bagian inti
TRANSCRIPT
1
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Ikterus neonatorum adalah keadaan klinis pada bayi yang ditandai oleh
pewarnaan ikterus pada kulit dan sklera akibat akumulasi bilirubin tak terkonjugasi
yang berlebih (Sukadi, 2008). Bentuk tak terkonjugasi ini bersifat neurotoksik pada
bayi pada tingkat konsentrasi tertentu dan pada berbagai keadaaan (Nelson, 2007).
Bilirubin dianggap patologis bila kadarnya di dalam darah > 12 mg% pada
bayi aterm dan > 10 mg% pada bayi prematur, atau peningkatan kadar 0,2 mg/jam
atau 4 mg/hari (Sarwono et al, 1994). Ikterus dapat ditemukan selama minggu
pertama kehidupan pada sekitar 60% bayi aterm dan pada 80% bayi prematur
(Nelson, 2007).
Dari beberapa rumah sakit di Indonesia, didapatkan insidens di RSU Dr.
Soetomo Surabaya ikterus patologis sebesar 9,8% (tahun 2002) dan 15,66% (tahun
2003). RSAB Harapan Kita Jakarta melakukan transfusi tukar 14 kali/bulan (tahun
2002). Sedangkan di Hospital Bersalin Kuala Lumpur dengan ‘tripple phototherapy’
tidak ada lagi kasus yang memerlukan tindakan transfusi tukar (tahun 2004),
demikian pula di Vrije Universitiet Medisch Centrum Amsterdam dengan ’double
phototherapy’ (tahun 2003) (Etika et al, 2006).
Ikterus pada bayi dapat dibedakan menjadi dua macam, ikterus fisiologis
dan patologis. Ikterus yang terjadi pada saat lahir atau 24 jam pertama kehidupan,
2
mungkin sebagai akibat eritroblastosis foetalis, sepsis, penyakit inklusi sitomegalik,
rubella atau toksoplasmosis kongenital (Nelson, 2007). Hal ini bisa diakibatkan oleh
pemecahan eritrosit yang berlebihan, gangguan clearance (transport) metabolisme,
gangguan konjugasi, atau gangguan ekskresi bersama air (Sarwono et al, 1994).
Ikterus yang baru timbul pada hari kedua atau hari ketiga, biasanya bersifat fisiologis,
tetapi dapat pula merupakan manifestasi ikterus yang lebih parah yang dinamakan
hiperbilirubinemia neonatus (Nelson, 2007).
Ikterus pada 24 jam pertama tidak pernah fisiologis dan sangat
menggambarkan terjadinya hemolisis hebat atau sepsis (Meadow, 2005). Dari insiden
keseluruhan penyakit hemolitik pada bayi atau neonatus, atau yang biasa dikenal
dengan istilah HDN, akibat anti Rho (D) (18% pada ibu yang tidak diobati) telah
berubah secara drastis (<0,1%), dan kematian akibat HDN sekarang jarang terjadi.
Seiring dengan penurunan ini terjadi peningkatan relatif ibu dengan antibodi lain
terhadap antigen Rhesus dan terhadap antigen dari sistem non-Rhesus. HDN ABO
adalah yang paling sering, walaupun bayi mungkin hanya mengalami penyakit yang
ringan (Sacher, 2004).
Inkompatibilitas ABO merupakan salah satu penyebab dari penyakit
hemolitik pada neonatus (Christensen, 2000). Penyakit ini diakibatkan antibodi anti-
A dan anti-B serta komponen lainnya dari ibu masuk ke peredaran darah janin
melewati plasenta. Biasanya, kasus ini terjadi pada janin dengan golongan darah A
atau B dari ibu yang bergolongan darah O, karena antibodi yang ditemukan pada
golongan darah O ibu adalah dari kelas IgG, sedangkan ibu dengan golongan darah A
3
atau B juga mempunyai anti-B (pada golongan darah A) dan anti-A (pada golongan
darah B) yang sebagian besar didominasi dari kelas IgM (Christensen, 2000).
Inkompatibilitas ABO dapat terjadi pada kehamilan pertama dan tidak ada
tes yang mempunyai korelasi baik untuk mengetahui destruksi eritrosit janin selama
kehamilan (Kennedy et al, 1999). Walaupun inkompatibilitas ABO terjadi pada 20 –
25% kehamilan, penyakit hemolitik hanya berkembang 10% dari bayi – bayi ini
(Nelson, 2007).
Manifestasi primer dari penyakit hemolitik ABO adalah ikterus. Biasanya,
ikterus ini muncul pada 24 jam pertama kehidupan dan, jika tidak ditangani, menjadi
cukup berat dan menyebabkan kernikterus bahkan kematian. Akan tetapi, hanya 10%
sampai 20% dari janin dengan inkompatibilitas ABO yang mengalami ikterus
(Christensen, 2000).
Oleh karena itu, penelitian ini dilakukan untuk mengetahui seberapa besar
jumlah bayi yang mengalami ikterus akibat ketidakcocokan golongan darah ABO
dengan ibunya jika dibandingkan dengan seluruh bayi baru lahir (neonatus) yang
mengalami ikterus.
1.2 Rumusan Masalah
Berapa prevalensi inkompatibilitas ABO pada neonatus yang mengalami
ikterus di RSUD Dr. Soetomo Surabaya periode waktu 1 Januari 2010 – 30 Juni
2010?
4
1.3 Tujuan Penelitian
1.3.1 Tujuan umum
Mengetahui prevalensi inkompatibilitas ABO pada neonatus yang
mengalami ikterus di RSUD Dr. Soetomo Surabaya periode waktu 1 Januari 2010 –
30 Juni 2010.
1.3.2 Tujuan khusus
a. Mengetahui prevalensi terjadinya ikterus pada neonatus di RSUD Dr. Soetomo
Surabaya periode waktu 1 Januari 2010 – 30 Juni 2010.
b. Mengetahui prevalensi bayi yang dilahirkan dengan inkompatibilitas ABO di
RSUD Dr. Soetomo Surabaya periode waktu 1 Januari 2010 – 30 Juni 2010.
c. Mengetahui prosentase golongan darah bayi yang mengalami ikterus akibat
inkompatibilitas ABO di RSUD Dr. Soetomo Surabaya periode waktu 1 Januari
2010 – 30 Juni 2010.
1.4 Manfaat Penelitian
1.4.1 Manfaat teoritis
Memberikan informasi ilmiah tentang prevalensi inkompatibilitas ABO
pada neonatus yang mengalami ikterus di RSUD Dr. Soetomo Surabaya periode
waktu 1 Januari 2010 – 30 Juni 2010.
5
1.4.2 Manfaat praktis
Dengan penelitian ini dapat diketahui angka kejadian inkompatibilitas ABO
pada neonatus yang mengalami ikterus sehingga dapat direncanakan antisipasi
untuk mengatasi kasus tersebut.
6
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Ikterus pada Bayi (Ikterus Neonatorum)
2.1.1 Definisi
Ikterus pada bayi atau yang dikenal dengan istilah ikterus neonatorum
adalah keadaan klinis pada bayi yang ditandai oleh pewarnaan ikterus pada kulit
dan sklera akibat akumulasi bilirubin tak terkonjugasi yang berlebih (Sukadi, 2008).
