bab i pendahuluan a. latar belakang masalah · pdf fileinternasional) yang akan menjadi bagian...

144
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Masalah konflik atau perang menjadi isu kontemporer, jumlah korban jiwa merupakan konsekuensi logis akibat konflik atau perang. Korban jiwa ini tidak hanya meliputi korban dari pihak militer, namun juga korban sipil. Sejarah kelam Perang Dunia II yang berlangsung dari tahun 1939-1945 dan perang asia timur raya (bagian dari Perang Dunia II) yang berlangsung dari tahun 1942-1945 telah menimbulkan korban luar biasa banyak, baik berupa korban manusia, harta benda, baik di pihak pemenang perang maupun pihak yang kalah perang. Setelah perang berakhir muncul ide untuk meminta pertanggungjawaban secara langsung kepada individu yang dituduh melakukan pelanggaran hukum internasional dengan mengajukannya kehadapan pengadilan internasional. 1 Pembentukan Nuremberg Tribunal dan Tokyo Tribunal merupakan upaya yang dilakukan untuk menyeret para pelaku pelanggaran hukum internasional ke pengadilan. Selain pengadilan pidana internasional, Perang Dunia II juga memunculkan upaya kodifikasi terhadap hukum perang yang selama ini hanya diatur dalam hukum kebiasaan internasional. Konferensi Diplomatik dalam rangka pembentukan Konvensi Internasional untuk Perlindungan Korban 1 I Wayan Parthiana, 2006, Hukum Pidana Internasional, CV. Yrama Widya, Cetakan I , Bandung, Hal. 181 - 182

Upload: nguyendang

Post on 05-Feb-2018

237 views

Category:

Documents


3 download

TRANSCRIPT

Page 1: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah · PDF fileInternasional) yang akan menjadi bagian penting dalam penegakan hukum pidana internasional dan perlindungan HAM internasional

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Masalah konflik atau perang menjadi isu kontemporer, jumlah korban jiwa

merupakan konsekuensi logis akibat konflik atau perang. Korban jiwa ini

tidak hanya meliputi korban dari pihak militer, namun juga korban sipil.

Sejarah kelam Perang Dunia II yang berlangsung dari tahun 1939-1945

dan perang asia timur raya (bagian dari Perang Dunia II) yang berlangsung

dari tahun 1942-1945 telah menimbulkan korban luar biasa banyak, baik

berupa korban manusia, harta benda, baik di pihak pemenang perang maupun

pihak yang kalah perang. Setelah perang berakhir muncul ide untuk meminta

pertanggungjawaban secara langsung kepada individu yang dituduh

melakukan pelanggaran hukum internasional dengan mengajukannya

kehadapan pengadilan internasional.1

Pembentukan Nuremberg Tribunal dan Tokyo Tribunal merupakan upaya

yang dilakukan untuk menyeret para pelaku pelanggaran hukum internasional

ke pengadilan. Selain pengadilan pidana internasional, Perang Dunia II juga

memunculkan upaya kodifikasi terhadap hukum perang yang selama ini hanya

diatur dalam hukum kebiasaan internasional. Konferensi Diplomatik dalam

rangka pembentukan Konvensi Internasional untuk Perlindungan Korban

1 I Wayan Parthiana, 2006, Hukum Pidana Internasional, CV. Yrama Widya, Cetakan I , Bandung,

Hal. 181 - 182

Page 2: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah · PDF fileInternasional) yang akan menjadi bagian penting dalam penegakan hukum pidana internasional dan perlindungan HAM internasional

2

Perang diadakan di Jenewa pada tanggal 21 April hingga 12 Agustus 1949.

Konferensi ini menghasilkan 4 (empat) Konvensi, yaitu : 2

1. Geneva Convention for the Amelioration of the Condition of the

Wounded and Sick in Armed Forces in the Field

2. Geneva Convention for the Amelioration of the Condition of Wounded,

Sick and Shipwrecked Members of Armed Forces at Sea

3. Geneva Convention relative to the Treatment of Prisoners of War

4. Geneva Convention relative to the Protection of Civilian Persons in

Time of War

Dalam perkembangan selanjutnya kembali dibentuk pengadilan pidana

internasional ad hoc di negara bekas Yugoslavia dengan nama International

Criminal Tribunal for The Former Yugoslavia/ ICTY (Mahkamah Kejahatan

Perang untuk Kasus bekas Yugoslavia) pada tahun 1993, dan di negara

Rwanda dengan nama International Criminal Tribunal For Rwanda/ ICTR

(Mahkamah Kejahatan Perang untuk Kasus bekas Rwanda) pada tahun 1994.

Mahkamah Kejahatan Perang dalam Kasus bekas Yugoslavia dibentuk

berdasarkan Resolusi Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB)

827 Tahun 1993, dimana Dewan Keamanan bertindak berdasarkan Bab VII

Piagam PBB. Mahkamah ini dibentuk untuk mengadili pelaku pelanggaran

serius hukum humaniter internasional dalam wilayah bekas Yugoslavia yang

terjadi antara 1 Januari 1991 sampai tanggal yang akan ditentukan oleh Dewan

Keamanan PBB dimana telah tercapainya pemulihan perdamaian.3

Dalam upaya untuk menghukum mereka yang bertanggung jawab atas

kejahatan genosida, Dewan Keamanan PBB membentuk Mahkamah

Kejahatan Perang untuk Kasus Bekas Rwanda. Pada tanggal 8 November

2 The Geneva Conventions of 12 August 1949, Hal. 21

3 Resolution Security Council 827 (1993), Hal . 2

Page 3: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah · PDF fileInternasional) yang akan menjadi bagian penting dalam penegakan hukum pidana internasional dan perlindungan HAM internasional

3

1994, Dewan Keamanan PBB mengadopsi Resolusi 955 untuk membentuk

Mahkamah yang bertujuan menuntut pelaku yang bertanggung jawab atas

kejahatan genosida dan pelanggaran serius atas hukum humaniter

internasional yang dilakukan di wilayah Rwanda dan wilayah Negara tetangga

yang terjadi antara 1 Januari 1994 sampai 31 Desember 1994.4

Pada dasarnya pengadilan pidana internasional ad hoc sebagaimana

disebut di atas memiliki kesamaan yakni terkait yurisdiksi atau kewenangan

hukum atas pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) berat seperti kejahatan

genosida, kejahatan terhadap kemanusiaan, kejahatan perang serta kejahatan

agresi.

Dari uraian diatas juga dapat dilihat pengadilan pidana internasional ad

hoc baru dibentuk setiap kali terjadi peristiwa kejahatan perang, genosida,

kejahatan terhadap kemanusiaan ataupun kejahatan agresi. Mengantisipasi

kemungkinan terjadi kejahatan serupa di masa yang akan datang dengan

akibat-akibat di luar batas perikemanusiaan5, menjadi dasar pembentukan

International Criminal Court (selanjutnya disebut Mahkamah Pidana

Internasional) yang akan menjadi bagian penting dalam penegakan hukum

pidana internasional dan perlindungan HAM internasional. Hal ini dipertegas

dalam preamble Statuta Roma berikut : 6

1. Mengingat jutaan anak-anak, perempuan dan laki-laki menjadi korban

kekejaman yang sangat mengejutkan hati nurani kemanusiaan.

4 Michael P. Scharf, 2008, Statute of International Criminal Tribunal for Rwanda, United Nations

Audiovisual Library of International Law, Hal. 1 5 I Wayan Parthiana, Op.cit, Hal. 23

6 Alinea ke 2 – 5 Pembukaan Statuta Roma

Page 4: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah · PDF fileInternasional) yang akan menjadi bagian penting dalam penegakan hukum pidana internasional dan perlindungan HAM internasional

4

2. Menyadari bahwa kejahatan serius yang mengancam perdamaian,

keamanan dan kesejahteraan dunia.

3. Menegaskan bahwa kejahatan paling serius yang menjadi perhatian

masyarakat internasional tidak boleh dibiarkan serta tidak dihukum dan

penuntutan yang efektif terhadap pelaku harus dijamin dengan mengambil

langkah-langkah di tingkat nasional dan meningkatkan kerjasama

internasional.

4. Bertekad untuk mengakhiri impunitas bagi para pelaku kejahatan dan

memberikan kontribusi terhadap pencegahan terjadinya kejahatan tersebut.

Mahkamah Pidana Internasional merupakan pengadilan pidana

internasional pertama yang sifatnya permanen. Mahkamah Pidana

Internasional yang berkedudukan di Denhaag, Belanda ini dibentuk

berdasarkan Statuta yang ditandatangani di Roma pada bulan Juli 1998

(selanjutnya disebut Statuta Roma). Statuta Roma ini baru mulai berlaku pada

1 Juli 2002, sesuai dengan yang diamanatkan dalam pasal 126 Statuta :

“this statute shall enter into force on the first day of the month after the

60th day following the date of the deposit of the 60th instrument of

ratification, acceptance, approval or accession with the Secretary-General

of the United Nations”

Mahkamah Pidana Internasional ini sendiri sesuai dengan Statuta Roma

memiliki yurisdiksi terhadap kejahatan-kejahatan sebagaimana diatur dalam

pasal 5 Statuta yaitu :

the jurisdiction of the court shall be limited to the most serious crimes of

concern to the international community as a whole. the court has

jurisdiction in accordance with this Statute with respect to the following

crimes:

Page 5: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah · PDF fileInternasional) yang akan menjadi bagian penting dalam penegakan hukum pidana internasional dan perlindungan HAM internasional

5

a. the crime of genocide;

b. crimes against humanity;

c. war crimes;

d. the crime of aggression.

Dalam menjalankan fungsinya sebagaimana diatur dalam pasal 34 Statuta

Roma, Mahkamah terdiri dari organ-organ sebagai berikut :

1. Kepresidenan (Presidency)

Kepresidenan terdiri dari 1 (satu) Presiden dan 2 (dua) Wakil Presiden

yang dipilih oleh mayoritas absolut dari Hakim Mahkamah Pidana

Internasional. Presiden dan Wakil Presiden ini akan bertugas untuk jangka

waktu 3 (tiga) tahun atau sampai dengan berakhirnya masa jabatan sebagai

Hakim Mahkamah Pidana Internasional, hal ini dilihat point mana yang

berakhir lebih awal.7 Kepresidenan bertanggung jawab untuk:

8

a. Mengurus administrasi pengadilan, kecuali Kantor Jaksa, dan

b. Menjalankan fungsi lain diberikan kepadanya sesuai dengan Statuta.

Mahkamah Pidana Internasional memiliki 18 orang Hakim.9 Hakim-

hakim tersebut merupakan orang-orang dengan karakter moral yang tinggi,

memiliki imparsialitas, integritas dan kualifikasi setara dengan pejabat

lembaga hukum tertinggi di Negara pihak Statuta Roma.10

Hakim-hakim yang dicalonkan tersebut akan diseleksi oleh Majelis

Negara Pihak. Dalam pemilihan Hakim wajib memperhitungkan

kebutuhan, dengan melihat :11

7 Pasal 38 ayat 1 Statuta Roma

8 Pasal 38 ayat 3 Statuta Roma

9 Pasal 36 ayat 1 Statuta Roma

10 Pasal 36 ayat 3 Statuta Roma

11 Pasal 36 ayat 8 Statuta Roma

Page 6: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah · PDF fileInternasional) yang akan menjadi bagian penting dalam penegakan hukum pidana internasional dan perlindungan HAM internasional

6

a. representasi dari sistem hukum utama di dunia.

b. representasi geografis.

c. representasi jumlah Hakim perempuan dan laki-laki.

2. Fungsi Peradilan dari Mahkamah Pidana Internasional dibagi dalam 3

(tiga) divisi, yaitu Divisi Banding, Divisi Peradilan, dan Divisi

Praperadilan (an Appeals Division, a Trial Division, and a Pre-Trial

Division).

Fungsi yudisial dari Mahkamah dilaksanakan di Divisi oleh kamar-

kamar. Kamar-kamar tersebut yaitu :12

a. Kamar Banding yang terdiri dari semua hakim dari Divisi Banding.

Upaya banding dapat dilakukan terhadap :

1. Keputusan dan pembebasan atau hukuman : 13

a. Jaksa dapat melakukan banding untuk : kesalahan prosedural,

kesalahan fakta, atau kesalahan hukum.

b. Seseorang yang dihukum atau Jaksa atas nama orang tersebut,

atau pembela dari terpidana, dapat melakukan banding untuk :

kesalahan prosedural, kesalahan fakta, kesalahan hukum, atau

dasar lainnya yang mempengaruhi proses keadilan atau

kredibilitas keputusan Mahkamah.

2. Banding terhadap keputusan lain : 14

a. Keputusan sehubungan dengan yurisdiksi atau diterimanya

suatu situasi oleh Mahkamah.

12

Pasal 39 ayat 2 b Statuta Roma 13

Pasal 81 Statuta Roma 14

Pasal 82 Statuta Roma

Page 7: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah · PDF fileInternasional) yang akan menjadi bagian penting dalam penegakan hukum pidana internasional dan perlindungan HAM internasional

7

b. Keputusan memberikan atau menolak pembebasan orang yang

sedang diselidiki atau dituntut.

c. Keputusan Kamar Praperadilan untuk bertindak atas inisiatif

sendiri menurut pasal 56 ayat 3.

d. Keputusan terhadap suatu masalah yang kiranya sangat

mempengaruhi jalannya persidangan secara adil dan cepat/hasil

persidangan.

Sehubungan dengan hal tersebut Kamar Banding dapat:

1. Menerima atau mengubah keputusan atau hukuman, atau

2. Meminta persidangan baru dengan majelis hakim yang berbeda.

b. Kamar Peradilan yang fungsinya dilaksanakan oleh 3 (tiga) orang

hakim dari Divisi Peradilan, Kamar Peradilan yang ditugaskan untuk

menangani kasus harus:15

1. Berunding dengan para pihak dan mengadopsi prosedur yang

diperlukan untuk memfasilitasi pelaksanaan proses peradilan yang

adil dan cepat.

2. Menentukan bahasa yang akan digunakan dalam pengadilan.

3. Memberikan keterangan atas dokumen/informasi yang sebelumnya

dirahasiakan untuk umum sebelum pelaksanaan persidangan

c. Kamar Praperadilan yang fungsinya dilaksanakan oleh 3 (tiga) orang

hakim dari Divisi Praperadilan atau oleh seorang hakim tunggal dari

15

Pasal 64 ayat 3 Statuta Roma

Page 8: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah · PDF fileInternasional) yang akan menjadi bagian penting dalam penegakan hukum pidana internasional dan perlindungan HAM internasional

8

Divisi tersebut sesuai dengan ketentuan hukum acara dan pembuktian

dalam Statuta. Kamar Praperadilan dapat : 16

1. Atas permintaan Jaksa, mengeluarkan perintah penangkapan yang

mungkin diperlukan untuk kepentingan penyelidikan.

2. Atas permintaan orang yang telah ditangkap atau berdasarkan pasal

58, atau untuk mendapatkan kerjasama menurut Bab 9 jika

diperlukan untuk membantu orang dalam menyiapkan

pembelaannya.

3. Jika diperlukan, memberikan perlindungan/privasi pada korban dan

saksi, menjaga bukti, perlindungan terhadap orang yang sudah

ditahan atau orang hadir untuk menanggapi surat panggilan, dan

melindungi keamanan informasi nasional.

4. Mengizinkan jaksa untuk mengambil langkah-langkah investigasi

yang spesifik dalam wilayah suatu Negara Pihak tanpa harus

memiliki kerjasama dengan Negara tersebut, sesuai Bab 9 dengan

memperhatikan pandangan Negara yang berkepentingan untuk

situasi tersebut.

5. Mengambil tindakan perlindungan untuk tujuan perampasan,

khususnya untuk memaksimalkan keuntungan terhadap korban.

3. Kantor Jaksa (Office of The Prosecutor)

Kantor Jaksa bertindak secara mandiri sebagai organ yang terpisah dari

Mahkamah dan bertanggung jawab menerima pengajuan/penyerahan suatu

16

Pasal 57 ayat 3 Statuta Roma

Page 9: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah · PDF fileInternasional) yang akan menjadi bagian penting dalam penegakan hukum pidana internasional dan perlindungan HAM internasional

9

situasi dan informasi penting tentang tindak pidana yang menjadi

yurisdiksi Mahkamah.17

Kantor Jaksa dipimpin oleh seorang Jaksa yang

dibantu oleh seorang atau lebih Wakil Jaksa.18

Jaksa dan wakil jaksa harus

memiliki moral yang tinggi serta kompetensi dan pengalaman dalam

perkara pidana. Jaksa dipilih dari pemungutan suara mayoritas Majelis

Negara Pihak dalam Statuta. Tugas dan wewenang Jaksa sehubungan

dengan investigasi : 19

a. Dalam rangka mencari kebenaran, dapat memperpanjang penyelidikan

untuk mencukupi semua fakta dan bukti yang relevan dengan penilaian

apakah ada tanggung jawab pidana dalam Statuta, dalam

melakukannya Jaksa dapat menyelidiki hal-hal yang memberatkan dan

mendukungnya situasi tersebut.

b. Mengambil tindakan yang tepat untuk menjamin penyelidikan yang

efektif dan penuntutan kejahatan dalam yurisdiksi pengadilan, dan

dengan berbuat demikian, menghormati kepentingan serta keadaan

pribadi korban dan saksi, termasuk usia, jenis kelamin (pasal 7 ayat 3).

c. Menghormati sepenuhnya hak orang-orang yang timbul berdasarkan

Statuta.

Jaksa dapat melakukan investigasi di wilayah Negara peserta:20

a. Sesuai dengan ketentuan-ketentuan bagian 9 Statuta.

b. Diperintahkan oleh Kamar Praperadilan menurut pasal 57 ayat 3 (d).

17

Pasal 42 ayat 1 Statuta Roma 18

Pasal 42 ayat 2 Statuta Roma 19

Pasal 54 ayat 1 Statuta Roma 20

Pasal 54 ayat 2 Statuta Roma

Page 10: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah · PDF fileInternasional) yang akan menjadi bagian penting dalam penegakan hukum pidana internasional dan perlindungan HAM internasional

10

Jaksa dalam melakukan penyelidikan dapat:21

a. Mengumpulkan dan memeriksa bukti-bukti.

b. Meminta kehadiran dan menggali informasi dari orang sedang

diselidiki baik korban maupun saksi.

c. Mengupayakan kerjasama dari setiap Negara atau organisasi antar

pemerintah sesuai dengan kompetensi masing-masing.

d. Mengadakan perjanjian yang tidak bertentangan dengan Statuta yang

diperlukan untuk memfasilitasi kerjasama suatu Negara, organisasi

atau orang antar pemerintah.

e. Bersedia untuk tidak mengungkapkan dokumen atau informasi yang

diperoleh pada setiap tahap untuk tujuan menghasilkan bukti baru,

kecuali mendapat persetujuan dari penyedia informasi.

f. Mengambil atau meminta langkah-langkah yang diperlukan untuk

menjamin kerahasiaan informasi, perlindungan setiap orang atau

menyimpan bukti.

4. Kepaniteraan (The Registry)

Kepaniteraan dipimpin oleh seorang Panitera sebagai pejabat

administratif utama dari Mahkamah. Panitera melaksanakan tugas-

tugasnya dalam bidang non yudisial, administratif, dan pelayanan dibawah

Kepresidenan. Panitera dipilih oleh Hakim berdasarkan suara mayoritas

mutlak dan rahasia, dengan mempertimbangkan rekomendasi Majelis

Negara Pihak. Jika diperlukan dan atas rekomendasi Panitera, para Hakim

21

Pasal 54 ayat 3 Statuta Roma

Page 11: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah · PDF fileInternasional) yang akan menjadi bagian penting dalam penegakan hukum pidana internasional dan perlindungan HAM internasional

11

harus memilih wakil panitera, dengan cara yang sama. 22

Panitera menjabat

untuk jangka waktu 5 (lima) tahun, dan apabila memenuhi syarat untuk

sekali pemilihan lagi.23

Mahkamah Pidana Internasional dapat memberlakukan yurisdiksinya

berkenaan dengan kejahatan tersebut apabila :24

a. Situasi di mana satu atau lebih tindak pidana telah dilakukan sebelumnya

diserahkan/ diarahkan kepada Jaksa oleh Negara Peserta.

b. Situasi di mana satu atau lebih tindak pidana telah dilakukan sebelumnya

diserahkan/diarahkan kepada Jaksa oleh Dewan Keamanan yang bertindak

berdasarkan Bab VII dari Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa ; atau atas

inisiatif Jaksa melakukan penyidikan berkenaan dengan tindak pidana

dibawah yurisdiksi Mahkamah.

c. Penerimaan dari suatu Negara yang bukan Peserta dari Statuta ini

diperbolehkan, dengan deklarasi menundukkan diri sama dengan Negara

peserta, menerima keberlakukan dari yurisdiksi Mahkamah berkenaan

dengan tindak pidana tersebut. Misalnya Negara Pantai Gading yang

menyatakan deklarasi untuk tunduk pada yurisdiksi Mahkamah Pidana

Internasional.25

Sejak berdiri dan mulai berlakunya Mahkamah Pidana Internasional telah

menyelidiki beberapa situasi yang diduga telah/sedang terjadi kejahatan yang

menjadi yurisdiksi Mahkamah Pidana internasional, yakni situasi yang terjadi

22

Pasal 43 ayat 4 Statuta Roma 23

Pasal 43 ayat 5 Statuta Roma 24

Pasal 13 Statuta Roma 25

Situation in the Republic of Côte d'Ivoire, http://www.icc-cpi.int

Page 12: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah · PDF fileInternasional) yang akan menjadi bagian penting dalam penegakan hukum pidana internasional dan perlindungan HAM internasional

12

di Uganda, Republik Demokratik Kongo, Afrika, Darfur-Sudan, Libya, Pantai

Gading dan Mali.26

Dari situasi yang diselidiki oleh Mahkamah Pidana Internasional tersebut

Darfur-Sudan dan Libya merupakan Negara bukan peserta Statuta Roma.

Namun Mahkamah Pidana Internasional tetap menyelidiki situasi yang terjadi

di 2 (dua) Negara tersebut sehubungan dengan diarahkannya situasi di dua

negara tersebut oleh Dewan Keamanan PBB berdasarkan Bab VII Piagam

PBB, dimana diawali dengan diadopsinya Resolusi Dewan Keamanan PBB

1953 tahun 2005 untuk situasi di Darfur-Sudan dan Resolusi Dewan

Keamanan PBB 1970 tahun 2011 untuk situasi di Libya.

Pemberlakuan yurisdiksi Mahkamah Pidana Internasional terhadap situasi

di Darfur-Sudan dan Libya di atas bertentangan dengan asas pacta sunt

servanda, yang secara umum menyatakan tiap traktat atau perjanjian mengikat

Negara peserta dan harus dilaksanakan dengan niat baik. Sebagai

konsekuensinya, traktat atau perjanjian tidak dapat mengikat pihak-pihak yang

bukan Negara peserta. Pengakuan atas prinsip ini disebut sebagai prinsip

perjanjian yang dilakukan oleh pihak lain tidak memberikan keuntungan atau

kerugian terhadap pihak luar (res inter alios acta) sebagaimana dimuat dalam

pasal 34 Konvensi Wina 1969.

Berdasarkan uraian diatas penulis merasa tertarik membahas mengenai

Yurisdiksi Mahkamah Pidana Internasional (International Criminal Court)

Terhadap Negara Bukan Peserta Statuta Roma.

26

Situasion and case, www.icc-cpi.int

Page 13: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah · PDF fileInternasional) yang akan menjadi bagian penting dalam penegakan hukum pidana internasional dan perlindungan HAM internasional

13

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang diatas, maka untuk membatasi

permasalahan yang akan dibahas penulis merumuskan ke dalam rumusan

masalah sebagai berikut :

1. Bagaimana keterikatan Negara bukan peserta Statuta Roma terhadap

yurisdiksi Mahkamah Pidana Internasional?

2. Dapatkah yurisdiksi Mahkamah Pidana Internasional diberlakukan untuk

situasi di Darfur-Sudan dan Libya?

C. Keaslian Peneltian

Menurut data yang diperoleh berdasarkan pemeriksaan pada perpustakaan

Universitas Andalas (UNAND), penelitian mengenai Yurisdiksi Mahkamah

Pidana Internasional (International Criminal Court) terhadap Negara bukan

Peserta Statuta belum pernah dilakukan hingga tesis ini ditulis, namun

terdapat kemiripan judul dengan tulisan di dalam Jurnal Hukum No. 2 Vol. 14

April 2007: 314-332 oleh Sefriani Dosen Fakultas Hukum UII Yogyakarta

dengan judul Yurisdiksi ICC terhadap Negara non Anggota Statuta Roma

1998.

Pada penulisan tesis ini terdapat aspek pembeda yang mendasar baik dari

latar belakang, rumusan masalah dan pembahasan yang diangkat. Oleh karena

itu, tesis ini dapat dipertanggungjawabkan dan memiliki keaslian dan sesuai

dengan asas-asas keilmuan yang harus dijunjung tinggi yaitu jujur, rasional,

objektif serta terbuka. Hal ini merupakan implikasi etis dari proses

Page 14: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah · PDF fileInternasional) yang akan menjadi bagian penting dalam penegakan hukum pidana internasional dan perlindungan HAM internasional

14

menemukan kebenaran ilmiah sehingga dengan demikian penelitian ini dapat

dipertanggungjawabkan kebenarannya secara ilmiah, keilmuan dan terbuka

untuk kritikan yang sifatnya membangun.

D. Tujuan Penulisan

Bertitik tolak dari rumusan permasalahan diatas, maka tujuan penelitian ini

antara lain :

1. Untuk mengetahui dan menganalisis keterikatan Negara bukan peserta

Statuta Roma terhadap yurisdiksi Mahkamah Pidana Internasional.

2. Untuk mengetahui dan menganalisis pemberlakuan yurisdiksi Mahkamah

Pidana Internasional terhadap situasi di Darfur-Sudan dan Libya.

E. Manfaat Penulisan

Kegiatan penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat baik secara

teoritis maupun praktis, yaitu :

1. Manfaat teoritis

Hasil penelitian ini dapat dijadikan bahan kajian lebih lanjut bagi para

akademisi dan masyarakat umum, serta diharapkan dapat menambah

khasanah ilmu hukum secara umum dan hukum internasional secara

khusus.

2. Manfaat praktis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan bagi

akademisi dan masyarakat umum berkaitan dengan Yurisdiksi Mahkamah

Page 15: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah · PDF fileInternasional) yang akan menjadi bagian penting dalam penegakan hukum pidana internasional dan perlindungan HAM internasional

15

Pidana Internasional (International Criminal Court) Terhadap Negara

Bukan Peserta Statuta Roma.

F. Kerangka Teoritis dan Konseptual

1. Kerangka Teoritis

Terdapat beberapa pandangan yang membahas hubungan antara

hukum nasional dan hukum internasional. Diantaranya teori monisme

yang memandang hukum internasional dan hukum nasional masing-

masing merupakan dua aspek dari satu sistim hukum.27

Penganut teori ini

menganggap hukum internasional lebih unggul dari hukum nasional

dengan tujuan untuk menciptakan nilai-nilai universal kemanusiaan

sebagai landasan utama dalam norma-norma hukum internasional.28

Teori dualisme berpendapat hukum internasional dan hukum nasional

merupakan 2 (dua) sistim hukum yang berbeda secara intrinsik.29

Hal ini

karena sifat dasarnya berbeda dimana hukum internasional mengatur

hubungan antar negara dan hukum nasional mengatur hubungan intra-

negara dimana struktur hukum yang berbeda diterapkan di satu sisi oleh

negara dan di sisi lain antara Negara-negara, dimana ketentuan hukum

nasional memungkinkan pelaksanaan aturan hukum internasional.

Teori koordinasi beranggapan hukum internasional memiliki lapangan

berbeda dengan hukum nasional, sehingga keduanya memiliki keutamaan

27

Sugeng Istanto, Hukum Internasional, Universitas Atmajaya Yogyakarta, 2010, Hal. 7 28

Jawahir Thontowi, Op.cit., Hal.80 29

Sugeng Istanto, Op. Cit, Hal.8

Page 16: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah · PDF fileInternasional) yang akan menjadi bagian penting dalam penegakan hukum pidana internasional dan perlindungan HAM internasional

16

di lapangannya masing-masing. Oleh karena itu tidak ada yang lebih tinggi

ataupun lebih rendah satu dengan yang lain.30

Negara merupakan subjek paling utama dalam hukum internasional.

J.G Starke menyebut unsur terpenting dari suatu negara adalah kedaulatan.

Hal inilah yang membedakan antara negara dengan unit yang lebih kecil

atau negara bagian yang tidak menangani sendiri seluruh urusan luar

negerinya.31

Kedaulatan merupakan hasil terjemahan dari sovereignty (bahasa

inggris), sovereinete (bahasa prancis), sovranus (bahasa italia) yang

mempunyai arti kekuasaan tertinggi. 32

Konsep kedaulatan sebagai konsep

kekuasaan tertinggi menitikberatkan kepada domain kedaulatan, yakni

siapa yang memegang kekuasaan tertinggi. Ilmu hukum mengenal 4

(empat) teori atau ajaran mengenai siapa yang berdaulat dalam negara,

yaitu :

1. Teori kedaulatan Tuhan 33

Inti teori ini bahwa domain kekuasaan tertinggi berada di tangan

Tuhan. Dari pendekatan teologi di zaman abad pertengahan, teori ini

melahirkan Negara teokrasi sebagaimana yang dianut Thomas

Aquinas. Berdasarkan pandangan tersebut, Thomas Aquinas membagi

hukum menjadi empat macam : Lex aeterna (Hukum yang bersumber

30

Jawahir Thontowi, Op.cit., Hal.81 31

Dikutip melalui…Dewa Gede Atmadja, 2012, Ilmu Negara Sejarah Konsep Kenegaraan, Setara

Perss, Malang, Hal. 82 32

Yudha Bhakti Ardhiwisastra, 1999, Imunitas Kedaulatan Negara di Forum Pengadilan Negeri

Asing, Alumni, Bandung, Hal. 41 - 42 33

Dewa Gede Atmadja, .Op.Cit, Hal. 84 - 85

Page 17: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah · PDF fileInternasional) yang akan menjadi bagian penting dalam penegakan hukum pidana internasional dan perlindungan HAM internasional

17

dari tuhan), Lex devina (Hukum yang dapat dipahami oleh manusia),

Lex naturalis (norma-norma kehidupan yang berlaku secara

fundamental, universal serta berlaku abadi), Lex humana (bersumber

pada lex naturalis perwujudan dari principia secundaria).

2. Teori kedaulatan raja 34

Inti teori ini adalah raja itu wakil Tuhan dalam menyelenggarakan

atau memegang kekuasaan tertinggi. Dengan demikian, dalam kondisi

praktisnya kedaulatan Tuhan menjelma dalam kedaulatan raja.

