diskresi oleh administrator publik
DESCRIPTION
ADm negaraTRANSCRIPT
Diskresi Oleh Administrator Publik
Administrator publik menjadi serius untuk dibicarakan ketika apa yang dilakukannya
itu banyak menyentuh ruang politik. Sebenarnya apa hubungan antara administrator publik
dengan politik itu sendiri. Apakah ada perbedaan dan pertentangan antara wilayah
administrasi publik dan politik? Apakah peran dari masing-masing ruang ini? Apakah ada
perbedaan pandangan antara teori dan tataran praktik administrasi publik itu? Inilah
pertanyaan besar yang menjadi tantangan bagi para adminisrator untuk mendefinisikannya
secara tepat.
Dalam perkembangan ilmu adminsitrasi publik, begitu banyak dinamika yang timbul,
mulai dari peran dari administrasi publik yang terpisah sama sekali dengan dunia politik.
Pemahaman selanjutnya yang kemudian muncul bahwa adminsitrasi itu adalah bagian dari
politik. Paradigma yang muncul adalah “when politic ends administration begins”.
Pemahaman-pemahaman inilah yang kemudian memunculkan banyak pendapat baik dari
kalangan ilmuwan ataupun praktisi untuk menggali kembali esensi dari ilmu administrasi
publik.
Proses Pemahaman
Baik para ilmuwan ataupun praktisi administrasi publik telah memahami bahwa
dinamika yang terjadi pada masyarakat itu sedemikian cepatnya bergerak melebihi dari
kebijakan-kebijakan yang telah dibuat. Jika menganggap bahwa administrasi publik itu
berbeda sama sekali dengan politik, membuat pemahaman ini menjadi rancu, karena didalam
pengambilan kebijakan publik, unsur politik tentu saja mendominasi. Terkait dengan
pemahaman selanjutnya bahwa administrasi itu muncul setelah adanya proses politik, dapat
juga dinyatakan tidak tepat, karena dalam kenyataanya seorang administrator publik tidak
hanya menjalankan kebijakan saja. Ia juga bisa bertindak secara langsung terhadap suatu
kebijakan.
Administrator publik seringkali menjadi cenderung untuk salah melangkah karena
kekakuannya untuk hanya mengikuti dari peraturan yang ada. Gejolak untuk mengembangkan
konsep baru ilmu administrasi publik menjadi suatu kebutuhan. Terdapat kritik yang tajam
yang dialamatkan terutama terhadap pandangan ilmiah para sarjana administrasi publik yang
dianggap kurang mampu mengakomodasikan pandangan-pandangan dan isu-isu baru yang
berkembang dalam masyarakat. Kecenderungan untuk mengembangan konsepsi baru yang
diharapkan mampu menjawab isu-isu yang bermunculan dipanggung politik dan kehidupan
sosial mulai berpengaruh sangat kuat. Kehendak untuk memperbaiki dan menyempurnakan
konsepsi lama dengan mengembangkan konsep baru dari Ilmu Administrasi Publik terus
berlangsung sejalan dengan perkembangan perubahan paradigma yang sekarang menjadi
current issues dalam ilmu administrasi publik. (Thoha, 2003).
Dalam perjalanan akhirnya saat ini, ilmu adminstrasi publik terjadi pergeseran titik
tekan dari Administration of Public dimana Negara sebagai agen tunggal implementasi fungsi
Negara / Pemerintahan; Administration for public yang menekankan fungsi Negara /
Pemerintahan yang bertugas dalam Public Service; ke Administration by Public yang
berorientasi bahwa public demand are differentiated, dalam arti fungsi Negara / Pemerintah
hanyalah sebagai fasilitator, katalisator yang bertitik tekan pada putting the customers in the
driver seat. Dalam hal ini sesungguhnya telah terjadi perubahan makna Public sebagai
Negara, menjadi Public sebagai Masyarakat. (Utomo, 2005).