Pada orang dewasa, ikterus akan tampak apabila serum bilirubin > 2 mg/dL (>17
μmol/L), sedangkan pada neonatus baru tampak apabila serum bilirubin > 5 mg/dL
(>86 μmol/L) (Etika et al, 2006).
Hiperbilirubinemia adalah ikterus dengan konsentrasi bilirubin serum yang
menjurus ke arah terjadinya kernikterus atau ensefalopati bilirubin bila kadar
bilirubin tidak dikendalikan (Mansjoer, 2007). Hiperbilirubinemia fisiologis yang
memerlukan terapi sinar, tetap tergolong non patologis sehingga disebut ‘Excessive
Physiological Jaundice’. Digolongkan sebagai hiperbilirubinemia patologis (‘Non
Physiological Jaundice’) apabila kadar serum bilirubin terhadap usia neonatus
>950
/00
menurut Normogram Bhutani (Etika et al, 2006).
7
Gambar 2.1. Normogram Bhutani
Sumber: Risa Etika, Agus Harianto, Fatimah Indarso, Sylviati M. D.
Hiperbilirubinemia pada Neonatus. Divisi Neonatologi bagian Ilmu Kesehatan
Anak. FK Unair / RSU Dr. Soetomo Surabaya. 2006: 3.
2.1.2 Ikterus fisiologis
Sebagian besar neonatus mengalami peninggian kadar bilirubin indirek pada
hari-hari pertama kehidupan. Hal ini terjadi karena terdapatnya proses fisiologis
tertentu pada neonatus. Proses tersebut antara lain karena tingginya kadar eritrosit
neonatus, masa hidup eritrosit yang lebih pendek (80-90 hari) dan belum matangnya
fungsi hepar (Etika et al, 2006).
Pada bayi yang baru lahir, kadar bilirubin tak terkonjugasi pada minggu
pertama > 2 mg/dl. Pada bayi cukup bulan yang mendapat susu formula kadar
bilirubin akan mencapai puncaknya sekitar 6 – 8 mg/dl pada hari ke-3 kehidupan
dan kemudian akan menurun cepat selama 2 – 3 hari diikuti dengan penurunan yang
lambat sebesar 1 mg/dl selama 1 sampai 2 minggu. Pada bayi cukup bulan yang
mendapat ASI kadar bilirubin puncak akan mencapai kadar yang lebih tinggi ( 7 –
8
14 mg/dl ) dan penurunan terjadi lebih lambat. Pada bayi kurang bulan yang
mendapat susu formula juga akan mengalami peningkatan dengan puncak yang
lebih tinggi dan lebih lama, begitu juga dengan penurunannya jika tidak diberikan
fototerapi pencegahan. Peningkatan sampai 10 – 12 mg/dl masih dalam kisaran
fisiologis, bahkan hingga 15 mg/dl tanpa disertai kelainan metabolisme bilirubin
(Sukadi, 2008).
2.1.3 Ikterus non fisiologis ( ikterus patologis )
Ada beberapa keadaan ikterus yang cenderung menjadi patologik:
1. Ikterus yang terjadi sebelum umur 24 jam.
2. Setiap peningkatan kadar bilirubin serum yamg memerlukan fototerapi.
3. Peningkatan kadar bilirubin total serum > 0,5 mg/dl/jam.
4. Adanya tanda – tanda penyakit yang mendasari pada setiap bayi ( muntah,
letargis, malas menetek, penurunan berat badan yang cepat, apnea, takipnea atau
suhu yang tidak stabil ).
5. Ikterus bertahan setelah 8 hari pada bayi cukup bulan atau 14 hari pada bayi
kurang bulan (Sukadi, 2008).
6. Ikterus yang disertai :
Berat lahir < 2.000 g
9
Masa gestasi < 36 minggu
Asfiksia, hipoksia, sindrom gawat napas pada neonatus
Infeksi
Trauma lahir pada kepala
Hipoglikemia, hiperkarbia
Hiperosmolaritas darah
Proses hemolisis ( inkompatibilitas darah, defisiensi G6PD, atau sepsis )
(Mansjoer et al, 2007).
2.1.4 Patofisiologi
Bilirubin adalah produk penguraian heme. Sebagian besar (85 sampai 90%)
terjadi dari penguaraian hemoglobin dan sebagian kecil (10 sampai 15%) dari
senyawa lain seperti mioglobin. Sel retikuloendotel menyerap kompleks
haptoglobin dengan hemoglobin yang telah dibebaskan dari sel darah merah. Sel –
sel ini kemudian mengeluarkan besi dari heme sebagai cadangan untuk sintesis
berikutnya dan memutuskan cincin heme untuk menghasilkan tetrapirol bilirubin,
yang disekresikan dalam bentuk yang tidak larut dalam air ( bilirubin tak
terkonjugasi, indirek ). Karena ketidaklarutan ini, bilirubin dalam plasma terikat ke
albumin untuk diangkut dalam medium air. Sewaktu zat ini beredar dalam tubuh
10
dan melewati lobulus hati, hepatosit melepas bilirubin dari albumin dan
menyebabkan larutnya air dengan mengikat bilirubin ke asam glukoronat ( bilirubin
terkonjugasi, direk ) (Sacher, 2004).
Dalam bentuk glukoronida terkonjugasi, bilirubin yang larut tersebut masuk
ke sistem empedu untuk di eksresikan. Saat masuk ke dalam usus, bilirubin
diuraikan oleh bakteri kolon menjadi urobilinogen. Urobilinogen dapat diubah
menjadi sterkobilin dan dieksresikan melalui feses. Sebagian urobilinogen
direabsorbsi dari usus melalui jalur enterohepatik, dan darah porta membawanya
kembali ke hati. Urobilinogen daur ulang ini umumnya dieksresikan ke dalam
empedu untuk kembali dialirkan ke usus, tetapi sebagian dibawa oleh sirkulasi
sistemik ke ginjal, tempat zat ini dieksresikan sebagai senyawa larut air bersama
urin (Sacher, 2004).
Pada dewasa normal, level serum bilirubin < 1 mg/dl. Ikterus akan muncul
pada dewasa bila level serum bilirubinnya > 2 mg/dl, dan pada bayi yang baru lahir
akan muncul ikterus bila kadarnya > 7 mg/dl (Cloherty et al, 2008).
Hiperbilirubinemia dapat disebabkan oleh pembentukan bilirubin yang
melebihi kemampuan hati normal untuk mengeksresikannya, atau disebabkan oleh
kegagalan hati ( karena rusak ) untuk mengeksresikan bilirubin yang diproduksi
dalam jumlah normal. Tanpa adanya kerusakan hati, obstruksi saluran ekskresi hati
juga akan menyebabkan hiperbilirubinemia. Pada semua keadaan ini, bilirubin
tertimbun di dalam darah, dan jika konsentrasinya mencapai nilai tertentu (sekitar 2
11
– 2,5 mg/dl), senyawa ini akan berdifusi ke dalam jaringan yang kemudian menjadi
kuning. Keadaan ini disebut ikterus atau jaundice (Murray et al, 2009).
