bab ii tinjauan teori a. pengertian -...
TRANSCRIPT
1
BAB II
TINJAUAN TEORI
A. Pengertian
Typhoid abdominalis merupakan penyakit infeksi akut usus halus
dengan gejala demam satu minggu atau lebih disertai dengan gangguan
pencernaan dengan atau tanpa gangguan kesadaran, disebabkan oleh
Salmonella typhosa dan hanya didapatkan pada manusia (Rampengan, 2007).
Typhoid abdominalis adalah penyakit infeksi akut pada usus halus yang
disebabkan oleh kuman salmonella typhosa (Nugroho, 2011). Typhoid
abdominalis adalah infeksi akut pada saluran pencernaan yang disebabkan oleh
Salmonella typhi dan salmonella paratyphi A, B, dan C (Widoyono, 2008).
Dari beberapa pengertian diatas, dapat disimpulkan bahwa typhoid
abdominalis adalah infeksi akut yang menyerang pada saluran pencernaan yang
disebabkan oleh kuman salmonella typhi, yaitu sejenis bakteri gram negatif
yang dapat menyebabkan gangguan pencernaan dan terkadang disertai dengan
gangguan kesadaran pada klien.
Sumber penularan penyakit ini adalah melalui air dan makanan. Kuman
salmonella dapat bertahan lama dalam makanan. Penggunaan air minum secara
masal yang tercemar bakteri sering menyebabkan terjadinya (KLB) kejadian
2
luar biasa, vektor berupa serangga juga berperan dalam sumber penularan
penyakit.
B. Anatomi dan Fisiologi Sistem Pencernaan
Sistem pencernaan berkaitan dengan penerimaan makanan dan
mempersiapkannya untuk di asimilasi oleh tubuh. Saluran pencernaan
yang panjangnya 8 sampai 9 meter pada orang dewasa ini dimulai dari
mulut, esofagus, lambung, usus halus, usus besar, rektum, dan berakhir di
anus (Pearce, 2008). Saluran cerna dapat dikatakan berada di luar tubuh.
Zat-zat gizi yang berasal dari makanan harus melewati dinding saluran
cerna agar dapat diabsorbsi ke dalam aliran darah. Berikut ini adalah
urutan saluran pencernaan dari mulut sampai anus (Almatsier, 2002) :
1. Mulut
Proses pencernaan dimulai di mulut. Mulut adalah rongga lonjong
pada permulaan saluran pencernaan. Terdiri dari dua bagian luar yang
sempit, atau vestibula yaitu ruang diantara gusi serta gigi dengan bibir
dan pipi, dan bagian dalam yaitu rongga mulut yang dibatasi di sisi-
sisinya oleh tulang maxilaris dan semua gigi, dan di sebelah belakang
bersambung dengan awal farink. Disaat kita mengunyah, gigi geligi
memecah makanan menjadi bagian - bagian kecil, sementara makanan
bercampur dengan cairan ludah untuk memudahkan proses menelan.
Ketika ditelan, makanan melewati epiglotis, suatu katup yang
3
mencegah makanan masuk trakhea ke paru-paru. Makanan yang telah
ditelan dinamakan bolus yang segera masuk ke dalam faring.
2. Esofagus ke lambung
Esofagus adalah sebuah tabung berotot yang panjangnya dua puluh
sampai dua puluh lima sentimeter, di atas dimulai dari faring, sampai
pintu masuk kardiak lambung bawah. Terletak di belakang trakhea dan
di depan tulang punggung. Setelah makanan masuk ke faring maka
palatum lunak naik untuk menutup nares posterior, glotis menutup
oleh kontraksi otot - ototnya. Makanan berjalan dalam esofagus karena
kerja peristaltik, lingkaran di depan serabut otot makanan mengendor
dan yang dibelakang makanan berkontraksi. Maka gelombang
peristaltik mengantarkan bola makanan ke lambung. Bolus dalam
lambung bercampur dengan cairan lambung dan di giling halus
menjadi cairan yang dinamakan kimus. Lambung kemudian sedikit
demi sedikit menyalurkan kimus melalui sfingter pilorus ke dalam
usus halus, setelah itu sfingter pilorus menutup.
