bab iv hasil penelitian dan pembahasan 4.1 gambaran...
TRANSCRIPT
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
4.1 Gambaran Umum Lokasi Penelitian
4.1.1 Gambaran Umum Masyarakat Tidore
Masyarakat Tidore pada umumnya merupakan suku asli Tidore dengan struktur
pemerintahan berbentuk kerajaan yang dipimpin oleh seorang Kolano (sultan), kebiasaan yang
sangat menonjol dalam tata pergaulan masyarakat Tidore adalah gotong-royong yang merupakan
satu sikap mental yang hidup dan terpelihara sampai sekarang yang merupakan peninggalan
masa lalu seperti Nampak pada kebiasaan yang bersifat sosial antara lain :
Mayae (bentuk tolong menolong dalam berbagai hal seperti membangun rumah dan lain
sebagainya.
Bari dan Maong (bentuk tolong menolong dalam hal pembersihan kebun)
Berkomunikasi dalam kehidupan sehari-hari, masyarakat menggunakan bahasa Tidore
yang tergolong dalam rumpun non-Astronesia. Bahasa ini pula, masyarakat kemudian
mengembangkan sastra lisan dan tulisan. Bentuk sastra lisan yang populer adalah dola bololo
semacam peribahasa atau pantun kilat, dalil tifa (ungkapan filosofis yang diiringi alat tifa atau
gendang), dan kabata merupakan sastra lisan yang dipertunjukan oleh dua regu dalam jumlah
yang banyak, argumennya dalam bentuk syair, gurindam dan bidal).
Mata pencaharian masyarakat Tidore bervariasi, penduduk yang mendiami daerah
pedesaan pedesaan pada umumnya bekerja sebagai petani tahunan (cingkeh dan pala), dan
wiraswasta. Disamping itu juga bekerja di Lembaga Pemerintahan Kota Tidore Kepulauan.
Kebudayaan tidak terlepas dengan latar belakang historis yang panjang dan berpengaruh
terhadap budaya dan adat-istiadat di daerah ini.
4.1.2 Keadaan Geografis
Kota Tidore Kepulauan sebelumnya sebagai Ibukota (Kota Administratif) Kabupaten
Halmahera Tengah. Kota Tidore Kepulauan dideklarasikan melalui Undang-Undang (UU) No.
01 tahun 2003 tentang Pembentukan Kabupaten/Kota Provinsi Maluku Utara dan diresmikan
pada tanggal 31 Mei tahun 2003. Dengan luas wilayah 13.862,86 km2, berada pada posisi 3
lintang utara dan 3 lintang selatan serta 124-129 bujur timur.
Kota Tidore memiliki keunikan lokal diantaranya memiliki berbagai jenis tradisi upacara
adat, tarian daerah dan lain sebagainya. Dimana keunikan lokal tersebut mempunyai peranan
dalam menentukan arahan pengembangan Kota Tidore Kepulauan dimasa mendatang khususnya
disektor pariwisata. Oleh karena itu, perlu mempertimbangkan aspek tersebut, sehingga Kota
Tidore Kepulauan mempunyai posisi tawar terhadap daerah lain.
Dari hasil Observasi lapangan dan langsung wawancara dengan masyarakat setempat, maka
kota Tidore Kepulauan memiliki keunikan lokal yakni : Adat istiadat dan budaya yang unik yang
terkenal dengan upacara adat (Ritual Kesultanan) yakni : Lufu Kie, Legu Gam, dengan tarian
Soya – Soya dan Dana – Dana, selain itu terdapat pulau – pulau kecil yang memiliki Nilai
sejarah dengan panorama alam yang eksotik dan potensial pengembangan wisata bahari/pantai.
Selain itu, secara geografis, letak kota Tidore kepulauan berada hampir di tengah – tengah
wilayah Propinsi Maluku Utara sehingga memiliki aksesibilitas yang hamper merata keseluruh
kawasan Propinsi Maluku Utara, Kota Tidore Kepulauan terdapat pusat pemerintahan propinsi,
yang berpusat dikelurahan Sofifi. Sebagian besar sarana dan prasarana perkantoran pemerintah
Propinsi diarahkan pembanggunanya dikawasan tersebut. Kedekatan dengan Kota Ternate di
Pulau Ternate juga mempemudah aksesbilitas dari Tidore ke Ternate yang terdapat sejumlah
sentra jasa dan perdagangan serta pelabuhan dan Bandar udara yang memadai untuk pelayanan
dalam skala nasional (Dinas Pariwisata Seni dan Budaya Kota Tidore Kepulauan).
Batas wilayah Kota Tidore Kepulauan Provinsi Maluku Utara adalah sebagai berikut :
- Sebelah utara berbatasan dengan Pulau Ternate dan Kecamatan Jailolo Selatan Kabupaten
Halmahera Barat.
- Sebelah timur berbatasan dengan Kecamatan Wasile Selatan Kabupaten Halmahera Timur
dan Kecamatan Weda, Kabupaten Halmahera Tengah.
- Sebelah selatan berbatsan dengan Kecamatan Gane Barat Kabuten Halmahera Selatan dan
Kecamatan Pulau Moti Kota Ternate.
- Sebelah barat berbatasan dengan perairan Maluku Utara.
