birokrasi dan kemiskinan

12
Birokrasi dan Kemiskinan Teori Birokrasi (teori klasik organisasi 1) Birokrasi berhubungan dengan organisasi masyarakat yang disusun secara ideal. Birokrasi dicapai melalui formalisasi aturan, struktur, dan proses di dalam organisasi. Para teoritikus klasik seperti Fayol (1949), Taylor (1911), dan Weber (1948), selama bertahun-tahun telah mendukung model birokrasi guna meningkatkan efektivitas administrasi organisasi. Max Weber adalah sosok yang dikenal sebagai bapak birokrasi. Menurut Weber (1948), organisasi birokrasi yang ideal menyertakan delapan karakteristik struktural. Pertama, aturan-aturan yang disahkan, regulasi, dan prosedur yang distandarkan dan arah tindakan anggota organisasi dalam pencapaian tugas organisasi. Weber menggambarkan pengembangan rangkaian kaidah dan panduan spesifik untuk merencanakan tugas dan aktivitas organisasi. Kedua, spesialisasi peran anggota organisasi memberikan peluang kepada divisi pekerja untuk menyederhanakan aktivitas pekerja dalam menyelesaikan tugas yang rumit. Dengan memecah tugas- tugas yang rumit ke dalam aktivitas khusus tersebut, maka produktivitas pekerja dapat ditingkatkan. Ketiga, hirarki otoritas organisasi formal dan legitimasi peran kekuasaan anggota organisasi didasarkan pada keahlian pemegang jabatan secara individu, membantu mengarahkan hubungan intra personal di antara anggota organisasi guna menyelesaikan tugas-tugas organisasi. Keempat, pekerjaan personil berkualitas didasarkan pada kemampuan tehnik yang mereka miliki dan kemampuan untuk melaksanakan tugas yang dibebankan kepada mereka. Para manajer harus mengevaluasi persyaratan pelamar kerja secara logis, dan individu yang berkualitas dapat diberikan kesempatan untuk melakukan tugasnya demi perusahaan. Kelima, mampu tukar personil dalam peran organisasi yang bertanggung jawab memungkinkan aktivitas organisasi dapat diselesaikan oleh individu yang berbeda. Mampu tukar ini menekankan pentingnya tugas organisasi yang relatif untuk dibandingkan dengan anggota organisasi tertentu yang melaksanakan tugasnya-tugasnya. Keenam, impersonality dan profesionalisme dalam hubungan intra personil di antara anggota organisasi mengarahkan individu ke dalam kinerja tugas organisasi. Menurut prinsipnya, anggota organisasi 1

Upload: hans-jonni

Post on 18-Jun-2015

500 views

Category:

Documents


1 download

TRANSCRIPT

Page 1: Birokrasi Dan Kemiskinan

Birokrasi dan Kemiskinan

Teori Birokrasi (teori klasik organisasi 1)

Birokrasi berhubungan dengan organisasi masyarakat yang disusun secara ideal. Birokrasi dicapai melalui formalisasi aturan, struktur, dan proses di dalam organisasi. Para teoritikus klasik seperti Fayol (1949), Taylor (1911), dan Weber (1948), selama bertahun-tahun telah mendukung model birokrasi guna meningkatkan efektivitas administrasi organisasi. Max Weber adalah sosok yang dikenal sebagai bapak birokrasi. Menurut Weber (1948), organisasi birokrasi yang ideal menyertakan delapan karakteristik struktural.

Pertama, aturan-aturan yang disahkan, regulasi, dan prosedur yang distandarkan dan arah tindakan anggota organisasi dalam pencapaian tugas organisasi. Weber menggambarkan pengembangan rangkaian kaidah dan panduan spesifik untuk merencanakan tugas dan aktivitas organisasi.

Kedua, spesialisasi peran anggota organisasi memberikan peluang kepada divisi pekerja untuk menyederhanakan aktivitas pekerja dalam menyelesaikan tugas yang rumit. Dengan memecah tugas-tugas yang rumit ke dalam aktivitas khusus tersebut, maka produktivitas pekerja dapat ditingkatkan.

Ketiga, hirarki otoritas organisasi formal dan legitimasi peran kekuasaan anggota organisasi didasarkan pada keahlian pemegang jabatan secara individu, membantu mengarahkan hubungan intra personal di antara anggota organisasi guna menyelesaikan tugas-tugas organisasi.

