bab iv hasil penelitian dan pembahasan ) di kedua...
TRANSCRIPT
23
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
4.1 Gambaran Umum Desa Busisingo
4.1.1 Sejarah dan Pemerintahan Desa Busisingo
Asal mula sejarah Desa Busisingo di umpamakan seperti wanita cantik
yang mempunyai lesung pipit (kendis) di kedua pipinya.Dalam bahasa Sangkub
dan Bintauna lesung pipit ini disebut “kambusising”, yang kemudian menjadi
Busisingo. Itulah nama desa Busisingo sampai sekarang.
Desa Busisingo merupakan area perkebunan Busisingo yang pada waktu
itu masih marupakan Desa Sangkub. Secara tidak langsung bisa dikatakan
Busisingo saat ini merupakan Totabuan atau tempat mencari nafkahnya orang-
orang Desa Sangkub pada waktu itu.Terbentuknya perkebunan Busisingo pada
tanggal 6 juni 1956 yang dipimpin oleh seorang Probis Umum bernama Bapak
Ibrahim Hassan. Setelah itu, setahun kemudian menjadi desa definitif pada
tanggal 3 maret 1957, yang dipimpin oleh Bapak Husen H. Hassan yang tidak lain
merupakan ayah dari Bapak Ibrahim Hassan. Bapak Husen Hasan ini memerintah
dari tahun 1957 sampai tahun 1960, berdasarkan Surat Keputusan (SK) dari
Kabupaten pada tanggal 2 Mei 1958 yang pada waktu itu masih dalam lingkup
Kabupaten Bolaang Mongondow yang berkedudukan di Desa Kopandakan.
Memasuki tahun 1958, terjadilah peperangan di Sulawesi utara yang
dikenal dengan Persatuan Rakyat Semesta (Permesta), kondisi peperangan
tersebut cukup berimbas pada kondisi pemerintah di Bolaang Mongondow dan
23
24
desa-desa kecil yang dinaunginya. Namun, tidak berselang pada tanggal 1 Januari
1961 kembali Bapak Ibrahim Hassan yang diangkat menjadi Sangadi (kepala
desa) dan dilantik. Masa tugas Ibrahim Hassan mulai tanggal 1 Januari 1961
sampai dengan 4 maret 1964. Pada tahun 1964 ini, terjadi masa transisi di desa
lamanya sekitar 4 bulan, dan tugas pemerintahan diambil oleh Probis
Penerangan/Palakat atas nama Bapak Arnol Kandow.
Pada tahun 1964 itu juga diadakan pemilihan kepala desa di desa
Busisingo, dengan calon kepala desa adalah Andot H. Hassan dan Karim H.
Hassan, kemudian yang terpilih menjadi Sangadi Busisingo adalah Bapak Karim
H. Hassan yang massa jabatanya 1964-1966.
Pada tahun 1966 terjadi lagi krisis/transisi pemerintahan sehingga Bapak
Andot H. Hassan diangkat menjadi Sangadi definitive pada tahun 1967.Bapak
Karim H. Hassan ini adalah sepupu dari Bapak Ibrahim H. Hassan, sedangkan
Bapak Adot H. Hassan ini adalah adik dari Bapak Ibrahim H. Hassan.
Pada tahun 1967 diadakan pemilihan kepala desa, dimana yang terpilih
menjadi kepala desa adalah bapak G. M Hassan yang memerintah selama 20
tahun mulai dari tahun 1967 sampai 1987. Pada tahun 1987 diadakan pemilihan
kepala desa, dan yang terpilih adalah bapak Higa J. Lakoro yang memerintah dari
tahun 1987-1996. Kemudian pada tanggal 1 Januari 1996 diadakan lagi pemilihan
kepala desa dan yang terpilih saat itu adalah bapak Husain Gonibala, dengan
massa jabatan dari tahun 1996 sampai 2005.
Pada tahun 2005 ini, kemudian masyarakat Busisingo kembali melakukan
pemungutan suara untuk memilih kepala desa, dan yang terpilih sebagai Sangadi
25
adalah bapak Hamka Hassan, dengan masa jabatan dari tahun 2005 sampai tahun
2008. Dan pada tahun 2008 ini yang terplih menjadi kepala desa adalah ibu
Rohaeni Gonibala-Boda, berdasarkan surat keputusan yang ada memerintah
selama 6 tahun dari tahun 2008 sampai 2014. Namun pada tanggal 14 mei 2013,
terjadi transisi pemerintahan dan akhirnya mandat pemerintahan diserahkan
kepada Kepala Urusan (KAUR) Pembangunan sebagai PLH, yang dipercayakan
kepada bapak Nyompa Saromeng sampai sekarang.
Kondisi penduduk Desa Busisingo pada waktu itu, sekitar tanggal 6 Juni
1956 berjumlah 17 kepalah keluarga atau 85 jiwa penduduk. Saat menjadi desa
definitif pada tanggal 3 Maret 1957 bertambah menjadi 35 kepala keluarga atau
157 jiwa penduduk.
4.1.2 Kondisi Umum Desa Busisingo
4.1.2.1 Kondisi Geografis
Desa Busisingo berjarak 8 km dari ibukota kecamatan Sangkub, atau
sekitar 60 km dari ibukota Kabupaten. Perjalanan dari Ibukota Kabupaten menuju
Desa Busisingo memakan waktu 2 jam dengan mengunakan kendaraan
bermotor.Berdasarkan Peraturan Desa Nomor 05/DB-KS/PERDES/V/JI, batas
wilayah Desa Busisingo antara lain:
a. Sebelah Utara : Desa Busisingo Utara, Kecamatan Sangkub
b. Sebelah Selatan : Desa Tombolango, Kecamatan Sangkub
c. Sebelah Timur : Desa Tombolango, Kecamatan Sangkub
d. Sebelah Barat : Desa Bintauna Pantai, Kecamatan Bintauna
26
Luas wilyah menurut penggunaannya di Desa Busisingo ada sekitar
242,60 hektar, yang terbagi dalam cakupan luas pemukiman 81 hektar, luas
persawahan 85,5 hektar, luas perkebunan 40,07 hektar, luas pekuburan umum 0,3
hektar, luas pekarangan 3 hektar, luas wilayah kantor desa 0,5 hektar, dan luas
prasarana umum lainnya 30,5 hektar. Selain itu, desa Busisingo juga mempunyai
luas hutan mangrove sebesar 30 hektar.
4.1.2.2 Keadaan Penduduk
Berdasarkan data profil desa tahun 2012, jumlah penduduk Desa
Busisingo sekitar 240 kepala keluarga dengan total keseluruhan 869 jiwa,
rinciannya 460 jiwa laki-laki dan 409 jiwa perempuan. Dimana presentase
pertambahan jumlah penduduknya sekitar 4,5 persen untuk laki-laki dan 6,2
persen untuk perempuan.
Sebagian besar penduduk Desa Busisingo bermata pencaharian sebagai
petani ada sekitar 245 orang, ada juga yang berprofesi sebagai nelayan sekitar 10
orang, peternak sebanyak 17 orang, pengusaha kecil dan menengah ada 17 orang.
Penduduk desa Busisingo mayoritas merupakan etnis Bintauna, yang mayoritas
juga beragama Islam.
Tingkat kesejahteraan penduduk desa Busisingo juga masih di dominasi
oleh keluarga prasejahtera dengan total 124 keluarga. Selain itu juga ada keluarga
sejahtera 1 sebanyak 34 keluarga, keluarga sejahtera 2 sebanyak 40 keluarga,
keluarga sejahtera 3 sebanyak 23 keluarga, dan keluarga sejatera 3 plus sebanyak
5 keluarga.
