tugas pemicu 2 modul infeksi dan imunologi (malaria)
Post on 11-Jul-2016
58 Views
Preview:
DESCRIPTION
TRANSCRIPT
Interpretasi Data pada Pemicu
NO. INDIKATOR HASIL
PEMERIKSAAN
NILAI NORMAL KET
1. Hemoglobin 13 gr/dl 14-16 gram/dl Anemia
2. Eritrosit 4,2 juta/ul 4,5-5,5 juta/ul Menurun
3. Leukosit 5.200/ul 4000-11000/ul Normal
4. Trombosit 120.000/ul 150.000-400.000/ul Menurun
5. Hitung jenis
leukosit
Basofil: 0%
Easinofil: 3%
Netrofil batang: 1%
Netrofil segmen: 40%
Limfosit : 41%
Monosit: 15 %
Basofil: 0-2%
Easinofil: 0-6%
Netrofil batang: 0-5%
Netrofil segmen: 40-70%
Limfosit : 20-50%
Monosit: 4-8 %
Normal
Normal
Normal
Normal
Normal
Meningkat
6. Hematokrit 38 % 40-50% Menurun
7. LED 18 mn/1jam 0-10 mm/jam Meningkat
8. IgG (+) - Pernah
terpapar
penyakit
yang sama
sebelumnya
9. IgM (-) - -
10. Sediaan apus
darah tipis
(+) trofozoit
plasmodium vivax
- Infeksi
malaria
p. vivax
11. Tes widal H : 1/160 Positif jika : ≥1/320 Negatif
12. PCT 0,2 ng/mL <0,1 ng/ml Meningkat
13. CRP 15 mg/L <5 mg/L Meningkat
Hematologi Rutin
Hematologi rutin adalah pemeriksaan rutin dan lengkap yang mencakup sel-sel darah dan
bagian-bagian lain dari darah, yang meliputi pemeriksaan haemoglobin, jumlah eritrosit,
hematokrit, MCV, MCH, MCHC, RDW, leukosit, hitung jenis dan trombosit.
Hemoglobin
Nilai normal : Pria : 13 - 18 g/dL SI unit : 8,1 - 11,2 mmol/L
Wanita: 12 - 16 g/dL SI unit : 7,4 – 9,9 mmol/L
Deskripsi:
Hemoglobin adalah komponen yang berfungsi sebagai alat transportasi oksigen (O2) dan
karbon dioksida (CO2). Hb tersusun dari globin (empat rantai protein yang terdiri dari dua
unit alfa dan dua unit beta) dan heme (mengandung atom besi dan porphyrin: suatu pigmen
merah). Pigmen besi hemoglobin bergabung dengan oksigen. Hemoglobin yang mengangkut
oksigen darah (dalam arteri) berwarna merah terang sedangkan hemoglobin yang kehilangan
oksigen (dalam vena) berwarna merah tua. Satu gram hemoglobin mengangkut 1,34 mL
oksigen. Kapasitas angkut ini berhubungan dengan kadar Hb bukan jumlah sel darah merah.
Penurunan protein Hb normal tipe A1, A2, F (fetal) dan S berhubungan dengan anemia sel
sabit. Hb juga berfungsi sebagai dapar melalui perpindahan klorida kedalam dan keluar sel
darah merah berdasarkan kadar O2 dalam plasma (untuk tiap klorida yang masuk kedalam sel
darah merah, dikeluarkan satu anion HCO3). Penetapan anemia didasarkan pada nilai
hemoglobin yang berbeda secara individual karena berbagai adaptasi tubuh (misalnya
ketinggian, penyakit paru-paru, olahraga). Secara umum, jumlah hemoglobin kurang dari 12
gm/dL menunjukkan anemia. Pada penentuan status anemia, jumlah total hemoglobin lebih
penting daripada jumlah eritrosit.
Implikasi klinik :
Penurunan nilai Hb dapat terjadi pada anemia (terutama anemia karena kekurangan zat
besi), sirosis, hipertiroidisme, perdarahan, peningkatan asupan cairan dan kehamilan.
Peningkatan nilai Hb dapat terjadi pada hemokonsentrasi (polisitemia, luka bakar),
penyakit paru-paru kronik, gagal jantung kongestif dan pada orang yang hidup di daerah
dataran tinggi.
Konsentrasi Hb berfl uktuasi pada pasien yang mengalami perdarahan dan luka bakar.
Konsentrasi Hb dapat digunakan untuk menilai tingkat keparahan anemia, respons
terhadap terapi anemia, atau perkembangan penyakit yang berhubungan dengan anemia.
Faktor pengganggu
Orang yang tinggal di dataran tinggi mengalami peningkatan nilai Hb demikian juga Hct
dan sel darah merah.
Asupan cairan yang berlebihan menyebabkan penurunan Hb
Umumnya nilai Hb pada bayi lebih tinggi (sebelum eritropoesis mulai aktif)
Nilai Hb umumnya menurun pada kehamilan sebagai akibat peningkatan volume plasma
Ada banyak obat yang dapat menyebabkan penurunan Hb. Obat yang dapat meningkatkan
Hb termasuk gentamisin dan metildopa
Olahraga ekstrim menyebabkan peningkatan Hb
Hal yang harus diwaspadai
1. Implikasi klinik akibat kombinasi dari penurunan Hb, Hct dan sel darah merah. Kondisi
gangguan produksi eritrosit dapat menyebabkan penurunan nilai ketiganya.
2. Nilai Hb <5,0g/dL adalah kondisi yang dapat memicu gagal jantung dan kematian. Nilai
>20g/dL memicu kapiler clogging sebagai akibat hemokonsenstrasi.
Eritrosit
Nilai normal: Pria: 4,4 - 5,6 x 106 sel/mm3 SI unit: 4,4 - 5,6 x 1012 sel/L
Wanita: 3,8-5,0 x 106 sel/mm3 SI unit: 3,5 - 5,0 x 1012 sel/L
Deskripsi :
Fungsi utama eritrosit adalah untuk mengangkut oksigen dari paru-paru ke jaringan tubuh dan
mengangkut CO2 dari jaringan tubuh ke paru-paru oleh Hb. Eritrosit yang berbentuk cakram
bikonkaf mempunyai area permukaan yang luas sehingga jumlah oksigen yang terikat dengan
Hb dapat lebih banyak. Bentuk bikonkaf juga memungkinkan sel berubah bentuk agar lebih
mudah melewati kapiler yang kecil. Jika kadar oksigen menurun hormon eritropoetin akan
menstimulasi produksi eritrosit. Eritrosit, dengan umur 120 hari, adalah sel utama yang
dilepaskan dalam sirkulasi. Bila kebutuhan eritrosit tinggi, sel yang belum dewasa akan
dilepaskan kedalam sirkulasi. Pada akhir masa hidupnya, eritrosit yang lebih tua keluar dari
sirkulasi melalui fagositosis di limfa, hati dan sumsum tulang (sistem retikuloendotelial).
Proses eritropoiesis pada sumsum tulang melalui beberapa tahap, yaitu:
1. Hemocytoblast (prekursor dari seluruh sel darah);
2. Prorubrisit (sintesis Hb);
3. Rubrisit (inti menyusut, sintesa Hb meningkat);
4. Metarubrisit (disintegrasi inti, sintesa Hb meningkat;
5. Retikulosit (inti diabsorbsi);
6. Eritrosit (sel dewasatanpa inti).
Implikasi klinik :
• Secara umum nilai Hb dan Hct digunakan untuk memantau derajat anemia, serta respon
terhadap terapi anemia
• Jumlah sel darah merah menurun pada pasien anemia leukemia, penurunan fungsi ginjal,
talasemin, hemolisis dan lupus eritematosus.
Hematokrit
Hematokrit adalah volume semua eritrosit dalam 100 ml darah. Ada 2 cara pemeriksaan
hematokrit yaitu cara Wintrobe dan cara mikrometode. Cara Wintrobe, dengan langkah
langkah pemeriksaan sebagai berikut:
1. Ambil kapiler atau darah EDTA, darah heparin atau darah oksalat lalu masukkan ke dalam
tabung Wintrobe hingga tanda 100 di atas.
2. Masukkan tabung ke dalam sentrifuge yang cukup besar lalu pusingkan selama 30 menit
dengan kecepatan 3000 rpm
3. Bacalah hasilnya dengan memperhatikan:
a. Plasma di atas (kuning) dibandingkan dengan kaliumbikromat dan intensitasnya disebut
satuan. Satu satuan adalah 1:10000
b. Ketebalan lapisan putih (lekosit dan trombosit)
c. Volume sel-sel darah merah.
Nilai normal: Pria : 40% - 50 % SI unit : 0,4 - 0,5
Wanita : 35% - 45% SI unit : 0.35 - 0,45
Deskripsi:
Hematokrit menunjukan persentase sel darah merah tehadap volume darah total.
Implikasi klinik:
Penurunan nilai Hct merupakan indikator anemia (karena berbagai sebab), reaksi
hemolitik, leukemia, sirosis, kehilangan banyak darah dan hipertiroid. Penurunan Hct
sebesar 30% menunjukkan pasien mengalami anemia sedang hingga parah.
Peningkatan nilai Hct dapat terjadi pada eritrositosis, dehidrasi, kerusakan paru-paru
kronik, polisitemia dan syok.
Nilai Hct biasanya sebanding dengan jumlah sel darah merah pada ukuran eritrosit
normal, kecuali pada kasus anemia makrositik atau mikrositik.
Pada pasien anemia karena kekurangan besi (ukuran sel darah merah lebih kecil), nilai
Hct akan terukur lebih rendah karena sel mikrositik terkumpul pada volume yang lebih
kecil, walaupun jumlah sel darah merah terlihat normal.
Nilai normal Hct adalah sekitar 3 kali nilai hemoglobin.
Satu unit darah akan meningkatkan Hct 2% - 4%.
Nilai Hct normal bervariasi sesuai umur dan jender. Nilai normal untuk bayi lebih tinggi
karena bayi baru lahir memiliki banyak sel makrositik. Nilai Hct pada wanita biasanya
sedikit lebih rendah dibandingkan laki-laki.
Juga terdapat kecenderungan nilai Hct yang lebih rendah pada kelompok umur lebih dari
60 tahun, terkait dengan nilai sel darah merah yang lebih rendah pada kelompok umur ini.
Dehidrasi parah karena berbagai sebab meningkatkan nilai Hct.
Hal yang harus diwaspadai
Nilai Hct <20% dapat menyebabkan gagal jantung dan kematian; Hct >60% terkait dengan
pembekuan darah spontan.
Leukosit
Nilai normal : 3200 – 10.000/mm3 SI : 3,2 – 10,0 x 109/L
Deskripsi:
Fungsi utama leukosit adalah melawan infeksi, melindungi tubuh dengan memfagosit
organisme asing dan memproduksi atau mengangkut/ mendistribusikan antibodi. Ada dua
tipe utama sel darah putih:
• Granulosit: neutrofi l, eosinofi l dan basofi l
• Agranulosit: limfosit dan monosit
Leukosit terbentuk di sumsum tulang (myelogenous), disimpan dalam jaringan limfatikus
(limfa, timus, dan tonsil) dan diangkut oleh darah ke organ dan jaringan. Umur leukosit
adalah 13-20 hari. Vitamin, asam folat dan asam amino dibutuhkan dalam pembentukan
leukosit. Sistem endokrin mengatur produksi, penyimpanan dan pelepasan leukosit.
Perkembangan granulosit dimulai dengan myeloblast (sel yang belum dewasa di sumsum
tulang), kemudian berkembang menjadi promyelosit, myelosit (ditemukan di sumsum
tulang), metamyelosit dan bands (neutrofi l pada tahap awal kedewasaan), dan akhirnya,
neutrofi l. Perkembangan limfosit dimulai dengan limfoblast (belum dewasa) kemudian
berkembang menjadi prolimfoblast dan akhirnya menjadi limfosit (sel dewasa).
Perkembangan monosit dimulai dengan monoblast (belum dewasa) kemudian tumbuh
menjadi promonosit dan selanjutnya menjadi monosit (sel dewasa).
Implikasi klinik:
Nilai krisis leukositosis: 30.000/mm3. Lekositosis hingga 50.000/mm3 mengindikasikan
gangguan di luar sumsum tulang (bone marrow). Nilai leukosit yang sangat tinggi (di atas
20.000/mm3) dapat disebabkan oleh leukemia. Penderita kanker post-operasi (setelah
menjalani operasi) menunjukkan pula peningkatan leukosit walaupun tidak dapat dikatakan
infeksi.
• Biasanya terjadi akibat peningkatan 1 tipe saja (neutrofi l). Bila tidak ditemukan anemia
dapat digunakan untuk membedakan antara infeksi dengan leukemia
• Waspada terhadap kemungkinan leukositosis akibat pemberian obat.
• Perdarahan, trauma, obat (mis: merkuri, epinefrin, kortikosteroid), nekrosis, toksin,
leukemia dan keganasan adalah penyebab lain leukositosis.
• Makanan, olahraga, emosi, menstruasi, stres, mandi air dingin dapat meningkatkan
jumlah sel darah putih
• Leukopenia, adalah penurunan jumlah leukosit <4000/mm3. Penyebab leukopenia antara
lain:
1. Infeksi virus, hiperplenism, leukemia.
2. obat (antimetabolit, antibiotik, antikonvulsan, kemoterapi)
3. Anemia aplastik/pernisiosa
4. Multipel mieloma
• Prosedur pewarnaan: Reaksi netral untuk netrofi l; Pewarnaan asam untuk eosinofi l;
Pewarnaan basa untuk basofi l
• Konsentrasi leukosit mengikuti ritme harian, pada pagi hari jumlahnya sedikit, jumlah
tertinggi adalah pada sore hari
• Umur, konsentrasi leukosit normal pada bayi adalah (6 bulan-1 tahun)
10.000-20.000/mm3 dan terus meningkat sampai umur 21 tahun
• Manajemen neutropenia disesuaikan dengan penyebab rendahnya nilai leukosit
Sel Darah Putih Differensial
Nilai Normal :
Deskripsi:
• Neutrofi l melawan infeksi bakteri dan gangguan radang
• Eosinofi l melawan gangguan alergi dan infeksi parasit
• Basofi l melawan diskrasia darah dan penyakit myeloproliferatif
• Limfosit melawan infeksi virus dan infeksi bakteri
• Monosit melawan infeksi yang hebat
Trombosit
Nilai normal : 170 – 380. 103/mm3 SI : 170 – 380. 109/L
Deskripsi
Trombosit adalah elemen terkecil dalam pembuluh darah. Trombosit diaktivasi setelah
kontak dengan permukaan dinding endotelia. Trombosit terbentuk dalam sumsum tulang.
Masa hidup trombosit sekitar 7,5 hari. Sebesar 2/3 dari seluruh trombosit terdapat disirkulasi
dan 1/3 nya terdapat di limfa.
Implikasi klinik:
• Trombositosis berhubungan dengan kanker, splenektomi, polisitemia vera, trauma,
sirosis, myelogeneus, stres dan arthritis reumatoid.
• Trombositopenia berhubungan dengan idiopatik trombositopenia purpura (ITP), anemia
hemolitik, aplastik, dan pernisiosa. Leukimia, multiple myeloma dan multipledysplasia
syndrome.
• Obat seperti heparin, kinin, antineoplastik, penisilin, asam valproat dapat menyebabkan
trombositopenia
• Penurunan trombosit di bawah 20.000 berkaitan dengan perdarahan spontan dalam jangka
waktu yang lama, peningkatan waktu perdarahan petekia/ekimosis.
• Asam valproat menurunkan jumlah platelet tergantung dosis.
• Aspirin dan AINS lebih mempengaruhi fungsi platelet daripada jumlah platelet.
• Faktor pengganggu
• Jumlah platelet umumnya meningkat pada dataran tinggi; setelah olahraga, trauma atau
dalam kondisi senang, dan dalam musim dingin
• Nilai platelet umunya menurun sebelum menstruasi dan selama kehamilan
• Clumping platelet dapat menurunkan nilai platelet
• Kontrasepsi oral menyebabkan sedikit peningkatan
Laju Endap Darah
Laju endap darah adalah kecepatan pengendapan eritrosit, oleh karena itu untuk
mengukurnya diperlukan darah dengan anti koagulan. LED atau juga biasa disebut
Erithrocyte Sedimentation Rate (ESR) adalah ukuran kecepatan endap eritrosit,
menggambarkan komposisi plasma serta perbandingan eritrosit dan plasma. LED dipengaruhi
oleh berat sel darah dan luas permukaan sel serta gravitasi bumi. Ada 2 cara pemeriksaan
LED yaitu cara Wintrobe dan cara Westergren. Cara Wintrobe, dengan langkah langkah
sebagai berikut:
1. Ambil darah EDTA atau darah oksalat
2. Dengan menggunakan pipa Wintrobe, masukkan darah ke dalam tabung Wintrobe hingga
tanda 0 mm. Cegah terjadinya gelembung udara.