2.1.5 Manifestasi klinis
Bayi baru lahir ( neonatus ) tampak kuning apabila kadar bilirubin serumnya
kira – kira 6 mg/dl (Mansjoer et al, 2007). Ikterus sebagai akibat penimbunan
bilirubin indirek pada kulit mempunyai kecenderungan menimbulkan warna kuning
muda atau jingga; sedangkan ikterus obstruksi (bilirubin direk) memperlihatkan
warna kuning kehijau – hijauan atau kuning kotor. Perbedaan ini hanya dapat
ditemukan pada ikterus yang berat (Nelson, 2007).
Gambaran klinik ikterus fisiologis:
Tampak pada hari III – IV
Bayi tampak sehat ( normal )
Kadar bilirubin total < 12 mg%
Menghilang paling lambat 10 – 14 hari
Tak ada faktor resiko
Sebab : proses fisiologis ( berlangsung dalam kondisi fisiologis )
( Sarwono et al, 1994 ).
12
Gambaran klinik ikterus patologis :
Timbul pada umur < 36 jam
Cepat berkembang
Bisa disertai anemia
Menghilang lebih lama > 2 minggu
Ada faktor resiko
Dasar : proses patologis ( Sarwono et al, 1994 ).
2.1.6. Etiologi
Penyebab ikterus pada bayi baru lahir dapat berdiri sendiri ataupun dapat
disebabkan oleh beberapa faktor. Secara garis besar, etiologi ikterus neonatorum
dapat dibagi:
1. Produksi yang berlebihan
Hal ini melebihi kemampuan bayi untuk mengeluarkannya, misalnya pada
hemolisis yang meningkat pada inkompatibilitas darah Rh, ABO,
golongan darah lain, defisiensi enzim G6PD, piruvat kinase, perdarahan
tertutup dan sepsis.
13
2. Gangguan dalam proses uptake dan konjugasi hepar
Gangguan ini dapat disebabkan oleh imaturitas hepar, kurangnya substrat
untuk konjugasi bilirubin, gangguan fungsi hepar, akibat asidosis, hipoksia
dan infeksi atau tidak terdapatnya enzim glukoronil transferase (sindrom
Criggler-Najjar). Penyebab lain adalah defisiensi protein Y dalam hepar
yang berperanan penting dalam uptake bilirubin ke sel hepar.
3. Gangguan transportasi
Bilirubin dalam darah terikat pada albumin kemudian diangkut ke hepar.
Ikatan bilirubin dengan albumin ini dapat dipengaruhi oleh obat misalnya
salisilat, sulfafurazole. Defisiensi albumin menyebabkan lebih banyak
terdapatnya bilirubin indirek yang bebas dalam darah yang mudah melekat
ke sel otak.
4. Gangguan dalam eksresi
Gangguan ini dapat terjadi akibat obstruksi dalam hepar atau di luar hepar.
Kelainan di luar hepar biasanya diakibatkan kelainan bawaan. Obstruksi
dalam hepar biasanya akibat infeksi atau kerusakan hepar oleh penyebab
lain (Hassan et al, 2005).
Adapun penyebab tersering dari hiperbilirubinemia adalah :
1. Hiperbilirubinemia fisiologis.
2. Inkompatibilitas golongan darah ABO.
14
3. ‘Breast Milk Jaundice’ .
4. Inkompatibilitas golongan darah rhesus.
5. Infeksi.
6. Hematoma sefal, hematoma subdural, ‘excessive bruising’.
7. IDM (‘Infant of Diabetic Mother’).
8. Polisitemia / hiperviskositas.
9. Prematuritas / BBLR.
10. Asfiksia (hipoksia, anoksia), dehidrasi – asidosis, hipoglikemia.
11. Lain-lain (Etika et al, 2006).
Sedangkan penyebab hiperbilirubinemia yang jarang terjadi adalah :
1. Defisiensi G6PD (Glucose 6 – Phosphat Dehydrogenase).
2. Defisiensi piruvat kinase.
3. Sferositosis kongenital.
4. Lucey – Driscoll syndrome (ikterus neonatorum familial).
5. Hipotiroidism.
6. Hemoglobinopathy (Etika et al, 2006).
2.1.7. Diagnosis
Anamnesis
1. Riwayat kehamilan dengan komplikasi (obat-obatan, ibu DM, gawat janin,
malnutrisi intra uterin, infeksi intranatal).
15
2. Riwayat persalinan dengan tindakan / komplikasi.
3. Riwayat ikterus / terapi sinar / transfusi tukar pada bayi sebelumnya.
4. Riwayat inkompatibilitas darah.
5. Riwayat keluarga yang menderita anemia, pembesaran hepar dan limpa.
(Etika et al, 2006)
Pemeriksaan Fisik
Secara klinis ikterus pada neonatus dapat dilihat segera setelah lahir atau
beberapa hari kemudian. Amati ikterus pada siang hari dengan lampu sinar yang
cukup. Ikterus akan terlihat lebih jelas dengan sinar lampu dan bisa tidak terlihat
dengan penerangan yang kurang, terutama pada neonatus yang kulitnya gelap.
Penilaian ikterus akan lebih sulit lagi apabila penderita sedang mendapatkan terapi
sinar (Etika et al, 2006).
Salah satu cara pemeriksaan derajat kuning pada neonatus secara klinis,
sederhana dan mudah adalah dengan penilaian menurut Kramer (1969). Caranya
dengan jari telunjuk ditekankan pada tempat – tempat yang tulangnya menonjol
seperti tulang hidung, dada, lutut, dan lain – lain. Tempat yang ditekan akan
tampak pucat atau kuning. Penilaian kadar bilirubin pada masing – masing tempat
tersebut disesuaikan dengan tabel yang telah diperkirakan kadar bilirubinnya
(Mansjoer et al, 2007).
16
Tabel 2.1 Derajat ikterus pada neonatus menurut kramer
Sumber: Arif Mansjoer. Kapita selekta kedokteran jilid 2, edisi III. Media
Aesculapius FKUI. 2007: 504
Waktu timbulnya ikterus mempunyai arti penting pula dalam diagnosis dan
penatalaksanaan penderita karena saat timbulnya ikterus mempunyai kaitan erat
dengan kemungkinan penyebab ikterus tersebut (Etika et al, 2006).
Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan serum bilirubin (bilirubin total dan direk) harus dilakukan
pada neonatus yang mengalami ikterus. Terutama pada bayi yang tampak sakit
atau bayi-bayi yang tergolong risiko tinggi terserang hiperbilirubinemia berat.
Namun pada bayi yang mengalami ikterus berat, lakukan terapi sinar sesegera
mungkin, jangan menunda terapi sinar dengan menunggu hasil pemeriksaan kadar
serum bilirubin.
Pemeriksaan tambahan yang sering dilakukan untuk evaluasi menentukan
penyebab ikterus antara lain :
Golongan darah dan ‘Coombs test’.
Darah lengkap dan hapusan darah.
Derajat Ikterus pada Neonatus Menurut Kramer
Zona Bagian tubuh yang kuning Rata - rata serum bilirubin indirek
1 Kepala dan Leher 100
2 Pusat - Leher 150
3 Pusat - Paha 200
4 Lengan + Tungkai 250
5 Tangan + Kaki >250
17
Hitung retikulosit, skrining G6PD atau ETCOc.
Bilirubin direk.
