bab iv hasil penelitian dan pembahasan ) di kedua...

33
23 BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 4.1 Gambaran Umum Desa Busisingo 4.1.1 Sejarah dan Pemerintahan Desa Busisingo Asal mula sejarah Desa Busisingo di umpamakan seperti wanita cantik yang mempunyai lesung pipit (kendis) di kedua pipinya.Dalam bahasa Sangkub dan Bintauna lesung pipit ini disebut “kambusising”, yang kemudian menjadi Busisingo. Itulah nama desa Busisingo sampai sekarang. Desa Busisingo merupakan area perkebunan Busisingo yang pada waktu itu masih marupakan Desa Sangkub. Secara tidak langsung bisa dikatakan Busisingo saat ini merupakan Totabuan atau tempat mencari nafkahnya orang- orang Desa Sangkub pada waktu itu.Terbentuknya perkebunan Busisingo pada tanggal 6 juni 1956 yang dipimpin oleh seorang Probis Umum bernama Bapak Ibrahim Hassan. Setelah itu, setahun kemudian menjadi desa definitif pada tanggal 3 maret 1957, yang dipimpin oleh Bapak Husen H. Hassan yang tidak lain merupakan ayah dari Bapak Ibrahim Hassan. Bapak Husen Hasan ini memerintah dari tahun 1957 sampai tahun 1960, berdasarkan Surat Keputusan (SK) dari Kabupaten pada tanggal 2 Mei 1958 yang pada waktu itu masih dalam lingkup Kabupaten Bolaang Mongondow yang berkedudukan di Desa Kopandakan. Memasuki tahun 1958, terjadilah peperangan di Sulawesi utara yang dikenal dengan Persatuan Rakyat Semesta (Permesta), kondisi peperangan tersebut cukup berimbas pada kondisi pemerintah di Bolaang Mongondow dan 23

Upload: ngomien

Post on 18-May-2019

231 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ) di kedua …eprints.ung.ac.id/277/5/2013-2-87201-231409026-bab4-10012014123351.pdfBusisingo, dengan calon kepala desa adalah Andot H. Hassan

23

BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

4.1 Gambaran Umum Desa Busisingo

4.1.1 Sejarah dan Pemerintahan Desa Busisingo

Asal mula sejarah Desa Busisingo di umpamakan seperti wanita cantik

yang mempunyai lesung pipit (kendis) di kedua pipinya.Dalam bahasa Sangkub

dan Bintauna lesung pipit ini disebut “kambusising”, yang kemudian menjadi

Busisingo. Itulah nama desa Busisingo sampai sekarang.

Desa Busisingo merupakan area perkebunan Busisingo yang pada waktu

itu masih marupakan Desa Sangkub. Secara tidak langsung bisa dikatakan

Busisingo saat ini merupakan Totabuan atau tempat mencari nafkahnya orang-

orang Desa Sangkub pada waktu itu.Terbentuknya perkebunan Busisingo pada

tanggal 6 juni 1956 yang dipimpin oleh seorang Probis Umum bernama Bapak

Ibrahim Hassan. Setelah itu, setahun kemudian menjadi desa definitif pada

tanggal 3 maret 1957, yang dipimpin oleh Bapak Husen H. Hassan yang tidak lain

merupakan ayah dari Bapak Ibrahim Hassan. Bapak Husen Hasan ini memerintah

dari tahun 1957 sampai tahun 1960, berdasarkan Surat Keputusan (SK) dari

Kabupaten pada tanggal 2 Mei 1958 yang pada waktu itu masih dalam lingkup

Kabupaten Bolaang Mongondow yang berkedudukan di Desa Kopandakan.

Memasuki tahun 1958, terjadilah peperangan di Sulawesi utara yang

dikenal dengan Persatuan Rakyat Semesta (Permesta), kondisi peperangan

tersebut cukup berimbas pada kondisi pemerintah di Bolaang Mongondow dan

23

Page 2: BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ) di kedua …eprints.ung.ac.id/277/5/2013-2-87201-231409026-bab4-10012014123351.pdfBusisingo, dengan calon kepala desa adalah Andot H. Hassan

24

desa-desa kecil yang dinaunginya. Namun, tidak berselang pada tanggal 1 Januari

1961 kembali Bapak Ibrahim Hassan yang diangkat menjadi Sangadi (kepala

desa) dan dilantik. Masa tugas Ibrahim Hassan mulai tanggal 1 Januari 1961

sampai dengan 4 maret 1964. Pada tahun 1964 ini, terjadi masa transisi di desa

lamanya sekitar 4 bulan, dan tugas pemerintahan diambil oleh Probis

Penerangan/Palakat atas nama Bapak Arnol Kandow.

Pada tahun 1964 itu juga diadakan pemilihan kepala desa di desa

Busisingo, dengan calon kepala desa adalah Andot H. Hassan dan Karim H.

Hassan, kemudian yang terpilih menjadi Sangadi Busisingo adalah Bapak Karim

H. Hassan yang massa jabatanya 1964-1966.

Pada tahun 1966 terjadi lagi krisis/transisi pemerintahan sehingga Bapak

Andot H. Hassan diangkat menjadi Sangadi definitive pada tahun 1967.Bapak

Karim H. Hassan ini adalah sepupu dari Bapak Ibrahim H. Hassan, sedangkan

Bapak Adot H. Hassan ini adalah adik dari Bapak Ibrahim H. Hassan.

Pada tahun 1967 diadakan pemilihan kepala desa, dimana yang terpilih

menjadi kepala desa adalah bapak G. M Hassan yang memerintah selama 20

tahun mulai dari tahun 1967 sampai 1987. Pada tahun 1987 diadakan pemilihan

kepala desa, dan yang terpilih adalah bapak Higa J. Lakoro yang memerintah dari

tahun 1987-1996. Kemudian pada tanggal 1 Januari 1996 diadakan lagi pemilihan

kepala desa dan yang terpilih saat itu adalah bapak Husain Gonibala, dengan

massa jabatan dari tahun 1996 sampai 2005.

Pada tahun 2005 ini, kemudian masyarakat Busisingo kembali melakukan

pemungutan suara untuk memilih kepala desa, dan yang terpilih sebagai Sangadi

Page 3: BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ) di kedua …eprints.ung.ac.id/277/5/2013-2-87201-231409026-bab4-10012014123351.pdfBusisingo, dengan calon kepala desa adalah Andot H. Hassan

25

adalah bapak Hamka Hassan, dengan masa jabatan dari tahun 2005 sampai tahun

2008. Dan pada tahun 2008 ini yang terplih menjadi kepala desa adalah ibu

Rohaeni Gonibala-Boda, berdasarkan surat keputusan yang ada memerintah

selama 6 tahun dari tahun 2008 sampai 2014. Namun pada tanggal 14 mei 2013,

terjadi transisi pemerintahan dan akhirnya mandat pemerintahan diserahkan

kepada Kepala Urusan (KAUR) Pembangunan sebagai PLH, yang dipercayakan

kepada bapak Nyompa Saromeng sampai sekarang.

Kondisi penduduk Desa Busisingo pada waktu itu, sekitar tanggal 6 Juni

1956 berjumlah 17 kepalah keluarga atau 85 jiwa penduduk. Saat menjadi desa

definitif pada tanggal 3 Maret 1957 bertambah menjadi 35 kepala keluarga atau

157 jiwa penduduk.

4.1.2 Kondisi Umum Desa Busisingo

4.1.2.1 Kondisi Geografis

Desa Busisingo berjarak 8 km dari ibukota kecamatan Sangkub, atau

sekitar 60 km dari ibukota Kabupaten. Perjalanan dari Ibukota Kabupaten menuju

Desa Busisingo memakan waktu 2 jam dengan mengunakan kendaraan

bermotor.Berdasarkan Peraturan Desa Nomor 05/DB-KS/PERDES/V/JI, batas

wilayah Desa Busisingo antara lain:

a. Sebelah Utara : Desa Busisingo Utara, Kecamatan Sangkub

b. Sebelah Selatan : Desa Tombolango, Kecamatan Sangkub

c. Sebelah Timur : Desa Tombolango, Kecamatan Sangkub

d. Sebelah Barat : Desa Bintauna Pantai, Kecamatan Bintauna

Page 4: BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ) di kedua …eprints.ung.ac.id/277/5/2013-2-87201-231409026-bab4-10012014123351.pdfBusisingo, dengan calon kepala desa adalah Andot H. Hassan

26

Luas wilyah menurut penggunaannya di Desa Busisingo ada sekitar

242,60 hektar, yang terbagi dalam cakupan luas pemukiman 81 hektar, luas

persawahan 85,5 hektar, luas perkebunan 40,07 hektar, luas pekuburan umum 0,3

hektar, luas pekarangan 3 hektar, luas wilayah kantor desa 0,5 hektar, dan luas

prasarana umum lainnya 30,5 hektar. Selain itu, desa Busisingo juga mempunyai

luas hutan mangrove sebesar 30 hektar.

