bab iv - pembahasan

35
BAB IV PEMBAHASAN Diagnosis pada kasus pasien ini adalah G 1 P 0 A 0 , usia 20 tahun, usia kehamilan 32 minggu, dengan eklampsia, sindroma HELLP, dan Intra Uterine Fetal Death (IUFD). Pada pasien ini di diagnosis eklampsia karena pasien mengalami serangan kejang sejak 3 jam sebelum masuk rumah sakit dengan durasi ± 10 menit. Pasien kembali mengalami serangan kejang selama perawatan di VK IGD Rumah Sakit Margono Soekarjo. Pasien juga memiliki riwayat tekanan darah tinggi, yaitu 160/90 mmHg dan proteinuria. Pasien juga mengalami sindroma HELLP. Keadaan ini dibuktikan pada pemeriksaan laboratorium darah, dimana pada uji fungsi hepar pasien terdapat kenaikan SGOT (Serum Glutamat Oksaloasetat Transaminase) yaitu 47 U/L serta kadar LDH (Laktat Dehidrogenase) yaitu 627 U/L, sedangkan trombosit mengalami penurunan (trombositopenia) yaitu 135.000/L. Pada pemeriksaan keadaan kandungan pasien ketika baru datang ke rumah sakit, tidak diketahui kondisi pasti janinnya, karena denyut jantung janin sulit dinilai dengan menggunakan stetoskop Laennec. Pada saat pemeriksaan dengan menggunakan USG sudah tidak didapatkan tanda-tanda kehidupan janin. Pemeriksaan USG ini sudah dapat membuktikan bahwa telah terjadi IUFD (Intra Uterine Fetal Death) pada janin pasien.

Upload: muhamad-ikbal-ibank

Post on 02-Aug-2015

264 views

Category:

Documents


9 download

DESCRIPTION

eklamsia

TRANSCRIPT

BAB IV

PEMBAHASAN

Diagnosis pada kasus pasien ini adalah G1P0A0, usia 20 tahun, usia

kehamilan 32 minggu, dengan eklampsia, sindroma HELLP, dan Intra Uterine

Fetal Death (IUFD). Pada pasien ini di diagnosis eklampsia karena pasien

mengalami serangan kejang sejak 3 jam sebelum masuk rumah sakit dengan

durasi ± 10 menit. Pasien kembali mengalami serangan kejang selama perawatan

di VK IGD Rumah Sakit Margono Soekarjo. Pasien juga memiliki riwayat

tekanan darah tinggi, yaitu 160/90 mmHg dan proteinuria. Pasien juga mengalami

sindroma HELLP. Keadaan ini dibuktikan pada pemeriksaan laboratorium darah,

dimana pada uji fungsi hepar pasien terdapat kenaikan SGOT (Serum Glutamat

Oksaloasetat Transaminase) yaitu 47 U/L serta kadar LDH (Laktat

Dehidrogenase) yaitu 627 U/L, sedangkan trombosit mengalami penurunan

(trombositopenia) yaitu 135.000/L.

Pada pemeriksaan keadaan kandungan pasien ketika baru datang ke rumah

sakit, tidak diketahui kondisi pasti janinnya, karena denyut jantung janin sulit

dinilai dengan menggunakan stetoskop Laennec. Pada saat pemeriksaan dengan

menggunakan USG sudah tidak didapatkan tanda-tanda kehidupan janin.

Pemeriksaan USG ini sudah dapat membuktikan bahwa telah terjadi IUFD (Intra

Uterine Fetal Death) pada janin pasien.

A. EKLAMPSIA

1. Definisi

Preeklampsia-eklampsia adalah penyakit pada wanita hamil yang

secara langsung disebabkan oleh kehamilan. Preeklampsia adalah

hipertensi yang disertai dengan proteinuria akibat kehamilan setelah

kehamilan 20 minggu atau segera setelah melahirkan, sedangkan

eklampsia merupakan preaklampsia yang disertai kejang dan disusul

koma yang timbul bukan akibat dari kelainan neurologi. ). Dahulu, pre

eklampsia didefinisikan sebagai penyakit dengan tanda-tanda hipertensi,

edema dan proteinuria yang timbul karena kehamilan. Namun kini

edema tungkai tidak dipakai lagi sebagai kriteria hipertensi kecuali

edema anaserka. Penyakit ini terjadi pada triwulan ke 3 kehamilan tetapi

dapat juga terjadi sebelumnya, misalnya pada mola hidatidosa

(Prawirohardjo, 2008; POGI,2005).