3. Biarkan tabung Wintrobe dalam posis tegak lurus selama 60 menit
4. Bacalah tinggi lapisan plasma dalam milimeter dan catat sebagai LED.
Nilai LED normal adalah pria: < 10 mm/jam dan wanita: < 15 mm/jam
Sediaan Hapusan Darah
Sediaan hapusan darah penting untuk pemeriksaan keadaan trombosit, keadaan eritrosit dan
keadaan lekosit. Cara membuat sediaan hapusan darah dapat menggunakan kaca obyek dan
menggunakan kaca penutup. Dengan cara:
1. Sentuhlah setetes kecil darah (diameter maksimal 2 mm) kira-kira 2 cm dari tepi kaca
obyek. Darah yang dipakai adalah darah kapiler, darah heparin atau darah EDTA.
2. Letakkan kaca obyek dengan darah di sebelah kanan
3. Dengan tangan kanan, letakkan kaca obyek lain di kiri tetes darah, lalu gerakkan ke kanan
sampai menyentuh darah
4. Tunggu darah menyebar sampai ½ cm dari sudut kaca penggese
5. Geser kaca ke kiri dengan sudut 30-45o, jangan menekan ke bawah
6. Biarkan sediaan mengering di udara
7. Tulis nama klien dan tanggal pada bagian sediaan yang tebal
8. Setelah hapusan darah selesai, dilanjutkan dengan pewarnaan dengan berbagai cara
misalnya pewarnaan Wright dan Giemsa.
Hasil Pewarnaan Giemsa Hasil Pewarnaan Wright
Implikasi klinik
• nilai meningkat terjadi pada: kondisi infeksi akut dan kronis, misalnya tuberkulosis,
arthritis reumatoid, infark miokard akut, kanker, penyakit Hodkin’s, gout, Systemic
Lupus Erythematosus (SLE), penyakit tiroid, luka bakar, kehamilan trimester II dan III.
Peningkatan nilai LED > 50mm/ jam harus diinvestigasi lebih lanjut dengan melakukan
pemeriksaan terkait infeksi akut maupun kronis, yaitu: kadar protein dalam serum dan
protein, immunoglobulin, Anti Nuclear Antibody (ANA) Tes, reumatoid factor.
Sedangkan peningkatan nilai LED >100mm/jam selalu dihubungkan dengan kondisi
serius, misalnya: infeksi, malignansi, paraproteinemia, primary macroglobulinaemia,
hiperfi brinogenaemia, necrotizing vaskulitis, polymyalgia rheumatic.
• nilai menurun terjadi pada: polisitemia, gagal jantung kongesti, anemia sel sabit, Hipofi
brinogenemia, serum protein rendah Interaksi obat dengan hasil laboratorium: etambutol,
kuinin, aspirin, dan kortison.
Tes Widal Typoid
Tes Widal merupakan serologi baku dan rutin digunakan. Hasil positif Widal akan
memperkuat dugaan terinfeksi Salmonella typhi pada penderita. Demam tifoid disebabkan
oleh infeksi bakteri Salmonella enterica, terutama serotype Salmonella typhi (S. typhi).
Bakteri ini termasuk kumanGram negatif yang memiliki flagel, tidak berspora, motil,
berbentuk batang,berkapsul dan bersifat fakultatif anaerob dengan karakteristik antigen O, H
dan Vi.
Pada uji Widal, akan dilakukan pemeriksaan reaksi antara antibodi aglutinin dalam serum
penderita yang telah mengalami pengenceran berbeda-beda terhadap antigen somatik (O) dan
flagela (H) yang ditambahkan dalam jumlah yang sama sehingga terjadi aglutinasi.
Pengenceran tertinggi yang masih menimbulkan aglutinasi menunjukkan titer anti bodi dalam
serum. Uji Widal dapat memberikan hasil yang berbeda-beda antara lain karena uji ini
merupakan tes imunologik dan seharusnya dilakukan dalam keadaan yang baku, Salmonella
thypi mempunyai antigen O dan H yang sama dengan Salmonella lainnya, maka kenaikan
titer antibodi ini tidak spesifik untuk Salmonella thypi, penentuan hasil positif mungkin
didasarkan atas titer antibodi dalam populasi daerah endemis yang secara konstan terpapar
dengan organisme tersebut dan mempunyai titer antibodi yang mungkin lebih tinggi daripada
daerah non endemis pada orang yang tidak sakit sekalipun. Tidak dihasilkannya antibodi
terhadap Salmonella karena rendahnya stimulus yang dapat merangsang timbulnya antibodi,
sehingga antibodi terganggu. Pemeriksaan serologi Widal juga tergantung pada waktu
pengambilan spesimen dan kenaikan titer agglutinin terhadap antigen Salmonella thypi.
Kenaikan titer antibodi tes serologi Widal pada umumnya paling baik pada minggu kedua
dan ketiga, yaitu 95,7%, sedangkan kenaikan titer pada minggu pertama adalah hanya 85,7%.
Karena hal ini sehingga saat pengambilan spesimen perlu diperhatikan. Pemeriksaan tes
serologi Widal memerlukan dua kali pengambilan spesimen, yaitu pada masa akut dan masa
konvalesen dengan interval waktu 10-14 hari.
Diagnosis ditegakkan dengan melihat adanya kenaikan titer lebih atau sama dengan 4 kali
titer masa akut, tetapi pada pelaksanaan dilapangan pengambilan spesimen menggunakan
spesimen tunggal. Kenaikan titer aglutinin yang tinggi pada spesimen tunggal, tidak dapat
membedakan apakah infeksi tersebut merupakan infeksi baru atau lama, juga kenaikan titer
aglutini terutama aglutinin H tidak mempunyai anti diagnostik yang penting untuk demam
tifoid, namun masih dapat membantu dalam menegakkan diagnosis tersangka demam tifoid
pada penderita dewasa yang berasal dari daerah non endemik atau pada anak umur kurang
dari 10 tahun di daerah endemik, sebab pada kelompok penderita ini kemungkinan mendapat
kontak dengan S. typhi dalam dosis subinfeksi masih amat kecil. Pada orang dewasa atau
anak di atas 10 tahun yang bertempat tinggal di daerah endemik, kemungkinan untuk
menelan S. typhi dalam dosis subinfeksi masih lebih besar sehingga uji Widal dapat
memberikan ambang atas titer rujukan yang berbeda-beda antar daerah endemik yang satu
dengan yang lainnya, tergantung dari tingkat endemisitasnya dan berbeda pula antara anak di
bawah umur 10 tahun dan orang dewasa. Dengan demikian, bila uji Widal masih diperlukan
untuk menunjang diagnosis demam tifoid, ambang atas titer rujukan, baik pada anak maupun
orang dewasa perlu ditentukan.
Diagnosis demam tifoid tergantung pada isolasi Salmonella typhi dari darah, sumsum tulang,
daerah terinfeksi lainnya, atau lesi. Deteksi antibodi dari kultur darah masih menjadi pilihan
utama dari diagnosis.
Deskripsi
Tes ini mengukur tingkat antibodi aglutinasi terhadap antigen O dan H. Tingkat antibodi
diukur menggunakan pengenceran serum ganda. Biasanya antibodi O akan muncul pada hari
ke 6-10 dan antibodi H pada hari ke 10-12 setelah onset penyakit. Tes ini dilakukan pada
serum akut (kontak pertama dengan pasien). Sensitivitas dan spesifi sitas tes ini tidak tinggi
(sedang). Tes ini memberikan hasil negatif pada 30% kasus yang mungkin disebabkan oleh
penggunaan antibiotik sebelumnya. Hasil positif palsu dapat terjadi akibat reaksi silang
epitop dengan enterobakteriase. Hasil positif palsu juga dapat terjadi pada penyakit seperti
malaria, tifus, bakteremia yang disebabkan oleh mikroba lain dan sirosis.
Oleh karena itu perlu dilakukan pemeriksaan tingkat antibodi pada populasi normal untuk
menentukan ambang titer antibodi yang dianggap bermakna. Demam tifoid terdiagnosa bila
hasil titer antibodi antara serum kovalesen empat kali lipat dibandingkan serum akut,
misalnya: titer antibodi 1/80 pada fase akut menjadi 1/320 pada fase kovalesen (recovery).
Walaupun ada keterbatasan tes ini berguna, karena murah dibandingkan dengan tes diagnosis
baru. Tes ini tidak perlu dilakukan bila telah dilakukan pemeriksaan kultur bakteri S. typhi.
Tes diagnostik terbaru Tes diagnostik terbaru adalah IDL Tubex dari Swedia, Typidot dari
Malaysia, dan dipstik tes yang dikembangkan di Belanda. Prinsip : IDL tubex mendeteksi
IgM O9 dan hasil didapat setelah beberapa menit. Tes Tubex berdasarkan studi awal
menunjukkan sensitifi tas dan spesifi sitas yang lebih baik dibandingkan tes Widal. Typidot
mendeteksi antibodi Ig M dan Ig G terhadap antigen S. typhi 50 kD dan hasilnya didapatkan
sekitar 3 jam. Sedangkan Typidot M mendeteksiIgM saja. Typidot merupakan gold standar
yang memiliki sensitifitas dan spesifi sitas mendekati 100%. Studi evaluasi menunjukkan
Typidot M lebih baik dibandingkan metode kultur. Dipstik tes mendeteksi ikatan antara IgM
S. typhi terhadap lipopolisakarida (LPS) S. typhi. Dipstik tes adalah tes alternatif yang cepat
dan mudah untuk mendiagnosis demam tifoid terutama di daerah yang tidak mempunyai
fasilitas untuk kultur. Hasil tes dapat diperoleh dalam 1 hari.
*Referensi
1. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Pedoman Interpretasi Data Klinik. Jakarta:
Kemenkes RI, 2011.
2. Rachman AF. Uji Diagnostik Tes Serologi Widal Dibandingkan dengan Kultur Darah
Sebagai Baku Emas Untuk Diagnosis Demam Tifoid Pada Anak Di RSUP dr. Kariadi
Semarang. [Skripsi] Semarang: Undip, 2011.
Pasien mengeluhkan demam tinggi, berkeringat, pucat, sakit kepala, dan muntah.
Perbedaan infeksi yang disebabkan oleh parasit, virus, bakteri, dan jamur, dijelaskan secara
singkat, berikut :
Infeksi bakteriContoh: Demam Tifoid
Infeksi virusContoh: Demam
Berdarah Dengue
Infeksi parasitContoh: Malaria
Infeksi Jamurhistoplasmosis
Berdasarkan cirikhas demamnya
Demam step-ladder temperature chart (seperti anak tangga), dengan karakteristik:
- Pada minggu pertama, suhu tubuh berangsur-angsur meningkat setiap hari, yang biasanya menurun pada pagi hari kemudian meningkat pada sore atau malam hari.
- Pada minggu kedua, suhu tubuh penderita terus menerus dalam keadaan tinggi (demam), dengan sedikit penurunan suhu pada pagi hari.
- Pada minggu ketiga, suhu tubuh berangsur-angsur turun dan normal
Demam tinggi mendadak ( 38,5 oC - 40oC ) 2-7 hari.
Infeksi virus Dengue → Masa akut (Hari 1,2,3): muncul gejala-gejala. Demam 2 hari pertama dapat dipastikan DD dengan pemeriksaan lab Ns 1 Ag dengue → Masa kritis (Hari 4,5,6): suhu tubuh mulai turun, jumlah trombosit turun dan darah mengental. Kritis karena dapat terjadi perdarahan dan syok → Masa
Plasmodium Falciparum (36-48jam) demam bisa terjadi setiap hari
Plasmodium Vivax (48 jam) demam terjadi selang waktu 1 hari (setiap 3 hari/tertiana)
Plasmodium Malariae (72 jam) demam timbul selang waktu 2 hari (setiap 4 hari/kuartana)
Plasmodium Ovale (48 jam) demam terjadi selang waktu 1 hari (setiap 3 hari/tertiana)
Demam berkepanjangan antara 10 hari sampai 3 minggu
kembali di akhir minggu.
- Pada minggu keempat, stadium penyembuhan.
pemulihan (Hari 7,8)
Keluhan Penyerta selain demam
1) Anoreksia2) Mual3) Muntah4) Nyeri kepala5) Perut kembung dan
rasa tidak nyaman pada perut
6) Nyeri otot7) Diare8) Lidah tifoid9) Epistaksis
Nyeri kepala Nyeri belakang bola
mata Nyeri otot dan nyeri
sendi Flushing ( muka
panas kemerahan), ruam kulit
Mual, muntah Nyeri perut, karena
ada pembengkakan hati.
perdarahan ( bintik-bintik merah di kulit)
Manifestasi Leukopenia (jumlah angka lekosit di bawah nilai normal).
Angka Trombosit masih dalam rentang normal, atau menurun(Trombositopenia).
a) Badan terasa lemas dan pucat karena kekurangan darah dan berkeringat.
b) Nafsu makan menurun.c) Mual-mual kadang-
kadang diikuti muntah. d) Sakit kepala yang berat,
terus menerus, khususnya pada infeksi dengan plasmodium Falciparum.
e) Dalam keadaan menahun (kronis) gejala diatas, disertai pembesaran limpa.
f) Malaria berat, kejang-kejang dan penurunan.
g) Trias malariah) Demam berulang :
stadium kedinginan, stadium panas, stadium berkeringat
i) Splenomegalyj) Anemia disertai malaisek) hepatomegali
Penurunan berat badan, sesak nafas, letargi, batuk, hepatosplenomegali, adenopati, pneumonia, dan secara laboratorik ditemukan pansitopenia.
Relaps Pada pasien demam tifoid dapat terjadi relaps. Umumnya relaps ditandai dengan timbulnya kembali keluhan serta gejala dari demam tifoid disertai bakteriemia dan kelainan patologik di traktus intestinal. Suhu meninggi kembali dan mencapai puncak lebih cepat yaitu pada hari ke-2 atau ke-3. Relaps
Virus dengue terdiri atas 4 serotipe, dan sekali terkena hanya akan memberi kekebalan terhadap serotipe yang menyerang seumur hidup. Meski begitu, kekebalan terhadap serotipe yang lain tidak ada. Jadi, bisa terkena infeksi dengue lebih dari sekali.
1. Pada infeksi oleh P.vivax/P.ovale, sesudah serangan yang pertama berakhir atau disembuhkan, dengan adanya siklus eksoeritrositik (EE) sekunder atau hipnozoit dalam sel hati, suatu saat kemudian penderita bisa mendapat serangan malaria yang kedua (disebut: malaria sekunder). Berulangnya serangan malaria yang bersumber dari siklus EE sekunder pada malaria vivax atau ovale disebut relaps. Umumnya relaps terjadi beberapa bulan (biasanya>24minggu) sesudah malaria primer, disebut long-term
Infeksi kedua dapat menyebabkan reaksi jaringan yang lebih kuat dengan menimbulkan rongga sehingga menyebabkan batuk berdarah. Sehingga penyerta pada infeksi berakibat pada pembengkakan hati, limpa dan
biasanya terjadi pada hari ke 7-10 setelah afebril, ada juga yang terjadi 3 minggu setelah afebril dan ada pula yang relaps setelah 3 bulan obat kloramfenikol dihentikan. Limpa yang tetap teraba adalah gejala penting dari kecenderungan terjadinya relaps. Banyaknya kasus pasien demam tifoid yang relaps diakibatkan oleh beberapa faktor terutama sistem pengobatan yang tidak efektif.
relapse.2. Pada malaria karena
P.falciparum dan P. malariae, relaps dalam pengertian seperti diatas tidak terjadi, karena kedua spesies ini tidak memiliki siklus EE sekunder dalam hati. Kemungkinan berulangnya serangan malaria pada kedua jenis malaria ini disebabakan oleh kecenderungan parasit malaria bersisa dalam darah, yang kemudian membelah diri bertambah banyak sampai bisa menimbulkan gejala malaria sekunder. Kekambuhan malaria seperti ini disebut rekrudesensi. Pada malaria karena P.falciparum rekrudesensi terjadi dalam beberapa hari atau minggu (biasanya <8 minggu) sesudah serangan malaria primer, disebut short termrelapse.
kelenjar getah bening.
*Referensi
1. Inawati. Demam Tifoid. Jurnal Ilmiah Kedokteran Wijaya Kusuma Edisi Khusus
Desember 200.p.31-36
2. Widodo, J. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam: Demam Tifoid. Ed.4. Jakarta: Pusat
Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI, 2006.
