of regression ML: 0.79337
-----------------------------------------------------------------------
Variable Coefficient Std.Error t-Statistic Probability
-----------------------------------------------------------------------
CONSTANT -4.201707 1.36172 -3.085587 0.00256
X1 0.004976299 0.0006361532 7.822486 0.00000
X2 0.001943414 0.00973021 0.19973 0.84205
X3 -0.538511 0.5175961 -1.040408 0.30039
X4 0.2898594 0.08306159 3.489692 0.00069
-----------------------------------------------------------------------
22 | R i n d a n g B . P .
dependensi spasial. Kedua hal ini di atas dilakukan untuk menentukan pemodelan
berikutnya, yaitu menentukan model analisis spasial yang akan digunakan untuk
memodelkan aglomerasi industri manufaktur. Identifikasi terhadap adanya efek
heterogenitas dilakukan dengan uji Breusch Pagan (BP), sedangkan untuk efek dependensi
digunakan uji Lagrange Multiplier (LM).
Uji Lagrange Multiplier (lag) bertujuan untuk mengidentifikasi adanya keterkaitan
antar kabupaten/kota. Berdasarkan pada Tabel diatas dapat diketahui bahwa nilai P-value
Lagrange Multiplier (lag) sebesar 0,04747 (kurang dari α = 0,05). Kesimpulan yaitu tolak
Ho, yang berarti bahwa terdapat dependensi spasial lag sehingga perlu dilanjutkan ke
pembuatan Spatial Autoregressive Model (SAR). Sedangkan untuk nilai P-value Lagrange
Multiplier (error) dan Lagrange Multiplier (SARMA) yaitu sebesar 0,11167 dan 0,11023
(lebih besar dari α = 0,05).
Hasil dari asumsi kehomogenan sisaan dapat dilihat berdasarkan nilai p-value pada
uji Breush Pagan (BP) yaitu sebesar 0,00006 yang lebih kecil daripada = 0,05, sehingga
dapat disimpulkan tolak H0. Ini menunjukkan bahwa asumsi kehomogenan ragam sisaan
dilanggar atau dengan kata lain terdapat efek heterogenitas spasial. Untuk menyelesaikan
masalah heterogenitas spasial maka perlu dilakukan pemodelan dengan Geographically
Weighted Regression (GWR).
Berdasarkan uji LM dan BP maka pemodelan aglomerasi industri manufaktur akan
dilanjutkan dengan pembuatan model SAR dan GWR. Kedua model tersebut mempunyai
perbedaan mendasar dalam pemodelan, yaitu SAR berbasis area dengan pembobot
contiguity sedangkan GWR berbasis titik dengan pembobot jarak. Oleh karena itu,
pembuatan kedua model tersebut akan dibahas satu per satu.
DIAGNOSTICS FOR HETEROSKEDASTICITY
RANDOM COEFFICIENTS
TEST DF VALUE PROB
Breusch-Pagan test 4 24.5729 0.00006
Koenker-Bassett test 4 10.2273 0.03677
DIAGNOSTICS FOR SPATIAL DEPENDENCE
FOR WEIGHT MATRIX : jawakab117.gal
(row-standardized weights)
TEST MI/DF VALUE PROB
Moran's I (error) 0.1112 1.8535 0.06382
Lagrange Multiplier (lag) 1 3.9286 0.04747
Robust LM (lag) 1 1.3985 0.23697
Lagrange Multiplier (error) 1 2.5304 0.11167
Robust LM (error) 1 0.0003 0.98551
Lagrange Multiplier (SARMA) 2 3.9289 0.14023
========================== END OF REPORT ==============================
23 | R i n d a n g B . P .
Model SAR
Berdasarkan uji LM dapat disimpulkan bahwa terdapat dependensi spasial lag
sehingga perlu dilanjutkan ke Spatial Autoregressive Model (SAR). Berdasarkan Tabel
dibawah dapat dilihat bahwa nilai R2 dari model SAR yaitu sebesar 52,59% berarti bahwa
model tersebut mampu menjelaskan variasi dari aglomerasi industri manufaktur sebesar
52,59% dan sisanya 47,41% dijelaskan oleh variabel lain di luar model. Jika dibandingkan
dengan R2 dari model regresi linier maka R
2 model SAR mengalami peningkatan sebesar
2,65%. Demikian juga dengan nilai AIC model SAR yang dihasilkan lebih kecil dari pada
model regresi linier yaitu 285,04 dibandingkan dengan 287,87. Hal ini mengindikasikan
bahwa model SAR lebih baik dari pada model regresi linier tanpa memperhitungkan efek
spasial.
Uji parsial terhadap hasil estimasi koefisien setiap variabel prediktor yaitu
menghasilkan P-value signifikan pada α=0,05 adalah variabel X1 (skala ekonomi), X4
(ukuran pasar), sedangkan variabel X2 (struktur pasar) dan X3 (keanekaragaman industri)
tidak signifikan mempengaruhi variabel respon Y (aglomerasi industri manufaktur).
