bab ii tinjauan teori a. pengertian -...

31
1 BAB II TINJAUAN TEORI A. Pengertian Typhoid abdominalis merupakan penyakit infeksi akut usus halus dengan gejala demam satu minggu atau lebih disertai dengan gangguan pencernaan dengan atau tanpa gangguan kesadaran, disebabkan oleh Salmonella typhosa dan hanya didapatkan pada manusia (Rampengan, 2007). Typhoid abdominalis adalah penyakit infeksi akut pada usus halus yang disebabkan oleh kuman salmonella typhosa (Nugroho, 2011). Typhoid abdominalis adalah infeksi akut pada saluran pencernaan yang disebabkan oleh Salmonella typhi dan salmonella paratyphi A, B, dan C (Widoyono, 2008). Dari beberapa pengertian diatas, dapat disimpulkan bahwa typhoid abdominalis adalah infeksi akut yang menyerang pada saluran pencernaan yang disebabkan oleh kuman salmonella typhi, yaitu sejenis bakteri gram negatif yang dapat menyebabkan gangguan pencernaan dan terkadang disertai dengan gangguan kesadaran pada klien. Sumber penularan penyakit ini adalah melalui air dan makanan. Kuman salmonella dapat bertahan lama dalam makanan. Penggunaan air minum secara masal yang tercemar bakteri sering menyebabkan terjadinya (KLB) kejadian

Upload: nguyennhan

Post on 12-Mar-2019

218 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

1

BAB II

TINJAUAN TEORI

A. Pengertian

Typhoid abdominalis merupakan penyakit infeksi akut usus halus

dengan gejala demam satu minggu atau lebih disertai dengan gangguan

pencernaan dengan atau tanpa gangguan kesadaran, disebabkan oleh

Salmonella typhosa dan hanya didapatkan pada manusia (Rampengan, 2007).

Typhoid abdominalis adalah penyakit infeksi akut pada usus halus yang

disebabkan oleh kuman salmonella typhosa (Nugroho, 2011). Typhoid

abdominalis adalah infeksi akut pada saluran pencernaan yang disebabkan oleh

Salmonella typhi dan salmonella paratyphi A, B, dan C (Widoyono, 2008).

Dari beberapa pengertian diatas, dapat disimpulkan bahwa typhoid

abdominalis adalah infeksi akut yang menyerang pada saluran pencernaan yang

disebabkan oleh kuman salmonella typhi, yaitu sejenis bakteri gram negatif

yang dapat menyebabkan gangguan pencernaan dan terkadang disertai dengan

gangguan kesadaran pada klien.

Sumber penularan penyakit ini adalah melalui air dan makanan. Kuman

salmonella dapat bertahan lama dalam makanan. Penggunaan air minum secara

masal yang tercemar bakteri sering menyebabkan terjadinya (KLB) kejadian

2

luar biasa, vektor berupa serangga juga berperan dalam sumber penularan

penyakit.

B. Anatomi dan Fisiologi Sistem Pencernaan

Sistem pencernaan berkaitan dengan penerimaan makanan dan

mempersiapkannya untuk di asimilasi oleh tubuh. Saluran pencernaan

yang panjangnya 8 sampai 9 meter pada orang dewasa ini dimulai dari

mulut, esofagus, lambung, usus halus, usus besar, rektum, dan berakhir di

anus (Pearce, 2008). Saluran cerna dapat dikatakan berada di luar tubuh.

Zat-zat gizi yang berasal dari makanan harus melewati dinding saluran

cerna agar dapat diabsorbsi ke dalam aliran darah. Berikut ini adalah

urutan saluran pencernaan dari mulut sampai anus (Almatsier, 2002) :

1. Mulut

Proses pencernaan dimulai di mulut. Mulut adalah rongga lonjong

pada permulaan saluran pencernaan. Terdiri dari dua bagian luar yang

sempit, atau vestibula yaitu ruang diantara gusi serta gigi dengan bibir

dan pipi, dan bagian dalam yaitu rongga mulut yang dibatasi di sisi-

sisinya oleh tulang maxilaris dan semua gigi, dan di sebelah belakang

bersambung dengan awal farink. Disaat kita mengunyah, gigi geligi

memecah makanan menjadi bagian - bagian kecil, sementara makanan

bercampur dengan cairan ludah untuk memudahkan proses menelan.

Ketika ditelan, makanan melewati epiglotis, suatu katup yang

3

mencegah makanan masuk trakhea ke paru-paru. Makanan yang telah

ditelan dinamakan bolus yang segera masuk ke dalam faring.