Tidore merupakan daerah kepulauan yang terdiri dari pulau Tidore dan beberapa pulau
kecil serta sebagian daratan pulau Halmahera bagian barat. Pulau Tidore tergolong besar,
disamping sebagian di daratan pulau Halmahera dan pulau-pulau kecil seperti pulau Maitara,
pulau Mare, pulau Failonga, ulau Woda dan pulau Radja. Kondisi lain kota tidore kepulauan
terkait dengan daerah administrative adalah sebagai berikut :
1. Kecamatan Tidore Pulau, dengan jumlah Desa sebanyak 2 desa dan 8 Kelurahan;
2. Kecamatan Tidore Selatan, dengan jumlah Desa sebanyak 2 Desa dan 6 Kelurahan;
3. Kecamatan Tidore Utara, dengan jumlah Desa sebanyak 2 Desa dan 6 Kelurahan;
4. Kecamatan Tidore Timur, dengan jumlah Desa 3 Desa dan 7 Kelurahan
5. Kecamatan Oba, dengan jumlah Desa sebanyak 7 Desa, Kecamatan Oba Utara 8 Desa,
Kecamatan Oba Tengah 7 Desa dan 5 kelurahan, dan Kecamatan Oba Selatan dengan jumlah
Desa sebanyak 8 Desa.
4.1.3 Kondisi Sosial Budaya dan Agama
Laiman Saleh (wawancara 10 April 2012) Kebudayaan Kota tidak terlepas dengan latar
belakang historis yang panjang dan berpengaruh terhadap budaya dan adat istiadat di daerah ini.
Kerjaan Moloku Kie Raha (Tidore, Ternate, Bacan, dan Jailolo) pada dasarnya mempunyai
budaya yang sama yang sering dikenal dengan budaya Moloku Kie Raha, hal ini karena empat
kerajaan yang dipimpin oleh sultan yang mempunyai satu garis keturunan atau kakak beradik
dalam sejarah mempunyai satu keturunan bangsa Arab, berkaitan dengan hal tersebut masuknya
agama Islam di Maluku juga turut mempengaruhi budaya serta adat istiadat di daerah ini
sehingga sering kita dengar satu bahasa kiasan ”Adat bersendikan agam agama bersendikan
kitabullah”.
Kuatnya relasi antara masyarakat Tidore dengan Islam tersimbol dalam ungkapan adat
mereka: Adat ge mauri Syara, Syara mauri Kitabullah Perpaduan ini berlangsung harmonis
hingga saat ini. Masyarakat di Tidore merupakan penganut agama Islam yang taat, dan Tidore
sendiri telah menjadi pusat pengembangan agama Islam di kawasan kepulauan timur Indonesia
sejak dulu kala. Karena kuatnya pengaruh agama Islam dalam kehidupan mereka, maka para
ulama memiliki status dan peran yang penting di masyarakat.
Berkenaan dengan garis kekerabatan, masyarakat Tidore menganut sistem matrilineal.
Namun, tampaknya terjadi perubahan ke arah patrilineal seiring dengan menguatnya pengaruh
Islam di Tidore. Klen patrilineal yang terpenting mereka sebut soa. Dalam usaha untuk menjaga
keharmonisan dengan alam, masyarakat Tidore menyelenggarakan berbagai jenis upacara adat.
Di antara upacara tersebut adalah upacara Legu Gam Adat Negeri, upacara Lufu Kie daera se
Toloku (mengitari wilayah diiringi pembacaan doa selamat), upacara Ngam Fugo, Dola Gumi,
Joko Hale dan sebagainya.
Kebudayaan sebagai olahan dari rasa cipta dan karsa manusia, tenyata tidak sekedar
memenuhi kebutuhan fisik, lahiriah, semata tetapi ia juga ikut, membentuk dan menumbuhkan
rasa percaya diri, kemampuan dan kemauan para pelaku kebudayaan itu. Untuk berkomunikasi
dalam kehidupan sehari-hari, Masyarakat Tidore menggunakan bahasa Tidore yang tergolong
dalam rumpun non-Austronesia. Bahasa yang digunakan ini kemudian digunakan masyarakat
Tidore dalam mengembangkan sastra lisan dan tulisan.
Bentuk sastra lisan yang populer adalah dola bololo (semacam peribahasa atau pantun
kilat), dalil tifa (ungkapan filosofis yang diiringi alat tifa atau gendang), kabata (sastra lisan yang
dipertunjukkan oleh dua regu dalam jumlah yang genap, argumennya dalam bentuk syair,
gurindam, bidal dsb). Sebagian di antara sastra lisan ini disampaikan dan dipertunjukkan dengan
iringan alat tifa, sejenis gendang. Sasra tulisan juga cukup baik berkembang di Tidore, hal ini
bisa dilihat dari peninggalan manuskrip kesultanan Tidore yang masih tersimpan di Museun
Nasional Jakarta. Dan boleh jadi, manuskrip-manuskrip tersebut masih banyak tersebar di tangan
masyarakat secara individual.
Untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari, orang-orang Tidore banyak yang bercocok
tanam di ladang. Tanaman yang banyak ditanam adalah padi, jagung, ubi jalar dan ubi kayu.
Selain itu, juga banyak ditanam cengkeh, pala dan kelapa. Inilah rempah-rempah yang
menjadikan Tidore terkenal, dikunjungi para pedagang asing Cina, India dan Arab, dan akhirnya
menjadi rebutan para kolonial kulit putih.
4.1.4 Keadaaan Demografi
Berdasarkan hasil registrasi dapat dilihat bahwa jumlah penduduk laki-laki lebih banyak
ketimbang perempuan. Berikut ini dapat digambarkan tabel jumlah penduduk berdasarkan jenis
kelamin.