Keempat, pekerjaan personil berkualitas didasarkan pada kemampuan tehnik yang mereka miliki dan kemampuan untuk melaksanakan tugas yang dibebankan kepada mereka. Para manajer harus mengevaluasi persyaratan pelamar kerja secara logis, dan individu yang berkualitas dapat diberikan kesempatan untuk melakukan tugasnya demi perusahaan.

Kelima, mampu tukar personil dalam peran organisasi yang bertanggung jawab memungkinkan aktivitas organisasi dapat diselesaikan oleh individu yang berbeda.  Mampu tukar ini menekankan pentingnya tugas organisasi yang relatif untuk dibandingkan dengan anggota organisasi tertentu yang melaksanakan tugasnya-tugasnya.

Keenam, impersonality dan profesionalisme dalam hubungan intra personil di antara anggota organisasi mengarahkan individu ke dalam kinerja tugas organisasi. Menurut prinsipnya, anggota organisasi harus berkonsentrasi pada tujuan organisasi dan mengutamakan tujuan dan kebutuhan sendiri. Sekali lagi, ini menekankan prioritas yang tinggi dari tugas-tugas organisasi di dalam perbandingannya dengan prioritas yang rendah dari anggota organisasi individu.

Ketujuh, uraian tugas yang terperinci harus diberikan kepada semua anggota organisasi sebagai garis besar tugas formal dan tanggung jawab kerjanya. Pekerja harus mempunyai pemahaman yang jelas tentang keinginan perusahaan dari kinerja yang mereka lakukan.

Kedelapan, rasionalitas dan predictability dalam aktivitas organisasi dan pencapaian tujuan organisasi membantu meningkatkan stabilitas perusahaan. Menurut prinsip dasarnya, organisasi harus dijalankan dengan kaidah dan panduan pemangkasan yang logis dan bisa diprediksikan.

Konsep Max Weber

Berbicara soal birokrasi, kita pasti teringat konsep yang digagas Max Weber, sosiolog ternama asal Jerman, yang dikenal melalui ideal type (tipe ideal) birokrasi modern. Model itulah yang sering diadopsi dalam berbagai rujukan birokrasi negara kita, walaupun dalam penerapan tidak sepenuhnya bisa dilakukan. Tipe ideal itu melekat dalam struktur organisasi rasional dengan prinsip “rasionalitas”,

1

Page 2: Birokrasi Dan Kemiskinan

yang bercirikan pembagian kerja, pelimpahan wewenang, impersonalitas, kualifikasi teknis, dan efisiensi. Pada dasarnya, tipe ideal birokrasi yang diusung oleh Weber bertujuan ingin menghasilkan efisiensi dalam pengaturan negara. Tapi, kenyataan dalam praktik konsep Weber sudah tidak lagi sepenuhnya tepat disesuaikan dengan keadaan saat ini, apalagi dalam konteks Indonesia. Perlu ada pembaharuan makna dan kandungan birokrasi. Secara filosofis dalam paradigma Weberian, birokrasi merupakan organisasi yang rasional dengan mengedepankan mekanisme sosial yang “memaksimumkan efisiensi”. Pengertian efisiensi digunakan secara netral untuk mengacu pada aspek-aspek administrasi dan organisasi. Dalam pandangan ini, birokrasi dimaknai sebagai institusi formal yang memerankan fungsi pengaturan, pelayanan, pembangunan, dan pemberdayaan masyarakat. Jadi, birokrasi dalam pengertian Weberian adalah fungsi dari biro untuk menjawab secara rasional terhadap serangkaian tujuan yang ditetapkan pemerintahan.

Kalau boleh dibilang, birokrasi Weber berparadigma netral dan bebas nilai. Tidak ada unsur subyektivitas yang masuk dalam pelaksanaan birokrasi karena sifatnya impersonalitas: melepaskan baju individu dengan ragam kepentingan yang ada di dalamnya. Berbeda dengan konsep birokrasi yang digagas oleh Hegel dan Karl Marx. Keduanya mengartikan birokrasi sebagai instrumen untuk melakukan pembebasan dan transformasi sosial. Hanya saja Marx pesimis dengan birokrasi karena instrumen negara ini hanya dijadikan alat untuk meneguhkan kekuatan kapitalisme dan akhirnya jauh dari harapan dan keinginan masyarakat. Sebagai sebuah konsep pemerintahan yang paling penting, birokrasi sering dikritik karena ternyata dalam praktiknya banyak menimbulkan problem “inefisiensi”. Menjadi sebuah paradoks, seharusnya dengan adanya birokrasi segala urusan menjadi beres dan efisien tapi ternyata setelah diterapkan menjadi “batu penghalang” yang tidak lagi menjadi efisien. Ada yang mengkritik bahwa birokrasi hanya menjadi ajang politisasi yang dilakukan oleh oknum partai yang ingin meraih kekuasaan dan jabatan politis. Term “efisiensi” layak “digugat”.