2. Esofagus ke lambung

Esofagus adalah sebuah tabung berotot yang panjangnya dua puluh

sampai dua puluh lima sentimeter, di atas dimulai dari faring, sampai

pintu masuk kardiak lambung bawah. Terletak di belakang trakhea dan

di depan tulang punggung. Setelah makanan masuk ke faring maka

palatum lunak naik untuk menutup nares posterior, glotis menutup

oleh kontraksi otot - ototnya. Makanan berjalan dalam esofagus karena

kerja peristaltik, lingkaran di depan serabut otot makanan mengendor

dan yang dibelakang makanan berkontraksi. Maka gelombang

peristaltik mengantarkan bola makanan ke lambung. Bolus dalam

lambung bercampur dengan cairan lambung dan di giling halus

menjadi cairan yang dinamakan kimus. Lambung kemudian sedikit

demi sedikit menyalurkan kimus melalui sfingter pilorus ke dalam

usus halus, setelah itu sfingter pilorus menutup.

3. Usus halus

Usus halus adalah segmen yang paling panjang dari saluran

gastrointestinal, yang jumlah panjangnya kira-kira dua per tiga dari

total saluran (Brunner and Suddarth, 2001). Usus halus terletak di

daerah umbilikus dan dikelilingi oleh usus besar. Pada bagian atas

usus halus, kimus melewati lubang saluran empedu, yang meneteskan

4

cairan ke dalam usus halus berasal dari dua alat, yaitu kantong empedu

dan pankreas. Usus halus dibagi dalam beberapa bagian :

a. Usus dua belas jari (Duodenum)

Duodenum adalah bagian pertama usus halus yang panjangnya 25

cm. Berbentuk sepatu kuda, dan kepalanya mengelilingi kepala

pankreas. Saluran empedu dan saluran pankreas masuk ke dalam

duodenum pada suatu lubang yang disebut ampula

hepatopangkreatika, atau ampula Vateri, sepuluh sentimeter dari

pilorus

b. Usus kosong (Jeujunum )

Jeujunum menempati dua perlima sebelah atas dari usus halus yang

selebihnya. Pada manusia dewasa, panjang seluruh usus halus

antara 2 sampai 8 meter, 1 sampai 2 meter adalah bagian usus

kosong. Usus kosong dan usus penyerapan digantungkan dalam

tubuh dengan mesenterium. Permukaan dalam usus kosong berupa

membran mukosa dan terdapat jonjot usus (vili), yang memperluas

permukaan dari usus.

c. Usus penyerapan (Ileum)

Usus penyerapan atau ileum adalah bagian terakhir dari usus halus.

Pada sistem pencernaan manusia, ini memiliki panjang sekitar 2

sampai 4 m dan terletak setelah duodenum dan jejunum, dan

dilanjutkan oleh usus buntu. Di dalam ileum terjadi proses

absorbsi. Absorbsi makanan yang telah dicernakan seluruhnya

5

berlangsung di dalam usus halus melalui dua saluran, yaitu

pembuluh darah kapiler dan saluran limfe di vili di sebelah dalam

permukaan usus halus.

Sebuah vilus berisi lakteal, pembuluh darah, epitelium, dan

jaringan otot yang diikat bersama oleh jaringan limfoid. Lakteal

sentralis berakhir menjadi usus buntu, sedangkan jaringan otot

datar melaluinya, dan pembuluh darah kapiler mengitarinya.

Kemudian seluruhnya diselimuti oleh membran dasar dan ditutupi

oleh epitelium. Karena vili keluar dari dinding usus maka

bersentuhan dengan makanan cair atau kimus, dan lemak

diabsorbsi ke dalam lakteal. Lemak yang telah diabsorbsi kemudian

berjalan melalui banyak pembuluh limfe ke reseptakulum khili dan

kemudian oleh saluran torasika ke dalam aliran darah.

d. Usus besar ( kolon )

Usus besar terdiri dari kolon asendens (kanan), kolon transversum,

kolon desendens (kiri), kolon sigmoid (berhubungan dengan

rectum). Panjang usus besar kira-kira satu setengah meter,

merupakan bagian akhir dari saluran cerna sebagai tempat,

mengumpulkan sisa makanan padat, tempat mengabsorbsi air dan

mineral tertentu serta tempat pertumbuhan bakteri. Sisa makanan

ditahan oleh kolon hingga keluar dalam bentuk feces. Makanan

paling lama ditahan di dalam kolon, sering sampai dua puluh empat

jam. Karena kontraksi peristaltik dan segmentasi bergerak lebih

6

lambat dalam kolon, bakteri mendapat kesempatan untuk

berkembang biak. Bakteri mendapat makanan dari sisa makanan

yang ada dalam kolon.