3. Demam Dengue dan Demam Berdarah Dengue. Yogyakarta : Rumah Sakit Panti Rapih
Sleman; [Diakses 11 April 2016]. Available from: http://www.pantirapih.or.id
4. DR. dr. Hindra Irawan Satari, Sp.A(K), MtropPaed. “Mungkinkah Anak Terkena DBD
Berulang? “. Jakarta : FKUI/RSCM Departemen Ilmu Kesehatan Anak Divisi Penyakit
Infeksi dan Pediatri Tropis; [Diakses 11 April 2016]. Available from:
http://www.parenting.co.id.
5. Soedarno,Sumarmo S.,Garna, Herry.,Hadinegoro,Sri Rejeki S.,dkk.Buku Ajar Infeksi dan
Pediatri Tropis. Edisi 2. Badan Penerbit IDAI: Jakarta. 2010.
Pemeriksaan Laboratorium yang diperlukan pada kasus infeksi.
1) Air seni /Urine
Pada dasarnya urine manusia yang sehat tidak mengandung kuman, namun dalam keadaan
abnormal atau akibat terjadinya infeksi dapat ditemukan berbagai macam jasad
renik misalnya bakteri gonorrhoe, coli dan lain-lain serta parasit baik jamur
candida maupun flagellata trichomonas vaginalis.
Untuk pemeriksaan mikrobiologi diperlukan minimal 10 ml urine yang didapat dengan cara
aseptic dengan wadah steril. Pengambilan specimen urine pada pemeriksaan mikrobiologi
dilakukan dengan cara Supra Pubic Fungsi, Midstream dan Cateter. Pemeriksaan mikrobiologis
dan Cultur / biakan urine menggunakan sedimen urine.
2) Darah/ Blood
Pemeriksaan mikrobiologi darah untuk mengetahui septisemia/ bacterimia/Parasitemia/Viremia.
Pemeriksaan parasitologi pada pemeriksaan mikroskopis Plasmodium malaria dan Mikrofilaria
yaitu cacing darah penyebab penyakit kaki gajah atau elephantiasis . Pada pemeriksaan kaki
gajah pengambilan sampel darah dilakukan pada ujung jari waktu malam hari hingga
subuh.
Sebagian besar diagnose penyakit menular menggunakan bahan darah (serum) untuk
pemeriksaan Immunologi atau serologi dimana diidentifikasi anti gen atau anti body yang
spesifik terhadap mikrobnya.
Pemeriksaan bakteri misalnya Gaal Cultur/Widal, ASTO, TPHA, dll. Oleh parasit misalnya
pemeriksaan Toksoplasma, Malaria,Filaria dll. Oleh virus misalnya DBD, Campak,
Chikungunya, hepatitis, rubella, HIV dll.
Pemeriksaan Hematologi
Ilmu yang mempelajari segala sesuatu mengenai darah
Volume darah: laki-laki ±5,6 L; perempuan ±4,5 L atau 7 – 8% berat badan
Komposisi:
45% sel darah
55% plasma:
90% air
10% protein, vitamin, lemak, karbohidrat, garam, enzim
Terdiri atas:
o Pemeriksaan hematologi rutin
Pemeriksaan yang dilakukan tanpa indikasi
o Pemeriksaan hematologi khusus
Pemeriksaan lanjutan jika ditemukan kelainan pada pemeriksaan rutin
Pemeriksaan Hematologi Rutin pada Infeksi
Infeksi Akut
Pada umumnya kadar Hb tidak terpengaruh
Infeksi DHF –- hemokonsentrasi:
---- Hb , hematokrit
Infeksi Kronik
Anemia defisiensi Fe:
Gangguan recycle Fe: TBC
Perdarahan kronik (kehilangan Fe): ankylostomiasis
Hitung Leukosit
o Normal: 5.000 – 10.000/L
Jumlah leukosit dipengaruhi:
Produksi dalam sumsum tulang
Kecepatan masuk ke sirkulasi
Perpindahan ke marginating pool
Kecepatan keluar jaringan
o Leukositosis : > 10.000/l
10.000 – 15.000/l : leukositosis ringan
15.000 – 20.000/l : leukositosis sedang
20.000 – 50.000/l : leukositosis berat
> 50.000/l : reaksi leukemoid
pada infeksi bakteri
Jika akut dan berat, disertai netrofilia dengan tanda degenerasi netrofil:
Granulasi toksik, Dohle bodies
Vakuolisasi
Inti piknotik
o Leukopenia
Infeksi virus
Respiratory Syncytial Virus (RSV), Parvovirus B19, Influenza A/ B,
Hepatitis A & Hepatitis B
Rubeola, Varicella, Rubella, Infectious Mononucleosis (Infeksi virus
Epstein-Barr)
HIV
DEMAM DENGUE!
o Infeksi bakteri :
Sindroma Sepsis
Tuberkulosis
Demam Enterik (Demam Tifoid dan Paratifoid)
Laju Endap Darah (LED)
o Ukuran kecepatan pengendapan sel darah dalam plasmanya, dinyatakan
dalam mm/jam
o Cara Westergreen, nilai normal:
Laki-laki: 0 – 10 mm/jam
Perempuan: 0 – 15 mm/jam
o Pada infeksi : LED cepat
Inflamasi : reumatik fever, reaumatik akut, TBC kronik
Degenerasi jaringan : nekrosis, infark
Kadar protein plasma : hipoalbuminemia, hiperglobulinemia
Hitung Jenis Leukosit
Cara: dari sediaan hapus darah tepi
Nilai normal :
Basofil : 0 – 1 %
Eosinofil : 1 – 3 %
Netrofil Batang : 2 – 6 %
Netrofil Segmen : 50 – 70 %
Limfosit : 20 – 40 %
Monosit : 2 – 8 %
Gambar Hitung Jenis Leukosit
Eosinofilia
Infeksi Bakteri:
Demam "Scarlet" dari infeksi Streptococcus
Infeksi Parasit:
Ascariasis, Ankylostomiasis, Strongyloidiasis, Trichinosis,
Visceral larva migrans, Filariasis, Malaria, Scabies, Schistosomiasis,
Pneumocystis carinii (tanda HIV-AIDS)
Infeksi Fungus:
Aspergillosis, Coccidioidomycosis
Netrofilia
Infeksi Bakteri:Streptococcus, Staphylococcus, Neisseria, E. Coli,
Pseudomonas, C.diphtheriae, T. pallidum (sifilis)
Infeksi Virus: Herpes Zoster, Varicella, Rabies, Poliomyelitis,
Mononucleosis infectiosa
Infeksi Fungus: Actinomycosis, Coccidioidomycosis
Limfositosis
Infeksi Bakteri:
Pertussis, TBC, Brucelosis,
Demam Enterik (Tifoid)
Sifilis
Infeksi Virus
Limfosit "atypical": Cytomegalovirus (CMV), Hepatitis A,B,C,
Mononukleosis infeksiosa
Limfosit biasa: Rubeola, Rubella, Varicella, Parotitis (Mumps),
& banyak virus lain
Infeksi Parasit: Toxoplasmosis
Monositosis
Infeksi Bakteri:
TBC
Endokarditis bakteri
Demam Enterik (Tifoid)
Sifilis, Bruselosis
Infeksi Virus: Mononucleosis infectiosa
Infeksi Parasit: Malaria
Trombositosis
Cara hitung:
Manual: kamar hitung, larutan rees ecker atau amonium oksalat
Otomatis: hematology analyzer
Normal : 150.000 – 400.000/L
Pada infeksi dapat terjadi:
TROMBOSITOSIS REAKTIF (Ex: Infeksi bakteri)
ROMBOSITOPENIA (Ex: Infeksi virus (Dengue))
3) Tinja/Feses
Untuk memastikan adanya pencemaran atas suatu kejadian luar biasa misalnya
kasus diare, muntah berak yang disebabkan antara lain oleh bakteri Coli, Cholera
serta bakteri pathogen lain misalnya Salmonella dan Shigella. Kuman kuman
patologis pada tinja ini mudah mati pada suhu kamar sehingga untuk dapat
diidentifikasi dilaboratorium harus dimasukkan pada media transport bakteri
(Amies, Stuart, Carry dan Blair, dll) dan bila tidak memungkinkan mendapatkan
tinja dapat dilakukan dengan rectal / anal swab.
Pemeriksaan parasitologi pada kecacingan dengan menemukan cacing atau telur
cacing pada tinja, menemukan amoeba atau protozoa lain penyebab dysentri.
Pada tersangka Polio atau AFP ( Acut Flacid Paralisis) dimana terjadi kelumpuhan
yang mendadak pada anak dilakukan juga pengambilan specimen Tinja untuk
mengidentifikasi /isolasi virus penyebabnya.
4) Dahak/Sputum
Pemeriksaan sputum sebagian besar dilakukan untuk diagnose infeksi TBC yang
disebabkan oleh kuman Mycobacterium tuberculose, cara pengambilan specimen
sebanyak 3 kali atau sewaktu, Pagi, Sewaktu (SPS). Pemeriksaan sputum
dilakukan juga untuk diagnose kuman lain penyebab ISPA misalnya kuman Klebsiella ,
Pneumonia dan lain-lain.
5) Kerokkan kuku, kulit, dan potongan rambut
Bahan pemeriksaan ini diambil untuk pemeriksaan parasitologi jamur
superfacialis (permukaan)
6) Reitz serum
Disebut juga bubur jaringan ,diambil dengan melakukan sayatan dengan scalpel
pada permukaan kulit dan mengambil cairannya yang diduga terinfeksi
Mycobacterium leprae penyebab penyakit lepra atau kusta.
Dilakukan pada beberapa tempat
7) Cairan Pleura
Cairan yang berasal dari rongga paru-paru diambil untuk pemeriksaan terhadap
bakteri maupun parasit jamur penyebab infeksi .
8) Cairan Otak /LCS liquor Cerebro Spinal)
Cairan yang diambil pada tulang belakang dengan lumbal fungsi untuk mengetahui adanya
infeksi bakteri /Parasit /virus pada selaput otak misalnya pada kasus meningitis.
9) Nanah / Pus
Pengambilan Nanah dapat dilakukan dengan apusan maupun aspirasi untuk
mengetahui kuman penyebab infeksi maupun resistensi obat.
10) Usap/Apusan/Swab
Pada pengambilan swab diperlukan lidi kapas atau Dacron plastic steril dan
kadang digunakan juga media cultur. Usap Mata/ Conjungtiva swab dilakukan
pada infeksi bakteri pada mata atau conjungtivitis misalnya pada kasus Blenorrhoe
pada neonatus.
Usap Vaginal swab / uretra swab dilakukan untuk pemeriksaan bakteriologi,
parasitologi maupun virologi pada infeksi uretra atau vagina posterior dan anterior
Usap Dubur /Rectal swab/anal swab dilakukan bila tidak memungkinkan
mendapatkan tinja, pada kasus infeksi cacing Kremi yang disebabkan oxyuris
vermicularis pengambilan specimen perianal (sekitar dubur) dengan menggunakan
selotape dilakukan pada malam hari.
Usap tenggorok /Oropharing dan Usap Hidung/ nasopharing swab
Usap tenggorok dilakukan pada kasus infeksi bakteri Corynebacterium diptheriae,
virus Flu burung, maupun campak
11) Pemeriksaan Serologi
Pemeriksaan terhadap serum penderita untuk membuktikan adanya infeksi
berdasarkan reaksi antigen antibody.
Teknik pemeriksaan:
Kualitatif: rapid test --- hasil positif atau negatif
Semikuantitatif: berdasarkan titer antibodi
Kuantitatif: immunoassay
ELISA
ELFA
ECLIA
RIA
Tes serologi infeksi
Penanda inflamasi/infeksi
Contoh: CRP, sitokin
Deteksi Antigen
Contoh: HBsAg, HBeAg
Deteksi Antibodi
Contoh: IgM dan IgG
Deteksi Antigen
Mendeteksi bagian dari struktur mikroba:Misal pada infeksi virus Hepatitis
Antigen permukaan virus : HBsAg
Antigen envelope : HBeAg
Antigen inti : HBcAg
Deteksi Antibodi
- Mendeteksi antibodi yang dibentuk oleh tubuh akibat adanya infeksi
- Dapat berarti:
Sedang terinfeksi saat ini : IgM
Infeksi di masa lalu: IgG
Memiliki imunitas terhadap infeksi tertentu
Contoh sedang terinfeksi saat ini
- Antibodi spesifik :
IgM Dengue
IgM anti Hbc
Antibodi tdk spesifik:
Tes Widal : utk tifoid
ASTO : utk Streptococcus
VDRL : utk sifilis
Contoh infeksi masa lalu
Anti HAV
IgG Dengue
Contoh mempunyai imunitas
Anti HBs
*Referensi
Rofinda ZD. Diagnosis Hematoserologis pada Infeksi. Bagian Patologi Klinik FK
Unand/RSUP Dr.M.Djamil [materi kuliah]. Padang, 2014. Available from:
http://repository.unand.ac.id
Rumple Leed Test
Manifestasi perdarahan yang paling sering ditemukan pada DBD ialah perdarahan kulit, uji
Tourniquet positif, memar dan perdarahan pada tempat pengambilan darah vena. Uji
Tourniquet merupakan tes yang sederhana untuk melihat gangguan pada vaskuler maupun
trombosit. Tes ini akan positif bila ada gangguan pada vaskuler maupun trombosit.
Uji Tourniquet sebagai manifestasi perdarahan kulit paling ringan dapat dinilai sebagai uji
presumtif, oleh karena tes ini positif pada hari-hari pertama demam pada 53% penderita DBD
tanpa renjatan yang dirawat di Bagian Anak Rumah Sakit Dr. Cipto Mangunkusumo Jakarta
dalam tahun 1985-1986. Petekie merupakan manifestasi perdarahan yang paling sering
dijumpai, yaitu pada 51% penderita.
Di daerah endemis DBD, uji Tourniquet merupakan pemeriksaan penunjang presumtif bagi
diagnosis DBD apabila dilakukan pada anak yang menderita demam lebih dari 2 hari tanpa
sebab yang jelas.
Sebagian orang mungkin menunjukkan hasil positif tergantung pada tekstur, ketipisan, dan
suhu kulit, sehingga uji Tourniquet ini bukan merupakan satu-satunya pemeriksaan yang
dapat dilakukan untuk menentukan diagnosis DBD. Untuk memastikannya perlu dilakukan
pemeriksaan laboratorium darah.
Prinsip pemeriksaan :
Vena dibendung sehingga tekanan darah di dalam kapiler meningkat. Dinding kapiler yang
kurang kuat akan menyebabkan darah keluar dan merembes ke dalam jaringan sekitarnya
sehingga tampak titik merah kecil pada permukaan kulit, titik tersebut dikenal dengan
petechiae.
Percobaan Pembendungan (Rumple Leed Test)
Rumple leed test (percobaan lpembendungan) dimaksudkan untuk menguji ketahanan kapiler
darah menggunakan pembendungan pada vena sehingga darah akan menekan dinding kapiler.
Jika dinding kapiler kurang kuat ,maka darah dari kapiler keluar dan merembes dalam
jaringan sekitarnya sehingga tampak bercak petechiae.
Petechiae adalah bintik-bintik merah akibat perdarahan didalam kulit,warna terkadang
bervariasi dari merah menjadi biru/ungu. Petechiae umumnya muncul pada kaki bagian
bawah tetapi bisa muncul diseluruh tubuh. Petechiae mungkin terlihat pada pasien-pasien
dengan jumlah platelet yang sangat rendah. Petechiae terjadi kerena perdarahan keluar dan
pembuluh – pembuluh darah yang kecil sekali di bawah kulit atau selaput lendir,petechiae
umumnya tidak jelas dan menyakitkan.
Pemeriksaan dilakukan dengan menahan tekanan manset atau tensi sebesar setengah dari
jumlah tekanan sistol dan tekanan diastol. Sistole adalah bunyi yang pertama terdengar,
diastole adalah bunyi yang menghilang diantara bunyi yang berdetak cepat, atau dapat pula
dikatakan bunyi yang terakhir didengar. Kemudian tekanan manset tersebut dipertahankan
selama sepuluh menit.
Pembendungan dilakukan pada lengan atas dengan memasang tensimeter pada pertengahan
antara tekanan sistolik dan tekanan diastolik. Tekanan itu dipertahankan selama 10 menit.
