bab iv hasil pelitian dan pembahasan 1.1 gambaran...
TRANSCRIPT
BAB IV
HASIL PELITIAN DAN PEMBAHASAN
1.1 GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN
4.1.1 Desa Sidomulyo
4.1.1.1 Sejarah Desa Sidomulyo
Pada awalnya Desa Sidomulyo adalah hutan belukar yang ada diwilayah
Kecamatan Paguyaman kabupaten Gorontalo. Namun “ Sidomulyo” berasal dari
bahasa jawa yang bermakna “Jadi Mulya” . Dengan harapan semoga semoga desa
ini menjadi mulya. Desa ini adalah eks Unit Pemukiman Transmigran (UPT) yang
dibuka sejak tahun 1952 oleh Departemen Transmigrasi. Rombongan transmigrasi
pertama tiba pada tahun 1953 berasal dari daerah Jawa Timur dan berturut – turut
sampai rombongan ke sebelas. Dari sebelas rombongan transmigran inilah oleh
Departemen Transmigrasi di bagi menjadi dua Desa yakni rombongan 1 – 6 menjadi
Desa Sidomulyo dan rombongan 7 – 11 menjadi Desa Sidodadi.
Guna menunjang sektor pendidikan maka pada tahun 1955 bangunlah Sekolah
Dasar yang pertam.a yakni SDN Sidomulyo. Pada tahun 1958 terjadi pergolakan
PERMESTA dimana tentara permesta banyak membunuh warga sipil yang pro pusat
(NKRI) tidak terkecuali dengan warga Desa Sidomulyo dan Sidodadi. Pada saat itu
telah dikumpulkan di Lapangan pusat kecamatan Paguyaman di Desa Molombulahe
dengan maksud akan dibunuh secara masal. Namun pada saat itu, datanglah Bapak
nani Wartabone yang pro pusat (NKRI) membantu dengan menurunkan pasukan
tawon dan langsung menaungi Lapangan Hijau Molombulahe lalu Mondok di sebuah
pohon besar di tengah lapangan tempat berkumpulnya masa. Dengan kejadian
rencana pembantaian oleh tentara Permesta batal maka selamatlah warga transmigran
dari rencana tersebut.
Pada tahun 1965 ketika terjadi pemberontakan G30S/PKI merupakan sejarah
hitam bagi warga desa sidomulyo dimana banyak warga yang tidak tahu menahu
sempat terlibat akibat terjebak dengan kegiatan organisasi sayapnya PKI yakni
Barisan Tani Indonesia (BTI) dengan pola membagi – bagikan alat pertanian seperti
pacul dsb. Ketika masa penumpasan gerakan PKI banyak warga yang harus berurusan
dengan pihak TNI yakni Koramil dan Kodim bahkan banyak yang disiksa akibat
keterlibatan warga pada organisasi tersebut.
Pada tahun 1967 desa ini Di serahkan oleh Departemen Transmigran kepada
Pemerintah Daerah Kabupaten Gorontalo dan mulai saat itulah desa Sidomulyo
menjadi bagian yang tak terpisahkan dari pemerintaha kecamatan Paguyaman
Kabupaten Gorontalo.
Pada tahun 1987 Kecamaan Paguyaman di bagi menjadi dua kecamatan yakni
kecamatan Paguyaman dan kecamatan perwakilan Boliyohuto. Walaupun Kecamatan
Boliyohuto masih berstatus perwakilan (persiapan) namun Desa Sidomulyo telah di
tunjuk menjadi pusat pemerintahan kecamatan.
Pada bulan Maret 1996 berdasarkan peraturan pemerintah Nomor 43 tahun
1995 Kecamatan Boliyohuto di resmikan menjadi kecamatan yang definitif terpisah
dari kecamatan Paguyaman dan Desa Sidomulyo resmi menjadi pusat pemerintahan
Kecamatan Boliyohuto.
4.1.1.2 Letak Geografis
Secara administrasi, Desa Sidomulyo mempunyai batas – batas wilayah
sebagai berikut :
- Sebelah utara berbatasan dengan Desa Monggolito
- Sebelah Timur berbatasan dengan Desa Iloheluma
- Sebelah selatan berbatasan dengan Sidomulyo Selatan
- Sebelah barat berbatasan dengan Desa Diloniyohu
Desa Sidomulyo merupakan salah satu desa yang berada di wiliyah
administrasive di Kecamatan Boliyohuto Kabupaten Gorontalo.