Tabel 1
Jumlah Penduduk Berdasarkan Jenis Kelamin
di Kota Tidore Kepulauan
No Skala Umur Laki-Laki Perempuan Jumlah
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
0-4
5-9
10-14
15-19
20-14
25-29
30-34
35-39
40-44
45-49
50-54
55-59
60-64
65-69
70-74
75 Tahun ke atas
2278
5155
5335
5113
4831
4813
4403
3806
3228
2770
2018
1700
1053
795
532
633
2159
5072
4774
4614
4688
5019
4604
3726
3296
2610
1915
1529
980
821
531
741
4437
10227
10108
9727
9519
9832
9007
7532
9528
5380
3933
3229
2033
1616
1063
1374
Total 95541
(Kantor catatan cipil dan keluarga berencana kota tidore kepulauan 2012)
Penduduk adalah salah satu faktor penunjang keberhasilan suatu pembangunan, Karena
penduduk merupakan modal utama pembangunan nasional dan daerah yaitu sumber daya manusi
yang handal. Penduduk akan menjadi sumber daya manusia yang menentukan keberhasilan
pembangunan jika memiliki kualitas yang baik.
4.2 Deskripsi Hasil Penelitian
4.2.1 Dinamika Tradisi Legu Gam dari Perspektif Masyarakat Tidore
Legu Gam diselenggarakan peralatannya menurut tata cara meliputi seluruh peradaban
dan kebudayaan daerah yang tergolong dalam adat istiadat daerah karena semua kebesaran
kesultanan turut sertakan. diadakan dengan keadaannya sama dan melebih lagi dari peralatan
kesultanan (Sultan di Soa sio/Tidore). Perosesi pelaksanaan tradisi ini diuraikan sebagai berikut:
4.2.1.1 Perlengkapan Legu Gam
Sebelum prosesi upacara dilakukan perlu adanya persiapan berbagai perlengkapan yang
diperlukan/digunakan pada saat upacara. Oleh karena itu sebelum sampai pada puncaknya
seluruh masyarakat berpartisipasi untuk menyiapkan segala perlengkapannya.
Menurut Informan bahwa bahan-bahan yang dibutuhkan untuk membangu rumah sibua
tidak sembarang memotong dan mengambil karena upacara serimonial dan sangat sakral.
Pemotongan bahan bangunan harus dengan doa dan serimonial yang dibawakan oleh Imam
Togubu dan dipotong oleh Kipu (tukang) sampai pada pembuatan rumah sibua atau diistilakan
dengan kadato selama 1 minggu, karena Imam Togubu adalah tuan tanah atau orang yang
menjaga seluk-beluk di pulau Tidore. (wawancara Yunus Elake 13 April 2012).
Benda-benda yang dinamakan kebesaran terdiri dari :
1. Salawaku (Perisai)
2. Hito (Dapur)
3. Gaku (Talam)
4. Peta (Kain Tyorak merah dan putih)
5. Kucu (Tanah)
6. Dofo-dofo (Keris)
7. Tolu Bata (Tudung Yorak)
8. Goa-Goa (Kipas)
4.2.1.2 Arti dan Makna Peralatan Legu Gam
Segala sesuatu yang digunakan dalam pelaksanaan upacara Legu Gam, mempunyai arti
dan makna. Menurut Samsul Abdulah (wawancara 28 Mei 2012) bahwa semua benda
perlengkapan yang dinamakan kebesaran dalam pelaksanaan Legu Gam masyarakat Tidore
mempunyai arti dan maknanya sebagai berikut :
1. Ruangan atau tempat yang cukup luas yang dapat manampung para Bobato Legu diatur
sesuai adat.
2. Rumah Sibua adalah bangunan atau ruang yang berbentuk segi empat terbuat dari bambu
yang di dalamnya tedapat peralatan Legu.
Makna eralatan yang disebut pada poin 2 tersebut adalah sebagai berikut:
Hito atau tempat untuk membakar kemenyan barmakna kehidupan manusia.
Salawaku (Perisai) sebagai perisai dipakai pada waktu penyambuntan sultan dengan
tarian soya-soya.
Kucu (Mangkuk yang berisi tanah) maknanya tubuh manusia terbuat dari tanah.
Gaku (Mahkota) maknanya sebagai simbol kekuasaan
Dofo-dofo,keris (Tombak) maknanya sebagai pelindung diri.
Tolu Bata (Mahkota Sultan)maknanya simbol kepemimpinan kesultanan
Peta/Kain Troyak ( pakaian adat merah dan putih) maknanya darah yang mengalir dalam
tubuh manusia dan putih berarti suci.
4.2.1.3 Prosesi Pelaksanaan Legu Gam
Menurut Ade Ahmad Tosofu (wawancara 18 Mei 2012) bahwa untuk melestarikan
peninggalan-peninggalan Nenek-Moyang melalui beberapa kegiatan yang dilaksanakan, salah
satunya adalah”Legu Gam” dimana dalam upacara ini mempunyai nilai yaitu: (1) Ungkapan rasa
syukur kepada Allah SWT. (2) Sebagai wujud kebersamaan dalam suatu masyarakat. (3)
Mencerminkan rasa cinta kepada budaya sendiri atau budaya local. (4) Sebagai bentuk akulturasi
antar kelompok masyarakat.
Prosesi pelaksanaan Legu Gam dilakukan atas dasar najar atau niat sultan dan
masyarakat, maka sebagai penembus niat atau najar maka di adakan Legu Gam yang
dilangsungkan di Gamtufkange, tata caranya dinyatakan sebagai berikut:
Hari Minggu mulai hiaskan dan dilengkapi keperluan-keperluan rumah tempat peralatan
Bobato Legu (Ketua) untuk dijadikan kadaton / istana.
Dan hari Senin koro (mengundang) kepada „Sowohi Jou Tina’( penguasa) datang di
kadaton/istana dengan membawah alat-alat atau benda-benda kebesaran.