Pemeriksaan serum bilirubin total harus diulang setiap 4-24 jam tergantung
usia bayi dan tingginya kadar bilirubin. Kadar serum albumin juga perlu diukur
untuk menentukan pilihan terapi sinar ataukah tranfusi tukar (Etika et al, 2006).
penegakan diagnosis ikterus neonatorum berdasarkan waktu kejadiannya
Waktu Diagnosis Banding Anjuran Pemeriksaan
Hari ke-1 penyakit hemolitik (bilirubin indirek) kadar bilirubin serum berkala Hb,
inkompatibilitas darah (Rh, ABO) Ht,retikulosit,sediaan apus darah
sferositosis
golongan darah ibu/bayi, uji
Coomb
anemia hemolitik non sferositosis (misal: def
G6PD) uji tapis def enzim
ikterus obstruktif (bilirubindirek) uji serologi TORCH
hepatitis neonatal o.k TORCH
Hari ke-2 s.d ke-5 kuning pada bayi prematur hitung jenis darah lengkap
kuning fisiologik urin mikroskopik & biakan urin
sepsis pemeriksaan thd inf bakteri
darah ekstravaskular
golongan darah ibu/bayi, uji
Coomb
polisitemia
sferositosis kongenital
Hari ke-5 s.d ke-
10 sepsis uji fungsi tiroid
kuning karena ASI uji tapis enzim G6PD
def G6PD gula dalam urin
hipotiroidisme pemeriksaan thd sepsis
galaktosemia
obat - obatan Hari ke-10 atau
lebih atresia biliaris urin mikroskopik & biakan urin
hepatitis neonatal uji serologi TORCH
kista koledokus alfa fetoprotein, alfa-1 antitripsin
sepsis (terutama infeksi saluran kemih) biopsi hati
stenosis pilorik kolesistografi
uji Rose- Bengal
sumber: Levine MI, Tudehope D, Thearle J. Essentials of Neonatal medicine. Brookes-Waterloo.1990:165
Tabel 2.2 Penegakan diagnosis ikterus neonatorum berdasarkan waktu kejadiannya
Sumber: Arif Mansjoer. Kapita selekta kedokteran jilid 2, edisi III. Media Aesculapius
FKUI. 2007: 505
18
2.1.8 Penatalaksanaan
Pada dasarnya, pengendalian kadar bilirubin serum adalah sebagai berikut:
1. Stimulasi proses konjugasi bilirubin dengan menggunakan fenobarbital.
Obat ini bekerjanya lambat, sehingga hanya bermanfaat apabila kadar
bilirubinnya rendah dan ikterus yang terjadi bukan disebabkan oleh proses
hemolitik. Obat ini sudah jarang dipakai lagi.
2. Menambahkan bahan yang kurang pada proses metabolisme bilirubin
(misalnya menambahkan glukosa pada keadaan hipoglikemia), atau
menambahkan bahan untuk memperbaiki transportasi bilirubin (misalnya
albumin). Penambahan albumin boleh dilakukan walaupun tidak terdapat
hipoalbuminemia. Tetapi perlu diingat adanya zat – zat yang merupakan
kompetitor albumin yang juga dapat mengikat bilirubin (mis. Sulfonamida
atau obat – obatan lainnya). Penambahan albumin juga dapat mempermudah
proses ekstraksi bilirubin jaringan ke dalam plasma. Hal ini mengakibatkan
kadar bilirubin plasma meningkat, tetapi tidak berbahaya karena bilirubin
tersebut ada dalam ikatan dengan albumin. Albumin diberikan dalam dosis
yang tidak lebih dari 1 g/KgBB, sebelum maupun sesudah tindakan transfusi
tukar.
3. Mengurangi peredaran enterohepatik dengan pemberian makanan oral dini.
4. Memberikan terapi sinar sehingga bilirubin diubah menjadi isomer foto
yang tidak toksik dan mudah dikeluarkan dari tubuh karena mudah larut
dalam air.
19
5. Mengeluarkan bilirubin secara mekanik melalui transfusi tukar (Mansjoer et
al, 2007). Pada umumnya transfusi tukar dilakukan dengan indikasi sebagai
berikut:
a) Pada semua keadaan dengan kadar bilirubin indirek ≤ 20 mg%.
b) Kenaikan kadar bilirubin indirek yang cepat, yaitu 0,3 – 1 mg%/jam.
c) Anemia yang berat pada neonatus dengan gejala gagal jantung.
d) Bayi dengan kadar hemoglobin tali pusat < 14 mg% dan uji Coombs
direk positif (Hassan et al, 2005).
6. Menghambat produksi bilirubin. Metalloprotoporfirin (mis. timah dan seng-
protoporfirin) merupakan kompetitif inhibitor terhadap heme oksigenase.
Keduanya telah digunakan dalam penatalaksanaan hiperbilirubinemia pada
inkompatibilitas ABO dengan Coombs-positif dan pada pasien dengan
Crigler-Najjar tipe I. Akan tetapi, cara ini masih dalam taraf penelitian dan
belum digunakan secara rutin.
7. Menghambat hemolisis. Imunoglobulin dosis tinggi secara intravena (500-
1000 mg/Kg IV >2 sampai 4 jam) telah digunakan untuk mengurangi level
bilirubin pada janin dengan penyakit hemolitik isoimun. Mekanismenya
belum diketahui, tetapi secara teori immunoglobulin menempati Fc reseptor
pada sel retikuloendotel dengan demikian dapat mencegah lisisnya sel darah
merah yang telah dilapisi oleh antibodi (Cloherty et al, 2008).
20
Bilirubin < 24 jam 24 - 48 jam 49 - 72
jam
> 72
jam
< 5 mg% pemberian makanan yang dini
5 - 9 mg% terapi sinar bila hemolisis fenobarbital + kalori cukup
10 - 14
mg%
transfusi tukar bila
hemolisis terapi sinar
15 - 19
mg% transfusi tukar
transfusi tukar bila
hemolisis
terapi
sinar* *
> 20 mg% transfusi tukar
sebelum dan sesudah transfusi tukar beri terapi sinar
*bila tak berhasil transfusi tukar
Tabel 2.3 Pedoman pengelolaan ikterus menurut waktu timbulnya dan kadar
bilirubin (modifikasi dari MAISELS.1972)
Sumber: Staf pengajar ilmu kesehatan anak FKUI. Buku Kuliah Ilmu Keshatan
Anak 3. 2007: 1109.
Efek samping yang mungkin dijumpai pada terapi – terapi ini adalah:
Fenobarbital : banyak tidur
Fototerapi :
a. Segera :
- suhu tubuh hiperthermi/hipothermi
- kulit terbakar
- insensible water loss meningkat
- evakuasi usus lebih cepat, diarrhea
- gelisah (mata ditutup)
b. Lama : perubahan DNA (jangka panjang).
21
Transfusi tukar :
- Infeksi
- Jantung
- Sirkulasi hipervolemi / hipovolemi
- Elektrolit hipocalcemi
- metabolik
( Sarwono et al, 1994 )
2.2 Penyakit Hemolitik ABO pada Bayi Baru Lahir
2.2.1 Definisi
Inkompatibilitas ABO merupakan faktor yang paling sering menyebabkan
HDN seiring dengan menurunnya insiden penyakit hemolitik yang diakibatkan oleh
Rh0(D). Dari lima kelahiran, satu diantaranya mengalami inkompatibilitas ABO
antara ibu dan bayinya (Kennedy et al, 1999). Inkompatibilitas ABO antara ibu dan
janin biasanya menyebabkan penyakit yang lebih ringan daripada inkompatibilitas
Rh (Nelson, 2007). Inkompatibilitas ABO juga dapat terjadi pada kelahiran anak
pertama, sedangkan inkompatibilitas Rh biasanya terjadi setelah kehamilan kedua
atau seterusnya (Christensen, 2000).