Kejang-kejang dimulai dengan kejang tonik. Tanda-tanda dari

kejang tonik ialah dengan dimulainya gerakan kejang berupa twitching

dari otot-otot muka khususnya sekitar mulut, yang beberapa detik

kemudian disusul kontraksi otot-otot tubuh yang menegang, sehingga

seluruh tubuh menjadi kaku. Pada keadaan ini wajah penderita

mengalami distorsi, bola mata menonjol, kedua lengan fleksi, tangan

menggenggam, kedua tungkai dalam posisi inverse. Semua otot tubuh

pada saat ini dalam keadaan kontraksi tonik. Keadaan ini berlangsung

15-30 detik. Kejang tonik segera disusul dengan kejang klonik. Kejang

klonik dimulai dengan terbukanya rahang secara tiba-tiba dan tertutup

kembali dengan kuat disertai pula dengan terbuka dan tertutupnya

kelopak mata. kemudian disusul dengan kontraksi intermiten pada otot-

otot muka dan otot-otot seluruh tubuh. Kejang karena eklampsia dapat

muncul kembali pada saat postpartum. Sering selama beberapa jam

sampai beberapa hari post partum. Diuresis (> 4 L/ hari) diyakini sebagai

indikator klinis yang paling akurat dari pulihnya preeklampsia atau

eklampsia, tetapi hal ini tidak menjamin tidak berulangnya kejang. Dapat

pula terjadi eklampsia postpartum lanjut (kejang eklamptik yang

berkembang > 48 jam postpartum, namun < 4 minggu postpartum) pada

25% kasus postpartum dan >16% dari seluruh kasus eklampsia

(Cunningham, 2005; Pangemanan, 2002; Prawirohardjo, 2008).

2. Epidemiologi

Eklampsia umumnya terjadi pada wanita kulit berwarna,

nulipara, dan golongan sosial ekonomi rendah. Insiden tertinggi pada usia

remaja atau awal usia 20 tahun, tetapi prevalensinya meningkat pada

wanita diatas 35 tahun. Eklampsia jarang terjadi pada usia kehamilan

dibawah 20 minggu, dapat meningkat pada kehamilan mola atau

sindroma antifosfolipid. Insiden eklampsia secara keseluruhan relatif

stabil, yaitu antara 4-5 kasus per 10.000 kelahiran hidup di negara maju.

Di negara berkembang, insiden bervariasi luas antara 6-100 kasus per

10.000 kelahiran hidup (Halimi, 2010).

Berdasarkan penelitian Lukas dan Rambulangi (1994), di dua

RS pendidikan di Makassar insidensi preeklampsia berat 2,61%,

eklampsia 0,84% dan angka kematian akibatnya 22,2%. Sedangkan pada

penelitian yang dilakukan di RS Tarakan, Kalimantan Timur,

menyatakan bahwa angka kejadian preeklampsia-eklampsia di rumah

sakit ini selama periode antara 1 Januari-30 Desember 2010 adalah

sebesar 74 kasus (5,1%) dari total 1431 persalinan, dengan rincian

preeklampsia sebesar 61 kasus (4,2%) dan eklampsia 13 kasus (0,9%)

(Sudinaya, 2003).

3. Etiologi

Sebab eklampsia belum diketahui pasti, tapi ada beberapa teori

mencoba menjelaskan perkiraan etiologi dari kelainan tersebut di atas,

sehingga kelainan ini sering dikenal sebagai the diseases of theory.

Adapun teori-teori tersebut antara lain:

1. Peran Prostasiklin dan Tromboksan

Pada preeklampsia dan eklampsia terdapat kerusakan pada

endotel vaskuler sehingga terjadi penurunan produksi prostasiklin

yang pada kehamilan normal meningkat. Aktivasi trombosit

menyebabkan pelepasan tromboksan dan serotonin sehingga terjadi

vasospasme dan kerusakan endotel (Blum, 2003).

2. Peran Faktor Immunologis

Preeklampsia sering terjadi pada kehamilan pertama dan tidak

timbul lagi pada kehamilan berikutnya. Hal ini dapat diterangkan

bahwa pada kehamilan pertama pembentukan blocking antibodies

terhadap antigen plasenta tidak sempurna, yang semakin sempurna

pada kehamilan berikutnya (Sankaralingam, 2009).

3. Peran Faktor Genetik/Familial

Beberapa bukti yang menunjukkan peran faktor genetik pada

kejadian Preeklampsia dan eklampsia (PE-E) antara lain:

a. Preeklampsia hanya terjadi pada manusia.

b. Terdapatnya kecenderungan meningkatnya frekuensi PE-E pada

anak-anak dari ibu yang menderita PE-E.

c. Kecendrungan meningkatnya frekuensi PE-E pada anak dan cucu

ibu hamil dengan riwayat PE-E dan bukan pada ipar mereka.

4. Peran Renin Angiotensin Aldosteron System (RAAS).

Jika terjadi peningkatan sekresi dan rennin, maka tekanan darah

akan meningkat pula. Hal ini disebabkan oleh sifat renin mengikat air,

sehingga terjadi peningkatan volume darah yang menambah beban

jantung sehingga tejadi kompensasi jantung dengan meningkatkan

tekanan darah (Shah, 2005).

4. Patogenesis

Banyak teori telah dikemukakan tentang hipertensi dalam

kehamilan, tetapi tidak ada satupun teori tersebut yang dianggap mutlak

benar. Teori-teori yang sekarang banyak dianut adalah sebagi berikut:

1. Teori kelainan vaskularisasi plasenta

Tidak terjadinya invasi tropoblas pada arteri spiralis dan

jaringan matriks di sekitarnya sehingga lumen arteri spiralis tidak

mengalami distensi dan vasodilatasi sehingga terjadi kegagalan

remodelling arteri spiralis. Hal ini menyebabkan aliran darah

uteroplasenta menurun dan terjadilah hipoksia dan iskemia plasenta.

2. Teori iskemia plasenta, radikal bebas, dan disfungsi endotel

Iskemia plasenta akan menyebabkan terbentuknya radikal bebas

atau oksidan yang beredar dalam sirkulasi sehingga disebut toxaemia.