Birokrasi yang efektif

Dalam kondisi masyarakat yang kompleks karena perkembangan nilai budaya yang terus berubah sebagai dampak dari akselerasi rekayasa teknologi komunikasi dan informasi menuntut institusi-institusi publik khususnya institusi pemerintahan harus beradaptasi dengan situasi seperti ini. Semakin kompleks sebuah masyarakat maka semakin tinggi tingkat kebutuhan masyarakat tersebut. Tingkat kebutuhan masyarakat yang kompleks seperti sekarang menuntut tingkat pelayanan publik pada institusi pemerintahan dalam hal ini birokrasi yang lebih aksesable.

Model birokrasi tradisional dan kolonial yang paternalistik pada masa sekarang akan mengalami resistensi di masyarakat. Karena adanya tuntutan kualitas kehidupan politik yang menghendaki adanya desentralisasi dan partisipasi arus bawah yang lebih luas.

Birokrasi merupakan alat pemerintah yang bekerja untuk melayani kepentingan masyarakat tanpa kecuali. Maka tugas utama birokrasi adalah merealisasikan setiap kebijakan pemerintah dalam pencapaian kepentingan masyarakat bukan kepentingan penguasa atau kelompok tertentu. Namun secara realita yang kita lihat belum terealisasi secara maksimal. Bahkan seringkali birokrasi dijadikan sebuah kekuatan politik tertentu yang memposisikan diri sebagai tuan atau bos yang berwenang mengatur, mengendalikan dan mengontrol rakyat.

Jadi tidaklah heran jika dari hasil survey Political and Economic Risk Consultancy (PERC) telah memberi gelar Indonesia sebagai negara yang red tape atau negara yang memiliki birokrasi yang paling buruk setelah India di negara Asia. Demikian halnya dengan hasil survey World Economic Forum (WEF) yang menilai Indonesia sebagai negara yang memiliki daya saing rendah. Dimana pada tahun 2004 pada posisi 69 dan pada tahun 2005 di posisi 74. Dibandingkan Malaysia yang memiliki perbaikan posisi dari urutan 31 pada tahun 2004 menjadi urutan 24 di tahun 2005. Terdapat tiga indikator dalam menilai tingkat daya saing yaitu indeks teknologi, indeks institusi publik, dan indeks

2

Page 3: Birokrasi Dan Kemiskinan

lingkungan makro ekonomi. Yang membuat urutan Indonesia menurun pada tahun 2005 adalah karena rendahnya nilai indeks institusi publik.

Sistem birokrasi sebaiknya dapat mengimbangi perkembangan tuntutan perbaikan kualitas pelayanan kebutuhan publik yang menjadi tanggungjawabnya. Hal mendasar yang harus dibenahi untuk mengimbangi perkembangan masyarakat adalah penekanan aparat birokrasi untuk dapat mengatasi sistem birokrasi yang rigid atau kaku.

Untuk itu maka dibutuhkan birokrasi yang efektif. Oleh Peter F Drucker sang “empu manajemen” menyatakan bahwa penekanan efektif pada organisasi dalam kerja intelektual dengan muatan pengetahuan seperti birokrasi yang diperlukan adalah efektivitas. Sedangkan dalam organisasi dalam kerja yang manual maka yang diperlukan adalah efisien. (Nugroho,2003).

Untuk menyelamatkan bangsa ini dari kelaparan dan kemiskinan serta kebodohan maka para pemimpin atau kepalaa daerah harus mampu menerapkan birokrasi yang efektif. Efektivitas berkenaan dengan sejauh mana kegiatan adminsitrasi memberikan hasil yang optimal dengan usaha yang minimal. Birokrasi yang efektif adalah birokrasi yang berorientasi pada tujuan yaitu untuk melayani masyarakat.

Indikator Kemiskinan

Konsep kemiskinan memiliki interpretasi yang berbeda tergantung perspektif apa yang kita gunakan untuk melihatnya. Berbagai indikator yang ada kadangkala menimbulkan kesesatan berpikir dalam membuat sebuah kebijakan untuk merekayasa angka kemiskinan tersebut. Apa lagi jika terdapat kepentingan politik dalam kebijakan yang akan diambil maka angka kemiskinan di suatu daerah dapat di format sedemikian rupa.