Kepentingan Publik
Perubahan dan tuntutan masyarakat yang sedemikian besar mengakibatkan seorang
administrator publik harus segera mengubah paradigma berfikirnya. Peraturan yang dibuat itu
seberapa pun cepatnya tidak akan mampu menjawab tantangan dan perubahan yang terjadi
pada masyarakat. Karena perubahan yang terjadi pada masyarakat itu begitu cepat, dan tidak
semua perubahan yang terjadi itu termuat dalam aturan. Dalam menghadapi perubahan tidak
mungkin seorang administrator “do nothing”. Persoalan haruslah dapat diselesaikan dengan
segera, menunggu sampai dibuatnya aturan muncul sama saja menghambat terjadinya
perubahan pada masyarakat dan lebih parahnya lagi masyarakat akan membuat aturan sendiri.
Akhirnya birokrasi harus memainkan peran ganda, bahkan jamak, tidak hanya sebagai
eksekutor atau implementor kebijakan melainkan juga sebagai formulator dan sekaligus
evaluator kebijakan. (Wibawa, 2005).
Untuk menjalankan fungsi sebagai administrator publik yang tidak hanya sebagai
implementor tetapi juga sebagai formulator kebijakan, administrator harus mengetahui peran
dan fungsinya secara tepat. Pertanggungjawaban seorang administrator adalah untuk
kepentingan publik, maka pelayanan publik yang dilakukan haruslah akuntabel, responsif dan
efisien. Pengertian akuntabel disini berarti bahwa suatu pelayanan publik itu benar dan sesuai
dengan nilai-nilai serta norma-norma yang berkembang pada masyarakat. Artinya, suatu
pelayanan itu dilihat dari puas atau tidaknya masyarakat yang dilayani dan kesesuaian dengan
apa yang mereka inginkan.
Untuk menjawab tantangan yang ada, dan untuk menciptakan pelayanan yang
responsif, akuntabel serta efisien, maka administrator publik dituntut untuk melakukan hal
yang terbaik bagi publik. Kepatuhan seorang administrator terhadap aturan-aturan yang dibuat
oleh pemerintah adalah wujud ketaatan yang benar, namun juga wajib dipahami bahwa
aturan-aturan itu juga merupakan buatan manusia. Sebagai manusia biasa yang yang memiliki
keterbatasan rasionalitas (bounded rationality), para perumus kebijakan dan aturan-aturan
yang dibuat tentu saja tidak mampu memahami semua pokok kepentingan yang diharapkan
masyarakat. Oleh karena itu perilaku administrator publik dalam memberikan pelayanan tidak
hanya berdasar pada rule driven. Perlakuan seperti ini akan membuat pelayanan menjadi kaku
dan semakin lamban, yang pada akhirnya menjadikan pelayanan itu tidak memuaskan
masyarakat.
Diskresi sebagai solusi
Agar pelayanan menjadi sesuai dengan apa yang diharapkan masyarakat, untuk itu
perlu dilakukan kebijakan operasional yang dapat dipandang sebagi suatu diskresi, yakni
upaya untuk menyesuaikan kebijaksanaan dengan situasi yang telah berkembang (Wibawa,
2005). Diskresi secara konseptual merupakan suatu langkah yang ditempuh adminitrator
untuk menyelesaikan suatu kasus yang tidak atau belum diatur dalam suatu regulasi yang
baku. Dalam konteks tersebut, diskresi dapat berarti suatu bentuk kelonggaran pelayanan yang
diberikan oleh administrator kepada pengguna jasa. Dalam implementasinya, tindakan
diskresi diperlukan sebagai kewenangan untuk menginterpretasikan kebijakan yang ada atas
suatu kasus yang belum atau tidak diatur dalam satu ketentuan yang baku (Dwiyanto, 2006).
Diskresi seolah menjadi hal yang terabaikan didalam memberikan pelayanan, padahal
dalam periode masyarakat yang terus berkembang dan semakin dinamis ini, diskresi sudah
menjadi suatu keharusan. Sekalipun disatu pihak hal ini menunjukkan kreativitas dan daya
tanggap birokrasi terhadap lingkungannya, di lain pihak diskresi sangat rentan bagi
berlangsungnya penyimpangan (Wibawa, 2005). Namun prisipnya adalah sepanjang tindakan
yang diambil tetap pada koridor visi dan misi organisasi serta tetap dalam kerangka
pencapaian tujuan organisasi, maka pelanggaran atau tindakan penyimpangan prosedur ini
tidak perlu terlalu dipermasalahkan. (Dwiyanto, 2006).