Bakteri dalam kolon dapat membentuk beberapa jenis vitamin yang

sebagian diabsorbsi oleh tubuh. Sebagian kecil vitamin B dan K

diduga diperoleh melalui absorbsi ini. Di samping itu bakteri kolon

menghasilkan gas sebagai sisa produk metabolisme makanan. Bila

gas ini tertumpuk akan dikeluarkan melalui anus. Kolon memberi

tubuh kesempatan terakhir untuk mengabsorbsi air serta natrium

dan klorida. Bila tidak berhasil akan menimbulkan diare. Ini hanya

terjadi pada keadaan khusus.

e. Usus buntu ( sekum )

Sekum terletak di daerah iliaka kanan menempel pada otot

iliopsoas. Dari sini kolon naik melalui daerah sebelah kanan lumbal

dan disebut kolon ascenden. Di bawah hati berbelok pada tempat

yang disebut flexsura hepatika, lalu berjalan melalui tepi daerah

epigastrik dan umbilikal sebagai kolon tranversum. Di bawah limpa

membelok sebagai flexsura sinistra atau flexsura lienalis dan

kemudian berjalan melalui daerah kanan lumbal sebagai kolon

desenden.

f. Umbai cacing ( appendiks )

Umbai cacing atau appendiks adalah organ tambahan pada usus

buntu. Appendiks juga terdiri atas empat lapisan dinding yang sama

7

seperti usus yang lainnya, hanya lapisan submukosa berisi sejumlah

besar jaringan limfe, yang dianggap mempunyai fungsi yang sama

dengan tonsil. Dalam appendiks jika mengalami suatu inflamasi

atau peradangan disebut appendiksitis, dan harus dilakukan

appendiktomi.

g. Rektum dan anus

Rektum ialah sepuluh sentimeter terbawah dari usus besar, dimulai

pada kolon sigmoid dan berakhir pada saluran anal yang kira - kira

3 cm panjangnya. Saluran ini berakhir ke dalam anus yang dijaga

oleh otot internal dan external. Otot - otot rektum menahan sisa

makanan ini hingga tiba waktunya untuk dikeluarkan oleh tubuh.

Pada saat itu otot rektum mengendor dan sisa makanan keluar

melalui sfingter terakhir, yaitu anus yang membuka.

8

ANATOMI SISTEM PENCERNAAN

9

Gambar 1 . Sistem Pencernaan Tubuh Manusia

Sumber : (Pearce, 2008)

C. Etiologi

Typhoid abdominalis disebabkan oleh kuman salmonella typhosa,

basil gram negatif, tidak berkapsul yang bergerak dengan bulu getar, tidak

berspora. Terdapat 3 bioserotipe Salmonella typhosa, yaitu paratyphi A,

paratyphi B, dan paratyphi C. Kuman ini mempunyai tiga antigen yang

penting untuk pemeriksaan laboratorium, yaitu Antigen O ( somatik ) ,

Antigen H ( flagela ) , dan Antigen V1 ( kapsul ) (Ngastiyah, 2005).

Bakteri ini akan mati pada pemanasan 57ºC selama beberapa menit.

Menurut Mansjoer ( 2000 ), salmonella typhi memasuki tubuh akibat

makanan dan minuman yang telah terkontaminasi. Manusia merupakan

satu - satunya reservoir sejati salmonella typhi, di alam dan orang-orang

dengan typhoid atau pembawa kuman kronis sebagai bertindak sebagai

sumber infeksi utama. Terdapat dua sumber penularan salmonella typhi,

yaitu pasien dengan demam typhoid dan yang paling sering adalah karier.

D. Patofisiologi Typhoid Abdominalis

Masuknya kuman salmonella typhi ke dalam tubuh manusia terjadi melalui

makanan yang terkontaminasi kuman. Penularan kuman ini dapat melalui

makanan dan minuman yang terkontaminasi feces, lalat yang membawa

kuman tersebut, dan muntahan dari penderita typhoid. Sebagian kuman

dimusnahkan di lambung, sebagian lolos masuk ke dalam usus dan

10

selanjutnya berkembang biak. Kuman dapat hidup dan berkembang biak di

dalam makrofag dan selanjutnya di bawa ke plague peyeri ileum distal dan

kuman tersebut mengeluarkan endotoksin yang selanjutnya kuman masuk

ke dalam sirkulasi darah (mengakibatkan bakteriemia pertama yang

asimtomatik) dan menyebar ke seluruh organ retikuloendotelial tubuh

terutama hati dan limpa yang selanjutnya akan dilakukan fagositosis.

Pada proses fagosit ini, kuman yang dapat di fagosit akan mati,

sedangkan yang tidak difagosit akan tetap hidup dan menyebabkan

bakteriemia kedua. Kuman yang masuk ke aliran darah akan menyebabkan

roseola pada kulit dan lidah hiperemia. Selanjutnya kuman masuk ke

dalam usus halus dan menyebabkan peradangan sehingga menimbulkan

nausea dan vomitus serta adanya anorexia masalah tersebut akan

menyebabkan intake klien yang tidak adekuat dan kebutuhan nutrisi yang

kurang dari tubuh yang bisa menyebabkan diare sehinggas diperlukan

bedrest untuk mencegah kondisi klien akan menjadi bertambah buruk. Lalu

kuman masuk ke dalam hepar yang selanjutnya mengeluarkan endotoksin

yang akan merusak hepar sehingga terjadi hepatomegali dan juga

mengakibatkan splenomegali yang disertai dengan meningkatnya

SGOT/SGPT. Selain itu, kuman dapat menyebar ke hipotalamus yang

menekan termoregulasi yang mengakibatkan demam remiten dan

hipertermi sehingga klien akan mengalami malaise dan akhirnya

mengganggu aktivitasnya (Ngastiyah, 2005).