Ajaran ini muncul setelah periode sekularisasi Negara dan hukum

eropa. Inti teorinya bahwa domain kekuasaan tertinggi tidak berada

pada Tuhan melainkan berada pada Negara itu sendiri. Negaralah yang

menciptakan hukum dan Negara satu-satunya sumber hukum sehingga

siapapun dalam semua urusan harus tunduk kepada Negara.

Menurut Koesnardi teori kedaulatan Negara merupakan kelanjutan

dari teori kedaulatan raja dalam susunan kedaulatan rakyat. Pengertian

Negara yang abstrak dikonkritkan dalam tubuh raja disebut

verkulpingtheori yang artinya negara menjelma dari tubuh raja.35

3. Teori kedaulatan hukum36

Teori ini dipelopori oleh Prof. Krabbe sebagai penyangkalan

terhadap teori kedaulatan Negara. Inti teori tersebut adalah hukum

kedudukannya lebih tinggi dari pada Negara. Oleh karena itu baik raja,

34

Ibid, Hal. 85 35

Dewa Gede Atmadja, .Op.Cit, Hal. 86 36

Loc.it

Page 18: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah · PDF fileInternasional) yang akan menjadi bagian penting dalam penegakan hukum pidana internasional dan perlindungan HAM internasional

18

penguasa maupun rakyat bahkan Negara dalam sikap, tingkah laku dan

perbuatannya harus sesuai dengan hukum.

4. Teori kedaulatan rakyat

Inti teori bahwa domain kekuasaan tertinggi berada di tangan

rakyat. Ini berarti bahwa kehendak rakyat adalah satu-satunya sumber

kekuasaan bagi setiap pemerintah. Dalam kaitan itu muncul adagium

“solus populi supremalex” yang artinya suara rakyat adalah suara

Tuhan. Jean Jack Rousseau menyebutkan ada 2 (dua) macam kehendak

rakyat yaitu : kehendak rakyat seluruhnya disebut “Volunte de Tous”,

kehendak mayoritas rakyat yang disebut “Volunte Generale”.37

Jean Bodin menganggap kedalautan sebagai ciri khusus dari Negara,

kedaulatan merupakan hal yang pokok dari setiap kesatuan berdaulat yang

disebut Negara.38

Tanpa kedaulatan, maka tidak ada Negara dan karenanya

kedaulatan merupakan kekuasaan mutlak dan abadi dari negara yang tidak

terbatas dan tidak dapat dibagi-bagi.

Lebih jauh lagi Bodin menyatakan bahwa tidak ada kekuasaan yang

lebih tinggi yang dapat membatasi kekuasaan Negara. Menurutnya

kedaulatan itu mengandung satu-satunya kekuasaan sebagai : 39

1. Asli, artinya tidak diturunkan dari sesuatu kekuasaan lain.

2. Tertinggi, tidak ada kekuasaan lain yang lebih tinggi yang dapat

membatasi kekuasaannya.

3. Bersifat abadi atau kekal.

37

Ibid, Hal. 87 38

Yudha Bhakti Ardhwisastra. Op. Cit. Hal. 41 39

Ibid Hal. 42

Page 19: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah · PDF fileInternasional) yang akan menjadi bagian penting dalam penegakan hukum pidana internasional dan perlindungan HAM internasional

19

4. Tidak dapat dibagi-bagi karena hanya ada satu kekuasaan tertinggi

saja.

5. Tidak dapat dipindahkan atau diserahkan kepada suatu badan lain

Kedaulatan sebagai kekuasaan tertinggi dimiliki oleh Negara, memang

menimbulkan kesan bertentangan dengan hukum internasional, dimana

hukum internasional sebagai suatu sistim yang mengatur hubungan antar

Negara. Hukum internasional tidak mungkin mengikat apabila Negara-

negara tidak mengakui adanya suatu kekuasaan lain yang lebih tinggi lagi

diatasnya. Paham kedaulatan yang demikian akan menghambat

perkembangan masyarakat internasional dan perkembangan hukum

internasional itu sendiri.

Kedaulatan sebagai kekuasaan tertinggi mengandung 2 (dua)

pembatasan. Pertama, bahwa kekuasaan itu terbatas pada batas-batas

wilayah Negara yang memiliki kekuasaan itu. Kedua, kekuasaan itu

berakhir apabila kekuasaan Negara lain dimulai.

Perbedaan penerapan kedaulatan Negara ada pada derajat yang

berbeda-beda antara satu Negara dengan Negara lain. Sebagian Negara

memiliki kekuasaan dan kebebasan lebih besar dari pada Negara lainnya.

Kenyataan ini menghadapkannya kepada perbedaan antara Negara

merdeka dengan Negara yang tidak memiliki kemerdekaan atau

kedaulatan.

Pada dasarnya walaupun setiap Negara memiliki kedaulatan, namun

negara juga memiliki hak dan kewajiban dalam hubungan internasional.

Page 20: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah · PDF fileInternasional) yang akan menjadi bagian penting dalam penegakan hukum pidana internasional dan perlindungan HAM internasional

20

Negara sebagai subjek hukum internasional memiliki hak-hak dan

kewajiban dasar. Hak- hak dasar Negara sebagai berikut :

a. Hak atas kemerdekaan dan self determination 40

Pasal 1 ayat 2 Piagam PBB : “ to develop friendly relations among

nations based on respect for the principle of equal rights and self-

determination of peoples, and to take other appropriate measures to

strengthen universal peace “

Dalam pasal 55 Piagam PBB : “with a view to the creation of

conditions of stability and well-being which are necessary for peaceful

and friendly relations among nations based on respect for the principle

of equal rights and self-determination of peoples….”

Dari ketentuan diatas disimpulkan sebagai hak untuk menciptakan

keadaan-keadaan yang tertib dan kemakmuran yang merupakan dasar

bagi terciptanya perdamaian dan hubungan antar negara.

b. Hak untuk melaksanakan yurisdiksi terhadap wilayahnya, orang dan

benda yang berada di dalam wilayahnya. Merupakan hak yang melekat

pada setiap Negara yang merdeka sebagai konsekuensi dari kedaulatan

yang dimilikinya.

c. Hak untuk mendapatkan kedudukan hukum yang sama. Hak ini

merupakan konsekuensi dari prinsip kedaulatan Negara, meskipun

dalam realitanya kondisi suatu Negara berbeda dengan Negara lain,

ada Negara kecil, Negara besar, Negara kaya dan Negara miskin.

40

Sefriani, Pengantar Hukum Internasional, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, Hal. 113-133

Page 21: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah · PDF fileInternasional) yang akan menjadi bagian penting dalam penegakan hukum pidana internasional dan perlindungan HAM internasional

21

d. Hak untuk menjalankan pertahanan diri sendiri sesuai atau kolektif

(self defense).

Kewajiban-kewajiban dasar negara sebagai berikut : 41

a. Kewajiban untuk tidak melakukan intervensi terhadap masalah-

masalah yang terjadi di Negara lain.

b. Kewajiban untuk tidak menggerakkan pergolakan sipil di Negara lain.

c. Kewajiban untuk memperlakukan semua orang yang berada di

wilayahnya dengan memperhatikan HAM.

d. Kewajiban untuk menjaga wilayahnya agar tidak membahayakan

perdamaian dan keamanan internasional.

e. Kewajiban untuk menyelesaikan sengketa secara damai.

f. Kewajiban untuk tidak menggunakan kekuatan dan ancaman senjata.

g. Kewajiban untuk tidak membantu terlaksananya penggunaan kekuatan

dan ancaman senjata.

h. Kewajiban untuk tidak mengakui wilayah-wilayah yang diperoleh

melalui cara-cara kekerasan.

i. Kewajiban untuk melaksanakan kewajiban internasional dengan itikad

baik.

j. Kewajiban untuk mengadakan hubungan internasional dengan Negara-

negara lain sesuai hukum internasional.

Berbeda dengan ketentuan dalam hukum nasional yang mengenal

adanya pembagian kekuasaan eksekutif, legislatif dan yudikatif. Dalam

41

Sefriani,Op.Cit, Hal. 138

Page 22: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah · PDF fileInternasional) yang akan menjadi bagian penting dalam penegakan hukum pidana internasional dan perlindungan HAM internasional

22

hukum internasional tidak ada badan yang mampu membuat hukum

internasional yang mengikat semua, atau sistem pengadilan yang tepat

dengan yurisdiksi komprehensif dan mewajibkan untuk memberikan

penafsiran hukum.42

Hal ini menjadikan keunikan tersendiri dalam

menemukan sumber hukum internasional. Dalam ketentuan pasal 38 ayat

1 Statuta International Court of Justice (ICJ) disebutkan:

the court, whose function is to decide in accordance with international

law such disputes as are submitted to it, shall apply :

i. International convention, whether general or particular,

esthablishing rules expressly recognized by contesting state

ii. International custom, as evidence of general practile practice

accepted as law

iii. The general pinciple of law recognazed by civiled nations

iv. Subject to the provision of article 59, judicial decision and the

teachings of the most highly qulified publicists of the various

nation, as subsidiary means for the determinations of rule of law

Sumber hukum internasional menempati kedudukan yang sangat penting

dan merupakan faktor yang menentukan dalam penyelesaian sengketa yang

terjadi dalam masyarakat internasional. Dari berbagai literatur dapat dilihat

penjelasan mengenai sumber hukum internasional tersebut.

1. Traktat/ perjanjian internasional

Traktat dalam pengertian luasnya adalah perjanjian antara pihak-pihak

peserta atau negara-negara di tingkat internasional. Pengaturan secara

umum mengenai perjanjian internasional terdapat dalam Konvensi Wina

1969 tentang hukum perjanjian internasional. Konvensi ini dibentuk

tanggal 23 Mei 1969 dan mulai berlaku efektif setelah diratifikasi 35

42

Malcolm N. Shaw QC, 2008, International Law, Sixth Edition, Cambrige University Press. Hal.

70

Page 23: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah · PDF fileInternasional) yang akan menjadi bagian penting dalam penegakan hukum pidana internasional dan perlindungan HAM internasional

23

negara sebagaimana diatur dalam pasal 84 Konvensi ini, yakni pada 27

Januari 1980.43

Selain Konvensi Wina 1969 tentang hukum perjanjian internasional,

juga terdapat pengaturan mengenai perjanjian internasional dalam

Konvensi Wina 1986 tentang hukum perjanjian antara Negara dan

organisasi internasional.

Secara fungsional perjanjian internasional dilihat dari sumber hukum,

maka perjanjian internasional dibedakan dalam dua golongan, yaitu:

treaty contracts dan law making treaties. Treaty contract adalah

perjanjian seperti suatu kontrak atau perjanjian dalam hukum perdata yang

mengakibatkan hak dan kewajiban antara pihak-pihak yang mengadakan

perjanjian itu saja, contoh perjanjian perbatasan dan perjanjian

perdagangan. Law making treaties adalah perjanjian internasional yang

meletakkan ketentuan-ketentuan atau kaidah-kaidah hukum bagi

masyarakat internasional secara keseluruhan, misalnya Konvensi Wina

1969 tentang Hukum Perjanjian Internasional dan Konvensi Hukum Laut

1982.44

2. Kebiasaan internasional

Pada waktu yang lalu, aturan perilaku tertentu muncul dan menentukan

apa yang boleh dan apa yang tidak. Aturan tersebut berkembang tanpa

disadari terus dilakukan dalam kelompok masyarakat. Kebiasaan

setidaknya pada tahap awal, tidak ditulis atau dikodifikasi, namun tetap

43

J.G Starke, 1992, Pengantar Hukum Internasional, Edisi Kesepuluh 2, Cetakan Keempat, Sinar

Grafika, Jakarta, Hal. 582 44

Yudha Bhakti Ardhiwisastra, 2003, Hukum Internasional, PT. Alumni Bandung, Hal. 107 - 108

Page 24: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah · PDF fileInternasional) yang akan menjadi bagian penting dalam penegakan hukum pidana internasional dan perlindungan HAM internasional

24

bertahan. Sebagai masyarakat berkembang, modernisasi aturan perilaku

dilakukan dengan pembentukan pranata hukum, seperti pengadilan dan

legislatif.

Kebiasaan Internasional didefinisikan sebagai bukti praktik umum

yang diterima sebagai hukum. Selama bertahun-tahun proses kodifikasi

hukum internasional oleh International Law Commision selama bertahun-

tahun hukum internasional berasal dari kebiasaan internasional. Banyak

yang menyebutkan bahwa perjanjian umum sebenarnya hanya kodifikasi

aturan hukum kebiasaan yang sudah ada. Penulis tertentu mengatakan

norma jus cogens dapat ditemukan dalam kebiasaan internasional.

Dalam perjanjian yang berisikan refleksi dari hukum kebiasaan maka

akan mengikat Negara bukan peserta, bukan karena ketentuan dalam

perjanjian tersebut, namun karena hal tersebut ditegaskan dalam aturan

hukum kebiasaan internasional. Demikian pula, Negara bukan peserta

dapat menerima ketentuan dalam perjanjian tertentu dapat menghasilkan

hukum kebiasaan, selalu tergantung pada sifat perjanjiannya, jumlah pihak

yang terlibat dan faktor lain yang relevan.45

Kemungkinan bahwa ketentuan dalam perjanjian dapat merupakan

norma dasar, bila digabungkan dengan opinio juris dapat menyebabkan

terciptanya hukum kebiasaan yang mengikat semua negara, tidak hanya

pihak dalam perjanjian asli, Hal ini sudah diterapkan oleh Mahkamah

Internasional pada North Sea Continental Shelf cases dan dianggap salah

45

Malchom N. Shaw, QC, Op.Cit Hal. 263

Page 25: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah · PDF fileInternasional) yang akan menjadi bagian penting dalam penegakan hukum pidana internasional dan perlindungan HAM internasional

25

satu metode dalam memformulasikan new rules of customary international

law.

Menurut the two element theory suatu kebiasaan internasional dapat

menjadi bagian dari norma hukum internasional apabila memenuhi 2 (dua)

syarat : 46

a. Perilaku itu haruslah berupa fakta dari praktek atau perilaku yang

secara umum telah dilakukan atau dipraktekkan oleh negara-negara

(the evidence of material fact)

b. Perilaku yang telah dipraktekkan secara umum tersebut, oleh negara-

negara atau masyarakat internasional telah diterima atau ditaati sebagai

perilaku yang memiliki nilai sebagai hukum yang dalam istilah

teknisnya dikenal sebagai opinio juris sive necessitatis.47

Negara bukan peserta hanya terikat pada isi pasal yang merupakan

kodifikasi hukum kebiasaan yang sudah berlaku dan hukum kebiasaan

baru (progressive development) : 48

a. Negara peserta akan terikat pada seluruh pasal perjanjian

b. Negara bukan peserta hanya terikat pada isi pasal yang merupakan

kodifikasi hukum kebiasaan yang sudah belaku (exiting customary

law) saja. Sekali lagi keterikatan negara peserta ini bukan karena

perjanjiannya melainkan karena hukum kebiasaannya

46

Jawahir Thontowi, Op.Cit, Hal 62 47

Hakim Negulesco dari Permanent Court of International Justice, mengatakan opinio juris sive

necessitatis adalah “ keyakinan bersama bahwa pengulangan tindakan itu merupakan akibat dari

suatu tindakan memaksa” Dikutip melalui J. G. Starke. Op. Cit. Hal. 48 48

Sefriani.Op.Cit.Hal.30-31

Page 26: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah · PDF fileInternasional) yang akan menjadi bagian penting dalam penegakan hukum pidana internasional dan perlindungan HAM internasional

26

c. Negara bukan peserta dapat pula terikat pada ketentuan yang

merupakan progressive development tersebut merupakan hukum

kebiasaaan baru (new customary).

3. Prinsip-prinsip hukum umum yang diakui oleh bangsa-bangsa beradab.

Sekumpulan peraturan hukum-hukum dari pelbagai bangsa dan negara

yang secara universal mengandung kesamaan. Berdasarkan asas ini,

tindakan apapun yang dilakukan oleh Negara atas seseorang atau lebih

dalam status apapun, tidak boleh melanggar ataupun bertentangan dengan

Hak Asasi Manusia.

Pada penulisan ini banyak dibahas mengenai hukum pidana

internasional. Dalam Statuta Roma beberapa pasal perjanjian bersumber

dari prinsip-pinsip hukum umum yaitu :

a. Nullum crimen sine lege 49

Seseorang tidak dapat bertanggungjawab secara pidana kecuali jika

tindakan tersebut pada waktu dilakukan merupakan suatu tindak

pidana

b. Nulla poena sine lege 50

Seseorang yang telah didakwa hanya dapat dijatuhi hukuman sesuai

dengan Statuta ini.

c. Non-retroactivity ratione personae 51

Tidak ada seorangpun bisa bertanggung jawab secara pidana

untuk suatu tindakan sebelum berlakunya Statuta ini

49

Pasal 22 Statuta Roma 50

Pasal 23 Statuta Roma 51

Pasal 24 Statuta Roma

Page 27: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah · PDF fileInternasional) yang akan menjadi bagian penting dalam penegakan hukum pidana internasional dan perlindungan HAM internasional

27

d. Individual criminal responsibility 52

Seseorang yang melakukan suatu kejahatan di dalam wilayah

yurisdiksi Mahkamah akan secara bertanggung jawab secara pribadi

dan dapat dihukum sesuai dengan Statuta ini.

e. Exclusion of jurisdiction over persons under eighteen 53

Mahkamah tidak mempunyai yurisdiksi untuk orang yang belum

berumur 18 (delapan belas) tahun pada saat terjadinya suatu kejahatan

f. Irrelevance of official capacity 54

Statuta ini akan berlaku kepada setiap orang tanpa melihat perbedaan

berdasarkan jabatannya dalam pemerintahan.

g. Responsibility of commanders and other superiors 55

Seorang komandan militer bertanggung jawab secara pidana untuk

kejahatan yang dilakukan oleh pasukan dibawah komando dan

kewenangannya, atau otoritas dan kewenangannya sebagai akibat dari

kegagalannya dalam mengendalikan pasukannya, dimana pasukannya

melakukan atau mencoba untuk melakukan suatu kejahatan; dan gagal

untuk melakukan segala tindakan yang diperlukan sesuai dengan

kekuasaannya untuk mencegah terjadinya atau untuk melaporkannya

kepada pihak-pihak yang berwenang untuk diadakan penyelidikan

52

Pasal 25 Statuta Roma 53

Pasal 26 Statuta Roma 54

Pasal 27 Statuta Roma 55

Pasal 28 Statuta Roma

Page 28: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah · PDF fileInternasional) yang akan menjadi bagian penting dalam penegakan hukum pidana internasional dan perlindungan HAM internasional

28

h. Non-applicability of statute of limitations 56

Kejahatan yang terjadi di dalam wilayah yurisdiksi Mahkamah tidak

tunduk pada batasan-batasan Statuta apapun.

i. Mental element 57

Seseorang akan bertanggung jawab secara pidana dan dapat dihukum

untuk suatu kejahatan jika dilakukan dengan niatan dan pengetahuan.

j. Grounds for excluding criminal responsibility 58

Mengecualikan tanggung jawab pidana jika pada saat orang tersebut

melakukan perbuatan dalam keadaan :

1. Menderita penyakit kejiwaan atau kecacatan.

2. Dalam keadaan keracunan.

3. Bertindak secara wajar untuk melindungi dirinya.

4. Diakibatkan oleh tekanan karena ancaman kematian atau

penganiyaan berat secara terus menerus.

k. Mistake of fact or mistake of law59

Suatu kesalahan hukum dimana suatu jenis tindakan adalah suatu

kejahatan di dalam wilayah yurisdiksi dari Mahkamah tidak akan

menjadi dasar untuk mengecualikan tanggungjawab pidana.

l. Superior orders and prescription of law60

Bahwa suatu kejahatan di dalam wilayah yurisdiksi Mahkamah telah

dilakukan oleh seseorang yang menerima perintah dari Pemerintah

56

Pasal 29 Statuta Roma 57

Pasal 30 Statuta Roma 58

Pasal 31 Statuta Roma 59

Pasal 32 Statuta Roma 60

Pasal 33 Statuta Roma

Page 29: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah · PDF fileInternasional) yang akan menjadi bagian penting dalam penegakan hukum pidana internasional dan perlindungan HAM internasional

29

atau seorang atasan, baik militer maupun sipir, tidak membebaskan

orang tersebut dari tanggung jawab pidana

4. Keputusan-keputusan pengadilan dan ajaran para sarjana yang terkemuka

dari berbagai negara sebagai sumber tambahan untuk menetapkan aturan

kaidah hukum.

Dalam hukum internasional tidak ada tempat untuk menerapkan

doktrin preseden, akan tetapi putusan pengadilan telah mendapatkan

tempat bagi para penulis hukum internasional sebagai “authoritative

decisions”.

Keputusan pengadilan tidak memiliki kekuatan yang mengikat kecuali

di antara para pihak dan dalam hal kasus di bawah pertimbangan,

Mahkamah telah berupaya untuk mengikuti penilaian sebelumnya dan

menyisipkan ukuran kepastian dalam proses: sehingga sementara doktrin

preseden seperti yang dikenal dalam common law, dimana putusan

pengadilan tertentu harus diikuti oleh pengadilan lain, tidak ada dalam

hukum internasional.61

Dalam pasal 38 ayat 1 Statuta Internastional Court of Justice, putusan

pengadilan untuk dimanfaatkan bukan sebagai sumber hukum umum yang

sebenarnya. Pasal 59 dari Statuta Mahkamah Internasional dinyatakan “the

decision of the court has no binding force except between the parties and

in respect of the particular case”

61

Malcom. N. Shaw, QC, Op. cit. Hal. 110

Page 30: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah · PDF fileInternasional) yang akan menjadi bagian penting dalam penegakan hukum pidana internasional dan perlindungan HAM internasional

30

Tulisan atau pendapat para ahli tidak sendirinya menjadi kaidah dalam

hukum pidana internasional positif. Pendapat-pendapat itu sepanjang

memenuhi rasa keadilan, kepatutan ataupun kelayakan secara umum dapat

mengkristal menjadi perilaku masyarakat luas karena sesuai dengan rasa

keadilan, kepatutan dan kelayakan menurut pandangan masyarakat

internasional. 62

Dalam perkembangan hukum internasional terdapat beberapa teori yang

mengemuka terkait dengan perjanjian internasional :

a. Pacta Sunt Servanda

Kewajiban dasar dari perjanjian yang ditemukan dalam hukum

kebiasaan internasional adalah mengikatnya perjanjian tersebut bagi para

pihak.63

Asas pacta sunt servanda merupakan salah satu norma dasar

dalam hukum perjanjian, dan erat kaitannya dengan asas itikad baik untuk

menghormati atau mentaati ketentuan dalam perjanjian.

Grotius mengatakan bahwa diantara asas-asas hukum alam yang

melandasi sistem hukum internasional, pacta sunt servanda merupakan

asas paling fundamental. Pacta sunt servanda yang merupakan bagian dari

hukum kodrat yang menjadi dasar bagi konsensus. Anzilotti penganut

aliran dualisme berkebangsaan Italia menguatkan pandangan Grotius dan

meletakan dasar daya ikat hukum internasional pada asas pacta sunt

servanda.64

62

I Wayan Parthiana. Op.cit, Hal.53 63

Malchom N. Shaw, QC, Op. Cit. Hal. 94 64

Yudha Bhakti Ardhiwisastra, 2003, Op.Cit, Hal. 72.

Page 31: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah · PDF fileInternasional) yang akan menjadi bagian penting dalam penegakan hukum pidana internasional dan perlindungan HAM internasional

31

b. Pacta tertiis nec nocent nec prosunt

Hubungan antara Negara bukan peserta dan perjanjian didefinisikan

oleh prinsip umum pacta tertiis nec nocent nec prosunt. Prinsip

fundamental ini telah diakui dalam praktek hubungan internasional, dan

keberadaannya tidak pernah dipertanyakan. Hal tersebut tercermin dalam

sejumlah kasus, misalnya dalam German Interest in Polish Upper Silesia

Case, dimana Permanent Court of International mengamati bahwa

perjanjian hanya menciptakan hukum antara Negara-negara yang menjadi

pihak dalam perjanjian itu, jika terdapat keraguan, tidak ada hak yang

dapat disimpulkan dari dalam mendukung Negara ketiga. 65

c. Jus cogens

Jus Cogens yaitu serangkaian prinsip atau norma yang tidak dapat

diubah (peremptory norms) yang tidak boleh diabaikan, dan yang

karenanya dapat berlaku untuk membatalkan suatu traktat atau perjanjian

antar Negara-negara dalam hal perjanjian atau traktat itu tidak sesuai

dengan salah satu prinsip atau norma tersebut. 66

Dalam Pasal 53 Konvensi Wina 1969 :

“a treaty is void if, at the time of its conclusion, it conflicts with a

peremptory norm of general international law. For the purposes of the

present Convention, a peremptory norm of general international law is

a norm accepted and recognized by the international community of

States as a whole as a norm from which no derogation is permitted

and which can be modified only by a subsequent norm of general

international law having the same character”

65

Ugo Villani, 2002, The Security Council Authorization of Enforcement Action by Regional

Organization, Max Planck Yearbook of United Nation, Volume 6, Netherlands, Hal 38-39 66

J.G Starke, Op.Cit. Hal 66

Page 32: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah · PDF fileInternasional) yang akan menjadi bagian penting dalam penegakan hukum pidana internasional dan perlindungan HAM internasional

32

Melihat definisi umum dari jus cogens dalam Konvensi Wina tersebut,

dapat diidentifikasi prasyarat yang diperlukan untuk norma dalam hukum

internasional untuk menjadi norma jus cogens, antara lain : 67

a. Merupakan norma dasar hukum internasional.

Norma dasar hukum internasional umum adalah hukum internasional

yang mengikat sebagian besar negara. Norma dasar dalam hukum

internasional merupakan hukum yang mengatur masyarakat

internasional pada umumnya, dimana cakupannya lebih luas dari

hukum kebiasaan internasional. Norma dasar ini berbeda dengan

hukum internasional regional, yang hanya mengikat negara dari

wilayah geografis yang diidentifikasi dan hukum internasional tertentu

yang hanya mengikat beberapa negara.

b. Norma harus diterima dan diakui oleh komunitas internasional secara

keseluruhan

Penerimaan dan pengakuan oleh masyarakat internasional dapat baik

yang tertulis maupun tidak tertulis. Sebelum norma dapat dianggap

sebagai norma jus cogens, norma tersebut harus diterima dan diakui

oleh komunitas internasional secara keseluruhan, dalam beberapa hal

proses pembentukannya menyerupai hukum kebiasaan internasional.

c. Norma diangkat dari prinsip-prinsip hukum umum yang diakui bangsa-

bangsa beradab.

67

Rafael Nieto Navia, International Peremptory Norms (Jus Cogens) and International

Humanitarian Law, Hal. 10 - 11

Page 33: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah · PDF fileInternasional) yang akan menjadi bagian penting dalam penegakan hukum pidana internasional dan perlindungan HAM internasional

33

Secara umum norma jus cogens dapat ditarik dari sumber hukum

internasional sebagai berikut:68

1. Perjanjian bersifat universal.

Pada dasarnya perjanjian tidak mengikat Negara bukan peserta

tanpa persetujuan mereka. Pengecualian untuk prinsip ini adalah jika

konvensi atau perjanjian dibuat untuk tujuan yang lebih penting. Jika

perjanjian atau konvensi hanya mengatur norma yang ada yang sudah

mengikat pada Negara sebagai hukum kebiasaan internasional, Negara

bukan peserta pada perjanjian tersebut mungkin tetap terikat oleh

ketentuan yang relevan prinsip hukum umum.

Demikian pula, jika ketentuan perjanjian atau konvensi tersebut

memenuhi kriteria lain untuk diakui sebagai jus cogens, Negara bukan

peserta perjanjian juga akan terikat dengan persyaratan dalam

perjanjian.

2. Kebiasaan internasional.

Jus cogens dapat didefinisikan secara umum sebagai kebijakan

publik yang tidak dapat dikurangi. Mengingat arti penting dan memang

karena seringkali hal tersebut menyangkut masalah-masalah ketertiban

umum internasional dapat dinyatakan bahwa setiap negara memiliki

kepentingan hukum.

68

Rafael Nieto Navia, Op.Cit Hal. 11-12

Page 34: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah · PDF fileInternasional) yang akan menjadi bagian penting dalam penegakan hukum pidana internasional dan perlindungan HAM internasional

34

Istilah jus cogens juga ditemukan dalam literatur hukum

menyangkut kejahatan internasional. M. Cherif Bassiouni membagi

tingkatan kejahatan internasional : 69

1. Kejahatan internasional yang disebut dengan “international

crimes” adalah bagian dari jus cogens. Tipikal dan karakter

“international crimes” berkaitan dengan perdamaian dan keamanan

manusia serta nilai-nilai kemanusiaan yang fundamental. Termasuk

dalam “international crimes” antara lain genosida, kejahatan

terhadap kemanusiaan dan kejahatan perang

2. Kejahatan internasional yang disebut dengan “international delict”.

Tipikal dan karakter “international delict” berkaitan dengan

kepentingan internasional yang dilindungi meliputi lebih dari satu

negara. Termasuk dalam “international delict” adalah pembajakan

pesawat udara, pembiayaan terorisme, perdagangan obat-obatan

terlarang secara melawan hukum, dan kejahatan terhadap petugas

PBB.

3. Kejahatan internasional yang disebut dengan “international

infraction”. Dalam hukum pidana internasional secara normatif

“international infraction” tidak termasuk “international

crimes”dan “international delict”. Kejahatan yang tercakup dalam

“international infraction” antara lain pemalsuan dan peredaran

uang palsu serta penyuapan terhadap pejabat publik asing.

69

Dikutip melalui…Eddy OS Hiariej, 2010, Pengadilan atas Beberapa Kejahatan Serius

Terhadap HAM, Penerbit Erlangga, Jakarta, Hal. 3-4

Page 35: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah · PDF fileInternasional) yang akan menjadi bagian penting dalam penegakan hukum pidana internasional dan perlindungan HAM internasional

35

Beberapa hal yang dapat dipergunakan sebagai pertimbangan untuk

mencapai kesimpulan bahwa kejahatan yang termasuk international

crimes merupakan bagian dari jus cogens, yaitu : 70

1. Pernyataan internasional, atau apa yang bisa disebut internasional

opinio juris, mencerminkan pengakuan bahwa kejahatan ini dianggap

bagian dari hukum kebiasaan.

2. Bahasa dalam preamble atau ketentuan lainnya dari perjanjian yang

berlaku untuk kejahatan-kejahatan yang menunjukkan statusnya

kejahatan yang lebih tinggi dalam hukum internasional.

3. Jumlah besar negara yang telah meratifikasi perjanjian yang berkaitan

dengan kejahatan-kejahatan ini.

4. Penyelidikan internasional ad hoc dan penuntutan terhadap pelaku

kejahatan tersebut.