22
Comparison of Rh and ABO incompatibility
Characteristic Rh ABO
Blood group set up
mother negative O
infant positve A or B
Type of antibody IgG IgG
Clinical aspects
occurrence in first born 5% 40 - 50%
predictable severity in subsequent pregnancies usually no
stillbirth and/or hydrops frequent rare
severe anemia frequent rare
degree of jaundice 51-75% 1-25%
hepatosplenomegaly 51-75% 1-25%
Laboratory findings
direct Coombs' test (infant) positve positive or negative
maternal antibodies always present not clear-cut
spherocytes 0 positive
Tabel 2.4 Perbandingan antara inkompatibilitas Rh dengan ABO
Sumber: Robert D. Christensen. Hematologic problems of the neonate. W.B.
Saunders. 2000: 102
Beberapa vaksin bakteri, seperti tetanus toxoid dan vaksin pneumococcus
mempunyai substansi A dan B dalam media kultur dan dapat memberikan
hubungan yang signifikan terhadap kasus hemolisis pada neonatus yang
bergolongan darah A atau B yang dilahirkan dari ibu bergolongan darah O dan
sudah disuntik vaksin tersebut. (Cloherty et al, 2008). Infeksi parasit helminth
selama kehamilan juga berhubungan dengan produksi antibodi ABO kelas IgG
dengan titer tinggi. Hal ini dapat memperberat kasus HDN (Kennedy et al, 1999).
2.2.2 Patofisiologi
Penyakit ini diakibatkan antibodi anti-A dan anti-B serta komponen lainnya
dari ibu masuk ke peredaran darah janin melewati plasenta. Biasanya, kasus ini
terjadi pada janin dengan golongan darah A atau B dari ibu yang bergolongan darah
23
O, karena pada ibu yang bergolongan darah O mempunyai antibodi dari kelas IgG,
sedangkan ibu dengan golongan darah A atau B juga mempunyai anti-B (pada
golongan darah A) dan anti-A (pada golongan darah B) yang sebagian besar
didominasi dari kelas IgM (Christensen, 2000). Karena mampu menembus plasenta,
antibodi IgG dapat melekat secara imunologis ke eritrosit janin. Sel – sel ini
sekarang dilapisi oleh antibodi (mengalami opsonisasi) sehingga dapat disingkirkan
oleh sistem retikuloendotel janin, tempat sel – sel tersebut dihancurkan. Karenanya
terjadi hemolisis ekstravaskuler (Sacher, 2004).
Walaupun demikian, hanya sebagian kecil tampak pengaruh hemolisis pada
bayi baru lahir. Hal ini disebabkan oleh karena isoaglutinin anti-A dan anti-B yang
terdapat dalam serum ibu sebagian besar berbentuk 19-S, yaitu gamaglobulin-M
yang tidak dapat melalui plasenta (merupakan makroglobulin) dan disebut
isoaglutinin natural, hanya sebagian kecil dari ibu yang bergolongan darah O,
mempunyai antibodi 7-S, yaitu gamaglobulin-G (isoaglutinin imun) yang tinggi
(Hassan et al, 2005).
2.2.3 Manifestasi Klinis
Sebagian besar kasusnya ringan, dengan ikterus sebagai satu – satunya
manifestasi klinis. Bayi biasanya tidak terkena secara menyeluruh pada saat lahir;
tidak ada pucat dan hidrops fetalis sangat jarang. Jika ditemukan, hati dan limpa
tidak sangat membesar. Ikterus biasanya muncul dalam 24 jam pertama (Nelson,
24
2007). Jika ikterus ini tidak ditangani, dapat menjadi cukup berat; menyebabkan
kernikterus sampai kematian (Christensen, 2000).
Anemia biasanya ringan atau tidak ada, dan tidak didapat tanda – tanda
pucat. Konsentrasi hemoglobin biasanya normal, tapi bisa juga rendah sebesar 8
mg/dl. Polikromasia, retikulositosis (naik sampai 30%), dan peningkatan jumlah sel
darah merah yang berinti ini dapat dilihat. Sferositosis (naik sampai 40%) terlihat
pada neonatus yang secara klinis mengalami penyakit hemolitik ABO (Christensen,
2000).
2.2.4 Diagnosis
Diagnosis dugaan didasarkan pada adanya inkompatibilitas ABO, uji
Coombs’ direk positif lemah sampai sedang, dan adanya sferosit pada pulasan
darah. Hiperbilirubinemia sering merupakan satu – satunya kelainan laboratorium.
Kadar Hb biasanya normal tapi dapat serendah 10 – 12 g/dl. Retikulosit dapat naik
10 – 15%, dengan polikromasia yang luas dan kenaikan jumlah sel darah merah
berinti. Pada 10 – 20% bayi yang terkena, kadar bilirubin tak terkonjugasinya dapat
mencapai 20 mg/dl atau lebih jika tidak dilakukan fototerapi (Nelson, 2007).
2.2.5 Penatalaksanaan
Tujuan jangka pendek dalam mengobati peningkatan bilirubin pada HDN
adalah menghilangkan sumber bilirubin (yaitu sel – sel darah merah yang dilapisi
oleh antibodi) dan kemudian menyingkirkan penumpukan bilirubin tidak
terkonjugasi (Sacher, 2004).
25
Fototerapi efektif untuk menurunkan level bilirubin yang meningkat
(Kennedy et al, 1999). Apabila peningkatan level bilirubin sangat cepat, pengobatan
diarahkan pada koreksi tingkat anemia atau hiperbilirubinemia yang
membahayakan dengan jalan melakukan transfusi tukar memakai darah yang
golongannya sama seperti golongan darah ibu (Nelson, 2007).
Pada penyakit hemolitik ABO, fototerapi akan dimulai apabila level
bilirubin melebihi 10 mg/dl pada usia 12 jam, 12 mg/dl pada 18 jam, 14 mg/dl pada
24 jam, atau 15 mg/dl pada lain waktu. Apabila level bilirubin mencapai 20 mg/dl,
perlu dilakukan transfusi tukar (Cloherty et al, 2008).
Pada inkompatibilitas ABO, darah untuk transfusi tukar sebaiknya golongan
O Rh-negatif atau Rh yang kompatibel dengan ibu dan janin, cross-matched
melawan ibu dan janin, serta mempunyai titer yang rendah terhadap antibodi anti-A
atau anti-B. Biasanya, digunakan sel golongan O dengan plasma golongan AB
supaya tidak terdapat antibodi anti-A atau anti-B (Cloherty et al, 2008).