11

E. Manifestasi Klinik

Masa tunas 10 sampai 20 hari, selama masa inkubasi ditemukan

gejala prodromal yaitu, perasaan tidak enak badan, lesu, nyeri kepala,

pusing dan tidak bersemangat nafsu makan berkurang, menyusul

gambaran klinik yang biasa ditemukan :

1. Demam

Berlangsung selama 3 minggu, bersifat febris reminten dan suhu tidak

tinggi sekali. Selama minggu pertama, suhu tubuh berangsur-angsur naik

setiap hari, dan malam hari. Dalam minggu ke 2 pasien terus dalam

keadaan demam pada minggu ke tiga, suhu berangsur-angsur turun dan

normal kembali akhir minggu ke tiga (Rampengan, 2007).

2. Gangguan pada saluran pencernaan

Pada nafas berbau tidak sedap bibir kering dan pecah-pecah (ragaden).

Lidah tertutup selaput putih kotor. Pada abdomen ditemukan keadaan

perut kembung (meteorismus). Hati dan limfa membesar disertai nyeri

pada perabaan. Biasanya terjadi konstipasi tetapi juga dapat diare, atau

normal (Rampengan, 2007).

3. Gangguan kesadaran

Umumnya kesadaran pasien menurun walaupun tidak berada dalam apatis

atau somnolen, jarang terjadi sopor, koma, atau gelisah (kecuali

12

penyakitnya berat dan terlambat mendapatkan pengobatan) di samping

gejala tersebut mungkin juga terdapat gejala lainnya. Pada punggung dan

anggota gerak dan dapat ditemukan rosella : yaitu bintik - bintik

kemerahan karena emboli basil dalam kapiler kulit yang dapat ditemukan

pada minggu pertama demam. Kadang-kadang ditemukan pula bradikardia

dan epistaksis pada anak besar (Rampengan, 2007).

4. Relaps (kambuh)

Yaitu keadaan berulangnya gejala penyakit typhoid abdominalis, akan

tetapi berlangsung lebih ringan dan lebih singkat. Terjadi dalam minggu

ke dua setelah suhu badan normal kembali. Terjadinya sukar di terangkan,

seperti halnya keadaan kekebalan alam, yaitu tidak pernah menjadi sakit

walaupun mendapat infeksi yang cukup berat. Menurut teori, relaps terjadi

karena terdapatnya basil dalam organ-organ yang tidak dapat di

musnahkan baik oleh obat maupun oleh zat anti. Mungkin pula terjadi

pada waktu penyembuhan tukak, terjadi invasi basil bersamaan dengan

pembentukan jaringan - jaringan fibrolas.

(Ngastiyah, 2005)

F. Komplikasi

Pada typhoid abdominalis, demam yang lama akan menyebabkan

kelemahan yang hebat, penurunan berat badan, dan banyak kekurangan zat

gizi. Beberapa komplikasi yang terjadi pada typhoid :

1. Komplikasi intestinal

13

Yaitu komplikasi yang terjadi di dalam usus yang akan mengakibatkan

organ yang berkaitan mengalami suatu gangguan yang lain.

a. Pendarahan usus

Erosi pembuluh darah di plak peyer yang nekrotik di dalam

dinding usus dapat menyebabkan perdarahan pada traktus

intestinal. Darah samar di dalam feces lazim ditemukan pada 20%

penderita typhoid. Sedangkan darah dalam jumlah yang besar

dijumpai pada 10% penderita. Biasanya perdarahan hebat

merupakan komplikasi lanjut, yang sering terjadi selama minggu

kedua atau ketiga penyakit. Penurunan mendadak dalam tekanan

darah atau suhu tubuh dimungkinkan merupakan manifestasi

pertama perdarahan.

b. Perforasi usus

Timbul biasanya pada minggu ketiga atau setelahnya dan

terjadi pada bagian distal ileum. Perforasi yang tidak disertai

peritonitis hanya dapat ditemukan bila terdapat udara di rongga

peritonium, yaitu pekak hati menghilang dan terdapat udara

diantara hati dan diafragma pada foto rontgen abdomen yang dibuat

dalam keadaan tegak. Nyeri di kuadran kanan bawah abdomen

menjadi manifestasi dini tersering.

c. Peritonitis

14

Biasanya menyertai perforasi tetapi dapat terjadi tanpa perforasi

usus. Ditemukan gejala abdomen akut, yaitu nyeri perut yang hebat,

dan dinding abdomen yang menegang.