Sebagai contoh jika kita melihat pada perspektif keberhasilan pembangunan di suatu daerah sebagai hasil kepemimpinan seorang kepala daerah. Maka angka kemiskinan di daerah tersebut akan mengalami penurunan yang sangat signifikan dari tahun ke tahun. Namun jika terdapat bantuan pemberdayaan masyarakat miskin dari funding luar negeri atau dari pemerintah pusat, maka angka-angka kemiskinan di suatu daerah akan mengalami kenaikan dari tahun ke tahun.

Salah satu ukuran kemiskinan yang biasa digunakan adalah yang menurut UNDP, diperkenalkan dalam laporannya Human Development Report 1997 dengan konsep Indeks Kemiskinan Manusia (Human Poverty Index-HPI). Indikator kemiskinan manusia diukur dalam satuan hilangnya tiga hal utama (three key deprivations), yaitu daya hidup (diukur dengan tingkat harapan hidup), pendidikan dasar (diukur dengan tingkat melek huruf dengan fokus pada kesempatan bersekolah bagi kaum perempuan), serta keseluruhan ketetapan ekonomi (diukur dengan tingkat akses masyarakat pada pelayanan kesehatan dan air bersih ditambah dengan angka anak-anak dibawah usia 5 tahun yang kekurangan berat badan normal). (Todaro,2000). Penulis menggunakan indikator kemiskinan HPI ini karena dapat menjadi standar bagi kita untuk melihat deksripsi tingkat pelayanan birokrasi pada hak dasar setiap warga negara yaitu sektor kesehatan dan pendidikan dasar.

Angka HPI Indonesia pada tahun 2005 berada pada rangking 41 diantara beberapa negara di Asia Tenggara. Sedangkan Thailand di rangking 28 dan Filipina rangking 35, serta posisi 16 bagi Malaysia (UNDP, 2005). Data ini menunjukkan bahwa upaya pemerintah dalam melakukan kegiatan birokrasinya untuk melayani masyarakat dalam sektor kesehatan dan pendidikan dasar belum memenuhi standar maksimal dibandingkan tiga negara tetangga kita.

Pada awal tahun 2006 kita kembali diuji oleh berbagai musibah bencana alam yang yang sejak dulu sudah seringkali terjadi. Bencana alam banjir dan longsor yang menjadi rutinitas setiap tahun seakan menjadi agenda tahunan seperti layaknya “ulang tahun”. Salah satu jenis bencana lain yang

3

Page 4: Birokrasi Dan Kemiskinan

sebenarnya terjadi di sekitar kita dan menjadi peristiwa yang sangat ironis dalam keberadaan kita sebagai sebuah bangsa adalah kemiskinan dan kelaparan ditengah berseliwerannya berbagai berbagai branded product yang harganya gila-gilaan.

Tentu kita tidak akan pernah lupa dengan kasus busung lapar yang awalnya hanya di NTB. Namun ternyata di sekitar kita –termasuk di Makassar- juga terdapat banyak kasus busung lapar yang terjadi di daerah-daerah slum area. Terakhir masih segar di ingatan kita kasus meninggalnya 50 orang di Kabupaten Yahukimo di Tanah Papua karena kekurangan pangan. Meskipun pemerintah -Menkokesra Aburizal Bakrie- membantahnya sebagai kasus wabah kelaparan, namun dianggap hanya sebagai gejala awal.

Menurut hemat penulis, bukan pada persoalan masih gejala atau sudah mewabah. Yang jelas terdapat warga negara di bangsa tercinta ini meninggal karena tidak bisa makan apapun. Sebagai sebuah negara yang baru saja meratifikasi Kovenan Internasional tentang hak-hak ekonomi, sosial, dan budaya dan komitmen pencapaian Millenium Development Goals sudah seharusnya persoalan ini segera diakhiri.

Di sisi lain terjadi hal yang sangat ironis yaitu korupsi restitusi pajak yang merugikan negara Rp. 150 milyar yang telah berlangsung selama 10 tahun (Kompas 12/1/06). Korupsi yang melibatkan para birokrat di kantor perpajakan dan bea cukai yang nota bene sebagai salah satu sumber utama keuangan negara dalam membiayai pembangunan nasional, merupakan bukti akutnya kebobrokan sistem birokrasi di negara ini.