27
4.2 Hasil Penelitian
4.2.1 Deskripsi Pelaksanaan Adat Learo Dalam Pernikahan Masyarakat Busisingo Seperti halnya dalam prosesi adat atau kegiatan lainya dalam kehidupan
sehari-hari masyarakat, maka pelaksanaan pernikahan adat di Desa Busisingo juga
mempunyai ketentuan-ketentuan yang harus dipenuhi.Adat Learo merupakan
salah satu prosesi adat yang diharuskan dilaksanakan pada pernikahan adat
masyarakat Desa Busisingo.Karena adat ini sudah diwariskan dan dilaksanakan
secara turun temurun sejak zaman nenek moyang masyarakat Busisingo.
Hal ini berdasarkan wawancara dengan bapak Lodi Mokodongan, yang
mengatakan bahwa: “Adat learo ini sudah merupakan adat istiadat dalam acara
pernikahan sejak dari nenek moyang mereka, dan adat learo ini sudah merupakan
sebuah tradisi atau kebudayaan yang ditinggalkan oleh nenek moyang mereka”.
(wawancara, 21 Mei 2013)
Hal serupa juga diungkapkan bapak Rahim yang mengatakan
bahwa:“Masyarakat Busisingo menerima adat learo ini menjadi adat istiadat
dalam acara pernikahan, karena memang sudah menjadi dasar kebudayaan yang
ditinggalkan oleh nenek moyang mereka”. (wawancara, 22 Mei 2013)
Selanjutnya bapak Imbuto mengatakan bahwa:“Adat learo ini telah dikenal
oleh masyarakat bolaang mongondow sejak nenek moyang mereka, adat learo ini
sudah merupakan adat istiadat dalam pernikahan masyarakat Busisingo sejak
nenek moyang mereka”. (wawancara, 22 Mei 2013)
28
Terkait dengan Adat Learo merupakan warisan turun termurun, atau
merupakan peninggalan nenek moyang masyarakat Busisingo ini dipertegas pula
oleh bapak Surapel Wartabone, dengan mengatakan bahwa:“Adat learo sudah
dikenal oleh masyarakat Busisingo sejak nenek moyang masyarakat Bolaang
Mongondow. Adat learo ini sudah menjadi dasar utama dalam pernikahan
masyarakat Busisingo sejak zaman dulu yang merupakan atau sudah menjadi adat
istiadat masyarakat busisingo, yang di mana adat learo ini digunakan dalam
perlengkapan adat istiadat pernikahan masyarakat Busisingo. (wawancara, 23 Mei
2013)
Sebagaimana lazimnya pelaksanaan upacara adat, pelaksanaan adat learo
dalam pernikahan adat masyarakat Busisingo pun mempunyai aturan atau
ketentuan-ketentuan adat yang mengikat, yang mau tidak mau harus
dipenuhi.Salah satu syarat tersebut misalnya, adanya ketentuan pelaksanaan adat
learo bagi si pengantin wanita yang tidak melakukan pelanggaran atau hamil
diluar nikah, atau pelaksanaan adat learo tidak dilaksanakan lagi bagi pernikahan
si calon mempelai wanita yang sudah pernah menikah sebelumnya atau sudah
pernah menjanda.
Hal ini sebagaimana hasil wawancara dengan bapak Lodi Mokondongan,
yang mengatakan bahwa:“Adat learo ini tidak dilaksanakan jika kedua pasangan
telah melakukan pelanggaran, misalnya kawin lari dan nikah sirih. Adat learo juga
tidak bisa dilaksanakan apabila sang wanita sudah berstatus janda”. (wawancara,
21 Mei 2013)
29
Hal senada juga dikatakan bapak Imbuto, yang mengatakan
bahwa:“Apabila sang wanita telah berstatus janda maka adat learo ini tidak bisa
dilasanakan. Dan apabila sang wanita telah melakukan pelanggaran misalnya,
kawin lari dan nikah siri. Maka adat learo tidak bisa dilaksanakan”. (wawancara,
22 Mei 2013)
Ketentuan-ketentuan adat ini sudah menjadi dasar hukum tertentu
sehingga kegiatan ini dapat berlangsung terus-menerus. Bagi masyarakat
Busisingo pelaksanaan adat learo ini akan terus dilaksanakan karena sudah
menjadi aturan yang mengikat bagi masyarakat.
Sebagaimana yang dikatakan bapak Lodi Mokodongan, yang
mengungkapkan bahwa:“Mengapa kita harus melakukan adat learo tersebut
karena sudah merupakan aturan dan sesuai dengan adat istiadat yang diyakini oleh
masyarakat Bolaang Mongondow Utara yang ditinggalkan oleh nenek moyang”.
(wawancara, 21 Mei 2013)
Pelaksanaan adat learo ini biasanya dilaksanakan sehari sebelum
pelaksanaan akad nikah dan walimah digelar.Bahkan ada cerita yang beredar di
masyarkat bahwa apabila adat learo ini tidak dilaksanakan maka biasanya situasi
pesta perkawinan tidak semeriah sebagaimana yang diharapkan.
Terkait dengan pelaksanaan adat learo sebelum acara pernikahan ini
sebagaimana yang diungkapkan bapak Rahim, bapak Surapel Wartabone dan
bapak Imbuto, yang mengatakan bahwa: “Adat learo dilaksanakan sebelum akad
nikah”.
30
Adapun penentuan pelaksanaan adat learo inipun juga diputuskan melalui
musyawarah keluarga kedua bela pihak, beserta pemerintah desa, para pemangku
adat dan pegawai syar’I.Hal ini sebagaimana yang diungkapkan bapak Imbuto,
yang menerangkan bahwa:“Pelaksanaan learo terlebih dahulu dimusyawarakan
oleh keluarga dan para orang tua adat.Dan atas persetujuan dari keluarga kedua
belah pihak”. (wawancara, 22 Mei 2013)
Selain itu, setelah disepakati keluarga kedua bela pihak bahwa adat learo
akan dilaksanakan, maka pelaksanaan adat learo ini pula harus disaksikan oleh
pemerintah Desa, para tetua adat dan kelurga dari kedua belah pihak.
Ini berdasarkan wawancara dengan bapak Surapel Wartabone, yang
mengatakan bahwa:“Adat learo disaksikan oleh pemerinrah, lembaga adat dan
keluarga dari kedua belah pihak, yang sudah dimusyawarakan oleh keluarga dan
sudah mendapat persetujuan dari kedua belah pihak, yang dimana apakah adat
learo ini akan dilaksanakan atau tidak dilaksanakan”.(wawancara, 23 Mei 2013)
Hal senada juga diungkapkan oleh bapak Lodi Mokodongan, yang
mengatakan bahwa:“Pelaksanaan adat learo ini disaksikan oleh pemerintah desa,
lembaga adat dan keluarga yang akan mengadakan acara pernikahan”.
(wawancara, 21 Mei 2013)
Setelah dilakukan musyrawah antara kedua keluarga calon mempelai
tersebut, dan disepakati bahwa adat learo pada acara pernikahan
akandilaksanakan, mulai saat itu keluarga kedua mempelai akan mempersiapkan
segala keperluan terkait dengan pelaksanaan adat learo ini.
31
Adapun hal-hal yang diperlukan dalam pelaksanaan adat learo ini antara
lain: Batu Learo, Pinang, Sirih, Kapur, dan sebuah baki yang berisi berbagai
hadiah yang akan diberikan kepada mempelai wanita.