4.1.2.2 Keadaan Penduduk

Berdasarkan data profil desa tahun 2012, jumlah penduduk Desa

Busisingo sekitar 240 kepala keluarga dengan total keseluruhan 869 jiwa,

rinciannya 460 jiwa laki-laki dan 409 jiwa perempuan. Dimana presentase

pertambahan jumlah penduduknya sekitar 4,5 persen untuk laki-laki dan 6,2

persen untuk perempuan.

Sebagian besar penduduk Desa Busisingo bermata pencaharian sebagai

petani ada sekitar 245 orang, ada juga yang berprofesi sebagai nelayan sekitar 10

orang, peternak sebanyak 17 orang, pengusaha kecil dan menengah ada 17 orang.

Penduduk desa Busisingo mayoritas merupakan etnis Bintauna, yang mayoritas

juga beragama Islam.

Tingkat kesejahteraan penduduk desa Busisingo juga masih di dominasi

oleh keluarga prasejahtera dengan total 124 keluarga. Selain itu juga ada keluarga

sejahtera 1 sebanyak 34 keluarga, keluarga sejahtera 2 sebanyak 40 keluarga,

keluarga sejahtera 3 sebanyak 23 keluarga, dan keluarga sejatera 3 plus sebanyak

5 keluarga.

Page 5: BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ) di kedua …eprints.ung.ac.id/277/5/2013-2-87201-231409026-bab4-10012014123351.pdfBusisingo, dengan calon kepala desa adalah Andot H. Hassan

27

4.2 Hasil Penelitian

4.2.1 Deskripsi Pelaksanaan Adat Learo Dalam Pernikahan Masyarakat Busisingo Seperti halnya dalam prosesi adat atau kegiatan lainya dalam kehidupan

sehari-hari masyarakat, maka pelaksanaan pernikahan adat di Desa Busisingo juga

mempunyai ketentuan-ketentuan yang harus dipenuhi.Adat Learo merupakan

salah satu prosesi adat yang diharuskan dilaksanakan pada pernikahan adat

masyarakat Desa Busisingo.Karena adat ini sudah diwariskan dan dilaksanakan

secara turun temurun sejak zaman nenek moyang masyarakat Busisingo.

Hal ini berdasarkan wawancara dengan bapak Lodi Mokodongan, yang

mengatakan bahwa: “Adat learo ini sudah merupakan adat istiadat dalam acara

pernikahan sejak dari nenek moyang mereka, dan adat learo ini sudah merupakan

sebuah tradisi atau kebudayaan yang ditinggalkan oleh nenek moyang mereka”.

(wawancara, 21 Mei 2013)

Hal serupa juga diungkapkan bapak Rahim yang mengatakan

bahwa:“Masyarakat Busisingo menerima adat learo ini menjadi adat istiadat

dalam acara pernikahan, karena memang sudah menjadi dasar kebudayaan yang

ditinggalkan oleh nenek moyang mereka”. (wawancara, 22 Mei 2013)

Selanjutnya bapak Imbuto mengatakan bahwa:“Adat learo ini telah dikenal

oleh masyarakat bolaang mongondow sejak nenek moyang mereka, adat learo ini

sudah merupakan adat istiadat dalam pernikahan masyarakat Busisingo sejak

nenek moyang mereka”. (wawancara, 22 Mei 2013)

Page 6: BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ) di kedua …eprints.ung.ac.id/277/5/2013-2-87201-231409026-bab4-10012014123351.pdfBusisingo, dengan calon kepala desa adalah Andot H. Hassan

28

Terkait dengan Adat Learo merupakan warisan turun termurun, atau

merupakan peninggalan nenek moyang masyarakat Busisingo ini dipertegas pula

oleh bapak Surapel Wartabone, dengan mengatakan bahwa:“Adat learo sudah

dikenal oleh masyarakat Busisingo sejak nenek moyang masyarakat Bolaang

Mongondow. Adat learo ini sudah menjadi dasar utama dalam pernikahan

masyarakat Busisingo sejak zaman dulu yang merupakan atau sudah menjadi adat

istiadat masyarakat busisingo, yang di mana adat learo ini digunakan dalam

perlengkapan adat istiadat pernikahan masyarakat Busisingo. (wawancara, 23 Mei

2013)

Sebagaimana lazimnya pelaksanaan upacara adat, pelaksanaan adat learo

dalam pernikahan adat masyarakat Busisingo pun mempunyai aturan atau

ketentuan-ketentuan adat yang mengikat, yang mau tidak mau harus

dipenuhi.Salah satu syarat tersebut misalnya, adanya ketentuan pelaksanaan adat

learo bagi si pengantin wanita yang tidak melakukan pelanggaran atau hamil

diluar nikah, atau pelaksanaan adat learo tidak dilaksanakan lagi bagi pernikahan

si calon mempelai wanita yang sudah pernah menikah sebelumnya atau sudah

pernah menjanda.

Hal ini sebagaimana hasil wawancara dengan bapak Lodi Mokondongan,

yang mengatakan bahwa:“Adat learo ini tidak dilaksanakan jika kedua pasangan

telah melakukan pelanggaran, misalnya kawin lari dan nikah sirih. Adat learo juga

tidak bisa dilaksanakan apabila sang wanita sudah berstatus janda”. (wawancara,

21 Mei 2013)

Page 7: BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ) di kedua …eprints.ung.ac.id/277/5/2013-2-87201-231409026-bab4-10012014123351.pdfBusisingo, dengan calon kepala desa adalah Andot H. Hassan

29

Hal senada juga dikatakan bapak Imbuto, yang mengatakan

bahwa:“Apabila sang wanita telah berstatus janda maka adat learo ini tidak bisa

dilasanakan. Dan apabila sang wanita telah melakukan pelanggaran misalnya,

kawin lari dan nikah siri. Maka adat learo tidak bisa dilaksanakan”. (wawancara,

22 Mei 2013)

Ketentuan-ketentuan adat ini sudah menjadi dasar hukum tertentu

sehingga kegiatan ini dapat berlangsung terus-menerus. Bagi masyarakat

Busisingo pelaksanaan adat learo ini akan terus dilaksanakan karena sudah

menjadi aturan yang mengikat bagi masyarakat.

Sebagaimana yang dikatakan bapak Lodi Mokodongan, yang

mengungkapkan bahwa:“Mengapa kita harus melakukan adat learo tersebut

karena sudah merupakan aturan dan sesuai dengan adat istiadat yang diyakini oleh

masyarakat Bolaang Mongondow Utara yang ditinggalkan oleh nenek moyang”.

(wawancara, 21 Mei 2013)

Pelaksanaan adat learo ini biasanya dilaksanakan sehari sebelum

pelaksanaan akad nikah dan walimah digelar.Bahkan ada cerita yang beredar di

masyarkat bahwa apabila adat learo ini tidak dilaksanakan maka biasanya situasi

pesta perkawinan tidak semeriah sebagaimana yang diharapkan.

Terkait dengan pelaksanaan adat learo sebelum acara pernikahan ini

sebagaimana yang diungkapkan bapak Rahim, bapak Surapel Wartabone dan

bapak Imbuto, yang mengatakan bahwa: “Adat learo dilaksanakan sebelum akad

nikah”.

Page 8: BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ) di kedua …eprints.ung.ac.id/277/5/2013-2-87201-231409026-bab4-10012014123351.pdfBusisingo, dengan calon kepala desa adalah Andot H. Hassan

30

Adapun penentuan pelaksanaan adat learo inipun juga diputuskan melalui

musyawarah keluarga kedua bela pihak, beserta pemerintah desa, para pemangku

adat dan pegawai syar’I.Hal ini sebagaimana yang diungkapkan bapak Imbuto,

yang menerangkan bahwa:“Pelaksanaan learo terlebih dahulu dimusyawarakan

oleh keluarga dan para orang tua adat.Dan atas persetujuan dari keluarga kedua

belah pihak”. (wawancara, 22 Mei 2013)

Selain itu, setelah disepakati keluarga kedua bela pihak bahwa adat learo

akan dilaksanakan, maka pelaksanaan adat learo ini pula harus disaksikan oleh

pemerintah Desa, para tetua adat dan kelurga dari kedua belah pihak.