Selengkapnya dapat dilihat pada hasil pengolahan berikut ini:
SUMMARY OF OUTPUT: SPATIAL LAG MODEL - MAXIMUM LIKELIHOOD ESTIMATION
Data set : jawakab117
Spatial Weight : jawakab117.gal
Dependent Variable : Y Number of Observations: 117
Mean dependent var : 0.969151 Number of Variables : 6
S.D. dependent var : 1.12138 Degrees of Freedom : 111
Lag coeff. (Rho) : 0.230784
R-squared : 0.525894 Log likelihood : -136.521
Sq. Correlation : - Akaike info criterion : 285.041
Sigma-square : 0.596184 Schwarz criterion : 301.614
S.E of regression : 0.77213
-----------------------------------------------------------------------
Variable Coefficient Std.Error z-value Probability
-----------------------------------------------------------------------
W_Y 0.2307836 0.0904631 2.551135 0.01074
CONSTANT -3.71778 1.297248 -2.865898 0.00416
X1 0.004903499 0.0006130929 7.99797 0.00000
X2 0.004110819 0.009305474 0.4417635 0.65866
X3 -0.2649683 0.5029239 -0.5268557 0.59829
X4 0.2394724 0.07972246 3.003826 0.00267
-----------------------------------------------------------------------
REGRESSION DIAGNOSTICS
DIAGNOSTICS FOR HETEROSKEDASTICITY
RANDOM COEFFICIENTS
TEST DF VALUE PROB
Breusch-Pagan test 4 26.1654 0.00003
DIAGNOSTICS FOR SPATIAL DEPENDENCE
SPATIAL LAG DEPENDENCE FOR WEIGHT MATRIX : jawakab117.gal
TEST DF VALUE PROB
Likelihood Ratio Test 1 4.8276 0.02801
========================== END OF REPORT ==============================
24 | R i n d a n g B . P .
Berdasarkan hasil pengolahan model SAR yang diperoleh adalah sebagai berikut:
1 2 3 4
1,
ˆ 4,865 0,233 0,007 0,009 0,562 0,212n
i ij j i i i i
j i j
y w y X X X X
Beberapa interpretasi yang dapat diperoleh dari model SAR tersebut yaitu:
1. Skala ekonomi (X1) yang didekati dengan ukuran perusahaan (ISZ) mempunyai
hubungan yang positif terhadap menciptaan aglomerasi. Apabila faktor lain
dianggap konstan, jika skala ekonomi dari perusahaan industri manufaktur di suatu
kabupaten/kota meningkat sebesar satu satuan maka dapat menyebabkan terjadinya
aglomerasi industri manufaktur di daerah tersebut dengan tingkat peningkatan
konsentrasi sebesar 0,007. Hasil ini sesuai dengan hipotesis teori New Economic
Geography (NEG) dan New Trade Theory (NTT). Teori NEG dan NTT
berpendapat bahwa industri-industri yang terkonsentrasi secara geografis
berhubungan dengan skala ekonomi. Dalam model ekonomi Krugman juga
menunjukkan bahwa interaksi antara skala ekonomi dan biaya perdagangan
mendorong konsentrasi industri di dalam suatu negara yang mempunyai akses
yang baik pada pasar yang besar.
2. Variabel struktur pasar (X2) yang didekati dengan indeks persaingan (IPS) tidak
signifikan mempengaruhi aglomerasi industri manufaktur. Hal ini tidak sesuai
dengan hipotesis bahwa semakin rendah indeks persaingan yang berarti semakin
monopolistik dapat membantu dalam menjelaskan konsentrasi geografis industri
manufaktur. Hasil yang tidak signifikan ini dapat disebabkan penggunaan indeks
persaingan yang hanya merasiokan jumlah perusahaan dibagi output di suatu
daerah terhadap jumlah perusahaan dibagi output secara global dianggap kurang
tepat. Pendekatan struktur pasar akan lebih baik jika digunakan indeks CR4, akan
tetapi sulitnya penghitungan yang disebabkan karena harus meneliti setiap jenis
industri maka indeks ini jarang digunakan.
3. Keanekaragaman industri manufaktur (X3) yang dihitung dengan indeks HHI juga
tidak signifikan mempengaruhi aglomerasi industri manufaktur. Hal ini tidak
selaras dengan teori urbanization economies yang menerangkan bahwa
keanekaragaman mendorong eksplorasi dan mencegah stagnasi, sehingga berperan
dalam pertumbuhan dari industri. Penyebab dari tidak signifikannya variabel ini
dapat dikarenakan, keanekaragaman industri pada setiap kabupaten/kota di Pulau
(33)
25 | R i n d a n g B . P .