Terkait dengan keperluan pelaksanaan adat learo ini seperti yang
diungkapkan bapak Lodi Mokodongan yang mengatakan bahwa:“Dalam
pelaksanaan learo yang harus kita persiapkan yaitu, batu learo untuk menggosok
gigi, pinang, sirih dankapur makan”. (wawancara, 21 Mei 2013)
Tidak jauh berbeda dengan itu, bapak Imbuto, juga mengungkapkan
bahwa:“Yang harus dipersiapkan yaitu :Isi Baki ( Bahan-bahan yg akan diberikan
kepada sang wanita misalnya Cipu, AL-Qur’an dll), Batu Learo, Pinang (Bunga
pinang biasanya untuk meramal calon bayi yang akan lahir), Sirih dan,Kapur
makan”. (wawancara, 22 Mei 2013)
Setelah segalah keperluan learo telah dipersiapkan, maka selanjutnya
tinggal pelaksanaan adat learo.Dimana untuk pelaksanaan adat learo ini dilakukan
di rumah mempelai wanita.
Pada pelaksanaan adat learo ini, yang melakukan adat learo merupakan
hasil persetujuan dari kedua keluarga mempelai yang diputuskan melalui
musyawarah. Hal ini sebagaimana yang diungkapkan bapak Lodi Mokodongan
yang mengatakan bahwa:“Yang menggosok gigi sang wanita yaitu tergantung dari
hasil musyawarah dari keluarga apakah dari orang tua pihak laki-laki yang akan
menggosok gigi sang wanita atau orang yang sudah dipercayakan untuk
menggosok gigi sang wanita”. (wawancara, 21 Mei 2013)
32
Hal senada juga diungkapkan oleh bapak Imbuto, yang mengatakan
bahwa:“Yang menggosok gigi sang wanita yaitu dari persetujuan dari kedua belah
pihak apakah orang tua dari pihak laki-laki atau dari pelaksana adat yang telah
dipercayakan memegang batu learo tersebut”. (wawancara, 22 Mei 2013)
Selain itu, biasanya juga yang melakukan learo (menggosok gigi) sang
mempelai wanita dilakukan oleh orang yang telah diberi amanah untuk memegang
batu learo. Hal ini sebagaimana yang diungkapkan bapak Surapel Wartabone
bahwa:“Biasanya yang meenggosok gigi sang wanita adalah orang yang telah
dipercayakan memegang batu learo”. (wawancara, 23 Mei 2013)
Demikian juga diungkapkan oleh bapak Rahim, yang mengatakan bahwa:“Yang
menggosok gigi adalah orang tua yang sudah ditetapkan untuk menggosok gigi
atau orang yang sudah dipercayakan untuk memegang batu learo tersebut”.
(wawancara, 22 Mei 2013)
Batu yang digunakan dalam pelaksanaan adat learo atau batu learo bukan
batu sembarang.Batu tersebut adalah batu khusus yang dipergunakan untuk
pelaksanaan adat learo yang merupakan peninggalan para leluhur.Disamping itu,
orang yang diberi kepercayaan untuk menjaga batu learo tersebut merupakan
orang terpilih, atau berdasarkan kesepakatan para tetua adat, dan biasanya
mengenal betul seluk beluk pelaksanaan learo beserta doanya.
Tentang ini seperti yang diungkapkan bapak Lodi Mokodongan,
bahwa:“Batu yang dipakai untuk menggosok gigi merupakan batu keramat atau
batu spesial yang memang batu dari peninggalan nenek moyang mereka”.
(wawancara, 21 Mei 2013)
33
Bahkan menurut bapak Surapel Wartabone, batu yang digunakan dalam
pelaksanaan adat learo, itu berbeda dengan batu yang kita temui sehari-hari di
jalan.“Memang sangat berbeda batu yang dipakai untuk learo dengan batu yang
kita jumpai di jalan”. (wawancara, 23 Mei 2013)
Sedangkan dalam pelaksanaan learoini mula-mula disediakan beberapa
ramuan yang terdiri dari siri, kapur dan bunga pohon pinang. Setiap bahan ramuan
yang digunakan untuk adat learo itu diletakkan di pelepah daun pinang. Lilin juga
digunakan sebagai penerang agar kilapan gigi akan tampak.
Alat yang digunakan untuk learo ini merupakan sejenis batu yang disebut
batu learo dan diletakkan pada daun woka (vou= sejenis daun palem). Selain itu,
digelar diserambi rumah seperangkat tempat tidur.Dimana gelar adat learo ini
dilakukan di tengah-tengah keluarga terutama bagi mereka yang hendak menikah.
Dengan cara tertentu, si wanita ditidurkan dengan tertutup sapu tangan. Selama
gelar adat learo, dimainkan musik gambus yang diiringi dengan pantun (solivako)
untuk menghibur pengantin.Sedangkan untuk anak dan cucu bangsawan
dimainkan kaimbu.
4.2.2 Pandangan Masyarakat Busisingo Terhadap Kelangsungan Adat
Learo Pada prinsipnya, kelangsungan pelaksanaan adat learo menurut padangan
masyarakat Busisingo akan terus dipertahankan. Karena adat learo sudah menjadi
tradisi dan warisan turun temurun dari nenek moyang mereka.Bahkan bagi
masyarakat Busisingo pelaksanaan adat learo memiliki makna
tersendiri.Pelaksanaan adat learo tidak hanya dilakukan pada masyarakat
34
Busisingo atau bekas kerajaan Bintauna lainnya, melainkan juga dilakukan oleh
masyarakat Bolaang Mongondow Utara seluruhnya, termasuk bagi masyarakat
bekas kerajaan Kaidipang dan Kerajaan Bolang Itang, dimana adat learo bagi
mereka dikenal dengan molelearu yang secara garis besar tatacaranya tidak jauh
berbeda.
Perihal ini seperti yang dibahasakan bapak Lodi Mokodongan, saat
diwawancarai peneliti mengungkapkan bahwa:“Adat learo ini telah mempunyai
makna tersendiri bagi masyarakat Busisingo yaitu dimana adat learo ini sudah
merupakan suatu adat istiadat pernikahan bagi masyarakat busisingo, dan bukan
hanya bagi masyarakat busisingo, tetapi juga masyarakat bolaang mongondow
utara umumnya”. (wawancara, 21 Mei 2013)
Pelaksanaan adat learo sendiri merupakan kelengkapan upacara adat dalam
pernikahan.Seperti halnya sebuah kelengkapan, ketika adat learo ini tidak
dilaksanakan, maka pernikahan terasa tidak lengkap yang berdampak pada
menurunnya kualitas kemeriahan suatu pernikahan adat.
Hal ini sebagaimana yang diujar oleh bapak Surapel Wartabone, yang
mengatakan bahwa pelaksanaan adat learo ini tidak lain:
“Merupakan kelengkapan adat dalam pernikahan yang dimana adat learo ini sudah menjadi adat istiadat masyarakat Busisingo”. (wawancara, 23 Mei 2013) Agar pelaksanaan adat learo tetap terpelihara di masyarakat, maka
ditetapkan beberapa ketentuan adat yang bisa seiring sejalan dengan pelaksanaan
adat learo ini.Dimana ketika masyarakat tidak bisa melaksanakan adat learo
35
karena beberapa faktor yang telah disebutkan sebelumnya maka ada kewajiban
dari pihak keluarga untuk mengeluarkan biaya pengganti adat learo tersebut.
Sebagai suatu ketentuan adat dan kelengkapan acara pernikahan, ketika
adat learo ini tidak dilaksanakan oleh calon mempelai terutama mempelai wanita,
maka dari pihak wanita harus memberikan uang pengganti berdasarkan ketentuan
adat yang berlaku dimasyarakat.