3. Usus halus
Usus halus adalah segmen yang paling panjang dari saluran
gastrointestinal, yang jumlah panjangnya kira-kira dua per tiga dari
total saluran (Brunner and Suddarth, 2001). Usus halus terletak di
daerah umbilikus dan dikelilingi oleh usus besar. Pada bagian atas
usus halus, kimus melewati lubang saluran empedu, yang meneteskan
4
cairan ke dalam usus halus berasal dari dua alat, yaitu kantong empedu
dan pankreas. Usus halus dibagi dalam beberapa bagian :
a. Usus dua belas jari (Duodenum)
Duodenum adalah bagian pertama usus halus yang panjangnya 25
cm. Berbentuk sepatu kuda, dan kepalanya mengelilingi kepala
pankreas. Saluran empedu dan saluran pankreas masuk ke dalam
duodenum pada suatu lubang yang disebut ampula
hepatopangkreatika, atau ampula Vateri, sepuluh sentimeter dari
pilorus
b. Usus kosong (Jeujunum )
Jeujunum menempati dua perlima sebelah atas dari usus halus yang
selebihnya. Pada manusia dewasa, panjang seluruh usus halus
antara 2 sampai 8 meter, 1 sampai 2 meter adalah bagian usus
kosong. Usus kosong dan usus penyerapan digantungkan dalam
tubuh dengan mesenterium. Permukaan dalam usus kosong berupa
membran mukosa dan terdapat jonjot usus (vili), yang memperluas
permukaan dari usus.
c. Usus penyerapan (Ileum)
Usus penyerapan atau ileum adalah bagian terakhir dari usus halus.
Pada sistem pencernaan manusia, ini memiliki panjang sekitar 2
sampai 4 m dan terletak setelah duodenum dan jejunum, dan
dilanjutkan oleh usus buntu. Di dalam ileum terjadi proses
absorbsi. Absorbsi makanan yang telah dicernakan seluruhnya
5
berlangsung di dalam usus halus melalui dua saluran, yaitu
pembuluh darah kapiler dan saluran limfe di vili di sebelah dalam
permukaan usus halus.
Sebuah vilus berisi lakteal, pembuluh darah, epitelium, dan
jaringan otot yang diikat bersama oleh jaringan limfoid. Lakteal
sentralis berakhir menjadi usus buntu, sedangkan jaringan otot
datar melaluinya, dan pembuluh darah kapiler mengitarinya.
Kemudian seluruhnya diselimuti oleh membran dasar dan ditutupi
oleh epitelium. Karena vili keluar dari dinding usus maka
bersentuhan dengan makanan cair atau kimus, dan lemak
diabsorbsi ke dalam lakteal. Lemak yang telah diabsorbsi kemudian
berjalan melalui banyak pembuluh limfe ke reseptakulum khili dan
kemudian oleh saluran torasika ke dalam aliran darah.
d. Usus besar ( kolon )
Usus besar terdiri dari kolon asendens (kanan), kolon transversum,
kolon desendens (kiri), kolon sigmoid (berhubungan dengan
rectum). Panjang usus besar kira-kira satu setengah meter,
merupakan bagian akhir dari saluran cerna sebagai tempat,
mengumpulkan sisa makanan padat, tempat mengabsorbsi air dan
mineral tertentu serta tempat pertumbuhan bakteri. Sisa makanan
ditahan oleh kolon hingga keluar dalam bentuk feces. Makanan
paling lama ditahan di dalam kolon, sering sampai dua puluh empat
jam. Karena kontraksi peristaltik dan segmentasi bergerak lebih
6
lambat dalam kolon, bakteri mendapat kesempatan untuk
berkembang biak. Bakteri mendapat makanan dari sisa makanan
yang ada dalam kolon.
Bakteri dalam kolon dapat membentuk beberapa jenis vitamin yang
sebagian diabsorbsi oleh tubuh. Sebagian kecil vitamin B dan K
diduga diperoleh melalui absorbsi ini. Di samping itu bakteri kolon
menghasilkan gas sebagai sisa produk metabolisme makanan. Bila
gas ini tertumpuk akan dikeluarkan melalui anus. Kolon memberi
tubuh kesempatan terakhir untuk mengabsorbsi air serta natrium
dan klorida. Bila tidak berhasil akan menimbulkan diare. Ini hanya
terjadi pada keadaan khusus.
e. Usus buntu ( sekum )
Sekum terletak di daerah iliaka kanan menempel pada otot
iliopsoas. Dari sini kolon naik melalui daerah sebelah kanan lumbal
dan disebut kolon ascenden. Di bawah hati berbelok pada tempat
yang disebut flexsura hepatika, lalu berjalan melalui tepi daerah
epigastrik dan umbilikal sebagai kolon tranversum. Di bawah limpa
membelok sebagai flexsura sinistra atau flexsura lienalis dan
kemudian berjalan melalui daerah kanan lumbal sebagai kolon
desenden.
f. Umbai cacing ( appendiks )
Umbai cacing atau appendiks adalah organ tambahan pada usus
buntu. Appendiks juga terdiri atas empat lapisan dinding yang sama
7
seperti usus yang lainnya, hanya lapisan submukosa berisi sejumlah
besar jaringan limfe, yang dianggap mempunyai fungsi yang sama
dengan tonsil. Dalam appendiks jika mengalami suatu inflamasi
atau peradangan disebut appendiksitis, dan harus dilakukan
appendiktomi.
g. Rektum dan anus
Rektum ialah sepuluh sentimeter terbawah dari usus besar, dimulai
pada kolon sigmoid dan berakhir pada saluran anal yang kira - kira
3 cm panjangnya. Saluran ini berakhir ke dalam anus yang dijaga
oleh otot internal dan external. Otot - otot rektum menahan sisa
makanan ini hingga tiba waktunya untuk dikeluarkan oleh tubuh.