Radikal bebas akan mengikat asam lemak tak jenuh menjadi peroksida

lemak yang akan merusak endotel pembuluh darah.

Kerusakan endotel pembuluh darah menyebabkan disfungsi endotel

dan berakibat sebagai berikut:

- Gangguan metabolisme prostaglandin sehingga protasiklin

sebagai vasodilator kuat menurun

- Agregasi trombosit pada endotel yang rusak dan produksi

tromboksan sebagai vasokonstriktor kuat

- Perubahan endotel glomerolus ginjal

- Peningkatan permeabilitas kapiler

- Peningkatan bahan vasopresor endotelin dan penurunan nitrit

oxida (NO)

- Peningkatan faktor koagulasi

5. Teori intoleransi imunologik antara ibu dan janin

Hasil konsepsi pada kehamilan normal tidak terjadi penolakan

karena adanya Human Leukocyte Antigen type G (HLA-G) pada

plasenta sehingga melindungi trofoblast dari lisis oleh sel NK ibu.

HLA-G juga akan membantu invasi trofoblast pada jaringan desidua

ibu. Pada penurunan HLA-G, invasi trofoblast terhambat sehingga

tidak terjadi dilatasi arteri spiralis.

6. Teori adaptasi kardiovaskulatori genetik

Pada wanita hamil normal, terjadi refrakter pembuluh darah

terhadap bahan vasopresor sehingga membutuhkan kadar yang tinggi

untuk menyebabkan vasokonstriksi, hal tersebut terjadi karena adanya

perlindungan prostasiklin. Pada keadaan menurunnya prostasiklin

maka kepekaan terhadap vasokonstriktor meningkat sehingga mudah

terjadi vasokonstriksi.

7. Teori defisiensi gizi

Diet yang dianjurkan untuk mengurangi resiko terjadinya

preeklamsi adalah makanan kaya asam lemak tak jenuh yang akan

menghambat terbentuknya tromboksan, aktivasi trombosit dan

vasokonstriksi pembuluh darah. Konsumsi kalsium menurut penelitian

juga menurunkan insidensi preeklamsi.

8. Teori inflamasi

Lepasnya debris tropoblas sebagai sisa proses apoptosis dan

nekrotik akibat stres oksidatif dalam peredaran darah akan

mencetuskan terjadinya reaksi inflamasi. Pada kehamilan normal

jumlahnya dalam batas wajar. Sedangkan pada kehamilan dengan

plasenta yang besar, kehamilan ganda, dan mola maka debrisnya juga

semakin banyak dan terjadi reaksi sistemik inflamasi pada ibu.

(Prawirohardjo, 2008)

Seperti yang telah dijelaskan di atas, penyebab pasti dari

terjadinya eklampsia belum diketahui pasti, tetapi kemungkinan besar

karena placental ischemia. Invasi sel trofoblast menimbulkan dilatasi

pembuluh darah pada kehamilan normal, sehingga dapat memenuhi

kebutuan nutrisi. Pada keadaan preeklampsia terjadi invasi sel trofoblast,

hanya sebagian pada arteri spiralis di endometrium desidua. Akibatnya

terjadi gangguan fungsi plasenta, karena sebagian besar arteri spiralis

terdapat pada miometrium. Hal ini membuat plasenta kekurangan nutrisi

dan oksigen, karena terjadi iskemia di regio uteroplacenta, oleh karena itu

perfusi di uteroplasenta juga menurun. Keadaan ini menginduksi

stimulasi dari substansi vasokonstriksi (seperti tromboksan, angiotensin,

endothelin) dan menghambat substansi vasodilator (PGI2, PGE2, NO) dari

plasenta yang iskemik tersebut. Kemudian mulailah hipertensi, DIC

(Disseminated Intravascular Coagulation), dan kerusakan berbagai

organ. Selama eklampsia, plasenta yang iskemik tersebut akan terus

meningkatkan thromboplastic substance dan mengurangi faktor anti

pembekuan darah (antitrombin III) sehingga terjadilah DIC.

Gambar 1Patomekanisme preeklampsia dan eklampsia

Pada keadaan normal, wanita hamil akan terjadi resistensi

terhadap vasokonstriksi dan efek hipertensi dari angiotensin. Tetapi pada

keadaan eklampsia, wanita tersebut akan kehilangan resistensinya

sehingga mengakibatkan terjadinya hipertensi sistemik. Prostaglandin E2

(PGE2) dihasilkan dari uteroplasenta selama kehamilan normal, yang

berfungsi untuk menjaga tekanan homeostasis pada wanita tersebut

sehingga resisten terhadap angiotensin sehingga tidak terjadi hipertensi.

Sedangkan pada wanita dengan eklampsia, produksi PGE2 tersebut

berkurang karena ischaemic placenta, akibatnya terjadi peningkatan

hipersensitivitas angiotensin (Blum, 2003).