Jawa belum dapat meningkatkan konsentrasi industri, konsentrasi industri
cenderung terbentuk karena kawasan-kawasan industri yang sengaja dibuat.
Penyebab lain yaitu daerah yang memiliki keanekaragaman industri manufaktur
belum tentu mempunyai konsentrasi industri manufaktur.
4. Variabel ukuran pasar (X4) yang didekati dengan pendapataan daerah (PDRB)
mempunyai pengaruh terhadap terciptanya aglomerasi industri manufaktur. Hasil
yang diperoleh ini sesuai dengan hipotesis bahwa industri dengan hasil yang
meningkat akan berkonsentrasi dalam pasar yang besar. Para pelopor teori NTT
juga menekankan adanya dampak pasar domestik terhadap konsentrasi industri
(Kuncoro dan Wahyuni, 2009).
5. Efek spasial dependensi lag mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap
pembentukan aglomerasi industri manufaktur. Dengan koefisien sebesar 0,233
memiliki arti bahwa konsentrasi industri manufaktur di kabupaten/kota yang
bersinggungan sisi (rook) memberikan pengaruh terhadap pembentukan
aglomerasi industri manufaktur pada daerah inti sebesar 0,233. Hal ini sesuai
dengan teori ekonomi geografi baru (New Economic Geography) bahwa terjadinya
aglomerasi industri manufaktur sangat mungkin dipengaruhi oleh lokasi atau
kondisi geografis.
Hasil uji Breush Pagan (BP) untuk asumsi homogenitas pada model SAR tersebut
menunjukkan bahwa model masih mempunyai permasalahan pada heterogenitas spasial.
Nilai p-value pada uji BP adalah sebesar 0,00003 yang lebih kecil dari pada α = 0,05,
sehingga disumpulkan asumsi kehomogenan ragam sisaan dilanggar.
Model GWR
Hasil pengujian pada asumsi kehomogenan sisaan dengan uji Breush Pagan (BP)
didapatkan nilai p-value sebesar 0,00006 pada regresi linier tanpa melibatkan efek spasial
dan 0,00003 untuk model regresi SAR. Keduanya lebih kecil daripada = 0,05, sehingga
dapat disimpulkan bahwa terdapat efek heterogenitas spasial. Untuk itu perlu diselesaikan
dengan pemodelan Geographically Weighted Regression (GWR).
Langkah awal yang dilakukan untuk membuat model GWR yaitu menentukan
letak garis Lintang Selatan dan Bujur Timur. Titik yang digunakan dalam penentuan
lokasi data yaitu ibukota kabupaten/kota, pertimbangannya yaitu lokasi dari konsentrasi
industri diasumsikan mendekati atau di sekitar ibukota dari kabupaten/kota. Penentuan
26 | R i n d a n g B . P .
koordinat lokasi yang berbeda dapat menghasilkan suatu estimasi yang berbeda (walaupun
perbedaan yang kecil). Selain dengan memilih ibukota sebagai lokasi data, sebenarnya
lokasi data yang tepat untuk kasus aglomerasi industri manufaktur yaitu lokasi dari
konsentrasi industri di masing-masing wilayah kabupaten/kota. Akan tetapi hal itu sulit
dilakukan karena memerlukan pengetahuan atau informasi mengenai konsentrasi industri
di setiap wilayah kabupaten/kota.
Langkah selanjutnya yaitu menentukan nilai pembobot yang mewakili letak data
observasi satu dengan lainnya. Skema pembobotan pada GWR dapat menggunakan
beberapa metode yang berbeda. Ada beberapa literatur yang bisa digunakan untuk
menentukan besarnya pembobot untuk masing-masing lokasi yang berbeda pada model
GWR, diantaranya dengan menggunakan fungsi kernel (kernel function). Fungsi kernel
digunakan untuk mengestimasi paramater dalam model GWR jika fungsi jarak adalah
fungsi yang kontinu dan monoton turun. Pembobot yang terbentuk dengan menggunakan
fungsi kernel ini adalah fungsi jarak Gaussian (Gaussian Distance Function), fungsi
Bisquare, dan fungsi kernel Tricube. Untuk mendapatkan bandwidth yang optimum
dilakukan dengan cara memilih tipe kernel yang akan digunakan dengan kriteria AIC
terkecil dan menghasilkan R2 terbesar. Berdasarkan hasil uji coba diperoleh, dengan
mempertimbangkan nilai AIC dan R2 maka bandwidth yang digunakan adalah bandwidth
yang diperoleh dari kernel Fixed Gaussian.
Fungsi dari bandwidth adalah untuk menentukan bobot dari suatu lokasi terhadap
lokasi lain yang digunakan sebagai pusat. Semakin dekat wilayah dengan daerah pusat,
akan semakin besar pula pengaruh yang diberikan. Penentuan bandwidth yang optimum
dilakukan dengan metode otomatis yang dilakukan dengan golden section search.