Pada hari Selasa mulai menghiaskan dan lengkapi keperluan – keperluan pada rumah-
rumah dari soa-soa (marga) yang bersangkutan yaitu sebagai berikut :
1. Rumah dari soa fola Sowohi
2. Rumah dari soa fola Toduho
3. Rumah dari soa fola Mahifa
4. Rumah dari soa fola Tosofu Malamo
5. Rumah dari soa fola Tosofu Nakene
6. Rumah dari soa Kipu
7. Rumah dari soa Tambula
8. Rumah dari soa Sautu
9. Rumah dari soa Tomagoba
10. Rumah dari soa Tuguwaji
11. Rumah dari soa Tobaru
12. Rumah dari soa Goto dan
13. Rumah dari soa Ngosi
Dan pada malamnya mulai bunyikan tifa, bahasa kage sibua dinyatakan dengan satu kali
tembakan senapan tanda beri hormat peringatan memulai Bonofo Legu’ (acara pembukaan).
Serimonial pada hari rabu mulai diadakanya kota uku ( antar kemenyan ) sebagai berikut:
a. Uku ( kemenyan ) dari Sri Sultan Tidore di letakan dalam satu baki atau dulang dengan
penutup yang di bawah oleh pihak adat dan syaraa dari Soasio.
b. Dari peralatan Legu Gam menjemput uku (kemenyan) ini di bawah dari Soasio ke
Gamtufkange di Kananga Mabopo Soa Tina (Perbatasan kampung) dan menunda/bawa
ketempat peralatan.
c. Uku (kemenyan) ini dibawa langsung kerumah Sibua di pimpin oleh Sowohi Djou-
Tina (ketua/kepala rombongan) dengan bobato (anggota) dan menerimanya menurut cara
yang ditetapkan.
d. Sri Sultan dengan pehaknya dipersilahkan duduk, dan sementara waktu kurang lebih 1 jam,
lalu minta diri dan seri sultan dengan pihaknya kembali.
Menurut Amien Faroek (wawancara 29 April 2012) dalam prosesi serimonial kota uku
dilaksanakan pada Jam 8 pagi kota uku (kemenyan) dari sultan dan diletakan dalam 1 baki dan
dibawa oleh pihak adat dan syaraa dari Soasio. Dan di sambut dengan soya-soya maliga
gamtufkange (tarian) diperbatasan buku Podo-podo (Soa-sio dan Gamtufkange), sampai pada
sibua dan di terima oleh sowohi dan Sri Sultan.
Kamis Jam 5 pagi, Rombongan dari peralatan kepada pegunungan Kiye Matiti, Kie
Matubu ( puncak gunung).Tempat pemujaan untuk dilakukan upacara pembakaran
kemenyan dan lain-lain. Rombongan meninggalkan tempat peralatan(Kedaton da Sibua).
Dibunyikan tembakan Senapan 1 kali beri tanda Rombongan tiba pada tempat-tempat
yang dipudja yaitu :
1. Sowohi Kie Matiti (pemimpin) dengan Bobatonya (anggotanya) terdiri dari
Fomanyira Tambula (marga) dan Imam Togubu ke kadaton Kie Dou Tina
(gunung).
2. Sowohi Sahabati (pemimpin) dengan bobatonya (anggotanya) terdiri dari
Fomanyira Ngosi, Fomanyira Goto dan Khatib Goto dan Khatib Tosofu Lamo ke
Goya Sahabati (gunung) .
3. Sowohi Kie Kitji (pemimpin) dengan bobatonya terdiri dari Fomanyira Tuguwaji,
Fomanyira Sautu dan Khatib Toduho ke buku Podo-podo (gunung).
4. Sowohi Kapita Kie (Pemimpin) dengan bobatonya (anggotanya) terdiri dari
fomanyira Tomangoba dan Imam Ngosi ke Kie Matubu (gunung Tidore)
Sesudahnya masing – masing rombongan tiba pada tempat-tempat yang diyatakan diatas
lalu membersikan tempat-tempat pemujaan itu dan mendengar dan mendengar bunyi tembakan
senapan dari kadaton / istana di Jou Tina pengunungan ini (dalam hutan kayu),maka semua
sowohi-sowohi (kepala rombongan dari tiap-tiap tempat pemujaan), membakar kemenyaan dan
membaca doa dan mantra menurut Caranya sampai kepada meriwayatkan sejarah kejadian
Maluku Kie Raha”(Tidore, Ternate, Bacan dan Jailolo) dengan daerah takluknya.
Setengah hari rombongan kembali ke kampung Gamsung Gamtufkange tempat peralatan
Legu Gam. Djam tiga sore, seri Sultan Tidore Zainal Abidin Syah dan permaisurinya Boki Nurul
Syafaa diiringi oleh pihak Bobato Yade Soa-Sio (Adat dan Syara). Beserta yaya se goa (keluarga
besar) mengunjungi Djou-Tina untuk mengambil berkat lazim/bobato-bobato Adat dan Syara
gamtufkange serta yaya se Goanyapun turut mengambil barkat bersama-sama.
Jam lima sore, keluarkan sajian dari lima buah pandanga namanya Raja yang diisi dengan
makanan campuran ini diadakan oleh :
1. Soa Toduho
2. Soa Mahifa
3. Soa Tosofu lamo
4. Soa Tosofu kene
5. Soa Sowohi
Pandanga raja ini dibaca Sadaka dan doa oleh imam Togubu Abd. Rahman bin Ali. Selesai
dan bubar.
I. Jumat Rombak tempat (Tola Guba)
II. Sabtu Djou-Tina kembali ke kampung Gura Banga/ dikenal sekarang dengan
kampung Gura Bunga.