Ini berdasarkan wawancara dengan bapak Surapel Wartabone, yang

mengatakan bahwa:“Adat learo disaksikan oleh pemerinrah, lembaga adat dan

keluarga dari kedua belah pihak, yang sudah dimusyawarakan oleh keluarga dan

sudah mendapat persetujuan dari kedua belah pihak, yang dimana apakah adat

learo ini akan dilaksanakan atau tidak dilaksanakan”.(wawancara, 23 Mei 2013)

Hal senada juga diungkapkan oleh bapak Lodi Mokodongan, yang

mengatakan bahwa:“Pelaksanaan adat learo ini disaksikan oleh pemerintah desa,

lembaga adat dan keluarga yang akan mengadakan acara pernikahan”.

(wawancara, 21 Mei 2013)

Setelah dilakukan musyrawah antara kedua keluarga calon mempelai

tersebut, dan disepakati bahwa adat learo pada acara pernikahan

akandilaksanakan, mulai saat itu keluarga kedua mempelai akan mempersiapkan

segala keperluan terkait dengan pelaksanaan adat learo ini.

Page 9: BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ) di kedua …eprints.ung.ac.id/277/5/2013-2-87201-231409026-bab4-10012014123351.pdfBusisingo, dengan calon kepala desa adalah Andot H. Hassan

31

Adapun hal-hal yang diperlukan dalam pelaksanaan adat learo ini antara

lain: Batu Learo, Pinang, Sirih, Kapur, dan sebuah baki yang berisi berbagai

hadiah yang akan diberikan kepada mempelai wanita.

Terkait dengan keperluan pelaksanaan adat learo ini seperti yang

diungkapkan bapak Lodi Mokodongan yang mengatakan bahwa:“Dalam

pelaksanaan learo yang harus kita persiapkan yaitu, batu learo untuk menggosok

gigi, pinang, sirih dankapur makan”. (wawancara, 21 Mei 2013)

Tidak jauh berbeda dengan itu, bapak Imbuto, juga mengungkapkan

bahwa:“Yang harus dipersiapkan yaitu :Isi Baki ( Bahan-bahan yg akan diberikan

kepada sang wanita misalnya Cipu, AL-Qur’an dll), Batu Learo, Pinang (Bunga

pinang biasanya untuk meramal calon bayi yang akan lahir), Sirih dan,Kapur

makan”. (wawancara, 22 Mei 2013)

Setelah segalah keperluan learo telah dipersiapkan, maka selanjutnya

tinggal pelaksanaan adat learo.Dimana untuk pelaksanaan adat learo ini dilakukan

di rumah mempelai wanita.

Pada pelaksanaan adat learo ini, yang melakukan adat learo merupakan

hasil persetujuan dari kedua keluarga mempelai yang diputuskan melalui

musyawarah. Hal ini sebagaimana yang diungkapkan bapak Lodi Mokodongan

yang mengatakan bahwa:“Yang menggosok gigi sang wanita yaitu tergantung dari

hasil musyawarah dari keluarga apakah dari orang tua pihak laki-laki yang akan

menggosok gigi sang wanita atau orang yang sudah dipercayakan untuk

menggosok gigi sang wanita”. (wawancara, 21 Mei 2013)

Page 10: BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ) di kedua …eprints.ung.ac.id/277/5/2013-2-87201-231409026-bab4-10012014123351.pdfBusisingo, dengan calon kepala desa adalah Andot H. Hassan

32

Hal senada juga diungkapkan oleh bapak Imbuto, yang mengatakan

bahwa:“Yang menggosok gigi sang wanita yaitu dari persetujuan dari kedua belah

pihak apakah orang tua dari pihak laki-laki atau dari pelaksana adat yang telah

dipercayakan memegang batu learo tersebut”. (wawancara, 22 Mei 2013)

Selain itu, biasanya juga yang melakukan learo (menggosok gigi) sang

mempelai wanita dilakukan oleh orang yang telah diberi amanah untuk memegang

batu learo. Hal ini sebagaimana yang diungkapkan bapak Surapel Wartabone

bahwa:“Biasanya yang meenggosok gigi sang wanita adalah orang yang telah

dipercayakan memegang batu learo”. (wawancara, 23 Mei 2013)

Demikian juga diungkapkan oleh bapak Rahim, yang mengatakan bahwa:“Yang

menggosok gigi adalah orang tua yang sudah ditetapkan untuk menggosok gigi

atau orang yang sudah dipercayakan untuk memegang batu learo tersebut”.

(wawancara, 22 Mei 2013)

Batu yang digunakan dalam pelaksanaan adat learo atau batu learo bukan

batu sembarang.Batu tersebut adalah batu khusus yang dipergunakan untuk

pelaksanaan adat learo yang merupakan peninggalan para leluhur.Disamping itu,

orang yang diberi kepercayaan untuk menjaga batu learo tersebut merupakan

orang terpilih, atau berdasarkan kesepakatan para tetua adat, dan biasanya

mengenal betul seluk beluk pelaksanaan learo beserta doanya.

Tentang ini seperti yang diungkapkan bapak Lodi Mokodongan,

bahwa:“Batu yang dipakai untuk menggosok gigi merupakan batu keramat atau

batu spesial yang memang batu dari peninggalan nenek moyang mereka”.

(wawancara, 21 Mei 2013)

Page 11: BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ) di kedua …eprints.ung.ac.id/277/5/2013-2-87201-231409026-bab4-10012014123351.pdfBusisingo, dengan calon kepala desa adalah Andot H. Hassan

33

Bahkan menurut bapak Surapel Wartabone, batu yang digunakan dalam

pelaksanaan adat learo, itu berbeda dengan batu yang kita temui sehari-hari di

jalan.“Memang sangat berbeda batu yang dipakai untuk learo dengan batu yang

kita jumpai di jalan”. (wawancara, 23 Mei 2013)

Sedangkan dalam pelaksanaan learoini mula-mula disediakan beberapa

ramuan yang terdiri dari siri, kapur dan bunga pohon pinang. Setiap bahan ramuan

yang digunakan untuk adat learo itu diletakkan di pelepah daun pinang. Lilin juga

digunakan sebagai penerang agar kilapan gigi akan tampak.

Alat yang digunakan untuk learo ini merupakan sejenis batu yang disebut

batu learo dan diletakkan pada daun woka (vou= sejenis daun palem). Selain itu,

digelar diserambi rumah seperangkat tempat tidur.Dimana gelar adat learo ini

dilakukan di tengah-tengah keluarga terutama bagi mereka yang hendak menikah.

Dengan cara tertentu, si wanita ditidurkan dengan tertutup sapu tangan. Selama

gelar adat learo, dimainkan musik gambus yang diiringi dengan pantun (solivako)

untuk menghibur pengantin.Sedangkan untuk anak dan cucu bangsawan

dimainkan kaimbu.

4.2.2 Pandangan Masyarakat Busisingo Terhadap Kelangsungan Adat

Learo Pada prinsipnya, kelangsungan pelaksanaan adat learo menurut padangan

masyarakat Busisingo akan terus dipertahankan. Karena adat learo sudah menjadi

tradisi dan warisan turun temurun dari nenek moyang mereka.Bahkan bagi

masyarakat Busisingo pelaksanaan adat learo memiliki makna

tersendiri.Pelaksanaan adat learo tidak hanya dilakukan pada masyarakat

Page 12: BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ) di kedua …eprints.ung.ac.id/277/5/2013-2-87201-231409026-bab4-10012014123351.pdfBusisingo, dengan calon kepala desa adalah Andot H. Hassan

34

Busisingo atau bekas kerajaan Bintauna lainnya, melainkan juga dilakukan oleh

masyarakat Bolaang Mongondow Utara seluruhnya, termasuk bagi masyarakat

bekas kerajaan Kaidipang dan Kerajaan Bolang Itang, dimana adat learo bagi

mereka dikenal dengan molelearu yang secara garis besar tatacaranya tidak jauh

berbeda.

Perihal ini seperti yang dibahasakan bapak Lodi Mokodongan, saat

diwawancarai peneliti mengungkapkan bahwa:“Adat learo ini telah mempunyai

makna tersendiri bagi masyarakat Busisingo yaitu dimana adat learo ini sudah

merupakan suatu adat istiadat pernikahan bagi masyarakat busisingo, dan bukan

hanya bagi masyarakat busisingo, tetapi juga masyarakat bolaang mongondow

utara umumnya”. (wawancara, 21 Mei 2013)

Pelaksanaan adat learo sendiri merupakan kelengkapan upacara adat dalam

pernikahan.Seperti halnya sebuah kelengkapan, ketika adat learo ini tidak

dilaksanakan, maka pernikahan terasa tidak lengkap yang berdampak pada

menurunnya kualitas kemeriahan suatu pernikahan adat.