Pentingnya Transformasi dan Reformasi Birokrasi di Lingkungan Sekretariat Negara

Reformasi Birokrasi tak henti-hentinya menjadi bahan pembicaraan dan menjadi topik utama dalam seminar-seminar yang diadakan oleh institusi pemerintahan. Salah satunya adalah Sekretariat Negara yang menjadi salah satu gerbang utama dalam pelayanan kepada Presiden dan Wakil Presiden dalam memberikan pelayanan teknis dan administrasi yang cepat, tepat akurat dan dapat dipertanggungjawabkan.

Oleh karena itu dibutuhkan strategi reformasi birokrasi untuk mencapai sasaran reformasi birokrasi. Menurut Asmawi, strategi reformasi birokrasi dimulai dari membangun kepercayaan masyarakat dengan pencegahan dan pemberantasan korupsi dan hal lain yang menjadi keinginan masyarakat adalah peningkatan kualitas pelayanan publik termasuk pelayanan investasi. Strategi kedua adalah pemberdayaan masyarakat melalui pengentasan kemiskinan, pengangguran dan peningkatan tanggung jawab sosial korporasi. Ketiga adalah peningkatan partisipasi masyarakat, penciptaan pembangunan yang berkelanjutan dan peningkatan profesionalisme aparatur pemerintahan.

Dari strategi yang disebutkan oleh Asmawi diatas, menurutnya diharapkan terbentuk birokrasi yang bersih, yang efisien dan efektif, transparan, birokrasi yang melayani dan birokrasi yang terdesentralisasi. Untuk lingkungan Sekretariat Negara dan Sekretariat Kabinet sendiri reformasi dan transformasi birokrasi merupakan suatu kebutuhan dan suatu kebijakan untuk memberikan pelayanan yang cepat, tepat akurat dan dapat dipertanggungjawabkan kepada Presiden dan Wapres dalam memberikan pelayanan teknis dan administrasi serta analisis oleh karena itu perlu didukung peningkatan insentif dalam remunerasi yang sewajarnya.

Seminar yang bertujuan memberikan penjelasan bersifat umum dan mendasar tentang transformasi dan reformasi dalam konteks manajemen organisasi ini juga menyinggung masalah peningkatan insentif dan remunerasi. Menurut Asmawi hal tersebut merupakan prinsip dari Reformasi Birokrasi selain peningkatan kinerja pegawai atau Sumber Daya Manusia (SDM) dan membuat Standard Operation Procedure (SOP) yang jelas dan menggunakan teknologi dan informasi.

4

Page 5: Birokrasi Dan Kemiskinan

Seminar yang dihadiri oleh para pejabat dan pegawai Sekretariat Negara dan Sekretariat Kabinet ini juga mengungkapkan bahwa  transformasi dan reformasi birokrasi bertujuan untuk meningkatkan profesionalisme aparatur guna mewujudkan tata pemerintahan yang baik, baik itu dipusat maupun di daerah. Sedangkan perbedaan daripada reformasi dan transformasi adalah  transformasi berusaha mengubah diri dalam bentuk kondisi karakter atau sifat melalui proses metamorfosa secara bertahap,   dari hal-hal  tidak baik menjadi lebih baik. Sementara reformasi adalah berubah dari yang belum baik menjadi baik. Dan yang sudah baik menjadi lebih baik lagi.

Transformasi menggunakan proses metamorfosa yang terencana dan terkelola dangan baik dengan tujuan membuat organisasi siap untuk menghadapi perubahan lingkungan stratejik. Untuk itu transformasi dan reformasi birokrasi bersifat  berkesinambungan dan berkelanjutan. Dalam paparannya Ahmad Ruky mengatakan lingkungan stratejik itu dapat berupa lingkungan ekonomi, lingkungan politik hukum dan keamanan, sosial budaya dan teknologi. Perubahan dalam lingkungan ekonomi diantaranya yang kini ramai dibicarakan adalah harga minyak dunia yang terus naik, adanya perubahan radikal dalam hubungan perburuhan, ketergantungan Indonesia pada impor sejumlah bahan pokok dan ancaman resesi ekonomi global babak kedua.

Reformasi Birokrasi

Untuk itu menjadi agenda mendesak bagi pemerintah baik tingkat nasional mauapun di daerah untuk melakukan reformasi birokrasi untuk lebih berfokus pada pelayanan masyarakat. Dengan harapan supaya kemiskinan dan kelaparan dapat segera diakhiri dalam catatan hitam bangsa ini kelak.