Jika percobaan ini dilakukan sebagai lanjutan masa perdarahan, cukup dipertahankan selama
5 menit. Setelah waktunya tercapai bendungan dilepaskan dan ditunggu sampai tanda-tanda
stasis darah lenyap. Kemudian diperiksa adanya petekia di kulit lengan bawah bagian voler,
pada daerah garis tengah 5 cm kira-kira 4 cm dari lipat siku.
Pemeriksaan dinyatakan positif bila ditemukan perdarahan atau petechiae sebanyak 10 buah
dalam waktu 10 menit. Pemerikssan dinyatakan negatif bila dalam waktu 10 menit tidak
timbul petechiae pada area pembacaan, atau timbul petechiae kurang dari 10 buah.
Jika pada waktu dilakukan pemeriksaan masa perdarahan sudah terjadi petekie, berarti
percobaan pembendungan sudah positif hasilnya dan tidak perlu dilakukan sendiri. Pada
penderita yang telah terjadi purpura secara spontan, percobaan ini juga tidak perlu dilakukan.
Kesalahan sering terjadi saat pemeriksaan, kesalahan tersebut antara lain saat membuat
daerah pengamatan. lingkaran ini harus dibuat, diukur dengan benar, sekian jari dari fossa
cubiti, dengan diameter penampang sebesar 5 cm menggunakan penggaris. Selain itu, bila
dalam waktu kurang dari 10 menit sudah tampak lebih dari 10 buah petechiae, maka
percobaan dihentikan. Bila setelah 10 menit tidak timbul peteciae, percobaan dihentikan dan
tunggu selama 5 menit. Bila tak ada perubahan penilaiaannya negatif. Sebelum percobaan
dihentikan apakah ada bekas gigitan nyamuk pada daerah pembacaan, yang mungkin
menyebabkan hasil menjadi positif palsu.
Bila hasil pemeriksaan dinyatakan positif, orang yang diperiksa kemungkinan terjadi
gangguan vaskuler maupun trombolik. Adanya gangguan ini dapat menimbulkan penyakit
atau keluhan tertentu, antara lain penyakit arteri koroner yang berat, gumpalan kecil dari
trombosit bisa menyumbat arteri yang sebelumnya telah menyempit dan memutuskan aliran
darah ke jantung, sehingga terjadi serangan jantung. Keluhan lain yaitu, mudahnya timbul
memar pada kulit. Seseorang bisa mudah memar karena kapiler yang rapuh di dalam
kulit. Setiap pembuluh darah kecil ini robek maka sejumlah kecil darah akan merembes dan
menimbulkan bintik-bintik merah di kulit (peteki) atau cemar ungu kebiruan (purpura).
Faktor yang mempengaruhi Rumple leede test (Arifin,2012) :
1. Perempuan yang menstruasi
2. Post menstrual dengan sedikit hormone
3. Kulit rusak karena akan meningkatkan kerapuhan kapiler.
4. Walaupun percobaan pembendungan ini dimaksudkan untuk mengukur ketahanan
kapiler, hasil tes ini ikut dipengaruhi juga oleh jumlah dan fungsi trombosit.
Trombositopenia sendiri dapat menyebabkan percobaan ini berhasil positif.
Mekanisme demam.
Suhu normal tubuh manusia berkisar antara 36.5-37.2 ˚C. Suhu subnormal yaitu <36.5
˚C,hipotermia merupakan suhu <35 ˚C. Demam terjadi jika suhu >37.2 ˚C. hiperpireksia
merupakan suhu ≥41.2 ˚C. Terdapat perbedaan pengukuran suhu di oral, aksila, dan rectal
sekitar 0.5 ˚C; suhu rectal > suhu oral > suhu aksila.
Tujuan dari pengaturan suhu adalah mempertahankan suhu inti tubuh sebenarnya pada set
level 37˚C. Demam (pireksia) merupakan keadaan suhu tubuh meningkat melebihi suhu
tubuh normal. Apabila suhu tubuh mencapai ±40°C disebut hipertermi.
Ketika tubuh bereaksi adanya pirogen atau patogen. Pirogen akan diopsonisasi (harfiah=siap
dimakan) komplemen dan difagosit leukosit darah, limfosit, makrofag (sel kupffer di hati).
Proses ini melepaskan sitokin, diantaranya pirogen endogen interleukin-1α (IL-1α), IL-1β, 6,
8, dan 11, interferon α2 dan γ, Tumor nekrosis factor TNFα (kahektin) dan TNFβ
(limfotoksin),macrophage inflammatory protein MIP1. Sitokin ini diduga mencapai organ
sirkumventrikularotak yang tidak memiliki sawar darah otak. Sehingga terjadi demam pada
organ ini atau yang berdekatan dengan area preoptik dan organ vaskulosa lamina terminalis
(OVLT) (daerah hipotalamus) melalui pembentukan prostaglandin PGE₂. Ketika demam
meningkat (karena nilai sebenarnya menyimpang dari set level yang tiba-tiba neningkat),
pengeluaran panas akan dikurangi melalui kulit sehingga kulit menjadi dingin (perasaan
dingin), produksi panas juga meningkat karena menggigil (termor). Keadaan ini berlangsung
terus sampai nilai sebenarnya mendekati set level normal (suhu normal). Bila demam turun,
aliran darah ke kulit meningkat sehingga orang tersebut akan merasa kepanasan dan
mengeluarkan keringat yang banyak. Pada mekanisme tubuh alamiah, demam bermanfaat
sebagai proses imun. Pada proses ini, terjadi pelepasan IL-1 yang akan mengaktifkan sel T.
Suhu tinggi (demam) juga berfungsi meningkatkan keaktifan sel T dan B terhadap organisme
patogen. Konsentrasi logam dasar di plasma (seng, tembaga, besi) yang diperlukan untuk
pertumbuhan bakteri dikurangi. Selanjutnya, sel yang rusak karena virus, juga dimusnahkan
sehinga replikasi virus dihambat. Namun konsekuensi demam secara umum timbul segera
setelah pembangkitan demam (peningkatan suhu). Perubahan anatomis kulit dan metabolisme
menimbulkan konsekuensi berupa gangguan keseimbangan cairan tubuh, peningkatan
metabolisme, juga peningkatan kadar sisa metabolism, peningkatan frekuensi denyut jantung
(8-12 menit ¹/˚C) dan metabolisme energi. Hal ini menimbulkan rasa lemah, nyeri sendi dan⁻
sakit kepala, peningkatan gelombang tidur yang lambat (berperan dalam perbaikan fungsi
otak), pada keadaan tertentu demam menimbulkan gangguan kesadaran dan persepsi
(delirium karena demam) serta kejang.
*Referensi
1. Guyton A. C, Hall J. E. 2008. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran Edisi 11. Jakarta : EGC.
2. Sudoyo A. W. dkk, 2007. Buku Ajar – Ilmu Penyakit Dalam Jilid I Edisi IV . Jakarta :
EGC.
Tipe Demam Fase-fase dan gejala klinis Contoh
Demam Septik
- Suhu badan berangsur naik sangat tinggi sekali pada malam hari
- Turun kembali ke normal pada pagi hari- Sering disertai menggigil dan berkeringat
TBC berat, reaksi obat
Demam Remiten
- Suhu badan turun tiap hari tetapi tidak kembali ke suhu normal
- Perbedaan suhu lebih dari 1 derajat
Sepsis, demam tifoid stadium lanjut, reaksi
obat
Demam Intermiten
- Suhu badan turun ke normal selama beberapa jam dalam satu hari
- Bila terjadi tiap hari à quotidian- Bila terjadi tiap 2 hari sekali à tersiana- Bila terjadi tiap 3 hari sekali à kuartana
Malaria, reaksi obat
Demam Kontinyu
- Demam terus menerus tanpa pernah mencapai suhu normal- Variasi suhu sepanjang hari tidak lebih dari 1 derajat
TB Miliaris, pneumonia lobaris, demam tifoid permulaan, reaksi obat
Demam Siklik
Kenaikan suhu badan selama beberapa hari diikuti periode bebas demam untuk beberapa hari yang kemudian diikuti kenaikan suhu seperti semula
Demam berdarah
Tipe Demam Lain Karakteristik Contoh
Demam Belum Terdiagnosis (Fever Unknown Origin)
- Demam terus menerus selama 3 minggu - Suhu badan di atas 38,3 °C- Penyebab belum diketahui walaupun telah diteliti
selama 1 minggu secara intensif dengan lab dan penunjang lainnya
Demam Dibuat-Buat (Facitious Fever)
Pasien sengaja berusaha dengan berbagai cara agar suhu badan yang akan dicatat lebih tinggi dari suhu badan sesungguhnya
Gangguan psikiatri, sering pada wanita dan paramedis
*Referensi
1. Silbernagl dan Stefan. Teks & Atlas Berwarna Patofisiologi. Jakarta: EGC, 2007.
2. Gandahusada, Prof. dr. Srisasi. Parasitologi Kedokteran. Jakarta: FKUI, 2007.
3. Sudoyo,W Aru. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid III Edisi IV. Jakarta:FKUI,2006.
4. Bickley, Lynn S. Buku Saku Pemeriksaan Fisik & Riwayat Kesehatan Bates. Jakarta:
EGC, 2008.
Fase-fase pada demam tergantung pada tipenya, antara lain:
a) Demam Septik
Pagi Siang Sore Malam Pagi353637383940 TBC berat
b) Demam Intermitten
012345 Malaria
CATEGORY1 2 3 4
- Bila terjadi tiap hari à quotidian- Bila terjadi tiap 2 hari sekali à tersiana- Bila terjadi tiap 3 hari sekali à kuartana
c) Demam Remitten
senin selasa rabu kamis jumat sabtu37.5
38
38.5
39
39.5 Demam tifoid stadium lanjut
d) Demam Kontinyu
e) Demam Siklik
Hari 1 Hari 2 Hari 3 Hari 4 Hari 5 Hari 6 Hari 7 Hari83637383940
Demam berdarah
senin selasa rabu kamis jumat sabtu37.5
38
38.5
39
39.5 Pneumonia lobaris
f) Demam Origin
minggu 1 minggu 2 minggu 3 minggu 436
36.537
37.538
38.539
39.540
g) Demam Dibuat-Buat (Facitious Fever)
Suhu dan fase tidak bisa diketahui pasti
*Referensi
1. Silbernagl dan Stefan. Teks & Atlas Berwarna Patofisiologi. Jakarta: EGC, 2007.
2. Gandahusada, Prof. dr. Srisasi. Parasitologi Kedokteran. Jakarta: FKUI, 2007.
3. Sudoyo,W Aru. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid III Edisi IV. Jakarta: FKUI, 2006.
4. Bickley, Lynn S. Buku Saku Pemeriksaan Fisik & Riwayat Kesehatan Bates. Jakarta:
EGC, 2008.
Mekanisme muntah.
Toksin dilepaskan berupa GP1 à GP1 merangsang pelepasan TNF alpha, IL 1, IL 6, IL 3
dengan mengaktivasi makrofag à IL 3 mengaktivasi sel mast à pelepasan histamin (H2)à
peningkatan asam lambung à nausea à terstimulasi trigger zone kemoresptor à muntah .
Mekanisme pucat.
Warna merah darah manusia disebabkan oleh hemoglobin yang terdapat di dalah sel darah
merah. Hemoglobin terdiri atas zat besi dan protein yang di bentuk oleh rantai globin alpha
dan rantai globin beta. Saat produksi rantai globin berkurang maka hemoglobin yang di
bentuk juga berkurang. Selain itu berkurangnya rantai globin beta mengakibatkan rantai
globin alpha berlebihan dan akan saling mengikat membentuk suatu benda yang
menyebebkan darah merah mudah rusak. Berkurangnya produksi hemoglobin menyebabkan
pucat.
Pasien mengeluhkan pusing.
Pusing atau sakit kepala adalah nyeri di beberapa bagian kepala dan tidak terbatas pada
daerah distrib usi saraf manapun. Sakit kepala juga dikenal sebagai cephalalgia atau
chepalgia. Chepalgia berasal dari bahasa yunani “kephale” berarti kepala dan “algos” yang
berarti sakit.
Pada tahun 2007, menurut International Headache Society menyepakati sistem klasifikasi
untuk sakit kepala. Ada tiga kategori utama dari sakit kepala :
Sakit kepala primer
Migran, sakit kepala tension, sakit kepala cluster dan sakit kepala primer lainnya
Sakit kepala sekunder
Sakit kepala dikaitkan dengan trauma leher, sakit kepala dikaitkan dengan gangguan
intrakranial atau gangguan vaskular servikal, sakit kepala dikaitkan dengan gangguan
inrakranial non vaskular, sakit kepala disebabkan suatu benda atau efek suatu zat , sakit
kepala karena infeksi, sakit kepala karena gangguan homeostasis, sakit kepala karena
gangguan psikiatrik, sakit kepala atau nyeri wajah dikaitkan dengan gangguan
tengkorak, leher, mata, telinga, hidung, sinus, gigi, mulut atau struktur tengkorak wajah
atau lainnya.
Cranial neuralgia, nyeri diwajah, dan sakit kepala lainnya.
Cranial neuralgia dan penyebab utama nyeri wajah, sakit kepala neuralgia kranial, nyeri
wajah pusat atau primer lainnya.
Beberapa mekanisme umum yang tampaknya bertanggung jawab memicu nyeri kepala
adalah sebagai berikut :
Peregangan atau pergeseran pembuluh darah intrakranium atau ekstrakranium
Traksi pembuluh darah
Kontraksi otot kepala dan leher (kerja berlebihan otot)
Peregangan periosteum (nyeri lokal)
Degenerasi spina servikalis atas disertai kompresi pada akar nervus servikalis (misalnya
artritis vertebra servikalis)
Defisiensi enkefalin (peptida otak mirip-opiat bahan aktif pada endorfin)
Sistem saraf simpatis pada dasarnya bertanggung jawab atas pengendalian neural
pembuluh darah kranium dan ekstrakranium.
*Referensi
1. Sylvia A. Price, Lorraine M. Wilson. PATOFISIOLOGI. Konsep Klinis Proses-Proses
Penyakit. EDISI 6. EGC: 2013.
Mekanisme berkeringat dan menggigil.
Menggigil adalah suatu respon terhadap penurunan suhu inti yang disebabkan oleh pajanan
terhadap dingin, hipotalamus meningkatkan aktivitas otot rangka untuk menghasilkan lebih
banyak panas. Dengan bekerja melalui jalur-jalur desendens yang berakhir di neuron motorik
yang mengontrol rangka, hipotalamus mula-mula meningkatkan tonus rangka sehingga dalam
waktu singkat mulailah menggigil.
Proses terjadinya keringat diatur oleh hipotalamus. Hipotalamus dapat menghasilkan
bradikinin yang bekerja mempengaruhi kegiatan kelenjar keringat. Jika hipotalamus
mendapatkan rangsangan, misalnya peubahan suhu maka rangsangan tersebut akan
diteruskan oleh saraf simpatik ke kelenjar keringat. Selanjutnya kelenjar keringat akan
menyerap air garam dan sedikit urea dari kapiker darah dan kemudian mengirimnya ke
permukaan kulit dalam bentuk keringat.
*Referensi
1. Sherwood L. Fisiologi Manusia Dari Sel Ke Sistem. Jakarta : EGC, 2012.
Penyakit endemik di Kalimantan Tengah.
1) Demam Berdarah Dengue
Demam berdarah dengue banyak terjangkit didaerah tropis dan subtropis. Lebih dari
40% penduduk dunia hidup didaerah endemis demam dengue, dan Asia menempati
urutan pertama dalam jumlah penderita demam dengue tiap tahun. Hal ini mungkin
disebabkan oleh karena curah hujan di asia yang sangat tinggi terutama di Asia Timur
dan Selatan ditambah dengan sanitasi lingkungan yang kurang bagus. Jumlah
kecamatan Kejadian Luar Biasa DBD di Provinsi Kalimantan Tengah tahun 2012
sebanyak 14 kecamatan dan 21 desa. Jumlah kasus DBD dalam 3 tahun terakhir
sebelum 2012 dari terus meningkat, tahun 2008 sebanyak 952 kasus (44,64 per
100.000 penduduk), tahun 2009 sebanyak 1.332 kasus (61 per 100.000 penduduk) dan
pada tahun 2010 berjumlah 1.397 kasus, dengan Incidence Rate per 100.000 penduduk
63,2. Pada tahun 2012 terjadi peningkatan yang cukup signifikan kasus DBD
sebanyak 1413 kasus (dengan IR 61,9 per 100.000 penduduk) bila dibandingkan pada
tahun 2011yaitu 684 kasus (30,4 per 100.000 penduduk). Selain itu jumlah kasus
DBD yang meninggal pada tahun 2012 meningkat tajam sebanyak 22 kasus dengan
CFR 1,6% bila dibandingkan pada tahun 2011 sebanyak 8 kasus dengan CFR 1,2%.