Hal ini sebagaimana yang diujar oleh bapak Surapel Wartabone, yang

mengatakan bahwa pelaksanaan adat learo ini tidak lain:

“Merupakan kelengkapan adat dalam pernikahan yang dimana adat learo ini sudah menjadi adat istiadat masyarakat Busisingo”. (wawancara, 23 Mei 2013) Agar pelaksanaan adat learo tetap terpelihara di masyarakat, maka

ditetapkan beberapa ketentuan adat yang bisa seiring sejalan dengan pelaksanaan

adat learo ini.Dimana ketika masyarakat tidak bisa melaksanakan adat learo

Page 13: BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ) di kedua …eprints.ung.ac.id/277/5/2013-2-87201-231409026-bab4-10012014123351.pdfBusisingo, dengan calon kepala desa adalah Andot H. Hassan

35

karena beberapa faktor yang telah disebutkan sebelumnya maka ada kewajiban

dari pihak keluarga untuk mengeluarkan biaya pengganti adat learo tersebut.

Sebagai suatu ketentuan adat dan kelengkapan acara pernikahan, ketika

adat learo ini tidak dilaksanakan oleh calon mempelai terutama mempelai wanita,

maka dari pihak wanita harus memberikan uang pengganti berdasarkan ketentuan

adat yang berlaku dimasyarakat.

Terkait besaran uang pengganti ketentuan adat ini biasanya sebesar

Rp300.000,-.Biasanya uang pengganti ini dibayarkan oleh pihak perempuan. Hal

ini sebagaimana yang diungkap oleh bapak Lodi Mokodongan, yang

mengatakan:“Jika adat learo ini tidak dilaksanakan maka pihak perempuan tetap

harus membayar uang sebesar Rp300.000,- yang sudah ditetapkan dalam rincian

adat”. (wawancara, 21 Mei 2013)

Ada juga yang mengatakan bahwa, uang pengganti tersebut tidak harus

dibayarkan oleh pihak pengantin wanita, melainkan juga bisa dilaksanakan oleh

kedua bela pihak. Ini sebagaimana diungkapkan oleh bapak Imbuto, yang

mengatakan bahwa:“Jika tidak dilaksanakan, kedua belah pihak tetap harus

membayar uang Rp300.000,- yang sesuai dengan ketentuan rincian adat”.

(wawancara, 22 Mei 2013)

Senada dengan itu, bapak Surapel Wartabone, juga mengungkapkan

bahwa:“Jika learo ini tidak dilaksanakan, maka harus membayar uang sebesar

Rp300.000,-sesuai dengan rincian adat yang berlaku”. (wawancara, 23 Mei 2013)

Adapun mengenai tidak dilaksanakannya adat learo pada acara pernikahan

karena terkendala, si calon pengantin wanita sebelumnya sudah pernah menikah,

Page 14: BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ) di kedua …eprints.ung.ac.id/277/5/2013-2-87201-231409026-bab4-10012014123351.pdfBusisingo, dengan calon kepala desa adalah Andot H. Hassan

36

atau karena si calon pengantin wanita sudah hamil diluar nikah atau kawin lari,

maka harus ada uang pengganti dengan nominal sebagaimana telah diatur oleh

adat.

Tentang pandangan ini sebagaimana yang telah diutarakan oleh bapak

Imbuto, yang mengungkapkan bahwa: “Jika wanita telah hamil diluar nikah maka

learo tidak bisa dilakukan,dan harus membayar uang sebesar Rp. 300, 000 sesuai

dengan rincian adat. Akan tetapi jika kedua dari belak pihak ingin melakukan

learo maka ke-2 belah pihak harus bermusyawarah dengan para orang tua adat dan

pegawai syar’I”. (wawancara, 22 Mei 2013)

Telah dijelaskan sebelumnya bahwa learo merupakan pelengkap dalam

pelaksanaan pernikahan adat pada masyarakat Busisingo.Selain itu juga

pelaksanaan learo juga secara tidak langsung dapat menghakimi suci tidaknya

calon pengantin, terutama pengantin wanita.

4.2.3 Pokok-Pokok Temuan

Berdasarkan kepercayaan masyarakat Busisingo, prosesi adat learo ini bisa

membuktikan suci tidaknya sang calon pengantin. Dimana ketika adat learo

dilaksanakan dan si pengantin wanita tidak merasa ngilu, maka si calon pengantin

wanita tersebut tidak pernah melakukan pelanggaran sebelumnya atau masih suci.

Akan jika si wanita sudah tidak suci lagi maka ketika dilaksanakan learo maka si

wanita akan merasakan ngilu.

Hal ini seperti yang diungkap bapak Surapel Wartabone yang mengatakan

bahwa:“Ada dua pendapat tentang pada waktu pelaksanaan learo, yaitu dimanna

jika sang wanita masih suci, maka dia tidak akan merasakan ngilu. Tetapi jika

Page 15: BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ) di kedua …eprints.ung.ac.id/277/5/2013-2-87201-231409026-bab4-10012014123351.pdfBusisingo, dengan calon kepala desa adalah Andot H. Hassan

37

sang wanita sudah tidak suci lagi, maka gigi akan terasa ngilu ketika pada saat

learo”. (wawancara, 23 Mei 2013)

Senafas dengan itu, bapak Lodi Mokodongan juga mengungkapkan

bahwa:“Pada saat melakukan learo (menggosok gigi) gigi akan merasa ngilu

apabila sang wanita sudah melakukan pelanggaran (sudah tidak suci/ tidak

perawan), dan tidak akan merasa ngilu apabila sang wanita masih suci”.

(wawancara, 21 Mei 2013)

Begitu juga dengan yang diungkap bapak Rahim, yang mengatakan

bahwa:“Ngilu apabila sang wanita sudah ada pelanggaran, dan tidak ngilu apabila

sang wanita masih suci”. (wawancara, 22 Mei 2013)

Hal ini juga dibenarkan oleh bapak Imbuto, yang mengatakan bahwa:“Ada

dua kesimpulan tentang melakukan learo yaitu :“Gigi tidak akan merasakan ngilu

apa bila sang wanita masih bersih (suci), Gigi akan tersa ngilu apabila sang wanita

sudah tidak suci”. (wawancara, 22 Mei 2013)

Adanya kepercayaan masyarakat inilah yang terkadangan jika dilihat dari

sisi negatifnya sering menimbulkan pergunjingan dan fitnah di tengah masyarakat

pada saat pelaksanaan adat learo.Bahkan ada calon pengantin yang ketakutan

melaksanakan adat learo.Namun dari sisi positifnya, pelaksanaan adat learo ini

justru membuat anak-anak muda berfikir dua kali untuk melakukan hal-hal

terlarang, karena takut mendapat sangsi moral pergunjingan dari masyarakat.

4.3 Pembahasan

4.3.1 Pelaksanaan Adat Learo Dalam pernikahan Masyarakat Busisigo

Page 16: BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ) di kedua …eprints.ung.ac.id/277/5/2013-2-87201-231409026-bab4-10012014123351.pdfBusisingo, dengan calon kepala desa adalah Andot H. Hassan

38

Kegiatan perkawinan adat di Bolaang Mongondow Utara khususnya di

Desa Busisingo, Kecamatan Sangkub juga mempunyai ketentuan-ketentuan yang

harus dipenuhi. Terdapat beberapa ketentuan yang berdasarkan adat yang berlaku

ditengah masyarakat, bahwa adat learo dapat dilaksanakan dalam pesta

perkawinan.

Masalah perkawinan mereka memiliki adat istiadat tertentu, yang harus

dilaksanakan sebelum terjadinya akad nikah terhadap kedua calon pengantin.

Akan tetapi tata cara adat istiadat tersebut tidak berlaku pada semua proses

perkawinan yang ada di daerah ini. Karena ada juga proses perkawinan yang tidak

memakai adat istiadat atau pun tidak diikat oleh peraturan adat tersebut. Seperti

perkawinan bawah lari atau perkawinan lari bersama. Perkawinan semacam ini

biasanya terjadi pada masyarakat yang kurang mampu memenuhi tuntunan adat.

Selain itu ada juga perkawinan yang biasanya diselenggarakan oleh

masyarakat golongan atas, yaitu masyarakat yang mempunyai kesanggupan untuk

memenuhi tuntutan adat. Seperti dalam perkawinan pinang yang cara

pelaksanaannya sangat jauh berbeda dengan perkawinan bawah lari bersama

seperti yang disebutkan di atas.

Proses perkawinan pinang dalam masyarakat etnis Bintauna sangat diikat

oleh berbagai ketentuan adat istiadat. Salah satu tata cara adat yang paling

menonjol yang masih dipelihara oleh masyarakat saat ini adalah pelaksanaan adat

“learo”, dimana jika adat istiadat ini konon jika tidak dilaksanakan maka pesta

perkawinan akan terasa kurang meriah. Berikut ini prosesi perkawinan pada

masyarakat Busisingo dan masyarakat etnis Bintauna umumnya.