Dua faktor penting yang menetapkan status kejahatan tertentu yang

merupakan bagian dari jus cogens, yaitu ancaman terhadap perdamaian

dan keamanan umat manusia dan perilaku atau konsekuensi yang

mengejutkan oleh nurani kemanusiaan.71

Disamping itu 3 (tiga) pertimbangan tambahan harus diperhatikan

dalam menentukan apakah suatu kejahatan internasional tertentu telah

mencapai status jus cogens yaitu : 72

70

M. Cherif Bassiouni, 1996, From Versailles to Rwanda: The Need to Establish a Permanent

International Criminal Court, 10 HARV. HUM. RTS. J. 1, 11 71

M. Cherif Bassiouni, 1997, International Crimes Jus Cogens and Obligatio Erga Omnes, Law

and Contemporary Problems, Vol. 59 No. 4, Hal 68 72

Ibid. Hal. 70

Page 36: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah · PDF fileInternasional) yang akan menjadi bagian penting dalam penegakan hukum pidana internasional dan perlindungan HAM internasional

36

1. Evolusi hukum tentang sejarah pengaturan kejahatan tersebut.

Banyaknya instrumen hukum yang ada, merupakan bukti kecaman dan

larangan kejahatan tertentu

2. Jumlah negara yang telah memasukkan larangan yang diberikan dalam

hukum nasional mereka.

3. Jumlah penuntutan internasional dan nasional untuk kejahatan yang

diberikan dan bagaimana penanganan kejahatan tersebut.

Norma jus cogens sering disandingkan dengan obligatio erga omnes.

Menurut International Court of Justice, kriteria utama obligatio erga

omnes adalah kewajiban negara terhadap masyarakat internasional secara

keseluruhan. Hubungan antara jus cogens dan obligatio erga omnes tidak

pernah jelas diartikulasikan oleh Permanent Court International Justice

(PCIJ) dan International Court of Justice, maupun oleh yurisprudensi

pengadilan.73

Suatu kejahatan menjadi bagian jus cogens ketika telah diterima secara

universal, melalui praktek yang konsisten disertai dengan opinio juris 74

,

oleh sebagian besar negara. Dengan demikian, prinsip kedaulatan teritorial

telah meningkat ke tingkat yang lebih tinggi karena semua negara telah

menyetujui hak negara untuk melaksanakan yurisdiksi teritorial eksklusif.

73

M. Cherif Bassiouni, Op. Cit. Hal. 72 74

keyakinan bahwa tindakan negara wajib secara hukum, adalah faktor yang mengubah

penggunaan menjadi kebiasaan dan menjadikan itu bagian dari aturan hukum internasional...lihat

Malcom N. QC Shaw. Op. Cit, Hal. 74

Page 37: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah · PDF fileInternasional) yang akan menjadi bagian penting dalam penegakan hukum pidana internasional dan perlindungan HAM internasional

37

Bagian klasik obligatio erga omnes terdapat dalam 2 (dua) paragraf

dari Keputusan International Court of Justice dalam Barcelona Traction

case: 75

“When a State admits into its territory foreign investments or foreign

nationals, whether natural or juristic persons, it is bound to extend to

them the protection of the law and assumes obligations concerning the

treatment to be afforded them. These obligations, however, are neither

absolute nor unqualified. In particular, an essential distinction should

be drawn between the obligations of a State towards the international

community as a whole, and those arising vis-à-vis another State in the

field of diplomatic protection. By their very nature the former are the

concern of all States. In view of the importance of the rights involved,

all States can be held to have a legal interest in their protection; they

are obligations erga omnes

“Such obligations derive, for example, in contemporary international

law, from the outlawing of acts of aggression, and of genocide, as also

from the principles and rules concerning the basic rights of the human

person, including protection from slavery and racial discrimination.

Some of the corresponding rights of protection have entered into the

body of general international law”

Dari uraian diatas dapat dilihat bahwa obligatio erga omnes

merupakan kewajiban yang berasal dari hukum internasional kontemporer

seperti melarang tindakan agresi, dan genosida, prinsip-prinsip dan aturan

mengenai hak-hak dasar manusia termasuk perlindungan dari perbudakan

dan diskriminasi rasial. Beberapa hak yang sesuai perlindungan telah

masuk dalam bagian hukum internasional umum.

2. Kerangka Konseptual

Konsep adalah definisi operasional dari berbagai istilah yang

dipergunakan dalam tulisan ini. Yurisdiksi secara umum dapat diartikan

75

Barcelona Traction , Light and Power Company, Limited, Second Phase, Judgment, I.C.J.

Reports 1970, Hal. 32, paras. 33–4

Page 38: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah · PDF fileInternasional) yang akan menjadi bagian penting dalam penegakan hukum pidana internasional dan perlindungan HAM internasional

38

sebagai kewenangan hukum terhadap orang, badan atau peristiwa tertentu

dalam lingkup territorial tertentu. Mahkamah Pidana Internasional

(International Criminal Court) adalah pengadilan pidana internasional

permanen yang didirikan berdasarkan Statuta Roma dan memiliki

yurisdiksi terhadap para pelaku kejahatan yang menjadi yurisdiksi. Negara

bukan peserta Statuta Roma adalah Negara yang tidak mengikatkan diri

terhadap ketentuan-ketentuan Statuta Roma.

G. Metode Penelitian

Metode penelitian merupakan cara untuk memperoleh data yang akurat,

lengkap, serta dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah sehingga tujuan

penelitian dapat dicapai. Metode penelitian merupakan faktor yang sangat

penting dalam menunjang proses penyelesaian suatu permasalahan yang akan

dibahas sehingga akan diperoleh hasil yang bersifat ilmiah dan mempunyai

nilai validitas yang tinggi serta mempunyai tingkat rehabilitas yang besar.

1. Metode pendekatan

Kajian penelitian ini bersifat yuridis normatif sebagai pendekatan

utama, dengan melihat hukum internasional sebagai kaidah/nirma dan

prinsip-prinsip hukum umum dalam penegakan hukum pidana

internasional.

Pendekatan penelitian yang digunakan adalah pendekatan kasus (case

approach), dimana beberapa kasus ditelaah untuk referensi bagi suatu isu

Page 39: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah · PDF fileInternasional) yang akan menjadi bagian penting dalam penegakan hukum pidana internasional dan perlindungan HAM internasional

39

hukum.76

Sehubungan dengan topik penelitian ini, maka peneliti akan

mendasarkan pada ketentuan dan prinsip-prinsip umum dalam hukum

perjanjian internasional dan hukum pidana internasional. Ketentuan-

ketentuan tersebut dapat berupa konvensi yang telah disepakati oleh

negara-negara sebagai hasil dari perundingan atau konferensi internasional

maupun berbagai keputusan (resolusi) dari Perserikatan Bangsa-Bangsa

maupun organ-organ dibawahnya. Ketentuan ini kemudian dikaitkan

dengan penerapan yurisdiksi Mahkamah Pidana Internasional untuk situasi

di Darfur-Sudan dan Libya.

2. Spesifikasi Penelitian

Sifat dari penelitian ini adalah deskriptif analitis yang mana melalui

penelitian ini akan diperoleh gambaran utuh perihal Yurisdiksi Mahkamah

Pidana Internasional (International Criminal Court) Terhadap Negara

Bukan Peserta Statuta.

3. Jenis dan sumber Data

Pada penelitian yuridis normatif, jenis data yang dipergunakan adalah

data sekunder 77

, yang diperoleh dari data kepustakaan. Data kepustakaan

menjadi dua yaitu :

a. Bahan hukum primer adalah bahan yang dapat diperoleh langsung

oleh penulis dalam hal ini adalah konvensi-konvensi mengenai Hukum

Perjanjian Internasional dan Hukum Pidana Internasional yang

bersangkutan terhadap permasalahan yang dibahas, yaitu :

76

Peter Mahmud Marzuki, 2005, Penelitian Hukum, Jakarta: Prenada Media Grup, Jakarta, Hal.94. 77

Ibid, Hal. 24

Page 40: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah · PDF fileInternasional) yang akan menjadi bagian penting dalam penegakan hukum pidana internasional dan perlindungan HAM internasional

40

1. International Military Tribunal for Far East Charter

2. Charter and Judgment of the Nurmberg Tribunal

3. Konvensi Pencegahan dan Penghukuman Kejahatan Genosida

1948

4. Konvensi Jenewa 1949 tentang Hukum Perang

5. Konvensi Wina 1969 Tentang Hukum Perjanjian Internasional

6. Konvensi Wina 1986 Tentang Hukum Perjanjian Internasional

antara Negara dan Organisasi Internasional

7. United Nations of Charter

8. Statute of The International Criminal Tribunal For The Former

Yugoslavia

9. Statute of The International Tribunal for Rwanda

10. Statuta Roma 1998 Tentang Mahkamah Pidana Internasional.

b. Bahan hukum sekunder adalah bahan yang diperoleh secara tidak

langsung dalam hal ini adalah melalui internet, jurnal-jurnal nasional

dan internasional serta dari buku-buku mengenai Hukum Pidana

Internasional dan Hukum Perjanjian internasional.

c. Bahan hukum tersier, yaitu bahan hukum yang memberikan petunjuk

maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder

seperti:

1. Kamus Besar Bahasa Indonesia

2. Kamus Indonesia-Inggris

3. Black’s Law Dictionary

Page 41: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah · PDF fileInternasional) yang akan menjadi bagian penting dalam penegakan hukum pidana internasional dan perlindungan HAM internasional

41

4. Metode Pengumpulan Data

Untuk memperoleh data-data yang diperlukan dalam penelitian ini

disesuaikan dengan metode pendekatan dan jenis data yang digunakan

dalam penelitian ini. Oleh karena itu, metode pengumpulan data yang

digunakan dalam penelitian ini adalah dengan studi dokumen.

5. Metode Analisis Data

Pada penelitian yuridis normatif yang hanya mengenal data sekunder yang

terdiri dari bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum

tersier, maka analisis data tidak dapat dilepaskan dari berbagai penafsiran.

78 Penafsiran yang dipergunakan dalam penulisan ini adalah penafsiran

sejarah yaitu dengan menelaah sejarah hukum atau menelaah pembuatan

suatu ketentuan yang diatur dalam perjanjian internasional khususnya yang

berkaitan dengan pidana internasional.

H. Sistematika Penulisan

Agar penulisan ini lebih terarah dan mudah dipahami, maka penulis membuat

sistematika sebagai berikut :

BAB I PENDAHULUAN, terdiri dari Latar Belakang Masalah, Rumusan

Masalah, Tujuan Penelitian, Manfaat Penelitian, Kerangka Teoritis dan

Konseptual, Metode Penelitian, dan Sistematika Penulisan.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA, terdiri dari Tinjauan Umum Tentang

Perjanjian Internasional, Tinjauan Umum tentang Negara Bukan Peserta

78

Amiruddin Cs, 2012, Pengantar Metode Penelitian Hukum, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta,

, Hal. 163

Page 42: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah · PDF fileInternasional) yang akan menjadi bagian penting dalam penegakan hukum pidana internasional dan perlindungan HAM internasional

42

dalam Perjanjian Internasional, Tinjauan Umum tentang Mahkamah Pidana

Internasional.

BAB III HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN, terdiri dari

Keterikatan Negara bukan peserta peserta Statuta Roma terhadap yurisdiksi

Mahkamah Pidana Internasional dan Pemberlakuan yurisdiksi Mahkamah

Pidana Internasional terhadap situasi di Darfur-Sudan dan Libya.

BAB IV PENUTUP, yang terdiri dari kesimpulan dan saran-saran atau

rekomendasi

Page 43: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah · PDF fileInternasional) yang akan menjadi bagian penting dalam penegakan hukum pidana internasional dan perlindungan HAM internasional

43

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Tinjauan Umum Tentang Perjanjian Internasional

1. Pengertian Perjanjian Internasional

Perkembangan hubungan masyarakat internasional cenderung semakin

tidak mengenal batas. Baik hubungan negara dengan negara, negara

dengan organisasi internasional, bahkan individu juga mengambil peran

dalam hubungan internasional dewasa ini.

Intensitas hubungan internasional pada akhirnya menimbulkan

kesadaran masyarakat internasional bahwa kebiasaan yang dipergunakan

selama ini dalam hubungan internasional tidak dapat dipergunakan sebagai

dasar untuk menyelesaikan berbagai permasalahan yang timbul. Maka dari

itu pentingnya suatu norma yang mengatur bagaimana hubungan dalam

masyarakat internasional.

Beberapa defenisi perjanjian internasional dapat dilihat dari berbagai

sumber. Dalam Black Law’s Dictionary : 79

1. treaty is a compact made between two or more independent nations

with a view to the public welfare

2. an agreement, league, or contract between two or more nations or

sovereigns, formally signed by commissioners properly authorized,

and solemnly ratified by the several sovereigns or the supreme power

of each state

3. a "treaty" is not only a law but also a contract between two nations

and must, if possible, be so construed as to give full force and effect to

all its parts

79

Henry Campbell Black, M. A, 1968, Black's Law Dictionary, Definitions of the Terms and

Phrases of American and English Jurisprudence, Ancient and Modern, St. Paul, Minn. West

Publishing Co, Revised Fourth Edition, Hal. 1673 - 1674

Page 44: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah · PDF fileInternasional) yang akan menjadi bagian penting dalam penegakan hukum pidana internasional dan perlindungan HAM internasional

44

Pengaturan secara umum tentang perjanjian internasional dapat

ditemukan dalam Konvensi Wina 1969 tentang Hukum Perjanjian

Internasional dan Konvensi Wina 1986 tentang Hukum Perjanjian antara

Negara dan Organisasi Internasional.

Hubungan Konvensi Wina 1969 dan Konvensi Wina 1986 yakni

hubungan negara-negara tersebut di bawah perjanjian antara dua atau lebih

Negara dan satu atau lebih organisasi internasional akan diatur oleh

Konvensi Wina 1986.80

Ditemukan beberapa defenisi perjanjian dalam kedua konvensi

tersebut. Dalam ketentuan Pasal 2 ayat 1 (a) Konvensi Wina 1969 :

“treaty” means an international agreement concluded between states

in written form and governed by international law, whether embodied

in a single instrument or in two or more related instruments and

whatever its particular designation;

Dalam Pasal 2 ayat 1 Konvensi Wina 1986 :

“treaty” means an international agreement governed by international

law and concluded in written form:

(i) between one or more States and one or more international

organizations; or

(ii) between international organizations,

whether that agreement is embodied in a single instrument or in

two or more related instruments and whatever its particular

designation;

John O’Brian merangkum beberapa prinsip yang menjadi dasar dari

traktat atau perjanjian internasional: 81

80

Pasal 73 Konvensi Wina 1986 81

Jawahir Thontowi,Op.cit. Hal. 56 - 57

Page 45: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah · PDF fileInternasional) yang akan menjadi bagian penting dalam penegakan hukum pidana internasional dan perlindungan HAM internasional

45

1. Muncul diakibatkan persetujuan.

2. Negara yang memberikan persetujuan untuk memberlakukannya

sebagaimana yang diinginkan oleh traktat terhadap pihak lain.

3. Dalam hal traktat tersebut mengkodifikasi kebiasaan, maka Negara-

negara peserta terikat oleh traktat yang menurut prinsip-prinsip umum.

4. Dalam hal bukan Negara peserta, maka traktat tetap mengikat berdasar

pada alasan kewajiban muncul sebagai akibat dari kebiasaan.

5. Traktat multilateral pada umumnya dibentuk dibawah International

Law Commision, yang tujuan untuk terciptanya pembentukan hukum

internasional yang progresif, yang tentunya melibatkan kodifikasi atas

hukum kebiasaan.

Berdasarkan jumlah Negara yang menjadi pesertanya perjanjian

internasional dapat dibagi menjadi :

a. Perjanjian bilateral (bipartite treaty) yaitu perjanjian Internasional

yang pihak-pihak atau Negara pesertanya hanya terdiri dari dua Negara

saja. Perjanjian bilateral hampir disemua hal hanya membentuk apa

yang disebut hukum tertentu atau hukum khusus yang berbeda dengan

hukum umum yang membentuk hukum internasional bagi dua

penandatangan dan tentu saja tidak menimbulkan hukum yang bersifat

universal yang berlaku bagi semua negara.

b. Perjanjial multilateral (multipartite) yaitu perjanjian Internasional yang

pihak-pihak atau Negara pesertanya pada perjanjian tersebut lebih dari

dua Negara, yang mungkin dibuat dalam kerangka baik regional.

Page 46: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah · PDF fileInternasional) yang akan menjadi bagian penting dalam penegakan hukum pidana internasional dan perlindungan HAM internasional

46

2. Proses dan Dampak Pembentukan Perjanjian Internasional

Perjanjian dapat disusun antara negara atau pemerintahan atau kepala

negara atau instansi pemerintah yang memiliki akreditasi atau kewenangan

yang diberikan oleh negara yang mengutusnya. Ketentuan tersebut diatur

dalam pasal 7 (1) ayat a dan b Konvensi Wina 1969 :

(a) he produces appropriate full powers; or

(b) it appears from the practice of the States concerned or from other

circumstances that their intention was to consider that person as

representing the State for such purposes and to dispense with full

powers.

Dalam pasal 7 (2) Konvensi Wina 1969 terdapat ketentuan yang

mengatur beberapa orang yang tidak memerlukan akreditasi untuk

mewakili negaranya :

(a) heads of State, Heads of Government and Ministers for Foreign

Affairs, for the purpose of performing all acts relating to the

conclusion of a treaty;

(b) heads of diplomatic missions, for the purpose of adopting the text of a

treaty between the accrediting State and the State to which they are

accredited;

(c) representatives accredited by States to an international conference or

to an international organization or one of its organs, for the purpose

of adopting the text of a treaty in that conference, organization or

organ

Tugas dari para perwakilan negara tersebut : 82

“purpose of adopting or

authenticating the text of a treaty or for the purpose of expressing the

consent of the State to be bound by a treaty”

Dengan melihat tugas dari para pejabat tersebut dalam mewakili

negara tersebut dapat kita lihat gambaran umum mengenai proses

pembentukan perjanjian internasional :

82

Pasal 7 ayat 1 Konvensi Wina 1969

Page 47: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah · PDF fileInternasional) yang akan menjadi bagian penting dalam penegakan hukum pidana internasional dan perlindungan HAM internasional

47

a. Adoption of the text 83

Adopsi teks perjanjian adalah bentuk persetujuan semua negara yang

terlibat dalam penyusunan perjanjian internasional, untuk konferensi

internasional proses adopsi teks perjanjian dapat dilakukan jika

tercapai dua pertiga dari negara yang terlibat, kecuali ditentukan lain

oleh konfrensi tersebut.

b. Authentication of the text 84

Teks perjanjian ini ditetapkan sebagai otentik dan definitif dengan

prosedur seperti dapat diberikan dalam teks atau disepakati oleh negara

berpartisipasi dalam pembuatannya perjanjian tersebut.

c. Consent to be bound 85

Untuk terikat dengan sebuah perjanjian, persetujuan dari negara untuk

terikat pada perjanjian dapat dinyatakan dengan tanda tangan,

pertukaran instrumen merupakan sebuah perjanjian, ratifikasi,

penerimaan, persetujuan atau aksesi, atau dengan cara lain yang

disepakati

3. Peran Negara dalam Perjanjian Internasional

Dalam perjanjian internasional, negara dapat berperan sebagai negara

pihak atau Negara bukan pihak. Pengertian negara pihak (party) dapat

dilihat dalam Pasal 2 (g) Konvensi Wina 1969 : “Party means a State

83

Pasal 9 Konvensi Wina 1969 84

Pasal 10 Konvensi Wina 1969 85

Pasal 11 Konvensi Wina 1969

Page 48: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah · PDF fileInternasional) yang akan menjadi bagian penting dalam penegakan hukum pidana internasional dan perlindungan HAM internasional

48

which has consented to be bound by the treaty and for which the treaty is

in force”

Sedangkan pengertian pihak (party) juga ditemukan dalam pasal 2 (g)

Konvensi Wina 1986 :“party” means a State or an international

organization which has consented to be bound by the treaty and for which

the treaty is in force;

Melihat dari pengertian diatas, maka Negara pihak adalah Negara yang

menyatakan terikat pada ketentuan yang diatur dalam perjanjian

internasional. Bentuk tindakan yang menyatakan suatu Negara terikat pada

perjanjian internasional, yaitu :

1. Penandatanganan (Signatured) 86

Persetujuan dari Negara untuk terikat oleh perjanjian dinyatakan oleh

tanda tangan perwakilan apabila:

a. Perjanjian menyatakan bahwa tanda tangan akan memiliki efek

mengikatnya perjanjian.

b. Jika tidak ditetapkan, negara yang terlibat negosiasi sepakat bahwa

tanda tangan harus memiliki efek terikatnya negara dalam

perjanjian internasional.

c. Efek tanda tangan muncul dari kekuatan penuh perwakilannya.

86

Pasal 12 ayat 1 Konvensi Wina 1969

Page 49: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah · PDF fileInternasional) yang akan menjadi bagian penting dalam penegakan hukum pidana internasional dan perlindungan HAM internasional

49

2. Pertukaran instrument-instrument (exchange of instruments

constituting a treaty) :87

Persetujuan dari Negara untuk terikat oleh perjanjian didasari oleh

instrumen yang dipertukarkan apabila instrumen menetapkan bahwa

pertukaran tersebut akan memiliki efek mengikatnya perjanjian

internasional atau jika negara-negara itu sepakat bahwa pertukaran

instrumen dinyatakan sebagai syarat mengikatnya perjanjian

internasional

3. Ratification, acceptance or approval 88

Persetujuan untuk terikat dengan sebuah perjanjian yang diungkapkan

oleh ratifikasi, penerimaan atau persetujuan

1. Persetujuan dari negara untuk terikat dengan perjanjian yang

diungkapkan oleh ratifikasi ketika:

a. Perjanjian menentukan demikian.

b. Negara yang bernegosiasi sepakat bahwa perjanjian harus

diratifikasi.

c. Wakil dari Negara telah menandatangani perjanjian untuk

subyek ratifikasi.

d. Niat Negara untuk menandatangani perjanjian tunduk pada

ratifikasi muncul dari kekuatan penuh perwakilannya atau

diungkapkan selama negosiasi.

87

Pasal 13 Konvensi Wina 1969 88

Pasal 14 Konvensi Wina 1969

Page 50: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah · PDF fileInternasional) yang akan menjadi bagian penting dalam penegakan hukum pidana internasional dan perlindungan HAM internasional

50

2. Persetujuan dari Negara untuk terikat oleh perjanjian dinyatakan

oleh penerimaan atau persetujuan di bawah kondisi serupa dengan

yang berlaku untuk ratifikasi.

Pengertian negara bukan pihak (third state) dapat dilihat dalam Pasal

2 (h) Konvensi Wina 1969 :“third state” means a State not a party to the

treaty.

Sedangkan pengertian Negara bukan pihak (third state) dalam pasal 2

(h) Konvensi Wina 1986 :“third state” and “third organization” mean

respectively: a State, or an international organization, not a party to the

treaty;

Negara bukan peserta merupakan negara yang tidak terlibat dalam

perjanjian internasional, maka dari itu sebuah perjanjian tidak menciptakan

baik kewajiban atau hak untuk negara ketiga tanpa persetujuan. 89

4. Beberapa Instrumen Perjanjian Internasional

Beberapa istilah yang sering dipakai untuk menyebutkan“treaty” atau

perjanjian internasional antara lain : 90

1. Konvensi

Ini merupakan istilah yang biasa dipakai bagi instrument resmi yang

berkarakter multilateral. Istilah konvensi juga mencakup instrument-

instrument yang dibuat oleh organ-organ lembaga internasional.

89

Pasal 34 Konvensi Wina 1969 90

J.G Starke, 1992, Pengantar Hukum Internasional, Edisi Kesepuluh 2, Sinar Grafika, Jakarta

Cetakan Pertama, Hal 586 - 589

Page 51: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah · PDF fileInternasional) yang akan menjadi bagian penting dalam penegakan hukum pidana internasional dan perlindungan HAM internasional

51

2. Protokol

Istilah Protokol menunjukkan suatu perjanjian yang kurang formal

dibandingkan dengan traktat atau konvensi dan pada umumnya tidak

pernah berbentuk perjanjian kepala-kepala Negara.

3. Perjanjian (agreement)

Ini merupakan suatu instrument yang kurang formal dibandingkan

traktat atau konvensi dan pada umumnya bukan berbentuk perjanjian-

perjanjian Kepala Negara.

4. Persetujuan (arrangement)

Hal yang dikemukakan di atas mengenai perjanjian berlaku untuk

istilah ini. Istilah persetujuan sering kali dipakai untuk suatu transaksi

yang bersifat sementara atau temporer.

5. Proces verbal

Suatu instrument yang dipakai untuk mencatat suatu pertukaran atau

penyimpanan ratifikasi, atau untuk suatu perjanjian administrativ yang

kurang begitu penting, atau untuk membuat perubahan kecil pada suatu

konvensi.

6. Statuta (statute)

Suatu himpunan kaidah hukum dasar yang berkaitan dengan fungsi

sebuah lembaga internasional, misalnya Statute International Criminal

Court.

Page 52: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah · PDF fileInternasional) yang akan menjadi bagian penting dalam penegakan hukum pidana internasional dan perlindungan HAM internasional

52

7. Deklarasi

Suatu instrumen formal yang dilampirkan pada suatu traktat atau

konvensi yang menafsirkan atau menjelaskan ketentuan-ketentuan

traktat atau konvensi itu.

8. Modus Vivendi

Suatu instrument yang mencatat perjanjian internasional yang bersifat

temporer atau sementara yang dimaksud untuk digantikan oleh suatu

persetujuan yang lebih permanen dan lebih rinci.

9. Pertukaran Nota (Exhange of Notes)

Suatu pertukaran nota merupakan cara tidak resmi, dimana Negara-

negara mencapai kesepakatan mengenai pengertian tertentu atau

mengakui kewajiban tertentu sebagai mengikat mereka.

10. Final Act

Adalah nama instrument yang mencatat penyelesaian proseding

konfrensi yang diadakan untuk membentuk sebuah konvensi.

11. General Act

Sebuah traktat tetapi sifatnya mungkin resmi mungkin juga tidak

resmi. Nama general act dipakai oleh Liga Bangsa-Bangsa dalam

kasus yang dikeluarkan Majelis Liga pada tahun 1928 dan naskah

revisinya disahkan oleh Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa

tanggal 28 April 1949.

Page 53: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah · PDF fileInternasional) yang akan menjadi bagian penting dalam penegakan hukum pidana internasional dan perlindungan HAM internasional

53

12. Executive Agreement 91

Sebuah perjanjian eksekutif adalah persetujuan internasional antara

Presiden, bertindak secara independen dari Kongres, dan pemerintah

asing atau warga negara.

B. Tinjauan Umum Negara Bukan Peserta dalam Perjanjian Internasional

1. Negara bukan Peserta dalam Perjanjian Internasional

Ketentuan yang mengatur mengenai negara ketiga (negara bukan

peserta) dalam perjanjian internasional dapat dilihat dalam pasal 34 sampai

38 Konvensi Wina 1969. Dalam pasal 34 disebutkan :“a treaty does not

create either obligations or rights for a third State without its consent”

Prinsip utama yang dikodifikasikan dalam pasal 34 Konvensi Wina

1969 adalah bahwa perjanjian tidak menciptakan baik kewajiban atau hak

untuk sebuah negara ketiga tanpa persetujuan.

Dalam pasal 35 Konvensi Wina 1969 disebutkan :

An obligation arises for a third State from a provision of a treaty if the

parties to the treaty intend the provision to be the means of

establishing the obligation and the third State expressly accepts that

obligation in writing.

Dalam pasal 36 Konvensi Wina 1969 disebutkan :

1. a right arises for a third State from a provision of a treaty if the

parties to the treaty intend the provision to accord that right either

to the third State, or to a group of States to which it belongs, or to

all States, and the third State assents there to. Its assent shall be

presumed so long as the contrary is not indicated, unless the treaty

otherwise provides.

91

Amir M. Tikriti, 2011, Beyond the Executive Agreement: The Foreign Policy Preference Under

Movsesian and the Return of the Dormant Foreign Affairs Power in Norton Simon, Pepperdine

Law Review, Vol. 38, issue 3, Hal. 770

Page 54: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah · PDF fileInternasional) yang akan menjadi bagian penting dalam penegakan hukum pidana internasional dan perlindungan HAM internasional

54

2. a State exercising a right in accordance with paragraph 1 shall

comply with the conditions for its exercise provided for in the

treaty or established in conformity with the treaty.

Dalam pasal 37 Konvensi Wina 1969 disebutkan :

Revocation or modification of obligations or rights of third States

1. When an obligation has arisen for a third State in conformity with

article 35, the obligation may be revoked or modified only with the

consent of the parties to the treaty and of the third State, unless it

is established that they had otherwise agreed.

2. When a right has arisen for a third State in conformity with article

36, the right may not be revoked or modified by the parties if it is

established that the right was intended not to be revocable or

subject to modification without the consent of the third State.

Konvensi memisahkan pengaturan antara kewajiban (pasal 35) dan hak

(pasal 36) Negara ketiga dalam perjanjian internasional. Dalam pasal 37

khusus mengatur mengenai pencabutan atau modifikasi kewajiban atau

hak dari Negara ketiga.

Beberapa penulis mengungkapkan meskipun dalam pasal 34 diatur

prinsip utama sebagaimana disebutkan diatas, namun terdapat regulasi

pemberian hak dan pemenuhan kewajiban-kewajiban berdasarkan

persetujuan Negara ketiga. 92

Sebagaimana diatur dalam pasal 36 tentang aturan umum pada prinsip

persetujuan. Hal ini membedakan bentuk persetujuan ini. Ketentuan "...

unless the treaty otherwise provides ", berarti bahwa jika perjanjian itu

menyatakan bahwa negara harus menyatakan persetujuannya dalam bentuk

tertentu, efek hukum hanya akan timbul jika kondisi ini telah terpenuhi.

92

Malgosia Fitzmaurice, 2002, Third Parties and the Law of Treaties, Max Planck Yearbook,

Volume 6, Kluwer Law International, Netherlands, Hal. 44 - 45

Page 55: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah · PDF fileInternasional) yang akan menjadi bagian penting dalam penegakan hukum pidana internasional dan perlindungan HAM internasional

55

Ketika perjanjian ini tidak mengatur hal tersebut, persetujuan dapat

dianggap tidak memiliki dampak bagi Negara ketiga.93

Sementara dalam pasal 38 Konvensi Wina 1969 disebutkan :“Nothing

in articles 34 to 37 precludes a rule set forth in a treaty from becoming

binding upon a third State as a customary rule of international law,

recognized as such”. Pasal 38 berkaitan dengan situasi ketika perjanjian

menjadi mengikat negara ketiga melalui hukum kebiasaan internasional.