4.1.1.3 Keadaan Penduduk
Berdasarkan registrasi pada Juni 2009 jumlah penduduk di Desa Sidomulyo
sebanyak 1211 jiwa yang tersebar di tiga dusun dengan rincian sebagai berikut:
a. Dusun Karang Nongko 361 jiwa
b. Dusun Karang Sari 459 Jiwa
c. Dusun Karang Ria 391 jiwa
Berdasarkan data yang ada jumlah masyarakat suku jawa berjumlah 307 kk,
sedangkan jumlah masyarakat suku Gorontalo 75 kk.
4.1.1.4. Struktur Pemerintahan
Pemerintahan Desa Sidomulyo saat ini di pimpin oleh Kepala Desa yang dua
kali periode telah terpilih dengan struktur pemerintahan sebagai berikut:
a. Kepala Desa : Yunus Dj. Taidi
b. PLT Sekdes : Siti Famalia Rahim
c. Kaur Bendahara : Rodiah Thalib
d. Kaur Pembangunan : Zubair Ahmad
e. Kadus I : Suyoto
f. Kadus II : Husin Polo’o
g. Kadus III : Masri Pajungge
h. Satgas : - Haris Manhiya,
Hasan Harun
4.1.2 Desa Sidodadi
4.1.2.1 Sejarah Desa Sidodadi
Sejarah Desa Sidodadi tidak terlepas dari sejarah desa Sidomulyo, karena
pada awalnya kedua desa ini terbentuk dari rombongan para transmigran dimana
rombongan 7 – 11 adalah rombongan yang bermukim menjadi desa Sidodadi. Sama
halnya dengan Desa Sidomulyo Desa Sidodadi juga merupakan Hutan belantara.
Sementara itu para transmigran ditempatkan pada suatu tempat yang diberi nama
“bedeng” selama enam bulan. Selanjutnya mereka mendapatkan bantuan rumah dari
pemerintah untuk para transmigran. Namun, hampir disetiap pekarangan rumah masih
banyak semak belukar yang membuat para penduduk transmigran tidak memiliki
harapan untuk tinggal ditempat tersebut. Melihat keadaan demikian Bapak Inspektor
Jenderal Transmigrasi dari Makasar yaitu Bapak R. Sudjaki dan kepala Jawatan
Transmigrasi Kabupaten Gorontalo yaitu Bapak Mardjono bersma pemuka – pemuka
masyarakat transmigran memikirkan bagaimana cara untuk mendekatkan hati para
transmigran dengan tempat yang asing untuk mereka. Maka terjadilah suatu
kesepakatan bahwa Desa yang pada awalnya bernama Desa Motobuloo ini berubah
menjadi Desa “Sidodadi”.
Kata Sidodadi berasal dari bahasa Jawa yang memiliki makna ” Pasti jadi “
disini dimaksudkan bahwa suatu desa yang pasti jadi. Ini merupakan harapan –
harapan dari para pendiri Desa tersebut bahwa semak – belukar yang ada pada saat itu
menjadi satu desa yang baik sesuai dengan desa yang mereka tempati sebelumnya.
Pergantian nama Desa di upacarakan yang dihadiri oleh para tokoh – tokoh dan
masyarakat yang dimeriahkan dengan kesenian traditional . Hal ini diharapakan untuk
memberikan motivasi serta semangat kepda masyarakat, dan ternyata dalam waktu
singkat pekarangan dibersihkan dan dan ditanami pula, sehingga pantaslah tempat ini
menjadi sebuah desa yaitu Desa Sidodadi.
4.1.2.2. Letak Geografis
Secara administrasi, Desa Sidodadi mempunyai batas – batas wilayah sebagai
berikut :
- Sebelah utara berbatasan dengan Desa Bandung Rejo
- Sebelah Timur berbatasan dengan Desa Sidomukti
- Sebelah selatan berbatasan dengan Monggolito
- Sebelah barat berbatasan dengan Desa Diloniyohu
Desa Sidodadi merupakan salah satu desa yang berada di wiliyah administrasive
di Kecamatan Boliyohuto Kabupaten Gorontalo.
4.1.2.3 Keadaan Penduduk
Jumlah penduduk di Desa Sidodadi sebanyak 1699 jiwa yang tersebar di
empat dusun dengan rincian sebagai berikut:
a. Dusun Selo Rejo 530 jiwa
b. Dusun Maun Rejo 378 Jiwa
c. Dusun Patuk Rejo 385 jiwa
d. Dusun Mulyo Rejo 406 Jiwa
Berdasarkan data yang ada jumlah masyarakat suku jawa berjumlah 400 kk,
sedangkan jumlah masyarakat suku Gorontalo 49 kk.