Hal ini menunjukan agar penanganan kasus DBD segera ditangani. Data selengkapnya
pada tabel lampiran 23 dan 50. Kasus dan Insidence Rate DBD di Provinsi
Kalimmantan Tengah tahun 2008-2012 terlihat pada gambar berikut.
Gambar Kasus dan Insidence Rate DBD di Provinsi Kalimantan Tengah Tahun 2008-2012
Gambar diatas memperlihatkan Insidence Rate tahun 2012 mencapai 61,9 per 100.000
penduduk dengan kasus meninggal sebanyak 22 orang atau CFR sebesar 1,6 persen.
Angka ini meningkat jika dibandingkan tahun 2011 (30,4 per 100.000 penduduk),
masih jauh dari target nasional yaitu <20/100.000 penduduk.
2) Malaria
Penyakit Malaria menyebar cukup merata di Indonesia, terutama diluar wilayah Jawa-
Bali. Berdasarkan hasil Riskesdas tahun 2010, kasus baru dan prevalensi Malaria masih
cukup tinggi terutama di Indonesia Timur. Kasus malaria lebih banyak terjadi di
perdesaan, menyerang semua kelompok umur dan golongan masyarakat dengan tingkat
pendidikan rendah. Jumlah kasus malaria Provinsi Kalimantan Tengah tahun 2012
dari sediaan darah diperiksa 25.147 ditemukan positif malaria sebesar 6723 kasus
dengan jumlah meninggal 7 dengan Case Fatality Rate 0,03%. Perkembangan kasus
malaria di Kalimantan Tengah dapat dilihat pada gambar dibawah ini.
Gambar Annual Parasite Incidence (API) Provinsi Kalimantan Tengah
Tahun 2006 – 2012
3) Tuberkolosis (TB)
Tuberkolosis adalah penyakit infeksi disebabkan oleh bakteri bernama mycobacterium
tuberculosis yang bersifat sistemik (menyeluruh) sehingga mengenai hampir seluruh
organ tubuh, dengan lokasi terbanyak di paru-paru yang biasanya merupakan infeksi
pertamakali terjadi. Jumlah kasus TB Paru pada tahun 2012 di Kalimantan Tengah
sebesar 1.522kasus. Terjadi penurunan jumlah kasus bila dibandingan dengan kasus
tahun 2011 sebesar 2.668 kasus. Dari kasus tersebut 94,35% merupakan kasus baru
dengan prevalensi 62,9 per 100.000 penduduk dan jumlah kematian 16 dan kematian
per 100.000 penduduk 0,7. Jumlah perkiraan kasus baru pada tahun 2012 sebesar 4796
kasus dan 29,7% merupakan TB Paru BTA Positif. Angka ini masih rendah
dibandingkan dengan target 70%. Dibandingkan tahun 2011 Angka penemuan kasus
meningkat CDR 28,28%. Tahun 2012 sebesar 91,88 meningkat dibandingkan tahun
2011 sebesar 87,02%. Meningkatnya angka success rate tersebut menunjukkan bahwa
program pengobatan TB paru di masyarakat cukup berhasil karena adanya petugas
kesehatan dilapangan, PMO dan kesadaran masyarakat terkait pengobatan TB paru.
Gambar Case Detection Rate (CDR) dan Success Rate (SR)Penderita TB Provinsi
Kalimantan Tengah Tahun 2006-2012
4. Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA)
Kasus ISPA tersebar di semua kelompok umur, hasil Riset Kesehatan Dasar
(Riskesdas) tahun 2007 di Provinsi Kalimantan Tengah bahwa Prevalensi ISPA
berdasarkan Diagnosis Nakes (D) sebesar 7,04 dan berdasarkan Diagnosis Nakes dan
Gejala (D/G) sebesar 24,03. Prevalensi Pnemonia (D) sebesar 0,35 dan D/G sebesar
1,17. Perkiraan penderita ISPA balita pada tahun 2012 sebanyak 21.737 balita.
Penderita ditemukan dan ditangani sebanyak 771 kasus (3,55%). Perkiraan kasus
sedikit menurun dibandingkan tahun 2011 diperkirakan 22.302 (10%) kasus dari
223.018 jumlah Balita yang ada di Provinsi Kalimantan Tengah. Jumlah penderita
pnemonia Balita yang ditemukan dan ditangani pada tahun tahun 2012 sebanyak 771
(3,55%) masih rendah dan dibawah target 10%. Jumlah tersebut sedikit meningkat
dibandingkan tahun 2011 sebanyak 735 (3,5%). Trend kasus pnemonia dari tahun
2008-2012 dapat dilihat pada grafik di bawah ini.
Gambar Kasus Pnemonia dari Tahun 2008-2012 di Provinsi Kalimantan Tengah
*Referensi
1. Profil kesehatan provinsi Kalimantan Tengah tahun 2012.
Berdasarkan keluhan dan hasil pemeriksaan lengkap pasien mengalami infeksi oleh
parasit Plasodium.
MALARIA
A. Definisi
Penyakit infeksi parasit yang disebabkan oleh Plasmodium yang menyerang eritrosit dan
ditandai dengan ditemukannya bentuk aseksual di dalam darah dan memberikan gejala
berupa demam, menggigil, anemia dan splenomegali.
B. Epidemiologi
Malaria tersebar di lebih dari 100 negara di benua Asia, Amerika Selatan, Afrika,
Oseania, dan Karibia. Di Indonesia sendiri, pada tahun 2001, terdapat 15 juta kasus malaria
dengan 38.000 kematian setiap tahunnya. Sekitar 35% penduduk Indonesia tinggal di daerah
yang berpotensi tertular malaria. Daerah endemis malaria di Indonesia adalah kawasan timur,
mulai dari Kalimantan, Sulawesi Tengah sampai Utara, Maluku, Irian Jaya, dan Lombok
sampai Nusa Tenggara Timur. Infeksi terbanyak disebabkan oleh Plasmodium falciparum
dan vivax.
C. Etiologi
Plasmodium terdiri dari banyak spesies tetapi yang memiliki kemaknaan klinis penyakit
yakni Plasmodiumvivax, Plasmodium malariae, dan Plasmodium ovale. Daur hidup
Plasmodium terdiri dari fase seksual eksogen (sporogoni) dalam badan nyamuk Anopheles
betina sebagai hospes definitif dan fase aseksual (skizogoni) dalam tubuh vertebrata termasuk
manusia.Plasmodium knowlesi, sebuah spesies yang terdapat di Asia Tenggara, terutama di
Kalimantan. Plasmodium Knowlesi dapat ditularkan oleh nyamuk dari kera ke manusia.
Parasit ini melipat gandakan dirinya setiap hari. Apabila jumlah parasit dalam darah sudah
sangat banyak dapat menyebabkan malaria sangat berat sampai kematian pada manusia.
D. Klasifikasi
a) Malaria Tropika (Plasmodium Falcifarum)
Malaria tropika/ falciparum malaria tropika merupakan bentuk yang paling berat, ditandai
dengan panas yang ireguler, anemia, splenomegali, parasitemia yang banyak dan sering
terjadi komplikasi. Masa inkubasi 9-14 hari. Malaria tropika menyerang semua bentuk
eritrosit. Disebabkan oleh Plasmodium falciparum. Plasmodium ini berupa Ring/ cincin kecil
yang berdiameter 1/3 diameter eritrosit normal dan merupakan satu-satunya spesies yang
memiliki 2 kromatin inti (Double Chromatin).
Klasifikasi penyebaran Malaria Tropika:
Plasmodium Falcifarum menyerang sel darah merah seumur hidup. Infeksi Plasmodium
Falcifarum sering kali menyebabkan sel darah merah yang mengandung parasit menghasilkan
banyak tonjolan untuk melekat pada lapisan endotel dinding kapiler dengan akibat obstruksi
trombosis dan iskemik lokal. Infeksi ini sering kali lebih berat dari infeksi lainnya dengan
angka komplikasi tinggi (Malaria Serebral, gangguan gastrointestinal, Algid Malaria, dan
Black Water Fever).
b) Malaria Kwartana (Plasmoduim Malariae)
Plasmodium Malariae mempunyai tropozoit yang serupa dengan Plasmoduim vivax, lebih
kecil dan sitoplasmanya lebih kompak/ lebih biru. Tropozoit matur mempunyai granula
coklat tua sampai hitam dan kadang-kadang mengumpul sampai membentuk pita. Skizon
Plasmodium malariae mempunyai 8-10 merozoit yang tersusun seperti kelopak bunga/
rossete. Bentuk gametosit sangat mirip dengan Plasmodium vivax tetapi lebih kecil.
Ciri-ciri demam tiga hari sekali setelah puncak 48 jam. Gejala lain nyeri pada kepala dan
punggung, mual, pembesaran limpa, dan malaise umum. Komplikasi yang jarang terjadi
namun dapat terjadi seperti sindrom nefrotik dan komplikasi terhadap ginjal lainnya. Pada
pemeriksaan akan di temukan edema, asites, proteinuria, hipoproteinemia, tanpa uremia dan
hipertensi.
c) Malaria Ovale (Plasmodium Ovale)
Malaria Tersiana (Plasmodium Ovale) bentuknya mirip Plasmodium malariae, skizonnya
hanya mempunyai 8 merozoit dengan masa pigmen hitam di tengah. Karakteristik yang dapat
di pakai untuk identifikasi adalah bentuk eritrosit yang terinfeksi Plasmodium Ovale biasanya
oval atau ireguler dan fibriated. Malaria ovale merupakan bentuk yang paling ringan dari
semua malaria disebabkan oleh Plasmodium ovale. Masa inkubasi 11-16 hari, walau pun
periode laten sampai 4 tahun. Serangan paroksismal 3-4 hari dan jarang terjadi lebih dari 10
kali walau pun tanpa terapi dan terjadi pada malam hari.
d) Malaria Tersiana (Plasmodium Vivax)
Malaria Tersiana (Plasmodium Vivax) biasanya menginfeksi eritrosit muda yang
diameternya lebih besar dari eritrosit normal. Bentuknya mirip dengan plasmodium
Falcifarum, namun seiring dengan maturasi, tropozoit vivax berubah menjadi amoeboid.
Terdiri dari 12-24 merozoitovale dan pigmen kuning tengguli. Gametosit berbentuk oval
hampir memenuhi seluruh eritrosit, kromatinin eksentris, pigmen kuning. Gejala malaria jenis
ini secara periodik 48 jam dengan gejala klasik trias malaria dan mengakibatkan demam
berkala 4 hari sekali dengan puncak demam setiap 72 jam.
Dari semua jenis malaria dan jenis plasmodium yang menyerang system tubuh, malaria
tropika merupakan malaria yang paling berat di tandai dengan panas yang ireguler, anemia,
splenomegali, parasitemis yang banyak, dan sering terjadinya komplikasi.
E. Faktor resiko
a) Travelling dan migrasi dari area endemic malaria
b) Transfusi darah dan auto transmisi
F. Patofisiologi
Gambar Patofisiologi malaria
Patofisiologi pada malaria belum diketahui dengan pasti. Patofisiologi malaria adalah
multifaktorial dan mungkin berhubungan dengan hal-hal sebagai berikut :
1) Penghancuran eritrosit.
Penghancuran eritrosit ini tidak saja dengan pecahnya eritrosit yang mengandung parasit,
tetapi juga oleh fagositosis eritrosit yang mengandung parasit dan yang tidak mengandung
parasit, sehingga menyebabkan anemia dan anoksia jaringan. Dengan hemolisis intra vaskular
yang berat, dapat terjadi hemoglobinuria (blackwater fever) dan dapat mengakibatkan gagal
ginjal.
2) Mediator endotoksin-makrofag.
Pada saat skizogoni, eirtosit yang mengandung parasit memicu makrofag yang sensitif
endotoksin untuk melepaskan berbagai mediator yang berperan dalam perubahan
patofisiologi malaria. Endotoksin tidak terdapat pada parasit malaria, mungkin berasal dari
rongga saluran cerna. Parasit malaria itu sendiri dapat melepaskan faktor neksoris tumor
(TNF). TNF adalah suatu monokin , ditemukan dalam darah hewan dan manusia yang
terjangkit parasit malaria. TNF dan sitokin lain yang berhubungan, menimbulkan demam,
hipoglimeia dan sindrom penyakit pernafasan pada orang dewasa (ARDS = adult respiratory
distress syndrome) dengan sekuestrasi sel neutrofil dalam pembuluh darah paru. TNF dapat
juga menghancurkan plasmodium falciparum in vitro dan dapat meningkatkan perlekatan
eritrosit yang dihinggapi parasit pada endotelium kapiler. Konsentrasi TNF dalam serum pada
anak dengan malaria falciparum akut berhubungan langsung dengan mortalitas, hipoglikemia,
hiperparasitemia dan beratnya penyakit.
3) Sekuestrasi eritrosit yang terinfeksi.
Eritrosit yang terinfeksi plasmodium falciparum stadium lanjut dapat membentuk tonjolan-
tonjolan (knobs) pada permukaannya. Tonjolan tersebut mengandung antigen malaria dan
bereaksi dengan antibodi malaria dan berhubungan dengan afinitas eritrosit yang
mengandung plasmodium falciparum terhadap endotelium kapiler darah dalam alat dalam,
sehingga skizogoni berlangsung di sirkulasi alat dalam, bukan di sirkulasi perifer. Eritrosit
yang terinfeksi, menempel pada endotelium kapiler darah dan membentuk gumpalan (sludge)
yang membendung kapiler dalam alam-alat dalam.Protein dan cairan merembes melalui
membran kapiler yang bocor (menjadi permeabel) dan menimbulkan anoksia dan edema
jaringan. Anoksia jaringan yang cukup meluas dapat menyebabkan kematian. Protein kaya
histidin P. falciparum ditemukan pada tonjolan-tonjolan tersebut, sekurang-kurangnya ada
empat macam protein untuk sitoaherens eritrosit yang terinfeksi plasmodium P. falciparum.
Gambar Patogenesis malaria
Patogenesis malaria sangat kompleks, dan seperti patogenesis penyakit infeksi pada
umumnya melibatkan faktor parasit, faktor penjamu, dan lingkungan. Ketiga faktor tersebut
saling terkait satu sama lain, dan menentukan manifestasi klinis malaria yang bervariasi
mulai dari yang paling berat ,yaitu malaria dengan komplikasi gagal organ (malaria berat),
malaria ringan tanpa komplikasi, atau yang paling ringan, yaitu infeksi asimtomatik. Tanda
dan gejala klinis malaria yang timbul bervariasi tergantung pada berbagai hal antara lain usia
penderita, cara transmisi, status kekebalan, jenis plasmodium, infeksi tunggal atau campuran.
Selain itu yang tidak kalah penting adalah kebiasaan menggunakan obat anti malaria yang
kurang rasional yang dapat mendorong timbulnya resistensi. Berbagai faktor tersebut dapat
mengacaukan diagnosis malaria sehingga dapat disangka demam tifoid atau hepatitis, terlebih
untuk daerah yang dinyatakan bebas malaria atau yang Annual Parasite Incidence –
nyarendah.
G. Manifestasi klinis
Secara klinis, gejala dari penyakit malaria terdiri atas beberapa serangan demam dengan
interval tertentu yang diselingi oleh suatu periode dimana penderita bebas sama sekali dari
demam. Gejala klinis malaria antara lain sebagai berikut:
a) Badan terasa lemas dan pucat karena kekurangan darah dan berkeringat.
b) Nafsu makan menurun.
c) Mual-mual kadang-kadang diikuti muntah.
d) Sakit kepala yang berat, terus menerus, khususnya pada infeksi dengan plasmodium
Falciparum.
e) Dalam keadaan menahun (kronis) gejala diatas, disertai pembesaran limpa.
f) Malaria berat, seperti gejala diatas disertai kejang-kejang dan penurunan.
g) Pada anak, makin muda usia makin tidak jelas gejala klinisnya tetapi yang menonjol
adalah mencret (diare) dan pusat karena kekurangan darah (anemia) serta adanya riwayat
kunjungan ke atau berasal dari daerah malaria.
Malaria menunjukkan gejala-gejala yang khas, yaitu:
a) Demam berulang yang terdiri dari tiga stadium: stadium kedinginan, stadium panas, dan
stadium berkeringat
b) Splenomegali (pembengkakan limpa)
c) Anemi yang disertai malaise
Serangan malaria biasanya berlangsung selama 6-10 jam dan terdiri dari tiga tingkatan,
yaitu:
a. Stadium dingin
Stadium ini mulai dengan menggigil dan perasaan yang sangat dingin. Gigi gemeretak
dan penderita biasanya menutup tubuhnya dengan segala macam pakaian dan selimut
yang tersedia nadi cepat tetapi lemah. Bibir dan jari jemarinya pucat kebiru-biruan, kulit
kering dan pucat. Penderita mungkin muntah dan pada anak-anak sering terjadi kejang.