26
BAB 3
KERANGKA KONSEPTUAL
3.1 Kerangka Konseptual
Keterangan:
: variabel yang diteliti
: variabel yang tidak diteliti
Gambar 3.1 Kerangka Konseptual
Inkompatibilitas ABO
antara ibu dan janin
Menyerang antigen
pada eritrosit janin
Menembus plasenta, masuk
ke sirkulasi janin
Ibu mempunyai antibodi imun IgG
Hemolisis >>
Katabolisme eritrosit ↑↑
Bilirubin Indirek ↑↑
IKTERUS
Fisiologis
Hemolitik selain ABO:
Isoimunisasi Rhesus
Isoimunisasi lain
Kerusakan eritrosit
(sferositosis, def G6PD)
Berlanjut:
ASI
Hepatitis neonatal
Hipotiroidisme
Kegagalan metabolisme bawaan (galaktosemia)
Traktus bilier abnormal
Fisiologis + :
Prematuritas
Hematoma
Polisitemia
Dehidrasi
Sepsis
Obstruksi usus
27
3.2 Penjelasan Kerangka Konseptual
Kerangka di atas menjelaskan tentang proses yang menyebabkan ikterus
pada bayi akibat inkompatibilitas ABO antara ibu dan janin. Pada ibu yang
bergolongan darah ABO berbeda dengan janinnya, ada beberapa dari ibu yang
mempunyai antibodi imun tipe IgG di dalam serumnya. Antibodi tipe ini dapat
menembus plasenta sehingga dapat masuk ke sirkulasi janin dan menyerang antigen
pada eritrosit janin. Keadaan ini membuat eritrosit janin lisis ( hemolisis ). Karena
jumlah eritrosit yang lisis melebihi normal, katabolisme eritrosit menjadi meningkat.
Peningkatan proses katabolisme ini menyebabkan tingginya kadar bilirubin indirek
yang mengakibatkan timbulnya ikterus pada kulit atau sklera bayi.
Faktor risiko terjadinya ikterus pada bayi tidak hanya akibat
inkompatibilitas ABO, tetapi masih banyak faktor lainnya. Namun, faktor resiko yang
akan diteliti dalam penelitian ini adalah variabel inkompatibilitas ABO ( sebagai
variabel bebas ), sedangkan faktor resiko lain yang tidak diteliti ( hanya sebagai
pembanding ) adalah variabel fisiologis; fisiologis dengan prematuritas, hematoma,
polisitemia, dehidrasi, sepsis, obstruksi usus; penyakit hemolitik selain ABO seperti
isoimunisasi Rhesus atau golongan darah lain misalnya Kell, akibat kerusakan
eritrosit misalnya sferositosis atau defisiensi G6PD; serta ikterus yang berlanjut
seperti akibat pemberian ASI, hepatitis neonatal, hipotiroidisme, kegagalan
metabolisme bawaan (misalnya galaktosemia) serta akibat traktus bilier yang
abnormal ( atresia bilier ).
28
BAB 4
METODE PENELITIAN
4.1 Jenis dan Rancangan Penelitian
4.1.1 Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif
observasional untuk mengetahui prevalensi inkompatibilitas ABO pada neonatus
yang mengalami ikterus dengan menggunakan data sekunder.
4.1.2 Rancangan Penelitian
Penelitian ini menggunakan desain studi cross–sectional. Ciri–ciri dari studi
cross–sectional adalah mempelajari faktor risiko (variabel bebas) dengan efek atau
penyakit (variabel tergantung) dengan melakukan pengukuran sesaat.
4.2 Populasi, Sampel, dan Teknik Pengambilan Sampel
4.2.1 Populasi Penelitian
Semua neonatus (umur 0 – 28 hari) yang dirawat di ruang bayi RSUD Dr.
Soetomo Surabaya yang mengalami ikterus dalam periode 1 Januari 2010 – 30 Juni
2010.
29
4.2.2 Sampel Penelitian
Sampel penelitian diambil dari populasi penelitian yang memenuhi kriteria
inklusi, antara lain:
1. Pasien neonatus yang mengalami ikterus di RSUD Dr. Soetomo Surabaya
pada periode waktu 1 Januari 2010 – 30 Juni 2010
2. Pasien memiliki data DMK (Dokumen Medik Kesehatan) yang lengkap,
termasuk juga penyebab timbulnya ikterus.
Adapun pasien dengan DMK yang tidak lengkap digolongkan dalam kriteria
eksklusi.
4.2.3 Teknik Pengambilan Sampel
Teknik pengambilan sampel dalam penelitian ini dilakukan dengan cara
total sampling.
4.3 Variabel Penelitian dan Definisi Operasional Variabel
4.3.1 Variabel Penelitian
1. Variabel Bebas : Bayi ikterus
2. Variabel Tergantung : Inkompatibilitas ABO
30
4.3.2 Definisi Operasional Variabel
1. Bayi Ikterus
Semua bayi ikterus yang berumur 0 – 28 hari dan dirawat di ruang bayi
RSUD Dr. Soetomo Surabaya periode waktu 1 Januari 2010 – 30 Juni 2010.
Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan
pemeriksaan laboratorium.
a) Anamnesis
6. Riwayat kehamilan dengan komplikasi (obat-obatan, ibu DM, gawat janin,
malnutrisi intra uterin, infeksi intranatal).
7. Riwayat persalinan dengan tindakan / komplikasi.
8. Riwayat ikterus / terapi sinar / transfusi tukar pada bayi sebelumnya.
9. Riwayat inkompatibilitas darah.
10. Riwayat keluarga yang menderita anemia, pembesaran hepar dan limpa
untuk diagnosis banding terhadap penyakit hemolitik yang diakibatkan
thalasemia, sferositosis, dan lain – lain.
(Etika et al, 2006)
b) Pemeriksaan Fisik
Salah satu cara pemeriksaan derajat kuning pada neonatus dengan
penilaian menurut Kramer (1969). (Mansjoer et al, 2007).
31
c) Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan yang biasa dilakukan adalah dengan mengukur serum
bilirubin (bilirubin total dan direk).
2. Inkompatibilitas ABO antara Ibu dan bayi
Semua bayi yang berbeda golongan darah dengan ibunya (biasanya ibu
bergolongan darah O dan bayi bergolongan darah A atau B) yang dirawat di
ruang bayi RSUD Dr. Soetomo Surabaya periode waktu 1 Januari 2010 – 30
Juni 2010. Diagnosis ditegakkan melalui pemeriksaan golongan darah ibu dan
bayi.
4.4 Instrumen Penelitian
Instrument yang digunakan dalam penelitian ini adalah:
Dokumen Medik Kesehatan (DMK) semua bayi baru lahir dengan ikterus
untuk mengetahui penyebab ikterus dan keadaan umum bayi pada periode waktu 1
Januari 2010 – 30 Juni 2010.
4.5 Tempat dan Alokasi Waktu Penelitian
4.5.1 Tempat Penelitian
Penelitian ini dilakukan di ruang bayi RSUD Dr. Soetomo Surabaya.
4.5.2 Waktu Penelitian
Penelitian ini dimulai sejak bulan Juli 2010 sampai Januari 2011.
32
4.6 Prosedur Pengambilan atau Pengumpulan Data
Data berupa data sekunder, yaitu data yang diambil dari status penderita pada
Dokumen Medik Kesehatan (DMK) berupa nama registrasi bayi, jenis kelamin,
tanggal lahir, kondisi bayi yang meliputi data anamnesis usia bayi mulai kuning; data
pemeriksaan fisik menurut Kramer; data pemeriksaan laboratorium: bilirubin
direk/total, golongan darah ibu/anak, hemoglobin; dan terapi yang digunakan:
fototerapi atau transfusi tukar.