Sowohi-sowohi lain dan kepala-kepala serta rakyat yang datang dari pedalaman,kembali
kekampung halamannya. Selesai peralatan Legu Gam dngan upacara-upacaraya
Menurut catatan Gimalaha Tomanyou oleh Umar Jumati Toduho dalam penjelasannya adalah
:
a) Sowohi Djou Tina, bernama salasa alias Ismail Bin Duhadji Bin Husen yang disebut Djou
Tina adalah Sultan Tidore yang menghilang diri (Gaib), menjadi Djin/dewa dan sewaktu-
waktu di mana perlu memasuki Rohnya (manjelma) pada dirinya sowohi (Djou Tina).
b) Bobato dari soa-soa yang turut serta pada peralatan Legu Gam menurut penetapan terdiri
dari :
1. Gimalaha Togubu
2. Gimalaha Kalaodi
3. Famanyira Tomayala
4. Famanyira Failuku
5. Imam Togubu.
c) Rumah Sabuah tempat peralatan Legu Gam, sesudahnya selesai peralatan rumah sabua ini
tidak dibolehkan merobah dan memindahkan,melainkan dibiarkan sampai binasa sendiri
atau roboh sendiri.
Suatu proses interaksi yang terjadi pada kehidupan masyarakat dengan latar belakang
yang berbeda hidup bersama dan berkesinambungan dalam memenuhi kebutuhan hidup dan
saling ketergantungan antara satu sama lainnya. Dalam kehidupan bermasyarakat terdapat
berbagai macam persoalan yang timbul, baik bersifat homogen dan heterogen. Sehingga dengan
berbagai dinamika sosial budaya yang terjadi baik itu dalam aspek pendidikan , adat istiadat,
agama, dan gotong ronyong. Pada aspek ini belum mampu melakukan yang terbaik untuk
mencari jalan keluar dari dilematis dan problematika yang terjadi. Masyarakat Tidore jauh
sebelum kedatangan bangsa-bangsa Asia berdasarkan sumber sejarah mengindikasikan memiliki
akar budaya kuat dengan berkembangnya kerajaan-kerajaan kecil dengan Kolano sebangai
pengusahanya.
Kebudayaan Kota Tidore tidak terlepas dengan latar belakang historis yang panjang dan
berpengaruh terhadap budaya dan adat istiadat di daerah ini. Kerjaan Moloku Kie Raha (Tidore,
Ternate, Bacan, dan Jailolo) pada dasarnya mempunyai budaya yang sama yang sering dikenal
dengan budaya Moloku Kie Raha, hal ini karena empat kerajaan yang dipimpin oleh sultan yang
mempunyai satu garis keturunan atau kakak beradik dalam sejarah mempunyai satu keturunan
bangsa Arab.
Pelaksanaan tradisi Legu Gam sebagai upacara sukuran dan niat dari sultan beserta
masyarakat maka masyarakat mengetahui kembali sejarah terbentuknya Tidore dari masa
penjajahan sampai masa sekarang. Sehingga Upacara ini dikatakan sangat sakral dan hanya
dilakukan sekali selama masa pemerintahan sultan yang berkuasa dan memimpin kerajaan
Tidore.
Menurut Amin Faroek (Wawancara 16 April 2012) Apabila Sultan, kesultanan tidore
dilantik maka sultan akan melaksanakan upacara Legu Gam atau niat/ najar sultan. Selain sultan
mempunyai niat masyarakat berhak mempunyai niat apabilah mendapat rahmat dan kesejahtraan
maka sultan dan rakyatnya melakukan tradisi Legu Gam sebagai sukuran dan menceritakan asal
muasal negeri ini dan tradisi ini di perankan oleh Nyili Gamtufkange.
Upacara ini dikomandani oleh Gimalaha Tomayou. Tetapi yang paling berperan adalah
Soa Ramtoha Tomayou artinya 5 Soa di bukit yakni: Toduho, Mahifa, Tosofu Malamo, Tosofu
Nakene, dan Soa Sowohi. Sultan hanya hadir dalam pelaksanaan upacara ini dan memohon
berkat.
4.2.2 Faktor – Faktor Yang Mempengaruhi Dinamika Legu Gam Dalam Masyarakat
Tidore.
4.2.2.1 Legu Gam
Legu Gam secara historis merupakan manifestasi kebudayaan daerah yang dilakukan
sebagai tradisi adat istiadat Maluku Kie Raha (Maluku Utara) yang melibatkan pihak kerajaan /
kesultanan sebagai pranata sosial masyarakat adat. Berkaitan dengan hal tersebut masuknya
agama Islam di Maluku juga turut mempengaruhi budaya serta adat istiadat di daerah ini
sehingga sering kita dengar satu bahasa kiasan ”Adat bersendikan agam agama bersendikan
kitabullah”. Sehingga dampak dalam kehidupan masyrakat di Kota Tidore Kepulauan ini adalah
budaya dipengaruhi oleh adat. Perpaduan ini berlangsung harmonis hingga saat ini.
Masyarakat Tidore meyakini bahwa tradisi Legu Gam mengandung makna dan nilai
tertinggi dalam pemenuhan dan keberkataan sehingga diadatkan secara turun-temurun.Tradisi ini
juga terdapat sebuah tarian yaitu Soya-Soya atau juga di sebut sebagai salai jin. Secara umum
Legu Gam dapat diartikan sebagai suatu tradisi ritual yang dilakukan oleh pihak kesultanan dan
masyarakat Tidore sebagai upacara sukuran untuk mendapatkan rahmat dan kesejahteraan, maka
sultan dan rakyatnya melakukan tradisi Legu Gam sebagai sukuran dan sekaligus menceritakan
asal muasal negeri ini.
Dari penjelasan diatas, maka dapat diketahui maksud dari pelaksanaan tradisi Legu Gam,
berikut ini faktor-faktor yang mempengaruhi tradisi Legu gam dilakukan dilihat dari perspektif
masyarakat Tidore :
a. Keanggupan bagi rakyat yang bersangkutan dari kemurahan ( hasi-hasil kebun dan lain-
lain cukup lebih dari biasa)
b. Dan atas niat dan najar dari rakyat dan pemerintah ( pemerintah di sini adalah seri sultan
Tidore )
c. Niat dan najar masyarakat dan pemerintah (Kesultanan Tidore) agar selamat dari bala
bencana dan bahaya yang dihadapi oleh masyarakat.