2. Komplikasi ekstraintestinal.

Yaitu komplikasi yang terjadi di luar usus dan mengakibatkan

gangguan yang disebabkan oleh kuman Salmonella typhi yang sudah

menyebar ke organ yang ada di luar usus.

a. Kardiovaskuler : kegagalan sirkulasi perifer (renjatan, sepsis),

miokarditis,trombosis, dan tromboflebitis.

b. Darah : anemia hemolitik, trombositopenia dan atau koagulasi

intravaskuler diseminata, dan sindrom uremia hemolitik.

c. Paru : pneumonia, empiema, dan pleuritis.

d. Hepar dan kandung kemih : hepatitis dan kolelitiasis.

e. Ginjal : glomerulonefritis, pielonefritis, dan perinefritis.

f. Tulang : osteomielitis, periostitis, spondilitis, dan artritis.

g. Neuropsikiatrik : delirium, meningismus, meningitis, polineuritis

perifer, sindrom Guillain - Bare, psikosis, dan sindrom katatonia.

Pada anak-anak dengan demam paratifoid, komplikasi lebih

jarang terjadi. Komplikasi lebih sering terjadi pada keadaan

toksemia berat dan kelemahan umum, bila perawatan pasien

kurang sempurna.

(Mansjoer, 2000)

15

G. Penatalaksanaan

Penatalaksanaan typhoid sampai saat ini masih menganut trilogi , yaitu :

1. Istirahat dan perawatan profesional.

Perawatan ini bertujuan mencegah komplikasi dan mempercepat proses

penyembuhan.

a. Pasien harus tirah baring ( bed rest ) sampai minimal 7 hari bebas

demam.

b. Mobilisasi dilakukan bertahap, sesuai dengan kondisi kekuatan

pasien.

c. Posisi klien perlu diubah-ubah untuk mencegah dekubitus dan rasa

tidak nyaman.

d. Defekasi dan BAK perlu diperhatikan, karena kadang-kadang

terjadi obstipasi dan retensi urin.

2. Diet.

a. Makanan harus mengandung cukup cairan, kalori dan tinggi

protein.

b. Makanan tidak boleh yang mengandung serat dan tidak

merangsang dan menimbulkan gas.

16

c. Bila kesadaran menurun, diberikan makanan cair, melalui sonde

lambung.

d. Pada penderita yang akut, dapat diberi bubur saring.

e. Diperbolehkan dengan makanan lunak jika kesadaran dan nafsu

makan baik serta bebas demam.

3. Pemberian Obat-obatan.

Untuk menghentikan dan memusnahkan penyebaran kuman,

antibiotik yang dapat digunakan :

a. Klorampenikol

Klorampenikol adalah antibiotik yang dipilih dalam

pengobatan demam typhoid. Efeknya mengurangi lama rawat dari

penyakit dan menekan angka kejadian kematian. Klorampenikol

paling efektif di tahap awal infeksi. Sayangnya, kekambuhan sering

terjadi setelah pengobatan secara intensif dengan klorampenikol,

karena obat ini kurang efektif dalam mencegah infeksi yang

bersifat karier. Dosis yang dianjurkan 50 sampai 100 mg / kgBB /

hari, selama 10 sampai 14 hari (Stewart, 2005).

b. Kotrimoksazol

Kelebihan kotrimoksazol antara lain dapat digunakan untuk

kasus yang resisten terhadap klorampenikol, penyerapan di usus

cukup baik, dan kemungkinan timbulnya kekambuhan pengobatan

lebih kecil dibandingkan klorampenikol. Kelemahannya adalah

dapat terjadi skin rash ( 1 sampai 15% ). Dosis yang dianjurkan 30

17

sampai 40 mg / kgBB / hari untuk Sulfametoksazol dan 6 sampai 8

mg / kgBB / hari untuk trimetpprin, diberikan dalam 2 kali

pemberian, selama 10 sampai 14 hari.

c. Ampisilin / amoksisilin

Berlawanan dengan klorampenikol, ampicillin terbukti

menunjukkan hasil yang baik pada pengobatan yang bersifat karier,

tetapi untuk memunculkan efek tersebut butuh pengobatan awal

dalam beberapa bulan. Dosis yang dianjurkan : Ampisilin 100

sampai 200 mg / kgBB / hari, untuk amoksisilin 100 mg / kgBB /

hari (Stewart, 2005).

d. Kortikosteroid

Kortikosteroid hanya diberikan dengan indikasi yang tept

karena dapat menyebabkan pendarahan usus dan relaps. Tetapi,

pada kasus berat penggunaan kortikosteroid dapat menurunkan

angka kematian.

(Rampengan, 2007)

H. Pengkajian fokus

1. Identitas (orang tua dan anak)

Beberapa komponen yang ada pada identitas meliputi nama, jenis

kelamin, umur, alamat, suku bangsa, agama, No.registrasi, pendidikan,

pekerjaan, tanggal dan jam masuk Rumah Sakit.

2. Keluhan utama

18

Keluhan utama yang dirasakan oleh klien typhoid biasanya mengeluh

adanya demam.

3. Riwayat penyakit sekarang

Umumnya yang dirasakan pada klien dengan typhoid adalah demam,

perut terasa mual, adanya anorexia, diare atau konstipasi, dan bahkan

menurunnya kesadaran.

4. Riwayat penyakit dahulu

Perlu ditanyakan apakah klien sebelumnya pernah mengalami typhoid

atau penyakit menular yang lain.