4.7 Teknik Pengolahan Data dan Analisis Data
Data yang terkumpul diolah sesuai dengan kriteria yang telah ditentukan,
kemudian dideskripsikan dalam bentuk tabel dan diagram.
33
4.8 Kerangka Operasional
Gambar 4.1 Kerangka Operasional
Bayi ikterus yang dirawat di ruang bayi RSUD Dr. Soetomo
Surabaya pada bulan Januari 2010 – Juni 2010
Kriteria Inklusi dan Eksklusi
Pendataan jumlah bayi yang ikterus
akibat inkompatibilitas ABO
Pendataan jumlah bayi yang ikterus
bukan akibat inkompatibilitas ABO
HASIL
Penyajian Data
Tabulasi Data Deskriptif
34
BAB V
HASIL DAN ANALISIS PENELITIAN
Gambar 5.1 Bagan Hasil dan Analisis Penelitian
Semua neonatus yang dirawat di ruang bayi RSUD Dr. Soetomo Surabaya dalam
periode 1 Januari 2010 – 30 Juni 2010, n = 528
Ikterus akibat inkompatibilitas
ABO n = 7 neonatus (4,38%)
Neonatus ikterus MRS, n = 177
17 data pasien tereksklusi karena:
- 15 rekam medik tidak ditemukan - 2 rekam medik data tidak valid
Ikterus bukan akibat
inkompatibilitas ABO
n = 153 neonatus (95,62%)
Data inklusi neonatus ikterus, n = 160
35
Selama periode 1 Januari 2010 – 30 Juni 2010, terdapat 528 neonatus yang dirawat di
ruang bayi RSUD Dr. Soetomo Surabaya. Dari 528 kasus tersebut, 177 kasus (33,52%)
diantaranya dengan diagnosa ikterus neonatorum. Namun, 17 sampel tereksklusi karena 15
rekam medik tidak ditemukan dan 2 rekam medik data tidak valid, sehingga sampel yang
tercatat lengkap dan termasuk dalam kriteria inklusi sebanyak 160 sampel.
Dari jumlah tersebut, terdapat tujuh kasus ikterus akibat inkompatibilitas ABO (4,38%)
dan jumlah yang ikterus bukan akibat inkompatibilitas ABO 153 neonatus (95,62%). Sehingga
dapat disimpulkan bahwa prevalensi inkompatibilitas ABO pada neonatus yang mengalami
ikterus di RSUD Dr. Soetomo Surabaya periode waktu 1 Januari 2010 – 30 Juni 2010 sebesar
4,38%.
351 neonatus
(33,52%)
177 neonatus
(66,48%)
Ikterus Neonatorum
Lain -Lain
Gambar 5.2 Diagram prevalensi ikterus neonatorum
36
153 neonatus
(95,62% )
7 neonatus
(4,38% )
Inkompatibilitas ABO
Bukan Inkompatibilitas ABO
Gambar 5.3 Diagram prevalensi ikterus neonatorum akibat inkompatibilitas ABO
Tabel 5.1 Distribusi golongan darah dari bayi yang mengalami ikterus akibat inkompatibilitas
ABO
Jumlah Bayi Persentase
Golongan A 4 2,50%
Darah B 3 1,88%
TOTAL 7 4,38%
Berdasarkan tabel 5.1 terlihat bahwa dari tujuh bayi yang mengalami ikterus akibat
inkompatibilitas golongan darah ABO (4,38%), terdapat empat neonatus yang bergolongan
darah A (2,50%) dan tiga neonatus bergolongan darah B (1,88%). Jadi, golongan darah A lebih
banyak dimiliki oleh neonatus yang mengalami ikterus akibat inkompatibilitas golongan darah
ABO ( yaitu sebesar 2,50% ).
37
4 neonatus
(2,50% )
3 neonatus
(1,88% )Golongan Darah A
Golongan Darah B
Gambar 5.4 Diagram distribusi golongan darah dari bayi yang mengalami ikterus akibat
inkompatibilitas ABO
38
BAB VI
PEMBAHASAN
Seperti yang telah kita ketahui sebelumnya, ikterus dapat terjadi pada neonatus yang
golongan darahnya tidak kompatibel dengan golongan darah ibunya (Nelson, 2007). Penelitian
bertempat di ruang bayi Departemen/SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD Dr.Soetomo Surabaya
menggunakan rekam medik sebagai sumber datanya. Penelitian ini merupakan penelitian
deskriptif observasional untuk mengkaji prevalensi terjadinya ikterus pada neonatus; prevalensi
inkompatibilitas ABO pada neonatus yang mengalami ikterus; serta mengkaji prevalensi
golongan darah dari neonatus yang mengalami inkompatibilitas ABO di RSUD Dr. Soetomo
Surabaya periode 1 Januari 2010 – 30 Juni 2010.
Pada periode tersebut terdapat 528 neonatus yang dirawat di ruang bayi RSUD Dr.
Soetomo Surabaya dan dari 528 bayi itu, 177 kasus diantaranya (33,52%) dengan diagnosa
ikterus neonatorum. Namun, dari 177 kasus tadi, setelah dilakukan pengambilan data, lima
belas rekam medik tidak ditemukan dan dua rekam medik lagi terdapat kekeliruan dalam proses
pendataan rekam medis sehingga ketujuh belas kasus tadi kami ekslusi dan tidak dapat kami ikut
sertakan dalam proses selanjutnya untuk mengetahui prevalensi neonatus yang mengalami
ikterus akibat inkompatibilitas ABO.
Dari 160 neonatus yang tercatat lengkap dan termasuk dalam kriteria inklusi, terdapat
tujuh neonatus yang mengalami ikterus akibat inkompatibilitas golongan darah ABO sebesar
4,38%. Sebagai perbandingan, dalam penelitian yang dilakukan oleh Dwi Anita Apriastuti,
prosentase kejadian hiperbilirubinemia akibat inkompatibilitas ABO di RSU Pandan Arang
39
Boyolali pada bulan Maret sampai Juli 2007 sebanyak 21,74%. Berdasarkan yang tercantum
dalam Nelson text book of pediatrics, inkompatibilitas ABO terjadi pada 20 – 25% kehamilan, dan
hanya 10% yang menyebabkan terjadinya hemolitik. Perbedaan prevalensi ini dapat diakibatkan
oleh berbagai faktor, dari metode penelitian yang berbeda, sistem pendataan pasien yang
berbeda, sampai akibat dari faktor pencetus timbulnya ikterus itu sendiri.
Berdasar referensi, yang dilakukan pada pasien adalah pemeriksaan golongan darah dan
Coomb’s tes untuk mendiagnosis apakah pasien mengalami hemolitik akibat inkompatibilitas
ABO. Namun, pada penelitian ini didapatkan bahwa pemeriksaan golongan darah bayi yang
mengalami ikterus, terutama yang muncul pada 24 jam sampai 48 jam pertama, tidak dilakukan
secara rutin. Banyak juga ibu dari neonatus tersebut yang tidak mengetahui golongan darahnya.