Legu Gam adalah peralatan keselamatan terhadap sultan tidore yang menghilang (Gaib)
menjelma menjadi Djin/Dewa yang dipuja ( dipuji ) oleh penduduk tidore sejak dari dulu dan
sultan tidore yang menghilang diri digelarkan namanya „DJOU TINA‟ atau Sowohi Kie Matiti’.
(wawancara Amin Faroek, tanggal 2 Mei 2012) .
Disamping itu juga menurut ( Wawancara Bakri Dano, 15 April 2012) bahwa tradisi Legu
Gam dilaksanakan karena bala bencana yang dialami oleh masyarakat Tidore dan belum ada
yang mampu mencari solusi/jalan keluar maka dengan bala bencana yang terjadi di Tidore maka
dari pihak Kesultanan bernazar untuk melaksanakan tradisi Legu Gam dengan tujuan mengatasi
bala bencana yang di alami oleh Masyarakat Tidore dan merupakan adat/kebiasaan yang
dilaksanakan secara turun-temurun.
Menurut (Wawancara Ade Ahmad Tosofu, tanggal 22 April 2012) bahwa tradisi Legu Gam
merupakan suatu acara adat istiadat dan kebudayaan Kesultanan Tidore Legu Gam ini tidak
dilaksanakan secara rutin melainkan dilaksanakan tergantung pada Niat atau Najar yang
dilafalakan oleh masyarakat yang berada dalam bingkai Kesultanan Tidore.
Kemudian diperoleh keterangan lebih lanjut (Wawancara Samsul Abdullah, tanggal 29
April) bahwa tradisi Legu Gam harus dilakukan apabilah bobato Adat, dan Pihak Kesultanan
Tidore dalam keadaan darurat seperti bala bahaya yang dating dari luar dan juga Rizki dan
Rahmat yang diberikan ole Allah SWT secara belimpah.
Yunus Elake, 29 Mei 2012) yaitu maksud dari pelaksanaan Legu Gam ini adalah untuk
(1) mengembangkan dan melestarikan tradisi-tradisi leluhur secara turun temurun, (2) sebagai
sukuran terhadap penobatan sultan, (3) untuk menanamkan nilai-nilai budaya lokal terhadap
masyarakat , dan dalam pelaksanaan Legu Gam ini dalaksanakan sekali dalam masa
pemerintahan sultan yang berkuasa. Pelaksanaannya selama tujuh hari dan bertempat di Nyili
Gamtufkage, yang melibatkan seluruh masyarakat.
Sedangkan menurut Laeman Saleh ( wawancara 29 April 2012) yaitu tradisi dalam
pelaksanaan berbagai macam upacara adat berdasarkan hukum adat kesultanan Tidore “Adat
bersendikan agama , Agama bersendikan Kitabullah “ maksud dari kiasan ini adalah adat istiadat
dilakukan sesuai dengan ajaran agama, dan ajaran agama dilakukan sesuai dengan Al-Quran dan
Hadist. Sehingga dampak dalam kehidupan masyarakat di Kota Tidore ini adalah budaya
dipengaruhi oleh adat. Lebih lanjut Laeman Saleh mengutarakan bahwa yang menjadi faktor
dilaksanakannya Legu Gam masyarakat Tidore yaitu sukuran dalam arti bersukur kepada tuhan
yang Maha Esa atas kelimpahan rahmat karunia sehingga negeri ini bisa jadi negeri yang aman
dan sejahtera.
Berdasarkan hasil wawancara yang dijelaskan diatas maka (Van Paursen, 1976: 10 )
berpendapat bahwa kebudayaan merupakan usaha manusia, perjuangan sekelompok orang dalam
menentukan hari depannya dan merupakan aktivitas yang dapat diarahkan dan direncanakan.
Perubahan adalah keniscayaan dalam kehidupan manusia. Perubahan yang terjadi bukan saja
berhubungan dengan lingkungan fisik, tetapi juga dengan budaya manusia. Budaya dipandang
sebagai manifestasi kehidupan setiap orang atau kelompok, budaya lahir karena kemampuan
manusia mensiasati lingkungan hidupnya agar tetap layak ditinggali waktu demi waktu.
Kebudayaan merupakan aktivitas yang dapat diarahkan dan direncanakan.
4.2.2.2 Respon Masyarakat
Dari hasil penelitian lapangan pelaksanaan tradisi Legu Gam ini sangat direspon oleh
masyarakat. Hal ini demikian perlu di apresiasi yang positif karena masyarakat di Kota Tidore
sangat menjunjung tinggi adat istiadat, tradisi kebudayaan secara turun temurun. Dinamika
Kondisi masyarakat Tidore dengan berbagai macam bentuk tradisi upacara adat dan selalu
mempertahankan hidup berdampingan antara suku dan bahkan pemukiman – pemukiman yang
ada memiliki perbedaan yang satu dengan yang lain. Legu Gam merupakan salah satu tradisi
upacara adat yang dilakukan oleh masyarakat Tidore.
Sebagaimana Koentjaraningrat (1987 : 127) menjelaskan bahwa salah satu unsur budaya
menyangkut sistem religi, upacara adat , keagamaan merupakan salah satu tata nilai kebudayaan
yang erat kaitannya dengan kepercayaan masyarakat suatu kelompok tertentu yang sangat sulit
mengalami perubahan. Hal ini karena kebiasaan turun-temurun yang melekat erat dalam benak
pengikutnya.