Pengolahan model GWR aglomerasi industri manufaktur di Pulau Jawa dilakukan
dengan bantuan software GWR4. GWR4 merupakan aplikasi software untuk kalibrasi
model GWR dimana kita dapat mengeksplorasi keragaman antar variabel secara geografis.
Berikut ini output hasil pengolahan dengan GWR4.
27 | R i n d a n g B . P .
*****************************************************************************
Session: GWR Aglomerasi Industri Manufaktur
*****************************************************************************
Data filename: D:\s3\SPASIAL\tugas\jawakab117.dbf
Number of areas/points: 117
Model settings---------------------------------
Model type: Gaussian
Geographic kernel: fixed Gaussian
Method for optimal bandwidth search: Golden section search
Criterion for optimal bandwidth: AICc
Number of varying coefficients: 5
Number of fixed coefficients: 0
Variable settings---------------------------------
Area key: field1: KODE
Easting (x-coord): field24 : KORX
Northing (y-coord): field25: KORY
Cartesian coordinates: Euclidean distance
Dependent variable: field26: Y
Intercept: varying intercept
Independent variable with varying coefficient: field27: X1
Independent variable with varying coefficient: field28: X2
Independent variable with varying coefficient: field29: X3
Independent variable with varying coefficient: field30: X4
*****************************************************************************
Global regression result
*****************************************************************************
Residual sum of squares: 73.644037
Number of parameters: 5
(Note: this num does not include an error variance term for a Gaussian model)
ML based global sigma estimate: 0.793370
Unbiased global sigma estimate: 0.810886
Log-likelihood: 277.868717
Classic AIC: 289.868717
AICc: 290.632354
BIC/MDL: 306.441761
CV: 0.705325
R square: 0.499451
Adjusted R square: 0.476904
Variable Estimate Standard Error t(Est/SE)
-------------------- --------------- --------------- ---------------
Intercept -4.201707 1.361720 -3.085587
X1 0.004976 0.000636 7.822486
X2 0.001943 0.009730 0.199730
X3 -0.538511 0.517596 -1.040408
X4 0.289859 0.083062 3.489692
Bandwidth search <golden section search>
Limits: 0.217666346158515, 4.3136598968915
Golden section search begins...
Initial values
pL Bandwidth: 0.218 Criterion: 739.318
p1 Bandwidth: 1.782 Criterion: 294.565
p2 Bandwidth: 2.749 Criterion: 293.104
pU Bandwidth: 4.314 Criterion: 291.841
iter 1 (p2) Bandwidth: 2.749 Criterion: 293.104 Diff: 0.967
iter 2 (p2) Bandwidth: 3.347 Criterion: 292.493 Diff: 0.598
iter 3 (p2) Bandwidth: 3.716 Criterion: 292.201 Diff: 0.369
iter 4 (p2) Bandwidth: 3.944 Criterion: 292.048 Diff: 0.228
iter 5 (p2) Bandwidth: 4.085 Criterion: 291.964 Diff: 0.141
iter 6 (p2) Bandwidth: 4.173 Criterion: 291.915 Diff: 0.087
iter 7 (p2) Bandwidth: 4.226 Criterion: 291.886 Diff: 0.054
iter 8 (p2) Bandwidth: 4.260 Criterion: 291.868 Diff: 0.033
iter 9 (p2) Bandwidth: 4.280 Criterion: 291.858 Diff: 0.021
The upper limit in your search has been selected as the optimal bandwidth
size.
Best bandwidth size 4.314
Minimum AICc 291.841
28 | R i n d a n g B . P .
*****************************************************************************
GWR (Geographically weighted regression) result
*****************************************************************************
Bandwidth and geographic ranges
Bandwidth size: 4.313660
Coordinate Min Max Range
--------------- --------------- --------------- ---------------
X-coord 106.025530 114.368840 8.343310
Y-coord -8.211130 -6.015720 2.195410
Diagnostic information
Residual sum of squares: 72.720201
Effective number of parameters (model: trace(S)): 6.184114
Effective number of parameters (variance: trace(S'S)): 5.291036
Degree of freedom (model: n - trace(S)): 110.815886
Degree of freedom (residual: n - 2trace(S) + trace(S'S)): 109.922807
ML based sigma estimate: 0.788378
Unbiased sigma estimate: 0.813362
Log-likelihood: 276.391715
Classic AIC: 290.759944
AICc: 291.840588
BIC/MDL: 310.603717
CV: 0.723016
R square: 0.505730
Adjusted R square: 0.473615
<< Geographically varying coefficients >>
Estimates of varying coefficients have been saved in the following file.