2. Hak dan Kewajiban Negara bukan Peserta dalam Perjanjian

Internasional

Dalam perjanjian internasional istilah Negara bukan peserta disebut “

thrid party atau third state”. Hubungan antara negara ketiga dan perjanjian

melahirkan prinsip hukum umum pacta tertiis nec nocent nec prosunt.

Prinsip ini menjadi sangat fundamental dalam dalam praktek dalam

perjanjian internasional melahirkan asas res inter alios acta.

Pembentukan aturan hukum yang mengikat dalam masyarakat

internasional pada aplikasi dan dampak perjanjian terhadap negara bukan

peserta. Dimana aturan umum adalah bahwa perjanjian internasional hanya

mengikat para pihak yang terlibat di dalamnya. Alasan untuk aturan ini

dapat ditemukan dalam prinsip-prinsip dasar kedaulatan dan kemerdekaan

negara-negara, yang mengandaikan bahwa negara harus menyetujui

peraturan sebelum mereka dapat terikat terhadap peraturan tersebut.

93

Ibid.Hal. 45

Page 56: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah · PDF fileInternasional) yang akan menjadi bagian penting dalam penegakan hukum pidana internasional dan perlindungan HAM internasional

56

Namun, itu tetap sebagai garis dasar pendekatan dalam hukum

internasional. Dalam pasal 34 Konvensi Wina 1969, perjanjian tidak bisa

memaksakan hal dan kewajiban pada negara-negara bukan peserta dan ini

ditekankan oleh International Law Commision (ILC) selama musyawarah

sebelum Konferensi Wina. Pengecualian utama untuk hal ini adalah

dimana ketentuan-ketentuan dari perjanjian tersebut telah masuk ke dalam

hukum kebiasaan internasional. Dalam kasus seperti itu, semua negara

akan terikat, terlepas dari apakah mereka telah menjadi negara pihak

dalam perjanjian asli atau tidak. Misalnya saja tentang hukum kebiasaan

tentang hukum perang yang diangkat dalam Konvensi Jenewa 1949.

Dengan demikian dapat disimpulkan, dalam kasus kewajiban yang

timbul dari perjanjian, tiga kondisi yang harus dipenuhi: 94

1. Dengan persetujuan negara bukan peserta, yang mengungkapkan

pengakuan terhadap kewajiban yang diberikan oleh perjanjian.

2. Bentuk tertulis dari suatu persetujuan. pasal 34-37 (pasal 37 termasuk

dalam kategori yang sama seperti pasal 35-36, karena menyangkut

yaitu pencabutan atau modifikasi kewajiban atau hak-hak negara

ketiga, atau organisasi yang timbul berdasarkan pasal 35 dan 36) Pihak

dalam perjanjian mengungkapkan keinginan mereka untuk

menciptakan baik hak atau kewajiban negara (atau organisasi) yang

bukan merupakan pihak dalam perjanjian.

94

Ibid, Hal.57

Page 57: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah · PDF fileInternasional) yang akan menjadi bagian penting dalam penegakan hukum pidana internasional dan perlindungan HAM internasional

57

3. Ketika perjanjian menjadi mengikat negara-negara ketiga melalui

mekanisme hukum kebiasaan internasional sesuai dengan pasal 38.

Pembentukan suatu kewajiban bagi Negara ketiga, International Law

Commision menjelaskan bahwa dua kondisi yang harus dipenuhi sebelum

negara bukan pihak dapat dianggap terikat oleh ketentuan dari

perjanjian:95

1. Harus ada keinginan dari negara pihak dalam perjanjian harus berniat

ketentuan tersebut menjadi sarana membangun suatu kewajiban bagi

Negara bukan pihak dalam perjanjian internasional tersebut.

2. Negara ketiga harus menyatakan tegas persetujuan untuk terikat oleh

kewajiban secara tertulis.

Adapun penciptaan hak, International Law Commision

mempertimbangkan 2 (dua) kondisi yang harus dipenuhi agar hak timbul

bagi negara bukan peserta dari suatu ketentuan perjanjian internasional,

yaitu:96

1. Harus ada niat para pihak agar sesuai ketentuan hak untuk keadaan

yang bersangkutan memberikan hak bagi negara peserta.

2. Persetujuan dari negara penerima. Pertanyaannya mungkin

ditimbulkan apakah benar dibuat oleh perjanjian atau tindakan

penerima negara dari penerimaan.

Ada dua pandangan mengenai status hukum persetujuan tersebut.

Pertama, persetujuan merupakan penerimaan tawaran yang dibuat oleh

95

Ibid, Hal 63 96

Ibid, Hal 64

Page 58: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah · PDF fileInternasional) yang akan menjadi bagian penting dalam penegakan hukum pidana internasional dan perlindungan HAM internasional

58

para pihak dalam perjanjian. Kedua, persetujuan secara hukum sebagai

indikasi bahwa hak tersebut tidak akan ditolak oleh penerima. Kalimat

terakhir dari pasal 36 paragraf 1 Konvensi Wina, yang mengatur bahwa

persetujuan yang harus dianggap selama sebaliknya tidak diindikasikan,

kecuali perjanjian lain menyediakan, dianggap oleh International Law

Commision sebagai diinginkan untuk mengamankan fleksibilitas dengan

operasi aturan dalam kasus di mana hak dinyatakan dalam mendukung

negara secara umum atau dari kelompok besar Negara.

Dalam hal terjadinya pelanggaran serius terhadap norma dasar maka

timbul kewajiban. Konsekuensi tertentu dari sebuah pelanggaran serius : 97

1. Negara-negara harus bekerjasama untuk mengakhiri setiap

pelanggaran serius hukum internasional.

2. Tidak ada Negara yang mengakui situasi yang diciptakan oleh suatu

pelanggaran serius, atau memberikan bantuan untuk situasi tersebut.

3. Konsekuensi lebih lanjut bahwa situasi/pelanggaran ini mungkin

memerlukan pengaturan di bawah hukum internasional.

C. Tinjauan Umum Mahkamah Pidana Internasional

1. Pengertian Yurisdiksi dalam Hukum Internasional

Yurisdiksi berasal dari kata bahasa inggris jurisdiction. Kata tersebut

merupakan kata yang diadopsi dari bahasa latin jurisdictio. Dalam Black’s

Law Dictionary, jurisdiction : 98

97

Responsibility of States for Internationally Wrongful Acts, 2001, Pasal 41

Page 59: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah · PDF fileInternasional) yang akan menjadi bagian penting dalam penegakan hukum pidana internasional dan perlindungan HAM internasional

59

a. The word is a term of large and comprehensive import, and embraces

every kind of judicial action;

b. it is the authority by which courts and judicial officers take cognizance

of and decide cases;

c. the legal right by which judges exercise their authority;

d. it exists when courts has cognizances of class of cases involved, proper

parties are present, and point to be decided is within powers of court;

e. the right of power of a court to adjudicate concerning the subject

matter in a given case.

Robert Jennings dan Arthur Watts dalam Oppenheim’s International

Law 99

jurisdiction: … to make, apply, and enforce rules of conduct upon

persons. It concerns essentially the extent of each state’s right to regulate

conduct or the consequences of events.

Negara dapat melaksanakan yurisdiksi preskriptif dibawah hukum

internasional : 100

1. the nationality principle,

2. the territoriality (or territorial) principle,

3. the protective principle,

4. the passive personality principle, and

5. the universality principle

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, yurisdiksi memiliki 2 (dua)

pengertian, yaitu : 101

a. Kekuasaan mengadili; lingkup kekuasaan kehakiman; peradilan;

b. Lingkungan hak dan kewajiban, serta tanggung jawab di suatu wilayah

atau lingkungan kerja tertentu; kekuasaan hukum.

98

Henry Campbell Black, M.A., Op.cit, Hal. 991 99

Dikutip melalui Report of the Task Force on Extraterritorial Jurisdiction,

www.ibanet.org/Document/ 100

Dikutip melalui Allyson Bennett, 2011, That Sinking Feeling: Stateless Ships, Universal

Jurisdiction, and the Drug Trafficking Vessel Interdiction Act, THE YALE JOURNAL OF

INTERNATIONAL LAW, Hal. 436 101

Kamus Besar Bahasa Indonesia, 2008, Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, Jakarta

Hal.1278.

Page 60: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah · PDF fileInternasional) yang akan menjadi bagian penting dalam penegakan hukum pidana internasional dan perlindungan HAM internasional

60

Menurut Huala Adolf, yurisdiksi adalah kekuasaan atau kewenangan

hukum negara terhadap orang, benda, atau peristiwa hukum.102

Yurisdiksi

menyebabkan suatu negara mempunyai hak terhadap seseorang, benda,

peristiwa hukum yang ada dalam suatu negara ataupun yang ada di luar

negara tersebut.

Hukum internasional memungkinkan negara untuk melaksanakan

yurisdiksi untuk sejumlah alasan. Pentingnya prinsip-prinsip yurisdiksi

adalah bahwa yurisdiksi diterima oleh semua negara dan komunitas

internasional sebagai konsistensi dengan hukum internasional. Sebaliknya,

upaya untuk melaksanakan yurisdiksi teritorial yang lain akan

menjalankan resiko tidak diterima oleh negara lain.103

Dalam pemberlakuan yurisdiksi dalam hukum internasional dikenal

prinsip “ par in parem non habet imperium “ yang melarang suatu negara

yang berdaulat melakukan tindakan dalam kedaulatan di wilayah negara

lain. 104

Yurisdiksi mungkin menggambarkan kewenangan untuk membuat

hukum yang berlaku bagi orang-orang tertentu, wilayah, atau situasi

(yurisdiksi preskriptif), kewenangan orang-orang tertentu, wilayah, atau

situasi untuk tunduk pada proses peradilan (yurisdiksi adjudicatory), atau

wewenang untuk memaksa kepatuhan dan untuk memperbaiki

ketidakpatuhan (penegakan yurisdiksi). 105

102

Huala Adolf, Op.Cit, Hal.183 103

Malchom N. Shaw QC, Op.Cit. Hal 652 104

Sefriani, Op.Cit, Hal . 231 105

Michel P. Scharf, The ICC’s Jurisdiction Over The Nationals Of Non - Party States: A

Critique Of The U.S. Position

Page 61: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah · PDF fileInternasional) yang akan menjadi bagian penting dalam penegakan hukum pidana internasional dan perlindungan HAM internasional

61

Yurisdiksi menyangkut kekuasaan negara di bawah hukum

internasional untuk mengatur atau berdampak pada orang, benda dan

keadaan dan mencerminkan prinsip-prinsip dasar kedaulatan negara,

kesetaraan negara dan tanpa campur tangan dalam urusan dalam negeri.

Yurisdiksi adalah konsekuensi dari kedaulatan negara, karena hal itu

merupakan pelaksanaan kewenangan yang dapat mengubah atau membuat

atau mengakhiri hubungan hukum dan kewajiban. Ini dapat dicapai

melalui tindakan legislatif, eksekutif atau yudikatif.

Dalam hukum internasional juga dikenal yurisdiksi universal, dimana

yurisdiksi ini terbatas pelanggaran umumnya diakui sebagai keprihatinan

yang universal, terlepas dari mana pelanggaran terjadi, kewarganegaraan

pelaku, atau kewarganegaraan dari korban. Prinsip universalitas

mengasumsikan bahwa setiap negara memiliki kepentingan yang cukup

dalam melaksanakan yurisdiksi untuk memerangi kejahatan yang

mengerikan.106

2. Pengadilan Pidana Internasional sebelum Mahkamah Pidana

Internasional

Sebelum berdirinya Mahkamah Pidana Internasional ini, sudah pernah

dibentuk 4 (empat) pengadilan internasional yang bersifat ad hoc, yaitu :

106

Ibid, Hal 10

Page 62: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah · PDF fileInternasional) yang akan menjadi bagian penting dalam penegakan hukum pidana internasional dan perlindungan HAM internasional

62

a. Nuremberg Tribunal (Makhamah Militer Internasional Nuremberg)

Keinginan negara sekutu untuk menghukum para penjahat perang

besar dari European Axis pertama kali dikemukakan dalam Konferensi

Moskow tahun 1943. Kemudian Amerika Serikat, Prancis, Inggris dan

Republik Uni Soviet menandatangani London Agreement pada tanggal

8 Agustus 1945 untuk mendirikan Mahkahamah Militer

Internasional.107

Mahkamah ini dibentuk untuk mengadili penjahat/

orang-orang yang bertindak dalam kepentingan European Axis

Countries, baik sebagai individu atau sebagai anggota organisasi, yang

melakukan kejahatan terhadap perdamaian, kejahatan perang,

kejahatan terhadap kemanusiaan. 108

b. Tokyo Tribunal (Makhamah Militer Internasional Tokyo) 109

Jenderal MacArthur bertindak dengan kewenangan sebagai

panglima tertinggi sekutu pada tanggal 19 Januari 1946 mendirikan

Mahkamah untuk mengadili orang-orang secara individu atau sebagai

anggota organisasi atau keduanya yang melakukan kejahatan terhadap

perdamaian. 110

Mahkamah Internasional untuk Timur Jauh ini dibentuk untuk

menghukum dengan menyelenggarakan persidangan yang adil dan

107

The Charter and Judgment of the Nürnberg Tribunal-History and Analysis:Memorandum

submitted by the Secretary-General, 1949,United Nations-General Assembly International Law

Commission Lake Success, New York, Hal 8 108

Ibid, Hal 9 109

I Wayan Parthiana, Op. Cit. Hal 185 110

John Pritchard, International Military Tribunal for Far East Judgment of 4 November 1948,

Hal 28

Page 63: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah · PDF fileInternasional) yang akan menjadi bagian penting dalam penegakan hukum pidana internasional dan perlindungan HAM internasional

63

cepat para penjahat perang besar di timur jauh.111

Mahkamah

Internasional ini memiliki yuridiksi mengadili dan menghukum

penjahat perang Timur Jauh sebagai individu atau sebagai anggota

organisasi yang didakwa dengan pelanggaran yang meliputi Kejahatan

terhadap Perdamaian Konvensional Kejahatan Perang Kejahatan

Terhadap Kemanusiaan.112

c. International Criminal Tribunal for the Former Yugoslavia/ ICTY

(Mahkamah Kejahatan Perang dalam Kasus bekas Yugoslavia) 113

Mahkamah ini didirikan berdasarkan Resolusi Dewan Keamanan

PBB yang bertindak berdasarkan Bab VII Piagam PBB, Mahkamah

dibentuk untuk menuntut orang bertanggung jawab terhadap

pelanggaran berat hukum humaniter internasional di wilayah bekas

Yugoslavia sejak tahun 1991 .

Mahkamah memiliki yurisdiksi untuk mengadili orang-orang yang

bertanggung jawab atas pelanggaran serius terhadap hukum humaniter

internasional (pelanggaran berat Konvensi Jenewa 12 Agustus 1949,

Pelanggaran hukum atau kebiasaan perang, genosida, Kejahatan

terhadap kemanusiaan)

111

International Military Tribunal for Far East Charter, Hal. 1 112

Ibid, Hal 2 113

Statute of The International Criminal Tribunal For The Former Yugoslavia

Page 64: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah · PDF fileInternasional) yang akan menjadi bagian penting dalam penegakan hukum pidana internasional dan perlindungan HAM internasional

64

d. International Criminal Tribunal for Rwanda/ ICTR (Mahkamah

Kejahatan Perang dalam Kasus bekas Rwanda) 114

Mahkamah ini didirikan berdasarkan Resolusi Dewan Keamanan

PBB yang bertindak berdasarkan Bab VII Piagam PBB untuk

menuntut Orang Bertanggung jawab terhadap kejahatan genosida dan

pelanggaran serius hukum humaniter internasional lain di Wilayah

Rwanda dan Negara tetangga, yang terjadi antara 1 Januari 1994

sampai 31 Desember 1994

Mahkamah Internasional memiliki yurisdiksi mengadili orang-

orang yang bertanggung jawab atas pelanggaran serius terhadap

hukum humaniter internasional (genosida, kejahatan terhadap

kemanusiaan, Pelanggaran Pasal Umum 3 Konvensi Jenewa dan

Protokol Tambahan II)

3. Sejarah Pendirian Mahkamah Pidana Internasional

Proses persiapan pembentukan Mahkamah Pidana Internasional sudah

dimulai sejak berakhirnya perang dunia I dan dilanjutkan setelah perang

dunia II.115

Dalam kurun waktu 50 (lima puluh) tahun terakhir terbentuk 4

(empat) pengadilan pidana internasional ad hoc (Makhamah Militer

Internasional Nuremberg, Makhamah Militer Internasional Tokyo,

Mahkamah Kejahatan Perang dalam Kasus bekas Yugoslavia, Mahkamah

Kejahatan Perang dalam Kasus bekas Rwanda).

114

Statute of the International Tribunal for Rwanda 115

Romli Atmasasmita, 2004, Pengantar Hukum Pidana Internasional, Bagian II, PT. Hecca

Mitra Utama, Jakarta, Hal .24

Page 65: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah · PDF fileInternasional) yang akan menjadi bagian penting dalam penegakan hukum pidana internasional dan perlindungan HAM internasional

65

Dorongan kuat untuk membentuk Mahkamah Pidana Internasional

secara tidak langsung muncul kembali pada tahun 1989 saat Trinidad dan

Tobago (Afrika) berinisiatif untuk mengusulkan pembentukan Mahkamah

ini dalam pembahasan untuk mencegah dan memberantas kejahatan

narkotika lintas batas negara yang berkaitan dengan kejahatan

penyeludupan senjata api antar negara. Inisiatif kedua dari koalisi Non

Goverment Organisation dan negara – negara like minded countries.116

Perkembangan pembentukan Mahkamah Pidana Internasional tidak

berjalan lancar karena negara super power ternyata kurang mendukung,

misalnya Amerika Serikat, Rusia, Inggris, Perancis.117

Pada tahun 1994, International Law Commision menyelesaikan draft

Statuta Mahkamah Pidana Internasional dan diajukan kepada Majelis

Umum PBB. Dengan mempertimbangkan permasalahan substantif dari

rancangan Statuta, Majelis Umum membentuk panitia ad hoc untuk

pembentukan Mahkamah Pidana Internasional. Setelah Majelis Umum

mempertimbangkan laporan panitia ad hoc Pembentukan Mahkamah

Pidana Internasional, draft rancangan Statuta diserahkan kepada sebuah

konferensi diplomatik. Akhirnya tanggal 17 Juli 1998 diadopsi Statuta

Mahkamah Pidana Internasional pada Konferensi PBB Berkuasa Penuh di

Roma dengan partisipasi wakil-wakil dari 160 Negara, 33 Organisasi antar

pemerintah dan koalisi dari 236 Organisasi Swadaya Masyarakat. 120

116

Ibid, Hal. 24 - 25 117

Loc.it

Page 66: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah · PDF fileInternasional) yang akan menjadi bagian penting dalam penegakan hukum pidana internasional dan perlindungan HAM internasional

66

negara mendukung, 7 menentang dan 21 abstain.118

Sebagaimana

pandangan kaum postivisme bahwa hukum internasional dapat menjadi

hukum positif apabila ada persetujuan dari Negara-negara untuk tunduk

pada hukum internasional, sesuai dengan pasal 126, Statuta Roma baru

dinyatakan berlaku pada 1 Juli 2002 setelah 60 negara mendaftarkan

ratifikasinya terhadap ketentuan Statuta Roma.

Mahkamah Pidana Internasional didirikan bukan bagian dari

Perserikatan Bangsa-Bangsa tetapi sebagai organisasi independen dengan

anggaran mandiri.119

4. Yurisdiksi Mahkamah Pidana Internasional

Pemberlakuan yurisdiksi Mahkmah Pidana Internasional untuk

sebagaimana yang diatur dalam pasal 5 Statuta Roma, bahwa kejahatan

yang menjadi yurisdiksi Mahkamah Pidana Internasional adalah :

1. The crime of genocide

Genocide merupakan perbuatan yang dilakukan dengan niat untuk

menghancurkan, secara keseluruhan atau sebagian, suatu Negara,

suku, ras atau kelompok keagamaan, seperti :120

a. Killing members of the group;

b. Causing serious bodily or mental harm to members of the group;

c. Deliberately inflicting on the group conditions of life calculated to

bring about its physical destruction in whole or in part;

d. Imposing measures intended to prevent births within the group;

e. Forcibly transferring children of the group to another group.

118

History of the ICC, http://www.iccnow.org/ 119

I Wayan Parthiana, Op.cit, Hal. 205 120

Pasal 6 Statuta Roma

Page 67: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah · PDF fileInternasional) yang akan menjadi bagian penting dalam penegakan hukum pidana internasional dan perlindungan HAM internasional

67

2. Crimes against humanity

Kejahatan terhadap kemanusiaan merupakan perbuatan yang

dilakukan sebagai bagian dari sebuah penyebarluasan atau

penyerangan langsung secara sadar yang ditujukan terhadap penduduk

sipil secara sistematis, seperti: 121

a. Murder;

b. Extermination

c. Enslavement;

d. Deportation or forcible transfer of population;

e. Imprisonment or other severe deprivation of physical liberty in

violation of fundamental rules of international law;

f. Torture;

g. Rape, sexual slavery, enforced prostitution, forced pregnancy,

enforced sterilization, or any other form of sexual violence of

comparable gravity;

h. Persecution against any identifiable group or collectivity on

political, racial, national, ethnic, cultural, religious, gender as

defined in paragraph 3, or other grounds that are universally

recognized as impermissible under international law, in connection

with any act referred to in this paragraph or any crime within the

jurisdiction of the Court;

i. Enforced disappearance of persons;

j. The crime of apartheid;

k. Other inhumane acts of a similar character intentionally causing

great suffering, or serious injury to body or to mental or physical

health

3. War crimes 122

a. Merujuk kepada Konvensi Jenewa tanggal 12 Agustus 1949, bahwa

perbuatan melawan hak seseorang atau kepemilikan seseorang

berikut ini dilindungi dibawah ketentuan-ketentuan yang diatur

dalam konvensi Jenewa, yaitu:

121

Pasal 7 Statuta Roma 122

Pasal 8 Statuta Roma

Page 68: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah · PDF fileInternasional) yang akan menjadi bagian penting dalam penegakan hukum pidana internasional dan perlindungan HAM internasional

68

(i) Wilful killing;

(ii) Torture or inhuman treatment, including biological

experiments;

(iii) Wilfully causing great suffering, or serious injury to body or

health;

(iv) Extensive destruction and appropriation of property, not

justified by military necessity and carried out unlawfully and

wantonly;

(v) Compelling a prisoner of war or other protected person to

serve in the forces of a hostile Power;

(vi) Wilfully depriving a prisoner of war or other protected

person of the rights of fair and regular trial;

(vii) Unlawful deportation or transfer or unlawful confinement;

(viii) Taking of hostages.

b. Pelanggaran hukum yang serius lainnya dan kebiasaan yang

dilakukan dalam konflik bersenjata internasional, dalam konteks

hukum internasional, disebutkan dibawah ini:

(i) Intentionally directing attacks against the civilian

population as such or against individual civilians not

taking direct part in hostilities;

(ii) Intentionally directing attacks against civilian objects, that

is, objects which are not military objectives;

(iii) Intentionally directing attacks against personnel,

installations, material, units or vehicles involved in a

humanitarian assistance or peacekeeping mission in

accordance with the Charter of the United Nations, as long

as they are entitled to the protection given to civilians or

civilian objects under the international law of armed

conflict;

(iv) Intentionally launching an attack in the knowledge that

such attack will cause incidental loss of life or injury to

civilians or damage to civilian objects or widespread, long-

term and severe damage to the natural environment which

would be clearly excessive in relation to the concrete and

direct overall military advantage anticipated;

(v) Attacking or bombarding, by whatever means, towns,

villages, dwellings or buildings which are undefended and

which are not military objectives;

(vi) Killing or wounding a combatant who, having laid down

his arms or having no longer means of defence, has

surrendered at discretion;

Page 69: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah · PDF fileInternasional) yang akan menjadi bagian penting dalam penegakan hukum pidana internasional dan perlindungan HAM internasional

69

(vii) Making improper use of a flag of truce, of the flag or of the

military insignia and uniform of the enemy or of the United

Nations, as well as of the distinctive emblems of the Geneva

Conventions, resulting in death or serious personal injury;

(viii) The transfer, directly or indirectly, by the Occupying Power

of parts of its own civilian population into the territory it

occupies, or the deportation or transfer of all or parts of

the population of the occupied territory within or outside

this territory;

(ix) Intentionally directing attacks against buildings dedicated

to religion, education, art, science or charitable purposes,

historic monuments, hospitals and places where the sick

and wounded are collected, provided they are not military

objectives;

(x) Subjecting persons who are in the power of an adverse

party to physical mutilation or to medical or scientific

experiments of any kind which are neither justified by the

medical, dental or hospital treatment of the person

concerned nor carried out in his or her interest, and which

cause death to or seriously endanger the health of such

person or persons;

(xi) Killing or wounding treacherously individuals belonging to

the hostile nation or army;

(xii) Declaring that no quarter will be given;

(xiii) Destroying or seizing the enemy's property unless such

destruction or seizure be imperatively demanded by the

necessities of war;

(xiv) Declaring abolished, suspended or inadmissible in a court

of law the rights and actions of the nationals of the hostile

party;

(xv) Compelling the nationals of the hostile party to take part in

the operations of war directed against their own country,

even if they were in the belligerent's service before the

commencement of the war;

(xvi) Pillaging a town or place, even when taken by assault;

(xvii) Employing poison or poisoned weapons;

(xviii) Employing asphyxiating, poisonous or other gases, and all

analogous liquids, materials or devices;

(xix) Employing bullets which expand or flatten easily in the

human body, such as bullets with a hard envelope which

does not entirely cover the core or is pierced with incisions;

(xx) Employing weapons, projectiles and material and methods

of warfare which are of a nature to cause superfluous

injury or unnecessary suffering or which are inherently

indiscriminate in violation of the international law of

armed conflict, provided that such weapons, projectiles and

Page 70: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah · PDF fileInternasional) yang akan menjadi bagian penting dalam penegakan hukum pidana internasional dan perlindungan HAM internasional

70

material and methods of warfare are the subject of a

comprehensive prohibition and are included in an annex to

this Statute, by an amendment in accordance with the

relevant provisions set forth in articles 121 and 123;

(xxi) Committing outrages upon personal dignity, in particular

humiliating and degrading treatment;

(xxii) Committing rape, sexual slavery, enforced prostitution,

forced pregnancy, as defined in article 7, paragraph 2 (f),

enforced sterilization, or any other form of sexual violence

also constituting a grave breach of the Geneva

Conventions;

(xxiii) Utilizing the presence of a civilian or other protected

person to render certain points, areas or military forces

immune from military operations;

(xxiv) Intentionally directing attacks against buildings, material,

medical units and transport, and personnel using the

distinctive emblems of the Geneva Conventions in

conformity with international law;

(xxv) Intentionally using starvation of civilians as a method of

warfare by depriving them of objects indispensable to their

survival, including wilfully impeding relief supplies as

provided for under the Geneva Conventions;

(xxvi) Conscripting or enlisting children under the age of fifteen

years into the national armed forces or using them to

participate actively in hostilities.

c. Dalam hal konflik bersenjata yang tidak bersifat internasional,

pelanggaran serius terhadap pasal 3 sampai dengan pasal 4 Konvensi

Jenewa 12 Agustus 1949, dimana disebutkan, beberapa perbuatan yang

dilakukan terhadap orang-orang yang ikut serta secara aktif dalam

pertempuran, termasuk didalamnya anggota tentara yang telah

meletakkan senjatanya, dan mundur dari pertempuran karena sakit,

terluka,dan dihukum atau sebab-sebab lainnya, sebagai berikut:

(i) Violence to life and person, in particular murder of all kinds,

mutilation, cruel treatment and torture;

(ii) Committing outrages upon personal dignity, in particular

humiliating and degrading treatment;

(iii) Taking of hostages;

Page 71: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah · PDF fileInternasional) yang akan menjadi bagian penting dalam penegakan hukum pidana internasional dan perlindungan HAM internasional

71

(iv) The passing of sentences and the carrying out of executions

without previous judgement pronounced by a regularly

constituted court, affording all judicial guarantees which are

generally recognized as indispensable.

d. Ayat 2 (c) ditujukan untuk konflik bersenjata bukan internasional dan

oleh karena itu tidak berlaku untuk situasi gangguan dan tekanan

internal, seperti kerusuhan, isolasi dan penyebaran tindakan kekerasan

atau tindakan-tindakan lain yang sama sifatnya

e. Pelanggaran hukum serius lainnya dan kebiasaan-kebiasaan yang telah

ada dalam konflik bersenjata bukan internasional, dalam kerangka

hukum internasional, yaitu tindakan-tindakan berikut ini:

(i) Intentionally directing attacks against the civilian population as

such or against individual civilians not taking direct part in

hostilities;

(ii) Intentionally directing attacks against buildings, material,

medical units and transport, and personnel using the distinctive

emblems of the Geneva Conventions in conformity with

international law;

(iii) Intentionally directing attacks against personnel, installations,

material, units or vehicles involved in a humanitarian assistance

or peacekeeping mission in accordance with the Charter of the

United Nations, as long as they are entitled to the protection

given to civilians or civilian objects under the international law

of armed conflict;

(iv) Intentionally directing attacks against buildings dedicated to

religion, education, art, science or charitable purposes, historic

monuments, hospitals and places where the sick and wounded

are collected, provided they are not military objectives;

(v) Pillaging a town or place, even when taken by assault;

(vi) Committing rape, sexual slavery, enforced prostitution, forced

pregnancy, as defined in article 7, paragraph 2 (f), enforced

sterilization, and any other form of sexual violence also

constituting a serious violation of article 3 common to the four

Geneva Conventions;

(vii) Conscripting or enlisting children under the age of fifteen years

into armed forces or groups or using them to participate actively

in hostilities;

Page 72: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah · PDF fileInternasional) yang akan menjadi bagian penting dalam penegakan hukum pidana internasional dan perlindungan HAM internasional

72

(viii) Ordering the displacement of the civilian population for reasons

related to the conflict, unless the security of the civilians involved

or imperative military reasons so demand;

(ix) Killing or wounding treacherously a combatant adversary;

(x) Declaring that no quarter will be given;

(xi) Subjecting persons who are in the power of another party to the

conflict to physical mutilation or to medical or scientific

experiments of any kind which are neither justified by the

medical, dental or hospital treatment of the person concerned

nor carried out in his or her interest, and which cause death to

or seriously endanger the health of such person or persons;

(xii) Destroying or seizing the property of an adversary unless such

destruction or seizure be imperatively demanded by the

necessities of the conflict;

4. The crime of aggression.

Mahkamah harus melaksanakan yurisdiksi atas kejahatan agresi

sesuai pasal 121 dan 123 Statuta Roma. Ketentuan tersebut harus

konsisten dengan ketentuan yang relevan dari Piagam Perserikatan

Bangsa-Bangsa.123

Kejahatan agresi berarti perencanaan, persiapan, inisiasi atau

eksekusi, oleh orang dalam posisi efektif melakukan kontrol terhadap

atau untuk mengarahkan tindakan politik atau militer suatu Negara,

yang berdasarkan sifatnya, kecenderungan dan skala merupakan

pelanggaran nyata dari Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa.124

Tindakan agresi berarti penggunaan kekuatan bersenjata oleh suatu

Negara terhadap kedaulatan, integritas teritorial atau kemerdekaan

123

Pasal 5 ayat 2 Statuta Roma 124

Pasal 8 bis ayat 1 Statuta Roma

Page 73: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah · PDF fileInternasional) yang akan menjadi bagian penting dalam penegakan hukum pidana internasional dan perlindungan HAM internasional

73

politik Negara lain, atau dengan cara lain yang tidak konsisten dengan

Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa.125

Salah satu dari tindakan berikut, terlepas dari deklarasi perang,

sesuai dengan Resolusi Majelis Umum PBB Nomor 3314 (XXIX) 14

Desember 1974, yang memenuhi kriteria sebagai tindakan agresi,

yaitu:126

(a) The invasion or attack by the armed forces of a State of the

territory of another State, or any military occupation, however

temporary, resulting from such invasion or attack, or any

annexation by the use of force of the territory of another State or

part thereof;

(b) Bombardment by the armed forces of a State against the territory

of another State or the use of any weapons by a State against the

territory of another State;

(c) The blockade of the ports or coasts of a State by the armed forces

of another State;

(d) An attack by the armed forces of a State on the land, sea or air

forces, or marine and air fleets of another State;

(e) The use of armed forces of one State which are within the territory

of another State with the agreement of the receiving State, in

contravention of the conditions provided for in the agreement or

any extension of their presence in such territory beyond the

termination of the agreement;

(f) The action of a State in allowing its territory, which it has placed

at the disposal of another State, to be used by that other State for

perpetrating an act of aggression against a third State;

(g) The sending by or on behalf of a State of armed bands, groups,

irregulars or mercenaries, which carry out acts of armed force

against another State of such gravity as to amount to the acts listed

above, or its substantial involvement therein.