Page 17: BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ) di kedua …eprints.ung.ac.id/277/5/2013-2-87201-231409026-bab4-10012014123351.pdfBusisingo, dengan calon kepala desa adalah Andot H. Hassan

39

Peminangan (Molondao) artinya diawali dengan penyampaian kepada

orang tua dari perempuan dimana sebentar malam ada orang tua adat yang akan

berkunjung kerumah mereka. Hal ini disampaikan langsung oleh salah satu orang

tua adat yang telah ditunjuk oleh keluarga si pria.

Pelaksanaan prosesi adat pernikahan lengkap pada masyarakat Busisingo, biasanya terlebih dahulu dimulai dengan peminangan. Dimana peminangan atau Molanda’o artinya pertemuan pertama dari kedua orang tua laki-laki dan orang tua perempuan yang di fasilitasi oleh Lembaga Adat dengan maksud memohon kepada orang tua perempuan dimana seorang anak perempuan bernama …… dimohon dan diminta kiranya mendapat persetujuan / diterimah untuk dinikahi oleh seorang laki-laki bernama ….. pada saat itu orang tua dan lembaga adat dari pihak laki-laki belum mendapat jawaban dengan alasan masih menanyakan kepada seorang perempuan dimana mereka sudah ada saling hubungan cinta. (Ointoe, 2012: 23). Setelah kembali salah satu orang tua yang menyampaikan amanat, orang

tua perempuan pun pergi untuk mengundang orang tua kampung untuk datang ke

rumahnya. Di waktu yang bersamaan juga orang tua laki-laki sudah dalam

perjalanan mau berkunjung ke rumah pihak perempuan.

Orang tua adat pihak perempuan (Lovuka kampungo o mampilo vova):

menanyakan kepada orang tua adat dari pihak laki-laki maksud baik apa yang

akan disampaikan, dan dipersilahkan untuk menyampaikan maksud tersebut.

Orang tua pihak laki-laki (Lovuka kampungo o mampilo lola’i):

menyampaikan bahwa dimana niat yang dibawah ini, datang untuk mencari jalan

anak dari keluarga ……. Perempuan bernama ………… diminta oleh orang tua

dari pihak laki-laki yang bernama …….. untuk dipelihara atau diakui sebagai

anak.

Page 18: BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ) di kedua …eprints.ung.ac.id/277/5/2013-2-87201-231409026-bab4-10012014123351.pdfBusisingo, dengan calon kepala desa adalah Andot H. Hassan

40

Orang tua pihak perempuan, kemudian menyatakan bahwa belum ada

jalan yang terang, sebab masih bertanya kepada kedua orang tuanya dan kepada

anak yang bersangkutan. Setelah orang tua adat pihak perempuan mendapat

keterangan yang baik dari orang tuanya, maka orang tua adat datang di rumah

mempelai laki-laki bahwa sudah ada jalan yang baik.

Orang tua adat pihak laki-laki, setelah itu segera datang di rumah orang

tua perempuan untuk mengucapkan sukur sudah mendapat jalan yang baik.

Setelah itu orang tua adat dari pihak perempuan dan orang adat dari pihak laki-

laki beserta keluarga dari kedua belah pihak akan bermusyawarah ringan dan

beratnya serta jauh dan dekatnya pekerjaan. Setelah itu, orang tua adat dari pihak

perempuan telah pergi ke pemerintah desa, pegawai syar’I dan orang-orang tua

adat sudah berkumpul di rumah orang tua perempuan.

Satu orang tua adat berdiri dan menyampaikan maksud kepada

pemerintah, bahwa seorang perempuan bernama …… dilamar seorang laki-laki

bernama ….. setelah diterima lamaran tersebut maka orang tua dari pihak laki-laki

sudah meminta susunan adat istiadat perkawinan. Sebagaimana yang dimaksud

dari orang tua pihak perempuan ini, bahwa malamini dapat dibuat rincian adat

istiadat perkawinan oleh pelaksana-pelaksana adat dan disaksikan oleh pemerintah

desa.

Setelah itu pelaksana-pelaksana adat sudah membuat perincian mulai dari

dana adat:

a. Peminangan: Rp. 100.000,-

Pinokumana vali nia (peminangan artinya meminang)

Page 19: BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ) di kedua …eprints.ung.ac.id/277/5/2013-2-87201-231409026-bab4-10012014123351.pdfBusisingo, dengan calon kepala desa adalah Andot H. Hassan

41

b. Dua macam benda keras dan lembut: Rp. 75.000,-

Dua macam benda keras dan lembut artinya sebelah lembut 10 meter kain

putih sebelah keras dengan arti tapajaro.

c. Penggunaan kedua bela tangan: Rp 60.000,-

Penggunaan kedua bela tangan artinya walau isteri kena dengan api, atau kena

dengan air panas orang tuanya tidak keberatan.

d. Badan harta: 30 pohon kelapa berbuah

e. Keperawanan: Rp 48.000,-

Keperawanan ini khusus untuk kesucian bagi calon mempelai perempuan.

f. Buka kain pintu: Rp 150.000,-

Buka kain pintu ini artinya membuka kain pintu sampai pada penutup

ranjang sudut empat.

g. Learo (Gosok Gigi): Rp 300.000,-

Ini adalah adat istiadat menggosok gigi atau memepat gigi, dan juga

digunakan untuk membutktikan kesucian calon pengantin wanita.

h. Pengantin perempuan datang dirumah pengantin laki-laki: Rp 40.000,-

Artinya pengantin perempuan dijemput oleh orang tua laki-laki untuk datang

dirumah pihak laki-laki.

i. Pengantin perempuan tidur dirumah pengantin laki-laki: Rp 40.000,-

Artinya pengantin perempuan dijemput oleh orang tua laki-laki untuk

bermalam di rumah pihak laki-laki

Setelah perincian adat perkawinan selesai dibuat, sesegera mungkin

diantar kepada orang tua dari pihak laki-laki. Kemudian orang tua dari pihak laki-

Page 20: BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ) di kedua …eprints.ung.ac.id/277/5/2013-2-87201-231409026-bab4-10012014123351.pdfBusisingo, dengan calon kepala desa adalah Andot H. Hassan

42

laki datang bertemu dengan orang tua pihak perempuan guna membicarakan jauh

dekatnya pelaksanaan. Setelah mendapat kesepakatan bersama, maka orang tua

pihak laki-laki dan orang tua pihak perempuan pergi memberitahukan kepada

pemerintah desa bahwa mereka akan membuat pesta nikah.

Sesampainya dirumah pemerintah desa mereka menyampaikan bahwa

menjadi maksud mereka datang pada saat itu untuk datang mengundang kepada

pemerintah bahwa besok malam kalau tidak ada hal yang merintangi akan

dilakukan antar harta. Setelah mendengar penyampaian itu, pemerintah desa,

siapa-siapa pelaksana adat dan pegawai syar’I yang diundang. Setelah pemerintah

desa telah menyebut satu persatu yang diundang, lalu pada malamnya terus

dilaksanakan antar harta di rumah mempelai perempuan malam itu juga

pemeritah, pelaksana adat dan keluarga sudah datang dirumah mempelai wanita.

Selanjutnya orang tua adat pihak perempuan menyampaikan permohonan izin

kepada pihak pemerintah.

Meski begitu jika ditelusuri lebih jauh pada jaman dahulu sempat terdapat

perbedaan proses perkawinan atara golongan bangsawan dengan golongan biasa.

Hal ini terjadi semasa ohongia/Jokulango Mooreteo dinobatkan menjadi raja, saat

itulah terjadi pembentukan struktur kemasyarakatan.

Mereka yang dianggap cakap dan berani diangkat menjadi pemimpin dan

bangsawan. Sedangkan bagi mereka yang cakap dan berpenghidupan sederhana

diangkat menjadi pembantu kepala suku dan dijuluki simpalo.

Sementara mereka yang penghidupannya rendah (mokiko) dikenal sebagai

“anak negeri” (suango lipu). Selain itu, ada pula yang dimasukkan sebagai

Page 21: BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ) di kedua …eprints.ung.ac.id/277/5/2013-2-87201-231409026-bab4-10012014123351.pdfBusisingo, dengan calon kepala desa adalah Andot H. Hassan

43

golongan pelayan (budak) dan disebut vevako. Namun dimasa pemerintahan M.T

Datunsolang (1938) golongan ini kemudian dihapuskan.

Bentuk-bentuk penyapaan bagi anak dan cucu kohongia biasanya disapa

dengan kata avo dan vua. Strata yang dibentuk dalam masyarakat Bintauna ini

kemudian sangat menentukan dalam pemberian harta dalam perkawinan.