Listwise output file: defaultGWRlistwise.csv
Summary statistics for varying coefficients
Variable Mean STD
-------------------- --------------- ---------------
Intercept -4.216844 0.355280
X1 0.004834 0.000154
X2 0.002162 0.001396
X3 -0.450798 0.043307
X4 0.289097 0.019776
Variable Min Max Range
-------------------- --------------- --------------- ---------------
Intercept -4.858688 -3.513988 1.344700
X1 0.004729 0.005219 0.000489
X2 -0.000552 0.004651 0.005203
X3 -0.584768 -0.405165 0.179603
X4 0.250206 0.324995 0.074790
Variable Lwr Quartile Median Upr Quartile
-------------------- --------------- --------------- ---------------
Intercept -4.582427 -4.218416 -3.962317
X1 0.004747 0.004812 0.004994
X2 0.001005 0.002009 0.003463
X3 -0.484049 -0.442858 -0.414592
X4 0.275334 0.289599 0.309847
Variable Interquartile R Robust STD
-------------------- --------------- ---------------
Intercept 0.620109 0.459681
X1 0.000247 0.000183
X2 0.002458 0.001822
X3 0.069457 0.051488
X4 0.034513 0.025584
(Note: Robust STD is given by (interquartile range / 1.349) )
GWR ANOVA Table
*****************************************************************************
Source SS DF MS F
----------------- ------------------- ---------- --------------- ----------
Global Residuals 73.644 5.000
GWR Improvement 0.924 2.077 0.445
GWR Residuals 72.720 109.923 0.662 0.672280
*****************************************************************************
Program terminated at 27/04/2014 9:23:05 PM
29 | R i n d a n g B . P .
Informasi yang dapat diperoleh dari hasil pengolahan dengan GWR4 yaitu nilai
bandwith optimal yang diperoleh sebesar 4,314 dengan minimum AIC sebesar 291,841.
Jika dilihat berdasarkan nilai R2, untuk model GWR menghasilkan nilai yang sedikit lebih
besar dari pada model regresi global yaitu 50,57% (R2 regresi global 49,94). Dengan
demikian dapat dikatakan model GWR sedikit lebih baik dari pada regresi global.
Hasil panaksiran parameter GWR dapat dilihat pada Tabel dibawah ini. Variabel
yang signifikan berpengaruh dengan α = 5% adalah X1 (skala ekonomi) dan X4 (ukuran
pasar). Hal tersebut ditunjukkan oleh nilai |thit| yang lebih besar dari t(0,05;117) yaitu sebesar
1,59. Pada Tabel terlihat juga nilai R2 yang menunjukkan seberapa besar keragaman yang
mampu dijelaskan oleh variabel prediktor terhadap aglomerasi industri manufaktur. Pada
penaksiran parameter GWR, semua kabupaten/kota memiliki model dengan variabel yang
berpengaruh signifikan yang sama. Seluruhnya memiliki variabel X1 dan X4 yang
signifikan berpengaruh dan X2 dan X3 yang tidak berpengaruh secara statistik.
Tabel 1. Hasil Estimasi Parameter GWR Aglomerasi Industri Manufaktur
Kode koor x koor y est_Intrcpt est_X1 est_X2 est_X3 est_X4 localR2
3171 106.81 -6.26 -4.7549 0.0051 0.0042 -0.4136 0.3194 0.4849
3172 106.90 -6.24 -4.7441 0.0051 0.0042 -0.4142 0.3189 0.4853
3173 106.84 -6.18 -4.7540 0.0051 0.0042 -0.4146 0.3194 0.4850
3174 106.75 -6.17 -4.7652 0.0051 0.0043 -0.4144 0.3200 0.4846
3175 106.90 -6.14 -4.7475 0.0051 0.0042 -0.4153 0.3191 0.4852
3201 106.81 -6.49 -4.7471 0.0051 0.0042 -0.4111 0.3189 0.4852
3202 106.60 -6.97 -4.7577 0.0051 0.0042 -0.4052 0.3193 0.4846
3203 107.13 -6.82 -4.6940 0.0051 0.0039 -0.4093 0.3160 0.4869
3204 107.54 -7.04 -4.6326 0.0050 0.0037 -0.4097 0.3126 0.4890
3205 107.90 -7.21 -4.5770 0.0050 0.0034 -0.4110 0.3095 0.4910
3206 108.08 -7.35 -4.5463 0.0050 0.0033 -0.4114 0.3078 0.4921
3207 108.35 -7.33 -4.5097 0.0049 0.0032 -0.4142 0.3058 0.4934
3208 108.48 -6.98 -4.5059 0.0049 0.0032 -0.4181 0.3057 0.4937
3209 108.57 -6.84 -4.4985 0.0049 0.0031 -0.4200 0.3054 0.4941
3210 108.22 -6.83 -4.5469 0.0050 0.0033 -0.4168 0.3080 0.4923
3211 107.92 -6.85 -4.5879 0.0050 0.0035 -0.4141 0.3102 0.4908
3212 108.32 -6.33 -4.5531 0.0050 0.0034 -0.4216 0.3085 0.4923
3213 107.77 -6.56 -4.6195 0.0050 0.0036 -0.4155 0.3120 0.4897
3214 107.44 -6.54 -4.6640 0.0051 0.0038 -0.4136 0.3144 0.4881
3215 107.30 -6.29 -4.6910 0.0051 0.0040 -0.4153 0.3160 0.4872
3216 107.15 -6.31 -4.7096 0.0051 0.0040 -0.4145 0.3170 0.4865
3217 107.44 -6.81 -4.6546 0.0050 0.0038 -0.4111 0.3138 0.4883
3271 106.80 -6.59 -4.7450 0.0051 0.0041 -0.4101 0.3188 0.4852
3272 106.92 -6.92 -4.7180 0.0051 0.0040 -0.4072 0.3172 0.4860
3273 107.63 -6.92 -4.6251 0.0050 0.0036 -0.4113 0.3122 0.4894
3274 108.56 -6.74 -4.5042 0.0049 0.0032 -0.4206 0.3057 0.4939
30 | R i n d a n g B . P .