Pada saat itu otot rektum mengendor dan sisa makanan keluar
melalui sfingter terakhir, yaitu anus yang membuka.
9
Gambar 1 . Sistem Pencernaan Tubuh Manusia
Sumber : (Pearce, 2008)
C. Etiologi
Typhoid abdominalis disebabkan oleh kuman salmonella typhosa,
basil gram negatif, tidak berkapsul yang bergerak dengan bulu getar, tidak
berspora. Terdapat 3 bioserotipe Salmonella typhosa, yaitu paratyphi A,
paratyphi B, dan paratyphi C. Kuman ini mempunyai tiga antigen yang
penting untuk pemeriksaan laboratorium, yaitu Antigen O ( somatik ) ,
Antigen H ( flagela ) , dan Antigen V1 ( kapsul ) (Ngastiyah, 2005).
Bakteri ini akan mati pada pemanasan 57ºC selama beberapa menit.
Menurut Mansjoer ( 2000 ), salmonella typhi memasuki tubuh akibat
makanan dan minuman yang telah terkontaminasi. Manusia merupakan
satu - satunya reservoir sejati salmonella typhi, di alam dan orang-orang
dengan typhoid atau pembawa kuman kronis sebagai bertindak sebagai
sumber infeksi utama. Terdapat dua sumber penularan salmonella typhi,
yaitu pasien dengan demam typhoid dan yang paling sering adalah karier.
D. Patofisiologi Typhoid Abdominalis
Masuknya kuman salmonella typhi ke dalam tubuh manusia terjadi melalui
makanan yang terkontaminasi kuman. Penularan kuman ini dapat melalui
makanan dan minuman yang terkontaminasi feces, lalat yang membawa
kuman tersebut, dan muntahan dari penderita typhoid. Sebagian kuman
dimusnahkan di lambung, sebagian lolos masuk ke dalam usus dan
10
selanjutnya berkembang biak. Kuman dapat hidup dan berkembang biak di
dalam makrofag dan selanjutnya di bawa ke plague peyeri ileum distal dan
kuman tersebut mengeluarkan endotoksin yang selanjutnya kuman masuk
ke dalam sirkulasi darah (mengakibatkan bakteriemia pertama yang
asimtomatik) dan menyebar ke seluruh organ retikuloendotelial tubuh
terutama hati dan limpa yang selanjutnya akan dilakukan fagositosis.
Pada proses fagosit ini, kuman yang dapat di fagosit akan mati,
sedangkan yang tidak difagosit akan tetap hidup dan menyebabkan
bakteriemia kedua. Kuman yang masuk ke aliran darah akan menyebabkan
roseola pada kulit dan lidah hiperemia. Selanjutnya kuman masuk ke
dalam usus halus dan menyebabkan peradangan sehingga menimbulkan
nausea dan vomitus serta adanya anorexia masalah tersebut akan
menyebabkan intake klien yang tidak adekuat dan kebutuhan nutrisi yang
kurang dari tubuh yang bisa menyebabkan diare sehinggas diperlukan
bedrest untuk mencegah kondisi klien akan menjadi bertambah buruk. Lalu
kuman masuk ke dalam hepar yang selanjutnya mengeluarkan endotoksin
yang akan merusak hepar sehingga terjadi hepatomegali dan juga
mengakibatkan splenomegali yang disertai dengan meningkatnya
SGOT/SGPT. Selain itu, kuman dapat menyebar ke hipotalamus yang
menekan termoregulasi yang mengakibatkan demam remiten dan
hipertermi sehingga klien akan mengalami malaise dan akhirnya
mengganggu aktivitasnya (Ngastiyah, 2005).
11
E. Manifestasi Klinik
Masa tunas 10 sampai 20 hari, selama masa inkubasi ditemukan
gejala prodromal yaitu, perasaan tidak enak badan, lesu, nyeri kepala,
pusing dan tidak bersemangat nafsu makan berkurang, menyusul
gambaran klinik yang biasa ditemukan :
1. Demam
Berlangsung selama 3 minggu, bersifat febris reminten dan suhu tidak
tinggi sekali. Selama minggu pertama, suhu tubuh berangsur-angsur naik
setiap hari, dan malam hari. Dalam minggu ke 2 pasien terus dalam
keadaan demam pada minggu ke tiga, suhu berangsur-angsur turun dan
normal kembali akhir minggu ke tiga (Rampengan, 2007).