Stadium ini berlangsung antara 15 menit sampai 1 jam.
b. Stadium Demam
Setelah merasa kedinginan, pada stadium ini penderita merasa kepanasan. Muka merah,
kulit kering dan terasa sangat panas seperti terbakar, sakit kepala dan muntah sering
terjadi, nadi menjadi kuat lagi. Biasanya penderita merasa sangat haus dan suhu badan
dapat meningkat sampai 41°C atau lebih. Stadium ini berlangsung antara 2 sampai 4 jam.
Demam disebabkan oleh pecahnya skizon darah yang telah matang dan masuknya
merozoit darah ke dalam aliran darah.
Pada P. vivax dan P. ovale skizon-skizon dari setiap generasi menjadi matang setiap 48
jam sekali sehingga demam timbul setiap tiga hari terhitung dari serangan demam
sebelumnya. Nama malaria tertiana bersumber dari fenomena ini. Pada P. malaria,
fenomena tersebut 72 jam sehingga disebut malaria P. vivax/P. ovale, hanya interval
demamnya tidak jelas. Serangan demam diikuti oleh periode laten yang lamanya
tergantung pada proses pertumbuhan parasit dan tingkat kekebalan yang kemudian timbul
pada penderita.
c. Stadium Berkeringat
Pada stadium ini penderita berkeringat banyak sekali sampai-sampai tempat tidurnya
basah. Suhu badan meningkat dengan cepat, kadang-kadang sampai dibawah suhu
normal. Penderita biasanya dapat tidur nyenyak. Pada saat bangun dari tidur merasa
lemah tetapi tidak ada gejala lain, stadium ini berlangsung antara 2 sampai 4 jam.
Gejala-gejala yang disebutkan diatas tidak selalu sama pada setiap penderita, tergantung
pada spesies parasit dan umur dari penderita, gejala klinis yang berat biasanya terjadi
pada malaria tropika yang disebabkan oleh plasmodium falciparum. Hal ini disebabkan
oleh adanya kecenderungan parasit (bentuk trofozoit dan skizon) untuk berkumpul pada
pembuluh darah organ tubuh seperti otak, hati dan ginjal sehingga menyebabkan
tersumbatnya pembuluh darah pada organ-organ tubuh tersebut.
Gejala berupa koma/pingsan, kejang-kejang sampai tidak berfungsinya ginjal. Kematian
paling banyak disebabkan oleh jenis malaria ini. Kadang–kadang gejalanya mirip kolera
atau disentri. Black water fever yang merupakan gejala berat adalah munculnya
hemoglobin pada air seni yang menyebabkan warna air seni menjadi merah tua atau
hitam. Gejala lain dari black water fever adalah ikterus dan muntah-muntah yang
warnanya sama dengan warna empedu, black water fever biasanya dijumpai pada mereka
yang menderita infeksi P. falcifarum yang berulang -ulang dan infeksi yang cukup berat.
Secara klasik demam terjadi setiap dua hari untuk parasit tertiana (P. falciparum, P.
vivax, dan P. ovale) dan setiap tiga hari untuk parasit quartan (P. malariae). Karakteristik
parasit malaria dapat mempengaruhi adanya malaria dan dampaknya terhadap populasi
manusia. P. falciparum lebih menonjol di Afrika bagian selatan Sahara dengan jumlah
penderita yang lebih banyak, demikian juga yang meninggal dibandingkan dengan
daerah-daerah tempat parasit yang lain lebih menonjol. P. vivax dan P. ovale memiliki
tingkatan hynozoites yang dapat tetap dorman dalam sel hati untuk jangka waktu tertentu
(bulan atau tahun) sebelum direaktivasi dan menginvasi darah. P. falciparum dan P. vivax
kemungkinan mampu mengembangkan ketahanannya terhadap obat antimalaria.
H. Pemeriksaan fisik
1) Demam (pengukuran dengan thermometer ≥37.5 °C)
2) Sclera ikterik
3) Anemia
4) Pembesaran limpa (splenomegali) atau hati (hepatomegali)
5) Pada malaria berat di temukan suhu rektal (>400C, nadi cepat dan lemah, tekanan
darah sistolik <70 mmHG (dewasa) dan <50 mmHg (anak) , takipnea, penurunan
kesadaran, manifestasi perdarahan, tanda dehidrasi, tanda anemia berat, ikterik, ronki
pada paru , hepatomegaly, splenomegali, gagal ginjal dengan oliguria hingga anuria,
dan gangguan neurologis.
I. Pemerikasaan penunjang
1) Pemeriksaan sediaan darah tebal dan tipis dengan mikroskop untuk menentukan ada
tidaknya, spesies, stadium, kepadatan dan jenis Plasmodium (semikuantatif,
kuantatif).
2) Diagnosis cepat (RDT – rapid diagnostic test) yakni HRP-2 (histidine rich protein 2)
yang diproduksi tropozoit, skizon dan gametosit muda P.Falciparum, serta aldose dan
p-LDH (parasite lactate dehydrogenase) yang di produksi ke empat Plasmodium
aseksual dan seksual. Untuk membedakan infeksi P.Falciparum/ Vivax.
3) Pemeriksaan untuk malaria berat : darah perifer lengkap, kimia darah, EKG, Foro
toraks, analisis cairan serebrospinalis, biakan darah uji serologi, dan urinalisis.
J. Komplikasi :
1) Anemia berat : Hemolisis diseritropoiesis
2) Malaria serebral
3) Edema tungkai : hipoalbuminemia
4) Gagal ginjal akut
5) Hipoglikemia, Asidosis metabolic
6) Kelainan neuropsikiatri
7) Edema paru
K. Tatalaksana :
a) Skizontisid jaringan primer yang membasmi parasit, pra-eritrosit : proguanil,
pirimetamin
b) Skizontisid jaringan sekunder yang membasmi parasit eksoeritrosit: Primakuin
c) Skizontisid darah yang membasmi parasit fase eritrosit : kina, klorokuin, amodiakuin
d) Gametozid yang menghancurkan bentuk seksual: primakuin (untuk semua jenis
plasmodium) dan kina, klorokuin, amodiakuin (tidak efektif untuk P.Falciparum)
e) Sporontozid yang mencegah gametosit dalam darah membentuk ookista dan sporozoit
dalam nyamuk : primakuin, proguanil
L. Prognosis
Prognosis malaria tergantung kepada jenis malaria yang menginfeksi. Malaria tanpa
komplikasi biasanya akan membaik dengan pengobatan yang tepat. Tanpa pengobatan,
infeksi Plasmodium vivax dan Plasmodium ovale dapat berlanjut dan menyebabkan relaps
sampai 5 tahun. Infeksi Plasmodium malariae bisa bertahan lebih lama dari pada
Plasmodium vivax dan Plasmodium ovale. Infeksi Plasmodium falciparum dapat
menyebabkan malaria serebral yang selanjutnya dapat mengakibatkan kebingungan mental,
kejang dan koma. Prognosis untuk infeksi Plasmodium falciparum lebih buruk dan dapat
berakhir dengan kematian dalam 24 jam sekiranya tidak ditangani dengan cepat dan tepat.
M. Pencegahan
Dengan meningkatkan kewaspadaan terhadap risiko malaria, mencegah gigitan nyamuk,
pengendalian vektor dan kemoprofilaksis. Pencegahan gigitan nyamuk dapat dilakukan
dengan menggunakan kelambu berinsektisida, repelan, kawat kasa nyamuk dll.Obat yang
digunakan untuk kemoprofilaksis adalah doksisiklin dengan dosis 100 mg/hari. Obat ini
diberikan 1-2 hari sebelum bepergian, selama berada di daerah tersebut sampai 4 minggu, dan
setelah kembali. Tidak boleh diberikan pada ibu hamil dan anak dibawah umur 8 tahun dan
tidak boleh diberikan lebih dari 6 bulan.
*Referensi
1. Tanto C, Liwang F, Hanifati S, Pradipta EA. Kapita Selekta Kedokteran. Edisi IV.
Jakarta: Media Aesculapius, 2014:728-32
Diagnosis banding.
Demam Tifoid
A. Definisi
Demam tifoid adalah infeksi sistemik akut yang disebabkan oleh Salmonella enteric
serotype typhi atau paratyphi. Nama lain penyakit ini adalah enteric fever, tifus, dan
paratifus abdominalis. Tifoid karier adalah seseorang yang kotorannya (feses atau urin)
mengandung S.typhi setelah satu tahun pasca demam tifoid tanpa gejala klinis.
B. Epidemiologi
Demam tifoid dan paratiroid bersifat endemik dan sporadik di Indonesia. Demam tifoid
dapat ditemukan sepanjang tahun dengan insidens tertinggi pada anak-anak. Sumber
penularan S.typhi ada dua yakni pasien dengan demam tifoid dan karier. Transmisi
terjadi melalui air yang tercemar S.typhi pada daerah endemik sedangkan pada daerah
nonendemik, makanan yang tercemar karier merupakan sumber penularan utama.
C. Etiologi
Etiologi demam tifoid adalah Salmonella typhi dan Salmonella paratyphi bioserotipe A,
B, atau C. Kedua spesies Salmonella ini berbentuk batang, berflagel, aerobik, serta
gram negatif.
D. Patogenesis dan Patofisiologi
S.typhi masuk ke dalam tubuh manusia melalui makanan dan air yang tercemar.
Sebagian kuman dihancurkan oleh asam lambung dan sebagian masuk ke usus halus,
mencapai jaringan limfoid plak Peyeri di ileum terminalis yang hipertrofi.
S.typhimemiliki fimbria khusus yang dapat menempel ke lapisan epitel plak Peyeri
sehingga bakteri dapat difagositosis. Setelah menempel, bakteri memproduksi protein
yang mengganggu lapisan brush border usus dan memaksa sel usus untuk membentuk
kerutan membran yang akan melapisi bakteri dalam vesikel. Bakteri dalam vesikel akan
menyebrang melewati sitoplasma sel usus dan dipresentasikan ke makrofag.Kuman
memiliki berbagai mekanisme sehingga dapat terhindar dari serangan sistem imun
seperti polisakarida kapsul Vi, penggunaan makrofag sebagai kendaraan, dan gen
Salmonella pathogenicity island-2 (SPI-2).Setelah sampai kelenjar getah bening
mesenterika, kuman kemudian masuk ke aliran darah melalui duktus torasikus sehingga
terjadi bakteremia pertama yang asimtomatik. S.typhi juga bersarang dalam sistem
retikuloendotelial terutama hati dan limpa, dimana kuman meninggalkan sel fagosit,
berkembang biak, dan masuk sirkulasi darah lagi sehingga terjadi bakteremia kedua
dengan gejala sistemik. S.typhi menghasilkan endotoksin yang berperan dalam
inflamasi lokal jaringan tempat kuman berkembang biak, merangsang pelepasan zat
pirogen, dan leukosit jaringan sehingga muncul demam dan gejala sistemik lain.
Perdarahan saluran cerna dapat terjadi akibat erosi pembuluh darah sekitar plak Peyeri.
Apabila proses patologis semakin berkembang, perforasi dapat terjadi.
E. Manifestasi Klinis
Masa tunas sekitar 10-14 hari. Gejala yang timbul bervariasi:
Pada minggu pertama, muncul tanda infeksi akut seperti demam, nyeri kepala,
pusing, nyeri otot, anoreksia, mual, muntah, obstipasi atau diare, perasaan tidak
nyaman di perut, batuk, dan epistaksis. Demam yang terjadi berpola seperti anak
tangga dengan suhu makin tinggi dari hari ke hari, lebih rendah pada pagi hari dan
tinggi pada sore hari.
Pada minggu kedua gejala menjadi lebih jelas dengan demam, bradikardia relatif,
lidah tifoid (kotor di tengah, tepi, dan ujung berwarna merah, disertai tremor),
hepatomegali, splenomegali, meteorismus, gangguan kesadaran, dan yang lebih
jarang, berupa roseolae.
F. Pemeriksaan Penunjang
1) Pemeriksaan Darah Perifer
Leukopenia/normal/leukositosis, anemia ringan, trombositopenia, peningkatan laju
endap darah, peningkatan SGOT/SGPT.
2) Uji Widal
Deteksi titer antibodi terhadap S.typhi, S.paratyphi yakni aglutinin O (dari tubuh
kuman) dan aglutinin H (flagela kuman). Pembentukan aglutinin mulai terjadi pada
akhir minggu pertama demam, puncak pada minggu keempat, dan tetap tinggi
dalam beberapa minggu dengan peningkatan aglutinin O terlebih dahulu baru
diikuti aglutinin H. Aglutinin O menetap 4-6 bulan sedangkan aglutinin H menetap
9-12 bulan. Titer antibodi O > 1:320 atau antibodi H > 1:640 menguatkan diagnosis
pada gambaran klinis yang khas.
3) Uji TUBEX
Uji semikuantitatif kolometrik untuk deteksi antibodi anti S.typhi O9. Hasil positif
menunjukkan infeksi Salmonella serogroup D dan tidak spesifik S.typhi. Infeksi
S.paratyphi menunjukkan hasil negative. Sensitivitas 75-80% dan spesifisitas 75-
90%.
Tabel Penilaian TUBEX
Skor Interpretasi Keterangan
<2 Negatif Tidak menunjukkan infeksi tifoid
aktif
3 Borderline Tidak dapat disimpulkan
4-5 Positif Menunjukkan infeksi tifoid aktif
>6 Positif Indikasi kuat infeksi tifoid
4) Uji Typhidot
Deteksi IgM dan IgG pada protein membrane luar S.typhi. Hasil positif diperoleh 2-
3 hari setelah infeksi dan spesifik mengidentifikasi IgM dan IgG terhadap S.typhi.
Sensitivitas 98%, spesifisitas 76,6%.
5) Uji IgM Dipstick
Deteksi khusus IgM spesifik S.typhi pada spesimen serum atau darah dengan
menggunakan strip yang mengandung antigen lipopolisakarida S.typhi dan anti IgM
sebagai control. Sensitivitas 65-77% dan spesifisitas 95-100%. Akurasi diperoleh
bila pemeriksaan dilakukan 1 minggu setelah timbul gejala.
6) Kultur Darah
Hasil positif memastikan demam tifoid namun hasil negatif tidak menyingkirkan.
G. Tata Laksana
Istirahat dan perawatan untuk mencegah komplikasi.
Diet lunak dan terapi suportif (antipiretik, anti-emetik, cairan yang adekuat).
Antibiotik, dengan pilihan antara lain:
- Kloramfenikol 4 x 500 mg/hari per oral/IV hingga 7 hari bebas demam;
- Tiamfenikol 4 x 500 mg;
- Kotrimoksazol 2 x 960 mg selama 2 minggu;
- Ampisilin dan amoksisilin 50-150 mg/kgBB selama 2 minggu;
- Seftriakson 3-4 gram dalam dekstrosa 100 cc selama ½ jam per infus sekali
sehari, selama 3-5 hari;
- Golongan fluorokuinolon:
o Norfloksasin 2 x 400 mg/hari selama 14 hari;
o Siprofloksasin 2 x 500 mg/hari selama 6 hari;
o Ofloksasin 2 x 400 mg/hari selama 7 hari.
- Kombinasi antibiotik diberikan pada tifoid toksik, peritonitis atau perforasi,
syok septik;
- Pada kehamilan: ampisilin, amoksisilin, seftriakson.
H. Komplikasi
Demam tifoid dapat memiliki komplikasi pada berbagai sistem organ:
1) Komplikasi intestinal: perdarahan usus, perforasi usus, ileus paralitik;
2) Komplikasi kardiovaskular: syok, miokarditis, trombosit, tromboflebitis;
3) Komplikasi darah: anemia hemolitik, trombositopenia, koagulasi intravaskular
diseminata, sindrom uremia hemolitik;
4) Komplikasi paru: pneumonia, empyema, pleuritis;
5) Komplikasi hepar dan kandung kemih: hepatitis, kolelitiasis;
6) Komplikasi ginjal: glomerulonephritis, pielonefritis, perinefritis;
7) Komplikasi tulang: osteomielitits, periostitis, spondylitis, artritis;
8) Komplikasi neuropsikiatrik: delirium, meningismus, meningitis, polineuritis perifer,
sindrom Guillain-Barre, psikosis, sindrom katatonia.
I. Prognosis
Tifoid yang tidak diobati memiliki angka mortalitas yang mendekati 20%.