3275 107.01 -6.25 -4.7298 0.0051 0.0041 -0.4145 0.3181 0.4858
3276 106.80 -6.39 -4.7513 0.0051 0.0042 -0.4122 0.3192 0.4850
3277 107.55 -6.90 -4.6365 0.0050 0.0037 -0.4110 0.3128 0.4890
3278 108.22 -7.33 -4.5279 0.0050 0.0032 -0.4130 0.3068 0.4928
3279 108.55 -7.37 -4.4793 0.0049 0.0030 -0.4161 0.3041 0.4946
3301 109.00 -7.72 -4.3998 0.0049 0.0027 -0.4195 0.2996 0.4974
3302 109.23 -7.42 -4.3801 0.0049 0.0026 -0.4244 0.2986 0.4983
3303 109.36 -7.39 -4.3619 0.0049 0.0026 -0.4266 0.2976 0.4991
3304 109.70 -7.40 -4.3113 0.0048 0.0024 -0.4319 0.2948 0.5010
3305 109.67 -7.68 -4.3038 0.0048 0.0023 -0.4301 0.2943 0.5012
3306 110.01 -7.71 -4.2508 0.0048 0.0021 -0.4361 0.2914 0.5032
3307 109.90 -7.36 -4.2823 0.0048 0.0023 -0.4356 0.2933 0.5022
3308 110.26 -7.57 -4.2187 0.0048 0.0020 -0.4416 0.2897 0.5046
3309 110.60 -7.53 -4.1681 0.0048 0.0018 -0.4491 0.2869 0.5066
3310 110.60 -7.71 -4.1594 0.0048 0.0018 -0.4487 0.2863 0.5069
3311 110.84 -7.69 -4.1234 0.0048 0.0016 -0.4543 0.2843 0.5083
3312 110.92 -7.82 -4.1042 0.0048 0.0016 -0.4561 0.2832 0.5090
3313 110.94 -7.60 -4.1116 0.0048 0.0016 -0.4570 0.2837 0.5088
3314 111.02 -7.43 -4.1065 0.0048 0.0016 -0.4594 0.2835 0.5091
3315 110.91 -7.08 -4.1396 0.0048 0.0017 -0.4576 0.2855 0.5079
3316 111.42 -6.97 -4.0650 0.0048 0.0014 -0.4707 0.2814 0.5109
3317 111.34 -6.70 -4.0895 0.0048 0.0015 -0.4691 0.2829 0.5101
3318 111.04 -6.75 -4.1350 0.0048 0.0017 -0.4614 0.2854 0.5083
3319 110.84 -6.81 -4.1635 0.0048 0.0018 -0.4567 0.2869 0.5071
3320 110.67 -6.59 -4.1997 0.0048 0.0019 -0.4535 0.2890 0.5058
3321 110.65 -6.89 -4.1891 0.0048 0.0019 -0.4522 0.2883 0.5061
3322 110.41 -7.14 -4.2143 0.0048 0.0020 -0.4464 0.2896 0.5050
3323 110.18 -7.32 -4.2418 0.0048 0.0021 -0.4410 0.2910 0.5038
3324 110.20 -6.93 -4.2570 0.0048 0.0022 -0.4429 0.2920 0.5034
3325 109.76 -6.92 -4.3221 0.0049 0.0024 -0.4353 0.2956 0.5008
3326 109.58 -7.05 -4.3437 0.0049 0.0025 -0.4317 0.2968 0.4999
3327 109.38 -6.89 -4.3808 0.0049 0.0027 -0.4295 0.2989 0.4986
3328 109.15 -6.98 -4.4103 0.0049 0.0028 -0.4258 0.3005 0.4974
3329 109.04 -6.87 -4.4310 0.0049 0.0029 -0.4251 0.3017 0.4966
3371 110.23 -7.50 -4.2268 0.0048 0.0020 -0.4413 0.2901 0.5043
3372 110.81 -7.56 -4.1333 0.0048 0.0017 -0.4540 0.2849 0.5080
3373 110.51 -7.33 -4.1914 0.0048 0.0019 -0.4477 0.2883 0.5058
3374 110.38 -7.01 -4.2249 0.0048 0.0020 -0.4461 0.2902 0.5046
3375 109.69 -6.89 -4.3348 0.0049 0.0025 -0.4342 0.2964 0.5003
3376 109.13 -6.87 -4.4174 0.0049 0.0028 -0.4263 0.3009 0.4972
3401 110.18 -7.85 -4.2184 0.0048 0.0020 -0.4390 0.2895 0.5045
3402 110.36 -7.89 -4.1886 0.0048 0.0019 -0.4427 0.2879 0.5056
3403 110.60 -7.96 -4.1479 0.0048 0.0017 -0.4479 0.2856 0.5072
3404 110.35 -7.70 -4.1991 0.0048 0.0019 -0.4431 0.2885 0.5053
3471 110.37 -7.80 -4.1909 0.0048 0.0019 -0.4433 0.2880 0.5056
3501 111.11 -8.20 -4.0571 0.0048 0.0014 -0.4601 0.2804 0.5107