Terkait besaran uang pengganti ketentuan adat ini biasanya sebesar
Rp300.000,-.Biasanya uang pengganti ini dibayarkan oleh pihak perempuan. Hal
ini sebagaimana yang diungkap oleh bapak Lodi Mokodongan, yang
mengatakan:“Jika adat learo ini tidak dilaksanakan maka pihak perempuan tetap
harus membayar uang sebesar Rp300.000,- yang sudah ditetapkan dalam rincian
adat”. (wawancara, 21 Mei 2013)
Ada juga yang mengatakan bahwa, uang pengganti tersebut tidak harus
dibayarkan oleh pihak pengantin wanita, melainkan juga bisa dilaksanakan oleh
kedua bela pihak. Ini sebagaimana diungkapkan oleh bapak Imbuto, yang
mengatakan bahwa:“Jika tidak dilaksanakan, kedua belah pihak tetap harus
membayar uang Rp300.000,- yang sesuai dengan ketentuan rincian adat”.
(wawancara, 22 Mei 2013)
Senada dengan itu, bapak Surapel Wartabone, juga mengungkapkan
bahwa:“Jika learo ini tidak dilaksanakan, maka harus membayar uang sebesar
Rp300.000,-sesuai dengan rincian adat yang berlaku”. (wawancara, 23 Mei 2013)
Adapun mengenai tidak dilaksanakannya adat learo pada acara pernikahan
karena terkendala, si calon pengantin wanita sebelumnya sudah pernah menikah,
36
atau karena si calon pengantin wanita sudah hamil diluar nikah atau kawin lari,
maka harus ada uang pengganti dengan nominal sebagaimana telah diatur oleh
adat.
Tentang pandangan ini sebagaimana yang telah diutarakan oleh bapak
Imbuto, yang mengungkapkan bahwa: “Jika wanita telah hamil diluar nikah maka
learo tidak bisa dilakukan,dan harus membayar uang sebesar Rp. 300, 000 sesuai
dengan rincian adat. Akan tetapi jika kedua dari belak pihak ingin melakukan
learo maka ke-2 belah pihak harus bermusyawarah dengan para orang tua adat dan
pegawai syar’I”. (wawancara, 22 Mei 2013)
Telah dijelaskan sebelumnya bahwa learo merupakan pelengkap dalam
pelaksanaan pernikahan adat pada masyarakat Busisingo.Selain itu juga
pelaksanaan learo juga secara tidak langsung dapat menghakimi suci tidaknya
calon pengantin, terutama pengantin wanita.
4.2.3 Pokok-Pokok Temuan
Berdasarkan kepercayaan masyarakat Busisingo, prosesi adat learo ini bisa
membuktikan suci tidaknya sang calon pengantin. Dimana ketika adat learo
dilaksanakan dan si pengantin wanita tidak merasa ngilu, maka si calon pengantin
wanita tersebut tidak pernah melakukan pelanggaran sebelumnya atau masih suci.
Akan jika si wanita sudah tidak suci lagi maka ketika dilaksanakan learo maka si
wanita akan merasakan ngilu.
Hal ini seperti yang diungkap bapak Surapel Wartabone yang mengatakan
bahwa:“Ada dua pendapat tentang pada waktu pelaksanaan learo, yaitu dimanna
jika sang wanita masih suci, maka dia tidak akan merasakan ngilu. Tetapi jika
37
sang wanita sudah tidak suci lagi, maka gigi akan terasa ngilu ketika pada saat
learo”. (wawancara, 23 Mei 2013)
Senafas dengan itu, bapak Lodi Mokodongan juga mengungkapkan
bahwa:“Pada saat melakukan learo (menggosok gigi) gigi akan merasa ngilu
apabila sang wanita sudah melakukan pelanggaran (sudah tidak suci/ tidak
perawan), dan tidak akan merasa ngilu apabila sang wanita masih suci”.
(wawancara, 21 Mei 2013)
Begitu juga dengan yang diungkap bapak Rahim, yang mengatakan
bahwa:“Ngilu apabila sang wanita sudah ada pelanggaran, dan tidak ngilu apabila
sang wanita masih suci”. (wawancara, 22 Mei 2013)
Hal ini juga dibenarkan oleh bapak Imbuto, yang mengatakan bahwa:“Ada
dua kesimpulan tentang melakukan learo yaitu :“Gigi tidak akan merasakan ngilu
apa bila sang wanita masih bersih (suci), Gigi akan tersa ngilu apabila sang wanita
sudah tidak suci”. (wawancara, 22 Mei 2013)
Adanya kepercayaan masyarakat inilah yang terkadangan jika dilihat dari
sisi negatifnya sering menimbulkan pergunjingan dan fitnah di tengah masyarakat
pada saat pelaksanaan adat learo.Bahkan ada calon pengantin yang ketakutan
melaksanakan adat learo.Namun dari sisi positifnya, pelaksanaan adat learo ini
justru membuat anak-anak muda berfikir dua kali untuk melakukan hal-hal
terlarang, karena takut mendapat sangsi moral pergunjingan dari masyarakat.
4.3 Pembahasan
4.3.1 Pelaksanaan Adat Learo Dalam pernikahan Masyarakat Busisigo
38
Kegiatan perkawinan adat di Bolaang Mongondow Utara khususnya di
Desa Busisingo, Kecamatan Sangkub juga mempunyai ketentuan-ketentuan yang
harus dipenuhi. Terdapat beberapa ketentuan yang berdasarkan adat yang berlaku
ditengah masyarakat, bahwa adat learo dapat dilaksanakan dalam pesta
perkawinan.
Masalah perkawinan mereka memiliki adat istiadat tertentu, yang harus
dilaksanakan sebelum terjadinya akad nikah terhadap kedua calon pengantin.
Akan tetapi tata cara adat istiadat tersebut tidak berlaku pada semua proses
perkawinan yang ada di daerah ini. Karena ada juga proses perkawinan yang tidak
memakai adat istiadat atau pun tidak diikat oleh peraturan adat tersebut. Seperti
perkawinan bawah lari atau perkawinan lari bersama. Perkawinan semacam ini
biasanya terjadi pada masyarakat yang kurang mampu memenuhi tuntunan adat.
Selain itu ada juga perkawinan yang biasanya diselenggarakan oleh
masyarakat golongan atas, yaitu masyarakat yang mempunyai kesanggupan untuk
memenuhi tuntutan adat. Seperti dalam perkawinan pinang yang cara
pelaksanaannya sangat jauh berbeda dengan perkawinan bawah lari bersama
seperti yang disebutkan di atas.
Proses perkawinan pinang dalam masyarakat etnis Bintauna sangat diikat
oleh berbagai ketentuan adat istiadat. Salah satu tata cara adat yang paling
menonjol yang masih dipelihara oleh masyarakat saat ini adalah pelaksanaan adat
“learo”, dimana jika adat istiadat ini konon jika tidak dilaksanakan maka pesta
perkawinan akan terasa kurang meriah. Berikut ini prosesi perkawinan pada
masyarakat Busisingo dan masyarakat etnis Bintauna umumnya.
39
Peminangan (Molondao) artinya diawali dengan penyampaian kepada
orang tua dari perempuan dimana sebentar malam ada orang tua adat yang akan
berkunjung kerumah mereka. Hal ini disampaikan langsung oleh salah satu orang
tua adat yang telah ditunjuk oleh keluarga si pria.