Saat ini dapat dicermati bahwa diskresi pelayanan yang diberikan oleh instansi
pemerintah demikian rendah. Adapun berdasarkan identifikasi yang dilakukan terdapat
beberapa faktor penyebab terjadinya hal demikian, yaitu :
1. Gaya manajemen yang terlalu berorientasi kepada tugas (task-oriented) menyebabkan
pegawai menjadi tidak termotivasi untuk menciptakan hasil yang nyata dan kualitas
pelayanan yang prima. Formalitas dalam rincian tugas organisasi menuntut
keseragaman yang tinggi. Akibatnya para pegawai menjadi takut berbuat salah dan
cenderung menyelesaikan pekerjaan-pekerjaannya sesuai dengan petunjuk
pelaksanaan (juklak) dan petunjuk teknis (juknis), walaupun keadaan yang ditemui
dalam kenyataan sangat jauh berbeda dengan peraturan-peraturan teknis tersebut
(Kumorotomo, 2005). Adanya ketakutan administrator publik untuk mengambil
tindakan yang berbeda dari yang telah digariskan oleh aturan yang ada menjadi alasan
yang kuat kenapa diskresi tidak dilakukan. Tidak seperti di negara lain yang lebih
maju sistem administrasi publiknya. Negara Indonesia masih belum mengenal konsep
sunset rule dan reinvention laboratory. Sehingga walaupun peraturan yang sudah ada
itu sudah usang dan tidak sesuai lagi dengan dinamika perkembangan zaman,
bagaimanapun peraturan itu harus tetap diikuti. Akibatnya ruang kreasi dan inovasi
dari administrator publik menjadi hilang, suatu kesalahan yang besar jika tidak
mengikuti aturan yang telah ada, atau malahan dapat dikenai hukuman penjara.
2. Budaya patron-klien yang masih melingkupi pelaksanaan tugas dari administrator
publik. Budaya biriokrasi di Indonesia banyak mengadopsi budaya jawa yang
hierarkis, tertutup, sentralistis, dan mempunyai nilai untuk menempatkan pimpinan
sebagai pihak yang harus dihormati. Dalam konteks demokrasi pelayanan publik di
Indonesia, hubungan tersebut diterjemahkan oleh bawahan sebagai mendahulukan
kepentingan pimpinan diatas segalanya. (Kusumasari, 2005). Sesuai dengan akar
budaya lama, raja adalah segalanya dan masyarakat adalah abdi. Dalam konteks
budaya paternalistik adalah berupa atasan yang memiliki kekuasaan yang besar dan
sanggup memberikan apapun bagi bawahannya, sehingga bawahan akan memberikan
apapun loyalitas dan pengabdian yang penuh bagi atasannya. Sehingga loyalitas yang
seharusnya diberikan kepada masyarkat menjadi milik atasan. Ini sangat berpengaruh
baik terhadap atasan maupun bawahan dalam memberikan pelayanan kepada publik.
Atasan akhirnya tidak memahami apa realitas sebenarnya yang terjadi pada
masyarakat, pelayanan seperti apa yang mereka inginkan. Karena informasi yang
masuk kepadanya hanya berupa informasi yang baik-baik saja dari bawahan agar
atasan menjadi senang. Sedangkan bagi bawahan, menjadikan atasan sebagai patron
akan membuatnya tidak berani mengambil tindakan, rasa pakewuh, takut melangkahi
dan akhirnya tidak melakukan tindakan apapun. Dalam pelayanan publik sikap
menganggap atasan sebagai segalanya menjadikan pelayanan menjadi tidak efisien.
Tidak hanya menghabiskan energi waktu saja, dari segi biaya semakin besar rupiah
yang harus dikeluarkan masyarakat.