2. Gangguan pada saluran pencernaan
Pada nafas berbau tidak sedap bibir kering dan pecah-pecah (ragaden).
Lidah tertutup selaput putih kotor. Pada abdomen ditemukan keadaan
perut kembung (meteorismus). Hati dan limfa membesar disertai nyeri
pada perabaan. Biasanya terjadi konstipasi tetapi juga dapat diare, atau
normal (Rampengan, 2007).
3. Gangguan kesadaran
Umumnya kesadaran pasien menurun walaupun tidak berada dalam apatis
atau somnolen, jarang terjadi sopor, koma, atau gelisah (kecuali
12
penyakitnya berat dan terlambat mendapatkan pengobatan) di samping
gejala tersebut mungkin juga terdapat gejala lainnya. Pada punggung dan
anggota gerak dan dapat ditemukan rosella : yaitu bintik - bintik
kemerahan karena emboli basil dalam kapiler kulit yang dapat ditemukan
pada minggu pertama demam. Kadang-kadang ditemukan pula bradikardia
dan epistaksis pada anak besar (Rampengan, 2007).
4. Relaps (kambuh)
Yaitu keadaan berulangnya gejala penyakit typhoid abdominalis, akan
tetapi berlangsung lebih ringan dan lebih singkat. Terjadi dalam minggu
ke dua setelah suhu badan normal kembali. Terjadinya sukar di terangkan,
seperti halnya keadaan kekebalan alam, yaitu tidak pernah menjadi sakit
walaupun mendapat infeksi yang cukup berat. Menurut teori, relaps terjadi
karena terdapatnya basil dalam organ-organ yang tidak dapat di
musnahkan baik oleh obat maupun oleh zat anti. Mungkin pula terjadi
pada waktu penyembuhan tukak, terjadi invasi basil bersamaan dengan
pembentukan jaringan - jaringan fibrolas.
(Ngastiyah, 2005)
F. Komplikasi
Pada typhoid abdominalis, demam yang lama akan menyebabkan
kelemahan yang hebat, penurunan berat badan, dan banyak kekurangan zat
gizi. Beberapa komplikasi yang terjadi pada typhoid :
1. Komplikasi intestinal
13
Yaitu komplikasi yang terjadi di dalam usus yang akan mengakibatkan
organ yang berkaitan mengalami suatu gangguan yang lain.
a. Pendarahan usus
Erosi pembuluh darah di plak peyer yang nekrotik di dalam
dinding usus dapat menyebabkan perdarahan pada traktus
intestinal. Darah samar di dalam feces lazim ditemukan pada 20%
penderita typhoid. Sedangkan darah dalam jumlah yang besar
dijumpai pada 10% penderita. Biasanya perdarahan hebat
merupakan komplikasi lanjut, yang sering terjadi selama minggu
kedua atau ketiga penyakit. Penurunan mendadak dalam tekanan
darah atau suhu tubuh dimungkinkan merupakan manifestasi
pertama perdarahan.
b. Perforasi usus
Timbul biasanya pada minggu ketiga atau setelahnya dan
terjadi pada bagian distal ileum. Perforasi yang tidak disertai
peritonitis hanya dapat ditemukan bila terdapat udara di rongga
peritonium, yaitu pekak hati menghilang dan terdapat udara
diantara hati dan diafragma pada foto rontgen abdomen yang dibuat
dalam keadaan tegak. Nyeri di kuadran kanan bawah abdomen
menjadi manifestasi dini tersering.
c. Peritonitis
14
Biasanya menyertai perforasi tetapi dapat terjadi tanpa perforasi
usus. Ditemukan gejala abdomen akut, yaitu nyeri perut yang hebat,
dan dinding abdomen yang menegang.
2. Komplikasi ekstraintestinal.
Yaitu komplikasi yang terjadi di luar usus dan mengakibatkan
gangguan yang disebabkan oleh kuman Salmonella typhi yang sudah
menyebar ke organ yang ada di luar usus.
a. Kardiovaskuler : kegagalan sirkulasi perifer (renjatan, sepsis),
miokarditis,trombosis, dan tromboflebitis.
b. Darah : anemia hemolitik, trombositopenia dan atau koagulasi
intravaskuler diseminata, dan sindrom uremia hemolitik.
c. Paru : pneumonia, empiema, dan pleuritis.
d. Hepar dan kandung kemih : hepatitis dan kolelitiasis.
e. Ginjal : glomerulonefritis, pielonefritis, dan perinefritis.
f. Tulang : osteomielitis, periostitis, spondilitis, dan artritis.
g. Neuropsikiatrik : delirium, meningismus, meningitis, polineuritis
perifer, sindrom Guillain - Bare, psikosis, dan sindrom katatonia.
Pada anak-anak dengan demam paratifoid, komplikasi lebih
jarang terjadi. Komplikasi lebih sering terjadi pada keadaan
toksemia berat dan kelemahan umum, bila perawatan pasien
kurang sempurna.