4.1.2.4 Struktur Pemerintahan
Pemerintahan Desa Sidomulyo dapat dilihat dengan struktur pemerintahan
sebagai berikut:
a. Kepala Desa : Riono Marsono
b. Sekdes : Warni Tina
c. Kaur Bendahara : Titin
d. Kaur Pemerintahan : Nasi N. Iji
e. Kaur Pembangunan : Sutapman
f. Kaur Umum : Hermin Adam
g. Kadus I : Sutiwar
h. Kadus II : Risan
i. Kadus III : Suyarno
j. Kadus IV : Sahrin Baderan
4.2 Perilaku Komukasi Antar Etnis Jawa dan Etnis Gorontalo di Desa
Sidomulyo dan Desa Sidodadi Kecamatan Boliyohuto
Berdasarkan hasil penelitian di lapangan menunjukan bahwa perilaku
komunikasi yang terjadi antara etnis Jawa dan etnis Gorontalo terlaksana dengan
baik. Berbicara tentang komunikasi merupakan proses penyampaian ide, informasi
dan lain sebagainya. Hal ini tentunya tidak terlepas dari penggunaan bahasa yang
dipakai. Bahasa dalam hal ini merupakan salah satu alat terpenting yang digunakan.
Desa Sidodadi dan Desa Sidomulyo merupakan desa yang menggunakan bahasa
bilingual and multilingual. Seseorang dalam masyarakat bilingual atau multilingual
harus memilih bahasa yang digunakan disaat berkomunikasi.
Berbicara tentang bahasa Bilingual atau multilingual, di Desa Sidomulyo dan
Desa Sidodadi telah terjadi sejak para transmigran datang, tentunya hal ini
membutuhkan proses yang cukup lama. Namun, dengan melihat kondisi para
transmigran yang telah lama hal ini tidak terelakkan lagi, bahkan tidak sedikit orang
yang dapat membedakan masyrakat transmigran dan masyarakat lokal dalam hal ini
Etnis Gorontalo disaat berbahasa. Penggunaaan bahasa tersebut merupakan suatu
keharusan agar mereka dapat berinteraksi dengan sebaik – baiknya. Banyak
masyarakat yang dapat mengetahui bahasa – bahasa tersebut berdasarkan
lingkungannya masing – masing.
“Seperti yang di kemukakan oleh salah seorang masyarakat desa Sidomulyo
(etnis Jawa) menyatakan bahwa ibu yatin belajar bahasa Gorontalo sejak di bangku
Sekolah hal ini menunjukan bahwa lingkungan sekolah telah membelajarkan Dia
untuk bahasa Gorontalo tidak hanya itu lingkungan sekitar juga membantu ibu Yatin
dalam berbahasa Gorontalo. ( Hasil wawancara, 9 juni 2013 dengan Ibu Yatin
masyarakat Desa Sidomulyo etnis Jawa)”.
Selanjutnya hasil wawancara dengan salah satu masyarakat Sidomulyo Etnis
Gorontalo.
“ bapak dedi dapat berbahasa jawa setelah besar dan bergau dengan teman –
teman jawa lainnya jika beliau mendengarkan orang yang sedang berbahasa jawa
belia dapat memehami apa yang disampaikan. (hasil wawancara, tanggal 9 juni 2013
dengan Bapak Dedi Dauna masyarakat Desa Sidomulyo)”.
Berbeda halnya dengan ibu Marni yang dapat berbahasa Jawa karena di
wajibkan oleh tuntutan Profesi (Guru).
“ Saya dapat berbahasa Jawa karena tuntutan profesi, saya sebagai seorang
Guru sekolah Dasar harus menyesuaikan dengan anak – anak yang pada saat itu rata –
rata dapat berbahasa Jawa. Hal ini terjadi karena disaat saya menjelaskan dan anak –
anak belum mengerti saya pun harus mengulang kembali dengan menggunakan
bahasa Jawa. (Hasil wawancara, tanggal 16 juni 2013 bersama ibu Marni Antu S.Pd
Selaku masyarakat Desa Sidodadi dan Guru pada Sebuah Sekolah Dasar)”.
Berdasarkan hasil wawancara peneliti dapat menyimpulkan bahwa setiap etnis
Jawa maupun Gorontalo dapat berbahasa Jawa atau Gorontalo dengan cara yang
berbeda – beda seperti lingkungan sekolah, linkungan tempat tinggal dan tuntutan
profesi. Tentunya Dalam hal penguasaan bahasa hampir sebagian responden
menyampaikan bahwa belum dapat berbahasa secara keseluruhan, namun dapat
memahami apa yang disampaikan oleh lawan bicara. Saat berkomunikasi hal yang
perlu diperhatikan adalah proses penyampaian pesan, apakah lawan bicara dapat
memahami apa yang disampaikan, dari hasil wawancara beberapa responden
menyampaikan bahwa mereka akan berbahasa Jawa maupun Gorontalo disaat
berkomunikasi dengan orang yang dapat mengerti bahasa tersebut. Namun, beberapa
masyarakat sering menggabungkan kedua bahasa tersebut disaat berkomunikasi.