3502 111.47 -7.86 -4.0146 0.0048 0.0012 -0.4709 0.2782 0.5125
3503 111.71 -8.05 -3.9668 0.0048 0.0011 -0.4779 0.2755 0.5144
3504 111.91 -8.08 -3.9334 0.0047 0.0009 -0.4842 0.2736 0.5157
31 | R i n d a n g B . P .
3505 112.24 -8.09 -3.8794 0.0047 0.0007 -0.4951 0.2706 0.5178
3506 112.06 -7.79 -3.9233 0.0047 0.0009 -0.4891 0.2732 0.5162
3507 112.60 -8.14 -3.8177 0.0047 0.0005 -0.5081 0.2671 0.5201
3508 113.22 -8.13 -3.7135 0.0047 0.0001 -0.5327 0.2613 0.5240
3509 113.70 -8.17 -3.6313 0.0047 -0.0002 -0.5532 0.2567 0.5270
3510 114.37 -8.21 -3.5140 0.0047 -0.0006 -0.5848 0.2502 0.5309
3511 113.82 -7.92 -3.6225 0.0047 -0.0002 -0.5582 0.2564 0.5273
3512 114.01 -7.71 -3.6011 0.0047 -0.0003 -0.5660 0.2553 0.5280
3513 113.38 -7.77 -3.7056 0.0047 0.0001 -0.5383 0.2611 0.5243
3514 112.77 -7.61 -3.8144 0.0047 0.0005 -0.5142 0.2672 0.5204
3515 112.72 -7.46 -3.8310 0.0047 0.0005 -0.5119 0.2682 0.5198
3516 112.53 -7.49 -3.8599 0.0047 0.0006 -0.5052 0.2698 0.5187
3517 112.23 -7.54 -3.9072 0.0047 0.0008 -0.4947 0.2724 0.5169
3518 111.90 -7.61 -3.9585 0.0047 0.0010 -0.4839 0.2752 0.5148
3519 111.60 -7.59 -4.0065 0.0048 0.0012 -0.4750 0.2779 0.5130
3520 111.32 -7.65 -4.0489 0.0048 0.0014 -0.4669 0.2802 0.5113
3521 111.44 -7.40 -4.0417 0.0048 0.0013 -0.4705 0.2799 0.5117
3522 111.88 -7.15 -3.9821 0.0048 0.0011 -0.4838 0.2767 0.5141
3523 112.06 -6.90 -3.9662 0.0047 0.0010 -0.4893 0.2760 0.5148
3524 112.41 -7.12 -3.8977 0.0047 0.0008 -0.5009 0.2721 0.5174
3525 112.65 -7.16 -3.8563 0.0047 0.0006 -0.5093 0.2697 0.5189
3526 112.74 -7.04 -3.8481 0.0047 0.0006 -0.5123 0.2693 0.5192
3527 113.25 -7.19 -3.7554 0.0047 0.0002 -0.5320 0.2641 0.5226
3528 113.48 -7.16 -3.7178 0.0047 0.0001 -0.5415 0.2620 0.5240
3529 113.86 -7.01 -3.6613 0.0047 -0.0001 -0.5573 0.2590 0.5260
3571 112.02 -7.82 -3.9283 0.0047 0.0009 -0.4877 0.2734 0.5159
3572 112.16 -8.10 -3.8909 0.0047 0.0008 -0.4926 0.2712 0.5173
3573 112.63 -7.97 -3.8208 0.0047 0.0005 -0.5090 0.2674 0.5200
3574 113.21 -7.75 -3.7338 0.0047 0.0002 -0.5316 0.2626 0.5233
3575 112.90 -7.66 -3.7914 0.0047 0.0004 -0.5189 0.2659 0.5212
3576 112.43 -7.47 -3.8772 0.0047 0.0007 -0.5017 0.2708 0.5180
3577 111.53 -7.63 -4.0170 0.0048 0.0012 -0.4727 0.2784 0.5125
3578 112.71 -7.28 -3.8419 0.0047 0.0005 -0.5113 0.2689 0.5194
3579 112.52 -7.84 -3.8451 0.0047 0.0006 -0.5050 0.2688 0.5192
3601 106.11 -6.32 -4.8397 0.0052 0.0045 -0.4110 0.3239 0.4820
3602 106.27 -6.36 -4.8190 0.0052 0.0045 -0.4108 0.3228 0.4827
3603 106.48 -6.23 -4.7969 0.0052 0.0044 -0.4130 0.3217 0.4835
3604 106.27 -6.06 -4.8276 0.0052 0.0045 -0.4143 0.3233 0.4825
3671 106.62 -6.18 -4.7812 0.0051 0.0043 -0.4139 0.3208 0.4840
3672 106.03 -6.02 -4.8587 0.0052 0.0047 -0.4145 0.3250 0.4814
3673 106.14 -6.13 -4.8420 0.0052 0.0046 -0.4133 0.3241 0.4819
3674 106.72 -6.31 -4.7651 0.0051 0.0042 -0.4128 0.3199 0.4846
32 | R i n d a n g B . P .