Pelaksanaan prosesi adat pernikahan lengkap pada masyarakat Busisingo, biasanya terlebih dahulu dimulai dengan peminangan. Dimana peminangan atau Molanda’o artinya pertemuan pertama dari kedua orang tua laki-laki dan orang tua perempuan yang di fasilitasi oleh Lembaga Adat dengan maksud memohon kepada orang tua perempuan dimana seorang anak perempuan bernama …… dimohon dan diminta kiranya mendapat persetujuan / diterimah untuk dinikahi oleh seorang laki-laki bernama ….. pada saat itu orang tua dan lembaga adat dari pihak laki-laki belum mendapat jawaban dengan alasan masih menanyakan kepada seorang perempuan dimana mereka sudah ada saling hubungan cinta. (Ointoe, 2012: 23). Setelah kembali salah satu orang tua yang menyampaikan amanat, orang
tua perempuan pun pergi untuk mengundang orang tua kampung untuk datang ke
rumahnya. Di waktu yang bersamaan juga orang tua laki-laki sudah dalam
perjalanan mau berkunjung ke rumah pihak perempuan.
Orang tua adat pihak perempuan (Lovuka kampungo o mampilo vova):
menanyakan kepada orang tua adat dari pihak laki-laki maksud baik apa yang
akan disampaikan, dan dipersilahkan untuk menyampaikan maksud tersebut.
Orang tua pihak laki-laki (Lovuka kampungo o mampilo lola’i):
menyampaikan bahwa dimana niat yang dibawah ini, datang untuk mencari jalan
anak dari keluarga ……. Perempuan bernama ………… diminta oleh orang tua
dari pihak laki-laki yang bernama …….. untuk dipelihara atau diakui sebagai
anak.
40
Orang tua pihak perempuan, kemudian menyatakan bahwa belum ada
jalan yang terang, sebab masih bertanya kepada kedua orang tuanya dan kepada
anak yang bersangkutan. Setelah orang tua adat pihak perempuan mendapat
keterangan yang baik dari orang tuanya, maka orang tua adat datang di rumah
mempelai laki-laki bahwa sudah ada jalan yang baik.
Orang tua adat pihak laki-laki, setelah itu segera datang di rumah orang
tua perempuan untuk mengucapkan sukur sudah mendapat jalan yang baik.
Setelah itu orang tua adat dari pihak perempuan dan orang adat dari pihak laki-
laki beserta keluarga dari kedua belah pihak akan bermusyawarah ringan dan
beratnya serta jauh dan dekatnya pekerjaan. Setelah itu, orang tua adat dari pihak
perempuan telah pergi ke pemerintah desa, pegawai syar’I dan orang-orang tua
adat sudah berkumpul di rumah orang tua perempuan.
Satu orang tua adat berdiri dan menyampaikan maksud kepada
pemerintah, bahwa seorang perempuan bernama …… dilamar seorang laki-laki
bernama ….. setelah diterima lamaran tersebut maka orang tua dari pihak laki-laki
sudah meminta susunan adat istiadat perkawinan. Sebagaimana yang dimaksud
dari orang tua pihak perempuan ini, bahwa malamini dapat dibuat rincian adat
istiadat perkawinan oleh pelaksana-pelaksana adat dan disaksikan oleh pemerintah
desa.
Setelah itu pelaksana-pelaksana adat sudah membuat perincian mulai dari
dana adat:
a. Peminangan: Rp. 100.000,-
Pinokumana vali nia (peminangan artinya meminang)
41
b. Dua macam benda keras dan lembut: Rp. 75.000,-
Dua macam benda keras dan lembut artinya sebelah lembut 10 meter kain
putih sebelah keras dengan arti tapajaro.
c. Penggunaan kedua bela tangan: Rp 60.000,-
Penggunaan kedua bela tangan artinya walau isteri kena dengan api, atau kena
dengan air panas orang tuanya tidak keberatan.
d. Badan harta: 30 pohon kelapa berbuah
e. Keperawanan: Rp 48.000,-
Keperawanan ini khusus untuk kesucian bagi calon mempelai perempuan.
f. Buka kain pintu: Rp 150.000,-
Buka kain pintu ini artinya membuka kain pintu sampai pada penutup
ranjang sudut empat.
g. Learo (Gosok Gigi): Rp 300.000,-
Ini adalah adat istiadat menggosok gigi atau memepat gigi, dan juga
digunakan untuk membutktikan kesucian calon pengantin wanita.
h. Pengantin perempuan datang dirumah pengantin laki-laki: Rp 40.000,-
Artinya pengantin perempuan dijemput oleh orang tua laki-laki untuk datang
dirumah pihak laki-laki.
i. Pengantin perempuan tidur dirumah pengantin laki-laki: Rp 40.000,-
Artinya pengantin perempuan dijemput oleh orang tua laki-laki untuk
bermalam di rumah pihak laki-laki
Setelah perincian adat perkawinan selesai dibuat, sesegera mungkin
diantar kepada orang tua dari pihak laki-laki. Kemudian orang tua dari pihak laki-
42
laki datang bertemu dengan orang tua pihak perempuan guna membicarakan jauh
dekatnya pelaksanaan. Setelah mendapat kesepakatan bersama, maka orang tua
pihak laki-laki dan orang tua pihak perempuan pergi memberitahukan kepada
pemerintah desa bahwa mereka akan membuat pesta nikah.
Sesampainya dirumah pemerintah desa mereka menyampaikan bahwa
menjadi maksud mereka datang pada saat itu untuk datang mengundang kepada
pemerintah bahwa besok malam kalau tidak ada hal yang merintangi akan
dilakukan antar harta. Setelah mendengar penyampaian itu, pemerintah desa,
siapa-siapa pelaksana adat dan pegawai syar’I yang diundang. Setelah pemerintah
desa telah menyebut satu persatu yang diundang, lalu pada malamnya terus
dilaksanakan antar harta di rumah mempelai perempuan malam itu juga
pemeritah, pelaksana adat dan keluarga sudah datang dirumah mempelai wanita.
Selanjutnya orang tua adat pihak perempuan menyampaikan permohonan izin
kepada pihak pemerintah.
Meski begitu jika ditelusuri lebih jauh pada jaman dahulu sempat terdapat
perbedaan proses perkawinan atara golongan bangsawan dengan golongan biasa.
Hal ini terjadi semasa ohongia/Jokulango Mooreteo dinobatkan menjadi raja, saat
itulah terjadi pembentukan struktur kemasyarakatan.
Mereka yang dianggap cakap dan berani diangkat menjadi pemimpin dan
bangsawan. Sedangkan bagi mereka yang cakap dan berpenghidupan sederhana
diangkat menjadi pembantu kepala suku dan dijuluki simpalo.
Sementara mereka yang penghidupannya rendah (mokiko) dikenal sebagai
“anak negeri” (suango lipu). Selain itu, ada pula yang dimasukkan sebagai
43
golongan pelayan (budak) dan disebut vevako. Namun dimasa pemerintahan M.T
Datunsolang (1938) golongan ini kemudian dihapuskan.
Bentuk-bentuk penyapaan bagi anak dan cucu kohongia biasanya disapa
dengan kata avo dan vua. Strata yang dibentuk dalam masyarakat Bintauna ini
kemudian sangat menentukan dalam pemberian harta dalam perkawinan.
Perhitungan harta ini dikenal dengan istilah kati. Namun, perhitungan kati ini bisa
diwujudkan dalam bentuk uang, pohon kelapa, hewan dan lain-lain. Menurut adat,
tingkatan harta itu diatur sebagai berikut:
a. Delapan kati susuro (susun) untuk anak raja dan cucu raja pertama.
b. Delapan kati tifatu (tidak disusun) untuk cucu raja kedua.
c. Enam kati susuro untuk keturunan bangsawan.
d. Enam kati tifatu pada keturunan bangsawan tengah (simpalo).
e. Empat kati untuk keturunan suango lipu (anak negeri).