Perhitungan harta ini dikenal dengan istilah kati. Namun, perhitungan kati ini bisa

diwujudkan dalam bentuk uang, pohon kelapa, hewan dan lain-lain. Menurut adat,

tingkatan harta itu diatur sebagai berikut:

a. Delapan kati susuro (susun) untuk anak raja dan cucu raja pertama.

b. Delapan kati tifatu (tidak disusun) untuk cucu raja kedua.

c. Enam kati susuro untuk keturunan bangsawan.

d. Enam kati tifatu pada keturunan bangsawan tengah (simpalo).

e. Empat kati untuk keturunan suango lipu (anak negeri).

Keputusan pemberian harta ini telah ditetapkan oleh hukum adat dan

disepakati oleh para tetua adat. Bahkan cara dikuatkan dengan tivato (sumpah)

yang terungkap dalam syair:

Io moilampango o adat tino tantuwo (Siapa yang melanggar adat yang telah ditentukan).

Yo rumahako kan o lako (Menjadi kuning seperti kuning). Jumoyango kana ifungo ku tava (hancur laksana garam dan lemak) Mointomo kana vuingo (menjadi hitam seperti arang) Sumolopo kana lasao (menyerap seperti air tirisan) Ungkapan yang serupa dibacakan dalam penobatan raja-raja. Dalam

bahasa adat penobatan tersebut berbunyi:

Page 22: BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ) di kedua …eprints.ung.ac.id/277/5/2013-2-87201-231409026-bab4-10012014123351.pdfBusisingo, dengan calon kepala desa adalah Andot H. Hassan

44

Amu ohongia ompita namintolu lupu (kepada sang raja tempat kami bergantung) Aku ndk motuliro ( kalau tidak berjalan pada kebenaran) Yo rumahako kan o lako (Menjadi kuning seperti kuning). Jumoyango kana ifungo ku tava (hancur laksana garam dan lemak) Mointomo kana vuingo (menjadi hitam seperti arang) Sumolopo kana lasao (menyerap seperti air tirisan) Kanaitua roma ami lipu (demikian juga kami anak negeri) Ndk motuliro onijo ijompu (tidak berjalan pada kebenaran) Yo rumahako kan o lako (Menjadi kuning seperti kuning). Jumoyango kana ifungo ku tava (hancur laksana garam dan lemak) Mointomo kana vuingo (menjadi hitam seperti arang) Sumolopo kana lasao (menyerap seperti air tirisan) S.K Datunsolang (1996:236) mengungkapkan, “pada zaman dahulu, ada

beberapa prisip dalam perkawinan adat. Prisip-prinsip tersebut sangat ditentukan

oleh peraturan yang mengikat dan golongan mereka yang menikah”.

Susunan adat yang telah dititahkan raja dan diakui oleh orang tua-tua adat

itu antara lain dalam tata cara perkawinan suku Bintauna. Dalam perkawinan pada

zaman dahulu terdapat pembagian proses perkawinan menjadi dua golongan yakni

golongan bangsawan dan golongan orang biasa. Dimana golongan bangsawan,

Vuasu nganga, sopoto reapange, sompa wafu, tonda, londuto, filombo, learo,

pinonimbalea, pinopopitikan,. Sedangkan bagi golongan biasa Pinokumama

(pemberitahuan), Sopoto reapange, Lontupo lima, Tonda, Londuto, Hiyaho

(permainan), Learo, Pinonimbalea, Pinopopotika.

Page 23: BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ) di kedua …eprints.ung.ac.id/277/5/2013-2-87201-231409026-bab4-10012014123351.pdfBusisingo, dengan calon kepala desa adalah Andot H. Hassan

45

Dari Sembilan langkah adat perkawinan sebagaimana yang disebutkan

tersebut, antara golongan bangsawan dan golongan biasa terletak pada

pelaksanaan filombo dan hiyaho. Selain itu ada beberapa hal yang sangat menarik

untuk peneliti papar disini antara lain adat timbale, ponimbale, popotika dan

learo.

Filombo adalah sejenis rintangan yang menempatkan Sembilan orang yang

ditidurkan di tempat-tempat strategis pada setiap pintu masuk saat pengantin pria

masuk rumah calon mempelai wanita. Dahulunya para perintang tersebut adalah

para budak (vevako/aata). Tapi setelah perbudakan dihapus, maka digantikan

dengan bambu yang dihiasi daun kelapa dan kayu rayo (kraton).

Sebelum rintangan itu diberi bayaran atau tebusan, pengantin pria belum

dibenarkan masuk. Seandainya dilanggara, sang pengantin pria dikenai denda

adat. Setiap alat penebus itu ditutupi kain putih.Namun, kadangkala kesembilan

penghalang bisa ditunai dengan hewan, pohon kelapa atau uang. Kalau telah

dibayarkan kesembilan penghalang tersebut akan disingkap.

Untuk menghalau rintangan itu, terutama yang sudah terbuat dari bamboo,

biasanya kepala adat dari pihak pria mengunakan pedang atau

menginjaknya.Kalau tidak sanggup menghalau rintangan itu, biasanya dianggap

kesalahan adat.Meskipun tak jauh berbeda, bagi keturunan bangsawan,

pelaksanaan hiyaho (filombo) lebih disederhanakan. Dan umumnya, hiyaho itu

telah digantikan dengan uang sebagai tebusan.

Pada prinsipnya, pelaksanaan timbale tidak berbeda bagi golongan

manapun. Bagi mempelai pria sebelum memasuki pintu rumah pihak mempelai

Page 24: BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ) di kedua …eprints.ung.ac.id/277/5/2013-2-87201-231409026-bab4-10012014123351.pdfBusisingo, dengan calon kepala desa adalah Andot H. Hassan

46

wanita, harus dihalangi. Setelah memberikan uang sebagai tanda tebusan, barulah

pengantin pria berhak masuk.

Payung yang menutupi pengantin pria harus tetap terbuka sebelum uang

tebusan diterima. Setelah itu baru payung tersebut bisa ditutup (tumbao).

Kemudian alas kaki dibuka (pangkuso). Ibu (inde) mempelai pria menyambut

terlebih dahulu dan mengantarnya sampai ke puade (tempat duduk mempelai).

Ditempat itu disuguhkan pinang dan sirih. Sebelum sampai ke puade, bagi

mempelai wanita anak atau cucu raja, harus menginjak sebanyak tujuh buah piring

putih.Kalau segala persyaratan itu dijalankan resmilah acara penerimaan nikah

adat itu.Untuk mengiringi mempelai wanita, biasanya disembunyikan tabor.

Dalam tata cara pernikahan adat, ponimbale dan popotika dipahami

sebagai tanda penerimaan setelah perkawinan dilaksanakan. Acara ini dipakai

sebagai ungkapan pengikat kekeluargaan antara keluarga masing-masing

mempelai. Dengan tata cara itu, rasa sungkan diantara mereka terhadap keluarga

kedua bela pihak dikurangi. Kalau adat ini tidak dilaksanakan, maka apapun yang

terjadi di rumah keluarga masing-masing pihak, mereka tidak akan saling

mengunjungi.

Selain itu, dalam langkah-langka peminangan, ada beberapa tata cara yang

dikenal dengan monapato. Dimana peminangan disertai para pemangku adat

(wala). Biasanya, Wala Apulu (Kepala Desa) menyerahkan tata cara adat itu

kepada Tetua Adat (Yepatolipu).

Kemudian, peminangan dibukan dengan pinokumana, atau bagi kalangan

bangsawan disebut vuaso nganga yang dibuktikan dengan pemberian

Page 25: BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ) di kedua …eprints.ung.ac.id/277/5/2013-2-87201-231409026-bab4-10012014123351.pdfBusisingo, dengan calon kepala desa adalah Andot H. Hassan

47

uang.Seringkali ponimbale dilaksanakan pada siang hari.Sedangkanpopotika

dilakanakan pada malam kedua setelah perkawinan. Meski tidak diikat adat,

popotika dilaksanakan juga untuk mengantar mempelai wanita ke kamar

mempelai pria. Agat tidak malu dan sungkan tidur di rumah orang tua mantu,

ketika memasuki kamar mempelai wanita ditemani gadis-gadis lain. Setelah

pengantin wanita tidur semalam, siangnya ia dihantar kembali ke rumah orang

tuanya. Setelah itu, keduanya boleh memilih tinggal dimana saja.

Namun, dari berbagai adat yang dilakukan pada saat upacara pernikahan

tersebut, ada sebuah adat yang cukup menarik untuk ditelusuri, yakni adat learo.