Seperti yang responden temui disaat datang ke rumah salah seorang responden untuk
melakukan wawancara. Pada Saat itu responden baru saja tiba dari tempat bekerja
(sawah),
Peneliti : “ Assalamua alaikum..
mohon maaf ibu menggaggu waktu istirahatnya sebentar..”
Responden : “ yo..yoo ngak opo – opo, maaf baru pulang dari sawah
masih ada lata’o ( hasil wawancara pada tanggal 9 Juni
2013 bersama ibu Yatin).
Berdasarkan hasil wawancara di atas dapat dilihat bahwa seseorang yang
bersuku Jawa maupun Gorontalo akan menggunakan bahasa tersebut dengan lawan
bicara yang mereka memahami dan si penerima pesan pun mengerti maksud pesan
yang disampaikan.
Lingkungan sekitar, sawah, pasar dan tempat – tempat umum lainnya menjadi
sarana bagi kedua etnis ini untuk berkomunikasi. Tentunya penguasaan dua bahasa
atau lebih (Bilingual dan Multilingual) memberikan manfaat yang sangat besar,
karena masyarakat dapat bertukar pikiran dengan menggunakan bahasa tersebut.
Bahkan masyarakat merasa senang dapat berbahasa lebih dari dua bahasa.
4.3 Proses Akulturasi Antar Etnis Jawa dan Etnis Gorontalo di Desa
Sidomulyo dan Desa Sidodadi Kecamatan Boliyohuto
Suatu masyarakat yang telah tingal bersama – sama dapat saling mengambil
dan menerima kebudayaan dari masing – masing kelompoknya hal ini yang di kenal
dengan akulturasi, akulturasi yang terjadi di Desa Sidomulyo dan Desa Sidodadi
menghasil kan suatu budaya baru bersama masyarakat lokal lainnya. Kebudayaan ini
terus berkembang dan dilaksanakan sampai dengan sekarang.contoh kecil yang
disampaikan berupa:
“hasil wawancara dengan bapak kepala desa Sidomulyo beliau menyampaikan
bahwa salah satu contoh kecil yang dapat terlihat dari berbaurnya kedua suku ini
adalah kebiasaan dari Suku Jawa yang menggambil rumput disaat sebelum pulang ke
rumah, rumput tersebut akan digunakan untuk makanan ternak. Kebiasaan tersebut di
ikuti oleh masyarakat Suku Gorontalo sampai dengan sekarang. (hasil wawancara
dengan Bapak Kepala Desa Sidomulyo Bapak Yunus Dj. Taidi pada tanggal 9 juni
2013)”.
Berdasarkan uraian tersebut dapat di lihat bahwa sebuah kebiasaan
yang ada pada masyarakat Jawa dalam hal ini adalah pengambilan rumput untuk
makanan ternak menjadi kebiasaan untuk masyarakat Gorontalo, kebiasaan ini adalah
kebiasaan yang terjadi secara tidak sengaja, Keinginan masyarakat jawa untuk
memberikan makana pada ternak mereka telah menarik perhatian masyrakat
gorontalo pula untuk melakukan hal tersebut. Dengan sendirinya dan tanpa disadari
kedua suku tersebut telah melakukan akulturasi dimana suku Gorontalo menerima
kebiasaan dari Suku Jawa dalam pengambilan rumput. Hal ini dipertegas dengan
pernyataan dari bapak Kepala Desa
“ bagi masyarakat gorontalo kebiasaan mengambil rumput adalah hal yang
baru setelah pulang kerja, namun seiring dengan berjalannya waktu, masyarakat pun
berpikir bahwa kebiasaan tersebut dapat ditiru karena mengguntungkan bagi mereka,
sehingganya dengan sendirinya masyarakat gorontalo menjadi terbiasa dengan
kebiasaan pengambilan rumput tersebut”. (hasil wawancara dengan Bapak Kepala
Desa Sidomulyo bapak Yunus Dj. Taidi pada tanggal 9 Juni 2013)”.
Dalam hal ini masyarakat Gorontalo yang merasa tertarik denagn kebiasaan
mengambil rumput setelah bekerja dari sawah merasa tertolong dengan adanya
kebiasaan tersebut, dimana mereka berfikir bahwa hal ini bersifat positif karena
ternak mereka dapat memakan rumput yang diambil di rumah.