Terdapat empat agenda pokok untuk melakukan reformasi birokrasi yaitu :pertama, birokrasi harus netral atau steril dari pengaruh penguasa atau politisi. Untuk itu maka institusi birokrasi harus terbebas dari pemihakan pada kelompok politik tertentu serta tidak sama sekali menggunakan fasilitas dan infrastrukstur birokrasi untuk kepentingan partai. Disamping itu birokrasi harus terbebas dari campur tangan partai politik yaitu menjadi bagian dari struktur partai politik. Meskipun para pejabat publik dipilih secara langsung melalui jalur partai politik sesuai UU No. 32 Tahun 2004 namun bukan berati bahwa mereka serta merta bahwa kekuasaan daerah tersebut milik partai politik pemenang pilkada. Karena disaat mereka terpilih maka pada saat itu mereka menjadi pejabat publik atau orang yang menjabat pemimpin di daerah yang akan menyelenggarakan tugasnya sebagai abdi masyarakat bukan abdi partai politiknya. Kedua, membangun partisipasi masyarakat dengan memberi kesempatan dan diikutsertakan untuk berperan aktif dalam perencanaan dan pelaksanaan kebijakan publik, serta pengawasan dalam proses implementasinya Untuk mendukung hal tersebut maka birokrasi harus mengakomodasinya dengan menciptakan sistem yang kondusif dengan melibatkan setiap stakeholder. Sehingga pembangunan daerah dapat lebih sinergis berjalan efektif. Ketiga, menciptakan sistem birokrasi yang transparan yang dapat diakses langsung oleh masyarakat. Masyarakat harus tahu dan paham berapa besar jumlah uang pajak yang selama ini mereka bayar untuk dikembalikan ke masyarakat melalui pembiayaan pembangunan daerah setiap tahun. Supaya anggaran tersebut tidak untuk dibagi-bagi oleh pihak eksekutif dan legislatif seperti yang terjadi di hampir setiap pelosok daerah di Indonesia. Terakhir yang keempat adalah memperbaiki sistem evaluasi pegawai. Sistem evaluasi yang selama ini dilakukan sifatnya sangat abstrak dan subyektif. Hal ini berimplikasi pada kinerja pegawai yang tidak maksimal atau tidak progresif. Maka perlu dibuat sistem evaluasi yang menggunakan standar kinerja dengan target out put yang jelas. Sehingga jika pegawai dan instansi dapat mencapai standar dan target yang ditetapkan, mereka diberikan reward atau incentive yang signifikan dan sebaliknya bila tidak maka diberikan sanksi.

Keempat agenda reformasi birokrasi ini mungkin bukan hal yang baru bagi beberapa para pejabat publik. Namun menjadi hal yang sulit untuk mengimplementasikannya. Apa lagi bagi mereka yang merasa terganggu kemapanan kekuasaan dan ekonominya dari dampak realisasi agenda reformais birokrasi ini. Untuk itu kita bersama-sama mulai dari sekarang dengan aktif mendorong

5

Page 6: Birokrasi Dan Kemiskinan

merealisasikannya minimal salah satu agenda saja dulu kemudian secara berturut-turut menyusul ketiga agenda lainnya. Karena jika tidak kita mulai dari sekarang maka secara tidak sadar kita memulai dari sekarang berhitung mundur saatnya bangsa Indonesia hilang dari peradaban di bumi ini.

Menuju Birokrasi yang Humanis

Birokrasi selalu menjadi perhatian masyarakat kita. Dan tiap kali mendengar kata “birokrasi”, kita langsung terpikir mengenai berbagai urusan prosedural penyelesaian surat-surat yang berkaitan dengan pemerintahan. Birokrasi kini dipandang sebagai sebuah sistem dan alat manajemen pemerintahan yang amat buruk. Dikatakan demikian karena kita mencium bahwa aroma birokrasi sudah melenceng dari tujuan semula sebagai medium penyelenggaraan tugas-tugas kemanusiaan, yaitu melayani masyarakat (public service) dengan sebaik-baiknya. Lagi-lagi, yang terpampang birokrasi kini identik dengan peralihan dari meja ke meja, proses yang ribet, berbelit-belit, dan tidak efisien. Urusan-urusan birokrasi selalu menjengkelkan karena selalu berurusan dengan pengisian formulir-formulir, proses perolehan izin yang melalui banyak kontrol secara berantai, aturan-aturan yang ketat yang mengharuskan seseorang melewati banyak sekat-sekat formalitas dan sebagainya.Citra buruk yang melekat dalam tubuh birokrasi dikarenakan sistem ini telah dianggap sebagai “tujuan” bukan lagi sekadar “alat” untuk mempermudah jalannya penyelenggaraan pemerintahan. Kenyataannya, birokrasi telah lama menjadi bagian penting dalam proses penyelenggaraan pemerintahan negara. Terkesan, mustahil negara tanpa birokrasi. Tapi, birokrasi seperti apa yang sangat menjanjikan bagi kita kalau sudah demikian parahnya penyakit yang melekat dalam tubuhnya itu?