Keputusan pemberian harta ini telah ditetapkan oleh hukum adat dan
disepakati oleh para tetua adat. Bahkan cara dikuatkan dengan tivato (sumpah)
yang terungkap dalam syair:
Io moilampango o adat tino tantuwo (Siapa yang melanggar adat yang telah ditentukan).
Yo rumahako kan o lako (Menjadi kuning seperti kuning). Jumoyango kana ifungo ku tava (hancur laksana garam dan lemak) Mointomo kana vuingo (menjadi hitam seperti arang) Sumolopo kana lasao (menyerap seperti air tirisan) Ungkapan yang serupa dibacakan dalam penobatan raja-raja. Dalam
bahasa adat penobatan tersebut berbunyi:
44
Amu ohongia ompita namintolu lupu (kepada sang raja tempat kami bergantung) Aku ndk motuliro ( kalau tidak berjalan pada kebenaran) Yo rumahako kan o lako (Menjadi kuning seperti kuning). Jumoyango kana ifungo ku tava (hancur laksana garam dan lemak) Mointomo kana vuingo (menjadi hitam seperti arang) Sumolopo kana lasao (menyerap seperti air tirisan) Kanaitua roma ami lipu (demikian juga kami anak negeri) Ndk motuliro onijo ijompu (tidak berjalan pada kebenaran) Yo rumahako kan o lako (Menjadi kuning seperti kuning). Jumoyango kana ifungo ku tava (hancur laksana garam dan lemak) Mointomo kana vuingo (menjadi hitam seperti arang) Sumolopo kana lasao (menyerap seperti air tirisan) S.K Datunsolang (1996:236) mengungkapkan, “pada zaman dahulu, ada
beberapa prisip dalam perkawinan adat. Prisip-prinsip tersebut sangat ditentukan
oleh peraturan yang mengikat dan golongan mereka yang menikah”.
Susunan adat yang telah dititahkan raja dan diakui oleh orang tua-tua adat
itu antara lain dalam tata cara perkawinan suku Bintauna. Dalam perkawinan pada
zaman dahulu terdapat pembagian proses perkawinan menjadi dua golongan yakni
golongan bangsawan dan golongan orang biasa. Dimana golongan bangsawan,
Vuasu nganga, sopoto reapange, sompa wafu, tonda, londuto, filombo, learo,
pinonimbalea, pinopopitikan,. Sedangkan bagi golongan biasa Pinokumama
(pemberitahuan), Sopoto reapange, Lontupo lima, Tonda, Londuto, Hiyaho
(permainan), Learo, Pinonimbalea, Pinopopotika.
45
Dari Sembilan langkah adat perkawinan sebagaimana yang disebutkan
tersebut, antara golongan bangsawan dan golongan biasa terletak pada
pelaksanaan filombo dan hiyaho. Selain itu ada beberapa hal yang sangat menarik
untuk peneliti papar disini antara lain adat timbale, ponimbale, popotika dan
learo.
Filombo adalah sejenis rintangan yang menempatkan Sembilan orang yang
ditidurkan di tempat-tempat strategis pada setiap pintu masuk saat pengantin pria
masuk rumah calon mempelai wanita. Dahulunya para perintang tersebut adalah
para budak (vevako/aata). Tapi setelah perbudakan dihapus, maka digantikan
dengan bambu yang dihiasi daun kelapa dan kayu rayo (kraton).
Sebelum rintangan itu diberi bayaran atau tebusan, pengantin pria belum
dibenarkan masuk. Seandainya dilanggara, sang pengantin pria dikenai denda
adat. Setiap alat penebus itu ditutupi kain putih.Namun, kadangkala kesembilan
penghalang bisa ditunai dengan hewan, pohon kelapa atau uang. Kalau telah
dibayarkan kesembilan penghalang tersebut akan disingkap.
Untuk menghalau rintangan itu, terutama yang sudah terbuat dari bamboo,
biasanya kepala adat dari pihak pria mengunakan pedang atau
menginjaknya.Kalau tidak sanggup menghalau rintangan itu, biasanya dianggap
kesalahan adat.Meskipun tak jauh berbeda, bagi keturunan bangsawan,
pelaksanaan hiyaho (filombo) lebih disederhanakan. Dan umumnya, hiyaho itu
telah digantikan dengan uang sebagai tebusan.
Pada prinsipnya, pelaksanaan timbale tidak berbeda bagi golongan
manapun. Bagi mempelai pria sebelum memasuki pintu rumah pihak mempelai
46
wanita, harus dihalangi. Setelah memberikan uang sebagai tanda tebusan, barulah
pengantin pria berhak masuk.
Payung yang menutupi pengantin pria harus tetap terbuka sebelum uang
tebusan diterima. Setelah itu baru payung tersebut bisa ditutup (tumbao).
Kemudian alas kaki dibuka (pangkuso). Ibu (inde) mempelai pria menyambut
terlebih dahulu dan mengantarnya sampai ke puade (tempat duduk mempelai).
Ditempat itu disuguhkan pinang dan sirih. Sebelum sampai ke puade, bagi
mempelai wanita anak atau cucu raja, harus menginjak sebanyak tujuh buah piring
putih.Kalau segala persyaratan itu dijalankan resmilah acara penerimaan nikah
adat itu.Untuk mengiringi mempelai wanita, biasanya disembunyikan tabor.
Dalam tata cara pernikahan adat, ponimbale dan popotika dipahami
sebagai tanda penerimaan setelah perkawinan dilaksanakan. Acara ini dipakai
sebagai ungkapan pengikat kekeluargaan antara keluarga masing-masing
mempelai. Dengan tata cara itu, rasa sungkan diantara mereka terhadap keluarga
kedua bela pihak dikurangi. Kalau adat ini tidak dilaksanakan, maka apapun yang
terjadi di rumah keluarga masing-masing pihak, mereka tidak akan saling
mengunjungi.
Selain itu, dalam langkah-langka peminangan, ada beberapa tata cara yang
dikenal dengan monapato. Dimana peminangan disertai para pemangku adat
(wala). Biasanya, Wala Apulu (Kepala Desa) menyerahkan tata cara adat itu
kepada Tetua Adat (Yepatolipu).
Kemudian, peminangan dibukan dengan pinokumana, atau bagi kalangan
bangsawan disebut vuaso nganga yang dibuktikan dengan pemberian
47
uang.Seringkali ponimbale dilaksanakan pada siang hari.Sedangkanpopotika
dilakanakan pada malam kedua setelah perkawinan. Meski tidak diikat adat,
popotika dilaksanakan juga untuk mengantar mempelai wanita ke kamar
mempelai pria. Agat tidak malu dan sungkan tidur di rumah orang tua mantu,
ketika memasuki kamar mempelai wanita ditemani gadis-gadis lain. Setelah
pengantin wanita tidur semalam, siangnya ia dihantar kembali ke rumah orang
tuanya. Setelah itu, keduanya boleh memilih tinggal dimana saja.
Namun, dari berbagai adat yang dilakukan pada saat upacara pernikahan
tersebut, ada sebuah adat yang cukup menarik untuk ditelusuri, yakni adat learo.
Adat learo inilah yang merupakan adat pada pelaksanaan pernikahan yang peneliti
terlusuri, baik berupa seluk beluk pelaksanaannya, serta mengapa adat learo ini
masih dijaga dan dilestarikan.Berikut sedikit gambaran tentang adat istiadat learo
yang berkembang ditengah-tengah masyarakat saat ini, sebagian meruapakan hasil
kajian literature, dan sebagian lagi merupakan informasi yang penulis dapati di
lapangan.
Mekanisme pelaksanaan adat learo sudah dijelaskan pada hasil penelitian
ini. Perlu diperhatikan adalah adat Learo merupakan salah satu prosesi adat yang
diharuskan dilaksanakan pada pernikahan adat masyarakat Desa Busisingo.