5. Riwayat penyakit keluarga

Ditanyakan apakah keluarga pernah menderita penyakit yang sama

atau penyakit yang lainnya.

6. Riwayat Imunisasi

Ditanyakan apakah anak sudah mendapatkan imunisasi lengkap atau

belum.

7. Riwayat Tumbuh Kembang

Ditanyakan dari usia berapa anak bisa mulai duduk, merangkak,

berjalan, dan berbicara

8. Pola-Pola fungsi kesehatan

a. Pola persepsi dan pemeliharaan kesehatan

Adanya tindakan penatalaksanaan kesehatan di RS akan

menimbulkan perubahan terhadap pemeliharaan kesehatan.

b. Pola nutrisi dan metabolik

19

Adanya nausea dan vomitus serta anorexia akan mempengaruhi

status gizi. Pengukuran TB dan BB jika memungkinkan akan

memperlihatkan adanya penurunan atau peningkatan status gizi

klien.

c. Pola aktivitas dan latihan

Aktivitas klien akan terganggu akibat adanya malaise serta

keterbatasan latihan yang mewajibkan klien untuk bedrest.

d. Pola istirahat dan tidur

Frekuensi dan kebiasaan tidur klien akan terganggu karena adanya

proses peningkatan suhu tubuh.

e. Pola eliminasi

Klien dengan typhoid mengalami masalah pada pola eliminasi

karena kurangnya intake asupan nutrisi dan kondisi yang

mewajibkan untuk bedrest, maka klien akan beresiko besar untuk

terkena konstipasi.

f. Pola hubungan

Akibat dari proses infeksi tersebut secara langsung akan

mempengaruhi hubungan baik intrapersonal maupun interpersonal.

g. Pola persepsi dan konsep diri

Akan terjadi perubahan jika klien tidak memahami cara yang

efektif untuk mengatasi masalah kesehatannya.

h. Pola reproduksi dan seksual

20

Pada pola reproduksi dan seksual pada klien yang sudah menikah

akan mengalami perubahan.

i. Pola mekanisme koping

Masalah timbul jika klien tidak efektif dalam mengatasi masalah

kesehatannya.

j. Pola nilai dan kepercayaan

Adanya kecemasan dalam sisi spiritual akan menyebabkan

masalah yang baru yang ditimbulkan akibat dari ketakutan akan

kematian dan akan mengganggu kebiasaan ibadahnya.

9. Pemeriksaan fisik

a. B1 ( Breathing ) : biasanya tidak ada masalah, tetapi pada kasus

berat bisa didapatkan komplikasi yaitu adanya pneumonia.

b. B2 ( Blood ) : TD menurun, diaforesis terjadi pada minggu

pertama, kulit pucat, akral dingin, penurunan curah jantung dengan

adanya bradikardi, kadang terjadi anemia, leukopeni pada minggu

awal, nyeri dada, dan kelemahan fisik.

c. B3 ( Brain ) : Pada klien dengan typhoid biasanya terjadi delirium

dan diikuti penurunan kesadaran dari composmentis ke apatis,

somnolen hingga koma pada pemeriksaan GCS.

d. B4 ( Bladder ) : pada kondisi berat akan terjadi penurunan output

respon dari curah jantung.

e. B5 ( Bowel )

21

Inspeksi : lidah kotor, terdapat selaput putih, lidah hiperemis,

stomatitis, muntah,kembung, adanya distensi abdomen dan nyeri

abdomen, diare atau konstipasi.

Auskultasi : penurunan bising usus kurang dari 5x/menit pada

minggu pertama dan selanjutnya meningkat akibat adanya diare.

Perkusi : didapatkan suara tympani abdomen akibat adanya

kembung.

Palpasi : adanya hepatomegali, splenomegali, mengidentifikasi

adanya infeksi pada minggu kedua. Adanya nyeri tekan pada

abdomen.

f. B6 ( Bone ) : adanya respon sistemik yang menyebabkan malaise.

Kelemahan umum. Integumen : timbulnya roseola (emboli dari

kuman dimana didalamnya mengandung kuman Salmonella

Ttyphosa , yang timbul diperut, dada, dan bagian bokong), turgor

kulit menurun, kulit kering (Muttaqin, 2011).

10. Pemeriksaan penunjang

a. Pemeriksaan feces

Pengambilan biakan feces dan urine dilakukan karena penyebaran

Salmonella sampai ke empedu, pemeriksaan ini positif biasanya

pada minggu kedua dan ketiga.

b. Pemeriksaan darah lengkap.

Biakan darah biasanya positif pada minggu pertama pada

perjalanan penyakit. Kadang terjadi anemia akibat proses inflamasi.

22

c. Kolonoskopi

Mengidentifikasi adanya perubahan lumen dinding (menyempit /

tidak teratur), menunjukkan obstruksi usus.

d. Pemeriksaan serologi

Merupakan reaksi serologis yang didasarkan antara reaksi

aglutinasi antara antigen Salmonella dan antibodi yang terdapat

pada serum penderita. Titer O : 1/200. Titer H : 1/400. atau

Kenaikan titer 4 kali 1 (satu) minggu berikutnya.