3. Reward yang tidak jelas dari administrator publik ketika ia mampu melaksanakan
pekerjaannya dengan baik. Reward disini dapat berupa penghargaan ataupun bentuk
penghormatan, namun dapat juga diartikan sebagai mendapatkan insentif. Tidak
adanya sistem insentif yang secara efektif mampu mendorong para pejabat birokrasi
untuk bekerja secara efisien dan profesional ikut memberikan kontribusi terhadap
kegagalan birokrasi dalam membangun kinerja yang baik. (Kusumasari, 2005). Dalam
diskresi beban berat yang pasti muncul terlebih dahulu adalah tidak sesuai dengan
aturan. Apapun bentuknya yang dilakukan oleh administrator publik ketika kebijakan
yang dia buat itu menghasilkan kebijakan yang akuntabel dan efisien terhadap
pengguna jasanya, namun hal tersebut tidak sesuai dengan aturan yang telah ada, yang
dia lakukan adalah salah. Inilah pemahaman yang selalu muncul dalam benak para
administrator ketika ia ingin melakukan diskresi, jangankan mendapatkan
penghargaan atas hasil kerjanya. Yang paling minimal ia akan mendapat sikap yang
tidak enak dari teman sejawat ataupun dimarahi oleh atasan. Yang lebih parah lagi
ketika diskresi yang dilakukan oleh seorang administrator publik itu membawanya ke
pintu penjara. Hal yang sangat naif, ketika seorang memang berbuat untuk publik yang
sebenarnya bukan malahan mendapat reward. Sedangkan adminsitrator yang dalam
tugasnya banyak “melindungi atasan” dan memperjuangkan kepentingan tertentu saja
tidak mendapatkan punishment dari negara ini.
4. Rendahnya kualitas pendidikan dari para administrator publik sangat berpengaruh
terhadap pelayanan yang ia berikan. Diskresi itu penting untuk dilakukan jika
administrator memahami apa yang ia lakukan. Untuk itu wacana keilmuan dari
administrator baik melalui pendidikan formal ataupun informal juga merupakan suatu
keharusan. Kebijakan peningkatan kualitas sumber daya manusia (SDM) aparat
birokrasi melalui dukungan pada studi lanjut aparat ke jenjang pendidikan yang lebih
tinggi, seperti S1 dan S2, perlu mendapatkan prioritas sebagai bagian dari komitmen
pengembangan pegawai. Selain itu, dengan mengikutsertakan pegawai pada program-
program pelatihan mengenai dasar-dasar manajemen organisasi terbuka,
kepemimpinan dan penerapan model organisasi adaptif diharapkan dapat
meningkatkan penguasaan mereka akan konsep-konsep pelayanan publik yang baik.
(Dwiyanto, 2001).
Islam dan Fleksibilitasnya
Islam itu selalu mengajarkan umatnya untuk selalu berfikir, orang yang berilmu
memiliki derajat yang tinggi, ayat pertama yang turun pun mengajarkan kita untuk membaca.
Bagaimana relevansi antara ruang praktik administrator publik dengan Islam. Dalam Al
Qur’an disebutkan bahwa :
Wahai orang-orang beriman! Taatilah Allah dan taatilah Rasul (Muhammad), dan
Ulil Amri (pemegang kekuasaan) diantara kamu………..(An-Nisa : 59)
Ayat diatas mengajarkan kepada kita untuk wajib taat kepada Allah dan Rasul-Nya.
Demikian juga kepada pemimpin, pemegang kekuasaan, undang-undang ataupun peraturan.
Namun ketaatan seperti apa yang harus kita lakukan? Menurut para ulama tafsir, yang wajib
kita lakukan adalah jika pemimpin ataupun peraturan itu sesuai dengan Kitab Allah dan
Sunnah Rasul. Jika pemegang kekuasan atau peraturan yang dibuatnya tersebut tidak sesuai
dengan Kitab Allah dan Sunnah Rasul, maka kita boleh tidak mengikutinya. Inilah landasan
bagi administrator publik untuk melakukan diskresi.