Selain itu, karena adanya beberapa hambatan, pemeriksaan Coomb’s tes juga tidak dapat
dilakukan.
Dari tujuh neonatus yang mengalami ikterus akibat inkompatibilitas ABO, empat
neonatus bergolongan darah A (2,50%) dan tiga neonatus bergolongan darah B (1,88%). Jadi,
golongan darah A lebih banyak dimiliki oleh neonatus yang mengalami ikterus akibat
inkompatibilitas golongan darah ABO ( yaitu sebesar 2,50% ). Hasil yang sama juga didapatkan
pada penelitian yang dilakukan oleh Dwi Anita Apriastuti. Dalam penelitiannya, sebanyak 13%
hiperbilirubinemia akibat inkompatibilitas ABO terjadi pada ibu yang bergolongan darah O
melahirkan bayi yang bergolongan darah A dan sebanyak 8,8 % dari ibu yang bergolongan darah
O melahirkan bayi yang bergolongan darah B. Begitu juga dalam Nelson text book of pediatrics,
golongan darah pada neonatus yang mengalami ikterus akibat inkompatibilitas ABO terjadi pada
ibu yang bergolongan darah O dan neonatus dengan golongan darah A atau B dan yang
40
terbanyak disebabkan golongan darah A1 ( tetapi, dalam penelitian kami tidak dibedakan antara
golongan A1 dan A2 ).
41
BAB VII
PENUTUP
7.1 Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian yang diperoleh, dapat ditarik kesimpulan tentang
prevalensi terjadinya ikterus pada neonatus, prevalensi inkompatibilitas ABO pada
neonatus yang mengalami ikterus, serta prevalensi golongan darah dari neonatus yang
mengalami inkompatibilitas ABO di RSUD Dr. Soetomo Surabaya periode 1 Januari 2010
– 30 Juni 2010:
Dari seluruh bayi yang di rawat di ruang bayi periode tersebut di atas, 33,52 %
diantaranya mengalami ikterus neonatorum.
Pada penelitian dengan sampel sebesar 160 pasien ikterus neonatorum, yang
diakibatkan oleh inkompatibilitas golongan darah ABO sebanyak tujuh neonatus
(4,38%).
Dari tujuh pasien ikterus neonatorum akibat inkompatibilitas golongan darah
ABO, empat diantaranya bergolongan darah A (2,50%) dan tiga neonatus
bergolongan darah B (1,88%).
7.2 Saran
1. Perlunya perbaikan sistem pencatatan yang lengkap mulai dari pasien masuk
rumah sakit, masa perawatan, serta dalam pencatatan setiap hasil pemeriksaan
fisik maupun laboratorium yang diperiksa, sehingga menjadi mudah bagi peneliti
untuk mendapatkan data secara lengkap,
42
2. Memasukkan data golongan darah ibu hamil baik dengan anamnesis maupun
pemeriksaan laboratorium terutama jika ikterus neonatorum tersebut dicurigai
akibat inkompatibilitas golongan darah,
3. Sebaiknya dilakukan uji laboratorium Coomb’s test pada bayi yang diduga
mengalami ikterus akibat inkompatibilitas ABO,
4. Melakukan penelitian lebih lanjut menggunakan metode cohort dengan sampel
ibu hamil yang memiliki golongan darah O, kemudian diperiksa golongan darah
bayi yang dilahirkannya dan dipantau apakah bayi tersebut mengalami ikterus
atau tidak sehingga dapat digunakan sebagai acuan untuk peningkatan pelayanan,
dan penyusunan program untuk neonatus yang mengalami ikterus akibat
inkompatibilitas ABO terutama di RSUD Dr. Soetomo Surabaya.
43
DAFTAR PUSTAKA
Apriastuti, Dwi Anita. 2007. Kejadian Hiperbilirubinemia Akibat Inkompatibilitas ABO
di RSU Pandan Arang Boyolali. Abstrak. Diakses dari:
http://digilib.uns.ac.id/abstrak.pdf.php?d_id=2865 pada tanggal 10 Mei 2010.
Christensen, Robert. D. 2000. Hematologic Aspects of The Maternal-Fetal Relationship
in Hematologic Problems of the Neonate. Pennsylvania: W.B. Saunders company.
pp 101; 102
Cloherty, John P., E.C. Eichenwald, Ann R. Stark. 2008. Neonatal Hyperbilirubinemia in
Manual of Neonatal Care. Philadelphia: Lippincot Williams & Wilkins. pp 181;
194; 202; 204; 210.
Etika, Risa et al. 2006. Hiperbilirubinemia pada Neonatus. Divisi Neonatologi bagian
Ilmu Kesehatan Anak. FK Unair / RSU Dr. Soetomo Surabaya. Diakses dari
http://www.pediatrik.com/pkb/20060220-js9khg-pkb.pdf pada tanggal 10 Mei
2010.
Hassan, Rusepno, Staf pengajar ilmu kesehatan anak FKUI. 2005. Inkompatibilitas ABO
and Ikterus pada Bayi Baru Lahir in Buku Kuliah Ilmu Kesehatan Anak 3.
Jakarta: percetakan Infomedika . pp 1097; 1105-1106; 1109.
Kalakheti, BK., R Singh, et al, 2009. 'Risk of neonatal hyperbilirubinemia in babies born
to ‘O’ positive mothers: A prospective cohort study'. Kathmandu University
Medical Journal, vol 7. Diakses dari:
http://www.nepjol.info/index.php/KUMJ/article/viewArticle/1758 pada tanggal
10 Mei 2010.
44
Kennedy, Melanie S. et al. 1999. Hemolytic Disease of the Newborn and Fetus, in
Harmening, Denise M. Blood Banking and Transfusion Practices. Bangkok: F.A.
Davis company. pp 432 .
Kliegman, Robert M. et al. 2007. Nelson Text Book of Pediatrics. 18th
edition Vol. 1.
Philadelphia : W.B. Saunders. pp756-758;768; 772.
Mansjoer, Arif et al. 2007. Kapita Selekta Kedokteran jilid 2 edisi III. Jakarta : Media
Aesculapius Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. pp 503-505.
Meadow, Roy et al. 2005. Lecture Notes Pediatrika. Edisi ketujuh. Jakarta : Erlangga
Medical Series. pp 75
Murray, Robert K. et al. 2009. Edisi Bahasa Indonesia : Biokimia Harper. 27th ed. Alih
bahasa : Pendit, Brahm U. Jakarta : EGC. pp 299.
Sacher, Ronald A., Richard A. McPherson. 2004. Tinjauan Klinis Hasil Pemeriksaan
Laboratorium. 11th
ed. Editor bahasa Indonesia : Hartanto, Huriawati. Jakarta :
EGC. pp 271-272; 275-276; 363-364.
Sarwono, Erwin et al. 1994. Pedoman Diagnosis dan Terapi Lab / UPF Ilmu Kesehatan
Anak. Ikterus Neonatorum ( Hyperbilirubinemia Neonatorum ). Surabaya : RSUD
Dr. Soetomo. pp 169; 173.
Sukadi, Abdulrahman. 2008. Hiperbilirubinemia, in Kosim, M. Sholeh et al. Buku Ajar
Neonatologi. Edisi Pertama. Jakarta : Badan Penebit IDAI. pp 147.
45