Dari Uraian diatas, pelaksanaan tradisi ini mempunyai dua dampak yakni positif dan
negatif.
a. Dampak Poitif
Komunitas masyarakat Tidore melaksanakan tradisi ini masih bersifat tradisional. Apabila
dilihat dari tingkat ilmu pengetahuan dan tekhnologi sudah sangat maju namun mereka masih
mempertahankan tradisi ini melalui garis keturunan nenek moyang merek sehingga mempunyai
dampak positif yaitu sebagai berikut :
Memperkuat identitas local sebagai upaya filterisasi terhadap dampak negative dari
globalisasi.
Melestarikan kebudayaan sendiri sebagai budaya nasional.
Mempererat tali silaturahim antar masyarakat kota Tidore Kepulauan.
Peningkatan jenis budaya tertentu
Mengurangi konflik antar masyarakat, dan
Meningkatkan stabilitas peradaban
b. Dampak Negatif
Sebagian masyarakat yang tidak melaksanakan tradisi ini yaitu kelompok yang antipasti
dan tergolong memiliki tingkat pengetahuan dan tingkat penghayatan yang tinggi dan
berorientasi pada masa depan disbanding melihat ke masa lampau karena mengaggap sudah
punah sehingga timbul dampak negative. Berikut uraian dampak negatifnya:
Tidak melestarikan budaya daerah sebagai kebudayaan nasional.
Kehidupan bermasyarakat diletakan atas prinsip efesiensi baik yang bersifat teknis
maupun ekonomis.
Telupakannya kebudayaan daerah
Berorientasi pada masa depan
Dari hasil penelitian dan pembahasan diatas maka penulis berasumsi bahwa sesuai dengan
keadaan geografis Tidore yang ada di Propinsi Maluku Utara merupakan daerah yang
mempunyai masyarakat yang masih mempertahankan nilai-nilai tradisional atau tradisi yang
turun temurun dari nenek moyang mereka. Sehingga merupakan faktor yang yang sangat
menentukan dalam perubahan pola pikir masyarakat, yang tingkat pemahamannya masah rendah,
terlalu sulit bagi mereka untuk membedakan perilaku-perilaku sebagai tuntutan dasar agama
yang dianutnya, dengan tradisi-tradisi yang di tinggalkan oleh para leluhurnya/nenek
moyangnya.
Perubahan pola pikir masyarakat akan cepat bila ditunjang dengan perkembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi terutama teknologi komunikasi dan transportasi sebagai alat
perhubungan budaya . Sesuai dengan keadaan sosial budaya masyarakat Tidore yang sangat
lamban dalam perkembangannya karena pada masyarakat Tidore kurangnya mendapat akses
komunikasi dan transportasi yang menghubungkan karena itulah masyarakat ini sulit menerima
perubahan dan tetap mempertahankan budaya tradisi turun-temurun dari nenek monyang mereka.
Patut diakui bahwa, untuk menghilangkan suatu budaya yang sudah berakar, tudak cukup
menggunakan waktu yang pendek. Apalagi bagi masyarakat yang tingkat pemahaman dan
penghayatan agama masih rendah, terlalu sulit bagi mereka untuk membedakan perilaku-perilaku
sebagai tuntunan dasar agama yang dianutnya, dengan praktek-praktek agama dan budaya dari
leluhurnya.
4.3 Pembahasan
4.3.1 Dinamika Tradisi Legu Gam dari Perspektif Masyarakat Tidore
Masyarakat Tidore mempunyai kebudayaan dan kesenian (tradisi) yang berdasarkan adat
istiadat daerah, sehingga dalam pelaksanaannya terdapat peralatan resmi dan upacara-upacara
resmi susunanya menurut adat-istiadat kesultanan. Masyarakat Tidore sebagai masyarakat yang
mempunyai latar belakang sosial, ekonomi, dan budaya serta selalu mempunyai pandangan
ataupun pemahaman yang berbeda. Hal ini dilihat beberapa indikator tentang pandangan
masyarakat terhadap proses pelaksanaan tradisi Legu Gam.
Adanya perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi saat ini, terkait dengan
pelaksanaan tradisi Legu Gam, segelintir masyarakat menganggap bahwa rtradisi Legu Gam
hanya merupakan milik masyarakat tertentu saja yang hidup di zamannya. Oleh sebab itu,
kesadaran untuk memiliki dan melaksanakan tradisi Legu Gam bagi sebagian masyarakat yang
hidup pada zaman sekarang sangatlah rendah. Selain itu, sebagian masyarakat yang hidup di
zaman sekarang mengaggap bahwa tradisi Legu Gam ini perlu dilaksanakan dan dilestarikan
karena merupakan salah satu adat yang diwariskan secara turun temurun.
Pelaksanaan tradisi Legu Gam pada masyarakat Tidore merupakan puncak acara adat
kesultanan yang ditandai dengan pembakaran kemenyaan (Uku) dan membaca doa dan mantra
menurut caranya sampai kepada meriwayatkan sejarah kejadian terbentuknya kesultanan Tidore
(Kie Raha) dengan daerah taklukannya sampai pada pengambilan berkat oleh Sultan Tidore.
Sebelum melaksanakan prosesi Legu Gam tersebut ada beberapa perlengkapan yang
harus dipersiapkan dalam tradisi tersebut berupa : (1) Salawaku (Parisai), (2) Gaku (Talam), (3)
Peta (Kain Tyorak), (4) Kucu, (5) Dofo-dofo (Keris), (6) Tolu Bata (Tudung Yorak), (7) Goa-
Goa (Kipas) dan (8) pakaian adat.