Seringkali didalam pembuatan Peraturan-peraturan itu tidak sesuai dengan esensinya
yaitu untuk kepentingan publik, bisa juga karena keberpihakan terhadap pihak
kepentingannya ataupun hal ini bisa terjadi karena keterbatasan kemampuannya sebagai
manusia biasa. Untuk itu seorang administrator publik jika menyikapi hal yang seperti ini, ia
dapat melakukan diskresi. Salahkah apa yang dilakukannya? Pertama kita harus melihat
esensi dari dibuatnya suatu peraturan. Suatu peraturan pastilah dibuat untuk kepentingan
publik, maka jika suatu peraturan yang keberpihakannya tidak menyentuh ruang publik,
diskresi dapat dilakukan. Kedua seorang administrator harus mampu memahami secara bijak
dan tepat tugasnya sebagai pelayan bagi rakyat, maka yang harus didahulukan tentu saja
adalah kepentingan rakyat. Ketiga, tendensi kepentingan harus bersih. Tidak jarang seorang
administrator mengambil kebijakan atasa nama publik, namun dalam kenyataannya hanya
segolongan pihak tertentu yang diinginkan. Oleh karena itu seorang administrator publik
benar-benar memfokuskan kerjanya untuk kepentingan publik.
Bagaimana jika diskresi yang dilakukan oleh seorang administrator publik itu
dinyatakan sebagai “malpraktek”, dianggap tidak mengikuti peraturan, menyalahi undang-
undang, padahal tindakan yang dilakukannya itu sudah benar. Seorang administrator publik
juga harus menyadari bahwa setelah didunia ini akan ada kehidupan selanjutnya yang lebih
kekal. Pertanggungjawaban kerja bukan hanya terhadap atasan dan peraturan saja, ada
pertanggungjawan yang lebih besar dari itu semua. Pertanggungjawaban seorang hamba
kepada Khalik-nya. Oleh karena itu sebagai insan yang harus dilakukannya itu bekerja saja.
Kita menyebutnya sebagai proses, sedangkan hasilnya bukan kita yang menilai. Inilah yang
kemudian dapat kita ambil dalam ayat-Nya :
Dan katakanlah, “Bekerjalah kamu, maka Allah akan melihat pekerjaanmu, begitu
juga Rasul-Nya dan orang-orang mukmin, dan kamu kamu akan dikembalikan kepada
(Allah) Yang Mengetahui yang gaib dan yang nyata, lalu diberitakan-Nya kepada
kamu apa yang telah kamu kerjakan”. (At-Taubah :105)
Begitu besarnya pertanggungjawaban seorang administrator publik, hingga dia tidak
hanya bertanggungjawab di dunia ini saja, perhitungan di akhirat menjadi alasan penting
untuknya dalam bertindak. Sehingga administrator publik selain ia mempunyai kemampuan
akademik yang baik, memiliki daya kreasi dan inovasi, yang terpenting ia memiliki keimanan.
Administrator publik terus berproses sebaik-baiknya bagi kepentingan publik, tentu saja
penilaian dari sisi duniawi lebih banyak menonjolkan sisi subyektivitas. Tentu administrator
akan lebih memilih keputusan yang paling objektif terhadap segala tindakan dan kebijakan
yang telah dilakukanya. Keputusan di akhirat nanti menjadi pilihan.
- Wallahu ‘alam-
DAFTAR PUSTAKA
1. Al-Qur’an dan terjemahannya, 2004. PT. Syaamil Cipta Media.
2. Agus Purwanto, Erwan dan Wahyudi Kumorotomo, dkk. 2005. Birokrasi Publik dalam
Sistem Politik Semi-Parlementer. Yogyakarta: Penerbit Gava Media.
3. Dwiyanto, Agus, dkk. 2005. Mewujudkan Good Governance Melalui Pelayanan Publik.
Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
4. Dwiyanto, Agus, dkk. 2006. Reformasi Birokrasi Publik di Indonesia. Yogyakarta: Gadjah
Mada University Press.
5. Dwiyanto, Agus dan Bevaola Kusumasari. 2001. Policy Brief : Diskresi Dalam Pemberian
Pelayanan Publik. Yogyakarta: Center for Population and Policy Studies, UGM.
6. Thoha, Miftah. 2005. Birokrasi dan Politik di Indonesia. Jakarta: PT. Raja Grafindo
Persada.
7. Utomo, Warsito. 2006. Administrasi Publik Baru Indonesia, Perubahan Paradigma dari
Administrasi Negara ke Administrasi Publik. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
8. Wibawa, Samodra. 2004. Reformasi Administrasi, Bunga Rampai Pemikiran Adminstrasi
Negara/Publik. Yogyakarta: Penerbit Gava Media.