Mortalitas hampir tidak ada pada pengobatan segera.
Angka kematian yang tinggi tetap ada di banyak negara endemik akibat
pengobatan tertunda atau tidak tepat.
J. Pencegahan
1) Orang yang mengunjungi atau tinggal di daerah sangat endemik sebaiknya
mendapatkan vaksin tifoid. Terdapat tiga jenis vaksin dan seluruhnya memberikan
perlindungan sekitar 70% selama 3 tahun.
- Vaksin whole-cell mati: dua suntikan penting untuk paket primer. Efek samping
lokal dan sistemik umum terjadi. Vaksin ini murah.
- Polisakarida kapsular Vi: suntikan tunggal, reaksi lokal, dan sistemik minimal.
Respons imun suboptimal pada anak-anak berusia < 18 bulan. Vaksin polisakarida
Vi konjugat memberikan perlindungan sekitar 90% pada anak berusia > 2 tahun
dan mungkin lebih sesuai pada bayi.
- Vaksin oral hidup yang dilemahkan Ty 21a: 3 kapsul selama 5 hari. Sebenarnya
bebas dari efek samping namun mahal. Tidak sesuai untuk anak-anak berusia < 5
tahun.
2) Di negara endemik tifoid, tindakan paling penting adalah penyediaan air yang
aman diminum, pembuangan ekskret yang aman, serta edukasi masyarakat
mengenai higiene.
*Referensi
1. Arifputera A, dkk. Kapita Selekta Kedokteran. Ed. 4. Jakarta: Media Aesculapius, 2014.
2. Mandal BK, Wilkins EGL, Dunbar EM, Mayon-White RT. Lecture Notes: Penyakit
Infeksi. Ed. 6. Jakarta: Penerbit Erlangga, 2008.
Demam Berdarah Dengue
A. Definisi
Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) adalah penyakit menular yang disebabkan
oleh virus dengue dan ditularkan oleh nyamuk Aedes aegypti, yang ditandai dengan
demam mendadak dua sampai tujuh hari tanpa penyebab yang jelas, lemah/lesu,
gelisah, nyeri hulu hati, disertai tanda perdarahan dikulit berupa petechie, purpura,
echymosis, epistaksis, perdarahan gusi, hematemesis, melena, hepatomegali,
trombositopeni, dan kesadaran menurun atau renjatan.
B. Epidemiologi
DBD merupakan penyakit dengan potensi fatalitas yang cukup tinggi, yang ditemukan
pertama kali pada tahun 1950an di Filipina dan Thailand, saat ini dapat ditemukan di
sebagian besar negara di Asia.Jumlah negara yang mengalami wabah DBD telah
meningkat empat kali lipat setelah tahun 1995. Sebagian besar kasus DBD menyerang
anak-anak. Angka fatalitas kasus DBD dapat mencapai lebih dari 20%, namun dengan
penanganan yang baik dapat menurun hingga kurang dari 1 % (WHO, 2008). Di
Indonesia, DBD telah menjadi masalah kesehatan masyarakat selama 30 tahun
terakhir. Jumlah kasus DBD pada tahun 2007 telah mencapai 139.695 kasus, dengan
angka kasus baru (insidensi rate) 64 kasus per 100,000 penduduk. Total kasus
meninggal adalah 1.395 kasus /Case Fatality Rate sebesar 1% (Depkes RI, 2008a).
Pada saat ini kasus DBD dapat ditemukan di seluruh propinsi di Indonesia dan 200
kota telah melaporkan Kejadian Luar Biasa (KLB) DBD (Depkes RI, 2008 )
C. Etiologi
Demam Dengue (DD) dan Demam Berdarah Dengue (DBD) disebabkan virus dengue
yang termasuk kelompok B Arthropod Borne Virus (Arboviroses) yang sekarang
dikenal sebagai genus Flavivirus, famili Flaviviridae, dan mempunyai 4 jenis serotipe,
yaitu; DEN-1, DEN2, DEN-3, DEN-4. Infeksi salah satu serotipe akan menimbulkan
antibodi terhadap serotipe yang bersangkutan, sedangkan antibodi yang terbentuk
terhadap serotipe lain sangat kurang, sehingga tidak dapat memberikan perlindungan
yang memadai terhadap serotipe lain tersebut.
D. Patofisiologi
Berdasarkan data yang ada, terdapat bukti yang kuat bahwa mekanisme
imunopatologis berperan dalam terjadinya demam berdarah dengue dan sindrom
renjatan dengue. Respon imun yang diketahui berperan dalam patogenesis DBD
adalah :
1) Respon humoral berupa pembentukan antibodi yang berperan dalam proses
netralisasi virus, sitolisis yang dimediasi komplemen dan sitotoksisitas yang
dimediasi antibodi. Antibodi terhadap virus dengue berperan dalam mempercepat
replikasi virus pada monosit atau makrofag. ipotesis ini disebut dengan antibodi
dependent enchancement (ADE);
2) Limfosit T baik T-helper (CD4) dan T sitotoksik (CD8) berperan dalam respon
imun seluler terhadap virus dengue. Diferensiasi T helper yaitu TH1 akan
memproduksi interferon gamma, IL-2 dan limfokin. Sedangkan TH2 memproduksi
IL-4, IL-5, IL- 6, dan IL-10;
3) Monosit dan makrofag berperan dalam fagositosis virus dengan opsonisasi
antibodi. Namun proses fagositosis ini menyebabkan peningkatan replikasi virus
dan sekresi sitokin oleh makrofag;
4) Aktivasi komplemen oleh kompleks imun menyebabkan terbentuknya C3a dan
C5a.
5) Kurane dan Ennis pada tahun 1994 merangkum pendapat Halstead dan peneliti
lain; menyatakan bahwa infeksi virus dengue menyebabkan aktivasi makrofag
yang memfagositosis kompleks virus-antibodi non netralisasi sehingga virus
bereplikasi di makrofag. Terjadinya infeksi makrofag oleh virus dengue
menyebabkan aktivasi T helper dan T sitotoksik sehingga diproduksi limfokin dan
interferon gamma. Interferon gamma akan mengaktivasi monosit sehingga
disekresi berbagai mediator inflamasi seperti TNF-α, IL-1, PAF (platelet activating
factor), IL-6, dan histamin yang mengakibatkan terjadinya disfungsi endotel dan
terjadi kebocoran plasma. Peningkatan C3a dan C5a terjadi melalui aktivasi oleh
kompleks virusantibodi yang juga mengakibatkan terjadinya kebocoran plasma.
Trombositopenia pada infeksi dengue terjadi melalui mekanisme :
a. Supresi sumsum tulang
b. Destruksi dan pemendekan masa hidup trombosit.
Gangguan fungsi trombosit
terjadi melalui mekanisme gangguan pelepasan ADP, peningkatan kadar b-
tromboglobulin dan PF4 yang merupakan pertanda degranulasi trombosit.
Koagulopati terjadi sebagai akibat interaksi virus dengan endotel yang
menyebabkan disfungsi endotel. Berbagai penelitian menunjukkan terjadinya
koagulopati konsumtif pada demam berdarah dengue stadium III dan IV. Aktivasi
koagulasi pada demam berdarah dengue terjadi melalui aktivasi jalur intrinsik
(tissue factor pathway). Jalur intrinsik juga berperan melalui aktivasi faktor Xia
namun tidak melalui aktivasi kontak (kalikrein C1-inhibitor complex).
E. Manifestasi klinis
Infeksi oleh virus dengue dapat bersifat asimtomatik maupun simtomatik yang
meliputi demam biasa (sindrom virus), demam dengue, atau demam berdarah dengue
termasuk sindrom syok dengue (DSS). Penyakit demam dengue biasanya tidak
menyebabkan kematian, penderita sembuh tanpa gejala sisa. Sebaliknya, DHF
merupakan penyakit demam akut yang mempunyai ciri-ciri demam, manifestasi
perdarahan, dan berpotensi mengakibatkan renjatan yang dapat menyebabkan
kematian. Gambaran klinis bergantung pada usia, status imun penjamu, dan strain
virus.
F. Pemeriksaan penunjang
a) Demam Berdarah Dengue (DBD) Diagnosa DBD ditegakkan jika ada 2 kriteria
klinis ditambah dengan 2 kriteria laboratoris (Tabel 1). Kasus DBD yang menjadi
lebih berat, menjadi kasus Dengue Shock Syndrome (DSS).
Tabel Kriteria Klinik dan Laboratoris DBD
Kriteria klinis
Demam tinggi mendadak, terus menerus selama 2-7 hariTerdapat manifestasi perdarahan seperti torniquet positif,
petechiae, echimosis, purpura, perdarahan mukosa, epistaksis,perdarahan gusi dan hematemesis dan atau melena
Pembesaran hatiSyok ditandai dengan nadi lemah dan cepat, tekanan nadi turun,
tekanan darah turun, kulit dingin dan lembab terutama di ujung jari dan ujung hidung, sianosis sekitar mulut, dan gelisah.
Kriteria lab. Trombositopenia (100.000ul atau kurang) dan Hemokonsentrasi, peningkatan hematokrit 20% atau lebih
G. Terapi
Pengobatan penderita DBD pada dasarnya bersifat simptomatik dan suportif yaitu
pemberian cairan oral untuk mencegah dehidrasi.
1. Penatalaksanaan DBD tanpa komplikasi :
a. Istirahat total di tempat tidur.
b. Diberi minum 1,5-2 liter dalam 24 jam (susu, air dengan gula atau air ditambah
garam/oralit). Bila cairan oral tidak dapat diberikan oleh karena tidak mau
minum, muntah atau nyeri perut berlebihan, maka cairan inravena harus
diberikan.
c. Berikan makanan lunak
d. Medikamentosa yang bersifat simptomatis. Untuk hiperpireksia dapat diberikan
kompres, antipiretik yang bersifat asetaminofen, eukinin, atau dipiron dan
jangan diberikan asetosal karena dapat menyebabkan perdarahan.
e. Antibiotik diberikan bila terdapat kemungkinan terjadi infeksi sekunder.
2. Penatalaksanaan pada pasien syok :
a. Pemasangan infus yang diberikan dengan diguyur, seperti NaCl, ringer laktat
dan dipertahankan selama 12-48 jam setelah syok diatasi.
b. Observasi keadaan umum, nadi, tekanan darah, suhu, dan pernapasan tiap jam,
serta Hemoglobin (Hb) dan Hematokrit (Ht) tiap 4-6 jam pada hari pertama
selanjutnya tiap 24 jam.
Nilai normal Hemoglobin :
Anak-anak : 11,5 – 12,5 gr/100 ml darah
Laki-laki dewasa : 13 – 16 gr/100 ml darah
Wanita dewasa : 12 – 14 gr/100 ml darah
Nilai normal Hematokrit :
Anak-anak : 33 – 38 vol %
Laki-laki dewasa : 40 – 48 vol %
Wanita dewasa : 37 – 43 vol %
c. Bila pada pemeriksaan darah didapatkan penurunan kadar Hb dan Ht maka
diberi transfusi darah.
H. Faktor resiko
Penularan penyakit DBD dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu agent (virus), host
(pejamu), dan lingkungan, yaitu :
1. Agent (penyebab penyakit) adalah semua unsur atau elemen hidup atau mati yang
kehadirannya, apabila diikuti dengan kontak yang efektif dengan manusia rentan
dalam keadaan yang memungkinkan akan menjadi stimuli untuk mengisi dan
memudahkan terjadinya suatu roses penyakit. Dalam hal ini yang menjadi agent
dalam penyebaran DBD adalah virus dengue
2. Karakteristik host (pejamu) adalah manusia yang kemungkinan terjangkit penyakit
DBD. Faktor-faktor yang terkait dalam penularan DBD pada manusia yaitu :
Pendidikan akan mempengaruhi cara berpikir dalam penerimaan penyuluhan
dan cara pemberantasan yang dilakukan, hal ini berkaitan dengan pengetahuan.
Hasil penelitian Nicolas Duma (2007) di kecamatan Baruga kota Kendari ada
hubungan yang sangat signifikan antara pengetahuan dengan kejadian DBD.
Hal ini juga sesuai dengan hasil penelitian Arsunan dan Wahiduddin (2003) di
kota Makassar yang mendapatkan adanya hubungan yang bermakna antara
pengetahuan dengan kejadian DBD. Hasil penelitian Kasnodiharjo (1997) di
Subang Jawa Barat menyatakan bahwa seseorang yang mempunyai latar
belakang pendidikan atau buta huruf, pada umumnya akan mengalami
kesulitan untuk menyerap ide-ide baru dan membuat mereka konservatif
karena tidak mengenal alternatif yang lebih baik.
Kelompok umur akan mempengaruhi peluang terjadinya penularan penyakit
DBD. Hasil penelitian Soegeng Soegijanto (2000) di Jawa Timur dari tahun
1996 sampai dengan tahun 2000 proporsi kasus DBD terbanyak adalah pada
kelompok umur 5-9 tahun. Tetapi pada tahun 1998 dan 2000 proporsi kasus
pada kelompok umur 15-44 tahun meningkat, keadaan tersebut perlu
diwaspadai bahwa DBD cenderung meningkat pada kelompok umur remaja
dan dewasa.Hal ini sesuai dengan Suroso bahwa di Indonesia pada tahun
1995-1997 proporsi kasus DBD telah bergeser ke usia ≥ 15 tahun. Hasil
penelitian Fitri (2005) di Pekanbaru proporsi penderita terbanyak lebih sering
pada kelompok umur ≥ 15 tahun.
Jenis kelamin, berdasarkan penelitian Widyana (1998) di Bantul pada tahun
1997 menemukan bahwa proporsi penderita perempuan lebih tinggi dibanding
laki-laki yaitu sebesar 52,6 %. Hasil serupa juga di peroleh oleh Enny dkk
(2003) di Jakarta pada tahun 2000 sebagian besar penderita adalah perempuan
(58,2%). Namun secara keseluruhan tidak terdapat perbedaan antara jenis
kelamin penderita DBD dan sampai sekarang tidak ada keterangan yang dapat
memberikan jawaban dengan tuntas mengenai perbedaan jenis kelamin pada
penderita DBD. Hal ini juga didukung oleh penelitian yang dilakukan
Djelantik di RSCM Jakarta (1998) menyatakan bahwa tidak terdapat
perbedaan yang signifikan antara angka insiden laki-laki dan perempuan.
3. Lingkungan, lingkungan yang terkait dalam penularan penyakit DBD adalah :
Tempat penampungan air / keberadaan kontainer, sebagai tempat perindukan
nyamuk Aedes aegypti. Hasil penelitian Yukresna dengan desain penelitian
case control di kota Medan mendapatkan kondisi tempat penampungan air
mempunyai hubungan dengan kejadian DBD dengan OR 5,706 (CI 95% 1,59
– 20,39).
Ketinggian tempat suatu daerah mempunyai pengaruh terhadap
perkembangbiakan nyamuk dan virus DBD. Di wilayah dengan ketinggian
lebih dari 1.000 meter diatas permukaan laut tidak ditemukan nyamuk Aedes
aegypti.
Curah hujan, pada musim hujan (curah hujan diatas normal) tempat
perkembangbiakan nyamuk Aedes aegypti yang pada musim kemarau tidak
terisi air, mulai terisi air. Telur-telur yang belum sempat menetas, dalam
tempo singkat akan menetas, dan kelembaban udara juga akan meningkat yang
akan berpengaruh bagi kelangsungan hidup nyamuk dewasa dimana selama
musim hujan jangka waktu hidup nyamuk lebih lama dan berisiko penularan
virus lebih besar. Dari hasil pengamatan penderita DBD yang selama ini
dilaporkan di Indonesia bahwa musim penularan DBD pada umumnya terjadi
pada musim hujan yaitu awal dan akhir tahun. Hasil penelitian Fitri kasus
penyakit DBD di kota Pekanbaru akan lebih tinggi pada saat curah hujan
tinggi yaitu diatas 300 mm. Curah hujan, pada musim hujan (curah hujan
diatas normal) tempat perkembangbiakan nyamuk Aedes aegypti yang pada
musim kemarau tidak terisi air, mulai terisi air. Telur-telur yang belum sempat
menetas, dalam tempo singkat akan menetas, dan kelembaban udara juga akan
meningkat yang akan berpengaruh bagi kelangsungan hidup nyamuk dewasa
dimana selama musim hujan jangka waktu hidup nyamuk lebih lama dan
berisiko penularan virus lebih besar. Dari hasil pengamatan penderita DBD
yang selama ini dilaporkan di Indonesia bahwa musim penularan DBD pada
umumnya terjadi pada musim hujan yaitu awal dan akhir tahun. Hasil
penelitian Fitri kasus penyakit DBD di kota Pekanbaru akan lebih tinggi pada
saat curah hujan tinggi yaitu diatas 300 mm.