(Mansjoer, 2000)
15
G. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan typhoid sampai saat ini masih menganut trilogi , yaitu :
1. Istirahat dan perawatan profesional.
Perawatan ini bertujuan mencegah komplikasi dan mempercepat proses
penyembuhan.
a. Pasien harus tirah baring ( bed rest ) sampai minimal 7 hari bebas
demam.
b. Mobilisasi dilakukan bertahap, sesuai dengan kondisi kekuatan
pasien.
c. Posisi klien perlu diubah-ubah untuk mencegah dekubitus dan rasa
tidak nyaman.
d. Defekasi dan BAK perlu diperhatikan, karena kadang-kadang
terjadi obstipasi dan retensi urin.
2. Diet.
a. Makanan harus mengandung cukup cairan, kalori dan tinggi
protein.
b. Makanan tidak boleh yang mengandung serat dan tidak
merangsang dan menimbulkan gas.
16
c. Bila kesadaran menurun, diberikan makanan cair, melalui sonde
lambung.
d. Pada penderita yang akut, dapat diberi bubur saring.
e. Diperbolehkan dengan makanan lunak jika kesadaran dan nafsu
makan baik serta bebas demam.
3. Pemberian Obat-obatan.
Untuk menghentikan dan memusnahkan penyebaran kuman,
antibiotik yang dapat digunakan :
a. Klorampenikol
Klorampenikol adalah antibiotik yang dipilih dalam
pengobatan demam typhoid. Efeknya mengurangi lama rawat dari
penyakit dan menekan angka kejadian kematian. Klorampenikol
paling efektif di tahap awal infeksi. Sayangnya, kekambuhan sering
terjadi setelah pengobatan secara intensif dengan klorampenikol,
karena obat ini kurang efektif dalam mencegah infeksi yang
bersifat karier. Dosis yang dianjurkan 50 sampai 100 mg / kgBB /
hari, selama 10 sampai 14 hari (Stewart, 2005).
b. Kotrimoksazol
Kelebihan kotrimoksazol antara lain dapat digunakan untuk
kasus yang resisten terhadap klorampenikol, penyerapan di usus
cukup baik, dan kemungkinan timbulnya kekambuhan pengobatan
lebih kecil dibandingkan klorampenikol. Kelemahannya adalah
dapat terjadi skin rash ( 1 sampai 15% ). Dosis yang dianjurkan 30
17
sampai 40 mg / kgBB / hari untuk Sulfametoksazol dan 6 sampai 8
mg / kgBB / hari untuk trimetpprin, diberikan dalam 2 kali
pemberian, selama 10 sampai 14 hari.
c. Ampisilin / amoksisilin
Berlawanan dengan klorampenikol, ampicillin terbukti
menunjukkan hasil yang baik pada pengobatan yang bersifat karier,
tetapi untuk memunculkan efek tersebut butuh pengobatan awal
dalam beberapa bulan. Dosis yang dianjurkan : Ampisilin 100
sampai 200 mg / kgBB / hari, untuk amoksisilin 100 mg / kgBB /
hari (Stewart, 2005).
d. Kortikosteroid
Kortikosteroid hanya diberikan dengan indikasi yang tept
karena dapat menyebabkan pendarahan usus dan relaps. Tetapi,
pada kasus berat penggunaan kortikosteroid dapat menurunkan
angka kematian.
(Rampengan, 2007)
H. Pengkajian fokus
1. Identitas (orang tua dan anak)
Beberapa komponen yang ada pada identitas meliputi nama, jenis
kelamin, umur, alamat, suku bangsa, agama, No.registrasi, pendidikan,
pekerjaan, tanggal dan jam masuk Rumah Sakit.
2. Keluhan utama
18
Keluhan utama yang dirasakan oleh klien typhoid biasanya mengeluh
adanya demam.
3. Riwayat penyakit sekarang
Umumnya yang dirasakan pada klien dengan typhoid adalah demam,
perut terasa mual, adanya anorexia, diare atau konstipasi, dan bahkan
menurunnya kesadaran.
4. Riwayat penyakit dahulu
Perlu ditanyakan apakah klien sebelumnya pernah mengalami typhoid
atau penyakit menular yang lain.
5. Riwayat penyakit keluarga
Ditanyakan apakah keluarga pernah menderita penyakit yang sama
atau penyakit yang lainnya.
6. Riwayat Imunisasi
Ditanyakan apakah anak sudah mendapatkan imunisasi lengkap atau
belum.