Adat learo inilah yang merupakan adat pada pelaksanaan pernikahan yang peneliti

terlusuri, baik berupa seluk beluk pelaksanaannya, serta mengapa adat learo ini

masih dijaga dan dilestarikan.Berikut sedikit gambaran tentang adat istiadat learo

yang berkembang ditengah-tengah masyarakat saat ini, sebagian meruapakan hasil

kajian literature, dan sebagian lagi merupakan informasi yang penulis dapati di

lapangan.

Mekanisme pelaksanaan adat learo sudah dijelaskan pada hasil penelitian

ini. Perlu diperhatikan adalah adat Learo merupakan salah satu prosesi adat yang

diharuskan dilaksanakan pada pernikahan adat masyarakat Desa Busisingo.

Karena adat ini sudah diwariskan dan dilaksanakan secara turun temurun sejak

zaman nenek moyang masyarakat Busisingo. Dimana pelaksanaan adat learo ini

biasanya dilaksanakan sehari sebelum pelaksanaan akad nikah dan walimah

digelar. Bahkan ada cerita yang beredar di masyarkat bahwa apabila adat learo ini

Page 26: BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ) di kedua …eprints.ung.ac.id/277/5/2013-2-87201-231409026-bab4-10012014123351.pdfBusisingo, dengan calon kepala desa adalah Andot H. Hassan

48

tidak dilaksanakan maka biasanya situasi pesta perkawinan tidak semeriah

sebagaimana yang diharapkan.

Pelaksanaan adat learo tidak hanya dilakukan pada masyarakat Busisingo

atau bekas kerajaan Bintauna lainnya, melainkan juga dilakukan oleh masyarakat

Bolaang Mongondow Utara seluruhnya, termasuk bagi masyarakat bekas kerajaan

Kaidipang dan Kerajaan Bolang Itang, dimana adat learo bagi mereka dikenal

dengan molelearu yang secara garis besar tatacaranya tidak jauh berbeda.

Pelaksanaan adat learo dalam pernikahan adat masyarakat Busisingo pun

mempunyai aturan atau ketentuan-ketentuan adat yang mengikat, yang mau tidak

mau harus dipenuhi. Salah satu syarat tersebut misalnya, adanya ketentuan

pelaksanaan adat learo bagi si pengantin wanita yang tidak melakukan

pelanggaran atau hamil diluar nikah, atau pelaksanaan adat learo tidak

dilaksanakan lagi bagi pernikahan si calon mempelai wanita yang sudah pernah

menikah sebelumnya atau sudah pernah menjanda.

Penentuan pelaksanaan adat learo inipun juga diputuskan melalui

musyawarah keluarga kedua bela pihak, beserta pemerintah desa, para pemangku

adat dan pegawai syar’I. Selain itu, setelah disepakati keluarga kedua bela pihak

bahwa adat learo akan dilaksanakan, maka pelaksanaan adat learo ini pula harus

disaksikan oleh pemerintah Desa, para tetua adat dan kelurga dari kedua bela

pihak.

Seperti juga yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa istilah Learo atau

learu sama dengan padanan kata “pepat” atau “memepat” yang berarti membuat

rata (dikerat, dipangkas, didabung dengan gigi, dipenggal puncaknya dan

Page 27: BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ) di kedua …eprints.ung.ac.id/277/5/2013-2-87201-231409026-bab4-10012014123351.pdfBusisingo, dengan calon kepala desa adalah Andot H. Hassan

49

sebagainya). Sedangkan menurut istilah adat, learo adalah suatu kebiasaan atau

adat istiadat yang dilakukan oleh masyarakat turun temurun sebagai pelengkap

dalam setiap pelaksanaan perkawinan adat, dengan jalan menggosok atau

memepat, mengerat dan memangkas puncak gigi kedua calon pengantin hingga

rata dan teratur.Yang dimaksud memepat gigi dalam adat learo bukan memepat

sampai habis, melainkan hanya merapihkan, sehingga learo ini juga sering dikenal

dengan istilah adat menyikat gigi juga. Selain itu, pelaksanaan learo dalam acara

pernikahan, menurut kepercayaan masyarakat, adat learo ini bisa menunjukkan si

calon pengantin masih suci atau tidak lagi. Sehingga tidak heran terkadang

pelaksanaan adat ini juga berdampak pada pergunjingan ditengah-tengah

masyarakat. Selain itu ada juga pandangan ini demi kebersihan.

Menurut S.K. Datunsolang (1996: 138), “agar gigi setiap wanita tampak

rapi dan bersih, dilakukan acara learo (memepat/menyikat gigi). Hal ini dilakukan

sebagai tanda kasih sayang orang tua kepada anak gadisnya. Namun, hingga sang

gadis dilamar dan menikah, tata cara learo ini bisa dilaksanakan oleh suaminya”.

Pelaksanaan learo ini biasanya dilaksanakan sehari sebelum pelaksanaan

akad nikah dan walimah digelar. Penentuan pelaksanaan adat learo inipun juga

diputuskan melalui musyawarah keluarga kedua bela pihak.Menurut tokoh-tokoh

masyarakat dan tokoh-tokoh adat bahwa apabila adat learo ini tidak dilaksanakan

maka biasanya situasi pesta perkawinan tidak semeriah sebagaimana yang

diharapkan. Karena adat learo ini pada pelaksanaannya selalu dikaitkan dengan

acara penyerahan dan penerimaan calon pengantin laki-laki beserta mas kawinnya

Page 28: BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ) di kedua …eprints.ung.ac.id/277/5/2013-2-87201-231409026-bab4-10012014123351.pdfBusisingo, dengan calon kepala desa adalah Andot H. Hassan

50

dan perlengkapan lain yang ada sangkut pautnya dengan acara perkawinan adat

tersebut.

Bahkan ada juga pandangan yang sudah mengakar dan menjadi

kepercayaan masyarakat bahwa, pada gelar adat learo bisa diketahui apakah si

wanita tersebut masih suci atau tidak. Hal ini dapat dilihat ketika saat pelaksanaan

adat learo, jika si wanita merasakan sakit atau ngilu berarti wanita tersebut sudah

tidak suci lagi, sedangkan jika tidak merasakan apa-apa berarti wanita tersebut

masih terjaga kesuciannya.Dalam pelaksanaan learo disediakan beberapa ramuan

yang terdiri dari srey, bawang merah dan bunga pohon pinang. Buah pinang

sendiri kerap digunakan untuk meramal jenis kelamin bakal bayi yang akan lahir.

Buah pinang itu biasanya dibela di atas perut wanita yang bakal melahirkan.

Pada pelaksanaan adat learo, mengunanakan batu untuk menggosok gigi

yang digunakan dalam pelaksanaan adat learo dan batu learo bukan batu

sembarang. Batu tersebut adalah batu khusus yang dipergunakan untuk

pelaksanaan adat learo yang merupakan peninggalan para leluhur. Disamping itu,

orang yang diberi kepercayaan untuk menjaga batu learo tersebut merupakan

orang terpilih, atau berdasarkan kesepakatan para tetua adat, dan biasanya

mengenal betul seluk beluk pelaksanaan learo beserta doanya.

Bagi masyarakat pelaksanaan adat learo memiliki makna tersendiri.

Dimana secara khusus adat learo ini merupakan salah satu kelengkapan acara adat

pada pesta pernikahan, sehingganya ketika acara ini tidak dilaksanakan maka

acara pernikahan dianggap tidak lengkap. Meski begitu, jika ada keluarga yang

mempunyai hajatan pernikahan tersebut tidak ingin melaksanakan acara adat learo

Page 29: BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ) di kedua …eprints.ung.ac.id/277/5/2013-2-87201-231409026-bab4-10012014123351.pdfBusisingo, dengan calon kepala desa adalah Andot H. Hassan

51

ini, atau tidak bisa melaksanakan learo ini karena alasan-alasan yang tidak

membolehkan dilaksanakananya learo, maka tetap harus membanyar denda, atau

uang pengganti berdasarkan ketentuan adat yang berlaku. Terkait besaran uang

pengganti ketentuan adat ini biasanya sebesar Rp300.000,-. Biasanya uang

pengganti ini dibayarkan oleh pihak perempuan.

4.3.2 Pandangan Masyarakat Busisingo Terhadap Kelangsungan Adat

Busisingo

Berdasarkan data dan hasil penelitian yang peneliti peroleh dalam

penilitian ini, sebagian besar masyarakat Busisingo khususnya dan Bolaang

Mongondow Utara umumnya merupakan mayoritas memeluk agama Islam.

Sehingga dapat dikatakan bahwa pelaksanaan perkawinan yang dilaksanakan di

Desa Busisingo dilihat dari bentuk dan tujuannya tidak jauh berbeda dengan yang

dilaksanakan oleh masyarakat Indonesia pada umumnya, yang berbeda hanyalah

system pelaksanaannya saja.