Meskipun Mahkamah Pidana Internasional memiliki yurusdiksi

terhadap 4 (empat) kejahatan sebagaimana disebut diatas keberadaan

Mahkamah Pidana Internasional hanya memperkuat dan melengkapi

125

Pasal 8 bis ayat 2 Statuta Roma 126

Pasal 8 bis ayat 3 Statuta Roma

Page 74: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah · PDF fileInternasional) yang akan menjadi bagian penting dalam penegakan hukum pidana internasional dan perlindungan HAM internasional

74

pengadilan nasional, tidak menggantikan tugas dan fungsi penyidikan,

penuntutan pengadilan nasional (prinsip komplementaris). Sebagaimana

diatur dalam alinea 10 (sepuluh) Statuta : “Emphazing that international

criminal court established under this statute shall be complementary to

national criminal jurisdiction”

Hal ini dipertegas dalam ketentuan pasal 17 Statuta Roma :

1. Having regard to paragraph 10 of the preamble and article 1, the

court shall determine that a case is inadmissible where:

(a) the case is being investigated or prosecuted by a State which

has jurisdiction over it, unless the State is unwilling or unable

genuinely to carry out the investigation or prosecution;

(b) the case has been investigated by a State which has jurisdiction

over it and the State has decided not to prosecute the person

concerned, unless the decision resulted from the unwillingness

or inability of the State genuinely to prosecute;

(c) the person concerned has already been tried for conduct which

is the subject of the complaint, and a trial by the Court is not

permitted under article 20, paragraph 3;

(d) The case is not of sufficient gravity to justify further action by

the Court.

2. In order to determine unwillingness in a particular case, the Court

shall consider, having regard to the principles of due process

recognized by international law, whether one or more of the

following exist, as applicable:

(a) The proceedings were or are being undertaken or the national

decision was made for the purpose of shielding the person

concerned from criminal responsibility for crimes within the

jurisdiction of the Court referred to in article 5;

(b) There has been an unjustified delay in the proceedings which in

the circumstances is inconsistent with an intent to bring the

person concerned to justice;

(c) The proceedings were not or are not being conducted

independently or impartially, and they were or are being

conducted in a manner which, in the circumstances, is

inconsistent with an intent to bring the person concerned to

justice

3. In order to determine inability in a particular case, the Court shall

consider whether, due to a total or substantial collapse or

unavailability of its national judicial system, the State is unable to

Page 75: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah · PDF fileInternasional) yang akan menjadi bagian penting dalam penegakan hukum pidana internasional dan perlindungan HAM internasional

75

obtain the accused or the necessary evidence and testimony or

otherwise unable to carry out its proceedings

Pasal 17 Statuta Roma merupakan norma sentral dalam konsep

komplementaris dari Mahkahmah Pidana Internasional. Ini menetapkan

kriteria sebelum diterimanya suatu kasus oleh Mahkamah Pidana

Internasional, Jaksa dan Hakim Mahkamah Pidana Internasional akan

mengevaluasi kasus tersebut terlebih dahulu.

Oleh karena itu aplikasi dan interpretasi adalah sangat penting untuk

menggambarkan hubungan antara Mahkamah Pidana Internasional dengan

pengadilan nasional. Pasal 17 ayat 1 Statuta menunjukkan bahwa ada 4

(empat) situasi utama yang menentukan suatu kasus tidak dapat diterima

oleh Mahkamah Pidana Internasional yaitu :

1. Kasus tersebut sedang diselidiki atau dituntut oleh suatu Negara yang

memiliki yurisdiksi.

2. Negara yang menyelidiki dan menyimpulkan bahwa tidak ada dasar

untuk mengadili.

3. Negara telah mencoba membawa orang tersebut kepada penuntutan di

pengadilan namun terdapat kesalahan hukum.

4. Kasus tersebut memenuhi situasi tertentu.

Artinya pemberlakuan yurisdiksi Mahkamah Pidana Internasional

hanya dapat menggantikan yurisdiksi pengadilan nasional jika pengadilan

nasional telah memenuhi kriteria prinsip admissibility. Prinsip

admissibility ini harus memenuhi 2 (dua) kriteria yaitu :

Page 76: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah · PDF fileInternasional) yang akan menjadi bagian penting dalam penegakan hukum pidana internasional dan perlindungan HAM internasional

76

a. Ketidakinginan ( unwillingnes)

Ketidakinginan suatu Negara mengadili suatu kejahatan yang

merupakan yurisdiksi Mahkamah Pidana Internasional yang terjadi di

wilayah teritorialnya berakibat Mahkamah Pidana Internasional akan

campur tangan dalam kasus di mana Mahkamah Pidana Internasional

ditemukan tindakan domestik digunakan secara nyata tidak untuk

menegakkan keadilan.

Jaksa menguraikan indikator menunjukkan ketidakinginan dengan

tujuan melindungi orang dari tanggung jawab pidana harus dinilai

dengan melihat pada penilaian awal di lingkup penyelidikan,

khususnya apakah ini diarahkan "pelaku marjinal" atau "pelaku kecil"

daripada orang-orang yang paling bertanggung jawab atas pelaksanaan

kejahatan yang sedang diperiksa. Pada tahap investigasi dan

penuntutan yang dilakukan di tingkat domestik yang dapat menjadi

indikator adalah praktek-praktek dan prosedur investigasi dan

penuntutan, kegagalan untuk mempertimbangkan bukti spesifik,

intimidasi korban, saksi dan anggota kehakiman, inkonsistensi antara

bukti diajukan dan temuan, serta tidak efiesiennya sumber daya yang

dialokasikan untuk pelaksanaan proses penuntutan mungkin

mengungkap tujuan tersembunyi, yakni melindungi orang dari

tanggung jawab pidana.127

127

The Office of the Prosecutor, Policy Paper on Preliminary Examination ,The Hague, 4

October 2010, http://www.icc-cpi.int, Hal. 13

Page 77: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah · PDF fileInternasional) yang akan menjadi bagian penting dalam penegakan hukum pidana internasional dan perlindungan HAM internasional

77

Indikator yang dapat digunakan untuk melihat ketidakinginan yang

sungguh-sungguh dari pengadilan nasional tempat terjadinya suatu

kejahatan yang diatur dalam statuta yaitu :128

1. Peradilan dilaksanakan dengan maksud untuk melindungi

seseorang dari dari pertanggungjawaban pidana atas kejahatan

yang telah dilakukannya.

2. Proses peradilan ditunda-tunda tanpa ada alasan yang dapat

dipertanggungjawabkan sehingga bertentangan dengan maksud dan

tujuan diajukannya seseorang ke hadapan pengadilan.

3. Proses peradilan tidak dilaksanakan secara bebas dan independen.

b. Ketidakmampuan (inability)

Statuta mengidentifikasi 3 (tiga) keadaan untuk menyatakan

ketidakmampuan Negara tersebut, yaitu : 129

1. Negara tidak dapat memperoleh terdakwa.

2. Negara tidak dapat memperoleh bukti yang diperlukan dan

kesaksian untuk menempatkan orang-orang yang diduga

bertanggung jawab untuk diadili.

3. Negara tidak mampu melaksanakan proses peradilan.

Runtuhnya sistem peradilan suatu negara dapat diasumsikan dimana

otoritas negara telah kehilangan kontrol kekuasaanya dalam hal

128

Pasal 17 Statuta Roma 129

Markus Benzing, 2003,The Complementarity Regime of the International Criminal Court:

International Criminal Justice between State Sovereignty and the Fight against Impunity, Max

Planck Yearbook a/United Nations Law, Volume 7, Hal . 613

Page 78: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah · PDF fileInternasional) yang akan menjadi bagian penting dalam penegakan hukum pidana internasional dan perlindungan HAM internasional

78

melaksanakan administrasi peradilan atau dimana pihak berwenang, tidak

dapat melaksanakan kewenangan sebagaimana mestinya.

Kantor Jaksa menguraikan beberapa indikator yang dapat menjadi

bentuk ketidakmampuan. Diantaranya keadaan faktual, seperti tidak

adanya kondisi keamanan bagi para saksi, korban, atau pelaku dari proses

hukum, atau kurangnya sarana yang memadai untuk investigasi dan

penuntutan yang efektif.130

Menurut Pasal 17 ayat 1 Statuta, dimana tindakan Negara memutuskan

untuk tidak mengadili, tidak menuntut, Mahkamah Pidana Internasional

akan menilai apakah proses dipengaruhi oleh ketidakinginan atau

ketidakmampuan. Ketika orang sudah diadili oleh pengadilan domestik

penentuan tentang keabsahan kasus didasarkan pada pengecualian

terhadap prinsip ne bis in idem dimaksud dalam Pasal 20 (3) Statuta

Roma.

Mengesampingkan segala bentuk ketidakmampuan dari pengecualian

terhadap prinsip nebis in idem menunjukkan bahwa apabila sistem

domestik dipengaruhi oleh ketidakmampuan, proses peradilam pidana

tidak mencapai akhir, maka Mahkamah Pidana Internasional dapat

mengambil alih pengadilan domestik yang sedang berjalan.

130

The Office of the Prosecutor,Op.Cit. Hal 15

Page 79: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah · PDF fileInternasional) yang akan menjadi bagian penting dalam penegakan hukum pidana internasional dan perlindungan HAM internasional

79

5. Hubungan Mahkamah Pidana Internasional dengan Perserikatan

Bangsa-Bangsa

Berbeda dengan International Court of Justice (ICJ) yang merupakan

badan peradilan yang berada dibawah PBB, keberadaan Mahkamah Pidana

Internasional merupakan subjek hukum internasional yang memiliki

kemandirian dan personalitas sebagaimana diatur dalam pasal 4 ayat 1

Statuta Roma : “the Court shall have international legal personality. It

shall also have such legal capacity as may be necessary for the exercise of

its functions and the fulfilment of its purposes “

Dalam Piagam PBB, Dewan Keamanan memiliki tanggung jawab

utama untuk pemeliharaan perdamaian dan keamanan internasional.

Dewan Keamanan menentukan adanya ancaman terhadap perdamaian atau

tindakan agresi. Dewan Keamanan juga dapat meminta para pihak yang

berselisih untuk menyelesaikan dengan cara damai dan merekomendasikan

metode penyesuaian atau ketentuan penyelesaian.131

Dewan Keamanan PBB dan Mahkamah Pidana Internasional sesuai

dengan pasal 13 (b) dan pasal 16 dari Statuta Roma menetapkan 2 (dua)

hak prerogatif bahwa Dewan Keamanan PBB, saat bertindak berdasarkan

Bab VII Piagam PBB. Dalam pasal 13 ayat b menetapkan kemampuan

Dewan Keamanan untuk merujuk kepada Jaksa dimana satu atau lebih

kejahatan di bawah yurisdiksi Pengadilan tampaknya.

131

The Security Council, http://www.un.org/en/sc/

Page 80: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah · PDF fileInternasional) yang akan menjadi bagian penting dalam penegakan hukum pidana internasional dan perlindungan HAM internasional

80

Pasal 16 Statuta Roma, yang memberikan Dewan Keamanan PBB hak

untuk meminta Mahkamah Pidana Internasional untuk memulai atau

menunda untuk jangka waktu dua belas bulan, penyelidikan atau

penuntutan. Apabila Dewan Keamanan meyakini diperlukannya

investigasi untuk memelihara atau memulihkan perdamaian dan keamanan

internasional. Salah satu konkrit ialah dikeluarkannya Resolusi oleh

Dewan Keamanan PBB berdasarkan Bab VII Piagam PBB yang

merekomendasikan Jaksa untuk menyelidiki situasi di Darfur-Sudan,

dimana dari hasil penyelidikan tersebut akhirnya bulan Juli 2008

permintaan oleh Jaksa untuk penerbitan surat perintah penangkapan bagi

Presiden Sudan, Omar Hassan al-Bashir dimana akhirnya Mahkamah

mengeluarkan perintah penangkapan yang diminta pada Maret 2009, hal

serupa juga terjadi untuk situasi di Libya.132

132

War Crimes Research Office, 2009, The Relationship Between The International Criminal

Court and The United Nations, USA, Hal. 2- 3

Page 81: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah · PDF fileInternasional) yang akan menjadi bagian penting dalam penegakan hukum pidana internasional dan perlindungan HAM internasional

81

BAB III

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Keterikatan Negara Bukan Peserta Statuta Roma Terhadap Yurisdiksi

Mahkamah Pidana Internasional

Pada dasarnya setiap perjanjian sesuai dengan asas pacta sunt servanda

dilaksanakan dengan itikad baik dan mengikat bagi para pihak yang

mengikatkan diri pada perjanjian. Ketika suatu Negara menjadi pihak dalam

perjanjian internasional, menyatakan kehendak untuk terikat terhadap

ketentuan yang diatur dalam perjanjian tersebut. Hal itu berdampak

ketentuan-ketentuan yang diatur dalam perjanjian itu berlaku dalam teritorial

negara yang menyatakannya.

Hubungan antara Negara bukan peserta dan perjanjian melahirkan prinsip

hukum umum pacta tertiis nec nocent nec prosunt. Prinsip ini menjadi sangat

fundamental dalam praktek hubungan masyarakat internasional. Perjanjian

internasional tidak menghasilkan hak dan kewajiban bagi negara bukan

peserta (res inter alios acta). Namun dalam perkembangannya prinsip ini

tidak terlalu kaku, dalam beberapa kasus perjanjian internasional menyediakan

hak dan kewajiban bagi negara ketiga. Disamping itu dalam pasal 38

Konvensi Wina 1969 juga mengatakan Negara bukan peserta terikat pada

perjanjian internasional karena diangkat dari hukum kebiasaan

Page 82: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah · PDF fileInternasional) yang akan menjadi bagian penting dalam penegakan hukum pidana internasional dan perlindungan HAM internasional

82

internasional.133

Dalam ranah pidana internasional ketentuan tentang hukum

perang telah dianggap sebagai hukum kebiasaan internasional dengan

menghukum pelaku kejahatan perang tanpa memandang kewarganegaraannya.

Demikian juga dengan pembajakan (piracy) sebagaimana diatur dalam United

Nations Convention on the Law of the Sea tahun 1982.

Statuta Roma merupakan perjanjian internasional yang mendasari

terbentuknya Mahkamah Pidana Internasional yang memiliki yurisdiksi

terhadap 4 (empat) kejahatan paling serius yaitu : genosida, kejahatan terhadap

kemanusiaan, kejahatan perang dan kejahatan agresi.134

Dalam proses pengajuan suatu situasi untuk diselidiki oleh Mahkamah

Pidana Internasional dapat dilakukan oleh :

1. Negara Peserta135

Negara Peserta dapat mengajukan kepada Jaksa, situasi dimana satu atau

lebih kejahatan dalam yurisdiksi Mahkamah telah/sedang terjadi, Negara

peserta meminta Jaksa untuk melakukan penyidikan terhadap situasi

tersebut untuk tujuan menentukan satu atau lebih orang-orang tertentu

harus dituntut. Apabila memungkinkan suatu pengajuan dengan

menjelaskan situasi serta dilengkapi oleh dokumentasi yang mendukung.

2. Dewan Keamanan yang bertindak berdasarkan Bab VII dari Piagam

Perserikatan Bangsa-Bangsa 136

133

Report of the International Law Commission on the Work of its Eighteenth Session, 1996,

Draft Articles on the Law of Treaties with Commentaries, II YEARBOOK OF THE INT’L L.

COMM’N, Hal 226 134

Pasal 5 ayat 1 Statuta Roma 135

Pasal 14 Statuta Roma 136

Pasal 13 ayat b Statuta Roma

Page 83: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah · PDF fileInternasional) yang akan menjadi bagian penting dalam penegakan hukum pidana internasional dan perlindungan HAM internasional

83

Bab VII Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa mengatur tentang tindakan

sehubungan dengan ancaman perdamaian, pelanggaran terhadap

perdamaian dan tindakan agresi. Dewan Keamanan akan menentukan

keberadaan setiap ancaman terhadap perdamaian, pelanggaran

perdamaian, atau tindakan agresi dan akan membuat rekomendasi, atau

memutuskan tindakan harus diambil untuk memelihara atau memulihkan

perdamaian dan keamanan internasional.

3. Inisiatif Jaksa Mahkamah Pidana Internasional137

Jaksa dapat berinisiatif melakukan penyidikan proprio motu

berdasarkan informasi mengenai kejahatan di bawah yurisdiksi Mahkamah

Pidana Internasional. Jaksa harus menganalisa keseriusan dari informasi

yang diterima. Maka untuk itu Jaksa dapat memeriksa informasi tambahan

dari Negara, Organ Perserikatan Bangsa-Bangsa, organisasi antar

pemerintah atau lembaga swadaya masyarakat, atau sumber lain yang

dapat dipercaya yang menurutnya penting, dan dapat menerima kesaksian

lisan ataupun tulisan dihadapan Mahkamah.

Jika Jaksa menyimpulkan bahwa ada dasar untuk melanjutkan kepada

tahap penyidikan, Jaksa harus meminta kepada Kamar Praperadilan untuk

melakukan pemeriksaan pendahuluan.

Jika Kamar Praperadilan, dalam melakukan pemeriksaan pendahuluan

tersebut menganggap bahwa ada dasar untuk melanjutkan pada tahap

penyidikan, dan kasus tersebut berada dalam yurisdiksi Mahkamah Pidana

137

Pasal 15 Statuta Roma

Page 84: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah · PDF fileInternasional) yang akan menjadi bagian penting dalam penegakan hukum pidana internasional dan perlindungan HAM internasional

84

Internasional, maka Kamar Praperadilan memberi wewenang Jaksa untuk

memulai penyidikan. Apabila sebaliknya, Jaksa tetap dapat mencari fakta-

fakta baru atau bukti-bukti baru berkaitan dengan situasi tersebut. Jika

setelah pemeriksaan awal Jaksa berkesimpulan bahwa informasi yang

tersedia tidak menghasilkan dasar yang kuat untuk dilanjutkan penyidikan,

Jaksa harus memberitahu pihak yang memberikan informasi.

Pemberlakuan yurisdiksi Mahkamah Pidana Internasional terhadap Negara

peserta Statuta baru dapat dilakukan apabila Negara peserta tersebut tidak

memiliki keinginan dan kemampuan untuk mengadili suatu tindak kejahatan

yang termasuk dalam yurisdiksi Mahkamah Pidana Internasional. Hal tersebut

dikarenakan sifat dari Mahkamah Pidana Internasional hanya untuk

melengkapi pengadilan nasional bukan untuk menggantikan peran pengadilan

nasional. Mahkamah tidak dapat menerima suatu situasi yang diajukan

apabila:138

1. Kasus/situasi tersebut sedang diperiksa atau dituntut/didakwa oleh Negara

yang memiliki yurisdiksi kasus tersebut, kecuali Negara tidak

berkeinginan atau tidak memiliki kemampuan untuk melaksanakan

penyidikan atau penuntutan berdasarkan hukum nasionalnya.

2. Kasus/situasi tersebut telah diselidiki oleh Negara yang memiliki

yurisdiksi atas kasus tersebut dan Negara telah memutuskan untuk tidak

melakukan penuntutan terhadap orang tersebut, dimana keputusan tersebut

138

Pasal 17 ayat 2 Statuta Roma

Page 85: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah · PDF fileInternasional) yang akan menjadi bagian penting dalam penegakan hukum pidana internasional dan perlindungan HAM internasional

85

dihasilkan dari ketidakinginan atau ketidakmampuan dari Negara untuk

melaksanakan penyidikan dan penuntutan tersebut.

3. Orang yang bersangkutan telah diadili atas perbuatan yang menjadi dasar

penuntutan. Hal ini dikecualikan apabila proses yang telah dilakukan

tersebut:

a. Bertujuan untuk melindungi orang yang dimaksud dari

pertanggungjawaban pidana atas kejahatan di dalam wilayah yurisdiksi

dari Mahkamah tersebut,atau

b. Tidak dilakukan secara mandiri atau memihak dengan menunjuk pada

norma-norma dari peradilan yang diakui oleh hukum internasional dan

dilakukan dengan cara yang tidak konsisten dengan tujuan untuk

mencapai keadilan.

c. Kasus tersebut tidak cukup berat untuk mengesahkan/ membenarkan

tindakan Mahkamah selanjutnya.

Kepentingan mendasar yang paling jelas bahwa prinsip komplementaris

yaitu keberadaan Mahkamah Pidana Internasional untuk memperkuat dan

melengkapi pengadilan nasional, tidak untuk menggantikan tugas dan fungsi

penyidikan, penuntutan dan pengadilan nasional. Sebagaimana diatur dalam

alinea 10 (sepuluh) dan pasal 17 Statuta Roma.

Dalam hukum internasional, setiap negara memiliki hak untuk

menjalankan yurisdiksi kriminal atas tindakan dalam teritorial Negaranya.

Pelaksanaan yurisdiksi pidana merupakan sebagai aspek sentral kedaulatan itu

Page 86: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah · PDF fileInternasional) yang akan menjadi bagian penting dalam penegakan hukum pidana internasional dan perlindungan HAM internasional

86

sendiri.139

Ketentuan dalam pasal 12 ayat 3 Statuta Roma mengenai

pemberlakuan yurisdiksi Mahkamah Pidana internasional terhadap Negara

bukan peserta, dimana disebutkan apabila penerimaan dari suatu Negara yang

bukan peserta dari Statuta ini diisyaratkan dalam ayat 2, bahwa negara

tersebut dapat dengan deklarasi menundukkan diri sama dengan pendaftar,

menerima pemberlakukan yurisdiksi Mahkamah berkenaan dengan kejahatan

yang menjadi yurisdiksi Mahkamah. Negara yang menyatakan deklarasi

tersebut harus bekerja sama dengan Mahkamah tanpa ada penundaan atau

pengecualian.

Dalam Statuta Roma diatur mengenai ketentuan awal berkenaan dengan

penerimaan suatu situasi oleh Mahkamah, yakni apabila:140

1. Situasi diarahkan kepada Mahkamah berdasarkan pasal 13 ayat (a) dan

Jaksa telah menentukan bahwa ada dasar untuk memulai penyidikan, atau

Jaksa mengadakan penyidikan berdasarkan pasal 13 ayat (c) dan pasal 15.

2. Dalam jangka waktu 1 (satu) bulan dari penerimaan pemberitahuan,

Negara dapat menyampaikan pada Mahkamah bahwa sedang atau telah

melakukan penyidikan nasional dalam yurisdiksinya sehubungan dengan

kejahatan yang diatur dalam pasal 5 Statuta dan memberitahukan

informasi sehungan dengan itu terkait pemberitahuan kepada Negara.

3. Penundaan penyidikan nasional harus terbuka untuk ditinjau ulang oleh

Jaksa Mahkamah dalam waktu 6 (enam) bulan setelah tanggal penundaan

139

Malcom N. Shaw QC, 1998, Principles of Public International Law, 5th Edition 140

Pasal 18 Statuta Roma

Page 87: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah · PDF fileInternasional) yang akan menjadi bagian penting dalam penegakan hukum pidana internasional dan perlindungan HAM internasional

87

atau kapan saja ketika ada perubahan keadaan yang signifikan berdasarkan

ketidaksediaan atau ketidakmampuan Negara.

4. Negara yang bersangkutan atau Jaksa dapat mengajukan banding kepada

Kamar Banding terhadap keputusan Kamar Praperadilan, berdasarkan

pasal 82.

5. Dimana Jaksa telah menunda sebuah penyidikan berdasarkan ayat 2, dapat

meminta Negara tersebut secara berkala menyampaikan perkembangan

dari penyidikan dan tuntutan tanpa adanya penundaan.

6. Penundaan persidangan oleh Kamar Praperadilan, atau pada saat Jaksa

melimpahkan penyidikan atas dasar pengecualian setelah mendapat kuasa

dari Kamar Praperadilan mengadakan langkah-langkah penyidikan yang

diperlukan untuk tujuan mendapatkan bukti dimana dalam hal ini adalah

merupakan kesempatan untuk mendapatkan bukti penting atau ada resiko

dimana bukti tersebut mungkin tidak dapat diperoleh pada waktu lain.

7. Negara yang mengajukan keberatan terhadap putusan oleh Kamar

Praperadilan dengan dasar ada fakta-fakta tambahan atau perubahan sesuai

dengan keadaan.

Yurisdiksi Mahkamah Pidana Internasional dapat dikelompokkan menjadi

4 (empat) bagian yaitu (yurisdiksi kriminal, yurisdiksi personal, yurisdiksi

teritorial dan yurisdiksi temporal). Maka dari itu akan dilihat yurisdiksi

Mahkamah Pidana Internasional dalam kaitan dengan penerapannya terhadap

Negara bukan peserta:

Page 88: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah · PDF fileInternasional) yang akan menjadi bagian penting dalam penegakan hukum pidana internasional dan perlindungan HAM internasional

88

a. Yurisdiksi kriminal

Secara umum yurisdiksi kriminal dapat diartikan sebagai kejahatan-

kejahatan yang menjadi kewenangan dari Mahkamah. Dalam pasal 5

Statuta Roma disebutkan dengan jelas kejahatan-kejahatan serius yang

menjadi yurisdiksi kriminal dari Mahkamah Pidana Internasional. Lebih

lanjut kejahatan genosida diatur dalam pasal 6, kejahatan terhadap

kemanusiaan diatur dalam pasal 7, kejahatan perang dan kejahatan agresi

diatur dalam pasal 8. Dalam pasal 9 Statuta Roma diatur unsur-unsur

kejahatan yang berguna membantu Mahkamah dalam penafsiran/

penerapan pasal 6, 7 dan 8, sesuai dengan Statuta. Unsur-unsur kejahatan

umumnya terstruktur sesuai dengan prinsip-prinsip berikut: 141

a. Sebagai unsur kejahatan fokus pada perilaku, konsekuensi dan keadaan

yang terkait dengan setiap kejahatan.

b. Bila diperlukan, elemen keadaan jiwa tertentu terdaftar setelah

melakukan perbuatan mempengaruhi konsekuensi atau keadaan

tersebut.

c. Keadaan kontekstual terdaftar terakhir

Dari sudut pandang yurisdiksi kriminal ini, dapat dilihat pembatasan

yurisdiksi Mahkamah hanya terhadap 4 (empat) kejahatan tersebut.

Mahkamah baru menerapkan yurisdiksinya ketika Negara Peserta tidak

memiliki keinginan atau kemampuan untuk menyelidiki dan mengadili

141

Elements of Crimes International Criminal Court , 2011. www.icc-cpi.int, Hal. 1

Page 89: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah · PDF fileInternasional) yang akan menjadi bagian penting dalam penegakan hukum pidana internasional dan perlindungan HAM internasional

89

para pelaku kejahatan yang merupakan yurisdiksi kriminal dari Mahkamah

dengan hukum pidana nasionalnya.

Bagi Negara bukan peserta Statuta Roma yurisdiksi Mahkamah Pidana

internasional dapat diberlakukan apabila ada persetujuan/ penerimaan dari

Negara bukan peserta tersebut. Pemberlakuan yurisdiksi kriminal

Mahkamah Pidana Internasional terhadap Negara bukan peserta ini

merupakan hal yang paling krusial dan dalam penegakan hukum pidana

internasional dan perlindungan HAM internasional. Dilihat dari beberapa

penjelasan suatu perjanjian internasional dapat mengikat Negara bukan

Peserta tanpa persetujuan Negara bukan peserta apabila merupakan norma

jus cogens. Pembentukan norma jus cogens itu sendiri dapat dilihat dari

perjanjian yang bersifat universal atau perjanjian diangkat dari kebiasaan

internasional. Ketentuan Statuta Roma apabila dilihat dari proses

pembentukan norma jus cogens, dapat dijelaskan sebagai berikut :

1. Statuta Roma merupakan perjanjian bersifat universal

Keberadaan 4 (empat) pengadilan pidana internasional ad hoc yang

dibentuk sebelum Mahkamah Pidana Internasional merupakan sejarah

penting dalam upaya penegakan hukum pidana internasional terlepas

dari segala kontrovesi yang timbul terkait asas legalitas dan retroaktif

serta sarat kepentingan politik. Secara umum terdapat kesamaan

mengenai kejahatan yang menjadi yurisdiksi dari Mahkamah Pidana

Internasional. Ini menandakan pengaturan mengenai kejahatan tersebut

Page 90: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah · PDF fileInternasional) yang akan menjadi bagian penting dalam penegakan hukum pidana internasional dan perlindungan HAM internasional

90

bukan merupakan sesuatu yang baru diatur dalam penegakkan hukum

pidana internasional.

Mahkamah Pidana Internasional didirikan dengan tujuan utama

untuk memastikan bahwa kejahatan paling serius yang menjadi

perhatian masyarakat internasional secara keseluruhan tidak boleh

dibiarkan dan tidak dihukum serta penuntutan secara efektif terhadap

para pelaku harus dijamin.