Sangat penting apabila kita meninjau kembali definisi birokrasi. Menurut Peter M. Blau (2000:4), birokrasi adalah “tipe organisasi yang dirancang untuk menyelesaikan tugas-tugas administratif dalam skala besar dengan cara mengkoordinasi pekerjaan banyak orang secara sistematis”.Poin pikiran penting dari definisi di atas adalah bahwa birokrasi merupakan alat untuk memuluskan atau mempermudah jalannya penerapan kebijakan pemerintah dalam upaya melayani masyarakat.Kenyataan yang terjadi hingga detik ini, birokrasi hanya sebagai “perpanjangan tangan” pemerintah untuk dilayani masyarakat. Atau dengan birokrasi pejabat pemerintahan ingin mencari keuntungan lewat birokrasi. Sebuah logika yang terbalik, memang! Seharusnya birokrasi adalah alat untuk melayani masyarakat dengan berbagai macam bentuk kebijakan yang dihasilkan pemerintah.Birokrasi menjadi sarang penyamun bagi beberapa oknum yang berupaya memanfaatkan sistem ini. Birokrasi telah menjadi “terali besi” (iron cage) yang membuat pengap kondisi bangsa kita akibat ulah para “penjahat berbaju birokrat”.

Zaman Sudah Berbeda

Rasionalitas dan efisiensi adalah dua hal yang sangat ditekankan oleh Weber. Rasionalitas harus melekat dalam tindakan birokratik, dan bertujuan ingin menghasilkan efisiensi yang tinggi. Menurut Miftah Thoha (2003:19), kaitan keduanya bisa dilacak dari kondisi sosial budaya ketika Weber masih hidup dan mengembangkan pemikirannya. Kata kunci dalam rasionalisasi birokrasi ialah menciptakan efisiensi dan produktifitas yang tinggi tidak hanya melalui rasio yang seimbang antara volume pekerjaan dengan jumlah pegawai yang profesional tetapi juga melalui pengunaan anggaran, pengunaan sarana, pengawasan, dan pelayanan kepada masyarakat. Kalau ditelisik, konsep rasionalitas dan efisiensi yang membingkai dalam ramuan birokrasi adalah susunan hirarki, di mana ukurannya tergantung kebutuhan pada masing-masing zaman. Zaman kita sangat berbeda dengan zaman yang tengah terjadi pada saat Weber masih hidup. Hal yang sangat menarik adalah kritik yang disampaikan Warren Bennis melalui tulisannya “Organizational

6

Page 7: Birokrasi Dan Kemiskinan

Developments and the Fate of Bureucracy” dalam Industrial Management Review 7 (1966). Bennis mencoba melakukan prediksi masa depan tentang berbagai macam perubahan yang pada gilirannya akan mempengerahui eksistensi birokrasi. Menurut Bennis, birokrasi merupakan penemuan sosial yang sangat elegan, suatu bentuk kemampuan yang luar biasa untuk mengorganisasikan, mengkoordinasikan proses-proses kegiatan yang produktif pada masa Revolusi Industri.Birokrasi dikembangkan untuk menjawab berbagai persoalan yang hangat pada waktu itu, misalnya persoalan pengurangan peran-peran persobal, persoalan subyektivitas yang keterlaluan, dan tidak dihargainya hubungan kerja kemanusiaan. Singkatnya, dalam pandangan Bennis, birokrasi adalah produk kultural dan sangat terikat oleh proses zaman pada saat kemunculannya. Kita sangat membutuhkan birokrasi yang berorientasi kemanusiaan, tidak secara konseptual semata tapi merambah pada dataran praktis di lapangan. Hal ini menjadi pekerjaan sangat penting untuk mendekatkan birokrasi pada manusia, bukan lagi pada mesin. Sebuah teori akan diuji menurut kelayakan historis dan kebutuhan pada sebuah masa. Birokrasi yang humanis masih menjadi pekerjaan rumah (PR) yang harus serius digarap oleh para pemerhati masalah-masalah adminsitrasi negara dan kebijakan publik.