Di Bolaang Mongondow Utara umumnya pasca masuknya agama Islam

telah mempengaruhi banyak segi dan aspek kehidupan, terutama pada tatanan adat

masyarakatnya. Hal ini terbukti dengan diterimanya syariat Islam sebagai

landasan adat yang sekaligus merupakan landasan dan dasar bagi pelaksanaan

perkawinan secara adat. Atau dalam istilahnya “adat bersendikan syara dan syara

bersendikan kitabullah”, dimana ini dapat mengindikasikan bahwa antara hukum

agama dan hukum adat saling bekerjasama atau saling melengkapi. Meski begitu

apabila adat ketentuan adat yang bertentangan biasanya yang lebih diutamakan

adalah ketentuan agama.

Page 30: BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ) di kedua …eprints.ung.ac.id/277/5/2013-2-87201-231409026-bab4-10012014123351.pdfBusisingo, dengan calon kepala desa adalah Andot H. Hassan

52

Demikian dapat dipahami bahwa dasar yang menjadi landasan dari

pelaksanaan perkawinan adat learo dalam masyarakat Busisingo adalah syariat

Islam. Oleh karenanya kehadiran syariat Islam telah banyak berpengaruh pada

aspek kehidupan masyarakat Busisingo khususnya dalam masalah perkawinan.

Seperti telah dijelaskan pada pembahasan sebelumnya bahwa dalam

pelaksanaan perkawinan adat di Busisingo terutama pada prosesi pelaksanaan adat

learo tersebut tujuannya agar kedua calon mempelai terjaga kesucian dan

kebersihan dirinya sebelum mereka membina mahligai rumah tangga. Agar

rumah tangga mereka kelak bisa menjadi rumah tangga yang sakinah mawadah

dan warohmah.

Terkait dengan masalah kebersihan dan kesucian ini dalam Islam

ditempatkan dalam urutan tertinggi, bahkan dalam kitab-kitab ilmu fiqih, Thahara

yang artinya bersuci mendapat posisi dan kedudukan awal sebelum membahas

fiqih yang lainnya. Sebab dalam agama Islam telah dianjurkan agar umat Islam

senantiasa dalam keadaan suci dan bersuci. Tahara sendiri berarti menjauhi segala

yang kotor dan cemar dan mendekati kebersihan dan kesucian baik lahir maupun

batin.

Sehubungan dengan itu maksud dari pelaksanaan adat learo adalah

merujuk pada masalah kebersihan dan kesucian diri yang pada hakekatnya adalah

untuk membudayakan hidup senantiasa bersih dan suci. Hal ini sejalan dengan

difirmankan Allah SWT dalam Surat Al-Baqorah ayat 222, yang artinya: “

Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang taubat dan menyukai orang-

orang yang menyucihkan diri”.

Page 31: BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ) di kedua …eprints.ung.ac.id/277/5/2013-2-87201-231409026-bab4-10012014123351.pdfBusisingo, dengan calon kepala desa adalah Andot H. Hassan

53

Berdasarkan pandangan masyarakat Busisingo dapat dikatakan

pelaksanaan adat learo tidak bertentangan dengan ajaran Islam. Justru pelaksanaan

adat learo merupakan perwujudan pelaksanaan atau praktek ajaran Islam di dalam

pelaksanaan perkawinan adat di Busisingo. Menyadari bahwa learo mempunyai

maksud dan tujuan yang baik, maka masyarakat Busisingo menerima adat ini

dalam perkawinan adat mereka bahkan hingga kini masih terus dipelihara.

Tidak hanya itu pelaksanaan adat learo juga secara tidak langsung turut

serta berpengaruh sebagai legitimasi budaya pada pelaksanaan perkawinan adat

pada masyarakat Busisingo. Sehingga sifatnya bisa juga disamakan sebagai

formalitas atau melambangkan suatu budaya daerah dan tidak menentukan

berlangsung tidaknya pernikahan. Sebab meskipun tidak dilaksanakan learo

pernikahan tetap bisa dilanjutkan.

Hakekat dari adat laero berdasarkan pengertian tersebut menyeruhkan agar

para calon pengantin baik laki-laki dan perempuan untuk menjaga kesuciannya.

Tidak hanya itu dituntut juga kesucian dan kebersihan lahir dan batin dari si calon

mepelai yang akan melansungkan perkawinan. Karena persoalan menjaga

kesucian ini merupakan anjuran dalam ajaran Islam.

Dengan demikian pelaksanaan adat learo sejatihnya dapat membantu

mencegah terjadi pelanggaran dari apa yang disyariatkan oleh ajaran Islam seperti

larang berzina, menjagai kesucian diri dan lain sebagainya. Sebab tak disangkal

lagi zaman yang semakin bebas ini, pergaulan anak muda belakangan sudah

menjurus kepada pergaulan bebas, menyalahgunakan obat-obatan terlarang,

hingga sex bebas.

Page 32: BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ) di kedua …eprints.ung.ac.id/277/5/2013-2-87201-231409026-bab4-10012014123351.pdfBusisingo, dengan calon kepala desa adalah Andot H. Hassan

54

Diharapkan dengan adanya adat learo ini akan memberikan sanksi moral

kepada pemuda-pemudi agar berhati-hati, karena suci tidaknya mereka dapat

diketahui pada saat akan dilangsungkannya adat learo berdasarkan kepercayaan

masyarakat setempat. Justru dengan diterapkannya konsep Islam ini sudah

menjadi keterpautan rumah tangga baru agar melalui dengan kebersihan dan

kesucian. Dengan demikian bisa dikatakan calon suami istri ini telah menjalankan

perintah Allah diambang pernikahan yang diawali dengan penyucian diri.

Lebih dari itu apabila adat ini benar-benar diterapkan dalam masyarakat

dalam arti bahwa maksud dan tujuannya dijelaskna pada masyarakat setiap akan

dilaksanakannya adat tersebut. Agar supaya masyarakat terutama generasi muda

dapat memahami dan mengetahui maksud dan tujuan diadakannya adat learo.

Bahkan lebih dari itu adat learo kalau ditelisik lebih jauh lagi juga dapat mengajak

pada masyarakat untuk menghindari perbuatan yang mungkar dan mengajak

kepada kebaikan atau makruf. Hal ini sebagaimana firman Allah dalam surat Al-

Imran ayat 164 yang artinya: “ Hendaklah diantara kamu suatu bangsa yang

mengajak kepada kebaikan dan menyuruh yang baik dan melarang kepada segala

yang mungkar dan mereka yang demikian merupakan orang-orang yang menang”.

Meski begitu, dalam perjalanan sejarahnya pelaksanaan adat learo selain

merupakan adat kebiasaan turun temurun, pelaksanaannya dewasa ini hanya

dilaksanakan pada perkawinan yang masih dianggap baik. Dalam penelitian ini

juga peneliti menemukan bahwa jika adat learo tidak dilaksanakan maka

kemungkinan akan menimbulkan fitnah yang terutama fitnah gunjingan ini

tertujuh pada keluarga mempelai wanita. Sebab secara umum masyarakat akan

Page 33: BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ) di kedua …eprints.ung.ac.id/277/5/2013-2-87201-231409026-bab4-10012014123351.pdfBusisingo, dengan calon kepala desa adalah Andot H. Hassan

55

dengan sendirinya curiga, jika tanpa alasan yang jelas-jelas berdasarkan ketentuan

adat tidak bisa dilaksanakan adat learo, maka akan dicurigai pihak perempuan

tidak melaksanakan learo karena sudah tidak suci lagi.

Berdasakan bahasan penelitian yang telah dijelaskan bahwa, adat learo

selain berfungsi sebagai pelengkap perkawinan adat di desa Busisingo, juga

mempunyai maksud dan tujuan yang terkandung didalamnya. Adapun maksud

dan tujuan dari pelaksanaan adat learo ini secara umum yakni untuk menjaga

kebersihan dan kesucian dari kedua calon pengantin sebelum membangun rumah

tangga.

Sedangkan tujuan pelaksanaan adat learo pada acara pernikahan

masyarakat Busisingo antara lain:

1) Demi menjaga dan terpeliharanya kehormatan dari calon mempelai wanita,

dan juga anak-anak remaja yang belum menikah. Agar terhindar dari seks pra

nikah, karena adanya sangsi moral pada pelaksanaan adat learo tersebut. Tidak

hanya wanita, bahkan ada juga pelaksanaan learo yang mengikut sertakan pria.

2) Selain itu, adat learo ini juga berfungsi untuk kebersihan dan kesucian kedua

calon pengantin sebelum mereka melakukan hak dan kewajibannya sebagai

suami istri dalam sebuah mahligai rumah tangga.