5. Patofisiologi

Vasokonstriksi merupakan dasar patogenesis preeklampsia dan

eklampsia. Vasokonstriksi menimbulkan peningkatan total perifer resisten

dan menimbulkan hipertensi. Adanya vasokonstriksi juga akan

menimbulkan hipoksia pada endotel setempat, sehingga terjadi kerusakan

endotel, kebocoran arteriol disertai perdarahan mikro pada tempat

endotel. Jika semua arteriol pada tubuh mengalami spasme, maka tekanan

darah akan naik, sebagai usaha untuk mengatasi kenaikan tekanan perifer

agar oksigenasi jaringan tetap tercukupi. Sedangkan kenaikan berat badan

dan edema yang disebabkan oleh penimbunan air yang berlebihan dalam

ruang interstisial belum diketahui sebabnya, mungkin karena retensi

garam dan air. Proteinuria dapat disebabkan oleh perubahan fungsi ginjal

berupa menurunnya aliran darah ke ginjal akibat hipovolemia sehingga

terjadi oligouria bahkan anuria, spasme arteriolae menyebabkan

perubahan pada glomerulus berupa kerusakan sel glomerulus

mengakibatkan meningkatnya permeabilitas membrana basalis sehingga

terjadi kebocoran dan mengakibatkan proteinuria (Mochtar, 1998;

Prawirohardjo, 2008).

Pada preeklampsia peningkatan reaktivitas vaskuler dimulai

pada saat umur kehamilan 20 minggu, tetapi hipertensi dideteksi umumnya

pada trimester II. Tekanan darah pada preeklampsia bersifat labil dan

mengikuti irama sirkadian normal. Tekanan darah menjadi normal

beberapa hari pasca persalinan, kecuali beberapa kasus preeklampsia berat

Edema

Hemokonsentrasi

Plasenta kurang O2

Tekanan hidrostatik ↑

Protenuria

Retardasi pertumbuhan janin

Kebocoran kapiler

Uteroplasenta

Vasospasme

JantungCO ↑Tekanan darah ↑

GFR ↓ :OliguriaBersihan kreatinin, ureum, dna asam urat ↓

Otak :KonvulsiGangguan penglihatan

Iskemia hepar :SGOT – SGPT ↑Nyeri perut kanan atas

HeparGinjal

Iskemia tubukus dan glomerulus ginjal :ProteinuriaGagal ginjal

Zat vasoaktif :ProstaglandinNitrat oksidaEndothelin

Penurunan perfusi uteroplasenta

Aktivasi endotel Zat perusak :SitokinPeroksidase

Trombositopenia

Aktivasi koagulasi

Gangguan Vaskular Ibu Gangguan plasentasi

Faktor genetikImunologikInflamasi

Trofoblas berlebihan

kembalinya tekanan darah dapat terjadi 2-4 minggu pasca persalinan

(Prawirohardjo, 2008).

Gambar 2.Patofisiologi preeklampsia-eklampsia

6. Kriteria diagnosis

Secara umum, preeklampsia dibagi menjadi 2 golongan, yaitu :

a. Preeklampsia ringan

Kriteria diagnostik :

Tekanan darah 140/90 mmHg yang diukur pada posisi

terlentang; atau kenaikan sistolik 30 mmHg; atau kenaikan

tekanan diastolik 15 mmHg.

Cara pengukuran sekurang-kurangnya pada dua kali pemeriksaan

dengan jarak periksa 1 jam, sebaiknya 6 jam.

Proteinuria kuantitatif 0,3 gram/liter; kualitatif 1+ atau 2+ pada

urin kateter atau mid stream

Edema : lokal pada tungkai tidak dimasukkan dalam kriteria

diagnostik kecuali anasarka.

b. Pre eklampsia berat

Pre eklampsia digolongkan berat bila terdapat satu atau lebih gejala:

1. Tekanan sistolik 160 mmHg atau lebih, atau tekanan diastolik 110

mmHg atau lebih

2. Proteinuria 5 gr atau lebih per jumlah urin selama 24 jam

3. Oliguria, urine kurang dari atau sama dengan 400 cc dalam 24

jam.

4. Kenaikan kreatinin serum.

5. Nyeri di daerah epigastrium dan nyeri kuadran atas kanan

abdomen

6. Terjadi edema paru dan sianosis

7. Terjadi kelainan serebral dan gangguan penglihatan

8. Terjadi gangguan fungsi hepar

9. Hemolisis mikroangiopatik

10. Trombositopenia (< 100.000 sel/mm3)

11. Sindroma HELLP.

(POGI, 2005; Prawirohardjo, 2008; Mochtar, 1998)

Apabila pada preeklampsia berat didapatkan sakit kepala di daerah

frontal, diplopia, penglihatan kabur, nyeri daerah epigastrium, mual atau

muntah sering merupakan petunjuk terjadinya impending eklampsia. Jika

keadaan ini tidak segera ditanggulangi maka akan timbul kejang. Kejang

pada eklampsia dibagi menjadi 4 tingkatan yaitu:

1. Tingkat awal atau aura

Keadaan ini berlangsung sekitar 30 detik. Mata penderita terbuka

tanpa melihat, kelopak mata dan tangan bergetar dan kepala diputar

kekanan atau kekiri.

2. Tingkat kejangan tonik

Berlangsung 30 detik. Pada tingkat ini seluruh otot menjadi kaku,

wajah kelihatan kaku, tangan menggenggam dan kaki bengkok ke

dalam. Pernafasan berhenti, wajah menjadi sianotik dan lidah dapat

tergigit. Stadium ini akan disusul oleh tingkat kejanga klonik.