Karena adat ini sudah diwariskan dan dilaksanakan secara turun temurun sejak
zaman nenek moyang masyarakat Busisingo. Dimana pelaksanaan adat learo ini
biasanya dilaksanakan sehari sebelum pelaksanaan akad nikah dan walimah
digelar. Bahkan ada cerita yang beredar di masyarkat bahwa apabila adat learo ini
48
tidak dilaksanakan maka biasanya situasi pesta perkawinan tidak semeriah
sebagaimana yang diharapkan.
Pelaksanaan adat learo tidak hanya dilakukan pada masyarakat Busisingo
atau bekas kerajaan Bintauna lainnya, melainkan juga dilakukan oleh masyarakat
Bolaang Mongondow Utara seluruhnya, termasuk bagi masyarakat bekas kerajaan
Kaidipang dan Kerajaan Bolang Itang, dimana adat learo bagi mereka dikenal
dengan molelearu yang secara garis besar tatacaranya tidak jauh berbeda.
Pelaksanaan adat learo dalam pernikahan adat masyarakat Busisingo pun
mempunyai aturan atau ketentuan-ketentuan adat yang mengikat, yang mau tidak
mau harus dipenuhi. Salah satu syarat tersebut misalnya, adanya ketentuan
pelaksanaan adat learo bagi si pengantin wanita yang tidak melakukan
pelanggaran atau hamil diluar nikah, atau pelaksanaan adat learo tidak
dilaksanakan lagi bagi pernikahan si calon mempelai wanita yang sudah pernah
menikah sebelumnya atau sudah pernah menjanda.
Penentuan pelaksanaan adat learo inipun juga diputuskan melalui
musyawarah keluarga kedua bela pihak, beserta pemerintah desa, para pemangku
adat dan pegawai syar’I. Selain itu, setelah disepakati keluarga kedua bela pihak
bahwa adat learo akan dilaksanakan, maka pelaksanaan adat learo ini pula harus
disaksikan oleh pemerintah Desa, para tetua adat dan kelurga dari kedua bela
pihak.
Seperti juga yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa istilah Learo atau
learu sama dengan padanan kata “pepat” atau “memepat” yang berarti membuat
rata (dikerat, dipangkas, didabung dengan gigi, dipenggal puncaknya dan
49
sebagainya). Sedangkan menurut istilah adat, learo adalah suatu kebiasaan atau
adat istiadat yang dilakukan oleh masyarakat turun temurun sebagai pelengkap
dalam setiap pelaksanaan perkawinan adat, dengan jalan menggosok atau
memepat, mengerat dan memangkas puncak gigi kedua calon pengantin hingga
rata dan teratur.Yang dimaksud memepat gigi dalam adat learo bukan memepat
sampai habis, melainkan hanya merapihkan, sehingga learo ini juga sering dikenal
dengan istilah adat menyikat gigi juga. Selain itu, pelaksanaan learo dalam acara
pernikahan, menurut kepercayaan masyarakat, adat learo ini bisa menunjukkan si
calon pengantin masih suci atau tidak lagi. Sehingga tidak heran terkadang
pelaksanaan adat ini juga berdampak pada pergunjingan ditengah-tengah
masyarakat. Selain itu ada juga pandangan ini demi kebersihan.
Menurut S.K. Datunsolang (1996: 138), “agar gigi setiap wanita tampak
rapi dan bersih, dilakukan acara learo (memepat/menyikat gigi). Hal ini dilakukan
sebagai tanda kasih sayang orang tua kepada anak gadisnya. Namun, hingga sang
gadis dilamar dan menikah, tata cara learo ini bisa dilaksanakan oleh suaminya”.
Pelaksanaan learo ini biasanya dilaksanakan sehari sebelum pelaksanaan
akad nikah dan walimah digelar. Penentuan pelaksanaan adat learo inipun juga
diputuskan melalui musyawarah keluarga kedua bela pihak.Menurut tokoh-tokoh
masyarakat dan tokoh-tokoh adat bahwa apabila adat learo ini tidak dilaksanakan
maka biasanya situasi pesta perkawinan tidak semeriah sebagaimana yang
diharapkan. Karena adat learo ini pada pelaksanaannya selalu dikaitkan dengan
acara penyerahan dan penerimaan calon pengantin laki-laki beserta mas kawinnya
50
dan perlengkapan lain yang ada sangkut pautnya dengan acara perkawinan adat
tersebut.
Bahkan ada juga pandangan yang sudah mengakar dan menjadi
kepercayaan masyarakat bahwa, pada gelar adat learo bisa diketahui apakah si
wanita tersebut masih suci atau tidak. Hal ini dapat dilihat ketika saat pelaksanaan
adat learo, jika si wanita merasakan sakit atau ngilu berarti wanita tersebut sudah
tidak suci lagi, sedangkan jika tidak merasakan apa-apa berarti wanita tersebut
masih terjaga kesuciannya.Dalam pelaksanaan learo disediakan beberapa ramuan
yang terdiri dari srey, bawang merah dan bunga pohon pinang. Buah pinang
sendiri kerap digunakan untuk meramal jenis kelamin bakal bayi yang akan lahir.
Buah pinang itu biasanya dibela di atas perut wanita yang bakal melahirkan.
Pada pelaksanaan adat learo, mengunanakan batu untuk menggosok gigi
yang digunakan dalam pelaksanaan adat learo dan batu learo bukan batu
sembarang. Batu tersebut adalah batu khusus yang dipergunakan untuk
pelaksanaan adat learo yang merupakan peninggalan para leluhur. Disamping itu,
orang yang diberi kepercayaan untuk menjaga batu learo tersebut merupakan
orang terpilih, atau berdasarkan kesepakatan para tetua adat, dan biasanya
mengenal betul seluk beluk pelaksanaan learo beserta doanya.
Bagi masyarakat pelaksanaan adat learo memiliki makna tersendiri.
Dimana secara khusus adat learo ini merupakan salah satu kelengkapan acara adat
pada pesta pernikahan, sehingganya ketika acara ini tidak dilaksanakan maka
acara pernikahan dianggap tidak lengkap. Meski begitu, jika ada keluarga yang
mempunyai hajatan pernikahan tersebut tidak ingin melaksanakan acara adat learo
51
ini, atau tidak bisa melaksanakan learo ini karena alasan-alasan yang tidak
membolehkan dilaksanakananya learo, maka tetap harus membanyar denda, atau
uang pengganti berdasarkan ketentuan adat yang berlaku. Terkait besaran uang
pengganti ketentuan adat ini biasanya sebesar Rp300.000,-. Biasanya uang
pengganti ini dibayarkan oleh pihak perempuan.
4.3.2 Pandangan Masyarakat Busisingo Terhadap Kelangsungan Adat
Busisingo
Berdasarkan data dan hasil penelitian yang peneliti peroleh dalam
penilitian ini, sebagian besar masyarakat Busisingo khususnya dan Bolaang
Mongondow Utara umumnya merupakan mayoritas memeluk agama Islam.
Sehingga dapat dikatakan bahwa pelaksanaan perkawinan yang dilaksanakan di
Desa Busisingo dilihat dari bentuk dan tujuannya tidak jauh berbeda dengan yang
dilaksanakan oleh masyarakat Indonesia pada umumnya, yang berbeda hanyalah
system pelaksanaannya saja.