Hal tersebut dapat dilihat dari landasan filosofis pembentukan

Mahkamah Pidana Internasional yang diantaranya menyebutkan

beberapa alasan, yaitu :142

1. Berjuta-juta anak, wanita, dan laki-laki telah menjadi korban dari

kekejaman yang sulit untuk dibayangkan yang sangat mengejutkan

bagi kesadaran kemanusiaan.

2. Kejahatan tersebut mengancam perdamaian, keamanan, dan

kesejahteraan dunia.

3. Kejahatan paling serius menurut masyarakat internasional secara

keseluruhan tidak dapat dibiarkan tanpa ganjaran dan bahwa

penuntutan yang efektif bagi hal tersebut harus dijamin dengan

pengambilan tindakan di tingkat nasional, melalui kerjasama

Internasional.

4. Mengakhiri impunity (kekebalan) bagi yang melakukan kejahatan

tersebut dan mengupayakan pencegahan kejahatan.

142

Preamble Statuta Roma

Page 91: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah · PDF fileInternasional) yang akan menjadi bagian penting dalam penegakan hukum pidana internasional dan perlindungan HAM internasional

91

5. Kewajiban setiap negara menyelenggarakan yurisdiksi kriminal

atas siapapun yang bertanggung jawab atas kejahatan-kejahatan

internasional.

6. Tujuan dan prinsip dari Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa,

setiap Negara harus menjauhkan diri dari ancaman atau pengunaan

pasukan melawan integritas teritorial atau ketergantungan politis

Negara manapun, atau dalam beberapa hal tidak konsisten dengan

tujuan dari Perserikatan Bangsa-Bangsa.

7. Negara Peserta tidak dapat ikut campur dalam konflik bersenjata

atau mencampuri urusan dalam negeri Negara peserta lainnya.

Maka dari itu dapat dapat disimpulkan bahwa Mahkamah Pidana

Internasional merupakan perjanjian internasional yang sengaja

dibentuk untuk membentuk suatu norma hukum pidana internasional

dalam mengadili pelaku kejahatan paling serius dalam masyarakat

internasional serta menjaga perdamaian dan keamanan internasional

(law making treaty).

2. Kebiasaan Internasional

Sebagaimana telah disebutkan sebelumnya bahwa Negara bukan

peserta hanya terikat pada isi pasal yang merupakan kodifikasi hukum

kebiasaan yang sudah belaku (exiting customary law) saja. Keterikatan

Negara bukan peserta ini bukan karena perjanjiannya melainkan

karena hukum kebiasaannya.

Page 92: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah · PDF fileInternasional) yang akan menjadi bagian penting dalam penegakan hukum pidana internasional dan perlindungan HAM internasional

92

Untuk menentukan suatu ketentuan atau norma berasal atau

diangkat dari hukum kebiasaan internasional maka harus dilihat dari :

evidence of material fact atau praktek atau perilaku umum yang telah

dilakukan oleh Negara-negara dan opinio juris sive necessitatis atau

prilaku yang telah dipraktekan secara umum oleh negara atau

masyarakat internasional. Dalam konteks hukum pidana internasional,

hal ini dilihat dari sejarah pengaturan kejahatan-kejahatan yang

menjadi yurisdiksi Mahkamah Pidana Internasional sebelum Statuta

Roma.

1. Kejahatan genosida

Genosida telah dianggap sebagai kejahatan internasional sejak

Perang Dunia II dan Konvensi Genosida tahun 1948 merupakan

langkah penting dalam proses tersebut. Dalam pasal 2 Konvensi

Genosida 1948, disebutkan:143

In the present Convention, genocide means any of the

following acts committed with intent to destroy, in whole or in

part, a national, ethnical, racial or religious group, as such :

a. Killing members of the group;

b. Causing serious bodily or mental harm to members of the

group;

c. Deliberately inflicting on the group conditions of life

calculated to bring about its physical destruction in whole

or in part

d. Imposing measures intended to prevent births within the

group;

e. Forcibly transferring children of the group to another

group.

143

Convention on the Prevention and Punishment of the Crime of Genocide. Adopted by the

General Assembly of the United Nations on 9 December 1948

Page 93: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah · PDF fileInternasional) yang akan menjadi bagian penting dalam penegakan hukum pidana internasional dan perlindungan HAM internasional

93

Kejahatan genosida juga telah dimasukkan dalam beberapa

Statuta Mahkamah sebelum terbentuknya Mahkamah Pidana

Internasional, yakni :

Dalam pasal 4 Statuta ICTY : 144

Genocide means any of the following acts committed with

intent to destroy, in whole or in part, a national, ethnical,

racial or religious group, as such:

a. killing members of the group;

b. causing serious bodily or mental harm to members of the

group;

c. deliberately inflicting on the group conditions of life

calculated to bring about its physical destruction in whole

or in part;

d. imposing measures intended to prevent births within the

group;

e. forcibly transferring children of the group to another

group.

Dalam pasal 2 ayat 2 Statuta ICTR : 145

Genocide means any of the following acts committed with

intent to destroy, in whole or in part, a national, ethnical,

racial or religious group, as such:

a. Killing members of the group;

b. Causing serious bodily or mental harm to members of the

group;

c. Deliberately inflicting on the group conditions of life

calculated to bring about its physical destruction in whole

or in part;

d. Imposing measures intended to prevent births within the

group;

e. Forcibly transferring children of the group to another

group.

Melihat dari uraian pengaturan yang ada dalam beberapa

Statuta sebelumnya mengenai kejahatan genosida, dapat dilihat

adanya kesamaan mengenai penjabaran tentang genosida dimulai

144

Statute of The International Criminal Tribunal For The Former Yugoslavia 145

Statute of the International Tribunal for Rwanda

Page 94: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah · PDF fileInternasional) yang akan menjadi bagian penting dalam penegakan hukum pidana internasional dan perlindungan HAM internasional

94

Konvensi Tentang Pencegahan dan Penghukuman Terhadap

Kejahatan Genosida, Statuta ICTY dan Statuta ICTY serta

ketentuan mengenai kejahatan genosida yang diatur dalam Statuta

Roma. Dapat disimpulkan Genosida berarti setiap dari perbuatan-

perbuatan berikut yang dilakukan dengan maksud untuk

menghancurkan, seluruh atau sebagian, kelompok, etnis, ras atau

agama nasional, seperti:

a. Membunuh anggota kelompok.

b. Mengakibatkan penderitaan fisik atau mental yang berat

terhadap anggota kelompok.

c. Sengaja menimbulkan kondisi kehidupan kelompok yang

berdampak membawa kehancuran fisik secara keseluruhan atau

sebagian.

d. Memaksakan tindakan-tindakan yang bertujuan mencegah

kelahiran di dalam kelompok tertentu.

e. Memindahkan secara paksa anak-anak dari kelompok satu ke

kelompok lain.

Dalam Resolusi Dewan Keamanan PBB 827 tahun 1993

menegaskan bahwa ketentuan yang relevan dengan kejahatan

genosida dalam Statuta ICTY merupakan bagian dari hukum

kebiasaan internasional.146

Dalam putusannya 11 Juli 1996 pada

Kasus tentang Penerapan Konvensi Pencegahan dan Penghukuman

146

Andreas Zimmermann, The Creation of a Permanent International Criminal Court, Hal. 206 -

210

Page 95: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah · PDF fileInternasional) yang akan menjadi bagian penting dalam penegakan hukum pidana internasional dan perlindungan HAM internasional

95

Kejahatan Genosida (Bosnia and Herzegovina vs Yugoslavia)

International Courts of Justice juga menilai bahwa hak dan

kewajiban dalam konvensi adalah obligatio erga omnes.147

2. Kejahatan terhadap kemanusiaan

Kejahatan terhadap kemanusiaan pertama kali dituntut dalam

Nuremberg Tribunal. Dalam pasal 6 ayat c Piagam Nuremberg : 148

Crimes against humanity: namely, murder, extermination,

enslavement, deportation, and other inhumane acts committed

against any civilian population, before or during the war; or

persecutions on political, racial or religious grounds in

execution of or in connection with any crime within the

jurisdiction of the Tribunal, whether or not in violation of the

domestic law of thecountry where perpetrated.

Dalam pasal 5 ayat b Piagam Tokyo : 149

Crimes against humanity: Namely, murder, extermination,

enslavement, deportation, and other inhumane acts committed

against any civilian population, before or during the war, or

persecutions on political or racial grounds in execution of or in

connection with any crime within the jurisdiction of the

Tribunal, whether or not in violation of the domestic law of the

country where perpetrated. Leaders, organizers, instigators

and accomplices participating in the formulation or execution

of a common plan or conspiracy to commit any of the foregoing

crimes are responsible for all acts performed by any person in

execution of such plan

Dalam pasal 3 Statuta ICTR :150

The International Tribunal for Rwanda shall have the power to

prosecute persons responsible for the following crimes when

committed as part of a widespread or systematic attack against

any civilian population on national, political, ethnic, racial or

religious grounds:

147

Dikutip melalui Rafael Nieto-Navia, Op. cit. Hal. 14 148

The Charter and Judgment of the Nürnberg Tribunal – History and Analysis: Memorandum

submitted by the Secretary-General 149

International Military Tribunal for the Far East (IMTFE) Charter 150

Statute of the International Tribunal for Rwanda

Page 96: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah · PDF fileInternasional) yang akan menjadi bagian penting dalam penegakan hukum pidana internasional dan perlindungan HAM internasional

96

a. Murder;

b. Extermination;

c. Enslavement;

d. Deportation;

e. Imprisonment;

f. Torture;

g. Rape;

h. Persecutions on political, racial and religious grounds;

i. Other inhumane acts.

Pasal 5 Statuta ICTY:151

crime against humanity means any of the following acts when

committed as part of a widespread or systematic attack

directed against any civilian population, with knowledge of the

attack:

a. Murder;

b. Extermination;

c. Enslavement;

d. Deportation or forcible transfer of population;

e. Imprisonment or other severe deprivation of physical

liberty in violation offundamental rules of international

law;

f. Torture;

g. Rape, sexual slavery, enforced prostitution, forced

pregnancy, enforced sterilization, or any other form of

sexual violence of comparable gravity;

h. Persecution against any identifiable group or collectivity

on political, racial, national, ethnic, cultural, religious,

gender as defined in paragraph 3, or other grounds that

are universally recognized as impermissible under

international law, in connection with any act referred to in

this paragraph or any crime within the jurisdiction of the

Court;

i. Enforced disappearance of persons;

j. The crime of apartheid;

k. Other inhumane acts of a similar character intentionally

causing great suffering, or serious injury to body or to

mental or physical health.

Dilihat dari pengaturan kejahatan terhadap kemanusiaan yang

diatur dalam Statuta Roma adalah sama dengan yang diatur dalam

151

Statute of The International Criminal Tribunal For The Former Yugoslavia

Page 97: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah · PDF fileInternasional) yang akan menjadi bagian penting dalam penegakan hukum pidana internasional dan perlindungan HAM internasional

97

Statuta ICTY. Dimana jika dibandingkan dengan Statuta yang ada

sebelum ICTY, ketentuan tentang kejahatan terhadap kemanusiaan

tersebut mengalami penambahan substansi yang diatur dimana

dalam pengaturan terakhir dalam Statuta Roma terdapat :

a. Perbudakan seksual, prostitusi paksa, kehamilan paksa,

sterilisasi paksa, atau bentuk lain kekerasan seksual dengan

tingkat kegawatan yang sebanding.

b. Penganiayaan terhadap kelompok diidentifikasi pada politik

gender, ras, kebangsaan, etnis, budaya, agama atau alasan lain

yang telah diakui secara universal sebagai hal yang dilarang

menurut hukum internasional.

c. Penghilangan orang secara paksa.

d. Kejahatan apartheid.

e. Perbuatan tidak manusiawi lain dengan sifat sama yang secara

sengaja menyebabkan penderitaan atau luka serius terhadap

badan atau mental atau kesehatan fisik.

Penambahan substansi kejahatan terhadap kemanusian ini

merupakan progressive development dalam pembentukan hukum

kebiasaan internasional.

3. Kejahatan perang

Kejahatan perang adalah pelanggaran serius pada aturan hukum

kebiasaan dan perjanjian mengenai hukum humaniter internasional,

Page 98: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah · PDF fileInternasional) yang akan menjadi bagian penting dalam penegakan hukum pidana internasional dan perlindungan HAM internasional

98

atau dikenal sebagai hukum yang mengatur tentang konflik

bersenjata. Dalam pasal 6 ayat b Piagam Nuremberg :152

War crimes: namely, violations of the laws or customs of war.

Such violations shall include, but not be limited to, murder, ill-

treatment or deportation to slave labour or for any other

purpose of civilian population of or in occupied territory,

murder or ill-treatment of prisoners of war or persons on the

seas, killing of hostages, plunder of public or private property,

want on destruction of cities, towns or villages, or devastation

not justified by military necessity;

Dalam pasal 5 ayat b Piagam Tokyo : “Conventional war

crimes : namely, violations of the laws or customs of war”

Dalam Pasal 2 Statuta ICTY :153

“grave breaches of the Geneva Conventions of 12 August 1949,

namely the following acts against persons or property

protected under the provisions of the relevant Geneva

Convention:

a. wilful killing

b. torture or inhuman treatment, including biological

experiments

c. wilfully causing great suffering or serious injury to body or

health

d. extensive destruction and appropriation of property, not

justified by military necessity and carried out unlawfully

and wantonly

e. compelling a prisoner of war or a civilian to serve in the

forces of a hostile power

f. wilfully depriving a prisoner of war or a civilian of the

rights of fair and regular trial

g. unlawful deportation or transfer or unlawful confinement of

a civilian

h. taking civilians as hostages.

152

The Charter and Judgment of the Nürnberg Tribunal – History and Analysis: Memorandum

submitted by the Secretary-General 153

Statute of The International Criminal Tribunal For The Former Yugoslavia

Page 99: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah · PDF fileInternasional) yang akan menjadi bagian penting dalam penegakan hukum pidana internasional dan perlindungan HAM internasional

99

Dalam pasal 4 Statuta ICTR :154

The International Tribunal for Rwanda shall have the power to

prosecute persons committing or ordering to be committed

serious violations of Article 3 common to the Geneva

Conventions of 12 August 1949 for the Protection of War

Victims, and of Additional Protocol II there to of 8 June 1977.

These violations shall include, but shall not be limited to:

a. Violence to life, health and physical or mental well-being of

persons, in particular murder as well as cruel treatment

such as torture, mutilation or any form of corporal

punishment;

b. Collective punishments;

c. Taking of hostages;

d. Acts of terrorism;

e. Outrages upon personal dignity, in particular humiliating

and degrading treatment, rape, enforced prostitution and

any form of indecent assault;

f. Pillage;

g. The passing of sentences and the carrying out of executions

without previous judgement pronounced by a regularly

constituted court, affording all the judicial guarantees

which are recognised as indispensable by civilised peoples;

h. Threats to commit any of the foregoing acts

Dalam Konvensi Jenewa 1949, Negara telah menghukum

kejahatan perang terlepas dari kewarganegaraan pelaku,

kewarganegaraan korban atau tempat dimana kejahatan tersebut

telah dilakukan. Pendekatan ini telah dilakukan dalam konsep

pelanggaran berat sebagaimana tercantum dalam Konvensi Jenewa

tahun 1949 karena negara pihak pada Konvensi Jenewa 1949,

wajib untuk menghukum pelanggaran berat seperti terlepas dari

kewarganegaraan pelaku.

154

Statute of the International Tribunal for Rwanda

Page 100: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah · PDF fileInternasional) yang akan menjadi bagian penting dalam penegakan hukum pidana internasional dan perlindungan HAM internasional

100

4. Kejahatan agresi

Setelah penuntutan atas kejahatan terhadap perdamaian pada

akhir Perang Dunia kedua, Majelis Umum PBB menegaskan

prinsip-prinsip hukum internasional diakui oleh Piagam Pengadilan

Nuremberg dan Keputusan Pengadilan (Resolusi 95 (I) pada 11

Desember 1946) mengarahkan Komisi Hukum Internasional untuk

merumuskan prinsip-prinsip dan menyiapkan kode pelanggaran

terhadap perdamaian dan keamanan umat manusia (Resolusi177

(II) dari 21 November 1947). International Law Commision

menyelesaikan beberapa rancangan yang diikuti dengan deskripsi

agresi dan kode pelanggaran yang termasuk agresi dalam Piagam

Nuremberg.155

Bab VII Piagam PBB dalam kaitannya dengan kejahatan

agresi, memberikan tanggung jawab kepada Dewan Keamanan

PBB untuk pemeliharaan perdamaian dan keamanan internasional,

maka dari itu Dewan Keamanan memiliki kewenangan

memberdayakan Mahkamah Pidana Internasional untuk bertindak

atas dasar yurisdiksi universal.

Sebagaimana teori untuk menentukan apakah substansi yang diatur

dalam suatu perjanjian internasional diangkat dari suatu kebiasaan

internasional, maka dapat disimpulkan :

155

Elizabeth Wilmshurst, Defenition Of Aggression, United Nations Audiovisual Library of

International Law

Page 101: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah · PDF fileInternasional) yang akan menjadi bagian penting dalam penegakan hukum pidana internasional dan perlindungan HAM internasional

101

a. Pengaturan mengenai kejahatan genosida, kejahatan terhadap

kemanusiaan, kejahatan terhadap kemanusiaan, dan agresi

merupakan praktek atau perilaku yang secara umum telah

dilakukan atau dipraktekkan oleh negara-negara (the evidence of

material fact).

b. Penerapan untuk penghukuman terhadap kejahatan yang dimaksud

telah dipraktekkan secara umum tersebut, oleh negara-negara atau

masyarakat internasional (opinio juris sive necessitatis).

Dari uraian kaitan pembentukan norma jus cogens dengan Statuta

Roma, maka dapat disimpulkan kejahatan yang menjadi yurisdiksi

kriminal Mahkamah adalah international crimes yang merupakan

bagian dari jus cogens dan merupakan obligatio erga omnes yang tidak

dapat dikurangi pelaksanaannya.

Kewajiban hukum yang timbul dari status yang lebih tinggi dari

kejahatan tersebut termasuk kewajiban untuk menuntut atau

mengekstradisi, tidak diterapkannya pembatasan untuk kejahatan-

kejahatan tersebut, termasuk kekebalan Kepala Negara, tidak

diterapkannya ketaatan kepada perintah atasan, baik dalam waktu

damai atau perang dan tidak dapat dikurangi dalam keadaan darurat,

dan pemberlakuan yursdiksi universal atas pelaku kejahatan

tersebut.156

Beberapa pakar hukum internasional juga berpendapat

bahwa penerapan yurisdiksi universal terhadap kejahatan paling serius

156

Cherif Bassiouni, International Crimes Jus Cogens and Obligatio Erga Omnes, Hal. 1

Page 102: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah · PDF fileInternasional) yang akan menjadi bagian penting dalam penegakan hukum pidana internasional dan perlindungan HAM internasional

102

dalam hukum internasional merupakan obligatio erga omnes bagi

semua negara. Hal ini memiliki kesamaan dengan salah satu tujuan

pendirian Mahkamah Pidana International itu sendiri yang menyatakan

bahwa kejahatan yang paling serius menurut masyarakat internasional

secara keseluruhan harus tidak dapat dibiarkan tanpa ganjaran dan

bahwa penuntutan yang efektif bagi hal tersebut harus dijamin dengan

pengambilan tindakan di tingkat nasional, melalui kerjasama

Internasional.157

Namun perlu diperhatikan penerapan prinsip komplementaris juga

merupakan tujuan dari pembentukan Mahkamah Pidana International

dengan mempertimbangkan penghargaan terhadap kedaulatan negara.

Doktrin persamaan kedaulatan Negara-negara dicantumkan dalam

pasal 2 ayat 1 Piagam PBB secara eksplisit menyatakan bahwa : “the

organization is based on the principle of the sovereign equality of all

its members” Meskipun suatu negara berdaulat, bukan berarti negara

bebas dari tanggung jawab. Artinya bahwa dalam kedaulatan terkait

didalamnya kewajiban untuk tidak menyalahgunakan kedaulatan

itu.158

.

Hal ini patut menjadi perhatian sangat penting karena dalam

Statuta Roma menyediakan mekanisme yang sangat luas kepada

Dewan Keamanan PBB bertindak atau mengajukan suatu situasi

kepada Jaksa Mahkamah Pidana Internasional dan Dewan Keamanan

157

Ayat 4 Preamble Statuta Roma 158

Huala Adolf, Apsek – Aspek negara dalam Hukum Internasional, Kini Media, Bandung, 2011,

Hal. 214

Page 103: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah · PDF fileInternasional) yang akan menjadi bagian penting dalam penegakan hukum pidana internasional dan perlindungan HAM internasional

103

memiliki kewenangan untuk menentukan dimulai atau dihentikannya

suatu penyidikan terhadap suatu situasi yang mungkin telah/sedang

terjadi kejahatan yang menjadi yurisdiksi Mahkamah.159

Maka dengan demikian dapat disimpulkan bahwa Negara bukan

peserta terikat pada ketentuan yang ada dalam Statuta Roma berdasarkan

norma jus cogens yang dapat dilihat dari perjanjian bersifat universal yang

bertujuan untuk membentuk norma dalam hukum internasional dan

perjanjian yang diangkat dari hukum kebiasaan internasional. Kejahatan

yang menjadi yurisdiksi Mahkamah Pidana Internasional merupakan

international crimes yang merupakan bagian dari jus cogens dan

mengakibatkan Mahkamah Pidana Internasional dapat memberlakukan

yurisdiksinya dengan mekanisme pasal 13 ayat b Statuta Roma yakni

ketika Dewan Keamanan PBB mengajukan suatu situasi kepada Jaksa

Mahkamah dan bertindak berdasarkan BAB VII Piagam PBB setelah

melihat adanya ketidakinginan dan ketidakmampuan Negara bukan peserta

tempat dimana kejahatan itu terjadi untuk menuntut, mengadili secara

efektif pelaku kejahatan tersebut.

b. Yurisdiksi personal

Yurisdiksi personal secara umum dapat diartikan sebagai siapa yang

dapat dimintai pertanggungjawabannya terhadap suatu peristiwa/

kejahatan. Dalam Piagam Nuremberg disebutkan Mahkamah memiliki

kewenangan untuk mengadili individu yang bertindak sebagai pemimpin,

159

Pasal 13 ayat b dan pasal 16 Statuta Roma

Page 104: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah · PDF fileInternasional) yang akan menjadi bagian penting dalam penegakan hukum pidana internasional dan perlindungan HAM internasional

104

pelaksana, penghasut dan pembantu, berpartisipasi dalam perumusan atau

pelaksanaan rencana atau konspirasi untuk melakukan salah satu kejahatan

yang menjadi yurisdiksi kriminal Mahkamah.160

Piagam Nuremberg juga

menyebutkan bahwa kedudukan pelaku, baik sebagai Kepala Negara atau

pejabat yang bertanggung jawab dalam pemerintahan, tidak dianggap

sebagai alasan pembenar untuk membebaskan mereka dari tanggung jawab

atau meminimalkan hukuman.161

Selain itu, fakta bahwa pelaku bertindak

sesuai dengan perintah negara atau dari atasan, tidak akan

membebaskannya dari tanggung jawab, tetapi dapat dipertimbangkan

dalam pengurangan hukuman. Mahkamah dapat menyatakan bahwa

kelompok atau organisasi adalah sebuah organisasi kriminal.162

Dalam hal

terdakwa tidak dapat ditemukan, Mahkamah diberi wewenang untuk

mengambil keputusan secara in absentia.163

Dalam Piagam Tokyo, mahkamah memiliki kewenangan untuk

mengadili individu, baik dalam posisi resmi, atau bertindak sesuai dengan

perintah negara atau atasan akan dengan sendirinya dapat dipertimbangkan

dalam pengurangan hukuman.164

Dalam Statuta ICTY dan ICTY, Mahkamah memiliki yurisdiksi

terhadap individu, yang :

160

Pasal 6 Piagam Nuremberg 161

Pasal 7 Piagam Nuremberg 162

Pasal 9 Piagam Nuremberg 163

Pasal 12 Piagam Nuremberg 164

Pasal 6 Tokyo Tribunal

Page 105: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah · PDF fileInternasional) yang akan menjadi bagian penting dalam penegakan hukum pidana internasional dan perlindungan HAM internasional

105

1. Merencanakan, menghasut, memerintahkan, melakukan atau

membantu dan bersekongkol dalam perencanaan, persiapan atau

pelaksanaan suatu kejahatan.

2. Jabatan resmi dari orang yang dituduh, baik sebagai Kepala Negara

atau Pemerintah atau sebagai pejabat pemerintah yang bertanggung

jawab, tidak akan membebaskan orang tersebut dari tanggung jawab.

3. Seorang bawahan tidak membebaskan atasannya dari tanggung jawab

pidana, jika atasan mengetahui atau memiliki alasan untuk mengetahui

bahwa bawahan melakukan kejahatan atau telah melakukannya dan

atasan gagal untuk mengambil tindakan yang wajar serta diperlukan

untuk mencegah tindakan tersebut atau menghukum pelakunya.

4. Orang yang bertindak sesuai dengan perintah dari Negara ataupun

atasannya tidak akan bebas dari tanggung jawab pidana, tetapi dapat

dipertimbangkan dalam pengurangan hukuman.

Dalam pasal 25 (1) Statuta Roma jelas disebutkan : “the court shall

have jurisdiction over natural persons pursuant to this Statute“. Individu

yang dapat dimintai pertanggung jawabannya adalah :

1. Melakukan kejahatan tersebut, baik sebagai individu, bersama-sama

dengan orang lain atau melalui orang lain, terlepas dari apakah orang

lain itu bertanggung jawab secara criminal.

2. Memerintahkan, memudahkan atau membujuk supaya tindakan

kejahatan tersebut yang sebenarnya terjadi atau dicoba.

Page 106: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah · PDF fileInternasional) yang akan menjadi bagian penting dalam penegakan hukum pidana internasional dan perlindungan HAM internasional

106

3. Untuk tujuan memfasilitasi kejahatan seperti itu, membantu,

bersekongkol atau mendukung tindakan atau usaha coba melakukan,

termasuk menyediakan sarana untuk melakukannya.

4. Dengan cara lain memberikan kontribusi kepada komisi atau coba

kejahatan tersebut oleh sekelompok orang yang bertindak dengan

tujuan yang sama. Kontribusi semacam itu haruslah merupakan

kesengajaan dan keharusan.

5. Dilakukan dengan tujuan untuk memperluas kegiatan kejahatan atau

tujuan kejahatan kelompok, di mana kegiatan atau tujuan melibatkan

kejahatan di dalam juridiksi Pengadilan; atau

6. Dilakukan dengan sepengetahuan atas kesengajaan dari kelompok

untuk melakukan kejahatan.

Mahkamah Pidana Internasional memiliki yurisdiksi terhadap orang-

orang atau individu-individu yang harus bertanggung jawab atas kejahatan

yang dilakukannya (individual criminal responsibility). 165

Prinsip-prinsip

umum terkait dengan beberapa karakter khusus orang yang dapat dimintai

pertanggungjawabnya dalam Statuta Roma adalah :

1. Statuta ini akan berlaku kepada setiap orang tanpa melihat perbedaan

berdasarkan jabatannya dalam pemerintahan.

2. Seorang komandan militer bertanggung jawab secara pidana untuk

kejahatan yang dilakukan oleh pasukan dibawah kewenang/komando

nya, atau akibat dari kegagalannya dalam mengendalikan pasukannya,

165

Pasal 25 ayat 1 Statuta Roma

Page 107: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah · PDF fileInternasional) yang akan menjadi bagian penting dalam penegakan hukum pidana internasional dan perlindungan HAM internasional

107

dimana pasukannya melakukan atau mencoba melakukan suatu

kejahatan; dan gagal untuk melakukan segala tindakan yang diperlukan

sesuai dengan kekuasaannya untuk mencegah terjadinya atau untuk

melaporkannya kepada pihak-pihak yang berwenang untuk diadakan

penyelidikan.

3. Seseorang akan bertanggung jawab secara pidana dan dapat dihukum

untuk suatu kejahatan jika dilakukan dengan niatan dan pengetahuan.

Pengecualian individu yang bukan yursdiksi dari Mahkamah Pidana

Internasional adalah :

1. Pelaku berusia dibawah 18 tahun

2. Mengecualikan tanggung jawab pidana jika pada saat orang tersebut

melakukan perbuatan dalam keadaan :

a. Menderita penyakit kejiwaan atau kecacatan.

b. Dalam keadaan keracunan.

c. Bertindak secara wajar untuk melindungi dirinya.

d. Diakibatkan oleh tekanan karena ancaman kematian atau

penganiyaan berat secara terus menerus.

Mahkamah Pidana Internasional memiliki yurisdiksi terhadap orang-

orang atau individu-individu yang harus bertanggung jawab atas kejahatan

yang dilakukannya.166

Dalam hukum internasional dikenal adanya

kekebalan/ immunity. Bagi Kepala Negara terdapat dua jenis kekebalan

Kepala Negara. Pertama, yang disebut imunitas atau kekebalan fungsional

166

Pasal 25 ayat 1 Statuta Roma

Page 108: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah · PDF fileInternasional) yang akan menjadi bagian penting dalam penegakan hukum pidana internasional dan perlindungan HAM internasional

108

untuk tindakan resmi (ratione materiae), yang diberikan kepada seluruh

pejabat negara untuk tujuan tidak menghambat, atau mengganggu, kinerja

kegiatan kenegaraannya. Konsekuensinya adalah bahwa seorang pejabat

publik tidak dapat bertanggung jawab atas tindakan yang dilakukan dalam

pelaksanaan kapasitas resmi, karena ini harus dirujuk ke negara itu sendiri.

Sebuah penerapan prinsip ini kepada perwakilan diplomatik yang diatur

dalam pasal 39 ayat (2) Konvensi Wina 1961. Kedua, kekebalan pribadi

Kepala Negara (ratione personae), berdasarkan hal tersebut kekebalan

Kepala Negara sebanding dengan yang diberikan kepada perwakilan

diplomatik atas tindakan pribadi, menunjukkan kekebalan baik dari

yurisdiksi perdata dan pidana sebagai bentuk perlindungan tambahan. 167

Namun dalam kategori kejahatan yang diatur sebagai yurisdiksi

Mahkamah Pidana Internasional ini kekebalan terhadap jabatan resmi

tidak membebaskan dari pertanggungjawaban pidana. Hal ini dapat dilihat

dalam preamble Statuta Roma : 168

1. Menegaskan bahwa kejahatan paling serius yang menjadi perhatian

keseluruhan masyarakat internasional tidak boleh dibiarkan, tidak

dihukum dan bahwa penuntutansecara efektif terhadap pelaku harus

dijamin dengan mengambil langkah-langkah di tingkat nasional dan

dengan meningkatkan kerjasama internasional,

167

Salvatore Zappalà, 2001, Do Heads of State in Office Enjoy Immunity from Jurisdiction for

International Crimes? The Ghaddafi Case Before the French Cour de Cassation, EJIL,Hal.4 168

Alinea 4 dan 5 Statuta Roma

Page 109: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah · PDF fileInternasional) yang akan menjadi bagian penting dalam penegakan hukum pidana internasional dan perlindungan HAM internasional

109

2. Bertekad untuk mengakhiri impunitas bagi para pelaku kejahatan ini

dan dengan demikian untuk berkontribusi pada pencegahan kejahatan

tersebut.