3. Tingkat kejangan klonik

Berlangsung antara 1-2 menit. Spasme tonik menghilang, semua

otot berkontraksi dan berulang-ulang dalam tempo yang cepat. Mulut

membuka dan menutup dan lidah dapat tergigit lagi. Bola mata

menonjol. Dari mulut keluar lidah yang berbusa, wajah menunjukkan

kongesti dan sianosis. Setelah kejang terhenti, pasien bernafas dengan

mendengkur.

4. Tingkat koma

Lamanya ketidaksadaran tidak selalu sama. Secara perlahan

penderita biasa menjadi sadar lagi.

(Mochtar, 1998; Blum, 2003)

Diagnosis eklampsia umumnya tidak mengalami kesukaran.

Dengan adanya tanda dan gejala pre eklampsia yang disusul oleh

serangan kejang, maka diagnosis eklampsia sudah tidak diragukan

(Budiono, 1999).

7. Komplikasi

Berikut adalah beberapa komplikasi yang ditimbulkan pada

preeklampsia berat dan eklampsia:

1) Solutio Plasenta, biasanya terjadi pada ibu yang menderita hipertensi

akut dan lebih sering terjadi pada preeklampsia.

2) Hipofibrinogemia, kadar fibrin dalam darah yang menurun.

3) Hemolisis, penghancuran dinding sel darah merah sehingga

menyebabkan plasma darah yang tidak berwarna menjadi merah.

4) Perdarahan otak. Komplikasi ini merupakan penyebab utama

kematian maternal penderita eklampsia.

5) Kelainan mata, kehilangan penglihatan untuk sementara, yang

berlangsung selama seminggu.

6) Edema paru. Pada kasus eklampsia, hal ini disebabkan karena

penyakit jantung.

7) Nekrosis hati. Nekrosis periportal pada preeklampsia dan eklampsia

merupakan akibat vasospasme pembuluh darah hepar. Kelainan ini

diduga khas untuk eklampsia.

8) Sindrome HELLP (Hemolysis, elevated liver enzymes dan low

platelete count).

9) Kelainan ginjal. Kelainan berupa endoklrosis glomerulus, yaitu

pembengkakan sitoplasma sel endotial tubulus. Ginjal tanpa kelainan

struktur lain, kelainan lain yang dapat timbul ialah anuria sampai

gagal ginjal.

10) Komplikasi lain, seperti lidah tergigit, trauma dan faktur karena jatuh

akibat kejang-kejang preumania aspirasi, dan DIC (Disseminated

Intravascular Coagulation)

11) Prematuritas, dismaturitas dan kematian janin intra uterin.

(Cunningham, 2005; Prawirohardjo, 2008)

8. Penanganan

a. Tujuan terapi eklampsia

- Menghentikan berulangnya serangan kejang

- Menurunkan tekanan darah

- Memperbaiki kondisi hemokonsentrasi dengan pemberian glucose

5%-10%.

- Mengusahakan supaya O2 cukup dengan mempertahankan kebebasan

jalan nafas.

b. Penanganan Kejang

- Perlengkapan untuk penanganan kejang (jalan nafas, sedotan, masker

O2 dan tabung O2 ).

- Lindungi pasien dari trauma.

- Aspirasi mulut dan tenggorokkan.

- Baringkan pasien pada posisi kiri, Trendelenburg untuk mengurangi

resiko aspirasi.

- Beri oksigen 4-6 liter / menit.

- Terapi anti konvulsan, yaitu :

a) Sulfas Magnesikus (MgSO4)

Syarat:

Tersedia antidotum Ca Glukonas 10% (1 amp/iv dalam 3

menit). Reflek patella (+) kuat, Rr > 16 x/menit, tanda distress

nafas (-), Produksi urine > 100 cc dalam 4 jam sebelumnya.

Cara Pemberian:

Loading dose secara intravena: 4 gr/MgSO4 20% dalam 4

menit, intramuskuler: 4 gr/MgSO4 40% gluteus kanan, 4 gr/ MgSO4

40% gluteus kiri. Jika ada tanda impending eklampsi LD diberikan

IV+IM, jika tidak ada LD cukup IM saja. Maintenance

dose diberikan 6 jam setelah loading dose, secara IM 4 gr/MgSO4

40%/6 jam, bergantian pada gluteus kanan/kiri.

Penghentian SM :

Pengobatan dihentikan bila terdapat tanda-tanda intoksikasi,

setelah 6 jam pasca persalinan, atau dalam 6 jam tercapai

normotensi.

b) Diazepam

Diazepam digunakan bila MgSO4 tidak tersedia, atau syarat

pemberian MgSO4 tidak terpenuhi. Cara pemberian: drip 10 mg

dalam 500 ml, max. 120 mg/24 jam. Jika dalam dosis 100 mg/24

jam tidak ada pemberian, alih rawat ruang ICU (Intensive Care

Unit).

c. Penanganan hipertensi

- Diberikan bila tekanan darah ≥ 180/110 atau MAP (Mean Arterial

Pressure) > 126

- Obat pilihan adalah Nifedipin, yang diberikan 5-10 mg oral yang

dapat diulang sampai 8 kali/24 jam

- Nifedipine tidak dibenarkan diberikan dibawah mukosa lidah

(sublingual) karena efek vasodilatasi sangat cepat, sehingga hanya

boleh diberikan per oral.

- Labetolol 10 mg oral. Jika respons tidak membaik setelah 10 menit,

berikan lagi Labetolol 20 mg oral.