VIII. Kesimpulan
Beberapa kesimpulan yang dapat diambil berdasarkan analisis spasial terhadap
aglomerasi industri manufaktur di Pulau Jawa yaitu sebagai berikut:
1. Pemilihan pembobot hendaknya juga memperhatikan bentuk peta dan kasus
(variabel respon) yang akan diteliti. Penggunaan matrik pembobot yang berbeda
akan menghasilkan nilai Moran’s I yang berbeda. Pembobot rook dengan jumlah
total pembobot lebih kecil dari pada queen akan memberikan nilai Moran’s I yang
lebih besar dibandingkan dengan queen.
2. Analisis spasial aglomerasi industri manufaktur di Pulau Jawa dilakukan dengan
pendekatan model SAR dan GWR karena terdapat efek dependensi spasial dan
heterogenitas spasial.
3. Berdasarkan nilai R2 dan AIC dapat disimpulkan bahwa model GWR memberikan
hasil yang lebih baik dari pada model regresi linier dan model SAR.
4. Valiabel prediktor yang mempengaruhi aglomerasi industri manufaktur di Pulau
Jawa untuk semua model yaitu skala ekonomi (X1) dan skala pasar (X4).
Keduanya memiliki pengaruh yang positif.
33 | R i n d a n g B . P .
DAFTAR PUSTAKA
Anselin, L. 1988. “Spatial Econometrics:Methods and Models”, Kluwer Academic
Publishers, Dordrecht.
Arbia G., Dominicis L.D., Groot H.L.F. 2007. Spatial Distribution of Economic Activities
in Local Labour Market Areas: The Case of Italy. Department of Spatial Economics,
University of Amsterdam, The Netherlands.
Cressie, N. 1993. Statistics for Spatial Data Revised Edition. Iowa State University, New
York.
Delavita, E. A., Susanto, I., dan Widyaningsih, P. (2012). Analisis Faktor-Faktor Yang
Mempengaruhi Kemiskinan Di Jawa Tengah Melalui Model Regresi Spasial.
Proceeding Konferensi Nasional Matematika XVI. Universitas Padjadjaran Bandung
3 – 6 Juli 2012
Fotheringham, A.S. Brunsdon, C. dan Charlton, M. (2002), Geographically Weighted
Regression. John Wiley and Sons, Chichester, UK
Grasa, A. 1989. Econometric Model Selection: A New Approach, Advanced Studies in
Theoretical and Applied Econometrics, Volume 16, Kluwer Academic Publishers,
Dordrecht/Boston/London.
Krugman, P. 2008. Trade and Geography – Economies of Scale, Differentiated Products
and Transport Costs. The Royal Swedish Academy of Sciences. Stockholm Sweden.
Kuncoro, M. 2002. Analisis Spasial dan Regional: Studi Aglomerasi dan Kluster Industri.
UPP AMP YKPN. Yogyakarta.
LeSage, J dan Pace, R. K. 2001. Intorduction to Spatial Econometrics. New York: CRC
Press.
Lee J.and Wong D.W.S. 2001. Statistic for Spatial Data, John Wiley & Sons, Inc, New
York
Liu, Z. 2008. Geographical Concentration of Manufacturing Industries in China-
Measurements and Determinants. University of Connecticut.
Prasetyo, Rindang B. 2010. Dampak Pembangunan Infrastruktur dan Aglomerasi Industri
Terhadap Pertumbuhan Ekonomi Regional di Indonesia. Tesis pada Sekolah
Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Bogor.