Di Bolaang Mongondow Utara umumnya pasca masuknya agama Islam
telah mempengaruhi banyak segi dan aspek kehidupan, terutama pada tatanan adat
masyarakatnya. Hal ini terbukti dengan diterimanya syariat Islam sebagai
landasan adat yang sekaligus merupakan landasan dan dasar bagi pelaksanaan
perkawinan secara adat. Atau dalam istilahnya “adat bersendikan syara dan syara
bersendikan kitabullah”, dimana ini dapat mengindikasikan bahwa antara hukum
agama dan hukum adat saling bekerjasama atau saling melengkapi. Meski begitu
apabila adat ketentuan adat yang bertentangan biasanya yang lebih diutamakan
adalah ketentuan agama.
52
Demikian dapat dipahami bahwa dasar yang menjadi landasan dari
pelaksanaan perkawinan adat learo dalam masyarakat Busisingo adalah syariat
Islam. Oleh karenanya kehadiran syariat Islam telah banyak berpengaruh pada
aspek kehidupan masyarakat Busisingo khususnya dalam masalah perkawinan.
Seperti telah dijelaskan pada pembahasan sebelumnya bahwa dalam
pelaksanaan perkawinan adat di Busisingo terutama pada prosesi pelaksanaan adat
learo tersebut tujuannya agar kedua calon mempelai terjaga kesucian dan
kebersihan dirinya sebelum mereka membina mahligai rumah tangga. Agar
rumah tangga mereka kelak bisa menjadi rumah tangga yang sakinah mawadah
dan warohmah.
Terkait dengan masalah kebersihan dan kesucian ini dalam Islam
ditempatkan dalam urutan tertinggi, bahkan dalam kitab-kitab ilmu fiqih, Thahara
yang artinya bersuci mendapat posisi dan kedudukan awal sebelum membahas
fiqih yang lainnya. Sebab dalam agama Islam telah dianjurkan agar umat Islam
senantiasa dalam keadaan suci dan bersuci. Tahara sendiri berarti menjauhi segala
yang kotor dan cemar dan mendekati kebersihan dan kesucian baik lahir maupun
batin.
Sehubungan dengan itu maksud dari pelaksanaan adat learo adalah
merujuk pada masalah kebersihan dan kesucian diri yang pada hakekatnya adalah
untuk membudayakan hidup senantiasa bersih dan suci. Hal ini sejalan dengan
difirmankan Allah SWT dalam Surat Al-Baqorah ayat 222, yang artinya: “
Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang taubat dan menyukai orang-
orang yang menyucihkan diri”.
53
Berdasarkan pandangan masyarakat Busisingo dapat dikatakan
pelaksanaan adat learo tidak bertentangan dengan ajaran Islam. Justru pelaksanaan
adat learo merupakan perwujudan pelaksanaan atau praktek ajaran Islam di dalam
pelaksanaan perkawinan adat di Busisingo. Menyadari bahwa learo mempunyai
maksud dan tujuan yang baik, maka masyarakat Busisingo menerima adat ini
dalam perkawinan adat mereka bahkan hingga kini masih terus dipelihara.
Tidak hanya itu pelaksanaan adat learo juga secara tidak langsung turut
serta berpengaruh sebagai legitimasi budaya pada pelaksanaan perkawinan adat
pada masyarakat Busisingo. Sehingga sifatnya bisa juga disamakan sebagai
formalitas atau melambangkan suatu budaya daerah dan tidak menentukan
berlangsung tidaknya pernikahan. Sebab meskipun tidak dilaksanakan learo
pernikahan tetap bisa dilanjutkan.
Hakekat dari adat laero berdasarkan pengertian tersebut menyeruhkan agar
para calon pengantin baik laki-laki dan perempuan untuk menjaga kesuciannya.
Tidak hanya itu dituntut juga kesucian dan kebersihan lahir dan batin dari si calon
mepelai yang akan melansungkan perkawinan. Karena persoalan menjaga
kesucian ini merupakan anjuran dalam ajaran Islam.
Dengan demikian pelaksanaan adat learo sejatihnya dapat membantu
mencegah terjadi pelanggaran dari apa yang disyariatkan oleh ajaran Islam seperti
larang berzina, menjagai kesucian diri dan lain sebagainya. Sebab tak disangkal
lagi zaman yang semakin bebas ini, pergaulan anak muda belakangan sudah
menjurus kepada pergaulan bebas, menyalahgunakan obat-obatan terlarang,
hingga sex bebas.
54
Diharapkan dengan adanya adat learo ini akan memberikan sanksi moral
kepada pemuda-pemudi agar berhati-hati, karena suci tidaknya mereka dapat
diketahui pada saat akan dilangsungkannya adat learo berdasarkan kepercayaan
masyarakat setempat. Justru dengan diterapkannya konsep Islam ini sudah
menjadi keterpautan rumah tangga baru agar melalui dengan kebersihan dan
kesucian. Dengan demikian bisa dikatakan calon suami istri ini telah menjalankan
perintah Allah diambang pernikahan yang diawali dengan penyucian diri.
Lebih dari itu apabila adat ini benar-benar diterapkan dalam masyarakat
dalam arti bahwa maksud dan tujuannya dijelaskna pada masyarakat setiap akan
dilaksanakannya adat tersebut. Agar supaya masyarakat terutama generasi muda
dapat memahami dan mengetahui maksud dan tujuan diadakannya adat learo.
Bahkan lebih dari itu adat learo kalau ditelisik lebih jauh lagi juga dapat mengajak
pada masyarakat untuk menghindari perbuatan yang mungkar dan mengajak
kepada kebaikan atau makruf. Hal ini sebagaimana firman Allah dalam surat Al-
Imran ayat 164 yang artinya: “ Hendaklah diantara kamu suatu bangsa yang
mengajak kepada kebaikan dan menyuruh yang baik dan melarang kepada segala
yang mungkar dan mereka yang demikian merupakan orang-orang yang menang”.
Meski begitu, dalam perjalanan sejarahnya pelaksanaan adat learo selain
merupakan adat kebiasaan turun temurun, pelaksanaannya dewasa ini hanya
dilaksanakan pada perkawinan yang masih dianggap baik. Dalam penelitian ini
juga peneliti menemukan bahwa jika adat learo tidak dilaksanakan maka
kemungkinan akan menimbulkan fitnah yang terutama fitnah gunjingan ini
tertujuh pada keluarga mempelai wanita. Sebab secara umum masyarakat akan
55
dengan sendirinya curiga, jika tanpa alasan yang jelas-jelas berdasarkan ketentuan
adat tidak bisa dilaksanakan adat learo, maka akan dicurigai pihak perempuan
tidak melaksanakan learo karena sudah tidak suci lagi.
Berdasakan bahasan penelitian yang telah dijelaskan bahwa, adat learo
selain berfungsi sebagai pelengkap perkawinan adat di desa Busisingo, juga
mempunyai maksud dan tujuan yang terkandung didalamnya. Adapun maksud
dan tujuan dari pelaksanaan adat learo ini secara umum yakni untuk menjaga
kebersihan dan kesucian dari kedua calon pengantin sebelum membangun rumah
tangga.
Sedangkan tujuan pelaksanaan adat learo pada acara pernikahan
masyarakat Busisingo antara lain:
1) Demi menjaga dan terpeliharanya kehormatan dari calon mempelai wanita,
dan juga anak-anak remaja yang belum menikah. Agar terhindar dari seks pra
nikah, karena adanya sangsi moral pada pelaksanaan adat learo tersebut. Tidak
hanya wanita, bahkan ada juga pelaksanaan learo yang mengikut sertakan pria.
2) Selain itu, adat learo ini juga berfungsi untuk kebersihan dan kesucian kedua
calon pengantin sebelum mereka melakukan hak dan kewajibannya sebagai
suami istri dalam sebuah mahligai rumah tangga.