- Diuretikum tidak dibenarkan diberikan secara rutin, karena dapat

memperberat penurunan perfusi plasenta, memperberat

hipovolemia, dan meningkatkan hemokonsentrasi, menimbulkan

dehidrasi pada janin, dan menurunkan berat janin. Diuretikum

hanya diberikan atas indikasi edema paru, payah jantung kongestif,

edema anasarka. Diuretikum yang dipakai adalah Furosemide.

(POGI, 2005)

d. Penanganan obstetrik

Setelah kejang dapat diatasi dan keadaan umum penderita

diperbaiki, maka direncanakan untuk mengakhiri kehamilan atau

mempercepat persalinan dengan cara yang aman. Apakah pengakhiran

kehamilan dilakukan dengan seksio sesarea atau dengan induksi

persalinan per vaginam, hal tersebut tergantung dari banyak faktor,

seperti keadaan serviks, komplikasi obstetrik, paritas, adanya ahli

anestesia, tidak terdapat koagulopati dan sebagainya (Prawirohardjo,

2008).

Persalinan per vaginam merupakan cara yang paling baik bila

dapat dilaksanakan cepat tanpa banyak kesulitan. Pada eklampsia

gravidarum perlu diadakan induksi dengan amniotomi dan infus

oksitosin, setelah penderita bebas dari serangan kejang selama 12 jam

dan keadaan serviks memungkinkan. Tetapi, apabila serviks masih

lancip dan tertutup terutama pada primigravida, kepala janin masih

tinggi, atau ada persangkaan disproporsi sefalopelvik, sebaiknya

dilakukan sectio caesarea. Jika persalinan sudah mulai pada kala I,

dilakukan amniotomi untuk mempercepat partus dan bila syarat-syarat

telah dipenuhi, dilakukan ekstraksi vakum atau forceps

(Prawirohardjo, 2008).

Setelah persalinan, perawatan dan pengobatan intensif

diteruskan untuk 48 jam berikutnya. Bila tekanan darah menurun,

maka pemberian obat penenang dapat dikurangi setelah 24 jam

postpartum untuk kemudian lambat laun dihentikan. Biasanya diuresis

bertambah 24 - 48 jam setelah kelahiran dan edema serta proteinuria

berkurang. antikonvulsan diteruskan sampai 24 jam postpartum atau

kejang terakhir, teruskan antihipertensi jika tekanan diastolik masih >

110 mmHg (Prawirohardjo, 2008).

9. Prognosis

Prognosis preeklampsia berat (PEB) dan eklampsia dikatakan jelek

karena kematian ibu antara 9,8 – 20,5%, sedangkan kematian bayi lebih

tinggi lagi, yaitu 42,2 – 48,9%. Kematian ini disebabkan karena kurang

sempurnanya pengawasan antenatal, disamping itu penderita eklampsia

biasanya sering terlambat mendapat pertolongan. Kematian ibu biasanya

karena perdarahan otak, decompensatio cordis, oedem paru, payah ginjal

dan aspirasi cairan lambung. Sebab kematian bayi karena prematuritas

dan hipoksia intra uterin (Budiono, 1999).

B. SINDROMA HELLP

1. Definisi

Sindroma HELLP yang merupakan singkatan dari Hemolysis,

Elevated Liver enzymes and Low Platelet counts, pertama kali dilaporkan

oleh Louis Weinstein tahun 1982 pada penderita PEB. Sindroma ini

merupakan kumpulan gejala multi sistem pada penderita PEB dan

eklampsia yang terutama ditandai dengan adanya hemolisis, peningkatan

kadar enzim hepar dan trombositopeni (Roeshadi, 2004).

2. Insidensi

Insidensi sindroma HELLP sampai saat ini belum diketahui dengan

pasti. Hal ini disebabkan karena onset sindroma ini sulit diduga, gambaran

klinisnya sangat bervariasi, dan perbedaan dalam kriteria diagnosis. Angka

insidensi sindroma HELLP berkisar antara 2 – 12% dari pasien dengan

PEB, dan berkisar 0,2 – 0, 6% dari seluruh kehamilan (Roeshadi, 2004).

3. Patogenesis

Karena sindroma HELLP adalah merupakan bagian dari

preeklampsia, maka etiopatogenesisnya sama dengan preeklampsia.

Sampai saat ini belum diketahui dengan pasti patogenesis preeklampsia

atau sindroma HELLP (Curtin, 1999).

Ada perbedaan yang nyata antara kehamilan normal dan pre

eklampsia, yaitu pada tekanan darah pada trimester II (kehamilan normal)

menurun, sedangkan kadar plasma renin, angiotensin II, prostasiklin dan

volume darah meningkat. Lain halnya pada preeklampsia, tekanan darah

pada trimester II meningkat, sedangkan kadar plasma renin, angiotensin II

dan prostasiklin menurun. Beberapa ahli menitikberatkan pada gangguan

fungsi endotel atau trofoblast dan teori ini dikenal dengan teori kerusakan

endotel (Curtin, 1999; Roeshadi, 2004).

4. Klasifikasi

Berdasarkan hasil pemeriksaan laboratorium, penderita sindroma

HELLP dibagi ke dalam 3 kategori, yaitu :

Kelas I : jumlah platelet 50.000/mm3

Kelas II : jumlah platelet 50.000 – 100.000/mm3

Kelas III : jumlah platelet 100.000 – 150.000/mm3

Menurut Audibert et al. (1996), dikatakan sindroma HELLP parsial

apabila hanya dijumpai satu atau lebih perubahan parameter sindroma

HELLP seperti hemolisis (H), elevate liver enzymes (EL) dan low platelets

(LP); dan dikatakan sindroma HELLP murni jika dijumpai perubahan pada

ketiga parameter tersebut.