Perlengkapan yang digunakan dalam pelaksanaan tradisi tersebut dianggap penting oleh
masyarakat Tidore. Prosesi pelaksanaan tradisi Legu Gam diantaranya sebagai berikut : (1)
Bonofo Legu’ (acara pembukaan) diadakanya kota Uku ( antar kemenyan ) disertai dengan
pembakaran kemenyan sekaligus membaca doa dan mantra menurut caranya sampai kepada
meriwayatkan sejarah kejadian terbentuknya kesultanan Tidore (Kie Raha) dengan daerah
taklukannya , (2) Dari peralatan Legu Gam menjemput uku (kemenyan) ini di bawah dari Soasio
ke Gamtufkange di Kananga Mabopo Soa Tina dan menunda/bawa ketempat peralatan diiringi
dengan tarian soya-soya maliga, (3) Uku (kemenyan) ini dibawa langsung kerumah Sibua disana
oleh Sowohi Djou-Tina dengan Bobato dan menerimanya menurut cara yang ditetapkan. (4)
Pengambilan berkat oleh Sri Sultan Tidore.
Pelaksanaan tradisi Legu Gam sebagai upacara sukuran dan niat dari sultan beserta
masyarakat maka masyarakat mengetahui kembali sejarah terbentuknya Tidore dari masa
penjajahan sampai masa sekarang. Sehingga Upacara ini dikatakan sangat sakral dan hanya
dilakukan sekali selama masa pemerintahan sultan yang berkuasa dan memimpin kerajaan
Tidore.
Tradisi Legu Gam merupakan warisan dari kehidupan manusia zaman dahulu sehingga
masyarakat masih memperthankan hingga saat ini. Dinamika tradisi yang telah diwariskan secara
turun-temurun dalam kehidupan terdahulu yang sampai saat ini masih dipertahankan dan
merupakan bagian dari kehidupan, karena dapat membentuk sebagian perilaku masyarakat dalam
menjawab berbagai permasalahan yang bersifat kritis dan hal ini ada upaya-upaya untuk
mempertahankan sebagai pelengkap dalam kehidupan masyarakat dalam menjembatani hal-hal
yang bersifat rasional dan abstrak.
4.3.2 Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Dinamika Legu Gam dalam Masyarakat
Tidore
Berdasarkan hsil penelitian yang dilakukan peneliti bahwa Masyarakat Tidore adalah
masyarakat yang mempunyai latar belakang sosial, ekonomi, tradisi dan budaya yang beraneka
rangam serta selalu mempunyai pandangan ataupun pemahaman yang berbeda. Hal ini dapat di
lihat dari beberapa pandangan atau pemahaman masyarakat terhadap tradisi Legu Gam yang
dilakukan secara turun-temurun.
Perspektif masyarakat terhadap pelaksanakan tradisi Legu Gam ini pada masyarakat
yang menentang, ternyata pernah melakukan tradisi ini . Oleh karena itu, akibat dari
perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi , maka terjadi perubahan pola piker dan
intensitas peribatan yang tergolong tinggi terhadap ajaran agama, sehingga menyebabkan
msyarakat tersebut enggan melaksanakan tradisi tersebut, sedangkan komunitas masyarakat yang
bertahan dalam artian masih menjunjung tinggi nilai adat budaya tersebut terdapat pada
masyarakat yang masih mempunyai tingkat penghayatan serta intensitas peribadatan yang
sederhana dan tradisional.
Manusia merupakan mahluk individu sekaligus mahluk sosial. Sebagai mahluk individu,
manusia selalu berusaha memenuhi kepentingan pribadinya. Sebagai mahluk sosial manusia pun
berusaha untuk mengadakan hubungan sosial dengan sesamanya demi pemenuhan hasrat
hidupnya. Konsep tersebut menunjukan bahwa manusia tak dapat berkembang dengan sempurna
tanpa adanya interaksi sosial dengan sesamanya.
Perubahan pola pikir masyarakat akan cepat bila ditunjang dengan perkembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi terutama teknologi komunikasi dan transportasi sebagai alat
perhubungan budaya . Masyarakat Tidore selalu melaksanakan tradisi Legu Gam yang
diwariskan secara turun-temurun oleh nenek moyangnya. Hal ini dilihat dalam pelaksanaan Legu
Gam yang merupakan budaya daerah yang selalu dijaga dan dilestarikan oleh masyarakat
Tidore.
Sesuai dengan keadaan sosial budaya masyarakat Tidore yang sangat lamban dalam
perkembangannya karena pada masyarakat Tidore kurangnya mendapat akses komunikasi dan
transportasi yang menghubungkan karena itulah masyarakat ini sulit menerima perubahan dan
tetap mempertahankan budaya tradisi turun-temurun dari nenek monyang mereka.
Tradisi Legu Gam yang bertaraf lokal dan merupakan warisan dan budaya leluhur yang
mempunyai pengaruh terhadap tata cara dan perkembangan pola piker masyarakat Tidore itu
sendiri. Dari hasil penelitian, diuraikan pula bahwa dalam pelaksanaan tradisi ini juga
mempunyaiberbagai dampak positif bagi yang melaksanakan, mereka beranggapan bahwa
dengan adanya tradisi ini mereka saling mempererat tali silaturahim antar masyarakat Tidore
serta dampak negatif bagi yang tidak melaksanakan tradisi ini tidak melestarikan adat budaya
daerah setempat karena mereka lebih berorientasi ke masa depan dan menganggap tradisi
tersebut sudah punah.
Kehidupan bermasyarakat bukan sekedar kumpulan manusia semata-mata tanpa ikatan
akan tetapi memiliki identitas dan hubungan fungsional antara satu sama lainnya sehingga dapat
membentuk kepribadian dari suatu individu yang didasarkan atas kebiasaan yang hidup dalam
masyarakat tersebut. kebudayaan adalah keseluruhan yang kompleks,yang di dalamnya
terkandung ilmu pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, huku, adat istiadat dan kemempuan
yang lain, serta kebiasaan yang didapat oleh manusia sebagai anggota masyarakat.