7. Riwayat Tumbuh Kembang
Ditanyakan dari usia berapa anak bisa mulai duduk, merangkak,
berjalan, dan berbicara
8. Pola-Pola fungsi kesehatan
a. Pola persepsi dan pemeliharaan kesehatan
Adanya tindakan penatalaksanaan kesehatan di RS akan
menimbulkan perubahan terhadap pemeliharaan kesehatan.
b. Pola nutrisi dan metabolik
19
Adanya nausea dan vomitus serta anorexia akan mempengaruhi
status gizi. Pengukuran TB dan BB jika memungkinkan akan
memperlihatkan adanya penurunan atau peningkatan status gizi
klien.
c. Pola aktivitas dan latihan
Aktivitas klien akan terganggu akibat adanya malaise serta
keterbatasan latihan yang mewajibkan klien untuk bedrest.
d. Pola istirahat dan tidur
Frekuensi dan kebiasaan tidur klien akan terganggu karena adanya
proses peningkatan suhu tubuh.
e. Pola eliminasi
Klien dengan typhoid mengalami masalah pada pola eliminasi
karena kurangnya intake asupan nutrisi dan kondisi yang
mewajibkan untuk bedrest, maka klien akan beresiko besar untuk
terkena konstipasi.
f. Pola hubungan
Akibat dari proses infeksi tersebut secara langsung akan
mempengaruhi hubungan baik intrapersonal maupun interpersonal.
g. Pola persepsi dan konsep diri
Akan terjadi perubahan jika klien tidak memahami cara yang
efektif untuk mengatasi masalah kesehatannya.
h. Pola reproduksi dan seksual
20
Pada pola reproduksi dan seksual pada klien yang sudah menikah
akan mengalami perubahan.
i. Pola mekanisme koping
Masalah timbul jika klien tidak efektif dalam mengatasi masalah
kesehatannya.
j. Pola nilai dan kepercayaan
Adanya kecemasan dalam sisi spiritual akan menyebabkan
masalah yang baru yang ditimbulkan akibat dari ketakutan akan
kematian dan akan mengganggu kebiasaan ibadahnya.
9. Pemeriksaan fisik
a. B1 ( Breathing ) : biasanya tidak ada masalah, tetapi pada kasus
berat bisa didapatkan komplikasi yaitu adanya pneumonia.
b. B2 ( Blood ) : TD menurun, diaforesis terjadi pada minggu
pertama, kulit pucat, akral dingin, penurunan curah jantung dengan
adanya bradikardi, kadang terjadi anemia, leukopeni pada minggu
awal, nyeri dada, dan kelemahan fisik.
c. B3 ( Brain ) : Pada klien dengan typhoid biasanya terjadi delirium
dan diikuti penurunan kesadaran dari composmentis ke apatis,
somnolen hingga koma pada pemeriksaan GCS.
d. B4 ( Bladder ) : pada kondisi berat akan terjadi penurunan output
respon dari curah jantung.
e. B5 ( Bowel )
21
Inspeksi : lidah kotor, terdapat selaput putih, lidah hiperemis,
stomatitis, muntah,kembung, adanya distensi abdomen dan nyeri
abdomen, diare atau konstipasi.
Auskultasi : penurunan bising usus kurang dari 5x/menit pada
minggu pertama dan selanjutnya meningkat akibat adanya diare.
Perkusi : didapatkan suara tympani abdomen akibat adanya
kembung.
Palpasi : adanya hepatomegali, splenomegali, mengidentifikasi
adanya infeksi pada minggu kedua. Adanya nyeri tekan pada
abdomen.
f. B6 ( Bone ) : adanya respon sistemik yang menyebabkan malaise.
Kelemahan umum. Integumen : timbulnya roseola (emboli dari
kuman dimana didalamnya mengandung kuman Salmonella
Ttyphosa , yang timbul diperut, dada, dan bagian bokong), turgor
kulit menurun, kulit kering (Muttaqin, 2011).
10. Pemeriksaan penunjang
a. Pemeriksaan feces
Pengambilan biakan feces dan urine dilakukan karena penyebaran
Salmonella sampai ke empedu, pemeriksaan ini positif biasanya
pada minggu kedua dan ketiga.
b. Pemeriksaan darah lengkap.
Biakan darah biasanya positif pada minggu pertama pada
perjalanan penyakit. Kadang terjadi anemia akibat proses inflamasi.
22
c. Kolonoskopi
Mengidentifikasi adanya perubahan lumen dinding (menyempit /
tidak teratur), menunjukkan obstruksi usus.
d. Pemeriksaan serologi
Merupakan reaksi serologis yang didasarkan antara reaksi
aglutinasi antara antigen Salmonella dan antibodi yang terdapat
pada serum penderita. Titer O : 1/200. Titer H : 1/400. atau
Kenaikan titer 4 kali 1 (satu) minggu berikutnya.