5. Gambaran Klinis

Gejala klinis sindroma HELLP merupakan gambaran adanya

vasospasme pada sistem vaskuler hepar yang menurunkan fungsi hepar. Oleh

karena itu gejala sindroma HELLP memberi gambaran gangguan fungsi

hepar yang dapat berupa : malaise, nausea, kadang-kadang disertai vomitus

dan keluhan nyeri di epigastrium kanan atas (Angsar, 1995).

Karena gejala dan tanda bervariasi maka seringkali terjadi salah

diagnosis, sehingga ada peneliti yang merekomendasikan bahwa semua

ibu hamil yang memiliki salah satu dari gejala tersebut hendaknya

dilakukan pemeriksaan apusan darah, jumlah trombosit dan enzim hepar

serta tekanan darah ibu (Angsar, 1995).

5. Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan laboratorium pada sindroma HELLP sangat

diperlukan karena diagnosis ditegakkan berdasarkan hasil laboratorium,

walaupun sampai saat ini belum ada batasan yang tegas tentang nilai batas

untuk masing-masing parameter.

Hemolisis

Gambaran ini merupakan gambaran yang spesifik pada

sindroma HELLP. Hemoglobin bebas dalam sistem retikulo

endothelial akan berubah menjadi bilirubin. Peningkatan kadar

bilirubin menunjukkan terjadinya hemolisis. Hemolisis intravaskuler

menyebabkan sumsum tulang merespon dengan mengaktifkan proses

eritropoesis, yang mengakibatkan beredarnya eritrosit imatur.

Peningkatan kadar enzim hepar

Serum aminotransferase yaitu aspartat aminotransferase

(SGOT) dan glutamat piruvat transaminase (SGPT) meningkat pada

kerusakan sel hepar. Pada preeklampsia, SGOT dan SGPT meningkat

pada 1/5 kasus, dimana 50% diantaranya adalah peningkatan SGOT.

Pada sindroma HELLP peningkatan SGOT lebih tinggi dari SGPT

terutama pada fase akut. Peningkatan SGOT dan SGPT dapat juga

merupakan tanda terjadinya ruptur hepar.

Laktat dehidrogenase (LDH) adalah enzim katalase yang

bertanggungjawab terhadap proses oksidasi laktat menjadi piruvat.

LDH yang meningkat menggambarkan terjadinya kerusakan sel hepar.

Peningkatan kadar LDH tanpa disertai peningkatan kadar SGOT dan

SGPT menunjukkan terjadinya hemolisis.

Jumlah platelet yang rendah

Kadar platelet dapat bervariasi dan nilainya menjadi acuan

untuk dikelompokkan dalam kelas yang berbeda.

(Roeshadi, 2004)

6. Diagnosis

Kriteria diagnosis sindroma HELLP menurut Sibai adalah sebagai

berikut :(Cunningham, 1995)

Hemolisis

i) Histiosit pada apusan darah

ii) Bilirubin 1,2 mg/dl

iii) Haptoglobin plasma tidak ada

Peningkatan enzim hepar

i) SGOT 72 IU/L

ii) LDH 600 IU/L

Jumlah trombosit rendah

i) Trombosit 100.000/mm3

7. Penatalaksanaan

Mengingat kejadian sindroma HELLP pada kehamilan muda, maka

terdapat kontroversi pada penanganan sindroma HELLP. Menurut Roeshadi

(2004), prioritas utama adalah menstabilkan kondisi ibu terutama jika terjadi

gangguan pembekuan darah. Tahap berikutnya adalah melihat kesejahteraan

janin, kemudian keputusan segera apakah ada indikasi untuk dilahirkan atau

tidak.

Sebagian setuju untuk melakukan perawatan secara konservatif sampai

kematangan paru janin tercapai dalam upaya meningkatkan kualitas bayi yang

dilahirkan. Sebagian lainnya melakukan tindakan agresif untuk melakukan

terminasi secepatnya apabila gangguan fungsi hati dan koagulasi diketahui.

Beberapa peneliti menganjurkan terminasi kehamilan dengan segera tanpa

memperhitungkan usia kehamilan, mengingat besarnya risiko maternal serta

jeleknya luaran perinatal apabila kehamilan diteruskan. Namun semua peneliti

sepakat bahwa terminasi kehamilan merupakan satu-satunya terapi yang

definitif (Roeshadi, 2004).

Penanganan pertama sesuai dengan penanganan PEB. Kemudian

dilakukan evaluasi dan koreksi kelainan faktor-faktor pembekuan (Roeshadi,

2004).

Untuk perawatan konservatif dianjurkan tirah baring total dengan infus

plasma albumin 5–25%. Tujuannya untuk menurunkan hemokonsentrasi,

peningkatan jumlah trombosit dan pengurangan beberapa gejala toksemia. Jika

serviks memadai dapat dilakukan induksi oksitosin drip pada usia kehamilan

32 minggu. Apabila keadaan serviks kurang memadai, dilakukan tindakan

seksio caesarea elektif. Apabila jumlah trombosit 50.000/mm3 dilakukan

tranfusi trombosit (Roeshadi, 2004).