Hal ini juga ditemukan dalam prinsip-prinsip umum dalam Statuta

Roma yang menyebutkan yurisdiksi Mahkamah berlaku kepada setiap

orang tanpa melihat perbedaan berdasarkan jabatannya dalam

pemerintahan. 169

c. Yurisdiksi Temporal

Yurisdiksi temporal secara umum dapat diartikan kapan mulai

berlakunya suatu kewenangan untuk situasi tertentu. Dalam pasal 126 ayat

1 Statuta Roma tentang entry into force, disebutkan :

“this statute shall enter into force on the first day of the month after

the 60th day following the date of the deposit of the 60th instrument of

ratification, acceptance, approval or accession with the Secretary-

General of the United Nations”

Sebagai konsekuensi logis sejalan dengan prinsip non retroactively

Mahkamah Pidana Internasional hanya dapat menerapkan yurisdiksinya

terhadap kejahatan yang terjadi setelah Statuta Roma efektif berlaku yakni

1 Juli 2002. Dari sini dapat dilihat langkah maju dalam penegakan hukum

pidana internasional, mengingat jika dilihat dari keberadaan pengadilan

pidana internasional yang ada sebelumnya, yang baru dibentuk setelah

terjadi suatu pelanggaran hukum humaniter internasional. Nuremberg

Tribunal dan Tokyo Tribunal yang dibentuk setelah Perang Dunia II

berakhir. Selanjutnya Mahkamah Kejahatan Perang untuk Kasus bekas

169

Pasal 27 Statuta Roma

Page 110: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah · PDF fileInternasional) yang akan menjadi bagian penting dalam penegakan hukum pidana internasional dan perlindungan HAM internasional

110

Yusgoslavia dan Mahkamah Kejahatan Perang untuk Kasus bekas Rwanda

yang baru dibentuk setelah konflik bersenjata di bekas Yugoslavia dan

Rwanda terjadi.

Artinya dalam Statuta Roma juga terdapat prinsip-prinsip umum :

Nullum crimen sine lege, Nulla poena sine lege dan Non-retroactivity

ratione personae. 170

Dimana seseorang tidak dapat bertanggungjawab

secara pidana kecuali jika tindakan tersebut pada waktu dilakukan

merupakan suatu tindak pidana dan seseorang yang telah didakwa hanya

dapat dijatuhi hukuman sesuai dengan Statuta ini.

d. Yurisdiksi Teritorial

Yurisdiksi territorial secara umum dapat diartikan sebagai pada

batasan territorial dari berlakunya suatu kewenangan.

Dalam Piagam Tokyo tidak disebutkan secara jelas mengenai

territorial yang menjadi yurisdiksi Mahkamah. Dalam Statuta hanya

menjelaskan bahwa mahkamah didirikan untuk mengadili para penjahat

perang besar di Timur Jauh.

Demikian pula halnya dengan Piagam Nuremberg, dimana hanya

menjelaskan mahkamah memiliki yurisdiksi untuk mengadili dan

menghukum orang-orang yang bertindak dalam kepentingan European

Axis countries, baik sebagai individu atau sebagai anggota organisasi,

melakukan salah satu kejahatan berikut

170

Lihat Pasal 22-24 Statuta Roma

Page 111: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah · PDF fileInternasional) yang akan menjadi bagian penting dalam penegakan hukum pidana internasional dan perlindungan HAM internasional

111

Dalam Statuta ICTY ditegaskan bahwa wilayah yurisdiksi dari

mahkamah akan diperluas ke wilayah bekas Republik Federal Sosialis

Yugoslavia, termasuk permukaan tanah, wilayah udara dan perairan

teritorial.

Dalam Statuta ICTR ditegaskan wilayah yurisdiksi dari Mahkamah

akan diperluas ke wilayah Rwanda termasuk permukaan tanah dan udara

serta wilayah negara-negara tetangga dalam hal pelanggaran serius

terhadap hukum humaniter internasional yang dilakukan oleh warga

Rwanda.

Dalam pasal 12 ayat 2 Statuta Roma :

the Court may exercise its jurisdiction if one or more of the following

States are Parties to this Statute or have accepted the jurisdiction of

the Court in accordance with paragraph 3

(a) The State on the territory of which the conduct in question

occurred or, if the crime was committed on board a vessel or

aircraft, the State of registration of that vessel or aircraft;

(b) The State of which the person accused of the crime is a national

Terlepas dari Negara bukan peserta tidak mendeklarasikan diri untuk tidak

tunduk pada ketentuan dalam Statuta Roma, dalam pembukaan Statuta Roma

ditegaskan bahwa kejahatan paling serius yang menjadi perhatian masyarakat

internasional secara keseluruhan tidak boleh dibiarkan tidak dihukum dan

bahwa penuntutan mereka secara efektif harus dijamin dengan mengambil

langkah-langkah di tingkat nasional dan dengan meningkatkan kerjasama

internasional. Dalam ketentuan dalam Statuta Roma dalam pasal 13 ayat b

yang mengatur kontribusi Dewan Keamanan PBB dalam mengajukan suatu

situasi kepada Mahkamah Pidana Internasional dengan bertindak sesuai

Page 112: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah · PDF fileInternasional) yang akan menjadi bagian penting dalam penegakan hukum pidana internasional dan perlindungan HAM internasional

112

kewenangannya sesuai Bab VII Piagam PBB, dimana suatu situasi dianggap

mengancam perdamaian dan keamanan internasional.

Penerapan yursidiksi universal ini juga harus memperhatikan prinsip

komplementaris dari Mahkmah Pidana Internasional itu sendiri, artinya

Mahkamah baru dapat menerapkan yurisdiksinya kepada Negara bukan

peserta sebagaimana Mahkamah menerapkan yurisdiksinya kepada Negara

Peserta, yakni apabila Negara tersebut tidak memiliki keinginan dan tidak

memiliki kemampuan untuk mengadili pelaku kejahatan tersebut.

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa Negara bukan peserta Statuta

Roma dapat mengadili sendiri para pelaku kejahatan yang menjadi yurisdiksi

Mahkamah Pidana Internasional apabila :

a. Tersedianya hukum nasional yang mengatur tentang kejahatan yang

menjadi yurisdiksi Mahkamah Pidana Internasional.

b. Tersedianya sarana prasana yang mendukung untuk sebuah proses

peradilan yang independen dan tidak memihak, ditambah adanya

kerjasama internasional dari Negara tempat situasi tersebut terjadi.

c. Dapat memperoleh saksi dan memberikan perlindungan terhadap saksi.

d. Dapat memperoleh tersangka dan memberikan perlindungan terhadap

tersangka.

e. Tersedianya petugas peradilan (hakim, jaksa, pengacara) yang memiliki

kemampuan yang cukup untuk proses peradilan terhadap perkara tersebut.

Page 113: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah · PDF fileInternasional) yang akan menjadi bagian penting dalam penegakan hukum pidana internasional dan perlindungan HAM internasional

113

f. Dan perkara tersebut sudah mulai dilakukan investigasi atau penuntutan

dengan hukum nasional Negara yang memiliki yurisdiksi untuk mengadili

perkara tersebut.

B. Pemberlakuan Yurisdiksi Mahkamah Pidana Internasional terhadap

Situasi di Darfur-Sudan dan Libya

Mahkamah Pidana Internasional memiliki yurisdiksi atas Negara bukan

peserta dalam 3 (tiga) keadaan yaitu : 171

1. Mahkamah Pidana Internasional bisa mengadili warga Negara bukan

peserta dalam situasi disebut Jaksa Mahkamah Pidana Internasional oleh

Dewan Keamanan PBB (Pasal 13 ayat b Statuta Roma).

2. Warga Negara bukan peserta tunduk pada yurisdiksi Mahkamah Pidana

Internasional ketika telah terjadi kejahatan di wilayah Negara yang

menjadi pihak pada Statuta Roma atau sebaliknya telah menerima

yurisdiksi Mahkamah sehubungan dengan kejahatan tersebut. (Pasal 12

ayat 2 (a) Statuta Roma).

3. Yurisdiksi dapat diterapkan terhadap warga Negara bukan peserta dimana

Negara bukan peserta telah menyetujui untuk pelaksanaan yurisdiksi

terhadap kejahatan tertentu. Dalam salah satu dari dua keadaan,

persetujuan dari negara kebangsaan bukan merupakan prasyarat untuk

pelaksanaan yurisdiksi (Pasal 12 ayat 3 Statuta Roma).

171

Dapo Akande, The Jurisdiction of the ICC over Nationals of Non-Parties: Legal Basis and

Limits, Journal of International Criminal Justice 1, 3 Oxford University Press, 2003. Hal.618 - 619

Page 114: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah · PDF fileInternasional) yang akan menjadi bagian penting dalam penegakan hukum pidana internasional dan perlindungan HAM internasional

114

Sejak terbentuknya Mahkamah Pidana Internasional, terdapat 2 (dua)

situasi yang terjadi pada wilayah negara bukan peserta Statuta Roma yang

diselidiki oleh Mahkamah, yaitu situasi di Darfur-Sudan dan situasi di Libya.

a. Situasi di Darfur – Sudan

Wilayah Darfur di bagian barat Sudan adalah dari daerah yang secara

geografis besar terdiri dari sekitar 250.000 kilometer persegi dengan

populasi sekitar 6 juta orang. Sejak tahun 1994 wilayah tersebut telah

dibagi secara administratif menjadi 3 (tiga) negara : Darfur bagian Utara,

Darfur bagian Selatan dan Darfur bagian Barat. Seperti semua negara-

negara lain di Sudan, masing-masing 3 (tiga) negara bagian di Darfur

diatur oleh Gubernur (Wali), yang ditunjuk oleh pemerintah pusat di

Khartoum, dan didukung oleh pemerintah daerah.172

Sudan merdeka dari

kekuasaan Inggris-Mesir pada 1 Januari 1956. Sejak kemerdekaan, negara

telah berfluktuasi antara rezim militer dan pemerintahan demokratis. 173

Akar konflik yang terjadi di Darfur sangat kompleks. Selain

permusuhan suku, identitas, tata kelola pemerintahan, munculnya gerakan

pemberontak bersenjata memainkan utama peran dalam pembentukan

krisis di Darfur ini. Terdapat 2 (dua) kelompok pemberontak di Darfur,

Sudan Liberation Movement/Army (SLM/A) dan Justice and Equality

Movement (JEM) yang mulai terorganisir antara tahun 2001 sampai 2002.

174 Gerakan pemberontak ini memulai kegiatan militer pada akhir tahun

172

Report of the International Commission of Inquiry on Darfur to the United Nations Secretary-

General, Hal. 20 173

Ibid, Hal. 17 174

Ibid, Hal. 22 - 23

Page 115: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah · PDF fileInternasional) yang akan menjadi bagian penting dalam penegakan hukum pidana internasional dan perlindungan HAM internasional

115

2002 dan awal tahun 2003. Gerakan pemberontak mulai melakukan

penyerangan terhadap kantor polisi setempat dan menjarah harta dan

persenjataan pemerintah.175

Pada bulan Maret dan April tahun 2003, pemberontak menyerang

instalasi pemerintah di Kutum, Tine dan El Fashir, termasuk bagian militer

bandara El Fashir dimana para pemberontak menghancurkan beberapa

pesawat militer dan membunuh banyak tentara. 176

Pemerintah yang tidak siap untuk menghadapi serangan militer dari

gerakan pemberontak tersebut. Hal ini disebabkan pemerintah tidak

memiliki sumber daya militer yang cukup, karena banyak pasukan

pemerintah masih terletak di Selatan. Kemudian Pemerintah memutuskan

untuk menarik sebagian besar pasukan polisi ke pusat-pusat perkotaan. Hal

ini berdampak pemerintah tidak memiliki kontrol de facto terhadap daerah

pedesaan, yang menjadi basis pemberontak. Keadaan ini semakin

diperparah dengan kendala angkatan bersenjata Sudan yang enggan untuk

memerangi orang-orang dari suku mereka sendiri.

Untuk mengatasi masalah tersebut pemerintah merekrut suku-suku

lokal untuk membantu melawan gerakan pemberontak. Menanggapi

panggilan pemerintah, suku-suku nomaden yang sebagian besar tidak

memiliki tanah tersebut menanggapi dan bergabung dengan pemerintah,

mengingat ada kesempatan mendapatkan daerah baru untuk menetap.

175

Loc.it 176

Ibid. Hal 23

Page 116: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah · PDF fileInternasional) yang akan menjadi bagian penting dalam penegakan hukum pidana internasional dan perlindungan HAM internasional

116

Kelompok yang direkrut pemerintah ini dinamakan "Janjaweed" yang

berasal dari sebuah istilah tradisional Darfur.

Disamping pertempuran antara 2 (dua) kelompok pemberontak dengan

Pemerintah dan Janjaweed di sisi lain, elemen yang paling penting dari

konflik di Darfur ini adalah telah menjadi serangan terhadap warga sipil,

yang telah menyebabkan kehancuran dan pembakaran seluruh desa, dan

perpindahan dari sebagian besar penduduk sipil.177

Bertindak berdasarkan Bab VII Piagam PBB, pada tanggal 18

September 2004 Dewan Keamanan PBB mengadopsi Resolusi Nomor

1564 yang meminta Sekretaris Jenderal PBB membentuk komisi

penyelidikan internasional untuk segera menyelidiki laporan pelanggaran

hukum humaniter internasional dan hukum hak asasi manusia yang terjadi

di Darfur tersebut. Komisi peyelidik internasional ini bertugas menyelidiki

apakah terjadi kejahatan genosida dan mengidentifikasi pelaku

pelanggaran tersebut dengan maksud untuk memastikan bahwa mereka

yang melakukan perbuatan tersebut harus dimintai

pertanggungjawabannya. 178

Setelah melakukan penyelidikan, Komisi penyelidikan internasional

ini menyimpulkan bahwa Pemerintah Darfur-Sudan dan Milisi Janjaweed

bertanggung jawab atas sejumlah pelanggaran hak asasi manusia dan

hukum humaniter internasional. Beberapa pelanggaran yang dilakukan

sangat mungkin dikategorikan sebagai kejahatan perang. Ini terlihat dari

177

Ibid. Hal.159 178

Report of the International Commission of Inquiry on Darfur to the Secretary-General

Pursuant to Security Council resolution 1564 (2004) of 18 September 2004, Hal.2

Page 117: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah · PDF fileInternasional) yang akan menjadi bagian penting dalam penegakan hukum pidana internasional dan perlindungan HAM internasional

117

banyaknya pelanggaran dilakukan dengan pola sistematis dan meluas,

pemerintah dan milisi juga harus bertanggung jawab terhadap sejumlah

kejahatan terhadap kemanusiaan dan kejahatan perang yang terjadi di

wilayah Darfur - Sudan.179

Setelah itu Dewan Keamanan PBB mengadopsi Resolusi Dewan

Keamanan 1593 untuk situasi di Darfur-Sudan pada tahun 2005. Beberapa

hal yang melatarbelakangi Resolusi ini, yaitu : 180

1. Laporan Komisi Penyelidik Internasional atas pelanggaran hukum

humaniter internasional dan hukum hak asasi manusia di Darfur

2. Tidak ada penyidikan atau penuntutan dapat dimulai atau dilanjutkan

oleh Mahkamah Pidana Internasional untuk jangka waktu 12 bulan

setelah permintaan Dewan Keamanan (Pasal 16 Statuta Roma)

3. Mendorong Negara untuk berkontribusi pada Trust Fund Mahkamah

Pidana Internasional untuk Korban (Pasal 75 dan 79 Statuta Roma)

4. Adanya persetujuan yang dimaksud dalam Pasal 98 ayat 2 dari Statuta

Roma

5. Situasi di Sudan menjadi ancaman bagi perdamaian dan keamanan

internasional

Berdasarkan Resolusi Dewan Keamanan PBB pada tanggal 31 Maret

2005, Jaksa menerima laporan Komisi Penyelidikan Internasional untuk

situasi di Darfur-Sudan.181

Dalam laporan tersebut, komisi penyelidik

179

Ibid, Hal. 158 180

Security Council United Nations Resolution 1593 (2005) Adopted by the Security Council at its

5158th meeting, on 31 March 2005 181

Situaiton on Dafur, www.icc.cpi.net

Page 118: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah · PDF fileInternasional) yang akan menjadi bagian penting dalam penegakan hukum pidana internasional dan perlindungan HAM internasional

118

internasional yang dibentuk tersebut merekomendasikan beberapa hal

terkait situasi Darfur-Sudan, yaitu : 182

a. Rujukan oleh Dewan Keamanan dan prinsip komplementaris

b. Gagasan penerapan yurisdiksi universal

c. Penerapan yurisdiksi universal dan prinsip komplementaris dari

Mahkamah Pidana Internasional

Kesimpulan bahwa tidak ada kebijakan genosida telah diambil dan

dilaksanakan di Darfur oleh otoritas pemerintah, secara langsung atau

melalui milisi dibawah kendali mereka, serta mengecilkan dari keseriusan

kejahatan yang dilakukan di wilayah itu seperti kejahatan terhadap

kemanusiaan atau kejahatan perang skala besar, genosida adalah sama

dengan situasi yang terjadi Darfur-Sudan, dimana dilakukan pada skala

yang sangat besar, dan sejauh ini tanpa dihukum.183

Komisi penyelidik internasional tersebut juga berpandangan bahwa

prinsip komplementaris juga akan berlaku ketika Negara teritorial tidak

menjalankan keadilan karena tidak memiliki keinginan atau tidak memiliki

kemampuan untuk melaksanakan yurisdiksinya, tidak sebaliknya ada

alasan untuk meragukan kemampuan atau kesediaan Negara lain, baik

yurisdiksi universal atau yurisdiksi ekstra teritorial.

Berdasarkan laporan komisi penyelidik internasional tersebut Jaksa

kemudian meminta informasi dari berbagai sumber, baik berupa dokumen

maupun mewawancarai langsung lebih dari 50 ahli independen. Setelah

182

Report of the International Commission of Inquiry on Darfur to the United Nations Secretary-

General, Op.Cit. Hal 161 183

Ibid, Hal 161

Page 119: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah · PDF fileInternasional) yang akan menjadi bagian penting dalam penegakan hukum pidana internasional dan perlindungan HAM internasional

119

menganalisis data dan informasi tersebut, Jaksa Mahkamah menyimpulkan

bahwa persyaratan hukum untuk memulai penyelidikan telah terpenuhi.

Jaksa meminta semua pihak untuk menyediakan informasi, bukti dan

dukungan yang diperlukan untuk melaksanakan mandatnya dalam

menyelidiki situasi di Darfur-Sudan tersebut.184

Dalam pemberlakuan yurisdiksi Mahkamah Pidana Internasional

terhadap situasi di Darfur-Sudan dapat dilihat :

1. Yurisdiksi kriminal dan yurisdiksi personal

Untuk situasi di Darfur-Sudan, Jaksa Mahkamah Pidana

Internasional membagi dalam 5 (lima) berkas tuntutan yang akan

diajukan kepada Hakim Mahkamah Pidana Internasional, yakni: 185

a. Ahmad Muhammad Harun dan Ali Muhammad Ali Abd-Al-

Rahman

Ahmad Muhammad Harun adalah Former Minister of State for

the Interior of the Government of Sudan, Minister of State for

Humanitarian Affairs of Sudan. Ahmad Muhammad Harun diduga

bertanggung jawab atas 42 (empat puluh dua) tuduhan atas dasar

tanggung jawab pidana individual berdasarkan Pasal 25(3) (b) dan

25(3) (d) Statuta Roma, untuk :

1. 20 (dua puluh) tuduhan kejahatan terhadap kemanusiaan:

pembunuhan, penganiayaan, pemindahan penduduk secara

184

The Prosecutor of the ICC opens investigation in Darfur, http://www.icc-cpi.int/ 185

Situation in Darfur, Sudan, http://www.icc-cpi.int/

Page 120: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah · PDF fileInternasional) yang akan menjadi bagian penting dalam penegakan hukum pidana internasional dan perlindungan HAM internasional

120

paksa, pemerkosaan, tindakan tidak manusiawi, penjara atau

perampasan kebebasan dan penyiksaan

2. 22 (dua puluh dua) tuduhan kejahatan perang: pembunuhan,

serangan terhadap penduduk sipil, perusakan harta benda,

pemerkosaan, penjarahan dan kemarahan atas martabat pribadi.

Ali Muhammad Ali Abd-Al-Rahman merupakan Alleged

leader of the Militia/Janjaweed. Ali Muhammad Ali Abd-Al-

Rahman diduga bertanggung jawab atas 50 tuduhan atas dasar

tanggung jawab pidana individual berdasarkan Pasal 25(3) (a) dan

25(3) (d) dari Statuta Roma,untuk :

1. 22 (dua puluh dua) tuduhan kejahatan terhadap kemanusiaan:

pembunuhan, deportasi atau pemindahan paksa penduduk,

penjara atau lainnya perampasan kebebasan fisik yang

melanggar aturan dasar hukum internasional, penyiksaan,

penganiayaan dan tindakan tidak manusiawi dari menimbulkan

penderitaan dan cedera tubuh yang serius.

2. 28 (dua puluh delapan) tuduhan kejahatan perang: kekerasan

terhadap kehidupan dan pribadi; kemarahan atas martabat

pribadi dalam martabat dan perawatan tertentu, sengaja

mengarahkan serangan terhadap penduduk sipil, penjarahan,

pemerkosaan, dan menghancurkan atau merampas harta.

Page 121: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah · PDF fileInternasional) yang akan menjadi bagian penting dalam penegakan hukum pidana internasional dan perlindungan HAM internasional

121

b. Omar Hassan Ahmad Al Bashir

Omar Hassan Ahmad Al Bashir adalah President of the

Republic of Sudan sejak 16 Oktober 1993. Al Bashir diduga

bertanggung jawab pidana secara individu berdasarkan Pasal 25(3)

(a) dari Statuta Roma terhadap kejahatan:

1. 5 (lima) tuduhan kejahatan terhadap kemanusiaan:

pembunuhan, pemusnahan, pemindahan paksa penyiksaan, dan

pemerkosaan.

2. 2 (dua) tuduhan kejahatan perang: sengaja mengarahkan

serangan terhadap penduduk sipil seperti terhadap warga sipil

atau individu tidak mengambil bagian dalam permusuhan, dan

merampok.

3. 3 (tiga) tuduhan genosida: genosida pembunuhan, genosida

dengan menyebabkan tubuh atau mental yang berat dan

genosida dengan sengaja menimbulkan pada setiap kondisi

kelompok sasaran hidup yang menyebabkan kehancuran fisik

kelompok.

c. Bahar Idriss Abu Garda;

Bahar Idriss Abu Garda merupakan Chairman and General

Coordinator of Military Operations of the United Resistance

Front. Kamar Praperadilan berkeyakinan bahwa ada alasan yang

kuat untuk meyakini bahwa Mr. Abu Garda adalah bertanggung

Page 122: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah · PDF fileInternasional) yang akan menjadi bagian penting dalam penegakan hukum pidana internasional dan perlindungan HAM internasional

122

jawab pidana sebagai pelaku tidak langsung untuk tiga kejahatan

perang berdasarkan Pasal 25(3) (a) Statuta Roma:

1. Kekerasan terhadap kehidupan dalam bentuk pembunuhan,

baik yang dilakukan atau coba, sebagaimana diatur dalam pasal

8 (2) (c) (i) Statuta;

2. Dengan sengaja mengarahkan serangan terhadap personil,

instalasi, material, unit atau kendaraan yang terlibat dalam misi

penjaga perdamaian sebagaimana diatur dalam pasal 8 (2) (e)

(iii) Statuta, penjarahan sebagaimana diatur dalam Pasal 8 (2)

(e) (v) Statuta.

Pada tanggal 8 Februari 2010, Kamar Praperadilan menolak

untuk mengkonfirmasi tuduhan terhadap Bahar Idriss Abu

Garda. Kemudian pada 23 April 2010, Kamar Praperadilan

mengeluarkan putusan yang menolak permohonan Jaksa untuk

mengajukan banding atas keputusan menolak untuk

mengkonfirmasi tuduhan terhadap Bahar Idriss Abu Garda.

d. Abdallah Banda Abakaer Nourain dan Saleh Mohammed Jerbo

Jamus

Abdallah Banda Abakaer Nourain merupakan Commander-in-

Chief of Justice and Equality Mouvement Collective-Leadership,

one of the components of the United Resistance Front. Sedangkan

Saleh Mohammed Jerbo Jamus merupakan former Chief of Staff of

Page 123: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah · PDF fileInternasional) yang akan menjadi bagian penting dalam penegakan hukum pidana internasional dan perlindungan HAM internasional

123

SLA-Unity and currently integrated into Justice and Equality

Mouvement.

Abdallah Banda Abakaer Nourain dan Saleh Mohammed Jerbo

Jamus yang diduga bertanggung jawab pidana sebagai pelaku tidak

langsung atas tiga kejahatan perang sesuai Pasal 25(3) (a) dari

Statuta Roma, untuk :

1. Kekerasan terhadap kehidupan, baik yang dilakukan atau

percobaan, sebagaimana diatur dalam pasal 8 (2) (c) (i) Statuta.

2. Dengan sengaja mengarahkan serangan terhadap personil,

instalasi, material, unit atau kendaraan yang terlibat dalam misi

penjaga perdamaian sebagaimana diatur dalam pasal 8 (2) (e)

(iii) Statuta, dan merampok sebagaimana diatur dalam pasal 8

(2) (e) (v) Statuta.

e. Abdel Raheem Muhammad Hussein.

Abdel Raheem Muhammad Hussein merupakan Current

Minister of National Defence and former Minister of the Interior

and former Sudanese President’s Special Representative in Darfur.

Surat perintah penangkapan untuk Abdel Rahim Muhammad

Hussein atas 13 (tiga belas) tuduhan atas dasar tanggungjawab

pidana individual sesuai pasal 25(3) (a) dari Statuta Roma sebagai

pelaku tidak langsung, untuk :

1. 7 (tujuh) tuduhan kejahatan terhadap kemanusiaan:

penganiayaan, pembunuhan, pemindahan paksa, pemerkosaan,

Page 124: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah · PDF fileInternasional) yang akan menjadi bagian penting dalam penegakan hukum pidana internasional dan perlindungan HAM internasional

124

tindakan tidak manusiawi, penjara atau perampasan kebebasan,

dan penyiksaan

2. 6 (enam) tuduhan kejahatan perang: pembunuhan (pasal 8 (2)

(c) (i)); serangan terhadap penduduk sipil, penghancuran harta

benda (pasal 8 (2) (e) (xii)); pemerkosaan, penjarahan, dan

kemarahan atas martabat pribadi

2. Yurisdiksi teritorial dan yurisdiksi temporal

Yurisdiksi teritorial untuk situasi di Darfur-Sudan adalah tempat

dimana konflik bersenjata dimaksud terjadi yaitu di daerah Fur,

Masalit and Zaghawa. Yang keseluruhannya merupakan wilayah

teritorial Darfur.

Pola penyerangan brutal terhadap warga sipil di desa-desa dan

masyarakat di 3 (tiga) negara bagian Darfur sebenarnya sudah mulai

pada tahun 2001 dan 2002, namun intensitasnya meningkat pada Maret

2003 sampai 14 Juli 2008.186

Eskalasi ini dipicu intensifikasi konflik

internal bersenjata antara Pemerintah dan milisi dengan 2 (dua)

gerakan pemberontak, Sudan Liberation Movement/Army (SLM/A)

dan Justice and Equality Movement (JEM). Yang merupakan

yurisdiksi temporal adalah konflik bersenjata yang terjadi antara Maret

2003 sampai 14 Juli 2008.

Dari berkas yang diajukan tersebut dapat disimpulkan bahwa dari

beberapa pelaku tersebut berasal dari 2 (dua) pihak yang terlibat dalam

186

Lihat Public Document Warrant of Arrest for Omar Hassan Ahmad Al Bashir, Hal. 4

Page 125: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah · PDF fileInternasional) yang akan menjadi bagian penting dalam penegakan hukum pidana internasional dan perlindungan HAM internasional

125

pertikaian bersenjata tersebut, yakni pemerintah dan milisinya (Ahmad

Muhammad Harun, Ali Muhammad Ali Abd-Al-Rahman, Omar Hassan

Ahmad Al Bashir, Bahar Idriss Abu Garda) dan dari pihak pemberontak

(Abdallah Banda Abakaer Nourain dan Saleh Mohammed Jerbo Jamus).

Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, bahwa suatu jabatan resmi

dalam pemerintahan tidak akan membebaskan pelaku kejahatan dari

pertanggungjawaban pidana, ini dapat dilihat dari tuduhan kepada Ahmad

Muhammad Harun, Ali Muhammad Ali Abd-Al-Rahman, Omar Hassan

Ahmad Al Bashir yang merupakan pejabat pemerintah yang melakukan

perbuatan tersebut dalam karena perintah jabatannya. Sebagaimana dalam

pengadilan pidana ad hoc yang ada sebelumnya bahwa suatu jabatan resmi

dalam pemerintahan tidak luput dari pertanggungjawaban pidana. Hal ini

juga dianggap prinsip hukum umum dalam Statuta Roma, yakni pasal 27

yang mengatur tentang Irrelevance of official capacity, dimana Statuta ini

akan berlaku kepada setiap orang tanpa melihat perbedaan berdasarkan

jabatannya dalam pemerintahan.

Konflik yang terjadi di Darfur-Sudan merupakan sengketa bersenjata

non internasional. Dimana kriteria mengenai sengketa bersenjata non

internasional diatur dalam Protokol Tambahan II 1977 tentang

perlindungan korban sengketa bersenjata non internasional, disebutkan

sengketa bersenjata non internasional adalah sengketa bersenjata yang

terjadi dalam wilayah suatu negara antara pasukan bersenjata atau dengan

kelompok bersenjata terorganisasi lainnya yang terorganisasi di bawah

Page 126: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah · PDF fileInternasional) yang akan menjadi bagian penting dalam penegakan hukum pidana internasional dan perlindungan HAM internasional

126

komando yang bertanggungjawab, melaksanakan kendali sedemikian rupa

atas sebagian dari wilayahnya sehingga memungkinkan kelompok tersebut

melakukan operasi militer yang berkelanjutan dan berkesatuan serta

menerapkan aturan hukum humaniter internasional.187

Dalam Statuta Roma pelanggaran hukum serius lainnya dan kebiasaan-

kebiasaan yang berlaku dalam konflik bersenjata bukan dari karakter

internasional, dalam kerangka hukum internasional diatur dalam pasal 8

ayat (c) Statuta Roma.