Kebersihan lingkungan / sanitasi lingkungan, dari penelitian Yukresna di kota
Medan dengan desain penelitian case control yang mendapatkan bahwa
kebersihan lingkungan mempunyai hubungan dengan kejadian DBD dengan
OR 2,90 (CI 95% 1,63-5,15). Penelitian tersebut sesuai dengan pernyataan
Seogeng, yang menyatakan bahwa kondisi sanitasi lingkungan berperan besar
dalam perkembangbiakan nyamuk Aedes aegypt.
I. Pencegahan
Pengembangan vaksin untuk penyakit DBD masih sulit, karena proteksi terhadap 1-2
virus dengue akan meningkatkan risiko penyakit DBD menjadi lebih berat (WHO,
2008). Halstead pada tahun 1973 mengajukan hipotesis secondary heterologous
infection yang menyatakan bahwa DHF terjadi bila seseorang terinfeksi ulang virus
dengue dengan tipe yang berbeda. Re-infeksi menyebabkan reaksi anamnestic
antibodi sehingga mengakibatkan konsentrasi komplek imun yang tinggi . Oleh
karena itulah, maka pencegahan dan penanggulangan penyakit DBD dilakukan secara
promotif dan preventif, dengan pemberantasan nyamuk vektor (hewan perantara
penularan).
J. Klasifikasi
Tabel klasifikasi DBD
penyakit derajat gejala Lab.
DD
Demam disertai 2 atau lebih tanda : sakit kepala, nyeri retro-orbital, myalgia, rthralgia.
• Leukopenia• Trombositopenia,
tidakDitemukan bukti kebocoran
plasma• Serologi dengue
positif
DBD
I Gejala diatas ditambah uji bendung positif
Trombositopenia, bukti ada kebocoran plasma
II Gejala diatas ditambah pendarahan spontan
III Gejala diatas ditambah kegagalan sirkulasi (kulit dingin dan lembab serta gelisah)
IV Syok berat disertai dengan tekanan darah dan nadi tidak
terukur.* DBD derajat III dan IV juga disebut Dengue Syok Syndrome (DSS)
*Referensi
1. Hanim D., et al. 2013. “Program Pengendalian Penyakit Menular: Demam Berdarah
Dengue”. Surakarta : Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret. Available at
http://fk.uns.ac.id/static/filebagian/dbd.pdf.
2. Yuswulandary. 2010. “Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD)”. Medan: Fakultas
Kedoktertan Universitas Sumatera Utara. Available at
http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/16366/2/chapter%20ii.pdf.
Hubungan keluhan yang dialami pasien dengan pemicu.
Gambar Mekanisme Keluhan pada Pemicu
Mikroorganisme (MO) yang masuk ke dalam tubuh umumnya memiliki suatu zat
toksin/racun tertentu yang dikenal sebagai pirogen eksogen. Dengan masuknya MO tersebut,
tubuh akan berusaha melawan dan mencegahnya yakni dengan memerintahkan “tentara
pertahanan tubuh” antara lain berupa leukosit, makrofag, dan limfosit untuk memakannya
(fagositosit). Dengan adanya proses fagositosit ini, tentara-tentara tubuh itu akan
mengelurkan “senjata” berupa zat kimia yang dikenal sebagai pirogen endogen (khususnya
interleukin 1/ IL-1) yang berfungsi sebagai anti infeksi. Pirogen endogen yang keluar,
selanjutnya akan merangsang sel-sel endotel hipotalamus (sel penyusun hipotalamus) untuk
mengeluarkan suatu substansi yakni asam arakhidonat. Asam arakhidonat bisa keluar dengan
adanya bantuan enzim fosfolipase A2. Asam arakhidonat yang dikeluarkan oleh hipotalamus
akan pemacu pengeluaran prostaglandin (PGE2). Pengeluaran prostaglandin pun berkat
bantuan dan campur tangan dari enzim siklooksigenase (COX). Pengeluaran prostaglandin
akan mempengaruhi kerja dari termostat hipotalamus. Sebagai kompensasinya, hipotalamus
selanjutnya akan meningkatkan titik patokan suhu tubuh (di atas suhu normal). Suhu di luar
tubuh sekarang berada dibawa dari suhu dalam tubuh dalam artian disini terjadi peningkatan
suhu dalam tubuh, keadaan ini memberikan ketidak seimbangan diluar dan di dalam tubuh
dan akibatnya terjadilah respon dingin/ menggigil. Adanya proses mengigil ini ditujukan utuk
menghasilkan panas tubuh yang lebih banyak atau dapat diberikan selimut.. Literature
lainyya menjelaskan bahwa kontraksi otot (menggigil) memberikan dampak berupa
penurunan suplai darah ke jaringan. Dengan demikian tubuh akan mengeluarkan panas
berupa keringat. Terjadinya pucat pada pasien dikarenakan anemia. Pada infeksi parasit
malaria terjadi penghancuran eritrosit baik yang terinfeksi ataupun tidak sebagai efek dari
infeksi dan proses fagositosis untuk pertahanan tubuh. Motion atau infeksi juga dapat
mempengaruhi pusat muntah di daerah medulla oblongata yaitu nucleus salitarius. Sehingga
memberikan efek muntah pada pasien.
*Referensi
1. Despopoulos & Sibernagl. Color Atlas of Physiology chapter 9. Elsevier : Philadelpia,
2003. available at : www.who.int/topics/malaria/en/. diakses tanggal 11 April 2016.
Respon imun yang berperan.
1) DBD
Respon imun yang diketahui berperan dalam pathogenesis DBD adalah :
a) Respon humoral berupa pembentukan antibody yang berparan dalam proses
netralisasi virus, sitolisis yang dimeasi komplemen dan sitotoksisitas yang dimediasi
antibody. Antibody terhadap virus dengue berperan dalam mempercepat replikasi
virus pad monosit atau makrofag. Hipotesis ini disebut antibody dependent
enhancement (ADE);
b) Limfosit T baik T-helper (CD4) dan T sitotoksik (CD8) berepran dalam respon imun
seluler terhadap virus dengue. Diferensiasi T helper yaitu TH1 akan memproduksi
interferon gamma, IL-2 dan limfokin, sedangkan TH2 memproduksi IL-4, IL-5, IL-6
dan IL-10;
c) Monosit dan makrolag berperan dalam fagositosis virus dengan opsonisasi antibodi.
Namun proses fagositosis ini menyebabkan peningkatan replikasi virus dan sekresi
sitokin oleh makrofag;
d) Selain itu aktivitasi komplemen oleh kompleks imun menyebabkan terbentuknya
C3a dan C5a.
2) Malaria
Kekebalan pada malaria merupakan keadaan kebal terhadap infeksi yang berhubungan
dengan penghancuran parasit dan terbatasnya per tumbuhan dan perkembangbiakan
parasit tersebut. Imunitas terhadap malar ia sangat kompleks, melibatkan hampir
seluruh komponen system imun baik spesifik maupun non-spesifik, imunitas humoral
maupun seluler, yang timbul secara alami maupun didapat (acquired) akibat infeksi
atau vaksinasi. Imunitas spesifik timbulnya lambat. Imunitas hanya bersifat jangka
pendek (short lived) dan kemungkinan tidak ada imunitas yang permanen dan
sempurna. Pada malaria terdapat kekebalan bawaan dan kekebalan didapat. Pada daerah
endemik, janin dilindungi oleh sistem antibodi maternal dan anak sangat berisiko bila
diserang apabila telah disapih. Daya imunitas pada anak yang selamat pada serangan
pertama akan selalu dirangsang oleh gigitan nyamuk yang terinfeksi selama anak
tinggal di daerah endemik malaria. Daya imunitas malaria adalah spesies spesifik,
seseorang yang imun terhadap malaria vivax akan terserang penyakit malaria lagi bila
terinfeksi oleh malaria falciparum. Orang yang berkulit hitam akan tahan terhadap
infeksi malaria vivax dari pada orang yang berkulit putih, sedangkan malaria
falciparum pada orang hitam tidak begitu berbahaya.Antibodi pada tubuh hospes mulai
diproduksi oleh sistem imun saat hospes manusia pertama kali terinfeksi parasit
malaria. Antibodi bekerja langsung atau bekerja sama dengan bagian sitem imun yang
lain untuk mengenali molekul antigen yang terdapat pada permukaan parasit untuk
membunuh parasit malaria. Respon imun dari hospes yang timbul akibat suatu penyakit
ditandai dengan adanya reaksi radang, hal tersebut bergantung pada derajat
infeksinya.Saat P. vivax memproduksi 24 merozoit setiap 48 jam akan menghasilkan
4,59 milyard parasit dalam waktu 14 hari, sehingga hospes akan tidak tahan bila
organisme terus berbiaktanpa dikontrol. Pada malaria dapat terjadi perkembangan suatu
proteksi imun, terjadinya relaps dan timbulnya penyakit erat hubungannya dengan
rendahnya titer antibodi atau peningkatan kemampuan parasit melawan antibodi
tersebut. Tetapi hal tersebut bergantung pada perbedaan genetic dari populasi
schizont.Secara alami produksi antibodi berlangsung lambat sehingga individu menjadi
sakit ketika terinfeksi. Namun, imun memiliki memori untuk pembentukan antibodi,
maka respon sistem imun untuk infeksi selanjutnya menjadi lebih cepat. Setelah
paparan infeksi berulang, individu mengembangkan imunitas yang efektif mengontrol
parasitemia yang dapat mengurangi gejala klinis dan komplikasi yang membahayakan
bahkan dapat menimbulkan kematian. Level atau kadar antibodi juga semakin
meningkat dengan adanya setiap paparan infeksi dan menjadi lebih efektif dalam
membunuh parasit.Perlawanan tubuh terhadap parasit Plasmodium atau respon imunitas
dilakukan oleh imunitas seluler yaitu limfosit T dan dilakukan oleh imunitas humoral
melalui limfosit B. Limfosit T dibedakan menjadi limfosit T helper (CD 4+) dan
sitotoksis (CD 8+). Limfosit adalah sel yang cukup berperan dalam respon imun karena
mempunyai kemampuan untuk mengenali antigen melalui reseptor permukaan khusus
dan membelah diri menjadi sejumlah sel dengan spesifitas yang identik, dengan masa
hidup limfosit yang panjang menjadikan sel yang ideal untuk respons adaptif. Eritrosit
yang telah terinfeksi Plasmodium akan ditangkap oleh antigen presenting cell (APC)
dan dibawa ke sitoplasma sel dan terbentuk fagosom yang akan bersatu dengan lisosom
sehingga terbentuk fagolisosom.Fagolisosom mengeluarkan mediator yang akan
mendegradasi antigen Plasmodium menjadi peptida-peptida yang akan berasosiasi
dengan molekul MHC II (majorhistocompatibilit y complex ) dan dipresentasikan ke sel
T C D . Saat berlangsungnya proses tersebut APC mengeluarkan interleukin-12 (IL-12),
Ikatan antara CD40 ligand (CD40L) dan CD40 saat presentasi antigen memperkuat
produksi IL- 12. IL-12 ini akan mempengaruhi proliferasi sel T yang merupakan
komponen seluler dan imunitas spesifik dan selanjutnya menyebabkan aktivasi dan
deferensiasi sel T.Berdasarkan sitokin yang dihasilkan dibedakan menjadi dua subset
yaitu Th1 dan Th2. Th-1 Menghasilkan IFN-γ dan TNF-á yang mengaktifkan
komponen imunitas seluler seperti makrofag, monosit, serta sel NK,9 sedangkan subset
yang kedua adalah Th2 yang menghasilkan IL-4, IL-5, IL-6 dan IL-10. Sitokin berperan
mengaktifkan imunitas humoral. CD 4+ berfungsi sebagai regulator dengan membantu
produksi antibodi dan aktivasi fagosit-fagosit lain, sedangkan CD 8+ berperan sebagai
efektor langsung untuk fagositosis parasit dan menghambatperkembangan parasit
dengan menghasilkan IFN-γ. Pada saat Plasmodium masuk ke dalam sel-sel tubuh dan
mulai dianggap asing oleh tubuh maka epitop-epitop antigen dari parasit Plasmodium
akan berikatan dengan reseptor limfosit B yang berperan sebagai sel penyaji antigen
kepada sel limfosit T dalam hal ini CD4+, kemudian berdeferensiasi menjadi sel Th-1
dan Th-2. Sel Th-2 akan menghasilkan IL-4 dan IL-5 yang memacu pembentukan Ig
(Imunoglobulin) oleh limfosit B. Ig meningkatkan kemampuan fagositosis makrofag.
3) Tifoid
Salmonella typhi dan Salmonella paratyphi masuk kedalam tubuh manusia melalui
makanan yang terkontaminasi kuman. Sebagian kuman dimusnahkan oleh asam
lambung dan sebagian lagi masuk ke usus halus dan berkembang biak. Bila respon
imunitas humoral mukosa IgA usus kurang baik maka kuman akan menembus sel-sel
epitel terutama sel M dan selanjutnya ke lamina propia. Di lamina propia kuman
berkembang biak dan difagosit oleh sel-sel fagosit terutama oleh makrofag. Kuman
dapat hidup dan berkembang biak di dalam makrofag dan selanjutnya dibawa ke plaque
Peyeri ileum distal dan kemudian ke kelenjar getah bening mesenterika. Selanjutnya
melalui duktus torasikus kuman yang terdapat di dalam makrofag ini masuk ke dalam
sirkulasi darah (mengakibatkan bakterimia pertama yang asimtomatik) dan menyebar
ke seluruh organ retikuloendotelial tubuh terutama hati dan limpa. Di organ-organ ini
kuman meninggalkan sel-sel fagosit dan kemudian berkembang biak di luar sel atau
ruang sinusoid dan selanjutnya masuk ke dalam sirkulasi darah lagi yang
mengakibatkan bakterimia yang kedua kalinya dengan disertai tanda-tanda dan gejala
penyakit infeksi sistemik, seperti demam, malaise, mialgia, sakit kepala dan sakit perut.
*Referensi
1. Yunarko Rais.Respon Imun terhadap Infeksi Parasit Malaria.[Jurnal Vektor Penyakit,
Vol. 8 No. 2, 2014.]. [di akses 8 April 2016]
2. Sutanto Inge, Is Suhariah Ismid, Pudji K. Sjarifuddin, Saleha Sungkar. Parasitologi
Kedokteran. Edisi Keempat. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta. 2011.
3. Baratawidjaja, K, G, dkk, Imunologi Dasar, Edisi 8, Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia, Jakarta. 2009.
Pasien pernah mengalami sakit yang sama.
Serangan malaria yang pertama terjadi sebagai akibat infeksi parasit malaria, disebut malaria
primer (berkorelasi dengan siklus sizogoni dalam sel darah merah). Pada infeksi oleh
P.vivax/P.ovale, sesudah serangan yang pertama berakhir atau disembuhkan, dengan adanya
siklus eksoeritrositik (EE) sekunder atau hipnozoit dalam sel hati, suatu saat kemudian
penderita bisa mendapat serangan malaria yang kedua (disebut: malaria sekunder).
Berulangnya serangan malaria yang bersumber dari siklus EE sekunder pada malaria vivax
atau ovale disebut relaps. Umumnya relaps terjadi beberapa bulan (biasanya>24minggu)
sesudah malaria primer, disebut long-term relapse. Pada malaria karena P.falciparum dan P.
malariae, relaps dalam pengertian seperti diatas tidak terjadi, karena kedua spesies ini tidak
memiliki siklus EE sekunder dalam hati. Kemungkinan berulangnya serangan malaria pada
kedua jenis malaria ini disebabakan oleh kecenderungan parasit malaria bersisa dalam darah,
yang kemudian membelah diri bertambah banyak sampai bisa menimbulkan gejala malaria
sekunder. Kekambuhan malaria seperti ini disebut rekrudesensi. Pada malaria karena P.
falciparum rekrudesensi terjadi dalam beberapa hari atau minggu (biasanya <8 minggu)
sesudah serangan malaria primer, disebut short termrelapse. Karena suatu mekanisme yang
belum begitu jelas, kekambuhan terjadi dalam rentang waktu jauh lebih lama. Bisa terjadi
beberapa tahun atau bahkan puluhan tahun sejak serangan pertama.
*Referensi
1. Arsin AA. Malaria di Indonesia Tinjauan Aspek Epidemiologi. Masagena Press [KDT].
Makassar, 2012. Available from: http://repository.unhas.ac.id. [diakses 10 April 2016].
top related