Banyak hal yang terjadi setelah kedua suku tersebut berbaur, tidak hanya
dalam pengambilan rumput diatas, contoh lainnya adalah pada perkawinan. Hal – hal
yang ada pada kebudayaan perkawinan Jawa dan Gorontalo sangatlah berbeda,
dimulai dari saat sebelum pelaksanaan pesta sampai dengan hari pelaksanaan pesta.
Pada Kebudyaan masyarakat Jawa sebelum pelaksnaaa pesta terdapat tradisi
yang dikenal dengan “rewang”. Arti rewang sendiri menegaskan pada tolong –
menolong, masyarakat sekitar berdatangan sebelum pelaksnaan pesta, yang dilakukan
adalah membantu warga tersebut untuk melaksakan persiapan pesta.
“ seperti yang dijelaskan oleh salah seorang warga masyarakat desa Sidodadi,
rewang adalah kebiasaan yang dilaksanakan oleh masyarakat Jawa saat sebelum hari
pelaksanaan pesta, kebiasaan – kebiasaan yang dilakukan itu seperti menggoreng
bawang, kerupuk, kacang, meggoreng tahu bagi ibu – ibu, untuk bapak – bapak
membantu pendirian tenda dan lain sebagainya, Namun setelah keduanya tinggal
serumpun kebiasaan itu sering dilakukan secara bersama – sama. Tanpa mengenal
status masing – masing entah masyarakat yang berbahasa jawa maupun gorontalo(
Hasil wawancara bersama ibu Astuti masyarakat Desa Sidodadi Pada tanggal 19 Juni
2013)”.
Berdasarkan uarian diatas dapat dilihat bahwa masyarakat jawa memiliki rasa
persaudaraan serta tolong menolong yang kuat, masyarakat Gorontalo pun menjadi
terbiasa dengan adanya kebiasaan tersebut, bahkan untuk masyarakat gorontalo yang
akan melaksanakan sebuah hajatan kebiasaan rewang pun mulai dipakai, dalam
masyarakat Gorontalo sendiri hal tersebut ada dan dilaksanakan pada saat
pelaksanaan hajatan, namun lebih didominasi oleh para keluarga, bebeda halnya
dengan masyarakat Jawa selain keluarga masyarakat sekita pun berdatangan untuk
tolong – menolong yang lebih dikenal dengan rewang.
Selain itu pada saat pelaksanaan pesta pada masyarakat Jawa dikenal dengan
namanya Bece’an. Bece’an adalah kebiasaan orang jawa dalam memberikan sesuatu
kepada yang berhajatan dengan maksud menolong dengan seadanya, seperti beras,
laksa, teh, ayam dan lain sebagainya
“ bece’an itu adalah kebiasaan masyarakat Jawa dalam membantu yang
berhajatan dengan membawa berupa beras, teh, laksa, ayam, susu dan lain – lain yang
di letakkan pada sebuah tas besar sehingga mudah untuk dibawa, ini dilakukan oleh
para ibu – ibu khususnya yang langsung diserahkan kepada ibu yang berhajatan. Lain
pula dengan bapak – bapaknya, biasanya bapak – bapak membawa amplop yang akan
diserahkan kepada bapak yang berhajatan. Disaat pulang tas yang berisikan beras dan
lain sebagainya akan diisi kembali dengan makanan yang telah disediakan oleh
keluarga yang berhajatan. Sekarang ini saat masyarakat jawa maupun gorontalo
melakukan hajatan maka bece’an ini sudah dilakukan. ( hasil wawancara dengan ibu
Suratmi warga masyarakat desa Sidodadi pada tanggal 19 juni 2013)”.
Selanjutnya wawancara dengan masyarakat Gorontalo di desa Sidomulyo
“ bece’an untuk saat ini sudah dilaksanakan oleh kedua suku, gorontalo
melaksanakan acara tersebut untuk menghormati masyarakat Jawa, namu ada pula
kebiasaan kita masyarakat Gorontalo yang diikuti oleh masyarakat Jawa seperti
pelaksnaan resepsi dimalam hari. Resepsi pada awalnya hanya dikenal oleh
masyarakat Gorontalo, namun seiring dengan berkembangnya jaman masyaraat kedua
suku ini melaksanakan kedua – duanya. Pada pagi hari melaksanakan bejean dan pada
malam hari melaksanakan resepsi (hasil wawancara bersama ibu Tuti Taliki pada
tanggal 9 Juni 2013)”
Bardasarkan Uraian diatas masyarakat Jawa dan Gorontalo memiliki
kebiasaan masing – masing, masyarakat Jawa dapat menerima pelaksnaan resepsi dan
masyarakat Gorontalo dapat melaksanakan bece’an pada saat malaksanakan hajatan.