Masalah Birokrasi

BIROKRASI telah menjadi lahan persemaian subur bagi benih korupsi di Indonesia. Birokrasi yang semula berkultur melayani dengan tulus kini melayani dengan fulus. Itulah fakta yang terungkap dalam survei integritas sektor publik yang dilakukan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

Survei dilakukan terhadap 65 unit layanan di 30 departemen/instansi tingkat pusat. Hasilnya cukup mengejutkan, yaitu nilai rata-rata skor integritas 5,33. Angka itu tergolong rendah jika dibandingkan dengan skor integritas sektor publik di negara lain.

Hasil itu dikatakan mengejutkan karena ternyata pembangunan tata kelola pemerintahan yang baik dan bersih masih sebatas tekad. Belum menjadi sebuah gerakan. Buktinya, korupsi di birokrasi pemerintahan tetap subur meski sudah ada mekanisme pengawasan melekat.

Korupsi di birokrasi pemerintahan sudah berkembang biak menjangkiti segenap lapisan masyarakat. Dari hasil survei KPK itu ditemukan kenyataan bahwa petugas di unit layanan sudah terbiasa menerima tips, hadiah, atau imbalan lainnya sebagai bagian dari pengurusan layanan. Tidak sedikit pula masyarakat yang menganggap pemberian imbalan itu merupakan hal yang wajar.

Kinerja birokrasi yang buruk bukan cuma menggerogoti uang negara.

Birokrasi yang korup itu berakibat ekonomi biaya tinggi yang pada akhirnya menurunkan minat investor menanam modal. Padahal, investasi sangat dibutuhkan untuk menggerakkan roda perekonomian nasional dan membuka lapangan pekerjaan baru. Investor tidak mau berhubungan dengan birokrasi yang berbelit-belit.

Sistem penggajian selalu dijadikan kambing hitam korupsi di lingkungan birokrasi. Padahal, kalau mau jujur, korupsi lebih besar dan intens dilakukan pejabat tinggi yang notabene menerima gaji dan penghasilan lebih tinggi. Artinya, gaji bukan faktor dominan memicu korupsi.

Ideologi juga turut disalahkan. Birokrat mengalami disorientasi nilai dalam masyarakat yang menjunjung tinggi materialisme, uang menjadi panglima. Maka segala cara dihalalkan untuk mendapatkan uang sebanyak-banyaknya, termasuk mengomersialkan pelayanan publik.

7

Page 8: Birokrasi Dan Kemiskinan

Kesalahan juga dilimpahkan kepada sistem hukum yang berlaku. Sistem hukum negara ini belum mampu mencegah terjadinya korupsi, kolusi, nepotisme, dan penyalahgunaan jabatan lainnya. Juga tidak mampu membuat jera bagi penjahat berdasi yang dihukuminya. Karena itu, ditawarkan sistem hukum pembuktian terbalik. Setiap orang harus bisa menjelaskan asal-muasal kekayaannya. Laporan harta kekayaan pejabat ke KPK toh tidak efektif mencegah korupsi. Pejabat selalu berlindung di balik dalih mendapatkan hibah atas penambahan kekayaannya.

Sudah tidak ada waktu lagi untuk mencari alasan pembenaran. Adalah fakta sangat telanjang bahwa birokrasi koruptif. Tiba saatnya untuk melakukan reformasi total birokrasi. Reformasi itu dimulai dengan melakukan langkah terobosan mengaudit birokrasi secara menyeluruh.

Birokrasi negeri ini terlalu gemuk sehingga bergerak sangat lamban.

Struktur organisasi yang gemuk itu memperlambat daya tanggap dan memperbesar biaya-biaya negosiasi. Hanya dengan pemanfaatan teknologi bisa mempercepat proses pelayanan dan mengurangi ruang tawar-menawar antarindividu.

Persaingan antarnegara di era global ini sesungguhnya adalah persaingan sistem tata kelola pemerintahan yang baik dan bersih. Salah satu barometernya adalah kualitas pelayanan birokrasi di sektor publik. Hanya negara yang memenangi persaingan itulah yang akan dibanjiri investor. Negara yang dijauhi investor akan bangkrut dengan sendirinya. Karena itu, birokrasi jangan lagi menjadi persemaian korupsi.

8