23

H. Pathways keperawatan (Mansjoer, 2000)

Salmonella typhi

Feces Muntahan lalat

Makanan

Lambung

HCL

Hidup Mati

Usus

Berkembang Di Plaque peyeri Mengeluarkan Endotoksin Ileum distal asimtomatik Bakteriemia primer

Menyebar ke organ RES

Difagosit tidak difagosit Mati Bakteriemia sekunder Darah Usus halus Hipothalamus Hepar Roseola peradangan menekan Hepato dan Dan Lidah thermoregulasi splenomegali Hiperemia Nyeri demam remiten Endotoksin merusak hepar Hiperperistaltik usus Diare

HIPERTERMI Defisit volume cairan

24

Mudah lelah SGOT/SGPT meningkat Mual dan muntah bedrest Anorexia konstipasi

I. Diagnosa keperawatan

1. Hipertermi berhubungan dengan proses infeksi salmonella typhosa.

2. Resiko defisit volume cairan berhubungan dengan intake dan output

yang tidak seimbang.

3. Gangguan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan

intake yang tidak adekuat akibat mual,muntah dan anorexia.

4. Gangguan pola eliminasi : diare berhubungan dengan proses

peradangan pada usus halus.

5. Gangguan pola eliminasi : konstipasi berhubungan dengan proses

peradangan pada usus halus.

6. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan kelemahan fisik.

J. Fokus Intervensi dan Rasional

1. Hipertermi berhubungan dengan proses infeksi salmonella

typhosa.

Tujuan : suhu tubuh normal

Kriteria hasil : Suhu tubuh normal, nadi dan RR normal, tidak ada

pusing.

Intervensi :

a. Monitor TTV klien sesering mungkin.

Intoleransi aktivitas

Resiko/aktual Nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh

Gangguan pola eliminasi

25

R : Untuk mengetahui tanda-tanda kenaikan suhu yang mungkin

terjadi infeksi.

b. Anjurkan anak untuk berpakaian tipis dari bahan yang menyerap

keringat..

R : supaya anak merasa nyaman, karena bahan pakaian yang tipis

akan mengurangi evaporasi tubuh.

c. Monitor Intake dan Output anak.

R : Untuk mengamati perbaikan dan perburukan dari anak.

d. Anjurkan anak untuk meningkatkan intake cairan 2-3 liter/hari.

R : Sebagai rehidrasi dari cairan yang hilang dari penguapan tubuh,

mual, muntah dan diare.

e. Memberikan kompres dengan air biasa ( suhu normal ).

R : Agar lebih mudah untuk memindahkan panas dari anak ke

handuk kompres.

f. Kolaborasi dengan dokter untuk pemberian terapi antibiotik dan

antipiretik.

R : Antibiotik untuk mengurangi proses infeksi dan antipiretik

untuk menurunkan panas tubuh.

2. Resiko defisit volume cairan berhubungan dengan intake dan

output yang tidak seimbang.

Tujuan : intake dan output seimbang.

26

Kriteria hasil : defisit cairan dapat teratasi dan tidak ada tanda - tanda

dehidrasi, turgor baik, membran mukosa baik.

Intervensi :

a. Monitor status nutrisi anak.

R : mengetahui adanya tanda-tanda perbaikan dan perburukan dari

anak.

b. Anjurkan anak untuk banyak minum.

R : Untuk mengganti cairan yang hilang akibat diare.

c. Monitor intake dan output anak.

R : sebagai dasar tindakan banyaknya rehidrasi yang dibutuhkan

anak.

d. Kolaborasi dengan pemberian cairan melalui IV.

R : membantu mengganti cairan intravaskuler yang berkurang.

e. Kolaborasi dengan dokter apabila terjadi tanda-tanda shock.

R : sebagai terapi lanjutan apabila terjadi tanda-tanda shock.

3. Gangguan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan

dengan intake yang tidak adekuat akibat mual,muntah dan

anorexia.

Tujuan : setelah dilakukan tindakan keperawatan, nutrisi anak dapat

terpenuhi, BB tetap atau bertambah, tidak ada anorexia dan mual

muntah.

27

Kriteria hasil : tidak ada tanda-tanda mal nutrisi, adanya peningkatan

BB sesuai dengan tujuan, mual dan muntah berkurang, tidak ada

anorexia.

Intervensi :

a. Monitor status nutrisi anak.

R : Sebagai dasar awal tindakan keperawatan.

b. Jelaskan pada anak tentang pentingnya makanan untuk membantu

proses penyembuhan.

R : meningkatkan pengetahuan anak tentang manfaat nutrisi

sehingga memotivasi klien agar mau makan.

c. Tawarkan anak snack yang disukai.

R : Untuk menambah nafsu makan anak.

d. Jaga kebersihan oral anak.

R : Dapat memberi rasa nyaman pada mulut sehingga dapat

menambah nafsu makan.

e. Berikan makanan dalam porsi kecil tapi sering.