23
H. Pathways keperawatan (Mansjoer, 2000)
Salmonella typhi
Feces Muntahan lalat
Makanan
Lambung
HCL
Hidup Mati
Usus
Berkembang Di Plaque peyeri Mengeluarkan Endotoksin Ileum distal asimtomatik Bakteriemia primer
Menyebar ke organ RES
Difagosit tidak difagosit Mati Bakteriemia sekunder Darah Usus halus Hipothalamus Hepar Roseola peradangan menekan Hepato dan Dan Lidah thermoregulasi splenomegali Hiperemia Nyeri demam remiten Endotoksin merusak hepar Hiperperistaltik usus Diare
HIPERTERMI Defisit volume cairan
24
Mudah lelah SGOT/SGPT meningkat Mual dan muntah bedrest Anorexia konstipasi
I. Diagnosa keperawatan
1. Hipertermi berhubungan dengan proses infeksi salmonella typhosa.
2. Resiko defisit volume cairan berhubungan dengan intake dan output
yang tidak seimbang.
3. Gangguan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan
intake yang tidak adekuat akibat mual,muntah dan anorexia.
4. Gangguan pola eliminasi : diare berhubungan dengan proses
peradangan pada usus halus.
5. Gangguan pola eliminasi : konstipasi berhubungan dengan proses
peradangan pada usus halus.
6. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan kelemahan fisik.
J. Fokus Intervensi dan Rasional
1. Hipertermi berhubungan dengan proses infeksi salmonella
typhosa.
Tujuan : suhu tubuh normal
Kriteria hasil : Suhu tubuh normal, nadi dan RR normal, tidak ada
pusing.
Intervensi :
a. Monitor TTV klien sesering mungkin.
Intoleransi aktivitas
Resiko/aktual Nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh
Gangguan pola eliminasi
25
R : Untuk mengetahui tanda-tanda kenaikan suhu yang mungkin
terjadi infeksi.
b. Anjurkan anak untuk berpakaian tipis dari bahan yang menyerap
keringat..
R : supaya anak merasa nyaman, karena bahan pakaian yang tipis
akan mengurangi evaporasi tubuh.
c. Monitor Intake dan Output anak.
R : Untuk mengamati perbaikan dan perburukan dari anak.
d. Anjurkan anak untuk meningkatkan intake cairan 2-3 liter/hari.
R : Sebagai rehidrasi dari cairan yang hilang dari penguapan tubuh,
mual, muntah dan diare.
e. Memberikan kompres dengan air biasa ( suhu normal ).
R : Agar lebih mudah untuk memindahkan panas dari anak ke
handuk kompres.
f. Kolaborasi dengan dokter untuk pemberian terapi antibiotik dan
antipiretik.
R : Antibiotik untuk mengurangi proses infeksi dan antipiretik
untuk menurunkan panas tubuh.
2. Resiko defisit volume cairan berhubungan dengan intake dan
output yang tidak seimbang.
Tujuan : intake dan output seimbang.
26
Kriteria hasil : defisit cairan dapat teratasi dan tidak ada tanda - tanda
dehidrasi, turgor baik, membran mukosa baik.
Intervensi :
a. Monitor status nutrisi anak.
R : mengetahui adanya tanda-tanda perbaikan dan perburukan dari
anak.
b. Anjurkan anak untuk banyak minum.
R : Untuk mengganti cairan yang hilang akibat diare.
c. Monitor intake dan output anak.
R : sebagai dasar tindakan banyaknya rehidrasi yang dibutuhkan
anak.
d. Kolaborasi dengan pemberian cairan melalui IV.
R : membantu mengganti cairan intravaskuler yang berkurang.
e. Kolaborasi dengan dokter apabila terjadi tanda-tanda shock.
R : sebagai terapi lanjutan apabila terjadi tanda-tanda shock.
3. Gangguan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan
dengan intake yang tidak adekuat akibat mual,muntah dan
anorexia.
Tujuan : setelah dilakukan tindakan keperawatan, nutrisi anak dapat
terpenuhi, BB tetap atau bertambah, tidak ada anorexia dan mual
muntah.
27
Kriteria hasil : tidak ada tanda-tanda mal nutrisi, adanya peningkatan
BB sesuai dengan tujuan, mual dan muntah berkurang, tidak ada
anorexia.
Intervensi :
a. Monitor status nutrisi anak.
R : Sebagai dasar awal tindakan keperawatan.
b. Jelaskan pada anak tentang pentingnya makanan untuk membantu
proses penyembuhan.
R : meningkatkan pengetahuan anak tentang manfaat nutrisi
sehingga memotivasi klien agar mau makan.
c. Tawarkan anak snack yang disukai.
R : Untuk menambah nafsu makan anak.
d. Jaga kebersihan oral anak.
R : Dapat memberi rasa nyaman pada mulut sehingga dapat
menambah nafsu makan.
e. Berikan makanan dalam porsi kecil tapi sering.
R : Menghindari rasa mual dan keinginan untuk muntah.
f. Berikan asupan nutrisi sesuai dengan diet (diet lembek, rendah
serat, dan bumbu yang tidak merangsang).