8. Prognosis

Penderita sindroma HELLP mempunyai kemungkinan 19-27%

untuk mendapat risiko sindrom ini pada kehamilan berikutnya dan

mempunyai risiko sampai 43% untuk mendapat pre eklampsia pada

kehamilan berikutnya. Angka morbiditas dan mortalitas pada bayi

tergantung dari keparahan penyakit ibu. Anak yang menderita sindroma

HELLP mengalami Intra Uterine Growth Retardation (IUGR) dan

sindroma kegagalan napas (Roeshadi, 2004).

C. INTRA UTERINE FETAL DEATH (IUFD)

Intra Uterine Fetal Death (IUFD) adalah kematian janin (keadaan

tidak adanya tanda-tanda kehidupan janin dalam kandungan dengan umur

kehamilan lebih dari 20 minggu atau berat badan lebih dari 500 gram (janin

sudah viable) (Bari, 2003).

a. Etiologi

Penyebab IUFD bisa dari faktor ibu, janin, atau maupun dari

plasenta.

Kemungkinan penyebab dari faktor ibu :

Kehamilan postterm

Diabetes melitus

Lupus eritematosus sistemik (SLE)

Infeksi

Hipertensi

Preeklampsia dan eklampsia

Hemoglobinopati

Umur ibu hamil yang tua

Penyakit Rh

Ruptur uteri

Sindrom antifosfolipid

Hipotensi maternal akut

Kematian maternal

Kemungkinan penyebab dari faktor janin:

IUGR (Intra Uterine Growth Retardation)

Kelainan kongenital

Kelainan genetik

Infeksi (Parvovirus B-19, CMV, Listeria)

Kemungkinan penyebab dari faktor plasenta:

Kerusakan tali pusat

Ketuban pecah dini (KPD)

Vasa previa

b. Faktor risiko

Multigravida

Umur ibu yang lanjut

Riwayat IUFD

Infertilitas ibu

Hemokonsentrasi pada ibu

Kelompok ibu dengan penyakit tertentu (seperti GBS, Ureaplasma

urealitikum)

Riwayat persalinan preterm

Obesitas

(Bari, 2003)

c. Diagnosis Anamnesis : ibu tidak merasakan gerakan janin dalam beberapa hari.

Ibu merasakan perutnya tidak bertambah besar, bahkan bertambah

kecil. Atau ibu belakangan ini merasa perutnya sering menjadi keras

dan merasakan sakit seperti mau melahirkan.

Pemeriksaan fisik

Inspeksi : tidak terlihat gerakan janin, yang biasanya dapat terlihat

pada ibu hamil yang kurus.

Palpasi :

o Tinggi fundus uteri lebih rendah dari usia kehamilan.

o Tidak teraba gerakan janin.

o Dengan palpasi yang teliti, dapat dirasakan adanya krepitasi

pada tulang kepala janin.

Auskultasi : tidak terdengar denyut jantung janin.

Pemeriksaan penunjang

Reaksi kehamilan : tes kehamilan negatif setelah beberapa minggu

janin mati dalam kandungan.

USG : tidak terlihat denyut jantung janin dan gerakan-gerakan

janin.

d. Penanganan

1. Bila telah diduga terjadi kematian janin dalam rahim, tidak perlu

terburu-buru bertindak, sebaiknya diobservasi dulu dalam 2-3 minggu

untuk mencari kepastian diagnosis. 75% pasien akan melahirkan

janinnya yang mati secara spontan dalam masa itu. Apabila setelah 2

minggu belum lahir, dapat dilakukan induksi dengan amniotomi, dan

pemberian oksitosin atau prostaglandin.

2. Bila partus belum dimulai, maka ibu harus dirawat agar dapat dilakukan

induksi partus.

(Mochtar, 1998; Sastrawinata, 2003)

e. Komplikasi

Kematian janin dalam kandungan pada masa kehamilan 3-4 minggu,

biasanya tidak membahayakan ibu. Setelah lewat 4 minggu maka

kemungkinan terjadinya kelainan darah (hipofibrinogemia) akan lebih

besar. Bila terjadi hipofibrinogemia, bahayanya adalah perdarahan

postpartum. Hal ini sering menyebabkan terjadinya DIC (Disseminated

Intravascular Coagulation) yang merupakan suatu keadaan patologis dari

sistem koagulasi dan fibrinolitik yang berhubungan dengan kematian

janin, sepsis, PEB, plasenta previa dan HELLP syndrome. Secara klinis

tanda-tanda DIC diantaranya adanya petekie atau purpura, sedangkan dari

pemeriksaan laboratorium didapatkan trombositopenia,

hipofibrinogenemia, peningkatan PT, APTT, peningkatan D-dimer, dan

fibrin split products (Hidayat, 1998).

Pada IUFD dapat terjadi hipofibrinogemia pada ibu oleh karena

terjadi degenerasi produk konsepsi sehingga terjadi peningkatan dari

agregasi trombosit, peningkatan konsumsi dari faktor koagulasi,

pengaktifan sistem fibrinolitik dan deposisi fibrin pada multiple organ

yang berakibat kegagalan organ. Dengan adanya trombositopenia dan

ketiadaan dari produk fibrin timbul gangguan hemostasis (Hidayat, 1998).