Kedua suku ini telah melaksanakan akulturasi budaya khususnya pada perkawinan.
Kebiasaan yang dilaksnakan oleh kedua suku tersebut telah menghasilkan sebuah
kebudayaan baru dimana masyarakat dapat membaurkan kedua kebudayaan masing
masing yaitu pelaksanaan bece’an pada pagi hari serta pelaksnaan resepsi pada
malam hari. Sedangkan untuk penmapilan kesenian pada saat resepsi kedua
kebudayaan ini telah terpuruk dengan perkembangan jaman dimana pelaksanaan
resepsi yang disertai dengan penampilan- penampila dari kedua kebudayaan masing –
masing seperti, kuda kepang, reog, penampilan tarian dana – dana dan lain
sebagainya kini telah bergser di ganikan denagn kesenian yang zaman modern seperti
band, orgen, dan karoke. Hal tersebut dipertegas oleh bapak Kepala Desa Sidodadi
dalam wawancara yang dilakukan.
“ kedua suku ini telah melaksanakan kebiasaan berupa bece’an pada pagi hari
dan resepsi pada malam hari, hal ini telah berjalan sejak lama. Namun untuk
penyelenggaraan pesta dalam hal ini menghibur masyarakat kesenian – kesenian yang
dilaksanakan telah berganti dengan kesenian zaman modern seperti orgen dan lain
sebagainya.(hasil wawancara dengan bapak kepala desa Sidodadi Bapak Riono
Marsono pada tanggal 19 juni 2013)”.
Pergeseran kesenian yang terjadi diakibatkan oleh perkembangan jaman,
kesenian – kesenian ini menjadi pertunjukan yang langka yang hanya dapat
disaksikan pada pelaksanaan acara – acara penting yang diselenggarakan oleh
pemerintah. Pergeseran kesenian ini sama halnya dengan pergeseran Kebiasaan para
petani dari kedua suku ini dalam proses menanam Padi yang lebih bergantung pada
ketersediaan air. Proses penanaman padi dalam suku Gorontalo dikenal dengan “
Pagoba” yang menyesuaikan dengan dunia perbintangan. Oleh Suku jawa Pagoba
tersebut dipercayai dan sering diikuti. Sebelumnya dilaksanakan musyawarah oleh
kedua suku tersebut sebelum proses penanaman. Masyarakat Gorontalo memperikan
prediksi yang baik untuk waktu menanam sehingga untuk seluruh masyarakat
melakukan proses penanaman secara serentak pada waktu yang telah di tentukan.
Seperti yang dijelaskan oleh bapak Warijan.
“ untuk proses penanaan kami mengikuti proses orang Gorontalo, jadi disaat
mulai menanam semuanya berkumpul dan sepakat untuk membeicarakan waktu
bertanam yang tepat. (hasil wawancara dengan Bapak Warijan masyarakat Desa
Sidomulyo pada tanggal 6 juni 201 )”.
Namun, seperti yang sudah dijelaskan sekarang ini proses penanaman sudah
tidak bergantung pada ilmu perbintanagan, karena masyarakat lebih mengandalkan
pada ketersediaan air sehingga proses penanaman tidak dapat dilaksanakan secara
serentak. Namun masih ada beberapa petani yang menggunakan ilmu perbintangan
terebut. Hal yang sama di pertegas oleh salah seorang Tokoh dari desa Sidodadi
“ saat ini pelaksnaan penanaman padi sudah jarang menggunakan proses
perbintangan karena semuanya tergantung pada ketersediaan air pada saat itu. Karena
jika pada saat yang di tentukan tidak dapat menanam karena ketersediaan air tidak
ada. Sehingga semua berdampak pada hasil tanam (hasil wawancara dengan bapak
Endi Payuhi pada tanggal 19 juni 2013)”.