R : Supaya memudahkan anak untuk menelan makanan dan tidak
menyebabkan mual.
28
4. Gangguan pola eliminasi : diare berhubungan dengan proses
peradangan pada usus halus.
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan, pola eliminasi anak
kembali normal.
Kriteria hasil : BAB normal, Feses (konsistensi dan frekuensi) normal,
mencegah daerah rectal agar tidak iritasi, turgor kulit normal.
a. Identifikasi faktor penyebab diare.
R : Sebagai awal tindakan pengobatan.
b. Monitor BAB (warna, jumlah, frekuensi, dan konsistensi dari
feces).
R : Mengetahui pola BAB anak.
c. Monitor TTV dan KU anak.
R : Mengetahui adanya tanda dan gejala shock pada anak.
d. Anjurkan anak untuk minum 2-3 liter setiap hari.
R : Untuk merehidrasi cairan yang keluar akibat diare.
e. Kolaborasi pemberian cairan IV
R : Mengganti cairan pada intravakuler dan intrerstitial.
f. Kolaborasi dengan Dokter untuk terapy anti diare.
R : Anti diare membantu mengurangi diare.
5. Gangguan pola eliminasi : konstipasi berhubungan dengan proses
peradangan pada usus halus.
29
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan Pola eliminasi
kembali normal.
Kriteria hasil : BAB normal, rasa tidak nyaman berkurang, tidak ada
massa.
Intervensi :
a. Identifikasi penyebab timbulnya konstipasi.
R : Menentukan dasar awal tindakan keperawatan.
b. Ganti posisi anak tiap 2 jam sekali.
R : Mengurangi resiko konstipasi lanjutan karena aktivitas yang
kurang.
c. Pertahankan intake cairan 2-3 liter setiap hari.
R : memenuhi cairan dan memperbaiki konsistensi feces.
d. Kolaborasi dengan ahli gizi dengan pemberian diet tinggi serat dan
rendah lemak.
R : Tinggi serat memudahkan pengeluaran feces.
e. Kolaborasi dengan dokter dalam pemberian laksatif
R : membantu mengeluarkan feces.
6. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan kelemahan fisik akibat
peningkatan metabolisme sekunder.
Tujuan : setelah dilakukan tindakan keperawatan, anak dapat mandiri
dan aktivitas klien kembali normal.
Kriteria hasil : aktivitas anak tetap normal, kelemahan fisik berkurang
30
Intervensi :
a. Kaji respon anak terhadap aktivitas.
R : untuk mengetahui perubahan-perubahan aktivitas yang dialami
oleh anak.
b. Anjurkan anak untuk tetap istirahat
R : Untuk mempercepat proses penyembuhan
c. Batasi pengunjung yang datang
R : agar anak tidak terganggu dalam beristirahat
d. Bantu anak untuk beraktivitas sehari-hari sesuai dengan kebutuhan
anak.
R : memberikan rasa nyaman, karena kebutuhan anak dapat
terpenuhi dengan dibantu oleh perawat ataupun keluarga.
e. Ajarkan aktivitas yang dapat dilakukan anak secara bertahap
R : Agar tidak mengganggu bedrest pada proses penyembuhan
anak.
K. Konsep Dasar Tumbuh Kembang Pra Sekolah
a. Perkembangan phsikoseksual ( Sigmon Freud ): Fase laten ( 6
saampai 12 tahun )
Kepuasan anak mulai terintegrasi, anak akan menggunakan energi
fisik dan psikologis untuk mengeksplorasi pengetahuan dan
pengalamannya melalui aktifitas fisik maupun sosialnya. Pada awal
masa laten, anak perempuan lebih suka teman dengan jenis kelamin
31
yang sama, demikian juga sebaliknya. Pertanyaan anak lebih
banyak mengarah pada system reproduksi.
b. Perkembangan Pshikososial (Erik Erikson) : Industri versus
inferiority ( 6 saampai 12 tahun )
Anak akan bekerjasama dan bersaing dalam kegiatan akademik
maupun pergaulan melalui permainan yang di lakukan bersama.
Anak selalu berusaha untuk mencapai sesuatu yang di inginkan
sehingga anak pada usia ini rajin dalam melakukan sesuatu.
Apabila dalam tahap ini anak terlalu mendapat tuntutan dari
lingkungan dan anak tidak berhasil memenuhinya maka akan
timbul rasa inferiority (rendah diri). Reinforcement dari orang tua
atau orang lain menjadi begitu penting untuk menguatkan rasa
berhasil dalam melakukan sesuatu.
c. Perkembangan kognitif (piaget) : Tahap pra operasional ( 2 sampai
7 tahun )
Perkembangan anak masih bersifat egosentris, transduktif (
menganggap semua orang sama ), dan animisme ( selalu
memperhatikan benda mati ).