R : Menghindari rasa mual dan keinginan untuk muntah.

f. Berikan asupan nutrisi sesuai dengan diet (diet lembek, rendah

serat, dan bumbu yang tidak merangsang).

R : Supaya memudahkan anak untuk menelan makanan dan tidak

menyebabkan mual.

28

4. Gangguan pola eliminasi : diare berhubungan dengan proses

peradangan pada usus halus.

Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan, pola eliminasi anak

kembali normal.

Kriteria hasil : BAB normal, Feses (konsistensi dan frekuensi) normal,

mencegah daerah rectal agar tidak iritasi, turgor kulit normal.

a. Identifikasi faktor penyebab diare.

R : Sebagai awal tindakan pengobatan.

b. Monitor BAB (warna, jumlah, frekuensi, dan konsistensi dari

feces).

R : Mengetahui pola BAB anak.

c. Monitor TTV dan KU anak.

R : Mengetahui adanya tanda dan gejala shock pada anak.

d. Anjurkan anak untuk minum 2-3 liter setiap hari.

R : Untuk merehidrasi cairan yang keluar akibat diare.

e. Kolaborasi pemberian cairan IV

R : Mengganti cairan pada intravakuler dan intrerstitial.

f. Kolaborasi dengan Dokter untuk terapy anti diare.

R : Anti diare membantu mengurangi diare.

5. Gangguan pola eliminasi : konstipasi berhubungan dengan proses

peradangan pada usus halus.

29

Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan Pola eliminasi

kembali normal.

Kriteria hasil : BAB normal, rasa tidak nyaman berkurang, tidak ada

massa.

Intervensi :

a. Identifikasi penyebab timbulnya konstipasi.

R : Menentukan dasar awal tindakan keperawatan.

b. Ganti posisi anak tiap 2 jam sekali.

R : Mengurangi resiko konstipasi lanjutan karena aktivitas yang

kurang.

c. Pertahankan intake cairan 2-3 liter setiap hari.

R : memenuhi cairan dan memperbaiki konsistensi feces.

d. Kolaborasi dengan ahli gizi dengan pemberian diet tinggi serat dan

rendah lemak.

R : Tinggi serat memudahkan pengeluaran feces.

e. Kolaborasi dengan dokter dalam pemberian laksatif

R : membantu mengeluarkan feces.

6. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan kelemahan fisik akibat

peningkatan metabolisme sekunder.

Tujuan : setelah dilakukan tindakan keperawatan, anak dapat mandiri

dan aktivitas klien kembali normal.

Kriteria hasil : aktivitas anak tetap normal, kelemahan fisik berkurang

30

Intervensi :

a. Kaji respon anak terhadap aktivitas.

R : untuk mengetahui perubahan-perubahan aktivitas yang dialami

oleh anak.

b. Anjurkan anak untuk tetap istirahat

R : Untuk mempercepat proses penyembuhan

c. Batasi pengunjung yang datang

R : agar anak tidak terganggu dalam beristirahat

d. Bantu anak untuk beraktivitas sehari-hari sesuai dengan kebutuhan

anak.

R : memberikan rasa nyaman, karena kebutuhan anak dapat

terpenuhi dengan dibantu oleh perawat ataupun keluarga.

e. Ajarkan aktivitas yang dapat dilakukan anak secara bertahap

R : Agar tidak mengganggu bedrest pada proses penyembuhan

anak.

K. Konsep Dasar Tumbuh Kembang Pra Sekolah

a. Perkembangan phsikoseksual ( Sigmon Freud ): Fase laten ( 6

saampai 12 tahun )

Kepuasan anak mulai terintegrasi, anak akan menggunakan energi

fisik dan psikologis untuk mengeksplorasi pengetahuan dan

pengalamannya melalui aktifitas fisik maupun sosialnya. Pada awal

masa laten, anak perempuan lebih suka teman dengan jenis kelamin

31

yang sama, demikian juga sebaliknya. Pertanyaan anak lebih

banyak mengarah pada system reproduksi.

b. Perkembangan Pshikososial (Erik Erikson) : Industri versus

inferiority ( 6 saampai 12 tahun )

Anak akan bekerjasama dan bersaing dalam kegiatan akademik

maupun pergaulan melalui permainan yang di lakukan bersama.

Anak selalu berusaha untuk mencapai sesuatu yang di inginkan

sehingga anak pada usia ini rajin dalam melakukan sesuatu.

Apabila dalam tahap ini anak terlalu mendapat tuntutan dari

lingkungan dan anak tidak berhasil memenuhinya maka akan

timbul rasa inferiority (rendah diri). Reinforcement dari orang tua

atau orang lain menjadi begitu penting untuk menguatkan rasa

berhasil dalam melakukan sesuatu.

c. Perkembangan kognitif (piaget) : Tahap pra operasional ( 2 sampai

7 tahun )

Perkembangan anak masih bersifat egosentris, transduktif (

menganggap semua orang sama ), dan animisme ( selalu

memperhatikan benda mati ).