Mahkamah Pidana Internasional memiliki yurisdiksi atas kejahatan

serius di bawah hukum internasional yang dilakukan di wilayah Negara

Pihak atau oleh warga Negara dari Negara Pihak. Selain itu, Mahkamah

Pidana Internasional memiliki yurisdiksi atas situasi di negara manapun di

mana situasi disebut Dewan Keamanan PBB bertindak di bawah Bab VII

dari Piagam PBB. Ketika Jaksa menerima rujukan tersebut, Statuta

mensyaratkan bahwa Jaksa melakukan pemeriksaan pendahuluan, atau

analisis, dari informasi yang tersedia dalam rangka untuk menentukan

apakah ada dasar memadai untuk melanjutkan dengan penyelidikan. Untuk

melakukan analisis ini, Jaksa bisa mencari informasi dari Negara, Organ

Perserikatan Bangsa-Bangsa, organisasi antar pemerintah atau non-

pemerintah, atau sumber terpercaya lainnya. Dalam membuat rujukan

187

Ambarwati, 2009, Hukum Humaniter Internasional dalam Studi Hubungan Internasional, PT.

RajaGrafindo, Jakarta, Hal 59 -60

Page 127: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah · PDF fileInternasional) yang akan menjadi bagian penting dalam penegakan hukum pidana internasional dan perlindungan HAM internasional

127

kepada Mahkmah Pidana Internasional tersebut Jaksa harus

mempertimbangkan:188

a. Yurisdiksi, informasi yang tersedia memberikan dasar memadai untuk

percaya bahwa kejahatan di dalam yurisdiksi Mahkamah telah atau

sedang dilakukan;

b. Pemeriksaan pendahuluan untuk menentukan diterima/ tidaknya suatu

situasi yang diajukan kepada Mahkamah, situasi yang akan diterima

memerlukan pertimbangan kegawatan dan apakah proses pengadilan

nasional benar-benar sedang dilaksanakan sehubungan dengan kasus

ini;

c. Kepentingan keadilan, dengan mempertimbangkan beratnya kejahatan

dan kepentingan korban, ada alasan substansial untuk percaya bahwa

penyelidikan tidak akan melayani kepentingan keadilan.

Dalam penerimaan situasi Darfur-Sudan, Jaksa mempertimbangkan

kegawatan dan kepentingan keadilan, dan akan terus menganalisis setiap

proses nasional di Sudan yang mungkin berhubungan dengan kasus-kasus

tersebut.189

Melihat uraian diatas dapat disimpulkan dilihat kaitan situasi di

Darfur-Sudan dengan yurisdiksi Mahkamah (yurisdiksi territorial,

yurisdiksi temporal, yurisdiksi kriminal dan yurisdiksi personal), dimana

Negara bukan peserta terikat pada ketentuan yang ada dalam Statuta

188

ICC - The Prosecutor of the ICC opens investigation in Darfur, Press Realease, http://www.icc-

cpi.int/

189

Loc.it

Page 128: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah · PDF fileInternasional) yang akan menjadi bagian penting dalam penegakan hukum pidana internasional dan perlindungan HAM internasional

128

Roma, karena kejahatan yang diatur dalam Statuta Roma merupakan

international crimes yang merupakan bagian dari jus cogens, maka Negara

bukan peserta terikat pada yurisdiksi Mahkamah Pidana Internasional.

Dalam perkembangan pemberlakuan yuridiksi Mahkamah Pidana

Internasional untuk situasi di Darfur – Sudan ini, Kamar Praperadilan telah

mengeluarkan 3 (tiga) surat perintah penangkapan, dari 5 (lima) berkas

yang diajukan sebelumnya. 3 (tiga) surat perintah penangkapan tersebut

yaitu untuk :

1. Ahmad Muhammad Harun dan Ali Muhammad Ali Abd-Al-Rahman

pada tanggal 27 April 2007. Berdasarkan bukti dan informasi yang

diberikan oleh Jaksa Mahkamah dan tanpa mengurangi keberatan

terhadap keabsahan kasus di bawah pasal 19 (2) (a) dan (b) Statuta

Roma dan tanpa mengurangi penentuan berikutnya, kasus terhadap

Ahmad Harun dan Ali Kushayb diterima dalam yurisdiksi Mahkamah.

190

2. Omar Hassan Ahmad Al Bashir, Kamar Praperadilan mengeluarkan

surat perintah penangkapan pertama pada tanggal 4 Maret 2009.

Dimana Jaksa Mahkamah Pidana Internasional setelah mengumpulkan

:191

a. Pernyataan saksi yang diambil dari saksi mata dan korban serangan

di Darfur.

190

Public Document, Warrant Of Arrest For Ali Kushyab and Warrant Of Arrest For Ahmad

Harun 191

Situation in Darfur, The Sudan Summary Of The Case, Prosecutor’s Application for Warrant of

Arrest under Article 58, Against Omar Hassan Ahmad AL BASHIR, Hal. 2

Page 129: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah · PDF fileInternasional) yang akan menjadi bagian penting dalam penegakan hukum pidana internasional dan perlindungan HAM internasional

129

b. Mencatat wawancara dengan pejabat pemerintahan Sudan.

c. Pernyataan yang diambil dari individu yang memiliki pengetahuan

tentang kegiatan pejabat dan perwakilan dari pemerintah Sudan dan

Milisi / Janjaweed dalam konflik di Darfur.

d. Dokumen dan informasi lain yang disediakan oleh Pemerintah

Sudan atas permintaan Jaksa Mahkamah.

e. Laporan Komisi Penyelidikan Internasional

f. Laporan Komisi Penyelidik Sudan.

g. Dokumen dan bahan lainnya yang diperoleh dari sumber-sumber

terbuka.

Sesuai dengan prinsip komplementaris, setiap saat Jaksa Mahkamah

telah menilai proses pengadilan nasional di Sudan dalam kaitannya dengan

kejahatan yang menjadi yurisdiksi Mahkamah Pidana Internasional. Kasus

atas nama Omar Hassan Ahmad Al Bashir ini tidak sedang diinvestigasi

atau dituntut oleh Pemerintah Sudan. Tidak ada proses nasional di Sudan

terhadap para pelaku kejahatan yang relevan dengan permohonan

penangkapan ini (bukan nebis in idem).

Sebelumnya komisi penyelidik internasional juga menyimpulkan

bahwa Pemerintah Darfur Sudan belum menerapkan kebijakan genosida

dalam hukum nasionalnya. Unsur penting dari tujuan penerapan ketentuan

genosida tampaknya hilang, setidaknya sejauh upaya yang dilakukan oleh

otoritas pemerintah yang bersangkutan. Secara umum, kebijakan

menyerang, membunuh dan menggusur paksa beberapa anggota suku tidak

Page 130: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah · PDF fileInternasional) yang akan menjadi bagian penting dalam penegakan hukum pidana internasional dan perlindungan HAM internasional

130

memperlihatkan maksud tertentu untuk memusnahkan baik untuk seluruh

atau sebagian, kelompok dibedakan atas ras, dasar etnis, kebangsaan atau

agama. Sebaliknya, akan terlihat bahwa mereka merencanakan serangan

yang terorganisir terhadap desa dengan maksud untuk mendorong para

korban dari rumah mereka, terutama untuk keperluan perang melawan

pemberontakan. 192

Berdasarkan uraian diatas ditegaskan dalam situasi Darfur-Sudan

adanya ketidakmampuan dan ketidakinginan dari negara untuk

menginvestigasi dan mengadili dugaan kejahatan genosida yang

dituduhkan kepada pada pelaku dikarenakan tidak terdapat proses

penyidikan dan penuntutan yang sedang/sudah dilakukan serta tidak

adanya pengaturan mengenai genosida dalam hukum nasional Darfur-

Sudan, maka dari itu sesuai dengan prinsip komplementaris dari

Mahkamah Pidana Internasional, Darfur-Sudan dianggap tidak memliki

kemampuan untuk menuntut atau mengadili para terdakwa pada proses

peradilan yang relevan.

b. Situasi di Libya

Libya berbatasan dengan Laut Mediterania di sebelah utara, Mesir di

sebelah timur, Sudan selatan disebelah timur, Chad dan Niger di sebelah

selatan, dan Aljazair, Tunisia di sebelah barat. Dengan luas hampir

1.800.000 kilometer persegi (700.000 sq mi), Libya adalah negara keempat

192

Report of the International Commission of Inquiry on Darfur to the United Nations Secretary-

General , Op.Cit. Hal 172-173

Page 131: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah · PDF fileInternasional) yang akan menjadi bagian penting dalam penegakan hukum pidana internasional dan perlindungan HAM internasional

131

terbesar di Afrika, dan negara terbesar ke-17 di dunia dengan populasi

penduduk 6,4 juta orang. Libya merupakan 10 (sepuluh) besar negara

dengan cadangan minyak terbesar di dunia dan Negara dengan peringkat

ke-17 dalam hal produksi minyak. Pada tanggal 21 November 1949,

Majelis Umum PBB mengeluarkan resolusi yang menyatakan bahwa

Libya akan diakui sebagai negara merdeka dan berdaulat selambat-

lambatnya 1 Januari 1952.

Diawali oleh demonstrasi massa di Libya pada bulan Februari 2011,

dimana demonstran menyerukan reformasi demokratis dan penggulingan

rezim Qadhafi yang berkuasa. Pemberontakan tersebut telah terinspirasi

oleh pemberontakan serupa di negara tetangga yaitu Tunisia dengan

berpuncak pada pengunduran diri Presiden Zine El Abidine Ben Ali, dan

di Mesir dengan pengunduran diri Presiden Hosni Mubarak.

Menurut demonstran, demonstrasi yang mereka melakukan berjalan

damai, namun hal ini dibantah Pemerintah Libya. Untuk itu pemerintah

Libya menggunakan kekuatan yang berlebihan terhadap demonstran

menyebabkan perang sipil pada akhir februari yang terjadi di Libya.

Konflik ini berkembang antara pasukan oposisi bersenjata dan pasukan

pemerintah. Konflik bersenjata terjadi tidak semua wilayah negara dan

hanya terfokus pada kota-kota tertentu.

Pada tanggal 26 Februari 2011, Dewan Keamanan PBB memutuskan

dengan suara bulat (15 suara setuju) untuk mengajukan situasi yang terjadi

Libya sejak 15 Februari 2011 kepada Mahkamah Pidana Internasional,

Page 132: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah · PDF fileInternasional) yang akan menjadi bagian penting dalam penegakan hukum pidana internasional dan perlindungan HAM internasional

132

dengan menekankan pentingnya pertanggungjawaban atas mereka yang

bertanggung jawab atas serangan, termasuk oleh pasukan dibawah kontrol

dari mereka yang bertanggung jawab, terhadap warga sipil. Setelah

melakukan pemeriksaan awal situasi di Libya, pada 3 Maret 2011 Jaksa

menyimpulkan bahwa ada dasar untuk meyakini telah terjadi kejahatan di

bawah yurisdiksi Mahkamah Pidana Internasional di Libya, karena dan

memutuskan untuk membuka penyelidikan dalam situasi ini.193

Resolusi Dewan Keamanan PBB 1970 pada 26 Februari 2011 yang

menyatakan berbagai latar belakang diajukannya situasi di Libya kepada

Jaksa Mahkamah Pidana Internasional, yaitu: 194

1. Keperihatinan terhadap situasi di Libya dan mengutuk kekerasan dan

penggunaan kekuatan terhadap warga sipil.

2. Pelanggaran berat dan sistematis terhadap hak asasi manusia, termasuk

tindakan represif terhadap demonstran damai, menyatakan

keprihatinan yang mendalam atas kematian warga sipil, dan menolak

tegas hasutan untuk permusuhan dan kekerasan terhadap penduduk

sipil yang dibuat oleh pemerintah Libya.

3. Kecaman oleh Liga Arab, Uni Afrika, dan Sekretaris Jenderal

Organisasi Konferensi Islam terhadap pelanggaran hak asasi manusia

dan hukum humaniter internasional serius yang sedang terjadi di Libya

193

Situation in Libya, The Prosecutor v.Saif Al-Islam Gaddafi and Abdullah Al-Senussi Case No.

ICC- 01/11-01/11 194

Security Council United Nations Resolution 1970 (2011) Adopted by the Security Council at its

6491st meeting, on 26 February 2011

Page 133: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah · PDF fileInternasional) yang akan menjadi bagian penting dalam penegakan hukum pidana internasional dan perlindungan HAM internasional

133

4. Surat kepada Presiden Dewan Keamanan dari Wakil Tetap Libya

tanggal 26 Februari 2011.

5. Laporan Komisi Hak Asasi Manusia melalui Resolusi Dewan

A/HRC/S-15/2 pada 25 Februari 2011, termasuk keputusan untuk

segera mengirimkan komisi penyelidikan internasional independen

untuk menyelidiki semua dugaan pelanggaran hukum HAM

internasional di Libya, untuk menetapkan fakta-faktadan keadaan

pelanggaran tersebut dan dari kejahatan yang dilakukan, dan mana

mungkin mengidentifikasi mereka yang bertanggung jawab.

6. Bahwa serangan meluas dan sistematis saat ini sedang berlangsung

di Libya terhadap penduduk sipil mungkin menjadi kejahatan terhadap

kemanusiaan.

7. Kekhawatiran nasib pengungsi terpaksa melarikan diri dari kekerasan

di Libya.

8. Kekhawatiran kekurangan pasokan medis untuk mengobati korban

yang terluka.

9. Mengingat tanggung jawab pihak berwenang Libya untuk melindungi

penduduk.

10. Menggarisbawahi pentingnya menghormati kebebasan berkumpul

secara damai dan berekspresi, termasuk kebebasan media.

11. Menekankan kebutuhan untuk meminta akuntabilitas yang

bertanggung jawab atas serangan, termasuk oleh pasukan dibawah

kendali mereka, terhadap penduduk sipil.

Page 134: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah · PDF fileInternasional) yang akan menjadi bagian penting dalam penegakan hukum pidana internasional dan perlindungan HAM internasional

134

12. Mengingat pasal 16 Statuta Roma di mana tidak ada investigasi atau

penuntutan dapat dimulai atau dilanjutkan dengan oleh Mahakamah

Pidana Internasional untuk jangka waktu 12 bulan setelah permintaan

Dewan Keamanan untuk peristiwa itu.

13. Mengungkapkan keprihatinan atas keselamatan warga asing dan hak-

hak mereka dalam Jamahiriya Arab Libya.

14. Menegaskan kembali komitmen yang kuat terhadap kedaulatan,

kemerdekaan, integritas territorial dan kesatuan nasional Libya.

15. Mengingat tanggung jawab utama untuk pemeliharaan perdamaian

internasional dan keamanan dibawah Piagam PBB.

Pemberlakuan yurisdiksi Mahkamah Pidana Internasional terhadap

situasi Libya, yang merupakan negara bukan peserta Statuta Roma dapat

dilihat dari : 195

1. Yurisdiksi kriminal dan yurisdiksi personal

Untuk situasi di Libya, Jaksa Mahkamah Pidana Internasional

membuat berkas tuntutan yang akan diajukan kepada Hakim

Mahkamah Pidana Internasional,yakni : 196

Saif Al-Islam Gaddafi diduga bertanggung jawab pidana tidak

sebagai pelaku langsung dan Abdullah Al-Senussi diduga bertanggung

jawab pidana tidak sebagai pelaku langsung, untuk 2 (dua) tuduhan

kejahatan terhadap kemanusiaan:

a. Pembunuhan, sebagaimana diatur dalam pasal 7 (1) (a) Statuta, dan

195

Situation in Libya, http://www.icc-cpi.int/ 196

Situation in Libya, http://www.icc-cpi.int/

Page 135: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah · PDF fileInternasional) yang akan menjadi bagian penting dalam penegakan hukum pidana internasional dan perlindungan HAM internasional

135

b. Penganiayaan, sebagaimana diatur dalam pasal 7 (1) (h) Statuta

Muammar Gaddafi Panglima Angkatan Bersenjata Libya dan

memegang gelar Pemimpin Besar Revolusi, dan dengan

demikian,bertindak sebagai Kepala Negara Libya, kasusnya dihentikan

karena kematiannya pada 22 November 2011

Saif Al-Islam Gaddafi merupakan Honorary chairman of the

Gaddafi International Charity and Development Foundation and

acting as the Libyan de facto Prime Minister

Abdullah Al-Senussi merupakan Colonel in the Libyan Armed

Forces and current head of the Military Intelligence atas kejahatan

terhadap kemanusiaan (pembunuhan dan penganiayaan)

Saif Al-Islam Gaddafi dan Abdullah Al-Senussi merupakan pejabat

resmi dari pemerintahan pada rezim Gaddafi, namun suatu jabatan

resmi pada pemerintahan tidak akan membebaskan pelaku kejahatan

dari pertanggungjawaban pidana.

2. Yurisdiksi teritorial dan yurisdiksi temporal

Yurisdiksi teritorial untuk situasi konflik ini terjadi di Libya adalah

meliputi Tripoli, Benghazi, dan Misrata. Yurisdiksi temporal adalah

konflik yang terjadi mulai dari 15 sampai setidaknya 28 Februari

2011,197

dimana terjadi kekerasan dan penggunaan kekuatan dan aksi

represif terhadap demostran (warga sipil) serta pelanggaran berat dan

sistematis terhadap hak asasi manusia.

197

Warrant of Arrest for Saif Al-Islam Gaddafi, Hal. 3

Page 136: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah · PDF fileInternasional) yang akan menjadi bagian penting dalam penegakan hukum pidana internasional dan perlindungan HAM internasional

136

Sama halnya dengan situasi di Darfur-Sudan, situasi yang terjadi di

Libya merupakan konflik bersenjata non internasional. Situasi di Libya

terjadi karena pemerintah dibawah pimpinan Gaddafi melakukan tindakan

represif dan kekuatan militer menghadapi masyarakat sipil.

Dalam perkembangan pemberlakuan yuridiksi Mahkamah Pidana

Internasional terhadap situasi di Libya ini Kamar Praperadilan telah

menengeluarkan 3 (tiga) surat perintah penangkapan. Pada tanggal 27

April 2011, Kamar Praperadilan memutuskan mengabulkan permohonan

Jaksa berdasarkan Pasal 58 Statuta Roma dengan mengeluarkan surat

perintah penangkapan terhadap Muammar Gaddafi dan Saif Al-Islam

sebagai pelaku tidak langsung berdasarkan pasal 25 (3) (a) untuk kejahatan

pembunuhan dan penganiayaan yang dilakukan di berbagai tempat di

Libya khususnya, Tripoli, Benghazi dan Misrata yang terjadi mulai 15

sampai 28 Februari 2011. Pada tanggal yang sama, Kamar Praperadilan

mengeluarkan surat perintah penangkapan terhadap Abdullah Al-Senussi

sebagai pelaku langsung berdasarkan pasal 25 (3) (a) atas kejahatan

pembunuhan dan penganiayaan yang dilakukan di Benghazi dari 15 hingga

20 Februari 2011.

Pada tanggal 22 November 2011, proses sehubungan dengan

Muammar Gaddafi dihentikan karena meninggal dunia. Pada tanggal 1

Mei 2012, Kamar Pra Peradilan menerima Permohonan Pemerintah Libya

sesuai dengan Pasal 19 Statuta Roma tentang keberatan diterimanya kasus

terhadap Saif Al-Islam.

Page 137: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah · PDF fileInternasional) yang akan menjadi bagian penting dalam penegakan hukum pidana internasional dan perlindungan HAM internasional

137

Pada 23 Januari 2013, Libya mengajukan keberatan tentang

penerimaan situasi di Libya oleh Mahkamah Pidana Internasional dengan

mengajukan beberapa catatan dan bukti : 198

a. Bukti dan penyelidikan nasional Libya

1. Libya menegaskan bahwa mereka sedang menyelidiki kasus yang

sama tentang pertanggungjawaban pidana terhadap Saif Al-Islam.

Saif Al-Islam sedang diselidiki untuk kejahatan biasa (seperti

pembunuhan yang disengaja, tanpa pandang bulu atau pembunuhan

acak dan penyiksaan)

2. Tim penuntut domestik akan berusaha untuk menggabungkan

kasus Saif Al-Islam dengan 10 orang lainnya yang merupakan

pejabat tinggi rezim Gaddafi, termasuk Al-Senussi.

3. Libya pada tahap ini tidak dapat memberikan ke Kamar

Praperadilan, langkah-langkah investigasi yang diambil dan

informasi yang diminta karena bertentangan dengan hukum

nasional

4. Libya mengusulkan bahwa Kamar PraPeradilan mengirim

perwakilan atau delegasi ke Libya untuk melihat berkas -berkas

pendukung dan meminta 6 (enam) minggu waktu tambahan untuk

mempersiapkan salinan dan terjemahan bahasa Inggris dari bahan

investigasi.

198

Public Redacted Version, Prosecution’s Response to “Libyan Government’s further

submissions on issues related to the admissibility of the case against Saif Al-Islam Gaddafi

Page 138: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah · PDF fileInternasional) yang akan menjadi bagian penting dalam penegakan hukum pidana internasional dan perlindungan HAM internasional

138

b. Bukti kemajuan penyidikan yang telah dilakukan oleh pemerintah

Libya:

1. Penyelidikan telah berkembang dan hampir selesai. Libya

menunjukkan bahwa mereka telah mengumpulkan total 50 (lima

puluh) keterangan saksi. Saif Al-Islam juga telah diwawancarai dan

telah dihadapkan dengan saksi.

2. Tim jaksa pada kasus Saif Al-Islam terdiri dari 14 jaksa dan staf

pendukung lainnya, termasuk penyidik, dengan pengalaman yang

cukup dalam hukum pidana

3. Libya menegaskan bahwa Saif Al-Islam tetap di Zintan. Meskipun

Libya mengindikasikan bahwa pihaknya berencana untuk mencoba

memindahkan Saif Al-Islam ke Tripoli, Libya juga menyampaikan

bahwa ia tidak memiliki kontrol atas semua pusat penahanan.

4. Komite investigasi serta pejabat publik Libya lainnya telah

menerima bantuan internasional, khususnya dari badan-badan

PBB, Uni Eropa dan sejumlah Pemerintah

Dalam diterimanya keberatan yang diajukan oleh pemerintah Libya,

Kamar Praperadilan menilai belum tersedia dengan bukti yang cukup

dengan tingkat yang cukup sebagai bukti pemerintah Libya dan

penyelidikan Mahkamah Pidana Internasional meliputi perbuatan yang

Page 139: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah · PDF fileInternasional) yang akan menjadi bagian penting dalam penegakan hukum pidana internasional dan perlindungan HAM internasional

139

sama dan bahwa Libya dapat benar-benar melakukan investigasi terhadap

Saif Al Gaddafi. Kamar Praperadilan menilai : 199

1. Sesuai dengan pasal 17 ayat 3 Statuta Roma, bahwa kemampuan

Negara untuk melaksanakan penyelidikan atau penuntutan harus dinilai

dari sistem dan prosedur nasional yang relevan

2. Proses pengadilan yang dilakukan sesuai dengan prosedur hukum

pidana umum Libya dinyatakan inkonstitusional oleh Mahkamah

Agung Libya

3. Sistem nasional di Libya dalam keadaan yang sangat sulit untuk

memperbaiki kondisi keamanan dan membangun kembali institusi dan

memulihkan aturan hukum

4. Ketidakmampuan untuk memindahkan Gaddafi dari tempat penahanan

dibawah Milisi Zintan kedalam penguasaan otoritas Negara.

5. Ketidakmampuan untuk memperoleh kesaksian yang diakibatkan

ketidakmampuan peradilan dan pemerintahan yang berwenang untuk

memberikan perlindungan saksi yang memadai

6. Kurangnya kontrol dari pemerintah terhadap pusat penahanan akan

mempengaruhi proses penyelidikan.

7. Tidak mampu memenuhi pelaksanaan proses penunjukan pembela

sebagaimana diatur dalam hukum nasional Libya pasal 106.

199 Public Redacted, Decision on the admissibility of the case against Saif Al-Islam Gaddafi, Hal.

82 - 90

Page 140: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah · PDF fileInternasional) yang akan menjadi bagian penting dalam penegakan hukum pidana internasional dan perlindungan HAM internasional

140

Kamar Praperadilan mengingatkan bahwa temuan atas penerimaan

didasarkan pada fakta sebagaimana adanya pada saat proses diterimanya

situasi tersebut, keberatan dari tindakan domestik atau kekurangannya

dapat berubah dari waktu ke waktu. Keputusan ini tanpa mengurangi

keberatan berikutnya dapat dibawa ke hadapan Kamar Praperadilan,

asalkan sesuai dengan persyaratan pasal 19 (4) Statuta. Akhirnya pada

tanggal 31 May 2013. Kamar Pra Peradilan I memutuskan : 200

1. Menolak keberatan Pemerintah Libya untuk diterimanya kasus

terhadap Saif Al- Islam Gaddafi;

2. Memutuskan bahwa kasus terhadap Saif Al-Islam Gaddafi dapat

diterima;

3. Mengingatkan Libya kewajibannya untuk menyerahkan Saif Al-Islam

Gaddafi ke Mahkamah Pidana Internasional.

Dalam konflik Libya ini pemberlakuan yurisdiksi Mahkamah Pidana

Internasional pada awalnya karena ketidakmampuan pemerintah Libya

untuk mengadili para pelaku kejahatan pasca konflik domestik. Pengajuan

keberatan dari Mahkamah Pidana Internasional diajukan pemerintah

Libya, dinilai tidak cukup untuk menjadi dasar bahwa Libya dapat

menerapkan yurisdiksi nasionalnya terhadap konflik yang terjadi.

Pemberlakuan yurisdiksi Mahkamah Pidana Internasional dalam

konflik di Libya karena Libya dianggap sedang dalam masa transisi pasca

konflik domestik dimana tidak adanya sarana-prasarana yang memadai

200

Ibid, Hal. 91

Page 141: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah · PDF fileInternasional) yang akan menjadi bagian penting dalam penegakan hukum pidana internasional dan perlindungan HAM internasional

141

untuk melaksanakan proses peradilan. Lebih dari itu tidak ada orang yang

mungkin diadili oleh pengadilan nasional untuk tindakan yang merupakan

pelanggaran serius terhadap hak asasi manusia tindakan tersebut

merupakan kejahatan biasa, atau dimana proses pengadilan nasional tidak

imparsial atau independen, yang dirancang untuk melindungi tertuduh dari

tanggung jawab pidana internasional.

Page 142: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah · PDF fileInternasional) yang akan menjadi bagian penting dalam penegakan hukum pidana internasional dan perlindungan HAM internasional

142

BAB IV

PENUTUP

A. Kesimpulan

1. Keterikatan Negara bukan peserta terhadap yurisdiksi Mahkamah Pidana

Internasional disebabkan kejahatan yang menjadi yurisdiksi Mahkamah

Pidana Internasional merupakan international crimes, yang merupakan

bagian dari jus cogens. Hal ini dapat dilihat dari Statuta Roma merupakan

perjanjian bersifat universal yang memiliki tujuan untuk membentuk norma

dalam hukum internasional dan kejahatan yang diatur berasak dari hukum

kebiasaan internasional. Mahkamah Pidana Internasional dapat

memberlakukan yurisdiksinya dengan mekanisme pasal 13 ayat b Statuta

Roma yakni ketika Dewan Keamanan PBB mengajukan suatu situasi kepada

Jaksa Mahkamah dengan bertindak berdasarkan BAB VII Piagam PBB.

Mahkamah Pidana Internasional baru dapat memberlakukan yurisdiksinya

ketika Negara bukan peserta terbukti tidak ingin atau tidak mampu untuk

menuntut, mengadili secara efektif pelaku kejahatan tersebut.

2. Pemberlakuan yurisdiksi Mahkamah Pidana Internasional terhadap situasi di

Darfur-Sudan dan Libya disebabkan oleh diajukannya situasi di kedua

Negara tersebut kepada Mahkamah Pidana Internasional oleh Dewan

Keamanan PBB. Setelah dilaksanakan pemerikasaan, pemberlakuan

yurisdiksi Mahkamah untuk Darfur-Sudan disebabkan tidak ada kebijakan

genosida yang telah dilakukan oleh otoritas yang berwenang dan konflik

bersenjata terus terjadi sampai tahun 2008. Sementara untuk situasi di

Page 143: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah · PDF fileInternasional) yang akan menjadi bagian penting dalam penegakan hukum pidana internasional dan perlindungan HAM internasional

143

Libya, walaupun pemerintah Libya telah memulai melaksanakan

penyelidikan terhadap para pelaku, namun Mahkamah menilai penyelidikan

dilakukan dengan segala keterbatasan dari pemerintah Libya. Artinya pasca

konflik domestic, Mahkamah Pidana Internasional menganggap pemerintah

tidak memiliki kemampuan untuk menyelenggarakan proses penyelidikan

dan penuntutan yang relevan. Maka dari itu sesuai prinsip komplementaris,

Mahkamah Pidana Internasional memberlakukan yurisdiksinya untuk kedua

situasi ini, untuk memastikan para pelaku kejahatan harus dituntut dengan

proses peradilan yang relevan.

B. Saran

1. Upaya penegakan hukum pidana internasional melalui Mahkamah Pidana

Internasional merupakan langkah maju bagi perlindungan hak asasi

manusia. Melihat sebelumnya pembentukan pengadilan pidana internasional

cenderung lebih bermuatan politis dengan mengenyampingkan asas legalitas

dan asas retroaktif, kehadiran Mahkamah Pidana Internasional diharapkan

dapat memenuhi kebutuhan hukum demi menjaga perdamaian dan

kedamaian internasional. Namun melihat bagaimana pemberlakuan

yurisdiksi Mahkamah Pidana Internasional terhadap Negara bukan peserta

Statuta Roma dengan diberikannya wewenang kepada Dewan Keamanan

PBB sesuai BAB VII Piagam PBB untuk mengajukan suatu situasi kepada

Mahkamah Pidana Internasional, dimana tidak ada indikator yang jelas

Page 144: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah · PDF fileInternasional) yang akan menjadi bagian penting dalam penegakan hukum pidana internasional dan perlindungan HAM internasional

144

kapan suatu situasi dianggap mengancam perdamaian dan keamanan

internasional

2. Hal yang paling fundamental untuk dilakukan adalah mendorong negara-

negara untuk menyelesaikan permasalahan baik domestik maupun

permasalahan internasional dengan cara damai serta tetap menjaga

perdamaian dan keamanan internasional. Disamping itu setiap Negara juga

harus melengkapi piranti hukum nasionalnya untuk mengadili pelaku-pelaku

kejahatan paling serius yang menjadi perhatian masyarakat internasional dan

menjalankan proses peradilan yang independen dan tidak memihak terhadap

para pelaku kejahatan serius tersebut, sesuai dengan prinsip-prinsip hukum

umum dalam hukum internasional. Maka dengan demikian setiap Negara

akan melindungi kedaulatan negaranya.