Selain proses komunikasi dan akulturasi yang telah dijelaskan di atas ada
beberapa hal yang perlu diketahui antara kedua etnis tersebut diantaranya adalah
sebagai berikut:
a. Etos Kerja
Sebelum memahami tentang etos kerja masyarakat Jawa dan
Gorontalo, terlebih dahulu memahami arti penting dari etos kerja. Menurut
Maulana (103 : 2008) menjelaskan bahwa “etos adalah semangat, jiwa atau
pandangan hidup suatu bangsa”. Sementara itu Gadeng (2009)
menyimpulkan bahwa ” etos kerja dapat diartikan sebagai doktrin tentang
kerja yang diyakini oleh seseorang atau sekelompok orang sebagai hal yang
baik dan benar dan mewujud nyata secara khas dalam perilaku kerja
mereka”. Etos kerja merupakan bagian yang patut menjadi perhatian dalam
keberhasilan, Etos kerja seseorang erat kaitannya dengan kepribadian,
perilaku, dan karakternya. Setiap individu atau kelompok memiliki etos
kerja yang berbeda, Perwujudan etos dapat dilihat dari struktur dan norma
sosial masyarakat itu. Sebagai watak dasar dari masyarakat, etos menjadi
landasan perilaku diri sendiri dan lingkungan sekitarnya, yang terpancar
dalam kehidupan masyarakat. Sehingganya dengan melihat etos kerja dari
seseorang ataupun kelompok maka kita dapat menilai bagaimana
kehidupan seseorang atau kelopok tersebut. Seperti halnya etos kerja
masyarakat Jawa dan Gorontalo. Menurut pandangan umum terlihat
perbedaan tentang etos kerja suku Jawa dan suku Gorontalo, Suku Jawa
terlihat lebih rajin, seperti yang di sampaikan oleh Bapak Kepala desa
Sidomulyo.
“dalam hal etos kerja masyarakat Jawa lebih tekun, rajin dibandingkan
masyrakat gorontalo, menurut pantauan saya setiap hari masyarakat Jawa
selalu pergi ke sawah untuk bekerja, karena mereka bekerja untuk
menafkahi kebutuhan sehari – hari”. (hasil wawancara dengan Bapak
Kepala Desa Sidomulyo tanggal 9 juni 2013).
Keuletan kerja yang ada pada masyarakat Jawa menjadi nilai tersendiri
di lingkungan mereka tinggal. Banyak hal yang menjadi faktor yang
menjadikan masyrakat jawa lebih tekun, selain status mereka yang
merupakan masarakat transmigran menuntut mereka untuk lebih giat dalam
perantauan. Ada beberapa pepatah yang menjelaskan tentang etos kerja
masyarakat Jawa yang merupakan warisan dari nenek moyang diantaranya,
Darni ( 59: 2006) menjelaskan bahwa pepatah aja ngaya merupakan
pepatah yang ada pada masyarakat Jawa yang artinya (jangan memaksakan
diri). Pepatah tersebut menjelaskan bahwa dalam bekerja janganlah
memaksakan diri, terimalah apa adanya rezeki yang sudah diberikan
dengan usaha yang sudah dikerjakan.
b. Pernikahan antar etnis Jawa dan Gorontalo
Pernikahan merupakan syariat untuk mengesahkan hubungan dua
insan manusia yang berbeda jenis agar menjadi pasangan yang halal.
Pernikahan yang terjadi antar etnis merupakan hal yang telah lama terjadi
sejak masyarakat Jawa datang sebagai para transmigran. Hal ini terjadi
karena banyaknya persebaran etnis Jawa yang ada di Gorontalo sehingga
memungkinkan untuk melakukan pernikahan. Pernikahan pasangan beda
etnis antara Jawa dan Gorontalo juga memunculkan akulturasi budaya yang
digunakan dalam kehidupan sehari-hari. Akulturasi budaya Jawa dan
Gorontalo dalam bidang bahasa terjadi dalam bentuk peminjaman istilah
pada bahasa lisan atau tulisan. Seperti yang dijelaskan oleh salah seorang
masyarakat Sidodadi yang melakukan pernikahan beda etnis.
“ saya adalah orang Gorontalo dan suami saya adalah orang Jawa,
dalam rumah tangga kami, berkomunikasi sering menggunakan kedua
bahasa tersebut, bahkan disaat menikah kami melakukan kedua adat
tersebut dalam hajatan pernikahan kami, dan kami sudah saling mengenal
budaya masing – masing.( hasil wawancara dengan seorang warga desa
Sidodadi bersama ibu Misiyan pada tanggal 9 juni 2013).
Berdasarkan penjelasan diatas dapat ditarik sebuah kesimpulan bahwa,
pernikahan antar etnis sangat baik, karena dapat menyatukan dua
kebudayaan. Namun, hal yang patut dijaga adalah saling menghargai agar
rumah tangga menjadi hamoninis.
c. Peralatan Kerja
Peralatan kerja merupakan peralatan yang di pakai seseorang untuk
mengolah lahan atau pertanian. Peralatan kerja yang digunakan oleh
masyarakat Jawa dan Gorontalo pada umumnya sudah sama dalam bidang
pertanian khususnya. Hal ini dikarenakan oleh waktu yang telah lama bagi
kedua etnis ini dalam berbaur sehingga menjadikan mereka untuk saling
bertukar informasi dan lain - lain Peralatan yang sering digunakan dalam
bertani diantaranya:
1. Cangkul. Cangkul digunakan untuk menggali, membersihkan
tanah dari rumput atau pun untuk meratakan tanah. Cangkul masih
digunakan hingga kini. Cangkul terbuat dari besi dan kayu.
2. Ani – ani/ ketam. Ani-ani atau ketam adalah sebuah pisau kecil
yang dipakai untuk memanen padi. Dengan ani-ani tangkai bulir
padi dipotong satu-satu, sehingga proses ini memakan banyak
pekerjaan dan waktu, namun keuntungannya ialah, berbeda dengan
penggunaan sebuah arit, tidak semua batang ikut terpotong.
Dengan demikian, bulir yang belum masak tidak ikut terpotong.
3. Arit/Sabit. Arit adalah alat pertanian untuk memotong padi di sawah
dan merupakan alat pertanian yang penting bagi petani. Terbuat dari besi
bertangkai, dibuat sedemikian rupa agar mudah dipakai. Matanya
membentuk bulan sabit, karena itu disebut sabit. Terdapat beberapa jenis
sabit yang disesuaikan dengan kebutuhan, seperti sabit bergerigi yang di
gunakan untuk memotong padi, sabit yang memiliki ukuran besar dan
kecil memiliki kegunaan masing – masing pula diantaranya untuk
memotong rumput dan dahan – dahan besar.
4. Gerejag/Gebotan. Gerejag/Gebotan merupakan alat yang dipakai
petani dalam proses panen di sawah, dimana alat ini berfungsi
melepas biji padi dari tangkainya, dengan cara tangkai padi di
ayunkan di gebotan sehingga biji padi bisa terlepas dari
tanggkainya. Namun, untuk saat ini sudah banyak yang memakai
perontok sebuah mesin yang lebih moderen lagi untuk
memisahkan biji padi dari tangkainya.
5. Peralatan matekap/membajak sawah. Metekap adalah istilah orang
bali dalam membajak sawah mereka, peralatan tradisional yang
mereka pakai terdiri dari "UGA" ditaruh pada leher kedua ekor
sapi yang kemudian di ikat pada "TENGALA" dan "LAMPIT"
yang berfungsi untuk membajak sawah.
6. Penakut/orang – orangan sawah. Petakut / orang orangan disawah
biasanya dibuat dari batang bambu yang di bungkus dengan jerami
hingga dibuat mirip seperti orang yang berada di tengah sawah,
dengan tujuan untuk menghalau burung agar takut memakan biji
padi yang sedang menguning.
d. Bagaimana keadaann masyrakat dengan adanya masyarakat Jawa yg lebih
Dominan.
Berdasarkan data yang diperoleh dari kedua desa, jumlah
masyarakat Jawa mendominasi jumlah penduduk untuk kedua desa
tersebut. Sehingganya ada beberapa hal yang menjadi kendala dalam
pelaksanaan berbagai macam kegiatan yang khususnya bidang
pemerintahan. Hal ini sesuai dengan penjelasan yang disampaikan oleh
Bapak Kepala Desa Sidomulyo.
“ seperti yang kita ketahui bersama masyarakat Jawa lebih tekun
dalam bekerja sehingga saat pemerintah malakukan kegiatan – kegiatan
desa seperti undangan rapat guna peningkatan kesejahteraan tidak sering
dihadiri, solusi yang dilakukan oleh pemerintah adalah memberikan
pengumuman tersebut pada kegiatan – kegiatan sosial masyarakat seperti
majelis ta’lim, kelompok tani dan organisasi – organisasi desa lainnya.
( wawancara dengan bapak Kepala Desa Sidomulyo Yunus Dj. Taidi pada
tanggal 9 juni 2013) ”.
Proses akulturasi yang terjadi antara kedua suku ini, menghasilkan sebuah
kebudayaan baru yang sampai dengan saat ini telah dilaksanakan. Proses akulturasi
dari kedua suku tersebut memberikan pengaruh yang besar terhadap keduanya, dalam
pelaksanaan proses akulturasi ini tidak terlepas dari adanya proses komunikasi dalam
hal ini dalah dipengaruhi oleh bahasa. Kedua suku ini telah memahami proses
akulturasi yang terjadi di dukung oleh adanya bahasa, karena disaat berkomunikasi
masyarakat menggunakan kedua bahasa tersebut. Dengan adanya pengguasaan
bahasa yang lebih dari satu memudahkan masyarakat dalam proses penyampaian dan
penerimaan pesan. Tidak hanya itu, kedua bahasa ini sering digunakaan dalam
berbagai pertemuan umum yang dilaksanakan oleh pemerintah maupun masyarakat
tersebut. Sehingga denagn keseharian ini masyarakat terbiasa mendengarkan bahasa
dari kedua suku tersebut.